1
STUDI KONSUMSI AIR, RESPON PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI DUA VARIETAS PADI PADA BEBERAPA SISTEM PENGAIRAN
AHMAD RIFQI FAUZI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
i
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Konsumsi Air, Respon Pertumbuhan dan Produksi Dua Varietas Padi pada Beberapa Sistem Pengairan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2012 Ahmad Rifqi Fauzi A252100031
i
ABSTRACT AHMAD RIFQI FAUZI. Study of Water Consumption, Growth Responses and Production of Two Rice Varieties in Different Irrigation Systems. Supervised by : AHMAD JUNAEDI, ISKANDAR LUBIS, and HIROSHI EHARA. Water is one of the important inputs to support the growth and development of plants. Currently, water availability tend to be more limited due to environmental quality degradation and global warming. This study was conducted to determine the amount of water consumption of two rice varieties (IR-64 and Jatiluhur) in four irrigation systems (conventional, water-saturated, intermittent, and upland). The study was performed using a split block design with three replications. Upland system planted with direct seeding, while for others system transplanted at 12 days old seedling. Rice plants were grown under plastic house with 3 m x 3 m area per experimental unit, and water volume recorded by flowmeter in inlet systems. Observed variable consist of growth component, stomatal charactheristics, productivity and production component. The results showed that the conventional system consumed the highest volume of water (426,768 l) in one seasson. The least consumption of water reached by upland system (3,883 l), while the water saturated system consumed 74.3% and intermittent consumed 37.9% of conventional system water consumption. In the other hand, the intermittent and conventional systems had higher productivity than water saturated and upland sytems. There were no significantly different between varieties in water consumption. However, the yields of Jatiluhur variety produced higher grain per plot than IR-64 variety. The highest efficiency of water consumption reached by upland system (0.531 g/l), the second was intermittent system (0.020 g/l), and the lowest were conventional and water saturated systems (0.008 g/l). Keywords: production component, stomatal charactheristics, water use efficiency
i
RINGKASAN AHMAD RIFQI FAUZI. Studi Konsumsi Air, Respon Pertumbuhan dan Produksi Dua Varietas Padi pada Beberapa Sistem Pengairan. Dibimbing oleh AHMAD JUNAEDI, ISKANDAR LUBIS, dan HIROSHI EHARA. Air merupakan salah satu unsur penting dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Peningkatan keterbatasan sumberdaya air saat ini diperkirakan sebagai salah satu penyebab krisis pangan. Kelangkaan air yang melanda saat ini dikarenakan meningkatnya kebutuhan air semua sektor kehidupan juga adanya anomali iklim yang menyebabkan sumber air primer (hujan) terbatas. Studi mengenai konsumsi air pada sistem budidaya dan pengelolaan air tanaman pangan dibutuhkan untuk mengetahui efisiensi penggunaan air dari tanaman tersebut. Hal ini untuk mendukung para pemulia tanaman untuk mendapatkan informasi mengenai karakter tanaman yang mampu beradaptasi pada kondisi ketersediaan air terbatas serta mempunyai efisiensi penggunaan air yang tinggi. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui konsumsi air, respon pertumbuhan dan produksi dua varietas padi (IR-64 dan Jatiluhur) pada empat sistem pengairan (konvensional, jenuh air, pengairan intermittent, dan sistem gogo). Penelitian ini disusun dengan menggunakan rancangan petak terbagi dengan tiga ulangan. Penelitian ini dilaksanakan pada petakan yang berada di dalam rumah plastik Kebun Percobaan Sawah Baru IPB. Perhitungan konsumsi air dilakukan dengan memasang flowmeter pada pipa saluran yang menuju petakan percobaan. Jumlah air yang masuk tertera pada angka yang ada di flowmeter dan diukur setiap minggu. Penanaman untuk sistem gogo (upland system) dilakukan dengan tanam benih langsung sedangkan sistem pengairan lainnya dengan pindah tanam menggunakan bibit berumur 12 hari. Petak tanam berukuran 3 m x 3 m per unit percobaan. Parameter pengamatan pada penelitian ini terdiri dari komponen pertumbuhan, karakteristik stomata, produktivitas dan komponen hasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi air sistem pengairan konvensional paling tinggi (426 768 l) dalam satu musim. Konsumsi air terendah diperoleh dari sistem gogo (upland system) dengan 3 883 l, sedangkan sistem pengairan jenuh air mengkonsumsi 74.3% dan intermittent mengkonsumsi 37.9% dari konsumsi air sistem pengairan konvensional. Selain itu, sistem konvensional dan intermittent menghasilkan produktivitas lebih tinggi dibandingkan sistem jenuh air dan sistem gogo. Tidak ada perbedaan konsumsi air antara varietas Jatiluhur dan IR-64. Namun demikian, varietas Jatiluhur memberikan hasil per petak lebih besar dibandingkan IR-64. Efisiensi konsumsi air terbesar diperoleh dari sistem gogo (0.531 g/l), diikuti oleh sistem intermttent (0.020 g/l), dan yang terendah adalah sistem konvensional dan jenuh air (0.008 g/l). Kata kunci : komponen produksi, karakteristik stomata, efisiensi penggunaan air
i
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
i
STUDI KONSUMSI AIR, RESPON PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI DUA VARIETAS PADI PADA BEBERAPA SISTEM PENGAIRAN
AHMAD RIFQI FAUZI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
i
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Supijatno, M.Si
i
Judul : Studi Konsumsi Air, Respon Pertumbuhan dan Produksi Dua Varietas Padi pada Beberapa Sistem Pengairan Nama : Ahmad Rifqi Fauzi NIM : A252100031
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ahmad Junaedi, MSi Ketua
Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS Anggota
Prof. Hiroshi Ehara, Ph.D Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr.
Tanggal Ujian : 11 Juni 2012
Tanggal Lulus :
i
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga Tugas Akhir Tesis ini dapat diselesaikan. Penelitian untuk Tesis ini berjudul Studi Konsumsi Air, Respon Pertumbuhan dan Produksi Dua Varietas Padi pada Beberapa Sistem Pengairan. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Mei - Oktober 2011. Penelitian dan penyelesaian tesis ini dibiayai oleh Program I-MHERE B.2.C IPB. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus dari penulis kepada Dr. Ir. Ahmad Junaedi, MSi, Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS, dan Prof. Hiroshi Ehara, Ph.D selaku komisi pembimbing atas waktu dan kesempatan yang telah diberikan dalam mengarahkan dan membimbing penulis selama penelitian berlangsung dan dalam penyusunan tesis ini. Penghargaan yang setinggi-tingginya serta rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan juga kepada : 1. I-MHERE B.2.C IPB yang telah membiayai seluruh biaya pendidikan Sekolah Pascasarjana dan kegiatan penelitian penulis. 2. Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S selaku Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura dan pimpinan sidang ujian atas saran serta koreksinya yang sangat bermanfaat bagi perbaikan tesis ini. 3. Dr. Ir. Supijatno, M.Si yang telah berkenan menjadi dosen penguji luar komisi dan atas saran serta koreksinya yang telah diberikan untuk perbaikan tesis ini. 4. Kepala dan Staf Kebun Percobaan Sawah Baru atas kerjasama dan bantuannya selama penelitian berlangsung. 5. Pak Nandang Hasanuddin dan Mas Joko Mulyono atas kerjasama dan bantuannya dalam penelitian ini. 6. Keluarga tercinta terutama Ayahanda H. Sabrawi (Alm) dan Ibunda Hj. Yoyoh Juhaeriyah serta adik-adik (Moh. Rizza Ferdiansyah dan Hilda Fauziah) yang telah memberikan doa, kasih sayang, dan dorongan semangat yang besar sampai detik ini. 7. Mutiara Dewi Puspitawati yang telah memberikan doa, dorongan semangat dan bantuannya selama penulis menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.
ii
8. Rekan-rekan mahasiswa pascasarjana Departemen Agronomi dan Hortikultura (AGH, PBT, ITB) yang telah memberikan dukungan serta kerjasamanya selama penulis menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB. 9. Rekan-rekan pengurus Forum Mahasiswa Pascasarjana AGH (FORSCA AGHIPB) atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2012
Ahmad Rifqi Fauzi
i
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Pandeglang, Propinsi Banten, pada tanggal 27 Juli 1987. Penulis
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak
Sabrawi (Alm.) dan Ibu Yoyoh Juhaeriah. Riwayat pendidikan penulis dimulai tahun 1991 di TK Pertiwi Pandeglang. Tahun 1993 penulis masuk SD Negeri Karaton III Pandeglang. Tahun 1999 penulis melanjutkan studi di MTs Negeri 1 Pandeglang sampai tahun 2002. Pada tahun 2005 penulis menyelesaikan studi di SMA Negeri 1 Pandeglang. Tahun 2005 penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Tahun 2006 penulis diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian dan lulus tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana IPB dengan dukungan pembiayaan melalui Program I-MHERE IPB B.2.C. Selama di IPB penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Pembiakan Tanaman serta mata kuliah Tanaman Penyegar, Obat, dan Aromatik pada tahun 2009, Fisiologi Tumbuhan (D3) tahun 2010, dan Dasar-dasar Agronomi tahun 2011. Tahun 2005-2007 penulis aktif di Organisasi Mahasiswa Daerah Keluarga Mahasiswa Banten (KMB) dan pada tahun 2008 penulis menjadi staf Departemen Eksternal (Januari-Juni) dan Ketua Departemen Eksternal Ad-interim (JuliDesember) pada Himpunan Mahasiswa Agronomi (Himagron) Faperta IPB. Selama menjadi mahasiswa Pascasarjana IPB, penulis dipercaya menjadi Ketua Departemen Informasi dan Komunikasi (2011) serta Sekretaris Bidang Informasi dan Kerjasama (2012) Forum Mahasiswa Pascasarjana Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB (FORSCA AGH-IPB).
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL......................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR.................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................
xi
PENDAHULUAN Latar Belakang .................................................................................... Tujuan ................................................................................................. Hipotesis .............................................................................................
1 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi .......................................................................... Peranan Air Bagi Tanaman .................................................................. Produksi Padi dan Kebutuhan Air Tanaman Padi ................................. Sistem Pengairan Tanaman Padi .......................................................... Respon Tanaman terhadap Kondisi Defisit Air ...................................
5 6 7 8 9
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Pelaksanaan .......................................................... Bahan dan Alat .................................................................................... Metode ................................................................................................ Pelaksanaan ......................................................................................... Pengamatan .........................................................................................
12 12 12 13 15
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum .................................................................................... Konsumsi Air ...................................................................................... Tinggi Tanaman .................................................................................. Jumlah Anakan dan Jumlah Anakan Produktif ..................................... Jumlah Daun ....................................................................................... Kerapatan Stomata, Kerapatan Trikoma dan Warna Daun (SPAD) ...... Umur Berbunga, Komponen Hasil dan Hasil ....................................... Efisiensi Konsumsi Air ........................................................................
17 19 21 22 24 27 29 35
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ......................................................................................... Saran ...................................................................................................
38 39
DAFTAR PUSTAKA................................................................................
40
LAMPIRAN...............................................................................................
45
i
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap jumlah anakan dan jumlah anakan produktif..........................................................
24
2. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap kerapatan stomata, kerapatan trikoma dan warna daun.....................................
27
3. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap umur berbunga, panjang malai, jumlah gabah malai-1, dan kepadatan malai
30
4. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan nisbah tajuk/akar.................................
31
5. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap jumlah gabah isi rumpun-1, persentase gabah isi, bobot 1000 butir gabah, dan indeks panen.................................................................................
32
6. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap produksi gabah per rumpun..........................................................................
35
7. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap efisiensi konsumsi air tanaman....................................................................
36
i
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Keragaan masing- masing perlakuan sistem pengairan : a. Konvensional; b. Jenuh air; c. Intermittent; d. Sistem gogo................. 18 2. Konsumsi air kumulatif sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b) selama satu musim tanam........................................................................ 19 3. Pertumbuhan tinggi tanaman pada beberapa sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b)................................................................................ 22 4. Pertambahan jumlah anakan tanaman padi pada beberapa sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b)................................................... 23 5. Pertumbuhan jumlah daun tanaman padi pada beberapa sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b)................................................... 25 6. Keragaan pertumbuhan tanaman padi pada sistem pengairan berbeda : (a & b) fase vegetatif (5 MST) pada lahan basah (lowland) & lahan kering (upland); (c & d) fase generatif (11 MST) pada lahan basah (lowland) & lahan kering (upland).......................................................... 26
i
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Deskripsi varietas padi IR-64.................................................................
46
2. Deskripsi varietas padi Jatiluhur............................................................
47
3. Lay out penelitian...................................................................................
48
4. Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah yang digunakan untuk penelitian................................................................................................ 49 5. Keragaan suhu dan kelembaban di dalam rumah plastik selama penelitian................................................................................................ 50 6. Data iklim bulanan..................................................................................
50
7. Rekapitulasi sidik ragam pertumbuhan vegetatif....................................
51
8. Rekapitulasi sidik ragam kerapatan stomata, kerapatan trikoma, warna daun, komponen hasil dan hasil.............................................................
