STUDI KASUS MENGENAI PROSES COPING TERHADAP GRIEVING PADA PENDERITA KETULIAN BERTAHAP USIA DEWASA YANG BERASAL DARI SATU KELUARGA
Agfa Aghnia Nadirah 190110120088
Program Studi S1 Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran
ABSTRAK Terdapat fenomena ketulian bertahap yang ditemukan pada keluarga R dan bersifat genetik. Beberapa anggota keluarga R kehilangan fungsi pendengarannya sedikit demi sedikit, sampai akhirnya tidak dapat mendengar lagi. Kondisi ketulian ini dapat menyebabkan adanya grief yaitu reaksi terhadap kehilangan dimana seseorang mengalami penderitaan emosional ketika sesuatu atau seseorang yang ia cintai atau harapan yang besar telah menghilang (Smith, dalam Lim, 2013). Proses coping terhadap grieving dilihat menggunakan konsep Dual Process Model dari Stroebe & Schut (1999). Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui proses coping terhadap grieving pada penderita ketulian bertahap usia dewasa yang berasal dari satu keluarga. Sebuah studi kasus dilakukan pada tiga orang cucu dari R yang terkena ketulian bertahap. Data diambil menggunakan teknik depth-interview terhadap subjek dan paman subjek, dan observasi. Subjek didapatkan melalui teknik purposive sampling. Pengolahan data dilakukan menggunakan teknik thematic analysis. Disimpulkan bahwa coping dilakukan untuk mengatasi masalah berupa menurunnya self esteem yang berpengaruh terhadap penurunan self concept. Masalah lain berkaitan dengan pekerjaan dan peran dalam keluarga. Bentuk pengalihan stressor loss-orientation kepada restoration orientation dapat dijadikan cara coping yang efektif. Terdapat temuan lain berupa dukungan dari keluarga berperan dalam proses coping dan adanya kemungkinan pengaruh tipe kepribadian terhadap proses grieving. Kata kunci: ketulian bertahap genetik, coping grieving, Dual Process Model
PENDAHULUAN American National Standards Institute (ANSI) mendefinisikan ketulian atau hearing loss sebagai perbedaaan kemampuan normal untuk mendeteksi suara-suara berdasarkan standar yang telah ditetapkan (Martini dan Trevisi dalam Willems, 2004). Adam, Boies, dan Paparella (1978) menjelaskan bahwa dalam menentukan jenis dari ketulian, kita harus melihat apakah penyebabnya ketulian karena faktor genetik atau non genetik; dan berdasarkan waktu terjadinya ada yang menderita ketulian sejak lahir (prenatal) atau terjadi secara bertahap. Ketulian bertahap yang dimaksud adalah melemahnya kemampuan syaraf dari indera pendengaran secara bertahap sampai akhirnya penderita tidak mampu mendengar lagi (Roesman, 1993). Pada penderita ketulian bertahap, mulanya mereka
dapat
mendengar
secara
normal
namun
dikarenakan
syaraf
pendengarannya melemah lama kelamaan kemampuan mendengarnya berkurang sampai tidak dapat mendengar sama sekali. Fenomena ketulian ini ditemukan pada salah satu keluarga, yaitu keluarga R. Hal unik yang berbeda dari ketulian yang lainnya adalah pada keluarga R ketulian terjadi secara bertahap dan terjadi karena faktor genetik. Tidak semua anggota keluarga besar R mengalami ketulian bertahap, namun terdapat beberapa anggota keluarga besar R yang saat ini menderita ketulian secara bertahap disebabkan oleh faktor genetik. Ketulian bertahap ini diturunkan secara genetik dari pihak ibu (istri Tn. R) yang memiliki gen dominan. Dari 10 anak R, 6 diantaranya menderita ketulian bertahap. Sebelumnya telah dilakukan penelitian terhadap tiga anak R yang menderita ketulian oleh Agoes G. Roesman di tahun 1993 dengan judul “Studi Kasus Tentang Hubungan Antara Konsep Diri Dan Kemampuan Mengatasi Masalah Pada Penderita Ketulian Bertahap Dari Satu Keluarga”. Hasilnya didapatkan bahwa dari ketiga orang ini memiliki konsep diri yang berbeda dan berpengaruh terhadap caranya dalam mengatasi masalah (problem solving). Selain itu disimpulkan pula bahwa ibu merupakan pembawa sifat dominan, lalu adanya persamaan fisik (raut wajah dan tinggi badan) dengan penderita awal cenderung mengalami kondisi yang sama (terkena ketulian
