Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir II, 2009 Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional
STUDI PEMANTAUAN EMISI UDARA RADIOAKTIF DARI CEROBONG PLTN KE LINGKUNGAN DAN KAJIAN KENDALI KUALITASNYA Gatot Suhariyono*), Sutarman *) dan June Melawati **) *)
Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi (PTKMR), BATAN
[email protected] **)Pusat Pengembangan Energi Nuklir (PPEN),
[email protected]
ABSTRAK STUDI PEMANTAUAN EMISI UDARA RADIOAKTIF DARI CEROBONG PLTN KE LINGKUNGAN DAN KAJIAN KENDALI KUALITASNYA. Kebutuhan energi listrik yang makin meningkat khususnya di Jawa–Bali, mendorong pemerintah Indonesia berencana membangun PLTN jenis PWR (Pressurized Water Reactor), sesuai dengan rekomendasi dari BATAN. Pembangunan PLTN tersebut perlu didukung kajian yang komprehensif studi pemantauan emisi udara radioaktif dari cerobong PLTN ke lingkungan di sekitar lokasi PLTN dan kajian tentang kendali kualitasnya. Tujuan studi adalah (a) mengkaji secara detil lepasan udara radioaktif dari cerobong dibandingkan dengan baku mutu yang ditetapkan pemerintah, dan memperhitungkan dampak radiologinya ke lingkungan, (b) mengatur alarm pemantau lingkungan otomatis, jika nilai baku mutu radionuklida terlampaui, c) menentukan tindakan yang akan dilakukan, jika ada kemungkinan emisi udara radioaktif terlepas ke lingkungan udara, air atau tanah, sehingga aktivitasnya serendah mungkin sesuai dengan azas ALARA (as low as reasonably achievable). Metodologi meliputi studi pemantauan unsur radioaktif dari effluen gas, termasuk pemantauan gas mulia, partikulat (gamma, beta, dan alfa), radioiodin, tritium, dan karbon-14, serta akan ditampilkan data pengukuran dan analisis lepasan berbagai radionuklida dari effluen udara sebagai akibat pengoperasian PLTN jenis PWR. Selanjutnya akan dibandingkan lepasan radionuklida dari efluen udara PLTN jenis BWR (Boiling Water Reactor) dan efluen udara dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara. Kata Kunci : PWR, BWR, lingkungan, pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), PLTU.
ABSTRACT STUDY OF AIR EMISSION MONITORING FROM NUCLEEAR POWER PLANT STACKTO ENVIRONMENT AND ASSESSMENT OF ITS QUALITY CONTROL. Requirement of electrics power which longer progressively increase, especially in Java-Bali, pushing government of Indonesia plan to build the Nuclear Power Plant (NPP) with PWR (Pressurized Water Reactor) type as according to BATAN recommendation. The NPP development requires to be supported by a comprehensive study of airborne radioactive emission monitoring from NPP stack to environment of around NPP location and assessment about the quality control. Purpose of study are (a) study in detail airborne radioactive emission through the stack compared to limit values specified by a government and estimate the radiological effects to environment, (b) arrange automatic alarm of environmental monitoring, if limit values of radionuclide are exceeded, (c) determine action to be conducted, if there is a possibility that airborne radioactive emission may be released into air, water or soil, so radionuclide discharged should have as low as possible according to principle of ALARA (as low as reasonably achievable). The methodologies consist of airborne radioactive monitoring study of radioactivity from gas effluent, inclusive of radioactive noble gases monitoring, particulates (gamma, beta, and alpha), radioiodine, tritium, and carbon-14 and also will be presented measurement data and analysis the discharge of various radionuclide from airborne effluent as NPP operation consequence of PWR type. Here in after will be compared to radionuclide emission from NPP airborne effluent of Boiling Water Reactor (BWR) type and airborne effluent of Coal fired Power Plant (CPP). Keywords: PWR, BWR, environment, Nuclear Power Plant (NPP), Coal fired Power Plant (CPP)
ISSN 1979-1208
25
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir II, 2009 Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional
1. PENDAHULUAN Kebutuhan energi listrik yang semakin lama semakin meningkat, terutama di Jawa – Bali, mendorong pemerintah Indonesia berencana membangun PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) jenis PWR (Pressurized Water Reactor) sesuai dengan rekomendasi dari BATAN [1]. Pembangunan PLTN tersebut perlu didukung kajian yang komprehensif studi pemantauan emisi udara radioaktif dari cerobong PLTN ke lingkungan di sekitar lokasi PLTN dan kajian tentang kendali kualitasnya. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang RI No. 10/1997 tentang Ketenaganukliran, Peraturan Pemerintah No. 43/2006 tentang Perijinan Reaktor Nuklir, dan Undang-Undang No. 23 tahun 1997 mengenai pengelolaan lingkungan hidup, serta program yang dicanangkan oleh Menteri Lingkungan Hidup, agar setiap pembangunan selalu memperhatikan kelestarian lingkungan di sekitar proyek, baik sebelum, pada saat, maupun sesudah adanya proyek. Tujuan studi pemantauan emisi udara radioaktif adalah : 1. Mengkaji secara detil lepasan udara radioaktif dari cerobong dibandingkan dengan baku mutu yang ditetapkan pemerintah dan memperhitungkan dampak radiologinya ke lingkungan sekitar PLTN. 2. Mengatur alarm pemantau lingkungan otomatis, jika nilai baku mutu radionuklida terlampaui. 3. Menentukan tindakan yang akan dilakukan, jika ada kemungkinan emisi udara radioaktif yang terlepas ke dalam udara, air atau tanah, maka ketentuan yang sebaiknya diambil adalah menjamin bahwa tidak ada lepasan radioaktif yang tidak terkendali dan aktivitas radionuklida yang terlepas serendah mungkin sesuai dengan azas ALARA (as low as reasonably achievable). Effluen radioaktif dari PLTN memberikan kontribusi terhadap pajanan radiasi ke lingkungan dan masyarakat di sekitar PLTN. Oleh karena itu metode pemantauan emisi udara radioaktif dari cerobong PLTN ke lingkungan di sekitar lokasi PLTN harus dapat dipercaya dan teliti baik terhadap effluen cair maupun gas. Alat pemantau tersebut sebaiknya dapat mendeteksi secara dini kemungkinan meningkatnya aktivitas radioaktivitas yang terlepas. Perkembangan metode dan teknologi terbaru diperlukan dalam pemantauan ini, sehingga emisi radioaktif dari effluen udara dapat dikurangi di bawah batas baku mutu emisi per tahun, dengan mempertimbangkan faktor ekologi dan cuaca di sekitar PLTN. Data lepasan udara radioaktif ke lingkungan perlu dilaporkan ke instansi terkait secara rutin sedikitnya sekali setahun, khususnya jenis dan aktivitas radionuklidanya. Radionuklida dari effluen udara PLTN sesuai dengan dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), dikelompokkan menjadi 5 bagian yaitu gas mulia radioaktif, partikulat radioaktif, radioiodin, tritium (H-3) dan Karbon-14 (C-14). Metodologi studi pemantauan udara radioaktif dari effluen, termasuk pemantauan gas mulia radioaktif, partikulat radioaktif (gamma, beta, dan alfa), radioiodin, tritium, dan karbon 14, serta akan ditampilkan data pengukuran dan analisis lepasan berbagai radionuklida dari cerobong PLTN jenis PWR akan dibahas lebih detil dalam makalah ini. Selanjutnya data yang diperoleh akan dibandingkan dengan lepasan radionuklida dari cerobong PLTN jenis BWR (Boiling Water Reactor) dan dari effluen udara dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara.
