FISIOLOGI ADAPTASI SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) TERHADAP TOKSISITAS ALUMINIUM DAN DEFISIENSI FOSFOR DI TANAH MASAM
KARLIN AGUSTINA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ”Fisiologi Adaptasi Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) terhadap Toksisitas Aluminium dan Defisiensi Fosfor di Tanah Masam” merupakan hasil penelitian saya dengan arahan dari komisi pembimbing. Disertasi ini disusun dari sebagian hasil penelitian payung Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP) yang berjudul ”Pengembangan Sorgum Manis (Sorghum bicolor L. Moench) untuk Bioetanol di Lahan Kering Bertanah Masam: Fisiologi, Genetika dan Pemuliaan” yang diketuai oleh Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. Disertasi ini belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2011 Karlin Agustina A.262070021
ABSTRACT KARLIN AGUSTINA. Physiological Adaptation of Sorgum (Sorghum bicolor (L.)Moench) to Aluminum Toxicity and Phosphorous Deficiency in Acid Soils. Under direction of DIDY SOPANDIE, TRIKOESOEMANINGTYAS, and DESTA WIRNAS. Sorghum (Sorghum bicolor (L) Moench) is an ideal crop to be developed as food diversification and source of bioethanol in Indonesia because this crop has high adaptability to be grown in dry lands. From a total of 148.2 millions ha dry land in Indonesia, an estimated are of 108 millions ha are acid soil (ultisols). Acid soils have low fertility and Al toxicity which are major constraints for crop production in acid soil. For sorghum production in acid dry lands, sorghum varieties having high adaptation to acid soil have to be developed. The objectives of this study was to obtain complete information about the physiological adaptation to aluminum toxicity and phosphorus deficiency which can be used as the character selection in breeding program to obtain the tolerant sorghum in acid soils. The genotypes used was Numbu (Tolerant), ZH-30-29-07 (Tolerant), B-69 (sensitive) and B-75 (sensitive) from selected on acid soils in Lampung. The study on physiological mechanism of sorghum adaptation to acid soils has resulted in information that the main limiting factor in soghum growth in acid soil was phosphorous deficiency. Under sufficient P, without liming, the sensitive genotype produced similar yield. The tolerant genotype, Numbu and ZH30-29-07 showed higher ability to maintain root growth under Al stress and P deficiency. The tolerant genotypes also showed higher ability to absorp nutient under low P condition compared to sensitive genotypes. The lowest concentration of 74 μM Al can reduce the growth in all genotypes tested. The longer the sorghum roots exposed to the stress, the higher the value of scoring and the accumulation of aluminum in the roots under Al toxicity. Sorghum genotypes had specific absorption rate was high, but it was not followed by increasing of roots length, roots dry weight and shoot dry weight. Specific absorption rate is more affected by Al stress rather than increasing level of P. Genotype ZH-30-29-07 were tolerant in identified in acid soils showed the moderate response to Al toxicity in nutrient solution. The higher aluminum concentration leading to greater plant growth inhibition. The tolerant genotypes had the internal mechanism (tolerance) in the face under low P condition by increasing the efficiency of internal phosphor (interrelated), otherwise the sensitive genotype had the external mechanism (avoidance) through increased P absorption or total P . There was no relationship between the use efficiency of P with total P content of plant both in testing using the acid soils in rhizotron and nutrient solution. Key words: sorghum, acid soils, Al toxicity, phosphorus deficiency
RINGKASAN KARLIN AGUSTINA. Fisiologi Adaptasi Sorgum (Sorghum bicolor (L) Moench) Terhadap Toksisitas Aluminium dan Defisiensi Fosfor di Tanah Masam. Dibimbing oleh DIDY SOPANDIE, TRIKOESOEMANINGTYAS dan DESTA WIRNAS. Sorgum (Sorghum bicolor (L) Moench) ideal dikembangkan sebagai sumber bahan makanan untuk diversifikasi pangan dan bahan baku bioetanol di Indonesia, karena tanaman ini mempunyai kesesuaian yang tinggi untuk dikembangkan di lahan kering. Dari total luas lahan Indonesia yang mencapai 188.2 juta ha,148 juta ha di antaranya merupakan lahan kering yang diperkirakan 102.8 juta ha di antaranya berupa lahan kering bertanah masam (ultisols). Lahanlahan bertanah masam mempunyai tingkat kesuburan tanah yang rendah dan keracunan Al yang menjadi kendala dalam produksi tanaman. Untuk mencapai tujuan pengembangan sorgum di lahan kering bertanah masam diperlukan upaya mengembangkan varietas-varietas sorgum yang beradaptasi pada kondisi agroekologi lahan kering bertanah masam. Tujuan penelitian adalah (1) untuk memperoleh informasi tentang tanggap agronomi genotipe sorgum terhadap pertumbuhan dan produksi pada kondisi cekaman Al dan defisiensi fosfor di tanah masam, (2) memperoleh informasi tentang adaptasi sorgum terhadap cekaman Al di larutan hara, (3) memperoleh informasi tentang tanggap morfofisiologi akar sorgum di tanah masam dalam rhizotron, (4) memperoleh informasi tentang mekanisme yang mungkin terjadi yang dapat mendasari perbedaan efisiensi P dalam keadaan tercekam Al baik melalui penilaian serapan P maupun penilaian penggunaan P, (5) memperoleh informasi mengenai distribusi dan akumulasi Al dalam akar sorgum serta kemampuan akar memperbaiki kerusakan akibat cekaman Al, dan (6) mengidentifikasi karakter-karakter tanaman yang berkaitan dengan toleransi terhadap toksisitas Al dan defisiensi P, yang dapat digunakan sebagai karakter untuk seleksi dalam rangka pengembangan tanaman sorgum di tanah masam. Penelitian dilaksanakan secara terpadu mulai dari lapangan, rumah kaca dan laboratorium. Penelitian lapang dilaksanakan di tanah kering masam di Jasinga Kabupaten Bogor. Rancangan penelitian yang digunakan adalah split plot dengan tiga ulangan. Faktor perlakuan yang digunakan adalah kondisi tanah masam dengan Al tinggi dan Al rendah serta genotipe sorgum. Genotipe yang digunakan adalah dua genotipe toleran yaitu Numbu dan ZH-30-29-07 serta dua genotipe peka yaitu B-69 dan B-75 hasil seleksi Sungkono (2007) di tanah masam Lampung. Penelitian di rumah kaca dilaksanakan di Kebun Percobaan University Farm IPB Cikabayan Bogor. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap faktorial (RAL) untuk percobaan di larutan hara, percobaan menggunakan rhizotron, pengujian laju serapan spesifik P dan analisis root regrowth. Sedangkan percobaan untuk mengetahui distribusi dan akumulasi Al dalam akar sorgum dilaksanakan di Laboratorium Micro Technique Fakultas Pertanian IPB. Penelitian di rumah kaca dan laboratorium menggunakan genotipe sorgum yang sama seperti yang digunakan pada penelitian lapangan.
v Hasil penelitian menunjukkan cekaman Al dan defisiensi P merupakan faktor pembatas pertumbuhan di tanah masam. Pemberian kapur saja tanpa diikuti peningkatan dosis pupuk P hanya mampu meningkatkan bobot kering tajuk dan komponen hasil sorgum di tanah masam untuk genotipe toleran, tetapi untuk genotipe peka harus diikuti dengan peningkatan dosis pupuk P. Bobot kering tajuk, padatan terlarut total dan bobot 1000 biji berkorelasi tinggi terhadap produksi sorgum di tanah masam. Konsentrasi Al 74 μM mampu menurunkan pertumbuhan pada semua genotipe yang diuji, tetapi pada Numbu baru terlihat penurunan nyata pada konsentrasi 148 μM Al. Genotipe ZH-30-29-07 yang teridentifikasi toleran di tanah masam menunjukkan respon moderat terhadap toksisitas Al di larutan hara. Semakin tinggi konsentrasi Al, semakin besar hambatan pertumbuhan tanaman. Pengujian menggunakan rhizotron menunjukkan diameter penyebaran akar yang tidak berbeda antara sorgum toleran dan peka pada kondisi optimal. Genotipe B-75 memiliki kadar P jaringan tinggi pada media tanah masam, akan tetapi nilai efisiensi penggunaan hara P nya lebih rendah daripada tanaman toleran. Hasil analisis kadar P jaringan dan efisiensi penggunaan ini menunjukkan bahwa genotipe toleran memiliki mekanisme internal (toleransi) dalam menghadapi cekaman P rendah dengan meningkatkan efisiensi penggunaan P internal (interrelated), sebaliknya genotipe peka memiliki mekanisme eksternal (penghindaran) melalui peningkatan serapan P atau kadar P total jaringan. Kadar P jaringan dan efisiensi penggunaan P berkorelasi tinggi dengan diameter akar dan pembentukan biomassa tanaman. Pada kondisi bercekaman Al, genotipe sorgum memiliki laju serapan spesifik P yang tinggi, tetapi tidak diikuti oleh adanya peningkatan panjang dan bobot kering akar maupun tajuk. Genotipe peka memiliki total serapan P tinggi, tetapi memiliki efisiensi penggunaan P lebih rendah daripada genotipe toleran. Hasil ini sejalan dengan pengujian kemampuan memanfaatkan hara P pada media tanah masam. Laju serapan spesifik P lebih dipengaruhi oleh cekaman Al daripada peningkatan dosis P. Tidak ditemukan adanya hubungan antara efisiensi penggunaan P dengan kadar P total jaringan tanaman baik pada pengujian menggunakan media tanah masam dalam rhizotron maupun di larutan hara. Metode pewarnaan hematoksilin dengan pengukuran intensitas pewarnaan melalui histokimia (sediaan mikroskopis) untuk melihat penetrasi dan distribusi Al ke dalam akar, dapat digunakan untuk melihat perbedaan toleransi sorgum terhadap Al. Batas konsentrasi tertinggi yang masih bisa ditolerir oleh genotipe sorgum adalah 74 μM Al dengan lama cekaman 24 jam. Semakin lama akar sorgum diberi cekaman, semakin tinggi nilai skoring dan akumulasi Al pada akar. Cekaman Al tidak mempengaruhi munculnya akar sekunder pada genotipe toleran, tetapi sangat menghambat pertambahan panjang akar sekunder yang muncul pada perkembangan selanjutnya. Kerusakan akar akibat peningkatan konsentrasi Al hingga 148 μM masih mampu di recovery oleh Numbu, tetapi genotipe ZH-30-29-07, B-69 dan B-75 hanya mampu memunculkan kembali akar sekundernya pada konsentrasi cekaman Al 74 μM. Semakin tinggi konsentrasi cekaman Al, semakin berkurang kemampuan genotipe sorgum dalam menumbuhkan kembali akarnya. Kata-kata kunci: sorgum, tanah masam, toksisitas Al, defisiensi fosfor
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
FISIOLOGI ADAPTASI SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) TERHADAP TOKSISITAS ALUMINIUM DAN DEFISIENSI FOSFOR DI TANAH MASAM
KARLIN AGUSTINA A.262070021/AGH
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Mayor Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Ahmad Junaedi, M.Si 2. Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Prof (R). Dr. Ir. Abdul Karim Makarim, M.Sc 2. Dr. Ir. Miftahudin, M.Si
Judul Disertasi
: Fisiologi Adaptasi Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) terhadap Toksisitas Aluminium dan Defisiensi Fosfor di Tanah Masam
Nama Mahasiswa
:
Karlin Agustina
NRP
:
A262070021
Mayor
:
Agronomi dan Hortikultura
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr. Ketua
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc Anggota
Dr. Desta Wirnas, SP, M.Si Anggota
Diketahui Koordinator Mayor Agronomi dan Hortikultura
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 21 Juli 2011
Tanggal Lulus: 4 Agustus 2011
PRAKATA Alhamdulillahirabbil ’alamin, segala puji syukur penulis panjatkn kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Disertasi berjudul Fisiologi Adaptasi Sorgum
(Sorghum Bicolor L.
Moench) terhadap Toksisitas Aluminium dan Defisiensi Fosfor di Tanah Masam disusun berdasarkan 6 (enam) topik hasil penelitian yang dilaksanakan secara terpadu. Keenam topik ini merupakan satu kesatuan penelitian Land to Lab yang bertujuan untuk mendapatkan informasi dari bidang kajian fisiologi tentang kemampuan sorgum beradaptasi pada kondisi tercekam Al dan defisiensi P. Disertasi ini disusun dari sebagian hasil penelitian payung Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP) yang berjudul ”Pengembangan Sorgum Manis (Sorghum bicolor L. Moench) untuk Bioetanol di Lahan Kering Bertanah Masam: Fisiologi, Genetika dan Pemuliaan” yang diketuai oleh Dr.Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan pada jurnal Agronomi Indonesia (terakreditasi) No.38 (2):88-94 (2010). Telah dipresentasikan pada Seminar Nasional PERAGI di Medan pada bulan Oktober 2009 dan memenangkan dana Hibah untuk diterbitkan pada jurnal berskala Internasional. Telah dipresentasikan juga di Maros Sulawesi Selatan pada acara Pekan Serealia Nasional I bulan Juli 2010. Topik penelitian mengenai análisis root regrowth dan uji pewarnaan hematoksilin juga telah terseleksi oleh DP2M DIKTI sebagai penelitian berpotensi paten dan telah diikutsertakan dalam program Pelatihan Pemanfaatan Hasil Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Kreativitas Mahasiswa Berpotensi Paten yang diselenggarakan pada tanggal 10 – 12 Maret 2011 di Jakarta. Dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian studi, penulis banyak mendapat bantuan baik dari perorangan maupun lembaga atau instansi tertentu. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan secara khusus kepada komisi pembimbing yang diketuai oleh Bapak Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr dan beranggotakan Ibu Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc dan Ibu Dr. Desta Wirnas, SP, M.Si.
xi Terima kasih disampaikan juga kepada Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya dan Dr. Ir. Anas D.Susila atas kesediaan sebagai penguji luar komisi pada ujian prakuallifikasi. Kepada Dr. Ir. Ahmad Junaedi, M.Si dan Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS disampaikan terima kasih atas kesediaan sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, dan kepada Prof (R). Dr. Ir. Abdul Karim Makarim, M.Sc dan Dr. Ir. Miftahudin, M.Si sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka. Terima kasih juga disampaikan kepada DITJENDIKTI KEMDIKNAS atas bantuan beasiswa BPPS, bantuan biaya penelitian dan penyelesaian studi melalui program Hibah Penelitian Tim Pascasarjan (HPTP) dan program Hibah Disertasi Doktor tahun 2010. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Pemda Provinsi Sumatera Selatan atas dukungan dana penelitian dan penyelesaian studi melalui program Beasiswa Kemitraan Daerah tahun 2010-2011. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada PATIR-BATAN, UPTD Lahan kering Tenjo, Kebun percobaan University Farm IPB, Laboratorium RGCI, Laboratorium Micro Tehnique IPB, Laboratorium Puslit Tanah dan Laboratorium SEAMEO BIOTROP sebagai unit kerja dan lembaga yang telah banyak membantu terlaksananya penelitian ini dengan baik dan lancar. Kepada Pengurus Yayasan IBA, Rektor Universitas IBA dan Dekan Fakultas Pertanian disampaikan ucapan terima kasih atas izin dan kesempatan untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan serupa disampaikan kepada teman-teman satu tim penelitian sorgum: Sungkono, Isnaini, Rahmansyah Dermawan, Sumiyati dan Winda yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian dan bertukar informasi hasil penelitian. Akhirnya kepada Ibu Misdariyah dan Ayah Bastomi Amin kedua orang tuaku, terima kasih tak terhingga atas kasih sayang dan doa yang tak pernah putus. Kepada Ade Munirwan, SE suamiku, dan anak-anakku Agung Anggana Ajie dan Zhafir Afla Raihan terima kasih atas segala kesabaran, keikhlasan dorongan serta doa kalian. Terima kasih juga disampaikan kepada semua saudaraku dan semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan disertasi. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2011 Karlin Agustina
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 13 Agustus 1968 merupakan anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Bastomi Amin dan Ibu Misdaryah. Menikah dengan Ade Munirwan,SE dan dikaruniai dua anak lakilaki, Agung Anggana Ajie (17 tahun) dan Zhafir Afla Raihan (8 tahun). Penulis menamatkan pendidikan formal di SDN 134 Palembang tahun 1981, SMPN 4 Palembang tahun 1984, dan SMAN 5 Palembang pada tahun 1987. Penulis mendapatkan gelar Sarjana Pertanian (Ir.) di Fakultas Pertanian Universitas IBA Palembang dengan bidang Budidaya Pertanian pada tahun 1992. Tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan ke Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Agronomi, dan menyelesaikannya pada tahun 1998. Tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan Program Doktor di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan biaya pendidikan dari BPPS DITJENDIKTI. Penulis bekerja sebagai staf pengajar Kopertis Wilayah II Palembang dipekerjakan di Fakultas Pertanian Universitas IBA Palembang pada program studi Agroteknologi sejak tahun 1994. Selama mengikuti Program S3, penulis pernah menjadi bendahara Forum Mahasiswa Pascasarjana (FORSCA) Departeman AGH dan bendahara pada FORUM WACANA IPB periode 2008-2009. Pada bulan Juli 2009 penulis juga berkesempatan mengikuti program International Round Table Discussion on Globalization, Poverty and Food di Universiti Putra Malaysia (UPM) dan Centre for Postgraduate Studies, International Islamic University Malaysia (IIUM).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL..............................………………………………………
xiv
DAFTAR GAMBAR......................................................................................
xix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xxii
PENDAHULUAN........................................................................................... Latar Belakang .......................................................................................... Tujuan Penelitian ...................................................................................... Manfaat Penelitian .................................................................................... Kerangka dan Ruang Lingkup Penelitian..................................................
1 3 3 4
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. Morfologi dan Fisiologi Sorgum ............................................................... Karakteristik Tanah Masam ...................................................................... Pengaruh Cekaman Aluminium terhadap Tanaman ................................. Mekanisme Fisiologi Tanaman terhadap Cekaman Aluminium................ Interaksi Fosfor dengan Aluminium.......................................................... Fungsi dan Gejala Defisiensi Fosfor ......................................................... Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Defisiensi Fosfor .....................
6 6 7 8 10 15 16 18
TANGGAP AGRONOMI SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) TERHADAP CEKAMAN ALUMINIUM DAN DEFISIENSI FOSFOR DI TANAH MASAM.......................................................................................... Pendahuluan............................................................................................... . Bahan dan Metode ..................................................................................... Hasil dan Pembahasan................................................................................ Kesimpulan ...............................................................................................
25 26 27 29 44
TOLERANSI SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) TERHADAP CEKAMAN ALUMINIUM DI LARUTAN HARA ..................................... Pendahuluan............................................................................................... Bahan dan Metode...................................................................................... Hasil dan Pembahasan ............................................................................... Kesimpulan ...............................................................................................
45 45 48 49 61
TANGGAP MORFO-FISIOLOGIS AKAR SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) TERHADAP CEKAMAN ALUMINIUM DAN DEFISIENSI FOSFOR DALAM RHIZOTRON ................................................................. Pendahuluan............................................................................................... Bahan dan Metode..................................................................................... Hasil dan Pembahasan ............................................................................... Kesimpulan ...............................................................................................
62 63 65 67 77
xiv
LAJU SERAPAN SPESIFIK PADA SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) DALAM KONDISI BERCEKAMAN ALUMINIUM DAN DEFISIENSI FOSFOR DI LARUTAN HARA ............................................ Pendahuluan............................................................................................... Bahan dan Metode..................................................................................... Hasil dan Pembahasan ............................................................................... Kesimpulan ...............................................................................................
78 79 80 82 96
DISTRIBUSI DAN AKUMULASI ALUMINIUM PADA AKAR SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) MELALUI UJI PEWARNAAN HEMATOKSILIN.............................................. ............................................ 97 Pendahuluan............................................................................................... 98 Bahan dan Metode..................................................................................... 99 Hasil dan Pembahasan ............................................................................... 101 Kesimpulan ............................................................................................... 113 ANALISIS ROOT REGROWTH AKAR SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) TERHADAP CEKAMAN ALUMINIUM DI LARUTAN HARA................................................................ ............................................ Pendahuluan............................................................................................... Bahan dan Metode..................................................................................... Hasil dan Pembahasan ............................................................................... Kesimpulan ...............................................................................................
114 115 116 117 122
PEMBAHASAN UMUM ................................. ............................................
123
KESIMPULAN DAN SARAN....................................................................... 130 Kesimpulan ............................................................................................... 130 Saran .......................................................................................................... 131 DAFTAR PUSTAKA ....................................... ............................................
132
LAMPIRAN ................................................................................................... 141
DAFTAR TABEL Tabel 1
Halaman Jenis-jenis asam organik yang dieksudasi tanaman dalam hubungannya dengan toleransi terhadap Al................................
11
2
Respon tanaman terhadap Defisiensi P.........................................
20
1.1
Ciri kimia dan fisika contoh tanah pada lokasi penelitian ...........
30
1.2 Rekapitu Rekapitulasi analisis ragam pengaruh kondisi cekaman, genotipe dan interaksi antara kondisi cekaman dan genotipe terhadap pertumbuhan dan produksi sorgum di tanah masam.......................................................................................... 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9
1.10 1.11 1.12
32
Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot kering tajuk pada berbagai kondisi cekaman ............................................................
34
Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot kering tajuk pada kondisi cekaman Al tinggi di tanah masam ........................
35
Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot kering tajuk pada kondisi cekaman Al rendah di tanah masam................................
35
Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot kering tajuk terhadap pemberian pupuk P pada kondisi cekaman Al tinggi.....
36
Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot kering tajuk terhadap pemberian pupuk P pada kondisi cekaman Al rendah..
36
Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot biji per tanaman pada berbagai kondisi cekaman di tanah masam..........................
37
Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot biji pertanaman pada kondisi cekaman Al tinggi di tanah masam ......................
38
Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot biji pertanaman pada kondisi cekaman Al rendah di tanah masam......................
38
Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot biji per tanaman terhadap pemberian pupuk P pada kondisi cekaman Al tinggi ..
39
Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot biji per tanaman terhadap pemberian pupuk P pada kondisi cekaman Al rendah..
39
xvi 1.13
Respon genotipe pada bobot 1000 biji sorgum terhadap 40 berbagai kondisi cekaman Al dan pupuk P di tanah masam
1.14
Respon genotipe untuk karakter bobot 1000 biji terhadap pemberian pupuk P dengan kondisi cekaman Al tinggi.............. 40
1.15
Respon genotipe untuk karakter bobot 1000 biji terhadap pemberian pupuk P dengan kondisi cekaman Al rendah............. 40
1.16
Respon genotipe pada berbagai kondisi cekaman terhadap padatan terlarut (PTT) dan gula total .......................................... 41
1.17 .
Nilai padatan terlarut total empat genotipe sorgum di tanah masam…………………………………………………………... 41
1.18 .
Respon genotipe sorgum toleran dan peka terhadap kandungan gula total dan padatan terlarut total (PTT) batang sorgum di tanah masam……………………………………………………. 42
1.19
Respon genotipe pada dua kondisi cekaman Al terhadap kandungan padatan terlarut total (PTT)………………………… 42
1.20
Nilai korelasi antara peubah pertumbuhan, produksi dan padatan terlarut total sorgum di tanah masam.............................. 43
2.1
Rekapitulasi nilai analisis ragam pengaruh genotipe, konsentrasi Al dan pengaruh interaksi antara pengaruh genotipe dan konsentrasi Al terhadap pertumbuhan pertumbuhan sorgum di larutan hara ………………………………………………….. 50
2.2
Respon genotipe sorgum pada berbagai konsentrasi cekaman Al terhadap panjang akar dan panjang tajuk di larutan hara………. 52
2.3
Respon antar genotipe sorgum pada berbagai konsentrasi cekaman Al di larutan hara …………………………………… 53
2.4
Respon genotipe ZH-30-29-07 dan B-75 terhadap panjang akar dan panjang tajuk pada berbagai konsentrasi cekaman Al di larutan hara ……………………………………………………. 53
2.5
Respon genotipe sorgum terhadap panjang akar pada berbagai konsentrasi cekaman Al ............................................................... 54
2.6
Respon genotipe sorgum terhadap panjang tajuk pada berbagai konsentrasi cekaman Al ............................................................... 55
2.7
Bobot kering akar dan bobot kering tajuk sorgum fase bibit pada berbagai konsentrasi cekaman Al di larutan hara ………… 56
xvii 2.8
Respon antar genotipe sorgum pada berbagai konsentrasi cekaman Al di larutan hara …………………………………… 57
2.9
Respon genotipe sorgum terhadap bobot kering akar pada berbagai konsentrasi cekaman Al ................................................ 57
2.10
Respon genotipe sorgum terhadap bobot kering tajuk pada berbagai konsentrasi cekaman Al ................................................ 58
2.11
Nilai rataan pengaruh genotipe dan konsentrasi cekaman Al terhadap panjang akar relatif dan Bobot tajuk relatifsorgum pada fase bibit ………………………………………………….. 60
2.12
Nilai korelasi antar peubah panjang akar, bobot kering tajuk, panjang tajuk dan bobot kering akar …………………………… 61
3.1
Rekapitulasi nilai analisis ragam pengaruh genotipe, konsentrasi Al dan interaksi antara pengaruh genotipe dan konsentrasi Al terhadap pertumbuhan sorgum di dalam rhizotron ………………………………………………………... 68
3.2
Rata-rata nilai pengaruh interaksi antara kondisi cekaman dan genotipe terhadap bobot kering total dalam rhizotron ................. 69
3.3
Respon genotipe sorgum pada berbagai kondisi cekaman P di tanah masam terhadap bobot kering total ..……………………. 70
3.4
Respon genotipe terhadap bobot kering total pada kondisi cekaman Al tinggi dan Al rendah di tanah masam....................... 70
3.5
Rata-rata nilai terhadap peubah diameter sebaran akar, jumlah akar primer, kadar P jaringan dan efisiensi penggunaan P (EPP) 71
3.6
Respon genotipe sorgum pada dua kondisi cekaman Al di tanah masam terhadap diameter sebaran akar. jumlah akar primer, kadar P jaringan, dan efisiensi penggunaan P............................... 73
3.7
Respon karakter diameter sebaran akar, jumlah akar primer, kadar P jaringan dan efisiensi penggunaan P genotipe sorgum terhadap pemberian pupuk P pada kondisi cekaman Al tinggi.... 73
3.8
Respon karakter diameter sebaran akar, jumlah akar primer, kadar P jaringan dan efisiensi penggunaan P genotipe sorgum terhadap pemberian pupuk P pada kondisi cekaman Al rendah... 74
3.9
Nilai korelasi antara parameter kadar P jaringan, efisiensi penggunaan P, bobot tajuk dan diameter sebaran akar ................ 77
xviii 4.1
Rekapitulasi sidik ragam pengaruh genotipe, dan komposisi larutan hara serta interaksi antara genotipe dan komposisi larutan hara terhadap pertumbuhan sorgum fase bibit …………. 83
4.2
Respon genotipe sorgum pada berbagai cekaman Al dan defisiensi P terhadap bobot kering total di larutan hara………… 84
4.3
Respon genotipe sorgum pada kondisi cekaman Al berbeda terhadap bobot kering total di larutan hara …………………….. 85
4.4
Respon pembentukan bobot kering total genotipe sorgum terhadap pemberian pupuk P pada dua kondisi cekaman Al........ 86
4.5
Nilai tengah pengaruh konsentrasi Al dan genotipe, terhadap nisbah tajuk akar sorgum fase bibit umur 14 HST di larutan hara ……………………………………………………………... 86
4.6
Rataan Laju Serapan Spesifik sorgum yang ditumbuhkan pada larutan hara dengan komposisi yang berbeda selama 14 hari…... 88
4.7
Respon genotipe sorgum pada kondisi cekaman Al dan hara P berbeda terhadap laju serapan spesifik P di larutan hara……….. 89
4.8
Rataan Laju Serapan Spesifik pada sorgum toleran dan peka yang ditumbuhkan pada larutan hara selama 14 hari…………... 90
4.9
Nilai rataan pengaruh komposisi larutan hara terhadap kadar P jaringan sorgum fase bibit umur 14 HST di larutan hara ……... 91
4.10
Nilai rataan pengaruh genotipe terhadap kadar P jaringan sorgum fase bibit umur 14 HST di larutan hara……………….. 91
4.11
Nilai rataan efisiensi penggunaan P (mg.mg BK/mg P) dalam larutan hara dengan komposisi yang berbeda selama 14 hari……………………………………………………………… 92
4.12
Nilai rataan efisiensi penggunaan P (mg.mg BK/mg P) genotipe sorgum selama 14 hari …………………………………………. 93
4.13
Nilai rataan rasio efisiensi P (mg BK/mg P) dalam larutan hara dengan komposisi yang berbeda selama 14 hari ………….. 94
4.14
Nilai rataan rasio efisiensi P (mg BK/mg P) genotipe sorgum selama 14 hari di larutan hara…………………………………... 94
4.15
Korelasi antara Efisiensi Penggunaan P (EPP), Kadar P Jaringan dan laju serapan spesifik sorgum umur 14 hari di larutan hara ……………………………………………………. 95
xix 5.1
Rekapitulasi nilai sidik ragam pengaruh konsentrasi Al dan genotipe, terhadap panjang akar dan nilai skoring warna sorgum fase bibit pada lama cekaman Al 6 jam, 24 jam dan 48 jam…… 102
5.2
Nilai rataan pengaruh konsentrasi Al dan genotipe, terhadap panjang akar sorgum selama 6 jam tercekam Al ....................... 102
5.3
Nilai rataan pengaruh konsentrasi Al dan genotipe, terhadap panjang akar sorgum selama 24 jam tercekam Al .................... 103
5.4
Nilai rataan pengaruh konsentrasi Al dan genotipe, terhadap panjang akar sorgum selama 48 jam tercekam Al .................... 103
5.5
Respon genotipe terhadap panjang akar pada konsentrasi dan lama cekaman Al berbeda............................................................ 104
5.6
Pengaruh konsentrasi Al dan genotipe, terhadap nilai kuantitatif pewarnaan hematoksilin pada sorgum fase bibit dengan lama cekaman 6 jam ............................................................................ 105
5.7
Pengaruh konsentrasi Al dan genotipe, terhadap nilai kuantitatif pewarnaan hematoksilin pada sorgum fase bibit dengan lama cekaman 24 jam ........................................................................... 105
5.8
Pengaruh konsentrasi Al dan genotipe, terhadap nilai kuantitatif pewarnaan hematoksilin pada sorgum fase bibit dengan lama cekaman 48 jam .......................................................................... 105
5.9
pengaruh konsentrasi cekaman Al terhadap skoring pewarnaan hematoksilin pada sorgum dengan berbagai lama waktu cekaman ...................................................................................... 106
6.1
Rekapitulasi nilai sidik ragam pengaruh genotipe, dan komposisi larutan hara terhadap pertumbuhan sorgum pada fase bibit …………………………………………………………….. 118
6.2
Nilai rataan pertambahan panjang akar, pertambahan volume akar dan pertambahan panjang tajuk sorgum fase bibit pada berbagai genotipe ......................................................................... 118
6.3
Nilai rataan pertambahan panjang akar, pertambahan volume akar dan pertambahan panjang tajuk sorgum fase bibit pada berbagai konsentrasi Al................................................................. 119
6.4
Nilai korelasi antara parameter pertambahan panjang akar, pertambahan volume akar dan pertambahan panjang tajuk sorgum .......................................................................................... 122
DAFTAR GAMBAR Gambar 1
Halaman Bagan alir penelitian mekanisme toleransi sorgum terhadap toksisitas aluminium dan defisiensi fosfor untuk adaptasi di tanah masam……………………………………………………………….
5
2
Mekanisme detoksifikasi Al dalam sel tanaman toleran Al .............
12
3
Pola-pola akumulasi Al di dalam akar jagung toleran Al..................
13
4
Urutan gen-gen yang berubah ekspresinya saat terinduksi kahat P secara hipotetik...................................................................................
22
Sekresi S-APase dari akar white lupin yang ditumbuhkan pada kondisi P rendah……………………………………………………
23
Pola sekresi S-APase pada akar Wite Lupin setelah ditumbuhkan 25 hari dan dipindahkan ke larutan hara dengan P rendah dan Pcukup selama 24 jam…………….. ………………………………..
23
1.1
Kurva logaritmik erapan P contoh tanah dengan Al tinggi...............
30
1.2
Kurva logaritmik erapan P contoh tanah dengan Al rendah..............
31
2.1
Respon genotipe sorgum terhadap cekaman Al di larutan hara (A) kontrol ( tanpa Al) dan (B) 222 μM Al , dari kiri ke kanan: Numbu, ZH-30-29-07, B-69 dan B-75 ………………………………………. Respon genotipe tanaman terhadap berbagai tingkat konsentrasi Al (A) Numbu/ toleran dan (B) B-75/peka, dari kiri ke kanan: tanpa Al, 74μM Al, 148 μMAl, dan 222 μM Al…………………………...
5 6
2.2
2.3 2.4 2.5 2.6
51 51
Panjang akar sorgum fase bibit pada berbagai konsentrasi Al di larutan hara…………………………………………………………..
54
Panjang tajuk sorgum fase bibit pada berbagai konsentrasi Al di larutan hara ………………………………………………………….
55
Bobot kering akar sorgum fase bibit pada berbagai konsentrasi Al di larutan hara……………………………………………………….
58
Bobot kering tajuk sorgum fase bibit pada berbagai konsentrasi Al di larutan hara ……………………………………………………….
59
xxi 3.1
Kondisi tanaman yang ditumbuhkan dalam media Al tinggi-tanpa P (R1), Al tinggi-P kurang (R2), dan Al tinggi-P cukup (R3) pada tanaman toleran (T) dan tanaman peka (P) ........................................................ 74
3.2
Kondisi tanaman yang ditumbuhkan dalam media Al rendah-tanpa P (R4), Al rendah-P kurang (R5), dan Al rendah-P cukup (R6) pada tanaman toleran (T) dan t anaman peka (P) .......................................... 75
3.3
Perbandingan morfologi akar sorgum yang ditumbuhkan dalam media Al tinggi - tanpa P (R1), Al tinggi - P kurang (R2), dan Al tinggi - P cukup (R3) pada tanaman toleran (T) dan peka (P) ........ 76
3.4
Perbandingan morfologi akar sorgum yang ditumbuhkan dalam media berAl rendah-tanpa P (R4), berAl rendah-P kurang (R5), dan berAl rendah-P cukup (R6) pada tanaman toleran (T) dan peka (P) 76
4.1
Kondisi sorgum peka (A) dan toleran (B) pada umur lima hari setelah di tumbuhkan di larutan hara dengan cekaman Al dan P kurang………………………………………………………………. 83
4.2
Pertumbuhan sorgum pada umur 14 hari dalam komposisi larutan hara yang berbeda (A) bercekaman Al-P kurang dan (B) bercekaman Al-P cukup…………………………………………….. 87
4.3
Pertumbuhan sorgum pada umur 14 hari dalam komposisi larutan hara yang berbeda, (A) bercekaman Al-P cukup dan (B) tanpa cekaman Al-P cukup ……………………………………………… 88
5.1
Perbandingan potongan melintang akar sorgum genotipe B-75 pada perlakuan 6 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al …………………………………………………...
107
Genotipe B-69 pada perlakuan 6 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al ………………………………………
107
Genotipe ZH-30-29-07 pada perlakuan 6 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al ……………………….
108
Varietas Numbu pada perlakuan 6 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al …………………………………..
108
5.2 5.3 5.4 5.5
Potongan melintang akar sorgum genotipe B-75 pada perlakuan 24 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al..... 109
5.6
Genotipe B-69 pada perlakuan 24 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al .......................................................
110
Varietas Numbu pada perlakuan 24 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al …………………………………..
110
5.7
xxii
5.8
ZH-30-29-07 pada perlakuan 24 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al……………………………………….. 110
5.9
Perbandingan potongan melintang akar sorgum genotipe B-75 pada perlakuan 48 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al ...............................................................................
111
Genotipe B-69 pada perlakuan 48 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al.......................................................
111
Varietas Numbu pada perlakuan 48 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al…………………………………...
112
5.10 5.11 5.12
ZH-30-29-07 pada perlakuan 48 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al ……………………………………… 112
6.1
Akar sorgum Numbu setelah ditumbuhkan kembali pada larutan tanpa Al. Perlakuan 74μM Al (A), 148μM Al (B), dan 222μM Al (C) ………………………………………………………………….. 120
6.2
Akar sorgum ZH-30-29-07 setelah ditumbuhkan kembali pada larutan tanpa Al. Perlakuan 74μM Al (A), 148μM Al (B), dan 222μM Al (C) …………………………………………… 120
6.3
Perbandingan akar sorgum B-69 setelah ditumbuhkan kembali pada larutan tanpa Al. Setelah perlakuan 74μM Al (A), 148μM Al (B), dan 222μM Al (C) …………………………………………….. 120
6.4
Perbandingan akar sorgum B-75 setelah ditumbuhkan kembali pada larutan tanpa Al. Setelah perlakuan 74μM Al (A), 148μM Al (B), dan 222μM Al (C) …………………………………………….. 121
7
Pengelompokan empat genotipe sorgum berdasarkan efisiensi penggunaan P pada kondisi bercekaman Al dan P rendah di larutan hara…………………………………………………………………. 128
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 2
Halaman Denah penelitian toleransi terhadap Al dan defisiensi di tanah masam Jasinga ...................................................................................
141
Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah (Pusat Penelitian Tanah, 1983) .................................................................................................. 142
PENDAHULUAN Latar Belakang Bahan pangan karbohidrat yang berasal dari komoditi tanaman pangan di negara kita masih berasal dari tanaman padi. Secara teoritis pemenuhan ketersediaan pangan dapat ditempuh melalui produksi domestik dan impor, namun bagi bangsa Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar dan tersebar di banyak kepulauan, pemenuhan kebutuhan yang mengandalkan impor akan menciptakan kerentanan ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan dapat dioptimalkan dengan mempercepat peningkatan diversifikasi konsumsi pangan (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2007). Upaya diversifikasi pangan memberi dampak terhadap pengurangan konsumsi beras dan berkembangnya komoditi selain padi. Salah satu tanaman pangan non beras yang telah diidentifikasi sangat cocok untuk agroklimat Indonesia dan mempunyai prospek sangat bagus untuk usaha agribisnis lainnya adalah sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) Sorgum merupakan
tanaman
serealia
yang potensial
untuk
dibudidayakan
dan
dikembangkan khususnya pada daerah-daerah marjinal dan lahan kering di Indonesia. Keunggulan sorgum terletak pada daya adaptasi agroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, produksi yang tinggi, dan kebutuhan input rendah. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1992) menyatakan, sorgum memiliki kandungan nutrisi yang tinggi sehingga sangat baik digunakan sebagai sumber bahan pangan maupun pakan ternak alternatif. Beberapa kandungan nilai gizi yang dimiliki sorgum melebihi kandungan yang dimiliki penghasil karbohidrat utama (beras) seperti protein, lemak, kalsium, besi, fosfor, dan vitamin B-1. Menurut Rajvanshi dan Nimbkar (2001), Yudiarto (2006), Reddy dan Dar (2007), selain untuk pangan sorgum juga dapat dijadikan bahan baku bioenergi. Batang dan biji sorgum dapat dikonversi menjadi bioetanol melalui proses fermentasi. Di Amerika Serikat, India, dan Cina, sorgum digunakan sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar bioetanol. Sorgum dapat pula dijadikan bahan baku industri bir, anggur (wine), sirup, lem, dan cat.
2 Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar nabati dengan sumber bahan baku tanaman yang mengandung karbohidrat seperti tebu, jagung, ubi kayu dan sorgum. Produksi bahan bakar nabati semakin mendesak untuk terus ditingkatkan. Perpres Nomor 5 Tahun 2006 dan Inpres Nomor 1 Tahun 2006 menjadi dasar pengembangan sumber bahan baku untuk bahan bakar nabati dengan target minimal 5% terhadap total penggunaan energy mix atau setara dengan produksi 400.000 barel minyak per hari pada tahun 2025 (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2007).
Jika sepertiganya dipenuhi dengan bioetanol, maka harus
diproduksi sekitar 9 juta kilo liter bioetanol kualitas bahan bakar pada tahun 2025. Peningkatan produksi bioetanol memerlukan pengembangan ketersediaan sorgum sebagai salah satu bahan bakunya. Agar sorgum dapat sejajar dengan bahan pangan dan industri lainnya, perlu diupayakan peningkatan produksi melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan varietas unggul dan ekstensifikasi melalui perluasan areal penanaman dengan pemanfaatan lahanlahan marjinal. Varietas unggul bisa didapatkan dengan program pemuliaan tanaman melalui perubahan susunan genetik yang diarahkan pada kondisi lingkungan. Varietas unggul yang dikembangkan harus disesuaikan dengan target area produksi. Di Indonesia, kondisi lahan untuk pengembangan tanaman sebagian besar merupakan lahan marjinal yang kering dan bersifat masam. Kendala utama pengembangan tanaman pada tanah masam adalah cekaman aluminium dan kurangnya unsur hara makro terutama fosfor (Taylor 1991). Menurut Sopandie (2006), perbaikan tanaman pada lahan marjinal sangat memerlukan pemahaman tentang mekanisme yang berperan dalam peningkatan potensi hasil (yield potential) dan adaptasi tanaman terhadap berbagai cekaman lingkungan abiotik. Pendekatan fisiologi untuk perbaikan potensi hasil dapat dilakukan melalui perbaikan indeks panen (harvest indeks), efisiensi penggunaan hara, efisiensi fotosintesis, serta keseimbangan source-sink. Secara umum, tujuan penelitian ini adalah mendapatkan informasi tentang adaptasi sorgum terhadap cekaman aluminium dan defisiensi fosfor untuk pengembangan varietas sorgum agar dapat beradaptasi di lahan kering masam.
