STUDI MORFOLOGI BUNGA, PENYERBUKAN DAN PERKEMBANGAN BUAH SEBAGAI DASAR PENGENDALIAN MUTU BUAH PEPAYA IPB
KETTY SUKETI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul:
STUDI MORFOLOGI BUNGA, PENYERBUKAN DAN PERKEMBANGAN BUAH SEBAGAI DASAR PENGENDALIAN MUTU BUAH PEPAYA IPB
adalah benar-benar karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, bukan hasil jiplakan atau tiruan serta belum pernah diajukan dalam bentuk apapun untuk memperoleh gelar program sejenis di perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah dituliskan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2011
Ketty Suketi NIM. A361020031
ABSTRACT KETTY SUKETI. Study on flower morphology, pollination and fruit development of IPB’s papaya for fruit quality control. Supervised by: ROEDHY POERWANTO as the chairman, SRIANI SUJIPRIHATI, SOBIR and WINARSO D. WIDODO as the member of advisory committee. The purpose of this study were to identify the mechanism of flowering and fruit development of IPB’s papaya for fruit quality control. This experiments were consisted study of: papaya flower morphology, papaya pollen viability and pollen tube growth, pollination and fruit development, and papaya fruit quality for papaya fruit quality control. The general conclusion from this study is that information about pollination and flower morphology associated with sex expression of plants can be used to control the shape, size and quality of papaya fruit. Female plants produce pistillate flowers and hermaprodite plants produce hermaphrodite flowers and sex expression of flowers became known after the flowering plants. Hermaphrodite flower development until the fruitset formed will occur much longer than pistillate flower. Location of the stamen to the stigma of papaya small fruit and large fruit categories were different. Hermaphrodite style flower of IPB 1 genotype has irregular and unstable shape of lobe, in the other hand pistillate style flower has five lobes. The purpose of the pollen germination research was to examine the fertilization process in terms of papaya pollen germination process and growth rate of pollen tubes. Average length of pollen tube within four hours of germination for small papaya fruit category (IPB 1, IPB 3, and IPB 4) was long, while the distance between stigma and base of ovary was short so that the expected of fertilization process occurred sooner. Pollination by decreasing the number of stamens in hermaphrodite papaya flower of IPB 3 genotype (small fruit category) resulted in reduction of the chemical characteristics but not the physical characteristics of the fruit. Bagging and reduction of stigma lobes of hermaphrodite flowers IPB 3 causes a reduction in fruit weight, fruit flesh thickness and seed number. In the large fruit category of papaya (IPB 2 genotype) reduction of stamens, stigma lobes and bagging in hermaphrodite papaya flower IPB 2 causes a decrease in physical characteristics of the fruit but does not reduce the chemical characteristics of the fruit. Reduction of stigma lobes of pistillate flowers IPB 3 affects the number of seeds and seed weight. Isolated pollination by bagging pistillate flower of IPB 3 genotype was showed seedless fruit. There is no metaxenia effect or no effect of genotype on pollen sources on physical and chemical characteristics of hermaphrodite IPB 3. The IPB 1 genotype could be harvested at all stadia of maturity stage: stadium 25% (130 DAA-Days after anthesis), 50% (135 DAA) and 75% (140 DAA). The other genotype could be harvested at stadium 25 % ripe and consumed at 75 % ripe. There was no significant different on physical and chemical characteristics between papaya at stadium 75% and 100% ripe. Flesh firmness of IPB 9 genotype was better than IPB 1, IPB 4 and IPB 8. The longest shelf life was shown by IPB 10A (8-9 days after picking), while the other genotypes had a similar shelf life of 6-7 days. Keyword: flower morphology, pollen viability, pollen tube, pollination, fruit development, fruit quality, pistillate, hermaphrodite.
RINGKASAN KETTY SUKETI. Studi morfologi bunga, penyerbukan dan perkembangan buah sebagai dasar pengendalian mutu buah pepaya IPB. Komisi Pembimbing: ROEDHY POERWANTO (Ketua), SRIANI SUJIPRIHATI, SOBIR dan WINARSO D. WIDODO (Anggota). Tujuan dari studi ini ialah: untuk mengetahui keragaan morfologi bunga pepaya IPB; mengetahui fisiologi pembuahan melalui viabilitas dan pertumbuhan tabung sari pepaya; mengetahui pengaruh penyerbukan terhadap mutu buah pepaya IPB 3 dan IPB 2, dan karakter mutu buah yang dapat dijadikan dasar pengendalian mutu buah pepaya. Penelitian dilakukan dengan percobaanpercobaan yang terdiri dari studi: morfologi bunga, viabilitas dan pertumbuhan tabung sari, penyerbukan bunga dan mutu buah pepaya. Kesimpulan umum dari penelitian ini ialah informasi tentang penyerbukan dan morfologi bunga terkait dengan ekspresi seks tanaman dapat digunakan untuk mengatur bentuk, ukuran dan mutu buah pepaya. Tanaman betina menghasilkan bunga betina dan tanaman hermafrodit menghasilkan bunga hermafrodit serta ekspresi seks bunga tanaman pepaya baru diketahui setelah tanaman berbunga. Letak benang sari yang berdekatan dan di atas stigma bunga terdapat pada bunga pepaya kategori buah kecil, sedangkan letak benang sari lebih jauh dan di bawah stigma bunga terdapat pada kategori buah sedang dan buah besar. Bunga hermafrodit genotipe IPB 1 menunjukkan ketidak teraturan jumlah lekukan pada tangkai kepala putik, berbeda dengan lekukan pada tangkai kepala putik bunga betina IPB 1 yang konsisten berjumlah lima lekukan. Perkembangan bunga betina genotipe IPB 1 sampai terbentuk bakal buah berlangsung selama 4-5 hari, sedangkan pada hermafrodit lebih lama yaitu sekitar 5-7 hari. Hubungan viabilitas yang dicerminkan oleh daya berkecambah serbuk sari dan kecepatan pertumbuhan tabung sari dapat dijadikan parameter penduga keberhasilan proses pembuahan pada pepaya. Tabung sari dalam empat jam perkecambahan untuk pepaya kategori buah kecil (IPB 1, IPB 3 dan IPB 4) tumbuh paling panjang, sementara jarak antara stigma dengan bakal buah pendek sehingga diduga proses pembuahan akan terjadi lebih cepat dibandingkan pada pepaya kategori buah lainnya. Pengurangan benang sari pada buah pepaya kategori kecil (IPB 3) mengakibatkan pengurangan karakter kimia buah tetapi tidak pada karakter fisik buah. Pengurangan cuping stigma bunga hermafrodit yang disertai dengan penyungkupan pada pepaya kategori buah kecil menyebabkan pengurangan dalam bobot buah, tebal buah dan jumlah biji. Pada pepaya kategori buah besar (IPB 2) pengurangan benang sari, cuping stigma dan penyungkupan menyebabkan penurunan pada karakter fisik buah tetapi tidak mengurangi mutu kimia buah. Pengurangan cuping stigma bunga betina IPB 3 mempengaruhi jumlah biji dan bobot biji yang terbentuk. Penyungkupan bunga betina genotipe IPB 3 menghasilkan buah pepaya betina yang tidak berbiji. Mutu karakter fisik dan kimia buah hermafrodit IPB 3 tidak dipengaruhi oleh genotipe sumber serbuk sari sehingga tidak ada efek metaxenia pada buah pepaya hermafrodit IPB 3.
Buah pepaya genotipe IPB 1 dapat dipanen pada stadia kematangan buah 25% (130 HSA-Hari setelah antesis), 50 % (135 HSA) dan 75 % (140 HSA). Genotipe lainnya dapat dipanen pada stadia kematangan buah 25 % dan dikonsumsi pada stadia kematangan 75%. Karakter mutu fisik dan kimia buah tidak berbeda.pada stadia warna kuning kulit buah 75% dan 100%. Genotipe IPB 9 memiliki nilai kekerasan daging buah lebih baik dari IPB 1, IPB 4 dan IPB 8. Kandungan vitamin C (ascorbic acid) dan karoten genotipe IPB 4 lebih besar dari IPB 2A, IPB 3A. Buah genotipe IPB 10 A memiliki daya simpan (8-9 hari), sedangkan daya simpan buah genotipe lainnya rata-rata mencapai 6-7 hari. Kata kunci: hermafrodit, betina, penyerbukan, tabung sari, serbuk sari, mutu buah pepaya.
@Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor tahun 2011. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
STUDI MORFOLOGI BUNGA, PENYERBUKAN DAN PERKEMBANGAN BUAH SEBAGAI DASAR PENGENDALIAN MUTU BUAH PEPAYA IPB
KETTY SUKETI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Sri Setyati Harjadi, M.Sc. (Guru Besar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB) Dr. Ir. Endah Retno Palupi M.Sc. (Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB)
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Slamet Susanto (Guru Besar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB) Dr. Ir. Winny Dian Wibawa, M.Sc. (Sekretaris Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian)
Judul Disertasi
Nama Nomor Pokok Program Studi
: Studi Morfologi Bunga, Penyerbukan dan Perkembangan Buah sebagai Dasar Pengendalian Mutu Buah Pepaya IPB : Ketty Suketi : A 361020031 : Agronomi
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Roedhy Poerwanto, M.Sc. Ketua
Prof.Dr.Ir. Sriani Sujiprihati, MS. Anggota
Dr.Ir. Sobir, MS. Anggota
Dr.Ir. Winarso D.Widodo, MS. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Agronomi
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Dr.Ir. Munif Ghulamahdi, MS.
Dr.Ir. Dahrulsyah M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Pengembangan buah-buahan tropika Indonesia memegang peranan penting dalam meningkatkan perekonomian Indonesia. Strategi yang dilakukan untuk pengembangan buah-buahan tropika seyogyanya berdasarkan kepada pengelolaan sumber daya genetik yang dimiliki sehingga dapat menghasilkan produk yang mempunyai daya saing tinggi. Pengembangan buah pepaya di Indonesia diharapkan dapat menghasilkan pepaya Indonesia yang mempunyai kemampuan untuk bersaing dalam agribisnis buah-buahan Dalam rangka mendukung pengembangan buah pepaya, maka dilakukan serangkaian penelitian berjudul: Studi Morfologi Bunga, Penyerbukan dan Perkembangan Buah sebagai Dasar Pengendalian Mutu Buah Pepaya IPB. Dengan rahmat Allah SWT, penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Program Doktor (S3) di Sekolah Pascasarjana, IPB. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, M.Sc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS., Dr. Ir. Sobir, MS. dan Dr. Ir. Winarso D. Widodo, MS. sebagai Anggota Komisi yang telah banyak membantu dalam membimbing dan mengarahkan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada: 1. Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS dan Hibah Penelitian Program Doktor 2009 sehingga penulis dapat menyelesaikan studi Program Doktor di Institut Pertanian Bogor. 2. Rektor Institut Pertanian Bogor , Wakil Rektor IPB Bidang Akademik, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Pertanian IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, Kepala Bagian Laboratorium Produksi Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB atas pemberian ijin dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan baik. 3. Staf Pengajar Program Studi Agronomi, Sekolah Pasca Sarjana IPB yang telah memberikan ilmu selama penulis kuliah untuk Program Doktor di IPB.
4. Dr. Ir. M. Rahmad Suhartanto dan Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.Sc. yang telah menguji penulis pada Ujian Prakualifikasi Program Doktor di IPB. 5. Prof. Dr. Ir. Sri Setyati Harjadi, Dr. Ir. Endah Retno Palupi MSc., Dr.Ir. Aris Munandar dan Dr.Ir. Trikoesoemaningtyas yang telah menguji penulis pada Ujian Tertutup Program Doktor di IPB. 6. Prof.Dr.Ir. Slamet Susanto, Dr. Ir. Winny Dian Wibawa, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.Sc. dan Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. yang telah menguji penulis pada Ujian Terbuka Program Doktor di IPB. 7. Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB yang telah banyak memberikan dukungan, pengertian, bantuan dan kerjasama dalam pelaksanaan tugas penulis sebagai staf pengajar. 8. Rekan
rekan
di
Laboratorium
Produksi,
Laboratorium
RGCI
dan
Laboratorium Ekofisiologi Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB serta berbagai pihak yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian penulis. 9. Mellyawati Widjaya, Devis Suni, Dita Reninda, Isyana Rafikasari, Krisna D. Purba, Cenra I.H. Tuharea dan Wiwit Widyastuti yang telah membantu penelitian penulis. 10. Kedua orang tua penulis, Bapak Soma Rustama dan Ibu Isus Sukesih (almarhumah) yang telah mendidik dan senantiasa mendoakan penulis. 11. Suami tercinta Ir. Yuyu Rahayu, M.Sc. dan ananda Gilang Aditya Rahayu SP., Gitta Fatima Rahayu serta Genta Muhammad Rahayu, atas segala pengertian, dorongan dan doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi Program Doktor. Semoga Allah SWT membalas budi baik yang telah diberikan, dan semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat dalam pengembangan buah-buahan di Indonesia.
Bogor, Agustus 2011 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 13 September 1961 di Bandung sebagai anak ketiga dari Soma Rustama dan Isus Sukesih. Tahun 1973 penulis lulus dari SD Negeri Nilem I Bandung. Sekolah Menengah diselesaikan pada tahun 1976 dari SMP Negeri II Bandung, dan pada tahun 1980 dari SMA Negeri III Bandung. Sarjana Pertanian diperoleh penulis dari Institut Pertanian Bogor pada tahun 1984. Pada bulan Desember 1985 penulis menikah dengan Ir. Yuyu Rahayu, M.Sc. dan telah dikaruniai tiga orang putra putri, Gilang Aditya Rahayu SP., Gitta Fatima Rahayu dan Genta Muhammad Rahayu. Penulis diterima menjadi pegawai negeri sipil pada bulan Januari 1987 dan sampai saat ini bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada bulan Agustus 1988 sampai Januari 1990 penulis mengikuti program pendidikan non gelar di Department of Horticulture, Purdue University, USA. Penulis memperoleh gelar Magister Sains dari Institut Pertanian Bogor pada tahun 1994. Penelitian-penelitian penulis yang telah diterbitkan dalam Jurnal ilmiah ialah: 1. Karakter fisik dan kimia buah pepaya pada stadia kematangan berbeda. Physical and chemical characteristics of papaya at different maturity stages. J. Agron. Indonesia 38(1):60-66 (2010). 2. Analisis kedekatan hubungan antar genotipe pepaya berdasarkan karakter morfologi dan buah. Relationships among papaya genotypes based on morphological and fruit characters. J. Agron. Indonesia 38(2):130-137 (2010). 3. Studi karakter mutu buah pepaya IPB. Fruit quality study of IPB’ s papaya. J. Hortikultura Indonesia 1(1):17-26 (2010). 4. Pollen viability and pollen tube growth of IPB’s papaya. J. Agron. Indonesia 39(1): 43-48 (2011).
Penelitian-penelitian penulis yang telah disajikan dalam Seminar ialah: 1. Kajian pertumbuhan, ekspresi seks tanaman dan kualitas buah pepaya genotipe IPB 1 dan IPB 2 dengan pupuk organik. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian yang Dibiayai Oleh Hibah Kompetitif. Bogor, 1-2 Agustus 2007. 2. Kajian daya simpan buah pepaya. hal. 300-305. Dalam: Rostini N, Nurmala T, Karuniawan A, Nuraini A, Amien S, Ruswandi D, Qosim WA (eds.). Prosiding Seminar dan Kongres IX Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI). Pengembangan dan Optimalisasi Produksi Komoditas Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Bioenergi. Bandung, 15-17 November 2007. 3. Analysis diversity among PKBT’s papaya genotypes. Poster 4th International Symposium on Tropical and Subtropical Fruits. Bogor, 3- 7 November 2008. 4. Papaya pollen germination. Poster Congress and Scientific Annual Seminar on Publication and Dissemination of Indonesian Horticultural Research. Bogor, 21-22 Oktober 2009.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................ XIII DAFTAR GAMBAR .................................................................................. XV I.
PENDAHULUAN UMUM .................................................................. 1 Latar Belakang ................................................................................ 1 Tujuan Penelitian ............................................................................ 4 Kerangka Berpikir ........................................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 10 III. STUDI MORFOLOGI DAN FISIOLOGI PERTUMBUHAN BUNGA DAN BUAH PEPAYA ........................................................ 26 Abstrak ............................................................................................ 26 Abstract ........................................................................................... 27 Pendahuluan .................................................................................... 28 Bahan dan Metode .......................................................................... 31 Hasil dan Pembahasan ..................................................................... 38 III.1. Morfologi Bunga Pepaya .................................................. 38 III.2. Viabilitas dan Pertumbuhan Tabung Sari Pepaya IPB ...... 49 III.3. Studi Penyerbukan Bunga dan Perkembangan Buah Pepaya .................................................................... 57 Kesimpulan ..................................................................................... 78 IV. STUDI MUTU BUAH PEPAYA ......................................................... 80 Abstrak ............................................................................................ 80 Abstract ........................................................................................... 81 Pendahuluan .................................................................................... 82 Bahan dan Metode .......................................................................... 84 Hasil dan Pembahasan .................................................................... 89 IV.1. Mutu Buah Pepaya pada Tiga Stadia Kematangan Berbeda ............................................................................ 89 IV.2. Mutu Buah Pepaya IPB .................................................... 95 IV.3. Mutu Buah Pepaya pada Umur Petik dan Waktu Simpan Berbeda ............................................................................. 101 Kesimpulan ..................................................................................... 109 V.
PEMBAHASAN UMUM .................................................................... 111
VI. KESIMPULAN UMUM DAN SARAN ............................................. 121 Kesimpulan Umum ......................................................................... 121 Saran ................................................................................................ 122 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 123
DAFTAR TABEL No.
Judul
Halaman
1. Kandungan zat gizi daging buah pepaya (per 100 g edible portion) ...... 13 2. Sistem persilangan pada pepaya ............................................................. 16 3. Jarak antara stigma dengan bakal buah pada beberapa kategori buah pepaya ............................................................................................ 50 4. Diameter serbuk sari, panjang tabung dan daya berkecambah serbuk sari pepaya selama empat jam perkecambahan pada beberapa kategori buah .......................................................................................... 51 5. Karakter fisik buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 ........................ 58 6. Jumlah biji dan bobot biji buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 ..... 59 7. Kekerasan kulit dan daging buah serta tebal daging buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 .................................................................... 64 8. Karakter kimia daging buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 ......... 65 9. Karakter fisik buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 2 ........................ 67 10. Karakter kimia daging buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 2 .......... 68 11. Karakter fisik buah pepaya betina genotipe IPB 3 ................................. 73 12. Karakter kimia daging buah pepaya betina genotipe IPB 3 ................... 73 13. Karakter fisik buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 yang diserbuki genotipe lain ........................................................................... 75 14. Karakter kimia daging buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 yang diserbuki genotipe lain ................................................................... 75 15. Tiga stadia kematangan buah pepaya ..................................................... 85 16. Ukuran buah pepaya ............................................................................... 91 17. Bobot buah pepaya ................................................................................. 91 18. Kekerasan kulit buah, pH dan vitamin C daging buah pepaya ............... 92 19. Karakter kimia (PTT, ATT dan PTT/ATT) daging buah pepaya ............ 94
20. Karakter fisik buah pepaya IPB .............................................................. 97 21. Kekerasan kulit, daging buah, dan karakter kimia buah pepaya IPB ..... 99 22. Kandungan zat gizi daging buah pepaya IPB ......................................... 100 23. Kandungan kimia daging buah pepaya IPB ............................................ 100 24. Karakter fisik buah pepaya ..................................................................... 103 25. Karakter kimia (PTT dan ATT) buah pepaya pada umur petik dan waktu simpan berbeda ............................................................................. 104 26. Karakter kimia (pH dan vitamin C) buah pepaya pada umur petik dan waktu simpan berbeda ...................................................................... 105 27. Daya simpan buah pepaya hingga tidak layak konsumsi ........................ 107 28. Penerimaan panelis terhadap aroma, rasa, warna dan kekerasan daging buah pepaya ............................................................................................ 109
DAFTAR GAMBAR
No.
Judul
Halaman
1. Kerangka pemikiran ............................................................................... 7 2. Alur dan output penelitian pepaya .......................................................... 8 3. Keragaan tanaman pepaya genotipe IPB 3 (a) dan IPB 2 (b) ................. 36 4. Tunas bunga betina (1), bunga hermafrodit (2) dan bunga jantan (3) .... 39 5. Jenis bunga pepaya: bunga betina (1), bunga hermafrodit (2) dan bunga jantan (3) ..................................................................................... 39 6. Bunga (1), bakal buah (2) dan buah pepaya hermafrodit pentandria (3) .......................................................................................... 40 7. Tanaman pepaya jantan dengan buah pepaya gantung (1) dan bunga jantan (2) ..................................................................................... 40 8. Irisan longitudinal meristem apikal tunas bunga hermafrodit pepaya genotipe IPB 1; diferensiasi sepal, inisiasi stamen (1); dan diferensiasi petal, inisiasi ovari (2) ......................................................... 41 9. Irisan longitudinal tunas bunga betina (1) dan tunas bunga hermafrodit pepaya genotipe IPB 1 (2) ...................................................................... 41 10. Keragaan permukaan stigma bunga pepaya betina (1) dan hermafrodit (2) genotipe IPB 1; stigma bunga pepaya dengan lima cuping (a), jaringan papila (b), bentuk permukaan jaringan antara papila dengan lubang tangkai kepala putik (c), lubang tangkai kepala putik (d) ....................................................................................... 43 11. Keragaan tangkai kepala putik bunga pepaya betina (1) dan hermafrodit (2) genotipe IPB 1................................................................ 44 12. Bentuk melintang buah hermafrodit pepaya genotipe IPB 1 .................. 44 13. Keragaan jaringan saluran tangkai kepala putik; irisan longitudinal bakal buah bagian atas dekat papila stigma bunga (1), saluran tangkai kepala putik (2-4), papila stigma (b) ......................................... 45
14. Perkembangan bunga pepaya betina; kuncup bunga betina genotipe IPB 1 sehari sebelum antesis (1), antesis bunga betina pada hari pertama (2), hari ke 2-3 stigma terlihat agak mengering (3), hari ke 4-5 setelah antesis bunga, stigma bunga betina mengering dan warnanya berubah menjadi coklat kehitaman ................ 46 15. Perkembangan tunas bunga dan bunga pepaya hermafrodit genotipe IPB 1; tunas bunga hermafrodit muncul dan tumbuh (1, 2, 3, 4, 5), tunas bunga hermafrodit sehari sebelum antesis (6), antesis bunga hermafrodit (7), hari ke 2-4 stigma bunga terlihat berubah warna menjadi kecoklatan (8), hari ke 5-7 setelah antesis petal bunga mengering dan berangsur rontok meninggalkan bakal buah (9) ............. 47 16. Buah dan bunga hermafrodit pepaya kategori buah kecil (IPB 1, IPB 3 dan IPB 4), sedang (IPB 5, IPB 9 dan IPB 10), besar (IPB 2, IPB 7 dan IPB 8) ............................................................... 47 17. Penampang bakal buah pepaya yang menunjukkan posisi bakal biji dalam ovari; buah betina (1) dan hermafrodit (2) ................................... 48 18. Keragaan buah utuh dan posisi biji pada berbagai tahap perkembangan buah; buah betina (1-2), buah hermafrodit (3-4) .................................... 48 19. Pertumbuhan tabung sari pepaya genotipe IPB 1; a = butir serbuk sari; b,c = 0-0.5 jam perkecambahan; d = 0.5-1 jam perkecambahan; e = 1 jam perkecambahan; f ≥ 1.5 jam perkecambahan ......................... 52 20. Perbandingan panjang tabung sari pepaya kategori buah kecil (a), kategori sedang (b) dan kategori besar (c) .............................................. 53 21. Panjang tabung sari pada 0.5-4 jam perkecambahan .............................. 54 22. Persentase daya berkecambah pada 0.5-4 jam perkecambahan .............. 56 23. Keragaan buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 pada perlakuan pengurangan benang sari ........................................................ 60 24. Pertumbuhan panjang dan diameter buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 pada perlakuan pengurangan benang sari ...................... 61 25. Keragaan buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 pada perlakuan pengurangan cuping stigma .................................................... 63 26. Pertumbuhan panjang dan diameter buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 pada perlakuan pengurangan cuping stigma ................. 63 27. Pertumbuhan panjang dan diameter buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 2 pada perlakuan pengurangan benang sari ...................... 69
28. Keragaan buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 2 pada perlakuan pengurangan benang sari ....................................................... 69 29. Pertumbuhan panjang dan diameter buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 2 pada perlakuan pengurangan cuping stigma .................. 70 30. Keragaan buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 2 pada perlakuan pengurangan cuping stigma ................................................... 70 31. Panjang dan diameter buah pepaya betina genotipe IPB 3 pada perlakuan pengurangan cuping stigma bunga betina .............................. 71 32. Keragaan buah pepaya betina genotipe IPB 3 pada perlakuan pengurangan cuping stigma bunga betina .............................................. 71 33. Panjang dan diameter buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 pada perlakuan penyerbukan dengan serbuk sari genotipe lain ............ 74 34. Keragaan buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 pada perlakuan penyerbukan dengan serbuk sari genotipe lain ...................... 74 35. Stadia kematangan buah pepaya berdasarkan warna kuning kulit buah ........................................................................................................ 87 36. Grafik pertumbuhan panjang dan diameter buah pepaya ....................... 102
I. PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang Pepaya merupakan salah satu komoditi buah penting dalam perekonomian Indonesia. Produksi buah pepaya nasional pada tahun 2006 mencapai 9.76% dari total produksi buah pepaya dunia atau 32.68% dari total produksi buah pepaya di Asia. Total produksi pepaya menempati urutan ke-9 produksi buah-buahan di Indonesia setelah pisang, jeruk, mangga, nenas, salak, rambutan, durian dan nangka. Produksi buah pepaya di Indonesia menurut data Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2009 mencapai 772 844 ton, meningkat sebesar 18.3 % dari tahun 2008 sebesar 653 276 ton. Sentra produksi di Jawa Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah dan Lampung (FAO, 2010). Pepaya yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah kultivar-kultivar dengan buah besar, antara lain Dampit, Bangkok, Jingga, dan Paris. Selain menyukai tipe pepaya berbuah besar, konsumen pepaya Indonesia lebih memilih buah yang berasal dari bunga hermafrodit dengan bentuk buah lonjong (elongata). Sejak tahun 1990-an, kultivar-kultivar dengan buah kecil dengan bobot kurang dari 1 kg/buah yang memiliki rasa manis mulai diusahakan dalam jumlah terbatas dan dipasarkan dengan harga lebih tinggi dari harga pepaya ukuran besar dengan bobot buah > 1 kg. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan pepaya secara umum adalah: produktivitas masih rendah, beberapa varietas unggul yang ada tidak disukai konsumen karena mutu buah belum optimum, kadar kemanisan rendah atau warna daging buah tidak menarik, varietas unggul yang bersifat genjah masih jarang dan benih bukan merupakan galur murni. Dilain pihak hal yang perlu diketahui oleh para peneliti untuk pengembangan pepaya di Indonesia saat ini adalah tantangan faktor iklim yang tidak menentu yang dapat mengakibatkan perubahan ekspresi seks bunga hermafrodit menjadi bunga pentandria yang dapat menurunkan produksi dan mutu buah. Selain itu meningkatnya serangan hama kutu putih (Paracoccus marginatus) dan penyakit antraknosa (Colletotrichum gloeosporoides), merupakan faktor lain yang perlu diatasi. Dari permasalahan umum yang dihadapi pada pengembangan pepaya di atas, upaya untuk meningkatkan mutu buah yang belum optimum dapat dipelajari
2
melalui penelitian dalam lingkup teknik budidaya tanaman. Faktor mutu, bentuk dan ukuran buah sangat menentukan nilai ekonomi buah pepaya. Penetapan mutu baku pepaya ekspor yang ketat menyebabkan ekspor buah pepaya dari Indonesia masih rendah dan baru mencakup ke negara-negara tetangga di Asia, karena pepaya produksi Indonesia jarang yang dapat memenuhi mutu baku tersebut. Pasar ekspor menuntut keseragaman buah (mutu, bentuk dan ukuran) dan kontinuitas ketersediaan. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2007) dan Direktorat Mutu dan Standardisasi (2009) ketentuan minimum yang harus dipenuhi buah pepaya untuk diperdagangkan ialah: buah utuh, penampilan segar, padat (firm), bebas dari (benda asing dan aroma asing, hama dan penyakit, memar, kerusakan mekanis) dan layak konsumsi. Ukuran buah < 1 kg termasuk ke dalam kode ukuran buah 6, 7, 8, 9, 10; dan ukuran buah > 1 kg termasuk ke dalam kode ukuran buah 1, 2, 3, 4, 5. Mutu buah pepaya digolongkan ke dalam tiga kelas, yaitu: kelas super, kelas A dan kelas B. Kelas super merupakan kelas pepaya bermutu paling baik yang mencerminkan ciri varietasnya dan bebas dari kerusakan yang mempengaruhi mutu dan penampilan buah secara umum. Kelas A merupakan kelas pepaya bermutu baik dengan tingkat kerusakan total maksimum 10% dari luas permukaan kulit dan tidak mempengaruhi mutu daging buah. Kelas pepaya B mentolerir penyimpangan faktor-faktor mutu seperti: penyimpangan bentuk, penyimpangan warna dengan kerusakan total maksimum 15% dari luas permukaan kulit dan tidak mempengaruhi mutu daging buah. Permasalahan mutu buah pepaya yang belum optimum disebabkan oleh beragamnya buah yang dihasilkan sehingga tidak memenuhi standar mutu SNI. Keberagaman buah pepaya tersebut meliputi bentuk buah (bulat dan lonjong) yang sangat dipengaruhi oleh ekspresi seks bunga, dan ukuran buah. Keberagaman mutu baik dari sisi penampilan (warna) dan kualitas kimia buah disebabkan oleh belum adanya ketentuan kriteria pemanenan (indeks kematangan buah) yang dapat dijadikan acuan. Permasalahan mutu buah yang pertama adalah bentuk buah terkait dengan sifat ekspresi seks tanaman. Ekspresi seks tanaman pepaya ditentukan oleh faktor genetik: ‘M1‘ yang dominan untuk sifat jantan, ‘M2‘ yang dominan untuk sifat hermafrodit, dan ‘m‘ yang resesif untuk sifat betina. Dengan demikian genotipe
3
tanaman jantan adalah ‘M1m’ dan tanaman hermafrodit ‘M2m’ yang keduanya heterosigot, genotipe tanaman betina adalah homosigot ‘mm’. Ekspresi seks tanaman menentukan bentuk buah yaitu: bentuk lonjong yang dihasilkan dari bunga hermafrodit dan bentuk buah membulat yang dihasilkan dari bunga betina. Permasalahan dalam mutu pepaya yang terkait juga dengan eskspresi seks tanaman ialah sifat penyerbukannya. Tanaman pepaya secara umum digolongkan ke dalam kelompok tanaman menyerbuk silang, walaupun dilaporkan ada beberapa kultivar yang menyerbuk sendiri. Menurut Cruden (1977); Frankel dan Galun (1977) pada bunga yang memiliki tingkat kematangan serbuk sari dan reseptivitas stigma yang terjadi bersamaan sebelum bunga membuka (kleistogami) dan ratio antara jumlah serbuk sari dengan jumlah ovul rendah memungkinkan terjadinya penyerbukan sendiri. Menurut Rodriguez et al. (1990) pepaya tipe Solo mempunyai stigma bunga hermafrodit dan bunga betina yang bersifat reseptif sebelum dan setelah bunga antesis sehingga memungkinkan persentase biji yang berasal dari penyerbukan sendiri tinggi. Paterson et al. (2007) mengemukakan bahwa walaupun tanaman pepaya hermafrodit melakukan penyerbukan sendiri, tetapi karena ukuran stigma bunga dan anter besar sehingga sangat besar kemungkinan tanaman pepaya melakukan penyerbukan silang. Hasil penelitian Damasceno Jr. et al. (2009) menggolongkan penyerbukan pepaya ke dalam penyerbukan sendiri yang bersifat fakultatif dengan tingkat penyerbukan silang rendah. Permasalahan kedua dalam mutu buah yaitu standar mutu yang belum terpenuhi karena belum adanya informasi yang memadai untuk menentukan kriteria pemanenan dan faktor yang mempengaruhinya sehingga belum dapat dihasilkan buah pepaya yang bermutu optimum. Kriteria panen pepaya buah perlu dirumuskan, karena keragaman buahnya yang sangat tinggi yang terkait dengan ekspresi seks tanaman dan tipe penyerbukannya. Oleh karena itu, dari kedua permasalahan mutu dalam buah pepaya di atas tersirat bahwa bunga pepaya dan karakteristik penyerbukan bunganya sangat menentukan mutu buah pepaya. Tanaman pepaya mempunyai sifat pembungaan yang berbeda dengan tipe pembungaan tanaman buah lainnya. Pepaya tipe dioecious mempunyai ekspresi seks bunga betina (pistillate) pada pohon betina
4
dan bunga jantan (staminate) pada pohon jantan. Pepaya tipe gynodioecious mempunyai ekspresi seks bunga betina dan bunga hermafrodit pada pohon hermafrodit dan bunga jantan pada pohon jantan. Ekspresi seks bunga dan jenis pohon yang demikian, menyebabkan permasalahan dalam pemuliaan pepaya. Usaha perbaikan tanaman pepaya melalui pemuliaaan dengan persilangan konvensional akan menghasilkan tanaman hermafrodit yang bersifat heterozygot. Sifat ini akan menghasilkan ketidakseragaman bentuk buah. Buah yang dihasilkan dari bunga dan tanaman hermafrodit berbentuk lonjong dan buah dari bunga dan tanaman betina berbentuk membulat, yang akan mempengaruhi keseragaman buah yang menentukan mutu buah dan di beberapa lokasi sentra pepaya dapat mempengaruhi nilai ekonominya. Permasalahan dalam standar mutu buah pepaya terkait dengan persoalan penentuan stadia kematangan, penentuan umur petik dan waktu simpan buah yang terbaik untuk dikonsumsi. Umur petik buah pepaya di lapangan berdasarkan stadia kematangan menentukan mutu buah pepaya pada saat dikonsumsi. Herrero et al. (1988) mengemukakan bahwa perkembangan buah dipengaruhi oleh keberhasilan penyerbukan pada stigma sampai pembentukan biji pada buah dan banyak proses terjadi yang melibatkan interaksi antara bagian-bagian bunga jantan dan bunga betina. Jumlah serbuk sari dan bakal biji yang terbuahi akan menentukan perkembangan buah. Dari permasalahan yang terkait dengan mutu buah pepaya tersebut, maka perlu dilakukan penelitian yang dilengkapi dengan pengamatan morfologi bunga, ritme pertumbuhan bunga; viabilitas dan pertumbuhan tabung sari; penyerbukan bunga yang menentukan pembentukan dan perkembangan buah pepaya; serta karakter pematangan yang menentukan mutu buah pepaya. Melalui serangkaian penelitian
ini diharapkan dapat diketahui mekanisme penyerbukan bunga
sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk mengendalikan mutu buah pepaya.
Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini ialah mengetahui keragaan morfologi bunga, penyerbukan dan perkembangan buah untuk mengendalikan mutu buah pepaya IPB. Tujuan khusus dari penelitian ini ialah:
5
1. Memperoleh informasi tentang keragaan morfologi bunga pepaya. 2. Mengetahui fisiologi pembungaan pepaya IPB melalui viabilitas dan pertumbuhan tabung sari pepaya. 3. Mengetahui pengaruh penyerbukan terhadap pembentukan dan perkembangan buah pepaya. 4. Memperoleh informasi tentang stadia kematangan buah dan pengaruhnya terhadap mutu. 5. Mengetahui mutu buah pepaya IPB pada stadia kematangan tertentu. 6. Mengetahui umur petik dan waktu simpan untuk mendapatkan mutu buah optimum.
Kerangka Berpikir Pepaya merupakan salah satu buah tropika Indonesia yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi buah sumber gizi masyarakat. Buah pepaya mengandung vitamin A, vitamin C serta mineral terutama kalsium. Selain sebagai sumber gizi yang potensial, pepaya tergolong tanaman tidak bermusim, sehingga buah tersedia setiap saat harganya juga relatif murah dan terjangkau. Peran pepaya dalam menunjang pengembangan buah-buahan Indonesia dari lingkup teknik budidaya secara garis besar disajikan dalam kerangka pemikiran (Gambar 1). Berdasarkan hasil pengamatan PKBT-LPPM IPB (2004) maka tipe pepaya yang diinginkan produsen buah pepaya ialah: memiliki sifat pohon pendek (dwarf), masa pembungaannya genjah, produktivitas tinggi, warna daging buah jingga sampai merah, edible portion tinggi, rasanya manis dan tahan terhadap hama dan penyakit. Dalam rangka menunjang pengembangan pepaya, Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT) IPB telah mengembangkan tiga kategori pepaya yang digunakan dalam penelitian. Genotipe pepaya yang dihasilkan diantaranya genotipe IPB 1, IPB 3 dan IPB 4 yang dikategorikan sebagai pepaya kecil; IPB 5, IPB 9 dan IPB 10 yang dikategorikan sebagai pepaya sedang serta IPB 2, IPB 7 dan IPB 8 yang dikategorikan sebagai pepaya besar. Pepaya genotipe IPB 1 merupakan pepaya berperawakan pendek dan buahnya berukuran kecil yang dikembangkan oleh PKBT IPB dari kultivar introduksi. Menurut Sujiprihati dan Suketi (2009) pepaya genotipe IPB 1 mempunyai bobot buah
6
605±167 g, panjang buah 14.1±1.6 cm, dan diameter buah 10.1± 0.7 cm. Pepaya genotipe IPB 2 adalah salah satu genotipe juga yang dikembangkan dari kultivar introduksi. Buah pepaya genotipe IPB 2 tergolong kategori pepaya berbuah besar, mencapai matang pada 150 hari setelah antesis dengan bobot buah 1 333.3 ± 280.4 kg/buah. Permasalahan penting dalam pengembangan mutu buah pepaya dapat dipelajari dari teknik budidaya. Permasalahan pertama yaitu dari sisi genotipe ekspresi seks tanaman yang menghasilkan variasi dalam karakter fisik buah (bentuk dan ukuran) dan karakter kimia buah (mutu). Dalam teknik budidaya, cara pembiakan yang efisien untuk tanaman pepaya adalah dengan penanaman benih, sehingga menghasilkan tanaman yang beragam terutama dalam ekspresi seks tanaman. Ekspresi seks tanaman sangat mempengaruhi mutu buah yang dihasilkan, terutama dalam bentuk dan ukuran buah. Permasalahan kedua pada tanaman pepaya yang terkait dengan rendahnya mutu buah karena kurangnya pengetahuan dan informasi tentang karakter pematangan dan pasca panen buah, sehingga belum ada standar atau indikator pemanenan yang dapat dijadikan acuan untuk melakukan pemanenan yang tepat. Belum adanya kriteria panen yang baku, menyebabkan penanganan pasca panen yang belum optimum untuk menghasilkan buah pepaya yang memenuhi standar mutu. Dari permasalahan yang ada tersebut, maka dilakukan studi pada pepaya. Permasalahan pertama tentang pembungaan pepaya yang unik ini diteliti dengan mempelajari karakter komponen-komponen bunga, karakter penyerbukan dan karakter masing-masing seks tanaman serta morfologi buah. Dalam studi ini juga dipelajari tentang berbagai pengendalian penyerbukan bunga yang melibatkan pepaya kategori buah kecil dan besar untuk memperoleh buah dengan bentuk, ukuran dan mutu konsumsi yang baik. Permasalahan kedua tentang karakter pematangan dan pasca panen buah dipelajari dengan studi stadia kematangan dan penyimpanan serta studi mutu buah pasca panen sehingga diharapkan diperoleh standar indikator panen buah pepaya.
