Studi Komperatif Model BUMDes di Kabupaten Bantaeng Oleh; Andi Samsir Perkumpulan Katalis BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Sulawesi Selatan merupakan daerah centra penghasil rumput laut (seaweed).
Berdasarkan data yang dirilis Maritim Nusantara (2016) menyebutkan bahwa produksi rumput laut daerah ini adalah yang terbesar kedua di dunia setelah Chile dengan potensi luas lahan 250 ribu hektar di pinggir laut dan 98 ribu hektar areal budidaya. Bahkan rumput laut memberikan kontribusi sebesar 70% dari hasil produksi perikanan budidaya Sulawesi Selatan, yaitu 2 juta ton pada tahun 2015 atau sekitar 97% dari target produksi. Jenis budidaya terbesar adalah Cattoni dengan daerah produksi tersebut tersebar di Kabupaten Takalar, Bantaeng, Jeneponto dan Bulukumba dan Gracillaria banyak dibudidaya di Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Bone, Wajo dan Palopo. Sebagai daerah dengan panjang pantai 1.973,7 km persegi, potensi budidaya rumput laut di Sulawesi Selatan perlu dikembangkan sebagai sumber pendapatan masyarakat pesisir. Tidak hanya penting bagi pendapatan dan prekonomian daerah, rumput laut juga dapat menjadi sektor penghidupan masyarakat pesisir. Bagi masyarakat pesisir budidaya rumput laut menjadi sumber pendapatan utama selain dari menangkap ikan. Namun demikian usaha budidaya rumput laut oleh masyarakat masih menemukan banyak kendala. Kondisi kehidupan masyarakat pesisir sangat rentan terhadap perubahan lingkungan dan cuaca/iklim, mengingat adanya aktivitas di wilayah pesisir memberikan dampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kualitas lingkungan.
Kondisi ini dengan sendirinya akan memberikan
pengaruh terhadap usaha, baik di bidang perikanan tangkap maupun budidaya, Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 1
termasuk rumput laut yang pada akhirnya juga berdampak pada pendapatan masyarakat pesisir. Pendapatan masyarakat pesisir yang tergolong masih sangat rendah merupakan fenomena yang masih dapat terlihat di Kabupaten Takalar dan Pangkep. Berdasarkan baseline survey ketahanan pangan yang dilakukan oleh Oxfam bekerjasama dengan Perkumpulan Katalis pada tahun 2015 di dua daerah tersebut menunjukan bahwa hal ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas lahan pertanian dan rumput laut serta kurangnya modal usaha yang dapat diakses oleh masyarakat lokal. Besarnya biaya produksi yang harus ditanggung oleh petani membuat mereka harus mencari berbagai cara untuk tetap bisa menjalankan usaha budidaya rumput laut. Berdasarkan data BPS tahun 20015 rata-rata biaya produksi per hektar sebesar 57,22 persen dari nilai produksi atau sebesar Rp 8,052 juta. Dengan tingkat pendapatan yang rendah dan jadwal tanam yang bergantung pada musim sangat memungkinkan sebagian besar petani menggunakan modal usaha mereka untuk menutupi biaya hidup setiap harinya. Oleh karena itu, modal usaha menjadi masalah yang tak kunjung terselesaikan dalam masyarakat yang secara tidak langsung mempengaruhi terhadap tingkat kemiskinan di daerah pesisir. Untuk memecahkan masalah lingkaran kemiskinan di daerah pesisir, peran pemerintah khususnya pemerintahan desa sangat dibutuhkan sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Dapat dikatakan, otonomi desa merupakan suatu gagasan besar dalam memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perubahanperubahan baik di bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa desa harus mengambil peran yang besar secara makro ekonomi untuk memecahkan masalah-masalah di pedesaan yang memberikan implikasi secara mikro ekonomi. Dengan demikian, berbagai lembaga ekonomi pedesaan menjadi bagian penting sekaligus dalam rangka mendukung penguatan ekonomi perdesaan. Oleh karenanya, diperlukan upaya sistematis untuk mendorong kelembagaan ini agar mampu mengelola aset ekonomi strategis sekaligus mengembangkan jaringan ekonomi dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi di Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 2
pedesaan. Dalam konteks demikian, BUMDes merupakan bentuk konsolidasi atau penguatan terhadap lembaga-lembaga ekonomi desa yang harus dikembangkan, sekaligus sebagai instrumen pendayagunaan ekonomi lokal dengan berbagai ragam jenis potensi. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagaimana amanat UU No. 6 Tahun 2014 tentang tentang Desa dimaksudkan untuk mendayagunakan segala potensi ekonomi, kelembagaan perekonomian, serta potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan kesejahtraan masyarakat desa. Sebagai lembaga usaha ekonomi desa, pembentukan dan pengelolaan BUMDes dimaksudkan sebagai instrument seluruh kegiatan ekonomi mandiri desa (peningkatan Pendapatan Asli Desa/PADes dan kesejahteraan masyarakat desa), baik yang berkembang menurut adat istiadat/budaya setempat (kearifan lokal), maupun kegiatan perekonomian yang diserahkan untuk dikelola oleh masyarakat desa. 1.2. Tujuan penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah; pertama, untuk mengetahui model pengelolaan BUMDes yang efektif melalui studi komperatif yang dilakukan di Kabupaten Bantaeng; dan kedua, untuk merancang model BUMDes yang efektif dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat pesisir di Kabupaten Takalar dan Pangkep. 1.3. Output Kajian Setelah penelitian ini dilakukan diharapkan dapat melahirkan output berupa; pertama, Pemetaan permasalahan dan potensi daerah sebagai pra implementasi BUMDes di Kabupaten Takalar dan Pangkep, dan kedua, rekomendasi strategis pembentukan BUMDes dan model BUMDes yang relevan bagi pemerintah daerah dan desa di Kabupaten Takalar dan Pangkep. 1.4. Manfaat penelitian Dengan adanya kajian ini akan memberikan manfaat bagi pihak-pihak terkait, baik pada tataran stakeholder maupun tingkat grassroots, sebagai upaya mendorong pengembangan ekonomi masyarakat pesisir khususnya di Kabupaten Takalar dan Pangkep. Pemerintah daerah diharapkan dapat memperkuat kebijakan local dalam pembangunan BUMDes. Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 3
BAB II STUDI PUSTAKA DAN KOMPARATIF 2.1. Studi Pustaka Pembangunan daerah pedesaan merupakan discourses yang masuk dalam kajian
ekonomi pembangunan.
Daerah pedesaan
merupakan representative
kehidupan social-ekonomi di negara-negara berkembang. Sebab, sebagian besar penduduk di negara berkembang bermukim di pedesaan dan mayoritas penduduknya bergantung pada sektor pertanian dan berada di bawah garis kemiskinan. Salah satu ciri penting dari penduduk pedesaan adalah masalah kepemilikan tanah. Tahan masih merupakan modal utama dari kesejahtraan dan kekuatan politik di wilayah pedesaan. Di sini, untuk mengklasifikasi penduduk desa menurut akses terhadap tanah atau keterlibatan dalam pertanian dapat dilihat dari tingkat keterlibatan rumah tangga tersebut dalam aktivitas lain dan mengamati struktur pendapatan dari sumbersumber yang lebih luas. Beberapa penulis menggunakan istilah “household survival strategies” sebagai cara penduduk desa mengatasi persoalan-persoalan yang muncul (Michel P. Todaro). Dalam prespektif pembangunan, Boeke yang pernah melakukan penelitian di Indonesia khususnya pulau Jawa menemukan bahwa perekonomian terbagi dalam sektor tradisional dan modern yang saling tidak berhubungan. Dalam rangka mengatasi ketidakseimbangan akibat perekonomian dualistic tersebut, menurut Boeke, sektor tradisional perlu dirangsang melalui insentif ekonomi dan peningkatan teknologi produksi meskipun hasilnya tak akan segera tampak. Sebaliknya Geertz menyatakan upaya perbaikan apa pun tidak akan berhasil dilakukan. Menurut Scott persoalan yang berlaku pada masyarakat pedesaan adalah rasionalitas social yang lebih mementingkan kebersamaan ketimbang persaingan. Prinsip moral lebih dominan daripada rasionalitas ekonomi sehingga pendekatan ekonomi akan sulit bekerja pada masyarakat desa. Penetrasi dari luar, baik menyangkut aspek kelembagaan
maupun
teknologi,
malahan
akan
menimbulkan
resitensi.