2. PENGUKURAN GAS MULIA RADIOAKTIF Gas mulia radioaktif yang dominan adalah isotop xenon (Xe-131m, Xe-133, Xe-135, Xe137 dan Xe-138) dan kripton (Kr-85, Kr-85m, Kr-87, Kr-88, dan Kr-89) sebagai hasil dari reaksi fisi, serta gas argon-41hasil dari aktivasi neutron di reaktor. Kajian laju emisi sampai batas yang diijinkan diperlukan dalam pengukuran gas mulia radioaktif secara kontinyu[2]. Jangkauan laju
ISSN 1979-1208
26
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir II, 2009 Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional
emisi pemantauan ini dari 3,7x109 - 3,7x1013 Bq/jam (0,1-1000 Ci/jam). Sistem detektor pemantau beta yang sensitif diperlukan pada pengukuran ini, seperti detektor sintilasi plastik. Dua alat pengukur gas mulia dipasang di luar operasi cerobong dan di-bypass terhadap cerobong untuk menjamin sumber radioaktif terpantau terus-menerus sepanjang waktu. Batas terendah deteksi (BTD) perlu diperhatikan, contoh BTD untuk Xe-133 adalah 7,4x103 Bq/m3 (2x10-7 Ci/m3). Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir tentang baku tingkat radioaktivitas di lingkungan (No. 02/Ka-BAPETEN/V-99), batas turunan konsentrasi di udara dengan penyinaran 2000 jam per tahun untuk Xe-131m (2x10-5 Ci/m3), Xe-133 (1x10-5 Ci/m3), Xe-135 (4x10-6 Ci/ m3), Kr-85 (1,4x10-4 Ci/ m3), Kr-85m (2,2x10-5 Ci/ m3), Kr-87 (5,4x10-6 Ci/ m3), Kr-88 (1,9x10-6 Ci/ m3), dan Ar-41 (2x10-6 Ci/ m3)[3]. Agar dapat menentukan komposisi gas mulia radioakif, operator dari fasilitas PLTN perlu menggunakan dua teknik pemantauan yaitu : a. Pengukuran menggunakan spektrometri gamma secara kontinyu dengan mem-bypass ke cerobong. Pengukuran ini menggunakan chamber yang dilengkapi dengan detektor Gesemikonduktor (Ge(Li)) dan MCA (multichannel analyzer) secara komputerisasi. b. Pengukuran menggunakan spektrometri gamma secara tidak kontinyu yang dilakukan dengan mencuplik sampel di cerobong pada interval waktu tertentu dan diukur di laboratorium. Pengukuran secara tidak kontinyu ini dipantau seminggu sekali selama kondisi operasi normal. Agar diperoleh konsentrasi sampel yang lebih tinggi, sebaiknya digunakan kompresor bertekanan tinggi. Jika diperoleh hasil pengukuran secara kontinyu di atas baku mutu, maka frekuensi pencuplikan sampel secara tidak kontinyu dan evaluasinya harus ditingkatkan. 3. PENGUKURAN PARTIKULAT RADIOAKTIF Radionuklida yang terakumulasi di dalam partikel udara, termasuk radionuklida pemancar alfa (Pu-238, Pu-239, Pu-240, Am-241, Cm-242, dan Cm-244), beta (Sr-90 dan Sr-89), dan gamma (Cr-51, Mn-54, Co-57, Co-58, Fe-59, Co-60, Zn-65, Zr-95, Nb-95, Ru-103, Ru-106, Ag110m, Sb-124, Cs-134, Cs-137, Ba-140, Ce-141, dan Ce-144). Laju emisi dari partikulat radioaktif yang dilepaskan melalui cerobong harus dipantau konsentrasi aerosolnya secara kontinyu dengan sebuah filter. Dengan menggunakan pemantauan emisi aerosol radioaktif secara kontinyu, peningkatan aktivitas di filter dan laju aktivitasnya harus dipantau sesuai dengan baku mutu emisi dari pemerintah. 10 % dari semua sampel filter tahunan diambil dan dianalisis seminggu sekali dengan spektrometri gamma[2]. Pengukuran aktivitas total (gross) dari aerosol radioaktif tidak dapat digunakan untuk kajian detil dari aerosol radioaktif, karena diskriminasi jangkauan fluktuasi konsentrasi aktivitas dari aerosol radioaktif alam dan buatan dari 0,5 sampai 50 Bq/m3 tidak mungkin dilakukan dengan metode ini. Jangkauan laju emisi pemantauan partikulat radioaktif ini dari 1,1x106 sampai 1,1x109 Bq/jam (3x10-5 sampai 3x10-2 Ci/jam). 3.1.
