STUDI KELAS MENENGAH DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK: KASUS KOTA BANDUNG
ERLANGGA RYANSHA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Kelas Menengah di Indonesia dalam Perspektif Ekonomi Politik: Kasus Kota Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2014 Erlangga Ryansha NIM H14100132
ABSTRAK ERLANGGA RYANSHA. Studi Kelas Menengah di Indonesia dalam Perspektif Ekonomi Politik: Kasus Kota Bandung. Dibimbing oleh DIDIN S. DAMANHURI. Kelas menengah Indonesia sering diidentikkan dengan perilaku konsumtif, padahal keberadaannya adalah harapan untuk perubahan sosial. Penelitian ini bertujuan menganalisis perkembangan, karakteristik, dan peran kelas menengah di Indonesia dalam pembangunan demokrasi dan ekonomi. Penelitian dilakukan di Kota Bandung sebagai potret kelas menengah di Indonesia. Sampel yang diambil disesuaikan dengan tujuan penelitian, yaitu laki-laki dan perempuan berdomisili di Kota Bandung, rentang usia antara 18 hingga 55 tahun, berpendidikan minimal sarjana, dan berpendapatan Rp2 000 000 sampai Rp10 000 000. Metode penelitian yang digunakan adalah stastistika deskriptif dan analisis pendekatan kualitatif dan kuantitatif.. Hasil penelitian menunjukkan kelas menengah Kota Bandung banyak menghabiskan waktunya di tempat kerja dan memiliki jiwa sosial tinggi, terlihat dari gerakan sosial yang diikutinya. Walaupun pekerjaan, pendapatan, dan pengeluaran rata-rata per bulan tidak memiliki hubungan positif dan signifikan dengan keterlibatan dalam perubahan sosial sementara jenis kelamin dan pendidikan sebaliknya. Kelas menengah sebagai pengguna media sosial aktif punya peranan yang besar untuk menjadi opinion leader. Namun, perlu didorong untuk menciptakan perilaku kolektif tanpa hanya mengandalkan kesadaran pribadi.
Kata kunci: demokrasi, ekonomi, kelas menengah, konsumsi, Kota Bandung
ABSTRACT ERLANGGA RYANSHA. Study of Middle Class in Indonesia in the Perspective of Political Economy: The Case of Bandung. Supervised by DIDIN S. DAMANHURI. Indonesian middle class often identified with consumer behavior while its existence is the hope for social change. This study aims to analyze the development, characteristics, and the role of Indonesian middle class in the development of democracy and economy. This research was conducted in Bandung as a portrait of the middle class in Indonesia. Samples taken adapted to the purpose of the research, men and women living in Bandung, 18 to 55 years, at least hold bachelor degree, and revenues between Rp2 000 000 up to 10 000 000. The methods used are descriptive statistics and the analysis of qualitative and quantitative approach. The results show the middle class spends more time at work and have high social life according to social movements they followed. Although the results of work, income, and average expenses per month does not have a positive and significant relationship with involvement in social change on the contrary to gender and education. Middle class as active users of social media has a big role to become opinion leaders. Although it should be encouraged to create collective behavior without just relying on personal awareness. Keywords: Bandung, consumption, democracy, economy, middle class
STUDI KELAS MENENGAH DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK: KASUS KOTA BANDUNG
ERLANGGA RYANSHA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Alhamdulillahirabbilalamin, puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik. Adapun judul skripsi ini adalah “Studi Kelas Menengah di Indonesia dalam Perspektif Ekonomi Poltik: Kasus Kota Bandung” dengan waktu penelitian yang dimulai sejak bulan Februari sampai dengan April 2014. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ungkapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu, baik moril maupun materi, serta memberikan kritik, saran, dan dukungan dalam persiapan, pelaksanaan maupun penyusunan skripsi ini, terutama kepada: 1. Orang tua penulis Ir. Iryan Kusmarachmat dan Ir. Cut Syahnaz, M.Sc. serta kakak penulis Ersha Ezaryan, S.E. yang tiada hentinya memberikan dukungan. 2. Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A. selaku dosen pembimbing skripsi, atas semua masukan, transfer ilmu, serta bimbingannya yang sangat berharga bagi penulis selama penyusunan skripsi ini. 3. Ibu Dr. Lukytawati Anggraeni selaku dosen pembimbing akademik atas segala bimbingan dan dukungannya selama penulis berada di bangku kuliah. 4. Ibu Dr. Wiwiek Rindayati sebagai penguji utama dan Ibu Ranti Wiliasih, M.Si. selaku komisi pendidikan atas segala kritikan dan masukannya yang membangun sehingga penulis mendapat tambahan pengetahuan baru serta dapat mengetahui kekurangan dan kelemahan dalam penulisan skripsi. 5. Ibu Dr. Henny Warsilah atas kesediaan waktunya memberikan masukan dan inspirasi kepada penulis tentang penelitian. 6. Teman-teman satu bimbingan, Khoerul, Ikhsan, dan Candri yang berjuang bersama sampai skripsi ini selesai. 7. Keluarga Ekonomi Studi Pembangunan 47, khususnya sahabat penulis, Fazri, Alfin, Chika, Pupu, Uke, Tika, Fida, Amel, Heni, Dwiki, Dian, Arti, Yunus, Lia, Ayu, Angga, Nina, Ganis, Penny, Nindy, Dessy, Silvia, Kautsar, Carmin, Nicco, Ramdhani, dan lain-lain. 8. Sahabat-sahabat di Institut Pertanian Bogor, semenjak asrama, TPB, maupun di fakultas, Faqih, Asa, Fauziyah, Aldesta, Wildan, Taufiq, Faridh, Mutty, Qonita, Nurul, Rindang, serta adik-adik di FEM, Dody, Aldi, Meliana, Imam dan lain-lain yang punya banyak kisah indah bersama. 9. BEM FEM Kabinet Prioritas, khususnya Hadi, Try, Eka, Anis, Anis, dan Amin dan BEM FEM Kabinet Progresif, khususnya Kak Fachru, Kak Lintang, dan rekan-rekan di Kastrat. Selama lebih dari dua tahun, organisasi ini menjadi sekolah tempat saya banyak memetik ilmu dan belajar bermanfaat serta berbagi.
10. Keluarga di Bandung yang telah bersedia direpotkan dan dengan penuh ketulusan memberikan bantuan. Tanpa mereka skripsi ini mustahil dapat terselesaikan. 11. Teman-teman di Forum Indonesia Muda, khususnya Regional Bogor, dan XL Future Leaders Batch 2, khususnya Kelas Jakarta 1, atas ilmu dan pengalamannya yang tak tergantikan. 12. Semua pihak yang mohon maaf tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Tetapi percayalah segala bentuk dukungannya luar biasa berarti. Hanya Allah yang dapat membalas kebaikan-kebaikan kalian.
Bogor, September 2014 Erlangga Ryansha
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
5
Tujuan Penelitian
7
Manfaat Penelitian
7
TINJAUAN PUSTAKA
7
Ekonomi Politik
7
Kelas
8
Kelas Menengah
9
Konsumen
10
Wirausahawan
11
Agen Perubahan
12
Kelas Menengah di Indonesia
13
Penelitian Terdahulu
15
Kerangka Pemikiran
17
METODE
19
Pendahuluan
19
Lokasi dan Waktu Penelitian
19
Jenis dan Sumber Data
19
Metode Pengambilan Sampel
20
Metode Analisis dan Pengolahan Data
20
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
22
Perkembangan Wilayah dan Kependudukan di Kota Bandung
22
Perkembangan Pembangunan di Kota Bandung
25
Produk Domestik Regional Bruto
25
Pertumbuhan Ekonomi
26
Kesejahteraan Masyarakat Kota Bandung
27
Ketenagakerjaan dan Pendidikan Masyarakat
27
Pengeluaran Penduduk
29
Indikator Makro
30
Jumlah Usaha HASIL DAN PEMBAHASAN
31 32
Perkembangan dan Karakteristik Kelas Menengah
32
Peran Kelas Menengah
38
Konsumen
38
Wirausahawan
42
Agen Perubahan
45
Partisipasi Politik
45
Inisiator Perubahan Sosial dan Gerakan Sosial
48
Keterlibatan dalam Masyarakat
49
Pandangan terhadap Demokrasi
52
Pandangan terhadap Ekonomi
54
Kepuasan dan Partisipasi terhadap Pemerintah Kota
56
Respons dan Langkah Nyata
58
Hubungan Karakteristik Responden dengan Perubahan Sosial
60
SIMPULAN DAN SARAN
60
Simpulan
60
Saran
61
DAFTAR PUSTAKA
62
LAMPIRAN
65
RIWAYAT HIDUP
88
DAFTAR TABEL 1 Perkembangan jumlah kelas menengah di Indonesia 2 Daftar kecamatan, jumlah kelurahan, jumlah penduduk tahun 2013 dan jumlah rumah tangga tahun 2012 di Kota Bandung 3 Pendapatan domestik regional bruto Kota Bandung menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku (dalam juta rupiah) 4 Pendapatan domestik regional bruto Kota Bandung per kapita 5 Indikator ketenagakerjaan dan pendidikan Kota Bandung 6 Kelompok pengeluaran rumah tangga per bulan tahun 2012 7 Indikator makro Kota Bandung 8 Potensi jumlah usaha kecil dan menengah serta stastistik industri Kota Bandung 9 Segmentasi kelas menengah di Indonesia 10 Karakteristik responden 11 Jumlah keluarga inti bagi dengan status menikah 12 Pekerjaan 13 Pendapatan per bulan 14 Pengeluaran rata-rata per bulan 15 Pengeluaran paling besar selama sebulan terakhir 16 Pengeluaran rekening listrik rata-rata per bulan 17 Akses pada layanan kesehatan 18 Kepemilikan alat informasi dan komunikasi 19 Kepemilikan akun media sosial 20 Kepemilikan kendaraan bermotor 21 Kepemilikan kartu kredit 22 Prioritas tempat tujuan untuk mengisi waktu luang berdasarkan frekuensi dan minat 23 Rata-rata waktu kerja per hari 24 Kepemilikan usaha 25 Data kepemilikan usaha 26 Penggunaan hak pilih pada pemilihan umum tahun 2014 27 Penggunaan hak pilih pada pemilihan umum sebelumnya 28 Penggunaan hak pilih pada pemilihan kepala daerah 29 Inisiator organisasi, komunitas, atau gerakan untuk menciptakan perubahan sosial secara individu ataupun kolektif 30 Partisipasi dalam gerakan sosial 31 Keikutsertaan atau keanggotaan dalam komunitas, organisasi sosial, dan organisasi politik 32 Keikutsertaan sebagai simpatisan partai politik 33 Pandangan terhadap demokrasi 34 Prioritas dalam demokrasi 35 Pandangan terhadap ekonomi 36 Prioritas dalam ekonomi 37 Kepuasan terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung 38 Respons terhadap ketidakpuasan
13 23 25 25 27 29 30 31 32 33 34 34 35 35 36 37 37 39 39 40 40 41 42 43 43 46 46 47 48 49 50 52 53 53 55 55 57 58
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
Kelas menengah Indonesia Kerangka pemikiran Peta Kota Bandung Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bandung tahun 2008–2012 dan perbandingannya dengan tingkat nasional (%) Perkembangan pengeluaran makanan dan non makanan
14 18 24 26 29
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Kuesioner penelitian Daftar pertanyaan wawancara mendalam Hasil pengolahan Minitab Hasil uji chi square
65 76 77 82
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Mengelompokkan masyarakat dalam tingkatan atau strata bukanlah suatu perkara yang mudah. Di Indonesia, pembagian tingkatan tersebut didasarkan pada latar belakang sosial, gaya hidup, ataupun dari lingkungan pergaulannya. Dalam kehidupan bermasyarakat, istilah ini lazim disebut sebagai kelas sosial. Jika merujuk kepada Bank Dunia, maka kelas sosial dibagi berdasarkan tingkatan pengeluaran. Sementara, menurut Marx, ada dua kelompok besar dalam kapitalisme, yaitu para pekerja yang menjual tenaga buruh dan para kapitalis yang memiliki alat-alat produksi.1 Upaya pengelompokan strata sosial setidaknya terkait dengan tiga kepentingan. Pertama, kelas sebagai agregat politik. Perbedaan dalam pandangan ataupun sikap politik seseorang dipengaruhi oleh posisinya dalam strata sosial. Oleh karena itu, mengetahui karakteristik kelas dengan jumlah anggota terbesar adalah penting untuk menentukan strategi kampanye apa yang paling cocok dilakukan oleh kandidat calon pemimpin. Kelas terbesar juga menjadi perhatian utama ketika dikaitkan dengan perubahan sosial. Kedua, berkaitan dengan segmentasi pasar. Sejak produksi barang-barang penunjang gaya hidup semakin banyak diciptakan, mengetahui karakteristik tiap kelas menjadi penting agar penetrasi pasar lebih efektif. Segmentasi terhadap penonton televisi, misalnya, akan membantu industri televisi menentukan jenis program apa yang cocok dengan karakter penontonnya. Pemetaan terhadap daya beli kelas menengah atau atas akan berguna untuk menentukan seberapa besar pasokan barang-barang mewah dapat terserap ke dalam pasar. Dalam dimensi pasar, kelas menengah ke atas menjadi perhatian serius karena menjadi potensi besar pasar komoditas gaya hidup. Ketiga, berhubungan dengan persoalan kesejahteraan, yang urusannya kerap dikaitkan dengan kinerja pemerintahan. Dalam dimensi ini, yang paling penting adalah memperoleh informasi tentang kelas miskin, yaitu mengetahui seberapa besar jumlah orang miskin dan rawan miskin yang layak mendapat bantuan. Oleh karena itu, kelas miskin menjadi sorotan utama daripada kelas-kelas lain.2 Secara teoritis, upaya pengelompokkan kelas sosial tersebut sebenarnya tergantung pada pengakuan. Hal ini mendorong terjadinya kesadaran kelas seperti yang disebutkan oleh Karl Marx. Agar kesadaran kelas yang mampu menghasilkan agenda politik bisa terbentuk, pendekatan Marxian menetapkan bahwa ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, bahwa individu-individu dalam kelas itu harus memandang kondisi dirinya sebagai bagian dari konteks yang lebih luas, dan memahami hubungan antara kondisi pribadinya dengan situasi yang dialami oleh orang-orang lain dari kelas yang sama. Kedua, kelas 1
Didin S. Damanhuri. Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik, dan Solusi bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang (Bogor: IPB Press, 2010), h. 44-45. 2 Bambang Setiawan. 2012. Siapa Kelas Menengah Indonesia?. http://nasional.kompas.com/read/2012/06/08/13003111/Siapa.Kelas.Menengah.Indonesia [12 Oktober 2013]
2
yang sudah terbentuk dengan cara seperti ini kemudian harus menerjemahkan kepentingan ekonomi pribadi dari masing-masing anggotanya menjadi sebuah agenda politik, di mana ini berarti bahwa kepentingan dari kelas itu harus memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan kepentingan umum yang dapat berlaku bagi masyarakat secara keseluruhan (dan bukan cuma bagi pribadi saja).3 Menelusuri fakta yang berkembang di Indonesia, fenomena munculnya kelas “baru” memang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan dewasa ini. Tidak hanya di kalangan akademisi dan media, tetapi juga para pelaku usaha yang mengaku sangat diuntungkan dengan keberadaan kelas tersebut. Itulah kelas menengah Indonesia yang menjadi fenomena atau bahkan primadona di tengah guncangan krisis yang terjadi di Amerika, Eropa, dan juga Asia. Kelas menengah disebut-sebut sebagai penyelamat negeri ini karena kontribusinya di sektor konsumsi yang demikian besar dan turut memicu pergeseran dalam struktur sosial masyarakat. Fenomena kemunculannya di Indonesia tidak terlepas dari konteks Indonesia yang menjadi perhatian dunia dengan peningkatan ekonominya secara grafik sebagaimana dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik. Laporan pertumbuhan golongan kelas menengah dalam ekonomi Indonesia didasarkan pada analisis Bank Dunia dengan kriteria penggolongan pengeluaran tertentu. Pengeluaran per hari di bawah 2 dollar AS dalam penelitian ini digolongkan sebagai kelas miskin atau sangat bawah, USD 2-4 kelas menengah bawah, USD 410, kelas menengah, USD 10-20 mencerminkan kelas menengah atas, dan di atas USD 20 mewakili kelas atas.4 Tumbuhnya kelas menengah di Indonesia tidak lepas dari meningkatnya kemakmuran dan standar hidup masyarakat sebagai hasil dari proses pembangunan yang dilakukan sejak masa Orde Baru di awal tahun 1970-an. Pembangunan ini berlangsung sangat pesat hingga akhir tahun 1990-an saat Indonesia terkena krisis ekonomi yang memerosotkan pendapatan masyarakat. Sejak pertengahan tahun 2000-an ekonomi Indonesia mulai bangkit dan kembali mencapai momentum pertumbuhan yang cepat hingga saat ini.5 Saat ini, lima belas tahun pasca krisis ekonomi 1998, kelas menengah Indonesia semakin bertambah besar dan menegaskan posisinya. Krisis ekonomi yang berlangsung sejak 1997 hingga 1998 memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi masyarakat untuk meredam sejenak pola konsumtivisme. Ketika krisis berlangsung, tidak sedikit masyarakat kelas menengah atas yang mengorbankan barang mewah yang dimilikinya untuk memburu beras, susu, dan kebutuhan pokok lainnya. Bahkan tak sedikit masyarakat yang tadinya berada di kelas menengah turun kelas menjadi kelas bawah. Kokohnya kelas menengah juga akan mendorong permintaan dalam negeri kuat. Ketika permintaan dalam negeri kuat maka pengaruh krisis di berbagai belahan dunia kepada perekonomian Indonesia bisa lebih diminimalisasi. 3
James A. Caporaso dan David P. Levine. Teori-teori Ekonomi Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 146-147. 4 Asy‟ari Mukrim. 2012. Memahami Kelas Menengah dalam Perspektif Ekonomi Politik. http://sosbud.kompasiana.com/2012/07/04/memahami-kelas-menengah-dalam-perspektifekonomi-politik-474633.html [13 Oktober 2013] 5 Yuswohady. 2013. The Three Dimmensions of Indonesian-Middle Class Segementation. http://consumer3000.net/articles/framework-articles/the-three-dimmensions-of-indonesian-middleclass-segmentation/ [4 November 2013]
3
Indonesia akan lebih mandiri dan kuat menghadapi pengaruh dan gejolak ekonomi internasional. Tahun 2011 misalnya konsumsi domestik kita telah mencapai angka cukup besar sekitar Rp3 500 trilliun atau sekitar 60% dari GDP. Dengan kekuatan konsumsi dalam negeri ini kita menjadi lebih tahan terhadap krisis yang terjadi di Eropa maupun Amerika.6 Media internasional The Economist melihat permasalahan makna kelas menengah dari perspektif pembangunan ekonomi. Jumlah kelas menengah meningkat sangat pesat dari tahun 2004 ke tahun 2011 menjadi sekitar 50 juta, berdasarkan definisi pengeluaran per tahun USD 3 000. Namun, peningkatannya bukanlah mencerminkan tumbuhnya kelas profesional di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang cukup baik banyak bertumpu pada penjualan komoditas ke negara lain dan konsumsi dalam negeri. Pertumbuhan industri pengolahan terbatas dan juga banyaknya agenda ekonomi bertaraf nasional yang tidak selesai semisal masalah infrastruktur dan persoalan korupsi yang semakin parah. Media nasional Kompas melihat konteks ini secara lebih substantif, berangkat dari analisis kepentingan dan orientasi politiknya. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, disimpulkan bahwa kelas menengah bersifat apatis terhadap politik dan aktivisme perbaikan publik. Kesimpulan yang dapat ditarik dari sana adalah bahwa kelas menengah Indonesia tidak dapat menjadi kekuatan pembaharu bagi perbaikan kehidupan bernegara setelah melihat perilaku politik kelas menengah tersebut yang cenderung lebih menikmati hidup dalam zona kenikmatan hasil kerja mereka.7 Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, kelas menengah menjadi potensi pasar yang begitu besar. Dengan pendapatannya yang longgar, kelas menengah seakan haus dengan berbagai macam gadget mutakhir, mobil anyar, liburan, atau sekadar duduk-duduk di kafe untuk menopang gaya hidupnya. Meskipun tidak semua orang yang mampu melakukan itu dapat digolongkan sebagai kelas menengah atau sebaliknya. Perilaku kelas menengah yang banyak menjadi konsumen membuat istilah kelas menengah juga sering disebut sebagai consuming class (kelas konsumsi). Terjadi pola perubahan konsumsi, terutama bagi mereka yang dahulu belum tergolong ke dalam kelas ini dan sekarang “naik” kelas. Contohnya dalam pengeluaran pulsa, pendidikan, dan juga hiburan. Seseorang yang naik kelas dari miskin menjadi lebih kaya maka ia akan memiliki daya beli (purchasing power) yang lebih besar. Daya beli yang kian meningkat tersebut pada suatu tingkat tertentu akan mempengaruhi perilaku mereka dalam membeli dan mengkonsumsi barang dan jasa. Hal itu dikarenakan pergeseran masif suatu negara dari negara miskin menjadi negara perpendapatan menengah juga membawa dampak perubahan perilaku konsumen yang luar biasa.8 Negara-negara kesejahteraan (welfare state) di Eropa dibangun menurut aspirasi kelas menengah.9 Peran kelas menengah dapat menjadi agen perubahan (agent of change) yang partisipasinya dalam pembangunan politik dan 6
Yuswohady. 2012. Kebangkitan Nasional, Kebangkitan Kelas Menengah. http://www.yuswohady.com/2012/05/19/kebangkitan-nasional-kebangkitan-kelas-menengah/ [14 September 2014] 7 Asy‟ari Mukrim, op. cit. 8 Yuswohady, op. cit. 9 A. Prasetyantoko, Setyo Budiantoro, dan Sugeng Bahagijo ed. Pembangunan Inklusif: Prospek dan Tantangan (Jakarta: LP3ES, 2012), h. 405-406.
4
ekonominya tergolong signifikan. Kedudukannya independen karena kehidupannya tidak bergantung pada kekuasaan. Di Eropa, kelas menengah turut membangun terbentuknya negara kesejahteraan. Industrialisasi pada masa lampau melahirkan kalangan yang mandiri, profesional serta kecukupan ekonomi. Melalui bekal ini, maka kelas menengah di Eropa sanggup untuk memainkan peranan dalam masyarakat. Belakangan ini, kelas menengah juga telah menjadi agenda penting bagi Asian Development Bank (ADB), Bank Dunia, dan juga Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Sementara di Asia, pertumbuhan kelas menengah didorong oleh sektor konsumsi. Sehingga seringkali diidentikkan pada perilaku konsumtif. Bagaimana dengan Indonesia, apakah kelas menengahnya dapat dikategorikan sebagai konsumen, wirausaha, atau agen perubahan. Sebagai sebuah entitas ekonomi, kelas menengah Indonesia belum bisa seutuhnya dikatakan kelas yang produktif karena lebih mengarah pada konsumerisme. Di sisi lain, ada peran kelas menengah dalam mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah seperti kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi, partisipasinya dalam pemilihan umum, dan juga pada pelayanan publik lainnya. Dengan jumlah dan potensi ekonomi yang besar, kelas menengah dapat menjadi pusat pertumbuhan wirausahawan baru serta menjadi katalisator perekonomian dalam negeri. Melalui modal pendidikan yang tinggi dan finansial yang memadai, kelas menengah dapat berperan mendorong percepatan penurunan kemiskinan. Peran kelas menengah dituntut untuk mampu menjadi produsen yang mampu memperluas lapangan pekerjaan. Menurut studi Southeast Asian Middle Class (SEAMC) pada tahun 1996-1997, sebagian besar kelas menengah di Indonesia berasal dari keluarga berlatar belakang kelas yang sama. Kelas menengah yang baru tersebut cenderung mengembangkan gaya hidup yang mencerminkan kemakmuran. Maka, mereka akan mencari pekerjaan yang mampu menghasilkan pendapatan yang memadai untuk memenuhi pola hidupnya. 10 Sisi yang mereka tampilkan banyak pada sisi konsumtif, belum pada penciptaan gagasan kreatif dan inovatif yang mendorong jiwa entrepreneur. Menurut Budiman, kelas menengah di Indonesia berada dalam posisi yang dilematis. Kelas menengah Indonesia merupakan kelompok masyarakat yang belum sepenuhnya sadar politik. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang apatis terhadap politik. Sementara, sebagian lainnya memandang bahwa politik adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan bernegara. Kelas menengah yang merasakan dampak pembangunan merasa bahwa elit politik yang mereka pilih hanya memihak pada golongan atau pribadinya saja. Hal ini tercermin dari tingginya angka golongan putih seperti disampaikan oleh analisis Panitia Pengawas Pemilu DKI Jakarta dalam Tempo, persentase golongan putih dalam pemilihan presiden 2009 mencapai angka 34 persen, sedangkan golongan putih dalam putaran I pemilihan presiden 2004 mencapai 23 persen. 11 Meskipun kemudian harus dibedakan golongan putih yang dimaksud apakah secara ideologi atau administratif. 10
Bestian Nainggolan. “Menyibak Misteri Kelas Menengah Asia Tenggara. Kelompok Masyarakat yang Makmur” dalam Kompas, 11 Agustus 1997, h. 20. 11 Nur Rochmi. 2009. Jumlah Golput di Jakarta Naik Dibanding 2004. http://www.tempo.co/read/news/2009/07/20/146188008/Jumlah-Golput-di-Jakarta-NaikDibanding-2004/ [20 Desember 2013]
5
Dengan demikian pertanyaannya adalah apakah semakin nyamannya seseorang dengan kondisi ekonominya yang relatif baik turut memengaruhi proses demokratisasi. Di Eropa, kelas menengah secara sadar menjadi pelopor perubahan. Menurut penelitian yang dilakukan harian Kompas bekerja sama dengan Pusat Penelitian Wilayah Sudi Asia Tenggara, kelas menengah di Indonesia merasa perlu adanya perubahan sosial. Tetapi mereka tidak mau terlibat dalam aksi menuju perubahan tersebut.12 Ketidakpuasan diungkapkan dalam pendapat yang berujung lewat jejaring sosial, tetapi tidak menjadi tindakan riil yang mampu mengubah keadaan. Mereka terkadang tidak setia dengan tuntutan mereka serta membiarkan masalah bangsa menggantung tanpa penyelesaian.
Perumusan Masalah Dalam mendefinisikan kelas secara serta merta harus ditilik dari segi sejarah. Pemahaman teori antara Karl Marx dan Max Weber bisa menjadi dasar atas konsep apa yang disebut dengan kelas. Penelitian-penelitian ekonomi yang dilakukan Marx “memandang bahwa pembagian sebuah masyarakat menjadi beberapa kelas sepenuhnya terjadi sebagai akibat dari hubungan produksi (relation of production). 13 Marx menggunakan dasar hubungan faktor produksi sebagai pembeda kelas, sehingga Marx percaya dua kelas yang saling bertentangan, yakni borjuis atau kaum pemilik modal dan kelas pekerja atau proletar. Dalam sudut pandang Marx, tidak ada kelas yang berada di antara kedua kelas tersebut. Sedangkan, Max Weber menilai kelas sosial tidak hanya dua atau tiga (atastengah-bawah), tapi bisa banyak tingkatan. Pembentukan kelas tidak hanya diukur oleh kepemilikan faktor produksi, tetapi juga ukuran lain seperti kegiatan konsumtif, status sosial, kewibawaan, dan pendidikan. Merujuk pada dua teori di atas, maka pendefinisian kelas menengah bisa saja memunculkan banyak persepsi. Pemikiran Marxian menekankan pertentangan kepentingan antar kelas yang dikotomis. Di sisi lain, pemikiran Weberian menunjukkan perbedaan kepentingan atau kemampuan di antara banyak kelas dengan mengacu pada realitas empirik.14 Dalam berbagai studi yang pernah dilakukan, kelas menengah di Asia Timur dan Asia Tenggara tidak bisa diperbandingkan langsung dengan kelas menengah di Eropa. Kelas menengah di Asia Timur lebih pro-kemapanan dengan mempertahankan status quo yang telah diperolehnya. Tujuannya karena kondisi mereka saat ini telah mendukung gaya hidup yang makmur. Di Jakarta, menurut survei Kompas tahun 1996, kelas menengah lebih peduli terhadap pertumbuhan ekonomi daripada politik dan cenderung ingin mempertahankan stabilitasnya.15 Di bidang politik politik, peran masyarakat dalam proses demokratisasi salah satunya melalui pemilihan umum (pemilu). Kelas menengah pun turut 12
Kompas. “Kelas Menengah Jakarta dan Kemungkinan Terjadinya Perubahan Sosial” dalam Kompas, 14 Desember 1996, h. 4. 13 James A. Caporaso dan David P. Levine, op. cit., h. 130. 14 Ariel Heryanto dalam Hadi Jaya ed. Kelas Menengah Bukan Ratu Adil (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1999), h. 6-7. 15 Farida A. Sondakh, Y. Anung Wendyartoko, dan Nikensari Setiadi. “Antara Stabilitas dan Demokrasi” dalam Kompas, 30 September 1996, h. 4.
