STUDI KEAMANAN LINGKUNGAN UNTUK FORMULASI KEBIJAKAN PRODUK REKAYASA GENETIK (STUDI KASUS PADI Bt PRG)
PUSPITA DESWINA
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
i
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi judul ―STUDI KEAMANAN LINGKUNGAN UNTUK FORMULASI KEBIJAKAN PRODUK REKAYASA GENETIK (STUDI KASUS PADI Bt PRG)‖ adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2014
Puspita Deswina NRP P062090101
ii
ABSTRACT
PUSPITA DESWINA, Environmental Safety Study for Policy Formulation of Genetically Engineered Products (Case Study of Bt Rice). Supervised by RIZAL SYARIEF, LATIEF M. RACHMAN and M. HERMAN.
Sustainable development in agriculture needs to be strengthened by doing technological innovation. One of the advances that have been achieved to improve the quality and quantity of rice production is the carrying out of Bt rice resistant to stem borer attack. Before being released or commercialized, genetically engineered Bt rice plant must meet the biosafety requirements like food, environmental and/or feed safety. It takes a considerable cost for the development of Genetic Engineered Plant (GEP) technology, including biosafety testing of GEP after being generated. The objective of this research is the study of environmental safety to make the analysis of the policy strategy of sustainable GEP management especially Bt rice containing gene CryIA(b). Environmental safety testing has been conducted in a limited field trials since 2003 to 2007. The test results data of the impact on non- target pests and natural enemies as well as testing gene flow derived, become the composisitions in making environmental safety assessment of GEP crop. In formulating the management policies of Bt rice, instead of the environmental safety assessment only; the analysis of financial sustainability with social aspects of community; the analysis sustainability multidimensional and regulations assessment; laws of legislation and related institutions based on decision-making method; were also made. Based on the results of environmental safety testing, it turns out there was no difference in the number of non- target insect and natural enemies populations in Bt Rice and nonGE rice’s cropping land. From the selection results of hygromycin and PCR analysis of non- GE rice first generation (T0), there was no intersection between Bt Rice to non- GE rice on 1, 2, 3, 5, 7, 9, 11, 13 and 15 treatment spacing from Bt rice plants. Financial feasibility of Bt rice farming business was moderate to be continued. Sustainability analysis of multidimensional GEP management policy was around 58.99 % which is quite sustainable. The role of regulations and laws of legislation based on institutions; is crucial to the success of GEP crop introductions. The research was conducted in the laboratory of the Research Center for Biotechnology, LIPI and field surveys at four locations in Cianjur , Sukabumi , Karawang and Subang; being started in January 2012 until May 2013. The research methods are descriptive methods, partial budget analysis, MDS (Multidimensional Scaling), AHP (Analytical Hierarchy Process), ISM (Interpretative Structural Modeling) and content analysis. Keywords: environmental safety of GEP, Bt Rice, gene flow, policy formulation of Bt Rice, GEPs management
iii
RINGKASAN PUSPITA DESWINA, STUDI KEAMANAN LINGKUNGAN UNTUK FORMULASI KEBIJAKAN PRODUK REKAYASA GENETIK (STUDI KASUS PADI Bt PRG). Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF, LATIEF M. RACHMAN dan M. HERMAN Pertambahan jumlah penduduk, terutama di negara-negara berkembang diperkirakan terus meningkat pesat. Di dunia, Indonesia menempati urutan nomor empat terpadat setelah China, India dan Amerika. Indonesia harus terus mengupayakan berbagai alternatif pengadaan pangan agar dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional. Konsumsi rata-rata per kapita masyarakat Indonesia terhadap kebutuhan beras sebesar 139 kg per orang per tahun atau 0.38 kg beras per hari per orang. Secara nasional angka tersebut menjadi 100 ribu ton per hari, jumlah tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara pengkonsumsi beras terbesar di dunia. Masalah serangan hama masih menjadi kendala utama dalam peningkatan produksi padi. Kerugian yang diakibatkan oleh serangga hama, dapat menyebabkan penurunan produksi padi dari 5 – 10% dari total produksi padi di Asia. Serangan hama penggerek batang bisa menyebabkan kerugian sampai 20%. Usaha pengendalian dengan penyemprotan insektisida untuk hama penggerek batang kurang efektif, karena serangga ini hidup dan berkembang di dalam batang tanaman padi, sehingga waktu kontak dengan insektisida sangat terbatas. Sehubungan dengan masalah tersebut maka salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah inovasi teknologi dengan menerapkan teknik rekayasa genetik untuk mengembangkan tanaman tahan hama. Sumber gen untuk sifat ketahanan terhadap hama tidak terdapat pada tanaman itu sendiri, sehingga diperlukan organisme lain sebagai sumber gen ketahanan seperti bakteri Bacillus thuringiensis (Bt) yang bersifat toksik terhadap serangga-serangga spesifik. Melalui teknologi rekayasa genetik telah dihasilkan tanaman Padi Bt hasil rekayasa genetik yang terbukti tahan terhadap hama penggerek batang kuning (Scircophaga incertulas). Tanaman Padi Bt memberikan harapan terhadap perbaikan kondisi lingkungan akibat penggunaan insektisida secara terus menerus. Kesepakatan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Biodiversity) di Montreal tahun 1994, dituangkan konsep Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (PRG), mewajibkan setiap negara yang menandatanganinya untuk membuat peraturan dan pedoman bagi PRG sebelum dimanfaatkan atau dilepas ke lingkungan. Pengkajian risiko keamanan lingkungan merupakan bagian dari proses pengambilan keputusan terhadap kelayakan pemanfaatan tanaman PRG. Kekhawatiran sebagian masyarakat akan kemungkinan dampak negatifnya terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati berdasarkan hasil kajian ini, tidak terbukti, meskipun kegiatan komunikasi risiko kepada petani pengguna belum berjalan intensif sesuai dengan kesepakatan global dalam Protokol Cartagena. Kajian keamanan lingkungan tanaman PRG meliputi kemungkinan dampaknya terhadap organisme yang berada di atas permukaan tanah, pada permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah. Target pengujian lebih iv
diutamakan kepada organisme potensial yang paling terkait dengan sifat yang diintroduksikan pada tanaman. Pada kasus Padi Bt telah dilakukan pengujian dampak terhadap serangga non target termasuk musuh alami. Selain itu, pengujian keamanan lingkungan juga meliputi kemungkinan terjadinya perpindahan material genetik dari tanaman PRG kepada tanaman non PRG yang diuji pada tanaman generasi kesatu (T0). Penelitian dan pengujian keamanan lingkungan tanaman PRG, yang membawa sifat protein Bt harus dilakukan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap organisme non target, seperti musuh alami, predator dan parasitoid. Pengetahuan terhadap sifat agronomis (familiarity) tanaman Padi Bt harus dipahami sebelum melakukan kajian risiko, karena berhubungan dengan dampak ekologis terhadap tanaman lain, kerabat liar serta interaksi dan pengaruhnya pada keanekaragaman hayati, ekosistem atau organisme tanah. Prinsip kehati-hatian (precautionary approach) berdasarkan kasus per kasus perlu dilakukan dalam pengaturan dan pengelolaan PRG supaya tidak terjadi dampak yang merugikan terhadap manusia, hewan dan lingkungan. Diperlukan suatu kajian yang bersifat holistik dan sistemik terkait dengan kebijakan pengelolaan tanaman PRG, sehingga diperoleh rekomendasi kebijakan pengelolaan untuk perencanaan pembangunan pertanian berkelanjutan. Dalam menyusun formulasi kebijakan pengelolaan Padi Bt, telah dilakukan kajian keamanan lingkungan, analisis keberlanjutan finansial dengan aspek sosial kemasyarakatan, analisis keberlanjutan multidimensi serta kajian peraturan dan perundang-undangan terkait, berdasarkan metode pengambilan keputusan. Penelitian dilaksanakan di laboratorium Puslit Bioteknologi, LIPI dan survei lapangan di empat lokasi Kabupaten Cianjur, Sukabumi, Karawang dan Subang, dimulai bulan Januari 2012 sampai dengan Mei 2013. Metode penelitian menggunakan metode deskriptif, analisis anggaran parsial (partial budget analysis), MDS (Multidimensional Scaling), AHP (Analytical Hierarchy Process), ISM (Interpretative Structural Modelling) dan analisis isi (content analysis). Data yang dikumpulkan berupa data primer terhadap tanaman generasi kesatu (T0) hasil pengujian keamanan lingkungan terhadap kemungkinan terjadinya persilangan (crossing) dari Padi Bt kepada Padi non PRG di Lapangan Uji Terbatas (LUT) yang telah dilakukan sebelumnya oleh Puslit Penelitian Bioteknologi LIPI. Pengujian dilakukan dengan uji higromisin dan analisis PCR (Polymerase Chain Reaction) di Laboratorium dan Rumah Kaca Fasilitas Uji Terbatas (FUT). Data primer lainnya diperoleh melalui survei lapangan dan wawancara dengan pakar terkait. Data sekunder dikumpulkan dari hasil studi literatur, media elektronik dan data-data dari hasil pengujian keamanan lingkungan terhadap serangga non target dan musuh alami dari Puslit Bioteknologi LIPI yang dijadikan sebagai bahan kajian keamanan lingkungan dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil pengujian keamanan lingkungan yang telah dilakukan oleh Puslit Bioteknologi LIPI terhadap serangga non target dan musuh alami di pertanaman Padi Bt, ternyata tidak terdapat perbedaan jumlah populasi di lahan Padi Bt dan lahan Padi non-PRG. Tetapi berdasarkan kajian keamanan lingkungan yang pernah dilakukan pada tanaman Bt yang lain, perlu dibuat kategori dan daftar spesies serangga non target berdasarkan fungsi ekologis serta menyusunnya berdasarkan prioritas potensi dalam menimbulkan efek samping sebelum
v
penanaman Padi Bt dilakukan. Kegiatan ini bermanfaat untuk mengetahui perubahan komposisi atau kehilangan jenis atau populasi serangga tertentu yang memiliki fungsi ekologis di lokasi penelitian sebelum dan sesudah penanaman Padi Bt. Pada kasus Padi Bt, prosedur pengujian keamanan lingkungan tersebut belum dilaksanakan, tetapi dari hasil pengujian dapat diketahui bahwa tidak terdapat pengaruh negatif penanaman Padi Bt terhadap keberadaan serangga nontarget yang terdapat di lapangan uji terbatas. Hasil pengujian keamanan lingkungan terhadap empat kultivar Padi non-PRG (Rojolele, Rojolele KA, Ciherang dan Pandan Wangi) generasi kesatu (T0), tidak terdapat gen Cry IA(b) pada semua semaian benih padi yang diuji untuk semua perlakuan jarak 1,2,3,5,7,9,11,13 dan 15 meter dari tanaman Padi Bt. Pengujian dilakukan menggunakan seleksi higromisin dan analisis PCR. Kelayakan finansial usahatani Padi Bt dilakukan melalui analisis terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat penggunaan teknologi dalam pengembangan tanaman PRG. Metode yang paling sesuai untuk membuat analisis kelayakan usaha adalah analisis anggaran parsial yang dapat dipakai untuk mengetahui apakah usahatani Padi Bt terkategori layak atau tidak untuk dilanjutkan. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh hasil selisih ratio manfaat dan biaya (B/C ratio) lebih besar dari satu, berarti usahatani Padi Bt termasuk kategori layak untuk dilanjutkan. Analisis keberlanjutan kebijakan pengelolaan PRG, untuk multidimensi menunjukkan bahwa indeks keberlanjutan multidimensional sebesar 58.99% yang tergolong cukup berkelanjutan. Indeks dan status keberlanjutan masing-masing dimensi adalah dimensi ekologi 73,02% (cukup berkelanjutan), dimensi ekonomi 69,30% (cukup berkelanjutan), dimensi sosial 51,22% (cukup berkelanjutan); dimensi teknologi (46,71%) dan dimensi hukum kelembagaan (54,74%). terdapat 15 faktor pengungkit yang sifatnya dapat diintervensi kearah perbaikan maupun dapat dipertahankan. Peraturan perundang-undangan dan kelembagaan mempunyai peran penting dalam keberhasilan introduksi PRG. Dari hasil pengambilan keputusan strategi kebijakan pengelolaan PRG, telah diidentifikasi dua belas (12) elemen dalam menentukan alternatif kebijakan yaitu tujuan, faktor, kriteria dan alternatif kebijakan. Lembaga yang paling berperan adalah BPOM, KLH dan Kementan, sedangkan faktor kendala yang ditemukan terdiri dari sepuluh sub elemen dengan elemen kunci adalah keterbatasan sumber daya manusia dalam melakukan pengujian keamanan hayati serta penyelesaian pembuatan pedoman teknis untuk pengujian keamanan hayati. Hasil penelitian studi keamanan lingkungan dengan mengambil studi kasus Padi Bt diharapkan dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada pemerintah sebagai salah satu strategi memajukan pembangunan pertanian berkelanjutan. Kata kunci: Keamanan lingkungan tanaman PRG, Padi Bt, gene flow, formulasi kebijakan Padi Bt, Pengelolaan Padi Bt.
vi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2014 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
vii
STUDI KEAMANAN LINGKUNGAN UNTUK FORMULASI KEBIJAKAN PRODUK REKAYASA GENETIK (STUDI KASUS PADI Bt PRG)
PUSPITA DESWINA
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
viii
Penguji pada Ujian Tertutup
:
1. Dr.Ir. Sutrisno 2. Prof.Dr. Cecep Kusmana MS
Penguji pada Ujian Terbuka
:
1. Prof.Dr.Ir. Bambang Prasetya 2. Prof.Dr.Ir. Surjono H.Sutjahjo MS
ix
Judul Disertasi
: STUDI KEAMANAN LINGKUNGAN UNTUK FORMULASI KEBIJAKAN PRODUK REKAYASA GENETIK (STUDI KASUS PADI Bt PRG)
Nama NRP
: Puspita Deswina : P 062090101
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Rizal Syarief, DESS Ketua
Dr. Ir. Latief M. Rachman, M.Sc, MBA Anggota
Prof. Muhammad Herman, M.S, PhD Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi/Mayor Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Lingkungan Hidup
Dekan Sekolah Pacsasarjana,
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
x
ludul Diseliasi
STUDI KEAMANAN LINGKUNGAN UNTUK FORMULASI KEBIJAKAN PRODUK REKA YASA GENETIK (STUD I K4SUS PADI Bt PRG)
Nama
Puspita Deswina
NRP
P 062090101
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Ketua
JJD'Lr.JILr.JL~altj·~M!:fu~~n1lM1:.:SS£cJM~B~A~-PEr~o Anggota
. Muhammad Herman, M.S, PhD
Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi/Mayor Pengelolaan Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup
,,+JIl!.MJ~:It~~~lh P acsasarj ana,
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
Tanggal Ujian :
f 6 DEC 2 13
Tanggal Lulus :
2 7 JA N 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya, serta salam dan salawat kepada Rasulullah Muhammad SAW atas tuntunan dan bimbingan beliau, akhirnya disertasi ini dapat penulis selesaikan. Disertasi ini berjudul STUDI KEAMANAN LINGKUNGAN UNTUK FORMULASI KEBIJAKAN PRODUK REKAYASA GENETIK (STUDI KASUS PADI Bt PRG) yang merupakan akhir dari rangkaian penelitian program doktor yang mulai dilakukan sejak Tahun 2011. Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Rizal Syarief DESS, Dr.Ir. Latief M. Rachman, MBA dan Prof. Muhammad Herman BS,MS,PhD. selaku pembimbing atas segala saran, bimbingan, kritik dan nasehat yang tak terhingga selama studi dan penulisan disertasi. Terima kasih kepada Kepala Puslit Bioteknologi LIPI atas kesempatan yang diberikan dalam menjalankan pendidikan serta kepada Kementerian Riset dan Teknologi yang telah memberikan bantuan beasiswa selama pendidikan. Ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Rachman Kurniawan, Shiddiq Ardhi Irawan dan Yeka Hendra Fatika yang telah banyak membantu pengolahan data dan diskusi hasil penelitian. Terima kasih kepada Bapak Dr. Soetrisno, Dr. Buang Abdullah, Prof.Dr. Bahagiawati, Dr. Damayanti Buchori, Ibu Nurmala Darsono, Dewi Fadilla, M.Sc atas bantuan penyediaan informasi selama penelitian. Terima kasih kepada Dr. Inez H. Slamet-Loedin, Dr. Satya Nugroho dan Dr. Amy Estiati (Puslit Bioteknologi LIPI) atas bantuan ketersediaan akses data, bahan kimia dan fasilitas Laboratorium. Terima kasih sebesar-besarnya kepada Siti Munggah yang telah setia membantu selama penelitian di laboratorium dan di rumah kasa, kepada Bapak Oco dari Balitpa Sukamandi, Bapak/Ibu dari Kementerian Pertanian Kabupaten Cianjur dan Sukabumi, Dr. Enung S.Mulyaningsih atas bantuan pelaksanaan survei lapangan. Terima kasih kepada semua teman di Kelti padi atas dukungan, persahabatan dan pengertiannya serta semua rekan di Puslit Bioteknologi LIPI yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Tidak lupa kepada sahabat seperjuangan Dr Heny Hindriani, Ita Junita, Diane, serta teman-teman angkatan 2009 yang selalu memberi semangat dan inspirasi dalam penyelesaian studi ini. Dengan setulus hati, penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua terkasih, papa Yuzar Akmam BA, mama Djawanis, atas doa, kesabaran dan petuah dalam menempuh pendidikan dan menjalani kehidupan selama ini, kakakku Dodi Indra P.hD (beserta keluarga), Dr. Media Sandra Kasih (almh) (beserta keluarga) dan adikku Ir. Jecky Aulia (beserta keluarga) yang telah memberikan semangat dan inspirasi dalam kehidupan, putra-putri Uni Med tersayang, Nadya Intan Kemala dan Berlian Naufal yang tiada henti memberikan dorongan dan dukungan.
xi
Dengan segenap cinta dan kasih sayang, penulis sampaikan terima kasih kepada suamiku Drs. Heroriki, cahaya hidupku, ananda Ibnu Khalil Ibram yang selalu setia dan tiada lelah mendampingi dan memberi semangat dalam menempuh pendidikan S3 ini, terima kasih untuk doa-doa dan kesabaran kalian. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan kebaikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian disertasi ini Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Amin.
Bogor, Januari 2014 Puspita Deswina
xii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Solok (Sumatera Barat) pada tanggal 2 Desember 1966 sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Papa Yuzar Akmam BA dan Mama Djawanis. Pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas diselesaikan di Kota Padang – Sumatera Barat. Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas – Padang, lulus pada tahun 1990. Lulus Program Magister Bidang Bioteknologi pada Tahun 2001 di University Putra Malaysia (UPM) - Malaysia. Studi Program Doktor dilaksanakan di Institut Pertanian Bogor sejak tahun 2009, pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PS PSL) dengan biaya selama studi dari Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). Sejak Tahun 1992 penulis telah bekerja sebagai staff peneliti di Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI dan bergabung di kelompok penelitian padi (Laboratorium Genomik dan Perbaikan Mutu Tanaman) sejak tahun 1996. Diberi kesempatan sebagai pengelola dan koordinator Balai Kliring Keamanan Hayati Indonesia (BKKH-Indonesia) sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2011. Selama menjalankan studi S3 ini, penulis memperoleh kesempatan melakukan kegiatan pemagangan di Jepang (Plant Genetic Diversity, Environmental Biosafety and Bioethics Division of Bioindustrial Sciences & Gene Research Center Graduate School of Life and Environmental Sciences University of Tsukuba, Japan), untuk mempelajari metode pengujian keamanan lingkungan tanaman produk rekayasa genetik selama lebih kurang 3 bulan dengan biaya dari Kemenristek. Beberapa karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi telah disampaikan dan diterbitkan dalam jurnal ilmiah. Makalah tersebut adalah: 1. Pengaruh padi transgenik yang mengandung gen Cry IA(b) terhadap populasi serangga nontarget di lapangan uji terbatas di Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol 28(2): 95-100. 2. Merintis Pelepasan Tanaman Padi Transgenik di Indonesia di Journal of Applied and Industrial Biotechnology in Tropical Region Vol. 4: 28-32 3. Analisis Ex-ante Kelayakan Ekonomi dan Persepsi Petani terhadap Padi Bt Produk Rekayasa Genetik di Indonesia dalam Prosiding Lokakarya Nasional dan Seminar Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian Indonesia. Bogor 2-4 September 2013 4. Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Tanaman Padi Produk Rekayasa Genetik di Indonesia akan diterbitkan di Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan.
xiii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL .........................................................................................
xvi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xviii xxi
PENDAHULUAN Latar Belakang ………....................................................................... Kerangka Pikir …………................................................................... Perumusan Masalah............................................................................ Tujuan Penelitian................................................................................ Manfaat Penelitian ………................................................................. Kebaruan (Novelty).............................................................................
1 7 10 11 12 12
TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Sebaran Tanaman Padi……………………………… Hama Penting Tanaman Padi………................................................. Status dan Perkembangan Bioteknologi Padi..................................... Pengkajian Risiko Keamanan Lingkungan........................................ Analisis Kelembagaan dan Kebijakan Keamanan Hayati PRG……. Kajian sosial ekonomi terhadap Keberlanjutan Introduksi PRG…...
14 15 16 21 25 26
JUDUL 1. Studi Keamanan Lingkungan Padi Bt PRG Abstrak …………………................................................................... Abstract…………………................................................................... Metode Analisis Data……... ............................................................. Hasil dan Pembahasan ....................................................................... Kesimpulan…………………………………..................................... Saran ...……………….......................................................................
30 31 35 38 51 52
JUDUL 2. Analisis Ex-Ante Kelayakan Ekonomi Padi Bt PRG Berkelanjutan Abstrak …………………..................................................................... Abstract…………………..................................................................... Metode Analisis Data……... ................................................................ Hasil dan Pembahasan .......................................................................... Kesimpulan…………………………………........................................ Saran …………………..........................................................................
53 54 57 62 77 78
xiv
JUDUL 3. Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Tanaman Padi Produk Rekayasa Genetik Di Indonesia Abstrak………………........................................................................ Abstract …………….......................................................................... Metode Penelitian …………….…………………………………..... Hasil dan Pembahasan ……………………………………………... Kesimpulan ……..………………………………………………….. Saran …………………......................................................................
79 80 83 87 109 109
JUDUL 4. Analisis Kebijakan Pengelolaan Produk Rekayasa Genetik Berkelanjutan dengan Metode Pengambilan Keputusan Abstrak………………........................................................................ Abstract …………............................................................................. Metode Analisis Data ………….…………………………………... Hasil dan Pembahasan …………………………………………….. Kesimpulan …..……………………………………………………. Saran ………………..........................................................................
110 111 113 117 148 149
PEMBAHASAN UMUM ……….…………………………………………
151
KESIMPULAN …………………………….……………………………….
159
SARAN-SARAN……………………………………………………………
161
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………
162
DAFTAR LAMPIRAN…………………….……………………………….
174
xv
DAFTAR TABEL No
Teks
Hal
Tahapan dan metode analisis data untuk formulasi kebijakan PRG.................................................................................................
10
2
Daftar negara-negara penghasil beras di dunia …………..............
15
3
Jumlah benih Padi non-PRG hasil penelitian gene flow di LUT……………………………………………………….............
46
Uraian produktifitas dan biaya pengolahan usahatani Padi Bt dan Padi non-Bt di lahan pertanaman…………………………………
59
Biaya (cost) pengembangan Padi Bt PRG mengandung gen Cry IA(b) tahan hama penggerek batang di Puslit Bioteknologi LIPI……………………………………………….........................
63
Analisis anggaran partial Padi Bt PRG vs Padi non-Bt kultivar Rojolele dengan asumsi harga benih premium (50%)……………
65
Analisis anggaran partial Padi Bt PRG vs Padi non-Bt kultivar Rojolele dengan asumsi harga benih tidak berubah………………
65
7
Kategori status keberlanjutan pemanfaatan Padi Bt PRG ……..…
84
8
Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan analisis Rap-PRG ………………………………………..
105
Nilai stress dan koefisien determinasi (R2) hasil analisis RapPRG …………….………………………………………………..
106
Atribut sensitif keberlanjutan kebijakan pengelolaan PRG sebagai faktor pengungkit dari setiap dimensi ...............................
108
11
Peraturan-peraturan terkait pemanfaatan PRG di Indonesia……..
118
12
Proporsi sebaran aspek kunci dalam regulasi terkait kebijakan pengelolaan PRG …………………..…………………………….
120
Daftar PRG yang telah memperoleh keamanan hayati dari pemerintah pada tahun 2011-2012……………………………….
122
1
4
4
5
6
9
10
13
xvi
14
15
Nilai pembobotan untuk elemen-elemen alternatif berdasarkan kriteria agregat lingkungan, ekonomi, sosial dan teknologi……...
137
Nilai indeks inkonsistensi untuk setiap matriks pembandingan berpasangan …………..……………………………………….…
140
xvii
DAFTAR GAMBAR No 1
2 3 4 5 6 7 8
9
10
11 12 13
14
15 16
17
Teks Kerangka pemikiran penelitian keamanan lingkungan untuk membuat formulasi kebijakan pengelolaan produk rekayasa genetik…………………………………………………………….. Diagram alir rancangan masalah penelitian……………………... Diagram teknologi transformasi dan teknologi konvensional…… Pembangunan berkelanjutan……………………………………… Model disain penelitian gen flow untuk tanaman padi transgenik di Nepal tahun 2003………………………………………………. Model disain penelitian gen flow untuk tanaman anggur PRG di LUT pada tahun 2002-2004 di Jerman…………………………… Tanaman padi umur 2-3 minggu untuk persiapan seleksi higromisin………………………………………………………… Populasi serangga wereng punggung putih (Sogatella furcifera) pada galur Padi Bt PRG dan Padi non PRG di tiga lokasi Kabupaten Subang, Karawang dan Indramayu…………………... Populasi serangga hama putih palsu (Cnaphalocrosis medinalis) pada galur Padi Bt PRG dan Padi non-PRG di dua lokasi yang berbeda Kabupaten Subang dan Indramayu……………………… Populasi serangga hama wereng coklat (Nilaparvata lugens Stahl.) pada galur padi Bt PRG dan Padi non-PRG di dua lokasi yang berbeda Kabupaten Subang dan Indramayu………………... Populasi laba-laba pada galur PAdi Bt PRG dan Padi non-PRG di dua lokasi yang berbeda Kabupaten Subang dan Indramayu…….. Populasi Paederus sp pada galur Padi Bt PRG dan Padi non-PRG di dua lokasi yang berbeda Kabupaten Subang dan Indramayu….. Kemampuan tumbuh kultivar Rojolele dan Pandan Wangi hasil penelitian gen flow di wilayah Karawang untuk seleksi higromisisn dan analisis PCR…………………………………….. Kemampuan tumbuh benih padi kultivar Rojolele KA dan Ciherang hasil penelitian gen flow di wilayah Karawang untuk seleksi higromisisn dan analisis PCR…………………………….. Hasil seleksi higromisisn pada daun tanaman padi………………. Hasil analisis PCR menggunakan primer Cry IA(b) pada tanaman generasi kesatu (T0) Padi non PRG cv Rojolele (A) dan Ciherang (B) hasil penelitian gene flow di LUT……………………………. Skema lokasi pengambilan responden petani di Propinsi Jawa Barat……………………………………………………………….
Hal
7 9 18 28 33 34 37
39
40
40 42 43
47
48 49
49
62
xviii
18 19 20 21 22 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Distribusi kelompok usia petani di wilayah penelitian Jawa Barat. Distribusi tingkat pendidikan petani di wilayah penelitian Propinsi Jawa Barat………………………………………………. Distribusi tingkat penghasilan petani di wilayah penelitian Jawa Barat………………………………………………………………. Persepsi petani terhadap keamanan Padi Bt PRG di wilayah penelitian Jawa Barat…………………………………………….. Persepsi petani terhadap dampak Padi Bt PRG terhadap lingkungan di Propinsi Jawa Barat……………………………….. Penerimaan petani terhadap keberadaan Padi Bt PRG di wilayah Propinsi Jawa Barat………………………………………………. Tindakan petani dalam mengatasi serangan hama di wilayah penelitian Jawa Barat……………………………………………... Kriteria petani dalam memilih Padi Bt PRG di wilayah penelitian Jawa Barat………………………………………………………… Kesediaan petani untuk membeli benih Padi Bt PRG di wilayah penelitian Jawa Barat……………………………………………... Ilustrasi nilai indeks keberlanjutan dalam skala ordinasi………… Ilustrasi nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi……..………… Elemen proses aplikasi Rap-PRG dengan pendekatan MDS…….. Indeks keberlanjutan dimensi ekologi pengelolaan PRG………… Hasil analisis leverage dimensi ekologi pengelolaan PRG………. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi pengelolaan PRG…. Hasil analisis leverage dimensi ekonomi pengelolaan PRG……... Nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial pengelolaan PRG…….. Hasil analisis leverage dimensi sosial pengelolaan PRG………… Nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi pengelolaan PRG… Hasil analisis leverage dimensi teknologi pengelolaan PRG…….. Nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum kelembagaan pengelolaan PRG…………………………………………………. Hasil analisis leverage dimensi hukum kelembagaan pengelolaan PRG………………………………………………………………. Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan pengelolaan Padi Bt PRG………………………………………… Diagram alir pengajuan izin keamanan hayati PRG……………… Hirarki regulasi terkait kebijakan keamanan hayati PRG ……….. Time line penetapan kebijakan nasional terkait pengelolaan PRG di Indonesia……………………………………………………….. Struktur hirarki dengan analisis AHP untuk kebijakan pengelolaan PRG di Indonesia…………………………………… Prioritas dari level faktor yang mempengaruhi pengelolaan PRG dengan nilai bobot dari setiap aspek yang dikaji………………….
68 69 70 71 72 73 74 75 76 85 86 87 89 90 92 94 96 98 99 101 102 103 107 123 125 128 131 132 xix
45 46 47 48 49
50
Prioritas kriteria dari faktor lingkungan dengan nilai bobot untuk setiap kriteria yang dikaji………………………………………… Prioritas kriteria dari aspek ekonomi dan nilai bobot masingmasing elemen yang dikaji………………………………………. Prioritas kriteria dari aspek sosial masyarakat dan nilai bobot masing-masing elemen yang dikaji………………………………. Prioritas kriteria dari faktor teknologi dan nilai bobot setiap kriteria yang dikaji……………………………………………….. Matriks driver power-dependence untuk elemen-elemen alternatif yang diperlukan dalam pengelolaan PRG berkelanjutan di Indonesia…………………………………………………………. Struktur hirarki sub elemen alternatif yang berperan dalam pengelolaan PRG…………………………………………………
51
53 54 55 56
134 135 136
139 141
Matriks driver power-dependence untuk elemen lembaga yang berperan dalam pengelolaan PRG berkelanjutan di Indonesia…..
52
133
Struktur hirarki sub elemen lembaga yang berperan dalam pengelolaan PRG…………………………………………………. Matriks driver power-dependence untuk elemen kendala yang berpengaruh dalam pengelolaan PRG di Indonesia……………… Struktur hirarki sub elemen kendala yang mempengaruhi pengelolaan PRG berkelanjutan………………………………….. Diagram input-output strategi pengelolaan PRG berkelanjutan…. Bagan alir model konseptual strategi kebijakan pengelolaan PRG.
143
143 145 147 156 157
xx
DAFTAR LAMPIRAN
No 1 2 3 4 5
Teks Model penanaman untuk penelitian gen flow di daerah Karawang Tahun 2006.. ……………………………………… Komposisi larutan untuk Reaksi PCR………………………... Contoh kuisioner untuk persepsi dan penerimaan petani terhadap Padi Bt PRG………………………………………… Uraian isi peraturan dan undang-undang yang menyebut penggunaan dan pemanfaatan produk rekayasa genetik……… Kuisioner AHP untuk responden pakar……………………….
Hal 174 175 176 180 184
xxi
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kebutuhan manusia terhadap peningkatan produksi pangan sangat mendesak, terutama di negara-negara berkembang. Terjadinya hal ini karena pertambahan jumlah populasi penduduk diperkirakan terus meningkat pesat. Menurut publikasi BPS pada bulan Agustus 2010, jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus ini adalah sebanyak 237.556.363 orang. Dengan jumlah penduduk nomor empat (4) terpadat di dunia, Indonesia harus terus mengupayakan berbagai alternatif pengadaan pangan agar dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional. Konsumsi rata-rata per kapita masyarakat Indonesia terhadap kebutuhan beras sebesar 139 kg per tahun, kira-kira setengah kilogram beras per hari per kapita. Secara nasional angka tersebut menjadi 100 ribu ton per hari. Jumlah tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara pengkonsumsi beras terbesar di dunia (FAPRI 2004; Slette 2010). Mempertimbangkan pertambahan penduduk yang tidak seimbang dengan produksi pangan, maka upaya meningkatkan produksi secara cepat, tepat dan efisien merupakan keharusan. Tantangan masa sekarang antara lain adalah berkurangnya luas lahan pertanian karena alih fungsi lahan dan dampak perubahan iklim global. Penambahan luas lahan pertanian sangat sulit dilakukan tanpa menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan (Sharma et al. 2002). Sehubungan dengan masalah tersebut maka salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah menerapkan teknologi modern terutama dibidang pertanian. Banyak pihak mengakui bahwa peningkatan pangan melalui bioteknologi pertanian memiliki kelebihan dalam memperkuat ketahanan pangan, dapat mengurangi kebutuhan pembukaan lahan pertanian, meningkatkan produksi dan lebih ramah lingkungan. Teknologi ini menjanjikan ketersediaan pangan dunia agar seimbang dengan tingkat pertambahan penduduk (Soemarwoto 2002; Khan & Liu 2009). Padi sebagai komoditas pertanian utama di Indonesia, memerlukan perbaikan kualitas melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi untuk memenuhi kebutuhan penduduk akan pangan yang berkualitas. Teknologi pemuliaan 1
tanaman konvensional yang selama ini digunakan tidak lagi efisien dalam mengatasi kebutuhan pangan karena sifat-sifat yang diperoleh sangat terbatas, perlu waktu lebih lama, sumber gen ketahanan terbatas, tidak dapat diketahui apakah hanya sifat yang diinginkan saja yang diintroduksi pada tanaman target, karena dengan teknologi konvensional semua sifat yang ditransfer akan terbawa, oleh karena itu diperlukan waktu untuk seleksi lebih lama agar diketahui sifat yang diinginkan sudah dipindahkan pada tanaman target (Novak & Brunner 1992). Berdasarkan prediksi kebutuhan pangan terutama beras di tahun 2025, diperlukan 70% lagi peningkatan produksi. Kenyataan ini tidak mungkin tercapai tanpa memanfaatkan bioteknologi. Di Indonesia, kegiatan pengembangan bioteknologi modern dimulai sejak tahun 1990 di beberapa pusat penelitian milik pemerintah dan swasta. Sifat baru yang banyak ditambahkan adalah sifat ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Sifat ketahanan terhadap hama merupakan sifat utama yang banyak digunakan pada tanaman pertanian, terutama tanaman padi (Prasetya & Deswina 2009). Melalui bioteknologi pertanian para ilmuwan mencari dan memperoleh sifat-sifat baru yang lebih baik dan unggul. Sifat tersebut bisa berasal dari organisme itu sendiri atau species lain yang berbeda (Breitler et al. 2000; Redona 2006). Sebelumnya revolusi hijau telah menimbulkan kejenuhan pada lahan pertanian, dengan metode pemupukan dan penggunaan insektisida yang terus menerus. Alternatif bioteknologi tanaman diharapkan dapat mengurangi pencemaran dan kerusakan lingkungan yang semakin memprihatinkan dari waktu ke waktu. Diharapkan teknologi baru ini pada akhirnya mampu menjawab kebutuhan pangan dunia, sehingga tercapai kebutuhan pangan tanpa merusak kelestarian lingkungan (James 2010; Stein & Rodriguez-Cerezo 2010). Kendala utama tanaman pertanian di negara beriklim tropis dan lembab seperti Indonesia adalah serangan organisme pengganggu seperti hama dan penyakit tumbuhan. Pada tanaman padi, serangan hama masih menjadi kendala utama dan masalah serius di lapangan, misalnya hama wereng coklat dan penggerek batang. Kerugian yang diakibatkan oleh kedua serangga hama ini menyebabkan penurunan produksi padi dari 5 – 10% dari total produksi padi di Asia. Serangan hama penggerek batang sendiri bisa menyebabkan kerugian
2
sampai 20% (Ghareyazie et al. 1997). Kerugian akan bertambah besar jika terjadi serangan serentak pada suatu wilayah pertanaman padi, contohnya di Sri Lanka yang bisa menyebabkan kerugian sampai 50%. Usaha pengendalian yang selama ini dilakukan dengan penyemprotan insektisida yang kurang efektif terhadap hama penggerek batang, karena serangga ini hidup dan berkembang di dalam batang tanaman padi, sehingga waktu kontak dengan insektisida sangat terbatas. Serangga bisa menyerang tanaman pada fase awal (vegetatif) dan fase pembungaan (generatif) (Amuwitagama 2002). Tanaman tahan serangga dapat diperoleh dengan teknologi rekayasa genetik. Sumber gen ketahanan dapat berasal dari organisme itu sendiri atau organisme lain seperti bakteri, jamur atau tanaman lain yang berbeda spesies. Sifat ketahanan terhadap serangga hama penggerek batang tidak terdapat pada tanaman padi itu sendiri, sehingga diperlukan organisme lain sebagai sumber gen ketahanan seperti bakteri Bacillus thuringiensis (Bt) yang bersifat toksik terhadap serangga (MacMahon
2000;
Gatehouse 2008; Lemaux 2009;). Insektisida biologis yang telah digunakan sejak 40 tahun yang lalu dalam mengendalikan serangga hama adalah bakteri Bacillus thuringiensis (Bt) yang tergolong bakteri tanah. Secara konvensional, penggunaan bakteri ini telah dikomersialisasikan dalam bentuk hasil fermentasi yaitu spora dan kristal protein (Baum et al. 1996). Namun secara komersial produksi Bt ini masih terbatas, dan pengaruh perlindungannya berumur pendek. Bakteri ini merupakan bakteri gram positif yang membentuk spora selama proses sporulasi. Spora dan kristal protein Cry bersifat insektisidal dan toksik terhadap larva serangga dari Ordo Lepidoptera, Diptera dan Coleoptera (Kuo & Chak 1996; Cheng et al. 1998). Introduksi gen Cry yang menyandikan ketahanan terhadap hama telah berhasil dilakukan pada beberapa tanaman seperti jagung (Lynch et al. 1999), kelapa sawit (Lee et al. 2006) dan tanaman padi (Rahman et al, 2007, Cheng et al. 1998, Ho et al. 2001). Kelas Cry dikelompokkan berdasarkan virulensi yang spesifik terhadap kelompok serangga sasaran. Kelompok protein Cry sebagai insektisida, ditandai dengan gen Cry dan diklassifikasikan menjadi Cry I, II, III dan IV tergantung pada inang yang spesifik dan homologi dari asam aminonya (Hofte et al. 1989 ; Lenin et al. 2007). Seperti gen Cry IA(b) atau Cry IA(c) yang diekspresikan pada
3
padi sangat efektif dalam mengendalikan serangan larva serangga penggerek batang kuning (Scirpophaga. incertulas) dan penggerek batang bergaris (Chilo suppressalis) (Nayak et al. 1997; Datta et al. 1998; Wang et al. 2002; Ghareyazie et al. 1997). Gen Cry IB dibawah kontrol promoter ubiquitin dari jagung dilaporkan sangat efektif mengendalikan penggerek batang bergaris baik pada fase vegetatif maupun generatif (Marfa et al. 2002). Ketahanan tanaman produk rekayasa genetik (PRG) dapat dipatahkan, seperti halnya tanaman hasil pemuliaan konvensional. Berbagai strategi dikembangkan untuk memperlambat laju pematahan ketahanan oleh serangga. Beberapa upaya yang telah dilakukan diantaranya adalah diversifikasi sumber gen ketahanan, yaitu penggunaan dua gen yang berbeda binding site (pyramiding genes) (Herman 2009). Alcantara et al (2000) melaporkan bahwa beberapa toxin cry mempunyai “binding site” yang berbeda dalam pencernaan larva serangga dua species penggerek batang bergaris dan penggerek batang kuning. Kombinasi penggunaan protein Cry yang berbeda binding site dalam memperoleh tanaman transgenik merupakan alternatif untuk memperoleh tanaman yang memiliki ketahanan lebih lama. Misalnya kombinasi gen Cry IA(b) dengan Cry I C (Salm et al. 1994), Cry IA(b) dengan Cry IB (Ho et al. 2001). Penemuan ini memberikan keuntungan dalam mengembangkan strategi untuk memperlambat laju pematahan ketahanan oleh serangga, karena kemungkinan mutasi dua receptor yang berbeda pada serangga lebih kecil. Dalam upaya mengatasi serangga hama penggerek batang pada tanaman padi, telah dilakukan perakitan tanaman padi PRG mengandung gen Cry IA(b) yang efektif terhadap hama penggerek batang kuning ( Laporan Teknik Puslit Bioteknologi-LIPI 2004). Sebelumnya dilaporkan bahwa modifikasi gen perlu dilakukan untuk meningkatkan ekspresinya pada tanaman sehingga dapat mengendalikan serangga-serangga penting dalam pertanian. Salah satu tujuan dari strategi pengendalian hama terpadu atau insect resistance management (IRM) adalah memperlambat terjadinya ketahanan hama terhadap toksin tanaman seperti toksin Bt. Selain itu juga dengan menanam tanaman PRG mengandung toxin Bt dosis tinggi (high dose toxin) bersamaan dengan tanaman non-PRG (refuge), serta menggabungkan kristal protein Bt yang berbeda (stacking genes) juga diperlukan
4
untuk memperlambat munculnya ketahanan serangga terhadap toksin Bt (Salm et al. 1994; Tang et al. 2006; Yang et al. 2011). Dengan dihasilkannya beberapa produk tanaman PRG telah menimbulkan beberapa tanggapan dari masyarakat baik positif maupun negatif. Isu keamanan lingkungan sebelum komersialisasi tanaman PRG mendapat perhatian khusus, meskipun telah dilakukan pengujian-pengujian yang akurat dengan metode ilmiah yang benar (Lu & Sweet 2010). Pengujian keamanan lingkungan, keamanan pangan dan keamanan pakan merupakan komponen dari pengujian risiko keamanan hayati. Persyaratan ini telah ditetapkan dan diputuskan dalam Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati yang juga telah disepakati Indonesia dengan ditandatanganinya Protokol tersebut sejak Tahun 2000 (Herman 2009). Pengujian keamanan lingkungan dilaksanakan sesuai dengan sifat alami yang diintroduksikan, karakteristik tanaman PRG dibandingkan dengan tanaman non-PRG, kondisi lingkungan penerima tanaman PRG serta interaksi dari elemenelemen tersebut (Sharma et al 2002; McCammon 2006; Raybould 2006, Lu & Sweet 2010). Lembaga pemerintahan yang berwenang akan melakukan evaluasi sesuai dengan peraturan dan pedoman yang tersedia terhadap penelitian risiko keamanan lingkungan sebelum tanaman PRG tersebut dikomersialisasikan (Auer 2008). Pengujian keamanan lingkungan tanaman PRG mengandung Bt, difokuskan pada pengaruh toksisitas Bt (Bacillus thuringiensis) terhadap organisme non-target, dampak ekologis yang disebabkan oleh transfer gen pada tanaman satu kerabat dan kerabat liarnya, serta interaksi dan pengaruh tanaman PRG terhadap keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem (Lu & Sweet 2010). Pengujian risiko keamanan lingkungan terutama dampaknya terhadap organisme
non
target
dilakukan
berdasarkan
informasi
ilmiah
terkini
menggunakan ilmu–ilmu dasar maupun ilmu terapan dan pembahasan terhadap risiko yang ditimbulkannya (Pauwels et al. 2010; Garcia-Alonso et al. 2006). Pengujian risiko keamanan lingkungan harus sejalan dengan peraturan disetiap negara yang akan melepas produk hasil rekayasa tersebut. Oleh karena itu pertimbangan keamanan hayati harus menjadi bagian yang terintegrasi dengan perkembangan produk bioteknologi pertanian khususnya produk pertanian PRG. Posisi suatu negara terhadap bioteknologi dilihat dari sisi kebijakan/regulasi
5
sangat bergantung dari beberapa hal seperti kebijakan, tingkat risiko yang dapat diterima, kapasitas melakukan kajian atau evaluasi risiko implementasi kelembagaan yang memadai, persepsi dari manfaat secara ekonomi yang dapat diperoleh yang dihubungkan dengan kaitannya pada ketergantungan impor produk pertanian serta investasi litbang yang telah dialokasikan pada produk ini. Dalam dokumen Agenda 21 Indonesia (KMLH 1997) pada salah satu bab dikemukakan bahwa bioteknologi memiliki potensi dan peranan dalam (1) memecahkan masalah pertanian, kesehatan dan lingkungan; dan (2) mempertimbangkan aspek keamanan hayati (biosafety) sehingga dampak negatif bisa dicegah. Puslit Bioteknologi LIPI telah merintis penelitian Padi PRG mengandung gen Cry IA(b) yang memiliki sifat tahan terhadap hama penggerek batang sejak tahun 1996. Telah dilakukan pengujian keamanan lingkungan terhadap Padi Bt PRG pada tiga lokasi yang berbeda, yaitu Kabupaten Subang, Karawang dan Indramayu, untuk mengetahui pengaruhnya terhadap lingkungan khususnya organisme non target.
Kerangka Pemikiran Sesuai dengan kesepakatan Indonesia dalam meratifikasi Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati atas Konvensi Keanekaragaman Hayati, maka Indonesia berkewajiban menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principles) dalam pelepasan PRG. Oleh karena itu perlu dilakukan studi yang menyeluruh terkait dengan rencana pelepasan Padi Bt PRG ke lingkungan. Puslit Bioteknologi LIPI telah menghasilkan Padi Bt PRG tahan hama penggerek batang kuning yang telah dibuktikan berdasarkan pengujian bioassay di Fasilitas Uji Terbatas (FUT) (contained field trial) dan di Lapangan Uji Terbatas (LUT) (confined field trials) khusus tanaman PRG. Untuk mengetahui kemungkinan dampak negatifnya terhadap lingkungan terutama organisme non target potensial, harus dilakukan pengujian di LUT. Secara komprehensif, produk dari teknologi baru yang dikenal dengan Padi Bt PRG, perlu kajian ilmiah terkait manfaatnya. Sebelum komersialisasi kepada masyarakat, perlu diketahui aspek ekologi, aspek ekonomi dan aspek sosial, Aspek ekologi lebih diutamakan terhadap keamanan lingkungan dari pengaruh negatif PRG terhadap keanekaragaman hayati. Aspek ekonomi diwakili oleh indikator peningkatan output dan peningkatan daya saing. 6
Aspek sosial umumnya diukur dari tingkat kenyamanan dan ketenangan dalam menentukan pilihan produk yang diinginkan. Untuk mencapai ketiga tujuan tersebut
perlu
diperhatikan
kondisi
dan
tingkat
kemajuan
masyarakat
(Munasinghe 1993). Introduksi Padi Bt PRG ke lingkungan
Kajian keamanan lingkungan
Kajian sosial ekonomi untuk melihat kelayakan finansial dan persepsi petani
Kajian Keberlanjutan Padi Bt PRG
Tidak
Analisis peraturan dan Kelembagaan pengelolaan Padi Bt PRG
Riset
Tidak Data & Informasi (cukup) Ya Advokasi kebijakan
Rekomendasi
Implementasi
Gabungan dari kajian ilmiah dan kebijakan
Keamanan lingkungan dan keberlanjutan Padi Bt PRG
Strategi pengelolaan Padi Bt PRG
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian keamanan lingkungan untuk membuat formulasi kebijakan pengelolaan produk rekayasa genetik (PRG). 7
Selain itu juga diperlukan kajian kelembagaan dan peraturan yang berperan dalam pengelolaan PRG. Sehingga dihasilkan suatu strategi dalam kebijakan pengelolaan PRG yang utuh dan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam pengembangan kebijakan pengelolaan Padi Bt PRG di Indonesia. Kerangka pemikiran penelitian studi keamanan lingkungan untuk membuat formulasi kebijakan pengelolaan Padi Bt PRG disajikan pada Gambar 1.