3 Penelitian ini menjadi penting karena masih terbatasnya informasi mengenai mekanisme toleransi sorgum terhadap cekaman aluminium dan defisiensi fosfor pada lahan masam. Tujuan Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan sorgum
sebagai bahan pangan dan penghasil bioetanol di
lingkungan area produksi lahan masam, yaitu pembentukan varietas sorgum yang toleran terhadap cekaman Aluminium dan efisien dalam penggunaan hara mineral terutama fosfor. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : 1. Memperoleh informasi tentang tanggap agronomis
genotipe sorgum
terhadap produksi biomassa dan kandungan padatan terlarut total pada kondisi cekaman Al dan defisiensi fosfor di lahan masam 2. Memperoleh informasi tentang dasar fisiologi dari sifat efisiensi hara fosfor dalam keadaan tercekam Al pada sorgum 3. Memperoleh informasi tentang mekanisme yang mungkin terjadi yang dapat mendasari perbedaan efisiensi P dalam keadaan tercekam Al baik melalui penilaian serapan P maupun penilaian penggunaan P dari sorgum yang toleran dan peka Al 4. Mengidentifikasi karakter-karakter tanaman yang berkaitan dengan toleransi terhadap toksisitas Al dan defisiensi P, yang dapat digunakan sebagai karakter untuk seleksi dalam rangka pengembangan tanaman sorgum sebagai penghasil bioetanol di tanah masam. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat 1) sebagai masukan dari bidang kajian fisiologi untuk dijadikan karakter seleksi dalam program pemuliaan tanaman untuk perbaikan genotipe sorgum sebagai bahan baku penghasil bioetanol untuk toleransi terhadap toksisitas Al dan efisiensi P di tanah masam, dan 2) memperkaya informasi tentang mekanisme toleransi tanaman sorgum terhadap toksisitas Al dan defisiensi P di tanah masam.
4 Hipotesis Hipotesis yang dikemukakan pada penelitian ini adalah : 1. Terdapat perbedaan tanggap agronomi genotipe sorgum terhadap toksisitas Al dan defisiensi P di tanah masam 2. Terdapat perbedaan toleransi terhadap cekaman Al pada genotipe sorgum di larutan hara. 3. Genotipe adaptif tanah masam memiliki akar lebih panjang, diameter sebaran akar lebih luas serta mampu mempertahankan bobot kering tajuk yang lebih tinggi dibandingkan genotipe peka 4. Genotipe toleran memiliki laju serapan spesifik P dan efisiensi penggunaan P lebih tinggi dibandingkan genotipe peka.. 5. Genotipe toleran lebih mampu menahan distribusi dan akumulasi Al ke dalam jaringan akar dibandingkan genotipe peka. 6. Genotipe toleran mampu menumbuhkan akarnya kembali setelah terkena cekaman Al. Kerangka dan Ruang Lingkup Penelitian Untuk mencapai tujuan penelitian dan menjawab hipotesis, dilakukan serangkaian percobaan yang merupakan satu kesatuan, dan tahapan yang ditempuh merupakan proses yang sistematis dalam mencapai tujuan. Penelitian ini lebih menekankan pada studi fisiologi mekanisme toleransi sorgum terhadap toksisitas Al dan defisiensi P. Percobaan 1 merupakan percobaan lapangan yang dilaksanakan di tanah masam Kebun Percobaan UPTD Lahan Kering Dinas Pertanian Kabupaten Bogor Kecamatan Tenjo, Jasinga. Berdasarkan peta tanah Lembaga Pusat Penelitian Tanah Bogor, tanah di daerah ini tergolong Podzolik Merah Kekuningan dengan bahan induk batuan liat. Percobaan 2, 3, 4, 5 dan 6 dilaksanakan di rumah kaca Kebun Percobaan University Farm IPB di Cikabayan. Analisis kimia jaringan tanaman dan media tumbuh dilaksanakan di Laboratorium RGCI Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Micro Technique IPB dan Laboratorium SEAMEO BIOTROP. Ruang lingkup penelitian secara ringkas disajikan pada Gambar 1 berikut ini:
5
Genotipe sorgum toleran dan peka hasil uji daya adaptasi di Taman Bogo Lampung Timur dan Sulusuban Lampung Tengah
Studi di Larutan Hara, Rhizotron dan Laboratorium
Studi Lapang
Tanggap Agronomis di Tanah Masam
Pertumbuhan Akar pada Cekaman Al di Larutan Hara
Distribusi Al di Ujung Akar
Root-regrowth
Tanaman sorgum toleran dan peka Al dengan pola mekanisme toleransi berbeda
Distribusi Sebaran Akar dalam Rhizotron
Tanaman toleran dan peka Al serta defisiensi P dengan produksi, biomassa dan kandungan gula total yang berbeda
Karakter-karakter tanaman untuk seleksi sorgum di tanah masam
1. Morfo-fisiologi akar toleran dan peka cekaman Al dan defisiensi P 2. Informasi tentang efisiensi dan responsivitas sorgum terhadap hara P di tanah masam
Tanaman toleran dan peka dengan perbedaan laju penyerapan P dalam kondisi cekaman Al
Laju Serapan Spesifik P
Gambar 1. Bagan alir penelitian fisiologi adaptasi sorgum terhadap toksisitas aluminium dan defisiensi fosfor di tanah masam
TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Sorgum Sorgum memiliki sistem perakaran serabut. Keunggulan sistem perakaran pada tanaman sorgum yaitu sanggup menopang pertumbuhan dan perkembangan tanaman ratun (ratoon) hingga dua atau tiga kali ratoon dengan akar yang sama. Saat proses perkecambahan akar primer mulai tumbuh dan seiring dengan proses pertumbuhan tanaman akan diikuti pula dengan pertumbuhan akar sekunder pada ruas pertama. Tahap berikutnya akar sekunder lebih dominan berfungsi menyerap air dan hara dari media tumbuh serta memperkokoh tegaknya tanaman (House 1985). Sorgum memiliki batang dengan tinggi bervariasi antara 0.5 – 4.0 m. Tinggi batang sorgum yang dikembangkan di China dapat mencapai 5.0 m (FAO, 2002),.
Beberapa varietas sorgum memiliki batang yang menghasilkan
percabangan dan anakan baru (Steenis 1975).
Batang tanaman sorgum
merupakan rangkaian berseri dari ruas (internodes) dan buku (nodes).
Bentuk
batang silinder dengan ukuran diameter batang bagian pangkal antara 0.5 – 5.0 cm (House 1985). Daun sorgum mirip tanaman jagung, berbentuk pita dengan struktur daun terdiri atas helai dan tangkai daun. Panjang rata-rata daun sorgum adalah 1 m (House 1985).
Posisi daun terdistribusi secara berlawanan sepanjang batang
dengan pangkal daun menempel pada buku. Menurut Martin (1970) jumlah total daun berkisar antara 13-40 helai per batang. Jumlah daun sorgum berkorelasi tinggi dengan panjang periode vegetatif yang dibuktikan oleh setiap penambahan satu helai daun memerlukan waktu 3-4 hari ( Bullard dan York 1985). Tanaman sorgum juga memiliki daun bendera (leaf blades) yang muncul paling akhir bersamaan dengan inisiasi malai. Daun bendera muda bentuknya kaku, tegak dan berfungsi penting dalam transportasi fotosintat (Freeman 1970). Sorgum tergolong tanaman C4, yaitu tanaman yang dalam proses metabolisme karbon (C) menghasilkan asam berkarbon empat (malat dan aspartat) sebagai produk awal penambatan CO2. Produk asam malat dan aspartat yang dihasilkan oleh sel mesofil dengan cepat ditransfer ke sel seludang pembuluh, lalu
7 mengalami dekarboksilasi melepaskan CO2 yang selanjutnya ditambat Rubisco dan diubah menjadi 3-PGA (asam fosfo gliserat).
Sel seludang pembuluh
tanaman C4 lebih tebal dibandingkan tanaman C3, sehingga lebih banyak mengandung kloroplas, mitokondria dan organel lain yang berperan sangat penting dalam proses fotosintesis (Taiz dan Zeiger 2002). Daun-daun spesies C4 mempunyai laju pertukaran CO2 yang lebih tinggi, rasio antara luas potongan melintang floem dengan luas daun yang lebih besar dan memiliki laju translokasi lebih besar dibandingkan tanaman C3 (Salisburry dan Ross 1995). Ekspor hasil asimilasi yang lebih baik oleh tanaman C4 disebabkan oleh anatomi khususnya, yaitu sel-sel seludang ikatan pembuluhnya yang mempunyai kloroplas (anatomi kranzs) atau hasil dari luas potongan melintang floem yang lebih besar. Karakteristik Tanah Masam Tanah di lingkungan tropika basah pada umumnya bersifat masam dan merupakan ciri khas sebagian besar wilayah di Indonesia. Tanah jenis ini tersebar di bebarapa daerah di luar Jawa, seperti Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera terdapat sekitar 21 juta hektar, Kalimantan 15.5 juta hektar, dan Jawa 2 juta hektar (Van der Heide et al., 1992). Menurut Hidayat dan Mulyani (2002), luas tanah masam yang berupa lahan kering mencapai 99.5 juta hektar dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian. Kondisi tropika basah di Indonesia dengan curah hujan tinggi dapat mengakibatkan pencucian, sehingga cadangan unsur hara dan kesuburan tanah rendah, kandungan Al dapat ditukar (Al-dd) dan kapasitas retensi P tinggi, kandungan nitrogen yang rendah, kapasitas tukar kation (KTK) rendah, serta keracunan alumunium di lapisan bawah (Hairiah et al. 2000). Di Indonesia potensi tanah masam ini cukup tinggi. Menurut data Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 2000, luas areal tanah bereaksi masam seperti podsolik, ultisol, oxisol dan spodosol masing-masing sekitar 47.5; 18.4; 5.0; dan 56.4 juta ha atau seluruhnya sekitar 67% dari luas total tanah di Indonesia. Pengelolaan kesuburan di tanah masam diarahkan untuk menurunkan kemasaman tanah, menambah hara dan menekan tingkat kejenuhan Al. Teknologi untuk meningkatkan kesuburan tanah masam yang dapat diterapkan antara lain pemupukan berimbang, pengelolaan hara P, pengapuran serta pemberian bahan organik
8 Pengaruh Cekaman Aluminium terhadap Tanaman Aluminium dapat mempengaruhi tanaman secara morfologis, fisiologis dan ekspresi gen tanaman. Gejala yang umum dijumpai akibat cekaman Al adalah terjadinya klorosis, defisiensi nutrisi, dan tanaman menjadi kerdil (Taiz dan Zeiger 2002).
Respon morfologi nyata akibat cekaman Al adalah terjadinya
penebalan pada ujung akar dan akar cabang.
Respon fisiologi berupa
pembentukan kompleks Al-asam organik dan peningkatan kandungan asam organik pada akar tanaman dengan cara: 1) Al mengaktivasi kerja enzim yang berperan dalam biosintesis asam organik, serta adanya asam organik yang ditransportasikan dari batang menuju akar (Matsumoto et al. 2003). Respon pada tingkat gen untuk tanaman sorgum belum diteliti, tetapi pada beberapa tanaman lain antara lain pada arabidopsis menunjukkan ekspresi spesifik gen WAK1 (cell wall-associated reseptor kinase 1) dan tipe sel yang merupakan lokasi spesifik dari protein WAK (gen WAK ini terekspresi di akar) (Kochian et al. 2005). Pada tanaman gandum, resistensi terhadap Al bersifat multigenik. Gengen tersebut mengendalikan pengeluaran beberapa senyawa pengkelat ion Al+3. Hasil penelitian Pelle et al. (1996) menunjukkan, gandum kultivar resisten akan mengeksudasikan P tinggi yang diduga dikendalikan oleh gen yang berbeda lokus. Kelarutan Al yang tinggi berpengaruh langsung terhadap metabolisme tanaman dan tidak langsung terhadap ketersediaan unsur hara sehingga pertumbuhan tanaman tertekan.
Menurut Alam et al. (1999), secara umum
pengaruh Al pada tanaman yang ditumbuhkan pada tanah masam adalah: 1) mengurangi kation bervalensi dua yang diserap oleh akar tanaman (khususnya Ca). Menurut Matsumoto (2003), hal ini terjadi karena penghambatan Al dengan cara menggantikan posisi Ca yang melekat pada Calmodulin (dinding sel), ikatan Al dengan karboksil (RCOO-) membentuk ikatan kuat sehingga sel tidak mampu membesar. 2) menghambat fungsi sel-sel pada jaringan meristem akar melalui penetrasi Al ke dalam protoplasma akar dan menghasilkan morfologi akar yang tidak normal dan dapat mengganggu proses penyerapan hara tanaman, dan 3) menurunkan adsorpsi anion (SO4-2, PO4-3, dan Cl-) karena meningkatnya daerah jerapan positif pada rizosfir dan apoplas akar.
9 Kesulitan dalam mempelajari Al berhubungan dengan proses-proses yang terdapat dalam tanaman disebabkan karena kompleksnya Al ( Kinroide, 1991). Al dihidrolisis dalam larutan sebagai ion trivalent Al3+ dan dominan pada kondisi pH <5, sedangkan Al(OH)2+ merupakan bentuk yang dominan dengan makin tingginya pH. Pada keadaan tanah yang bereaksi netral, Al berbentuk Al(OH)3 atau gibsit, sedangkan pada tanah alkalin dijumpai bentuk Al(OH)4-. Kation Al monomer membentuk ikatan dengan berbagai ligand asam organik dan anorganik seperti PO43-, SO42-, asam organik, protein dan lemak. Tanah dengan pH rendah memiliki kapasitas ion H+ tinggi sehingga penyerapan unsur-unsur lainnya menjadi berkurang dan unsur Al meningkat. Meningkatnya konsentrasi Al terlarut mengakibatkan terjadinya defisiensi P, K dan hara mikro seperti Mo. Hasil penelitian Yamamoto et al. (1992) mendapatkan bahwa toksisitas Al selain mengakibatkan tanaman kekurangan hara juga mengubah struktur dan fungsi dari membran plasma dan menghalangi pembelahan sel pada ujung-ujung akar.
Akhirnya, Al akan menghambat
pertumbuhan akar dan menunjukkan berbagai gejala kekurangan hara akibat keracunan Al (MacDiarmid dan Gardner, 1996). Kasus pada tanaman jagung menunjukkan bahwa cekaman Al terhadap tanaman mula-mula akan menekan pertumbuhan akar yaitu akar menjadi pendek, tebal dan rapuh.
Terhambatnya pertumbuhan akar disebabkan karena Al
berasosiasi dengan DNA pada inti sel dan menghentikan proses pembelahan sel meristem apikal (Pellet et al. 1995). Daerah yang paling peka terhadap keracunan Al terutama pada bagian ujung akar (tudung akar, meristem, dan zona pemanjangan) sekitar 2 mm.
Ujung akar mengakumulasi Al lebih banyak
(Delhaize dan Ryan 1995). Sasaran utama cekaman Al pada akar adalah tudung akar. Rusaknya tudung akar akan mengakibatkan berkurangnya sekresi mucilage. Keracunan Al dapat menghambat pertumbuhan tajuk dengan cara menghambat pasokan hara, air dan sitokinin dari akar karena buruknya penetrasi akar ke sub-soil atau kondisi hidrolik akar rendah (Marschner 1995). Rusaknya akar oleh Al menyebabkan terganggunya penyerapan dan transpor hara Ca, K, P, Mg dan N, serta peka terhadap kekeringan yang pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan dan
10 produktivitas tanaman (Polle dan Konzak 1990).
Akumulasi Al akan
menyebabkan kebocoran membran, disintegrasi struktur dan berkurangnya kandungan K dalam jaringan ujung akar, serta menurunkan viabilitas protoplasma. Terbentuknya ikatan polimer Al dengan membran plasma akar akibat cekaman Al akan menyebabkan kerusakan pada membran dan kebocoran K dari sel akar (Matsumoto et al. 2003). Toksisitas Al mempengaruhi efluks unsur K dan Ca.
Gangguan Al
terhadap Ca pada ujung akar menyebabkan defisiensi Ca pada sel apikal akar atau mengubah homeostatis Ca. Perubahan ini akan memicu penyimpangan fungsi metabolisme dalam sel ujung akar yang selanjutnya dapat menghambat pemanjangan akar (Huang et al. 1992). Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Aluminium Suatu tanaman yang toleran terhadap keracunan Al mempunyai kriteria antara lain: 1) pertumbuhan akar normal 2) mampu meningkatkan pH tanah di sekitar perakaran, 3) sebagian besar Al tertahan di akar dan sedikit ditranslokasikan ke bagian atas tanaman, dan 4) ion Al tidak dapat menghambat serapan dan translokasi Ca, Mg, K dan P (Kochian 1995). Pengaruh cekaman Al+3 tidak sama pada setiap spesies, bahkan pada tanaman dalam satu spesies. Adanya perbedaan tersebut menunjukkan adanya mekanisme toleransi yang berbeda pada setiap tanaman dalam mengatasi cekaman. Mekanisme toleransi terhadap Al menurut Marschner (1995) adalah: 1) ekslusi Al di membran akar, 2) KTK dinding sel rendah, 3) alkalisasi di daerah perakaran, 4) proteksi ujung akar oleh mucilage, dan 5) efluks Al. Mekanisme toleransi tanaman secara umum terbagi dalam dua kelompok yaitu: 1) mekanisme penolakan secara eksternal (external tolerance exclusion mechanism), dengan cara mencegah Al masuk ke dalam simplas dan bagian metabolik yang sensitif melalui immobilisasi dinding sel, permeabilitas selektif membran plasma, barier pH di rizosfir dan apoplas akar, eksudasi ligan pengkelat (eksudasi asam organik), eksudasi fosfor dan efluks Al, dan 2) mekanisme secara internal (internal tolerance mechanism), yaitu dengan pengkelatan Al oleh asam organik dalam sitosol, kompartementasi Al di vakuola, memproduksi protein
11 pengikat Al, enzim yang tahan Al serta peningkatan aktivitas enzim (Taylor, 1991). 1. Kelatasi Al oleh Eksudasi Asam Organik Tanaman Salah satu penyebab terjadinya detoktisifikasi Al oleh tanaman yang toleran adalah karena adanya asam organik yang dieksudasikan sehingga Al terkelatasi oleh asam organik baik di dalam jaringan maupun di media/larutan (Delhaize dan Ryan 1995). Asam organik yang dieksudasikan oleh akar tanaman umumnya adalah asam malat, asam sitrat dan asam oksalat (Tabel 1). Jumlah dan jenis yang dieksudasikan tergantung spesies dan kultivar tanaman. Hasil penelitian Magalhaes et al. (2004) menunjukkan bahwa asam sitrat merupakan asam organik yang dieksudasikan tanaman sorgum dalam menghadapi cekaman Al, asam malat merupakan asam organik yang paling banyak dieksresikan oleh ujung akar pada tanaman gandum yang toleran Al (Delhaize et al. 1993; Ryan et al. 1995 dan Pellet et al. 1996). Tabel 1 Jenis-jenis asam organik yang dieksudasi tanaman dalam hubungannya dengan toleransi terhadap Al __________________________________________________________________ Asam organik Tanaman Sumber __________________________________________________________________ Sitrat Cassia tora Ishikawa et al. (2000) Sitrat Glycine max Silva et al .(2001), Yang et al (2000) Sitrat Nicotiana tabacum Delhaize et al. (2001) Sitrat Oryza sativa Ma et al. (2002) Sitrat Sorghum bicolor Magalhaes (2002) Sitrat Zea mays Ishikawa et al (2000) Sitrat dan Malat Avena sativa Zheng et al. (1998) Sitrat dan Malat Raphanus sativus Zheng et al. (1998) Sitrat dan Malat Triticale sp. Ma et al. (2000) Sitrat dan oxalat Zea mays Kid et al. (2001) Malat Triticum aestivum Huang et al. (1996), Ishikawa et al. (2000) Oksalat Colocasia esculenta Ma (1998) Oksalat Fogopyrum esculentum Zheng et al. (1998) __________________________________________________________________ Sumber: Kochian et al. (2005). Tanaman jagung yang toleran Al mengeksudasikan asam sitrat lebih banyak dibanding yang peka (Ma et al. 1997). Tanaman kedelai yang toleran
12 (Yelow Biloxi) mengeksudasikan asam oksalat dan asam sitrat lebih tinggi dibanding kedelai peka (Lumut) (Sopandie, 2006). Gambar 2 menunjukkan mekanisme pengikatan Al oleh asam organik dengan membentuk kompleks sehingga Al tidak toksik dalam sel tanaman yang toleran terhadap Al, dan aktivasi ion channel pengikat Al serta perbandingannya dengan mekanisme pada tanaman respon toksisitas Al (peka). Tanaman toleran Al akan membentuk ikatan kompleks Al-COOH (Carboxylate-Al) sehingga Al menjadi tidak aktif. Ikatan kompleks ini akan ditranslokasikan ke vakuola menembus membran tonoplas dan akan terjadi detoksifikasi Al. Tanaman peka tidak membentuk kompleks Al-COOH sehingga Al tetap aktif dan dapat menghambat pembelahan sel serta penghambatan aktivitas ion channel yang dapat mempengaruhi transportasi dalam sel tanaman.
Sumber : Kochian et al. (2004). Gambar 2. Mekanisme detoksifikasi Al dalam sel tanaman toleran Al
13 2. Akumulasi Al pada Ujung Akar/ Hambatan Transpor Al ke Tajuk Tanaman toleran Al akan melakukan akumulasi Al pada ujung-ujung akar sebagai upaya hambatan terhadap transpor dan akumulasi Al pada bagian tajuk. Gambar 6 dibawah ini menunjukkan hasil uji pewarnaan hematoxylin terhadap jagung cultivar cateto columbia dan Mo17 (Pineros et al. 2002).
Sumber: Pineros et al. (2002). Gambar 3. Pola-pola akumulasi Al di dalam akar jagung toleran Al CatetoColombia 96/71(kiri) dan cv.Mo17 (kanan) hasil uji pewanaan Hematoxylin (A) B. Penampang memanjang akar daerah apikal (tanda panah menunjukkan lapisan sel bagian luar tudung akar yang mengakumulasi Al. C. Distribusi akumulasi Al pada ujung akar cv Cateto-Colombia. D. Penampang melintang akar hasil uji pewarnaan (tanda panah menunjukkan penetrasi pewarnaan ke dalam lapisan sel akar bagian dalam tanaman yang mengakumulasi Al 3. Kemampuan Menaikkan pH Rizosfir Peningkatan pH rizosfir pada larutan/media merupakan salah satu indikator toleransi tanaman terhadap cekaman Al. Peningkatan pH rizosfir akan
14 meningkatkan ketersediaan unsur hara seperti P dan menurunkan ketersediaan Zn, Cu, Fe, Mn dan Al (Haynes 1990). Genotipe toleran tanaman jagung, gandum, barley dan padi yang ditumbuhkan pada larutan hara meningkatkan pH larutan dan menurunkan kelarutan dan toksisitas Al, sedangkan genotipe yang peka tidak mempunyai pengaruh terhadap pH dan konsentrasi kelarutan Al nya tetap tinggi (Gupta 1997). Tanaman Arabidopsis thaliana yang diinkubasi dengan 300 μM AlCl3 selama 12 jam menunjukkan bahwa, genotipe toleran mampu menaikkan pH larutan dari 4.3 – 4.4 menjadi 4.53, sedangkan genotipe peka hanya mampu menaikkan pH sampai 4,39. Kenaikan pH rizosfir sebesar 0.1 unit pada kondisi cekaman Al menyebabkan kenaikan laju pertumbuhan akar dua kali lipat pada genotipe toleran dibandingkan genotipe peka (Degenhardt et al. 1998). Hasil penelitian Delhaize et al. (1995), pada tanaman kedelai menunjukkan bahwa genotipe toleran memiliki kemampuan dua kali lipat dalam meningkatkan pH rizosfir dibandingkan genotipe peka. 4. Eksudasi Fosfor Organik Ujung akar tanaman jagung disamping dapat mengeksudasi asam organik, juga mampu mengeksudasikan fosfor organik. Eksudasi P dari akar tanaman merupakan proses alami hara P dan bagian dari keseimbangan hara P dalam tanaman (Pelle et al. 1996). Eksudasi fosfor organik oleh akar tanaman merupakan mekanisme sekunder yang membuat kemampuan tanaman toleran terhadap Al. Detoksifikasi Al oleh fosfor karena terbentuknya kompleks Al-P (Delhaize et al. 1993; Pelle et al. 1995 dan 1996). Ketika suplai P terbatas, secara absolut eksudasi P berkurang, tetapi secara relatif meningkat dan menjadi komponen utama dalam penyerapan hara P. Jika tanaman disuplai P dengan baik, maka akan meningkatkan eksudasi P dibandingkan dengan tanaman dalam kondisi cekaman P. Jumlah fosfor organik yang dieksudasi pada tanaman jagung maupun pada gandum yang toleran nyata lebih banyak dibanding tanaman yang peka (Pelle et al. 1995 dan 1996).
15 Interaksi Fosfor dengan Aluminium Tanaman menyerap P dalam bentuk ion H2PO4- atau HPO4-2. Bentuk dominan yang diserap pada pH rendah adalah H2PO4-, pH sekitar netral (pH 6-7) kedua bentuk tersebut dapat diserap, sedangkan pada tanah alkalis, bentuk hara P dominan yang diserap adalah HPO4-2
(Marschner 1995).
Kelarutan Al+3 sangat tinggi di lahan masam menyebabkan P tidak larut dan kurang tersedia bagi tanaman (hanya sebagian kecil saja seperti bentuk H2PO4- yang tersedia bagi tanaman). Al tidak hanya menghambat ketersediaan P, tetapi juga menghambat transpor dan penggunaan P (Rao et al. 1999). Ion Al bermuatan positif dapat berasosiasi dengan gugus fosfor dari ATP atau fosfolipid pada membran sehingga mempengaruhi efektivitas transportasi proton. Hal ini akan mengakibatkan penyerapan hara yang dikatalis pompa proton menurun (Matsumoto et al. 1992). Al secara langsung berinteraksi dan memiliki kapasitas fiksasi yang tinggi terhadap unsur P, baik dalam larutan tanah maupun jaringan tanaman membentuk kompleks Al-P yang tidak larut sehingga tidak tersedia bagi tanaman (Marscner 1995). Reaksi sederhana pengendapan P oleh Al adalah sebagai berikut: Al+3 + H2PO4- (larut) + 2H2O.2H2 → Al(OH)2H2PO4 (tidak larut) Keracunan Al dapat diasosiasikan dengan gejala defisiensi P, sebaliknya P efektif sebagai agen detoksifikasi Al.
Interaksi Al-P dalam tanaman adalah: 1)
pengendapan Al-P dan 2) mengganggu metabolisme P (Baligar et al. 1997). Kemiripan gejala toksisitas Al dengan defisiensi P antara lain nekrosis pada ujung daun, penghambatan pertumbuhan, daun berwarna hijau tua, dan kadang-kadang daun atau batang berwarna ungu. Defisiensi P disebabkan karena menurunnya penyerapan dan transpor P oleh pengendapan Al-P pada akar tanaman, dan gangguan Al dalam metabolisme P yang sudah terdapat pada pucuk tanaman (Matsumoto et al. 1992). Hasil penelitian Syafruddin (2002) menunjukkan, genotipe jagung yang toleran Al jika ditumbuhkan pada larutan hara dengan konsentrasi Al rendah (2.5 ppm) dikombinasikan dengan konsentrasi P rendah (6 ppm) menunjukkan pertumbuhan akar baik yang disebabkan oleh meningkatnya kadar P. Hal ini
16 ditunjukkan oleh genotipe AMATL-HS-C2-S0 (toleran) yang mempunyai Panjang Akar Relatif (PAR) lebih tinggi pada konsentrasi 2.5 ppm Al disertai 6 ppm P dibandingkan tanpa Al pada konsentrasi P sama atau pada konsentrasi 2.5 pm Al dengan 11.5 ppm P.
Pemanjangan akar
kemungkinan dimaksudkan untuk
mencegah tanaman kekurangan P di akar.
Bertambahnya panjang akar,
menyebabkan bertambahnya luas permukaan akar, sehingga kontak akar dengan larutan untuk mengambil hara P akan lebih tinggi. Sebaliknya, tanaman peka Al akan memperlihatkan penurunan pertumbuhan akar, bobot kering tanaman serta kadar dan serapan hara P. Pengaruh buruk ini dapat ditekan dengan meningkatkan konsentrasi P di larutan/media. Rasio P akar/tajuk meningkat secara nyata dengan penambahan Al larutan pada tanaman yang toleran dibandingkan genotipe peka. Peningkatan rasio kadar P akar/tajuk ini diduga untuk mencegah berkurangnya kadar P di akar oleh adanya Al, karena P di akar sangat penting dalam eksudasi P ke larutan (Swasti 2004). Fungsi dan Gejala Defisiensi Fosfor Fosfor termasuk hara makro dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak seperti halnya N, K, Ca, Mg dan S. Dalam tanaman P dijumpai dengan kadar 0.10.4% (Tisdale et al., 1985). Menurut Marschner (1995), fungsi P pada tanaman dapat digolongkan dalam tiga bagian. Fungsi pertama adalah sebagai penyusun makro molekul. Dua makro molekul yang utama dan terpenting yang melibatkan P adalah asam nukleat (DNA dan RNA) dan fosfolipid biomembran.
Asam
nukleat adalah senyawa yang berperan dalam pewarisan sifat dan perkembangan tanaman. Pada biomembran P membentuk ikatan atau jembatan antara digliserida dan molekul lainnya seperti asam amino, amina atau alkohol, membentuk fosforidilkolin (lesitin) yang menjaga integritas membran. Fungsi kedua P adalah sebagai unsur pembentuk senyawa penyimpan dan perpindahan energi.
Dua
senyawa kaya energi yang paling umum adalah ATP dan ADP. Energi dalam ATP/ADP terletak pada ikatan pirofosfor yang pemecahannya akan melepaskan energi, yang dikenal dengan proses fosforilasi. ATP merupakan sumber energi untuk hampir semua proses biologi yang membutuhkan energi. Unsur P juga diperlukan dalam proses fotosintesis yakni pada fotofosforilasi dan pembentukan
17 ribulosa 1.5-bifosfor. Fungsi ketiga P adalah regulator reaksi biokimia melalui fosforilasi yang dapat mengaktivasi atau inaktivasi protein yang dianggap sebagai faktor kunci dalam transduksi sinyal. Secara agronomis unsur P diketahui berperan dalam percepatan pematangan biji, kekuatan batang sereal, serta mutu buah, hijauan dan biji-bijian. Benih yang dihasilkan dari tanaman yang cukup P akan memiliki daya kecambah dan vigour yang tinggi karena kandungan senyawa phytin meningkat (Mengel dan Kirby 1982). Tanaman menyerap P dari larutan tanah terutama dalam bentuk orthofosfor primer dan sekunder (H2PO4- dan HPO42-) dan sedikit dalam bentuk senyawa organik (Tisdale et al., 1985). Orthofosfor sekunder lebih dominan pada pH di atas 7.22, namun tanaman menyerap P lebih lambat dibanding orthofosfor primer. Bagian tanaman yang aktif menyerap P adalah jaringan muda dekat ujung akar. Konsentrasi P yang relatif tinggi menumpuk di ujung akar diikuti oleh akumulasi rendah pada bagian pemanjangan. Penyerapan P oleh tanaman dari tanah adalah penyerapan aktif karena melawan gradien konsentrasi (Clarkson dan Grignon 1991). Kadar P larutan tanah di luar sel akar umumnya 1µM atau kurang, sedangkan kadar dalam sitoplasma adalah 103 sampai 104 lebih tinggi. Setelah diserap, fosfor dapat tetap sebagai P inorganik atau teresterifikasi (melalui gugus hidroksil) dengan rantai karbon sebagai ester P sederhana (gula P) atau terikat dengan P lainnya dengan ikatan pirofosfor kaya energi (ATP, ADP) atau diester. Berbeda dengan unsur hara N dan K, P bergerak menuju akar melalui difusi yang berjalan lambat. Pergerakan secara difusi merupakan mekanisme pergerakan P menuju akar yang paling penting. Difusi P sangat dipengaruhi oleh kadar air tanah, kapasitas penyangga P tanah, temperatur dan bentuk lintasan difusi (Tisdale et al., 1985). Mobilitas P yang rendah pada tanah menyebabkan karakter morfologi akar seperti panjang akar dan luas permukaan ditemukan sangat mempengaruhi serapan P pada beberapa spesies tanaman.
Dalam
penelitian dengan beberapa kultivar padi ditemukan bahwa toleransi terhadap P rendah seluruhnya tergantung variasi genetik dalam serapan P, yang sangat tergantung pada ukuran akar (Wissuwa dan Ae 2001).
18 Gejala khas kekahatan sering sukar terlihat, tidak seperti gejala kekahatan unsur lainnya seperti K dan Mg. Kekerdilan dan pengurangan jumlah anakan pada tanaman monokotil atau cabang pada dikotil, daun pendek dan tegak, serta penundaan pembungaan adalah gejala yang umum pada kebanyakan tanaman (Rao dan Terry 1999). Penurunan luas dan jumlah daun juga merupakan gejala kekahatan P akibat tertekannya perkembangan sel epidermis daun. Tanaman yang kekahatan P juga sering memperlihatkan daun sempit berwarna hijau gelap, hal ini terjadi karena pertambahan luas daun lebih tertekan dibandingkan pembentukan kloroplas dan klorofil. Pemberian pupuk fosfor adalah salah satu usaha untuk mengatasi kekahatan P. Namun, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi pemupukan fosfor pada tanaman sangat rendah, hanya 15-20% dari P yang diberikan dapat diserap tanaman (Baharsyah 1990).
Rendahnya efisiensi
pemupukan P ini menurut Tisdale et al., (1985) disebabkan terjadinya transformasi (fiksasi dan presipitasi) P yang diberikan dengan ion-ion besi, alumunium, kalsium, magnesium dan mangan menjadi bentuk yang sukar larut dalam air. Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Defisiensi Fosfor Toleransi terhadap cekaman hara rendah adalah kemampuan tanaman untuk mempertahankan hasil pada kondisi hara terbatas. Sifat toleran ini tidak dapat dipisahkan dengan efisiensi seperti terlihat pada mekanisme yang mendasarinya (Rao et al. 1999). Toleransi lebih menggambarkan dinamika atau respon tanaman terhadap perubahan lingkungan dan menggambarkan kemampuan adaptasi tanaman (Wissuwa dan Ae 2001). Secara umum adaptasi tanaman terhadap defisiensi P dicapai melalui mekanisme peningkatan penyerapan dan peningkatan efisiensi penggunaan (Rao et al., 1999).
Peningkatan penyerapan dicapai melalui perbedaan morfologi
(pertumbuhan dan distribusi, diameter, rambut akar), dan fisiologi akar (sistem penyerapan dan mobilisasi P pada rizosfir), sedangkan efisiensi penggunaan dicapai melalui partisi (mobilisasi) P dalam tanaman dan efisiensi penggunaan pada level selular.
19 Menurut Peng dan Ismail (2004), mekanisme adaptasi tanaman terhadap P rendah dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu: (1) mekanisme internal yang berkaitan dengan efisiensi penggunaan P oleh jaringan, dan (2) mekanisme eksternal yang memungkinkan efisiensi serapan P yang lebih tinggi oleh akar. Mekanisme Internal dicapai melalui kemampuan tanaman untuk: (a) memanfaatkan P dengan efisien, dan (b) memobilisasi P dari jaringan yang tidak aktif lagi bermetabolisme. Menurut Kochian et al. (2004), ketersediaan P tanah yang rendah akibat mudahnya P terfiksasi oleh bahan organik menyebabkan mekanisme eksternal menjadi lebih penting karena tanaman mengembangkan berbagai mekanisme untuk membuat P menjadi tersedia dan untuk meningkatkan kemampuan menyerap P. Mekanisme eksternal meliputi: (a) kemampuan tanaman untuk membentuk perakaran yang lebih panjang, (b) kemampuan meningkatkan luas serapan dengan pertumbuhan rambut-rambut akar, (c) kemampuan melarutkan P tidak tersedia melalui perubahan pH atau sekresi senyawa pengkelat, (d) kemampuan menggunakan P organik melalui sekresi fosfatase, dan (e) kemampuan dalam bersimbiosis dengan mikorhiza.
Menurut Kochian et al. (2004), salah satu
mekanisme eksternal penting dalam meningkatkan kemampuan menyerap P adalah dengan peningkatan kinetika serapan P. Perubahan fisiologi akar juga merupakan mekanisme toleransi tanaman terhadap terbatasnya suplai P yang terutama disebabkan oleh perubahan kinetika serapan.
Kinetika serapan P
menunjukkan adanya high affinity transporter yang lebih aktif pada konsentrasi P rendah dibanding low affinity transporter. Hasil penelitian Syarief (2005) juga menunjukkan afinitas karier akar yang tinggi terhadap P yang ditunjukkan oleh konstanta Michaelis-Menten (Km) yang rendah yang merupakan salah satu mekanisme toleransi terhadap P rendah pada tanaman padi. Gordon-Weeks et al. (2003) melaporkan peningkatan ekspresi gen-gen dari kelompok Pht 1 yang menyandikan proton-Pi cotransporter pada akar tanaman kentang yang ditumbuhkan pada keadaan kahat P. Penyerapan P melalui transporter dimediasi oleh H+-Pi cotransport yang mendapat energi dari H+-ATPase.
Mekanisme
adaptasi tanaman terhadap kekahatan P yang meliputi respon morfologi, fisiologi, biokimia dan molekuler disajikan pada Tabel 2.
20 Eksudasi asam organik (malat, sitrat dan oksalat) adalah mekanisme lain tanaman untuk meningkatkan P dari tanah. Asam organik dapat meningkatkan ketersediaan P melalui mekanisme pelarutan senyawa P sukar larut (Al-P, Fe-P) dengan penurunan pH atau desorbsi P dari tapak jerapan dengan pertukaran anion (Crowley dan Rengel 2000).
Anion dari asam organik dapat membentuk
kompleks dengan Al atau Fe sehingga dapat melepaskan ion fosfor atau mencegah ion fosfor bereaksi dengan ion Al atau Fe. Tabel 2. Respon tanaman terhadap defisiensi P Tingkatan respon Respon Tanaman tanaman __________________________________________________________________ Morfologis
Peningkatan nisbah akar- tajuk, perubahan morfologi dan arsitektur akar, peningkatan jumlah dan panjang rambut akar, akumulasi pigmen antosianin, dan pembentukan akar proteoid Fisiologis peningkatan serapan P, penurunan efluks Pi, peningkatan efisiensi penggunaan P, mobilisasi Pi dari vakuola ke sitoplasma, translokasi antar jaringan, sekresi asam organik, proton, sekresi fosfatase dan Rnase, perubahan metabolisme karbon, fotosintesis dan fiksasi nitrogen Enzimatis aktivasi enzim-enzim, peningkatan produksi fosfatase, Rnase dan asam organik, serta perubahan dalam fosforilasi protein Molekuler aktivasi gen-gen yang mengendalikan sintesa Rnase, fosfatase, fosfor transporter, Ca-ATPase, beta-glukosidase dan PEPCase. __________________________________________________________________ Sumber: Roghothama (1999) dalam Sopandie (2006) Kompartementasi P intraselular dapat mempengaruhi efisiensi penggunaan P. Penelitian Mimura et al. (1996) menunjukkan terjadi pergerakan P dari vakuola ke sitoplasma pada kondisi kahat P yang memungkinkan kadar P dalam sitoplasma dapat dipertahankan agar proses fisiologis tetap berjalan normal. Penelitian Swasti (2004) juga menunjukkan bahwa proporsi fraksi P anorganik yang lebih rendah pada perlakuan P rendah dibanding perlakuan P tinggi pada tanaman padi mengindikasikan adanya transfer P (anorganik) dari vakuola dan digunakan untuk sintesis bahan organik.
21 Beberapa tanaman yang dapat toleran pada kondisi P rendah menunjukkan aktivitas PFP (Phyrophosphat-dependent phospho fruktokinase) yang tinggi.
Enzim ini mengkatalisis reaksi yang memotong reaksi ATP-
dependent fruktokinase (PFK).
Modifikasi ini dapat mendaur ulang Pi dan
menghemat penggunaan ATP (Murley et al. 1998). Remobilisasi
P
dalam
tumbuhan
untuk
meningkatkan
efisiensi
penggunaan P juga merupakan salah satu mekanisme yang penting. Fosfor yang terdapat pada organ atau jaringan yang kurang atau tidak aktif akan dimobilisasikan ke organ atau jaringan aktif sehingga P yang telah diserap tumbuhan dapat digunakan kembali dalam proses fisiologi. Menurut Caradus (1990), kadar P rendah pada organ yang dipanen dapat dianggap meningkatkan efisiensi agronomis penggunaan P.
Penurunan laju
kematian daun juga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan P karena dengan cara ini P dapat digunakan lebih lama. Hara yang diserap dan ditranslokasikan ke tajuk juga menentukan efisisiensi penggunaan P. Penyerapan hara yang tinggi belum tentu memecahkan masalah defisiensi P, tergantung penyerapan yang tinggi tersebut disertai juga dengan translokasi ke tajuk atau tidak. Arabidopsis thaliana tipe liar misalnya, penyerapan yang tinggi tidak disertai oleh translokasi yang tinggi. Hanya 35% dari P yang diserap ditranslokasikan ke tajuk, dibandingkan dengan tipe mutannya yang mencapai 90%. Menurut Poirer et al. (1991), penyerapan dan translokasi ke tajuk diatur oleh mekanisme terpisah yang dikendalikan secara genetik. Respon tanaman terhadap cekaman P berlangsung secara bertahap. Hammond, Brodley dan White (2004) mengelompokkan gen-gen yang berperan dalam adaptasi terhadap cekaman P menjadi kelompok gen-gen yang merespon paling awal dan umumnya tidak spesifik terhadap kahat P (early genes) dan gengen yang menyandikan perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia (late genes) yang aktif ketika terjadi cekaman P dalam waktu lama. Secara hipotesis dapat digambarkan urutan gen-gen yang berubah ekspresinya saat terinduksi kahat P (Gambar 4).
