STUDI PEMBUATAN BERAS ANALOG DARI BERBAGAI SUMBER KARBOHIDRAT MENGGUNAKAN TEKNOLOGI HOT EXTRUSION
SKRIPSI
SUBA SANTIKA WIDARA F24080046
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
STUDY OF RICE ANALOGUE PRODUCTION FROM VARIOUS CARBOHYDRATE SOURCES USING HOT EXTRUSION TECHNOLOGY Suba Santika Widara and Slamet Budijanto Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone: +62 857 15872196, E-mail:
[email protected]
Analog rice is artificial rice product made from non rice and non wheat raw material by twin screw extruder. The objectives of this research were to formulate and to characterize rice analog made from a mixture of sorghum, corn, mocaf, maizena and aren sago. The method of rice analog production is hot extrusion by twin screw extruder. The research steps were formulation of analog rice, hedonic rating sensory evaluation to choose best sample, and characterization physicochemical of best sample. The best two samples were choosen. They were analog rice made from sorghum flour 30% maizena 15% and aren sago 15% and analog rice made from mocaf 30% and maizena 30%. Both of best samples had higher carbohydrate and dietary fiber content than polished rice.
Keywords: analogue rice, extrusion, polished rice
SUBA SANTIKA WIDARA. F24080046. Studi Pembuatan Beras Analog Dari Berbagai Sumber Karbohidrat Menggunakan Teknologi Hot Extrusion. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Slamet Budijanto, M. Agr. 2012.
RINGKASAN Salah satu masalah diversifikasi pangan di Indonesia terutama diversifikasi makanan pokok adalah ketergantungan masyarakat terhadap beras. Hal tersebut disebabkan oleh pergeseran pola makanan pokok di Indonesia yang membuat beras sebagai makanan pokok tunggal (Ariani, 2010). Di lain pihak, Indonesia kaya akan produk sumber karbohidrat lain seperti jagung, singkong, sorgum, sagu, dan umbi-umbian lainnya. Bahan-bahan tersebut sudah digunakan sebagai bahan pangan, namun masih belum bisa menggantikan beras sebagai makanan pokok. Kendala dalam mengonsumsi bahan tersebut sebagai bahan makanan pokok disebabkan tidak tersedinya dalam bentuk bahan yang mudah diolah, kurangnya pengetahuan gizi masyarakat, kurangnya kesiapan masyarakat secara psikologis untuk mengganti makanan pokok dan kurangya ketersediaan produk pangan yang memenuhi selera masyarakat. Masyarakat merasa bosan dengan cara konsumsi umbi-umbian yang belum bervariasi sehingga lebih memilih produk berbasis gandum sebagai pengganti beras (Hidayah, 2011). Untuk meningkatkan konsumsi bahan-bahan tersebut sebagai makanan pokok, salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah mengolah bahanbahan tersebut menjadi produk yang dapat dikonsumsi seperti beras. Salah satu produk olahan sumber karbohidrat non padi mirip beras yang dikembangkan akhir-akhir ini adalah beras tiruan atau beras analog. Beras tiruan adalah produk pangan berbentuk seperti beras dengan kandungan karbohidrat mendekati atau melebihi beras yang dapat terbuat dari tepung-tepungan lokal maupun beras (Samad, 2003; Deptan, 2011). Beras analog merupakan beras tiruan yang hanya terbuat dari tepung-tepungan selain beras (Budijanto dkk., 2011). Beras analog dapat meningkatkan diversifikasi makanan pokok tanpa mengubah kebiasaan makan masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memformulasi dan mengkarakterisasi kandungan gizi beras analog terbuat dari campuran tepung sorgum, mocaf, jagung, maizena dan sagu aren. Penelitian ini terbagi menjadi tiga tahap yaitu (1) penelitian pendahuluan, (2) penelitian utama pembuatan beras analog, dan (3) karakterisasi beras analog. Penelitian pendahuluan yang dilakukan meliputi penentuan perbandingan jumlah tepung dan pati, penentuan jumlah air yang ditambahkan, dan penentuan jumlah GMS yang ditambahkan. Penelitian utama meliputi pembuatan beras analog, uji rating hedonik beras dan nasi beras analog untuk menentukan formula terbaik, dan tahap terakhir adalah karakterisasi (uji kimia dan fisik) beras analog formula terbaik. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa perbandingan jumlah pati dan tepung pada pembuatan beras tiruan adalah 30% pati dan 70% tepung. Pada penelitian pendahuluan juga diketahui bahwa tidak dapat digunakan satu jenis tepung, sehingga digunakan dua jenis tepung pada tiap formulasi yaitu tepung jagung dan tepung substitusi (sorgum dan mocaf) dengan perbandingan 4:3. Hasil penelitian pendahuluan juga menunjukkan jumlah air optimum adalah 50% dan jumlah GMS optimum adalah 2% dari jumlah total bahan (tepung + pati). Penelitian utama dilakukan meliputi pembuatan dan uji sensori beras analog. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan membandingkan dua faktor yaitu jenis tepung substitusi dan jenis pati. Jenis tepung subtitusi yang digunakan adalah tepung sorgum dan tepung mocaf. Jenis pati yang digunakan adalah pati (sagu) aren, pati jagung (maizena) dan campuran keduanya. Kombinasi dari dua faktor tersebut menghasilkan enam formula. Keenam formula yang telah dibuat kemudian diuji sensori dalam
bentuk beras dan dalam bentuk nasi. Uji yang dilakukan adala uji rating hedonik menggunakan skala garis oleh 70 panelis tidak terlatih. Berdasarkan uji rating hedonik, sampel yang memiliki tingkat kesukaan paling tinggi adalah beras formula B dan formula F. Formula B terdiri dari tepung jagung 40%, tepung sorgum 30%, maizena 15%, pati sagu aren 15% dan GMS 2%. Formula F terdiri dari tepung jagung 40%, mocaf 30%, maizena 30% dan GMS 2%. Formula terbaik dianalisis lebih lanjut sifat kimia dan sifat fisiknya. Sifat kimia meliputi kandungan gizi (analisis proksimat dan serat pangan), kadar pati dan amilosa. Sifat fisik meliputi warna, bobot 1000 butir dan densitas kamba. Hasil uji proksimat menunjukkan bahwa beras formula B mengandung 10.58% kadar air (bk), 0.52% kadar abu (bk), 6.95% kadar protein (bk), 1.12% kadar lemak(bk), 91.60% kadar karbohidrat by difference dan kandungan serat pangan beras B adalah 4.00%. Kadar pati beras formula B adalah 64.48% dan kadar amilosanya adalah 21.72%. Hasil uji proksimat menunjukkan bahwa beras formula F mengandung 11.37% kadar air (bk), 0.52% kadar abu (bk), 3.96% kadar protein (bk), 0.86% kadar lemak(bk), 94.70% kadar karbohidrat by difference dan kandungan serat pangan beras F adalah 4.21%. Kadar pati beras formula F adalah 65.10% dan kadar amilosanya adalah 14.49%. Hasil analisis warna beras analog mengugunakan alat Chromameter menunjukkan bahwa beras formula B memiliki warna dengan nilai L 60.08, a + 3.88 dan b +23.67 sehingga warna beras B berada pada kisaran warna kuning-merah. Beras formula F memiliki warna dengan nilai L 60.82, a + 5.05 dan b +25.93 sehingga warna beras F juga berada pada kisaran warna kuningmerah. Hasil analisis bobot 1000 butir beras formula adalah 18.84 g sedangkan beras F adalah 15.94 g. Hasil analisis densitas kamba beras B adalah 0.63 g/ml sedangkan beras F 0.58g/ml.
STUDI PEMBUATAN BERAS ANALOG DARI BERBAGAI SUMBER KARBOHIDRAT MENGGUNAKAN TEKNOLOGI HOT EXTRUSION
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TENOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh SUBA SANTIKA WIDARA F24080046
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi
: Studi Pembuatan Beras Analog Dari Berbagai Sumber Karbohidrat Menggunakan Teknologi Hot Extrusion
Nama
: Suba Santika Widara
NIM
: F24080046
Menyetujui,
Dosen Pembimbing,
(Dr. Ir. Slamet Budijanto, M. Agr) NIP. 19610502.198603.1.002
Mengetahui, Ketua Departemen,
Dr. Ir. Feri Kusnandar, M. Sc NIP. 19680526. 199303. 1. 004
Tanggal lulus :
PERSYARATAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Studi Pembuatan Beras Analog Dari Berbagai Sumber Karbohidrat Menggunakan Teknologi Hot Extrusion adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012 Yang membuat pernyataan
Suba Santika Widara F24080046
© Hak cipta milik Suba Santika Widara, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
BIODATA PENULIS Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 2 Nopember 1990 dari pasangan Adang Bachtiar dan Susi Yanti. Penulis mempunyai seorang adik bernama Siti Sekar Arum. Penulis mengenyam pendidikan di SDN Sirnagalih 5 (1996-2002), SMP Negeri 7 Bogor (2002-2005), SMA Negeri 3 Bogor (2005-2008) dan pendidikan S1 di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan di bidang keorganisasian maupun keilmuan. Penulis pernah menjadi ibu RT di asrama TPB Rusunawa sekaligus menjadi staf kominfo BEM TPB Pejuang 45 sebagai wakil pemimpin redaksi buletin bulanan mahasiswa TPB. Penulis juga pernah menjadi sekretaris di Departeman Agritek BEM Fakultas Teknologi Pertanian Merah Saga dan Departemen Halal Center Forum Bina Islami Fateta. Penulis juga pernah meraih beberapa penghargaan pada beberapa event yaitu menjadi finalis pada Lomba Matematika yang diselenggarakan oleh Gumatika pada tahun 2009, menjadi penerima dana penelitian pada Program Kreativitas Mahasiswa yang diselenggarakan oleh DIKTI pada tahun 2010 dengan judul penelitian “Pangan Darurat Berbasiskan Tepung Singkong, Tepung Talas Dan Tepung Kacang Hijau Dengan Teknologi Intermediate Moisture Food” pada tahun 2010, dan menjadi juara ke-4 lomba karya ilmiah INDEX pada tahun 2011. Penelitian penulis dengan judul “Studi Pembuatan Beras Analog Dari Berbagai Sumber Karbohidrat Menggunakan Teknologi Hot Extrusion” telah mendapatkan berbagai apresiasi baik dari media massa elektronik dan cetak maupun dari berbagai tokoh seperti Bapak Dahlan Iskan (Menteri BUMN), Bapak Herry Suhardianto (Rektor IPB) dan khususnya Bapak Sam Herodian (Dekan Fakultas Teknologi Pertanian).
KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Subhana Wa Ta‟ala atas berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Shalawat serta salam juga semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad Salallahu „Alaihi Wassalam atas bimbingan dan teladan yang telah diberikan. Skripsi ini merupakan laporan hasil penelitian yang penulis lakukan sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana di Institut Pertanian Bogor, berjudul “Studi Pembuatan Beras Analog Dari Berbagai Sumber Karbohidrat Menggunakan Teknologi Hot Extrusion” yang telah dilaksanakan di Institut Pertanian Bogor, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan sejak bulan September 2011 hingga Mei 2012. Dengan selesainya kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis ingin mengungkapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Kedua orang tua penulis, Bapak Adang Bachtiar, Ibu Susi Yanti yang telah merawat, mengorbankan berbagai hal, memberikan cinta, kasih sayang, dukungan dan doa yang tiada henti hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan hingga jenjang sarjana ini. Terima kasih juga kepada adik penulis Siti Sekar Arum yang selalu jujur terhadap penulis dan menjadi motivasi penulis untuk selalu menjadi yang terbaik. 2. Bapak Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr sebagai dosen pembimbing skripsi dan pembimbing akademik penulis selama di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang selalu memberikan bimbingan, kepercayaan, dukungan moril dan materil selama penulis menjalani perkuliahan dan penelitian. Terima kasih juga Ibu Nur dan Sekar Athyah Salsabila atas kebaikan yang diberikan selama berhubungan dengan penulis. 3. Bapak Faleh Setiabudi, ST, MT. dan Ibu Dr. Nancy Dewi Yuliana, STP, M.Sc sebagai dosen penguji yang telah meluangkan waktu dan pikiran demi perbaikan skripsi ini. 4. Bapak Azis Boing Sitanggang, S.TP dan Ibu Waysima. M.Sc atas bimbingan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama perkuliahan dan penelitian. 5. Keluarga besar Abah Sumantri dan Mamah Aan Nurhanah yang tidak pernah berhenti memberikan kasih sayang, dukungan moril dan materil, doa, kasih sayang sejak penulis masih kecil. 6. Andri Ferbiyanto yang telah senantiasa memberikan kasih sayang, dukungan, doa dan semangat sehingga penulis dapat termotivasi untuk selalu melakukan hal terbaik dalam hidupnya. 7. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan pengajar TPB, segenap guru penulis sejak duduk di SD Sirnagallih 5, SMP Negeri 7 Bogor, dan SMA Negeri 3 Bogor yang telah memberikan ilmu dan bimbingan yang tidak ternilai bagi penulis. 8. Yulianti dan Annisa Kharunia sebagai teman satu tim penelitian beras analog atas dukungan, kerjasama dan doa selama penelitian. Terima kasih juga karena telah membawa penelitian ini ke ranah media sehingga mendapatkan apresiasi yang sangat tinggi. 9. Sahabat-sahabat Wisma Kamila, Iin, Eka, Arum, Anik, Yessi, Wulan, Icha, Irma, Nurul, Nola, Jihan, Dara, Nila, Febi, Atikah, Bangun, Yana, Intan, Vio, Neneng, Dian dan lainnya yang telah membantu penulis untuk tetap bertahan dan bahagia selama menjalani perkuliahan dan penelitian. Terimakasih juga atas dukungan, semangat dan doa yang telah diberikan. 10. Sahabat-sahabat ITP 45 Nurul, Priska, Ahmadun, Yufi, dan kelompok praktikum P3Taufiq, Stefani, Shafiyyah, Tiur, Nisa, Mega, Ka Dede, Virza, Hilda, Fitrina, Denis, Irfan, segenap ITP 45, 44 dan 46 yang telah menjadi kawan seperjuangan selama di ITP. Terima kasih atas dukungan, doa dan tantangan untuk selalu melakukan hal yang terbaik. 11. Arum, Tsaqiba, Citra, Farhan, Kania, Dzikri, Ihsan, Rita, Rindu, Anwar, Bu Tini, Rifki, Chichi, Dini, Desi, Ami, Emen, Prama, Aziz, Eris, Sovi, Nisa,seluruh teman SMA Negeri 3
iii
12. 13.
14. 15.
Bogor, teman BEM TPB Pejuang 45, BEM Fateta Merah Saga, FBI Fateta Simfoni Dakwah dan teman-teman asrama Rusunawa. Bapak Sam Herodian (Dekan Fateta) dan Bapak Heri Suhardianto (Rektor IPB) yang telah memberikan apresiasi terhadap penelitian ini. Teima kasih kepada Mbak Vera, Pak Rozak, Bu Rubiah, Pak Wahid, Pak Edi, Kak Aldi, Pak Sobirin, Mbak Ani, Mbak Darsih, Bu Novi serta segenap teknisi dan staf UPT Departemen ITP. Terimakasih juga kepada Pak Ujang, Pak Zaenal, Pak Asep dan Pak Hendra, Pak Jun, Pak Iyas dan Bu Sri atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian di F-Technopark dan Lab ITP dan Seafast. Bapak Dahlan Iskan dan segenap media cetak dan elektronik yang telah memberikan apresiasi terhadap penelitian penulis. Segenap pihak yang telah memberikan dukungan, semangat dan doa kepada penulis selama perkuliahan dan penelitian. Semoga skripsi hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang pangan.
