STUDI KEMUNGKINAN PENGEMBANGAN SOSIAL FORESTRY DI KAWASAN HUTAN LINDUNG NANGGALA SULAWESI SELATAN Oleh: Sylviani
Ringkasan Kawasan Hutan Lindung Nanggala berpotensi untuk dikembangkan program sosial forestry melalui penggalian potensi sumber daya alam melalui peningkatan kualitas dan produktivitas lahan melalui berbagai jenis tanaman lokal dan kearifan tradisional setempat. Produk tanaman perkebunan andalan seperti Vanili, kopi, lada dan coklat. Sedang tanaman kehutanan antara lain jenis kayu Uru ( Elmerillia Sp ) dan Buangin serta Matoa ( Pometia Pinnata ) dan bambu perlu dibudidayakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlu dilakukan pemberdayaan yang lebih intensif dalam membangun potensi diri, potensi alam, keinginan dan motovasi untuk memperbaiki pola pikir yang telah tertanam oleh budaya yang telah berakar cukup lama dan hal ini akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan serta penguatan kelembagaan. Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui kordinasi antara pemerintah daerah atau Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa dengan instansi terkait melalui pelatihan-pelatihan untuk fasilitator daerah seperti pelatihan penyuluhan, pelatihan metode PRA. Kata Kunci: Sosial forestry, hutan lindung
I. PENDAHULUAN Social forestry ( SF ) merupakan suatu program pengembangan pengelolaan sumber daya hutan secara komprehensif melalui rehabilitasi hutan dan lahan secara partial dengan tidak merubah fungsi hutan dan dilaksanakan baik pada kawasan hutan negara maupun hutan hak. Program ini dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan masyrakat setempat sebagai pelaku utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan kelestarian hutan. Konsep dasar penyelenggaraan SF sebaiknya diintegrasikan dengan program strategis lainnya, mendayagunakan kearifan lokal dan nilai-nilai budaya setempat serta penyediaan sarana dan prasarana pendukung seperti SDM, permodalan, teknologi pengolahan hasil . Dengan berpedoman pada upaya-upaya pokok pengembangan SF yaitu pengelolaan hutan melalui rehabilitasi dan pengembangan masyarakat melalui pemberdayaan dan penguatan kelembagaan, maka diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan hutan dan meningkatkan pendapatan masyarakat khususnya petani. Pada tahun 1998 di Propinsi Sulawesi Selatan khususnya di lokasi penelitian, pemerintah melalui Program Hutan kemasyarakatan ( HKM ) mengikutsertakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya hutan. . Dengan demikian masyarakat
lokal yang sudah cukup lama bermukim di sekitar kawasan hutan yang tingkat ketergantungan hidupnya sangat tinggi pada sumberdaya alam untuk kegiatan pertanian, perkebunan, perikanan dan hasil non kayu lainnya seperti madu dan getah dapat terjamin kesinambungan kehidupannya. Program pengembangan pengelolaan hutan ini dinilai cukup berhasil karena ada inisiatif lokal untuk memanfaatkan lahannya dengan mengembangkan jenis tanaman setempat seperti bambu, vanili, kopi dan tanaman perkebunan lainnya. Disamping itu masyarakat dapat memanfaatkan fungsi hutan sebagai sumber mata air yang dapat digunakan sebagai irigasi persawahan dan menunjang kebutuhan sehari-hari sehingga kelestarian hutan dapat dipertahankan. Pada beberapa tahun terakhir ini kondisi sumberdaya hutannya cenderung menurun karena berbagai kerusakan hutan akibat perambahan, penebangan oleh masyarakat baik yang bermukim di dalam maupun di sekitar hutan. Hal ini terjadi karena tidak ada pembinaan atau pengawasan dari pemerintah terhadap program yang telah diberikan yaitu bagaimana mengelola hutan yang baik. Kondisi ini terus berlanjut hingga dicabut kembali kebijakan pemerintah tentang pengelolaan hutan kemasyarakatan yang tidak dilanjuti dengan aturan sebagai solusi pemecahan masalah tersebut. Dalam rangka pengembangan program SF maka kawasan hutan Nanggala