52
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Ketersediaan air untuk tanaman pertanian khususnya tanaman pangan akan semakin langka pada masa mendatang. Hal ini disebabkan meningkatnya kebutuhan air semua sektor kehidupan, sementara sumber-sumber air terutama air tanah semakin berkurang seiring meningkatnya alih fungsi lahan. Hal ini juga diperparah oleh adanya anomali iklim yang menyebabkan kekeringan sehingga sumber air primer (hujan) menjadi terbatas (Setiobudi 2008). Untuk tanaman padi sawah, kelangkaan air dapat berpengaruh negatif terhadap produksi padi. Sekitar 70% produksi padi nasional berasal dari padi sawah irigasi (Setiobudi & Fagi 2009). Konsekuensi dari kelangkaan air diperkirakan dapat menurunkan produksi padi karena luas areal tanam berkurang dan kebutuhan tanaman tidak terpenuhi. Menurut Setiobudi dan Fagi (2009), kebutuhan air untuk satu musim tanam padi berkisar antara 590 – 760 mm (5.9 x 106 – 7.6 x 106 l/ha/musim). Sedangkan kebutuhan air harian untuk padi yang berumur genjah dan berumur panjang mencapai maksimum pada fase reproduktif, yaitu antara fase berbunga sampai 50% pengisian gabah mencapai 8.0 – 8.8 mm/hari, kemudian menurun pada fase pematangan menjadi 7.3 – 7.6 mm/hari. Semakin panjangnya periode kekeringan dan semakin tidak pastinya musim mengisyaratkan pentingnya upaya melakukan efisiensi penggunaan air, sebagai salah satu sumberdaya utama proses fisiologis kehidupan tanaman. Laporan FAO (2004) menunjukkan bahwa rata-rata pemakaian air untuk satu kali musim tanam padi berkisar antara 900 - 2 250 mm (9 x 106 – 2.25 x 107 l/ha/musim), sementara menurut Bouman et al. (2007) rata-rata pemakaian air untuk padi sawah mencapai 1 300 – 1 500 mm dimana 25 - 50% dari jumlah tersebut hilang akibat perkolasi dan perembesan. Tingginya kebutuhan air untuk budidaya padi sawah tersebut dihadapkan pada persolaan keterbatasan sumberdaya air dan adanya anomali iklim yang menyebabkan terbatasnya sumber air primer. Kelangkaan air dan kekeringan saat ini diidentifikasi telah mencapai 50% luas lahan padi dunia dan diperkirakan hingga tahun 2025 akan melanda 15 25 juta ha lahan padi pada beberapa sentra produksi padi di wilayah Asia
2
(Bouman et al. 2007). Sistem budidaya padi pada lahan sawah membutuhkan ketersediaan air yang tidak sedikit. Kondisi penggenangan terus menerus selama siklus pertumbuhan padi membutuhkan pasokan air dalam jumlah cukup secara terus menerus dan membatasi tumbuhnya gulma non akuatik. Besarnya kebutuhan air untuk satu kali produksi padi ditentukan oleh teknik pengelolaan air yang efektif dan efisien. Pengelolaan air untuk produksi tanaman harus memperhatikan sifat fisik dan kimia tanah, kondisi cuaca, jenis tanaman (varietas), ketersediaan air dan sistem pengairan. Pengelolaan air untuk mengantisipasi kelangkaan air dapat dilakukan melalui pengaturan sistem pengairan dan varietas karena berhubungan dengan kebutuhan air untuk produksi tanaman (Setiobudi & Fagi 2009). Penelitian mengenai konsumsi air pada padi dan efisiensi penggunaannya penting dilakukan karena semakin terbatasnya ketersediaan air sebagai faktor penting bagi produksi padi. Informasi kebutuhan air tanaman padi diperlukan untuk para peneliti maupun petani dalam menyeleksi varietas padi yang dapat beradaptasi baik pada kondisi kekurangan air. Supijatno et al. (2012) telah melakukan evaluasi volume konsumsi air pada beberapa genotipe padi. Konsumsi air bervariasi dengan kisaran 15.93 - 24.13 l/tanaman. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan morfologi maupun karakter fisiologi antar genotipe. Teknik penggenangan pada budidaya konvensional membutuhkan air dalam jumlah sangat besar. Brown et al. (1978) melaporkan bahwa hanya 48% (566.4 mm) dari kebutuhan irigasi sebesar 1 180 mm yang digunakan untuk proses evapotranspirasi. Kehilangan lain terjadi melalui run off dan infiltrasi. Penugalan benih dan sistem budidaya aerobik pada sistem gogo merupakan alternatif untuk penghematan air. De Datta (1975) melaporkan bahwa sistem budidaya padi gogo sangat bergantung pada curah hujan. Produktivitas padi gogo dilaporkan juga dapat mencapai lebih dari 7 t/ha. Hal ini menunjukkan bahwa padi tidak memerlukan kondisi tergenang untuk mencapai produktivitas tinggi. Peningkatan efisiensi penggunaan air juga dapat dilakukan dengan metode budidaya jenuh air. Borrell et al. (1997) melaporkan bahwa peningkatan hasil dan kualitas padi tidak selalu dengan menggunakan penggenangan yang terus menerus. Hasil dan kualitas padi dengan budidaya jenuh air tidak berbeda nyata
3
dengan budidaya konvensional (penggenangan permanen), namun budidaya jenuh air mampu menurunkan penggunaan air hingga 32% pada dua musim tanam. Dengan demikian efisiensi penggunaan air pada teknik jenuh air menunjukkan nilai yang lebih baik dibandingkan teknik konvensional. Pada metode jenuh air diperoleh komponen kualitas hasil yang tidak berbeda dengan pengairan konvensional. Hal ini mengindikasikan bahwa penghematan pemberian air tidak menurunkan kualitas hasil tanaman padi. Pertumbuhan gulma secara keseluruhan lebih tinggi pada metode jenuh air sehingga perlu ada pengendalian khusus terhadap gulma apabila akan menggunakan metode jenuh air ini. Pengairan berselang (intermittent irrigation) adalah pengaturan kondisi lahan dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian (BB Padi 2009). Pengairan dilakukan secara periodik pada fase tertentu. Pada saat tanaman memasuki fase berbunga, ketinggian air di areal pertanaman dipertahankan sekitar 2 - 3 cm (Badan Litbang Pertanian 2010). Hasil pengkajian Setiobudi dan Fagi (2009) melaporkan bahwa pengairan intermittent setiap sembilan hari sekali mampu menghemat air sebesar 40% tetapi tidak menurunkan hasil. Pemilihan varietas juga menjadi hal penting dalam penerapan teknologi produksi padi yang hemat air tetapi menghasilkan produksi yang tinggi. IR-64 merupakan salah satu varietas yang hemat dalam mengkonsumsi air. Berdasarkan hasil penelitian Supijatno et al. (2012) dilaporkan bahwa varietas IR-64 mengkonsumsi air sebesar 15.93 l/tanaman dan konsumsi ini yang terendah diantara varietas lain yang dicobakan. Varietas IR-64 sampai saat ini masih merupakan varietas dengan luas areal tanam terluas di Indonesia. Menurut Suprihatno dan Daradjat (2009), pada tahun 2006 luas areal tanam varietas IR-64 mencapai 45.51% dan menempati urutan pertama dari varietas unggul yang ditanam di Indonesia. Pengkajian mengenai morfologi dan fisiologi tanaman padi ditujukan untuk mengetahui karakter tanaman padi yang efisien dalam menggunakan air. Informasi dari hasil penelitian di bidang fisiologi merupakan informasi yang penting bagi program pemuliaan untuk pengembangan varietas (Makarim & Suhartatik 2009). Kunci perbedaan morfologi tanaman padi dengan beberapa tanaman sereal lainnya adalah terletak pada anatomi daun dan akar, pola
4
pelepasan air, dan tingkat pertumbuhan yang lebih respon terhadap kondisi lahan lebih kering dibandingkan kondisi lahan jenuh air (Lafitte & Bennet 2002). Pada kondisi
air
terbatas
atau
di
bawah
kejenuhan,
maka
akan
terjadi
penurunan/pengurangan permukaan luas daun serta laju fotosintesis dan ukuran sink (Bouman & Tuong 2001), menginduksi penggulungan pada daun (leaf rolling) dan mempercepat pengguguran daun (Turner et al. 1986). Tujuan 1. Mendapatkan informasi mengenai konsumsi air dua varietas padi dan sistem pengairan yang berbeda. 2. Mendapatkan informasi mengenai respon pertumbuhan dan produksi dua varietas padi pada setiap sistem pengairan. Hipotesis 1. Terdapat perbedaan konsumsi air dua varietas padi dan perlakuan sistem pengairan. 2. Sistem pengairan yang berbeda mempengaruhi respon pertumbuhan dan produksi dua varietas padi.
5
TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi Tanaman padi (Oryza sativa L.) termasuk dalam famili Graminae yang ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Ruas-ruas ini merupakan bumbung kosong yang ditutup oleh buku dan panjang ruasnya tidak sama. Ruas yang terpendek berada di pangkal batang, ruas yang kedua dan seterusnya lebih panjang dari ruas-ruas yang lebih bawah. Pada buku bagian bawah dari ruas, tumbuh daun pelepah yang membalut ruas sampai buku bagian atas. Tepat pada buku bagian atas ujung dari daun pelepah memperlihatkan percabangan dimana cabang yang terpendek menjadi ligule (lidah) daun, dan bagian yang terpanjang dan terbesar menjadi helaian daun. Dimana daun pelepah itu menjadi ligule dan pada helaian daun terdapat dua embel sebelah kiri dan kanan yang disebut auricular. Auricular dan ligule yang kadang - kadang berwarna hijau dan ungu dapat digunakan sebagai alat untuk mendeterminasi dan identifikasi suatu varietas (Siregar 1987). Tanaman padi bersifat merumpun, artinya tanaman tersebut menghasilkan anakan yang tumbuh dari tanaman induk. Dari satu batang bibit yang ditanam, maka dalam waktu yang sangat singkat dapat terbentuk suatu rumpun yang terdiri dari 20-30 atau lebih tunas baru atau anakan (Siregar 1987). Tanaman padi mempunyai sistem perakaran serabut (De Datta 1981). Akar primer (radikula) yang tumbuh sewaktu berkecambah bersama akar lain yang muncul dari embrio dekat bagian buku disebut akar seminal, yang jumlahnya antara satu sampai tujuh buah. Penyebaran sistem akar dapat mencapai kedalaman 20 - 30 cm. Meskipun demikian, akar banyak mengambil zat makanan dari tanah dekat permukaan atas. De Datta (1981) menyatakan bahwa stadia reproduktif tanaman padi ditandai dengan memanjangnya beberapa ruas teratas pada batang yang sebelumnya tertumpuk rapat dekat permukaan tanah. Stadia reproduktif juga ditandai dengan berkurangnya jumlah anakan, munculnya daun bendera, kebuntingan, dan pembungaan. Inisiasi primordial malai biasanya dimulai 30 hari sebelum
pembungaan.
Stadia
inisiasi
ini
hampir
bersamaan
dengan
6
memanjangnya ruas - ruas yang terus berlanjut sampai berbunga. Oleh sebab itu stadia reproduktif juga disebut stadia pemanjangan ruas - ruas. Pembibitan padi umumnya dilakukan dengan cara menanam langsung pada lahan tidak tergenang ataupun pada kondisi tanah yang digenangi air (Siregar 1987). Varieas padi Jatiluhur tumbuh dan berproduksi baik pada lahan tidak tergenang (gogo). Varietas Ciherang tumbuh dan berproduksi baik pada lahan tergenang maupun tidak tergenang. Varietas IR-64 tumbuh dan berproduksi baik pada lahan genangan air dalam (Djunainah et al. 1993). Peranan Air Bagi Tanaman Air merupakan komponen utama dari tanaman, namun penggunaan air ini berbeda untuk setiap jenis tanaman. Hal ini disebabkan oleh perbedaan sifat anatomi dan morfologi tiap spesies tanaman sehingga menyebabkan perbedaan tingkat transpirasi (Monteith 1975). Kekurangan air akan mempengaruhi fotosintesis tanaman, akibatnya dapat menggangu produksi karbohidrat (Tisdale & Nelson 1975). Gupta (1979) menjelaskan bahwa kekurangan air dapat mempengaruhi pertumbuhan pada beberapa organ, antara lain: (1) penurunan nisbah tunas dan pertumbuhan akar, (2) pengurangan akar lateral dan total panjang akar, dan (3) pengurangan pada nisbah daun dan tangkai. Kebutuhan air tanaman menurut Doorenbos dan Pruitt (1977) adalah air yang hilang oleh evapotranspirasi dari tanaman yang bebas penyakit, tumbuh di lapangan luas pada keadaan tanah dengan air dan kesuburannya tidak menjadi pembatas serta tanaman mencapai potensi produksi maksimum. Kebutuhan air dari tanaman disediakan oleh lingkungan perakaran dan air tersebut berasal dari air yang tertahan dalam tanah yang dapat dengan mudah diserap tanaman (William & Joseph 1973). Jumlah air yang dapat ditahan oleh tanah tergantung dari kadar bahan organik dan tekstur tanah (Tisdale & Nelson 1975). Makin rendah jumlah air tersedia, suplai air di daerah perakaran makin berkurang, akibatnya absorpsi air oleh akar juga makin berkurang. Air yang diserap akar dari tanah tidak seluruhnya dimanfaatkan tanaman untuk menghasilkan bahan kering, karena sebagian besar (> 90%) dari total air yang diserap akar hilang melalui transpirasi (Gardner et al. 1985).
7
Ketahanan pangan saat ini tergantung kepada kemampuan tanaman meningkatkan produksi dengan penurunan ketersediaan air bagi pertumbuhan tanaman pangan (Farooq et al. 2009). Oleh karena itu, saat ini, perakitan tanaman khususnya tanaman padi diarahkan kepada kemampuan tanaman untuk mampu beradaptasi terhadap kondisi ketersediaan air yang terbatas tetapi tetap berproduksi tinggi. Padi sendiri merupakan tanaman yang memerlukan banyak air untuk satu musim tanam. Untuk menghasilkan 1 kg beras, petani harus memberikan air 2 – 3 kali lebih banyak dibandingkan tanaman serealia lainnya (Barker et al. 1998). Hasil penelitian De Datta (1981) menunjukkan bahwa pengurangan penggunaan air sebesar 56% ternyata proporsional dengan pengurangan hasil sebesar 57%.