bertahap). Saat ini terdapat 5 dari 25 orang cucu keturunan R yang kini menderita ketulian bertahap. Tiga diantara kelima cucu R yang menderita ketulian bertahap adalah perempuan dan kakak beradik, dimana ibu mereka lah yang menderita ketulian yang sama, yaitu U (43 tahun), W (41 tahun), dan S (37 tahun). Sementara dua orang yang lain adalah laki-laki yang juga pasangan kakak beradik, yaitu K (44 tahun) dan A (42 tahun) dimana ayah K dan A-lah yang menderita ketulian bertahap. Meskipun menderita ketulian bertahap, namun kelima cucu R ini ini sudah dapat menjalankan kehidupannya dengan baik dan mampu untuk mempertahankan prestasinya. Kondisi ketulian bertahap ini dapat memunculkan perasaan berduka cita yang mendalam akibat kehilangan fungsi pendengaran. Rasa kehilangan ini seringkali disebut sebagai grief. Grief atau rasa berdukacita merupakan reaksi terhadap kehilangan dimana seseorang mengalami penderitaan emosional ketika sesuatu atau seseorang yang ia cintai atau memiliki harapan yang besar telah menghilang (Smith dalam Lim, 2013). Banyak teori yang dapat menjelaskan bagaimana proses grieving berlangsung, salah satunya Dual Process Model Of Coping With Grief and Loss (DPM) dari Stroebe & Schut (1999). Model inilah yang pertama kali menyatakan bahwa tidak ada definisi yang pasti dari stages of grief. Mereka menjelaskan bahwa terdapat dua tipe dari stressor yang membedakan adanya dua jenis coping, yaitu ‘loss-oriented coping’ mengatasi kehilangan berkaitan dengan individu yang telah meninggal (kehilangan yang dialami), dan ‘restoration-oriented coping’ mengatasi kehilangan dengan masalah spesifik dan mengembangkan aktivitas baru. Model ini dapat menjelasan proses coping terhadap grieving menjadi lebih berdinamika dengan adanya model oscillation atau bergantian dalam menggunakan loss- dan restoration- oriented. Pada penderita ketulian maka loss oriented coping yang dilakukan berkaitan dengan cara mereka mengatasi hal-hal yang berhubungan dengan pendengarannya yang sudah hilang. Sementara restoration oriented coping yang dilakukan berkaitan dengan cara mereka mengatasi kehilangan dengan masalah spesifik baru yang ditemukan setelah kehilangan dan mengembangkan aktivitas-aktivitas yang baru.
Adanya fenomena ketulian bertahap dalam keluarga R, membuat peneliti tertarik untuk melihat bagaimana sebenarnya proses coping terhadap grieving dari anggota keluarga yang terkena ketulian bertahap. Peneliti akan mencoba menjabarkan proses coping grieving menggunakan konsep Dual Process Model dari Stroebe & Schut (1999).
METODE PENELITIAN Rancangan penelitian yang digunakan merupakan rancangan penelitian non-eksperimental dengan pendekatan kualitatif dan metode studi kasus. Studi kasus merupakan sebuah deskripsi dan analisis yang intensif terhadap individu, organisasi, atau kejadian, berdasarkan informasi yang didapatkan dari berbagai sumber seperti interview, dokumen, hasil tes, dan catatan arsip (Christensen, 2004). Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Pada teknik ini peneliti membuat spesifikasi karakteristik dari populasi yang diinginkan lalu mengambil individu yang memiliki karakteristik tersebut (Christensen, Johnson, & Turner, 2011).