Pemancar Gamma Aerosol radioaktif dengan waktu paro pendek memainkan peranan minor di dalam pajanan radiasi ke publik. Oleh karena itu aerosol radioaktif gamma yang diperhitungkan adalah radionuklida dengan waktu paro lebih dari 8 hari. Aktivitas rendah dari aerosol radioaktif berumur paro panjang perlu disampling secara kontinyu dengan menggunakan filter dan diukur dengan metode spektrometri gamma dan dievaluasi di laboratorium. Untuk kajian detil, partikulat pemancar gamma secara kontinyu terabsorpsi di sampel filter dari aliran sampling dan dianalisis menggunakan spektrometri gamma dalam waktu 8 hari sesudah sampling. Pada umumnya sampel filter ini mempunyai waktu pajanan seminggu[2]. Untuk analisis dari radionuklida tunggal perlu diperhatikan waktu paronya. Prosedur pengukuran dan waktu pengukuran yang tepat harus dipilih, sedangkan batas terendah deteksi adalah
ISSN 1979-1208
27
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir II, 2009 Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional
3,7x10-3 Bq/m3 (1x10-13 Ci/m3). Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir tentang baku tingkat radioaktivitas di lingkungan (No. 02/Ka-BAPETEN/V-99), batas turunan konsentrasi di udara dengan penyinaran 2000 jam per tahun untuk Cr-51 (1x10-5 Ci/m3), Mn-54 (2,7x10-7 Ci/m3), Co-57 (1,1x10-6 Ci/m3), Co-58 (5,4x10-7 Ci/m3), Fe-59 (1x10-7), Co60 (8,1x10-8 Ci/m3), Zn-65 (1x10-7 Ci/m3), Zr-95 (2x103 Ci/m3), Nb-95 (2x104 Ci/m3), Ru-103 (5x10-7 Ci/m3),, Ru-106 (8x10-8 Ci/m3), Ag-110m (2x10-7 Ci/m3), Sb-124 (2x10-7 Ci/m3), Cs-134 (5,4x10-8 Ci/m3), Cs-137 (5,4x10-8 Ci/m3), Ba-140 (1x10-7 Ci/m3), Ce-141 (2,7x10--7 Ci/m3), dan Ce-144 (1,1x10-8 Ci/m3)[3]. 3.2.
Pemancar Beta Pengukuran partikulat pemancar beta, seperti Sr-89 dan Sr-90 perlu dilakukan secara kontinyu, dan sampel filternya di analisis secara radiokimia di laboratorium untuk pemisahan stronsium dari radionuklida lain. Analisis ini dlakukan sebaiknya tiap interval tiga bulan sekali. Aktivitas Sr-89 melalui nuklida anak luruhnya (Y-89) dan aktivitas Sr-90 melalui anak luruhnya (Y-90) dapat ditentukan secara terpisah setelah mencapai keseimbangan sekunder dengan waktu paro 64 jam[2]. Sampel filter diabukan basah selama 5 jam di dalam larutan pembangkit plasma, kemudian ditambahkan pengemban (carrier) Sr yang tidak aktif, dan HF digunakan untuk memusnahkan SiO2. Sesudah diuapkan dengan H2SO4, ekstraksi Na2CO3 terbentuk dan dilarutkan dengan HCl diikuti dengan timbulnya endapan Fe(OH)3 dan NH3. Endapan ini merupakan prosedur standar untuk mencari nuklida bebas pengemban. Pemisahan Ba, Ra, dan Pb dari Sr dilakukan dengan mengendapkannya dengan BaCrO4. Langkah terakhir pengendapan CO32- dan SO42- dengan 2 metode. Metode pertama (pemisahan tunggal): dari endapan CO32-, Sr diendapkan dengan menambahkan pengemban ytrium. Sesudah terbentuk endapan, sampel segera diukur dengan LBC (Low Background Counter) untuk mengukur total aktivitas Sr-89 dan Sr-90. Sesudah beberapa hari sampel Sr terpisah secara radiokimia dan diukur lagi utuk menentukan Sr-89, Sr-90 dan Y-90. Dari data ini aktivitas Sr-89 dan Sr-90 dapat dihitung. Perbedaan metode kedua (pemisahan rangkap) dengan metode pertama adalah beberapa hari setelah pengukuran pertama, sampel tersebut dilarutkan lagi untuk memisahkan Y-90. Kesalahan pengukuran secara statistik lebih kecil dan perbedaan Sr-89 / Sr-90 lebih baik daripada metode pertama, tetapi metode ke dua lebih lama prosesnya. Batas terendah deteksi pengukuan beta adalah 3,7x10-4 Bq/m3 (1x10-14 Ci/m3). Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir tentang baku tingkat radioaktivitas di lingkungan (No. 02/KaBAPETEN/V-99), batas turunan konsentrasi di udara dengan penyinaran 2000 jam per tahun untuk Sr-89 (1x104 Ci/m3) dan Sr-90 (3x102 Ci/m3)[3]. 3.3.