Produksi Padi dan Kebutuhan Air Tanaman Padi Maclean (2002) melaporkan bahwa padi merupakan salah satu jenis bahan pangan yang dikonsumsi oleh tiga milyar penduduk dunia sebagai bahan pangan pokok. Luas lahan padi dunia diperkirakan mencapai 147 633 000 ha dengan pencapaian produksi 577 971 000 ton, dimana 79 juta ha diantaranya merupakan lahan padi dataran rendah bersistem irigasi dengan kapasitas produksi mencapai 75% dari total produksi dunia. Dari luas total lahan tanaman budidaya beririgasi di dunia, 56% berada di wilayah Asia dimana 40 - 46% luas tersebut memiliki tingkat penggunaan air dua hingga tiga kali lebih tinggi dibandingkan tanaman budidaya lainnya (Dawe 2005; Tuong et al. 2005). Laporan FAO (2004) menunjukkan bahwa rata-rata pemakaian air untuk satu kali musim tanam padi berkisar antara 900 - 2 250 mm, sementara menurut Bouman et al. (2007) menyatakan bahwa rata-rata pemakaian air untuk padi sawah mencapai 1 300 - 1 500 mm dimana 25 - 50% dari jumlah tersebut hilang akibat perkolasi dan perembesan. Tingginya kebutuhan air untuk budidaya padi sawah tersebut dihadapkan pada persolaan keterbatasan sumberdaya air dan adanya anomali iklim yang menyebabkan terbatasnya sumber air primer. Kelangkaan air dan kekeringan saat ini diidentifikasi telah mencapai 50% luas lahan padi dunia dan diperkirakan hingga tahun 2025 akan melanda 15 - 25 juta
8
ha lahan padi pada beberapa sentra produksi padi di wilayah Asia (Bouman et al. 2007). Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak kelangkaan air dan kekeringan terhadap sistem produksi padi antara lain optimalisasi produksi tanaman per satuan unit evapotranspirasi melalui perbaikan manajemen teknik agronomi, minimalisasi penggunaan air pada tahap persiapan lahan dan persiapan tanaman, menekan kehilangan air akibat perkolasi, perembesan, evaporasi, dan aliran permukaan, serta perbaikan kemampuan varietas padi yang adaptif dan toleran kekeringan (Guerra et al. 1998). Kebutuhan air untuk satu kali produksi tergantung jenis tanaman atau varietasnya. Berdasarkan hasil penelitian Supijatno et al. (2012) bahwa konsumsi air antar genotipe berbeda berkisar antara 15.93 – 24.13 l tanaman-1. Produksi gabah yang dihasilkan dari penelitian tersebut juga berbeda antar genotipe. Perhitungan efisiensi penggunaan air juga dilakukan dengan membandingkan produksi terhadap jumlah air yang dikonsumsi selama siklus hidupnya. Jatiluhur merupakan varietas yang paling banyak mengkonsumsi air tetapi hasil yang diperoleh juga banyak sehingga efisiensi penggunaan airnya tinggi sebesar 0.997 g gabah kering giling/liter air. Sistem Pengairan Tanaman Padi Teknik penggenangan pada budidaya konvensional membutuhkan air dalam jumlah sangat besar. Brown et al. (1978) melaporkan bahwa 48% (570 mm) dari kebutuhan irigasi (1 180 mm) hilang melalui proses evapotranspirasi (ET). Kehilangan lain terjadi melalui run off dan infiltrasi. Teknik penggenangan air merupakan suatu pendekatan pengelolaan, bukan sebagai pengelolaan khusus dari tanaman padi. Penugalan benih dan sistem budidaya aerobik merupakan alternatif metode yang ideal untuk mengatasi permasalahan kerusakan tanaman. De Datta (1975) melaporkan bahwa sistem budidaya padi gogo sangat bergantung pada curah hujan. Produktivitas padi gogo dilaporkan juga dapat mencapai lebih dari 7 t/ha. Hal ini menunjukkan bahwa padi tidak memerlukan kondisi tergenang untuk mencapai produktivitas tinggi.
9
Peningkatan efisiensi penggunaan air dapat dilakukan dengan metode budidaya jenuh air. Borrell et al. (1997) melaporkan bahwa peningkatan hasil dan kualitas padi tidak selalu dengan menggunakan penggenangan yang terus menerus. Meskipun hasil dan kualitas padi dengan budidaya jenuh air tidak berbeda nyata dengan budidaya konvensional (penggenangan permanen), namun budidaya jenuh air mampu menurunkan penggunaan air hingga 32% pada dua musim tanam. Dengan demikian efisiensi penggunaan air pada teknik jenuh air menunjukkan nilai yang lebih baik dibandingkan teknik konvensional. Hal ini mengindikasikan bahwa penghematan pemberian air tidak menurunkan kualitas hasil tanaman padi. Pertumbuhan gulma secara keseluruhan lebih tinggi pada metode jenuh air sehingga perlu ada pengendalian khusus terhadap gulma apabila akan menggunakan metode jenuh air ini. Pengairan berselang (intermittent irrigation) adalah pengaturan kondisi lahan dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian sesuai fase pertumbuhan tanaman dan kondisi lahan (BB Padi 2009). Menurut Badan Litbang Pertanian (2008) pengairan berselang ditujukan untuk menghemat air irigasi sehingga areal yang dapat diairi menjadi lebih luas, memberi kesempatan akar tanaman mendapatkan udara agar dapat berkembang lebih dalam, mengurangi kerebahan, memudahkan pembenaman pupuk, memudahkan pengendalian hama. Pengairan dilakukan secara periodik pada fase tertentu. Pada saat tanaman memasuki fase berbunga, ketinggian air di areal pertanaman dipertahankan sekitar 2 - 3 cm (Badan Litbang Pertanian 2010). Pengairan berselang setiap sembilan hari sekali mampu menghemat air sebesar 40% dan tidak menurunkan hasil (Setiobudi & Fagi 2009).
Respon Tanaman terhadap Kondisi Defisit Air Morfologi suatu tanaman akan berpengaruh terhadap produktivitasnya. Misalnya efektivitas dalam memanfaatkan ketersediaan air bagi tanaman akibat perakarannya yang berbeda dalam penyebarannya. Pada saat terjadi defisit air (cekaman kekeringan) maka organ yang berperan penting dalam penyerapan air dan mendukung tersedianya air bagi tanaman adalah akar dan daun. Pada tanaman, cekaman kekeringan
merupakan istilah untuk menyatakan bahwa
10
tanaman mengalami kekurangan suplai air akibat kelangkaan air dari lingkungannya yaitu media tanam. Menurut Morgan (1984) tipe cekaman kekeringan sangat beragam mulai dari adanya fluktuasi kelembaban udara, radiasi matahari yang diterima tanaman cukup tinggi sampai pada lahan bermasalah yang mengalami defisit air, dan kelembaban udara sangat rendah di lingkungan yang kering. Kekurangan air secara internal pada tanaman berakibat langsung pada penurunan pembelahan dan pembesaran sel. Pada tahap pertumbuhan vegetatif, air digunakan oleh tanaman untuk pembelahan dan pembesaran sel yang terwujud dalam pertambahan tinggi tanaman, perbanyakan daun dan pertumbuhan akar (Kramer 1969). Menurut Levitt (1980), cekaman kekeringan yang biasa disebut drought stress pada tanaman dapat disebabkan dua hal yaitu (1) kekurangan suplai air di daerah perakaran dan (2) permintaan air yang berlebihan oleh daun akibat laju evapotranspirasi melebihi laju absorpsi air walaupun keadaan air tanah cukup tersedia. Menurut Fitter dan Hay (1991), keadaan cekaman air menyebabkan penurunan turgor pada sel tanaman dan berakibat pada menurunnya proses fisiologi. Potensial turgor akan menurun hingga dapat mencapai nol dan mengakibatkan kelayuan jika kehilangan air dari tanaman ini berlangsung terusmenerus di luar batas kendalinya (Naiola 1996). Keadaan yang sangat kering pada tanaman akan dapat mempengaruhi fase pertumbuhan dan produksi tanaman. Bila keadaan kering terjadi selama fase vegetatif maka akan berpengaruh terhadap luas daun dan panjang batang sehingga dapat menurunkan laju fotosintesis. Boyer (1970) menyatakan bahwa menurunnya laju fotosintesis pada tanaman kedelai yang mengalami kekeringan terutama disebabkan oleh meningkatnya resistensi stomata terhadap CO2, sedangkan menurunnya fotosintesis secara langsung pada tanaman yang mengalami kekeringan juga akibat protoplasma dan kloroplas mengalami dehidrasi sehingga mempunyai kemampuan yang rendah untuk proses fotosintesis. Pada kondisi kekeringan, stomata daun menutup atau menutup sebagian dan mengurangi aktivitasnya, sehingga menghambat masuknya CO2 didalam ruang interseluler daun yang secara langsung mengurangi aktivitas fotosintesis.
11
Kekurangan air pada tanaman yang menghambat terjadinya proses fotosintesis juga diteliti oleh Gerik et al. (1996) yang telah membuktikan bahwa kekurangan air pada tanaman kapas sangat berpengaruh terhadap kapasitas fotosintesis. Terjadi penurunan kapasitas fotosintesis dan peningkatan penuaan daun yang berpengaruh buruk terhadap produksi kapas. Pengaruh negatif lainnya akibat kekurangan air adalah terjadinya penurunan pertumbuhan dan pembesaran sel, perluasan daun, translokasi, dan transpirasi tanaman. Luasan daun pada 5 hari cekaman memiliki luas daun sekitar 20.4 cm2, setelah mengalami cekaman yang lebih lanjut sekitar 9 hari memiliki luas daun yang lebih kecil yaitu 16.5 cm2. Cekaman
air
dapat
mempengaruhi
perangkat
fotosintesis
yaitu
menurunkan kandungan klorofil dalam kloroplas, mesofil pada sel yang aktif berfotosintesis (Harjadi & Yahya 1988). Respon penurunan kandungan klorofil yang diteliti oleh Yusnaeni (2002) pada tanaman Hoya (Asclepiadaceae) yang menunjukkan bahwa, kandungn klorofil menurun sekitar 0.46 mg/g daun segar (penyiraman setiap minggu) jika dibandingkan dengan penyiraman setiap hari yang memiliki klorofil sekitar 0.54 mg/g daun segar.
12
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian dilaksanakan mulai Mei – Oktober 2011. Penanaman dilakukan di Kebun Percobaan Sawah Baru (06o33’ LS, 106o45’ BT, altitude 250 mdpl), University Farm, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah 2 varietas padi yaitu IR-64 (padi sawah) dan Jatiluhur (padi gogo). Deskripsi varietas padi yang digunakan disajikan pada Lampiran 1 dan 2. Pupuk yang digunakan adalah Urea, SP-36, dan KCl dengan dosis sesuai rekomendasi yaitu masing - masing 250 kg/ha, 100 kg/ha, dan 100 kg/ha. Alat yang digunakan antara lain thermohygrometer, chlorophyll meter (SPAD Minolta), mikroskop, penggaris, oven, timbangan analitik dan alat-alat pertanian. Untuk pengukuran debit air digunakan flow meter yang dipasang pada pipa-pipa saluran.
Metode Percobaan yang dilakukan meliputi dua faktor yang disusun secara faktorial. Rancangan lingkungan yang digunakan adalah split plot dengan tiga ulangan. Faktor pertama sebagai petak utama adalah sistem pengairan terdiri dari 4 sistem pengairan yaitu pengairan konvensional (kontrol),
pengairan
saluran/jenuh air, pengairan berselang (intermittent), dan gogo. Sedangkan faktor kedua adalah varietas padi yang ditempatkan sebagai anak petak yang terdiri dari IR-64 dan Jatiluhur. Dari kedua faktor tersebut diperoleh 8 kombinasi yang setiap kombinasinya diulang sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 24 satuan percobaan. Volume air pada setiap pemberian air selama pertumbuhan padi dihitung setiap minggu. Model linear aditif dari rancangan perlakuan ini adalah sebagai berikut : Yijk = µ + Kk + αi + Өik + βj +(αβ)ij + εijk Keterangan : Yijk
= Nilai pengamatan perlakuan sistem pengairan ke-i, varietas padi ke-j, dan blok ke-k
13
µ
= Rataan umum
Kk
= Pengaruh blok ke-k
αi
= Pengaruh perlakuan sistem pengairan ke-i
βj
= Pengaruh perlakuan varietas padi ke-j
(αβ)ij = Interaksi perakuan sistem pengairan ke-i dengan varietas ke-j Өik
= Galat petak utama
εijk
= Galat anak petak
Satuan percobaan terdiri atas petakan berukuran 3 m x 3 m yang dilengkapi dengan pemasangan flow meter pada pipa inlet untuk mencatat volume air yang masuk ke petakan. Denah (lay out) tata letak penelitian disajikan pada Lampiran 3. Penanaman menggunakan jarak tanam 25 cm x 20 cm. Pengendalian gulma, hama, dan penyakit disesuaikan dengan keperluan. Pelaksanaan 1. Persiapan rumah plastik dan petak tanam. Ukuran rumah plastik 30 m x 12 m, tinggi ± 4.5 m, dan dibuat bak tanam berukuran 3 m x 3 m sebanyak 24 bak. Jarak antar bak tanam 35 cm, dan tiap bak tanam dilengkapi jaringan pipa berdiameter 1.0 inchi untuk inlet yang dipasangi dengan flow meter dan pipa out let berdiameter 2.0 inchi. Pengolahan lahan untuk metode konvensional, intermittent, dan jenuh air dengan penggenangan dilakukan selama 5 hari kemudian dilakukan pengolahan tanah 3 kali dan selanjutnya dilakukan penanaman. Pengolahan lahan untuk sistem gogo dilakukan dengan penyiraman air sebanyak 60 liter air per hari/petak selama 5 hari dan selanjutnya dilakukan penanaman pada hari ke-6. Aplikasi penyiraman didasarkan pada asumsi curah hujan per bulan sebesar 200 mm. Jadi kebutuhan air per hari per petak dapat dihitung sebagai berikut : Curah hujan bulan-1 Jumlah air petak-1 hari-1
= 200 mm/30 hari = 6.67 mm hari-1 = 6.67 x 10-2 dm hari-1 x 9 m2 x 102 dm2 m-2 = 60.03 dm3 hari-1 = 60 liter
14
2. Persiapan benih dan penanaman. Untuk keseragaman daya berkecambah, benih dioven selama 72 jam pada suhu 430 C, selanjutnya ditimbang sebanyak 50 gram dan direndam dengan air selama 12 jam. Untuk sistem budidaya konvensional, jenuh air/saluran, dan intermittent, benih disemai terlebih dahulu hingga berumur 12 hari dan selanjutnya dipindah tanam ke petakan. Jumlah bibit yang ditanam 1 bibit per lubang tanam. Sementara untuk metode gogo, benih ditanam langsung di petakan dengan cara ditugal bersamaan dengan penyemaian benih. Benih yang ditanam sebanyak 5 benih per lubang tanam. Jarak tanam yang digunakan adalah 25 cm x 20 cm 3. Pemeliharaan. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan pemupukan dalam tiga tahap menggunakan pupuk dasar 37.5 kg N/ha (1/3 dosis), 36 kg P2O5/ha, dan 60 kg K2O/ha diberikan 1 minggu setelah tanam (MST) dan untuk pemupukan kedua dan ketiga diberikan pupuk N saja dengan dosis 37.5 kg N/ha pada 5 MST dan 9 MST. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara kimia sesuai kondisi dan kebutuhan di lapangan. 4. Pengairan dan pengukuran debit air. Pemberian air antar sistem budidaya berbeda satu sama lain. Pengukuran debit air dilakukan dengan melihat dan mencatat jumlah air yang masuk ke petakan yang dilakukan setiap minggu. Angka jumlah air yang masuk tertera pada flow meter yang terpasang di pipa. Pengairan untuk sistem konvensional dilakukan dengan memberikan air terus - menerus ke petakan sampai tergenang dan genangan dijaga sampai ketinggian 5 cm dari permukaan. Pengairan untuk sistem jenuh air adalah dengan terlebih dahulu dibuat saluran dipinggir areal tanam sedalam kurang lebih 10 cm. Air diberikan di sepanjang saluran yang dibuat sampai areal tanam jenuh air. Air pada saluran dijaga tetap tersedia sampai ketinggian 5 cm dari permukaan saluran. Pengairan pada metode intermittent dilakukan dengan menggenangi areal tanam setinggi 5 cm, selanjutnya pengairan dihentikan sampai tanah pada areal tanam terlihat retak (pecah rambut). Frekuensi penggenangan pada metode intermittent ini disesuaikan dengan kondisi yang terjadi di lapangan. Pengairan pada metode gogo dilakukan dengan melakukan penyiraman sebanyak 60 liter air/hari/petakan.
