i
STUDI METABOLOMIK RIMPANG TEMULAWAK DARI BERBAGAI DAERAH MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI GAS-SPEKTROMETRI MASSA
AENI ANGGRAINI PRALUPI
DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ii
ABSTRAK AENI ANGGRAINI PRALUPI. Studi Metabolomik Rimpang Temulawak dari Berbagai daerah Menggunakan Kromatografi Gas-Spektometri Massa. Dibimbing oleh RUDI HERYANTO dan LATIFAH K DARUSMAN. Temulawak (Curcuma xanthorriza) merupakan tanaman obat yang mempunyai aktivitas sebagai antioksidan, antirematik, antihepatotoksik, antibakteri, dan antiinflamasi. Tujuan penelitian ini adalah membuat profil metabolit rimpang temulawak dengan kromatografi gas-spektrometri massa dan melakukan diferensiasi rimpang temulawak yang berasal dari 5 daerah yang berbeda menggunakan metode analisis komponen utama (PCA), serta menjelaskan mutu rimpang temulawak berdasarkan sifat bioaktivitasnya (toksisitas). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman senyawa metabolit rimpang temulawak dari Bogor, Karanganyar, Sukabumi, Sragen, dan Wonogiri berturut-turut mempunyai komposisi sebanyak 70, 70, 57, 66, dan 68 senyawa dengan 4 komponen dominan yang sama, yaitu α-kurkumena, α-sedrena, xantorizol, dan germakron. Analisis PCA menggunakan 2 komponen utama, yaitu PC 1 = 60% dan PC 2 = 30%. Ekstrak rimpang temulawak yang berasal dari daerah Bogor, Karanganyar, dan Sragen mempunyai tingkat toksisitas yang lebih tinggi sehingga mutu rimpang temulawak lebih baik daripada ekstrak dari daerah Wonogiri dan Sukabumi.
ABSTRACT AENI ANGGRAINI PRALUPI. Metabolomic Study of Temulawak Rhizome from Different Origins Based on Gas Chromatography-Mass Spectrometry. Supervised by RUDI HERYANTO and LATIFAH K DARUSMAN. Temulawak (Curcuma xanthorriza) is widely used as herbal medicinal plant that has potential such as antioxidant, antirheumatic, antihepatotoxic, antibacterial, and anti-inflammatory. The objectives of this research were to perform metabolic profiling of temulawak rhizomes by gas chromatography-mass spectrometry and to discriminate temulawak rhizomes from different origins with principal component analysis (PCA) and quality control of temulawak rhizomes based on their natural bioactivity (toxicity). The results showed that diversity of chemical components of temulawak rhizomes from Bogor, Karanganyar, Sukabumi, Sragen, and Wonogiri consisted of 70, 70, 57, 66, and 68 components, respectively, with 4 common major components, namely α-curcumene, α-cedrene, xanthorrizol, and germacrone. PCA analysis using 2 main components: PC 1 = 60%, PC 2 = 30%. Extracts of temulawak rhizomes from Bogor, Karanganyar, and Sragen exhibited the best quality than that of Wonogiri and Sukabumi.
iii
STUDI METABOLOMIK RIMPANG TEMULAWAK DARI BERBAGAI DAERAH MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI GAS-SPEKTROMETRI MASSA
AENI ANGGRAINI PRALUPI Skripsi
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
iv
Judul
: Studi Metabolomik Rimpang Temulawak dari Berbagai Daerah Menggunakan Kromatografi Gas-Spektrometri Massa : Aeni Anggraini Pralupi : G44080055
Nama NIM
Disetujui Pembimbing I,
Rudi Heryanto, S.Si, M.Si. NIP 19760428 200501 1 002
Pembimbing II,
Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, MS NIP 19530824 197603 2 003
Diketahui Ketua Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor,
Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS NIP 19501227 197603 2 002
Tanggal Lulus:
v
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga Karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian dengan judul Studi Metabolomik Rimpang Temulawak dari Berbagai Daerah Menggunakan Kromatografi Gas-Spektrometri Massa yang dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan September 2012 di Laboraturium Kimia Analitik, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Rudi Heryanto, S.Si, M.Si dan Ibu Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, MS. selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran, arahan, dan ilmu selama penelitan dan penyusunan karya ilmiah ini. Terima kasih kepada tim peneliti metabolomik (Ambarsari et al. 2012) yang telah mengikutsertakan penulis dalam tema penelitian metabolomik. Ungkapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada kedua orang tua (Supranoto dan Rohanah), adik (Apriliaana Putri), dan Keluarga besar atas doa yang telah diberikan dan menjadi motivasi penulis. Selain itu penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf dan laboran Kimia Analitik atas fasilitas dan bantuan yang telah diberikan, teman bimbingan (Septhia, Anissa, Fakih, dan Kiki) yang telah memberikan semangat dan membantu selama penelitian berlangsung, semoga mendapat balasan pahala dari Allah SWT. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, November 2012
Aeni Anggraini Pralupi
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 4 Juli 1990 dari Ayah Supranoto dan Ibu Rohanah. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis memiliki satu orang adik perempuan bernama Apriliaana Putri. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 58 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI. Penulis tercatat sebagai mahasiswa Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Selama masa perkuliahan penulis pernah aktif di organisasi Koperasi Mahasiswa (KOPMA) dan Kesenian Gentra Kaheman (2008-2009) serta Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (DPM FMIPA) 2010-2011. Pada bulan Juli 2011 penulis mengikuti kegiatan Praktik Lapangan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (PPPTMGB) LEMIGAS, Jakarta. Selama menjadi mahasiswa, penulis juga pernah menjadi asisten praktikum kimia Tingkat Persiapan Bersama IPB, praktikum Kimia Analitik Layanan, praktikum Kimia Organik Layanan, dan praktikum Kimia Lingkungan.
vii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................................vi DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................................vi DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................................vi
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 2 Temulawak .................................................................................................... 2 Ekstraksi ........................................................................................................ 3 Metabolomik .................................................................................................. 3 Kromatografi Gas-Spekrometri Massa .......................................................... 3 Kemometrik ................................................................................................... 4 Analisis Komonen Utama (PCA) .................................................................. 4 Uji Letalitas Larva Udang ............................................................................. 4 Artemia salina................................................................................................ 4 BAHAN DAN METODE ....................................................................................... 5 Bahan dan alat................................................................................................ 5 Metode ........................................................................................................... 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 7 Ekstraksi dan Uji Kualitas Rimpang Temulawak dengan Metode Uji BSLT ....................................................................................................... 7 Analisis Profil Metabolit Rimpang Temulawak ............................................ 8 Pengelompokan Rimpang Temulawak dengan PCA ................................... 11 Pendugaan Senyawa Penciri ........................................................................ 12 SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 12 Simpulan ...................................................................................................... 12 Saran ............................................................................................................ 12 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 13 LAMPIRAN .......................................................................................................... 17
vi
DAFTAR TABEL Halaman 1 Nilai LC50 ekstrak rimpang temulawak .............................................................. 7 2 Senyawa kimia pada ekstrak temulawak .......................................................... 10
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Struktur xantorizol (a), kurkumin (b), dan demetoksikurkumin (c). .................. 2 2 Nilai LC50 berdasarkan asal daerah .................................................................... 8 3 Senyawa α-curcumene (a), α-cedrene (b), germacrone (c), dan xanthorrizol (d). ........................................................................................... 8 4 Profil kromatogram ekstrak rimpang temulawak hasil analisis GC-MS. ........... 9 5 Skor plot dua PC pertama data kromatogram utuh. ......................................... 11 6 Skor plot dua PC pertama kromatogram yang telah direduksi. ........................ 11 7 Skor plot dua PC pertama kromatogram yang telah direduksi dan dihilangkan pencilannya. ........................................................................... 12 8 Plot loading PCA untuk penentuan senyawa penanda. .................................... 12
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Bagan alir penelitian ......................................................................................... 18 2 Hasil kadar air rimpang temulawak.................................................................. 19 3 Hasil kadar abu rimpang temulawak ................................................................ 20 4 Rendemen ekstrak etil asetat rimpang temulawak ........................................... 21 5 Hasil uji ANOVA ............................................................................................. 21 6 Hasil uji Duncan ............................................................................................... 21 7 Dugaan senyawa hasil identifikasi GC-MS...................................................... 22 8 Referensi nilai Kovats Index (IR) yang telah dipublikasi NIST ...................... 24 9 Kondisi lingkungan asal daerah temulawak ..................................................... 24 10 Tahap pemrosesan kromatogram GC-MS dengan AMDIS ............................. 25 11 Tahap pemrosesan PCA data kromatogram berupa waktu retensi dan luas area dengan The Unscrambler ........................................................... 26 12 Data uji toksisitas ekstrak rimpang temulawak dengan pelarut etil asetat terhadap A. salina ............................................................................. 28
1
PENDAHULUAN Temulawak (Curcuma xanthorriza) merupakan keluarga Zingeberaceae telah banyak digunakan di Indonesia sebagai tanaman obat tradisional karena mempunyai aktivitas sebagai antioksidan, antihipertensi, antirematik, antihepatotoksik, antibakteria, dan antijamur (Sears 2005). Pemanfaatannya yang cukup luas pada bidang farmasi menyebabkan temulawak merupakan tanaman obat yang cukup potensial untuk dikembangkan. Rimpangnya mengandung komponen utama yang berkhasiat, yaitu kurkuminoid dan minyak atsiri. Kurkuminoid memberikan warna kuning pada rimpang temulawak yang terdiri atas kurkumin dan desmetoksikurkumin. Komponen kimia minyak atsiri lain yang terdapat dalam temulawak antara lain felandren, kamfer, turmerol, tolilmetilkarbinol, -kurkumen, zingiberen, kuzerenon, germakron, βturmeron, dan xanthorizol (Rahardjo & Rostiana 2005). Kualitas temulawak sebagai bahan baku obat dapat ditunjukkan dengan sifat bioaktivitasnya yang dipengaruhi oleh komposisi senyawa kimia dalam temulawak tersebut. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keragaman komposisi kimia temulawak, yaitu kondisi lingkungan daerah asal, perbedaan jenis tanah, perbedaan iklim, perbedaan waktu panen, dan perbedaan ketinggian tempat (Xiang et al. 2011). Agar memperoleh mutu temulawak yang ajeg diperlukan suatu teknik analisis yang dapat mendeteksi berbagai molekul yang berbeda karena perbedaan kondisi agrobiofisik asal daerah temulawak tersebut. Metabolomik merupakan salah satu cabang penelitian “omik” yang fokus pada identifikasi molekul metabolit pada suatu tanaman (Krastanov 2010). Sekarang ini, pendekatan studi metabolomik telah secara luas digunakan untuk menguji kualitas suatu tanaman. Dobson et al. (2010) mempelajari pebedaan fitokimia pada tanaman kentang (Solanum tuberosum) berdasarkan perbedaan asal daerah, Kim et al. (2011) menganalisis profil metabolit Angelica gigas dari asal geografis yang berbeda, Choi et al. (2010) menguji kualitas kopi yang berasal dari beberapa wilayah antara lain Asia, Amerika Serikat, dan Afrika dengan latar belakang geografis yang berbeda. Xiang et al. (2011) mengidentifikasi komposisi senyawa kimia pada tiga spesies curcuma (Curcuma
phaeocaulis, C. kwangsiensis, dan C. Wenyujin). Teknik yang dapat digunakan untuk pemprofilan metabolit adalah spektrometri inframerah transformasi fourier (FT-IR), kromatografi gas-spektometri massa (GCMS), kromatografi cair-spekrometri massa (LC-MS), dan elektron impact-spektometri massa (EI-MS), spektroskopi resonansi magnet inti (NMR) (Krastanov 2010). Pada penelitian ini, keragaman metabolit pada temulawak diidentifikasi menggunakan Kromatografi gas-spektometri massa (GCMS). Keuntungan dari teknik analisis dengan GC-MS yaitu memiliki sensitivitas dan resolusi yang tinggi, menghasilkan keterulangan yang baik, mudah dalam menggunakan instrumennya dan biaya operasinya yang relatif murah (Tianniam et al. 2008). Identifikasi senyawa dalam GC-MS dapat dilakukan dengan mencocokkan spektra massa yang terdapat dalam kumpulan data NIST dan Wiley. Senyawa yang telah berhasil diidentifikasi diperkuat kebenarannya dengan mengevaluasi nilai indeks Kovats (IR). Data hasil analisis dengan GC-MS dianalisis lebih lanjut dengan metode kemometrik karena data yang diperoleh merupakan suatu set data yang kompleks sehingga untuk penafsirannya memerlukan bantuan metode kemometrik. Metode kemometrik ini dimaksudkan untuk mengekstraksi informasi yang ada dalam ekstrak yang diuji (Darusman et al. 2007). Teknik pengenalan pola kemometrik yang digunakan adalah analisis komponen utama (PCA) dengan menggunakan perangkat lunak The Unscrambler versi 9.7 yang dapat mengelompokkan rimpang temulawak berdasarkan perbedaan asal daerah dan mengidentifikasi senyawa penciri pada rimpang temulawak yang berkaitan dengan sifat bioaktivitasnya (toksisitas) dengan metode uji letalitas larva udang (BSLT). Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi keragaman senyawa metabolit yang terkandung dalam rimpang temulawak dari lima daerah yang berbeda, yaitu Bogor, Karanganyar, Sukabumi, Sragen, dan Wonogiri dengan usia tanam 9 sampai 12 bulan menggunakan GC-MS. Selain itu juga mengelompokkan sampel berdasarkan kandungan metabolit pencirinya dengan PCA dan menjelaskan kualitas rimpang temulawak yang dikaitkan dengan sifat bioaktivitasnya.
