STUDI PEMBELAJARAN DAN PEMANFAATAN PRO-POOR PLANNING, BUDGETING & MONITORING (P3BM)
KAJIAN SINGKAT DI 9 KABUPATEN
DONNY SETIAWAN dan SUHIRMAN (Konsultan PSF World Bank – Jakarta)
BANDUNG, 2011
RINGKASAN EKSEKUTIF LATAR BELAKANG Dalam rangka membantu Pemerintah mempercepat pemenuhan target Millenium Development Goals (MDGs), sejak tahun 2006 BAPPENAS dengan dukungan Asian Development Bank (ADB) dan United Nation Development Program (UNDP) melaksanakan kegiatan peningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam proses perencanaan dan penganggaran pembangunan yang pro terhadap masyarakat miskin (Pro-Poor Planning and Budgeting/P3B). Pada tahun 2009, dengan maksud penambahan komponen monitoring, kegiatan ini berubah nama menjadi Pro-Poor Planning, Budgeting and Monitoring (P3BM). Terdapat empat komponen utama yang diperkenalkan oleh P3BM di lokasi program yaitu: 1) penyusunan kartu penilaian MDGs (Scorecard) untuk melihat status pencapaian MDGs suatu daerah; 2) pemetaan kemiskinan (poverty maping) untuk menganalisa ketepatan lokasi perencanaan dan penganggaran; 3) Analisis APBD menggunakan metode pivot, yang mencakup analisa anggaran daerah apakah sudah berpihak kepada masyarakat miskin;dan 4)instrumen yang dapat membantu pemerintah daerah untuk menandai kecamatan yang sangat memerlukan program. Komponen-komponen ini telah diterapkan antara tahun 2007-2010 di 29 kabupaten melalui tiga kegiatan utama yaitu: sosialisasi pengenalan alat dan pembentukan komitmen daerah, training of trainers (TOT) alat-alat kepada pejabat, staf pemerintah, LSM dan pelaksana program lain di daerah selanjutnya pendampingan dalam proses perencanaan dan penganggaran yang pro-miskin. TUJUAN DAN METODOLOGI Kajian ini bertujuan untuk menggali pembelajaran tentang pemanfaatan pendekatan dan perangkat analisis P3BM dan mengidentifikasi tantangan dan hambatan dalam pemanfaatan perangkat analisis P3BM serta menggali informasi untuk perbaikan dan penyempurnaan perangkat analisis P3BM. Studi dilakukan di 9 kabupaten/kota yang pernah mendapatkan pelatihan/ pendampingan dari P3BM dengan melakukan wawancara dan FGD dengan mantan peserta pelatihan P3BM. Untuk memperkaya informasi, peneliti juga melakukan studi dokumen. Lokasi Studi adalah Kabupaten Wakatobi, Kota Bau-Bau, Kabupaten Sikka, Timor Tengah Selatan, Manggarai, Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumbawa Barat, Lombok Barat dan Kabupaten Pekalongan. Studi dilakukan dari bulan Juli – Oktober 2011.
ii
MANFAAT DAN KELEMAHAN ALAT P3BM Hasil studi menunjukkan bahwa P3BM mulai memberikan manfaat kepada daerah terutama dalam mengarahkan dan memonitor proses perencanaan dan penganggaran agar ber-orientasi pada penanggulangan kemiskinan. Dalam konteks mengidentifikasi masalah perencanaan pro-poor kabupaten, maka alat P3BM dapat: • Memandu kabupaten dalammengidentifikasi permasalahan pokok yang ada di lapangan berkaitan dengan persoalan kemiskinan. • Memperbaiki perspektif kabupaten untuk memahami prioritas daerah dalam penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. • Bisa memperkuat analisa awal kemiskinan melalui participatory poverty assessment (PPA) yang dilakukan oleh program PNPM Mandiri. Dalam konteks perencanaan dan alokasi anggaran, alat P3BM dapat: • Menganalisa dan menentukan pilihan program/kegiatan dan alokasi anggaran. • Mengarahkan SKPD agar membuat perencanaan sesuai dengan Rencana Strategis (Renstra). P3BM juga membantu SKPD dalam menempatkan lokasi program prioritas. • Mengevaluasi ketepatan target perencanaan dan alokasi anggaran kemiskinan terutama dari sisi sektor dan prioritas lokasi. Dalam konteks monitoring dan evaluasi daerah, alat P3BM dapat: • Memperbaiki database dan jenis data yang terukur. • Dimanfaatkan sebagai alat monitoring dan evaluasi kemajuan daerah dalam pencapaian MDGs. Dari paparan di atas tampak bahwa sebagai ‘instrumen teknokratis’ P3BM dapat memberikan kontribusi dalam membangun sistem-sistem data, mengenali persoalan daerah baik dari sisi isu maupun lokasi, dan mengarahkan daerah untuk mengalokasikan anggaran sesuai dengan persoalan yang dihadapi dan tujuan yang ingin dicapai dalam konteks penanggulangan kemiskinan. Namun, studi ini juga mengidentifikasi kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan P3BM. Yang paling fundamental yaitu P3BM hanya merupakan sebuah alat dan software, tidak dapat dengan sendirinya mengatasi masalah-masalah sehubungan dengan komitmen dan mendorong pemerintah daerah agar pro-miskin. Sehingga terdapat kehati-hatian dalam penggunaan kata-kata ‘dapat’ di atas: jika ditangani oleh Bappeda yang pro-perubahan, alat P3BM dapat digunakan untuk menjamin bahwa perencanaan dan anggaran akan lebih sensitif terhadap kesenjangan sosial ekonomi dan dapat mencapai target-target MDGs. Kelemahan selanjutnya adalah saat ini titik berat P3BM masih pada fase perencanaan dari skema pemberian pelayanan dasar, dan belum ada keterkaitan dengan implementasi dan kualitas belanja. Sehingga hal ini masih
iii
membatasi dampak dari penggunaan toolkit ini, karena terdapat gap antara planning, budgeting dan realisasi dari penyediaan pelayanan dasar. Beberapa tantangan lainnya adalah: 1) beberapa daerah masih menghadapi kendala teknis dalam penerapan basis data sehingga memerlukan pendampingan terusmenerus, 2) pada saat ini alat-alat P3BM belum menjawab persoalan keterbatasan anggaran dalam mengatasi masalah kemiskinan (meskipun dapat membantu daerah dalam menggunakan anggaran minim dengan lebih efektif),3) pemanfaatan alat P3BM untuk melakukan penelusuran delivery pelayanan dan pertanggung-jawaban anggaran belum banyak terlihat, 4) peran pemerintah provinsi dalam proses pelatihan dan pendampingan masih rendah. Kelemahan ini diperparah dengan kebijakan mutasi pegawai dan tidak ada insentif kepada pejabat dan staf daerah yang bekerja secara sungguh-sungguh untuk menerapkan alat ini. REKOMENDASI Merujuk pada manfaat, kelemahan dan pembelajaran terhadap praktek baik di daerah, maka untuk meningkatkan efektifitas penerapan dan pengembangan alat P3BM dalam penanggulan kemiskinan studi ini memberi rekomendasi sebagai berikut: Perlu dukungan kebijakan dari pemerintah pusat dan daerah: a. Kebijakan bersama (misalnya Surat Edaran Bersama) antara BAPPENAS, Kementrian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri untuk mendukung mobilisasi berbagai sumberdaya yang khusus diperuntukkan bagi pencapaian target MDGs di daerah-daerah, terutama bagi daerah yang masih jauh dibawah capaian nasional dengan memanfaatkan P3BM sebagai salah satu instrument; b. Pembentukan tim khusus atau sekretariat yang sifatnya lebih fungsional di Bappeda tingkat propinsi sebagai perencana untuk mengawal proses pencapaian target MDGs di kabupaten/kota; c. Kebijakan kepala daerah terkait dengan penugasan khusus terhadap aparatur yang sudah dilatih dan menguasai alat P3BM untuk menjadi tim supply data perencanaan dan penganggaran, berkoordinasi secara rutin dan berkala dengan SKPD dan memberikan masukan bagi TAPD dan Badan Anggaran DPRD dalam menyusun dan membahas anggaran; d. Peraturan kepala daerah untuk mengintegrasikan analisis P3BM dalam forum musrenbang mulai dari tingkat desa sampai kabupaten, untuk mengorientasikan usulan komunitas sesuai dengan target penanggulangan kemiskinan. Sebagai konsekwensinya kedalaman analisa pemetaan kemiskinan harus sampai ke tingkat desa. Perbaikan strategi pelaksanaan program. P3BM akan terlihat efektifitasnya jika tidak hanya dikembangkan sebagai paketpaket pelatihan, tetapi mencakup pendampingan teknis yang intensif minimal untuk iv
kurun waktu 1-2 tahun. Beberapa komponen penting yang harus dikembangkankan P3BM dalam kerangka program adalah: a) Memperluas peserta pelatihan bukan hanya dari pejabat dan staf pemerintah tetapi juga dari provinsi, perguruan tinggi, BPS, organisasi komunitas, pelaksana PNPM dan aktivis LSM. Selanjutnya peserta dari provinsi dan non-pemerintah daerah dilibatkan menjadi pendamping. Provinsi juga dilibatkan baik dalam pelatihan maupun dalam pemantauan kegiatan P3BM di kabupaten/kota; b) Perbaikan data dan informasi kemiskinan di tingkat kabupaten. Para alumni pelatihan diwadahi dalam forum/tim data daerah dan diberi wahana untuk mentransfer pengetahuannya kepada peer group yang mungkin akan menggantikan posisinya jika dia dimutasi: c) Adanya forum sharing pengalaman dalam meningkatkan kualitas perencanaan dan penganggaran untuk penanggulangan kemiskinan di tingkat nasional, termasuk adanya kegiatan reguler untuk melihat dan memperbaharui capaian SKPD dengan menggunakan alat P3BM; d) Peraturan daerah untuk membahas hasil analisis P3BM sebelum pembahasan anggaran di DPRD agar anggota DPRD memahami situasi kemiskinan di daerahnya dan mendorong prioritas alokasi anggaran sesuai dengan target penanggulangan kemiskinan; e) Finalisasi dan percobaan (pilot) modul monitoring. Memperkaya materi pelatihan a) Perlu pendalaman materi analisis anggaran yang mencakup juga analasis realokasi anggaran, analisis kemampuan fiscal, dan penelusuran anggaran; b) Poverty mapping sebaiknya dibuat sampai dengan satuan wilayah desa; c) Mengaitkan target pencapain MDGS dengan SPM (Standard Pelayanan Minimum), karena dari sisi regulasi daerah lebih terikat dengan SPM; d) Perlu tambahan materi tentang tabel indikator program kegiatan di SKPD (input, output, outcome, impact) sehingga lebih mudah untuk tracking pendanaan dan belanja SKPD. Untuk mengembangkan materi pelatihan dan teknis delivery dari program-program di atas, tidak dapat dihindari pelaksana program P3BM harus juga mengembangkan jaringan dengan pelaku program lain di daerah, misalnya PNPM. Ini terutama dibutuhkan untuk memudahkan difusi alat-alat P3BM ke dalam skema program lain dan kepada sistem perencanaan dan penganggaran reguler.
v
KATA PENGANTAR Studi Pembelajaran dari Pemanfaatan Alat Pro-poor Planning, Budgeting & Monitoring (P3BM) ini dilaksanakan untuk melihat pemanfaatan instrumen P3BM dan mengidentifikasi keberhasilan, tantangan dan hambatan selama penggunaan alat-alat tersebut. Studi ini bermaksud untuk memberikan masukan bagi perbaikan desain dan pengembangan program. Studi akan dilakukan selama 45 hari pada periode Juni – Oktober 2011 di 9 kabupaten/kota yang meliputi 4 provinsi, yaitu: Kabupaten Sikka (NTT), Kabupaten Manggarai (NTT), Kabupaten Timor Tengah Selatan (NTT) , Kabupaten Sumba Barat Daya (NTT), Kabupaten Lombok Barat (NTB), Kabupaten Sumbawa Barat (NTB), Kabupaten Pekalongan (Jawa Timur), Kota Bau Bau (Sulawesi Tenggara), Kabupaten Wakatobi (Sulawesi Tenggara). Laporan akhir ini berisi hasil studi lapangan di 9 Kabupaten, serta rekomendasi mengenai arah pelaksanaan P3BM ke depan. Laporan akhir ini mendapatkan masukan yang sangat berarti dari tim PSF-World Bank terutama dari Hans Antlov dan Dianty Ayu Sintadewi. Bandung, November 2011
vi
DAFTAR ISI RINGKASAN EKSEKUTIF
ii
KATA PENGANTAR
vi
DAFTAR ISI
vii
DAFTAR SINGKATAN
viii
1 PENDAHULUAN ................................................................................................................. 1 2 Tujuan dan Metodologi Studi ...................................................................................... 5 2.1. Tujuan Studi ................................................................................................................................ 5 2.2. Fokus Studi .................................................................................................................................. 5 2.3. Metode Penggalian Data......................................................................................................... 5 2.4. Lokasi Studi ................................................................................................................................. 6 2.5. Gambaran Umum Wilayah .................................................................................................... 7 3 ANALISIS PEMANFAATAN ALAT ANALISIS P3BM ................................................. 8 3.1
Pelaksanaan dan Pengembangan Program P3BM ....................................................... 8
3.2
Kontribusi Program P3BM ................................................................................................. 10 3.2.1. Tumbuhnya Pengetahuan dan Kesadaran “Baru” ....................................... 10 3.2.2 Memperkuat dan Menginspirasi Inisiatif-Inisiatif Lokal .......................... 10
3.3
Pemanfaatan Alat Analisis P3BM di Daerah ................................................................ 12 3.3.1 Pemanfaatan dalam Penyempurnaan Pengelolaan Basis Data .............. 12 3.3.2 Pemanfaatan dalam Proses Perencanaan dan Penganggaran ................ 13 3.3.3 Pemanfaatan dalam Perbaikan Kualitas Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah............................................................................................ 14
4 KEKUATAN DAN KELEMAHAN ALAT-ALAT P3BM .............................................. 15 4.1
Kekuatan Penerapan alat P3BM....................................................................................... 15
4.2
Kelemahan Penerapan alat P3BM ................................................................................... 16
5 CERITA SUKSES DAN PEMBELAJARAN.................................................................... 19 5.1
Cerita Sukses............................................................................................................................ 19
5.2
Pembelajaran........................................................................................................................... 24
6 Rekomendasi................................................................................................................... 26 LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................................................... 30
vii
DAFTAR SINGKATAN ADB|Asian Development Bank (Bank Pembangunan Asia) ADD|Alokasi Dana Desa APBD |Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN |Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara BANGGAR |Badan Anggaran BAPPEDA |Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BAPPENAS | Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BUPATI |Kepala Daerah Kabupaten DAK |Dana Alokasi Khusus DAU | Dana Alokasi Umum DPRD | Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPU | Dinas Pekerjaan Umum FGD | Focus Group Discussion KEPMEN | Keputusan Menteri KEMDAGRI | Kementrian Dalam Negeri KORPROV | Koordinator Provinsi KUA | Kebijakan Umum Anggaran LSM | Lembaga Swadaya Masyarakat PAD | Pendapatan Asli Daerah P3B| Pro-Poor Planning and Budgeting PEMDA | Pemerintah Daerah PERDA | Peraturan Daerah PERMENDAGRI | Peraturan Menteri Dalam Negeri PNPM Mandiri| Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri PNS | Pegawai Negeri Sipil RENJA-SKPD | Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah RENSTRA-SKPD | Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah RKA | Rencana Kerja dan Anggaran RKPD | Rencana Kerja Pemerintah Daerah RPJMD | Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMDes | Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa RPJPD | Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah SKPD | Satuan Kerja Perangkat Daerah TAPD | Tim Anggaran Pemerintah Daerah TKPKD | Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah UU | Undang-undang
viii