15
Pengamatan Peubah pengamatan meliputi : a. Konsumsi air. Perhitungan volume air (liter) yang masuk ke petakan diukur dengan menggunakan flow meter yang terpasang di petakan. b. Tinggi tanaman (cm) diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun/malai terpanjang, jumlah anakan, jumlah daun per rumpun (helai) dihitung tiap minggu sejak 2 minggu sampai 10 minggu setelah tanam. c. Umur berbunga (hari). Ditentukan pada saat 50% populasi telah mengeluarkan malai. d. Kerapatan stomata dan trikoma. Pengamatan untuk penghitungan kerapatan stomata dan trikoma dilakukan pada stadia pertumbuhan vegetatif tanaman padi (7 MST) dengan menggunakan mikroskop perbesaran 40 x 10. e. Warna daun diamati pada saat tanaman memasuki fase generatif (8 MST) dengan menggunakan SPAD. Daun yang diamati adalah daun pertama (daun bendera). f. Komponen hasil dan hasil (panen pada kondisi masak kuning, waktu panen tergantung varietas) : - Jumlah anakan produktif ditentukan berdasarkan jumlah anakan yang menghasilkan malai - Bobot kering tajuk dan akar (g) diukur dengan dimasukkan ke dalam oven pada suhu 800C selama 48 jam. - Nisbah tajuk/akar dihitung dengan membandingkan bobot kering tajuk dengan bobot kering akar. - Panjang malai (cm) yang diukur dari pangkal sampai ujung malai - Jumlah gabah malai-1 dilakukan dengan menghitung seluruh gabah dalam satu malai - Kepadatan malai (butir/cm) dihitung dengan menggunakan persamaan jumlah gabah/panjang malai - Jumlah gabah isi per rumpun (butir) dihitung dengan menjumlahkan seluruh gabah isi setiap malai dalam satu rumpun
16
- Persen gabah isi (%) dihitung setelah panen dengan membandingkan jumlah gabah isi terhadap total gabah per rumpun - Bobot per 1000 butir (g) dilakukan dengan menimbang 1 000 butir gabah yang telah dijemur sampai kadar air mencapai 14%. - Indeks panen dihitung dengan membandingkan antara gabah kering per rumpun dengan bobot kering tajuk. - Produksi gabah rumpun-1 (g) ditentukan dengan menimbang total gabah di setiap rumpun pada kadar air 14%. - Produksi gabah petak-1 ditentukan dengan menimbang total gabah di setiap petak pada kadar air 14%. g. Efisiensi konsumsi air (g/l) dihitung dengan membandingkan antara produksi gabah petak-1 dengan konsumsi air. h. Pengamatan tambahan : -
Suhu dan kelembaban relatif rata-rata/hari, diukur dengan merataratakan suhu dan kelembaban pada pagi (pukul 07.00 - 09.00), siang (pukul 11.00 - 13.00), dan sore (pukul 15.00 - 16.00).
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan pengujian sidik ragam pada selang kepercayaan 95%. Apabila hasil sidik ragam berpengaruh nyata, maka dilakukan pengujian beda nilai tengah antar perlakuan dengan menggunakan Uji Wilayah Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5%.
17
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Sebelum penanaman dilakukan pengambilan contoh tanah untuk dianalisis. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa tanah memiliki tekstur 20% pasir : 24% debu: 56% liat. Menurut Hardjowigeno (2007) jenis tanah tersebut termasuk ke dalam tanah berliat (halus). Tekstur tanah yang demikian sesuai untuk dijadikan lahan sawah (Djaenudin et al. 2003). Tanah memiliki pH (H2O) 4.7 (masam) dan kandungan bahan organik (C/N ratio) sedang (11%). Kandungan N-total rendah (0.15%), P2O5 sangat tinggi (Bray 1; 37.6 ppm), K2O 17 mg/100 g (HCl) berstatus rendah; kapasitas tukar kation (KTK) termasuk rendah (15.54 me/100g) dengan kejenuhan basa (KB) yang tinggi (64%). Hasil analisis tanah lahan penelitian disajikan pada Lampiran 4. Penelitian ini dilakukan pada petakan di dalam rumah plastik berukuran 30 m x 12 m x 4.5 m. Kondisi iklim mikro di dalam rumah plastik yaitu suhu udara rata-rata pada pagi, siang, dan sore adalah 300C, 390C, dan 310C. Peningkatan suhu diikuti oleh menurunnya kelembaban relatif. Selama penelitian rata-rata kelembaban relatif pada pagi, siang, dan sore hari adalah 57%, 46%, dan 58%. Rekapitulasi suhu dan kelembaban di dalam rumah plastik selama penelitian disajikan pada Lampiran 5. Menurut Yoshida (1981), suhu antara 30 - 310C bukan merupakan suhu optimum tetapi juga bukan merupakan suhu maksimum untuk pertumbuhan padi. Suhu yang tinggi pada siang hari dikarenakan pada saat penelitian masuk musim kemarau. Suhu tinggi mempengaruhi laju pertumbuhan tanaman, proses pembungaan, penyerbukan dan produksi menurun. Sumber air untuk perlakuan pengairan berasal dari reservoar yang dibangun di samping rumah plastik. Air masuk dialirkan melalui pipa saluran berdiameter 2 inchi. Tiap-tiap pipa di masing - masing petakan terpasang flowmeter berdiameter ½ inchi untuk mengukur konsumsi air. Ketersediaan air mengalami defisit pada fase vegetatif maksimum (7 - 8 MST) karena curah hujan selama hampir satu musim tanam sangat sedikit. Data curah hujan dari Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor menunjukkan bahwa pada bulan Agustus September curah hujan di lokasi penelitian kurang dari 200 mm. Bahkan pada bulan September (saat masuk fase pengisian gabah) curah hujan hanya 105.9 mm
18
(Lampiran 6). Rendahnya curah hujan ini menyebabkan pasokan air di bak penampungan semakin sedikit. Terdapat serangan hama pada penelitian ini. Pada awal tanam, terjadi serangan hama keong di beberapa petakan. Keong ini merusak tanaman pada awal pertumbuhan sehingga dilakukan penyulaman. Pada saat menjelang panen terjadi serangan hama walang sangit. Hama walang sangit menyerang sebagian besar perlakuan sistem gogo. Kerusakan yang ditimbulkan dari serangan hama ini adalah bulir gabah menjadi cokelat dan banyak gabah yang hampa. Tidak ada serangan penyakit selama satu musim tanam. Keragaan perlakuan sistem pengairan ditunjukkan pada Gambar 1.
a
c
b
d
Gambar 1. Keragaan masing - masing perlakuan sistem pengairan : a. Konvensional; b. Jenuh air; c. Intermittent; d. Gogo
19
Konsumsi Air Perhitungan konsumsi air untuk satu musim tanam padi dilakukan sejak awal penugalan (tanam benih langsung) untuk sistem gogo dan sejak transplanting untuk sistem konvensional, intermittent, dan jenuh air. Pencatatan volume air dilakukan satu minggu sekali sampai menjelang panen. Berdasarkan Gambar 2 (a), banyaknya air yang dibutuhkan untuk masing - masing sistem pengairan berbeda. Di akhir pengamatan atau menjelang panen, sistem pengairan yang paling banyak membutuhkan air adalah sistem konvensional. Kebutuhan air tersebut berbeda nyata dengan kebutuhan air pada sistem lainnya. Pemberian air yang konstan pada sistem gogo, memberikan jumlah kebutuhan air paling sedikit bila dibandingkan sistem lainnya. Kebutuhan air untuk sistem intermittent jauh lebih hemat dari sistem konvensional dan jenuh air. Sistem Intermittent hanya mengkonsumsi sekitar 37.9% dan sistem jenuh air sekitar 74.3% dari total konsumsi pengairan konvensional. Selama satu musim tanam, pengairan konvensional mengkonsumsi air sebanyak 426 768 liter, pengairan jenuh air sebanyak 317 106 liter, pengairan intermittent 161 882 liter, dan metode gogo mengkonsumsi air sebanyak 3 883 liter. Hal ini menunjukkan bahwa untuk pengairan tanaman padi dengan sistem sawah pada kondisi air terbatas dapat digunakan sistem pengairan intermittent.
a
b
Gambar 2. Konsumsi air kumulatif sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b) selama satu musim tanam Konsumsi air untuk dua varietas padi (IR-64 dan Jatiluhur) secara statistik tidak berbeda secara nyata (disajikan pada Gambar 2 (b)). Namun di akhir pengamatan, varietas Jatiluhur yang merupakan varietas padi untuk lahan kering (upland rice) mengkonsumsi air sebanyak 232 906 liter, varietas IR-64 (lowland
20
rice) mengkonsumsi 221 913 liter air. Meskipun secara statistik tidak berbeda, namun terdapat selisih konsumsi air antara dua varietas. Varietas Jatiluhur mengkonsumsi air hampir 11 000 liter lebih banyak dibandingkan IR-64. Fakta tersebut menunjukkan bahwa, varietas padi lahan kering, meskipun memiliki kemampuan berproduksi baik pada kondisi air terbatas, ternyata jika ditanam pada lahan basah/sawah akan mengkonsumsi air lebih banyak dibandingkan varietas padi lahan basah. Hal ini sesuai dengan penelitian Supijatno et al. (2012), bahwa Jatiluhur mengkonsumsi air lebih banyak daripada varietas lain ketika dibudidayakan dengan cara penggenangan. Besarnya konsumsi air dari setiap perlakuan diduga karena tingkat perkolasi dan perembesan yang sangat tinggi. Air yang masuk ke petakan cepat meresap ke dalam tanah sehingga air tidak bertahan lama dapat menggenangi petakan. Selain itu, lahan yang digunakan merupakan lahan sawah bukaan baru artinya lahan sawah yang dikonversi dari lahan kering dan belum ada lapisan tapak bajak (hard pan) yang terbentuk (Suriadikarta & Hartatik 2004). Lapisan tapak bajak ini berfungsi untuk menahan air pada tanah - tanah yang disawahkan sehingga air dapat terus menggenangi tanah selama produksi padi. Menurut Ritung dan Suharta (2007), lapisan tapak bajak terbentuk di bawah lapisan olah yang terjadi melalui reaksi kimia tanah dan diendapkan pada horizon di bawahnya. Pembentukan lapisan tapak bajak ini membutuhkan waktu yang lama tergantung dari sifat fisik dan kimia tanah. Pengolahan tanah dilakukan sebanyak tiga kali dengan tujuan untuk melumpurkan tanah. Pelumpuran tanah membentuk tanah menjadi butiran butiran halus yang dapat menahan air lebih lama sehingga mampu menjaga kondisi tanah tetap jenuh air. Akan tetapi pengolahan tanah dan pelumpuran memerlukan air yang cukup banyak. Dari hasil penelitian ini, untuk tiga kali pengolahan tanah sampai menjadi lumpur rata - rata mengkonsumsi air sebesar 9 983 liter air (9.9 m3) per luasan petak atau sekitar 11 000 m3/ha. Menurut Setiobudi dan Fagi (2009), untuk mengolah tanah sampai melumpur, petani yang hemat air membutuhkan 1 450 m3/ha dan petani yang boros air membutuhkan air sampai 2 730 m3/ha. Penerapan sistem gogo yang tidak memerlukan pelumpuran maupun penggenangan mampu menghemat air lebih besar.
21
Berdasarkan hasil penelitian ini, sistem pengairan intermittent dapat dijadikan alternatif dalam budidaya padi di lahan basah karena air yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan pengairan konvensional. Penghematan ini memberikan peluang untuk memperbaiki distribusi air irigasi ke sawah - sawah petani yang menggunakan air irigasi. Dengan penghematan air tersebut, sawah para petani pengguna air irigasi dapat terairi secara merata. Selain itu, pengurangan penggunaan air pada budidaya padi sawah akan memberikan peluang penggunaan air bagi sektor lain. Tinggi Tanaman Faktor tunggal perlakuan sistem pengairan dan varietas masing - masing menunjukkan pengaruh nyata terhadap peubah tinggi tanaman, namun interaksinya tidak berpengaruh nyata (Lampiran 7). Gambar 3 (a & b) menunjukkan pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap pertambahan tinggi tanaman padi. Pada Gambar 3a, sistem konvensional, jenuh air, dan intermittent tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman. Tinggi tanaman di akhir pengamatan pada sistem konvensional, jenuh air, dan intermittent masing–masing adalah 127.0 cm, 114.5 cm, dan 119.8 cm. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Darmadi (2011) yang menunjukkan bahwa sistem pengairan konvensional dan intermittent memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada tinggi padi varietas unggul baru (VUB). Perbedaan tinggi yang nyata ditunjukkan pada sistem gogo yaitu 106.8 cm, tinggi ini lebih pendek dari tiga sistem lainnya. Menurut Manurung (2002), secara umum kondisi anaerob mampu meningkatkan rata - rata tinggi tanaman untuk semua varietas padi yang diuji (Jatiluhur, Mentaya, Ciherang, IR-64, dan Lariang). Tinggi tanaman secara substansi berkurang oleh kekeringan daripada oleh pengairan yang teratur (Farooq et al. 2010). Gambar 3b menunjukkan pertambahan tinggi tanaman pada varietas IR-64 dan Jatiluhur. Tinggi tanaman berbeda nyata antara kedua varietas tersebut. Jatiluhur memiliki rata-rata tinggi mencapai 136.2 cm sedangkan IR-64 memiliki rata-rata tinggi hanya 97.9 cm. Hasil yang sama juga pernah dilaporkan oleh Manurung (2002) yang menyebutkan bahwa varietas Jatiluhur memilki tinggi
22
tanaman lebih tinggi dibandingkan varietas IR-64 baik pada kondisi aerob maupun anaerob. Varietas IR-64 menunjukkan tinggi maksimum pada saat diairi secara teratur sedangkan tinggi minimum pada kondisi kekeringan (Farooq et al. 2010). a a
b
Gambar 3. Pertumbuhan tinggi tanaman pada beberapa sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b)
Jumlah Anakan dan Jumlah Anakan Produktif Pengamatan jumlah anakan mulai dilakukan pada saat tanaman berumur dua minggu setelah tanam sampai berumur 10 MST. Pengamatan dilakukan setiap satu minggu sekali. Sidik ragam peubah jumlah anakan menunjukkan perlakuan sistem pengairan dan varietas masing - masing berbeda nyata, dan interaksinya hanya berbeda nyata pada 5 MST (Lampiran 7). Sedangkan pada peubah jumlah anakan produktif, perlakuan sistem pengairan, varietas dan interaksinya menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata (Lampiran 8). Banyaknya jumlah anakan yang dihasilkan tanaman padi pada setiap sistem pengairan dan varietas padi ditunjukkan pada Gambar 4. Perbedaan jumlah anakan pada setiap sistem pengairan ditunjukkan pada Gambar 4a. Sistem gogo menghasilkan jumlah anakan paling banyak dengan 12.6 anakan per rumpun pada saat tanaman berumur delapan minggu sementara tiga sistem lainnya tidak menunjukkan perbedaan jumlah anakan yang nyata sampai umur 10 minggu. Banyaknya jumlah anakan pada sistem gogo terkait dengan jumlah benih yang ditanam pada awal penanaman.