6
berpartisipasi di dalamnya. Dalam masyarakat demokratis, preferensi masyarakat dan kesediaan mereka untuk berpartisipasi dalam pembangunan dilakukan dengan cara pemungutan suara. Ahli ekonomi yang pertama kali menganalisa pengambilan keputusan dengan cara pemungutan suara adalah Knut Wicksell. Wicksell berpendapat bahwa proses politik dalam bidang ekonomi sangat penting untuk mencapai alokasi sumber-sumber ekonomi yang efisien. Sistem pemungutan suara dengan cara satu orang satu suara tidak akan memberi hasil yang mencerminkan kesukaan masyarakat apabila cara pemungutan suara dilakukan dengan suara mayoritas sederhana. Wicksell mengatakan hal ini tidak efisien karena yang tidak berkepentingan harus ikut menanggung biaya politik yang nanti terjadi.16 Dalam hal pemungutan suara berdasarkan mayoritas sederhana untuk menentukan calon pemimpin, pemilih yang bertindak sebagai median voter (pemilih tengah) adalah yang paling untung sebab pilihan yang disukainya yang pasti menang dalam suatu pemungutan suara. 17 Sementara di sisi lain juga ada yang disebut swing voter (pemilih yang belum menentukan pilihan). Momentum pemilu menjadi acuan seberapa besar kelas menengah berperan di dalamnya. Partisipasi kelas menengah dalam politik pemilu merupakan wujud paling jelas kehidupan berdemokrasi. Dari segi ekonomi, prospek kelas menengah di Indonesia cukup besar mengingat jumlahnya yang kian bertambah. Bahkan keberadaannya sering dianggap sebagai penyelamat negara ini dari krisis yang menghantam dunia beberapa tahun terakhir. Dalam perkembangannya, terdapat perubahan pola konsumsi dari mereka yang dahulu belum digolongkan ke dalam kelas menengah kemudian saat ini telah naik kelas. Saat ini konsumsi kelas menengah bukan hanya dihabiskan untuk makanan atau barang-barang primer tetapi juga untuk non makanan yang tergolong sekunder dan bahkan tersier, seperti barang mewah, pendidikan, dan hiburan. Terjadi pergerseran peran kelas menengah dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi ekonomi dan politik tanah air. Mulai dari perannya sebagai agen pembaharu, seperti di era reformasi; menjadi wirausahawan yang menciptakan lapangan kerja baru; dan juga menikmati peran sebagai konsumen yang memang didukung dengan daya beli yang baik. Kelas menengah di Indonesia berbeda dengan kelas menengah di Eropa dan juga di negara-negara Asia lainnya. Potensi kelas menengah cukup besar meskipun dapat dikatakan belum optimal. Indikatorindikatornya dapat dilihat dari sikap kritis terhadap pemerintah, partisipasi politik dalam pemilu, kontribusinya terhadap perekonomian, dan membangun hubungan dengan kelompok lain. Untuk itu permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana perkembangan kelas menengah di Indonesia dari masa ke masa? 2. Bagaimana karakteristik kelas menengah di Indonesia ditinjau dari sudut pandang teoritis? 3. Apa saja peran kelas menengah di Indonesia dalam pembangunan demokrasi dan pembangunan ekonomi? 16 17
Guritno Mangkoesoebroto. Ekonomi Publik (Yogyakarta: BPFE, 2000), h. 87-88. Ibid, h. 99.
7
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis perkembangan kelas menengah di Indonesia dari masa ke masa. 2. Menganalisis karakteristik kelas menengah di Indonesia ditinjau dari sudut pandang teoritis. 3. Menganalisis peran kelas menengah di Indonesia dalam pembangunan demokrasi dan pembangunan ekonomi.
Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh akademisi dalam memahami fenomena kelas menengah di Indonesia dari sudut pandang ekonomi politik. 2. Berguna sebagai masukan bagi pemerintah dalam mengevaluasi rencana pembangunan ekonomi yang berkeadilan bagi seluruh struktur masyarakat. 3. Sebagai bahan referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Ekonomi Politik Menurut Rachbini, ekonomi politik adalah perpaduan dua disiplin ilmu, yaitu ekonomi dan politik. Ilmu ekonomi politik digunakan untuk menganalisis ilmu sosial lainnya dengan pendekatan yang relevan dengan isu ekonomi politik. Fokus dari studi ekonomi politik adalah fenomena-fenomena ekonomi secara umum, yang bergulir serta dikaji menjadi lebih spesifik, yakni menyoroti interaksi antara faktor-faktor ekonomi dan faktor-faktor politik. Namun, dalam perkembangan yang berikutnya, istilah ekonomi politik selalu mengacu pada adanya interaksi antara aspek ekonomi dan aspek politik.18 Kaitan antara ekonomi dan politik juga dapat digunakan untuk menganalisis persoalan kesejahteraan masyarakat. Disitu menyangkut bagaimana peran negara dan pasar dalam kaitannya dengan persoalan kualitas dari pertumbuhan pendapatan domestik bruto yang dihasilkan, mampu mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan di negara sedang berkembang. Sementara persoalan kualitas pertumbuhan yang diperankan negara dan pasar juga akan menyangkut dengan dimensi politik dan kekuasaan. Oleh karena itu, kita juga 18
Didik J. Rachbini. Ekonomi Politik: Paradigma dan Teori Pilihan Publik. (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2002)
8
harus memahami hubungan timbal balik antara aspek, proses, institusi politik dan kekuasaan dengan kegiatan serta output ekonomi (produksi, investasi, penciptaan harga, perdagangan, konsumsi, dan seterusnya) dengan kualitas pertumbuhan (dalam mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan). Menurut Damanhuri, penting untuk memahami ilmu ekonomi politik agar dapat memahami berbagai pendekatan teori secara komparatif seperti teori liberal, radikal atau struktural, dan heterodoks. Pemahaman yang mendalam tentang ekonomi politik dapat menjadi analisis di dunia nyata dan bermanfaat bagi pengambil kebijakan dengan mempertimbangkan beberapa aspek sebelum akhirnya mengambil keputusan.19 Ekonomi politik menjadi begitu penting untuk memahami berbagai isu dan persoalan. Sebab ekonomi politik mampu menganalisis secara teoritis maupun empiris. Contohnya dalam penelitian kelas menengah dimana perannya sebagai konsumen. Kelas menengah memberikan sumbangsih terhadap perekonomian negara lewat pengeluarannya. Sementara kelas menengah juga dapat menjadi agen perubahan yang punya hak untuk menyuarakan aspirasinya, baik melalui pemilihan umum ataupun kritiknya terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Dalam perspektif ekonomi politik, kelas menengah memiliki peran sentral dalam pembangunan ekonomi dan politik suatu negara. Tetapi apabila menggunakan indikator pengeluaran yang dirilis Bank Dunia, kelas menengah menjadi kelas konsumen yang begitu besar. Di satu sisi, kelas konsumen tersebut akan menciptakan pasar dengan segala aktivitasnya sekaligus mendorong tumbuhnya PDB melalui sektor konsumsi. Sementara di sisi lain, perekonomian yang sebagian besarnya ditopang oleh konsumsi dapat menjadi rapuh, apalagi jika kehilangan konsumennya. Padahal jika ditelaah lebih dalam, peran kelas menengah tidak hanya sebatas konsumen semata. Pada masa Revolusi Industri, kelas menengah mampu berperan sebagai wirausahawan yang membuka lapangan pekerjaan. Di negara lain seperti Kuba, kelas menengah menjadi agen pembaharu yang dipimpin oleh Fidel Castro. Salah satu negara di Asia Tenggara, Filipina juga merasakan peran besar kelas menengah dalam proses perombakan dengan menggulingkan kekuasaan Ferdinand Marcos.20
Kelas Stratifikasi sosial atau dapat juga disebut pelapisan sosial merupakan pengelompokkan anggota masyarakat secara bertingkat (vertikal). Istilah ini dalam agama Hindu dikenal sebagai kasta. Pengelompokkan tersebut dinamakan juga dengan kelas. Dimana pada sebagian besar masyarakat ada kesenjangan dalam distribusi kekayaan dan berbagai keuntungan lain seperti status dan kekuasaan. Tanpa menggunakan suatu model, akan sulit untuk menggambarkan prinsipprinsip apa yang akan menentukan sistem distribusi serta hubungan sosial yang 19 20
Didin S. Damanhuri, op. cit., h. 2. Budi Darma. “Peran Kelas Menengah” dalam Kompas, 5 Oktober 1997, h. 21.
9
diakibatkan oleh kesenjangan itu. Dasar-dasar yang menentukan terbentuknya kelas ditandai dengan beberapa ukuran. Contohnya adalah ukuran kekayaan, kekuasaan dan wewenang, kehormatan, dan ilmu pengetahuan. Para pelaku (aktor) di dalam nya kemudian ditempatkan pada suatu tangga atau piramida sosial. Keadaan ini yang membuat adanya penggolongan siapa yang termasuk dalam kelas atas ataupun kelas bawah. Jadi, bisa saja individu atau kelompok tertentu memandang hormat sekaligus di saat yang bersamaan memandang rendah individu atau kelompok lain. Stratifikasi sosial dan struktur sosial merupakan kiasan yang dipinjam dari disiplin geologi dan arsitektur. Menurut Marx, kelas adalah suatu kelompok sosial yang memiliki fungsi tertentu dalam proses produksi. Pemilik tanah, pemilik modal, dan pekerja yang tidak memiliki apa pun selain dua tangannya, adalah tiga kelas sosial besar, yang sejajar dengan tiga faktor produksi dalam ilmu ekonomi klasik, yakni tanah, tenaga kerja, dan modal. Perbedaan fungsi dari kelas-kelas ini menimbulkan pertentangan kepentingan yang memungkinkan berbedanya pikiran dan tindakan mereka. Jadi, sejarah adalah cerita tentang pertentangan kelas.21 Yang lebih mengkhawatirkan ialah bahwa model Marx itu tidaklah sejelas dan sesederhana kelihatannya. Para analis mencatat bahwa dia menggunakan istilah „kelas‟ untuk beberapa pengertian yang berbeda-beda. Pada beberapa kesempatan ia membedakan tiga macam kelas: pemilik tanah, pemilik modal, dan buruh. Tetapi pada kesempatan lain dia hanya menyebut dua macam kelas, dua pihak yang berseberangan dalam konflik antara pihak pemeras dan yang diperas, penindas dan yang ditindas.22 Membahas persoalan kelas sedikitnya menyinggung dua pendekatan. Pertama, sudut pandang Marxist menekankan pemisahan pada kerangka ekonomi seperti peran dalam kepemilikan faktor produksi. Implikasinya, hanya terdapat dua kelas dalam masyarakat, yaitu para pemilik atau penguasa faktor produksi dan mereka yang tidak memiliki faktor produksi. Pendekatan yang kedua, pengklasifikasian kelas berdasarkan latar belakang pekerjaan seseorang. Pekerjaan dijadikan dasar dalam penentuan kelas karena kondisi pasar dan situasi pekerjaan yang terus berkembang daripada aspek kepemilikan faktor produksi.
Kelas Menengah Apabila melihat dari teori yang dikemukakan oleh Marx, sebenarnya dalam penggolongan masyarakat hanya dibagi menjadi dua kelas saja. Sehingga pertanyaannya menjadi di manakah posisi kaum profesional yang seharusnya berada di antara kepentingan kaum buruh dan para kapitalis atau kalangan borjuis. Sementara menurut Weber (1920) mengelaborasi kelas sosial dengan lebih luas ketika memandang persoalan kelas bukan hanya bagaimana kekuasaan (power) atas alat produksi terletak, tetapi juga menyangkut derajat ekonomi dan prestise. Tiga hal itu menjadi penentu untuk mengukur derajat kelas seseorang.23 21
Peter Burke. Sejarah dan Teori Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 85-86. Ibid, h. 87. 23 Bambang Setiawan. 2012. Siapa Kelas Menengah Indonesia?. http://nasional.kompas.com/read/2012/06/08/13003111/Siapa.Kelas.Menengah.Indonesia [12 Oktober 2013] 22
10
Pengertian kelas menengah ditinjau dari disiplin ilmu dapat menjadi bias. Dari segi intelektual, seseorang dapat dianggap tergolong dalam kelas elit. Sebaliknya, dari segi ekonomi, bisa saja dia mask ke kelas bawah. Faktor lingkungan pun turut menentukan keberadaan kelas atas, menengah, ataupun bawah sehingga sangat relatif. Terlepas dari kategorisasi tersebut, kelas menengah diidentikkan dengan perubahan. Peran kelas menengah tidak hanya sebatas pada koridor ekonomi semata tetapi dapat juga dikaitkan kepada aspek politik yang cukup dalam. Di Eropa, kelas menengahnya mampu memainkan peran baik dalam partisipasi maupun pembangunan politik dan ekonomi secara baik. Sebab, keberadaan mereka secara langsung tak bergantung kepada para penguasa yang mengisi kursi-kursi di parlemen dan eksekutif. Sehingga dapat saja kelas menengah di sana disebut sebagai agen perubahan. Contoh nyata dari kebangkitan kelas menengah terjadi pada masa Revolusi Industri di negara-negara Barat. Tokoh penting Revolusi Industri adalah James Watt. Penemuannya berupa mesin uap berhasil menjadikannya kaya raya karena memanfaatkan peluang bisnis. Di sisi lain, Thomas Alva Edison hanya sanggup menjual hak paten dan yang menikmati hasil penemuannya justru kaum industrialis. Fakta ini menggambarkan bahwa jiwa kewirausahaan begitu penting, dengan ditopang oleh para profesional. Kemudian mereka saling berhubungan dan terbentuklah kelas menengah baru. Kelas menengah sebagiannya dapat dikatakan adalah kelas orang-orang yang awalnya kurang beruntung namun berhasil menaikkan derajatnya. Status mereka yang berubah menjadikannya dianggap sebagai orang kaya baru. Di Eropa kelas menengahnya diawali dengan industrialisasi. Akibatnya, muncul sekelompok masyarakat yang memiliki berbagai kelebihan, antara lain kekuatan ekonomi dan kemandirian. Maka salah satu peran mereka adalah menjadi jembatan antara pemilik modal dan buruh. Ciri khas lainnya adalah gaya hidup yang makmur didukung oleh kemampuan finansial. Dengan bekal tersebut maka kalangan ini sanggup memainkan banyak peranan dalam masyarakat, baik secara ekonomi maupun proses demokratisasi. Inti dari kelas menengah pada awalnya adalah kelompok pedagang dan pengusaha (kaum borjuis). Namun dalam sejarah perkembangannya di Eropa, kelas menengah juga kemudian mencakup kelompok petani, pegawai negeri maupun swasta, dan golongan profesional seperti dokter, pengacara, artis, dan wartawan. Kelas menengah dari masa ke masa memiliki berbagai karakteristik yang turut menentukan perannya. Dalam penelitian ini, kelas menengah terbagi menjadi konsumen, wirausahawan, dan agen perubahan.
Konsumen Perilaku kelas menengah yang banyak menjadi konsumen membuat istilah kelas menengah juga sering disebut sebagai consuming class (kelas konsumsi). Terjadi pola perubahan konsumsi, terutama bagi mereka yang dahulu belum tergolong ke dalam kelas ini dan sekarang tergolong ke dalam kelas menengah. Di kota-kota besar di Indonesia misalnya dapat dengan mudah disaksikan perilaku
11
konsumtif dipratikkan oleh kelas menengah. Pusat perbelanjaan, rumah makan, bahkan jalan raya penuh sesak oleh mereka yang membelanjakan pendapatannya. Tetapi ada hal positif dari peran kelas menengah sebagai konsumen. Konsumsi rumah tangga berkontribusi terhadap pendapatan domestik bruto, seperti di Indonesia dan Tiongkok. Pada masa krisis ekonomi melanda Amerika Serikat dan Eropa, perekonomian Indonesia tetap tumbuh positif karena tingginya konsumsi domestik. Meskipun barang dan jasa yang dikonsumsinya ternyata mendorong terjadi defisit neraca pembayaran karena meningkatkan impor.
Wirausahawan Menurut sejarah kelahirannya di Eropa, kelas menengah terbentuk sebagai akibat dari kemajuan ekonomi pada masa Revolusi Industri dahulu. Melalui kekuatan ekonomi yang dimilikinya, kelas menengah berusaha mengendalikan kesewenang-wenangan "kelas atas" terhadap "kelas bawah". Puncaknya adalah saat kelas menengah berhasil mendorong terjadinya perubahan tatanan masyarakat dari yang feodal menjadi demokratis. Nilai-nilai kewiraswastaan yang menjadi basis kelas menengah memang merupakan mesin pendorong utama bagi proses modernisasi di Eropa. Sementara, masyarakat kelas menengah Indonesia yang masih didominasi oleh kelompok menengah bawah dapat terjebak dalam negara berpendapatan menengah (middle income trap), yakni negara-negara yang pendapatannya sudah masuk level menengah, tapi tidak beranjak dari kondisi itu karena tidak ada terobosan-terobosan lanjutan untuk meningkatkan perekonomiannya. Sebabnya, negara tersebut lebih banyak mengandalkan ekspor komoditas dan konsumsi barang impor. 24 Masyarakat kelas menengah memiliki peranan menjadi wirausaha. Sebagian besar dari mereka menikmati subsidi yang tidak produktif, maka fenomena ini dapat menjadi kontraproduktif. Maka perlu didorong kelas menengah menjadi wirausaha agar bertindak sebagai katalisator pertumbuhan. Wirausaha adalah mereka yang tidak hanya berbuat untuk dirinya sendiri tetapi juga ikut andil dalam membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Untuk itu, kelas menengah harus dapat dikelola dengan baik sehingga bisa tumbuh kelas wirausaha yang mandiri. Wirausahawan adalah seseorang yang menemukan gagasan baru dan selalu berusaha menggunakan sumber daya yang dimiliki secara optimal untuk mencapai tingkat keuntungan tertinggi. Wirausahawan memiliki seni dan keterampilan tertentu dalam menciptakan usaha yang baru. Wirausahawan memiliki pemahaman sendiri akan kebutuhan masyarakat dan dapat bereaksi terhadap perubahan ekonomi serta kemudian menjadi pelaku dalam mengubah permintaan menjadi produksi. Wirausahawan adalah seseorang yang menciptakan sebuah usaha atau bisnis yang dihadapkan dengan risiko dan ketidakpastian untuk memperoleh keuntungan dan mengembangkan bisnis dengan cara mengenali
24
Didin S. Damanhuri. 2014. “Jebakan Negara Berpendapatan Menengah” dalam Gatra, No. 9 Tahun XX 2-8 Januari 2014, h. 76.
12
kesempatan, memanfaatkan sumber daya yang diperlukan, dan memberikan nilai tambah ke barang untuk memenuhi kebutuhan manusia.25
Agen Perubahan Menurut Muhaimin, unsur esensial dalam kelas menengah, di samping unsur penghasilan yang relatif besar, adalah unsur intelektualitasnya yang relatif terdidik, dinamis, dan memiliki peranan penting dalam masyarakat. Kelas menengah di Eropa tampil menjadi moderating factor dan berperan menjembatani kelas atas dengan kelas bawah, agar tindakan yang radikal dan ekstrem dalam masyarakat terhindarkan. Kelas menengah di banyak negara sedang berkembang justru pada awalnya tampil paling radikal dan revolusioner. Namun seiring dengan meningkatnya kuantitasnya, kelas menengah di negara sedang berkembang cenderung beralih menjadi golongan paling konservatif, yang menikmati fasilitas dari lembaga birokrasi dan bisnis.26 Dalam sejarah politik Asia modern, kelas menengah telah diakui peran sentralnya dalam sebagian besar peristiwa politik, mulai dari proses tergulingnya diktator Ferdinand Marcos pada tahun 1986 di Filipina, perang jalanan antar militer di Thailand pada Mei 1992, hingga runtuhnya rezim Orde Baru di Indonesia pada tahun 1998. Kelas menengah di situ merupakan ujung tombak demokrasi atau disebut juga agen perubahan. Meskipun menurut pengamat ekonomi Laksamana Sukardi, kelas menengah di Indonesia masih sulit menjadi agen reformasi. Mereka merupakan produk dari sistem ekonomi yang cenderung konservatif terhadap perubahan. Jika mengacu kepada pendapat tersebut maka kelas menengah di Indonesia berarti hanya ingin menikmati hasil pembangunan tanpa mau ikut berjuang. 27 Padahal mengacu kepada peristiwa Reformasi pada tahun 1998, kelas menengah dapat menjadi inisiator dalam gerakan perubahan, yang mengarah kepada berbagai gerakangerakan sosial seperti gerakan pekerja, gerakan pro demokrasi, perlindungan hak asasi manusia (HAM), bahkan perlindungan lingkungan dan gerakan lainnya di bidang pendidikan serta keagamaan. Dalam survei Litbang Kompas yang dilakukan Maret-April 2012 memperlihatkan, semakin tinggi kelas sosial, masyarakat berlomba menaikkan citra kelasnya dengan berusaha mengadopsi gaya hidup konsumerisme. Di sisi lain, mereka cenderung menanggalkan nilai-nilai demokrasi dan kembali menarik bandul politik ke arah otoritarianisme. Membandingkan kelas menengah saat ini dengan hasil survei sejenis yang pernah dilakukan Litbang Kompas tahun 1997 sangat kontradiktif. Pada survei yang dilakukan setahun menjelang kejatuhan Soeharto tersebut, gambaran tentang demokrasi begitu menggembirakan. Semua kelas, termasuk kelas menengah, cenderung memandang pentingnya demokrasi.
25
Suharyadi, dkk. Kewirausahaan: Membangun Usaha Sukses Sejak Usia Muda (Jakarta: Salemba Empat, 2007), h. 7. 26 Yahya Muhaimin. “Politik, Pengusaha Nasional, dan Kelas Menengah Indonesia” dalam Prisma, Maret 1984, h. 63-64. 27 Litbang Kompas. 1996. “Sulit Lahirkan Agen Reformasi Kelas Menengah” dalam Kompas, 13 Desember 1996, h. 1
13
Namun, sekarang gambaran yang tertangkap adalah masyarakat justru mengharapkan negara lebih berperan dalam mengendalikan iklim demokrasi.28
Kelas Menengah di Indonesia Untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia kita mengalami lonjakan pertumbuhan kelas menengah yang luar biasa. Ada hubungan yang erat antara laju pertumbuhan ekonomi dan laju pertumbuhan kelas menengah. Dengan menggunakan definisi kelas menengah dari Asian Development Bank (ADB) yaitu pengeluaran per kapita per hari sebesar USD 2-20 (PPP, 2005), kita mendapatkan indikator-indikator kelas menengah yang menakjubkan. Berdasarkan data SUSENAS, selama kurun waktu 1999-2009 jumlah kelas menengah Indonesia melonjak hampir dua kali lipat selama 10 tahun, dari 45 juta penduduk menjadi 93 juta. Kalau tahun 1999 jumlah kelas menengah hanya 25% dari total penduduk, pada tahun 2009 menjadi 45%. Menurut data yang dirilis oleh Kementerian Keuangan pada tahun 2013 lalu, terlihat peningkatan pada jumlah kelas menengah ke bawah dan kelas menengah ke atas. Di sisi lain, kelas miskin dan rentan miskin mengalami penurunan. Hal ini berarti ada perbaikan ekonomi karena di masyarakat terjadi pergeseran dari kelas bawah ke kelas di atasnya. Selengkapnya ada di dalam Tabel 8 berikut ini. Tabel 1 Perkembangan jumlah kelas menengah di Indonesia Kelas Miskin dan rentan miskin Menengah ke bawah Menengah ke atas Kaya
Pengeluaran per kapita (Rp/bulan) < 225 000 225 000 - 360 000 360 000 - 720 000 720 000 - 1 100 000 1 100 000 - 1 400 000 1 400 000 - 3 600 000 > 3 600 000 Jumlah
Proporsi populasi (%) 2003 2010 21.9 14 40.4 29.3 32.1 38.5 3.9 11.7 1.3 5 0.3 1.3 0.1 0.2 100 100
Total populasi (juta) 2003 2010 47.1 33 86.9 69.1 69 90.9 8.4 27.6 2.8 11.3 0.6 3.1 0.2 0.5 215 235.5
Sumber: Kementerian Keuangan tahun 2012
Indonesia mengalami pertumbuhan kelas menengah yang luar biasa. Jika merujuk kepada tabel di atas, kelas menengah Indonesia dengan rata-rata pengeluaran per kapita per bulan antara Rp360 000 sampai dengan Rp3 600 000 meningkat dari sebesar 37.6 persen pada tahun 2003 menjadi 56.5 persen pada tahun 2012. Berdasarkan data tersebut berarti dalam kurun waktu selama tujuh tahun telah terjadi lonjakan jumlah kelas menengah dari 80.8 juta menjadi 132.9 juta.
28
Bambang Setiawan. 2012. Makin Konsumtif, Makin Konservatif. http://nasional.kompas.com/read/2012/06/08/02212693/about.html [4 Februari 2014]
14
Sementara, data yang dirilis oleh CLSA Asia-Pacific Markets pada tahun 2010 menunjukkan sebagian besar kelas menengah Indonesia berada pada taraf pengeluaran USD 2-4 per kapita. Jumlah ini mencapai 71 persen dari total kelas menengah Indonesia. Seperti yang digambarkan pada gambar 1 di bawah ini.
USD 2-4 USD 4-6 USD 6-10 USD 10-20
Sumber: CLSA Asia-Pacific Markets, 2010
Gambar 1 Kelas menengah Indonesia Menurut Rajasa, ekonomi Indonesia saat ini didorong oleh konsumsi dan investasi yang tinggi. Pola konsumsi yang tinggi ini pula yang ikut melahirkan istilah kelas menengah, yang dalam kasus negara ini semakin tinggi jumlahnya. Kelas menengah Indonesia sedang tumbuh pesat. Tercermin dari perubahan gaya hidup seperti hinggap di berbagai pusat perbelanjaan, kepemilikan smartphone lebih dari satu, dan lain sebagainya. 29 Namun di satu sisi, konsumtifnya kelas menengah ini belum diikuti dengan produktivitas sehingga sulit disebut sebagai critical mass. Dari komponen faktor pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai indikator pertumbuhan ekonomi, porsi konsumsi masih tertinggi. Dalam Berita Resmi Statistik yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2013 menyebutkan bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga mendominasi struktur PDB sebesar 55.82%.30 Angka ini salah satunya disumbang oleh kelas menengah dan masih harus diimbangi dengan porsi investasi yang tinggi pula. Kelas menengah Indonesia harus menjadi pelopor bagi tumbuhnya basis produksi. Di Indonesia, mayoritas kelas menengahnya demikian berpeluang untuk menjadi target pasar. Untuk itu mereka kerap disebut big spender dan big consumer tetapi belum berperan sebagai produser atau wirausahawan. Dari segi politik pun demikian. Kelas menengah-atas utamanya cenderung apolitis terlihat dari kurangnya kepercayaan pemilih terhadap penyelenggara dan peserta pemilu, serta fakta yang diperlihatkan para elit politik di legislatif. Kejenuhan publik terhadap politik juga terjadi di sejumlah negara-negara Eropa. Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, Didin S. Damanhuri, kelas menengah di Indonesia masih sangat lemah dan belum terbentuk jika ditinjau dari perspektif sifatnya yang independen dan kritis. 29
Jaka Perdana. 2013. Hatta Rajasa: Kelas Menengah Indonesia Masih Konsumtif, Belum Produktif. http://www.the-marketeers.com/archives/hatta-rajasa-kelas-menengah-indonesia-masihkonsumtif-belum-produktif.html#.Up74P8QW1Xk [27 November 2013] 30 BPS 2014. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Berita Resmi Statistik No. 16/02/Th.XVII, 6 Februari 2014.