7
PEPAYA Potensial sebagai buah utama Menunjang pengembangan buah-buahan Indonesia
MULTIFUNGSI PEPAYA
Buah manis, Sumber Vit A, Vit C, Kalsium Tersedia setiap saat, tanpa musim Harga relatif murah dan terjangkau
PEPAYA HASIL PEMULIAAN IPB Preferensi Konsumen Produktivitas dan Kualitas Tinggi Tiga Kategori Ukuran Buah (Kecil, Sedang, Besar)
Tantangan
BENTUK BUAH BETINA DAN HERMAFRODIT
MUTU BUAH
Buah Bervariasi
Standar Mutu
Sifat Ekspresi Seks Tanaman
Tipe Penyerbukan
Stadia Kematangan
Umur Petik
Morfologi Bunga dan Mekanisme Penyerbukan diketahui
Bentuk dan Keragaan Buah Optimum
Mutu Buah Optimum
MUTU BUAH SESUAI PREFERENSI
Indeks Panen Optimum
Gambar 1. Kerangka pemikiran
Waktu Simpan
8
Gabungan dari kedua studi di atas diharapkan bermanfaat untuk merakit kultivar pepaya yang dapat memenuhi keinginan konsumen. Oleh karena itu untuk menunjang tujuan pengembangan pepaya dilakukan serangkaian penelitian yang digambarkan dalam alur penelitian (Gambar 2). Pada bagian awal disertasi yaitu pada bagian studi morfologi, pertumbuhan dan penyerbukan bunga pepaya, dilakukan tiga penelitian tentang: morfologi bunga, pertumbuhan tabung sari, dan penyerbukan bunga dan perkembangan buah pepaya. Hubungan antara daya berkecambah serbuk sari dan kecepatan pertumbuhan tabung sari dapat dijadikan parameter dugaan keberhasilan proses pembuahan pada pepaya. Pengaruh penyerbukan terhadap mutu buah pepaya diamati dengan melakukan percobaan penyerbukan pada buah hermafrodit dan betina genotipe IPB 3 (buah kategori kecil) dan pada buah hermafrodit genotipe IPB 2 (buah kategori besar). Percobaan penyerbukan dilakukan dengan melakukan modifikasi baik pada organ jantan (benang sari), organ betina (stigma) maupun pada keduanya. Morfologi Bunga, Penyerbukan dan Perkembangan Buah Pepaya
Studi Morfologi dan Fisiologi Pertumbuhan Bunga dan Buah Pepaya
Studi Mutu Buah Pepaya Mutu Buah Pepaya pada Stadia Kematangan Berbeda
Morfologi dan Pertumbuhan Bunga Pepaya
Mutu Buah Pepaya IPB
Viabilitas dan Pertumbuhan Tabung Sari Pepaya
Mutu Buah Pepaya pada Umur Petik dan Waktu Simpan Berbeda
Penyerbukan Bunga dan Perkembangan Buah Pepaya
Mekanisme Penyerbukan dan Mutu Buah Pepaya Gambar 2. Alur dan output penelitian pepaya
9
Pengamatan mutu buah pepaya untuk tujuan konsumsi segar dilakukan pada stadia kematangan IV (dari enam stadia kematangan buah pepaya) atau pada saat persentase warna kuning pada kulit buah 75%. Metode pengamatan pada percobaan sebelumnya mengenai mutu diterapkan pada percobaan untuk mengetahui mutu buah pepaya genotipe IPB 1, IPB 2A, IPB 3, IPB 3A, IPB 4, IPB 7, IPB 8, dan IPB 9. Diharapkan output penelitian ialah mengetahui mekanisme penyerbukan dan mutu buah pepaya berdasarkan pengetahuan morfologi bunga, penyerbukan, perkembangan buah serta mutu pada stadia kematangan dan waktu simpan buah. Dari hasil serangkaian penelitian ini diharapkan dapat menjadi jembatan peluang serta kesempatan untuk menghasilkan buah pepaya sebagai buah lokal yang memenuhi preferensi konsumen sehingga dapat menggeser buah-buahan impor yang sekarang memenuhi pasar buah di kota-kota besar Indonesia. Manfaat yang secara tidak langsung didapat adalah akan lebih banyak lagi petani menanam pepaya yang bermutu baik sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani.
II. TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Pepaya Pepaya Spermatophyta,
diklasifikasikan Class
kedalam
Angiospermae,
Kingdom
Subclass
Plantae,
Divisio
Dicotyledonae,
Familia
Caricaceae, Genus Carica dan Species Carica papaya L. (Pandey, 1997). Famili Caricaceae mempunyai empat genus utama yaitu genus: Carica, Jarilla, Jacaratia, dan Cylicomorpha. Dari keempat genus ini, hanya spesies-spesies dari genus Carica yang dibudidayakan. Genus Carica mempunyai 40 spesies di daerah tropis dan subtropis Amerika. Selain Carica papaya L., spesies lain yang dapat dikonsumsi adalah C. candamarcensis Hook. F., C. monoica Desf., C. pentagona Heiborn, C. erythrocarpa Heilborn, C. goudotiana Solms-Laubach, dan C. quercifolia Benth dan Hook (Chan et al., 1994; Sankat dan Maharaj, 1997; Department of Health and Ageing, 2008). Habitus genus Carica adalah pohon herba tahunan (perennial herbaceous) berbatang tunggal tegak dengan payungan daun di ujungnya. Seluruh bagian pohon pepaya banyak mengandung getah putih. Berdasarkan sistem percabangan pohon dan irama pertumbuhannya, pohon pepaya diklasifikasikan pada kelompok pohon berbatang tunggal (single stemmed) yang tumbuh dan berbuah terus menerus setelah dewasa (Verheij, 1986). Menurut Chan (1994b) batang pepaya berbentuk silinder, berdiameter 10-30 cm, semi berkayu, berongga dan bergabus dengan kulit yang lembut berwarna abu-abu. Arah pertumbuhan batang tegak lurus ke atas dan tidak bercabang kecuali bagian ujung pucuk mengalami pelukaan atau titik tumbuhnya terpotong. Samson (1980); Villegas (1997) dan Nakasone dan Paull (1999) menyatakan bahwa tinggi tanaman pepaya dapat mencapai lebih dari sembilan meter. Tanaman pepaya mempunyai tiga tipe bunga (basic flower type) yaitu: bunga betina (pistillate), bunga jantan (staminate) dan bunga hermafrodit (hermaphrodite) (Storey, 1976; Samson, 1980; Nakasone, 1986; Villegas, 1997). Bunga pepaya terbentuk pada ketiak daun yang umumnya berada dalam rangkaian inflorescence menggarpu (cymose). Berdasarkan tipe-tipe bunga tersebut ada tiga macam pohon pepaya berdasarkan tipe bunganya, yaitu: pohon betina, pohon jantan dan pohon
11
hermafrodit (Nakasone, 1986). Pohon betina hanya memiliki bunga betina dengan tangkai bunga yang pendek, yang dapat soliter atau berada dalam karangan bunga cymose. Bunga betina tidak memiliki benang sari, mempunyai bakal buah besar berbentuk bulat telur dengan rongga yang mengandung banyak bakal biji. Bunga betina mempunyai lima cuping stigma yang menyerupai kipas tidak bertangkai dan bercelah lima. Panjang bunga betina 3-5 cm, daun kelopaknya (calyx) berbentuk cawan dengan ukuran antara 3-4 mm, memiliki lima daun mahkota yang berwarna hijau kekuningan. Panjang bakal buahnya 2-3 cm, mahkota bunga terdiri dari lima helai daun mahkota yang melekat di bagian dasar bunga (Samson, 1980; Nakasone, 1986; Storey,1986; Chan, 1994b; Villegas, 1997). Pohon jantan memiliki bunga jantan yang tersusun menggantung pada malai yang panjangnya 25-100 cm. Bunga jantan berbentuk tabung yang ramping dengan panjang kira-kira 2.5 cm. Mahkota bunga terdiri dari lima helai berukuran kecil. Benang sari berjumlah sepuluh tersusun menjadi dua lapis dan melekat pada leher tabung mahkota (corolla tube). Bunga jantan tersusun dalam malai yang panjangnya antara 25-100 cm, menggantung tidak bertangkai, daun kelopaknya berjumlah lima berbentuk cawan berukuran kecil, daun mahkotanya berbentuk terompet, dan warnanya kuning cerah (Samson, 1980; Nakasone, 1986; Storey, 1986; Chan, 1994b; Villegas, 1997). Pohon hermafrodit memiliki bunga sempurna, berkelompok, bertangkai pendek, memiliki daun mahkota yang menyatu sebagian sampai dua pertiga bagian panjangnya membentuk tabung mahkota, benang sarinya sepuluh helai bersusun dalam dua seri, dan bakal buah memanjang. Ciri dasar bunga hermafrodit adalah bentuk pistil yang memanjang dengan lima cuping kepala putik yang menyatu (Villegas, 1997). Bunga hermafrodit terdiri atas empat tipe, yaitu: elongata, pentandria, rudimenter dan antara (intermediate). Perbedaan bunga hermafrodit elongata dan pentandria terletak pada jumlah benang sari dan bentuk putik. Bunga hermafrodit elongata mempunyai sepuluh benang sari yang tersusun melingkar pada bakal buah, lima bertangkai panjang dan lima lainnya bertangkai pendek. Bunga hermafrodit elongata akan berkembang menjadi buah berbentuk panjang lonjong. Tipe hermafrodit pentandria mempunyai lima benang sari bertangkai agak pendek terletak pada dasar bakal buah, mempunyai bakal
12
buah lonjong dan berkembang menjadi lima sisi buah yang menonjol menyerupai buah dari bunga betina. Bunga hermafrodit rudimenter sebenarnya merupakan bunga hermafrodit elongata yang putiknya mengalami aborsi sehingga tidak memiliki bakal buah. Bunga hermafrodit rudimenter menyerupai bunga jantan namun memiliki tabung mahkota bunga yang lebih tebal dibandingkan dengan tabung mahkota bunga jantan (Nakasone, 1986; Villegas, 1997). Bunga hermafrodit tipe antara mempunyai mahkota bunga berjumlah lima helai, benang sari 2-10 helai yang telah mengalami perubahan bentuk serta letaknya tidak beraturan, maka putik dan benang sari bunga hermafrodit tumbuh tidak wajar dan berbentuk karpeloid atau tidak sempurna. Bakal buah berbentuk mengkerut dan menghasilkan buah yang bentuknya tidak beraturan (Samson, 1980). Berdasarkan jumlah ruang yang terdapat dalam bakal buah, pepaya termasuk ke dalam bakal buah beruang satu yang tersusun atas lebih dari satu daun buah. Buah berkulit tipis, halus, serta berwarna kekuning-kuningan atau jingga ketika masak. Daging buah berwarna kekuning-kuningan sampai dengan warna jingga merah (Villegas, 1997). Bentuk buah pepaya beragam dari yang bulat, pyriform (pear shaped), oval dan elongata. Buah yang berasal dari bunga betina selalu berbentuk bulat, sedangkan buah dari bunga hermafrodit bentuknya bisa elongata atau pentandria. Bentuk buah pada pohon betina biasanya tidak berubah akibat faktor lingkungan, stadia kematangan, atau status nutrisi; karena perubahan bentuk buah dipengaruhi secara kuat oleh benang sari yang tidak terbentuk pada bunga betina (Fitch, 2005).
Kandungan Zat Gizi Buah Pepaya Kualitas merupakan hal terpenting bagi produk hortikultura, baik yang dimanfaatkan dalam bentuk segar maupun setelah diproses. Ada lima parameter penentu kualitas yaitu rasa, bau, keragaan, tekstur, dan nutrisi. Parameter nutrisi merupakan faktor yang paling bermanfaat karena peranannya sebagai penyedia sumber gizi bagi manusia (Joyce, 2001). Buah pepaya sangat potensial untuk dijadikan bahan pangan pelengkap sebagai buah segar karena harga yang relatif murah, mudah didapat dan mengandung vitamin A, vitamin C serta mineral terutama kalsium. Analisis
13
komposisi zat gizi buah pepaya yang dilakukan oleh Pal et al. (1980), Yon (1994), Desai dan Wagh (1995), Puslitbang Gizi RI (1995), Sankat dan Maharaj (1997) dan Villegas (1997) menunjukkan hasil agak bervariasi, misalnya untuk kandungan vitamin C dari 40 sampai 126 mg/100 g, mineral kalium dari 39 sampai 337 mg/100 g dan kalsium dari 8 sampai 51 mg/100 g (Tabel 1). Menurut Chan et al. (1994) dan Sankat dan Maharaj (1997) buah pepaya mengandung 1.01.5% protein, 1.0-1.5% vitamin A, dan 69-71 mg/100g vitamin C, 0.1% lemak, 713% karbohidrat, 35-59 kkal/100g kalori, 200 kJ energi dan 85-90% air. Mineral penting yang terkandung dalam buah pepaya diantaranya kalsium sebesar 11-31 mg/100 g. Tabel 1. Kandungan zat gizi daging buah pepaya (per 100 g edible portion) Kandungan
1
2
3
4
Air (%) Abu (%) Serat (%) Energi (kJ) Protein Lemak KH total Sukrosa (%) Glukosa (%) Fruktosa (%) Kalsium (mg) Kalium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Sodium (mg) Vit. A (IU) Vit. B1 (mg) Vit. B2 (mg) Vit C (mg) Thiamine (mg) Riboflafin (mg)
0.32 - 0.57 0.48 - 2.47 2.91 - 5.24 2.34 - 4.19 8.03 - 21.04 4.06 - 7.04 1599 - 6347 46.30 - 125.90 -
84.4 - 90.7 0.1 - 0.5 0.5 1.0 - 1.5 0.1 7.1 - 13.5 11.0 - 31.0 39.0 - 337.0 7.0 - 17.0 0.6 - 0.7 0.03 - 0.08 0.07 - 0.15 69.3 - 71.0 -
89.60 0.50% 0.10% 9.50% 10.00 10.00 2020 40.00 0.25
88.70 0.6 165.0 0.6 g 10.0 g 0.9 g 20.0 234.0 16.0 0.3 3.0 1750.0 56.0 0.04 0.4
Keterangan: 1) Pal et al. (1980). 2) Yon (1994). 3) Desai dan Wagh (1995)
5 86.60 0.50 0.70 200.00 0.50 g 0.30 g 12.10 g 48.30 29.80 21.00 34.00 204.00 11.00 1.00 0.45 74.00 -
6 0.5 - 1.90 g 0.2 g 3.7 - 12.2 g 44.0 - 51.0 12.0 - 33.0 1.70 - 1.80 78.0 - 85.3 -
4) Sankat dan Maharaj (1997) 5) Villegas (1997) 6) Direktorat Gizi Depkes RI (1981), Puslitbang Gizi RI (1995)
Kandungan gula utama pepaya yaitu 48.3% sukrosa, 29.8% glukosa dan 21.9% fruktosa (Villegas, 1997). Padatan terlarut total (PTT) buah pepaya diukur dari kandungan sukrosa dengan alat refractometer dalam skala oBrix (Kader, 1985). Kandungan sukrosa buah pepaya tertinggi sebesar 80% dari kandungan
14
gula total diperoleh saat 135 hari setelah antesis (Chan, 1979). Kandungan PTT buah pepaya sangat bervariasi dan tergantung pada varietasnya. Pepaya kultivar Dampit mempunyai PTT sebesar 10.9+0.1 oBrix, kultivar Jingga dengan 9.2+1.7 o
Brix, kultivar Paris dengan 9.0+0.1 oBrix dan kultivar Sunrise Solo dengan
14.2+0.6 oBrix (Chan et al., 1994). Kandungan vitamin A buah pepaya mencapai 1 093 IU dalam 100 g bagian dapat dimakan, lebih kecil dari buah mangga yang mencapai 3 813-4 735 IU, namun lebih tinggi dari buah apokat, pisang dan nenas yang masing-masing buah tersebut mempunyai kandungan vitamin A sebesar 802, 82-273 dan 53 IU (Nakasone dan Paull, 1999). Karoten merupakan pigmen warna kuning yang merupakan prekursor vitamin A (Edmond et al., 1997), tepatnya adalah β-karoten yang menjadi sumber utama vitamin A (Acquaah, 2002). Menurut Yon (1994) kandungan karoten pada pepaya berkisar antara 1.160–2.431 mg/100 g daging buah. Pepaya mempunyai kandungan vitamin C (asam askorbat) tinggi sebesar 74 mg (Villegas, 1997), atau berkisar antara 69.3-71.0 mg vitamin C dalam 100 g bagian dapat dimakan (Yon, 1994). Namun beberapa kultivar mempunyai kandungan yang lebih tinggi seperti kultivar Sunrise Solo yang mempunyai kandungan vitamin C mencapai 137 mg, kultivar Dampit dengan 108 mg vitamin C serta kultivar Jingga dengan 94.7 vitamin C dalam 100 g bagian dapat dimakan (Chan et al., 1994). Berdasarkan penelitian Broto et al. (1991) kandungan vitamin C tertinggi terdapat pada buah pepaya Sunrise Solo yaitu 136.95±16.48 mg/100 g dan yang terendah pada buah pepaya Paris yaitu 35.37±1.25 mg/100 g. Hasil olahan daging buah pepaya dimanfaatkan untuk: manisan, dodol, campuran selai, campuran saos tomat dan campuran saos cabai. Biji dan daun pepaya dimanfaatkan sebagai obat serta getah pepaya yang diperoleh dengan menyadap dari buah muda mempunyai kegunaan yang luas di bidang industri seperti: kosmetika, pelunak daging dan pelembut kain wol (Popenoe, 1974; Samson, 1980; Villegas, 1997; Persley dan Ploetz, 2003). Getah pepaya mengandung papain yang tergolong enzim yang mampu melarutkan protein dan fibrin. Getah ini digunakan dalam ilmu kedokteran dalam jumlah yang terbatas untuk mengobati kanker dan penyakit-penyakit lambung, terutama di Amerika
15
(Heyne, 1987). Menurut Krishna et al. (2008) akar, daun, buah dan biji pepaya mengandung fitokimia: polisakarida, vitamin, mineral, enzim, protein, alkaloid, glikosida, saponin dan flavonoid yang semuanya dapat digunakan sebagai nutrisi dan obat.
Pembiakan Pepaya Pembiakan pepaya umumnya dilakukan secara generatif karena benihnya yang mudah dan murah didapat. Pembiakan secara generatif pada pepaya menghasilkan segregasi keturunan terutama dalam hal ekspresi seks tanaman. Ekspresi seks tanaman pepaya ditentukan oleh faktor genetik: M1 adalah dominan untuk sifat jantan, M2 adalah dominan untuk sifat hermafrodit, m adalah gen resesif betina. Gen dominan (M1 dan M2) merupakan gen letal, sehingga embrio hasil rekombinasi genetik yang mengandung M1M1, M1M2, dan M2M2 tidak terbentuk. Dengan demikian, genotipe tanaman betina adalah homosigot ‘mm’, tanaman jantan ‘M1m’ dan tanaman hermafrodit ‘M2m’ yang keduanya heterosigot. (Samson, 1980; Somsri et al., 1998). Pepaya mempunyai sifat pembungaan yang unik, sehingga berdasarkan genetika bunganya digolongkan sebagai tanaman trioecious karena mempunyai tiga jenis bunga yaitu bunga jantan, betina dan hermafrodit (Yu et al., 2007). Sampai saat ini banyak yang berpendapat bahwa pepaya mempunyai dua tipe, yang pertama bertipe dioecious (M1m) yang berdasarkan ekspresi seksnya, terdiri dari pohon dengan bunga betina dan bunga jantan pada tanaman yang berbeda. Tipe kedua ialah gynodioecious (M2m) karena bunga jantan, bunga betina dan bunga hermafrodit terdapat pada tanaman yang berbeda dan jika mengalami penyerbukan sendiri atau penyerbukan silang akan menghasilkan tanaman betina dan tanaman hermafrodit (Storey,1976; Fitch, 2005; Yu et al., 2007; Paterson et al., 2007 dan Damasceno et al., 2009). Pembiakan secara generatif dapat menghasilkan segregasi terutama dalam ekspresi seks pohon. Bila benih yang didapat berasal dari persilangan betina dan jantan (mm x M1m) maka hasil yang didapat adalah pohon betina : jantan = 1:1 (Tabel 2). Menurut Chan et al. (1994) beberapa kultivar pepaya mempunyai struktur bunga yang memungkinkan mengalami kleistogami (secara alami seperti struktur
16
bunga yang menyebabkan terjadinya pernyerbukan sendiri, misalnya tangkai anter pendek dan anter tepat menempel pada stigma), yaitu pada Sunrise Solo dan Eksotika. Petani pepaya umumnya tidak memperhatikan penyerbukan yang terjadi, sehingga keragaman materi genetik yang diturunkan melalui biji tidak dapat dikendalikan. Tabel 2. Sistem persilangan pada pepaya Persilangan Betina x Jantan Hermafrodit (selfed) Hermafrodit x Hermafrodit Hermafrodit x Jantan Betina x Hermafrodit
Betina (mm) 1 1 1 1 1
Hermafrodit (M2m) Jantan (M1m) 0 1 2 0 2 0 1 1 1 0
Sumber : Samson (1980)
Kultivar pepaya yang diproduksi di Indonesia seperti kultivar Cibinong, Dampit, Jingga, dan Paris umumnya yang ditanam adalah pohon hermafrodit. Dari sistem persilangan pada bunga pepaya, diketahui bahwa tidak ada kepastian bahwa seluruh buah mengandung biji hermafrodit. Tanaman pepaya pada umumnya tergolong tanaman menyerbuk silang (cross pollinated crop), namun ada beberapa kultivar yang menyerbuk sendiri (self pollinated crop). Menurut Cruden (1977); Frankel dan Galun (1977) pada bunga yang memiliki tingkat kematangan serbuk sari dan reseptivitas stigma terjadi bersamaan sebelum bunga membuka (kleistogami) dan ratio antara jumlah serbuk sari dengan jumlah bakal biji rendah memungkinkan terjadinya penyerbukan sendiri. Menurut Rodriguez et al. (1990) pepaya tipe Solo mempunyai stigma bunga hermafrodit dan bunga betina yang bersifat reseptif sebelum dan setelah bunga antesis sehingga memungkinkan persentase biji yang berasal dari penyerbukan sendiri tinggi. Paterson et al. (2007) mengemukakan bahwa walaupun tanaman pepaya hermafrodit melakukan penyerbukan sendiri, tetapi karena ukuran stigma bunga dan anter besar sehingga sangat besar kemungkinan tanaman pepaya melakukan penyerbukan silang. Hasil penelitian Damasceno et al. (2009) menggolongkan penyerbukan pepaya kedalam penyerbukan sendiri yang bersifat fakultatif dengan tingkat penyerbukan silang rendah.
17
Pembentukan buah dimulai dengan proses penyerbukan yang meliputi jatuhnya butir-butir serbuk sari di atas permukaan stigma. Selanjutnya serbuk sari membentuk tabung sari dan masuk ke tangkai putik melalui jaringan transmisi tabung sari (Pollen Tube Transmiting Tissue - PTT) untuk mencapai bakal biji. Pembuahan (fertilisasi) terjadi saat serbuk sari (sel jantan) membuahi sel telur di dalam bakal buah. Menurut Herrero et al. (1988) perkembangan buah dipengaruhi oleh keberhasilan penyerbukan pada stigma sampai pembentukan biji pada buah dan banyak proses terjadi yang melibatkan interaksi antara bagian-bagian bunga jantan dan bunga betina. Pada tanaman salak yang pembungaannya dioecious membutuhkan bantuan penyerbukan supaya terjadi pembuahan, bila stigmanya diserbuki secara sempurna maka buah berbentuk trigonous mengandung tiga biji. Jumlah stigma yang terserbuki akan menentukan perkembangan buah. Perlakuan pengurangan jumlah stigma bunga salak menunjukkan bobot buah yang terbentuk dari bunga yang mempunyai tiga stigma lebih berat dibandingkan dengan buah yang terbentuk dari bunga yang mempunyai dua atau satu stigma yang terserbuki (Ashari, 2002). Pada tanaman durian sudah lama dikembangkan cara untuk meningkatkan produksi dan kualitas buah dengan cara melakukan penyerbukan menggunakan serbuk sari dari klon yang berbeda. Serbuk sari dari bunga klon lain dapat meningkatkan produksi dan ketebalan aril durian klon D 24 (George et al., 1992).
Perubahan Fisiologi selama Pematangan Buah Pepaya Perkembangan buah berlangsung dalam tiga fase yaitu: 1. perkembangan ovari, fertilisasi dan pembentukan buah, 2. pembelahan sel, pembentukan biji dan perkembangan awal embrio, 3. pembesaran sel dan pematangan embrio (Gillaspy et al., 1993). Secara garis besar perkembangan buah dari mulai fruit set sampai senesens meliputi beberapa tahapan antara lain pertumbuhan buah (growth), pematangan (maturation), matang fisiologis ( physiological maturity), pemasakan (ripening), dan penuaan (senescence) (Kader, 1985; Reid, 1985). Pepaya mulai berbunga pada umur 3-4 bulan setelah tanam dan buahnya dapat dipanen ± 4-6 bulan setelah bunga mekar, tergantung kultivarnya (Chay-Prove et al., 2000).
18
Perkembangan buah pepaya dari penyerbukan hingga warna kulit buah semburat kuning adalah 135-140 hari untuk tipe Sunrise Solo, 140-145 hari untuk kultivar Thailand, dan 150-155 hari untuk kultivar Washington pada kondisi iklim sejuk di India. Pepaya kultivar Washington memerlukan waktu 145-150 hari untuk mencapai warna kulit buah semburat kuning pada kondisi iklim lembab (Sankat dan Maharaj, 1997). Buah pepaya dapat dipanen pada beberapa stadia kematangan, bisa pada saat buah masih muda, setengah tua atau pada saat tua, tergantung peruntukannya. Setiap genotipe mempunyai sifat fisik dan kimia yang berbeda sehingga penggunaannya juga disesuaikan dengan kandungan yang ada didalamnya. Kays (1991) mengemukakan bahwa stadia kematangan buah pada saat dipanen merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi ketahanan buah dari kerusakan-kerusakan setelah panen. Mutu buah yang baik akan diperoleh jika pemanenan buah dilakukan pada stadia kematangan yang tepat. Ukuran buah sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan teknik budidaya, tetapi Sedgley dan Griffin (1989) mengemukakan bahwa ukuran buah dan waktu pematangan buah dapat pula dipengaruhi oleh genotipe sumber serbuk sari yang menyerbuki bunga, dikenal dengan fenomena metaxenia. Para peneliti buah-buahan sudah lama berpendapat bahwa tingkat kematangan buah sangat dipengaruhi oleh tingkat kematangan biji, oleh karena itu perlu diteliti efek metaxenia pada komponen buah pepaya. Proses pematangan buah sebagian besar selesai pada saat buah tersebut masih menempel pada pohonnya, sedangkan proses pemasakan dan senescence akan berlanjut pada saat buah masih di pohon atau setelah dipetik dari pohonnya. Pada saat proses pemasakan buah mengalami banyak perubahan fisik dan kimia setelah panen yang menentukan mutu buah untuk dikonsumsi. Menurut Birth et al. (1984) selama perkembangan buah pepaya sejak bunga hingga menjadi buah matang, terjadi beberapa perubahan fisik dan kimia, yaitu: bertambahnya ukuran buah, kandungan padatan terlarut total (PTT) meningkat dari 3% hingga 9% pada 110 hari setelah antesis (HSA), perubahan warna kulit biji dari putih menjadi hitam (110 HSA), perubahan warna daging buah bagian dalam dari putih menjadi
19
kuning (120 HSA), perubahan warna kulit buah dari hijau menjadi kuning (130 HSA). Menurut Pantastico et al. (1986) penentuan waktu panen buah dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: secara visual dengan melihat warna kulit dan ukuran buah; secara fisik dengan mudah tidaknya buah terlepas dari tangkai; dengan analisis kimia seperti: kandungan padatan terlarut total (PTT), asam tertitrasi total (ATT); dengan perhitungan jumlah hari setelah berbunga mekar dan secara fisiologi dengan mengukur laju respirasi.
Perubahan Warna Kulit Buah Pepaya
mengalami
perubahan
warna
kulit
buah
pada
proses
pematangannya, ada enam tingkatan perubahan kulit buah pepaya yaitu: hijau penuh, hijau dengan garis-garis kuning, 50% hijau dan 50% kuning, lebih banyak kuning daripada hijau, kuning dengan garis-garis hijau dan kuning penuh (Kader, 1985). Dari fenomena tersebut maka ditentukan stadia kematangan buah pepaya berdasarkan persentase warna kuning pada kulit buah. Pepaya memiliki empat stadia kematangan buah berdasarkan persentase area berwarna kuning pada kulit buah, yaitu : mature green, quarter ripe (25% kuning), 50% kuning dan 75% kuning (Chay-Prove et al., 2000). Secara umum pada buah pepaya terdapat enam stadia kematangan yaitu munculnya semburat warna kuning pada kulit buah (mature green), warna kuning pada kulit buah sebanyak 25, 50, 75, 100% dan lewat masak (Bron dan Jacomino, 2006; Bari et al., 2006 dan Abeywickrama et al., 2008) Pemanenan pepaya untuk ekspor biasanya dilakukan ketika warna kulit buah 25% kuning, dengan perkiraan ketika sampai di konsumen buah mencapai stadia kematangan 75% warna kuning kulit buah. Menurut Kays (1991) perubahan warna adalah perubahan yang jelas terjadi pada banyak buah sehingga dapat dijadikan sebagai kriteria utama bagi konsumen untuk menentukan apakah buah tersebut sudah matang atau masih mentah. Warna hijau disebabkan adanya klorofil yang merupakan kompleks organik magnesium. Kemudian klorofil mengalami degradasi struktur sehingga warna hijau menghilang. Faktor utama yang berperan dalam degradasi klorofil ini adalah perubahan pH yang disebabkan kebocoran asam organik dari vakuola,
20
sistem oksidatif, dan adanya enzim chlorophyllase. Kehilangan warna tergantung pada satu atau seluruh faktor-faktor yang bekerja berurutan untuk merusak struktur klorofil. Degradasi klorofil berkaitan juga dengan sintesis karotenoid dan antosianin selama proses pematangan buah. Oleh karena itu, perubahan warna dalam pematangan dan penyimpanan buah menjadi faktor yang penting untuk diamati. Menurut Winarno dan Wirakartakusumah (1981) karotenoid adalah kelompok senyawa yang tersusun dari unit isoprene atau turunannya. Pada dasarnya ada dua jenis karotenoid, yaitu karoten (tanpa atom oksigen dalam molekulnya) dan xantofil (mempunyai atom oksigen dalam molekulnya). Karoten adalah anggota karotenoid yang paling banyak terdapat dalam daging buah, pigmen ini pada umumnya menyebabkan warna jingga dan mempunyai peranan yang penting dalam sintesis vitamin A. Kandungan karbohidrat sederhana seperti sukrosa dan fruktosa merupakan parameter kualitas buah yang sangat penting sebagai kriteria berbagai stadia kematangan. Buah pepaya merupakan buah klimakterik yaitu buah yang mengalami kenaikan produksi CO2 secara mendadak dan kemudian mengalami penurunan dengan cepat pada saat mencapai matang penuh (full ripe). Pada buah klimakterik terjadi perubahan pati menjadi gula yang memberikan rasa manis (Kays, 1991). Akamine dan Goo (1971) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara warna kuning pada kulit buah dan kandungan padatan terlarut total buah. Gula merupakan komponen utama bahan padat yang terlarut. Selama proses pemasakan buah, padatan terlarut total buah meningkat karena terjadi pemecahan polimer karbohidrat, khususnya perubahan pati menjadi gula sehingga kandungan gula dalam daging buah secara umum meningkat. Pada tahap selanjutnya padatan terlarut total daging buah akan menurun karena hidrolisis gula menjadi asam-asam organik yang digunakan untuk proses respirasi. Pada buah pepaya Sunrise Solo kandungan padatatan terlarut total daging buah meningkat dengan semakin menguningnya kulit buah Kandungan padatan terlarut total daging buah kemudian menurun setelah warna kuning pada kulit buah mencapai 80%. Menurut Chan (1979) kandungan padatan terlarut total biasa digunakan sebagai indikator kualitas buah dan kematangan buah pepaya. Padatan terlarut
21
total dapat digunakan sebagai indikator tingkat kemanisan. Asam organik yang dominan dalam buah umumnya asam sitrat dan asam malat. Pada umumnya kandungan asam organik menurun selama pemasakan buah karena direspirasikan atau diubah menjadi gula. Menurut Arriola et al. (1980) pada buah pepaya masak terjadi peningkatan baik kandungan asam maupun padatan terlarut total, namun kandungan gula jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan asam organiknya sehingga rasa manis lebih dominan. Kandungan asam pada daging buah akan menurun pada saat buah lewat masak (over ripe). Sankat dan Maharaj (1997) menyatakan pada tahap awal perkembangan buah terdapat kandungan glukosa yang dominan. Kemudian pada masa awal pemasakan dan pada tahap pemasakan buah, sukrosa meningkat dua sampai lima kali mencapai tingkat tertinggi dalam buah melebihi fruktosa dan glukosa. Menurut Matto et al. (1993) pada proses pemasakan buah biasanya meningkatkan jumlah gula sederhana yang memberi rasa manis, penurunan asamasam organik dan senyawa-senyawa fenolik yang mengurangi rasa sepet dan masam, dan kenaikan zat-zat atsiri yang memberi aroma khas pada buah. Hasil penelitian Suketi et al. (2007) menunjukkan bahwa karakter kimia buah yang mempengaruhi tingkat kesukaan adalah kandungan padatan terlarut total buah. Hal ini membuktikan bahwa rasa manis pada buah pepaya sangat menentukan selera konsumen. Yon dan Serrano (1994) menyatakan bahwa buah pepaya yang dipanen pada tingkat kematangan yang tepat dapat menghasilkan rasa dan aroma yang baik.
Perubahan Kandungan Vitamin Beberapa vitamin yang terdapat pada bahan pangan seperti karoten dan vitamin C merupakan bahan yang sangat peka terhadap oksidasi. Vitamin C merupakan salah satu bahan penyusun organik yang kadarnya pada buah berfluktuasi tergantung pengaruh temperatur dan pH. Perubahan asam organik, protein, asam amino dan lipida dapat mempengaruhi kualitas rasa pada buah pepaya. Kehilangan kandungan vitamin C pada buah akan menurunkan kualitas nutrisi. Hasil penelitian Purwoko dan Fitradesi (2000) pada buah pepaya menunjukkan bahwa kadar vitamin C meningkat sejalan dengan semakin lama
22
buah disimpan. Broto et al. (1991) mengemukakan dalam hasil penelitiannya bahwa kandungan vitamin C pada pepaya Sunrise adalah 136.95 mg/ 100 g dan yang rendah terdapat pada pepaya Paris. Kandungan vitamin C pada buah tergantung dari kultivar, teknik budidaya dan perbedaan umur petik buah pepaya.
Perubahan Tekstur Buah Tekstur buah dipengaruhi oleh kelembaban, kandungan serat dan lemak dalam buah. Senyawa pektin biasanya terdapat diantara dinding sel yang berfungsi sebagai perekat. Enzim pembentuk senyawa pektin pada lamela tengah yaitu pektin methyl esterase (PME) dan polygalakturonase (PG) meningkat aktivitasnya pada waktu buah mengalami pemasakan. Aktivitas enzim-enzim tersebut mengakibatkan pemecahan senyawa pektin menjadi senyawa-senyawa lain. Proses pemasakan dapat menambah jumlah senyawa pektin yang dapat larut dalam air dan mengurangi bagian yang tidak terlarut sehingga mengakibatkan sel mudah terpisah dan mengakibatkan buah menjadi lunak (Pantastico et al., 1986).
Kultivar Pepaya Saat ini hanya sedikit kultivar pepaya hasil persilangan yang terdapat di dunia. Hal ini disebabkan tidak banyak negara yang mau mengembangkan pepaya, dan beberapa varietas kehilangan cirinya karena gagal mempertahankan cirinya tersebut pada turunannya saat penyerbukan (Chan, 1994a). Kultivar pepaya dapat dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan ukuran buahnya. Kelompok yang pertama adalah pepaya yang buahnya berukuran besar dan panjang, umumnya digunakan dalam campuran es buah atau dimakan segar. Contohnya antara lain kultivar Paris, Cibinong, Batu Arang, Subang 6, Sitiawan, Dampit, dan Jingga (Chan, 1994b; Kalie, 2001). Pepaya Bangkok yang dikenal dan banyak diusahakan di Jawa Barat sama dengan kultivar Dampit yang banyak diusahakan di Jawa Timur. Pepaya Dampit mempunyai bentuk buah oval dengan permukaan kulit yang kasar (tidak rata), daging buah jingga kemerahan, keras, dan manis. Pepaya Dampit memiliki ukuran buah yang besar dengan bobot rata-rata 2.5 kg/buah dan dapat mencapai 3.5 kg/buah. Pepaya Jingga dan Paris
23
mempunyai permukaan kulit yang halus serta pepaya Paris mempunyai kulit kuning pada saat matang optimal. Kelompok kedua adalah pepaya yang buahnya berukuran kecil dan bentuknya agak membulat dengan kualitas rasa yang baik yaitu rasa yang sangat manis, biasanya disajikan segar dalam keadaan terbelah membujur dan lebih baik dikonsumsi dengan menggunakan sendok. Jenis pepaya kecil ini memiliki nilai jual yang tinggi dan mulai disukai konsumen. Contohnya adalah Sunrise Solo, Eksotika, dan Eksotika II (Chan, 1994b). Konsumen di Indonesia masih banyak yang memilih pepaya jenis besar, tetapi konsumen kelas menengah ke atas lebih menyukai jenis pepaya bentuk kecil (Broto et al., 1991). Pepaya Sunrise Solo merupakan kultivar yang paling populer di ASEAN, mempunyai kulit buah yang halus, dengan semburat dan warna kulit buah yang kuning kehijauan pada saat matang. Tekstur akan semakin empuk untuk konsumsi segar pada saat warna kulit menjadi kuning secara keseluruhan. Ukuran buah tergantung dari lokasi pertumbuhan. Di Malaysia, ukuran buah pepaya Sunrise Solo berkisar 350 g untuk buah hermafrodit, dan 500 g untuk buah betina. Di Indonesia, rata-rata ukuran buah pepaya bertipe kecil berkisar 300 g, dan di Filipina berkisar 450 g. Meskipun buahnya berukuran kecil, pepaya ini mempunyai rasa yang enak dan kandungan gula yang tinggi. Karena mutu dan warna daging buah yang cukup bagus, pepaya Sunrise Solo digunakan pada program pemuliaan di negara-negara ASEAN untuk mengembangkan mutu buah pada kultivar lokal (Chan, 1994b).
Pengembangan Pepaya Mutu buah pepaya terkait dengan rasa yang harus diperhatikan adalah kandungan padatan terlarut total (PTT), asam tertitrasi total (ATT) dan rasio antara keduanya. Mutu buah pepaya yang diinginkan oleh konsumen biasanya mempunyai ideotipe yang sama. Ideotipe buah pepaya versi Balai Penelitian Tanaman Buah menurut Purnomo (1999) ialah: ukuran buah sedang dengan bobot 0.50-0.85 kg/buah, ukuran sangat besar lebih dari 2.85 kg/buah, mempunyai bentuk sempurna, warna kulit kuning kemerahan pada saat masak, warna daging buah jingga kemerahan, daging buah tebal, dan kadar padatan terlarut total lebih
24
besar dari 13°Brix. Mutu buah pepaya yang diinginkan oleh konsumen menurut laporan Pusat Kajian Buah-buahan Tropika bekerja sama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PKBT-LPPM) IPB (2004) mempunyai: ukuran buah medium (0.5-1.0 kg), warna daging buah jingga sampai merah, edible portion tinggi (rongga buah kecil), bentuk buah lonjong, dan rasa daging buah manis. Pengembangan kualitas tanaman dan mutu buah pepaya dari segi pemuliaan memerlukan pengetahuan tentang keragaman genetika yang menjadi modal dasar bagi para peneliti untuk melakukan perbaikan sifat genetik tanaman. Makin tinggi tingkat keragaman akan memberikan potensi perbaikan yang lebih baik, karena peluang untuk merakit varietas baru yang sesuai dengan berbagai segmen konsumen akan lebih tinggi. Hal ini penting diperhatikan karena perluasan pasar pepaya mulai dari pasar domestik hingga ekspor membutuhkan varietas dengan karakteristik yang berbeda. Ketersediaan sumberdaya genetik dengan keragaman tinggi akan meningkatkan daya saing Indonesia dalam pasar pepaya global. Penelitian tentang pemuliaan pepaya di Indonesia yang dilaporkan oleh Budiyanti et al. (2005) dimulai dengan mengkarakterisasi buah pepaya berdasarkan: bobot buah, panjang buah, lingkar buah, diameter buah, bentuk buah, warna daging buah, kadar padatan terlarut total, tebal daging buah dan rasa daging buah. Dari penelitian ini dihasilkan delapan aksesi dari 88 aksesi pepaya yang mempunyai karakter unggul, seperti: rasa daging buah yang manis, ukuran buah sedang dan warna daging buah oranye-merah. Program pemuliaan pepaya di Thailand untuk mendapatkan genotipe yang berumur genjah, dwarf, berproduksi tinggi, berbobot buah 0.5-0.7 kg dengan kualitas tinggi, adalah dengan melakukan beberapa penelitian terintegrasi diantaranya dengan menganalisis sifat daya gabung dari genotipe-genotipe pepaya yang akan dikembangkan (Subhadrabandhu dan Nontaswatsri, 1997). Perbaikan varietas pepaya di Thailand menghasilkan varietas Tainung, Khaek Dam dan Khaek Nuan yang menghasilkan produksi tingggi dan kualitas daging buah yang sesuai untuk dikonsumsi segar (Kumcha et al., 2009). Pemuliaan pepaya di Malaysia dimulai tahun 1971 dengan melakukan seleksi galur murni yang diikuti
25
dengan hibridisasi antar tetua homosigot, diantaranya menghasilkan kultivar Eksotika pada tahun 1987 dan Sunrise Solo yang berasal dari galur Subang 6 dan Batu Arang. Pada tahun 1991 dihasilkan kultivar Eksotika II (Chan, 2007). Kultivar pepaya yang diusahakan di India untuk dimanfaatkan produksi papainnya ialah Pusa dwarf yang bersifat dioecious, CO3 dan CO7 yang bersifat gynodioecious (Kamalkumar et al., 2007). Sedangkan di Filipina pemuliaan pepaya dimulai tahun 1980 menghasilkan hibrida Sinta yang toleran terhadap papaya ring spot virus (PRSV) pada tahun 1995. Sekarang pemuliaan pepaya diarahkan untuk mendapatkan kultivar yang dapat memenuhi kriteria pasar dan industri seperti: buah besar, warna daging buah merah dan tebal, rasa manis dan aroma baik (Magdalita et al. , 2007).