Perumusan Masalah Melalui rekayasa genetik telah dihasilkan tanaman yang memiliki sifat baru yang lebih unggul dari sebelumnya, tujuannya adalah meningkatkan kualitas dan produktifitas tanaman. Sebagai hasil teknologi baru, karena kemajuan di bidang bioteknologi rekayasa genetik, perlu diterapkan prinsip kehati-hatian berdasarkan kasus per kasus dan metode ilmiah yang akurat dan terukur dalam melakukan pengujian dan pengkajian risiko keamanan hayati. Menurut Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2005, keamanan hayati meliputi keamanan lingkungan, keamanan pangan dan/atau keamanan pakan sesuai amanat Protokol Cartagena. Suatu kajian yang bersifat holistic dan sistemik terkait dengan rencana pelepasan tanaman Padi Bt PRG, perlu dilakukan untuk membuat rekomendasi kebijakan pengelolaan tanaman PRG. Selain kajian ilmiah terkait aspek teknologi dan riset untuk mengetahui pengaruh Padi Bt PRG terhadap lingkungan, juga diperlukan kajian aspek ekonomi, sosial dan regulasi dalam melihat prospek kelayakan pemanfaatan Padi Bt PRG dalam penyelenggaraan pertanian berkelanjutan (Protokol Cartagena pasal 23 dan pasal 26). Tanaman Padi Bt PRG telah diintroduksi dengan gen Cry IA(b) dan fusi gen cry IB - cry IA(a) tahan terhadap hama penggerek batang kuning telah dikembangkan oleh Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI (Puslit Bioteknologi LIPI). Tanaman ini secara genetik terbukti memiliki sifat ketahanan terhadap hama penggerek batang kuning berdasarkan hasil penelitian bioassay di FUT Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Selain itu strategi penggunaan gen Bt sangat menguntungkan dalam mengurangi penggunaan insektisida sehingga dapat memperbaiki kualitas lingkungan (Roush 1998; Herman 2009). Sedangkan secara ekonomi lebih menguntungkan karena akan mengurangi jumlah biaya pembelian pestisida (Yang et al 2011). 8
Hipotesis dari penelitian adalah tanaman Padi Bt PRG yang memiliki sifat ketahanan terhadap serangga hama penggerek batang kuning, tidak memberikan pengaruh negatif terhadap serangga non target dan musuh alami potensial, serta memiliki potensi untuk dikembangkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai alternatif peningkatan ketahanan pangan di Indonesia. Rincian dari konsep penelitian ini beserta metode dan utilitas yang digunakan ditampilkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram alir rancangan masalah penelitian Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui pengujian di laboratorium, survei lapangan, hasil wawancara, survei responden dan survei pakar. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya mengenai data keamanan hayati Padi Bt PRG mengandung Cry IA(b) tahan serangan hama penggerek batang.dari Puslit Bioteknologi LIPI, data-data ekologi dan survei literatur atau
9
regulasi melalui studi pustaka. Uraian jenis dan sumber data yang diperlukan disajikan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Tahapan dan metode analisis data untuk formulasi kebijakan PRG Tujuan
Jenis
Sumber data
data (1) Studi keamanan lingkungan : a. Analisis dampak Padi Bt PRG terhadap serangga non-target dan musuh alami b. Persentase kemungkinan terjadinya perpindahan gen di LUT
Sekunder
Hasil pengujian LUT Puslit Bioteknologi LIPI
Primer
(2)Kajian kelayakan finansial pengembangan Padi PRG dan persepsi petani
Sekunder
Dinas/Instansi terkait
Primer
Responden terpilih
(2) Analisis keberlanjutan terhadap pengelolaan Padi Bt PRG
Primer
Responden terpilih
(3) Kajian peraturan dan kebijakan terkait dengan pengelolaan PRG di Indonesia
Sekunder
Peraturan terkait dan subyek yg relevan Wawancara pakar dan kuesioner
Primer
10
Metode
Output yang
analisis
diharapkan
Analysis of Variance dengan menggunakan Duncan Test
Analisis deskriptif dan uji Laboratorium dengan seleksi higromisisn dan analisis PCR Analisis anggaran parsial (B/C ratio)
Analisis MDS dengan Rap PRG
Legal review dan analisis isi (content analysis) AHP dan ISM
Persentase populasi serangga non target dan musuh alami pada Padi Bt PRG dan nonPRG Persentase terjadinya gen flow ke tanaman padi non PRG
Diketahui manfaat finansial dan kelayakan usaha Padi Bt PRG Diketahui status keberlanjutan pemanfaatan Padi Bt PRG dalam kerangka membangun kebijakan pengelolaan PRG Analisis kebijakan dan implementasi pengelolaan PRG
Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penulisan disertasi ini adalah menyusun bahan, informasi, hasil kajian dan rekomendasi sebagai masukan dan pertimbangan dalam penyusunan formulasi kebijakan dalam mengelola pemanfaatan PRG, khususnya tanaman Padi Bt. Pengujian keamanan lingkungan telah dilakukan terhadap serangga non target dan musuh alami di Lapangan Uji Terbatas (LUT) hasil kerja sama antara Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) Sukamandi dengan Puslit Bioteknologi LIPI, sedangkan pengujian terhadap benih Padi non-Bt generasi kesatu (T0) hasil penelitian gene flow dilakukan dengan seleksi higromisin dan analisis PCR (Polymerase Chain Reaction) di Laboratorium dan Rumah kasa padi. Selain kajian aspek teknologi keamanan lingkungan, juga dilakukan kajian sosial ekonomi meliputi analisis finansial, persepsi dan penerimaan petani, analisis keberlanjutan serta kajian peraturan kelembagaan. Studi ini merupakan gabungan antara kajian ilmiah dan sosial yang bersifat holistik dan terpadu terhadap prospek pengembangan Padi Bt PRG, agar strategi pembangunan pertanian berkelanjutan yang menjadi tujuan pembangunan nasional dapat diwujudkan dan ketahanan pangan nasional tercapai. Secara rinci tujuan penelitian adalah untuk:
1. Mengetahui status keamanan lingkungan Padi Bt PRG yangmengandung gen Cry IA(b) tahan terhadap hama penggerek batang. 2. Mengetahui kelayakan finansial serta persepsi dan penerimaan petani terhadap Padi Bt PRG dengan melakukan studi ex ante. 3. Mengetahui status keberlanjutan kebijakan pengelolaan Padi Bt PRG berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan hukum kelembagaan 4. Menganalisis dan melakukan tinjauan terhadap peraturan dan kelembagaan serta kebijakan pengambilan keputusan dalam pengelolaan PRG
11
Manfaat Penelitian Penelitian terhadap kajian keamanan lingkungan meliputi pengaruh langsung terhadap serangga non target (predator dan musuh alami), mengetahui potensi terjadinya perpindahan gen (gene flow), dan kajian-kajian sosial ekonomi untuk mengetahui kelayakan dan potensi keberlanjutan Padi Bt PRG berdasarkan kajian peraturan perundang-undangan dan kebijakan dalam pengelolaan dan pemanfaatannya untuk: 1. Merekomendasikan keamanan keamanan lingkungan Padi Bt PRG mengandung gen Cry IA(b), sebelum pemanfaatan kepada masyarakat, berdasarkan hasil kajian ilmiah. 2. Memberikan masukan kepada pemerintah terutama pembuat kebijakan terhadap potensi kelayakan ekonomi pemanfaatan padi Bt PRG 3. Memberikan alternatif pemanfaatan padi Bt yang lebih ramah lingkungan dengan mengurangi penggunaan insektisida berdasarkan hasil kajian keamanan lingkungan 4. Mengetahui potensi keberlanjutan padi Bt PRG berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
Kebaruan (Novelty) Penelitian Penelitian mengenai bioteknologi khususnya perakitan tanaman PRG di Indonesia masih sangat terbatas, karena terkait dengan kemampuan dalam penguasaan teknologi yang berkaitan dengan infrastruktur, dana dan sumber daya manusia. Persyaratan sebelum tanaman PRG dilepas atau dikomersialisasikan adalah sertifikat keamanan hayati meliputi keamanan pangan, lingkungan dan/atau pakan. Khusus untuk tanaman PRG, pengujian keamanan lingkungan dilakukan untuk mengetahui kemungkinan pengaruh negatifnya terhadap keanekaragaman hayati seperti organisme non target dan terjadinya persilangan (crossing) dengan tanaman sejenis atau kerabat liar di lokasi pertanaman PRG. Kebaruan yang muncul dari penelitian ini adalah, rekomendasi kebijakan kepada pemerintah mengenai pengelolaan tanaman PRG, khususnya tanaman Padi Bt berdasarkan studi keamanan lingkungan di Laboratorium dan LUT. Pengujian
12
keamanan lingkungan Padi Bt PRG di Indonesia adalah penelitian pertama yang pernah dilakukan untuk tujuan memperoleh sertifikat dan pernyataan keamanan lingkungan. Sebagai produk bioteknologi baru melalui teknik rekombinan DNA, tanaman Padi Bt PRG harus disosialisasikan kepada masyarakat, sebelum dilepas atau dikomersialisasikan, sebab keberhasilan suatu teknologi adalah bagaimana masyarakat menerima dan memanfaatkannya. Secara holistik penelitian ini meliputi; (1) Kajian keamanan lingkungan (environmental risk assessment) (2) Pengujian benih hasil penelitian gene flow di LUT (3) Studi kelayakan pelepasan Padi Bt PRG (4) Status keberlanjutan dalam pengelolaan tanaman Padi Bt PRG dan (5) Studi kebijakan pengambilan keputusan berdasarkan peraturan dan kelembagaan terhadap pengelolaan tanaman PRG.
13
TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Sebaran Tanaman Padi Padi termasuk genus Oryza dari family Gramineae (Poaceae). Genus Oryza terdiri dari 25 species dan hanya dua species yang banyak dibudidayakan yaitu Oryza sativa dan Oryza glaberrima. Genus O. glaberrima hanya ditanam di daerah Afrika barat (Vaughan et al. 2003). Jenis padi yang paling banyak ditanam dan dibudidayakan hampir di seluruh dunia termasuk Asia adalah Oryza sativa L. Jenis ini dapat beradaptasi pada berbagai kondisi dan tumbuh pada kondisi lingkungan yang bervariasi mulai dari daerah dataran rendah sampai daerah dataran tinggi, kecuali di daerah Antartika (Jeong et al. 2005; Abdullah et al. 2005). Tanaman padi dengan produksi berasnya merupakan sumber nutrisi utama bagi hampir dua pertiga (Vaughan et al. 2003) sampai separo populasi penduduk di seluruh dunia (Abdullah et al. 2005), dengan total nilai produksi beras dunia pada tahun 2010 mencapai lebih dari 400 juta ton per tahun, berarti mengalami kenaikan 1,8% dibandingkan tahun 2009. Terjadinya bencana alam di beberapa negara produsen beras di dunia ternyata belum memberikan dampak penurunan yang nyata terhadap produksi beras secara global. Peningkatan produksi beras dunia pada tahun 2011 diperkirakan dari India dan China, dengan prediksi tidak terjadi perubahan iklim yang ekstrim (FAO 2010). Indonesia menempati urutan ketiga dari negara-negara penghasil beras di dunia dengan jumlah produksi sekitar 50 juta ton per tahun (Tabel 2). Sentra produksi beras terbesar di dunia berasal dari benua Asia, hampir 90% berasal dari China, India, Vietnam, Thailand dan Indonesia. Sekitar 75% dari produksi beras tersebut dikonsumsi oleh penduduk di wilayah Asia sendiri (Mohanty 2010). Kebutuhan beras di masa yang akan datang akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya populasi penduduk, terutama di negaranegara berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang terus bertambah.
14
Tabel 2. Daftar negara-negara penghasil beras di dunia No
Negara
Jumlah Produksi (ton/tahun) Persentase
1
China
166,417,000
32,7
2
India
132,013,000
26,0
3
Indonesia
52,078,832
10,2
4
Bangladesh
38,060,000
7,5
5
Vietnam
34,518,600
6,8
6
Thailand
27,000,000
5,3
7
Myanmar
24,640,000
4,8
8
Philippines
14,031,000
2,8
9
Brazil
10,198,900
2,0
10
Japan
9,740,000
1,9
(Sumber: FAO 2010).
Hama Penting Tanaman Padi Masalah utama pada pertanaman padi adalah serangan hama dan penyakit. Serangan hama penggerek batang masih menjadi masalah serius terutama didaerah tropis seperti Indonesia. Hama ini dapat menimbulkan kerugian sampai 10 juta ton per tahun atau mendekati 10 - 30% produksi di lapangan (Ho et al. 2001; Moghaieb 2010). Pada saat terjadi serangan berat, dapat menurunkan produksi hingga lebih dari 65 % pertahun (Tu et al. 2000). Sampai saat ini belum ditemukan varietas padi yang tahan terhadap serangan hama penggerek batang. Serangga termasuk jenis hewan yang paling banyak di muka bumi, hampir ¾ dari jenis hewan adalah serangga. Salah satu dari jenis serangga tersebut adalah serangga penggerek batang yang termasuk ke dalam ordo Lepidoptera (Howell et al. 1998). Secara morfologi serangga ini memiliki mulut pengisap yang menyerupai belalai dengan tanda khusus berbentuk spot atau sisik di bagian sayap (Amuwitagama. 2002). Penggerek batang diketahui dapat merusak tanaman pada semua fase pertumbuhan, baik fase di pembibitan, anakan dan fase pembungaan (Srivastava et al. 2003). Gejala kerusakan yang ditimbulkan berbeda-beda sesuai dengan fase pertumbuhan tanaman. Bila serangan terjadi pada fase pembibitan
15
sampai anakan disebut sundep sedangkan pada saat pembungaan disebut beluk. Kerusakan pada bagian batang akan menghasilkan lubang (entry hole) sehingga merusak jaringan pembuluh tanaman yang mengakibatkan bagian pangkal tanaman mati, sedangkan serangan di waktu pembungaan akan mengakibatkan malai hampa dan berwarna putih (Amuwitagama 2002). Serangga penggerek batang padi dapat menyerang tanaman sepanjang musim terutama di daerah tropis, daerah sebarannya melingkupi hampir disemua wilayah. Serangga penggerek batang padi terdiri dari empat jenis yaitu serangga penggerek batang putih (Scirphopaga innotata), serangga penggerek batang kuning (Scirphopaga incertulas), serangga penggerek batang bergaris (Chilo suppressalis) dan serangga penggerek batang padi merah jambu (Sesamia inferens) (Kartasapoetra 1993 ; Daly et al. 1998). Siklus hidup serangga ini dimulai dari telur, larva, pupa dan dewasa memerlukan masa sekitar 46 hari. Perbedaan morfologi serangga penggerek batang dewasa antara yang jantan dengan yang betina kelihatan sangat berbeda. Serangga penggerek batang jantan memiliki warna lebih kecoklatan bila dibandingkan dengan betina (Reissig et al. 1986).
Status dan Perkembangan Bioteknologi Tanaman Padi Kebutuhan terhadap peningkatan produksi dan perbaikan mutu tanaman padi sangat mendesak karena pertumbuhan populasi penduduk yang tidak seimbang dengan jumlah produksi serta terjadinya perubahan iklim global dunia. Kondisi ini dapat memicu timbulnya ancaman akan krisis pangan. Oleh karena itu sebagai negara berkembang, Indonesia memerlukan teknologi baru dalam mempercepat terealisasinya peningkatan produksi dan kualitas hasil tanaman utama seperti padi. Terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan pertambahan jumlah penduduk memerlukan alternatif dan metode baru yang mampu mempercepat tercapainya kenaikan produksi. Beberapa teknik telah dilakukan sebelumnya, mulai dari teknik konvensional sampai era revolusi hijau, akan tetapi belum terjadi kenaikan hasil yang nyata . Teknik rekayasa genetik merupakan salah satu dari beberapa alternatif penerapan bioteknologi pada tanaman pertanian yang bertujuan untuk
16
meningkatkan produksi dengan memperbaiki sifat ketahanan terhadap hama dan penyakit. Melalui teknologi ini diharapkan terjadi kenaikan produksi yang berkelanjutan, sehingga mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan akibat penggunaan pestisida secara berlebihan, terutama pada padi yang rentan terhadap serangan hama (Thiagarajasubramanian 2005). Konsep awal dalam melakukan rekayasa pada tanaman adalah memindahkan sifat-sifat yang bermanfaat untuk meningkatkan kualitas dan mutu tanaman pertanian, hortikultura dan tanaman hias. Selain itu teknologi ini juga dimanfaatkan untuk memahami proses-proses biologis tertentu pada tanaman (Greenberg & Glick 1993). Teknologi rekayasa genetik memungkinkan untuk memanfaatkan sifat-sifat tanaman yang unggul baik yang berasal dari tanaman itu sendiri maupun dari spesies lain yang berbeda, sehingga memungkinkan untuk introduksi sejumlah sifat baru yang dikehendaki ke dalam tanaman budidaya seperti padi (Thomson 2000). Selain itu, sumber materi genetik dan sifat-sifat lain yang bermanfaat, telah digunakan dengan berbagai kombinasi yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan dalam perbaikan mutu dan meningkatkan efisiensi pada pemuliaan tanaman padi (Thomson 2000; Baihaki
2002). Proses pembuatan
tanaman rekayasa genetik dibandingkan dengan tanaman hasil pemuliaan konvensional, memerlukan waktu yang lebih singkat dengan kepastian sifat yang lebih akurat. Perbedaan dari kedua proses tersebut dapat digambarkan seperti pada Gambar 3. Beberapa sifat baru yang diinginkan seperti toleran terhadap kekeringan, salinitas dan rendaman, meningkatkan kualitas nutrisi tanaman (seperti kadar protein dan kadar asam amino), meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit, serta memperbaiki tampilan tanaman (warna bunga, tinggi tanaman) lebih mudah dan lebih efisien dilakukan dengan teknik rekayasa genetik (Kropff & Struik 2002).
17
Sumber: Sharma et al. 2005
Gambar 3. Diagram teknologi transformasi dan teknologi konvensional Rekayasa genetik pada tanaman telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti; meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan hama, penyakit, gulma
dan
herbisida;
meningkatkan
kandungan
zat-zat
gizi,
mengendalikan tingkat kematangan dan masa penyimpanan setelah panen serta modifikasi genom tanaman untuk produksi bahan-bahan kimia tertentu dari tanaman tersebut (MacMahon 2000). Rekayasa genetik pada tanaman padi bertujuan untuk memperoleh tanaman tahan serangan hama dari jenis Lepidoptera dengan memanfaatkan protein Bt toxins (Brookes & Barfoot 2003). Keberhasilan teknologi ini juga telah diterapkan pada tanaman kedelai (52%), jagung (31%), kapas (12%) dan canola (5%). Sifat-sifat unggul yang paling banyak dimanfaatkan pada tanaman adalah ketahanan terhadap herbisida dan serangan hama, serta gabungan dari dua atau lebih sifat tersebut pada satu tanaman (Groote et al. 2011). Masalah utama pada tanaman padi adalah meningkatkan ketahanan tanaman
18
terhadap serangan hama dan penyakit selain perbaikan kandungan nutrisi yang juga menjadi prioritas. Karena umumnya sel tanaman bersifal totipotensi (totipotent), yang berarti memiliki kemampuan dalam memperbanyak diri dari satu sel menjadi banyak sel. Khususnya tanaman hasil transformasi, akan memiliki kombinasi gen baru yang juga dapat memperbanyak diri dan diturunkan pada generasi berikutnya, baik melalui bunga atau biji. Sifat yang ditambahkan tersebut harus dapat diturunkan pada generasi berikutnya (Manshardt 2004). Saat ini telah banyak tanaman pertanian hasil rekayasa genetik yang dihasilkan seperti kentang, tomat, canola, kedele, jagung, kapas dan padi. Tanaman hasil rekayasa genetik monokotil seperti padi umumnya lebih sulit diregenerasikan bila dibandingkan dengan tanaman hasil rekayasa genetik dikotil. Tetapi karena padi merupakan tananaman pertanian utama, lebih memerlukan teknologi modern dalam perbaikan sifat untuk memperoleh kenaikan hasil yang nyata. Salah satu strategi dalam meningkatkan produksi tanaman padi adalah meningkatkan ketahanan tanaman tersebut terhadap serangan hama dan penyakit. Fungsi insektisida dalam tanaman padi dapat direkayasa secara genetik dengan mengintroduksikan gen Bt dari Bacillus thuringiensis. Selama insektisida biologis tersebut bersifat spesifik, umumnya tidak akan membahayakan terhadap manusia sebagai pangan ( Greenberg & Glick 1993). Pada awal transformasi genetik dilakukan pada tanaman padi, telah digunakan metode transformasi secara langsung dengan metode penembakan (particle bombardment). Kemudian beberapa metode dikembangkan seperti metode PEG (Poly Ethylene Glycol) yang dapat meningkatkan jumlah kalus tahan Higromicin. Akhir-akhir ini metode Agrobacterium tumefaciens semakin banyak digunakan karena lebih efisien (Ignacimuthu et al. 2000). Metode ini dimulai dari DNA target yang disisipkan ke dalam plasmid yang mampu menginduksi tumor pada tanaman, selanjutnya plasmid ditransfer kedalam bacteria yang akan menginfeksi sel tanaman. Potongan DNA di dalam plasmid yang membawa sifat atau target gen yang diinginkan akan ditransfer ke dalam sel atau genome tanaman (Thiagarajasubramanian 2005). Transformasi dengan A tumefaciens yang memiliki sifat binary vector, telah berhasil digunakan dalam memproduksi padi
19
PRG sampai generasi kedua dengan integrasi dan ekspresi gen yang stabil (Wang et al. 2002). Penelitian terbaru pada tanaman padi PRG yang memiliki sifat ketahanan terhadap penggerek batang (Chilo agamemnon Bles.) dengan introduksi gen Bt (Cry 1la5), memperlihatkan sifat-sifat agronomi dan fenotip yang sama dengan tanaman non-PRG (kontrol) (Moghaieb 2010). Melalui penerapan teknologi rekayasa genetik pada tanaman, aspek keamanan terhadap lingkungan dan kesehatan manusia harus menjadi prioritas utama, jika produk tersebut akan diintroduksi ke lingkungan atau dikonsumsi oleh manusia (Sharma et al. 2002). Meskipun saat ini belum ada padi hasil rekayasa genetik mengandung gen Bt yang dikomersialisasikan di Asia Tenggara (Ye et al. 2003; Chen et al. 2006; Redona 2006), tetapi pengujian di lapangan uji terbatas telah dilakukan di China sejak tahun 1997 - 1998 untuk padi tahan serangan hama penggerek batang dan ulat penggulung daun. Sampai tahun 2001 pengujian keamanan lingkungan untuk padi hasil rekayasa genetik yang membawa sifat ketahanan terhadap hama dan penyakit telah dikembangkan di lapangan uji terbatas. Hasil penelitian di lapangan uji terbatas, yang ditanam pada kondisi serangan alami, dapat menghasilkan produksi 28,9% lebih tinggi dibandingkan dengan padi non - Bt (Tu et al. 2000). Status penelitian rekayasa genetik di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1990-an. Penelitian yang tadinya masih di laboratorium dan rumah kaca khusus untuk tanaman hasil rekayasa genetik di FUT, saat ini telah sampai pada tahap pengujian di LUT untuk mengetahui kemungkinan dampaknya terhadap lingkungan terbatas (Herman 2009). Salah satu tanaman PRG hasil penelitian dalam negeri yang telah memperoleh pengakuan keamanan lingkungan adalah tanaman tebu PRG dari PT Perkebunan Nusantara XI (Balai Kliring Keamanan Hayati Indonesia 2010). Penelitian Padi Bt PRG, yang mengandung gen Cry IA(b) tahan terhadap penggerek batang yang dilakukan di Puslit Bioteknologi LIPI sejak tahun 1996 telah diuji di LUT untuk mengetahui kemungkinan dampak negatifnya terhadap lingkungan, tetapi benih hasil pengujian untuk mengetahui apakah terjadi persilangan dengan tanaman Padi non-Bt belum diketahui hasilnya, oleh karena itu perlu dilakukan pengujian dengan seleksi Higromisin dan analisis PCR
20
(Polymerase Chain Reaction) terhadap semua benih yang telah ditanam pada jarak yang berbeda-beda sebagai perlakukan sebelumnya. Penelitian tanaman PRG di LUT harus melalui prosedur pengajuan izin kepada Kementerian Lingkungan Hidup melalui Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian. Seperti yang dinyatakan oleh Hilbeck & Andow (2004) bahwa sebelum komersialisasi, tanaman PRG harus dilakukan pengujian keamanan lingkungan terlebih dulu untuk mengetahui dampaknya terhadap lingkungan tempat tumbuh yang dikategorikan pada mahkluk hidup yang berada di atas permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah seperti serangga non target, musuh alami, mikroba tanah dan aktivitas enzim tanah. China adalah negara kedua setelah Iran yang telah mengeluarkan keputusan keamanan lingkungan (environmental safety) pada Padi Bt PRG. China melakukan pengujian keamanan lingkungan di LUT pada tahun 1997 sampai 1998. Meskipun sampai saat ini belum ada varietas Padi Bt yang siap dipasarkan kepada petani (Marfä et al. 2002; Huang et al. 2007) namun melalui teknologi DNA, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, juga telah berhasil melakukan introduksi gen Cry IA(b) yang berasal dari bakteri Bacillus thuringiensis ke dalam genom padi kultivar Rojolele. Gen ini menghasilkan kristal protein yang bersifat toksik terhadap serangga lepidoptera, namun tidak berbahaya bagi kesehatan manusia (Bravo et al. 2011).
Pengkajian Risiko Keamanan Lingkungan (Environmental Risk Assessment) Berdasarkan kesepakatan negara-negara pada Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Biodiversity) di Montreal tahun 1994, telah dituangkan konsep Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik, yang mewajibkan setiap negara yang menandatangani kesepakatan tersebut untuk membuat peraturan dan pedoman bagi setiap produk rekayasa genetik sebelum dimanfaatkan dan dilepas ke lingkungan (Newell & Mackenzie 2000). Pengkajian risiko keamanan lingkungan merupakan bagian dari proses pengambilan keputusan terhadap kelayakan penanaman tanaman PRG ke
21
lingkungan. Adanya issu mengenai keamanan hayati, diawal produk ini dilepas merupakan persoalan yang penting untuk melibatkan masyarakat melalui kegiatan pendidikan publik yang konsisten dan transparan. Penelitian-penelitian tentang keamanan hayati tanaman PRG, lebih difokuskan pada pengaruh sifat toksik dari Bt (Bacillus thuringiensis) terhadap organisme non target, dampak ekologis tanaman PRG terhadap tanaman lain dan kerabat liar, serta interaksi dan pengaruh tanaman PRG tersebut pada keanekaragaman hayati, ekosistem dan mikroba tanah (Lu & Sweet 2010) Karena dianggap lebih ramah lingkungan, maka bioteknologi modern menjadi harapan baru dalam upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil pertanian yang belum dapat diselesaikan secara konvensional. Seperti tanaman tahan serangan hama, akan mengurangi penggunaan insektisida, sehingga menyelamatkan lingkungan dari pencemaran udara dan air. Dampak jangka panjangnya akan mengurangi pencemaran pestisida yang terakumulasi di dalam tanah sehingga menguntungkan bagi lingkungan (Barratt et al, 2010). Berdasarkan fakta terbaru dari ISAAA (2013), angka perkiraan global luas areal tanam PRG di negara-negara berkembang sejak tahun 1996 sampai 2012 meningkat sampai 100 kali, dari 1,7 juta ha menjadi 170 juta ha. Bertambahnya jumlah petani yang menanam tanaman PRG seperti kapas Bt, jagung Bt di negaranegara berkembang telah berhasil meningkatkan pendapatan petani, sehingga program ini diharapkan mampu mendukung Sasaran Pembangunan Milenium dengan mengurangi angka kemiskinan. Harapan untuk mengangkat taraf hidup petani diharapkan tercapai dengan terjadinya peningkatan produksi sebesar 10– 20%, diikuti dengan efisiensi pengeluaran untuk insektisida dan biaya perawatan. (James 2012). Upaya membangun kepercayaan publik dalam pemanfaatan produk rekayasa genetika memerlukan usaha yang cukup serius dari pemerintah, mengingat masih rendahnya tingkat pemahaman dan pengetahuan publik mengenai hal ini. Sebelumnya penemuan-penemuan varietas unggul baru melalui proses teknologi pemuliaan konvensional tidak pernah mendapat reaksi negatif yang serius dari masyarakat
petani, maupun masyarakat konsumen pada
umumnya. Sedangkan varietas unggul baru dari tanaman transgenik mendapat
22
reaksi yang keras dan beragam dari berbagai kalangan yang mengkhawatirkan dampak negatif terhadap keamanan hayati. Reaksi yang muncul dari masyarakat dapat diterima asalkan tidak berlebihan dan disampaikan melalui prosedur yang semestinya. Terdapat beberapa pemikiran dari kelompok yang kontra terhadap tanaman PRG seperti; potensi bahaya produk sehingga tidak ada antisipasi yang dapat dilakukan jika terjadi penyimpangan, risk assessment dan risk management masih lemah, sehingga berdampak luas. Di dalam PP 21 tahun 2005 disebutkan bahwa setiap produk bioteknologi yang akan dimanfaatkan secara luas harus diuji dan
dikaji
terlebih
dahulu
terhadap
kemungkinan
risiko
yang
akan
ditimbulkannya. Informasi ilmiah mengenai hasil pengujian dari pengembangan dan pemanfaatan tanaman PRG yang tersedia saat ini masih rendah, sehingga pengetahuan masyarakat terkait PRG sangat terbatas. Persepsi publik terutama terhadap tanaman PRG terbagi dua kelompok, antara pro dan kontra. Kelompok yang kontra terhadap PRG memprediksi jika tanaman PRG dilepas ke alam dan terjadi persilangan, maka gen yang akan mencemari lingkungan hayati tidak dapat ditarik kembali. Pandangan ini tidak dapat dibenarkan karena adanya aturan yang telah dibuat untuk menjamin keamanan hayati setiap PRG yang akan dilepas atau dimanfaatkan. Menurut Herman (2009) sebelum tanaman PRG dimanfaatkan untuk di tanam ke lingkungan harus melalui pengkajian keamanan lingkungan dengan melakukan percobaan di lapangan uji terbatas, dengan lingkungan fisik yang dapat dikontrol dan dikendalikan. Tindakan isolasi genetik dengan pembatasan materi/bahan yang digunakan dalam membatasi penggunaan bahan tanaman PRG hanya untuk area spesifik dari suatu lingkungan di lokasi percobaan. Percobaan lapangan terbatas adalah kegiatan penelitian skala kecil dan pra komersial, dengan menyediakan teknologi untuk mengevaluasi tampilan tanaman PRG serta mengkoleksi data yang diperlukan dalam pengkajian keamanan lingkungan, pengujian varietas, registrasi, dan tujuan untuk sertifikasi benih (Halsey 2006). Berdasarkan pada pemikiran-pemikiran tersebut maka metode pengkajian risiko (risk assessment) untuk PRG dilaksanakan berdasarkan kasus per kasus, karena setiap produk PRG yang ditanam pada ekosistem yang berbeda
23
memerlukan sistem pengkajian risiko yang berbeda juga (Hilbeck & Andow 2004).
Oleh karena itu PRG yang dihasilkan dari kegiatan penelitian dan
pengembangan yang telah dilakukan di laboratorium, fasilitas uji terbatas dan/atau lapangan uji terbatas sebelum diusulkan untuk dilepas dan/atau diedarkan harus diuji efikasi dan memenuhi persyaratan keamanan hayati (PP No 21 2005) Peraturan yang telah dibuat sesuai dengan PP No 21 tahun 2005 dimana unsur pengujian dan penilaian kelayakan PRG harus melalui risk assessment dan risk management yang sangat teliti dan hati-hati sehingga berbagai kemungkinan dampak negatif yang muncul dapat diantisipasi. Bioteknologi pertanian dalam bidang rekayasa genetik bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan, dan memperbaiki sistim kehidupan tanpa melakukan eksploitasi terhadap alam agar tercapai kesejahteraan hidup manusia. Terdapat beberapa peraturan yang terkait dengan pengaturan keamanan PRG yang berbentuk undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan keputusan menteri. Dalam undang-undang yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah dijelaskan bahwa setiap orang dilarang melepaskan PRG ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan atau izin lingkungan. Pada pasal 101 dari Undang-Undang tersebut, ditulis adanya sanksi bagi yang melanggar, baik sanksi uang maupun tahanan. Oleh karena itu pemanfaatan PRG di tengah-tengah masyarakat harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan kesepakatan dalam Protokol Cartagena. Meskipun kelembagaan yang terkait dengan keamanan hayati telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden No 39 tahun 2010, tetapi belum dilakukan kajian mengenai fungsi kelembagaan yang terkait serta kebijakan yang ditetapkan dalam peraturan tersebut, apakah cukup efektif terhadap pelepasan dan komersialisasi PRG di Indonesia. Beberapa kendala dalam penelitian dan pengembangan PRG di Indonesia adalah waktu yang cukup lama untuk penelitian, minimal 3 – 5 tahun, belum terlaksananya keseluruhan regulasi yang telah ditetapkan sampai pada koordinasi antar kelembagaan serta sikap dan konsistensi pemerintah dalam pengembangan tanaman PRG yang mempengaruhi kinerja penelitian sehingga menghasilkan arah
24
yang kurang fokus. Ketersediaan dana dan grand strategy dalam pengembangan PRG juga menjadi kendala dalam pengembangannya. Teknologi rekayasa genetik ini memerlukan biaya yang cukup besar termasuk biaya pengujian keamanan hayati sebelum dilepas. Keterbatasan dana untuk melakukan pengujian keamanan hayati khususnya tanaman PRG menjadi salah satu kendala dalam upaya pemanfaatan dan pelepasan tanamab PRG kepada masyarakat, terutama di lembaga-lembaga penelitian milik pemerintah dimana sumber dana untuk melakukan penelitian berasal dari dana APBN. Selain itu, beberapa aturan pendukung pemanfaatan PRG belum dapat diselesaikan seperti pedoman teknis pelaksana. Termasuk pedoman untuk pengujian hewan PRG dan pakan PRG serta pedoman untuk penelitian dan pengembangan PRG di Laboratorium.
Analisis Kelembagaan dan Kebijakan Keamanan Hayati Kelembagaan merupakan suatu aturan main (rule of the game) dalam interaksi interpersonal. Dalam hal ini kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, yang tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata
hubungan
manusia
dan
lingkungannya,
menyangkut
hak-hak
dan
perlindungan hak-hak serta tanggung jawab. Sedangkan menurut Pakpahan (1990) dalam Kartodihardjo (2009) kelembagaan atau institusi merupakan sistem yang kompleks, rumit dan abstrak yang mencakup ideologi, hukum adat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mengatur apa yang dilarang untuk dikerjakan oleh individu (perorangan atau organisasi) atau dalam bentuk bagaimana indvidu dapat mengerjakan sesuatu. Karena itu kelembagaan adalah instrumen yang mengatur individu. Kelembagaan merupakan sistem organisasi dan kontrol masyarakat terhadap penggunaan sumberdaya. Batasan tersebut menunjukkan bahwa organisasi dapat dipandang sebagai perangkat keras dari kelembagaan sedangkan aturan main merupakan perangkat lunak. Dalam sistim keamanan hayati di Indonesia, kelembagaan terkait pengaturan dan pengelolaan PRG melibatkan beberapa Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) sesuai dengan produk PRG yang akan dilepas, seperti tanaman PRG melibatkan Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup, sedangkan untuk produk makanan, melibatkan Badan
25
Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM). Kelembagaan independen yang bersifat non struktural yang bertugas dalam memberikan sertifikat dan rekomendasi pelepasan atau/dan peredaran PRG kepada Kementerian dan LPNK terkait adalah Komisi
Keamanan
Hayati
PRG
(KKH
PRG)
yang
telah
ditetapkan
keanggotaannya dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 39 tahun 2010. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, KKH PRG dibantu oleh Tim Teknis Keamanan Hayati PRG (TTKH PRG) yang keanggotaannya terdiri dari pakar berbagai disiplin ilmu untuk melakukan pengkajian dokumen teknis dan pengujian keamanan hayati lanjutan jika diperlukan, sesuai dengan tugas dan fungsi yang telah ditetapkan pada Perpres 39 tahun 2010. Implementasi kebijakan pemanfaatan PRG di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati PRG, yang sebelumnya masih menggunakan Keputusan Bersama Empat Menteri, yaitu Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan serta Menteri Pangan dan Hortikultura tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan
Produk
Pertanian
Hasil
Rekayasa
Genetik
No
998.1/Kpts/OT.210/9/99;790.a/Kpts-IX/1999. Sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia, Indonesia ikut meratifikasi dan akhirnya menandatangani kesepakatan Protokol Cartagena tentang keamanan hayati PRG. Kesepakatan yang tertuang dalam Protokol Cartagena bertujuan untuk menjamin tingkat proteksi yang memadai dalam hal perpindahan, penanganan, dan pemanfaatan yang aman dari perpindahan lintas batas PRG meliputi pangan, pakan, dan pengolahan.
Kajian Sosial Ekonomi terhadap Keberlanjutan Introduksi PRG Pertimbangan sosial ekonomi masyarakat terhadap penerapan PRG, harus menjadi perhatian berbagai pihak, karena hasil teknologi baru memerlukan waktu untuk sosialisasi, agar dapat dipahami dan akhirnya diputuskan oleh masyarakat itu sendiri, apakah akan memanfaatkan atau menolaknya. Keterlibatan masyarakat secara sosial dalam pembangunan bioteknologi sangat rendah di Indonesia. Hal ini dapat diungkapkan melalui persepsi dan partisipasi sebagian besar masyarakat yang belum memahami dan mengerti tentang PRG (Bermawie et al. 2003).
26
Menurut kajian yang dilakukan oleh Adiwibowo et al. 2005, beberapa peluang yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap introduksi PRG ke lingkungan adalah melalui kampanye, advokasi bersama dengan kelompok LSM serta memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengambil keputusan kebijakan pembangunan bioteknologi. Di dalam Protokol Cartagena Pasal 26, dicantumkan pertimbangan sosial ekonomi menjadi aspek perhatian setelah keamanan hayati terpenuhi, karena kepentingan ekonomi masyarakat pengguna PRG perlu diperjuangkan, agar kemandirian pangan dapat diwujudkan melalui PRG produksi nasional. Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan model pembangunan yang berorientasi lingkungan, sosial dan ekonomi. Pembangunan yang berorientasi ekonomi semata dinilai gagal menyelesaikan agenda pembangunan yaitu kemiskinan dan kerusakan lingkungan (Salim, 2005). Konsep pembangunan berkelanjutan mengeksplorasi kaitan antara pembangunan ekonomi, kualitas lingkungan dan keadilan sosial (Rogers et al. 2007). Konsep ini berawal dari pertemuan konferensi internasional lingkungan hidup di Stockholm, Swedia tahun 1972. Konfrensi ini pertama kali dalam sejarah yang digagas oleh PBB. Sepuluh tahun kemudian PBB kembali menggelar konferensi tentang lingkungan hidup pada tahun 1982 di Nairobi, Kenya. Usul yang dihasilkan dari pertemuan lingkungan di Nairobi ini dibawa kesidang umum PBB tahun 1983, dan oleh PBB dibentuk WCED (World Comission on Environment and Development) yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland. Komisi ini menghasilkan dokumen "Our Common Future" pada tahun 1987, yang memuat analisis dan saran bagi proses pembangunan berkelanjutan. Dalam dokumen itu diperkenalkan suatu konsep baru yang disebut suatu konsep pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
27
Gambar 4. Pembangunan berkelanjutan Sumber : Munasinghe (1993)
Di dalam konsep pembangunan berkelanjutan terdapat tiga faktor utama yang membangun pembanguan berkelanjutan (Gambar 4) yaitu faktor ekonomi yang efisien dan memiliki pertumbuhan yang positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pengguna (konsumen) serta masyarakat petani. Faktor lingkungan sebagai sumber daya keanekaragaman hayati yang merupakan modal dalam pembangunan berkelanjutan serta faktor sosial yang menyangkut penerimaan, pemerataan dan hak yang sama bagi masyarakat dalam memperoleh kesejahteraan dan rasa aman dari kemajuan teknologi modern. Pembangunan berkelanjutan mengandung pengertian perubahan positif terhadap kondisi sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial dimana masyarakat sangat bergantung dan membutuhkannya. Agar tercapai keberhasilan dan keberlanjutan dalam penerapannya, diperlukan kebijakan, perencanaan dan proses pembelajaran sosial yang bersifat terpadu dan menyeluruh melalui kebijakan atau keputusan pemerintah melalui kelembagaan sosial dan perekonomian. Untuk mencapai kemajuan di bidang bioteknologi pertanian diperlukan perubahan kebijakan beberapa bidang pembangunan seperti bidang teknologi, sosial ekonomi, dan lingkungan yang bermanfaat untuk pengembangan kebijakan dimasa yang akan datang.
28
Untuk menjamin keberlanjutan produksi tanaman PRG perlu keterlibatan pemerintah secara intensif dengan masyarakat, melalui komunikasi dan sosialisasi yang interaktif dan bersifat terbuka, sehingga informasi teknologi yang akan diterapkan dapat diterima dan dipahami dengan baik sesuai dengan tingkat pendidikan dan kemampuan masyarakat itu sendiri. Di dalam Protokol Cartagena interaksi antara kelembagaan dengan pemangku kepentingan sangat penting, dimana kegiatan ini menjadi bagian dari analisis risiko PRG yaitu komunikasi risiko. Dalam melakukan kajian terhadap dampak ekonomi sosial, diperlukan penilaian dampak dari aplikasi teknologi. Penilaian dapat dibedakan antara kajian ex-post ( teknologi yang sudah digunakan) dan ex-ante (teknologi yang belum di pergunakan). Penggunaan dua jenis kajian ini bergantung pada ketersediaan data yang dimiliki. Kajian ex-post biasanya lebih andal bila dibandingkan dengan kajian ex-ante karena lebih bergantung pada penilaian percobaan penelitian. Pemilihan metode atau analisis yang tepat, merupakan hal kunci untuk memperoleh hasil yang baik. Untuk permasalahan lingkungan disumbang oleh keadaan iklim, kondisi social masyarakat dan keterbatasan teknologi. Strategi permasalahan tersebut ialah dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan yang disebut dalam UU 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu upaya sadar dan terencana dengan memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Beberapa peneliti menguraikan keberlanjutan lebih rinci lagi dalam lima dimensi yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi kelembagaan dan dimensi teknologi (Fauzi & Anna 2005). Dimensi ekologi lebih terkait pada aspek menjaga daya dukung, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem. Dimensi sosial ekonomi terkait pada keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat dalam rangka keberlanjutan. Dimensi kelembagaan ialah terkait kelembagaan yang mendorong keberlanjutan. Dimensi sosial ialah terkait keberlanjutan penerimaan dan kenyamanan pada masyarakat.
29
STUDI KEAMANAN LINGKUNGAN PADI Bt PRODUK REKAYASA GENETIK Study of Environmental Safety for Genetically Engineered Bt Rice Deswina P1), Syarief R2), Rachman LM 3), Herman M 4) 1)Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor dan Staf Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, 2 Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 3Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, 4 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Kementerian Pertanian
ABSTRAK Perkembangan teknologi rekayasa genetik pada tanaman pertanian telah menghasilkan tanaman Padi Bt mengandung gen Cry IA(b) tahan serangan hama penggerek batang (Scirphopaga incertulas) yang dikembangkan oleh Puslit Bioteknologi LIPI. Sebagai tanaman hasil rekayasa genetik, maka Padi Bt harus melalui pengujian keamanan hayati sebelum dilepas atau dikomersialisasikan kepada masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk membuat analisis keamanan lingkungan Padi Bt Produk Rekayasa Genetik (PRG) berdasarkan data-data sekunder dan primer. Data sekunder berasal dari hasil pengujian terhadap serangga non target di lapangan uji terbatas (LUT) di tiga lokasi wilayah pengujian, hasil kerja sama antara Balai Penelitian Padi Sukamandi dengan Puslit Bioteknologi LIPI. Data primer diambil dari hasil seleksi higromisin dan analisis PCR (Polymerase Chain Reaction) terhadap benih tanaman padi hasil penelitian gene flow (persilangan) tanaman Padi Bt PRG ke tanaman Padi non-PRG. Metode analisis data menggunakan analisis deskriptif dan evaluatif. Berdasarkan hasil kajian, meskipun tidak terdapat perbedaan jumlah populasi serangga non target seperti musuh alami di lahan Padi Bt PRG dan lahan Padi non PRG, tetapi kelengkapan data untuk pengkajian keamanan lingkungan belum dipenuhi. Sedangkan hasil pengujian terhadap benih- tanaman Padi non PRG yang telah disemai sebagai tanaman generasi kesatu hasil penelitian gene flow, tidak terbukti terjadinya persilangan karena tidak terdapat benih yang positif membawa gen Cry I A(b). Kata kunci: Padi Bt, gen Cry IA(b), gene flow, keamanan lingkungan, serangga non target.
30
Abstract The development of genetically engineered technology on agricultural crops has produced Bt rice containing genes Cry IA(b) resistant to stem borer (Scirphopaga incertulas Walk.) developed by the Research Center for Biotechnology LIPI . As genetically engineered crop, Bt rice has to go through biosafety testing before being released or commercialized to the public. This study aims to make the analysis for the environmental safety of Genetically Engineered Products (GEPs ) Bt Rice, based on secondary and primary data. Secondary data derived from the results of tests on non-target insects in the Confined Field Trials (CFTs) in three locations of testing area, a collaboration results between Sukamandi Rice Research Institute with Research Center for Biotechnology LIPI. Primary data were taken from the hygromycin selection and PCR analysis (Polymerase Chain Reaction) on rice seed as gene flow ( crosses ) research results of GEP Bt Rice and non-GEP Bt Rice. The methods of data analysis were descriptive and evaluative method. Based on the results of the study, although there was no difference in the number of non-target insect populations such as natural enemies in GEP Bt rice field and non-GEP rice field, but the complement data for environmental safety assessment still have not been fulfilled yet. While the tests results on non-GEP rice seed that has been sown as first generation of gene flow research, the cross still has not been proven yet to be happened because there is no positive seeds that containing Cry IA(b) protein. Keywords: Bt Rice, Gene Cry IA (b), gene flow, environmental safety, non- target insect
PENDAHULUAN Perbaikan
mutu
tanaman
pertanian
secara
konvensional,
telah
meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil, akan tetapi sistim ini tidak dapat dipertahankan karena terbatasnya sifat-sifat yang dimiliki oleh satu spesies yang dapat diturunkan pada generasi berikutnya. Contohnya sifat ketahanan terhadap hama dan penyakit, tidak ditemukan pada tanaman itu sendiri, sehingga harus diambil dari spesies lain yang memiliki sifat ketahanan atau sifat toksin terhadap serangga hama. Salah satu teknik yang dapat memindahkan sifat tertentu dari satu spesies kepada spesies lain yang berbeda jenisnya adalah teknologi rekayasa genetik (Thomson 2000). Produk yang dihasilkan dari teknologi rekayasa genetik dikhawatirkan dapat menimbulkan efek samping terhadap lingkungan dan
31
kesehatan manusia, oleh karena perlu dilakukan pengujian secara ilmiah sebelum dilepas atau dikomersialisasikan. Tanaman PRG sebagai hasil bioteknologi modern, harus memenuhi persyaratan keamanan hayati. Kajian risiko lingkungan (environmental risk assessment) sebagai bagian dari keamanan hayati, harus dilakukan berdasarkan pengujian ilmiah untuk pengambilan keputusan oleh pemerintah sebelum tanaman dikomersialisasikan (Garcia-Alonso et al. 2006). Keamanan lingkungan merupakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2005, yang harus dilakukan untuk mengetahui
kemungkinan
dampak
negatifnya
terhadap
ekosistim
dan
keanekaragaman hayati. Definisi keamanan lingkungan yang disebut dalam PP No 21 tahun 2005 adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah kemungkinan timbulnya risiko yang merugikan keanekaragaman hayati sebagai akibat pemanfaatan produk rekayasa genetik. Terdapat beberapa kemungkinan dampak tanaman PRG terhadap keanekaragaman hayati yang menurut Konvensi Keanekaragaman Biologi (Convention on Biological Diversity) yang ditetapkan pada tahun 1992 memiliki banyak manfaat, termasuk peran pentingnya dalam mencukupi kebutuhan bahan makanan bagi kehidupan, kesehatan dan manfaat lainnya bagi pertumbuhan populasi dunia. Nilai ekologis dari keanekaragaman hayati dapat dihubungkan dengan fungsi ekosistem (Birch et al. 2004). Kemungkinan tanaman PRG dapat memberikan dampak terhadap organisme di atas permukaan tanah seperti serangga non target, burung dan hewan lain yang bermanfaat bagi ekosistem. Demikian juga terhadap organisme yang berada di bawah permukaan tanah seperti mikroba tanah dan hewan (fauna) bawah tanah. Selain itu kekhawatiran terjadinya perpindahan gen berupa material genetik dari tanaman PRG kepada tanaman non PRG, telah menjadi isu yang menimbulkan polarisasi pendapat pro dan kontra di kalangan masyarakat. Terjadinya perpindahan gen (gene flow) yang dalam pengertian konvensional adalah persilangan (crossing) merupakan peristiwa alami yang selalu terjadi di alam, sehingga menambah keragaman genetik yang telah ada sebelumnya (Hüsken et al. 2010). Terjadinya kemungkinan transfer material genetik dari tanaman PRG kepada tanaman non-PRG secara konvensional biasa terjadi di alam dengan beberapa persyaratan seperti cara penyerbukan dan
32
kompatibalitas seksual diantara tanaman asal dan tanaman penerima yang berdekatan (Herman 2009). Terdapat kekhawatiran pada tanaman PRG karena PRG dianggap individu asing yang sama sekali berbeda dengan yang lainnya. Kemungkinan terjadinya perpindahan material genetik dari tanaman PRG ke tanaman non PRG dianggap dapat menimbulkan sifat weediness dan invasiveness di alam (Herman 2008). Penyebaran serbuk sari tanaman padi yang memiliki sifat menyerbuk sendiri (cleistogamy), terdapat kekhawatiran terjadinya persilangan dengan kerabat liar dan jarang terjadi dengan sesama tanaman pertanian (Hüsken et al. 2010). Beberapa percobaan tentang kemungkinan terjadinya persilangan atau pindahnya material genetik seperti serbuk sari dari tanaman PRG kepada tanaman non-PRG telah dilakukan dengan menggunakan disain percobaan yang berbedabeda sesuai dengan jenis tanaman yang diuji. Penelitian terhadap perpindahan serbuk sari tanaman padi menggunakan metode langsung, yaitu memasang perangkap serbuk sari pada jarak 0.2,0.4,0.8,1.6,2.4, 3.2,4.0, 4.8,5.6, 6.4,7.2, 8.0,8.8, 9.6,10.4 meter dari padi PRG yang memiliki warna dasar bunga ungu. Model pemasangan perangkap serbuk sari dan disain penelitian di LUT seperti pada Gambar 1.
Padi PRG
Padi NonPRG
Gambar 1. Model desain penelitian gene flow untuk tanaman padi PRG di Nepal tahun 2003. Sedangkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Harst et al. (2009) untuk pengujian penyebaran serbuk sari dan persilangan pada tanaman anggur PRG ke
33
tanaman anggur non-PRG menggunakan desain penelitian seperti Gambar 2. Jarak isolasi yang digunakan mulai dari 5, 10, 20, 50, 100 dan 150 meter dari tanaman PRG. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masih terjadi persilangan antara tanaman anggur PRG ke tanaman anggur non-PRG pada jarak isolasi 20 meter sebesar 2.0-2.7%.