15
Sejumlah orang kaya dari kalangan swasta belum memiliki jiwa entrepreneur. Mereka hanya sebatas memanfaatkan fasilitas dan kroniisme dalam berwirausaha. Apabila dikategorikan sebagai orang yang berpenghasilan di atas USD 2 per hari sesuai definisi Bank Dunia, maka kelas menengah lebih parah lagi. Sebagai konsumsen, mereka lebih banyak membebani keuangan negara dengan subsidi dan konsumsi barang dan jasa impor.31 Rhenald Kasali, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, dalam sebuah artikel menyebutkan kelas menengah di Indonesia sangat unik. Umumnya, mereka adalah orang-orang yang berjuang sendiri untuk mencapai posisi menengah. Kelas menengah di Indonesia punya ciri menuntut gaya hidup seperti kendaraan roda empat untuk prestise. Di sisi lain kelas menengah Indonesia menuntut layanan yang murah.32 Sementara menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia lainnya Anwar Nasution, kelas menengah memiliki karakteristik tersendiri yang dinamis. Salah satunya adalah karena kenaikan tingkat pendapatan mereka juga memiliki elastisitas permintaan terhadap demokratisasi politik. Mereka memiliki pengaruh dalam kebijakan ekonomi pemerintah sebagai pressure group. Dari perilaku ekonominya, kelas menengah dapat memelopori produksi dan konsumsi dalam berbagai bidang usaha. Munculnya kelas menengah lebih banyak menurut Anwar sebagai akibat pertumbuhan ekonomi yang baik. Pertumbuhan ekonomi mendorong peningkatan pendapatan per kapita sehingga memunculkan kelas menengah baru di Indonesia.33
Penelitian Terdahulu Penulis menemukan penelitian tentang kelas menengah dari sudut pandang ekonomi maupun politik dalam bentuk tulisan ilmiah, survei, jurnal, maupun tesis. Adapun penelitian-penelitian terdahulu tersebut antara lain: 1. Studi tentang kelas menengah di Asia pernah dilakukan oleh Pusat Penelitian Studi Wilayah Asia Tenggara dari Academia Sinica, Lembaga Ilmu Pengetahuan Taiwan bekerja sama dengan Harian Kompas. Penelitian ini dilaksanakan pada 1996-1997 di empat negara Asia Tenggara: Malaysia, Thailand, Filipina, dan Indonesia. Survei sejenis dilakukan kembali oleh Litbang Kompas pada tahun 2012 dengan artikel berjudul “Siapa Kelas Menengah Indonesia”. Survei ini dilakukan terhadap 2.550 responden yang tersebar di beberapa kota besar. Responden adalah penduduk berumur 17 tahun ke atas yang diambil dengan metode penarikan multistage random sampling. Dengan tingkat kepercayaan 95 persen, kesalahan pencuplikan berkisar 1,9 persen. 2. Penelitian lainnya dalam bentuk lembar kerja ditulis pada tahun 2000 oleh William Easterly, ekonom berkebangsaan Amerika Serikat. Judulnya adalah “The Middle Class Consensus and Economic Development”. 31
Didin S. Damanhuri, op. cit. Suhendra. 2012. Rhenald Kasali: Kelas Menengah Kita di Posisi Tak Tahu Malu! http://finance.detik.com/read/2012/04/04/143742/1885069/4/rhenald-kasali-kelas-menengah-kitadi-posisi-tak-tahu-malu [5 November 2013] 33 Litbang Kompas, op. cit. 32
16
3.
4.
5.
6.
Menurut penelitian ini, semakin tinggi share pendapatan dari kelas menengah dan semakin rendah polarisasi etnis secara empiris berkaitan dengan pendapatan yang lebih tinggi, pertumbuhan yang lebih tinggi, pendidikan yang lebih banyak, kesehatan dan infrastruktur yang lebih baik, kebijakan ekonomi yang lebih baik, berkurangnya instabilitas politik, serta lebih demokratis. Tesis berjudul “Perubahan Pola Konsumsi Kelas Menengah Baru di Jakarta” oleh Dharyagitha Rizal dari Universitas Indonesia pada tahun 2001. Penelitian ini mengungkapkan pola konsumsi dalam gaya hidup golongan masyarakat kelas menengah baru di Jakarta, khusus di era pasca krisis. Hasilnya, gaya hidup kelas menengah baru di Jakarta antara sebelum dan sesudah krisis tidak mengalami perubahan. Di sisi lain, jenisjenis kegiatannya tetap sama tetapi dengan intensitas yang berbeda, bertambah maupun berkurang. Seperti kegiatan dalam mengisi waktu luang, kebutuhan akan pengetahuan, konsumsi kebutuhan pokok, dan lainnya. Dimana pergeseran tersebut lebih disebabkan karena faktor pendapatan riil yang nilainya menurun akibat krisis. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia melakukan penelitian tentang peran kelas menengah dan demokratisasi di Kota Denpasar-Bali, Kota ManadoSulawesi Utara, Kota Kendari-Sulawesi Tenggara, dan Kota LombokNusa Tenggara Barat pada tahun 2005-2006. Temuan penting dari dua kajian ini adalah keterlibatan kelas menengah daerah secara intens dalam mendorong proses demokratisasi di daerah melalui gerakan sosial yang mereka bangun. Tujuannya untuk pemberantasan korupsi, mendorong partisipasi publik dalam pembuatan, monitoring, dan evaluasi kebijakan dan dana APBD, membentuk institusi sosial untuk mendorong pendidikan kritis dan advokasi publik. Penelitian ini diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul “Kelas Menengah dan Demokratisasi: Partisipasi Kelas Menengah dalam Kontrol Sosial Terhadap Pelaksanaan Pemerintahan yang Baik dan Bersih”. Sebuah penelitian oleh Pew Research Center pada tahun 2009 mengenai dampak positif kelas menengah terhadap proses demokratisasi di 13 negara (tidak termasuk Indonesia). Judulnya “The Global Middle Class: Views on Democracy, Religion, Values, and Life Satisfaction in Emerging Nations”. Survei yang dilakukan menunjukkan di negara dengan pendapatan menengah, kelas menengah lebih menekankan pada pentingnya institusi dan praktik demokrasi, kebebasan berpendapat, dan sistem peradilan yang adil dibandingkan masyarakat kelas bawah. Fenomena ini terjadi di Indonesia selama satu dekade terakhir pasca reformasi dimana transformasi politik terjadi amat cepat menuju demokrasi yang tidak terlepas dari peran kelas menengah. Lembar kerja yang ditulis oleh Homi Kharas pada tahun 2010 berjudul “The Emerging Middle Class in Developing Countries”. Penelitian ini menjelaskan kelas menengah global yaitu rumah tangga dengan pendapatan perkapita per hari antara USD 10 sampai USD 100 dalam PPP. Dari 145 negara yang diteliti, kelas menengah hari ini seperempatnya berada di Asia dan pada tahun 2020 jumlahnya bisa dua kali lipat. Lebih dari setengahnya akan berada di Asia yang mana konsumennya menguasai
17
lebih dari 40 persen konsumsi kelas menengah global. Sebab, saat ini banyak yang pendapatannya hanya sedikit di bawah kelas menengah global dan berpotensi masuk ke golongan tersebut dalam sepuluh tahun ke depan. Adapun poin penting yang membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah sebagai berikut. 1. Penulis mengacu pada pendidikan dan pola konsumsi sebagai indikator penentuan sampel. Indikator yang digunakan menggunakan definisi Marx dan Weber dengan pendekatan sosiologis. Kemudian, melihat perilaku konsumsinya, minatnya berwirausaha dan kontribusinya sebagai agen perubahan. 2. Penelitian ini berfokus pada sebuah wilayah, yaitu Kota Bandung. Sehingga, hasil yang berbeda bisa saja ditemukan ketika penelitian sejenis dilakukan di wilayah atau kota lainnya dengan alasan kelas menengahnya lebih heterogen. 3. Penelitian sejenis masih sangat jarang dilakukan, terutama pada tingkat strata satu atau sarjana. Padahal, bidang pembahasannya masih sangat luas untuk dieksplorasi.
Kerangka Pemikiran Kelas menengah merupakan bagian daripada kelas sosial yang sebenarnya dapat didefinisikan pula melalui indikator ekonomi. Dalam penelitian ini digunakan kelas menengah Indonesia di Kota Bandung sebagai studi kasusnya. Menurut pendekatan teori Marxisme, kelas menengah dapat berada di antara kelas buruh dan kelas majikan, atau dengan kata lain adalah kelas profesional. Tetapi menurut Weber, kelas menengah tidak serta merta ditentukan berdasarkan kepemilikan faktor-faktor produksi melainkan juga latar belakang sosial, gabungan pendapatan, dan juga pendidikan. Dengan jumlahnya yang fantastis dan terus bertambah (menggunakan pendekatan Bank Dunia) kelas menengah di Indonesia sudah seharusnya ambil andil dalam kebijakan pembangunan perekonomian nasional. Baik itu melalui kesadaran kelas sehingga mendorong tumbuhnya partisipasi politik maupun ditinjau dari aspek lain. Peran tersebut bukan hanya sebagai konsumen semata namun juga sebagai pencipta lapangan kerja baru atau wirausahawan. Kelas menengah yang memiliki usaha, baik skala mikro hingga menengah dan bahkan besar, turut menggerakkan sektor perekonomian. Sama halnya dengan pola konsumsi yang terjadi secara langsung memberikan sumbangsih terhadap pendapatan domestik bruto. Pada akhirnya nanti kelas menengah Indonesia mampu diberdayakan secara optimal dan menjadi prioritas pembangunan. Kelas menengah harus diperhitungkan dan dilibatkan dalam perumusan kebijakan pemerintah. Harapannya kemudian terciptalah kelas menengah sebagai agen perubahan yang peduli terhadap pembangunan ekonomi dan politik Indonesia. Keberadaan kelas menengah di Indonesia berkembang dari masa ke masa. Mulai dari terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, pembaruan politik tahun
18
1960-an hingga kini menempati berbagai posisi di banyak bidang pekerjaan. Peran kelas menengah tidak bisa dipandang sebelah mata untuk akhirnya dapat berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat. Kelas menengah menjadi tumpuan sebuah bangsa untuk maju. Sebab kelas menengah dapat menjadi penolong bagi kelas bawah sekaligus juga mengkritisi kelas di atasnya. Kelas menengah merupakan potret masyarakat Indonesia dengan jumlahnya lebih dari 50 persen penduduk atau mencapai 135 juta jiwa 34 . Maka perannya harus diberdayakan untuk mencapai kemakmuran bangsa. Adapun kerangka pemikiran dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
Kelas Menengah Indonesia
Karakteristik Kelas Menengah
Peran Kelas Menengah
Perkembangan Kelas Menengah
Potret Kelas Menengah Kota Bandung
Konsumen
Wirausahawan
Agen Perubahan
Konsumsi
Kepemilikan Usaha
Pandangan terhadap Demokrasi dan Ekonomi
Kontribusi Sektor Konsumsi
Kontribusi terhadap Sektor Riil
Keterlibatan dalam Proses Demokratisasi
Pembangunan Ekonomi dan Demokrasi Indonesia oleh Kelas Menengah Gambar 2 Kerangka pemikiran
34
Benny D. Koestanto. Jebakan Kelas Menengah. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/11/19/0738508/Jebakan.Kelas.Menengah [22 Januari 2014]
19
METODE
Pendahuluan Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan ilmiah untuk mendapatkan pengetahuan yang benar tentang suatu masalah. Dalam proses mencari kebenaran tersebut, maka dibutuhkan alat untuk mengidentifikasi berbagai gejala atau fenomena yang ditemukan selama penelitian berlangsung. Alat itu terdapat dalam metodologi penelitian yang diartikan sebagai studi tentang sistem dan atau tata cara dalam melaksanakan penelitian. Metode-metode di dalamnya digunakan untuk mencari jawaban dari suatu permasalahan secara ilmiah dengan prosedur dan sistematika yang jelas. Metodologi penelitian tidak terbatas hanya pada alat analisis tetapi juga mencakup aspek lainnya dalam penelitian. Misalnya untuk mengetahui bagaimana merumuskan masalah. Selain itu juga untuk menentukan rancangan penelitian yang cocok untuk masalah penelitian meskipun sudah diketahui instrumen pengumpulan datanya. Metode-metode ilmiah digunakan juga untuk menemukan sesuatu yang baru maupun menguji kebenaran suatu pengetahuan.35
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian untuk kelas menengah dilakukan di Kota Bandung, Jawa Barat. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2014. Kota Bandung dipilih secara purposive sebagai lokasi penelitian karena dianggap merepresentasikan karakteristik kelas menengah di Indonesia. Waktu selama dua bulan tersebut digunakan untuk mengambil informasi dan data dari kelas menengah yang ada di sana.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu: a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden. Dalam penelitian ini, cara yang dilakukan untuk mengumpulkan data primer yaitu survei berupa kuesioner dan wawancara mendalam (indepth interview). Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada responden untuk dijawab dan kemudian dikembalikan pada peneliti.36 Dalam penelitian ini, pertanyaan dalam kuesioner terdiri atas pertanyaan tertutup dan pertanyaan semi terbuka dan dilakukan dengan metode wawancara tatap muka. Wawancara mendalam adalah cara untuk mengumpulkan data atau informasi secara langsung tatap muka dengan responden agar mendapatkan data lengkap dan mendalam. Wawancara mendalam digunakan untuk melengkapi data kuesioner. 35 36
Bambang Juanda. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis (Bogor: IPB Press, 2009), h. 1-2. Ibid, h. 88.
20
Wawancara mendalam dilakukan terhadap responden yang mewakili kalangan politisi, pegawai negeri sipil, karyawan swasta, dosen, guru, wiraswasta, dan ibu rumah tangga. Besarnya jumlah responden ditentukan berdasarkan latar belakang yang beragam. Survei dalam penelitian ini dilakukan dengan mencakup beberapa kecamatan di Kota Bandung. b. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik yaitu data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), Survei Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) Kota Bandung tahun 2003-2012, Kementerian Keuangan, serta survei Kompas tentang kelas menengah tahun 1996-1997 dan 2012. Adapun data sekunder lainnya yang dipakai dalam penelitian berasal dari Bank Dunia, artikel, buku, jurnal ilmiah, karya ilmiah yang relevan, serta survei terhadap kelas menengah di Indonesia yang dilakukan oleh berbagai lembaga untuk mendukung penelitian.
Metode Pengambilan Sampel Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonprobability sampling, yaitu purposive sampling dan snowball sampling. Pengambilan sampel dipilih berdasarkan pertimbangan kriteria yang cocok dengan anggota sampel (purposive) yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian.37 Pengambilan sampel dimulai dengan beberapa responden, kemudian responden tersebut merekomendasikan relasi atau kenalannya (snowball) dan didapatkanlah responden selanjutnya. Proses ini berlangsung hingga beberapa kali sehingga jumlah responden terus bertambah banyak seperti bola salju. Penelitian dilakukan melalui wawancara tatap muka dengan responden. Responden adalah pria dan wanita yang berdomisili (dan memiliki kartu tanda penduduk) di Kota Bandung, berusia antara 28 tahun sampai dengan 55 tahun, berpendidikan minimal sarjana (S1), bekerja dengan pendapatan antara Rp2 000 000-Rp10 000 000 per bulan, dan secara acak tersebar di beberapa kecamatan. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 58 orang untuk kuesioner dan 7 orang untuk wawancara mendalam.
Metode Analisis dan Pengolahan Data Uji validitas pada kuesioner digunakan untuk menunjukkan sejauh mana alat ukur tersebut mampu mengukur apa yang ingin diukur. Sedangkan uji reliabilitas menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran relatif konsisten jika pengukuran dilakukan dua kali atau lebih. Dalam penelitian, pertanyaan yang sering muncul adalah apakah instrumen yang dipersiapkan untuk mengumpulkan data penelitian benar-benar mengukur apa yang ingin diukur. Sedangkan, validitas terletak pada pemilihan sampel yang representatif (secara acak di berbagai kecamatan) karena temuan data pada kelompok sampel tersebut dianggap mewakili populasi yang lebih besar yaitu masyarakat kelas menengah Kota Bandung. 37
Bambang Juanda, op. cit., h. 114.
21
Di samping menggunakan kuesioner, peneliti juga melakukan wawancara mendalam terhadap beberapa responden yang dilaksanakan secara langsung. Dengan demikian validitas data dalam penelitian ini menggunakan metode triangulasi yaitu penggabungan metode survei untuk mendapatkan gambaran umum dan wawancara mendalam untuk mendukung dan memperkuat hasil temuan dalam survei. Adapun data yang akan dianalisis antara lain: kuesioner, hasil wawancara mendalam; pendapatan regional bruto Kota Bandung; pendapatan dan pengeluaran masyarakat Kota Bandung; pengeluaran konsumsi rumah tangga Kota Bandung (indikator konsumsi); jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah di Kota Bandung (indikator wirausahawan); serta partisipasi politik masyarakat Kota Bandung (indikator agen perubahan) beserta juga dengan data-data pendukung lainnya. Penelitian ini menggunakan analisis pendekatan kualitatif menggunakan Model Miles and Huberman yang melalui beberapa tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan serta verifikasi,38 analisis statistik deskriptif untuk memahami realita ekonomi politik yang terjadi pada hasil temuan di lapangan serta melengkapi data statistik sebelumnya, studi literature unutk membangun tulisan, dan analisis pendekatan kuantitatif berupa uji chi square untuk mengamati ada tidaknya hubungan antara dua variabel (baris dan kolom) menggunakan aplikasi SPSS. Chi square hitung dilihat pada output, sedangkan chi square tabel dilihat pada tabel uji statistik untuk chi square. Dalam hal ini untuk tingkat signifikansi () = 5% dan derajat kebebasan (dF) berbeda-beda. Apabila chi square hitung > chi square tabel, maka Ho ditolak. Dengan demikian disimpulkan bahwa ada hubungan antara baris dan kolom. Adapun analisis statistik deskriptif tersebut dilakukan untuk menggambarkan peristiwa, perilaku, atau objek tertentu lainnya melalui langkahlangkah berikut, yaitu: a. Pengolahan Data Memeriksa isian dari istrumen penelitian yang dimaksudkan untuk memastikan apakah seluruh isian instrumen penelitian telah diisi secara lengkap. Kemudian inventarisasi data yaitu merumuskan isian daftar pertanyaan terbuka agar dapat diolah dan dapat disajikan. b. Membuat Daftar Kode (Coding List) Daftar kode berisi angka-angka sebagai kode dari isi jawaban responden. Hal ini dibuat untuk mempermudah penyimpanan hasil wawancara. Dalam daftar kode dibuat beberapa kolom yan berfungsi sebagai lembar isian data untuk mempermudah penyajian data dan memeriksa kembali suatu data jika diperlukan. c. Memasukkan Data ke Lembar Isian Data (Entry Data) Langkah ini merupakan cara peneliti untuk menyimpan data. Dalam lembar ini, peneliti memindahkan kode yang menggantikan jawaban responden dalam daftar pertanyaan. d. Menyusun Tabel Frekuensi
38
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 246.
22
Penelitian ini menggunakan analisis satu variabel (univariat), yaitu semua variabel penelitian disusun secara tersendiri. Dalam tahap ini digunakan aplikasi SPSS dan juga Minitab (untuk data yang menunjukkan prioritas atau urutan) dalam bentuk scatter plot. Kemudian hasil dari pengolahan data tersebut diinterpretasikan agar mudah dipahami oleh pembaca. Setelah itu, ditambahkan hasil dan kutipankutipan wawancara mendalam untuk memperjelas hasil temuan data.
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Perkembangan Wilayah dan Kependudukan di Kota Bandung Kota Bandung terletak di wilayah Jawa Barat dan merupakan Ibukota Provinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak di antara 1070 36‟ Bujur Timur dan 60 55‟ Lintang Selatan. Lokasi Kota Bandung cukup strategis, dilihat dari segi komunikasi, dan perekonomian. Hal tersebut dikarenakan Kota Bandung terletak pada pertemuan poros jalan yaitu: a. Barat - Timur yang memudahkan hubungan dengan Ibukota Negara b. Utara - Selatan yang memudahkan lalu lintas ke daerah perkebunan (Subang dan Pangalengan). Secara topografi Kota Bandung terletak pada ketinggian 791 meter di atas permukaan laut (dpl), titik tertinggi di daerah Utara dengan ketinggian 1 050 meter dan terendah di sebelah Selatan 675 meter di atas permukaan laut. Di wilayah Kota Bandung bagian selatan sampai lajur lintasan kereta api, permukaan tanah relatif datar sedangkan di wilayah kota bagian Utara berbukit-bukit. Dari wilayah perbukitan Bandung Utara inilah orang dapat menyaksikan bentuk dan panorama keseluruhan Kota Bandung. Keadaan geologis dan tanah yang ada di Kota Bandung dan sekitarnya lapisan alluvial hasil letusan Gunung Tangkuban Perahu. Jenis material di bagian utara umumnya merupakan jenis andosol, di bagian selatan serta di bagian timur terdiri atas sebaran jenis alluvial kelabu dengan bahan endapan liat. Di bagian tengah dan barat tersebar jenis tanah andosol.39 Kota Bandung berada pada ketinggian ±791 m rata-rata di atas permukaan laut (mean sea level), dengan posisi bagian utara pada umumnya lebih tinggi dibanding bagian selatan. Ketinggian di sebelah utara sekitar ±1 050 msl, sedangkan di bagian selatan sekitar ±675 msl. Bandung dikelilingi oleh pegunungan, sehingga Bandung merupakan suatu cekungan (Bandung Basin) yang memiliki cuaca cukup sejuk dan lembab. Temperatur rata-rata pada tahun 2012 sekitar 23 430 dengan tingkat kelembaban 75.75 persen. Pada tahun 2012, curah hujan di Kota Bandung mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu rata-rata 209.23 mm dengan jumlah hari hujan rata-rata 18.25 hari per bulan, dimana curah hujan di tahun 2011 rata-rata 149.06 mm. Curah hujan tertinggi di tahun 2012 terjadi pada bulan Desember 39
Sumber: Bandung Dalam Angka Tahun 2012
23
yang mencapai 637 mm, sedangkan pada bulan Agustus hujan terjadi hanya satu hari.40 Secara administratif, wilayah Kota Bandung terdiri dari 30 (tiga puluh) kecamatan dengan jumlah kelurahan sebanyak 151 kelurahan. Daftar ke-30 kecamatan beserta jumlah penduduk dan rumah tangga di Kota Bandung dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 2 Daftar kecamatan, jumlah kelurahan, jumlah penduduk tahun 2013 dan jumlah rumah tangga tahun 2012 di Kota Bandung Kecamatan Bandung Kulon Babakan Ciparay Bojongloa Kaler Bojongloa Kidul Astanaanyar Regol Lengkong Bandung Kidul Buah Batu Rancasari Gedebage Cibiru Panyileukan Ujung Berung Cinambo Arcamanik Antapani Mandalajati Kiaracondong Batununggal Sumur Bandung Andir Cicendo Bandung Wetan Cibeunying Kidul Cibeunying Kaler Coblong Sukajadi Sukasari Cidadap Jumlah
Kelurahan
Penduduk (orang)
Rumah tangga
8 6 5 6 6 7 7 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4 6 8 4 6 6 3 6 4 6 5 4 3 151
142 411 147 096 120 405 85 668 68 830 81 467 71 187 58 957 95 108 76 895 37 082 72 016 40 248 76 902 25 231 69 313 74 461 63 578 131 972 120 927 36 579 97 553 99 752 31 124 107 806 70 924 131 530 108 375 81 908 58 672 2 483 977
38 489 37 718 29 381 21 587 17 136 20 190 18 600 15 365 23 572 18 471 9 334 19 710 10 344 18 685 6 638 16 854 17 982 15 899 34 032 31 481 8 857 25 230 24 701 8 021 28 089 18 841 47 279 29 520 24 756 16 810 653 572
Sumber: BPS Kota Bandung tahun 2013 (diolah) 40
Sumber: Statistik Daerah Kota Bandung 2013
24
Jumlah penduduk Kota Bandung pada tahun 2013 sebanyak 2 483 977 jiwa terdiri dari 1 260 565 laki-laki dan 1 223 412 perempuan, dengan rasio jenis kelamin (sex ratio) 103.04 yang artinya pada setiap 100 penduduk perempuan terdapat 103 penduduk laki-laki. Jumlah penduduk Kota Bandung mengalami pertumbuhan sebesar 0.72 persen pada tahun 2012, lebih kecil dibandingkan pertumbuhan penduduk tahun 2011 yang mencapai 1.26 persen, meskipun begitu pertumbuhan penduduk ini tetap berpengaruh terhadap peningkatan kepadatan penduduk di Kota Bandung pada tahun 2012 menjadi 14 677 jiwa/km2 dikarenakan luas wilayah yang tetap. Dilihat dari bentuk piramida maka penduduk Kota Bandung termasuk piramida ekspansif karena komposisi penduduk Kota Bandung yang didominasi oleh kelompok muda. Kelompok umur 25-29 merupakan kelompok umur dengan jumlah penduduk paling banyak. Dari sisi rasio ketergantungan (independency ratio), pada tahun 2012 mengalami sedikit kenaikan yaitu 41.55 persen dibandingkan tahun 2011 yang mencapai 41.41 persen. Hal ini menunjukan ada peningkatan beban ketergantungan bagi penduduk usia produktif, yaitu penduduk usia 15-64 tahun harus menanggung 41.55 persen penduduk usia non produktif.41
Sumber: Dapur Peta
Gambar 3 Peta Kota Bandung
41
Sumber: Statistik Daerah Kota Bandung 2013
25
Perkembangan Pembangunan di Kota Bandung Produk Domestik Regional Bruto Tabel 3 Pendapatan domestik regional bruto Kota Bandung menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku (dalam juta rupiah) 2010
Pertanian
161 743
0.2
192 743
0.2
229 013
0.21
-
-
-
-
-
-
19 990 518
24.38
22 482 061
23.51
25 062 739
22.55
1 892 657
2.31
2 201 593
2.3
2 608 429
2.35
Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas, dan air bersih Bangunan/konstruksi
%
2011
2012*
Lapangan usaha
%
%
3 826 745
4.67
4 425 332
4.63
5 400 662
4.86
Perdagangan, hotel, dan restoran
33 301 560
40.61
39 436 088
41.25
46 304 473
41.67
Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
9 813 959
11.97
11 841 320
12.38
13 854 501
12.47
5 110 879
6.23
6 094 630
6.37
7 382 790
6.64
Jasa-jasa
7 904 116
9.64
8 939 096
9.35
10 278 945
9.25
PDRB 82 002 176 100 95 612 863 Sumber: BPS Kota Bandung tahun 2012; *Angka sementara
100
111 121 551
100
Pendapatan regional domestik bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku Kota Bandung pada tahun 2012 mencapai 111 triliun rupiah, meningkat dari tahun 2011 yaitu 95 triliun rupiah. Peningkatan ini menunjukkan adanya kenaikan laju pertumbuhan ekonomi yang mencapai 8.98 persen. Sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan penyumbang terbesar PDRB Kota Bandung yaitu sebesar 41.67 persen.42 Tabel 4 Pendapatan domestik regional bruto Kota Bandung per kapita Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
PDRB per kapita (juta rupiah) 10.94 12.70 15.63 19.35 22.31 26.37 30.46 34.24 39.22 45.14
Sumber: BPS Kota Bandung tahun 2012
42
Sumber: Statistik Daerah Kota Bandung 2013
26
PDRB per kapita atas dasar harga berlaku Kota Bandung pada tahun 2012 sebesar 45 135 juta rupiah, meningkat dari tahun 2011 yang mencapai 39 219 juta rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 2012 pendapatan per kapita penduduk Kota Bandung meningkat sebesar 15.08 persen.43 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu wilayah secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. Pada dasarnya, pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan output agregat (keseluruhan barang dan jasa yang dihasilkan oleh kegiatan perekonomian). Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi. Tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan aspek strategis makro ekonomi yang perlu menjadi perhatian penting dalam menjaga kesinambungan pembangunan. meskipun bukanlah merupakan tujuan akhir dari pembangunan. Tujuan utama yang ingin dicapai dalam pembangunan adalah kesejahteraan rakyat seluas-luasnya.