26
III. STUDI MORFOLOGI DAN FISIOLOGI PERTUMBUHAN BUNGA DAN BUAH PEPAYA Abstrak Tanaman betina menghasilkan bunga betina dan tanaman hermafrodit menghasilkan bunga hermafrodit serta ekspresi seks bunga tanaman pepaya baru diketahui setelah tanaman berbunga. Letak benang sari yang berdekatan dan di atas stigma bunga terdapat pada bunga pepaya kategori buah kecil, sedangkan letak benang sari lebih jauh dan di bawah stigma bunga terdapat pada kategori buah sedang dan buah besar. Bunga hermafrodit genotipe IPB 1 menunjukkan ketidak teraturan jumlah lekukan pada tangkai kepala putik, berbeda dengan lekukan pada tangkai kepala putik bunga betina IPB 1 yang konsisten berjumlah lima lekukan. Hubungan viabilitas yang dicerminkan oleh daya berkecambah serbuk sari dan kecepatan pertumbuhan tabung sari dapat dijadikan penduga keberhasilan proses pembuahan pada pepaya. Tabung sari dalam empat jam perkecambahan untuk pepaya kategori buah kecil (IPB 1, IPB 3 dan IPB 4) tumbuh paling panjang, sementara jarak antara stigma dengan bakal buah pendek. Pengurangan benang sari pada buah pepaya kategori kecil (IPB 3) mengakibatkan pengurangan karakter kimia buah tetapi tidak pada karakter fisik buah. Pengurangan cuping stigma bunga hermafrodit yang disertai dengan penyungkupan pada pepaya kategori buah kecil menyebabkan pengurangan dalam bobot buah, tebal buah dan jumlah biji. Pada pepaya kategori buah besar (IPB 2) pengurangan benang sari, cuping stigma dan penyungkupan menyebabkan penurunan mutu pada karakter fisik buah tetapi tidak mengurangi mutu kimia buah. Pengurangan cuping stigma bunga betina genotipe IPB 3 mempengaruhi jumlah biji dan bobot biji yang terbentuk. Penghalangan penyerbukan dengan menyungkup bunga betina menghasilkan buah pepaya betina yang tidak berbiji. Mutu karakter fisik dan kimia buah hermafrodit genotipe IPB 3 tidak dipengaruhi oleh genotipe sumber serbuk sari sehingga tidak ada efek metaxenia pada buah pepaya hermafrodit IPB 3.
Kata kunci: hermafrodit, betina, penyerbukan, serbuk sari, tabung sari, mutu buah, pepaya.
27
Abstract Female plant produce pistillate flowers and hermaprodite plants produce hermaphrodite flowers and sex expression of flowers became known after the flowering plants. Hermaphrodite flower development until the fruitset is formed will occur much longer than pistillate flower. Location of the stamen to the stigma of papaya small fruit and large fruit categories were different. Hermaprodhite flower of IPB 1 genotype has irregular and unstable shape of style lobe, in the other hand pistillate flower has five lobes. The purpose of the pollen germination research was to examine the fertilization process in terms of papaya pollen germination process and growth rate of pollen tubes. Average length of pollen tube within four hours of germination for small papaya fruit category (IPB 1, IPB 3, and IPB 4) was high while the distance between stigma and ovary was short so that the expected of fertilization process occurs sooner. Reduction of stamens in hermaphrodite flower of papaya IPB 3 genotype (small fruit category) resulted in reduction of the chemical characteristics but not the physical characteristics of the fruit. Bagging and reduction of stigma lobes of hermaphrodite flowers IPB 3 causes a reduction in fruit weight, fruit flesh thickness and seed number. In the large category of papaya (IPB 2) reduction of stamens, stigma lobes and bagging in hermaphrodite papaya flower IPB 2 causes a decrease in physical characteristics of the fruit but does not reduce the chemical characteristics of the fruit. Reduction of stigma lobes of female flowers IPB 3 affects the number of seeds and seed weight. Bagging the female flower produce seedless fruit. There is no metaxenia effect or no effect of genotype on pollen sources on physical and chemical characteristics of hermaphrodite IPB 3.
Keywords: Carica papaya, hermaphrodite, pistillate, pollination, fruit set, pollen, pollen tube, fruit quality
28
Pendahuluan Tanaman pepaya mempunyai tiga tipe bunga yaitu: bunga betina, bunga jantan dan bunga hermafrodit. Bunga pepaya terbentuk pada ketiak daun yang umumnya berada dalam rangkaian inflorescence menggarpu. Tanaman pepaya tergolong tanaman menyerbuk silang, namun ada beberapa yang menyerbuk sendiri. Paterson et al. (2007) mengemukakan bahwa pada tanaman pepaya hermafrodit kemungkinan sangat besar terjadi penyerbukan silang. Keberhasilan penyerbukan pada jaringan permukaan stigma dan pembuahan inti sel sperma dengan sel telur akan menghasilkan mutu buah yang baik. Perkembangan buah terdiri dari tiga fase yaitu: 1. perkembangan bakal buah, fertilisasi dan pembentukan buah, 2. pembelahan sel, pembentukan biji dan perkembangan awal embrio, 3. pembesaran sel dan pematangan embrio. Fase awal pembentukan buah adalah perkembangan bakal buah dan fertilisasi, sehingga bagian tanaman yang terlibat dalam fertilisasi yaitu bakal buah dan serbuk sari, sangat menentukan keberhasilan pembentukan buah (Gillaspy et al., 1993). Faktor-faktor biologi bunga secara keseluruhan yang mempengaruhi keberhasilan pembentukan buah ialah: bentuk bunga, letak benang sari terhadap stigma, jumlah serbuk sari, kematangan serbuk sari, reseptivitas stigma, reseptivitas ovul dan kesempurnaan ovul. Keberhasilan pembentukan buah juga sangat dipengaruhi oleh viabilitas serbuk sari yaitu daya tumbuh kecambah atau kecepatan tumbuh tabung sari. Semakin tinggi daya tumbuh kecambah atau kecepatan tumbuh tabung sari maka proses pembuahan dalam bakal buah akan semakin cepat terjadi. Menurut Bolat dan Pirlak (1999) pengetahuan tentang viabilitas serbuk sari memungkinkan dapat dimanfaatkan oleh petani buah untuk memperkirakan produksi buah. Viabilitas serbuk sari dapat diketahui dengan berbagai macam metode pengujian. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui viabilitas serbuk sari yaitu dengan melakukan perkecambahan serbuk sari secara in vitro (Galletta, 1983). Media perkecambahan serbuk sari secara in vitro yang digunakan untuk beragam spesies pertama kali diformulasikan oleh Brewbaker dan Kwack pada tahun 1963 dengan komposisi 10% sukrosa, 100 ppm H3BO4, 300 ppm Ca(NO3)2 4H2O, 200 ppm MgSO4 7H2O, dan 100 ppm KNO3. Penelitian viabilitas
29
serbuk sari pepaya untuk mengetahui daya simpan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya telah dimulai oleh: Allan (1963), kemudian oleh Cohen et al. (1989) untuk pepaya di Israel dan Perveen et al. (2007) untuk pepaya di Pakistan. Menurut Magdalita et al. (1998) viabilitas serbuk sari pepaya beragam tergantung varietas dan iklim lingkungan tanaman tumbuh. Serbuk sari merupakan materi genetik jantan yang berpotensi sebagai sumber gen untuk perbaikan kualitas tanaman (Malik, 1979). Para peneliti buah sejak lama meyakini bahwa sifat dari tetua jantan yang terbawa dalam serbuk sari akan mempengaruhi kualitas buah yang terbentuk yang dikenal dengan fenomena metaxenia. Pada umumnya fenomena metaxenia dapat mempengaruhi kualitas buah seperti ukuran dan waktu pematangan buah, sehingga kemungkinan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas buah (Sedgley dan Griffin, 1989). Pengendalian penyerbukan dapat dilakukan dengan melakukan modifikasi baik pada organ jantan (benang sari, serbuk sari), organ betina (stigma, ovari) maupun pada keduanya. Pada tanaman durian sudah lama dikembangkan cara untuk meningkatkan produksi dan mutu buah dengan cara melakukan penyerbukan menggunakan serbuk sari dari klon yang berbeda. Hasil penelitian George et al. (1992) pada tanaman durian klon D24 yang diserbuki dengan serbuk sari dari klon lain ternyata dapat meningkatkan produksi dan ketebalan daging buahnya. Widodo (2000) mengemukakan bahwa pada buah anggur yang mengalami pengguguran biji menghasilkan ukuran buah kecil, tetapi dengan pemberian zat pengatur tumbuh tertentu akan memperbesar ukuran buahnya. Menurut Honsho et al. (2004) penyerbukan silang pada tanaman durian menghasilkan fruit set lebih tinggi dan mutu buah lebih baik daripada buah yang dihasilkan dari penyerbukan sendiri. Hasil penelitian Ansari dan Davarynejad (2008) pada penyerbukan bunga sour cherry dengan serbuk sari lain ternyata menghasilkan pertambahan ukuran buah tetapi tidak mempengaruhi sifat kualitatif buahnya. Bentuk buah pepaya pada pohon betina biasanya tidak akan berubah akibat faktor umur, musim atau status nutrisi; karena perubahan bentuk buah dipengaruhi secara kuat oleh stamen yang tidak pernah terbentuk pada bunga betina (Fitch, 2005). Pada buah salak yang bertipe dioecious, perlakuan modifikasi pada bunga betina menghasilkan perkembangan panjang dan diameter buah berbeda. Pada
30
perlakuan pengurangan jumlah cuping stigma bunga salak menunjukkan bobot buah yang terbentuk dari bunga yang mempunyai tiga stigma lebih berat dibandingkan dengan buah yang terbentuk dari bunga yang mempunyai dua atau satu stigma yang terserbuki (Ashari, 2002). Dari hasil penelitian dan pendapat diatas tersirat bahwa fertilisasi yang menghasilkan buah sangat tergantung dari kompatibilas morfologi antara bunga betina (stigma, ovari) dengan bunga jantan (benang sari, serbuk sari). Herrero et al., (1988) mengemukaan bahwa mekanisme yang terjadi setelah penyerbukan antara serbuk sari dengan stigma, lalu perkecambahan serbuk sari, sampai serbuk sari menembus tangkai kepala putik dan bakal buah pada pohon buah-buahan belum banyak diketahui. Tetapi diyakini banyak proses terjadi yang melibatkan interaksi antara bagian-bagian bunga jantan dan betina di dalam bakal buah. Pada tanaman pepaya sampai saat ini pengetahuan tentang penyerbukan bunganya belum banyak diketahui, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruhnya terhadap mutu buah pepaya. Mutu pepaya yang diinginkan oleh konsumen dilihat dari segi buahnya biasanya mempunyai ideotipe buah yang mempunyai bentuk sempurna, bobot 0.50-0.85 kg/buah, warna kulit kuning kemerahan pada saat masak, warna daging buah jingga kemerahan, daging buah tebal, edible portion tinggi, rongga buah kecil, dan rasa daging buah manis. Penelitian morfologi dan fisiologi pertumbuhan bunga pepaya dilakukan dalam dua percobaan yang berbeda dan secara umum bertujuan untuk: mengetahui morfologi tunas bunga dan bunga pepaya dengan pengamatan mikroskop biasa dan mikroskop elektron payaran (Scanning Electron MicroscopeSEM); mengkaji viabilitas serbuk sari pepaya genotipe: IPB 1, IPB 2, IPB 3, IPB 4, IPB 5, IPB 7, IPB 8, IPB 9 dan IPB 10. Penelitian tentang pengaruh penyerbukan bunga pepaya bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyerbukan terhadap perkembangan buah pepaya genotipe IPB 3 yang berkategori buah kecil dan pada pepaya genotipe IPB 2 yang termasuk dalam kategori buah besar.
31
Bahan dan Metode Bahan dan metode pada studi morfologi dan fisiologi pertumbuhan bunga dan buah pepaya terdiri dari tiga percobaan, yaitu: 1. Morfologi bunga pepaya, 2. Viabilitas dan pertumbuhan tabung sari pepaya IPB dan 3. Studi penyerbukan bunga dan perkembangan buah pepaya.
III.1. Morfologi Bunga Pepaya Waktu dan Tempat Percobaan dilakukan pada bulan Januari sampai Juni 2007 di Laboratorium Anatomi FMIPA Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Cibinong. Bahan uji ialah tunas bunga dan bunga dari populasi tanaman pepaya genotipe IPB 1 hermafrodit, betina dan jantan yang terdapat di Teaching Farm Kebun Buah, Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT), Unit Lapangan Tajur, University Farm, IPB. Bogor. Bahan dan Alat Bahan kimia untuk pengamatan anatomi dengan mikroskop biasa ialah bahan kimia standar untuk sediaan mikroskopis organisme dan jaringan tanaman (asam asetat, asam sulfat, glycerin, parafin, xylol, alkohol 95, 70 dan 50 %, aquadest, pewarna safranin dan fast green). Bahan kimia untuk pengamatan morfologi dengan SEM ialah: Na(CH3)2As2)O3. Alat di lapangan yang digunakan ialah meteran, jangka sorong dan kamera digital. Alat yang digunakan di laboratorium ialah peralatan pengamatan anatomi lengkap (pinset, pipet, pisau silet, gelas obyek, gelas obyek cekung, gelas penutup, mikrotom), mikroskop cahaya, mikroskop payaran elektron serta kamera digital. Metode Pelaksanaan Tunas bunga dan bunga pepaya betina, hermafrodit dan jantan diamati perbedaan bentuk dan ukurannya. Studi anatomi dan morfologi tunas bunga dan bunga
dilakukan
dengan
menggunakan
metode
standar
yang
dipakai
Laboratorium Anatomi FMIPA IPB, Laboratorium Zoologi LIPI, dan metode yang digunakan Ronse Decraene dan Smets (1999). Metode pelaksanaan untuk
32
struktur anatomi bunga dilakukan sediaan preparat langsung di bawah mikroskop dan kamera digital. Metode pelaksanaan yang dilakukan untuk membuat sediaan preparat mikroskopis jaringan tanaman meliputi: fiksasi, dehidrasi, dealkoholisasi, infiltrasi, penanaman (embedding), pengirisan dan penyayatan, perekatan, pewarnaan (staining) dan penutupan. Fiksasi dilakukan dengan menggunakan FAA (formaldehyde acetic acid alcohol) dan dehidrasi bertingkat dengan alkohol seri. Proses penanaman material ke dalam cetakan yang berisi parafin cair dilakukan dengan cermat sehingga memudahkan untuk mendapatkan irisan yang sempurna pada saat penyayatan dengan mikrotom. Pengamatan di bawah mikroskop dilakukan setelah sediaan preparat mengalami pewarnaan dengan safranin dan fast green serta pengeringan di oven pada suhu 40 °C. Metode yang dilakukan untuk membuat sediaan preparat mikroskopis memakai scanning electron microscope (SEM) ialah: fiksasi, dealkoholisasi, infiltrasi, pengeringbekuan dengan freeze dry system, penyepuhan dengan logam emas dan pengamatan menggunakan SEM merk JEOL tipe 5310 LV. Pengamatan sediaan mikroskopi dilakukan dengan Mikroskop SEM di Laboratorium Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Cibinong Proses pembuataan sampel dan persiapan pengamatan SEM mengacu pada metode yang dibakukan oleh Laboratorium Bidang Zoologi, LIPI. Sampel untuk pengamatan SEM berupa irisan tunas bunga berbentuk kubus berukuran 0.5 cm x 0.5 cm x 0.5 cm dicuci didalam bufer (Na(CH3)2As2)O3 0.2 M selama lebih kurang 24 jam pada suhu 4oC, kemudian sampel spesimen dicuci ulang dengan larutan bufer (Na(CH3)2As2)O3 0.2 M pada alat getar ultra sound sebanyak tiga kali dengan masing-masing tahap berlangsung selama 15 menit pada suhu kamar. Selanjutnya sampel difiksasi dengan larutan glutaraldehid 2% (9 ml larutan bufer (Na(CH3)2As2)O3 0.2 M + 1 ml glutaraldehid dari larutan stok glutaraldehid 20%) selama 2 jam pada suhu 4oC, kemudian sampel direndam di dalam larutan tannic acid 2% (2 g tannic acid dalam buffer (Na(CH3)2As2)O3 0.2 M sehingga volume larutan menjadi 100 ml) yang bersifat sebagai conductive staining, supaya membentuk lapisan yang konduktif pada suhu 4oC selama kurang lebih dua hari (45 jam). Pada tahap selanjutnya sampel dicuci dengan buffer (Na(CH3)2As2)O3
33
0.2 M sebanyak empat kali dengan masing-masing tahap berlangsung selama 15 menit pada suhu 4oC. Kemudian sampel dicuci dengan akuades pada suhu 4oC selama 15 menit dan diulang sebanyak dua kali. Proses dehidrasi dilakukan dengan seri etanol bertingkat, yaitu sampel direndam di dalam etanol 50% sebanyak empat kali dengan masing-masing tahap berlangsung selama 5 menit pada suhu 4oC, selanjutnya proses perendaman sampel berturut-turut dalam larutan etanol 75%, larutan etanol 88% masing-masing selama 20 menit pada suhu 4oC. Sampel selanjutnya dimasukkan ke dalam larutan etanol 95% selama 20 menit pada suhu kamar. Tahap terakhir adalah perendaman sampel di dalam larutan etanol absolut sebanyak dua kali dengan masing-masing tahap berlangsung selama 10 menit pada suhu kamar. Sampel yang telah didehidrasi kemudian dimasukkan ke dalam larutan tertier butil alkohol (TBA) selama 10 menit sebanyak dua kali pada suhu kamar. Kemudian sampel dibiarkan didalam larutan TBA selama tiga hari pada suhu 4oC sebelum dikeringbekukan ke dalam larutan butanol selama 5 jam pada freeze drier pada suhu -47o C dengan tekanan vakum 140 x 10-3 M Bar. Tahap selanjutnya sampel direkatkan pada specimen holder menggunakan perekat selotape dua sisi, kemudian permukaannya disepuh dengan logam emas pada alat vacuum evaporation device yang berlangsung lebih kurang 4 menit sehingga didapatkan ketipisan logam sebesar 300 A. Spesimen yang telah dilapisi dengan logam emas ini siap untuk diamati dengan SEM. Pengamatan tunas bunga pepaya secara transversal dan tangensial (dengan memutar posisi sampel sebesar 900) dilakukan pada 20 kilo-volt.
III.2. Viabilitas dan Pertumbuhan Tabung Sari Pepaya IPB Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Juni 2008, di Laboratorium
Kultur Jaringan
dan
Laboratorium
Ekofisiologi
Tanaman
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB. Bahan dan Alat Serbuk sari pepaya diperoleh dari bunga tanaman pepaya genotipe IPB 1, IPB 2, IPB 3, IPB 4, IPB 5, IPB 7, IPB 8, IPB 9 dan IPB 10 yang ditanam di
34
Teaching Farm Kebun Buah, Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT), Unit Lapangan Tajur, University Farm, IPB. Bogor. Tanaman pepaya dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan ukuran buah yaitu: pepaya kategori buah kecil (genotipe IPB 1, IPB 3 dan IPB 4), pepaya kategori buah sedang (genotipe IPB 5, IPB 9 dan IPB 10), dan kategori buah besar (genotipe IPB 2, IPB 7 dan IPB 8). Komposisi media perkecambahan yang digunakan yaitu: 100 ppm H3BO4, 300 ppm Ca(NO3)2 4H2O, 200 ppm MgSO4 7H2O, 100 ppm KNO3, 5% sukrosa dan aquades. Alat-alat yang digunakan diantaranya timbangan analitik, cawan petri, gelas objek, spatula, mikroskop ”Olympus BX41”, mikrometer dan perlengkapan fotografi. Metode Pelaksanaan Bunga pepaya diambil pada fase satu hari sebelum antesis. Butir serbuk sari dipisahkan dari kotak sari dengan menggunakan pinset, kemudian serbuk sari diletakkan pada media perkecambahan. Serbuk sari pepaya genotipe IPB 1, IPB 2, IPB 3, IPB 4, IPB 5, IPB.7, IPB 8, IPB 9, dan IPB 10 yang telah diisolasi, dikecambahkan dalam media pada gelas objek yang diletakkan di suhu ruang. Peletakan gelas objek pada suhu ruangan mengacu pada penelitian Burke et al. (2004) yang mengamati perkecambahan serbuk sari durian pada suhu sekitar 2037oC dan kelembaban sekitar 50-80%. Satu gelas objek merupakan satu unit percobaan. Untuk setiap percobaan perkecambahan serbuk sari dilakukan 10 kali ulangan. Pengamatan Untuk mengetahui hubungan panjang tabung sari dengan proses pembuahan, terlebih dahulu dilakukan pengukuran jarak antara stigma dan bakal buah bagian tengah serta jarak antara stigma dan bakal buah bagian bawah dengan menggunakan masing-masing 10 sampel bunga hermafrodit untuk setiap genotipenya. Pengukuran diameter dan panjang tabung serbuk sari dilakukan dengan menggunakan perbesaran 100x dan 400x. Daya berkecambah serbuk sari dan panjang tabung sari diamati dengan menggunakan metode seperti yang dilakukan oleh Wahyudin (1999) pada penelitian perkecambahan serbuk sari salak. Pengamatan pertumbuhan kecambah serbuk sari dilakukan setiap 30 menit selama
35
empat jam menggunakan mikroskop ”Olympus BX41” yang telah dilengkapi dengan mikrometer okuler dan perlengkapan fotografi. Data kuantitatif yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA) uji-F pada taraf 5% dan uji perbedaan nilai tengah menggunakan Uji Kontras pada taraf 5 dan 1%. Pengolahan data statistik menggunakan Software SAS (Statistical Analysis System) versi 6.12.
III.3. Studi Penyerbukan Bunga dan Perkembangan Buah Pepaya Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2006 sampai dengan April 2007 di Teaching Farm Kebun Buah, Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT), Unit Lapangan Tajur, University Farm, IPB. Bogor. Pengujian karakter fisik dan kimia buah dilakukan di Laboratorium Produksi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura dan Laboratorium Research Group on Crop Improvement (RGCI), Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan tanaman yang digunakan adalah tanaman pepaya IPB 3 dan IPB 2 dan serbuk sari bunga pepaya IPB 4, IPB 7, IPB 8, IPB 9 dan IPB 10. Alat yang digunakan yaitu pinset, plastik tagging, kertas pembungkus, alat-alat titrasi, pH meter, hand refractometer dan hand fruit hardness tester. Bahan kimia yang digunakan adalah NaOH, iod, indikator Phenolphtalein (PP) dan amilum. Metode Penelitian Penelitian ini terbagi atas empat penelitian yaitu: pengurangan benang sari dan cuping stigma pada pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 (kategori buah kecil), pengurangan benang sari dan cuping stigma pada pepaya hermafrodit IPB 2 (kategori buah besar), pengurangaan cuping stigma pada pepaya betina IPB 3, dan penyerbukan dengan serbuk sari berbeda pada pepaya hermafrodit IPB 3. Penelitian pengurangan benang sari dan cuping stigma menggunakan Rancangan Acak Lengkap satu faktor tiga ulangan dengan 13 taraf perlakuan pada buah pepaya hermafrodit IPB 3; sembilan taraf perlakuan pada buah pepaya hermafrodit IPB 2; dan lima taraf perlakuan pada buah pepaya betina IPB 3.
36
Penelitian penyerbukan antara IPB 3 sebagai tetua betina dengan serbuk sari enam pepaya IPB lainnya (genotipe IPB 2, IPB 4, IPB 7, IPB 8, IPB 9 dan IPB 10) menggunakan Rancangan Acak Lengkap satu faktor dengan enam taraf perlakuan percobaan, enam ulangan. Pelaksanaan dan Pengamatan Pepaya genotipe IPB 2 dan IPB 3 ditanam pada 9 Maret 2006 dengan jarak tanam 3 x 2 m masing-masing sebanyak 120 tanaman (Gambar 3).
a
b
Gambar 3. Keragaan tanaman pepaya genotipe IPB 3 (a) dan IPB 2 (b). 1. Perlakuan pengurangan benang sari dan cuping stigma pada bunga hermafrodit genotipe IPB 3 (kategori buah kecil). Pengurangan benang sari menjadi 1 (HK1), menjadi 3 (HK3), menjadi 5 (HK5) dan kontrol (HK10) dilakukan pada bunga hermafrodit yang dibiarkan terbuka (HK) dan pada bunga yang disungkup (HK10T, HK5T, HK3T, dan HK1T) untuk menjaga masuknya serbuk sari genotipe lain. Pengurangan jumlah cuping stigma menjadi 1 (HT 1), menjadi 3 (HT3), dan kontrol (HT5) dilakukan pada bunga hermafrodit. Pengurangan cuping stigma dilakukan juga dengan bunga yang disungkup (HT5T, HT3T, dan HT1T). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali pada pohon yang berbeda. Perlakuan dilakukan saat bunga belum mekar, 2-3 kali seminggu. Buah diberi label sesuai dengan perlakuan yang diberikan. 2. Perlakuan pengurangan benang sari dan cuping stigma pada bunga hermafrodit genotipe IPB 2 (kategori buah besar). Pengurangan benang sari menjadi 1 (HK1), menjadi 3 (HK3), menjadi 5 (HK5) dan kontrol (HK10) dilakukan pada bunga hermafrodit yang dibiarkan
37
terbuka (HK) dan pada bunga yang disungkup (HK10T, HK5T, HK3T dan HK1T) untuk menjaga masuknya serbuk sari genotipe lain. Pengurangan cuping stigma menjadi 1 (HT1), menjadi 3 (HT3) dan kontrol (HT5) dilakukan pada bunga hermafrodit. Pengurangan cuping stigma dilakukan juga dengan bunga yang disungkup (HT5T, HT3T, dan HT1). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali pada pohon yang berbeda. Perlakuan dilakukan saat bunga belum mekar, 2-3 kali seminggu. 3. Pengurangaan cuping stigma pada bunga pepaya betina genotipe IPB 3. Pengurangan cuping stigma menjadi tiga (T3), menjadi satu (T1), tidak ada stigma (T0) dan kontrol (T5) dilakukan pada bunga betina yang dibiarkan terbuka, dan pada bunga yang disungkup (T5T, T3T, dan T1T). 4. Perlakuan penyerbukan bunga hermafrodit genotipe IPB 3 dengan serbuk sari lain. Perlakuan penyerbukan serbuk sari genotipe lain (IPB 2, IPB 4, IPB 7, IPB 8, IPB 9 dan IPB 10) dilakukan pada bunga hermafrodit IPB 3 sebagai tetua betina. Serbuk sari bunga hermafrodit IPB 3 dikastrasi sesaat sebelum perlakuan dan dilakukan sehari sebelum bunga mekar. Pemeliharaan meliputi penyiraman dan pengendalian gulma secara konvensional serta pengendalian hama dan penyakit dengan membuang bagian tanaman yang terkena hama dan penyakit serta menggunakan pestisida sesuai SOP (Standar Operasional Prosedur) di kebun. Pengamatan meliputi pengamatan panjang dan diameter buah pada setiap minggunya sejak munculnya buah sampai pemanenan dilakukan. Buah dipanen pada stadia 25% kulit buah berwarna kuning. Setelah buah dipanen, buah dibersihkan dan diletakkan pada kondisi ruang. Kemudian dilanjutkan dengan pengkajian pada karakter fisik dan kimia buah pada saat buah mencapai stadia 75-100% kulit buah berwarna kuning. Saat pemanenan buah dan pengamatan karakter fisik dan kimia buah mengacu kepada metode dan hasil penelitian sebelumnya. Karakter fisik buah yang diamati meliputi: panjang, diameter, bobot utuh, jumlah biji, bobot biji, persentase bagian buah dapat dimakan (BDD), tebal maksimal dan minimal daging buah, kekerasan kulit dan daging buah. Kekerasan
38
kulit dan daging buah diukur menggunakan hand fruit hardness tester. Karakter kimia daging buah yang diamati ialah: kandungan padatan terlarut total (PTT) diukur dengan hand refractometer mengacu pada metode yang dilakukan Muchtadi dan Sugiyono (1992). Derajat kemasaman sari buah (pH) diukur dengan pH meter metode kalibrasi (Apriyantono et al., 1988). Pengukuran Asam Tertitrasi Total (ATT) dilakukan dengan menggunakan metode titrimetri (Sibarani et al., 1986). Kandungan vitamin C diukur menurut metode titrasi iodium dari Sudarmaji et al. (1984). Pengolahan data dilakukan dengan uji F pada sistem SAS (Statistical Analysis System) dan uji t Dunnet pada taraf 5%.
Hasil dan Pembahasan III. 1. Morfologi Bunga Pepaya Keragaan tunas bunga betina, bunga hermafrodit dan bunga jantan tanaman pepaya disajikan pada Gambar 4 dan 5. Bunga betina mempunyai bakal buah (ovari) dan stigma, bunga hermafrodit mempunyai bakal buah, stigma dan benang sari (anter), sedangkan bunga jantan hanya mempunyai benang sari. Interaksi antara faktor genetik dan lingkungan diduga dapat menyebabkan terjadinya modifikasi pada jenis bunga pepaya. Perubahan bentuk bunga pepaya akibat interaksi faktor genetik dan lingkungan seperti terjadi pada bunga hermafrodit sehingga terbentuk bunga hermafrodit pentandria disajikan pada Gambar 6 dan bunga hermafrofit rudimenter. Bunga hermafrodit pentandria mempunyai lima benang sari bertangkai agak pendek terletak pada dasar bakal buah, mempunyai bakal buah lonjong dan berkembang menjadi lima sisi buah yang menonjol menyerupai buah dari bunga betina. Bunga hermafrodit rudimenter merupakan bunga hermafrodit elongata yang putiknya mengalami aborsi sehingga tidak memiliki bakal buah, bunga ini mirip dengan bunga jantan namun tabung mahkotanya lebih tipis dibandingkan pada bunga jantan (Nakasone, 1986; dan Villegas,1997). Bunga hermafrodit rudimenter biasanya akan muncul pada saat tanaman mengalami kekeringan dan akhirnya tanaman tidak akan menghasilkan buah (Chan, 1995). Sifat pembungaan tanaman pepaya yang unik terjadi juga pada bunga jantannya yang dapat membentuk buah pada keadaan cuaca tertentu.
39
s a a
s
o
o 1
2
3
Gambar 4. Tunas bunga betina (1), bunga hermafrodit (2) dan bunga jantan (3) stigma (s), ovari (o), anter (a).
1
4 cm
2
3
4 cm
4 cm
Gambar 5. Jenis bunga pepaya: bunga betina (1), bunga hermafrodit (2) dan bunga jantan (3). Bunga jantan berbentuk terompet yang terletak pada malai sepanjang 25100 cm, berukuran kecil dengan 10 benang sari yang terbagi menjadi dua kelompok dan terletak pada rongga mahkota bunga. Bunga jantan pepaya tidak memiliki ovari sehingga tidak membentuk buah kecuali terjadi pada pepaya dewasa dalam keadaan iklim tertentu bagian ujung malai bunga jantan dapat
40
membentuk bunga hermafrodit tipe elongata yang memiliki bakal buah berbentuk bulat telur, dan mampu berkembang menjadi buah pepaya gantung (Gambar 7).
1
3
2
Gambar 6. Bunga (1), bakal buah (2) dan buah pepaya hermafrodit pentandria (3).
2
1
Gambar 7. Tanaman pepaya jantan dengan buah pepaya gantung (1) dan bunga jantan (2). Hasil pengamatan sediaan preparat dengan irisan longitudinal dibawah mikroskop disajikan pada Gambar 8. Meristem apikal tunas bunga pepaya hermafrodit teramati pada saat pengambilan sampel tunas bunga panjangnya 3-5 mm. Pada saat itu diperkirakan terjadi 6 minggu sebelum antesis di lapang. Gambar 8.1 dan 8.2 menunjukkan diferensiasi bagian bunga sepal dan petal, dimana pengambilan sampel dari lapang pada saat 4 minggu sebelum antesis. Hasil penelitian Sippel et al. (1989) menyatakan diferensiasi bunga hermafrodit Sunrise Solo terjadi pada 10-8 minggu sebelum pembungaaan dan diferensiasi ovari dimulai pada 8-7 minggu sebelum pembungaan. Inisiasi anter terjadi sebelum diferensiasi ovari, tetapi diferensiasi anter sempurna pada 5-4 minggu sebelum antesis. Tunas bunga betina dan hermafrodit sudah dapat dibedakan dengan pengamatan di bawah mikroskop (Gambar 9), walaupun pada saat pengambilan
41
sampel tunas bunga di lapang belum dapat dibedakan antara bunga betina dan bunga hermafrodit. Keberadaan benang sari pada tunas bunga hermafrodit dapat diamati lebih dini, menunjukkan bahwa tanaman betina menghasilkan bunga betina dan tanaman hermafrodit menghasilkan bunga hermafrodit. Panjang tunas bunga pada saat pengambilan sampel adalah 3-5 mm, diperkirakan pada saat 6 minggu sebelum antesis.
p
p
s
s
1
2
Gambar 8. Irisan longitudinal meristem apikal tunas bunga hermafrodit pepaya genotipe IPB 1; diferensiasi sepal, inisiasi stamen (1) dan diferensiasi petal, inisiasi ovari (2); sepal (s), petal (p).
p
p
p
p
a
p o
p
s
o s
a
o o
o
s
s
11
2
10 µm
Gambar 9. Irisan longitudinal tunas bunga betina (1) dan tunas bunga hermafrodit pepaya genotipe IPB 1 (2); sepal(s), petal (p), ovari (o), anter (a).
42
Arkle dan Nakasone (1984) dan Sippel et al. (1989) mengemukakan bahwa genus Carica didominasi bersifat dioecious sehingga perbedaan bentuk bunga jantan (staminate) dan betina (pistilate) jelas sekali. Inisiasi stamen mulai terjadi pada saat ukuran tunas bunga hermafrodit mencapai 1 mm, 7 minggu sebelum antesis. Diferensiasi ovari dimulai 8 minggu sebelum antesis pada bunga betina dan 6-7 minggu sebelum antesis pada bunga hermafrodit, perkembangan ovari pada bunga betina terjadi lebih awal daripada ovari pada bunga hermafrodit. Menurut Ronse Decraene dan Smets (1999) berdasarkan posisi mikropil terhadap funikulus, maka tipe ovulum bunga pepaya termasuk anatropus yaitu membentuk sudut 180° dari funikulus sehingga tabung serbuk sari akan memutar dahulu ke bawah kemudian masuk melalui mikropil untuk melakukan pembuahan dalam ovul. Hasil pengamatan tunas bunga betina dan hermafrodit pepaya genotipe IPB 1 di bawah mikroskop elektron payaran (SEM) disajikan pada Gambar 10. Permukaan stigma bunga pepaya betina beserta jaringan papila dan lubang tangkai kepala putik teramati pada SEM. Untuk mengetahui jaringan dan bentuk permukaan tangkai kepala putik, maka dilakukan pengamatan tangkai kepala putik (Gambar 11). Jumlah lekukan dalam tangkai kepala putik yang berhubungan dengan bakal buah ada lima buah, diduga bentuk dan jumlah lekukan ini menentukan bentuk rongga buah pepaya. Rongga buah pepaya betina lebih lebar daripada rongga buah pepaya hermafrodit, dan jumlah lekukan tangkai kepala putik buah betina selalu konstan yaitu lima buah. Bentuk stigma bunga pepaya hermafrodit agak mengerucut tidak seperti bentuk stigma bunga pepaya betina yang lebih membuka dan mendatar. Bentuk jaringan papila stigma bunga hermafrodit dan betina memperlihatkan kesamaan. Perbedaan keragaan bentuk tangkai kepala putik ialah jumlah lekukan yang lebih dari lima. Sementara diduga jumlah lekukan ini menentukan bentuk rongga buah dan banyaknya lekukan pada buah. Bentuk rongga dan lekukan buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 1 bervariasi, dari berjumlah lima sampai lebih dari lima (Gambar 12).
43
(2)
(1)
a
a
a
500 µm
500 µm
b
b
b
200 µm
200 µm
c
c
c
200 µm
200 µm
d
d
d
200 µm
Gambar 10. Keragaan permukaan stigma hermafrodit(2) genotipe IPB 1; cuping (a), jaringan papila (b), papila dengan lubang tangkai kepala putik (d).
100 µm
bunga pepaya betina (1) dan stigma bunga pepaya dengan lima bentuk permukaan jaringan antara kepala putik (c), lubang tangkai
44
(1)
(2) a
a
500 µm 500 µm 200 µm
a
a
200 µm
200 µm 200 µm
a a
a
a
500 µm
100 µm
100 µm
Gambar 11. Keragaan tangkai kepala putik bunga pepaya betina (1) dan hermafrodit (2) genotipe IPB 1.
5
Gambar 12. Bentuk melintang buah hermafrodit pepaya genotipe IPB 1.
Keragaan jaringan saluran tangkai kepala putik bunga pepaya genotipe IPB 1 dan pembesarannya disajikan pada Gambar 13.
45
a
a
b
200 µm
500 µm
1
2
a
3
a 200 µm
4
50 µm
Gambar 13. Keragaan jaringan saluran tangkai kepala putik; irisan longitudinal bakal buah bagian atas dekat papila stigma bunga (1), saluran tangkai kepala putik (2-4), papila stigma (b). Perkembangan bunga betina di lapang dari mulai tumbuh tunas bunga sampai terbentuk pentil buah disajikan pada Gambar 14. Saat antesis bunga betina biasanya pada pagi hari, petal bunga membuka lebar sehingga stigma terlihat jelas dan siap menerima serbuk sari. Pada hari ke 2-3 stigma terlihat agak mengering dan warna stigma bagian pinggir agak berubah menjadi kecoklatan. Stigma bunga betina mengering dan warnanya berubah menjadi coklat kehitaman pada hari ke 45 setelah antesis bunga. Pada saat ini diperkirakan sudah terjadi pembuahan dan bakal buah terlihat jelas karena petal bunga sudah hampir mengering yang biasanya diikuti dengan rontoknya petal bunga tersebut. Perkembangan bunga hermafrodit dari antesis sampai fruit set biasanya terjadi lebih lama 1-2 hari dibandingkan waktu perkembangan bunga betina. Ciri fruit set ditandai dengan keragaan ovari yang membengkak, kelopak bunga dan stigma mengering. Bakal tunas bunga pepaya hermafrodit biasanya muncul 3-4 minggu sebelum antesis. Antesis bunga hermafrodit menampilkan bunga yang tidak terlalu membuka, dan pada hari ke 2-4 stigma bunga terlihat berubah warna menjadi kecoklatan (Gambar 15).