23
a
b
Gambar 4. Pertambahan jumlah anakan tanaman padi pada beberapa sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b) Meskipun terjadi penurunan jumlah anakan pada 9 dan 10 MST pada sistem gogo, tetapi jumlah anakan pada akhir pengamatan (10 MST) tetap paling banyak diantara sistem yang lain. Jumlah anakan pada 10 MST untuk sistem konvensional, jenuh air dan intermittent masing - masing adalah 7.4, 7.9, dan 8.3 anakan per rumpun. Namun demikian terlihat bahwa masih terjadi pertambahan jumlah anakan untuk sistem lahan basah setelah 10 MST. Darmadi (2011) melaporkan
bahwa
pengairan
konvensional
dan
pengairan
intermittent
menghasilkan jumlah anakan total yang tidak berbeda secara statistik. Secara umum, tanaman padi yang ditanam pada lahan basah menghasilkan pertumbuhan jumlah anakan yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang ditanam pada lahan kering. Gambar 4b menunjukkan jumlah anakan yang dihasilkan oleh dua varietas padi. Varietas padi sawah (IR-64) memberikan jumlah anakan lebih banyak dibandingkan varietas Jatiluhur (padi gogo). Rata-rata jumlah anakan yang dihasilkan pada akhir pengamatan (10 MST) yaitu 10.3 anakan per rumpun untuk IR-64 dan 7.1 anakan per rumpun untuk Jatiluhur. Interaksi pada peubah jumlah anakan per rumpun terjadi pada 5 MST (Tabel 1). Jumlah anakan terbanyak dihasilkan oleh varietas IR-64 pada sistem gogo dengan 13.3 anakan per rumpun dan terendah dihasilkan oleh varietas Jatiluhur pada sistem konvensional dengan 4.7. Informasi yang diperoleh dari hasil ini adalah baik IR-64 maupun Jatiluhur, pertumbuhan anakan terbanyak diperoleh dengan menggunakan sistem gogo. Hal ini selaras dengan hasil
24
penelitian Santosa (2002) yang menyebutkan bahwa genotipe Jatiluhur pada perlakuan digenangi menghasilkan anakan yang lebih rendah 10% - 23% dibandingkan dengan perlakuan kering. Tabel 1. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap jumlah anakan dan jumlah anakan produktif Jumlah anakan per rumpun Sistem Pengairan 5 MST IR-64 Jatiluhur Konvensional 7.3 bc 4.7 d Jenuh Air 5.6 cd 6.5 cd Intermittent 6.5 cd 4.9 cd Gogo 13.3 a 9.7 b
Jumlah anakan produktif per rumpun IR-64 Jatiluhur 8.4 ab 5.1 b 7.1 ab 6.8 ab 9.3 a 7.2 ab 9.9 a 8.0 ab
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada masing - masing peubah pengamatan menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Interaksi pada peubah jumlah anakan produktif menunjukkan bahwa jumlah anakan produktif terbanyak diperoleh dari varietas IR-64 pada sistem gogo dengan rata-rata 9.9 anakan/rumpun (Tabel 1). Hasil ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan lain kecuali pada varietas Jatiluhur dengan sistem pengairan konvensional yaitu 5.1 anakan/rumpun. Hasil ini memberikan informasi bahwa varietas padi lahan basah maupun lahan kering mempunyai daya kemampuan yang sama untuk menghasilkan anakan produktif apabila ditanam pada kondisi kering maupun tergenang. Sedangkan hasil penelitian Manurung (2002) juga menunjukkan bahwa jumlah anakan produktif varietas IR-64 dan Jatiluhur tidak berbeda nyata baik ditanam pada kondisi aerob maupun anaerob.
Jumlah Daun Perlakuan sistem pengairan dan varietas masing - masing berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah daun, namun interaksinya tidak berbeda nyata (Lampiran 7). Pertumbuhan jumlah daun tanaman padi pada empat sistem pengairan dan dua varietas ditunjukkan pada Gambar 5. Jumlah daun maksimum pada semua perlakuan terjadi pada minggu ke delapan setelah tanam. Sistem gogo memberikan jumlah daun terbanyak dengan 57.6 helai daun per rumpun. Varietas IR-64 memiliki jumlah daun lebih banyak (44.4 helai) dari varietas Jatiluhur (32.2 helai). Banyaknya jumlah daun ini berkaitan dengan banyaknya jumlah anakan
25
yang dihasilkan setiap varietas. Pengurangan jumlah daun pada sistem gogo mengindikasikan bahwa tanaman beradaptasi di lingkungan yang terbatas pengairannya dengan mengurangi kehilangan air yang lebih besar akibat transpirasi. Keragaan pertumbuhan tanaman padi pada penelitian ini disajikan
Jumlah Daun
80,0 60,0
a Konvensio nal
40,0
Jenuh Air
20,0 Intermitte nt
0,0 2 4 6 8 10 Umur Tanaman (MST)
Gogo
Jumlah Daun
pada Gambar 6. 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0
b IR64 Jatiluhur 2 4 6 8 10 Umur Tanaman (MST)
Gambar 5. Pertumbuhan jumlah daun tanaman padi pada beberapa sistem pengairan (a) dan dua varietas padi (b) Berdasarkan respon pertumbuhan yang ditunjukkan pada Gambar 3, 4, dan 5 memperlihatkan bahwa air mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan tanaman padi. Secara umum, pertumbuhan tanaman pada peubah jumlah anakan dan jumlah daun pada kondisi kering (sistem gogo) lebih baik dibandingkan pada lahan basah. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan fase perkecambahan dimana benih mengalami stres anaerob pada kondisi basah (Santosa 2002). Pada tahap pertumbuhan vegetatif, air digunakan oleh tanaman untuk pembelahan dan pembesaran sel yang terwujud dalam pertambahan tinggi tanaman, perbanyakan daun dan pertumbuhan akar (Kramer 1969). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tanaman padi yang ditanam pada lahan basah menunjukkan respon yang lebih baik pada karakter tinggi tanaman. Tinggi tanaman varietas padi pada sistem konvensional, jenuh air, dan intermittent lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditanam pada sistem gogo. Respon yang berbeda ditunjukkan pada peubah jumlah anakan dan jumlah daun. Padi yang ditanam pada kondisi air terbatas menghasilkan jumlah anakan dan jumlah daun paling banyak jika dibandingkan dengan padi yang ditanam pada lahan yang basah selama pengamatan. Akan tetapi kecenderungan yang ditunjukkan adalah terjadi penurunan jumlah anakan dan jumlah daun sejak 8
26
MST sampai akhir pengamatan. Pengairan yang terbatas tidak mampu mendukung tanaman padi mempertahankan pertumbuhannya sampai menjelang panen.
a
b
c
d
Gambar 6. Keragaan pertumbuhan tanaman padi pada sistem pengairan berbeda : (a & b) fase vegetatif (5 MST) pada lahan basah (lowland) & lahan kering (upland); (c & d) fase generatif (11 MST) pada lahan basah (lowland) & lahan kering (upland) Penurunan respon pertumbuhan ini menyebabkan menurunnya aktivitas fotosintesis yang pada akhirnya akan menurunkan produksi tanaman. Kekurangan air akan mempengaruhi fotosintesis tanaman akibatnya dapat mengganggu produksi karbohidrat (Kramer 1969; Tisdale & Nelson 1975; Fitter & Hay 1991; Gerik et al. 1996). Tanaman yang hanya toleran genangan apabila ditanam pada kondisi tidak tergenang maka akan mengalami gangguan fisiologis (Manurung 2002).
27
Kerapatan Stomata, Kerapatan Trikoma dan Warna Daun (SPAD) Perlakuan sistem pengairan dan varietas masing - masing menunjukkan pengaruh nyata terhadap peubah kerapatan stomata, namun interaksinya tidak berbeda nyata. Varietas berpengaruh nyata terhadap peubah kerapatan trikoma, namun perlakuan pengairan dan interaksi pengairan dengan varietas tidak berbeda nyata (Lampiran 8). Berdasarkan Tabel 2, kerapatan stomata karena pengaruh sistem pengairan berkisar antara 278 – 436 stomata/mm2 dan kerapatan trikoma berkisar antara 7496 trikoma/mm2. Varietas IR-64 mempunyai kerapatan stomata dan trikoma tertinggi dengan 417.3 stomata dan 99.6 trikoma per mm2. Sedangkan varietas Jatiluhur memiliki kerapatan 353.1 stomata/mm2 dan 75.2 trikoma/mm2. Distribusi stomata sangat berhubungan dengan kecepatan dan intensitas transpirasi pada daun. Haryanti (2010) menyatakan bahwa jumlah stomata/mm2 dan banyak sedikitnya
jumlah trikoma daun merupakan faktor
yang
mempengaruhi besarnya transpirasi pada tanaman. Tabel 2. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap kerapatan stomata, kerapatan trikoma dan warna daun Kerapatan Kerapatan Warna Daun Perlakuan Stomata Trikoma (SPAD) (stomata/mm2) (trikoma/mm2) Sistem Pengairan Konvensional 402.5 a 91.7 38.7 Jenuh Air 424.5 a 87.8 39.9 Intermittent 436.2 a 96.0 39.0 Gogo 277.7 b 74.2 38.3 Varietas IR-64 417.3 a 99.6 a 40.5 a Jatiluhur 353.1 b 75.2 b 37.5 b Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama untuk perlakuan sistem pengairan atau varietas menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Farooq et al. (2009) menjelaskan bahwa stomata memainkan peranan penting dalam proses fotosintesis dan transpirasi tanaman. Varietas yang berbeda memiliki stomata yang berbeda baik dalam segi ukuran, kerapatan, dan morfologinya. Besarnya konsumsi air tanaman dipengaruhi juga oleh besarnya transpirasi tanaman. Kehilangan air tanaman melalui transpirasi terjadi melalui
28
stomata di daun. Tanaman kehilangan banyak air ketika terjadi transpirasi berlebihan melalui stomata sehingga jaringan tanaman mengalami defisit air ketika air yang diberikan tidak cukup (Kramer 1969). Rendahnya kerapatan stomata pada sistem gogo merupakan cara tanaman mempertahankan hidupnya pada kondisi lingkungan yang kurang air melalui pengurangan kerapatan stomata untuk mengurangi transpirasi yang berlebihan. Dengan demikian mekanisme yang terjadi adalah tanaman mengoptimalkan peranan stomata untuk mencegah kehilangan air dari daun (Nguyen et al. 1997). Perlakuan sistem pengairan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap peubah warna daun (SPAD), sedangkan varietas berbeda nyata dan tidak terjadi interaksi yang nyata antara sistem pengairan dan varietas (Lampiran 8). Pengukuran warna daun dilakukan menggunakan chlorophyll meter (SPAD Minolta). Nilai SPAD (warna daun) secara langsung berhubungan dengan konsentrasi N dalam daun (Cho et al. 2006; Fen et al. 2010) dan dapat mengindikasikan kandungan klorofil dalam daun (Li et al. 2009; Kumagai et al. 2009). Kumagai et al. (2009) juga menyebutkan bahwa SPAD digunakan untuk memprediksi kandungan dari ribulose 1,5–bisphospate carboxylase (Rubisco). Pengukuran tingkat kehijauan daun (Tabel 4) pada penelitian ini dilakukan pada saat tanaman berumur 8 MST. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 2, sistem pengairan tidak mempengaruhi tingkat kehijauan daun. Tingkat kehijauan daun tanaman padi berkisar antara 38-40. Tidak adanya pengaruh ini dikarenakan pada penelitian ini pemberian pupuk N dilakukan dengan dosis dan pada waktu yang sama untuk semua perlakuan. Sementara untuk varietas, tingkat kehijauan daun IR-64 (40.5) berbeda nyata dengan Jatiluhur (37.5). Hasil penelitian Li et al. (2009) menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai yang terbaca pada SPAD, semakin tinggi pula konsentrasi N dan kandungan klorofil dalam daun. Hal ini berarti, varietas IR-64 lebih baik dalam penyerapan N dalam tanah dan memiliki kemampuan berfotosintesis lebih baik dari Jatiluhur. Kumagai et al. (2009) melaporkan bahwa terdapat korelasi yang sangat nyata antara pembacaan SPAD dengan kandungan klorofil daun, kandungan Rubisco, tingkat fotosintesis dan maximum quantum yield di fotosistem II (PSII).
