DIFERENSIASI TEMULAWAK, KUNYIT, DAN BANGLE BERDASARKAN INTERPRETASI KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS MENGGUNAKAN IMAGEJ
SUCI AULIANA FITRIANTI
DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ABSTRAK SUCI AULIANA FITRIANTI. Diferensiasi Temulawak, Kunyit, dan Bangle Berdasarkan Interpretasi Kromatografi Lapis Tipis Menggunakan ImageJ. Dibimbing oleh RUDI HERYANTO dan EDY DJAUHARI. Tanaman obat, seperti temulawak, kunyit, dan bangle, secara luas digunakan untuk pengobatan alternatif dan bahan baku kosmetik. Ketiga tanaman tersebut memiliki banyak sekali komponen kimia. Pola sidik jari kromatografi menunjukkan pemrofilan keseluruhan komponen sehingga dapat mempresentasikan keragaman komponen yang ada dalam tanaman obat secara menyeluruh. Teknik kromatografi yang digunakan adalah Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Akan tetapi, pengamatan yang dilakukan terhadap hasil pemisahan dengan KLT ini masih bersifat subjektif sehingga perlu dilakukan pengembangan metode pengolahan hasil KLT yang dapat menghasilkan data yang lebih kuantitatif. Pengembangan metode ini antara lain dilakukan dengan kombinasi perangkat digital. Metode yang digunakan adalah metode DETLC. Pada metode ini digunakan peranti lunak imageJ yang dapat mengubah citra dari bentuk pita pada pelat KLT menjadi terkuantifikasi dengan baik yang dikombinasikan dengan teknik pengenalan pola sehingga dapat mendiferensiasikan ketiga jenis tanaman obat berdasarkan nilai area under curve (AUC) yang dihasilkan dari interpretasi gambar pita KLT. Proses smoothing yang dilakukan pada gambar mentah KLT dengan dokumentasi menggunakan sinar tampak, sinar UV (λ 254 nm), dan sinar UV (λ 366 nm) berturut-turut adalah 8, 9, dan 8 kali. Pengelompokkan terbaik dengan metode PCA untuk memisahkan tanaman temulawak, kunyit, dan bangle dimiliki oleh data nilai AUC dari densitogram pita KLT tanpa penyemprotan larutan pendeteksi pita komponen dan data nilai AUC dari densitogram pita KLT dengan penyemprotan menggunakan larutan vanilina pada visualisasi sinar UV (λ 254 nm). Kedua perlakuan tersebut mampu menjelaskan variasi total berturut-turut sebesar 98% dari variasi total (PC1 80%, PC2 = 18%) dan 98% (PC1= 83%, PC2 = 15%). Analisis PLSDA menghasilkan 1 model terbaik dari 9 model yang dihasilkan, yaitu model nomor 3, model dari nilai AUC gambar pita KLT dengan adanya penyemprotan larutan pendeteksi pita komponen vanilina dan dokumentasi dengan sinar UV (λ 366 nm) (R2 kalibrasi = 0,9869, R2 prediksi = 0,9921, RMSEC = 0,0540, RMSEP = 0,0419).
ABSTRACT SUCI AULIANA FITRIANTI. Differentiation of Temulawak, Kunyit, and Bangle Based on Interpretation of Thin Layer Chromatography Using ImageJ. Supervised by RUDI HERYANTO and EDY DJAUHARI Medicinal plants, such as temulawak, kunyit, and bangle, are widely used for alternative medicine and cosmetic raw materials. It has a lot of chemical components. Chromatographic fingerprint patterns demonstrate the overall component appearance that can present the diversity of existing components in medicinal plants as a whole. Chromatographic technique used were Thin Layer Chromatography (TLC). However, observations made on the results of separation by TLC is still subjective, so necessary to the development of TLC results processing methods that can produce more quantitative data. Development of these methods, among others done with a combination of digital devices. The method used is the DETLC method. In this method used imageJ software that can change the image of a band on a TLC plate to be quantified properly combined with pattern recognition techniques so as to differentiate the three types of medicinal plants based on the value of area under curve (AUC) resulting from the interpretation of the image band TLC. Smoothing process is performed on the raw image with documentation TLC using visible light, UV light (λ 254 nm), and UV light (λ 366 nm), respectively, 8, 9, and 8 times. The best grouping with the PCA method for separating plant of temulawak, kunyit, and bangle is owned by the AUC value data from the tape densitogram TLC without spraying a solution of ribbon detection and components data of the AUC value densitogram ribbon TLC by spraying a solution of the visualization vanilina UV (λ 254 nm ). Both treatments are able to explain the total variation respectively for 98% of the total variation (PC1 80%, PC2 = 18%) and 98% (PC1 = 83%, PC2 = 15%). PLSDA analysis produces a model of best of 9 models produced, the model number 3, the model of the AUC value of TLC band image with the spraying solution components vanilina ribbon detection and documentation with UV light (λ 366 nm) (R 2 calibration = 0.9869, R2 prediction = 0.9921, RMSEC = 0.0540, RMSEP = 0.0419).
DIFERENSIASI TEMULAWAK, KUNYIT, DAN BANGLE BERDASARKAN INTERPRETASI KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS MENGGUNAKAN IMAGEJ
SUCI AULIANA FITRIANTI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Nama NIM
: Diferensiasi Temulawak, Kunyit, dan Bangle Berdasarkan Interpretasi Kromatografi Lapis Tipis Menggunakan ImageJ : Suci Auliana Fitrianti : G44070091
Disetujui Pembimbing I,
Pembimbing II,
Rudi Heryanto, S.Si, M.Si NIP. 19760428 200501 1 002
Drs. Edy Djauhari, M.Si NIP. 19631219 199003 1 002
Diketahui Ketua Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor,
Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, M.S. NIP 19501227 1976603 2 002
Tanggal Lulus :
PRAKATA Assalamualaikum Wr. Wb. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan karya ilmiah ini yang berjudul Diferensiasi Temulawak, Kunyit, dan Bangle Berdasarkan Interpretasi Kromatografi Lapis Tipis Menggunakan ImageJ. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai Juli 2011 di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, Bogor. Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah turut mendukung dan membantu selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini, terutama kepada Bapak Rudi Heryanto, S.Si, M.Si dan Bapak Edy Djauhari, M.Si selaku pembimbing atas saran dan waktu yang diberikan; kepada Bapak, Ibu, Rizqy, Dhini, Rijal dan seluruh keluarga tercinta atas dorongan, doa, bantuan kasih sayang, dan kesabaran. Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Pak Eman, Ibu Nunung, Mba Salina, Mba Wiwik, Ibu Nunuk, Endi, Antonio, Mas Zaim, serta Staf Laboratorium Analitik dan Pusat Biofarmaka atas segala fasilitas dan kemudahan yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Derry, Vidya, dan Frengki atas motivasi dan dukungan yang diberikan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Amin. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bogor, September 2011
Suci Auliana Fitrianti
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat pada tanggal 17 Mei 1988 dari pasangan Bapak Agus Rosadi, SP, M.Pd dan Ibu Een Kostini Enitriani, SP. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis memiliki satu orang adik laki-laki bernama Rizqy Arif Ginanjar dan satu orang adik perempuan yang bernama Kharisma Dhini. Tahun 2007 penulis lulus dari Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor (SMAKBo) dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis tercatat sebagai mahasiswa Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Kimia Analitik Layanan untuk mahasiswa S1 ITP tahun ajaran 2010/2011 dan Kimia TPB tahun ajaran 2009/2010 dan 2010/2011. Penulis juga aktif berorganisasi dalam acara Seminar Nasional Teknologi Kimia Aplikatif (SENSITIF 2009) dan Pesta Sains Nasional 2009. Penulis berkesempatan menjalani Praktik Lapangan di Laboratorium Kimia dan Energi, Kelti Pengolahan Kimia dan Energi Hasil Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor pada tahun 2010.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii DAFTAR TABEL ................................................................................................ viii DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... ix PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 1 Temulawak .......................................................................................................... 1 Kunyit .................................................................................................................. 2 Bangle ................................................................................................................. 2 Kromatografi Lapis Tipis .................................................................................... 2 KLT Densitometer .............................................................................................. 3 ImageJ ................................................................................................................. 4 Kemometrik......................................................................................................... 4 PCA ..................................................................................................................... 4 PLSDA ................................................................................................................ 5 METODE ................................................................................................................ 5 Alat dan Bahan .................................................................................................... 5 Lingkup kerja ...................................................................................................... 6 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 7 Analisis Komponen Standar Menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ......................................................................................................... 7 Pengolahan Gambar Pelat KLT dengan ImageJ ................................................. 8 Analisis Hasil Pengolahan Gambar Pita pada Pelat KLT ................................. 10 Klasifikasi Temulawak, Kunyit, dan Bangle dengan Teknik PCA Berdasarkan Nilai AUC .................................................................................... 11 Pembentukan Model Temulawak, Kunyit, dan Bangle dengan PLSDA .......... 13 SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 14 Simpulan ........................................................................................................... 14 Saran .................................................................................................................. 14 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 15 LAMPIRAN .......................................................................................................... 17