46
1
H2-3 D2-3
H1
D1
3
H4-5
2
4
Gambar 14. Perkembangan bunga pepaya betina; kuncup bunga betina genotipe IPB 1 sehari sebelum antesis (1), antesis bunga betina pada hari pertama (2), hari ke 2-3 stigma terlihat agak mengering (3), hari ke 4-5 setelah antesis bunga, stigma bunga betina mengering dan warnanya berubah menjadi coklat kehitaman (4). Keragaan letak benang sari terhadap kepala putik pada bunga hermafrodit pepaya kategori buah kecil memperlihatkan perbedaan dengan bunga hermafrodit pepaya kategori sedang dan besar. Letak benang sari bunga pepaya kategori buah kecil (genotipe IPB 1, IPB 3 dan IPB 4) berada dekat dengan kepala putik. Keadaan morfologi bunga yang demikian memungkinkan terjadinya penyerbukan sendiri, sehingga diduga bunga pepaya kategori buah kecil melakukan penyerbukan sendiri. Letak benang sari bunga pepaya kategori buah besar (genotipe IPB 2, IPB 7 dan IPB 8) berada di bawah kepala putik sehingga lebih memungkinkan terjadinya penyerbukan terbuka (open pollinated). Pada bunga pepaya kategori buah sedang (genotipe IPB 5, IPB 9 dan IPB 10) ada kecenderungan letak benang sarinya di bawah stigma seperti pada bunga pepaya kategori buah besar.
Keragaan buah dan bunga pepaya kategori buah kecil,
sedang dan besar disajikan pada Gambar 16.
47
1
7
6
5
4
H1-2
3
2
H3-4 D3-4
D1-2
8
H5-7 D5-7
9
Gambar 15. Perkembangan tunas bunga dan bunga pepaya hermafrodit genotipe IPB 1; tunas bunga hermafrodit muncul dan tumbuh (1, 2, 3, 4, 5), tunas bunga hermafrodit sehari sebelum antesis (6), antesis bunga hermafrodit (7), hari ke 2-4 stigma bunga terlihat berubah warna menjadi kecoklatan (8), hari ke 5-7 setelah antesis petal bunga mengering dan berangsur rontok meninggalkan bakal buah (9). IPB 1
IPB 5
IPB 2
IPB 3
IPB 9
IPB 7
IPB 4
IPB 10
IPB 8
Gambar 16. Buah dan bunga hermafrodit pepaya kategori buah kecil (IPB 1, IPB 3 dan IPB.4), sedang (IPB 5, IPB 9 dan IPB 10), besar (IPB 2, IPB 7 dan IPB 8).
48
Penampang membujur bakal buah pepaya betina dan hermafrodit memperlihatkan posisi bakal biji dalam buah (Gambar 17 dan 18). Bakal biji pada buah betina lebih terkonsentrasi pada bagian ujung buah daripada bagian pangkalnya yang kadang-kadang tidak memiliki biji. Hal ini membuktikan bahwa pada bunga betina pembuahan lebih banyak terjadi dekat dengan stigma bunga.
1
2
Gambar 17. Penampang bakal buah pepaya yang menunjukkan posisi bakal biji dalam ovari; buah betina (1) dan hermafrodit (2).
2
1
3
4
Gambar 18. Keragaan buah utuh dan posisi biji pada berbagai tahap perkembangan buah; buah betina (1-2), buah hermafrodit (3-4).
49
Perkembangan bakal biji pada buah hermafrodit hampir merata diseluruh dinding bakal buah sehingga menghasilkan buah yang rongga buahnya dipenuhi dengan biji. Menurut Sedgley dan Griffin (1989) ovulum menempel pada funikulus dihubungkan oleh plasenta dan ada dua jenis plasentasi pada buah yaitu plasenta tipe parietal dan plasenta axilar. Tipe plasentasi menentukan letak biji dalam buah. Hasil pengamatan SEM pada bakal buah pepaya hermafrodit yang dilakukan Ronse Decraene dan Smets (1999) terlihat jelas tahapan pembentukan bakal biji pepaya yang termasuk tipe parietal (parietal placentae) sehingga buah pepaya mempunyai rongga buah di bagian tengahnya.
III.2. Viabilitas dan Pertumbuhan Tabung Sari Pepaya IPB Jarak antara stigma dengan bakal buah Jarak antara stigma dengan bakal buah bagian tengah pada pepaya kategori buah kecil berbeda nyata dengan pepaya kategori buah besar, demikian juga antara pepaya kategori buah sedang dengan pepaya kategori buah besar. Sedangkan untuk jarak antara stigma dengan bakal buah bagian bawah hanya berbeda antara pepaya kategori buah kecil dengan pepaya kategori buah besar (Tabel 3). Jarak antara stigma dengan bakal buah bagian bawah mencerminkan ukuran panjang bunga dari bagian luar. Jarak antara stigma dengan bakal buah bagian bawah mencerminkan ukuran panjang bunga dari bagian luar. Panjang bunga hermafrodit pepaya kategori buah kecil (genotipe IPB 1, IPB 3 dan IPB 4) dan kategori buah besar (genotipe IPB 2, IPB 7 dan IPB 8) mudah dibedakan berdasarkan ukuran luarnya, tetapi panjang bunga hermafrodit pepaya kategori buah sedang (genotipe IPB 5, IPB 9 dan IPB 10) agak sulit dibedakan ukurannya dengan bunga pepaya kategori buah besar.
50
Tabel 3. Jarak antara stigma dengan bakal buah pada beberapa kategori buah pepaya. Kategori
Pepaya Kecil < 1kg
Pepaya Sedang 1-2 kg
Pepaya Besar ≥ 2 kg
Genotipe
IPB 1 IPB 3 IPB 4 Rata-rata IPB 5 IPB 9 IPB 10 Rata-rata IPB 2 IPB 7 IPB 8 Rata-rata
Kontras Kecil vs Besar1) Sedang vs Besar1)
Jarak antara Jarak antara stigma stigma dengan dengan bakal buah bakal buah bagian bagian bawah (mm) tengah (mm) 7.38 ± 1.42 9.20 ± 2.43 11.18 ± 2.21 9.25 ± 1.90 9.56 ± 2.42 12.19 ± 1.51 11.39 ± 2.89 11.05 ± 1.35 10.52 ± 2.10 11.83 ± 2.63 13.44 ± 2.70 11.93 ± 1.46
12.80 ± 2.31 14.59 ± 3.43 17.15 ± 2.74 14.85 ± 2.19 14.96 ± 3.94 19.47 ± 2.91 20.47 ± 5.97 18.30 ± 2.93 17.01 ± 2.83 18.57 ± 4.22 21.09 ± 4.38 18.89 ± 2.06
** *
* tn
Keterangan:1) Uji beda nilai tengah dilakukan dengan uji kontras taraf 5% dan 1%.
Diameter Serbuk Sari Diameter serbuk sari, panjang tabung sari dan daya berkecambah serbuk sari bunga pepaya kategori buah kecil tidak berbeda dengan pepaya kategori buah besar. Demikian juga panjang tabung sari dan daya berkecambah serbuk sari bunga pepaya kategori buah sedang dengan pepaya kategori buah besar. Perbedaan yang nyata hanya pada diameter serbuk sari pepaya kategori buah sedang dengan pepaya kategori buah besar (Tabel 4). Diameter serbuk sari pepaya genotipe IPB 4 (33.25 ±.0.64) µm merupakan diameter serbuk sari terkecil, sedangkan serbuk sari pepaya genotipe IPB 10 dengan ukuran 36.50±1.75µm merupakan diameter serbuk sari terbesar dibandingkan dengan sembilan genotipe yang diamati. Hasil penelitian Erdtman (1972) menunjukkan bahwa serbuk sari bunga pepaya mempunyai ukuran sekitar 35x30 µm dan serbuk sari Caricaceae lainnya seperti C. platanifolia (Peru) berukuran sekitar 41x33 µm dengan pola yang tidak beraturan, sedangkan Jacaratia mexicana (Mexico) berukuran sekitar 33x26 µm.
51
Ukuran diameter serbuk sari pepaya yang besar seperti pada genotipe kategori buah besar dan sedang (rata-rata diameter serbuk sari 36.08±0.14 µm dan 35.75±0.66 µm) tidak menghasilkan ukuran panjang tabung sari yang besar (Tabel 4), sehingga dapat disimpulkan bahwa ukuran diameter serbuk sari tidak mempengaruhi kecepatan pertumbuhan tabung sari pepaya. Hasil penelitian pada serbuk sari stroberi yang dilakukan Zebrowska (1997) menunjukkan bahwa diameter serbuk sari tidak mempengaruhi kecepatan pertumbuhan panjang tabung sari. Viabilitas serbuk sari hanya dipengaruhi oleh bentuk dan bobot serbuk sari, dan keberhasilan pembuahan ditentukan oleh jumlah serbuk sari yang diaplikasikan ke jaringan stigma bunga.
Tabel 4. Diameter serbuk sari, panjang tabung dan daya berkecambah serbuk sari pepaya selama empat jam perkecambahan pada beberapa kategori buah. Kategori Pepaya Kecil < 1kg
Pepaya Sedang 1-2 kg
Pepaya Besar ≥ 2 kg
Genotipe
Diameter serbuk sari (µm)
Panjang tabung sari (µm)
Daya berkecambah (%)
IPB 1
35.00 ± 1.67
1 052.00 ± 120.40
50.68 ± 10.13
IPB 3 IPB 4 Rata-rata
35.50 ± 2.58 33.25 ± 0.64 34.58 ± 1.81
1 025.00 ± 182.90 1 015.00 ± 189.40 1 030.67 ± 19.14
62.66 ± 13.86 55.46 ± 12.01 56.27 ± 6.03
IPB 5
35.25 ± 2.93
1 018.00 ± 175.00
65.09 ± 5.88
IPB 9 IPB 10 Rata-rata
35.50 ± 2.29 36.50 ± 1.75 35.75 ± 0.66
913.00 ± 101.90 937.00 ± 153.50 956.00 ± 55.02
58.95 ± 17.19 59.97 ± 18.31 61.34 ± 3.29
IPB 2
36.00 ± 2.02
1 004.00 ± 214.40
65.65 ± 6.81
IPB 7 IPB 8 Rata-rata
36.25 ± 1.67 36.00 ± 1.64 36.08 ± 0.14
981.50 ± 88.90 1 002.00 ±114.40 991.75 ± 12.45
42.56 ± 8.55 60.37 ± 8.39 56.19 ± 12.09
Kontras Kecil vs Besar tn tn tn 1) Sedang vs Besar * tn tn Keterangan: 1) Uji beda nilai tengah dilakukan dengan uji kontras taraf 5%.
Pada tanaman apel dan pear yang diteliti Janse dan Verhaegh (2004), jumlah serbuk sari yang diaplikasikan ke jaringan stigma mempengaruhi jumlah biji yang terbentuk dalam buah. Menurut Aizen dan Searcy (1998) diameter
52
serbuk sari bunga Alstroemeria aurea tidak mempengaruhi keberhasilan pembuahan tetapi jumlah serbuk sari yang diaplikasikan ke jaringan stigma akan mempengaruhi jumlah biji dan bobot biji yang terbentuk. Walaupun demikian, menurut Kelly et al. (2002) pada tanaman Mimulus guttatus ukuran butir serbuk sari dapat digunakan untuk memperkirakan viabilitas serbuk sari. Serbuk sari dengan viabilitas yang tinggi biasanya mempunyai diameter butir serbuk sari yang lebih besar daripada serbuk sari dengan viabilitas rendah. Pertumbuhan Panjang Tabung Sari. Pertumbuhan tabung sari pepaya genotipe IPB 1 (kategori buah kecil) disajikan pada Gambar 19. Panjang tabung sari tidak berbeda antara serbuk sari bunga pepaya kategori buah kecil, sedang maupun besar. Perbandingan panjang tabung sari pepaya ketiga kategori buah pada saat 0.5 jam dan satu jam perkecambahan ditunjukkan pada Gambar 20. Pengamatan terhadap panjang tabung sari dari masing-masing genotipe pada saat 0.5 jam hingga empat jam perkecambahan menunjukkan terjadinya peningkatan panjang tabung sari yang hampir sama.
50 µm
a
b
c
d
e
f
50 µm
Gambar 19. Pertumbuhan tabung sari pepaya genotipe IPB 1; a = butir serbuk sari; b, c = 0-0.5 jam perkecambahan; d = 0.5-1 jam perkecambahan; e = 1 jam perkecambahan; f ≥ 1.5 jam perkecambahan. Genotipe IPB 4, IPB 3 dan IPB 10 mempunyai pertumbuhan panjang tabung sari berturut-turut 115.5, 115.0 dan 99.5 µm pada saat 0.5 jam perkecambahan. Pada saat satu jam perkecambahan genotipe IPB 8 dan IPB 10 mempunyai pertumbuhan panjang tabung sari 292.5 µm dan 167.5 µm.
53
IPB 1
0.5 Jam
1 Jam
IPB 3
IPB 4
50 µm
(a) IPB 5
0.5 Jam
1 Jam
IPB 9
IPB 10
50 µm
(b) IPB 2
0.5 Jam
1 Jam
IPB 7
IPB 8
(c) Gambar 20. Perbandingan panjang tabung sari pepaya kategori buah kecil (a), kategori sedang (b) dan kategori besar (c); (perbesaran 100X).
54
Pertumbuhan panjang tabung sari genotipe pepaya kategori buah kecil (IPB 1 dan IPB 3) dan genotipe pepaya kategori buah sedang (IPB 10 dan IPB 9) pada saat empat jam perkecambahan berturut-turut adalah 1 052.0 µm, 1 025.0 µm, 937.0 µm dan 913.0 µm (Gambar 21).
Gambar 21. Panjang tabung sari pada 0.5-4 jam perkecambahan. Hasil penelitian Wahyudin (1999) pada perkecambahan serbuk sari salak ialah tabung sari salak varietas Mawar, Sidempon dan Sidempuan setelah diinkubasi selama 24 jam mempunyai panjang masing-masing 926.1 µm, 590.4 µm dan 970.1 µm. Menurut Buyyukkartal (2003) pada Trifolium pratense L. pada saat satu jam perkecambahan panjang tabung sari sekitar 177.6 µm, saat dua jam perkecambahan 237.6 µm, tiga jam perkecambahan 324 µm dan empat jam perkecambahan mencapai 376.8 µm. Pertumbuhan perkecambahan maksimum terjadi pada dua sampai tiga jam setelah perkecambahan awal, kemudian
55
pemanjangan tabung sari melambat enam jam setelah perkecambahan. Hasil penelitian pada bunga Eustoma yang dilakukan Shimizu-Yumoto dan Ichimura (2006) menunjukkan pertumbuhan tabung sari dalam tangkai stilus terjadi lebih cepat pada bunga yang diserbuki lebih banyak serbuk sari. Panjang tabung sari jika dihubungkan dengan jarak antara stigma dan bakal buah diduga ada kaitannya dengan kecepatan terjadinya proses pembuahan. Semakin panjang tabung sari dan semakin pendek jarak antara stigma dan bakal buah maka proses pembuahan akan terjadi semakin cepat. Pepaya kategori buah kecil seperti genotipe IPB 1, IPB 3 dan IPB 4 diduga akan lebih cepat melakukan proses pembuahan. Panjang rata-rata tabung sari pepaya kategori kecil lebih panjang dibandingkan panjang tabung sari pepaya kategori buah sedang dan besar, sedangkan jarak antara stigma dan bakal buah lebih pendek, sehingga tabung sari diduga akan lebih cepat menembus kantung embrio untuk melakukan pembuahan. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan sembilan genotipe pepaya yang diamati, pepaya genotipe IPB 1 diduga akan lebih cepat melakukan proses pembuahan karena memiliki panjang tabung sari panjang (1 052±120.4 0 µm) dengan jarak antara stigma dan bakal buah bagian bawah pendek (12.80±2.31 mm). Menurut Cheung (1996) pertumbuhan tabung sari dimulai dari jaringan papilla di permukaan stigma, masuk ke tangkai putik melalui jaringan transmisi tabung sari (pollen tube transmitting tissue) lalu memasuki bakal buah melalui mikropil dan akhirnya menembus kantung embrio. Jarak antara stigma dengan bakal buah mencerminkan jarak perjalanan pertumbuhan tabung sari mencapai kantung embrio, semakin pendek jarak antara stigma dengan bakal buah memungkinkan semakin cepat tabung sari mencapai sel telur untuk proses pembuahan. Daya Berkecambah Serbuk Sari Daya berkecambah serbuk sari merupakan salah satu tolok ukur untuk mengetahui viabilitas serbuk sari. Daya berkecambah serbuk sari pepaya setiap kategori buah pada 0.5, 1.5, 2.5 dan 4 jam pengamatan mengalami peningkatan yang beragam (Gambar 22). Pada pepaya kategori buah kecil, daya berkecambah serbuk sari genotipe IPB 3, IPB 1 dan IPB 4 selama empat jam berturut-turut
56
sebesar 62.66%, 50.68% dan 55.46%; demikian juga pada pepaya kategori buah besar, daya berkecambah serbuk sari genotipe IPB 2, IPB 7 dan IPB 8 berturutturut sebesar 65.65%, 42.56% dan 60.37%. Daya berkecambah serbuk sari pepaya kategori buah sedang (genotipe IPB 5, IPB 9 dan IPB 10) berturut-turut ialah 65.09%, 58.95% dan 59.97%.
Gambar 22. Persentase daya berkecambah pada 0.5-4 jam perkecambahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kategori pepaya berdasarkan ukuran buah dengan viabilitas serbuk sari yang diukur dari daya berkecambah dan panjang tabung sari. Setiap genotipe pepaya yang diuji menunjukkan karakteristik viabilitas serbuk sari yang berbeda dengan genotipe lainnya. Hasil penelitian viabilitas serbuk sari pepaya yang dilakukan oleh Magdalita et al. (1998) juga bervariasi dan nilainya tergantung dari varietas.
57
Herrero et al. (1988) mengemukakan bahwa mekanisme yang terjadi setelah penyerbukan antara serbuk sari dengan stigma, lalu perkecambahan serbuk sari sampai tabung sari menembus tangkai putik dan bakal buah pada pohon buahbuahan belum banyak diketahui, tetapi tentu akan melibatkan interaksi antara bagian-bagian bunga jantan dan betina. Menurut Cheung (1996) reproduksi seksual pada tanaman dikendalikan oleh banyak faktor dengan sistem biokimia dan molekuler yang kompleks karena banyak sel yang berinteraksi. Oleh karena itu pemahaman tentang mekanisme dan arah pemanjangan tabung sari berbagai tanaman akan menjadi penelitian yang menarik pada waktu yang akan datang, terkait dengan fenomena kompatibilitas antara serbuk sari dan stigma. Hasil penelitian Tamaki et al. (2011) tentang perkecambahan serbuk sari pepaya menunjukkan bahwa produksi buah dan biji di daerah cekaman suhu yang ekstrim dapat ditingkatkan melalui penyerbukan buatan dengan serbuk sari yang telah disimpan.
III.3. Studi Penyerbukan Bunga dan Perkembangan Buah Pepaya 1. Pengurangan benang sari dan cuping stigma pada bunga hermafrodit genotipe IPB 3. Pengurangan benang sari pada bunga hermafrodit IPB 3 yang dibiarkan terbuka tidak menghasilkan perbedaan karakter fisik buah seperti: bobot buah, bobot biji dan jumlah biji. Tetapi pada bunga yang disungkup, pengurangan benang sari menghasilkan perbedaan pada karakter fisik: panjang buah, diameter buah, bobot buah, bobot buah dapat dimakan (Tabel 5), jumlah biji dan bobot biji (Tabel 6). Pengurangan benang sari menjadi lima, tiga dan satu pada bunga yang disungkup menghasilkan ukuran buah yang lebih kecil dari buah yang berasal dari bunga dengan benang sari 10. Buah yang diberi perlakuan pengurangan benang sari dengan menyisakan satu helai (HK1T) menurunkan diameter buah sebesar 26% dan menurunkan panjang buah sebesar 11 % dibandingkan dengan buah dengan bunga tanpa pengurangan benang sari (HK10T).
58
Tabel 5. Karakter fisik buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3. Perlakuan
HK10T HK 5T HK 3T HK 1T HK10 HK5 HK3 HT5T HT3T HT1T HT5 HT3 HT1 Uji kontras HK10 vs HK10T HT5 vs HT5T HT5T HT5 vs HT3 HT3T HT5T vs HT3T HT5T HT5 vs HT1 HT1T HK10 HK10T vs HK5 HK5T HK10 vs HK5 HK10 vs HK3 HK10T vs HK3T HK5 HK3 vs HK5T HK3T
Panjang buah (cm)
Diameter buah (cm)
Bobot buah (g)
17.57 ± 1.29 18.15 ± 0.05 17.63 ± 2.02 15.70 ± 2.80 19.53 ± 1.17 18.73 ± 0.71 18.67 ± 1.17 17.33 ± 0.67 17.90 ± 1.00 14.40 ± 0.50 18.50 ± 1.73 20.33 ± 0.42 18.45 ± 0.65
7.77 ± 0.06 7.75 ± 0.25 7.40 ± 0.17 5.75 ± 0.95 8.13 ± 0.59 7.87 ± 0.70 7.80 ± 0.46 7.40 ± 0.36 7.33 ± 0.65 6.00 ± 0.50 7.53 ± 0.51 8.27 ± 0.35 7.20 ± 0.40
447.83 ± 0.29 415.00 ± 10.00 433.33 ± 14.44 275.00 ± 125.00 516.67 ± 66.58 431.67 ± 17.56 465.00 ± 67.64 435.00 ± 13.23 405.00 ± 45.00 250.00 ± 50.00 435.00 ± 73.65 596.67 ± 62.52 527.50 ± 2.50
Bobot dapat dimakan (g) 305.40 ± 20.41 297.70 ± 25.30 320.07 ± 5.13 221.20 ± 107.90 390.33 ± 65.61 309.67 ± 7.10 339.07 ± 41.84 349.17 ± 24.48 300.17 ± 4.15 191.90 ± 28.10 300.20 ± 54.99 452.30 ± 62.57 411.55 ± 19.65
Persen bobot dapat dimakan (%) 68.19 ± 4.52 71.63 ± 4.37 73.90 ± 1.95 78.90 ± 3.37 75.31 ± 3.94 71.78 ± 2.00 73.07 ± 1.91 80.21 ± 3.18 74.66 ± 7.31 77.62 ± 4.28 68.91 ± 2.17 75.64 ± 3.51 78.00 ± 3.55
tn tn
tn tn
tn *
tn **
tn tn
* **
tn **
** **
** **
tn tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn tn tn **
tn tn tn **
tn tn tn **
tn tn tn **
* tn tn tn
*
*
tn
tn
tn
Keterangan: HK10,HK5,HK3,HK1= bunga hermafrodit, benang sari berjumlah 10, 5, 3, 1; HK10T, HK5T, HK3T, HK1T= bunga disungkup, benang sari berjumlah 10, 5, 3, 1; HT5, HT3, HT1=bunga hermafrodit, cuping stigma berjumlah 5, 3, 1; HT5T, HT3T, HT1T = bunga disungkup, cuping stigma berjumlah 5, 3, 1. Uji beda nilai tengah dilakukan dengan uji kontras taraf 5%; tn = tidak nyata.
Pengurangan benang sari pada bunga yang ditutup merupakan perlakuan pengurangan serbuk sari pada penyerbukan terkendali, sehingga diperkirakan serbuk sari yang menyerbuk di permukaan stigma akan berkurang yang akhirnya dapat mempengaruhi keberhasilan pembentukan biji. Jumlah biji pada buah yang dikurangi benang sarinya tinggal satu (HK1T) menghasilkan jumlah biji berkurang 62% sehingga bobot biji tinggal setengah dari buah yang mempunyai benang sari normal (HK10T). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Harder et al. (1985) pada tanaman Liliaceae, Kumar et al. (2003) pada tanaman apel serta Pahlavani dan Abolhasani (2006) pada tanaman kapas yang menyerbuk sendiri menghasilkan bobot buah dan jumlah biji dalam buah lebih rendah daripada yang
59
menyerbuk terbuka. Kemudian hasil penelitian Aizen dan Searcy (1998) pada tanaman alstroemeria menunjukkan bahwa jumlah biji meningkat 10 % pada buah yang bunganya banyak mendapatkan serbuk sari. Menurut Al-Khalifah (2006) serbuk sari dapat mempengaruhi ukuran buah, bobot biji dan stadia kematangan buah kurma, sehingga keragaman genetik serbuk sari dapat dimanfaatkan sebagai dasar seleksi sumber organ jantan untuk meningkatkan produksi dan kualitas serta penundaan atau percepatan kematangan buah.
Tabel 6. Jumlah biji dan bobot biji buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3. Perlakuan HK10T HK5T HK3T HK1T HK10 HK5 HK3 HT5T HT3T HT1T HT5 HT3 HT1 Uji kontras HK10 vs HK10T HT5 vs HT5T HT5T HT5 vs HT3 HT3T HT5T vs HT3T HT5T HT5 vs HT1 HT1T HK10 HK10T vs HK5 HK5T HK10 vs HK5 HK10 vs HK3 HK10T vs HK3T HK5 HK3 vs HK5T HK3T Keterangan : sama dengan keterangan Tabel 5.
Jumlah biji 354.00 ± 39.94 435.50 ± 121.50 377.67 ± 123.43 138.00 ± 106.00 495.00 ± 44.24 451.33 ± 96.50 488.67 ± 4.16 396.67 ± 74.19 399.00 ± 210.00 43.50 ± 10.50 524.67 ± 100.32 650.00 ± 26.06 330.00 ± 117.00 tn tn tn ** * tn tn tn ** **
Bobot biji (g) 29.47 ± 6.61 39.90 ± 12.30 32.73 ± 10.41 12.55 ± 9.65 44.13 ± 3.13 40.17 ± 2.48 49.90 ± 10.52 31.53 ± 5.65 33.63 ± 18.15 3.40 ± 1.20 42.23 ± 13.88 53.00 ± 7.06 31.75 ± 11.95 tn tn tn ** tn tn tn tn ** **
Keragaan buah hermafrodit IPB 3 yang diberi perlakuan pengurangan jumlah benang sari disajikan pada Gambar 23. Buah hermafrodit dengan pengurangan serbuk sari menjadi tinggal satu (HK1T) mempunyai diameter yang lebih kecil dari buah lainnya. Perlakuan pengurangan benang sari pada bunga yang dibiarkan terbuka bersari bebas tidak memperlihatkan perbedaan pada keragaan buahnya. Secara umum bentuk buah pada pengurangan benang sari yang bunganya
disungkup
adalah
lonjong
sedangkan
pada
perlakuan
tanpa
60
penyungkupan bentuk buahnya membulat. Hasil penelitian Hassan et al. (2007) pada buah plum menunjukkan bahwa bentuk buah membulat pada buah yang penyerbukannya bersari bebas atau bunga dibiarkan terbuka, sedangkan pada bunga yang disungkup atau melakukan penyerbukan sendiri, buahnya berbentuk oblong.
HK10T
HK5T
HK3T
HK1T
HK10T
HK10
HK5
HK3
Gambar 23. Keragaan buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 pada perlakuan pengurangan benang sari; HK10, HK5, HK3 = bunga hermafrodit, benang sari berjumlah 10, 5, 3; HK10T, HK5T, HK3T, HK1T= bunga disungkup, benang sari berjumlah 10, 5, 3, 1.
61
Pertumbuhan panjang dan diameter pada buah dari bunga hermafrodit yang dikurangi benang sarinya memperlihatkan kurva sigmoid. Pertumbuhan diameter buah tidak berbeda antar perlakuan, sedangkan pada buah yang bunganya dikurangi serbuk sarinya menghasilkan buah yang lebih panjang (Gambar 24). 25
Panjang & Diameter (cm)
20
Panjang 15
10
HK1 HK3 HK5 HK10 HK1T HK3T HK5T HK10T
Diameter
5
0 2
4
6
8
10
12 14
16
18
20
22
Minggu Setelah Minggu SetelahAnthesis Antesis
Gambar 24. Pertumbuhan panjang dan diameter buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 pada perlakuan pengurangan benang sari; HK10, HK5, HK3 = bunga hermafrodit, benang sari berjumlah 10, 5, 3; HK10T, HK5T, HK3T, HK1T = bunga disungkup, benang sari berjumlah 10, 5, 3, 1. Pengurangan cuping stigma pada bunga menyebabkan permukaan tempat terjadinya penyerbukan berkurang sehingga diduga keberhasilan serbuk sari untuk melakukan pembuahan akan berkurang. Pengurangan cuping stigma pada bunga hermafrodit yang disungkup tidak menyebabkan perbedaan pada karakter fisik buah, tetapi pengurangan cuping stigma yang disertai dengan penyungkupan mengakibatkan penurunan: panjang, diameter, bobot buah, bobot buah dapat dimakan (Tabel 5), jumlah biji dan bobot biji (Tabel 6). Bobot buah dan jumlah biji tidak terpengaruh oleh pengurangan jumlah benang sari dan cuping stigma pada bunga hermafrodit IPB 3. Fenomena ini terjadi juga pada buah-buahan lainnya, seperti yang diteliti oleh Janse dan Verhaegh (2004) bahwa jumlah
62
serbuk sari yang diserbukkan ke permukaan stigma tidak mempengaruhi keberhasilan pembentukan biji yang akan menentukan bobot buah apel dan pear. Tetapi hasil penelitian Walters dan Taylor (2006) pada buah pumpkin, menunjukkan bahwa jumlah serbuk sari pada stigma mempengaruhi pembentukan biji yang akhirnya menentukan ukuran buah. Bunga pepaya hermafrodit yang dikurangi jumlah cuping stigmanya menghasilkan buah yang berbentuk memanjang dengan diameter buah mengecil (Gambar 25). Perkembangan buah dipengaruhi oleh keberhasilan pembentukan biji pada buah. Jumlah cuping stigma bunga yang terserbuki akan menentukan perkembangan buah. Pada tanaman salak yang pembungaannya dioecious membutuhkan bantuan penyerbukan supaya terjadi pembuahan, bila stigmanya diserbuki secara sempurna maka buah berbentuk trigonous mengandung tiga biji. Hasil penelitian Ashari (2002) pada perlakuan pengurangan jumlah cuping stigma bunga salak menunjukkan bobot buah yang terbentuk dari bunga yang mempunyai tiga lobus stigma lebih berat dibandingkan dengan buah yang terbentuk dari bunga yang mempunyai dua atau satu lobus stigma yang terserbuki. Pertumbuhan panjang dan diameter pada buah hermafrodit yang dikurangi cuping stigmanya memperlihatkan kurva sigmoid, polanya hampir sama dengan kurva pertumbuhan buah yang dikurangi benang sarinya. Pertumbuhan panjang buah yang terpanjang terdapat pada buah yang cuping stigma bunganya tidak dikurangi, yang terpendek terdapat pada buah yang cuping stigma bunganya dikurangi menjadi tinggal satu dan disungkup. Pertumbuhan diameter buah tidak banyak berbeda antar perlakuan, pada buah yang cuping stigma bunganya dikurangi menghasilkan pertumbuhan yang lebih kecil (Gambar 26). Kekerasan
kulit
dan
daging buah
dipengaruhi
oleh
perlakuan
pengurangan cuping stigma. Pengurangan jumlah serbuk sari tidak mempengaruhi tingkat kekerasan kulit buah. Tebal maksimum daging buah pepaya genotipe IPB 3 berkisar antara 1.60 sampai 2.07 cm. Pengurangan cuping stigma terkendali menghasilkan tebal daging buah yang lebih kecil dari perlakuan lainnya (Tabel 7).
63
HT5
HT3
HT1
HT3T
Gambar 25. Keragaan buah pepaya hermafrodit genotipe IPB3 pada perlakuan pengurangan cuping stigma; HT5, HT3, HT1 =bunga hermafrodit, cuping stigma berjumlah 5, 3, 1; HT3T = bunga disungkup, cuping stigma berjumlah 3.
Panjang & Diameter (cm)
25
20
Panjang 15
10
HT1 HT3 HT5 HT1T HT3T HT5T
Diameter 5
0 2
4
6
8
10 12
14
16
18
20
22
Minggu Setelah Anthesis Minggu Setelah Antesis
Gambar 26. Pertumbuhan panjang dan diameter buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 pada perlakuan pengurangan cuping stigma; HT5, HT3, HT1 = bunga hermafrodit, cuping stigma berjumlah 5, 3, 1; HT5T, HT3T, HT1T = bunga disungkup, cuping stigma berjumlah 5,3,1.
64
Tabel 7. Kekerasan kulit dan daging buah serta tebal daging buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3. Perlakuan
Kekerasan kulit buah
HK10T HK5T HK3T HK1T HK10 HK5 HK3 HT5T HT3T HT1T HT5 HT3 HT1 Uji kontras HK10 vs HK10T HT5 vs HT5T HT5T HT5 vs HT3 HT3T HT5T vs HT3T HT5T HT5 vs HT1 HT1T HK10 HK10T vs HK5 HK5T HK10 vs HK5 HK10 vs HK3 HK10T vs HK3T HK5 HK3 VS HK5T HK3T
2.37 ± 0.06 1.80 ± 0.20 2.73 ± 0.67 2.15 ± 0.05 2.10 ± 0.44 2.43 ± 0.61 2.17 ± 0.74 2.20 ± 0.40 1.60 ± 0.10 1.50 ± 0.10 2.43 ± 0.60 2.43 ± 0.29 2.45 ± 0.35
Kekerasan daging buah
1.90 ± 0.36 1.00 ± 0.00 1.37 ± 0.25 1.05 ± 0.05 1.00 ± 0.44 1.27 ± 0.31 0.83 ± 0.31 1.23 ± 0.15 0.93 ± 0.35 0.85 ± 0.05 1.37 ± 0.12 1.27 ± 0.06 1.15 ± 0.05
Tebal maksimal daging buah (cm) 1.97 ± 0.15 1.95 ± 0.15 2.07 ± 0.06 1.85 ± 0.45 2.00 ± 0.20 1.97 ± 0.15 1.93 ± 0.23 1.97 ± 0.25 1.70 ± 0.00 1.80 ± 0.10 1.93 ± 0.23 2.03 ± 0.32 1.60 ± 0.00
Tebal minimum daging buah (cm) 1.27 ± 0.15 1.35 ± 0.05 1.33 ± 0.15 1.20 ± 0.30 1.30 ± 0.10 1.50 ± 0.26 1.17 ± 0.15 1.30 ± 0.17 1.13 ± 0.06 1.50 ± 0.10 1.37 ± 0.06 1.30 ± 0.26 1.20 ± 0.00
tn *
tn tn
tn tn
tn tn
tn **
tn tn
tn **
* tn
tn
tn
**
tn
tn tn * tn
* tn tn tn
tn tn tn tn
tn tn tn tn
tn
*
tn
tn
Keterangan : sama dengan keterangan Tabel 5.
Mutu buah pepaya yang ditunjukkan dengan karakter kimia seperti kandungan padatan terlarut total dan asam tertitrasi total dipengaruhi oleh perlakuan pengurangan benang sari. Jumlah benang sari makin sedikit dalam bunga menghasilkan mutu kandungan padatan terlarut total dan asam terlarut total menurun. Sedangkan perlakuan pengurangan cuping stigma hanya mempengaruhi pH dan kandungan asam terlarut total daging buah (Tabel 8).
65
Tabel 8. Karakter kimia daging buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3. Perlakuan
pH
PTT (°Brix)
HK10T 5.71 ± 0.010 14.13 ± 0.231 HK5T 5.45 ± 0.240 14.00 ± 0.000 HK3T 5.52 ± 0.042 13.93 ± 1.677 HK1T 5.59 ± 0.017 11.93 ± 0.003 14.40 ± 0.693 HK10 5.74 ± 0.096 HK5 5.60 ± 0.005 11.80 ± 0.200 11.80 ± 0.600 HK3 5.61 ± 0.005 HK1 5.56 ± 0.035 13.50 ± 0.500 13.13 ± 0.808 HT5T 5.65 ± 0.101 HT3T 5.49 ± 0.140 13.70 ± 0.900 HT1T 5.68 ± 0.030 10.70 ± 0.700 HT5 5.58 ±0.005 14.90 ± 0.100 10.60 ±1.600 HT3 5.36 ± 0.145 HT1 5.21 ± 0.005 11.00 ± 0.000 Kontras HK10 vs HK10T ** ** HT5 vs HT5T ** ** HT5T HT5 vs HT3 HT3T ** tn HT5T vs HT3T ** tn HT5T HT5 vs HT1 HT1T ** tn HK10 HK10T vs HK5 HK5T ** ** HK10 vs HK5 tn ** HK10 vs HK3 tn tn HK10T vs HK3T ** ** HK5 HK3 vs HK5T HK3T ** * HK1 VS HK1T tn * Keterangan : sama dengan keterangan Tabel 5.
ATT
Vit C
15.60 ± 1.346 94.02 ± 10.468 13.66 ± 0.595 91.91 ± 7.730 15.01 ± 0.537 94.56 ± 12.921 12.09 ± 3.880 101.37 ± 21.920 10.82 ± 0.087 101.68 ± 15.786 12.46 ± 3.245 111.28 ± 7.910 8.05 ± 2.440 98.93 ± 23.280 12.29 ± 0.295 99.70 ± 4.700 12.85 ± 2.320 80.84 ± 6.910 13.81 ± 2.225 97.04 ± 13.825 9.45 ± 2.605 84.26 ± 27.070 11.37 ± 0.135 97.93 ± 7.320 10.87 ± 1.055 95.11 ± 17.400 14.26 ± 0.005 84.19 ± 0.005 ** tn
** tn
** **
tn tn
tn
tn
tn ** * tn
** tn tn **
tn tn
tn tn
Mutu buah pepaya kategori buah kecil (genotipe IPB 3) akibat perlakuan pengurangan benang sari sejalan dengan hasil penelitian Kumar et al. (2003) pada buah apel, ternyata jumlah serbuk sari yang menyerbuki stigma dapat meningkatkan kandungan padatan terlarut total dan pH daging buah.
66
2. Pengurangan benang sari dan cuping stigma pada bunga hermafrodit genotipe IPB 2. Pengurangan benang sari yang disertai dengan penyungkupan pada bunga pepaya hermafrodit genotipe IPB 2 menghasilkan perbedaan karakter fisik buah seperti panjang buah, diameter buah, bobot buah, tebal daging buah dan jumlah biji. Pengurangan cuping stigma pada bunga yang disungkup mempengaruhi karakter fisik buah: panjang buah, diameter buah, bobot buah dan bobot buah dapat dimakan, tetapi tidak mempengaruhi jumlah biji. Buah yang berasal dari bunga yang mengalami pengurangan cuping stigma mempunyai bobot yang lebih rendah dari buah yang dibiarkan menyerbuk biasa. Pengurangan bobot buah yang paling besar yaitu sekitar 62-70% terjadi pada buah yang bunganya mengalami pengurangan jumlah cuping stigma menjadi tinggal tiga buah (Tabel 9). Hasil penelitian pada apel yang dilakukan Kumar et al. (2003) menunjukkan bahwa jumlah serbuk sari pada stigma menentukan bobot buah yang terbentuk. Jumlah biji pada buah yang cuping stigma bunganya dikurangi menjadi tinggal tiga buah, mengalami penurunan 58-95% dibandingkan jumlah biji pada buah yang tidak dikurangi jumlah cuping stigma (Tabel 9). Karakter kimia daging buah seperti kadar padatan terlarut total, kandungan asam dan vitamin C ternyata hanya dipengaruhi oleh perlakuan pengurangan cuping stigma pada bunga yang dibiarkan terbuka (Tabel 10). Pertumbuhan panjang dan diameter buah pepaya genotipe IPB 2 memperlihatkan kurva sigmoid. Pertumbuhan diameter buah pepaya tidak berbeda antara buah yang mempunyai benang sari 10 dengan buah yang dikurangi benang sarinya. Perlakuan pengurangan benang sari mempengaruhi pertumbuhan panjang buah. Pertumbuhan panjang buah yang cepat terjadi pada minggu ke empat sampai minggu ke delapan setelah antesis. Buah yang mempunyai benang sari kurang dari 10 dan disungkup memperlihatkan pertumbuhan panjang buah yang lebih lambat dibandingkan dengan buah lainnya (Gambar 27).