Ketidakmampuan menangkap kultur dan nilai-nilai masyarakat desa inilah yang
Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 4
membuat banyak kebijakan pembangunan pedesaan gagal diterapkan di lapangan (Ahmad Erani Yustika, 2013). Ide dualisme ekonomi yang diinisiasikan oleh Boeke tersebut pada akhirnya, diakui atau tidak, menjadi diskursus penting dalam proses pembangunan pedesaan di negara-negara berkembang. Seperti yang telah disarikan oleh Ellis dan Biggs, model dualisme ekonomi menjadi isu strategis pembangunan pedesaan di negara-negara berkembang pada akhir tahun 1950-an. Pada fase pertama ini, tujuan pembangunan pedesaan
diarahkan
dari
semula
pembangunan
komunitas
ke
penekanan
pertumbuhan usaha tani kecil. Kedua, pertumbuhan usaha tani kecil dilanjutkan kepada upaya pembangunan pedesaan yang terintegerasi di antaranya melalui kebijakan transfer teknologi, mekanisasi dan penyuluhan pertanian. Ketiga, pergeseran pembangunan pedesaan yang dipandu negara menuju liberalisasi pasar melalui kebijakan penyesuaian struktural dan pasar. Keempat, pembangunan pedesaan diarahkan untuk penguatan pendekatan proses, partisipasi, pemberdayaan, dan pelaku. Kelima, pentingnya penghidupan yang berkesinambungan sebagai sebuah kerangka kerja yang terintegrasi dalam pembangunan pedesaan, di antaranya lewat penguatan kredit mikro, jaringan pengamanan pedesaan, dan peran perempuan dalam pembangunan. Keenam, menempatkan pembangunan pedesaan sebagai strategi untuk mengurangi kemiksinan. Dari fase-fase tersebut bisa diidentifikasi bahwa proses komersialisasi sektor pedesaan sudah lama terjadi (sejak tahun 1960-an) melalui serangkaian kebijakan yang berupaya meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian, revoluasi hijau, dan penciptaan petani yang rasional. Dengan demikian setiap komersialisasi pertanian tidak mesti akan meningkatkan pendapatan dan kesejahtraan petani apabila sifat dari komersalisasi pasar meletakkan petani dalam posisi subordinat. Posisi pemilik modal yang relatif tinggi tersebut bukan hanya disebabkan oleh adanya penetrasi pasar, tetapi juga disumbangkan oleh oleh karakteristik produk pertanian yang cepat rusak sehingga petani tidak mampu menahan produk tersebut untuk sementara waktu demi mendongkrak harga. Persoalan ini sebenarnya bisa diatasi apabila terdapat fasilitas penyimpanan yang memungkinkan petani menimbun barang tanpa menimbulkan kerugian, tetapi hal ini nyaris mustahil dilakukan karena petani tidak memiliki modal Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 5
untuk membeli fasilitas tersebut. Akhirnya, seperti yang sudah diduga, berhadapan dengan kendala-kendala kelembagaan, teknologi, dan iklim, sehingga petani kurang berdaya dalam merespon realitas tersebut, dimana membutuhkan intervensi eksternal dalam merespon situasi yang dihadapi.. Jadi, dari penjelasan tersebut, salah satu persoalan paling rumit di wilayah pedesaan adalah penyediaan modal. Bahkan, keterbatasan akses terhadap modal diindentifikasi sebagai salah satu faktor penyebab kemiskinan. Keterbatasan modal menyebabkan sirkulasi kegiatan ekonomi tidak berjalan. Sebaliknya, tanpa ada perputaran aktivitas ekonomi proses akumulasi kapital juga tidak bisa terjadi. Berbekal situasi yang seperti itu, para perumus kebijakan pembangunan pedesaan akhirnya meluncurkan program kredit mikro, sebagai instrument pengembangan kelembagaan sektor finansial di pedesaan. Pada umumnya lembaga keuangan di pedesaan bisa dibedakan dalam tiga jenis: pertama, lembaga keuangan formal; kedua, lembaga keuangan semi-formal; ketiga, lembaga keuangan informal. Di suatu Negara, lembaga keuangan formal biasanya secara opersional diatur dalam undang-undang perbankan dan disupervisi oleh bank sentral. Lembaga keuangan tersebut bisa bank pemerintah maupun swasta. Sementara itu, bank semi-formal adalah perbankan yang tidak diatur dalam UU, tetapi disupervisi dan diregulasi oleh agen pemerintah selain bank sentral. Terakhir, lembaga informal beroperasi di luar regulasi dan supervise lembaga pemerintah. Lembaga ini berisi kegiatan-kegiatan yang benar-benar di luar kelembagaan keuangan resmi, yang sering kali tidak dicatat. Sungguh pun begitu, tidak berarti sektor keuangan informal merupakan kegiatan ilagal. Lembaga keuangan ini tetap legal, hanya saja tidak diregulasi (Soyibo, 1997). Lembaga keuangan informal ini bukan sekedar meyediakan uang cash untuk keperluan transaksi, tetapi kadang-kadang juga memberikan bantuan dalam bentuk barang. Dengan karakter yang fleksibel, biasanya lembaga keuangan informal ini memiliki daya tahan yang kuat untuk hidup wilayah di pedesaan (Ahmad Erani Yustika, 2013). Ciri penting dari lembaga keuangan formal dan semi-formal adalah pada tipe kesepakatan yang dibikin dalam bentuk system kontrak. Kontrak tersebut berisi tentang hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, misalnya prasyarat agunan, Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 6
model pembayaran, dan sanksi apabila salah satu pihak ingkar terhadap kesepakatan. Sebaliknya, lembaga keuangan informal bersifat sangat cair, hubungan antara kreditor dan debitor bersifat personal, dan nyaris tidak ada persyaratan administrasi yang dibutuhkan. Bahkan, mekanisme kredit sama sekali tidak menggunakan system kontrak, karena biasanya tidak ada persyaratan angunan maupun sanksi. Dengan karateristik tersebut, lembaga keuangan informal biasanya lebih mudah diterima oleh masyarakat pedesaan. Menurut Kasryno (1983) lembaga kredit informal sangat berkembang dalam masyarakat pedesaan akibat belum terjangkaunya pelayanan kredit dari lembaga keuangan formal bagi sebagian besar masyarakat pedesaan, terutama petani kecil dan buruh tani yang selalu memerlukan kredit dengan pelayanan yang terjangkau oleh mereka. Khusus sektor pertanian, setidaknya terdapat tiga sumber kredit informal di wilayah pedesaan: pertama, pemilik tanah bagi penyakap; kedua, petani penggarap bagi buruh tani; ketiga, pelepas pinjaman pedesaan (rentenir/tengkulak). Akibat hubungan yang sangat erat antara penyakap dan pemilik lahan, menjadikan pihak yang pertama tidak hanya tergantung secara ekonomi kepada pihak kedua. Dalam banyak hal, secara social politik mereka juga mengikuti apa saja yang diinginkan oleh pemilik lahan. Bahkan, disengaja maupun tidak, hubungan itu sengaja dilanggengkan oleh pemilik lahan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat politis. Di luar itu, salah satu hal yang menjadi ketertarikan petani melakukan kredit ke pemilik lahan/tengkulak adalah karena sifatnya yang fleksibel, prosedurnya tidak rumit, saling mengenal, dan berhubungan erat. Inilah yang menyebabkan petani tetap meminjam ke tengkulak walaupun bunga kredit yang dikenakan sangat tinggi. Dalam prespektif ini sesungguhnya apa yang dilakukan oleh petani tetap rasional. 2.1.1. Desain kelembagaan sektor Finansial Berdasarkan gambaran tersebut, sesungguhnya persoalan lembaga keuangan di pedesaan bisa diidentifikasi dalam tiga aspek berikut. Pertama, masalah akses kredit. Karakter masyarakat pedesaan dengan skala usaha kecil (subsisten) menyebabkan mereka tidak memiliki asset yang cukup untuk digunakan sebagai angunan. Akibatnya, akses kredit mereka ke lembaga keuangan formal menjadi sangat terbatas. Kedua, posisi tawar dan informasi masyarakat pedesaan yang sangat rendah Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 7
menyebabkan rawan terhadap praktik manipulasi dari lembaga keuangan formal maupun semi-formal. Bentuk manipulasi itu bermacam-macam, misalnya pengenaan suku bunga lebih tinggi dari kebijakan pemerintah maupun pemberi kredit yang sangat terlambat sehingga menggangu usaha yang direncanakan. Ketiga, informasi yang asimentris dari pemberi pinjaman/kredit terhadap peminjam. Setiap lembaga keuangan formal mempunyai keterbatasan untuk mengenali kemampuan ekonomi dan usaha dari tiap pelaku usaha di pedesaan sehingga mereka cenderung hati-hati dalam menyalurkan kredit. Implikasinya lembaga keuangan formal hanya melihat angunan sebagai kriteria pemberian pinjaman, karena apabila terjadi kasus kegagalan mereka tetap tidak ada resiko kehilangan uang yang dipinjamkan. Akan tetapi pada titik itulah kelembagaan keuangan informal masuk untuk mengisi keterbatasan yang tidak dapat dijangkau oleh lembaga keuangan formal. Misalnya, pelaku ekonomi skala kecil di pedesaan seperti petani, usaha kecil, nelayan dan lain-lainnya tidak perlu memberikan angunan kepada tengkulak, rentenir atau tetangga serta kerabat. Lebih dari itu, Soyibo (1997) mencatat kehadiran lembaga keuangan informal itu bisa didekati dari dua prespektif. Pertama, pemikiran represi keuangan. Pendekatan ini yang pertama kali digagas oleh McKinnon (1973) dan Shaw (1973), beralasan bahwa pelaku keuangan informal memulai usaha sebagai akibat dari regulasi pemerintah yang besar-besaran terhadap sektor keuangan formal, seperti penggunan kebijakan kredit langsung, suku bunga ganda dan preferensi alokasi kredit kepada pemerintah dan cabang-cabangnya. Celakanya, praktek ini rawan penyuapan dan korupsi di antara bank dan pejabat pemerintah, sehingga menyebabkan biaya untuk mendapatkan dana bagi kelompok miskin menjadi sangat mahal. Kedua, pemikiran strukturalis, dimana pendekatan ini melihat munculnya lembaga keuangan informal di luar motif ekonomi. Menurut aliran ini, system keuangan informal merupakan subordinat dari system keuangan formla. Dari prespektif ini segmentasi pasar terjadi bukan akibat regulasi pemerintah, tetapi karena lembaga keuangan informal memang melayani kelompok social lain. Lembaga keuangan informal mendistribusikan pendapatan di antara anggota komunitas dan menyediakan bentuk-bentuk jaminan social yang bisa mengatasi fluktuasi likuiditas Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 8
masyarakat
miskin.