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Tanaman dan rimpang temulawak. ..................................................................... 2 2 Tanaman dan rimpang kunyit ............................................................................. 2 3 Tanaman dan rimpang bangle. ............................................................................ 2 4 Reprostar 3 dengan peranti lunak winCATS dan KLT semiautomatis CAMAG linomat V. ........................................................................................... 3 5 Skema umum densitometer. ................................................................................ 3 6 Fitur imageJ ........................................................................................................ 4 7 Bagan prinsip PCA.............................................................................................. 5 8 Bagan prinsip PLS. ............................................................................................. 5 9 Kromatogram KLT larutan standar kurkumin dengan berbagai konsentrasi pada berbagai visualisasi sinar. ....................................................... 7 10 Contoh hasil densitogram dari gambar pita KLT standar kurkumin dengan dan tanpa smoothing. ............................................................................. 9 11 Contoh penandaan pita komponen KLT standar kurkumin. .............................. 8 12 Pencitraan pita KLT standar kurkumin.. .......................................................... 10 13 Score plot dua PC pertama dari AUC temulawak, kunyit, dan bangle. ........... 12
DAFTAR TABEL Halaman 1 Hasil pengujian ukuran kotak penanda terhadap gambar pita komponen standar kurkumin. ............................................................................................... 8 2 Letak dan ukuran kotak penanda pada gambar pita komponen standar kurkumin yang digunakan dalam penelitian. ..................................................... 9 3 Jenis model PLSDA yang dibuat dalam penelitian. ......................................... 13 4 Kriteria kebaikan model PLSDA. .................................................................... 14 5 Data prediksi tanaman sampel dengan model PLSDA. ................................... 14
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Bagan alir penelitian. ....................................................................................... 18 2 Lokasi pengambilan tanaman temulawak, kunyit, dan bangle. ....................... 19 3 Kromatogram KLT temulawak, kunyit, dan bangle dari berbagai daerah dengan berbagai perlakuan deteksi................................................................... 20 4 Nilai korelasi (R2) setelah proses smoothing. .................................................. 23 5 Karakterisasi kursor saat penentuan baseline. ................................................. 24 6 Data hasil pengukuran AUC menggunakan ImageJ pada tanaman temulawak dengan visualisasi sinar tampak, sinar UV (λ 254 nm), dan sinar UV (λ 366 nm).................................................................................................. 25 7 Data hasil pengukuran AUC menggunakan ImageJ pada tanaman kunyit dengan visualisasi sinar tampak, sinar UV (λ 254 nm), dan sinar UV (λ 366 nm). ....................................................................................................... 28 8 Data hasil pengukuran AUC menggunakan ImageJ pada tanaman bangle dengan visualisasi sinar tampak, sinar UV (λ 254 nm), dan sinar UV (λ 366 nm)............... ......................................................................................... 31 9 Scatter plot nilai AUC ketiga tanaman tanpa pendeteksi pita komponen dengan visualisasi sinar tampak, sinar UV (λ 254 nm), dan sinar UV (λ 366 nm). ....................................................................................................... 34 10 Scatter plot nilai AUC ketiga tanaman dengan pendeteksi warna anisaldehida dan visualisasi sinar tampak, sinar UV (λ 254 nm), dan sinar UV (λ 366 nm). .............................................................................................. 35 11 Scatter plot nilai AUC ketiga tanaman dengan pendeteksi warna vanilina dan visualisasi sinar tampak, sinar UV (λ 254 nm), dan sinar UV (λ 366 nm). ..................................................................................................... 36 12 Grafik prediksi ketiga tanaman sampel terhadap model prediksi temulawak, kunyit, dan bangle dengan visualisasi sinar UV (λ 366 nm) dan penggunaan larutan pendeteksi pita vanilina...................................................................... 37
PENDAHULUAN Tanaman obat banyak digunakan untuk pengobatan alternatif dan bahan baku kosmetik oleh sebagian besar masyarakat di seluruh dunia. Tanaman tersebut memiliki banyak sekali komponen kimia, seperti pada temulawak, kunyit, dan bangle. Banyaknya komponen kimia dan tingginya tingkat variasi komponen kimia yang terlibat di dalam tanaman obat tersebut merupakan faktor kesulitan untuk menjamin keamanan dan pengendalian mutu serta konsistensi produknya dibandingkan dengan obat sintetis (Reich & Schibli 2008). Seperti yang ditunjukkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), obat tradisional belum secara resmi diakui oleh banyak negara karena kualitas dan kuantitas keamanan maupun kemanjuran obat tersebut kurang memenuhi kriteria yang dibutuhkan untuk mendukung penggunaannya di seluruh dunia serta kurang memadainya metodologi penelitian yang digunakan untuk mengevaluasi obat tradisional tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode yang dapat menunjukkan ciri spesifik tiap tanaman tersebut. Salah satu teknik analisis yang banyak digunakan adalah teknik kromatografi. Beberapa teknik kromatografi yang digunakan untuk menganalisis tanaman obat, yaitu kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT), kromatografi gas (KG), dan kromatografi lapis tipis (KLT). Akan tetapi, salah satu teknik kromatografi yang banyak digunakan untuk analisis sidik jari adalah KLT. Analisis sidik jari menggunakan KLT ini telah banyak digunakan oleh industri obat di Amerika, Eropa, dan Cina karena adanya beberapa keuntungan dalam penggunaannya, yaitu sederhana, selektif dan sensitif, cepat, biaya yang relatif murah, dapat mengujikan beberapa sampel dalam waktu bersamaan, kromatogramnya dapat dilihat secara visual, dan penggunaan pelarut yang sedikit (Liang et al. 2004). Saat ini, telah dikembangkan metode KLT instrumental yang menggunakan alat penotol automatis yang mempunyai kelebihan, yaitu panjang pita dan volume ekstrak yang ditotolkan dapat diatur sehingga lebih seragam. Selain itu, cara deteksi dan dokumentasi pelat KLT dapat langsung dilihat di bawah lampu sinar tampak dan UV (λ 254 nm dan 366 nm ) dalam bentuk gambar digital. Pola sidik jari kromatografi menunjukkan pemprofilan keseluruhan komponen karena dapat mempresentasikan keragaman komponen yang ada dalam tanaman obat
secara menyeluruh (Liang et al. 2004). Akan tetapi, pengamatan yang dilakukan terhadap hasil pemisahan dengan KLT ini masih bersifat subjektif sehingga perlu dilakukan pengembangan metode pengolahan hasil KLT yang dapat menghasilkan data yang lebih kuantitatif, yaitu dilakukan kombinasi dengan perangkat digital (Hess 2007; Phattanawasin et al. 2009). Densitometer/KLT scanner adalah alat yang digunakan untuk mengukur densitas dari suatu spot, misalnya pada KLT. Spot pada KLT akan disinari oleh sumber sinar kemudian sebagian sinar yang dihasilkan akan diserap dan sebagian lagi akan direfleksikan/diemisikan mengenai detektor (Braithwaite 1999). Kekurangan dari metode densitometer ini adalah peralatan yang cukup kompleks dan harga yang mahal. Kekurangan ini dapat diatasi menggunakan metode digitally enhanced thin layer chromatograpy (DETLC). Metode DETLC dilakukan dengan menggunakan peranti lunak pengolah gambar yang dapat mengubah citra dari bentuk pita pada pelat KLT menjadi terkuantifikasi dengan baik. Kelebihan metode ini adalah dapat menggantikan KLT densitometer dengan biaya yang murah dan peralatan yang cukup sederhana (Hess 2007). Peranti lunak yang digunakan adalah ImageJ. ImageJ merupakan suatu peranti lunak untuk mengolah gambar yang berbasiskan program Java dan dapat diperoleh secara bebas untuk umum. Program ini dikembangkan oleh research services branch (RSB), Institut Nasional Kesehatan Mental (NIMH), bagian dari Institut Kesehatan Nasional (NIH), Bethesda, Maryland, USA (Ferreira & Rasband 2010). Penelitian ini bertujuan melakukan diferensiasi temulawak, kunyit, dan bangle berdasarkan intensitas warna yang ditimbulkan oleh masing-masing spot pada hasil dokumentasi gambar pelat KLT dengan metode DETLC menggunakan peranti lunak ImageJ.
TINJAUAN PUSTAKA Temulawak Temulawak termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Zingiberales, keluarga Zingiberaceae, genus Curcuma, dan species C. xanthorriza Roxb. (Afifah 2003).
2
Gambar 1 menunjukkan tanaman dan rimpang temulawak.
Gambar 1 Tanaman dan rimpang temulawak. Temulawak atau koneng gede (Sunda), temo labak (Madura), temulawas (Malaysia) merupakan tanaman asli Indonesia yang penyebarannya banyak terdapat di Ambon, Bali, dan Jawa (Sutarno & Atmawidjojo 2001). Rimpang kering temulawak mengandung pati (48-59.64%), kurkuminoid (1.6-2.2%), dan minyak atsiri (1.48-1.63%). Kurkuminoid pada temulawak terdiri atas kurkumin (58-71%) dan demetoksikurkumin (29-42%). Fraksi minyak atsiri pada rimpang temulawak terdiri atas senyawa turunan monoterpena dan seskuiterpena (Sidik et al. 1995).
Sedangkan senyawa kimia nonatsiri yang terkandung dalam kunyit adalah zat warna yang banyak terdapat pada senyawa-senyawa fenolat, antara lain senyawa kurkuminoid. Senyawa kurkuminoid yang terdapat dalam kunyit adalah kurkumin (75-81%), demetoksikurkumin (15-19%), dan bisdemetoksikurkumin (2.2-6.6%) (Jayaprakasha et al. 2005). Kunyit juga mengandung lemak (1-3%), Karbohidrat (3%), Protein (30%), Pati (8%), Vitamin C (45-55%), dan garam-garam mineral, yaitu zat besi, fosfor, dan kalsium. Bangle Bangle diklasifikasikan ke dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Zingiberales, keluarga Zingiberaceae, genus Zingiber, dan species Z. purpureum Roxb. Gambar 3 menunjukkan tanaman dan rimpang bangle.
Kunyit Klasifikasi kunyit termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Zingiberales, keluarga Zingiberaceae, genus Curcuma, dan species C. longa L. (Purseglove et al. 1981). Gambar 2 menunjukkan tanaman dan rimpang kunyit.
Gambar 3 Tanaman dan rimpang bangle. Bangle atau panglai (Sunda), bengle (Jawa), pandhiyang (Madura), banggele (Bali) tumbuh di daerah Asia tropika, dari India sampai Indonesia. Tanaman ini digolongkan sebagai rempah-rempah yang memiliki khasiat obat. Bangle mengandung minyak atsiri (sineol, pinen), damar, pati, dan terpenoid (Araujo & Leon 2001). Kromatografi Lapis Tipis
Gambar 2 Tanaman dan rimpang kunyit Kunyit merupakan tanaman tahunan yang tumbuh merumpun dan dapat mencapai tinggi hingga satu meter. Kunyit atau saffron (Inggris), kurkuma (Belanda), kunir (Jawa), koneng (Sunda) berasal dari Asia Tenggara dan Asia Selatan tetapi banyak dijumpai di India, Cina, Himalaya, dan Indonesia (Purseglove et al. 1981). Senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam rimpang kunyit bersifat atsiri dan nonatsiri. Senyawa kimia yang bersifat atsiri diantaranya adalah golongan seskuiterpena, turmeron, tumeon (60%), Zingiberena (25%), felandren, sabinen, borneol, dan sineil.
