STUDI NASKAH TASAWUF ABDUL MALIK BIN ABU BAKAR KRUI PENENGAHAN LAHAI Hermansyah Erwin Mahrus Rusdi Sulaiman Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak Jl. Letjen Soeprapto No. 19 Pontianak Telp. (0561) 734170 Pontianak Email:
[email protected]
Abstrak: Sejumlah ahli berpendapat bahwa Islam yang pertama kali disebarkan di Nusantara bercorak sufistik. Salah satu kelebihan pendekatan yang dilakukan oleh para ulama sufi tersebut adalah kecenderungan mereka yang relatif toleran terhadap budaya lokal, sehingga Islam dapat diterima oleh berbagai kalangan masyarakat termasuk mereka yang berada di kawasan pedalaman. Sebagian ulama ini meninggalkan karya tulis, salah satunya adalah karya tasawuf Haji Abdul Malik bin Abu Bakar Krui Penengahan Lahai yang ditemukan di pedalaman Kalimantan Barat. Melalui pendekatan filologi dan sejarah ditemukan bahwa corak tasawuf dalam naskah ini berafiliasi kepada tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Secara eksplisit disebutkan bahwa naskah ini merujuk pada kitab Fath al-‘Ârifîn karya Ahmad Khatib Sambas, pendiri tarekat tersebut. Dilihat dari segi isinya, naskah ini mengukuhkan pandangan bahwa pengamalan tasawuf haruslah beriringan dengan syariat, suatu hal yang menjadi ciri khas neo-sufisme. Naskah tersebut juga dapat dipandang sebagai model pendekatan Islam secara kultural karena ia cukup akomodatif dengan budaya lokal. Kata kunci: tasawuf, syariat, Qadiriyah, Naqsyabandiyah, neosufisme.
293
A STUDY ON THE MANUSCRIPT OF TASAWUF OF ABDUL MALIK BIN ABU BAKAR KRUI PENENGAHAN LAHAI Hermansyah Erwin Mahrus Rusdi Sulaiman Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak Jl. Letjen Soeprapto No. 19 Pontianak Telp. (0561) 734170 Pontianak Email:
[email protected]
Abstract: Some experts argue that Islam initially spreading in the archipelago was highly influenced by Sufism. One of the advantages of the approach taken by Sufis was that Islam was relatively tolerant with local culture. Because of such an approach, various local people could easily accept Islam, including those coming from rural and remote areas. Some Muslim religious scholars (ulama) recorded this Islamization in their works and manuscripts. One of the manuscripts was written by Abdul Malik bin Haji Abu Bakar Krui Penengahan Lahai. This important document was found in an inland area of West Kalimantan. Through philological and historical examinations to this manuscript, this study finds that Sufism that was spreading in that area was affiliated to Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sufi order. The text explicitly refers to Fath al-‘Ârifin work, written by Khatib Sambas, the founder of the Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sufi order. One important teaching offered by this Sufism is the integration between sharia and tasawuf. The text also reveals that the spread of Islam did not neglect to accommodate local culture. Keywords: susfism, syari’ah, Qadiriyah, Naqsyabandiyah, neosufism
294
Studi Naskah Tasawuf (Hermansyah, dkk)
PENDAHULUAN Sampai saat ini wajah Islam di Indonesia belum terdokumentasikan dengan baik. Bahkan, beberapa kawasan di negeri ini masih merupakan kawasan yang gelap dalam dunia akademik. Jika kita memperhatikan sejarah Islam Indonesia misalnya, ada beberapa bagian dari kawasan yang hanya mendapatkan gambaran sekedarnya. Hal ini dapat dipahami mengingat minat para peneliti tentang Islam di Indinesia masih terfokus pada kawasan yang dekat dengan pusat penyebaran Islam pertama kali. Keadaan ini diperparah lagi karena kesulitan untuk mendapatkan sumbersumber yang otoritatif untuk menuliskan tema yang dimaksud. Salah satu kawasan yang masih agak sepi dari hiruk-pikuk informasi akademik tentang Islam dan masyarakatnya adalah Kalimantan Barat. Azyumardi Azra 1 misalnya ketika meneliti tentang jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara abad ke-17 dan 18 sama sekali tidak menyinggung keberadaan ulama dan karya mereka dari Kalimantan Barat. Ulama dari Pulau Kalimantan yang diuraikan dalam karya tersebut hanya ulama-ulama dari Banjarmasin, wilayah Kalimantan Selatan sekarang. Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi yang sejak lama berhubungan dengan dunia luar. Hubungan dengan China sudah wujud sejak dari masa-masa awal, dan kemungkinan dimulai sejak abad ketiga Sebelum Masehi. Terdapat beberapa fakta di dalam sejarah dinasti China berhubungan dengan hal ini. Di antara tahun 600 dan 1500 Masehi ada beberapa lawatan ke negeri China yang dilakukan oleh duta-duta dari ‘Po-lo, P’oli, Poni, Yepo-ti dan sebagainya, nama-nama yang pada umumnya telah diterima sebagai tempat-tempat yang terdapat di Pantai Barat Kalimatan. Telah dipercayai sejak turun-temurun bahwa perkampungan orang Cina pernah terdapat berdekatan dengan Sungai Kinabatangan di bagian utara pulau itu2. Demikian juga interaksinya dengan Islam. Interaksi dengan Islam itu, telah mengubah kepercayaan sebagian masyarakat dari menganut agama lokal menjadi Muslim.3 Peralihan kepercayaan itu dapat dijejaki dengan banyaknya kerajaan Islam di Kalimantan Barat. Kerajaan Sambas 1
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Prenada Media, 2004). Edisi revisi, cet. 1-14 oleh penerbit Mizan Bandung. 2 Graham Irwin, Borneo abad ke-19. Terj. Moh. Nor Ghani & Noraini Ismail (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1986). 3 Lihat Hermansyah, Islam dari Pesisir sampai ke Pedalaman Kalimantan Barat (Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2010).
295
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 293-314
misalnya pernah melahirkan seorang ulama besar dalam bidang tasawuf yakni Ahmad Khatib Sambas yang merupakan pendiri Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.4 Selain itu, ulama-ulama di Kalimantan Barat telah melahirkan sejumlah karya. Naskah-naskah hasil karya mereka kemudian tersimpan, baik di istana atau di kalangan keluarga kerajaan maupun di tengah anggota masyarakat. Naskah-naskah yang kebanyakkan ditulis pada abad ke 18 dan 19 tersebut terbuat dari kertas yang secara fisik tidak bertahan lama. Sementara si pemilik hanya mengandalkan pengetahuan tradisional dalam upaya pemeliharaan. Bahkan, sejumlah naskah di tangan sebagian kalangan masyarakat sama sekali tidak dirawat, sehingga tidak jarang naskah yang dimilikinya bertumpuk dengan benda-benda lain atau berserakan tanpa pemeliharaan sama sekali. Akibatnya, sering terjadi naskah menjadi lapuk, robek, rusak, dan bahkan hilang. Salah satu naskah yang ditemukan di Kalimantan Barat adalah naskah Tasawuf Abdul Malik bin Abu Bakar Krui Penengahan Lahai. Naskah yang ditulis pada tahun 1333 H ini penting untuk dikaji dalam rangka merekonstruksi Islam di Kalimantan Barat, khususnya di kawasan pedalaman. Studi ini penting dalam rangka memahami pendapat banyak ahli bahwa Islam yang dikenalkan di kawasan Nusantara ini adalah Islam sufistik yang memungkinkan agama ini diterima secara massal. Menurut teori tersebut masuknya Islam ke Nusantara dibawa oleh para sufi yang cenderung menerima budaya lokal dan menyerapkannya dengan ajaran Islam.5 Di Jongkong dan sekitarnya terdapat cerita tentang guru sufi yang mengajarkan agama sambil menunjukkan kesaktiannya untuk menarik perhatian masyarakat. Dengan cara seperti ini sebagian orang tertarik dengan ajaran yang dibawanya dan kemudian memeluk agam Islam. Selain itu, selama ini kawasan pedalaman Kalimantan selalu dikesani sebagai tempat bermukimnya orang Dayak yang nonMuslim. Oleh karena itu, studi terhadap naskah yang ditemukan di tengah-tengah masyarakat Muslim pedalaman menjadi penting. 4
Erwin Mahrus, dkk. Syekh Ahmad Khatib Sambas, Sufi dan Ulama Besar Kalimantan Barat (Pontianak: Untan Press, 2003). 5 Lihat Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: sejarah wacana & kekuasaan. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999); Abdul Hadi W.M,. Tasawuf yang tertindas, (Jakarta: Paramadina, 2001); Yusriadi dan Hermansyah, Orang Embau : Potret Masyarakat Pedalaman Kalimantan, (Pontianak : STAIN Pontianak Press,Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, 2003);, Robert N Bellah, Beyond belief: menemukan kembali agama, esei-esei tentang agama di dunia modern. Terj. Rudy Harisyah Alam (Jakarta: Paramadina, 2000).
