STUDI PELAKSANAAN KREDIT PERBAIKAN RUMAH SWADAYA MIKRO SYARIAH BERSUBSIDI DI KOTA SEMARANG
TUGAS AKHIR
Oleh: LATIFAH HANUM A. M. L2D 005 372
JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2009
ii
ABSTRAK
Perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Mengingat pentingnya fungsi rumah tersebut, maka hampir setiap keluarga baru akan mendambakan rumah sendiri. Kota Semarang sebagai kota besar belum dapat benarbenar mengakomodir kebutuhan papan masyarakatnya. Pola pembangunan perumahan yang dilakukan oleh pihak pemerintah dan pengembang swasta adalah skema pengadaan perumahan yang ditawarkan melalui mekanisme pasar formal dengan fasilitas kredit. Tapi ternyata pada realisasinya, hal tersebut tidak dapat dijangkau oleh sebagian besar masyarakat yang berpenghasilan rendah yang menghuni permukiman informal. Masyarakat berpenghasilan rendah mengandalkan sumber pembiayaan informal untuk membangun/memperbaiki rumah. Untuk menjembatani permasalahan tersebut Pemerintah mengeluarkan stimulan perumahan swadaya dengan salah satu programmya yaitu Kredit Perbaikan Rumah Swadaya (KPRS) Mikro Syariah Bersubsidi. KPRS Mikro Syariah Bersubsidi diperuntukkan bagi perbaikan rumah secara swadaya dan dioperasionalkan secara syariah dengan karakteristik nilai pembiayaan relatif kecil dan jangka waktu pembiayaan relatif pendek sampai dengan 4 (empat) tahun. Dalam pelaksanaannya di Semarang yang sudah berjalan hampir tiga tahun, tentunya telah banyak yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Hal inilah yang menjadi alasan ketertarikan peneliti untuk mengkaji pelaksanaan KPRS Mikro Syariah Bersubsidi oleh LKM di Kota Semarang. Kajian yang akan dilakukan antara lain karakteristik masyarakat penerima KPRS Mikro Syariah Bersubsidi, kajian pelaksanaan skim tersebut, serta rumusan pendapat masyarakat penerima akan pelaksanaan yang dilakukan oleh LKM. Penelitian ini menggunakan dua macam metode yaitu kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif yaitu deskriptif kualitatif digunakan untuk menggali lebih dalam tentang pelaksanaan KPRS Mikro Syariah Bersubsidi oleh LKM, baik dari segi pelaksanaan, faktor-faktor pendukung keberhasilan program, maupun kapasitas lembaga dengan menerapkan metode pengumpulan data yaitu wawancara. Sementara metode kuantitatif digunakan untuk menguatkan metode kualitatif yang dilakukan dengan kuisioner yang disebarkan kepada pengguna kredit, digunakan untuk menemukenali karakteristik masyarakat penerima stimulan serta pendapat mereka akan pelaksanaan program tersebut selama ini oleh LKM. Output yang dihasilkan dari penelitian ini adalah rumusan pelaksanaan KPRS Mikro Syariah Bersubsidi di Kota Semarang. Karakteristik masyarakat penerima stimulan tersebut antara lain mayoritas pendidikan penerima kredit yaitu sarjana. Mata pencaharian penerima kredit tidak terbatas dari sektor formal saja, namun juga yang bekerja di sektor informal. Tingkat konsumsi masyarakat penerima pun cukup tinggi dan sedikitnya kepemilikan tabungan membuat pengembalian pembiayaan bisa tidak berjalan lancar. Peneliti menemukan skim yang seharusnya diperuntukkan bagi MBR dapat pula diakses oleh masyarakat yang lebih mampu, hal ini terjadi di BMT Anda. Pelaksanaan KPRS Mikro Syariah Bersubsidi di dua LKM yang ada di Semarang secara umum sama, baik dari proses sosialisasi hingga pelaporan ke Kemenpera. Sebanyak 97% subsidi dari Kemenpera disalurkan dengan nominal yang seharusnya oleh LKM kepada penerima kredit. Dalam pengambilan keputusan pada proses seleksi pemohon kredit dan penetapan bentuk dana yang disalurkan pihak LKM melaksanakan sendiri tanpa melibatkan masyarakat. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan KPRS Mikro Syariah Bersubsidi adalah kesadaran masyarakat yang mengajukan kredit untuk cepat menabung dana swadaya nasabah serta mengangsur kredit dengan tepat waktu. Pelaksanaan KPRS Mikro Syariah Bersubsidi tidak terlepas dari kekurangan yang ditemukan dari hasil pendapat masyarakat pengguna. Masalah-masalah pada pelaksanaan kredit ini antara lain pemberian jumlah subsidi kepada masyarakat dengan nominal yang dikurangi, pemutusan bentuk hibah bantuan stimulan perumahan swadaya dilakukan sepihak oleh LKM tanpa melibatkan masyarakat, kurangnya transparansi dari pihak LKM dalam memberikan informasi kepada penerima kredit serta ketidaklancaran pengembalian kredit oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi disebabkan tingkat konsumsinya yang tinggi. Dengan menilik output di atas, diperoleh rekomendasi bagi pemerintah, LKM serta masyarakat diantaranya pengawasan pelaksanaan yang lebih ketat oleh Kemenpera, penguatan koordinasi, serta pelibatan masyarakat yang lebih aktif dalam program KPRSMikro Syariah Bersubsidi. Kata kunci: pelaksanaan, KPRS Mikro Syariah Bersubsidi, Lembaga Keuangan Mikro