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar dengan fase diam berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik dan fase gerak berupa cairan yang bergerak sepanjang fase diam (Sherma 1991). KLT merupakan teknik pemisahan yang banyak digunakan dalam proses pemurnian dan identifikasi senyawa kimia pada tanaman obat. Prinsip KLT adalah pemisahan komponen berdasarkan distribusinya pada fase diam dan fase gerak. Cuplikan atau contoh diteteskan pada lapisan tipis kemudian dimasukkan ke dalam wadah pengembangan
3
yang berisi fase gerak sehingga cuplikan tersebut terpisah menjadi komponenkomponennya (Adnan 1997). Eluen atau fase gerak pada KLT merupakan suatu medium angkut yang terdiri atas satu atau campuran pelarut tunggal. Fase gerak akan merayap sepanjang fase diam melalui gaya kapiler. Senyawa diidentifikasi berdasarkan penampakan dan nilai Rf-nya (jarak relatif komponen terhadap jarak pelarut) yang kemudian dibandingkan dengan spot standar untuk analisis kualitatifnya (Fried & Sherma 1982). Saat ini telah dikembangkan metode KLT semiautomatis Camag linomat V (Gambar 4). Alat ini dikendalikan oleh suatu mikroprosesor yang menyebabkan larutan ekstrak dapat ditotolkan pada pelat KLT dan biasanya dalam bentuk pita dengan mengkompresikan tekanan udara atau nitrogen sehingga tidak memerlukan kontak langsung dengan pelat dan dapat mengurangi kerusakan pelat (Wall 2005; Hahn-Deinstrop 2007).
(a) Gambar 4
intensitas transimitan, flouresensi, atau reflektan. Mekanisme yang terjadi adalah sinar yang mengenai spot akan diserap oleh molekul untuk tereksitasi, selanjutnya molekul akan kembali ke keadaan dasar dengan mengemisikan sinar tersebut (flouresensi) dan akan ditangkap oleh detektor (Braithwaite 1999). Turunan dari spektra ini dapat membantu dalam mengembangkan identifikasi komponen yang terlindung baik secara makro maupun mikro. Pengukuran dengan alat tersebut memiliki nilai presisi yang cukup baik dengan standar deviasi 1 %. Pengukuran kuantitatif yang lebih akurat dapat menggunakan alat yang memiliki berkas cahaya ganda untuk mengurangi gangguan latar belakang. KLT densitometer terdiri atas peralatan yang penting, yaitu sumber cahaya, sistem kondensor, sistem fokus, sistem grating, dan filter yang berfungsi mengatur panjang gelombang yang masuk (Braitwaite 1999). Skema umum densitometer dapat dilihat pada Gambar 5.
(b) Reprostar 3 dengan peranti lunak WinCATS (a) dan KLT semiautomatis Camag Linomat V (b).
Deteksi komponen hasil pemisahan KLT dapat dilakukan dengan penyemprotan menggunakan pereaksi warna, yaitu vanilina dan anisaldehida dalam asam sulfat yang bertujuan mendeteksi keberadaan senyawasenyawa terpenoid termasuk minyak atsiri (Santosa & Hertiani 2005). Sedangkan untuk dokumentasi pelat KLT hasil pemisahan, dapat langsung dilihat di bawah lampu sinar tampak dan sinar UV (λ 254 nm dan λ 366 nm) dalam bentuk gambar digital menggunakan sistem dokumentasi Reprostar 3 yang dioperasikan dengan peranti lunak WinCATS (Gambar 4). KLT Densitometer KLT densitometer dapat digunakan untuk keperluan analisis kuantitatif KLT. Prinsip percobaan alat tersebut adalah mengukur
Gambar 5 Skema umum densitometer. KLT densitometer sesuai untuk analisis kuantitatif. Metode ini dapat digunakan untuk menetapkan banyaknya komponen yang terdapat dalam suatu campuran, mengidentifikasi zat, atau memantau proses reaksi yang memiliki akurasi cukup tinggi, contohnya adalah high performance thin layer chromatography (HPTLC). Akan tetapi, metode ini membutuhkan banyak biaya dalam penggunaannya. Mengatasi hal tersebut, suatu teknik yang lebih murah telah dikembangkan dan hasil yang didapatkan tidak kalah dengan HPTLC, metode tersebut adalah digitally enhance thin layer chromatography (DETLC) (Hess 2007). Prinsip dari DETLC ini adalah pelat KLT yang memiliki sifat dapat berpendar diterangi dengan cahaya ultraviolet kemudian gambar dari pencahayaan tersebut diambil dengan kamera digital. Selanjutnya dengan komputer, gambar tersebut dapat
4
diolah menggunakan peranti lunak yang dapat mengolah gambar dari spot pada lempeng KLT menjadi multispektra, densitogram, dan kurva kalibrasi (Hess 2007). ImageJ ImageJ merupakan suatu peranti lunak untuk mengolah gambar yang berbasiskan program Java dan mudah didapatkan secara bebas untuk umum. Program ini dikembangkan oleh research services branch (RSB), national institute of mental health (NIMH), bagian dari national institute of mental health (NIH), Bethesda, Maryland, USA (Ferreira & Rasband 2010). Gambar 6 menunjukkan fitur dari peranti lunak ImageJ.
Gambar 6 Fitur imageJ. ImageJ dapat menampilkan, mengedit, menganalisa, memproses, menyimpan, dan mencetak 8-bit, 16-bit, dan 32-bit gambar. Program ini dapat membaca gambar dalam berbagai format, seperti TIFF, GIF, JPEG, BMP, DICOM, FITS, dan gambar mentah (Ferreira & Rasband 2010). ImageJ membantu stacks (dan hyperstacks), serangkaian gambar yang ditampilkan dengan satu jendela (single window) dan multiurutan (multithreaded), sehingga memakan waktu operasi, seperti pembacaan berkas gambar yang dapat ditunjukkan secara paralel dengan operasi lainnya. Selain itu, program ini dapat menghitung nilai area dan piksel dari suatu gambar yang diinginkan, dapat mengukur jarak dan sudut, dapat membuat profil dari densitogram dan garis kurva. Program ini didukung dengan berbagai pengatur gambar, seperti pengatur ketajaman, kehalusan, kecerahan, warna, sudut, dan filter dari gambar yang akan diolah. Selain itu, dapat membantu dalam melakukan transformasi geometris, seperti scaling, rotasi, dan membalik (Ferreira & Rasband 2010). Kemometrik Metode kemometrik berupa analisis multivariat yang menyediakan metode untuk mengurangi data berukuran besar yang
diperoleh dari suatu instrumen, seperti kromatografi. Metode kalibrasi multivariat dapat berupa multipel linier regression (MLR), principal component regression (PCR), dan artificial neural network (AAN) (Brereton 2000). Selain itu, analisis multivariat dapat digunakan untuk pengenalan pola sampel melalui metode principal component analysis (PCA), discriminant analysis, K-nearest neighbour, soft independent modelling of class anology, dan cluster analysis (Miller & Miller 2000). Karena kompleksitas dari sidik jari kromatografi, irreproducibility instrumen kromatografi, dan kondisi eksperimental, pendekatan beberapa kemometrik, seperti analisis varians, keselarasan puncak, analisis korelasi, dan pengenalan pola digunakan untuk berurusan dengan sidik jari kromatografi. Algoritma matematika banyak digunakan untuk pengolahan data dalam pendekatan kemometrik. Prinsip-prinsip dasar pendekatan ini adalah variasi penentuan puncak umum/wilayah dan perbandingan kesamaan dengan indeks kesamaan dan koefisien korelasi linear. Kesamaan indeks dan koefisien korelasi linear dapat digunakan untuk membandingkan pola umum dari sidik jari kromatografi yang diperoleh (Giri et al. 2010). PCA Principal component analysis (PCA) merupakan suatu metode analisis peubah ganda yang bertujuan menyederhanakan peubah yang diamati dengan cara menyusutkan (mereduksi) dimensinya. Menurut Chew et al. (2004), PCA dapat memudahkan visualisasi pengelompokan data, evaluasi kesamaan antar kelompok atau kelas, dan menemukan faktor atau alasan di balik pola yang teramati melalui korelasi berdasarkan sifat kimia atau fisika-kimia contoh. Penyederhanaan peubah dilakukan dengan cara menghilangkan korelasi diantara peubah bebas melalui transformasi peubah bebas asal ke peubah baru yang tidak berkorelasi sama sekali atau yang biasa disebut dengan principal component (PC). Pemilihan PC dilakukan sehingga PC pertama memiliki variasi terbesar dalam set data, sedangkan PC kedua tegak lurus terhadap PC pertama dan memiliki variasi terbesar selanjutnya. Dua PC pertama pada umumnya digunakan sebagai bidang proyeksi untuk inspeksi visual dari data (Miller & Miller 2000). Setiap peubah baru (skor atau PC) yang dihasilkan PCA merupakan
kombinasi linier peubah asli pengukuran (Miller & Miller 2000).
menjaga korelasi antara X dan Y dalam „hubungan dalam‟ U=BT (Lohninger 2004).