296
Studi Naskah Tasawuf (Hermansyah, dkk)
Berdasakan uraian di atas maka studi ini difokuskan pada: latar sosial naskah dan isi naskah Tasawuf Haji Abdul Malik bin Abu Bakar Krui Penengahan Lahai. METODE PENELITIAN Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis dokumen terhadap “Naskah Tasawuf Haji Abdul Malik bin Abu Bakar Krui Penengahan Lahai” dengan metode analisis kodikologi dan analisis tekstologi. Analisis kodikologi digunakan untuk menganalisis fisik naskah. Sedangkan analisis terhadap teks disebut tekstologi.6 Analisis teks ini dilakukan untuk menempatkan isi naskah yang dikaji ke dalam tradisi tasawuf secara umum serta dalam upaya memahami corak Islam di pedalaman Kalimantan Barat. Selain itu, untuk mengetahui tentang penulis dan asal naskah itu, peneliti menggunakan analisis sejarah yakni dengan mengungkapkan kembali kejadian masa lampau dan diuraikan sebagai cerita.7 Untuk dapat melakukan analisis maka di antara langkah penting yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan transkripsi atau transliterasi. Peneliti mengupayakan transliterasi yang dibuat tidak mengubah bahasa lama, khususnya kata, dalam naskah. Upaya ini penting supaya data bahasa lama dalam naskah itu tidak hilang dan memberikan peluang kepada para ahli bahasa untuk menelaahnya. Untuk keperluan praktis yakni untuk memudahkan pembacaan dan pemahaman terhadap teks maka transliterasi diupayakan untuk memperhatikan Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) seperti penulisan kata di, ke, dan dari yang harus dipisahkan dari kata yang diikutinya, dan kata ulang yang ditulis lengkap, tidak diberi tanda angka 2. Dalam studi ini Naskah Tasawuf Haji Abdul Malik bin Abu Bakar Krui Penengahan Lahai hanya ditemukan satu buah, maka naskah tersebut digunakan sebagai naskah tunggal. Secara ringkas prosedur penelitian ini mengikuti langkah-langkah sebagai berikut; (1) inventarisasi naskah, yakni melacak keberadaan yang dikaji melalui penelusuran katalogus; (2) deskripsi naskah, yakni menampilkan seluk-beluk fisik naskah dan sejarahnya; (3) menyajikan ringkasan isi; (4) analisis isi dan pengaruhnya. 6
Siti Baroroh Baried, Pengantar Teori Filologi (Yogyakarta: BPPF Seksi Filologi Fak. Sastra UGM, 1994). 7 Lihat misalnya Kuntowijoyo, Metodologi sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana dan Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, UGM. 2003) Edisi ke-2.
297
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 293-314
HASIL DAN PEMBAHASAN Inventarisasi Naskah Naskah Tasawuf Haji Abdul Malik bin Abu Bakar Krui Penengahan Lahai adalah milik almarhum H. Zahry Abdullah, seorang mantan pejabat di Kantor Kementerian Agama —dulu Departemen Agama— Kalimantan Barat. Dia memperolehnya dari kakeknya Bilal Lumbuk atau Haji Massabran Jongkong. Haji Massabran adalah murid penulis naskah tersebut. Naskah ini digunakan oleh penulisnya untuk kepentingan pembelajaran di kawasan Jongkong 8 dan sekitarnya. Setelah melakukan inventarisasi terhadap beberapa katalog seperti Katalog naskah-naskah Museum Sonobudoyo Yogyakarta,9 dan Direktori Edisi Naskah Nusantara, 10 peneliti tidak menemukan naskah yang sama. Di samping itu, sejauh penelusuran penulis, di Kalimantan Barat sendiri belum pernah menerbitkan katalog lokal. Latar Sosial Naskah Sebagaimana sudah dinnyatakan bahwa naskah ini ditemukan di Jongkong, Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Berdasarkan sebuah manuskrip yang ditulis—pada tahun 1241 H atau lebih kurang tahun 1827 M—oleh Pangeran Ratu Idris yang menceritakan penyebaran Islam ke Kapuas Hulu, termasuk Jongkong. Menurut manuskrip itu, sebelum menjadi memeluk Islam, sebagian penduduk pedalaman Kalimantan beragama Hindu. Kawasan pedalaman Kalimantan Barat yang pertama kali diislamkan adalah Sintang11 ketika kawasan itu diperintah oleh seorang raja yang bernama Pangeran Agung Abang Pincin. Raja ini berhasil diislamkan oleh Muhammad Saman dan Encik Shamad. Tidak ada catatan masa pemerintahan raja Islam pertama ini. Setelah Pangeran Agung wafat, Sintang diperintah oleh putranya Pangeran Tunggal. Pada masa ini umat Islam semakin bertambah. Pengajaran agama Islam semakin ditingkatkan seperti pelaksanaan salat yang pada mulanya belum diajarkan dan di8
Jongkong adalah nama kota Kecamatan yang terletak di Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Kota ini jaraknya kurang lebih 600 Km dari Pontianak, ibukota Kalimantan Barat. Islam disebarkan ke kawasan ini kurang lebih 200 tahun yang lalu. 9 Behrend, T.E. [et al.], Katalog naskah-naskah Museum Sonobudoyo Yogyakarta (Yogyakarta: Museum Sonobudoyo, 1989). 10 Edi S. Ekadjati (penyunting), Direktori Edisi Naskah Nusantara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000). 11 Sekarang menjadi salah satu kabupaten di Kalimantan Barat. Sintang terletak kurang lebih 300 km dari Pontianak.