2
TINJAUAN PUSTAKA Temulawak Temulawak tumbuh di hutan-hutan bebarapa pulau jawa di Indonesia, antara lain Jawa, Maluku, dan Kalimantan (Supriadi 2008). Tanaman temulawak ini sudah lama digunakan dalam pengobatan tradisional. Curcuma berasal dari kata Arab: kurkum yang berarti kuning. xanthorriza berasal dari kata Yunani: xanthos berarti kuning dan rhiza berarti akar. Temulawak dikenal juga dengan nama geelwortel (Belanda), Javanischer gelbwurzel (Jerman), koneng gede (Sunda), dan temolobak (Madura) (Oei et al. 1985). Berdasarkan taksonominya, temuawak termasuk ke dalam kingdom plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae, genus Curcuma, dan spesies Curcuma xanthorriza Roxb. Temulawak merupakan tanaman obat yang berupa tumbuhan rumpun berbatang semu dengan ketinggian hingga lebih dari 1 m tetapi kurang dari 2 m, berwarna hijau atau coklat gelap. Akar rimpang terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat dan berwarna hijau gelap. Tiap batang mempunyai daun 2-9 helai dengan bentuk bulat memanjang, warna daun hijau atau cokelat keungguan terang sampai gelap. Rimpang temulawak dapat dipanen setelah memasuki usia 8 sampai 12 bulan. Tanaman yang siap dipanen memiliki daun dan bagian tanaman yang telah menguning dan mengering, serta memiliki rimpang besar berwarna kuning kecoklatan (Kurniawan 2011). Temulawak dapat tumbuh pada ketinggian tempat 5-1800 m dpl, iklim tropis, curah hujan 1500-4000 mm/tahun, suhu 19 sampai 35 ˚C, jenis tanah berkapur, berpasir, maupun tanah liat (Asriani 2010). Temulawak dapat digunakan sebagai jamu untuk obat demam (malaria), pegal-pegal, dan sembelit. Air perasan atau rebusannya dapat digunakan sebagai alternatif ganguan hati dan penyakit kuning. Selain itu, ekstrak temulawak juga dapat menambah nafsu makan, menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida darah, menghambat kerja enzim yang penting untuk pertumbuhan sel tumor, serta mencegah dan menyembuhkan jerawat (Sidik et al. 1992). Semua bagian dari temulawak berkhasiat, namun bagian yang paling berkhasiat adalah rimpangnya atau umbinya. Menurut Sugiharto (2004) menyatakan bahwa rimpang temulawak mengandung senyawa metabolit
aktif, seperti xantorizol (Gambar 1a), kurkumin (Gambar 1b), minyak atsiri, zat pati, flavonoid, kamfor, turmerol, felandren, mirsen, isofuranogermakren, ptolylmetilkarbitol, kation Fe, Ca, Na, dan K. Sedangkan menurut Wijayakusuma (2001) rimpang temulawak ini mengandung lebih dari 100 macam senyawa seperti pati, protein, serat, kurkumin, glikosida, toluil metil karbinol, kalium oksalat, essoil, Lsikloiprenmirsen, dan minyak atsiri. Kandungan kimia rimpang temulawak yang memberi arti pada penggunaannya sebagai bahan pangan, bahan baku industri, dan bahan baku obat ialah pati, minyak atsiri, dan kurkuminoid (Sidik et al. 1992). Minyak atsiri merupakan komponen dalam temulawak yang memberikan bau yang khas, sedangkan kurkuminoid yang memberikan warna kuning pada temulawak terdiri atas kurkumin dan demetoksikurkumin (Gambar 1c). CH3
CH3 H3C
CH3
(a) O
O OCH 3
H3CO
HO
OH
(b) O
O
H3CO
HO
OH
(c) Gambar 1 Struktur xantorizol (a), kurkumin (b), dan demetoksikurkumin (c).
3
Ekstraksi Ekstraksi merupakan istilah yang digunakan untuk mengambil senyawa tertentu dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang akan diekstraksi. Prinsipnya adalah like dissolve like, yaitu pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa nonpolar. Pemilihan pelarut yang digunakan juga bergantung pada sifat kelarutan zat terlarut tersebut (Khopkar 2002). Suatu senyawa akan menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda pelarut berbeda pula. Metode ekstraksi yang paling konvensional adalah maserasi. Metode ekstraksi terus dikembangkan untuk mempersingkat waktu ekstraksi dan mendapatkan ekstrak yang lebih banyak serta volume pelarut yang lebih sedikit. Metode sonikasi menggunakan pengaruh gelombang ultrasonik untuk membantu proses penghancuran sel daun sehingga senyawaan bioaktif yang terdapat di dalam sel akan lebih cepat keluar dan terlarut dalam pelarut. Selain itu, proses ekstraksi daun dengan metode sonikasi akan menghasilkan ekstrak yang bersifat less degradation product dan hasil yang besar (Pinarosa & Gaspare 2004). Pandiangan (2009) melakukan ekstraksi temulawak menggunakan metode maserasi menggunakan dua pelarut, yaitu etanol dan etil asetat, hasil rendemen ekstrak yang diperoleh dengan menggunakan pelarut etanol sebesar 8.63% lebih besar daripada pelarut etil asetat. sebesar 6.67%. Hal ini terjadi karena komponen polar yang terdapat dalam temulawak lebih dominan dibandingkan komponen yang bersifat polar. Metabolomik Metabolomik adalah ilmu yang terdiri atas kimia organik, kimia analitik, kemometrik, informatik dan biosains. Metabolomik memungkinkan klasifikasi sampel dan diskriminasi dari bermacam-macam keadaan biologi, asal dan kualitas dalam sampel melalui analisis multivariat dengan metode kemometrik. Metabolomik digunakan dalam pendekatan sistem biologi, termasuk manusia, tumbuhan, dan mikroorganisme. Selain itu, metabolomik dapat diaplikasikan di bidang kesehatan, diagnostik, industri pangan, maupun mikrobiologi (Krastanov 2010). Beberapa pendekatan untuk metabolomik yang dapat menggolongkan secara kasar
menurut data kualitas dan jumlah metabolit yang dapat dideteksi. Pertama adalah metabolite targeted analysis yang dapat mendeteksi dan mengkuantifikasi sekelompok kecil metabolit maupun senyawa target tunggal. Kedua adalah metabolite profiling yang dapat mendeteksi, mengidentifikasi, dan mengkuantifikasi sekelompok besar metabolit yang dikaitkan dengan jalur biosintesis dari yang spesifik. Ketiga adalah metabolite fingerprinting yang dapat digunakan untuk melengkapi perbandingan metabolom, yang dapat dilakukan dengan analisis spektra dari komposis total tanpa perlu mengidentifikasi kelompok senyawa tersebut (Krastanov 2010). Ada beberapa langkah dalam analisis metabolomik antara lain pemprofilan, identifikasi, validasi, dan interpretasi. Pemprofilan dilakukan untuk menemukan metabolit pada sampel. Identifikasi digunakan untuk menentukan struktur kimia dari metabolit setelah pemprofilan. Validasi digunakan untuk memvalidasi senyawa yang telah diidentifikasi dan biasanya membutuhkan standar. Interpretasi merupakan langkah akhir yang dapat menghubungkan metabolit yang telah ditemukan dengan proses biologisnya. Alur kerja dari metabolomik adalah preparasi sampel, analisis, proses data, dan analisis data (Krastanov 2010). Pendekatan metabolomik dengan analisis target dan statistik algoritma juga telah dilakukan untuk membedakan spesies kopi yang bertujuan mengontrol kualitas kopi (Choi et al. 2010). Teknik metabolomik juga telah berhasil mengarakterisasi profil metabolit Angelica gigas dari daerah tanam yang berbeda menggunakan analisis 1H NMR dan UPLC-MS (Kim et al. 2011) dan studi metabolit ekstrak bioaktif Pancratium canariense (Torras et al. 2009). Kromatografi Gas-Spekrometri Massa Prinsip kerja GC-MS yaitu pada saat sampel diinjeksi kedalam injektor sampel akan diubah menjadi uap yang kemudian dibawa mengikuti aliran gas pembawa menuju detektor yang kemudian oleh detektor diubah menjadi beberapa peak kromatogram yang mana setiap peak kromatogram dihubungkan dengan spektrum massa. GC-MS ini biasa digunakan untuk analisis kualitatif senyawa organik yang pada umumnya bersifat dapat diuapkan (volatil). Kromatografi gas berfungsi sebagai alat pemisah berbagai komponen campuran dalam sampel, sedangkan spektroskopi massa
4