A peubah
K komponen utama
PT X
=
T
+
E
N objek
Gambar 7 Bagan prinsip PCA. Teknik PCA berdasarkan pada dekomposisi matriks data X (N × K) menjadi dua matriks T (N × A) dan matriks P (K × A) yang saling tegak lurus (Gambar 7). Matriks T disebut dengan matriks skor yang menggambarkan variasi dalam objek, sedangkan matriks P yang disebut matriks loading menjelaskan pengaruh peubah terhadap komponen utama. Matriks P terdiri atas data asli dalam sistem koordinat baru. Galat dari model yang terbentuk dinyatakan dalam E (Lohninger 2004). Sedangkan nilai A adalah jumlah PC yang digunakan untuk membuat model (Brereton 2003). PLSDA Partial least square discriminant analysis (PLSDA) adalah salah satu metode klasifikasi yang sering diterapkan dalam bidang kemometrik dengan berlandaskan pendekatan partial least square (PLS), yaitu memprediksi peubah yang tidak bebas (Y) dari serangkaian peubah bebas (X) yang memiliki kolinieritas tinggi, jumlahnya yang banyak, dan memiliki struktur sistematik menggunakan regresi kuadrat terkecil (Brereton 2003). Peubah X dan Y tersebut didekomposisi menjadi dua matriks, yaitu matriks skor dan loading. Metode PLSDA digunakan untuk membangun suatu model regresi diantara nilai-nilai yang dibuat dari hasil perhitungan skor dari matriks X dan Y tersebut. Gambar 8 menunjukkan bahwa matriks X diuraikan menjadi matriks skor T, matriks loading P′, dan matriks galat E, sedangkan matriks Y diuraikan menjadi matriks skor U, matriks loading Q′, dan galat F. Kedua persamaan ini disebut „hubungan luar‟. Hasil dari T dan P′ mendekati data spektrum, sedangkan hasil U dan Q′ mendekati konsentrasi sebenarnya. Tujuan dari algoritma PLS adalah meminimumkan F dengan terus
Gambar 8 Bagan prinsip PLS Kebaikan suatu model klasifikasi dalam metode PLSDA dapat dilihat dari nilai determination coefficient (R2), root mean square error of calibration (RMSEC), dan root mean square error of prediction (RMSEP). Kasus dua kelompok yang terjadi dalam PLSDA, misalnya peubah Y untuk kelompok pertama diberikan nilai 1 dan nilai 0 atau -1 untuk kelompok lainnya.
METODE Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan adalah peralatan gelas, neraca analitik Precisa XT 220A, bejana KLT dengan ukuran 20×20 cm, Syringe, sistem KLT Camag (Camag, Swiss) yang terdiri atas sistem dokumentasi Reprostar 3 dan KLT aplikator semiautomatis linomat V dengan spesifikasi: Gas pembawa : Nitrogen Volume syringe : 100 µl Volume penotolan : 25 µl Kecepatan dosis : 30 µl/min Volume pradosis : 0.2 µl Ukuran pelat : 10×10 cm No. Track :5 No. Sampel :5 Panjang pita : 8.0 mm Posisi X pertama : 12.0 mm Jarak track : 15.0 mm Aplikasi posisi Y : 10.0 mm Peranti lunak yang digunakan adalah WinCATS 1.2.3, ImageJ 1.4.3.67, dan The Unscrambler X 10.0.1 (Trial). Bahan-bahan yang digunakan adalah standar kurkumin 70% (C1386-10G), pelat KLT silika gel Merck 60 F254, 10×10 cm
6
dengan tebal 0,2 mm (Damstadt, Jerman), etanol 96%, diklorometana, kloroform, dan gambar kromatogram KLT temulawak, kunyit, dan bangle dari berbagai daerah (Lampiran 3). Lingkup kerja Lampiran 1 menunjukkan bagan alir penelitian secara umum. Penelitian yang dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu melakukan analisis kromatografi lapis tipis terhadap larutan standar dengan konsentrasi berbeda, penentuan prosedur terbaik ImageJ terhadap gambar standar, aplikasi metode yang telah ditentukan terhadap gambar pelat KLT hasil pemisahan komponen pada temulawak, kunyit, dan bangle, serta diferensiasi ketiga tanaman tersebut melalui analisis multivariat. Analisis multivariat yang digunakan adalah principal components analysis (PCA) dan partial least square discriminant analysis (PLSDA). Preparasi Larutan Standar Standar kurkumin ditimbang sebanyak 0.0025 gram dan dilarutkan dalam etanol 96% sehingga diperoleh konsentrasi standar kurkumin sebesar 500 mg/L. Larutan tersebut diencerkan dengan penambahan kembali etanol sehingga diperoleh ragam konsentrasi, yaitu 5 mg/L, 10 mg/L, 50 mg/L, 100 mg/L, dan 125 mg/L. Penotolan masing-masing larutan standar kurkumin pada pelat KLT menggunakan KLT aplikator semiautomatis, yaitu Camag linomat V sebanyak 25 µl pada garis awal pelat dengan panjang pita 8 mm. Pelat KLT yang digunakan adalah pelat Aluminium dengan silika gel 60 F254, 10×10 cm dan telah dimasukkan ke dalam oven selama ±15 menit. Eluen dibiarkan bermigrasi sampai 8 cm dari garis awal. Eluen yang digunakan adalah diklorometana:kloroform (0.52:0.48 v/v) (Istiqomah 2010). Deteksi pelat KLT dilakukan menggunakan sistem dokumentasi di bawah sinar lampu tampak, sinar UV (λ 254 nm), dan UV (λ 366 nm). Penotolan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Penentuan Metode Terbaik pada Pengolahan Gambar Menggunakan ImageJ Gambar profil KLT standar kurkumin hasil dokumentasi dengan Camag Reprostar 3 diolah dengan peranti lunak ImageJ. Gambar mentah pita KLT ditandai dalam bentuk kotak
penanda yang disediakan oleh imageJ. Proses penandaan pita komponen dilakukan pada setiap deret pita yang terpisahkan secara vertikal. Hal ini dilakukan sampai didapatkan proses penandaan yang tepat sehingga menghasilkan densitogram yang stabil untuk setiap pengulangan. Setelah itu, dilakukan proses smoothing sebanyak 0-15 kali pada gambar kromatogram yang telah ditandai. Setiap kali smoothing akan menghasilkan bentuk densitogram yang berbeda untuk setiap pita yang terdeteksi. Selanjutnya, penetapan juga dilakukan saat pembentukan baseline terhadap densitogram sampai nilai area under curve (AUC) yang dihasilkan lebih stabil. Nilai AUC yang dihasilkan dari standar kurkumin dengan konsentrasi yang berbeda diplotkan terhadap konsentrasi standar kurkumin tersebut. Konsentrasi standar pada sumbu X dan nilai area atau AUC pada sumbu Y. Nilai AUC ini dihasilkan berdasarkan intensitas warna yang ditimbulkan oleh masing-masing gambar pita KLT. Metode dikatakan baik apabila memiliki nilai korelasi yang tinggi dan menghasilkan titik-titik yang berdekatan sepanjang garis lurus dengan nilai korelasi mendekati 1 serta stabil untuk setiap ulangan. Aplikasi Metode Terbaik pada Gambar Sampel Metode terbaik yang didapatkan kemudian diaplikasikan terhadap gambar sampel yang terdiri atas gambar hasil pemisahan temulawak, kunyit, dan bangle dari 8 daerah berbeda di pulau Jawa (Miftahuddin 2010). Gambar tersebut dapat dilihat pada Lampiran 3. Dengan demikian, akan didapatkan AUC untuk masing-masing pita pada hasil pemisahan komponen dari ketiga sampel tersebut. Nilai AUC yang didapatkan berdasarkan pita yang terdeteksi pada setiap hasil dokumentasi di bawah sinar tampak dan UV, baik pada panjang gelombang 254 nm maupun 366 nm serta terhadap tiga perlakuan deteksi pelat KLT, yaitu adanya penyemprotan dengan vanilina, anisaldehida, dan tanpa penyemprotan larutan pendeteksi. Diferensiasi Temulawak, Kunyit, dan Bangle Data AUC yang diperoleh dari hasil pengolahan dengan ImageJ kemudian dianalisis dengan teknik analisis data secara kemometrik, yaitu PCA dan PLSDA. PCA digunakan sebagai teknik pengenalan pola,
sedangkan PLSDA untuk mengklasifikasikan ketiga tanaman sampel ke dalam tiga kelompok tanaman yang berbeda dalam bentuk model prediksi. Model tersebut selanjutnya digunakan untuk memprediksi ketiga sampel tanaman, yaitu temulawak, kunyit, dan bangle yang tidak digunakan dalam pembuatan model. Analisis kemometrik ini dilakukan menggunakan peranti lunak The Unscrambler 10.0.1. Prosedur Penggunaan Peranti Lunak ImageJ Hasil dokumentasi menggunakan Camag Reprostar 3 yang memiliki format “.cna” diubah terlebih dahulu menjadi format “.jpg” sebelum pengolahan menggunakan ImageJ. Gambar yang akan diolah dapat dibuka dengan menekan “File”, “Open”, dan dipilih gambar yang diinginkan. Nilai AUC ditentukan dengan menampilkan terlebih dahulu densitogram dari masing-masing gambar pita KLT. Tahaptahap yang perlu dilakukan terlebih dahulu, yaitu penandaan gambar pita KLT yang akan diolah menggunakan icon berbentuk kotak (rectangular). Setelah itu, dipilih menu “analyze”, “gels”, dan “select first line” atau dipilih “select next line” untuk pita berikutnya jika pita yang akan diolah lebih dari satu. Selanjutnya, dipilih kembali menu “analyze”, “gels”, dan “plot lane”, yang akan menampilkan densitogram dari masingmasing gambar pita KLT sesuai intensitas warna yang diberikan. Pada masing-masing dasar puncak densitogram yang dihasilkan, dibuat baseline menggunakan icon berbentuk garis (straight) kemudian menekan icon berbentuk tongkat (Wand tool) pada daerah puncak tersebut, sehingga akan dihasilkan nilai AUC yang diinginkan secara otomatis. Proses smoothing dilakukan dengan memilih menu “process-smooth” atau menekan “CtrlShift-S” pada gambar mentah pelat KLT untuk memperhalus bentuk densitogram yang terbentuk.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Komponen Standar Menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Analisis kuantitatif pada KLT dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, bercak pada pelat KLT diukur langsung pada lempeng dengan menggunakan ukuran
luas atau teknik densitometri. Cara kedua adalah mengerok bercak lalu menetapkan kadar senyawa tersebut dengan metode analisis yang lain, misalnya metode spektrofotometri (Gandjar & Rohman 2007). Analisis kuantitatif dari suatu senyawa yang telah dipisahkan dengan KLT biasanya dilakukan dengan densitometer langsung pada lempeng KLT tersebut (atau secara in situ). Akan tetapi, analisis kuantitatif yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan metode pengukuran luas area tetapi secara tidak langsung melalui hasil dokumentasi pelat KLT yang berupa gambar. Metode KLT yang digunakan dalam penelitian ini hanya untuk menunjukkan komponen yang terdapat dalam larutan standar yang digunakan. Informasi ini digunakan untuk memastikan bahwa perbedaan konsentrasi komponen standar tersebut dapat diinterpretasikan dalam bentuk densitogram yang dihasilkan dari pengolahan gambar menggunakan peranti lunak imageJ.