Bogor, Agustus 2012
Penulis
iv
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................................................... III DAFTAR TABEL ............................................................................................................................ vi DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................................viii I. PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1 1.1 LATAR BELAKANG .................................................................................................... 1 1.2 TUJUAN PENELITIAN ................................................................................................. 2 1.3 MANFAAT PENELITIAN ............................................................................................. 2 II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................... 4 2.1 DIVERSIFIKASI PANGAN ........................................................................................... 4 2.2 BERAS ANALOG ........................................................................................................... 4 2.3 SORGUM ........................................................................................................................ 5 2.4 MOCAF (MODIFIED CASSAVA FLOUR) ................................................................... 6 2.5 JAGUNG ......................................................................................................................... 7 2.6 MAIZENA (PATI JAGUNG) .......................................................................................... 9 2.7 SAGU AREN (PATI AREN) ......................................................................................... 10 2.8 GLYSEROL MONOSTEARAT ................................................................................... 10 2.9 EKSTRUSI .................................................................................................................... 11 III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................................................ 14 3.1 BAHAN DAN ALAT ................................................................................................... 14 3.2 TAHAPAN PENELITIAN ........................................................................................... 14 3.3 PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG DAN TEPUNG SORGUM ................................ 14 3.4 PEMBUATAN BERAS ANALOG .............................................................................. 14 3.5 RANCANGAN FORMULASI ..................................................................................... 15 3.6 PROSEDUR ANALISIS ............................................................................................... 16 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................................. 22 4.1 PEMBUATAN BERAS ANALOG .............................................................................. 22 4.2 FORMULASI BERAS ANALOG ................................................................................ 22 4.3 PEMASAKAN BERAS ANALOG .............................................................................. 26 4.4 ANALISIS SENSORI BERAS ANALOG ................................................................... 27 4.5 ANALISIS KIMIA BERAS ANALOG FORMULA TERBAIK ................................. 33 4.6 ANALISIS FISIK BERAS ANALOG FORMULA TERBAIK ................................... 36 V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................................. 38 5.1 KESIMPULAN ............................................................................................................. 38 5.2 SARAN ......................................................................................................................... 38 VI. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 39 LAMPIRAN .................................................................................................................................... 43
v
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Perbandingan Kandungan Gizi Mocaf dan Tepung Singkong ............................................ 7 Tabel 2. Syarat Mutu Tepung Jagung (SNI 01-3727-1995) .............................................................. 8 Tabel 3. Kandungan Gizi Jagung ...................................................................................................... 9 Tabel 4. Kandungan Gizi Maizena dan Sagu Aren ........................................................................... 9 Tabel 5. Nilai oHUE dan Daerah Kisaran Warna Kromatisitas ....................................................... 20 Tabel 6. Profil Gelatinisasi Bahan Baku Beras Analog .................................................................. 23 Tabel 7. Kandungan Amilosa Bahan Baku Beras Analog .............................................................. 23 Tabel 8. Nilai L*ab Warna Bahan Baku Beras Analog................................................................... 24 Tabel 9. Formula Beras Analog ...................................................................................................... 25 Tabel 10. Kadar Proksimat Formula Terpilih ............................................................................... 34 Tabel 11. Kadar Serat Pangan Beras Analog .................................................................................. 35 Tabel 12. Kadar Pati, Amilosa dan Amilopektin Beras Analog ...................................................... 36 Tabel 13. Hasil Analisis Warna Beras Analog ................................................................................ 36 Tabel 14. Hasil Analisis Bobot 1000 butir ...................................................................................... 37 Tabel 15. Hasil Analisis Densitas Kamba Beras Analog ................................................................ 37
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Struktur Gliserol Monostearat ....................................................................................... 11 Gambar 2. Single Screw Extruder ................................................................................................... 12 Gambar 3. Twin Screw Extruder ..................................................................................................... 13 Gambar 4. Zona Proses Ekstrusi ..................................................................................................... 13 Gambar 5. Pembuatan Beras Analog .............................................................................................. 15 Gambar 6. Kompleks Amilosa dengan Lemak (Putseys et al. 2010) .............................................. 25 Gambar 7. Beras Analog ................................................................................................................. 26 Gambar 8. Nasi Beras Analog ......................................................................................................... 26 Gambar 9. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Warna Beras Analog ........................................ 27 Gambar 10. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Bentuk Beras Analog ..................................... 27 Gambar 11. Perbandingan Bentuk Beras Analog dengan Beras Padi ............................................. 28 Gambar 12. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Aroma Beras Analog ...................................... 28 Gambar 13. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Tekstur Beras Analog ..................................... 29 Gambar 14. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Overall Beras Analog ..................................... 30 Gambar 15, Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Warna Nasi Beras Analog .............................. 30 Gambar 16. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Bentuk Nasi Beras Analog ............................. 31 Gambar 17. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Aroma Nasi Beras Analog.............................. 31 Gambar 18. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Rasa Beras Beras Analog ............................... 32 Gambar 19. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Tekstur Nasi Beras Analog ............................ 32 Gambar 20. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Overall Nasi Beras Analog ............................. 33
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Hasil Analisis Warna Bahan Beras Analog ................................................................ 44 Lampiran 2. Hasil Organoleptik Sampel Beras Parameter Warna .................................................. 45 Lampiran 3. Hasil Organoleptik Sampel Beras Parameter Bentuk ................................................. 46 Lampiran 4. Hasil Organoleptik Sampel Beras Parameter Aroma .................................................. 47 Lampiran 5. Hasil Organoleptik Sampel Beras Parameter Tekstur ................................................. 48 Lampiran 6. Hasil Organoleptik Sampel Beras Parameter Overall ................................................. 49 Lampiran 7. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Warna .................................................... 50 Lampiran 8. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Bentuk ................................................... 51 Lampiran 9. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Aroma ................................................... 52 Lampiran 10. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Rasa ..................................................... 53 Lampiran 11. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Tekstur ................................................ 54 Lampiran 12. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Overall ................................................. 55 Lampiran 13. Hasil analisis Kadar air Beras Analog .................................................................... 56 Lampiran 14 Hasil Uji Independent T-test Kadar Air Beras Analog .............................................. 57 Lampiran 15. Hasil Analisis Kadar Abu Beras Analog .................................................................. 58 Lampiran 16. Hasil Uji Independent T-test Kadar Abu Beras Analog .......................................... 59 Lampiran 17. Hasil Analisis Kadar Lemak Beras Analog .............................................................. 60 Lampiran 18. Hasil Uji Independent T-test Kadar Lemak Beras Analog ....................................... 61 Lampiran 19. Hasil Analisis Kadar Protein Beras Analog .............................................................. 62 Lampiran 20. Hasil Uji Independent T-test Kadar Protein Beras Analog ...................................... 63 Lampiran 21. Hasil Analisis Kadar Karboidrat Beras Analog By Difference ................................ 64 Lampiran 22. Hasil Uji Independent T-test Kadar Karbohidrat Beras Analog ............................... 65 Lampiran 23. Hasil Analisis Kadar Serat Pangan Beras Analog .................................................... 66 Lampiran 24. Hasil Uji Independent T-test Kadar Serat Pangan Beras Analog ............................ 67 Lampiran 25. Hasil Analisis Kadar Pati Beras Analog ................................................................... 68 Lampiran 26. Hasil Uji Independent T-test Kadar Pati Beras Analog ........................................... 69 Lampiran 27. Kadar Amilosa Beras Analog ................................................................................... 70 Lampiran 28. Hasil Uji Independent T-test Kadar Amilosa ........................................................... 71 Lampiran 29. Hasil Analisis Warna Beras Analog ......................................................................... 72 Lampiran 30. Bobot 1000 butir beras Analog ................................................................................. 73 Lampiran 31. Densitas Kamba Beras Analog ................................................................................. 74
viii
I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Diversifikasi pangan adalah upaya penganekaragaman pola konsumsi pangan masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu gizi makanan yang dikonsumsi yang pada akhirnya akan meningkatkan status gizi penduduk (Almatsier 2001). Program diversifikasi pangan meliputi kegiatan pemanfaatan sumber daya alam hayati yang ada di Indonesia serta upaya promosi kepada masyarakat untuk mengonsumsi makanan yang beragam. Masalah utama diversifikasi pangan di Indonesia terutama diversifikasi makanan pokok adalah ketergantungan masyarakat terhadap beras. Ketergantungan terhadap beras menjadi masalah disebabkan oleh tingkat konsumsi beras yang sangat tinggi namun tidak diimbangi dengan peningkatan produksi padi. Meskipun masyarakat di beberapa daerah di Indonesia masih ada yang mengonsumsi jagung atau sagu, konsumsi rata-rata beras masyarakat Indonesia masih mencapai angka 120.02 kg per kapita per tahun pada tahun 2007 (Muttaqin dan Martianto 2009). Tingginya tingkat konsumsi di Indonesia selain disebabkan oleh jumlah penduduk yang terus meningkat juga disebabkan oleh pola konsumsi masyarakat yang sulit berubah dari beras ke bahan pangan lain. Hal tersebut disebabkan oleh faktor sosial antara lain masyarakat menganggap mengonsumsi sumber beras termasuk dari status sosial dan hanya akan mengonsumsi sumber karbohidrat lain (gaplek atau tiwul) jika jumlahnya terbatas atau tidak mampu membeli beras (Tarigan 2003). Di lain pihak Indonesia kaya akan produk sumber karbohidrat lain seperti jagung, singkong, sorgum, sagu, dan umbi-umbian lainnya. Bahan-bahan tersebut sudah digunakan sebagai bahan pangan, namun masih belum bisa menggantikan beras sebagai makanan pokok. Biasanya bahan tersebut lebih sering diolah menjadi penganan, kue atau jajanan pasar. Kendala dalam mengonsumsi bahan tersebut sebagai bahan makanan pokok disebabkan kurangnya pengetahuan gizi masyarakat, kurangnya kesiapan masyarakat secara psikologis untuk mengganti makanan pokok dan kurangya ketersediaan produk pangan yang memenuhi selera masyarakat. Masyarakat merasa bosan dengan cara konsumsi umbi-umbian yang belum bervariasi sehingga lebih memilih produk berbasis gandum sebagai pengganti beras (Hidayah 2011). Oleh karena itu, diperlukan teknologi untuk mengolah bahan-bahan tersebut menjadi bentuk yang menyerupai beras yang dapat diolah dan dikonsumsi seperti nasi. Salah satu produk olahan sumber karbohidrat non padi yang dikembangkan akhir-akhir ini adalah beras tiruan dan beras analog. Beras tiruan adalah beras yang dibuat dari non padi dengan kandungan karbohidrat mendekati atau melebihi beras yang terbuat dari tepung lokal atau tepung beras (Samad 2003; Deptan 2011). Beras analog adalah beras tiruan yang hanya terbuat dari tepung lokal non-beras (Budijanto et al. 2011). Hingga saat ini teknologi pembuatan beras analog antara lain metode pembutiran atau granulasi (Yoshida et al. 1971; Kurachi 1995; Samad 2003) dan metode ekstrusi (Scella et al. 1987; Bett-Gaber et al. 2004; Moretti et al. 2005; Mishra et al. 2012). Perbedaan metode tersebut menyebabkan perbedaan bentuk akhir produk. Pada pembuatan beras analog menggunakan metode pembutiran beras akan memiliki bentuk bulat seperti sagu mutiara, namun pada metode ekstrusi bentuk produk adalah lonjong dan hampir menyerupai butir beras. Kelebihan lain penggunaan teknologi ekstrusi adalah kapasitas produksi alat ekstruder yang tinggi sehingga dapat memperoduksi produk secara masal. Pemanfaatan sumber karbohidrat non padi seperti jagung, sorgum, mocaf, dan sagu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan teknologi yang sesuai dan memiliki kapasitas produksi yang tinggi. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan pembuatan beras analog
berbahan dasar jagung, sorgum, mocaf, sagu dan maizena menggunakan teknologi ekstrusi. Produk beras analog ini juga diharapkan dapat menjadi produk yang diterima oleh konsumen dan dapat membantu upaya diversifikasi makanan pokok di Indonesia.
1.2 TUJUAN Tujuan umum dari penelitian ini adalah mendapatkan formulasi beras analog terbaik dengan menggunakan ekstruder ulir ganda yang dapat diterima konsumen secara sensori. Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik dan kandungan gizi beras analog formula terbaik.
1.3 MANFAAT Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai pembuatan beras analog yang berbasis bahan pangan lokal yang dapat menjadi alternatif makanan pokok dan meningkatkan nilai tambah bahan pangan lokal.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DIVERSIFIKASI PANGAN Diversifikasi konsumsi pangan menurut Peraturan Pemerintah RI No 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan Pasal 1 ayat 9 dijabarkan sebagai upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang (BBKP 2002). Hasil penelitian Martianto et al. (2009) mengenai percepatan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal menunjukkan bahwa perspektif diversifikasi pangan terdiri dari diversifikasi semua jenis pangan dan diversifikasi pangan pokok. Salah satu kendala pada diversifikasi pangan adalah tingginya konsumsi beras. Berdasarkan data BPS (2009), konsumsi pangan di Indonesia belum memenuhi pola pangan harapan karena konsumsi beras masih sebesar 64.1% dibandingkan dengan anjuran konsumsi beras yaitu 50% dari total asupan konsumsi. Tingginya tingkat konsumsi beras di Indonesia selain pola konsumsi masyarakat yang sulit berubah dari beras ke bahan pangan lain. Hal tersebut disebabkan oleh faktor sosial antara lain masyarakat menganggap mengonsumsi sumber beras termasuk dari status sosial dan hanya akan mengonsumsi sumber karbohidrat lain (gaplek atau tiwul) jika jumlahnya terbatas atau tidak mampu membeli beras (Tarigan 2003). Upaya penerapan diversifikasi pangan pokok di Indonesia berfokus pada pengurangan konsumsi beras dan meningkatkan konsumsi sumber karbohidrat lokal seperti jagung, sagu, sorgum dan umbi-umbian. Salah satu contoh nyata program pemerintah yang saat ini dilaksanakan adalah program “One Day No Rice” (Satu Hari Tanpa Nasi) di kota Depok. Namun, masih terdapat kendala dalam program tersebut. Kendala yang ditemui adalah masyarakat masih belum terbiasa mengonsumsi makanan tersebut bersama lauk karena makanan tersebut biasa dimakan sebagai kudapan saja. Oleh karena itu, upaya lebih lanjut diperlukan untuk menarik minat masyarakat terhadap makanan tersebut dengan mengolahnya menjadi makanan yang dapat diterima masyarakat. Salah satu upaya yang dapat menjadi solusi masalah tersebut adalah pengoptimalan pengembangan teknologi pangan. Adanya perkembangan teknologi pangan dapat membantu upaya diversifikasi dengan cara mengolah bahan-bahan sumber karbohidrat menjadi produk yang diterima masyarakat. Salah satu bentuk olahan dari bahan tersebut adalah beras analog. Karakteristik beras analog ini diharapkan dapat lebih diterima masyarakat karena memiliki bentuk dan rasa yang menyerupai beras sehingga masyarakat tidak perlu mengubah pola makannya karena cara konsumsi beras analog sama seperti beras yang berasal dari padi.
2.2 BERAS ANALOG Beras analog merupakan sebutan lain dari beras tiruan (artificial rice). Beras analog adalah beras yang dibuat dari non padi dengan kandungan karbohidrat mendekati atau melebihi beras dengan bentuk menyerupai beras dan dapat berasal dari kombinasi tepung lokal atau padi (Samad 2003; Deptan 2011). Metode pembuatan beras analog terdiri atas dua cara yaitu metode granulasi dan ekstrusi. Perbedaan pada kedua metode ini adalah tahapan gelatinisasi adonan dan tahap pencetakkan. Hasil cetakan metode granulasi adalah butiran sedangkan hasil cetakan metode ekstrusi adalah bulat lonjong dan sudah lebih menyerupai beras. Pembuatan beras analog yang telah dipatenkan oleh Kurachi (1995) dengan metode granulasi diawali dengan tahap pencampuran tepung, air, dan hidrokoloid sebagai bahan pengikat. Proses pencampuran dilakukan pada suhu 30-80oC sehingga sebagian adonan telah mengalami gelatinisasi (semigelatinisasi). Setelah itu adonan dicetak menggunakan granulator, kemudian dikukus (gelatinisasi) dan dikeringkan.
Metode pembuatan beras analog oleh Budijanto et al. (2011) dengan cara ekstrusi memiliki sedikit perbedaan dengan metode granulasi yaitu adanya tahap penyangraian dan ekstrusi. Tahap penyangraian bertujuan untuk menggelatinisasi sebagian adonan (semigelatinisasi) atau pengondisian (conditioning) adonan sebelum diekstrusi. Tahap ekstrusi meliputi proses pencampuran, pemanasan (gelatinisasi) dan pencetakan melalui die. Tahap berikutnya adalah ekstrudat dikeringkan menggunakan oven dryer pada suhu 60oC selama 4 jam. Teknologi pembuatan beras analog menggunakan metode ekstrusi juga dilakukan oleh Mishra et al. (2012). Proses pembuatan beras analog meliputi persiapan bahan, pembentukkan adonan, pengondisian adonan (pre-conditioning), ekstrusi dan pengeringan. Bahan yang digunakan antara lain tepung beras, air, bahan pengikat (sodium alginate), setting agent (kalsium laktat dan kalsium klorida), fotificants (multivitamin), antioksidan dan pewarna (titanium). Tujuan dari tahap pre-conditioning adalah untuk mencampur dan mengadon air atau uap dengan bahan-bahan yang telah mengalami pemanasan sebelumnya.
2.3 SORGUM Sorgum (Sorgum bicolor L) merupakan salah satu tanaman serealia yang termasuk dalam famili Graminae. Tanaman sorgum memiliki daya adaptasi yang tinggi karena dapat tahan terhadap kekeringan, genangan air, masih dapat berproduksi pada lahan marginal dan relatif tahan terhadap gangguan hama atau penyakit. Daerah penghasil sorgum di Indonesia adalah Jawa Tengah (Purwodadi, Pati, Demak, Wonogiri), Daerah Istimewa Yogyakarta (Gunung Kidul, Kulon Progo), Jawa Timur (Lamongan, Bojonegoro, Tuban, Probolonggo) dan sebagian Nusa Tenggara Timur (Sirappa 2003). Tanaman sorgum dapat dimanfaatkan menjadi pangan, pakan dan bahan baku industri. Bagian tanaman sorgum yang digunakan sebagai pangan adalah biji sorgum. Bagian daunnya dapat digunakan sebagai pakan ternak dan batangnya dapat menghasilkan nira yang dapat diolah menjadi bioetanol. Banyaknya manfaat yang dihasilkan tanaman sorgum dan kemampuan adaptasi yang tinggi membuat tanaman sorgum memiliki nilai potensi yang tinggi untuk dikembangan. Biji sorgum mengandung karbohidrat sebesar 80.42%, protein 10.11%, lemak 3.65%, serat 2.74% dan abu 2.24% (Suarni 2001). Dengan kandungan karbohidrat yang tinggi, sorgum juga digunakan sebagai bahan makanan pokok alternatif maupun sebagai tepung substitusi beberapa produk makanan. Sorgum juga mengandung protein glutenin dan gliadin tetapi protein sorgum kurang dapat membentuk gluten jika dibandingkan protein tepung terigu (Suarnib 2004). Salah satu kendala dalam pengolahan biji sorgum menjadi bahan makanan adalah kandungan taninnya yang tinggi yaitu sekitar 3.67-10.66% (Suarni dan Singgih 2002). Tanin dapat membuat rasa biji sorgum menjadi pahit. Kandungan tanin pada sorgum juga memberikan efek warna gelap pada produk sehingga dibutuhkan upaya pengurangan kadar tanin dengan penyosohan. Penyosohan sorgum dapat mengurangi kadar tanin hingga 75% (Suarni a 2004). Produk berbasis sorgum yang asam warna gelap tanin memudar menjadi abu atau putih. Di Namibia sorgum diolah menjadi bubur yang asam sehingga warna bubur menjadi lebih putih agar lebih disukai. Meskipun menimbulkan rasa pahit, tanin memberikan manfaat bagi tubuh karena dapat bersifat sebagai antioksidan dan antikanker terutama kanker kolon. Sorgum dengan kadar tanin yang tinggi lebih disukai di Afrika karena memberikan efek kenyang yang lama sehingga baik bagi penderita diabetes (Dykes dan Rooney 2006). Namun, pada produk beras analog ini sorgum yang digunakan adalah sorgum yang disosoh karena tidak dilakukan pengurangan tanin dan produk juga tidak bersifat asam sehingga diharapkan tidak ada rasa pahit pada produk.
5
Sorgum dapat diolah menjadi berbagai macam produk. Produk dari biji utuh adalah beras sorgum dan beras sorgum instan. Biji utuh juga dapat digunakan sebagai pengganti barley dalam pembuatan bir (Dykes dan Rooney 2006). Biji sorgum juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri gula, monosodium glutamate (MSG), asam amino dan industri minuman (Sirappa 2003). Produk antara biji sorgum yang dapat diolah lebih lanjut adalah tepung sorgum. cara pembuatan antara lain penyosohan (alternatif), perendaman dalam air, penirisan, penggilingan, dan pengeringan tepung sorgum. Sorgum yang diolah menjadi tepung sorgum dapat diolah menjadi berbagai produk. Tepung sorgum dapat diolah menjadi bahan baku snack ekstrusi, mi, maupun sebagai tepung substirtusi pada berbagai produk seperti roti, cookies, pop sorgum, bubur, mie dan snack ekstrusi (Sirappa 2003). Pembuatan cookies menggunakan tepung sorgum masih diperlukan penambahan maizena untuk mengurangi rasa sepat dan sebagai bahan perekat (Suarni b 2004). Sorgum juga memiliki sifat fungsional seperti antioksidan dan berpotensi sebagai antikanker. Hasil penelitian Awika et al. (2009) menunjukkan bahwa sorgum mengandung kadar antioksidan yang bervariasi tergantung varietasnya. Varietas yang memiliki kadar tanin paling tinggi memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi. Varietas yang memiliki kadar tanin rendah (white shorgum) memiliki aktivitas induksi enzim fase II yang menunjukkan aktivitas anti-kanker (chemoprevention) yang tinggi terutama pada kanker kolon.