berfungsi mendeteksi masing-masing komponen yang telah dipisahkan pada sistem kromatografi gas. Analisis dengan GC-MS merupakan metode yang cepat dan akurat untuk memisahkan campuran yang rumit maupun menganalisis cuplikan dalam jumlah yang sangat kecil dan menghasilkan data yang berguna mengenai struktur serta identifikasi senyawa organik (Agusta 2000). Metode GC-MC telah digunakan oleh Catchpole et al. (2005). untuk menganalisis senyawa metabolit yang polar (seperti asam amino, amina aromatik, asam organik, gula, dan gula alkohol) dalam umbi kentang Dobson et al. (2010) mempelajari keragaman fitokimia pada umbi kentang berdasarkan perbedaan daerahnya. Derwich et al. (2010) mengidentifikasi senyawa volatil minyak atsiri pada daun Mentha pulegium yang tumbuh di daerah Maroko. Kemometrik Metode kemometrik merupakan suatu analisis multivariat yang menyediakan metode untuk mengurangi data berukuran besar yang diperoleh dari suatu instrument, seperti kromatografi. Multivariat merupakan salah satu teknik analisis kemometrik yang banyak digunakan untuk analisis matriks kompleks dan analisis multikomponen pada sistem sederhana. Metode kalibrasi multivariat dapat berupa multiple linier regression (MLR), principal component regression (PCR), dan artificial neural network (AAN) Analisis multivariat yang dapat digunakan untuk pengenalan pola antara lain adalah exploratory data analysis (EDA) yang terdiri atas principal component analysis PCA dan factor analysis (FA), unsupervised pattern recognation, dan supervisaed pattern recognation (Brereton 2003). Analisis Komonen Utama (PCA) PCA merupakan suatu teknik untuk mengurangi jumlah peubah dalam suatu matrik data. Prinsip PCA adalah mencari komponen utama yang merupakan kombinai linier dari peubah asli. Secara keseluruhan kegunaan PCA adalah untuk mengklasifikasi sampel menjadi grup yang umum, mendeteksi adanya pencilan (outliers), melakukan pemodelan data, serta menseleksi variabel untuk klasifikasi maupun untuk pemodelan. Komponen-komponen utama ini dipilih sedemikian rupa sehingga komponen utama pertama memiliki variasi terbesar dalam set data, sedangkan komponen utama kedua tegak
lurus terhadap komponen utama pertama dan memiliki variasi terbesar berikutnya (Miller & Miller 2000). Kedua komponen utama pertama ini pada umumnya digunakan sebagai bidang proyeksi utama pemeriksaan visual data multivariat. Uji Letalitas Larva Udang Uji letalitas larva udang dengan menggunakan metode BSLT merupakan salah satu metode uji bioaktif pada penelitian senyawa bahan alam. Metode ini telah digunakan sejak tahun 1956 untuk mengetahui residu peptisida, anastesik lokal, senyawa turunan morfin, mitotoksin, karsiogenitas suatu senyawa dan polutan air laut. Beberapa keuntungan dari uji bioaktivitas menggunakan larva udang, yaitu waktu uji yang cepat, murah, sederhana, dan tidak memerlukan keahlian serta peralatan khusus (Mayer et al. 1982). Senyawa aktif yang memiliki daya toksisitas tinggi diketahui berdasarkan nilai lethal concentration 50% (LC50), yaitu nilai yang menunjukkan konsentrasi zat toksik yang dapat menyebabkan kematian hewan uji sampai 50%. Meyer et al. (1982) menyebutkan tingkat toksisitas suatu ekstrak LC50 ≤ 30 µg/mL bersifat sangat toksik, 30 µg/mL ≤ LC50 ≤ 1000 µg/mL bersifat toksik, dan LC50 > 1000 µg/mL bersifat tidak toksik. Artemia salina Artemia salina merupakan kelompok udang-udangan (Crustaceae) dari filum Arthropoda, kingdom animalia. A. salina hidup dilingkungan danau berair asin. Keunggulan penggunaan A. salina untuk uji BSLT ialah sifatnya yang peka terhadap bahan uji, waktu siklus hidup yang lebih cepat, mudah dibiakkan, dan harganya murah. Sifat peka A. salina kemungkinan disebabkan oleh keadaan membran kulitnya yang sangat tipis sehingga memungkinkan terjadinya difusi zat dari lingkungan yang mempengaruhi metabolisme dalam tubuhnya. Uji BSLT menggunakan A. salina dilakukan dengan menetaskan telur-telur tersebut dalam air laut yang dibantu dengan aerasi. Telur A. salina yang baik digunakan untuk uji BSLT ialah yang berumur 48 jam sebab jika lebih dari 48 jam dikhawatirkan kematian A. salina bukan disebabkan toksisitas ekstrak melainkan oleh terbatasnya persediaan makanan (Meyer et al. 1982).
5
BAHAN DAN METODE Bahan dan alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah temulawak yang diperoleh dari 5 daerah berbeda, yaitu Bogor (Jawa Barat), Karanganyar (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), Sragen (Jawa Tengah), dan Wonogiri (Jawa Tengah) dengan umur panen 9 sampai 12 bulan, data kromatogram hasil analisis GC-MS, etil asetat, air laut, dan larva udang Artemia salina. Alat-alat yang digunakan adalah peralatan gelas, penangas ultrasonik, oven, penyaring milipore filter unit berukuran 0.45 μm, penguap putar, GC-MS Simadhzu QP 2010, perangkat keras komputer, perangkat lunak The Unscrambler versi 9.7, AMDIS, dan SPSS 16. Metode Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan telah dilakukan oleh Ambarsari et al. (2012) mencangkup ekstraksi rimpang temulawak dengan pelarut etil asetat dan analisis menggunakan GC-MS, sedangkan penelitian utama mencangkup penentuan kadar air dan kadar abu, evaluasi metabolit dengan indeks Kovats (IR) dengan mencocokkan nilai IR yang ada pada koleksi database NIST 1969 dan diferensiasi metabolit dengan PCA menggunakan perangkat lunak The Unscrambler, serta uji toksisitas ekstrak etil asetat rimpang temulawak dengan metode BSLT (Lampiran 1). Preparasi Rimpang Temulawak Rimpang segar dari 5 daerah dicuci dengan air bersih, ditiriskan, dirajang kecilkecil, dikeringkan, lalu diserbukan. Preparasi sampel dilakukan dua kali, sampel yang akan digunakan untuk analisis dengan GC-MS dan uji toksisitas. Analisis Kadar Air (AOAC 2007) Cawan porselen dikeringkan pada suhu 105 °C selama 30 menit kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Sebanyak 2 g serbuk temulawak kering dimasukkan ke dalam cawan dan dikeringkan pada suhu 105 °C selama 5 jam kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Prosedur ini dilakukan hingga diperoleh bobot
yang tetap. Kadar air contoh ditentukan dengan persamaan, Kadar air =
-
× 100%
Keterangan: A= bobot contoh awal (g) B= bobot contoh kering (g) Analisis Kadar Abu (AOAC 2007) Cawan porselen yang bersih dan kering dimasukkan ke dalam tanur untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran yang menempel di cawan. Setelah didinginkan dalam eksikator, cawan ditimbang. Sebanyak 2 g serbuk rimpang temulawak kering dimasukkan ke dalam cawan tersebut dan dipanaskan sampai tidak berasap kemudian dibakar dalam tanur pada suhu 600 °C selama 2 jam sampai diperoleh abu. Cawan berisi abu didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Kadar abu contoh dihitung dengan persamaan, Kadar abu =
× 100%
Keterangan: A= bobot contoh awal (g) B= bobot abu (g) Ekstraksi Rimpang dengan Etil asetat (Ambarsari et al. 2012) Ekstraksi sampel rimpang temulawak dilakukan dua kali, pertama ekstrak sampel yang akan digunakan untuk analisis dengan GC-MS telah dilakukan oleh Ambarsari et al. (2012) dan ekstraksi sampel untuk uji toksisitas. Ekstraksi rimpang temulawak untuk analisis GC-MS ditimbang sebanyak 200 mg sampel temulawak dari masing-masing 5 daerah kemudian dilarutkan ke dalam 4 mL etil asetat dan disonikasi selama 30 menit. Setelah itu didiamkan selama semalam dan maserat dikumpulkan dan dipekatkan dengan penguap putar. Ekstrak yang telah diperoleh kemudian disaring dengan saringan milipore 0.45 mikron kemudian diinjeksi ke dalam kolom GC-MS. Ekstraksi rimpang temulawak untuk uji toksisitas, ditimbang sebanyak 10 mg sampel temulawak temulawak dari masing-masing 5 daerah kemudian dilarutkan ke dalam 100 mL etil asetat dan disonikasi selama 30 menit. Setelah itu didiamkan selama semalam dan maserat dikumpulkan dan dipekatkan dengan penguap putar. Bobot ekstrak kering yang diperoleh ditimbang. Rendemen setiap ekstrak dihitung dengan membandingkan bobot ekstrak yang diperoleh dengan bobot sampel
6
awal. Kadar air sampel digunakan sebagai faktor koreksi. Rendemen (%) = Keterangan: A = bobot contoh awal (g) B = bobot ekstrak (g) C = kadar air
Komponen kimia ekstrak rimpang temulawak dianalisis dengan GC-MS. Proses analisis menggunakan GC Shimadzu QP 2010 yang ditendem dengan detektor spektometer massa Shimadzu QP 2010; kolom kapiler DBsns (J&W) (dimensi 30 m 0.248 nm), film thickness 0.25 µm, model aliran konstan dengan laju alir 0.5 mL/menit; gas pembawa H2; tipe injektor manual dengan volume injeksi 1 µL; suhu inlet 250 ˚C dengan teknik injeksi split; suhu awal oven 180 ˚C, waktu awal 5 menit dengan waktu operasi oven 30 menit; Program suhu diawali dengan 180 ˚C ditahan 5 menit kemudian diubah perlahanlahan dengan laju kenaikan suhu 14 ˚C/menit hingga mencapai 300 ˚C dan ditahan selama 5 menit. Evaluasi Data GC-MS Identifikasi senyawa dilakukan dengan mencocokkan spektra massa yang diperoleh hasil analisis GC-MS dengan spektra massa database NIST dan Wiley. Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai indeks Kovats (IR) menggunakan deret homolog n-alkana untuk memperkuat dugaan senyawa yang berhasil diidentifikasi. Konfirmasi komponen dilakukan dengan mencocokkan nilai IR komponen dengan IR yang sudah dipublikasikan NIST tahun 1969. Nilai indeks Kovats (IR) dihitung dengan persamaan, IR=100z + 100[
logt ( 1) - logt
yang muncul sebelum x = n-alkana dengan jumlah karbon z + 1 yang muncul setelah x (Hubschman 2009).