1 PENDAHULUAN Pada tahun 2000, 189 negara di dunia yang menjadi anggota Perserikatan BangsaBangsa menyepakati agenda pembangunan milenium, yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Millenium Development Goals (MDGs). MDGs memuat delapan kesepakatan yang menjadi agenda pembangunan negara-negara tersebut sampai dengan tahun 2015. Sejak disepakatinya MDGs, Pemerintah Indonesia menjadikan agenda MDGs sebagai salah satu target pembangunan nasional dan daerah. Sebagai bentuk pelaksanaan MDGs, delapan agenda MDGs dimasukkan dalam rencana pembangunan jangka menengah dan tahunan, baik itu di tingkat nasional ataupun di daerah. Dalam rangka membantu pemerintah daerah mempercepat pemenuhan target MDGs, sejak tahun 2006 BAPPENAS dengan dukungan ADB dan UNDP melaksanakan kegiatan peningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam proses perencanaan dan penganggaran pembangunan yang pro terhadap masyarakat miskin (Pro-Poor Planning and Budgeting-P3B). Pada tahun 2008, dengan maksud penambahan komponen monitoring, kegiatan ini berubah nama menjadi Pro-Poor Planning, Budgeting and Monitoring (P3BM). Pada tahun 2006, kegiatan P3B telah dilaksanakan di 11 kabupaten/kota, yaitu: Kabupaten Manggarai, Kupang, Sumba Timur, Sumba Barat, Purbalingga, Wonosobo, Banjarnegara, Kota Semarang, Ogan Komiring Ilir, Ogan Ilir dan Palembang.Pada tahap ini P3B masih bersifat terbuka (open menu) dimana daerah dapat memilih dukungan penguatan kapasitas dan pendampingan sesuai dengan kebutuhan daerah.Sejak tahun 2007, Pemerintah Indonesia meluncurkan program Target MDGs dengan didukung oleh UNDP. Target MDGs memiliki 4 (empat) komponen program, yaitu: perbaikan pendataan, pelaporan, advokasi/kampanye dan dukungan inisiatif lokal untuk memperkuat kapasitas pemerintah daerah, LSM dan media massa. Komponen kegiatan ke-empat selanjutnya disebut Pro-Poor Planning, Budgeting and Monitoring (P3BM) yang merupakan penyempurnaan dari P3B. Program Target MDGs berlokasi di 3 (tiga) provinsi dan 18 (delapan belas) kabupaten/kota sebagai berikut:
Provinsi NTB: Kabupaten Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, Dompu, Bima dan Sumbawa Barat Provinsi NTT: Kabupaten Flores Timur, Belu, Kupang, Sikka, Timor Tengah Selatan dan Sumba Barat Daya Provinsi Sulawesi Tenggara: Kabupaten Wakatobi, Bombana, Kolaka, Konawe, Buton dan Kota Bau-Bau
1
Program P3BM merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintah daerah untuk mempercepat pencapaian target MDGs melalui upaya perbaikan kualitas proses perencanaan dan penganggaran di daerah. Program P3BM diharapkan dapat membantu pemerintah daerah dalam melakukan “diagnosa” status capaian MDGs di daerah, meningkatkan kapasitas aparatur dalam menyusun rencana program dan anggaran yang pro-masyarakat miskin serta monitoring proses dan hasil pembangunan. Dalam kurun waktu 2007 – 2010, program P3BM telah dilaksanakan di29(dua puluh sembilan) kabupaten/kota. Pada tahun 2008 Tim Teknis Asistensi P3B Bappenas-ADB melakukan studi mengenai perencanaan dan penganggaran daerah. Berdasarkan studi dari Tim Teknis Asistensi P3B, dari sisi substansi perencanaan dan penganggaran daerah masih memiliki kekurangan yang mendasar yaitu: 1) tidak memiliki substansi yang jelas dalam memberantas kemiskinan, 2) penerima manfaat program tidak teridentifikasi dengan jelas, 3) hanya sedikit mendapat input dari kelompok miskin dan terpinggirkan, 4) tidak memuat output, outcome dan dampak dari program dan alokasi anggaran, 5) program dan kegiatan terfragmentasi secara sektoral, 6) tidak ada keterkaitan antara perencanaan tahunan dan perencanaan jangka menengah, dan 7) tidak ada keterkaitan yang jelas antara program kabupaten/kota dengan provinsi dan pusat. Sedangkan dari sisi proses, masalah yang dihadapi dalam perencanaan reguler di daerah terutama adalah: 1) informasi kebijakan, perencanaan dan pagu anggaran tidak diketahui pada tingkat perencanaan yang lebih rendah, 2) proses musyawarah (musrenbang) nyaris tidak dilakukan pada perencanaan di tingkat desa, 3) kalaupun musrenbang dilakukan di tingkat desa dan kecamatan, hanya dihadiri oleh sedikit kelompok elit komunitas, 4) waktu musrenbang sangat terbatas untuk menghasilkan keputusan yang baik, 5) peran LSM lokal dalam musrenbang sangat terbatas, hanya sebagai partisipan pasif. 6) minsat DPRD dalam menghadiri musrenbang telah ada terutama di daerah pemilihannya, tetapi perannya belum begitu jelas disamping pemahaman terhadap strategi penanggulangan kemiskinan yang masih rendah. Berdasarkan pada hasil studi, Tim Asistensi P3B merekomendasikan agar pengurangan kemiskinan melalui program P3B fokus pada perbaikan substansi dan proses perencanaan dan penganggaran. Untuk substansi perencanaan P3B seharusnya fokus pada perencanaan daerah dengan perhatian yang penuh pada membangun basis data dan analisis kemiskinan. Untuk itu, usaha yang keras perlu dilakukan untuk mengubah perencanaan berbasis sektor (SKPD) menjadi berbasis tema/isu yang akan dibahas bersama dalam forum gabungan SKPD. Setiap tahap perencanaan tahuna perlu dimulai dengan evaluasi perencanaan dan pelaksanaan sebelumnya dengan menganalisis output, outcome dan dampak dari program. Perencanaan juga harus menyeimbangkan penekanan antara pembangunan fisik dengan pembangunan sosial.
2
Sedangkan dari sisi proses perencanaan seharusnya didasarkan pada kiteria yang jelas sebagai dasar bagi pengambilan keputusan dalam musrenbang dari di tingkat komunitas sampai kabupaten. Keputusan berdasarkan kriteria tersebut harus disepakati dalam forum musrenbang yang mengikat dan diumumkan melalui media lokal. Agar keputusan musrenbang berkualitas, informasi mengenai kebijakan saat ini – baik nasional maupun provinsi- termasuk pagu indikatifnya telah diinformasikan sebelum musrenbang dilakukan. Di tingkat desa sebaiknya hanya ada satu proses, forum dan produk perencanaan. Desa juga sebaiknya diberikan dana yang mencukupi (ADD) agar forum musrenbang memiliki arti di tingkat desa. Agar musrenbang dapat berjalan dengan baik, sebaiknya ada fasilitator profesional pada tiap tahapan musrenbang. Yang sangat penting dalam pengurangan kemiskinan adalah komponen masyarakat sipil, masyarakat miskin dan terpinggirkan diberi kesempatan untuk menyampaikan aspirasi mereka.Untuk mendukung perbaikan perencanaan dan penganggaran dari sisi substansi dan proses, perlu dilakukan peningkatan kapasitas di tingka daerah baik terhadap pejabat, staf dan komponen masyarakat sipil. Merujuk pada rekomendasi Tim Asistensi Teknis, pada tahun 2008 P3B dilanjutkan dengan nama P3BM dengan dukungan pendanaan dari UNDP. Ada 3 komponen (alat) utama yang diperkenalkan oleh P3BM di daerah program yaitu: 1. Penyusunan kartu penilaian (balanced scorecard) MDGsuntuk perencanaan dan pengangaran yang berpihak pada masyarakat miskin. Komponen ini menganalisa target dan pencapaian target MDGS daerah dibanding dengan target nasional dan internasional. 2. Pemetaan Kemiskinan MDGs (poverty maping) untuk perencanaan dan penganggaran yang tepat lokasi. Komponen ini mengkonversi data-data statistik ke data spatial (GIS) sehingga bisa diidentifikasi lokasi-lokasi yang tingkat kemiskinannya rendah, sedang dan tinggi. 3. Analisis APBD yang mencakup: a. Analis kualitas dokumen perencanaan dan penganggaran yang tepat lokasi. Komponen ini menganalisis ketepatan lokasi alokasi anggaran berdasarkan pada hasil pemetaan kemiskinan. b. Analisa belanja pembangunan daerah untuk peningkatan kualitas penggunaan anggaran untuk penanggulangan kemiskinan. c. Interpretasi dan aplikasi alat P3BM untuk perencanaan dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin. Kelima komponen di atas diterapkan di daerah melalui tiga kegiatan utama yaitu: 1. Lokakarya pengenalan alat dan pembentukan komitmen daerah. Kegiatan ini dilakukan pada tahap awal program untuk memperkenalkan alat-alat P3BM dan menggali komitmen kepada daerah yang akan menjadi lokasi program.
3
2. Pelatihanalat-alat P3BM kepada pejabat, staft, LSM dan pelaksana program lain di daerah. 3. Pendampingan daerah dalam memanfaatkan alat-alat P3BM dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah. Setelah berjalan selama 4 tahun, maka perlu dipelajari manfaat P3BM di daerah, kekuatan dan kelemahannya, serta pembelajaran dari praktek baik yang pernah dilakukan daerah dalam memanfaatkan alat-alat P3BM.
4
2 TUJUAN DAN METODOLOGI STUDI 2.1. Tujuan Studi Merujuk pada latar belakang, tujuan dari studi ini terutama adalah: a. Menggali pembelajaran tentang pemanfaatan pendekatan dan perangkat analisis P3BM dan merekam aktivitas lainnya yang berhubungan. b. Mengidentifikasi tantangan dan hambatan dalam pemanfaatan perangkat analisis P3BM serta menggali informasi untuk perbaikan dan penyempurnaan perangkat analisis P3BM. 2.2. Fokus Studi Dalam rangka menjawab tujuan studi sebagaimana dipaparkan makapertanyaan-pertanyaan pokok untuk studi ini adalah sebagai berikut:
di
atas,
a. Bagaimana P3BM telah berkontribusi dalam peningkatan kualitas perencanaan dan penganggaran di daerah? Apa kekuatan dan kelemahannya? b. Seberapa efektif kegiatan pelatihan P3BMdapat mendukung peningkatan kapasitas aparatur di daerah? c. Adakah cerita-cerita sukses, pembelajaran dan praktek-praktek baik yang bisa digambarkan dari P3BM yang menjadi alasan agar kegiatan ini sangat baik untuk direplikasi dan atau di dikembangkan di lokasi lainnya? d. Dalam kondisi apa agar P3BM dapat dilaksanakan secara efektif? e. Apa rekomendasiuntuk memperbaiki kualitas pelaksanaan programP3BM agar proses perencanaan penganggaran di daerah lebih berpihak bagi masyarakat miskin? Berdasarkan pertanyaan pokok studi tersebut, peneliti mengerangkakan studi ini dalam 6 (enam) aspek berikut: a. b. c. d. e. f.
Kontribusi P3BM terhadap peningkatan kualitas perencanaan penganggaran daerah Pemanfaatan alat P3BM dalam perbaikan basis data di daerah Pemanfaatan alat P3BM dalam proses perencanaan penganggaran di daerah Pemanfaatan alat P3BM dalam perbaikan kualitas dokumen perencanaan daerah Pembelajaran dan cerita sukses pemanfaatan alat P3BM Rekomendasi untuk perbaikan pelaksanaan program P3BM
2.3. Metode Penggalian Data
5
Proses pengumpulan data dilaksanakan melalui tigacara, yaitu: a) Studi data sekunder yang dilaksanakan melalui pengumpulan informasi dan data sekunder dari berbagai dokumen yang tersedia, diantaranya: Panduan, laporan dan publikasi pelaksanaan program P3BM Dokumen perencanaan dan penganggaran daerah, seperti: RPJMD, SPKD, APBD, RKPD, dll Dokumen-dokumen terkait lainnya (Data skunder dan laporan publikasi P3BM yang menjadi rujukan studi ini dapat dilihat dalam lampiran 1). b) Wawancara dilakukan terhadap para responden yang memiliki keterkaitan langsung dengan program penerapan alat P3BM. Responden dalam studi ini dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: 1)alumni pelatihan P3BM dari SKPD, perguruan tinggi, LSM dan stakeholder lainnya, dan 2) pejabat provinsi dan kabupaten/kota yang pernah terlibat dalam program dan kegiatanP3BM. (Kegiatan wawancara dan daftar responden yang diwawancara dapat dilihat pada lampiran 2) c) Di beberapa lokasi studi, peneliti melakukan FGD untuk mengidentifikasi manfaat, kekuatan, kelemahan, contoh-contoh praktek baik dan menyusun rekomendasi untuk peningkatan pelaksanaan P3BM. 2.4. Lokasi Studi Lokasi studi adalah daerah-daerah yang pernah terlibat dalam pelatihan P3BM. Daerahdaerah tersebut ditentukan secara purposif berdasarkan tingkat dukungan dan inisiatif dalam pelaksanaan metodologi P3BM. Berdasarkan kriteria tersebut, daerah-daerah yang menjadi lokasi sasaran studi adalah: 1. 2. 3. 4.
Sulawesi Tenggara: Kabupaten Wakatobi dan Kota Bau-Bau NTT: Kabupaten Sikka, Timor Tengah Selatan, Manggaraidan Sumba Barat Daya NTB: Kabupaten Sumbawa Barat and Lombok Barat Jawa Tengah: Kabupaten Pekalongan
6
2.5. Gambaran Umum Wilayah Secara umum, profil 10 (sepuluh) kabupaten/kota yang menjadi lokasi studi dapat digambarkan pada Tabel 1. Tabel 1 Gambaran Umum Wilayah Studi Lokasi
Luas Wilayah
Jumlah Kec, Kel /Desa
Penduduk (jiwa) )
1. Sikka
7.553,24 km
21 kec.,160 kel./desa
232.605 (2010)
2. Manggarai
1.669,42 Km
9 kec.,132 desa, 17 kel
292.037 ) (2010)
3. Timor Tenggah Selatan 4. Sumba Barat Daya
3.947 km
32 kec., 12 kel., 228 desa
441.155 ) (2010
1.445,77 km
8 kec., 94 desa, 2 kel
285.414 ) (2010)
862,62 Km
10 kec., 88 desa
603.223 (2008)
1.849,02 Km
8 Kec., 6 kel., 57 desa
101.089 (2009)
7. Pekalongan
836,13 Km
19 kec., 285 desa/kel
1002.826 (2010)
8. Bau Bau
221,00 Km
7 kec., 43 Kel
9. Wakatobi
425,97 Km
10. Manokwari
14.448,50 Km
8 kec, 25 kel., 75 desa 29 kec, 9 kel., ) 412 des
130.862 (2009) 92.995 2010) 183.900 (2008)
5. Lombok Barat 6. Sumbawa Barat
Jumlah Penduduk Miskin 40.200 jiwa ) (13,38% (2010) 67.100 jiwa (22,91%) (2010) 126.600 jiwa (28,71% (2010) 85.100 jiwa (29,88%) (2010) 60.117 KK fakir miskin (2008) 2.558 KK Fakir Miskin (2009) 151.630 jiwa (15,32%) (2010) 18.170 jiw (2009) 26.000 jiwa (2007) 36.347 RTM (2008)
Total Belanja APBD TA 2011 (Rp) 518.000.000.000
Total Belanja Pengawai (BTL+BL) APBD TA 2011 (Rp) 291.946.779.192 (56,36%)
Total Belanja Publik APBD TA 2011 (Rp) 226.053.220.808 (43,64%)
511.214.721.209
268.782.195.591 (52,58%)
242.432.525.618, (47,42%)
709.752.826.686
391.078.111.516 (55,10%)
318.674.715.170 (44,90%)
379.046.287.989
163.523.393.641 (43,14%)
215.522.894.348 (56,86%)
822.332.436.527
477.115.284.677 (58,02%)
345.217.151.850 (41,98%)
649.000.000.000
217.019.689.288 (33,44%)
431.980.310.712 (66,56%)
898.873.262.000
594.456.285.400 (66,13%)
304.416.976.600 (33,87%)
449.536.798.444
254.089.931.960 (56,52%) 177.596.629.736 (45,62%) 383.024.446.005 (52,58%)
195.446.866.484 (43,48%) 211.684.232.022,(54,38%) 345.430.955.738,(47,42%)
389.280.861.758 728.455.401.743
Sumber data: 1) 2) RPJMD Kab. Sikka 2009-2014, http://ntt.bps.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=47&Itemid=8, 3) 4) 5) http://ntt.bps.go.id/index.php? option=com_ content&view=article&id=133&Itemid=107, RPJMD Kab. Manggarai 2011-2015, 6) 7) RPJMD Kab. Timor Tengah Selatan 2009-2014, RPJMD Kab. Sumba Barat Daya 2009-2013, Kabupaten Sumba Barat Daya Dalam 8) 9) 10) Angka 2010, Kabupaten Lombok Barat Dalam Angka 2009, Kabupaten Sumbawa Barat Dalam Angka 2010, Kabupaten 11) 12) 13) Pekalongan Dalam Angka 2009, LKPJ Akhir Masa Jabatan Bupati Pekalongan 2006-2011, Kota Bau Bau Dalam Angka 2010, 14) 15) Buku Saku Kota Bau Bau 2010, Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2011, Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2007, BPS (Diolah 16) 17) dari Susenas Kor 2007), Kabupaten Manokwari Dalam Angka 2009, Ringkasan APBD Tahun 2011, www.djpk.depkeu.go.id, 18) 19) APBD Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun 2011, APBD Kabupaten Lombok Barat Tahun 2011
7
3 ANALISIS PEMANFAATAN ALAT ANALISIS P3BM 3.1. Pelaksanaan dan Pengembangan Program P3BM Pelaksanaan program P3BM di 10 (sepuluh) kabupaten/kota lokasi sasaran studi diselenggarakan dalam bentuk pelatihan alat-alat analisis P3BM selama 3 (tiga)-5 (lima) hari. Selain pelatihan juga dilakukan kegiatan lokakarya (1-2 hari) dan pendampingan baik dalam kerangka menyusun balance score card, pencapaian MDGs maupun dalam pengembangan manajemen basis data daerah. Ketiga alat analisis (poverty mapping, balanced score card dan analisis APBD) P3BM diperkenalkan dan disimulasikan dalam pelatihan tersebut. Selain ketiga alat analisis di atas, Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Wakatobi mendapatkan satu paket pelatihan lainnya yaitu manajemen basis data daerah. Pada sebagian besar lokasi sasaran studi, materi tentang poverty mapping memiliki durasi waktu yang lebih lama selama penyelenggaraan pelatihan tersebut. Sementara itu, alat analisis konsistensi program dan anggaran (pivot analysis), adalah materi yang memiliki durasi waktu yang paling sedikit. Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Sumba Barat Daya berinisiatif menggelar kegiatan pelatihan tambahan. Pelatihan ini bertujuan untuk memberikan penyegaran bagi alumni pelatihan terdahulu serta memperluas cakupan peserta yang berasal dari SKPD. Sementara itu, Kabupaten Sikka dan Pekalongan berencana menggelar pelatihan lanjutan pada tahun 2011 ini. Tabel 2 Pelaksanaan Pelatihan P3BM di 10 Kabupaten/Kota Lokasi 1. 2.