2.4 MOCAF (MODIFIED CASSAVA FLOUR) Mocaf atau mocal adalah singkatan dari Modified Cassava Flour yang berarti tepung singkong yang telah mengalami modifikasi. Singkong (Manihot utilisma) termasuk ke dalam umbi-umbian yang berpotensi menjadi sumber karbohidrat alternatif. Mocaf dapat digolongkan sebagai produk edible cassava flour berdasarkan Codex Standard, Codex Stan 176-1989 (Rev 11995). Cara pembuatan mocaf yaitu singkong dikupas, dikerik lendirnya kemudian dicuci sampai bersih. Singkong yang bersih dipotong-potong dan difermentasi selam 12-72 jam. Singkong yang telah difermentasi kemudian dikeringkan dan ditepungkan sehingga dihasilkan tepung singkong termodifikasi (Subagyo et al. 2008) Proses modifikasi yang dimaksud adalah proses modifikasi sel-sel pada singkong melalui fermentasi. Mikroorganisme yang berperan dalam proses modifikasi adalah bakteri asam laktat (BAL) yang menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel singkong sehingga terjadi liberasi granula pati. Proses fermentasi pada pembuatan mocaf juga mempengaruhi kandungan gizi mocaf. Perbedaan kandungan gizi mocaf dan tepung singkong dapat dilihat pada Tabel 1. Kandungan gizi mocaf tidak terlalu berbeda dengan tepung singkong. Namun, kandungan protein mocaf yang lebih sedikit mempengaruhi sifat fisiknya yaitu warna yang lebih putih karena tidak mengalami reaksi browning. Granula pati yang bebas dapat terhidrolisis menjadi monosakarida yang kemudian dapat menjadi senyawa asam organik. Senyawa asam ini akan bercampur dengan tepung sehingga ketika tepung tersebut diolah dapat menghasilkan cita rasa yang khas yang dapat menutupi cita rasa singkong yang umumnya tidak disukai konsumen. Ketika proses fermentasi juga terjadi kehilangan komponen pembentuk warna, terutama pigmen pada singkong kuning. Akibatnya warna mocaf lebih putih dibandingkan tepung singkong (Subagio et al. 2008). Mocaf dapat diolah menjadi berbagai macam produk antara lain mie, roti, biskuit, cookies dan snack. Mocaf dapat digunakan sebagai bahan baku maupun sebagai tepung substitusi. Mocaf juga dapat digunakan dalam tepung campuran siap pakai dalam pembuatan keripik bayam. Dalam pengolahan mocaf terkadang dibutuhkan modifikasi proses agar memiliki hasil yang mirip dengan
6
terigu. Dalam pengolahan muffin diperlukan proses pemanasan margarin dan garam agar muffin yang dihasilkan mengembang dengan baik. Tabel 1. Perbandingan Kandungan Gizi Mocaf dan Tepung Singkong
Kandungan gizi
Mocaf
Tepung Singkong
Kadar air (%) Pati (%) Protein (%) Lemak (%) Abu (%) Serat (%) HCN (mg/kg)
Max 13 85-87 Max 1.0 0.4-0.8 Max 0.2 1.0-3.4 Tidak terdeteksi
Max 13 82-85 Max 1.2 0.4-0.8 Max 0.2 1.0-4.2 Tidak terdeteksi
Sumber : Subagyo et al. (2008) Mocaf juga dapat digunakan sebagai bahan baku beberapa kue seperti sponge cake, brownish, kue kukus, dan kue basah. Namun, produknya tidak sama persis karakteristiknya dengan tepung terigu beras, atau yang lainnya. Sehingga diperlukan sedikit perubahan dalam formula atau prosesnya sehingga akan dihasilkan produk dengan mutu optimal. Untuk produk berbasis adonan mocaf akan menghasilkan mutu prima jika menggunakan proses sponge dough method, yaitu penggunaan biang adonan. Disamping itu, adonan dari mocaf akan lebih baik jika dilakukan dengan air hangat (40-60oC).
2.5 JAGUNG Jagung (Zea mays L.) adalah tanaman jenis serealia yang termasuk dalam famili yang sama seperti beras dan sorgum yaitu Graminae atau Poaceae. Tanaman ini merupakan bahan pangan terpenting kedua setelah beras. Tanaman jagung banyak tumbuh di Indonesia. Berdasarkan data BPS (2011), jumlah produksi jagung di Indonesia pada tahun 2011 adalah sebesar 17.23 juta ton dan daerah penghasil jagung tertinggi yaitu Jawa Timur (5 juta ton) dan Jawa Tengah (2 juta ton). Jumlah tersebut dapat meningkat seiring meningkatnya kapasitas produksi jagung yang mencapai 10 ton per hektar (Supit 2010). Hal tersebut menjadikan jagung berpotensi sebagai sumber karbohidrat alternatif pengganti beras. Peningkatan produksi jagung sebaiknya seiring dengan pemanfaatan produk jagung. Bagian tanaman jagung yang dapat dimanfaatkan adalah daun, batang dan biji. Daun dan batang dapat diolah menjadi pakan ternak maupun pupuk kompos. Biji jagung yang muda dapat diolah menjadi sayur, sedangkan biji jagung yang tua dapat diolah menjadi emping, beras jagung, nasi jagung, grits maupun tepung jagung. Biji jagung tua juga merupakan pakan sumber karbohidrat bagi hewan ternak dan juga digunakan sebagai bahan baku etanol bagi industri (Supit 2010). Tepung jagung menurut SNI adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung yang baik dan bersih (SNI 01-3727-1995). Syarat mutu tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 2. Proses pembuatan tepung jagung terdiri dari dua cara yaitu penggilingan basah dan penggilingan kering. Pada penggilingan basah dilakukan perendaman dalam air bersih terlebih dahulu. Tepung yang dihasikan melalui penggilingan basah biasanya memiliki rendemen yang lebih tinggi namun kandungan gizinya lebih rendah dibandingkan tepung yang dihasilkan dengan penggilingan kering (Suarni 2009). Tepung jagung juga dapat dimodifikasi dengan perlakuan
7
fermentasi oleh bakteri asam laktat dan dapat menghasilkan tepung dengan kualitas lebih baik (Richana 2010). Kandungan gizi jagung dapat dilihat pada Tabel 3. Perbedaan kandungan gizi dipengaruhi oleh varietas, faktor genetik dan kondisi penanaman. Selain mengandung karbohidrat dan protein yang cukup, jagung yang berwarna kuning juga memiliki kelebihan yaitu mengandung betakaroten (provitaminA). Jagung juga mengandung serat yang cukup tinggi terutama pada bagian bekatulnya sehingga dapat berpotensi menjadi bahan baku untuk pembuatan makanan tinggi serat (Suarni 2009). Tepung jagung dapat diolah lebih lanjut menjadi bahan baju pembuatan mi, cookies, muffin, brownies maupun cake. Dengan kandungan gluten yang rendah (<1%) biasanya jagung hanya digunakan untuk membuat produk yang tidak memerlukan pengembangan yang tinggi (Suarni 2009). Tingkat substitusi tepung jagung pada produk roti dan mi adalah sebesar 20%, sedangkan tepung jagung termodifikasi dapat mensubstitusi hingga 40%. Pada produk cake, kue basah dan kue kering tepung jagung dapat mensubstitusi hingga 100% (Richana 2010). Tabel 2. Syarat Mutu Tepung Jagung (SNI 01-3727-1995) No.
Kriteria Uji
1. 1.1 1.2 1.3 2. 3. 4. 5. 5.1 5.2 6. 7. 8. 9. 10. 11. 11.1 11.2 11.3 12. 13. 13.1 13.2 13.3
Keadaan: Bau Rasa Warna Benda-benda asing Serangga dalam bentuk stadia Jenis pati lain selain pati jagung Kehalusan 80mesh 60mesh Air Abu Silikat Serat kasar Derajat asam Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Cemaran Arsen (As) Cemaran mikroba Angka lempeng total E. coli Kapang
Satuan
Persyaratan
-
Normal Normal Normal Tidak boleh ada Tidak boleh ada Tidak boleh ada
% % % bb % bb % bb % bb ml. N. NOH/100gr mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Min 70% Min 99 Maks 10 Maks 1,5 Maks 0,1 Maks 1.5 Maks 4,0 Maks 1,0 Maks 10 Maks 40 Maks 0,03 Maks 0,3
Koloni/gr APM/gr Koloni/gr
Maks 106 Maks 10 Maks 104
8
Tabel 3. Kandungan Gizi Jagung
Kandungan gizi Karbohidrat Protein Lemak Serat Ca (mg) Fe (mg)
Jagung 73 9.2 4.6 2.8 26 2.7
Sumber : FAO (1995)
2.6 MAIZENA (PATI JAGUNG) Maizena adalah nama lain bagi pati jagung. Kandungan pati pada jagung mencapai 54,171.7%. Pati jagung diperoleh melalui ekstraksi pati melalui penggilingan jagung, penambahan air, pengendapan dan pengeringan pati. Pati jagung memiliki ukuran yang beragam yaitu 1-7 µm untuk granua kecil dan 15-20 µm untuk granula besar. Granula pati yang kecil akan memperlihatkan ketahanan yang lebih kecil terhadap perlakuan panas dan air dibanding granula yang besar. Kandungan gizi pati jagung sebagian besar adalah karbohidrat, akan tetapi masih mengandung zat gizi lainnya seperti protein, abu dan lemak. Data kandungan gizi pati jagung dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan Gizi Maizena dan Sagu Aren
Jenis Pati Maizena Sagu Aren
Kadar Air 9.16 7.75
Kadar Abu 7.31 0.21
Kadar Protein 0.88 0.45
Kadar Lemak 4.4 0.74
Kadar Serat 0.57 0.23
Sumber : Aini dan Haryadi (2007); Alam dan Saleh (2009) Kadar amilosa dan amilopektin pada jagung juga sangat beragam. Berdasarkan kadar amiosa dan amilopektinnya pati jagung dibagi menjadi empat yaitu jenis normal, waxy, amilomaize, dan jagung manis. Pati jagung normal mengandung 24-46% amilosa dan 74-76% amilopektin. Jagung waxy mengandung 99% amilopektin dan hampir tidak mengandung amilosa. Jagung amilomaize mengandung 40-70% amilosa dan 20% amilopektin. Jagung manis mengandung 42.6-67.8% amilosa dan mengandung sejumlah sukrosa disamping pati (Singh et al. 2006). Amilosa merupakan polimer dari 490 unit glukosa dengan ikatan lurus 1-4 α glukosida sedangkan amilopektin merupakan polimer dari 22 unit glukosa dengan ikatan rantai lurus1-4 α glukosida dan ikatan cabang 1-6 α glukosida. Pati jagung waxy banyak dimanfaatkan karena sifatsifatnya yang khas (viskositas, stabilitas panas, dan pH), sedangkan pati amilomaize digunakan dalam industri tekstil, permen, gum dan perekat papan. Kadar amilosa yang tinggi pada pati akan menurunkan daya absorpsi dan kelarutan. Kadar amilopketin yang terlalu tinggi akan menyebabkan suhu gelatinisai pati lebih tinggi (Richana dan Suarni 2006). Pati jagung juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku gula. Gula dari pati diperoleh dari hidrolisis pati. Gula pati dapat berbentuk sirup glukosa, fruktosa, maltosa, manitol dan sorbitol. Gula dari pati memiliki rasa dan tingkat kemanisan yang hampir sama dengan gula tebu. Sirup glukosa dapat diproduksi melalui hidrolisis enzimatis maupun hidrolisis asam. Rendemen
9
glukosa dipengaruhi oleh banyaknya amilosa. Semakin tinggi jumlah amilosa maka rendemen sirup glukosa semakin tinggi (Richana dan Suarni 2006).
2.7 SAGU AREN (PATI AREN) Sagu aren atau tepung aren merupakan pati yang diperoleh dari ekstraksi batang pohon aren dengan spesies Arenga pinnata. Spesies ini tidak menghasilkan nira yang cukup banyak sehingga petani menebang pohon ini dan mengirimkannya ke unit pengolahan agar dapat diolah menjadi sagu aren. Cara pembuatan sagu aren dapat dilihat pada Gambar1. Kandungan gizi sagu aren dapat dilihat pada Tabel 4. Sagu aren juga dapat digunakan sebagai bahan baku bihun (starch noodle). Pengolahan sagu aren menjadi bihun meliputi pengadonan, pemanasan, pencetakan dan pengeringan. Hasil penelitian Rahim dan Hariyadi (2008) menunjukkan bahwa bihun sagu aren dapat dihasilkan dengan formulasi sagu aren : air yang tepat. Sedangkan Alam (2008) memproduksi bihun sagu aren dengan melakukan penambahan tepung tapioka untuk memperbaiki karakteristik produk. Sagu aren dapat diolah menjadi berbagai macam produk seperti mihun, cendol, bakmi, sohun dan hunkwe. Berdasarkan penelitian Kusumaningrum dan Rahayu (2007) sagu aren juga dapat diolah menjadi makanan pendamping ASI (MP-ASI). Sagu aren digunakan untuk mengurangi penggunaan beras.
2.8 GLYSEROL MONOSTEARAT Gliserol Monostearat (GMS) adalah surfaktan non-ionik yang banyak digunakan oleh industri stabilizer dan emulsifier. Nama IUPAC bagi senyawa ini adalah 2,4-dihidroksipropil oktadekanoat dan dikenal dengan nama lain gliserin monostearat atau monostearin. Senyawa ini secara alami terdapat dalam tubuh manusia dan produk berlemak. Salah satu bahan baku pembuatan GMS adalah asam lemak yang berasal dari minyak sawit. Surfaktan non-ionik adalah suatu zat amfifil yang molekulnya terdiri dari 2 bagian, hidrofil dan lipofil. Zat ini bila dilarutkan dalam air tidak memberikan ion. Kelarutannya dalam air disebabkan adanya bagian dari molekul yang mempunyai afinitas terhadap pelarut. GMS adalah ester gliserol dengan asam lemak stearat yang banyak digunakan dalam shampoo, pearlizing agent, emulsifier, lotion, dan sebagai opacifier dalam cream, ice cream dan butter. Penambahan GMS pada pembuatan cookies juga dapat memperbaiki kualitas karena meningkatkan kerenyahan dan meningkatkan kelembutan cookies (Sindhuja et al. 2005) Penggunaan GMS dalam proses pembuatan mi berbahan dasar jagung dan pati kentang menunjukkan bahwa mi memiliki cooking time yang lebih tinggi namun memperbaiki produk karena mengurangi cooking weight dan cooking loss selama pemasakan (Kaur et al. 2004). Jumlah amilosa pada bahan pembuat mi sangat berpengaruh terhadap proses emulsifikasi GMS karena GMS berikatan dengan amilosa. GMS yang ditambahkan membentuk kompleks dengan amilosa untuk membentuk kompleks inklusi heliks, yang mencegah granula pati untuk mengembang yang dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan pengembangan dan kelarutan. Lapisan yang tidak larut dapat terbentuk pada permukaan granula pati, yang dapat menunda transpor air menuju granula sehingga menurunkan pengembangan dan mencegah pelepasan amilosa. Berdasarkan penelitian Singh et al. (2000), GMS juga berfungsi sebagai pelumas pada barel ekstrusi sehingga dapat mengurangi panas proses ekstrusi. Pengaruh penambahan GMS terhadap ekstrusi grits jagung yaitu mengurangi WSI (Water Solubility Index) atau indeks kelarutan dalam air, SEC (Specific Energy Consumption), dan expansion (pengembangan produk) tetapi meningkatkan WAI (Water Absorption Index). Fungsi-fungsi tersebut sangat dibutuhkan
10
untuk membuat beras analog yang diproses pada suhu ekstrusi yang tinggi dan menghasilkan produk yang tidak mengembang serta tidak mudah larut dalam air.
Gambar 1. Struktur Gliserol Monostearat
2.9 EKSTRUSI Ekstrusi adalah proses pengolahan pangan yang mengombinasikan beberapa proses secara berkesinambungan antara lain pencampuran, pemasakan, pengadonan, shearing, dan pembentukan. Bahan pangan dipaksa mengalir di bawah pengaruh kondisi operasi melalui suatu cetakan yang dirancang untuk membentuk hasil ekstrusi dalam waktu singkat (Fellows 2000). Alat dalam proses ekstrusi disebut ekstruder. Fungsi ekstruder meliputi gelatinisasi, pemotongan molekuler, pencampuran, sterilisasi, pembentukan, dan pengeringan. Kombinasi satu atau lebih fungsi-fungsi tersebut merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam proses ekstrusi. Munculnya teknologi ekstrusi telah membuka kesempatan bagi pengusaha makanan untuk membuat produk pangan yang mempunyai bentuk dan tekstur yang beraneka ragam. Pemasakan ekstrusi dipakai untuk menggantikan metode pemasakan konvensional karena berbagai sebab: (1) dapat diubah-ubah sehingga mesin yang sama dapat memasakdan mengolah produk yang mempunyai formula berbeda-beda, (2) member bentuk dan tekstur pada hasil produk, (3) kemampuan produksi yang kontinyu, (4) pengoperasian yang efisien dari segi tenaga, energo dan luas pabrik, (5) pasteurisasi produk akhir dan (6) proses dalam keadaan kering dengan sedikit atau tanpa tumpahan (Muchtadi 2008). Berdasarkan suhu prosesnya, teknologi ekstrusi dibagi menjadi dua yaitu Hot Extrusion (Ekstrusi Panas) dan Cold Extrusion (Ekstrusi Dingin). Teknologi Hot Extrusion menggunakan suhu di atas 70oC sedangkan Cold Extrusion menggunakan suhu di bawah 70oC. Kedua teknologi tersebut telah digunakan untuk memproduksi beras ekstrusi berbahan dasar tepung beras. Pada Hot Extrusion bahan diproses pada suhu tinggi. Suhu bahan yang tinggi dapat diperoleh melalui proses pre-conditioning dan atau transfer panas bahan selama proses ekstrusi.
2.9.1 Ekstruder Ekstruder adalah alat yang digunakan untuk memproses suatu bahan menggunakan teknologi ekstrusi. Ekstruder juga dapat diartikan sebagai mesin yang memiliki karakteristik ulir Archimedean atau ulir yang bergerak di dalam sebuah silinder yang menggerakan fluida yang memproses produk secara kontinyu (Riaz 2000). Ekstruder dapat didesain sedemikian rupa sehingga dapat melakukan berbagai macam proses seperti grinding, mixing, homogenizing, cooking, cooling, shaping, cutting, dan filling. Proses ektrusi yang terjadi pada ektruder terdiri dari tiga tahap yaitu pra ekstrusi, ekstrusi dan tahap setelah ekstrusi. Tahap pre-ekstrusi meliputi proses pencampuran, dan penambahan air. Tahap ekstrusi meliputi perlakuan shear and stress pada adonan. Tahap terakhir adalah proses pemberian tekanan ke arah die dan proses pencetakkan melalui die. Setelah produk keluar dari
11
die, alat pemotong otomatis akan berputar dan memotong produk sehingga produk akhir akan memiliki bentuk seperti beras. Ekstruder dapat digolongkan berdasarkan jumlah ulirnya menjadi dua kelompok yaitu ekstruder berulir tunggal (Single Screw Extruder) dan ekstruder berulir ganda (Twin Screw Extruder)
Single Screw Extruder Single Screw Extruder atau ekstruder berulir tunggal memiliki satu buah ulir yang berputar pada barel. Ekstruder berulir tunggal banyak digunakan dalam menghasilkan produk pasta, permen, cookies dan pengembangan produk baru seperti snack, makanan bayi dan produk modifikasi pati. Ekstruder jenis ini paling awal digunakan. Produk yang dihasilkan sangat beragam meliputi snack, pasta, sereal hingga makanan hewan.
Gambar 2. Single Screw Extruder
Twin Screw Extruder Ekstruder berulir ganda memiliki dua ulir silinder yang dapat bergerak searah, berlawanan arah, baik berkaitan atau tidak. Ekstruder ini terbilang baru dibandingkan Single Screw Extruder. Beberapa kelebihan Twin Screw Exstruder antara lain memiliki kontrol dan keseragaman produk lebih baik, pemotongan (shear) lebih merata sehingga setiap partikel bahan dapat diproses dengan lebih konsisten, dan fleksibilitas yang lebih baik dibandingkan Single Screw Extruder. Terdapat empat pembagian zona proses di dalam ekstruder. Pembagian zona proses dapat dilihat pada Gambar 4. Zona pertama adalah zona feeding. Zona ini merupakan tempat bahan memasuki awal proses ekstrusi. Zona kedua adalah zona kneading. Zona ini merupakan tempat bahan mengalami proses pressing, shearing dan cooking. Bahan kemudian masuk ke zona ke-tiga yaitu zona final cooking dan akan mengalami proses yang sama dengan zona kedua. Zona terakhir adalah zona shaping dimana bahan akan melalui proses pressing sehingga dapat melalui die yang akan mencetak bahan menjadi produk (Riaz 2000)
12
Ekstruder yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstruder berulir ganda. Ekstruder berulir ganda dipiih karena proses ekstrusi untuk beras analog mirip dengan ektsrusi pasta. Proses ekstrusinya adalah hot extrution atau dengan pemanasan karena produk yang diharapkan telah mengalami gelatinisasi namun tidak mengembang seperti produk sereal.