Anggota-anggota
komunitas
tersebut
mengeskpresikan
solidaritasnya berdasarkan hubungan kekeluargaan, etnisitas dan agama. Dengan memetakan kelebihan dan kekurangan dari dua jenis lembaga keuangan tersebut, yakni lembaga keuangan formal/semi-formal dan informal, akan lebih mudah diperoleh gambaran model kelembagaan sektor finansial yang dapat dikembangkan di pedesaan. Dalam konteks lembaga keuangan formal, kelemahan yang paling tampak adalah persyaratan agunan yang berat dan birokratis yang berbelit sehingga memperkecil akses masyarakat kecil di pedesaan untuk mendapatkan kredit. Akibatnya, seperti telah diuraikan sebelumnya umumnya lembaga keuangan formal yang dibentuk oleh pemerintah banyak yang mengalami kegagalan, setidaknya kinerjanya mengecewakan keculi untuk kasus BRI di Indonesia. Tetapi lembaga keuangan formal ini tetap layak dikembagkan karena memiliki kelebihan dalam beberapa hal, misalnya pengenaan bunga kredit yang lebih rendah. Di samping itu, lembaga keuangan formal juga mengajari pelaku usaha skala kecil membuat business plan yang benar sehingga secara tidak langsung memberikan bekal keterampilan kepada masyarakat kecil untuk menjadi wirausahawan yang baik. Sehingga dalam jangka waktu yang akan datang, aspek yang harus diperbaiki dari lembaga keuangan formal adalah masalah penurunan nilai angunan dan pemangkasan birokrasi. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah pemerintah bisa menjadi peminjam angunan dari setiap kredit yang diajukan masyarakat pedesaan ke lembaga keuangan formal maupun semi-formal. Sementara itu, untuk lembaga keuangan informal kelebihan yang paling nyata adalah prosedurnya yang sederhana dan terjangkau, tanpa angunan, hubungannya yang cair dan waktu pengembalian kredit yang fleksibel. Karateristik itu sangat sesuai dengan ciri pelaku ekonomi di pedesaan yang memiliki asset terbatas, tingkat pendidikan rendah, dan siklus pendapatan yang tidak teratur. Karateristik masyarakat pedesaan seperti itu yang ditangkap dengan baik oleh pelaku lembaga keuangan informal, sehinga eksistensinya lebih mudah diterima oleh masyarakat kecil. Tetapi kelemahan utama dari lembaga keuangan informal, yakni tingkat bunga kredit yang sangat tinggi, harus diperbaiki sebab keberadaannya cenderung eksploitatif kepada masyarakat miskin. Pemerintah dapat mendesain regulasi dengan jalan membatasi Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 9
tingkat suku bunga atau memperluas akses masyarakat miskin kepada kredit formal sehingga dalam jangka panjang tingkat bunga lembaga keuangan informal akan tertekan. Model inilah yang harus diadopsi agar kepentingan masyarakata kecil tidak dirugikan. Di luar strategi semacam itu, ada dua langka lain yang bisa dilakukan. Pertama, mengaitkan lembaga keuangan informal dengan lembaga keuangan formal. Asumsi dari model ini adalah pelaku lembaga formal keuangan informal lebih mengetahui jejak rekam dari pelaku ekonomi di pedesaan, sehingga kemungkinan terjadinya kegagalan dapat diperkecil. Dengan begitu, biaya mencari informasi, negosiasi, dan pengawasan menjadi murah (lower transaction cost). Melaui pembahaman ini, lembaga keuangan informal bisa diajak bekerjasama sebagai channeling kredit dari lembaga keuangan formal di pedesaan, tentunya dengan konsekuanesi memberikan kompensasi keuntungan kepada pelaku lembaga keuangan informal dijadikan sebagai agen yang mencari dan mengeksekusi kredit kepada masyarakat, sedangkan lembaga keuangan informal sebagai principal yang menyediakan dana. Dengan model tetap bisa hidup, masyarakat memiliki akses kepada modal/kredit yang lebih besar, dan lembaga keuangan formal semakin mudah untuk menyalurkan dananya. Kedua, mendesain kelembagaan keuangan formal berdasarkan struktur atau hirarki masyarakat pedesaan, baik struktur nilai-nilai maupun struktur social. Dalam posisi seperti ini, operasi lembaga keuangan formal didesain dengan cara mengadopsi nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat local, misanya kasus pengembangan BPR. Penelitian yang pernah dilakukan menunjukan beberapa BPR yang menyerap system dan adat dalam mencegah terjadinya kredit macet. Sebaliknya BPR yang menggunakan perangkat dan kelembagaan baku yang disodorkan oleh bank Indonesia banyak yang terjebak dengan persoalan kredit macet sehingga membuat kinerja BPR mejadi buruk. Kasus di wilayah Bali dan Padang membuktikan hal itu, dimana keberhasilan Lembaga perkredit Desa (LPD) tidak lepas dari kedudukannya sebagai lembaga keuangan yang sarat dengan nilai adat. Ketua LPD adalah kepala adat. Sementara itu, pengurusnya ditentukan oleh kepala adat melalui musyawarah, dan yang terpilih biasanya adalah orang-orang yang jujur, rela berkorban, memiliki integeritas tinggi terhadap moral, dan tidak cacat di masyarakat. Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 10
Akibat perkembangan yang luar biasa membuat bank-bank komersil berskala internasional pun ikut serta membuka unit lembaga keuangan mikro, sebab dipandang sektor ini dapat menghasilkan profit yang lumayan besar. Tentu saja perkembangan ini menimbulkan sisi positif, tapi akibat persaingan yang makin ketat membuat kompetisi terkadang menjadi tidak adil, khususnya diantara pemain skala besar dengan pelaku level gurem. Pemerintah tidak boleh tinggal diam dan harus mengambil peran dalam melahirkan regulasi dan aturan main yang solid terhadap lembaga keuangan mikro ini agar keberadaannya tidak semata berorintasi profit, tapi memiliki misi pelayanan terhadap kaum miskin harus dikedepankan. Akhirnya persoalan pembangunan di pedesaan tidak cukup hanya ditangani dengan membentuk lembaga keuangan semata, tetapi juga dimensi lain yang tidak kalah penting, misalnya infrastruktur ekonomi seperti jalan, jembatan dan irigasi, akses terhadap kesehatan, pendidikan dan lain-lainnya. 2.1.2. Pembangunan ekonomi di Pedesaan melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah lembaga usaha desa yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintahan desa dalam upaya memperkuat perekonomian desa dan dibentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa. BUMDes menurut Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah didirikan antara lain dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli Desa (PA Desa). Berangkat dari cara pandang ini, jika pendapatan asli desa dapat diperoleh dari BUMDes, maka kondisi itu akan mendorong setiap Pemerintah Desa memberikan “goodwill” dalam merespon pendirian BUMDes. Sebagai salah satu lembaga ekonomi yang beroperasi di pedesaan, BUMDes harus memiliki perbedaan dengan lembaga ekonomi pada umumnya. Hal ini dimaksudkan agar keberadaan dan kinerja BUMDes mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan warga desa. Di samping itu, supaya tidak berkembang sistem usaha kapitalistis di pedesaan yang dapat mengakibatkan terganggunya nilai-nilai kehidupan bermasyarakat. Terdapat 7 (tujuh) ciri utama yang membedakan BUMDes dengan lembaga ekonomi komersial pada umumnya yaitu: 1. Badan usaha ini dimiliki oleh desa dan dikelola secara bersama Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 11
2. Modal usaha bersumber dari desa (51%) dan dari masyarakat (49%) melalui penyertaan modal (saham atau andil) 3. Operasionalisasinya menggunakan falsafah bisnis yang berakar dari budaya lokal (local wisdom) 4. Bidang usaha yang dijalankan didasarkan pada potensi dan hasil informasi pasar; 5. Keuntungan yang diperoleh ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota (penyerta modal) dan masyarakat melalui kebijakan desa (village policy); 6. Difasilitasi oleh Pemerintah, Pemprov, Pemkab, dan Pemdes 7. Pelaksanaan operasionalisasi dikontrol secara bersama (Pemdes, BPD, anggota). BUMDes sebagai suatu lembaga ekonomi modal usahanya dibangun atas inisiatif masyarakat dan menganut asas mandiri. Ini berarti pemenuhan modal usaha BUMDes harus bersumber dari masyarakat. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan BUMDes dapat mengajukan pinjaman modal kepada pihak luar, seperti dari Pemerintah Desa atau pihak lain, bahkan melalui pihak ketiga. Ini sesuai dengan peraturan per undang-undangan (UU 32 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah). Penjelasan ini sangat penting untuk mempersiapkan pendirian BUMDes, karena implikasinya akan bersentuhan dengan pengaturannya dalam Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Desa (Perdes). 2.1.3. Tujuan Pendirian BUMDes Empat tujuan utama pendirian BUMDes adalah pertama, meningkatkan perekonomian desa; kedua, meningkatkan pendapatan asli desa; ketiga, meningkatkan pengolahan potensi desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat; keempat, menjadi tulang punggung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi pedesaan. Pendirian dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah merupakan perwujudan dari pengelolaan ekonomi produktif desa yang dilakukan secara kooperatif, partisipatif, emansipatif, transparansi, akuntabel, dan sustainable.. Oleh karena itu, perlu upaya serius untuk menjadikan pengelolaan badan usaha tersebut dapat berjalan secara efektif, efisien, profesional dan mandiri untuk mencapai tujuan BUMDes dilakukan dengan cara memenuhi kebutuhan (produktif dan konsumtif) masyarakat melalui pelayanan distribusi barang dan jasa yang dikelola masyarakat dan Pemdes. Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 12
Pemenuhan kebutuhan ini diupayakan tidak memberatkan masyarakat, mengingat BUMDes akan menjadi usaha desa yang paling dominan dalam menggerakkan ekonomi desa. Lembaga ini juga dituntut mampu memberikan pelayanan kepada non anggota (di luar desa) dengan menempatkan harga dan pelayanan yang berlaku standar pasar. Artinya terdapat mekanisme kelembagaan/tata aturan yang disepakati bersama, sehingga tidak menimbulkan distorsi ekonomi di pedesaan disebabkan usaha yang dijalankan oleh BUMDes. Dinyatakan di dalam undang-undang bahwa BUMDes dapat didirikan sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Apa yang dimaksud dengan ”kebutuhan dan potensi desa” adalah: 1. Kebutuhan masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok; 2. Tersedia sumberdaya desa yang belum dimanfaatkan secara optimal terutama kekayaan desa dan terdapat permintaan di pasar; 3. Tersedia sumberdaya manusia yang mampu mengelola badan usaha sebagai aset penggerak perekonomian masyarakat; 4. Adanya unit-unit usaha yang merupakan kegiatan ekonomi warga masyarakat yang dikelola secara parsial dan kurang terakomodasi; BUMDes merupakan wahana untuk menjalankan usaha di desa. Apa yang dimaksud dengan “usaha desa” adalah jenis usaha yang meliputi pelayanan ekonomi desa seperti antara lain: a) Usaha jasa keuangan, jasa angkutan darat dan air, listrik desa, dan usaha sejenis lainnya; b) Penyaluran sembilan bahan pokok ekonomi desa; c) Perdagangan hasil pertanian meliputi tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan agrobisnis; d) Industri dan kerajinan rakyat. Keterlibatan pemerintah desa sebagai penyerta modal terbesar BUMDes atau sebagai pendiri bersama masyarakat diharapkan mampu memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM), yang diwujudkan dalam bentuk perlindungan (proteksi) atas intervensi yang merugikan dari pihak ketiga (baik dari dalam maupun luar desa). Demikian pula, pemerintah desa ikut berperan dalam pembentukan BUMDes sebagai badan hukum yang berpijak pada tata aturan perundangan yang berlaku, serta sesuai Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 13
dengan kesepakatan yang terbangun di masyarakat desa. Pengaturan lebih lanjut mengenai BUMDes diatur melalui Peraturan Daerah (Perda) setelah memperhatikan peraturan di atasnya. Melalui mekanisme “self help” dan “member-base”,maka BUMDes juga merupakan perwujudan partisipasi masyarakat desa secara keseluruhan, sehingga tidak menciptakan model usaha yang dihegemoni oleh kelompok tertentu ditingkat desa. Artinya, tata aturan ini terwujud dalam mekanisme kelembagaan yang solid. Penguatan kapasitas kelembagaan akan terarah pada adanya tata aturan yang mengikat seluruh anggota (one for all). 2.2. Studi Komparatif (Kabupaten Bantaeng) 2.2.1. Kondisi Geografis dan Demografi Secara geografis Kabupaten Bantaeng terletak pada titik 5o21'23"-5o35'26" lintang selatan dan 119o51'42"-120o5'26" bujur timur. Berjarak 125 Km ke arah selatan dari Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Luas wilayahnya mencapai 395,83 Km2 dengan jumlah penduduk 182.283 jiwa (2014) dengan rincian Laki-laki sebanyak 88.012 jiwa dan perempuan 94.271 jiwa. Wilayah Kabupaten Bantaeng secara administrative terbagi atas 8 kecamatan, 46 desa dan 21 kelurahan. Pada bagian utara daerah ini terdapat dataran tinggi yang meliputi pegunungan Lompobattang sedangkan di bagian selatan membujur dari barat ke timur terdapat dataran rendah yang meliputi pesisir pantai dan persawahan. Kabupaten Bantaeng yang luasnya mencapai 0,63% dari luas Sulawesi Selatan, masih memiliki potensi alam untuk dikembangkan lebih lanjut yaitu lahan yang dimilikinya ± 39.583 Ha. Di Kabupaten Bantaeng mempunyai hutan produksi terbatas 1.262 Ha dan hutan lindung 2.773 Ha. Secara keseluruhan luas kawasan hutan menurut fungsinya di Kabupaten Bantaeng sebesar 6.222 Ha. Karena sebagian besar penduduknya petani, maka wajar bila Bantaeng sangat mengandalkan sektor pertanian, di antaranya jenis tanaman sayursayurannya sudah berkembang pesat selama ini. Tanaman holtikultura yang banyak di budidayakan di daerah ini adalah kentang, kool, wortel dan buah-buahan seperti pisang dan mangga. Perkembangan produksi perkebunan, khususnya komoditi utama mengalami peningkatan yang cukup berarti.
Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 14
Keberhasilan Prof. Dr. Ir. HM. Nurdin Abdullah Magr. dalam membangun Kabupaten Bantaeng menjadikan daerah ini maknet baru pembangunan di Kawasan Timur Indonesia. Adapun yang menjadi visi beliau dalah menjadikan Banteang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di bagian selatan Sulawesi Selatan tahun 2018. Untuk mencapai visi tersebut dijabarkan dalam bentuk misi diantaranya: 1. Meningkatkan kualitas SDM melalui pengembangan kapasitas penduduk; 2. Optimaslisai pemanfaatan SDM bidang pertanian dan kelautan; 3. Meningkatkan jaringan perdagangan, industry dan pariwisata; 4. Memaksimalkan berkembangnya lembaga ekonomi masyarakat secara terpadu; 5. Penguatan kelembagaan pemerintah. Sebagai bentuk implementasi dari misi tersebut, pada tahun 2008 dibentuk lembaga ekonomi masyarakat secara terpadu dalam bentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di 46 desa yang ada di Kabupaten Bantaeng. Berdasarkan dari hasil pengamatan dan wawancara di lapangan, dari seluruh BUMDes yang ada di daerah tersebut, diambil sampel sebanyak dua BUMDes yang dinilai memiliki kinerja yang baik yaitu BUMDes Ganting di Desa Labbo Kecamatan Tompobulu dan BUMDes Pinang Raya di Desa Rappoa Kecamatan Pajukukang. Tabel 1 Komposisi penduduk Desa Labbo dan Rappoa menurut Jenis Pekerjaan Tahun 2015 Menurut Jenis Pekerjaan Desa Labbo Desa Rappoa Jenis Pekerjaan Jumlah Jenis Pekerjaan Jumlah Petani 816 Jiwa Petani 185 Jiwa Nelayan -Jiwa Nelayan 45 Jiwa Buruh bangungan 50 Jiwa Buruh bangungan 136 Jiwa Pedagang -Jiwa Pedagang 125 Jiwa PNS 21 Jiwa PNS 69 Jiwa TNI/Polri 3 Jiwa TNI/Polri 3 Jiwa Lainnya 15 Jiwa Lainnya (Honorer) 77 Jiwa
Sumber: Dokumentasi Desa Labbo dan Rappoa, 2016 Tabel 1 menujukan komposisi penduduk di Desa Labbo dan Rappoa pada tahun 2015. Secara umum terlihat adanya perbedaan diantara keduanya dimana 90,17 persen penduduk yang bekerja berada di sektor pertanian sementara itu di Desa Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 15
Rappoa hanya sebesar 35,94 persen atau lebih kecil jika dibandingkan dengan sektor infrastruktur dan jasa. Hal tersebut sangat jelas dipengaruhi letak geografis dari masing-masing desa tersebut. Berada di daerah pegunungan dengan ketinggian 1.200 sampai dengan 2000 meter dpl dengan luasi wilayah 13,81 km2 menjadikan Desa Labbo sangat baik untuk wilayah pertanian. Berbeda halnya dengan Desa Rappoa yang berada di daerah pesisir dan dekat wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Bantaeng sehingga komposisi penduduk yang bekerja di sektor non pertanian masih lebih besar dari pada sektor pertanian. Tabel 2. Komposisi penduduk Desa Labbo dan Rappoa menurut tingkat Pendidikan Tahun 2015 Tingkat Pendidikan Desa Labbo Jenjang Tidak sekolah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat DI/DII/DIII Tamat Akademi/PT
Desa Rappoa Jumlah 127 jiwa 131 jiwa 227 jiwa 108 jiwa 47 jiwa 43 jiwa
Jenjang Tidak sekolah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat DI/DII/DIII Tamat Akademi/PT
Jumlah 130 jiwa 193 jiwa 214 jiwa 102 jiwa 133 jiwa 77 jiwa
Sumber: Dokumentasi Desa Labbo dan Rappoa, 2016 Berdasarkan tabel 2 dapat terlihat dengan jelas bahwa komposisi penduduk di kedua desa menurut tingkat pendidikan rata-rata berada pada kategori tidak tamat SMP. Hal yang terlihat menarik dengan adanya perbedaan yang sangat signifikan pada jumlah penduduk yang lanjut ke tingkat perguruan tinggi di antara keduanya, dimana di Desa Rappo jumlahnya dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk di Desa Labbo. Meskipun kemudahan masyarakat untuk mengakses sarana pendidikan diantara keduanya hampir sama, letak geografis yang dekat dengan wilayah administrasi pemerintahan dianggap menjadi faktor yang sangat besar mempengaruhi terhadap komposisi penduduk tersebut. Pilihan untuk bekerja di sektor jasa mengharuskan mereka untuk meningkatkan kualifikasi mereka melalui pendidikan tinggi, baik yang ada di Kabupaten Bantaeng dan sekitarnya maupun di ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan. Sementara itu, tidak adanya kualifikasi pendidikan yang menjadi syarat bagi sektor pertanian dan infrastruktur menjadikan sektor ini menjadi Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 16
pilihan buat mereka yang berpendidikan sekolah menegah dan sekolah dasar bahkan yang tidak perna duduk dibangku sekolah sama sekali. Tabel 3. Komposisi penduduk Desa Labbo dan Rappoa menurut tingkat Kelompok Umur Tahun 2015 Menurut Kelompok Umur (jiwa) Kelompok Umur 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 75+
Lakilaki 90 45 105 94 115 114 72 108 78 107 153 168 67 80 103 17
Desa Labbo Perempuan Kumulatif 136 100 117 153 204 93 100 138 123 136 135 120 140 146 96 25
126 145 222 247 319 207 172 247 201 243 288 288 207 226 199 42
Kelompok Umur <1 1-6 7-16 17-24 25-55 56>
Laki-laki
Desa Rappoa Perempuan
Kumulatif
35 89 101 151 364 64
38 85 35 114 467 102
73 174 136 292 831 166
Sumber: Dokumentasi Desa Labbo dan Rappoa, 2016 Jika dilihat dari tabel 3 di atas, komposisi penduduk di Desa Labbo dan Rappoa sebagaian besar berada di usia produktif yaitu masing-masing sebesar 71,56 dan 67,17 persen dari total penduduk. Namun, berdasarkan data empirik di lapangan hanya ada sebesar 48,63 persen dari usia produktif di Desa Labbo yang benar-benar bekerja sementara itu ada sebanyak 81,22 persen dari perempuan yang berusia produktif tidak sedang bekerja (URT). Untuk Desa Rappoa tidak ada data yang menunjukan tingkat partisipasi angkatan kerja yang tersedia di desa. 2.2.2. Kondisi Sosial Masyarakat Desa Tanah merupakan asset yang memiliki peranan sangat penting bagi masyarakat di daerah pedesaan sehingga kondisi social masyarakatnya sangat dipengaruhi oleh keberadaan asset tersebut. Hubungan kekerabatan masyarakat di Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 17
Desa Labbo masih sangat erat diantara mereka yaitu mencapai 90 persen merupakan penduduk asli yang turun-temurun mendiami daerah tersebut. Hal yang sama juga terlihat jelas di Desa Rappoa yang mencapai 89 persen dari jumlah penduduk. Hal tersebut dapat menggambarkan bahwa besar kemungkinan perpindah kepemilikan suatu asset (tanah) masih sangat dekat diantara mereka baik melalui system waris maupun jual beli. Dengan adanya hubungan kekerabatan yang sangat erat tersebut, kegiatan social ekonomi masyarakat masih diwarnai budaya tolong menolong seperti pada kegiatan kerja bakti membersihkan jalan dan drainase, pindah rumah dan hajatan perkawinan di kampung. Sebagai daerah pedesaan yang digambarkan sebagai masyarakat tradisional (Gemeinstchaft), Orentasi kolektif tersebut merupakan konskuesi dari afektifitas, yaitu mementingkan kebersamaan dan rasa simpati yang tinggi terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolong tanpa pamrih yang dimasih dipertahankan oleh masyarakat kedua desa tersebut. Persoalan social seperti kenakalan remaja dan sengketa tanah (warisan) masih mengandalkan penyelesaian secara kekeluargaan, yaitu mekanisme adat (arbitrasi) yang ada di desa. Meskipun perangkat dari institusi hukum seperti Polsek Tompobulu maupun Polsek Pajukukang terdapat di daerah tersebut, masyarakat desa masih lebih mengandalkan penyelesaian konflik lewat tokoh-tokoh masyarakat yang ada di desa seperti ketua RT/RW, kepada dusun dan kepala desa serta camat yang dianggap memiliki pengaruh yang kuat dalam penyelesaian konflik tersebut. Sementara itu, polisi dilibatkan sebagai pihak yang berfungsi untuk mengamankan jalannya proses abitrasi tersebut.
