STUDI KEGAGALAN STRUKTUR PRECAST PADA BEBERAPA BANGUNAN TINGKAT RENDAH AKIBAT GEMPA PADANG 30 SEPTEMBER 2009 ( )
Josia Irwan Rastandi * (**) Eric Djajasurja (***) Chairul Soleh
1. PENDAHULUAN Selain merupakan salah satu gempa yang memakan banyak korban jiwa, Gempa Padang 30 September 2009 dengan kekuatan 7,6 skala Richter, merupakan satu gempa yang banyak menarik perhatian para Insinyur Struktur dibandingkan dengan gempa lainnya yang terjadi di Indonesia. Berbeda dengan gempa lainnya, pada Gempa Padang ini merupakan gempa yang paling banyak terjadi keruntuhan pada engineered building. Keruntuhan ini terjadi merata, tidak hanya pada bangunan-bangunan swasta, akan tetapi juga banyak terjadi pada bangunan-bangunan kantor pemerintahan, yang nota bene seharusnya dibangun sesuai standar. Hampir semua jenis struktur yang ada mengalami kerusakan atau keruntuhan, mulai dari jalan, jembatan, struktur bangunan tingkat rendah, maupun menengah, struktur baja maupun beton, juga struktur precast, yang akan dibahas pada tulisan ini. Sejalan dengan percepatan pembangunan bidang perumahan, pembangunan dengan menggunakan sistem pracetak, merupakan salah satu kebijakan yang diterapkan di Padang. Beberapa bangunan tingkat menengah sedang dalam tahap konstruksi ketika gempa ini terjadi, dan di dalam tulisan ini akan diulas perilaku dari dua jenis sistem bangunan pracetak ketika terjadi gempa. Jenis pertama merupakan sistem pracetak keseluruhan, baik kolom, balok maupun pelat, sedangkan pada jenis kedua, pracetak hanya dilakukan pada balok dan pelat saja.
2. BANGUNAN PRACETAK KOLOM, BALOK, PELAT Pada saat gempa terjadi, struktur bangunan masih dalam tahap konstruksi. Struktur kolom, balok dan pelat lantai 1 telah selesai dan sedang dalam proses erection kolom lantai 2 (gambar1).
Gambar 1. Kondisi struktur gedung pasca gempa
2.1.
Mutu Beton
Untuk mengetahui mutu beton, dilakukan UPV Test pada balok dan kolom, dan didapat rata-rata mutu beton sebesar 325 kg/cm2 (ekivalen benda uji Kubus) untuk mutu elemen pracetak. Dari informasi yang didapat diketahui bahwa balok, kolom dan pelat difabrikasi di pabrik luar lokasi, sehingga mutu beton relatif baik. Posisi pile cap terletak diatas permukaan tanah eksisting, dan dari pengamatan didapati adanya pilecap yang retak (gambar 2). Berdasarkan pengujian UPV pada pilecap, didapat mutu beton cor hanya setara K-200. Tidak diperoleh data mengenai mutu beton rencana, akan tetapi diperkirakan pengawasan pelaksanaan pekerjaan yang kurang baik menyebabkan rendahnya mutu beton eksisting.
Gambar 2. Pile yang retak
2.2.
Dinding Pengisi
Dinding pengisi/partisi tebuat dari batako pressed. Ketika gempa terjadi, ada bagian dinding yang telah diplester dan sebagian lagi dalam kondisi belum diplester. Keruntuhan dinding hampir terjadi pada keseluruhan dinding yang belum diplester. Diketahui pula ada satu bagian dinding yang telah diplester yang mengalami keruntuhan. Dari gambar 3 dan 4, terlihat dari pola keruntuhan yang terjadi bahwa keruntuhan pada kedua dinding tersebut dikarenakan runtuhnya kolom praktis karena tidak kuatnya / tercabutnya pengangkuran kolom praktis ke balok atas. Sedangkan pada gambar 5 dapat dilihat lubang bekas angkur yang lepas/tercabut. Hampir seluruh keruntuhan dinding disebabkan oleh tercabutnya angkur, baik akur dinding maupun angkur pemegang kolom praktis. Masalah pengangkuran merupakan satu masalah yang perlu mendapat perhatian yang serius dalam konstruksi pracetak. Karena alasan teknis pelaksanaan dalam pengecoran elemen balok dan kolom pracetak, sangat mungkin sekali bahwa angkur untuk dinding pengisi dan kolom praktis tidak disertakan dalam pengecoran kolom dan balok. Angkur yang digunakan merupakan baja tulangan polos, terukur bahwa kedalaman angkur yang masuk ke kolom/balok hanya sekitar 5 cm, dan hal ini sangat tidak memadai, sehingga wajar saja ketika terjadi gempa, angkur tersebut copot dan meyebabkan keruntuhan dinding. Ada indikasi pula bahwa bahan perekat angkur (chemical anchor) ke kolom/balok yang digunakan tidak memenuhi standar.