di Propinsi Sulawesi Selatan dengan luas 5200 ha merupakan lokasi uji coba yang dipilih sebagai solusi untuk mengembalikan kondisi hutan agar lebih baik. Sehingga diharapkan model pengelolaan seperti ini dapat memberikan masukan bagi pengambil kebijakan sebagai contoh pengembangan sosial forestry .Adapun status kawasan menurut Tata Guna Hutan Kesepakatan ( TGHK ) adalah merupakan kawasan Hutan Lindung dengan luas 138 101 ha yang terhimpun dalam kelompok hutan Nanggala dan secara administrasi berada di Kabupaten Tana Toraja. Sesuai dengan konsep pengembangan Sosial Forestry maka perlu dilakukan penelitian terlebih dahulu untuk menggali informasi tentang potret desa, potensi SDA yang tersedia serta apakah kondisi hutan dan sekitar sudah terjamin kelestariannya. dan tidak ada perubahan fungsinya. Faktor lainnya adalah adanya tingkat ketergantungan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang tinggi terhadap hutan. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi dan data tentang potensi sumber daya alam , sosial budaya, kelembagaan, dan potensi riset yang dapat dilakukan sebagai bahan masukan dalam merencanakan kemungkinan pengembangan SF di kawasan ini. II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2003 di desa Tandung Nanggala , desa Nanggala Sangpiak Salu dan desa Nanggala Kecamatan Tandon Nanggala Kabupaten Tana Toraja Propinsi Sulawesi Selatan. Dasar pertimbangan pemilihan lokasi adalah karena wilayah ini merupakan salah satu lokasi yang ditentukan dalam program pengembangan sosial forestry, dimana di kawasan tersebut terdapat inisiatif lokal dalam pengelolaan hutan.
B. Pengumpulan data Data primer dan sekunder serta informasi lainnya diperoleh dari instansi kehutanan setempat dan instansi lainnya yang terkait serta dari responden masing-masing desa yang diwakili oleh tokoh masyarakat serta anggota masyarakat dari berbagai kalangan. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan metode Partisipatory Rural Appraisal ( PRA ) melalui penggalian harapan, hambatan, tantangan serta permasalahan yang ada dimasyarakat. PRA merupakan teknik dan alat yang mendorong masyarakat pedesaan untuk turut serta meningkatkan dan menganalisa pengetahuannya mengenai hidup dan kondisi mereka sendiri, agar mereka dapat membuat rencana dan tindakan lebih lanjut. Kegiatan ini diselenggarakan di Balai desa masing-masing dengan jumlah peserta sebanyak 23 orang di desa Tandung Nanggala, 22 orang di Desa Nanggala dan 18 orang di Desa Sampiuk Salu. Diharapkan pengunaan teknik PRA ini dapat memberdayakan masyarakat dalam memahami situasi dan kondisi kehidupan di desa, menganalisa dan menentukan permasalahan pokok yang terjadi pada masyarakat, menentukan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang dihadapi dan merumuskan rencana, program dan kegiatan yang lebih berkualitas sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat serta melaksanakannya secara partisipatif dengan penuh tanggung jawab. C. Metode analisa Analisa dilakukan secara kualitatif dengan membahas melalui bentuk matrik dan tabulasi serta kristalisasi dari hasil penggalian harapan, hambatan dan kebutuhan dari masingmasing peserta pada tiap-tiap desa. Selanjutnya penggalian ini dikelompokkan dalam beberapa aspek dan potensi yang ada untuk selanjutnya dianalisa secara diskriptif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Potensi Sumber Daya alam Wilayah pemukiman mereka umumnya terletak di daerah pegunungan, dengan ketinggian antara 500 m – 1600 m di atas permukaan laut. Bentuk topografi bergelombang dan desa terletak sekitar hutan. Penggunaan lahan secara umum dibagi dua yaitu lahan yang berada di lembah digunakan untuk persawahan dan tanaman pangan, sedangkan yang berada di perbukitan digunakan untuk perkebunan, perkayuan dan pemukiman. Rata-rata luas pemilikan lahan 0,5 sampai 1,0 ha per KK.