Gambar 3. Twin Screw Extruder
Gambar 4. Zona Proses Ekstrusi
13
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan untuk pembuatan beras artificial dan bahan untuk analisis. Bahan untuk pembuatan beras terdiri dari tepung sorgum, tepung mocaf, tepung jagung, tepung maizena, tepung sagu, air dan GMS (Gliserol Monostearat). Bahan untuk analisis terdiri dari beras artificial dan bahan untuk analisis kimia. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas alat-alat untuk pembuatan beras artificial dan alat-alat untuk analisis. Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan beras artificial adalah ekstruder ulir ganda (Berto BEX-DS-2256), dough mixer, oven dryer, waskom, baki, sendok, timbangan, neraca analitik, blender, saringan, disc mill, plastik, dan rice cooker. Alat-alat yang digunakan untuk analisis yaitu neraca analitik, hot plate, oven, tanur, erlenmeyer, gelas piala, sudip, cawan porselen, cawan alumunium, labu takar, gelas ukur, tabung reaksi bertutup, pipet volumetrik 1 ml, pipet volumetrik 10 ml, kuvet, Spectrophotometer UV-Vis, pipet tetes, labu Kjeldahl dan alat Sokhlet.
3.2 TAHAPAN PENELITIAN Tahapan penelitian ini meliputi persiapan bahan, trial and error, pembuatan beras analog, uji pemasakan, uji organoleptik, dan uji kimia dan fisik formula terpilih. Persiapan bahan meliputi persiapan bahan tepung sorgum dan tepung jagung. Uji trial and error untuk mengetahui jumlah air yang ditambahkan, jenis emulsifier, jumlah emulsifier, optimasi proses, dan optimasi cara pemasakan. Tahap berikutnya adalah pembuatan beras analog dengan membandingkan dua faktor yaitu penambahan 30% tepung (sorgum dan mocaf) dan penambahan pati (sagu aren 30%; maizena 30%; dan campuran sagu 15% dan maizena 15%). Dari rancangan percobaan tersebut didapatkan enam buah sampel beras yang diuji organoleptiknya dalam bentuk beras mentah dan nasi matang. Formula terbaik adalah sampel yang memiliki nilai kesukaan paling tinggi. Formula terpilih akan diuji lebih lanjut sifat kimianya yaitu melalui analisis proksimat, kadar pati dan amilosa dan sifat fisik melalui analisis warna dan tekstur.
3.3 PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG DAN TEPUNG SORGUM Tahapan pembuatan tepung sorgum yaitu perontokkan, penyosohan, penambahan air, penyimpanan selama satu malam dalam wadah plastik, penggilingan, pengeringan dan pengayakan 60 mesh. Pembuatan tepung jagung meliputi pemipilan, penghancuran biji menjadi grits, pemisahan dengan lembaga, penambahan air, penyimpanan selama satu malam dalam plastik, penggilingan, pengeringan, pengayakan 100 mesh.
3.4 PEMBUATAN BERAS ANALOG Pembuatan beras analog menggunakan teknologi ekstrusi dengan suhu tinggi (hot extrusion). Tahap awal adalah penimbangan bahan-bahan sesuai formulasi. Setelah itu bahanbahan kering meliputi tepung, pati dan GMS dicampurkan dengan mixer selama 10 menit. Kemudian air ditambahkan sedikit-demi sedikit hingga adonan rata. Adonan tersebut disangrai selama 10 menit dan tahap berikutnya adalah proses ekstrusi menggunakan Twin Screw Extruder.
Produk hasil ekstrusi kemusian dikeringkan dalam over dryer pada suhu 60oC selama 4 jam. Secara singkat alur pembuatan beras analog pada Gambar 5. Tepung tepungan
GMS
Penimbangan sesuai formulasi
Air
Pencampuran bahan kering 10‟
Penimbangan sesuai formulasi
Penambahan air 10‟
Penyangraian 10‟
Ekstrusi Pengeringan dengan oven 60oC , 4 jam
Suhu Feed (T1) : 85oC Compressing (T2) : 85oC Metering (T3) : 85oC KecepatanAuger : 18 Hz Screw : 15Hz Cutter : 50Hz
Beras Analog Gambar 5. Pembuatan Beras Analog
3.5 RANCANGAN FORMULASI Rancangan formulasi pada penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua faktor, yaitu faktor A = tepung substitusi dan faktor B = jenis dan jumlah pati. Tepung substitusi yang digunakan adalah : t1 = Sorgum 30% t2 = Mocaf 30% Jenis pati yang digunakan adalah adalah : p1 = Sagu Aren 30% p2 = Sagu Aren 15% dan Maizena 15% p3 = Maizena 30% Sehingga formula yang didapatkan adalah sebagai berikut: Faktor t1 t2
p1 A (t1p1) D (t2p1)
p2 B (t1p2) E (t2p2)
p3 C(t1p3) F(t2p3)
Keterangan : Setiap formula ditambahkan tepung jagung 40%, GMS 2% dan air 50% (basis jumlah tepung)
15
3.6 PROSEDUR ANALISIS 3.6.1
Uji sensori Pemilihan Formula Terbaik
Uji sensori yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji rating hedonik pada atribut warna, rasa dan tekstur. Sampel beras analog yang telah dimasak disajikan di atas pisin, kemudian panelis diminta untuk memberikan penilaian. Skala yang digunakan adalah skala garis sepanjang 15 cm. Panelis yang diambil responnya adalah panelis tidak terlatih sebanyak 70 orang. Data yang diperoleh akan diolah dengan uji Analysis of Variance (ANOVA). Jika hasil uji ANOVA menyatakan bahwa sampel yang diujikan berbeda nyata pada taraf kepercayaan 0.05, maka akan dilakukan uji lanjut Duncan.
3.6.2
Analisis Kimia
Kadar Air (AOAC 2006) Cawan alumunium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang (A). Sejumlah sampel dengan bobot tertentu (B) dimasukkan dalam cawan. Cawan beserta isinya dikeringkan dalam oven bersuhu 105 oC selama 6 jam, didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan (C). Kadar air contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut : (
Kadar air (%bb) =
) (
Kadar air (%bk)
) (
)
Dimana: bb = basis basah bk = basis kering Kadar Abu (AOAC 2006) Cawan porselen yang dipersiapkan untuk pengabuan dikeringkan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sampel dengan bobot tertentu (B) dimasukkan ke dalm cawan, kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya, dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam hingga terbentuk abu berwarna putih dan memiliki bobot konstan. Abu berserta cawan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (C). kadar abu contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut: Kadar abu (%bb) =
(
)
Kadar abu (%bk) =
(
) (
)
Kadar Lemak(AOAC 2006) Sebanyak 1-2 gram contoh dimasukkan ke dalam kertas saring. Kertas saring berisi contoh tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C hingga kering.Kertas saring yang telah dikeringkan dimasukkan ke dalam selongsong dengan sumbat kapas. Selongsong tersebut kemudian dimasukan ke dalam alat ekstraksi soxhlet dan dihubungkan dengan kondensor dan labu lemak. Alat kondensor diletakkan di atasnya dan labu lemak diletakkan di bawahnya. Pelarut hexana dimasukan ke dalam labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan ekstraksi selama 6
16
jam. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi dan ditampung kembali. Kemudian labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pengeringan diulangi hingga mencapai berat tetap. Kadar lemak dapat diperoleh dengan persamaan berikut : W1- W2 Kadar Lemak(%bb) x100% W Keterangan: W : Bobot sampel (gram) W1: Bobot labu+ lemak (gram) W2: Bobot labu (gram) Kadar Protein (AOAC 2006) Sebanyak 0,1-0.25 gram contoh ditimbang di dalam labu Kjeldahl, lalu ditambahkan 1.0 + 0.1 gram K2SO4, 40 + 10 ml HgO, dan 2.0 + 0.1 ml H2SO4, selanjutnya contoh didihkan sampai cairan jernih kemudian didinginkan. Larutan jernih ini dipindahkan ke dalam alat destilasi secara kuantitatif. Labu Kjeldahl dibilas dengan 1-2 ml air destilata, kemudian air cuciannya dimasukan ke dalam alat destilasi, pembilasan dilakukan sebanyak 5-6 kali. Tambahkan 8-10 ml larutan 60% NaOH – 5% Na2S2O3.5H2O ke dalam alat destilasi. Di bawah kondensor diletakkan erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H 3BO3 jenuh dan 2-4 tetes indikator (campuran 2 bagian 0.2% metilen red dan 1 bagian 0.2% metilen blue dalam etanol 95%). Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan H 3BO3, kemudian dilakukan destilasi sehingga diperoleh sekitar 15 ml destilat. Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna dari hijau menjadi abu-abu. Kadar protein kasar dapat dihitung dengan persamaan : (V HCl contoh - V HCl blanko) x N HCl x 14.007 Kadar N (%bb) x100% mg contoh
Kadar protein ( % bb) % N x Fk Keterangan : Fk : Faktor konversi (6.25 untuk tepung dan mi) Kadar Karbohidrat (by difference) Perhitungan kadar karbohidrat dilakukan dengan cara by difference dengan persamaan : Kadar karbohidrat = 100% - (% air + %abu + %protein + % lemak) Serat Pangan Metode Multienzim (Asp et al. 1983) Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan 25 ml larutan buffer Na-phospat pH 6 dan diaduk hingga terbentuk suspensi. Selanjutnya ditambahkan 0.1 ml enzim termamyl ke dalam erlenmeyer yang berisi sampel. Erlenmeyer kemudian ditutup dengan alumunium foil dan diinkubasi dalam penangas air suhu 100 oC selama 15 menit sambil diaduk sesekali. Sampel diangkat dan didinginkan, lalu ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diturunkan sampai 1.5 menggunakan HCl 4 N. Selanjutnya ditambahkan enzim pepsin sebanyak 100 mg ke dalam sampel, lalu ditutup dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang suhu 40 oC selama 1 jam. Erlenmeyer kemudian diangkat, ditambahkan air destilata, dan pH diatur menjadi 6.8 menggunakan NaOH. Setelah pH 6.8 tercapai, ditambahkan enzim pankreatin sebanyak 100mg ke dalam erlenmeyer. Erlenmeyer ditutup, diinkubasikan pada suhu 40 oC selama 1 jam. Selanjutnya
17
pH diatur sampai 4,5 menggunakan HCl. Larutan sampel tersebut kemudian disaring menggunakan crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) dan ditambahkan 0.5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Pada penyaringan dilakukan dua kali pencucian dengan masing-masing 10 ml air destilata. Residu (Serat pangan tidak larut) Hasil yang diperoleh selanjutnya dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95 % dan 2 x 10 ml aseton lalu dikeringkan pada suhu 105oC sampai berat tetap (sekitar 12 jam). Selanjutnya didinginkan dalam desikator, lalu timabang. Setelah itu diabukan dalam tanur 500 oC selama minimal 5 jam, lalu didinginkan dalam desikator dan timbang beratnya. Filtrat (serat pangan larut) Volume filtrate diatur dengan air sampai 100 ml, kemudian ditambahkan 400 ml etanol 95 % hangat (60oC) dan diendapkan selam 1 jam. Selanjutnya disaring dengan crucible kering (porositas 2) yang mengandung 0.5 g celite kering, dicuci lagi dengan 2x 10 ml etanol 78 %, 2 x 10 ml etanol 95 %, dan 2 x 10 ml aseton, kemudian dikeringkan pada suhu 105 oC sampai berat konstan. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan timbang beratnya. Selanjutnya diabukan dalam tanur suhu 550oC selama 5 jam dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator. Blanko Penetapan blanko dapat dilakukan dengan cara seperti pada prosedur untuk sampel, tetapi tanpa penambahan sampel. Setelah mendapatkan berat sampel sebelum dan sesudah diabukan serta berat blanko, persamaan untuk menghitung sebagai berikut : % Serat tak Larut (IDF) = % Serat Larut (SDF) =
(
(
% Total Serat (TDF) = (SDF + IDF) (%) Keterangan : D = berat setelah pengeringan (g) I = berat setelah pengabuan (g) B = berat blanko bebas abu (g) Analisis Kadar Pati Metode Luff Schoorl (Sudarmadji et al. 1997) Pembuatan Larutan Luff Schoorl Sebanyak 12.5 g CuSO4.5H2O dilarutkan dalam 50 ml air destilata (larutan A). sebanyak 25 g asam sitrat dilarutkan dalam 25 ml air destilata (larutan B). Larutan C dibuat dengan melarutkan 194 g Na2CO3.10H2O dalam 150-200ml air mendidih. Larutan B kemudian dituang ke dalam larutan C dan diaduk. Selanjutnya larutan A ditambahkan ke dalam campuran larutan B dan C. Setelah dingin, ditambahkan air destilata hingga volume 500 ml.
18
Standarisasi larutan Na2S2O3 0.01 N Larutan Na2S2O3 0.1 N dibuat dengan mencampurkan 12.5 g Na 2S2O3.5H2O dan 0.15 g Na2CO3, kemudian ditambahkan air destilata hingga volume 500 ml. standardisasi larutan Na 2S2O3 0.1 N dilakukan dengan menimbang 140-150 mg KIO3 ke dalam Erlenmeyer 300 ml. kemudian larut kan dengan air destilata secukupnya dan tambahkan ± 2 mg KI. Tambahkan 10 ml HCl 2 N ke dalam larutan (titrasi harus segera dilakukan setelah penambahan HCl). Titrasi dilakukan dengan Na2S2O3 0.1 N yang akan distandardisasi hingga warna larutan berubah dari merah bata menjadi kuning pucat. Selanjutnya tambahkan 1-2 ml larutan pati dan titrasi dilanjutkan hingga warna biru menghilang. Normalitas larutan Na2S2O3 0.1 N dapat dihitung dengan persamaan : Normalitas Na2S2O3= Pengukuran Sampel Sebanyak ± 0.1 g sampel dan 5 ml HCl 25 % dimasukkan ke dalam gelas piala pendingan balik, kemudian direfluks selama 3 jam. Setelah selesai, netralkan pH larutan dengan NaOH 45 %. Tambahkan air destilata hingga volume larutan 100 ml. larutan tersebut kemudian disaring dengan kertas saring. Sebanyak 25 ml filtrat dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan 25 ml larutan Luff Schoorl. Tutup erlenmeyer dengan alumunium foil dan panaskan hingga larutan mendidih. Lakukan pemanasan selama 10 menit sejak larutan mendidih. Selanjutnya tambakan 15 ml KI 20 % dan 25 ml H2SO4 26.5 %. Lakukan titrasi dengan Na2S2O3 0.1 N yang telah distandardisasi hingga warna larutan berubah dari merah bata menjadi kuning pucat. Tambahkan 1-2 ml larutan pati dan titrasi dilanjutkan hingga warna biru menghilang. Pengukuran blanko juga dilakukan dengan mengganti 25 ml filtrat sampel dengan 25 ml air destilata. Kadar pati contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut : Volume Na2S2O3 yang digunakan =
(
–
)
Kadar Gula (%) = Kadar Pati (%) = Kadar gula x 0.9 Keterangan : Vb = Volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi blanko Vs = Volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi sampel FP = Faktor pengenceran Analisis Kadar Amilosa ( Apriyanto et al. 1989) Pembuatan kurva standar Sebanyak 40 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml., ditambahkan 1 ml etanol 95 % dan 9 ml larutan NaOH 1 N. Kemudian labu takar dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95oC selama 10 menit. Setelah didinginkan, ditambahkan air destilata hingga tanda tera. Larutan tersebut digunakan sebagai larutan stok. Pipet larutan stok sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml ke dalam labu takar 100 ml. Larutan asam asetan 1 N ditambahkan sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8 dan 1.0 ml ke dalam masing-masing labu takar. Kemudian tambahkan 2 ml larutan iod (0.2 g I 2 dan 2 g KI dilarutkan dalam 100 ml air destilata) ke dalam setiap labu takar, lalu ditera dengan air destilata.
19
Larutan dibiarkan 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Pengukuran Sampel Sebanyak 100 mg sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95 % dan 9 ml larutan NaOH 1 N ke dalam tabung reaksi. Tabung reaksi kemudian dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95oC selama 10 menit. Larutan gel pati dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan air destilata hingga tanda tera dan dihomogenkan. Larutan dipipet sebanyak 5 ml ke dalam labu takar 100 ml. tambahkan 1 ml asam asetat dan 2 ml larutan iod ke dalam labu takar tersebut, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut : Kadar Amilosa (%) Kadar Amilopektin (%) = Kadar pati – Kadar amilosa
3.6.3 Analisis Fisik Analisis warna dengan Chromamater CR 300 Minolta (Firmansyah 2003) Chromameter CR 300 Minolta adalah suatu alat untuk analisis warna secara tristimulus untuk mengukur warna yang dipantulkan oleh suatu permukaan. Data pengukuran dapat berupa nilai absolut maupun nilai selisih dengan standar. Cara kerjanya sebagai berikut, pertama lakukan kalibrasi terlebih dahulu dengan menekan tombol „CALIBRATE‟; masukkan data kalibrasi Y, x dan y yang terdapat pada penutup bagian plat kalibrasi. Kemudian letakkan measuring head pada plat kalibrasi yang berwarna putih, tekan tombol „MEASURE‟. Biarkan alat bekerja secara otomatis sebanyak tiga kali hingga pengukuran selesai. Setelah kalibrasi selesai, pengukuran contoh atau sampel baru bisa dilakukan. Pertama letakkan measuring head pada contoh yang akan diukur, dan tekan tombol „MEASURE‟, biarkan alat bekerja sendiri, tunggu beberapa saat hingga pengukuran selesai. Pengujian warna dilakukan sebanyak dua kali ulangan. Tabel 5. Nilai HUE dan Daerah Kisaran Warna Kromatisitas Nilai oHUE 342-18 18-54 54-90 90-126 162-198 198-234 234-270 270-306 306-342
Daerah Kisaran Warna Kromatisitas Red Purple (RP) Yellow Red (YR) Yellow (Y) Yellow Green (YG) Green (G) Blue Green (BG) Blue (B) Blue Purple (BP) Purple (P)
Sumber : Hutchings (1999) Hasil analisis uji warna kemudian dikonversi ke dalam nilai oHue. Nilai oHue yang didapat kemudian disesuaikan dengan tabel daerah kisaran warna kromatisasi. Rumus konversi nilai L*ab ke nilai oHue sebagai berikut: o Hue = tan-1(b/a)
20
Bobot Seribu Butir Sampel yang dipilih memiliki butir yang utuh, baik, dan memiliki panjang hampir sama. Sampel tersebut diambil sebanyak seribu butir kemudian ditimbang menggunakan timbangan analitik untuk diketahui bobotnya. Bobot seribu butir tersebut dibagi 1000 sehingga diketahui bobot rata-rata beras per butir. Densitas Kamba Sampel dengan ukuran yang sama dimasukkan ke dalam gelas ukur hingga volume 10 ml dan diketuk-ketuk sebanyak 25 kali. Sampel tersebut kemudian ditimbang. Cara perhitungannya adalah sebagai berikut: Densitas Kamba (g/ml) =
( ) (
)
21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PEMBUATAN BERAS ANALOG Proses pembuatan beras analog meliputi persiapan bahan, pencampuran, pregelatinisasi, ekstrusi, dan pengeringan. Proses persiapan bahan meliputi persiapan tepung dan penimbangan bahan. Bahan-bahan kering disiapkan secara terpisah dengan air. Tahap berikutnya adalah proses pencampuran. Bahan-bahan kering dicampur terlebih dahulu hingga merata kemudian air ditambahkan dan dicampur kembali hingga merata. Tahap berikutnya adalah pre-gelatinisai dimana bahan mengalami pemanasan pada suhu o 85 C selama 1-5 menit. Tahap ini berfungsi dalam menyeragamkan kadar air bahan dan membuat bahan lebih higroskopis sehingga dapat membuat tahap ekstrusi lebih cepat (Scella et al., 1987). Tahap berikutnya adalah tahap ekstrusi yang meliputi pencampuran, shearing dan pencetakkan melalui die. Suhu yang digunakan adalah 85oC agar adonan mengalami gelatinisasi pati. Proses ekstrusi menggunakan suhu tinggi (hot extrusion). Proses ekstrusi panas biasanya digunakan untuk memproduksi produk serealia, confectionary dan produk berbasis protein. Alat yang digunakan adalah Twin Screw Extruder (Berto BEX-DS-2256). Suhu yang digunakan pada proses ekstrusi adalah 85oC di semua bagian (feed, compressing dan metering) dengan kecepatan yang digunakan antara lain kecepatan auger 18Hz, screw 15Hz dan cutter 50Hz. Proses yang digunakan adalah teknologi ekstrusi panas, tetapi produk yang dihasilkan tidak mengembang seperti puffed sereal karena jumlah air yang ditambahkan cukup banyak. Ekstrusi dengan penambahan air yang cukup banyak disebut ekstrusi kadar air tinggi (high moisture extrusion). Kadar air bahan yang tinggi akan mencegah terjadinya viscous dissipation yang menyebabkan terjadi kenaikan tekanan sehingga produk yang dihasilkan tidak mengembang (Akdogan, 1999). Hasil cetakkan melalui die kemudian dikeringkan dalam oven dryer pada suhu 60oC selama 4 jam hingga kering. Proses pengeringan dilakukan agar beras analog dapat disimpan lebih lama.