Sumber: BPS Kota Bandung dan BPS Pusat; Angka LPE Kota Bandung tahun 2012 merupakan angka sementara
Gambar 4 Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bandung tahun 2008–2012 dan perbandingannya dengan tingkat nasional (%) Perkembangan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Bandung selama 5 (lima) tahun terakhir (tahun 2008–2012) menunjukkan peningkatan yang positif. Jika pada tahun 2008 LPE Kota Bandung mencapai 8.17%, pada tahun 2012 mengalami kenaikan menjadi 9.40%. Tingkat LPE Kota Bandung ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kinerja LPE secara nasional. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Kota Bandung relatif lebih baik jika dibandingkan 43
Sumber: Statistik Daerah Kota Bandung 2013
27
dengan kondisi ekonomi secara nasional. Selama periode 2008-2012, rerata LPE Kota Bandung mencapai 8.59%, sedangkan rerata LPE nasional secara periode 2008-2012 hanya berada di kisaran 5.89%.44 Kesejahteraan Masyarakat Kota Bandung Masyarakat atau penduduk merupakan bagian penting dalam pembangunan suatu daerah. Peran penduduk sejatinya adalah sebagai subjek sekaligus objek dari pembangunan. Pertumbuhan penduduk yang semakin cepat mendorong pertumbuhan aspek-aspek kehidupan yang meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, dan sebagainya. Perkembangan penduduk di Kota Bandung selama ini menunjukkan peningkatan dan ini dapat dilihat dari jumlah penduduk pada tahun 2011 yang sebanyak 2 424 957 jiwa, meningkat menjadi sebanyak 2 455 517 jiwa pada tahun 2012, dan pada tahun 2013 telah mencapai 2 483 977 jiwa. Ketenagakerjaan dan Pendidikan Masyarakat Jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan yang cepat dan didukung dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang tinggi diharapkan dapat menciptakan akselerasi agar tercapai kondisi ideal dari pembangunan. Kualitas tersebut dicerminkan oleh beberapa indikator, seperti yang ada dalam Tabel 4, yaitu indikator ketenagakerjaan dan pendidikan Kota Bandung. Tabel 5 Indikator ketenagakerjaan dan pendidikan Kota Bandung Uraian
Perubahan (%)
2011
2012
1 129 744
1 171 551
3.7
1 012 946
1 064 167
5.06
116 798
107 384
-8.06
10.34
9.17
-11.32
174 292
192 141
10.24
SD/MI/sederajat (orang)
502 426
482 763
-3.91
SMP/MTs/sederajat (orang)
393 689
409 741
4.08
SLTA/sederajat (orang)
655 857
661 857
0.91
Perguruan tinggi (orang)
282 591
292 142
3.38
Jumlah angkatan kerja Bekerja Pengangguran terbuka Tingkat pengangguran (%) Pendidikan (penduduk usia> 10 th dan ijazah tertinggi) Tidak/belum pernah sekolah/tidak/belum tamat SD (orang)
Sumber: BPS Kota Bandung tahun 2012
Jumlah angkatan kerja Kota Bandung tahun 2012 mengalami peningkatan sebesar 3.70 persen jika dibandingkan dengan tahun 2011. Sedangkan penduduk yang berstatus bekerja sebanyak 1 064 167 orang atau sekitar 90.83 persen. Pada tahun 2011, angkatan kerja di Kota Bandung tercatat sebanyak 1.129.744 tenaga kerja dan meningkat menjadi 1 171 551 tenaga kerja di tahun 2012. Pada tahun 44
Sumber: Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Walikota Bandung Tahun 2012
28
2012, tingkat pengangguran sebesar 9.17 persen dan mengalami penurunan dari sebesar 10.34 persen pada tahun 2011. Hal ini mengindikasikan bahwa secara makro, tingkat perekonomian dan penyediaan lapangan pekerjaan mengalami perbaikan. Menurunnya tingkat pengangguran mengindikasikan semakin terbukanya kesempatan kerja di Kota Bandung. Dilihat dari sektor lapangan usaha, sebanyak 35.49 persen penduduk Kota Bandung bekerja di sektor perdagangan, 24.60 persen di sektor industri pengolahan dan sektor jasa 19.74 persen. Kondisi ini seiring dengan kontribusi yang dominan dari ketiga sektor tersebut terhadap PDRB Kota Bandung, dengan demikian penyerapan tenaga kerja pada ketiga sektor tersebut cukup tinggi. Jumlah penduduk dilihat dari aspek kualitas tingkat pendidikan, selama periode 2011-2012 menunjukkan terjadinya peningkatan. Penduduk usia di atas 10 tahun yang tidak/belum pernah sekolah dan tidak/belum tamat SD mengalami peningkatan dari 174 292 orang pada tahun 2011, menjadi 192 141 orang pada tahun 2012 atau meningkat sebesar 10.24 persen. Di sisi lain, penduduk usia di atas 10 tahun yang memiliki ijazah tertinggi SD/MI/sederajat, SMP/MTs/sederajat, SLTA/sederajat, dan Perguruan Tinggi mengalami kenaikan. Penduduk usia di atas 10 tahun yang memiliki ijazah tertinggi SLTA/sederajat mengalami kenaikan dari 655 857 orang di tahun 2011 menjadi 661 857 orang pada tahun 2012 atau meningkat sebesar 0.92 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam mengenyam pendidikan telah mengalami perkembangan, selain karena kebijakan pemerintah yang terus menggalakkan urusan wajib di bidang pendidikan.45 Proses pencerdasan SDM melalui peningkatan pendidikan merupakan elemen penting untuk menjaga tingkat daya saing dan keberlanjutan pembangunan di Kota Bandung dalam jangka panjang. Semakin meningkatnya tingkat pendidikan, diharapkan juga dapat terbentuk masyarakat Kota Bandung yang cerdas intelektual, emosional dan sosial, serta spiritual. Dinamika yang berkembang saat ini, aspek pendidikan yang baik memegang peranan sentral dalam upaya mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
45
Sumber: Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Walikota Bandung Tahun 2012
29
Pengeluaran Penduduk 70 60
Persentase (%)
50 40 Non makanan
30
Makanan 20 10 0 2008
2009
2010 Tahun
2011
2012
Sumber: Susenas tahun 2012
Gambar 5 Perkembangan pengeluaran makanan dan non makanan Salah satu alat ukur untuk mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat adalah tingkat pendapatan penduduk. Sebagai proxy pendapatan digunakan tingkat pengeluaran penduduk. Nominal rata-rata pengeluaran rumah tangga di Kota Bandung pada tahun 2012 sebesar Rp3 652 872 per bulan per rumah tangga. Pengeluaran penduduk terdiri dari pengeluaran makanan dan non makanan. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan maka konsumsi non makanan lebih besar daripada konsumsi makanan. Pada tahun 2012 pengeluaran makanan sebanyak 42.13 persen, menurun dari tahun sebelumnya yang mencapai 47.77 persen, sedangkan pengeluaran non makanan mecapai 57.87 persen, meningkat 5.64 persen dari tahun 2011. Tabel 6 Kelompok pengeluaran rumah tangga per bulan tahun 2012 Kelompok pengeluaran (ribu rupiah) < 499 500-999 1.000-1.499 1.500-1.999 > 2.000
Rumah tangga Jumlah Persentase (%) 488 0.08 20 155 3.11 94 625 14.6 11 858 17.57 419 055 64.65
Sumber: Susenas tahun 2012
Berdasarkan data Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012, sebagian besar rumah tangga di Kota Bandung berada pada kelompok di atas Rp2 000 000 atau sekitar 64.65 persen dari jumlah rumah tangga. Meskipun
30
masih ada sebanyak 488 rumah tangga dengan pengeluaran kurang dari Rp500 000 per bulan. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar penduduk di Kota Bandung sudah merasakan kesejahteraan, yang sebagian dari mereka tergolong ke dalam kelas menengah. Namun di sisi lain masih ada penduduk yang masih tergolong miskin. Indikator Makro Selain pertumbuhan ekonomi, perkembangan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Kota Bandung juga perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas (multidimensional). Hal ini dikarenakan tingkat pertumbuhan tidak berdiri sendiri dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, melainkan saling berkaitan dengan berbagai aspek dan indikator makro lainnya. Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi dan memengaruhi indikator-indikator pembangunan lainnya. Hal ini menjadi acuan kerangka pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, serta kesejahteraan masyarakat secara lebih komprehensif dan holistik. Tabel 6 menguraikan beberapa indikator makro strategis Kota Bandung untuk dapat melihat pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat secara lebih luas. Tabel 7 Indikator makro Kota Bandung Uraian IPM Indeks pendidikan Indeks kesehatan Indeks daya beli Angka harapan hidup Angka melek huruf Standar Hidup Layak Konsumsi per kapita yang disesuaikan Rata-rata lama sekolah Laju pertumbuhan ekonomi PDRB (berlaku) PDRB per kapita (berlaku) PDRB (konstan) PDRB per kapita (konstan) Inflasi Tingkat pengangguran terbuka
Satuan
Tahun % (Ribu rupiah) Tahun % (Juta rupiah) Rupiah (Juta rupiah) Rupiah % %
2010
2011
2012*
78.99 90.09 81.22 65.66 73.73 99.54
79.12 90.14 81.32 65.9 73.79 99.55
79.32 90.25 81.35 66.35 73.81 99.58
584.14 10.68 8.45 82 002 176 34 688 875 31 697 282 13 408 706 4.53
585.15 10.7 8.73 97 451 902 40 400 465 34 415 522 14 267 583 2.75
587.1 10.74 9.4 110 669 837 45 069 872 37 701 954 15 353 978 4.02
12.17
10.34
9.17
Sumber: BPS Kota Bandung tahun 2012; *Angka sementara
Berdasarkan data yang diuraikan pada tabel tersebut, secara umum indikator makro ekonomi Kota Bandung periode 2008-2012 menunjukkan peningkatan dan pertumbuhan yang cukup signifikan. Hal ini dapat menjadi salah satu indikasi bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Bandung menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya.
31
Jumlah Usaha Usaha kecil dan menengah maupun industri memiliki peranan dalam sektor perekonomian Kota Bandung serta turut berpeseran dalam pemerataan pendapatan. Secara statistik, jumlah usaha kecil dan industri kecil masih mendominasi jumlah usaha yang ada di Kota Bandung. Jumlah tersebut memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kegiatan ekonomi, salah satunya dalam mengatasi masalah ketenagakerjaan. Tabel 8 Potensi jumlah usaha kecil dan menengah serta stastistik industri Kota Bandung Sektor/kegiatan Usaha kecil Usaha menengah Jumlah Industri besar Industri menengah Industri kecil formal Industri kecil non formal Jumlah
Jumlah unit usaha 2010 10 043 1 912 11 955 114 176 3 108 11 906 15 304
2011 10 067 1 914 11 981 146* 211* 3 164* 12 266* 15 787*
Sumber: Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, dan Perdagangan Kota Bandung (diolah); *Data tahun 2012
Peranan sektor industri pengolahan terhadap PDRB Kota Bandung sendiri pada tahun 2012 sebesar 22.55 persen dengan nilai 25 062 milyar rupiah. Angka rupiah industri pengolahan terus meningkat namun peranannya terhadap PDRB Kota Bandung mengalami penurunan dari sebesar 25.72 persen pada tahun 2008 menjadi 22.55 persen pada tahun 2012. Sebagai kota industri kreatif, pertumbuhan sektor industri di Kota Bandung pada tahun 2012 sangat signifikan, khususnya industri kecil. Pada tahun 2010 terdapat 3 108 unit usaha industri kecil formal dan pada tahun 2012 jumlahnya meningkat menjadi 3 164 unit usaha dengan jumlah tenaga kerja 51 366 orang. Selain itu ada juga industri kecil non formal yang jumlahnya 12 266 unit usaha dengan jumlah tenaga kerja mencapai 43 321 orang. Pada tahun 2010 terdapat 114 industri besar dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 9 052 orang dan pada tahun 2012 menjadi 146 unit usaha dengan 10 281 orang tenaga kerja. Untuk industri menengah meningkat dari 176 unit usaha pada tahun 2010 menjadi 211 unit usaha pada tahun 2012 dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 7 376 orang.46
46
Sumber: Statistik Daerah Kota Bandung 2013
32
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan dan Karakteristik Kelas Menengah Kalau kita bagi kelas menengah itu menjadi tiga segmen, yaitu low middleclass (pengeluaran per kapita per hari USD 2-4), middle middle-class (USD 4-10), dan upper middle-class (USD 10-20), kita menemukan gambaran yang menarik. Dari total 93 juta kelas menengah pada tahun 2009, sebagian besar atau sekitar 68,8 juta (73.7%) berada di segmen low middle-class, 22.3 juta (23.9%) di middle middle-class, dan hanya 2.2 juta (2.4%) ada di upper middle-class. Dari gambaran itu terlihat bahwa kelas menengah Indonesia memiliki format piramida berbeda dengan kondisi di Tiongkok yang menggembung di tengah.47 Untuk mengetahui lebih jelas bagaimana komposisi kelas menengah di Indonesia, dalam Tabel 9 terdapat pembagian segmen kelas menengah. Tabel 9 Segmentasi kelas menengah di Indonesia Segmentasi kelas Kelas menengah bawah Kelas menengah tengah Kelas menengah atas
Pengeluaran per kapita (Rp/bulan)
Proporsi populasi (%) 2003 2010
Total populasi (juta) 2003 2010
360 000 - 720 000 720 000 - 1 100 000 1 100 000 - 1 400 000
85.4
68.4
69
90.9
13.9
29.3
11.2
38.9
1 400 000 - 3 600 000 Jumlah
0.7 100
2.3 100
0.6 80.8
3.1 132.9
Sumber: Kementerian Keuangan tahun 2012
Apabila kelas menengah tersebut dibagi menjadi kelas menengah bawah (Rp360 000-720 000), kelas menengah (Rp720 000-1 400 000), dan kelas menengah atas (Rp1 400 000-3 600 000), maka kelas menengah bawah mendominasi dengan total populasi pada tahun 2010 sebesar 90.9 juta atau 38.5 persen dari total populasi. Dari keseluruhan jumlah kelas menengah, maka 68.4 persennya termasuk dalam kelas menengah bawah yang rentan miskin dan turun kelas. Sementara 29.3 persen termasuk dalam kelas menengah tengah dan sisanya sebesar 2.3 persen termasuk ke dalam kelas menengah atas. Terpusatnya kelas menengah di kota menjadi cerminan bahwa tingkat urbanisasi kelas menengah tinggi. Pada tahun 2009, sekitar 63.6 juta (68.2 persen) penduduk kelas menengah ada di kota, sementara sisanya sebesar 29.7 juta (31.8 persen) ada di desa. 48 Untuk itu, pemerataan pertumbuhan ekonomi menjadi
47
Yuswohady. Consumer 3000: Revolusi Konsumen Kelas Menengah Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 97-98. 48 Yuswohady. Consumer 3000: Revolusi Konsumen Kelas Menengah Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 98.
33
mendesak dilakukan agar kesejahteraan dapat dirasakan oleh seluruh warga negara. Melihat perkembangannya yang begitu pesat, kelas menengah dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi perekonomian bangsa ke depan. Pasar yang sangat besar jika dapat dipenuhi oleh para pelaku dalam negeri maka tentu efeknya akan luar biasa terhadap pembangunan ekonomi. Tetapi ketika kebutuhannya, terutama konsumsi, banyak ditopang oleh produk impor maka bukan tidak mungkin akan menjadi bumerang. Tentunya, perlu dilakukan berbagai upaya agar negara Indonesia yang telah menjadi negara berpendapatan menengah dengan PDB per kapita lebih dari USD 3 000 tidak terjebak dalam jebakan negara berpendapatan menengah. Dalam penelitian ini, kelas menengah memiliki berbagai karakteristik sesuai dengan beberapa poin yang menjadi acuan. Responden diambil berdasarkan definisi kelas menengah yang digabungkan dan dipilih berdasarkan kriteria tertentu dan tujuan penelitian (purposive). Tabel 10 Karakteristik responden Komponen Jenis kelamin
Usia
Status
Pendidikan terakhir
Uraian Laki-laki Perempuan ≤ 30 tahun 31 - 40 tahun > 40 tahun Menikah Belum menikah S1 S2 S3
Frekuensi 32 26 18 24 16 49 9 40 16 2
Persentase (%) 55.2 44.8 31.0 41.4 27.6 84.5 15.5 69.0 27.6 3.4
Berdasarkan hasil penelitian, 55.2 persen responden berjenis kelamin lakilaki dan 44.8 persen responden berjenis kelamin perempuan. Dimana sebagian besar responden berusia di antara 31 sampai dengan 40 tahun, yaitu sebesar 41.4 persen. Kemudian 31 persen berusia kurang dari sama dengan 30 tahun dan selebihnya sebesar 27.6 persen berusia lebih dari 40 tahun. Sebagai catatan, responden dalam penelitian ini dipilih yang berusia antara 28 sampai dengan 55 tahun. Diketahui 84.5 persen berstatus menikah dan sisanya 15.5 persen belum menikah. Responden yang diteliti di Kota Bandung adalah mereka yang berpendidikan minimal sarjana. Pendidikan merupakan salah satu indikator yang disebutkan oleh Max Weber tentang kelas menengah. Dari 58 responden, 69 persen berpendidikan sarjana atau S1, 27.6 persen bependidikan magister atau S2 dan sisanya sebesar 3.4 persen berpendidikan doktor atau S3. Menurut salah satu responden, pendidikan mengubah cara pandang kita. Apabila cara pandang kita semakin terbuka maka jalan pemecahan masalah apapun juga lebih terbuka. Pendidikan sangat berkaitan dengan kehidupan dan
34
terutama pekerjaan serta akan meningkatkan taraf kehidupan. Mereka yang berpendidikan tinggi akan lebih baik dalam pengambilan keputusan dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah, apalagi ditambah dengan pemahaman dan pengalaman. Meskipun terkadang mereka yang berpendidikan rendah juga bisa melakukan hal yang sama bahkan lebih sehingga ada sebutan pendidikan tidak selalu menjamin. Di Kota Bandung, angka partisipasi sekolah untuk kelompok usia 19-24 tahun mengalami penurunan secara proporsi dari 30.17 persen pada tahun 2011 menjadi 28.89 persen pada tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa banyak penduduk Kota Bandung yang merasa cukup sampai pendidikan tingkat SMA, sehingga memilih bekerja dibandingkan melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi.49 Lain hal nya dengan kelas menengah yang memandang pendidikan sebagai modal untuk bisa bersaing di era globalisasi ini. Apalagi sekarang dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, sulit berkompetisi jika tanpa pendidikan tinggi. Meskipun secara khusus pendidikan tinggi juga tidak menjadi jaminan secara personal. Umumnya, pendidikan tinggi S1 untuk kualifikasi, sedangkan S2 ke atas untuk kalangan profesional (sesuai tuntutan profesi). Sebab pendidikan akan mengubah kematangan pola berpikir di samping juga pengetahuan. Pendidikan seharusnya meningkatkan kehidupan intelektual, tetapi secara ekonomi bisa saja tidak, tergantung kemampuan dan perjuangannya dalam berbagai bidang. Tabel 11 Jumlah keluarga inti bagi dengan status menikah Jumlah keluarga inti (status menikah) 2 3-4 5-6
Frekuensi 11 34 5
Persentase (%) 22.0 68.0 10.0
Bagi responden dengan status menikah, dengan keluarga inti yaitu suami, istri, dan anak, sekitar 68 persen memiliki anak satu atau dua, 22 persen tidak atau belum memiliki anak, dan 10 persen memiliki anak lebih dari dua. Kelas menengah di perkotaan, umumnya memiliki keluarga kecil, dengan jumlah anak maksimal dua. Tabel 12 Pekerjaan Pekerjaan PNS Swasta Wiraswasta Ibu rumah tangga Lainnya
49
Sumber: Statistik Daerah Kota Bandung 2013
Frekuensi 17 26 7 3 5
Persentase (%) 29.3 44.8 12.1 5.2 8.6
35
Profesi menjadi salah satu acuan dalam menentukan responden kelas menengah. Sebanyak 44.8 persen bekerja di sektor swasta (pegawai bank, asuransi, notaris. dokter), 29.3 persen bekerja sebagai pegawai negeri sipil (kementerian/lembaga, pemerintah daerah, guru, peneliti, dosen), 13.8 persen mencakup ibu rumah tangga, pegawai badan usaha milik negara (BUMN), dan lainnya serta sisanya 12.1 persen adalah wiraswasta. Tabel 13 Pendapatan per bulan Pendapatan per bulan Rp2 000 000 - 4 000 000 Rp4 000 000 - 6 000 000 Rp6 000 000 - 8 000 000 Rp8 000 000 - 10 000 000
Frekuensi 23 17 10 8
Persentase (%) 39.7 29.3 17.2 13.8
Menurut Bank Dunia, kelas menengah dapat diklasifikasikan menurut pengeluaran per kapita per hari. Untuk menentukan besarnya pengeluaran, ditanyakan terlebih dahulu pendapatan per bulan, yang nantinya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Sebesar 39.7 persen responden memilih Rp2 000 000-4 000 000, 29.3 persen memilih Rp4 000 000-6 000 000, 17.2 persen memilih Rp6 000 000-8 000 000, dan sisanya sebesar 13.8 persen memilih Rp8 000 000-10 000 000. Tabel 14 Pengeluaran rata-rata per bulan Pengeluaran rata-rata per bulan Rp720 000 - 1 440 000 Rp1 440 000 - 2 160 000 Rp2 160 000 - 3 600 000 Rp3 600 000 - 6 000 000
Frekuensi 10 7 19 22
Persentase (%) 17.2 12.1 32.8 37.9
Dengan menggunakan definisi kelas menengah dari Asian Development Bank (ADB) yaitu pengeluaran per kapita per hari sebesar USD 2-20, maka pengeluaran rata-rata per bulan dibagi menjadi tiga segmen yaitu kelas menengah bawah sebesar USD 2-4 (Rp720 000-1 440 000), kelas menengah tengah sebesar USD 4-6 (Rp1 440 000-2 160 000) dan USD 6-10 (Rp2 160 000-3 600 000), dan kelas menengah atas sebesar USD 10-20 (Rp3 600 000-6 000 000), asumsinya 1 dolar AS sama dengan Rp12 000. Pengeluaran rata-rata per kapita dapat dijadikan acuan dalam menentukan jumlah kelas menengah yang nantinya bermuara pada perilaku konsumsinya. Sebagai gambaran maka digunakan pengeluaran rata-rata per bulan bagi kelas menengah di Kota Bandung yang ditentukan berdasarkan definisi sebelumnya. Sebesar 37.9 persen berpengeluaran Rp3 600 000-6 000 000, 32.8 persen berpengeluaran Rp2 160 000-3 600 000, 17.2 persen berpengeluaran Rp720 000-1 440 000, dan 12.1 persen berpengeluaran Rp1 440 000-2 160 000. Dari data tersebut sebetulnya sedikit ironis, mengingat mayoritas responden memiliki pengeluaran rata-rata per bulan sebesar Rp2 160 000-Rp3 600 000 dan
36
Rp.3 600 000-6 000 000. Padahal pendapatan per bulan mayoritas berada di kisaran Rp2 000 000 sampai Rp6 000 000. Hal ini menunjukkan sebagian dari kelas menengah di Kota Bandung memiliki pengeluaran yang lebih besar daripada pendapatannya. Sumber untuk menutupi pengeluarannya bisa berupa pinjaman atau hutang. Selain itu, keadaan ini agak berbahaya untuk masa depan karena peluang mengalokasikan pendapatannya untuk tabungan masa depan menjadi kecil. Kelas menengah di Kota Bandung ini menarik karena mereka adalah kelas yang dulunya tergolong kelas menengah ke bawah. Terjadi perubahan pola konsumsi dalam diri mereka dan keluarganya, khususnya saat sebelum dan setelah krisis ekonomi tahun 1998, seperti hasil wawancara dari seorang responden yang dahulu merasa sulit untuk membeli makanan yang berkualitas (bergizi) karena kecilnya penghasilan. Apalagi untuk membeli pakaian harus menabung cukup lama. Sekarang merasa ada perubahan dan lebih mudah karena penghasilan bertambah dan berbagai faktor, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, sekunder dan tersier. Sebagian besar responden menjawab ada perubahan, terutama dalam peningkatan kesejahteraan. Sebelum krisis rata-rata belum memiliki penghasilan yang memadai, misalnya hanya sebagai karyawan, atau bahkan belum bekerja sehingga belum punya penghasilan. Lainnya menjawab sama saja karena prinsipnya hidup tidak perlu konsumtif, apa adanya sesuai kebutuhan. Responden lainnya mengatakan adanya krisis moneter tersebut mengubah dirinya menjadi lebih bijaksana dalam menghadapi suatu masalah. Contohnya dengan banyaknya pengeluaran, maka harus cermat dalam mengelola keuangan. Meskipun penghasilan yang dimiliki membuat mereka lebih mudah memutuskan untuk membeli sesuatu. Anggapan yang mengatakan bahwa kelas menengah adalah kaum hedonis dan berperilaku konsumtif tidak sepenuhnya benar. Salah satu responden menyebutkan sebenarnya masyarakat bawahlah yang paling merasakan perubahan. Kalangan menengah ke atas tidak akan terlalu terganggu, kecuali mengganggu bisnis mereka. Salah satu responden mengakui bukan tipe orang konsumtif sehingga perubahan hanya sedikit saja. Dalam keluarga pun tidak terlalu nekoneko. Jika itu dibutuhkan, maka dibeli, bukan semata-mata memenuhi keinginan. Kelas menengah di Kota Bandung ternyata juga memikirkan kehidupan hari tua dan masa depannya. Dari seluruh responden yang diwawancarai, hampir seluruhnya memiliki asuransi dalam berbagai jenis, baik asuransi kesehatan seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, asuransi jiwa dan juga tabungan masa depan, baik tabungan pensiun maupun tabungan pendidikan. Tetapi besarannya bervariasi, ada yang karena sebagai pegawai negeri sehingga sudah ditentukan, ada juga yang berasal dari perusahaan swasta dengan premi yang ditentukan sendiri. Jadi, mereka tidak hanya memikirkan kebutuhan saat ini namun juga masa depan, baik secara individu maupun keluarga. Tabel 15 Pengeluaran paling besar selama sebulan terakhir Jenis pengeluaran Makanan Bukan makanan
Frekuensi 29 29
Persentase (%) 50.0 50.0
37
Dengan pengeluaran paling besar selama satu bulan terakhir berimbang antara untuk makanan (50 persen) dan bukan makanan (50 persen). Salah satu faktor yang membuat pengeluaran makanan dan bukan makanan berada pada persentase yang sama adalah responden tidak memiliki catatan yang lengkap tentang detil pengeluarannya selama sebulan terakhir sehingga agak sulit membedakan pengeluaran makanan dan bukan makanan. Berdasarkan data Susenas yang diambil dari Statistik Daerah Kota Bandung 2012, semakin tinggi tingkat kesejahteraan maka konsumsi non makanan lebih besar daripada konsumsi makanan. Pada tahun 2012 pengeluaran makanan sebanyak 42.13 persen, menurun dari tahun sebelumnya yang mencapai 47.77 persen, sedangkan pengeluaran non makanan mecapai 57.87 persen, meningkat 5.64 persen dari tahun 2011. Tabel 16 Pengeluaran rekening listrik rata-rata per bulan Rekening listrik rata-rata per bulan
Rp750 000
Frekuensi 34 17 4 3
Persentase (%) 58.6 29.3 6.9 5.2
Rekening listrik kelas menengah di Kota Bandung sebagian besar yaitu 58.6 persen sebesar kurang dari Rp250 000. Sebesar 29.3 persen memiliki rekening listrik Rp250 000-500 000, sisanya sebesar 6.9 persen dan 5.2 persen masingmasing untuk Rp500 000-750 000 dan >Rp750 000. Terlihat bahwa pos pengeluaran untuk rekening listrik tidak terlalu besar dan cenderung rendah karena di bawah Rp250 000. Tabel 17 Akses pada layanan kesehatan Akses pada layanan kesehatan Memadai Tidak memadai
Frekuensi 56 2
Persentase (%) 96.6 3.4
Dalam mengakses layanan kesehatan, maksudnya terjangkau secara lokasi, administrasi, dan biaya, hampir semua responden kelas menengah di Kota Bandung menjawab memadai yaitu sebesar 96.6 persen. Hanya 3.4 persen yang menjawab akses pada layanan kesehatan tidak memadai. Angka ini menunjukkan bahwa kelas menengah di Bandung mampu secara materi maupun non materi untuk memenuhi kebutuhannya di bidang kesehatan. Baik untuk berobat maupun check-up, sekalipun dalam keadaan yang terdesak. Hal ini menandakan akses terhadap layanan kesehatan bagi kelas menengah di Kota Bandung relatif baik. Meskipun dalam praktiknya digunakan jalur yang berbeda-beda, mulai dari BPJS Kesehatan, asuransi kesehatan, dan lainnya.