Anggur PRG Anggur NonPRG
Gambar 2. Model desain penelitian gene flow untuk tanaman anggur PRG di LUT pada tahun 2002-2004 di Jerman Untuk pengujian keamanan lingkungan terutama dampaknya terhadap organisme tanah yang berada di atas dan di bawah permukaan tanah perlu diidentifikasi melalui pengujian lapangan. Selanjutnya Birch et al. (2004) menjelaskan bahwa persyaratan pelaksanaan pengujian tanaman PRG sebelum dilepas, harus dalam kondisi yang tertutup, lingkungan yang terkontrol (terkendali), seperti rumah kaca khusus atau lapangan pengujian terbatas. Pengujian harus dilakukan dengan memperhatikan kasus per kasus sesuai dengan sifat tanaman yang diintroduksikan berdasarkan metode penelitian yang jelas dan transparan. Untuk pengujian spesies-spesies yang berada di bawah permukaan tanah, seperti mikroba tanah dan komunitas fauna makro, melibatkan spesiesspesies yang sangat beragam dan terkadang hanya memiliki sedikit keterkaitan dengan fungsi ekologis atau dampaknya pada ekosistem. Sehingga pengujian untuk mengetahui dampak tanaman PRG pada keragaman hayati di bawah permukaan tanah berdasarkan pada kelompok spesies yang terkait dengan fungsi ekosistem tanah. 34
Model pengujian risiko lingkungan untuk spesies non target yang dikembangkan oleh Birch et al. (2004) meliputi lima tahapan yaitu; (1) Membuat kategori (klasifikasi) organisme non-target berdasarkan fungsi, (2) Membuat daftar spesies-spesies non-target potensial berdasarkan prioritas ekologis, (3) Membuat analisis lintasan exposure dari tanaman PRG terhadap organisme nontarget atau dampak potensial dari tanaman PRG, (4) Identifikasi dampak dan pengembangan hipotesa, (5) Mengembangkan metodologi atau protokol pengujian risiko. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat kajian ilmiah berdasarkan datadata primer dan sekunder terhadap pengujian keamanan lingkungan tanaman Padi Bt PRG yang telah dilakukan sebagai persyaratan memperoleh izin keamanan lingkungan dari lembaga terkait yaitu Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) berdasarkan rekomendasi Kementerian Pertanian. Selain itu kajian risiko lingkungan menurut Garcia-Alonso (2006) harus dilakukan berdasarkan kasus per kasus dengan pendekatan kehati-hatian sesuai dengan informasi ilmiah dan data yang diperlukan termasuk pendapat pakar dalam pengambilan keputusan.
METODE ANALISIS DATA a. Kajian Pengaruh Padi Bt PRG terhadap Keberadaan Serangga Non Target dan Musuh Alami Potensial Pengujian keamanan lingkungan untuk Padi Bt PRG mengandung gen Cry IAb telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI (Puslit Bioteknologi LIPI) bekerja sama dengan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Penelitian Tanaman Padi), Kementerian Pertanian pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 di LUT (Confined Field Trial) pada tiga lokasi yang berbeda di Propinsi Jawa Barat yaitu Kabupaten Karawang, Indramayu dan Pusaka Negara. Hasil penelitian dalam bentuk data sekunder dikaji dan dianalisis untuk membuat suatu rekomendasi kebijakan pelepasan Padi Bt PRG. Lokasi yang menjadi wilayah penelitian termasuk daerah yang merupakan wilayah endemik serangan hama penggerek batang kuning di Jawa Barat, sehingga lokasi ini sangat sesuai dijadikan lokasi percobaan LUT untuk mengetahui kemungkinan pengaruh Padi Bt PRG terhadap keberadaan serangga target dan non target.
35
Analisis yang digunakan pada penelitian adalah analisis deskriptif yang digunakan untuk kajian dan menjelaskan hasil penelitian menurut kriteria tertentu sehingga bisa memberikan gambaran yang sesungguhnya untuk kemudian dibuat generalisasi. Analisis data yang dipakai merupakan proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dipahami dan diinterpretasikan. Hasil pengujian keamanan lingkungan terhadap serangga non target dan pengujian gene flow yang telah dilakukan sebelumnya oleh Puslit Bioteknologi LIPI digunakan sebagai bahan kajian untuk analisis deskriptif evaluatif yang disajikan dalam bentuk Grafik, sedangkan pengujian terhadap benih hasil penelitian gene flow dilakukan di laboratorium dengan metode seleksi higromisisn dan analisis PCR (Polymerase Chain Reaction).
b. Pengujian Benih Hasil Penelitian Gene flow di LUT 1. Seleksi Higromisisn Sebelum dilakukan pengujian terhadap benih hasil penelitian gene flow yang telah dilakukan pada tahun 2006-2007 oleh Puslit Bioteknologi LIPI bekerja sama dengan BB Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Kementerian Pertanian pada tahun 2006-2007, benih-benih tersebut diidentifikasi dan dihitung jumlahnya sesuai dengan ulangan dan perlakuan di LUT. Selanjutnya benih-benih tersebut direndam selama 1x 24 jam dan kemudian ditumbuhkan di dalam bak semai sebelum selanjutnya diseleksi menggunakan larutan higromisin. Evaluasi benih Padi non-Bt hasil pengujian gene flow terdiri dari beberapa kultivar padi yaitu Rojolele, Rojolele KA, Pandan Wangi dan Ciherang. Untuk mengetahui apakah benih-benih Padi non-PRG tersebut telah disilangi oleh Padi Bt PRG selama penelitian, dilakukan seleksi higromisin sebelum analisis PCR. Seleksi higromisin merupakan seleksi awal yang dilakukan pada saat benih berumur sekitar 21 hari, dimana sebelumnya benih disemai secara bertahap sesuai dengan kapasitas rumah kasa yang tersedia. Benih-benih tersebut disemai di bak plastik berukuran 40 cm x 30 cm x 10 cm dengan media pembibitan terdiri dari campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 3:1. Benih-benih tersebut direndam di dalam air aquades selama lebih kurang 24 jam, kemudian ditiriskan dan siap di tanam. Benih yang ditanam di pelihara dan dijaga agar
36
kebutuhan airnya mencukupi, setelah berumur sekitar 2 – 3 minggu, semaian telah memiliki lebih kurang 3-4 lembar daun (Gambar 3). Semaian kemudian siap untuk ditandai dengan spidol dan ditetesi dengan larutan higromisin (100 mg/l). Larutan penguji ini terdiri dari: 0,01% gelrite 1000 µl yang telah dipanaskan, 780 µl air steril, 1% triton X-00 200 µl, setelah suhu mencapai 30o C, ditambahan 20 µl hygromisin (stok 50 µg/ml). Larutan control dibuat dan digunakan tanpa higromisin. Pada helaian daun yang telah diberi tanda sebelumnya dengan spidol warna hitam, diolesi dengan larutan higromisin tadi, untuk kontrol digunakan larutan penguji tanpa ditambahi dengan hygromisin. Pengamatan ketahanan daun tanaman pada higromisin dilihat setelah tiga hari perlakuan. Jika daun yang diolesi higromisin berubah menjadi nekrotik, berarti tanaman peka terhadap antibiotik higromisin, dan tidak perlu dilanjutkan dengan analisis PCR. Apabila diperoleh semaian yang tidak mengalami nekrotik, dilanjutkan dengan analisis PCR
Gambar 3. Tanaman padi umur 2 – 3 minggu untuk persiapan seleksi higromisin
2. Analisis PCR (Polymerase Chain Reaction) Analisis PCR digunakan untuk mengetahui apakah telah terjadi integrasi gen pada tanaman Padi non-PRG karena adanya persilangan (crossing) dengan tanaman Padi Bt PRG. Pada analisis PCR digunakan DNA tanaman kontrol positif mengandung gen Cry IA(b) dan DNA tanaman kontrol negatif yang tidak mengandung gen Cry IAb. Sampel daun dari tanaman Padi non PRG yang tidak mengalami nekrotik pada uji higromisin diisolasi dengan menggunakan metode Zheng et al. (1995). DNA sampel tanaman hasil penelitian gene flow di LUT yang
37
tidak lolos seleksi higromisisn, diisolasi dari daun. Daun sepanjang ± 2 cm dipotong-potong, kemudian ditambah 750 µl dapar isolasi DNA (0.2 M Tris-HCl pH 7.5, 0.05 M EDTA, 2 M NaCl dan 2% CTAB), dapar ekstraksi (sorbitol 0.35 M, Tris-HCl pH 7.5, 0.1 M dan 5 mM EDTA) ditambah 5% sarkosil. Selanjutnya reaksi diinkubasi pada suhu 650C selama 1 jam. Kemudian ditambahkan 750 µl chloroform:isoamylalkohol (24:1) dan disentrifugasi selama 5 menit pada kecepatan 8.000 rpm pada suhu 40C. Supernatan dipindahkan ke tabung baru dan ditambah dengan 400 µl isopropanol dingin, dan disentrifugasi selama 8 menit dengan kecepatan 8.000 rpm pada suhu 40oC. Supernatan dibuang dan pellet dicuci dengan 70% etanol. Pelet dalam tabung dikeringkan dan dilarutkan dengan 30-50 µl dapar TE pH 8.0. Untuk uji PCR, volume 1 x reaksi PCR ialah 20 µl dengan komposisi seperti pada Lampiran 2. Primer yang digunakan adalah hpt 5’– GATGCCTCCGCTCGAAGTAGCG-3’ dan 5’ – GCACTCCCCGCCTGCAC-3’. Volume 1 x reaksi PCR ialah 20 µl dengan komposisi seperti pada Lampiran
1.
Primer
yang
digunakan
adalah
hpt
5’–
GATGCCTCCGCTCGAAGTAGCG-3’ dan 5’ – GCACTCCCCGCCTGCAC-3’. Kemungkinan terjadinya persilangan atau perpindahan material genetik dari tanaman Padi Bt ke tanaman Padi non-Bt, yang diamati untuk setiap perlakuan berdasarkan jarak isolasi di lapangan yaitu 1, 2, 3, 5, 7, 9, 11, 13 dan 15 meter dari tanaman Padi Bt PRG, dengan menggunakan pola penanaman berbentuk lingkaran, dimana pada linkaran bagian dalam ditanami dengan padi Bt PRG dan seterusnya pada setiap jari-jari lingkaran ditanam dengan beberapa kultivar tanaman padi non-PRG. Secara keseluruhan pola penanaman padi yang dilakukan Puslit Bioteknologi LIPI berbentuk pola lingkaran menyerupai balingbaling (Lampiran 2).
HASIL DAN PEMBAHASAN a. Kajian Keamanan Lingkungan terhadap Pengaruh Padi Bt PRG terhadap Serangga non-target di LUT Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI di LUT yang bekerja sama dengan Balitpa Padi Sukamandi, telah diperoleh hasil penelitian, terhadap pengaruh tanaman Padi Bt PRG pada
38
populasi serangga non target dan musuh alami potensial di LUT di tiga lokasi berbeda yaitu Kabupaten Subang, Karawang dan Indramayu seperti disajikan pada Gambar 4.
Sumber :Laporan teknik penelitian Puslit Bioteknologi 2004
Gambar 4.Populasi serangga wereng punggung putih (Sogatella furcifera) pada galur Padi Bt PRG (11.21.39;6.11) dan Padi non-PRG di tiga lokasi Kabupaten Subang, Karawang dan Indramayu. Hama padi non target seperti wereng punggung putih (Sogatella furcifera) ditemukan di tiga lokasi pengujian dengan tingkat populasi yang tidak berbeda pada pertanaman Padi Bt PRG dan pertanaman Padi non–PRG. Populasi tertinggi untuk tiga lokasi tersebut terdapat pada 4 MST. Di awal pengamatan belum ditemukan populasi wereng punggung putih, kecuali di daerah Karawang, sedangkan di daerah Indramayu, sudah tidak ditemukan populasi wereng punggung putih sejak pengamatan ke 8 sampai dengan pengamatan ke 10 MST (Laporan akhir Puslit Bioteknologi-LIPI 2006). Hama-hama lain yang tergolong hama non target adalah hama putih palsu (Cnaphalocrosis medinalis) (Gambar 5) dan
hama
wereng
coklat
(Nilaparvata
lugens
Stahl.)
(Gambar
6).
39
Sumber :Laporan teknik penelitian Puslit Bioteknologi 2006
Gambar 5. Populasi serangga hama putih palsu (Cnaphalocrosis medinalis) pada galur Padi Bt PRG (6.11;11.21.39) dan Padi non-PRG di dua lokasi yang berbeda Kabupaten Subang dan Indramayu.
Sumber :Laporan teknik penelitian Puslit Bioteknologi 2007
Gambar 6. Populasi serangga hama wereng coklat (Nilaparvata lugens Stahl.) pada galur Padi Bt PRG(6.11;11.21.39) dan Padi non-PRG di dua lokasi yang berbeda Kabupaten Subang dan Indramayu.
40
Diketahui bahwa tiga jenis serangga non target ini merupakan jenis-jenis serangga potensial dan dominan di lokasi pertanaman. Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan di LUT, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan populasi serangga hama lain atau serangga non target di lokasi Padi Bt maupun di lokasi Padi non Bt. Hal ini disebabkan karena Padi Bt PRG tidak mempengaruhi atau meracuni serangga non target di lokasi pertanaman, sehingga populasinya tidak berbeda, baik pada Padi Bt PRG maupun Padi non PRG. Menurut Chen et al. (2006) tidak ditemukan perbedaan terhadap komposisi spesies dan kerapatan populasi serangga non target seperti wereng coklat dan ulat penggulung daun (leafhopper) pada pertanaman Padi Bt yang mengandung gen Cry IAb – Cry IAc dan pertanaman Padi non Bt di Propinsi Zhejiang, China pada tahun 2003 dan 2004. Gen Cry dikelompokkan berdasarkan tingkat virulensi yang spesifik terhadap kelompok serangga sasaran. Senyawa toksin yang berasal dari kristal protein Cry hanya akan bekerja dan aktif jika bertemu dengan receptor yang tepat di dalam sistem pencernaan serangga dari golongan yang sesuai dengan kelas virulensinya, seperti Cry I yang hanya akan bersifat racun pada serangga dari kelompok Lepidoptera (Sanahuja et al. 2011).
Pada padi aromatik yang
mengandung gen Cry1A(b) menunjukkan ketahanan terhadap penggerek batang padi merah jambu (Chilo suppressalis) dan penggerek batang padi kuning (Ghareyazie et al. 1997), dan padi japonica terhadap hama penggerek batang padi kuning (Wu et al. 1997). Tidak ditemukan populasi serangga hama putih palsu dan wereng coklat di daerah pengamatan Karawang, hanya wereng punggung putih yang paling dominan ditemukan pada saat pengamatan. Selain hama wereng punggung putih di LUT daerah Tempuran, Karawang, juga ditemukan walang sangit (Leptocorisa oratorius) sebagai hama non target generalis , berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada padi Rojolele non PRG (isogenik) dan Padi Bt PRG di Karawang, terbukti tidak terdapat perbedaan populasi yang nyata terhadap kedua jenis hama non target tersebut di LUT (Mulyaningsih et al. 2009). Pengamatan untuk serangga hama putih palsu (Cnaphalocrosis medinalis) juga memperlihatkan kondisi yang sama dengan hama non target WPP, dimana
41
tidak ditemukan perbedaan populasi antara tanaman Bt dan tanaman non Bt. Perbedaan populasi hanya terdapat pada waktu pengamatan, dimana di daerah Subang, populasi hama putih palsu (HPP) paling tinggi terdapat pada pengamatan 6 MST, sebaliknya di daerah Indramayu populasi tertinggi dari serangga HPP terdapat pada awal pertanaman atau pada waktu tanaman masih muda yaitu 2 MST. Populasi hama wereng coklat tertinggi terdapat pada 8 MST baik di lokasi Kabupaten Subang maupun Indramayu. Pengaruh tanaman Padi Bt PRG terhadap musuh alami yang ditemukan di lapangan seperti laba-laba (Arachnida), dan Paederus (Paederus sp), disajikan pada Gambar 7 dan Gambar 8.
Sumber :Laporan teknik penelitian Puslit Bioteknologi 2006
Gambar 7. Populasi laba-laba pada galur padi Bt PRG (6.11 dan 11.21.39) dan padi non-PRG (Rojolele dan Ciherang) di dua lokasi yang berbeda Kabupaten Subang dan Indramayu
42
Sumber :Laporan teknik penelitian Puslit Bioteknologi 2006
Gambar 8. Populasi Paederus sp pada galur Padi Bt PRG (6.11 dan 11.21.39) dan Padi non-PRG (Rojolele dan Ciherang) di dua lokasi yang berbeda Kabupaten Subang dan Indramayu. Populasi laba-laba sebagai musuh alami di daerah Subang dan Indramayu dapat ditemukan di pertanaman Padi Bt dan Padi non Bt, dengan jumlah populasi yang tidak berbeda nyata. Di daerah Subang, sampai pengamatan 10 MST masih ditemukan populasi laba-laba tetapi pada pengamatan 2 MST belum ditemukan. Untuk daerah Indramayu tidak ditemukan lagi laba-laba pada pengamatan ke 8 dan 10 MST. Terdapat juga populasi Paederus sp sebagai musuh alami di daerah Subang dan Indramayu pada pengamatan 4 MST sampai 8 MST dengan jumlah populasi yang tidak berbeda nyata baik pada Padi Bt maupun Padi non Bt. Selain laba-laba dan Paederus sp, musuh alami yang ada selama percobaan di LUT daerah Indramayu berlangsung adalah Coccinella sp dan Cyrtorhinus sp. Keempat predator tersebut merupakan predator dari wereng coklat. Sedangkan laba-laba selain predator wereng juga predator banyak serangga hama (generalis) (Deswina et al. 2009). Dari keempat musuh alami tersebut, populasi laba-laba cukup tinggi dan tidak banyak berbeda antar galur Padi Bt dan Padi non Bt yang diuji. Menurut laporan akhir BB Penelitian Tanaman Padi dan Puslit Bioteknologi LIPI, tingkat parasitasi Trichogramma yang merupakan parasitoid dari telur penggerek batang
43
padi, yang tertinggi terdapat pada galur Padi Bt PRG (galur 6.11) dan tidak berbeda nyata dengan padi lain yang non PRG. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, di tiga lokasi pada musim yang berbeda, menghasilkan kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan jumlah populasi serangga non target dan musuh alami dari serangga yang berada di atas permukaan tanah. Pengamatan pada organisme atau serangga di permukaan tanah belum dilakukan, akan tetapi penelitian serupa telah banyak dilakukan terhadap organisme yang berada di bawah permukaan tanah seperti mikroba dengan hasil yang bervariasi, mulai dari pengaruh minor sampai nyata yang diakibatkan oleh tanaman Bt terhadap komunitas mikroba di dalam tanah. Tetapi perbedaan yang muncul lebih disebabkan karena berbedanya geografi, temperatur, varietas tanaman dan tipe tanah, dan perubahan struktur komunitas mikroba bersifat sementara, dan tidak berhubungan dengan keberadaan protein Cry di dalam jaringan tanaman (Rahman et al. 2007, Icoz & Stotzky 2008). Menurut hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Puslit Bioteknologi LIPI pada tahun 2006 terhadap pengaruh Padi Bt PRG terhadap populasi mikroba tanah di pertanaman Padi Bt dan Padi non Bt dari lokasi pertanaman Padi Bt di LUT, tidak terdapat perbedaan nyata populasi mikroba pada dua lokasi pertanaman Padi Bt dan non-Bt (Slamet-Loedin, komunikasi pribadi). Pengujian keamanan lingkungan untuk tanaman PRG yang membawa sifat ketahanan terhadap serangga lebih diutamakan jika dibandingkan dengan sifat toleran herbisida, karena kemungkinan pengaruh negatif tanaman toleran herbisida terhadap serangga non target hanya bersifat tidak langsung (Lottmann & Berg 2001). Lebih jauh disebutkan bahwa faktor abiotik lingkungan lebih besar memberikan pengaruh terhadap mikroba tanah bila dibandingkan dengan faktor genotip tanaman (Mimura et al. 2008). Organisme yang terdapat di dalam tanah sangat bervariasi dan kompleks baik dari jumlah, jenis dan fungsinya di dalam tanah. Untuk mengetahui pengaruh negative tanaman Bt PRG terhadap keseluruhan organisme tanah akan membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu pengujian dilakukan hanya terhadap organisme tanah yang langsung terpengaruh (terpapar) oleh residu yang dihasilkan langsung bagian tanaman PRG seperti
44
toksin Cry (IAb) yang terdapat di dalam tanah. Jika tidak memungkinkan semua organisme tanah dapat diketahui pengaruhnya terhadap residu tanaman PRG, maka yang paling penting diketahui adalah kemungkinan dampak negatifnya terhadap organisme tanah dan yang paling besar perannya dalam kehidupan tanaman itu sendiri. Pengaruh tanaman Bt tahan hama terhadap ekosistem tanah meliputi organisme invertebrate (seperti cacing tanah, colembola, serangga tanah dan nematode) dan mikroorganisme (mikrobiota) tanah (meliputi bakteri, actinomycetes dan fungi) (Icoz & Stotzky 2008). Berdasarkan pengujian keamanan lingkungan pengaruh protein Cry I Ab yang diintroduksi pada tanaman, tidak terbukti dampak negatifnya terhadap organisme invertebrata yang hidup di permukaan tanah. Tetapi terdapat pengaruh terhadap mikrobiota tanah seperti jamur (fungi) pada tanah yang ditanami dengan tanaman PRG ternyata mengandung protein Cry I Ab, sedangkan tanah yang ditanami dengan tanaman non-PRG diketahui tidak mengandung protein Cry I Ab setelah diuji secara molekuler, tetapi belum diketahui dampaknya terhadap jamur itu sendiri (Icoz & Stotzky 2008). Kemungkinan terjadinya dampak atau risiko tanaman PRG terhadap lingkungan, tidak hanya bergantung pada kualitas hasil penelitian, tetapi juga dari interaksi antara penilai, pembuat peraturan dan pengembang teknologi (McCammon 2010).
b. Pengujian terhadap Benih Padi non-PRG Hasil Penelitian Gene Flow di Lapangan Uji Terbatas. Semua benih Padi non-PRG hasil penelitian
gene flow dihitung dan
dipisahkan berdasarkan jenis dan ulangan, hasilnya disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil identifikasi, tidak diperoleh benih padi Rojolele untuk ulangan III, diperkirakan benih tersebut tidak berhasil dipanen pada waktu penelitian berlangsung karena penelitian yang telah lama berlangsung sejak tahun 20062007.
45
Tabel 1. Jumlah benih padi non PRG hasil percobaan perpindahan gen (gene flow) di LUT No
Kultivar
1
Rojolele
2
Total Rata-rata Rojolele KA
3
Total Rata-rata Pandan Wangi
4
Total Rata-rata Ciherang
Total Rata-rata
46
Ulangan I II III IV
I II III IV
I II III IV
I II III IV
1 mtr 281 0 0 46 327
Jarak tanaman Padi non PRG dari tanaman Padi Bt PRG 2 mtr 3 mtr 5 mtr 7 mtr 9 mtr 11 mtr 13 mtr 77 154 268 126 156 50 50 0 0 215 306 141 80 196 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 60 122 0 46 154 483 432 357 252 246
15 mtr 283 78 0 109 470
81,75 537 170 300 4031 5790 1447.5 126 63 552 349 1090 272.5 0 123 376 1260 1759
19,25 990 440 447 0 1877 625.67 0 170 1070 418 1658 552.67 0 163 667 2490 3320
38,5 780 598 0 1406 2784 928.00 0 100 1376 0 1476 738.00 330 123 585 1960 2998
117,5 980 836 495 523 2834 708.50 70 0 126 61 257 85.67 0 86 260 960 1306
1660.00
1199.20
879.50
120,75 1006 526 248 0 1780 593.33 0 143 592 56 791 263.67 320 56 0 2459 2835 1417.50
108 1705 739 213 1656 4313 1078.25 0 75 708 0 783 391.50 349 0 0 1780 2129 1419.33
89,25 825 476 561 663 2525 631.25 84 100 307 50 541 135.25 714 122 307 789 1932 772.80
63 1717 0 1035 975 3727 1242.33 119 0 456 50 625 208.33 526 148 750 1078 2502 1000.80
123 1551 844 235 0 2630 876.67 118 165 417 92 792 198.00 564 66 343 1608 2581 1032.40
653.00
Setelah semua benih padi hasil pengujian gene flow di LUT di hitung dan dicatat, kemudian setiap kultivar berdasarkan jarak isolasi ditumbuhkan dengan menggunakan media semai tanah sawah yang dilumpurkan dalam bak plastik. Jumlah benih yang berhasil ditumbuhkan atau tidak dapat lagi tumbuh diamati dan dicatat sesuai dengan jenis masing-masing kultivar seperti yang disajikan pada Gambar 9 dan Gambar 10.
Gambar 9. Kemampuan tumbuh benih padi generasi kesatu (T0) kultivar Rojolele dan Pandan Wangi hasil penelitian gene flow di wilayah Karawang untuk seleksi higromisin dan analisis PCR. Jumlah benih yang paling banyak dari hasil identifikasi adalah Rojolele KA (5790 butir), tetapi kemampuan benih untuk tumbuh hanya sekitar 1.89% (110 butir). Tetapi sebaliknya untuk benih Ciherang dengan jumlah benih 3320 butir memiliki kemampuan tumbuh paling tinggi yaitu sekitar 35.3% (1174 butir). Benih Pandan Wangi memiliki kemampuan tumbuh paling kecil yaitu sekitar 0.4% (8 butir) dari 1658 butir benih yang disemai.
47
Gambar 10. Kemampuan tumbuh benih padi generasi kesatu (T0) kultivar Rojolele KA dan Ciherang hasil penelitian gene flow di wilayah Karawang untuk seleksi higromisin dan analisis PCR. Seleksi Higromisin Seleksi awal untuk benih-benih hasil penelitian gene flow menggunakan higromisin dengan cara menetesi daun tanaman dengan larutan Higromisin 100mg/l. Setelah 2x24 jam, daun tanaman yang ditetesi larutan higromisin tersebut terbakar atau berwarna coklat (Gambar 11), maka tidak perlu dilanjutkan lagi dengan analisis PCR, sebaliknya apabila daun tanaman tidak terbakar, maka dilanjutkan dengan analisis PCR untuk memastikan apakah benih yang tidak terbakar dengan uji higromisin tersebut mengandung gen Cry IA(b). Larutan higromisin termasuk pada salah satu sistem penanda (marker) ketahanan antibiotik yang umum digunakan pada tanaman monokotil seperti padi (kelompok gramineae). Keberadaan gen hpt (hygromycin phosphotransferase), sebagai salah satu gen penanda pada padi Rojolele PRG dapat diuji menggunakan antibiotik higromisin. Cara kerja antibiotik ini adalah menghambat sintesis protein melalui gangguan translokasi, sehingga terjadi kesalahan pada ribosom 80S (Rodriguez & Nottenburg 2002).
48
A
B
B
A
Gambar 11. Hasil seleksi higromisin pada daun tanaman padi A lingkaran yang diberi larutan higromisin B lingkaran yang tidak diberi larutan higromisin
Analisis PCR Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada semua benih padi hasil pengujian gene flow, tidak ditemukan tanaman Padi non Bt generasi kesatu, yang positif mengandung Cry I A(b). Hal ini dapat dibuktikan dari hasil evaluasi menggunakan higromisisn dan analisis PCR yang dilakukan pada benih padi dengan berdasarkan perlakuan jarak isolasi yang berbeda-beda. Beberapa hasil pengujian dengan analisis PCR terhadap tanaman Padi non-PRG yang ditanam di sekitar tanaman Padi Bt PRG di LUT disajikan pada Gambar 11.
1012 bp Cry IAb λ P + - A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11121314 15 16 17181920 2122232425 26272829303132333435363738
1012 bp Cry IAb λ P + -
A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 111213 141516 17181920 212223 242526 272829303132333435363738
Gambar 12. Hasil analisis PCR menggunakan primer Cry IA(b) pada tanaman generasi kesatu (T0) Padi non-PRG cv. Rojolele (A) dan Ciherang (B) hasil penelitian gene flow di LUT. λ hind III;P plasmid;+ DNA cry IA(b); A sampel air;1(sampel tanaman Rojolele non PRG); 2-39 sampel DNA tan padi non-PRG cv. Rojolele hasil penelitian gene flow.
49
Pada analisis PCR digunakan sampel DNA yang mengandung gen Cry IA(b) sebagai kontrol positif untuk pembanding dengan sampel-sampel DNA tanaman yang diuji, sedangkan kontrol negatif digunakan tanaman padi kultivar Rojolele non PRG. Pengujian untuk mengetahui apakah terjadi persilangan antara tanaman Padi Bt dengan tanaman Padi non-Bt, telah dilakukan sesuai dengan perlakuan jarak isolasi yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil seleksi higromisin dan analisis PCR terhadap semua sampel dari benih tanaman Padi non Bt generasi kesatu (T0) kultivar Rojolele, Rojolele KA, Ciherang dan Pandan Wangi yang dianalisis, ternyata tidak terdapat satupun sampel yang positif mengandung gen Cry IAb (Gambar 12). Kemungkinan terjadinya hal ini karena sifat tanaman padi yang menyerbuk sendiri (kleistogami), sehingga proses penyerbukan sudah terjadi di dalam bunga sebelum bunga sempat membuka (Harst et al. 2009). Selain faktor fisiologis dari tanaman itu sendiri, terdapat kemungkinan faktor lain yang mempengaruhi terjadinya persilangan seperti model desain percobaan di lapangan dan proses seleksi dan analisis yang dilakukan (Harst et al. 2009). Pada percobaan penelitian gene flow untuk tanaman padi yang dilakukan oleh Puslit Bioteknologi LIPI, menggunakan model desain lingkaran, menyerupai baling-baling, dimana setiap jari-jarinya ditanami dengan Padi non-PRG sedangkan tanaman Padi Bt PRG ditanam ditengah-tengah lingkaran. Sebagai perlakuan, digunakan jarak tanam 1,2,3,5,7,9,11 dan 13 meter dari tanaman Padi Bt PRG (Lampiran 1). Di luar lingkaran tadi ditanam padi Rojolele isogenik sebagai barier sesuai dengan rekomendasi penanaman Padi PRG di LUT dengan luas 3 meter untuk tanaman padi. Berdasarkan hasil pengujian terhadap benih-benih hasil penelitian gene flow tersebut, diduga jarak tanam antara Padi Bt dengan Padi non Bt mempengaruhi untuk terjadinya persilangan, selain itu perbedaan umur tanaman Padi non-Bt dengan umur tanaman Padi Bt termasuk salah satu faktor yang menghalangi persilangan. Walaupun waktu penanaman dibedakan, supaya masa pembungaan bersamaan antara Padi Bt PRG dengan Padi non-PRG, tetapi faktor fisiologis dan sifat kleistogami pada tanaman padi menjadi faktor penghalang untuk persilangan. Perbedaan jarak tanam dan ketinggian tanaman sangat mempengaruhi terjadinya persilangan pada tanaman padi (Chen et al. 2004).
50
Dari hasil penelitian terhadap frekwensi terjadinya gene flow yang pernah dilakukan oleh Chen et al. (2004) pada padi kultivar Minghui-63 dengan jenis padi liar Oryza rufipogon, terdeteksi sekitar 1,1-2,2 % dalam lahan percobaan seluas 5 x 5 m2 dan jarak antar tanaman di dalam plot 30 x 50 cm. Sedangkan frekuensi terjadinya gene flow dari jenis padi Nam29/TR 48 kepada jenis-jenis gulma padi (weedy rice) sangat rendah, yang berkisar antara 0,011-0,046 %. Berdasarkan hasil analisis terhadap pola terjadinya transfer material genetik antara tanaman PRG dengan tanaman non-PRG dipengaruhi oleh banyak faktor, oleh karena itu diperlukan sikap kehati-hatian dan berdasarkan kasus per kasus tergantung dari jenis dan sifat tanaman yang dikaji. Menurut Snow et al. (2003) identifikasi prioritas pada penelitian gene flow, meliputi risk assessment, risk management, mitigasi dan membuat urutan penelitian baik di fasilitas uji terbatas atau lapangan uji terbatas.
KESIMPULAN 1. Tidak terjadi dampak Padi Bt PRG terhadap non target organisme berdasarkan perbedaan populasi serangga hama non target seperti wereng punggung putih (Sogatella furcifera), hama putih palsu (Cnaphalocrosis medinalis) dan wereng coklat (Nilaparvata lugens) pada pertanaman Padi Bt PRG dan pertanaman Padi non-PRG di lokasi pengamatan LUT. 2. Populasi musuh alami yang berfungsi sebagai predator seperti laba-laba (Arachnida) dan Paederus sp tidak berbeda nyata, baik pada pertanaman Padi Bt dan pertanaman Padi non-Bt di LUT lokasi Kabupaten Subang dan Indramayu. 3. Berdasarkan seleksi higromisin dan analisis PCR pada empat kultivar tanaman Padi non-PRG generasi kesatu (T0) hasil penelitian gene flow, tidak ditemukan tanaman yang positif membawa gen Cry IA(b) pada perlakuan jarak 1,2, 3, 5, 7, 9, 11, dan 13 meter dari pertanaman Padi Bt.
51
Saran 1. Berdasarkan hasil kajian terhadap keamanan lingkungan Padi Bt PRG, disarankan untuk melengkapi variabel pengujian dengan membuat kategori atau daftar spesies non-target potensial berdasarkan fungsi ekologis sebelum dilakukan pengujian keamanan lingkungan. Selanjutnya disusun prioritas serangga non-target potensial, terutama yang berpotensi terkena dampak negatif tanaman Padi Bt PRG. 2. Hasil pengujian laboratorium terhadap benih-benih hasil penelitian gene flow, tidak memperlihatkan terjadinya persilangan antara Padi Bt PRG dengan Padi non-PRG pada perlakuan jarak tanam 1, 2, 3, 5, 7, 9, 11, 13 dan 15 meter. Oleh karena itu dapat disarankan bahwa jarak tanam Padi Bt dengan Padi non PRG minimal 1 meter, belum terjadi persilangan, meskipun untuk mengatasi terjadinya gene flow, di dalam peraturan Pedoman Pengkajian Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik Seri Tanaman Tahun 2005 jarak minimal adalah 3 meter untuk tanaman padi.
52
ANALISIS EX-ANTE KELAYAKAN EKONOMI PADI Bt PRODUK REKAYASA GENETIK BERKELANJUTAN Sustainable Ex- Ante Analysis of Economic Feasibility on GEP Bt Rice Deswina P1), Syarief R2), Rachman LM 3), Herman M 4) 1)Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor dan Staf Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, 2) Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 3)Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, 4) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Kementerian Pertanian
ABSTRAK Teknologi rekayasa genetik di bidang pertanian telah menghasilkan tanaman yang memiliki keunggulan dari kualitas maupun kuantitas. Salah satunya adalah Padi Bt Produk Rekayasa Genetik (PRG) yang memiliki sifat ketahanan terhadap hama penggerek batang. Meskipun pengujian keamanan lingkungan (environmental risk assessment) telah dilakukan, seperti yang telah ditetapkan di dalam Protokol Cartagena tentang keamanan hayati PRG, tanaman PRG harus melalui pertimbangan sosial ekonomi dan dampak sosialnya terhadap kehidupan masyarakat. Pertimbangan ini perlu mendapat perhatian sesuai dengan amanat dalam Protokol Cartagena pasal 26. Tujuan dari penelitian adalah membuat analisis ex-ante kelayakan ekonomi Padi Bt PRG berkelanjutan dan mengetahui persepsi petani, sebagai bagian dari analisis risiko dalam pemanfaatan Padi Bt. Metode analisis menggunakan kajian anggaran partial (partial budget analysis) dan survei langsung kepada petani pengguna menggunakan kuisioner dan wawancara. Hasil analisis anggaran partial berdasarkan asumsi ex ante harga benih normal dan harga premium 50%, menunjukkan bahwa usahatani Padi Bt di Indonesia masih terkategori layak dilanjutkan, meskipun biaya investasi pengembangan teknologi cukup tinggi. Berdasarkan hasil wawancara dan kuisioner, diketahui bahwa umumnya petani kurang mengetahui tentang tanaman Padi Bt, tetapi mereka bersedia menanam dengan harapan terjadi kenaikan produksi dan biaya pengelolaan dapat dikurangi.
Kata kunci: Padi Bt, persepsi petani, analisis ex ante, keamanan hayati, analisis anggaran parsial
53
Abstract Genetically engineered technology in agriculture has resulted some plants that are advance both on their quality and quantity. One of them is the Genetically Engineered Products (GEPs) of Bt rice, which has been through environmental safety testing process. On Cartagena Protocol about biosafety of GEPs, states the importance of risk assessment for each GEP plant before being released or commercialized. As the product of new technology, GEP Bt rice has the resistance in facing stem borer, therefore it must meet the requirements of environmental safety. Besides, socio-economic considerations and the impacts on society require some attentions in accordance with the mandate of Article 26 on Cartagena Protocol. One of policy strategy based on ex- ante analysis of the economic feasibility and the farmers perception, as the part of risk analysis in the sustainable use of GEP Bt rice has been done. Analysis methods used, were partial budget analysis and directly survey to user farmers through questionnaires and interviews. Partial budget analysis results based on the ex- ante assumption on normal price seeds and 50% premium price seeds, showed that Bt rice farming in Indonesia was still categorized as worth to be continued, despite the relatively high cost for its technology development. Based on interviews and questionnaires, it was known that most farmers were not informed well about Bt rice plants, but they were willing to plant in hope for an increase in production and a decreace in management costs. Keywords : Bt rice, farmer’s perceptions, ex-ante analysis, biosafety, partial budget analysis
PENDAHULUAN Meningkatkan produksi pertanian dengan melakukan inovasi teknologi merupakan salah satu strategi dalam pembangunan pertanian berkelanjutan. Tetapi program ini mendapat tantangan dari kelompok pengamat sosial dan lingkungan, terutama dampaknya terhadap organisme non target. Kurangnya informasi dan pemahaman terhadap teknologi baru, dapat menjadi hambatan dalam pengembangan produk rekayasa genetik (PRG) (Sharma et al. 2002). Penerapan keamanan hayati untuk setiap PRG, merupakan salah satu persyaratan sebelum pelepasan dan komersialisasi PRG kepada masyarakat. Faktor sosial ekonomi termasuk salah satu pertimbangan penting dan menjadi perhatian berbagai
54
pihak
dalam
menerapkan
pemanfaatan
tanaman
PRG.
Pada
komersialisasi setiap hasil teknologi baru, memerlukan kajian terhadap dampak negatif, terutama bagi keberlanjutan hidup dan kesejahteraan manusia (Qaim 2009). Selain dampak yang berhubungan dengan teknologi dan lingkungan, dampak sosial ekonomi bagi kehidupan masyarakat harus menjadi salah satu bahan kajian. Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap PRG, sangat diperlukan sosialisasi dan pemahaman yang berkelanjutan sesuai dengan perbaikan terhadap sifat yang diintroduksi pada PRG, agar manfaatnya dapat lebih optimal (Araya-Quesada et al. 2010). Tujuan pendidikan masyarakat adalah, agar mereka dapat memutuskan sendiri apakah akan memanfaatkan atau tidak memanfaatkan PRG tersebut bagi kepentingan mereka. Kegiatan sosialisasi dan informasi ilmiah yang mudah dan murah diakses merupakan hak setiap warga negara
dalam
menerima
teknologi
baru,
kewajiban
pemerintah
untuk
menyediakan akses dan fasilitas terkait dengan keperluan tersebut (Qaim 2009). Terjadinya perbedaan pendapat dengan munculnya polarisasi antara kelompok yang pro dan kelompok yang kontra terhadap PRG, terus terjadi mengiringi keberhasilan PRG dalam mengatasi beberapa permasalahan di bidang pertanian. Kelompok yang kontra mengklaim bahwa terdapat dampak negatif dari PRG seperti dampak terhadap lingkungan dan kesehatan manusia Hal ini bisa diakibatkan karena kurangnya komunikasi dan informasi antara pihak produsen dan pengembang teknologi dengan kelompok pengguna (konsumen). Keterlibatan masyarakat secara sosial dalam pembangunan bioteknologi sangat rendah di Indonesia. Hal ini terungkap melalui persepsi dan partisipasi sebagian besar masyarakat yang terbukti belum memahami dan mengerti mengenai PRG (Bermawie et al 2003). Menurut kajian yang dilakukan oleh Adiwibowo et al. (2005), beberapa peluang yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap introduksi PRG ke lingkungan adalah melalui kampanye, advokasi bersama dengan kelompok LSM serta memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengambil keputusan kebijakan pembangunan bioteknologi. Di dalam Protokol Cartagena Pasal 26, dicantumkan bahwa negara sebagai pihak yang terlibat dalam konvensi mengenai keamanan hayati, perlu bekerja sama dalam penelitian dan pertukaran informasi mengenai dampak sosial ekonomi organisme
55
hasil modifikasi genetik khususnya terhadap masyarakat asli dan masyarakat setempat. Karena kepentingan ekonomi masyarakat yang menjadi target pemanfaatan PRG perlu diperhatikan, dan diharapkan kemandirian pangan dapat diwujudkan melalui PRG produksi nasional. Setiap jenis investasi memerlukan analisis untuk mengetahui bahwa hasil yang akan diperoleh sepadan dengan risiko yang ditimbulkannya. Tingkat kelayakan ekonomi dalam rencana pemanfaatan padi Bt PRG perlu dilakukan supaya diketahui apakah rencana pengembangannya nanti dapat berkelanjutan atau dalam jangka waktu tertentu baru diperoleh hasil sesuai dengan pengeluaran (investasi) yang telah digunakan berdasarkan manfaat ekonomi. Parameter dari manfaat ekonomi dapat diukur berdasarkan data statistik produksi dan harga jual produk (Groote et al. 2011) Untuk pengembangan teknologi diperlukan pendanaan dan perencanaan yang tepat sesuai dengan manfaat dan kebutuhan. Demikian juga dengan tingkat risiko yang dihasilkannya, tidak ada suatu teknologi baru yang tidak memiliki risiko. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah pengelolaan risiko (risk management) serta komunikasi risiko (risk communication) kepada masyarakat (Sharma et al. 2002). Apabila diketahui terdapat kemungkinan risiko dari PRG yang akan dilepas, maka risiko yang mungkin terjadi harus dikelola dan diminimalisir agar manfaatnya lebih besar daripada risiko yang ditimbulkannya. Pengelolaan risiko berkaitan dengan komunikasi risiko yang transparan dan mudah dipahami oleh kelompok pengguna teknologi. Oleh karena itu pemanfaatan teknologi baru memerlukan kajian dan analisis risiko yang meliputi pengkajian, pengelolaan dan komunikasi risiko (Sharma et al. 2002). Komunikasi risiko merupakan proses pengumpulan informasi dan pendapat terkait bahaya dan risiko dari pihak-pihak yang berkepentingan selama proses analisis risiko, serta membuat forum komunikasi hasil penilaian risiko dan tindakan manajemen risiko yang diusulkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (PerMen LH 25 Tahun 2012). Analisis kajian ekonomi untuk tanaman pertanian bertujuan untuk membuat evaluasi dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam metode produksi atau pengelolaan usaha pertanian. Faktor-faktor yang diperhitungkan dan dijadikan bahan analisis adalah yang memiliki kaitan dengan perubahan tersebut.
56
Analisis yang tepat digunakan adalah analisis anggaran partial (partial budget analysis), yang digunakan untuk membuat perbandingan dari dampak perubahan teknologi dan kelayakannya, terutama di bidang pertanian. Pendekatan ini mempunyai beberapa manfaat yaitu tidak memerlukan banyak data bila dibandingkan dengan anggaran usahatani keseluruhan (whole farm budgeting). Selain itu, tidak diperlukan informasi mengenai segi-segi usahatani yang tidak dipengaruhi oleh perubahan yang sedang diamati karena keragaan bagian ini tidak berubah untuk diterapkan pada keadaan usahatani yang lebih luas daripada anggaran usahatani keseluruhan. Analisis
anggaran parsial dibuat untuk
menunjukkan pengaruh suatu perubahan terhadap ukuran keuntungan seperti pendapatan bersih usahatani. Menurut Soekartawi (1995), penggunaan analisis anggaran parsial juga dapat dimanfaatkan untuk mengambil suatu keputusan penting di bidang pertanian termasuk adopsi teknologi baru yang meliputi modifikasi atau perubahan dalam proses produksi tanaman. Secara umum tujuan dari penelitian adalah mengetahui kelayakan finansial usaha tani Padi Bt PRG dan mengetahui persepsi dan penerimaan petani terhadap pemanfaatannya di lapangan melalui studi ex-ante.
METODE ANALISIS DATA a. Analisis ex-ante Kelayakan Finansial Padi Bt PRG Analisis kelayakan finansial dilakukan dalam menetapkan alternatif, apakah pemanfaatan Padi Bt PRG layak atau tidak untuk dilanjutkan. Analisis ini berbeda dengan analisis ekonomi yang lebih mengutamakan keberhasilan suatu usaha dengan menilai besarnya pendapatan (keuntungan) yang diperoleh. Besarnya keuntungan, dapat diketahui berdasarkan manfaat (benefit) yang didapat dan besarnya biaya (cost) yang dikeluarkan. Pada kasus Padi Bt PRG, karena produk belum tersedia di tingkat petani, maka analisis dilakukan pada variabel yang mengalami perubahan akibat introduksi teknologi. Komponen-komponen yang diperkiraan mengalami perubahan seperti produktifitas, harga jual benih, biaya pembelian insektisida dan penurunan biaya tenaga kerja. Metode kajian menggunakan data primer dengan melakukan wawancara terhadap kelompok tani di desa Jaten, Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten, Jawa Tengah yang khusus 57
menanam padi kultivar Rojolele dan kelompok tani di Sukamandi, Kabupaten Subang. Pengisian kuisioner juga dilakukan untuk mengetahui biaya pengelolaan di lapangan dan harga benih padi sejenis non-PRG. Data primer untuk biaya produksi padi, dibandingkan dengan data ex-ante Padi Bt PRG jika nanti dilepas kepada masyarakat. Pengumpulan data primer dilakukan melalui metode survei dengan responden petani. Data yang dikumpulkan juga meliputi data kesediaan membayar (willingness to pay, WTP) dan kesediaan untuk menerima (willingness to accept, WTA). Metode analisis data menggunakan analisis anggaran parsial untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya dari perubahan teknologi yang dipakai sebelumnya yaitu tanaman padi konvensional kepada tanaman Padi Bt tahan serangan hama penggerek. Analisis dilakukan pada variabel yang mengalami perubahan dengan adanya introduksi teknologi pada tanaman padi, seperti produktifitas, harga jual benih unggul, biaya pembelian insektisida dan penurunan biaya tenaga kerja. Sifat agronomis tanaman Padi Bt PRG sama dengan Padi nonPRG, mulai dari kondisi biologi tanaman, proses pengolahan tanaman di lahan pertanian hingga panen dan pascapanen, kecuali terhadap sifat baru yang diintroduksi kepada tanaman, dalam hal ini adalah sifat tahan terhadap hama penggerek batang. Oleh karena itu yang perlu dibuat simulasi terhadap Padi Bt hanya mengenai pembiayaan untuk produksi, harga jual benih dan penurunan biaya pengolahan usaha pertanian yang didasarkan pada asumsi ex-ante seperti tertera pada Tabel 1.
58
Tabel 1. Uraian produktifitas dan biaya pengolahan usahatani Padi Bt dan Padi non-Bt di lahan pertanaman Instrumen
Padi Bt PRG
Padi non-Bt
4 - 4,9
4 - 4,9
Harga per kg (Rp) - Skenario tidak berubah - Premium 50%
20.000 30.000
20.000 20.000
Tenaga kerja (pemeliharaan) (Rp/ha)
100.000
200.000
1.286.875
1.286.875
Insektisida (Rp/ha) (10%)
178.700
1.787.000
Insektisida (Rp/ha) (50%)
893.500
1.787.000
Produksi (ton/ha) Biaya-biaya (cost)
Pemupukan (Rp/ha)
Pada simulasi ex-ante ini, asumsi produktifitas harga jual benih yang digunakan adalah benih murni dari kultivar Rojolele non Bt yang ditanam petani di desa Jaten, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Produktifitas Padi Bt untuk saat ini masih menggunakan asumsi sama dengan produksi Padi non-Bt, karena berdasarkan hasil pengujian di lapangan belum diperoleh peningkatan produksi, kecuali sifat yang diintroduksikan pada tanaman untuk sifat ketahanan terhadap hama penggerek batang. Sedangkan untuk sifat meningkatkan produksi belum diperoleh. Alasan ini dikemukakan karena pada proses awal penelitian, padi kultivar Rojolele yang memiliki umur dalam lebih panjang yang lebih responsif saat pengujian kultur jaringan, sehingga kultivar inilah yang dipakai sebagai model penelitian Padi Bt PRG di laboratorium (Loporan Teknik Puslit Bioteknologi LIPI 2004). Selanjutnya Padi Bt PRG kultivar Rojolele ini akan disilangkan dengan jenis padi lain yang telah diketahui produksi tinggi dan umur lebih pendek sehingga bisa dipanen lebih dari dua kali setahun. Tetapi pada kasus Padi Bt PRG, sifat ketahanan yang dimiliki tanaman tersebut, diharapkan lebih memiliki kesempatan untuk berproduksi lebih baik dibandingkan dengan jenis tanaman yang sama tetapi tidak memiliki sifat ketahanan terhadap serangan hama, terutama di daerah endemis serangan hama penggerek batang. Untuk harga benih dibuat simulasi dalam dua tingkat harga yakni tidak berubah dan 59
peningkatan 50% dari harga rata-rata benih non-Bt. Disamping perubahan harga jual benih, diperkirakan juga terjadi pengurangan penggunaan insektisida yang berdampak pada pengurangan biaya untuk tenaga kerja. Sedangkan biaya pemupukan tidak dibedakan dengan padi non-PRG. Biaya (cost) pengembangan teknologi dengan teknik rekayasa genetik merupakan anggaran atau pendanaan yang tidak dapat dipisahkan dari pengadaan Padi Bt PRG, karena biaya tinggi merupakan salah satu konsekuensi dari investasi teknologi yang dapat dimanfaatkan di masa depan dalam meningkatkan mutu tanaman agar memiliki keunggulan sesuai dengan kebutuhan di masa sekarang dan masa depan. Menurut Roth & Hyde (2002) metode perhitungan dengan analisis anggaran parsial menggunakan benefit cost ratio (B/C Ratio), yang sering disebut dengan profitability index, yaitu merupakan rasio antara aliran kas bersih dengan nilai investasi (produksi) pada saat sekarang (present value).
b. Persepsi dan Penerimaan Petani terhadap Pemanfaatan Padi Bt PRG Data yang dikumpulkan didasarkan pada perangkat kuisioner yang dibuat dan disusun secara khusus untuk mengetahui persepsi (perception) dan penerimaan (acceptance) petani dalam rencana pelepasan Padi Bt PRG ke lingkungan. Kuisioner disusun dengan pertanyaan-pertanyaan yang mudah dipahami dan dimengerti petani terhadap tingkat pengetahuan mereka tentang PRG (Lampiran 6). Teknik pengumpulan data sebagai sumber informasi, dilakukan dengan wawancara dan kuisioner. Isian kuisioner dari responden digunakan sebagai data primer yang diolah menggunakan program Microsoft Excell 10. Lokasi pengambilan responden dari wilayah sentra produksi padi utama di Propinsi Jawa Barat yaitu Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Subang. Pertimbangan jarak lokasi dan operasional wawancara seperti; transportasi, waktu, tenaga dan biaya, menjadi pertimbangan dalam pemilihan lokasi penelitian.