29
Semakin tinggi nilai SPAD yang terbaca semakin tinggi pula nilai komponen komponen tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun tidak berbeda secara statistik, namun tanaman padi yang ditanam pada lahan basah memilik nilai SPAD yang lebih tinggi dibanding tanaman padi yang ditanam pada lahan kering. Artinya bahwa pada sistem lahan basah, kandungan klorofil dan Rubisco padi lebih banyak. Hal ini juga mengindikasikan bahwa terjadi reaksi fotokimia pada PSII dan asimilasi CO2 yang kuat akibat adanya Rubisco sehingga akan meningkatkan laju fotosintesis tanaman. Umur Berbunga, Komponen Hasil dan Hasil Sidik ragam peubah umur berbunga menunjukkan hanya perlakuan sistem pengairan yang memberikan pengaruh berbeda nyata sedangkan perlakuan varietas dan interaksinya memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (Lampiran 8). Umur berbunga ditentukan pada saat 50% populasi telah mengeluarkan malai. Berdasarkan Tabel 3, tanaman padi lebih cepat berbunga pada sistem gogo yaitu sekitar 80 hari setelah penanaman benih atau bersamaan dengan hari semai pada sistem pengairan lainnya, pada sistem pengairan lainnya umur berbunga tanaman padi pada sekitar 85 - 86 HSS. Menurut Santosa (2002), secara umum, penggenangan menyebabkan umur berbunga genotipe padi gogo toleran naungan lebih lambat 7 - 10 hari dibandingkan dengan perlakuan kering. Umur berbunga kedua varietas serempak sekitar 84 hari setelah semai. Umur berbunga galur - galur padi gogo pada pertanaman monokultur berkisar antara 72 - 85 hari setelah tanam (Sasmita et al. 2006) sedangkan galur-galur padi sawah berbunga pada umur 84 - 100 hari setelah tanam (Sukirman 2005). Cepatnya umur berbunga tanaman padi pada sistem gogo terkait dengan mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan. Tanaman akan cepat menyelesaikan siklus hidupnya sebelum datang kelangkaan air atau tingkat kekeringan yang lebih parah. Mekanisme ini salah satu diantaranya adalah dengan mempercepat umur berbunga dan umur panen (Fukai & Cooper 1995).
30
Tabel 3. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap umur berbunga, panjang malai, jumlah gabah malai-1, dan kepadatan malai Umur Jumlah Kepadatan Panjang Perlakuan Berbunga Gabah Malai Malai (cm) (HSS) Malai-1 (butir/cm) Sistem Pengairan Konvensional 86.0 a 26.7 174.9 6.5 Jenuh Air 85.5 a 22.4 172.6 7.7 Intermittent 84.7 a 22.4 167.7 7.5 Gogo 80.5 b 23.0 148.6 6.5 Varietas IR-64 84.6 24.6 119.1 b 15.4 b Jatiluhur 83.8 22.7 212.7 a 19.7 a Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama (sesuai faktor perlakuan) menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Sidik ragam peubah panjang malai menunjukkan baik perlakuan sistem pengairan, varietas dan interaksi keduanya memberikan pengaruh tidak berbeda nyata. Sidik ragam peubah jumlah gabah malai-1 dan kepadatan malai menunjukkan hanya perlakuan varietas yang memberikan pengaruh berbeda nyata sedangkan sistem pengairan dan interaksinya memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (Lampiran 8). Berdasarkan Tabel 3, sistem pengairan tidak berpengaruh nyata terhadap peubah panjang malai, jumlah gabah malai-1, dan kepadatan malai. Hal ini menunjukkan bahwa penghematan air tidak menurunkan kuantitas komponen produksi padi. Sehingga padi yang pengairannya hemat mempunyai potensi produksi yang sama besar dengan yang pengairannya terus - menerus. Varietas IR-64 dan Jatiluhur mempunyai panjang malai yang tidak berbeda tetapi berbeda nyata untuk jumlah gabah malai-1 dan kepadatan malai. Kepadatan malai yang tinggi pada varietas Jatiluhur tidak lepas dari banyaknya jumlah gabah yang dihasilkan setiap malai. Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan Supijatno et al. (2012) bahwa meskipun panjang malai varietas Jatiluhur tidak berbeda nyata dengan varietas IR-64 tetapi Jatiluhur menghasilkan jumlah gabah malai-1 dan kepadatan malai lebih tinggi dibandingkan IR-64. Sistem pengairan memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap bobot kering akar dan nisbah tajuk/akar tetapi memberikan pengaruh nyata terhadap
31
peubah bobot kering tajuk. Varietas hanya berpengaruh terhada peubah nisbah tajuk/akar (Tabel 4). Sistem gogo memberikan bobot kering tajuk sebesar 17.1 g atau lebih tinggi dibandingkan sistem pengairan lain. Hal ini selaras dengan hasil yang diperoleh Santosa (2002) bahwa padi gogo yang ditanam pada perlakuan kering menghasilkan bobot kering tajuk yang lebih besar dibandingkan pada perlakuan penggenangan. Diduga bahwa pada pertanaman padi di sistem gogo, translokasi fotosintat dialirkan ke organ akar serta organ - organ tanaman lainnya dan hanya sedikit yang menuju biji. Ini terlihat dari rendahnya jumlah gabah malai-1 (Tabel 3), jumlah gabah isi rumpun-1 dan bobot gabah per 1000 butir (Tabel 5). Biomass per tanaman lebih meningkat selama periode ripening pada kondisi aerobik dibandingkan pada kondisi tergenang (Katsura & Nakaide 2011). Pengairan konvensional, jenuh air, dan intermittent menghasilkan bobot kering tajuk yang hampir sama. Seperti yang ditunjukkan Tabel 4, terjadi perubahan alokasi fotosintat ke tajuk dan akar. Diduga alokasi fotosintat lebih banyak dialokasikan ke biji. Hal ini terbukti dari jumlah gabah dan bobot gabah per 1000 butir (Tabel 3 & 5) yang lebih besar dibandingkan tanaman padi yang ditanam pada sistem gogo. Tabel 4. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan nisbah tajuk/akar. Bobot Kering Bobot Kering Nisbah Perlakuan Tajuk Akar Tajuk/Akar (g) (g) Sistem Pengairan Konvensional 14.4 b 2.5 7.1 Jenuh Air 14.5 b 2.1 7.7 Intermittent 14.5 b 1.8 10.3 Gogo 17.1 a 2.6 8.2 Varietas IR-64 14.4 2.5 7.0 b Jatiluhur 15.8 2.0 7.9 a Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama (sesuai faktor perlakuan) menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Perubahan partisi fotosintat juga terjadi pada varietas Jatiluhur dan IR-64. Hal ini terlihat pada perbedaan nisbah antara tajuk dan akar (Tabel 4). Nisbah tajuk/akar varietas Jatiluhur lebih tinggi dari IR-64. Hasil menunjukkan bahwa
32
translokasi fotosintat pada varietas Jatiluhur lebih banyak ke tajuk. Fotosintat yang tertimbun di tajuk akan ditranlokasikan ke biji sebagai sink yang paling kuat. Penumpukan hasil fotosintesis itu tercermin dari jumlah gabah isi yang tinggi (Tabel 5) dan produksi gabah (Tabel 6) yang lebih besar dibanding IR-64. Berat kering tanaman mencerminkan akumulasi senyawa organik yang disintesis dari senyawa anorganik, terutama air dan CO2. Menurut Makarim dan Suhartatik (2009), tingginya produksi biomass belum menggambarkan tingginya hasil gabah. Indikator yang digunakan untuk mengukur pengaruh biomass terhadap hasil adalah indeks panen (harvest index). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indeks panen dari sistem pengairan konvensional, jenuh air, dan intermittent lebih tinggi dari sistem gogo. Begitu juga varietas Jatiluhur memiliki nilai indeks panen lebih tinggi dari IR-64. Nilai indeks panen ini tersaji pada Tabel 5. Tingginya nilai indeks panen ini menandakan bahwa translokasi asimilat lebih banyak tertuju ke biji sehingga bobot biji kering yang dihasilkan besar. Sistem gogo memiliki jumlah gabah isi per rumpun paling rendah (Tabel 5). Rendahnya gabah yang dihasilkan sistem gogo disebabkan menurunnya jumlah daun pada saat memasuki fase generatif dan rendahnya stomata/mm2 daun sehingga menghambat masuknya CO2 didalam ruang interseluler daun yang secara langsung mengurangi aktivitas fotosintesis. Menurunnya aktivitas fotosintesis tersebut menyebabkan menurunnya translokasi asimilat ke biji (sink). Tabel 5. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap jumlah gabah isi rumpun-1, persentase gabah isi, bobot 1000 butir gabah, dan indeks panen Jumlah Gabah Persentase Bobot 1000 Perlakuan Isi per Rumpun Gabah Isi Butir Gabah Indeks Panen (Butir) (%) (g) Sistem Pengairan Konvensional Jenuh Air Intermittent Gogo Varietas IR-64 Jatiluhur
569.6 552.3 489.7 108.2
a a a b
71.7 71.9 73.7 65.4
362.7 b 497.2 a
70.8 70.6
a a a b
24.6 22.6 23.9 22.3
a c b c
23.7 a 23.0 b
0.5 0.5 0.5 0.4
a a a b
0.4 b 0.5 a
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama (sesuai faktor perlakuan) menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
33
Jumlah gabah isi yang dihasilkan sistem intermittent tidak berbeda nyata dengan sistem konvensional dan jenuh air. Borrell et al. (1997) menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara metode jenuh air dengan pengairan konvensional terhadap hasil dan komponen kualitas hasil, sehingga hal ini mengindikasikan bahwa penghematan pemberian air tidak menurunkan kualitas hasil tanaman padi. Hasil ini juga menunjukkan bahwa sistem
pengairan
intermittent, selain menghemat penggunaan air, sistem ini juga memberikan hasil panen yang tidak jauh berbeda dengan sistem yang membutuhkan banyak air seperti sistem konvensional. Varietas Jatiluhur memberikan hasil jumlah gabah isi per rumpun yang lebih banyak dibandingkan varietas IR-64. Sasmita et al. (2006) melaporkan bahwa pada pertanaman monokultur, varietas Jatiluhur mampu menghasilkan produktivitas sebesar 3.72 ton/ha. Hasil ini menunjukkan bahwa varietas Jatiluhur tidak hanya mampu berproduksi baik di lahan kering, tetapi juga mampu berproduksi baik pada lahan basah. Secara genetik, varietas Jatiluhur dirakit untuk ditanam pada lahan-lahan yang terbatas sumberdaya airnya. Menurut Toha dan Daradjat (2008), semua varietas padi gogo apabila dibudidayakan sebagai padi sawah hasilnya akan meningkat tetapi semua varietas asal padi sawah bila dibudidayakan sebagai padi gogo hasilnya akan menurun. Kato dan Katsura (2010) membuktikan adanya hubungan antara faktor pertumbuhan dan malai, termasuk jumlah gabah per unit area, yang diidentifikasi pada budidaya di bawah penggenangan dan aerobik. Dilaporkan bahwa perbedaan jumlah gabah per unit area pada pemberian air yang berbeda terkait dengan perbedaan produksi biomass dan atau penyerapan N. Sistem pengairan dan varietas memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap peubah bobot 1000 butir gabah, namun interaksinya tidak memberikan pengaruh nyata. Bobot 1000 butir gabah terbesar diperoleh dari sistem pengairan konvensional dengan 24.6 g, diikuti oleh intermittent dengan 23.9 g, serta jenuh air dan sistem gogo (22.6 g dan 22.3 g). Sedangkan untuk varietas, IR-64 memberikan bobot 1000 butir gabah lebih besar (23.7 g) dibandingkan Jatiluhur (23.0 g). Hasil ini tidak sejalan dengan yang dilaporkan oleh Toha dan Daradjat (2008) serta Supijatno et al. (2012).