Pengambilan data dilakukan
menggunakan teknik in-depth interview. Alat ukur yang digunakan akan berdasarkan kepada konsep Dual Process Model of Coping with Grief and Loss dari Stroebe dan Schut (1999). Selain melakukan wawancara terhadap subjek, peneliti juga melakukan observasi terhadap subjek selama wawancara berlangsung dan melakukan wawancara tambahan dengan paman dari subjek untuk memperkuat data hasil wawancara.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini proses coping grieving pada ketiga subjek akan dibahas melalui konsep Dual Process Model of Grief and Loss dari Stroebe & Schut (1999), yang seringkali disebut sebagai DPM. Hasilnnya didapatkan bahwa ketiga subjek menunjukkan adanya loss orientation (LO) dan restoration orientation (RO) yang berbeda selama proses berlangsung. Begitupula dengan dinamika atau
dalam konsep DPM disebut sebagai oscillation, ketiga subjek terlihat sangat berbeda. Subjek yang pertama adalah U berusia 43 tahun. Ibu dari tiga anak ini menunjukan reaksi grieving ketika gejala pertama mulai muncul, yaitu saat bekerja sebagai pramugari. Subjek yang kedua adalah W berusia 41 tahun dan merupakan adik dari U. Bekerja sebagai seorang PNS dan memiliki 2 orang anak. Reaksi grieving dimulai ketika sedang kuliah S2 dan gejala ketulian mulai muncul dengan intens. Subjek ketiga adalah adik dari U dan W, yaitu S berusia 37 tahun. Seorang ibu rumah tangga dengan 2 anak. Reaksi grieving mulai ada setelah gejala pertama muncul yaitu sehabis melahirkan anak pertama.
Berikut ini secara ringkas bagan model DPM dari ketiga subjek
Loss Orientation Sedih Tidak percaya diri
Restoration Orientation
Oscillation Masih berlangsung, masih tidak percaya diri
Bagan 1 Model DPM Pada Subjek 1
Finansial keluarga Mulai mencari kegiatan komunitas
Restoration Orientation
Loss Orientation Sedih Malu Kecewa Memikirkan pendengaran saat stress Berpikir negatif terhadap suami Pikiran negatif akan kondisi
Oscillation Pekerjaan digunakan untuk coping loss orientation (LO) Intensitas LO sudah sangat jarang muncul Ketika sedang sensitif/sedih seingkali LO muncul
Kebutuhan pekerjaan Mempelajari hal baru
Bagan 2 Model DPM pada Subjek 2
Restoration Orientation
Loss Orientation Memikirkan kemungkinan terkena ketulian Sedih Takut Tidak percaya diri Pasrah
Oscillation Mengalihkan stressor LO dengan fokus pada RO Saat situasi sensistif LO masih sering muncul
Mendatangi acara-acara baru Peran dalam keluarga, peran sebagai isteri dan anak Masalah dengan suami
Bagan 3 Model DPM Subjek 3 *Ket: LO: Loss-orientation RO: Restoration-orientation
Secara keseluruhan dari ketiga subjek menujukan adanya stressor loss orientation yang dialami selama menjalani kehidupan sebagai penderita ketulian
bertahap. Reaksi ini menjadi lebih sering muncul ketika gejala ketulian bertahap mulai dialami oleh subjek. Ketiga subjek sempat menjalani kehidupannya dengan baik, melanjutkan pendidikan dan bekerja dengan lancar. Sampai pada saatnya munculah gejala pertama dari ketulian bertahap. Gejala pertama yang muncul pada ketiga responden adalah seringkali tidak jelas dalam menangkap informasi yang disampaikan orang lain. Bentuk stressor loss orientation yang sama-sama muncul pada ketiga responden berupa rasa malu dan tidak percaya diri akan kondisinya. Stressor loss orientation lebih banyak dirasakan oleh subjek U dan S, dibandingkan pada subjek W. Hal yang membedakan adalah munculnya emosi sedih dan takut pada subjek U dan S. Emosi takut banyak dirasakan dengan berbagai alasan