4.2 FORMULASI BERAS ANALOG 4.2.1
Sifat Fisik Bahan Baku
Bahan baku tepung yang digunakan pada penelitian ini antara lain tepung sorgum, mocaf dan tepung jagung, sedangkan pati yang digunakan yaitu maizena dan sagu aren. Sifat fisik berupa profil gelatinisasi dan amilosa dapat mempengaruhi pembuatan beras analog. Profil gelatinisasi tepung dan pati tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Kadar amilosa tepung dan pati dapat dilihat pada Tabel 7. Sifat fisik lain yang dapat mempengaruhi produk akhir adalah warna. Hasil analisis warna bahan dapat dilihat pada Tabel 8. Parameter yang diketahui pada profil gelatinisasi meliputi Suhu Gelatinisasi ( oC), Viskositas Puncak (cP), Viskositas Pasta Panas(cP), Viskositas Breakdown(cP), Viskositas Pasta Dingin(cP), Viskositas Setback(cP) dan Lama Gelatinisasi (m). Suhu gelatinisasi merupakan suhu ketika mulai terdeteksi terjadinya peningkatan viskositas yang disebabkan oleh pengembangan granula pati. Suhu gelatinisasi bahan dapat menentukan suhu yang paling baik digunakan selama proses ekstrusi karena pada proses ekstrusi diharapkan terjadi gelatinisasi pati. Jika suhu proses jauh lebih rendah dibandingkan suhu gelatinisasi, maka dapat menghasilkan beras analog yang rapuh dan tidak dapat diolah menjadi nasi. Hasil penelitian pembuatan mi oleh Tam et al .(2004), menunjukkan bahwa penggunaan suhu proses yang lebih rendah dibandingkan dengan suhu gelatinisasi membuat adonan mi menjadi tidak elastis dan mi yang dihasilkan memiliki tekstur
yang kasar dan mudah patah. Tabel 6 menunjukkan bahwa tepung sorgum Pahat dan mocaf memiliki suhu gelatinisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan maizena, tepung jagung dan sagu aren. Viskositas puncak menggambarkan kemampuan pati untuk mengembang dengan bebas sebelum mengalami breakdown. Nilai viskositas puncak dipengaruhi oleh kadar amilosa dan amilopektin yang terkandung. Semakin tinggi kadar amilosa suatu bahan, maka viskositas puncaknya semakin rendah. Hal ini disebabkan oleh pengikatan amilosa dengan lemak yang membentuk kompleks pengembangan granula terhambat. Sebaliknya, peningkatan kadar amilopektin akan meningkatkan nilai Viskositas Puncak (Sang et al. 2008). Pengaruh kadar amilosa dan viskositas maksimum dapat diketahui pada formulasi beras analog. Tabel 6. Profil Gelatinisasi Bahan Baku Beras Analog Profil gelatinisasi
Satuan
Suhu Gelatinisasi (Pasting Temperature, PT) Viskositas Maksimum (Peak Viscosity, PV) Viskositas Pasta Panas (Hot Paste Viscosity, HPV) Viskositas Breakdown (VB) Viskositas Pasta Dingin (Cold Paste Viscosity, CPV) Viskositas Setback (VS) Waktu Gelatinisasi
o
Sorgum Pahat
Mocaf
Maizena
Jagung
Sagu Aren
C
86.58
86.1
73.70
76.37
70.5
cP
1380.00
3239
4167
1334
1050
cP
1235.50
1625
2081
972
-
cP cP
144.50 2665.50
1614 4042
2086 1831
362 -
-
cP menit
1430.00 10.84
2417 8.93
3912 -
863 5.00
-
Sumber : Yuliyanti (2012); Pinasthi (2011); Panikulata (2008); Alam dan Saleh (2009) Sifat fisik warna bahan diketahui melalui uji warna menggunakan alat Chromameter. Dapat dilihat pada Tabel 8 bahwa semua bahan memiliki derajat oHue yang berada pada kisaran 54-90 yang menunjukkan bahwa bahan memiliki warna pada kisaran warna kuning. Namun, masingmasing bahan memiliki tingkat kecerahan yang berbeda-beda. Maizena memiliki tingkat kecerahan tertinggi, sedangkan sorgum Pahat memiliki tingkat kecerahan yang paling rendah. Tabel 7. Kandungan Amilosa Bahan Baku Beras Analog Bahan baku
Amilosa (%)
Sorgum Pahat Mocaf Jagung Maizena Sagu Aren
29.00 34.75 24-46 24-46 39.00
Sumber : Alam dan Saleh (2009) ;Yuliyanti (2012); Panikulata (2008); Singh et al. (2006)
23
Tabel 8. Nilai L*ab Warna Bahan Baku Beras Analog Bahan Sorgum Pahat Mocaf Jagung Maizena Sagu Aren
4.2.2
L 58.20 63.32 62.00 64.46 58.80
+a 2.03 1.62 0.57 0.81 1.90
+b 7.34 5.48 2.44 3.36 5.63
o
Hue 74.54 73.51 76.85 76.45 71.35
Warna Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning
Formulasi
Tahap awal formulasi beras analog adalah penelitian pendahuluan untuk menentukan jenis dan jumlah bahan yang digunakan dalam pembuatan beras analog. Penelitian pendahuluan meliputi penentuan jumlah air, perbandingan tepung dan pati, serta penentuan jenis dan jumlah bahan pengikat. Air merupakan faktor penting dalam pembentukkan beras analog karena air berperan dalam proses gelatinisasi. Jumlah air yang ditambahkan adalah 50% dari jumlah tepung dan pati. Jumlah ini juga mengacu pada pembuatan beras analog metode granulasi yang dipatenkan oleh Kurachi (1995) yang menambahkan air sebanyak 50% dari jumlah tepung dan pati (bahan kering). Penentuan perbandingan jumlah tepung dan pati berdasarkan penelitian Lisnan (2008) yang membuat beras tiruan berbasiskan tepung dan pati singkong. Beras tiruan dengan perbandingan tepung dan pati sebanyak 70:30 merupakan beras dengan formula terpilih. Oleh karena itu, jumlah pati yang digunakan adalah sebanyak 30% basis bahan kering. Pati yang digunakan pada pembuatan beras analog ini adalah maizena dan sagu aren. Tepung yang digunakan pada pembuatan beras analog ini pada awalnya adalah satu jenis tepung yaitu tepung sorgum dan mocaf dan pati yang digunakan adalah maizena. Namun, penggunaan satu jenis tepung membuat beras analog yang dihasilkan lengket satu sama lain dan setelah dimasak menghasilkan nasi yang lengket. Berdasarkan penelitian Dewi (2012), tingginya viskositas maksimum bahan baku seperti mocaf dan maizena dapat menyebabkan produk menjadi lengket. Oleh karena itu, ditambahkan tepung jagung sebanyak 40% dan sagu aren pada formulasi untuk memperbaiki tekstur. Tepung jagung digunakan diharapkan dapat mengurangi kelengketan karena tepung jagung mengandung lemak yang cukup tinggi yaitu 4.6 % (FAO 1995). Bahan pengikat yang digunakan dalam pembuatan beras analog ini adalah emulsifier Gliserol Monostearat (GMS). GMS berfungsi untuk mengikat bahan, menjadi pelumas pada saat ekstrusi, mencegah terjadinya pengembangan ekstrudat, membuat ekstrudat tidak lengket satu sama lain, dan mengurangi cooking loss produk pada saat proses pemasakkan menjadi nasi (Kaur et al. 2004; Singh et al. 2000). Jumlah yang ditambahkan sebanyak 2%. Jumlah ini sesuai dengan paten Kurachi (1995) yang menyatakan jumlah bahan pengikat yang dapat ditambahkan adalah 0.1-10% dari jumlah tepung dan pati. Gliserol Monostearat diketahui dapat membentuk kompleks inklusi heliks dengan amilosa. Kompleks tersebut dapat mencegah granula pati untuk mengembang yang dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan pengembangan dan kelarutan. Kompleks amilosa dengan asam lemak dapat dilihat pada Gambar 6. Asam lemak memiliki bagian yang hidrofobik dan hidrofilik seperti GMS. Oleh karena itu, dapat diperkirakan amilosa dan GMS dapat membentuk struktur yang sama. Setelah didapatkan jumlah optimum pada masing-masing bahan kemudian dilakukan formulasi. Rancangan formulasi yang dilakukan menggunakan Rancangan Acak Faktorial dengan
24
dua faktor yaitu tepung dan pati. Formulasi yang didapatkan dari penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Tabel 9.
Amilosa
Lemak
Gambar 6. Kompleks Amilosa dengan Lemak (Putseys et al. 2010) Tabel 9. Formula Beras Analog Formula
Komposisi
1 2 3 4 5 6
Tepung Sorgum 30%, Tepung Jagung 40%, Maizena 30% Tepung Sorgum 30%, Tepung Jagung 40%, Maizena 15 % dan Sagu Aren 15% Tepung Sorgum 30%, Tepung Jagung 40%, Sagu Aren 30% Mocaf 30%, Tepung Jagung 40%, Maizena 30% Mocaf 30%, Tepung Jagung 40%, Maizena 15% dan Sagu Aren 15% Mocaf 30%, Tepung Jagung 40%, Sagu Aren 30%
Produk beras analog hasil ekstrusi kemudian diteliti kelengketan dan kemampuannya untuk dapat dimasak. Hasil menunjukkan semua formula menghasilkan beras yang tidak lengket dan dapat dimasak menjadi nasi. Oleh karena itu, seluruh formula diuji lebih lanjut penerimaannya melalui uji rating hedonik. Produk dengan nilai kesukaan tertinggi dikarakterisasi sifak fisik dan kimiannya. Produk beras analog dapat dilihat pada Gambar 7.
`
25
A
B
C
D
E
F
Gambar 7. Beras Analog
4.3 PEMASAKAN BERAS ANALOG Metode pemasakan beras analog tidak jauh berbeda dengan pemasakan beras biasa. Alat yang digunakan untuk memasak beras analog pada penelitian ini adalah rice cooker. Jumlah air yang ditambahkan pada pemasakan beras ini adalah dua bagian volume beras analog. Cara pemasakannya adalah ukur beras sebanyak 200 ml, kemudian ukur air sebanyak 400 ml. Masukkan air ke dalam rice cooker dan nyalakan alat. Didihkan air, setelah air mendidih beras analog baru dapat dimasukkan. Waktu memasak beras analog adalah selama ± 15 menit. Nasi yang telah matang adalah yang sudah tidak memiliki bintik warna putih di tengah dan tekstur yang kenyal. Nasi beras analog dapat dilihat pada Gambar 8.
A
D
B
E
C
F
Gambar 8. Nasi Beras Analog
26
4.4 ANALISIS SENSORI BERAS ANALOG 4.4.1
Analisis Rating Hedonik Beras Analog
Hasil analisis sensori beras analog pada parameter warna menunjukkan rataan skor seperti yang terlihat pada Gambar 9. 9.2586c
Rataan Skor Hedonik
10 8 6
9.47c 7.9786b
7.9371b 4.8386a
4.7557a
4 2 0 A
B
C
D
E
F
Gambar 9. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Warna Beras Analog Gambar 9 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji rating hedonik pada parameter warna, beras yang memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah beras B dan F. Nilai kesukaan tersebut menunjukkan penilaian panelis terhadap beras B dan F adalah sudah mulai menyukai. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa nilai P value pada uji hedonik parameter warna adalah <0.05 yang berarti skor penilaian sampel berbeda nyata terhadap perlakuan. Warna produk seperti terlihat pada gambar 7 adalah kuning dan cenderung gelap. Warna kuning pada beras berasal betakaroten yang diperoleh dari jagung (Richana 2010), sedangkan tingkat kecerahan beras juga dipengaruhi oleh komponen yang lain. Substitusi tepung sorgum pada beras B dapat menimbulkan warna gelap karena sorgum masih mengandung tanin. Hal ini disebabkan proses penyosohan sorgum tidak menghilangkan sorgum seluruhnya dan masih meninggalkan minimal 25% kadar tanin awal (Suarni 2001). Selain itu, warna produk yang gelap dapat disebabkan Meskipun nilai kesukaan panelis terhadap warna belum mencapai taraf suka atau sangat menyukai beras berwarna kuning ini dapat berpeluang menjadi beras yang disukai seperti beras merah dan beras hitam melalui proses edukasi.
Rataan Skor Hedonik
10
9.28d
9.06cd 8.11bc
8
7.78b 6.4a
6.49a
6 4 2 0 A
B
C
D
E
F
Gambar 10. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Bentuk Beras Analog Hasil uji hedonik pada parameter bentuk pada Gambar 10 menunjukkan bahwa beras yang memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah beras B dan F. Nilai kesukaan tersebut menunjukkan
27
penilaian panelis terhadap beras B dan F adalah sudah mulai menyukai. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa nilai P value pada uji hedonik parameter bentuk adalah <0.05 yang berarti skor penilaian sampel berbeda nyata terhadap perlakuan.
a. Beras Analog
b. Beras IR-64
Gambar 11. Perbandingan Bentuk Beras Analog dengan Beras Padi Bentuk beras analog sangat dipengaruhi oleh proses ekstrusi karena pada proses ini terdapat tahap pencetakkan. Bentuk beras analog ditentukan oleh die ekstruder. Gambar 11 menunjukkan bahwa ukuran beras analog sedikit berbeda dengan beras padi. Beras analog berbentuk oval dan pendek dibandingkan dengan beras padi yang lonjong dan panjang. Bentuk beras analog ini masih belum sempurna, namun seiring perkembangan teknologi dapat dilakukan lagi pembuatan beras analog dengan die yang lebih sesuai.
Rataan Skor Hedonik
10 8
8.696b 6.42a
6.99a
6.929a
C
D
8.21b
8.527b
E
F
6 4 2 0 A
B
Gambar 12. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Aroma Beras Analog Skor uji kesukaan panelis terhadap parameter aroma menunjukkan bahwa beras yang memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah beras B dan F. Nilai kesukaan tersebut menunjukkan penilaian panelis terhadap beras B dan F adalah sudah moderat menuju agak menyukai. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa nilai P value pada uji hedonik parameter aroma adalah <0.05 yang berarti skor penilaian sampel berbeda nyata terhadap perlakuan. Aroma beras analog sangat dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan dalam formulasi. Aroma jagung paling mendominasi aroma beras analog karena proporsi tepung jagung (40%) merupakan yang paling banyak dibanding tepung yang lain. Tepung sorgum, mocaf dan pati
28
cenderung tidak memiliki aroma yang tajam, namun setelah melalui proses pencampuran dan pemasakan dapat terjadi interaksi bahan yang menimbulkan aroma yang khas.
Rataan Skor Hedonik
10 8
7.4029a
8.5986a 8.2814a
9.0986a
7.8814a 8.2829a
6 4 2 0 A
B
C
D
E
F
Gambar 13. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Tekstur Beras Analog Penilaian kesukaan beras pada parameter tekstur meliputi kehalusan permukaan dan kerapuhan beras. Hasil penilaian menunjukkan bahwa beras yang memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah beras D dan B. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pada parameter tekstur perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap skor kesukaan konsumen. Namun, hasil penilaian menunjukkan konsumen telah mulai menyukai tekstur produk karena nilai kesukaan konsumen terhadap tekstur adalah 7-9. Tekstur beras analog meliputi kehalusan dan kerapuhan dipengaruhi oleh proses pencetakkan dan pengeringan. Saat melalui proses pencetakkan dilakukan pemotongan oleh cutter. Jika cutter tidak berputar dengan baik maka akan menyebabkan beras masih memiliki bagian yang terlihat seperti ekor. Ekor tersebut dapat dihilangkan melalui proses penyosohan dan pengayakan, namun proses tersebut akan menurunkan rendemen produk. Oleh karena itu, masih diperlukan optimasi proses meliputi penentuan kecepatan screw yang mendorong adonan dan kecepatan cutter yang memotong hasil cetakan pada ekstruder. Proses pengeringan ekstrudat juga berpengaruh terhadap tekstur karena pada proses pengeringan terjadi pengeluaran air pada ekstrudat. Ekstrudat pada pembuatan beras analog ini dikeringkan pada oven dryer pada suhu 60oC selama 4 jam. Ekstrudat yang dikeringkan akan mengalami perubahan porositas karena air juga berpengaruh terhadap tekstur beras. Semakin banyak air pada ekstrudat yang teruapkan maka akan membuat beras semakin poros dan permukaannya kasar. Beras yang poros akan lebih rapuh dibandingkan beras yang tidak poros. Akan tetapi penambahan air juga berpengaruh terhadap proses gelatinisasi produk. Oleh karena itu masih diperlukan analisis pengaruh penambahan air, suhu pengeringan dan lama pengeringan produk.
29
Skor Rataan Hedonik
8.263b
7.839b
8 6
9.449c
9.197c
10
6.359b
5.946a
4 2 0 A
B
C
D
E
F
Gambar 14. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Overall Beras Analog Hasil uji hedonik beras menunjukkan bahwa B dan F juga memiliki nilai kesukaan tertinggi pada parameter overall. Hasil pengolahan data menggunakan SPSS menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap skor kesukaan panelis pada taraf kepercayaan 95 % dan uji lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa beras B dan F berada pada subset yang sama. Penilaian overall produk dipengaruhi oleh keseluruhan karakteristik beras meliputi warna, bentuk, aroma, tekstur. Terlihat bahwa beras B dan F sudah memiliki skor penilaian diatas moderat dan sudah mulai disukai.
