i
STUDI INDUKSI DAN PENDEWASAAN EMBRIO SOMATIK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN BERBAGAI JENIS EKSPLAN DAN ZAT PENGATUR TUMBUH
ERWIN AL HAFIIZH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Studi Induksi dan Pendewasaan Embrio Somatik Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) dengan Berbagai Jenis Eksplan dan Zat Pengatur Tumbuh” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun ke perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini . Bogor, Agustus 2012
Erwin al Hafiizh NIM A253090121
iv
v
ABSTRACT ERWIN AL HAFIIZH. Study on induction and maturation of somatic embryos of Jatropha Curcas L. initiated from different types of explants and plant growth regulators. Supervised by DARDA EFENDI and TRI MUJI ERMAYANTI. Jatropha curcas L. is a potential plant for biodiesel. This plant produces seeds containing oil from 33 to 60%. However, up to now, there are lack of highquality of clones and limited research in the plant breeding. Therefore, an alternative method is needed including the application of biotechnology. Propagation of plants through somatic embryogenesis is not only helps to obtain a large number of plants throughout the year, but also it can be used as a good tool for genetic improvement of crops through genetic engineering. This study was aimed to induce somatic embryogenesis using different type of explants and several concentrations of plant growth regulators, as well as to study the development of the somatic embryos. Hypocotil and leaf used as explants were obtained from 1week-old seedling germinated on MS medium. Young embryos and embryo axis from immature and mature fruits were also used as explants for the induction of somatic embryos. After surface sterilization, explants were cultured on solid MS medium containing 3% of sucrose, 0; 0.5; 1; 1.5; 2; 2.5; 3; 4 or 5 mgL-1 of Picloram or 0; 0.5; 1; 1.5; 2 or 2.5 mg L-1 of 2,4-D. Cultures were incubated in the dark, at a temperature of 26±2°C, for 8 weeks. The results showed that embryo axis explants from mature fruit produced somatic embryos in globular, heart, torpedo and cotyledonary stages 6 weeks after culture (WAC) in the medium containing 2.5 mg/l of Picloram, whereas in medium containing 3, 4, or and 5 mg/l of Picloram, the somatic embryos were found after more than 7 WAC. Somatic embryos formed either directly or indirectly. Proliferation and maturation can be performed in solid or liquid MS medium without growth regulators and in liquid MS with the addition of 2.5 mg L-1 of Picloram with 3% of sucrose and B5 vitamin. Keywords: somatic embryogenesis, Picloram, embryo axis, mature fruit, 2.4-D.
vi
vii
RINGKASAN ERWIN AL HAFIIZH. Studi Induksi dan Pendewasaan Embrio Somatik Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dengan Berbagai Jenis Eksplan dan Zat Pengatur Tumbuh. Dibimbing oleh DARDA EFENDI dan TRI MUJI ERMAYANTI. Jatropha curcas L. merupakan salah satu tanaman non pangan yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai biodisel. Tanaman ini dapat menghasilkan biji dengan kandungan minyak mencapai 33-60%. Kendala yang dihadapi adalah kurangnya klon-klon bermutu tinggi dan pemuliaan tanaman yang belum maksimal, sehingga mempengaruhi produktivitas. Oleh karena itu diperlukan metode alternatif dengan penerapan bioteknologi untuk peningkatan produksi. Propagasi tanaman melalui embriogenesis somatik tidak hanya membantu untuk mendapatkan jumlah tanaman besar sepanjang tahun, tetapi juga dapat digunakan sebagai metode yang baik untuk perbaikan genetik tanaman melalui rekayasa genetika. Pada penelitian ini dilakukan dua kegiatan yaitu (1) induksi embrio somatik dari berbagai jenis eksplan J. curcas komposit IP3-P dan genotipe Dompu dan (2) proliferasi dan pendewasaan kalus embriogenik. Penelitian dilakukan pada bulan November 2010 – Januari 2012 di Laboratorium Kultur Jaringan, Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang tepat mengenai jenis eksplan dan konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin yaitu Picloram dan 2.4-D dalam media induksi yang didukung dengan kajian mengenai struktur dan perkembangan embrio somatik secara morfologi dan anatomi. Induksi embrio somatik dapat diinisiasi dari berbagai jenis eksplan J. curcas komposit IP-3P dan aksesi Dompu. Eksplan hipokotil dan daun ditanam dari kecambah berumur 1 minggu setelah tanam pada media MS, sedangkan eksplan kotiledon, embrio muda, aksis embrio muda dan aksis embrio tua, serta aksis embrio buah masak langsung ditanam setelah disterilisasi pada media MS padat yang ditambahkan zat pengatur tumbuh picloram 0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0; 2.5; 3.0; 4.0 dan 5.0 mg/L dan 2.4-D 0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mg/L, dengan sukrosa 30% dan vitamin Gamborg B5. Kultur diinkubasi di tempat gelap, pada suhu 26±2°C, selama 8 minggu. Eksplan dari J. curcas komposit IP3-P (hipokotil, daun, kotiledon dan aksis embrio tua) dan eksplan dari J. curcas aksesi Dompu (embrio muda dan aksis embrio muda) yang diinduksi pada media MS yang mengandung picloram atau 2.4-D tidak dapat membentuk kalus embriogenik maupun embrio somatik. Kalus yang terbentuk merupakan kalus meremah dan kompak. Pertumbuhan kalus tertinggi ditunjukkan pada eksplan hipokotil yang dapat mencapai skor 5 pada media yang mengandung picloram 1.0 dan 2.0 mgL-1, 7 minggu setelah tanam (MST), sedangkan pertumbuhan kalus terendah ditunjukkan pada eksplan embrio muda pada media yang mengandung 2.4-D 1 mg/L-1 dengan skor 3.0. Induksi somatik dari eksplan aksis embrio buah masak J. curcas aksesi Dompu dapat membentuk kalus embriogenik dan embrio somatik. Embrio somatik terbentuk pada media yang mengandung 2.5 mgL-1 Picloram dan terbentuk 6 MST dengan jumlah 2 fase globular dan 5 fase torpedo. Jumlah eksplan yang membentuk embrio somatik hanya 10%. Perkembangan tahap
viii
globular dan torpedo menjadi kotiledon terbentuk pada 8 MST. Pada media yang mengandung 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 mg/L-1 picloram dan 0.5; 1.0; 1.5; 2.0; 2.5 mg/L-1 2.4-D tidak membentuk kalus embriogenik dan embrio somatik. Pada penelitian yang menggunakan eksplan aksis embrio buah masak dengan konsentrasi picloram yang ditingkatkan menghasilkan kalus embriogenik dan embrio somatik di media yang mengandung 2.5 mg/L-1 picloram pada 6 MST, sedangkan pada media dengan 3.0; 4.0; dan 5.0 mg/ L-1. Picloram embrio somatik terbentuk 7 MST. Embrio somatik terbentuk secara langsung pada media dengan 3.0; 5.0 mg/L-1 picloram dan tidak langsung pada media 2.5; 4.0; dan 5.0 mg/ L-1 picloram. Kalus embriogenik dan embrio somatik pada media MS padat dan cair tanpa zat pengatur tumbuh, serta media MS cair dengan penambahan 2.5 mg/L-1 picloram mengalami proliferasi dan pendewasaan dengan peningkatan jumlah embrio somatik dan perkembangan embrio somatik dari fase globular ke fase jantung, torpedo dan kotiledon. Pada media cair embrio somatik sampai membentuk tahap kotiledon, sedangkan pada media padat sampai berkecambah. Kata kunci: Embriogenesis somatik, embrio somatik, aksis embrio buah masak, Picloram, 2.4-D
ix
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
x
xi
STUDI INDUKSI DAN PENDEWASAAN EMBRIO SOMATIK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN BERBAGAI JENIS EKSPLAN DAN ZAT PENGATUR TUMBUH
ERWIN AL HAFIIZH
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
xii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Dewi Sukma
xiii
Judul Tesis
: Studi Induksi dan Pendewasaan Embrio Somatik Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dengan Berbagai Jenis Eksplan dan Zat Pengatur Tumbuh
Nama
: Erwin Al Hafiizh
NIM
: A253090121
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Darda Efendi, M.Si Ketua
Dr. Tri Muji Ermayanti Anggota Mengetahui,
Ketua Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc.
Tanggal Ujian : 2 Juli 2012
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr.
Tanggal Lulus :
xiv
xv
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang merupakan syarat untuk mendapat gelar Magister di Institut Pertanian Bogor (IPB), dengan judul “Studi Induksi dan Pendewasaan Embrio Somatik Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dengan Berbagai Jenis Eksplan dan Zat Pengatur Tumbuh”. Dengan terselesaikannya penulisan tesis ini, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Ir. Darda Efendi, MSi dan Dr. Tri Muji Ermayanti selaku komisi pembimbing atas bimbingan dan arahannya selama perencanaan, pelaksanaan, dan penulisan tesis ini. 2. Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc selaku Ketua Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman dan seluruh dosen dan karyawan atas bimbingan dan bantuannya yang tidak ternilai kepada penulis. 3. Dr. Dewi Sukma selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dalam perbaikan tesis ini. 4. Dr. Dini Dinarty selaku kepala Laboratorium Kultur Jaringan 3, Institut Pertanian Bogor dan seluruh karyawan atas bantuan dan kerjasamanya dalam penelitian. 5. Bapak dan Ibu tercinta atas doa dan restunya yang senantiasa menyertai penulis agar selalu diberikan kemudahan dan kebaikan. 6. Istri dan anak tercinta atas doa dan motivasi selama saya menempuh pendidikan. 7. Teman-teman S2 PBT angkatan 2009 (Nur arifin, Deni Dwiguna, Asep Rodiansah, Yogo Nugroho, Purbo Kurniawan, Consti, Jose Maria, Juwartina Ida Royani, Rahmah, Karlina Sahruddin, Ernila, Vina Novita, Fitri dan Winda) atas kebersamaan dan kekompakan selama ini. 8. Keluarga besar Puslit Bioteknologi-LIPI: Dr. Ir. Witjaksono M.Sc selaku kepala Puslit Bioteknologi-LIPI Cibinong, Dr. Puspita Lisdiyanti selaku Kepala Bidang Biologi Sel dan Jaringan beserta staf dan rekan-rekan di kelompok penelitian Biak Sel dan Jaringan tanaman ( Deritha E Rantau, SP,
xvi
Dyah Retno Wulandari, MSi, Andri Fadilah Martin, MSi, Betalini MSi, Rudiyanto, SP, Evan Maulana, A.Md, Lutvinda Ismanjani) 9. Teman-teman seperjuangan dan semua pihak atas bantuan dan motivasinya selama pelaksanakan penelitian dan penyusunan tulisan. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap tulisan ini bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan.