, Gambar 3. Dinding tanpa plesteran yang runtuh
Gambar 4. Dinding dengan plesteran yang runtuh
Gambar 5. Lubang bekas angkur yang tercabut
2.3.
Beam-Column Joint
Sistem hubungan balok-kolom untuk tulangan longitudinal, hanyalah digunakan dengan sistem pengelasan antar tulangan yang seadanya saja. Tidak terdapat sama sekali sengkang atau pengekangan pada beam-column joint, seperti yang ditunjukkan pada gambar 6 dan 8. Pengecoran beam-column joint inipun terlihat dilakukan sekedarnya saja, sehingga mutunya pun dapat dipastikan tidak akan memadai. Dengan sistem pengelasan yang seadanya ini, dapat dipastikan bahwa ketika terjadi gempa, las tidak dapat menahan gaya tarik yang terjadi pada tulangan. Dari gambar 6, 7 dan 8 terlihat pula bahwa panjang penyaluran untuk tulangan balok sangat pendek, hanya sekitar 20 cm saja dengan diameter tulangan 19mm. Pada gambar 8, tampak bahwa pada sambungan balok-kolom interior ini, lubang tempat menuang beton sangat kecil sekali. Dari hasil pengecoran, seperti pada gambar 9, terlihat bahwa lokasi beam-column joint ini dicor dengan menggunakan adukan semen dan kerikil biasa, dan bukan menggunakan bahan non-shrink grout mutu tinggi. Pada gambar 9 terlihat pula rendahnya kualitas pengecoran di daerah beam column joint. Besar kemungkinan pada daerah beam column joint ini terdapat keropos pada betonnya dan mutu beton rencananya pun diperkirakan tidak akan dapat tercapai.
Gambar 6. Detail sambungan balok-kolom eksterior
Gambar 7. Keruntuhan pada daerah sambungan balok-kolom eksterior
Gambar 8. Detail sambungan balok – kolom interior
Gambar 9. Kegagalan pada sambungan balok – kolom interior
Dari kondisi yang dipaparkan diatas, dapat dipastikan bahwa pada area beam-column joint ini akan terjadi kegagalan dan tidak mungkin terjadi mekanisme sendi plastis untuk
disipasi energy gempa. Dalam gambar 7 terlihat bahwa pada exterior beam-column joint telah terjadi lepasnya tulangan longitudinal balok dan terjadi kegagalan geser pada balok. Pada gambar 9 terlihat adanya retak vertikal yang cukup besar pada balok interior di depan muka kolom. Akan tetapi menarik untuk diperhatikan bahwa kondisi ini tidak menyebabkan runtuhnya balok atau kolom tersebut. Jika diperhatikan lebih lanjut, tampak bahwa pada interior beam-column joint seperti pada gambar 3 dan 4, adanya dinding pengisi antar kolom, memberikan sumbangan kekakuan yang cukup significant, sehingga keberadaan dinding pengisi ini, ketika terjadi gempa berfungsi pula sebagai dinding geser yang menyelamatkan balok dan kolom disekelilingnya. Akan tetapi hal tersebut tidak terjadi untuk exterior beam-column joint, yang mana pada bidangnya tidak terdapat dinding, seperti yang dapat dilihat pada gambar 7. Absennya dinding pengisi pada perimeter bangunan menjadikan exterior beam-column joint ini mengalami kegagalan.
3. BANGUNAN PRACETAK BALOK DAN PELAT Bangunan pracetak kedua yang diamati (gambar 10) mempunyai sistem pracetak hanya pada balok dan pelatnya saja. Untuk elemen vertikal penahan gaya lateral terdapat kolom dan dinding geser pada sudut-sudut perimeter bangunannya. Secara visual, kondisi pasca gempanya lebih baik dibandingkan dengan bangunan pertama. Dinding partisi belum dibangun ketika terjadi gempa, sehingga gaya gempa seluruhnya ditanggung oleh dinding geser dan kolom. Dinding geser berada pada sisi perimeter arah melintang bangunan. Progres pembangunan telah mencapai 3 lantai dari keseluruhan 5 lantai yang akan dibangun.
3.1.