Analisis dengan Prinsip Komponen Utama
Analisis dengan GC-MS
logt ( ) - logt
z+1
]
Keterangan: IR = Kovat Indeks retensi t‟ R(x) = waktu retensi terkoreksi senyawa x t‟ Rz = waktu retensi terkoreksi n-alkana dengan jumlah karbon z yang muncul sebelum komponen x t‟ R(z+1) = waktu retensi terkoreksi n-alkana dengan jumlah karbon z+1 yang muncul setelah x x = senyawa yang dipilih z = n-alkana dengan jumlah karbon z
Data GC-MS yang telah dievaluasi kemudian diolah juga dengan metode PCA menggunakan perangkat lunak The Unscrambler untuk menentukan metabolit dominan (penciri) pada masing-masing rimpang temulawak, sehingga dapat dilakukan klasifikasi terhadap rimpang temulawak yang berasal dari daerah berbeda. Uji Toksisitas Ekstrak Rimpang Temulawak dengan Metode BSLT Telur A. salina direndam dalam air laut. Suhu penetasan adalah 25-30˚C selama 48 jam dan siap untuk uji BSLT (Nurhayati et al. 2006). Ekstrak rimpang temulawak ditimbang sebanyak 0.01 g kemudian dilarutkan dengan air laut di dalam labu takar 10 mL. Dibuat stok ekstrak dengan konsentrasi 2000 µg/mL lalu dibuat bebarapa konsentrasi, yaitu 20, 30, 40, 50, 75 dan 100 µg/mL serta blanko tanpa penambahan sampel. Pengujian dilakukan dengan memasukkan 15 ekor larva A. salina yang berumur 48 jam ke dalam sumur (multiwell) yang telah berisi air laut kemudian ditambahkan larutan ekstrak dengan total volume sumur 2 mL. Setelah 24 jam, jumlah larva yang mati dihitung dengan bantuan kaca pembesar. Parameter yang digunakan adalah jumlah larva yang mati 50% dari total larva uji. Kemudian dihitung nilai LC50 dengan memasukkan angka probit (50% kematian larva uji). Rumus persen kematian ditentukan dengan rumus Abbot, % kematian larva =
15
× 100%
Keterangan: T = jumlah larva mati K = jumlah larva kontrol mati 15 = jumlah larva uji Dengan mengetahui kematian larva A.salina, kemudian dicari angka probit melalui tabel probit dan dibuat persamaan garis, y = a+bx dengan y = log konsentrasi x = angka probit
7
Dari persamaan tersebut, selanjutnya LC50 dihitung dengan memasukkan nilai probit (50% kematian) (Meyer et al. 1982). Analisis Statistik Hasil penelitian diolah menggunakan perangkat lunak Minitab versi 14 dengan program analisys of variance (ANOVA) oneway. Selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan dengan software SPSS versi 16 terhadap parameter yang dianalisis meliputi hubungan perlakuan terhadap nilai LC50.
HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Uji Kualitas Rimpang Temulawak dengan Metode Uji BSLT Hasil kadar air ekstrak temulawak dari sampel Bogor (17.03 0.19%), Sragen (16.89 0.12%), Sukabumi (19.54 1.77%), Wonogiri (17.97 0.17%), dan Karanganyar (19.95 1.45%) (Lampiran 2). Kandungan air rimpang temulawak segar cukup besar, sehingga tidak baik untuk disimpan dalam waktu yang lama. Supaya diperoleh kadar air yang kecil maka rimpang temulawak harus dikeringkan dahulu agar sampel tidak mudah rusak dan dapat disimpan pada waktu yang lama. Menurut Winarno (1992) menyatakan bahwa kadar air minimum agar bakteri tidak tumbuh ialah kurang dari 10% sehingga pada kadar air ini bahan dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama dan risiko terkena jamur kecil. Penentuan kadar abu juga dilakukan untuk sampel rimpang temulawak dari lima daerah yang berbeda yang bertujuan menentukan kandungan mineral dalam suatu bahan. Hasil kadar abu ekstrak temulawak dari sampel Bogor (5.43 0.11%), Sragen (8.78 0.15%), Sukabumi (6.75 0.17%), Wonogiri (7.41 0.12%), dan Karanganyar (6.82 0.12%) (Lampiran 3). Kandungan mineral rimpang temulawak dari daerah Sragen lebih banyak tetapi jumlah air yang terikat secara fisik lebih sedikit dibandingankan rimpang temulawak dari daerah lain. Sampel rimpang temulawak dari lima daerah yang berbeda diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut etil asetat. Hasil rendemen yang diperoleh untuk ekstrak dari Bogor (9.38%), Sragen (8.78%), Sukabumi (9.87%), Wonogiri (8.84%), dan Karanganyar (9.78%) (Lampiran 4). Rendemen ekstrak ini perlu dikoreksi kandungan airnya dengan menghitung nilai
persentase kadar air. Keberadaan air dalam bahan dapat menggangu proses ekstraksi. Jika kadar air terlalu tinggi maka bahan akan mudah terserang jamur dan dalam proses ekstraksi mengakibatkan terhalangnya pelarut masuk kedalam dinding sel karena pelarut yang digunakan tidak bisa bercampur dengan air maka hasil rendemen ekstrak yang diperoleh sedikit (Meilani 2006). Uji kualitas rimpang temulawak dilakukan dengan menguji tingkat toksisitasnya menggunakan metode BSLT dengan hewan uji adalah A. salina. Uji toksisitas menggunakan metode BSLT cukup praktis, cepat, mudah, dan cukup akurat. Senyawa aktif yang memiliki daya toksisitas diketahui berdasarkan nilai lethal concentration 50%, yaitu suatu nilai yang menunjukkan kosentrasi zat toksik yang dapat menyebabkan kematian hewan uji sampai 50%. Suatu ekstrak dianggap sangat toksik bila memiliki nilai LC50 ≤ 30 µg/mL, dianggap toksik bila 31 µg/mL ≤ LC50 ≤ 1000 µg/mL dan dianggap tidak toksik bila nilai LC50 di ≥ 1000 µg/mL (Meyer et al. 1982). Jadi, jika nilai LC50 semakin kecil dari suatu ekstrak, maka senyawa tersebut semakin tinggi keaktifannya atau semakin toksik (Tabel 1). Tabel 1
Sampel
Bogor
Nilai LC50 ekstrak rimpang temulawak Rerata kategori LC 50 LC50 Duncan 26.80
28.21b
sangat toksisik
21.15a
sangat toksik
51.28d
toksik
29.62 Sragen
20.41 21.89
Sukabumi
50.58 51.98
Wonogiri
32.35
32.00c
toksik
31.65 Karanganyar
21.47 21.54
21.505a
sangat toksik
Angka yang diikuti oleh huruf superscripts yang sama tidak berbeda signifikan pada taraf uji (P<0.05) pada uji Duncan
Temulawak yang mempunyai toksisitas yang tertinggi adalah temulawak yang berasal dari daerah Sragen sebesar sedangkan 21.15 µg/mL dan 51.28 µg/mL yang terendah adalah
8
Sukabumi (Gambar 2). Hasil statistik ANOVA menunjukkan bahwa p-value lebih kecil dibandingkan nilai α = 0.05. Nilai pvalue yang diperoleh sebesar 0.00<0.05 (Lampiran 5). Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan toksisitas antara rimpang temulawak dari daerah yang satu dengan daerah lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan kandungan senyawa yang terdapat pada masing-masing rimpang temulawak karena perbedaan asal daerah yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang berbeda, seperti kondisi tanah, curah hujan, iklim, suhu lingkungan, dan ketinggian tempat. Selain itu dilakukan uji Duncan (Lampiran 6). Pada uji Duncan nilai LC50 rimpang temulawak tidak berbeda nyata adalah sampel Kranganyar dengan Sragen.
Komponen senyawa dominan dalam ekstrak rimpang temulawak adalah αcurcumene (C15H22) dengan bobot molekul 202.3352 g/mol, α-cedrene (C15H24) dengan bobot molekul 204.3511 g/mol, germacrone (C15H22O) dengan bobot molekul 218.3346 g/mol, dan xanthorrizol (C15H22O) dengan bobot molekul 218.3346 g/mol (Gambar 3). Profil kromatogram ekstrak rimpang temulawak dari masing-masing sampel memiliki kemiripan pola dengan waktu retensi sebagai sumbu x dan persen kelimpahan sebagai sumbu y (Gambar 4). CH3
CH3 H3C
60
(a)
51.28d
LC50 (%)
50
H3C
40 30
CH3
28.21b 21.15a
32.00c
CH3
21.51a
20
H
10
H3C
0
CH3
(b) CH3 H3C
Gambar 2 Nilai LC50 berdasarkan asal daerah.
O H3C
Analisis Profil Metabolit Rimpang Temulawak Profil metabolit dari rimpang temulawak yang dianalisis dengan GC-MS berasal dari lima daerah yang berbeda, yaitu Bogor, Karanganyar, Sukabumi, Sragen, dan Wonogiri. Ekstrak rimpang yang digunakan adalah ekstrak etil asetat. Hasil analisis GCMS berupa data kromatogram yang digunakan untuk identifikasi senyawa dengan mencocokkan spektra massa komponen kimia target dengan spektra massa yang terdapat pada library software (NIST, Wiley) dan konfirmasi komponen dilakukan dengan mencocokkan nilai indeks Kovats (IR) hasil perhitungan dengan nilai IR yang telah dipublikasi oleh koleksi database NIST tahun 1969.
CH3
(c) CH3 OH
CH3 H3C
CH3
(d) Gambar 3
Senyawa α-curcumene (a), αcedrene (b), germacrone (c), dan xanthorrizol (d).