22
Awal dari kekahatan P Signal awal / cekaman umum Morfologi Ribo regulators Faktor transkripsi Tanggap umum
▪ Perubahan hormonal ▪ Nisbah akar/tajuk meningkat ▪ Perbanyakan akar rambut ▪ Pembentukan akar lateral Metabolisme ▪ Perubahan/pengalihan metabolisme ▪ Metabolisme sekunder Fisiologi ▪ ▪ ▪ ▪ ▪
Penyerapan P meningkat Modifikasi rhizosfer Mobilisasi P internal Perubahan P internal Daur ulang P internal
Taraf Kekahatan P Sumber : Sopandie (2006) Gambar 4. Urutan gen-gen yang berubah ekspresinya saat terinduksi kahat P secara hipotetik Hasil penelitian Wasaki et al. (2003), terhadap tanaman white lupins (Lupinus albus L. cv. Kievskij mutant) pada media hidroponik di dalam rumah kaca pada kondisi defiensi P dan P-cukup, menunjukkan bahwa
akar
mengsekresikan lebih banyak asam fosfatase (S-APase) saat ditumbuhkan pada kondisi cekaman P rendah dibanding P yang cukup (Gambar 8 dan 9). P yang rendah juga menginduksi vigor pertumbuhan kelompok cluster akar, dimana fungsi cluster ditemukan ada kaitannya dengan sekresi S-APase. Selanjutnya dikemukakan juga bahwa ekpresi gen S-Apase juga paling tinggi di dalam akar yang tumbuh pada kondisi defisiensi P. Juga diketahui bahwa penurunan konsentrasi P internal menstimulir ekpresi S-Apase dan pembentukan cluster akar.
23
(A)
(B)
Sumber: Wasaki (2003) Gambar 5. Sekresi S-APase dari akar white lupin yang ditumbuhkan pada kondisi P rendah. (A) : Akar Lupin yang ditumbuhkan pada kondisi tanpa P dan diinkubasi 24 jam (B). Sekresi aktivitas gen S-APase
Sumber: Wasaki (2003) Gambar 6. Pola sekresi S-APase pada akar Wite Lupin setelah ditumbuhkan 25 hari dan dipindahkan ke larutan hara dengan P rendah dan P-cukup selama 24 jam. Bagian yang di bingkai menunjukkan cluster roots Asam Phytic merupakan bentuk penyimpanan P di dalam benih dan pollen (Maga, 1982). Phytase sangat penting dalam mobilisasi ketersediaan P pertumbuhan
benih
yang
dapat
menghidrolisis
sodium
phytate
pada dan
perkecambahan polen. Hasil penelitian Li et al. (1997) menunjukkan bahwa defisiensi P meningkatkan sekresi asam phytase pada akar beberapa jenis tanaman. Namun P rendah tidak hanya meningkatkan sekresi phytase, tetapi juga
24 meningkatkan asam fosfat. Sekresi phytase dalam tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi P rendah akan tinggi pada
Brachiaria decumbens CIAT 606,
Stylosanthes guianensis CIAT 184 dan tomat, sedangkan
pada Brachiaria
brizantha CIAT6780, Stylosanthes guianensis CIAT 2950, alfalfa, white clover dan orchard grass, dan lebih rendah pada Andropogon gayanus CIAT 621, Stylosanthes capitata CIAT 10280, padi gogo, timothy, redtop, alsike clover, red clover dan white lupin.
TANGGAP AGRONOMIS SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) TERHADAP CEKAMAN ALUMINIUM DAN DEFISIENSI FOSFOR DI TANAH MASAM Abstrak Penelitian ini dilaksanakan di tanah masam Kecamatan Tenjo, Bogor dari bulan Maret hingga Juli 2009. Penelitian bertujuan untuk mempelajari tanggap agronomi sorgum dalam menghadapi cekaman Al dan defisiensi fosfor di tanah masam. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan petak terbagi atau split plot design dengan tiga ulangan. Faktor perlakuan utama terdiri dari: Al tinggi - tanpa P (M1), Al tinggi - P kurang (M2), Al tinggi - P cukup (M3), Al rendah - tanpa P (M4), Al rendah - P kurang (M5), dan Al rendah - P cukup (M6). Anak faktor adalah genotipe terdiri dari Numbu (GT1), ZH-30-29-07 (GT2), B-69 (GP1) dan B-75 (GP2). Hasil penelitian menunjukkan, genotipe yang diuji memiliki perbedaan tingkat ketahanan terhadap toksisitas Al dan defisiensi fosfor di tanah masam. Varietas Numbu memberikan nilai tertinggi untuk semua peubah yang diuji. Terdapat korelasi tinggi antara bobot kering tajuk, bobot biji/tanaman dan bobot 1000 biji terhadap produksi sorgum di tanah masam. Sorgum toleran mampu berproduksi hingga 10.36 ton/ha pada kondisi lahan dengan Al rendah dan P cukup di tanah masam. Kata-kata kunci: sorgum, tanah masam, aluminium, defisiensi fosfor Abstract The experiment was conducted at acid soils District Tenjo, Bogor, from March to July 2009. The research aimed to study the agronomic response of sorghum to Al toxicity and phosphorous deficiency in acid soils. The experimental design used was split plot design with three replicate. The main factor consisted of: high Al -no P (M1), high Al – low P (M2), high Al sufficient P (M3), LowAl - no P (M4), low Al – low P (M5) , and low Al – sufficient P (M6). Sub factor was genotypes, consisting of Numbu (GT1), ZH-3029-07 (GT2), B-69 (GP1) and B-75 (GP2). The results showed that the tested genotypes had different levels of resistance to Al toxicity and phosphorus deficiency in acid soils. Numbu provided the highest value for all variables observed. There was a high correlation between shoot dry weight, seed weight /plant and 1000 grain weight of sorghum production in acid soils. The tolerant sorghum can produce up to 10.36 ton / ha in land conditions with low Al and sufficient P in acid soils. Key words: sorghum, acid soils, aluminum, phosphorus deficiency
PENDAHULUAN Latar Belakang Tanah masam menjadi faktor pembatas produktivitas tanaman karena adanya cekaman abiotik yang kompleks berupa toksisitas Al (Kochian 1995), toksisitas Fe dan Mn, defisiensi P, K dan Mg (Maschner 1995). Pada fase pertumbuhan awal, keracunan Al menyebabkan menurunnya panjang akar relatif dan menghambat pertumbuhan tajuk (Pineros et al., 2001) serta menurunkan kemampuan akar menyerap air dan hara (Marschner, 1995). Pada tanaman sorgum keracunan Al dapat menurunkan kemampuan berkecambah, jumlah biji per malai dan bobot biji (Ohki, 1987). Gejala yang dapat dilihat pada tanaman yaitu terjadinya klorosis, defisiensi nutrisi, dan tanaman menjadi kerdil Respon morfologis yang nyata akibat cekaman Al adalah terjadinya penebalan pada ujung akar (Taiz dan Zeiger, 2002). Cekaman Al menyebabkan gangguan bagi tanaman karena menghambat proses pembelahan dan pemanjangan sel-sel akar sehingga pertumbuhan akar menjadi terhambat (Ma 2000 dan Kochian et al 2004). Terhambatnya pertumbuhan akar menyebabkan sistem perakaran menjadi pendek dan tidak berkembang sehingga tanaman mengalami kesulitan dalam menyerap hara dan air (Ma et al. 2005). Keracunan Al juga diasosiasikan dengan gejala defisiensi P, sebaliknya P efektif sebagai agen detoksifikasi Al. Kemiripan gejala toksisitas Al dengan defisiensi P antara lain nekrosis pada ujung daun, penghambatan pertumbuhan, daun berwarna hijau tua, dan kadang-kadang daun atau batang berwarna ungu. Defisiensi P disebabkan karena menurunnya penyerapan dan transpor P oleh pengendapan Al-P pada akar tanaman, dan gangguan Al dalam metabolisme P yang sudah terdapat pada pucuk tanaman (Matsumoto et al. 2003). Salah satu cara untuk pengembangan sorgum di lahan masam yang memiliki kandungan Al tinggi dan defisiensi hara P adalah dengan merakit varietas toleran tanah masam. Proses perakitan varietas ini memerlukan informasi tanggap agronomis genotipe sorgum di lapang yang dapat digunakan sebagai karakter seleksi dalam program pemuliaan tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang tanggap agronomis genotipe sorgum terhadap toksisitas Al dan defisiensi P di tanah masam.
27 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Tenjo, Jasinga, yaitu lahan kering masam Kebun Percobaan UPTD Lahan Kering Dinas Pertanian Kabupaten Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret hingga Juli 2009. Bahan Penelitian Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil seleksi Sungkono (2007), yaitu dua genotipe sorgum toleran serta dua genotipe peka Al di tanah masam. Genotipe –genotipe ini merupakan hasil seleksi di tanah masam Taman Bogo Lampung Timur dan Sulusuban, Lampung Tengah hasil kerjasama antara IPB dengan Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (PATIR)-BATAN di Jakarta. Galur sorgum yang digunakan sebagai materi penelitian merupakan generasi ke-7 sehingga keragaan tanaman di lapangan sudah lebih stabil (Hoeman 2007). Metode Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan petak terbagi (split plot design) dengan tiga ulangan (denah penelitian lapang disajikan pada Lampiran 1). Faktor perlakuan utama (petak utama) terdiri dari: Al tinggi - tanpa P (M1), Al tinggi - P kurang (M2), Al tinggi - P cukup (M3), Al rendah - tanpa P (M4), Al rendah - P kurang (M5), dan Al rendah - P cukup (M6). Batasan nilai P cukup dan kurang didasarkan pada hasil analisis erapan P tanah
lahan percobaan yang
dilaksanakan di Balai Penelitian Tanah Bogor. Dosis cukup adalah 1x dosis dan nilai kurang adalah 0.5x dosis pupuk SP-36 hasil uji erapan P tanah. Perlakuan Al rendah menggunakan tanah yang sama, tetapi empat minggu sebelum tanam diberi perlakuan kapur yang dosisnya ditetapkan berdasarkan hasil analisis Aldd tanah lokasi percobaan. Penggunaan kapur sebanyak 1,5 x Aldd diperkirakan dapat menetralkan 85-90% Aldd. Anak faktor (anak petak) adalah genotipe sorgum toleran dan peka tanah masam, yaitu: Numbu (GT1), ZH-30-29-07 (GT2), B-69 (GP1) dan B-75 (GP2). Data yang didapatkan dianalisis menggunakan analisis ragam dan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5 atau 1%, dengan program SAS 9.1 (Mattjik dan Sumertajaya, 2002).
28 Lahan seluas 640 m2 dibajak dan dicangkul.
Unit percobaan berbentuk
guludan dengan ukuran panjang 2 m dan lebar 2 m sebanyak 72 petak yang terbagi dalam tiga ulangan. Jarak petak dalam ulangan 0.5 m dan jarak antar blok ulangan 1 m. Penanaman dilakukan dengan cara tugal, yaitu benih sebanyak 3-5 biji dimasukkan ke lubang tanam yang sebelumnya telah ditugal sedalam ± 3 cm. Jarak tanam yang digunakan adalah 15 cm dalam baris dan 70 cm antar baris. Pemupukan dengan pupuk SP-36 sesuai dosis perlakuan dan KCl dengan dosis 100 kg/ha diberikan saat tanam. Pupuk urea dengan dosis 150 kg/ha diberikan dua kali, yaitu ⅔ bagian diberikan saat tanam dan sisanya ⅓ bagian diberikan saat 7 minggu setelah tanam (MST). Pupuk diaplikasikan secara tugal dengan jarak ± 10 cm dari lubang tanam. Penjarangan dilakukan pada 2 MST untuk menyisakan satu tanaman per lubang tanam. Pengendalian gulma dilakukan secara manual menggunakan koret dan cangkul, sekaligus untuk pembumbunan.
Pengendalian hama dan penyakit
disesuaikan dengan kondisi serangan di lapangan. Pengamatan dilakukan terhadap komponen hasil dan hasil tanaman. Pengamatan komponen pertumbuhan dan komponen hasil tanaman dilakukan terhadap 10 tanaman contoh pada setiap unit percobaan. Komponen yang diamati adalah: 1. Bobot kering tajuk (g), dilakukan dengan menimbang tajuk bagian atas tanaman yang di oven pada suhu 700C selama dua hari terdiri dari batang, daun dan malai yang masih terdapat biji. 2. Panjang malai (cm), di ukur mulai dari pangkal hingga ujung malai, dilakukan pada waktu panen. 3. Bobot biji per tanaman (g), dilakukan dengan menimbang biji yang dihasilkan tanaman contoh pada malai batang utama menggunakan timbangan analitis. Penimbangan dilakukan pada akhir penelitian. 4. Bobot 1000 biji. Diamati pada saat panen. Bobot 1000 biji didapatkan dengan cara menghitung 1000 biji sorgum dari tanaman contoh, kemudian ditimbang menggunakan timbangan analitis. 5. Padatan terlarut total (PTT).
Padatan terlarut total diamati pada bagian
batang menggunakan spektrofotometer di akhir penelitian.
29 Data penunjang didapatkan dengan pengamatan secara visual terhadap gejala morfologi yang muncul akibat perlakuan, dan kondisi cuaca serta serangan hama dan penyakit tanaman selama penelitian berlangsung. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini telah dilaksanakan di lahan kering masam UPTD lahan kering Tenjo, Jasinga Kabupaten Bogor.
Penelitian dilakukan untuk melihat tanggap
agronomi sorgum terhadap berbagai kondisi cekaman toksisitas Al dan defisiensi hara P di tanah masam. Pengamatan terhadap tanggap genotipe sorgum toleran dan peka yang diuji dapat memberikan gambaran tindakan agronomi yang dapat diaplikasikan untuk pengembangan sorgum di tanah masam.
Tanggap yang
ditunjukkan oleh genotipe sorgum ini dapat pula menunjukkan perbedaan kemampuan di antara genotipe sorgum baik di antara genotipe toleran maupun di antara genotipe peka pada berbagai tingkat kondisi cekaman Al dan defisiensi P di tanah masam. Penetapan Kebutuhan P Eksternal Jenis tanah lokasi penelitian adalah Podsolik Merah Kekuningan dengan pH awal pada lahan Al rendah berkisar antara 4.50 hingga 5.30 serta kandungan Al-dd 2.73 me/100 g, sedangkan lahan dengaan Al tinggi pH berkisar antara 4.26 hingga 4.34 dengan kandungan Al-dd 11.2 me/100 g (Tabel 1.1). Perbedaan kondisi tanah di lokasi penelitian antara lahan dengan Al tinggi dan rendah dilakukan dengan pemberian kapur dan dosis pupuk P. Dosis kapur yang diberikan didasarkan pada perhitungan kandungan Al-dd, sedangkan pemberian pupuk P didasarkan pada hasil analisis erapan P tanah. Tanah lokasi penelitian dengan Al tinggi menunjukkan daya erap P yang cukup tinggi (erapan maksimum Langmuir 909.40 μg P/g tanah) dengan kurva erapan seperti pada Gambar 1.1. Tingginya daya erap ini disebabkan oleh tingginya nilai Aldd (Tabel 1.1).
Tabel 1.1. Sifat Kimia Contoh Tanah pada Lokasi Penelitian Jenis analisis
Lokasi tanah Al rendah
pH H2O C total (%) N total (%) C/N P-Bray 1 (ppm) K (me/100 g) Ca (me/100 g) Mg (me/100 g) Na (me/100 g) KTK (me/100 g) KB (%) Al-dd (me/100 g)
4.5 - 5.3 (masam) 0.8 - 1.03 (rendah) 0.08 (sangat rendah) 13 (sedang) 29.13 (sedang) 0.38 (sedang) 9.23 (sedang) 3.46 (sangat tinggi) 0.24 (rendah) 14.3 (rendah) 92 (sangat tinggi) 2.73
Lokasi tanah Al tinggi 4.26 – 4.34 (Sangat masam) 1.04 (rendah) 0.08 (sangat rendah) 13 (sedang) 0.08 (sangat rendah) 0.06 (sangat rendah) 4.45 (rendah) 2.36 (sangat tinggi) 0.07 (sangat rendah) 14.87 (rendah) 47 (sedang) 11.2
Sumber: Hasil analisis tanah pada Pusat Penelitian Tanah, Bogor (2008) Tingginya kelarutan Al pada pH <5 menyebabkan Al-dd meningkat sampai pada konsentrasi beracun bagi tanaman (Delhaize, 1995). Pada kondisi ini akan terjadi kekahatan hara pada tanah masam karena sebagian daerah jerapan pada mineral liat didominasi oleh Al3+ dengan menggantikan Mg2+ dan Ca2+. Al yang ada pada daerah jerapan tersebut juga dapat menjerap fosfat (P) dan Molibdat (Mo) dengan kuat (Marschner, 1995) sehingga P dan Mo tidak tersedia bagi tanaman. y = 134.6Ln(x) + 669.37 R2 = 0.9783
900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 0
0.5
1
1.5
2
Log P terlarut (μg P/ml larutan) Gambar 1.1. Kurva logaritmik erapan P contoh tanah dengan Al-dd 11.2 me/100 g
y = 115.77Ln(x) + 530.69 R2 = 0.9447
1000 800 600 400 200 0 0
2
4
6
8
10
-200
Log P terlarut (μg P/ml larutan) Gambar 1.2. Kurva logaritmik erapan P contoh tanah dengan Al-dd 2.73 me/100g Pendugaan kebutuhan P eksternal melalui kurva erapan logaritmik untuk lahan dengan Al tinggi memberikan nilai 452.75 μg P/g atau 5760.7 kg SP-36/ha, sedangkan pada lahan dengan Al rendah didapatkan nilai erapan 343.23 μg P/g atau 4367.2 kg SP-36/ha. Dosis pupuk P rekomendasi pada tanah yang tidak masam untuk tanaman sorgum di lahan kering yaitu 100 kg SP-36/ha. Untuk tanah masam Tenjo Jawa Barat memerlukan dosis berkisar 4367.2 hingga 5760.7 kg SP-36/ ha. Pemberian pupuk P berdasarkan kebutuhan eksternal memang membutuhkan dosis yang tinggi. Penggunaan dosis ini adalah untuk menjamin bahwa pemberian pupuk memenuhi kebutuhan optimal tanaman. Keragaan Karakter Agronomi Genotipe Sorgum di Tanah Masam Pengamatan terhadap keragaan karakter agronomi dilakukan pada empat genotipe sorgum, terdiri dari dua genotipe toleran yaitu Numbu dan ZH-30-29-07, serta dua genotipe peka yaitu B-69 dan B-75.
Genotipe-genotipe sorgum ini
ditumbuhkan di tanah masam dengan berbagai tingkat cekaman toksisitas Al dan defisiensi fosfor. Terdapat interaksi yang nyata di antara genotipe dengan kondisi cekaman Al dan defisiensi P untuk karakter bobot kering tajuk, panjang malai, bobot biji per tanaman dan bobot 1000 biji.
Adanya interaksi antara kondisi cekaman dan
genotipe pada peubah bobot kering tajuk dan komponen hasil ini menunjukkan terdapat perbedaan respon di antara empat genotipe terhadap taraf cekaman Al yang
32 berbeda. Hal ini menunjukkan pula bahwa genotipe toleran dan peka memberikan respon yang berbeda pada kondisi cekaman yang berbeda. Nilai padatan terlarut total yang tidak nyata tidak dapat menjelaskan perbedaan respon antar genotipe terhadap cekaman Al dan perlakuan fosfor (Tabel 1.2).. Tabel 1.2. Rekapitulasi analisis ragam pengaruh kondisi cekaman, genotipe dan interaksi antara kondisi cekaman dan genotipe terhadap pertumbuhan dan produksi sorgum di tanah masam Peubah
Kondisi cekaman
Bobot kering tajuk Bobot biji per tanaman Bobot 1000 biji PTT (%brix)
11753.66** 4125.48** 342.43** 102.04**
Genotipe Kuadrat Tengah 8909.54** 5788.56** 518.77** 107.46**
Interaksi
1365.31** 200.43** 24.52** 5.28
PTT = Padatan terlarut total ** = berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% Kemampuan Menghasilkan Bahan Kering Pertumbuhan dapat diketahui antara lain melalui bobot biomassa tanaman. Bobot tanaman.
biomassa adalah karakter agronomi yang mencerminkan pertumbuhan Tanaman yang mampu mengkonversi energi sinar matahari dan
mengakumulasikannya dengan cepat akan memiliki bobot biomassa tinggi sehingga karakter ini sering digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995). Pengamatan terhadap kemampuan menghasilkan bahan kering dari empat genotipe sorgum yang ditanam pada kondisi cekaman berbeda dilakukan dengan mengukur bobot kering tajuk pada saat panen. Analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan berpengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk (Tabel 1.2). Ini berarti bahwa kemampuan membentuk bahan kering tanaman sorgum dipengaruhi secara nyata oleh genotipe serta cekaman Al dan defisiensi P. Nilai tengah bobot kering tajuk semakin menurun dengan semakin tingginya tingkat cekaman. Dalam keadaan tercekam Al dan defisiensi P, semua genotipe mengalami penurunan bobot kering tajuk dengan persentase penurunan berbeda (Tabel 1.3). Kemampuan membentuk bahan kering genotipe peka pada kondisi Al tinggi dan tanpa penambahan hara P lebih rendah dibandingkan genotipe toleran (Tabel 1.3). Persen penurunan bobot kering genotipe peka B-69 (28.22%) dan B-75
33 (29.77%) lebih besar dibandingkan genotipe toleran Numbu (16.96%) dan ZH-30-29-07 (16.15%). Hal ini menunjukkan besarnya hambatan pertumbuhan pada genotipe peka akibat cekaman Al tinggi dan defisiensi P di tanah masam. Menurut Ma et al. (2005) genotipe yang terhambat pertumbuhannya akan mengalami kekurangan karbohidrat karena penyerapan dan transpor air maupun hara dari akar ke tajuk tanaman lebih sedikit, dan pada akhirnya menurunkan pertumbuhan tajuk. Penurunan bobot kering tajuk dapat pula disebabkan karena sebagian besar karbohidrat ditranslokasikan ke akar untuk lebih meningkatkan pertumbuhan akar. Terdapat selisih kenaikan bobot kering yang cukup besar pada saat diberikan P cukup meskipun kondisi Al tinggi. Respon genotipe sorgum terhadap pembentukan bahan kering sangat berbeda. Genotipe B-75 menunjukkan tingkat respon yang paling tinggi, sedangkan genotipe ZH-30-29-07 justru menunjukkan respon yang paling rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat toleransi genotipe ZH-30-29-07 yang berbeda dengan pengujian di tanah masam Lampung. Diduga hal ini disebabkan oleh perbedaan kondisi cekaman di lapangan. Seleksi penentuan toleransi genotipe ZH-30-29-07 di Lampung dilaksanakan pada tanah masam dengan kandungan Al-dd 1.35 me/100 g (Sungkono, 2007) lebih rendah dari pada kondisi Al rendah tanah masam di Tenjo Jasing yaitu 2.73 me/100 g. Hal ini menyebabkan pengelompokan ZH-30-29-07 tergolong toleran di Lampung tetapi menunjukkan karakter agronomis yang mengarah ke genotipe peka pada saat di tanam pada tanah masam di Tenjo Jasinga. Rata-rata nilai bobot kering semua genotipe baik toleran maupun peka pada kondisi Al rendah lebih tinggi dibandingkan pada kondisi Al tinggi (Tabel 1.3). Hal ini menunjukkan bahwa peran pemberian kapur untuk menurunkan kejenuhan Al tanah sangat besar dalam membantu tersedianya hara P dan menurunkan pengaruh toksik Al. Menurut Gottlein et al (1999) Al dapat secara langsung berinteraksi dan memiliki kapasitas fiksasi yang tinggi terhadap unsur P, baik dalam larutan tanah maupun jaringan tanaman membentuk kompleks Al-P yang tidak larut sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Dengan demikian, apabila kejenuhan Al rendah maka hara P akan lebih tersedia. Kemampuan tanaman mempertahankan produksi bahan kering dalam keadaan defisiensi hara dapat dicapai antara lain karena kebutuhan hara yang rendah
34 dalam metabolismenya sehingga mampu mempertahankan laju metabolismenya pada keadaan hara rendah tanpa menunjukkan gejala defisiensi hara (Marschner, 1995). Tabel 1.3. Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot kering tajuk pada berbagai kondisi cekaman Perlakuan Al tinggi - tanpa P Al tinggi - P kurang Al tinggi - P cukup Al rendah - tanpa P Al rendah - P kurang Al rendah - P cukup
Numbu 101.89 116.40 122.70 124.36 201.67 240.84
Rata-rata nilai bobot kering tajuk (g) ZH-30-29-07 B-69 B-75 96.84 76.94 74.11 115.19 103.64 95.30 115.49 107.19 105.52 115.93 101.33 110.87 146.79 117.90 123.17 222.48 217.38 235.36
Hasil penelitian ini sejalan dengan pengujian pada tanaman padi yang diberi cekaman Al dan K cukup (Trikoesoemaningtyas, 2002) serta N cukup (Jagau, 2000) yang juga menunjukkan ketidakmampuan tanaman mempertahankan produksi bahan kering pada kondisi tercekam Al. Besarnya pengaruh cekaman Al dalam pembentukan bahan kering diduga disebabkan karena Al menghambat penyerapan dan penggunaan hara. Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun genotipe ini toleran tanah masam, tetapi tidak efisien dalam memanfaatkan hara P untuk menghasilkan bahan kering. Penyebab lain adalah karena terbentuknya ikatan Al-P akibat tingginya konsentrasi Al pada tanah yang tidak dikapur sehingga tingkat kejenuhan Al cukup tinggi. Tabel 1.4. Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot kering tajuk pada kondisi cekaman Al tinggi Nomor 1.
2.
3.
Perbandingan Al tinggi - Tanpa P Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 Al tinggi - P kurang Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 Al tinggi – P cukup Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75
Selisih nilai tengah (g) 23.83** 5.05tn 2.83tn 16.33** 1.21tn 8.34** 12.74** 7.21** 1.67tn
Keterangan: tn = tidak nyata, ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1% uji kontras
35 Hasil uji kontras terhadap bobot kering tajuk menunjukkan bahwa pada kondisi Al tinggi dan tanpa penambahan P sorgum tidak mampu meningkatkan pembentukan bahan kering baik di antara genotipe toleran maupun di antara genotipe peka (Tabel 1.4). Pada kondisi Al rendah, tanpa penambahan pupuk P sudah mampu meningkatkan kemampuan sorgum dalam membentuk bahan kering (Tabel 1.5). Hal ini berarti pemberian kapur untuk menurunkan kandungan Al di tanah masam sangat besar pengaruhnya terhadap ketersediaan P tanah dan berpengaruh juga terhadap pembentukan bahan kering tanaman. Tabel 1.5. Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot kering tajuk pada kondisi cekaman Al rendah Nomor 1.
2.
3.
Perbandingan Al rendah - Tanpa P Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 Al rendah - P kurang Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 Al rendah – P cukup Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75
Selisih nilai tengah (g) 14.05** 8.43** 9.54** 53.69** 54.88** 5.27** 5.29** 18.36** 17.98**
Keterangan: tn = tidak nyata, ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1% Hasil penelitian Hopkins et al. (2004) dan Ping et al. (2006) menunjukkan bahwa bobot biomassa tajuk adalah karakter yang sangat menentukan toleransi tanaman terhadap tanah masam. Tidak didapatkan perbedaan
pembentukan
biomassa tanaman baik di antara genotipe toleran maupun di antara genotipe peka dalam kondisi Al tinggi dan tanpa P (Tabel 1.4). Hal ini akibat terhambatnya pertumbuhan akar semua genotipe sorgum pada kondisi cekaman berat di tanah masam. Akar yang terhambat hanya memiliki sedikit rambut-rambut akar. Menurut Rao (1999), rambut akar berperan dalam penyerapan hara P. Penyerapan per unit panjang akar meningkat dengan pembentukan rambut akar. Hal ini karena rambut akar meningkatkan area permukaan bidang serap akar, sehingga volume eksplorasi tanah per panjang akar meningkat.
36 Peningkatan pupuk P dari kurang menjadi cukup pada kondisi Al tinggi tidak menyebabkan perbedaan kemampuan pembentukan biomassa di antara genotipe kecuali pada genotipe peka B-75 (Tabel 1.6). Hal ini disebabkan karena genotipe B-75 sangat responsif terhadap penambahan pupuk P untuk pembentukan bahan kering sementara Numbu, ZH-30-29-07 dan B-69 tidak responsif terhadap penambahan pupuk P pada kondisi Al tinggi di tanah masam. Tabel 1.6. Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot kering tajuk terhadap pemberian pupuk P pada kondisi cekaman Al tinggi Perlakuan pupuk P
Selisih nilai tengah bobot kering tajuk (g) Numbu
ZH-30-29-07
B-69
B-75
Al tinggi - Tanpa P vs P kurang
14.51**
18.35**
26.70**
21.19**
Al tinggi - P kurang vs P cukup
6.30tn
0.30tn
3.55tn
10.22**
Keterangan: tn = tidak nyata, ** = berbeda nyata pada taraf 1% Pada kondisi Al tinggi yang lebih bermanfaat adalah memberikan kapur sehingga dapat meningkatkan ketersediaan hara P. Hal ini terbukti pada kondisi Al rendah penambahan pupuk P mampu meningkatkan bobot kering tajuk sorgum di tanah masam (Tabel 1.7). Tabel 1.7. Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot kering tajuk terhadap pemberian pupuk P pada kondisi cekaman Al rendah Perlakuan pupuk P
Selisih nilai tengah bobot kering tajuk (g) Numbu
ZH-30-29-07
B-69
B-75
Al rendah - Tanpa P vs P kurang
77.31**
30.86**
16.57**
12.30**
Al rendah - P kurang vs P cukup
39.17**
75.69**
99.48**
112.19**
Keterangan: tn = tidak nyata, ** = berbeda nyata pada taraf 1% Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Syarif (2005) yang juga mendapatkan perbedaan pembentukan biomassa tajuk pada genotipe padi toleran akibat peningkatan dosis pupuk P. Menurut Blum (1988), tumbuhan yang adaptif terhadap kondisi tanah defisiensi hara memiliki sifat yang lebih baik dalam menyerap, menggunakan dan mentranslokasikan hara ke lumbung (sink).
37 Komponen Hasil dan Hasil Hasil analisis ragam terhadap komponen hasil dan hasil menunjukkan bahwa bobot biji per tanaman dan bobot 1000 biji dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan kondisi cekaman dan genotipe serta interaksi antara kondisi cekaman dan genotipe (Tabel 1.2). Bobot biji per tanaman menggambarkan banyaknya biji sorgum yang terdapat pada malai utama. Genotipe toleran (Numbu dan ZH-30-29-07) memperlihatkan konsistensinya pada kondisi lahan dengan cekaman Al rendah maupun tinggi. Hal ini tidak dijumpai pada genotipe peka, genotipe B-69 memberikan bobot biji per tanaman yang lebih tinggi daripada B-75 pada lahan dengan cekaman Al tinggi, tetapi pada lahan bercekaman Al rendah genotipe B-75 justru memberikan bobot biji per tanaman yang lebih tinggi daripada B-69 (Tabel 1.8). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan daya adaptasi di antara genotipe peka B75 dan B-69 terhadap cekaman toksisitas Al dan defisiensi P. B-75 memiliki respon yang lebih baik terhadap pemberian kapur untuk menurunkan tingkat Al daripada B-69. Tabel 1.8. Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot biji per tanaman pada berbagai kondisi cekaman di tanah masam Perlakuan Numbu Al tinggi - tanpa P Al tinggi - P kurang Al tinggi - P cukup Al rendah - tanpa P Al rendah - P kurang Al rendah – P cukup
67.44 90.34 117.93 117.50 130.72 135.39
Rata-rata nilai bobot biji per tanaman (g) ZH-30-29-07 B-69 B-75 61.68 75.11 89.36 93.74 107.07 111.69
56.48 70.74 72.54 61.23 81.69 91.23
49.65 56.69 64.44 72.72 89.45 99.73
Hasil rata-rata produksi sorgum pada penelitian ini berdasarkan nilai konversi dari bobot biji per tanaman berkisar antara 3.80 ton/ha hingga 10.36 ton/ha. Hasil terendah didapatkan pada genotipe B-75 pada kondisi Al tinggi dan defisiensi P dan hasil tertinggi didapatkan pada Numbu pada cekaman Al rendah dengan P cukup. Hal ini menunjukkan bahwa sorgum memiliki potensi produksi yang tinggi apabila lingkungan tumbuhnya optimal. Pada kondisi Al tinggi dan tanpa pemberian pupuk P, baik di antara sorgum toleran maupun di antara genotipe peka tidak mampu meningkatkan produksi (Tabel 1.9) tetapi pada kondisi Al rendah tanpa penambahan pupuk P masih mampu
38 meningkatkan produksi biji sorgum di tanah masam (Tabel 1.10). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan kapur untuk menurunkan tingkat kejenuhan Al mampu meningkatkan produksi sorgum meskipun pada kondisi defisiensi hara P. Tabel 1.9. Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot biji per tanaman pada kondisi cekaman Al tinggi di tanah masam Nomor
Perbandingan
1.
Al tinggi - Tanpa P Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 Al tinggi - P kurang Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 Al tinggi – P cukup Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75
2.
3.
Selisih nilai tengah bobot biji per tanaman (g) 21.49** 5.76tn 6.83tn 19.02** 15.23** 14.05** 35.16** 28.57** 8.10**
Keterangan: tn = tidak nyata, ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1% uji kontras Tabel 1.10. Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot biji pertanaman pada kondisi cekaman Al rendah di tanah masam Nomor
Perbandingan
1.
Al rendah - Tanpa P Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 Al rendah - P kurang Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 Al rendah – P cukup Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75
2.
3.
Selisih nilai tengah bobot biji per tanaman (g) 38.64** 23.76** 11.49** 33.33** 23.65** 7.76** 28.06** 23.70** 8.50**
Keterangan: tn = tidak nyata, ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1% uji kontras Ini berarti bahwa pemberian kapur saja tanpa penambahan pupuk P sudah dapat meningkatkan hasil secara nyata baik pada genotipe toleran maupun peka. Pemberian kapur lebih bermanfaat dalam meningkatkan produksi sorgum pada kondisi Al tinggi di tanah masam daripada penambahan pupuk P Hal ini diduga pemberian kapur mengakibatkan meningkatnya ketersediaan hara P di tanah masam
39 karena berkurangnya fiksasi P oleh Al. Menurut Rao (1999) Al secara langsung mampu berinteraksi dan memiliki kapasitas fiksasi yang tinggi terhadap unsur P, baik dalam larutan tanah maupun jaringan tanaman membentuk kompleks Al-P yang tidak larut sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Peningkatan taraf pupuk P pada kondisi Al tinggi dari kurang menjadi cukup tidak mampu meningkatkan bobot biji per tanaman genotipe peka B-69 dan B-75, tetapi ternyata masih mampu meningkatkan produksi pada genotipe Numbu dan ZH-30-29-07 (Tabel 1.11 dan 1.12). Hal ini berarti peningkatan dosis P masih bermanfaat untuk menaikkan produksi pada tanaman toleran di tanah masam dengan kondisi Al tinggi, sedangkan pada genotipe peka akan lebih bermanfaat bila diberikan kapur untuk menurunkan tingkat Al. Jadi pada kondisi tanah masam dengan Al rendah cukup memberikan P pada taraf kurang tanpa meningkatkan taraf pemupukan P sampai cukup sudah dapat meningkatkan produksi baik pada genotipe toleran maupun peka. Tabel 1.11. Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot biji per tanaman terhadap pemberian pupuk P pada kondisi cekaman Al tinggi Perlakuan pupuk P Al tinggi - Tanpa P vs P kurang Al tinggi - P kurang vs P cukup
Selisih nilai tengah bobot biji per tanaman (g) Numbu ZH-30-29-07 B-69 B-75 22.90** 13.43** 14.26** 7.04tn 27.59** 14.25** 1.80tn 7.75tn
Keterangan: tn = tidak nyata, ** =berbeda nyata pada taraf 1% uji kontras ortogonal Tabel 1.12. Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot biji per tanaman terhadap pemberian pupuk P pada kondisi cekaman Al rendah Perlakuan pupuk P Al rendah - Tanpa P vs P kurang Al rendah - P kurang vs P cukup
Selisih nilai tengah bobot biji per tanaman (g) Numbu ZH-30-29-07 B-69 B-75 13.22** 13.33** 20.46** 13.73** 4.67tn 4.62tn 9.54tn 10.28tn
Keterangan: tn = tidak nyata, ** = berbeda nyata pada taraf 1% uji kontras ortogonal Bobot 1000 biji merupakan ukuran yang menggambarkan besar kecilnya biji yang dihasilkan oleh tanaman serealia. Pada penelitian ini didapatkan nilai rata-rata bobot 1000 biji tertinggi pada varietas Numbu dengan kondisi optimal yaitu Al rendah dan P cukup
55.71 g dan terendah pada genotipe
ZH-30-29-07 pada
kondisi Al tinggi dan tanpa P yaitu sebesar 27.98 g (Tabel 1. 13).
40 Tabel 1.13. Respon genotipe pada bobot 1000 biji sorgum terhadap berbagai kondisi cekaman Al dan pupuk P di tanah masam Perlakuan Al tinggi - tanpa P Al tinggi - P kurang Al tinggi - P cukup Al rendah - tanpa P Al rendah - P kurang Al rendah – P cukup
Numbu 35.07 40.06 40.87 47.97 54.87 55.71
Rata-rata nilai bobot ZH-30-29-07 27.98 31.29 31.99 33.60 34.61 37.23
1000 biji (g) B-69 30.67 32.34 38.20 38.90 40.70 43.49
B-75 33.82 35.97 42.66 40.64 45.30 47.58
Peningkatan dosis pupuk P sampai taraf kurang tidak nyata meningkatkan bobot 1000 biji sorgum pada genotipe peka dengan kondisi Al tinggi dan rendah, tetapi masih mampu meningkatkan bobot 1000 biji pada genotipe Numbu (Tabel 1.14 dan 1.15). Hal ini menunjukkan bahwa dosis pupuk P pada taraf kurang sudah mampu meningkatkan bobot 1000 biji untuk Numbu. Tabel 1.14. Respon genotipe untuk karakter bobot 1000 biji terhadap pemberian pupuk P dengan kondisi cekaman Al tinggi Perlakuan pupuk P Al tinggi - tanpa P vs Al tinggi - P kurang Al tinggi - P kurang vs Al tinggi - P cukup
Selisih nilai tengah bobot 1000 biji (g) Numbu B-75 4.99tn 2.15tn 0.81tn 6.69tn
Keterangan: tn = berbeda tidak nyata Tabel 1.15. Respon genotipe untuk karakter bobot 1000 biji terhadap pemberian pupuk P dengan kondisi cekaman Al rendah Perlakuan pupuk P Al rendah – tanpa P vs Al rendah P kurang Al rendah - P kurang vs Al rendah - P cukup
Selisih nilai tengah bobot 1000 biji (g) Numbu B-75 6.90** 4.66tn 0.84tn 2.28tn
Keterangan: tn= berbeda tidak nyata, ** = berbeda nyata pada taraf 1% uji kontras \ Padatan Terlarut Total (PTT) Kandungan PTT dan gula total sorgum mengalami penurunan cukup besar pada kondisi Al tinggi dan defisiensi P dibandingkan pada kondisi Al rendah dan P cukup (Tabel 1.16).
41 Tabel 1.16. Respon genotipe pada berbagai kondisi cekaman terhadap padatan Terlarut total (PTT) dan gula total Perlakuan Al tinggi - tanpa P Al tinggi - P kurang Al tinggi - P cukup Al rendah - tanpa P Al rendah - P kurang Al rendah – P cukup
Rata-rata nilai (%) Gula Total (%) PTT (%brix) 6.19 7.93 9.97 12.78 11.94 15.30 9.09 11.65 10.50 13.46 12.36 15.85
Hal ini menunjukkan tanggap sorgum yang berbeda untuk karakter kandungan PTT dan gula total terhadap penambahan unsur P baik pada kondisi Al tinggi maupun rendah. Diduga pada kondisi P cukup tetapi tercekam Al genotipe sorgum akan meningkatkan efisiensi penggunaan P dalam jaringannya untuk pembentukan gula total tanaman.
Efisiensi penggunaan lebih menggambarkan
penggunaan P internal baik dalam proses translokasi maupun retranslokasi dalam tanaman. Efisiensi penggunaan dapat ditingkatkan melalui perubahan bentuk kimia P (fraksi-fraksi P) (Schachtman et al., 1998). Pada penelitian ini Numbu menunjukkan kandungan PTT tertinggi dibandingkan genotipe lainnya, diikuti oleh genotipe B-75, B-69 dan ZH-30-29-07 (Tabel 1.17). Kandungan PTT Numbu ternyata setara jika dibandingkan dengan genotipe peka B-75 (Tabel 1.18). Ini berarti genotipe peka
B-75 memiliki potensi
untuk dikembangkan menjadi tanaman penghasil bioetanol asalkan memiliki adaptasi yang baik di tanah masam. Tabel 1.17. Nilai padatan terlarut total empat genotipe sorgum di tanah masam Genotipe
Gula Total (%)*
PTT (% brix)
Numbu ZH-30-29-07 B-69 B-75
12.42 8.89 9.20 9.51
15.92 11.41 11.79 12.19
* = Hasil konversi nilai PTT (% brix)
42 Tabel 1.18. Respon genotipe sorgum toleran dan peka terhadap kandungan gula total dan padatan terlarut total (PTT) batang sorgum di tanah masam Perbandingan Numbu vs ZH-30-29-07 Numbu vs B-75 Numbu vs B-69
Selisih nilai tengah Gula Total PTT (%) 3.53** 4.51** 2.91tn 3.73tn 3.22** 4.13**
tn= berbeda tidak nyata, **= berbeda nyata pada taraf 1% Berbeda dangan tanggap pada karakter bobot biji per tanaman, kandungan PTT dan gula total sorgum lebih tanggap terhadap penambahan pupuk P dan tidak terlalu tanggap terhadap penambahan kapur untuk menurunkan Al tanah (Tabel 1.19). Hal ini ditunjukkan oleh penambahan pupuk P sampai taraf cukup masih tetap bermanfaat meningkatkan kandungan PTT baik pada kondisi Al tingga maupun rendah. Ini berarti pada kondisi Al tinggi maupun rendah asalkan diberi P meskipun dalam taraf kurang, sorgum akan tetap memiliki persentase kandungan PTT dan gula total yang tinggi. Tabel 1.19. Respon genotipe pada dua kondisi cekaman Al terhadap kandungan padatan terlarut total (PTT) Perbandingan Al tinggi - Tanpa P vs P kurang Al tinggi - P kurang vs P cukup
Selisih nilai tengah PTT 4.85** 2.52**
Al rendah - Tanpa P vs P kurang Al rendah - P kurang vs P cukup
1.81* 2.39**
tn= berbeda tidak nyata, **= berbeda nyata pada taraf 1% Ini berarti pemberian P masih bermanfaat meningkatkan kadar
padatan
terlarut total sorgum di tanah masam. Hasil ini menunjukkan peran P yang cukup besar dalam proses biokimia tanaman, yaitu sebagai penyusun makro molekul, unsur pembentuk senyawa penyimpan atau perpindahan energi, dan regulator reaksi biokimia melalui proses fosforilasi (Rao, 1999). Hubungan Antara Pertumbuhan dengan Hasil Pertumbuhan merupakan proses yang bersifat tidak dapat balik yang mengakibatkan terjadinya perubahan menjadi semakin besar dan mampu berproduksi. Untuk melihat hubungan antara fase pertumbuhan yang digambarkan
43 dari bobot kering tajuk dengan komponen hasil sorgum dilakukan uji korelasi sederhana Pearson seperti tercantum pada Tabel 1.20. Korelasi sederhana dapat menggambarkan hubungan antara dua karakter sehingga korelasi dapat digunakan untuk menelaah hubungan antara karakter pertumbuhan dan komponen hasil tanaman. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara bobot kering tajuk, bobot biji per tanaman, bobot 1000 biji dan padatan terlarut total. Sorgum yang mempunyai nilai bobot kering tajuk tinggi nyata diikuti oleh bobot biji per tanaman, bobot 1000 biji dan padatan terlarut total yang juga tinggi Tabel 1.20. Nilai korelasi antara peubah pertumbuhan, produksi dan padatan terlarut total sorgum di tanah masam Peubah
Bobot kering tajuk
Bobot kering tajuk Bobot biji per tanaman Padatan terlarut total Bobot 1000 biji
0.847** 0.656** 0.665**
Bobot biji per tanaman 0.764** 0.671**
Padatan terlarut total 0.742**
Keterangan: **= berbeda nyata pada taraf 1% uji korelasi Pearson . Pertumbuhan tanaman yang baik akan memberikan hasil yang tinggi pula. Komponen bobot kering tajuk di antaranya adalah sejumlah daun yang melekat pada batang yang merupakan organ tanaman untuk menghasilkan karbohidrat. Tanaman yang mampu mengkonversi energi sinar matahari dan mengakumulasikan produk fotosintesis dengan cepat akan ditandai dengan bobot kering tajuk yang tinggi (Sitompul dan Guritno, 1995). Bobot kering tajuk yang tinggi ini mampu menghasilkan fotosintat yang cukup besar untuk dialokasikan ke bagian sink dan bagian tanaman lain yang sedang tumbuh sehingga dapat menghasilkan produksi yang tinggi pula.