Bogor, Agustus 2012
Erwin Al Hafiizh
xvii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 1975 sebagai anak kedua dari pasangan Hasan Bisri dan Alm. Djuhariah. Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh di SDN 03 Jakarta Timur tahun 1988, SMPN 222 Jakarta Timur tahun 1991 dan SMAN 67 Jakarta Timur tahun 1994. Pada tahun 1999 penulis menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Teknologi Indonesia, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Program Studi Bioteknologi. Semenjak tahun 2007 diterima bekerja di Pusat Penelitian Bioteknologi - LIPI Cibinong hingga sekarang. Tahun akademik 2009/2010 penulis tercatat sebagai mahasiswa pada Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman.
xviii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………….
v
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………
vii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………
ix
PENDAHULUAN …………………………………………………………
1
A. Latar Belakang …………………………………………………...
1
B. Tujuan Penelitian …………………………………………………..
4
C. Hipotesis ……………………………………………………………
4
D. Manfaat Penelitian …………………………………………………
5
E. Ruang Lingkup Penelitian ………………………………………….
5
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………..
9
A. Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) ………………………..
9
B. Kultur Jaringan ……………………………………………………..
12
C. Zat Pengatur Tumbuh ………………………………………………
14
D. Embriogenesis Somatik …………………………………………….
16
BAHAN DAN METODE ………………………………………………….
21
A. Tempat dan Waktu ……………………………………….…………
21
B. Bahan dan Alat …………………………………………………….
21
C. Metode Percobaan ………………………………………………….
21
1. Induksi Embrio Somatik ……………………………………….
21
a). Induksi embrio somatik dari berbagai eksplan J. curcas komposit IP-3P …………………………………………………
21
Sterilisasi dan inisiasi kecambah ……………………………….
21
Induksi kalus embriogenik ………………………………….....
22
i
b). Induksi embrio somatik dari aksis embrio muda dan embrio muda J. curcas aksesi Dompu …………….………………
23
Sterilisasi ……………………………………………………..
23
Induksi embrio somatik ……………………………………...
23
c). Induksi embrio somatik dari aksis embrio buah masak J. curcas aksesi Dompu dengan picloram dan 2.4-D ……….
25
d). Induksi embrio somatik dari aksis embrio buah masak J. curcas aksesi Dompu dengan picloram …………….……..
26
2. Proliferasi dan Pendewasaan Kalus Embriogenik .……………...
28
a). Proliferasi dan pendewasaan kalus embriogenik pada media padat ………………………………………………………….
28
b). Proliferasi dan pendewasaan kalus embriogenik pada media cair ……………………………………………………………
28
D. Analisis Statistik …………………………………………………...
28
HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………
31
1. Induksi Embrio Somatik ……………………………………….
31
a). Induksi embrio somatik dari berbagai eksplan J. curcas komposit IP-3P ………………………………………………
31
b). Induksi embrio somatik dari aksis embrio muda dan embrio muda J. curcas aksesi Dompu ……………………………..
37
c). Induksi embrio somatik dari aksis embrio buah masak hijau J. curcas aksesi Dompu dengan picloram dan 2.4-D …….….
43
d). Induksi embrio somatik dari aksis embrio buah masak hijau J. curcas aksesi Dompu dengan picloram ………………...
47
2. Proliferasi dan Pendewasaan Kalus Embriogenik ………………
52
a). Proliferasi dan pendewasaan kalus embriogenik pada media padat ……………………………………………………….
52
b). Proliferasi dan pendewasaan kalus embriogenik pada media cair…………………………………………………………...
55
c). Histodiferensiasi ……………………………………………
57
ii
PEMBAHASAN UMUM ………………………………………………….
59
SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………….
69
Simpulan ………………………………………………………………
69
Saran …………………………………………………………………..
69
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..
71
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………
75
iii
iv
DAFTAR TABEL Halaman 1. Penelitian J. curcas dengan teknik kultur jaringan dengan berbagai metode regenerasi dan jenis eksplan ……………………………..…….
14
2. Pengaruh picloram terhadap persentase pertumbuhan kalus dari berbagai eksplan J. curcas komposit IP3-P …………...………………
32
3. Pengaruh picloram terhadap skor pertumbuhan kalus dari berbagai eksplan J. curcas komposit IP3-P .……………………………………..
34
4.
Pengaruh picloram terhadap morfologi kalus yang terbentuk dari berbagai eksplan J. curcas komposit IP3-P ……………………………
36
Pengaruh auksin terhadap presentase pertumbuhan kalus dari eksplan aksis muda dan embrio muda J. curcas aksesi Dompu …...............…
39
Pengaruh auksin terhadap skor pertumbuhan kalus dari eksplan aksis muda dan embrio muda J. curcas aksesi Dompu ……………………
41
Pengaruh picloram terhadap morfologi kalus yang terbentuk dari eksplan aksis embrio muda dan embrio muda J. curcas aksesi Dompu …………………………………………………………………
42
Pengaruh ZPT terhadap persentase pertumbuhan kalus dari eksplan aksis buah masak hijau J. curcas aksesi Dompu ……………………
43
Pengaruh ZPT terhadap skor pertumbuhan kalus dari eksplan aksis buah masak hijau J. curcas aksesi Dompu ………………………….
44
10. Pengaruh ZPT terhadap morfologi kalus dan jumlah embrio somatik yang terbentuk dari eksplan aksis embrio buah masak hijau J. curcas aksesi Dompu ………………………………………………………..
45
11. Pengaruh picloram terhadap skor pertumbuhan kalus, persentase eksplan membentuk embrio somatik dan waktu pembentukan embrio somatik pada 8 MST …………………………………………………...
50
12. Pengaruh picloram terhadap tipe embriogenesis dan tahap embrio somatik yang terbentuk dari eksplan aksis buah masak hijau J. curcas aksesi Dompu pada 8 MTS ………………………………………….
51
13. Pengaruh media MS tanpa zat pengatur tumbuh terhadap pembentukan embrio somatik pada 2 minggu setelah subkultur ……………………...
55
5. 6. 7.
8. 9.
v
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram alir kegiatan penelitian …………………………………….....
7
2. Keragaan tanaman dan buah jarak pagar (Jatropha curcas L.) komposit IP3-P .…………………………………………………………………..
9
3. Eksplan J.curcas komposit IP3-P a) eksplan daun, b) eksplan hipokotil, c) eksplan aksis embrio dan d) eksplan kotiledon ……………………
22
4. Eksplan a) aksis embrio muda dan b) embrio muda ……………………
23
5.
24
Skor perkembangan kalus dari eksplan daun…………………………..
6. Sumber eksplan a) buah jarak masak hijau dan b) aksis buah masak hijau (tanda panah) …………………………………….…………….
25
7.
Pertumbuhanan kalus dari eksplan daun J. curcas komposit IP3-P ….
35
8
Kalus remah J. curcas komposit IP3-P yang terbentuk pada media MS yang mengandung 1.5 mgL-1 picloram pada 6 MST. ….………………
36
Embrio somatik J. curcas aksesi Dompu yang terbentuk pada 8 MST dari eksplan aksis embrio buah masak ………………………….……
46
10. Pembentukan embrio somatik J. curcas aksesi Dompu secara langsung dan tidak langsung ……………………..…………………………….
48
11. Tahapan perkembangan embrio somatik J. curcas aksesi Dompu …
54
12. Proliferasi dan pendewasaan embrio somatik J. curcas aksesi Dompu pada media cair 4 MST…..…………………………………………...
56
13. Embrio somatik J. curcas aksesi Dompu pada berbagai tahap pertumbuhan yang berbeda pada media MS cair + 2.5 mgL-1 picloram .
57
14. Irisan membujur dari berbagai fase perkembagan embrio somatik yang berasal dari eksplan aksis embrio buah masak aksesi Dompu pada media pendewasaan MS tanpa zat pengatur tumbuh ………….……..
58
15. Skema diagram alir sistem embriogenesis J. curcas yang dihasilkan pada penelitian ini …………………………………………………….
60
9.
vii
viii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Komposisi Media Murashige and Skoog dan Media Gamborg ………..
77
2.
Metode Parafin (Sass, 1951) yang Dimodifikasi ………………………
78
ix
x
1
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan energi dunia saat ini sebagian besar dipenuhi dari bahan bakar fosil yang tidak terbarukan yaitu minyak bumi dan batubara. Kebutuhan energi ini akan terus meningkat hingga tahun-tahun mendatang seiring dengan peningkatan populasi penduduk dan pertumbuhan ekonomi dunia. Menurut laporan International Atomic Energy Agency (IAEA), bahwa pada tahun 2025 kebutuhan energi akan meningkat hingga 50% dari total kebutuhan energi pada tahun 2007. Kebutuhan tersebut diperkirakan akan terus meningkat, sedangkan cadangan energi ini semakin menipis, sehingga habisnya energi tinggal menunggu waktu (Lemhanas 2007). Untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak, pemerintah berperan aktif menanggulangi masalah tersebut. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan biofuel dengan membentuk tim nasional pengembangan bahan bakar nabati (BBN) sebagai upaya untuk mendukung pengembangan bahan bakar nabati dengan menerbitkan blue print dan road map untuk mewujudkan pengembangan BBN tersebut. Selain itu, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak. Kebijakan tersebut menekankan pada sumber daya yang dapat diperbarui sebagai alternatif pengganti bahan bakar minyak. Ditambah dengan penerbitan Instruksi Presiden No 1 tahun 2006 tertanggal 25 Januari 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuels), sebagai energi alternatif. Sumber energi alternatif itu diantaranya jarak pagar dan kelapa sawit untuk biodisel, serta sagu, sorgum, jagung, ubi kayu dan ubi jalar untuk bioetanol. Jarak pagar (Jatropha curcas L.), merupakan tanaman asli daerah tropis Amerika yang termasuk ke dalam famili Euphorbiaceae (Heller 1996). Di Indonesia jarak pagar dapat ditemukan di hampir seluruh wilayah. Tanaman ini dilaporkan dapat menghasilkan biji dengan kandungan minyak berkualitas tinggi yang dapat dimanfaatkan sebagai biodisel (Heller 1996). Biodisel Jatropha mengandung lebih banyak oksigen, dengan “cetane” yang tinggi dan dapat
2
meningkatkan kualitas pembakaran, bersih, ramah lingkungan dan biaya produksi yang rendah. Meskipun pengembangan tanaman jarak pagar hingga saat ini kurang maksimal sebagai sumber energi alternatif, tidak berarti upaya untuk mengeksplorasi, mempelajari dan mengembangkan tanaman ini tidak perlu dilakukan. Mengingat manfaatnya yang cukup besar, maka berbagai kegiatan penelitian telah dilakukan. Hal yang menjadi perhatian saat ini adalah potensi produksi tanaman. Untuk dapat dikembangkan dan memberikan nilai ekonomi tinggi, diperlukan jarak pagar yang memiliki potensi produksi tinggi. Sejumlah upaya pemuliaan tanaman jarak pagar telah mulai dilakukan sejak tahun 2006 melalui penelitian ex vitro maupun in vitro, baik oleh instansi pemerintah maupun swasta. Permasalahan penanaman J. curcas di Indonesia adalah kurangnya klon-klon yang bermutu tinggi. Adanya variasi yang sangat besar pada benih, menyebabkan kapasitas dan konsentrasi minyak berbeda. Ketidakseragaman matangnya buah menambah biaya produksi dan tidak tahannya terhadap penyakit serta serangga hama yang dapat mempengaruhi produktivitas. Permasalahan lainnya adalah viabilitas benih rendah, perkecambahan rendah, perakaran yang sedikit dan stek vegetatif yang lambat (Heller 1996 dan Openshaw 2000). Tanaman yang diperbanyak dengan stek mempunyai umur lebih pendek, kurang toleran terhadap kekeringan dan kurang resisten terhadap penyakit (Heller 1996). Mengingat manfaatnya yang besar, sejumlah bahan tanaman berkualitas diperlukan untuk penggunaannya di masa depan. Dengan demikian, peningkatan produksi
melalui
penerapan
bioteknologi
tanaman
dapat
dirasakan.