Pemancar Alfa Karena aktivitas pemancar alfa rendah dari effluen gas di cerobong, maka pengukuran langsung di cerobong tidak mungkin dilakukan. Pengukuran tersebut tergantung akumulasi kontinyu dari aerosol yang mengandung alfa di filter dan dievaluasi secara periodik setiap interval tiga bulan sekali di laboratorium. Pengukuran alfa dengan spektrometri alfa harus bebas pengemban dan absorpsi diri dari partikel alfa di dalam sampel diusahakan serendah mungkin. Lapisan absorpsi diri tidak lebih dari 0,1 mg/cm2[2]. Preparasi sampel di laboratorium dapat dilakukan dengan mengabukan dingin sampel filter, atau pemisahan radiokimia nuklida tunggal secara elektrostatis dengan elektrodeposisi di plate dari stainless steel. Filter yang sesuai untuk diabukan dingin adalah sejenis filter membran dari selulose ester (selulose nitrat), karena bahan organik filter mudah dihancurkan, sedangkan bagian debu anorganik tetap utuh sesudah pengabuan basah. Filter fiberglass atau asbestos tidak cocok diabukan, karena tidak bisa diabukan basah.Waktu pengabuan basah antara 4 sampai 8 jam. Pada pemisahan secara elekrostatis, filter fiberglass dihancurkan dengan HF/H2SO4. Filter selulose nitrat dapat dirusak dengan pelarut organik. Radionuklida pemancar alfa dipisah dari komponen filter dengan
ISSN 1979-1208
28
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir II, 2009 Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional
penukar anion. Hasil elusi diletakkan di plate secara elektrodeposisi. Detektor spektrometri alfa yang biasa digunakan adalah kamar ionisasi atau semikonduktor (surface barrier). Efisiensi detektor kamar ionisasi lebih besar (sampai 45 %) daripada detektor permukaan silikon. Batas terendah deteksi pengukuan Am-241 adalah 1,5x10-3 Bq/m3 (4x10-14 Ci/m3). Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir tentang baku tingkat radioaktivitas di lingkungan (No. 02/Ka-BAPETEN/V-99), batas turunan konsentrasi di udara dengan penyinaran 2000 jam per tahun untuk Pu-238 (2,4x10-12 Ci/m3), Pu-239 (2,2x10-12 Ci/m3), Pu-240 (2,2x10-12 Ci/m3), Am-241 (2,2x10-12 Ci/m3), Cm-242 (1,1x10-10 Ci/m3), dan Cm-244 (5,4x10-12 Ci/m3)[3]. 4.
PENGUKURAN RADIOIODIN
Isotop Iodin-131 menjadi perhatian utama dari effluen udara, karena kemungkinan besar konsentrasinya terdapat di dalam susu melalui jalur susu sapi yang memakan rumput, dan dapat menimbulkan pajanan radiasi di kelenjar thiroid. Iodin terdapat di dalam bentuk unsur, aerosol atau organik. Pemantauan radioiodin perlu dilakukan secara kontinyu dengan sampel filter iodin diletakkan di aliran udara di dalam cerobong umumnya selama periode 7 hari. Filter iodin dapat berupa filter arang aktif (charcoal) atau ayakan halus (molecular sieve). Iodin-131 diukur dengan spektrometri gamma di laboratorium tidak lebih dari sehari sesudah sampling dilakukan[2]. I-131 diukur selama sampling sebagai nuklida referensi untuk isotop iodin lainnya. Aktivitas I-131 di filter dan peningkatan aktivitas perlu diukur dan dibandingkan dengan batas tertentu. 10 % dari semua sampel filter tahunan diambil dan dianalisis seminggu sekali dengan spektrometri gamma. Peralatan pengukuran diatur, sehingga laju pelepasan I-131 antara 3,7x105 Bq/jam dan 3,7x108 Bq/jam (1x10-5 Ci/jam dan 1x10-2 Ci/jam) tercapai. Batas terendah deteksi pengukuran iodin adalah 1,5x10-3 Bq/m3 (4x10-14 Ci/m3). Dalam kondisi normal, I-131 yang terbesar dalam evaluasi pajanan radiasi di sekitar PLTN, sedangkan I-133 dan I-135 biasanya tidak termasuk kajian detil dari pelepasan iodin akibat waktu paronya pendek dan termasuk radiologi minor. Batas turunan konsentrasi di udara dengan penyinaran 2000 jam per tahun untuk I-131 (1,9x10-8 Ci/m3), I-132 (2,7x10-6 Ci/m3), I-133 (1,1x10-7 Ci/m3), I134 (1,9x10-5 Ci/m3) dan I-135 (5,4x10-7 Ci/m3)[3]. 5.
PENGUKURAN TRITIUM (H-3)
Tritium merupakan pemancar beta murni dengan energi maksimum (18,6 keV) terutama dalam bentuk uap air (HTO) dari effluen cerobong PLTN. Jika di udara ada campuran HT (gas tritium) dan HTO (tritium oksida), maka terlebih dahulu HT harus dirubah terlebih dulu menjadi HTO[2]. Tritium dalam bentuk uap air perlu disampling secara kontinyu di cerobong dan dievaluasi secara periodik di laboratorium. Sampling tritium sebagai HTO di dalam udara cerobong dilakukan dengan cara mengkondensasi kelembaban udara atau dengan mengadsorbsi melalui molecular sieve. Sampel tritium diukur menggunakan LSC (Liquid Scintillation Counter) sesudah didistilasi dari kondensasi. Batas turunan konsentrasi di udara dengan penyinaran 2000 jam per tahun untuk H-3 adalah 5,4x10-1 Ci/m3[3]. 6.