298
Studi Naskah Tasawuf (Hermansyah, dkk)
galakkan. Pangeran Agung digantikan oleh Sultan Nata Muhammad Syamsuddin (1672-1737). Raja Sintang yang pertama kali menggunakan gelar Sultan ini sangat terkenal dalam usaha penyebaran Islam. Pada masanya, didirikan masjid—masjid pertama di kawasan Sintang—yang sebagian bahannya diambil dari Embaloh, Kapuas Hulu. Pada masa ini pula diproklamirkan penggunaan hukum syara’ bagi umat Islam. Selain itu, dibuat pula Undang-undang Negeri.12 Penyebaran Islam ke hulu Sungai Kapuas semakin intensif dilakukan oleh pengganti Sultan Nata yakni Ade Abdurrahman alias Abang Pikai dan bergelar Sultan Abdurrahman Muhammad Jalaluddin atau Sultan Aman, yang memerintah tahun 1150 sampai 1200 H (1737-1785 M). Sultan ini turut serta dalam penyebaran agama Islam ke kawasan hulu Sungai Kapuas bersama penghulu agama kerajaan yang bernama Madil bin Luwan. Selanjutnya, usaha dakwah ini semakin kuat ketika penguasa kerajaan Silat, Suhaid, Selimbau, Piasak, Jongkong dan Bunut menganut agama Islam. Pada fase berikutnya, banyak ulama yang meneruskan usaha Islamisasi ini, antara lain yang datang dari Madinah, Sumatera dan Banjarmasin. Selanjutnya, dakwah di pedalaman Kalimantan Barat semakin dipergiat, terutama dalam proses pemurnian setelah ada ulama yang berasal dari kalangan masyarakat setempat. Pada fase ini dakwah dilakukan secara lebih sistematis melalui institusi formal seperti sekolah agama.13 Corak Islam yang disebarkan di kawasan ini dimulai dari yang sederhana. Cara-cara penyebaran yang simpatik telah menarik perhatian penduduk setempat untuk memeluk agama Islam. Bahkan, penerapan hukum Islam sangat memperhatikan keadaan sosial ekonomi masyarakat. Sebuah contoh yang menarik, menurut manuskrip Pangeran Ratu Idris, pada mulanya Islam yang diajarkan sederhana saja, yakni mengajarkan kalimah syahadat, melarang makan babi dan minum tuak, penyelenggaraan upacara perkawinan dan kematian dengan cara Islam. Disebutkan juga dalam manuskrip itu, jika orang meninggal tidak boleh dipendam begitu saja dalam hutan seperti yang dilakukan 12 Helius Sjamsuddin. Perlawanan & Perubahan Kerajaan Sintang 1822-1942 (Bandung: tp.p, 2002); Yusuf Haris. et.al., Islam Memasuki Sintang (Sintang: MUI Sintang, 1993). 13 Hermansyah, “Peran H. Ahmad dalam permurnian Islam di Pedalaman Kalimantan” dalam Farid Mad Zain & Izzah Suryani Mat Resad (peny), Prosiding Dakwah Ulama Nusantara II: Peran Ulama Borneo (Bangi: Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia, 2003), 200-2009.
299
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 293-314
masyarakat sebelum Islam. Contoh lain dalam manuskrip fiqh yang ditulis oleh Bilal Lumbuk, menyebutkan bahwa ketika panen padi atau sedang membuat rumah seseorang boleh membatalkan puasanya. Mungkin, penulisnya berpendapat bahwa menjamin ketersediaan pangan untuk satu tahun lebih utama daripada berpuasa.14 Gagal panen berarti mereka akan kesulitan makan selama setahun. Sedangkan puasa bisa digantikan pada hari yang lain. Meluasnya penyebaran Islam ini, menurut Enthoven karena usaha penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh kerajaan Jongkong. Kerajaan ini mengirim mubaligh untuk tujuan merebut hati masyarakat sehingga mereka mau menerima Islam. Menurut seorang petugas penjajahan, Enthoven (1903), kerajaan Jongkong di muara Sungai Embau mengutus zendelingen ‘misi’, kalau mengikut istilah Belanda itu, untuk menyebarkan syiar Islam di hulu sungai. Para penduduk tidak disuruh atau dipaksa tetapi diyakini melalui amanah dan amal mubaligh yang diutuskan.15
Pada bagian lain disebutkan bahwa pada akhir abad ke-19 semua penduduk asli kawasan Embau yang berjumlah 4000 itu telah memeluk agama Islam, dengan memperlihatkan budaya Dayak terutama dari segi perkampungan dan peladangan. Orang Islam ini tinggal di rumah besar antara 10-15 keluarga, seakanakan rumah betang orang Dayak. Orang Islam ini juga tetap mengamalkan sistem pertanian huma yang terbatas, bukannya sawah yang luas. Pada masa itu, kepercayaan terhadap dunia mistik juga masih kuat. Bahkan, jejak-jejaknya dapat ditelusuri hingga sekarang. Walaupun demikian, dalam kenyataannya mistisisme lokal sudah mendapat pengaruh dari Islam sehingga sebagian dari kepercayaan itu sudah diwarnai dan bahkan digantikan oleh kepercayaan Islam.16 14 Pada masa itu di Embau, masyarakat bertani padi dengan cara yang sederhana. Pertanian padi hanya dilakukan sekali dalam setahun. Pertanian ini menjamin sumber pangan selama setahun. Panen dilakukan dengan menggunakan ani-ani dan memerlukan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Jika mereka tidak segera menyelesaikan panen maka padinya akan rusak. Akibatnya, mereka akan kehilangan sumber makanan dalam setahun. 15 Collins, James T., “Alam Melayu dan Masyarakat Embau” dalam Yusriadi & Hermansyah, Orang Embau: Potret masyarakat pedalaman Kalimantan, (Pontianak: STAIN Pontianak Press dan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, 2003), v-xvii. 16 Kajian mengenai ilmu gaib di kawasan tersebut dapat dilihat dalam Hermansyah, Ilmu Gaib di Kalimantan Barat (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, EFEO, KITLV, STAIN Pontianak, 2010).
300
Studi Naskah Tasawuf (Hermansyah, dkk)
Deskripsi Naskah Naskah tasawuf ini terdiri atas 40 halaman dengan panjang dan lebar naskah 17,8x11,8 cm. Panjang teks yang diberi bingkai pensil 13x8,5 cm, dan ketebalannya 0,5 cm. Birai atas 1,6 cm, kanan 1,8 cm, bawah 1,3 cm dan kiri 1 cm. Halaman yang ditulis berjumlah 35, sedangkan 4 halaman kosong dan halaman terakhir terdapat dua buah cap yang tertulis al-Hajj Abdul Malik bin Abu Bakar Krui. Tidak ada penomoran halaman. Pemilik naskah adalah almarhum H. Zahry Abdullah, mantan pegawai Departemen Agama. Beliau adalah putra kelahiran Jongkong. Menurut penuturan pemiliknya, naskah ini adalah milik kakek beliau yang bernama Bilal Lumbuk atau Haji Massabran. Bilal Lumbuk adalah generasi ketiga di Jongkong yang memeluk Islam. Selain mengajarkan agama, Bilal Lumbuk juga menulis sebuah naskah fiqh. Naskah fiqh yang ditulis oleh beliau ini menarik karena menampilkan pemikiran yang kontekstual pada masanya, misalnya boleh tidak berpuasa ketika sedang panen padi atau membangun rumah. Menurut H. Zahry Abdullah17, naskah ini diberikan oleh Haji Abdul Malik kepada Bilal Lumbuk untuk kepentingan pengajaran tarekat. Bilal Lumbuk adalah wakil talqin Haji Abdul Malik untuk mengajarkan tarekat kepada masyarakat. Naskah tersebut diberi sampul kertas karton. Pada halaman luar tertulis Kumpulan Nukilan Milik Haji Abdul Malik bin H. Abubakar Asal Krui Lampung Tarikh 1333H/1914 M. Halaman pertama bertuliskan tentang identitas penulis naskah yaitu “AlHaqq Al-Faqir Al-Hajji Abdul Malik Bin Abu Bakar Krui Penengahan Lahai alladzi tallaqâha min Al-Hajj Muhammad Amin Imam Negeri Kelantan Amin Ya Rabbal ‘Alamin tertulis kepada tahun 1333.” Keadaan naskah tersebut relatif baik. Naskah ditulis menggunakan huruf Jawi dan Arab serta berbahasa Melayu. Sebagian teks juga menggunakan bahasa Arab disertai dengan terjemahan bahasa Melayu terutama zikir dan doa serta ayat al-Qur’an. Sebagian lainnya menggunakan bahasa Melayu diikuti dengan lafal Arab tanpa terjemahannya. Naskah ini ditulis pada tahun 1333 H atau 1914 M. Tinta yang digunakan untuk menulis naskah ini berwarna hitam. Pada kata-kata atau kalimat tertentu menggunakan tinta merah. Tidak jelas maksud penggunaan tinta merah dalam naskah itu. Penggunaan tinta merah kadang-kadang terdiri dari beberapa kata, namun ada juga pada kata terakhir hanya 17
Zahry Abdullah, Wawancara, tanggal 27 Oktober 2009.