38
Peran Kelas Menengah Menurut berbagai kajian yang dilakukan, pada dasarnya kelas menengah memiliki peran terhadap bangsa. Dari hasil penelitian, peran-peran tersebut dikerucutkan menjadi peran sebagai konsumen, wirausahawan, dan agen perubahan yang mana pada akhirnya memberikan sumbangsih dalam pembangunan ekonomi dan demokrasi. Berikut adalah hasil penelitian tentang kelas menengah Kota Bandung ditilik dari perannya. Konsumen Menurut pakar pemasaran, Yuswohady, di balik kencangnya perilaku konsumtif kelas menengah, sebenarnya ada kultur yang juga turut merebak. Kultur yang dimaksud adalah knowledgeable dan highly connected. Knowledgeable atau berpengetahuan luas mengacu kepada seseorang yang secara rutin mengakses informasi dari berbagai sumber, baik surat kabar, majalah hingga internet. Dengan mengakses informasi, seseorang akan memperoleh informasi yang diinginkannya dengan mudah. Sementara itu, highly connected atau sangat terhubung adalah seseorang yang setiap saat terhubung dengan orang lain melalui jejaring sosial seperti Blackberry Messenger, Facebook, Twitter, dan sebagainya. Dua kultur tersebut telah menjadi bagian dari gaya hidup kelompok kelas menengah, di samping kemampuan konsumsi yang tinggi.50 Berpengetahuan luas memungkinkan seseorang bisa mengambil keputusan secara tepat mengenai cara untuk memenuhi kebutuhannya. Berbagai referensi menjadi acuan bagi seseorang untuk menentukan pilihannya. Seseorang akan dihadapkan pada informasi yang selalu berlimpah setiap saat, baik dibutuhkan maupun tidak. Budaya sangat terhubung membuat seseorang selalu memiliki relasi dengan orang lain dan tidak ada batasan jarak dan waktu. Akibatnya, ada jejaring yang terjadi karena konsumen menjadi penjual (salesman). Promosi dari mulut ke mulut menjadi sebuah tren yang mendorong seseorang semakin gencar melakukan konsumsi. Berjejalnya informasi, serta semakin tingginya keterhubungan seseorang dengan orang lain menjadikan kelompok kelas menengah menghadapi kompleksitas yang tinggi. Akibatnya, kelompok ini sangat tergantung pada gadget, aplikasi, dan tentunya koneksi internet. Tiga hal tersebut seolah telah menjadi kebutuan primer untuk menunjang berbagai aktivitas dan gaya hidup masyarakat kelas menengah. Berikut adalah tabel tentang kepemilikan gadget atau alat komunikasi dan informasi di kalangan kelas menengah Kota Bandung.
50
Anonim. 2013. Internet: Oksigen Baru Kelas Menengah http://www.lintasarta.net/OurCompany/NewsandMedia/News/tabid/568/aid/347/language/idID/Default.aspx [3 Juni 2014]
39
Tabel 18 Kepemilikan alat informasi dan komunikasi Alat (%) Kepemilikan
Telepon Telepon Telepon Komputer Televisi Tablet Laptop selular pintar rumah personal Tidak memiliki 29.3 12.1 39.7 6.9 53.4 12.1 37.9 Memiliki 70.7 87.9 60.3 93.1 46.6 87.9 62.1
Tabel 18 menggambarkan kepemilikan alat komunikasi dan informasi yang dimiliki oleh responden kelas menengah di Kota Bandung. Untuk telepon selular, telepon pintar, laptop, dan televisi, kepemilikannya mencapai di atas 70 persen. Bahkan untuk telepon pintar dan laptop, hanya 12.1 persen saja yang tidak memilikinya. Kelas menengah sekarang, terutama di kota-kota besar, adalah mereka yang selalu haus akan informasi. Berdasarkan penelitian, selama satu bulan terakhir responden paling sering mengakses informasi melalui internet (baik menggunakan telepon pintar, tablet, laptop, dan sebagainya) baru diikuti dengan televisi dan surat kabar. Kecenderungan kelas menengah menggunakan internet sebagai sumber informasi adalah karena di era digital seperti saat ini, internet lebih praktis dan mudah digunakan dimana saja. Dengan perangkat canggih yang dimilikinya, maka tidak mengherankan apabila televisi dan surat kabar tidak lagi menjadi pilihan utama dalam mengakses informasi. Terdapat pola yang saling memengaruhi antara perkembangan gadget dengan kebutuhan masyarakat golongan kelas menengah. Di satu sisi, teknologi baru akan berpengaruh terhadap pola hidup kelompok kelas menengah. Sementara itu di sisi lain, permintaan kelas menengah akan mendorong lahirnya teknologi baru untuk memuaskan kebutuhan kelompok itu. Perkembangan teknologi informasi dan permintaan kelas menengah terhadap teknologi informasi saling berkejaran. Terkadang, teknologi informasi yang berpengaruh terhadap kelompok ini, namun ada kalanya juga permintaan kelompok kelas menengah yang mendorong munculnya inovasi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat juga mendorong pentingnya eksistensi kelas menengah di dunia maya. Seperti hal nya di kota-kota besar lainnya, di Bandung sendiri dari data yang dikumpulkan, hampir 90 persen dari responden memiliki akun media sosial. Hanya sebagian kecil yaitu 10.3 persen yang mengaku tidak memiliki akun media sosial. Tabel 19 Kepemilikan akun media sosial Kepemilikan Tidak memiliki Memiliki
Tidak memiliki Memiliki
Persentase (%) 10.3 89.7 Akun (%) Facebook 12.1 87.9
Twitter 48.3 51.7
40
Dari responden yang memiliki akun media sosial tersebut, sebanyak 87.9 persen memiliki akun Facebook 87.9 persen dan sebanyak 51.7 persen memiliki akun Twitter 51.7 persen). Hal ini menguatkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika bahwa Indonesia menempati peringkat 4 pengguna Facebook terbesar setelah Amerika Serikat, Brazil, dan India serta peringkat 5 pengguna Twitter terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, Brazil, Jepang dan Inggris.51 Data statistik menunjukkan akses internet meningkat 2.32 persen pada 2005 menjadi 30.66 persen pada 2012.52 Bahkan menurut survei Badan Pusat Statistik bekerja sama dengan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia tahun 2012 mencapai 63 juta orang atau 24.23 persen dari total populasi negara ini. Tahun 2013, angka itu mencapai 71.19 juta orang. 53 Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial.54 Selain memiliki jaringan yang luas dengan akses informasi yang tinggi, kelas menengah juga kerap memenuhi jalan-jalan dengan kendaraan mereka. Di Kota Bandung rata-rata kelas menengahnya memiliki kendaraan bermotor seperti terlihat dalam Tabel 20 berikut ini. Tabel 20 Kepemilikan kendaraan bermotor Kepemilikan Tidak memiliki Memiliki
Kendaraan (%)
Motor 22.4 77.6
Mobil 31.0 69.0
Untuk kepemilikan kendaraan bermotor, 77.6 persen menjawab memiliki motor dan 69 persen menjawab memiliki mobil. Terlepas dari apakah mereka memiliki keduanya secara bersama-sama dan berapa jumlah kendaraan yang dimilikinya, tetapi kendaraan bermotor merupakan salah satu simbol tumbuhnya kelas menengah. Tidak hanya di Kota Bandung, tetapi juga di kota-kota besar lainnya di Indonesia, kendaraan bermotor menjadi penyebab kemacetan yang luar biasa jika tidak segera ditangani. Tabel 21 Kepemilikan kartu kredit Kepemilikan Tidak punya Satu atau dua Lebih dari dua 51
Persentase (%) 56.9 32.8 10.3
Kementerian Komunikasi dan Informatika. 2013. Kominfo: Pengguna Internet di Indonesia 63 Juta Orang. http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3415/Kominfo+%3A+Pengguna+Internet+di+Indone sia+63+Juta+Orang/0/berita_satker#.U56e7pSSxic [3 Juni 2014] 52 Sardan Marbun ed. Satu Dasawarsa Membangun Untuk Kesejahteraan Rakyat (Jakarta: Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Sosial, 2013), h. 8. 53 Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. 2013. Indonesia Internet Users. http://www.apjii.or.id/v2/read/page/halaman-data/9/statistik.html [3 Juni 2014] 54 Kementerian Komunikasi dan Informatika, op. cit.
41
Dari segi kepemilikan kartu kredit, sebagian besar responden menjawab tidak memiliki kartu kredit yaitu sebanyak 56.9 persen, sementara yang menjawab memiliki satu atau dua kartu kredit sebesar 32.8 persen, dan hanya 10.3 persen yang menjawab memiliki lebih dari dua kartu kredit. Maraknya penggunaan kartu kredit adalah fenomena yang sedang terjadi di kalangan kelas menengah di Indonesia. Berdasarkan data Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), tren jumlah kartu kredit yang dimiliki masyarakat Indonesia selama lima tahun terakhir terus meningkat meskipun pertumbuhannya agak menurun. Pada kelas menengah muncul istilah cashless society atau masyarakat dengan transaksi non-tunai. Untuk mengukur tingkat konsumtivisme masyarakat kelas menengah, perlu dicermati tempat-tempat yang menjadi tujuan ketika mengisi waktu luang (leisure time). Poin ini diurutkan berdasarkan pada frekuensi selama satu tahun terakhir dan juga minat responden sendiri. Tabel 22 Prioritas tempat tujuan untuk mengisi waktu luang berdasarkan frekuensi dan minat Tujuan Pusat perbelanjaan moderen (mal, pasar swalayan, factory outlet) Sarana edukasi dan ruang publik (museum, kebun binatang, taman buah, perpustakaan, taman kota) Tempat makan (restoran, rumah makan) Taman hiburan/water park/olahraga (Trans Studio, kolam renang) Luar kota (di dalam negeri) (Jakarta, Bogor, dan lainnya)
Frekuensi Minat (setahun terakhir) 2
2
5
4
1
1
4
5
3
3
Berdasarkan hasil penelitian, pada saat hari libur, akhir pekan, dan waktu luang di luar pekerjaan tetap, selama satu tahun terakhir responden paling sering pergi ke tempat makan, seperti restoran dan rumah makan. Disusul dengan pergi ke pusat perbelanjaan moderen, seperti mal, pasar swalayan, factory outlet, kemudian rekreasi ke luar kota (domestik), seperti Jakarta, Bogor, dan lainnya, berikutnya rekreasi ke taman hiburan dan atau olahraga, seperti Trans Studio Bandung, kolam renang, dan terakhir ke sarana edukasi dan ruang publik, seperti museum, kebun binatang, perpustakaan, dan taman kota. Berikutnya apabila diurutkan berdasarkan minat, hasilnya tidak jauh berbeda. Urutan pertama sampai ketiga tetap sama, yang membedakan hanyalah urutan keempat dan kelima dengan posisi terbalik. Jika dianalisis, kelas menengah di Kota Bandung gemar berkunjung ke tempat makan dan pusat perbelanjaan moderen, yang mana biasanya kedua tujuan itu berada dalam tempat yang sama. Sementara sarana edukasi dan ruang publik serta taman hiburan tampaknya kurang terlalu dikunjungi maupun diminati. Sebab, umumnya orang yang berkunjung ke tempat-tempat tersebut adalah wisatawan domestik dari luar kota, seperti Jakarta dan daerah lainnya di sekitar Kota Bandung. Menurut salah satu responden, kegiatan saat waktu senggang diisi dengan kegiatan yang produktif.
42
“Saya dari kecil selalu menggunakan waktu luang untuk kegiatan bermanfaat. Misalnya kursus memasak dan membaca buku. Mengisi waktu luang bisa dengan berkebun atau pergi ke luar kota.” Tetapi, ada juga yang menjawab melakukan kegiatan yang bersifat konsumtif. Mereka biasanya pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli berbagai kebutuhan, seperti susu anak, pakaian kerja, dan sebagainya. Sisanya banyak menghabiskan waktunya di tempat makan bersama keluarga atau teman-teman. Berbelanja atau mengeluarkan uang untuk memenuhi keinginan menurut kelas menengah di Kota Bandung adalah pelampiasan dari kerja keras yang telah dijalani selama ini. Maka, tidak salah ketika uang yang dimilikinya digunakan untuk memenuhi hasrat konsumsinya. Adapun menurut hasil penelitian ada beberapa faktor yang mendorong masyarakat Indonesia, khususnya Kota Bandung, berperilaku konsumtif, di antaranya: 1. Gaya hidup. Dilihat dari taraf ekonomi warga Bandung, terkadang sebagian masih memaksakan sesuatu agar gaya hidup terpenuhi. Bahkan ada yang sampai harus berpuasa untuk membeli barang-barang mewah tertentu. Dengan memaksakan kehendak akibat social pressure di lingkungannya yang beresiko menimbulkan stres. 2. Pengaruh media massa. Media memiliki peranan vital dalam perubahan kultur dan perilaku masyarakat kelas mennegah saat ini. Dengan banyaknya iklan orang terpengaruh oleh ideologi-ideologi baru dan mendorong mereka mempunyai keinginan untuk membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan diinginkan. Mulai dari cara berpakaian sampai budaya yang dibawa media. Hal ini memang sulit dihindari. 3. Media sosial. Perubahan kultur akibat pengaruh media sosial sehingga harus selalu update dan ingin diakui. 4. Kartu kredit. Fasilitas ini memberikan kemudahan dan membuat kelas menengah memutuskan pembelian tanpa pertimbangan yang matang. Ada pola piker jika tidak memiliki uang saat ini, bisa dibayar menggunakan kartu kredit. Padahal belum tentu kewajiban tersebut dapat dilunasi dan akibatnya jadi memaksakan. Wirausahawan Kelas menengah sebagai wirausahawan dalam penelitian ini diketahui berdasarkan kepemilikan usaha dan minat dalam berusaha. Sementara usaha yang dimaksud dibatasi dalam beberapa kategori. Kepemilikan usaha berkaitan pula dengan waktu kerja secara formal per hari seperti yang terdapat dalam Tabel 24 berikut ini. Tabel 23 Rata-rata waktu kerja per hari Jam kerja/hari <5 6-7 8-9 >9
Persentase (%) 8.6 15.5 56.9 19.0
43
Kebanyakan dari kelas menengah di Kota Bandung atau sekitar 56.9 persen bekerja rata-rata selama delapan sampai sembilan jam per hari. Sebesar 19 persen bekerja rata-rata selama lebih dari sembilan jam per hari, sebesar 15.5 persen bekerja rata-rata enam sampai tujuh jam per hari, dan hanya sebesar 8.6 persen yang bekerja rata-rata kurang dari lima jam per hari. Hal ini dikarenakan sebagian besar responden adalah pegawai negeri sipil ataupun pegawai swasta yang bekerja di kantor atau lembaga pemerintah dengan jam kerja tertentu. Sementara yang bekerja sebagai wirausahawan berjumlah sedikit. Tabel 24 Kepemilikan usaha Kepemilikan Tidak memiliki Memiliki
Persentase (%) 56.9 43.1
Di antara semua responden dalam penelitian, sebesar 56.9 persen menjawab tidak memiliki usaha. Sisanya sebsear 43.1 persen nya memiliki usaha baik sebagai pekerjaan utama maupun pekerjaan sampingan. Usaha yang dimaksud dapat berupa bidang usaha yang formal maupun non formal. Bidang usaha yang digeluti bermacam-macam, mulai dari perdagangan, jasa, industri rumah tangga, peternakan, bertani, hortikultura, dan lainnya. Di antara yang disebutkan antara lain usaha produksi pakaian, bengkel, toko maya (online shop), jasa konsultan, jasa pelatihan, peternakan sapi, rental kendaraan serta konveksi. Adapun gambaran dari usaha tersebut terdapat dalam Tabel 26 berikut. Tabel 25 Data kepemilikan usaha Keterangan Kedudukan dalam usaha
Jumlah karyawan
Uraian Pemilik sendiri Pemilik bersama orang lain Pekerja 1-4 orang 5-19 orang 20-99 orang
Persentase (%) 56.0 32.0 12.0 72.0 20.0 8.0
Dari mereka yang memiliki usaha, sebesar 56 persen adalah pemilik sendiri, 32 persen adalah pemilik bersama orang lain, dan 12 persen adalah sebagai pekerja. Dengan jumlah karyawan 1-4 orang sebesar 72 persen, 5-19 orang sebesar 20 persen, dan 20-99 orang sebesar 8 persen. Maka usaha yang dimiliki oleh responden sebagian besar dapat dikategorikan sebagai usaha mikro dan kecil dari segi jumlah karyawannya. Hanya sebagian kecil yang termasuk dalam usaha menengah dan besar. Sementara mereka yang tidak memiliki usaha ternyata sebagian besarnya sekitar 91 persen memiliki rencana dan atau niat untuk membuat usaha. Sisanya sebesar 9 persen tidak memiliki rencana dan atau niat untuk membuat usaha dikarenakan beberapa hal. Alasan tersebut antara lain terkendala modal dan kurangnya motivasi seperti ide, kreativitas, dan minat. Meskipun sebagian dari
44
kelas menengah di Kota Bandung memiliki usaha dan sedang merintisnya, utamanya usaha mikro dan kecil, mereka yang tidak memiliki usaha ternyata memiliki minat untuk berusaha. Beberapa hal menjadi kendala seperti kurangnya motivasi dan kesibukan pada pekerjaan utamanya. Padahal, masyarakat kelas menengah Indonesia yang masih didominasi oleh kelompok menengah bawah dapat terjebak dalam negara berpendapatan menengah jika tidak melakukan berbagai inovasi salah satunya dalam berwirausaha. Masyarakat kelas menengah memiliki peranan menjadi wirausaha. Perlu didorong kelas menengah agar mau menjadi wirausaha karena itu berarti mereka tidak hanya bekerja untuk dirinya sendiri tetapi juga berkontribusi memberikan pekerjaan bagi orang lain. Menurut data Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Bandung, jumlah pengusaha di Kota Bandung sebenarnya telah melebihi 2% dari populasi. Jumlah pengusaha formal yang terdaftar kurang lebih 40 000 unit. Sementara jumlah usaha informal lebih dari 30 000 unit. Artinya, secara keseluruhan Kota Bandung memiliki lebih dari 70 000 pengusaha. Dibandingkan dengan penduduknya sebanyak 2.48 juta jiwa, jumlah pengusaha di Bandung sudah hampir mencapai 3%. Kontribusi jumlah pengusaha yang cukup besar dalam laju pertumbuhan ekonomi Kota Bandung relatif selalu tinggi. Meskipun ternyata dari hasil penelitian, hanya 43.1 persen dari keseluruhan responden yang mengaku memiliki usaha. Itupun termasuk usaha yang tergolong tidak formal apalagi terdaftar (misalnya toko maya). Padahal, menurut jumlah pengusaha di Kota Bandung tersebut masih jauh dari mencukupi. Hal ini disebabkan perekonomian Bandung digerakkan oleh sektor jasa. Untuk sebuah kota jasa, minimal harus memiliki pengusaha sebanyak 8% dari populasi.55 Wirausaha memiliki peran penting dalam membangun perekonomian Indonesia seperti menurut penuturan beberapa responden berikut: “Selama ini saya lihat ekonomi dibangun oleh para wirausaha. Masalahnya adalah keberpihakan. Contohnya program Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit tanpa agunan sampai nominal 20 juta, nyatanya tidak dilaksanakan sampai terpaksa diadvokasikan baru bisa terealisasikan. Artinya, kesempatan ini belum dibuka seluasluasnya untuk kelas menengah ke bawah. Padahal usaha riil banyak dimiliki oleh mereka, kita tidak ingin ekonomi hanya dikuasai oleh kelas atas. Sekecil apapun namanya usaha walaupun hanya untuk pribadi, dia tidak bergantung kepada orang lain, bahkan menghidupi keluarga dan banyak orang.” “Perlu, perannya harus ditingkatkan wirausaha. Wirausaha perlu hadir dengan berbagai inovasinya, jangan malah memperdagangkan produk impor yang menyebabkan ketergantungan. Atau wirausaha tapi sebagai perantara saja, sekedar berdagang. Jadi bagaimana kita memanfaatkan sumber daya yang dimiliki.” 55
Kadin Bandung. 2014. Mencetak Wirausaha Baru http://kadinbandung.org/news/detail/Mencetak-Wirausaha-Baru [7 Juni 2014]
45
“Wirausaha akan semakin membangkitkan ekonomi. Di Indonesia justru wirausaha-wirausaha kecil yang lebih berperan daripada pengusaha-pengusaha skala besar. Memang perlu digalakkan wirausaha. Saya sebenarnya pengen berwirausaha tapi jiwanya belum.” Adapun mereka yang tidak memiliki usaha mengaku belum berminat karena masih disibukkan dengan pekerjaan tetapnya. Padahal menurut responden, Indonesia butuh banyak wirausahawan karena dianggap masih sangat kurang. Masyarakat Indonesia ternyata masih senang menjadi pekerja. Hal ini dapat menyebabkan Indonesia terjebak dalam jebakan kelas menengah dalam beberapa tahun mendatang. Faktor yang membuat hal ini bisa terjadi adalah kurangnya kreativitas dan inovasi dalam produksi sehingga kebutuhan dalam negeri lebih banyak dipenuhi oleh pasokan impor. Salah satunya juga akibat lemahnya output produksi industri manufaktur yang digerakkan oleh teknologi (total factor productivity) sejak era reformasi. Padahal penguasaan teknologi oleh anak bangsa amat penting. Di negara-negara industri maju, penguasaan teknologi inti beserta full manufacturing menjadi tumpuan tercapainya kesejahteraan dan pertumbuhan berkelanjutan. Dampaknya terjadi peningkatan pendapatan per kapita dan pemerataan distribusi pendapatan.56 Agen Perubahan Kelas menengah memiliki dampak yang positif terhadap proses demokratisasi suatu negara. Menurut sebuah survei yang dilakukan Pew Research Center (The Pew Global Attitude Project, 2009) di 13 negara berpendapatan menengah, tidak termasuk Indonesia, kelas menengah lebih menekankan pentingnya institusi dan praktik demokrasi seperti pemilu yang bebas dan jujur, kebebasan berpendapat, dan sistem peradilan yang adil dibandingkan masyarakat kelas bawah. Fenomena itu terjadi di Indonesia semenjak era reformasi setelah tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998 bergulir. Indonesia mengalami transformasi politik yang sangat cepat menuju demokrasi. Proses ini terjadi tidak terlepas dari peran kelas menengah yang secara pro aktif merespons isu-isu politik maupun sosial dan ekonomi. Adapun beberapa indikator kelas menengah sebagai agen perubahan, utamanya dalam pembangunan demokrasi dan ekonomi di negeri ini diturunkan ke dalam beberapa indikator, di antaranya, partisipasi politik, inisiator dan keterlibatan dalam komunitas, gerakan sosial, organisasi sosial, dan organisasi politik, pandangan terhadap demokrasi dan ekonomi, dan kepuasan terhadap kinerja pemerintah daerah. Partisipasi Politik Untuk mengetahui partisipasi politik kelas menengah Kota Bandung menjelang Pemilihan Umum (pemilu) Legislatif dan Presiden tahun 2014, penelitian dilakukan sebelum Pemilu Legislatif, tepatnya berakhir satu hari 56
Didin S. Damanhuri. 2014. “Jebakan Negara Berpendapatan Menengah” dalam Gatra, No. 9 Tahun XX 2-8 Januari 2014, h. 76.