3.
4.
Kabupaten Sikka Kabupaten Manggarai
Kabupaten Timor Tengah Selatan Kabupaten
Waktu Pelaksanaan Mei 2009 2007
Peserta
Materi
30 orang staf perencana SKPD staf perencana SKPD
Poverty mapping, score card MDGs, pivot analysis Identifikasi kebutuhan masyarakat, pohon masalah, alokasi anggaran berdasarkan kebutuhan pengenalan score card MDGs, pelatihan pembuatan peta GIS, analisis anggaran Pivot analysis, software Arc-GIS untuk pembuatan peta kemiskinan,Score card MDGs
APBN
Peta tematik kemiskinan menggunakan Arc-Gis, Pivot analisis menggunakan excel untuk analisis anggaran dan monev simulasi membuat peta data
APBN
2008
30 orang staf perencana SKPD
2010
30 orang staf perencana SKPD di Kab. Manggarai dan Manggarai Timur 30 orang staf perencana SKPD
Mei 2009
Juni 2009
25-30 orang staf
Sumber Dana
APBN APBN APBD Kab. Manggarai dan Kab. Manggarai Timur
APBN
8
Lokasi
Waktu Pelaksanaan
Sumba Barat Daya Juni 2010
Desember 2010 5.
Kabupaten Lombok Barat Kabupaten Sumbawa Barat Kabupaten Pekalongan
Mei 2008
8.
Kota Bau Bau
9.
Kabupaten Wakatobi
Desember 2010 Mei 2008
6. 7.
November 2008 21-23 Mei 2011
Peserta
Materi
perencana SKPD
kemiskinan, pivot untuk analisis anggaran dan program, balanced scorecard training monitoring dan pemutakhiran, ada data dan laptop, ada pre-test
30 orang staf perencana SKPD (ada tambahan peserta baru) 30 orang staf perencana SKPD 30 staf Bappeda dan Perencana di SKPD 25 staf Bappeda dan Perencana di SKPD 30 orang staf Perencana SKPD dan PNPM MP 30 orang staf Perencana SKPD 36 orang Staf Bappeda, Subag Perencanaan SKPD dan LSM lokal
Sumber Dana
APBD
Monitoring dan evaluasi basis data, TOT dan lokakarya data pencapaian MDGs MDGs Scorecard, proverty mapping, analisa APBD.
APBD
MDGs Scorecard, proverty mapping, analisa APBD
APBN & APBD
Sebagian besar tentang poverty mapping. Diperkenalkan juga MDGs scorecard dan pivot analysis. Poverty mapping, scorecard MDGs dan Pivot Analysis. Poverty mapping, scorecard MDGs dan Pivot Analysis.
APBD
APBN & APBD
APBN APBN & APBD
Dari sisi peserta, ada 3 kelompok target group dari Program P3BM di daerah, yaitu: 1.
Kelompok pengambil kebijakan. Kelompok ini dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan pendahululuan program baik dalam bentuk lokakarya. Tujuannya adalah untuk menggali dan meningkatkan komitmen pejabat daerah (terutama Bupati dan Kepala Dinas) untuk mengorientasikan kebijakan dan program pembangunan dalam rangka mengurngi kemiskinan di daerah.
2.
Kelompok Penyusun Program. Kelompok ini dilibatkan dalam pelatihan untuk memperkenalkan dan mengusai tiga alat utama yang dikembangkan oleh P3BM. Kelompok yang menjadi sasaran terutama adalah Kepala Bidang Bappeda dan Kepala Sub Seksi Perencanaan Program di masing-masing SKPD terutama SKPD Kesehatan, Pendidikan, Pertanian dan PU. Kelompok ini dipilih dengan alasan mereka adalah perencana program yang akan mengoperasionalkan rencana program di SKPD masing-masing.
3.
Kelompok Pelaksana Teknis Program. Kelompok ini dilibatkan untuk menghimpun dan memasukan data capaian MDGs dari masing-masing SKPD untuk dianalisa oleh Bappeda dan dioleh menjadi balance score card capaian daerah terhadap MDGs dan pemetaan spasial terhadap keadaan daerahnya, untuk selanjutnya dianalisa oleh Tim yang dikoordinasikan oleh Bappeda yang akan disampaikan dalam lokakarya.
9
3.2. Kontribusi Program P3BM 3.2.1. Tumbuhnya Pengetahuan dan Kesadaran “Baru” Pada tataran konsep dan gagasan, P3BM dianggap oleh sebagian besar responden telah berhasil mengenalkan pendekatan “baru” untuk menyempurnakan proses perencanaan dan penganggaran di daerah, khususnya dalam hal pengelolaan basis data perencanaan. Ketiga alat yang dikenalkan P3BM (poverty mapping, score card MDGs dan analisis APBD) dianggap membantu para perencana di daerah untuk menstrukturkan data dan analisisnya dengan tampilan yang lebih mudah dipahami. Sebelum alat-alat P3BM dikenalkan, beberapa SKPD ternyata pernah menggunakan software Arc-GIS untuk poverty mapping dan GIS ini untuk membantu pekerjaan mereka. SKPD-SKPD tersebut diantaranya adalah: Dinas PU untuk membuat peta kondisi dan kelas jalan dan Dinas Kesehatan untuk membuat peta profil kesehatan di Kabupaten Manggarai. Namun demikian secara keseluruhan, alat poverty mapping dengan menggunakan software Arc-GIS merupakan materi pelatihan yang paling diingat dan diminati oleh para alumni pelatihan P3BM. Seluruh responden menganggap bahwa dengan dikenalkannya alat-alat P3BM kepada mereka, terjadi peningkatan pengetahuan dan kesadaran khususnya terkait dengan perencanaan program dan anggaran dalam rangka pencapaian MDGs dan penanggulangan kemiskinan di daerah. Seluruh responden meyakini bahwa apabila alat-alat analisis yang diperkenalkan oleh P3BM diterapkan secara konsisten dan benar maka akan mempermudah dan mempertajam proses perencanaan penganggaran menjadi lebih efektif, efisien dan terarah. Sebelum alat analisis P3BM dikenalkan, sebagian responden menyadari bahwa proses perencanaan program dan anggaran lebih banyak dipengaruhi oleh pendekatan politik daripada pendekatan teknokratik. Dengan diterapkannya alat tersebut, para perencana dan pengambil kebijakan di daerah akan dikenalkan secara lebih mendalam pada masalah, potensi dan wilayah-wilayah penanganan prioritas.
3.2.2. Memperkuat dan Menginspirasi Inisiatif-Inisiatif Lokal P3BM dianggap oleh beberapa responden telah memperkuat inisiatif lokal yang telah/sedang dilaksanakan di daerah. Selain itu, P3BM juga telah menginspirasi lahirnya beberapa inisiatif lokal terkait upaya perbaikan basis data daerah dan kualitas proses dan dokumen perencanaan penganggaran.Kontribusi alat analisis P3BM terhadap beberapa inisiatif lokal tersebut diantaranya:
10
a) Pada tahun 2011 ini Pemerintah Propinsi NTT sedang menyusun Rencana Aksi Daerah Pencapaian MDGs. Saat studi ini berlangsung, Pemprop NTT sudah melakukan pengumpulan data terkait pencapaian MDGs 4 (empat) kabupaten/kota dari 15 kabupaten/kota di Propinsi NTT. Pihak Pemprop NTT menghendaki basis data dan analisis yang tertuang dalam dokumen RAD diantaranya menggunakan alat P3B/P3BM. Untuk itu, sejak Februari 2011, mereka meminta data dan hasil analisis menggunakan alat P3B/P3BM kepada 6 (enam) kabupaten/kota yang menjadi wilayah kerja P3B/P3BM. Namun sampai dengan laporan studi ini disusun, keenam kabupaten/kota tersebut belum memberikan datanya ke pihak Pemerintah Propinsi NTT. b) Mendukung program Pembangunan Berbasis RT (PBRT) di Kabupaten Sumbawa Barat, khususnya dalam menentukan lokasi sasaran program. c) Hasil analisis menggunakan alat P3BM diadopsi dalam penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten Sikka pada tahun 2010. d) Menjadi inspirasi dilakukannya studi pendalaman tentang kemiskinan daerah oleh Pusat Studi Perencanaan Pembangunan Regional UGM bekerja sama dengan Bappeda Sikka tahun 2009. e) Menjadi salah satu tools yang digunakan di Sekretariat Bersama dalam merumuskan perencanaan dan evaluasi program pembangunan di Kabupaten Timor Tengah Selatan. f) Memperkuat pelaksanaan program Desa Bercahaya, Desa Berkecukupan Pangan, Desa Berkecukupan Air, Desa Aman dan Tertib khususnya dalam menentukan lokasi sasaran program untuk APBD 2011 di Kabupaten Sumba Barat Daya. g) Pemetaan kemiskinan digunakan untuk memperkuat program Gerakan Terpadu Bangun Desa di Kabupaten Lombok Barat. Terutama dalam menetapkan programprogram di tiap desa. h) Pada tahun 2011 sudah dirancangan konsolidasi dan sinergisasi perencanaan reguler dengan PNPM Mandiri Perkotaan melalui pelaksanaan program pagu indikatif anggaran kewilayahan di Kabupaten Pekalongan, khususnya dalam memperkuat perencanaan pembangunan di tingkat desa/kelurahan melalui siklus kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan. i) Menjadi materi dasar pelaksanaan program BASIC (Bantuan dari Pemerintah Canada) untuk tahun 2011-2014 untuk sektor kesehatan dan pendidikan di Kota Bau Bau. j) Setelah lokakarya P3BM, Bupati Wakatobi mengaskan bahwa pencapaian MDGs bukan hanya tujuan Internasional dan nasional tetapi juga adalah tujuan daerah. Pernyataan ini menjadi dasar bagi daerah agar memasukan MDGs dalam penyusunan RPJMD ketika Bupati terpilih kembali dalam pilkada tahun 2011. Pencapaian MDGs bersama dengan SPM juga menjadi kriteria utama bagi SKPD dalam menyusun program-program pembangunan di Wakatobi.
11
3.3. Pemanfaatan Alat Analisis P3BM di Daerah 3.3.1. Pemanfaatan dalam Penyempurnaan Pengelolaan Basis Data Pemanfaatan alat analisis P3BM dalam rangka perbaikan basis data daerah, setidaknya tercermin dari adanya beberapa agenda kegiatan tindak lanjut pasca pelatihan P3BM di daerah. Permanfaatan alat analisis P3BM dalam rangka penyempurnaan pengelolaan basis data daerah setidaknya dapat dilihat sebagai berikut: Adanya inisiatif untuk mengorganisir para alumni peserta pelatihan P3BM dalam rangka penyempurnaan pengelolaan basis data daerah, contoh: Pada tahun 2009, pasca pelatihan P3BM dibentuk Kelompok Pecinta GIS di Kabupaten Sikka yang diperankan untuk mendukung upaya perbaikan basis data daerah. Kelompok Pecinta GIS ini dikoordinir di Bidang Penelitian dan Pengembangan BPPMD Kabupaten Sikka. Namun sampai dengan studi ini dilaksanakan, para anggota Kelompok Pecinta GIS ini belum pernah sekalipun berkoordinasi dan merumuskan agenda kerja. Pada tahun 2011, dikoordinir oleh Bidang Litbang BPPMD akan dilaksanakan pelatihan penyegaran alat analisis P3BM bagi para alumni pelatihan sebelumnya. Pasca pelatihan pada bulan Desember 2010, di Kabupaten Sumba Barat Daya dibentuk Tim Basis Data Daerah yang anggotanya terdiri dari para alumni pelatihan P3BM. Tim ini dikoordinasikan oleh Bidang Litbang BPPMD. Di Kabupaten Timor Tengah Selatan, telah dibentuk Sekretariat Bersama yang berkantor di Bappeda (atas kerjasama Pemda, Plan International, CWS dan NGO Lokal), memanfaatkan alat P3BM untuk melakukan perencanaan, monitoring dan evaluasi terhadap aktivitas-aktivitas pemerintah daerah dan NGO yang bekerja di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Di Kabupaten Wakatobi, telah dibentuk Sekretariat Bersama Data Base untuk mengintegrasikan data-data daerah. Sekretariat ini berada di bawah Bappeda yang menghimpun dan mengkoordinasikan data-data dari SKPD. Bappeda juga mengadakan pertemuan koordinasi setiap 3 bulan untuk memperbaharui data dan mendiskusikan program-program pembangunan. Penyempurnaan sistem basis data MDGs dan basis data program pembangunan, contoh: Pada APBD TA 2011 telah dialokasikan anggaran di Bidang Litbang BPPMD Kabupaten Sumba Barat Daya untuk penguatan kapasitas pengelolaan basis data MDGs. Data kemiskinan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang ditampilkan dalam formatpoverty mapping diperbaharui setiap tahun oleh Sekretariat Bersama dengan menggunakan satuan sampai dengan tingkat kecamatan. Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai pasca pelatihan P3BM kerap melakukan pembaruan data sebaran fasilitas kesehatan dan sebaran penyakit.