34
Rendahnya bobot 1000 butir gabah varietas Jatiluhur ini dikarenakan pada saat pengisian dan pematangan gabah, terjadi kerebahan. Kerebahan ini diduga karena Jatiluhur memiliki batang yang tinggi dan lemah. Kerebahan ini menyebabkan rusaknya jaringan xylem dan floem, akibatnya translokasi fotosintat menjadi terhambat (Makarim & Suhartatik 2009). Hal ini kemungkinan menyebabkan biji belum terisi penuh. Sidik ragam peubah indeks panen menunjukkan baik perlakuan sistem pengairan dan varietas memberikan pengaruh berbeda nyata sedangkan interaksi keduanya memberikan pengaruh tidak berbeda nyata (Lampiran 8). Nilai indeks panen (Tabel 5) pada sistem konvensional, jenuh air, dan intermittent nyata lebih tinggi dari sistem gogo. Nilai indeks panen ketiga sistem lahan basah sama yaitu 0.5 sedangkan untuk sistem gogo (lahan kering) adalah 0.4. Nilai indeks panen ini merupakan perbandingan antara produksi gabah kering dengan total biomass. Dengan demikian semakin tinggi indeks panen menandakan produksi gabah juga tinggi. Begitu juga dengan varietas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa produksi gabah Jatiluhur lebih besar dibandingkan IR-64 sehingga nilai indeks panennya lebih tinggi dari IR-64. Kato et al. (2011) melaporkan bahwa pengairan memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap indeks panen dibandingkan terhadap biomass tajuk. Sidik ragam peubah produksi gabah per rumpun menunjukkan interaksi antara perlakuan sistem pengairan dan varietas memberikan pengaruh yang berbeda nyata (Lampiran 8). Interaksi antara sistem pengairan dengan varietas pada peubah produksi gabah per rumpun disajikan pada Tabel 6. Produksi gabah terbesar diperoleh dari interaksi pada sistem gogo dengan varietas Jatiluhur yang menghasilkan 16.77 g gabah kering per rumpun. Produksi
gabah terendah
diperoleh pada sistem gogo dengan varietas IR-64 yang menghasilkan 7.67 g gabah kering per rumpun. Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 6, terlihat bahwa varietas IR-64 yang merupakan padi sawah, menghasilkan produksi yang rendah ketika ditanam pada lahan kering. Hal ini sesuai dengan deskripsinya yang menyatakan bahwa varietas IR-64 tumbuh baik pada kondisi basah atau tergenang. Sementara varietas Jatiluhur mampu menghasilkan produksi yang sama besar ketika ditanam pada
35
lahan basah maupun lahan kering. Hal ini menunjukkan bahwa varietas Jatiluhur (padi gogo) tidak hanya baik ditanam pada lahan kering tetapi juga baik ditanam di lahan basah. Tabel 6. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap produksi gabah per rumpun Varietas Sistem Pengairan IR-64 Jatiluhur ................. g / rumpun ........... 13.36 ab 14.86 a Konvensional Jenuh Air 10.70 bc 16.25 a Intermittent 13.45 ab 13.41 ab Gogo 7.67 c 16.77 a Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Faktor lingkungan yang menguntungkan bagi tanaman mendukung dalam proses fotosintesis, sehingga dapat menghasilkan asimilat yang lebih banyak untuk ditranslokasikan ke biji. Kemampuan tersebut tergantung pada tanaman untuk mengadaptasikan diri terhadap lingkungannya. Tanaman
padi secara
genetik merupakan tanaman semi akuatik, jadi sejak awal pertumbuhan tanaman padi di lahan kering telah dihadapkan pada lingkungan tumbuh yang tidak sesuai dengan sifat genetiknya, sehingga kemampuannya untuk berproduksi tinggi menjadi terbatas (Toha & Daradjat 2008). Efisiensi Konsumsi Air Berdasarkan Tabel 7, sistem pengairan konvensional merupakan yang terbanyak mengkonsumsi air. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa konsumsi air untuk sistem jenuh air dan intermittent hanya 74.3% dan 37.9% dari konsumsi air sistem konvensional, sedangkan gabah yang dihasilkan dari sistem intermittent tidak jauh berbeda dengan pengairan konvensional. Perbedaan konsumsi air yang cukup besar tersebut, pengairan intermittent memberikan nilai efisiensi konsumsi air yang lebih tinggi (0.020 g/l) dari pengairan konvensional dan jenuh air (0.008 g/l). Sistem gogo memberikan nilai efisiensi yang paling tinggi diantara sistem pengairan lainnya sebesar 0.531 g/l. Hal ini dikarenakan
36
jumlah air yang dikonsumsi sedikit naun demikian produktivitas yang diperoleh juga sedikit. Konsumsi air untuk varietas IR-64 dan Jatiluhur tidak berbeda nyata, akan tetapi gabah yang dihasilkan berbeda antara kedua varietas (Tabel 7). Jatiluhur mengkonsumsi air sama banyaknya dengan konsumsi air IR-64 dan menghasilkan gabah yang lebih besar
dibandingkan IR-64. Efisiensi konsumsi air varietas
Jatiluhur adalah 0.0144 g/liter air sedangkan efisiensi varietas IR-64 adalah 0.0109 g/liter air. Data tersebut menunjukkan bahwa varietas Jatiluhur memiliki efisiensi yang lebih baik dalam mengkonsumsi air. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Supijatno et al. (2012) yang melaporkan bahwa Jatiluhur merupakan varietas yang paling efisien dalam menggunakan air dengan efisiensi sebesar 0.997 g gabah/liter air. Hasil gabah yang tidak proporsional dengan konsumsi air dari varietas IR-64, maka efisiensi konsumsi air menjadi rendah (Supijatno et al. 2012; Setiobudi & Fagi 2009). Tabel 7. Pengaruh sistem pengairan dan varietas padi terhadap efisiensi konsumsi air tanaman
Perlakuan
Produksi Gabah Petak-1* (g)
Efisiensi Efisiensi Konsumsi Konsumsi Konsumsi Konsumsi Air Tanpa Air dengan Air Tanpa Air dengan Pengolahan Pengolahan Pengolahan Pengolahan (l) (l) (g/l) (g/l)
Sistem Pengairan Konvensional 3 631.12 a
426 768
0.0085
436 924
0.0083
Jenuh Air Intermittent Gogo
2 613.38 b 3 253.12 a 2 061.00 c
317 106 161 882 3 883
0.0082 0.0201 0.5308
327 620 171 161 4 363
0.0080 0.0190 0.4724
Varietas IR-64 Jatiluhur
2 429.82 b 3 349.51 a
221 913 232 906
0.0109 0.0144
229 505 240 528
0.0106 0.0139
Keterangan : *angka yang diikuti huruf yang sama untuk perlakuan sistem pengairan atau varietas menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%
Meskipun demikian, menurut Bouman (2006) hubungan mengenai penggunaan air yang terintegrasi dalam teknologi budidaya masih perlu dikaji lagi karena hal tersebut berhubungan dengan peningkatan hasil yang dipengaruhi oleh
37
peningkatan transpirasi serta adanya penurunan tingkat evaporasi, perembesan dan perkolasi. Produktivitas dari total penggunaan air ini dapat ditingkatkan melalui praktik agronomi dalam mengurangi evaporasi atau transpirasi yang berlebihan seperti pengelolaan gulma dan hara serta peningkatan proporsi air yang digunakan untuk transpirasi tanaman (Bouman et al. 2007). Tingginya efisiensi konsumsi air tidak hanya dilihat dari banyaknya hasil yang didapat karena dengan hasil yang sedikit nilai efisiensi konsumsi air akan tinggi apabila konsumsi airnya rendah. Pada penelitian ini ditunjukkan oleh sistem gogo. Peningkatan efisiensi konsumsi air tidak selalu dengan merakit tanaman yang berdaya hasil tinggi tetapi juga mempunyai karakter yang adaptif terhadap kondisi kelangkaan air. Proses adaptasi ini dapat dilakukan dengan pengelolaan pengairan yang hemat, tepat, dan efektif sehingga tanaman tetap mampu berproduksi tinggi. Menurut Gani (2001), pengairan untuk produksi padi membutuhkan air banyak tetapi kurang efisien dalam penggunaannya. Untuk menghasilkan 1 kg gabah diperlukan air sebanyak 5 000 liter. Pengairan tersebut dinilai belum efektif dalam penerapannya. Dengan penerapan teknologi pengairan yang tepat diharapkan tidak hanya mampu meningkatkan efisiensi penggunaan air tetapi juga mampu menghemat air sehingga air yang seharusnya digunakan untuk produksi padi dapat digunakan oleh sektor lain. Berdasarkan hasil penelitian ini, meskipun konsumsi air antara IR-64 dan Jatiluhur tidak berbeda nyata, namun terdapat selisih konsumsi air antar keduanya. Selisih konsumsi antar dua varietas tersebut yaitu 10 993 liter air untuk luasan 9 m2. Apabila selisih tersebut dikonversikan ke luasan 10 000 m2 (1 ha), maka akan ada selisih sebesar 12.2 x 106 liter air (12 200 m3 ). Selisih tersebut menunjukkan perbedaan konsumsi air yang cukup besar antara padi gogo dengan padi sawah. Hal ini menegaskan kembali bahwa varietas Jatiluhur (padi gogo) akan mengkonsumsi air lebih banyak apabila dibudidayakan dengan sistem sawah. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Supijatno et al. (2012) yang melaporkan bahwa varietas Jatiluhur merupakan varietas yang paling banyak mengkonsumsi air pada lahan sawah dibandingkan dengan varietas lain yang diuji.
38
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Konsumsi air untuk setiap sistem pengairan berbeda satu sama lain. Pengairan konvensional merupakan sistem pengairan yang paling banyak mengkonsumsi air. Selama satu musim tanam, pengairan konvensional mengkonsumsi 426 768 l. Sistem Intermittent hanya mengkonsumsi sekitar 37.9% dan sistem jenuh air sekitar 74.3% dari total konsumsi pengairan konvensional serta sistem gogo hanya mengkonsumsi 3 883 l. Konsumsi air varietas IR-64 dan Jatiluhur tidak berbeda nyata secara statistik. Meskipun demikian, terdapat selisih antara konsumsi air varietas IR-64 dan varietas Jatiluhur dimana Jatiluhur lebih banyak mengkonsumsi air. Selisih tersebut apabila dikonversikan ke luasan lebih luas maka akan terlihat perbedaan konsumsi air sebesar 12.2 x 106 liter/ha (12 200 m3/ha). Konsumsi air varietas IR64 selama satu musim tanam sebesar 258 x 106 l/ha. Sistem pengairan dan varietas berpengaruh terhadap respon pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah daun, dan jumlah anakan produktif. Konsumsi air yang tinggi pada lahan basah memberikan respon yang tinggi pada tinggi tanaman sedangkan untuk sistem gogo memberikan respon yang tinggi pada jumlah anakan dan jumlah daun. Produksi padi untuk sistem pengairan berbeda satu sama lain. Sistem pengairan konvensional dan intermittent memberikan produksi yang lebih besar dibandingkan sistem jenuh air dan sistem gogo. Sedangkan untuk varietas, Jatiluhur menghasilkan produksi yang lebih besar dari IR-64. Sistem pengairan intermittent memberikan nilai efisiensi konsumsi air lebih baik dibandingkan sistem konvensional dan jenuh air karena produksi yang dihasilkan sama besar sementara konsumsi airnya lebih rendah. Sistem gogo memiliki nilai efisiensi konsumsi air tertinggi karena proporsional antara hasil dengan konsumsi air. Sedangkan varietas Jatiluhur memiliki efisiensi konsumsi air lebih baik dari varietas IR-64.
39
Saran Teknik pengelolaan air yang efektif dan efisien dalam produksi tanaman merupakan salah satu cara mengantisipasi kelangkaan air di masa mendatang. Keterbatasan air dapat mengganggu tanaman untuk berproduksi tinggi. Untuk budidaya tanaman padi, sistem pengairan yang hemat air sangat diperlukan ketika kelangkaan air terjadi. Dari hasil penelitian ini, sistem intermittent dapat dijadikan alternatif pengelolaan air untuk produksi padi lahan basah karena hemat air tetapi tidak menurunkan hasil dan sistem gogo memberikan efisiensi konsumsi air yang lebih tinggi dibanding sistem lainnya.
40
DAFTAR PUSTAKA [Badan Litbang Pertanian] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Pedoman Umum Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah Irigasi. [Badan Litbang Pertanian] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2010. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. [BB Padi] Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2009. Pengairan Berselang. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Barker R, Dawe D, Tuong TP, Bhuiyan SI, Guerra LC. 1998. The outlook for water resources in the year 2020: Challenges for research on water management in rice production. In ‘‘Assessment and Orientation Towards the 21st Century’’, pp. 96–109. Proceedings of 19th Session of the International Rice Commission, Cairo, Egypt, 7–9 September 1998. FAO. Borrel A, Alan G, Shu F. 1997. Improving efficiency of water use for irrigated rice in a semi-arid tropical environment. Field Crops Res. 52:231-248. Bouman BAM. 2006. A system’s approach to the analysis of crop water productivity. Agric. Syst. 87:249-273. Bouman BAM, Tuong TP. 2001. Field water management to save water and increase its productivity in irrigated lowland rice. Agric. Water Manage. 49:11-30. Bouman BAM, Humphreys E, Tuong TP, Barker R. 2007. Rice and water. Advances in Agronomy. 92:187 -237. Boyer JS. 1970. Photosynthesis at low water potentials. Phil. Trans. R. Soc. Lond B. 273:51-12. Brown KW, Turner FT, Thomas JC, Deuel LE, Keener ME. 1978. Water balance of flooded rice paddies. Agric. Water Manage. 1:277-291. Cho YY, Oh S, Oh MM, Son JE. 2006. Estimation of individual leaf area, fresh weight, and dry weight of hydroponically grown cucumbers (Cucumis sativus L.) using leaf length, width, and SPAD value. Scientia Horticulturae. 111:330-334. Dawe D. 2005. Increasing water productivity in rice-based sistems in Asia-past trends, current problems, and future prospect. Plat Prod. Sci. 8:221-230. Darmadi D. 2011. Keragaan Agronomi Padi Tipe Baru pada Sistem Budidaya Konvensional, SRI (System of Rice Intensification), dan Pengelolaan Tanaman Terpadu [Tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. De Datta SK. 1975. Upland rice around the world. In: Major research in upland rice. IRRI. Los Banos, Laguna, Philippines.
41
De Datta SK. 1981. Principle and Practice of Rice Production. New York. John Willey and Son. Djaenudin D, Marwan H, Subagyo H, Mulyani A, Suharta N. 2003. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah. Badan Litbang Pertanian. Djunainah, Suwanto TW, Husni K. 1993. Deskripsi Varietas Unggul Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Doorenbos J, Pruitt WO. 1977. Guideliness for predicting crop water requirement. FAO irrigation and drainage paper No 224. [FAO] Food Agriculture Organization. 2004. Rice and water : a long and diversified story. International Year of Rice. Available at : www.rice2004.org. [15/4/2010] Farooq M, Kobayashi N, Wahid A, Ito O, Basra SMA. 2009. Strategies for producing more rice with less water. Advanances in Agronomy. 101:351388. Farooq M, Kobayashi N, Ito O, Wahid A, Serraj R. 2010. Broader leaves result in better performance of indica rice under drought stress. J. Plant Physiol. 167:1066 – 1075. Fen FL, Le FQ, Jing SD, Yuan YS, Li SC, Ke W. 2010. Investigation of SPAD meter-based indices for estimating rice nitrogen status. Computers and Electronics in Agriculture. 71S:S60-S65. Fitter AH, Hay RKM. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman (Penerjemah:Sri Andani dan ED Purbayanti dari Environmental Physiology of Plant). Gajah Mada Uniersity Press. Yogyakarta. Fukai S, Cooper M. 1995. Development of drought resistant cultivars using physimorfological traits in rice. Field Crops Res. 40:67-86. Gani A. 2001. Improving water-use efficiency for sustainable rice production systems. In H. Hengsdijk and Bidraban (Eds.). Water-saving Rice Production Systems. Proceeding of An International Workshop on WaterSaving Rice Production System at Nanjing University, China, April, 2001. 47-59. Gardner FP, Pearce BR, Mitchell RL. 1985. Physiology of Crop Plants. Iowa State University Press : Ames. Gerik TJ, Faver KL, Thaxton PM, Elzik KM. 1996. Late season water stress in cotton: L. Plant growth, water use and yield. Crop Sci. 36:914-921. Guerra LC, Buiyan SI, Tuong TP, Barker R. 1998. Producing More Rice With Less Water From Irrigated System. System-Wide Initiative on Water Management. International Water Management Institute. Colombo.