67
67
Tabel 9. Karakter fisik buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 2. Perlakuan
Panjang buah (cm)
Diameter buah (cm)
HK10
32.80 ± 1.40
11.87 ± 2.15
HK5
30.15 ± 0.25
11.20 ± 0.50
HK1
30.80 ± 0.10
12.15 ± 0.25
HK10T
28.13 ± 0.95
9.70 ± 0.62
HK5T
26.47 ± 2.00
Bobot buah (g)
Persen bobot Kekerasan Kekerasan Tebal Jumlah biji dapat kulit buah daging buah daging dimakan buah (cm) 1945.00 ± 475.47 1627.00 ± 395.94 83.67 ± 0.43 2.40 ± 0.27 1.20 ± 0.40 2.43 ± 0.21 677.00 ± 44.23 1540.00 ± 40.00 1269.00 ± 21.50 82.42 ± 0.75 2.70 ± 0.10 1.60 ± 0.00 2.55 ± 0.05 437.50 ± 6.50 1775.00 ± 25.00 1348.35 ± 148.35 75.86 ± 7.29 3.25 ± 0.05 2.00 ± 0.10 2.65 ± 0.05 598.00 ± 2.00 1075.00 ± 66.14 826.00 ± 57.24 76.82 ± 1.13 2.83 ± 0.47 1.80 ± 0.20 2.27 ± 0.32 452.00 ± 51.51
10.00 ± 0.17 1111.67 ±
Bobot dapat dimakan (g)
75.22 915.53 ±
89.67 ± 24.88 66.00 ± 1.50 52.70 ± 0.60 73.90 ± 13.94 59.47 ± 33.64
46.95 82.45 ± 3.02 2.80 ± 0.40 75.36 81.42 ± 1.67 3.10 ± 0.17
2.20 ± 0.40 1.93 ± 0.12 365.00 ± 171.52 1.20 ± 0.00 2.15 ± 0.05
40.00 ±
2.00
5.10 ± 0.30
1.83 ± 0.45 2.27 ± 0.40
469.33± 16.50
71.93 ± 5.31
1.20 ± 0.20 1.60 ± 0.30 316.50 ± 272.50
47.50 ± 41.00
HT5
36.30 ± 4.00
HT3
25.25 ± 1.25
8.00 ± 0.00
602.50 ±
2.50 510.90 ±
HT5T
27.07 ± 2.19
9.53 ± 0.42 1125.00 ±
25.00 891.40 ±
10.90 84.79 ± 1.46 1.50 ± 0.10 32.92 79.22 ± 1.17 2.33 ± 0.70
HT3T
27.10 ± 1.10
7.65 ± 0.55
725.00 ± 125.00 542.50 ±
69.00 75.43 ± 3.49 1.80 ± 0.40
Kontras HK10 vs HK10T
11.37 ± 0.60 1888.33 ± 107.97 1536.87 ±
Bobot biji (g)
tn
tn
tn
tn
*
1.90 ± 0.10 2.57 ± 0.21 738.67 ± 167.78 103.47 ± 31.25
tn
tn
tn
tn
tn
**
**
*
**
**
tn
tn
**
tn
tn
tn
tn
**
tn
tn
HT5 vs HT5T HT5T HT5 vs HT3 HT3T HK10 HK10T vs HK5 HK5T
**
**
**
**
tn
**
*
**
**
**
tn
tn
tn
tn
*
HK10 vs HK5T
*
**
**
**
*
tn
tn
**
*
tn
HK5 vs HK5T
**
*
**
**
tn
tn
**
*
**
tn
HT5 vs HT3
tn
tn
tn
tn
**
tn
tn
*
*
*
Keterangan: HK10, HK5, HK1 = bunga hermafrodit, benang sari berjumlah 10, 5, 1; HK10T, HK5T, HK1T = bunga disungkup, benang sari berjumlah 10, 5, 1; HT5, HT3 = bunga hermafrodit, cuping stigma berjumlah 5, 3, 1; HT5T, HT3T, HT1T = bunga disungkup, cuping stigma berjumlah 5,3,1. Uji beda nilai tengah dilakukan dengan uji kontras taraf 5%; tn = tidak nyata.
68
Tabel 10. Karakter kimia daging buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 2. Perlakuan
pH
PTT (°Brix)
HK10 5.37 ± 0.665 12.50 ± 0.707 HK5 5.51 ± 0.219 10.90 ± 0.141 11.80 ± 0.131 HK1 5.44 ± 0.021 10.00 ± 0.000 HK10T 5.17 ± 0.064 HK5T 5.39 ± 0.368 12.10 ± 0.141 HT5 5.79 ± 0.226 8.50 ± 0.707 12.10 ± 0.141 HT3 5.27 ± 0.092 11.50 ± 0.707 HT5T 4.91 ± 0.021 HT3T 5.42 ± 0.028 12.90 ± 0.141 Kontras HK10 vs HK10T tn tn HK5 HK1 vs HK5T HK1T tn tn HT5 vs HT5T tn ** HK10 HK10T vs HK5 HK5T tn tn HK10 vs HK5T tn tn HK5 vs HK5T tn * HT5 vs HT3 tn tn Keterangan : sama dengan keterangan Tabel 9.
ATT 17.42 ± 7.326 11.12 ± 1.796 12.13 ± 8.853 18.56 ±0.170 17.34 ± 4.759 7.79 ± 1.648 21.50 ± 1.549 17.68 ± 0.431 11.31 ± 0.149
Vit C 93.02 ± 93.93 ± 91.88 ± 99.76 ± 89.63 ± 69.36 ± 131.73± 97.03 ± 56.64 ±
tn
tn
tn tn
tn tn
tn tn tn *
tn tn tn **
27.464 6.852 25.145 9.369 24.961 6.237 1.591 17.126 0.339
Keragaan buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 2 yang bunganya mengalami perlakuan pengurangan benang sari terlihat berbeda panjangnya tetapi diameternya hampir sama (Gambar 28). Perbedaan pertumbuhan panjang buah terlihat jelas pada buah hermafrodit yang mengalami perlakuan pengurangan cuping stigma. Diperkirakan pengurangan cuping stigma mempengaruhi jumlah serbuk sari yang menyerbuk pada permukaan stigma. Pertumbuhan panjang buah yang cepat terjadi pada minggu ke empat sampai minggu ke delapan setelah antesis (Gambar 29). Keragaan buah yang mengalami pengurangan jumlah cuping stigma menjadi tinggal tiga berbeda dalam panjang buah (Gambar 30). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Walters dan Taylor (2006) pada buah pumpkin, yaitu jumlah serbuk sari yang dapat menyerbuk pada stigma menentukan ukuran buah.
69
35
Panjang & Diameter (cm)
30
Panjang
25
20 HK1 HK5
15
Diameter
HK3 HK10
10
HK1T HK3T
5
HK5T HK10T 0 2
4
6
8
10
12 14
16
18
20
22
24
Minggu Setelah Antesis
Gambar 27. Pertumbuhan panjang dan diameter buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 2 pada perlakuan pengurangan benang sari; HK10, HK5, HK3, HK1 = bunga hermafrodit, benang sari berjumlah 10, 5, 3,1; HK10T, HK5T, HK3T, HK1T = bunga disungkup, benang sari berjumlah 10, 5, 3, 1.
HK10
HK5
HK10T
Gambar 28. Keragaan buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 2 pada perlakuan pengurangan benang sari; HK10, HK5= bunga terbuka, benang sari berjumlah 10, 5; HK10T, HK5T= bunga disungkup benang sari berjumlah 10, 5.
70
40
Panjang & Diameter (cm)
35
Panjang
30 25 20 15
HT3
Diameter
10
HT5 HT1T
5
HT3T
HT5T
0 2
4
6
8
10 12 14
16 18
20 22
Minggu Setelah Antesis
Gambar 29. Pertumbuhan panjang dan diameter buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 2 pada perlakuan pengurangan cuping stigma; HT5, HT3 =bunga hermafrodit, cuping stigma berjumlah 5, 3; HT5T, HT3T, HT1T = bunga disungkup, cuping stigma berjumlah 5,3,1.
HT3
HT5 HT5
Gambar 30. Keragaan buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 2 pada perlakuan pengurangan cuping stigma; HT5, HT3= bunga terbuka, cuping stigma berjumlah 5, 3. 3. Pengurangaan cuping stigma pada bunga pepaya betina genotipe IPB 3. Pertumbuhan panjang dan diameter buah betina genotipe IPB 3 menunjukkan kurva sigmoid seperti pada pertumbuhan buah hermafrodit IPB 3, hanya laju pertumbuhannya lebih lambat. Pertumbuhan buah baik panjang
71
maupun diameter buah melambat mulai dari minggu ke delapan setelah antesis (Gambar 31).
Panjang & Diameter (cm)
20 18 16
Panjang
14 12 10
Diameter
8
TO
6
T1 4
T3
2
T5 T5T
0 2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
Minggu Setelah Setelah Antesis Anthesis Minggu
Gambar 31. Panjang dan diameter buah pepaya betina genotipe IPB 3 pada perlakuan pengurangan cuping stigma bunga betina; T5, T3, T1,T0 =bunga betina,cuping stigma berjumlah 5, 3, 1, tanpa cuping stigma, dan penghalangan penyerbukan (T5T). Keragaan buah pepaya betina yang mengalami pengurangan cuping stigma (T3, T1, T0) terlihat jelas lebih kecil ukuran buahnya daripada buah yang tidak mengalami pengurangan cuping stigma (T5). Penghalangan penyerbukan pada bunga betina (T5T) menghasilkan buah tanpa biji dan ukurannya lebih kecil dari buah betina biasa (Gambar 32).
T0
TO
T1
T3
T5
T5T
Gambar 32. Keragaan buah pepaya betina genotipe IPB 3 pada perlakuan pengurangan cuping stigma bunga betina; T5, T3, T1,T0 =bunga betina, cuping stigma berjumlah 5, 3, 1, tanpa lobus stigma, dan penghalangan penyerbukan (T5T).
72
Pengurangan cuping stigma bunga betina mempengaruhi jumlah biji dan bobot biji yang terbentuk. Pengurangan cuping stigma menjadi tak ada (T0) dan perlakuan penghalangan penyerbukan dengan menyungkup bunga betina (T5T) menghasilkan buah pepaya yang tidak memiliki biji. Panjang buah, diameter buah, bobot buah, bobot buah yang dapat dimakan serta kekerasan kulit buah dipengaruhi oleh perlakuan pengurangan cuping stigma. Tebal daging buah menurun 27 dan 57% pada perlakuan pengurangan cuping stigma menjadi T0 dan T5T (Tabel 11). Karakter kimia daging buah pepaya tidak dipengaruhi oleh pengurangan cuping stigma (Tabel 12). 4. Penyerbukan bunga hermafrodit genotipe IPB 3 dengan serbuk sari genotipe lain. Penyerbukan bunga dengan serbuk sari genotipe lain dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya efek metaxenia pada buah pepaya. Metaxenia terjadi apabila ada pengaruh langsung dari serbuk sari pada biji, lapisan luar embrio dan endosperm buah. Pengaruh langsung dari serbuk sari bunga jantan terhadap perkembangan buah terjadi dan sangat bervariasi tergantung pada genotipe dan viabilitas serbuk sari yang digunakan dalam penyerbukan. Panjang dan diameter buah pepaya hermafrodit IPB 3 yang bunganya diserbuki genotipe lain menghasilkan pertumbuhan yang beragam tergantung genotipe sumber serbuk sarinya. Kurva pertumbuhan buah menunjukkan bahwa ukuran buah tidak ditentukan oleh sumber serbuk sari. Panjang dan diameter buah yang pendek dipunyai oleh genotipe IPB 3 x (10) (Gambar 33). Keragaan buah pepaya hermafrodit IPB 3 yang diserbuki berbagai serbuk sari genotipe lain sedikit terlihat perbedaan dalam bentuk dan ukuran buahnya (Gambar 34). Tetapi dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak ada efek metaxenia pada karakter fisik dan kimia buah (Tabel 13 dan 14). Hasil penelitian pada pepaya hermafrodit IPB 3 sama dengan hasil penelitian metaxenia yang dilakukan Widodo et al. (2010) pada pepaya hermafrodit IPB 9, yang juga menunjukkan tidak ada efek metaxenia pada seluruh peubah yang diamati sehingga dapat disimpulkan tidak ada pengaruh genotipe sumber serbuk sari terhadap mutu fisik dan kimia buah pepaya.
73
26
Tabel 11. Karakter fisik buah pepaya betina genotipe IPB 3. Perlakuan
Panjang buah
Diameter buah
Bobot buah
Bobot dapat dimakan
(cm)
(cm)
(g)
(g)
Persen bobot dapat dimakan (%)
Kekerasan kulit buah
Kekerasan daging buah
Tebal maksimal daging buah
(kg/det)
(kg/det)
(cm)
Tebal minimum daging buah (cm)
Jumlah biji
Bobot biji
(g)
Kontrol (T5) T3
17.17
9.70
488.33
392.50
80.54
2.13
1.07
1.97
1.27
269.33
16.40
8.90
416.67
319.37
76.80
1.90
0.93
1.93
1.20
113.67
*
11.03
*
T1
14.37
*
8.00
*
328.33
*
262.33
*
79.53
1.67
*
0.83
1.97
1.17
113.33
*
11.20
*
T0
12.30
*
6.60
*
167.50
*
130.10
*
77.77
1.35
*
0.75
T5T
10.00
*
5.55
*
110.00
*
91.25
*
83.03
1.70
*
1.05
*
1.45
*
1.00
0.00
*
0.00
*
0.85
*
0.70
0.00
*
0.00
*
Keterangan: T5, T3, T1,T0 =bunga terbuka, lobus stigma berjumlah 5, 3, 1, tanpa lobus stigma, dan penghalangan penyerbukan (T5T) * : berbeda nyata dengan kontrol (T5) pada uji dunnett 5%.
Tabel 12. Karakter kimia daging buah pepaya betina genotipe IPB 3. Perlakuan
pH
PTT (°Brix)
ATT
T5 (Kontrol)
5.330
13.500
11.767
95.715
T3
5.220
13.100
13.350
113.315
T1
5.443
12.067
13.117
93.723
T0
5.247
14.900
13.580
118.540
Keterangan: sama dengan keterangan Tabel 11.
Vit C * *
28.07
74
25
Panjang & Diameter (cm)
20
Panjang 15
10
Diameter
5
0 2
4
6
8
10
12
14
16
18
IPB3X2 IPB3X4 IPB3x7 IPB3X8 IPB3X9 IPB3X10
20
Minggu Setelah Anthesis
Minggu Setelah Antesis
Gambar 33. Panjang dan diameter buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 pada perlakuan penyerbukan dengan serbuk sari genotipe lain.
IPB 3 x (2)
IPB 3 x (9)
IPB 3 x (4)
IPB 3 x (10)
IPB 3 x (7)
HK10
IPB 3 x (8)
HK10T
Gambar 34. Keragaan buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 pada perlakuan penyerbukan dengan serbuk sari genotipe lain; HK10= bunga terbuka benang sari 10, HK10T= bunga disungkup benang sari berjumlah 10.
26
75
Tabel 13. Karakter fisik buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 yang diserbuki genotipe lain. Perlakuan
Panjang buah
Diameter buah
Bobot buah
Persentase bobot dapat dimakan (%)
Kekerasan kulit buah
Kekerasan daging buah
(cm)
Bobot dapat dimakan (g)
Tebal min daging buah (cm)
Jumlah biji
(kg/det)
Tebal max daging buah (cm)
(cm)
(cm)
(kg/det)
Kontrol IPB 3
17.23
7.68
461.63
330.70
71.35
IPB 3 x (2)
19.28
8.66
539.00
380.52
IPB 3 x (4)
19.63
8.57
545.00
IPB 3 x (7)
19.10
8.55
IPB 3 x (8)
19.60
8.30
IPB 3 x (9)
19.40
IPB 3 x (10)
18.25
2.53
1.98
1.98
1.35
380.00
33.25
70.50
2.76
1.46
2.16
1.44
524.40
59.20
408.67
74.75
2.60
1.37
2.20
1.33
474.33
44.20
560.00
394.80
70.50
2.05
1.25
2.35
1.45
407.50
39.00
531.67
386.93
73.04
2.57
1.37
2.30
1.40
477.00
40.90
8.68
558.75
432.48
76.77
2.83
1.48
2.30
1.55
451.75
38.58
7.60
500.00
386.05
77.59
2.45
1.45
2.35
1.50
477.00
37.90
Tabel 14. Karakter kimia daging buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 yang diserbuki genotipe lain. Perlakuan
pH
PTT (°Brix)
ATT
Vit C
Control
5.64 ± 0.083
13.35 ± 0.790
12.14 ± 2.371
IPB 3 x (2)
5.58 ± 0.107
12.75 ± 1.552
9.93 ± 0.689
IPB 3 x (4)
5.58 ± 0.116
12.90 ± 0.777
12.64 ± 1.031
80.07 ± 16.352
IPB 3 x (7)
5.47 ± 0.084
14.00 ± 1.000
11.20 ± 2.058
81.51 ± 7.320
IPB 3 x (8)
5.35 ± 0.007
14.90 ± 0.141
13.61 ± 0.290
90.21 ± 0.100
IPB 3 x (9)
5.24 ± 0.148
13.00 ± 0.000
12.54 ± 1.117
74.77 ± 0.926
IPB 3 x (10)
5.16 ± 0.085
14.70 ± 0.141
11.87 ± 0.920
80.75 ± 0.354
kontrol vs lainnya
*
tn
86.58 ± 12.786 80.02 ±
tn
Uji beda nilai tengah dilakukan dengan uji kontras taraf 5%; tn = tidak nyata
tn
3.050
Bobot biji (g)
76
Hasil yang hampir sama pada buah pistachio yang diteliti Crane dan Iwakiri (1980), Riazi dan Rahemi (1995) yang menunjukkan bahwa ukuran buah dan saat kematangan buah tidak berbeda pada pistachio yang diserbuki dari lima macam genotipe sumber serbuk sari. Penelitian Vezvaei dan Jackson (1995) juga menunjukkan bahwa sumber serbuk sari tidak mempengaruhi karakter fisik dan kimia buah almond. Pada tanaman sour cherry yang diteliti Ansari dan Davarynejad (2008), sumber serbuk sari mengakibatkan pertambahan ukuran buah tetapi tidak mempengaruhi sifat kualitatif buah. Metaxenia atau efek serbuk sari terhadap biji dan komponen buah diluar embrio sudah lama dilaporkan oleh Swingle (1928) pada tanaman kurma dimana serbuk sari mempengaruhi ukuran, bentuk biji, warna biji, ukuran buah, kecepatan pertumbuhan buah dan saat kematangan buah kurma. Kemudian Crane dan Brown (1942) mengemukakan bahwa metaxenia terjadi pada buah kurma (mempengaruhi ukuran buah dan saat kematangan buah), diospyros kaki (mempengaruhi flavor dan saat kematangan buah), apel (mempengaruhi ukuran, bentuk, dan warna buah), dan plums (mempengaruhi ukuran buah dan saat kematangan buah). Pada tanaman Hylocereus polyrhizus yang diteliti Mizrahi et al. (2004) ternyata sumber serbuk sari dapat mempengaruhi kandungan padatan terlarut total sari buah dan saat kematangan buah sehingga dalam pelaksanaannya dapat memperpanjang vaselife buah. Hasil penelitian baru pada tanaman kurma dilaporkan Muhtaseb dan Ghnaim (2006) dan Al-Khalifah (2006) yaitu sumber serbuk sari berbeda dapat menghasilkan perbedaan pada stadia kematangan buah, ketebalan daging buah, bobot biji dan persentase bunga yang jadi buah kurma. Hasil penelitian ternyata menunjukkan bahwa pengurangan benang sari pada buah pepaya kategori kecil (IPB 3) tidak mengakibatkan perbedaan karakter fisik buah. Pengurangan jumlah benang sari pada pepaya kategori kecil yang disertai dengan penyungkupan menunjukkan pengurangan dalam jumlah biji, bobot biji, panjang buah, diameter buah dan kandungan PTT daging buah. Pengurangan cuping stigma bunga hermafrodit yang disertai dengan penyungkupan pada pepaya kategori kecil menyebabkan pengurangan dalam bobot buah, tebal buah dan jumlah biji. Pada pepaya kategori besar pengurangan benang sari, cuping stigma dan penyungkupan menyebabkan penurunan pada karakter fisik buah
77
seperti: panjang, diameter, bobot buah, kekerasan dan tebal daging buah, jumlah biji dan bobot biji; tetapi tidak mengurangi kandungan karakter mutu kimia buah. Pengurangan jumlah biji mempengaruhi bobot biji sehingga mengurangi ukuran buah. Karakter mutu kimia buah tidak berkurang, diduga banyak faktor yang mempengaruhi yang belum dapat dijelaskan dari hasil percobaan ini. Tetapi menurut Nakasone (1986) perkembangan biji melibatkan aktivitas biokimia termasuk pengaruh zat pengatur tumbuh endogen. Pengurangan cuping stigma bunga pepaya betina genotipe IPB 3 (kategori buah kecil) mengurangi jumlah biji dan bobot biji. Dengan mengurangi cuping stigma bunga betina maka permukaan bunga yang memerangkap serbuk sari akan berkurang sehingga kemungkinan penyerbukan berkurang yang akhirnya menyebabkan biji yang terbentuk akan berkurang. Menurut Herrero et al. (1988) pembentukan buah dimulai dengan proses penyerbukan yang meliputi jatuhnya butir-butir serbuk sari di atas permukaan stigma. Selanjutnya serbuk sari membentuk tabung sari dan masuk ke tangkai putik untuk mencapai bakal biji. Pembuahan (fertilisasi) terjadi saat serbuk sari membuahi sel telur di dalam bakal buah sehingga keberhasilan penyerbukan pada stigma menentukan pembentukan biji pada buah. Penghalangan
penyerbukan
dengan
menyungkup
bunga
betina
menghasilkan buah pepaya yang tidak memiliki biji. Penyungkupan bunga menyebabkan stigma tidak terserbuki sehingga tidak terjadi pembuahan dan biji tidak terbentuk. Menurut Nakasone (1986) penyungkupan bunga betina sebelum antesis pada pepaya tipe Hawaii menghasilkan buah tidak berbiji. Morfologi bunga betina menurut Samson (1980) dan Ronse Decreane dan Smets (1999) mempunyai lima cuping stigma yang menyerupai kipas tidak bertangkai, tidak memiliki benang sari dan mempunyai bakal buah besar berbentuk bulat telur. Pada buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 tidak ada pengaruh genotipe sumber serbuk sari terhadap mutu fisik dan kimia buah seperti: panjang buah, diameter buah, bobot buah, persentase bobot dapat dimakan, kekerasan kulit dan daging buah, tebal daging buah, jumlah biji, bobot biji, kandungan padatan terlarut total, asam tertitrasi total dan vitamin C. Ukuran buah biasanya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan teknik budidayanya, tetapi Sedgley dan
78
Griffin (1989) mengemukakan secara umum pada buah-buahan, bahwa ukuran buah dan waktu pematangan buah dapat pula dipengaruhi oleh sumber serbuk sari yang menyerbuki bunga, dikenal dengan fenomena metaxenia. Para peneliti buahbuahan sudah lama berpendapat bahwa tingkat kematangan buah sangat dipengaruhi oleh tingkat kematangan biji, oleh karena itu efek metaxenia pada komponen buah lainnya masih banyak belum diketahui.
Kesimpulan Tanaman betina menghasilkan bunga betina dan dan tanaman hermafrodit menghasilkan bunga hermafrodit dan ekspresi seks bunga tanaman pepaya baru diketahui setelah tanaman berbunga. Perkembangan bunga betina sampai terbentuk bakal buah berlangsung lebih cepat 1-2 hari dari perkembangan bunga hermafrodit. Letak benang sari terhadap stigma bunga pepaya genotipe IPB 1, IPB 3 dan IPB 4 (kategori buah kecil) berdekatan, sedangkan pada pepaya genotipe IPB 2, IPB 7 dan IPB 8 (kategori buah besar) letak benang sari di bawah stigma. Jaringan papila stigma bunga hermafrodit dan betina tidak berbeda secara morfologi. Bunga hermafrodit genotipe IPB 1 menunjukkan ketidak teraturan jumlah lekukan pada tangkai kepala putik, berbeda dengan lekukan pada tangkai kepala putik bunga betina IPB 1 yang konsisten berjumlah lima lekukan. Tabung sari dalam empat jam perkecambahan untuk pepaya kategori buah kecil (genotipe IPB 1, IPB 3 dan IPB 4) tumbuh paling panjang, sementara jarak antara stigma dengan bakal buah pendek. Pada akhir empat jam perkecambahan, tabung sari yang panjang adalah genotipe IPB 1, sedangkan yang pendek adalah IPB 9. Pengurangan benang sari pada buah pepaya kategori buah kecil (genotipe IPB 3) mengakibatkan perbedaan karakter kimia buah tetapi tidak mempengaruhi karakter fisik buah. Pengurangan cuping stigma bunga hermafrodit yang disertai dengan penyungkupan pada pepaya kategori buah kecil menyebabkan pengurangan bobot buah, tebal buah dan jumlah biji. Pada pepaya kategori besar (genotipe IPB 2) pengurangan benang sari, cuping stigma dan penyungkupan menyebabkan penurunan pada karakter fisik buah tetapi tidak mempengaruhi kandungan kimia buah. Pengurangan cuping stigma bunga betina genotipe IPB 3
79
mempengaruhi jumlah biji dan bobot biji yang terbentuk. Penghalangan penyerbukan dengan menyungkup bunga betina genotipe IPB 3 menghasilkan buah pepaya betina yang tidak berbiji. Tidak ada pengaruh genotipe sumber serbuk sari pada karakter fisik dan kimia buah hermafrodit genotipe IPB 3.
IV. STUDI MUTU BUAH PEPAYA Abstrak Mutu buah setelah panen dipelajari dengan percobaan tentang karakter fisik dan kimia buah pada tiga tingkat kematangan. Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui karakter fisik dan kimia buah pepaya genotipe IPB 1, IPB 10A, PB 174, IPB 1 x IPB 10A, IPB 1 x PB 174 dan IPB 10A x PB 174. Percobaan dilakukan dalam dua tahap yaitu penentuan stadia kematangan berdasarkan jumlah hari setelah antesis yang kemudian dijadikan acuan perkiraan tingkat kematangan berdasarkan persentase warna kuning pada kulit buah pada percobaan kedua. Pada percobaan kedua pemetikan buah dilakukan pada tiga stadia kematangan berdasarkan persentase warna kuning kulit buah, yaitu pada saat warna kuning pada kulit buah 25-49% (stadia II), 50-74% (stadia III) dan di atas 75% (stadia IV). Buah pepaya genotipe IPB 1 dapat dipanen pada tiga stadia kematangan buah yaitu pada 130, 135 dan 140 HSA. Genotipe IPB 10 A, PB 174 betina, IPB 1 x IPB 10A betina dan IPB 1 x PB 174 betina lebih baik dipanen pada stadia IV kematangan buah atau persentase warna kuning kulit buah 75%. Penelitian untuk mengkaji mutu buah yang meliputi karakter mutu fisik dan kimia daging buah pepaya genotipe IPB 1, IPB 2A, IPB 3, IPB 3A, IPB 4, IPB 7, IPB 8, dan IPB 9 dilakukan pada dua stadia kematangan yang ditandai dengan warna kuning kulit buah 75 dan 100%. Buah dipetik pada saat stadia kematangan 25% warna kuning kulit buah. Tingkat kematangan buah berdasarkan stadia warna kuning kulit buah 75% dan 100% tidak menghasilkan perbedaan pada karakter mutu fisik dan kimia buah yang diamati, kecuali kekerasan kulit buah bagian tengah dan pH daging buah. Genotipe yang diamati pada umumnya memiliki mutu buah yang sama, tetapi pada karakter tertentu beberapa genotipe lebih baik dari genotipe lainnya. Genotipe IPB 4 mempunyai kulit buah paling lunak diantara genotipe yang diamati. Genotipe IPB 9 memiliki nilai kekerasan daging buah pada bagian tengah lebih baik dari IPB 1, IPB 4 dan IPB 8. Kandungan vitamin C (ascorbic acid) genotipe IPB 4 lebih besar dari IPB 2A, IPB 3A. Kandungan karoten pada genotipe IPB 4 lebih besar dari IPB 1, IPB 3A, IPB, 7, IPB 8 dan IPB 9. Mutu buah dan daya simpan buah pepaya dipelajari dengan melakukan percobaan untuk mengetahui karakter mutu fisik dan kimia buah pada umur petik dan waktu simpan berbeda. Kandungan padatan terlarut total (PTT) dan asam tertitrasi total (ATT) meningkat dengan semakin tua umur petik dan semakin lamanya waktu simpan. Nilai pH daging buah genotipe IPB 1 berkisar antara 5.15.9, nilai padatan terlarut total (PTT) 10°-12° Brix. Buah genotipe IPB 10 A memiliki daya simpan 8-9 hari, sedangkan daya simpan buah genotipe lainnya rata-rata mencapai 6-7 hari. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa preferensi konsumen lebih menyukai daging buah pepaya genotipe IPB 1 x IPB 10A yang dipetik pada 145 HSA dan telah disimpan dua hari, daripada genotipe IPB 1 dan IPB 10A x PB 174. Kata Kunci: hermafrodit, betina, karakter fisik buah, karakter kimia buah, stadia kematangan buah
81
Abstract The objective of the experiment was to investigate the physical and chemical characteristics of three stadia of maturity based on a range of peel color from green to yellow or based on percentage of the yellow area of fruit peel (stadium II = 25-49% yellow, stadium III = 50-74% yellow, and stadium IV = above 75% yellow) on six genotype of papaya. IPB 1 genotype can be harvested at all stadia of maturity stage. Hermaphrodite and female fruit of IPB 10 A, female fruit of PB 174, female fruit of IPB 1 x IPB 10A and female fruit of IPB 1 x PB 174 genotype would be better harvested at stadium IV of maturity stage. The objective of the second experiment was to investigate the physical and chemical characteristic of eight genotypes of papaya i.e. IPB1, IPB 2A, IPB 3, IPB 3A, IPB 4, IPB 7, IPB 8, and IPB 9 on two stadia of ripening period based on a percentage of the yellow area of fruit peel (stadium 75% yellow and stadium 100% yellow). The fruits were picked at stadium 25% yellow of fruit peel colour. There was no significant different on physical and chemical characteristics between papaya at stadium 75% and 100% ripe. Flesh firmness of IPB 9 was better than IPB 1, IPB 4 and IPB 8. Ascorbic acid content of IPB 4 (107.36 mg/100 g) was higher than that of IPB 2A and IPB 3A. Carotenoid content of IPB 4 (29.73 mg/100g) was higher than that of the other genotypes. Fruit quality and fruit shelf life of five genotypes of papaya have been investigated by studying physical changes and chemical characteristics after three different maturity stage. Picking fruit on different days after anthesis could result on the different stage of fruit maturity which corresponding with the fruit quality. The TSS content increased according to the increasing of fruit maturity and storage time. Harvesting date effect on total soluble solid (TSS) content IPB 1 x 10A and Total titratable acid (TTA) value of IPB 1 genotype. Storage time affect the value of TSS and TTA on IPB 10A genotypes. The pH of IPB 1 juice genotype was 5.1-5.9 with TSS content 10o12oBrix. Total titratable acid content was higher in younger fruit and longer storage period. The earlier harvesting date increased the content of vitamin C of IPB 1 and IPB 1 x IPB 10A genotypes. The longest shelf life was shown by IPB 10A (8-9 days after picking), while the other genotypes had a similar shelf life of 6-7 days.
Keywords: Carica papaya hermaphrodite fruit, female fruit, physical characteristic, chemical characteristic, fruit maturity stage.
82
Pendahuluan Pepaya merupakan buah yang mempunyai nilai nutrisi baik. Preferensi konsumen dalam memilih buah pepaya biasanya berdasarkan keragaan buah, warna dan rasa daging buah. Berdasarkan data Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (2004) sifat-sifat buah pepaya yang diinginkan untuk konsumsi segar adalah: berukuran kecil-medium (0.5-1.0 kg/buah) atau besar (<3 kg), warna daging buah jingga sampai merah, mempunyai warna kulit hijau dengan warna merah-jingga di selanya, rongga buah kecil (edible portion tinggi), kulit buah halus, buahnya berasal dari bunga hermafrodit, berbentuk lonjong, bertekstur padat (firm), rasanya manis dan tidak ada pahitnya atau rasa getah, shelf-life lama dan beraroma khas. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2007) dan Direktorat Mutu dan Standardisasi (2009) ketentuan minimum yang harus dipenuhi buah pepaya untuk diperdagangkan ialah: buah utuh, segar, padat, bebas dari (benda asing dan aroma asing, hama dan penyakit, memar, kerusakan mekanis) dan layak konsumsi. Buah pepaya dapat dipanen pada beberapa stadia kematangan tergantung peruntukannya, pada saat buah masih muda atau setengah tua untuk pencampur buah dalam asinan atau rujak dan pada saat matang untuk dikonsumsi sebagai buah segar (Kader, 1985; Reid, 1985). Stadia kematangan buah pada saat dipanen merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi shelf life buah, sehingga mutu buah yang dipanen sangat ditentukan oleh stadia kematangan pada waktu panen (Kays, 1991). Pemanenan dan penanganan pasca panen buah yang dilakukan dengan benar dan tepat waktu dapat meningkatkan daya simpan buah (Thompson et al., 1989; Samson, 1980; Nakasone dan Paull, 1999). Pepaya mempunyai kulit buah tipis, biasanya halus, berwarna hijau saat belum matang, dan berwarna kuning atau jingga kekuningan saat buah matang. Stadia kematangan buah pepaya menurut Pantastico et al. (1986) dan Kays (1991) umumnya ditentukan oleh perubahan warna pada ujung buah. Warna merupakan indikator utama yang digunakan oleh konsumen dalam menentukan kematangan buah. Oleh karena itu, perubahan warna selama pematangan menjadi indikator yang sangat penting. Selama proses pematangan, warna daging buah berubah dari putih menjadi kuning atau jingga kekuningan, atau menjadi merah muda atau merah, tergantung varietasnya.
83
Pepaya merupakan buah yang mempunyai sifat klimakterik dimana kandungan zat gizi daging buah pada umumnya dapat berubahsetelah buah mengalami penyimpanan. Menurut Chan (1979) selama proses pemasakan buah pepaya mengalami perubahan kandungan kimia diantaranya keasaman, padatan terlarut total, pati, dan vitamin C. Perbedaan stadia kematangan buah menghasilkan perbedaan sifat fisik dan kimia buah selama penyimpanan pada suhu kamar. Samson (1980) dan Nakasone dan Paull (1999) menyatakan bahwa secara umum pemanenan dan penanganan pasca panen buah-buahan tropik memerlukan penanganan yang benar supaya mutu buah dapat dipertahankan dengan baik. Bari et al. (2006) mengemukakan hasil penelitiannya pada buah pepaya yang dipanen saat buah masih hijau, matang, masak dan mendekati busuk, ternyata memiliki komposisi nutrisi termasuk kandungan kimia buah pepaya bervariasi pada stadia kematangan berbeda. Menurut Lalel et al. (2003) umur petik pada stadia kematangan buah mempengaruhi kandungan zat volatil yang menentukan flavor pada buah mangga dan pola respirasi klimakterik hanya terlihat pada buah yang dipetik awal stadia kematangan. Sedangkan pada buah pisang menurut Sulaeman et al. (2001) umur petik pada stadia kematangan lanjut akan menghasilkan mutu buah yang lebih baik. Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (2004) mengemukakan bahwa hasil penelitian umur panen yang baik untuk delapan genotipe pepaya koleksi Pusat Kajian Buah-buahan Tropika-IPB (PKBT-IPB) ialah antara 128-161 HSA (Hari Setelah Antesis) dengan bobot buah antara 968.3-1941.7 g, kandungan padatan terlarut total (PTT) 9.3-12.1 ºBrix dan umur simpan 3-5 hari. Hasil penelitian lainnya menunjukkan waktu yang tepat untuk melakukan pemanenan pada 10 genotipe pepaya koleksi PKBT-IPB antara 144-168 HSA, bobot buah antara 831.7-3100 g , PTT 9.13-12.95 ºBrix dan umur simpan 4-7 hari. Dua penelitian di atas menunjukkan bahwa umur panen dan mutu buah sangat ditentukan oleh genotipe pepaya. Studi mutu buah pepaya dilakukan dengan melakukan tiga penelitian yang berbeda. Penelitian pertama diarahkan untuk mengetahui mutu buah pada tiga stadia kematangan berbeda berdasarkan umur petik buah dari saat antesis. Penelitian kedua diarahkan untuk mengetahui mutu buah pepaya hasil pemuliaan
84
IPB, dan yang ketiga diarahkan untuk mengetahui mutu dan daya simpan buah pepaya. Sehingga penelitian tentang mutu buah pepaya bertujuan untuk: mengetahui karakter fisik dan kimia buah pepaya genotipe IPB 1, IPB 10A, PB 174, IPB 1 x IPB 10A, IPB 1 x PB 174 dan IPB 10A x PB.174 pada tiga stadia kematangan buah; mengkaji karakter fisik dan kimia daging buah pepaya genotipe IPB 1, IPB 2A, IPB 3, IPB 3A, IPB 4, IPB 7, IPB 8, dan IPB 9 pada dua stadia kematangan yang ditandai dengan warna kuning kulit buah 75 dan 100%; serta mengkaji mutu buah dan daya simpan buah pepaya koleksi Pusat Kajian Buahbuahan Tropika IPB berdasarkan umur petik dan waktu simpan berbeda. Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi rujukan untuk memperkirakan umur panen dan shelf life buah pepaya berdasarkan stadia kematangan.
Bahan dan Metode IV. 1. Mutu Buah Pepaya pada Tiga Stadia Kematangan Berbeda Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2005 sampai Mei 2006 di Teaching Farm Kebun Buah, Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT), Unit Lapangan Tajur, University Farm, IPB. Bogor. Pengujian karakter fisik dan kimia buah dilakukan di Laboratorium Produksi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah buah pepaya genotipe IPB 1, IPB 10A, PB 174, dan hasil silangannya, genotipe IPB 1 x IPB 10A , IPB 1 x PB 174, dan IPB 10A x PB 174. Bahan kimia yang digunakan meliputi: larutan NaOH, larutan iodium, alkohol, indikator phenolphtalein (PP), dan amilum (pati). Alat yang digunakan antara lain timbangan analitik, pH meter, hand refractometer dan hand fruit hardness tester. Metode Penelitian Percobaan di lapangan dilakukan dalam percobaan faktor tunggal. Perlakuan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam ulangan.
85
Penelitian pendahuluan dilakukan dengan memanen buah berdasarkan perkiraan persentase warna kuning pada kulit buah, dipanen pada tiga stadia, yaitu pada saat warna kuning pada kulit buah 25-49% (stadia II), 50-74% (stadia III) dan di atas 75% (stadia IV). Buah yang dipanen berdasarkan persentase warna kuning pada kulit menjadi acuan penentuan saat panen buah berdasarkan umur buah dihitung dari saat antesis seperti yang dilakukan Chan Jr. (1979). Saat antesis setiap bunga untuk setiap genotipe ditandai dan buah yang terbentuk dipanen sesuai dengan perlakuan. Buah dipanen ketika kulit buah pertama pada setiap genotipe yang diamati sejak antesis mencapai warna kuning 25%. Hasil perhitungan umur buah sejak antesis menjadi acuan umur panen pertama, setelah itu panen rutin dilakukan dengan jarak antar umur panen lima hari untuk semua genotipe (Tabel 15). Tabel 15. Tiga stadia kematangan buah pepaya. Genotipe IPB 1 IPB 10A PB 174 IPB 1 x IPB 10A IPB 1 x PB 174 IPB 10A x PB 174
Kematangan (Hari Setelah Antesis/ HSA) Stadia II Stadia III Stadia IV 130 135 140 160 165 170 140 145 150 140 145 150 135 140 145 140 145 150
Karakter fisik buah yang diamati meliputi panjang, diameter, volume, bobot utuh, bobot kulit, bobot biji, persentase bagian buah dapat dimakan (BDD) dan kekerasan kulit buah. Kekerasan kulit buah diukur menggunakan hand fruit hardness tester dalam satuan kg/detik, dimana buah yang lunak ditunjukkan dengan nilai angka pengukuran semakin kecil. Volume buah diukur dengan mencelupkan buah ke dalam ember berukuran 5000 ml yang telah terisi penuh dengan air. Volume buah diperoleh dari hasil pengukuran jumlah tumpahan air pada gelas ukur. Kandungan padatan terlarut total (PTT) diukur dengan hand refractometer, mengacu pada metode yang dilakukan Muchtadi dan Sugiyono (1992). Kadar keasaman sari buah (pH) diukur dengan pH meter metode kalibrasi (Apriyantono et al., 1988). Pengukuran Asam Tertitrasi Total (ATT) dilakukan
86
dengan menggunakan metode titrimetri (Sibarani et al., 1986). Kandungan vitamin C diukur menurut metode titrasi iodium dari Sudarmaji et al. (1984).