12
Di Kabupaten Pekalongan, sejak selesainya pelatihan P3BM pernah akan dipraktekkan di Dinas PU untuk pembuatan peta sanitasi dan air bersih. Namun, peta daerah rawan sanitasi dan air bersih datanya sebagian besar tidak ada. Data air bersih ada, tapi terdapat dua versi dengan perbedaan perhitungan. Analisis data dengan menggunakan alat P3BM pernah dipublikasikan menjadi salah satu materi dalam LKPJ akhir masa jabatan bupati,meskipun munculnya tidak per desa. Target MDGs sudah terjadi untuk sumur gali (+40% dari 77%). Tapi setelah diteliti lagi belum layak minum (air bersih: hijau, tapi setelah dilihat detilnya ternyata merah). Di BLK, dipraktekan untuk menginventarisir peserta pelatihan per kecamatan. Ada perbedaan data antara data SKPD dengan data statistik dari BPS. Contoh: jumlah fakir miskin. Di Kota Bau Bau, hasil analisis P3BM ditampilkan sebagai informasi dalam Profil Kota Bau Bau dan Profil Kesehatan 2010 dan 2011. Selain itu, pada tahun 2011, Bappeda bekerjasama dengan BPS akan melakukan survey penduduk miskin Kota Bau Bau. Di Kabupaten Wakatobi, program-program SKPD diumumkan kepada masyarakat dan menyandingkannya dengan pencapaian MDGs. Tujuan dari kegiatan ini adalah agar masyarakat memahami hubungan antara program dan anggaran pemerintah dalam mengatasi persoalan-persoalan kemiskinan di daerah. 3.3.2. Pemanfaatan dalam Proses Perencanaan dan Penganggaran
Pemanfaatan alat analisis P3BM proses perencanaan penganggaran daerah, setidaknya tercermin dari adanya beberapa agenda kegiatan tindak lanjut pasca pelatihan P3BM di daerah yang dapat dilihat dari contoh-contoh berikut: Dimanfaatkan sebagai alat koordinasi perencanaan, monitoring dan evaluasi terhadap aktivitas program pemerintah daerah dan NGO seperti yang dilakukan melalui keberadaan Sekretariat Bersama di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Beberapa kabupaten berinisiatif memaparkan hasil analisis menggunakan alat P3BM tersebut dalam kegiatan musrenbang dan konsultasi dengan DPRD. Momen-momen yang dimanfaatkan antara lain adalah musrenbang kecamatan, musrenbang kabupaten untuk pembahasan rancangan RKPD serta prosesproses konsultasi dengan DPRD seperti yang terjadi di Kabupaten Sumba Barat Daya dan Sikka. Dijadikan sebagai salah satu instrumen evaluasi Kepala Daerah terkait capaian program, realisasi pendapatan dan belanja SKPD seperti yang terjadi di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Menjadi salah satu dasar penentuan realokasi anggaran untuk alokasi-alokasi yang dianggap tidak terlalu efisien, contoh: Dilakukannya rasionalisasi anggaran perjalanan dinas luar daerah pada APBD 2010 di Kabupaten Timor Tengah Selatan. 13
Terjadinya kenaikan alokasi anggaran pencapaian target MDGs di Lombok Barat dari tadinya pada APBD TA 2008 sebesar 19,2%, pada APBD TA 2009 menjadi 22,6% dan APBD TA 2010 menjadi 22%. Di Kabupaten Pekalongan, alat analisis P3BM digunakan untuk mendukung pelaksanaan program pagu anggaran indikatif kewilayahan yang mulai diterapkan pada APBD TA 2011. Di Kabupaten Wakatobi, alat analisis P3BM dijadikan alat analisis untuk KUAPPAS. Sebagai hasilnya Kabupaten Wakatobi melakukan realokasi anggaran dan memperbesar anggaran untuk pendidikan dan kesehatan lebih besar untuk mencapai target MDGs yang telah ditetapkan.
3.3.3. Pemanfaatan dalam Perbaikan Kualitas Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah Pemanfaatan alat analisis P3BM dalam rangka perbaikan kualitas dokumen perencanaan pembangunan daerah, setidaknya tercermin dari adanya beberapa agenda kegiatan tindak lanjut pasca pelatihan P3BM di daerah. Permanfaatan alat analisis P3BM dalam rangka penyempurnaan kualitas dokumen perencanaan pembangunan daerah setidaknya dapat dilihat sebagai berikut: Beberapa kabupaten/kota berinisiatif memasukan hasil analisis menggunakan alat P3B/P3BM tersebut dalam beberapa dokumen perencanaan. Di Kabupaten Sikka, hasil analisis alat P3B/P3BM khususnya poverty mapping dijadikan dasar penyusunan Profil Kemiskinan Kabupaten Sikka yang disusun oleh BPPPMD bekerja sama dengan Pusat Studi Perencanaan Pembangunan Regional Universitas Gadjah Mada pada akhir tahun 2009. Profil kemiskinan ini menjadi materi dasar dalam menyusun Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten Sikka 2009-2013. Namun demikian, hasil analisis ini tidak digunakan sebagai dasar penyusunan rancangan RKPD dan Renja SKPD sejak 2009-2011. Di Kabupaten Timor Tengah Selatan, hasilanalisis APBD digunakan oleh Bappeda sejak tahun 2009 untuk mengevaluasi alokasi anggaran SKPD. Sebagai contoh, hasil pivot analysis APBD TA 2009 ditemukan alokasi anggaran untuk biaya perjalanan dinas luas kota cukup besar. Karena itu Bappeda bersama-sama SKPD melakukan realokasi anggaran yang tidak efisien ini pada saat penyusunan APBD TA 2010. Sementara itu di kabupaten lainnya, hasil analisis menggunakan ketiga alat P3BM yang dilakukan selama pelatihan tidak digunakan sebagai landasan dalam menyusun dokumen perencanaan maupun penganggaran. Demikian pula, pasca pelatihan data dan analisis tersebut tidak diperbaharui/update.
14
4 KEKUATAN DAN KELEMAHAN ALAT-ALAT P3BM Selain dampak pemanfaatan P3BMdalam praktek perencanaan dan penganggaran daerah, studi ini juga berusaha mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dari alat-alat P3BM menurut partisipan pelatihan dan pihak-pihak yang menggunakan alat-alat P3BM di daerah. Identifikasi dilakukan berdasarkan hasil wawancara dan FGD dengan para pelaku di daerah. Berikut adalah kekuatan dan kelemahan P3BM menurut persepsi responden dan peserta FGD di daerah. 4.1 Kekuatan Penerapan alat P3BM Terkait dengan kekuatan alat analisis P3BM, responden berpendapat sebagai berikut:
Dalam konteks pengembangan data daerah, alat P3BM dapat: • P3BM memandu daerah untuk menghasilkan database yang bagus, sistematis dan lebih terukur. • Menampilkan data/informasi dengan informatif, mudah difahami dan mudah diperbaharui. • Secara teknis tidak terlalu sulit untuk melaksanakan proses pengembangan basis data sesuai prosedur yang dikembangkan P3BM.
Dalam konteks identifikasi persoalan daerah, alat P3BM dapat: • Memandu mengarahkan pada permasalahan pokok kemiskinan yang ada di lapangan. • Memperbaiki perspektif kabupaten dalam memahami prioritas daerah dalam penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. • Bisa memperkuat analisis awal kemiskinan menggunakan alat participatory poverty assessment (PPA) yang dilakukan oleh program PNPM Mandiri.
Dalam konteks perencanaan dan alokasi anggaran, alat P3BM dapat: • Memudahkan dalam menganalisis, menentukan pilihan program/kegiatan dan alokasi anggaran. • Mengarahkan SKPD agar membuat perencanaan sesuai dengan Rencana Strategis (Renstra). • Membantu SKPD dalam menempatkan lokasi program prioritas. • Mengevaluasi ketepatan target perencanaan dan alokasi anggaran terutama dari sisi sektor dan prioritas lokasi.
Dalam konteks monitoring dan evaluasi daerah, alat P3BM dapat: • Memperbaiki database dan jenis data yang terukur.
15
•
Digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi kemajuan daerah dalam pencapaian MDGs.
Dari paparan di atas tampak bahwa sebagai ‘instrumen teknokratis’ P3BM dapat memberikan kontribusi besar dalam membangun sistem-sistem data, mengenali persoalan daerah baik dari sisi isu maupun lokasi, dan mengarahkan daerah untuk mengalokasikan anggaran sesuai dengan persoalan yang dihadapi dan tujuan yang ingin dicapai dalam konteks penanggulangan kemiskinan. 4.2 Kelemahan Penerapan alat P3BM Sementara itu, dari hasil wawancara dan FGD responden mengidentifikasi kelemahankelemahan alat analisis P3BM sebagai berikut:
Aspek teknis • Peserta pelatihan tidak serta merta memahami alat yang digunakan dalam pelatihan di kelas. Peserta lebih memahami ketika proses simulasi dan pendampingan terutama dalam membuat balance scorecard MDGs dan pemetaan kemiskinan. • Seringkali data yang digunakan ketika simulasi belum up to date, peta yang digunakan juga belum menggambarkan kondisi topografis/kemiringan sebagai input untuk perencanaan program infrastruktur (jalan, irigasi, jenis bangunan, dll). • Data yang dihasilkan kurang detil. Kalaupun detil tampilan data seringkali menumpuk. • Sangat bergantung pada media elektronik (komputer) sehingga menjadi hambatan bagi daerah-daerah yang tidak punya fasilitas pendukung. • ID wilayah di BPS berbeda dengan yang diajarkan; • Setelah ‘intervensi P3BM’ selesai, kegiatan tidak bisa dilakukan terus menerus karena: • Software terbatas (ketika pelatihan tidak diberi CD, yang dapat hanya saat pelatihan pertama). • SDM yang dapat menggunakan alat ini hanya sedikit. • Kode tools harus di update sesuai dengan perkembangan wilayah dan lingkungan (contoh: pemekaran wilayah). • Tumpang tindih beban kerja untuk staf perencana di SKPD yang dilatih oleh P3BM sehingga menghambat proses pembaharuan data.
Aspek Perencanaan dan Penganggaran • Alat P3B dapat membantu daerah untuk memanfaatkan anggaran yang minim dengan efektif untuk memenuhi target penanggulangan kemiskinan. Tetapi alat P3BM belum menjawab persoalan keterbatasan anggaran daerah itu sendiri. Seringkali masalah daerah dalam penanggulangan kemiskinan bukanlan 16
•
•
•
masalah kemampuan memahami persoalan dan mengalokasikan anggaran untuk mengatasi kemiskinan, tetapi justru ketiadaan dana lokal (APBD) dalam mengatasi permasalahan tersebut. Alat P3BM juga tidak bisa digunakan secara luas untuk melakukan penelusuran delivery pelayanan/program dan pertanggung-jawaban anggaran. Alat yang dikembangkan P3BM baru dapat digunakan untuk mengarahkan alokasi. Pada saat ini alat ini sangat menitikberatkan hanya pada proses perencanaan dari skema pemberian pelayanan dasar dan tidak ada keterkaitan dengan implementasi dan kualitas belanja; Hasil analisis –MDGs score card dan pemetaan kemiskinan belum menjadi rujukan utama dalam musrenbang. Hal ini disebabkan –MDGs score card dan pemetaan kemiskinan hanya disajikan dalam forum musrenbang kabupaten. Sementara usulan yang dibahas dalam musrenbang banyak yang berasal dari forum desa dan kecamatan yang tidak merujuk pada MDGs score card dan pemetaan kemiskinan.
Aspek Politis • Sebagai instrumen teknokratis, alat P3BM baru menjawab persoalan-persoalan yang sifatnya teknis. Dengan kata lain, jalan atau tidaknya alat ini tergantung “the man behind the gun”/pengambil kebijakan di daerah dan SKPD. Jika pengambil kebijakan memiliki komitmen terhadap penanggulangan kemiskinan, maka alat ini akan sangat berguna. Sebaliknya jika komitmennya tidak kuat, maka alat ini tidak akan memberikan banyak pengaruh dalam pengambilan kebijakan. • Dalam praktek perencanaan penganggaran, banyak faktor “X” (politik anggaran) di DPRD. Untuk itu sebelum sidang pembahasan anggaran, hasil analisis perlu disosialisasikan ke DPRD untuk mengevaluasi kinerja eksekutif sekaligus juga untuk mengarahkan anggota DPRD agar memprioritaskan alokasi anggaran sesuai dengan hasil analisis balanced scorecard dan pemetaan kemiskinan.
Alat analisis P3BM tidak sampai pada membongkar persoalan mendasar terkait dengan tiga keterlambatan pola kerja pemerintahan daerah yang menjadi sumber persoalan efektivitas layanan pemerintah daerah, yaitu: (i) lambat dalam pengambilan keputusan karena kompleksitas motif dan interes politik; (ii) lambat dalam mobilitas; (iii) lambat melakukan tindakan penanganan segera dan terobosan karena batasan-batasan aturan pada level nasional. Keterlibatan pemerintah propinsi sangat minim dan belum diletakkan dalam kerangka pembagian urusan provinsi dan kabupaten/kota. Hampir di semua daerah peran provinsi hanya membantu pelaksanaan Lokakarya Nasional Koordinasi Program P3BM dan fasilitasi ruangan untuk Tim Target MDGs tingkat propinsi. Hasil wawancara menunjukkan bahwa Bappeda Provinsi perlu kapasitas mengoperasikan alat analisis P3BM serta memonitor capaian MDGs di
17
kabupaten/kota. Ini untuk menjamin keberlanjutan program ketika Tim P3BM Tingkat Provinsi sudah tidak ada lagi. Tugas ini sesuai dengan fungsi Bappeda propinsi untuk memonitor, mengkoordinasikan dan memberikan asistensi teknis bagi Bappeda di tingkat kabupaten/kota. Sebagai contoh kasus adalah Bappeda Provinsi NTT yang akan menyusun Rencana Akasi Daerah (RAD) Pencapaian daerah MDGs di NTT. Bappeda kesulitan menghimpun data capaian MDGs di Kabupaten/Kota NTT karena tidak memiliki akses data dan kapasitas untuk mengolah data di tingkat kabupaten/kota. Berbagai kelemahan tersebut semakin terakumulasi dan mengancam implementasi alat-alat P3BM di daerah manakala dihadapkan pada beberapa faktor penghambat dalam implementasi alat P3BM. Berdasarkan wawancara dan diskusi, faktor penghambar penerapan P3BM terutama adalah:
Mutasi pegawai yang tadinya menguasai alat-alat P3BM, sementara penggantinya sama sekali tidak mamahami alat P3BM. Dalam banyak kasus, situasi ini menyebabkan supply data menjadi berhenti yang dapat mengganggu pembaharuan dan analisis data secara keseluruhan.
Tidak adanya kebijakan di tingkat kabupaten yang memberikan insentif kepada SKPDuntuk mengalokasikan staf khusus agar konsisten memperbaharui data dan memantau alokasi anggaran sesuai dengan tujuan.
Yang paling fundamental yaitu P3BM hanya merupakan sebuah alat dan software, tidak dapat dengan sendirinya mengatasi masalah-masalah sehubungan dengan komitmen dan mendorong pemerintah daerah agar pro-miskin. Sehingga terdapat kehati-hatian dalam penggunaan kata-kata ‘dapat’ pada awal bagian ini (di atas): jika ditangani oleh Bappeda yang pro-perubahan, alat P3BM dapat digunakan untuk menjamin bahwa perencanaan dan anggaran akan lebih sensitif terhadap kesenjangan sosial ekonomi dan dapat mencapai target-target MDGs.
18
5 CERITA SUKSES DAN PEMBELAJARAN 5.1 Cerita Sukses Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) Kegiatan pelatihan P3BM di Kabupaten TTS dilaksanakan pada bulan Mei 2009. Pada tahun 2009 juga Pemerintah Kabupatan TTS membentuk Sekretariat Bersama (Sekber) yang berfungsi untuk mengkoordinasikan program-program yang dilaksanakan di Kabupaten TTS baik yang didanai oleh APBD (anggaran daerah), APBN (anggaran nasional), maupun lembaga donor. Sekber ini dibentuk atas kerjasama Pemda TTS, Plan International, CWS dan NGO Lokal dan berkantor di Bappeda. Pada kerja-kerjanya, Sekber memanfaatkan alat P3BM yang senantiasa diperbaharui dalam melakukan koordinasi perencanaan, monitoring dan evaluasi terhadap aktivitas-aktivitas pemerintah daerah dan NGO. Poverty mapping dan analisis APBD adalah dua alat P3BM yang sejak tahun 2009 digunakan dan terus diperbaharui oleh Bappeda bersama-sama SKPD. Data untuk poverty mapping diperbaharui setiap tahun dengan menggunakan basis data dari BKKBS, bukan BPS. Data BKKBS digunakan karena instansi tersebut menyelenggarakan pembaharuan data setiap tahun dan satuannya sampai dengan tingkat kecamatan. Analisis APBD digunakan oleh Bappeda sejak APBD TA 2009 sampai dengan sekarang. Hasil analisis APBD terhadap tahun berjalan menjadi dasar untuk menentukan alokasi anggaran tahun berikutnya. Telah banyak kegiatan yang terkena dampak realokasi anggaran dikarenakan hasil analisis memperlihatkan bahwa alokasi anggaran untuk kegitan tersebut dinilai tidak efisien oleh alat ini. Pada tahun 2010, Bappeda berinisiatif melaksanakan pelatihan selama lima hari dengan materi membedah APBD menggunakan alat pivot analysis. Kegiatan ini dihadiri oleh 10 orang perwakilan dari SKPD, LSM dan BPS. Pada tahun itu pula dilakukan evaluasi oleh Bupati terkait realisasi pendapatan dan belanja SKPD dengan menggunakan data hasil analisis APBD. Meskipun tidak ada kebijakan khusus tentang pemanfaatan alat P3BM, Bappeda bersama-sama dengan SKPD memanfaatkan keberadaan Sekber sebagai media untuk mengkonsolidasikan data dan menganalisisnya. Hasil analisis tersebut dimanfaatkan dasar perumusan program pembangunan dan alokasi anggaran sekaligus sebagai dasar untuk monitoring dan evaluasi.