(a)
Gambar 9
Kromatogram KLT standar kurkumin dengan berbagai konsentrasi pada berbagai visualisasi sinar: (a) sinar tampak, (b) sinar UV (λ 254 nm), (c) sinar UV (λ 366 nm).
Gambar 9 menunjukkan adanya tiga komponen yang terdeteksi dalam larutan standar kurkumin, yaitu kurkumin (Rf 0,24), dimetoksikurkumin (Rf 0,08), dan bisdimetoksikurkumin (Rf 0,02), baik visualisasi dengan sinar tampak maupun sinar UV pada panjang gelombang 366 nm dan 254 nm. Intensitas warna yang dihasilkan dari gambar pita pada permukaan pelat KLT dapat mempengaruhi hasil pembentukan densitogram dan secara tidak langsung dapat
8
mempengaruhi pula nilai area yang dihasilkan. Oleh karena itu, proses pemisahan dengan KLT ini harus dilakukan dengan baik agar menghasilkan kromatogram yang baik pula, sehingga gambar yang didapatkan pun akan baik. Standar dengan konsentrasi 5 mg/L dan 10 mg/L, baik dokumentasi menggunakan sinar tampak, sinar UV pada panjang gelombang 254 nm, maupun sinar UV pada panjang gelombang 366 nm tidak terlihat dengan jelas. Oleh karena itu, gambar pita yang digunakan hanya pita yang dihasilkan oleh larutan standar kurkumin konsentrasi 50 mg/L, 100 mg/L, dan 125 mg/L. Hal ini dilakukan karena dikhawatirkan dapat mempengaruhi hasil pengolahan gambar dengan imageJ.
densitogram masing-masing pita komponen dari gambar. Penandaan dilakukan dengan menggunakan icon berbentuk kotak (rectangular) pada toolbar imageJ untuk keseluruhan pita komponen yang terdeteksi pada setiap penotolan larutan standar kurkumin secara vertikal (Gambar 11). Hal ini bertujuan menghasilkan nilai AUC yang dapat mewakili keseluruhan pita komponen yang ada untuk tiap penotolan.
Pengolahan Gambar Pelat KLT dengan ImageJ
Gambar 10 Contoh penandaan pita komponen KLT standar kurkumin.
Gambar kromatogram KLT yang akan diolah harus melalui proses seleksi terlebih dahulu. Gambar yang dipilih adalah gambar dengan hasil pemisahan KLT paling baik, yaitu dapat mempresentasikan komponenkomponen yang terkandung di dalam senyawa uji karena sangat mempengaruhi hasil akhir pengolahan dengan imageJ. Pengolahan gambar dengan peranti lunak imageJ harus memperhatikan beberapa parameter penting, diantaranya penandaan gambar pita KLT, proses smoothing gambar mentah, dan normalisasi densitogram sehingga dapat diperoleh nilai AUC yang lebih konsisten untuk setiap pengukurannya. Pengolahan ketiga parameter ini dilakukan sampai didapatkan metode terbaik yang ditunjukkan dengan nilai korelasi terbesar antara konsentrasi larutan standar dengan nilai AUC yang dihasilkan. Selain itu, dapat menghasilkan titik-titik yang berdekatan sepanjang garis lurus dengan nilai korelasi mendekati 1 dan stabil untuk setiap ulangan. Nilai AUC standar yang digunakan pada penentuan metode terbaik ini adalah nilai AUC dari pita kurkumin. Nilai AUC (Area Under Curve) adalah nilai luas area di bawah kurva puncak densitogram. Karakterisasi Kotak Saat Gambar Pita Komponen
Penandaan
Penandaan pita komponen pada gambar adalah salah satu parameter penting dalam penentuan nilai AUC. Penandaan ini dilakukan agar dapat memunculkan
Hasil pengujian ukuran dan letak kotak penanda pita komponen dan pengaruhnya terhadap nilai AUC yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan pengujian yang dilakukan untuk tiap ukuran kotak yang berbeda dapat menyebabkan hasil ukuran AUC yang berbeda pula. Sedangkan pelebaran kotak penanda dari ukuran kotak awal tidak terlalu mempengaruhi nilai AUC tetapi perbedaan tingginya sangat mempengaruhi nilai AUC, yaitu nilai yang jauh menurun. Tabel 1 Hasil pengujian ukuran kotak penanda terhadap gambar pita komponen standar kurkumin. *
*
Keterangan: *satuan dalam piksel. Ukuran kotak penanda yang seragam dengan peletakan kotak yang kurang simetris sebenarnya tidak terlalu mempengaruhi nilai AUC tetapi apabila batas pinggir kotak penanda sampai mengenai atau bahkan memotong gambar pita yang akan dianalisis,
9
densitogram yang dihasilkan dari intensitas gambar pita KLT standar kurkumin dengan dan tanpa proses smoothing terlebih dahulu.
Tabel 2 Letak dan ukuran kotak penanda pada gambar pita komponen standar kurkumin yang digunakan dalam penelitian.
(a)
Arbritary Unit (piksel)
dikhawatirkan akan mengurangi ukuran densitogram yang terbentuk sehingga dapat pula mengurangi nilai AUC-nya sendiri. Sehingga, untuk mencegah hal tersebut diusahakan peletakan kotak penanda simetris dengan pita KLT dan setiap pita komponen yang terpisah dapat tercakup di dalam kotak penanda tersebut. Oleh karena itu, penentuan ukuran dan letak kotak penanda perlu dilakukan agar hasil area yang dihasilkan lebih konsisten untuk setiap pengulangan yang bertujuan meminimalkan kesalahan pengukuran.
Arbritary Unit (piksel)
Retardation Factor
Retardation Factor
(b)
Gambar 11 Contoh hasil densitogram dari gambar pita KLT standar kurkumin (a) tanpa smoothing, (b) dengan smoothing. Keterangan: *satuan dalam mg/L. Tabel 2 menunjukkan ukuran kotak penanda gambar pita komponen yang digunakan dalam penelitian. Ukuran kotak ini dapat berubah disesuaikan dengan besar dan tinggi deret pita komponen yang dihasilkan tetapi posisi diusahakan tetap sama untuk ulangan pengukuran dengan memperhatikan posisi kotak penanda yang dapat dilihat dari nilai koordinat x dan y. Koordinat x dan y ini dapat langsung dilihat pada tampilan imageJnya sendiri Penentuan banyaknya proses smoothing Parameter lain yang harus diperhatikan adalah adanya proses smoothing. Gambar kromatogram KLT yang telah diberi kotak penanda pita komponen kemudian diberi perlakuan pendahuluan melalui proses smoothing. Salah satu manfaat dari proses smoothing ini adalah memudahkan penentuan baseline pada dasar puncak yang terbentuk. Semakin banyak smoothing yang dilakukan, resolusi puncak yang dihasilkan semakin jelas. Gambar 10 menunjukkan hasil
Banyaknya proses smoothing yang dilakukan terhadap gambar kromatogram KLT berbeda, tergantung sinar yang digunakan saat dokumentasi. Pada penelitian kali ini menggunakan tiga macam sinar, yaitu sinar tampak, sinar UV (λ 254 nm), dan sinar UV (λ 366 nm). Hasil penentuan nilai korelasi setelah proses smoothing terhadap nilai AUC yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 4. Data tersebut menunjukkan bahwa pada gambar mentah kromatogram KLT dengan deteksi sinar UV (λ 366 nm) dan sinar tampak harus dilakukan smoothing terlebih dahulu sebanyak 8 kali dan 9 kali untuk deteksi sinar UV (λ 254 nm) sebelum penentuan nilai AUC. Pemilihan banyaknya smoothing tersebut berdasarkan hasil korelasi terbesar antara ketiga konsentrasi standar kurkumin dengan nilai AUC yang dihasilkan dari gambar pita kurkumin dan adanya kenaikan yang stabil untuk setiap ulangan pengukuran. Dengan demikian, metode yang telah dibuat dapat dikatakan cukup baik dan sudah bisa diaplikasikan terhadap gambar sampel. Proses smoothing yang dilakukan sebanyak 4 kali terhadap gambar mentah kromatogram KLT standar kurkumin dengan
10
deteksi sinar UV (λ 254 nm) juga mengakibatkan terjadinya kenaikan nilai korelasi seperti yang terjadi pada proses smoothing 9 kali. Akan tetapi, banyaknya proses smoothing ini tidak dipilih karena nilai kenaikan yang terjadi diperoleh dari nilai AUC kurkumin yang mengalami ketidaksesuaian dengan konsentrasi standar kurkumin, yaitu nilai AUC yang tidak berbanding lurus dengan besarnya konsentrasi standar kurkumin yang ada.
Semakin besar konsentrasi komponennya, semakin tinggi puncak yang dihasilkan karena intensitas warna gambar yang semakin terang dan sebaliknya. Hal ini dapat diperkuat dengan nilai luasan area yang diperoleh. Dengan demikian, luasan area yang dihasilkan sangat bergantung pada hasil dokumentasi pelat KLT sendiri maupun pada proses pemisahan komponennya. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 12.