Mutu Beton
Berbeda dengan bangunan pertama, elemen-elemen pracetak balok dan kolom serta tangga, dicetak di lokasi proyek dengan menggunakan readymix yang didatangkan dari luar. Dari hasil pengujian UPV (gambar 11) didapat mutu beton untuk balok, kolom dan pelat setara dengan K-300. Sedangkan mutu beton daerah beam-column joint hanya sebesar 280 kg/cm2 (ekivalen benda uji kubus). Menurut informasi area beam-column joint ini dicor dengan menggunakan bahan non-shrink grout dari merek yang terkenal. Besar kemungkinan telah dilakukan pencampuran dengan material lainnya sehingga nilai kuat tekan yang didapat jauh di bawah standar.
Gambar 10. Kondisi struktur bangunan pasca gempa
Gambar 11. Pengujian UPV untuk mengetahui mutu beton pada balok
Gambar 12. Hampir seluruh area bem-column joint terlihat diplester
3.2.
Beam-column joint
Secara visual terlihat bahwa daerah beam-column joint terdapat bekas plesteran yang menandakan bahwa proses pengecoran beam-column joint tidak berlangsung secara sempurna sehingga hasilnya perlu diperbaiki dengan plesteran. Hampir seluruh daerah beam-column joint ini diplester (gambar 12), yang berarti hampir seluruhnya pula bermasalah. Pada area beam-column joint, pada daerah tumpuan balok, sekitar 1 meter di muka kolom, balok hanya dicor setengah tingginya saja. Pada area momen negative ini tulangan longitudinal balok dibuat menerus, sehingga diharapkan akan didapat panjang penyaluran yang memadai. Dari pengamatan di lapangan, pada sambungan antara balok dan kolom (beam-column joint), tidak terlihat adanya sengkang. Hal ini sangat berbahaya, kerena pada daerah beam column joint, tidak boleh terjadi adanya kegagalan geser, karena akan berakibat fatal terhadap kestabilan bangunan secara keseluruhan. Pada beberapa daerah beam column joint terlihat adanya kegagalan / retak yang cukup besar (gambar 15). Hal ini seharusnya tidak terjadi, karena kunci keberhasilan bangunan untuk dapat bertahan terhadap gaya gempa justru terletak pada beam column joint ini. Tidak boleh ada kegagalan struktur pada area beam column joint.
Gambar 13. Sistem sambungan pracetak balok dengan kolom
Gambar 14. Daerah beam-column joint tanpa sengkang kolom yang menerus
Gambar 15. Daerah beam-column joint yang retak hingga ke kolom.
3.3.
Pile Cap dan Tiang Pancang
Pada daerah tengah gedung, terlihat adanya galian ground water tank. Berdasarkan informasi yang didapat di lapangan, ketika terjadi gempa ground water tank ini berada dalam kondisi yang belum di cor. Akibat adanya galian ini, terlihat bahwa akibat gempa tiang-tiang pancang yang berada di sekeliling galian mengalami gaya lateral yang cukup besar sehingga terjadi kegagalan geser pada daerah pertemuan antara tiang pancang dengan pilecap. Sebagian besar tiang pancang terlihat patah pada daerah pertemuan antara tiang pancang dengan pile cap. Hal ini sangat berbahaya karena pastinya daya dukung pondasi menjadi berkurang sangat significant dalam kemampuannya menahan gaya lateral maupun gaya aksial. Dari pengamatan besar kemungkinan adanya indikasi bahwa tidak adanya bagian kepala tiang yang masuk ke dalam pilecap meyebabkan terjadinya kegagalan geser pada daerah ini.
Gambar 16. Daerah galian ground water tank pada tengah void bangunan
Gambar 17. Tiang Pancang Persegi yang patah
Tiang Pancang /Spun Pile yang patah
4. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan studi kasus Bangunan Pracetak pada Gempa Padang ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Pengerjaan struktur yang menggunakan sistem pracetak memerlukan pengawasan mutu dan pelaksanaan yang ketat. 2. Perlu adanya studi yang mendalam sebelum sistem pracetak ini direkomendasikan untuk digunakan pada daerah gempa. 3. Sebelum adanya studi yang mendalam mengenai kehandalan elemen pracetak dalam menahan beban lateral/gempa, perlu adanya pembatasan penggunaan elemen-elemen pracetak hanya pada elemen yang tidak menahan gaya lateral seperti pelat lantai dan dinding partisi saja.
5. REFERENSI Paulay, T., Priestley, M.J.N, “Seismic Design of Reinforced Concrete and Masonry Building”, John Wiley & Sons Inc, 1992 Shaikh, A.F., “PCI Design Handbook, Precast and Prestressed Concrete”, PCI Industry Handbook Committee, 1999