2.2.3. Pengelola BUMDes A. BUMDes Ganting BUMDes Ganting yang sekarang berkantor di jalan cengkeh tepatnya dibelakang kantor Desa Labbo merupakan suatu lembaga ekonomi milik desa Labbo yang dirintis melalui musyawarah desa pada tanggal 31 Desember 2008 dan mendapat dukungan dari pemerintah Kabupaten Bantaeng bekerjasama dengan Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 18
ACCESS-Phase II sejak tahun 2009 sampai saat ini. Lembaga ini bebentuk usaha bersama (UB) yang sudah memilik badan hukum berupa akta notaris sejak tahun 2009. Tujuan pendirian lembaga tersebut diantaranya pertama, Mendorong berkembangnya kegiatan perekonomian masyarakat desa; kedua, meningkatkan kreatifitas dan peluang usaha ekonomi produkstif anggota (berwirausaha) masyarakat desa yang berpenghasilan rendah; ketiga, meningkatkan pendapatan asli desa; keempat, meningkatkan pengelolaan potensi desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, BUMDes Ganting mengelola beberapa jenis usaha berupa pengelolaan air bersih, jasa angkutan dan pengelolaan hutan desa. Alasan memilih unit usaha tersebut, pertama, kondisi desa yang berada di daerah pegunungan dengan ketinggian 1.200 sampai dengan 2000 meter dpl dengan luasi wilayah 13,81 km2 menjadikan desa labbo memiliki potensi lahan yang sangat produktif diantaranya perkebunan dan hutan desa. Dengan luas lahan pertanian 16.296 Ha, masyarakat desa menanam berbagai jenis tanaman jangka panjang seperti cengkeh, kakao, dan berbagai macam buah-buahan. pada saat panen, masyarakat desa menghadapi kendala pemasaran hasil bumi mereka. Oleh karena itu, dengan adanya mobil pick up bantuan pemerintah Kabupaten Bantaeng yang digunakan untuk operasional usaha BUMDes termasuk melayani jasa pengangkutan hasil bumi masyarakat sangatlah membantu dalam pemasaran hasil bumi masyarakat tersebut. Dari unit usaha tersebut pendapatan BUMDes bisa mencapai 350 ribu sampai dengan 750 ribu rupiah perbulan. Masyarakat desa juga mengelola hutan desa dengan luas 504 Ha. Kedua, keberadaan hutan desa menjadi anugrah yang besar bagi masyarakat di Desa Labbo dimana BUMDes Ganting adalah pemegang Hak Kelola Hutan (HPHD). Saat ini ada 119 keluarga yang tersebar di Desa Labbo, dimana Dusun Kampala dan Bonto Tappalang memanfaatkan hutan desa dengan menanam kopi dan memungut madu hutan. Di samping itu, hutan desa menjadi ekosistem yang baik bagi lebah hutan. Untuk memaksimalkan pemanfaatan hasil hutan tersebut, masyarakat membentuk kelompok peternak lebah madu yang beranggotakan 19 orang dengan 190 peti. Sejauh ini lembaga BUMDes masih berperan sebatas membantu kelompok tersebut dalam Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 19
pemasaran hasil hutan mereka. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat desa, Sumber mata air dari hutan desa tersebut dialiri melalui pipa melayani 428 rumah tangga yang dikelola oleh BUMDes. dengan biaya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan tarif yang dikenakan oleh PDAM yaitu sebesar 500 rupiah untuk biaya beban dan 250 rupiah untuk biaya pemakaian/kubik. Oleh karena itu, dari unit usaha ini BUMDes memiliki penerimaan sebesar 530 ribu rupiah per bulan. Untuk mendukung pelaksanaan usaha tersebut, modal usaha BUMDes Ganting berasal dari pertama, pemerintah Kabupaten Bantaeng yaitu modal usaha sebesar 100 juta rupiah dan sebuah mobil pick up. Bantuan dana pemerintah tersebut merupakan hibah sedangkan untuk mobil pick up, pengelola BUMDes harus menyetor kepada pemerintah daerah dalam hal ini dinas perhubungan sebesar 150 ribu rupiah setiap bulannya. Kedua, bantuan dari dirjen PMD pusat sebesar 160 juta rupiah. Dana ini merupakan hibah yang diperuntukan pada kegiatan pengembangan desa sehingga dalam penyalurannya sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) dari Dirjen PMD Pusat pemerintah desa harus membentuk kelompok teknis kegiatan tersendiri yang terpisah dengan lembaga BUMDes. Untuk mentaktisi hal tersebut, pemerintah desa merekrut pengurus BUMDes Ganting untuk mengisi jabatan teknis tersebut. Tujuan tersebut bertujuan agar dana tersebut dapat disinerjikan kegiatan-kegiatan desa yang dikelola oleh BUMDes Ganting. Mengacuh pada peraturan menteri desa, pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi nomor 4 tahun 2015 pasal pasal 17 (b) modal BUMDes terdiri atas penertaan modal desa dan modal masyarakat. Namun penyertaan modal pemerintah Desa Labbo masih nihil meskipun pemerintah memberikan suntikan dana sebesar sembilan juta rupiah pada saat pelaksanaan musyawarah desa di awal tahun 2014. Alasan pemerintah desa mengambil tindakan tersebut bertujuan agar kas BUMDes tetap tidak terganggu. Menurut kepala Desa Labbo penyertaan modal yang nihil tersebut yang bersumber dari dana desa disebabkan oleh masih belum adanya perdes yang mengatur hal tersebut. Sementara itu, partisipasi masyarakat dalam bentuk modal pada BUMDes tersebut juga nihil. Tidak alasan pasti dari pengelola yang menjelaskan kenapa hal itu tidak dilakukan. Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 20
B. BUMDes Pinang Raya Seiring dengan pergantian kepengurusan yang baru, kantor BUMDes Pinang raya masih belum bersifat permanen. Para pengurus untuk sementara waktu berkantor di kantor Desa Rappoa Kecamatan Pajukukang jalan poros Bulukumba Makassar dan sebagaian arsip-arsip penting lembaga tersebut berada di rumah salah satu pengurus baru (sekretaris). Seperti halnya dengan BUMDes Ganting lembaga ekonomi desa tersebut dirintis melalui musyawarah desa pada di awal tahun 2009 dan mendapat dukungan dari pemerintah Kabupaten Bantaeng. Lembaga ini bebentuk usaha bersama (UB) yang sudah memilik badan hukum berupa akta notaris sejak tahun 2009. Tujuan pendirian lembaga tersebut
dilatarbelakangi dengan adanya
program pemerintah Kabupaten Bantaeng yang ditandai dengan dikucurkannya bantuan dana BUMDes sebesar 100 juta rupiah tiap desa pada tahun 2009 menindak lanjuti Surat Keputusan Bupati Bantaeng Nomor 411/510/XII/2008 Tahun 2008 tentang petunjuk tekhnis pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat Melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Berdasarkan hal tersebut, pemerintah desa berinisiasi membentuk
lembaga
BUMDes
dengan
diawali
pelaksanaan
rembug
desa
(musyawarah desa) dengan beberapa agenda diantaranya; pertama, melakukan analsis sosial yang ada di desa, kedua sosialisasi perencanaan dan program kerja yang bertujuan untuk pengembangan ekonomi masyarakat desa. Berdasarkan hasil analisis tersebut, dengan terbentuknya lembaga BUMDes Pinang Raya yang dipimpin oleh Abdul Salam Bonda sebagai direktur disepakati beberapa unit usaha yaitu; pertama, perdagangan hasil pertanian, kedua, persediaan perlengkapan pesta dan ketiga, pembibitan sapi. Dari besarnya jumlah hibah pemerintah tersebut yang di kelola oleh lembaga, 20 persen digunakan untuk perlengkapan kantor (ATK) dan 30 persen digunakan untuk membeli bibit sapi sebanyak sepuluh ekor dengan nilai 30 juta rupiah. Sementara itu, sisa modal digunakan untuk membeli perlengkapan pesta dan modal usaha perdagangan. Berbeda halnya dengan potensi yang ada di Desa Labbo, secara geografis letak desa Rappoa yang berada di sepanjang pesisir selat Makassar. Melalui unit usaha perdagangan, pengelola membeli hasil bumi masyarakat yang diperoleh dari budi daya rumput laut. Dengan hanya mengandalkan modal yang bersumber dari hibah Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 21
pemerintah, kemampuan modal usaha yang masih kalah bersaing dengan pedagang pengumpul lainnya yang ada di desa, unit usaha ini hanya mampu membeli dalam jumlah yang kecil sesuai dengan harga yang ada di masyarakat. Karena tidak memiliki tempat penyimpanan yang memadai, hasil pembelian tersebut harus dijual kembali ke pedangang besar dengan nilai marjin yang sangat kecil. Jumlah yang kecil dan intensitas yang tidak menentu menyebabkan mereka belum coba untuk memasarkan langsung ke industri yang ada di Kota Makassar. Meski sempat macet pada tahun 2013 yang berdampak terhadap perkembangan usaha tersebut, atas inisiasi pemerintah desa berdasarkan hasil musrembang desa yang dilaksanakan awal tahun 2016 dengan kepengurusan BUMDes yang baru disepakati program pengadaan toko petani rumput laut yang akan menyediakan segala kebutuhan pertanian diantaranya, tali bentang dan bibit. Untuk mendukung tujuan pendirian lembaga tersebut. Rapat tersebut juga menyepakati pembentukan unit baru yaitu unit simpan pinjam untuk masyarakat kelas ekonomi mengengah bawah. Salah satu peruntukannya adalah sebagai modal usaha bagi petani rumput laut yang memiliki kendala pada modal usaha. Untuk mendorong tingkat produktivitas pertanian di desa, pemerintah Desa Rappoa melalui BUMDes juga mengalokasikan dana desa sebesar 56 juta rupiah untuk membeli dua unit traktor. Di samping itu juga, melihat adanya nilai ekonomis dari unit usaha ternak sapi yang selama ini dijalankan, dimana dengan modal tiga juta rupiah per ekor setelah dua tahun memiliki nilai pasar sebesar dua juta rupiah, pemerintah kembali akan mengalokasikan dana desa tahun 2017 untuk penambahan jumlah bibit sapi. Untuk mendorong pembangunan ekonomi di desa pemerintah mencoba mesingerjikan RPJMdes 2020 dengan pelaksanaan program yang ada di lembaga BUMDes Pinang Raya. Bantuan dana tersebut merupakan bentuk partisipasi pemerintah desa dalam penyertaan modal usaha yang dialokasikan dari dana desa sesuai dengan peraturan pemerintah nomor 22 tahun 2015. C. Prinsip-Prinsip Pendirian dan Pengelolaan Dalam pendirian dan pengelolaan lembaga, prinsip-prinsip pendirian dan pengelolaan BUMDes diantaranya; pertama, prinsip kooperatif pada BUMDes Ganting dan Pinang Raya menunjukan adanya hubungan kerja sama yang baik diantara Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 22
pengurus yang ditandai oleh kemampuan masing-masing direktur lembaga tersebut dalam membangun komunikasi ke setiap lini yang ada di bawahnya meskipun terkadang terjadi perbedaan persepi tentang tugas pokok dan fungsi masing-masing pengurus. Sinergitas visi dan misi antara pemerintah desa dan pengelola BUMDes ternyata sangat mempengaruhi terhadap kinerja lembaga. Hal ini dapat terlihat pada keberhasilan BUMDes Ganting periode 2012-2014 yang go internasional di masa kepimpinan Muhammad Jamil yang dapat bersinergi dengan Subehan yang mejabat sebagai kepala desa pada saat itu. Namun, pada akhir tahun 2013 setelah terpilihnya Sirajuddin sebagai kepala desa yang baru, Muhammad Jamil tidak lagi mencalonkan diri pada periode berikutnya dengan alasan politis. Sehingga sampai saat ini belum terlihat adanya perkembangan yang signifikan yang dilakukan oleh pengurus yang baru bahkan berdasarkan informasi di lapangan mereka belum melakukan kegiatan apa pun. Berbeda halnya yang terjadi pada BUMDes Pinang Raya, visi misi kepada desa (Irwan Darffan) yang tidak mampu diterjemahkan dengan baik oleh pengurus BUMDes pada periode sebelumnya yang dipimpin oleh Abdul Salam Bonda yang dianggap mengelola lembaga seperti mengelola usaha pribadi. Sehingga pada awal tahun 2016 diadakan musyawarah desa dengan menetapkan kepengurusan yang baru, dimana direktur dan bendahara diisi oleh orang yang baru sementara posisi sekretaris masih dijabat oleh orang yang sama. Kedua, prinsip partisipatif yang ditunjukan dengan keterlibatan setiap unsur yang ada dalam masyarakat dalam musyawarah desa maupun kegiatan usaha BUMDes, seperti kelompok tani, tokoh masyarakat, tokoh perempuan dan tokoh pemuda. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan potensi desa sangat diharap seperti dalam pemeliharaan instalasi PDAM. Kepala unit usaha tidak mengandalkan seluruhnya kepada karyawan tetapi juga swadaya dari masyarakat sekitar. Mengingat kecilnya biaya beban dan pemakaian yang dipungut oleh BUMDes, jika hanya mengandalkan tenaga kerja upahan pasti akan menyebabkan besarnya kerugian yang akan ditanggung oleh unit usaha yang akhirnya akan dikenakan kepada pelanggan. Ketiga, prinsip keadilan dan kesetaraan gender juga ditunjukan dalam penelolaan BUMDes dimana kepengurusan tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 23