Normalisasi Puncak Densitogram
Pita b Pita c
(A)
Arbritary Unit (piksel)
Normalisasi puncak densitogram dapat dilakukan dengan menentukan baseline pada dasar puncak. Penentuan baseline dilakukan secara manual dengan melakukan penarikan garis dari titik terendah pada lembah densitogram sebelum mengalami kenaikan kembali ke titik terendah lembah lainnya. Agar penarikan garis stabil untuk pengukuran berikutnya dan tidak mempengaruhi hasil pengukuran, cara pembuatan baseline dilakukan secara konsisten untuk setiap pengukuran. Karakterisasi kursor yang dapat menghasilkan kekonsistenan penarikan garis untuk setiap pengukuran dapat dilihat pada Lampiran 5. Kursor berbentuk “+” diusahakan terletak tepat pada titik terendah puncak densitogram yang ditandai dengan berimpitnya titik pertengahan kursor tersebut dengan titik terendah puncak densitogram. Kondisi ini dapat terlihat jelas pada perbesaran 200%, sehingga pada penentuan baseline ini sebaiknya dilakukan pada perbesaran 200% untuk memudahkan penarikan garis dasar puncak densitogram.
Pita a
Retardation Factor
Analisis Hasil Pengolahan Gambar Pita pada Pelat KLT
(B)
Gambar 12 Nilai AUC dapat keluar secara otomatis dengan menekan daerah kurva yang ingin diketahui luasan areanya menggunakan icon “wand” yang terdapat pada toolbar imageJ. Nilai luasan area ini tergantung dari besarnya intensitas warna yang direfleksikan oleh gambar pita komponen pada pelat KLT. ImageJ dapat mengubah citra dari bentuk pita pada pelat KLT menjadi bentuk densitogram dan terkuantifikasi dengan baik. Selain itu, imageJ juga mampu memperlihatkan besar kecilnya kandungan suatu komponen di dalam sampel dengan jelas, terutama pada komponen pencirinya.
Pencitraan pita KLT standar kurkumin. (A) gambar hasil pemisahan komponen standar kurkumin pada berbagai konsentrasi, (B) densitogram dengan nilai area pada puncak dari masing-masing gambar pita komponen standar kurkumin (a,b,c).
Puncak ganda dapat terbentuk pada densitogram dan cukup menyulitkan dalam penentuan baseline-nya, sehingga dapat berpengaruh pada nilai AUC yang dihasilkan. Hal ini dapat diakibatkan oleh adanya tailing/ jejak elusi yang menyebabkan pembentukan
11
puncak yang berekor (Gandjar & Rohman 2007). Pembentukan tailing dapat disebabkan oleh preparasi awal saat penotolan sampel pada pelat KLT. Penotolan sampel dengan jumlah yang terlalu banyak dapat menyebabkan konsentrasi komponen di dalamnya menjadi lebih besar sehingga cukup menyulitkan komponen tersebut untuk terelusi dan bergerak terpisah satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, komponen yang bergerak tidak seluruhnya terangkat dan meninggalkan jejak elusi. Klasifikasi Temulawak, Kunyit, dan Bangle dengan Teknik PCA Berdasarkan Nilai AUC PCA bertujuan menyederhanakan peubah yang diamati dengan cara menyusutkan (mereduksi) dimensinya. Hal ini dilakukan dengan cara menghilangkan korelasi diantara peubah bebas melalui transformasi peubah bebas asal ke peubah baru yang tidak berkorelasi sama sekali atau yang biasa disebut dengan principal component (PC). Proyeksi sampel terhadap dua peubah baru ini ditunjukkan pada score plot. Menurut Brereton (2003), score plot dengan menggunakan dua buah PC yang pertama biasanya paling berguna karena kedua PC ini menggambarkan variasi terbesar dari data. Hal ini mengindikasikan bahwa hanya dengan dua PC pertama sudah dapat dibuat model PCA yang baik. Gambar 13 menunjukkan score plot dari nilai AUC ketiga jenis tanaman, yaitu temulawak, kunyit, dan bangle dengan tiga cara deteksi pita komponen dan visualisasi sinar yang berbeda. Plot ini dapat memperlihatkan pola pengelompokkan ketiga jenis tanaman berdasarkan nilai AUC-nya, semakin dekat satu titik dengan yang lainnya, semakin besar kemiripan diantara nilai AUC dari pita komponen sampel. Artinya, semakin mirip sifat fisik/kimia dari sampel. Gambar 13a-c memperlihatkan pengaruh penggunaan sinar UV dengan panjang gelombang 366 nm pada pelat KLT dengan tiga cara deteksi pita komponen berbeda terhadap pengelompokan ketiga jenis tanaman. Pengelompokan dapat terlihat jelas dari saling berdekatannya sampel-sampel dengan jenis yang sama. Dua PC pertama pada score plot dari nilai AUC densitogram pita KLT tanpa pendeteksi komponen mampu menjelaskan 97% dari variasi total (PC1 88%, PC2 = 9%). Sedangkan score plot dari
nilai AUC dengan pendeteksi anisaldehida dan vanilina berturut-turut menjelaskan sebesar 88% (PC1 = 76%, PC2 = 12%) dan 91% (PC1 = 67%, PC2 = 24%). Hal ini menunjukkan bahwa tanpa melakukan identifikasi menggunakan pendeteksi pita komponen terhadap pelat KLT sudah dapat mengelompokkan ketiga jenis tanaman berdasarkan nilai AUC-nya yang dapat dilihat dari nilai variasi total terbesarnya. Jadi, cukup melakukan visualisasi langsung dengan sinar UV (λ 366 nm). Pengelompokan ketiga sampel juga dapat terlihat dengan jelas pada pengaruh penggunaan sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm (Gambar 13d-f). Score plot dari nilai AUC densitogram pita KLT tanpa pendeteksi komponen, dengan pendeteksi anisaldehida, dan pendeteksi vanilina berturut-turut mampu menjelaskan 98% dari variasi total (PC1 80%, PC2 = 18%), 98% (PC1= 83%, PC2 = 15%), dan 97% (PC1 = 58%, PC2 = 39%). Gambar 13g-i menunjukkan score plot dari data nilai AUC densitogram pita KLT dengan visualisasi sinar tampak terhadap pengelompokkan sampel tanaman. Gambar 13g merupakan score plot dari nilai AUC tanpa melakukan penyemprotan larutan pendeteksi warna pita komponen terhadap pelat KLT yang tidak menunjukkan pemisahan yang jelas, terutama untuk sampel tanaman temulawak dan kunyit walaupun score plot dua PC pertama dari data nilai AUC mampu menjelaskan variasi total mencapai 100% (PC1 = 97%, PC2 = 3%). Hal yang sama juga terjadi pada proses pengelompokan ketiga sampel dengan adanya penyemprotan larutan pendeteksi warna anisaldehida pada pelat KLT. Score plot dua PC pertama dari data AUC dengan adanya penyemprotan larutan pendeteksi warna anisaldehida pada pelat KLT menjelaskan variasi total sebesar 98% (PC1 = 95%, PC2 = 3%) yang ditunjukkan oleh Gambar 13h. Gambar 13i menunjukkan score plot dari data nilai AUC dengan adanya penyemprotan larutan pendeteksi warna vanilina pada pelat KLT. Berbeda dengan perlakuan sebelumnya, penyemprotan dengan vanilina ini menghasilkan nilai AUC dari densitogram pita KLT yang mampu menunjukkan pengelompokan lebih jelas antara ketiga jenis sampel tanaman walaupun dua PC pertama pada score plot dari nilai AUC densitogram pita KLT tersebut hanya mampu menjelaskan 97% dari variasi total (PC = 69%, PC2 = 28%).
12
a
b
c
d
e
f
g
h
i
Keterangan xTy : temulawak xKy : kunyit xBy : bangle 1-7 (x) : daerah pengambilan tanaman 1-2 (y) : ulangan a,d,g : tanpa pendeteksi pita (366nm, 254 nm, tampak) b,e,h : pendeteksi pita anisaldehida (366nm,254 nm, tampak) c,f,i : pendeteksi pita vanilina (366nm,254 nm, tampak)
Gambar 13 Score plot dua PC pertama dari nilai AUC temulawak, kunyit, dan bangle.