301
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 293-314
berupa penggalan kata. Kertas yang digunakan adalah kertas Eropa agak tebal dan sudah berwarna kekuning-kuningan. Illuminasi atau hiasan gambar pada naskah pada halaman pertama berupa titik-titik yang dibentuk seperti lingkaran berlapis-lapis menggunakan tinta hitam dan merah. Pada halaman seterusnya hiasan berupa dua garis tepi dari pensil. Pada beberapa halaman juga terdapat titik-titik lurus menggunakan tinta hitam dan merah. Penulis Teks Penulis teks tersebut adalah Haji Abdul Malik bin Haji Abu Bakar Krui, Lampung. Dia adalah guru agama yang sangat dihormati dan disegani di Nanga Bunut, Jongkong dan sekitarnya. Sehari-hari oleh muridnya disebut Tuan Guru. Beliau adalah pengajar agama yang berasal dari Krui, Lampung. Sekarang Krui adalah ibukota kecamatan Pesisir Tengah di dalam Kabupaten Lampung Barat, Lampung. Krui berada di daerah pesisir Samudera Hindia. Di kawasan ini dihasilkan berbagai komoditas seperti damar, lada dan cengkeh. Sumber pendapatan masyarakat kebanyakan dari berdagang, nelayan dan bertani. Mayoritas penduduk krui terutama pasar krui adalah pendatang dari daerah lain kecuali warga desa Ulu Krui dan warga desa Way Napal (asal keturunan suku Lampung). Sebenarnya ada beberapa daerah yang merupakan masyarakat asli lampung Pedada, Bandar, La’ay dan Way Sindi yang menurut kisah adalah keturunan dari Suku Tumi (Suku asli Lampung) yang lari saat Kerajaan Sekala Brak dikalahkan oleh 4 putra Raja Pagaruyung yang selanjutnya menjadi cikal bakal penyebaran dan keturunan suku Lampung. Kemudian suku Tumi yang lari tersebut dapat ditaklukkan oleh Lemia Ralang Pantang yang datang dari daerah Danau Ranau dengan bantuan lima orang punggawa dari Paksi Pak Sekala Brak. Dari kelima orang punggawa inilah nama daerah ini disebut dengan Punggawa Lima karena kelima punggawa ini hidup menetap pada daerah yang telah ditaklukkannya.18 Tidak diperoleh data mengenai kehidupan Haji Abdul Malik sebelum datang ke Bunut. Hanya berdasarkan catatan Zahry Abdullah menyebutkan bahwa beliau adalah penganut tarekat Qadiriyah Naqsabandiyyah dan merupakan penyambung silsilah ke-37 atau ke-3 setelah Syekh Ahmad Khatib Sambas. Haji Abdul Malik ketika masuk pertama kali ke hulu Sungai Kapuas memilih Nanga Bunut sekitar tahun 1923 M/1242 H dan menetap di sana sampai dengan 1933 M/1352 H sekitar sepuluh 18
302
Http://id.wikipedia.org/wiki/Krui,_Lampung_Barat
Studi Naskah Tasawuf (Hermansyah, dkk)
tahun. Di Nanga Bunut Haji Abdul Malik menikah dengan seorang perempuan bernama Bedah. Dari pernikahan ini membuahkan lima orang anak yang terdiri dari dua orang anak laki-laki dan tiga orang anak perempuan yakni Nurdayah, Mukti, Nurmala, Haji Abdurrahim, dan Imong. Walaupun menetap di Nanga Bunut, namun aktivitas mengajarnya lebih banyak dilakukan di Jongkong sampai ke hulu Sungai Embau. Menurut H. Zahry Abdullah19 selama di Jongkong dan sekitarnya Haji Abdul Malik dalam mengajarkan tauhid, syari’at dan tasawuf. Di samping itu beliau juga guru ngaji, yakni mengajarkan membaca al-Qur’an. Proses pembelajaran biasanya dilakukan dalam suatu majelis duduk melingkar sambil mendengarkan sang guru memberikan pengajaran. Biasanya kegiatan belajar diselenggarakan pada malam hari selepas shalat isya’ sampai sekitar jam 22.00. Dalam mengajar kadang-kadang beliau membaca kitab dan murid-murid mendengarkan. Dia juga memberikan kesempatan kepada murid-murisnya untuk bertanya bilamana mereka kurang mengerti atau kurang faham. Di samping itu Haji Abdul Malik juga mengajarkan membaca al-Barzanji. Tauhid yang diajarkan oleh beliau bercorak Asy’ariyah, terutama dengan mengajarkan “sifat dua puluh”. Model pengajian yang dilakukan oleh Haji Abdul Malik masih diterapkan oleh masyarakat Jongkong, terutama di Masjid al-Huda yang terdapat di Jongkong Kanan. Sementara fiqh yang diajarkan adalah Kitab Perukunan Melayu karya Syekh Arsyad al-Banjari. Di antara muridmurid Haji Abdul Malik yang terkemuka di Embau adalah Bilal Lumbuk, Haji Abu Bakar, Haji Marzuki, Haji Dja’far, Haji Mohd. Taher, Haji Mohd. Saleh, Haji Abdul Karim, dan Khatib Hasan. Menariknya ada juga murid-murid beliau yang selain mempelajari ilmu agama juga memanfaatkan ilmu tersebut untuk kepentingan tertentu, misalnya Cua bin Kadang, dikenal tahan sehari semalam menyelam di dalam air, Abdullah Sani atau Imam Ulai, dia tidak hangus bila kakinya dibakar, dan Kidon yang terkenal tahan kulitnya dari senjata tajam. Ada cerita yang menarik berkaitan dengan hal ini. Konon ketika orang-orang Melayu mengembara ke daerah Ulu Bugan dan Belatung di hulu Putussibau, orang Dayak Punan, Bukat, dan Kalis sedang ganas-ganasnya mengayau. Mereka membuka kawasan hulu Kapuas tersebut untuk mencari madu, rotan, damar, emas, getah jelutung. Untuk mengatasi gangguan suku-suku tersebut 19
Zahry Abdullah, Wawancara, September 2009.