PENGUKURAN KARBON-14 (C-4)
Karbon-14 terdapat di dalam effluen udara dari PLTN jenis PWR atau BWR sebagai karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), methana atau hidrokarbon lainnya. Karbon-14 merupakan pemancar beta murni dengan energi maksimum (156 keV). Pengukuran langsung aktivitas karbon-14 di dalam effluen gas dari PLTN jenis PWR atau BWR tidak mungkin tanpa sampling dan preparasi sampel radiokimia, karena karbon-14 tidak dapat diuji secara terpisah di dalam nuklida campuran[2]. Karbon-14 di udara effluen dari PLTN dalam bentuk CO, CO2, CH4, atau hidrokarbon yang lain. Akan tetapi C-14 lebih banyak berupa CO2, karena CO2 terbanyak pada pajanan radiasi lokal ke publik di sekitar PLTN. Sampling CO2 yang
ISSN 1979-1208
29
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir II, 2009 Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional
mengandung C-14 dilakukan dengan mencuci filter di dalam larutan NaOH 1 N. Senyawa karbon organik, seperti CH4, atau hidrokarbon lain, dapat ditransformasi menjadi CO2 dengan oksidasi katalisa CuO (copper oxide) pada suhu 800 oC dan dicuci ke dalam larutan NaOH kedua. Penggunaan larutan NaOH untuk sampling C-14 berakibat pada efek terbakar pada saat penanganannya dan hilangnya larutan selama perlakuan. Oleh karena itu digunakan metode pemisahan C-14 di dalam effluen gas dengan mengabsorpsi CO2 secara rutin melalui molecular sieve. Proses berikutnya menyiapkan sampel C-14 untuk dicacah dengan LSC yaitu memanaskan molecular sieve di oven pada suhu 350 oC dan menggunakan nitrogen sebagai gas pembawa untuk melewatkan CO2 yang diencerkan melalui larutan Ba(OH)2. CO2 yang teradsorpsi diencerkan lagi di dalam aliran nitrogen murni dengan laju 50 sampai 100 ml/ menit dengan pemanasan selama 4 jam. Kondensasi yang terakumulasi dengan terbentuknya kelembaban selama sampling dapat digunakan untuk menentukan aktivitas tritium di effluen dari cerobong.
7. KENDALI KUALITAS (Quality Control) Hasil pemantauan dan pengukuran effluen gas di cerobong PLTN yang dilakukan oleh operator perlu diuji kendali kualitasnya oleh seseorang yang ahli di bidang tersebut dari organisasi independen[2]. Sesuai dengan pentingnya pengukuran sebagai dasar untuk penghitungan pajanan radiasi terhadap publik, program kajian detil dari kendali kualitas adalah perlu untuk menjamin standar teknik pengukuran benar untuk periode yang lama. Kendali kualitas dari pengukuran effluen gas dibagi 3 bagian : program pengukuran rutin, interkomparasi pengukuran selama reaktor beroperasi, dan kendali kualitas dengan metode uji lingkaran (ring test). 7.1. Program Pengukuran Rutin Di dalam program pengukuran rutin diperlukan sampel filter iodin dan partikulat aerosol mingguan dari unit kontrol effluen udara di cerobong PLTN, diserahkan ke petugas proteksi radiasi, sesudah dievaluasi dengan spektrometri gamma oleh operator. 10 % dari sampel-sampel filter dipilih selama setahun, masing-masing 2 sampel setiap 3 bulan sekali, untuk kontrol pengukuran spektrometri gamma. Hasil-hasil pengukuran dibandingkan dengan data dari operator dan qualitas pengukuran yang dicapai. Hasil kontrol pengukuran sampel filter iodin dan partikulat aerosol dilaporkan ke badan pengawas terkait dan ke operator. Petugas proteksi radiasi juga melakukan kontrol pengukuran 3 bulanan dari sampelsampel filter kumulatif untuk menentukan aktivitas pemancar alfa, Sr-89 dan Sr-90, bersama dengan sedikitnya satu kontrol pengukuran dari sampel effluen udara yang tercampur padat (mixture) untuk penentuan aktivitas tritium. Interkomparasi pengukuran gas mulia radioaktif dilakukan oleh petugas proteksi radiasi lebih dari satu periode dari beberapa minggu, juga pengukuran kontinyu dari laju emisi dan pengukuran nuklida individu untuk menentukan komposisi nuklida campuran, data hasil kualitas dari pengukuran nuklida khusus gas mulia dan nuklida campuran (mix) yang dilakukan operator. Keseluruhan pengukuran ini diulangi setiap 3 tahun di setiap cerobong reaktor PLTN. 7.2. Interkomparasi Pengukuran Selama Reaktor Mulai Beroperasi Selama dan sesudah reaktor PLTN mulai beroperasi, semua sampel filter aerosol dan iodin dari fasilitas kontrol effluen di cerobong harus dikontrol analisisnya dengan spektrometri gamma secara paralel terhadap pengukuran yang dilakukan operator. Kontrol pengukuran untuk penentuan aktivitas Sr-89, Sr-90, tritium dan pemancar alfa sama dengan kontrol pengukuran rutin. Di samping itu juga dilakukan interkomparasi pengukuran nuklida khusus gas mulia radioaktif dan nuklida campuran. Para ahli independen juga melakukan kalibrasi alat pengukuran gas mulia di cerobong selama reaktor beroperasi.