60
Pengambilan contoh/responden dilakukan secara purposive radom sampling (Brockett & Levine 1984) berdasarkan beberapa pertimbangan populasi yang tersebar menurut wilayah geografis secara alami pada kelompok wilayah administratif, tidak merupakan bagian unit observasi yang sulit dan membutuhkan biaya mahal untuk memperoleh data sesuai dengan target informasi. Responden yang dipilih dianggap telah mewakili kelompok petani dari Propinsi Jawa Barat, karena berdasarkan sentra produksi padi utama. Pemilihan responden disesuaikan dengan jumlah kelompok tani di lokasi penelitian, yang dianggap dapat mewakili dan memahami permasalahan yang diteliti. Di setiap Kabupaten dipilih satu desa yang dianggap mewakili dan responden petani dipilih secara acak untuk menghindari kesamaan persepsi dan pendapat terkait dengan topik yang ditanya. Pengambilan
responden
menggunakan
metode
purposive
random
sampling secara proporsional (Walpole, 1995) dengan rumus sebagai berikut:
nx = Dimana:
Nx — N
n …………………………….. (1)
nx = jumlah responden (sample) setiap strata N =jumlah seluruh populasi (kepala keluarga petani) Nx = jumlah populasi setiap strata N = ukuran responden secara keseluruhan
Data yang diperoleh dari kuesioner disusun berdasarkan kriteria keperluan penelitian dan ditabulasi berdasarkan wilayah dan lokasi penelitian. Dilakukan penghitungan nilai minimal, nilai maximal, median dan nilai rata-rata dari seluruh kuisioner. Seluruh data kemudian disajikan dalam bentuk grafik dan tabel dengan menggunakan single tabulation bagi butir-butir pertanyaan yang dianggap memiliki korelasi. Lokasi penelitian menurut pembagian wilayah dan pembatasan lokasi penelitian diwakili oleh daerah-daerah sebagai berikut (Gambar 1). 1. 2. 3. 4.
Kabupaten Karawang Desa Tegal Waru Kabupaten Cianjur Desa Sukataris, Kecamatan Karang Tengah Kabupaten Subang Desa Ranca Jaya Kecamatan Patokbeusi Kabupaten Sukabumi Desa Sumberjaya Kecamatan Tegalbuleud
61
1 3
2 4
Gambar 1. Skema lokasi pengambilan responden petani di Propinsi Jawa Barat Analisis data berdasarkan hasil pengumpulan dan rekapitulasi data yang diisi oleh responden melalui wawancara dan kuisioner. Analisis data kualitatif dan kuantitatif dalam bentuk deskriptif berdasarkan pada tingkat pengetahuan dan persepsi petani dalam memanfaatkan tanaman Padi Bt hasil inovasi teknologi. Pengolahan data selanjutnya dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel vers 10.
HASIL DAN PEMBAHASAN a. Kelayakan Finansial Padi Bt PRG vs Padi non-PRG Sebelum melakukan kajian terhadap kelayakan finansial Padi Bt PRG, telah dilakukan penelitian dengan membuat rincian biaya investasi penelitian dan pengembangan tanaman Padi Bt PRG yang diintroduksi dengan gen Cry IA(b). Penelitian Padi Bt PRG telah dilakukan mulai dari Laboratorium Puslit Bioteknologi LIPI sejak tahun 1996. Penelitian terhadap Padi Bt ini, merupakan penelitian Padi Bt pertama di Indonesia, meskipun sampai saat ini belum dapat
62
dilepas dan dikomersialisasikan kepada masyarakat. Selain biaya pengembangan tanaman dengan teknologi rekayasa genetik di laboratorium, juga diperlukan biaya yang cukup besar untuk pengujian keamanan lingkungan di LUT. Biaya pengembangan teknologi Padi Bt selama masa penelitian sampai pengujian keamanan lingkungan, di rumah kaca FUT Puslit Bioteknologi LIPI maupun LUT di beberapa lokasi Jawa Barat seperti yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Biaya (cost) pengembangan Padi Bt PRG mengandung gen Cry I A(b) tahan hama penggerek batang di Puslit Bioteknologi LIPI. No
Kegiatan
1.
Kultur jaringan tanaman
2.
Kloning gen, transformasi dan regenerasi tanaman Pengujian bioassay, uji ketahanan di FUT Uji segregasi, stabilitas dan ekspresi gen Pengujian LUT untuk keamanan lingkungan (3 lokasi x 150 juta) dan (2 lokasi untuk penelitian gene flow) Total
3. 4. 5.
Waktu (tahun) 2
Biaya (x juta) 200
3
450
1
75
2
200
2
750
Keterangan Kegiatan penelitian padi Bt telah dilaksanakan pada tahun 1997 s/d 2007
Pengujian LUT padi Bt dilakukan pada tahun 20042007.
1.675**
Ket : ** Biaya ril untuk tahun pelaksanaan 1997-2007 dan diluar biaya pengujian keamanan pangan (Sumber:pengembang teknologi Padi Bt PRG, Puslit Bioteknologi LIPI)
Dari Tabel 2 diatas, dapat diketahui biaya yang harus dikeluarkan mulai dari tahap penelitian sampai pada tahap pengujian keamanan hayati, memerlukan modal yang cukup besar agar teknologi Padi Bt dapat diaplikasikan kepada masyarakat. Nilai yang tertera tidak memperhitungkan nilai keuangan sekarang serta kenaikan suku bunga yang terjadi setiap tahunnya. Agar pembangunan pertanian berkelanjutan dapat terlaksana, teknologi rekayasa genetik tanaman terutama untuk tanaman pangan harus dapat dikuasai, agar peningkatan produksi
63
pangan dapat tercapai dan kerusakan lingkungan berkurang terutama penggunaan insektisida yang berlebihan. Dari rincian biaya pengembangan Padi Bt PRG, diketahui bahwa total biaya yang diperlukan untuk penelitian sampai pengujian sebesar lebih kurang Rp 1.675.000.000,- berdasarkan nilai mata uang pada tahun pelaksanaan penelitian dilakukan. Nilai ini akan semakin bertambah besar jika dikonversikan dengan nilai mata uang sekarang dengan memperhitungkan tingkat kenaikan suku bunga. Analisis ekonomi yang memperhitungkan nilai kembalian dan keuntungan belum dapat diprediksi, karena produk belum tersedia di pasaran. Menurut Soekartawi (1995) analisis kelayakan usaha dapat dilakukan dengan membuat evaluasi dari akibat-akibat yang disebabkan oleh terjadinya perubahan dalam proses teknologi, sedangkan perhitungan ekonomi digunakan jika ingin mengetahui hasil total dari produksi dan nilai ekonomi secara keseluruhan. Analisis yang tepat untuk mengetahui dampak perubahan teknologi pada tanaman Padi Bt PRG adalah analisis anggaran parsial (partial budget analysis) yang lebih sederhana dan tidak memerlukan data usaha tani keseluruhan khususnya untuk tanaman pertanian. Usaha pertanian dengan penanaman padi di sawah membutuhkan biaya pengelolaan meliputi biaya tenaga kerja dan pembelian pupuk serta obat-obatan yang cukup besar untuk mengatasi serangan hama dan penyakit. Penanaman Padi Bt PRG akan mengurangi biaya saprotan dalam pengelolaan, terutama biaya pembelian pestisida. Data-data primer yang diperoleh dan data secara ex ante, kemudian diolah dan dianalisis untuk mengetahui kelayakan dan keberlanjutan Padi Bt PRG jika akan dilepas atau dikomersialisasikan. Hasil analisis data primer terhadap padi kultivar Rojolele non PRG dibandingkan dengan Padi Bt PRG disajikan pada dua Tabel di bawah, dengan membuat asumsi terhadap harga benih tanam, dan jumlah produksi Padi Bt PRG dibandingkan dengan benih Padi non-PRG, termasuk efisiensi biaya jika produk ini sudah tersedia ditingkat petani.
64
Tabel 3. Analisis anggaran parsial Padi Bt PRG vs Padi non-Bt kultivar Rojolele dengan asumsi harga benih premium (50%) Instrumen
Padi Bt PRG
Padi non-Bt
Ratio B/C
4 - 4,9
4 - 4,9
-
Harga per kg (Rp)
30.000
20.000
-
Tenaga kerja
100.000
200.000
-
Pemupukan
1.286.875
1.286.875
-
Insektisida (10%)
178.700
1.787.000
1,52
Insektisida (50%)
893.500
1.787.000
1,50
Elemen pendapatan Produksi (ton/ha) Biaya-biaya (cost)
Tabel 4. Analisis anggaran parsial Padi Bt PRG vs Padi non-Bt kultivar Rojolele dengan asumsi harga benih tidak berubah Instrumen
Padi Bt PRG
Padi non-Bt
Ratio B/C
4 - 4,9
4 - 4,9
-
Harga per kg (Rp)
20.000
20.000
-
Tenaga kerja
100.000
200.000
-
Pemupukan
1.286.875
1.286.875
-
Insektisida (10%)
178.700
1.787.000
1,02
Insektisida (50%)
893.500
1.787.000
1,01
Elemen pendapatan Produksi (ton/ha) Biaya-biaya (cost)
Hasil analisis anggaran parsial disusun berdasarkan asumsi, bahwa padi kultivar Rojolele non-PRG sama dengan Padi Bt PRG, kecuali perubahan yang terjadi akibat introduksi sifat gen Bt yang ditambahkan seperti berkurangnya penggunaan insektisida dengan dua skenario yaitu penggunaan insektisida 10% dan 50%. Penggunaan insektisida tetap diperlukan terutama jika terjadi serangan hama lain selain penggerek batang, karena gen Bt yang ditambahkan bersifat
65
spesifik dan efektif hanya terhadap hama penggerek batang dan tidak bersifat toksik terhadap serangga lain (non target) (Tu et al. 2000). Dari hasil analisis parsial yang dilakukan, dengan menggunakan asumsi harga jual benih tanam yang berbeda, diketahui bahwa kisaran manfaat dan biaya (∆ B/C) yang diperoleh adalah 1,52 untuk aplikasi insektisida 10% dan 1,50 untuk aplikasi insektisida 50%. Hasil ini diperoleh untuk harga jual benih tanam Padi Bt PRG sebesar Rp 30.000 dengan harga premium 50% lebih tinggi dibandingkan dengan benih tanam Padi non Bt dari kultivar Rojolele sebesar Rp 20.000. Sedangkan pada Tabel 7, dengan harga jual benih tanam Padi Bt PRG sama dengan benih padi tanam non-Bt sebesar Rp 20.000, hasil kisaran manfaat dan biaya untuk kedua jenis tanaman pangan ini adalah 1,02 untuk aplikasi insektisida 10% dan 1,01 untuk aplikasi insektisida 50%. Nilai profitability index menunjukkan angka lebih besar dari 1, hal ini memberi arti bahwa rencana kegiatan penanaman Padi Bt PRG nantinya dapat menghasilkan pendapatan yang lebih besar dari pada biaya-biaya pengelolaan yang diperlukan. Bentuk usaha di bidang pertanian dapat diterima apabila kisaran manfaat dan biaya (benefit cost ratio) lebih besar dari angka satu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usahatani Padi Bt kultivar Rojolele termasuk kategori layak untuk dilanjutkan, jika Padi Bt tersebut telah tersedia di pasaran. Biaya produksi tanaman pertanian di negara berkembang lebih mahal bila dibandingkan dengan negara maju seperti USA. Contohnya di China untuk biaya (cost) produksi tanaman padi membutuhkan dana sekitar 40 – 60 % dari total produksi, sedangkan di USA dan Kanada hanya memerlukan dana sekitar 6 – 10% (Huang et al. 2001). Untuk mengatasi serangan hama dan penyakit pada tanaman padi, petani di China menghabiskan biaya sekitar 4.34 milliar dolar US utk pembelian pestisida per tahunnya. Biaya paling besar terutama berasal dari pengeluaran untuk pembelian insektisida (Pray et al. 2001 dan Huang et al. 2001). Penggunaan pestisida per ha untuk tanaman Padi PRG hanya menghabiskan sekitar 2.0 kg/ha dibandingkan dengan Padi non PRG yang menghabiskan 21.2 kg/ha (Rozelle et al. 2000). Diharapkan dengan dilepasnya Padi Bt PRG tahan serangan hama penggerek batang, akan mengurangi penggunaan pestisida khususnya insektisida pada tanaman padi di lahan pertanian Indonesia.
66
b. Persepsi dan Penerimaan Petani terhadap Keberlanjutan Pemanfaatan Padi Bt PRG Analisis mengenai persepsi (perception) atau penerimaan (acceptance) merupakan kajian yang berhubungan langsung dengan pengguna (user), dimana teknologi tidak ada artinya jika tidak memperoleh pengakuan atau penerimaan dari masyarakat. Dalam kasus Padi Bt PRG, upaya untuk memperkenalkan produk bioteknologi baru ini masih menjadi tantangan dan tanggung jawab pemerintah melalui pengembang teknologi, agar produk lebih dikenal dan dipahami oleh masyarakat seperti petani. Beberapa upaya yang perlu dilakukan adalah sosialisasi dan komunikasi terhadap keunggulan dan risiko yang mungkin timbul dari Padi Bt PRG jika nanti diterapkan dan dikomersialisasikan kepada mereka. Komunikasi kepada pengguna dapat dilakukan dengan cara yang lebih sederhana agar produk bioteknologi ini mudah diterima dan dipahami. Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan masyarakat mengenai tanaman PRG akan selalu terjadi jika program sosialisasi dalam bentuk komunikasi
risiko
kesalahpahaman
tidak
karena
intensif
dilakukan,
ketidakmengertian
akan
sehingga PRG.
menimbulkan
Sebagai
produk
bioteknologi modern, terdapat kesulitan dalam memberi respon dan implementasi produk kepada masyarakat, karena sangat terkait dengan aturan dan regulasi yang berlaku disetiap negara (McCammon 2007). Untuk mengetahui tingkat persepsi, pengetahuan dan partisipasi petani terhadap Padi Bt PRG telah dilakukan survei dengan melakukan wawancara dan pengarahan dalam bentuk pengenalan sederhana tanaman Padi Bt PRG kepada petani serta meminta petani mengisi langsung kuisioner yang telah disiapkan. Responden petani yang disurvei mewakili empat wilayah penelitian, yang berasal dari wilayah sentra produksi padi di Propinsi Jawa Barat. Hasil survei dapat dikelompokkan menjadi dua bagian utama yaitu: a) karakteristik petani sebagai responden dan b) persepsi serta penerimaan petani terhadap rencana pelepasan Padi Bt PRG berdasarkan informasi yang diperoleh dari isian kuisioner (Lampiran 3).
67
a. Karakteristik Petani Padi Sawah Karakteristik petani padi sawah di wilayah penelitian disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan kelompok usia, kebanyakan petani padi sawah berada pada usia yang tergolong tidak muda lagi yakni antara 41-58 tahun, dimana jumlah mereka lebih dari 50% untuk semua wilayah penelitian, kecuali untuk wilayah Cianjur jumlah responden tertinggi masih tergolong pada usia muda (2340 tahun) dengan jumlah melebihi 40% dari total responden di wilayah tersebut. Sedangkan usia yang tergolong cukup tua untuk bekerja di lahan pertanian masih cukup banyak di setiap lokasi penelitian dengan kisaran 10 – 30% pada setiap wilayah penelitian.
Usia Persentase Responden
70 60 23-40 th
50
41-58 th
40
59-76 th
30 20 10 0
Cianjur
Karawang Subang Sukabumi
Gambar 2. Distribusi kelompok usia petani di wilayah penelitian Propinsi Jawa Barat.
68
Tingkat Pendidikan Persentase Responden
100 90
Tidak sekolah/tidak lulus SD
80 70
SD-SMP
60 50
SMU-akademi/PT
40 30
S2 ke atas
20 10 0 Cianjur Karawang Subang Sukabumi
Gambar 3. Distribusi tingkat pendidikan petani di wilayah penelitian Propinsi Jawa Barat Yang cukup menarik dari hasil pendataan terhadap tingkat pendidikan dari responden petani (Gambar 3), yakni wilayah Karawang ternyata memiliki tingkat pendidikan SMU keatas lebih banyak (mendekati 40%) bila dibandingkan dengan wilayah penelitian lain, meskipun yang berpendidikan SD-SMP tetap lebih mendominasi. Hal ini terkait dengan jumlah penghasilan rata-rata yang diperoleh petani dari wilayah Karawang berkisar antara satu juta sampai dengan 5 juta rupiah per bulan, yang merata diantara semua responden dengan jumlah melebihi angka 80% (Gambar 4). Umumnya tingkat penghasilan di kalangan petani berdasarkan kuisioner masih kurang dari satu juta rupiah, dengan angka melebihi 50% di setiap wilayah penelitian. Tingkat pendidikan yang lebih merata yaitu SDSMP berada di wilayah penelitian Sukabumi, kurang dari 10% yang memiliki tingkat pendidikan diatas SMP, dan tidak ada yang lebih tinggi dari SMU, demikian juga dengan penghasilan yang mereka peroleh dengan jumlah kurang dari satu juta sampai satu juta rupiah untuk lebih dari 90% jumlah responden.
69
Persentase Responden
Penghasilan 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
≤ 1 juta rupiah 1 juta-5 juta rupiah > 5 juta rupiah
Cianjur Karawang Subang Sukabumi
Gambar 4. Distribusi tingkat penghasilan petani di wilayah penelitian Propinsi Jawa Barat b. Persepsi dan Penerimaan Petani terhadap Padi Bt PRG Berdasarkan hasil analisis persepsi dan penerimaan petani secara umum terhadap produk teknologi baru, sangat baik dan responsif. Tetapi terdapat kesenjangan informasi yang mereka terima, karena sangat kurangnya sosialisasi dan komunikasi antara pengembang teknologi dengan petani sebagai pengguna pertama dari teknologi ini. Umumnya petani sangat tertarik dengan keunggulan dari tanaman PRG, tetapi tidak begitu mengerti dengan adanya risiko yang mungkin dapat ditimbulkan oleh tanaman PRG tersebut. Jika dapat meningkatkan produksi, rata-rata petani tidak keberatan menanam dan memanfaatkan Padi Bt di lahan mereka. Oleh karena itu sangat diperlukan sosialisasi dan komunikasi risiko kepada petani sebelum tanaman PRG dikomersialisasikan, agar manfaat jangka panjang tetap dapat diperoleh. Secara umum hasil rangkuman dari persepsi dan penerimaan petani terhadap rencana pelepasan Padi Bt PRG disajikan pada Gambar 5, Gambar 6 dan Gambar 7. Dari hasil survei yang telah dilakukan,
70
diketahui tingkat pengetahuan petani yang sangat rendah terhadap keamanan tanaman PRG terutama terhadap lingkungan. Meskipun persyaratan tanaman PRG sebelum dilepas harus memenuhi keamanan hayati yang meliputi keamanan pangan, keamanan lingkungan dan/atau keamanan pakan, tetapi umumnya petani hanya memahami bahwa tanaman PRG aman untuk dikonsumsi dan tidak membahayakan kesehatan manusia.
Persentase Responden
Keamanan Padi Bt PRG 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Aman Tidak aman Tidak tahu
Cianjur Karawang Subang Sukabumi
Gambar 5. Persepsi petani terhadap keamanan Padi Bt PRG di wilayah penelitian Jawa Barat Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa, persepsi petani terhadap keamanan tanaman PRG hanya untuk kesehatan manusia, kebanyakan (hampir melebihi 60%) menyatakan tidak tahu tentang prinsip keamanan yang harus dipahami untuk tanaman PRG. Hal ini disebabkan karena sangat sedikitnya akses informasi yang dapat mereka peroleh terkait dengan tanaman PRG sebagai pangan. Terdapat sekitar 30% responden dari wilayah Sukabumi yang menyatakan tahu tentang tanaman PRG dan hanya lebih kurang 20% yang mengetahui tanaman PRG dari wilayah Cianjur dan Subang (Gambar 5). Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan petani, meskipun mereka menjawab tahu tentang tanaman PRG, itupun hanya sebatas pernah mendengar saja tanpa
71
memahami maksudnya. Seiring dengan kebutuhan peningkatan produksi pangan yang cukup mendesak, dikhawatirkan kelompok masyarakat seperti petani kurang memperhatikan dampak tanaman PRG terhadap lingkungan, oleh karena itu sangat diperlukan sosialisasi dan pemahaman yang intensif kepada petani, terutama usaha pengelolaan tanaman Padi Bt PRG sebelum komersialisasi, agar pemanfaatannya lebih optimal. Karena beberapa dampak jangka panjang tanaman PRG terhadap lingkungan belum dapat diprediksi dan diketahui dengan pasti (Tietenberg & Lewis 2010). Sebagian besar petani menyatakan tidak tahu mengenai tanaman PRG jika dilepas ke lingkungan apakah lebih menguntungkan atau merugikan, karena ketidakmengertian mereka terhadap Padi Bt PRG yang dikembangkan. Tujuan dilepasnya Padi Bt kepada petani, diharapkan dapat mengurangi penggunaan insektisida yang mencemari lingkungan seperti udara, air dan tanah, sehingga Padi Bt lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan Padi non-Bt (Tietenberg & Lewis 2010).
Padi Bt PRG Ramah Lingkungan Persentase Responden
100 90 80
Tahu
70 60
Tidak tahu
50 40 30 20 10 0
Cianjur Karawang Subang Sukabumi
Gambar 6. Persepsi petani terhadap dampak Padi Bt PRG terhadap lingkungan di Propinsi Jawa Barat
72
Persentase Responden
Kesediaan Menanam Padi Bt PRG 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Bersedia Tidak Bersedia Ragu-ragu
Cianjur Karawang Subang Sukabumi
Gambar 7. Penerimaan petani terhadap keberadaan Padi Bt PRG di wilayah Propinsi Jawa Barat. Dari hasil survei kepada petani, hampir seluruh wilayah penelitian menyatakan tidak tahu, dan hanya dari wilayah Subang (± 20%) yang mengetahui jika Padi Bt seharusnya lebih ramah lingkungan (Gambar 6). Hasil yang diperoleh menggambarkan kondisi dari tingkat pengetahuan petani terhadap tanaman PRG sangat rendah sehingga mereka tidak mengetahui kelebihan dan keuntungan dari pengembangan tanaman ini, terutama manfaatnya terhadap lingkungan. Kesediaan petani untuk menanam Padi Bt PRG jika tersedia di pasaran lebih dominan dibandingkan dengan kelompok yang tidak bersedia atau raguragu. Pada tiga lokasi penelitian, responden menyatakan kesediaan (60%-96%) menanam Padi Bt PRG. Kecuali di wilayah Subang, hanya sekitar 38% responden menyatakan bersedia menanam, 48% bersikap ragu-ragu dan 6% responden menyatakan tidak bersedia menanam Padi Bt (Gambar 7).
73
Tindakan menghindari hama 100 Menggunakan insektisida
Persentase Responden
90 80
Menggunakan varietas tahan hama
70 60 50
Pengendalian biologis
40 30
Tanpa Obat
20 10 0 Cianjur
Karawang
Subang
Sukabumi
Gambar 8. Tindakan petani dalam mengatasi serangan hama di wilayah penelitian Propinsi Jawa Barat Berdasarkan hasil survei terhadap cara petani dalam mengatasi serangan hama pada lahan pertanaman padi yang mereka miliki rata-rata dengan menggunakan insektisida (Gambar 8). Di wilayah Subang, hampir 67% petani menggunakan insektisida jika tanamannya mendapat serangan hama, 14% melakukan pengendalian biologis dan hanya 3% yang tertarik menanam tanaman tahan hama. Pada wilayah karawang, 62% mengatasi serangan hama dengan insektisida, 36% lebih tertarik menanam varietas yang tahan hama dan hanya sekitar 2% saja yang tidak memberi perlakukan dengan obat-obatan. Pada wilayah penelitian Cianjur, dapat dilihat tindakan petani dalam mengatasi hama melalui tiga cara dengan persentase hampir merata yaitu menggunakan insektisida (44%), menanam varietas tahan (31%) serta melakukan pengendalian biologis (25%). Sedangkan di wilayah Sukabumi hampir sama dengan wilayah lainnya, lebih menyukai insektisida dalam mengatasi serangan hama, tetapi masalah hama bukan merupakan persoalan utama di wilayah tersebut, pada umumnya mereka lebih tertarik pada tanaman padi yang mampu berproduksi tinggi. Pada umumnya petani lebih menyukai produk tanaman unggul yang menjanjikan peningkatan produksi atau tanaman padi yang dapat mengurangi pengeluaran dalam pengolahan tanaman di lapangan, seperti biaya tenaga kerja,
74
pemupukan dan pembelian insektisida. Terjadinya penurunan biaya jika menanam Padi Bt seperti yang dijelaskan pada analisis anggaran parsial ternyata dapat memberikan dampak terhadap pemanfaatan Padi Bt di masa depan.
Kriteria memilih Padi Bt PRG Persentase Responden
100 90 80 70 60
Harga benih Jenis (varietas padi) Kandungan Gizi
50 40
Keunggulan sifat
30 20 10
Isu resiko dan keamanan
0 Cianjur Karawang Subang Sukabumi
Gambar 9. Kriteria petani dalam memilih Padi Bt PRG di propinsi Jawa Barat Dilihat dari pilihan petani terhadap kriteria tanaman Padi Bt yang mereka harapkan, terlihat bahwa jawaban yang diberikan sangat bervariasi (Gambar 9), kecuali kelompok petani dari wilayah Sukabumi, yang sepakat menyatakan harga benih merupakan pilihan paling utama. Pada wilayah penelitian lainnya seperti Karawang, tidak mempermasalahkan harga benih Padi Bt jika sudah tersedia di tingkat petani nantinya, bahkan sekitar 51% dari responden lebih peduli terhadap isu keamanan dan risiko Padi Bt. Hal ini diduga berhubungan dengan tingkat pendidikan responden yang hampir 40% memiliki pendidikan setara SMU dan Perguruan Tinggi dengan penghasilan rata-rata antara 1-5 juta rupiah per bulan, sehingga mereka diperkirakan lebih memiliki akses terhadap nformasi-informasi baru. Di wilayah penelitian Subang, hanya 27% dari responden yang peduli terhadap isu keamanan dan risiko tanaman PRG, dan terdapat hanya 3% yang lebih memperhatikan aspek harga benih padi. Meskipun ditampilkan kriteria
75
kandungan gizi yang tidak berkaitan langsung dengan sifat yang diintroduksi, tetapi dapat menggambarkan pandangan dan harapan petani terhadap Padi Bt seperti hasil yang diperoleh untuk wilayah penelitian Subang dan Cianjur, dimana hampir 30% petani lebih memperhatikan aspek kandungan gizi, hanya sekitar 29% petani dari wilayah Cianjur yang lebih memilih harga benih sebagai kriteria kedua yang diutamakan.
Persentase Responden
Kesediaan Membeli Padi Bt PRG 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Harga sama dengan benih hibrida Lebih mahal dibanding dengan hibrida lebih murah dibanding dengan hibrida Tidak tahu Cianjur Karawang Subang Sukabumi
Gambar 10. Kesediaan petani untuk membeli benih Padi Bt PRG di wilayah Propinsi Jawa Barat Kriteria selanjutnya dalam mengetahui penerimaan petani terhadap Padi Bt PRG adalah kesediaan mereka untuk membeli benih Padi Bt PRG jika nanti produk sudah tersedia di tingkat petani. Dari data yang tersaji pada Gambar 10, masih banyak petani yang membeikan jawaban tidak tahu terhadap harga yang mau mereka bayarkan jika Padi Bt sudah tersedia di pasaran. Diduga hal ini terjadi karena mereka tidak memahami atau belum mengerti dengan sifat-sifat tanaman PRG. Contohnya petani dari wilayah Karawang menjawab 100% tidak tahu, demikian juga dengan wilayah Sukabumi, hampir 79% menjawab tidak tahu dan hanya 7% yang menjawab mau membeli benih tanaman Padi Bt dengan harga benih lebih murah dibandingkan dengan harga benih padi hibrida. Petani dari wilayah Subang memberikan hasil jawaban sama, yaitu harga benih lebih murah dibanding padi hibrida serta menjawab tidak tahu sebesar 38%, dan hanya 4%
76
yang menjawab harga sama dengan benih padi hibrida. Petani di wilayah Cianjur menjawab lebih murah dari harga benih hibrida (76%) responden dan hanya 6% yang menjawab mau membeli dengan harga lebih mahal, atau sama dengan benih padi hibrida. Disamping keutamaan sifat yang diintroduksi, persoalan harga jual dan pengelolaan risiko perlu mendapat perhatian dalam komersialisasi tanaman PRG (Sharma et al. 2002). Karena biaya dalam memproduksi Padi Bt PRG cukup tinggi, maka harga yang lebih mahal bila dibandingkan dengan harga benih konvensional masih dapat diterima, asal benih padi tersebut dapat menjanjikan peningkatan produksi yang lebih baik dibandingkan dengan benih padi sejenis yang non PRG.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan analisis anggaran parsial terhadap Padi Bt PRG dengan pengurangan penggunaan insektisida 10% sampai dengan 50%, usahatani Padi Bt PRG tergolong layak untuk dilanjutkan. 2. Hasil analisis anggaran parsial (partial budget analysis) dengan asumsi harga benih tanam (benih pokok) Padi Bt PRG sama dengan Padi non-PRG yakni Rp 20.000, diperoleh nilai investasi (B/C ratio) 1,02 untuk aplikasi insektisida 10% dan 1,01 untuk aplikasi insektisida 50%. Jika harga benih pokok Padi Bt PRG lebih tinggi 50% yakni sebesar Rp 30.000, diperoleh nilai investasi (B/C ratio) 1,52 untuk aplikasi insektisida 10% dan 1,50 untuk aplikasi insektisida 50%. Angka ini terkategori usahatani dapat dilanjutkan untuk komersialisasi. 3. Berdasarkan karakteristik responden petani, diperoleh kisaran usia terbanyak antara 41-58 tahun dengan tingkat pendidikan SD-SMP, memiliki penghasilan rata-rata setiap bulan kurang atau sama dengan satu juta rupiah. Sedangkan wilayah penelitian Karawang sebagian besar telah memiliki penghasilan diatas satu juta sampai lima juta rupiah.
77
4. Persepsi petani terhadap keamanan tanaman PRG sebagian besar ( ≥ 60% responden) menyatakan tidak tahu, hanya 20%-35% responden yang menyatakan bahwa tanaman PRG tersebut aman dikonsumsi. 5. Pengetahuan petani terhadap tanaman Padi Bt PRG lebih ramah lingkungan masih sangat rendah, dimana lebih dari 65% petani menyatakan ketidaktahuan mereka tentang Padi Bt, dan hanya sekitar 20% petani dari wilayah Subang yang mengetahui padi Bt PRG lebih ramah lingkungan dibandingkan tanaman Padi non-PRG 6. Penerimaan petani terhadap rencana pelepasan Padi Bt PRG sangat baik dan mereka sebagian besar menyatakan bersedia menanam Padi Bt PRG jika produk sudah tersedia di pasaran, hanya wilayah Subang yang menyatakan kesediaan menanam Padi Bt PRG jauh lebih sedikit yaitu sekitar 35% responden.
Saran 1. Persepsi petani terhadap Padi Bt PRG tidak dapat dijadikan acuan dalam mengambil kebijakan, karena tujuan petani menggunakan tanaman PRG lebih kepada keuntungan secara ekonomi, dibandingkan manfaat terhadap lingkungan, sehingga keutamaan tanaman Padi Bt yang lebih ramah lingkungan kurang diketahui. 3. Upaya meningkatkan pengetahuan petani terhadap Padi Bt PRG melalui kegiatan sosialisasi yang berkelanjutan, sangat diperlukan sebelum tanaman dilepas atau dikomersialisasikan. 4. Ketersediaan informasi yang murah dan mudah diakses masyarakat mengenai Padi Bt PRG perlu difasilitasi oleh pemerintah dan sosialisasi terhadap komunikasi risiko tanaman PRG harus dilakukan secara berkelanjutan agar pemanfaatan Padi Bt PRG dapat tercapai.
78
ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN TANAMAN PADI PRODUK REKAYASA GENETIK DI INDONESIA Sustainable Analysis of Genetically Engineered Rice Management in Indonesia Deswina P1, Syarief R2, Rachman LM 3, Herman M4 1) Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor dan Staf Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, 2) Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 3)Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, 4) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Kementerian Pertanian
Abstrak Pengelolaan produk rekayasa genetik (PRG) di Indonesia melibatkan beberapa lembaga pemerintah sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing. Koordinasi diantara lembaga pemerintah tersebut sangat menentukan dalam keberlanjutan pengelolaan PRG. Selain persyaratan keamanan hayati, pertimbangan sosial ekonomi yang berdampak langsung terhadap masyarakat perlu mendapat perhatian, sesuai dengan amanat Protokol Cartagena pasal 26. Pengembangan tanaman PRG hasil penelitian dan pengembangan dalam negeri umumnya masih berada di tahap penelitian, baik laboratorium, Fasilitas Uji Terbatas atau di Lapangan Uji Terbatas. Sedangkan tanaman PRG yang berasal dari luar Indonesia telah banyak yang masuk dan memperoleh izin pelepasan dan komersialisasi di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan kajian kebijakan pengelolaan PRG yang berorientasi keterpaduan dan keberlanjutan. Hasil kajian ini dapat menjadi rekomendasi dan bahan pertimbangan dalam membuat formulasi kebijakan pengelolaan PRG berkelanjutan, khususnya tanaman Padi Bt. Penelitian ini juga bertujuan untukmengetahui status keberlanjutan pengelolaan PRG ditinjau dari dimensi ekologi, sosial, ekonomi, teknologi dan kelembagaan. Analisis data yang digunakan adalah metode Multidimensional Scaling (MDS) dimana hasilnya dinyatakan dalam bentuk indeks berkelanjutan. Berdasarkan hasil kajian diperoleh nilai dimensi lingkungan 73,02%, dimensi ekonomi 69,30%, dimensi sosial 51,22%, dan dimensi hukum kelembagaan 54,74%, semua tergolong pada kriteria cukup berkelanjutan. Kecuali untuk dimensi teknologi 46,71% termasuk kurang berkelanjutan. Dari hasil analisis atribut-atribut utama yang tergolong faktor pengungkit (leverage factor) disetiap dimensi, maka perlu dilakukan perbaikan dan perubahan, agar diperoleh peningkatan dari nilai indeks keberlanjutan. Kata kunci: Padi Bt PRG, analisis keberlanjutan, MDS, faktor pengungkit.
79
Abstract Management of Genetically Engineered Product (GEP) in Indonesia involved some government institutions that were accordance with the functions and roles in both GEP’s variety and aim that would be released and commercialized. The coordinations among the government agencies were so important for the sustainability of GEP management. Cartagena protocol mandated the need of risk assessment to each GEP before being released. As the result of new technology, GEP had to meet the biosafety requirements inculded the safety of food, environmental and / or feed. Beside of the biological safety, socio-economic considerations and impacts to the societies had to be noticed too. Because of that, it was required the policy strategy as the part of risk analysis in the usage management of GEP plant. The studies held on the dimensions of environment, economic, social, technology and institutional law. Data analysis used was the method of Multidimensional Scaling (MDS) and the results were expressed in index form of sustainable management of GEP. Results of studies, with score 58,99% showed that multidimensional assessment considered as sustainable criteria. There was also sustainable value for environmental dimensions in 73.02% while the technology dimensions was on less sustainable value (46.71%). Although for social, economic and institutional law dimensions were quite sustainable, but tended to be less sustainable, so it was necessary to repair the main attributes of each dimensions. Retrieved fifteen leverage factors that might affect the increasing the sustainability index of all the five dimensions. Keywords: Genetically Engineered Product (GEP), biosafety, sustainability, MDS, leverage factor, Rap GEP
PENDAHULUAN Kegiatan
pembangunan
di
bidang
pertanian
mengacu
kepada
pembangunan pertanian berkelanjutan, dengan memperhatikan aspek sarana dan prasarana melalui pendanaan dan inovasi teknologi. Kondisi ini sangat diperlukan agar kebijakan pembangunan pertanian lebih mengedepankan kepentingan sosial dan lingkungan. Pembangunan pertanian berkelanjutan berkaitan dengan pembangunan ekonomi, sosial, lingkungan serta melibatkan teknologi dan hukum kelembagaan (Kementan 2013). Perubahan iklim yang terjadi akhir-akhir ini menyebabkan terjadinya pemanasan global yang menimbulkan dampak penurunan produksi pertanian. 80
Sebagai komoditas pertanian utama di Indonesia, tanaman padi perlu peningkatan kualitas dan kuantitas, melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pangan berkualitas. Teknologi pemuliaan tanaman konvensional yang selama ini digunakan tidak lagi efisien dalam mengatasi permasalahan tanaman, karena sifat-sifat atau sumber gen yang tersedia sangat terbatas, perlu waktu lebih lama untuk memperoleh jenis baru (Khan & Liu 2009). Metode konvensional, tidak dapat lagi dipertahankan kerena beberapa keterbatasan tadi, terutama dalam mengatasi tekanan lingkungan yang semakin komplek (Manshardt 2004). Sifat ketahanan terhadap hama dan penyakit, merupakan salah satu sifat yang tidak dimiliki setiap tanaman, sehingga diperlukan inovasi teknologi yang mampu memanfaatkan sumber gen yang berasal dari individu lain baik yang sejenis atau berbeda jenis. Salah satu teknik yang digunakan adalah teknologi rekayasa genetik yang dapat memanfaatkan spesies yang berbeda sama sekali. Teknologi ini telah dipakai untuk perbaikan sifat/karakter tanaman, yang meliputi ketahanan terhadap cekaman biotik seperti sifat ketahanan terhadap hama dan penyakit. Demikian juga dengan sifat toleransi terhadap kondisi lingkungan tertentu (Shah et al. 2011). Di Indonesia, kegiatan pengembangan bioteknologi modern dimulai sejak tahun 1990 di beberapa pusat penelitian milik pemerintah dan swasta, dengan perbaikan sifat-sifat tanaman sesuai dengan kebutuhan di lapangan, seperti sifat toleran kekeringan, kadar garam tinggi atau sifat ketahanan terhadap hama dan penyakit. Sifat ketahanan terhadap hama merupakan sifat utama yang banyak digunakan pada tanaman pertanian (Prasetya & Deswina 2009). Kendala utama tanaman pertanian di negara beriklim tropis dan lembab seperti Indonesia adalah serangan organisme pengganggu seperti hama dan penyakit. Khusus tanaman padi, serangan hama masih menjadi masalah serius di lapangan, misalnya hama wereng coklat dan penggerek batang. Kerugian yang diakibatkan oleh kedua serangga hama ini menyebabkan penurunan produksi padi 5 – 10% dari total produksi padi di Asia. Serangan hama penggerek batang sendiri bisa menyebabkan kerugian sampai 20% (Ho et al. 2001). Usaha pengendalian yang selama ini dilakukan dengan penyemprotan insektisida kurang efektif
81
terutama terhadap hama penggerek batang, karena serangga ini hidup dan berkembang di dalam batang tanaman padi, sehingga waktu kontak dengan insektisida sangat terbatas (Amuwitagama 2002). Melalui teknologi rekayasa genetik, dapat diperoleh tanaman tahan serangan hama dengan melakukan introduksi gen Cry dari bakteri Bacillus thuringiensis (Bt) (Gatehouse 2008; Lemaux 2009). Padi Bt adalah tanaman yang telah diintroduksi dengan gen Cry yang berupa protein Bt, efektif mengendalikan serangga hama dari jenis Lepidoptera, Diptera dan Coleoptera (Bravo et al. 2011). Sifat toksin dari protein Bt, sangat spesifik (highly selective spectrum), yang hanya bekerja pada jenis serangga tertentu dengan range yang sangat sempit (narrow range) (Bravo et al. 2011). Oleh karena itu tanaman Padi Bt dikembangkan dengan tujuan mengurangi aplikasi insektisida. Penelitian Padi Bt telah dilakukan oleh banyak negara, di Asia seperti China dan Iran telah diperoleh izin keamanan lingkungan untuk padi produksi rekayasa genetik, bahkan Iran telah mengkomersialisasikan Padi Bt sejak tahun 2004 (Herman 2009). Penerapan teknologi rekayasa genetik pada tanaman, harus memperhatikan aspek keamanan lingkungan dan kesehatan manusia (Sharma et al. 2002). Untuk pengujian keamanan lingkungan tanaman PRG mengandung Bt, difokuskan pada pengaruh toksisitas Bt terhadap organisme non-target, dampak ekologis yang disebabkan oleh transfer gen dan kerabat liarnya, serta interaksi dan pengaruh tanaman PRG terhadap keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem (Pauwels et al. 2010). Dengan dihasilkannya beberapa tanaman PRG telah menimbulkan beberapa tanggapan dari masyarakat baik positif maupun negatif terutama isu keamanan lingkungan. Pro dan kontra terus berlangsung meskipun telah dilakukan pengujian-pengujian berdasarkan metode ilmiah yang benar (Lu & Sweet 2010). Pengujian keamanan hayati yang menjadi persyaratan dalam Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati PRG, juga terdapat faktor ekonomi sosial yang harus diperhatikan, karena terkait langsung dengan kehidupan masyarakat (GarciaAlonso et al. 2006). Meskipun masih diperdebatkan, tetapi dari laporan statistik terhadap luas areal tanaman PRG di dunia, telah mencapai 170 juta ha pada tahun
82
2012, berarti meningkat hampir seratus kali lipat dibandingkan dengan tahun 1996 yang hanya 1.7 juta ha (James 2013). Peran teknologi dalam pembangunan pertanian berkelanjutan merupakan faktor penunjang yang cukup penting, oleh karena itu program berkelanjutan dalam pengelolaan PRG, harus melalui kebijakan, perencanaan dan proses pembelajaran dari kondisi sosial yang terjadi (Soemarwoto 2006). Ketahanan pangan nasional yang sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (ekologi, sosial dan ekonomi) menjadi tantangan generasi masa sekarang dalam meningkatkan kesejahteraannya, tanpa mengurangi kesempatan generasi masa depan untuk menaikkan tingkat kesejahteraan mereka (Rogers et al. 2007). Tujuan penelitian adalah memformulasikan kebijakan pengelolaan terpadu produk hasil rekayasa genetik terutama tanaman PRG yang berkelanjutan berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan, serta mengetahui faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan kebijakan pengelolaan PRG.
METODE PENELITIAN a. Teknik Penentuan Responden Penentuan responden untuk penelitian dilakukan melalui wawancara mendalam (indepth interview) dan kuisioner terstruktur kepada pakar-pakar terkait, yang memiliki kompetensi di bidang teknologi rekombinan DNA dan keamanan hayati PRG. Jumlah pakar terkait berasal dari institusi dan profesi yang berbeda, yaitu
pengembang teknologi/peneliti (6 orang), Perguruan Tinggi (2
orang) dan pihak swasta (2 orang) (Lampiran 8). Penentuan responden untuk survei pakar dilakukan dengan teknik secara sengaja (purposive sampling). Responden yang dipilih memiliki kepakaran terhadap bidang yang dikaji dengan kriteria sebagai berikut. 1. Memiliki pengalaman yang relevan dan kompeten dengan bidang kajian; 2. Memiliki profesi yang relevan dengan bidang yang dikaji; 3. Memiliki kredibilitas dan integritas yang tinggi dan memahami bidang yang dikaji.
83
Lokasi responden pakar berada di wilayah Propinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Waktu penelitian berlangsung dari bulan November 2011 – April 2012.
b. Analisis Data Analisis data keberlanjutan terhadap kebijakan pengelolaan PRG, menggunakan metode pendekatan Multi Dimensional Scaling (MDS) dengan software Rapsettlement (Rapid Appraisal for Settlements) yang merupakan penyesuaian dari Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries) yang dikembangkan oleh Pitcher & Preikshot (2001). Pendekatan ini lebih didasarkan pada prinsip Multi Criteria Analysis (MCA) dengan mengandalkan algoritma yang disebut sebagai algoritma MDS. Teknik aplikasi RapPRG adalah metode multi disiplin yang digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pengelolaan PRG berkelanjutan berdasarkan jumlah atribut yang banyak akan tetapi mudah dinilai. Ordinasi Rapsettlement dapat mengakomodasi dimensi lebih dari tiga yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan hukum kelembagaan dengan atribut yang relatif lebih banyak. Analisis data dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu: 1.
Penentuan atribut keberlanjutan pemanfaatan padi Bt PRG mencakup lima dimensi yaitu: dimensi ekologi, ekonomi, sosial masyarakat, teknologi dan hukum kelembagaan.
2.
Penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi. Masing-masing atribut dari setiap dimensi dilakukan penilaian berdasarkan scientific judgment oleh responden pakar berdasarkan persyaratan yang telah ditentukan. Pemberian skor ordinal pada penelitian ini dengan rentang 0-2 sesuai dengan karakter atribut yang menggambarkan strata penilaian dari terendah (0) sampai yang tertinggi (2). Skor 0 adalah buruk (bad) dan skor 2 adalah baik (good). Penilaian atribut dilakukan dengan membandingkan kondisi atribut dengan memberikan penilaian buruk (0), sedang (1), baik (2).
3.
Menghitung indeks dan menganalisis status keberlanjutan. Hasil skor dari setiap atribut dianalisis dengan multi dimensional untuk menentukan suatu
84
titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan pemanfaatan padi Bt PRG di Indonesia. Titik tersebut merupakan posisi relatif keberlanjutan yang dikaji terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good) dan titik buruk (bad). Skor definitifnya adalah nilai modus, yang dianalisis untuk menentukan titik-titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan sistem yang dikaji relatif terhadap titik baik dan buruk dengan teknik ordinasi statistik MDS. Skor perkiraan setiap dimensi dinyatakan dengan skala terburuk (bad) 0% sampai yang terbaik (good) 100%. Adapun nilai skor yang merupakan nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kategori status keberlanjutan pemanfatan padi Bt PRG Nilai Indeks 0,00 - 25,00 25,01 - 50,00 50,01 - 75,00 75,01 - 100,00
Kategori Buruk Kurang Cukup Baik
Keterangan tidak berkelanjutan kurang berkelanjutan cukup berkelanjutan sangat berkelanjutan
Sumber: Fauzi dan Anna (2005)
Melalui
metode
MDS,
maka
posisi
titik
keberlanjutan
dapat
divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Dengan proses rotasi, maka posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai indeks keberlanjutan diberi nilai skor 0% (buruk) hingga 100% (baik). Ilustrasi hasil ordinasi nilai indeks keberlanjutan terlihat pada Gambar 1 berikut:
Baik
Buruk 0
25
50
75
100
Gambar 1. Ilustrasi nilai indeks keberlanjutan dalam skala ordinasi Keluaran (output) dari analisis RAP/MDS adalah indeks keberlanjutan dari 0 sampai 100 yang bisa ditampilkan dalam bentuk leveraging (faktor yang relatif sensitif terhadap indeks keberlanjutan), dan diagram layang (kite diagram). Simetris diagram layang-layang ditentukan oleh indeks masing-masing dimensi. Dimensi utama terdiri dari ekologi, ekonomi, dan sosial. Disamping itu nilai 85
indeks dari masing-masing dimensi dapat dimunculkan pada diagram tersebut. Diagram layang-layang keberlanjutan disajikan pada Gambar 2.
Hukum Kelembagaan
Teknologi
Lingkungan 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
Ekonomi
Sosial
Gambar 2. Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi Analisis sensitivitas digunakan untuk melihat atribut yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan dengan melihat bentuk perubahan Root Mean Square (RMS) ordinasi pada sumbu X. Semakin besar perubahan nilai RMS, maka semakin sensitif atribut tersebut. Dari analisisanalisis yang dilakukan akan terdapat pengaruh galat yang dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kesalahan dalam pembuatan skor, kesalahan pemahaman terhadap atribut atau kondisi lokasi penelitian, variasi skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti, proses analisis MDS yang berulang-ulang, kesalahan pemasukan data atau terdapat data yang hilang, dan tingginya nilai stress (nilai stress dapat diterima jika nilai < 25%) (Pitcher & Preikshot 2001). Sehingga dalam mengevaluasi pengaruh galat pada pendugaan nilai ordinasi akan digunakan analisis Monte Carlo. Goodness of fit dalam MDS dicerminkan dari besaran nilai S-Stress yang dihitung berdasarkan nilai S di atas dan R2. Nilai stress yang rendah menunjukkan good fit, Nilai S yang tinggi menunjukkan sebaliknya. Dalam pendekatan RapFish, model yang baik ditunjukkan dengan nilai stress yang lebih kecil dari 0,25
86
atau S < 0,25 (Fauzi dan Anna 2005). Nilai R2 yang baik adalah yang nilainya mendekati 1. Secara
keseluruhan
maka
tahapan
dalam
analisis
keberlanjutan
menggunakan MDS dapat dilihat pada Gambar 3 berikut:
Start
Identifikasi dan Pendefenisian Atribut (didasarkan pada kriteria yang konsisten)
Gambaran Umum
Skoring (mengkonstruksi reference point untuk good dan bad serta anchor)
Multidimensional Scaling Ordination (untuk setiap atribut)
Simulasi Montecarlo (Analisis Ketidakpastian)
Analisis Leverage (Analisis Anomali)
Analisis Keberlanjutan (Asses Sustainability)
Gambar 3. Elemen proses aplikasi Rap-PRG dengan pendekatan MDS
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Status keberlanjutan Padi Bt PRG Analisis keberlanjutan tanaman Padi Bt PRG yang dibuat berdasarkan hasil kuisioner dari responden pakar terpilih (expert justification), dianalisis dan diverifikasi. Kajian keberlanjutan ini dilihat melalui manfaat ekologis, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan. Manfaat yang diperoleh sangat ditentukan oleh interaksi antar lima faktor yang ditetapkan sebelumnya berdasarkan tujuan
87
pelepasan PRG. Uraian dari hasil analisis setiap dimensi yang dikaji sebagai berikut: 1. Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Atribut atau faktor-faktor yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekologi terdiri atas tujuh atribut, yaitu : 1) Keamanan PRG terhadap kesehatan manusia, 2) Perbaikan kualitas lingkungan, 3) Kemungkinan perpindahan material genetik dari Padi PRG ke Padi non PRG, 4) Potensi Padi Bt PRG menjadi gulma, 5) Dampaknya terhadap organisme perairan, 6) Pengaruhnya terhadap ekosistem, 7) Pengaruhnya terhadap organisme non target dan keanekaragaman hayati potensial. Berdasarkan hasil analisis Rap-PRG terhadap tujuh atribut diperoleh nilai indeks keberlanjutan dari dimensi ekologi sebesar 73.018% (terletak antara 50.01–75.00%) berarti cukup berkelanjutan. Nilai indeks berkelanjutan yang menunjukkan angka diatas 50% menunjukkan bahwa pengelolaan lingkungan tanaman Padi Bt PRG masih termasuk berkelanjutan dan belum memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati.