303
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 293-314
maka orang Embau minta tiga orang ulama membantu mereka untuk melawan suku-suku tersebut yaitu Tuan Guru Haji Abdul Malik bin Haji Abu Bakar Krui, Tuan Guru Haji Abdul Latif AlFathani dan Tuan Guru Haji Mansyur Bathin. Dipercayai berkat “ilmu” yang dibekalkan ketiga Tuan Guru tersebut mereka tidak diganggu oleh orang Dayak Punan, Bukat dan Kalis, karena mereka telah menunjukkan kemampuan mereka dapat menahan mata sumpit tidak keluar dari sumpitnya serta tahan kulitnya dari serangan senjata tajam. Kehebatan orang Embau bertualang sampai ke hulu Kapuas ini menyebabkan orang Dayak di kawasan ini menyebut semua orang Melayu di Kapuas Hulu sebagai orang Embau.20 Jejak orang Embau di hulu Sungai Kapuas dapat dilihat dari tembawang 21 orang Embau di Nanga Keriau, Nanga Pani, dan Pulau Linau. Peristiwa lain diceritakan oleh murid-muridnya tentang Haji Abdul Malik pernah dalam satu majelis zikir beliau berzikir bersama murid-muridnya. Ketika itu badan beliau ditutup seluruhnya dengan kain putih, setelah selesai zikir kain putih tersebut rata dengan tikar. Ketika dibuka beliau tidak ada lagi di balik kain putih tersebut. Tidak ada seorang murid pun yang bersamanya melihatnya keluar dari kain putih itu. Setelah sekian lama mangajar di Bunut, Jongkong dan sekitarnya, sekitar tahun 1933 M atau 1352 H Haji Abdul Malik pulang ke Krui di Sumatera bersama istri dan empat orang anaknya. Sedangkan anaknya yang tertua, yaitu Nurdayah, tinggal di Bunut karena akan menikah. Mereka menetap beberapa waktu di Krui. Beberapa tahun di Krui Haji Abdul Malik dipanggil oleh Allah SWT. Setelah H. Abdul Malik meninggal dunia, istrinya bersama keempat anaknya pulang kembali ke Nanga Bunut dan menetap di kampung Peredah sebelah hulu timur masjid Jami’ Nanga Bunut. Ringkasan Isi Naskah yang berisi 35 halaman ini secara umum berisi amalan zikir dan shalawat serta tata cara mengamalkannya. Pada 20
Lihat Sellato, Bernard, Innermost Borneo: Studies in Dayak culture, (Paris: Seven Orients & Singapore University Press, 2002). 21 Istilah untuk kebun buah-buahan dan tengkawang yang sudah tua. Pemiliknya biasanya terdiri dari banyak keluarga yang merupakan keturunan pembuka lahan itu. Karena sudah begitu tua, tidak heran pemiliknya terdiri dari berbagai suku dan agama.
304
Studi Naskah Tasawuf (Hermansyah, dkk)
halaman pertama berisi keterangan mengenai penulis dan tahun penulisannya. Pada halaman ini juga dinyatakan bahwa (isinya) diperoleh dari Haji Muhammad Amin Imam Negeri Kelantan. Pada halaman dua menjelaskan bahwa makna Allah ada tiga yaitu pertama, makna asal yaitu ta’abbud bahwa Allahlah tujuan sembahan makhluk. Kedua, makna bahasa yakni tahayyar yaitu kekaguman dan keheranan kepada Allah dan ketiga makna syar’iyyah yaitu ulûhiyah bahwa Tuhan Maha Kaya dan segala sesuatu memerlukan Dia. Pada halaman ketiga dinyatakan bahwa penyebutan lafadz Allah tidak sah jika tidak memahami maknanya. Akibatnya lebih jauh bahwa istighfar, takbiratul ihram, salat, puasa, haji dan segala macam ibadah dan ketaatan lainnya juga tidak sah sebab imannya tidak sah. Pada halaman keempat dinyatakan dalil tentang Allah yaitu bahwa Allah adalah zat yang Maha Kaya dan segala sesuatu memerlukan Dia. Selanjutnya pada halaman ini juga dinyatakan bahwa wirid-wirid yang dicantumkan dalam naskah ini berasal dari Sayidina Maulana Syekh Ibrahim ar-Rasyidi yang diperolehnya dari Sayyidi Sayyid Ahmad bin Idris Syarif Hasan r.a. Pada halaman kelima sampai ketujuh berisi doa. Selanjutnya pada halaman kedelapan sampai kesebelas berisi salawat. Sedangkan halaman kedua belas sampai keenam belas berisi istighfar. Halam ketujuh belas berisi doa untuk berjumpa dengan Rasulullah Saw. Pada halaman kedelapan belas sampai kedua puluh tiga diuraikan kaifiat mengamalkan kalimat tahlil lâ ilâha illallâh. Yaitu dengan murâqabah tawajjuh setiap selesai salat lima waktu atau di luar masa itu. Caranya dengan dengan menyendiri dan hanya boleh disaksikan oleh guru dan murid. Selain itu juga diterangkan posis, suara, dan urutan melakukan murâqabah. Pada halaman kedua puluh empat dijelaskan tentang hakikat murâqabah yang terdiri dari murâqabah haqiqat, murâqabah al-mahbûbiyyah al-ma’rifah yakni haqiqat ahmadiyah dan murâqabah haqqat al-Qur’ân al-âdzîm. Menurut penulisnya penjelasan tentang muraqabah itu berasal dari kitab Fath al-’Ârifin karya Ahmad Khatib Sambas. Selanjutnya disebutkan pula murâqabah lâ ta’yan yakni mengintai zat Tuhan yang Maha Mulia dengan tawajjuh yang mustahil dicapai oleh manusia. Sebab malaikat dan para rasulpun tidak bisa mencapai-Nya. Pada halaman kedua puluh lima sampai kedua puluh delapan disebutkan dalil bahwa tawajjuh tidak mungkin dicapai 305
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 293-314
karena Allah tidak serupa dengan apapun dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Pada halaman ini juga melanjutkan penjelasan kaifiat selanjutnya yaitu berpindah ke murâqabah haqiqat al-ka’bah. Berikutnya berpindah kepada murâqabah al-mahbûbiyyah yaitu tawajjuh kepada Tuhan yang menjadikan hakikat Ahmad yang dikasihi. Setelah itu berpindah kepada murâqabah haqqat al-Qur’ân al-âdzîm yakni tawajjuh kepada Tuhan yang menjadikat hakitat al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan membacanya adalah ibadah. Disebutkan pula dalil kebenaran al-Qur’an. Dinyatakan pula bahwa hakikat murâqabah adalah mengintai dan menghadap zat Tuhan serta menanti limpahan karunia-Nya. Pada halaman kedua puluh sembilan sampai ketiga puluh tiga dijelaskan tentang arah kurnia Tuhan yakni sekalian jihah: atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang. Setelah itu berpindah ke tawajjuh hati kepada Tuhan. Dijelaskan pula dalil-dalil yang menunjukkan kedekatan manusia kepada Tuhan. Pada halaman ketiga puluh empat disebutkan delapan nama wali gaib yang diperintahkan oleh Allah untuk berkeliling empat penjuru alam ini. Mereka adalah: rijâl al-ghaib, nuqâd, nujabâ, ‘abdâl, akhyâr, autâd, ghawuts, dan qutb. Pada halaman terakhir—yang ditulis yakni halaman ketiga puluh lima—dicantumkan doa mengajarkan ilmu. Pada halaman ini juga dijelaskan mengenai salat ’qadla umur’. Salat ini dikerjakan padalam malam jum’at terakhir di bulan Ramadan setelah salat tarawih. Dimulai dari salat subuh dan seterusnya dan diulangulang sampai pelakunya tidak mampu lagi yang dalam naskah disebut sampai mabuk. Pengaruh Islam masuk ke Jongkong, khususnya dan hulu Sungai Kapuas umumnya relatif baru. Sebagaimana mana sudah dinyatakan pada bagian terdahulu bahwa Islam disebarkan belum terlalu lama yakni sejak kurang lebih 200 tahun yang lalu. Pada mulanya Islam yang disebarkan di kawasan ini bersifat gradual mulai dari yang sederhana. Dalam batas-batas tertentu para penyebaran Islam ke kawasan ini mengakomodasi budaya lokal. Oleh karena itu, Islam dapat diterima secara massal oleh masyarakat pedalaman Kalimantan Barat. Pada fase berikutnya, banyak ulama yang meneruskan usaha islamisasi ini, antara lain yang datang dari Madinah, Sumatera dan Banjarmasin. Pada masa inilah kehadiran Haji Abdul Malik ke Jongkong dan sekitarnya. Berdasarkan naskah yang ada 306