46
sebelum hari pemungutan suara, yaitu tanggal 8 April 2014. Dalam kuesioner ditanyakan apakah responden akan menggunakan hak pilihnya pada pemilu mendatang. Tabel 26 Penggunaan hak pilih pada pemilihan umum tahun 2014 Hak pilih Akan menggunakan Akan tidak menggunakan Ragu-ragu
Legislatif 79.3 8.6 12.1
Presiden 93.1 1.7 5.2
Terdapat 8.6 persen responden yang berniat untuk tidak menggunakan hak pilih dan 12.1 persen masih ragu-ragu apakah akan menggunakan hak pilih nya atau tidak pada Pemilihan Umum Legislatif 2014. Berdasarkan pernyataan Ketua KPU Kota Bandung Rifky Ali Mubarok, angka golongan putih pada pemilihan umum legislatif tahun 2014 di Kota Bandung meningkat dibandingkan pemilihan umum legislatif tahun 2009. Dari total warga yang memiliki hak suara yaitu 1 661 344 orang, hanya 1 244 656 orang yang menggunakan hak pilihnya. Sebelumnya angka partisipasi masyarakat di Kota Bandung 75 persen, sekarang turun menjadi 73 persen. Sekitar 27 persen tidak menggunakan hak pilih nya dengan berbagai alasan.57 Alasan utama mengapa mereka tidak akan menggunakan hak pilihnya adalah pemilu dianggap tidak memberikan perubahan serta ketidakpuasan terhadap kinerja partai politik dan anggota legislatif petahana sebelumnya. Sisanya masih ragu-ragu dikarenakan belum menentukan pilihannya saat penelitian berlangsung. Berbeda dengan pemilihan umum legislatif, pada Pemilihan Umum Presiden 2014 mendatang, hanya 1.7 persen responden yang menjawab tidak akan menggunakan hak pilihnya dikarenakan pemilu dianggap tidak memberikan perubahan. Tabel 27 Penggunaan hak pilih pada pemilihan umum sebelumnya Hak pilih Menggunakan Tidak menggunakan Ragu-ragu
Tahun 2009 Legislatif Presiden 84.5 89.7 13.8 8.6 1.7 1.7
Tahun 2004 Legislatif Presiden 86.2 91.4 8.6 3.4 5.2 5.2
Terkait dengan partisipasi politik, khususnya dalam pemilu, responden ditanya apakah pada pemilu tahun 2004 dan 2009 menggunakan hak pilihnya. Terjadi peningkatan persentase yang tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislatif dan presiden (dalam hal ini putaran pertama dan kedua) tahun
57
Tya Eka Yulianti. 2014. 27 Persen Warga Bandung Golput pada Pemilu 2014. http://news.detik.com/bandung/read/2014/04/22/183052/2562370/486/27-persen-warga-bandunggolput-pada-pemilu-2014?n992204fksberitadsfdsf [10 Juni 2014]
47
2004. Dari yang sebelumnya 8.6 persen menjadi 13.8 persen untuk pemilu legislatif serta dari 3.4 persen menjadi 8.6 persen untuk pemilu presiden. Tabel 28 Penggunaan hak pilih pada pemilihan kepala daerah Hak pilih Menggunakan Tidak menggunakan Ragu-ragu
Gubernur Jawa Barat Tahun 2013 89.7 6.9 3.4
Tahun 2008 84.5 12.1 3.4
Walikota Bandung Tahun 2013 87.9 8.6 3.4
Tahun 2008 75.9 17.2 6.9
Pemilu sendiri seharusnya menjadi tumpuan harapan bagi terjadinya perubahan menuju kondisi bangsa yang lebih baik. Pemilu merupakan ajang demokrasi terbesar yang melibatkan hampir seluruh masyarakat berusia 17 tahun ke atas untuk turut memberikan suaranya. Tidak terkecuali kelas menengah yang berjumlah besar semestinya dapat berkontribusi signifikan. Nyatanya, menurut salah seorang responden gembar-gembor pemilu yang katanya memberikan perubahan belum memberikan dampak kepada dirinya. Meskipun dalam hal ini dia menekankan agar jangan sampai golput (tidak memilih) karena menentukan banyak keputusan ke depan. Dilihat dari satu sisi ada benarnya, contohnya Walikota Bandung kemarin didukung oleh sedikit partai politik sehingga beberapa kebijakan terganjal di parlemen. Pemerintah harus bersinergi dengan legislatif. Pendapat lain mengenai pengaruh pemilu terhadap kehidupan bagi kelas menengah, seperti beberapa kutipan dari responden berikut “Pengaruhnya pasti memilih wakil rakyat dan pemimpin. Makanya ada situasi yang saya juga masih belum tahu seperti apa jalan keluarnya. Wakil rakyat itu seharusnya adalah wakil yang disuruh oleh rakyat mewakili mereka. Di kita jadi terbalik malah caleg yang memohon kepada masyarakat untuk memilih mereka. Suatu saat mungkin Indonesia bisa seperti di Amerika yang mana partai dibiayai oleh masyarakat, jika mereka percaya maka bisa memberikan donasi dan menjadi sukarelawan untuk menjelaskan program partai dan calon pemimpinnya. Partai menjadi belajar bagaimana bertanggung jawab kepada masyarakat terhadap dana yang diterimanya.” “Bisa berpengaruh, bisa tidak. Tergantung daripada orang yang akan menyetirnya. Contohnya mobil kalo disetir sama orang yang tidak bisa bagaimana jalannya enak. Jadi tergantung orang yang akan memimpinnya, kan kendaraannya dulu yang dilihat.” Terkait dengan angka golput, kelas menengah memandangnya sebagai hal yang sangat disayangkan. Meskipun golput itu dipilih karena ideologi dan alasanalasan tertentu, tetapi tidak menggunakan hak pilih merupakan sebuah pilihan yang tidak memberikan solusi. Golput bisa muncul karena masyarakat lelah dengan perilaku para wakil rakyat terutama yang banyak memberikan contoh
48
tidak baik. Akhirnya masyarakat menjadi apatis dan ada kecenderungan angka setiap pemilu cukup besar. Apalagi memang ada saja oknum yang memprovokasi masyarakat untuk golput. Salah satu tujuannya sebagai kritik terhadap sistem bernegara di Indonesia. Namun, kita tetap tidak boleh pesimis terhadap masa depan bangsa. Seburuk apapun keadaannya, harus selalu ada optimisme. Berikut pandangan beberapa responden tentang golput yang dikutip sebagai berikut. “Golput itu sayang sekali ya. Sebaiknya jangan golput karena nanti udah golput ngamuk-ngamuk lagi ah ini ngga puas gini gini, salah sendiri dia ngga milih. Yang namanya demokrasi itu suara professor sama suara tukang becak sama aja kan. Kalau misalnya seorang professor terus ngga milih, ya jangan salah kalau yang menang pilihan tukang becak. Ya kalau realitanya di DPR kayak gitu salah sendiri proporsi masyarakat menengah di kita masih sedikit. Disuguhi sama dangdut aja udah seneng udah mau, akhirnya DPR kualitasnya kayak gitu, yaudah.” “Saat ini, berbicara golput dan tidak golput, golput masih lumayan besar. Bahkan di beberapa pilkada mencapai 40 persen, bisa jadi golput jadi juara. Andaikan ada yang menang bahkan bisa lebih besar angka golputnya. Kembali kepada kesadaran berpolitik, pilihan mereka berpengaruh terhadap kehidupan pribadi dan keluarganya walaupun tidak secara langsung. Terakit dengan legislatif, perundang-undangan, tanpa disadari terkait dengan kepentingan diri dan keluarganya.” Inisiator Perubahan Sosial dan Gerakan Sosial Kelas menengah diharapkan dapat menginisiasi komunitas, organisasi, ataupun gerakan untuk menciptakan perubahan sosial, baik secara individu maupun kolektif. Beberapa indikatornya adalah melalui keikutsertaan atau partisipasi dalam gerakan sosial, keikutsertaan dan peran dalam komunitas, keikutsertaan dan peran dalam organisasi sosial dan kemasyarakatan, serta keikutsertaan dan peran dalam organisasi politik. Tabel 29 Inisiator organisasi, komunitas, atau gerakan untuk menciptakan perubahan sosial secara individu ataupun kolektif Inisiasi Pernah Tidak pernah
Persentase (%) 34.5 65.5
Di Indonesia, kelas menengah biasanya dipersepsikan sebagai kelas yang konsumtif. Tetapi ternyata segelintir dari mereka ada juga yang pernah menginisiasi komunitas, organisasi, ataupun gerakan untuk menciptakan perubahan sosial, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama orang lain. Meskipun pada pencetusannya hanya berkontribusi pada ide, gagasan, dan juga sampai ke tingkat pelaksanaan. Sebesar 65.5 persen responden mengaku tidak atau belum pernah berperan sebagai inisiator sementara sisanya sebesar 34.5
49
persen pernah menjadi inisiator. Hal yang mendorong mereka pernah menginisiasi perubahan sosial adalah dasar kepedulian terhadap sesama. Menurut salah seorang infoman, kita semua punya persoalan yang sama, tetapi bukan berarti selalu menjadi tangan yang di bawah. Meskipun tidak selalu di atas tetapi dapat membuka jalan untuk mereka bisa bangkit. Setiap manusia mempunyai kesempatan yang sama untuk merasakan kebahagiaan. Adapun responden lain mengatakan bahwa peran itu diambil karena termasuk dalam tugas, pokok, dan fungsi pekerjaannya. Sebagai lurah, tanggung jawabnya adalah memberikan dorongan dan memfasilitasi. Jika tidak menjadi lurah, maka belum tentu mengambil peran tersebut. Tabel 30 Partisipasi dalam gerakan sosial
Pernah
5.2
Gerakan pro demokrasi 12.1
Tidak pernah
94.8
87.9
Partisipasi
Gerakan pekerja
Perlindungan HAM
Perlindungan lingkungan
Pendidikan
Keagamaan
10.3
31.0
44.8
44.8
89.7
69.0
55.2
55.2
Responden ditanya lebih mendalam apakah pernah mengikuti atau berpartisipasi dalam gerakan sosial tertentu selama hidupnya, baik terkait dengan pekerjaan ataupun sebagai sukarelawan. Sebagian besar atau lebih dari 80 persen menjawab tidak pernah mengikuti ataupun berpartisipasi dalam gerakan sosial seperti gerakan pekerja (94.8 persen), gerakan pro demokrasi (87.9 persen), dan perlindungan HAM (89.7 persen). Sementara untuk perlindungan lingkungan, 69 persen menjawab tidak pernah. Untuk pendidikan dan keagamaan keduanya sebesar 55.2 persen menjawab tidak pernah. Berarti tingkat keikutsertaan untuk gerakan pekerja, gerakan pro demokrasi, dan perlindungan hanya di bawah 20 persen. Angka yang lebih baik untuk perlindungan lingkungan, pendidikan, dan keagamaan, yaitu antara 30-50 persen. Fakta ini menggambarkan bahwa peran kelas menengah pada gerakan yang sifatnya insidental ataupun tidak berkelanjutan ternyata masih rendah. Salah satu responden menyebutkan pernah mengikuti gerakan sosial yang terkait dengan pekerjaan. Misalnya, khitanan massal yang dibuat oleh kantor. Di luar itu, saat waktu luang, tidak pernah. Andaikan pernah, sebagian dari mereka melakukannya sewaktu masih menjadi mahasiswa. Keterlibatan dalam Masyarakat Salah satu indikator agen perubahan adalah peran dan kontribusi dalam masyarakat di berbagai bidang. Mulai dari sosial, politik, hingga yang menyangkut hobi, profesi, dan lain-lain. Peran dan kontribusi masyarakat kelas menengah Kota Bandung dapat dilihat dari keterlibatannya di dalam komunitas, organisasi sosial, dan organisasi politik sebagai anggota ataupun struktur lainnya. Dalam Tabel 31, terdapat persentase bentuk keterlibatan dalam organisasi tersebut.
50
Tabel 31 Keikutsertaan atau keanggotaan dalam komunitas, organisasi sosial, dan organisasi politik Persentase (%) Keikutsertaan/keanggotaan Ya Tidak
Komunitas
Organisasi sosial
31.0 69.0
19.0 81.0
Organisasi politik 5.2 94.8
Responden yang tergabung dalam komunitas sebesar 31 persen dibandingkan dengan yang tidak tergabung dalam komunitas sebesar 69 persen. Angka yang cukup besar mengingat responden didapatkan dengan metode snowball, salah satunya melalui kesamaan komunitas. Keikutsertaan komunitas biasanya didasarkan pada kesamaan hobi, minat, profesi, olahraga, atau hal unik tertentu sehingga keanggotaannya seringkali homogen. Komunitas, atau bisa juga disebut asosiasi dan perhimpunan, merupakan perkumpulan yang sifatnya mudah masuk dan dan mudah juga keluar karena tidak ada paksaan untuk masuk ke dalamnya, kecuali karena beberapa hal. Adapun beberapa nama komunitas yang diikuti oleh responden antara lain Komunitas Daihatsu Charade Bandung, Himpunan Artis Penyanyi Musisi Indonesia Jawa Barat, Paguyuban Sapedah Baheula Bandung, Telkom Football Club, Volunteer Doctors, Elite Golfer, Rumah Imperium, Kelas Inspirasi Bandung, Persatuan Menembak Sasaran dan Berburu Seluruh Indonesia, dan lain-lain. Bagi mereka yang tidak tergabung dalam komunitas, alasannya bervariasi. Mulai dari tidak memiliki cukup waktu untuk mengikuti kegiatan (75 persen), tidak ada komunitas yang sesuai dengan keinginan sebesar (15 persen), sampai tidak berminat sebesar (10 persen). Saat responden ditanya apakah tergabung dalam organisasi sosial dan atau kemasyarakatan, contohnya yayasan, lembaga amal, serikat pekerja, lingkungan hidup dan lain-lain, mayoritas responden menjawab tidak tergabung yaitu sebesar 81 persen dan hanya 19 persen yang menjawab tergabung. Alasannya bervariasi mengapa kelas menengah di Kota Bandung ini tidak tergabung dalam organisasi sosial dan atau kemasyarakatan saat penelitian dilakukan. Alasan utamanya adalah tidak memiliki cukup waktu untuk mengikuti rapat dan kegiatan (53.2 persen), diikuti oleh tidak berminat (31.9 persen), tidak ada organisasi sosial dan atau kemasyarakatan yang sesuai dengan keinginan (10.6 persen), dan tidak ada yang mengajak bergabung (4.3 persen). Dalam pandangan kelas menengah, organisasi sosial diharapkan bukan hanya bergerak untuk sekedar nama melalui misi yang dilakuka. Ketika berbicara masalah sosial maka otomatis juga berbicara tentang kepedulian. Saat ada bantuan dana harusnya menggandakan kebaikan, tetapi tanpa uang juga sebaiknya tetap harus berjalan. Organisasi sosial banyak yang malah menguntungkan pengurusnya, meskipun tidak semua. Pandangan responden lainnya antara lain. “Bagus, khususnya yang bergerak di bidang kesehatan. Sering lihat di tv. Organisasi sosial yang membantu masyarakat tidak mampu melalui kegiatan sosial juga bagus. Contohnya, organisasi sosial di Tasikmalaya yang dibuat oleh Pak Dadang, menampung orang-
51
orang gila berawal dari kemampuan pemerintah terbatas. Diberi makan dengan gajinya, meskipun akhirnya banyak yang memberikan bantuan. Orang-orang seperti Pak Dadang inilah yang seharusnya dibantu dengan dana dari pemerintah.” “Organisasi sosial ada bermacam-macam, berbasis agama, pendidikan, didanai asing. Keberadaannya baik-baik saja asalkan tidak ada agenda terselubung. Jika niatnya membantu masyarakat ya tidak masalah selama tidak menyebarkan ideologi macam-macam. Sekarang banyak organisasi sosial seperti Ford Foundation yang didanai Amerika tetapi mempromosikan LGBT. Bisa lewat pendanaan film tertentu. Misalnya, murni untuk pendidikan maka tidak apa-apa.” Sementara, dalam poin responden yang tergabung sebagai anggota atau pengurus dalam organisasi politik, contohnya partai politik, penyelenggara negara, dan lain-lain, sebesar 94.8 persen menjawab tidak tergabung dan hanya 5.2 persen yang menjawab tergabung. Alasan mengapa responden tidak tergabung dalam organisasi politik adalah tidak berminat pada politik dan organisasi politik (60 persen), tidak memiliki cukup waktu untuk mengikuti rapat dan kegiatan (16.4 persen), tidak ada organisasi politik yang sesuai dengan ideologi (14.5 persen), tidak ada yang mengajak bergabung (3.6 persen), karena profesi, contohnya pegawai negeri sipil, (3.6 persen), dan tidak mengetahui mekanisme bergabung dalam organsisasi politik sebesar (1.8 persen). Ketidakikutsertaan responden pada komunitas dan organisasi sosial dan atau kemasyarakatan mayoritas beralasan tidak memiliki cukup waktu untuk mengikuti kegiatan. Hal ini dikarenakan kesibukan di tempat kerja sementara hari libur atau akhir pekan nya digunakan untuk berkumpul bersama keluarga. Sementara untuk ketidakikutsertaan pada organisasi politik didasarkan karena tidak berminat pada politik dan organisasi politik. Kebanyakan daripada kelas menengah yang menjadi objek penelitian tidak tertarik secara khusus ke dalam dunia politik praktis, meskipun ada juga yang berlatar belakang sebagai politisi. Beberapa mengakui kurang suka dengan politik dan sebagian kurang percaya dengan partai politik akibat banyaknya kasus korupsi dan berita negatif di media massa. Berikut beberapa kutipan mengenai pandangan terhadap organisasi politik di Indonesia, “Harus ada, karena diakui di NKRI melalui payung hukum yang legal. Sekarang, melalui politik dapat diraih kekuasaan yang strategis, maka masyarakat harus mengerti, mau belajar, dan berpartisipasi. Mereka harus didorong untuk lebih cerdas dan lebih peduli. Tidak boleh antipati serta skeptis karena sebuah regulasi tercipta bermula dari sebuah kebijakan politik.” “Organisasi politik itu mau tidak mau harus ada dalam sistem bernegara kita. Suka ataupun tidak suka kita harus mengikuti aturan itu. Bagaimana aturan-aturan ini dapat terus disempurnakan. Setiap
52
menjelang pemilu banyak aturan yang berubah di tengah jalan. Seharusnya kita punya partitur yang pasti seperti dalam orkestra yang serba teratur sesuai bagiannya. Semua bermuara pada pemimpin mereka yang disebut konduktor. Kenapa mereka tertib karena sesuai bagiannya, tidak ada yang bingung dan tidak boleh berimprovisasi, emosi mereka diatur oleh lambang di dalam partitur. Konduktor menghadap kepada mereka bukan penonton. Sehingga pemimpin harus siap tidak populer terhadap masyarakat tetapi dia memimpin tim nya dengan kinerja yang baik. Sekarang misalnya di dalam perpolitikan kita termasuk organisasi politik itu diatur oleh peraturan yang berubah-ubah berarti sistemnya belum pas. Hal ini menjadi tantangan ke depan.” “Bagaikan preman, kerjanya cuma janji palsu. Saat terpilih korupsi untuk balik modal. Parpol juga mengejar setoran. Perizinan ini itu harus dekat dengan orang partai biar lebih mudah, tetapi ujungujungnya mengeluarkan uang. Apa bedanya dengan ormas.” Dari hasil wawancara tersebut, keberadaan organisasi politik pada dasarnya sangat penting. Sebab sampai saat ini, organisasi politik merupakan wadah dan alat kekuasaan yang dapat digunakan untuk menyusun maupun mengubah kebijakan. Sayangnya, sebagian dari mereka masih kurnag berminat untuk terjun langsung ke dalamnya dan hanya bertindak sebagai control dari luar. Padahal, menurut mereka ketika organisasi politik dan kelembagaan di dalam nya (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) dipegang oleh orang-orang yang tidak memiliki integritas maka akan sangat membahayakan. Kelas menengah di Kota Bandung berharap para politisi mampu menjalankan kepercayaan yang diberikan oleh rakyat dengan sebaik-baiknya. Tabel 32 Keikutsertaan sebagai simpatisan partai politik Keikutsertaan Ya Tidak
Persentase (%) 15.5 84.5
Menariknya ada 15.5 persen responden yang pernah menjadi simpatisan dalam organisasi partai politik tertentu. Adapun peran mereka sebagai simpatisan antara lain: ikut serta atau hadir dalam pawai atau kampanye partai politik tertentu; membantu menyebarkan selebaran atau atribut partai politik tertentu; menyumbang dana ke partai politik tertentu; dan memengaruhi teman untuk memilih partai politik tertentu. Pandangan terhadap Demokrasi Sebagai negara demokrasi, masyarakat adalah pilar dalam pembangunan. Tak terkecuali kelas menengah yang menjadi tumpuan dalam proses demokratisasi. Dalam pemilihan umum misalnya, setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih dan juga dipilih. Itulah salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam bernegara. Lebih jauh lagi terdapat beberapa komponen lain
53
yang menentukan arah kelas menengah dalam perannya sebagai agen perubahan. Berikut pandangan kelas menengah terhadap demokrasi yang dijelaskan dalam Tabel 33. Tabel 33 Pandangan terhadap demokrasi Pernyataan Masyarakat belum siap menerapkan demokrasi yang sebenarnya Setiap organisasi politik yang mengancam stabilitas nasional harus dilarang Pemerintah mengetahui apa yang terbaik bagi negara dan masyarakat Pertumbuhan ekonomi lebih penting daripada kebebasan politik Keikutsertaan pada organisasi politik akan berkontribusi kepada pembangunan demokrasi Pemerintah harus mengembangkan masyarakat yang lebih menghargai gagasan daripada uang Pemerintah harus melindungi kebebasan berbicara dan berpendapat Pemerintah harus lebih mendengarkan suara rakyat
Setuju
Tidak Ragusetuju ragu
60.3
27.6
12.1
82.8
5.2
12.1
24.1
44.8
31.0
70.7
19.0
10.3
36.2
32.8
31.0
82.8
0
17.2
93.1
1.7
5.2
91.4
0
8.6
Dalam pernyataan pemerintah harus melindungi kebebasan berbicara dan berpendapat, responden menjawab 93.1 persen setuju. Sebuah angka yang sangat besar dan berimplikasi terhadap tumbuh kembangnya demokrasi di Indonesia. Kemudian, mereka meyakini bahwa sudah seharusnya pemerintah lebih mendengarkan suara rakyat (91.4 persen). Berbagai ungkapan ketidakpuasan yang disampaikan ingin segera ditindaklanjuti. Dalam hal organisasi politik, mereka menilai bahwa organisasi politik yang mengancam stabilitas nasional tidak boleh diizinkan (82.8 persen). Adapun bentuk kontribusi tidak harus selalu melalui organisasi politik, buktinya hanya 36.2 persen yang menjawab setuju bahwa keikutsertaan pada organisasi politik berkontribusi terhadap pembangunan demokrasi. Tabel 34 Prioritas dalam demokrasi Pernyataan Pemerintah harus lebih mendengarkan suara rakyat Pengembangkan masyarakat yang lebih menghargai gagasan daripada uang Peningkatan dan perlindungan terhadap kebebasan politik, berbicara, dan berpendapat Organisasi politik harus dikontrol Penerapan demokrasi secara komprehensif
Urutan 1 2 3 4 5
Kelas menengah di Kota Bandung adalah mereka yang menginginkan hidup dalam kedamaian. Mereka adalah pihak yang merasa harus selalu diperhatikan oleh pemerintah, hal ini terbukti dari poin bahwa pemerintah harus lebih
54
mendengarkan suara rakyat yang menempati urutan pertama ketika diminta mengurutkan. Mereka ingin setiap hak-hak nya dijamin oleh pemerintah. Dalam kesehariannya, kelas menengah sibuk dalam bekerja sehingga jarang memiliki waktu luang untuk bergabung dalam komunitas. Dalam prioritas pertama bahwa pemerintah harus mendengar suara rakyat, bisa juga berarti masyarakat menginginkan suasana yang demokratis, jauh dari kesan otoriter yang mengekang kebebasan bependapat. Contohnya seperti kutipan hasil wawancara berikut. “Harusnya kita tuh kenal dengan wakil kita. Masalahnya yang sekarang itu kan kita ngga kenal. Mereka cukup kampanye dgn dangdut di lapangan atau bagi2 leaflet, emangnya kita ini. Harusnya ada yang lebih cerdaslah, dateng apakah ngadain dialog atau diskusi. Tapi bukan cuma di masa kampanye, harusnya pas masa reses jangan keluar negeri aja dong, datengin kita-kita di sini gimana. Nanti kita sampaikan, selama ini kita bukannya ngga mau nyampein, sering kok saya sampein lewat sms pengaduan, lapor ke UKP4, dulu pas LPG pernah ngirim sms ke UKP4 dan dibalas pake auto reply. Kan jadi harusnya kita tuh tau wakil kita di DPR tuh siapa. Kalau perlu kita bisa sms, harusnya mereka yang aktif ke masyarakat.” Dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, rakyat memiliki peran besar dalam menentukan konstelasi politik bangsa. Kelas menengah memiliki opini tentang bagaimana seharusnya demokrasi di Indonesia berjalan dengan peran masyarakat di dalam nya. Berikut penuturan responden. “Kalau saya mah, untuk presiden langsung, DPR itu ngga usah semuanya, mungkin DPD aja ya ngga usah pake dari parpol gitu, perwakilan daerah aja dipilih gitu. Yang bener-bener orang-orang yang ngerti permasalahan daerahnya. Kalau saya ya usulan aja, ini kan namanya usulan. Kalau DPRD yang kayak sekarang partai, partainya orangnya diem dimana, dia dapilnya dimana. Emang ngerti kondisi di sana. Mending juga perwakilan DPD-DPD itulah masuk, orang-orang dari daerah perwakilan.” “Mungkin perlu ada saluran untuk masyarakat yang memiliki ide atau gagasan untuk dapat disampaikan. Tapi ngga ngerti dalam bentuk apa jadi tidak hanya milih. Dilihat misalnya dari programprogram itu benar tidak ada yang diprogramkan dan diimplementasikan. Ada monitoring dan evaluasinya.” Pandangan terhadap Ekonomi Perekonomian Indonesia yang terus membaik dan tumbuh positif ternyata juga menyiratkan berbagai pandangan dari kelas menengah. Tentunya, situasi dan kondisi saat ini tidak serta merta serba sempurna, melainkan masih banyak yang dirasa masih kurang. Adapun pertumbuhan ekonomi bukan berarti selalu nomor satu apabila tidak dibarengi dengan pemerataan dan kesejahteraan ekonomi. Pandangan terhadap ekonomi dapat dilihat dalam Tabel 35 berikut.
55
Tabel 35 Pandangan terhadap ekonomi Pernyataan Pertumbuhan ekonomi lebih penting daripada pemerataan ekonomi Pemerintah harus mempertahankan pertumbuhan ekonomi tetap tinggi Pemerintah harus mempertahankan stabilitas ekonomi Harga-harga kebutuhan pokok harus ditekan Sarana prasarana publik (angkutan umum, jalanan dan lainnya) perlu ditingkatkan kualitasnya Subsidi BBM seharusnya dialihkan untuk subsidi kelas bawah Diperlukan infrastruktur dengan konektivitas yang baik, secara digital maupun fisik Iklim usaha (kemudahan memulai usaha, kepastian hukum dan regulasi) penting
Setuju
Tidak setuju
Raguragu
31.0
53.4
15.5
70.7
12.1
17.2
94.8 69.0
3.4 15.5
1.7 15.5
94.8
1.7
3.4
79.3
10.3
10.3
93.1
5.2
1.7
94.8
1.7
3.4
Kelas menengah di Kota Bandung memandang bahwa stabilitas ekonomi sangat penting dalam perekonomian, bersamaan dengan perbaikan kualitas sarana prasarana publik dan kondusivitas iklim usaha, serta konektivitas infrastruktur yang baik. Rata-rata kelas menengah di Kota Bandung setuju bahwa pertumbuhan ekonomi penting, tetapi jauh lebih penting adalah pemerataan ekonomi. Sementara pernyataan lainnya juga senada, terkait dengan kepentingan umum seperti sarana prasarana publik dan infrastruktur, iklim usaha, dan stabilnya harga kebutuhan pokok. Hal ini menandakan bahwa kondisi ekonomi menjadi perhatian utama dalam kehidupan sehari-hari. Kelas menengah menginginkan kehidupan yang terjamin dan kemudahan dalam mengakses kebutuhannya. Menariknya, 79.3 persen setuju jika pemerintah mengalihkan subsidi BBM untuk kelas bawah. Selanjutnya, apabila diukur dengan skala prioritas, poin-poin utama dalam ekonomi dijelaskan dalam Tabel 36 berikut. Tabel 36 Prioritas dalam ekonomi Pernyataan Mempertahankan stabilitas ekonomi Menciptakan pemerataan kesejahteraan ekonomi Peningkatan kualitas sarana prasarana publik (angkutan umum, jalanan) Penekanan harga-harga kebutuhan pokok Perbaikan konektivitas infrastruktur, secara digital maupun fisik Kondusivitas iklim usaha (kemudahan memulai usaha, kepastian hukum dan regulasi) Mempertahankan pertumbuhan ekonomi tetap tinggi Pengalihan subsidi BBM
Urutan 1 2 3 4 5 6 7 8
Mempertahankan stabilitas ekonomi adalah prioritas pertama dalam perekonomian di Indonesia menurut kelas menengah di Kota Bandung. Disusul oleh pemerataan kesejahteraan dan peningkatan kualitas sarana prasarana publik.