Mikropropagasi J. curcas telah banyak diteliti dengan menggunakan berbagai jaringan yang berbeda dari tanaman yang tumbuh di lapang, tetapi pada semua kasus, jumlah pertumbuhannya rendah sehingga aplikasinya kurang, maka diperlukan teknologi baru dalam teknik kultur jaringan yang berguna untuk mendapatkan bibit yang lebih banyak dan seragam, yaitu digunakan regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik (Jha et al. 2007). Propagasi tanaman melalui embriogenesis somatik tidak hanya membantu untuk mendapatkan sejumlah besar tanaman sepanjang tahun, tetapi juga dapat
3
digunakan sebagai strategi yang baik untuk perbaikan genetik tanaman melalui rekayasa genetika, penyimpanan jangka pendek maupun jangka panjang (Bhansali, 1990). Beberapa penelitian tanaman J. curcas dengan metode embriogenesis (Sardana et al. 2000; Jha et al. 2007; Kalimuthu et al. 2007) telah dilakukan dengan menggunakan eksplan daun dan berbagai zat pengatur tumbuh, namun kemampuan membentuk sel embriogenik dan planlet masih rendah. Keberhasilan embriogenesis melalui kultur in vitro dipengaruhi beberapa faktor diantaranya: genotipe eksplan, jenis eksplan yang digunakan, kondisi fisiologis tanaman donor (Jimenes & Viktor 2001), jenis dan kondisi fisik medium, lingkungan dan zat pengatur tumbuh (Zhang et al. 2000). Untuk induksi kalus embriogenik, kultur umumnya ditumbuhkan pada media yang mengandung auksin yang mempunyai aktivitas kuat atau dengan konsentrasi tinggi. Zat pengatur tumbuh merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan embriogenesis somatik, diantaranya auksin dan sitokinin (Chen & Chang 2001). Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa 2.4-D merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus embriogenik (Bhojwani & Razdan, 1996) dan picloram dapat digunakan untuk induksi embriogenesis Pisum sativum L dan Soybean dari embrio dan tunas apikal (Kysely et al. 1987; Kysely dan Jacobsen, 1990). Oleh karena itu zat pengatur tumbuh auksin (2.4-D dan picloram) dan sitokinin (kinetin) diperkirakan dapat juga dipergunakan untuk embriogenesis jarak pagar dari berbagai jaringan tertentu. Penggunaan eksplan yang bersifat merismatik umumnya memberikan keberhasilan yang lebih tinggi dalam pembentukan embrio somatik. Eksplan yang digunakan dapat berupa daun, hipokotil, kotiledon, embrio zigotik muda, aksis embrio muda dan dewasa. Keberhasilan induksi embrio somatik dari berbagai jenis eksplan telah dilaporkan pada banyak spesies tanaman, seperti jarak pagar dengan menggunakan eksplan daun (Jha et al. 2007), aksis embrio dan kotiledon (Nindita 2010), kentang dengan eksplan daun (Oggema et al. 2007), kacang tanah dengan eksplan aksis embrio dan daun (Pacheco et al. 2007), sorgum dengan eksplan embrio zigotik muda (Grootboom et al. 2008), jeruk dengan eksplan daun, batang, kotiledon, dan embrio zigotik dewasa (Kiong et al. 2008), kopi dengan eksplan daun (Herrera et al. 2008), dan lain-lain.
4
Embrigenesis somatik merupakan pilihan perbanyakan vegetatif secara in vitro. Selama ini penelitian embriogenesis J. curcas sudah dilakukan dengan berbagai macam metode regenerasi, tetapi keberhasilannya relatif rendah dan masih mengalami kesulitan dalam meregenerasikan menjadi planlet.
Nidita
(2010) melaporkan bahwa keberhasilan embriogenesis somatik J. curcas komposit IP3-P dari eksplan aksis embrio dan kotiledon pada media MS yang mengandung 1 mgL-1 picloram masih relatif rendah dan mengalami kesulitan dalam
proliferasi
dan
pendewasaannya
menjadi
planlet.
Keberhasilan
embriogenesis somatik ditentukan oleh pemilihan jaringan yang tepat sebagai sumber eksplan, selain juga ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya genotipe dan jenis eksplan, serta komposisi zat pengatur tumbuh dalam media. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian tentang metode regenerasi embriogenesis somatik yang tepat, efisien dan praktis, seperti penggunaan berbagai genotipe dan jenis eksplan J. curcas, dan zat pengatur tumbuh. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Mempelajari pengaruh taraf konsentrasi zat pengatur tumbuh picloram dan 2,4-D pada media MS dengan jenis eksplan hipokotil, daun, kotiledon, aksis embrio tua, embrio muda, aksis embrio muda, dan aksis embrio buah masak terhadap pembentukan kalus embriogenik dan embrio somatik secara in vitro. 2. Mempelajari pengaruh media MS padat dan cair dengan penambahan zat pengatur tumbuh picloram terhadap proliferasi dan pendewasaan embrio somatik. C. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Pembentukan kalus embriogenik dan embrio somatik J. curcas dapat diinduksi dengan zat pengatur tumbuh picloram dan 2.4-D pada konsentrasi tertentu pada media MS.
5
2. Pembentukan kalus embriogenik dan embrio somatik dapat diinduksi dari jaringan hipokotil, daun, kotiledon, aksis embrio masak, embrio muda, aksis embrio muda dan aksis embrio buah masak hijau J. curcas. 3. Pendewasaan dan perkecambahan embrio somatik dapat diinduksi dengan media MS padat dan cair dengan zat pengatur tumbuh picloram pada konsentrasi tertentu. D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Diperoleh informasi jenis eksplan yang terbaik dalam induksi embrio somatik J. curcas komposit IP3-P dan aksesi Dompu. 2. Diperoleh informasi konsentrasi zat pengatur tumbuh yang terbaik dalam induksi embrio somatik J. curcas komposit IP3-P dan aksesi Dompu. 3. Diperoleh informasi media terbaik dalam induksi embrio somatik J. curcas komposit IP3-P dan aksesi Dompu. E. Ruang Lingkup Penelitian Pada penelitian ini dilakukan 2 kelompok percobaan, dengan total 6 percobaan yaitu: 1. Induksi embrio somatik a). Induksi embrio somatik dilakukan dari J. curcas komposit IP3-P pada media MS dengan penambahan picloram (0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1. Eksplan yang digunakan adalah hipokotil dan daun yang berasal dari kecambah berumur 1 minggu setelah tanam pada media MS; eksplan kotiledon dan aksis embrio tua. b). Induksi embrio somatik dari eksplan embrio muda dengan ukuran 0.7-1.0 cm dan aksis embrio muda J. curcas aksesi Dompu, dengan penambahan picloram (0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1) dan 2,4-D (0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1). c). Induksi embrio somatik dari eksplan aksis embrio buah masak hijau J. curcas aksesi Dompu, dengan penambahan picloram (0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1) dan 2,4-D (0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1).
6
d). Induksi embrio somatik dari eksplan aksis embrio buah masak hijau J. curcas aksesi Dompu. Percobaan ini dirancang untuk optimasi konsentrasi auksin berdasarkan hasil Percobaan 1c. 2. Proliferasi dan pendewasaan kalus embriogenik. Kalus embriogenik dan embrio somatik disubkultur ke media MS padat dengan 2.5 mgL-1 picloram, kemudian pada 2 MST disubkultur ke media MS cair dengan penambahan 0 atau 2.5 mgL-1 picloram. Diagram alir pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
7
Tanaman J. curcas
I. Induksi embrio somatik
A. J. curcas komposit IP3-P - Eksplan : Daun, hipokotil, kotiledon dan aksis embrio tua. - ZPT: picloram 0; 0.5; 1.0; 1,5; 2.0 & 2.5 mgL-1. B. J. curcas aksesi Dompu - Eksplan : Embrio muda dan aksis embrio muda. - ZPT: picloram ; 2.4-D @ 0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 & 2.5 mgL-1 C. J. curcas aksesi Dompu - Eksplan : Aksis embrio buah masak hijau - ZPT: picloram ; 2.4-D @ 0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 & 2.5 mgL-1) D. J. curcas aksesi Dompu - Eksplan : Aksis embrio buah masak hijau - ZPT: picloram 2.5; 3.0, 4.0 & 5.0 mgL-1
Embrio Somatik
II. Proliferasi dan Pendewasaan Embrio Somatik - Eksplan: embrio somatik - ZPT: picloram 0 dan 2.5 mgL-1
MS padat
ZPT: picloram 0 dan 2.5 mgL-1 MS cair ZPT: picloram 0 dan 2.5 mgL-1
Planlet
Gambar 1. Diagram alir kegiatan penelitian
8
9
TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Jarak pagar (Jatropha curcas L.), merupakan tumbuhan perdu dan banyak tumbuh di daerah tropis serta banyak ditanam sebagai tanaman pagar pekarangan. Tanaman ini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, karena penyebarannya yang luas. Hal ini terbukti dari aneka ragam nama daerahnya. Menurut Kusuma (2009), tanaman jarak pagar memiliki beberapa nama daerah antara lain jarak budeg, jarak gundul, arak cina (Jawa); baklawah, nawaih (NAD); dulang (Batak); jarak kosta (Sunda); jarak kare (Timor); peleng kaliki (Bugis); kalekhe paghar (Madura); jarak pager (Bali); lulu mau, paku kase, jarak pageh (Nusa Tenggara); dan jarak kosta, jarak wolanda, bindalo, bintalo, tondo utomene (Sulawesi). Keragaan salah satu komposit jarak pagar yang tumbuh di Indonesia IP3-P tertera pada Gambar 2.