Studi Naskah Tasawuf (Hermansyah, dkk)
dan corak beragama masyarakat, nampaknya Islam yang bercorak tasawuf mewarnai kehidupan mereka. Namun, dapat dipastikan bahwa corak tasawuf yang diamalkan oleh mereka adalah tasawuf yang sekaligus menjalankan syariat. Islam dengan corak tasawuf lebih mudah diterima oleh masyarakat karena dalam batas-batas tertentu memiliki kesamaan dengan spiritualitas yang sudah hidup pada masyarakat setempat. Penelitian Hermansyah22 menemukan bahwa terdapat unsur-unsur Islam, khususnya tasawuf, dalam ilmu 23 terutama dalam bentuk mantra masyarakat di kawasan Jongkong dan sekitarnya. Penyebar Islam di sini lebih memilih caracara kompromi terhadap budaya masyarakat lokal. Budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat setempat tidak didekati secara hitam putih dengan menggunakan terminologi halal-haram atau iman-kufur. Pada tahap awal sebagian budaya “dibiarkan” tetap hidup di masyarakat. Oleh karena itu, masih ditemukan beberapa kepercayaan dan amalan tertentu yang bertentangan dengan Islam. Sebagian kepercayaan dan amalan itu “dikawinkan” dengan ajaran Islam sehingga melahirkan kebudayaan baru yang khas sebagaimana lazimnya di Nusantara. Sebagai contoh sebuah mantra yang disebut “ilmu zikir wali” yang diamalkan orang Embau mengesankan hal tersebut. Dalam ilmu itu disebutkan Ahli Kutub Zaman. Ini teksnya: Ilmu zikir wali24 itan zul rahmah ya ahli kutub zaman
Nama wali Ahli Kutub Zaman juga istilah yang dikenal di kalangan para sufi. Dalam naskah Abdul Malik, nama wali ini disebutkan pada halaman 34. Menurut Schimmel25 dalam keyakinan para sufi dan penganut tarekat yang disebut Kutub (Qutb) yaitu wali yang menjadi poros alam semesta. Wali ini atas perkenan Tuhan memiliki kekuasaan tertinggi di antara wali-wali yang lain. Orang Embau mengamalkan ilmu ini, jika merasa takut, terutama ketika berada di tempat yang sepi seperti di hutan. Nampaknya pengamalan ilmu ini sejalan dengan kepercayaan tentang wali kutub zaman yang menjadi poros alam semesta akan hadir 22 Hermansyah, Unsur-unsur Tasawuf dalam magi Melayu Ulu Kapuas. Laporan Penelitian Pontianak: STAIN Pontianak, 2003. 23 Istilah masyarakat setempat untuk menyebut ilmu gaib. 24 Hermansyah, Ilmu Gaib di Kalimantan Barat (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, EFEO, KITLV, STAIN Pontianak, 2010). 25 Annemarie Schimmel, Mystical dimension of Islam (Chapel Hill: The University of North Carolina Press, 1976), 200.
307
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 293-314
bersama seseorang membacakan ilmu ini. Dipercayai dengan mengamalkan ilmu ini akan menghilangkan rasa ketakutan, sebab wali kutub zaman akan menemaninya secara gaib. Kemiripan spiritualitas lokal yang sudah ada memungkinkan penerimaan corak spiritual baru yang diajarkan oleh Islam. Guru-guru sufi yang mengajarkan Islam di samping terkenal dengan kepakarannya dalam bidang ilmu agama kadang-kadang juga dianggap oleh masyarakat sebagai sosok yang memiliki kelebihan tertentu. Di antara kelebihan itu yang agak sering dirujuk oleh masyarakat kepada guru-guru sufi ini adalah meminta didoakan supaya memperoleh kesembuhan dari penyakit. Tidak jarang upaya ini dianggap berhasil oleh masyarakat. Dengan demikian sebagian masyarakat tertarik dengan ilmu agama yang dibawa oleh sang guru. Keadaan ini juga terjadi di Jongkong dan sekitarnya. Pada masa lalu guru-guru agama kadang-kadang diminta untuk membantu masyarakat secara spiritual untuk mengatasi masalah yang di luar jangkauan kemampuan mereka. Keadaan seperti ini dimanfaatkan oleh para guru tersebut untuk mengajarkan ilmu agama. Keadaan seperti inilah yang dialami oleh H. Abdul Malik. Pengajaran tasawuf yang berpijak pada syariah yang diajarkan oleh beliau telah memberikan corak keberagamaan umat Islam di kawasan Jongkong. Sebagaimana sudah dinyatakan di atas bahwa beberapa orang murid beliau seperti Bilal Lumbuk, Haji Abu Bakar, Haji Marzuki, Haji Dja’far, Haji Mohd. Taher, Haji Mohd. Saleh, Haji Abdul Karim, dan Khatib Hasan merupakan tokoh-tokoh utama yang meneruskan penyiaran Islam di kawasan Jongkong. Lewat merekalah corak ilmu agama yang diajarkan oleh H. Abdul Malik memberikan pengaruh di kalangan masyarakat. Pada tahap ini boleh dikatakan merupakan tahap pemapanan Islam di kawasan tersebut setelah periode sebelumnya yang merupakan proses pengislaman penduduk setempat. Pada masa ini pengamalan Islam nominal yang dikenal dengan “Islam Burung” atau “Senganan” secara perlahan-lahan diubah menjadi Islam yang lebih sesuai dengan syariat. Konsep Wali Walau tidak ditemukan konsep yang utuh dan detil dalam naskah Abdul Malik mengenai wali. Namun, dalam naskah tersebut (hal. 34) menyebutkan nama-nama wali khas yaitu: Nomor 1 rijâlul ghaib as-salâmu ‘alaykum Nomor 2 ya nuqâd as-salâmu ‘alaykum Nomor 3 ya nujabâ as-salâmu ‘alaykum 308
Studi Naskah Tasawuf (Hermansyah, dkk)
Nomor Nomor Nomor Nomor Nomor
4 5 6 7 8
ya ‘abdâl as-salâmu ‘alaykum ya akhyâr as-salâmu ‘alaykum ya autâd as-salâmu ‘alaykum ya ghawuts as-salâmu alaykum ya qutub as-salâmu ‘alaykum
Kata wali biasanya diterjemahkan menjadi “orang kudus”, “seseorang di bawah perlindungan khusus, teman”. Menurut Qusyairi26 kata wali bersifat aktif dan pasif sekaligus. Seorang wali adalah seorang yang urusannya dituntut (tuwulliya) oleh Tuhan dan yang melakukan (tawalla) pemujaan dan kepatuhan. Sedangkan menurut Abi Khuzam27 wali adalah: (1) al-waliyyu man tawallâ al-haq amruhu wa hafizahu min al-‘ushyan wa lam yukhlihi wa nafsahu bilhizdlani hattâ yuballighahu fi al-kamâli mablaha al-rijali. (2) alwaliyyu fâ’îl bi ma’na al-fâ’il wa huwa man tawallat tha’atuhu min ghairi an yatakhallalaha ’ishyan. Aw bi ma’na al-maf’ul fahuwa man tawalla ‘alaihi ihsanu-lLahi wa afdhaluhu. Wa al-waliyyu huwa al-‘ârif billlahi wa shifatihi, bihasabi ma yumkinu al-muwazhinu ‘alâ al-thâ’âti, al-mujtanibu ‘an al-ma’âshi, a’mu’ridhu ‘an al-inhimâki fi al-ladzdzâti wa asy-syahawâti. Sementara itu menurut Al-Kalabadzi,28 wali adalah orang khusus yang dikehendaki dan dipilih Allah. Orang tersebut terjaga dari fitnah yang akan menimpa dirinya, tidak sombong sehingga ia terjaga dari kejahatan orang lain. Ia tidak mudah mendekati kesenangan duniawi yang menggoda jiwanya. Walaupun demikian ia tidak terlepas dari tabiat kemanusiaan. Seorang wali tidak ma’shum. Namun jika ia terjerumus dalam perbuatan dosa ia segera meminta ampun dan bertaubat kepada Allah. Kata auliyâ Allah disebutkan beberapa kali dalam al-Qur’an, antara lain: “Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Yunus [10]: 62) Konsep wilâyah (kewalian) berkembang selama masa permulaan berkembangnya Tasawuf. Seorang penguasa awal abad ke-10, Abu Abdallah as-Salimi29 menyatakan bahwa wali adalah mereka yang dapat dikenali karena bicara mereka yang elok-elok, tingkah laku yang sopan dan merendahkan diri, murah hati, memperlihatkan sedikit saja pertentangan, dan menerima 26