44 KESIMPULAN Genotipe sorgum memiliki toleransi berbeda terhadap toksisitas Al dan defisiensi fosfor di tanah masam. Genotipe toleran mampu menunjukkan pertumbuhan dan produksi lebih baik di tanah masam daripada genotipe peka. Varietas Numbu memberikan nilai tertinggi untuk semua peubah yang diamati. Pada kondisi Al tinggi tidak diperlukan penambahan pupuk dosis tinggi untuk pertumbuhan sorgum, tetapi pada kondisi Al rendah penambahan pupuk P sampai taraf cukup masih bermanfaat untuk meningkatkan pertumbuhan. Pemberian kapur (Al rendah) saja pada kondisi Al tinggi tanpa diikuti peningkatan dosis pupuk P mampu meningkatkan komponen hasil sorgum di tanah masam untuk genotipe toleran, tetapi untuk genotipe peka harus diikuti dengan peningkatan dosis pupuk P. Peningkatan dosis pupuk P nyata meningkatkan nilai padatan terlarut total genotipe sorgum toleran dan peka baik pada tanah masam dengan Al tinggi maupun tanah masam Al rendah. Bobot kering tajuk, padatan terlarut total dan bobot 1000 biji berkorelasi tinggi terhadap produksi sorgum di tanah masam.
TOLERANSI SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) TERHADAP CEKAMAN ALUMINIUM DI LARUTAN HARA Abstrak Percobaan mengenai tanggap toleransi sorgum terhadap cekaman aluminium di larutan hara telah dilaksanakan di rumah kaca University Farm IPB kebun Cikabayan Bogor dari bulan Juli hingga Agustus 2009. Percobaan bertujuan untuk mempelajari tingkat toleransi genotipe sorgum terhadap toksisitas Al di larutan hara, melalui respon fisiologis terhadap hambatan pertumbuhan akar tanaman dan hubungannya dengan pembentukan biomassa tanaman. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah genotipe sorgum yaitu Numbu (T1), ZH-30-29-07 (T2), B-69 (P1) dan B-75 (P2) . Faktor kedua adalah konsentrasi larutan Al, terdiri dari kontrol (C0), 74 μM Al (C1), 148 μM Al (C2) dan 222 μM Al (C3). Data kuantitatif yang diperoleh di analisis menggunakan analisis ragam. Perbedaan nilai tengah antar perlakuan diuji menggunakan kontras orthogonal dan polynomial pada taraf nyata 5% atau 1%. Hasil percobaan menunjukkan, varietas Numbu memiliki tingkat ketahanan yang paling tinggi terhadap cekaman Al yang ditunjukkan dari semua peubah yang diamati, sedangkan tingkat toleransi yang paling rendah didapatkan pada genotipe B-75. Penurunan nilai pertumbuhan tanaman pada semua peubah sudah terlihat pada konsentrasi Al 74 μM. Semakin tinggi konsentrasi Al yang diberikan, semakin menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kata-kata kunci: sorgum, toksisitas Al, larutan hara, pertumbuhan akar Abstract A study on response of sweet sorghum to aluminum toxicity was conducted to evaluate tolerance of sweet sorghum genotypes to aluminum toxicity in nutrient solution. The study evaluate the inhibition of root growth due to Al toxicity and its relation to biomass accumulation. The study was conducted in the greenhouse of the University Farm, Bogor Agricultural University from July to August 2009. The experiment was carried out as a Factorial experiment in a Completely Randomized Design with three replications. The first factor was sorghum genotypes consisted of Numbu (Tolerant), ZH30-29-07 (Tolerant), B-69 (sensitive) and B-75 (sensitive) and the second factor was Al concentration consisted of control (C0), 74 μM Al (C1), 148 μM Al (C2) dan 222 μM Al (C3). Differential response of sorghum genotypes to Al toxicity was observed at 74 μM Al (C1) and 148 μM Al (C2). At higher Al concentration (222 μM Al) all genotype were severely affected. Sorghum variety Numbu showed the highest tolerance to Al toxicity and was able to maintain root and shoot growth under Al toxicity. The sensitive genotypes, B-75, showed reduction in root and shoot growth under Al toxicity. Keywords: sorghum, Al toxicity, nutrient solution, root growth
PENDAHULUAN Latar Belakang Umumnya lahan kering di Indonesia didominasi oleh tanah Podsolik Merah Kuning (Ultisol). Masalah utama yang dihadapi pada tanah ini adalah keracunan Aluminium (Al) dan kaitannya dengan kekurangan hara yang menghambat pertumbuhan sehingga menurunkan produksi tanaman (Schaffert et al., 2000).
Kelarutan Al yang tinggi berpengaruh langsung terhadap proses-
proses fisiologis dan metabolisme tanaman, dan berpengaruh tidak langsung terhadap ketersediaan unsur hara sehingga dapat menekan pertumbuhan tanaman. Secara umum pengaruh Al adalah 1) mengurangi kation bervalensi dua yang diserap akar, 2) menghambat fungsi-fungsi sel pada jaringan meristem akar melalui penetrasi Al ke dalam protoplasma akar dan menghasilkan morfologi akar yang tidak normal, dan 3) menurunkan jerapan anion oleh akar karena meningkatnya jerapan positif pada rizosfir dan apoplas akar (Alam et al 1999). Cekaman Al terhadap tanaman mula-mula akan menekan pertumbuhan akar, akar menjadi pendek, tebal dan rapuh. Terhambatnya pertumbuhan akar diakibatkan karena Al menghentikan proses pembelahan sel meristem apikal (Pellet et al. 1995). Daerah yang paling peka terhadap keracunan Al terutama pada bagian ujung akar (tudung akar, meristem, dan zona pemanjangan) sekitar 2 mm.
Hal ini dikarenakan bagian tersebut mengakumulasi Al lebih banyak
(Delhaize dan Ryan 1995). Sasaran utama cekaman Al pada akar adalah tudung akar. Rusaknya tudung akar akan mengakibatkan berkurangnya sekresi mucilage. Keracunan Al dapat menghambat pertumbuhan tajuk dengan cara menghambat pasokan hara, air dan sitokinin dari akar karena buruknya penetrasi akar ke sub-soil atau kondisi hidrolik akar rendah (Marschner 1995). Dalam keadaan tertentu tanaman dapat membatasi serapan aluminium, sehingga terhindar dari keracunan aluminium.
Tanaman dapat membentuk
dinding tebal pada akar rambut dengan ujung akar yang membengkak menyerupai kail. Aluminium yang terdapat dalam akar tidak menghalangi pengambilan Ca, Mg dan K pada varietas toleran terhadap Al, tetapi pada varietas yang peka terjadi sebaliknya. Varietas yang toleran akarnya dapat berkembang baik, ujung-ujung
47 akar dan akar lateral tidak menunjukkan kerusakan akibat keracunan Al pada tanah masam. Beberapa varietas yang toleran terhadap Al akan meningkatkan pH di daerah perakaran, sedangkan yang peka akan menurunkan pH di media tanah masam. Foy (1996) dan Taylor (1991) mengemukakan bahwa toleransi Al pada tanaman terjadi karena dua mekanisme toleransi yaitu exclusion (penolakan Al) dan inclusion. Mekanisme toleransi exclusion Al meliputi : (1) immobilisasi Al pada dinding sel, (2) selektivitas pada membran plasma, (3) alkalisasi rhizosfir, (4) pengeluaran ligan pengkelat, dan (5) efflux Al. Mekanisme toleransi inclusion terjadi melalui (1) kelatisasi Al dalam sitosol, (2) kompartementasi Al dalam vakuola, (3) sintesis protein spesifik pengikat Al, (4) evolusi enzim terhadap toleransi Al dan (5) meningkatkan aktivitas enzim tersebut. Aluminium dapat mempengaruhi morfologi, fisiologi dan ekspresi gen tanaman.
Gejala yang umum dijumpai akibat cekaman Al adalah terjadinya
klorosis, defisiensi nutrisi, dan tanaman menjadi kerdil (Taiz dan Zeiger 2002). Respon morfologi nyata akibat cekaman Al adalah terjadinya penebalan pada ujung akar dan akar cabang. Respon fisiologi berupa pembentukan kompleks Alasam organik dan peningkatan kandungan asam organik pada akar tanaman dengan cara mengaktivasi kerja enzim yang berperan dalam biosintesis asam organik, serta adanya asam organik yang ditransportasikan dari batang menuju akar (Matsumoto et al. 2003). Tanaman yang toleran terhadap keracunan Al mempunyai kriteria antara lain: akar tidak rusak dan sanggup terus berkembang, mampu meningkatkan pH tanah di sekitar perakaran, sebagian besar Al ditahan di akar dan sedikit ditranslokasikan ke bagian atas tanaman, dan ion Al tidak dapat menghambat serapan dan translokasi Ca, Mg, K dan P (Kochian 2005).
Hasil penelitian
Yamamoto et al., (1992) menunjukkan bahwa toksisitas Al selain mengakibatkan tanaman kekurangan hara juga dapat mengubah struktur dan fungsi membran plasma serta menghalangi pembelahan sel pada ujung-ujung akar (MacDiarmid dan Gardner, 1996).
48 Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat toleransi genotipe sorgum terhadap toksisitas Al di larutan hara, melalui respon fisiologi terhadap hambatan pertumbuhan akar tanaman dan hubungannya dengan pembentukan biomassa tanaman. BAHAN DAN METODE Percobaan dilaksanakan di Rumah Kaca Kebun Percobaan University Farm, IPB Cikabayan dari bulan Juli 2009 - Agustus 2009. Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan ini merupakan hasil seleksi Sungkono (2007) di tanah masam Lampung, yaitu dua genotipe sorgum toleran tanah masam (Numbu dan ZH 30-29-07) serta dua genotipe peka (B-69 dan B-75). Bahan-bahan lainnya adalah larutan AlCl3, larutan hara dengan komposisi: 0.24 mM NH4NO3; 0.03 mM (NH4)2SO4; 0.097 mM K2HPO4; 0.088 mM K2SO4; 0.38 mM KNO3; 1.27 mM Ca(NO3)2.4H2O; 0.27 mM Mg(NO3)2.4H2O; 0.14 mM NaCl; 6.6 μM H3BO3; 5.1 μM MnSO4.4H2O; 0.61 μM ZnSO4.7H2O; 0.16 μM CuSO4.5H2O; 0.1 μM Na2Mo7O9.7H2O; 45 μM FeSO4.7H2O-EDTA (Ohki 1987), aquades, NaOH 1 M serta HCl 1 M, busa lunak dan stryofoam. Pot pertumbuhan berdiameter 15 cm, serta alat pendukung lainnya. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah genotipe sorgum yaitu Numbu (T1), ZH-30-29-07 (T2), B-69 (P1) dan B-75 (P2), dan faktor kedua adalah konsentrasi larutan Al, terdiri dari kontrol (C0), 74 μM Al (C1), 148 μM Al (C2) dan 222 μM Al (C3). Data kuantitatif diperoleh melalui analisis ragam. Untuk membedakan nilai tengah antar perlakuan, dilakukan uji lanjut menggunakan kontras ortogonal dan polinomial pada taraf nyata 5% atau 1%. Kecambah normal berumur satu minggu dengan panjang akar yang seragam diambil sebanyak 5 tanaman untuk masing-masing perlakuan kemudian dipindahkan ke dalam pot pertumbuhan. Batang kecambah dibalut dengan gabus busa lunak kemudian dimasukkan ke lubang stryofoam dan diapungkan dalam pot yang berisi larutan hara sebanyak 2 liter/pot.
Perlakuan konsentrasi Al
ditambahkan pada larutan hara setelah proses pengapungan dalam larutan hara berlangsung dua hari. Larutan diatur pada pH 4.0±0.1 dengan penambahan NaOH
49 1M atau HCl 1M. Larutan hara diberi aerasi menggunakan aerator supaya Al dan hara tidak mengendap.
Air yang hilang akibat transpirasi diganti dengan
menambahkan aquades setiap hari dengan pH tetap dipertahankan sekitar 4.0. Tanaman di pelihara sampai berumur 14 hari. Peubah yang diamati yaitu panjang tajuk tanaman (cm), panjang akar (cm), bobot kering akar (g), bobot kering tajuk (g), nisbah tajuk-akar, panjang akar relatif (%), bobot akar relatif (%), dan bobot tajuk relatif (%). Data kuantitatif yang diperoleh di analisis menggunakan analisis ragam. Perbedaan nilai tengah antar perlakuan di uji menggunakan uji Duncan, kontras orthogonal dan polynomial pada taraf nyata 5 % dan 1 %. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan terhadap kondisi umum tanaman menunjukkan bahwa kecambah sorgum toleran dan peka yang ditanam pada larutan tanpa Al tidak menunjukkan gejala keracunan sampai akhir percobaan. Sorgum varietas Numbu dan ZH-30-29-07 masih tidak menunjukkan gejala keracunan sampai minggu pertama pada larutan Al rendah (74 μM), akan tetapi memasuki minggu kedua, genotipe ZH-30-29-07 mulai menampakkan gejala keracunan berupa penebalan ujung akar dan perubahan warna akar menjadi coklat kehitaman. Genotipe peka B-69 dan B-75 sudah menunjukkan gejala penghambatan pertumbuhan sejak minggu pertama di larutan hara bercekaman Al rendah, dan pengaruh cekaman Al semakin nyata dengan bertambahnya waktu dan tingkat cekaman. Menurut Sopandie (2006), pengaruh cekaman sangat dipengaruhi oleh besar dan lamanya tanaman terpapar cekaman. Semakin lama dan semakin besar tingkat cekaman yang diberikan, maka penurunan nilai pertumbuhan akan semakin besar. Faktor perlakuan genotipe sorgum dan konsentrasi Al berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan sorgum pada fase bibit kecuali terhadap nisbah tajuk akar. Pengaruh interaksi genotipe dan konsentrasi Al sangat nyata terhadap panjang tajuk, panjang akar, bobot kering tajuk, panjang akar relatif, dan bobot akar relatif ( Tabel 2.1). Pengaruh nyata perbedaan konsentrasi dan macam genotipe terhadap pertumbuhan ini menunjukkan besarnya pengaruh konsentrasi Al terhadap penghambatan pertumbuhan dan juga mempengaruhi tingkat toleransi tanaman dalam menghadapi cekaman.
50 Tabel 2.1. Rekapitulasi nilai analisis ragam pengaruh genotipe, konsentrasi Al dan pengaruh interaksi antara genotipe dan konsentrasi Al terhadap pertumbuhan sorgum di larutan hara Peubah
Panjang tajuk Panjang akar Bobot kering tajuk Bobot kering akar Panjang akar relatif Bobot akar relatif Bobot tajuk relatif Nisbah tajuk akar
Konsentrasi Al KT 616.54** 276.30** 0.04** 0.01** 375.00** 419.72** 257.43** 237.28**
Genotipe KT 2058.42** 1984.72** 0.18** 0.2** 16734.98** 14033.66** 14799.59** 41.26
Interaksi KT 38.37** 44.00** 0.01** 0.01* 209.67** 209.55** 86.83* 29.61
KT = Kuadrat Tengah * = berpengaruh nyata pada taraf 5%, ** = berpengaruh nyata pada taraf 1%, Gambar 2.1 dan 2.2 memperlihatkan penampilan tanaman yang beragam setelah diuji selama 14 hari pada larutan hara bercekaman Al. Tanaman toleran Numbu (T1) dan ZH-30-29-07 (T2) memperlihatkan penampilan panjang akar dan panjang tajuk yang lebih panjang dibanding tanaman peka B-69 (P1) dan
B-75
(P2). Numbu menunjukkan pertumbuhan akar dan tajuk lebih baik dibandingkan ZH-30-29-07. Hal ini terlihat secara visual hambatan pertumbuhan yang mulai mempengaruhi perpanjangan akar dan tajuk pada konsentrasi Al 148 μM, sedangkan pada ZH-30-29-07 sudah mulai terjadi hambatan pada konsentrasi 74μM Al . Tanaman peka memperlihatkan gejala penghambatan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang sangat nyata akibat pengaruh Al, seperti terlihat pada genotipe B-69 dan B-75. Pada ujung akar tanaman peka terlihat menebal, terdapat bagian yang menghitam, serta sedikit berlendir dan mengalami pembusukan. Akibat membusuknya akar, maka secara keseluruhan pertumbuhan dan perkembangan tanaman juga akan terhambat.
Hal ini sejalan dengan
pendapat Marschner (1995), gejala pertama yang terlihat akibat pengaruh toksik Al adalah terhambatnya perkembangan sistem perakaran akibat penghambatan perpanjangan sel.
Al yang terakumulasi dalam sel akan berikatan dengan
senyawa fosfolipid yang terdapat dalam membran sel, sehingga mengganggu permeabilitas membran dan pompa proton (Rengel 1997).
51 Pada perlakuan kontrol didapatkan perbedaan panjang akar antara Numbu dengan genotipe peka B-69 dan B-75. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa perlakuan Al pun genotipe peka memang secara genetis memiliki panjang akar yang lebih pendek daripada genotipe toleran (Gambar 2.1).
(A) (B) Gambar 2.1. Respon genotipe sorgum terhadap cekaman Al di larutan hara (A) kontrol ( tanpa Al) dan (B) 222 μM Al , dari kiri ke kanan: Numbu, ZH-30-29-07, B-69 dan B-75
(A)
(B)
Gambar 2.2. Respon genotipe tanaman terhadap berbagai tingkat konsentrasi Al (A) Numbu/ toleran dan (B) B-75/peka, dari kiri ke kanan: tanpa Al, 74μM Al, 148 μMAl, dan 222 μM Al.
52 Pemberian Al mulai taraf 74 μM sudah menunjukkan perbedaan nyata pada semua peubah yang diamati kecuali nisbah tajuk-akar. Hasil ini berbeda dengan hasil percobaan Ohki (1987), yang mendapatkan perbedaan respon sorgum pada konsentrasi 148 μM Al. Pertumbuhan akar dan tajuk genotipe sorgum memiliki perbedaan tingkat toleransi terhadap cekaman Al. Nilai tengah panjang akar dan panjang tajuk tertinggi tetap dijumpai pada Numbu yang menunjukkan toleransi lebih tinggi terhadap cekaman Al dibandingkan genotipe lainnya (Tabel 2.2). Tidak terdapat perbedaan nyata panjang akar dan panjang tajuk sorgum di antara sesama genotipe toleran dan sesama peka pada perlakuan kontrol (Tabel 2.3). Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing genotipe tumbuh secara normal meskipun nilai rata-rata panjang akar dan panjang tajuk di antara rata-rata genotipe toleran dan peka berbeda sangat nyata. Diduga hal ini akibat pengaruh genetik masing-masing genotipe. Hasil ini sejalan dengan penelitian keragaan sorgum di lapangan, genotipe toleran menunjukkan rata-rata bobot kering tajuk lebih tinggi daripada genotipe peka (Tabel 1.3). Genotipe ZH-30-29-07 mulai mengalami gangguan pertumbuhan dan tidak mampu mempertahankan panjang akar dan panjang tajuknya nya pada konsentrasi Al 74 μM dan berbeda dengan Numbu (Tabel 2.3). Hal ini menunjukkan bahwa secara fisiologis telah terjadi hambatan pertumbuhan akar dan tajuk akibat cekaman Al pada konsentrasi Al 74 μM terhadap
genotipe ZH-30-29-07.
Peningkatan konsentrasi Al hingga 148 μM didapatkan panjang akar ZH-30-29-07 yang tidak berbeda dengan Numbu. Hal ini berarti bahwa perakaran Numbu juga sudah mulai mengalami hambatan pertumbuhan pada konsentrasi Al 148 μM. Tabel 2.2. Respon genotipe sorgum pada berbagai konsentrasi cekaman Al terhadap panjang akar dan panjang tajuk di larutan hara Genotipe
Numbu (T1) ZH-30-29-07(T2) B-69 (P1) B-75 (P2)
Panjang akar (cm) Konsentrasi Al (μM) 0 74 148 222 (C0) (C1) (C2) (C3) 41.55 30.31 16.02 5.50 39.25 19.25 12.25 4.94 30.39 9.20 7.55 4.33 31.47 10.21 9.23 5.91
Panjang tajuk (cm) Konsentrasi Al (μM) 0 74 148 222 (C0) (C1) (C2) (C3) 53.07 44.61 36.37 23.73 51.71 24.04 19.99 15.01 44.07 20.55 18.35 14.61 43.83 25.31 18.83 14.67
53 Tabel 2.3. Respon antar genotipe sorgum pada berbagai konsentrasi cekaman Al di larutan hara Perbandingan
Selisih nilai tengah panjang akar (cm)
Tanpa Al Numbu,ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 74 μM Al Numbu,ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 148 μM Al Numbu,ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 222 μM Al Numbu,ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75
panjang tajuk (cm)
7.47** 2.30tn 1.08tn
6.44** 1.36tn 0.24tn
15.08** 11.06** 1.01tn
11.40** 20.57** 5.24**
5.75** 3.77tn 1.68tn
11.09** 16.38** 2.52tn
1.10tn 0.56tn 0.42tn
4.73** 8.72** 0.06tn
Keterangan: tn= berbeda tidak nyata, *= berbeda nyata pada taraf 5% **= berbeda nyata pada taraf 1%, Genotipe peka B-75 dan B-69 mulai mengalami hambatan pertumbuhan akar dan tajuk pada konsentrasi Al 74 μM (Tabel 2.3), tetapi genotipe B-75 lebih mampu mempertahankan pertumbuhan panjang tajuknya dan beradaptasi terhadap cekaman Al dibandingkan \genotipe B-69. Tabel 2.4. Respon genotipe ZH-30-29-07 dan B-75 terhadap panjang akar dan panjang tajuk pada berbagai konsentrasi cekaman Al di larutan hara Peubah Kontrol Panjang akar Panjang tajuk
7.78** 7.88**
Selisih nilai tengah ZH-30-29-07 vs B-75 74 μM Al 148 μM Al 222 μM Al 9.04** 3.73tn
3.02tn 4.16tn
0.97tn 0.34tn
Keterangan: tn= berbeda tidak nyata, **= berbeda nyata pada taraf 1%, Konsentrasi Al 148 μM nyata menekan pertumbuhan akar pada genotipe toleran ZH-30-29-07 dan tidak berbeda dengan B-75 (Tabel 2.4).
Genotipe
ZH-30-29-07 ternyata memiliki tingkat toleransi yang tidak berbeda dengan genotipe peka B-75 dalam kondisi tercekam Al pada konsentrasi 148 μM. Hal ini
54 menunjukkan bahwa genotipe ZH-30-29-07 tergolong genotipe yang moderat dalam beradaptasi terhadap cekaman Al. Konsentrasi Al 74 μM memperlihatkan tingkat cekaman yang sudah cukup berat bagi genotipe sorgum baik toleran maupun peka dan berbeda nyata dibandingkan kontrol (Tabel 2.5 dan Gambar 2.3). Tabel 2.5. Respon genotipe sorgum terhadap panjang akar pada berbagai konsentrasi cekaman Al Genotipe
Panjang akar (cm) Konsentrasi Al kontrol 74 μM 148 μM 222 μM Numbu 41.55a 30.31c 16.02de 5.50ghi ZH-30-29-07 35.25b 19.25d 12.25ef 4.94hi B-69 30.39c 9.20fgh 7.55fghi 4.33hi B-75 31.47bc 10.21fg 9.23fgh 3.91i Keterangan: Angka rataan yang diikuti huruf sama pada kolom dan baris yang sama berbeda tidak nyata pada taraf uji 5% DMRT
Numbu : ZH-30-29-07: B-69: B-75:
y= -12.25x + 53.96 y= 2.17x2 – 20.66x+53.28 y= 4.493x2-30.45x+55.29 y= 3.983x2-28.28x+54.53
R2= 0.9967 R2= 0.9914 R2= 0.947 R2= 0.931
Gambar 2.3. Panjang akar sorgum fase bibit pada berbagai konsentrasi Al di larutan hara
55 Genotipe peka sudah mulai mengalami kerusakan akar secara fisiologis mulai konsentrasi 74 μM, sedangkan pengaruh buruk Al pada genotipe toleran baru terlihat pada konsentrasi 148 μM . Peningkatan konsentrasi Al diikuti dengan menebal dan memendeknya akar. Pemberian Al pada konsentrasi 74 μM sudah mampu menurunkan panjang tajuk sorgum baik pada genotipe toleran maupun peka (Tabel 2.6). Respon pembentukan tajuk ini pada berbagai cekaman konsentrasi Al terlihat sangat nyata pada Gambar 2.4. Penambahan konsentrasi Al mulai 74 hingga 222 μM mampu menekan pertumbuhan tajuk sorgum dengan penurunan bervariasi. Tabel 2.6. Respon genotipe sorgum terhadap panjang tajuk pada berbagai konsentrasi cekaman Al Genotipe
Panjang tajuk (cm) pada berbagai konsentrasi Al kontrol 74 μM 148 μM 222 μM Numbu 53.07a 44.61b 36.37c 23.73de ZH-30-29-07 47.71b 24.04de 19.99efg 15.01h B-69 44.07b 25.55d 18.35fgh 14.61h B-75 43.83b 20.31ef 15.83gh 14.67h Keterangan: Angka rataan yang diikuti huruf sama pada kolom dan baris yang sama berbeda tidak nyata pada taraf uji 5% DMRT
Numbu: ZH-30-29-07: B-69: B-75:
y = -9.604x + 63.437 y = 4.673x2 -3358 + 75.59 y = 3.698x2-28.05x+68.03 y = 5.590x2 – 37.14x + 74.59
R2 = 0.9882 R2 = 0.966 R2 = 0.994 R2 = 0.977
Gambar 2.4. Panjang tajuk sorgum fase bibit pada berbagai konsentrasi Al di larutan hara
56 Gambar 2.4 di atas menunjukkan jarak yang cukup besar antara Numbu dan ZH-30-29-07 pada peubah panjang tajuk meskipun sama-sama teridentifikasi sebagai genotipe toleran di tanah masam. Hasil ini memperlihatkan genotipe
bahwa
ZH-30-29-07 yang diidentifikasi sebagai genotipe toleran di tanah
masam ternyata memiliki kemampuan adaptasi rendah terhadap cekaman Al di larutan hara dan tidak berbeda dengan genotipe peka B-75. Bobot kering akar dan tajuk semakin menurun dengan semakin tingginya konsentrasi Al yang diberikan (Tabel 2.7). Kelarutan Al yang tinggi berpengaruh langsung terhadap proses-proses fisiologis dan metabolisme tanaman, dan berpengaruh tidak langsung terhadap ketersediaan unsur hara sehingga dapat menekan pertumbuhan tanaman. Tabel 2.7. Bobot kering akar dan bobot kering tajuk sorgum fase bibit pada berbagai konsentrasi cekaman Al di larutan hara Genotipe
Numbu ZH-30-29-07 B-69 B-75
Bobot kering akar (mg) Konsentrasi Al (μM) 0 74 148 222 174.00 168.00 110.00 107.00
130.00 49.00 38.00 35.00
80.00 42.00 32.00 26.00
43.00 28.00 21.00 19.00
Bobot kering tajuk (mg) Konsentrasi Al (μM) 0 74 148 222 446.00 437.00 293.00 284.00
282.00 157.00 123.00 106.00
188.00 104.00 87.00 77.00
95.00 74.00 58.00 59.00
Pertumbuhan akar maupun tajuk yang tercermin dari nilai bobot keringnya menunjukkan perbedaan tidak nyata di antara genotipe toleran maupun peka pada kontrol (tanpa Al). Pemberian cekaman Al pada konsentrasi 74 μM menunjukkan perbedaan di antara sorgum toleran, tetapi tidak terjadi pada genotipe peka (Tabel 2.8). Kedua genotipe peka baik B-69 maupun B-75 mengalami penurunan bobot kering akar yang hampir sama besarnya, sementara hal ini tidak terjadi pada genotipe toleran. Hal ini menunjukkan lebih besarnya hambatan pertumbuhan yang terjadi pada genotipe ZH-30-29-07 akibat cekaman Al dibandingkan Numbu. Bobot kering akar ZH-30-29-07 menurun sebesar 70.8% pada cekaman Al 74 μM, lebih besar dari pada genotipe peka B-69 (65.45%) dan genotipe B-75 (67.29%). Sedangkan Numbu hanya mengalami penurunan bobot kering akar sebesar 23.53%.
57 Tabel 2.8. Respon antar genotipe sorgum pada berbagai konsentrasi cekaman Al di larutan hara Perbandingan
Tanpa Al Numbu,ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 74 μM Al Numbu,ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 148 μM Al Numbu,ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 222 μM Al Numbu,ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75
Selisih nilai tengah Bobot kering akar (mg)
Bobot kering tajuk (mg)
62.50** 6.00tn 3.00tn
253.00** 9.00tn 9.00tn
53.00** 81.00** 3.00tn
105.00** 125.00** 17.00tn
32.00** 38.00** 6.00tn
64.00** 84.00** 10.00tn
16.00** 15.00** 2.00tn
26.00** 21.00** 10.00tn
Keterangan: tn= berbeda tidak nyata, *= berbeda nyata pada taraf 5% **= berbeda nyata pada taraf 1%, Perlakuan cekaman Al 74 μM menunjukkan perbedaan nyata dibandingkan kontrol terhadap bobot kering akar dan tajuk pada semua genotipe (Tabel 2.9 dan 2.10). Hasil ini menunjukkan bahwa konsentrasi 74 μM adalah konsentrasi yang menghambat pertumbuhan untuk tanaman sorgum di larutan hara. Peningkatan konsentrasi cekaman Al menjadi 148 μM dan 222 μM sudah menunjukkan hambatan pertumbuhan yang sama dengan konsentrasi 74 μM pada genotipe ZH30-29-07, B-69 dan B-75, kecuali pada Numbu. Tabel 2.9. Respon genotipe sorgum terhadap bobot kering akar pada berbagai konsentrasi cekaman Al Genotipe
Bobot kering akar (mg) pada berbagai konsentrasi Al kontrol 74 μM 148 μM 222 μM Numbu 0.17a 0.13b 0.08c 0.04de ZH-30-29-07 0.13b 0.05d 0.04de 0.03de B-69 0.11b 0.04de 0.03de 0.02e B-75 0.09c 0.03de 0.03de 0.02e Keterangan: Angka rataan yang diikuti huruf sama pada kolom dan baris yang sama berbeda tidak nyata pada taraf uji 5% DMRT
58 Tabel 2.10. Respon genotipe sorgum terhadap bobot kering tajuk pada berbagai konsentrasi cekaman Al Genotipe
Bobot kering tajuk (mg) pada berbagai konsentrasi Al kontrol 74 μM 148 μM 222 μM Numbu 0.45a 0.28c 0.19d 0.10fgh ZH-30-29-07 0.40b 0.16de 0.10fg 0.07gh B-69 0.29c 0.12ef 0.09fgh 0.06h B-75 0.26c 0.11fg 0.08gh 0.06h Keterangan: Angka rataan yang diikuti huruf sama pada kolom dan baris yang sama berbeda tidak nyata pada taraf uji 5% DMRT Hal ini semakin memperjelas bahwa genotipe ZH-30-29-07 memiliki tingkat adaptasi yang rendah terhadap cekaman Al di larutan hara. Hasil pada pengujian di larutan hara ini sejalan dengan hasil pada pengujian di tanah masam untuk genotipe ZH-30-29-07 . Pola penurunan bobot kering akar menunjukkan bahwa genotipe toleran ZH-30-29-07 memiliki pola penurunan yang sama dengan pola genotipe peka B69 dan B-75. Sementara Numbu memiliki pola penurunan yang linier (Gambar 2.5). Penurunan nilai bobot kering pada Numbu cukup besar mulai dari peningkatan konsentrasi Al 148 μM hingga 222 μM.
Numbu: ZH-30-29-07: B-69: B-75:
y = -0.0445x + 0.218 y = 0.0174x2 - 0.1185x + 0.2285 y = 0.0155x2 - 0.1048x + 0.196 y = 0.0110x2 - 0.0756x + 0.1483
R2 = 0.9963 R2 = 0.9502 R2 = 0.9473 R2 = 0.9711
Gambar 2.5. Bobot kering akar sorgum fase bibit pada berbagai konsentrasi Al di larutan hara
59 Meskipun demikian, Numbu masih memiliki nilai bobot kering akar dan tajuk yang tetap lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya, sehingga sangat potensial dikembangkan di tanah masam.
Numbu: ZH-30-29-07: B-69: B-75:
y = 0.0178x2 - 0.2036x + 0.6283 y = 0.0524x2 - 0.3643x + 0.7011 y = 0.0350x2 - 0.2490x + 0.5000 y = 0.0350x2 - 0.2390x + 0.4630
R2 = 0.9966 R2 = 0.9789 R2 = 0.9750 R2 = 0.9740
Gambar 2.6. Bobot kering tajuk sorgum fase bibit pada berbagai konsentrasi Al di larutan hara Secara umum pengaruh Al adalah 1) mengurangi kation bervalensi dua yang diserap akar, 2) menghambat fungsi-fungsi sel pada jaringan meristem akar melalui penetrasi Al ke dalam protoplasma akar dan menghasilkan morfologi akar yang tidak normal, dan 3) menurunkan jerapan anion karena meningkatnya situs jerapan positif pada rizosfir dan apoplas akar (Alam et al 1999). Menurut Delhaize dan Ryan (1995) gejala keracunan Al yang paling mudah dilihat adalah pada penghambatan pertumbuhan akar, yang akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tajuk. Oleh karena itu karakter panjang akar, panjang akar relatif, bobot akar relatif dan bobot tajuk relatif sering digunakan untuk menilai toleransi tanaman terhadap cekaman aluminium. Hasil penelitian ini menunjukkan, cekaman Al lebih mereduksi pertumbuhan panjang akar dibandingkan pertumbuhan tajuk. Hal ini terlihat dari lebih rendahnya PAR dibandingkan BTR pada konsentrasi 222 μM (Tabel 2.11). Tanaman yang keracunan Al akan terhambat pembelahan selnya terutama sel akar yang disebabkan oleh ikatan Al dengan DNA dan menghentikan proses pembelahan sel meristem apikal (Polle dan Konzak 1990).
60 Tabel 2.11. Nilai rataan pengaruh genotipe dan konsentrasi cekaman Al terhadap panjang akar relatif dan Bobot tajuk relatif sorgum pada fase bibit Genotipe
Panjang akar relatif (PAR) Kontrol
Numbu ZH-30-29-07 B-69 B-75 Genotipe
100.00 100.00 100.00 100.00
Kontrol Numbu ZH-30-29-07 B-69 B-75
100.00 100.00 100.00 100.00
74 μM 148 μM 68.42 37.97 53.99 33.39 30.46 25.08 35.70 29.24 Bobot tajuk relatif (BTR)
222 μM 12.41 13.85 14.51 12.42
74 μM 69.28 40.48 41.89 41.15
222 μM 21.35 18.98 19.91 22.36
148 μM 42.04 36.50 29.79 29.26
*Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.
Tabel 2.11 di atas menunjukkan nilai relatif panjang akar yang diberi perlakuan pada berbagai konsentrasi dibandingkan dengan akar tanaman yang tidak diberi cekaman Al. Semakin tinggi konsentrasi Al yang diberikan semakin rendah persentase panjang akar dibandingkan dengan panjang akar yang tidak tercekam Al. Keracunan Al akan menghambat pertumbuhan akar primer dan menghalangi pembentukan akar lateral dan bulu akar, ujung akar menebal, berwarna coklat seperti busuk dan mengering sehingga menghasilkan sistem perakaran tanaman yang kerdil dan pendek, karena terjadi penekanan terhadap perkembangan jaringan meristem akar ( Kochian et al. 2005). Umumnya tiga peubah untuk melihat toksisitas Al atau resistensi tanaman terhadap Al, yaitu; 1) mengetahui konsentrasi Al di ujung (tip) akar yang dapat menunjukkan hubungan positif terhadap toksisitas Al, 2) induksi pembentukan callose di apikal akar sebagai suatu indikator sensitif terhadap kepekaan tanaman terhadap Al, dan 3) perpanjangan akar yang diukur secara langsung pengaruhnya terhadap Al pada pembentukan akar. Hasil uji korelasi pengaruh konsentrasi Al menunjukkan nilai korelasi tinggi pada semua peubah yang diamati (Tabel 2.12).
61 Tabel 2.12. Nilai korelasi antar peubah panjang akar, Bobot kering tajuk, panjang tajuk dan bobot kering akar Peubah
Panjang akar 0.972**
Bobot kering tajuk -
Panjang tajuk
0.955**
0.962**
-
-
Bobot kering akar
0.958**
0.978**
0.969**
-
Panjang akar Bobot kering tajuk
Panjang tajuk -
Bobot kering akar -
** = berkorelasi nyata pada taraf 1 % uji korelasi Pearson Analisis korelasi di antara variabel menunjukkan bahwa panjang akar pada kondisi tercekam Al berkorelasi tinggi dengan bobot kering akar, panjang tajuk, dan bobot kering tajuk (Tabel 2.12). Hal ini menunjukkan bahwa penghambatan pertumbuhan akar akan diikuti oleh penurunan akumulasi biomassa sorgum pada fase bibit. Penurunan pada pertumbuhan akar akan diikuti penurunan panjang tajuk dan bobot kering tanaman. KESIMPULAN Faktor konsentrasi dan genotipe tanaman menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap semua peubah yang diamati. Penurunan nilai pertumbuhan tanaman pada semua peubah sudah terlihat pada konsentrasi Al 74 μM. Tanaman yang menunjukkan tingkat ketahanan yang paling tinggi terhadap cekaman Al berturut-turut adalah Numbu, diikuti ZH-30-29-07, B-69 dan B-75. Genotipe ZH-30-29-07 yang teridentifikasi toleran di tanah masam menunjukkan respon moderat terhadap toksisitas Al di larutan hara. Semakin tinggi konsentrasi Al semakin besar hambatan pertumbuhan tanaman. Hambatan pertumbuhan akar berkorelasi tinggi dengan penurunan akumulasi biomassa yaitu penurunan panjang tajuk dan bobot kering sorgum pada fase bibit.
TANGGAP MORFO-FISIOLOGIS AKAR SORGUM (Sorghum Bicolor L. Moench) TERHADAP CEKAMAN ALUMINIUM DAN DEFISIENSI FOSFOR DI DALAM RHIZOTRON Abstrak Penelitian mengenai tanggap morfologi dan fisiologi sorgum terhadap toksisitas aluminium dan defisiensi fosfor dalam rhizotron bertujuan untuk mempelajari perbedaan kemampuan tanaman dalam memproduksi bahan kering pada kondisi cekaman Al dan defisiensi P, total serapan P, rasio efisiensi serapan dan efisiensi penggunaan P. Penelitian dilakukan di rumah kaca kebun percobaan University Farm IPB di Cikabayan pada bulan Agustus hingga Oktober 2009. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap yang perlakuannya disusun faktorial dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah kombinasi antara pengapuran dan pemupukan P, terdiri dari: Al tinggi-tanpa P (R1), Al tinggi-P kurang (R2), Al tinggi-P cukup (R3), Al rendah-tanpa P (R4), Al rendah-P kurang (R5) dan Al rendah-P cukup (R6). Faktor kedua adalah genotipe sorgum yaitu Numbu/toleran (T) dan B-75/peka (P). Hasil penelitian menunjukkan sorgum Numbu memiliki toleransi lebih tinggi daripada B-75 dalam pembentukan biomassa tanaman. Genotipe peka (B-75) memiliki Total serapan hara P lebih tinggi daripada Numbu, tetapi memiliki efisiensi penggunaan hara yang lebih rendah dalam kondisi cekaman Al dan defisiensi P. Numbu menunjukkan mekanisme adaptasi internal, sedangkan B-75 menunjukkan adaptasi eksternal terhadap cekaman defisiensi P di tanah masam. Kata-kata kunci: sorgum , toksisitas Al, defisiensi fosfor, rhizotron
Abstract A study on roots morphologycal and physiological mechanism of sorghum to aluminum toxicity and phosphorous deficiencies was conducted to evaluate tolerance of sorghum genotypes in rhizotron. From this series of study understood to difference ability of crop in forming dry material in the situation with P deficiencies and Al toxicity, it is also to have information about total P absorption , nutrient efficiency ratio, and use P efficiency . The study was conducted in the greenhouse of the University Farm, Bogor Agricultural University from August to October 2009. The experiment was carried out as a Factorial experiment in a Completely Randomized Design with three replications. The first factor was combination of lime and P fertilizing consisted of : no lime-no P (R1), no lime-low P (R2), no lime-sufficient P (R3), lime-no P (R4), lime-low P (R5) and lime-sufficient P (R6) and the second factor was sorghum genotypes consisted of Numbu (tolerant) and B-75 (sensitive). Sorghum variety Numbu showed higher tolerance than B-75 with ability of crop in forming dry material under P deficiencies and Al toxicity. The sensitive genotypes showed has higher nutrient uptake but low in use P efficiency under the condition of Al toxicity and P deficiency. Keywords: sorghum. Al toxicity, P deficiency, root growth, rhizotron
PENDAHULUAN Latar Belakang Keracunan Al merupakan salah satu faktor utama yang membatasi pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah masam.