IV. 2. Mutu Buah Pepaya IPB Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai Desember 2008. Buah pepaya dari Teaching Farm Kebun Buah, PKBT, Unit Lapangan Tajur, University Farm, IPB Bogor. Ruangan untuk penyimpanan buah ialah Laboratorium Research Group on Crop Improvement (RGCI), Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah delapan genotipe pepaya IPB: IPB1, IPB 3, IPB 4 (kategori buah kecil), IPB 2A, IPB 3A, IPB 8, IPB 9 (kategori buah sedang) dan IPB 7 (kategori buah besar). Buah dipanen pada stadia kematangan yang ditunjukkan dengan warna kuning pada kulit buah 25% (stadia II), mengacu pada Manenoi et al. (2006) yang menyatakan saat warna kuning pada kulit buah untuk pemetikan buah pepaya minimal 25%, supaya laju respirasi dan produksi etilen pada saat penyimpanan tidak mengalami penghambatan sehingga pemasakannya sempurna. Bahan lain yang digunakan ialah larutan NaOH 0.1 N, Iodium 0.01 N, indikator phenolphtalein dan amilum. Alat yang digunakan diantaranya ialah timbangan analitik, hand refractometer, pnetrometer, pH meter, alat titrasi, sentrifuse dan spektrofotometer. Metode Pelaksanaan Metode yang digunakan pada penelitian adalah Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design) yang disusun secara Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT). Petak utama ialah perlakuan penyimpanan buah hingga mencapai stadia warna kuning kulit buah 75% (stadia IV) dan 100% (stadia V), sedangkan perbedaan genotipe buah pepaya sebagai anak petak dengan tiga ulangan. Keragaan warna kulit buah yang menandakan stadia kematangan pada pepaya genotipe IPB 1, IPB 2 dan IPB 3 disajikan pada Gambar 35. Stadia kematangan
87
pepaya mengacu kepada Abeywickrama et al. (2008) yang mengemukakan ada enam stadia kematangan untuk pepaya yaitu munculnya semburat warna kuning pada kulit buah (stadia I), warna kuning 25-49% (stadia II), warna kuning 50-74% (stadia III), warna kuning diatas 75% (stadia IV), warna kuning penuh 100% (stadia V), dan lewat masak (over ripe).
a
I
II
III
V
IV
b
II
III
V
IV
5 cm
c
I
II
III
IV
V
Gambar 35. Stadia kematangan buah pepaya berdasarkan warna kuning kulit buah a = genotipe IPB 1, b = genotipe IPB 2, c = genotipe IPB 3; I-V = stadia kematangan buah.
88
Pengamatan karakter fisik meliputi: panjang buah, diameter buah, tebal daging buah, bobot buah utuh, bobot kulit, bobot daging buah, persen bagian yang dapat dimakan (edible portion), bobot biji, jumlah biji, bobot 100 biji, tingkat kekerasan kulit dan daging buah. Pada pengukuran dengan pnetrometer, tingkat kekerasan kulit dan daging buah yang lunak ditunjukkan dengan angka pengukura kekerasan kulit dan daging buah yang tinggi. Pengamatan karakter kimia menggunakan metode yang sama dengan percobaan 1. Kandungan karoten daging buah, diukur menggunakan alat spektrofotometer dengan metode Sims yang telah dimodifikasi (Sims, 2003).
IV. 3. Mutu Buah Pepaya pada Umur Petik dan Waktu Simpan Berbeda Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2005 sampai Agustus 2006. Tempat penelitian sama dengan percobaan IV.1. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah buah dari lima genotipe pepaya: IPB 1, IPB 10A, IPB 10A x PB 174 dan IPB 1 x IPB 10A hermafrodit. Bahan kimia dan alat yang digunakan sama dengan percobaan IV.1. Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor. Faktor yang diuji adalah umur petik dan waktu simpan. Umur petik dihitung sejak bunga mekar, untuk genotipe IPB 1 betina dipanen pada 130, 135 dan 140 hari setelah antesis (HSA), genotipe IPB 10A hermafrodit dipetik pada 160, 165 dan 170 HSA, dan genotipe IPB 10A x PB 174 hermafrodit dan IPB 1 x IPB 10A hermafrodit dipetik pada saat 140, 145 dan 150 HSA. Saat antesis setiap bunga untuk setiap genotipe ditandai dan buah yang terbentuk dipetik sesuai dengan perlakuan. Waktu simpan yang diuji adalah: dua hari, empat hari setelah panen, dan pada saat buah lewat masak (over ripe), untuk genotipe IPB 1 dan IPB 1 x IPB 10A berkisar selama tujuh hari, genotipe IPB 10A x PB 174 enam hari, dan genotipe IPB 10A sembilan hari. Jumlah buah yang diamati meliputi lima
89
genotipe pepaya dengan tiga tingkat umur petik (UP1, UP2, UP3) dan tiga waktu simpan (WS1, WS2, WS3) yang masing-masing terdiri dari enam buah pepaya. Jumlah satuan percobaan keseluruhan adalah 270 buah. Data dianalisis dengan menggunakan uji F pada program SAS 6.12. dan Uji Tukey pada taraf 5%. Pelaksanaan Buah pepaya dipetik berdasarkan umur petik masing-masing genotipe, kemudian disimpan pada suhu ruang sesuai dengan perlakuan waktu simpannya. Pengamatan karakter fisik dan kimia buah dilakukan seperti pada metode percobaan IV.1. Uji organoleptik dilakukan untuk rasa, aroma, warna daging buah dan keempukan daging buah dengan menggunakan skor: < 1.50 = sangat tidak suka, 1.51-2.50 = tidak suka, 2.51-3.50 = suka, > 3.51 = sangat suka.
Hasil dan Pembahasan IV. 1. Mutu Buah Pepaya pada Tiga Stadia Kematangan Berbeda Pemanenan buah pada stadia II (saat warna kuning pada kulit buah mencapai 25-49%) merupakan awal waktu pemanenan yang sudah tepat untuk buah pepaya yang bersifat klimakterik. Bron dan Jacomino (2006), Bari et al. (2006) dan Abeywickrama et al. (2008) mengemukakan secara umum bahwa pada buah pepaya terdapat enam stadia kematangan yaitu munculnya semburat warna kuning pada kulit buah, warna kuning pada kulit buah sebanyak 25, 50, 75, 100% dan lewat matang (over ripe). Buah pepaya bersifat klimakterik, dan menurut Paull dan Chen (1983) peningkatan laju respirasi dan peningkatan produksi etilen terjadi bersamaan dan mencapai puncaknya pada saat yang bersamaan pula. Pemanenan buah yang biasa dilakukan pada tanaman pepaya menurut Manenoi et al. (2006) adalah saat warna kuning pada kulit buah minimal 25%; jika pemetikan buah dilakukan sebelum stadia tersebut maka buah tidak akan masak sempurna karena ada pengurangan laju respirasi dan penghambatan produksi etilen pada saat penyimpanannya. Hasil penelitian Fabi et al. (2007) menyatakan bahwa buah pepaya sangat rentan terhadap kerusakan pada saat penyimpanan akibat pelunakan kulit dan daging buah yang disebabkan oleh keberadaan etilen.
90
Ukuran buah yang dipanen pada setiap kriteria stadia kematangan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada genotipe yang sama dalam ukuran panjang, diameter, volume, bobot utuh, bobot kulit, bobot biji dan persentase bobot dapat dimakan (BDD). Buah betina genotipe IPB 1, PB 174, IPB 1 x IPB 10A, IPB 1 x PB 174 dan IPB 10 A x PB 174 memiliki nisbah panjang/diameter (P/D) antara 1.1-1.5 sehingga bentuk buahnya membulat. Buah hermafrodit cenderung berbentuk lonjong dengan nisbah P/D berkisar 1.5-2.3 (Tabel 16). Hasil penelitian pada buah pepaya menurut Muda et al. (1994) ialah buah yang berasal dari bunga betina berbentuk bulat dan buah yang berasal dari bunga hermafrodit berbentuk memanjang atau berbentuk silinder. Bobot utuh, bobot kulit dan bobot biji terbesar dimiliki oleh genotipe IPB 1 x IPB 10 A hermafrodit berturut turut: 1 570 ± 636, 205 ± 92 dan 125 ± 35 g (Tabel 17). Dari data yang didapat terlihat bahwa bobot utuh yang besar belum tentu mempunyai persentase bobot dapat dimakan (BDD) tinggi pula karena dipengaruhi oleh bobot bijinya. Genotipe IPB 1 betina yang termasuk buah pepaya kategori kecil, memiliki bobot utuh dan bobot biji terkecil yaitu 584 ± 353 g dan 44 ± 36 g, tetapi masih lebih besar dari bobot pepaya genotipe Sunrise (termasuk kategori kecil). Menurut hasil penelitian Broto et al. (1991) bobot buah pepaya genotipe Sunrise adalah sebesar 300 ± 40 g. Fagundes dan Yamanishi (2001) mengemukakan bahwa rata-rata bobot buah pepaya kategori kecil yang dikenal dengan tipe Solo adalah (372.2-537.1) g dengan panjang buah (12.4-14.5) cm dan diameter buah (7.6-8.7) cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekerasan kulit buah sekitar 2.77 ± 1.38 sampai 4.30 ± 0.03 kg/det, tidak berbeda antara ketiga stadia kematangan buah kecuali pada genotipe IPB 10 A betina (Tabel 18). Buah yang dipanen pada jumlah hari setelah antesis berbeda, ada yang menunjukkan keragaan warna kulit buah yang sama dan diduga mempunyai tingkat kematangan buah yang sama pula sehingga menyebabkan kekerasan kulit buah pada ketiga stadia kematangan tidak berbeda. Penggunaan kriteria umur panen dengan penghitungan hari setelah antesis di daerah Bogor menghasilkan perubahan warna kulit buah yang tidak teratur dan tidak sama pada setiap waktu panen buah sehingga tingkat kematangan fisiologis buah diduga berbeda.
91
91
Tabel 16. Ukuran buah pepaya. Diameter buah ± sd
Panjang buah ± sd Genotipe IPB 1 IPB 10A PB 174 IPB 1 x IPB 10A IPB 1 x PB 174 IPB 10A x PB 174
(cm) B 12.9 ± 2.3 15.5 ± 1.7 13.4 ± 1.8 17.8 ± 1.9 13.1 ± 1.4 17.3 ± 1.5
H 14.8 ± 1.5 22.8 ± 1.8 22.2 ± 1.9 16.5 ± 1.7 21.8 ± 1.6
(cm) B H 10.0 ± 2.4 9.7 ± 1.1 10.7 ± 1.8 10.0 ± 1.1 11.0 ± 1.9 13.8 ± 2.5 12.3 ± 1.9 11.6 ± 1.7 11.1 ± 1.1 13.0 ± 1.3 9.8 ± 0.9
Rasio panjang/ diameter buah ± sd (cm) B H 1.3 ± 0.2 1.5 ± 0.1 1.5 ± 0.1 2.3 ± 0.2 1.2 ± 0.1 1.3 ± 0.3 1.8 ± 0.1 1.1 ± 0.1 1.5 ± 0.2 1.3 ± 0.1 2.2 ± 0.1
Volume buah ± sd (cm) B 678 ± 435 871 ± 397 965 ± 367 1 808 ± 678 873 ± 332 1 449 ± 442
H 654 ± 192 1 125 ± 247 1 688 ± 958 1 013 ± 192 1 113 ± 388
Keterangan: sd = standar deviasi, B = betina, H = hermafrodit.
Tabel 17. Bobot buah pepaya. Genotipe IPB 1 IPB 10A PB 174 IPB 1 x IPB 10A IPB 1 x PB 174 IPB 10A x PB 174 Keterangan:
Bobot utuh + sd (g) B H 584 + 353 621 + 157 728 + 329 1 091 + 231 902 + 307 1 407 + 518 1 570 + 636 775 + 261 937 + 145 1 203 + 309 1 063 + 363
Bobot kulit + sd (g) B H 99 + 67 92 + 23 93 + 42 123 + 29 111 + 54 197 + 79 205 + 92 109 + 52 111 + 27 135 + 62 113 + 35
Bobot biji + sd (g) B H 44 + 36 59 + 18 63 + 32 76 + 20 95 + 41 95 + 49 125 + 35 75 + 36 102 + 17 99 + 44 59 + 32
sd = standar deviasi, B = betina, H = hermafrodit, BDD = bagian buah dapat dimakan (edible portion).
BDD + sd (%) B 76 + 5 78 + 5 77 + 5 79 + 5 76 + 6 80 + 6
H 75 + 5 81 + 4 79 + 1 77 + 3 83 + 6
92
Tabel 18. Kekerasan kulit buah, pH dan vitamin C daging buah pepaya. Stadia Vitamin C + sd2) Kekerasan kulit + kematangan pH ± sd2) 2) sd (kg/det) (mg/100g) (HSA)1) 5.7 + 0.5 73.5 + 16.2 130 3.64 + 0.79 IPB 1 (B) 135 3.18 + 1.05 5.5 + 0.9 82.1 + 08.7 140 2.77 + 1.38 5.8 + 0.8 97.6 + 28.4 6.2 + 0.2 a2) 94.1 + 20.3 130 4.14 + 0.21 IPB 1 (H) 135 4.12 + 0.16 5.9 + 0.2 b 101.2 + 09.2 6.2 + 0.2 a 111.9 + 03.9 140 4.24 + 0.15 160 4.14 + 0.07 a2) 6.2 + 0.2 80.8 + 12.6 IPB 10A (B) 165 4.20 + 0.08 a 6.5 + 0.2 82.9 + 13.8 170 3.13 + 0.86 b 6.2 + 0.5 93.1 + 07.1 6.3 + 0.3 80.6 + 08.6 b2) 160 4.12 + 0.21 IPB 10A (H) 165 3.82 + 0.36 6.1 + 0.2 94.0 + 12.0 ab 6.3 + 0.2 95.9 + 05.2 a 170 4.07 + 0.14 140 3.97 + 0.56 5.3 + 0.7 119.3 + 12.3 PB 174 (B) 145 4.13 + 0.27 5.7 + 0.4 123.6 + 25.1 150 3.84 + 0.54 5.6 + 0.3 126.2 + 10.3 140 4.00 + 0.29 5.8 + 0.8 80.7 + 13.9 b IPB1xIPB10A 5.9 + 0.6 90.1 + 20.8 b 145 4.20 + 0.31 (B) 150 4.00 + 0.10 5.9 + 0.9 121.3 + 16.3 a 135 4.20 + 0.15 6.1 + 0.2 85.1 + 21.5 IPB1xPB174 140 4.10 + 0.22 5.6 + 0.7 93.2 + 42.8 (B) 5.6 + 0.9 92.9 + 22.3 145 4.00 + 0.14 135 3.90 + 0.13 6.0 + 0.2 109.7 + 58.3 IPB1xPB174 (H) 145 4.20 + 0.12 6.1 + 0.2 111.2 + 24.3 140 4.10 + 0.22 6.5 + 0.3 152.0 + 12.4 IPB10AxPB17 6.2 + 0.4 74.8 + 10.0 145 4.30 + 0.03 4 (B) 6.3 + 0.2 89.7 + 1.4 150 4.10 + 0.02 Keterangan: 1) HSA = hari setelah antesis, sd = standar deviasi, B = betina, H = hermafrodit 2) Uji beda nilai tengah menggunakan uji tukey taraf 5 %. Genotipe
Perbedaan umur panen buah yang menyebabkan tingkat kematangan buah sama menurut Zhou dan Paull (2001) kemungkinan disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan buah yang berbeda akibat suhu udara dan kompetisi fotosintat antar buah, sehingga ada buah pada genotipe sama yang memerlukan waktu lebih lama untuk mencapai tingkat kematangan yang sama. Menurut Paull (1993) secara umum buah pepaya yang dipanen pada tingkat kematangan berbeda menunjukkan pelunakan buah berbeda yang dapat menentukan kualitas buahnya. Paull et al. (1999) menjelaskan bahwa dalam proses pematangan buah terjadi hidrolisis pektin dan hemiselulosa yang merupakan komponen pembentuk struktur dinding sel sehingga perubahan ini mempengaruhi firmness atau tingkat
93
kerenyahan daging buah yang menyebabkan buah menjadi lunak apabila telah masak. Kadar keasaman (pH) sari buah berkisar antara 5.3 ± 0.7 sampai 6.5 ± 0.3, tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada tiga stadia kematangan buah kecuali pada genotipe IPB 1 hermafrodit (Tabel 18). Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Wills dan Widjanarko (1995) bahwa pada semua tingkat kematangan buah pepaya berdasarkan semburat warna kuning pada kulit buah, kadar keasaman (pH) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata yaitu sekitar 5.11 ± 5.42. Pada tanaman tomat yang diteliti oleh Helyes et al. (2006) menunjukkan bahwa pH buah paling rendah dimiliki buah pada tingkat kematangan awal dan tidak ada perubahan nilai pH yang berarti pada tingkat kematangan lebih lanjut. Broto et al. (1991) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa pH hancuran buah pepaya lima varietas yaitu Dampit Bogor, Dampit Malang, Jingga, Paris, dan Sunrise tidak jauh berbeda berkisar antara 5.0-5.5. Fagundes dan Yamanishi (2001) menyatakan bahwa pH buah pepaya kategori kecil adalah sebesar 5.2-5.7, sedangkan menurut Bari et al. (2006) pH buah akan meningkat pada tingkat kematangan yang lebih lama dan akan menurun lagi pada buah yang mendekati busuk. Kandungan vitamin C daging buah pepaya dari hasil penelitian sangat beragam, mulai dari 73.5 ± 16.2 mg/100 g untuk genotipe IPB 1 dan 152.0 ± 12.41 mg/100 g untuk genotipe IPB 10A x PB 174. Berdasarkan penelitian Broto et al. (1991) kandungan vitamin C tertinggi terdapat pada pepaya Sunrise yaitu 136.9 ± 16.5 mg/100 g dan yang terendah pada pepaya Paris yaitu 35.4 ± 1.2 mg/100 g. Stadia kematangan buah yang berbeda menghasilkan kandungan vitamin C berbeda hanya terjadi pada genotipe IPB 10A hermafrodit dan genotipe IPB 1 x IPB 10A betina (Tabel 18). Kandungan vitamin C pepaya genotipe IPB 10A hermafrodit yang dipanen pada 160 HSA adalah sebesar 80.6 ± 8.6 mg/100 g dan pada buah yang dipanen 170 HSA kandungan vitamin C nya meningkat 19% menjadi 95.9 ± 5.2 mg/100 g. Genotipe IPB 1 x IPB 10A menunjukkan peningkatan kandungan vitamin C pada buah yang dipanen 150 HSA mencapai 50% dari buah yang dipanen 140 HSA. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
94
penelitian Bari et al. (2006) bahwa kandungan vitamin C buah pepaya akan meningkat pada tingkat kematangan lebih lama. Nilai kandungan asam tertitrasi total (ATT) pada semua genotipe tidak banyak berbeda pada setiap stadia kematangan buah. Padatan terlarut total (PTT) buah pepaya pada genotipe IPB 10A betina dan hermafrodit, genotipe PB 174 betina, genotipe IPB 1 x IPB 10A betina, genotipe IPB 1 x PB 174 betina dipengaruhi oleh stadia kematangan buah. Nilai PTT buah semakin meningkat dengan bertambahnya stadia kematangan buah, kecuali pada buah genotipe IPB 10A x PB 174 betina (Tabel 19). Tabel 19. Karakter kimia (PTT, ATT dan PTT/ATT) daging buah pepaya. Genotipe
IPB 1 (B)
IPB 1 (H)
IPB 10A (B)
IPB 10A (H)
PB 174 (B) IPB1xIPB10A (B) IPB1xPB174 (B) IPB1xPB174 (H) IPB10AxPB17 4 (B)
Stadia kematangan (HSA)1) 130 135 140 130 135 140 160 165 170 160 165 170 140 145 150 140 145 150 135 140 145 135 145 140 145 150
PTT + sd (oBrix) 2) 9.8 11.0 11.2 9.7 9.9 10.1 8.5 9.1 10.1 8.6 9.7 9.9 9.7 11.0 11.4 8.4 8.7 9.8 8.6 9.7 11.8 10.5 10.9 9.1 7.9 8.0
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
0.7 0.8 1.3 0.8 1.0 0.7 0.5 c2) 0.3 b 0.2 a 0.5 b 0.4 a 0.6 a 0.7 b 1.0 ab 1.0 a 0.7 b 0.6 b 0.8 a 1.1 b 0.7 b 1.0 a 1.9 2.4 2.6 2.4 0.1
ATT + sd (%)
0.09 0.13 0.08 0.08 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 0.08 0.08 0.08 0.07 0.06 0.06 0.05 0.05 0.06 0.06 0.08 0.09 0.07 0.05 0.06 0.06
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
0.03 0.07 0.02 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02 0.01 0.01 0.01 0.03 0.02 0.02 0.01 0.01 0.02 0.02 0.01 0.02 0.04 0.02
PTT/ATT + sd2) 123.5 101.7 144.9 135.3 136.8 145.7 128.6 132.3 139.7 126.2 128.2 130.2 129.0 149.7 179.0 151.3 189.0 216.0 159.7 152.3 156.6 122.6 153.9 204.3 169.6 131.0
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
44.8 54.7 27.8 42.5 21.6 25.4 9.4 9.7 27.3 22.7 23.1 29.5 11.3 b2) 16.0 a 22.0 a 64.6 68.4 67.3 36.7 19.5 34.4 39.2 14.4 100.6 108.8 32.9
Keterangan: 1) HSA = Hari Setelah Antesis, sd = standar deviasi, B = Betina, H = Hermafrodit 2) Uji beda nilai tengah menggunakan uji tukey taraf 5 %.
Hasil penelitian Wills dan Widjanarko (1995) menunjukkan kandungan PTT daging buah pepaya Australia meningkat sejalan dengan meningkatnya
95
stadia kematangan buah. Hasil penelitian pada tanaman buah loquat Uapaca kirkiana yang diteliti oleh Kadzere et al. (2006) dan pada tanaman buah mangga yang dilakukan Emmanuel et al. (2009) menunjukkan hasil yang hampir sama bahwa nilai PTT akan lebih tinggi pada tingkat kematangan buah yang lebih lama
IV. 2. Mutu Buah Pepaya IPB Karakter Fisik Buah Pepaya Bobot buah genotipe IPB 1, IPB 2A, IPB 3, IPB 3A, IPB 4, IPB 7, IPB 8, IPB 9 secara berurutan adalah: 500 g, 1282.5 g, 615 g, 1129.2 g, 513.3 g, 2475.8 g, 974.2.g dan 1355 g (Tabel 20). Fagundes dan Yamanishi (2001) mengemukakan bahwa rata-rata bobot buah pepaya kategori kecil yang dikenal dengan tipe Solo adalah 372.2-537.1 g dengan panjang dan diameter buah 12.4-14.5 cm dan (7.68.7) cm. Yon (1994) mengklasifikasikan ukuran buah pepaya berdasarkan bobot buah ke dalam tiga kategori ukuran, yaitu buah kategori kecil yang mempunyai bobot berkisar 300-700g, buah kategori sedang dengan bobot 800-1500 g, dan buah kategori besar 2000-4000 g. Berdasarkan klasifikasi tersebut maka buah genotipe IPB 1, IPB 3 dan IPB 4 termasuk buah kategori kecil dengan bobot buah 500-615 g, genotipe IPB 2A, IPB 3A, IPB 8, IPB 9 termasuk buah kategori sedang dengan bobot buah 974.2-1355.0 g, dan genotipe IPB 7 termasuk buah kategori besar dengan bobot 2475.8 g. Tingkat kematangan buah berdasarkan stadia warna kuning kulit buah 75% dan 100%, tidak menghasilkan perbedaan pada semua pengamatan karakter fisik buah dan karakter kimia buah, kecuali pada kekerasan kulit buah bagian tengah dan kadar pH daging buah. Panjang dan diameter buah hermafrodit genotipe IPB 1 adalah 13.37 dan 9.57 cm, tidak jauh berbeda dengan panjang dan diameter buah hasil penelitian sebelumnya pada genotipe yang sama yang dilakukan Suketi et al. (2010a) yaitu sekitar 14.8±1.5 dan 9.7± 1.1 cm. Pada buah pepaya kategori kecil, genotipe IPB 1 memiliki bobot buah, bobot kulit, bobot daging buah, bobot biji yang tidak berbeda dengan IPB 3 dan IPB 4. Genotipe IPB 3 memiliki panjang buah lebih besar dan diameter buah lebih kecil dari IPB 1 sehingga bentuk buah IPB 3 terlihat lebih lonjong. Genotipe IPB
96
4 memiliki bobot biji lebih kecil dari genotipe IPB 1 dan IPB 3, menunjukkan jumlah bijinya lebih sedikit. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan, genotipe IPB 4 mempunyai jumlah biji 364.5, lebih sedikit dari genotipe IPB 1 (636.7) dan IPB 3 (866.5), tetapi mempunyai bobot 100 biji yang lebih besar dari yang lainnya sehingga menandakan bahwa biji genotipe IPB 4 berukuran lebih besar dari biji IPB 1 dan IPB 3 (Tabel 20). Pada buah pepaya kategori sedang genotipe IPB 2A memiliki panjang buah, bobot buah dan bobot kulit buah tidak berbeda dengan genotipe IPB 3A, IPB 8, IPB 9. Genotipe IPB 2A dan IPB 3A memiliki bobot biji lebih besar dari IPB 8 dan IPB 9 serta diameter buah lebih besar dari IPB 8. Dari hasil penelitian didapat hubungan bahwa diameter buah kecil dan bobot biji kecil kemungkinan buah mempunyai rongga buah kecil. Genotipe IPB 9 relatif mempunyai diameter lebih kecil, bobot biji lebih kecil sehingga rongga buah lebih kecil dari genotipe lainnya. Hal ini diperjelas dengan pengamatan tebal daging buah, genotipe IPB 9 mempunyai tebal daging buah lebih besar dari genotipe lainnya (Tabel 20). Genotipe IPB 7 memiliki panjang buah, diameter buah, bobot buah, bobot kulit buah, bobot daging buah terbesar dari semua genotipe yang diamati tetapi mempunyai bobot biji tidak berbeda dengan IPB 2A dan IPB 3A. Hal ini terlihat juga dari jumlah bijinya yang tidak berbeda dengan jumlah biji genotipe lainnya, mencirikan bahwa walaupun panjang buah, diameter buah dan bobot buah berbeda-beda sesuai dengan kategori buahnya, tapi jumlah biji buah pepaya hampir sama untuk semua genotipe kecuali genotipe IPB 4 (Tabel 20). Persentase BDD pada semua genotipe baik pepaya kategori kecil, sedang maupun kategori besar yang diamati tidak berbeda nyata, berkisar antara 62-70%. Hasil penelitian Suketi et al. (2010a) persentase bagian yang dapat dimakan pada buah genotipe IPB 1 ialah sekitar 70-75 %. Peningkatan
stadia
warna
kuning
kulit
buah,
pada
umumnya
mempengaruhi kekerasan kulit. Genotipe IPB 4 memiliki kekerasan kulit dan daging buah pada bagian pangkal, tengah, ujung lebih kecil dari genotipe lainnya, mencirikan bahwa kulit buah IPB 4 lebih lunak dari kulit buah genotipe lainnya.
97
97
Tabel 20. Karakter fisik buah pepaya IPB.
Perlakuan
Warna: 75%: 100%: Uji F. Genotipe Kategori kecil IPB 1:
Panjang buah
Diameter buah
cm
Cm
22.31 22.48 tn
9.63 9.55 tn
13.37 e
9.57 bc
Bobot buah
Bobot kulit buah
Bobot daging buah
Bobot biji
g
g
g
g
1100.21 1111.04 tn
500.0 d
BDD %
Bobot 100 biji
Jumlah biji
(g)
Tebal minimal daging buah (cm)
Tebal maksimal daging buah (cm)
233.55 233.02 tn
762.18 730.86 tn
76.60 71.85 tn
65.05 67.90 tn
10.80 oo 10.56 oo tn
687.38 661.96 tn
1.56 1.78 tn
2.38 2.63 tn
103.15 c
335.10 e
57.02 cd
63.86
7.66 ep
636.70 a
1.08 d
1.98 e
e e
74.60 bc 35.43 d
69.82 68.72
7.99 ep 10.92 cp
866.50 a 364.50 b
1.25 cd 1.23 cd
2.45 cd 2.02 de
bc cd d b
89.95 95.12 75.73 51.68
70.12 64.65 70.43 62.03
12.69 bo 9.64 cd 13.52 ab 8.57 de
646.50 a 662.70 a 713.20 a 856.80 a
1.85 b 1.55 bc 1.68 b 2.23 a
2.67 bc 2.53 cd 2.23 cde 3.15 a
a
114.31 a **
62.18 tn
14.43 ao **
650.50 a *
2.48 a **
3.00 ab **
IPB 3: 17.50 d 8.23 d 615.0 d 124.74 c 363.80 IPB 4: 16.17 de 7.72 d 513.3 d 145.11 c 310.40 Kategori sedang IPB 2A: 24.75 bc 10.39 b 1282.5 bc 257.04 b 906.90 IPB 3A: 23.75 c 10.02 b 1129.2 bc 272.19 b 707.20 IPB 8: 27.67 b 8.69 cd 974.2 c 202.15 bc 648.80 IPB 9: 23.78 c 9.63 bc 1355.0 b 252.51 b 1008.10 Kategori besar 12.46 a 2475.8 a 509.39 a 1691.9 IPB 7: 32.17 a ** ** Uji F. ** ** ** Keterangan: Uji beda nilai tengah menggunakan uji jarak berganda duncan 5%.
ab ab bc cd
98
Genotipe IPB 2A, IPB 3A, IPB 8 dan IPB 9 memiliki kekerasan kulit buah pada bagian pangkal, tengah, ujung, serta kekerasan daging buah bagian pangkal tidak berbeda. Kekerasan daging buah bagian tengah IPB 9 lebih kecil dari IPB 8, mencirikan daging buah IPB 9 mempunyai firmness yang lebih baik dari genotipe lainnya (Tabel 21). Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992) proses pelunakan disebabkan terjadinya proses hidrolisis zat pektin menjadi komponen-komponen yang larut air, sehingga total zat pektin yang mempengaruhi kekerasan buah mengalami penurunan yang menyebabkan buah semakin lunak. Paull et al. (1999) menjelaskan bahwa proses pengembangan dan pematangan buah menyebabkan tekanan sel turgor selalu berubah. Perubahan turgor pada umumnya disebabkan komposisi dinding sel berubah. Perubahan tersebut akan berpengaruh terhadap firmness buah sehingga buah menjadi lunak apabila telah masak. Jeong et al. (2002) mengemukakan bahwa penurunan kekerasan buah mempunyai hubungan erat dengan enzim pektin yang kaitannya dengan produksi etilen. Kandungan PTT, ATT, vitamin C, dan karoten daging buah pada tingkat kematangan warna kuning kulit buah 75% tidak berbeda dengan pada tingkat warna kuning kulit buah 100% (Tabel 21). Hasil penelitian kandungan zat gizi daging buah pepaya koleksi Pusat Kajian Buah-buahan Tropika IPB ternyata menghasilkan kandungan zat gizi dan karakter kimia yang berbeda antar genotipe (Tabel 22 dan 23). Menurut Akamine dan Goo (1971) gula merupakan komponen utama PTT. Selama pemasakan buah, PTT meningkat karena terjadi pemecahan dan pembelahan polimer karbohidrat khususnya pati menjadi gula sehingga kandungan gula secara umum meningkat. Kandungan PTT daging buah bertambah dengan meluasnya warna kuning pada permukaan sampai tingkat 80%, setelah itu menurun dengan meluasnya warna kulit karena hidrolisis gula menjadi asam organik yang digunakan untuk proses respirasi. Kandungan PTT pepaya IPB yaitu antara 9.50-10.83 oBrix, lebih rendah dari hasil penelitian tahun 2006 yang dilakukan Suketi et al. (2007) dimana genotipe IPB 1 mempunyai kandungan PTT sebesar 10.45-12.45 °Brix.
99
99
Tabel 21. Kekerasan kulit, daging buah, dan karakter kimia buah pepaya IPB. Perlakuan Warna: 75%: 100%: Uji F. Genotipe: Kategori kecil IPB 1: IPB 3: IPB 4: Kategori sedang IPB 2A: IPB 3A: IPB 8: IPB 9: Kategori besar IPB 7: Uji F.
Kekerasan kulit buah Pangkal Tengah Ujung mm/150 g/5 detik 28.81 37.92 tn
Kekerasan daging buah Pangkal Tengah Ujung mm/150 g/5 detik
PTT (oBrix)
ATT (%)
pH
Ascorbic acid (mg/100g) 84.99 85.21 tn
Karoten (mg/100g)
36.35 b 56.80 a *
32.32 47.20 tn
58.82 86.76 tn
83.62 ooo 100.17 oo tn
74.72 ooo 100.44ppp tn
10.38 10.38 tn
0.11 0.10 tn
5.37 a 5.17 b *
26.05 b 28.72 b 68.06 a
41.28 b 44.61 b 103.33 a
29.67 b 32.22 b 89.89 a
66.33 117.89 aoo 97.67 94.78 abc 96.78 110.67 abo
111.89 abp 95.06 abc 128.11 app
10.33 10.67 10.83
0.14 ab 0.11 abc 0.14 a
5.14 bc 5.37 ab 5.06 c
84.77 abc 105.60 ab 107.36 a
16.65 c 26.10 ab 29.73 a
20.50 b 25.72 b 43.17 b 27.56 b
31.17 b 31.72 b 53.22 b 29.89 b
30.44 b 26.06 b 45.72 b 27.89 b
56.34 84.00 abc 51.22 72.72 bco 99.22 116.56 abo 58.67 58.50 coo
57.22 cpp 70.17 bcp 112.06 abp 61.72 cpp
10.17 11.17 9.50 10.33
0.09 c 0.11 abc 0.09 bc 0.09 c
5.28 abc 5.16 bc 5.27 abc 5.41 a
61.31 c 76.27 bc 79.79 abc 78.61 abc
24.03 abc 34.91 bc 23.45 bc 22.01 bc
27.11 b **
37.33 b **
36.17 b **
56.11 tn
64.45 cpp **
10.00 tn
0.09 c *
5.47 a **
87.12 abc *
23.30 bc *
80.06 abc *
24.42 25.63 tn
100
Tabel 22. Kandungan zat gizi daging buah pepaya IPB. Genotipe
air (%) 88.06 88.15 86.50 88.13 86.55 86.48 88.56 86.39 86.28
IPB 1 IPB 2A IPB 3 IPB 4 IPB 5 IPB 6C IPB 7 IPB 8 IPB 9
abu (%) 0.58 0.25 0.55 0.49 0.48 0.27 0.15 0.05 0.41
lemak (%) 1.150 0.005 0.180 1.400 0.055 0.010 0.020 0.480 1.380
Kadar protein fosfor (%) (%) 5.11 0.040 3.88 0.060 4.12 0.050 4.93 0.050 4.54 0.040 4.13 0.006 5.60 0.006 4.94 0.070 4.58 0.040
Kalium (%) 1.87 1.68 2.13 1.78 1.47 1.35 1.57 1.97 1.57
Kalsium (mg) 29 22 27 37 31 68 95 26 23
Fe (ppm) 293.00 279.48 156.00 280.00 187.00 282.00 382.00 114.37 215.00
Keterangan: Analisis dilakukan di Laboratorium Pengujian Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor. 2009.
Tabel 23. Kandungan kimia daging buah pepaya IPB. Genotipe
pH
PTT (°Brix)
ATT (%)
Ascorbic acid (mg)
0.176 IPB 1 5.43 14.00 105.72 0.174 IPB 2A 5.37 12.60 93.02 0.134 IPB 3 5.64 14.00 104.90 0.153 IPB 4 5.21 11.00 95.95 0.139 IPB 5 5.74 14.00 68.35 0.136 IPB 6C 5.42 11.00 100.96 0.039 IPB 7 5.45 8.60 39.38 0.136 IPB 8 5.54 11.00 92.58 0.135 IPB 9 5.42 11.00 79.98 0.146 IPB 10 5.71 10.00 103.21 Keterangan : Analisis dilakukan di Laboratorium Research Group on Crop Improvement (RGCI), Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 2009.
Penambahan tingkat kematangan buah yang ditunjukkan dengan warna kuning kulit buah yang semakin banyak, akan menurunkan kandungan ATT, karena kandungan asam yang tertitrasi semakin sedikit seiring dengan proses pemasakan buah. Kandungan ATT pada genotipe yang diamati berkisar antara 0.09-0.14%. Genotipe IPB.4 memiliki kandungan ATT sebesar 0.14 % yang tidak berbeda dengan IPB 1 dan lebih besar dari kandungan ATT genotipe IPB 2A, IPB 7, IPB 8 dan IPB 9. Suketi et al. (2007) mengemukakan bahwa kandungan ATT semakin meningkat pada umur simpan yang lama, nilai ATT daging buah pepaya genotipe IPB 1 berkisar 0.08-0.12 %. Lazan et al. (1989) dan Wills et al. (1998) mengemukakan bahwa kandungan asam tertitrasi meningkat selama pemasakan
101
sampai buah mencapai stadia warna kuning berkisar 75%, setelah itu mengalami penurunan selama pemasakan. Nilai derajat keasaman (pH) pada stadia warna kuning kulit buah 75% lebih besar dari stadia warna kulit 100%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai pH mengalami penurunan seiring dengan peningkatan warna kuning kulit buah. Genotipe IPB 7 dan IPB 9 memiliki nilai pH lebih besar dari IPB 1, IPB 3A dan IPB 4 (Tabel 21). Wills dan Widjanarko (1995) mengemukakan bahwa perubahan pH berhubungan dengan degradasi klorofil yang berpengaruh pada perubahan warna daging buah, semakin rendah nilai pH maka kandungan klorofil semakin berkurang. Kandungan vitamin C (ascorbic acid) dan karoten berbeda antar genotipe yang diamati. Genotipe IPB 4 memiliki kandungan vitamin C yang lebih besar dari IPB 3A dan IPB 2A. Genotipe IPB 4 memiliki kandungan karoten lebih besar dari IPB 3A, IPB 7, IPB 8 dan IPB 9 (Tabel 21). Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992) perbedaan kandungan vitamin C disebabkan oleh genotipe yang berbeda, faktor budidaya, kondisi iklim sebelum panen, cara pemanenan dan perbedaan umur petik. Kemudian Bron dan Jacomino (2006) pada hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa selama pemasakan kandungan vitamin C mengalami peningkatan. Hasil penelitian Wills dan Widjanarko (1995) pada buah pepaya Australia
menunjukkan
total
karoten
meningkat
seiring
meningkatnya
kematangan dan mencapai nilai maksimum pada 2-4 hari setelah buah matang penuh.