9
-Cedrene -Curcumene
Xanthorrizol
Germacrone
Gambar 4 Profil kromatogram ekstrak rimpang temulawak hasil analisis GC-MS. Total keseluruhan dugaan senyawa hasil identifikasi GC-MS pada kelima sampel Bogor, Karanganyar, Sukabumi, Sragen, dan Wonogiri berturut-turut adalah 70, 70, 57, 66, dan 68 senyawa (Lampiran 7), sedangkan komponen kimia yang berhasil diidentifikasi dan yang telah dikonfirmasi nilai indeks Kovatsnya ada 25 senyawa (Tabel 2) dari beberapa sumber referensi NIST 1969 (Lampiran 8). Jumlah senyawa dalam ekstrak rimpang temulawak dari daerah Bogor, Karanganyar, Sragen, dan Wonogiri memiliki keragaman jumlah komposisi senyawa kimia yang lebih banyak daripada komposisi senyawa yang dimiliki dari daerah Sukabumi. Hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan ketinggian tempat tumbuh asal rimpang temulawak. Daerah Bogor, Karanganyar, Sragen, dan Wonogiri berada pada ketinggian tempat yang berkisar dari 100-500 m dpl dan Sukabumi berada pada ketinggian sekitar 584 m dpl (Lampiran 9). Sampel rimpang temulawak dari lima daerah berbeda pada umumnya memiliki kemiripan komposisi kimia, namun memiliki persen area relatif yang bervariasi. Jumlah relatif masing-masing senyawa merupakan persentase dari peak area relatif terhadap peak area total. Komponen utama ekstrak rimpang temulawak dari Bogor adalah α-curcumene (9.6741 0.53%), α-cedrene (12.1518 0.72%), germacrone (7.7926 0.41%).
xanthorrizol (14.6969 0.98%). Karanganyar komponen utamanya adalah α-curcumene (10.2111 0.47%), α-cedrene (12.0766 0.39%), germacrone (7.0551 1.12%), xanthorrizol (15.2788 0.91%). Sukabumi komponen utamanya adalah curcumene (10.3174 0.38%), α-cedrene (12.3220 0.49%), germacrone (7.6504 0.73%), xanthorrizol (14.2820 0.91%). Sragen komponen utamanya adalah α-curcumene (10.2735 0.73%), α-cedrene (12.3890 0.75%), germacrone (6.5119 0.34%), xanthorrizol (15.9841 1.25%). Wonogiri komponen utamanya adalah α-curcumene (9.8608 0.44%), α-cedrene (12.5725 0.56%), germacrone (6.9562 0.36%), xanthorrizol (15.6804 1.17%). Senyawa αcurcumene dan germacrone paling banyak ditemukan di daerah Sukabumi. Senyawa cendrene paling banyak ditemukan di daerah Wonogiri dan senyawa xanthorrizol banyak ditemukan di daerah Sragen. Senyawa kimia yang berhasil diidentifikasi dan dikonfirmasi nilai indeks Kovats pada database yang telah dipublikasi oleh NIST paling banyak golongan terpenoid. Golongan terpenoid terdiri atas tiga kelompok, yaitu monoterpena, seskuiterpena, dan diterpena. Secara umum, komponen senyawa kimia yang berhasil diidentifikasi termasuk kelompok monoterpena dan sesquiterpena. Pada
10
kelompok seskuiterpena ada beberapa tipe, yaitu bisabolane, cadalene, cadinene dan furanocadinane, carabrane, curcumane, elemene, germacrane, eudesmane dan furanoeudesmane, guaiane, seskuiterpena dimers, dan seskuiterpena lain. Senyawa αcurcumane dan xanthorrizol termasuk
kelompok seskuiterpena tipe bisabolane, senyawa germacrone termasuk kelompok seskuiterpena tipe germacrane (Ravindran et al. 2007), dan α-cendrene termasuk kelompok seskuiterpena tipe cendrene (Li et al. 2011).
Tabel 2 Senyawa kimia pada ekstrak temulawak RT
IR
Senyawa
Turunan
Bgr 1
Krg 1
Skb 1
Srg 1
Wrg 1
7.667
1023
Cineole
monoterpena
0.0404
0.0464
0.0593
0.0281
0.0447
9.277
1066
o-guaiacol
fenolik
0.0605
0.0328
0.0389
0.0461
0.0585
10.291
1090
β-linalool
monoterpena
0.0279
0.0215
0.0239
0.0126
0.0232
11.098
1111
Camphor*
monoterpena
1.6222
1.5515
1.5717
1.2955
1.6146
11.819
1135
Isoborneol
monoterpena
0.1891
0.1878
0.1972
0.1583
0.1843
12.279
1149
Isoborneol
monoterpena
0.0081
0.0126
0.0083
0.0073
0.0063
12.544
1157
4-terpinenol
monoterpena
0.0132
0.0134
0.0145
0.0109
0.0125
16.298
1278
2-metoxy-4-
fenolik
0.4793
0.5103
0.4575
0.4558
0.6036
vinyl-phenol 17.627
1326
δ-eIemene
seskuiterpena
0.3159
0.2803
0.3330
0.2956
0.2556
17.753
1331
δ-eIemene
seskuiterpena
0.0119
0.0139
0.0155
0.0174
0.0095
17.967
1339
δ-eIemene
seskuiterpena
0.0091
______
______
______
0.0068
18.603
1363
α-copaene
seskuiterpena
0.0431
0.0353
0.0420
0.0305
0.0467
18.799
1370
β-elemene
seskuiterpena
0.0232
0.0405
0.0423
0.0413
0.0271
19.006
1377
(-)-β-elemene
seskuiterpena
0.7355
0.7443
0.8427
0.7462
0.5885
19.594
1398
Caryophyllene
seskuiterpena
0.6289
0.6978
0.7164
0.6683
0.5671
20.056
1418
δ-elemene
seskuiterpena
1.0990
1.2677
1.4265
1.4945
0.8988
20.34
1430
α-gurjunene
seskuiterpena
0.1372
0.0977
0.1401
0.0829
0.0595
20.774
1447
(E)-β-famesene
sesquiterpena
2.1852
2.0151
2.2289
2.0975
2.1705
21.289
1468
α-curcumene*
seskuiterpena
10.280
10.727
10.633
10.926
10.256
21.464
1475
Curzerene*
seskuiterpena
1.2022
0.2700
0.7762
1.7559
______
21.504
1477
α-selinene
seskuiterpena
______
0.2432
______
______
0.4687
21.647
1482
β-elemene
seskuiterpena
1.3007
0.8344
1.2097
1.1694
0.9109
22.115
1500
α-cedrene
seskuiterpena
12.970
11.984
12.724
13.135
13.079
22.834
1532
Germacrene B
seskuiterpena
3.3414
2.8236
3.1016
3.1262
3.0473
23.226
1549
Diethyl Phthalate
ester
0.2720
0.3357
0.3154
0.2585
0.3253
24.744
1615
β-eudesmol
seskuiterpena
1.0884
1.0875
1.0864
1.0118
1.0292
11
25.667
1658
Germacrone*
seskuiterpena
7.7634
5.9537
8.2829
6.2098
7.3198
27.218
1730
Xanthorrizol*
seskuiterpena
15.644
15.764
14.695
16.133
16.753
Tanda ____ senyawa yang tidak terdeteksi *
Tanda senyawa yang ditemukan pada temulawak dalam dictionary of natural product (DNP) dan Ravindran et al.2007.
Pengelompokan Rimpang Temulawak dengan PCA Pengelompokan temulawak berdasarkan perbedaan asal daerahnya menggunakan analisis PCA. PCA merupakan suatu teknik untuk mengurangi jumlah peubah dalam suatu matrik data. Prinsip PCA adalah mencari komponen utama yang merupakan kombinasi linier dari peubah asli. Secara keseluruhan kegunaan PCA adalah untuk mengklasifikasi sampel menjadi grup yang umum, mendeteksi adanya pencilan (outliers), melakukan pemodelan data, serta menyeleksi variabel untuk klasifikasi maupun untuk pemodelan. Komponen-komponen utama ini dipilih sedemikian rupa sehingga komponen utama pertama memiliki variasi terbesar dalam set data, sedangkan komponen utama kedua tegak lurus terhadap komponen utama pertama dan memiliki variasi terbesar berikutnya (Miller & Miller 1984). Penggelompokan temulawak dapat dilihat pada plot score dua dimensi. Plot score untuk dua komponen utama (PC) pertama biasanya paling berguna dalam analisis karena kedua PC ini mengandung paling banyak keragaman dalam data (Darusman et al 2007). Sampel yang mirip satu sama lain akan memiliki plot yang berdekatan (Widiastuty 2006). Analisis PCA melibatkan 214 titik berdasarkan persentase dari peak area relatif dengan total peak area (% konsentrasi). Gambar 5 menunjukkan bahwa plot score dua PC pertama mampu menjelaskan 87% dari variasi total (PC1 = 78%, PC2= 9%). Pengelompokan sampel rimpang temulawak berdasarkan perbedaan asal daerah masih tidak jelas pengelompokkannya, hal ini mungkin dikarenakan senyawa-senyawa yang mempunyai konsentrasi kecil dapat mempengaruhi pengelompokkan. Oleh karena itu, data direduksi dengan memilih kosentrasi lebih dari 50%. Gambar 6 menunjukkan bahwa plot score dua PC pertama mampu menjelaskan 71% dari variasi total (PC1= 44%, PC2 = 29%). Variasi total yang diperoleh lebih kecil daripada analisis sebelumnya, tetapi memperoleh tiga kelompok. Kelompok I adalah Sukabumi 1, Sukabumi 2, dan Sukabumi 3. Kelompok II adalah Bogor 1, Bogor 2, Bogor 3,
Karanganyar 1, Karanganyar 2, Karanganyar 3, Sragen 1, Sragen 3 dan Wonogiri 3. Kelompok III adalah Wonogiri 1 dan Wonogiri 2. Program Unscrambler mengidentifikasi sampel Bogor 1, Sragen 1, Sragen 2, dan Sukabumi 3 sebagai pencilan sehingga dihilangkan pada analisis selanjutnya dan diperoleh peningkatan variasi total sebesar 90% (PC1= 60% dan PC2= 30%) dengan pengelompokkan yang lebih jelas (Gambar 7).
Gambar 5
Gambar 6
Skor plot dua PC pertama data kromatogram utuh.
Skor plot dua PC pertama kromatogram yang telah direduksi.
12
.-cedrene
.germacrene B .xanthorrizol
.germacrone
Gambar 7 Skor plot dua PC pertama kromatogram yang telah direduksi dan dihilangkan pencilannya.
Gambar 8 Plot loading PCA untuk penentuan senyawa penanda.
Analisis PCA diperoleh tiga kelompok, yaitu kelompok I adalah Sukabumi, kelompok II adalah Bogor, Sragen, dan Karanganyar, kelompok III adalah Wonogiri, sedangkan hasil uji toksisitas dengan metode BSLT diperoleh dua kelompok mengikuti pengelompokan Mayer et al. (1982), yaitu kelompok I dengan kategori sangat toksik adalah Bogor, Sragen, dan Karanganyar karena mempunyai nilai LC50 30 µg/mL dan kelompok II adalah Sukabumi dan Wonogiri termasuk kategori toksik karena mempunyai nilai 30 µg/mL ≤ LC50 1000 µg/mL.
SIMPULAN DAN SARAN
Pendugaan Senyawa Penciri Pendugaan senyawa penciri pada masingmasing daerah dapat dilihat dari plot loading. Rimpang temulawak dari kelompok I adalah Sukabumi diduga mempunyai senyawa penciri yaitu germacrone pada waktu retensi 25.667, kelompok II adalah Bogor, Karanganyar, dan Sragen mempunyai senyawa penciri yaitu α-cedrene pada waktu retensi 22.115 dan germacrene B pada waktu retensi 22.834, dan kelompok III adalah Wonogiri mempunyai senyawa penciri xanthorrizol pada waktu retensi 27.218 (Gambar 8).