Pengaruh yang penting
diperhatikan dari Al adalah menghambat pertumbuhan pada genotipe yang peka terhadap Al dengan mempengaruhi pengambilan hara dan air. Terhambatnya pertumbuhan akar oleh keracunan Al dapat mengurangi kemampuan akar dalam menyerap hara dan air sehingga dapat menginduksi kahat hara dan kepekaan terhadap kekeringan (Marschner 1995). Keracunan Al akan menghambat pertumbuhan akar primer dan menghalangi pembentukan akar lateral dan bulu akar, ujung akar menebal, berwarna coklat seperti busuk dan mengering sehingga menghasilkan sistem perakaran tanaman yang kerdil dan pendek, karena terjadi penekanan terhadap perkembangan jaringan meristem akar. Perpanjangan akar dipengaruhi oleh Al seperti pada banyak spesies tanaman. Umumnya tiga parameter untuk melihat toksisitas Al atau resistensi tanaman terhadap Al, yaitu; 1) mengetahui konsentrasi Al di ujung (tip) akar yang dapat menunjukkan hubungan positif terhadap toksisitas Al, 2) induksi pembentukan callose di apikal akar sebagai suatu indikator sensitif terhadap kepekaan tanaman terhadap Al, dan 3) perpanjangan akar yang diukur secara langsung pengaruhnya terhadap Al pada pembentukan akar. Meskipun parameter sensitifitas Al telah diketahui, namun percobaan tentang mekanisme penyebab toksisitas Al terhadap tanaman yang sensitif maupun toleran Al terus dilakukan. Secara umum, mekanisme efisiensi P pada tanaman dalam meningkatkan ketersediaan P dan penyerapannya pada kondisi kekurangan P adalah 1) eksudasi bahan kimia ke dalam rizosfir, 2) perubahan pada geometri atau bentuk sistem perakaran, dan 3) berasosiasi dengan mikroorganisme (Rengel 2000). Dijelaskan pula oleh Rao et al., (1999) bahwa adaptasi tanaman terhadap pasokan P yang rendah dapat berupa: 1) mekanisme tanaman yang meningkatkan akuisisi P yang terdiri dari karakteristik morfologi akar (penyebaran, pertumbuhan dan diameter akar, perkembangan akar rambut, dan karakteristik fisiologi akar (sistem penyerapan P dan mobilisasi P di rizosfir), 2) mekanisme yang meningkatkan
64 penggunaan P terdiri dari pembagian P dalam tanaman (remobilisasi P dalam tanaman dan status P pada organ yang dipanen) dan efisiensi penggunaan P pada tingkat seluler (kompartementasi P pada intraselluler dan penggunaan metabolisme P) Karakteristik akar yang berperanan penting dalam mekanisme efisiensi P adalah akar rambut dan panjang akar (Rengel 2000). Akar rambut berkorelasi dengan tingkat efisiensi hara. Penyerapan per unit panjang akar meningkat dengan pembentukan rambut akar, karena rambut akar meningkatkan area permukaan akar sehingga volume eksplorasi tanah per panjang akar meningkat. Hasil percobaan Lynch dan Beebe (1995) menunjukkan, semakin banyak akar rambut dan percabangan akar pada tanaman kacang hijau, semakin tinggi tingkat efisiensi P. Pada kondisi defisiensi P, 90% dari total P yang diserap melalui akar rambut (Raghothama 1999). Genotipe gandum efisien P mempunyai akar rambut lebih banyak dan akar lebih panjang dibandingkan tanaman yang tidak efisien P (Rengel 2000). Efisiensi hara suatu tanaman adalah kemampuan tanaman tumbuh dan menghasilkan biomas/hasil ekonomi serta menyerap hara secara optimum, baik pada kondisi optimum maupun dalam kondisi tercekam defisiensi hara. Efisiensi hara P dapat dibedakan dalam: 1) efisiensi penyerapan P, yaitu jumlah hara P yang diserap oleh tanaman per unit hara P yang ditambahkan, 2) efisiensi penggunaan, yaitu hasil biji atau biomas yang dihasilkan per unit hara P dalam tanaman, dan 3) efisiensi rasio P, yaitu perbandingan antara biomas/hasil tanaman dengan unsur hara P pada tanaman Rengel (2000). Selain ketersediaannya di dalam tanah rendah akibat difiksasi oleh unsur Al dan Fe, faktor lain yang bersifat natural dan ikut menyumbangkan defisiensi P pada tanaman ádalah mobilitas unsur P di dalam tanah rendah dan diserap oleh tanaman melalui mekanisme difusi yang lambat. Pada tanaman jagung, fosfor yang diserap melalui difusi bagian akar hanya 1 kg/ha (2.6%) dan aliran massa 2 kg/ha (5.3%) (Salisburry dan Ross, 1995). Hal ini menyebabkan karakter morfologi akar seperti panjang akar dan luas permukaan akar sangat menentukan serapan P pada beberapa spesies tanaman (Sopandie, 2006). Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mempelajari tanggap morfologi dan fisiologi akar sorgum
65 terhadap toksisitas Aluminium dan defisiensi P pada tanah masam di dalam Rhizotron. 2) Mengetahui perbedaan kemampuan tanaman dalam membentuk bahan kering/biomassa pada keadaan defisiensi P yang terkena cekaman Al, 3) Mengukur P dalam jaringan tanaman sebagai kadar P jaringan, 4) Menentukan Rasio Efisiensi hara P (REP), (5) Menentukan Efisiensi Penggunaan P (EPP) dalam kondisi kekurangan P dan tercekam Al, dan 6) Memperoleh informasi tentang mekanisme yang mungkin terjadi yang dapat mendasari perbedaan efisiensi P dalam keadaan tercekam Al baik melalui penilaian serapan P maupun penilaian penggunaan P dari sorgum yang toleran dan peka Al. BAHAN DAN METODE
Percobaan dilaksanakan di rumah kaca Kebun Percobaan University Farm IPB Cikabayan, Bogor. Waktu penelitian dari bulan Agustus hingga Oktober 2009.
Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dalam tiga
ulangan. Perlakuan yang diuji dalam percobaan ini merupakan kombinasi antara genotipe sorgum dan cekaman pada media. Genotipe yang diuji merupakan dua genotipe yang teridentifikasi sebagai genotipe toleran dan peka, yaitu Numbu dan B-75. Cekaman media merupakan kombinasi cekaman Al dan defisiensi P, terdiri dari Al tinggi-tanpa P (R1), Al tinggi-P kurang (R2), Al tinggi-P cukup (R3), Al rendah-tanpa P (R4), Al rendah-P kurang (R5) dan Al rendah-P cukup (R6). Data yang didapatkan dianalisis menggunakan uji F, dan untuk membedakan nilai tengah antar perlakuan digunakan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5 dan 1%. Untuk mengetahui keeratan hubungan antar parameter yang diamati dilakukan uji korelasi. Parameter yang diamati terdiri dari: panjang akar primer, diameter sebaran akar, bobot kering akar, bobot kering tajuk, nisbah tajuk akar, total serapan P, rasio efisiensi serapan P dan efisiensi penggunaan P. Bahan tanaman yang digunakan adalah sorgum varietas Numbu (toleran) dan B-75 (peka), rhizotron, pupuk Urea, SP-36, KCl, kapur pertanian (CaCO3), bahan-bahan yang digunakan untuk analisis tanah dan jaringan tanaman di Laboratorium. Tanah untuk media tanam diambil dari tempat percobaan lapangan
66 di UPTD Tenjo Kabupaten Bogor. Tanah untuk perlakuan Al rendah diberi kapur pertanian sebanyak 1.5 x Aldd satu bulan sebelum percobaan. Tanaman ditanam dalam rhizotron, yaitu pot kayu dengan dua sisi kaca setebal 3 mm berukuran 30 x 20 x 30 cm. Bagian kaca depan dibuat dengan posisi miring 25o. Bagian bawah pot kaca diberi lubang agar air dapat mengalir. Penanaman dilakukan mendekati sisi kaca miring. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan penyiraman dan pencegahan serta pengendalian hama dan penyakit tanaman. Pemupukan menggunakan Urea dan KCl masing-masing dengan dosis 100 kg /ha. Pupuk N diberikan dua kali, yaitu ⅔ bagian pada saat tanam bersamaan dengan pemberian pupuk P dan K. Sedangkan sisanya diberikan pada saat tanaman berumur tiga minggu. Pupuk P diberikan sesuai perlakuan yaitu kontrol (tanpa P), P kurang (140 gram/rhizotron) dan P cukup (280 gram /rhizotron). Panen
dilakukan setelah tanaman berumur enam minggu. Panen
dilakukan dengan membuka dua sisi pot kaca. Selanjutnya akar dipindahkan ke papan paku (pin board) dan akar dibersihkan dari tanah dengan cara mengalirkan air secara perlahan. Kemudian dilakukan pengamatan sistem perakaran, panjang akar, diameter, percabangan, dan biomassa akar serta tajuk. Bahan kering digunakan untuk analisis kadar P. Serapan P tanaman (total P jaringan) ditetapkan dengan mendestruksi 1 g jaringan tanaman (tajuk dan akar) dalam asam nitrat dan hipoklorat pekat, kemudian dipanaskan sampai diperoleh larutan (ekstrak) jernih.
Pengukuran kadar P dilakukan dengan metode
spektrofotometri, yaitu dengan mengukur absorban ekstrak ditambah pereaksi ammonium molibdat-vanadat dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Kadar P digunakan untuk menentukan jumlah P dalam jaringan yang dinyatakan sebagai Rasio Efisiensi P (REP), dan Efisiensi Penggunaan P (EPP). REP adalah total bobot kering yang dihasilkan per satuan bobot P dalam jaringan (mg BK/mg P) dan EPP adalah bobot kering tanaman per satuan konsentrasi P dalam jaringan (mg BK/mg P/mg BK).
67 HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis tanah dari kebun percobaan adalah Podsolik Merah Kekuningan. pH awal pada lahan yang berAl rendah berkisar antara 4.3 hingga 4.5 serta kandungan Al rata-rata 2.73 me/100 g. Sedangkan untuk lahan yang belum pernah di kapur, pH berkisar antara 4.1 hingga 4.3 dengan kandungan Al 11.2 me/100 g. Tanaman toleran dan peka menunjukkan pertumbuhan yang seragam pada minggu pertama percobaan, tetapi memasuki minggu kedua mulai terlihat penghambatan pertumbuhan tajuk tanaman peka pada perlakuan Al tinggi dan tanpa P (R1P). Tanaman toleran pada perlakuan Al tinggi dan tanpa P (R1T) baru kelihatan tertekan memasuki minggu keempat. Pada perlakuan Al tinggi-P kurang, baik pada genotipe peka maupun toleran menunjukkan
penampilan tanaman yang cukup baik. Hal ini
mengindikasikan bahwa sorgum
sangat respon terhadap pemberian hara P,
bahkan secara visual sorgum menunjukkan respon lebih besar terhadap kondisi ketersediaan hara P daripada kondisi cekaman toksisitas Al dalam rhizotron. Hal ini didukung pula oleh penampilan tanaman yang diberi Al rendah-tanpa P (R4P dan R4T). Pada kondisi ini, genotipe sorgum peka dan toleran terlihat mengalami hambatan pertumbuhan, akan tetapi tanaman toleran menunjukkan tingkat ketahanan yang jauh lebih baik daripada tanaman peka (Gambar 3.1 dan 3.2). Hal ini berhubungan dengan kondisi morfologi akar tanaman yang dapat dilihat pada Gambar 3.3 dan 3.4. Analisis ragam menunjukkan pengaruh cekaman sangat nyata terhadap semua parameter yang diamati. Genotipe sorgum berpengaruh nyata terhadap panjang akar dan diameter sebaran akar, serta sangat nyata terhadap panjang tajuk, bobot kering tajuk, bobot kering akar, bobot kering batang dan bobot basah batang. Interaksi perlakuan menunjukkan pengaruh sangat nyata pada panjang akar, diameter akar, bobot kering akar, bobot kering tajuk, bobot basah batang, dan bobot kering batang, tetapi tidak nyata pengaruhnya terhadap panjang tajuk tanaman. Perlakuan cekaman juga memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kadar P jaringan, rasio efisiensi serapan dan efisiensi penggunaan hara P (Tabel 3.1).
68 Pengaruh tidak nyata pada interaksi antara genotipe dengan cekaman media tanam terhadap kadar P jaringan dan efisiensi penggunaan hara P diduga karena genotipe peka (B-75) memiliki kemampuan untuk menyerap hara dengan baik pada keadaan cekaman. Hal ini menunjukkan genotipe B-75 memiliki mekanisme penghindaran terhadap cekaman hara rendah. Menurut Marschner (1995) kemampuan menyerap hara mineral dengan baik pada keadaan tercekam merupakan suatu bentuk adaptasi penghindaran terhadap cekaman defisiensi hara. Tabel 3.1. Rekapitulasi nilai analisis ragam pengaruh genotipe, kondisi cekaman dan interaksi antara pengaruh genotipe dan kondisi cekaman terhadap pertumbuhan sorgum di dalam rhizotron Peubah Jumlah akar primer Panjang tajuk Panjang akar Bobot kering tajuk Bobot kering akar Bobot kering total Diameter sebaran akar Bobot kering batang Bobot basah batang Kadar P jaringan Rasio Efisiensi P Efisiensi penggunaan P
KT Kondisi cekaman 106.08** 7910.42** 1165.41** 1888.95** 336.81** 3771.86** 69.80** 1030.62** 6730.52** 0.14** 529712.81** 1.42**
KT = Kuadrat Tengah,* = berpengaruh nyata pada nyata pada taraf 1%,
KT Genotipe 15.35** 1263.86** 499.82* 7564.57** 139.84** 9761.43** 60.81* 5941.88** 21827.27** 0.02 78221.95** 7.90**
KT Interaksi 2.12tn 79.97tn 293.13** 246.90** 7.78* 310.99** 39.32tn 216.91** 915.79** 0.01 2248.79** 3.07
taraf 5%, ** = berpengaruh
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata antara genotipe toleran dan peka dalam memproduksi bahan kering. Perbedaan nilai tengah bobot kering total menunjukkan perbedaan kemampuan membentuk bahan kering pada berbagai kondisi cekaman pada media (Tabel 3.2). Penurunan bobot kering sangat besar terjadi pada kondisi media tanam dengan kandungan Al tinggi dan tanpa penambahan pupuk P. Hal ini terjadi baik pada genotipe toleran maupun peka.
Numbu mengalami penurunan sebesar
98.45%, sedangkan B-75 mengalami penurunan bobot kering total hingga 99.05%. Hasil ini menunjukkan bahwa terjadi cekaman media tumbuh yang sangat berat bagi sorgum pada kondisi Al tinggi dan tanpa penambahan hara P di tanah masam. Pada kondisi Al rendah tanpa P sorgum toleran dan peka masih
69 tetap memberikan bobot total biomassa yang lebih tinggi dibandingkan media Al tinggi-tanpa P (Tabel 3.2). Tabel 3.2. Rata-rata nilai pengaruh interaksi antara kondisi cekaman dan genotipe terhadap bobot kering total dalam rhizotron Perlakuan
Rata-rata nilai bobot kering total (g) Numbu (Toleran/T)
B-75 (Peka/P)
Al tinggi,Tanpa P Al tinggi,P kurang Al tinggi,P cukup
1.28 (98.45) 81.34 ( 1.60) 82.66
0.40 (99.05) 41.00 ( 2.59) 42.09
Al rendah, Tanpa P Al rendah, P kurang Al rendah, P cukup
52.97 (40.25) 88.21 (0.50) 88.65
20.54(73.86) 48.03(38.89) 78.60
Keteranan: Angka dalam kurung adalah persen penurunan bobot kering total dibandingkan dengan kondisi P cukup pada tanah masam Al tinggi dan Al rendah Hal ini disebabkan karena pemberian kapur untuk perlakuan Al rendah mampu menetralisir sebagian besar Al yang terdapat pada tanah masam dan meningkatkan ketersediaan hara P yang terdapat dalam tanah walaupun tanpa penambahan hara P, sehingga mampu memberikan pertumbuhan dan pembentukan biomassa yang lebih tinggi daripada media dengan kandungan Al tinggi. Menurut Alam et al. (1999), kelarutan Al yang tinggi berpengaruh langsung terhadap proses-proses fisiologi dan metabolisme tanaman, dan tidak langsung terhadap ketersediaan unsur hara sehingga pertumbuhan tanaman tertekan. Pengaruh Al pada tanaman yang ditumbuhkan pada tanah masam antara lain dapat mengurangi kation bervalensi dua yang diserap oleh akar tanaman (khususnya Ca). Hal ini terjadi karena penghambatan Al dengan cara menggantikan kedudukan Ca yang melekat pada Calmodulin (dinding sel), ikatan Al dengan karboksil (RCOO-) membentuk ikatan kuat sehingga sel tidak mampu membesar. Al dapat pula menghambat fungsi sel-sel pada jaringan meristem akar melalui penetrasi Al ke dalam protoplasma akar dan menghasilkan morfologi akar yang tidak normal dan dapat mengganggu proses penyerapan hara tanaman, serta menurunkan adsorpsi anion (SO4-2, PO4-3, dan Cl-) karena meningkatnya daerah jerapan positif pada rizosfir dan apoplas akar (Matsumoto 2003). Hasil uji kontras ortogonal terhadap peubah bobot kering total menunjukkan bahwa pemberian kapur saja untuk menurunkan kandungan Al tanah mampu
70 meningkatkan bobot kering pada genotipe toleran. Kondisi Al tinggi tetapi diikuti dengan pemberian P dalam jumlah kurang mampu meningkatkan bobot kering genotipe peka di lahan masam (Tabel 3.3). Hal ini diduga akibat pertumbuhan akar yang mampu berkembang baik dengan tersedianya hara P bagi genotipe peka. Fakta ini juga terlihat pada penampilan morfologi tajuk dan akar seperti terlihat pada Gambar 3.1 dan 3.3. Tabel 3.3. Respon genotipe sorgum pada berbagai kondisi cekaman P di tanah masam terhadap bobot kering total Perbandingan Al tinggi -Tanpa P vs Al rendah – tanpa P Al tinggi - P kurang vs Al rendah – P kurang Al tinggi - P cukup vs Al rendah – P cukup
Selisih nilai tengah bobot kering total (g) Numbu B-75 51.69** 20.14** 6.87tn 7.03** 5.99tn 6.51tn
Keterangan: tn = berbeda tidak nyata , ** = berbeda nyata pada taraf 1% Pada kondisi Al tinggi penambahan dosis pupuk P masih mampu meningkatkan bobot biomassa tanaman pada genotipe peka, tetapi pada kondisi Al rendah cukup memberikan pupuk P dalam jumlah kurang karena penambahan sampai taraf cukup tidak mampu meningkatkan bobot kering lagi (Tabel 3.4). Tabel 3.4. Respon genotipe sorgum untuk karakter bobot kering total pada kondisi cekaman Al tinggi dan Al rendah di tanah masam Perbandingan Al tinggi Numbu vs B-75 Al rendah Numbu vs B-75
Selisih nilai tengah bobot kering total (g) Tanpa P P - kurang P – cukup 0.88 tn 40.34** 40.57** 32.43**
40.18**
10.05tn
Keterangan: tn = berbeda tidak nyata , ** = berbeda nyata pada taraf 1% Hasil penelitian dalam rhizotron pada kondisi Al tinggi sejalan dengan hasil penelitian di lapangan yang menunjukkan perbedaan sangat nyata antara genotipe toleran dan peka dalam pembentukan biomassa tanaman. Tetapi hasil ini berbeda pada kondisi Al rendah dan P cukup dalam rhizotron yang tidak menunjukkan perbedaan antara genotipe toleran dan peka (Tabel 3.4). Hal ini disebabkan kondisi ketersediaan P di lapang dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang lebih
71 kompleks daripada di rumah kaca dalam rhizotron meskipun diberikan pupuk P dalam jumlah sama. Kemampuan genotipe toleran menghasilkan bahan kering tanaman pada kondisi P kurang lebih tinggi daripada genotipe peka baik pada kondisi Al tinggi maupun Al rendah. Hal ini menunjukkan kemampuan sorgum toleran beradaptasi terhadap cekaman toksisitas Al di tanah masam serta kondisi defisiensi fosfor. Tanaman toleran Al dapat menempuh mekanisme regulated separately yang menunjukkan toleransi terhadap Al saja, atau mekanisme interrelated yaitu saling terkait dengan karakter efisiensi dalam memanfaatkan unsur P (Marschner 1995). Hasil ini mengindikasikan besarnya pengaruh hara fosfor terhadap pembentukan biomasa sorgum. Dalam keadaan tercekam Al, genotipe toleran lebih mampu mempertahankan produksi bahan keringnya dibandingkan genotipe peka. Menurut Sivaguru dan Paliwal (1993) hal ini disebabkan karena genotipe toleran lebih efisien dalam penggunaan hara, sementara genotipe peka lebih meningkatkan efisiensi penyerapan dalam menghadapi cekaman defisiensi hara mineral. Hasil percobaan ini menunjukkan tanggap yang konsisten pada kondisi cekaman Al tinggi dengan pemberian P kurang pada genotipe toleran di lapang dan di rumah kaca. Dalam kondisi P cukup baik pada tanah dengan kandungan Al rendah maupun tinggi, genotipe sorgum mampu memberikan jumlah akar primer dan diameter sebaran akar yang tinggi (Tabel 3.5) . Tabel 3.5. Rata-rata nilai terhadap peubah diameter sebaran akar, jumlah akar primer, kadar P jaringan dan efisiensi penggunaan P (EPP) Perlakuan Kondisi cekaman
Al tinggi-Tanpa P Al tinggi-P kurang Al tinggi-P cukup Al rendah-Tanpa P Al rendah-P kurang Al rendah-P cukup Perlakuan Genotipe Numbu (T) B-75 (P)
Rata-rata nilai Diameter sebaran akar (cm) 6.60 14.20 14.67 11.08 15.67 16.08
Jumlah akar primer 8.00 16.00 18.33 13.50 18.00 20.17
Kadar P jaringan(%)
EPP (g2 bkt/mg P)
0.09 0.36 0.40 0.18 0.40 0.49
1.49 1.79 1.64 2.20 1.80 1.49
14.79 11.79
17.41 14.44
0.29 0.34
2.24 1.28
72 Hal ini sejalan dengan pendapat Rengel (2000) bahwa mekanisme efisiensi P pada tanaman dalam meningkatkan ketersediaan P dan penyerapannya pada kondisi kekurangan P adalah perubahan pada geometri atau bentuk sistem perakaran. Dijelaskan pula oleh Rao et al., (1999) bahwa adaptasi tanaman terhadap pasokan P yang rendah dapat berupa: 1) mekanisme tanaman yang meningkatkan akuisisi P yang terdiri dari karakteristik morfologi akar (penyebaran, pertumbuhan dan diameter akar, perkembangan akar rambut, dan karakteristik fisiologi akar (sistem penyerapan P dan mobilisasi P di rizosfir), 2) mekanisme yang meningkatkan penggunaan P terdiri dari pembagian P dalam tanaman (remobilisasi P dalam tanaman dan status P pada organ yang dipanen) dan efisiensi penggunaan P pada tingkat seluler (kompartementasi P pada intraselluler dan penggunaan metabolisme P). Kadar P total jaringan pada genotipe peka lebih tinggi daripada genotipe tanaman toleran (Tabel 3.5). Hal ini diduga merupakan salah satu bentuk adaptasi tanaman dalam menghadapi cekaman hara mineral. Menurut Marschner (1995) dan Baligar et al (1997), genotipe yang beradaptasi baik pada tanah masam selain harus toleran terhadap cekaman Al juga harus mempunyai kemampuan untuk menyerap hara mineral dengan baik, agar dapat menghindari keadaan defisiensi hara mineral yang diinduksi oleh cekaman Aluminium. Kadar P jaringan yang tinggi pada genotipe peka tidak diikuti dengan efisiensi penggunaan yang tinggi, sedangkan pada genotipe toleran kadar P jaringan yang rendah diikuti efisiensi penggunaan P yang tinggi.
Menurut Blair (1993) kadar hara dalam jaringan yang tinggi
merupakan adaptasi penghindaran (avoidance), sedangkan kadar hara jaringan rendah merupakan adaptasi internal (tolerance). Pemberian kapur untuk menciptakan kondisi Al rendah dan dengan penambahan pupuk P sampai taraf kurang tidak diikuti dengan peningkatan diameter sebaran akar, jumlah akar, kadar P jaringan dan Efisiensi penggunaan P sorgum dalam rhizotron (Tabel 3.6). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian di lapangan pada karakter kemampuan menghasilkan bahan kering bahwa untuk menghasilkan bahan kering cukup memberikan kapur dan P sampai taraf kurang baik pada kondisi Al tinggi maupun rendah. Jadi untuk budidaya sorgum di tanah masam pemberian kapur lebih bermanfaat daripada penambahan P dosis tinggi.
73 Ini berarti perbaikan adaptasi terhadap toksisitas Al menjadi sifat yang harus diperbaiki terlebih dahuliu sebelum perbaikan adaptasi terhadap kondisi P rendah untuk pengembangan sorgum di tanah masam. Tabel 3.6. Respon genotipe sorgum pada dua kondisi cekaman Al di tanah masam terhadap diameter sebaran akar. jumlah akar primer, kadar P jaringan, dan efisiensi penggunaan P Perbandingan
Selisih nilai tengah Diameter sebaran akar (cm)
Jumlah akar primer
Kadar P jaringan(%)
EPP (g2 bkt/mg P)
Al tinggi –tanpa P vs Al rendah – tanpa P
4.48**
5.50**
0.09tn
0.71*
Al tinggi – P kurang vs Al rendah – P kurang
1.47tn
2.00tn
0.04tn
0.01tn
Al tinggi – P cukup vs Al rendah – P cukup Numbu vs B-75
1.41tn
1.84tn
0.09tn
0.15tn
3.00**
2.97**
0.05tn
0.96**
Keterangan:tn= tidak nyata, **= berbeda nyata pada taraf 1% uji kontras ortogonal Pemberian pupuk P dalam jumlah kurang masih bermanfaat untuk memperbaiki perakaran sorgum dan dapat meningkatkan serapan hara baik pada kondisi cekaman Al tinggi maupun rendah (Tabel 3.7 dan 3.8). Tabel 3.7. Respon karakter diameter sebaran akar, jumlah akar primer, kadar P jaringan dan efisiensi penggunaan P genotipe sorgum terhadap pemberian pupuk P pada kondisi cekaman Al tinggi Perlakuan pupuk P
Al tinggi - tanpa P vs Al tinggi - P kurang Al tinggi - P kurang vs Al tinggi - P cukup
Selisih nilai tengah Diameter sebaran akar (cm) 7.60**
Jumlah akar primer
Kadar P jaringan(%)
EPP (g2 bkt/mg P)
8.00**
0.27**
0.30tn
0.47tn
2.33*
0.04tn
0.15tn
Keterangan: tn = tidak nyata, ** = berbeda nyata pada taraf 1% uji kontras
74
Tabel 3.8. Respon karakter diameter sebaran akar, jumlah akar primer, kadar P jaringan dan efisiensi penggunaan P genotipe sorgum terhadap pemberian pupuk P pada kondisi cekaman Al rendah Perlakuan pupuk P
Al rendah - tanpa P vs Al rendah - P kurang Al rendah - P kurang vs Al rendah - P cukup
Selisih nilai tengah Diameter sebaran akar (cm) 4.59*
Jumlah akar primer
Kadar P jaringan(%)
EPP (g2 bkt/mg P)
4.50**
0.22**
0.40tn
0.41tn
2.17tn
0.09tn
0.31tn
Keterangan: tn = tidak nyata, ** = berbeda nyata pada taraf 1% uji kontras Menurut Duncan dan Baligar (1990) penyerapan hara mineral yang efisien sangat ditentukan oleh kondisi perakaran. Volume dan jumlah akar yang banyak memungkinkan tanaman mengeksploitasi volume tanah yang lebih luas dan meningkatkan penyerapan hara.
R1T
R2T
R3T
R1P
R2P
R3P
Gambar 3.1..Kondisi sorgum yang ditumbuhkan dalam media Al tinggi - tanpa P (R1), Al tinggi - P kurang (R2), dan Al tinggi - P cukup (R3) pada tanaman toleran (T) dan t anaman peka (P)
75 Hasil percobaan ini juga menunjukkan bahwa tanaman toleran tetap memiliki kemampuan mempertahankan pertumbuhannya jauh lebih baik dari tanaman peka yang ditunjukkan dari bobot biomassa total (Tabel 3.2). Akan tetapi, tanaman toleran yang ditumbuhkan dalam media tanpa hara P (R4T dan R1T) menunjukkan penghambatan pertumbuhan akar dan tajuk yang cukup besar (Gambar 3.1 dan 3.2).
R4T
R5T
R6T
R4P
R5P
R6P
Gambar 3.2. Kondisi sorgum yang ditumbuhkan dalam media Al rendah - tanpa P (R4), Al rendah - P kurang (R5), dan Al rendah - P cukup (R6) pada tanaman toleran (T) dan tanaman peka (P)
Kondisi perakaran yang dapat dilihat dari diameter sebaran akar, jumlah akar primer dan penampilan keseluruhan perakaran dalam kondisi tercekam Al pada sorgum toleran dan peka ditampilkan pada Gambar 3.3 dan 3.4. Pada perlakuan Al tinggi dan tanpa P terjadi penurunan bobot kering total yang sangat nyata baik pada sorgum toleran maupun peka (Gambar 3.1 dan 3.3). Hal ini menunjukkan pentingnya perbaikan kondisi tanah menggunakan Al rendah untuk peningkatan pH tanah dan penambahan hara fosfor pada tanah masam. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini sangat jelas menunjukkan peran pemberian kapur untuk menurunkan kandungan Al di tanah masam.
76
R3T
R2T
R1T
R1P
R2P
R3P
Gambar 3.3. Perbandingan morfologi akar sorgum yang ditumbuhkan dalam media Al tinggi - tanpa P (R1), Al tinggi - P kurang (R2), dan Al tinggi - P cukup (R3) pada tanaman toleran (T) dan peka (P)
R4T
R5T
R6T
R4P
R5P
R6P
Gambar 3.4. Perbandingan morfologi akar sorgum yang ditumbuhkan dalam media Al rendah - tanpa P (R4), Al rendah - P kurang (R5), dan Al rendah - P cukup (R6) pada tanaman toleran (T) dan peka (P)
77 Analisis korelasi diantara variabel menunjukkan bahwa korelasi antara kadar P jaringan dengan efisiensi penggunaan P dan panjang akar tidak nyata, tetapi terdapat korelasi nyata dengan diameter akar dan bobot tajuk tanaman (Tabel 3.9). Tabel 3.9. Nilai korelasi antara parameter total serapan P, efisiensi penggunaan P, bobot tajuk dan diameter akar Parameter Kadar P jaringan Efisiensi penggunaan P Bobot tajuk Jumlah akar primer Diameter sebaran akar
Kadar P jaringan 0.366tn 0.949** 0.510tn 0.729**
Efisiensi Penggunaan P 0.624* 0.742** 0.851**
Bobot tajuk 0.652* 0.874**
Jumlah akar 0.873**
Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya hara yang terserap sangat dipengaruhi oleh diameter akar, dan selanjutnya akan memberikan pengaruh pula terhadap pembentukan biomassa tanaman. Penyerapan hara mineral yang efisien sangat ditentukan oleh morfologi akar. Volume dan diameter akar yang besar memungkinkan tanaman mengeksploitasi volume tanah yang lebih luas. Genotipe yang efisien akan mengarahkan pembagian fotosintat yang lebih ke daerah akar untuk meningkatkan kemampuan akar menyerap hara mineral pada keadaan tercekam hara mineral rendah (Duncan dan Baligar, 1990). KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal: 1. Genotipe toleran mampu menunjukkan pertumbuhan lebih baik di tanah masam daripada genotipe peka 2. Genotipe toleran memiliki mekanisme internal (toleransi) dalam menghadapi cekaman P rendah dengan meningkatkan efisiensi penggunaan P internal (interrelated), sebaliknya genotipe peka memiliki mekanisme eksternal (penghindaran) melalui peningkatan serapan P dan kadar P total. 3. Bobot kering total dan bobot kering akar dapat dijadikan karakter seleksi dalam pemuliaan sorgum untuk adaptasi di tanah masam. 4. Kadar P total jaringan tanaman dan efisiensi penggunaan P berkorelasi tinggi dengan diameter sebaran akar dan pembentukan biomassa tanaman.
LAJU SERAPAN SPESIFIK FOSFOR PADA SORGUM (Sorghum bicolor L. Moench) DALAM KONDISI BERCEKAMAN ALUMINIUM DAN DEFISIENSI FOSFOR DI LARUTAN HARA Abstrak Fosfor merupakan faktor penting yang dapat membatasi pertumbuhan tanaman. Penelitian bertujuan untuk mengetahui perbedaan laju penyerapan fosfor pada kondisi bercekaman Al dan defisiensi P serta mendapatkan informasi genotipe yang efisien dan tidak efisien P. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah media tumbuh, terdiri dari : bercekaman Al (148 μM AlCl3) dan tanpa P ( L1), bercekaman Al-P kurang (0,0485mM K2HPO4) (L2), bercekaman Al-P cukup (0,097mM K2HPO4) (L3), tanpa cekaman Al-tanpa P (L4), tanpa cekaman Al-P kurang (L5), dan tanpa cekaman Al-P cukup (L6). Faktor kedua adalah genotipe sorgum yaitu Numbu (T1), ZH-30-29-07 (T2), B-69 (P1) dan B-75 (P2) . Hasil penelitian menunjukkan, tanaman peka memiliki respon pembentukan biomassa rendah terhadap cekaman Al dan defisiensi P, tetapi memiliki laju serapan spesifik hara P lebih tinggi dan berbeda nyata dengan genotipe-genotipe toleran.. Laju serapan spesifik P yang tinggi tidak diikuti oleh adanya peningkatan panjang dan bobot kering akar maupun tajuk. Genotipe peka memiliki total serapan P tinggi, tetapi memiliki efisiensi penggunaan P lebih rendah daripada genotipe toleran. Kata-kata kunci: Sorgum, laju serapan spesifik P, toksisitas aluminium, efisisiensi Abstract Phosphorus (P) is one of the major factors worldwide limiting crop growth. Enhancing P efficiency in plants can be achieved through improving P acquisition, utilization, or both The objectives of this study is determine of the differences in the rate of phosphorus absorption under phosphorous deficiency and Al toxicity conditions, and to obtain information on the efficient genotypes and inefficient P. The study used Completely Randomized Design with three replications. The first factor was the combination of Al and P, consisted of: Al (148 μM AlCl3) and no P (L1), Al – low P (0.0485 mM K2HPO4) (L2), Alsufficient P (0.097 mM K2HPO4) (L3 ), no Al – no P (L4), no Al – low P (L5), and no Al - sufficient P (L6). The second factor was sorghum genotypes consisted of: Numbu (T1), ZH-30-29-07 (T2), B-69 (P1) and B-75 (P2). The results showed, the sensitive genotypes had low biomass formation response under the condition of Al toxicity and P deficiency, but they had a specific uptake rate of P higher than the tolerant genotypes. In the tested genotypes, the specific absorption rate of high P was not followed by an increase in the length and dry weight of roots ass well as shoot. Sensitive genotypes had higher total P uptake, but it had lower P used efficiency than the tolerant genotypes. Key words: sorghum, specific absorption rate P, aluminum toxicity, phosphorous deficiency
PENDAHULUAN Latar Belakang Fosfat adalah unsur hara makro yang sangat dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangan.
Dalam sel fosfat berada dalam bentuk P
anorganik (ortofosfat), pirofosfat, P-organik (fruktosa 6-P, fosfolipida, nukleotida: ATP, UTP, CTP, GTP dan juga sebagai koenzim dan asam nukleat). Mengingat pentingnya fungsi P, maka defisiensi P dapat berdampak pada penyediaan energi, proses metabolisme yang memerlukan energi (biosintesis: protein, asam nukleat dan lain-lain), terhambatnya pertumbuhan dengan memperhatikan rasio berat kering tunas/akar (rendah) juga terhambatnya pertumbuhan tunas baru, berpengaruh pula pada kualitas buah, kualitas biji dan hasil yang rendah. Akar tanaman mampu mengabsorbsi fosfor dari larutan tanah pada konsentrasi fosfor yang rendah, dan umumnya kandungan fosfor di akar maupun di xylem sekitar 100 – 1000 kali lipat lebih tinggi daripada di larutan tanah. Fosfor diserap oleh sel tanaman melawan perbedaan konsentrasi dan oleh karenanya diserap secara aktif (Marschner 1995). Gordon et al. (2003) melaporkan bahwa, meningkatnya tekanan partikel O2 pada larutan nutrien akan meningkatkan pula serapan fosfor, sehingga respirasi karbohidrat akan mendorong proses aktif penyerapan fosfor. Laju penyerapa P juga dipengaruhi oleh kondisi cahaya. Tanaman yang tumbuh di bawah cahaya penuh akan menyerap hara fosfor lebih tinggi daripada dalam keadaan gelap. Serapan hara P juga dipengaruhi oleh pH, pada pH rendah tanaman toleran defisiensi P mampu menyerap P 10 kali lipat lebih tinggi daripada pH tinggi dan kecepatan maksimum diperoleh pada pH 5.6 dan akan menurun dengan cepat dengan semakin naiknya pH, dan P akan diserap secara aktif dalam bentuk ion H2PO4- dan bukan HPO42- (Schaffet et al 2002). Keracunan Al merupakan salah satu faktor utama yang dapat membatasi pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah masam yang umumnya memiliki pH rendah. Pengaruh yang penting diperhatikan dari Al adalah bahwa Al mampu menghambat pertumbuhan pada genotipe yang peka dengan mempengaruhi pengambilan hara dan air (Foy 1996). Terhambatnya pertumbuhan akar oleh
80 keracunan Al dapat mengurangi kemampuan akar dalam menyerap hara dan air sehingga dapat menginduksi kahat hara dan kepekaan terhadap kekeringan (Marschner 1995). Pada tanah sangat masam (pH<5) kelarutan Al+3 sangat tinggi. Hal ini menyebabkan P tidak larut dan kurang tersedia bagi tanaman (hanya sebagian kecil saja seperti bentuk H2PO4- yang tersedia bagi tanaman). Aluminium tidak hanya menghambat ketersediaan P, tetapi juga menghambat transpor dan penggunaan P (Rao et al. 1999). Ion Al bermuatan positif dapat berasosiasi dengan gugus fosfat dari ATP atau fosfolipid pada membran sehingga mempengaruhi efektivitas transportasi proton.
Hal ini akan mengakibatkan
penyerapan hara yang dikatalis pompa proton menurun (Matsumoto et al. 1992). Aluminium secara langsung berinteraksi dan memiliki kapasitas fiksasi yang tinggi terhadap unsur P, baik dalam larutan tanah maupun jaringan tanaman dengan membentuk kompleks Al-P yang tidak larut sehingga tidak tersedia bagi tanaman (Gottlein et al, 1999). Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan laju penyerapan P pada kondisi cekaman Al dan defisien P di antara genotipe sorgum, serta untuk memperoleh informasi tentang mekanisme sorgum dalam menghadapi cekaman toksisitas Al dan defisiensi P di larutan hara.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Kebun Percobaan University Farm IPB di Cikabayan Bogor pada bulan November hingga Desember 2009. Metode Penelitian Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan ini merupakan hasil seleksi Sungkono (2007) (belum dipublikasikan) di tanah masam Lampung, yaitu dua genotipe sorgum toleran tanah masam (Numbu dan ZH 30-29-07) serta dua genotipe peka (B-69 dan B-75). Bahan-bahan lainnya adalah larutan AlCl3, larutan hara dengan komposisi: 0.24 mM NH4NO3; 0.03 mM (NH4)2SO4; 0.097 mM K2HPO4; 0.088 mM K2SO4; 0.38 mM KNO3; 1.27 mM Ca(NO3)2.4H2O;
81 0.27 mM Mg(NO3)2.4H2O; 0.14 mM NaCl; 6.6 μM H3BO3; 5.1 μM MnSO4.4H2O; 0.61 μM ZnSO4.7H2O; 0.16 μM CuSO4.5H2O; 0.1 μM Na2Mo7O9.7H2O;
45 μM FeSO4.7H2O-EDTA (Ohki 1987), aquades, NaOH 1
M serta HCl 1 M, busa lunak dan stryofoam. Pot pertumbuhan berdiameter 15 cm, serta alat pendukung lainnya. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah media tumbuh, terdiri dari : bercekaman Al (148 μM AlCl3) - tanpa P ( L1), bercekaman Al - P kurang (0.0485 mM K2HPO4) (L2), bercekaman Al - P cukup (0.097 mM K2HPO4) (L3), tanpa cekaman Al - tanpa P (L4), tanpa cekaman Al - P kurang (L5), dan tanpa cekaman Al - P cukup (L6). Faktor kedua adalah genotipe sorgum yaitu Numbu (T1), ZH-30-29-07 (T2), B-69 (P1) dan B-75 (P2) . Data kuantitatif yang diperoleh di analisis menggunakan sidik ragam. Untuk membedakan nilai tengah antar perlakuan, dilakukan uji lanjut menggunakan kontras orthogonal dan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5% dan 1%. Kecambah normal berumur satu minggu dengan panjang akar yang seragam diambil sebanyak lima tanaman untuk masing-masing perlakuan. Sebelum dipindahkan ke dalam kultur hara, terlebih dahulu kecambah dipotong endosperm nya. Pemotongan endosperm dimaksudkan agar dapat dipastikan bahwa kecambah sorgum hanya menggunakan hara yang diserap dari larutan hara. Selanjutnya kecambah dipindahkan ke dalam pot pertumbuhan yang masingmasing berisi dua liter larutan hara (dengan kandungan hara P sesuai perlakuan). Batang kecambah dibalut dengan gabus busa lunak kemudian dimasukkan ke lubang stryofoam yang telah disiapkan dan diapungkan dalam larutan hara. Perlakuan cekaman Al ditambahkan pada larutan hara setelah proses pengapungan dalam larutan hara berlangsung dua hari. pH larutan diatur pada 4.0±0.1 dengan penambahan NaOH 1M atau HCl 1 M. Larutan hara diberi aerasi supaya Al dan hara tidak mengendap.