Sebagaimana dikutip oleh Schimmel, Mystical dimension of Islam. Anwar Fuad Abi Khuzam,. Mu’jam al-Musthalahât al-Shûfiyyah (Beirut: Maktabah Lubnan Nâsyirûn, 1993). 28 Abi Ishaq ibn Ibrahim ibn Ya’qub al-Bukhari al-Al-Kalabadzi, Ajaran kaum sufi, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1985), 83. 29 Schimmel, Mystical dimension of Islam. 27
309
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 293-314
permintaan maaf dari siapa saja yang meminta maaf kepadanya, dan halus budi terhadap segala ciptaan yang baik maupun jelek. Kewalian umum sebagaimana dinyatakan Salimi tersebut dapat dibedakan dari kewalian khusus (wilâyah khâshshah) yaitu para wali yang menjadi hilang dalam Tuhan dan berada melalui Dia. Menurut al-Hujwiri30 mereka terdiri dari tiga ratus orang yang disebut akhyar, empat puluh orang yang disebut abdal, tujuh orang yang yang disebut abrar, empat orang yang disebut awtad, tiga orang yang disebut nuqaba, dan satu orang yang disebut quthb atau ghawts. Selain menyebut wali-wali yang sama al-Tirmidzi 31 menambah ada empat ribu wali ghaib atau wali tersembunyi. Corak Tasawuf Adaptasi zikir Naqsyabandiyah begitu eksplisit dalam tarekat yang ajarkan oleh Abdul Malik Krui dalam naskah tersebut. Tarekat Naqsyabandiyah-lah yang memusatkan zikirnya pada enam titik halus (lathâif) dalam badan, latifat al-qalb (letaknya di ujung jantung), latifat al-ruh (pada dada kanan, tingginya sama dengan qalb), latifat al-sirr (dua jari di atas puting kiri), latifat alKhafi (dua jari di atas puting kanan), latifat al-akhfa (di tengah dada) dan latifat al-nafs al-natiqah (dalam otak). Ahmad Khatib Sambas sebagaimana dikutip oleh Abdul Malik telah menerapkan konsep latifah dalam zikir Qadiriyah, dia menuntut tidak hanya hati yang disucikan dengan zikir tetapi juga kelima lataif di dalam dada. Ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh Abdul Malik ini dapat dikategorikan sebagai tasawauf amali atau apa yang oleh Fazlurrahman sebut dengan neo-sufisme.32 Dalam naskah tersebut nampak penulisnya mementingkan syariat dalam mengamalkan tarekat. Ini terlihat pada waktu mempraktekkan zikir, yakni dianjurkan setelah melaksanakan shalat fardhu. Walaupun demikian, corak tasawuf yang falsafi juga dapat ditemukan jejaknya dalam karya Abdul Malik. Misalnya terdapat istilah jam’iyyah (h 28). Tokoh sufi yang sering dikategorikan sebagai penganut tasawuf falsafi, Ibn ‘Arabi menggunakan istilah yang sama ketika menjelaskan penciptaan Adam dari dua bentuk, yaitu bentuk ‘alam dan bentuk al-haq, sedangkan setan, menurut 30 Ali Ibn Usman al-Hujwiri, The Kashf al-mahjub: The oldest Persian treatise on sufism, Terj. Reynold A. Nicholson, (Lahore: Islamic Book Foundation,1980), 197. 31 Schimmel, Mystical dimension of Islam. 32 Walaupun harus dinyatakan bahwa Fazlur Rahman menambah ciri lain dari neo sufisme yaitu bersifat aktivis yang tidak secara eksplisit dinyatakan dalam naskah Abdul Malik.
310
Studi Naskah Tasawuf (Hermansyah, dkk)
Ibnu ‘Arabi,33 hanya memiliki bentuk ‘alam. Jadi setan tidak mendapatkan jam’iyah tersebut. Oleh karena itu, Adam menjadi khalifah. Selanjutnya dalam naskah Abdul Malik menggunakan istilah muraqabah la ta’yan (h 23). Artinya, “mengintai zat Tuhan Yang Maha Mulia Yang Tiada Nyata”. Secara harfiah, murâqabah berarti mengawasi, sedangkan la ta’yan (sich!, kata kerja Arab: ’ayyana) berarti tidak tertentu. Bentuk kata benda dari ‘ayyana adalah mu’ayyan sebagaimana digunakan oleh Ibn ‘Arabi. Kutipan berikut akan melihatkan konteks pembicaraan ketika ‘Arabi menggunakan istilah mua’yyan atau dengan kata artikel al- al-mu’ayyan. Ketahuilah bahwa pemberian-pemberian dan anugerah-anugerah zahir di alam eksistensi (al-kaun) yang berada di tangan para hamba, dan selain para hamba, terbagi dua. Pertama, pemberian-pemberian dzatiyah (substantif) dan, kedua, pemberian-pemberian asma‘iyyah (“nama-nama”). Bagi para ahli zauq, pemberian-pemberian ini berbeda-beda. Pemberian-pemberian ini juga terjadi karena: (1) permintaan mu’ayyan (“spesifik”) dan permintaan ghair mu’ayyan (“non spesifik”), dan (2) tidak karena permintaan, entah mengenai pemberian dzatiyah maupun asma’iyyah. Contoh permintaan almu’ayyan ialah seperti seseorang yang mengatakan: “Ya Tuhan berikan aku demikian,” kemudian menspesifikasi suatu persoalan sehingga tidak ada lagi perkara lain yang terlintas di benaknya. Contoh permintaan ghair al-mu’ayyan ialah seperti seseorang yang mengatakan: “Berikan kepadaku apa yang di dalamnya Engkau mengetahui kemaslahatanku,” tanpa menspesifikasi unsur zati, entah yang lembut (lathif) maupun kasar (katsif).34
Konsep lain yang dikemukakan Abdul Malik, dan digunakan juga oleh Ibnu ‘Arabi, ialah jihah (h 26). Ketika mengomentari ayat: “Yakhâfuna rabbahum min fauqihim,” dan “wa huwa al-qâhir fauqa ‘ibâdih,” Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa Dia memiliki atas dan bawah, sehingga enam jihah (harfiah: arah, sisi, perspektif) tidak kelihatan kecuali oleh manusia yang berada dalam bentuk ar-rahmân.35 Meskipun juga menggunakan konsep “jihah yang enam”, namun Malik dia mengaitkan konsep ini dengan ayat 1 surah al-Ikhlas: “Qul huwa Allâh ahad” (h 26). Seringkali didengar khabar bahwa tasawuf, secara praktis, cenderung menyingkirkan syariat, termasuk syariat dalam bentuk peribadatan. Sebagaimana sudah dinyatakan bahwa naskah Abdul Malik membuktikan sebaliknya. Malik menjunjung tinggi 33
Ibnu ‘Arabi, Fushush al-Hikam (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1960), 55. Ibid., 58-59. 35 Ibid., 171. 34
311
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 293-314