Kerusakan dan pencemaran lingkungan
akibat penanaman Padi Bt PRG yang dikembangkan untuk tahan hama penggerek batang bertujuan mengurangi penggunaan bahan kimia seperti pestisida yang dapat mengganggu kesehatan dan mencemari lingkungan (Chen et al. 2010). Oleh karena itu indeks keberlanjutan diatas 50% menunjukkan dukungan terhadap pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Penggunaan insektisida Bt sebagai biopestisida telah dimanfaatkan di banyak negara sejak puluhan tahun yang lalu. Aktivitas toksin yang dihasilkan oleh protein Cry dari sejenis bakteri gram positif (Bacillus thuringiensis) efektif mengendalikan serangga hama dari jenis Lepidoptera, Diptera dan Coleoptera (Cohen et al. 2008; Chen et al. 2006; Bravo et al. 2011). Sebelumnya protein Bt diaplikasikan langsung kepada tanaman dan diketahui sejak tahun 1995 telah terdaftar 182 produk insektisida Bt di United States Environmental Protection Agency, akan tetapi petani tidak banyak menggunakannya sebagai insektisida alami disebabkan ketidakstabilan dari sifat toksisitas Bt tersebut di lapangan (Chen et al. 2010). Akhirnya peneliti berusaha melakukan introduksi protein Bt dari Bacillus thuringiensis kepada tanaman pertanian, agar diperoleh tanaman
88
yang tahan terhadap hama. Tujuannya adalah mengurangi aplikasi insektisida dan menjadikan kualitas lingkungan lebih baik. Karena sifat toksin dari protein Cry (Bt), yang sangat spesifik (highly selective spectrum), maka toksin ini hanya bekerja pada jenis serangga tertentu dengan kisaran yang sangat sempit (narrow range) (Bravo et al. 2011). Beberapa kriteria keamanan lingkungan digunakan sebagai atribut dalam analisis keberlanjutan Padi Bt PRG, agar diketahui kemungkinan terjadinya dampak yang merugikan terhadap keanekaragaman hayati dan lingkungan. Atribut yang digunakan dibuat berdasarkan indikator ilmiah berdasarkan prinsip keamanan lingkungan (Nelson et al. 2004) dalam Hilbeck & Andow 2004). Kemampuan ekologis di suatu lokasi akan berkurang karena adanya kegiatan pengolahan tanah dan penanaman, akan tetapi dapat menjadi lebih baik jika faktor-faktor yang mengurangi potensi tersebut dapat di kelola sesuai dengan prinsip pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Hasil analisis keberlanjutan dimensi ekologi disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Indeks keberlanjutan dimensi ekologi pengelolaan PRG
Analisis sensitivitas pada dimensi ekologi dengan metode analisis leverage pada RAP-PRG (Gambar 5) memperlihatkan bahwa atribut terjadinya perpindahan (crossing) material genetik dari Padi Bt PRG ke tanaman Padi non 89
PRG merupakan atribut yang sangat berpengaruh terhadap atribut-atribut lainnya dengan nilai root mean square change (RMS) lebih dari 10% (10.21%). Pertimbangan terjadinya transfer material genetik dari tanaman PRG kepada tanaman non-PRG menjadi perhatian khusus pakar dalam keamanan lingkungan, meskipun secara konvensional persilangan dapat terjadi pada kondisi alami dengan beberapa persyaratan seperti kompatibalitas diantara tanaman yang berdekatan, dan juga viabilitas dari serbuk sari yang pindah (Harst et al. 2009).
Gambar 5. Hasil analisis leverage dimensi ekologi pengelolaan PRG
Demikian juga dengan pengaruh Padi Bt PRG terhadap lingkungan terutama organisme perairan dan serangga non target potensial (RMS= 4.45). Dari hasil penelitian LUT yang pernah dilakukan oleh Puslit Bioteknologi LIPI terhadap serangga non target, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan populasi serangga non target dan musuh alami di lahan penanaman Padi Bt PRG dengan lahan Padi non PRG di wilayah penelitian Kabupaten Subang (Deswina et al. 2009) dan Kabupaten Karawang (Mulyaningsih et al. 2010). Faktor pengungkit selanjutnya adalah potensi tanaman PRG menjadi gulma (RMS=3.65). Kekhawatiran sebagian masyarakat terhadap munculnya kemungkinan tanaman
90
PRG menjadi gulma (weediness) atau menguasai/menginvasi suatu areal pertanian (invasiveness) merupakan isu yang cukup penting. Isu ini menjadi semakin menarik dengan dikembangkannya tanaman yang toleran terhadap tekanan abiotik (abiotic stress tolerance), karena kemampuan bertahan hidup dari tanaman PRG tersebut menjadi semakin baik terhadap tekanan lingkungan. Pada kenyataannya tanaman yang diintroduksi dengan sifat baru tidak boleh memiliki perbedaan dengan tanaman asal sejenis. Apabila tanaman asal, sebelum diintroduksi dengan sifat tertentu tidak memiliki sifat weediness dan invasiveness, maka tanaman PRG juga akan memiliki sifat yang sama dan setara. Kesamaan sifat ini dapat dibuktikan dengan pola pertumbuhan seperti lamanya dormansi benih dan sifatsifat agronomis lainnya. (Raybould 2011). Faktor pengungkit selanjutnya yang dapat mempengaruhi indeks keberlanjutan adalah keamanan PRG terhadap kesehatan manusia (RMS=3.50). Pengaruh terhadap kesehatan manusia merupakan pertimbangan utama yang harus diperhatikan, karena merupakan persyaratan utama dalam keamanan pangan PRG, dan sangat sensitif terhadap perubahan indeks keberlanjutan PRG.
2. Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Keberlanjutan pemanfaatan Padi Bt PRG ditinjau dari dimensi ekonomi menggunakan studi ex ante dengan menyusun
tujuh atribut utama yaitu: 1)
Kesejahteraan petani, 2) Jumlah tenaga kerja, 3) Tingkat ketergantungan petani, 4) Harga jual benih PRG, 5) Peningkatan pendapatan petani, 6) Berkurangnya biaya dalam produksi karena berkurangnya biaya saprotan, 7) Stabilitas produksi. Kajian terhadap keberlanjutan dimensi ekonomi perlu diperhatikan sebagai bahan untuk membuat kebijakan pengelolaan, karena langsung berhubungan dengan masyarakat. Nilai skor yang ditetapkan untuk setiap atribut berdasarkan pada survei terhadap kondisi di lapangan dan wawancara langsung. Berdasarkan hasil analisis Rap-PRG diperoleh bahwa nilai indeks keberlanjutan dari dimensi ekonomi sebesar 69.29% berarti cukup berkelanjutan karena terletak diantara 50.01-75.00%. Hasil analisis keberlanjutan dimensi ekonomi disajikan pada Gambar 6.
91
Gambar 6. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi pengelolaan PRG Berdasarkan nilai indeks keberlanjutan ini berarti bahwa secara ekonomi, pengelolaan dan pemanfaatan Padi Bt PRG masih tergolong berkelanjutan, meskipun terdapat biaya pengembangan teknologi yang cukup tinggi. Diharapkan manfaatnya lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk investasi teknologi. Dari hasil analisis leverage yang disajikan pada Gambar 7, diperoleh lima atribut yang sensitif terhadap indeks keberlanjutan dimensi ekonomi yaitu: 1) Tingkat ketergantungan petani terhadap benih PRG (RMS=9.49), 2) Harga beli benih PRG yang terjangkau (RMS = 6.45), 3) Peningkatan pendapatan petani (RMS = 5.13), Stabilitas produksi (RMS=4.25) dan berkurangnya biaya produksi (4.00). Tingkat ketergantungan petani terhadap benih PRG memperoleh nilai leverage yang paling tinggi diantara atribut lainnya. Dalam hal ini adalah ketergantungan petani terhadap Padi Bt hibrida, jika Padi Bt ini telah memperoleh status keamanan hayati, akan disilangkan kembali dengan tanaman padi hibrida yang dapat berproduksi tinggi. Benih padi hibrida hanya dapat mempertahankan keunggulannya pada generasi kesatu, selanjutnya harus membeli benih dengan kualitas yang sama dengan benih asal. Kekhawatiran akan terjadinya
92
ketergantungan terhadap benih Padi Bt hibrida menjadi pertimbangan utama, seperti halnya benih tanaman hibrida yang tidak dapat diperbanyak atau ditangkar oleh petani secara mandiri. Sebaliknya untuk benih PRG, dapat diperbanyak dengan kualitas yang sama dengan benih induk, karena kestabilan sifat yang diintroduksi pada tanaman PRG menjadi persyaratan sebelum tanaman dilepas atau dikomersialisasikan (Herman 2009). Kurangnya tingkat pengetahuan di kalangan petani menjadi salah satu hambatan dalam pengembangan benih tanaman PRG. Biaya pengembangan teknologi tanaman PRG sangat besar, sehingga diperlukan pengaturan dan pengakuan terhadap kepemilikan teknologi tersebut. Berbeda dengan benih hibrida, kestabilan sifat yang diintroduksi pada tanaman PRG, merupakan keharusan dan dapat dibuktikan berdasarkan pengujian laboratorium. Pada pengkajian risiko tanaman PRG harus dapat dibuktikan bahwa gen yang diintroduksi kepada tanaman telah memenuhi persyaratan keamanan hayati berdasarkan peraturan di negara tempat tanaman PRG akan dilepas dan dikomersialisasikan (Newell & Mackenzie 2000). Dalam penetapan harga jual benih PRG, akan lebih tinggi dibandingkan dengan harga benih tanaman konvensional. Oleh karena itu faktor harga yang terjangkau menjadi atribut pengungkit yang sensitif dalam kajian dimensi ekonomi. Diperlukan intervensi seperti pemahaman yang baik kepada petani sehingga diperoleh manfaat dari penggunaan benih tanaman PRG ini. Berdasarkan hasil survei di lapangan, kebanyakan petani tidak keberatan dengan harga yang lebih mahal, tetapi dengan jaminan produksi lebih baik dibandingkan dengan produk konvensional. Petani lebih mengutamakan keuntungan secara ekonomi bila dibandingkan dengan biaya pengelolaan. Kenyataan ini menjadi tantangan bagi pengembang teknologi, agar tanaman PRG yang dikembangkan benar-benar mencapai sasaran, sehingga biaya pengelolaan dapat ditekan sesuai dengan sifat tanaman yang diintroduksi, sehingga manfaat dapat lebih optimal. Jika produksi meningkat, akan terjadi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan. Jika kondisi ini tidak tercapai, maka pengembangan teknologi untuk tanaman PRG akan mengalami hambatan. Faktor pengungkit selanjutnya adalah peningkatan pendapatan petani dengan menggunakan benih PRG yang memperoleh nilai 51,3%. Masih
93
diharapkan perubahan kearah yang lebih baik agar pendapatan petani menjadi lebih baik dari yang mereka terima saat ini. Karena itu intervensi terhadap factor ini akan meningkatkan nilai indeks keberlanjutan. Demikian juga kestabilan produksi dengan menggunakan tanaman PRG menjadi faktor pengungkit berikutnya yang harus diperhatikan. Karena kestabilan sifat yang diintroduksi pada tanaman PRG, diharapkan terjadi kenaikan produktifitas tanaman PRG. Berkurangnya
biaya
yang
dikeluarkan
untuk
saprotan,
karena
memanfaatkan tanaman PRG tahan serangan hama menjadi faktor sensitif yang juga harus diintervensi. Atribut ini menjadi indikator terhadap pemahaman manfaat tanaman Padi Bt PRG di lapangan, yang dapat mengurangi penggunaan insektisida jika terdapat serangan hama penggerek batang. Seperti kasus pada tanaman jagung Bt yang dikembangkan untuk ketahanan hama Busseola fusca, hanya efektif dan memberikan keuntungan besar jika ditanam pada areal dengan kelembaban sedang (Groote et al. 2011).
Gambar 7. Hasil analisis leverage dimensi ekonomi pengelolaan PRG
Pada kasus tanaman Padi Bt PRG, belum dapat diketahui produksi maksimal di lapangan untuk skala usaha tani, karena produk belum memperoleh
94
sertifikat keamanan lingkungan, tetapi dapat dibuat asumsi produksi sama dengan Padi non-PRG. Dari hasil analisis finansial, usahatani Padi Bt terkategori layak untuk dilanjutkan, tetapi belum diketahui jumlah keuntungan secara ekonomi yang akan diperoleh. Untuk meningkatkan produksi tanaman Padi Bt PRG, dapat dilakukan skenario dengan menyilangkan tanaman Padi Bt PRG dengan jenis padi unggul yang berumur pendek dan produksi tinggi, sehingga diharapkan hasilnya lebih baik dan diminati petani. Berkurangnya penggunaan insektisida dalam mengatasi serangan hama, akan menghemat pengeluaran petani untuk biaya produksi, yang akhirnya memberikan dampak positif dalam peningkatan pendapatan petani sebagai atribut kunci pada dimensi ekonomi.
3. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Apabila diperhatikan hasil analisis Rap-PRG terhadap sembilan atribut dimensi sosial kemasyarakatan diperoleh bahwa nilai indeks tingkat keberlanjutan pada dimensi sosial sebesar 51.22% (berada di antara 50.01-75.00%) berarti cukup berkelanjutan. Meskipun kategori cukup berkelanjutan, akan tetapi keadaan ini sangat rentan untuk menjadi kurang berkelanjutan dengan nilai yang sedikit di atas 50.00%. Karena itu perlu dilakukan perbaikan-perbaikan kearah keberlanjutan, supaya pemanfaatan Padi Bt PRG di lapangan dapat diterima dan dimanfaatkan oleh petani dan masyarakat sebagai konsumen. Hasil analisis keberlanjutan dimensi sosial disajikan pada Gambar 8. Nilai keberlanjutan untuk setiap atribut dimensi sosial berdasarkan asumsi dengan studi ex ante, karena produk Padi Bt belum tersedia di tingkat petani. Selanjutnya responden pakar diminta membuat penilaian terhadap faktorfaktor yang menentukan pada dimensi sosial.
95
Gambar 8. Nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial pengelolaan PRG
Berdasarkan hasil analisis leverage pada dimensi sosial, diperoleh tiga atribut yang memiliki nilai RMS hampir sama yaitu: 1) Ketersediaan informasi bagi masyarakat (RMS = 1.01), 2) Penerimaan dan persepsi masyarakat (RMS = 1.06), dan 3) Keikutsertaan publik dalam pengambilan keputusan pelepasan PRG (RMS = 1.01). Hasil leverage terhadap dimensi sosial kemasyarakatan disajikan pada Gambar 9. Dari hasil analisis leverage, tiga atribut tersebut tidak termasuk pada faktor yang perlu diintervensi. Tetapi secara keseluruhan atribut-atribut ini perlu diperbaiki atau ditingkatkan fungsinya agar dapat meningkatkan indeks keberlanjutan. Atribut ketersediaan informasi yang benar bagi masyarakat mengenai PRG dianggap memberikan pengaruh yang paling besar terhadap atribut lainnya. Terkait dengan ketersediaan informasi yang benar dan mudah diakses oleh masyarakat tentang PRG sampai saat ini masih sangat terbatas, sehingga terjadi polarisasi pendapat antara yang kontra dan pro terhadap PRG. Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti ekonomi terhadap sekelompok masyarakat Eropa, yaitu 100 orang responden dari negara Perancis, menghasilkan data yang cukup mengejutkan. Karena sebelumnya
96
masyarakat Eropa menolak kehadiran PRG di negara mereka, akan tetapi hasil dari survey yang mereka lakukan, memperlihatkan hasil bahwa sebanyak 35% responden sama sekali tidak mau membeli produk yang merupakan PRG, sedangkan 42% menyatakan kesediaan mereka membeli PRG dengan syarat harganya lebih murah dibandingkan dengan produk konvensional. Sisanya 23% menyatakan tidak tahu (Tietenberg & Lewis 2010). Survei ini
dilaksanakan
setelah dilakukan sosialisasi dengan memberi informasi ilmiah mengenai PRG dengan teknologi rekombinan DNA dalam merakit PRG berdasarkan sifat-sifat tertentu yang diintroduksi. Hasil survei menggambarkan bahwa peran informasi terhadap cara pandang seseorang dapat mempengaruhi perubahan sikap dalam menentukan pilihan. Diharapkan nilai keberlanjutan untuk dimensi sosial kemasyarakatan dapat ditingkatkan melalui kegiatan-kegiatan sosialisasi dan pendidikan mengenai PRG berdasarkan informasi yang bersifat ilmiah dan terbuka. Di Indonesia telah tersedia
pusat
informasi
terkait
PRG
dalam
bentuk
situs
web
(www.indonesiabch.org ) atau Balai Kliring Keamanan Hayati (BKKH). Akan tetapi sejauh ini, belum banyak masyarakat yang memanfaatkan dan mengakses situs ini sebagai salah satu sumber informasi tentang PRG. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil forum diskusi dan pengambilan keputusan pada saat PRG akan dilepas atau dikomersialkan oleh pemerintah, yang mengharuskan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan sebelum pelepasan atau komersialisasi PRG yang merupakan implementasi PP 21/2005. Keikutsertaan masyarakat dalam pengambilan keputusan terhadap rencana pelepasan PRG masih sangat sedikit, bahkan tidak ada sama sekali yang memberikan pendapat atau saran
terkait
dengan
hal
rencana
pemerintah
untuk
melepas
PRG
(www.indonesiabch.org. 2011). Di dalam salah satu kajian yang pernah dilakukan oleh Adiwibowo et al. (2005), disebutkan bahwa partisipasi masyarakat dan keikutsertaan masyarakat dalam konsultasi publik untuk pemanfaatan PRG seharusnya menjadi prioritas, tetapi kegiatan ini masih menjadi hambatan yang belum dapat diselesaikan. Oleh karena itu pelaksanaan sosialisasi yang intens melalui berbagai media cetak atau elektronik mengenai manfaat dan risiko PRG secara sederhana dan mudah dipahami oleh berbagai kalangan masyarakat
97
mendesak untuk segera dilaksanakan. Diperlukan komitmen yang berkelanjutan terhadap penyediaan informasi yang mudah diakses serta sumber daya manusia yang memiliki kemampuan terutama di bidang keamanan hayati tanaman PRG.
Gambar 9. Hasil analisis leverage dimensi sosial pengelolaan PRG
4.
Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi Analisis keberlanjutan pemanfaatan Padi Bt PRG dari dimensi teknologi
telah dilakukan dengan mempelajari kasus-kasus dalam pengembangan PRG di Indonesia. Selanjutnya atribut-atribut tersebut dinilai pakar sesuai dengan perkembangan di bidang teknologi rekayasa genetik. Terdapat empat atribut yang menjadi bahan kajian yaitu: 1) Jumlah PRG yang telah dilepas atau dikomersialisasikan, 2) Jumlah SDM yang memiliki kemampuan dalam melakukan riset rekombinan DNA, 3) Kemampuan (capacity building) dalam melakukan pengujian dan pengkajian keamanan hayati, 4) Kemampuan SDM dalam melakukan riset rekombinan DNA. Kajian bidang teknologi melengkapi kajian ekologi, ekonomi dan sosial yang dapat menentukan keberlanjutan pemanfaatan PRG. Sebagai hasil teknologi baru, pengembangan PRG memerlukan kemampuan penguasaan teknologi baik dalam pengembangan, pengujian, pengkajian dan pengelolaan risiko, terutama
98
terhadap kemungkinan dampaknya pada lingkungan dan kesehatan manusia. Kemampuan dan jumlah SDM yang belum memadai, merupakan salah satu hambatan dalam pengembangan tanaman PRG. Indikasinya dapat dilihat dari jumlah PRG yang dapat dihasilkan oleh Litbang sendiri yang sangat terbatas. Sejak kegiatan pengembangan PRG dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1990an sampai tahun 2012, hanya satu PRG yang dapat dilepas dan dinyatakan aman lingkungan dan aman pangan yaitu tanaman tebu toleran kekeringan (event NXI1T, NXI-4T dan NXI-6T), yang dihasilkan oleh Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara XI (PTPN XI) di Jawa Timur (Laporan KKH PRG 2012). Menurut hasil penelitian Bahagiawati et al. (2003), selain faktor teknologi, terdapat faktor pembiayaan yang menjadi hambatan dalam pengembangan PRG di Indonesia. Selanjutnya ditambahkan oleh Bahagiawati et al. (2008), bahwa pembiayaan penelitian bidang bioteknologi belum menjadi prioritas utama pemerintah. Berdasarkan hasil analisis Rap-PRG pada dimensi teknologi, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 46.71% berarti dengan status kurang berkelanjutan karena nilainya berada antara 25.01-50.00%. Hasil analisis keberlanjutan dimensi teknologi disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi pengelolaan PRG
99
Kondisi
kurang
berkelanjutan
untuk
dimensi
teknologi,
akan
mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan PRG di Indonesia, oleh karena itu perlu dilakukan perubahan dan intervensi terhadap atribut-atribut pengungkit, supaya indeks keberlanjutan dapat ditingkatkan. Selain jumlah PRG yang dapat dihasilkan sendiri, terdapat faktor keterbatasan kemampuan dalam melakukan riset di bidang rekayasa genetik (RMS=2.68). Atribut ini perlu diperbaiki dengan memacu dan meningkatkan kemampuan dalam menguasai teknologi tersebut melalui pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan. Sugandhy & Hakim (2009) menyatakan bahwa salah satu strategi dan kegiatan yang harus dilakukan dalam pengembangan teknologi pembangunan berkelanjutan adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia, mengembangkan pusat-pusat penelitian, meningkatkan kerja sama antara instansi yang terkait dalam merumuskan kebijakan,
membuat
perumusan
dan
pengembangan
kebijakan
dalam
mengantisipasi dampak kerusakan terhadap lingkungan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi berwawasan lingkungan yang sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di Indonesia. Di dalam PP 21/2005 khususnya pasal 3 dijelaskan bahwa pengaturan keamanan hayati di Indonesia, untuk PRG menggunakan pendekatan kehati-hatian dalam rangka mewujudkan keamanan lingkungan, keamanan pangan dan/atau keamanan pakan yang berdasarkan pada metode ilmiah yang sahih dengan mempertimbangkan kaidah agama, etika, sosial budaya dan estetika.
100
Gambar 11. Hasil analisis leverage pada dimensi teknologi pengelolaan PRG
Dari hasil analisis leverage yang disajikan pada Gambar 11, diperoleh dua atribut sensitif yang mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi teknologi yaitu: 1) Jumlah PRG yang telah dilepas dan memperoleh izin peredaran di Indonesia (RMS=3.60), 2) Kemampuan SDM dalam riset rekombinan DNA (RMS = 2.68). Dari dua atribut sensitif tersebut, diketahui bahwa perubahan yang dilakukan, diharapkan dapat merubah dimensi teknologi secara keseluruhan dengan nilai indeks keberlanjutan yang lebih tinggi. Implementasinya akan dan berimplikasi terhadap jumlah PRG yang dapat dihasilkan, sehingga kemandirian di bidang teknologi bisa tercapai. Perubahan yang dilakukan pada dua atribut kunci, dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap indeks keberlanjutan dimensi teknologi.
5. Status Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan Berdasarkan analisis keberlanjutan pemanfaatan Padi Bt PRG dari dimensi kelembagaan, telah disusun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberlanjutan di bidang kelembagaan. Selanjutnya responden pakar diminta memberi penilaian terhadap faktor-faktor yang berpengaruh tersebut, hasil dalam bentuk rata-rata
101
geometris diolah dan dianalisis. Terdapat sembilan atribut pada dimensi hukum kelembagaan untuk diketahui tingkat keberlanjutannya. Berdasarkan hasil analisis Rap-PRG diperoleh nilai indeks keberlanjutan dari dimensi hukum kelembagaan sebesar 54.74% yang berarti cukup berkelanjutan karena terletak antara 50.01-75.00% (Gambar 12). Keadaan ini merupakan
gambaran
kondisi
hukum
kelembagaan
terhadap
kebijakan
pengelolaan PRG. Status keberlanjutan sebesar 54.74%, sangat rentan untuk menjadi kurang berkelanjutan. Di dalam UU No 32/2009 telah dicantumkan sanksi denda dan hukuman pidana terhadap seseorang atau kelompok yang melanggar pemanfaatan PRG di Indonesia. Demikian juga dengan peraturan dan regulasi yang mengatur keamanan hayati PRG telah cukup tersedia, hanya perlu dilengkapi dan dilaksanakan secara tegas oleh masing-masing kelembagaan terkait. Selain itu diperlukan perbaikan pada faktor-faktor kunci supaya angka keberlanjutan dapat diperbaiki. Kelengkapan peraturan serta kelembagaan mengenai keamanan hayati dalam pengelolaan PRG dianggap telah mencukupi. Pengaturan dan koordinasi diantara lembaga pemerintahan yang terkait dengan pengelolaan PRG sangat menentukan keberlanjutan pengembangan teknologi rekayasa genetik di Indonesia.
Gambar 12. Nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum kelembagaan pengelolaan PRG
102
Gambar 13. Hasil analisis leverage pada dimensi hukum kelembagaan pengelolaan PRG Berdasarkan hasil analisis leverage yang disajikan pada Gambar 13, diperoleh dua atribut utama yang memiliki pengaruh sensitif terhadap indeks keberlanjutan hukum kelembagaan yaitu: 1) Peraturan perundang-undangan tentang PRG (RMS=2.50), dan 2) Pelabelan (labelling) untuk PRG (RMS = 2.29). Hasil analisis leverage atau analisis sensitivitas pada kedua atribut utama berkaitan dengan status keberlanjutan, jika dilakukan perbaikan dengan menerapkan setiap aturan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan terhadap dua atribut ini, maka indeks keberlanjutan dapat berubah menjadi lebih baik. Untuk atribut peraturan dan perundang-undangan PRG, di Indonesia sudah dapat terakomodir dari sejumlah peraturan dan undang-undang yang tersedia saat ini. Tetapi masih terdapat beberapa aspek terkait pengelolaan PRG yang belum dicantumkan dalam peraturan. Secara umum peraturan mengenai keamanan hayati PRG dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 21/2005 telah memuat ketentuan pengelolaan PRG di Indonesia. Tetapi dalam menerapkan peraturan tersebut diperlukan pedoman teknis pengujian PRG. Pedoman teknis yang telah diselesaikan sampai tahun 2013 ini adalah pedoman pelaksanaan teknis untuk keamanan pangan dan lingkungan, sedangkan pedoman pengujian keamanan
103
pakan dan pedoman pelaksanaan penelitian dan pengembangan PRG di Laboratorium dan
FUT belum dapat diselesaikan. Selain itu sesuai dengan
ketentuan di dalam PP 21/2005 terdapat ketentuan monitoring terhadap pelaksanaan penelitian dan pengembangan PRG di lapangan, yang perlu dibuatkan peraturan pelaksanaannya. Karena belum lengkapnya pedoman teknis dalam pelaksanaan pengujian PRG di Indonesia, menjadi hambatan dalam strategi pengelolaan berkelanjutan PRG. Pada atribut pelabelan (labelling) terhadap PRG baik dalam bentuk olahan atau produk segar, yang telah ditetapkan jauh sebelumnya didalam PP 69/1999, masih belum diterapkan di lapangan sampai saat sekarang oleh lembaga yang berwenang. Hal ini disebabkan karena berbagai permasalahan yang belum dapat diselesaikan. Keadaan ini semakin menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan masyarakat sehingga melahirkan kelompok-kelompok yang kontra dan menentang keberadaan PRG sebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan pembangunan pertanian berkelanjutan. Ketertinggalan negara-negara berkembang dalam mengadopsi teknologi modern lebih disebabkan karena kurangnya kemampuan dalam pengujian keamanan hayati dan mekanisme peraturan terkait perkembangan bioteknologi, sehingga menjadi kelemahan dan keterlambatan aplikasi PRG di negara pihak pengimpor (Araya-Quesada et al. 2005). Negara pengimpor berhak mengambil suatu keputusan yang sesuai sehubungan dengan impor PRG dengan maksud untuk menghindari atau meminimalkan potensi yang mengakibatkan kerugian, seperti yang dicantumkan pada pasal 11 Protokol Cartagena terutama pemanfaatan langsung PRG sebagai pangan atau pakan.
6. Status Keberlanjutan Multidimensi Pengelolaan Kebijakan PRG Hasil analisis dengan menggunakan Rap-PRG terhadap nilai indeks keberlanjutan untuk masing-masing dimensi. sebagai berikut yaitu dimensi ekologi sebesar 73.02% dengan status cukup berkelanjutan. Dimensi ekonomi 69.30% dengan status cukup berkelanjutan, dimensi sosial kemasyarakatan 51.22% dengan status cukup berkelanjutan, dimensi teknologi sebesar 46.71% dengan status kurang berkelanjutan, dimensi hukum kelembagaan 54.74% dengan
104
status cukup berkelanjutan. Berdasarkan uji multidimensi keberlanjutan pemanfaatan padi Bt PRG yang merupakan gabungan dari seluruh dimensi yang dikaji, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 58.99% yang tergolong pada status cukup berkelanjutan. Uji validitas dengan analisis Monte Carlo dan analisis MDS pada taraf kepercayaan 95% diperoleh bahwa nilai indeks keberlanjutan pemanfaatan Padi Bt PRG menunjukkan adanya selisih nilai rata-rata kedua analisis tersebut berkisar dari 0.19 – 1.37% (Tabel 2). Menurut uji validitas, model analisis MDS yang dihasilkan memadai untuk menduga nilai indeks keberlanjutan pemanfaatan Padi Bt PRG. Perbedaan nilai yang diperoleh tidak banyak mengalami perubahan dengan hasil analisis Rap-PRG. Hal ini berarti bahwa kesalahan dalam analisis dapat diperkecil dengan memperbaiki pemberian skoring setiap atribut. Variasi pemberian scoring karena perbedaan opini dan proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang relatif stabil, serta kesalahan dalam menginput data dan data hilang dapat dihindari (Fauzi & Anna 2005). Analisis Monte Carlo juga dapat digunakan sebagai metoda simulasi untuk mengevaluasi dampak kesalahan acak/galat (random error) dalam analisis statistik yang dilakukan terhadap seluruh dimensi (Pitcher & Preikshot 2001). Tabel 2. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan analisis Rap-PRG Nilai Indeks Keberlanjutan (%) Dimensi Keberlanjutan
Perbedaan MDS
Monte Carlo
Ekologi
73.02
71.65
1.37
Ekonomi
69.30
68.26
1.04
Sosial Masyarakat
51.22
51.31
0.09
Teknologi
46.71
47.05
0.34
Hukum dan Kelembagaan
54.74
54.93
0.19
Hasil analisis Rap-PRG menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji terhadap status keberlanjutan dalam pengelolaan pemanfaatan Padi Bt PRG, cukup akurat sehingga diperoleh hasil analisis untuk uji ketepatan (goodness of 105
fit) yang dapat dipertanggungjawabkan. Nilai stress berkisar antara 13.35 sampai 15.16% dan nilai koefisien determinasi (R2) berkisar antara 0.94 dan 0.95. Hasil analisis cukup memadai apabila nilai stress lebih kecil dari 0.25 (25%) dan nilai koefisien determinasi (R2) mendekati 1.0 (100%). Adapun nilai stress dan koefisien determinasi seperti yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai stress dan koefisien determinasi (R2) hasil analisis Rap-PRG No
Dimensi Keberlanjutan
Parameter
Ekologi
Stress (%) 13.35
R2 0.95
Ekonomi
13.48
0.95
Sosial Masyarakat
15.16
0.94
Teknologi
14.30
0.95
Hukum dan Kelembagaan
14.80
0.95
Agar nilai indeks ini di masa yang akan datang dapat meningkat mencapai status berkelanjutan (sustainable), perlu perbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif dan memberi pengaruh terhadap nilai dari indeks dimensi ekologi, ekonomi, sosial masyarakat, teknologi serta hukum dan kelembagaan. Gambar diagram layang (kite diagram) yang menggambarkan status keberlanjutan secara terintegrasi antara dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi teknologi dan dimensi hukum kelembagaan dari Rap-PRG yang disajikan pada Gambar 14.
106
Gambar 14. Diagram layang ( kite diagram) nilai indeks keberlanjutan pengelolaan Padi Bt PRG
b. Faktor Pengungkit dalam Kebijakan Pengelolaan Padi Bt PRG Berkelanjutan Hasil analisis tiga puluh enam atribut dari lima dimensi (ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan hukum kelembagaan) diperoleh 15 atribut sensitif sebagai faktor pengungkit (leverage factor) terhadap masing-masing dimensi secara parsial. Sebagai faktor pengungkit, ada atribut yang perlu ditingkatkan kinerja dan sebagian yang lain perlu dijaga kinerja dalam pengelolaan pemanfaatan Padi Bt PRG sehingga nilai indeks keberlanjutan ke depan menjadi lebih baik. Oleh sebab itu perlu intervensi dalam meningkatkan kinerja atribut untuk menaikkan status keberlanjutan pemanfaatan Padi Bt PRG. Faktor
pengungkit
(leverage
factor)
yang
perubahannya
dapat
mempengaruhi secara sensitif terhadap peningkatan indeks keberlanjutan. Lima belas atribut sensitif yang dikumpulkan dari setiap dimensi, dengan jumlah lima atribut pengungkit dari dimensi ekologi, empat atribut pengungkit dari dimensi ekonomi, dua atribut pengungkit dari dimensi sosial, dua atribut pengungkit dari dimensi teknologi dan dua atribut pengungkit dari dimensi kelembagaan. Terhadap faktor-faktor pengungkit tersebut dapat dilakukan perbaikan atau
107
perubahan sesuai dengan tujuan keberlanjutan pada masing-masing dimensi. Perbaikan yang dilakukan harus berdasarkan hasil penelitian dan data ilmiah yang telah tersedia sebelumnya agar keberlanjutan dari atribut-atribut sensitif dapat ditingkatkan sesuai dengan target keamanan hayati dalam pelaksanaan pengujian dan pengkajian risiko PRG. Kebijakan pengelolaan tanaman PRG juga dapat dijaga keberlanjutannya dengan memperbaiki atribut-atribut yang sensitif, kecuali untuk dimensi teknologi yang masih termasuk kategori kurang berkelanjutan, harus dilakukan intervensi dan perubahan supaya keberlanjutan di bidang teknologi rekayasa genetik dapat tercapai dengan memanfaatkan sumber daya alam yang kita miliki. Faktor-faktor pengungkit tersebut disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Atribut sensitif keberlanjutan kebijakan pengelolaan PRG sebagai faktor pengungkit dari setiap dimensi No. 1
2
3
4.
5.
108
Dimensi Ekologi (5)
Ekonomi (5)
Sosial ( 2)
Teknologi (2)
Hukum Kelembagaan (2)
Faktor Pengungkit (leverage factor)
RMS
1. Perpindahan (crossing) material genetik dari Padi Bt PRG ke tanaman padi non PRG 2. Dampak Padi Bt PRG terhadap organisme perairan. 3. Pengaruh Padi Bt PRG pada organisme non target dan keanekaragaman hayati potensial 4. Potensi tanaman PRG menjadi gulma 5. Keamanan PRG terhadap kesehatan manusia 6. Tingkat ketergantungan petani terhadap benih PRG 7. Harga beli benih PRG yang terjangkau
10.21
8. Peningkatan pendapatan petani
5.13
9. Stabilitas produksi . 10. Ketersediaan informasi bagi masyarakat mengenai PRG 11. Penerimaan dan persepsi masyarakat 12. Jumlah PRG yang telah dilepas dan memperoleh izin peredaran di Indonesia 13. Kemampuan SDM dalam riset rekombinan DNA 14. Peraturan perundang-undangan tentang PRG 15. Pelabelan (labelling) terhadap PRG
4.45 4.04 3.65 3.50 9.49 6.45
4.25 1.01 1.06 3.60 2.68 2.50 2.29
KESIMPULAN 1. Status keberlanjutan kebijakan pengelolaan tanaman PRG secara multidimensi menunjukkan kondisi yang tergolong cukup berkelanjutan dengan nilai 58.99%. Sedangkan kondisi keberlanjutan untuk masing-masing dimensi adalah 73.02% untuk dimensi ekologi, dimensi ekonomi 69.30%, dimensi sosial 51.22% dan dimensi hukum kelembagaan 54.74%, semuanya tergolong cukup berkelanjutan. Sedangkan untuk dimensi teknologi, diperoleh nilai keberlanjutan 46.71%, nilai ini tergolong kurang berkelanjutan. 2. Terdapat 15 atribut sensitif yang merupakan faktor pengungkit untuk setiap dimensi yang dikaji. Lima belas faktor ini memiliki potensi untuk dipertahankan atau diintervensi agar berubah menjadi lebih baik dengan indikasi terjadinya kenaikan indeks keberlanjutan.
Saran 1. Disarankan untuk menambah atribut keefektifan Padi Bt terhadap terhadap serangan hama target, karena pemanfaatan Padi Bt secara terus menerus di lapangan tanpa melakukan pengelolaan risiko dapat meningkatkan resistensi hama pada tanaman Padi Bt. Atribut ini bisa dimasukkan pada dimensi teknologi, karena melalui teknologi rekayasa genetik dapat dikembangkan tanaman yang dapat mematahkan ketahanan hama terhadap Padi Bt. 2. Atribut pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur yang lebih memadai, juga disarankan untuk ditambahkan pada dimensi teknologi, untuk memperbaiki
indeks
keberlanjutan
pada
dimensi
teknologi.
Karena
pengembangan teknologi rekayasa genetik tidak mungkin dilakukan tanpa ketersediaan fasilitas dan pendanaan yang cukup.
109
ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN PRODUK REKAYASA GENETIK BERKELANJUTAN DENGAN METODE PENGAMBILAN KEPUTUSAN Policy Analysis of Sustainable Genetically Engineered Product Management Using Decision Making Method Deswina P1), Syarief R2), Rachman LM 3), Herman M 4) 1)
Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor dan Staf Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, 2) Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 3)Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, 4) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Kementerian Pertanian
ABSTRAK Produk rekayasa genetik (PRG) merupakan hasil teknologi modern yang membutuhkan strategi kebijakan dalam pengelolaan mulai dari tahap penelitian dan pengembangan sampai tahap pengujian keamanan hayati. Pendekatan secara terpadu dan holistik berdasarkan kajian ilmiah terhadap lingkungan, kajian sosial ekonomi berdasarkan peraturan dan kelembagaan telah dilakukan agar pemanfaatan PRG tidak merugikan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui prioritas kebijakan terhadap pengelolaan PRG berkelanjutan dengan metode pengambilan keputusan. Hasil perumusan kebijakan berdasarkan justifikasi pakar dengan AHP (Analytical Hierarchy Process) terbagi atas empat level yaitu level tujuan, faktor, kriteria dan alternatif. Hasil sintesis pakar terhadap faktor lingkungan, ekonomi, sosial dan teknologi, memberikan nilai eigen (bobot) yang hampir sama. Terjadinya perpindahan material genetik (gene flow) dari tanaman PRG ke tanaman non PRG merupakan elemen yang paling penting untuk diperhatikan pada kriteria lingkungan, dengan nilai bobot 0.278. Sedangkan peningkatan pendapatan petani dengan nilai eigen 0.358, yang tertinggi untuk kriteria ekonomi. Keamanan PRG terhadap kesehatan manusia (0.464) adalah elemen yang lebih diutamakan untuk kriteria sosial. Terakhir kemampuan SDM dalam melakukan pengujian keamanan hayati (0.580) merupakan elemen paling penting untuk aspek teknologi. Berdasarkan alternatif yang disusun pakar, elemen law enforcement terhadap peraturan dan undangundang memperoleh nilai paling tinggi (0.187). Dari matriks kuadran ISM (Interpretative Structural Modelling), elemen-elemen alternatif tersebar pada tiga kuadran dependence, linkage dan independent. Kata kunci: Analisis kebijakan, tanaman PRG, keamanan hayati, nilai eigen, AHP, ISM
110
ABSTRACT Genetically engineered product (GEPs) is the result of modern technology that require policy strategies on its management ranging from research and development stage to biosafety testing stage. An integrated and holistic approach; based on scientific to environment, socio-economic studies based on rules and institutions, has been done in order to the usage of GEP to be not detrimental for the human health and for the environment. This study aims to determine policy priorities for sustainable management of GEPs using decision-making method . The outputs of policy making based on experts justification by AHP (Analytical Hierarchy Process) method, are divided into four levels, they are: Focus, Factor, Criteria and Alternative ways level. The synthesized of experts justifications on environmental, economic, social and technological factors, give a nearly equal eigen values to the previous four levels, so they are concluded in having the same priority in managing GEP. The gene flow of Genetically Engineered Crop (GEC) to non GEC is the most important element to be considered with the eigen values 0.278. The increase of farmer’s income with eigen values 0.358 is considered as the most important criteria of economic factor. GEPsafety to human health (0.464) is the preferred social elements. Last but not least, the human resource capability in doing biosafety test (0.580) is the most important criteria for the technology factor. Based on the alternatives compiled by the experts, law enforcement elements of the rules must be done by 0.187 eigen values. Also based on ISM (Interpretative Structural Modelling) quadrant matrix, alternative elements are scattered into three quadrants; dependence, linkage and independent. Keywords: Genetically Engineered Products (GEPs), Policy analysis of GEPs, biosafety, environmental safety, eigen value, AHP, ISM
PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan salah satu industri paling strategis dalam pembangunan nasional berkelanjutan di Indonesia, maka perlu dilakukan pengembangan dengan inovasi teknologi dalam rangka meningkatkan produksi untuk ketahanan pangan nasional. Selama ini sektor pertanian turut memberikan kontribusi keuntungan terhadap perekonomian nasional sebesar lebih kurang 20% (Mitchel et al. 2007). Permasalahan sektor pertanian di Indonesia sangat bervariasi terutama rentan (vulnerable) terhadap variabilitas dan perubahan iklim akibat pemanasan global sehingga mempengaruhi kualitas dan kuantitas produksi
111
pertanian. Faktor-faktor eksternal lainnya banyak mempengaruhi terhadap penurunan produksi pertanian yang diprediksi akan menurunkan produksi padi dunia sampai 41% (Ceccarelli et al. 2010, Shah et al. 2011). Berbagai upaya perbaikan mutu tanaman telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan produktifitas tanaman, tetapi keterbatasan lahan dan cepatnya pertambahan penduduk masih menjadi kendala. Diperlukan inovasi teknologi untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul. Salah satu teknologi yang dapat dipergunakan untuk mengatasi permasalahan ini adalah teknik bioteknologi modern dengan rekayasa genetik (Manshardt 2004). Teknologi ini telah dimanfaatkan untuk perbaikan sifat/karakter tanaman, meliputi sifat ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik (Josine et al 2011). Diperlukan kebijakan nasional dalam mengelola produk rekayasa genetik (PRG) sebelum produk tersebut dilepas atau dikomersialisasikan kepada masyarakat agar sistem pertanian berkelanjutan tercapai. Kebijakan pengelolaan PRG meliputi di bidang ekonomi, lingkungan, sosial, teknologi dan kelembagaan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Analisis kebijakan pengelolaan merupakan bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi yang relevan sebagai landasan bagi para pengambil kebijakan dalam membuat suatu keputusan terkait dengan masalah-masalah publik (Dunn 2003). Kebijakan merupakan perangkat pedoman yang memberikan arah terhadap pelaksanaan
strategi
pembangunan
berkelanjutan
dan
berfungsi
untuk
memberikan rumusan mengenai berbagai pilihan tindakan dan prioritas agar dapat mencapai tujuan pembangunan dengan efektif. Analisis kebijakan merupakan suatu analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat memberikan landasan dari para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan. Pengambilan keputusan dalam sebuah kebijakan hampir dapat dipastikan didasarkan pada adanya berbagai masalah yang saling terkait dan kompleks. Oleh karena itu analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin ilmu dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, valuatif dan prospektif sehingga dapat memberikan rekomendasi kepada pemerintah (Quade 1975 dalam Dunn 2003). Kebijakan terhadap pengelolaan PRG berkelanjutan diwujudkan dalam bentuk produk hukum seperti Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP)
112
dan lain sebagainya. Terkait dengan hal ini telah dikeluarkan PP mengenai Keamanan Hayati PRG dan peraturan pendukung lainnya. Untuk aturan kelembagaan terhadap pengelolaan PRG telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 39/2010. Menyangkut sanksi hukum terhadap pelanggaran pelaksanaan dalam pengelolaan PRG telah dicantumkan di dalam UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sanksi hukum yang terdapat di dalam UU 32/2009, diberlakukan terhadap pelanggaran atau penyalahgunaan pemanfaatan PRG, dimana ancaman hukuman berupa denda uang dan hukum pidana (kurungan). Sanksi ini diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap keselamatan lingkungan dan keanekaragaman hayati serta proteksi terhadap kesehatan manusia. Setiap kebijakan yang dibuat harus memiliki regulasi yang jelas, sehingga dapat digunakan sebagai landasan hukum dalam pengelolaan PRG berkelanjutan. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat analisis dan arahan kebijakan yang kemudian distrukturisasi ke dalam nilai-nilai kuantitatif guna memperoleh strategi dan alternatif dalam pengelolaan PRG.
METODE ANALISIS DATA Metode analisis data yang digunakan dalam mengkaji kebijakan dan regulasi terkait pengelolaan PRG adalah analisis isi (content analysis) yang bersifat deskriptif evaluatif yang berhubungan dengan masa lalu sekaligus prediktif dan preskriptif yang berhubungan dengan masa depan. Analisis Analytical Hierarchy Process (AHP) dan Interpretative Structural Modelling (ISM) digunakan dalam pengambilan keputusan terhadap strategi prioritas dalam kebijakan pengelolaan tanaman PRG.
a. Analisis Isi (Content analysis) Analisis ini merupakan salah satu teknik penelitian yang digunakan untuk menganalisis
dokumen-dokumen
tertulis
yang
dapat
digunakan
untuk
menjelaskan berbagai kelembagaan atau peraturan terkait dengan pengelolaan PRG. Selain itu juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi karakter-karakter lainnya serta mengungkapkan fokus perhatian dari masalah yang dikaji. Teknik
113
penelitian dengan analisis isi dapat berupa teknik kualitatif dan kuantitatif yang sistematis dan dapat diaplikasikan untuk memahami dan menjelaskan aspek-aspek yang dikaji. Teknik ini merupakan teknik kualitatif yang menjelaskan dan menganalisis frekuensi kata, frasa, atau kalimat yang terkandung dalam dokumen tertulis yang mengasumsikan bahwa frekuensi tertinggi dapat diartikan sebagai refleksi dari perhatian yang besar dari variabel tersebut (Saaty 2008).