Air yang hilang akibat transpirasi diganti dengan
menambahkan aquades setiap hari dengan pH tetap dipertahankan sekitar 4.0. Kecambah dalam larutan hara ditumbuhkan selama 14 hari. Percobaan dibuat dua seri, yaitu untuk di panen pada hari ke-7 dan panen hari ke 14.
82 Parameter Pengamatan Parameter yang diamati adalah panjang tajuk, panjang akar, bobot kering akar, bobot kering tajuk, dan kadar P total jaringan tanaman.
Laju Serapan
Spesifik (LSS=SAR= Specific Absorption Rate) dihitung dengan menggunakan persamaan Barrow (1976), sebagai berikut: LSS
=
P2 – P1 lnR2 - lnR1 -------------- x ---------------- (mg/g/hari) R2 – R1 t2 – t1
Keterangan: LSS adalah Laju Serapan Spesifik P adalah kadar P total jaringan R adalah bobot kering akar T adalah waktu pengamatan 1 dan 2 adalah waktu panen (hari ke-7 dan ke-14) HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian laju serapan spesifik P sorgum
fase bibit dalam kondisi
bercekaman Al dan defisiensi P dilaksanakan dengan metode kultur hara di rumah kaca. Pengamatan terhadap kondisi umum tanaman menunjukkan bahwa kecambah sorgum toleran dan peka yang ditanam pada larutan hara tanpa Al dalam kondisi P kurang tidak menunjukkan gejala defisiensi hara sampai akhir percobaan, tetapi pada kondisi bercekaman Al genotipe peka mulai menunjukkan gejala keracunan pada lima hari penanaman di larutan hara, berupa gejala kerdil dan menguningnya daun (Gambar 4.1). Perlakuan tunggal baik komposisi larutan hara maupun genotipe berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati, tetapi interaksi keduanya hanya berpengaruh nyata terhadap panjang tajuk, bobot kering tajuk, bobot kering total dan nisbah tajuk akar (Tabel 4.1). Kadar P jaringan, efisiensi penggunnaan P dan laju serapan spesifik P dipengaruhi secara nyata oleh komposisi larutan hara dan genotipe tetapi tidak oleh interaksinya. Ini berarti semua genotipe menunjukkan respon sama terhadap perbedaan komposisi larutan hara.
83
(A)
(B)
Gambar 4.1. Kondisi sorgum peka (A) dan toleran (B) pada umur lima hari setelah ditumbuhkan di larutan hara dengan cekaman Al dan P kurang Tabel 4.1. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh genotipe, dan komposisi larutan hara serta interaksi antara genotipe dan komposisi larutan hara terhadap pertumbuhan sorgum pada fase bibit Parameter Panjang tajuk Panjang akar Bobot kering tajuk Bobot kering akar Bobot kering total Nisbah tajuk akar Kadar P jaringan Rasio Efisiensi P Efisiensi Penggunaan P Laju Serapan Spesifik
KT Komposisi larutan hara 1831.40** 790.62** 0.24** 0.04** 0.43** 3.22** 1652.00** 9002.48** 3.19** 532217**
KT Genotipe 1113.63** 194.24** 0.09** 0.04** 0.26** 4.23** 38359.00** 42385.66** 13.15** 21723.00**
KT Interaksi 78.86** 19.98 0.01** 0.01 0.01** 0.43** 4948.12 1791.30 0.20 15765.0
KT = Kuadrat Tengah * = berpengaruh nyata pada taraf 5%, ** = berpengaruh nyata pada taraf 1%, , HST = Hari Setelah Tanam di Pot Kemampuan Menghasilkan Bahan Kering Pada kondisi tercekam Al, penambahan P hanya mampu meningkatkan bobot kering total pada tanaman toleran sampai 428 mg saja, sedangkan pada kondisi tanpa cekaman Al penambahan P dapat meningkatkan bobot kering total
84 sampai dua kali lipat (850.67 mg). Pada genotipe peka penambahan P mampu meningkatkan bobot kering hingga lima kali lipat dalam kondisi tanpa cekaman Al walaupun nilai bobot keringnya lebih rendah dibandingkan genotipe toleran (Tabel 4.2). Hal ini menunjukkan bahwa genotipe peka sangat respon terhadap penambahan P dalam kondisi tanpa cekaman Al. Cekaman Al sangat mempengaruhi ketersediaan P. Keberadaan Al tidak hanya menghambat ketersediaan P, tetapi juga menghambat transpor dan penggunaan P (Rao et al. 1999). Ion Al bermuatan positif dapat berasosiasi dengan gugus fosfor dari ATP atau fosfolipid dan
mengakibatkan penyerapan hara yang dikatalis pompa
proton menurun (Matsumoto et al. 1992). Al secara langsung berinteraksi dan memiliki kapasitas fiksasi yang tinggi terhadap unsur P membentuk kompleks AlP yang tidak larut sehingga tidak tersedia bagi tanaman (Foy, 1996). Tabel 4.2. Respon genotipe sorgum pada berbagai cekaman Al dan defisiensi P terhadap bobot kering total di larutan hara Perlakuan Bercekaman Al-P kurang Bercekaman Al-P cukup Tanpa cekaman Al-P kurang Tanpa cekaman Al-P cukup
Rata-rata nilai Bobot kering total (mg) Numbu ZH-30-29-07 B-69 B-75 391.00(8.64) 165.00(20.29) 68.67(21.97) 80.00(27.93) 428.00 207.00 88.00 111.00 701.00(17.59) 438.67(34.30) 409.67(28.46) 405.0025.04) 850.67 667.66 572.67 540.33
Keterangan: Angka dalam kurung adalah % penurunan dibandingkan kondisi P cukup pada masing-masing kondisi cekaman Al Pada kondisi bercekaman Al, bobot kering yang dihasilkan oleh keempat genotipe lebih rendah dibandingkan pada kondisi larutan hara tanpa cekaman Al (Tabel 4.2). Genotipe ZH-30-29-07 mengalami penurunan bobot kering cukup besar saat ditumbuhkan pada kondisi larutan bercekaman Al.
Pada keadaan
tercekam Al P cukup, ZH-30-29-07 hanya mampu menghasilkan bahan kering sebesar 207.00 mg dan turun lagi menjadi 165.00 mg pada kondisi P kurang Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun genotipe ZH-30-29-07 tergolong toleran tanah masam, tetapi tidak efisien dalam menghasilkan bahan kering pada keadaan tercekam Al. Penurunan bobot kering genotipe ZH-30-29-07 pada kondisi P kurang tanpa cekaman Al sebesar 34.30% lebih besar dibandingkan penurunan pada Numbu (17.59), dan genotipe peka B-69 (28.46%) serta B-75 (25.04%) (Tabel 4.3).
85 Hal ini menunjukkan tingkat toleransi genotipe ZH-30-29-07 yang lebih rendah apabila dibandingkan Numbu yang sama-sama digolongkan toleran pada pengujian di lapangan. Kondisi cekaman Al mampu menghambat pembentukan biomassa sorgum di larutan hara baik pada kondisi P kurang maupun cukup (Tabel 4.3), sedangkan peningkatan P dari kurang menjadi cukup pada kondisi bercekaman Al tidak mampu meningkatkan biomassa sorgum (Tabel 4.4) Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan bahan kering pada sorgum sangat dipengaruhi oleh tingkat cekaman toksisitas Al daripada peningkatan konsentrasi P larutan.
Besarnya pengaruh
cekaman Al dalam pembentukan bahan kering diduga disebabkan karena Al menghambat penyerapan dan penggunaan hara-hara lain yang peranannya lebih besar dari P dalam pembentukan bahan kering seperti nitrogen (N). Jagau (2000) juga melaporkan bahwa padi CT6510-24-1-3 tidak mampu mempertahankan produksi bahan kering pada keadaan tercekam Al walaupun mendapat cukup N. Rata-rata bobot kering Numbu lebih tinggi dibandingkan genotipe ZH-3029-07, B-69 dan B-75 pada kondisi bercekaman Al dan P kurang
(Tabel 4.2).
Hal ini menunjukkan bahwa Numbu sangat konsisten tingkat toleransinya terhadap toksisitas Al dan defisiensi P baik di tanah masam pada pengujian di lapangan, pengujian di rumah kaca menggunakan rhizotron, maupun dalam pengujian di larutan hara Tabel 4.3. Respon genotipe sorgum pada kondisi cekaman Al berbeda terhadap bobot kering total di larutan hara Perbandingan
Selisih nilai tengah bobot kering total (mg) Genotipe Numbu ZH-30-29-07 B-69 B-75
Bercekaman Al – P kurang vs tanpa cekaman Al - P kurang
310.00**
273.67**
341.00**
325.00**
Bercekaman Al – P cukup vs tanpa cekaman Al – P cukup
422.67**
460.66**
484.67**
429.33**
Keterangan: **= berbeda nyata pada taraf 1 % uji kontras orthogonal Penambahan hara P menjadi cukup pada larutan hara bercekaman Al tidak diikuti oleh peningkatan bobot kering total tanaman, sedangkan pada larutan tanpa cekaman Al sorgum masih mampu meningkatkan bobot kering totalnya (Tabel 4.4). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semua genotipe mengalami
86 penurunan kemampuan menghasilkan bahan kering saat ditumbuhkan pada kondisi P kurang tanpa cekaman Al dibandingkan saat diberi P cukup dengan selisih nilai tengah berkisar antara 135.33 mg hingga 228.99 mg (Tabel 4.4). Hal ini menunjukkan tingkat ketersediaan P yang cukup tinggi pada kondisi tanpa cekaman Al dan dapat dimanfaatkan oleh semua genotipe. Tabel 4.4. Respon pembentukan bobot kering total genotipe sorgum terhadap pemberian pupuk P pada dua kondisi cekaman Al Perbandingan
Selisih nilai tengah bobot kering total (mg) Numbu
Bercekaman Al-P kurang vs bercekaman Al – P cukup Tanpa cekaman Al-P kurang vs tanpa cekaman Al-P cukup
ZH-30-29-07
B-69
B-75
37.00tn
42.00tn
19.33tn
31.00tn
149.67**
228.99**
163.00**
135.33**
Keterangan: tn = tidak nyata, ** = berbeda nyata pada taraf 1% Secara tidak langsung P berperan dalam proses pembentukan bahan kering. Menurut Huguenin et al (2003), P berperan sebagai struktur kunci sel tanaman, dan sebagai penyimpan energi untuk metabolisme tanaman dalam menghasilkan bahan kering. Nisbah Tajuk Akar Hasil penelitian ini menunjukkan terjadi penurunan nisbah tajuk akar (NTA) berkisar antara 0.91 % - 27.80 % sebagai respon terhadap penurunan kadar P larutan pada kondisi bercekaman Al ( Tabel 4.5). Tabel 4.5. Nilai tengah pengaruh konsentrasi Al dan genotipe terhadap nisbah tajuk akar sorgum fase bibit umur 14 HST di larutan hara Perlakuan Numbu Bercekaman Al-P kurang(L2) Bercekaman Al-P cukup (L3) Tanpa cekaman Al-P kurang (L5) Tanpa cekaman Al-P cukup (L6)
2.17 (0.91) 2.19 2.23(2.76) 2.17
Rata-rata nisbah tajuk akar ZH-30-29-07 B-69 3.13(11.58) 3.54 2.32(0.43) 2.31
3.12(5.74) 3.31 3.04(0.33) 3.03
B-75 3.13(27.80) 4.00 2.59(3.60) 2.50
Keterangan: Angka dalam kurung adalah % penurunan dibandingkan P cukup pada kondisi bercekaman Al dan tanpa cekaman Al
87 Ini berarti pada kondisi bercekaman Al-P kurang sorgum lebih mengarahkan fotosintat ke bagian akar. Sebaliknya pada kondisi tanpa cekaman Al-P kurang
terjadi penurunan nilai NTA lebih rendah daripada kondisi
bercekaman Al berkisar antara 0.33% - 3.60% dibandingkan saat diberikan P cukup. Hasil ini menunjukkan bahwa pada saat tanpa cekaman Al tetapi kondisi P berkurang, sorgum
lebih mengarahkan hasil fotosintatnya ke daerah tajuk.
Menurut Marschner et al., (1996) arah pembagian fotosintat dapat dilihat dari nilai NTA. Nilai NTA yang besar menunjukkan lebih banyak fotosintat diarahkan ke daerah tajuk dan sebaliknya Efisiensi hara selain dapat dilihat dari total bahan kering yang dihasilkan (biological yield) juga dapat dilihat dari kemampuan untuk mengarahkan fotosintat ke bagian-bagian tertentu dari tanaman. Kemampuan genotipe sorgum dalam menghasilkan bahan kering berupa pertumbuhan tajuk dan akar dapat di lihat dari perbandingan pertumbuhan tajuk dan akar umur 14 hari yang ditumbuhkan pada larutan hara dengan komposisi yang
berbeda (Gambar 4.2 dan
4.3).
Pengaruh cekaman Al sangat nyata
menghambat pertumbuhan akar dan tajuk tanaman meskipun hara P diberikan dalam kondisi cukup.
(A)
(B)
Gambar 4.2. Pertumbuhan sorgum pada umur 14 hari dalam komposisi larutan hara yang berbeda (A) bercekaman Al - P kurang dan (B) bercekaman Al - P cukup
88
(A) (B) Gambar 4.3. Pertumbuhan sorgum pada umur 14 hari dalam komposisi larutan hara yang berbeda, (A) tanpa cekaman Al - P kurang dan (B) tanpa cekaman Al-P cukup Laju Serapan Spesifik Efisiensi penyerapan P juga diukur sebagai laju serapan spesifik (LSS) yaitu serapan hara per satuan bobot kering akar per satuan waktu (Blair, 1993). Karakter laju serapan spesifik lebih menunjukkan kemampuan setiap satuan bobot kering akar dalam menyerap hara. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan laju serapan spesifik dipengaruhi oleh faktor komposisi larutan hara dan genotipe, tetapi tidak dipengaruhi secara nyata oleh interaksinya (Tabel 4.1). Peningkatan konsentrasi hara P dari kurang menjadi cukup pada kondisi bercekaman Al di larutan hara tidak diikuti dengan peningkatan nilai LSS, hal yang sama juga didapatkan pada kondisi tanpa cekaman Al (Tabel 4.6) . Tabel 4.6. Rataan Laju Serapan Spesifik sorgum yang ditumbuhkan pada larutan hara dengan komposisi yang berbeda selama 14 hari Komposisi Larutan Hara
LSS (mg/g Bobot kering akar/hari)*
Bercekaman Al-P kurang(L2) 0.51 (38.55)c Bercekaman Al-P cukup (L3) 0.83c Tanpa cekaman Al-P kurang (L5) 3.69 (46.44)ab Tanpa cekaman Al-P cukup (L6) 6.89a Keterangan: Angka dalam kurung adalah % penurunan dibandingkan P cukup pada kondisi bercekaman dan tanpa cekaman Al * Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada taraf 5% uji DMRT
89 Pada larutan hara yang diberi cukup P dan tercekam Al (L3) terjadi penurunan nilai LSS yang besar dibandingkan pada kondisi tanpa cekaman (L6). Nilai LSS pada kondisi tanpa cekaman – P cukup 6.89 mg P/g bobot kering akar/hari menjadi hanya 0.83 mg P/g bobot kering akar/hari pada kondisi bercekaman Al (Tabel 4.6). Penurunan nilai LSS dari kondisi P cukup menjadi P kurang baik dalam keadaan bercekaman Al maupun tidak hanya sebesar 38.55% pada kondisi bercekaman dan 46.44% pada kondisi tanpa cekaman (Tabel 4.6). Hasil ini memperlihatkan pengaruh perlakuan yang sama pada peubah bobot kering total yaitu menunjukkan besarnya pengaruh cekaman Al dibandingkan peningkatan unsur P di larutan hara dalam mempengaruhi penurunan nilai LSS. Pada penelitian ini tidak terjadi peningkatan laju serapan P saat tanaman ditumbuhkan pada keadaan P cukup tanpa cekaman Al dibandingkan dengan saat ditumbuhkan pada larutan dengan P kurang (Tabel 4.6).
Tidak terjadinya
peningkatan laju serapan P diduga karena P tetap masuk melalui chanel yang berafinitas rendah yang bekerja berdasarkan difusi.
Hal yang sama juga
didapatkan Trikoesoemaningtyas (2002) pada laju serapan K tanaman padi gogo. Cekaman Al mampu menekan laju serapan spesifik P baik pada kondisi P kurang maupun cukup (Tabel 4.7). Hasil penelitian ini menjelaskan pula bahwa pada larutan hara yang diberi P cukup dan bercekaman Al LSS sorgum lebih rendah dibandingkan pada kondisi tanpa cekaman Al. Hasil yang sama juga didapatkan
Swasti (2004) pada tanaman padi.
Menurut Matsumoto (2003)
hambatan terhadap mekanisme penyerapan P dapat terjadi antara lain karena hambatan terhadap aktivitas pompa proton (H+-ATPase) pada membran sel akar atau karena kerusakan membran akibat pengaruh buruk Al. Tabel 4.7. Respon genotipe sorgum pada kondisi cekaman Al dan hara P berbeda terhadap laju serapan spesifik P di larutan hara Perbandingan
Selisih nilai tengah LSS (mg/g obot kering akar/hari)
Bercekaman Al – P kurang vs tanpa cekaman Al - P kurang
3.18**
Bercekaman Al – P cukup vs tanpa cekaman Al – P cukup
6.06**
Keterangan: **= berbeda nyata pada taraf 1 % uji kontras orthogonal
90 Kebutuhan akan P yang besar, menyebabkan tanaman terseleksi untuk mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyerap P. Untuk menjamin serapan P yang tinggi tanaman mempunyai dua sistem penyerapan, yaitu sistem berafinitas rendah (low affinity system) yang bekerja ketika P cukup dan sistem berafinitas tinggi (high affinity system) yang umumnya bekerja pada P rendah (Schaffert et al 2000). Menurut Marschner (1995) pada sistem berafinitas rendah P masuk secara difusi melalui chanel yang membuka satu arah (inward rectifying chanel), sedangkan pada sistem berafinitas tinggi penyerapan P berjalan secara aktif melalui protein carrier. Pada penelitian ini didapatkan penurunan laju serapan P pada kondisi bercekaman Al pada sorgum (Tabel 4.6). Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi bercekaman Al terjadi penekanan baik pada low affinity system maupun high affinity system. Tabel 4.8 di bawah ini menunjukkan perbedaan laju penyerapan P pada genotipe sorgum toleran dan peka di larutan hara. Tabel 4.8. Rataan Laju Serapan Spesifik pada sorgum toleran dan peka yang ditumbuhkan pada larutan hara selama 14 hari Genotipe sorgum LSS (mg/g Bobot kering akar/hari)* Numbu (T1) 4.09a ZH-30-29-07 (T2) 1.66ab B-69 (P1) 1.35d B-75 (P2) 1.45abc * Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT
Penelitian ini menjelaskan bahwa sorgum toleran (Numbu dan ZH-30-2907) memiliki nilai LSS yang tidak berbeda dengan B-75 (peka). Hal ini diduga karena genotipe B-75 tergolong genotipe peka responsif, sehingga mampu meningkatkan laju serapan P nya mendekati nilai LSS sorgum toleran. Hasil penelitian Swasti (2004) menunjukkan bahwa laju serapan P dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan galur.
Setiap galur diduga memiliki transport fosfat
tersendiri. Kadar P jaringan dan Efisiensi Penggunaan P (EPP) Kadar P jaringan dinyatakan sebagai konsentrasi P total yang ada dalam jaringan tanaman. Analisis ragam menunjukkan kadar P jaringan dipengaruhi oleh genotipe dan komposisi larutan hara, tetapi tidak dipengaruhi secara nyata
91 oleh interaksi keduanya (Tabel 4.1).
Data kadar P jaringan pada Tabel 4.9
memperlihatkan adanya keragaman kadar P jaringan pada tingkat cekaman Al dan P yang berbeda. Pada kondisi P cukup, kadar P lebih tinggi dibandingkan kondisi P kurang baik saat bercekaman Al maupun tidak. Hal ini disebabkan tanaman lebih mudah menyerap P karena cukup tersedia. Tabel 4.9. Nilai rataan pengaruh komposisi larutan hara terhadap kadar P jaringan sorgum fase bibit umur 14 HST di larutan hara Komposisi larutan hara Bercekaman Al-P kurang (L2) Bercekaman Al- P cukup (L3) tanpa cekaman Al-P kurang (L5) tanpa cekaman Al- P cukup (L6).
Kadar P jaringan (%) 0.20c* 0.29b 0.25b 0.43a
*Angka rataan yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT HST= Hari setelah tanam
Kadar P genotipe toleran Numbu lebih rendah dari genotipe lainnya (Tabel 4.10), tetapi masih di atas batas kritis defisiensi hara P yakni 0.1% (Doberman dan Fairhust, 2003).
Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme toleransi Numbu
terhadap defisiensi hara berupa mekanisme internal. Schaffert et al. (2000) menyatakan genotipe dengan produksi bahan kering yang tinggi pada kadar P jaringan yang rendah merupakan indikasi efisiensi metabolik. Pada penelitian ini ditemukan bahwa genotipe yang memiliki kadar P jaringan tinggi tidak diikuti oleh efisiensi penggunaan P yang tinggi (Tabel 4.12). Tabel 4.10. Nilai rataan pengaruh genotipe terhadap kadar P jaringan sorgum fase bibit umur 14 HST di larutan hara Genotipe Numbu (T1) ZH-30-29-07 (T2) B-69 (P1) B-75 (P2)
Kadar P jaringan (%) 0.18c* 0.24b 0.29a 0.24b
*Angka rataan yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT HST= Hari setelah tanam, TSP= Total serapan P
Untuk melihat keragaman dalam efisiensi hara P di antara genotipe yang diuji digunakan kriteria efisiensi penggunaan P (EPP), yang dihitung sebagai bobot kering tanaman per satuan konsentrasi P di jaringan (mg BK/mg P/mg BK). Dari hasil analisis ragam terlihat bahwa nilai EPP tidak dipengaruhi oleh interaksi
92 antara genotipe dan faktor komposisi larutan hara (Tabel 4.1).
Hal ini
menunjukkan tidak adanya perbedaan respon terhadap nilai EPP dari setiap genotipe saat ditumbuhkan pada larutan hara dengan komposisi yang berbeda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada keadaan bercekaman dan tanpa cekaman Al, nilai EPP lebih tinggi saat diberi P kurang dibandingkan kondisi P cukup (Tabel 4.11). Hal ini diduga merupakan salah satu mekanisme yang dimiliki oleh sorgum dalam menghadapi cekaman defisiensi P, yaitu dengan meningkatkan nilai efisiensi penggunaannya. Tabel 4.11. Nilai rataan efisiensi penggunaan P (mg.mg BK/mg P) dalam larutan hara dengan komposisi yang berbeda selama 14 hari Komposisi larutan hara Bercekaman Al-P kurang Bercekaman Al- P cukup tanpa cekaman Al-P kurang tanpa cekaman Al- P cukup
EPP (mg2 BK/mg P) 1.027c 0.816c 2.131a 1.569b
*Angka rataan yang diikuti huruf sama berarti berbeda tidak nyata pada taraf 5% uji DMRT
Peningkatan konsentrasi P larutan dari kurang menjadi cukup pada keadaan mengalami cekaman Al, tidak diikuti dengan peningkatan nilai EPP (Tabel 4.11). Hasil ini mengindikasikan bahwa pada saat bercekaman Al, hara P yang ditambahkan menjadi terikat dan membentuk komplek Al-P yang sulit dimanfaatkan oleh tanaman. Hasil penelitian ini belum dapat secara jelas menggolongkan genotipegenotipe yang toleran efisien dan peka efisien pada berbagai kondisi cekaman, karena pengaruh interaksi perlakuan tidak nyata. Nilai EPP yang didapatkan hanya mampu menerangkan tingkat EPP yang dimiliki masing-masing genotipe. Tabel 4.12 menunjukkan EPP tertinggi ditemukan pada Numbu diikuti ZH-30-2907, B-69 dan B-75. Nilai EPP ini memiliki kecenderungan yang sama dengan nilai bobot kering total (Tabel 4.2). Genotipe yang memiliki nilai EPP tinggi memiliki bobot kering yang tinggi pula. Dengan demikian nilai EPP memberikan kontribusi besar terhadap pembentukan bahan kering tanaman. Tingkat efisiensi yang diukur dengan EPP menunjukkan sumbangan yang lebih besar pada
93 perbedaan bobot kering di antara genotipe-gemnotipe karena kandungan hara dihitung sebagai konsentrasi hara bukan total hara pada jaringan (Schaffert et al. 2000).. Dijelaskan pula oleh Huguenin et al (2003) bahwa efisiensi penggunaan lebih menggambarkan penggunaan P internal melalui proses translokasi maupun retranslokasi untuk menghasilkan bahan kering tanaman yang tinggi. Tabel 4.12. Nilai rataan efisiensi penggunaan P (mg.mg BK/mg P) genotipe sorgum selama 14 hari Genotipe Numbu (T1) ZH-30-29-07 (T2) B-69 (P1) B-75 (P2)
EPP (mg2 BK/mg P) 2.639a* 1.244b 1.048b 0.687c
*Angka rataan yang diikuti huruf sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT
Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya perbedaan nilai EPP antara ZH-30-29-07 yang tergolong toleran berdasarkan hasil seleksi di tanah masam dengan B-69 yang tergolong peka (Tabel 4.12). Hal ini dapat terjadi karena genotipe ini mungkin terseleksi untuk sifat toleransi terhadap cekaman Al, tetapi tidak untuk efisiensi hara. Selain itu diduga media tanam antara tanah masam dan larutan hara memberikan tingkat cekaman yang berbeda karena cekaman pada tanah-tanah masam di lapang lebih kompleks dibandingkan larutan hara. Rasio Efisiensi P (REP) Efisiensi tanaman terhadap hara dapat dicapai antara lain oleh kebutuhan hara yang rendah dalam proses metabolisme. Hal ini dapat diukur sebagai rasio efisiensi P (REP) yaitu total bobot kering yang dihasilkan per satuan bobot P dalam jaringan (mg BK/mg P).
Hasil analisis ragam untuk peubah REP
menunjukkan bahwa nilai REP dipengaruhi oleh faktor tunggal komposisi larutan hara dan genotipe, tetapi tidak dipengaruhi oleh interaksi antara komposisi larutan hara dan genotipe (Tabel 4.1). Pada keadaan tidak mengalami cekaman defisiensi P, nilai REP lebih rendah daripada saat mengalami cekaman (Tabel 4.13). Hal ini menunjukkan bahwa cekaman P rendah dapat meningkatkan nilai REP. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Swasti (2004) pada tanaman padi gogo yang diberi cekaman P kurang juga meningkatkan nilai REP dibandingkan kondisi P cukup.
94 Tabel 4.13. Nilai rataan rasio efisiensi P (mg BK/mg P) dalam larutan hara dengan komposisi yang berbeda selama 14 hari Komposisi larutan hara Bercekaman Al-P kurang (L2) Bercekaman Al- P cukup (L3) tanpa cekaman Al-P kurang (L5) tanpa cekaman Al- P cukup (L6).
REP (mg BK/mg P) 529.21a 366.01c 421.76b 245.85d
*Angka rataan yang diikuti huruf sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT
Mekanisme efisiensi internal yang tercermin melalui nilai REP juga berperan dalam sifat toleransi yang dimiliki sorgum. Nilai REP yang dimiliki ZH30-29-07 dan B-75 tidak berbeda nyata (Tabel 4.14). Hasil ini sejalan dengan hasil pengujian pada nilai LSS (Tabel 4.8) dan kadar P jaringan (Tabel 4.10). Ini berarti pada pengujian di larutan hara kedua genotipe tersebut tidak menunjukkan konsistensinya sesuai hasil pengujian di lapang .
Genotipe ZH-30-29-07
cenderung mengarah ke sifat peka pada pengujian di larutan hara dan sebaliknya genotipe B-75 cenderung memiliki sifat toleran. Tabel 4.14. Nilai rataan rasio efisiensi P (mg BK/mg P) genotipe sorgum selama 14 hari di larutan hara Genotipe Numbu (T1) ZH-30-29-07 (T2) B-69 (P1) B-75 (P2)
REP (mg BK/mg P) 688.01a 514.77bc 413.35d 587.95b
*Angka rataan yang diikuti huruf sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT
Perbedaan tingkat efisiensi hara P di antara genotipe akan terlihat pada perbedaan nilai REP saat ditumbuhkan dalam keadaan P kurang. Hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa genotipe sangat mempengaruhi nilai REP (Tabel 4,1). Hal ini berarti terdapat keragaman di antara genotipe-genotipe yang diuji dalam efisiensi penggunaan P yang diukur sebagai REP. Oleh sebab itu nilai REP dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi sifat efisiensi hara P dalam keadaan tercekam Al pada tanaman sorgum.
95 Hubungan Efisiensi Penggunaan P dan Efisiensi Penyerapan P Untuk memperlihatkan hubungan antara efisiensi penggunaan hara dengan efisiensi penyerapan yang tercermin dari kadar P jaringan, dilakukan uji korelasi sederhana Pearson yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.15 di bawah ini: Tabel 4.15. Korelasi antara Efisiensi Penggunaan P (EPP), Kadar P Jaringan dan laju serapan spesifik sorgum umur 14 hari di larutan hara EPP
Kadar P Jaringan -0.241tn
LSS
0.481**
LSS 0.570**
tn= tidak nyata, ** = nyata pada taraf 1%
Dalam penelitian ini diamati bahwa genotipe-genotipe yang mempunyai tingkat efisiensi penggunaan P tinggi ternyata memiliki kadar P jaringan yang rendah. Hal ini terlihat dari nilai korelasi negatif dan tidak nyata antara EPP dan kadar P dalam jaringan (Tabel 4.15). Genotipe toleran memiliki tingkat efisiensi penggunaan tinggi, tetapi kadar P jaringannya rendah. Menurut Blair (1993) suatu genotipe tanaman yang efisien seharusnya efisien baik dalam penyerapan maupun dalam penggunaan hara. Berdasarkan pernyataan ini maka didapatkan bahwa genotipe yang diuji memiliki efisiensi yang berbeda. Genotipe toleran cenderung memiliki efisiensi penggunaan tinggi, sedangkan genotipe peka cenderung memiliki efisiensi penyerapan yang tinggi. Hal ini mengindikasikan mekanisme yang berbeda dalam menghadapi cekaman defisiensi hara. Menurut Marschner (1995) efisiensi penggunaan mengarah pada mekanisme yang bersifat internal, sedangkan efisiensi dalam penyerapan mengarah pada mekanisme yang bersifat eksternal. Kedua bentuk mekanisme ini seringkali tidak terdapat pada genotipe yang sama disebabkan oleh perbedaan genotipe dalam menghadapi cekaman defisiensi hara. Vitorello (2005) pada tanaman barley dan Trikoesoemaningtyas (2002) pada padi gogo juga melaporkan tidak ditemukannya hubungan antara efisiensi penggunaan hara dengan total serapan Kalium. Efisiensi penggunaan hara yang tinggi tidak diikuti oleh adanya penyerapan yang tinggi pada tanaman.
96 KESIMPULAN Tanaman peka memiliki respon pembentukan biomassa
rendah pada
kondisi cekaman Al dan defisiensi P. Pada kondisi bercekaman Al, genotipe sorgum memiliki laju serapan spesifik P yang tinggi, tetapi tidak diikuti oleh peningkatan panjang dan bobot kering akar maupun tajuk. Genotipe peka memiliki total serapan P tinggi, tetapi memiliki efisiensi penggunaan P lebih rendah daripada genotipe toleran. Laju serapan spesifik P lebih dipengaruhi oleh cekaman Al daripada peningkatan dosis P, dan tidak terdapat hubungan antara efisiensi penggunaan P dengan kadar P total jaringan tanaman.
DISTRIBUSI ALUMINIUM PADA AKAR SORGUM (Sorghum bicolor (L) Moench) MELALUI UJI PEWARNAAN HEMATOKSILIN Abstrak Penelitian pada akar sorgum bertujuan untuk memperoleh informasi tentang mekanisme toleransi sorgum terhadap cekaman Al melalui uji pewarnaan hematoksilin, yaitu membedakan antara genotipe dengan mekanisme eksternal dan mekanisme internal. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah kombinasi konsentrasi larutan Al dan lama perendaman, terdiri dari tanpa Al (H0), 74 μM Al-6 jam (H1), 74 μM Al-24 jam (H2), 74 μM Al-48 jam (H3), 148 μM Al-6 jam (H4), 148 μM Al-24 jam (H5), 148 μM Al-48 jam (H6), 222 μM Al-6 jam (H7), 222 μM Al-24 jam (H8) dan 222 μM Al-48 jam (H9). Faktor kedua adalah genotipe sorgum yaitu Numbu (T1), ZH-30-29-07 (T2), B-69 (P1) dan B-75 (P2). Hasil penelitian menunjukkan, ujung akar tanaman peka mengakumulasi Al lebih banyak dan memiliki perakaran lebih pendek daripada tanaman toleran. Semakin lama tanaman terdedah cekaman, semakin tinggi nilai skoring dan semakin banyak akumulasi Al pada ujung akar. Kata-kata kunci: Akar sorgum, akumulasi Al, hematoksilin Abstract A study on roots of sorghum aimed to obtain information about the tolerance mechanism to Al through haematoxylin staining test which distinguished between genotypes with external mechanisms and internal mechanisms. The experimental design used was Completely Randomized Design which a factorial design with three replicate. The first factor was the combination of Al solution concentration and dipping time, consisted of off-Al (H0), 74 μM Al-6 hours (H1), 74 μM Al-24 hours (H2), 74 μM Al-48 hours (H3), 148 μM Al-6 hours (H4), 148 μM Al-24 hours (H5), 148 μM Al-48 hours (H6), 222 μM Al-6 hours (H7), 222 μM Al-24 hours (H8) and 222 μM Al-48 hours (H9). The second factor was the genotype of sorghum consisted of: Numbu (T1), ZH-30-29-07 (T2), B-69 (P1) and B-75 (P2). The results showed that roots tip of the sensitive genotypes accumulated more Al and had shorter than the tolerant. The longer the plants exposed to stress, the higher the scoring value and refered to more accumulation of Al in root tips. Key words: roots of sorghum, the accumulation of Al, haematoxylin
PENDAHULUAN Latar Belakang Kendala yang penting dalam pengembangan sorgum di tanah masam di Indonesia adalah pH masam dan toksisitas Al, mengingat sorgum berpotensi sebagai substitusi bahan pangan dan bahan baku bioetanol, tetapi tidak tahan terhadap kejenuhan Al yang tinggi maka penelitian untuk mempelajari mekanisme toleransi sorgum terhadap toksisitas Al penting dilakukan. Menurut Pineros et al (2002), secara langsung Al bersifat toksik bagi tanaman, sedangkan secara tidak langsung Al menyebabkan tingginya kemasaman tanah.
Kadar Al yang tinggi di ujung akar merupakan salah satu parameter
tanaman sensitif Al, oleh karena itu dirasa perlu mempelajari hambatan yang terjadi di ujung akar pada berbagai konsentrasi Al, serta mempelajari bagaimana distribusi
Al pada ujung akar sorgum. Beberapa percobaan cukup rinci
menjelaskan fenomena tersebut, baik karena pengaruh abiotik maupun biotik. Pengaruh abiotik diteliti Gottlein et al., (1999) yang membuktikan konsentrasi Al dua kali lipat lebih tinggi pada jarak dari akar kurang dari 5 mm dibandingkan dengan jarak lebih dari 15 mm.
Berdasarkan percobaan tersebut dapat diduga
tingginya Al akibat terbawa aliran masa atau difusi saat akar menyerap kation terutama
Ca2+ dan Mg2+, sedangkan Al3+ tidak penting bagi tanaman akan
tertinggal dan terakumulasi di sekitar epidermis permukaan akar. Pengaruh biotik terhadap tingginya Al pada ujung akar diungkapkan oleh beberapa peneliti antara lain oleh Horst et al., (1999) yang menyatakan bahwa ada korelasi positif antara pectin dan kandungan Al di zone perakaran apikal. Kandungan pectin merupakan salah satu faktor yang berperanan terhadap tingginya perbedaan akumulasi Al.
Tingginya kandungan pectin dan juga
akumulasi Al tertinggi ditunjukkan pada zone perakaran apikal 1 – 2 mm. Hal ini juga didukung oleh tingginya induksi callose-Al pada zone ini. Salah satu cara untuk mendeteksi distribusi Al pada ujung akar adalah menggunakan metode uji pewarnaan hematoksilin (Hematoxylin staining). Metode hematoksilin adalah metode yang sederhana dan berdasarkan pewarnaan pada ujung akar. Metode ini sangat efektif untuk menyaring tanaman jagung yang
99 toleran Al (Nur, 2009). Lapisan terluar ujung akar akan tewarnai hematoksilin apabila pada ujung akar terdapat Al, karena Al bertindak sebagai alat pengikat hematein yang merupakan komponen oksida dari larutan hematoksilin. Akar yang terwarnai hematoksilin menunjukkan distribusi penyerapan Al. Pewarnaan lebih intensif pada ujung akar, karena ujung akar merupakan daerah perpanjangan sel. Menurut Delhaize et al. (1993) pengujian dengan hematoksilin ternyata lebih peka bila dibandingkan dengan analisis total Al pada ujung akar untuk membedakan genotipe, dan hematoksilin ini tidak bereaksi dengan Al yang ada pada kecambah yang sebelumnya tidak mendapat perlakuan Al. Hasil pewarnaan pada genotipe toleran Al menunjukkan bahwa ujung akar tidak terwarnai hematoksilin atau pewarnaan pada akar kurang intensif dibandingkan hasil pewarnaan dari genotipe peka.
Metode ini juga dapat membantu untuk
mengetahui akumulasi Al secara visual di dalam jaringan akar. Penggunaan metode hematoksilin dapat dengan mudah membedakan antara genotipe toleran dan peka. Menurut Polle dan Konzak (1990) metode ini menawarkan ketelitian yang lebih tinggi untuk mengidentifikasi perbedaan genotipe daripada metode lainnya (kultur hara atau pengujian di lapang). Keuntungan lainnya penggunaan metode ini adalah ujung akar kecambah tidak rusak oleh pewarnaan hematoksilin sehingga kecambahnya dapat ditumbuhkan kembali (Delhaize et al. 1993). Percobaan bertujuan untuk mempelajari hambatan perpanjangan akar pada genotipe sorgum akibat cekaman Al, dan menduga mekanisme toleransi Al melalui uji pewarnaan hematoksilin, yaitu membedakan antara genotipe dengan mekanisme eksternal dan mekanisme internal dengan melihat distribusi Al pada ujung akar. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Percobaan ini dilaksanakan di Rumah Kaca Kebun Percobaan University Farm, IPB Cikabayan pada minggu kedua Oktober 2009.
100 Bahan dan Alat Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan ini hasil seleksi Sungkono (2007) di tanah masam Lampung, yaitu dua genotipe sorgum toleran tanah masam (Numbu dan ZH 30-29-07) serta dua genotipe peka (B-69 dan B-75). Bahan lainnya adalah larutan hematoksilin, aquades, media larutan 0,5 mM CaCl2, larutan AlCl3, NaOH 1 M, HCl 1 M, gabus busa lunak, dan stryofoam. Pot pertumbuhan berdiameter 15 cm, serta alat pendukung lainnya. Metode Penelitian Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun faktorial dengan tiga ulangan.
Faktor pertama adalah kombinasi konsentrasi
larutan Al dan lama perendaman dalam hematoksilin, terdiri dari tanpa Al (H0), 74 μM Al-6 jam (H1), 74 μM Al-24 jam (H2), 74 μM Al-48 jam (H3), 148 μM Al-6 jam (H4), 148 μM Al-24 jam (H5), 148 μM Al-48 jam (H6), 222 μM Al-6 jam (H7), 222 μM Al-24 jam (H8) dan 222 μM Al-48 jam (H9). Faktor kedua adalah genotipe sorgum yaitu Numbu (T1), ZH-30-29-07 (T2), B-69 (P1) dan B75 (P2). Percobaan uji pewarnaan hematoksilin menggunakan prosedur awal perkecambahan yang sama dengan percobaan 2 (kultur hara). Benih-benih disemaikan dalam bak perkecambahan yang berisi sekam bakar. Media tanam yang digunakan pada percobaan pewarnaan adalah media sederhana yaitu 0,5 mM CaCl2. Satuan percobaan berupa pot pertumbuhan dengan dua liter larutan hara. Perlakuan cekaman Al dilakukan dengan penambahan 74, 148 dan 222 μM AlCl3 ke larutan hara dengan lama perendaman 6, 24 dan 48 jam. pH larutan diatur pada 4,0±0,1 dengan penambahan NaOH 1 M dan HCl 1 M. Kecambah normal yang berumur satu minggu dengan panjang akar seragam dipindahkan ke media percobaan. Batang kecambah dibalut dengan gabus busa lunak kemudian dimasukkan ke lubang stryofoam yang telah disiapkan dan diapungkan dalam larutan hara. Hematoksilin staining adalah suatu prosedur pewarnaan secara fisiologis dengan menggunakan cairan hematoksilin. Secara teknis metode pewarnaan hematoksilin pada percobaan ini menggunakan prosedur Polle et al., (1978), yaitu periode waktu yang digunakan sebelum
101 merendam akar pada cairan hematoksilin adalah 6, 24 dan 48 jam. Akar yang telah ditumbuhkan pada kultur hara dengan perlakuan Al selama 6, 24 dan 48 jam dicuci dengan aquades untuk menghilangkan Al yang masih menempel di mucilage.