No 1 2 3 4 5 6 7
Tabel 1: Luas Penggunaan Lahan di Kecamatan Tandon Nanggala Jenis Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase Sawah 1 384 11,53 Tegalan 518 4,32 Perkarangan 351 2,93 Perkebunan 1 024 8,53 Padang Rumput / Rawa 553 4,61 Hutan 6 023 50,19 Lainnya 2 147 17,89 12 000 100
Sumber : Kecamatan Tandon Nanggala 2001 Potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di masing-masing desa terdiri dari jenis tanaman pangan, jenis tanaman hasil budidaya / holtikultura dan jenis vegetasi hutan. Tanaman pangan seperti ubi jalar,ubi kayu dan talas selain untuk kebutuhan rumah tangga juga digunakan untuk pakan ternak. Tanaman budidaya seperti tanaman perkebunan adalah kopi, cengkeh, coklat dan vanili , sedangkan untuk tanaman holtikultura seperti durian, langsat, jambu ,mangga pada umumnya ditanam dekat pemukiman atau pekarangan. Vegetasi kehutanan adalah kayu uru, cemara gunung/ buangin, pinus, aren, nyatoh, nimbung, agathis , bambu. Berdasarkan data sekunder dari Dinas Kehutanan setempat terlihat bahwa luas lahan untuk tanaman pangan di tiga desa sekitar 15 ha dengan rata-rata produksi 3 ton per ha.. Tanaman perkebunan seperti kopi, cengkeh, coklat dan vanili masing-masing mempunyai luas 24ha, 15ha, 30ha dan 20 ha dengan perkiraan produksi per ha masing-masing 12 ton, 8 ton, 20 ton dan 6 ton. sedangkan tanaman holtikultura/buah-buahan seperti rambutan durian dan duku luas lahannya sekitar 1,5 ha dengan produksi sekitar 0,25 sampai 1 ton per ha. Tanaman kehutanan yang tumbuh di lahan masyarakat adat sekitar 263 ha dengan jenis tanaman utamanya bambu dengan tingkat produksi sekitar 3000 batang / tahun. Bambu merupakan tanaman penting bagi masyarakat nanggala karena pemanfaatan bambu sangat besar untuk membuat bangunan terutama pada acara-acara ritual. Disamping itu potensi ternak seperti babi, kerbau, ayam dan itik juga cukup besar. Ternak babi digunakan terutama untuk acara ritual kematian. Sedangkan potensi perikanan terutama untuk ikan air tawar seperti ikan mas yang dibudidayakan pada empang atau sawah dengan luas sekitar 25 ha dan dapat menghasilkan sekitar 50 ton per tahun. B. Sosial Dan Budaya Mata pencaharian pokok masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan adalah bertani dan berkebun (74,90 % ), buruh ( 8,31%), pegawai ( 9,53 % ) dan pedagang ( 33,05 %). Luas tanah garapan berkisar antara 0.50 ha – 1 ha. Tingkat pendidikan masyarakat lokal terdiri dari sekolah dasar 19,27 % , sekolah lanjutan pertama 22,41 %, sekolah lanjutan atas 18,95 %, dan hanya sebagian kecil yang mencapai perguruan tinggi 8,06 % . Sarana pendidikan juga sangat terbatas dimana setiap desa hanya ada 1 sekolah dasar, 1 sekolah menengah pertama ,1 sekolah menengah atas. Sarana penunjang berupa fasilitas kesehatan masih sangat terbatas, dimana dari 3 desa hanya tersedia fasilitas kesehatan seperti puskesman pembantu berjumlah 1 unit dan posyandu 1 unit dan tenaga medis hanya 1 orang, jumlah dukun terlatih 3 orang dan bidan desa 1 orang. Sarana lainnya yaitu transportasi darat berupa jalan desa dengan panjang jalan aspal 16 km, jalan tanah dengan panjang 14 km , jalan antar desa /kecamatan panjang jalan aspal 1 km, dan jal;an tanah dengan panjang 2 km. Jembatan desa terdiri dari jalan beton 2 unit keadaan baik sedangkan yang lainnya jembatan kayu yang berjumlah 3 unit dalam keadaan rusak. Tersedia juga pangkalan ojek I unit dan stasiun bis angkutan pedesaan 1 unit.