4.4.2
Analisis Rating Hedonik Nasi Beras Analog
Hasil uji hedonik pada Gambar 15 menunjukkaan bahwa pada parameter warna nasi yang memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah nasi B, E dan F. Nilai kesukaan tersebut menunjukkan penilaian panelis terhadap nasi B, E dan F adalah moderat-agak menyukai. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa nilai P value pada uji hedonik parameter warna adalah <0.05 yang berarti skor penilaian sampel berbeda nyata terhadap perlakuan.
Rataan Skor Hedonik
10 7.646bc
8
7.966bc 8.251c 7.016b
6.067a
5.511a
6 4 2 0 A
B
C
D
E
F
Gambar 15, Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Warna Nasi Beras Analog Warna nasi seperti yang terlihat pada Gambar 7 adalah kuning kecoklatan dan agak berbeda dengan warna nasi yang putih. Warna kuning pada nasi lebih pudar dibandingkan warna berasnya. Perubahan warna tersebut terjadi karena proses pemasakan yang menimbulkan gelatinisasi pati. Warna nasi dengan substitusi tepung sorgum menjadi agak kecoklatan dapat disebabkan kandungan tanin pada nasi.
30
Rataan Skor Hedonik
8 6
5.854a
6.461ab
6.883ab
7.241b
7.02b
E
F
6.093ab
4 2 0 A
B
C
D
Gambar 16. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Bentuk Nasi Beras Analog Gambar 16 menunjukkan bahwa pada parameter bentuk nasi yang memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah nasi E dan F. Bentuk nasi beras analog lebih besar dibandingkan dengan berasnya. Perubahan bentuk tersebut disebabkan oleh proses pemasakan yang menggunakan air. Sebagian besar komponen beras analog adalah karbohidrat berbentuk pati maka proses swelling tersebut terjadi karena adanya gelatinisasi pati (Winarno 2008). Pati yang dipanaskan bersama air akan menyerap air untuk memecah struktur pati. Setelah struktur pati pecah air diserap pati sehingga viskositas akan meningkat. Proses pemanasan ini juga akan mengikat molekul air pada pati sehingga air terserap dan menyebabkan ukuran nasi lebih besar dibandingkan beras.
Rataan Skor Hedonik
7
6.614b
6.514b 5.624b
6
6.154b
6.067b
E
F
4.389a
5 4 3 2 1 0 A
B
C
D
Gambar 17. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Aroma Nasi Beras Analog Gambar 17 menunjukan bahwa pada parameter aroma nasi yang memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah nasi A dan B. Aroma nasi merupakan salah satu parameter yang penting pada penerimaan nasi. Umumnya di masyarakat nasi yang paling disukai adalah nasi beraroma pandan. Beras beraroma pandan biasanya berkaitan dengan kepulenan nasi. Aroma nasi beras analog dominan dipengaruhi oleh aroma jagung karena proporsi jagung yang paling besar. Oleh karena itu, penerimaan panelis terhadap aroma nasi beras analog masih dibawah netral/moderat.
31
Rataan Skor Hedonik
8,5
8.063b
8
7.756ab 7.763ab
7,5 7
6.906a
6.866a
7.097ab
6,5 6 A
B
C
D
E
F
Gambar 18. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Rasa Beras Beras Analog Gambar 18 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji rating hedonik pada parameter rasa nasi yang memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah nasi B dan F. Nilai kesukaan nasi menggambarkan bahwa rasa nasi beras analog sudah mulai disukai. Rasa nasi beras analog sendiri adalah hambar (plain) sehingga memiliki peluang untuk dikonsumsi dengan bentuk olahan yang lain seperti nasi goreng dan nasi bakar. Tekstur nasi juga merupakan faktor penting dalam penerimaan nasi. Penilaian tekstur nasi meliputi kepulenan dan kelengketan. Diagram pada Gambar 19 dapat menunjukkan bahwa nasi yang memiliki kesukaan tertinggi adalah nasi B, E dan F. Kepulenan dan kelengketan nasi sebagian besar dipengaruhi oleh kadar amilosa dan amilopektin. Beras yang mengandung kadar amilosa rendah (10-15%) memiliki karakterisitik nasi yang pulen dan agak lengket. Beras yang mengandung kadar amillosa sedang (16-24) memiliki karakteristik nasi yang tidak pera namun tidak pulen dan agak lengket. Beras yang mengandung kadar amilosa tinggi (25-35%) memiliki karakteristik pera dan tidak lengket (buyar).
Rataan Skor Hedonik
10 7.994bc 8
6.921a
7.089ab
7.639ab 8.064bc
8.706c
6 4 2 0 A
B
C
D
E
F
Gambar 19. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Tekstur Nasi Beras Analog
32
Rataan Skor HEdonik
10 8.000 c
8
7.7514bc
7.93c
E
F
6.8971ab 6.8686ab
6.6543a
6 4 2 0 A
B
C
D
Gambar 20. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Overall Nasi Beras Analog Hasil penilaian pada parameter overall nasi yang memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah berasasi B dan F. Hasil pengolahan data menggunakan SPSS menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap skor kesukaan panelis pada paremeter warna, aroma, tekstur dan overall pada taraf kepercayaan 95 % dan uji lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa nasi B dan F berada pada subset yang sama.
4.4.3 Pemilihan Formula Terbaik Formula terbaik ditentukan oleh beras dan nasi yang memiliki skor kesukaan tertinggi. Hasil uji skor kesukaan menunjukkan beras B dan F merupakan sampel yang paling sering memiliki skor kesukaan tertinggi pada parameter spesifik yang diujikan seperti warna, bentuk, aroma, tekstur dan juga parameter rasa. Penilaian pada sampel beras menunjukkan beras B dan F memiliki skor tertinggi pada semua parameter sedangkan pada sampel nasi beras E juga memiliki skor tertinggi pada beberapa parameter. Hasil penilaian overall sampel beras dan nasi menunjukkan beras B dan F yang memiliki skor tertinggi. Oleh karena itu, beras yang dipilih sebagai sampel terbaik adalah beras B dan F karena baik secara keseluruhan maupun secara spesifik kedua beras tersebut memiliki skor kesukaan tertinggi.
4.5 ANALISIS KIMIA BERAS ANALOG FORMULA TERBAIK Beras analog formula terpilih adalah beras formula B dan formula F. Analisis kimia dan fisik beras analog tersebut untuk mengetahui kandungan gizi dan sifat fisik beras analog. Sifat kimia dan fisik dibandingkan dengan beras dari padai dengan varietas IR-64 karena beras tersebut diharapkan dapat menunjukkan karakter beras yang umum dikonsumsi oleh masyarakat.
4.5.1
Analisis Proksimat
Kadar Air Hasil analisis proksimat pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa kadar air (bk) beras B lebih rendah dari beras sosoh sedangkan kadar air beras F sedikit lebih tinggi dari beras sosoh. Hasil uji Independent T-test menunjukkan kadar air beras B dan F berbeda nyata pada taraf 95%. Kadar air kedua beras tersebut sudah lebih rendah dari kadar air yang aman untuk penyimpanan beras yaitu <14%bb. Dengan kadar air <14 % (bb) akan mencegah pertumbuhan kapang yang sering hidup pada serealia/biji-bijian.
33
Tabel 10. Kadar Proksimat Formula Terpilih Kadar Beras Proksimat B Kadar Air (bk) 10.58±0.07 Kadar Abu (bk) 0.52±0.00 Kadar Lemak (bk) 1.12±0.01 Kadar Protein (bk) 6.95±0.17 Kadar karbohidrat (bk) 91.60±0.15 *sumber: Ohtsubo (2005)
Beras F 11.37±0.01 0.52±0.01 0.86±0.01 3.96±0.05 94.70±0.10
Beras Sosoh* 11.22±0.11 0.56±0.0 1.46±0.1 7.40±0.0 89.56
Kadar Abu Kadar abu beras B dan F hampir sama dengan beras sosoh. Hasil uji Independent T-test menunjukkan kadar abu beras B dan F berbeda nyata pada taraf 95%. Kadar abu pada beras analog cukup rendah karena mengandung pati yang cukup tinggi. Proses pembuatan pati yang melalui ekstraksi oleh air dapat membuat kandungan mineral pada tepung larut dan terbuang. Oleh karena itu, dapat dilakukan pengembangan produk yang mengandung mineral tinggi untuk memenuhi zat gizi yang hilang selama pengolahan maupun dengan tujuan fortifikasi mineral tertentu. Lemak Kadar lemak beras B dan F lebih tinggi dari kadar lemak beras sosoh (0.60%). Hasil uji Independent T-test menunjukkan kadar lemak beras B dan F berbeda nyata pada taraf 95%. Secara umum kandungan lemak beras analog termasuk rendah. Kandungan lemak yang rendah dapat mencegah beras analog menjadi tengik dan dapat membuat beras analog memiliki masa simpan yang lebih lama. Protein Protein adalah senyawa polimer asam amino yang penting bagi tubuh. Kadar protein (bk) beras B dan F lebih rendah dari beras sosoh. Hasil uji Independent T-test menunjukkan kadar protein beras B dan F berbeda nyata pada taraf 95%. Meskipun jumlah proteinnya masih dibawah kadar protein beras, diharapkan beras analog masih memberikan dukungan terhadap asupan protein pada konsumsi sehari-hari. Sebenarnya beras bukan merupakan sumber protein karena kadar proteinnya rendah. Namun, asupan protein masyarakat Indonesia paling tinggi berasal dari padi-padian (BPS 2011). Hal ini disebabkan konsumsi masyarakat terhadap nasi sangat tinggi, tetapi untuk memenuhi kekurangan protein sebaiknya beras dikonsumsi bersama sumber protein seperti telur, daging , ikan, dan kacang-kacangan. Protein juga memiliki hubungan yang moderat terhadap indeks glikemik. Makanan yang mengandung protein tinggi memiliki aktivitas glikemik yang rendah karena komponen ini menunda proses pengosongan lambung sehingga pencernaan pada usus halus akan menjadi lebih lambat (Widowati et al. 2006) Karbohidrat Kadar karbohidrat pada beras merupakan faktor yang penting untuk diketahui karena beras diketahui sebagai sumber karbohidrat. Pada Tabel 9 dapat dilihat kadar karbohidrat (bk) beras analog B dan F melebihi kadar karbohidrat beras sosoh. Hasil uji Independent T-test menunjukkan kadar karohidrat beras B dan F berbeda nyata pada taraf 95%. Kadar karbohidrat yang tinggi disebabkan oleh bahan baku yang digunakan sebagian besar tepung dan pati yang merupakan sumber karbohidrat.
34
Karbohidrat merupakan komponen yang menyumbangkan energi terhadap tubuh. Asupan kalori masyarakat Indonesia juga paling tinggi diperoleh dari karbohidrat jenis padi-padian yaitu lebih dari 900Kal/hari/kapita (BPS, 2011). Karbohidrat juga memiliki hubungan dengan indeks glikemik. Jenis karbohidrat yang dicerna secara cepat memiliki aktivitas glikemik yang lebih tinggi dibandingkan karbohidrat yang lambat dicerna (Widowati et al, 2006).
4.5.2 Analisis Kadar Serat Pangan Kadar serat pangan pada suatu produk dapat menentukan tingkat kekenyangan yang dihasilkan oleh produk tersebut. Serat pangan juga berfungsi untuk melancarkan saluran pencernaan dan membantu menghindari konstipasi pada usus. Kekurangan serat pangan dapat menyebabkan penyakit degeneratif seperti kanker usus besar, jantung dan pembuluh darah, diabetes mellitus dan batu empedu (Astawan et al. 2004). Tabel 11. Kadar Serat Pangan Beras Analog Kadar Serat Pangan
Beras B (%)
Beras F (%)
Beras Sosoh* (%)
Serat Pangan Tak Larut Serat Pangan Larut Total Serat Pangan
1.52 2.48 4.00
1.75 2.46 4.21
0.6 <0.5 0.6
Hasil analisis serat pangan pada beras analog pada Tabel 11 menunjukkan bahwa kadar serat pangan tak larut beras B dan beras F lebih tinggi dibandingkan beras sosoh. Kadar serat pangan larut beras B dan beras F lebih tinggi dibandingkan beras sosoh, sehingga total serat pangan pada beras B dan F lebih tinggi dibandingkan total serat pangan beras sosoh. Kandungan serat beras analog B dan F sekitar 4g per 100 g, sehingga konsumsi beras analog sebanyak 100g dapat menyumbang 4 gram atau 16% kebutuhan serat sehari (25 g). Berdasarkan penelitian Widowati et al. (2006), serat pangan larut lebih memiliki hubungan terhadap indeks glikemik beras. Serat diketahui dapat menunda proses pengosongan lambung sehingga mengurangi laju percernaan pada usus. Serat pangan juga berguna untuk menurunkan kolesterol pada serum darah. Oleh karena itu, konsumsi pangan mengandung serat tinggi sangat berguna bagi penderita diabetes maupun penderita kolesterol tinggi.
4.5.3
Analisis Kadar Pati dan Amilosa
Salah satu sifat kimia beras yang dapat menentukkan sifat fisik beras adalah kadar amilosa beras. Kadar amilosa beras biasanya ditentukan untuk mengetahui tingkat kepulenan beras. Namun, kadar amilosa tidak dapat menentukkan tingkat kesukaan beras karena selera masyarakat akan kepulenan beras berbeda-beda. Salah satu contohnya adalah masyarakat Sumatera cenderung menyukai beras yang pera sedangkan masyarakat Jawa Barat cenderung menyukai beras yang pulen. Kadar pati beras analog juga dianalisis untuk mengetahui jumlah karbohidrat dalam bentuk pati. Hasil analisis pati dan amilosa beras analog dapat dilihat pada Tabel 12. Hasil analisis kandungan pati pada Tabel 12 menunjukkan bahwa total pati pada beras B dan F lebih rendah dibandingkan beras sosoh. Kadar amilosa beras B (21.72 %) lebih tinggi dibandingkan beras IR-64 sosoh, namun masih termasuk ke dalam beras dengan kadar amilosa sedang (20-24%) yang memiliki karakteristik beras yang sedang (agak pulen). Beras F mengandung kadar amilosa sebesar 14.49% sehingga termasuk ke dalam beras amilosa rendah (10-20%) sehingga termasuk
35
beras yang pulen. Hasil uji Independent T-test menunjukkan kadar pati dan amilosa beras B dan F berbeda nyata pada taraf 95%. Tabel 12. Kadar Pati, Amilosa dan Amilopektin Beras Analog Kandungan Beras Beras Pati B (%) F (%) Total Pati 64.48 65.10 Amilosa 21.72 14.49 Sumber : *Wulan et al. (2007)
Beras IR 64 *(%) 68.18 20.65
Amilosa adalah senyawa polimer glukosa yang memiliki rantai lurus dan tidak bercabang. Analisis kadar amilosa pada beras biasanya bertujuan untuk mengetahui hubungannya dengan kepulenan nasi beras tersebut. Oleh sebab itu, pengukuran kadar amilosa dijasikan salah satu parameter karakterisasi beras varietas baru (Balai Penelitian Tanaman Padi 2004). Berdasarkan penelitian Widowati et al. (2006), kadar amilosa memiliki korelasi yang cukup tinggi dengan indeks glikemik. Semakin tinggi kadar amilosa beras maka indeks glikemiknya semakin rendah. hal tersebut disebabkan amilosa merupakan senyawa polimer yang tidak memiliki cabang sehingga ikatannya menjadi sangat kuat sehingga lebih sulit dicerna. Namun, kadar amilosa tidak dapat menjadi satu-satunya parameter yang dapat menggambarkan indeks glikemik beras karena masih memunginkan faktor lain seperti serat pangan, pati resisten dan ikatan kompleks amilosa dengan komponen lain yang dapat mempengaruhi indeks glikemik beras.
4.6 ANALISIS FISIK BERAS ANALOG FORMULA TERBAIK 4.4.3
Analisis Warna Beras Analog Tabel 13. Hasil Analisis Warna Beras Analog Beras Beras B Beras F Beras IR 64*
L 60.86 60.82 80.79
o +a +b Hue +3.88 +23.67 80.69 +3.82 +25.93 81.63 +5.05 +11.01 65.36 *sumber: Setianingsih (2008)
Warna Kuning-Merah Kuning-Merah Kuning- Merah
Warna merupakan salah satu atribut penting yang menentukan penerimaan konsumen pada produk. Analisis warna dilakukan menggunakan alat Chromameter Minota CR 300. Analisis warna yang dilakukan untuk mengetahui derajat putih atau kecerahan beras berdasarkan nilai L dan skema warna beras berdasarkan nilai a dan b. Hasil analisis warna produk beras analog terpilih dapat dilihat pada Tabel 13. Hasil analisis warna beras analog menggunakan alat Chromameter menunjukkan bahwa beras formula B memiliki warna beras yang berada pada kisaran kuning-merah. Beras formula F juga memiliki warna beras yang berada pada kisaran kuning-merah. Beras analog B dan F memiliki nilai L lebih rendah dibandingkan dengan beras IR-64 sehingga beras analog memiliki nilai derajat putih atau derajat kecerahan yang lebih rendah dibandingkan dengan beras sosoh. Namun, berdasarkan nilai oHue berdasarkan nilai +a dan +b, baik beras analog maupun beras sosoh termasuk ke dalam skema warna yang sama yaitu kuning-merah. Warna beras yang kuning kemerahan dapat disebabkan oleh adanya penambahan tepung jagung yang berwarna kuning dan penambahan tepung sorgum yang mengandung tanin, sehingga warnanya menjadi gelap.
36
4.5.3 Bobot Seribu Butir Bobot seribu butir beras dapat menunjukkan bobot beras per butirnya. Bobot seribu butir dilakukan untuk mengetahui keseragaman ukuran beras. Hasil analisis bobot seribu butir dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Hasil Analisis Bobot 1000 butir Beras Bobot 1000 Butir (g) Beras B 18.84 Beras F 15.94 Beras IR-64* 19.00 *sumber: Setianingsih (2008)
Bobot per butir (g) 0.01884 0.01594 0.01900
Hasil analisis bobot seribu butir pada Tabel 14 dapat diketahui bahwa bobot seribu butir beras analog formula B dan F lebih rendah dibandingkan dengan beras sosoh (Setianingsih 2008). Hal ini dapat disebabkan ukuran beras analog yang lebih kecil dibandingkan beras sosoh. Bobot per butir beras analog dapat dipengaruhi oleh proses pencetakkan beras analog menggunakan ekstruder. Parameter proses yang paling berpengaruh adalah kecepatan screw dan kecepatan cutter. Kombinasi kedua parameter tersebut dapat menentukan bentuk beras analog. Jika kecepatan dikurangi maka ukuran beras analog menjadi besar dan begitu pula sebaliknya. Analisis bobot per butir beras analog berkaitan dengan analisis densitas kamba untuk mengetahui volume dan porositas beras.
4.6.3 Densitas Kamba Densitas kamba adalah berat jenis produk kering yang dihitung berdasarkan bobotnya dalam suatu wadah. Densitas kamba beras analog diketahui untuk mengetahui volume dan porositas beras. Hasil analisis densitas kamba beras dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil Analisis Densitas Kamba Beras Analog Beras
Densitas Kamba (g/ ml)
Beras B Beras F Beras IR-64 sosoh*
0.649 0.699 0.790
Sumber : *Hawa et. al (2010) Berdasarkan hasil analisis densitas kamba beras B memiliki densitas 0.63g/ml sedangkan beras F memiliki densitas 0.58 g/ml. Dibandingkan dengan densitas kamba beras serang (0.79 g/ml) beras analog memiliki densitas yang lebih rendah. Sehingga dapat disimpulkan beras analog memiliki berat yang lebih kecil dibandingkan beras padi yang disosoh pada volume yang sama. Densitas kamba beras analog yang rendah juga menunjukkan beras analog memiliki porositas yang tinggi. porositas yang tinggi dapat dipengaruhi oleh kandungan gizi beras analog maupun proses pembuatan yang meliputi pengeringan. Pengeringan dapat membuat beras analog kehilangan air dan matriks beras analog menjadi lebih poros. Hasil analisis densitas kamba dapat juga mengetahui volume beras untuk mendapatkan 1 kg beras. Jika densitas kamba beras B adalah 0.65g/ml maka untuk mendapatkan 1 kg beras B adalah dengan mengukur 1538.46 ml atau sekitar 1.5 liter. Sedangkan beras F memiliki densitas kamba 0.69 g/ml sehingga untuk mendapatkan 1 kg beras F adalah dengan mengukur 1449.27 ml atau sekita 1.5 liter.