Akar kemudian dicelupkan ke dalam larutan hematoksilin 2 mg/l
selama 60 menit kemudian dicuci kembali dengan aquades. Uji hematoksilin hanya dilakukan terhadap tanaman yang mendapat cekaman Al. Pembuatan Sediaan Mikroskopis Akar Akumulasi Al pada jaringan akar diamati dengan membuat sediaan mikroskopis akar. Akar tanaman diambil dari setiap perlakuan yang telah diwarnai dengan larutan hematoksilin pada analisis histokimia. Selanjutnya akar disayat melintang mulai dari ujung akar sampai daerah 1 mm. Akumulasi Al jaringan akar ditandai dengan lapisan berwarna ungu muda hingga ungu gelap yang diamati menggunakan foto-mikroskopis Olympus BX-41 Pengamatan Akumulasi Aluminium secara Visual Hasil pewarnaan dengan hematoksilin juga diamati dengan melihat kuantitas dari total akar yang terwarnai secara visual. Hasil pengamatan visual ini kemudian dikuantitatifkan menggunakan nilai skoring pada skala 1-5 sebagai berikut: a. b. c. c. c.
Bila akar terwarnai 0-<20% Bila akar terwarnai >20%-<40% Bila akar terwarnai >40-<60% Bila akar terwarnai >60-<80% Bila akar terwarnai >80-100%
=1 =2 =3 =4 =5
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini, penetrasi Al hanya dibedakan secara kualitatif yang ditentukan oleh intensitas pewarnaan hematoksilin dan dikuantitatifkan dengan nilai skoring. Pengamatan kualitas pewarnaan memiliki tingkat ketelitian lebih tinggi dari penelitian Fatimah (1997) yang tidak melakukan pengamatan secara mikroskopis, tetapi pada penelitian ini tidak didapatkan pola penetrasi Al yang lebih jelas, karena tidak tersedianya alat Hematocymeter seperti pada penelitian Sopandie et al. (2000). Hasil uji keragaman menunjukkan panjang akar dan skoring warna pada perendaman dalam larutan hematoksilin 6, 24, dan 48 jam
102 dipengaruhi secara nyata oleh konsentrasi Al, genotipe, serta interaksi keduanya (Tabel 5.1). Tabel 5.1. Rekapitulasi nilai sidik ragam pengaruh konsentrasi Al dan genotipe, terhadap panjang akar dan nilai skoring warna sorgum fase bibit pada lama cekaman Al 6 jam, 24 jam dan 48 jam Parameter
Konsentrasi Al KT
Genotipe KT
Panjang akar pada 6 jam cekaman Al 81.23** 24.78** Panjang akar pada 24 jam cekaman Al 89.74** 28.34** Panjang akar pada 48 jam cekaman Al 92.43** 42.26** Skoring warna pada 6 jam cekaman Al 25.94** 3.39** Skoring warna pada 24 jam cekaman Al 28.08** 1.53** Skoring warna pada 48 jam cekaman Al 32.23** 0.59** KT = Kuadrat Tengah * = berpengaruh nyata, ** = berpengaruh sangat nyata
Interaksi KT 1.06** 0.77** 0.52* 0.49** 0.29** 0.35**
Nilai rataan panjang akar pada berbagai konsentrasi perlakuan cekaman Al dengan lama cekaman yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 5.2, 5.3, dan 5.4 di bawah ini. Tabel 5.2. Nilai rataan pengaruh konsentrasi Al dan genotipe, terhadap panjang akar sorgum selama 6 jam tercekam Al Perlakuan Tanpa Al/ Kontrol 74 μM Al 148 μM Al 222 μM Al
Rata-rata nilai panjang akar(cm) Numbu ZH-30-29-07 B-69 B-75 11.93 10.60 9.83 10.39 11.20( 93.88) 7.35(69.34) 6.20(63.07) 6.95(66.89) 7.88( 66.05) 5.32(50.19) 5.07(51.58) 5.50(52.94) 6.66( 55.85) 4.42(41.70) 3.52(35.81) 4.37(42.06)
Keterangan: Angka dalam kurung adalah panjang akar relatif (PAR) dibandingkan kondisi tanpa cekaman Al Pengelompokan tingkat toleransi tanaman terhadap Al dapat didasarkan pada nilai PAR. Tanaman yang memiliki nilai PAR > 50 % menunjukkan tanaman tersebut toleran seperti hasil penelitian pada jagung (Baligar et al. 1997), kedelai (Sopandie et al, 2000) dan padi (Jagau, 2000). Panjang akar relatif pada konsentrasi Al 74 μM dan 148 μM pada lama cekaman 6 jam memperlihatkan nilai rata-rata PAR di atas 50 % pada semua genotipe sorgum yang diuji (Tabel 5.2).
Genotipe peka B-75 pada penelitian ini ternyata menunjukkan tingkat toleransi yang cukup baik pada konsentrasi 148 μM Al dengan lama terdedah cekaman 24 jam (Tabel 5.3).
103 Tabel 5.3. Nilai rataan pengaruh konsentrasi Al dan genotipe, terhadap panjang akar sorgum selama 24 jam tercekam Al Perlakuan Tanpa Al/ Kontrol 74 μM Al 148 μM Al 222 μM Al
Numbu 13.17 11.60(88.08) 8.43(64.01) 7.07(53.68)
Rata-rata nilai panjang akar(cm) ZH-30-29-07 B-69 12.26 11.00 7.73(63.05) 6.59(59.91) 5.61(45.76) 5.45(49.55) 4.79(39.07) 3.90(35.45)
B-75 11.37 7.23(63.59) 5.77(50.75) 4.68(41.16)
Keterangan: Angka dalam kurung adalah panjang akar relatif (PAR) dibandingkan kondisi tanpa cekaman Al Pada lama cekaman Al 48 jam dengan konsentarsi 222 μM Al didapatkan tidak satupun genotipe yang mampu mempertahankan panjang akarnya (Tabel 5.4). Secara umum dapat ditunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi Al dan semakin lama
terdedah cekaman, tingkat toleransi tanaman berdasarkan nilai PAR semakin rendah.
Tabel 5.4. Nilai rataan pengaruh konsentrasi Al dan genotipe, terhadap panjang akar sorgum selama 48 jam tercekam Al Perlakuan Tanpa Al/ Kontrol 74 μM Al 148 μM Al 222 μM Al
Numbu 17.20 13.49(78.43) 10.62(61.74) 7.58(45.64)
Rata-rata nilai panjang akar(cm) ZH-30-29-07 B-69 B-75 15.83 15.23 14.40 9.21(58.18) 8.64(56.73) 8.56(59.44) 7.03(44.41) 6.89(45.24) 6.71(46.60) 6.00(37.90) 5.47(35.92) 5.80(40.28)
Keterangan: Angka dalam kurung adalah panjang akar relatif (PAR) dibandingkan kondisi tanpa cekaman Al Hasil uji kontras menunjukkan tidak terlihat perbedaan panjang akar pada kondisi tanpa cekaman Al baik di antara genotipe toleran maupun di antara genotipe peka (Tabel 5.5). Pemberian Al dengan konsentrasi 74 μM menyebabkan perbedaan panjang akar di antara genotipe toleran, sedangkan pada genotipe peka terjadi penghambatan pertumbuhan akar yang sama besarnya sehingga menyebakan perbedaan tidak nyata. Hal ini menunjukkan besarnya pengaruh Al terhadap pertumbuhan akar
sorgum. Konsentrasi 74 μM Al
dengan lama
cekaman mulai 6 jam sudah mampu menghambat pertumbuhan akar meskipun nilai PAR masih di atas 50%. Perbedaan panjang akar pada rata-rata genotipe toleran dan peka sudah terlihat pada konsentrasi 74 μM Al dengan lama cekaman 6 jam. Hal ini berarti bahwa konsentrasi 74 μM Al dengan lama waktu cekaman
104 6 jam merupakan kondisi cekaman Al yang sudah mampu membedakan antara genotipe toleran dan genotipe peka pada tanaman sorgum. Tabel 5.5. Respon genotipe terhadap perbedaan konsentrasi dan lama cekaman Al pada panjang akar Perbandingan Kontrol Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 74 μM Al Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 148 μM Al Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75 222 μM Al Numbu, ZH-30-29-07 vs B-69, B-75 Numbu vs ZH-30-29-07 B-69 vs B-75
Selisih nilai tengah panjang akar (cm) 6 jam
24 jam
48 jam
1.16tn 1.33tn 0.56tn
1.03tn 0.91tn 0.37tn
1.70tn 1.37tn 0.83tn
2.70** 3.85** 0.75tn
2.76** 3.87** 0.64tn
2.75** 4.28** 0.08tn
1.32tn 2.56** 0.43tn
1.41tn 2.82** 0.32tn
2.03** 3.59** 0.18tn
1.60tn 2.24** 0.85tn
1.64tn 2.28** 0.78tn
1.16tn 1.58tn 0.33tn
Keterangan: tn = tidak nyata, ** = berbeda nyata pada taraf 1% Rata-rata genotipe toleran yang dibandingkan dengan rata-rata genotipe peka pada konsentrasi cekaman Al 148 μM dan lama cekaman 6 dan 24 jam menunjukkan perbedaan tidak nyata. Hal ini disebabkan besarnya hambatan pada pertumbuhan panjang akar genotipe ZH-30-29-07 akibat cekaman Al sehingga memperkecil nilai rata-rata panjang akar genotipe toleran. Peningkatan waktu lama cekaman menjadi 48 jam menyebabkan penurunan panjang akar yang nyata pada genotipe peka sehingga memperluas jarak rata-rata dengan genotipe toleran (Tabel 5.5). Hasil penelitian untuk genotipe ZH-30-29-07 melalui uji pewarnaan hematoksilin ini sejalan dengan hasil pengujian di lapangan, dan di larutan hara yang juga menunjukkan tingkat toleransi yang rendah pada genotipe ZH-30-29-07 dibandingkan Numbu walaupun sama-sama tergolong genotipe toleran. Nilai skoring pewarnaan pada lama perendaman dalam larutan bercekaman Al selama 6, 24, dan 48 jam yang dikuantitatifkan dapat dilihat pada Tabel 5.6, 5.7, dan 5.8 di bawah ini.
105 Tabel 5.6. Pengaruh konsentrasi Al dan genotipe, terhadap nilai kuantitatif pewarnaan hematoksilin pada sorgum fase bibit dengan lama cekaman 6 jam Perlakuan 74 μM Al 148 μM Al 222 μM Al
Rata-rata nilai skoring pewarnaan akar 6 jam tercekam Al Numbu ZH-30-29-07 B-69 B-75
1.56 2.44 3.11
2.33 3.44 4.44
2.56 4.22 5.00
2.67 3.78 5.00
Tabel 5.7. Pengaruh konsentrasi Al dan genotipe, terhadap nilai kuantitatif pewarnaan hematoksilin pada sorgum fase bibit dengan lama cekaman 24 jam Perlakuan 74 μM Al 148 μM Al 222 μM Al
Rata-rata nilai skoring pewarnaan akar 24 jam tercekam Al Numbu ZH-30-29-07 B-69 B-75
2.56 3.00 3.67
3.11 3.56 4.67
3.11 4.33 5.00
3.67 4.00 5.00
Tabel 5.8. Pengaruh konsentrasi Al dan genotipe, terhadap nilai kuantitatif pewarnaan hematoksilin pada sorgum fase bibit dengan lama cekaman 48 jam Perlakuan 74 μM Al 148 μM Al 222 μM Al
Rata-rata nilai skoring pewarnaan akar 48 jam tercekam Al Numbu ZH-30-29-07 B-69 B-75
2.89 3.67 4.33
3.67 3.89 4.78
3.67 4.78 5.00
3.56 4.44 5.00
Hasil penelitian ini menunjukkan genotipe peka tewarnai lebih banyak oleh hematoksilin pada konsentrasi 222 μM Al mulai 6 jam perlakuan waktu cekaman. Hasil ini diperjelas lagi pada gambar potongan mikroskopis jaringan ujung akar (Gambar 5.1 dan 5.2). Menurut Polle dan Konzak (1990) hal ini menunjukkan bahwa ujung akar banyak menyerap Al dan akan terwarnai oleh hematoksilin, karena Al bertindak sebagai pengikat hematein yang merupakan komponen oksida dari larutan hematoksilin. Skoring pewarnaan akar sorgum toleran dan peka pada konsentrasi 222 μM Al dengan lama waktu cekaman 48 jam menunjukkan perbedaan tidak nyata antara Numbu dan B-75 (Tabel 5.9) . Hal ini mengindikasikan bahwa pada konsentrasi 222 μM Al sudah terjadi kerusakan tudung akar baik pada genotipe toleran maupun peka, sehingga pewarnaan oleh hematoksilin kurang intensif.
106 Tabel 5.9. pengaruh konsentrasi cekaman Al terhadap skoring pewarnaan hematoksilin pada sorgum dengan berbagai lama waktu cekaman Numbu vs B-75
lama tercekam Al 6 jam 24 jam 48 jam 74 μM Al 1.11** 1.11** 0.67tn 148 μM Al 1.34** 1.00** 0.77tn 222 μM Al 1.89** 1.33** 0.67tn Keterangan: tn = berbeda tidak nyata, ** = berbeda nyata pada taraf 1% uji kontras
Pengaruh utama Al ialah terhadap penghambatan pertumbuhan akar, yang menyebabkan akar tampak pendek dan membengkak, kehilangan warna dan tidak memiliki akar lateral yang sehat (Blum 1988; Sopandie et al. 1996; Setiyono 1998) sehingga menyebabkan gangguan terhadap serapan hara dan air (Marschner 1995). Delhaize dan Ryan (1995) menyatakan bahwa ujung akar (root apex) yang terdiri dari tudung akar dan meristem merupakan target utama keracunan Al. Informasi ini menunjukkan bahwa daya adaptasi tanaman sangat ditentukan oleh ketahanan akar, terutama pada bagian ujung akar untuk menahan masuknya Al ke dalam jaringan seperti telah dinyatakan oleh Taylor (1991) sebagai mekanisme ekslusi Al (Al exclusion).
Secara hipotetik dapat dikatakan bahwa genotipe
toleran Al akan mengalami penetrasi Al yang lebih sedikit pada jaringan akarnya, dan sebaliknya pada genotipe peka. Mekanisme adaptasi tanaman terhadap cekaman Al dari aspek fisiologis dan biokimia telah diteliti oleh Sopandie et al (2000) pada tanaman kedelai dan Nur (2009) pada jagung. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa toleransi akar yang terkait dengan berbagai mekanisme fisiologis dan biokimianya merupakan kunci penting yang menentukan adaptasi beberapa genotipe kedelai dan jagung toleran Al. Gambar histokimia distribusi Al pada jaringan akar sorgum dengan perlakuan perendaman selama 6, 24 dan 48 jam dalam larutan bercekaman Al yang difoto melalui mikroskop binokuler Olympus BX-41 dengan pembesaran 40x dapat dilihat pada gambar-gambar di bawah ini.
107
(A)
(B)
(C)
Gambar 5.1. Perbandingan potongan melintang akar sorgum genotipe B-75 pada perlakuan 6 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al
(A)
(B)
(C)
Gambar 5.2. Genotipe B-69 pada perlakuan 6 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al Distribusi Al pada konsentrasi 222 μM pada ujung akar sorgum peka B-69, B-75 dan sorgum toleran ZH-30-29-07 terlihat sudah merata sampai ke bagian tengah akar pada lama cekaman 6 jam (Gambar 5.1, 5.2, dan 5.3). Hasil ini semakin memperjelas penelitian sebelumnya pada genotipe ZH-30-29-07 yang menunjukkan tingkat toleransi rendah terhadap toksisitas Al dilarutan hara. Sementara Numbu masih bisa menghalangi masuknya Al sampai ketengah akar dan hanya mengakumulasikan Al pada bagian epidermis akar (Gambar 5.4)
108
(A)
(B)
(C)
Gambar 5.3. Genotipe ZH-30-29-07 pada perlakuan 6 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al
(A)
(B)
(C)
Gambar 5.4. Varietas Numbu pada perlakuan 6 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al Diduga genotipe toleran Numbu memiliki ketahanan dinding sel dan plasma membran yang lebih baik dibandingkan genotipe lain yang diuji. Menurut Sopandie et al (2000) dugaan tentang ketahanan dinding sel dan membran yang lebih baik pada genotipe toleran masih perlu diklarifikasi lebih lanjut dengan penelitian yang lebih spesifik dan rumit melalui teknik isolasi dinding sel dan membran. Genotipe toleran diduga memiliki kemampuan untuk mencegah Al agar tidak menyeberangi membran plasma dan masuk ke simplas serta tempat lain yang peka terhadap Al di sitoplasma akar (Kochian 1995; Ma 2000; Rout et al 2001). Dalam keadaan tercekam Al, kandungan Al apoplas sorgum toleran lebih rendah diduga akibat kapasitas tukar kation (KTK) akar rendah dibandingkan genotipe peka. Menurut (Okada et al. 2003) Ca apoplas pada genotipe toleran
109 lebih rendah dan tidak mudah digantikan oleh Al. Rendahnya jumlah muatan negatif dari dinding sel genotipe toleran menyebabkan interaksi Al dengan dinding sel genotipe toleran lebih rendah dibandingkan genotipe peka (Kochian et al.2005) sehingga konsentrasi Al di akar genotipe toleran juga lebih rendah. Fenomena ini juga telah dilaporkan beberapa peneliti sebelumnya (Sivaguru dan Paliwal 1993; Nursyamsi 2000) bahwa tanaman padi toleran mempunyai mekanisme toleransi Al dengan mengurangi interaksi Al dengan dinding sel akar. Menurut Taylor (1991) mekanisme yang menunjukkan sedikitnya akumulasi Al dalam jaringan akar disebut mekanisme eksternal atau ekslusi Al yaitu pencegahan Al ke dalam jaringan akar. Akumulasi Al yang lebih sedikit pada Numbu dapat dihubungkan dengan keberadaan mucilage yang lebih banyak pada genotipe toleran. Menurut Iijima et al. (2004), peranan mucilage ini sangat penting dalam mengurangi hambatan mekanis di dalam tanah dan toleransi terhadap toksisitas Al, karena dapat mengikat Al (imobilisasi Al) sehingga akan sangat menghambat masuknya Al ke dalam jaringan meristem. Distribusi Al pada ujung akar sorgum dengan lama cekaman 24 dan 48 jam pada genotipe toleran dan peka yang difoto melalui mikroskop binokuler Olympus BX-41 dengan pembesaran 40x dapat dilihat pada Gambar 5.5 hingga 5.12 di bawah ini.
(A)
(B)
(C)
Gambar 5.5. Potongan melintang akar sorgum genotipe B-75 pada perlakuan 24 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al
110
(A)
(B)
(C)
Gambar 5.6. Genotipe B-69 pada perlakuan 24 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al
(A)
(B)
(C)
Gambar 5.7. Varietas Numbu pada perlakuan 24 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al
(A)
(B)
(C)
Gambar 5.8. ZH-30-29-07 pada perlakuan 24 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al Dilihat dari intensitas pewarnaan, genotipe B-69 dan B-75 pada konsentrasi 222 μM Al dengan lama cekaman 48 jam memiliki intensitas pewarnaan yang lebih pekat (ungu kehitaman) dibandingkan genotipe toleran
111 (Gambar 5.9 dan 5.10). Tingginya akumulasi Al yang dicerminkan dari intensitas pewarnaan mencerminkan tingginya pengambilan atau pengikatan Al oleh jaringan pada ujung akar. Hal serupa telah dinyatakan oleh Sopandie et al (2000) yang menunjukkan perbedaan daya toleransi terhadap Al pada tanaman kedelai. Genotipe peka mengakumulasi Al lebih banyak pada bagian ujung akar daripada genotipe toleran sehingga mudah terwarnai.
(A)
(B)
(C)
Gambar 5.9. Perbandingan potongan melintang akar sorgum genotipe B-75 pada perlakuan 48 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al
(A)
(B)
(C)
Gambar 5.10. Genotipe B-69 pada perlakuan 48 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al
112
(A) (B) (C) Gambar 5.11. Varietas Numbu pada perlakuan 48 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al Genotipe ZH-30-29-07 yang tergolong toleran pada uji lapang, ternyata pada penelitian ini menunjukkan kerusakan akar yang cukup berat dan terlihat di bagian epidermis lebih terang dikarenakan bagian luar akar sudah membusuk (Gambar 5.12). Fakta ini dapat dihubungkan dengan adanya kerusakan tudung akar atau lepasnya tudung akar.
(A)
(B)
(C)
Gambar 5.12. ZH-30-29-07 pada perlakuan 48 jam tercekam Al. A) 74μM Al, B) 148μM Al, dan C) 222μM Al Perbedaan penetrasi Al pada jaringan akar genotipe sorgum diduga berkaitan dengan perbedaan daya tahan dinding sel dan plasma membran antar genotipe.
Menurut Marschner (1995), pada sistem apoplas, Al dapat
menggantikan fungsi Ca pada lamela tengah sehingga menyebabkan rusaknya dinding sel serta tergantikannya Ca oleh Al pada gugus karboksil yang bermuatan negatif.
Kondisi dinding sel yang rusak dapat menyebabkan meningkatnya
penetrasi Al ke dalam apoplas yang berpengaruh buruk terhadap membran plasma.
113 KESIMPULAN Penelitian ini menunjukkan bahwa pada ketiga waktu perlakuan cekaman Al (6, 24 dan 48 jam) penetrasi Al pada sorgum Numbu lebih sedikit dibandingkan pada akar genotipe B-69, B-75, dan ZH-30-29-07. Ujung akar genotipe peka B-69 dan B-75 mengakumulasi Al lebih banyak dan memiliki perakaran lebih pendek daripada tanaman toleran. Batas konsentrasi Al yang masih bisa ditolerir oleh genotipe sorgum adalah 74 μM Al dengan lama cekaman 24 jam. Panjang akar berkorelasi tinggi terhadap skoring pewarnaan
hematoksilin dengan nilai negatif. Semakin lama tanaman terkena cekaman, semakin tinggi nilai skoring dan berarti semakin tinggi akumulasi Al pada ujung akar. Metode pewarnaan hematoksilin dengan pengukuran intensitas pewarnaan melalui histokimia (sediaan mikroskopis) untuk melihat penetrasi Al ke dalam akar dapat digunakan untuk melihat perbedaan toleransi sorgum terhadap Al.
ANALISIS ROOT REGROWTH AKAR SORGUM [Sorghum bicolor (L.) Moench) TERHADAP CEKAMAN ALUMINIUM DI LARUTAN HARA Abstrak Penelitian dilaksanakan di rumah kaca kebun percobaan University Farm IPB, Cikabayan pada bulan Pebruari 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kemampuan sorgum memperbaiki kerusakan akar (recovery) setelah mendapat cekaman Al dalam berbagai konsentrasi di larutan hara. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi Al dalam larutan hara, terdiri dari : tanpa cekaman aluminium/Al ( G0), tercekam Al 74 μM (G1), tercekam Al 148 μM (G2), dan tercekam Al 222 μM (G3), Faktor kedua adalah genotipe sorgum yaitu Numbu (T1), ZH-30-29-07 (T2), B-69 (P1) dan B-75 (P2) . Data kuantitatif yang diperoleh di analisis menggunakan sidik ragam. Perbedaan nilai tengah antar perlakuan di uji menggunakan uji DMRT pada taraf nyata 1 %. Hasil pengamatan visual dan pemotretan mikroskopis menunjukkan, Numbu memiliki kemampuan paling baik dalam memperbaiki kerusakan akarnya dan mampu tumbuh baik dalam kondisi cekaman Al 74 μM, diikuti genotipe B-75. Sedangkan genotipe B-69 dan ZH-30-29-07 memiliki tingkat recovery akar paling rendah dari genotipe lain yang di uji. Semakin tinggi tingkat konsentrasi Al yang diberikan semakin rendah kemampuan tanaman memperbaiki kerusakan akibat cekaman Al. Terdapat korelasi tinggi antara pertambahan panjang dan volume akar terhadap pertambahan panjang tajuk. Kata-kata kunci: sorgum , root re-growth, akar sorgum, aluminium Abstract The study was conducted at the greenhouse of University Farm, Bogor Agricultural University in February 2010. The objectives of this study was to obtain the information on the ability of sorghum root recovery after getting various concentrations of Al toxicity in nutrient solution. The research used Completely Randomized Design with three replications. The first factor was the concentration of Al in nutrient solution, consisted of: no Al (G0), 74 μM Al (G1), 148 μM Al (G2), and 222 μM Al (G3). The second factor was sorghum genotypes consisted of Numbu (T1), ZH-30-29-07 (T2), B-69 (P1) and B-75 (P2). The obtained quantitative data were analyzed by using ANOVA and the median values differences between treatments were tested using DMRT test. The results of visual observation and microscopic photography showed that Numbu had the best ability in recovery to its roots and be able to grow well in 74 μM Al, followed by genotype B-75. While genotype B-69 and ZH-30-29-07 had the lowest root level recovery from the other genotypes tested. The higher the Al concentration level provided the lower the ability of plants to recovery due to Al toxicity. It was also found that there was a high correlation between the increase of root length and volume to the increase of the shoot. Key words: sorghum, root re-growth, the roots of sorghum, aluminum
PENDAHULUAN Latar Belakang Pengaruh cekaman Al terhadap pertumbuhan tanaman, paling nyata terlihat pada perpanjangan dan pertumbuhan akar. Tingkat kerusakan akar oleh cekaman Al sangat bergantung pada genotipe tanaman. Kerusakan akar akibat cekaman Al terjadi dalam waktu yang cukup singkat. Hasil penelitian Matsumoto et al. (2003) pada tanaman barley menunjukkan, perpanjangan akar mulai terhambat 24 jam setelah terkena cekaman. Kerusakan akibat cekaman Al berkorelasi dengan akumulasi Al pada daerah ujung akar terutama pada daerah 0-5 mm dari ujung akar (Delhaize dan Ryan 1995).
Akumulasi Al pada daerah meristematik akar ini menentukan
kepekaan suatu genotipe terhadap cekaman Al. Al dapat menyebabkan kerusakan akar pada saat masih berada di dinding sel tanpa harus masuk ke dalam sel. Aluminium yang diserap akar dapat menggantikan Ca pada ikatan Ca-pektat pada dinding sel sehingga dinding sel tidak dapat memperbesar volumenya dan mengakibatkan terhentinya perpanjangan dan pembesaran sel-sel akar (Blamey 1997). Pengaruh Al terhadap penghambatan panjang akar setelah ditumbuhkan pada lingkungan tanpa cekaman dapat diukur menggunakan metode Root Regrowth. Tanaman yang ditumbuhkan dalam larutan hara diberi perlakuan Al (dalam bentuk AlCl3.6H2O) selama 48 jam diukur panjangnya sebagai panjang awal, kemudian ditumbuhkan kembali pada larutan hara tanpa Al selama 48 jam. Setelah itu akar diukur kembali panjangnya sebagai panjang akhir. Root Regrowth merupakan selisih panjang akhir dikurangi panjang awal. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kemampuan memperbaiki kerusakan akar (recovery) sorgum fase bibit setelah mendapat cekaman Al dalam berbagai konsentrasi di larutan hara
116 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan ini dilaksanakan di Rumah Kaca Kebun Percobaan University Farm, IPB Cikabayan, Laboratorium Terpadu RGCI, dan Laboratorium Micro Technique Fakultas Pertanian IPB pada bulan Maret 2010. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan untuk analisis root regrowth adalah akar sorgum
yang toleran dan peka Al. Bahan tanaman yang
digunakan dalam
percobaan ini adalah dua genotipe sorgum toleran (Numbu dan ZH-30-29-07) serta dua genotipe peka Al di tanah masam (B-69 dan B-75) hasil seleksi Sungkono (2007) di tanah masam Lampung seperti percobaan sebelumnya. Bahan lain yang digunakan adalah air bebas ion, larutan hara dengan komposisi: 0,24 mM NH4NO3; 0,03 mM (NH4)2SO4; 0,097 mM K2HPO4; 0,088 mM K2SO4; 0,38 mM KNO3; 1,27 mM Ca(NO3)2.4H2O; 0,27 mM Mg(NO3)2.4H2O; 0,14 mM NaCl; 6,6 μM H3BO3; 5,1 μM MnSO4.4H2O; 0,61 μM ZnSO4.7H2O; 0,16 μM CuSO4.5H2O; 0,1 μM Na2Mo7O9.7H2O; 45 μM
FeSO4.7H2O-EDTA, AlCl3,
NaOH, dan HCl (Ohki 1987). Sedangkan alat yang digunakan adalah: Pot pertumbuhan berdiameter 15 cm, pipet bulp, pH meter, gelas beaker, aerator 60 LP, timbangan digital, kamera digital, mikroskop stereo dan mikroskop binokuler Olympus BX-41. Metode Penelitian Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi larutan Al , terdiri dari : tanpa Al (G0), 74 μM Al (G1), 148 μM Al (G2), dan 222 μM Al (G3). Faktor kedua adalah genotipe sorgum yaitu: Numbu/toleran (T1), ZH-3029-07/toleran (T2), B-69/peka (P1) dan B-75/peka (P2). Kecambah normal berumur satu minggu dengan panjang akar yang seragam diambil sebanyak lima tanaman, kemudian dipindahkan ke dalam pot pertumbuhan.
Batang kecambah dibalut dengan gabus busa lunak kemudian
dimasukkan ke lubang stryofoam dan diapungkan dalam larutan hara sebanyak 2 liter/pot. Perlakuan konsentrasi Al ditambahkan pada larutan hara setelah proses
117 pengapungan dalam larutan hara berlangsung dua hari. Larutan diatur pada pH 4.0±0.1 dengan penambahan NaOH 1M atau HCl 1M. Larutan hara diberi aerasi menggunakan aerator supaya Al dan hara tidak mengendap. Air yang hilang akibat transpirasi diganti dengan menambahkan aquades setiap hari dengan pH tetap dipertahankan sekitar 4.0. Setelah 48 jam ditumbuhkan dalam larutan mengandung Al, tanaman diamati panjang akar dan tajuknya dengan hati-hati agar akar dan tajuk tidak rusak, lalu dibalut kembali dengan busa lunak dan dipindahkan ke media larutan hara baru tanpa Al. Tanaman dibiarkan tumbuh selama 48 jam lagi, kemudian diamati panjang akar dan tajuknya. Nilai pertambahan pertumbuhan akar dan tajuk adalah selisih nilai panjang akar dan tajuk setelah ditumbuhkan kembali dalam larutan hara tanpa Al dengan panjang akar dan tajuk setelah diberi cekaman (panjang awal). Data hasil pengamatan di uji menggunakan sidik ragam (ANOVA) pada taraf nyata 5 % dan 1 % dilanjutkan dengan pengujian perbedaan nilai tengah menggunakan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) serta uji korelasi untuk melihat keeratan hubungan antar parameter. Perbedaan morfologi akar (kemampuan recovery) setelah ditumbuhkan kembali pada larutan hara tanpa cekaman Al, ditampilkan juga dalam bentuk foto mikroskopis yang diambil melalui mikroskop stereo menggunakan kamera digital Kodak Easy share. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan, pertambahan volume akar, dan tajuk dipengaruhi secara nyata oleh konsentrasi Al dan genotipe,
tetapi nilai
pertambahan panjang akar, pertambahan volume akar dan pertambahan panjang tajuk yang terjadi tidak dapat menjelaskan perbedaan respon antar genotipe terhadap konsentrasi Al, karena tidak terdapat interaksi antara konsentrasi Al dan genotipe (Tabel 6.1).
118
Tabel 6.1. Rekapitulasi nilai sidik ragam pengaruh genotipe, dan komposisi larutan hara terhadap pertumbuhan sorgum pada fase bibit Parameter Pertambahan panjang akar Pertambahan volume akar Pertambahan panjang tajuk
Konsentrasi Al KT 1.036tn 0.398** 11.416**
Genotipe Interaksi KT KT 19.313** 0.038** 3.977**
0.131tn 0.003tn 0.350tn
KT = Kuadrat Tengah **= berpengaruh sangat nyata, tn= berpengaruh tidak nyata Respon berbagai genotipe sorgum terhadap pertambahan panjang akar, pertambahan volume akar dan pertambahan panjang tajuk menunjukkan perbedaan antara Numbu dibandingkan genotipe lainnya (Tabel 6.2). Hasil pengamatan pada genotipe ZH-30-29-07 dalam penelitian ini sangat menunjang hasil pengamatan dalam uji pewarnaan hematoksilin dan laju serapan spesifik yang memberikan indikasi tingkat toleransi ZH-30-29-07 lebih rendah meskipun berdasarkan hasil seleksi Sungkono (2007) tergolong genotipe toleran di tanah masam Lampung. Pertambahan panjang akar, panjang tajuk dan volume akar genotipe ZH-30-29-07 setara genotipe peka. Tabel 6.2. Nilai rataan pertambahan panjang akar, pertambahan volume akar dan pertambahan panjang tajuk sorgum fase bibit pada berbagai genotipe Genotipe
Parameter Pertambahan panjang Pertambahan Pertambahan akar (cm) volume akar (ml) panjang tajuk (cm) Numbu 4.128a 0.403a 2.677a ZH-30-29-07 1.483b 0.296b 2.144ab B-69 1.785b 0.276b 1.553b B-75 1.545b 0.312b 1.430b Angka rataan yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata pada taraf uji 1% DMRT Pertambahan panjang akar setara untuk semua konsentrasi cekaman Al (Tabel 6.3)
Hal ini diduga karena belum berkembangnya perakaran dengan
sempurna akibat waktu pengamatan yang sangat singkat yaitu hanya dua hari. Walaupun demikian, lama perlakuan Al selama dua hari tersebut sudah dapat menunjukkan perbedaan pada kemampuan tanaman memperbaiki kerusakan akar akibat cekaman Al seperti terlihat pada Gambar 6.1 sampai 6.4.
119 Tabel 6.3. Nilai rataan pertambahan panjang akar, pertambahan volume akar dan pertambahan panjang tajuk sorgum fase bibit pada berbagai konsentrasi Al Konsentrasi Al
Kontrol (G0) 74 μM Al (G1) 148 μM Al (G2) 222 μM Al (G3)
Pertambahan panjang akar (cm) 2.555 2.407 2.050 1.930
Parameter Pertambahan volume akar (ml) 0.543a 0.395b 0.201c 0.148c
Pertambahan panjang tajuk (cm) 3.323a 1.909b 1.489b 1.082b
Angka rataan yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata pada taraf uji 1% DMRT. Pertambahan volume akar pada penelitian ini menunjukkan perbedaan antara genotipe toleran dan peka. Pertambahan volume akar tertinggi didapatkan pada Numbu dan terendah pada genotipe B-69. Fakta ini diduga akibat adanya perbedaan kemampuan genotipe sorgum dalam menumbuhkan akar sekunder setelah perlakuan Al (Tabel 6.3). Banyaknya akar sekunder yang keluar dari akar primer akan meningkatkan volume akar. Pada penelitian ini ditemukan adanya penghambatan pada akar sekunder, yaitu penghambatan pada akar yang telah muncul, namun tidak menghambat munculnya akar sekunder. Hal ini terlihat dengan tetap munculnya akar sekunder pada konsentrasi 148 hingga 222 μM Al, namun ukurannya semakin kecil dengan semakin tingginya konsentrasi Al (Gambar 6.1). Awal pertumbuhan akar sekunder yang terjadi pada perisikel akar primer tampaknya tidak terhambat perlakuan Al. Setelah sel-sel perisikel calon akar sekunder yang aktif membelah ini menembus lapisan epidermis akar primer, barulah terjadi penghambatan oleh Al.
Matsumoto et al (1992) menemukan
bahwa pada kacang kapri akumulasi Al yang tinggi terjadi pada akar lateral yang baru muncul dimana sel-selnya aktif membelah. Konsentrasi 222 μM Al merupakan konsentrasi Al yang sangat toksik untuk semua genotipe yang di uji, yang menyebabkan kerusakan akar primer dan sekunder, ujung akar membengkak dan rapuh. Gambar (6.1 – 6.4 C) nunjukkan secara jelas kerusakan tersebut, baik pada genotipe toleran Numbu dan ZH-30-2907 maupun pada genotipe peka B-69 dan B-75. Pembengkakan ujung akar ini menjelaskan adanya disintegrasi bentuk morfologi ujung akar, yang diduga disebabkan oleh rusaknya sel-sel tudung akar (root cap), kemudian mengembang
120
74μM Al
148μM Al
222μM Al
Gambar 6.1. Akar sorgum Numbu (toleran) setelah mendapatkan cekaman Al pada berbagai konsentrasi dan ditumbuhkan kembali pada larutan tanpa cekaman Al.
74μM Al
148μM Al
222μM Al
Gambar 6.2. Akar sorgum ZH-30-29-07 (toleran) setelah mendapatkan cekaman Al pada berbagai konsentrasi dan ditumbuhkan kembali pada larutan tanpa cekaman Al.
74μM Al
148μM Al
222μM Al
Gambar 6.3. Akar sorgum B-69 (peka) setelah mendapatkan cekaman Al pada berbagai konsentrasi dan ditumbuhkan kembali pada larutan tanpa cekaman Al.
121
74μM Al
148μM Al
222μM Al
Gambar 6.4. Akar sorgum B-75 (peka) setelah mendapatkan cekaman Al pada berbagai konsentrasi dan ditumbuhkan kembali pada larutan tanpa cekaman Al. serta rusaknya sel-sel epidermis dan korteks.
Pengamatan secara visual
menunjukkan bahwa pada konsentrasi 222 μM Al, akar-akar sekunder menjadi kecil, kaku dan rapuh serta mudah mengelupas. Kondisi seperti ini terjadi juga pada barley yang memperoleh cekaman Al (Matsumoto et al, 2003) dan kedelai (Sopandie et al. 2000). Terhambatnya pertumbuhan dan terjadinya kerusakan akar dapat menyebabkan gangguan terhadap serapan hara dan selektivitas serapan hara, yang pada akhirnya menyebabkan hambatan pada pertumbuhan tajuk seperti terlihat pada Tabel 6.3. Pengaruh perbedaan konsentrasi Al secara umum terhadap peubah panjang akar dan panjang tajuk mencerminkan bahwa toksisitas Al terhadap pertumbuhan tajuk adalah bersifat sekunder.
Artinya Al lebih dahulu
menimbulkan gangguan terhadap pertumbuhan akar dan pada akhirnya menimbulkan gangguan terhadap pertumbuhan tajuk. Pertambahan panjang tajuk didapatkan berkorelasi sangat nyata dan positif terhadap pertambahan panjang dan volume akar. Hal ini menunjukkan bahwa akar yang menjadi bagian utama untuk penyerapan hara sangat berperan dalam menyerap dan mendistribusikan hara ke bagian tajuk (Tabel 6.4).
122 Tabel 6.4. Nilai korelasi antara parameter pertambahan panjang akar, pertambahan volume akar dan pertambahan panjang tajuk sorgum Parameter Pertambahan volume akar
Pertambahan panjang tajuk 0.868**
Pertambahan volume akar -
Pertambahan panjang akar
0.868**
1.000**
** = berkorelasi nyata pada taraf 1% uji korelasi Pearson. KESIMPULAN Kerusakan akar akibat peningkatan konsentrasi Al hingga 148 μM masih mampu
diperbaiki
oleh
sorgum
Numbu
dengan
kemampuannya
menumbuhkan kembali ujung akar yang telah rusak dan menggantikannya dengan cabang akar baru. Cekaman Al tidak mempengaruhi munculnya akar sekunder pada genotipe toleran, tetapi sangat menghambat pertambahan panjang akar sekunder yang muncul pada perkembangan selanjutnya. Genotipe ZH-30-29-07 dan B-75 memiliki tingkat recovery yang cukup baik pada konsentrasi 74 μM, tetapi dengan peningkatan konsentrasi ke 148 dan 222 μM kedua genotipe sudah tidak mempunyai daya recovery. Genotipe peka B-69 sudah mengalami kerusakan ujung akar cukup berat pada konsentrasi Al 74 μM dan tidak mampu lagi merecovery pertumbuhan akarnya.
Semakin tinggi konsentrasi cekaman Al, semakin berkurang
kemampuan genotipe sorgum dalam menumbuhkan akarnya kembali. Pertambahan panjang tajuk berkorelasi sangat nyata dengan pertambahan volume akar dan pertambahan panjang akar.
PEMBAHASAN UMUM Di Indonesia, kondisi lahan untuk pengembangan tanaman sebagian besar merupakan lahan marjinal yang kering dan bersifat masam. Kendala utama pengembangan tanaman pada tanah masam adalah cekaman aluminium dan kurangnya unsur hara makro terutama fosfor (Ma, 2000). Usaha untuk mengurangi masalah tersebut adalah penggunaan tanaman yang toleran terhadap cekaman Al dan efisiensi hara, baik efisiensi serapan (sensitive) maupun efisiensi penggunaan (tolerance). Serangkaian percobaan yang telah dilakukan berhasil mengungkap beberapa informasi yang dapat dimanfaatkan dalam perbaikan genotipe sorgum untuk toleransi terhadap toksisitas Al dan defisiensi P di tanah masam. Berdasarkan hasil pengujian di lapangan, terdapat perbedaan toleransi tanaman sorgum terhadap cekaman Al dan defisiensi P di tanah masam yang ditunjukkan oleh kemampuan menghasilkan bahan kering, produksi biji, maupun kadar gula total yang berpotensi untuk diolah menjadi bahan baku bioetanol. Kemampuan menghasilkan bahan kering dan produksi biji genotipe sorgum dapat meningkat hingga dua kali lipat saat ditumbuhkan pada tanah masam dengan kondisi kejenuhan Al rendah dan P cukup dibandingkan dengan kondisi Al tinggi dan tanpa P (Tabel 1.3 dan 1.8). Hal ini menunjukkan respon yang tinggi pada karakter agronomis sorgum apabila dilakukan perbaikan lingkungan tumbuh. Peningkatan bobot kering tajuk dan komponen hasil genotipe toleran pada kondisi Al rendah tidak memerlukan pemupukan P dosis tinggi di tanah masam. Peningkatan dosis pupuk P diperlukan untuk meningkatkan nilai padatan terlarut total genotipe sorgum baik pada tanah masam dengan kejenuhan Al tinggi maupun rendah. Pada penelitian ini didapatkan perbedaan tingkat toleransi genotipe ZH-30-29-07 di tanah masam Lampung dan tanah masam Tenjo Jawa Barat. Hal ini diduga akibat perbedaan kondisi cekaman lingkungan pada saat seleksi untuk menetapkan pengelompokan genotipe ZH-30-29-07 di tanah masam Lampung.