peribadatan. Hal ini tercermin dari keseriusan Malik membela pelaksanaan shalat lima waktu dan menjadikan apa yang disebutnya “sembahyang qadha’ umur, qadha’ waktu (h 34)” sebagai bagian dari prosedur formal murâqabah. Bahkan, salah satu sub bahasan Malik berjudul “Inilah Shalat yang Amat Besar” (h 7). Biasa pula didengar bahwa tasawuf, secara filosofis, menolak syari’at. Sebagaimana Abdul Malik, karya Ibu ‘Arabi menegaskan sebaliknya. Bagi Ibn ‘Arabi, din (agama) berarti inqiyâd (mengkuti), sedangkan syara’ yang disyari’atkan Allah disebutnya namus (yang antara lain berarti sly36 [diam-diam, rahasia], law [hukum] dan code37 [peraturan]). Salah satu syari’at yang disebut secara langsung oleh ‘Arabi adalah salat. “Barang siapa yang menyifati inqiyâd yang disyari’atkan Allah kepadanya, maka dia tegak dan menegakkan agama… seperti mendirikan shalat”. Singkatnya, “…inqiyâd adalah hakikat perbuatan Anda.38 Dengan demikian, karya Abdul Malik maupun Ibnu ‘Arabi bukan saja seirama dalam meruntuhkan anggapan keliru yang memisahkan syariat dan tasawuf, melainkan pula seia-sekata dalam hal mengistimewakan ibadah shalat. Temuan ini sejalan dengan kesimpulan Lalu Agus Satriawan39 yang menyatakan bahwa adanya perpaduan antara perspektif fiqh dan tasawuf dalam naskah Asrâr al-Shalâh merupakan kecenderungan pemikiran yang berkembang pada abad ke-17 dan ke-18 di Nusantara. SIMPULAN Naskah yang berisi 35 halaman ini secara umum berisi amalan zikir dan shalawat serta tata cara mengamalkannya. Naskah ditulis oleh penyebar Islam di kawasan Jongkong dan sekitarnya tersebut merupakan naskah tasawuf, khususnya tarekat yang berafiliasi kepada tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Corak tersebut terlihat dari cara mempraktekkan zikir sebagai upaya melakukan murâqabah dan tawajjuh. Di samping itu, penulisnya juga secara eksplisit menyebutkan bahwa dia mengutip kitab Fath al-‘Ârifin karya Ahmad Khatib Sambas, pendiri tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyyah. Naskah itu juga mengesankan 36 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic. edited by J. Milton Cowan (Ithaca, New York: Spoken Language Services, Inc. third edition, 1976), 1000. 37 Baalbaki, Rohi, Al-Mawrid A Modern Arabic-English Dictionary (Beirut: Dar Al-‘Ilm li Al-Malayin. cet. ke-2, 1995), 1155. 38 Ibnu ‘Arabi, Fushush al-Hikam, 94. 39 Lalu Agus Satriawan, “Shalat Sufistik menurut Naskah Asrâr al-Shalâh”, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 1 Desember 2009, 53-77.
312
Studi Naskah Tasawuf (Hermansyah, dkk)
bahwa pengamalan zikir dan shalawat harus disertai dengan pengamalan syariat terutama shalat. Dengan demikian model tasawuf yang diajarkan naskah tersebut mensinergikan antara fiqh dan tasawuf, sebagaimana kecenderungan neo-sufisme di tanah air yang kian menguat. Adanya naskah tersebut juga dapat dijadikan sumber untuk menelusuri corak Islam awal disebarkan di pedalaman Kalimantan Barat. Islam sufistik yang dalam batas-batas tertentu akomodatif terhadap budaya lokal terbukti telah berhasil mengubah keyakinan masyarakat pedalaman Kalimantan Barat dari agama tradisional menjadi Islam. Secara khusus pengaruh penulis naskah itu dirasakan oleh masyarakat terutama melalui murid-muridnya yang meneruskan usaha pemapanan Islam di kawasan itu. Daftar Pustaka ‘Arabi, Ibnu. Fushûsh al-Hikam. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1946. Abi Khuzam, Anwar Fuad. Mu’jam al-Musthalahât al-Shûfiyyah. Beirut: Maktabah Lubnan Nâsyirûn, 1993. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Prenada Media, 2004. ______. Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana & Kekuasaan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999. Baalbaki Rohi. Al-Mawrid A Modern Arabic-English Dictionary. Beirut.: Dar Al-‘Ilm li Al-Malayin, 1995. Baried, Siti Baroroh dkk. Pengantar teori filologi. Yogyakarta: BPPF, Seksi Filologi, Fakultas Sastra, UGM, 1994. Behrend, T.E. [et al.]. Katalog naskah-naskah Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Yogyakarta: Museum Sonobudoyo, 1989. Bellah, Robert N. Beyond belief: menemukan kembali agama, esei-esei tentang agama di dunia modern. Terj. Rudy Harisyah Alam, Jakarta: Paramadina, 2000. Bouman, M.A., “Ethnografische aanteekeningen omtrent de Gouvernementslanden in de Boven-Kapoeas, Westerafdeeling van Borneo”. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, 1924. Collins, James T. “Alam Melayu dan Masyarakat Embau”. Dalam Yusriadi & Hermansyah. Orang Embau: Potret masyarakat pedalaman Kalimantan. Pontianak: STAIN Pontianak Press dan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, 2003. Ekadjati, Edi S. (penyunting). Direktori Edisi Naskah Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000. Enthoven, J.J.K. Bijdragen tot de geographie van Borneo’s WesterAfdeeling, Jilid 2. Leiden: E.J. Brill, 1903. 313
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 293-314
Haris, Yusuf. et.al. Islam Memasuki Sintang. Sintang: MUI Sintang, 1993. Hermansyah. Ilmu Gaib di Kalimantan Barat. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, EFEO, KITLV, STAIN Pontianak, 2010. ______. Unsur-unsur Tasawuf dalam magi Melayu Ulu Kapuas. Laporan Penelitian, Pontianak: STAIN Pontianak, 2003a. Hermansyah dan Yusriadi. Islam di Pedalaman Kalimantan Barat Berdasarkan Naskah Fiqh Bilal Lumbuk. Laporan penelitian kerjasama Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak dengan Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI, 2006. Http://id.wikipedia.org/wiki/Krui,_Lampung_Barat, akses 15 Oktober 2009. Hujwiri, Abu Usman. Kasyful Mahjub: Risalah Persia Tertua tentang Tasawuf, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi W.M., Bandung: Mizan, 1997, Cet. ke-5. Kalabadzi, ibn Abi Ishaq ibn Ibrahim ibn Ya’qub al-Bukhari. Ajaran kaum sufi. Terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1985. Karim, Ab Razak Ab. Analisis Bahasa Dalam Kitab Tib Pontianak. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006. Khatib Sambas, Syekh Ahmad. Fath al-‘Ârifin. Makkah: Matbaáh Makkah al-Muhammiyah, 1899. Kuntowijoyo. Metodologi sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana dan Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, UGM, 2003, Edisi ke-2. Mahrus, Erwin, dkk., Syekh Ahmad Khatib Sambas, Sufi dan Ulama Besar Kalimantan Barat. Pontianak: Untan Press, 2003. Raas, J.J. Hikayat Banjar. Terj. Siti Hawa Salleh, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990. Schimmel, Annemarie. Mystical dimension of Islam. Chapel Hill: The University of North Carolina Press, 1976. Shihab, Alwi. Islam Sufistik. Bandung: Mizan, 2001. Sjamsuddin, Helius. Perlawanan & Perubahan Kerajaan Sintang 18221942. Bandung: tp.p, 2002. Syata, Ibrahim Al-Dusuqi. Al-Tashawuf ‘Inda Al-Farsi. Kairo: Dar Al-Ma’arif, t.th. Van Kessel, O. “Statistieke aanteekeningen omtrent het stroomgebied der rivier Kapoeas, wester-afdeeling van Borneo”. Indisch Archief: Tijdschrift vor de Indiën, 1, 1850. Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. edited by J. Milton Cowan, Ithaca, New York: Spoken Language Services, Inc., 1976, third edition. Yusriadi dan Hermansyah. Orang Embau : Potret Masyarakat Pedalaman Kalimantan. Pontianak: STAIN Pontianak Press, Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, 2003. 314