37
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Berdasarkan uji rating hedonik, sampel yang memiliki tingkat kesukaan paling tinggi adalah beras formula B dan formula F. Formula B terdiri dari tepung jagung 40%, tepung sorgum 30%, maizena 15%, pati sagu aren 15% dan GMS 2%. Formula F terdiri dari tepung jagung 40%, mocaf 30%, maizena 30% dan GMS 2%. Formula terbaik dianalisis lebih lanjut sifat kimia dan sifat fisiknya. Sifat kimia meliputi kandungan gizi (analisis proksimat dan serat pangan), kadar pati dan amilosa. Sifat fisik meliputi warna, bobot 1000 butir dan densitas kamba. Hasil uji proksimat menunjukkan bahwa beras formula B mengandung 10.58% kadar air (bk), 0.52% kadar abu (bk), 6.95% kadar protein (bk), 1.12% kadar lemak(bk), 91.60% kadar karbohidrat by difference dan kandungan serat pangan beras B adalah 4.00%. Kadar pati beras formula B adalah 64.48% dan kadar amilosanya adalah 21.72%. Hasil uji proksimat menunjukkan bahwa beras formula F mengandung 11.37% kadar air (bk), 0.52% kadar abu (bk), 3.96% kadar protein (bk), 0.86% kadar lemak(bk), 94.70% kadar karbohidrat by difference dan kandungan serat pangan beras F adalah 4.21%. Kadar pati beras formula F adalah 65.10% dan kadar amilosanya adalah 14.49%. Hasil analisis warna beras analog mengugunakan alat Chromameter menunjukkan bahwa beras formula B memiliki warna dengan nilai L 60.08, a + 3.88 dan b +23.67 sehingga warna beras B berada pada kisaran warna kuning-merah. Beras formula F memiliki warna dengan nilai L 60.82, a + 5.05 dan b +25.93 sehingga warna beras F juga berada pada kisaran warna kuningmerah. Hasil analisis bobot 1000 butir beras formula adalah 18.84 g sedangkan beras F adalah 15.94 g. Hasil analisis densitas kamba beras B adalah 0.63 g/ml sedangkan beras F 0.58g/ml. Beras B dan F berada dalam kisaran warna yang sama dengan beras sosoh namun densitas dan bobot 1000 butir beras analog tersebut lebih kecil dari beras sosoh.
5.2 SARAN Bahan-bahan yang digunakan sebagai bahan baku yang dapat diolah menjadi beras analog yang digunakan pada penelitian ini masih terbatas pada sumber karbohidrat, sehingga pada penelitian selanjutnya dapat ditambahkan bahan-bahan lain yang dapat meningkatkan nilai gizi dan sifat fungsional beras analog.
VI. DAFTAR PUSTAKA Aini N dan Hariyadi P. 2007. Pasta Pati Jagung Putih Waxy dan Non-waxy yang Dimodifikasi secara Oksidasi dan Asetilasi-Oksidasi. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia Vol.12 No.2 hlm 108-115. Akdogan, H. 1999. High moisture food extrusion. International Journal of Food Science and Technology 1999. 34; 195-207 Alam N dan Saleh MS. 2009. Karakteristik pati dari batang pohon aren pada berbagai fase pertumbuhan. J Agroland 16 (3) : 199-205 Alavi S, Bugusu S, Cramer G, Dary O, Lee TC, Martin L, and McEntire J. 2008. Rice Fortification in Developing Countries: A Critical Review of The Technical and Economic Feasibility. Academy for Educational Development. Washington DC. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2006. Official Methods of Analysis of The Association of Officiial Agriculture Chemist 16th edition. Virginia. AOAC International Ariani, M. 2010. Diversifikasi pangan pokok mendukung swasembada beras. Prosiding Pekan Serealia Nasional ISBN 978-979-8940-29-3. Asp NG, CG Johanson, H Halimer, dan Siljestrom. 1983. Rapid enzymatic assay of insoluble and soluble dietary fiber. J. Agricultural Food Chemistry 31: 476-482. Astawan M, Koswara S, dan Herdiani F. 2004. Pemanfaatan Rumput Laut (Eucheuma cottoni) untuk Meningkatkan Kadar Iodium dan Serat Pada Selai dan Dodol. Jurna Teknol. Dan Industri Pangan Vol XV, No.1 Awika JM, Yang L, Browning JD, and Faraj A. 2009. Comparative Antioxidant, Antiroliferative and phase II enzyme inducing potential of Sorghum (Sorghum bicolor) Varieties. Journal LWT-Food Science and Technology 42(2009) 1041-1046. [BBKP Sumbar] Badan Bimas Ketahan Pangan Provinsi Sumatera Barat. 2006. Rencana Strategis B2KP Provinsi Sumbar 2006-2010. B2KP. Padang. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Situasi Konsumsi Pangan Penduduk Tahun 2007. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Produksi Padi, Jagung dan Kedelai (Angka Ramalan III). Badan Resmi Statistik No.69/ 11/ Th XIV. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Rata-rata Konsumsi Kalori (gram) Kelompok Makanan 1999, 2002 – 2010.
per Kapita Menurut
http:// www.bps.go.id/sector/consumexc/table1.shtml. [2 Februari 2012] [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Rata-rata Konsumsi Protein (gram) Kelompok Makanan 1999, 2002 – 2010. Jakarta
per Kapita Menurut
http:// www.bps.go.id/sector/consumexp/table1.shtml. [2 Februari 2012] [BSN] Badan Standar Nasional. 1992 SNI 01-2891-1992 Cara Uji Makanan dan Minuman.
Budijanto S, dkk. 2011. Pengembang rantai nilai serelalia lokal (indegenous sereal) untuk memperkokoh ketahanan pangan nasional. [Laporan Program Riset Strategi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Peranian Bogor [DEPTAN] Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2011. Pedoman umum gerakan penganekaragaman konsumsi pangan 2011. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan Deptan. Dewan Ketahan Pangan. 2006. Kebijakan Umun Ketahan Pangan. J Gizi dan Pangan Juli 2006 1(1) Hal 57-63 Dewi RK. 2012. Rekayasa Beras Nalog Berbahan Dasar Modified Cassava Flour (MOCAF) dengan Teknologi Ekstrusi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. [FAO].1995. Sorghum and Millets in HumanNutrition. FAO Food and Nutrition Series, No. 27. FAO, Roma. Fellows PJ. 2000. Food Processing Technology, Principles and Practices, @nd ed. Boca Raton. CRC Press Fennema, O. R. 1996. Food Chemistry Third Edition. Marcell-Decker.Inc. New York Firdayati M dan Handajani M. 2005. Studi Karakteristik Dasar Limbah Industri Tepung Aren. Jurnal Infrastruktur dan Lingkungan Binaan Vol. I. No 2. hlm 22-29 Firmansyah Y dan DR Adawiyah. 2003. Formulasi minuman instan fungsional antioksidan berbasis efek sinergisme kayu secang terhadap pala danjahe. Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) GM-16: 1-8 Hawa, L.C., Lastriyanto, A., dan Bangun S. 2010. Pengemasan atmosfer termodifikasi beras pecah kulit dan sosoh. Jurnal Teknologi Pertanian Vol.11 No 3. Hal 177-183 Hayati, Wryaningsih, Anah L. 2001. Pembuatan Gliserol Mono Stearat dari Gliserol dan Asam Staearat Minyak Sawit. Prosiding Seminar Nasiona X “Kimia dalam Industri dan Lingkungan” Hutchings JB. 1999. Food color and appearance. Aspen Publisher. Maryland. Juliano BO. 1971. A simplified assay for milled rice amylose. Cereal Science Today 16: 334-360. Kaur L, Singh J, and Singh N. 2004. Effect of glycerol monostearat on the physic-chemical, thermal, rheological and noodle making properties of corn and potato starch. Journal Food Hydrocolloids 19 (2005) 839-849 Kharunia A. 2012. Pengembangan Beras Tiruan Berbasis Sorgum. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Kurachi H. 1995. Process for Producing Artifical Rice. USA. 5403606. Lestari OA. 2009. Karakterisasi Sifat Fisiko-kimia dan Evaluasi Nilai Gizi Biologis Mi Jagung Kering Yang Disustitusi Tepung Jagung Termodifikasi. Skripsi. Lisnan V. 2008. Pengembangan Beras Artificial dari Ubi Kayu (Manihot esculenta) dan Ubi Jalar (Ipoemea batatas) sebagai Upaya Diversifikasi Pangan. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor
40
Martianto D, Briawan D, Ariani M, dan Yulianis M. 2009. Percepatan Diversifikasi Konsumsi Pangan Berbasis Pangan Lokal : Perspektif Pejabat Daerah dan Strategi Pencapaiannya. Jurnal Gizi dan Pangan, Vol. 4 No. 3 :123-131 Mishra, A, Mishra, H.N., dan Rao, P.S. 2012. Preparation of rice analogues using extrusion technology. Internationan Journal of Food Science and Technology. Moretti, D., Lee, T.C., Zimmermann, M.B., Nuessli, J., dan Hurrell, R.F. 2005. Development and evaluation of iron-fortified extruded rice grains. Journal Food Science 2005: 70; 330-6 Moretti, D., Zimmermann, M.B., Muthaya, S., Thankachan, P., Lee, T.C., Kurpad, A.V., dan Hurell, R.F. 2006. Extruded rice fortified with ground ferric pyrophosphate reduces iron deficiency in Indian school children: a double-blind randomized controlled trial. The American Journal of Clinical Nutrition. 2006; 84:822-9 Muchtadi TR. 2008. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Ohtsubo, K., Suzuki, K., Yasui, Y., dan Kasumi, T. 2005. Bio-functional components in the processed pre-germinated brown rice by a twin-screw extruder. Journal of Food Composition and Analysis 18 (2005) 303-316 Panikulata G. 2008. Potensi Modified Cassava Flour (MOCAF) sebagai Substituen Tepung Terigu pada Produk Kacang Telur. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Pinasthi W. 2011. Pengaruh Modifikasi Heat Moisture Treatment (HMT) dengan Radiasi Microwave terhadap Karakteristik Fisikokimia dan Fungsional Tapioka dan Maizena. Putseys JA, Lamberts L and Delcour JA. 2010. Amylose-inclusion complexes: formation, identity and physic-chemical properties. J of Cereal Science 51(3): 238-247 Richana N. 2010. Tepung Jagung Termodifikasi sebagi Pengganti Terigu. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian.` Vol 32 No. 6. Balai Besar Penelitian dan Pengemangan Pasca Panen. Riaz MN. 2000. Exrtruders In Food Applications. CRC Press. Boca Raton Samad MY. 2003. Pemuatan Beras Tiruan (Artificial Rice) Dengan Bahan Baku Ubi Kayu dan Sagu. J Saint dan Teknologi BPPT VII.IB.02 Sang Y, Bean S, Seib PA, Pedesrsen J, and Sci YC. 2008. Structure and functiona properties of sorghum starches differing in amylase content. J Agric Food Chem 56: 6680-6685. Scella, R.P., Hegedus, E., Giacone, J., Bruins, H.B., dan Benjamin, E.J. Extruded quick cooking rice-like product. EP 0226375A1 Setianingsih P. 2008. Karakterisasi sifat fisiko kimia dan indeks glikemiks beras berkadar amilosa sedang. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Sindhuja A, Sudha ML, and Rahim A. 2005. Effect of incorporation of amaranth flour on the quality of cookies. Journal Eur Food Res Technol (2005) 221 : 597-601
41
Singh N, Sharma S, and Singh B. 2000. The effect of sodium bicarbonate and glycerol monostearate addition on the extrusion behaviour of maize grits. Journal of Food Engineering 46 (2000) 61-66 Sirappa MS. 2003. Prospek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai komoditas alternatif untuk pengan, pakan dan industri. Jurnal Litbang Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Makasar. Suarni. 2001. Tepung Komposit Sorgum, Jagung, dan Beras untuk Pembuatan Kue Basah (cake). Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain. Balai Penelitian Tanaman Tanaman Jagung dan Serealia, Maros. Vo 6. Hlm 55-60 Suarni dan S Singgih. 2002. Karakteristik Sifat Fisik dan Komposisi Kimia beberapa varietas/galur biji sorgum. Jurnal Stigma X(2): 127-130. Suarnia.2004. Evaluasi Sifat Fisik dan Kandungan Kimia Biji Sorgum setelah Penyosohan. Jurnal Stigma XII (1): 88-91. Suarnib. 2004. Pemanfaatan Tepung Sorgum untuk Produk Olahan. Jurnal Litbang Pertanian 23(4) 2004 Subagyo A, Siti W, Witono Y dan Fahmi F. 2008. Prosedur Operasi Standar (POS) Produksi Mocal Berbasis Klaster. Rusnas Diversifikasi Pangan Pokok. Trenggalek. Sudarmaji, S, Bambang Haryono dan Suhardi. 1997. Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta. Supit AJ. 2010. Pengembangan Jagung Nasional Mengantisispasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan. Prosiding Pekan Sereal Nasional 2010. Tam LM, Corke WIT, Li J, and Collado LS. 2004. Production of bihon-type noodle from maize starch differing in amylosa content. J Cereal Chemistry 81 (4): 475-480. Tarigan H. 2003. Dilema Pangan Beras Indonesia. [terhubung berkala]. http://pustaka.litbang.deptan.go.id/bppi/lengkap/st230403-1.pdf
5 Juni 2012.
Widowati S, Astawan M, Muchtadi D, and Wresdiyati T. 2006. Hypoglycemic activity of some Indonesian rice varieties and their physicochemical properties. Indonesian Journal of Agricultural Science 7(2); 57-66 Wulan ST, Widyaningsih TD, dan Kasseri D. 2007.Modifikasi Pati Beras Alami dan Hasil Pemutusan Rantai Cabang dengan Perlakuan Fisik/ Kimia Untuk Meningkatkan Kadar Pati Resisten . J Teknologi Pertanian. Vol 8 No.1 Hal 61-70 Yoshida, T., Sagara, T., Ojima, T., Takahashi, R., dan Takahashi, M. 1971. Process For Producing Artificial Rice. USA 3620762. Yuliyanti. 2012. Pengaruh varietas sorgum terhadap penerimaan konsumen. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
42
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Analisis Warna Bahan Beras Analog Bahan
Ulangan
L
a (+)
b (+)
Ratarata L
Sorgum Pahat
1
58.20
2.03
7.34
2
58.20
2.03
7.34
Mocaf
1
63.32
1.62
5.48
2
63.32
1.62
5.49
1
62.01
0.58
12.45
2
61.99
0.57
12.44
1
64.46
0.81
3.66
2
64.47
0.81
3.65
1
58.78
1.90
5.63
2
58.81
1.90
5.63
Jagung
Maizena Sagu Aren
o
58.20
Ratarata +a 2.03
Ratarata +b 7.34
Hue
Warna
74.54
Kuning
63.32
1.62
5.48
73.51
Kuning
62.00
0.57
2.44
76.85
Kuning
64.46
0.81
3.36
76.45
Kuning
58.80
1.90
5.63
71.35
Kuning
44
Lampiran 2. Hasil Organoleptik Sampel Beras Parameter Warna
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Warna Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
25714.074a
75
342.854
40.782
.000
Panelis
1348.021
69
19.537
2.324
.000
Sampel
1533.789
5
306.758
36.488
.000
Error
2900.436
345
8.407
Total
28614.510
420
a. R Squared = .899 (Adjusted R Squared = .877)
Warna Duncan Subset Sampel N
1
D
70
4.7557
A
70
4.8386
C
70
7.9371
E
70
7.9786
B
70
9.2586
F
70
9.4700
Sig.
.866
2
.933
3
.666
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 8.407.
45
Lampiran 3. Hasil Organoleptik Sampel Beras Parameter Bentuk
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Bentuk Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
27957.978a
75
372.773
40.016
.000
Panelis
1450.208
69
21.018
2.256
.000
Sampel
536.753
5
107.351
11.524
.000
Error
3213.912
345
9.316
Total
31171.890
420
a. R Squared = .897 (Adjusted R Squared = .874)
Bentuk Duncan Subset Sampel N
1
D
70
6.4029
A
70
6.4886
E
70
7.7829
C
70
8.1100
B
70
F
70
Sig.
2
3
4
8.1100 9.1214
9.1214 9.2757
.868
.526
.051
.765
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 9.316.
46
Lampiran 4. Hasil Organoleptik Sampel Beras Parameter Aroma
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Aroma Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
25938.260a
75
345.843
43.317
.000
Panelis
1164.190
69
16.872
2.113
.000
Sampel
324.498
5
64.900
8.129
.000
Error
2754.470
345
7.984
Total
28692.730
420
a. R Squared = .904 (Adjusted R Squared = .883)
Aroma Duncan Subset Sampel N
1
A
70
6.4243
D
70
6.9286
C
70
6.9900
E
70
8.2129
F
70
8.5271
B
70
8.6957
Sig.
.267
2
.345
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 7.984.
47
Lampiran 5. Hasil Organoleptik Sampel Beras Parameter Tekstur
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Tekstur Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
31564.072a
75
420.854
14.295
.000
Panelis
2806.222
69
40.670
1.381
.033
Sampel
118.775
5
23.755
.807
.545
Error
10157.328
345
29.442
Total
41721.400
420
a. R Squared = .757 (Adjusted R Squared = .704)
Tekstur Duncan Subset Sampel N
1
A
70
7.4029
E
70
7.8814
C
70
8.2814
F
70
8.2829
B
70
8.5986
D
70
9.0986
Sig.
.108
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 29.442.
48
Lampiran 6. Hasil Organoleptik Sampel Beras Parameter Overall
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Overall Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
27669.675a
75
368.929
50.008
.000
Panelis
1114.202
69
16.148
2.189
.000
Sampel
727.375
5
145.475
19.719
.000
Error
2545.225
345
7.377
Total
30214.900
420
a. R Squared = .916 (Adjusted R Squared = .897)
Overall Duncan Subset Sampel N
1
A
70
5.9457
D
70
6.3586
C
70
7.8386
E
70
8.2629
B
70
9.1971
F
70
9.4486
Sig.
.369
2
.356
3
.584
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 7.377.
49
Lampiran 7. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Warna
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Warna Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
23221.614a
75
309.622
38.844
.000
Panelis
1773.479
69
25.703
3.225
.000
Sampel
417.698
5
83.540
10.481
.000
Error
2749.946
345
7.971
Total
25971.560
420
a. R Squared = .894 (Adjusted R Squared = .871)
Warna Duncan Subset Sampel N
1
D
70
5.5114
A
70
6.0671
C
70
7.0157
B
70
7.6457
7.6457
E
70
7.9657
7.9657
F
70
Sig.
2
3
8.2514 .245
.060
.234
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 7.971.