IV. 3. Mutu Buah Pepaya pada Umur Petik dan Waktu Simpan Berbeda Pertumbuhan Buah Pepaya Buah pepaya betina berkembang pesat pada pertumbuhan diameter, sedangkan buah hermafrodit berkembang pesat pada pertumbuhan panjang. Pertumbuhan panjang buah genotipe IPB 1 betina paling rendah, tetapi untuk pertumbuhan diameter cukup tinggi. Pola pertumbuhan ini menyebabkan buah hermafrodit mempunyai bentuk memanjang dan buah betina cenderung membulat. Pertumbuhan panjang dan diameter genotipe IPB 10A hermafrodit berhenti pada
102
sekitar minggu ke-22 setelah antesis. Umur petik genotipe IPB 10A paling lama dibandingkan umur petik genotipe lainnya. Pertumbuhan buah genotipe IPB 1 betina berlangsung sampai minggu ke-19, sehingga umur petiknya lebih cepat dari umur petik genotipe yang lainnya (Gambar 36). 25
Panjang dan Diameter (cm) Panjang (cm)
20
Panjang
15 Diameter 10 IPB 1 B IPB 10A H
5
IPB 10A x PB 174 H IPB 1 x IPB 10A H
0 1
3
5
7 9 11 13 15 17 19 21 Minggu Setelah Antesis
Gambar 36. Grafik pertumbuhan panjang dan diameter buah pepaya. Menurut Samson (1986); Nakasone (1986); Sankat dan Maharaj (1997); Nakasone dan Paull (1999) bentuk buah yang berasal dari bunga betina agak bulat, sedangkan buah yang berasal dari bunga hermafrodit bentuknya bulat panjang atau lonjong. Karakter Fisik Buah Pepaya Genotipe IPB 10A x PB 174 hermafrodit mempunyai ukuran buah yang lebih pendek dibandingkan dengan ukuran buah genotipe IPB 1 x IPB 10A dan IPB 10A. Volume buah terkecil dimiliki oleh genotipe IPB 1 betina. Buah IPB 1 x IPB 10A mempunyai volume yang paling besar dibandingkan genotipe lainnya (Tabel 24). Berdasarkan ukuran diameter buah, terlihat bahwa genotipe IPB 1 dan persilangannya mempunyai diameter yang besar baik pada buah betina maupun pada buah hermafrodit. Panjang buah pepaya genotipe IPB 1 betina adalah sekitar 13.88±2.23 cm dan diameternya 11.03±2.35 cm, ukurannya lebih besar dari hasil penelitian Fagundes dan Yamanishi (2001) pada buah pepaya bertipe kecil seperti
103
Sunrise Solo, yaitu panjang buah berkisar 12.4-14.5 cm dan diameter buah 7.6-8.7 cm. Bobot utuh, bobot kulit, dan bobot biji buah masing-masing genotipe disajikan pada Tabel 24. Bobot utuh yang semakin besar, akan diikuti dengan bobot kulit dan bobot biji yang juga akan semakin besar, tetapi untuk genotipe IPB 10A terlihat bahwa dengan bobot utuh yang tidak terlalu berbeda jauh dengan genotipe IPB 10A x PB 174, memiliki bobot biji yang cukup besar. Tabel 24. Karakter fisik buah pepaya. Genotipe
IPB 1 x IPB 10A (H)
23.08 + 2.67
IPB 10A x PB 174 (H) 22.24 + 3.37
10.01 + 1.56
10.66 + 1.81
11.72 + 1.96
861.15 + 432.55 1250.78 + 431.12
1280.44 + 542.14
1669.63 + 682.17
759.25 + 344.34 1134.70 + 357.97
1136.09 + 457.36
1487.39 + 573.34
147.87 + 61.10
195.52 + 88.67
58.05 + 29.92
106.65 + 49.77
IPB 1 (B)
IPB 10A (H)
Panjang + sd (cm)
13.88 + 2.23
Diameter + sd (cm)
11.03 + 2.35
Volume + sd (ml) Bobot Utuh + sd (g) Bobot Kulit + sd (g)
127.74 + 58.00
129.24 + 40.28
Bobot Biji + sd (g) 62.97 + 42.52 86.13 + 29.10 Keterangan : B = betina, H = hermafrodit, sd = standar deviasi.
22.78 + 3.32
Karakter Kimia Buah Pepaya Kandungan PTT dan ATT Buah Pepaya Pada buah pepaya genotipe IPB 1 umur petik dan waktu simpan tidak mempengaruhi kandungan PTT buah tetapi mempengaruhi nilai ATT. Kandungan PTT daging buah pepaya genotipe IPB 1 berkisar antara 10.45o-12.45oBrix dan ATT berkisar antara 0.07-0.12 %. Kandungan ATT terendah sebesar 0.07% dicapai pada umur petik 140 HSA dengan penyimpanan 2 hari dan tertinggi 0.12% pada umur petik 130 HSA dengan penyimpanan 4 dan 7 hari (Tabel 25). Menurut Arriola et al. (1980) selama pematangan buah pepaya pada suhu ruang, ATT akan meningkat kemudian ketika buah lewat masak akan mengalami penurunan. Winarno dan Wiratakusumah (1981) menyatakan bahwa apabila buahbuahan menjadi matang, maka kandungan gulanya meningkat, tetapi kandungan asamnya menurun. Akibatnya rasio gula dan asam akan mengalami perubahan yang drastis. Keadaan ini berlaku pada buah klimakterik, sedang pada buah nonklimakterik perubahan rasio gula dan asam pada umumnya tidak jelas.
104
Tabel 25. Karakter kimia (PTT dan ATT) buah pepaya pada umur petik dan waktu simpan berbeda. PTT (° Brix)
Perlakuan 1)
A
B
C
ATT (%) D
A 2)
0.11a
2)
B
C
0.08
0.08
0.08
0.08
0.07
UP1
12.10 9.10
10.22 10.28b
UP2
11.45 9.11
10.05 10.74ab
0.09b
0.09
UP3
11.28 8.88
9.94 11.47a
0.08b
0.08
2)
D
0.09
0.07
2)
0.09
0.07
10.04 10.83
0.09
0.07b
11.96 8.64b
10.14 10.64
0.10
0.08ab
0.08
0.07
11.47 9.62a
10.03 11.02
0.09
0.09a
0.08
0.08
0.07
0.10
0.07
WS1
11.41 8.84ab
WS2 WS3
2)
UP1WS1
12.45 9.73
9.53 10.30
0.10ab
UP1WS2
11.88 7.91
10.94 10.15
0.12a
0.07
0.08
0.07
UP1WS3
11.98 9.67
10.18 10.38
0.12a
0.10
0.08
0.11
UP2WS1
11.33 8.57
10.28 11.09
0.09ab
0.08
0.09
0.09
UP2WS2
11.66 8.98
9.88 10.28
0.09ab
0.08
0.08
0.07
UP2WS3
11.36 9.79
9.99 10.86
0.08ab
0.10
0.08
0.06
UP3WS1
10.45 8.21
10.3 11.09
0.07b
0.06
0.09
0.07
UP3WS2
12.33 9.03
9.62 11.48
0.09ab
0.09
0.10
0.08
UP3WS3
11.07 9.41
9.92 11.83
0.09ab
0.09
0.08
0.07
Keterangan: A = IPB 1, B = 10A, C = 10A x PB 174, D = IPB 1 x 10A 1) Perlakuan: UP = umur petik, WS = waktu simpan 2) Uji beda nilai tengah dilakukan dengan uji tukey taraf 5%.
Pada genotipe IPB 10A umur petik tidak mempengaruhi kandungan PTT dan ATT daging buah pepaya, tetapi waktu simpan mempengaruhi kandungan PTT dan ATT. Nilai ATT terendah terdapat pada waktu simpan 2 hari dengan nilai rata-rata sebesar 0.07%, dan tertinggi pada waktu simpan 9 hari dengan nilai rata-rata sebesar 0.09%. Kandungan PTT terendah sebesar 8.64oBrix terdapat pada waktu simpan 4 hari, dan tertinggi pada waktu simpan 9 hari sebesar 9.62oBrix. Kandungan PTT berkisar antara 7.91o-9.79oBrix (Tabel 25). Hasil penelitian Bron dan Jacomino (2006) menunjukkan bahwa pepaya `Golden` yang dipetik pada saat kulit buah berwarna kuning 25% menunjukkan kandungan PTT tinggi. Menurut Akamine dan Goo (1971) gula merupakan komponen utama PTT. Selama pematangan buah, PTT meningkat karena terjadi pemecahan dan pembelahan polimer karbohidrat khususnya pati menjadi gula sehingga kandungan gula secara umum meningkat. Pada tahap selanjutnya PTT menurun
105
karena mengalami hidrolisis gula menjadi asam organik dan digunakan untuk proses respirasi. Pada genotipe IPB 10A x PB 174, umur petik dan waktu simpan tidak mempengaruhi kandungan PTT dan ATT buah. Kandungan PTT berkisar antara 9.53o-10.94oBrix dan kandungan ATT berkisar antara 0.08-0.10% (Tabel 25). Pada genotipe IPB 1 x IPB 10A, umur petik hanya mempengaruhi kandungan PTT tetapi tidak mempengaruhi ATT buah. Buah yang dipetik pada umur lebih tua memiliki kandungan PTT paling tinggi diantara umur petik buah lainya. Waktu simpan juga tidak mempengaruhi kandungan PTT dan ATT buah.
Kandungan pH dan Vitamin C Umur petik dan waktu simpan tidak mempengaruhi nilai pH genotipe IPB 1, IPB 10A dan IPB 1 x IPB 10A; nilai pH berkisar antara 5.18-6.08 (Tabel 26). Tabel 26. Karakter kimia (pH dan vitamin C) buah pepaya pada umur petik dan waktu simpan berbeda. Perlakuan1)
pH A
B
Vitamin C (mg/100 g) C
D
A
C
D
126.47
107.99
126.59b2)
153.76a
117.55
123.93
146.78ab
5.52
127.47ab
139.30
123.40
177.38a
5.47
129.5
119.78
108.92
141.34
UP1
5.53
5.68
5.72
5.69
113.54b
UP2
5.78
5.91
5.76
5.60
UP3
5.83
6.04
5.62 2)
B 2)
WS1
5.67
6.01
5.81ab
WS2
5.86
6.03
5.42b
5.62
134.71
119.69
116.69
155.21
WS3
5.16
5.60
5.87a
5.73
130.56
143.85
129.71
154.2
UP1WS1
5.58
5.81ab2) 5.94
5.51
114.56ab2) 126.35
89.31
128.55
UP1WS2
5.83
5.95ab
5.43
5.67
85.36b
102.07
114.10
145.97
UP1WS3
5.18
5.30b
5.79
5.90
140.70ab
151.00
120.55
105.24
UP2WS1
5.55
5.76ab
5.69
5.42
155.44ab
105.09
110.62
132.65
UP2WS2
5.96
6.02ab
5.50
5.73
175.61a
121.90
125.48
148.51
UP2WS3
5.84
5.95ab
6.08
5.65
130.23ab
125.66
135.70
159.17
UP3WS1
5.87
6.45a
5.79
5.48
118.51ab
127.91
126.83
162.82
UP3WS2
5.79
6.11ab
5.34
5.45
143.16ab
135.10
110.49
171.13
UP3WS3
5.82
5.55ab
5.73
5.63
120.73ab
154.89
132.89
198.20
Keterangan: A = IPB 1, B = 10A, C = 10A x PB 174, D = IPB 1 x 10A 1) Perlakuan: UP = umur petik, WS = waktu simpan 2) Uji beda nilai tengah dilakukan dengan uji tukey taraf 5%.
106
Waktu simpan hanya mempengaruhi nilai pH IPB 10A x PB 174. Nilai pH terendah sebesar 5.42 terdapat pada waktu simpan 4 hari, dan nilai tertinggi sebesar 5.87 pada waktu simpan 6 hari. Wills et al. (1998) menyatakan bahwa perubahan pH berhubungan dengan degradasi kandungan klorofil yang berpengaruh pada perubahan warna buah, semakin tinggi nilai pH maka kandungan klorofil juga semakin berkurang. Pada buah genotipe IPB 1 dan IPB 1 x IPB 10A, umur petik mempengaruhi kandungan vitamin C tetapi waktu simpan tidak mempengaruhi kandungan vitamin C nya. Kandungan vitamin C buah genotipe IPB 1 yang dipetik 130 HSA (warna kuning kulit buah 25-49% ) sebesar 113.54 mg/100g berbeda dengan buah yang dipetik umur 135 HSA (warna kuning kulit buah 50-74%) sebesar 153.76 mg/100g. Kandungan vitamin C tertinggi terdapat pada buah yang dipetik umur 135 HSA dengan penyimpanan selama 4 hari sebesar 175.61 mg/100 g dan nilai terendahnya terdapat pada umur panen 130 HSA dengan penyimpanan selama 4 hari sebesar 85.36 mg/100 g. Kandungan vitamin C tertinggi genotipe IPB1 x IPB 10A terdapat pada umur petik 150 HSA sebesar 177.38 mg/100 g, dan terendah pada umur panen 140 HSA sebesar 126.59 mg/100 g. Kandungan vitamin C berkisar antara 105.24-198.20 mg/100 g (Tabel 26). Kandungan vitamin C tertinggi pada genotipe IPB 1 x IPB 10A dihasilkan dari buah yang dipetik pada perkiraan perubahan warna kuning kulit buah > 70% (150 HSA). Hasil yang didapat agak berbeda dengan penelitian Bron dan Jacomino (2006) yang menunjukkan kandungan vitamin C tinggi terdapat pada buah yang dipanen saat warna kuning kulit buah 16-25% dan 26-50% . Menurut Arriola et al. (1980) selama proses pematangan buah, kandungan vitamin C akan meningkat secara gradual dan mempunyai nilai maksimum saat matang penuh kemudian akan menurun lagi secara perlahan. Hal ini menunjukkan bahwa umur petik yang berbeda menghasilkan tingkat kematangan dengan kandungan vitamin C yang berbeda. Hasil penelitian yang sama ditunjukkan Wills dan Widjanarko (1995) ternyata kandungan vitamin C pada buah pepaya akan meningkat sampai akhirnya buah matang penuh. Menurut Bari et al. (2006) yang meneliti kandungan gizi buah pepaya pada saat kulit buah masih hijau lalu pada saat matang (mature), saat masak (ripe) dan saat lewat matang (over ripe);
107
ternyata pH, kandungan vitamin C pada stadia kematangan awal akan meningkat dan menurun lagi pada buah yang disimpan sampai mendekati busuk. Data pada Tabel 26 juga menunjukkan bahwa umur petik dan waktu simpan tidak mempengaruhi kandungan vitamin C genotipe IPB 10A dan IPB 10A x PB 174. Nilai kandungan vitamin C genotipe IPB 10A dan IPB 1 x IPB 10A berturut-turut berkisar antara 105.09-154.89 mg/100 g dan 89.31-135.70 mg/100 g. Secara umum perbedaan umur petik (warna kuning kulit buah 25-49%, 5074%, >75 %) hanya mempengaruhi kandungan PTT buah pepaya genotipe IPB 1 x IPB 10A serta kandungan vitamin C buah pepaya genotipe IPB 1 dan IPB 1 x IPB 10A. Waktu simpan yang berbeda mempengaruhi PTT dan ATT buah genotipe IPB 10A serta pH buah genotipe IPB 10A x PB 174. Daya Simpan Buah Pepaya Daya simpan buah yang paling lama terdapat pada pepaya genotipe IPB 10A, yaitu 8-9 hari (Tabel 27). Daya simpan yang paling cepat terdapat pada pepaya genotipe IPB 10 x PB 174 berkisar 5-6 hari, sedangkan untuk genotipe lainnya (IPB 1 dan IPB 1 x IPB 10 A) mempunyai daya simpan yang sama berkisar 6-7 hari. Tabel 27. Daya simpan buah pepaya hingga tidak layak konsumsi. Genotipe IPB 1 (B)
IPB 10A (H)
IPB 10A x PB 174 (H)
IPB 1 x IPB 10A (H)
Umur petik (HSA) 130 135 140 160 165 170 140 145 150 140 145 150
Daya simpan (Hari) + sd 7.83 + 1.47 6.33 + 1.86 6.50 + 2.59 9.50 + 2.07 8.50 + 1.64 8.83 + 2.93 6.67 + 1.21 5.17 + 1.72 6.33 + 2.58 7.50 + 2.17 7.50 + 1.38 6.00 + 0.89
Keterangan : sd = standar deviasi; B = betina; H = hermafrodit.
Daya simpan buah pepaya ini masih lebih lama dari hasil penelitian Bron dan Jacomino (2006) pada pepaya `Golden` yaitu 4 hari untuk buah yang dipanen
108
ketika 25% warna kuning kulit buah dan 3 hari untuk buah yang dipanen ketika 50% warna kuning kulit buah. Penelitian pada pepaya tipe kecil `Solo` yang dilakukan An dan Paull (1990) menunjukkan daya simpan buah yang lebih lama yaitu 10-12 hari. Uji Organoleptik Hasil uji organoleptik genotipe IPB 1 disajikan pada Tabel 27. Panelis kurang menyukai aroma dari genotipe IPB 1. Rasa buah dan warna daging buah akan lebih disukai oleh panelis pada umur petik dan waktu simpan yang semakin lama (UP3WS2). Secara keseluruhan baik aroma, rasa, warna daging buah, dan kelembekan genotipe IPB 1 cukup disukai oleh panelis. Panelis tidak menyukai aroma, rasa, warna daging buah, serta kelembekan genotipe IPB 10A. Pepaya genotipe IPB 10A mempunyai rasa yang sepet dan hambar, serta kandungan papain yang tinggi, sehingga kurang sesuai untuk buah segar. PKBT (2004) menyatakan bahwa genotipe IPB 10A banyak mengandung papain sehingga produksinya lebih diutamakan untuk pemanfaatan getah papainnya. Preferensi panelis menyukai rasa buah pepaya genotipe IPB 10A x PB 174 pada saat umur petik 145 HSA (UP2) dan waktu simpan selama 2 hari (WS1). Warna daging dan keempukan buah genotipe IPB 10A x PB 174 cukup disukai oleh para panelis (Tabel 28). Pada genotipe IPB 1 x IPB 10A panelis menyukai aroma dan rasa buah pada saat umur petik 145 HSA (UP2) dan waktu simpan 2 hari (WS1). Terlihat bahwa umur petik dan waktu simpan dari genotipe IPB 1 x IPB 10A sangat berpengaruh terhadap rasanya. Umur petik dan lama penyimpanan yang tepat akan mempengaruhi preferensi konsumen dalam memilih buah.
109
Tabel 28. Penerimaan panelis terhadap aroma, rasa, warna, dan kekerasan daging buah pepaya. Perlakuan
Genotipe IPB 1 UP1WS1 UP1WS2 UP2WS1 UP2WS2 UP3WS1 UP3WS2 Genotipe IPB10A UP1WS1 UP1WS2 UP2WS1 UP2WS2 UP3WS1 UP3WS2 IPB 10A x PB 174 UP1WS1 UP1WS2 UP2WS1 UP2WS2 UP3WS1 UP3WS2 IPB 1 x IPB 10A UP1WS1 UP1WS2 UP2WS1 UP2WS2 UP3WS1 UP3WS2
Keterangan : < 1. 50 1.51-2.50 2.51-3.50 > 3.51
Skor aroma
Skor rasa
Skor warna daging buah
Skor kekerasan daging buah
Skor ratarata
2.33 2.67 2.33 2.33 2.33 2.67
2.33 2.50 2.33 2.83 2.67 2.83
2.33 2.67 2.33 2.83 2.83 3.00
2.17 2.67 2.83 2.17 2.67 2.83
2.29 2.63 2.46 2.54 2.63 2.83
2.00 2.50 1.67 2.17 2.33 2.33
1.92 1.67 1.67 1.67 2.17 2.00
2.42 2.67 2.50 2.50 2.17 2.50
2.17 2.58 2.67 2.42 2.00 2.50
2.13 2.36 2.13 2.19 2.17 2.33
2.33 2.33 2.50 2.33 2.33 2.00
2.50 2.33 2.83 2.50 2.75 2.50
2.83 2.67 2.67 3.00 2.83 2.50
2.83 2.50 3.00 3.00 3.00 2.67
2.62 2.46 2.75 2.71 2.73 2.42
2.50 2.67 2.67 2.33 2.67 2.50
2.50 2.83 3.00 2.75 2.67 2.50
3.00 3.08 3.00 3.00 3.00 3.00
3.00 2.83 3.00 2.50 3.00 2.67
2.75 2.85 2.92 2.65 2.84 2.67
= sangat tidak suka = tidak suka = suka = sangat suka
Kesimpulan Buah betina memiliki nisbah Panjang/Diameter (P/D) antara 1.1-1.5 sehingga bentuk buahnya membulat. Buah hermafrodit cenderung berbentuk lonjong dengan nisbah P/D berkisar 1.5-2.3. Buah pepaya genotipe IPB 1 dapat dipanen pada tiga stadia kematangan buah yaitu pada 130 (stadia II), 135 (stadia III) dan 140 HAS (stadia IV). Genotipe IPB 10 A, PB 174 betina, IPB 1 x IPB 10A betina dan IPB 1 x PB 174 betina lebih baik dipanen pada stadia IV kematangan buah atau persentase warna kuning kulit buah 75%.
110
Tingkat kematangan buah berdasarkan stadia warna kuning kulit buah 75% dan 100% tidak menghasilkan perbedaan pada karakter mutu fisik dan kimia buah yang diamati, kecuali kekerasan kulit buah bagian tengah dan pH daging buah. Genotipe yang diamati pada umumnya memiliki mutu buah yang sama, tetapi pada karakter tertentu beberapa genotipe lebih baik dari genotipe lainnya. Genotipe IPB 4 mempunyai kulit buah paling lunak diantara genotipe yang diamati. Genotipe IPB 9 memiliki nilai kekerasan daging buah pada bagian tengah lebih baik dari IPB 1, IPB 4 dan IPB 8. Kandungan vitamin C (ascorbic acid) genotipe IPB 4 lebih besar dari IPB 2A, IPB 3A. Kandungan karoten pada genotipe IPB 4 lebih besar dari IPB 1, IPB 3A, IPB, 7, IPB 8 dan IPB 9. Kandungan padatan terlarut total (PTT) dan Asam terlarut total (ATT) meningkat dengan semakin tua umur petik dan semakin lamanya waktu simpan. Nilai pH daging buah genotipe IPB 1 berkisar antara 5.1-5.9, nilai padatan terlarut total (PTT) 10°-12° Brix. Buah genotipe IPB 10 A memiliki daya simpan 8-9 hari, sedangkan daya simpan buah genotipe lainnya rata-rata mencapai 6-7 hari. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa preferensi konsumen lebih menyukai daging buah pepaya genotipe IPB 1 x IPB 10A yang dipetik pada 145 HSA dan telah disimpan dua hari, daripada IPB 1 dan IPB 10A x PB 174.
V. PEMBAHASAN UMUM Pepaya berpotensi menjadi buah utama Indonesia karena sifatnya yang multi fungsi. Indonesia mempunyai banyak plasma nutfah pepaya yang menjadi kekuatan dan modal dasar untuk pengembangan pepaya. Pepaya yang dikembangkan dari hasil introduksi dan pemurnian kultivar lokal diantaranya menghasilkan tiga kategori buah pepaya yang digunakan dalam serangkaian penelitian ini, yaitu: genotipe IPB 1, IPB 3 dan IPB 4 yang dikategorikan sebagai pepaya kecil; IPB 5, IPB 9 dan IPB 10 yang dikategorikan sebagai pepaya sedang dan IPB 2, IPB 7 dan IPB 8 yang dikategorikan sebagai pepaya besar. Permasalahan dalam mutu buah pepaya ialah: keragaman bentuk buah, ukuran buah dan penentuan stadia kematangan buah terbaik untuk dipanen dan dikonsumsi. Mutu buah, bentuk buah dan ukuran buah menjadi faktor yang mempengaruhi nilai ekonomi buah pepaya. Permasalahan dalam bentuk buah pepaya terkait dengan sifat ekspresi seks tanaman. Ekspresi seks tanaman pepaya yang dicirikan dengan morfologi bunganya menentukan bentuk buah yaitu: bentuk lonjong yang dihasilkan dari bunga hermafrodit dan bentuk buah membulat yang dihasilkan dari bunga betina, sehingga morfologi bunga pepaya menentukan nilai ekonomi pepaya. Permasalahan lain dalam mutu pepaya yang terkait juga dengan bentuk buah ialah sifat penyerbukannya. Tanaman pepaya pada umumnya tergolong tanaman menyerbuk terbuka, namun ada beberapa kultivar yang menyerbuk sendiri. Selain bentuk buah yang membedakan nilai ekonomi pepaya, ukuran buah pepaya juga merupakan faktor yang ikut menentukan. Permasalahan pertama tentang pembungaan pepaya diteliti dengan mempelajari karakter komponen-komponen bunga, karakter penyerbukan, karakter masing-masing seks tanaman dan morfologi buah; dipelajari juga kemungkinan melakukan penyerbukan dengan serbuk sari dari berbagai kategori buah (kecil, sedang, besar) untuk memperoleh buah dengan ukuran, bentuk dan mutu konsumsi yang baik. Permasalahan kedua tentang karakter pematangan dan pasca panen buah dipelajari dengan studi stadia kematangan dan penyimpanan buah serta studi mutu buah pasca panen sehingga dapat diperoleh standar indikator panen buah pepaya.
112
Hasil penelitian menunjukkan tanaman betina menghasilkan bunga betina dan tanaman hermafrodit menghasilkan bunga hermafrodit, dan ekspresi seks tanaman pepaya baru diketahui setelah tanaman berbunga sehingga petani pepaya tidak dapat memilih jenis tanaman berdasarkan kelamin tanaman sesuai dengan yang diinginkan dan yang pada akhirnya dapat merugikan secara ekonomi. Hasil penelitian tentang morfologi bunga menunjukkan bunga hermafrodit dan bunga betina sudah dapat dibedakan dengan mengamati tunas bunga yang baru berumur 4–6 minggu sebelum antesis dan berukuran 3.0-5.0 mm di bawah mikroskop. Menurut Jindal dan Singh (1976) penentuan tipe seks tanaman pepaya sudah lama diteliti dengan mengukur kandungan total fenol yang dapat membedakan tanaman jantan dari tanaman betina pada stadia bibit, tetapi dengan uji chlorometric ini tidak dapat mendeteksi tanaman hermafrodit. Kemudian Magdalita dan Mercado (2003) mengemukakan bahwa penentuan tipe seks tanaman pepaya secara dini sudah diteliti juga dengan kromatografi yang mendeteksi transcinamic acid dan dengan pola pita isozim peroksidase yang dapat membedakan tanaman jantan dan betina pada stadia bibit, tetapi tanaman betina tidak dapat dibedakan dari tanaman hermafrodit. Hasil pengamatan dengan Scanning Electron Microscope (SEM) menunjukkan bahwa bunga hermafrodit genotipe IPB 1 memiliki lima atau lebih cuping atau lekukan tangkai putik yang tidak teratur, sedangkan cuping tangkai putik bunga betina selalu berjumlah lima dan teratur. Jumlah cuping tangkai putik terkait dengan jumlah lekukan rongga buah. Buah hermafrodit genotipe IPB 1 mempunyai lekukan rongga buah yang tidak teratur, dapat berjumlah lima atau lebih dari lima, tidak seperti buah betina IPB 1 yang selalu mempunyai lima lekukan rongga buah dengan bentuk yang teratur. Ketidak teraturan jumlah lekukan rongga buah pada pepaya genotipe IPB 1 menyebabkan mutu buah menurun karena buah yang dihasilkan bervariasi. Banyaknya lekukan rongga buah juga diikuti dengan jumlah biji yang banyak dan menyebabkan pengupasan daging buah menjadi lebih sulit dilakukan pada saat akan dikonsumsi. Banyaknya biji dapat menurunkan bobot buah dapat dimakan. Menurut Nakasone (1986) jumlah biji menentukan ukuran dan bobot buah pepaya. Hasil penelitian tentang mutu buah pepaya genotipe IPB 1 pada bab IV dari disertasi ini (Suketi et al.,
113
2010a; dan Suketi et al., 2010b). menunjukkan bahwa bobot biji menentukan bobot buah pepaya genotipe IPB 1 sebesar 7-12 %. Jumlah biji yang banyak ini dapat diperbaiki dengan mengendalikan penyerbukannya, misalnya dengan mengurangi jumlah serbuk sari yang menyerbuk sehingga dapat mengurangi jumlah biji yang terbentuk. Hasil penelitian tentang penyerbukan bunga pepaya kategori buah kecil pada bab III.3. dari disertasi ini menunjukkan bahwa pengurangan cuping stigma bunga hermafrodit yang disertai dengan penyungkupan pada pepaya genotipe IPB 3 menyebabkan pengurangan dalam bobot buah, tebal daging buah dan jumlah biji. Dengan mengurangi cuping stigma bunga hermafrodit ditambah penyungkupan berarti serbuk sari yang dapat mencapai ovari untuk melakukan pembuahan akan berkurang sehingga biji yang terbentuk lebih sedikit. Tetapi dilain pihak pengurangan cuping stigma pada bunga hermafrodit pepaya genotipe IPB 3 (kategori buah kecil) menurunkan mutu kimia buah. Menurut Weaver (1972) endosperma dan embrio pada biji akan menghasilkan auksin yang merangsang perkembangan daging buah. Monselise (1986) mengemukakan bahwa biji pada tanaman buah-buahan merupakan pengguna fotosintat yang kuat yang terkait dengan hormon auksin dan giberelin yang menentukan mutu daging buah. Menurut Wattimena (1990) auksin alamiah dalam tanaman adalah IAA yang terdapat pada biji yang sedang berkembang. Hasil penelitian Stephenson et al. (1988) pada Cucurbita pepo menunjukkan bahwa sink strength ditentukan oleh jumlah biji dalam buah. Menurut Marcelis (1996) sink strength pada buah menentukan pengaturan pembagian fotosintat. Hasil penelitian Marcelis (1997) pada buah paprika menunjukkan jumlah biji mempengaruhi kompetisi fotosintat sehingga dapat mengendalikan kecepatan pertumbuhan buahnya. Masa reseptif stigma merupakan stadia penting dalam pematangan bunga yang dapat mempengaruhi laju fertilisasi. Masa reseptif stigma biasanya dipengaruhi oleh stadia perkembangan bunga dan ada tidaknya eksudat pada permukaan stigma. Pengamatan keragaan papila stigma menunjukkan bahwa stigma bunga pepaya bersifat kering tidak mengeluarkan eksudat seperti stigma bunga lainnya. Tetapi pengamatan keragaan stigma bunga pada penelitian ini belum diamati lebih seksama, walaupun demikian menurut Rodriguez et al. (1990)
114
reseptivitas atau kesiapan stigma bunga pepaya baik betina maupun hermafrodit untuk menerima serbuk sari tidak dicirikan dengan keadaan tertentu pada permukaan stigmanya, sehingga diindikasikan bahwa penyerbukan pada bunga pepaya dapat terjadi sebelum bunga membuka atau pada saat bunga membuka dan pada saat setelah bunga membuka. Keadaan fisiologi bunga pepaya demikian memungkinkan peluang tinggi untuk bunga betina diserbuki oleh serbuk sari dari bunga hermafrodit atau dari bunga jantan yang ada di sekitar kebun sehingga dapat meningkatkan mutu buahnya. Hasil penelitian Suketi et al. (2010) menunjukkan bahwa serbuk sari bunga pepaya genotipe lain yang diserbukkan ke bunga pepaya betina genotipe IPB 3 dapat meningkatkan karakter fisik buah seperti: bobot buah, diameter buah, ketebalan daging buah, bobot biji dan jumlah bijinya. Menurut Fitch (2005) bentuk buah pada pohon betina biasanya tidak akan berubah akibat faktor umur, musim atau status unsur hara; karena perubahan bentuk buah dipengaruhi secara kuat oleh stamen yang tidak pernah terbentuk pada bunga betina. Pada bunga hermafrodit genotipe IPB 1, keadaan stigma yang kering memungkinkan terjadi penyerbukan sendiri sebelum bunga membuka dan penyerbukan terbuka (open polinated) dengan serbuk sari yang berasal dari bunga lainnya, baik yang berasal dari satu tanaman maupun dari bunga tanaman lain. Hasil penelitian Damasceno et al. (2009) memperlihatkan bahwa stigma bunga pepaya hermafrodit bersifat tidak mengeluarkan eksudat, masa reseptif stigma bunga pepaya hermafrodit terjadi sehari sebelum bunga membuka sampai 48 jam setelah antesis, sehingga selain dapat melakukan penyerbukan sendiri maka penyerbukan buatan dapat dilakukan setelah antesis. Pada tanaman mentimun yang diteliti oleh Le Deunff et al. (1993) masa reseptif stigma terjadi pada dua hari sebelum dan dua hari setelah antesis, tetapi pembentukan biji dan perkembangan buahnya lebih banyak ditentukan oleh reseptivitas ovul daripada reseptivitas stigma. Keterkaitan antara morfologi bunga dengan perilaku penyerbukan diduga dari letak benang sari terhadap stigma. Bunga yang mempunyai letak benang sari berdekatan dengan stigma diduga akan melakukan penyerbukan sendiri, sedangkan bunga yang mempunyai letak benang sari di bawah stigma diduga
115
melakukan penyerbukan terbuka. Hasil penelitian tentang morfologi bunga pada bab III.1. disertasi ini (Suketi et al., 2010c) menunjukkan bahwa morfologi bunga pepaya genotipe IPB 1 dan IPB 3 (kategori buah kecil) mempunyai letak benang sari yang berdekatan dengan permukaan stigma, sedangkan bunga pepaya genotipe IPB 2, IPB 9 (kategori buah besar dan sedang) mempunyai letak benang sari di bawah stigma. Menurut Rodriguez et al. (1990) tanaman pepaya tergolong tanaman menyerbuk terbuka (open pollinated crop), namun ada beberapa yang menyerbuk sendiri (self pollinated crop). Pepaya tipe Solo mempunyai stigma bunga hermafrodit dan bunga betina yang bersifat reseptif sebelum dan setelah bunga antesis sehingga memungkinkan terjadi penyerbukan sendiri. Tetapi karena ukuran stigma bunga dan anter besar sehingga sangat besar kemungkinan tanaman pepaya melakukan penyerbukan terbuka. Hasil penelitian Wang et al. (2004) pada zingiberaceae menunjukkan bahwa keberhasilan penyerbukan tidak ditentukan oleh ukuran dan morfologi bunga, tetapi lebih kepada rasio antara serbuk sari dan ovul sehingga rasio ini dapat dipakai untuk memperkirakan sistem reproduksi tanaman. Menurut Cruden (1977) rasio serbuk sari dan ovul yang rendah biasanya menunjukkan tipe penyerbukan kleistogami dimana kematangan serbuk sari terjadi bersamaan waktunya dengan reseptivitas stigma pada saat bunga belum membuka, memungkinkan terjadinya penyerbukan sendiri. Frankel dan Galun (1977) juga menyatakan bahwa pada tanaman yang mempunyai sifat kleistogami, waktu kematangan serbuk sari dan reseptivitas stigma terjadi pada saat yang bersamaan ketika bunga belum membuka. Hasil penelitian Damasceno et al. (2009) menunjukkan bahwa pepaya hermafrodit dapat melakukan kleistogami seperti pada varietas Formosa, Golden dan Tainung yang buahnya kecil (tipe Solo). Keberhasilan fertilisasi secara umum sangat tergantung dari keselarasan antara bunga betina atau pistil (stigma, stilus, ovari, ovul) dengan bunga jantan atau stamen (serbuk sari, filamen). Mekanisme yang terjadi setelah penyerbukan antara serbuk sari dengan stigma, lalu perkecambahan serbuk sari, sampai serbuk sari menembus stilus dan ovari melibatkan interaksi antara bagian-bagian bunga jantan dan betina didalam ovari (Weaver, 1972; Herrero et al., 1988). Daya berkecambah serbuk sari dan kecepatan pertumbuhan tabung sari dapat digunakan
116
untuk menduga keberhasilan proses pembuahan pada pepaya. Hasil dari penelitian tentang viabilitas dan pertumbuhan tabung sari pada bab III.2 disertasi ini (Suketi et al., 2011) adalah panjang tabung sari untuk pepaya kategori buah kecil (IPB 1, IPB 3, IPB 4) lebih panjang dari kategori buah lainnya yaitu sebesar 1 030.67± 19.14 µm, sementara jarak antara stigma dan bakal buah pendek (14.85±2.19 mm) sehingga diduga proses pembuahan akan terjadi lebih cepat dibandingkan pada kategori buah pepaya lainnya. Keadaan ini memungkinkan proses pembuahan terjadi lebih cepat pada pepaya kategori buah kecil sehingga memungkinkan buah dapat dipanen lebih awal. Hal ini memungkinkan untuk menguji melalui penelitian yang akan datang tentang percepatan panen buah pepaya dengan pengendalian penyerbukannya, yaitu menggunakan serbuk sari dari bunga kategori buah kecil yang diserbukkan ke bunga pepaya dari kategori buah besar yang biasanya mempunyai umur panen buah lama. Pertumbuhan dan perkembangan buah kategori kecil akan lebih cepat tercapai daripada buah kategori besar. Hasil penelitian Widodo et al. (2010) menunjukkan bahwa pepaya genotipe IPB 9 (kategori buah sedang dengan umur panen sekitar 140-150 HSA) jika diserbuki dengan serbuk sari genotipe IPB 1 dan IPB 3 (kategori buah kecil) ternyata dapat mempercepat pembuahan dan perkembangan buahnya sehingga dapat dipanen dua minggu lebih awal dari waktu panen buah pepaya IPB-9 hasil penyerbukan sendiri. Hasil penelitian Al-Khalifah (2006) pada buah kurma dan Ehlenfeldt (2003) pada blueberry, membuktikan bahwa sumber serbuk sari dapat mempengaruhi stadia kematangan buah sehingga buah dapat dipanen lebih awal. Usaha perbaikan tanaman pepaya melalui pemuliaan akan menghasilkan tanaman hermafrodit yang bersifat heterozygot.
Sifat ini akan menghasilkan
ketidak seragaman dalam bentuk buah. Buah yang dihasilkan dari bunga dan tanaman hermafrodit berbentuk lonjong dan buah dari bunga dan tanaman betina berbentuk membulat, yang akan mempengaruhi keseragaman buah yang menentukan mutu buah dan di beberapa lokasi sentra pepaya dapat mempengaruhi nilai ekonominya. Hasil penelitian Khan et al.(2002) menyatakan bahwa biji dari bunga hermafrodit menghasilkan perbandingan seks tanaman hermafrodit 2.34 dan tanaman betina 1.0. Berdasarkan pengamatan morfologi bentuk bakal buah hermafrodit dan betina pada bab III.1. disertasi ini, keberadaan biji pada dinding
117
buah hermafrodit merata dari mulai ujung buah sampai pangkal buah. Keadaan letak biji pada dinding buah demikian memungkinkan perkembangan buah maksimal sehingga menghasilkan buah lonjong. Pada buah betina letak biji terdistribusi pada bagian ujung buah yang berdekatan dengan bekas letak stigma pada bunga dimana terjadi penyerbukan. Keberadaan biji terdistribusi di bagian ujung buah menyebabkan pertumbuhan daging buah lebih banyak terkonsentrasi di ujung daripada di pangkal buah sehingga menyebabkan perkembangan bentuk buah tidak merata sampai ke pangkal. Menurut Weaver (1972) ukuran dan bentuk buah terkait dengan jumlah biji dan distribusi biji dalam dinding buah. Biji akan menghasilkan auksin yang merangsang perkembangan daging buah, sehingga bagian dinding buah yang tidak ada biji akan menghasilkan perkembangan daging buah yang lebih kecil daripada dinding buah yang mempunyai banyak biji. Studi dasar untuk memahami perilaku penyerbukan bunga dan pertumbuhan buah pepaya menuju mutu buah yang baik diamati dengan melakukan percobaan penyerbukan pada buah hermafrodit dan betina genotipe IPB 3 (kategori buah kecil) dan pada buah hermafrodit genotipe IPB 2 (kategori besar). Pengendalian penyerbukan dilakukan dengan melakukan modifikasi baik pada organ jantan (benang sari), organ betina (cuping stigma) maupun pada keduanya. Hasil penelitian ternyata menunjukkan bahwa pengurangan benang sari pada buah pepaya kategori buah kecil (IPB 3) tidak mengakibatkan perbedaan karakter fisik buah. Pengurangan jumlah benang sari pada pepaya kategori kecil yang disertai dengan penyungkupan menunjukkan pengurangan jumlah biji, bobot biji, panjang buah, diameter buah dan kandungan PTT daging buah. Pengurangan cuping stigma bunga hermafrodit yang disertai dengan penyungkupan pada pepaya kategori kecil menyebabkan pengurangan bobot buah, tebal buah dan jumlah biji. Perkembangan buah menurut Gillaspy et al. (1993) terdiri dari tiga fase yaitu: 1. perkembangan ovari, fertilisasi dan pembentukan buah, 2. pembelahan sel, pembentukan biji dan perkembangan awal embrio, 3. pembesaran sel dan pematangan embrio. Sedangkan menurut Reid (1985) perkembangan buah meliputi beberapa tahap antara lain: pertumbuhan buah, pematangan, matang fisiologis, pemasakan dan penuaan. Pertumbuhan melibatkan proses pembelahan sel dan diteruskan dengan pembesaran sel yang mempengaruhi ukuran maksimal.