tetapi juga pelibatan perempuan dianggap penting seperti ibu Hilmi Ahriani sebagai bendahara pada BUMDes Ganting dan Maryani dan Hadriani masing-masing sebagai sekretaris dan bendahara pada BUMDes Pinang Raya. Meskipun dalam AD/ART pasal 8 poin sangat jelas dibahasakan “Pembentukan BUMDes Ganting Desa Labbo dengan sistem musyawarah dengan melibatkan semua unsur dalam masyarakat
dengan
ketentuan sebagai berikut: a. Perempuan memiliki keterwakilan, b. Wakil masyarakat paling tidak ada unsur masyarakat miskin”. Namun, dalam musyawarah desa tingkat partisipasi kaum perempuan masih sangat minim jika dibandingkan dengan kaum laki-laki. Hal tersebut diantaranya disebabkan oleh kesibukan perempuan dalam mengurusi rumah tangga mereka serta tingkat pendidikan yang umumnya tidak tamat SD menyebabkan mereka merasa canggung untuk hadir dalam forum tersebut. Keempat, prinsip tranparansi dan akuntabilitas yang ditunjukan dalam pengelolaan kegiatan dan keuangan di kedua BUMDes masih sangat terbatas, yang hanya bisa diakses oleh pihak-pihak tertentu khususnya pengurus inti. Seperti yang terjadi pada lembaga lain pada umumnya, kondisi keuangan BUMDes dilaporkan secara langsung pada akhir periode kepengurusan pada setiap tiga tahun dalam musyawarah desa. Untuk laporan pertanggungjawaban tahunan sesuai dengan AD/ART BUMDes Ganting pasal 22 pengurus berkewajiban memberikan laporan pertanggungjawaban kepada kepala desa selaku komisaris dan kepada masyarakat minimal sekali dalam setahun. Oleh karena itu, pengurus membuat laporan tahunan diantaranya laporan keuangan yang disampaikan dalam bentuk tertulis kepada komisaris. Hal yang sama juga dapat terlihat pada prinsip akuntabilitas di kedua BUMDes tersebut. Pertanggungjawaban kegiatan secara teknis maupun administratif masih dilakukan secara periodik dan persuasif tanpa harus diadakan musyawarah BUMDes pertanggungjawaban (sesuai AD/ART BUMDes Ganting pasal 10). Kelima, sesuai dengan tujuan pendirian BUMDes di kedua desa tersebut, prinsip sustainabel dari unit usaha yang dijalankan menjadi prioritas. Ketersedian sumber daya alam yang sangat potensial sangat mendukung tercapainya prinsip tersebut. Hal ini dapat terlihat pada setiap unit usaha yang dijalankan oleh BUMDes Ganting dalam mengelola hutan desa. Untuk mempertahankan kualitas dan kuantitas air bersih dan ketersediaan lebah madu yang dikelolah BUMDes Ganting lembaga Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 24
tersebut menerbitkan surat keputusan nomor 03/BMDs-GT/LB/KTB/II/2010 tentang pengelolaan hutan desa. Tujuan dari peraturan tersebut adalah agar masyarakat dapat mengakses dan memanfaatkan sumber daya hutan tersebut melalui BUMDes secara lestari dan dapat meningkatkan kesejahtraan mereka secara berkelanjutan.
Struktur BUMDes Ganting
Struktur BUMDes Pinang Raya Musyawarah Desa
Musyawarah Desa
Komisaris
Komisaris Badan Pengawas
Direksi: Direktur Sekeretaris Bendahara
Unit Usaha Pengelolaan Air Desa
Unit Usaha Pengelolaan Huta Desa
Badan Pengawas
Unit Usaha Jasa Angkutan
Unit Usaha Petani Rumpu laut
Direksi: Direktur Sekeretaris Bendahara
Unit Usaha Perlengkapan pesta
Unit Usaha Jasa simpan pinjam
Unit Usaha Peternakan sapi
Gambar 1. Struktur BUMDes Ganting dan Pinang Raya D. Hubungan dengan Pihak Lain Dalam upaya pengembangan lembaga, BUMDes sebagai lembaga yang berada di era globalisasi yang penuh dengan kompetisi dan sangat dinamis harus sedapat mungkin membuka diri terhadap berbagai pihak, baik pemerintah, swasta mapupun lembaga non-pemerintah. Sebagai lembaga ekonomi desa yang memiliki prestasi, baik ditingkat nasional maupun internasional, BUMDes Ganting telah membangun kerjasama dengan beberapa lembaga dalam dan luar negeri diantaranya; Univesitas Hasanuddin, Rekoptisi (Bangkok), Akses, LSM Balang, dan Forum Komunikasi Kehutan Masyarakat (FKKM). Untuk dapat mengelola hutan desa sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 25
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 maka atas bantuan Rekoptisi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.57/Menhut-II/2010 tentang penetapan kawasan Hutan sebagai Areal kerja Hutan Desa dan Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 3805/XI/TH 2010 Tentang Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa di Kawasan Hutan Lindung masyarakat Desa Labbo melalui BUMDes Ganting dapat mengelola hutan desa yang terletak di Kawasan hutan yang terdapat di Desa Labbo sesuai badan planalogi Kehutanan dan hasil Peta paduserasi Provinsi Sulawesi Selatan tahun 1999, seluas 342 ha, berada di 5025’20” – 5023’40” LU dan 119057’30” - 119059’20” LS Hutan Desa yang dicanangkan di Kabupaten Bantaeng Kecamatan
Tompobulu.
Untuk
dapat
mempertahankan
kelestarian
dan
keberlangsungan hutan tersebut, melalui fakultas kehutan Universitas Hasanuddin dan FKKM kelompok masyarakat diberi pembinaan dan informasi tentang pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Keberadaan dan pengelolaan hutan desa secara terpadu menjadikan BUMDes Ganting dikenal di beberapa negara diantaranya mendapat kunjungan dari pemerintah Timor Leste dan Bangkok serta undangan menjadi nara sumber di Bangkok. Sementara itu, popularitas BUMDes Pinang Raya belum terlihat seperti yang ada pada lembaga ekonomi desa yang ada di dataran tinggi tersebut. Dengan adanya unit usaha perdagangan dan simpan pinjam mengharuskan lembaga ini menjalin bekerjasama dengan pihak perbankan. Selama ini untuk memudahkan dan demi kelancaran
usaha
pihak
pengelola
membangun
kerjasama
dengan
Bank
PembangunanDaerah (BPD) Sulawesi Selatan. Tidak ada penjelasan khusus apa alasan pengelola BUMDes memilih kerjasama dengan lembaga keuanga tersebut. Jika dilihat dari jarak lokasi usaha dengan kantor BPD Sulawesi Selatan yang ada di daerah tersebut dapat dengan mudah dijangkau melalui moda transportasi darat, yang kirakira berjarak 3 km. E. Dampak Keberadaan BUMDes terhadap Masyarakat Melihat apa yang melatarbelakangi pembentukan BUMDes, dampaknya terhadap masyarakat luas merupakan hal yang mutlak harus ada. Seperti yang Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 26
tertuang dalam peraturan Desa Labbo Nomor 02 Tahun 2008 pasal 3 tentang tujuan pembentukan BUMDes Ganting yaitu mendorong perkembangan kegiatan ekonomi, jiwa kewirausahaan dan pembentukan unit usaha mikro sektor informal di masyarakat terkhusus bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Sejak berdiri pada awal tahun 2009 keberadaan BUMDes Ganting sangat terasa dampaknya di masyarakat, seperti unit usaha air bersih, pengelolaan hutan desa dan jasa angkutan. Ketersediaan air bersih yang sebelumnya dilakukan secara gotong-royong (swadaya) saat ini mampu dikelola secara profesional. Dengan menggunakan instalasi pipa yang dapat melayani 428 rumah tangga juga dilengkapi dengan meteran agar dapat mengukuran besarnya volume air yang digunakan. Meskipun dikelola secara profesional seperti halnya perusahaan air minum, aspek kepentingan sosial (nirlaba) masih menjadi prioritas utama. Hal ini dapat dilihat dari biaya yang dibebankan kepada masyarakat yaitu sebesar 500 rupiah (beban) dan 250 rupiah per kubik (biaya pemakaian). Selain sebagai sumber air bersih, masyarakat juga dapat memanfaatkan hutan secara terpadu dengan membudidayakan berbagai macam komoditas pertanian seperti kopi dan lebah madu. Agar hutan tetap lestari dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan peran BUMDes sebagai lembaga desa untuk mengatur tata kelola pemanfaatannya. Bahkan, masyarakat di desa diberikan berbagai pelatihan dan penyuluhan tentang peningkatan kapasitas secara berkelompok. Mereka juga diberikan bantuan bibit pohon agar dapat ditanam di daerah garapan mereka masingmasing. Untuk mengangkut hasil bumi masyarakat desa untuk dipasarkan, keberadaan mobil puck up BUMDes sangat membantu mereka. Bahkan pelayanan jasa angkutan juga menjangkau desa di sekitarnya. Untuk meningkatkan nilai ekonomis dari hasil budidaya masyarakat seperti kopi tidak langsung di pasarkan tetapi BUMDes Ganting melakukan pembinaan terhadap kaum perempuan di desa yang tergabung dalam “Kelompok Perempuan Mawar” bagaimana mengolah biji kopi menjadi kopi bubuk. Bahkan, melalui kelompok itu juga diajari bagaimana menghasilkan oleh-oleh khas daerah yang berbahan dasar kopi seperti dodol kopi. Agar produk tersebut dapat menjangkau pasar BUMDes Ganting juga membantu memasarkan produk dari masyarakat melalui pameran dan Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 27
sosialisasi di berbagai even nasional dan daerah serta membangun kerjasama dengan pihak lain diantaranya rekoptisi. Hal yang sama juga terlihat di desa Rappoa, keberadaan BUMDes Pinang Raya dapat mengerakan perekonomian warga maskipun masih dalam skala kecil. Unit usaha peternakan sapi yang dikelola secara kelembagaan dan perawatannya diserahkan kepada 10 kepala keluarga mampu meningkatkan pendapatan bagi sebagaian masyarakat desa. Karena usaha tersebut jenisnya pembibitan dan sifatnya bergulir maka induk ternak tersebut akan diserahkan ke rumah tangga yang lain agar terjadi pemerataan. Begitu juga halnya dengan keberadaan dua unit traktor dapat membantu meningkatkan produktifitas lahan pertanian masyarakat, dimana sebelumnya mereka harus mendatangkan traktor dari desa tetangga bahkan harus antri agar biasa menggunakan traktor tersebut. Dengan ada dua unit tersebut, pengelolaan lahan pertanian di desa Rappoa dapat dikerjakan lebih cepat dibandingkan sebelumnya. Meskipun keberadaan toko petani rumput laut belum terealisasi, nanti diharapkan dapat membantu masyarakat khususnya petani rumput laut dalam persediaan perlengkapan dan bahan baku yang dibutuhkan. Besarnya minat masyarakat dalam membudidayakan rumput laut di daerah pesisir selat Makassar akan meningkatkan bebagai macam kebutuhan mereka terutama bibit rumput laut yang memiliki kualitas terbaik. Keterbatasaan modal dan persediaan bibit yang jauh dari lokasi budidaya menjadi masalah yang coba dipecahkan pemerintah desa melalui unit usaha toko petani rumput laut dan simpan pinjam yang dikelola oleh BUMDes tersebut.
Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 28
BAB III MODEL BUMDes Ketergantungan masyarakat yang sangat besar terhadap sector pertanian khususnya rumput laut di daerah pesisir Kabupaten Takalar dan Pangkep menunjukan adanya pengaruh yang besar antara daya beli masyarakat terhadap tingkat produktifitas lahan yang dikelola oleh mereka. Rendahnya daya beli masyarakat khususnya mereka yang mengelola lahan pertanian. mengharuskan mereka untuk menggunakan modal yang seharusnya digunakan untuk usaha budidaya rumput laut, malah digunakan untuk keperluan sehari-hari. Untuk memenuhi kebutuhan modal dalam menjalankan usaha budidaya tersebut dengan harapan penerimaan mereka tetap ada setiap musim panen, meskipun secara ekonomis harus menanggung kerugian, umumnya mereka memilih tengkulak sebagai tempat untuk mendapatkan modal
usaha.
Ketergantuangan
mereka
akibat
pinjaman
tersebut
menjadi
permasalahan baru yang tak perna terselesaikan buat mereka. Ibarat bola salju yang terus menggelinding yang suatu waktu akan merusak setiap tempat yang dilewatinya mendeskripsikan permasalahan yang dihadapi petani rumput laut yang ada di desa Laikang, Cikoang dan Patopakkang (Syafiuddin Saleh & Siswan, 2015). Untuk memecahkan masalah tersebut, peran pemerintah baik daerah maupun desa dianggap sangat penting dalam mendorong perekonomian masyarakat di pedesaan. Upaya yang yang dapat dilakukan berdasarkan hasil studi komparatif (comperative study) yang dilakukan di Kabupaten Bantaeng, dimana keberhasilan pemerintah tersebut mendorong terbentuknya BUMDes di setiap desa menjadi modal tersendiri buat keberhasilan pembangunan di daerah itu.
Melihat kondisi dan
permasalahan yang ada di daerah pesisir Kabupaten Takalar dan Pangkep, Bentuk usaha BUMDes yang cocok untuk dikembangkan adalah: a. Unit usaha simpan pinjam Kendala modal usaha yang dihadapi oleh petani rumput laut di daerah tersebut dapat diselesaikan melalui unit usaha simpan pinjam. Untuk dapat melakukan peminjaman seluruh mekanisme tersebut diatur dalam ART dan peraturan BUMDes. Penyelengaraan simpan pinjam dimaksud untuk dapat memudahkan Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 29
masyarakat dalam pelayanan kredit. Sementara itu, sifat dari pinjam ini adalah bersifat pinjaman produktif yaitu, setiap masyarakat yang telah terdaftar sebagai anggota dapat melakukan pinjaman jika memiliki usaha. Masyarakat
yang
tidak
memiliki
usaha
tidak
diperkenankan
untuk
mendapatkan pinjaman disebabkan oleh tidak sesuai dengan dasar tujuan pendirian unit usaha itu sendiri. Oleh karena itu, melalui lembaga BUMDes kegiatan pemberdayaan masyarakat secara ekonomi di desa dapat ditingkatkan melalui kegiatan pelatihan yang masuk dalam kegiatan social BUMDes. Kegiatan ini betujuan mendorong dan menciptakan kemampuan kewirausahaan masyarakat di desa sehingga dana yang ada di unit usaha ini dapat bergulir di masyarakat dengan tingkat pengembalian yang tinggi. b. Unit usaha perdagangan (pertokoan) Keberadaan unit usaha ini dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap perlengkapan yang digunakan dalam budidaya rumput laut melalui keberadaan toko pertanian yang dikelola oleh BUMDes seperti tali bentang, pelampung, dan bibit. Kebutuhan terhadap barang-barang tersebut sebelumnya harus dibeli dengan harga yang relative lebih tinggi yang disediakan oleh pengusaha yang ada di desa. Bahkan, khusus tali bentang sebagaian dari mereka harus ke Kota Makassar untuk mendapatkan jumlah yang lebih besar dengan harga yang dianggap lebih murah dibandingkan harga yang ada di desa dengan selisih harga antara 5 ribu rupiah sampai dengan 10 ribu rupiah per roll (Syaifuddin, 2015). Margin harga yang relatif besar tersebut dapat dipangkas melalui keberadaan unit usaha tersebut, bahkan bisa menjadi laba usaha. Di samping itu, untuk memotong rantai pemasaran yang begitu panjang dengan marjin harga yang relative besar, unit usaha ini juga dapat melakukan pembelian hasil produksi petani. Besarnya jumlah produksi rumput laut yang ada di daerah tersebut sangat memungkinkan BUMDes langsung dapat menjualnya ke industri yang ada di Kota Makassar. Besarnya margin harga yang ada dalam pemasaran rumput laut, yaitu sebesar 4 sampai 5 ribu rupiah per kilogram, sangat mempengaruhi besarnya potensi pendapat yang hilang dari petani rumput laut yang ada di daerah pesisir kabupaten Takalar dan Pangkep (Syaifuddin, 2015). Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 30
Dengan pemangkasan rantai pemasaran tersebut secara tidak langsung dapat meningkatkan gairah masyarakat untuk meningkatkan produktifitas usaha mereka. Misalnya, 30 persen dari margin harga itu diberikan kepada produsen dalam bentuk tambahan harga pembelian dan selebihnya menjadi laba usaha yang diperoleh BUMDes. Hal ini tidak hanya mampu meningkatkan pendapatan petani tetapi juga dapat memperkuat kemampuan keuangan lembaga. c. Unit usaha agroindustri Untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga petani rumput laut khususnya kaum perempuan perlu adanya industry rumah tangga yang dapat mengolah bahan baku rumput laut menjadi produk yang memiliki nilai tambah (valueadded). Banyaknya produk yang dapat dihasilkan dari bahan baku tersebut seperti snack rumput laut sehingga usaha ini perlu dikembangkan di daerah pesisir. Pelatihan dan penyediaan tehnologi yang bekerjasama dengan pemerintah daerah dan pusat dapat dilakukan untuk mendukung pelaksanaan usaha tersebut. Dari pelatihan dan teknologi yang tersedia, BUMDes dapat mendesain bentuk usaha yang akan dijalankan ,apakah BUMDes melalui unit usaha ini membangun industry yang terpusat di suatu tempat atau hanya mengumpulkan hasil produksi dari home industry yang ada di masyarakat kemudian memasarkannya. Keuntungan dari hanya memasarkan hasil produksi tersebut yaitu hanya membutuhkan modal yang relative kecil. Namun, melihat permasalahan yang ada di masyarakat yang menghadapi kendala modal untuk dapat menjalankan usaha mereka dalam skala kecil (home industry) pada tahap awal BUMDes dapat menjadi pioneer dalam mengembangkan usaha tersebut. 3.1. Tahap pendirian Sebagai lembaga formal, pendirian lembaga BUMDes membutuhkan beberapa prosedur yang tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan, diantaranya: 1. Pendirian BUMDes berdasarkan pada perda kabupaten 2. Diatur berdasarkan peraturan desa 3. Satu desa hanya terdapat satu BUMDes Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 31
4. Pemerintah kabupaten memfasilitasi pendirian BUMDes 5. BUMDes dapat didirikan dalam bentuk usaha bersama (UB) atau bentuk lainnya Untuk dapat mendirikan sebuah lembaga BUMDes membutuhkan beberapa tahapan. Empat tahap pendirian BUMDes 1. Pemerintah desa (pemdes) dan masyarakat bersepakat mendirikan BUMDes Gagasan awal pendirian BUMDes apakah bersumber dari perorangan atau kelompok masyarakat harus dibahas di dalam rembug desa. Beberapa aktivitas yang perlu dilakukan dalam menyiapkan pendirian BUMDes meliputi: a. Melakukan rembug desa guna membuat kesepakatan pendirian BUMDes b. Melakukan identifikasi potensi dan permintaan terhadap produk (barang dan Jasa) yang akan ditawarkan BUMDes c. Menyusun AD/ART d. Mengajukan legalisasi badan hukum ke notaris untuk memperoleh pengesahan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) a. Anggaran Dasar-Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) adalah aturan tertulis organisasi yang dibuat dan disepakati bersama oleh seluruh anggota yang berfungsi sebagai pedoman organisasi dalam mengambil kebijakan serta mejalankan aktivitas dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Sifat dari AD/ART adalah mengikat bagi setiap komponen organisasi dan bersifat melindungi kepentingan bersama. b. Perbedaan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Anggaran dasar adalah peraturan tertulis memuat dan terdiri dari aturan pokok saja dalam organisasi yang berfungsi sebagai pedoman dan kebijakan untuk mencapai tujuan serta menyusun aturan-aturan lain. Biasanya disusun sebelum kepengurusan terbentuk. Langkah penyusunan Anggaran Dasar (AD) •
Pemdes mengundang masyarakat, pimpinan atau pengurs lembagalembaga masyarakat desa, dan toko masyarakat untuk merancang AD
Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 32
•
Pemdes
membentuk
tim
perumus
(dengan
melibatkan
golongan
miskin/kurang mampu dan perempuan dalam tim) •
Tim perumus menggali aspirasi dan merumuskan pokok-pokok aturannya dalam bentuk draft AD
•
Pemdes membuat berita acara pengesahan draft AD menjadi AD
•
Penyusunan dan pembentukan pengelola BUMDes
•
Pemdes membuat berita acara pembentukan dan penetapan pengelola BUMDes
Anggaran Rumah Tangga (ART) Anggaran rumah tangga adalah aturan tertulis sebagai bentuk operasional yang lebih terinci dari aturan-aturan pokok dalam anggaran dasar (AD) dalam melaksanakan tata kegiatan organisasi. Biasanya disususn setelah pengelola terbentuk, dan disahkan melalui rapat anggota Langkah penyusunan Anggaran Rumah Tangga (ART) •
Pengelola
mengundang
masyarakat
pengguna
kelembagaan
desa,
pemerintah desa dan toko masyarakat •
Membentuk tim perumus (golongan miskin dan perempuan dilibatkan)
•
Tim perumus menggali aspirasi dan merumuskan pokok-pokok aturannya dalam bentuk daraft ART
•
Rembug desa untuk membahas draft ART
•
Dibuat berita acara pengesahan darft ART menjadi ART
2. Pengelolaan BUMDes dan Persyaratan Pemegang Jabatan •
BUMDEs harus dikelola secara profesional dan mandiri sehingga diperlukan orang-orang yang memiliki kompetensi untuk mengelolanya. Bagi pemegang jabatan direktur setidak-tidaknya memiliki pengalaman kerja di lembaga yang bertujuan mencari keuntungan. Latar belakang pendidikan minimal SMU dan disarankan Strata satu (S1) atau Diploma empat (DIV)
•
Bagi pemegang jabatan bagian keuangan, bendahara dan sekretaris diutamakan berasal dari sekolah kejuruan (SMK/SMEA) atau DIII bidang akuntansi dan perkantoran. Latar belakang bagi pemegang jabatan ini
Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 33
penting agar dapat menjalakan peran dan fungsinya sesuai dengan tuntutan pekerjaan •
Bagi karyawan diutamakan memiliki latar belakang minimal SMU. Ini disebabkan mereka harus mampu menyusun laporan aktivitas BUMDes yang berkaitan dengan pekerjaannya. Seperti pada contoh karyawan di Unit Jasa Perdagangan, mereka harus menyusun laporan barang-barang yang terjual dan sisa barang di toko atau di gudang setiap periode tertentu. Perlu disusun adanya job deskripsi tanggungjawab dan wewenang pada masingmasing lini organisasi, sebagai pandauan kerja.