pada subjek S. Sementara pada subjek U rasa tidak percaya diri yang menjadi masalah utama dan masih terus dirasakan olehnya sampai saat ini. Dapat kita lihat bahwa masalah yang dihadapi oleh penderita ketulian bertahap berkaitan adalah perasaan malu dan tidak percaya diri. Hal ini menunjukan adanya penurunan konsep diri atau self concept. Konsep diri merupakan gabungan antara pikiran dan perasaan yang dimiliki seseorang yang menyebabkan timbulnya kesadaran akan eksistensi dirinya, konsepsi tentang apa dan siapakah dirinya (Jersild, dalam Roesman, 1993). Secara garis besar konsep diri ini merupakan suatu pengamatan seseorang tentang dirinya. Penderita ketulian bertahap menilai dirinya tidak lebih baik dari orang lain dikarenakan fungsi pendengarannya yang menurun. Rasa tidak percaya diri karena menilai dirinya tidak lebih baik ketika bertemu dengan orang lain ini juga seringkali disebut sebagai self esteem atau kepercayaan diri. Dapat dilihat bahwa terdapat penurunan rasa percaya diri pada penderita ketulian bertahap. Self esteem atau kepercayaan diri merupakan keseluruhan perasaan terhadap keberhargaan diri (self-worth) yang digunakan untuk menilai kepribadian dan kemampuan kita (Myers, 2008). Adanya penurunan self-esteem inilah yan menjadi salah satu penyebab penurunan selfconcept pada penderita ketulian bertahap. Konsep diri bergantung kepada berbagai macam hal yang mempengaruhi, termasuk peran yang kita mainkan,
perbandingan yang kita buat, identitas sosial, bagaimana kita merasa penilaian orang lain terhadap kita, dan pengalaman mengenai kesusksesan dan kegagalan (Myers, 2008). Masalah-masalah yang ditimbulkan oleh stressor loss orientation lebih banyak diatasi dengan cara yang pasif. Cara pasif yang dimaksud misalnya dengan merenung sendirian dan melakukan kegiatan agama. Cara mengatasi stressor yang ada disebut sebagai coping. Coping merujuk kepada proses, strategi, atau gaya dalam mengatur (mengurangi, menguasai, dan mentoleransi) situasi berduka pada seseorang (Strobe & Schut, 2010). Cara seperti ini banyak dilakukan oleh salah satu subjek, yaitu subjek U. Ia mengakui bahwa cara seperti ini kurang efektif. Melalui cara seperti ini permasalahan yang dihadapi tidak terselesaikan dan masih dirasakan sampai dengan sekarang. Berbeda dengan U, kedua subjek lainnya yaitu W dan S sudah mencoba untuk mencari cara lain dalam mengatasi stressor loss orientation. S lebih menghadapi stressor ini dengan mencoba untuk jujur kepada orang-orang yang ditemuinya. Cara ini diakui oleh S dapat membuatnya menjadi lebih nyaman ketika berkomunikasi dengan orang lain. Selain itu terdapat cara lain yang dilakukan oleh S yaitu dengan mengalihkan stressor yang dirasakan ke hal lain. Cara ini juga dilakukan oleh W. Seringkali S mencoba mengalihkan kesedihannya kepada perannya sebagai ibu. Bermain, belajar, dan menghabiskan waktu bersama anak-anaknya dapat membuatnya melupakan masalahnya. Begitupula yang dilakukan oleh W. Ia menggunakan pekerjaannya sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah yang dihadapinya. Pada saat ini, orang yang berduka akan melawan kehilangannya, namun di waktu lain ia akan menghindari kenangan, menjadi teralihkan, atau mencari bantuan dengan cara fokus kepada hal lain (Stroebe and Schut, 1999). Jika kita lihat lebih lanjut, stressor loss orientation dialihkan kepada stressor dari restoration orientation. Peran sebagai ibu dan pekerjaan menjadi salah satu bentuk restoration orientation yang perlu dihadapi oleh subjek.