13
Pengelompokkan terbaik untuk memisahkan tanaman temulawak, kunyit, dan bangle dimiliki oleh data nilai AUC dari densitogram pita KLT tanpa penyemprotan larutan pendeteksi pita komponen (Gambar 13d) dan data nilai AUC dari densitogram pita KLT dengan penyemprotan menggunakan larutan vanilina pada visualisasi sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm (Gambar 13e). Terlihat bahwa seluruh sampel pada masing-masing kelompok berada saling berdekatan. Kelompok tanaman dengan jenis yang sama berada saling berdekatan karena kemiripan sifat dan komposisi kimia yang dimilikinya. Pembentukan Model Temulawak, Kunyit, dan Bangle dengan PLSDA Setelah beberapa komponen hasil PCA yang bebas multikolinearitas diperoleh, komponen-komponen tersebut menjadi peubah bebas baru yang akan diregresikan atau dianalisa pengaruhnya terhadap peubah tak bebas (Y) menggunakan analisis regresi. Analisis ini dilakukan dengan metode PLSDA yang berlandaskan teknik PLS, yaitu memprediksi peubah yang tidak bebas (Y) dari serangkaian peubah bebas (X) yang memiliki kolinieritas tinggi, jumlah yang banyak, dan memiliki struktur yang sistematik menggunakan regresi kuadrat terkecil (Brereton 2003). Data yang digunakan untuk membuat model berdasarkan metode PLSDA ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama digunakan untuk pembentukkan model (training set) dan bagian kedua digunakan sebagai data pengujian model (test set). Data bagian kedua ini merupakan nilai AUC untuk temulawak, kunyit, dan bangle dari daerah Dramaga, Bogor. Sedangkan data bagian pertama merupakan nilai AUC untuk temulawak, kunyit, dan bangle di daerah selain Dramaga. Lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada Lampiran 2, sedangkan data yang digunakan untuk pembentukan model dapat dilihat pada Lampiran 6-8. Penomoran pita pada lampiran tersebut dilakukan berdasarkan kecepatan komponen yang terelusi. Pita pertama adalah pita dari komponen yang terelusi paling cepat, dan seterusnya. Model PLSDA dibuat untuk masingmasing perlakuan deteksi pita komponen, yaitu penggunaan anisaldehida, vanilina, atau tanpa pendeteksi pita dan pada visualisasi sinar tampak maupun sinar UV (λ 366 nm dan
λ 254 nm). Jenis model yang dibuat dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jenis model PLSDA yang dibuat dalam penelitian. Model 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Visualisasi pelat KLT 366 nm
254 nm
tampak
Perlakuan terhadap pelat KLT Tanpa pendeteksi pita komponen Pendeteksi warna anisaldehida Pendeteksi warna vanilina Tanpa pendeteksi pita komponen Pendeteksi warna anisaldehida Pendeteksi warna vanilina Tanpa pendeteksi pita komponen Pendeteksi warna anisaldehida Pendeteksi warna vanilina
Analisis PLSDA dilakukan menggunakan dua buah matriks, yaitu matriks X dan matriks Y. Matriks X adalah prediktor yang berisi data asli yang berasal dari hasil pengukuran nilai AUC ketiga tanaman menggunakan peranti lunak ImageJ. Sedangkan matriks Y adalah matriks respon yang berunsurkan 0 dan 1. Dalam analisis PLSDA, jika salah satu jenis tanaman diberikan respon sebesar 1, jenis tanaman lainnya diberikan nilai 0. Kemampuan prediksi model PLSDA dapat dilihat dari beberapa parameter terutama nilai korelasi dan root mean square error of prediction (RMSEP) model tersebut. Model prediksi yang baik memiliki nilai korelasi antara nilai y-prediksi dan nilai y-referensi yang tinggi dan RMSEP yang rendah (Naes et al. 2002). Selain korelasi dan RMSEP, nilai root mean square error of calibration (RMSEC) juga perlu diperhatikan. Galat prediksi yang jauh lebih besar daripada galat kalibrasi menandakan terjadinya overfitting pada model. Model tersebut melibatkan terlalu banyak komponen sehingga variasi yang dimilikinya akan terlalu besar (Baranska et al. 2004). Kriteria kebaikan kesembilan model prediksi PLSDA dapat terlihat pada Tabel 4. Korelasi prediksi terbesar dimiliki oleh jenis model 3, yaitu model dengan karakterisasi pelat KLT sebagai berikut (1) adanya deteksi pita komponen KLT menggunakan larutan vanilina dan (2) visualisasi pelat dengan sinar UV (λ 366 nm). Korelasi prediksi tersebut sebesar 0,9921 dengan korelasi kalibrasinya sebesar 0,9869. Model ini juga memiliki nilai RMSEP dan RMSEC terendah, yaitu sebesar 0,0419 dan 0,0540. Oleh karena itu, model 3 ini dipilih sebagai model prediksi terbaik dari keseluruhan model.
Tabel 4 Kriteria kebaikan model PLSDA. Prediksi Model R
2
Kalibrasi
RMSEP
R
2
RMSEC
1
0,9564
0,0984
0,9477
0,1096
2
0,9826
0,0622
0,9751
0,0756
3
0,9921
0,0419
0,9869
0,0540
4
0,9420
0,1135
0,9262
0,1290
5
0,9560
0,0989
0,9492
0,1070
6
0,9548
0,1002
0,9521
0,1073
7
0,7310
0,2445
0,7071
0,2609
8
0,9566
0,0982
0,9291
0,1270
9
0,8992
0,1497
0,8534
0,1834
Menurut Brereton (2003), model yang dibuat dapat dikatakan baik dan dipercaya jika nilai R2-nya mendekati 1 dan nilai dari galat bernilai sangat kecil atau mendekati 0. Berdasarkan Tabel 4, visualisasi pita komponen dengan sinar UV (λ 366 nm) menghasilkan nilai AUC yang membentuk model prediksi PLSDA terbaik dibanding kedua lampu lainnya. Scatter plot kesembilan model dapat dilihat pada Lampiran 9-11. Tabel 5 Data prediksi tanaman dengan model PLSDA.
sampel
yang sama seperti pengukuran AUC untuk pembuatan model PLSDA. Berdasarkan Tabel 5, model yang didapatkan cukup sensitif untuk mengklasifikasikan dan memprediksi sampel yang diujikan. Kedekatan nilai kalibrasi dan referensi menunjukkan kebaikan dari model prediksi yang dibentuk. Hasil dari proses validasi silang ini dapat jelas terlihat pada Lampiran 12.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ImageJ merupakan salah satu peranti lunak yang dapat digunakan untuk mengubah respon KLT menjadi lebih terkuantifikasi dengan memanfaatkan gambar hasil dokumentasi pelat KLT hasil pemisahan komponen dari suatu sampel menjadi bentuk densitogram sehingga dapat diketahui luasan area puncak masing-masing pita komponen yang terpisah. Peranti lunak imageJ yang dikombinasikan dengan teknik pengenalan pola telah berhasil mendiferensiasikan ketiga tanaman obat, yaitu temulawak, kunyit, dan bangle berdasarkan intensitas warna pita komponen yang terdeteksi pada setiap tanaman tersebut terutama pada tiga komponen penciri, yaitu kurkumin, demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin. Selain itu, dapat disimpulkan pula bahwa proses diferensiasi ketiga tanaman obat menggunakan imageJ ini harus memperhatikan tiga parameter penting, yaitu adanya smoothing pada gambar mentah pelat KLT dengan visualisasi sinar tampak, sinar UV (λ 254 nm), dan sinar UV (λ 366 nm) berturut-turut, yaitu 8x, 9x, dan 8x, penarikan garis baseline pada titik terendah puncak densitogram sebelum mengalami kenaikan kembali pada perbesaran 200%, dan proses penandaan pita komponen dengan ukuran dan letak yang harus konsisten pada setiap pengukuran. Saran
Keterangan: *tanaman sampel berasal dari daerah Dramaga. Model 3 yang telah diprediksi menjadi model terbaik kemudian digunakan untuk memprediksi ketiga jenis sampel tanaman dari daerah Dramaga, yaitu temulawak, kunyit, dan bangle. Pengukuran AUC dilakukan sebanyak dua kali ulangan dengan perlakuan
Perlu dilakukan validasi metode antara pengukuran nilai AUC menggunakan aplikasi peranti lunak imageJ dengan alat densitometer yang sudah umum digunakan untuk analisis kuantitatif KLT berdasarkan pengukuran luas atau teknik densitometri.
DAFTAR PUSTAKA Adnan M. 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan Edisi ke-1. Yogyakarta: Andi. Afifah E. 2003. Khasiat dan Manfaat Temulawak. Jakarta: Agromedia Pustaka. Araujo CAC, Leon LL. 2001. Biological activities of Curcuma longa L. Mem Inst Oswaldo Cruz 96 (5): 723-728. Baranska M et al. 2005. Quality control of Harpagophytum procumbens and its related phytopharmaceutical products by means of NIR-FT-Raman spectroscophy. Biopolymer 77:1-8. Braithwaite A, Smith FJ. 1999. Chromatographic Method. Netherlands: Kluwer Academic Publisher. Brereton RG. 2003. Chemometrics: Data Analysis for The Laboratory and Chemical Plant. England: John Willey & Sons. Chew OS, Hamdan MR, Ismail Z, Ahmad MN. 2004. Assessment herbal medicines by chemometrics-assisted FTIR spectra. J. Anal. Chem. Acta, in press. Ferreira TA, Rasband W. 2010. The ImageJ User Guide Version 1.43. Canada: McGill University. Fried B, Sherma J. 1982. Chromatographic Science Series 17, Thin Layer Chromatography. Cazes, Editor. New York: Marcel Dekker. Giri L et al. 2010. Chromatographic and spectral fingerprinting standardization of traditional medicines: an overview as modern tools. Research J. Phytochemistry 4 (4): 234-241. Hahn-Deinstrop. 2007. Applied Thin-Layer Chromatography. R.G. Leach, editor. Jerman: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KgaA. hlm: 59-131. Hess AVI. 2007. Digitally-enhanced thinlayer chromatography: an inexpensive, new technique for qualitative and quantitative analysis. J. Chem. Educ. 84: 842.
Istiqomah IF. 2010. Pengoptimuman fase gerak KLT dengan rancangan campuran untuk analisis sidik jari temulawak. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan, Institut Pertanian Bogor. Jayaprakasha GK, Jaganmohan RL, Sakariah KK. 2005. Chemistry and biological activities of Curcuma longa L. Trends in Food Science & Technology 16: 533-548. Liang YZ, Xie P, Chen K. 2004. Quality control of herbal medicines. J. Chromatography B 812: 53–70. Lohninger H. 2004. Multivariate calibration.[terhubung berkala]. http://www.vias.org/tmdatanaleng/cc_mult ivaritae.html [27 Jul 2011]. Miftahuddin A. 2010. Diferensiasi temulawak, kunyit, dan bangle berdasarkan pola pemisahan senyawa menggunakan kromatografi lapis tipis. [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Miller JC, Miller JN. 2000. Statistic and Chemometrics for Analytical Chemistry. Ed ke-4. Harlow: Pearson Education. Naes T, Isaksson T, Fearn T, Davies T. 2002. A User-Friendly Guide to Multivariate Calibration and Classification. Chichester: NIR Publications. Phattanawasin P, Sotanaphun U, Sriphong L. 2009. Validated TLC-image analysis method for simultaneous quantification of curcuminoids in Curcuma longa. Chromatographia 69: 397–400. Purseglove J, Brown WEG, Green CL, Robbins SRJ. 1981. Spices Volume I. London: Longman. Reich E, Schibli A, 2008. Validation of highperformance thin layer chromatographic methods for the identification of botanicals in a cGMP environment. J. AOAC International 91: 13-19. Gandjar GI, Rohman A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
16
Santosa CM, Hertiani T. 2005. Kandungan senyawa kimia dan efek ekstrak daun bangun-bangun (Coleus ambonicus, L.) pada aktivitas fagositosis netrofil tikus putih (Rattus nervogicus). Majalah Farmasi Indonesia 16: 141-148. Sidik, Mulyono MW, Mutadi A. 1995. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb). Jakarta: Phyto Medika. Sherma, J. 1991. Basic techniques, materials, and apparatus, In Handbook of thin-layer chromatography. New York: Marcel Dekker Inc. Sutarno H, Atmowidjojo S. 2001. Tantangan Pengembangan dan Fakta Jenis Tanaman Rempah. Bogor: Prosea Foundation. Wall PE. 2005. Thin Layer Chromatography: A Modern Practical Approach. Dorset: VWR International Ltd.