118
Pada pepaya kategori besar pengurangan benang sari, cuping stigma dan penyungkupan menyebabkan penurunan pada karakter fisik buah seperti: panjang, diameter, bobot buah, kekerasan dan tebal daging buah, jumlah biji dan bobot biji; tetapi tidak mengurangi kandungan karakter mutu kimia buah. Pengurangan jumlah biji mempengaruhi bobot biji sehingga mengurangi ukuran buah. Karakter mutu kimia buah tidak berkurang, diduga banyak faktor yang mempengaruhi yang belum dapat dijelaskan dari hasil percobaan ini. Tetapi menurut Nakasone (1986) dan Metzger (1995) perkembangan biji melibatkan aktivitas biokimia termasuk pengaruh zat pengatur tumbuh endogen. Pengurangan cuping stigma bunga pepaya betina genotipe IPB 3 (kategori buah kecil) mengurangi jumlah biji dan bobot biji. Dengan mengurangi cuping stigma bunga betina maka permukaan bunga yang memerangkap serbuk sari akan berkurang sehingga kemungkinan penyerbukan berkurang yang akhirnya menyebabkan biji yang terbentuk akan berkurang. Menurut Weaver (1972) dan Herrero et al. (1988) pembentukan buah dimulai dengan proses penyerbukan yang meliputi jatuhnya butir-butir serbuk sari di atas permukaan stigma. Selanjutnya serbuk sari membentuk tabung sari dan masuk ke tangkai putik untuk mencapai bakal biji. Pembuahan terjadi saat serbuk sari membuahi sel telur di dalam bakal buah sehingga keberhasilan penyerbukan pada stigma menentukan pembentukan biji pada buah. Penghalangan
penyerbukan
dengan
menyungkup
bunga
betina
menghasilkan buah pepaya yang tidak memiliki biji. Penyungkupan bunga menyebabkan stigma tidak terserbuki sehingga tidak terjadi pembuahan dan biji tidak terbentuk. Menurut Nakasone (1986) penyungkupan bunga betina sebelum antesis pada pepaya tipe Hawaii menghasilkan buah tidak berbiji. Weaver (1972) dan Wattimena (1990) mengemukakan bahwa buah tanpa biji masih bisa berkembang dan bertahan karena adanya hormon auksin (IAA) dan sitokinin (2iP) yang mencegah rontoknya buah.
Fenomena perkembangan buah tanpa
didahului dengan proses fertilisasi, tanpa adanya biji dikenal dengan partenokarpi. Morfologi bunga betina menurut Samson (1980) dan Ronse Decreane dan Smets (1998) mempunyai lima cuping stigma yang menyerupai kipas tidak bertangkai, tidak memiliki benang sari dan mempunyai bakal buah besar berbentuk bulat telur.
119
Pada buah pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 tidak ada pengaruh genotipe sumber serbuk sari terhadap mutu fisik dan kimia buah seperti: panjang buah, diameter buah, bobot buah, persentase bobot dapat dimakan, kekerasan kulit dan daging buah, tebal daging buah, jumlah biji, bobot biji, kandungan padatan terlarut total, asam tertitrasi total dan vitamin C. Ukuran buah biasanya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan teknik budidayanya, tetapi Sedgley dan Griffin (1989) mengemukakan bahwa secara umum ukuran buah dan waktu pematangan buah dapat dipengaruhi oleh sumber serbuk sari yang menyerbuki bunga, yang dikenal dengan fenomena metaxenia. Para peneliti buah-buahan sudah lama berpendapat bahwa tingkat kematangan buah sangat dipengaruhi oleh tingkat kematangan biji, oleh karena itu efek metaxenia pada komponen buah buahan lainnya merupakan hal yang bisa dipelajari lebih lanjut. Penelitian mengenai studi mutu buah pepaya dilakukan pada stadia kematangan berbeda dan waktu simpan berbeda, menunjukkan bahwa waktu petik pepaya lebih baik berdasarkan persentase warna kuning pada kulit buah, bukan berdasarkan jumlah hari setelah antesis. Buah yang dipanen pada jumlah hari setelah antesis yang sama dapat menunjukkan keragaan persentase warna kuning kulit buah yang berbeda sehingga mempengaruhi stadia kematangan buahnya. Pengamatan mutu buah pepaya yang paling sesuai untuk tujuan konsumsi segar dilakukan pada stadia kematangan IV (dari enam stadia kematangan buah pepaya) atau pada saat persentase warna kuning pada kulit buah 75 %. Genotipe yang diamati pada umumnya memiliki mutu buah yang sama, tetapi pada karakter tertentu beberapa genotipe lebih baik dari genotipe lainnya. Genotipe IPB 4 mempunyai kekerasan kulit buah paling lunak. Genotipe IPB 9 memiliki nilai kekerasan daging buah lebih baik dari IPB 1, IPB 4 dan IPB 8. Pertumbuhan dan perkembangan buah sebagian besar selesai pada saat buah tersebut masih menempel pada pohonnya, sedangkan proses pematangan dan senescence akan berlanjut pada saat buah masih di pohon atau setelah dipetik dari pohonnya. Selama proses pematangan, terjadi perubahan-perubahan secara fisik dan kimia yang mempengaruhi kualitas buah. Perubahan terjadi pada kandungan padatan total terlarut (PTT), kandungan vitamin C, kelunakan buah, bobot buah, rasa buah serta perubahan warna kulit dan daging buah. Tekstur buah dipengaruhi
120
oleh kelembaban, kandungan serat dan lemak dalam buah. Senyawa pektin biasanya terdapat diantara dinding sel yang berfungsi sebagai perekat. Enzim pembentuk senyawa pektin pada lamela tengah yaitu pektin methyl esterase (PME) dan polygalakturonase (PG) meningkat aktivitasnya pada waktu buah mengalami pemasakan. Aktivitas enzim – enzim tersebut mengakibatkan pemecahan senyawa pektin menjadi senyawa-senyawa lain. Proses pemasakan dapat menambah jumlah senyawa pektin yang dapat larut dalam air dan mengurangi bagian yang tidak terlarut sehingga mengakibatkan sel mudah terpisah dan mengakibatkan buah menjadi lunak (Pantastico et al., 1986). Hasil penelitian keseluruhan dari mulai studi dasar morfologi bunga, perilaku penyerbukan bunga, perkembangan buah dan karakter pematangan buah pepaya yang menentukan mutu buah adalah bunga pepaya lebih baik dibiarkan melakukan penyerbukan alami supaya dapat menghasilkan buah bermutu optimum. Kelemahan mekanisme penyerbukan alami pada pepaya adalah sulit mengendalikan konsistensi genetiknya karena sifat pembiakan tanaman pepaya secara generatif akan menghasilkan segregasi terutama dalam ekspresi seks tanaman. Ekspresi seks tanaman menentukan bentuk buah pepaya sehingga mutu buah pepaya yang dihasilkan akan beragam. Oleh karena itu untuk menghasilkan buah pepaya bermutu optimum diperlukan perakitan kultivar pepaya yang menggabungkan antara hibridisasi konvensional dengan metode perbanyakan vegetatif melalui kultur jaringan. Hibrida yang dihasilkan dijaga stabilitasnya dengan teknik in vitro sehingga perbanyakan benih dalam skala luas dapat dipertahankan dengan menghasilkan benih vegetatif yang true to type. Chan dan Teo (1994); Panjaitan et al. (2007) dan Hidaka et al. (2008) menyatakan bahwa produksi benih vegetatif secara massal pada tanaman pepaya hermafrodit secara in vitro sudah dilakukan dengan berbagai metode.
VI . KESIMPULAN UMUM DAN SARAN Kesimpulan Umum Informasi tentang penyerbukan dan morfologi bunga terkait dengan ekspresi seks tanaman dapat digunakan untuk mengatur bentuk, ukuran dan mutu buah pepaya. Tanaman betina menghasilkan bunga betina dan tanaman hermafrodit menghasilkan bunga hermafrodit dan ekspresi seks bunga tanaman pepaya baru diketahui setelah tanaman berbunga. Karakter bunga betina dan hermafrodit pepaya genotipe IPB 1 mempunyai perbedaan dalam: bentuk bunga, keberadaan benang sari, jumlah lekukan pada tangkai kepala putik, perkembangan bunga menjadi bakal buah (4-5 hari pada bunga betina, dan 5-7 hari pada bunga hermafrodit). Buah pepaya betina memiliki nisbah Panjang/Diameter (P/D) antara 1.1-1.5 sehingga bentuk buahnya membulat. Buah pepaya hermafrodit cenderung berbentuk lonjong dengan nisbah P/D berkisar 1.5-2.3. Letak benang sari terhadap stigma bunga pepaya IPB 1, IPB 3 dan IPB 4 (kategori buah kecil) berdekatan, sedangkan pada genotipe pepaya IPB 2, IPB 7 dan IPB 8 (kategori buah besar) letak benang sari di bawah stigma. Tabung sari dalam empat jam perkecambahan untuk pepaya kategori buah kecil (IPB 1, IPB 3 dan IPB 4) tumbuh paling panjang, sementara jarak antara stigma dengan bakal buah pendek. Pola pertumbuhan panjang dan diameter buah pepaya genotipe IPB 1 (kategori buah kecil) dan IPB 2 (kategori buah besar) adalah kurva sigmoid tunggal. Penyerbukan bunga pepaya secara alami menghasilkan mutu buah yang baik. Pengendalian penyerbukan dengan pengurangan benang sari, pengurangan cuping stigma pada bunga pepaya hermafrodit genotipe IPB 3 (kategori buah kecil) menurunkan mutu kimia buah tetapi tidak mempengaruhi mutu fisik buah. Pengurangan
cuping
stigma
bunga
hermafrodit
yang
disertai
dengan
penyungkupan pada pepaya genotipe IPB 3 menyebabkan pengurangan dalam bobot buah, tebal daging buah dan jumlah biji. Pengurangan benang sari, pengurangan cuping stigma dan penyungkupan pada bunga pepaya hermafrodit genotipe IPB 2 (kategori buah besar) menurunkan mutu fisik buah tetapi tidak
122
mengurangi mutu kimia buah. Pengurangan cuping stigma bunga betina genotipe IPB 3 mengurangi jumlah biji dan bobot biji. Penghalangan penyerbukan dengan menyungkup bunga betina menghasilkan buah pepaya betina yang tidak berbiji. Mutu fisik dan kimia buah pepaya hermafrodit IPB 3 tidak dipengaruhi genotipe sumber serbuk sari. Mutu buah pepaya yang paling sesuai untuk tujuan konsumsi segar adalah pada stadia kematangan IV (persentase warna kuning pada kulit buah 75 %). Waktu petik buah pepaya berdasarkan persentase warna kuning pada kulit buah menghasilkan mutu buah lebih baik daripada berdasarkan jumlah hari setelah antesis. Pepaya genotipe IPB 1, IPB 2A, IPB 3, IPB 3A, IPB 4, IPB 7, IPB 8, dan IPB 9 pada umumnya memiliki mutu buah yang sama, tetapi pada karakter tertentu beberapa genotipe lebih baik dari genotipe lainnya. Kandungan padatan terlarut total (PTT) dan Asam tertitrasi total (ATT) daging buah pepaya meningkat dengan semakin tua umur petik dan semakin lamanya waktu simpan. Daya simpan buah pepaya yang paling lama terdapat pada genotipe IPB 10A yaitu 8-9 hari, sedangkan untuk genotipe lainnya mempunyai daya simpan yang sama yaitu 6-7 hari.
Saran 1. Hasil penelitian morfologi bunga, pola penyerbukan dan perkembangan buah dapat digunakan sebagai dasar penyusunan strategi pemuliaan pepaya. 2. Penanaman pepaya untuk tujuan produksi dapat dilakukan dengan berbagai genotipe pada kebun berdekatan. 3. Penentuan kriteria panen buah pepaya sebaiknya berdasarkan stadia warna pada kulit buah.
DAFTAR PUSTAKA Abeywickrama K, Wijerathna C, Rajapaksha N, Kannangara S, Sarananda K. 2008. Integrated disease control strategies for storage life lengthening of papaya Red lady and Rathna varieties. Paper 4 th. International Symposium on Tropical and Subtropical Fruits. Bogor 3-7 November 2008. Acquaah G. 2002. Horticulture Principles and Practices. 2nd. New Jersey: Practice Hall. 786p. Aizen MA, Searcy KB. 1998. Selective fruit filling in relation to pollen load size in Alstroemeria aurea (Alstroemeriaceae). Sexual Plant Reproduction 11(3):166-170. Akamine EK, Goo T. 1971. Relationship between surface color development and total soluble solids in papaya. HortScience 14:138-139. Al-Khalifah NS. 2006. Metaxenia: influence of pollen on the maternal tissue of fruits of two cultivars of date palm (Phoenix dactylifera L). Bangladesh J. Bot. 35(2):151-161. Allan P. 1963. Pollen studies in Carica papaya: Germination and storage of pollen. South African J. Agric. Sci. 6:613-624. An JF, Paull RE. 1990. Storage temperature and ethylene influence on ripening of papaya fruit. HortScience 115:949-953. Ansari M, Davarynejad GH. 2008. Marked improvement of Hungarian sour cherries by cross-pollination II: fruit quality. Asian J. Plant Sciences 7(8):771-774. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1988. Analisis Pangan. Petunjuk Laboratorium. PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor Press. Bogor. 233 hal. Arkle TD Jr., Nakasone HY. 1984. Floral differentiation in the hermaphroditic papaya. HortScience 19(6):832-834. Arriola MC, Calzada JF, Menchu JF, Rolz C, Garcia R. 1980. Papaya. p.316-329. In Nagy S, Shaw PE (eds.). Tropical and Subtropical Fruits Composition. Properties and Uses. AVI Publ. Westport Connecticut. Ashari S. 2002. On The Agronomy and Botany of Salak (Salacca zalacca). PhD Thesis. Wageningen University. 126p. Badan Standardisasi Nasional. 2007. Rancangan Standar Nasional Indonesia. Pepaya (Carica papaya L.). Badan Standardisasi Nasional.
124
Bari L, Hasan P, Absar N, Haque ME, Khuda MIIE, Pervin MM, Khatun S, Hossain MI. 2006. Nutritional analysis of local varieties of papaya (Carica papaya L.) at different maturation stages. Pakistan J. Biol. Sci. 9:137-140. Birth GS, Dull GG, Magee JB, Chan HT, Cavaletto CG. 1984. An optical method for estimating papaya maturity. J.Amer.Soc.Hort.Sci. 109(1):62-66. Bolat I, Pirlak L. 1999. An investigation on pollen viability, germination and tube growth in some stone fruits. Turk. J. Agric. Forest. 99(23): 383-388. Bron IU, Jacomino AP. 2006. Ripening and quality of ’Golden’ papaya fruit harvested at different maturity stages. Brazil J. Plant Physiol. 18(3): 389396. Broto W, Suyanti, Sjaifullah. 1991. Karakterisasi varietas untuk standardisasi mutu buah pepaya (Carica papaya L.). J. Hort. 1(2):41-44. Budiyanti T, Purnomo S, Karsinah, Wahyudi A. 2005. Karakterisasi 88 aksesi pepaya koleksi Balai Penelitian Tanaman Buah. Bul. Plasma Nutfah 11(1):1-9. Burke JJ, Velten J, Oliver MJ. 2004. In vitro analysis of cotton pollen germination. Agron. J. 96:359-368. Büyükkartal HN. 2003. In vitro pollen germination and pollen tube characteristics in tetraploid red clover (Trifolium pratense L.). Turk. J. Bot. 27:57-61. Chan HT Jr. 1979. Sugar composition of papayas during fruit development. HortScience 14 (2): 140-141. Chan LK, Teo CKH. 1994. Culture of papaya explant in solid liquid media sequence as a rapid method for producing multiple shoots. Pertanika J. Trop. Agric. Sci. 17(2): 103-106. Chan YK, Napakoonwong U, Broto W, Huat KS, Espino RRC. 1994. Commercial Papaya Cultivars in ASEAN. p.5-17. In Yon RMd. (ed.). Papaya Fruit Development, Postharvest Physiology, Handling and Marketing in ASEAN. ASEAN Food Handling Bureau. Kuala Lumpur. Malaysia. Chan YK. 1994a. Seed production. p.32-34. In Yon RMd. (ed.). Papaya Fruit Development, Postharvest Physiology, Handling and Marketing in ASEAN. ASEAN Food Handling Bureau. Kuala Lumpur. Malaysia. Chan YK. 1994b. Taksonomi pepaya. hal. 2-4. In Chan YK, Raveendranathan P, Raziah ML, Choo ST (eds.). Penanaman Betik. MARDI. Malaysia, Kualalumpur. Malaysia.
125
Chan YK. 1995. Development of F1 Hybrids for Papaya (Carica papaya L.) Seed Production and Performance of F1 Hybrids. Dissertation. University of Malaya. Malaysia. 208 p. Chan YK. 2007. Stepwise priorities in papaya breeding. Acta Horticulturae 740. Int’l Symposium on Papaya. (Abstr.). Chay-Prove P, Ross P, O’Hare P, Macleod N, Kernot I, Evans D, Grice K, Vawdrey L, Richards N, Blair A, Astridge D. 2000. Papaw Information Kit. Agrilink Series. Your Growing guide to Better Farming. Queensland Horticulture Institute and Department of Primary Industries. Queensland. Nambour, Qld. Cheung AY. 1996. Pollen pistil interactions during pollen tube growth. Trends in Plant Science 1(2):45-51. Cohen E, Lavi U, Spiegel-Roy P. 1989. Papaya pollen viability and storage. Scientia Horticulturae 40:317-324. Crane JC, Iwakiri BT. 1980. Xenia and metaxenia in pistachio. HortScience 15(2):184-185. Crane MB, Brown AG. 1942. The causal sequence of fruit development. J. Genetic 44(2-3):160-168. Cruden RW. 1977. Pollen-ovule ratios: a conservative indicator of breeding systems in flowering plants. Evolution 31:32-46. Damasceno PC Jr., Pereira TNS, Pereira MG, Filho da Silva F, Souza MM, Nicoli RG. 2009. Preferential reproduction mode of hermaphrodite papaya plant (Carica papaya L; Caricaceae). Rev. Bras. Frutic. 31(1):1-7. Department of Health and Ageing. 2008. The Biology of Carica papaya L. (Papaya, Papaw, Paw paw). Office of the Gene Technology Regulator Australian Government. Australia. 55p. Department of Primary Industries. Queensland. p.54-63. http://www.ogtr.gov.au. [17 Desember 2008]. Desai UT, Wagh AN. 1995. Papaya. p.297-313. In Salunkhe DK, Kadum SS (eds.). Handbook of Fruit Science and Technology. Production, Composition, Storage and Processing. Marcel Dekker, Inc.,New York. Direktorat Mutu dan Standardisasi. Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2009. Asean Standard Fruits. Asean Ministers on Agriculture and Forestry (AMAF). Asean Economic Community. Edmond JB, Senn TL, Andrews FS, Halfacre RG. 1997. Fundamentals of Horticulture 4th. New Delhi: TATA Mc Grow-Hill Book Publ. Co. LTD. 560 p.
126
Ehlenfeldt MK. 2003. Investigations of metaxenia in Northern highbush blueberry (Vaccinium corymbosum L.) cultivars. J. Amer. Pomological Soc. 57(1). (Abstr.) Emmanuel D, N’DaAdopo A, Camara B, Emmanuel M. 2009. Influence of maturity stage of mango at harvest on its ripening quality. Fruits 64: 13-18. Erdtman G. 1972. Pollen Morphology and Plant Taxonomy-Angiosperms (An Introduction to Polynology. I). Hafner Publ. Co. New York. 553 p. Fabi JP, Cordenunsi BR, Barreto GP, Mercadante AZ, Lajolo FM, Nascimento Oliveira DO. 2007. Papaya fruit ripening: response to ethylene and 1methylcyclopropene (1-MCP). J. Agric. Food Chemistry 55(15):6118-6123. Fagundes GR, Yamanishi OK. 2001. Physical and chemical characteristics of fruits of papaya tree from Solo group commercialized in 4 establishments in Brasilia-DF. Rev. Bras. Frutic. 23(3):541-545. FAO. 2010. Statistik Database. http://faostat.fao.org. [20 Oktober 2010]. Fitch MMM. 2005. Carica papaya. Papaya. p.174-207 In Litz RE. Biotechnology of Fruit and Nut Crops. Biotechnology in Agriculture. No. 29. Cambridge, MA, USA. Frankel R, Galun E. 1977. Pollination Mechanism, Reproduction and Plant Breeding. Springer Verlag. New York. Galleta GJ. 1983. Pollen and seed management. p.23-35. In Moore JN, Janick J (eds.) Methods in Fruit Breeding. Purdue Univ. Press. West Lafayette Ind. George ST, Pillai KR, Lim KH, Tham S, Mohamed ZA. 1992. Recent development in assisted cross pollination to enhance yield of Durian clone D24. p.63-70 In Osman M, Mohamed ZA, Osman MS (eds). Proceeding Recent Development in Durian Cultivation. MARDI. Malaysia. Gillaspy G, Ben-David H, Gruissem W. 1993. Fruits: A developmental prespective. The Plant Cell 5:1439-1451. Harder LD, Thomson JD, Cruzan MB, Unnasch RS. 1985. Sexual reproduction and variation in floral morphology in an ephemeral vernal lily, Erythronium americanum. Oecologia 67(2):286-291. Hassan HSA, Mostofa EAM, Enas, Ali AM. 2007. Effect of self, open and cross pollination on fruit characteristic of some plum cultivars. J. Agric. Environ. Sci. 2(2):118-112. Helyes L, Pék Z, Lugasi A. 2006. Tomato fruit quality and content depend on stage of maturity. HortScience 41(6):1400-1401.
127
Herrero M, Arbeloa A, Gascon M. 1988. Pollen-pistil interaction in the ovary in fruit trees. p.297-302. In Cresti M, Gori P, Pacini E (eds.). Sexual Reproduction in Higher Plants. Proccedings of the Tenth Intl. Symposium on Sexual Reproduction in Higher Plants. 30 May-4 June 1988. Siena, Italy. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia (III). Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Hidaka T, Sado K, Masahiko Y, Hiroshi F. 2008. Mass production of papaya (Carica papaya L.) saplings using shoot tip culture for commercial use. South Pasific Studies 28(2): 87-95. Honsho C, Yonemori K, Somsri S, Subhadrabandhu S, Sugiura A. 2004. Marked improvement of fruitset in Thai durian by artificial cross pollination. Sci. Hort. 101:399-406. Janse J, Verhaegh JJ. 2004. Effect of varying pollen load on fruitset, seedset and seedling performance in apple and pear. Sexual Plant Reproduction J. 6(2):122-126. Jeong J, Huber DJ, Sargent SA. 2002. Influence of 1-methylcyclopropene (1-MCP) on ripening and cell-wall matrix polysaccharides of avocado (Persea americana) fruit. Postharv. Biol. Tech. 25:241-256. Jindal KK, Singh RN. 1976. Sex determination in vegetative seedlings of Carica papaya by phenolic test. Scientia Horticulturae 4: 33-39. Joyce D. 2001. The quality cycle. p.1-10. In Dris R, Niskanen R, Jain SM (eds.). Crop Management and Postharvest Handling of Horticulture Products. Science Publishers, Inc. New Hampshire, USA. Kader AA. 1985. Quality Factor: Definition and evaluation for fresh horticultural crops. p.118-121. In Kader AA, Kasmire RF, Mitchell FG, Reid MS, Sommer NF, Thompson JF (eds.). Postharvest Technology of Horticulture Crops. Agriculture and Natural Resources Publication, University of California. USA. Kadzere I, Watkins CB, Merwin IA, Akinnifesi FK, Saka JDK, Mhango J. 2006. Fruit variability and relationships between color at harvest and quality during storage of Uapaca kirkiana (Muell Arg.) fruit from natural woodlands. HortScience 41(2):352-356. Kalie MB. 2001. Bertanam Pepaya. Jakarta: Penebar Swadaya. 120 hal. Kamalkumar R, Amutha R, Muthulaksmi S, Mareeswari P, Rani WB. 2007. Screening of dioecious papaya hybrids for papain yield and enzyme activity. Res. J. Agric. Biol. Sci. 3(5):447-449.
128
Kays SJ. 1991. Postharvest Physiology of Perishable Plant Products. Van Nostrand Reinhold. New York. 532 p. Kelly JK, Rasch A, Kalisz S. 2002. A method to estimate pollen viability from pollen size variation. American J. Botany 89(6):1021-1023. Khan S, AP Tyagi and A Jokhan. 2002. Sex ratio in hawaiian papaya (Carica papaya L.) variety ‘solo’. S. Pac. J. Nat. Sci. 20: 22 – 24. Krishna KL, Paridhavi M, Patel JA. 2008. Review on nutritional, medicinal and pharmacological properties of papaya (Carica papaya L.). Nat.Prod. Radiance 7(4):364-373. Kumar R, Sharma RL, Kumar K. 2003. Results of experiments on metaxenia in apple. ISHS Acta Horticulturae 696: VII International Symposium on Temperate Zone Fruits in the Tropics and Subtropics-Part Two (Abstr.). Kumcha U, Chaikiattiyos S, Prasatsri V. 2009. Varietal improvement of papaya (Carica papaya L.) for fresh consumption. ISHS Acta Horticulturae 787 (Abstr.). Lalel HJD, Singh Z, Tan SC. 2003. Maturity stage after harvest affects fruit ripening quality and biosynthesis of aroma volatile compound in Kensington Pride Mango. J. Hort. Sci. Biotechnol. 78:225-233. Lazan H, Ali ZM, Liang KM, Yee KL. 1989. Polygalacturonase activity and variation in ripening of papaya fruit with tissue depth and heat treatment. Physiol. Plant 77:93-98. Le Deunff E, Sauton A, Dumas C. 1993. Effect of ovular receptivity on seed set and fruit development in cucumber (Cucumis sativus L.). Sexual plant reproduction 6(2):139-146. Magdalita PM, Drew RA, Godwin LD, Adkins SW. 1998. An efficient interspecific hybridisation protocol for Carica papaya L. x C. cauliflora Jacq. Aust. J. Exp. Agric. 38:523-530. Magdalita PM, Valencia LD, Mercado CP, Duka IMA. 2007. Recent developments in papaya breeding in the Philippines. Acta Horticulturae 740. Int’l Symposium on papaya. (Abstr.) Malik CP. 1979. Current Advantages in Plant Reproductive Biology. New Delhi: Kalyani Publ. 351p. Manenoi A, Bayogan ERV, Thumdee S, Paull RE. 2006. Utility of 1-ethylcyclo propane as a papaya postharvest treatment. Postharvest Biology and Technology. 44(1):55-62.
129
Marcelis LFM. 1996. Sink strength as a determinant of dry matter partitioning in the whole plant. J. Exp. Bot. 47: 1281-1291. Marcelis LFM. 1997. Effect of seed number on competition and dominance among fruits in Capsicum annum L. Annals of Botany 79: 687-693. Matto AK, Murata T, Pantastico ErB, Chan Chin K, Phan CT. 1993. Perubahanperubahan kimiawi selama pematangan dan penuaan, hal.160-197. Dalam Pantastico ErB (ed.). Fisiologi Pasca Panen dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. (Terjemahan dari: Postharvest Physiology, Handling and Utilization of Tropical and Sub-Tropical Fruits and Vegetables. Diterjemahkan oleh: Kamariyani, Tjitrosoepomo G). Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 223 hal. Metzger JD. 1995. Hormones and reproductive development. p.617-748. In Davies PJ (ed.). Plant Hormones: Physiology, Biochemistry, and Molecular Biology. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht, London. Mizrahi Y, Mouyal J, Nerd A, Sitrit Y. 2004. Metaxenia in the vine cacti Hylocereus polyrhizus and Selenicereus spp. Annals Bot. 93(4): 469-472. Monselise SP. 1986. Closing remarks. In Monselise SP (ed.) CRC Handbook of Fruit Set and Development. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. Muchtadi TR, Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universtas Pangan dan Gizi. IPB. 412 hal. Muda P, Angeles DE, Raveendranathan P, Kosittrakan M. 1994. Fruit growth and development. p.35-47. In Yon RMd (ed.). Papaya: Fruit Development, Postharvest Physiology, Handling and Marketing in ASEAN. ASEAN Food Handling Bureau. Kuala Lumpur. Malaysia. Muhtaseb J, Ghnaim H. 2006. Effect of pollen source on productivity, maturity and fruit quality of ‘Hayyani’ date palm. J. Applied Horticulture 8(2): 170172. Nakasone HY. 1986. Papaya. Basic flower types in Carica papaya L. p.277-301. In Monselise SP (ed.). Handbook of Fruit Set and Development. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida Nakasone HY, Paull RE. 1999. Papaya. p.239-269. In Atherton J, Rees A (eds.). Tropical Fruits. Centre for Agriculture and Bioscience International Publ. London. 445 p. Pahlavani MH, Abolhasani K. 2006. Xenia effect on seed and embryo size in cotton (Gossypium hirsutum L.). J. Appl. Genet. 47(4): 331-335.
130
Pal DK, Iyes CPA, Divakar NG, Selvaraj Y, Subramanyam MD. 1980. Studies on the physico chemical composition of fruits of twelve papaya varieties. J. Food. Sci. Technol. 17(6):254-256. Pandey BP. 1997. Taxonomy of Angiosperms. S.Chand and Company Ltd. Ram Nagar. New Delhi. Panjaitan SB, Aziz MA, Rashid AA, Saleh NM. 2007. In vitro planlet regeneration from shoot tip of fieldgrown hermaphrodite papaya (Carica papaya L. cv. Eksotika). Int. J. Agric. Biol. 9(6): 827-832. Pantastico ErB, Subramanyam H, Bhatti MB, Ali N, Akamine EK. 1986. Petunjuk-petunjuk untuk pemanenan hasil, hal.91-19. In Pantastico ErB (ed.). Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. (Terjemahan dari: Postharvest Physiology, Handling and Utilization of Tropical and Subtropical Fruits and Vegetables. Diterjemahkan oleh: Kamariyani, Tjitrosoepomo G). Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Paterson AH, Felker P, Hubbell SP, Ming R. 2007. The fruits of tropical plant genomics. Tropical Plant Biol. Paull RE, Chen NJ. 1983. Postharvest variation in cell wall degrading enzymes of papaya (Carica papaya L.) during ripening. Plant Physiol. 72:382 -385. Paull RE. 1993. Pineaple and papaya. p.291-323. In Seymour G, Taylor L, Tucker G (eds.). Biochemistry of Fruit Ripening. Chapman and Hall. London. Paull RE, Gross K, Qiu Y. 1999. Changes in papaya cell walls during fruit ripening. Postharv. Biol. Tech. 16:78-89. Persley DM, Ploetz RC. 2003. Diseases of papaya. p.373-406. In Ploetz RC (ed.). Diseases of Tropical Fruit Crops. CABI Publ. Cambridge, USA. Perveen AS, AliKhan, Abid R. 2007. Maintenance of pollen germination capacity of Carica papaya L. (Caricaceae). Pakistan J. Bot. 39(5):14031406. PKBT. 2004. Laporan Utama Riset Unggulan Strategis Nasional: Pengembangan Buah-Buahan Unggulan Indonesia. Pepaya. Pusat Kajian Buah-buahan Tropika - IPB. Bogor. Popenoe W. 1974. Manual of Tropical and Subtropical Fruits. London: Hafner Press. 474 p. Purnomo S. 1999. Renstra pemuliaan pengelolaan plasma nutfah dan perbenihan tanaman buah 1999-2007. Balai Penelitian Tanaman Buah. Solok. Sumatra Barat.
131
Purwoko BS., Fitradesi P. 2000. Pengaruh jenis bahan pelapis dan suhu simpan terhadap kualitas dan daya simpan buah Pepaya. Bul. Agron. 28(2) : 6672. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. 1995. Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia. Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Depkes RI. Jakarta. 77 hal. Reid MB. 1985. Product maturation and maturity indices. p.8-11. In Kader AA (ed.). Postharvest Technology of Horticulture Crops. Agriculture and Natural Resources Publ. Univ. California. USA. Riazi GH, Rahemi M. 1995. The effect of various pollen sources on growth and development of Pistachia vera L. nuts. Acta Horticulturae 419:67-72. Rodriguez P, Galan S, Herrero M. 1990. Evaluation of papaya autogamy. Fruits 45(4):387-391. Ronse Decraene LP, Smets EF. 1999. The floral development and anatomy of Carica papaya (Caricaceae). Can. J. Bot 77:582-598. Samson JA. 1980. Tropical Fruits. 2nd Ed. UK: Longman Inc. 336 p. Sankat CK, Maharaj R. 1997. Papaya. p.167-189. In Mitra SK (Ed.). Postharvest Physiology and Storage of Tropical and Subtropical Fruits. CAB International. USA. Sedgley M, Griffin AR. 1989. Sexual Reproduction of Tree Crops. CA: Acad. Press. Inc. 378p. Shimizu-Yumoto, H. , K. Ichimura. 2006. Senescence of Eustoma flowers as affected by pollinated area of the stigmatic surface. J. Japan. Soc. Hort. Sci. 75:66-71. Sibarani S, Anwar F, Rimbawan, Setioso B. 1986. Penuntun Praktikum Analisa Zat Gizi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. Sims D. 2003. Chlorophyll Method. http://vcsars.calstatela.edu/labdocuments/ chlorophyll-method.doc. [25 Februari 2008]. Sippel AD, Claassens NJF, Holtzhausen LC. 1989. Floral differentiation and development in Carica papaya cultivar ‘Sunrise Solo’. Scientia Horticulturae 40:23-33. Somsri S, Fletcher R, Drew RA, Jobin M, Lawson W, Grahm M. 1998. Developing molecular markers for sex prediction in papaya (Carica papaya L). Acta Hort. 461:141-148.
132
Stephenson AG, Devlin B, Horton JB. 1988. The effect of seed number and prior fruit dominance on the pattern of fruit production in cucurbita pepo. Annals Bot. 62: 653-661. Storey WB. 1976. Papaya, Carica papaya. p.21-24. In Simmonds NW (ed.) Evolution of Crop Plants. Longman Inc, London. Storey WB. 1986. Carica papaya. p. 147-157. In Halevy AH (ed). Handbook of Flowering. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. Subhadrabandhu S, Nontaswatsri C. 1997. Combining ability analysis of some characters of introduced and local papaya cultivars. Scientia Horticulturae 71:203-212. Sudarmaji S, Haryono B, Suhardi. 1984. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta. 138 hal. Sujiprihati S, Suketi K. 2009. Budi Daya Pepaya Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta. Suketi K, Poerwanto R, Sujiprihati S, Sobir, Widodo WD. 2010a. Karakter fisik dan kimia buah pepaya pada stadia kematangan berbeda. J. Agron. Indonesia. 38 (1):60-66. Suketi K, Poerwanto R, Sujiprihati S, Sobir, Widodo WD. 2010b. Studi karakter mutu buah pepaya IPB. J. Hortikultura Indonesia 1(1):17-26. Suketi K, Poerwanto R, Sujiprihati S, Sobir, Widodo WD. 2010c. Analisis kedekatan hubungan antar genotipe pepaya berdasarkan karakter morfologi dan buah. J. Agron. Indonesia. 38(2):130-137. Suketi K, Sujiprihati S, Handayani TL. 2010. Peningkatan kualitas buah pepaya betina melalui pengendalian penyerbukan. Prosiding Seminar Nasional Hortikultura Indonesia. Reorientasi Riset untuk Mengoptimalkan Produksi dan Rantai Nilai Hortikultura. Perhorti – Universitas Udayana. 25-26 November 2010. Denpasar. Bali. Suketi K, Sujiprihati S, Mellyawati, Suni D. 2007. Kajian pertumbuhan, ekspresi seks tanaman dan kualitas buah pepaya genotipe IPB 1 dan IPB 2 dengan pupuk organik. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian yang Dibiayai Oleh Hibah Kompetitif. Bogor, 1-2 Agustus 2007. Suketi K, Tuharea CIH, Widodo WD, Poerwanto R. 2011. Pollen viability and pollen tube growth of IPB’s papaya. J. Agron. Indonesia 39(1):43-48.
133
Suketi K, Widodo WD, Purba KD. 2007. Kajian daya simpan buah pepaya. hal. 300-305. Dalam: Rostini N, Nurmala T, Karuniawan A, Nuraini A, Amien S, Ruswandi D, Qosim WA (eds.). Prosiding Seminar dan Kongres IX Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI). Pengembangan dan Optimalisasi Produksi Komoditas Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Bioenergi. Bandung, 15-17 November 2007. Sulaeman A, Clarke B, Thompson AK. 2001. Banana harvest maturity and fruit position on the quality of ripe fruit. Ann. Appl. Biol. 139:329-335. Swingle WT. 1928. Metaxenia in the date palm possibly a hormone action by the embryo or endosperm. J. Heredity 19(6):257-268. Tamaki M, Urasaki N, Sunakawa Y, Motomura K. 2011. Seasonal variations in pollen germination ability, reproductive function of pistils, and seed and fruit yield in papaya (Carica papaya L.) in Okinawa. J. Japan. Soc. Hort. Sci. 80(2): 156-163. Thompson AK, Bhatti MB, Rubio PP. 1989. Pemanenan. hal.371-387. Dalam: Pantastico ErB (ed.). Fisiologi Pasca Panen: Penanganan dan Pemanfaatan Buah-Buahan dan Sayur-Sayuran Tropika dan Subtropika. (Terjemahan dari: Postharvest Handling and Utilization of Tropical Fruit and Vegetables. Diterjemahkan oleh: Kamaryani, Tjitrosoepomo G.) Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Verheij EWM. 1986. Towards a classification of tropical fruit trees. Physiology of Tree Fruits. Acta Horticulturae 175:137-150. Vezvaei A, Jackson JF. 1995. Effect of pollen parent and stages of flower development on almond nut production. Australian J. Exp. Agric. 35(1):109-113. Villegas VN. 1997. Carica papaya L. p. 108-112. In Verheij EWM, Coronel RE (eds.). Edible Fruit and Nuts. Plant Resources of South-East Asia. (PROSEA) Foundation. Bogor. Indonesia. Wahyudin DS. 1999. Daya Simpan Serbuk Sari Salak (Salacca sp.) pada Tingkat Kemasakan yang Berbeda. Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 51 hal. Walters SA, Taylor BH. 2006. Effects of honey bee pollination on pumpkin fruit and seed yield. HortScience. 41(2):370-373. Wang YQ, Zhang DX, Chen ZY. 2004. Pollen histochemistry and pollen : ovule ratios in zingiberaceae. Annals Botany. London. 94: 583-591. Wattimena GA. 1990. Biosintesis dan Metabolisme dari Sitokinin. Lab Kultur Jaringan Tanaman-PAU Bioteknologi IPB. Bogor.
134
Weaver RJ. 1972. Friut set and development. p. 222-290 In Weaver RJ. (ed). Plant Growth Substances in Agriculture. W. H. Freeman and Co. San Fransisco. Widodo, WD. 2000. Seedlessness Induction by Antibiotics and Its Mechanism in Grapes. Doctorate Thesis. Okayama University. Widodo, WD, Sujiprihati S, Febriyanti N. 2010. Studi metaxenia pada buah pepaya genotipe IPB 9. Prosiding Seminar Nasional Hortikultura Indonesia. Reorientasi Riset untuk Mengoptimalkan Produksi dan Rantai Nilai Hortikultura. Perhorti – Universitas Udayana. 25-26 November 2010. Denpasar. Bali. Wills RBH, McGlasson WB, Graham D, Joyce D. 1998. Postharvest, An Introduction to The Physiology and Handling of Fruit and Vegetable. Wallingford: CABI International. 262 p. Wills RBH, Widjanarko SB. 1995. Changes in physiology, composition and sensory characteristics of Australian papaya during ripening. Austr. J. Exp. Agric. 35(8):1173-1176. Winarno FG, Wirakartakusumah A. 1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Hudaya. Jakarta. 97 hal. Yon RMd., Serrano EP. 1994. Handling Systems. p.105-110. In Yon RMd. (ed.). Papaya: Fruit Development, Postharvest Physiology, Handling and Marketing in ASEAN. ASEAN Food Handling Bureau. Kuala Lumpur. Malaysia. Yon RMd. 1994. Introduction: General characteristics of the papaya. p. 1-4. In Yon RMd. (ed.). Papaya: Fruit Development, Postharvest Physiology, Handling and Marketing in ASEAN. ASEAN Food Handling Bureau. Kuala Lumpur. Malaysia. Yu Q, Navajas-Perez R, Tong E, Robertson J, Moore PH, Paterson AH, Ming R. 2007. Recent origin of dioecious and gynodioecious Y chromosomes in papaya. Tropical Plant Biol. 12:1-9. Yu Q, Steiger D, Kramer EM, Moore PH, Ming R. 2007. Floral MADS-box genes in trioecious papaya: characterization of AG and AP1 subfamily genes revealed a sex-type-spesific gene. Tropical Plant Biol. 10:1-11. Zebrowska J. 1997. Factors affecting pollen grain viability in the strawberry (Fragaria x ananassa Duch.). J. Hort. Sci. 72(2):213-219. Zhou L, Paull RE. 2001. Sucrose metabolism during papaya (Carica papaya) fruit growth and ripening. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 126(3):351-357