Hasil
penelaahan dan tingkat intensional, fokus kebijakan dan aturan dari kebijakan tersebut dapat dipetakan menurut frekuensi dan proporsi dari aspek kunci yang terkait dengan topik yang dibahas. Hasil dapat disajikan dalam bentuk tabel atau tabulasi yang menunjukkan kecenderungan proporsi aspek kunci dari setiap peraturan yang dikaji. Untuk mengetahui fokus kebijakan yang diambil pemerintah terhadap PRG, telah dilakukan telaah yang lebih dalam dan detail dari peraturan-peraturan yang terkait dengan pengelolaan PRG. Hasil penelaahan ditampilkan dalam tabel yang menunjukkan kecenderungan aspek-aspek kunci dalam setiap peraturan yang dipetakan. Analisis isi dilakukan pada peraturan-peraturan terkait PRG yaitu UU No 12/ 1992 tentang Sistem Budidaya Pertanian, yang diikuti dengan Permentan No.67/2006 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan SDG Tanaman serta Permentan No 61/2011 tentang Pengujian, penilaian, pelepasan dan penarikan varietas tanaman. Mengenai keamanan hayati PRG, telah ditetapkan dalam UU No. 21/2004 tentang Pengesahan Protokol Cartagena, UU 32/ 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Keputusan Menteri Pertanian 1997 tentang Ketentuan Keamanan Hayati Produk Bioteknologi Pertanian Hasil Rekayasa Genetik, Surat Keputusan Bersama (SKB) Mentan, Menhutbun, Menkes, dan Meneg Pangan dan Hortikultura 29 September 1999 tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan, yang diikuti dengan PP No 21/2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Di dalam Peraturan Menteri LH No 25 Tahun 2012 telah diatur tatacara dan Pedoman Analisis Risiko Lingkungan PRG. Terkait dengan keamanan pangan telah dibuat UU No.18/2012 mengenai Pangan menggantikan UU No 7/1996, selanjutnya PP No.28/2004 mengenai Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan, serta Peraturan Kepala Badan POM mengenai
114
Pedoman
Pengkajian
Keamanan
Pangan
PRG
No
HK
03.1.23.03.12.1563 Tahun 2012. Mengenai aturan kelembagaan pengelolaan PRG telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 39 / 2010 tentang Kelembagaan KKH PRG, yang diikuti oleh Surat Keputusan KKH PRG No 1/2011 tentang pembentukan TTKH PRG.
b. Analisis Hirarki Proses (AHP)
AHP (Analytical Hierarchy Process) digunakan untuk menentukan elemen-elemen kunci untuk ditangani. Analisis ini diharapkan mampu menyelesaikan
persoalan-persoalan
yang
komplek
sehingga
dapat
disederhanakan.dan dipercepat proses pengambilan keputusannya. Metode ini menggunakan knowledge sebagai alat analisis dan interpretasi dalam memecahkan situasi kompleks dan tidak berstruktur kedalam bagian komponen yang tersusun secara hirarki baik struktural maupun fungsional. Penggunaan metode ini didasarkan pada sistem yang diamati, bersifat kompleks dengan jumlah pelaku yang lebih majemuk (Marimin 2004). Dalam AHP didasarkan pada hasil pendapat pakar (expert judgement) untuk menjaring berbagai informasi dari beberapa elemenelemen yang berpengaruh dalam penyelesaian suatu persoalan. Metode AHP yang digunakan dalam pengambilan keputusan yang diidentifikasi oleh pakar, dikembangkan oleh Saaty (2008). Metode AHP memiliki keunggulan dan keunikan dalam pengambilan keputusan, yang terdapat dalam kemampuannya untuk menguraikan masalah secara terstruktur dalam bentuk hirarki. Masalah yang sebelumnya terdapat dalam sebuah sistem yang kompleks akan diuraikan secara hirarki menjadi sub elemen yang lebih sederhana, selain itu dengan AHP juga dapat dilihat relasi antar sub-sub elemen yang komplek. Penguraian persoalan secara hirarki akan mempermudah pemahaman penyelesaian masalah sampai ke akar penyebabnya. Penguraian secara hirarki dalam metode AHP didasarkan pada pencapaian tujuan, faktor yang berpengaruh, penentuan kriteria dan penetapan alternatif kebijakan (Marimin 2005). Keharusan nilai numerik pada setiap variabel masalah membantu pengambil keputusan mempertahankan pola pikiran yang kohesif dan mencapai suatu kesimpulan. Penilaian alternatif dan kriteria ini didapatkan dari kuisioner yang diberikan dan diisi oleh pakar yang
115
berkepentingan dari berbagai multi disiplin keilmuan mewakili kelompok dari lembaga penelitian, perguruan tinggi dan perusahaan swasta. Penyusunan secara hirarki dalam AHP mencerminkan pemikiran untuk memilahkan elemen sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa pada tiap tingkat. Tingkat puncak yang disebut fokus hanya satu elemen yaitu sasaran keseluruhan yang sifatnya luas. Tingkat berikutnya masing–masing dapat memiliki beberapa elemen. Pada analisis AHP ini, urutan prioritas setiap elemen dinyatakan dalam nilai numerik atau persentase.
c. Interpretative Structural Modeling (ISM) Dalam menentukan lembaga yang paling berperan terhadap kebijakan pengelolaan
PRG
serta
kendala-kendala
yang
ditemukan
dalam
penyelenggaraannya ditentukan dengan menggunakan pendekatan metode Interpretative Structural Modeling (ISM) yang dikembangkan oleh Saxena (1992) dalam Eriyatno (2007).
Metode ini dapat digunakan dalam mengidentifikasi
hubungan kontekstual antar sub elemen dari setiap eleman yang membentuk suatu sistem berdasarkan gagasan atau struktur penentu dalam sebuah masalah yang kompleks. Beberapa kategori struktur atau gagasan tadi mencerminkan hubungan kontekstual antar elemen dapat dikembangkan dengan menggunakan ISM, seperti struktur pengaruh (misal; sub elemen Ei mempengaruhi munculnya sub elemen Ej), struktur prioritas (misal; sub elemen Ei lebih prioritas daripada sub elemen Ej), atau gagasan kategori (misal; sub elemen Ei memiliki kategori yang sama dengan sub elemen Ej). Data-data dalam pengolahan ISM merupakan kumpulan pendapat beberapa pakar sewaktu dilakukan wawancara mendalam mengenai institusi atau lembaga yang terkait dalam pengelolaan PRG sehingga diperoleh formulasi kebijakan pengembangan PRG yang berkelanjutan dan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Elemen-elemen yang dipilih dalam melakukan analisis kebijakan kelembagaan ini adalah elemen aktor/lembaga yang paling berperan dan kendala atau permasalahan utama yang mempengaruhi kebijakan pengelolaan PRG.
116
Klasifikasi sub elemen dalam satu elemen berdasarkan pada olahan Reachability Matrix (RM) diperoleh nilai Driver Power Dependence. Klasifikasi sub elemen dikelompokkan dalam empat sektor: 1. Sektor 1:Weak driver-weak dependent variabels (Autonomous): Peubah disektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan kemungkinan memiliki hubungan sedikit, meskipun bisa saja hubungan tersebut menjadi kuat. 2. Sektor 2:Weak driver-strongly dependent variabels (Dependent): Umumnya peubah yang terdapat disini merupakan peubah yang tidak bebas 3. Sektor 3:Strong driver-strongly dependent variables (Linkage): Peubah di sektor III ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan yang terdapat dalam peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap yang lainnya dan kebalikan pengaruhnya bisa memperbesar dampak. 4. Sektor 4: Strong driver-weak dependent variable (Independent): Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut juga dengan peubah bebas.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kajian Peraturan dan Undang-undang Keamanan Hayati PRG Analisis isi terhadap peraturan dan perundang-undangan dimulai dengan menyusun dan mengidentifikasi peraturan-peraturan yang terkait dengan obyek yang diteliti, selanjutnya mencari (spotlight) pasal-pasal yang menyebut tentang PRG, kemudian dianalisis dan diidentifikasi kaitannya dengan PRG. Hasil identifikasi, telah diperoleh sejumlah peraturan-peraturan yang dapat dipetakan menjadi sebelas peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan keamanan hayati PRG di Indonesia. Peraturan-peraturan tersebut disajikan pada Tabel 1, sedangkan kandungan isi menurut pasal-pasal terkait dari setiap peraturan dan undang-undang tersebut ditampilkan pada Lampiran 4.
117
Tabel 1. Peraturan-peraturan terkait pemanfaatan PRG di Indonesia No 1. 2.
3. 4. 5. 6.
7.
8. 9. 10.
11.
12. 13. 14.
Peraturan perundangundangan terkait
Kajian Isi
Keterangan terkait PRG
UU No 12/ 1992
Sistim Budidaya Pasal 8 dan 12 Tanaman SKB Mentan, Menhutbun, Keamanan Hayati dan Semua pasal Menkes, dan Meneg Keamanan Pangan Pangan dan Hortikultura 29 Produk Pertanian Hasil September 1999 Rekayasa Genetik PP No 69/ 1999 Label dan Iklan Pangan Pasal 35 ayat 1-2 UU No. 21/2004 Pengesahan Protokol Semua pasal Cartagena PP No.28/2004 Keamanan, Mutu, dan Pasal 14 ayat Gizi Pangan 1-5 PP No 21/2005 Keamanan Hayati Semua pasal Produk Rekayasa Genetik UU 32 / 2009 Perlindungan dan Pasal 69 ayat Pengelolaan 1 dan 101 Lingkungan Hidup Perpres No 39/2010 Komisi Keamanan Semua pasal Hayati Surat Keputusan (SK) Ketua Pembentukan TTKH KKH PRG No 1/2011 PRG PerMenTan No 37/ 2011 Pelestarian dan Pemanfaatan SDG Tanaman PerMenTan No 61/2011 Pengujian, Penilaian,Pelepasan dan Penarikan Varietas Tanaman Permen LH No 25/2012 Pedoman Analisis Risiko Lingkungan UU No 18/2012 Pangan
Semua pasal Pasal 58
Pasal 1, 8-10, 13,16, 23, 25
Semua pasal
Pasal 69 dan 77 Peraturan Kepala Badan Pedoman Pengkajian Semua pasal POM RI No HK. Keamanan Pangan 03.1.23.03.12.1563/ 2012 PRG Dari hasil identifikasi isi peraturan dan perundang-undangan, dapat
dikategorikan 18 aspek kunci. Aspek-aspek kunci tersebut adalah bioteknologi, proses rekayasa genetik atau organisme hasil modifikasi genetik, produk rekayasa genetik (PRG), pengujian, dampak, keamanan lingkungan, keamanan pangan,
118
keamanan pakan, keanekaragaman hayati, pengkajian risiko (Risk assessment), pengelolaan risiko (Risk management), komunikasi risiko (Risk communication), analisis risiko, pengendalian, keberlanjutan, perpindahan gen (persilangan), kesehatan manusia, dan (masukan) masyarakat. Hasil pembahasan terhadap kandungan isi dari regulasi-regulasi tersebut, beserta kajian proporsi sebaran aspek kunci digambarkan lebih jelas di dalam Tabel 2. Dari hasil pembahasan menggunakan metode analisis isi terhadap peraturan dan perundang-undangan yang disajikan pada Tabel 2, yang terdiri atas delapan belas aspek kunci yang ditelaah berdasarkan persentase proporsi kata atau frasa yang terkandung dalam peraturan-peraturan tersebut, diperoleh jumlah aspek kunci terbanyak di dalam PP No 21/2005 tentang Keamanan Hayati PRG (15 buah) dan PerPres No 39/2010 mengenai Kelembagaan PRG (13 buah). Kedua peraturan tersebut dikeluarkan khusus untuk menangani pengelolaan PRG dan menyempurnakan atau melengkapi peraturan-peraturan sebelumnya khususnya hal-hal yang belum tercantum dalam peraturan tersebut. Pada undang-undang 12/1992 mengenai sistim budidaya pertanian, belum digunakan istilah PRG, tetapi lebih dikenal dengan istilah produk introduksi yang memiliki kesamaan makna dengan PRG saat ini. Pemerintah melalui Departemen Pertanian (sebelum berganti nama menjadi Kementerian Pertanian, yang memiliki wewenang terhadap pengelolaan tanaman PRG saat itu) mencantumkan dalam pasal 8 dan pasal 12 istilah produk introduksi dari luar negeri , harus diuji sebelum diedarkan dan digunakan oleh masyarakat. Kehadiran dua pasal dalam undang-undang ini membuktikan perhatian pemerintah terhadap kemungkinan masuknya PRG ke wilayah Indonesia, sehingga pemeriksaan harus dilakukan terlebih dahulu, meskipun belum ada petunjuk teknis pelaksanaan pengkajian, akan tetapi kekhawatiran pada kemungkinan munculnya dampak PRG terhadap kesehatan manusia dan lingkungan sudah tergambar dalam undang-undang tersebut. Pada undang-undang No 18/2012 tentang pangan telah dibuat pasal khusus (pasal 69) yang mencantumkan keamanan pangan PRG yang merupakan bagian dari keamanan hayati. Setiap pangan yang memiliki kandungan bahan PRG, harus memperoleh izin keamanan pangan terlebih dahulu sebelum pangan tersebut dapat diedarkan kepada masyarakat.
119
Tabel 2 Proporsi sebaran aspek kunci dalam regulasi utama terkait kebijakan pengelolaan PRG PP No 28/2004 Keamanan, mutu dan gizi pangan
Keamanan
39/2010
PP No 21/2005 hayati PRG
Perpres No Kelembagaan PRG
PerMentan No 37 2011 Pelestarian dan pemanfaatan SDG tanaman
PerMentan No 61/2011 Pengujian, penilaian dan pelepasan varietas tanaman
Rata-rata proporsi
Jumlah kebijakan terkait
0.00
20.37
0.00
4.00
0.00
0.00
4.51
7.02
0.00
3.28
5.00
5
2 3
Proses rekayasa genetic Produk rekayasa genetic (PRG) ,organisme hasil modifikasi genetic
0.00
2.48
0.00
0.00
0.00
2.86
2.88
0.00
0.00
0.00
0.00
2.33
3
0.00
0.00
5.56
3.16
0.00
0.00
9.62
12.78
14.04
57.14
22.95
8.43
7
4
Pengujian
5.56
9.92
0.00
0.00
6.00
0.00
13.46
12.03
1.75
14.29
29.51
8.50
8
5
Dampak
0.00
5.79
9.26
33.68
2.00
11.43
2.88
0.75
3.51
0.00
0.00
6.88
8
6
Keamanan lingkungan
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
15.79
17.54
0.00
13.11
13.00
3
7
Keamanan pangan
0.00
11.57
0.00
0.00
66.00
2.86
25.96
14.29
21.05
0.00
6.56
15.71
7
8
Keamanan pakan
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
12.78
17.54
0.00
4.92
10.00
3
9
Keanekaragaman hayati
0.00
0.00
38.89
3.16
0.00
0.00
0.00
7.52
3.51
14.29
3.28
6.50
6
10
Pengkajian risiko
0.00
0.00
1.85
1.05
0.00
0.00
0.00
1.50
0.00
0.00
0.00
1.33
3
11
Pengelolaan resiko
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
2.26
3.51
0.00
0.00
2.50
2
12
Komunikasi risiko
0.00
0.00
0.00
1.05
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1.00
1
13
Analisis risiko
0.00
0.00
0.00
5.26
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
5.00
1
14
Pengendalian
20.37
1.65
0.00
11.58
14.00
0.00
0.96
4.51
3.51
0.00
1.64
5.86
7
15 16
Keberlanjutan Perpindahan gen,persilangan
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
3.01
0.00
14.29
0.00
2.50
2
17
Kesehatan manusia
5.56 1.85
0.00 20.66
0.00 12.96
0.00 2.11
0.00 6.00
0.00 17.14
0.00 11.54
0.00 8.27
0.00 3.51
0.00 0.00
3.28 3.28
2.50 7.10
2 10
18
(Masukan) masyarakat
66.67
47.93
11.11
38.95
2.00
65.71
32.69
0.00
3.51
0.00
8.20
22.44
9
5
7
7
9
7
6
8
13
12
4
10
Jumlah aspek kunci
120
Label dan PP No 69/1999 iklan pangan
0.00
Aspek kunci
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup SKB Mentan, Menhutbun, Menkes, dan Meneg Pangan dan Hortikultura 29 Sept 1999
Bioteknologi
No
UU No 21/2004 Pengesahan protokol cartagena UU No 32/2009
UU 18/ 2012 Pangan
1
Sistim UU No 12/1992 budidaya Tanaman
Peraturan dan Perundang-undangan terkait pengelolaan PRG (%)
4.83
Di dalam UU 18/2012 telah dinyatakan dengan jelas bahwa setiap pangan yang mempunyai kandungan ataupun memiliki bahan dasar PRG, harus memenuhi persyaratan keamanan pangan sebelum diedarkan, dengan persentase aspek kunci untuk keamanan pangan 11.57%. Undang-undang tentang pangan dilengkapi dengan PP No 69/1999 tentang label dan iklan pangan serta PP No 28/2004 mengenai keamanan, mutu dan gizi pangan. Selain itu, khusus mengenai pangan PRG, telah dibuat pedoman pengkajian keamanan pangan PRG yang disahkan oleh Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sejak tahun 2008 dan telah direvisi kembali pada tahun 2012. Penetapan pedoman pengkajian ini memerlukan waktu yang cukup lama, jika dilihat dari waktu penetapan PP 21/2005. Prinsip keamanan hayati dalam PP No 21 tahun 2005 telah mencakup keamanan lingkungan, keamanan pangan dan/atau keamanan pakan. Sedangkan pedoman (guideline) merupakan perangkat operasional dalam melakukan pengkajian risiko PRG sebelum dilepas atau diedarkan kepada masyarakat. Sampai saat ini beberapa pedoman teknis pengkajian terhadap keamanan PRG masih belum dapat diselesaikan, seperti pedoman pengkajian keamanan pakan dan pedoman pelaksanaan penelitian rekayasa genetik. Pedoman pengkajian keamanan lingkungan khusus tanaman yang sebelumnya menggunakan Pedoman Pengkajian Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Seri Tanaman yang telah ditetapkan sejak tahun 2005, telah diganti dengan Pedoman Penyusunan Dokumen Analisis Risiko Lingkungan Produk Rekayasa Genetik yang telah ditetapkan menjadi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (PerMen LH) No 25 Tahun 2012. Lambatnya proses pengesahan beberapa pedoman keamanan hayati PRG, berakibat terhadap izin keamanan hayati yang dikeluarkan pemerintah. Contohnya adalah impor kedelai PRG yang telah dijalankan lebih kurang sejak lima belas tahun yang lalu, akan tetapi pengkajian terhadap keamanan pangan di Indonesia baru dilakukan setelah ditandatanganinya Pedoman Pengkajian Keamanan Pangan pada tahun 2008 dan terakhir direvisi lagi tahun 2012. Daftar tanaman PRG yang telah memperoleh izin keamanan hayati dari Kementerian yang berwenang/LPNK terkait disajikan pada Tabel 3.
121
Tabel 3. Daftar PRG yang telah memperoleh keamanan hayati dari pemerintah pada tahun 1999-2013
No
Nama tanaman
Sifat yang direkayasa
1. Kapas MON event 53/757/076 2. Kapas event MON 1445/1698 3. Jagung event MON 810 4. Jagung event GA 21 5. Kedelai event GTS 40-3-2 6. Tebu event NXI-1T, NXI4T, dan NXI-6T 7. Tebu NXI-IT, NXI-4T dan NXI-6T 8. Jagung event MON 89034
Tahan serangan hama
Jenis keamanan hayati Aman hayati
Toleran herbisida Tahan serangan hama Toleran herbisida Toleran herbisida Toleran kekeringan
Aman hayati Aman hayati Aman hayati Aman hayati Aman lingkungan
Toleran kekeringan
Aman pangan
Tahan lepidoptera
Aman pangan
9. Jagung event MON NK 603
Toleran glifosat
Aman pangan
10. Kedelai event GTS 40-3-2
Toleran glifosat
Aman pangan
11. Jagung event MON 89788
Toleran glifosat
Aman pangan
12. Jagung event MIR 162
Tahan hama
Aman pangan
13. Jagung Event GA 21
Toleran glifosat
Aman pangan
14. Jagung Event MIR 604
Tahan hama
Aman pangan
15. Jagung Bt 11
Aman pangan
19. Jagung event NK 603
Tahan hama Lepidoptera Toleran enzim α-amilase Bahan tambahan Pangan Food additive utk pakan Toleran glifosat
20. Jagung event MON 89034
Tahan Lepidoptera
Aman pakan
16. Jagung Event 3272 17. Ice Structuring Protein (ISP) 18. Ronozym AX (CT)
Aman pangan Aman pangan Aman pakan Aman pakan
Sumber:Herman (2009) dan Laporan Sekretariat KKH PRG (2013)
Peran peraturan dan kelembagaan dalam menetapkan suatu keputusan, mengenai PRG sangat penting. Sejak diberlakukannya PP 21/2005 dan
122
dibentuknya kelembagaan PRG berdasarkan Perpres 39/2010, pemerintah telah mengeluarkan surat keputusan dan sertifikat keamanan hayati menurut jenis dan sifat PRG yang diajukan kepada Komisi Keamanan Hayati PRG (KKH PRG). KKH PRG merupakan lembaga independen yang dibentuk langsung oleh Presiden dan keanggotaannya ditetapkan oleh Presiden, atas usulan dari KLH. Susunan KKH PRG terdiri dari satu orang ketua dan tiga orang ketua lainnya mewakili kelompok bidang keamanan lingkungan, keamanan pakan dan keamanan pangan. Anggota KKH PRG berasal dari lembaga pemerintah dan non pemerintah. Tugas KKH PRG secara garis besar adalah memberikan rekomendasi, sertifikat hasil uji keamanan hayati, memberikan saran dan pertimbangan terhadap pemantauan dampak, pengelolaan risiko dan penarikan PRG dari peredaran serta melaksanakan pengawasan terhadap pemasukan dan pemanfatan PRG kepada Menteri Lingkungan Hidup, Menteri yang berwenang dan Kepala LPNK. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, KKH PRG dapat dibantu oleh Tim Teknis Keamanan Hayati (TTKH PRG) yang melakukan pengkajian dokumen teknis dan uji lanjutan keamanan hayati. Keanggotaan TTKH PRG terdiri dari para pakar berbagai disiplin ilmu yang terkait dengan keamanan hayati serta memiliki keahlian di bidang ilmu mereka masing-masing. Hirarki kelembagaan yang berperan dalam pemberian izin keamanan hayati untuk tanaman PRG dapat digambarkan seperti pada diagram alir yang disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram alir pengajuan izin keamanan hayati PRG 123
Bentuk pengajuan keamanan hayati dari proponen dapat berupa permohonan izin keamanan lingkungan untuk tanaman diajukan kepada Kementerian Lingkungan Hidup melalui Kementerian Pertanian, untuk izin keamanan pangan diajukan kepada Kepala BPOM, dan izin keamanan pakan kepada Kementerian Pertanian. Selanjutnya dokumen yang telah diisi dan disiapkan oleh proponen akan diserahkan kepada KKH PRG yang kemudian meminta TTKH PRG melakukan kajian terhadap permohonan yang diajukan. Hasil kajian TTKH PRG disampaikan kepada KKH PRG yang selanjutnya ditelaah sebelum diputuskan apakah izin keamanan hayati dapat dikeluarkan atau tidak. Rekomendasi dari KKH PRG disampaikan kepada Menteri yang berwenang/Kepala
LPNK
terkait,
untuk
dibuatkan
surat
keputusan
pelepasan/peredaran atau sertifikat hasil uji keamanan hayati. Sebelum KKH PRG memutuskan untuk mengeluarkan rekomendasi kepada Menteri yang berwenang atau Kepala LPNK, harus dilakukan komunikasi publik melalui forum komunikasi Balai Kliring Keamanan Hayati (BKKH) dalam bentuk situs web BKKH Indonesia (www.indonesiabch.or.id). Hasil masukan masyarakat akan dijadikan salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Proses komunikasi terkait kemungkinan timbulnya risiko PRG terhadap lingkungan dan kesehatan manusia perlu dikomunikasikan agar masyarakat memahami mengenai penerapan teknologi rekayasa genetic pada tanaman. Dalam salah satu kebijakan sistim pertanian dan bioindustri terdapat kebijakan terhadap sarana produksi pertanian yaitu kemampuan dalam mengembangkan benih/bibit hasil rekayasa genetik yang harus dimonitoring dan dievaluasi secara ketat pelaksanaan dan dampaknya (Kementan 2013). Pernyataan ini juga dikuatkan dalam UU 39/2009 mengenai PPLH, yang mencantumkan sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan PRG. Sampai akhir tahun 2013 telah dikeluarkan 20 sertifikat keamanan hayati, dimana untuk produk tanaman Kapas MON event 53/757/076 tahan serangan hama, Kapas event MON 1445/1698 toleran herbisida, Jagung MON 810, Jagung GA 11 dan Kedelai event GTS 40-3-2 telah dinyatakan aman hayati sejak tahun 1999 oleh Komisi Keamanan Hayati Keamanan Pangan (KKHKP), karena pada waktu tersebut Indonesia belum memiliki peraturan mengenai keamanan hayati
124
seperti PP 21/2005. Selanjutnya 10 sertifikat keamanan pangan untuk tanaman PRG dan satu produk bahan tambahan pangan juga telah dikeluarkan oleh BPOM. Sedangkan untuk keamanan lingkungan, meskipun masih menggunakan pedoman keamanan lingkungan seri tanaman yang ditetapkan tahun 2005, telah ditetapkan satu sertifikat keamanan lingkungan untuk Tebu event NXI-IT, NXI4T dan NXI-6T toleran kekeringan dan tiga sertifikat keamanan pakan untuk produk Rhonozym dan dua tanaman Jagung PRG event NK 603 dan Jagung event MON 89034 yang akan digunakan sebagai pakan ternak telah memperoleh sertifikat untuk aman pakan. Izin keamanan hayati untuk tebu toleran kekeringan yang dikembangkan oleh perusahaan swasta nasional PTPN XI telah memberikan semangat pada lembaga-lembaga penelitian milik pemerintah lainnya untuk menghasilkan tanaman PRG yang memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas dan kuantitas hasil tanaman. Identifikasi kerangka peraturan tentang kebijakan pengelolaan PRG, khususnya menyangkut keamanan hayati PRG tertuang dalam tiga (3) undangundang yang secara garis besar terdiri dari Sistem budidaya tanaman (UU No 12/1992), Pengaturan pangan (UU No 18/2012) dan Keamanan hayati (UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) No 39/2009). Sedangkan UU No 21/2004 mengenai pengesahan protokol Cartagena, merupakan payung atau acuan pembuatan PP No 21/2005 tentang keamanan hayati PRG. Hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia mengenai keamanan hayati disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Hirarki regulasi terkait kebijakan keamanan hayati PRG 125
Terdapat tiga undang-undang yang terkait langsung dengan keamanan lingkungan dan pangan yaitu UU 12/1992 tentang Budidaya tanaman, yang dilengkapi dengan Permentan 37/2011 mengenai pelestarian dan pemanfaatan sumber daya genetik tanaman yang mengatur pemasukan dan pengeluaran sumber daya genetik hasil rekayasa genetik dengan mengikuti peraturan keamanan hayati yang telah ditetapkan dalam PP 21/2005. Sedangkan Permentan 61/2011 yang mengatur tentang pengujian, penilaian, pelepasan dan penarikan varietas, yang juga meliputi tanaman PRG. Menurut Permentan 61/2011 tanaman PRG meliputi tanaman pangan PRG, tanaman perkebunan PRG dan tanaman hijauan pakan ternak PRG (pasal 8). Di dalam peraturan ini dijelaskan tata cara pelepasan tanaman PRG sebagai varietas baru sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan sebelum pelepasan varietas. Uji adaptasi atau uji observasi terhadap tanaman PRG dapat dilakukan setelah proses pengujian keamanan hayati atau bersamaan dengan pengujian keamanan hayati (pasal 9). Keamanan pangan telah diatur di dalam undang-undang pangan No18/2012 yang merupakan perbaikan dari UU 7/1996 yang dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan teknologi saat sekarang. Keamanan pangan khususnya pangan yang menggunakan PRG sebagai bahan dasar, tambahan atau pelengkap harus memenuhi persyaratan keamanan pangan sebelum diedarkan dan dikomersialisasikan kepada masyarakat. Keharusan pengujian keamanan pangan untuk produk pangan yang dibuat dengan proses rekayasa genetik merupakan persyaratan yang ditulis dalam PP No 28/2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, yang menyatakan bahwa keamanan pangan ditangani dan ditetapkan oleh BPOM sebagai Lembaga Otoritas Kompeten Nasional berdasarkan rekomendasi Komisi Keamanan Hayati PRG (KKH PRG) yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden No 39 tahun 2010 tentang Kelembagaan PRG. Jika terdapat pelanggaran atau penyalahgunaan terhadap pemanfaatan pangan berbahan PRG tanpa melalui izin keamanan pangan akan dikenakan sanksi denda dan pidana seperti yang telah ditetapkan dalam UU 32/2009 mengenai PPLH. Peraturan pemerintah No 21/2005 tentang kemaanan hayati PRG telah melengkapi dan menggantikan peraturan sebelumnya yaitu Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri. Demikian juga dengan kelembagaan yang
126
mengatur pengelolaan PRG telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 39/2010. Dua peraturan ini mengacu kepada UU 32/2009 yang mencantumkan sanksi denda dan pidana terhadap pelanggaran penggunaan PRG yang tidak memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Terdapat periode kekosongan dalam mengeluarkan keputusan keamanan hayati sebelum ditetapkannya Perpres 39/2010, sebelumnya hanya keputusan keamanan lingkungan dari Menteri terkait untuk tanaman jagung, kedelai dan kapas PRG. Selain permasalahan penetapan kelembagaan yang baru dikeluarkan tahun 2010, keterlambatan pengambilan keputusan dalam pengajuan keamanan hayati PRG adalah peralihan kewenangan dalam penyelenggaraan pengelolaan keamanan hayati PRG, seperti yang dicantumkan dalam Perpres 39/2010 yaitu
kedudukan KKH PRG yang
sebelumnya merupakan koordinatif dan melibatkan empat departemen, kemudian menjadi mandat atau wewenang langsung Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) seperti yang tertulis dalam Perpres 39/2010 pasal 5 ayat 3 bahwa pengangkatan ketua dan anggota KKH PRG ditetapkan oleh presiden berdasarkan usulan dari KLH. Perubahan lainnya adalah kedudukan sekretariat KKH PRG yang sebelumnya di Kementan dialihkan ke KLH, demikian juga kedudukan dari Balai Kliring Keamanan Hayati (BKKH) yang berfungsi sebagai pengelola dan penyaji informasi kepada publik, sebelumnya fungsi tersebut dilaksanakan oleh Puslit Bioteknologi, LIPI yang dirintis sejak diratifikasinya Protokol Cartagena pada tahun 2004. Akhirnya BKKH dibangun pada tahun 2005 dan berfungsi sebagai sumber informasi keamanan hayati PRG. Karena pendirian BKKH merupakan kewajiban maka penyelenggaraannya pada saat itu diserahkan pada institusi pelaksana sebagai pengelola. Kedudukan BKKH dialihkan kepada KLH sesuai dengan ketentuan yang ditulis pada Perpres 39/2010 Bab IV pasal 10. Kondisi nyata yang terjadi pada masa peralihan kewenangan dan kedudukan adalah ketidaksiapan di institusi pelaksana dalam mempersiapkan masa transisi sehingga terjadi kevakuman pengelolaan BKKH sejak tahun 2010. Pengelolaan BKKH akhirnya secara administrasi dipegang KLH, mulai 2012. Pemusatan kewenangan oleh KLH sebagai pelaksana keamanan hayati di Indonesia, diharapkan dapat didukung dengan kemampuan sumber daya manusia dan infrastruktur yang
127
memadai agar pengelolaan PRG dapat berjalan dengan baik dan memenuhi prinsip keberlanjutan. Berdasarkan
kerangka
waktu
penetapan
peraturan-peraturan
dan
perundang-undangan yang telah ditetapkan pemerintah dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang diterapkan dalam peraturan-peraturan terkait PRG dapat ditampilkan dalam kerangka waktu (time line) untuk memperjelas urutan penetapannya dalam strategi kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah selama ini (Gambar 3).
30-Apr-92 UU N0 12/1992
4-Nov-96 UU No 7/1996
29-Sep-99 SKB 4 Menteri
28-Oct-03 UU No 21/2004
15-Jan-07 UU No 32/2009
13-Apr-12 20-Sep-10 UU No 18/2012 PerMenTan No 37/2011 31-Oct-12 Permen LH 25/2012
30-Apr-92
30-Aug-13 7-Oct-98 PP No 69/1999
26-Nov-02 PP No 28/2004
28-Sep-04 13-Aug-09 PP No 21/2005 Perpres No 39/2010
7-Mar-11 PerMentan No 61/2011
Gambar 3. Time line penetapan kebijakan nasional terkait pengelolaan PRG di Indonesia B. Prioritas Kebijakan dalam Pengelolaan PRG dengan AHP Susunan hirarki kebijakan pengelolaan PRG menurut justifikasi pakar dari institusi pemerintah, perguruan tinggi dan swasta, telah dilakukan pengambilan keputusan terhadap permasalahan yang komplek
berdasarkan tujuan strategi
pengelolaan PRG, maka disusun level hirarki menjadi empat tingkatan yaitu level tujuan, faktor, kriteria dan alternatif, yang memberikan gambaran atau keadaan pengelolaan PRG saat sekarang. Susunan hirarki tersebut disusun menjadi: Level pertama adalah fokus kebijakan pengelolaan PRG berkelanjutan. Level kedua merupakan faktor-faktor yang berperan dalam mempengaruhi pengelolaan PRG yang terdiri atas faktor lingkungan, ekonomi, sosial kemasyarakatan dan teknologi. Level ketiga adalah kriteria dari masing-masing faktor yang mempengaruhi pengembangan kebijakan keberlanjutan pengelolaan PRG antara lain keamanan
128
PRG terhadap organisme non target, keanekaragaman hayati potensial, perpindahan material genetik, perbaikan kualitas lingkungan dan PRG yang aman untuk lingkungan, yang merupakan elemen-elemen lingkungan. Untuk faktor ekonomi terdiri dari kriteria stabilitas produksi, berkurangnya biaya produksi dan meningkatnya pendapatan petani. Selanjutnya kriteria-kriteria untuk faktor sosial masyarakat terdiri dari persepsi dan penerimaan masyarakat, pendidikan masyarakat, keamanan PRG terhadap kesehatan manusia dan labeling untuk PRG yang sudah dikomersialisasikan. Terakhir faktor teknologi yang terdiri atas elemen kemampuan SDM melakukan pengujian keamanan hayati dan kemampuan SDM dalam riset dasar sampai diperoleh PRG. Level keempat adalah alternatif-alternatif yang telah direstriksi oleh pakar menjadi duabelas alternatif yang dapat dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan kebijakan pengelolaan PRG berkelanjutan. Setiap elemen pada setiap level selanjutnya diboboti oleh pakar dengan menggunakan nilai bobot seperti yang telah ditetapkan oleh Saaty (1993). Pengolahan data untuk menentukan elemen prioritas dalam pengambilan keputusan kebijakan pengelolaan PRG berkelanjutan menggunakan software Expert Choice 2000 Hasil sintesis menghasilkan nilai eigen (bobot) untuk setiap pilihan yang ada di dalam struktur AHP. Untuk memudahkan dalam interpretasi hasil terhadap nilai eigen maka nilai tersebut dimasukkan dalam struktur hirarki AHP secara kumulatif sebagaimana yang disajikan pada Gambar 4.
- Kontribusi Peran Berdasarkan Level Tingkat kepentingan berdasarkan peran dari masing masing level yaitu level faktor, level kriteria dan level alternatif, yang selanjutnya dianalisis terhadap perannya dalam pengembangan kebijakan pengelolaan PRG berbasis kajian berkelanjutan (Gambar 4). Berdasarkan keputusan (judgement) pakar, secara hirarki pada level faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan PRG, tidak terdapat perbedaan penilaian yang nyata, karena nilai bobot yang diberikan hampir sama besar nilainya. Hasil penilaian terhadap faktor lingkungan adalah 0.258, faktor ekonomi 0.232, faktor sosial 0.278 dan faktor teknologi 0.232, nilai yang
129
diberikan pakar hampir tidak ada perbedaan. Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa keempat faktor tersebut memiliki peran yang sama pentingnya dalam kebijakan pengelolaan PRG di Indonesia. Nilai pembobotan yang tidak jauh berbeda diantara empat faktor tersebut sangat sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang harus memperhatikan tiga faktor utama sebagai pilar pembangunan yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial (Rogers et al. 2008). Dalam mengelola dan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber daya alam dalam hal ini keanekaragaman hayati merupakan sumber plasma nutfah yang harus dijaga kelestariannya. Supaya tercapai tujuan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan, diperlukan perangkat teknologi yang dapat mengurangi eksploitasi terhadap lingkungan. Dalam hal ini peran teknologi terutama rekayasa genetik dalam pengembangan kualitas dan kuantitas tanaman Padi Bt PRG dapat diterima dengan persyaratan keamanan lingkungan terhadap organisme non target di lokasi penanaman terpenuhi dan telah dinyatakan aman lingkungan setelah melalui pengujian dan pengkajian risiko oleh kelembagaan berwenang.
130
Gambar 4. Struktur hirarki dengan analisis AHP untuk kebijakan pengelolaan PRG di Indonesia
131
Sebagai produk teknologi baru, keberhasilan dalam pengelolaan PRG tidak terlepas dari kemampuan penguasaan teknologi baik infrastruktur maupun kemampuan SDM, sehingga manfaat ekonomi yang diindikasikan pada tingkat pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas bisa berakhir pada kesejahteraan masyarakat tercapai (Cogoy and Steininger 2007). Jika terjadi ketidakseimbangan pada salah satu faktor diatas akan berakibat pada ketidakberlanjutan pembangunan dalam pemanfaatan PRG.
Gambar 5. Prioritas dari level faktor yang mempengaruhi pengelolaan PRG dengan nilai bobot dari setiap aspek yang dikaji. Berdasarkan keputusan (judgement) pakar, hirarki pada level faktor atau aspek yang berpengaruh dalam pengelolaan PRG, menghasilkan nilai bobot yang hampir sama nilainya (Gambar 5). Hasil penilaian terhadap faktor lingkungan dengan nilai bobot (eigen) 0.258, faktor ekonomi 0.232, faktor sosial 0.278 dan faktor teknologi 0.232. Nilai pembobotan yang hampir sama untuk keempat faktor tersebut sangat sinkron dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang harus memperhatikan tiga faktor utama sebagai pilar yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial (Barbier 2005). Sementara UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi penanganan kebijakan dalam pengelolaan PRG, maka setiap level faktor terdiri dari kriteria-kriteria sesuai dengan faktor/aspek yang dikaji. Level kriteria dari masing-masing faktor
132
hasil justifikasi pakar, telah diperoleh nilai pembobotan menggunakan pendekatan AHP. Nilai bobot tertinggi dari faktor lingkungan adalah kriteria perpindahan material genetik dari tanaman PRG ke tanaman non PRG (0.278) (Gambar 6). Munculnya kekhawatiran pakar terhadap kemungkinan terjadinya perpindahan material genetik (gene flow) pada tanaman PRG cukup beralasan karena akan berakibat terjadinya perubahan dalam keseimbangan ekosistem. Di lapangan, terjadinya perpindahan material genetik antara tanaman PRG dengan tanaman sejenis non PRG dapat terjadi dengan terpenuhinya beberapa persyaratan seperti; kesamaan jenis tanaman, memiliki kompatibalitas yang tinggi secara sexual (sexually compatible), terutama terhadap kerabat liar (wild relatives) (Rissler & Mellon 1996). Jika semua persyaratan sudah terpenuhi, maka dapat terjadi persilangan (crossing) sehingga dihasilkan dapat menghasilkan keturunan yang fertil (Gambar 6).
Gambar 6. Prioritas kriteria dari faktor lingkungan dengan nilai bobot untuk setiap kriteria yang dikaji. Pada kasus tanaman padi, perpindahan material genetik anatara tanaman PRG dengan non PRG secara alami dapat terjadi melalui pollen yang terbawa oleh angin, meskipun kemungkinan terjadinya sangat kecil, sebab padi termasuk tanaman yang menyerbuk sendiri (self-pollination). Menurut pakar, pada elemen terjadinya gene flow paling penting untuk diperhatikan dari aspek lingkungan Hasil analisis AHP terhadap kriteria-kriteria yang membangun aspek ekonomi (Gambar 7), memberikan nilai tertinggi untuk elemen peningkatan pendapatan petani (0.358). Sedangkan elemen-elemen pengurangan biaya dalam produksi tanaman (0.333) serta stabilitas produksi tanaman PRG (0.309). Berdasarkan penilaian secara ekonomis, berkurangnya biaya produksi dan kestabilan produksi 133
pada waktu panen akan memberikan peningkatan penghasilan dan menambah kesejahteraan petani. Menurut James (2012) pemanfaatan tanaman hasil bioteknologi (tanaman PRG) di beberapa negara berkembang telah meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani penanam. Khususnya untuk tanaman yang memiliki ketahanan terhadap serangan hama, mampu mengurangi pengeluaran petani terhadap penggunaan insektisida. Pertimbangan faktor ekonomi penting sebelum memanfaatkan tanaman PRG, karena perbaikan mutu dari kualitas dan kuantitas PRG menjadi target utama dalam pengembangan PRG. Menurut Sharma et al (2002) manfaat ekonomi akan diperoleh jika pemanfaatan produk bioteknologi tersebut sesuai dengan sifat yang ditambahkan serta diaplikasikan pada areal tanam yang luas. Selain itu, penelitian ekonomi memegang peranan penting dalam penerapan bentuk mekanisme regulasi yang efisien serta inovasi yang diperlukan dalam teknologi di bidang pertanian (Qaim 2009)
Gambar 7. Prioritas kriteria dari aspek ekonomi dan nilai bobot masing-masing elemen yang dikaji. Dari kriteria-kriteria aspek sosial masyarakat, hasil analisis AHP memberikan nilai faktor keamanan terhadap kesehatan manusia dengan bobot tertinggi (0.464) bila dibandingkan dengan pendidikan masyarakat tentang PRG (0.319), persepsi dan penerimaan masyarakat (0.125), dan faktor pelabelan terhadap PRG (0.091), secara lengkap urutan prioritas disajikan pada Gambar 8. Prioritas utama untuk keamanan PRG terhadap kesehatan manusia sama dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang No 7 tahun 1996 pasal 13 ayat 1, “bahwa setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan dan atau bahan bantu lain
134
dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetik wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan”. Sebagai prioritas utama hasil analisis AHP, keamanan pangan, sangat penting untuk diperhatikan, mengingat hal ini sangat berhubungan
dengan
keberlanjutan
kehidupan
manusia,
sesuai
dengan
persyaratan pelepasan PRG yang harus memenuhi keamanan lingkungan, aman pangan dan/atau aman pakan (PP No 21 / 2005).
Gambar 8. Prioritas terhadap kriteria-kriteria faktor sosial masyarakat dengan nilai bobot masing-masing. Agar pelaksanaan prinsip keamanan hayati PRG tercapai, perlu peningkatan pengetahuan dan pendidikan masyarakat terhadap PRG itu sendiri, sehingga dapat memberikan persepsi dan penerimaan yang seimbang antara manfaat dan kerugian PRG. Sedangkan faktor pelabelan (labelling), meskipun telah ditetapkan melalui PP 69/1999, akan tetapi menurut pendapat pakar hal tersebut masih belum menjadi prioritas bila dibandingkan dengan faktor keamanan terhadap kesehatan manusia, pendidikan dan persepsi masyarakat. Dalam penyelenggaraan kebijakan pengelolaan PRG yang berkelanjutan, selain aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial, kriteria peningkatan teknologi telah menjadi program yang melengkapi tiga aspek utama tersebut. Tanpa kemampuan di bidang teknologi, selamanya Indonesia akan selalu bergantung pada negara lain yang telah menguasai teknologi pembuatan PRG. Berdasarkan pendapat pakar, faktor kemampuan sumber daya manusia dalam melakukan pengujian dan pengkajian PRG mendapat nilai bobot lebih tinggi (0.580) dibandingkan dengan kemampuan untuk melakukan riset atau penelitian untuk memperoleh PRG itu sendiri (0.420). Urutan prioritas disajikan pada Gambar 9. 135
Gambar 9. Prioritas kriteria dari faktor teknologi dengan nilai bobot untuk setiap kriteria yang dikaji Pentingnya kemampuan dalam melakukan pengujian sangat terkait dengan persyaratan keamanan PRG, sebelum dapat dimanfaatkan bagi kepentingan manusia. Hal ini sangat berhubungan dengan pengujian dalam menentukan apakah PRG tersebut memenuhi kriteria keamanan hayati yang meliputi keamanan pangan, lingkungan dan/atau pakan. Berdasarkan justifikasi pakar, alternatif yang dapat dilakukan dalam penanganan kebijakan pengelolaan PRG terdiri dari duabelas elemen yang dianggap dapat memberikan solusi dan kontribusi penanganan masalah. Penilaian diberikan berdasarkan tingkat prioritas yang lebih diutamakan. Hasil pembobotan pada setiap elemen, sekaligus memberikan gambaran prioritas dari elemen tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa prioritas utama dengan nilai bobot tertinggi adalah untuk elemen law enforcement pada peraturan dan undangundang. Prioritas utama ini berlaku baik terhadap faktor lingkungan, ekonomi, sosial dan teknologi, dengan nilai masing-masing 0.178, 0.191, 0.185, dan 0.198.
136
Tabel 4. Nilai pembobotan untuk elemen-elemen alternatif berdasarkan kriteria agregat, lingkungan, ekonomi, sosial dan teknologi
No
Nilai Konstribusi Faktor
Nilai agregat
Lingkungan
Ekonomi
Sosial
Teknologi
0.085
0.085
0.086
0.082
0.089
0.071
0.073
0.068
0.072
0.071
0.104
0.101
0.106
0.104
0.106
0.096
0.100
0.093
0.100
0.090
0.162
0.153
0.163
0.167
0.164
Mengembangkan fasilitas penelitian utk riset
0.069
0.079
0.066
0.067
0.063
7
Konsistensi pendanaan
0.077
0.082
0.081
0.072
0.070
8
Studi sosial ekonomi untuk keberlanjutan PRG
0.028
0.028
0.029
0.028
0.028
9
Sosialisasi PRG kepada masyarakat
0.031
0.028
0.030
0.033
0.033
10
Pendidikan dan informasi ilmiah
0.056
0.058
0.052
0.056
0.056
Program studi keamanan hayati di PT
0.034
0.035
0.035
0.032
0.032
Law enforcement thd peraturan dan undangundang
0.187
0.178
0.191
0.185
0.198
Alternatif kebijakan 1 2 3
4
5
6
11 12
Revisi pedoman keamanan lingkungan Membuat pedoman keamanan pakan Membuat pedoman penelitian & pengembangan Meningkatkan kemampuan SDM untuk pengujian keamanan hayati Meningkatkan kemampuan TTKH dalam pengkajian risiko
Alternatif kedua tertinggi yang dapat dilakukan setelah mengikuti peraturan dan regulasi adalah kemampuan sumber daya manusia (SDM) baik anggota TTKH PRG yang ditunjuk untuk melakukan pengkajian risiko maupun SDM terlatih lainnya seperti pakar atau peneliti yang harus memiliki kemampuan dalam pengujian risiko PRG. Kepedulian pakar terhadap kemampuan TTKH PRG melakukan pengujian dan pengkajian risiko menggambarkan bahwa potensi ini 137
harus dikuasai terlebih dahulu sebelum pemanfaatan PRG dapat dioptimalkan. Hasil pembobotan untuk semua elemen alternatif disajikan pada Tabel 4. Hasil proses hirarki analisis (AHP) menunjukkan penilaian gabungan kriteria alternatif agregat, dengan lingkungan, ekonomi, sosial dan teknologi yang dilakukan para pakar terhadap struktur tersebut memiliki tingkat konsistensi yang cukup baik (Tabel 5). Hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio konsistensi (CR) berkisar antara 0.00-0.089 pada semua elemennya. Nilai inkonsistensi dari indeks pembandingan berpasangan harus dibawah 0.1.
Tabel 5. Nilai indexs inkonsistensi untuk setiap matriks pembandingan berpasangan No 1 2 3
4
5
6
Sub elemen Revisi pedoman keamanan lingkungan Membuat pedoman keamanan pakan Membuat pedoman penelitian & pengembangan Meningkatkan kemampuan SDM untuk pengujian keamanan hayati Meningkatkan kemampuan TTKH dalam pengkajian risiko Mengembangkan fasilitas penelitian utk riset
Indeks Inkonsistensi
No
Indeks Inkonsistensi
0.02
7
Konsistensi pendanaan
0.01
0.02
8
0.01
0.02
9
Studi sosial ekonomi untuk keberlanjutan PRG Sosialisasi PRG kepada masyarakat
0.01
10
Pendidikan informasi ilmiah
dan
0.02
0.01
11
Program studi keamanan hayati di PT
0.02
0.01
12
Law enforcement thd peraturan dan undangundang
0.02
Sub elemen
0.02
Pada alternatif peningkatan kemampuan TTKH PRG dalam melakukan pengkajian risiko tanaman PRG, menurut pendapat pakar perlu mendapat perhatian.
Karena kompetensi dan keahlian harus dimiliki oleh anggota TTKH
PRG sebagai tim ahli yang akan melakukan pengkajian sesuai dengan kepakaran mereka masing-masing. Kemandirian dan keahlian menjadi bagian dari ciri-ciri anggota TTKH, sehingga tidak boleh memiliki keterkaitan dengan proponen yang mengajukan izin pelepasan PRG. Oleh sebab itu kemampuan TTKH dalam melakukan pengkajian sangat penting, agar diperoleh hasil pengkajian dengan metode ilmiah yang benar dan memiliki akurasi yang tinggi.
138
Penanganan kebijakan pengelolaan PRG seharusnya memiliki perencanaan jangka panjang karena merupakan bagian dari pembangunan pertanian keberlanjutan yang dapat memberi pengaruh cukup besar terhadap perekonomian, kesejahteraan masyarakat dan lingkungan secara keseluruhan. Selain itu keterlibatan banyak pihak termasuk masalah yang perlu ditangani melalui koordinasi lintas sektoral.
C. Analisis Pengambilan Keputusan terhadap Alternatif Kebijakan
Hasil sintesis AHP menetapkan bahwa alternatif law enforcement terhadap peraturan dan undang-undang harus menjadi hal utama yang dilaksanakan terlebih dahulu sebelum elemen-elemen lainnya. Dari dua belas elemen alternatif yang telah diberi bobot oleh pakar, kemudian dinilai kembali untuk mengetahui pola hubungan diantara sesama elemen dan perannya dalam kebijakan yang telah dipilih
menggunakan aplikasi teori grafis atau metode ISM. Pada Gambar 10
dapat dilihat bahwa semua elemen yang dipilih pakar sebagai alternatif keberlanjutan pengelolaan PRG, tersebar pada sector II, III dan IV, tidak ada yang berada pada sektor I (Autonomous). Sub elemen law enforcement terhadap peraturan (A12), peningkatan kemampuan TTKH dalam melakukan pengkajian keamanan hayati (A5) dan peningkatan kemampuan SDM melakukan pengujian keamanan hayati (A4) berada pada sektor IV (independent sector) yang merupakan sub elemen kunci dan merupakan alternatif yang paling penting diperhatikan serta akan memberikan pengaruh yang tinggi terhadap sub elemen lain dalam keberlanjutan pengelolaan PRG di Indonesia. Selain itu ketiga sub elemen tersebut memiliki kekuatan penggerak (driver power) yang besar terhadap sub elemen lainnya, sehingga perubahan yang terjadi pada tiga sub elemen kunci ini dapat mempengaruhi elemen lainnya. Elemen kunci yang berada pada sektor IV ini perlu memperoleh perhatian dan kajian yang serius dalam implementasi di lapangan.
139
Gambar 10. Matriks driver power–dependence untuk elemen-elemen alternatif yang diperlukan dalam pemanfaatan PRG berkelanjutan di Indonesia.