Kandungan Aldd tanah masam tempat seleksi di Lampung hanya
1.35 me/100 g (Sungkono, 2010), sedangkan Aldd di tanah masam Tenjo lebih
124 tinggi yaitu sebesar 2.73 me/100 g (Tabel 1.1). Perbedaan kondisi cekaman ini menyebabkan perbedaan tingkat toleransi untuk genotipe ZH-30-29-07, tetapi hal ini tidak terjadi pada Numbu serta genotipe peka B-69 dan B-75. Diduga ketiga genotipe tersebut sudah memiliki kestabilan genetik yang lebih baik dibandingkan genotipe ZH-30-29-07. Untuk memperjelas hasil penelitian di lapangan dilakukan serangkaian percobaan di rumah kaca menggunakan rhizotron serta percobaan pada larutan hara, dan analisis di laboratorium. Hasil penelitian di larutan hara dan laboratorium dapat mengungkapkan komponen-komponen yang berperan dalam mekanisme eksternal dan internal terhadap toksisitas Al dan peningkatan penyerapan serta penggunan P pada genotipe sorgum. Percobaan menggunakan rhizotron mengungkapkan kemampuan sorgum beradaptasi pada kondisi bercekaman Al dan defisiensi P di tanah masam. Diameter sebaran akar dan jumlah akar primer yang dapat dilihat melalui percobaan ini menunjukkan terjadi penurunan pada kondisi Al tinggi dan defisiensi P. Genotipe toleran tetap memiliki kondisi perakaran dan tajuk yang lebih baik dibandingkan genotipe peka (Tabel 3.5, Gambar 3.1 dan Gambar 3.3). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perakaran yang baik mampu menunjang pertumbuhan tajuk tanaman. Pertumbuhan akar genotipe toleran di tanah masam tidak dibatasi oleh tingginya Al dan defisiensi P. Hasil analisis kandungan P total jaringan dan efisiensi penggunaan hara P menunjukkan bahwa sorgum memiliki mekanisme internal (toleransi) dalam menghadapi cekaman P rendah di tanah masam dengan meningkatkan efisiensi penggunaan P internal (interrelated), sebaliknya genotipe peka memiliki mekanisme eksternal (penghindaran) melalui peningkatan kadar P total jaringan. Pada percobaan laju serapan spesifik didapatkan informasi bahwa sorgum toleran memiliki mekanisme peningkatan efisiensi penggunaan P yang terjadi pada kondisi Al tinggi dan defisiensi P. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan sorgum toleran membentuk bahan kering akar yang tinggi pada kondisi Al tinggi dan P rendah. Bobot kering akar yang tinggi menunjukkan akar lebih panjang dan rambut akar yang lebih banyak. Kondisi ini akan meningkatkan kontak akar
125 dengan tanah. Menurut Junk et al (1993) faktor kontak akar dengan tanah sangat penting dalam penyerapan hara P yang memiliki mobilitas rendah. Mekanisme toleransi terhadap toksisitas Al dapat ditunjukkan dari percobaan pada larutan hara, uji pewarnaan hematoksilin dan analisis root regrowth. Hasil-hasil percobaan ini menunjukkan bahwa genotipe sorgum toleran Al mampu membentuk bahan kering lebih tinggi, serta memiliki akar dan tajuk lebih panjang daripada genotipe peka pada kondisi bercekaman Al. Nilai panjang akar relatif (PAR) genotipe toleran juga lebih tinggi daripada genotipe peka. Hal ini berkaitan dengan kemampuan genotipe toleran dalam menghadapi cekaman toksisitas Al. Genotipe toleran mampu mencegah Al masuk ke bagian tajuk tanaman dan hanya mengakumulasikan Al pada epidermis akar.
Hal ini
ditunjukkan dari hasil percobaan pada uji pewarnaan hematoksilin. Distibusi Al yang diamati melalui potongan mikroskopis ujung akar menunjukkan bahwa pada genotipe toleran Al hanya di distribusikan pada jaringan epidermis akar dengan nilai kuantitatif rendah yang menunjukkan akumulasi Al rendah, dan sebaliknya pada genotipe peka (Gambar 5.1 sampai 5.12). Kemampuan mencegah masuknya Al ke dalam jaringan tanaman tersebut dapat meningkatkan kemampuan sorgum dalam menumbuhkan kembali akar sekunder setelah tercekam Al. Hal ini dapat dilihat pada percobaan root regrowth yang menunjukkan kemampuan Numbu menumbuhkan kembali akar setelah terkena cekaman Al hingga konsentrasi 148 µM (Gambar 6.1). Pada kondisi bercekaman Al dan pemberian P kurang terjadi penurunan bobot kering total, laju serapan spesifik, kadar P jaringan, dan efisiensi penggunaan P (Tabel 4.2, 4.6, 4.9 dan 4.11). Hal ini menunjukkan besarnya pengaruh Al dan rendahnya ketersediaan P pada kondisi bercekaman Al. Menurut Rao et al. (1999) keberadaan Al tidak hanya menghambat ketersediaan P tetapi juga menghambat transpor dan penggunaannya, Ion Al bermuatan positif dapat berasosiasi dengan gugus fosfat dari ATP atau fosfolipid membran sehingga mempengaruhi efektivitas transportasi proton. Hasil percobaan laju serapan spesifik ini menjelaskan pula bahwa laju serapan sangat tergantung pada genotipe. transpor fosfat tersendiri.
Setiap genotipe diduga memiliki
Transpor fosfat merupakan protein-protein yang
126 berasosiasi dengan membran yang terlibat dalam penyerapan P.
Menurut
Marschner (1995) terdapat dua mekanisme transpor fosfat yaitu yang memiliki afinitas tinggi (high affinity system) yang umumnya bekerja pada P rendah dan yang memiliki afinitas rendah (low affinity system) yang bekerja ketika P cukup. Hasil penelitian ini menunjukkan terjadi penurunan laju serapan spesifik P pada kondisi bercekaman Al (Tabel 4.6). Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi bercekaman Al terjadi penekanan baik pada high affinity system maupun low affinity system. Genotipe toleran Numbu memiliki laju serapan spesifik P sebesar 4.09 mg/g bobot kering akar/hari (Tabel 4.8). Nilai LSS ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai rata-rata genotipe sorgum pada kondisi tanpa cekaman dan P kurang (Tabel 4.6). Hal ini menunjukkan aktivitas high affinity system yang dimiliki Numbu masih aktif bekerja pada kondisi P kurang. Serangkaian hasil percobaan yang telah diuraikan di atas baik di lapangan, rumah kaca maupun laboratorium secara keseluruhan menunjukkan bahwa sorgum memiliki mekanisme dalam menghadapi cekaman toksisitas Al dan defisiensi P berupa kemampuan menghasilkan bahan kering pada saat tercekam Al dan defisiensi P, peningkatan penyerapan hara, peningkatan efisiensi penggunaan hara P, kemampuan menahan distribusi Al pada jaringan akar dan kemampuan menumbuhkan akar setelah tercekam Al.
Pemahaman terhadap
mekanisme toleransi ini dapat digunakan untuk seleksi terhadap toksisitas Al dan defisiensi P di tanah masam. Seleksi adalah prosedur dalam program pemuliaan tanaman yang memilih sejumlah individu atau galur yang memenuhi kriteria seleksi untuk suatu karakter dari suatu populasi yang beragam atau populasi bersegregasi (Stoskopf et al, 1993) Berdasarkan serangkaian hasil percobaan yang telah di lakukan seleksi untuk toleransi terhadap toksisitas Al pada populasi segregan dapat menggunakan parameter panjang akar relatif (PAR) dan metode root regrowth karena tidak bersifat destruktif, sementara uji pewarnaan hematoksilin yang bersifat destruktif dapat digunakan untuk seleksi terhadap toksisitas Al untuk generasi lanjut. Kelebihan metode root regrowth selain tidak destruktif adalah tidak memerlukan kondisi lingkungan yang berbeda dan tidak memerlukan kontrol, sehingga dapat diaplikasikan pada populasi bersegregasi. Kelemahannya adalah
127 tidak dapat menghilangkan pengaruh perbedaan kondisi awal bahan genetik. Untuk mengatasi perbedaan kondisi awal perbedaan bahan genetik antara genotipe toleran dan peka seleksi dapat menggunakan parameter PAR.
Kelebihan
menggunakan nilai PAR adalah dapat menghilangkan pengaruh perbedaan kondisi awal bahan genetik genotipe toleran dan peka, sedangkan kelemahannya adalah memerlukan perlakuan kontrol.
Penggunaan kontrol dapat menyulitkan pada
populasi segregan karena kondisi bahan genetik yang masih terus bersegregasi. Seleksi terhadap toleransi defisiensi hara P pada generasi lanjut dapat menggunakan nilai laju serapan spesifik dan efisiensi penggunaan P yang bersifat destruktif. Kadar P jaringan dan efisiensi penggunaan P juga berkorelasi terhadap kemampuan membentuk bahan kering dalam keadaan tercekam Al (Tabel 3.9). El Bassam (1998) melaporkan bahwa karakter efisiensi penggunaan hara N, P dan K telah digunakan dalam pemuliaan gandum untuk lahan-lahan bermasukan rendah.
Kelebihan menggunakan parameter ini adalah ketepatan nilai yang
didapatkan karena melalui percobaan di rumah kaca dengan kondisi yang lebih terkontrol dibandingkan percobaan di lapangan, serta menggunakan ketepatan hasil analisis kandungan hara jaringan tanaman yang lebih menggambarkan aktivitas fisiologi dan biokimia tanaman. Kelemahan menggunakan parameter ini adalah biaya analisis di laboratorium yang mahal dan tahapan pekerjaan analisis yang sangat komplek. Berdasarkan efisiensi penggunaan P dan bobot kering pada keadaan P rendah, maka didapatkan pengelompokan genotipe sorgum menurut Metode Baligar et al (1997), yaitu: 1. Efisien dan responsif terhadap P yaitu, genotipe yang mempunyai berat kering yang lebih tinggi dibanding rata-rata bobot kering seluruh genotipe dan mempunyai EPP lebih tinggi dibanding rata-rata seluruh genotipe. Genotipe tersebut adala Numbu 2. Efisien dan tidak responsif terhadap P yaitu, genotipe yang mempunyai bobot kering yang lebih tinggi dibanding rata-rata bobot kering seluruh genotipe, tetapi mempunyai EPP lebih rendah dibanding rata-rata seluruh genotipe 3. Tidak efisien dan responsif terhadap P yaitu, genotipe yang mempunyai bobot kering yang lebih rendah dibanding rata-rata bobot kering seluruh genotipe, tetapi mempunyai EPP lebih tinggi dibanding rata-rata seluruh genotipe
128 4. Tidak efisien dan tidak responsif terhadap P yaitu, genotipe yang mempunyai bobot kering yang lebih rendah dibanding rata-rata bobot kering seluruh genotipe, tetapi mempunyai EPP lebih rendah dibanding rata-rata seluruh genotipe . Kelompok genotipe ini adalah ZH-30-29-07, B-69 dan B-75. Pengelompokan ini dapat digunakan untuk menunjukkan tingkat adaptasi genotipe sorgum terhadap defisiensi hara P yang dapat digunakan untuk menunjukkan kesesuaian lingkungan target pengembangan sorgum. Genotipe Numbu (toleran) dalam penelitian ini termasuk kelompok sorgum efisien dan responsif terhadap hara P, sedangkan ZH-30-29-07, B-69 dan B-75 termasuk dalam kelompok sorgum tidak efisien dan tidak responsif terhadap hara P di larutan hara (Gambar 7). Pengelompokan ke dalam efisien dan responsif pada Numbu menunjukkan bahwa Numbu memiliki adaptasi luas terhadap cekaman di tanah masam. Tingkat adaptasi luas ini menyebabkan Numbu mampu berproduksi tinggi pada lingkungan bercekaman Al dan defisiensi P. Jadi Numbu cocok dikembangkan baik pada tanah masam maupun tanah-tanah non marjinal.
r a ta -r a ta bo bo t ke ring
3 .0
2 .5
num bu
efisien & tidak responsif
efisien & responsif
num bu num bu
EPP
2 .0
1 .5 zh
1 .0
r a ta -r a ta EPP
zh zh b7 5
0 .5
b7 5 b6 9 b6 9
0 .0
b7 5
b6 9
tidak efisien & tidak responsif 0 .1
tidak efisien & responsif 0.2
0.3
0.4
0.5
BK
Gambar 7. Pengelompokan empat genotipe sorgum berdasarkan efisiensi penggunaan P dan bobot kering pada kondisi bercekaman Al dan P rendah di larutan hara
129 Untuk mendapatkan genotipe sorgum yang efisien dan responsif terhadap hara P dapat menggunakan metode pemuliaan Shuttle Breeding. Menurut Ortiz et al (2011), Shuttle Breeding adalah salah satu prosedur dalam pemuliaan tanaman yang melakukan seleksi tanaman pada dua kondisi lingkungan berbeda yaitu kondisi optimum dan kondisi lingkungan bercekaman secara bergantian. Tujuan menggunakan metode ini adalah untuk mengakumulasikan gen-gen produktivitas yang berperan dalam peningkatan produksi pada kondisi optimum, dan meningkatkan akumulasi gen-gen toleransi yang mengendalikan toleransi tanaman pada seleksi di lingkungan bercekaman. Hubungan antara toleransi Al dan defisiensi P dari data lapangan dan percobaan menggunakan rhizotron menunjukkan bahwa pada Al tinggi genotipe sorgum toleran tidak responsif terhadap penambahan pupuk P. Hal ini menunjukkan sifat efisiensi terhadap penggunaan hara P sangat tergantung terhadap cekaman Al, sehingga seleksi diarahkan terlebih dahulu terhadap toleransi Al kemudian dilanjutkan terhadap toleransi defisiensi hara P. Artinya karakter-karakter yang menunjukkan toleransi sorgum terhadap cekaman Al seperti panjang akar, kemampuan menghasilkan bahan kering, kemampuan menahan distribusi Al pada ujung akar dan kemampuan menumbuhkan kembali akar setelah terkena cekaman dapat digunakan lebih awal pada kegiatan seleksi. Data dari penelitian ini memberi gambaran bahwa mekanisme toleransi Al pada tanaman sorgum berbeda-beda. Dalam kaitan dengan hara P, mekanisme toleransi ada yang dipengaruhi dan ada yang tidak dipengaruhi oleh efisiensi P. Baligar et al (1997) melaporkan bahwa genotipe jagung dan sorgum yang toleran Al tidak selalu efisien dalam menggunakan hara P. Hasil penelitian ini memberikan informasi bahwa sorgum Numbu (toleran) memiliki beberapa mekanisme adaptasi terhadap toksisitas Al dan defisiensi P di tanah masam yaitu: 1) memiliki diameter sebaran akar dan jumlah akar primer yang lebih banyak daripada genotipe peka 2) memiliki akar lebih panjang, 3) memiliki laju serapan spesifik P tinggi, 4) meningkatkan efisiensi penggunaan P pada saat bercekaman Al dan defisiensi P, 5) mampu menahan distribusi Al ke bagian tengah akar, dan 6) memiliki kemampuan menumbuhkan kembali akar yang rusak akibat terkena cekaman Al.
130 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian di tanah masam dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tanggap agronomi genotipe sorgum terhadap toksisitas Al dan defisiensi fosfor di tanah masam. Genotipe toleran lebih mampu membentuk bahan kering dan hasil tinggi dibandingkan genotipe peka di tanah masam. Genotipe sorgum memiliki perbedaan toleransi terhadap cekaman Al. Genotipe toleran memiliki akar lebih panjang dan bobot biomassa lebih tinggi daripada genotipe peka. Konsentrasi Al 74 µM merupakan konsentrasi yang mampu
menghambat
pertumbuhan
pada
genotipe
sorgum
yang
dapat
menyebabkan perbedaan nyata penurunan panjang akar dan bobot biomassa, .Numbu memiliki diameter sebaran akar dan akar lebih panjang daripada genotipe peka serta mampu mempertahankan bobot kering tajuk yang lebih tinggi daripada genotipe peka pada kondisi tercekam Al dan defisiensi P. Genotipe toleran memiliki laju serapan spesifik P dan efisiensi penggunaan P lebih tinggi daripada genotipe peka yang menunjukkan mekanisme internal terhadap cekaman defisiensi hara P, sebaliknya genotipe peka memiliki kadar P jaringan tinggi tetapi efisiensi penggunaannya rendah yang menunjukkan mekanisme eksternal dalam menghadapi cekaman defisiensi P. Efisiensi penggunaan P yang lebih tinggi dari kebutuhan P di jaringan merupakan dasar mekanisme efisiensi P dalam keadaan tercekam Al pada sorgum.
Efisiensi
penggunaan P yang lebih tinggi berkorelasi dengan kemampuan sorgum untuk mempertahankan bobot kering dalam keadaan tercekam Al. Distribusi dan akumulasi Al yang lebih sedikit pada ujung akar merupakan indikasi mekanisme eksternal terhadap cekaman Al pada genotipe sorgum toleran. Genotipe sorgum toleran memiliki kemampuan menumbuhkan kembali akar setelah terkena cekaman Al. Genotipe Numbu, ZH-30-29-07 dan B-75 mampu menumbuhkan akar kembali setelah terkena cekaman pada konsentrasi 74 µM Al.
131 Saran Untuk melakukan seleksi sifat toleransi sorgum terhadap toksisitas Al pada populasi segregan dapat menggunakan metode analisis root regrowth, sedangkan untuk seleksi pada populasi generasi lanjut dapat menggunakan metode uji pewarnaan hematoksilin.
Seleksi untuk sifat toleransi terhadap defisiensi P
sebaiknya dilakukan setelah seleksi sifat toleransi terhadap toksisitas Al di tanah masam. Perlu dipelajari kemungkinan adanya mekanisme lain terhadap cekaman toksisitas Al seperti eksudasi asam organik dan eksudasi enzim pelarut fosfat untuk menghadapi cekaman defisiensi P pada sorgum hasil mutasi fisika sinar gamma. Genotipe Numbu yang teridentifikasi toleran, efisien dan responsif dilarutan hara terhadap hara P dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber gen dalam perbaikan varietas untuk toleransi terhadap cekaman toksisitas Al dan defisiensi P di tanah masam.
DAFTAR PUSTAKA Alam S.M., Navqi, S.S.M., Anzari R. 1999. Impact of Soil pH on Nutrient Uptake by Crop Plants. In M. Pessarakli (ed). Handbook of plant and Crop Stress. New York: Marcel Dekker. P:51-60 Baharsyah S. 1990. Penghapusan Subsidi Pupuk, Suatu Tinjauan Ekonomis. Prosiding Lokakarya Nasional Effisiensi Penggunaan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Baligar,V.C., Pitta GVE, Gama EEG, Schaffert RE, Filho EC, Vasconcellos CA, Bahia Filho AF Dec, Clarck RB. 1997. Soil Acidity Effect on Nutrient Use Efficiency in Exotic Maize Genotypes. Plant and Soil. 192:9-13 Blair G. 1993. Nutrient Efficiency-What Do We Really Mean? PJ Randall (ed). Genetic aspects of plant mineral nutrition. p205-213. Blamey, F.P.C.; C.J. Asher, G.L. Kerven and D.G. Edwards. 1997. Factors affecting aluminum sorption by calcium pectate. Plant and Soil 149: 87-94. Blum A. 1988. Plant Breeding for Stress Environment. Boca Raton: CRC. Pr Bullard R W, J O York. 1985 Breeding for Bird Resistance in Sorghum and Maize. In Progress in Plant Breeding I. G.E Russel (ed). Butterworthand Co. Ltd, London. 325 pp Caradus J R. 1990. Selection for improved adaptation of white clover to low phosphorous and acid soils. Euphytica J. 77:243-250 Clarckson DT, Grignon C. 1991. The Phosphate Transport System and Its Regulation in Roots. in Johansen C, Lee KK, and Sahrawat KL (eds) Phosphorus Nutrition of Grain Legumes in Semi-Arid Tropics. ICRISAT (International Crop Research Institute for The Semi Arid Tropics). Patancheru, India. 49-62. Crowley DE, Rengel Z. 2000. Biology and Chemistry of Nutrient Availability in the Rhizosphere. in Z Rengel (Ed.) Mineral Nutrition of Crops. Fundamental Mechanisms and Implications. The Haworth Press, Inc. NY.pp1-40 Degenhardt J, Larsen PB, Howell SH, Kochian LV. 1998. Aluminium Resistance in Arabidopsis Mutan Alr-104 is Caused by Aluminum-Induced in Rhizosphere pH. Plant Physiol. 117:19-27 Delhaize, E, P R. Ryan. 1995. Aluminum Toxicity and Tolerance in Plant. Plant Physiol 107:315-321
133 Delhaize, E, P R. Ryan, P J. Randall. 1993. Aluminum Tolerance in Wheat (Triticum aestivum L.). Plant Physiol 103:695-702 Ditjen Tanaman Pangan. 2007. Arah Kebijakan Pengembangan Sorgum sebagai Sumber Bahan Baku Bioetanol. hal. 1-14 Makalah pada workshop “Peluang dan Tantangan Sorgum sebagai Bahan Baku Bioetanol”. Departemen Pertanian. Jakarta 23 September 2007. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1992. Makanan. Bhratara, Jakarta. 57 hal
Daftar Komposisi Bahan
Dobermann A, Fairhust T. 2000. Rice, Nutrient Disorders and Nutrient Management. IRRI and Potash & Phosphate Institute of Canada. Duncan, R.R., V C Baligar. 1990. Genetics, Breeding and Physiological Mechanism of Nutrient Uptake and Use Efficiency: An overview. In V.C Baligar, R R Duncan (eds). Crop as Enhancer of Nutrient Use. Academic Press, San Diego.p47-59 El Bassam N. 1998 A Concept of Selection for Low Input Wheat Varieties. Euphytica . 100:95-100 Fatimah. 1997. Penentuan Gen Toleransi Kedelai terhadap Aluminium. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 41 hal Foy C D. 1996. Tolerance of Barley cultivar to acid, aluminium-toxic subsoil related to mineral element concentration in their shoots. Journal of Plant Nutrition 19:1361-1380 Freeman, J E. 1970 Development and Structure of The Sorghum Plant and Its Fruit. in Sorghum Production and Utilization: Major Feed and Food Crops in Agriculture and Food Series. Editor: Joseph S. Wall and William M. Ross. The Avi Publishing Company, Connecticut. Pp. 28-72. Gordon-Weeks R, Tong Y, Emyr Davies TG, Leggewie G. 2003. Restricted Spatial Expression of a high-affinity phosphate transporter in potato roots. J Cell Sci 116: 135-144. Gottlein, A, A. Heim, and E. Matzner. 1999. Mobilization of Aluminum in The Rhizosphere Soil Solution of Growing Tree Roots in an Acidic Soil. Plant and Soil. 211:41-49. Gupta, U.S., 1997. Crop Improvement Stress Tolerance Science. Publisher. New Hamspshire. P: 34-559
134 Hairiah, K., Utami, S.R., Suprayogo, D., Widianto, Sitompul, S.M., Sunaryo, Lusiana, B., Mulia, R., van Nordwijk, M., Cadisch, G. 2000. Agroforestri pada Tanah Masam di Daerah Tropika Basah: Pengelolaan Interaksi Antara Pohon-Tanaman Semusim. International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF). Bogor. Hammond, J P, Broadley, M R, White, P J. 2004. Genetic Responses to Phosphorus Deficiency. Ann. Bot. 94: 323-332. Haynes, R J. 1990. Active Ion Uptake and Maintenance of Cation-Anion Balance: A Critical Examination of Their Role in Regulating Rhizosphere pH. Plant and Soil 126:247-264 Hidayat, A, Any, M. 2002. Lahan Kering untuk Pertanian. Dalam: Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Penyunting: Abdurachman Adimihardja, Mappaona dan Arsil Saleh. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Deptan, Bogor. Hal 1-34 Hoeman, S. 2007. Peluang dan Potensi Pengembangan Sorgum Manis. Makalah pada Workshop ”Peluang dan Tantangan Sorgum Manis sebagai Bahan Baku Bioetanol”. Ditjen Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. 10 hal Hopkins A A, D P Malinowski, H Zhang, D W Walker. 2004. Russian Wildrye Seedling are Sensitive to Acid Soils. Crop Sci. 44:2187-2192 House, Leland, R. 1985. A Guide to Sorghum Breeding. 2nd Ed. International Crops Research Institute for Semi-Arid Tropics (ICRISAT), Patancheru India. 206 p Horst, W.J., N. Schmohl, M. Kollmeier, F. Baluska, M. Sivaguru. 1999. Does Aluminum Affect Root Growth of Maize Throught Interaction with The Cell Wall – Plasma Membrane – Cytoskeleton Continuum?. Plant and Soil. 215:163-174. Huang J. W., Shaf J.E., Grunes D.L., dan Kochian L.V. 1992. Aluminum and Effect on Calcium Fluxes at The Root Apex of Aluminium Tolerant and Aluminium Sensitive Wheat Cultivars. Plant Physiol. 98:230-237 Huguenin O, GJD Kirk, E Frossard. 2003. Phosphorus Efficiency in Lowland Rice Cultivars. www.Ipw.Agrt.Ethz.ch (diakses: 20 Juni 2010) Iijima M, T Higuchi, P W Barlow. 2004. Contribution of Root Cap Mucilage and Presence of An Infact Root Cap in Maize (Zea mays L) to The Reduction of Soil Mechanical Impedance. Ann Bot J. 93(3):473-477
135 Jagau Y. 2000. Fisiologi dan Pewarisan Efisiensi Nitrogen dalam Keadaan Cekaman Aluminium pada Padi Gogo (Oryza sativa L.). Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Junk A, Seeling B, Gerke J. 1993. Mobilization of Different Phosphate Fractions in The Rhizosphere. Plant and Soil. 155:91-94 Kinroide T B. 1991. Identity of The Rhizotoxic Aluminum Species. Plant Soil 134 : 167-178 Kochian, L V. 1995. Celluler Mechanism of Aluminum Toxicity and Resistance in plant. Ann. Rev. Plant Physiol. Mol. Biol. 46:237-260 Kochian, L V. ,O A. Hoekenga. 2004 How Do Crop Plant Tolerance Acid Soils? Mechanism of Aluminium Tolerance and Phosphorus Efficiency. Ann. Rev. Plant Biol. 55:459-493 Kochian, L V, M A Pineros, O A. Hoekenga. 2005. The Physiology, Genetics and Molecular Biology of Plant Aluminum Resistance and Toxicity. Plant and Soil. 274:175-195 Li, M., Mitsuru O., Idupulapati M.R., Toshiaki T. 1997. Secretion of Phytase from The Roots of Several Plant Species Under Phosphorus-Deficient Conditions. Plant and Soil 195: 161–169, 1997 Lynch, J, E Beebe. (1995). Root Architecture and Plant Productivity. Plant Physiol., 109, 7-13. MacDiarmid, C W, Gardner R C. 1996. Al Toxicity in Yeast. A Role for Mg. Plant Physiol 112:1101-1109 Magalhaes, J V, D F Garvin, Y Wang, M E Sorrels, P E Klein, R E Schaffert, L Li, L V Kochian. 2004. Comparative Mapping of A Major Aluminum Tolerance Gene in Sorghum and Other Species in The Poaceae. Genetics. 167: 1905-1914 Ma, J F. 2000. Role of Organic Aids in Detoxification in Higher Plants. Plant Cell Physiol. 41(4):383-390. Ma, J F, Zheng S J, Matsumoto, H. 1997. Specific Secretion of Citric Acid Induced by Al Stress in Cassia tora (L). Plant Cell Physiol. 38:1019-1025 Ma, J F, Sakiko N, C F Huang, Minoru N. 2005. Isolation and Characterization of A Rice Mutant Hypersensitive to Al. Plant and Cell Physiology Advance Access Published. 41 p Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. Second Edition. London: Academic Press Harcourt Brace and Company Publishers. 889 p
136
Marschner , H, E Kirkby, I Cakmak. 1996. Effecy of Mineral Nutrition Status on Shoot-Root Partitioning of Photo Assimilates and Cycling of Mineral Nutrients. J. Exp.Bot. 47:1255-1263 Martin, J H. 1970. History and Classification of Sorghum. in: Sorghum Production and Utilization: Major Feed and Food Crops in Agriculture and Food Series. Joseph S. W, William M. R (eds). The Avi Publishing Company, Connecticut. Pp. 1-27 Mattjik AA, I M Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid 1. IPB Press,Bogor. 75 hal Matsumoto H, Y Senoo, M Kasai, M. Maeshima. 1992. Response of The Plant Root to Aluminum Stress: Analysis of The Inhibition of The Root Elongation and Changes in Membrane Function. J Plant Res. 109:99-105 Matsumoto H., Y.Yamamoto and M. Kasai. 2003. Change of Some Properties of The Plasma Membrane Enriched Fraction of Barley Roots Related to Aluminum Stress: Membranes Associated ATP-ase, Aluminum, and Calcium. Soil Sci. Plant Nutr. 38:411-419 Mengel, K, Kirby E A. 1982. Principle of Plant Nutrition. Int. Potash Institute. Bien Switzerland. Advance in Agronomy Vo.33.pp75 Mimura, T, Dietz K J, Kaiser W, Schramm M J, Kaiser G, Heber, U. 1996. Phosphate Transport Aacross Biomembranes and Cytosolic Phosphate Homeostasis in Barley Leaves. Planta 180: 139-146. Murley, V R, Theodorou M E. 1998. Phosphate Starvation-Inducible Pyrophosphate-Dependent Phosphofructokinase Occurs in Plants Whose Roots Do Not Form Symbiotic Associations with Mycorrhizal Fungi. Physiologia Plantarum 103: 405-414 Nur, A. 2009. Identifikasi dan Seleksi Jagung Quality Protein Maize (QPM) Resisten Penyakit Bulai (Peronosclerospora maydis) dan Toleran Kemasaman Tanah. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Nursyamsi, D. 2000. Aluminum Tolerance of Tropical Crops (Tesis). Hokkaido: Graduate School of Agriculture, Hokkaido University. Ohki, K. 1987. Aluminum Stress on Sorghum Growth and Nutrient Relationships. Plant and Soil: 98 (195-202). Okada K, Fischer AJ, Ferez-Salasar FA, Canon-Romero Y. 2003. Difference in retention of Ca and Al as possible mechanism of Al resistance in upland rice: Soil Sci Plant Nutr 49:889-895
137 Ortiz, R, Richard, T, Guillermo, O.F, Masa I, John, H, Jonathan, H.C, Jose, C, Hans J.B. 2011. High Yield Potential, Shuttle Breeding, Genetic Diversity and a New International Wheat Improvement Strategy. Euphytica (J), 157 (3): 365-384 Pellet, D.M., Grunes D.L., Kochian, L.V. 1995. Organic Acid Exudation as Aluminium-Tolerance Mechanism in Maize (Zea mays L.). Planta 196:788795 Pellet DM, Papernik L.A. Kocian L.V. 1996. Multiple Aluminium-Resistance Mechanisms in Wheat. Plant Physiol. 122:591-597 Peng S, Ismail A M. 2004. Physiological Basis of Yield and Environmental Adaptation in Rice. Physiology and Biotechnology Integration for Plant Breeding Edited by Henry T . Nguyen and Abraham Blum IRRI, Manila Phillipina Pineros, Miguel A. L V. Kochian. 2002. A Ptach-Clamp Study on The Physiology of Aluminum Toxicity and Aluminum Tolerance in Maize. Identification and Characterization of Al+3 Induced Anion Channels. Plant Physiol. 125:292-305 Ping, W J, R Harsh, Z G Ping, M Neville, Z M Xue. 2006. Aluminum Tolerance in Barley (Hordeum vulgare L.) Physiological Mechanism, Genetics, and Screening Methods. J of Zhejiang. 7 (10):769-787 Poirer, Y, Thoma S, Sommerville C, Scievelbien J. 1991. A Mutant of Arabidopsis Deficient in Xylem Loading of Phosphate. Plant Physiol. 97:1087-1093 Polle, E.A., Konzak C.F. 1990. Genetics and Breeding of Cereals for Acid Soil and Nutrient Efficiency. In Balligar V.C, Duncan RR (eds). Crop as Enhancers of Nutrient Use. Academic Press. San Diego. P:81-131. Raghothama KG. 1999. Phosphate Acquisition. Annu. Rev. Plant Physiol. Plant Mol. Biol. 50: 665-693. Rajvanshi, AK, N Nimbkar. 2001. Sweet Sorghum R&D at the Nimbkar Agriculture Research Institute (NARI). Nimbkar Agriculture Research Institute (NARI), Maharshtra India. Rao, I.M., Friesen, D.K., Osaki, M. 1999. Plant Adaptation to PhosphorousLimited Tropical Soil. In Pessarakli, M (ed). Handbook of Plant and Crop Stress. New York: Marcel Dekker. P:61-81
138 Rao, I M, Terry N. 1999. Leaf Phosphate Status, Photosynthesis and Carbon Partitioning in Sugar Beet. I. Change in Growth, Gas Exchange, and Calvin Cycle Enzyme. Plant physiol. 90: 814-819. Reddy, B V S, William D. D. .2007. Sweet Sorghum for Bioethanol. Makalah pada workshop “Peluang dan Tantangan Sorgum Manis sebagai Bahan Baku Bioethaol”. Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. 8 hal Rengel Z. 1997. Physiological Mechanisms Underlying Differential Nutrient Efficiency of Crop Genotype. Mineral Nutrition of Crops. Fundamental Mechanism and Implications. Food Product Press, New York. 227-266. Rengel Z. 2000. Genetic Control of Root Exudation. Plant and Soil. 245(1): 59-70 Salisbury, F B, C W Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Edisi keempat. Terjemahan Diah R Lukman dan Sumaryono. ITB, Bandung. 343 hal Schaffert, R E, E M Sorgo, V M C Alves, S N Parentoni, K G Ragothama. 2000. Genetic Control of Phosphorus Uptake and Utilization Efficiency in Maize and sorghum under marginal soil conditions. Purdue University. http//www.isu.edu (diakses: 14 Maret 2009). Schchtman, D P, Reid R J, Ayling S M. 1998. Phosphorous Uptake by Plant: from Soil to Cell. Plant Physiol. 116:447-452 Sitompul, S M, B Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 412hal Sivaguru M, Paliwal K. 1993. Differential Al Tolerance in Some Tropical Rice Cultivars. Growth Performance. J of Plant Nutr. 16:1705-1716 Sopandie, D, Jusuf M, Aisah S. 2000. Toleransi terhadap Aluminium pada Akar Kedelai. Deteksi Visual Penetrasi Aluminium dengan Metode Pewarnaan Hematoksilin. Comm.Ag. 6(1):25:32 Sopandie, D. 2006. Perspektif Fisiologi dalam Pengembangan Tanaman Pangan di Lahan Marjinal. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fisiologi Tanaman. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, 16 September 2006. Stoskopf, N.C, D.T Tomes, B.R Christie. 1993. Plan Breeding Theory and Practice. Clavis Software Inc. Guelph, Ontario Canada. 531pp
139 Sungkono. 2010. Seleksi Galur Mutan Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) untuk Produktivitas Biji dan Bioetanol Tinggi di Tanah Masam melalui Pendekatan Participatory Plant Breding. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Steenis V C G. 1975. Flora Voor de Schgen in Indonesia. Terjemahan Sorjowinoto M..PT. Pradnya Paramitha, Jakarta.
Edisi VI.
Swasti E. 2004. Fisiologi dan Pewarisan Sifat Efisiensi Fosfor pada Padi Gogo dalam Keadaan Tercekam Aluminium. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Syafruddin. 2002. Fisiologi hara fosfor pada tanaman jagung (Zea mays L.) dalam kondisi cekaman aluminium. Tesis. Program Pascasarjana, IPB, Bogor. Syarif A.A. 2005. Adaptasi dan Ketoleranan Genotipe Padi Terhadap Defisiensi fosfor di Tanah Sawah. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Taiz, L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Third Edition. Sinauer Associates, Publishing Company, Inc. Sunderland, Massachusetts. 690 p Taylor, G.J. 1991. Current Views of The Aluminium Stress Response. The Physiological Basis of Tolerance. Curr. Trop. Plant Biochem Physiol. 10:57-93. Trikoesoemaningtyas. 2002. Fisiologi dan Pewarisan Sifat Efisiensi Kalium dalam Keadaan Tercekam Aluminium pada Padi Gogo. Disertasi. Program Pascasarjan Institut Pertanian Bogor Tisdale, S L, Nelson, W I, Beaton J D. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. Macmillan Publishing. New York. Van, D H, J, Setijono, S., Syekhfani, M.S., Flach, E.N., Hairiah, K., Ismunandar, S., Sitompul, S.M., ,Van N, M. 1992. Can Low Eksternal Input Cropping System in Acid Upland Soil in The Humid Tropics be Sustainable? Backgrounds of the Unibraw/IB Nitrogen Management Project in Bunga Mayang. Agrivita 15:1-10 Vitorello, V A, Capaldi, F R, Stefanuto V A. 2005. Recent Advances in Aluminum Toxicity and Resistance in Higher Plants. Braz J Plant Physiol 17:129-143 Wasaki, J., Takuya Y., Takuro S. Mitsuru O. 2003. Secreted Acid Phosphatase is Expressed in Cluster Roots of Lupin in Response to Phosphorus Deficiency. Plant and Soil 248: 129–136.
140 Wissuwa M, Ae N. 2001. Further Characterization of Two QTLs that Increase Phosphorus Uptake of Rice (Oryza sativa L). Under Phosphorus Deficiency. Plant and Soil, 237: 275-286 Yamamoto YT, K Ono, K Mametsuka, M Kasai, H Matsumoto. 1992. Growth Inhibition by Aluminum is Alleviated by Phospathe Starvation in Cultured Tobacco Cell. in Plant Cell Walls as Biopolymers with Physiological Functions. Yamada Science Foundation, Osaka. pp 404-406 Yudiarto, M. A. 2006. Pemanfaatan Sorgum sebagai Bahan Baku Bioetanol. Balai Besar Teknologi Pati (B2TP), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lampung.
LAMPIRAN
142 Lampiran 1. Denah penelitian toleransi terhadap Al dan defisiensi P di tanah masam Jasinga M5GT1
M4GP1
M6GT2
M5GP1
M4GP2
M6GP2
M5GT2
M4GT1
M6GT1
M5GP2
M4GT2
M6GP1
M4GT2
M6GT1
M5GT1
M4GP1
M6GP1
M5GT2
M4GT1
M6GP2
M5GP1
M4GP2
M6GT2
M5GP2
M6GP2
M5GT2
M4GP1
M6GP1
M5GT1
M4GT2
M6GT2
M5GP2
M4GT1
M6GT1
M5GP1
M4GP2
M2GT1
M3GT2
M1GP2
M2GP1
M3GP2
M1GP1
M2GP2
M3GP1
M1GT1
M2GT2
M3GT1
M1GT2
M3GT1
M1GT2
M2GP1
M3GT2
M1GP1
M2GP2
M3GP2
M1GT1
M2GT2
M3GP1
M1GP2
M2GT1
M1GP1
M2GP1
M3GT2
M1GP2
M2GT1
M3GP1
M1GT2
M2GT2
M3GT1
M1GT1
M2GP2
M3GP2
I Keterangan : I, II, dan III M1 M2 M3 M4 M5 M6 GT1 GT2 GP1 GP2
II : Ulangan : Al tinggi - tanpa P : Al tinggi - P kurang : Al tinggi - P cukup : Al rendah - tanpa P : Al rendah - Pkurang : Al rendah - P cukup : Numbu : ZH-30-29-07 : B-69 : B-75
III
143
Lampiran 2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah (Pusat Penelitian Tanah, 1983) ________________________________________________________________ Sifat Tanah Sangat Rendah Sedang Tinggi Sangat Rendah Tinggi __________________________________________________________________ C-Organik (%)
<1,0
1,0-2,0
2,01-3,00
3,01-5,00
>5,0
Nitrogen (%)
<0,10
0,1-0,2
0,21-0,50
0,51-0,75
>0,75
C/N
<5
5-10
11-15
16-25
>25
P2O5 HCl (mg/100 g) <10
10-20
21-40
41-60
>60
P2O5 Bray 1 (ppm)
<10
10-15
16-25
26-35
>35
P2O5 Olsen (ppm)
<10
10-25
26-45
46-60
>60
10-20
21-40
41-60
>60
K2O HCl 25% (mg/100 g)<1
KTK (me/100 g) <5 5-16 17-25 26-40 >40 __________________________________________________________________ Susunan Kation __________________________________________________________________ Ca (me/100 g)
<2
2-5
6-10
11-20
>20
Mg (me/100 g)
<0,1
0,1-0,3
0,4-0,7
0,8-1,0
>1,0
K (me/100 g)
<0,1
0,1-0,3
0,4-0,5
0,6-1,0
>1,0
Na (me/100 g)
<0,1
0,1-0,3
0,4-0,7
0,8-1,0
>1,0
Kejenuhan Al (%)
<5
5-21
22-30
31-60
>60
Kejenuhan Basa (%) <20 20-40 41-60 61-80 >80 __________________________________________________________________ Reaksi Tanah __________________________________________________________________ Sangat Masam Agak Netral Agak Alkali Masam Masam Alkali __________________________________________________________________ pH H2O <4,5 4,5-5,5 5,6-6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 >8,5 __________________________________________________________________