ISSN 1979-1208
30
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir II, 2009 Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional
7.3. Kendali Kualitas dengan Metode Ring Test Operator dari PLTN dan ahli independen harus berpartisipasi di dalam program kontrol internal minimum setengah tahun sekali mengecek kualitas alat yang digunakan pengukuran. Ini termasuk analisis efisiensi spektrometri gamma dari standar radionuklida campuran dan analisis standar nuklida individu Sr, H-3, dan pemancar alfa. Metode ring test diperlukan untuk mendeteksi kemungkinan kesalahan di dalam sistem laboratorium tertentu. Di samping itu dari data yang dikaji, kriteria tertentu mungkin ditentukan yang dapat diputuskan sebagai penyimpangan hasil pengukuran dari laboratorium yang berbeda. Kriteria yang sesuai untuk pengkajian adalah “dapat dibuat lagi (reproducibility) dan dapat dibandingkan (comparability)”. Perbandingan dihitung dari data yang tersedia dan terindikasi “baik” dari dua laboratorium berbeda, sehingga hasil perhitungan dapat dipertimbangkan “identik atau sama”. Kriteria ini tergantung radionuklida dan sah tidaknya jangkauan aktivitas yang dapat dipercaya. Sebuah contoh ring test PLTN di Jerman 1981. Radionuklida tertentu dipilih pada rentang energi lebar di spektrometri gamma sesuai dengan radionuklida pemancar gamma yang diukur selama pengukuran rutin. Radionuklida tunggal dan aktivitasnya sekitar 10 Bq pada saat pengukuran dipilih, sehingga kondisi pengukuran sampel filter diusahakan sama dengan kondisi sampel filter yang diukur di cerobong PLTN selama pengukuran rutin. Sebagai hasil ring test tersebut, standar radionuklida dari sampel-sampel filter dinyatakan nilai rerata dari berbagai laboratorium untuk pengukuran semua radionuklida adalah sesuai dengan masing-masing nilai standar. Total nilai rerata untuk radionuklida yang diukur dan dihitung dari pengukuran semua partisipasi sekitar maksimum 10 % dari aktivitas tertinggi. Hasil-hasil ini menunjukkan standar teknik pengukuran aerosol radioaktif di cerobong PLTN Jerman adalah cukup baik. Di samping itu pengukuran ganda atau ulangan dari satu sampel diambil sebagai kontrol pengukuran. Hasil dari kontrol pengukuran ini dilaporkan tiga bulanan ke badan pengawas. Bagian penting dari hasil dokumen ini adalah kajian dan evaluasinya dari nilai pengukuran tunggal ini dibandingkan dengan data yang diukur operator. Dari nilai-nilai ini, data mungkin diperoleh sebagai acuan ketelitian dan kualitas dari hasil-hasil pengukuran. Data ini membantu untuk kemungkinan perbaikan metode pengukuran yang benar di masa yang akan datang.
8. DISKUSI DAN PEMBAHASAN BATAN merekomendasikan pemerintah Indonesia membangun reaktor PLTN tipe PWR, karena pilihan suppliernya lebih banyak dan kebanyakan negara-negara di dunia menggunakan tipe PWR[1]. Hal ini beralasan, menurut UNSCEAR 2000, energi listrik terbesar di dunia berasal dari PLTN tipe PWR, bukan dari BWR, GCR (gas cooled reactor), HWR (heavy water reactor), atau LWGR (light water graphite reactor)[4].
Gambar 1. Kontribusi 5 jenis reaktor terhadap energi listrik dunia dari sebelum 1970 – 1997[4].
ISSN 1979-1208
31
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir II, 2009 Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional
Radionuklida-radionuklida yang dilepaskan per energi listrik yang dibangkitkan dari reaktor tipe PWR dan BWR dari tahun 1970 sampai 1997 ditampilkan pada Tabel 1. Konsentrasi radionuklida gas mulia yang dilepas dari reaktor tipe PWR dan BWR ke lingkungan terbesar dibandingkan radionuklida yang lain, akan tetapi konsentrasi gas mulia dari PWR ini jauh lebih kecil daripada konsentrasi dari BWR. Konsentrasi I-131 rerata paling rendah dilepaskan ke lingkungan dari reaktor tipe PWR, sedangkan konsentrasi partikulat rerata paling rendah dilepaskan ke udara dari BWR. Beberapa faktor yang mempengaruhi pelepasan radionuklida ke lingkungan, termasuk integritas bahan bakar, sistem manajemen limbah, prosedur dan pemeliharaan operasi reaktor. Radionuklida lain-lain yang berwujud cair dapat berupa Co-60, Co-58, Cs-134, Cs-137 dan sebagainya. Untuk lebih detilnya, jenis dan jumlah aktivitas radionuklida yang dilepas dari PWR dan BWR, dapat dilihat pada Tabel 2. Radionuklida gas mulia rerata yang dilepaskan ke lingkungan mempunyai waktu paro yang pendek, sehingga lebih cepat mengalami peluruhan aktivitas. BWR melepaskan I-133 lebih banyak daripada PWR, sebaliknya Xe-133 lebih banyak dihasilkan dari PWR daripada BWR. Hal ini karena pada pendingin PWR tidak mendidih, tetapi mempunyai suhu dan tekanan yang sangat tinggi, sehingga gas Xe-133 akan larut di dalam pendingin. Sedangkan pendingin pada BWR mendidih, sehingga Xe-133 di dalam pendingin ikut terlepas bersama uap air yang terbentuk. Akan tetapi waktu paro Xe-133 hanya 5,3 hari, sehingga aktivitasnya akan sangat jauh berkurang dalam waktu singkat. Sebaliknya berlaku untuk Kr-85 (waktu paronya 10,7 tahun), walaupun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan Xe-133, tetapi memberikan kontribusi dosis radiasi yang cukup lama ke lingkungan. H-3 dihasilkan dalam jumlah lebih banyak di PWR daripada di BWR, karena pada pendingin PWR lebih banyak terjadi kemungkinan pembentukan H-3, akibat adanya penambahan boron dan lithium hidroksida pada pendingin. H-3 banyak terjadi, karena adanya reaksi tangkapan netron di pendingin dan sebelum akhirnya terlepas ke udara. Tabel 1. Radionuklida yang Dilepaskan dari Reaktor Tipe PWR dan BWR dari 1970 – 1997[4] Tahun 1970 1974 1975 1979 1980 1984 1985 1989 1990 1994 1995 1997