19
Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD) Pelatihan P3BM di Kabupaten Sumba Barat Daya telah dilaksanakan sebanyak 3 kali. Pertama pada bulan Juni 2009 melalui pendanaan dari pemerintah pusat dengan materi pengenalan 3 (tiga) alat analisis P3BM. Kedua, pada bulan Juni 2010 melalui pendanaan APBD dengan materi yang sama. Serta ketiga, pada bulan Desember 2010 melalui pendanaan dari APBD dengan materi pengelolaan basis data MDGs. Meskipun aparat perencana di Pemkab SBD sudah mendapat pelatihan-pelatihan ini, namun training di SBD belum berdampak pada perbaikan dokumen perencanan (hasil analisis alat P3BM belum pernah dipaparkan dalam musrenbang ataupun menjadi bahan untuk merumuskan rancangan RKPD). Hal ini dikarenakan sebagai kabupaten yang baru berdiri pada tahun 2007, sumber daya manusia aparatur masih belum memenuhi proporsi yang ideal sehingga sumber daya manusia yang ada dianggap belum dapat menampung beban kerja yang ada. Hal ini mengakibatkan seringnya terjadi “overload” beban kerja, terutama pada aparatur yang dianggap memiliki kapasitas dan etos kerja yang baik. Selain itu dari sisi kapasitas sumber daya manusia aparatur dianggap belum merata sehingga masih kesulitan untuk melakukan sinergi. Namun demikian, kesadaran akan pentingnya pemanfaatan alat P3BM sudah tumbuh, setidaknya pada beberapa pengambil kebijakan dan pihak-pihak yang selama ini terlibat dalam kegiatan P3BM. Sebagai aktualisasi dari kesadaran ini, pada tahun anggaran 2011, Bappeda mengalokasikan anggaran untuk penguatan tim pengelola data di Bappeda dan pengadaan laptop untuk seluruh staf perencana di SKPD. Pada sisi inovasi program daerah khususnya yang berorientasi pada penanggulangan kemiskinan, sejak tahun 2010 Pemkab SBD memiliki beberapa program unggulan, yaitu Desa Bercahaya, Desa Berkecukupan Pangan, Desa Berkecukupan Air dan Desa Aman dan Tertib. Program Desa Bercahaya berupa bantuan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) bagi rumah tangga yang belum tersentuh listrik melalui pendanaan dari APBD dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pada APBD 2011, target sasaran program ini dialokasikan untuk 3.000 KK Desa Berkecukupan Pangan yang ditujukan untuk peningkatan produksi pertanian. Program ini berupa bantuan benih dan bantuan traktor besar per kecamatan. Kegiatannya antara lain: optimalisasi lahan-lahan tidur, pembukaan area pertanian baru. Pada tahun 2010 program ini memiliki target pembukaan area pertanian baru seluas 100 Ha, sementara pada tahun 2011 seluas 200 Ha. Total target area pertanian baru yang akan dibuka adalah seluas 1.000 Ha. Program Desa Berkecukupan Air dilaksanakan melalui pembuatan 42 penampungan air hujan, sumur bor bekerjasama dengan PROAIR di 4 desa di Kec. Kodi ditambah dengan perpipaan sambungan rumah dan 2 desa di Kec. Situlondo. Penetapan lokasi-lokasi program ini memanfaatkan hasil analisis pemetaan kemiskinan yang diperkenalkan oleh P3BM.
20
Kabupaten Sikka Kegiatan pelatihan P3BM di Kabupaten Sikka pada kepulauan Flores, NTT dilaksanakan pada bulan Mei 2009. Informasi hasil analisis data yang didapat dalam simulasi pelatihan tersebut digunakan oleh Bappeda untuk mengkonsolidasikan SKPD dalam rangka melengkapi basis data yang ada. Pada saat penyusunan rancangan awal RKPD 2010 dan draft Renja SKPD, Bidang Sosial Budaya dan Ekonomi Bappeda mengkonsolidasikan Dinas Pendidikan, Kesehatan, KB & Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) untuk konsolidasi target pencapaian MDGs. Sebelumnya, target pencapaian MDGs ini dibagikan ke SKPD sebelum penyusunan rancangan RKPD dan draft Renja SKPD. Informasi hasil analisis data yang didapat dalam simulasi pelatihan juga pernah dicoba disosialisasikan pada musrenbang kecamatan tahun 2010 dan 2011. Sementara itu, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (PPO) menerapkan alat poverty mapping pada program Rencana Pengembangan Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) yang didanai melalui program AIBEP-USAID. Peta yang dibuat adalah Indikator Utama Pendidikan (2008-2011). Program mapping dan pivot analysis masih digunakan karena dirasa paling bermanfaat. Alat tersebut digunakan untuk perencanaan dan penganggaran tahunan di Bappeda dan penyusunan proposal DAK SKPD (bupati mewajibkan usulan rencan kerja tertuang dalam format peta). Sementara scorecard MDGs tidak sering digunakan karena tidak berhubungan langsung dengan kegiatan rutin. Namun demikian, data dan analisis yang dulu dihasilkan dalam simulasi pelatihan belum pernah diperbaharui dengan alasan kesibukan tugas rutin, mutasi pegawai dan ketiadaan kebijakan yang mengharuskan. Pada tahun anggaran 2011, Bappeda mengalokasikan anggaran untuk mengukur capaian MDGs dari tahun 2006-2010 dengan melihat 18 indikator untuk goal 1-7 dan mengupdate data. Kegiatan ini akan dilakukan oleh tim kecil di Bappeda berkoordinasi dengan SKPD dengan diawali oleh kegiatan pelatihan penyegaran alat P3BM. Pasca pelatihan, difasilitasi Badan Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Desa (BPMPD), para alumni pelatihan P3BM diorganisir dalam Komunitas Pecinta Arc-GIS. Tetapi karena kesibukan masing-masing, sampai sekarang komunitas ini belum sempat berkumpul. Propinsi Nusa Tenggara Timur Dalam rangka mengakselerasi pencapaian target MDGs di Propinsi NTT, pada tahun anggaran 2011, Bappeda NTT melaksanakan kegiatan perumusan RAD MDGs. Pihak Pemprop NTT menghendaki basis data dan analisis yang tertuang dalam dokumen RAD diantaranya menggunakan alat P3BM. Saat ini masih dilakukan pengumpulan data pencapaian target MDGs di 15 kabupaten/kota.
21
Sebagai upaya penanggulangan kemiskinan di Propinsi NTT, pada tahun 2011 dilaksanakan program ANGGUR MERAH (Anggaran Menuju Rakyat Sejahtera). Pembiayaan program ini didorong melalui sharing dari APBD Propinsi dan APBD Kabupaten/Kota. Pada tahun 2011 sebagai proyek percontohan dipilih lokasi sasaran untuk yang dibiayai oleh APBD Propinsi adalah satu desa untuk satu kecamatan. Sisanya didanai berdasarkan kesanggupan APBD Kabupaten/Kota. Kriteria penentuan desa sasaran program diantaranya adalah jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, dll. Fasilitator program ini berasal dari desa yang bersangkutan. Fasilitator yang direkrut utamanya adalah sarjana-sarjana senior yang menganggur di desa tersebut. Pada APBD 2011 untuk program ini dianggarkan sebesar 500 milyar rupiah. Contoh implementasi program ANGGUR MERAH dapat dilihat di Kabupaten TTS. Lokasi sasaran di Kabupaten TTS adalah 32 desa dibiayai dari APBD Propinsi TA 2011 dan 4 desa oleh APBD kabupaten. Bentuk kegiatan dari program ini adalah bantuan modal usaha. Fasilitator desa program ini juga berperan menjadi fasilitator musrenbang. Mekanisme yang dilakukan adalah kelompok masyarakat membuat usulan kegiatan kemudian diverifikasi oleh Pemprop dan Pemkab. Masing-masing desa sasaran mendapatkan 250 juta rupiah. Kabupaten Wakatobi Kegiatan yang dilakukan untuk mendukung pencapaian target MDGs adalah: (i) penggunaan score card MDGs, pemetaan kemiskinan (poverty mapping) dan analisa APBD dalam Musrenbang tahun 2009; (ii) pengoperasian basis data MDGs dan basis data program oleh bidang Statistik dan Pelaporan Bappeda; (iii) perbaikan dokumen perencanaan Rencana Kerja Anggaran (RKA); (iv) pelaksanaan forum/rapat koordinasi data 6 bulan sekali yang dimulai tahun 2009; dan (v) analisis kebutuhan pencapaian target MDGs di Kabupaten Wakatobi. Sebagai hasil dari proses tersebut, mulai tahun 2009 pemerintah memberikan pelayanan pengobatan gratis dan sekolah gratis mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga SLTA. Kabupaten Wakatobi juga meluncurkan program PERAK (Program Ekonomi Kerakyatan) yang lokasinya merujuk pada data-data yang dikembangkan di sekretariat bersama. Untuk komitmen dan prestasinya dalam menanggulangi kemiskinan Kabupaten Wakatobi mendapat Metro TV MDGs Award 2009 dan menjadi nominasi nasional dalam kualitas pelayanan publik. Prestasi ini menjadi penguat komitmen pemerintah daerah untuk menerapkan alat-alatP3BM secara konsisten. Kabupaten Lombok Barat Untuk mempercepat pencapaian target MDGs, Pemda Lobar telah mencanangkan program terobosan pada bidang sosial, ekonomi, infrastruktur dan fisik dengan nama GerduBangdes (Gerakan Terpadu Bangun Desa). Dalam bidang sosial, program terobosan yang dilakukan adalah sinergitas peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui gerakan pendidikan untuk semua (Duta), sadar kesehatan (Sahat), dan 22
sadar aksara (Dara). Kegiatan yang dilakukan adalah pendidikan, gratis, revitalisasi lembaga kesehatan tradisional, koran berita desa, getas melalui kelompok pengajian, dan pembangunan politeknik “patut patuh patju”. Anggaran yang dialokasi untuk pencapaian target MDGs pada tahun 2008 adalah sebesar 19,2% dari total APBD kemudian meningkat menjadi masing-masing 22,6% pada tahun 2009 dan 22,0% pada tahun 2010. Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) Sebagai best practices, KSB menerapkan inovasi model Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga (PBRT) yang menempatkan rukun tetangga (RT) sebagai basis kegiatan pembangunan mulai dari pengurusan administrasi penduduk seperti sistem informasi orang susah (SIOS), musrenbang dimulai dari tingkat RT, penentuan penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT), penentuan rumah untuk bedah rumah, koperasi di setiap RT, hingga program pembangunan sektoral lainnya. Model PBRT ini diintegrasikan ke dalam upaya percepatan pencapaian target MDGs. Pelaksanaan PBRT di lapangan telah memunculkan beberapa hal positif yang sangat mendukung pembangunan seperti: (i) komitmen dan good will yang kuat dari pemerintah daerah, DPRD dan masyarakat; (ii) partisipasi aktif masyarakat, khususnya perangkat RT, pendamping RT dan warga setempat untuk terlibat dalam proses PBRT; (iii) keterlibatan dan kerja sama dari berbagai pihak (perguruan tinggi, LSM, ormas, dunia usaha dan lain-lain); (iv) kebijakan/regulasi yang menjamin keberlangsungan PBRT serta standard operasi dan prosedur (SOP) yang sistematis untuk mendukung teknis operasional kegiatan; dan (v) adanya dukungan kebijakan anggaran bagi warga miskin. Beberapa contoh program yang dilakukan antara lain: Musyawarah RT (Rembug Warga), pemberian Dana Stimulan Rp. 1,5 Juta per RT, Lomba dan pemberian Reward RT unggulan, RT sebagai Juru Pemantau Kesehatan Masyarakat (Jumantara), Pemanfaatan lahan tidak produktif dan peningkatan peran ibu rumah tangga dan Pembentukan Koperasi RT. Kabupaten Lombok Timur Pengalaman di Lombok Timur menunjukan pembelajaran mengenai pola relasi pemerintah daerah dan CSO dalam penerapan P3BM. Keterlibatannya dalam sosialisasi tools P3BM, Lokakarya Nasional dan training, telah memberikan inspirasi untuk mengembangkan praktek alat-alat tersebut untuk memperkuat kerja-kerja pengorganisasian dan advokasinya yang memang fokus pada upaya pencapaian target MDGs dan pemberdayaan kelompok-kelompok masyarakat miskin. Proses pengembangan dilakukan dengan memanfaatkan kapasitas jaringan nasional yang dimiliki. Diantaranya adalah pengembangakan kemampuan untuk penelusuran anggaran dari FITRA dan pengembangan Citizen Report Card (CRC) atau Kartu Penilaian 23
Bersama (KPB) dari JIKEP dan PPKM, dan pengembangan sistem database dari ACE. Kemampuan tersebut diujicobakan pada proses pengorganisasian 4 (empat) kelompok perempuan miskin di wilayah pesisir Lombok Timur mulai dari pengenalan dan training KPB, penyusunan KPB, analisis anggaran, fasiliasi training anggota DPRD tentang Gender Budget Analysis, sampai dengan advoksi ke pemerintahan daerah. Salah satu dampak langusng dari proses tersebut, pada ABPD 2010 Lombok Timur terjadi peningkatan alokasi anggaran untuk program-program peningkatan kapasitas perempuan. Program-program tersebut antara lain berbentuk: (i) pendidikan politik perempuan: (ii) pemberdayaan UKM perempuan; (iii) pemberian dan penambahan insentif kader Pos Yandu dari tidak ada pada APBD 2008 kemudian menjadi Rp 10.000 pada APBD 2009/2010 dan RP 20.000 pada APBD 2010/2011. 5.2 Pembelajaran Merujuk pada cerita-cerita sukses pendampingan dan penerapan alat-alat P3BM, maka ada beberapa pembelajaran terkait dengan faktor pendukung agar alat analisis P3BM dapat dilaksanakan secara efektif, yaitu:
Kepala Daerah memiliki komitmen yang kuat untuk mengentaskan kemiskinan di daerahnya. Komitmen ini terbentuk bila ada kasus-kasus dan data-data yang nyata mengenai kemiskinan di daerah.
Komitmen politik kepala daerah diwujudkan dalam kebijakan (berupa Peraturan Bupati) yang memberikan insentif kepada SKPD, pejabat dan staf daerah untuk: • Memanfaatan alat P3BM dalam mengidentifikasi, merumuskan program dan mengalokasikan anggaran secara konsisten –keserasian perencanaan dan pengangaran- dan tepat sasaran dalam konteks penanggulangan kemiskinan. • SDM yang sudah dilatih dapat dioptimalkan meskipun jabatan belum sesuai kompetensinya. • Adanya penyepakatan sumber data yang akan digunakan yang diwujudkan dengan pembentukan sekretariat data bersama. • Untuk mengatasi persoalan mutasi, para alumni pelatihan diikat dengan penugasan khusus dari kepala daerah, atau melalui pelembagaan pelatihan di tingkat daerah. • Mendukung program-program dan alokasi anggaran yang berdampak nyata dalam pengentasan kemiskinan.
Selain oleh pemerintah, alat P3BM juga dimanfaatkan oleh LSM lokal yang bergerak di bidang tata pemerintahan. Bersama dengan alat-lata lain, alat P3BM memperkuat LSM lokal dalam memantau dan melakukan advokasi alokasi anggaran pemerintah. Fakta ini menunjukkan bahwa P3BM sebaiknya dilatihkan juga kepada LSM lokal 24
bersama-sama dengan staf pemerintah. Akan lebih baik jika basis data juga dibangun secara kolaboratif dengan melibatkan LSM, program lain di daerah tersebut, dan organisasi komunitas yang telah lama dibentuk oleh PNPM.
Implementasi program P3BMakan memiliki eskalasi yang lebih besar jika bersinergi dengan program lain baik yang bergerak di bidang pengembangan komunitas –misalnya PNPM- maupun reformasi kelembagaan pemerintah daerah. Dengan demikian maka kerja-sama implementasi P3BM dengan program lain menjadi penting dalam konteks difusi alat-alat ini dalam program-program yang lebih teknis dan sektoral (program peningkatan infrastruktur komunitas, pendidikan, kesehatan dan pelayanan dasar lainnya).