LAMPIRAN
18
Lampiran 1 Bagan alir penelitian. Analisis KLT standar
Dokumentasi hasil pemisahan KLT
Pengolahan gambar dengan imageJ
Penentuan metode terbaik dalam mengolah gambar pita KLT
Karakterisasi kotak penandaan
Proses smoothing
Normalisasi puncak densitogram
Korelasi terbaik antara konsentrasi standar dengan nilai AUC (R2~1)
Aplikasi metode terhadap gambar hasil pemisahan sampel dengan imageJ
Pengumpulan data AUC
Pengolahan data menggunakan The Unscrambler
PCA dan PLSDA
Diferensiasi ketiga tanaman sampel
19
Lampiran 2 Lokasi pengambilan tanaman temulawak, kunyit, dan bangle. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Jenis tanaman Temulawak Temulawak Temulawak Temulawak Temulawak Temulawak Temulawak Temulawak Kunyit Kunyit Kunyit Kunyit Kunyit Kunyit Kunyit Kunyit Bangle Bangle Bangle Bangle Bangle Bangle Bangle Bangle
Nama daerah
Simbol
Ngadirejo, Wonogiri Tembalang, Semarang Tawangmangu, Karanganyar Semen, Kediri Ngrayun, Ponorogo Rancakalong, Sumedang Cikembar, Sukabumi Dramaga, Bogor Ngadirejo, Wonogiri Tembalang, Semarang Tawangmangu, Karanganyar Semen, Kediri Slahung, Ponorogo Tanjungkerta, Sumedang Cikembar, Sukabumi Dramaga, Bogor Ngadirejo, Wonogiri Tembalang, Semarang Tawangmangu, Karanganyar Semen, Kediri Slahung, Ponorogo Tanjungkerta, Sumedang Cikembar, Sukabumi Dramaga, Bogor
NGD TMB TWM SMN NGR RCK CKR DMG NGD TMB TWM SMN SLH TJK CKR DMG NGD TMB TWM SMN SLH TJK CKR DMG
Lampiran 3 Kromatogram KLT temulawak, kunyit, dan bangle dari berbagai daerah dengan berbagai perlakuan deteksi. a) Temulawak Perlakuan
Sinar tampak
Sinar UV (λ 254 nm)
Sinar UV (λ 366 nm)
Tanpa pendeteksi warna pita komponen
Pendeteksi warna anisaldehida
Pendeteksi warna vanilina
Keterangan: eluen yang digunakan adalah diklorometana:kloroform (0.52:0.48) 20
21
b) Kunyit Perlakuan
Sinar tampak
Sinar UV (λ 254 nm)
Sinar UV (λ 366 nm)
Tanpa pendeteksi warna pita komponen
Pendeteksi warna anisaldehida
Pendeteksi warna vanilina
Keterangan: eluen yang digunakan adalah diklorometana:kloroform (0.52:0.48)
21
22
c) Bangle Perlakuan
Sinar tampak
Sinar UV (λ 254 nm)
Sinar UV (λ 366 nm)
Tanpa pendeteksi warna pita komponen
Pendeteksi warna anisaldehida
Pendeteksi warna vanilina
Keterangan: eluen yang digunakan adalah diklorometana:kloroform (0.52:0.48) 22
Lampiran 4 Nilai korelasi (R2) setelah proses smoothing. Smoothing (kali)
UV (λ 366 nm) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
Smoothing (kali)
UV (λ 254 nm) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
Sinar tampak
Smoothing (kali)
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
0
0,7870
0,9810
0,3480
0
0,9250
0,9980
0,6680
0
0,7230
0,0600
0,4850
1
0,7610
0,9620
0,0180
1
0,8960
0,7040
0,8410
1
0,1820
0,6880
0,9770
2
0,8250
0,2080
0,5790
2
0,3700
0,7470
0,7830
2
0,6300
0,6350
0,7390
3
0,8670
0,4580
0,2360
3
0,9500
0,9930
0,7800
3
0,9600
0,5820
0,4400
4
0,9820
0,1970
0,8270
4
0,9900
0,9960
0,8250
4
0,8860
0,9460
0,8740
5
0,8860
0,0820
0,9080
5
0,9820
0,9980
0,8240
5
0,8840
0,7670
0,8600
6
0,8750
0,2610
0,9870
6
0,8090
0,8360
0,9130
6
0,7070
0,6730
0,4470
7
0,8920
0,9590
0,9670
7
0,9390
0,8450
0,7800
7
0,6580
0,5560
0,8580
8*
0,8980
0,9990
0,9770
8
0,6460
0,9950
0,7760
8*
0,9310
0,8830
0,9820
9
0,8930
0,9970
0,9780
9*
0,6730
0,9970
0,8910
9
0,9580
0,9630
0,8230
10
0,9690
0,9870
0,9950
10
0,7580
0,8950
0,5420
10
0,3690
0,9700
0,7040
11
0,9550
0,9990
0,9750
11
0,7250
0,9660
0,6320
11
0,2110
0,9320
0,2830
12
0,9410
0,9990
0,9140
12
0,7130
0,9840
0,6050
12
0,9600
0,3930
0,5470
13
0,8840
0,9960
0,9140
13
0,7350
0,9990
0,5870
13
0,9650
0,4570
0,2820
14
0,9160
0,9750
0,9660
14
0,7740
0,9920
0,7800
14
0,9200
0,7650
0,2880
0,7520
0,9990
0,7460
15
0,8370
0,2950
0,3610
15 0,9230 0,9750 0,9640 15 Keterangan: *banyaknya smoothing yang digunakan dalam penelitian.
23
24
Lampiran 5 Karakterisasi kursor saat penentuan baseline.
Penentuan titik terendah puncak densitogram
Cara penarikan garis pada penentuan baseline
25
Lampiran 6 Data hasil pengukuran AUC menggunakan ImageJ pada tanaman temulawak dengan visualisasi sinar tampak, sinar UV (λ 254 nm), dan sinar UV (λ 366 nm). a) Sinar tampak
Keterangan:
Satuan AUC = piksel TP = Tanpa pendeteksi warna pita komponen A = Pendeteksi warna anisaldehida V = Pendeteksi warna vanilina
26
b) Sinar UV (λ 254 nm)
Keterangan:
Satuan AUC = piksel TP = Tanpa pendeteksi warna pita komponen A = Pendeteksi warna anisaldehida V = Pendeteksi warna vanilina
27
c) Sinar UV (λ 366 nm)
Keterangan:
Satuan AUC = piksel TP = Tanpa pendeteksi warna pita komponen A = Pendeteksi warna anisaldehida V = Pendeteksi warna vanilina
28
Lampiran 7 Data hasil pengukuran AUC menggunakan ImageJ pada tanaman kunyit dengan visualisasi sinar tampak, sinar UV (λ 254 nm), dan sinar UV (λ 366 nm). a) Sinar tampak
Keterangan:
Satuan AUC = piksel TP = Tanpa pendeteksi warna pita komponen A = Pendeteksi warna anisaldehida V = Pendeteksi warna vanilina
29
b) Sinar UV (λ 254 nm)
Keterangan:
Satuan AUC = piksel TP = Tanpa pendeteksi warna pita komponen A = Pendeteksi warna anisaldehida V = Pendeteksi warna vanilina
30
c) Sinar UV (λ 366 nm)
Keterangan:
Satuan AUC = piksel TP = Tanpa pendeteksi warna pita komponen A = Pendeteksi warna anisaldehida V = Pendeteksi warna vanilina
31
Lampiran 8 Data hasil pengukuran AUC menggunakan ImageJ pada tanaman bangle dengan visualisasi sinar tampak, sinar UV (λ 254 nm), dan sinar UV (λ 366 nm). a) Sinar tampak
Keterangan:
Satuan AUC = piksel TP = Tanpa pendeteksi warna pita komponen A = Pendeteksi warna anisaldehida V = Pendeteksi warna vanilina
32
b) Sinar UV (λ 254 nm)
Keterangan:
Satuan AUC = piksel TP = Tanpa pendeteksi warna pita komponen A = Pendeteksi warna anisaldehida V = Pendeteksi warna vanilina
33
c) Sinar UV (λ 366 nm)
Keterangan:
Satuan AUC = piksel TP = Tanpa pendeteksi warna pita komponen A = Pendeteksi warna anisaldehida V = Pendeteksi warna vanilina
Lampiran 9 Scatter plot nilai AUC ketiga tanaman tanpa pendeteksi pita komponen dengan visualisasi: (a) sinar UV 366 nm, (b) sinar UV 254 nm, dan (c) sinar tampak.
(a)
(b)
Keterangan:
Prediksi Kalibrasi/Referensi
(c) 34
Lampiran 10 Scatter plot nilai AUC ketiga tanaman dengan pendeteksi warna anisaldehida dan visualisasi: (a) sinar UV 366 nm, (b) sinar UV 254 nm, dan (c) sinar tampak.
(a)
(b)
Keterangan:
35
(c)
Prediksi Kalibrasi/Referensi
Lampiran 11 Scatter plot nilai AUC ketiga tanaman dengan pendeteksi warna vanilina dan visualisasi: (a) sinar UV 366 nm, (b) sinar UV 254 nm, dan (c) sinar tampak.
(a)
(b) Keterangan:
36
(c)
Prediksi Kalibrasi/Referensi
Lampiran 12 Grafik prediksi ketiga tanaman sampel terhadap model prediksi temulawak, kunyit, dan bangle dengan visualisasi sinar UV (λ 366 nm) dan penggunaan larutan pendeteksi pita vanilina.
(a)
(b) Keterangan: a = prediksi ketiga tanaman terhadap model prediksi temulawak b = prediksi ketiga tanaman terhadap model prediksi kunyit c = prediksi ketiga tanaman terhadap model prediksi bangle T1 dan T2 = temulawak ulangan 1 dan 2 K1 dan K2 = kunyit ulangan 1 dan 2 B1 dan B2 = bangle ulangan 1 dan 2
(c) 37