42
Gupta US. 1979. Physiological Aspects of Dryland Farming. Oxford ang I.B.H. Publishing Co. New Delhi, Bombay – Calcuta. Harjadi SS, Yahya S. 1988. Fisiologi Stres Lingkungan. P.A.U. Bioteknologi Instititut Pertanian Bogor. Bogor. Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Haryanti S. 2010. Jumlah dan distribusi stomata pada daun beberapa spesies tanaman dikotil dan monokotil. Bul. Anatomi dan Fisiologi. 18:21-28. Kato Y, Henry A, Fujita D, Katsura K, Kobayashi N, Serraj R. 2011. Physiological characterization of introgression lines derived from an indica rice cultivar, IR-64, adapted to drought and water-saving irrigation. Field Crop Res. 123:13-138. Kato Y, Katsura K. 2010. Panicle architecture and grain number in irrigated rice grown under different water management regimes. Field Crops Res. 117:237–244. Katsura K, Nakaide Y. 2011. Factors that determine grain weight in rice under high-yielding aerobic culture: The importance of husk size. Field Crop Res. 123:266-272. Kramer PJ. 1969. Plant and Soil Water Relationships. A modern Synthesis. New Delhi: McGraw-Hill. Kumagai E, Araki T, Kubota F. 2009. Correlation of chlorophyll meter readings with gas exchange and chlorophyll fluorescence in flag leaves of rice (Oryza sativa L.) plants. Plant Prod. Sci. 12:50-53. Lafitte HR, Bennett J. 2002. Requirements for aerobic rice: physiological and molecular considerations. In: Bouman BAM, Hengsdijk H, Hardy B, Bindraban PS, Tuong TP, Ladha JK (editors). Water-wise rice production. Los Baños (Philippines): International Rice Research Institute. p 259-274. Levitt J. 1980. Respon of Plants to Environmental Stress Water, Radiation, Salt and Other Stresses. Vol II. Academic Press. New York- London-TorontoSydney-San Francisco. Li J et al. 2009. Responses of rice leaf thickness, SPAD readings and chlorophyll a/b ratios to different nitrogen supply rates in paddy field. Field Crop Res. 114:426-432. Maclean JL, Dawe D, Hardy B, Hettel GP. 2002. “Rice Almanac”. P.253. International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines. Makarim AK, Suhartatik E. 2009. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Hal 295-330.
43
Manurung H. 2002. Respon Fisiologis Beberapa Varietas Padi (Oryza sativa L.) pada Lahan Tergenang (Anaerob) dan Lahan Tidak Tergenang (Aerob) [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Monteith JL. 1975. Vegetation and the Atmosphere. Academic Press. London. Morgan JM. 1984. Osmoregulation and Water Stress in Higher Plants. Ann. Rev. Plant Physiol. 35:299-319. Naiola BP. 1996. Regulasi osmosis pada tumbuhan tinggi. Hayati:Jurnal Biosains. 3:1-6. Nguyen HT, Babu RC, Blum A. 1997. Breeding for drought resistance in rice physiology and molecular genetic considerative. Crop Sci. 37:1426-1434. Ritung S, Suharta N. 2007. Sebaran dan potensi pengembangan lahan sawah bukaan baru. Dalam Lahan Sawah Bukaan Baru. Balai Penelitian Tanah. Badan Litbang Pertanian. Santosa E. 2002. Produktivitas genotipa padi gogo adaptif naungan pada kondisi digenangi dan kering. Bul. Agron. 30:58-68. Sasaki H, Aoki N, Sakai H, Hara T, Uehara N, Ishimaru K, Kobayashi K. 2005. Effect of CO2 enrichment on the translocation and partitioning of carbon at the early grain-filling stage in rice (Oryza sativa L.). Plant Prod. Sci. 8:8-15. Sasmita P, Purwoko BS, Sujiprihati S, Hanarida I, Dewi IS, Chozin MA. 2006. Evaluasi pertumbuhan dan produksi padi gogo haploid ganda toleran naungan dalam sistem tumpang sari. Bul. Agron. 34:79-86. Setiobudi D. 2008. Teknik pengelolaan air pada padi hibrida. Dalam Apresiasi Hasil Penelitian Padi. Balai Besar Penelitian Padi. Hal 209-217. Setiobudi D, Fagi AM. 2009. Pengelolaan Air Padi Sawah Irigasi: Antisipasi Kelangkaan Air. Balai Litbang, Kementerian Pertanian RI. Siregar H. 1987. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Jakarta. Sastra Hudaya Sukirman. 2005. Teknik pengujian sifat agronomis dan nilai heterosis beberapa kombinasi hibrida padi sawah. Buletin Teknik Pertanian. 10:29-32. Supijatno, MA Chozin, Sopandie D, Lubis I, Junaedi A, Trikoesoemaningtyas. 2012. Evaluasi konsumsi air genotipe padi untuk potensi efisiensi penggunaan air. J. Agron. Indo. (in press). 41. Suprihatno B, Daradjat AA, Satoto, Baehaki SE, Widiarta IN, Setyono A, Indrasari SD, Lesmana OS, Sembiring H. 2009. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
44
Suprihatno B, Daradjat AA. 2009. Kemajuan dan Ketersediaan Varietas Unggul Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian. Depatemen Pertanian. Suriadikarta DA, Hartatik W. 2004. Teknologi pengelolaan hara lahan sawah bukaan baru. Dalam Lahan Sawah dan Teknik Pengelolaanya. Balai Penelitian Tanah. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Hal 115-136. Toha HM, Daradjat AA. 2008. Keragaan varietas unggul dan galur harapan padi pada budidaya padi gogo dan padi sawah. Dalam Seminar Nasional Padi (Prosiding). Hal 645-665. Tisdale SL, Nelson WL. 1975. Soil Fertility and Fertilizers. Mac Milland Publishing Co. Inc. New York. Tuong TP, Bouman BAM, Mortimer M. 2005. More rice, less water: integrated approaches for increasing water productivity in irrigated rice-based systems in Asia. Plant Prod. Sci. 8:231-241. Turner NC et al. 1986. Responses of seven diverse rice cultivars to water deficits. I. Stress development, canopy temperature, leaf rolling and growth. Field Crop Res. 13: 257–271. William C, Joseph KT. 1973. Climate Soil and Crop Production In The Humid Tropic. Oxford University Press, Kualalumpur. Yoshida S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. International Rice Research Institute. Los Banos, Philippines. Yusnaeni. 2002. Morfofisiologi Beberapa Spesies Hoya pada Kondisi Cekaman Naungan dan Kekeringan Tinjauan terhadap Fisiologi CAM [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
45
LAMPIRAN
46
Lampiran 1. Deskripsi varietas padi IR-64 Nomor seleksi Asal persilangan Golongan Umur tanaman Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan produktif Warna kaki Warna batang Warna telinga daun Warna lidah daun Warna daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Kadar amilosa Bobot 1000 butir Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan terhadap Hama
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
IR18348-36-3-3 IR5657/IR2061 Cere 110 – 120 hari Tegak 115 – 126 cm 20 – 35 batang Hijau Hijau Tidak berwarna Tidak berwarna Hijau Kasar Tegak Tegak Ramping, panjang Kuning bersih Tahan Tahan Pulen 23% 24,1 g 5.0 t/ha 6.0 t/ha
:
Penyakit
:
Anjuran tanam
:
Pemulia Dilepas tahun
: :
Tahan wereng coklat biotipe 1, 2 dan agak tahan wereng coklat biotipe 3 Agak tahan hawar daun bakteri strain IV Tahan virus kerdil rumput Baik ditanam di lahan sawah irigasi dataran rendah sampai sedang Introduksi dari IRRI 1986
Sumber : Suprihatno et al. 2009
47
Lampiran 2. Deskripsi varietas padi Jatiluhur Nomor seleksi Asal persilangan Golongan Umur tanaman Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan produktif Warna kaki Warna batang Warna telinga daun Warna lidah daun Warna daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah Kerontokan Tekstur nasi Kadar amilosa Bobot 1000 butir Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan terhadap Hama Anjuran tanam
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
B6400F-TB-1 Persilangan Tox1011/Ranau Cere 110 – 115 hari Tegak 95 – 100 cm Sedang Hijau Hijau muda Tidak berwarna Tidak berwarna Hijau Kasar Tegak-miring Miring Ramping Bulat besar Kuning kotor Agak tahan Pera 27.6% 27 g 2.5 t/ha 3.5 t/ha
: :
Keterangan Pemulia/Peneliti/Teknisi
: :
Dilepas tahun
:
Tahan blas Baik ditanam sebagai padi lahan kering (gogo) sampai ketinggian lokasi 500m Toleran naungan Z. Harahap, Erwina Lubis, Murdani Diredja, Suwarno, dan Hadis Siregar 1994
Sumber : Suprihatno et al. 2009
48
Lampiran 3. Lay out penelitian
T3V1U3
T3V2U2
T3V1U1
T3U2V3
T3V1U2
T3V2U1
T0V2U3
T0V1U2
T0V2U1
Keterangan: T0 = Pengairan Konvensional T1 = Pengairan saluran/jenuh air T2 = Pengairan berselang (Intermittent) T3 = Metode gogo V1 = Varietas IR-64 V2 = Varietas Jatiluhur
T0V1U3
T0V2U2
T0V1U1
T1V1U3
T1V1U2
T1V2U1
T1V2U3
T1V2U2
T1V1U1
U = Ulangan
U T2V1U3
T2V2U2
T2V1U1
T2V2U3
T2V1U2
T2V2U1
49
Lampiran 4. Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah yang digunakan untuk penelitian No Parameter 1 Tekstur tanah Pasir (%) Debu (%) Liat (%) 2
3
4
5
6
7
8 *)
pH H2O KCL
Hasil Analisis
Status dalam tanah*)
20 24 56
Berliat (halus)
4.7 4.0
Masam
Bahan organik C-organik (%) N-total (%) C/N (%)
1.6 0.15 11
Rendah Rendah Tinggi
P2O5 HCL 25% (mg/100g) Bray 1 (ppm)
154 37.6
Sangat Tinggi Sangat Tinggi
K2O HCL 25% Morgan (ppm)
17 117
Rendah
Kation-kation Ca (me/100g) Mg (me/100g) K (me/100g) Na (me/100g)
7.52 2.11 0.23 0.12
Sedang Tinggi Rendah Rendah
15.54
Rendah
64
Tinggi
Kapasitas Tukar Kation (me/100g) Kejenuhan Basa (%) Hardjowigeno 2007
50
Lampiran 5. Keragaan suhu dan kelembaban di dalam rumah plastik selama penelitian Hari ke(HST) 1-10 11-20 21-30 31-40 41-50 51-60 61-72
Pagi (07.0009.00) 30 29 31 31 30 30 31
Suhu (0C) Siang (11.0013.00) 39 38 39 38 38 38 41
Sore (15.0017.00) 31 30 32 32 30 31 33
Kelembaban Relatif (%) Pagi Siang Sore (07.00(11.00(15.0009.00) 13.00) 17.00) 57 49 60 63 46 55 55 46 60 54 48 61 61 48 56 60 48 58 51 44 59
Lampiran 6. Data iklim bulanan Lokasi
: Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor
Lintang
: 06031’ LS
Bujur
: 106044’ BT
Bulan Agustus 2011 September 2011 Oktober 2011
Suhu (0C)
Curah Hujan RataMaksimal Minimal (mm) rata
Kelembaban udara (%) RataMaksimal Minimal rata
25.6
32.7
21.2
142.0
75
82
64
25.1
33.1
21.8
105.9
73
87
69
26.3
32.8
22.6
257.0
75
82
64
51
Lampiran 7. Rekapitulasi sidik ragam pertumbuhan vegetatif Peubah Tinggi Tanaman 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST 9 MST 10 MST Jumlah Anakan 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST 9 MST 10 MST Jumlah Daun 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST 9 MST 10 MST
Sistem Budidaya
F-Hitung Varietas
Interaksi
KK (%)
77.6** 35.5** 9.9** 3.7* 5.5* 8.5** 13.6** 3.8* 7.5**
64.2** 83.6** 41.5** 22.3** 107.4** 200.6** 200.6** 52.0** 150.3**
1.3tn 1.4tn 1.2tn 1.7tn 0.3tn 0.4tn 1.1tn 0.8tn 0.8tn
4.5 5.8 8.0 9.6 5.9 5.4 5.6 10.9 6.5
410.8** 42.8** 41.3** 32.5** 27.0** 21.9** 19.2** 10.1** 10.5**
5.8* 10.7** 31.3** 16.3** 44.0** 35.0** 41.4** 44.9** 45.0**
0.1tn 0.6tn 1.1tn 4.0* 0.5tn 0.8tn 0.8tn 0.7tn 2.1tn
18.7 12.4 13.4 16.4 14.7 15.7 16.1 16.0 13.1
106** 71.8** 48.9** 36.0** 22.5** 21.2** 18.8** 7.6** 7.5**
12.2** 12.4** 21.8** 10.5** 20.7** 51.9** 42.4** 27.5** 24.0**
2.8tn 0.9tn 1.1tn 1.8tn 0.8tn 0.8tn 1.0tn 0.9tn 1.5tn
12.2 11.3 13.8 16.1 18.5 12.1 15.0 17.3 15.9
Keterangan : ** = Berpengaruh sangat nyata pada pengujian sidik ragam pada selang kepercayaan 99%; * = berpengaruh nyata pada pengujian sidik ragam pada selang kepercayaan 95%; tn = tidak nyata; KK = koefisien keragaman
52
Lampiran 8. Rekapitulasi sidik ragam kerapatan stomata, kerapatan trikoma, warna daun, komponen hasil dan hasil F-Hitung No
Peubah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Kerapatan Stomata Kerapatan Trikoma Warna Daun (SPAD) Umur Berbunga Jumlah Anakan Produktif Panjang Malai Jumlah Gabah Isi Rumpun-1 Persentase Gabah Isi Rumpun-1 Jumlah Gabah Malai-1 Kepadatan Malai Bobot Kering Tajuk Bobot Kering Akar Nisbah Tajuk/Akar Produksi Gabah Rumpun-1 Bobot 1000 Butir Produksi Gabah Petak-1 Indeks Panen
Sistem Pengairan 18.8** 2.8tn 1.0tn 18.1** 8.4** 1.2tn 24.6** 1.4* 1.8tn 2.5tn 9.1* 1.7tn 1.8tn 2.2tn 24.6** 23.8** 2.9*
Varietas
Interaksi
14.2** 19.1** 19.1** 2.0tn 52.3** 1.0tn 9.4** 0.0tn 110.2** 138.6** 2.5tn 0.5tn 6.4* 89.7** 11.2** 41.8** 13.6**
0.4tn 1.3tn 0.8tn 0.7tn 7.4** 1.2tn 0.9 5.07tn 0.3tn 0.4tn 2.4tn 1.8tn 0.5tn 8.9** 1.2tn 3.0tn 0.6tn
KK (%) 10.8 15.7 4.3 1.7 11.4 19.4 24.9 10.8 13.2 12.8 16.4 33.0 30.7 9.8 2.3 12.1 14.0
Keterangan : ** = Berpengaruh sangat nyata pada pengujian sidik ragam pada selang kepercayaan 99%; * = berpengaruh nyata pada pengujian sidik ragam pada selang kepercayaan 95%; tn = tidak nyata; KK = koefisien keragaman.