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Diantara 70 dan 95 % dari semua perumahan baru yang dibangun di negara berkembang
dalam kurun waktu 30 sampai 40 tahun berada di permukiman informal. Tidak seperti di negara maju, perumahan dibangun masyarakat berpenghasilan rendah dengan sedikit bahkan tidak mendapat dukungan finansial dari institusi komersial maupun bank. Pembiayaan rumah yang memadai telah disadari sebagai faktor produksi rumah yang paling penting karena hal tersebut dapat membantu masyarakat dalam mendapatkan komponen perumahan, seperti lahan, infrastruktur, serta material bangunan (Sheuya, 2007: 442). Sheuya (2007) mengindikasikan bahwa institusi komersial terutama bank tidak siap membiayai perumahan untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah karena karakteristik ekonomi institusinya tidak sesuai dengan prosedur operasional serta persyaratan peminjaman. Sebagai contoh, masyarakat berpenghasilan rendah kekurangan sumber pendapatan. Di saat tabungan dan pengembalian dapat dilakukan, mereka tidak memiliki jaminan jelas untuk keamanan pemilikan lahan, mereka membutuhkan pinjaman kecil yang berlawanan dengan biaya administrasi institusi yang tinggi serta tidak dapat memahami dan memenuhi prosedur yang kompleks. Sumber pembiayaan formal lainnya yang tersedia antara lain meliputi sektor publik, kredit mikro untuk perumahan serta dana komunitas. Keuangan sektor publik biasanya disubsidi dan ditujukan untuk pegawai negeri sipil. Tapi ternyata pada realisasinya, hal tersebut tidak dapat dijangkau oleh sebagian besar masyarakat yang berpenghasilan rendah yang menghuni permukiman informal. Apabila kredit mikro perumahan berorientasi pada individu, dana komunitas didasarkan pada tabungan oleh grup komunitas. Pentingnya tabungan dalam dana komunitas tidak dapat dipandang sebelah mata karena pinjaman diberikan kepada anggota yang memiliki tabungan reguler (Sheuya, 2007: 442). Diperkirakan bahwa 70% pembangunan rumah di negara berkembang dilaksanakan secara swadaya tanpa sumber pembiayaan yang telah disebutkan di atas. Stein dan Castill dalam Sheuya (2007) menyebutkan bahwa masyarakat berpenghasilan rendah mengandalkan sumber pembiayaan informal, meliputi tabungan, pinjaman informal dari teman dan keluarga, pendapatan dari anggota keluarga yang bekerja di luar negeri, dan penjualan aset yang mereka miliki.
1
2
Untuk menjembatani permasalahan keterbatasan akses MBR terhadap sumber pembiayaan formal di atas, pemerintah telah membentuk Secondary Mortgage Facility (SMF) yang berperan dalam menyediakan sumber dana jangka panjang. Sistem ini jauh lebih efisien dibandingkan dengan sistem pembiayaan bank umum, dikarenakan sistem ini mampu menghubungkan pasar pembiayaan perumahan dengan pasar modal yang memiliki sumber dana yang tidak terbatas. Diharapkan sistem pembiayaan perumahan ini nantinya mampu memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat, termasuk MBR, untuk memperoleh KPR yang murah. Jika sistem ini telah berjalan dengan baik, di mana pasar sekunder pembiayaan perumahan Indonesia telah tercipta, maka pasar primer juga otomatis akan menjadi sangat efisien. Harga rumah menjadi lebih murah dan terjangkau karena pasokan meningkat. KPR menjadi murah karena tersedia sumber dana yang besar dan berkelanjutan (sustainable) dari pasar modal. Selain itu, dalam sistem ini dimungkinkan munculnya lembagalembaga pembiayaan perumahan nonbank (mortgage broker dan mortgage company) yang dapat bertindak sebagai penyalur (originator) KPR sehingga masyarakat lebih leluasa melakukan pilihan (Murbaintoro, 2004). Untuk mencapai tujuan tersebut, pihak yang berwenang dalam