Prasarana air bersih yang bersumber dari mata air dan sungai dialirkan melalui slang kerumah-rumah penduduk. Disamping itu prasarana peribadatan terdiri dari gereja Kristen 1 buah, gereja katholik 1 buah dan protestan 5 buah. Prasarana olah raga dimana ada lapangan bulu tangkis 2 buah, meja pimpong 2 buah, lapangan voly 2 buah. Mobilitas penduduk yang tinggi sering terjadi keluar desa untuk mencari usaha lain. Sering terjadi kunjungan keluarga terutama untuk kegiatan budaya dalam bentuk ritual baik pengucapan syukur maupun ritual kedukaan. Mobilitas masuk ke desa terjadi pada liburan sekolah atau pada waktu acara budaya yang tidak jarang pula melibatkan pendatang dari manca negara. Adat istiadat dimana tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kebiasaan ritual masih tetap tinggi. Adat istiadat/kebiasaan yang masih melekat dan dijunjung tinggi oleh masyarakat antara lain adalah upacara-upacara Rambu Tuka (perkawinan) dan Rambu Solo (kematian). Pada dasarnya masyarakat desa masih mempunyai kebudayaan yang sifatnya mengikat, terutama upacara Rambu solo yang merupakan sesuatu yang dapat dijadikan sarana atau tempat berkumpulnya anggota-anggota keluarga yang sudah meninggalkan kampung halaman seperti melanjutkan pendidikan atau mencari pekerjaan di tempat lain. C. Kelembagaan masyarakat Kelembagaan yang ada di masing-masing desa antara lain Lembaga pemerintah desa/lembang ( LPL) mempunyai jumlah aparat 4 orang,yang terdiri dari Kepala Lembang, Sekretaris Lembang, Kaur Pemerintahan, Kaur pembangunan. Lembaga lainnya adalah Badan Perwakilan Desa/Lembang (BPL) yang terdiri dari Ketua Wakil ketua dan 3 orang anggota, dan Lembaga Keamanan Desa. Disamping itu ada organisasi profesi yaitu kelompok tani dan kelompok gotong royong, lembaga ekonomi berupa Koperasi Unit Desa ( KUD) 1 buah yang jumlah anggotanya sebanyak 223 orang dan bergerak dibidang simpan pinjam, beberapa usaha Kelompok Takesra ( Tabungan Kesejahteraan Rakyat ) dan Kelompok Arisan PKK. Beberapa jenis bidang usaha yang sudah berjalan dari masing-masing organisasi tersebut antara lain: bidang angkutan, perikanan, perkebunan dan simpan pinjam. SDM yang menjadi tenaga kerja pada masing-masing organisasi berasal dari anggota kelompok tani yang ada di desa ( tabel 1) No
Tabel 1 : Jenis organisasi profesi Jenis usaha Jumlah usaha (unit)
Jumlah tenaga kerja (orang)
Jumlah anggota (orang)
1
Angkutan
5
15
-
2
Perikanan
8
32
-
3
Perkebunan
1
68
-
4
Simpan pinjam
10
-
223
Sumber : Monografi desa setelah diolah
D. Penggalian Potensi masyarakat Dari hasil proses pelaksanaan PRA melalui penggalian harapan, hambatan serta kebutuhan serta permasalahan dari tiga desa di Kecamatan Tandon Nanggala dapat dikelompokkan dalam beberapa aspek antara lain terlihat pada tabel berikut Table 2 : Beberapa aspek hasil dari 3 penggalian pada 3 desa ( % )
N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Aspek Produksi Sapras Modal SDM SDA Peraturan/Hukum Kelembagaan Konservasi Ekonomi Teknologi
Harapan
Hambatan
Kebutuhan
21,7 14,3 18,9 23,5 1,9 11,3 4,7 0,9 2,8
4,2 6,9 30,6 23,6 9,7 9,7 12,5 2,8
100
100
5,8 33,3 29,1 10,1 1,4 11,6 4,3 4,4 100
Terlihat pada Tabel 2 bahwa harapan masyarakat yang utama adalah aspek SDM sebesar 23,5 % antara lain berupa peningkatan kualitas pendidikan, mengurangi pengangguran, peningkatan lapangan kerja, penyuluhan di semua bidang. Selanjutnya harapan terbesar kedua aspek produksi yaitu 21,7 % antar lain menginginkan penyediaan bibit-bibit tanaman baik pertanian ( hortikultura, ternak), perkebunan ( buah-buahan, tanaman semusim / vanili, kopi, coklat dan lada ) maupun kehutanan ( uru, buangin,matoa ). Harapan lainnya dari aspek permodalan sebesar 18,9 % antara