Gambar 2. Keragaan tanaman dan buah jarak pagar (Jatropha curcas L.) komposit IP3-P.
10
Jarak pagar termasuk famili Euphorbiaceae, satu famili dengan karet dan ubi kayu. Klasifikasi tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut (Hambali et al. 2006). Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Klasis
: Dicotyledoneae
Ordo
: Euphorbiales
Familia
: Euphorbiaceae
Genus
: Jatropha
Spesies
: Jatropha curcas L.
Jarak pagar tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian sekitar 500 mdpl. Curah hujan yang sesuai untuk tanaman jarak pagar adalah 625 mm/tahun, namun tanaman ini dapat tumbuh pada daerah dengan curah hujan antara 300-2.380 mm/tahun. Kisaran suhu yang sesuai untuk tanaman jarak adalah 20-26°C. Pada daerah dengan suhu terlalu tinggi (di atas 35°C) atau terlalu rendah (di bawah 15°C) pertumbuhannya terhambat, kadar minyak dalam biji berkurang dan berubah komposisinya (Hambali et al. 2006). Tanaman jarak pagar termasuk perdu dengan tinggi 1-7 m, bercabang tidak teratur. Batangnya berkayu, silindris dan bila terluka mengeluarkan getah. Daunnya biasanya berlekuk 3-5, terkadang ada yang sampai 7. Lekukan dangkal atau agak dalam. Panjang helaiannya 10-19 cm, urat daun menjari, warna helaian daun hijau muda sampai hijau masak polos. Kedudukan daun berselang-seling, sekilas seperti berhadapan melingkari batang (spiral). Bunganya muncul di bagian ujung batang, pada ketiak daun. Panjang tangkai bunga 3-12 cm. Bunga jantan dan betina terpisah, terdapat di ujung-ujung tangkai bunga. Bunga betina sedikit lebih besar dibandingkan dengan jantan. Bunganya berwarna kuning kehijauan (Prana 2006). Tumbuhan ini dikenal tahan kekeringan karena mempunyai sistem perakaran yang kuat serta dapat hidup pada berbagai jenis dan tekstur tanah. Oleh sebab itu, tanaman ini sangat cocok ditanam di lahan kering dan berfungsi sebagai tanaman penahan erosi. Di kepulauan Comoro, Papua New Guinea dan Uganda tanaman jarak digunakan sebagai tanaman pendukung pada tanaman vanila,
11
sedangkan di Kuba digunakan sebagai tanaman pelindung untuk tanaman kopi (Khatri dan Gandhi 2011). Saat ini tanaman jarak banyak dikembangkan di lahanlahan kritis dan tidur yang belum dimanfaatkan. Hal lain yang membuat tanaman ini berpotensi untuk dikembangkan karena sebagai penghasil minyak nabati yang bukan merupakan bahan baku untuk kebutuhan pangan, sehingga tidak terjadi persaingan kebutuhan bahan baku pangan dengan bahan baku energi (Hambali et al. 2006). Tanaman ini juga dapat dimanfaatkan sebagai minyak pelumas, bahan baku pembuatan sabun, bahan baku dalam industri insektisida, fungisida dan molluskasida, untuk obat anti tumor, dan untuk ekorestorasi di semua jenis tanah marginal (Heller 1996; Prabakaran dan Sujatha, 1999; Lin et al. 2003). Saat ini biji jarak mendapat perhatian sebagai sumber bahan bakar hayati untuk mesin diesel karena kandungan minyaknya. Biji jarak pagar mengandung 20-40% minyak nabati, namun bagian biji (tanpa cangkang) dapat mengandung 45-60% minyak kasar (Heller 1996). Komposisi asam lemak dari 11 kultivar jarak pagar, menunjukkan bahwa asam lemak yang dominan adalah asam oleat, asam linoleat, asam stearat, dan asam palmitat (Heller 1996). Komposisi asam oleat dan asam linoleat bervariasi, sementara dua asam lemak lainnya, merupakan asam lemak jenuh relatif tetap. Berbagai teknologi telah dihasilkan oleh para peneliti di Indonesia, mulai dari pengumpulan aksesi plasma nutfah (telah terkumpul 591 aksesi), pelepasan komposit (IP1-P, IP1-M, IP2-P, IP2-M, IP2-A, IP3-P, IP3-M dan IP3-A), budidaya tanaman (teknologi pembibitan, pemupukan pengendalian hama, penyakit dan gulma, pasca panen dan pengembangan alat pengolah biji jarak (Syakir 2010). Aksesi dan komposit J. curcas yang berpotensi dikembangkan di Indonesia adalah aksesi Dompu dan komposit IP3-P. Aksesi Dompu merupakan salah satu aksesi yang toleran kekeringan dan memiliki kandungan minyak yang cukup tinggi yaitu 30-37% dengan bobot biji 2.0-2.23 gr, sedangkan komposit IP3-P merupakan hasil seleksi rekuren dari populasi IP2-P dan IP2-A yang memiliki potensi produksi 2.3-2.6 ton/ha/tahun untuk tahun pertama dan dapat mencapai 8-9 ton/ha pada tahan ke empat. Hasil ini jauh melampaui potensi produksi IP2 yang hanya sekitar 6.0-6.5 ton/ha pada tahun yang sama.
12
Kandungan minyak dari produksi IP3-P adalah sebesar 36% dan tanaman ini sudah mulai berproduksi 14 minggu setelah pemindahan ke lapangan (Hasnam 2007). B. Kultur Jaringan Kultur jaringan adalah suatu metode perbanyakan vegetatif tanaman yang dilakukan dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti protoplas, sel, sekelompok sel, jaringan atau organ, kemudian menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman yang lengkap (Gunawan 1992). Cara ini sering disebut in vitro, karena bagian tanaman tersebut ditumbuhkan dalam tabung inkubasi atau cawan petri dari kaca atau material tembus pandang lainnya di dalam laboratorium pada kondisi aseptik dan disebut juga perbanyakan mikro sebab tanaman yang dihasilkan berupa tanaman kecil (Kyte & Kleyn 1990). Prinsip yang mendasari teknik kultur jaringan disebut dengan “totipotensi sel” yaitu bahwa setiap sel mempunyai kemampuan tumbuh dan berkembang membentuk jaringan, organ dan akhirnya menjadi individu baru yang lengkap apabila ditumbuhkan dalam media dan lingkungan yang sesuai. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masing-masing sel tumbuhan mengandung informasi genetik atau sarana fisiologis tertentu sehingga dapat membentuk tanaman lengkap bila ditempatkan dalam lingkungan yang sesuai (Doyle & Griffiths 1999). Walaupun secara teoritis seluruh sel bersifat totipotensi, yang mengekspresikan keberhasilan terbaik adalah sel yang meristematik. Dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu organogenesis dan embriogenesis somatik. Organogenesis adalah suatu proses membentuk dan menumbuhkan tunas dari jaringan meristematik (Gunawan 1992; Pardal 2002). Menurut Watimena (2006), regenerasi eksplan menjadi organ dan plantlet dapat diperoleh melalui jalur organogenesis langsung dan organogenesis tidak langsung. Organogenesis langsung terjadi tanpa melalui pembentukan kalus, sedangkan organogenesis tidak langsung diawali dengan pembentukan kalus, lalu muncul organ pada kalus. Embriogenesis adalah proses pembentukan embrio tanpa melalui fusi gamet,
13
tetapi berkembang dari sel somatik (Williams & Maheswara 1986). Jalur embriogenesis somatik lebih mendapat perhatian karena bibit dapat berasal dari satu sel somatik sehingga bibit yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan melalui jalur organogenesis. Di samping itu, sifat perakarannya sama dengan bibit asal biji. Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu singkat, bebas dari patogen dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional. Adapun tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman melalui metode kultur jaringan adalah pembuatan media, pemilihan atau isolasi bahan tanam (eksplan), sterilisasi eksplan, inokulasi eksplan, aklimatisasi (George & Sherrington 1994; Pierik 1997). Melalui metode ini dapat dibuktikan bahwa bagian tanaman yang diisolasi dan dipelihara secara aseptik dalam media buatan yang cocok mampu membelah dan berdiferensiasi sehingga membentuk individu baru yang lengkap seperti tanaman asalnya, baik melalui tahap multiplikasi, organogenesis ataupun emriogenesis (Pierik 1997). Keberhasilan metode kultur jaringan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: pemilihan eksplan sebagai bahan dasar untuk pembentukan kalus, tunas dan akar, penggunaan media yang cocok sebagai sumber nutrisi, dan kondisi lingkungan tempat kultur di inkubasi. Meskipun pada perinsipnya semua jenis sel dapat ditumbuhkan, sebaiknya dipilih bagian tanaman yang masih muda dan mudah tumbuh yaitu bagian meristematik, misalnya: daun muda, ujung akar, ujung batang, keping biji dan sebagainya. Jaringan meristem terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dindingnya tipis, belum mempunyai penebalan dari zat pektin, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil, sehingga jaringan ini selalu membelah dan mudah tumbuh membentuk jaringan atau organ baru.