Sehingga terlihat dinamika yang digunakan oleh subjek untuk menghadapi stressor yang ada. Pada S, restoration orientation cukup digunakan dengan efektif untuk mengatasi loss orientation yang dirasakan. S sendiri mengaku masih belajar untuk bisa kuat dan terus percaya diri di lingkungan seperti kakaknya, W. Sementara pada U proses osilasi tidak terlihat, karena tidak banyak kegiatan yang bisa dilakukan U untuk melupakan kondisinya. Hal ini juga berkaitan dengan sifat dari U yang memang pemalu dan tidak percaya diri di awal. Ia lebih tertutup dan tidak banyak kegiatan, sehingga sampai sekarang pun ketika mau bertemu orang lain pasti merasa tidak percaya diri. Jika coping yang dilakukan efektif maka bukan hanya dapat bertahan namun juga berbagai kesulitan fisik dan kesehatan mental yang diasosiasikan dengan proses berduka dapat dikurangi (Strobe & Schut, 2010). Adanya kemampuan RO yang lebih baik pada W dan S memungkinkan mereka untuk bisa lebih mengembangkan dirinya. Kemampuan ini memungkinkan mereka untuk mempelajari skill baru lain melalui sumber lain seperti teman, anggota keluarga, maupun orang lain dalam komunitas, yang mungkin melebihi kebutuhan mereka (Lund et al., 1989; Utz, 2006 dalam Lund, 2010). Model tugas Worden (dalam Stroebe & Schut 2010) yang menjadi salah satu dasar model DPM menyebutkan terdapat empat tugas dari individu yang berduka. Selain merasakan kepedihan dari kehilangan, dalam model ini juga individu memiliki tugas untuk bisa menyesuaikan diri dengan dunia yang baru tanpa adanya orang yang meniggal dunia, dalam kasus ini berarti tanpa adanya pendengaran yang berfungsi dengan normal. Ketiga responden menujukan mereka sudah bisa menyesuaikan diri dengan kondisinya yang sekarang, hanya saja seberapa optimal mereka menyesuaikan dirinya yang berbeda dari setiap individu. W yang lebih banyak beraktivitas terlihat lebih bisa memanfaatkan RO menjadi hal yang optimal. Terlihat bahwa memang proses coping grieving ini sangat berbeda setiap individunya dan dipengaruhi oleh banyak hal. Seperti yang diungkapkan oleh Stroebe & Schut (1999) bahwa rekasi grief merupakan reaksi yang individual.
Meskipun berasal dari ibu dan ayah yang sama, namun proses mereka menghadapi ketulian bertahap ini berbeda-beda. Pada kasus ini, terlihat bahwa yang paling efektif dalam melakukan coping adalah subjek W. Subjek W sendiri mengakui dapat melakukan hal ini dengan baik dikarenakan memiliki pengetahuan mengenai coping stress dan adanya kegiatan di luar rumah yang tidak dimiliki oleh kedua subjek lainnya. Perasaan tidak menerima keadaan atau sedih yang berlebihan pada ketiga responden tidak terlalu terlihat. Hal ini diakui oleh ketiganya karena memang proses ketulian yang bertahap ini lah yang membuatnya menjadi lebih bisa menerima. Ketulian tidak terjadi secara langsung, namun sedikit demi sedikit sehingga subjek dapat lebih menyesuaikan diri. Selain itu pengalaman melihat anggota keluarga yang sebelumnya mengalami kondisi yang sama juga membuat mereka menjadi lebih siap. Dukungan dari keluarga dan pasangan menjadi salah satu hal yang dibutuhkan selama menjalani kehidupan sebagai penderita ketulian bertahap. Dukungan berupa tetap diperlakukan layaknya individu yang normal dan diberi kepercayaan melakukan kegiatan oleh keluarga menjadi hal yang menguatkan. Stroebe & Schut (2015) mengemukakan bahwa dinamika keluarga