lain untuk wirausaha serta mengharapkan dapat pinjaman kredit lunak. Sedangkan aspek sapras sebesar 14,3 % seperti sarana air bersih, listrik, gedung pertemuan ( Batori ), sarana kesehatan, aspek ini tidak terlepas dari peran pemerintah setempat. Aspek peraturan / hukum sebesar 11,3 % antara lain ingin mendapatkan ijin mengambil kayu dari hutan dengan ketentuan atau aturan yang berlaku , penegakan hukum bagi pencuri kayu di hutan. Aspek kelembagaan yaitu ingin terbentuknya koperasi desa serta wadah karang taruna. Aspek SDA / konservasi masyarakat mengharapkan ingin memiliki lahan garapan sendiri. Dari penggalian hambatan aspek yang sangat mempengaruhi adalah tidak tersedianya modal ( 30,6 % ) terutama untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Kemudian aspek SDM ( 26,6 % ) dimana tingkat pengetahuan dan pendidikan yang masih rendah serta kurang motivasi untuk merubah pola hidup yang lebih baik. Aspek kelembagaan ( 12.5 % ) dimana belum tersedianya wadah / lembaga untuk menampung berbagai aspirasi masyarakat, atau lembaga yang baru terbentuk ( LPMD ) belum aktif. Sedangkan aspek
SDA /peraturan adalah terbatasnya lahan yang dapat dikelola. Aspek sapras antara lain tidak adanya sarana penampungan air bersih untuk disalurkan kepada masyarakat. Selanjutnya penggalian kebutuhan terlihat bahwa aspek yang sangat menonjol adalah sapras ( 33,3 % ) dimana kebutuhan utama yang mendesak antara lain pengadaan sarana air bersih, Kebun Bibit Desa ( KBD ), puskesmas, bangunan untuk pertemuan, serta saluran irigasi. Aspek yang kedua modal ( 29,1 % ) dimana masyarakat memerlukan bantuan modal berupa kredit hutan rakyat ( KUHR ) atau jenis kredit bunga rendah lainnya. Kemudian aspek peraturan ( 11,4 %) dimana masyarakat ingin sosialisasi aturan tentang pengelolaan hutan lindung lebih intensif. Untuk aspek SDM ( 10,1 %) dimana masyarakat memerlukan pendidikan formal/informal atau pelatihan-pelatihan tentang bercocok tanam yang baik, penyuluhan atau petunjuk teknis tentang pengawetan bambu, pembuatan pupuk kompos serta pelatihan pemberdayaan masyarakat. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa apa yang paling diharapkan oleh masyarakat tidak berarti merupakan kebutuhan utama. Karena untuk mendapatkannya atau merealisasikannya ternyata masih ada hambatan sehingga sulit untuk mewujudkan apa yang diharapkan menjadi suatu kebutuhan. Dimana hambatan yang utama tidak tersedianya modal hanya dapat dipenuhi oleh pengorbanan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu maka muncul kebutuhan utama berupa sarana dimana hal ini dapat dipenuhi tidak harus dengan pengorbanan masyarakat itu sendiri melainkan dapat dipenuhi oleh pihak lain dalam hal ini pemerintah setempat ( misal ; sarana air bersih, saluran irigasi, bangunan puskesmas dll ). E. Konsep Pemberdayaan Masyarakat Pengembangan Sosial Forestry di kawasan hutan lindung melalui program Pengelolaan Kawasan dan Sumberdaya Hutan dengan kegiatan penataan batas secara partisipatif serta perlindungan dan rehabilitasi lahan yang dilaksanakan melalui pemberdayaan masyarakat. Sehingga dapat dicapai peningkatan potensi pendapatan masyarakat lokal dengan praktek pengelolaan hutan lestari atau pengembangan tanaman kehutanan yang mampu menaikkan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan potensi-potensi produktif sumberdaya alam ( SDA ) maupun sumber daya manusia ( SDM ) karena masyarakat sebagai pelaku utama. Pemberdayaan masyarakat dimaksudkan untuk mengembangkan program Sosial Forestry yang lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Sedang sasarannya adalah terjadinya perubahan ekonomi yang positif, sosial dan kelembagaan seperti perluasan lapangan kerja, lapangan