Simpulan Keragaman senyawa metabolit rimpang temulawak yang berhasil diidentifikasi dari 5 daerah, yaitu Bogor, Karanganyar, Sukabumi, Sragen, dan Wonogiri, berturut-turut mempunyai jumlah senyawa sebanyak 70, 70, 57, 66, dan 68 senyawa. Kondisi lingkungan mempengaruhi jumlah dan keragaman komposisi senyawa kimia dalam rimpang temulawak salah satunya adalah ketinggian tempat. Hasil analisis dengan PCA memperoleh pengelompokkan ekstrak rimpang temulawak sebanyak tiga kelompok, kelompok I adalah Sukabumi, kelompok II adalah Bogor, Karanganyar, dan Sragen, Kelompok III adalah Wonogiri. Kelompok I diduga mempunyai senyawa penciri germacrone, kelompok II diduga mempunyai senyawa penciri α-cedrene dan germacrene B, dan kelompok III diduga mempunyai senyawa penciri xanthorrizol. Hasil uji toksisitas menunjukkan bahwa ekstrak rimpang temulawak yang berasal dari daerah Bogor, Karanganyar, dan Sragen mempunyai tingkat toksisitas yang lebih tinggi sehingga kualitas rimpang temulawak lebih baik daripada ekstrak dari daerah Wonogiri dan Sukabumi. Saran Perlu dilakukan variasi umur tanam untuk mengetahui keragaman profil metabolit yang dihasilkan oleh rimpang temulawak dari daerah yang berbeda. Perlu evaluasi lebih lanjut. jalur biosintesis dari senyawa-senyawa
13
yang teridentifikasi. Serta penggunaan perangkat lunak yang lain seperti sigma plot untuk memudahkan dalam interpretasi data yang diperoleh dari hasil analisis GC-MS. Perlu dilakukan analisis multivariat lain seperti PLS-DA (partial least squarediscriminant analysis).
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2007. Official Methods of AOAC International. Revisi ke-2. Volume ke-1. Maryland: AOAC International. Abella L, Cortella AR, Velasco A, Perez MJ. 2000. Ethnobotany, volatile oils and secretion tissues of Werneria poposa from Argentina. Pharm Biol 38:197-203. Agusta. 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. Bandung: ITB Pr. Ambarsari L et al. 2012. Laporan penelitian perguruan tinggi: Produksi nanokurkumin berbasis bahan baku terstandar secara ginetik dan metabolit untuk meningkatkan nilai tambah biodiversitas lokal demi kemandirian bangsa. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Asriani D. 2010. Isolasi xantorizol dari temulawak terpilih berdasarkan nomor harapan [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. [BPPPPK] Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Bogor. 2011. Geografi Kabupaten Bogor [terhubung berkala]. http//:bp4k.bogor kab. go.id [23 Agustus 2012]. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Karanganyar dalam Angka 2010 [terhubung berkala]. http//:www. karanganyarkab. go.id/../KaranganyarDalam-Angka-2011.pdf. [23 Agustus 2012]. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Sukabumi dalam Angka 2011 [terhubung berkala]. http//:www.sukabumikota.go.id/sda2011/1 %awal.Pdf [23 Agustus 2012]. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Wonogiri dalam Angka 2006 [terhubung berkala].
http//:www.wonogirikab.go.id [23 Agustus 2012]. Bos R, Woerdenbag HJ, Kayser O, Ruslan WJ, Elfami K. 2007. Essenstial oil constituents of Piper cubeba L. fils from Indonesia. J Essent Oil Res 19:14-17. Brereton RG. 2003. Chemometrics: Data Analysis for The Laboratory and Chemical Plant. England: J Willey. Castel C, Fernandez X, Lizzani L, Perichet C, Lavoine S. 2006. Characterization of the chemical composition of a by product from Siam benzoin gum. J Agric Food Chem 54:8848-8854. Cathpole GS et al. 2005. Hierarchical metabolomics demonstrates subtantia compositional similarity between genetically modified and conventional potato crops. Proc Nat Acad Sci USA 102:14458-14462. Cavalli JF, Tomi F, Bernerdini AF, Casanova J. 2002. Chemical variability of the essential oil of helichrysum faradifani Sc. Ell. From Madagascar. J Flavour Fragr 21:111-114. Choi MY, Choi W, Park JH, Lim J, Kwon SW. 2010. Determination of coffee origin by integrated metabolomic approach of combining multiple analytical data. Food Chem 121:1260-1268. Darusman LK, Heryanto R, Rafi M, Wahyuni WT. 2007. Potensi daerah sidik jari spektrum inframerah sebagai penanda bioaktivitas ekstrak tanaman obat. J Ilmu Pertan Indones 12:154-162. Deibler KD, Acree TE. Lavin EH. 1998. Aroma analysis of coffrr brew by gas chromatographyoldfactometry.Develop in Food Sci 40:69-78. Derwich E, Benzinane Z, Taouil R. 2010. GC/MS analysis of volatile compounds of essential oil of the leaves of Mentha pulegium growing in Marocco. Chem Bull Politehn Univ 55:69. Dob T, Dahmane D. Berraamdane T, Chelghoum C. 2005. Chemical composition of the essential oil of Artemisia campestris L. from Algeria. Pharm Biol 43:512-514.
14
Dobson G et al. 2010. A metabolomics study of cultivated potato (Solanum tuberosum) groups Andigena, Phureja, Strnotomum, and Tuberosum using gas chromatography-mass spectrometry. J Agricl food chem 58:1214-1223. Fanciullino et al. 2005. Effects of nucleocytoplasmic interactions on leaf volatile compounds from Citrus somatic diploid hybrids. J Agric Food Chem 53:45174523. Hubschman HJ. 2009. Handbook of GC/MS: Fundamentals and Applications. Weinheim: J Wiley. Khalighli SF, Hadijiakhoondi A, Shahverdi AR, Mozaffarian VA, Shafiee A. 2005. Chemical composition and antimicrobial activity of the essential oil of Ferulago Bernardii Tomk. And M. Pimen. Daru 13:100-104. Khopkar SM. 2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Pr. Kim EJ et al. 2011. Metabolite profiling of Angelica gigas from different geographical origin using 1H NMR and UPLC-MS analyses. J of Agricl Food Chem 59: 88068815. Krastanov A. 2010. Matabolomics the state of art. Biotechnol & Biotechnol 24:15371543. Kurniawan A. 2011. Aktivitas antioksidan dan potensi hayati dari kombinasi ekstrak empat jenis tanaman obat Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Li S et al. 2011. Chemical composition and product quality control of turmeric (Curcuma longa L.). Pharm Crops 2:2854.
plant constituents. J of Medica plant Res 45:31-34. Meilani SW. 2006. Uji bioaktivitas zat ekstraktif kayu suren (Toona sureni Merr.) dan ki bonteng (Platea latifolia BL.) menggunakan brine shrimp lethality test (BLST) [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Mierendorff HG, Stahl E, Posthumus MA. Van Beek TA. 2008. Composition of commercial cape chamomile oil (Eriocephalus punctuatus / Eriocephalus tenuifolius). http://www.chemischeanalysenhamburg.de/Publikationen?Capeh amomileoil/. [23 September 2012]. Miller JN, Miller JC. 2000. Statistics and Chemometrics for Analytical Chemistry, 4th Edition. England: Pearson Education. Monser HR, Karamkhani F, Nickayar B, Abdi K, Faramarzi MA. 2007. The volatile constituents of dracocephalum kotschyi oils. Chem Nat Comp 43:40-43. Negueruela V et al. 2005. Analysis by chromatography-mass spectrometry of the essential oils from the aerial parts of Pimpinella anagodendron Bolle. and Pimpinella rupicola Svent., two endemic species to the Canary Islands, Spain. J Chromatogr A 1095:180-184. Nurhayati APD, Nurlita A, Rachmat F. 2006. Uji toksisitas ekstrak Euchema alvarezil terhadap Artemia sallina sebagai studi pendahuluan potensi antikanker. Surabaya: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh November. Oei BL, Apsarton Y, Puspa S, Widjaja T. 1985. Beberapa Aspek Isolasi, Identifikasi, dan penggunaan komponen-komponen Curcuma xanthorrhiza Roxb. dan Curcuma domestica Vahl. Bandung: Darya Varia Laboratoria.
Marongiu B, Piras A, Porcedda S, Scorciapino A. 2005. Chemical composition of the essential oil and supercritical CO2 extract of commipohora myrrho (Ness) engl. and of Acorus calamus L. J Agric Food Chem 53:7939-7943.
Pandiangan M. 2009. Stabilitas antimikroba ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap mikroba patogen. Medika Unika 73 :365-373.
Mayer BN et al. 1982. Brine shrimp: aconvenient general bioassay for active
Pinarosa A, Gaspare G. 2004. Determination of major constituent in St. John‟s Wort
15
under different extraction conditions. J of Pharma Biol 42:83-89. Pitarokili D, Tzakou O, Loukis A, Harvala C. 2003. Volatile metabolites from Salvia Fruticosa as antifungal agents in soilborne pathogens. J Agric Food Chem 51:32943301. Pripdeevech P, Wongpornchai S, Promsiri A. 2006. Highly volatile constituents of Vetiveria zizanioides roots grown under different cultivation conditions. Molecules 11:817-826. Rahardjo M, Rostiana O. 2005. Budidaya Tanaman Temulawak. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika. Raina VK, Srivastava SK, Syamasunder KV. 2002.The essential oil of „greater galangal‟ [Alpinia galangal (L.) Willd] from the lower Himalayan region of India. J Flavour Fragr 17:358-360. Raina VK et al. 2002. The essential oil composition of Curcuma longa L. cv. Roma from the plains of Northern India. J Flavour Fragr 17:99-102. Ramezani M, Behravan J, Yazdinezhad A. 2004. Chemical composition and antimicrobial activity of volatile oil of Artemisia horassanica from Iran. Pharm Biol 42:599-602. Ravindran PN, Babu KN, Ivaraman K. 2007. Turmeric The Genus Curcuma. New York: CRC Pr. Sarkhail P, Amin G, Surmaghi MHS, Shafiee A. 2005. Composition of the volatile oils of phlomis lanceolata boiss. & hohen. phlomis anisodonta boiss. and phlomis bruguieri desf. from Iran. J Flavour Fragr 20:327-329. Sears B. 2005. The Anti-Inflammation Zone— Reversing the Silent Epidemic That’s Destroying Our Health. New York: Harper & Row. Sefidkon F, Jamzad Z, Mirza M. 2006. Chemical composition of the essential oil of five Iranian Nepeta species (N. crispa, N. mahanensis, N. ispahanica, N. eremophila and N. rivularis). J Flavour Fragr 21:764-767.
Siani AC, Garrido IS, Monteiro SS, Carvalho ES, Ramos MFS. 2004. Protium icicariba as a source of volatile essences. Biochem Syst Ecol 32:477-489. Sidik, Muhtadi A, Mulyono MW. 1992. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Bandung: Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam. Sugiharto. 2004. Pengaruh infus rimpang temulawak (Curcuma Xanthorriza Roxb.) terhadap kadar hemoglobin dan jumlah eritrosit tikus putih yang diberi larutan timbal nitrat [Pb(NO3)2]. Hayati 10:53-57. Supriyadi D. 2008. Optimalisasi ekstraksi kurkuminoid temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Tayoub G et al. 2006. Composition of volatile oils of Styrax (Styrax officinalis L.) leaves at different phenological stages. Biochem Syst Ecol 34:705-709. Tianniam S, Tarachiwin L, Bamba T, Kobayashi A, Fukusaki E. 2008. Matabolomic profiling of Angelica acutiloba roots utilizing gas chromatography-time-of-flight-mass. spectrometry for quality assessment based on cultivation area and cultivar via multivariate pattern recognition. J of Biosci bioeng 105:655-659. Torras L et al. 2009. Metabolic profiling of bioactive Pancratium canariense extracts by GC-MS. Phytochemistry Anal 21:80– 88. Vujisic et al. 2006. Comparative examination of the essential oils of Anthemis ruthenica and a-arvensis wild-growing in Serbia. J Flavour Fragr 21:458-461. Widiastuty W. 2006. Teknik spektroskopi Inframerah transformasi fourier untuk penentuan profil kadar xantorizol dan aktivitas antioksidan temulawak [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Wijayakusuma H. 2001. Tumbuhan Berkhasiat Obat: Rempah, Rimpang, dan Umbi. Jakarta: Milenia Popular.