Elemen-elemen yang memiliki tingkat ketergantungan yang cukup tinggi terhadap elemen lainnya berada pada sektor II yaitu; pengembangan fasilitas penelitian (A6), studi sosial ekonomi sebelum pemanfaatan PRG (A8) dan membuat program studi keamanan hayati di perguruan tinggi (A11). Ketiga elemen ini berada pada sektor dependence yang berarti ketiga alternatif ini bisa dilaksanakan jika diperkuat oleh elemen-elemen lainnya sebagai pendukung. Tersedianya pedoman keamanan lingkungan dan pakan (A1,A2), konsistensi pendanaan (A7), sosialisasi kepada masyarakat (A9) dan pendidikan yang benar mengenai PRG (A10) termasuk pada sektor III yaitu peubah linkage. Pada sektor ini, semua elemen tersebut memiliki kekuatan penggerak yang cukup besar, sehingga keberhasilan dalam pelaksanaannya akan memberikan kesuksesan pada pemanfaatan PRG, dan sebaliknya jika elemen-elemen ini diabaikan akan menimbulkan kegagalan dalam pemanfaatan PRG di Indonesia. Kejadian seperti ini pernah dialami Indonesia pada waktu percobaan penanaman terbatas kapas Bt di daerah Sulawesi Selatan, yang mengalami kegagalan karena tidak melakukan studi yang menyeluruh sebelum pemanfaatan PRG tersebut di lapangan.
140
Diharapkan dengan adanya kajian sistem kebijakan sebelum pemanfaatan PRG dapat mengurangi kegagalan seperti sebelumnya. Dari analisis ISM, tidak ada elemen yang berada pada sektor I, hal ini berarti tidak ada alternatif yang berada diluar sistem.
Level 6
Level 5
Level 4
Level 3
Level 2
Level 1
Gambar 11. Struktur hirarki sub elemen alternatif yang berperan dalam pengelolaan PRG Berdasarkan struktur hirarki pada Gambar 11, terdapat enam tahapan yang bisa diambil sebagai alternatif kebijakan dalam pengembangan pengelolaan PRG berkelanjutan. Pada tahap pertama yang paling penting dilakukan adalah pelaksanaan kebijakan pengelolaan PRG yang sesuai dengan aturan dan regulasi yang telah ditetapkan pemerintah (A12). Pendapat pakar ini dikuatkan oleh ketentuan yang tercantum dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pasal 101 bahwa pelanggaran terhadap peredaran atau pelepasan PRG akan dikenakan sanksi hukuman penjara atau denda. Pasal ini memperlihatkan keseriusan pemerintah terhadap pelanggaran pemanfaatan PRG yang tidak sesuai dengan prosedur atau ketentuan yang berlaku. Pada level berikutnya adalah meningkatkan kemampuan sumber daya manusia terutama anggota TTKH PRG dalam melakukan pengkajian dan pengujian PRG (A4, A5).
141
Pada tahapan keempat yaitu penetapan pedoman teknis untuk keamanan lingkungan, keamanan pakan dan pedoman pengembangan dan penelitian PRG (A1,A2, A3), kemudian melakukan sosialisasi mengenai PRG (A9), pendanaan untuk penelitian dan pengembangan PRG (A7) serta pendidikan ilmiah yang benar kepada masyarakat . Terakhir alternatif yang dapat dilakukan adalah melengkapi fasilitas penelitian untuk pengembangan PRG nasional (A6), melakukan studi sosial ekonomi terhadap PRG sebelum pelepasan (A8) dan menambah kurikulum di PT tentang keamanan hayati PRG (A11). Pada tahun 2012 telah ditetapkan pedoman teknis untuk pengujian keamanan lingkungan dalam Peraturan Menteri No 25/2012 tentang Pedoman Analisis Risiko Lingkungan untuk tanaman dan jasad renik (mikroorganisme), karena penelitian telah berlangsung sejak tahun 2011, maka alternatif untuk pedoman keamanan lingkungan tetap muncul di dalam analisis keberlanjutan.
D. Lembaga yang Berperan dalam Pengelolaan PRG Berkelanjutan Berdasarkan hasil justifikasi pakar, diperoleh 12 sub elemen lembaga yang berperan dalam pengelolaan PRG dan mempunyai peranan yang cukup penting dalam penyelenggaraan keamanan hayati PRG yaitu: 1) KKH PRG, 2) TTKH PRG, 3) BPOM, 4) Kementerian Pertanian (Kementan), 5) Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), 6) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), 7) Kementerian Kehutanan (Kemenhut), 8) Perguruan Tinggi (PT), 9) Masyarakat, 10)Petani, 11) Perusahaan Swasta dan 12) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) . Hasil pengolahan dengan metode ISM, menunjukkan pembagian sebaran setiap sub elemen masing-masing pada tiga sektor II, III dan IV seperti yang disajikan pada Gambar 12. Sub elemen KKH (L1), TTKH (L2), BPOM (L3), Kementerian Pertanian (Kementan) (L4) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) (L5) berada pada sektor IV yang berarti lembaga-lembaga ini memiliki peran penting dan menjadi elemen penggerak dalam pengelolaan dan pengambil kebijakan terhadap perizinan pelepasan dan peredaran PRG. Lembaga-lembaga yang berada pada sektor IV atau kuadran Driver Power Independen merupakan elemen kunci yang memiliki kekuatan yang dapat mempengaruhi elemen-elemen lainnya.
142
12 11
L1
10
L2
9
L3 L4
DRIVER POWER
8 LINGKAGE : L9, L10
INDEPENDENT : L1, L2, L3,L4,L5
7
L5
6
L6
5
L7
4
L8
3
L9
2
L10
1
L11
AUTONOMOUS
0 0
1
2
3
DEPENDENT : L6, L7,L8,L11,L12
4
5
6
7
8
9
10
11
L12
12
DEPENDENCE
Gambar 12. Matriks driver power–dependence untuk elemen lembaga yang berpengaruh pada pengelolaan PRG di Indonesia Level 6
L11
Level 5
L6
Level 4
L12 2
L7
L10
L9
Level 3
L2
Level 2
L1
Level 1
L3
L8
L4
L5
Gambar 13. Struktur hirarki sub elemen lembaga yang berperan dalam pengelolaan PRG Peran penting yang dipegang oleh lembaga-lembaga tersebut karena fungsi dan wewenangnya dalam mengeluarkan izin peredaran dan sertifikat untuk
143
keamanan pangan, lingkungan dan pakan bagi tanaman pertanian dan bahan pakan. Adapun lembaga yang memiliki ketergantungan cukup tinggi terhadap lembaga lainnya berada pada sektor II (Dependent) yaitu lembaga KKP, Kemenhut, Perguruan tinggi, perusahaan swasta dan LSM. Pada sector III (Linkage) terdapat kelompok masyarakat dan petani yang tergolong pada peubah pengait, yang berarti setiap tindakan yang dilakukan pada kedua kelompok ini akan menentukan keberhasilan atau kegagalan dari suatu program, terutama kebijakan pengelolaan PRG. Oleh karena itu bentuk tindakan atau perlakuan yang dibuat terhadap kelompok masyarakat dan petani ini harus melalui kajian yang mendalam dan lebih hati-hati karena lembaga yang berada pada kelompok ini kurang stabil. Secara hirarki kelembagaan yang tersaji pada Gambar 13, BPOM, Kementan dan KLH memiliki peran penting dan menentukan, terutama dalam wewenang pemberian izin keamanan hayati yang berada pada tahap pertama. Kemudian disusul oleh kelembagaan KKH PRG dan TTKH PRG, sebagai dua otoritas lembaga yang mengeluarkan rekomendasi dan melaksanakan pengkajian keamanan hayati PRG. Pada tahap keempat terdapat kelompok masyarakat dan petani, selanjutnya pada tahap kelima adalah KKP, Kemenhut dan perguruan tinggi. Pada hirarki kelembagaan yang paling berperan, strata terakhir adalah perusahaan swasta dan LSM.
E. Kendala yang Mempengaruhi Pengelolaan PRG Berkelanjutan Dalam pelaksanaan pengelolaan pengkajian dan pelepasan PRG, terdapat beberapa hambatan yang mempengaruhi keberlanjutan, berdasarkan justifikasi pakar adalah sebagai berikut yaitu: 1) Pedoman keamanan lingkungan dan pakan belum disahkan, 2) Polarisasi kelompok pro dan kontra terhadap PRG, 3) Kerangka
waktu
dalam
prosedur
pengajuan
belum
sepenuhnya
diimplementasikan, 4) Koordinasi antar lembaga OKN masih lemah, 5) Kewenangan yang terpusat pada satu OKN, 6) Kurangnya pemahaman holistic terhadap PRG dan keamanan hayati, 7) Upaya pendidikan dan sosialisasi PRG kepada masyarakat belum optimal, 8) Pemerintah belum konsisten terhadap riset 144
dan pendanaan PRG, 9) Besarnya biaya penelitian keamanan hayati PRG, 10) Terbatasnya jumlah pakar di bidang keamanan hayati PRG. Berdasarkan pendapat pakar yang dianalisis dengan ISM, maka posisi dari setiap elemen kendala tersebut disajikan pada Gambar 14.
DRIVER POWER
INDEPENDENT:K1,K10,K2,K3
AUTONOMOUS
DEPENDENCE
Gambar 14. Matriks driver power–dependence untuk elemen kendala yang berpengaruh pada pengelolaan PRG di Indonesia Dari Gambar 14, elemen pedoman keamanan lingkungan dan pakan yang belum ditetapkan (K1), terdapatnya polarisasi kelompok masyarakat yang pro dan kontra terhadap PRG (K2), belum diterapkan sepenuhnya kerangka waktu dalam prosedur pengajuan izin pelepasan PRG sesuai dengan peraturan yang tercantum dalam PP 21/2005 (K3) serta keterbatasan jumlah pakar di bidang keamanan hayati (K10) berada pada sector IV (independent sector) yang merupakan sub elemen kunci dan memberikan pengaruh yang sangat besar pada sub elemen lain dalam pengelolaan PRG yang berkelanjutan. Selain itu sub elemen yang berada di sector IV memiliki kekuatan penggerak (driver power) yang besar terhadap yang lainnya, tetapi sedikit ketergantungan terhadap program pengelolaan PRG. Peran pedoman dalam pelaksanaan pengujian risiko sangat penting karena merupakan acuan dalam proses pengkajian, baik bagi proponen maupun TTKH PRG. Seperti halnya pedoman keamanan pangan yang telah ditetapkan sejak
145
tahun 2008, pedoman keamanan lingkungan juga harus direvisi sesuai dengan PP 21/2005, demikian juga dengan pedoman keamanan pakan yang belum pernah ditetapkan sejak PP 21/2005 dikeluarkan. Oleh karena itu pakar sepakat penetapan pedoman teknis untuk keamanan hayati merupakan faktor kunci yang dapat menghalangi keberlanjutan pengelolaan PRG. Dengan wewenang yang dimiliki oleh KLH sebagai lembaga yang berhak mengeluarkan izin keamanan lingkungan, maka menjadi tanggung jawab KLH membuat dan menetapkan pedoman keamanan lingkungan yang sesuai dengan PP 21/2005, seperti halnya Kementan yang bertanggung jawab terhadap pedoman keamanan pakan. Selanjutnya faktor kemampuan sumber daya manusia dalam melakukan pengujian dan pengkajian keamanan hayati termasuk faktor kunci yang juga menentukan keberhasilan pengelolaan PRG. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pedoman untuk pengkajian keamanan lingkungan telah ditetapkan menjadi pedoman penyusunan analisis risiko lingkungan tanaman PRG yang diperkuat dengan Permen LH No 25/2012. Berarti untuk keamanan lingkungan telah dilengkapi implementasi PP 21/2005, seperti pedoman untuk pengkajian keamanan pangan. Elemen-elemen koordinasi antar lembaga otoritas kompeten nasional yang masih lemah (K4) serta kurangnya pemahaman masyarakat terhadap PRG (K6) berada pada sector III atau linkage (pengait). Sub elemen yang berada pada sector III ini merupakan peubah yang dapat menghasilkan perubahan kearah kebaikan sehingga perhatian yang diberikan pada sub elemen ini akan memberikan keberhasilan dalam mengatasi kendala dalam pengelolaan PRG. Tetapi jika tidak ada perhatian dalam pelaksanaan perbaikan terhadap sub elemen ini, maka program pengelolaan PRG berkelanjutan akan mengalami kemunduran dalam pelaksanaan. Adapun empat sub elemen yang berada di sector II (dependent) adalah: kendala adanya kewenangan yang terpusat di satu kementerian (K5), kurangnya upaya pemerintah dalam memberi pendidikan dan sosialisasi pada masyarakat tentang PRG (K7), pendanaan tidak konsisten untuk mengembangkan PRG hasil litbang sendiri (K8) serta mahalnya biaya untuk melakukan pengujian keamanan hayati (K9). Sub elemen pada sektor II (dependent) memiliki ketergantungan pada sub elemen lainnya dalam penanganan permasalahan pengelolaan PRG. Kendala
146
yang berada pada sektor ini dapat ditangani setelah kendala-kendala lainnya bisa diatasi.
Level 4
Level 3
Level 2
Level 1
Gambar 15. Struktur hirarki sub elemen kendala yang mempengaruhi pengelolaan PRG berkelanjutan Adapun secara hirarki seperti yang disajikan pada Gambar 15, penyelesaian revisi pembuatan pedoman teknis untuk keamanan lingkungan dan keamanan pakan (K1) dan kendala keterbatasan sumber daya manusia (K10) menempati level 1 yang merupakan kendala-kendala utama dan menjadi faktor kunci permasalahan terhadap pengelolaan PRG, seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Penanganan terhadap kendala yang dihadapi dalam pengelolaan PRG berkelanjutan ini dapat dilakukan dalam empat tahapan. Pada tahap pertama adalah segera menyelesaikan pembuatan pedoman-pedoman teknis untuk pengujian dan pengkajian risiko PRG serta meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang memiliki kemampuan dalam melakukan pengkajian dan pengujian keamanan hayati. Menurut analisis pakar dengan melakukan perubahan pada dua hal utama ini, dapat memberikan pengaruh
pada
kendala-kendala lainnya.
Tahapan berikutnya adalah memberikan penerangan dan pendidikan ilmiah yang benar kepada masyarakat terkait dengan kondisi polarisasi pendapat masyarakat yang pro dan kontra terhadap PRG (K2). Disamping itu implementasi peraturan
147
yang telah ditetapkan seperti penetapan kerangka waktu dalam pengajuan izin keamanan hayati (K3), harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Koordinasi antar lembaga pemerintah yang berkompeten (K4) dan meningkatkan pengetahuan masyarakat pada teknologi PRG (K6) menjadi langkah berikutnya yang perlu dilakukan. Selanjutnya adalah langkah keenam dalam mengatasi kewenangan yang terpusat pada satu kelembagaan seperti KLH dalam menangani keamanan hayati. Terpusatnya beberapa tugas dan wewenang seperti mengeluarkan izin keamanan lingkungan, kesekretariatan KKH dan Balai Kliring Keamanan Hayati (BKKH) serta focal point Protokol Cartagena yang telah ditetapkan sepenuhnya berada di KLH dan hanya menjadi bagian dari salah satu kedeputian di KLH. Kondisi riil yang terjadi adalah penumpukan tugas dan tanggung jawab pada satu lembaga pemerintah tanpa persiapan dari sisi infrastruktur dan sumber daya manusia yang memiliki kapasitas di bidang keamanan hayati. Terpusatnya beberapa kewenangan di satu lembaga pemerintah bisa menjadi lebih baik dari sisi kemudahan koordinasi dan efisiensi waktu, jika lembaga yang ditunjuk telah memiliki kesiapan dan kemampuan, jika hal ini belum terpenuhi, maka akan menjadi halangan dan kendala dalam pengelolaan PRG berkelanjutan di Indonesia. Seperti halnya sub elemen lain pada tahapan keenam yang harus dilakukan adalah upaya meningkatkan pendidikan dan sosialisasi kepada masyarakat tentang PRG (K7), pemberian alokasi dana yang konsisten untuk penelitian dan pengembangan PRG nasional (K8) serta mengurangi biaya yang harus dikeluarkan untuk pengujian keamanan hayati PRG (K9). Keberhasilan pembangunan pertanian berkelanjutan, memperhatikan tiga hal, seperti yang ditegaskan dalam konsep strategi induk pembangunan pertanian 2013-2045 (Kementan 2013) yaitu berorientasi pada kesejahteraan social petani, pekerja dan masyarakat, ramah lingkungan dan menciptakan nilai tambah ekonomi bagi petani dan pengusaha.
KESIMPULAN 1. Secara garis besar pembagian peraturan dan undang-undang terkait kebijakan dalam pengelolaan PRG terdiri dari UU 12/1992 mengenai sumber daya genetik tanaman yang melingkupi tanaman PRG, UU 18/2012 tentang pangan
148
khususnya keamanan pangan PRG serta UU 32/2009 mengenai PPLH yang membawahi peraturan dan pelaksanaan keamanan hayati PRG serta aturan terhadap terhadap pelanggaran pemanfaatan PRG. 2. Analisis
kebijakan
pengelolaan
tanaman
PRG
berdasarkan
metode
pengambilan keputusan (AHP) menghasilkan 4 level hirarki yaitu tujuan, faktor, kriteria dan alternatif. Faktor lingkungan, ekonomi, sosial, dan teknologi merupakan faktor penting dalam pengelolaan PRG. Perpindahan material genetik dari tanaman PRG ke tanaman non-PRG merupakan faktor penting untuk aspek lingkungan, peningkatan pendapatan petani adalah faktor penting untuk aspek ekonomi, keamanan PRG terhadap kesehatan manusia adalah kriteria penting untuk aspek social dan kemampuan dalam melakukan pengujian keamanan hayati merupakan kriteria utama untuk aspek teknologi. Prioritas utama pada level alternatif adalah law enforcement terhadap peraturan dan undang-undang. 3. Terdapat lima lembaga yang paling berperan dalam pengelolaan PRG berdasarkan urutan struktur hirarki dan matriks ISM di Indonesia yaitu Kementan, BPOM, KLH berada di level kesatu dan KKH PRG, TTKH PRG pada level kedua. 4. Kendala pelaksanaan dalam pengelolaan PRG di level kesatu struktur hirarki ISM adalah belum diselesaikannya revisi pedoman pengkajian keamanan hayati dan terbatasnya jumlah pakar di bidang keamanan hayati.
Saran-Saran 1. Meskipun jenis dan jumlah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan PRG telah tersedia, tetapi belum sepenuhnya dilaksanakan seperti pedoman teknis untuk penelitian dan pengembangan PRG di laboratorium dan Fasilitas Uji Terbatas (Contained Field Trials) serta pedoman pelaksanaan pengujian keamanan pakan yang belum diselesaikan sampai akhir tahun 2013. Disarankan kepada lembaga pemerintah terkait untuk segera menetapkannya agar pelaksanaan pengelolaan PRG dapat berjalan sesuai dengan peraturan. 2. Disarankan untuk segera menyelesaikan pedoman pelaksanaan untuk pengawasan (monitoring) dan pengendalian PRG sesuai dengan ketentuan
149
yang telah ditetapkan dalam PP 21/2005 pasal 25 tentang keamanan hayati PRG. 3. Sesuai dengan peraturan pemerintah mengenai pelabelan PRG, disarankan untuk segera melaksanakannya, karena sudah ditetapkan sejak tahun 1999 dalam PP 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
150
PEMBAHASAN UMUM Hasil nyata kemajuan di bidang bioteknologi rekayasa genetik tanaman, salah satunya adalah tanaman padi tahan terhadap serangan hama penggerek batang yang mengandung gen Cry IA(b). Tanaman ini diharapkan dapat mengurangi penggunaan insektisida sehingga lebih ramah lingkungan, sesuai dengan target pengembangan inovasi teknologi di bidang pertanian berkelanjutan. Setiap tanaman hasil rekayasa genetik harus melalui tahapan pengujian keamanan hayati yang meliputi keamanan pangan, keamanan lingkungan dan/atau keamanan pakan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2005. Sedangkan tanaman non-PRG, tidak perlu melalui tahapan pengujian keamanan hayati, karena proses pengembangannya secara alami melalui persilangan konvensional. Karena tanaman PRG dikembangkan melalui rekayasa genetik, dengan memanfaatkan sumber gen yang dapat berasal dari spesies yang berbeda, maka tanaman PRG dianggap tidak melalui proses yang alami. Dikhawatirkan terdapat pengaruh negatif dari tanaman PRG terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati yang sampai saat ini selalu menjadi perdebatan di kalangan masyarakat. Terjadinya perdebatan antara yang pro dan kontra karena proses pembuatan tanaman PRG melalui teknologi rekayasa genetik, serta banyak persoalan yang belum bisa dijawab, terutama pengaruh jangka panjangnya terhadap lingkungan. Persoalan ini belum dapat diselesaikan apabila masing-masing pihak tidak saling terbuka dan transparan dalam memberikan penjelasan serta melakukan komunikasi berdasarkan fakta ilmiah berdasarkan prinsip kehati-hatian. Tanaman Padi Bt PRG yang dikembangkan oleh Puslit Bioteknologi LIPI, telah melalui pengujian keamanan lingkungan di LUT sejak tahun 2003 – 2007. Berdasarkan hasil kajian ilmiah terhadap kemungkinan pengaruhnya terhadap serangga non target (wereng coklat, wereng punggung putih, hama putih palsu) dan musuh alami (laba-laba, Paederus sp, Coccinella sp dan Cyrtorhinus sp) di lapangan uji terbatas, dimana terbukti bahwa tidak terjadi perbedaan populasi serangga non target di lahan atau plot penanaman Padi Bt PRG dengan plot Padi non-PRG. Meskipun belum dilakukan verifikasi jenis-jenis serangga non target
151
dan musuh alami yang biasa berada di lokasi percobaan sebelum percobaan penanaman Padi Bt PRG, tetapi hasil ini dapat memberikan gambaran dan masukan terhadap dampak penanaman Padi Bt PRG terhadap lingkungan terutama serangga non-target di lokasi pertanaman LUT. Pengujian keamanan lingkungan terhadap organisme yang berada di permukaan dan bawah tanah, belum dilengkapi karena pengujian keamanan lingkungan yang telah dilakukan hanya terhadap dampak yang sangat terkait dengan sifat yang diintroduksikan kepada tanaman. Karena Padi Bt PRG mengandung gen Cry IA(b) yang berfungsi untuk ketahanan terhadap hama, maka sifat ini sangat berhubungan dengan organisme yang berada di atas permukaan tanah seperti serangga non target dan musuh alami. Meskipun pernah dilakukan pengujian terhadap mikroba yang berada di permukaan tanah, ternyata hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat adanya perbedaan populasi mikroba di tanah tempat ditanamnya Padi Bt PRG dengan tanah tempat Padi non PRG (komunikasi pribadi). Kemungkinan pengaruh negatif lain dari residu tanaman Padi Bt PRG, adalah dampaknya pada jenis mikroba tanah yang berfungsi sebagai pengurai, dimana gen Cry IA(b) yang terdapat di dalam tanaman Padi Bt PRG akan terakumulasi di dalam sel mikroba melalui proses horizontal transfer gen. Tetapi sampai saat ini belum terdapat laporan mengenai pengaruhnya terhadap mikroba itu sendiri. Selain kajian pengaruh Padi Bt pada lingkungan, juga perlu diketahui pengaruh sosial ekonominya terhadap masyarakat jika Padi Bt PRG nantinya dikomersialisasikan. Berdasarkan kajian finansial dengan menggunakan analisis anggaran parsial dapat diketahui keberlanjutan usahatani Padi Bt PRG jika sudah dikomersialisasikan kepada masyarakat. Dengan melakukan analisis anggaran parsial,
diperoleh
selisih manfaat dan biaya
menggunakan data-data yang
diperoleh dari hasil perubahan-perubahan yang terjadi akibat penerapan teknologi pengembangan Padi Bt. Bedasarkan hasil pengolahan data, ternyata diperoleh hasil kisaran (ratio) B/C > 1, yang berarti bahwa usahatani Padi Bt PRG termasuk kategori layak untuk dilanjutkan. Hal ini dapat diterima meskipun jumlah produksi belum meningkat, tetapi dengan berkurangnya biaya yang dikeluarkan dengan adanya pemanfaatan teknologi dalam pengelolaan, sehingga dapat dibuat asumsi pengurangan penggunaan insektisida dan upah tenaga kerja di lapangan,
152
sehingga mampu menaikkan pendapatan petani. Berbeda dengan analisis ekonomi yang lebih melihat pada keuntungan dan kerugian, tanpa perhitungan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat teknologi baru yang digunakan. Sedangkan persepsi petani terhadap rencana pengembangan Padi Bt PRG sangat baik, dengan harapan jika padi ini sudah tersedia di pasaran dapat diterapkan dan akhirnya mampu meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan mereka. Tetapi tingkat pengetahuan petani terhadap Padi Bt PRG sangat terbatas, terbukti dari jawaban yang diberikan sebagian besar menjawab tidak tahu, apalagi mengenai pengaruhnya terhadap lingkungan, belum mereka pahami dengan baik. Petani lebih tertarik dengan keuntungan yang akan mereka peroleh jika dapat memperoleh jenih tanaman baru yang akhirnya dapat meningkatkan produksi tanaman. Keterbatasan informasi yang mereka ketahui, kemungkinan disebabkan karena sangat terbatasnya sumber yang dapat diakses serta komunikasi antara pengembang teknologi dengan petani kurang difasilitasi oleh pemerintah, sehingga terjadi kesenjangan dan gap antara kedua kelompok ini. Karena itu perlu dilakukan sosialisasi dan komunikasi terhadap tanaman PRG, dengan segala keutamaan dan kemungkinan risikonya. Produktivitas akan menjadi solusi fundamental dalam ketahanan pangan nasional. Beberapa cara dapat dilakukan melalui peningkatan dan perbaikan lingkungan, dengan mengurangi penggunaan insektisida, penggunaan benih unggul melalui inovasi bioteknologi. Selain itu perubahan dalam pengelolaan dan pendidikan petani termasuk salah satu pengaturan dan perhatian pemerintah terhadap perbaikan di bidang pertanian di masa mendatang. Analisis keberlanjutan dalam pengelolaan kebijakan Padi Bt PRG berdasarkan
dimensi ekonomi, dimensi lingkungan, dimensi sosial, dimensi
teknologi dan dimensi hukum kelembagaan telah diperoleh dengan hasil indeks keberlanjutan yang berbeda-beda pada setiap dimensi. Dari lima dimensi yang dikaji, ternyata dimensi teknologi memiliki indeks keberlanjutan hanya 46,01%. Nilai ini termasuk kurang berkelanjutan, dan memerlukan perbaikan pada atributatribut sensitif agar kondisi yang terjadi saat sekarang dapat diintervensi dan ditingkatkan menjadi berkelanjutan. Sedangkan untuk dimensi lingkungan, ekonomi, sosial dan hukum kelembagaan tergolong cukup berkelanjutan, akan
153
tetapi cenderung menjadi kurang berkelanjutan jika tidak dipertahankan atau dilakukan perbaikan pada atribut-atribut sensitif. Hasil analisis pengambilan keputusan berdasarkan strategi kebijakan pengelolaan PRG memberikan nilai sama untuk semua aspek yang dikaji, yaitu aspek lingkungan, aspek ekonomi, aspek sosial kemasyarakatan dan aspek teknologi. Berdasarkan kriteria terhadap masing-masing aspek kajian, diperoleh nilai tertinggi untuk menjadi perhatian bersama menurut analisis pakar terkait adalah terjadinya perpindahan material genetik untuk aspek lingkungan, peningkatan pendapatan petani untuk aspek ekonomi, perhatian terhadap kesehatan manusia untuk aspek sosial kemasyarakatan serta kemampuan SDM dalam melakukan pengujian keamanan hayati untuk aspek teknologi. Alternatif utama yang menjadi prioritas pakar terkait adalah kepatuhan terhadap hukum (law enforcement) dalam pelaksanaan pengelolaan PRG. Alternatif ini sudah menjadi kesepakatan pemerintah yang dibuktikan dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 69 dan 101 yang memuat sanksi dan hukuman terhadap pelanggaran dalam pemanfaatan PRG yang bertentangan dengan peraturan yang telah ditetapkan, terutama dalam PP 21/2005 mengenai Keamanan Hayati PRG. Jenis sanksi yang dikenakan kepada pihak-pihak yang melanggar aturan tersebut berupa
hukuman pidana dan/atau hukuman denda.
Alternatif kedua yang telah dipilih oleh pakar adalah kemampuan TTKH dalam melakukan pengkajian. Alternatif ini sangat penting karena keputusan yang dibuat oleh TTKH merupakan rekomendasi bagi KKH dalam memberikan masukan kepada Menteri terkait untuk mengeluarkan hasil keputusan atau izin pelepasan dan pemanfaatan PRG kepada masyarakat atau lingkungan. TTKH sebagai komponen yang menentukan, harus memiliki kemampuan ilmiah yang tinggi dan luas sesuai dengan bidang keahlian mereka masing-masing. Selain itu TTKH harus melakukan pengkajian sesuai dengan prinsip kehati-hatian berdasarkan kasus per kasus, seperti yang tercantum dalam Protokol Cartagena. Selain itu prinsip kesetaraan substansial yang berarti tidak ada perbedaan dengan produk sebelumnya, kecuali sifat yang diintroduksikan. Kepakaran dalam bidang keahlian sangat diperlukan, karena proses pengkajian kelompok lingkungan lebih bersifat multidisiplin keilmuan yang melibatkan beberapa bidang ilmu seperti ekologi,
154
mikrobiologi, entomologi, agronomi, biologi, fisiologi, fitopatologi, tanah dan genetika tanaman. Kemungkinan terjadinya risiko pada saat pengujian atau risiko untuk jangka panjang terhadap keanekaragaman hayati, harus dianalisis dan dikaji sesuai dengan aturan dan persyaratan keamanan lingkungan, agar tidak menimbulkan kerugian terhadap lingkungan hidup. Sistem kebijakan pengelolaan PRG dalam memacu pembanguan pertanian berkelanjutan, dipengaruhi oleh beberapa komponen yang memiliki hubungan saling keterkaitan. Komponen SDM dan peraturan merupakan komponen utama yang dapat saling mempengaruhi. Selain itu komponen non fisik seperti komponen sosial dan ekonomi, seperti persepsi dan penerimaan masyarakat termasuk yang menentukan dalam keberlanjutan pemanfaatan PRG di pasaran. Dalam rangka pemodelan strategi kebijakan pengelolaan PRG berkelanjutan khususnya tanaman PRG, maka dirancang model yang memanfaatkan input terkontrol, input tidak terkontrol, dan input lingkungan. Selain itu terdapat juga output yang dikehendaki dan output yang tidak dikehendaki. Identifikasi sistem berdasarkan data primer, pendapat pakar, data sekunder dan pengamatan langsung di lapangan yang mengelompokkan input terkontrol di dalam sistem meliputi antara lain pengurangan penggunaan pestisida khususnya insektisida untuk hama, memperbaiki kualitas dan kuantitas tanaman dan meningkatkan kemampuan SDM dalam teknologi rekombinan DNA. Input
tidak terkontrol yang dapat
mempengaruhi kinerja sistem antara lain harga benih tanaman PRG yang tinggi akibat biaya yang harus dikeluarkan untuk pengujian keamanan hayati sebagai persyaratan memperoleh izin pelepasan, biaya investasi teknologi pengembangan tanaman PRG yang cukup besar serta keterbatasan infra struktur dalam menghasilkan tanaman PRG. Input lain yang berpengaruh terhadap sistem antara lain adalah UU No 12/1992 tentang Budidaya Tanaman, yang mengatur khusus tanaman PRG adalah Peraturan Pemerintah No 21/2005 tentang Keamanan Hayati PRG yang harus dilaksanakan sebelum pemanfaatan PRG kepada masyarakat, yang diperkuat dengan PerPres N0 39/2010 tentang Kelembagaan Komisi Keamanan Hayati PRG, UU No. 18/2012 tentang Pangan, dan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Input tersebut diharapkan dapat menghasilkan output berupa peningkatan ketahanan pangan
155
nasional, memperbaiki kualitas lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan petani. Identifikasi sistem input output (I-O) tersebut dapat disajikan sebagaimana pada Gambar 1.
INPUT TIDAK TERKONTROL Harga benih tan PRG tinggi Besarnya biaya utk pengujian keamanan hayati Biaya investasi teknologi yg tinggi Keterbatasan infrastruktur
INPUT TERKONTROL
INPUT LINGKUNGAN
OUTPUT DIINGINKAN
UU 21/2004, UU18/2012, PP 21/2005, PerPres 39/2010, UU 32/2009
-Meningkatkan ketahanan pangan nasional -Memperbaiki kualitas lingkungan -Meningkatkan kesejahteraan petani
STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN TANAMAN PRG BERKELANJUTAN
OUTPUT TIDAK DIINGINKAN -Pengaruh negatif PRG pada manusia dan hewan
-Mengurangi penggunaan insektisida
-Pengaruh negatif PRG thd keanekaragaman hayati & lingkungan
-Meningkatkan kualitas &kuantitas tanaman
-Pengawasan dan Implementasi peraturan dan undang-undang belum dilaksanakan sepenuhnya
-Meningkatkan kemampuan SDM di bidang teknologi rekombinan DNA dan keamanan hayati
UMPAN BALIK
Gambar 1. Diagram input-output strategi pengelolaan PRG berkelanjutan Pada sistem ini ada beberapa output yang tidak diharapkan tetapi berpeluang terjadi sebagai akibat proses pemanfaatan pengembangan PRG, antara lain
terjadinya
pengaruh
negatif
terhadap
manusia
dan
hewan
serta
keanekaragaman hayati pada lingkungan tempat di tanamnya tanaman PRG. Faktor kemungkinan terjadinya output yang tidak dikehendaki dapat diantisipasi dengan melakukan pengujian dan pengkajian terhadap tanaman PRG sebelum dilepas dan dimanfaatkan dengan mengacu kepada pedoman pengujian tanaman PRG di LUT. Selain itu faktor penerapan peraturan atau regulasi terkait tanaman PRG menjadi salah satu output yang tidak diinginkan, karena belum dilaksanakan dengan semestinya. Oleh karena itu fungsi pengelolaan, komunikasi, pengawasan
156
dan pelaksanaan peraturan harus dapat berjalan dengan seimbang, sehingga output yang tidak diharapkan dapat dikelola menjadi input yang dapat dikendalikan. Secara umum, kebijakan pengelolaan PRG dapat dituangkan dalam bentuk model konseptual pengelolaan yang mengacu kepada pembangunan pertanian berkelanjutan terdiri dari kelembagaan atau aktor pelaksana, adanya dukungan pendanaan, sistem pengelolaan (management) yang berlandaskan pada peraturan dan undang-undang (Gambar 2).
Pembangunan pertanian berkalanjutan
Legal review
Peraturan dan Undangundang
Ekologi Hukum& Kelembagaan
MDS Status Keberlanjutan
Ekonomi
Content Analysis
Teknologi
Sistem Pengelolaan Pendidikan dan Partisipasi Masyarakat
Sosial
Dukungan Pendanaan
Analisis Kelayakan ekonomi (Teknologi bru vs teknolgi konvensional) Struktur aktor
AHP
ISM
- Faktor - Kriteria - Alternatif kebijakan
(Interpretative Structural Modelling)
Kelembagaan & Aktor Pengelola
Struktur kendala Struktur alternatif
Gambar 2. Bagan alir model konseptual strategi kebijakan pengelolaan PRG Model pengelolaan diawali dengan pembentukan lembaga pengelola (institutional arrangement) yang telah diatur di dalam Perpres 39/2010, tersedianya sumber pendanaan yang memadai dalam mengelola bidang lingkungan, ekonomi, sosial dan teknologi yang berkelanjutan dengan melibatkan peran serta masyarakat, institusi pemerintah dan pihak swasta. Penanganan sektor lingkungan, teknologi, dan partisipasi masyarakat, sangat terkait dengan sistem pengelolaan, pendanaan dan peraturan yang berkelanjutan. 157
Secara lebih rinci, beberapa hambatan atau kendala terkait dengan pengelolaan PRG dan
alternatif-alternatif
yang dapat
dilakukan untuk
mengatasinya telah dibahas dalam analisis kebijakan pengelolaan PRG menggunakan metoda pengambilan keputusan berdasarkan justifikasi pakar dengan metoda AHP dan ISM. Dari hasil analisis diketahui bahwa kendala utama dalam pengelolaan PRG adalah keterbatasan sumber daya manusia dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian pedoman teknis terkait keamanan hayati PRG. Tetapi pedoman teknis keamanan lingkungan PRG telah disahkan sejak tahun 2012 dalam Per Men LH 25/2012, diharapkan pedoman teknis pakan dan pedoman untuk penelitian PRG juga dapat diselesaikan secepatnya. Hambatan yang ditemukan dalam pengelolaan PRG, dapat diselesaikan jika terdapat komitmen dan koordinasi di lembaga pelaksana, sesuai dengan prioritas pembangunan pertanian yang telah ditetapkan. Alternatif yang dipilih untuk mengatasi hambatan dalam pengelolaan PRG adalah pelaksanaan yang sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang telah ditetapkan serta meningkatkan kemampuan TTKH PRG dalam melakukan pengkajian dokumen keamanan hayati PRG. Peraturan dan undang-undang yang mengatur tentang keamanan hayati PRG telah tersedia, hanya diperlukan komitmen dan monitoring terhadap pelaksanaan dari peraturan tersebut. Demikian juga dengan keanggotaan TTKH PRG harus berdasarkan keahlian dan kepakaran yang sesuai dengan bidang keamanan hayati PRG.
158
KESIMPULAN UMUM 1. Tidak terdapat pengaruh negatif Padi Bt PRG terhadap populasi serangga non target dan musuh alami potensial yang ditemukan
di LUT, berdasarkan
pengujian keamanan lingkungan. 2. Berdasarkan hasil seleksi higromisin dan analisis PCR pada tanaman Padi non-PRG kultivar Rojolele, Rojolele KA, Ciherang dan Pandan Wangi generasi kesatu (T0) hasil penelitian gene flow dengan perlakuan jarak tanam yang berbeda-beda (1,2,3,5,7,9,11,13 dan 15 meter), tidak ditemukan tanaman yang positif membawa gen Cry IA(b). 3. Tanaman Padi Bt PRG tahan serangan hama penggerek batang kuning, termasuk kategori layak untuk diusahakan, berdasarkan analisis finansial ex ante, dengan metode anggaran parsial. Dengan berkurangnya penggunaan insektisida 10% sampai 50% dan asumsi harga benih tanam (benih pokok) sama dengan Padi non-PRG yakni Rp 20.000, diperoleh nilai investasi (B/C ratio) 1,02 untuk aplikasi insektisida 10% dan 1,01 untuk aplikasi insektisida 50%. Jika harga benih 50% lebih tinggi, maka diperoleh nilai investasi (B/C ratio) 1,52 untuk aplikasi insektisida 10% dan 1,50 untuk aplikasi insektisida 50%. Angka ini termasuk pada kategori usahatani dapat dilanjutkan untuk tujuan komersialisasi. 4. Persepsi petani terhadap keamanan tanaman PRG masih sangat rendah, demikian juga dengan pengetahuan petani terhadap tanaman Padi Bt PRG yang ramah lingkungan. Lebih dari 65% petani menyatakan tidak tahu tentang Padi Bt, dan hanya sekitar 20% petani dari wilayah Subang yang mengetahui bahwa Padi Bt PRG lebih ramah lingkungan dibandingkan tanaman Padi nonPRG. 5. Umumnya petani bersedia menanam Padi Bt PRG (sekitar 90%) untuk wilayah Karawang dan Sukabumi, kecuali petani dari wilayah penelitian Subang, hanya 35% petani yang menyatakan bersedia menanam Padi Bt PRG. 6. Kebijakan pengelolaan PRG pada saat sekarang termasuk kategori cukup berkelanjutan dengan nilai 58.99% pada skala ordinasi 1-100%. Dari lima dimensi keberlanjutan yang dianalisis, dimensi ekologi, dimensi ekonomi,
159
dimensi sosial dan dimensi kelembagaan tergolong pada kondisi cukup berkelanjutan, kecuali untuk dimensi teknologi, tergolong pada kondisi kurang berkelanjutan. 7. Faktor-faktor sensitif sebagai pengungkit yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan PRG adalah: a. Dimensi ekologi yaitu perpindahan (crossing) material genetik dari padi Bt PRG ke tanaman padi non PRG, dampak Padi Bt PRG terhadap organisme perairan, pengaruh Padi Bt PRG pada organisme non target potensial dan keanekaragaman hayati, potensi tanaman PRG menjadi gulma, dan keamanan PRG terhadap kesehatan manusia. b. Dimensi ekonomi yaitu tingkat ketergantungan petani terhadap benih PRG, harga jual benih PRG yang terjangkau, peningkatan pendapatan petani, dan stabilitas produksi tanaman PRG. c. Dimensi sosial yaitu ketersediaan informasi bagi masyarakat mengenai PRG, dan persepsi dan penerimaan masyarakat terhadap PRG. d. Dimensi teknologi yaitu jumlah PRG yang telah dilepas dan memperoleh izin peredaran di Indonesia serta kemampuan SDM dalam riset rekombinan DNA. e. Dimensi kelembagaan yaitu peraturan perundang-undangan tentang PRG dan pelabelan PRG. 8. Menurut analisis kebijakan dengan metode pengambilan keputusan (AHP) diperoleh 4 level hirarki yaitu tujuan, faktor, kriteria dan alternatif. Untuk faktor lingkungan, prioritas utama berdasarkan judgement pakar adalah perpindahan material genetik dari tanaman PRG ke tanaman non-PRG. Peningkatan pendapatan petani adalah prioritas utama untuk aspek ekonomi, keamanan PRG terhadap kesehatan manusia merupakan prioritas utama untuk aspek sosial dan kemampuan dalam melakukan pengujian keamanan hayati untuk aspek teknologi. 9. Pada level alternatif , disepakati bahwa law enforcement terhadap peraturan dan undang-undang merupakan prioritas dalam strategi pengelolaan PRG.
160
10. Lima lembaga yang paling berperan dalam pengelolaan PRG berdasarkan metode ISM dengan matriks driver power adalah Kementan, BPOM, KLH dan diikuti oleh KKH PRG, TTKH PRG pada level kedua. 11. Kendala utama dalam strategi pengelolaan PRG menurut hasil pengolahan data dengan ISM, diperoleh elemen belum diselesaikannya pedoman teknis pengkajian keamanan hayati dan terbatasnya jumlah pakar di bidang keamanan hayati merupakan prioritas utama yang harus diselesaikan.
SARAN-SARAN Berdasarkan hasil analisis, pembahasan, dan kesimpulan penelitian, beberapa saran dapat disampaikan sebagai berikut: 1. Pada pengujian keamanan lingkungan yang telah dilakukan pada tanaman Padi Bt PRG, disarankan untuk melengkapi data dengan justifikasi jenisjenis serangga non target potensial yang biasa berada di lokasi penelitian sebelum penanaman Padi Bt PRG, sehingga dapat diketahui jenis-jenis serangga yang biasa terdapat di lokasi sebelum penanaman dan setelah ditanami dengan Padi Bt PRG. 2. Komunikasi risiko dan pengelolaan risiko sebagai bagian dari analisis risiko terhadap PRG, harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan dan undang-undang yang telah ditetapkan agar pengelolaan PRG berkelanjutan dapat tercapai. Pendidikan dan pengetahuan masyarakat terkait PRG harus ditingkatkan melalui kegiatan sosialisasi dan informasi yang murah dan mudah diakses. 3. Belum diselesaikannya sejumlah pedoman teknis dalam pelaksanaan peraturan dan undang-undang terkait PRG, dapat menghambat pelaksanaan pengelolaan PRG di Indonesia, maka disarankan untuk segera menetapkan pedoman-pedoman teknis seperti pedoman keamanan pakan, pedoman pelaksanaan penelitian di Laboratorium dan FUT, dan pedoman pengawasan dan pengendalian terhadap peredaran PRG di Indonesia.
161
DAFTAR PUSTAKA Abdullah AB, Ito S, Adhana K. 2005. Estimate of rice consumption in Asian countries and the world towards 2050. Tottori University. http://www.ipni.net/ppiweb/bcropint.nsf/webindex/A6E539E7C275E3E4 85256BDC00731AA9/file/BCI-RICEp12.pdf. [12 Maret 2011] Adiwibowo S, Buchori D, Santosa DA, Kartodiharjo H, Triwidodo H. 2005. Partisipasi masyarakat dan kebijakan bioteknologi di Indonesia: Tantangan, kendala dan peluang. Cetakan pertama. KEHATI. Jakarta Alcantara EP et al. 2000. Investigation of Bacillus thuringiensis δ-endotoxin binding to midgut receptors of rice stem borers. International Rice Genetics Symposium. IRRI. 221 hlm. Alvarez-Morales A. 2006. Session IV: Identifying and defining hazards and potential consequences III: Concepts for problem formulation and nontarget risk assessment. Environ Biosafety Res. 5:189-192. Amuwitagama I. 2002. Analysis of pest management method used for rice stem borer (Scirpophaga incertulas) in Sri Lanka based on the concept of sustainable development [tesis]. Lund University International Master’s Programme in Environmental Sciences. Araya-Quesada M, Degrassi G, Ripandelli D, Craig W. 2010. Key elements in a strategic approach to capacity building in the biosafety of genetically modified organisms. Environ Biosafety Res. 9(1): 59-65. Ardjanhar A, SS Siwi, E Mahrub. 2004. Peranan parasitoid telur penggerek batang padi pada lahan yang diaplikasi insektisida kimia di daerah Indramayu. Dalam Prosiding Seminar Nasional Entomologi dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial. Bogor. Perhimpunan Entomologi Indonesia. 5 Oktober 2004. Auer C. 2008. Ecological risk assessment and regulation for genetically-modified ornamental plants. Plant Sci. 27(4):255-271. Balai Kliring Keamanan Hayati (BKKH). 2010. Keputusan Domestik dan Berita keamanan produk bioteknologi dan status perakitan tanaman produk bioteknolo[on line] http://www.indonesiabch.org/beritaindex.php. Bahagiawati AH et al. 2003. Pembangunan kemampuan di bidang bioteknologi dan keamanan hayati di Indonesia. Proyek National Biosafety Framework GEF-UNEP. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Bahagiawati AH, EM Lokollo, Supriyati, Sutrisno. 2007. The Cost of research and development for producing a transgenic crop and Its biosafety regulation compliance in Indonesia. Asian Biotechnol and Dev. 11(1): 511. 162
Baihaki A. 2002. Rekayasa Genetik: Tantangan dan harapan dalam rekayasa genetik: Tantangan dan Harapan Unpad Press, Bandung. Barratt BIP, Howarth FG, Withers TM, Kean JM, Ridley GS. 2010. Progress in risk assessment for classical biological control. Biological Control 52: 245-254. Breitler JC et al. 2000. Expression of a Bacillus thuringiensis cry1B synthetic gene protects Mediterranean rice against the striped stem borer. Plant Cell Rep. 19:1195-1202. Baum JA, Kakefuda M, Gawron-Burke C. 1996. Engineering Bacillus thuringiensis bioinsecticides with an indigenous site-specific recombination system. Appl Environ Microbiol. 62(12): 4367-4373. Bermawie N et al. 2003. Survei perkembangan dan dampak pelepasan produk rekayasa genetik (PRG) dan produk komersialnya. Final report. Nasional Biosafety Framework GEF-UNEP. Ministry of Environment, Jakarta. Indonesia. Birch ANE et al. 2004. Biodiversity and non-target impacts: a case study of Bt maize in Kenya. Di dalam: Hilbeck A and Andow DA, editor. Environmental risk assessment of genetically modified organisms. A case study of Bt maize in Kenya.CAB International 2004: 117-186. Brockett P, Levine P. 1984. Statistics and probability and their applications. Saunders college publishing. Philadelphia. Brookes G, Barfoot P. 2003. GM Rice: Will this lead the way for global acceptance of GM crop technology? ISAAA Brief No 28: 1-52. Bravo A, Likitvivatanavong S, Gill SS, Soberon M. 2011. Bacillus thuringiensis: A Story of a successful bioinsecticide. Insect Biochemistry and Molecular Biol.(41) 423-431. Ceccarelli S, Grando S, Maatougui M, Michael M, Slash M, et al. (2010) Plant breeding and climate changes. Journal of Agricultural Science, Cambridge 148, 627-637. Chen LJ, Lee DS, Song ZP, Suh HS, Lu BR. 2004. Gene flow from cultivated rice (Oryza sativa) to its weedy and wild relatives. Ann Bot 93:67-73. Chen M et al. 2006. Field assessment of the effects of transgenic rice expressing a fused gene of cryI Ab and cryI Ac from Bacillus thuringiensis Berliner on nontarget planthopper and leafhopper populations. Environ Entomol 35 (1):127-134.