14
Pada saat ini, teknologi kultur jaringan tanaman telah dimanfaatkan untuk penyediaan bibit tanaman penghasil biodisel, antara lain jarak pagar, kelapa sawit dan Brassica napus (Zou et al. 1995). Teknik regenerasi in vitro jarak pagar digunakan dengan memanfaatkan fleksibilitas kemampuan sel/totipotensi dan tergantung dari kemampuan dasar sel alami maupun yang diperoleh melalui proses induksi. Sistem perbanyakan tanaman tersebut dapat dikelompokkan menjadi regenerasi langsung dan tidak langsung. Penelitian kultur jaringan jarak pagar telah banyak dilakukan dengan menggunakan berbagai metode regenerasi dan jenis eksplan (Mukherjee et al. 2011) (Tabel 1). Tabel 1. Penelitian J. curcas dengan teknik kultur jaringan dengan berbagai metode regenerasi dan jenis eksplan. No. 1. 2. 3.
Jenis eksplan Buku Daun Daun
4.
Daun
5.
Daun dan hipokotil
6.
Embrio muda
7.
Epikotil
8. 9.
Kotiledon Mata tunas Mata tunas aksilar Mata tunas aksilar dan daun
10. 11. 12.
Pucuk tunas
13.
Tunas aksilar
14.
Tunas apikal
Metode regenerasi Perbanyakan tunas Regenerasi embrio somatik Embriogenesis somatik
Pustaka Kalimuthu et al. (2007) Sardana et al. (2000) Jha et al. (2007) Deore dan Johnson Tunas advebtif (2008) Soomro dan Memon. Kalus dan kultur suspensi (2007) Varshney dan Johnson Organogenesis tidak langsung (2010) Organogenesis langsung dan diferensiasi tunas melalui Qin et al. (2004) kalus Induksi embrio somatik Kalimuthu et al. (2007) Organogenesis langsung Datta et al. (2007) Shrivastava dan Banerjee Regenerasi tunas langsung (2008) Perbanyakan tunas adventif Organogenesis dan perakaran tunas Perbanyakan tunas Induksi tunas melalui pembentukan kalus
Sujatha et al. (2005) Rajore dan Batra (2005) Thepsamran et al. (2007) Purkayastha et al. (2010)
C. Zat Pengatur Tumbuh Perkembangan dan pertumbuhan tanaman dalam teknik kultur jaringan tanaman tidak lepas dari peran hormon yang dihasilkan secara endogen maupun
15
zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media kultur. Menurut Pierik (1997), senyawa-senyawa lain yang memiliki karakteristik sama dengan hormon, tetapi diproduksi secara eksogen dikenal sebagai zat pengatur tumbuh, sedangkan menurut Hendaryono dan Wijayani (1994), zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat dan dapat mengubah proses fisiologi tumbuhan. Zat pengatur tumbuh tanaman berperan penting dalam mengontrol proses biologi dalam jaringan tanaman dan dapat menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis, dan morfologis (Gaba, 2005). Aktivitas zat pengatur tumbuh di dalam pertumbuhan tanaman tergantung dari jenis, struktur kimia, konsentrasi, genotipe tanaman serta fase fisiologi tanaman (Satyavathi et al. 2004). Zat pengatur tumbuh ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan yaitu auksin, sitokinin, giberelin dan inhibitor. Zat pengatur tumbuh yang tergolong auksin adalah Indol Asam Asetat (IAA), Indol Asam Butirat (IBA), Naftalen Asam Asetat (NAA) dan 2.4-Diklorofenoksiasetat (2.4-D). Zat pengatur tumbuh yang termasuk golongan sitokinin adalah Kinetin, Zeatin dan Bensil Aminopurin (BAP), sedangkan golongan giberelin adalah GA1, GA2, GA3, GA4, dan golongan inhibitor adalah fenolik dan asam absisik. Zat pengatur tumbuh golongan auksin menurut Pierik (1997), umumnya berperan merangsang pemanjangan sel, terutama di daerah meristem, pembelahan sel dan pembentukan akar adventif. Auksin berpengaruh pula untuk menghambat pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar, namun kehadirannya dibutuhkan dalam meningkatkan embriogenesis
somatik pada kultur suspensi
sel.
Konsentrasi auksin yang rendah meningkatkan pembentukan akar adventif, sedangkan konsentrasi auksin yang tinggi merangsang pembentukan kalus, mencegah morfogenesis, mempercepat dan memperbanyak jumlah embrio somatik yang terbentuk. Peran auksin pada embriogenesis somatik antara lain untuk inisiasi embriogenesis somatik, induksi kalus embriogenik, proliferasi kalus embriogenik dan induksi embrio somatik (Utami et al. 2007). Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa 2.4-D merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus
16
embriogenik. Di samping auksin, sering pula diberikan sitokinin seperti benzil adenin (BA) atau kinetin secara bersamaan (Bhojwani dan Razdan 1996). Golongan auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang sering digunakan dalam embriogenesis somatik. Raemakers et al. (1995) melaporkan keberhasilan embriogenesis somatik dari 65 spesies tanaman dikotil, pada media tanpa zat pengatur tumbuh mencapai 17 spesies, pada media yang mengandung auksin mencapai 29 spesies dan 25 spesies pada media yang mengandung sitokinin. Diantara zat pengatur tumbuh auksin yang digunakan adalah 2.4-D (49%), NAA (27%), IAA (6%), picloram (5%) dan Dicamba (5%), sedangkan sitokinin yang digunakan adalah BAP (57%), kinetin (37%), zeatin (3%) dan thidiazuron (3%) (Raemaker et al. 1995). Selain golongan auksin, zat pengatur tumbuh yang sering digunakan adalah golongan sitokinin. Sitokinin berperan dalam meningkatkan pembelahan sel serta mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Di dalam kultur jaringan, sitokinin berperan dalam proliferasi dan morfogenesis pucuk. Golongan sitokinin yang sering dipergunakan dalam kultur jaringan adalah BAP (6Benzylaminopurine). Menurut George dan Sherrington (1984), BAP merupakan salah satu sitokinin sintetik yang aktif dan daya merangsangnya lebih lama karena tidak mudah dirombak oleh enzim dalam tanaman. Menurut Noggle dan Fritz (1983), BAP memiliki struktur yang mirip dengan kinetin dan juga aktif dalam pertumbuhan dan proliferasi kalus, sehingga BAP merupakan sitokinin yang paling aktif. D. Embriogenesis Somatik Embrio tumbuhan terbentuk melalui proses embriogenesis, baik sebagai kelanjutan dari proses pembuahan (embrio zigotik) maupun melalui proses induksi dari sel-sel somatik (embrio somatik). Pada saat perkembangan embrio, setidaknya ada beberapa tahap yang dapat diamati secara visual, yaitu fase globular, triangular, jantung, dan torpedo. Tahap perkembangan selanjutnya setelah terbentuk kotiledon adalah tahap maturasi dan germinasi (George et al. 2008).
17
Embriogenesis somatik berlangsung melalui tahap yang serupa dengan embriogenesis zigotik, dan dapat diperoleh secara langsung dari eksplan jaringan, atau secara tidak langsung melalui kultur sel somatik atau kultur kalus. Embrio somatik adalah struktur yang harus melalui tahap diferensiasi, sehingga proses diferensiasi dan metabolisme yang menyertainya dapat ditingkatkan. Mikropropagasi dalam kultur jaringan dapat dilakukan melalui jalur organogenesis
dan
embriogenesis
somatik.
Pada
organogenesis,
proses
pembentukan pucuk dan atau akar adventif berkembang dari dalam massa kalus yang berlangsung setelah periode pertumbuhan kalus (Hartman et al. 1990), sedangkan embriogenesis somatik merupakan suatu proses dimana sel somatik (baik haploid maupun diploid) berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahap perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet (Williams & Maheswara 1986), sedangkan menurut Zulkarnain (2009), embriogenesis somatik adalah proses perkembangan embrio lengkap dari sel-sel vegetatif atau sel-sel somatik yang diperoleh dari berbagai sumber eksplan yang inisiasi dan diferensiasinya tidak melibatkan proses seksual. Embrio somatik dapat dicirikan dari strukturnya yang bipolar, yaitu mempunyai calon meristem akar dan meristem tunas. Mikropropagasi melalui embriogenesis somatik banyak mendapat perhatian karena jumlah propagula yang dihasilkan tidak terbatas dan dapat diperoleh dalam waktu lebih singkat. Regenerasi tumbuhan melalui embriogenesis somatik lebih menguntungkan dari organogenesis, karena tumbuhan yang diregenerasikan dari embrio somatik dapat berkembang dari sel tunggal, sehingga mengurangi variasi somaklonal (Endress 1997). Embrio somatik memiliki kemampuan pertumbuhan dan perkembangan seperti embrio zigotik, sehingga sangat efisien untuk digunakan dalam studi perkembangan, manipulasi genetik dan benih sintetis (Kumari et al. 2000). Selain itu, embrio somatik juga diketahui mengakumulasi produk penyimpanan, seperti protein dan lipid yang dapat digunakan dalam pengembangan produksi metabolit tanaman secara in vitro (Preil dan Beck 1991). Di samping keuntungan, terdapat beberapa kendala dalam penerapan embriogenesis, yaitu peluang terjadi mutasi lebih tinggi, metode lebih sulit, ada penurunan daya morfogenesis dari kalus embriogenik karena subkultur berulang
18