56
Uniknya, pada pernyataan sebelumnya, 79.3 persen responden setuju bahwa subsidi bahan bakar minyak (BBM) seharusnya dialihkan untuk subsidi kelas bawah tetapi pengalihan subsidi BBM justru berada pada prioritas terakhir dalam bidang ekonomi. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa ketujuh responden dalam wawancara mendalam mengaku masih menggunakan BBM bersubsidi atau premium untuk kendaraan pribadinya. Subsidi BBM dipandang masih sebagai hak dan rugi apabila tidak dimanfaatkan oleh mereka. BBM bersubsidi dirasa masih sangat dibutuhkan meskipun mereka juga setuju apabila nantinya subsidi tersebut harus dialihkan atau dihapuskan. Salah satu responden menyebutkan bahwa pada kenyataannya jika subsidi itu dialihkan belum tentu akan menyentuh semua masyarakat kelas bawah. Perlunya subsidi karena keberadaan transportasi publik yang memadai masih jauh dari harapan sehingga masyarakat tidak memiliki substitusi. Contohnya di Malaysia yang bahkan bis dalam kota nya disubsidi oleh pemerintah dengan harga BBM bersubsidi yang juga cukup terjangkau sehingga memberikan pilihan pada masyarakat. Pandangan lain menyetujui pengalihan subsidi BBM kepada sektor lain yang lebih membutuhkan seperti pembangunan desa, pelayanan umum, transportasi publik, pendidikan, dan kesehatan. Kelas menengah pada dasarnya setuju andaikan subsidi BBM dialihkan untuk kelas bawah tetapi dengan regulasi yang jelas dan tegas. Perubahan itu seringkali harus dipaksa oleh regulasi, maka jika regulasinya longgar pasti tidak tegas. Pengawasan serius dari pemerintah dianggap masih kurang selama ini. Kepuasan dan Partisipasi terhadap Pemerintah Kota Kota Bandung merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang mengalami perkembangan cukup pesat. Sebagai Ibukota Provinsi Jawa Barat, provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, Kota Bandung juga memiliki berbagai problematika. Mulai dari masalah sosial, pelayanan kesehatan, dan juga pendidikan. Salah satu yang menjadi sorotan adalah kinerja pemerintah kota yang seharusnya juga diikuti oleh partisipasi masyarakat setempat, utamanya kelas menengah. “Kebijakan pembangunan seringkali tidak melihat kebutuhan masyarakat. Jadi kebijakan yang sudah dibuat ternyata tidak selaras dengan kenyataan di lapangan. Misalnya, seniman meminta sarana gedung pertunjukan, pemerintah sudah buat tetapi tidak sesuai keinginan karena lokasi jauh dan tidak terjangkau angkutan umum. Inilah akibat miskomunikasi dalam kebijakan pembangunan. Contoh lainnya Bandung yang merupakan ibukota Jawa Barat dan menjadi barometer banyak hal, mode, musik, kota kreatif, tetapi kehebohan itu hanya ada di jalan besar, misalnya saat weekend di Dago. Belok sedikit ke gang, situasinya akan jauh berbeda karena bau dan sumpek padahal di dalam kota. Saya menemukan di satu gang rumah orang miskin roboh karena terkena hujan besar tetapi tidak ada perhatian dari pemerintah. Hal ini mencerminkan kebijakan pemerintah tidak sinkron dengan realita kehidupan. Jadi yang berubah itu hanya lapisan luar, lapisan dalamnya tidak.”
57
Kutipan di atas adalah gambaran ketidakpuasan warga kelas menengah Kota Bandung terhadap pemerintah daerahnya. Secara umum terdapat dalam Tabel 37 yang merupakan aspek penilaian kelas menengah Kota Bandung terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung dalam berbagai kebijakan. Tabel 37 Kepuasan terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung
19.0 20.7
Tidak puas 67.2 69.0
Tidak tahu 13.8 10.3
17.2 39.7 37.9
79.3 55.2 53.4
3.4 5.2 8.6
6.9 15.5 15.5
89.7 69.0 43.1
3.4 15.5 41.4
22.4 17.2
69.0 75.9
8.6 6.9
Jenis kebijakan
Puas
Perencanaan dan pengendalian pembangunan Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat Penyediaan sarana dan prasarana umum Pelayanan kesehatan Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial Penanggulangan masalah sosial Pelayanan bidang ketenagakerjaan Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah Pengendalian lingkungan hidup Pelayanan administrasi umum pemerintahan
Tingkat kepuasan terhadap Pemerintah Kota Bandung mayoritas menjawab tidak puas untuk semua bidang. Responden yang menjawab puas rata-rata nya hanya sebesar 21.2 persen dibandingkan dengan yang menjawab tidak puas yaitu sebesar 67.1 persen. Sementara sisanya sebesar 11.7 persen menjawab tidak tahu. Artinya, sebagian besar kelas menengah di Kota Bandung masih merasa bahwa kinerja pemerintah daerah tempat mereka tinggal masih kurang jika tidak bisa dikatakan buruk, terutama dalam hal penanggulangan masalah sosial. Rata-rata yang menjawab tidak puas tidak ada yang melebihi 30 persen kecuali pelayanan kesehatan dan penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial, yaitu masing-masing sebesar 39.7 persen dan 37.9 persen. Angka-angka ini menyisakan harapan akan perbaikan Kota Bandung yang dinilai masih jauh dari kata ideal. Berikut penuturan para responden. “Pemerintah kota sekarang dengan pergantian walikota ini semangatnya masih membangun tapi untuk maintenance nya belum. Contoh taman yang kotor. Tamannya udah diperbaiki bagus tapi ngga di maintenance lagi, harusnya ada dinas kebersihan tapi kurang apakah sumber daya nya atau dananya. Ridwan Kamil itu senengnya buat event dan komunitas. Tapi kan sebenarnya permasalahan bukan itu doang. Untuk infrastruktur, hujan dikit banjir, selokan masih mampet. Penertiban IMB, sempadan jalan belum ditegakkan. Transportasi ada bis sekolah, Damri masih terbatas dan udah jelek banget.”
58
“Harusnya semakin baik. Di awal-awal perubahan ini kita sedang menerapakan RPJMD, janji-janji walikota diadopsi di dalamnya. Dengan adanya hubungan yang alot antara pemerintah dan legislatif maka bisa jadi kendala lima tahun ke depan. Sehingga ke bawahnya penganggaran tersendat padahal kita dituntut bekerja cepat. Ini sudah bulan April. Mungkin karena payung hukumnya belum ada sehingga RPJMD tidak kunjung disahkan. Tetapi ada juga hal positif. Contohnya raskin dari pemerintah pusat disubsidi oleh pemerintah kota sehingga gratis bagi masyarakat miskin ditambah dengan bantuan biaya operasional. Ada juga Damri gratis untuk pelajar di hari-hari tertentu yang bekerja sama dengan CSR perusahaan swasta. Di bidang lingkungan hidup ada gerakan sejuta biopori, pembuatan sumur resapan, dan penggalian gorong-gorong saluran air.” Meskipun penilaian terhadap kinerja pemerintah daerah kurang terlalu baik, pada dasarnya masyarakat Kota Bandung, dalam hal ini khususnya kelas menengah, memiliki kesadaran yang cukup tinggi untuk berpartisipasi terhadap program pemerintah daerah, misalnya program sejuta biopori. Beberapa dari responden bahkan menjadi relawan biopori juara. Prinsipnya, apapun untuk kebaikan masyarakat maka program pemerintah akan selalu disambut dengan optimis. Bahwa nanti terjadi distorsi dalam pelaksanaan itu merupakan hal lain. Sayangnya, ada juga yang menjawab tidak bersedia berpartisipasi karena tidak ada waktu kecuali yang terkait dengan pekerjaannya. Respons dan Langkah Nyata Di tengah berbagai pesimisme akan kondisi negeri, kelas menengah Kota Bandung pun sebetulnya menaruh harapan untuk masa depan yang lebih baik. Berdasarkan hasil penelitian, berikut adalah respons atas berbagai ketidakpuasan yang mereka rasakan. Tabel 38 Respons terhadap ketidakpuasan Pernyataan Mengungkapkan di media sosial (menge-tweet, menulis status, dan lainnya) Memberikan kritik dan saran secara langsung (e-mail, sarana pengaduan, kotak saran, surat terbuka, dan lainnya) Menginiasi sendiri sebuah gerakan, kampanye, atau komunitas untuk menciptakan perubahan Menginiasi bersama orang lain sebuah gerakan, kampanye, atau komunitas untuk menciptakan perubahan Bergabung ke sebuah gerakan, kampanye, atau komunitas yang relevan Merasa perlu adanya perubahan tetapi belum atau tidak melakukan apa-apa
Ya
Tidak
Raguragu
41.4
48.3
10.3
55.2
34.5
10.3
15.5
74.1
10.3
22.4
63.8
13.8
22.4
67.2
10.3
55.2
36.2
8.6
59
Sebagai kaum intelektual, keberadaan kelas menengah diharapkan dapat menyuarakan kebenaran atau sebagai agen perubahan. Tetapi ketika menanggapi berbagai bentuk ketidakpuasan, 41.4 persen mengungkapkannya di media sosial, baik Twitter, Facebook, dan sebagainya. Meskipun tidak mencapai setengahnya, namun angka itu cukup besar dan menunjukkan bahwa kelas menengah senang berkicau. Walaupun banyak gerakan yang dimotori lewat media sosial tetapi kicauan ini seringkali dianggap hanya sebagai keluhan alih-alih sebagai bentuk perlawanan atau aksi menuntut perubahan. Hal ini tercermin dalam keterlibatannya pada gerakan, kampanye, atau komunitas untuk menciptakan perubahan sebagai inisiator individu maupun kolektif yang hanya di bawah 25 persen. Sementara yang bergabung ke sebuah gerakan, kampanye, komunitas yang relevan juga masih sedikit yaitu 22.4 persen saja. Jawaban yang menyedihkan adalah saat lebih dari 50 persen menjawab membutuhkan perubahan tetapi belum atau tidak melakukan apa-apa. Tetapi di balik fakta tersebut, ada segelintir harapan yang terpancar dari kelas menengah tersebut. Mereka melakukan beberapa langkah nyata yang dalam menyikapi berbagai ketidakpuasan selama menjadi warga Kota Bandung berdasarkan hasil wawancara, yaitu sebagai berikut. 1. Mengkritisi dalam beberapa hal sembari membangun. Salah satu responden adalah inisiator pembangun kampung bangkit di salah satu wilayah Kota Bandung serta pernah berpartisipasi dalam kegiatan peningkatan pendidikan, ekonomi, sosial, dan agama. 2. Menjadi wakil rakyat karena sering turun ke lapangan mengumpulkan informasi, data, dan memotret situasi. Sehingga, harus ada yang menyuarakan dan akhirnya menjadi alasan maju sebagai calon legislatif. Apabila nanti terplih, ketika di Dewan Perwakilan Rakyat mampu berbicara dan berwenang melalui regulasi, hak pengawasan dan budgeting. Peran itu yang ingin diambil karena selama ini baru bisa bergerak dari luar parlemen. 3. Berbagi ke teman dan memikirkan rencana perubahan. Meskipun tidak secara langsung mengungkapkan ketidakpuasan terhadap pemerintah dan masih belum berupa gerakan. Sebagai agen perubahan, kelas menengah semestinya menjadi kritis. Di tengah kritik tersebut juga harus mampu berbuat dan berkontribusi terhadap lingkungannya sehingga tidak hanya berkeluh kesah. Meskipun apabila berbicara kekuatan, pemerintah lah yang seharusnya dapat berbuat jauh lebih besar. Tetapi alangkah hebatnya ketika dua kekuatan itu, pemerintah bersama-sama kelas menengah bersinergi dan berkolaborasi untuk kemajuan bangsa. Contoh riil agen perubahan yang dimotori oleh kelas menengah terjadi di Negara-Negara Arab akhir tahun 2010 lalu, dikenal sebagai Arab Spring. Perisitiwa ini merupakan gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi di dunia Arab. Telah terjadi revolusi di Tunisia dan Mesir; perang saudara di Libya; pemberontakan sipil di Bahrain, Suriah, dan Yaman; dan protes-protes di negara lainnya. Protes ini menggunakan teknik pemberontakan sipil dalam kampanye yang melibatkan serangan, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial, seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Skype, untuk mengorganisasi, berkomunikasi, dan meningkatkan kesadaran terhadap usaha-usaha penekanan
60
dan penyensoran internet oleh pemerintah. Banyak unjuk rasa ditanggapi keras oleh pihak berwajib, serta milisi dan pengunjuk rasa pro-pemerintah.58
Hubungan Karakteristik Responden dengan Perubahan Sosial Karakteristik responden dilihat berdasarkan jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan per bulan, dan pengeluaran rata-rata per bulan. Semangat perubahan sosial dapat dilihat berdasarkan inisiator perubahan sosial (INISIATORSOS), partisipasi dalam gerakan-gerakan sosial (GERAKANSOS), dan bergabung dalam organisasi sosial (ORGANISOS). Hasil menunjukkan terdapat hubungan positif dan signifikan antara jenis kelamin dengan inisiator perubahan sosial (INISIATORSOS) dengan nilai pearson chi-square sebesar 7.608 dengan signifikansi 3.84. Pendidikan merupakan salah satu karakteristik konsumen yang memiliki hubungan positif dan signifikan dengan variabel partisipasi dalam gerakan-gerakan sosial (GERAKANSOS) dan bergabung dalam organisasi sosial (ORGANISOS). Hubungan variabel pendidikan dengan GERAKANSOS ditunjukkan pada nilai pearson chi-square sebesar 9.526 dengan signifikansi 5.99. Hubungan variabel pendidikan dengan ORGANISOS ditunjukkan pada nilai pearson chi-square sebesar 10.257 dengan signifikansi 5.99. Menurut Hasan (2005), melalui pendidikan manusia diharapkan dapat mencakup beberapa aspek yaitu peningkatan kualitas, daya berpikir, moral, kerja, dan hidup sehingga melatarbelakangi karakter individu untuk menentukan tindakan. Hal ini terjadi karena pendidikan dapat memengaruhi perilaku responden dalam menyikapi perubahan sosial. Variabel lainnya yaitu pekerjaan, pendapatan, dan pengeluaran rata-rata per bulan ternyata tidak memiliki hubungan positif maupun signifikan dengan ketiga variabel tersebut. Hal ini senada dengan pernyataan Weber bahwa kelas tidak hanya ditentukan berdasarkan ukuran kekayaan tetapi juga faktor lain seperti pendidikan. Implikasinya, peran kelas menengah tidak terlepas dari latar belakang pendidikannya terutama dalam menyikapi perubahan sosial.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kelas menengah Kota Bandung adalah masyarakat yang lebih banyak menghabiskan waktunya di tempat kerja. Dalam bekerja, profesinya beragam dan lebih senang bekerja di kantor. Masih sedikit yang memiliki usaha sebagai pekerjaan utama. Andaikan berminat, ada saja kendala untuk memulai usaha, salah satunya motivasi. Sebagian dari mereka sebetulnya memiliki jiwa sosial 58
Philip N. Howard. 2011. The Arab Spring’s Cascading Effects. http://www.psmag.com/navigation/politics-and-law/the-cascading-effects-of-the-arab-spring28575/ [18 September 2014]
61
yang cukup tinggi, hal ini terlihat dengan beberapa gerakan sosial yang diikuti. Kelas menengah Kota Bandung juga mengaku ingin bergabung dalam berbagai komunitas dan organisasi untuk berkontribusi tetapi hanya sedikit waktu untuk mengikuti berbagai rapat dan kegiatan. Walaupun hasilnya pekerjaan, pendapatan, dan pengeluaran rata-rata per bulan ternyata tidak memiliki hubungan positif maupun signifikan dengan keterlibatan dalam perubahan sosial. Sebagai kelas konsumen, kelas menengah Kota Bandung pada dasarnya tidak berperilaku sekonsumtif kelas menengah Jakarta misalnya. Menurut hasil penelitian, porsi akan pemenuhan keinginan tak selalu lebih besar daripada porsi belanja kebutuhan. Begitupun dengan aktivitasnya di waktu luang yang banyak dihabiskan dengan kegiatan-kegiatan produktif. Pandangannya terhadap demokrasi mencerminkan kelas menengah Kota Bandung menginginkan suasana negeri yang kondusif dan hak-haknya dapat dipenuhi oleh pemerintah. Sementara dalam bidang ekonomi, mereka berharap pelayanan umum dan fasilitas publik terjaga dengan baik. Meskipun ada kebanggaan tinggal dan menjadi penduduk Kota Bandung, mereka menilai pemerintah daerah masih belum optimal dalam memenuhi harapan warganya. Ada komitmen untuk patuh dan bersama membangun kota dan bangsa andaikan pemerintah merangkulnya dalam implementasi kebijakan. Menariknya, kelas menengah ini ke depannya mampu menjadi agen perubahan yang nyata bagi daerahnya asalkan ada regulasi yang memaksa. Dalam hal ini, pendidikan memegang peranan dalam mendorong masyarakat kelas menengah ambil andil terhadap perubahan. Generasi saat ini yang melek tekonologi memungkinkan terciptanya perubahan sosial yang masif. Pengguna media sosial yang besar disertai dengan kebutuhan yang instan membuat arus penyebaran informasi demikian cepatnya. Seperti yang terjadi di Kawasan Timur Tengah pada akhir 2010 sampai sekarang, yaitu Arab Spring, melalui kelas menengahnya. Indonesia pun memiliki potensi sama tentunya di bidang yang positif agar kelas menengahnya tergerak untuk menjadi opinion leader, yang secara informal dapat memengaruhi tindakan atau sikap dari orang-orang lain. Secara tidak langsung menjadi perantara pesan yang juga mampu menerjemahkan berbagai macam informasi untuk diteruskan kepada masyarakat luas. Mereka ini sangat mungkin dipercaya oleh masyarakat untuk dimintai pendapat serta memberi pertimbangan. Dengan kata lain kelas menengah punya peranan besar ke depan yang tidak hanya cukup dengan mengandalkan kesadaran pribadi. Maka, perlu terciptanya perilaku kolektif yang tanpa dorongan pihak lain atau kondisi tertentu rasanya masih agak sulit.
Saran Saran yang bisa direkomendasikan berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut. 1. Kebijakan pemerintah, terutama pemerintah daerah, yang terkait dengan pembangunan kota/kabupaten, pengawasan dan pengendalian tata ruang, pendidikan dan sumber daya manusia, dan lain-lain hendaknya lebih banyak melibatkan dan bersinergi dengan masyarakat sipil khususnya kelas menengah. Dalam hal ini kelas menengah berasal dari latar belakang
62
yang beragam, mulai dari dosen, guru, karyawan swasta, penggerak komunitas, aktivis organisasi sosial, businessman, dan sebagainya. Perlu adanya keterlibatan lebih luas masyarakat dalam setiap program pemerintah. Contoh yang telah cukup berhasil dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Bandung, yaitu program Sejuta Biopori. 2. Kelas menengah di Indonesia, khususnya Kota Bandung, memiliki potensi daya beli yang besar. Tetapi, dalam kehidupannya pola konsumsinya cenderung tidak terlalu tinggi. Kelas ini punya akses informasi yang begitu luas dan mampu menjadi agen perubahan bagi sekitarnya. Sehingga, harus ada gerakan yang mendorong mereka menjadi opinion leader dan menciptakan kolaborasi dengan berbagai pihak. 3. Untuk penelitian selanjutnya, definisi kelas menengah perlu dikaji lebih dalam. Disesuaikan dengan kondisi ekonomi politik saat ini yang terus berkembang. Terutama dalam penentuan sampel yang nantinya turut memengaruhi hasil penelitian perlu diperhatikan indikator-indikatornya.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2014. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2013. Jakarta (ID): BPS. _________________.2012. Bandung dalam Angka Tahun 2012. Bandung (ID): BPS Kota Bandung. _________________. 2013. Statistik Daerah Kota Bandung 2013. Bandung (ID): BPS Kota Bandung. _________________. 2014. Penduduk Kota Bandung Menurut Jenis Kelamin Tahun 2013. Bandung (ID): BPS Kota Bandung. Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia Caporaso, James A. dan David P. Levine. 2008. Teori-teori Ekonomi Politik. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. Damanhuri, Didin S. 2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik, dan Solusi bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang. Bogor (ID): IPB Press. _____________________. “Jebakan Negara Berpendapatan Menengah” Gatra, No. 9 Tahun XX, 2-8 Januari 2014, h. 76. Dapur Peta. 2012. Bandung Bisnis Area. http://dapurpeta.blogspot.com/2012/07/bandung-bisnis-area.html [14 September 2014] Darma B. 1997. “Peran Kelas Menengah” Kompas, 5 Oktober 1997, h. 21. Hasan MT. 2005. Islam dan Masalah SDM. Jakarta (ID): Lantabora Press. Howard PN. 2011. The Arab Spring’s Cascading Effects. http://www.psmag.com/navigation/politics-and-law/the-cascading-effects-ofthe-arab-spring-28575/ [18 September 2014] Jaya H ed. 1999. Kelas Menengah Bukan Ratu Adil. Yogyakarta (ID): PT. Tiara Wacana Yogya.
63
Juanda B. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. Bogor (ID): IPB Press. Koestanto BD. 2014. Jebakan Kelas Menengah. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/11/19/0738508/Jebakan.Kelas.M enengah [22 Januari 2014] Kompas. 1996. “Kelas Menengah Jakarta dan Kemungkinan Terjadinya Perubahan Sosial” Kompas, 14 Desember 1996, h. 4. Litbang Kompas. 1996. “Sulit Lahirkan Agen Reformasi Kelas Menengah” Kompas, 13 Desember 1996, h. 1 Mangkoesoebroto G. 2000. Ekonomi Publik. Yogyakarta (ID): BPFE. Muhaimin Y. 1984. “Politik, Pengusaha Nasional, dan Kelas Menengah Indonesia” Prisma, Maret 1984, h. 63-64. Mukrim A. 2012. Memahami Kelas Menengah dalam Perspektif Ekonomi Politik. http://sosbud.kompasiana.com/2012/07/04/memahami-kelas-menengah-dalamperspektif-ekonomi-politik-474633.html [13 Oktober 2013] Nainggolan B. 1997. “Menyibak Misteri Kelas Menengah Asia Tenggara. Kelompok Masyarakat yang Makmur” Kompas, 11 Agustus 1997, h. 20. Perdana J. 2013. Hatta Rajasa: Kelas Menengah Indonesia Masih Konsumtif, Belum Produktif. http://www.the-marketeers.com/archives/hatta-rajasa-kelasmenengah-indonesia-masih-konsumtif-belum-produktif.html#.Up74P8QW1Xk [27 November 2013] Prasetyantoko A ed. 2012. Pembangunan Inklusif: Prospek dan Tantangan. Jakarta (ID): LP3ES Rachbini DJ. 2002. Ekonomi Politik: Paradigma dan Teori Pilihan Publik. Jakarta (ID): Penerbit Ghalia Indonesia. Rochmi N. 2009. Jumlah Golput di Jakarta Naik Dibanding 2004. http://www.tempo.co/read/news/2009/07/20/146188008/Jumlah-Golput-diJakarta-Naik-Dibanding-2004/ [20 Desember 2013] Marbun S ed. 2013. Satu Dasawarsa Membangun Untuk Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Sosial. Setiawan B. 2012. Siapa Kelas Menengah Indonesia?. http://nasional.kompas.com/read/2012/06/08/13003111/Siapa.Kelas.Menengah .Indonesia [12 Oktober 2013] _____________. 2012. Makin Konsumtif, Makin Konservatif. http://nasional.kompas.com/read/2012/06/08/02212693/about.html [4 Februari 2014] Suhendra. 2012. Rhenald Kasali: Kelas Menengah Kita di Posisi Tak Tahu Malu! http://finance.detik.com/read/2012/04/04/143742/1885069/4/rhenald-kasalikelas-menengah-kita-di-posisi-tak-tahu-malu [5 November 2013] Sondakh FA dkk. 1996. “Antara Stabilitas dan Demokrasi” Kompas, 30 September 1996, h. 4. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung (ID): Alfabeta. Suharyadi dkk. 2007. Kewirausahaan: Membangun Usaha Sukses Sejak Usia Muda. Jakarta (ID): Salemba Empat. Warsilah H ed. 2006. Kelas Menengah dan Demokratisasi: Partisipasi Kelas Menengah dalam Kontrol Sosial Terhadap Pelaksanaan Pemerintahan yang
64
Baik dan Bersih (Studi Kasus di Kendari, Sulawesi Tenggara dan Lombok, Nusa Tenggara Barat). Jakarta (ID): LIPI Press. Yuswohady. 2012. Consumer 3000: Revolusi Konsumen Kelas Menengah Indonesia. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. __________. 2013. The Three Dimmensions of Indonesian-Middle Class Segmentation. http://consumer3000.net/articles/framework-articles/the-threedimmensions-of-indonesian-middle-class-segmentation/ [4 November 2013]
65
LAMPIRAN Lampiran 1. Kuesioner Penelitian
KUESIONER PENELITIAN STUDI KELAS MENENGAH DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK: KASUS KOTA BANDUNG PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
Saya adalah mahasiswa semester delapan Departemen Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor. Saat ini saya sedang melakukan penelitian tentang kelas menengah di Kota Bandung dalam pembangunan demokrasi dan ekonomi Indonesia. Kuesioner ini berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang, perilaku, pandangan, dan peran Anda yang merepresentasikan karakteristik kelas menengah. Saya memohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner ini dengan jujur dan lengkap. Sebelum mengisi pertanyaan diharapkan Anda membaca instruksi yang ada dan memeriksa kembali apakah semua pernyataan telah terjawab. Hasil dari kuesioner dan data pribadi Anda bersifat rahasia serta digunakan hanya untuk kepentingan penelitian. Atas kesediaan Anda meluangkan waktu dan kerjasama yang diberikan, saya ucapkan terima kasih.
Hormat saya, Erlangga Ryansha NIM H14100132
66 Pewawancara Hari/Tanggal wawancara Pukul
: : :
No. …
Nama
:
………………………………………………………………
Usia pada 2014
:
………………………………………………………………
Jenis Kelamin
:
Laki-laki/Perempuan
Status
:
………………………………………………………………
Alamat Tempat Tinggal
:
……………………………………………………………… Kelurahan:……………………Kecamatan:...………………
No. HP
:
………………………………………………………………
E-mail
:
………………………………………………………………
Instruksi Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan pilihan jawaban yang telah disediakan. Berikan tanda centang pada kolom pilihan dan beri nomor urut jika diminta mengurutkan. Mohon tuliskan juga alasan mengapa memilih suatu jawaban jika ditanyakan. IDENTITAS RESPONDEN 1. Pendidikan terakhir a. S1 b. S2 c. S3 2. Pekerjaan a. Pegawai negeri, sebutkan….. b. Swasta, sebutkan….. c. Wiraswasta d. Ibu rumah tangga e. Lainnya, sebutkan….. 3. Pendapatan per bulan a. Rp2.000.000-4.000.000 b. Rp4.000.000-6.000.000 c. Rp6.000.000-8.000.000 d. >Rp8.000.000
67 4. Jika sudah berkeluarga, jumlah anggota keluarga inti (ayah, ibu, dan anak-termasuk Anda) a. 2 b. 3-4 c. 5-6 d. >6 5. Akses pada layanan kesehatan (rumah sakit, klinik, puskesmas) a. Memadai b. Tidak memadai 6. Akses informasi Urutkan berdasarkan frekuensi mengakses selama satu bulan terakhir (1 untuk yang paling sering sampai 3 untuk yang paling jarang) No. Sumber Informasi 1 Internet 2 Televisi 3 Surat Kabar
Urutan
POLA KONSUMSI 7. Jumlah pengeluaran rata-rata per bulan a. Rp720.000-1.440.000 b. Rp1.440.000-2.160.000 c. Rp2.160.000-3.600.000 d. Rp3.600.000-6.000.000 8. Jumlah pengeluaran rata-rata rekening listrik per bulan a. Rp750.000 9. Pengeluaran paling besar selama sebulan terakhir a. Makanan b. Bukan makanan 10. Kepemilikan kartu kredit a. Tidak punya b. Mempunyai satu atau dua c. Mempunyai lebih dari dua 11. Kepemilikan kendaraan bermotor Beri tanda centang (√) pada salah satu kolom pilihan dalam pernyataan di bawah ini: punya atau tidak punya
68
No. 1 2
Jenis Kendaraan
Punya
Tidak Punya
Motor Mobil
12. Kepemilikan alat komunikasi dan informasi Beri tanda centang (√) pada salah satu kolom pilihan dalam pernyataan di bawah ini: punya atau tidak punya; dan jika punya beri tanda centang (√) pada salah satu kolom pilihan: 1 atau >1 No.