P3BM sebagai instrumen teknokratis juga dapat dikombinasikan dengan pendekatan ‘bottom up’. Dalam hal ini, alat P3BM dapat membantu komunitas dalam memahami persoalan yang mereka hadapi dan merancang proposal program yang akan diajukan pada tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, kedalaman data P3BM sampai ke tingkat desa dapat membantu menjembatani antara proses perencanaan yang berasal dari komunitas (pendekatan partisipatif) dengan perencanaan yang berasal dari SKPD (pendekatan teknokratis). Demikian juga diskusi hasil analisis P3BM di tingkat desa akan sangat baik dalam penentuan prioritas usulan program yang diusulkan oleh desa dalam forum musrenbang desa.
25
6 Rekomendasi Secara umum seluruh responden meyakini bahwa P3BM layak untuk dikembangkan. Namun demikian, dengan mencermati uraian sebelumnya, masukan dari responden dan untuk meningkatkan efektifitas penerapan dan pengembangan alatP3BM dalam upaya pencapaian target MDGs dan pengurangan angka kemiskinan, maka peneliti merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: Kebutuhan atas dukungan kebijakan dan peraturan di tingkat pusat dan daerah: a)
b)
c)
Kebijakan bersama (misalnya Surat Edaran Bersama) antara BAPPENAS, Kementrian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri untuk menyelaraskan dan menyusun kebijakan untuk mendukung konsolidasi dan mobilisasi berbagai sumberdaya yang khusus diperuntukkan bagi bantuan/dukungan terhadap upaya-upaya pencapaian target MDGs di daerah-daerah, terutama bagi daerah yang masih jauh dibawah capaian nasional dan menggunakan P3BM sebagai instrumen utama. Hal ini dimaksudkan untuk membantu meminimalisir persoalan kemampuan fiskal daerah bersangkutan. Kebaikan ini diperlukan karena daerah-daerah yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi –capaian MGDs yang rendah- umumnya adalah daerah-daerah yang memiliki kapasitas fiskal daerah yang rendah. Pembentukan tim khusus atau sekertariat yang sifatnya lebih fungsional di Bappeda tingkat propinsi sebagai perencana untuk mengawal proses pencapaian target MDGs di Kabupaten/Kota. Tim ini memiliki kewenangan dan tugas untuk menkonsolidasi berbagai sumberdaya di daerah dan dari pusat serta melakukan penguatan kapasitas pada daerah dan sektor yang dinilai masih lemah. Optimalisasi peran Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) sebagai “forum multi-actor untuk pencapaian MDGs dan penanggulangan kemiskinan” (pemerintahan, LSM, media, dll) yang terbukti concern dan bekerja dalam ruang lingkup pencapaian target-target MDGs dan penanggulangan kemiskinan. Forum ini berfungsi sebagai media dan ruang untuk saling bertukar informasi dan pembelajaran atas pengalaman serta koordinasi antar berbagai kegiatan SKPD dan di luar pemerintah. Dalam TKPKD inilah berbagai data mengenai kemiskinan dikonsolidasikan dan digunakan sebagai basis bagi penyusunan program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh berbagai pelaku pembangunan yang bekerja di daerah –termasuk program SKPD, P3BM, PNPM, Program Donor, Program LSM. Melalui proses diharapkan TKPKD dapat secara efektif mengubah program/proyek daerah yang terfragmentasi ke dalam sektor pemerintah dan program di luar pemerintah menjadi ‘tematik’ yaitu menjadikan isu sebagai masalah yang harus dipecahkan bersama-sama oleh SKPD maupun program di luar pemerintah. Isu tematik
26
d)
e)
f)
g)
h)
inilah yang seharusnya menjadi pembahasan dalam musrenbang forum gabungan SKPD. Mengintegrasikan hasil scorecard MDGs, pemetaan kemiskinan dan analisis APBD dengan proses-proses musrenbang mulai dari tingkat desa sampai kabupaten/kota. Dalam hal ini hasil analisis scorecard MDGs dan pemetaan kemiskinan harus dipresentasikan dalam forum-forum musrenbang sehingga dapat mengarahkan peserta dalam menyusun proposal program/kegiatan ke tingkat yang lebih tinggi. Penyampaian scorecard MDGs dan pemetaan kemiskinan juga dapat mendorong peserta musrenbang untuk lebih berfikir strategis dan tematis dalam menyusun program/kegiatan untuk menanggulangi kemiskinan, bukan usulan-usulan terpisah yang belum jelas target, output, outcome dan dampaknya. Mendorong DPRD untuk membahas analisis scorecard MDGs dan pemetaan kemiskinan sebelum pembahasan RAPBD. Proses ini dilakukan agar DPRD memiliki pemahaman mengenai situasi daerah dalam pencapaian MDGs sekaligus juga mengorientasikan DPRD agar memprioritaskan program dan alokasi anggaran sesuai dengan target penanggulangan kemiskinan. Jika proses ini didahului dengan proses perencanaan bottom up yang baik dan menggunakan alat scorecard MDGs dan pemetaan kemiskian, maka prioritas komunitas akan bertemu dengan prioritas DPRD dalam alokasi APBD. Peraturan kepala daerah terkait dengan penugasan khusus terhadap aparatur yang sudah dilatih, misalnya: ditugaskan menjadi tim supply data untuk perencanaan dan penganggaran tahunan, keharusan untuk berkoordinasi secara rutin dan berkala dengan SKPD, tidak melakukan mutasi bagi staf yang memiliki kompetensi dalam perencanaan dan penganggaran tanpa disertai mekanisme kaderisasi yang jelas, secara berkala mengunjungi SKPD dan mempresentasikan hasil analisisnya kepada TAPD dan Badan Anggaran DPRD; Mengantisipasi proses mutasi yang setiap saat terjadi dengan dua cara: (i) adanya kebijakan khusus yang mendesak bahwa seluruh aktor strategis yang terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran harus memahami dan menguasai alatP3BM, bukan hanya terbatas pada tim teknis; dan (ii) fokus pada penyiapan tim khusus yang posisi dan sifat jabatannya adalah fungsional perencana, baik di Bappeda maupun SKPD lainnya. Selain itu, kebijakan mutasi harus didasarkan pada kompetensi yang jelas (“the right man on the right place”); Jika diperlukan, daerah harus mempunyai kebijakan untuk mengawal peserta yang sudah dilatih agar tidak terkena mutasi. Atau, meskipun harus promosi dan mutasi, para alumni pelatihan tersebut tetap diberi penugasan khusus atau wahana untuk mentransfer pengetahuan dan keterampialan kepada penggantinya.
27
Terkait strategi pelaksanaan program. P3BM akan efektif jika dikembangkan dalam konteks program pendampingan di daerah. Dengan kata lain, P3BM tidak akan terlihat efektifitasnya jika dikembangkan hanya sebagai paket-paket pelatihan tetapi mencakup pendampingan teknis (technical assistance) yang intensif minimal untuk kurun waktu 1-2 tahun dan prosesnya inheren pada setiap tahapan proses perencanaan dan penganggaran. Beberapa komponen penting yang harus dikembangkankan P3BM dalam kerangka program adalah: a) Pembentukan komitmen dari Kepala Daerah, Kepala Dinas dan Anggota DPRD. Komitmen –terutama dari kepala daerah- perlu dijadikan sebagai syarat bagi kehadiran/intervensi program P3BM di daerah tersebut. b) Format pelatihan dilakukan secara berkelanjutan dan levelnya terus meningkat dengan jangka waktu tidak terlalu lama. Karena itu peserta pelatihan harus selektif. Dari sisi pemerintah, peserta yang dipilih adalah yang memiliki tugas untuk menyusun perencanaan dan anggaran serta anggota Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). c) Ada kegiatan reguler untuk melihat dan memperbaharui capaian SKPD dengan menggunakan alat P3BM; d) Melibatkan propinsi baik dalam pelatihan maupun dalam pemantauan kegiatan P3BM di kabupaten/kota. Keterlibatan propinsi terutama adalah sebagai peserta pelatihan, pelatih dan juga monitoring capaian MDGs di kabupaten/kota. e) Memperluas peserta pelatihan bukan hanya dari pejabat dan staf pemerintah tetapi juga dari propinsi, perguruan tinggi, BPS, organisasi komunitas, pelaksana PNPM dan aktivis LSM. Selanjutnya peserta dari propinsi, perguruan tinggi, BPD dan LSM dapat dilibatkan sebagai pelatih dan pendamping. Provinsi harus dilibatkan dalam pelatihan dan monitoring kegiatan P3BM di tingkat kabupaten dan memperbaiki data dan informasi kemiskinan kabupaten; f) Para alumni pelatihan diwadahi dalam forum/tim data daerah dan diberi wahana untuk mentransfer pengetahuannya kepada peer group yang mungkin akan menggantikan posisinya jika dia dimutasi. g) Pengembangan jaringan kerja sama dengan program-program pengentasan kemiskinan yang berbasis komunitas –misalnya PNPM- dan lembaga donor yang bekerja di daerah untuk menjembatani perencanaan bottom up dengan perencanaan teknokratis yang dikembangkan SKPD. Kerja sama ini terutama penting untuk mendukung integrasi perencanaan (‘satu perencanaan untuk semua’). Dalam proses integrasi perencanaan ini, maka hasil analisis balance scorecard dan pemetaan kemiskinan bisa menjadi rujukan bersama untuk mengidentifikasi masalah, merumuskan prioritas program dan alokasi anggaran. h) Adanya program khusus bagi daerah peserta program P3BM oleh Bappenas untuk sharing pengalaman dalam meningkatkan kualitas perencanaan dan penganggaran di tingkat nasional. Hal ini bisa mencakup kegiatan reguler untuk mereview dan mengupdate capaian SKPD dalam memanfaatkan alat P3BM;
28
Terkait materi pelatihan Pelatihan adalah materi utama dalam P3BM. Beberapa aspek yang perlu dikembangkan untuk memperkaya materi pelatihan adalah: a) Perlu pendalaman materi analisis anggaran karena pada pelatihan sebelumnya kurang begitu mendalam. Di dalamnya mencakup juga analasis realokasi anggaran, analisis kemampuan fiskal daerah, dan penelusuran anggaran (budget tracking). b) Untuk mengintegrasikan program komunitas/desa dengan SKPD maka balanced scorecard dan poverty mapping sebaiknya dibuat sampai dengan satuan wilayah desa; c) Mengaitkan target pencapain MDGS dengan SPM (Standard Pelayanan Minimum), karena dari sisi regulasi daerah lebih terikat dengan SPM. d) Perlu tambahan materi tentang tabel indikator program kegiatan di SKPD (input, output, outcome, impact); sehingga lebih mudah untuk tracking pendanaan dan belanja SKPD e) Proses ini perlu dikaitkan dengan pengelolaan basis data, indikator MDGs dan siklus perencanaan penganggaran daerah; f) Perlu dilaksanakan finalisasi dan percobaan (pilot) modul monitoring. Untuk mengembangkan materi pelatihan dan penyampaian dari program-program di atas, tidak dapat dihindari pelaksana program P3BM harus juga mengembangkan jaringan dengan pelaku program lain di daerah misalnya PNPM. Ini terutama untuk memudahkan difusi alat-alat P3BM ke dalam skema program lain dan kepada sistem perencanaan dan penganggaran reguler.
29
LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1: Daftar Dokumen 1. Bappenas, Alat Analisia Tepat Guna untuk Perencanaan dan Penganggaran yang Berpihak pada Masyarakat Miskin, April 2010. 2. Bappenas dan UNDP, Laporan Akhir P3BM Tahun 2009, Desember 2009. 3. Bappenas dan UNDP, Laporan Akhir P3BM Tahun 2009, Desember 2009. 4. Bappenas, Handbook Pro-poor Planning and Budgeting, Mei 2008 5. Bappenas dan UNDP, P3BM Newsletter, Edisi Juli 2009. 6. Bappenas dan UNDP, P3BM Newsletter, Edisi Agustus 2009. 7. Bappenas dan UNDP, P3BM Newsletter, Edisi Oktober 2009. 8. Bappenas dan UNDP, P3BM Newsletter, Edisi November 2009. 9. Bappenas dan UNDP, P3BM Newsletter, Edisi Januari 2010. 10. Bappenas dan Sekretariat Program P3BM, Laporan Lokakarya Nasional 1 – Mataram, November 2008. 11. Bappenas dan Sekretariat Program P3BM, Laporan Lokakarya Nasional 2– Kupang, Maret 2008. 12. Bappenas dan Sekretariat Program P3BM, Laporan Lokakarya Nasional Seri 1 tahap 2– Lombok Barat, Maret 2008. 13. Bappenas dan Sekretariat Program P3BM, Laporan Lokakarya Nasional 2– Kupang, Desember 2009. 14. Bappenas dan Sekretariat Program P3BM, Laporan Lokakarya Nasional 3– Kendari, Juni 2009. 15. Bappenas dan ADB, Improving Local Government Planning for Enhance Poverty Reduction: Central Java, South Sumatera and NTT, April 2008
30
Lampiran 2: Matriks Analisis hasil survey di 9 Daerah I.
Pelaksanaan Pelatihan dan Kontribusi P3BM
Lokasi 1. Sikka
Pelaksanaan Pelatihan P3B/M Pelaksanaan pelatihan: pada Mei 2009 di Hotel Pelita, Maumere dilaksanakan selama 5 hari. Peserta pelatihan sebanyak 30 orang. Mayoritas staf perencana di masing-masing SKPD.
2. Manggarai
Pelaksanaan pelatihan: - 2007: pelatihan pro poor planning and budgeting, materinya;Identifikasi kebutuhan masyarakat, pohon masalah, alokasi anggaran berdasarkan kebutuhan - 2008: pengenalan score card MDGs, pelatihan pembuatan peta GIS di Bappeda (umum). Semua dinas membawa data, contoh: sebaran kawasan hutan dan analisias anggarannya - 2010: dilaksanakan bersama-sama dengan Kab. Manggarai Timur di Hotel Dahlia, Ruteng, materinya: Pivot, Arc-GIS untuk pembuatan peta kemiskinan., Score card MDGs.. - Mei 2009. Dulu ada expert dari GED (Jerman) yang membantu. Peta tematik menggunakan data kemiskinan dengan alat Arc-GIS, Pivot analisis, menggunakan excel untuk analisis anggaran dan monev. - Juni 2009, pelatihan tools P3BM di Aula Seruni dibiayai pusat. Diikuti 25-30 orang.Materi mencakup simulasi membuat peta data kemiskinan, pivot untuk analisis anggaran dan program, balanced scorecard MDGs. Masalahnya, data kurang dan tidak ada laptop - Juni 2010, pelatihan tools P3BM di Aula SMK Pancasila dibiayai APBD. Diikuti 30 orang (ada tambahan peserta baru), materi sama, data dari SKPD, training monitoring dan pemutakhiran, ada data dan laptop, ada pre-test - Desember 2010, pelatihan database MDGs di aula SMK Pancasila dibiayai APBD. Monitoring dan evaluasi basis data, TOT dan lokakarya data pencapaian MDGs - Pelaksanaan pelatihan: Mei 2008
3. Timor Tengah Selatan
4. Sumba Barat Daya
5. Lombok Barat
6. Sumbawa Barat
Pelaksanaan pelatihan: November 2010
Kontribusi P3B/M - Membantu penyusunan Renstra dan Renja SPKD menjadi lebih terarah. - Menjadi inspirasi dilakukannya studi tentang kemiskinan daerah oleh Pusat Studi Perencanaan Pembangunan Regional UGM bekerja sama dengan Bappeda Sikka tahun 2009 - Meningkatkan koordinasi tim perencana antar SKPD (khususnya alumni pelatihan) - Menginspirasi beberapa SKPD untuk membuat peta sektoral sebagai basis data untuk perencanaan dan monitoring capaian program (Dinkes, Dinas Bina Marga).
- Alat analisis P3BM dijadikan tools untuk memperkuat Sekber dalam melakukan perencanaan dan monev program.