serta memerlukan penanganan yang lebih intensif karena kultur lebih rapuh. Namun demikian, variasi yang dihasilkan sering dianggap menguntungkan karena dapat digunakan sebagai sumber keragaman genetik (gene pool) (Purnamaningsih, 2002). Embrio somatik biasanya dapat diinisiasi dari jaringan juvenil atau jaringan meristematik. Eksplan yang digunakan dapat berupa daun muda, embrio muda, ujung tunas, kotiledon, dan hipokotil. Tetapi respon eksplan sangat tergantung dari genotip tanaman. Jadi untuk spesies tanaman yang berbeda, hanya jaringan tertentu yang dapat digunakan untuk inisiasi embrio somatik (Gray, 2005). Induksi embriogenesis somatik dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Embrio somatik dapat langsung terbentuk dari eksplan daun, batang, protoplas maupun dari mikrospora. Pada tahap ini, sel-sel pada eksplan tersebut telah mengalami determinasi untuk membentuk embrio dan hanya memerlukan kondisi yang sesuai untuk ekspresinya. Embriogenesis langsung secara in vitro umumnya terjadi pada sel-sel eksplan yang masih muda (jaringan meristematik), sedangkan embriogenesis tak langsung terjadi pada sel-sel yang telah mengalami diferensiasi, pembelahan sel, dan transformasi menjadi sel embriogenik. Sel-sel embriogenik yang akan menjadi embrio adalah sel-sel yang berukuran kecil, dengan isi sitoplasma yang penuh atau tanpa vakuola. Pada pembentukan embrio somatik secara tidak langsung, pembentukan embrio terjadi melalui fase kalus terlebih dahulu atau melalui kultur suspensi. Proses embriogenesis somatik secara tidak langsung memerlukan media yang lebih kompleks, antara lain diperlukan penambahan zat pengatur tumbuh untuk menginduksi dediferensiasi dan reinisiasi pembelahan sel dari sel-sel yang telah terdiferensiasi sebelum sel-sel dapat mengekspresikan kompetensi embriogeniknya (Jimenez 2001). Tahapan dalam proses embriogenesis somatik adalah induksi kalus embriogenik, pendewasaan, perkecambahan, dan hardening (tahap aklimatisasi) (Purnamaningsih 2002). Pada tahap induksi kalus embriogenik, kultur umumnya ditumbuhkan pada media yang mengandung auksin yang mempunyai daya aktivitas kuat atau dengan konsentrasi tinggi dibandingkan keperluan auksin pada pertumbuhan sel normal (Kiyosuke et al. 1983). Dari berbagai hasil penelitian
19
menunjukkan bahwa 2.4-D merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus embriogenik. Zat pengatur tumbuh tersebut merupakan auksin sintetis yang cukup kuat dan tahan terhadap degradasi karena reaksi enzimatik dan fotooksidasi. Di samping auksin, sering pula diberikan sitokinin seperti benzil adedin (BA) atau kinetin secara bersamaan (Bhojwani dan Razdan, 1989). Auksin yang tinggi diperlukan untuk tahap awal induksi kalus embriogenik, sedangkan untuk tahap proliferasi dibutuhkan auksin yang rendah atau tanpa auksin. Tahap pendewasaan adalah tahap perkembangan dari struktur globular membentuk kotiledon dan primordia akar. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap pendewasaan adalah tahap yang paling sulit. Pada tahap ini sering digunakan media tanpa auksin (Pierik 1987), media dengan konsentrasi auksin rendah (Purnamaningsih 2002), media dengan konsentrasi auksin dan sitokinin yang sangat rendah dapat menginduksi pembentukan embrio bipolar yang selanjutnya berkembang membentuk planlet (Ammirato 1984). Tahap perkecambahan adalah fase di mana embrio somatik membentuk tunas dan akar. Pada media perkecambahan, konsentrasi zat pengatur tumbuh sitokinin yang digunakan sangat rendah atau tanpa zat pengatur tumbuh. Menurut Mariska et al. (2001), pada tahap perkecambahan sering ditambahkan GA3. Tahap hardening, yaitu tahap aklimatisasi bibit embrio somatik dari kondisi in vitro ke lingkungan baru di rumah kaca. Aklimatisasi dilakukan setelah embrio berkecambah dan diperoleh plantlet yang siap untuk dipindahkan ke lapangan. Aklimatisasi plantlet hasil dilakukan dengan menurunkan kelembaban dan peningkatan intensitas cahaya. Menurut Namasivayam (2007) pembentukan embrio somatik dapat dipengaruhi oleh genotipe, jaringan dan tahap perkembangan eksplan, dan kondisi kultur seperti keseimbangan zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen, kondisi osmotik dan perubahan pH. Penggunaan eksplan yang bersifat merismatik umumnya memberikan keberhasilan pembentukan embrio somatik yang lebih tinggi. Eksplan yang digunakan dapat berupa aksis embrio zigotik muda dan dewasa, kotiledon, mata tunas, epikotil maupun hipokotil. Sumber nitrogen dan gula yang terdapat dalam komposisi media berperan penting dalam induksi dan perkembangan embriogenesis somatik. Nitrogen merupakan faktor utama dalam
20
morfogenesis secara in vitro yang berfungsi untuk inisiasi dan perkembangan embrio, sedangkan gula berfungsi sebagai sumber karbon dan mempertahankan osmotik media. Menurut Chen dan Chang (2001) zat pengatur tumbuh yang paling umum digunakan untuk menginduksi embriogenesis somatik adalah auksin dan sitokinin.
21
BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. Penelitian ini berlangsung dari bulan November 2010 sampai Januari 2012. B. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih Jatropha curcas L. komposit IP3-P Pakuwon, Sukabumi dan aksesi Dompu dari SBRC IPB, Kebun Jarak pagar PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, Cibinong. Eksplan yang digunakan adalah hipokotil, daun, kotiledon, embrio muda, aksis embrio muda, aksis embrio tua dan aksis embrio dari buah masak. Media kultur adalah MS (Murashige dan Skoog) (Lampiran 1) dan zat pengatur tumbuh 2,4-D dan Picloram. Alat yang digunakan adalah peralatan kultur dan sterilisasi. C. Metode Percobaan Pada penelitian ini dilakukan 6 percobaan yang dibagi dalam 2 kelompok percobaan utama yaitu: 1. Induksi embrio somatik (4 percobaan) dan 2. Proliferasi dan pendewasaan embrio somatik (2 percobaan). 1 . Induksi Embrio Somatik a). Induksi embrio somatik dari berbagai jenis eksplan J. curcas komposit IP3-P Sterilisasi dan inisiasi kecambah Tahapan ini bertujuan untuk menyediakan sumber eksplan in vitro dalam induksi kalus embriogenik. Proses sterilisasi meliputi: biji yang telah dikupas direndam dengan mankozeb 2.4% selama 30 menit, kemudian dibilas dengan air mengalir. Sterilisasi selanjutnya dilakukan di Laminar Air flow Cabinet dengan merendam biji yang sudah dikupas dalam alkohol 70% selama 1 menit sambil dikocok. Alkohol dibuang, lalu biji direndam dalam Na-hipoklorit 25% selama 15 menit, lalu dibilas dengan air steril sebanyak 3 kali. Kemudian biji
22
direndam kembali dalam larutan Na-hipoklorit 20% selama 30 menit, kemudian dibilas dengan air steril sebanyak 3 kali. Setelah proses sterilisasi dilakukan, biji diletakkan di cawan petri steril, kemudian dipotong menjadi dua bagian. Bagian yang tidak terdapat embrio dibuang, sedangkan bagian yang terdapat embrio ditanam pada media Murashige dan Skoog (MS) tanpa zat pengatur tumbuh (ZPT), dan dibiarkan tumbuh selama satu minggu tanpa subkultur. Induksi kalus embriogenik Eksplan hipokotil dan daun diambil dari kecambah berumur 1 minggu setelah tanam pada media MS, sedangkan aksis embrio tua dan kotiledon berasal dari biji yang telah dikupas dan disteril. Hipokotil dan daun dipotongpotong dengan ukuran 0.5 cm, aksis embrio tua (± 0.3 cm) dan kotiledon (± 0.5 cm) (Gambar 3), kemudian ditanam pada media MS padat dengan sukrosa 3% yang ditambahkan zat pengatur tumbuh picloram 0.0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1 dan 2.4 D 0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1. Kultur diinkubasi di tempat gelap, pada suhu 26±2°C, selama 8 minggu.
a
b
c
d
Gambar 3. Eksplan J. curcas komposit IP3-P a) eksplan daun, b) eksplan hipokotil, c) eksplan aksis embrio dan d) eksplan kotiledon Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi zat pengatur
23
tumbuh dengan 6 taraf yaitu: 0.0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1 Picloram, sedangkan faktor kedua adalah jenis eksplan dengan 4 taraf yaitu: daun, hipokotil, aksis tua dan kotiledon. Setiap perlakuan diulang 10 kali, tiap botol berisi 2 eksplan sehingga totalnya yaitu 240 satuan percobaan. b). Induksi embrio somatik dari aksis embrio muda dan embrio muda J. curcas aksesi Dompu Sterilisasi Pada sterilisasi aksis embrio muda dan embrio muda (Gambar 4), buah berukuran 27-30 mm direndam dalam larutan Na-hipoklorit 25% selama 30 menit, kemudian larutan Na-hipoklorit dibuang dan buah dipotong kemudian embrio muda dipisahkan dari endosperm. Setelah terpisah embrio muda berukuran 11.5-15.0 mm dipindahkan ke media perlakuan.
a
2 mm
b
2 mm
Gambar 4. Eksplan a) aksis embrio muda dan b) embrio muda. Induksi kalus embriogenik Eksplan aksis embrio buah muda dan embrio muda ditanam pada media perlakuan setelah biji disterilisasi yaitu pada media MS padat dengan sukrosa 3% yang ditambahkan zat pengatur tumbuh picloram 0.0; 0.5; 1.0; 1,5; 2.0 dan 2.5 mgL-1 dan 2.4 D 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1. Kultur diinkubasi ditempat gelap, pada suhu 26±2°C, selama 8 minggu. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi zat pengatur tumbuh dengan 11 taraf yaitu: 0.0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1 picloram dan 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1 2.4-D, sedangkan faktor kedua adalah jenis eksplan dengan 2 taraf yaitu: aksis embrio muda dan embrio muda. Setiap
24
perlakuan diulang 8 kali, tiap botol berisi 2 eksplan, sehingga totalnya yaitu 176 satuan percobaan. Pengamatan percobaan 1a dan 1b dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan kalus yang terbentuk mulai dari 1-8 minggu. Pengamatan meliputi : 1. Jumlah eksplan membentuk kalus Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai 8 minggu setelah tanam (MST). Persentase eksplan membentuk kalus = Σ eksplan berkalus Σ eksplan yang digunakan
X 100%
2. Pertumbuhan kalus Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai 8 minggu setelah tanam (MST). Pengamatan dilakukan dengan sistem skoring (Gambar 5). Skoring pertumbuhan kalus: Skor 1: eksplan tidak membentuk kalus Skor 2 : 1-25% kalus menutupi eksplan Skor 3 : 26-50% kalus menutupi eksplan Skor 4 : 51-75% kalus menutupi eksplan Skro 5 : 76-100% kalus menutupi eksplan
a
c
b
d
e
Gambar 5. Skor perkembangan kalus dari eksplan daun a) skor 1, b) skor 2, c) skor 3, d) skor 4, dan e) skor 5.