Alat
1 2 3 4 5 6 7
Handphone (non smartphone) Smartphone Telepon rumah Televisi Tablet Laptop Personal Computer (PC)
Punya
Tidak Punya
13. Kegiatan saat waktu senggang (leisure time), contoh: hari libur nasional, akhir pekan, dan cuti a. Urutkan berdasarkan frekuensi selama satu tahun terakhir (1 untuk yang paling sering sampai 5 untuk yang paling jarang) No. Kegiatan 1 Ke pusat perbelanjaan moderen (mal, pasar swalayan, factory outlet) Ke sarana edukasi dan ruang publik (museum, kebun binatang, taman buah, 2 perpustakaan, taman kota) 3 Ke tempat makan (di luar mal) (restoran, rumah makan) 4 Rekreasi ke taman hiburan/water park/olahraga (Trans Studio, kolam renang) 5 Rekreasi ke luar kota (di dalam negeri) (Jakarta, Bogor, dan lainnya)
Urutan
b. Urutkan berdasarkan minat (1 untuk yang paling diminati sampai 5 untuk yang paling kurang diminati) No. Kegiatan 1 Ke pusat perbelanjaan moderen (mal, pasar swalayan, factory outlet) Ke sarana edukasi dan ruang publik (museum, kebun binatang, taman buah, 2 perpustakaan, taman kota) 3 Ke tempat makan (di luar mal) (restoran, rumah makan) 4 Rekreasi ke taman hiburan/water park/olahraga (Trans Studio, kolam renang) 5 Rekreasi ke luar kota (di dalam negeri) (Jakarta, Bogor, dan lainnya)
Urutan
69 PEKERJAAN DAN USAHA 14. Rata-rata waktu kerja ….. jam per hari a. <5 b. 6-7 c. 8-9 d. >9 15. Apakah Anda memiliki atau tergabung dalam usaha (baik sebagai pekerjaan utama atau sampingan)? a. Ya b. Tidak (lanjut ke no. 19) 16. Jika ya, bidang usaha (dapat lebih dari satu) a. Perdagangan b. Jasa c. Produksi (Industri Rumah Tangga) i. Produksi makanan dan minuman ii. Kerajinan tangan (handicraft, dompet, tas) d. Peternakan (ayam, bebek, ikan, kambing, sapi) e. Bertani (pemilik maupun penggarap) f. Hortikultura (tanaman hias, sayuran, tanaman obat) g. Lainnya, sebutkan……. 17. Kedudukan Anda dalam usaha a. Pemilik sendiri b. Pemilik bersama orang lain c. Pekerja d. Lainnya, sebutkan……… 18. Jumlah karyawan a. 1-4 orang b. 5-19 orang c. 20-99 orang d. > 100 orang 19. Jika tidak, apakah Anda berencana atau berminat mendirikan usaha? a. Ya, di bidang apa a. Perdagangan b. Jasa c. Produksi (Industri Rumah Tangga) i. Produksi makanan dan minuman ii. Kerajinan tangan (handicraft, dompet, tas) d. Peternakan (ayam, bebek, ikan, kambing, sapi) e. Bertani (pemilik maupun penggarap) f. Hortikultura (tanaman hias, sayuran, tanaman obat) g. Lainnya, sebutkan…….
70 b. Tidak, alasannya (dapat lebih dari satu) a. Sulitnya akses permodalan (pada perbankan) b. Terkendala modal sendiri c. Sulitnya perizinan d. Hambatan regulasi e. Kurang motivasi (ide, kreativitas, inovasi) f. Tidak berminat g. Lainnya, sebutkan……. SOSIAL, POLITIK DAN EKONOMI 20. Apakah Anda memiliki akun media sosial (Facebook, Twitter, dan lain-lain)? a. Ya b. Tidak (lanjut ke no. 22) 21. Akun media sosial yang dimiliki Beri tanda centang (√) pada salah satu kolom pilihan dalam pernyataan di bawah ini: punya atau tidak punya No. 1 2 3 4
Media Sosial Facebook Twitter Path Instagram
Punya
Tidak Punya
22. Apakah Anda pernah menginisiasi (baik individu maupun kolektif) sebuah organisasi/komunitas/gerakan untuk menciptakan perubahan sosial? a. Pernah b. Tidak pernah 23. Apakah Anda pernah berpartisipasi dalam gerakan-gerakan sosial (gerakan pekerja, lingkungan hidup, dan lain-lain)? a. Pernah b. Tidak pernah 24. Partisipasi dan keterlibatan dalam gerakan sosial Beri tanda centang (√) pada salah satu kolom pilihan dalam pernyataan di bawah ini: pernah atau tidak pernah No. 1 2 3 4
Jenis Keterlibatan Perlindungan konsumen Gerakan pekerja Gerakan kaum perempuan Gerakan pro demokrasi
Pernah
Tidak Pernah
71 Perlindungan HAM Perlindungan lingkungan Pendidikan/Keagamaan
5 6 7
25. Apakah Anda tergabung dalam komunitas (perkumpulan sepeda, perkumpulan filatelis, klub olahraga, dan lain-lain) a. Ya b. Tidak (lanjut ke no. 27) 26. Jelaskan komunitas tersebut No.
Nama Komunitas
Pengurus/Anggota
Jenis Komunitas (Hobi/Olahraga/Lainnya)
Ruang Lingkup (Nasional/Regional/Lokal)
1 2 3 27. Alasan utama mengapa Anda tidak tergabung dalam komunitas (pilih salah satu) a. Tidak ada yang mengajak bergabung b. Tidak memiliki cukup waktu untuk mengikuti kegiatan c. Tidak ada komunitas yang sesuai dengan keinginan d. Bergabung dalam komunitas menghabiskan uang secara sia-sia e. Alasan lainnya, sebutkan…… 28. Apakah Anda tergabung dalam organisasi sosial/kemasyarakatan (yayasan, lembaga amal, serikat pekerja, lingkungan hidup dan lain-lain)? a. Ya b. Tidak (lanjut ke no. 30) 29. Jelaskan organisasi tersebut No.
Nama Organisasi
Posisi
Ruang Lingkup (Nasional, Regional, Lokal)
1 2 3 30. Alasan utama mengapa Anda tidak tergabung dalam organisasi sosial/kemasyarakatan (pilih salah satu) a. Tidak ada yang mengajak bergabung b. Tidak memiliki cukup waktu untuk mengikuti rapat dan kegiatan c. Tidak ada organisasi sosial/kemasyarakatan yang sesuai dengan keinginan d. Bergabung dalam organisasi sosial/kemasyarakatan menghabiskan uang secara sia-sia e. Tidak berminat f. Alasan lainnya, sebutkan……
72 31. Apakah anda tergabung sebagai anggota/pengurus dalam organisasi politik (partai politik, penyelenggara negara, dan lain-lain)? a. Ya b. Tidak (lanjut ke no. 33) 32. Jelaskan organisasi tersebut No.
Nama Organisasi
Posisi
Ruang Lingkup (Nasional, Regional, Lokal)
1 2 3 33. Alasan utama mengapa Anda tidak tergabung dalam organisasi politik (pilih salah satu) a. Tidak ada yang mengajak bergabung b. Tidak memiliki cukup waktu untuk mengikuti rapat dan kegiatan c. Tidak ada organisasi politik yang sesuai dengan keinginan (ideologi) d. Tidak berminat pada politik dan organisasi politik e. Karena profesi f. Alasan lainnya, sebutkan…… 34. Apakah anda tergabung sebagai simpatisan dalam organisasi partai politik tertentu? a. Ya b. Tidak (lanjut ke no. 36) 35. Sebagai simpatisan, mana yang pernah anda lakukan terhadap organisasi partai politik tersebut (dapat lebih dari satu)? a. Ikut serta/hadir dalam pawai/kampanye partai politik b. Membantu menyebarkan selebaran/atribut partai poltik c. Menyumbang dana ke partai politik d. Mempengaruhi teman untuk memilih partai politik tertentu 36. Penggunaan hak pilih Beri tanda centang (√) pada salah satu kolom pilihan: (akan) menggunakan, (akan) tidak menggunakan, atau ragu-ragu (tidak ingat atau belum memutuskan) No.
Pemilihan
1 2 3 4 5 6 7
Pemilihan Umum Legislatif 2014 Pemilihan Umum Presiden 2014 Pemilihan Umum Legislatif 2009 Pemilihan Umum Presiden 2009 Pemilihan Umum Legislatif 2004 Pemilihan Umum Presiden 2004 Pemilihan Umum Gubernur Jawa Barat 2013
(Akan) (Akan) Tidak Menggunakan Menggunakan
Ragu-ragu
73 8 9 10
Pemilihan Umum Gubernur Jawa Barat 2008 Pemilihan Umum Walikota Bandung 2013 Pemilihan Umum Walikota Bandung 2008 37. Jika memilih minimal satu saja pada kolom (akan) tidak menggunakan hak pilih, beri tanda centang (√) pada kolom alasan (A-F) (dapat lebih dari satu dan berbeda untuk masing-masing pemilihan)
No. Pemilihan A B C D E F 1 Pemilihan Umum Legislatif 2014 2 Pemilihan Umum Presiden 2014 3 Pemilihan Umum Legislatif 2009 4 Pemilihan Umum Presiden 2009 5 Pemilihan Umum Legislatif 2004 6 Pemilihan Umum Presiden 2004 7 Pemilihan Umum Gubernur Jawa Barat 2013 8 Pemilihan Umum Gubernur Jawa Barat 2008 9 Pemilihan Umum Walikota Bandung 2013 10 Pemilihan Umum Walikota Bandung 2008 Keterangan: A. Pemilu tidak memberikan perubahan B. Tidak tertarik dengan politik C. Tidak menemukan calon yang sesuai D. Tidak puas dengan kinerja partai politik dan incumbent (petahana) sebelumnya E. Ada urusan lain saat hari pemilihan F. Kesalahan teknis (contoh: tidak terdaftar dalam DPT, belum menjadi penduduk Jawa Barat/Kota Bandung) 38. Persepsi terhadap demokrasi Beri tanda centang (√) pada salah satu kolom pilihan dalam pernyataan di bawah ini: setuju, tidak setuju, atau ragu-ragu No.
1 2 3 4 5 6 7 8
Pernyataan Masyarakat belum siap menerapkan demokrasi yang sebenarnya Setiap organisasi politik yang mengancam stabilitas nasional harus dilarang Pemerintah mengetahui apa yang terbaik bagi negara dan masyarakat Pertumbuhan ekonomi lebih penting daripada kebebasan politik Keikutsertaan pada organisasi politik akan berkontribusi kepada pembangunan demokrasi Pemerintah harus mengembangkan masyarakat yang lebih menghargai gagasan daripada uang Pemerintah harus melindungi kebebasan berbicara dan berpendapat Pemerintah harus lebih mendengarkan suara rakyat
Setuju
Tidak Setuju
Raguragu
74 39. Persepsi terhadap demokrasi Beri urutan berdasarkan prioritas menurut Anda untuk pernyataan di bawah ini (1 untuk yang paling penting sampai 5 untuk yang paling kurang penting) No. Pernyataan 1 Penerapan demokrasi secara komprehensif 2 Organisasi politik harus dikontrol Peningkatan dan perlindungan terhadap kebebasan politik, 3 berbicara, dan berpendapat Pengembangkan masyarakat yang lebih 4 menghargai gagasan daripada uang 5 Pemerintah harus lebih mendengarkan suara rakyat
Urutan
40. Persepsi terhadap ekonomi Beri tanda centang (√) pada salah satu kolom pilihan dalam pernyataan di bawah ini: setuju, tidak setuju, atau ragu-ragu No.
1 2 3 4 5 6 7 8
Pernyataan
Setuju
Tidak RaguSetuju ragu
Pertumbuhan ekonomi lebih penting daripada pemerataan ekonomi Pemerintah harus mempertahankan pertumbuhan ekonomi tetap tinggi Pemerintah harus mempertahankan stabilitas ekonomi Harga-harga kebutuhan pokok harus ditekan Sarana prasarana publik (angkutan umum, jalanan dan lainnya) perlu ditingkatkan kualitasnya Subsidi BBM seharusnya dialihkan untuk subsidi kelas bawah Diperlukan infrastruktur dengan konektivitas yang baik, secara digital maupun fisik Iklim usaha (kemudahan memulai usaha, kepastian hukum dan regulasi) penting 41. Persepsi terhadap ekonomi Beri urutan berdasarkan prioritas menurut Anda untuk pernyataan di bawah ini (1 untuk yang paling penting sampai 8 untuk yang paling kurang penting)
No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Pernyataan Mempertahankan pertumbuhan ekonomi tetap tinggi Menciptakan pemerataan kesejahteraan ekonomi Mempertahankan stabilitas ekonomi Penekanan harga-harga kebutuhan pokok Peningkatan kualitas sarana prasarana publik (angkutan umum, jalanan) Pengalihan subsidi BBM Perbaikan konektivitas infrastruktur, secara digital maupun fisik Kondusivitas iklim usaha (kemudahan memulai usaha, kepastian hukum dan regulasi)
Urutan
75 42. Persepsi terhadap kebijakan Pemerintah Kota Bandung Beri tanda centang (√) pada salah satu kolom pilihan dalam pernyataan di bawah ini: puas, tidak puas, atau tidak tahu No.
Kebijakan
1
Perencanaan dan pengendalian pembangunan
2
Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
3
Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
4
Penyediaan sarana dan prasarana umum
5
Pelayanan kesehatan
Puas
Tidak Tidak Puas Tahu
Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia 6
potensial
7
Penanggulangan masalah sosial
8
Pelayanan bidang ketenagakerjaan
9
Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah
10
Pengendalian lingkungan hidup
11
Pelayanan administrasi umum pemerintahan 43. Respon terhadap ketidakpuasan kebijakan Beri tanda centang (√) pada salah satu kolom pilihan dalam pernyataan di bawah ini: ya, tidak, atau ragu-ragu
No.
1 2 3 4 5 6
Pernyataan
Ya
Tidak
Raguragu
Mengungkapkan di media sosial (menge-tweet, menulis status, dan lainnya) Menginiasi sendiri sebuah kampanye/gerakan/komunitas untuk menciptakan perubahan Menginiasi bersama orang lain sebuah kampanye/gerakan/komunitas untuk menciptakan perubahan Bergabung ke sebuah kampanye/gerakan/komunitas yang relevan Memberikan kritik dan saran secara langsung (e-mail, sarana pengaduan, kotak saran, surat terbuka, dan lainnya) Merasa perlu adanya perubahan tetapi belum atau tidak melakukan apa-apa --------------------------------------------- Terima Kasih ---------------------------------------------
76 Lampiran 2. Daftar Pertanyaan Wawancara Mendalam
Daftar Pertanyaan Wawancara Mendalam
1. Apa pendidikan terakhir Anda saat ini? Jurusan (mayor) apa yang diambil? 2. Apa pekerjaan tetap Anda saat ini? Posisi di pekerjaan? 3. Apakah sudah berkeluarga dan memiliki anak? Jika sudah, apakah semua anak Anda mengenyam pendidikan? Pendidikan tinggi? 4. Jelaskan apakah menurut Anda pendidikan dapat memperbaiki kehidupan seseorang? 5. Apakah ada perubahan pola konsumsi dalam keluarga Anda (sebelum dan setelah krisis ekonomi)? 6. Apakah anda memiliki asuransi dan tabungan masa depan? Sebutkan (kesehatan, jiwa, dll)? 7. Kegiatan saat waktu senggang (leisure time), contoh: hari libur nasional, akhir pekan, dan cuti? Konsumtif atau produktif? 8. Menurut Anda apa yang mendorong masyarakat begitu konsumtif? 9. Apakah anda menggunakan BBM bersubsidi? Bagaimana pandangan anda terhadap subsidi BBM? 10. Bagaimana pandangan Anda terhadap wirausaha dalam membangun perekonomian Indonesia? Berminatkah anda menjadi seorang wirausahawan? 11. Jika memiliki akun media sosial, banyak digunakan untuk apa? Pekerjaan, aktivitas sosial, personal, atau lainnya? 12. Jika Anda pernah menginisiasi (baik individu maupun kolektif) sebuah organisasi/komunitas/gerakan untuk menciptakan perubahan sosial, apa yang mendorong Anda melakukannya? 13. Apakah Anda pernah berpartisipasi dalam gerakan-gerakan sosial? Sejauh mana partisipasi dan keterlibatan Anda? 14. Apakah Anda tergabung dalam organisasi sosial/kemasyarakatan (yayasan, lembaga amal, serikat pekerja, lingkungan hidup dan lain-lain)? Sejauh mana peran Anda? 15. Apakah anda tergabung sebagai anggota/pengurus dalam organisasi politik (partai politik, penyelenggara negara, dan lain-lain)? Jika tidak, mengapa? 16. Bagaimana pandangan Anda terhadap organisasi sosial di Indonesia? 17. Bagaimana pandangan Anda terhadap organisasi politik di Indonesia? 18. Bagaimana pandangan Anda terhadap penggunaan hak pilih? 19. Bagaimana pandangan Anda terhadap penggunaan golput secara pilihan? 20. Bagaimana pengaruh pemilu (legislatif maupun presiden) terhadap kehidupan? 21. Bagaimana demokrasi yang seharusnya di Indonesia? Sejauh mana peran masyarakat dalam demokrasi? 22. Bagaimana menurut Anda kinerja pemerintah kota? 23. Apakah Anda bersedia berpartisipasi dalam program pemerintah daerah (biopori, dll)? 24. Langkah nyata apa yang Anda lakukan untuk merespon dan menyikapi ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah? 25. Menurut Anda, sejauh mana respon dan sikap tersebut mempengaruhi sebuah perubahan? 26. Pandangan terhadap kelas menengah di Indonesia dalam bidang ekonomi dan politik?
77 Lampiran 3. Ouput Hasil Kuesioner (Minitab) Akses informasi Urutkan berdasarkan frekuensi mengakses selama satu bulan terakhir (1 untuk yang paling sering sampai 3 untuk yang paling jarang) No. Sumber Informasi 1 Internet 2 Televisi 3 Surat Kabar
Urutan 1 2 3
0,75
0,50
Internet
Component 2
prioritas1
0,25 prioritas3 Surat Kabar
0,00
-0,25
Telev isi prioritas2
-0,50 -0,50
-0,25
0,00 0,25 Component 1
0,50
0,75
78 Kegiatan saat waktu senggang (leisure time), contoh: hari libur nasional, akhir pekan, dan cuti a. Urutkan berdasarkan frekuensi selama satu tahun terakhir (1 untuk yang paling sering sampai 5 untuk yang paling jarang) No. Kegiatan 1 Ke pusat perbelanjaan moderen (mal, pasar swalayan, factory outlet) Ke sarana edukasi dan ruang publik (museum, kebun binatang, taman buah, 2 perpustakaan, taman kota) 3 Ke tempat makan (di luar mal) (restoran, rumah makan) 4 Rekreasi ke taman hiburan/water park/olahraga (Trans Studio, kolam renang) 5 Rekreasi ke luar kota (di dalam negeri) (Jakarta, Bogor, dan lainnya)
1,0
Component 2
0,5 prioritas 5
k egiatan 2
prioritas 2
k egiatan 4
0,0
k egiatan 3 prioritas 1
prioritas 4 prioritas 3
k egiatan 1
k egiatan 5
-0,5
-0,5
0,0 0,5 Component 1
1,0
Urutan 2 5 1 4 3
79
b. Urutkan berdasarkan minat (1 untuk yang paling diminati sampai 5 untuk yang paling kurang diminati) No. Kegiatan 1 Ke pusat perbelanjaan moderen (mal, pasar swalayan, factory outlet) Ke sarana edukasi dan ruang publik (museum, kebun binatang, taman buah, 2 perpustakaan, taman kota) 3 Ke tempat makan (di luar mal) (restoran, rumah makan) 4 Rekreasi ke taman hiburan/water park/olahraga (Trans Studio, kolam renang) 5 Rekreasi ke luar kota (di dalam negeri) (Jakarta, Bogor, dan lainnya)
0,50 k egiatan 4
Component 2
0,25
0,00
k egiatan 3
prioritas 2
prioritas 4
prioritas 5
prioritas 1 k egiatan 1 k egiatan 2
-0,25
k egiatan 5 prioritas 3
-0,50
-0,75 -0,75
-0,50
-0,25 0,00 Component 1
0,25
0,50
Urutan 2 4 1 5 3
80 Persepsi terhadap demokrasi Beri urutan berdasarkan prioritas menurut Anda untuk pernyataan di bawah ini (1 untuk yang paling penting sampai 5 untuk yang paling kurang penting) No. Pernyataan 1 Penerapan demokrasi secara komprehensif 2 Organisasi politik harus dikontrol Peningkatan dan perlindungan terhadap kebebasan politik, 3 berbicara, dan berpendapat Pengembangkan masyarakat yang lebih 4 menghargai gagasan daripada uang 5 Pemerintah harus lebih mendengarkan suara rakyat
Urutan 5 4 3 2 1
0,50
0,25
prioritas 5
Persepsi 3
Persepsi 1
Component 2
prioritas 3
0,00
prioritas 2
Persepsi 4
Persepsi 2 prioritas 4
-0,25
Persepsi 5
-0,50
prioritas 1
-0,50
-0,25
0,00 0,25 Component 1
0,50
81 Persepsi terhadap ekonomi Beri urutan berdasarkan prioritas menurut Anda untuk pernyataan di bawah ini (1 untuk yang paling penting sampai 8 untuk yang paling kurang penting) Pernyataan Mempertahankan pertumbuhan ekonomi tetap tinggi Menciptakan pemerataan kesejahteraan ekonomi Mempertahankan stabilitas ekonomi Penekanan harga-harga kebutuhan pokok Peningkatan kualitas sarana prasarana publik (angkutan umum, jalanan) Pengalihan subsidi BBM Perbaikan konektivitas infrastruktur, secara digital maupun fisik Kondusivitas iklim usaha (kemudahan memulai usaha, kepastian hukum dan regulasi)
1,0
0,5
Component 2
No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Persepsi 5 prioritas 3
Persepsi 7 Persepsi 4
prioritas 5
0,0
prioritas 4 Persepsi 2 prioritas 2 Persepsi 3
-0,5
-1,0 -1,0
prioritas 7 Persepsi 1
prioritas 6 Persepsi 6
Persepsi 8
prioritas 1
-0,5
prioritas 8
0,0 Component 1
0,5
1,0
Urutan 7 2 1 4 3 8 5 6
82
Lampiran 4. Hasil Uji Chi Square Uji chi square jenis kelamin dengan INISIATORSOS Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.006
Continuity Correction
6.153
1
.013
Likelihood Ratio
8.039
1
.005
Pearson Chi-Square
7.608 b
Fisher's Exact Test
.011
Linear-by-Linear Association
7.477
b
N of Valid Cases
1
.006
.006
58
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.97. b. Computed only for a 2x2 table
Uji chi square jenis kelamin dengan GERAKANSOS Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.940
Continuity Correction
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.006
1
.940
Pearson Chi-Square
.006 b
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
1.000 .006
1
.941
58
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.86. b. Computed only for a 2x2 table
.577
83
Uji chi square jenis kelamin dengan ORGANISOS Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df a
1
.940
Continuity Correction
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.006
1
.940
Pearson Chi-Square
.006 b
Fisher's Exact Test
1.000
Linear-by-Linear Association
.006
b
N of Valid Cases
1
.941
58
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.86. b. Computed only for a 2x2 table
Uji chi square pendidikan dengan INISIATORSOS Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value Pearson Chi-Square
df a
2
.057
6.358
2
.042
.003
1
.958
5.714
Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association
sided)
N of Valid Cases
58
a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .69.
Uji chi square pendidikan dengan GERAKANSOS Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
Pearson Chi-Square
9.526
a
2
.009
Likelihood Ratio
10.064
2
.007
2.844
1
.092
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
58
a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .76.
.577
84
Uji chi square pendidikan dengan ORGANISOS Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value Pearson Chi-Square
df a
2
.006
8.830
2
.012
.545
1
.461
10.257
Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association
sided)
N of Valid Cases
58
a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .38.
Uji chi square pekerjaan dengan INISIATORSOS Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value Pearson Chi-Square
df a
4
.194
7.165
4
.127
.473
1
.492
6.075
Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association
sided)
N of Valid Cases
58
a. 6 cells (60.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.03.
Uji chi square pekerjaan dengan GERAKANSOS Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
a
4
.526
Likelihood Ratio
3.503
4
.477
Linear-by-Linear Association
1.378
1
.240
Pearson Chi-Square
N of Valid Cases
3.195
58
a. 6 cells (60.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.14.
85
Uji chi square pekerjaan dengan ORGANISOS Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
a
4
.237
Likelihood Ratio
5.413
4
.247
Linear-by-Linear Association
2.039
1
.153
Pearson Chi-Square
5.532
N of Valid Cases
58
a. 7 cells (70.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .57.
Uji chi square pendapatan per bulan dengan INISIATORSOS Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
a
3
.088
Likelihood Ratio
6.699
3
.082
Linear-by-Linear Association
4.699
1
.030
Pearson Chi-Square
6.549
N of Valid Cases
58
a. 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.76.
Uji chi square pendapatan per bulan dengan GERAKANSOS Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
a
3
.822
Likelihood Ratio
.902
3
.825
Linear-by-Linear Association
.686
1
.408
Pearson Chi-Square
N of Valid Cases
.916
58
a. 3 cells (37.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.03.
86
Uji chi square pendapatan per bulan dengan ORGANISOS Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
a
3
.200
Likelihood Ratio
4.491
3
.213
Linear-by-Linear Association
4.384
1
.036
Pearson Chi-Square
4.637
N of Valid Cases
58
a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.52.
Uji chi square pengeluaran rata-rata per bulan dengan INISIATORSOS Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
a
3
.079
Likelihood Ratio
6.893
3
.075
Linear-by-Linear Association
2.868
1
.090
Pearson Chi-Square
6.789
N of Valid Cases
58
a. 3 cells (37.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.41.
Uji chi square pengeluaran rata-rata per bulan dengan GERAKANSOS Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
df
sided)
a
3
.317
3.615
3
.306
.219
1
.640
3.531
58
a. 3 cells (37.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.66.
87
Uji chi square pengeluaran rata-rata per bulan dengan ORGANISOS Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
a
3
.054
Likelihood Ratio
8.974
3
.030
Linear-by-Linear Association
5.892
1
.015
Pearson Chi-Square
N of Valid Cases
7.654
58
a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.33.
88
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Erlangga Ryansha, lahir di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1992. Penulis adalah anak dari Iryan Kusmarachmat dan Cut Syahnaz dan merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan sekolah dasar ditempuh di SD Bakti Mulya 400, Jakarta, dilanjutkan ke SMP Bakti Mulya 400, dan kemudian menyelesaikan sekolah menengah atas di SMA Islam Al-Izhar Pondok Labu pada tahun 2010. Setelah lulus dari SMA, penulis melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor, yaitu di Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen hingga lulus pada tahun 2014. Selama kuliah, penulis aktif mengikuti berbagai kepanitiaan maupun organisasi, baik di tingkat departemen, fakultas, dan juga IPB. Adapun organisasi intra kampus yang pernah diikuti adalah IAAS Local Committee IPB dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (BEM FEM). Penulis mengabdi selama dua tahun di BEM FEM, dimulai dengan magang, kemudian menjadi ketua departemen kajian strategis serta pada tahun 2013 diberi amanah sebagai ketua. Selain aktif dalam dunia organisasi di dalam kampus, penulis juga aktif dalam organisasi luar kampus, yaitu Forum Indonesia Muda. Organisasi ini berfokus pada pembangunan sumber daya pemuda. Selain itu, penulis terpilih sebagai salah satu dari XL Future Leaders Batch 2 pada tahun 2013 sampai dengan sekarang. Selama menjadi mahasiswa, penulis memiliki prestasi di bidang menulis melalui juara 2 Call for Paper, Communication Days 6th di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur pada tahun 2011 dan lolos seleksi paper, Conference on Economics, Business and Marketing Management, Singapura berjudul “The Uniqueness of the Marketing System of Maicih Chips The Marketing Analysis of Maicih Chips” pada tahun 2012. Penulis juga pernah menjadi juara 1 lomba debat dalam Fateta Annual English Competition tahun 2012 oleh Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor dan juara 2 lomba debat pada tahun 2013 di ajang yang sama.