•
Kegiatan yang bersifat lintas desa perlu dilakukan koordinasi dan kerjasama antar pemerintah desa dalam pemanfaatan sumber-sumber ekonomi, misalnya sumber air minum, dll.
•
Kerjasama dengan pihak ketiga oleh pengelola harus dengan konsultasi dan persetujuan dewan komisaris BUMDes
•
Dalam kegiatan harian maka pengelola harus mengacu pada tata aturan yang sudah disepakati bersama sebagaimana yang telah tertuang dalam AD/ART BUMDes, serta sesuai prinsip-prinsip tata kelola BUMDes.
•
Pengelolaan harus transparan/terbuka sehingga ada mekanisme chek and balance baik oleh pemerintah desa maupun masyarakat
•
Perlu disusun rencana-rencana pengembangan usaha.
3. Monitoring dan Evaluasi a. Dibuat mekanisme/prosedur pengawasan b. Untuk keperluan pengawasan, disamping dilakukan oleh dewan komisaris bisa ditambah unsur dari pemerintah kabupaten. Sebab pemerintah kabupaten juga berperan untuk memfasilitasi usaha BUMDes c. Proses
monitoring
dilakukan
secara
berkelanjutan,
sehingga
bisa
mamantau kegiatan BUMDes secara baik. Evaluasi dilakukan per-triwulan atau sewaktu-waktu jika dianggap perlu sesuai ketentuan AD/ART. 4. Pertanggungjawaban Pengelola
Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 34
Dalam proses pertanggungjawaban pengelolaan BUMDes, maka disarankan sebagai berikut: a. Setiap akhir periode tahun anggaran, pengelola wajib menyusun laporan pertanggungjawaban untuk disampaikan dalam forum masyawarah desa yang menghadirkan elemen pemerintah desa, elemen masyarakat serta seluruh kelengkapan struktur organisasi BUMDes b. Laporan pertanggungjawaban antara lain memuat: •
Laporan kinerja pengelola selama satu periode/tahunan
•
Kinerja usaha yang menyangkut realisasi kegiatan usaha, upaya pengembangan, indikator keberhasilan dsb
•
Laporan keuangan termasuk rencana pembagian laba usaha
•
Rencana-rencana pengembangan usaha yang belum terealisasi
•
Proses pertanggungjawaban dilakukan sebagai upaya evaluasi tahunan serta upaya-upaya pengembangan ke depan
•
Mekanisme dan tata tertib pertanggungjawaban ini disesuaikan dengan AD/ART
3.2. Tahap Pengembangan Untuk mempertahankan dan mengambangkan usaha yang sudah ada, perlu dilakukan identifikasi terhadap kinerjanya dan prosepek ke depan, misalnya: 1. Bagaimana
perkembangan
omset
penjualan
dalam
setiap
periode
(bulanan/tahunan) 2. Bagaimana perolehan laba/rugi pada setiap periode (bulanan/tahunan) 3. Bagaimana kondisi barang/jasa yang diusahakan (kuantitas, kualitas, keragaman pilihan, dll) 4. Bagaimana sistem pelayanannya kepada konsumen 5. Upaya promosi apa saja yang sudah dilakukan 6. Dimana letak lokasi usahanya 7. Mungkinkah suatu unit usaha melakukan ekspansi 8. Dan lain-lain
Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 35
Bila perkambangan omset penjualan lambat atau perputaran barang/jasa rendah, berarti unit usaha tersebut ada masalah. Masalah inilah yang harus segera diatasi agar omset penjualan bisa meningkat. Tugas mengevaluasi kinerja unit usaha ini adalah menjadi tanggungjawab manajer unit usaha beserta pengurus BUMDes. Penting untuk diperhatikan adalah saran dari pengawas dan dewan komisaris pada saat laporan pertanggungjawaban BUMDes di forum rembug desa. Merintis Unit Usaha Baru Di BUMDes BUMDes dapat berfungsi mewadahi berbagai usaha yang dikembangkan di pedesaan. Oleh karena itu, di dalam BUMDes dapat terdiri dari beberapa unit usaha yang berbeda-beda. Ini sebagimana ditunjukan pada contoh struktur organisasi BUMDes yang memikiki 3 unit usaha yaitu unit usaha perdagangan, unit usaha jasa keuangan, dan unit usaha produksi. Unit usaha yang berada di dalam BUMDes secara umum dapat dibedakan menjadi dua yaitu: 1. Unit usaha jasa keuangan, misalnya menjalankan usaha simpan pinjam 2. Unit usaha sektor rill/ekonomi, misalnya mejalankan usaha pertokoan atau waserda, home industri, peternakan, perikanan dan pertanian serta lain-lainnya. Merintis unit usaha baru Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk merintis unit usaha baru adalah sebagai berikut: 1. Menantukan siapa konsumen sasarannya (target pasar) 2. Melakukan indetifikasi kebutuhan, keinginan dan daya belinya 3. Melayani salah satu kebutuhan dan keinginan yang bersifat jangka panjang dan menguntungkan 4. Mendirikan unit usaha untuk memenuhi kebutuhan pasar tersebut, misalnya 5. Usaha promosi dalam bentuk selebaran atau papan pengumuman. Tujuan dari promosi adalah konfirmasikan kepada konsumen sasaran berkenan dengan penyediaan barang atau jasa yang mereka butuhkan dan inginkan. 6. Perlu dibuat perhitungan yang seksama menyangkut tingkat pengembalian modal usaha yang digunakan. Sehingga pengelola dan dewan komisaris dapat mengetahui Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 36
pada tahun ke berapa usahanya mulai menghasilkan keuntungan dan modalnya sudah kembali 7. Pelayanan yang baik, bersahabat dan ramah harus dijadikan sebagai landasarn menjalin kerjasama dengan para konsumen. Sebab bagi usaha yang mencari keuntungan loyalitas konsumen harus dipertahankan supaya mereka menjadi pelanggan tetap. Sehingga produk-produk yang ditawarkan ke pasar akan selalu terjual 8. Pendirian usaha baru yang memiliki kesamaan dengan usaha yang sudah dijalankan oleh masyarakat sebaiknya dihindari agar tidak terjadi persaingan dan perebutan pasar. Ini penting disadari mengingat jumlah konsumen di pedesaan umumnya tidak cukup besar. Jika BUMDes membuka usaha yang sudah dijalankan masyarakat
dan
berakibat
berkurangnya
omzet
penjualan
masyarakat
dimungkinkan akan menimbulkan persoalan baru.
Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 37
BAB IV PENUTUP 4.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dengan menggunakan dengan
menggunakan beberapa teknik wawancara terstruktur dan pengamatan dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya; pertama, BUMDes yang dikembangkan di Kabupaten Banteng dapat mendorong dan mengembangkan potensi ekonomi desa; kedua, unit usaha yang dikembangkan melalui BUMDes seperti unit usaha simpan pinjam, perdagangan, agroindustri dan perternakan dianggap mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir Kabupaten Takalar dan Pangkep. 4.2.
Rekomendasi Untuk dapat mengimplementasikan hasil penelitian, maka diharapkan pihak-
pihak yang tekait diantaranya: 1. Pemerintah Daerah a. Mendorong
kebijakan
dan
program
strategis
dalam
pengembangan kegiatan ekonomi pedesaan (BUMDes)
penguatan
dan
yang merupakan
turunan RPJPD dan RPJMD serta Renstra SKPD 2. Pemerintah Desa a. Didorong untuk merumuskan dan menginternaliasi BUMDes ke dalam RPJMDes dan pro aktif untuk membangun akses networking dan koordinasi pengembangan BUMDes berdasarkan potensi wilayahnya. b. Merumuskan peraturan desa (perdes) sebagai implementasi dari UU No. 6 Tahun 2014 pasal 1 (poin 6) tentang penyertaan modal desa dalam pengelolaan BUMDes. c. Diharapkan tidak memberikan intervensi di luar tugas pokok dan fungsi (tupoksi) aparatur pemerintahan desa dalam pembentukan dan pengelolaan BUMDes. 3. Civil Society/NGO
Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 38
a. Diharapkan mendukung dan melakukan mentoring untuk membantu berkembangan model BUMDes dalam peningkatan perekonomian desa dan peningkatan kesejahteraan warga desa.
Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 39
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Erani Yustika, 2013, Ekonomi Kelembagaan Paradigma, Teori dan Kebijakan, Erlangga: Jakarta. Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan, 1/6/2016, Berita resmi statistic No. 74/12/73/Th. II, 23 Desember 2014 (online), (http://sulsel.bps.go.id/website/brs_ind/brsInd- 20150430 104723.pdf) Michel P. Todaro, 2006, Pembangunan Ekonomi, edisi kesembilan, Erlangga: Jakarta. Siswan, 2015, Laporan Survei Ketahanan Pangan Kabupaten Pangkep dan Takalar. Makasar Syafiuddin Saleh, 2015, Pemetaan nilai rumput laut (seaweed value chain mapping) di Kabupaten Takalar, Maros, Pangkep dan Barru. Makassar
Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 40
Lampiran
Gambar 1: Sesi wawancara Kepala desa di Kantor Desa Labbo
Gambar: Sesi wawancara pengurus BUMDes Ganting di Hotel Ahriani Kabupaten Bantaeng Studi Komparatif dan Model BUMDes
Page 41