25
3. Morfologi kalus (struktur dan warna). Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai 8 MST. Pengamatan dilakukan dengan cara melihat struktur dan warna kalus. 4. Jumlah eksplan membentuk embrio somatik Persentase eksplan membentuk embrio somatik = Σ eksplan membentuk embrio somatik Σ eksplan yang berkalus
X 100%
c). Induksi embrio somatik dari aksis embrio buah masak J. curcas aksesi Dompu dengan picloram dan 2.4-D Eksplan aksis embrio buah masak ditanam pada media perlakuan setelah biji disterilisasi (Gambar 6), pada media MS padat dengan sukrosa 3% yang ditambahkan zat pengatur tumbuh picloram 0.0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL1
dan 2.4 D 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1. Kultur diinkubasi di tempat gelap,
pada suhu 26±2°C, selama 8 minggu.
a
b
Gambar 6. Sumber eksplan a) buah jarak masak hijau dan b) aksis embrio buah masak hijau (tanda panah). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 1 faktor yaitu konsentrasi zat pengatur tumbuh dengan 11 taraf yaitu: 0.0; 0.5; 1; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1 Picloram dan 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1 2.4-D. Setiap perlakuan diulang 10 kali, tiap botol berisi 2 eksplan, sehingga totalnya yaitu 110 satuan percobaan. Pengamatan dilakukan untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan kalus yang terbentuk 1-8 minggu. Pengamatan meliputi : 1. Jumlah eksplan membentuk kalus Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai 8 MST.
26
Persentase eksplan membentuk kalus = Σ eksplan berkalus Σ eksplan yang digunakan
X 100%
2. Pertumbuhan kalus Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai 8 MST. Pengamatan dilakukan dengan sistem skoring. Skoring pertumbuhan kalus: Skor 1: eksplan tidak membentuk kalus Skor 2 : 1-25% kalus menutupi eksplan Skor 3 : 26-50% kalus menutupi eksplan Skor 4 : 51-75% kalus menutupi eksplan Skor 5 : 76-100% kalus menutupi eksplan 3. Morfologi kalus (struktur dan warna) Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai 8 MST. Pengamatan dilakukan dengan cara melihat struktur dan warna kalus. 4. Jumlah eksplan membentuk embrio somatik Persentase eksplan membentuk embrio somatik = Σ eksplan membentuk embrio somatik Σ eksplan yang berkalus
X 100%
5. Histodiferensiasi (irisan tentang tahap-tahap perkembangan embrio somatik) d). Induksi embrio somatik dari aksis embrio buah masak J. curcas aksesi Dompu dengan picloram Eksplan aksis embrio buah masak ditanam pada media perlakuan setelah biji disterilisasi, pada media MS padat dengan sukrosa 3% yang ditambahkan zat pengatur tumbuh picloram 2.5; 3.0; 4.0 dan 2.5 mgL-1. Kultur diinkubasi di tempat gelap, pada suhu 26±2°C, selama 8 minggu. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) 1 faktor yaitu konsentrasi picloram, dengan 4 taraf yaitu: 2.5; 3.0; 4.0 dan 2.5 mgL-1. Setiap perlakuan diulang 3 kali, tiap Petri dish berisi 6 eksplan, sehingga totalnya 12 satuan percobaan. Pengamatan dilakukan untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan kalus yang terbentuk mulai dari 1-8 minggu.
27
Pengamatan meliputi : 1. Persentase eksplan membentuk kalus Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai 8 MST. Persentase eksplan membentuk kalus = Σ eksplan berkalus Σ eksplan yang digunakan
X 100%
2. Pertumbuhan kalus Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai 8 MST. Pengamatan dilakukan dengan sistem skoring. Skoring perkembangan kalus: Skor 1: eksplan tidak membentuk kalus Skor 2 : 1-25% kalus menutupi eksplan Skor 3 : 26-50% kalus menutupi eksplan Skor 4 : 51-75% kalus menutupi eksplan Skro 5 : 76-100% kalus menutupi eksplan 3. Morfologi kalus (struktur dan warna) Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai 8 MST. Pengamatan dilakukan dengan cara melihat struktur dan warna kalus. 4. Jumlah eksplan membentuk embrio somatik Persentase eksplan membentuk embrio somatik = Σ eksplan membentuk embrio somatik Σ eksplan yang berkalus
X 100%
5. Histodiferensiasi (irisan tentang tahap-tahap perkembangan embrio somatik dari globular, hati, torpedo dan kotiledon) Pengamatan secara mikroskopik dengan membuat irisan contoh menurut metode parafin (Sass, 1951) (Lampiran 2), hanya dilakukan untuk embrio somatik yang terbentuk yaitu dengan irisan membujur. Pembuatan preparat melalui beberapa tahapan, yaitu fiksasi, dehidrasi, infiltrasi pemblokan, embedding, pengirisan dan staining (pewarnaan). Pewarna yang dipergunakan adalah fast green.
28
2. Proliferasi dan Pendewasaan Kalus Embriogenik a). Proliferasi dan pendewasaan kalus embriogenik pada media padat Kalus embriogenik dan embrio somatik yang terbentuk pada media Picloram atau 2.4-D disubkultur ke media MS padat tanpa zat pengatur tumbuh dengan penambahan 3% sukrosa, vitamin Gamborg B5 dan phytagel 2 g/L-1. b). Proliferasi dan pendewasaan kalus embriogenik pada media cair Kalus embriogenik dan embrio somatik yang terbentuk pada media dengan penambahan picloram atau 2.4-D disubkultur ke media MS padat tanpa zat pengatur tumbuh dengan penambahan 3% sukrosa, vitamin Gamborg B5 selama 2 minggu, kemudian disubkultur ke media cair tanpa atau dengan penambahan 2.5 mgL-1 picloram. Pengamatan meliputi : 1. Jumlah kalus embriogenik 2. Jumlah embrio somatik yang terbentuk 3. Jumlah embrio somatik yang bertunas 4. Deskripsi histodiferensiasi D. Analisis Statistik Percobaan 1a dan 1b menggunakan percobaan acak lengkap dengan dua faktor, sedangkan percobaan 1c dan 1d menggunakan percobaan acak lengkap dengan satu faktor. Data dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan. Perlakuan yang berpengaruh nyata kemudian diuji lanjut dengan menggunakan Duncan’s multiple range test (DMRT) dengan tingat kepercayaan 5%. Data skoring diuji menggunakan uji peringkat Kruskal Wallis (Walpole 1995). Model statistik percobaan acak lengkap dengan dua faktor (percobaan 1a dan 1b) menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006), yaitu: Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Dimana, i
= 1,2…,r; j=1,2…,r; k=1,2…r
29
Yijk
= Nilai pengamatan pada faktor pertama taraf ke-1 faktor kedua taraf ke-j dan ulangan ke-k
μ
= Rataan umum
αi
= Pengaruh utama Faktor pertama
βj
= Pengaruh utama Faktor kedua
(αβ)ij = Pengaruh interaksi faktor pertama ke-i dan faktor kedua ke-j εijk
= Pengaruh galat untuk pengamatan taraf ke (i,j,k) Model statistik percobaan acak lengkap dengan satu faktor (percobaan 1c
dan 1d) menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006), yaitu: Yij = μ + τi + εij Dimana, i
= 1,2…,r dan j=1,2…,r
Yijk = Nilai pengamatan pada faktor pertama taraf ke-1 dan ulangan ke-j μ
= Rataan umum
τi
= Pengaruh perlakuan ke-i
εij
= Pengaruh galat untuk pengamatan taraf ke (i,j)
30
31
HASIL DAN PEMBAHASAN I. Induksi Embrio Somatik a). Induksi embrio somatik dari berbagai jenis eksplan J. curcas komposit IP3-P Penambahan picloram ke dalam media perlakuan belum mampu menginduksi embrio somatik namun hanya mampu menginduksi pembentukan kalus non embriogenik pada keempat jenis eksplan dengan persentase jumlah eksplan membentuk kalus mencapai 100% pada 4 MST, sedangkan pada media tanpa picloram, kalus yang terbentuk berkisar antara 0-85%. Persentase pembentukan kalus tertinggi pada media tanpa picloram terjadi pada eksplan hipokotil mencapai 85% pada 7 MST, sedangkan terendah pada eksplan aksis embrio. Pada media ini, semua eksplan aksis embrio tidak membentuk kalus (Tabel 2). Eksplan aksis embrio pada media tanpa picloram cenderung membentuk tunas dan akar, ini disebabkan aksis tersusun dari calon batang dan akar yang dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman dewasa apabila ditanam pada media yang sesuai. Kalus non embriogenik mulai terbentuk pada eksplan daun, hipokotil, aksis embrio tua, dan kotiledon pada 1 MST. Pada media MS yang mengandung 2.0 mgL-1 picloram, jumlah persentase eksplan yang membentuk kalus dari eksplan hipokotil mencapai 100%, sedangkan eksplan daun mencapai 65%, aksis 25% dan kotiledon 0%. Eksplan hipokotil dan daun lebih responsif dalam pembentukan kalus karena eksplan hipokotil mempunyai jaringan yang lebih muda dan merismatik karena berasal dari eksplan yang diambil dari kecambah berumur 1 minggu, sedangkan eksplan aksis embrio tua dan kotiledon berasal dari biji yang sudah tua. Jaringan merismatik terdiri dari sel-sel yang selalu membelah dengan dindingnya yang tipis dan mudah tumbuh membentuk jaringan atau organ baru.