163
Chen Y et al. 2010. Transgenic rice plants expressing a fused protein of Cry IAb/Vip3H has resistance to rice stem borers under laboratory and field conditions. J Econ Entomol. 103(4):1444-1453. Cheng X, Sardana R, Kaplan H, Altosaar I. 1998. Agrobacterium - transformed rice plants expressing synthetic cry IA(b) and cry IA(c) gene are highly toxic to striped stem borer and yellow stem borer. Proc Natl Acad Sci 95:2767-2772. Conko G. 2003. The benefits of biotech. Regulation Spring: 20-25. Cogoy M, Steininger KW. 2007. The economics of global environmental change. International cooperation for sustainability. Edward Elgar Pub. Limited. USA. Cunningham WP, Saigo BW. 2001. Environmental Science: A global concern, Sixth edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. 249-260. Datta K et al. 1998. Constitutive and tissue-specific differential expression of the cry IA(b) gene in transgenic rice plants conferring resistance to rice insect pest. Theor Appl Genet 97: 20-30. Daly HV, Doyen JT, Parcell A. 1998. Introduction to Insect Biology and Diversity. Oxford New York – Oxford Univ. Press. 529 – 558. Deswina P, Usyati N, Slamet-Loedin IH. 2009. Pengaruh padi transgenik mengandung gen Cry 1A(b) terhadap populasi serangga non-target di lapangan uji terbatas. J Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 28(2): 95100. Dunn WN. 2003. Pengantar analisis kebijakan public. Ed ke-2. Wibawa S et al. penerjemah; Darwin M, penyunting. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Public policy analysis: An Introduction 2nd. Environmental Protection Agency (EPA). 1999. Pesticide Fact Sheet: Bacillus thuringiensis Cry IAb Delta-Endotoxin and The Genetic Material Necessary for It’s Production (Plasmid vector pZ 01502) in corn (Bt 11). Eriyatno, Sofyar F. 2007. Riset Kebijakan: Metode penelitian untuk pascasarjana. IPB Press. Bogor. Fauzi A dan Anna Z. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan. Untuk Analisis Kebijakan. Jakarta, Gramedia. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2010. Biotechnology and food security. Rome, Italy [on line] www.fao.org. [12 Maret 2011]
164
[FAPRI] Food and Agricultural Policy Research Institute. 2004. The US and world agricultural outlook, Iowa State University and the University of Missouri. Garcia-Alonso M et al. 2006. A tiered system for assessing the risk of genetically modified plants to non-target organisms. Environ Biosafety Res 5 (2):57-65. Gatehouse GA. 2008. Biotechnological prospects for engineering insect-resistant plant. Plant Physiol 146:881-887. Ghareyazie B et al. 1997. Peningkatan ketahanan terhadap dua penggerek batang pada padi aromatik yang memiliki gen cry IA(b) sintetik. Willy bayuardi Suwarno, penerjemah; Mol Breeding 3: 401-404. Kluwer Academic Pub. Belgium. Terjemahan dari: Enhanced resistance to two stem borer in an aromatic rice containing a synthetic cry IA(b) gene. Greenberg BM, Glick BR. 1993. The use of recombinant DNA technology to produce genetically modified plants. Di dalam: Glick BR, Thompson JE, editor. Methods in plant molecular biology and biotechnology. New York. 1–10. Groote HD, Overholt WA, Ouma JO, Wanyama J. 2011. Assessing the potential economic impact of Bacillus thuringiensis (Bt) maize in Kenya. African J of Biotechnol. 10(23):4741-4751. Halsey ME. 2006. Integrated confined system for genetically engineered plants. Program for Biosafety Systems. Donald Danforth Plant Science Center.Washington D.C. Hao C, YongJun L, Qi Fa Z. 2009. Review and prospect of transgenic rice research – Document transcript. Review Chinese Science Bulletin. Science In China Press. Wuhan 430070, China. Harst M, Cobanov B, Hausmann L, Eibach R, Tӧ pfer R. 2009. Evaluation of pollen dispersal and cross pollination using transgenic grapevine plants. Environ Biosafety Res. 8: 87-99. Herman M. 2009. Tanaman produk rekayasa genetik dan kebijakan pengembangannya. Teknologi rekayasa genetik dan status penelitiannya di Indonesia. Vol. 1 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
165
Herman M. 2009. Tanaman produk rekayasa Genetik dan kebijakan pengembangannya. Status global tanaman produk rekayasa genetik dan regulasinya. Vol. 2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Ho NH, Uyen NV, Datta K, Datta SK. 2001. Production of transgenic rice plants resistant to yellow stem borer and herbicide in two Vietnamese varieties via Agrobacterium tumefaciens. Omonrice. 9:30-35. Hofte H, Whiteley HR. 1989. Insectisidal crystal proteins of Bacillus thuringiensis. Microbiol Rev. 53: 242-255. Howell VD, John TD, Alexander P. 1998. Introduction to insect biology and diversity. Oxford New York- Oxford Univ. Press: 3-20 Hilbeck D, Andow DA. 2004. Environmental risk assessment of genetically modified organisms 1. CABI Publishing. Huang J, Hu R, Rozelle S, Pray C. 2001. Insect resistant GM rice in farmer’s field:Assessng productivity and health effects in China. Science: 688-690. Hüsken A, Prescher S, Schiemann J. 2010. Evaluating biological containment strategies for pollen-mediated gene flow. Environ Biosafety Res. 9:67-73. [IRRI] International Rice Research Institute. 2003. Kinds of rice insect pest based on modes of feeding. Rice doctor. http://knowledgebank.irri.org [26 Oktober 2011]. [ISAAA] International Service for the Acquisition of Agri-Biotech Applications. 2013. Summary. Global Review of Commercialized Transgenic Crops. [on line] http://www.isaaa.org/ [23 November 2012]. Icoz I, Stotzky G. 2008. Fate and effects of insect-resistant Bt crops in soil ecosystems. Soil Biol and Biochem J. 40: 559-586. Ignacimuthu S, Arockiasamy S, Terada R. 2000. Genetic transformation of rice: Current status and future prospects. Current Science. 79(2):186-195. James C. 2010. Global status of commercialized biotech/GM crops: 2010. Brief 42 ISAAA. James C. 2012. Global status of commercialized biotech/GM crops: 2011. ISAAA. Seminar Nasional Jakarta Indonesia 20 Februari 2012. Jeong et al. 2005. Cytologycal characterization of interspecific hybrids in rice (Oryza sativa L.). Korean J Breed. 37(1):52-56.
166
Josine TL, Ji J, Wang G, Guan CF. 2011. Advances in genetic engineering for plants abiotic stress control. African J of Biotechnol. 10(28): 5402-5413. Kartasapoetra AG. 1993. Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan. Bumi aksara. Jakarta. Kartodiharjo, H. 2009. Sumberdaya Alam, Komoditi dan Arah Pengelolaannya. Bahan Kuliah Pasca Sarjana PSL IPB. Kementerian Pertanian. 2013. Konsep strategi induk pembangunan pertanian 2013-2045. Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan. Solusi pembangunan Indonesia masa depan. Biro Perencanaan Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian. 2-26 Khan EU, Liu JH. 2009. Plant biotechnological approaches for the production and commercialization of transgenic crops. Review. Biotechnol & Biotechnol EQ. 23(3): 1281-1288. Kropff MJ, Struik PC. 2002. Developments in Crop Ecology. NJAS. 50(2): 223237. Kuo W, Chak K. 1996. Identification of novel cry-type genes from Bacillus thuringiensis strains on the basis of restriction fragment length polymorphism of the PCR amplified DNA. Appl Environ Microbiol 62(4): 1369-1377. Laporan Teknik Kegiatan Penelitian Bioteknologi Tahun Anggaran 2006, 2007 Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia. Laporan KKH PRG. 2012. Sekretariat KKH PRG. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. Lee M, Yeun L, Abdullah R. 2006. Expression of Bacillus thuringiensis insecticidal protein gene in transgenic oil palm. Electronic J of Biotechnol 9(2): 117-126. Lemaux
PG. 2009. Introduction to genetic modification. Agricultural Biotechnology in California Series. Pub. 8178. http://ucbiotech.org/resources/factsheets/8178.pdf [14 September 2011].
Lenin K, Udayasurian V, Kannaiyan S. 2007. Diversity in cry genes of Bacillus thuringiensis. National Biodiversity Authority. Chennai Tamil Nadu. India Lottmann J, Berg G. 2001. Phenotypic and genotypic characterization of antagonistic bacteria associated with roots of transgenic and nontransgenic potato plants. Microbiol Res. 156:75-82.
167
Lu B-R, Sweet J. 2010. Challenges and opportunities in environmental biosafety research. Environ Biosafety Res. 9:1-3 Lynch RE, Wiseman BR, Plaisted D, Warnick D. 1999. Evaluation of transgenic sweet corn hybrids expressing cry IA(b) toxin for resistance to corn earworm and fall armyworm (Lepidoptera: Noctuidae). J of Economic Entomol. 2:26-32. MacMahon RR. 2000. Genetic Engineering of crop plants. Yale-New Haven Teachers Institute. Bioethics. VII. http://yale.edu/ynhti/curriculum/units/2000/7/00.07.02.x.html. [12 Oktober 2011]. Manshardt R. 2004. Crop improvement by conventional breeding or genetic engineering: How different are they? Bio. 5:1-3. Marfa V, Mele E, Vassal JM, Messeguer J. 2002. In vitro insect-feeding bioassay to determine the resistance of transgenic rice plants transformed with insect resistance genes againts striped stem borer (Chilo suppressalis). In vitro Cellular and Dev Biol Plant. 38: 310-315. Marimin, 2005. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo. Jakarta McCammon SL. 2010. Biosafey research and risk assessment (Session I). Environ Biosafety Res. 5(4):177-182. Mimura M, Lelmen KE, Shimazaki T, Kikuchi A, Watanabe KN. 2008. Impact of environmental stress-tolerant transgenic potato on genotypic diversity of microbial communities and soil enzyme activities under stress conditions. Microbes Environ. 23(3):221-228. Mitchell B, Setiawan B, Rahmi DH. 2007. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. IKAPI. Yogyakarta Moghaieb REA. 2010. Transgenic rice plants expressing cry 1la5 gene are resistant to stem borer (Chilo agamemnon). GM Crops. 1(5): 288-293. Mohanty S. 2010. Climate change and its impact on rice, the irrigation schemes and the market. Di dalam: European Agricultural Economics Association’s special seminar on Climate Change, Food Security and Resilience of Food and Agricultural Systems in Developing Countries: Mitigation and Adaptations 20-27 Nov 2010, Stuttgart, Germany. 8697. Mulyaningsih ES, Deswina P, Slamet-Loedin IH. 2009. Dampak padi transgenic mengekspresikan gen Cry IA(b) untuk ketahanan terhadap penggerek batang di lapang terbatas terhadap serangga bukan sasaran. J Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika. 9 (2):85-91.
168
Munasinghe M. 1993. Environmental economics and sustainable development Vol 3. World Bank Environment Paper. Washington DC. USA. 112 p. Nasir. M. 2002. Bioteknologi: Potensi dan keberhasilannya dalam bidang pertanian . PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 165-200. Nayak P et al. 1997. Transgenic elite indica rice plant expressing cry IAc δendotoksin of Bacillus thuringiensis are resistant against yellow stem borer (Scirpophaga incertulas). Proc Natl Acad Sci USA 94: 211-216. Newell P, Mackenzie R. 2000. The 2000 Cartagena Protocol on biosafety: legal and political dimensions. Global Environ Change. 10: 313-317. Novak FJ, Brunner H. 1992. Plant breeding: Induced mutation technology for crop improvement. IAEA Bull 4: 25-33. Pauwels K, Breyer D, De Schrijver A, Goossens M, Herman P. 2010. Contributions from scientific research to the risk assessment of GMOs. Lessons learned from a symposium held in Brussels, Belgium, 21-22 October 2010. Environ Biosafety Res. 9:113-121. Prasetya B, Deswina P. 2009. Biotechnology research and integration with industry. J of Biotech Res In Tropical Region. 2(2):2-6. Pray ME, Ma D, Huang J, Qiao F. 2001. Impact of Bt Cotton in China. World Dev. 29:813-825. Pitcher TJ, Preikshot D. 2001. RAPFISH: a rapid appraisal technique to evaluate the sustainability status of fisheries. Fisheries Res. 49:255-270. Qaim M. 2009. The economics of genetically modified crops. The annual review of resource economics. 1: 665-693. http://www.annualreviews.org/doi/pdf/ [5 Nopember 2011]. Rahman M et al. 2007. Insect resistance and risk assessment studies of advanced generations of basmati rice expressing two genes of Bacillus thuringiensis. Electronic J of Biotechnol. 10(2): 240-251. Raybould A. 2006. Problem formulation and hypothesis testing for environmental risk assessments of genetically modified crops. Environ Biosafety Res. 5 (4):119-125. Raybould A. 2011. The bucket and the searchlight: formulating and testing risk hypotheses about the weediness and invasiveness potential of transgenic crops. Environ Biosafety Res. 9:123- 133.
169
Redona ED. 2006. Rice Biotechnology for Developing Countries in Asia. Agricultural Biotechnology: Finding Common International Goals. http://nabc.cals.cornell.edu/pubs/nabc_16/talks/redona.pdf.[18 Oktober 2011]. Reissig W et al. 1986. Illustrated guide to integrated pest management in rice in tropical Asia. IRRI. Los Banos, Laguna, Philippines. Rissler J, Mellon M. 1996. The ecological risks of engineered crops. Massachusetts Institute of Technology. London. England. Rodriguez RC, Nottenburg C. 2002. Antibiotic resistance genes and their use in genetic transformation especially in plants. CAMBIA. http:www.cambiaip.org/whitepapers/transgenic/ab_resistance/books/w hole.pdf. [12 Nopember 2012]. Rogers P.P, Jalal K.F, Boyd J.A. 2007. An Introduction to Sustainable Development. Earthscan, UK and USA. Roth S, Hyde J. 2002. Partial budgeting for agricultural businesses. Agricultural Research and Cooperative Extension College of Agricultural Sciences. Penn State. http://www.cas.psu.edu {1 Oktober 2013}. Roush RT. 1998. Two-toxin strategies for management of insecticidal transgenic crops: can pyramiding succeed where pesticide mixtures have not? Phil Trans Res Soc Lond B. 353: 1777-1786. Rozelle S, Huang J, Hu R. 2000. Genetically modified rice in China: Effects on farmers-in China and California. Giannini Foundation of Agricultural Economics. Univ of California: 2-6 Saaty,R.W. and T.L. Saaty. 2003. Decision Making in Complex Environments: The Analytical Hierarchy Process (AHP) for Decision Making and The Analytical Network Process (ANP) for Decision Making with Dependence and Feedback. Creative Decisions Foundation, Pittsburgh, PA, http://www.SuperDecision,com [21 November 2012]. Salm T et al. 1994. Insect resistance of transgenic plants that express modified Bacillus thuringiensis cry IA(b) and cry IC genes: a resistance management strategy. Plant Mol Biol. 26: 51-59 Salim E.2005. Looking Back To Move Forward. Preface in Resosudarmo (edt): The Politics and Economics of Indonesia’s Natural Resources. ISEAS, Singapore. Sanim B. 2003. Keterkaitan sumber daya alam dan lingkungan, pembangunan ekonomi dan manajemen lingkungan. Materi kuliah ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan. Sekolah Pascasarjana IPB.
170
Sanahuja G, Banakar R, Twyman RM, Capell T, Christou P. 2011. Bacillus thuringiensis: a century of research, development and commercial aplications. Plant Biotech J. 9: 283-300. Shah F, Huang J, Cui K, Nie L, Shah T, et al. (2011) Impact of high temperature stress on rice plant and its traits related to tolerance. J of Agricultural Sci. Cambridge. 10: 1-12 Sharma KK, Sharma HC, Seetharama N, Ortiz R. 2002. Development and deployment of transgenic plants: Biosafety considerations. In vitro cell Dev Biol Plant. 38:106-115. Slette J. 2010. Rice and corn update. Global agricultural information network. USDA Foreign Agricultural Service. Voluntary Public. Snow A, MacBryde B, Wozniak C, Daniell H, Hall L, Horak M, Strauss S. 2003. Research needs & priorities for plants: Impacts and management of gene flow In: Workshop “Future directions & research priorities for the USDA biotechnology risk assessment grants program. Washington DC June 9-10, 2003. Soemarwoto O. 2002. Sikap Kehati-hatian Rekayasa Genetik. Di dalam: Rekayasa Genetika: Tantangan dan harapan Unpad Press, Bandung: 12-19. Srivastava SK et al. 2003. Stem borer of rice – wheat cropping system: status, diagnosis, biology and management. Rice-wheat Consorsium Bulletin Series. Rice-Wheat Consortium for the Indo- Gangetic Plains. New Delhi. India. Stein AJ, Rodriguez-Cerezo E. 2010. International trade and the global pipeline of new GM crops. Nat Biotechnol. 28(1):23-25. Sugandhy A, Hakim R. 2009. Pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan. Bumi Aksara.Jakarta. Ed. 1. 158 hal. Soekartawi.1995. Analisis Usahatani. UI Press. Jakarta Thiagarajasubramanian A. 2005. Recent advances in the genetic engineering of rice crops. MMG 445 e-journal 1:1. www.msu.edu/course/mmg/445 [26 Oktober 2011]. Thomson JA. 2000. Genetic engineering of plants. Biotechnol III.7 p. Tietenberg T, Lewis L. 2010. Environmental Economics and Policy. Sixth Edition. Pearson Education. Inc. 15-90. Tu J, Zhang G, Datta K, Xu C, He Y, Zhang Q, Khush G S, Datta S K. 2000. Field performance of transgenic elite commercial hybrid rice expressing Bacillus thuringiensis δ- endotoxin. Nature Biotechnol 18: 1101–1104.
171
Undang-undang Republik Indonesia No 21 Tahun 2004 Tentang Pengesahan Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Undang-undang No 32 Tahun 2009. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Jakarta. Undang-undang No 18 Tahun 2012. Tentang Pangan. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Vaughan DA, Morishima H, Kadowaki K. 2003. Diversity in the Oryza genus. Current opinion in: Plant Biology. 6: 139-146. Wang Z et al. 2002. Genetic analysis of resistance of Bt rice to stripe stem borer (Chilo suppressalis). Euphytica.123: 379-386 Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Terjemahan, Gramedia Pustaka Utama. Jakarta World rice production 2009 -2010. http://www.rice- trade.com/articles/riceproduction.html . [20 Oktober 2011]. Wraigt DL, Zangerl AL, Carrol MJ, Berenbaum MR. 2000. Absence of toxicity of Bacillus thuringiensis pollen to black swallowtails under field conditions. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 97:7700-7703. Wu C, Fan Y, Zhang C, Oliva N, Datta SK. 1997. Transgenic fertile japonica rice expressing a modified cry1Ab gene resistant to yellow stem borer. Plant Cell Rep. 17: 129–132. Yang Z, Chen H, Tang W, Hua H, Lin Y. 2011. Development and characterisation of transgenic rice expressing two Bacillus thuringiensis genes. Pest Manag Sci. 67: 414-422. Ye GY, Yao HW, Shu QY, Cheng X, Hu C, Xia YW, Gao MW, Altosaar I. 2003. High levels on stable resistance intransgenic rice with a Cry IA(b) gene from Bacillus thuringiensis Berliner to leaffolder Cnaphalocrosis medinalis (Guence) under field conditions. Crop Protection. 22: 171178. Zheng K, Huang N, Bennet P, Khush GS. 1995. PCR-based marker assisted selection in rice breeding. IRRI News Letter 2.
172
Lampiran 1. Model penanaman untuk penelitian gene flow di daerah Karawang, Jawa Barat, Tahun 2006
Padi PRG
Padi non-PRG (border)
173
Lampiran 2. Komposisi larutan untuk reaksi PCR
Tabel 1. Komposisi volume untuk 1x reaksi PCR (15 µl)
No
Bahan
Konsentrasi
1 2
dNTP Taq Polymerase
0.05 mM 0.05 µl
3 4
Primer forward Cry IAb Primer reverse CryIAb
2.5 ng/ µl 2.5 ng/ µl
5
DNA sampel hasil isolasi
1 µl
6
d H2O agar reaksi mencapai 20 µl
174
Lampiran 3: Contoh kuisioner untuk persepsi dan penerimaan petani terhadap Padi Bt PRG PERSEPSI DAN PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PADI Bt PRODUK REKAYASA GENETIK (PRG)
PETUNJUK PENGISIAN 1. Setiap responden diharapkan dapat menjawab semua pertanyaan dalam kuisioner ini. 2. Untuk pertanyaan yang telah tersedia alternatif jawabannya, pilih salah satu jawaban yang telah tersedia dengan memberikan tanda x pada kotak di sebelah jawaban yang dipilih 3. Jawaban yang benar adalah pilihan yang sesuai dengan masing-masing pendapat pribadi Bapak/Ibu 4. Untuk pertanyaan isian, tulislah jawaban yang sesuai dengan kondisi dan pendapat Bapak/Ibu di tempat yang telah disediakan. I. IDENTITAS RESPONDEN Nomor : ……………… (diisi oleh petugas) Nama : ………………………………………………………………… -l Umur : …………………………… tahun Alamat
RT/RW :…………….
Dusun/Kecamatan/Kabupaten :………………………………………………….. Pekerjaan lain selain bertani (jika ada, tolong disebutkan) : ………………. Kelompok Tani : …………………………………………….. (diisi jika Bapak/Ibu terdaftar sebagai anggota)
II. KARAKTERISTIK PENGETAHUAN RESPONDEN
Tingkat Pendidikan : 1. Apakah pendidikan formal terakhir Bapak/Ibu? -
175
2. Berapakah kira-kira penghasilan yang Bapak/Ibu peroleh setiap bulan? 3. Apakah Bapak/Ibu pernah mendengar tentang padi transgenik atau padi PRG?
4. Apakah Bapak/Ibu pernah mengikuti pelatihan/kursus/penataran/training yang berkaitan dengan produk transgenik (PRG) ?
5. Dari mana biasanya Bapak/Ibu memperoleh informasi tentang produk transgenik (PRG) pe III. SIKAP DAN PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PRG 1. Apakah menurut Bapak/Ibu, padi PRG tersebut aman untuk dikonsumsi oleh manusia?
2. Apakah Bapak/Ibu bersedia untuk membeli beras yang berasal dari benih transgenik (benih PRG) jika tersedia di pasaran?
3. Kriteria yang lebih diutamakan dalam membeli/mengkonsumsi padi PRG dari isu risiko dan keamanannya 4. Untuk menghindari tanaman padi Bapak/Ibu terserang oleh hama, tindakan apa yang lebih disukai? (sebutkan)…………………………………………………………….. IV. OPINI DAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PADI PRG 1. Dari mana biasanya Bapak/Ibu memperoleh benih padi?
2. Apakah Bapak/Ibu mengetahui bahwa padi PRG lebih “ramah lingkungan” dibandingkan dengan padi non PRG?
3. Apabila padi PRG telah tersedia di pasaran dengan sifat yang lebih unggul (seperti tahan terhadap serangan hama) apakah Bapak/Ibu bersedia membeli dengan harga
176
4. Berapa harga yang selalu Bapak/Ibu bayar untuk memperoleh benih padi per kg nya ? Rp …………………………….. 6. Berapa harga yang dapat Bapak/Ibu bayarkan seandainya padi PRG tahan terhadap serangan hama tersebut sudah tersedia di pasaran: Rp……………….. 5. Jenis padi varietas apa yang biasanya Bapak/Ibu beli untuk ditanam? Sebutkan ................................................. 7. Apa yang Bapak/Ibu harapkan dari padi PRG, pilih jawaban yang sesuai dengan harapan Bapak/Ibu No
Sifat yang diinginkan dari padi PRG
Sangat setuju
setuju
Tidak setuju
Tidak tahu
1. Produktifitas (hasil) tinggi 2. Tahan terhadap serangan hama 3. Tahan serangan penyakit 4. Bisa ditanam di lahan kering 5. Tahan rendaman 6. Tahan herbisida 7. Tahan naungan 8. Kandungan gizi 8. Apakah Bapak/Ibu bersedia menanam Padi PRG, jika produk sudah tersedia di pasaran? -ragu 9. Dalam membeli benih padi, kriteria/ pertimbangan apakah yang akan Bapak/Ibu pilih ;
ama tertentu tapi panen 3 – 4 kali setahun – 4 kali setahun Pilihan sendiri: ……………………………………………………………
TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASINYA
177
Lampiran 4. Uraian isi peraturan dan undang-undang yang menyebut penggunaan dan pemanfaatan produk rekayasa genetic (PRG).
No 1.
Peraturan atau Undang-undang UU No 12 Tahun 1992
Ruang Lingkup
2.
UU No.7/1996
Pasal 3
Pasal 8 Perolehan benih bermutu untuk pengembangan budidaya tanaman dilakukan melalui kegiatan penemuan varietas unggul dan/atau introduksi dari luar negeri Pasal 12 1. Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh Pemerintah 2. Varietas hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang diedarkan
Tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia
1.
3.
PP No 69/ 1999
Pasal 13 ayat 1-2 1. Setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan dan atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan. Pemerintah menetapkan persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan metode rekayasa genetika dalam kegiatan atau proses produksi pangan serta menetapkan persyaratan bagi pengujian pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika. Pasal 35 ayat 1-2 1. Pada label untuk pangan hasil rekayasa genetika wajib dicantumkan tulisan PANGAN REKAYASA GENETIKA. Dalam hal pangan hasil rekayasa genetika
178
4.
PP No.28/2004
5.
UU 32 / 2009
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan bahan yang digunakan dalam suatu produk pangan, pada Label cukup dicantumkan keterangan tentang pangan rekayasa genetika pada bahan yang merupakan pangan hasil rekayasa genetika tersebut saja. Pasal 14 ayat 1-5 1.Setiap orang yang memproduksi pangan atau mengunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan/atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan tersebut sebelum diedarkan. 2. Pemeriksaan keamanan pangan produk rekayasa genetika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. informasi genetika, antara lain deskripsi umum pangan produk rekayasa genetika dan deskripsi inang serta penggunaannya sebagai pangan; b. deskripsi organisme donor; c. deskripsi modifikasi genetika; d. karakterisasi modifkasi genetika; dan e. informasi keamanan pangan, antara lain kesepadanan substansi, perubahan nilai gizi, alerginitas dan toksisitas. (3) Pemeriksaan keamanan pangan produk rekayasa genetika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh komisi yang menangani keanaman pangan produk rekayasa genetika. (4) Persyaratan dan tata cara pemeriksaan keamanan pangan produk rekayasa genetika sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh komisi yang menangani keamanan pangan produk rekayasa genetika. (5) Kepala Badan menetapkan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan/atau bahan bantu lain hasil proses rekayasa genetika yang dinyatakan aman sebagai pangan dengan memperhatikan rekomendasi dari komisi yang menangani keamanan pangan produk rekayasa genetika.
Pasal 69 ayat (1)huruf g Setiap orang dilarang melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin 179
lingkungan
6.
PerMentan 37/ 2011
7.
PerMentan 61/ 2011
180
Pasal 101 Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) Pasal 58 Untuk pengeluaran SDG hasil rekayasa genetik selain mengikuti ketentuan dalam pasal 56 dan pasal 57 harus mengikuti ketentuan perundang-undangan tentang keamanan hayati produk rekayasa genetik. Tanaman PRG Pasal 8 Jenis tanaman PRG meliputi tanaman pangan PRG, tanaman perkebunan PRG dan tanaman hijauan pakan ternak PRG. Pasal 9 (1) Uji adaptasi atau uji observasi tanaman PRG sesuai komoditas seperti tercantum pada Lampiran 1 sebagai bagian tidak terpisahkan dengan peraturan ini, dapat dilakukan setelah melalui proses pengkajian keamanan lingkungan tanaman PRG di LUT atau bersamaan dengan proses pengkajian keamanan lingkungan tanaman PRG di LUT dengan tetap mengikuti ketentuan LUT dan ketentuan pelepasan varietas tanaman. (2) Permohonan uji adaptasi atau uji observasi yang dilakukan bersamaan dengan proses pengkajian keamanan lingkungan tanaman PRG di LUT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Menteri
melalui Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian tembusan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup, Ketua KKH, Ketua BBN, dan Kepala Badan Karantina Pertanian. (3) Permohonan uji adaptasi atau uji observasi tanaman PRG di LUT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilengkapi dengan: a. isian formulir seperti tercantum pada Lampiran 3 sebagai bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan ini; b. jawaban daftar pertanyaan seperti tercantum pada Lampiran 4 sebagai bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan ini; c. lampiran informasi dan data yang diperlukan, serta proposal uji adaptasi atau uji observasi tanaman PRG di LUT; (4) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak menerima permohonan, harus sudah mengusulkan kepada Ketua KKH untuk penerbitan rekomendasi pengujian keamanan lingkungan tanaman PRG yang dilakukan bersamaan dengan uji adaptasi atau uji observasi di LUT. Pasal 10 Tata cara pemberian rekomendasi dari Ketua KKH dan ijin uji adaptasi atau uji observasi yang dilakukan bersamaan dengan pengujian keamanan lingkungan tanaman PRG di LUT oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atas nama Menteri Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 seperti tercantum pada Lampiran 2 sebagai bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan ini. Pasal 11 (1) Hasil uji adaptasi atau uji observasi yang dilakukan oleh penyelenggara uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 9 dilampirkan pada dokumen usulan pelepasan varietas. 181
(2) Usulan pelepasan varietas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi dan dinilai oleh TP2V. (3) Hasil evaluasi dan penilaian TP2V sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Ketua BBN sebagai bahan pertimbangan usulan pelepasan varietas oleh Menteri Pertanian. Pasal 12 (1) Evaluasi dan penilaian oleh TP2V sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan terhadap keunggulan dan kesesuaian calon varietas yang akan dilepas. (2) Keunggulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain: a. daya hasil; b. ketahanan terhadap organisme pengganggu tumbuhan utama; c. ketahanan terhadap cekaman lingkungan; d. kecepatan berproduksi; e. mutu hasil tinggi dan/atau ketahanan simpan; f. toleransi benih terhadap kerusakan mekanis; g. tipe tanaman yang keindahan dan/atau nilai ekonomis; dan/atau h. batang bawah untuk perbanyakan klonal, harus mempunyai perakaran yang kuat, ketahanan terhadap hama/penyakit akar dan kompatibilitas. (3) Kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain meliputi sejarah, kebenaran silsilah, deskripsi dan metoda pemuliaan. Bab IV. Pelepasan Pasal 13 (1) Calon varietas yang diusulkan untuk dilepas dapat berasal dari pemuliaan di dalam negeri atau berasal dari introduksi. (2) Calon varietas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa galur murni, komposit, kultivar, klon, mutan, hibrida, tanaman PRG dan/atau hasil teknik pemuliaan lain. (3) Calon varietas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilepas apabila 182
memenuhi persyaratan: a. silsilah tanaman meliputi asal usul, nama tetua, daerah asal, nama pemilik atau penemu, perkiraan umur bagi tanaman tahunan atau lama penyebaran bagi tanaman semusim yang telah berkembang di masyarakat (varietas lokal) dan metoda pemuliaan yang digunakan; b. tersedia deskripsi yang lengkap dan jelas, untuk identifikasi dan pengenalan varietas secara akurat; c. menunjukkan keunggulan terhadap varietas pembanding; d. unik, seragam dan stabil; e. pernyataan dari pemilik bahwa benih penjenis (breeder seed) tersedia baik dalam jumlah maupun mutu yang cukup untuk perbanyakan lebih lanjut; dan f. dilengkapi data hasil pengujian lapangan seluruh lokasi dan/atau laboratorium. (4) Untuk varietas introduksi selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus melampirkan ijin dari pemilik varietas. (5) Untuk hibrida selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) deskripsi tetua harus dilampirkan. Pasal 14 Calon varietas tanaman PRG yang diusulkan untuk selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 harus memenuhi ketentuan keamanan hayati. Pasal 15 (1) Varietas dari pemuliaan silang balik yang ditujukan untuk perbaikan sifat dan/atau penambahan satu sifat baru dengan tidak merubah sifat-sifat lain sesuai deskripsi aslinya, dapat dilepas tanpa melalui uji adaptasi atau uji observasi. (2) Varietas dari pemuliaan silang balik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai data bukti kesesuaian deskripsi asli melalui uji 183
petak pembanding. (3) Petak pembanding sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah varietas asli yang dijadikan pembanding untuk melihat kesamaan deskripsi dari varietas sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Pelepasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap mengikuti prosedur pelepasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Pasal 16 (5) Tanaman PRG yang berasal dari varietas non PRG dan telah dilepas, selanjutnya dilakukan perbaikan sifat dan/atau penambahan satu sifat baru dengan tidak merubah sifat-sifat lain sesuai deskripsi aslinya, dapat dilepas tanpa melalui uji adaptasi atau uji observasi dengan tetap mengikuti ketentuan pelepasan varietassebagaimana dimaksud dalam pasal 13. (6) Tanaman PRG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai data bukti kesesuaian deskripsi asli melalui uji petak pembanding. (7) Petak pembanding sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu varietas asli yang dijadikan pembanding untukmelihat kesamaan deskripsi dari tanaman PRG sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (8) Tanaman PRG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilepas, apabila dilengkapi bukti kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan sertifikat dan rekomendasi keamanan lingkungan, keamanan pangan dan/atau keamanan pakan terlebih dahulu. Pasal 23 (1) Penamaan varietas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 untuk tanaman PRG harus ditambahkan kode PRG (event). (2) Penamaan varietas yang berasal dari varietas yang telah dilepas harus menggunakan nama varietas yang telah dilepas dengan ditambahkan kode PRG. 184
Pasal 25 Varietas tanaman PRG yang terbukti tidak memberikan manfaat dan/atau tidak layak sebagaimana dimaksud pada Pasal 24 ayat (2) a. Menteri Negara Lingkungan Hidup mengusulkan kepada Menteri Pertanian untuk mencabut keputusan pelepasan atau peredaran varietas tanaman PRG. b. Tindakan pengendalian dan penanggulangan serta penarikan varietas tanaman PRG dari peredaran dilakukan sesuai dengan ketentuan UU No 18/2012
Pasal 77 (1) Setiap Orang dilarang memproduksi Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan. (2) Setiap Orang yang melakukan kegiatan atau proses Produksi Pangan dilarang menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan. (3) Persetujuan Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan oleh Pemerintah. (4) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh persetujuan Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 78 (1) Pemerintah menetapkan persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan metode Rekayasa Genetik Pangan dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan, serta menetapkan persyaratan bagi pengujian Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan. (2) Ketentuan mengenai persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan metode Rekayasa Genetik Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 137
185
(1) Setiap Orang yang memproduksi Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Setiap Orang yang melakukan kegiatan atau proses Produksi Pangan dengan menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
186
Lampiran 5: Kuisioner AHP untuk responden pakar KARAKTERISTIK RESPONDEN 1. Nama Lengkap
:
2. Pekerjaan/Institusi
:
…………………………………………………………..…
3. Keahlian
□
Biologi/ Kultur Jaringan/ Mikrobiologi □ Kebijakan pemerintah □ Biologi molekuler/Pemuliaan □ Ekologi/Konservasi □ Sosial, budaya dan kelembagaan □ Ekonomi sumberdaya alam □ Keanekaragaman hayati (Biodiversiti) □ Entomologi □ Ilmu lingkungan □ Lainnya:.................................................................
:
4. Penelitian di bidang pengelolaan produk rekayasa genetik / tanaman, hewan, jasad renik 5. Pendidikan di Bidang : S1 : …................................................………..........………. S2 : …................................................………..........………. S3: …................................................………….........……. 6. Alamat : …………………...................................................………….. 7. Alamat E-mail : 8. Telepon/HP/Fax : /....……..…………...../.............………….. 9. Tanggal Pengisian Kuesioner: .....................................................
PENENTUAN KRITERIA DAN ALTERNATIF KEAMANAN LINGKUNGAN UNTUK FORMULASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN PRODUK REKAYASA GENETIK (PRG) 1. Penentuan Tujuan Pengelolaan Produk Rekayasa Genetik (PRG) untuk Padi Transgenik Mohon diberikan tanda () pada kolom A, B, C, D atau E pada masingmasing pernyataan sesuai dengan pendapat Bapak/Ibu jika pernyataan tersebut dapat diidentifikasikan sebagai kriteria Tujuan Formulasi Kebijakan Pengelolaan Produk Rekayasa Genetik (PRG) untuk Padi Transgenik dimana: A : Sangat setuju B : Setuju C : Cukup setuju D : Kurang setuju E : Tidak setuju 187
Kriteria tujuan pengelolaan Produk Rekayasa Genetik (PRG) untuk Padi Transgenik secara berkelanjutan adalah: No
Tujuan
A
B
C
D
E
Menjamin perlindungan aspek ekologis terhadap keanekaragaman hayati
1
4
Meningkatkan ekonomi masyarakat dengan memacu produksi padi nasional untuk mendukung ketahanan pangan Keselarasan sosial dengan memperhatikan komunikasi risiko (Risk communication) dan managemen risiko (Risk management)dengan masyarakat Memacu kemampuan di bidang teknologi rekombinan DNA
5
.........................................................................
2
3
2. Penentuan Aktor yang Berpengaruh Dalam Pengelolaan Produk Rekayasa Genetik (PRG) untuk Padi Transgenik Mohon diberikan tanda () pada kolom A, B, C, D atau E pada masingmasing pernyataan sesuai dengan pendapat Bapak/Ibu jika pernyataan tersebut dapat diidentifikasikan sebagai kriteria Aktor Pengelolaan Produk Rekayasa Genetik (PRG) untuk Padi Transgenik dimana: A B C D E
: : : : :
Sangat berpengaruh Berpengaruh Cukup berpengaruh Kurang berpengaruh Tidak berpengaruh
Kriteria aktor yang berpengaruh dalam Pengelolaan Produk Rekayasa Genetik (PRG) untuk Padi Transgenik adalah: No
Aktor
1
Komisi Keamanan Hayati PRG
2
Tim Teknis Keamanan Hayati PRG
3
Kementerian Pertanian
4
Kementerian Negara Lingkungan Hidup
188
A
B
C
D
E
5
Badan Pengawas Obat dan Makanan
6
Lembaga pemerintah Non Kementerian lainya
7
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
8
Pengembang teknologi
9
Petani
10
Masyarakat
11
Perusahaan Swasta Multinasional
12
Lainnya (jika ada mohon dituliskan):
3. Penentuan Faktor yang Diprioritaskan Dalam Pengelolaan Produk Rekayasa Genetik (PRG) untuk Padi Transgenik Mohon diberikan tanda () pada kolom A, B, C, D atau E pada masingmasing pernyataan sesuai dengan pendapat Bapak/Ibu jika pernyataan tersebut dapat diidentifikasikan sebagai kriteria Faktor yang menjadi prioritas dalam Pengelolaan Produk Rekayasa Genetik untuk Padi Transgenik, dimana: A B C D E
: : : : :
Sangat diprioritaskan Diprioritaskan Cukup diprioritaskan Kurang diprioritaskan Tidak diprioritaskan
Kriteria faktor yang diprioritaskan dalam kebijakan pengelolaan Padi PRG secara berkelanjutan adalah:
No
Faktor
1
Kemampuan sumber daya manusia (SDM)
2
Kelengkapan infra struktur dan peralatan dalam penelitian
3
Ketersediaan budget penelitian, sampai tahap pengajuan keamanan hayati ( Financial)
4
Birokrasi atau prosedur memperoleh keamanan hayati dari Institusi terkait
5
Peraturan dan regulasi terkait PRG
6
Kerja sama nasional dan internaional
A
B
C
D
E
189
7
Pedoman (guidelines) untuk pengajuan keamanan hayati PRG
8
Kerangka waktu (time frame) yang jelas untuk proses pengajuan keamanan hayati PRG
4. Penentuan Alternatif Strategi Dalam Pengelolaan Rekayasa Genetik (PRG) untuk Padi Transgenik
Produk
Mohon diberikan tanda () pada kolom A, B, C, D atau E pada masingmasing pernyataan sesuai dengan pendapat Bapak/Ibu jika pernyataan tersebut dapat diidentifikasikan sebagai kriteria Alternatif yang diterapkan dalam Pengelolaan Produk Rekayasa Genetik untuk padi transgenik, dimana: A : Sangat sesuai B : Sesuai C : Cukup sesuai D : Kurang sesuai E : Tidak sesuai Kriteria alternatif strategi yang diterapkan dalam pengelolaan padi transgenik adalah: No
Alternatif
1
Menetapkan pedoman pengajuan keamanan lingkungan untuk persiapan komersialisasi
2
Mengembangkan kemampuan SDM di bidang bioteknologi dan pengujian keamanan hayati
3 4 5 6 7
190
Membuat skala prioritas nasional untuk mengembangkan PRG dalam negeri Mengembangkan penelitian dan pengujian keamanan hayati untuk padi PRG berdasarkan metode ilmiah Melakukan analisis sosial ekonomi terhadap prospek keberlanjutan padi PRG Persiapan dana yang memadai dan konsisten sejak awal penelitian sampai pengujian keamanan hayati Menjalin kerja sama yang saling menguntungkan dengan pihak luar
A
B
C
D
E
191
Kondisi merugikan terhadap organisme non target dan keanekaragaman hayati potensial (PP No 21 /2005 pasal 8 & 27) Pengaruh tidak langsung (indirect impact) dari tanaman PRG terhadap ekosistem Dampak terhadap organisme perairan di lokasi penanaman PRG
Potensi tanaman PRG menjadi gulma pada areal pertanaman
Terjadinya perpindahan material genetik dari tanaman PRG kepada tanaman non PRG (Pedoman pengkajian keamanan hayati PRG Seri tanaman 2005) Perbaikan kualitas lingkungan akibat berkurangnya penggunaan pestisida
Keamanan PRG terhadap kesehatan manusia (PP No 21/2005 dan Pedoman pengkajian keamanan pangan )
1.
4.
5.
7.
6.
3.
2.
Atribut
No
0 = Mempengaruhi ekosistem 1 = Kemungkinan mempengaruhi 2 = Tidak ada pengaruh 0 = memusnahkan 1 = terjadi perubahan jumlah populasi 2 = tidak merubah populasi 0 = Memiliki potensi untuk berkompetisi 1 = Kemungkinan berpotensi menjd gulma 2 = Tidak berpotensi menjadi gulma 0 = terjadi perpindahan genetik dan persilangan dgn tanaman non PRG 1 = terjadi perpindahan genetik tapi tidak ada persilangan 2 = tidak ada perpindahan material genetic 0 = kualitas lingkungan lebih buruk 1= tidak ada perbedaan thd kualitas lingkungan 2 = kualitas lingkungan menjadi lebih baik 0 = menimbulkan gangguan thd kesehatan manusia 1 = tidak menimbulkan pengaruh 2 = Membuat kesehatan menjadi lebih baik
0 = memusnahkan 1 = mengubah populasi 2 = tidak merubah populasi
Skala
0
0
0
0
0
0
0
2
2
2
2
2
2
2
Buruk Baik
Dimensi Ekologi dan Kesehatan Nilai
Lampiran 6. Kuisioner untuk analisis keberlanjutan pengelolaan tanaman PRG dengan metode MDS
Ket
191
Tanaman PRG tahan hama akan mengurangi penggunaan insektisida shg kondisi lingkungan lebih baik
Tercantum dalam pedoman pengkajian keamanan hayati PRG tahun 2005 Seri Tanaman Berdasarkan Pedoman Pengkajian Keamanan Hayati PRG. Seri Tanaman 2005 Belum ada kesepakatan jumlah persentase material genetik yang aman jika terjadi persilangan dgn tanaman non PRG
Pengaruh tidak langsung tidak dapat diprediksi pada saat sekarang
Seharusnya tidak ada perbedaan populasi organisme pada lahan yang ditanami tanaman PRG dengan non PRG
192
Stabilitas produksi tanaman PRG lebih terjamin
Mengurangi biaya produksi, karena menurunnya biaya saprotan
Bertambahnya pendapatan petani pengguna PRG
Harga beli benih padi PRG yang terjangkau oleh petani
Tingkat ketergantungan petani pada benih PRG
Jumlah tenaga kerja di lahan pertanian
Kesejahteraan petani pengguna
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
192
Atribut
No
0 = harus selalu membeli benih baru agar diperoleh kualitas yg sama 1= sama dengan benih non PRG 2= tidak perlu beli benih setiap kali akan ditanam 0 = lebih banyak 1 = sama dengan lahan pertanian non PRG 2 = lebih sedikit 0 = menurun 1 = tidak ada perubahan 2 = meningkat
0 = biaya produksi lebih tinggi 1 = tidak mengurangi biaya produksi 2 = biaya produksi lebih rendah 0 = pendapatan petani jadi berkurang 1 = tidak ada peningkatan pendapatan 2 = pendapatan petani meningkat 0 = harga benih lebih tinggi 1 = harga sama dgn benih non PRG 2 = harga benih lebih murah
0 = tidak stabil/lebih rendah 1 = tidak ada perbedaan jumlah 2 = produksi tanaman PRG lebih baik
Skala
Dimensi Ekonomi
0
0
0
0
0
0
0
2
2
2
2
2
2
2
Buruk Baik
Nilai
Ket
Dengan keunggulan sifat tanaman PRG, diharapkan mampu mengurangi jumlah tenaga kerja Dengan keunggulan sifat pada tanaman PRG, akan mengurangi biaya produksi.
Untuk memperoleh benih dengan kualitas optimal harus membeli benih baru
Untuk memperoleh benih PRG perlu biaya tinggi, sehingga harga jual juga lebih tinggi dibandingkan dengan benih biasa
Tanaman PRG tahan serangga hama akan mengurangi biaya pembelian insektisida
Dengan keunggulan sifat tanaman padi tahan hama,maka kesempatan tanaman berproduksi lebih tinggi
193
Atribut
Persepsi dan penerimaan masyarakat
Pendidikan yang benar bagi masyarakat tentang PRG
Perubahan terhadap prinsip penerapan PHT
Sumber informasi terkait PRG
Kebebasan petani dalam memilih PRG atau non PRG
Tingkat pendidikan formal petani pengguna PRG
Pemberdayaan petani dalam kegiatan sosialisasi PRG
Peran kelompok tani dalam sosialisasi PRG
Keikutsertaan publik dalam keputusan pemanfaatan PRG
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
0 = persepsi negatif (menolak) 1 = tidak memahami 2 = persepsi positif (menerima) 0 = tidak ada sama sekali 1 = belum mencukupi 2 = masyarakat telah terdidik 0 = belum diterapkan 1 = hanya sebagian ditrapkan 2 = sudah diterapkan 0 = tidak mencukupi 1 = hanya pada kalangan tertentu 2 = sudah mencukupi 0 = tidak ada kebebasan 1= tidak mengetahui 2= memiliki kebebasan dalam memilih 0 = tidak sekolah-SD 1 = SMP-SMA 2 = Sarjana- dst 0 = tidak pernah 1 = kadang-kadang 2 = sering 0 = tidak ada peran 1 = kadang-kadang 2 = sering 0 = tidak dilibatkan 1 = kadang-kadang 2=selalu dilibatkan pada setiap pengambilan keputusan tentang PRG
Skala
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
2
2
2
2
2
2
2
2
Buruk Baik
Dimensi Sosial Kemasyarakatan
Nilai
Ket
193
Keikutsertaan publik, sesuai dgn PP 21/2005 pasal 17 ayat 1 dan pasal 21
Berdasarkan hasil survey penulis di lapangan
Berdasarkan hasil survey penulis di lapangan
Berdasarkan hasil survey penulis di lapangan
Merupakan bagian dari tugas BKKH Indonesia sebagai sumber informasi terkait PRG
Produk padi PRG belum tersedia di pasaran.
Memperhatikan pasal 23 dari Protokol Cartagena ttg kesadaran dan partisipasi masyarakat Kelanjutan dari pasal 23 (ayat 1b) dari Protokol Cartagena
194
Kemampuan SDM untuk melakukan riset teknologi rekombinan DNA
Membangun kemampuan (capacity building) dalam melakukan pengujian keamanan hayati
Jumlah SDM terlatih yang memiliki kemampuan dalam penelitian rekombinan DNA Jumlah PRG hasil Litbang sendiri yang telah dilepas
1.
2.
3.
194
4.
Atribut
No
0 = kurang dari 10% 1 = sekitar 10 – 50 % 2 = lebih dari 50% 0 = baru satu produk 1 = 1 – 10 2 = lebih dari 10 PRG
0 = belum ada sama sekali 1 = sudah ada tapi belum memadai 2 = sudah mencukupi
0 = belum mmiliki kemampuan 1 = masih sedikit yang memiliki kemampuan 2 = sudah banyak yg memiliki kemampuan
Skala
0
0
0
0
Buruk
Dimensi Teknologi
2
2
2
2
Baik Nilai
Ket Tercantum dalam PP 21 / 2005 pasal 11 dan 20 tentang kemampuan melakukan penelitian dan pengembangan utk menghasilkan PRG Berdasarkan survey .NFP tahun 2005 Membangun kemampuan dan kapasitas SDM dan kelembagaan merupakan amanat dari Protokol Cartagena pasal 22 serta PP 21/2005 pasal 20 Jumlah SDM yang melakukan riset rekombinan DNA diambil dari total jumlah peneliti bidang bioteknologi Data diambil dari hasil keputusan KKH yang telah dipublikasi melalui BKKH Indonesia
195
Ketersediaan perangkat hukum dalam pengelolaan PRG
Sinkronisasi kebijakan diantara LPNK dengan kelembagaan terkait
Ketersediaan peraturan perundangan terkait PRG
Ketersediaan pedoman dalam pengelolaan PRG
Pengaturan kewenangan dalam penanganan PRG
Peran kelembagaan terkait PRG
Mekanisme kerja antar kelembagaan terkait
Peaksanaan kerangka waktu dalam prosedur pengajuan keamanan hayati
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Labeling untuk PRG yang sudah dikomersialisasikan (UU 69/1999)
1.
2.
Atribut
No
0 = belum tersedia 1 = masih dalam perencanaan 2 = sudah diimplementasikan 0 = belum terlaksana sinkronisasi 1 = baru sebagian terlaksana 2 = sudah terlaksana dgn baik 0 = tidak tersedia 1 = belum lengkap 2 = sudah tersedia dengan lengkap 0 = tidak tersedia 1 = belum lengkap 2 = sudah tersedia dengan lengkap 0 = kelembagaan terkait tidak memiliki kewenangan 1= belum diimplementasikan 2= sudah berjalan dengan baik 0 = belum memiliki peran 1 = hanya sebagian yang berperan 2 = sudah berperan dgn baik 0 = belum berjalan 1 = belum sepenuhnya berjalan 2 = sudah berjalan dgn baik 0 = belum dilaksanakaan 1 = baru sebagian 2= sdh berjalan sesuai dgn aturan
0 = belum diterapkan 1 = masih dalam perencanaan 2 = sudah diimplementasikan
Skala
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Buruk
2
2
2
2
2
2
2
2
2
Baik
F. Dimensi Hukum dan Kelembagaan Nilai
195
Berdasarkan aturan dalam PP 21 tahun 2005 pasal 14 s/d pasal 17 dan pasal 21
PP 21 / 2005 pasal 28
Berdasarkan Perpres 39 / 2010 tentang Kelembagaan KKH PRG
Berdasarkan Perpres No 39 / 2010
Berdasarkan PP 21/2005 pasal 20 ayat 3 dan 4
Sudah tersedia dalam bentuk PP, Kep Men dan UU
Berdasarkan UU 32 Tahun 2009 pasal 69 dan 101 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Ket 35: Pada label untuk pangan hasil rekayasa genetika wajib dicantumkan tulisan Pangan Rekayasa Genetika Berdasarkan pasal
196