akan mempengaruhi proses grieving dan begitupula sebaliknya. Meskipun memiliki bentuk proses grieving yang berbeda dan efektivitas dari penggunaan LO dan RO yang berbeda, namun ketiga subjek menunjukan mereka sudah bisa menerima dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Proses oscillation atau pergantian antara RO dan LO sendiri juga masih belum sepenuhnya berhenti pada ketiga subjek. Ketiganya seringkali masih sempat terpikir mengenai kondisi pendengarannya ketika sedang berada dalam kondisi sensitif, misalnya ketika mood sedang tidak baik atau ketika sedang merasa sangat sedih. Hal yang membedakan dari ketiganya adanya intensitas dari proses kemunculan pikiran-pikiran tentang pendengarannya. Pada U pikiran ini terlihat masih sering muncul ketika akan bertemu dengan orang yang baru dikenalnya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka diperlukan dukungan dari keluarga dan juga pasangan agar penderita ketulian bertahap tetap bisa menjalankan
kehidupannya dengan baik. Selain itu, meskipun ketiganya sudah dapat menerima kondisinya, namun pemberian kegiatan lain dapat membantu penyelesaian
stressor
loss
orientation
menjadi
lebih
baik.
Memiliki
keseimbangan antara kedua proses (loss orientation dan restoration orientation) diasosiasikan dengan lebih banyak hasil yang positif jika dibandingkan dengan yang tidak seimbang, yaitu yang lebih menekankan kepada loss-orientation (Caserta & Lund, 2007). Individu yang berduka harus ikut serta dalam aktivitas yang berkaitan dengan rumah tangga, finansial, atau tanggung jawab resmi, bukan hanya karena mereka perlu, tapi juga untuk membuktikan kepada diri mereka bahwa mereka mampu untuk menjadi lebih mandiri (Caserta & Lund, 2007).
TEMUAN LAIN Dalam melakukan penelitian ini, peneliti juga menemukan beberapa hal lain yang tidak dapat terbahas menggunakan konsep DPM dari Stroebe & Schut. Beberapa temuan ini dianggap penting untuk dijelaskan karena dapat menjadi informasi tambahan dan juga saran bagi penelitian selanjutnya. Temuan pertama berkaitan dengan proses appraisal atau penilaian terhadap stressor. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa ketiga subjek tidak terlalu menganggap kondisi ketulian bertahap ini sebagai kondisi yang menyedihkan dan memberatkan kehidupannya. Hal ini disebabkan karena kehilangan pendengaran yang terjadi sedikit demi sedikit (tidak tiba-tiba keseluruhan hilang) dan pengalaman melihat anggota keluarga (ibu dan tantenya) lain yang mengalami ketulian bertahap namun tetap dapat menjalankan kehidupannya dengan baik. Bagi mereka keadaan tersebut bukanlah hal yang asing. Jika dilihat menggunakan konsep Cognitive Stress Theory dari Lazarus dan Folkman, hal ini berkaitan dengan tahap appraisal atau penilaian. Pada primary appraisal kehilangan pendengaran merupakan dapat menyebabkan stressful namun bukanlah kondisi yang tidak sesuai dengan kehidupan seharihari. Selain itu kondisi kehilangan yang terjadi bertahap dan pengalaman melihat