- Memperkuat pelaksanaan program Desa Bercahaya, Desa Berkecukupan Pangan, Desa Berkecukupan Air, Desa Aman dan Tertib khususnya dalam menentukan lokasi sasaran program (APBD 2011)
- Memperkuat inisiatif lokal yang sudah ada yaitu program Gerakan Terpadu Bangun Desa - Peningkatan alokasi anggaran untuk pencapaian MDGs (2008: 19,2%, 2009: 22,6%, 2010: 22% - Memperkuat inisiatif lokalyang sudah ada yaitu Program Berbasis RT dan Dana Stimulan Ekonomi
31
Lokasi 7. Pekalongan
8. Kota Bau Bau
9. Wakatobi
II. Lokasi 1. Sikka
2. Manggarai
3. Timor Tengah Selatan
Pelaksanaan Pelatihan P3B/M - Pelaksanaan pelatihan: 21-23 Mei 2011, pelatihan alat P3BM dilaksanakan oleh Bappeda atas dorongan Korkot PNPM Perkotaanyang mengenal P3B dari KMP PNPM Perkotaan. Diikuti oleh sekitar 30 orang staf perencanaa dari berbagai SKPD. Materi pelatihan sebagian besar tentang poverty mapping. Diperkenalkan juga MDGs scorecard dan pivot analysis. - Pelaksanaan Pelatihan: Desember 2009 di Ruang Rapat Bappeda dengan materi poverty mapping, scorecard MDGs dan Pivot Analysis.
- Dimulai dengan kegiatan lokakarya yang langsung diikitu oleh Buppati. Pelaksanaan pelatihan tahun 2010 dengan peserta dari Bappeda dan Kasubsi Perencanaan Program di SKPD-SKPD. Materi pelatihan mencakup balance scorecard, pemetaan kemiskinan dan analisis SPBD. Dilanjutkan dengan pengembangan basis data MDGs melalui pembentukan sekretariat bersama.
Kontribusi P3B/M - Menjadi media konsolidasi dan sinergisasi perencanaan reguler dan PNPM: - Akan digunakan untuk memperkuat proses perencanaan ditingkat kelurahan/desa melalui program PNPM - Akan dibuat laporan capaian MDGs skala desa
- Menjadi materi dasar pelaksanaan program BASIC (CIDA) dari tahun 2011-2014 untuk sektor kesehatan dan pendidikan. - Kesehatan: gizi buruk dan penyakit pencegahan penyakit menular, termasuk pembuatan peta sebaran penyakit malaria dan DB. - Pendidikan: pemberantasan buta huruh, termasuk pembuatan peta angka putus sekolah/buta aksara (by name, by address) - Menginspirasi pembentukan sekretariat data bersama, penyusunan program di berbagai SKPD dan analisis APBD. - Alokasi APBD dipublikasikan kepada masyarakat dan menyandingkannya dengan persoalan keminskinan dan capaian MDGs. - Menginspirasi penyusunan RPJMD tahun 2011.
Pemanfaatan Alat-alat P3BM Pemanfaatan dalam Perbaikan Basis Data - Alumni pelatihan diorganisir dalam Kelompok Pecinta GIS Sikka oleh Bappeda untuk mendukung upaya perbaikan basis data daerah - Tahun 2011, dilakukan pelatihan penyegaran tentang P3BM bagi para alumni peserta pelatihan sebelumnya Dinas Kesehatan melakukan update data sebaran fasilitas kesehatan dan sebaran penyakit Para alumni pelatihan terkoordinasi dalam sekretariat bersama yang tugasnya memperkuat basis data daerah Setiap tahun, Sekber melakukan permbaharuan data kemiskinan bersumber dari data BKPP, bukan BPS
Pemanfaatan dalam Proses Perencanaan Penganggaran - Hasil analisis sebagai input musrenbang, penyusunan renja SKPD dan proses konsultasi dengan DPRD.
Pemanfaatan dalam Perbaikan Kualitas Dokumen Perencanaan Hasil pemetaan kemiskinan menjadi dasar penyusunan dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah
Hasil analisis sebagai input dalam proses perencanaan program (musrenbang dan proses konsultasi dengan DPRD) Realokasi anggaran perjalanan dinas luar daerah untuk belanja publik pada APBD 2010 Alat koordinasi perencanaan, monitoring dan evaluasi terhadap aktivitas program
hasil pivot analysis untuk dasar perumusan alokasi APBD 2010 dan 2011
32
Pemanfaatan dalam Perbaikan Basis Data
Lokasi
4. Sumba Barat Daya
Ada alokasi dana untuk pembentukan Forum data berupa dukungan prasarana bagi 6 orang alumni pelatihan dari Bappeda padat APBD TA 2011. Pembentukan Tim Basis Data Penyusunan sistem database MDGs dan database program pembangunan
6. Sumbawa Barat 7. Pekalongan
9. Wakatobi
III. Lokasi 1. Sikka
Pemanfaatan dalam Perbaikan Kualitas Dokumen Perencanaan
Kenaikan alokasi anggaran pencapaian target MDGs, 2008: 19,2%, 2010: 22%)
5. Lombok Barat
8. Kota Bau Bau
Pemanfaatan dalam Proses Perencanaan Penganggaran pemerintah daerah dan NGO melalui pembentukan Sekber Alat evaluasi Kepala Daerah terkait capaian program, realisasi pendapatan dan belanja SKPD Alat evaluasi Kepala Daerah terkait capaian program, realisasi pendapatan dan belanja SKPD
Pernah akan dipraktekkan di DPU untuk pembuatan peta sanitasi dan air bersih. Analisis data dengan menggunakan alat P3B pernah dipublikasikan menjadi salah satu materi dalam LKPJ akhir masa jabatan bupati. Di BLK, dipraktekan untuk menginventarisir peserta pelatihan per kecamatan. Ada perbedaan data antara data SKPD dengan data statistik dari BPS. Contoh: jumlah fakir miskin. Hasil analisis P3BM ditampilkan sebagai informasi dalam Profil Bau Bau dan Profil Kesehatan 2010/2011. Bekerjasama dengan BPS akan melakukan survey penduduk miskin Ada SK Bupati untuk pengembangan sekretariat data bersama. Dipraktekkan di dalam pengembangan basis data di Dinas Tata Ruang untuk pendataan desa.
Mendukung program pagu anggaran indikatif kewilayahan yang mulai diterapkan 2011
-
Menjadi dasar bagi realokasi APBD pada TA 2010. Hasil analisis scorcare diumumkan secara luas kepada masyarakat. Capaian MDGs dan SPM menjadi dasar penyusunan program SKPD.
Capain MDGs dan SPM menjadi dasar bagi penetapan prioritas program dan alokasi anggaran. MDGs dan SPM menjadi kriteria utama dalam menetapkan program-program RPJMD 2011.
Pembelajaran dan Rekomendasi Pembelajaran - P3BM belum menjawab persoalan keterbatasan
Rekomendasi - Peningkatan pemahaman para kepala SKPD
33
Lokasi -
-
-
-
-
Pembelajaran anggaran, Faktor penghambat: ketersediaan sarana pendukung (seperti: laptop, data dari SKPD), tidak diakuinya data SKPD padahal lebih akurat karena di update tiap tahun (yang diakui data BPS padahal kurang upto date), kualitas SDM Faktor pendukung: political will dan komitmen dari pimpinan daerah untuk membangun dari bawah Alat pemetaan P3BM belum menggambarkan kondisi topografis/kemiringan untuk input perencanaan program infrastruktur (jenis bangunan, dll) harus tambah GPS. Membantu menghasilkan database yang bagus sehingga menjadi lebih terukur Prioritas program dan alokasi anggaran didasarkan pada data (lebih matang) dan mudah untuk evaluasi Hambatan: mutasi dan tidak terkonsolidasi Kesulitan: kesibukan dan ketiadaan anggaran.
-
-
-
-
-
2. Manggarai
- Kelebihan P3BM: menampilkan data/informasi dengan cukup informatif, mudah di update, mempermudah dan mempercepat untuk pelaporan - Kekurangan P3BM: kurang detil. Kalaupun detil, hasilnya tidak informatif karena informasinya menumpuk, update tidak terkontrol - Faktor penghambat: mutasi, beban kerja, belum data minded dalam perencanaan penganggaran, konsistensi untuk selalu memperbaharui data, sistem/kebijakan daerah belum memprioritaskan P3BM, keterbatasan SDM, “gaptek”, orang yang dikirim selalu sama, software yang diberikan bukan asli/original - Faktor pendukung: semangat dan motivasi untuk mengentaskan kemiskinan, SDM tersedia meskipun jabatan belum sesuai kompetensinya, kesiapan peserta terlatih untuk concern dalam pemanfaatan alat P3BM, tidak “gaptek”, pelatihan yang kontinu - Tertarik untuk diaplikasikan dalam penyusunan perencanaan, evaluasi dan pelaporan kegiatan - Data itu penting, teknologi (menguasai dan mendalami) adalah hal baru.
-
-
-
-
-
Rekomendasi terhadap manfaat tools P3BM, kapasitas teknis untuk aparat yang tidak ikut pelatihan, pengembangan manajemen data MDGs di tiap SKPD. Perbup untuk mengukur kinerja SKPD, termasuk capaian MDGs Penguatan kontrol kegiatan dan koordinasi antar SKPD oleh Bappeda. Perlu pendampingan intensif dan pertemuan rutin selama 1-2 tahun, materi pelatihan harus lebih banyak terapan. Perlu pelatihan lanjutan/ulangan, fasilitas yang adaptif terhadap perubahan di kabupaten (seperti peta terbaru, dll). Perlu penguatan tim (Kelompok Pecinta GIS) agar kuat dan solid dengan memanfaatkan Perda No. 4/2008 tentang pembagian tugas dan kewenangan SKPD. Sosialisasi MDGs disemua level (pemerintah, masyarakat, DPRD) Ada momen reguler untuk melihat/up date capaian SKPD dengan menggunakan tools P3BM, misal: semesteran atau pada akhir tahun anggaran Tools pivot; perlu diajarkan lagi untuk menampilkan data agar lebih komunikatif Perlu tambahan materi siklus perencanaan dan penganggaran Perlu tambahan materi GPS Perlu tambahan program analysis di Arc-Gis Program mapping harus sampai desa Komitmen pimpinan yang tertuang dalam regulasi (pemda-DPRD) mengenai prioritas penanggulangan kemiskinan. Penguatan TKPKD untuk penanggulangan kemiskinan. Daerah harus punya kebijakan untuk mengawal peserta yang sudah dilatih tersebut agar tidak terkena mutasi. Satker PNPM harus dilibatkan dalam kegiatan P3BM. Transparansi dan akuntabilitas mekanisme perencanaan penganggaran bagi eksekutif dan legislatif. Perlu kebijakan seperti Bintek Perpres 54/2010. Ada badan khusus yang mengawal. Perlu SK Bupati untuk menaungi asosiasi alumni pelatihan Memberikan basis data ke-PU-an yang benar sebagai dasar perencanaan program Sosialisasi kepada semua SKPD Menjaga konsistensi antara tools dengan perencanaan penganggaran di SKPD hasil analisis tools tsb harus tercermin dalam program dan kegiatan di SKPD Strategi program: - Perlu ada pendampingan & TA, tidak hanya pelatihan. Harus masuk dalam proses perencanaan penganggaran (ikut
34
Lokasi
Pembelajaran
-
3. Timor Tengah Selatan
4. Sumba Barat Daya
- TTS adalah daerah yang tidak mampu tapi terkesan menghambur-hamburkan uang. Tools ini membantu agar uang digunakan lebih berharga (efektif). - Membuka cara berfikir untuk merencanakan menjadi lebih terarah (program dan anggaran) dalam hal penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kualitas SDM. Mengarahkan SKPD agar membuat perencanaan sesuai dengan Renstra. - Digunakan untuk input revisi RPJMD 2009-2014. - Kekurangan: - Sangat tergantung pada elektronik (komputer based). - Software tidak original ada aplikasiaplikasi yang tidak bisa digunakan. - Tidak bisa melakukan tracking anggaran (baru tracking alokasi) - Faktor penghambat:Komitmen pimpinan yang rendah, mutasi pegawai. - Faktor pendukung:Insiatif dari aktivis sekber.
-
- Bisa mengetahui ketepatan dari proses dan target perencanaan penganggaran, terutama lokasi. - Kekurangan: dalam perencanaan penganggaran, banyak faktor “x” di DPRD (politik anggaran). - Penghambat: tidak ada SDM yang fokus menangani ini, mutasi - Pendukung: SDM yang sudah dilatih dapat dioptimalkan - Menambah nilai jual/nilai tambah; membantu presentasi dengan tampilan yang baik yang menggambarkan kondisi daerah - Bisa diketahui gambaran kebijakan yang sudah berjalan sehingga bisa jadi alat koreksi dan evaluasi untuk merumuskan arah kebijakan baru - Jika tools ini digunakan dengan benar, ada alasan
-
-
-
-
-
-
Rekomendasi dalam proses) - Tiap kabupaten ada yang dimagangkan/dididik khusus oleh Bappenas untuk meningkatkan kualitas perencanaan penganggaran - Pelatihan yang berkelanjutan dan bertingkat, jarak waktu tidak terlalu jauh1 tahun bisa 2-3 kali - Ada pendampingan day to day pada saat pengumpulan dan analisis data, termasuk evaluasi perencanaan program dan anggaran. Materi pelatihan: - Menentukan/membuat tabel indikator program kegitan di SKPD (input, output, outcome, benefit) - Pengetahuan ttg MDGs dkaitkan dengan perencanaan penganggaran daerah. - Pendalaman GIS untuk perencanaan dan monitoring program. - Lebih spesifik berdasarkan sektor tertentu dengan menggunakan Arc-Gis. Penguasaan terhadap aturan/regulasi baru/perubahan regulasi. Aparat-aparat perencana harus punya setifikat/dilatih khusus tentang perencanaan. Fasilitas dan SDM pengelolaan data harus melekat ke SKPD/Bappeda. Harus ada forum musrenbang data untuk mengukur capaian kinerja Pusat dan daerah membuat komitmen jangka panjang (5 tahun) termasuk personil dan cost sharing. Peran Bappeda: pada saat rancangan RKPD, membuat arahan-arahan sesuai hasil analisis dari tools P3BM Perlu pelatihan lanjutan/penyegaran, MoU, pendampingan. Orang yang sudah dilatih harus diberi tugas secara formal didasari keputusan bupati. Misal: menjadi tim supply data untuk perencanaan penganggaran tahunan, ada waktu pertemuan rutin, datang ke SKPD dan mempresentasikan hasil analisisnya. Hal ini akan menjadi input bagi TAPD dan Banggar. Strategi pelaksanaan program: - Pembimbingan/pendampingan - Ada wadah tim data di daerah Materi: - Menghubungkan indikator MDGs dengan data, terutama untuk SKPD “kemakmuran” (ekonomi) (Dinas Peternakan, Perikanan, Kehutanan, Koperasi, Ketahanan Pangan, BLH) - Bagaimana menyediakan data yang akurat (pelatihan dan konsolidasi potensi yang ada). Sebelum sidang anggaran,perlu disosialisasikan ke DPRD hasil analisis menggunakan tools P3BM untuk mengevaluasi kinerja eksekutif.
35
Lokasi
-
5. Lombok Barat
-
-
-
-
-
-
Pembelajaran untuk argumentasi SKPD ketika berkonsultasi dengan Bappeda dan DPRD Menampilkan data yang lebih baik Kemampuan untuk mengolah dan analisis data sehingga menjadi rumusan program dan kegiatan yang sesuai dan menjawab persoalan daerah. Mendukung program Gardu Bangdes (Gerakan Terpadu Bangun Desa) sebagai upaya untuk mempercepat capaian target MDGs. Dalam bidang sosial, program terobosan yang dilakukan adalah sinergitas peningkatan IPM melalui gerakan pendidikan untuk semua (Duta), sadar kesehatan (Sahat), dan sadar aksara (Dara). Kegiatan yang dilakukan adalah pendidikan, gratis, revitalisasi lembaga kesehatan tradisional, koran berita desa, getas melalui kelompok pengajian, dan pembangunan politeknik “patut patuh patju”. Anggaran yang dialokasi untuk pencapaian target MDGs pada tahun 2008 adalah sebesar 19,2% dari APBD kemudian meningkat menjadi masingmasing 22,6% dan 22,0% pada tahun 2009 dan 2010. Ada ketidakpastian atau keberlanjutan posisi dan karir aparat birokrasi. Setiap saat mereka harus menghadapi proses mutasi dari satu posisi ke posisi lainnya dalam waktu yang relaitf singkat. Dampaknya adalah proses konsolidasi untuk pengembangan tools P3BM secara lebih sistemtik sulit dilakukan Pada tataran lebih teknis, para peserta training tidak mampu pengoperasian lebih lanjut software dan metoda analisis karena: (i) kegagalan proses instalasi software yang mereka lakukan dan tidak ada rujukan tempat untuk bertanya untuk mengatasi kegagalan proses instalasi ini: (ii) sekalipun instalasi software berhasil, tapi terjadi kegagalan berulangkali ketika mencoba mengoperasikannya; (iii) adanya keterbatasan fasilitas computer karena seringkali ketika terjadi mutasi software dan hardware nya juga ikut berpindah; (iv) keterbatasan kemampuan dan peralatan untuk mengupdate base map yang lebih terinci karena pada saat training digunakan base map yang telah jadi dan skalanya makro; (v) kebingungan dalam penggunaan data dari berbagai sumber yang seringkali tidak sinkron; (vi) kemampuan yang dilatihkan fokus pada bagaimana caranya mengkalasifiksai dan menampilkan data, tidak pada bagiamana cara mengupdate, mengolah dan menganalisa data Penggunaan tools P3BM tidak cukup dikembangkan untuk membongkar secara mendasar pilihan-pilihan strategi dan pendekatan secara sistemik untuk mengatasi persoalan kemiskinan. Padahal dari pemetaan dan identifikasi struktur persoalan yang menjadi dasar penyusunan prioritas seharusnya lebih jauh dipakai untuk membongkar perspektif dan kerangka berfikir mengenai strategi dan pendekatan dalam
Rekomendasi - Perlu ada kebijakan khusus tentang penerapan tools P3BM untuk melengkapi data sebelum proses perencanaan penganggaran.