Lepasan radionuklida dari effluen gas dan cair pada kondisi normal [TBq (GW a)-1] Gas mulia Tritium C-14 I-131 Partikulat Tritium (cair) Lain-lain (cair) PWR
BWR
PWR
BWR
PWR
BWR
PWR
BWR
PWR
BWR
PWR
BWR
PWR
BWR
530
44.000
5,4
1,8
0,22
0,52
0,0033
0,15
0,018
0,04
11
3,9
0,2
2
430
8.800
7,8
3,4
0,22
0,52
0,005
0,41
0,0022
0,053
38
1,4
0,18
0,29
220
2200
5,9
3,4
0,35
0,33
0,0018
0,093
0,0045
0,043
27
2,1
0,13
0,12
81
290
2,7
2,1
0,12
0,45
0,0009
0,0018
0,002
0,009
25
0,78
0,056
0,036
27
350
2,3
0,94
0,22
0,51
0,0003
0,0008
0,0002
0,18
22
0,94
0,019
0,043
13
180
2,4
0,86
0,22
0,51
0,0002
0,0003
0,0001
0,35
19
0,87
0,008
0,011
Tabel 2. Jenis dan Aktivitas Radionuklida yang Dilepas ke Udara pada Daya 1000 MW(e)[5,6] Radionuklida Ar-41 Kr-88m Kr-85m Kr-85 Kr-87 Kr-88 Xe-131m Xe-133m
Waktu paro 1,82 jam 2,84 jam 4,4 jam 10,7 jam 74 menit 2,77 jam 11,8 hari 2,3 hari
ISSN 1979-1208
PWR (Ci/tahun) 25 1 16 470 3 23 82 120
BWR (Ci/tahun) 25 150 290 200 240 18 -
Radionuklida Xe-133 Xe-135m Xe-135 Xe-138 I-131 I-133 C-14 H-3
Waktu paro 5,3 hari 15,5 menit 9,15 jam 14,2 menit 8,04 hari 20,3 jam 5,5.103 tahun 12,3 tahun
PWR (Ci/tahun) 12.000 86 0,025 0,023 8 1.100
BWR (Ci/tahun) 3.200 740 1.100 1.400 0,3 1,1 9,5 43
32
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir II, 2009 Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional
Perbandingan jenis dan jumlah radionuklida yang dilepas ke udara dari PLTU batubara dan PLTN dengan daya yang sama, ditampilkan pada Tabel 3. Dilihat dari jenis radionuklida yang dilepaskan dari PLTU batubara, semuanya merupakan radionuklida alam, hasil peluruhan dari deret U-238, U-235, dan Th-232 yang mempunyai waktu paro yang sangat panjang, sehingga memberikan kontribusi radiasi lingkungan untuk jangka waktu lama. Semua radionuklida turunan dari U dan Th berbentuk partikulat, kecuali gas radon (Rn-220 dan Rn222) termasuk gas mulia dengan waktu paro yang sangat singkat (masing-masing 54 detik dan 3,8 hari). Rn-220 dihasilkan dari peluruhan Ra-224, sedangkan Rn-222 dari peluruhan Ra-226. Jumlah fly ash yang dilepaskan PLTU sangat besar yang terkandung deret U, Th, dan turunannya yang radioaktif. Radionuklida yang dilepas dari PLTN sebagian besar terbentuk dari hasil reaksi fisi dan asil aktivasi. H-3 dan C-14 merupakan hasil proses aktivasi. Aktivitas total gas mulia yang dihasilkan reaktor PLTN sangat besar. Akan tetapi karena PWR mempunyai sistem penyimpanan gas radioaktif dengan penundaan (delay) yang lebih lama daripada BWR, dan gas mulia rerata mempunyai waktu paro pendek, maka setelah dibuang ke lingkungan aktivitasnya menjadi sangat kecil dan aman. Dosis efekif kolektif dari radionuklida yang dilepaskan dari reaktor nuklir dari 1990 sampai 1994 dapat diketahui dari Tabel 4. Walaupun energi listrik yang dibangkitkan dari PWR lebih besar daripada BWR, dosis efektif kolektif dari radionuklida-radionuklida lebih kecil pada reaktor tipe PWR daripada dosis efektif pada BWR, kecuali dosis efektif dari radionuklida H-3 yang berlaku sebaliknya. Hal ini berarti PWR lebih aman daripada BWR. Pada Tabel 5 terlihat C-14 memberikan kontribusi dosis populasi yang besar untuk seluruh tubuh dan organ tubuh lainnya. Radionuklida Xe-135m dan Xe-135 pada BWR memberikan kontribusi dosis yang besar, sedangkan pada PWR tidak memberikan kontribusi dosis sama sekali (nol). Hal ini karena aktivitas total per tahun Xe-135m dan Xe-135 adalah 1840 Ci dan waktu penundaan (delay) pada BWR sangat singkat dibandingkan pada PWR, sehingga Xe-135m dan Xe-135 banyak terlepas ke lingkungan. Xe-133 dari PWR memberikan kontribusi dosis populasi lebih besar daripada dari BWR sesuai dengan aktivitas Xe-133 yang terbentuk dari PWR mencapai 12.000 Ci/tahun. Tritium dihasilkan paling banyak dari PWR dibandingkan dari BWR, sehingga kontribusi H-3 pada dosis populasi lebih besar pada seluruh tubuh dan organ lain dari PWR daripada dari BWR. Kr-85 dan Rb-88 yang dilepas dari PWR, tidak memberikan kontribusi dosis populasi. Tabel 3. Perbandingan Jenis dan Aktivitas Radionuklida yang Dilepas ke Udara dari PLTU Batubara dan PLTN pada Daya masing-masing 1000 MW(e)[5, 6] Jenis Radionuklida Gas mulia Uranium (234, 235,238,) Thorium (227, 230, 231, 232, 234) Radium (223, 224, 226, 228) Tritium Hasil aktivasi Hasil fisi Fly ash