50
Lampiran 8. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Bentuk
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Bentuk Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
20097.792a
75
267.971
27.097
.000
Panelis
1745.165
69
25.292
2.558
.000
Sampel
108.870
5
21.774
2.202
.054
Error
3411.838
345
9.889
Total
23509.630
420
a. R Squared = .855 (Adjusted R Squared = .823)
Bentuk Duncan Subset Sampel N
1
A
70
5.8129
D
70
6.0929
6.0929
B
70
6.4943
6.4943
C
70
6.8829
6.8829
F
70
7.0200
E
70
7.2414
Sig.
.066
2
.053
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 9.889.
51
Lampiran 9. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Aroma
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Aroma Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
16915.458a
75
225.539
27.933
.000
Panelis
2092.097
69
30.320
3.755
.000
Sampel
233.825
5
46.765
5.792
.000
Error
2785.602
345
8.074
Total
19701.060
420
a. R Squared = .859 (Adjusted R Squared = .828)
Aroma Duncan Subset Sampel N
1
C
70
4.3886
D
70
5.6243
F
70
6.0671
E
70
6.1543
B
70
6.5143
A
70
6.6143
Sig.
1.000
2
.066
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 8.074.
52
Lampiran 10. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Rasa
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Rasa Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
24612.028a
75
328.160
36.931
.000
Panelis
1468.692
69
21.285
2.395
.000
Sampel
92.306
5
18.461
2.078
.068
Error
3065.582
345
8.886
Total
27677.610
420
a. R Squared = .889 (Adjusted R Squared = .865)
Rasa Duncan Subset Sampel N
1
A
70
6.8657
C
70
6.9057
D
70
7.0971
7.0971
E
70
7.7557
7.7557
F
70
7.7629
7.7629
B
70
Sig.
2
8.0629 .115
.081
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 8.886.
53
Lampiran 11. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Tekstur
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Tekstur Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
26880.549a
75
358.407
42.795
.000
Panelis
1594.270
69
23.105
2.759
.000
Sampel
154.491
5
30.898
3.689
.003
Error
2889.361
345
8.375
Total
29769.910
420
a. R Squared = .903 (Adjusted R Squared = .882)
Tekstur Duncan Subset Sampel N
1
A
70
6.9214
C
70
7.0886
7.0886
D
70
7.6386
7.6386
B
70
7.9943
7.9943
E
70
8.0643
8.0643
F
70
Sig.
2
3
8.7057 .168
.069
.172
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 8.375.
54
Lampiran 12. Hasil Organoleptik Sampel Nasi Parameter Overall
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Overall Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
24286.109a
75
323.815
47.549
.000
Panelis
1466.325
69
21.251
3.121
.000
Sampel
128.864
5
25.773
3.785
.002
Error
2349.481
345
6.810
Total
26635.590
420
a. R Squared = .912 (Adjusted R Squared = .893)
Overall Duncan Subset Sampel N
1
A
70
6.6543
D
70
6.8686
6.8686
C
70
6.8971
6.8971
E
70
F
70
7.9300
B
70
8.0000
Sig.
2
7.7514
.608
.058
3
7.7514
.599
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 6.810.
55
Lampiran 13. Hasil analisis Kadar air Beras Analog Samp el
Beras B
Beras F
Ulangan
Ulangan Perlakua n Ulangan Pengukur an Ulangan Perlakua n Ulangan Perlakua n
W cawan (g)
W sampel (g)
W kering (g)
KA (%bb)
1
3.6187
1.1478
4.6583
9.42
2
3.4956
1.4002
4.7609
9.63
1
3.3373
1.2277
4.4454
9.74
2
4.5477
1.0877
5.5323
9.47
1
4.5766
1.0362
5.49
10.24
2
4.7274
1.1331
5.7252
10.18
1
3.7243
1.2394
4.8335
10.5
2
3.6200
1.0108
4.5302
9.95
x ulanga n
x kadar air (%bb)
SD
RSD A
RSD H
9.53
x (%bk)
SD
RSD A
RSD H
10.53 9.57
0.0 6
0.59
2.85
9.61
10.58
0.0 7
0.65
2.80
11.38
0.0 1
0.12
2.77
10.63
10.21
11.37 10.22
10.23
KA (%bk)
0.0 1
0.10
2.82 11.39
56
Lampiran 14 Hasil Uji Independent T-test Kadar Air Beras Analog
Group Statistics Sampel K.air
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Formula B
2
10.5800
.07071
.05000
Formula F
2
11.3800
.01414
.01000
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Std. Error
F K.air Equal variances assumed Equal variances not assumed
1.289E16
Sig.
t
.000 -15.689
df
Sig. (2-tailed) Mean Difference Difference
Difference Lower
Upper
2
.004
-.80000
.05099 -1.01939
-.58061
-15.689 1.080
.033
-.80000
.05099 -1.34493
-.25507
57
Lampiran 15. Hasil Analisis Kadar Abu Beras Analog Samp el
Beras B
Beras F
W cawan (g)
W sampel (g)
W cawan + Abu(g)
KA (%bb)
1
25.1817
1.378
25.1882
0.47
2
21.0575
1.4009
21.0645
0.48
Ulangan Ulangan Perlakua n Ulangan Penguku ran Ulangan Perlakua n Ulangan Perlakua n
1
24.131
1.4413
24.1372
0.43
2
24.1318
1.5181
24.1398
0.52
1
26.6045
1.6437
26.6124
0.47
2
21.8641
1.8628
21.8692
0.48
1
24.1309
1.8973
24.1392
0.44
2
25.1806
1.6955
25.1889
0.48
x ulanga n
x kadar abu
SD
0.48
0.0 0
RSD A
RSD H
0.48
x (%bk)
SD
RSD A
RSD H
0.53
0.0 0
0.06
4.41
0.52
0.0 1
2.26
4.41
0.53 0.00
4.47
0.48
0.53
0.475
0.53 0.4675
0.46
KA (%bk)
0.0 1
2.27
4.49 0.51
58
Lampiran 16. Hasil Uji Independent T-test Kadar Abu Beras Analog
Group Statistics Sampel K.abu
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Formula B
2
.5300
.00000
.00000
Formula F
2
.5200
.01414
.01000
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the
F K.abu
Equal variances assumed Equal variances not assumed
2.992E16
Sig. .000
t
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
tailed)
Difference
Difference
Difference Lower
Upper
1.000
2
.423
.01000
.01000
-.03303
.05303
1.000
1.000
.500
.01000
.01000
-.11706
.13706
59
Lampiran 17. Hasil Analisis Kadar Lemak Beras Analog Samp el
Beras B
Beras F
W sampel (g)
Ulangan
W labu (g) 107.568 8 115.901 5
W labu+lemak (g)
K.Lemak (%bb)
107.596
1.22
115.908
0.78
Ulangan Perlakua n
1
2.1884
2
2.1549
Ulangan Penguku ran
1
2.121
94.1615
94.1785
0.8
2
2.176
83.6
1.25
Ulangan Perlakua n
1
2.1711
101.827
0.89
2
2.1253
106.223
0.64
Ulangan Perlakua n
1
2.135
98.5242
0.66
2
2.1535
83.5728 101.807 7 106.209 4 98.5114 105.616 1
105.636
0.91
x ulanga n
x kadar Lemak
SD
1.01
0.0 2
RSD A
RSD H
1.00
x (%bk)
SD
RSD A
RSD H
1.12
0.0 2
1.81
3.93
0.86
0.0 2
1.84
4.09
1.11 1.75
3.99
1.03
1.13
0.77
0.85 0.775
0.79
KA (%bk)
0.0 1
1.82
4.16 0.87
60
Lampiran 18. Hasil Uji Independent T-test Kadar Lemak Beras Analog
Group Statistics Sampel K.lemak
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Formula B
2
1.1200
.01414
.01000
Formula F
2
.8600
.01414
.01000
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval
F K.lemak Equal variances assumed Equal variances not assumed
.000
Sig.
t
1.000 18.385
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
tailed)
Difference
Difference
of the Difference Lower
Upper
2
.003
.26000
.01414
.19915
.32085
18.385 2.000
.003
.26000
.01414
.19915
.32085
61
Lampiran 19. Hasil Analisis Kadar Protein Beras Analog Sam pel
Ber as B
Ber as F
Ulangan Ulang an Perlak uan Ulang an Pengu kuran Ulang an Perlak uan Ulang an Perlak uan
1 2 1
W sampel (g)
HCl blanko (ml)
HCl sampel (ml)
0.1059
0.1
3.9
0.123 0.1052
0.1 0.1
3.85 3.7
2
0.1074
0.1
3.3
1
0.1086
0.1
2.2
2 1 2
0.1082 0.1048 0.1067
0.1 0.1 0.1
2.15 1.9 2.2
N HC l 0.0 214 0.0 214 0.0 214 0.0 214 0.0 214 0.0 214 0.0 214 0.0 214
%N 1.07 559 0.91 387 1.02 576 0.89 311 0.57 963 0.56 792 0.51 484 0.58 995
Protein (%bb)
X ulangan (%)
x (%b b)
SD
RSD A
RSD H
6.72
Protein (%bk)
x (%b k)
S D
RS D A
RS D H
6.95
0. 17
2.4 1
2.9 9
3.96
0. 05
1.3 2
3.0 7
7.42 6.22
6.87
5.71 6.11 6.41
0.15 5987
2.55 4335
3.04 6377
6.32 7.10
6.00
6.63
5.58
6.17
3.62
4.03 3.59
3.99
3.55 3.52 3.22
0.09 4485
2.68 4792
3.30 9869
3.95 3.65
3.45 3.69
X ulangan (%)
3.92 4.18
62
Lampiran 20. Hasil Uji Independent T-test Kadar Protein Beras Analog
Group Statistics Sampel K.protein
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Formula B
2
6.7500
.16971
.12000
Formula F
2
3.9550
.04950
.03500
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval
Mean F K.protei Equal variances n
assumed Equal variances not assumed
1.523E17
Sig.
t
df
Sig. (2-
Differenc
Std. Error
tailed)
e
Difference
of the Difference Lower
Upper
.000 22.360
2
.002
2.79500
.12500
2.25717
3.33283
22.360
1.169
.018
2.79500
.12500
1.65846
3.93154
63
Lampiran 21. Hasil Analisis Kadar Karboidrat Beras Analog By Difference Samp el
Ulang an
K.air (%)
K.abu (%)
K.Lemak (%)
K.Protein (%)
K.Karbohidrat (%)
Beras B
1
9.525
0.48
1.00
6.217065
82.78293
2
9.605
0.48
1.03
5.996466
82.89853
1
10.21
0.48
0.77
3.586077
84.96392
2
10.23
0.46
0.79
3.452455
85.07255
Beras F
K.Karbohi drat (%bk)
SD
RSD A
RSD H
82.84
0.0 8
0.10
2.06
0.0 8
0.09
85.02
K.Karbohi drat (%bk) 91.50 91.71
2.05
94.63 94.77
KA (%b k)
SD
RSD A
RSD H
91.6 0
0.1 5
0.16
2.03
94.7 0
0.1 0
0.11
2.02
64
Lampiran 22. Hasil Uji Independent T-test Kadar Karbohidrat Beras Analog
Group Statistics Sampel K.karbohidrat
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Formula B
2
91.6050
.14849
.10500
Formula F
2
94.7000
.09899
.07000
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the
F K.karbohidrat
Equal variances assumed Equal variances not assumed
Sig. .
t .
df
Sig. (2-tailed)
Mean
Std. Error
Difference
Difference
Difference Lower
Upper
-24.526
2
.002
-3.09500
.12619
-3.63797
-2.55203
-24.526
1.742
.003
-3.09500
.12619
-3.72269
-2.46731
65
Lampiran 23. Hasil Analisis Kadar Serat Pangan Beras Analog Kode Samp el
Ulangan
Ulangan Perlakuan
1 2
B Ulangan Pengukur an Ulangan Perlakuan
1 2 1 2
E Ulangan Pengukur an
1 2
Berat samp el gram 1.376 6 1.009 7 1.656 7 1.089 1 1.237 1 1.310 9 1.091 8 1.119 2
KS1
KS2
CW1
CW2
gram 0.872 6 0.771 6 0.874 2 0.781 9 0.782 7 0.871 1 0.781 9 0.881 8
gram 0.908 1 0.796 2 0.912 2 0.806 4 0.813 2 0.901 2 0.811 5 0.911 5
gram 20.051 8 29.109 1 21.558 0 16.928 9 16.826 6 21.817 2 15.666 2 18.928 1
gram 20.066 29.118 2 21.570 7 16.936 8 16.836 4 21.826 1 15.675 1 18.936 9
SMT L
KS3
KS4
CW3
CW4
SML
TSM
% 1.547 3 1.535 1 1.527 1 1.524 2 1.673 3 1.617 2 1.896 0 1.867 4
gram 0.794 2 0.781 2 0.835 7 0.783 3 0.861 5 0.785 4 0.871 1 0.788 8
gram 0.836 6 0.809 7 0.881 3 0.813 4 0.894 4 0.821 5 0.900 6 0.819 5
gram 19.823 9 17.989 1 19.993 4 15.878 2 17.001 9 20.871 8 22.019 0 19.992 9
gram
% 2.564 3 2.476 0 2.408 4 2.506 7 2.441 2 2.448 7 2.317 3 2.349 9
% 4.111 6 4.011 1 3.935 5 4.030 9 4.114 5 4.065 9 4.213 2 4.217 3
19.831 17.992 6 19.999 1 15.881 0 17.004 6 20.875 8 22.023 2 19.997 3
x ulanga n (%)
x serat
SD
RS D A
RS D H
4.02
0.0 6
1.3 7
3.2 4
4.152 7
0.0 9
2.1 3
3.2 3
4.06
3.98
4.09
4.22
66
Lampiran 24. Hasil Uji Independent T-test Kadar Serat Pangan Beras Analog Group Statistics Sampel K.serat
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Formula B
2
4.0200
.05657
.04000
Formula F
2
4.1550
.09192
.06500
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval
F K.serat
Equal variances assumed Equal variances not assumed
1.731E16
Sig. .000
t -1.769
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
tailed)
Difference
Difference
of the Difference Lower
Upper
2
.219
-.13500
.07632
-.46339
.19339
-1.769 1.662
.244
-.13500
.07632
-.53635
.26635
67
Lampiran 25. Hasil Analisis Kadar Pati Beras Analog
Sampel
Beras B
Vb (ml)
Vs (ml)
1 2 1 2
W sampel (mg) 124.9 124.9 135.3 135.3
24.75 24.75 24.75 24
15 15.5 15 13.25
VbVs (ml) 9.75 9.25 9.5 10.75
Ulangan Perlakuan
1
145.2
24.75
15
2
145.2
24.75
Ulangan Perlakuan
1
132.4
2
132.4
Ulangan Ulangan Perlakuan Ulangan Pengukuran
Beras F
0.1002 0.1002 0.1002 0.1000
V Na2S2O3 (ml) 9.7695 9.2685 9.519 10.75
Kadar Gula (%) 78.36 73.97 72.33 79.67
Kadar Pati (%) 70.52 66.58 65.10 71.71
9.75
0.1002
9.7695
67.19
60.47
14.5
10.25
0.1002
10.27
70.84
63.75
24.75
15
9.75
0.1002
9.7695
73.68
66.32
24.75
14.5
10.25
0.1002
10.27
77.65
69.88
N Na2SO3
x ulangan (%)
x kadar abu
SD
RSD A
RSD H
68.48
0.10
0.15
2.12
65.105
4.24
6.51
2.13
68.55 68.40 62.11 68.10
68
Lampiran 26. Hasil Uji Independent T-test Kadar Pati Beras Analog Group Statistics Sampel K.pati
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Formula B
2
68.4750
.10607
.07500
Formula F
2
65.1050
4.23557
2.99500
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the
F K.pati
Equal variances assumed Equal variances not assumed
1.060E16
Sig.
t .000
df
Sig. (2-tailed)
Mean
Std. Error
Difference
Difference
Difference Lower
Upper
1.125
2
.378
3.37000
2.99594
-9.52048
16.26048
1.125
1.001
.462
3.37000
2.99594
-34.58452
41.32452
69
Lampiran 27. Kadar Amilosa Beras Analog Sampel
Ulangan
W sampel (g)
FP
V sampel (ml)
Abs
Konsentrasi amilosa
% Amilosa
Ulangan Perlakuan
1
0.1043
20
100
0.204
0.0111
21.24
2
0.1043
20
100
0.205
0.0111
21.34
Ulangan Pengukuran
1
0.1095
20
100
0.224
0.0122
22.19
2
0.1095
20
100
0.223
0.0121
22.09
Ulangan Perlakuan
1
0.1069
20
50
0.278
0.0150
14.07
2
0.1069
20
50
0.277
0.0150
14.02
Ulangan Perlakuan
1
0.1093
20
100
0.15
0.0082
14.97
2
0.1093
20
100
0.149
0.0081
14.87
Beras B
Beras F
x ulangan
x amilosa (%)
SD
RSD A
RSD H
21.72
0.60
2.77
2.52
14.49
0.62
4.27
2.67
21.29 22.14 14.05 14.92
Konsentrasi standar = 40mg/100ml Konsentrasi Amilosa Absorbansi 0.004 0.049 0.008 0.117 0.012 0.198 0.016 0.245 0.02 0.318
70
Lampiran 28. Hasil Uji Independent T-test Kadar Amilosa Group Statistics Sampel K.amilosa
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Formula B
2
21.7150
.60104
.42500
Formula F
2
14.4850
.61518
.43500
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the
F K.amilosa
Equal variances assumed Equal variances not assumed
8.901E12
Sig.
t .000
df
Sig. (2-tailed)
Mean
Std. Error
Difference
Difference
Difference Lower
Upper
11.888
2
.007
7.23000
.60815
4.61333
9.84667
11.888
1.999
.007
7.23000
.60815
4.61197
9.84803
71
Lampiran 29. Hasil Analisis Warna Beras Analog Sampel
Ulangan
L
a (+)
b (+)
Ulangan Perlakuan
1
56.84
4.14
24.44
2
56.84
4.13
24.44
Ulangan Pengukuran
1
64.88
3.63
22.91
2
64.88
3.63
22.91
Ulangan Perlakuan
1
57.38
4.25
27.54
2
57.38
4.25
27.53
Ulangan Perlakuan
1
64.25
3.38
24.33
2
64.25
3.38
24.33
Beras B
Beras F
Ulangan L
Ulangan a
Ulangan b
56.84
4.135
24.44
64.88
3.63
22.91
57.38
4.25
27.535
64.25
3.38
L
a (+)
b (+)
60.86
3.8825
60.815
3.815
o
Hue
Warna
23.675
80.68
Kuning-Merah
25.9325
81.63
Kuning-Merah
24.33
72
Lampiran 30. Bobot 1000 butir beras Analog
Sampel
Bobot 1000 butir
Ulangan
Ulangan Perlakuan Beras B Ulangan Pengukuran Ulangan Perlakuan Beras F Ulangan Perlakuan
1
20.45
2
17.55
1
18.25
2
19.12
1
15.76
2
16.65
1
15.57
2
15.8
x ulangan
Rata-rata bobot 1000 butir
SD
RSDA
RSDH
18.8425
0.222739
1.18
2.57
15.945
0.367696
2.31
2.64
19 18.685 16.205 15.685
73
Lampiran 31. Densitas Kamba Beras Analog
Sampel
Densitas Kamba (g/ml)
Ulangan
Ulangan Perlakuan Beras B Ulangan Pengukuran Ulangan Perlakuan Beras F Ulangan Perlakuan
1
0.643
2
0.664
1
0.66
2
0.63
1
0.665
2
0.718
1
0.699
2
0.716
X Ulangan
Rata-rata Densitas Kamba
SD
RSDA
RSDH
0.649
0.060104
0.93
3.02
0.699
0.113137
1.62
2.98
0.6535 0.645 0.6915 0.7075
74