hal ini yaitu Deputi Kemenpera Bidang Perumahan Swadaya memfasilitasi sistem tersebut dengan pemberian Bantuan Stimulan Pembangunan Perumahan Swadaya (BSP2S). Tujuannya yaitu mendorong pemenuhan kebutuhan rumah bagi MBR melalui Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dan peningkatan kualitas perumahan melalui penguatan kelompok masyarakat. Sementara bagi MBR yang belum memiliki akses ke sumber pembiayaan, fasilitasi yang dilakukakan salah satunya berupa Kredit Perbaikan Rumah Swadaya (KPRS) Mikro Syariah Bersubsidi (Depkominfo, 2005). KPRS Mikro Syariah Bersubsidi diperuntukkan untuk pembangunan rumah baru/perbaikan rumah secara swadaya dan dioperasionalkan secara syariah. Secara lengkapnya, sesuai yang diatur oleh Permenpera No. 06/PERMEN/M/2007, Pembiayaan Mikro Pembangunan/Perbaikan Rumah Swadaya Bersubsidi dengan prinsip syariah (yang selanjutnya disebut KPRS Mikro Syariah Bersubsidi) adalah pembiayaan yang diterbitkan oleh Lembaga Penerbit Pembiayaan yang telah beroperasi dengan prinsip syariah kepada masyarakat berpenghasilan rendah dalam rangka pembangunan atau perbaikan rumah yang dilakukan secara swadaya, dengan karakteristik nilai pembiayaan relatif kecil dan jangka waktu pembiayaan relatif pendek sampai dengan 4 (empat) tahun. Untuk Kota Semarang sendiri program kredit perbaikan rumah swadaya mikro syariah bersubsidi baru berjalan dua tahun. Dalam pelaksanaannya, pemerintah bekerjasama dengan beberapa lembaga keuangan mikro yang menangani kredit mikro perumahan yang menggunakan prinsip syariah, yaitu BMT. Namun pada kenyataannya, Lembaga Keuangan Mikro tersebut menemui permasalahan
3
dalam membantu pemenuhan perumahan swadaya khususnya bagi MBR. Permasalahan tersebut antara lain besarnya risiko yang dihadapi dengan meminjamkan dana kepada MBR, kurangnya tenaga pendamping, minimnya dana pendampingan, pembayaran angsuran kurang lancar, kekurangan sumber daya murah, serta tidak terjaminnya keberlanjutan karena hanya bersifat proyek (Wardoyo, 2005). Selain itu, jangkauan pelayanan KPRS Mikro Syariah Bersubsidi hanya terbatas di sekitar kawasan LKM yang merupakan akibat dari kurangnya sosialisasi oleh LKM. Agar sistem penyediaan perumahan beserta fasilitasinya dapat berjalan sukses sehingga mampu menyediakan kebutuhan hunian yang sehat dan layak terutama bagi MBR, perlu adanya kajian mengenai pelaksanaan skema kredit perbaikan rumah mikro syariah bersubsidi yang ada selama ini di kota Semarang. Apalagi mengingat besarnya usaha dan banyaknya dana yang dikeluarkan pemerintah dalam menyediakan skema tersebut. Diharapkan dari penelitian ini dapat keluar suatu output berupa penjelasan pelaksanaan KPRS Mikro Syariah Bersubsidi oleh Lembaga Keuangan Mikro di Kota Semarang. Dari hasil penelitian akan diperoleh rekomendasi bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan KPRS Mikro Syariah Bersubsidi sehingga selanjutnya dapat berjalan dan bermanfaat baik bagi terciptanya perumahan dan permukiman yang layak dan sehat bagi seluruh masyarakat Kota Semarang.
1.2
Perumusan Masalah Pembiayaan perumahan adalah salah satu bagian dari sektor pembiayaan yang lebih besar
dimana uang dipinjamkan dan dibayar untuk mengisi pembangunan kota dan ekonomi negara. Selain itu, pasar pembiayaan perumahan terdiri dari produsen perumahan, konsumen perumahan, dan lembaga yang meminjamkan uang untuk perumahan dan semua transaksi yang terjadi diantaranya. Strategi pembiayaan perumahan konvensional didasarkan atas pemisahan antara produksi perumahan dengan pembiayaan perumahan. Pembiayaan perumahan konvensional bertujuan menyediakan pinjaman kepada masyarakat sehingga mereka dapat membeli unit rumah yang sudah siap. Agar sistem pembiayaan semacam ini dapat berjalan, harus ada beberapa lembaga pemberi pinjaman yang mampu menangani pembiayaan hipotek, dan lembaga-lembaga ini harus memiliki modal yang cukup untuk dipinjamkan. Selain itu, lembaga ini juga harus memiliki prosedur yang jelas antara lain sasaran peminjam dan struktur manajemen serta peraturan yang menyediakan dasar hokum untuk meminjam, memberikan pinjaman, membayar kembali, dan mengambil aset perumahan atau mengakses asuransi bila terjadi kegagalan dalam mengembalikan pinjaman (UN-HABITAT, 2008: 18).