16
Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Giji. Jakarta: PT Gramedia. Xiang Z, Wang X, Cai X, Zeng S. 2011. Metabolomics study on quality control and discrimination of three curcuma species based on gas chromatograp-mass spectrometry. Phytochemistry Anal 22:411-418. Yasuhara A et al. 2004. Determination of organic components in leachates from hazardous waste disposal sites in Japan by gas chromatography-mass spectrometry. J. Chromatogr A 774:321-33.
LAMPIRAN
18
Lampiran 1 Bagan alir penelitian
Kadar air Kadar abu
Simplisia
Ekstrak temulawak
Analisis dengan GC-MS
Uji BSLT
Data kromatogram GC-MS
Evaluasi metabolit temulawak
Indeks Retensi (IR)
Analisis PCA dengan software The Unscrambler
Jalur biosintesis Curcumin
Analisis peak area terpilih
Klasifikasi Metabolit
Interpretasi profil metabolit temulawak
Senyawa Penanda
19
Lampiran 2 Hasil kadar air rimpang temulawak Sampel
Ulangan
Bobot cawan kosong (g)
Bogor
1
1.9911
2.0006
3.6550
16.83
2
1.9508
2.0016
3.6081
17.20
3
1.9287
2.0009
3.5880
17.07
1
1.9728
2.0001
3.6326
17.01
2
1.9761
2.0011
3.6415
16.78
3
1.9451
2.0007
3.6082
16.87
1
1.9227
2.0009
3.5569
18.33
2
1.9274
2.0030
3.5554
18.72
3
2.0138
2.0007
3.5827
21.58
1
1.9083
2.0008
3.5504
17.93
2
1.9828
2.0007
3.6269
17.82
3
1.9653
2.0008
3.6029
18.15
1
1.9297
2.0000
3.5760
17.69
2
1.9639
2.0008
3.6590
15.28
3
2.0331
2.0002
3.6755
17.89
Sragen
Sukabumi
Wonogiri
Karanganyar
Bobot contoh awal (a) (g)
Bobot campel setelah pengeringan (b) (g)
Kadar
Rerata
air (%)
kadar air(%) 17.03
0.19
16.89
0.12
19.54
1.77
17.97
0.17
19.95
1.45
Contoh perhitungan Penentuan kadar air Bogor Ulangan 1 Kadar air =
-
100
Keterangan: A= bobot contoh awal (g) B= bobot contoh kering (g) -
Kadar air =
= 16.83%
Penentuan rerata kadar air
Kadar air rerata = = 17.03% Penentuan standar deviasi kadar air serbuk rimpang temulawak Bogor SD = √∑ = 0.19%
|
̅|
=√
-
-
-
Standar Deviasi
20
Lampiran 3 Hasil kadar abu rimpang temulawak Sampel
Ulangan
Bogor
Sragen
Sukabumi
Wonogiri
Karanganyar
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Bobot cawan kosong (g)
Bobot sampel awal (a) (g)
Bobot sampel setelah pengeringan (b) (g)
26.0588 29.4124 28.4427 29.7378 29.9066 29.2027 30.6189 27.5423 30.5153 30.3299 30.3780 28.8347 28.2289 26.7687 28.0541
2.0004 2.0001 2.0006 2.0002 2.0005 2.0009 2.0006 2.0003 2.0001 2.0007 2.0008 2.0006 2.0009 2.0002 2.0004
26.1659 29.5198 28.5539 29.9146 30.0845 29.3799 30.7552 27.6800 30.6464 30.4807 30.5241 28.9825 28.3654 26.9040 28.1921
Kadar abu (%) 5.35 5.37 5.56 8.84 8.89 8.61 6.81 6.88 6.55 7.54 7.30 7.39 6.82 6.76 6.89
Rerata kadar abu (%)
5.43
0.11
8.78
0.15
6.75
0.17
7.41
0.12
6.82
0.06
Contoh perhitungan Penentuan kadar abu Bogor Ulangan 1 Kadar abu = Keterangan: A= bobot contoh awal (g) B= bobot abu (g) Kadar abu =
× 100% = 5.35%
Penentuan rerata kadar abu Kadar abu rerata = = 5.43% Penentuan standar deviasi kadar air serbuk rimpang temulawak Bogor SD = √∑ii
2
n | i- ̅| 1 n-1
=√
-
= 0.11%
-
-
Standar deviasi
21
Lampiran 4 Rendemen ekstrak etil asetat rimpang temulawak Sampel
Bobot sampel awal (g)
Kadar air (%)
Bobot ekstrak (%)
Rendemen (%)
Bogor
10.0004
17.03
0.7785
9.38
Sragen
10.0012
16.89
0.7302
8.78
Sukabumi
10.0012
19.54
0.7942
9.87
Wonogiri
10.0007
17.97
0.7255
8.84
Karanganyar
10.0011
19.95
0.7836
9.78
Contoh perhitungan Ulangan 1 obot sampel akhir Rendemen (%) = obot sampel awal (1-kadar air) 100
=
( -
)
= 9.38% Lampiran 5 Hasil uji ANOVA ANOVA VAR00002
Between Groups
Sum of Squares
df
1214.188
4
303.547
6.299
5
1.260
1220.486
9
Within Groups Total
Mean Square
F
Sig.
240.954
0.000
Lampiran 6 Hasil uji Duncan VAR00002 = 0.05 VAR00001
N
a
Sragen
2
21.1500
K.Anyar
2
21.5050
Bogor
2
Wonogiri
2
Sukabumi
2
Sig.
b
c
d
28.2100 32.0000 51.2800 0.765
1.000
1.000
1.000
22
Lampiran 7 Dugaan senyawa hasil identifikasi GC-MS RT 7.667 7.793 9.277
IR 1023 1027 1066
10.291 10.506
1090 1094
11.098 11.462 11.605
1111 1123 1128
11.819 12.113 12.279 12.544 12.931 16.298
1135 1144 1149 1157 1168 1278
17.627 17.753
1326 1331
Senyawa
Bgr 1
a
Cineole dl-limonene o-guaiacola a
β-linalool 1-methyl-4sec-butylbenzene Camphor (CAS)a,b Champhene hydrate d-camphor a
Isoborneol 1-borneolb Isoborneola 4-terpinenola α-terpineol 2-metoxy-4vinyl-phenola δ-eIemenea δ-eIemenea
Krg 1
Skb 1
Srg 1
Wrg 1
0.0404
0.0464
0.0593
0.0281
0.0447
0.0551
0.0258
0.0300
0.0177
0.0320
0.0605
0.0328
0.0389
0.0461
0.0585
0.0279
0.0215
0.0239
0.0126
0.0232
0.0100
0.0268
0.0177
0.0064
0.0250
1.6222
1.5515
1.5717
1.2955
1.6146
0.0943
0.0813
0.0943
0.0780
0.0920
0.0582
0.0879
0.0770
0.0719
0.0573
0.1891
0.1878
0.1972
0.1583
0.1843
0.1332
0.1332
0.1296
0.0980
0.1177
0.0081
0.0126
0.0083
0.0073
0.0063
0.0132
0.0134
0.0145
0.0109
0.0125
0.0441
0.0368
0.0418
0.0332
0.0378
0.4793
0.5103
0.4575
0.4558
0.6036
0.3159
0.2803
0.3330
0.2956
0.2556
0.0119
0.0139
0.0155
0.0174
0.0095
a
0.0091
______
______
______
0.0068
17.967
1339
δ-eIemene
18.497
1359
0.0409
0.0385
0.0452
0.0190
0.0502
18.603
1363
1,1-Cyclolohexaneddimethanol α.-copaenea
0.0431
0.0353
0.0420
0.0305
0.0467
18.799 19.006 19.089 19.175 19.504 19.594 19.873 20.056 20.2 20.34 20.774
1370 1377 1380 1384 1395 1398 1410 1418 1424 1430 1447
β-elemenea (-)-β-elemenea 2-norpinene α-zingibereneb α-zingibereneb Caryophyllenea (+/-)-γ-muurolene δ-elemenea 2-norpinene α-gurjunene (E)-β-famesenea
0.0232
0.0405
0.0423
0.0413
0.0271
0.7355
0.7443
0.8427
0.7462
0.5885
0.1913
0.1924
0.1952
0.2029
0.1886
0.0057
0.0072
0.0061
0.0073
0.0059
1.3590
1.1860
1.4180
1.2514
1.2916
0.6289
0.6978
0.7164
0.6683
0.5671
0.0713
0.0738
0.0754
0.0718
0.0554
1.0990
1.2677
1.4265
1.4945
0.8988
0.0557
0.0569
0.0570
0.0528
0.0137
0.1372
0.0977
0.1401
0.0829
0.0595
2.1852
2.0151
2.2289
2.0975
2.1705
21.289
1468
α-curcumenea,b
10.2800
10.7272
10.6332
10.9269
10.2562
1.2022
0.2700
0.7762
1.7559
______
______
0.2432
______
______
0.4687
21.464 21.504 21.647 22.115 22.355 22.59
1475 1477 1482 1500 1511 1522
b
Curzerene α-selinenea β-elemene α-cedrene Spathulenol Sesquisabinene hydrate
1.3007
0.8344
1.2097
1.1694
0.9109
12.9701
11.9840
12.7244
13.1354
13.0798
0.3731
______
______
0.3170
0.3672
0.4579
0.4621
0.4576
0.3955
0.3614
23
22.834 23.226 23.736
1532 1549 1571
Germacrene Ba Diethyl phtalatea β-elemenone
3.3414
2.8236
3.1016
3.1262
3.0473
0.2720
0.3357
0.3154
0.2585
0.3253
1.2267
1.9830
1.5897
1.7930
1.2699
23.967 24.744 25.667 26.142
1581 1615 1658 1679
0.4960
0.5029
0.5348
0.4850
0.5066
1.0884
1.0875
1.0864
1.0118
1.0292
7.7634
5.9537
8.2829
6.2098
7.3198
______
0.6548
______
______
______
26.338
1688
2.2432
1.6334
2.3565
2.2213
2.1675
27.218 27.937 28.061 28.404 28.753 29.636
1730 1764 1770 1786 1803 1848
15.6441
15.7644
14.6956
16.1332
16.7531
0.5850
0.5578
0.9261
0.5202
0.5592
0.5252
0.5614
______
0.4937
0.3840
1.6965
1.4658
1.8401
1.3394
1.7581
2.6278
3.8923
2.9183
2.2758
3.1438
0.8526
1.0364
1.6376
______
1.0739
32.104 32.913 33.08
1975 2110 2115
0.3746
0.5143
0.7435
0.3139
0.4525
0.1765
0.1955
0.5205
0.1432
0.1967
0.2450
0.2086
______
0.1977
0.2536
33.841 34.058 34.892 35.201
2137 2143 2166 2175
0.1030
0.1108
______
______
0.1289
0.1463
0.1695
______
0.1906
0.1765
0.0957
0.2527
0.1183
0.1796
0.1164
0.3173
0.3187
0.5519
0.3008
0.3304
35.967 36.375 37.206 37.808 38.328 38.592 39.242 40.424 42.483
2196 2203 2213 2220 2226 2230 2237 2250 2272
0.0582
0.0564
______
0.0309
______
0.0549
0.0545
______
0.0384
0.0585
0.1108
0.0915
0.0977
0.1015
0.1220
0.2486
0.2431
0.4310
0.1684
0.2332
0.1143
0.1626
0.1707
0.1338
0.1379
0.0432
0.0179
_____
0.0108
______
0.0167
0.0185
_____
_____
0.0198
0.0287
0.0350
0.0448
0.0342
0.0412
0.0222
0.0174
_____
0.0166
0.0209
46.675
2830
0.0843
0.0476
0.1473
0.0495
0.0861
47.204 48.041 49.601 50.012
2841 2858 2888 2895
Cedren-13-ol, 8β-eudesmola Germacronea,b (-)-dehydroaroma dendrene (S)-(+)curcuphenol Xanthorrizola,b Cembrene Germacrone β-elemene α-damascone 5-heptenal, 2,6dimethyldamascenone A Pregnanediol, TMS Hexadecane1,2-diol Ledene 2-nonadecanone Hexadecanamide 2-bromopropionic acid, pentadecyl ester Valerenal Spathulenol 1-heneicosanol 9-octadecanamide, (Z)octadekanamide s-triazine Tricosyl acetate Behenic alcohol cycloartenol acetate 2-ethyl-5propilphenol cuparophenol Lycopene campesterin Stigmasterol
0.0555
0.0334
_____
0.0358
0.0573
0.0474
0.0626
0.1433
0.0757
0.0923
0.0777
0.0538
_____
0.0805
0.0627
0.1430
0.1029
0.1233
0.1158
0.1244
Tanda ____ senyawa yang tidak terdeteksi a
Tanda senyawa yang mempunyai nilai IR sama seperti yang telah dipublikasi oleh database NIST b
Tanda senyawa yang ditemukan pada temulawak dalam dictionary of natural product (DNP) dan Ravindran et al.2007.