Aktivitas Radionuklida (Ci / tahun) PLTU Batubara BWR PWR 1,2 16,35x10-3 0,0267 0,01835 2,1x109 (gram / tahun)
12.826 43 9,5 1,4 -
7.363 1.100 8 0,048 -
Tabel 4. Dosis Efekif Kolektif dari Radionuklida yang Dilepas dari Reaktor, 1990-1994[4] Jenis Reaktor
Energi Listrik (%)
PWR BWR
65,04 21,95
ISSN 1979-1208
Dosis Efekif Kolektif per Energi Listrik yang Dibangkitkan [man Sv (GW a)-1] Effluen Udara Effluen Cair Gas mulia Tritium C-14 I-131 Partikulat Tritium Lain-lain 0,003 0,005 0,059 0,0001 0,0004 0,014 0,006 0,15 0,002 0,14 0,0002 0,36 0,0006 0,014
33
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir II, 2009 Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional
Tabel 5. Kontribusi Radionuklida terhadap Dosis Populasi dari PLTNpada 1000 MW(e)[5,6] Radionuklida Xe-135m Xe-135 Xe-133 Kr-85+Rb-88 C-14 H-3 I-131 I-133
Seluruh tubuh 10,4 6,6 4,7 6,0 65,4 0,5 0,2
Kontribusi Radionuklida untuk Dosis Populasi (%) BWR PWR Tulang Paru Thyroid Seluruh tubuh Tulang 8,0 16,1 3,9 6,2 9,8 2,3 5,2 6,2 2,0 17,7 19,9 4,0 9,7 2,0 71,7 46,7 10,6 54,6 61,8 26,2 17,1 0,4 0,9 67,8 0,04 0,03 0,1 0,3 9,5 -
Paru 21,6 36,3 39,9 0,07 -
Thyroid 23,2 27,8 29,1 17,7 -
Radionuklida radium (Ra-226 dan Ra-228) dari cerobong PLTU batubara memberikan kontribusi dosis populasi yang besar untuk seluruh tubuh dan organ lainnya (Tabel 6). Po-210 memberikan kontribusi dosis populasi yang besar untuk organ limfa. Deret thorium memberikan kontribusi dosis terbesar pada sistem pernapasan yaitu organ paru-paru. Ac-227 memberikan kontribusi dosis terbesar pada organ hati. Po-210 dan Pb-210 memberikan kontribusi dosis populasi yang besar untuk organ ginjal. Ginjal adalah tempat memfiltrasi semua cairan di dalam tubuh termasuk darah, sehingga Po-210 dan Pb-210 yang terdapat di dalam cairan tersebut akan tersaring dan terakumulasi di ginjal menyebabkan peningkatan dosis radiasi. Tabel 6. Kontribusi Radionuklida terhadap Dosis Populasi dari PLTU pada 1000 MW(e)[5,6] Radionuklida Ra-226 Ra-228 Th-228 Th-230 Th-232 Po-210 Pb-210 Ac-227
Seluruh tubuh 67 21 0,7 3,5 0,7 2,5 2,1 1,0
Kontribusi Radionuklida untuk Dosis Populasi (%) Tulang Paru Thyroid Ginjal Hati 59 47 68 28 48 14 15 21 8,4 15 1,8 10 0,7 0,6 0,2 12 10 3,5 11 4,2 1,8 10 0,7 0,6 0,2 0,9 2,1 2,5 29 16 4,9 1,7 2,1 18 11 2,6 0,7 1,0 0,9 47
Limfa 42 13 0,4 2,2 0,4 40 1,2 0,6
9. KESIMPULAN DAN SARAN Pemerintah Indonesia yang berencana membangun reaktor PLTN tipe PWR, perlu menguasai metode pemantauan emisi unsur radioaktif di lingkungan udara dan kajian kendali kualitasnya, termasuk pemantauan radionuklida gas mulia, partikulat (gamma, beta, dan alfa), radioiodin, tritium, dan karbon 14. Konsentrasi radionuklida gas mulia yang dilepas dari PWR perlu mendapat perhatian, karena konsentrasinya lebih besar daripada radionuklida lain. Aktivitas radionuklida gas mulia (Kr-85m, Kr-87, Kr-88, Xe-135m, Xe-135, Xe-138), I-131, I-133, C-14, partikulat, dan radionuklida cair selain H-3 yang dilepas dari reaktor tipe PWR lebih kecil dibandingkan aktivitas dari BWR. Sedangkan aktivitas gas mulia (Xe-133, Xe-133m, Xe-131m, Kr-85, Kr-88m), dan H-3 lebih besar dihasilkan dari PWR daripada aktivitas dari BWR. Radionuklida yang dilepaskan dari PLTU batubara, merupakan radionuklida alam hasil peluruhan dari deret U-238, U-235, dan Th-232 yang mempunyai waktu paro yang sangat panjang dan berbahaya bagi keselamatan lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Sebagian besar radionuklida yang dilepas dari PWR tidak memberikan kontribusi dosis populasi sama sekali pada seluruh tubuh dan organ lainnya, kecuali radionuklida C-14 dan H-3. Sedangkan radionuklida Ra-226 dan Ra-228 yang dilepas dari cerobong PLTU batubara memberikan kontribusi dosis populasi yang besar untuk seluruh tubuh dan organ lainnya.
ISSN 1979-1208
34
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir II, 2009 Pusat Pengembangan Energi Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional
10. DAFTAR PUSTAKA [1] SINAR HARAPAN, “PLTN Indonesia Gunakan Teknologi PWR”, Harian Umum Sore, Selasa, 5 Desember 2006, (2006). [2] WINKELMANN, I., and FIELDS, D.E., “Measurement of Airborne Radioactive Emission from Nuclear Power Plants and Their Quality Control in the Federal Republic of Germany, Institut fűr Strahlen Hygiene, Munchen”, Health and Safety Research Division Oak Ridge National Laboratory, Oak Ridge, USA, (1985). [3] ANONIM, “Baku Tingkat Radioaktivitas di Lingkungan”, Badan Pengawas Tenaga Nuklir, no. 02/Ka-BAPETEN/V-99, Jakarta, BAPETEN, (1999). [4] UNSCEAR, “Sources and Effects of Ionizing Radiation”, UNSCEAR 2000, Vol. I: Sources : 183, 278-279, United Nations Publication, New York, (2000). [5] Mc BRIDE, J.P., “Radiological Impact of Airborne Effluents of Coal Fired ad Nuclear Power Plants”, Trace Contaminants from Coal, Noyes Data Corporation, Park Ridge, New Jersey, USA, (1978). [6] IAEA, “Environmental Behaviour of Radionuclides Released in the Nuclear Industry”, IAEA, Vienna, (1973).
ISSN 1979-1208
35