anggota keluarga yang lain menjadi pertimbangan saat penderita melakukan secondary appraisal. Aktivitas secondary appraisal merupakan hal yang penting dalam menghadapi stress, karena hasil dari pengolahan stress bergantung kepada apa yang dapat diselesaikan sama seperti apa yang telah dipertaruhkan (Lazarus&Folkman, 1984). Hal ini berkaitan dengan kemampuan individu atau strategi yang dimiliki individu untuk dapat mengatasi sumber stress. Adanya pengalaman dari anggota keluarga lain dan kejadian yang secara bertahap membuat penderita telah memiliki strategi untuk mengatasi sumber stress yang ada. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa salah satu subjek merasa bahwa bukan menjadi masalah yang besar ketika dirinya tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain, karena pada dasarnya dari dulu ia memang pemalu dan tidak banyak bergaul dengan orang lain. Hal ini berbeda dengan kedua subjek lain yang menganggap komunikasi dengan orang lain menjadi hal yang sangat penting. Peneliti menduga adanya pengaruh tipe kepribadian (personality type) terhadap kondisi yang menentukan seseorang merasa grief. Temuan ketiga berkaitan dengan besarnya peran keluarga dalam membantu penderita menjalani kehidupannya dengan baik. Hal ini diakui oleh ketiga subjek. Dukungan dari suami dan keluarga berupa tetap diperlakukan layaknya individu normal membantu mereka menjadi lebih percaya diri menjalankan kehidupannya. Keluarga tetap memberikan kesempatan bagi penderita ketulian bertahap untuk mengangkat telepon, berkomunikasi dengan orang luar, dan menjalankan kegiatan-kegiatan di luar rumah. Kemudian ketika masa sulit datang, keluarga selalu ada untuk mendukung mereka. Temuan terakhir, meskipun para penderita sudah mampu menyesuaikan diri dan menjalankan perannya dengan kondisi ketulian bertahap, namun bukan berarti perasaan negatif berhenti muncul. Diakui bahwa ketika berada dalam kondisi yang sensitif, sedih, dan mood yang tidak menentu; seringkali perasaan kecewa dan tidak percaya diri kembali hadir dalam diri penderita. Dalam model DPM disebutkan bahwa osilasi akan terus terjadi dan pada waktu tertentu individu yang berduka akan berhenti memikirkan kehilangannya (Stroebe &
Schut, 1999). Namun pada penderita ketulian bertahap, kehilangan ini tidak sepenuhnya berhenti dipikirkan. Seringkali masih muncul ketika berada dalam kondisi sensitif.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pembahasan terhadap hasil penelitian dari ketiga subjek. Maka peneliti menyimpulkan beberapa hal terkait dengan proses coping terhadap grieving yang terjadi pada ketiganya: 1. Bentuk masalah yang dihadapi oleh penderita ketulian bertahap adalah menurunnya self-esteem yang berdampak pada penurunan self-concept. 2. Karakteristik perkembangan mempengaruhi munculnya masalah lain berkaitan dengan pekerjaan dan kehidupan keluarga. 3. Bentuk pengalihan stressor loss-orientation kepada restoration orientation dapat dijadikan cara coping yang efektif untuk mengatasi pikiran-pikiran mengenai ketulian bertahap yang dihadapi, dibandingkan dengan hanya merenung, berdiam diri, dan berdoa. 4. Ketiga subjek sudah dapat menjalankan kehidupannya dengan baik, hanya saja pikiran negatif mengenai ketulian bertahap masih muncul ketika berada dalam kondisi sensitif. 5. Kegiatan sehari-hari dapat mempengaruhi bagaimana cara subjek menyelesaikan masalahanya. Selain itu peran dan dukungan dari keluarga menjadi salah satu hal yang membantu penderita untuk recovery dari kondisinya. Beberapa saran yang diajukan peneliti untuk kepentingan penelitian selanjtunya adalah sebagai berikut: 1. Memperkaya sumber data dengan mewawancarai pihak-pihak lain yang berkaitan dengan subjek, seperti pasagan, rekan kerja, anggota keluarga lain, dsb.