usaha, produksi, pengolahan hasil, pemasaran serta perubahan sikap masyarakat dan pengembangan lembaga sosial – ekonomi. Pemberdayaan diarahkan kepada pengembangan potensi desa yang terdiri dari Potensi Sumber Daya Alam : peningkatan produktivitas lahan garapan, hutan melalui pola Agroforestry ( kombinasi tanaman semusim dan tanaman tahunan disela-sela tegakan hutan) atau Agrosylvopastura ( tanaman pakan ternak dan rumput gajah). Potensi Sumberdaya Manusia: melalui program pelatihan teknis dan penguatan kelembagaan. Pelatihan teknis dan non teknis terhadap masyarakat dan stakeholder oleh fasilitator tingkat daerah melalui bimbingan teknis disemua sektor. Penguatan
kelembagaan melalui kegiatan pembentukan kelompok tani, pengembangan mitra usaha / KUDdan pendampingan untuk penguatan pasar. F. Konsep Potensi Penelitian Beberapa rancangan penelitian yang dapat dilakukan dalam kaitannya dengan pengembangan SF di Hutan Nanggala antara lain: = Aspek Konservasi Hutan Tanah dan Air ( tingkat kecocokan lahan dan tanaman), nilai ekonomi erosi dan sidementasi, pengembangan budidaya tanaman Uru, cempaka , Buangin /cemara gunung ) - Aspek Pengelolaan DAS (nilai Ekonomi Jasa Air Hutan Lindung, kajian Kompensasi wilayah Hulu hilir). - Aspek Tekhnologi Hasil Hutan ( Teknologi pengolahan Bambu, kompos dan industri tepat guna ) - Aspek Sosial Ekonomi dan Kelembagaan ( pengembangan obyek wisata alam disekitar kawasan hutan lindung, kelembagaan dalam pengelolaan hutan lindung, Model pemberdayaan masyarakat dalam usaha peningkatan kesejahteraan ) VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Pemberdayaan masyarakat dengan metode partisipatif ( PRA ) sangat efektif untuk menggali potensi baik Sumber Daya Alam ( SDA ) maupun Sumber Daya Manusia ( SDM ) dalam pengembangan program Sosial Forestry. 2. Kawasan wilayah Hutan Lindung Nanggala berpotensi untuk dikembangkan program sosial forestry melalui penggalian potensi alam dengan peningkatan kualitas dan produktivitas lahan melalui berbagai jenis tanaman handalan setempat dan kearifan lokal. 3. Tanaman perkebunan merupakan produk andalan di wilayah Nanggala seperti Vanili, kopi, lada dan coklat. Sedang tanaman kehutanan antara lain jenis kayu Uru dan Buangin serta Matoa 4. Jenis ternak yang dapat dikembangkan adalah kerbau, babi, ayam dan itik darat 5. Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan jalan kordinasi antara pemerintah daerah atau Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa dengan instansi terkait melalui pelatihan-pelatihan untuk fasilitator daerah B. Rekomendasi : Program pengembangan sosial forestry di kawasan hutan lindung dapat dilakukan melalui penetapan zona lahan pemanfaatan berdasarkan atas potansi dan karakteristik jenis tanaman lokal. Kegiatan diawali dengan pemberdayaan masyarakat dan penguatan kelembagaan yang berkordinasi dengan pemerintah daerah. Pemberdayaan yang lebih intensif dalam membangun potensi diri, potensi alam, keinginan dan motivasi untuk memperbaiki pola pikir yang telah tertanam
oleh budaya yang telah berakar cukup lama akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2000, Hasil Inventarisasi dan Identifikasi Hutan Kemasyarakatan Lokasi Nanggala Kecamatan Sanggalangi Kabupaten Tana Toraja Propinsi Sulawesi Selatan. BRLKT Jeneberang – Walanae Anonim, 2003, Posisi Sosial Forestry Dalam National Forest Program. Badan Planologi Kehutanan. Rante. M 2003, Dokumentasi Program Pengembangan Hutan Kemasyarakatan Di Hutan Nanggala Kabupaten Tana Toraja. Kerjasama UNHAS Makasar dengan The Ford Foundation. Sutrisno. 2002, Gagasan Social Forestry Dan Landasan Hukumnya. Makalah Utama dalam seminar Sosial Forestry Puslit Sosek Kehutanan Bogor