24
Lampiran 8 Referensi nilai Kovats Index (IR) yang telah dipublikasi NIST Ret. Times
IR
Senyawa
NIST
7.667 9.227 10.291 11.098 11.819 12.279
1023 1066 1090 1111 1135 1149
Cineole o-guaiacol β-linalool Camphor Isoborneol Isoborneol
Raina et al. 2002 Deibler et al 1998 Tayoub et al. 2006 Mierendorff et al. 2008 Dob et al. 2005 Bos et al. 2007
12.544 16.298
1157 1278
Sefidkon et al. 2006 Castel et al. 2006
17.627 17.753 17.967
1326 1331 1339
4-terpinenol 2-metoxy-4-vinylphenol δ-eIemene δ-eIemene δ-eIemene
18.603 18.799 19.006 19.594 20.056 20.774
1363 1370 1377 1398 1418 1447
α.-copaene β-elemene (-)-β-elemene Caryophyllene δ-elemene (E)-β-famesene
Abella et al 2000 Fanciullino et al. 2005 Monser et al. 2007 Ramezani et al. 2004 Siani et al. 2004 Cavalli et al. 2002
21.289 21.504 22.834 23.226 24.744 25.652
1468 1477 1532 1549 1615 1657
α-curcumene α-selinene Germacrene B Dietyl phtalate β-eudesmol Germacrone
Pripdeevech et al. 2006 Pitarokili et al. 2003 Khalighi et al. 2005 Yasuhara et al. 2004 Fanciullino et al. 2005 Marongiu et al. 2005
27.218
1630
Xanthorrizol
Negueruela et al. 2005
Sarkhail et al. 2005 Vujisic et al 2002 Raina et al. 2002
Lampiran 9 Kondisi lingkungan asal daerah temulawak Ketinggian (m dpl)
Curah hujan (mm/tahun)
Suhu udara (˚C)
Iklim
200-300
3500-5000
20-30
tropis
Karanganyar
511
5965.9
22-31
tropis
Sukabumi
584
3000-4000
20-30
tropis
Sragen
109
< 3000
19-31
tropis
101-200
1557-2476
24-32
tropis
Kabupaten Bogor
Wonogiri
Sumber: Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2011) Badan Pusat Statistik Kabupaten Karanganyar (2010) Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukabumi (2010) Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonogiri (2006).
25
Lampiran 10 Tahap pemrosesan kromatogram GC-MS dengan AMDIS 1. Dibuka program AMDIS 2. Diklik File kemudian dipilih Open
3. Dipilih data kromatogram dan spektrum GC-MS yang akan dianalisis dalam format cdf
4. Diperoleh tampilan TIC (kromatogram ion total) dan spektra massa dari puncak target dan Salah satu puncak kromatogram disorot agar mengalami perbesaran
26
Lampiran 11 Tahap pemrosesan PCA data kromatogram berupa waktu retensi dan luas area dengan The Unscrambler 1.
3.
2.
4.
Setelah itu, dilakukan transpose matriks data excel 1. 2. .
27
Data excel yang telah ditranspose diolah dengan PCA 1. 2. 2.
Jika terdapat pencilan (outliers) pilih select pada kolom keep out of calculation 1.
2.
3.
4.
28
Lampiran 12 Data uji toksisitas ekstrak rimpang temulawak dengan pelarut etil asetat terhadap A. salina larva mati Ulangan Ulangan 2 3
log konsentrasi (ppm)
Rerata % kematian
Probit
-
-
-
15
2.000
97.77
7.05
13
13
1.8751
86.67
6.13
12
12
13
1.6990
82.22
5.92
10
10
10
1.6021
66.67
5.44
30
9
9
9
1.4771
60.00
5.25
25
7
7
8
1.3979
48.89
4.97
20
4
4
5
1.3010
28.89
4.45
Blanko
0
0
0
-
-
-
100
14
15
15
2.0000
97.77
7.05
75
14
14
14
1.8751
93.33
6.48
50
11
12
12
1.6990
77.77
5.78
40
8
8
9
1.6021
55.56
5.15
30
7
8
8
1.4771
51.11
5.03
25
5
6
7
1.3979
40.00
4.75
20
5
5
6
1.3010
35.56
4.64
Larutan (µg/mL)
Ulangan 1
Blanko
0
0
0
100
14
15
75
13
50 40
LC50 (µg/mL)
Bogor 1
26.8
Bogor 2
29.62
Sragen 1 Blanko
0
0
0
-
-
-
100
15
15
15
2.0000
100.0
7.37
75
15
15
14
1.8751
97.78
7.05
50
13
13
14
1.699
88.89
6.23
40
13
13
12
1.6021
84.44
5.99
30
12
11
11
1.4771
75.56
5.71
25
9
9
9
1.3979
60.00
5.25
20
7
7
8
1.3010
48.89
4.97
20.41
Sragen 2 Blanko
0
0
0
100
15
15
15
2.0000
100.0
7.37
75
14
14
15
1.8751
95.56
6.75
50
14
13
12
1.699
86.67
6.13
40
12
12
11
1.6021
77.78
5.77
30
12
11
10
1.4771
73.33
5.61
25
8
8
9
1.3979
55.56
5.15
20
7
7
7
1.3010
46.67
4.92
Sukabumi 1 Blanko
0
0
0
-
-
-
100
10
10
10
2.0000
66.67
5.44
21.89
29
75
9
9
10
1.8751
62.22
5.31
50
9
9
9
1.6990
60.00
5.25
40
5
6
6
1.6021
37.78
4.69
30
5
5
5
1.4771
33.33
4.56
25
4
4
5
1.3979
28.89
4.45
20
4
4
3
1.3010
24.44
4.29
Blanko
0
0
0
-
-
-
100
12
10
10
2.0000
71.11
5.55
75
11
10
9
1.8751
66.67
5.44
50
9
9
8
1.699
57.78
5.2
40
6
6
6
1.6021
40.00
4.75
30
3
4
4
1.4771
24.44
4.29
25
3
3
3
1.3979
20.00
4.16
20
2
2
3
1.3010
15.56
4.01
50.58
Sukabumi 2
51.98
Wonogiri 1 Blanko
0
0
0
-
-
-
100
15
14
14
2.0000
95.56
6.75
75
14
14
14
1.8751
93.33
6.48
50
10
12
11
1.6990
73.33
5.61
40
7
7
8
1.6021
48.89
4.97
30
6
6
7
1.4771
42.22
4.8
25
6
6
5
1.3979
37.78
4.69
20
4
4
5
1.3010
28.89
4.45
32.35
Wonogiri 2 Blanko
0
0
0
-
-
-
100
15
15
14
2.0000
97.78
7.05
75
14
14
14
1.8751
93.33
6.48
50
10
10
12
1.699
71.11
5.55
40
10
9
8
1.6021
60.00
5.25
30
7
6
5
1.4771
40.00
4.75
25
6
6
5
1.3979
37.78
4.69
20
4
4
5
1.3010
28.89
4.45
31.65
Karangnyar 1 Blanko
0
0
0
-
-
-
100
15
15
15
2.0000
100.0
7.37
75
15
15
15
1.8751
100.0
7.37
50
15
15
15
1.699
100.0
7.37
40
13
13
14
1.6021
88.89
6.23
30
10
10
11
1.4771
68.89
5.5
25
9
9
10
1.3979
62.22
5.31
20
5
6
7
1.3010
40.00
4.75
-
-
Karanganyar 2 Blanko
0
0
0
-
21.47
30
100
15
15
15
2.0000
100.0
7.37
75
15
15
15
1.8751
100.0
7.37
50
15
15
15
1.6990
100.0
7.37
40
13
13
14
1.6021
88.89
6.23
30
9
10
10
1.4771
64.44
5.36
25
8
9
9
1.3979
57.77
5.2
20
7
8
6
1.3010
46.67
4.92
21.54
Contoh Perhitungan Ngawi 1 konsentrasi 20 µg/mL % kematian larva
=
15
(
× 100% ) (
)
=
× 100%
= 48.89% Nilai probit diperoleh dengan merefleksikan nilai % kematian ke dalam tabel probit, kemudian dibuat kurva linier hubungan antara log konsentrasi dengan nilai probit. Persamaan garis diperoleh: y = 3.464x + 0.463
Probit
5 = 3.464x + 0.463 ×= × = 1.3098 LC50
= Antilog (1.3098) = 20.41 µg/mL
8 7 6 5 4 3 2 1 0
y = 3.464x + 0.4637 R² = 0.9908
0
1
2
Log konsentrasi ekstrak (g/mL)
3
31