2. Sebelum melakukan penelitian, perlu ditentukan kriteria-kriteria dari seseorang yang mengalami grieving, sehingga dapat dipastikan bahwa subjek penelitian mengalami kondisi grieving. 3. Berdasarkan hasil penelitian ketiga subjek menyebutkan kegiatan keagamaan sebagai salah satu bentuk coping yang sering dilakukan ketiganya. Bentuk coping melalui kegiatan keagamaan menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut. 4. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai penelitian awal untuk melihat gambaran kondisi yang perlu dihadapi oleh penderita ketulian bertahap, sehingga kedepannya dapat diteliti lebih lanjut mengenai bentuk intervensi yang tepat supaya penderita ketulian bertahap menjadi lebih siap. 5. Terdapat temuan lain berupa peran keluarga dan diindikasi adanya pengaruh tipe kepribadian terhadap grieving yang dialami. Hal ini dapat menjadi topik yang dapat diteliti lebih lanjut. Selain itu terdapat pula beberapa saran praktis untuk para penderita ketulian bertahap dan penderita ketulian jenis lain: 1. Menambah kegiatan di luar rumah atau kegiatan-kegiatan baru yang sesuai dengan kondisi pendengaran dapat membantu penderita tidak berlarut dalam kondisi kesedihan dan meningkatkan self-esteem. 2. Pemberitahuan dini mengenai kondisi ketulian bertahap yang terjadi secara genetik dapat membantu anggota R yang beresiko terkena ketulian bertahap lebih siap dalam mengahadapi kondisinya nanti. 3. Dukungan dari keluarga dan pasangan, serta diperlakukan sebagai seseorang yang normal dapat membantu penderita mempertahankan selfesteem dan self-concept. Sehingga dapat menjalankan kehidupan dengan baik. 4. Kondisi stress seringkali berengaruh terhadap kondisi pendengaran, sehingga pengetahuan mengenai cara menanggulangi stress yang efektif dapat membantu baik penderita ketulian bertahap maupun anggota keluarga yang beresiko terkena ketulian bertahap untuk siap menghadapi kondisinya.
5. Pengarahan sejak awal kepada anak-anak yang beresiko terkena ketulian bertahap untuk selalu percaya diri dan bersosialisasi dengan lingkungan akan membantu mereka untuk tetap percaya diri ketika ketulian terjadi.
DAFTAR PUSTAKA Adams, G. L., Boies, L. R., & Paparella, M. M. (1978). Boise's Fundamentals of Otolaryngology: A Textbook of Ear, Nose and Throat Diseases (5th Edition ed.). Toronto: W. B. Saunders Company. Caserta, Michael S., & Lund, Dale A. (2007). Toward the Development of an Inventory of Daily Widowed Life (IDWL): Guided by the Dual Process Model of Coping with Bereavement. Death Studies, 31(6): 505Christensen, L. B. (2004). Experimental Methodology (9th Edition ed.). USA: Pearson. Christensen, L. B. (2004). Experimental Methodology (9th Edition ed.). USA: Pearson. Christensen, L. B., Johnson, R., & Turner, L. A. (2011). Research Methods, Design, and Analysis. USA: Pearson. Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer Publishing Company. Lim, W. M. (2013). Revisiting Kubler-Ross's Five Stages of Grief: Some Comments On the Iphone 5. Journal on Social Sciences , 11-13. Lund, Dale, et.al. (2010). Experiences And Early Coping Of Bereaved Spouses/Partners in An Intervention Based On The Dual Process Model (DPM). Myers, David G. (2008). Social Psychology (9th edition). New York: McGraw Hill Roesman, A. G. (1993). Studi Kasus Tentang Hubungan Antara Konsep Diri dan Kemampuan Mengatasi Masalah Pada Penderita Ketulian Bertahap Dari Satu Keluarga. Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung: Universitas Islam Bandung. Stroebe, Margaret & Schut, Henk. (1999). The Dual Process Model of Coping With Bereavement: Rationale and Description. Death Studies, 23, 197224. Stroebe, Margaret & Schut, Henk .(2010). The Dual Process Model of Coping With Bereavement: A Decade On. Omega, 61(4), 273-289. Stroebe, Margaret & Schut, Henk. (2015). Family Matters in Bereavement: Toward an Integrative Intra-Interpersonal Coping Model. Perspective on Psychological Science, 10(6), 873-879. Willems, P. J. (2004). Genetic Hearing Loss. New York: Marcel Dekker.