- Perlu adanya upaya mengantisipasi fenomena proses mutasi yang setiap saat terjadi dengan 2 cara: (i) adanya kebijakan khusus yang mendesak bahwa seluruh aktor strategis yang terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran harus memahami dan menguasai tools P3BM, bukan hanya terbatas pada tim teknis; dan (ii) fokus pada penyiapan tim khusus yang sifatnya posisi atau jabatan fungsional perencana, baik di Bappeda maupun di SKPD-SKPD lainnya. - Seharusnya ada proses pengawalan, pemberian technical assistance dan bantuan fasilitasfasilitas pendukung, minimal untuk 3 tahun proses perencanaan dan penganggaran. Dengan pengawalan tiga tahun ini dipandang cukup memadai untuk membangun system dan tradisi secara lebih berkelanjutan (Ka Bappeda NTB, Sekr.Bappeda Lombok Barat dan Pa Idrus); - Pada level kebijakan nasional, harus ada terobosan untuk: - Membuat SKB 3 Menteri (Bappenas, Kuangan dan Depdagri) untuk menyelaraskan dan menyusun pengaturan ulang terkait dengan kebijakan-kebijakan: system perencanaan dan penganggaran, system pengolaan keuangan daerah, penyelenggaraan desentralisasi/otonomi daerah dan pengaturan postur birokrasi pada pemerintahan daerah; - Mengkonsolidasi dan memobilisasi berbagai sumberdaya yang kemudian khusus diperuntukkan bagi bantuan/dukungan terhadap upaya-upaya pencapaian target MDGs di daerah-darah, terutama bagi daerah yang masih jauh dibawah capaian nasional. Hal ini untuk membantu meminimalisir persoalan kemampuan fiscal daerah bersangkutan; - Pada level kebijakan propinsi dan kabupaten, perlu dilakukan: - Pembentukan tim khusus yang sifatnya lebih fungsional di Bappeda tingkat propinsi sebagai perencana untuk mengawal proses pencapaian target MDGs. Tim ini memiliki kewenangan dan tugas untuk menkonsolidasi berbagai sumberdaya di daerah dan dari pusat dan melakukan penguatan-penguatan kapasitas pada sektor dan daerah yang dinilai masih lemah; - Dikembangkannya semacam “forum multiaktor pro-poor dan MDGs” (pemerintahan, LSM, media, dll) yang terbukti concern dan bekerja dalam ruang lingkup pencapaian targettarget MDGs. Forum Mutli-Aktor Pro-Poor dan MDGs ini berfugnsi sebagai media dan ruang
36
Lokasi
Pembelajaran upaya pengurangan kemiskinan. Misalkan, tools P3BM tidak sampai pada membongkar persoalan mendasar terkait dengan 3 keterlambatan pola/langgam kerja pemerintahan daerah, yaitu: (i) lambat dalam pengambilan keputusan; (ii) lambat dalam mobilitas; (iii) lambat melakukan penangan. - Tidak cukup tersedia ruang dan keleluasaan untuk pengimplementasian tools P3BM dalam proses perencaan dan penganggaran. Hal ini disebabkan adanya keterbatasan fiscal yang berdampak pada pengalokasian pagu inidikatif setiap SKPD. Alokasi ini harus dihadapkan pada pengalokasikan untuk operasional SKPD, usulan dari Musrenbang Kecamatan dan ‘titipan’ dari para anggota legistaltif yang biasanya fokus pada sarana prasarana fisik (FGD KSB dan KLB).
-
-
-
-
6. Sumbawa Barat
- Kendala dalam proses implementasi tools P3BM terkait dengan tarik-mernaik kepentingan dan kompleksitas dalam hal sinkronisasi 3 sistem yan terkait, yaitu: (i) sisem perencanaan pembangunan yang telah memiliki alurnya sendiri dari Musrenbang Desa/Keluruhan, Kecamatan sampai dengan Kabupaten; (ii) system perencanaan yang dikembangkan oleh PNPM yang menawakan kejelasan alokasi anggaran: (iii) system politik lokal yang lebih mengedepankan proses kompromi dan pemenuhan aspirasi basis konstituen para pejabat dan politiuks lokal. - Pada tataran lebih teknis, para peserta training tidak mampu pengoperasian lebih lanjut software dan metoda analisis karena: (i) kegagalan proses instalasi software yang mereka lakukan dan tidak ada rujukan tempat untuk bertanya untuk mengatasi kegagalan proses instalasi ini: (ii) sekalipun instalasi software berhasil, tapi terjadi kegagalan berulangkali ketika mencoba mengoperasikannya; (iii) adanya keterbatasan fasilitas computer karena seringkali ketika terjadi mutasi software dan hardware nya juga ikut berpindah; (iv) keterbatasan kemampuan dan peralatan untuk mengupdate base map yang lebih terinci karena pada saat training digunakan base map yang telah jadi dan skalanya makro; (v) kebingungan dalam penggunaan data dari berbagai sumber yang seringkali tidak sinkron; (vi) kemampuan yang dilatihkan fokus pada bagaimana caranya mengkalasifiksai dan menampilkan data, tidak pada bagiamana cara mengupdate, mengolah dan menganalisa data
-
-
Rekomendasi untuk saling bertukar informasi dan pembelajaran atas pengalaman serta koordinasi antar berbagai kegiatan; Pendekatan tidak hanya bertumpu pada sekali dua kali pelatihan tanpa pengawalan lebih lanjut. Tapi harus ada skema pendampingan melalui pemberian asistensi teknis yang dapat diakses setiap saat dan bantuan pengadaan fasilitas pendukung untuk pembaruan dan analisis data dan informasi baik secara kuatitatif maupuan secara spasial; Memperluas target group program dari hanya terfokus pada pemerintah kabupaten ke pemerintahan propinsi, legislatif dan kalangan CSOs; Meningkatkan koordinasi dan konsolidsai dengan berbagai pihak yang mengembangkan berbagai program dan tools untuk pencapaian target MDGs dan pengurangan kemiskinan, baik dari kalangan pemerintah, lembaga donor maupun kalangan organisasi masyarakat sipil; Target pengembagan kapasitas lebih diarahkan pada kemampuan untuk menyusun strategi mendasar untuk penanggulangan kemiskinan serta kemampuan untuk mengupdate, mengolah dan menganalisis data. Untuk menjembatani ketiga proses perencanaan, Kabupaten Sumbawa Barat perlu merancang peraturan daerah tentang perencanaan dan penganggaran daerah yang didalamnya mencakup: 1) pengintegrasian proses partisipatif dengan penggunaan alat-alat P3BM untuk penanggulanan kemiskinan mulai dari tingkat desa; 2) peran pemerintah daerah dalam mendukung program-program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah pusat, termasuk PNPM; dan 3) pengintegrasian proses perencanaan partisipatif dengan prosesproses politik oleh DPRD. Perlu dibentuk ’kelompok kerja P3BM’ di tingkat daerah yang bertugas untuk: mengatasi masalah teknis dari P3BM, termasuk sofware dan pengoperasiannya, mgnkonsolidasi sumbersumber data untuk pemantauan MDGs, memantau dan meng-update data kemajuan MDGs, dan memberikan masukan terhadap dokumen perencanaan/penganggaran untuk pencapaian MDGs. Kelompok kerja ini melekat di Bappeda/TKPKD.
37
Lokasi
7. Pekalongan
Pembelajaran - Seringkali aturan-aturan pada tingkat nasional yang penghambat terhadap upaya terobosan dan invoasi pendekatan dalam penanggulangan kemiskinan. Misalkan pengalaman Pemda Kabupaten Sumbawa Barat. Bupati berani melakukan terobosan-terobosan dengan melakukan program rehabilitasi rumah masyarakat miskin/pra-sejahtera dan bantuan sapi untuk peternak. Program ini berbuntut menjadi temuan BPK karena terjadi polemik pada nomenklatur apakah masuk kedalam belanja modal yang dampaknya bahwa bantuan-bantuan tersebut menjadi asset pemerintahan atau bantuan sosial yang implikasinya sulit untuk membiaya skema pendampingannya. Terobosan yang dilakukan kemudian adalah proses pelimpahan asset pemerintahan untuk periode waktu tertentu agar dapat dialokasikan juga angaran untuk pendampingannya. - Pada proses pemberian asistensi penyusunan RPJMD yang terkait dengan MDGs belum dapat memberikan asistensi secara maksimal, hal ini disebabkan karena SKPD di desak oleh waktu/DPRD untuk segera menyerahkan ke DPRD walaupun waktunya tidak sesuai dengan jadwal semula. Hal ini disebabkan karena masa kerja anggota DPRD yang akan berakhir. - Bisa memperkuat analisis awal kemiskinan (Participatory Poverty assessment) yang dilakukan oleh PNPM - Baru terpilih bupati baru dan sedang dalam proses penyusunan RPJMD. Tools ini dapat dimanfaatkan dalam proses penyusunan RPJMD. - Mempermudah pemetaan dengan syarat data tersedia - Mengajak masyarakat menentukan prioritas program sesuai warna (dulu menggunakan peringkat 1-5) - Memudahkan pengalokasian anggaran - Mempermudah analisis untuk formasi PNS (tenaga-tenaga fungsional) - Peta potensi daerah menjadi mudah terlihat; pada 2007 pernah dibuat oleh pihak ketiga namun tidak diberikan softwarenya sehingga tidak bisa di update. - Akan kesulitan jika semua OS komputer di pemda diubah ke linux (sudah disosialisasikan) dan mungkin akan diimplementasikan 2 tahun ke depan. - Faktor penghambat; - Ketersediaan data - Kerangka metodologis untuk membuat kebijakan alat ini harus menjadi kebijakan - Mutasi pegawai - Faktor pendukung: - Alat ini teknisnya mudah dan sederhana, lebih mudah dipraktekkan, pengetahuannya lebih gampang ditransfer.
Rekomendasi
- Perlu ada forum data untuk sinkronisasi data. - Perlu pendampingan yang lebih intensif hingga bisa memanfaatkannya - Menyelenggarakan pelatihan yang berkelanjutan - Tim PNPM bisa mendampingi penerapan alata P3BM. - Harus ada pembekalan yang lebih mendalam dan spesifik untuk SKPD tertentu. Alat ini harus dikenalkan juga kepada kepala-kepala SKPD. - Terkait dengan adanya mutasi pegawai terhadap alumni pelatihan, sebisa mungkin di SK-kan oleh bupati dan diorganisir sebagai tim data. - Perlu aplikasi bantu untuk melihat nilai kemanfaatan dari program yang sudah dilaksanakan. Bukan hanya melihat sebaran wilayah untuk menentukan prioritas. Ketika perbandingan sangat tergantung persepsi. Bappeda memiliki program jaring spasial yang akan dipublikasikan melalui internet. - Pelatihan juga mengikutsertakan pejabat daerah. - Strategi pelaksanaan program; - Perlu lokakarya untuk mengenalkan alat ini ke pimpinan daerah - Pendampingan intensif untuk 1-2 SKPD
38
Lokasi
Pembelajaran Ada contoh dari kabupaten/kota yang pernah mempraktekkan alat P3B - Penyepakatan sumber data - Regulasi untuk memanfaatkan alat ini - Dukungan politik dari DPRD - Konsistensi dari penentu kebijakan - Mutasi para alumni pelatihan harus diikat dengen penugasan khusus. Pelatihan hanya meningkatkan keterampilan. Harusnya ada dukungan dari pengambil kebijakan (komitmen pimpinan SKPD). Belum dapat dirasakan karena belum diimplementasikan. Kelebihan: lebih informatif. Kelemahan: butuh konsentrasi, lebih teliti, data harus akurat. Aplikasinya tidak sulit. Waktu pelatihannya kurang cukup aplikasinya tidak compatibel untuk beberapa operating system dan spesifikasi laptop. Kelebihan: lebih informatif. Kelemahan: butuh konsentrasi, lebih teliti, data harus akurat. Alat P3BM belum sepenuhnya digunakan dalam perencanaan awal (renja SKPD). Setelah selesai pelatihan, tidak ada pendampingan sehingga tidak terpakai. Sosialisasi pernah dilakukan ke para pimpinan SKPD di Bappeda diundang oleh Kepala Bappeda, tim MDGs dari pusat. Tapi mungkin tidak cukup untuk meyakinkan mereka. Mereka mungkin belum ada komitmen dari pimpinan daerah. Terdapat perbedaan jumlah penduduk versi BPS dan Dukcapil karena perbedaan kriteria. Contoh: BPS: sudah tinggal > 6 bulan dianggap penduduk setempat. Dukcapil: liat data administrasi, BPS: real fisik. Tapi yang disepakati digunakan adalah data BPS Komitmen kepala daerah terhadap MDGs sangat besar dengan menyatakan bahwa target MDGs adalah target daerah. Komitemen ini ditegaskan dalam bentuk SK Bupati untuk membentuk sekretariat data bersama dan tim Bappeda yang bertugas memantau capaian MDGs. Komitmen kepala daerah menjadi dasar bagi SKPD untuk menyusun program berdasarkan pada capaian MDGs dan SPM. Realokasi program dan pendanaan dilakukan di tiap SKPD agar sesuai dengan capaian MDGs. Hasil analisis MDGs dan alokasi APBD diumumkan secara luas. Analisis MDGs dan SPM menjadi dasar penyusunan RPJMD tahun 2011-2-15. Sayang program berhenti begitu saja pada tahun 2010. Sehingga apa yang telah dibangun tidak berlanjut (tidak mendapatkan dukungan asistensi di tingkat provinsi dan nasional). Mutasi pegawai tanpa transper pengetahuan juga menjadi ancaman serius bagi kelanjutan programpencapaian MDGs.
Rekomendasi
-
8. Kota Bau Bau
-
-
-
-
9. Wakatobi
-
-
-
-
- Ada instruksi dari pemerintah pusat kepada pimpinan SKPD dan kepala daerah untuk menggunakan alat ini - Strategi pelaksanaan program: peserta diperluas dengan melibatkan sekolah, modelnya harus pelatihan, instrumen/aplikasinya sampai dengan sekolah (di link dengan aplikasi yang sudah ada). - Perlu base peta berdasarkan cakupan wilayah puskesmas, peta bisa dipecah per puskemas, lebih bagus yang dilatih fokus per instansi, perlu surat edaran walikota yang mewajibkan penggunaan alat ini, No. ID kecamatan berubah terus karena adanya pemekaran, perlu pendampingan intensif, cukup pelatihan jika semua sudah tersampaikan. - Perlu ada tambahan fasilitas komputer - Tambahan waktu simulasi dan spesifik per instansi, jika sudah cukup dengan hanya pelatihan tidak perlu lagi pendampingan.
- Perlu dukungan dari tim P3BM pusat untuk terus mendampingi reformasi perencanaan dan penganggaran untuk 1 – 2 tahun ke depan agar sistem yang dikembangkan menjadi mapan. - Pendataan perlu dilakukan sampai ke desa. - Kerja sama kabupaten dengan PNPM dalam perencanaan perlu ditingkatkan. Kalau perlu dilakukan perencanaan bersama. - Perlu kelompok kerja untuk mentransfer alatalat P3BM kepada Kasubsi Perencanaan Program di tiap SKPD. Terutama bagai yang beru menempati posisi tersebut.
39