32
Jenis Eksplan
Daun
Hipokotil
Aksis embrio tua
Kotiledon
Konsentrasi Picloram (mg/l) 0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5
Persentase pertumbuhan kalus (%) 1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
8 MST
0 20 35 70 65 55 0 20 65 75 100 70 0 0 10 20 25 30 0 0 0 5 0 0
0 65 95 100 95 95 0 70 100 100 100 100 0 65 100 100 100 100 10 75 90 95 100 100
10 75 100 100 100 100 50 100 100 100 100 100 0 100 100 100 100 100 20 100 100 100 100 100
10 100 100 100 100 100 55 100 100 100 100 100 0 100 100 100 100 100 30 100 100 100 100 100
10 100 100 100 100 100 60 100 100 100 100 100 0 100 100 100 100 100 30 100 100 100 100 100
10 100 100 100 100 100 60 100 100 100 100 100 0 100 100 100 100 100 30 100 100 100 100 100
10 100 100 100 100 100 85 100 100 100 100 100 0 100 100 100 100 100 30 100 100 100 100 100
10 100 100 100 100 100 85 100 100 100 100 100 0 100 100 100 100 100 30 100 100 100 100 100
32
Tabel 2. Pengaruh picloram terhadap persentase eksplan membentuk kalus dari berbagai eksplan J. curcas komposit IP3-P
33
33
Persentase eksplan yang dapat membentuk kalus pada 1 MST bervariasi tergantung pada jenis eksplan dan konsentrasi picloram yang digunakan, yaitu berkisar 0-100%. Jenis eksplan dan konsentrasi picloram yang ditambahkan pada media MS sangat mempengaruhi kecepatan terjadinya induksi kalus. Zat pengatur tumbuh dalam media kultur merupakan faktor yang sangat menentukan dalam keberhasilan induksi kalus dari jaringan eksplan yang dikulturkan. Zat pengatur tumbuh picloram merupakan golongan auksin mempunyai peran penting dalam induksi pembentukan kalus. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh nyata antara taraf konsentrasi picloram dan jenis eksplan terhadap skor pertumbuhan kalus pada 1-8 MST. Pertumbuhan kalus pada 3 MST dapat mencapai skor 4 (51-75% kalus menutupi eksplan) pada eksplan hipokotil, sedangkan eksplan daun, aksis embrio tua dan kotiledon hanya mencapai skor 3 (26-50% kalus menutupi eksplan). Pada 6 MST pertumbuhan kalus untuk setiap jenis eksplan mencapai lebih dari 50% kalus menutupi eksplan. Skor kalus rata-rata tertinggi ditunjukkan pada eksplan hipokotil yang dapat mencapai skor 5 (76-100% kalus menutupi eksplan) pada semua media yang mengandung picloram pada 5 MST (Tabel 3). Ini menunjukkan bahwa picloram dengan konsentrasi 0.5-2.5 mgL-1 pada 5 MST dapat menginduksi pertumbuhan kalus dari eksplan hipokotil mencapai maksimum, walaupun skor pertumbuhan kalus di media yang mengandung picloram pada eksplan tersebut tidak berbeda nyata. Skor pertumbuhan kalus dari eksplan hipokotil mencapai pertumbuhan yang maksimum pada 5.MST.
31 Tabel 3. Pengaruh picoram terhadap skor pertumbuhan kalus dari berbagai eksplan J. curcas komposit IP3-P
Daun
Konsentrasi Picloram (mg/l) 0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5
P-value
Hipokotil
0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5
P-value Aksis embrio tua
0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5
P-value
Kotiledon
P-value
0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5
34
Jenis Eksplan
Skor pertumbuhan kalus 1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
8 MST
1.0 1.0 1.0 2.0 2.0 2.0 0.000 1.0 1.0 2.0 2.0 2.0 2.0 0.000 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 0.430 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.000
1.0 2.0 2.0 3.0 2.0 2.0 0.000 1.0 2.0 3.0 3.0 3.0 3.0 0.000 1.0 2.0 2.0 3.0 2.0 2.0 0.000 1.0 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0 0.000
1.0 2.0 3.0 3.0 3.0 3.0 0.000 1.0 2.0 3.0 3.5 4.0 4.0 0.000 1.0 3.0 3.0 3.0 3.0 3.0 0.000 1.0 2.0 3.0 3.0 3.0 3.0 0.000
1.0 3.0 3.0 4.0 4.0 3.0 0.000 2.0 3.0 4.0 4.5 4.5 4.5 0.000 1.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 0.000 1.0 3.0 3.0 3.0 3.0 3.0 0.000
1.0 3.5 3.5 4.0 4.0 4.0 0.000 2.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 0.000 1.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 0.000 1.0 4.0 4.0 4.0 4.0 4.0 0.000
1.0 4.0 4.0 5.0 5.0 4.0 0.000 2.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 0.000 1.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 0.000 1.0 4.0 5.0 4.0 4.0 5.0 0.000
1.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 0.000 2.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 0.000 1.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 0.000 1.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 0.000
1.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 0.000 2.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 0.000 1.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 0.000 1.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 0.000
Keterangan: Hasil analisis dengan uji Kruskal-Wallis, berbeda nyata pada 0.01
35
35
Kalus yang dihasilkan pada media yang mengandung picloram pada 1 MST adalah kalus non embriogenik yang remah, sedangkan kalus pada media tanpa zpt merupakan kalus kompak (Tabel 4). Pembentukan kalus pada jaringan yang dilukai umum terjadi pada tumbuhan. Ini menunjukkan bahwa hormon endogen berperan dalam induksi kalus. Terbentuknya kalus terjadi pada bagian bekas pelukaan (Gambar 7a), kemudian berlanjut dengan pertumbuhan kalus sebagai akibat dari proliferasi sel-sel penyusun kalus, sehingga menutup sebagian permukaan bekas pelukaan (Gambar 7b). Hal ini sesuai dengan pendapat Utami et al. (2007) yang menyatakan bahwa terjadinya kalus di tempat pelukaan bertujuan untuk menutup luka. George dan Sherington (1984) menyatakan bahwa pemotongan atau pelukaan pada sel tumbuhan akan merangsang pembelahan sel, selanjutnya pembelahan ini akan menginisiasi kalus. Terbentuknya kalus remah disebabkan karena penggunaan picloram yang merupakan zat pengatur tumbuh golongan auksin yang menyebabkan proliferasi sel secara cepat, sedangkan kalus kompak terbentuk karena mengalami pembentukan lignifikasi sehingga kalus tersebut mempunyai tekstur yang keras.
a
b
Gambar 7. Pertumbuhan kalus dari eksplan daun J. curcas komposit IP3-P a) pertumbuhan kalus (panah) pada bagian luka 2 MST dan b) pertumbuhan kalus 5 MST. Pertumbuhan kalus mulai menurun pada 6 MST, hal ini ditunjukkan dengan pertumbuhan kalus yang melambat dengan tidak bertambahnya volume kalus dan mulai terjadinya perubahan warna menjadi putih kekuningan sampai menjadi coklat serta hitam. Kalus yang terbentuk di media yang mengandung picloram merupakan kalus remah dan tidak membentuk kalus embriogenik (Gambar 8).
36
Tabel 4. Pengaruh picloram terhadap morfologi kalus yang terbentuk dari berbagai eksplan J. curcas komposit IP3-P Jenis Eksplan
Daun
Hipokotil
Aksis
Daun kotiledon
a
Konsentrasi Picloram (mg/l) 0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5
b
Morfologi kalus Kompak, putih Remah, putih Remah, putih Remah, putih kekuningan Remah, putih kecoklatan Remah, putih kecoklatan Kompak, putih Remah, putih Remah, putih Remah, putih Remah, putih kekuningan Remah, putih kecoklatan, Tidak membentuk kalus Remah, putih Remah, putih Remah, putih Remah, putih Remah, putih kehitaman Kompak, putih Remah, putih kekuningan Remah, putih kekuningan Remah, putih kecoklatan Remah, putih kecoklatan Remah, putih kecoklatan
c
Eksplan membentuk Embrio Somatik (%) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
d
Gambar 8. Kalus remah J. curcas komposit IP3-P yang terbentuk pada media MS yang mengandung 1.5 mg/L-1 picloram pada 6 MST. a) kalus dari daun, b) kalus dari hipokotil, c) kalus dari aksis dan d) kalus dari kotiledon. Eksplan daun, hipokotil, aksis embrio dewasa dan kotiledon yang diinduksi di media MS dengan penambahan picloram tidak dapat membentuk embrio somatik sampai dengan 8 MST. Eksplan tersebut merupakan eksplan yang
37
bersifat merismatik, karena daun dan hipokotil berasal dari kecambah yang berumur 1 MST, sedangkan aksis embrio dewasa dan kotiledon tersusun dari jaringan muda calon pembentukan akar, batang dan daun. Zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah golongan auksin yaitu picloram dengan konsentrasi 0-2.5 mg/L-1 yang dapat mendorong pembentukan embrio somatik. Tidak terbentuknya embrio somatik pada keempat jenis eksplan tersebut, diduga disebabkan oleh keseimbangan zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen di dalam media yang dapat mempengaruhi ekspresi gen, sehingga gen-gen yang berperan dalam embriogenesis tidak dapat menginduksi embrio somatik. Hasil penelitian ini berbeda dengan Nindita (2010) yang menunjukkan bahwa aksis embrio tua dan kotiledon pada media MS yang mengandung 1.0 mgL-1 picloram dapat membentuk embrio somatik. Pembentukan embrio somatik dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya aksesi, jaringan dan tahap perkembangan eksplan, serta hormon endogen yang dapat mempengaruhi respon tanaman yang bergantung pada kondisi kultur seperti konsentrasi hormon eksogen, kondisi osmotik, perubahan pH, asam amino dan konsentrasi unsur hara makro dan mikro (Namasivayam 2007). b). Induksi embrio somatik dari eksplan aksis embrio muda dan embrio muda J. curcas aksesi Dompu Semua media MS dengan penambahan picloram atau 2.4-D mampu menginduksi kalus non embriogenik pada 2 MST. Eksplan aksis embrio muda mulai membentuk kalus 1 MST pada media yang mengandung picloram dan 2.4D, sedangkan eksplan embrio muda 1 MST membentuk kalus pada media yang mengandung picloram. Respon pembentukan kalus dari eksplan embrio muda lebih cepat terjadi pada media yang mengandung picloram dibandingkan dengan media yang mengandung 2.4-D, ini menunjukkan bahwa picloram mampu menginduksi dan memproliferasi sel dengan cepat dibanding 2.4-D (Tabel 5). Kecepatan pembentukan dan proliferasi setiap eksplan akan berbeda tergantung pada zat pengatur tumbuh dan jenis eksplan yang digunakan. Pada eksplan aksis embrio muda, persentase pembentukan kalus dapat mencapai 100% pada 3 MST, sedangkan dengan eksplan embrio muda pada 5 MST. Pembentukan kalus pada aksis embrio muda dipengaruhi oleh stres yang
38
diakibatkan dari irisan pada eksplan dan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan dalam media, sedangkan pada embrio muda dipengaruhi oleh umur eksplan atau tahap perkembangan embrio. Hal ini sesuai dengan penelitian Varshney dan Johnson (2010) yang menyatakan bahwa persentase pembentukan kalus dari eksplan embrio muda J. curcas yang berukuran 0.2-0.9 cm pada media MS yang mengandung 0.5 mgL-1 IBA dan 1.0 mgL-1 BAP dapat mencapai 10-30%, sedangkan pada eksplan embrio muda yang berukuran 1.1-1.5 cm dapat mencapai 100% pada 4 MST.
39
Tabel 5. Pengaruh auksin terhadap pesentase eksplan membentuk kalus dari eksplan aksis embrio muda dan embrio muda J. curcas aksesi Dompu Jenis Eksplan
Aksis embrio muda
Embrio muda
Konsentrasi Auksin (mg/l) 0 Picloram 0.5 Picloram 1.0 Picloram 1.5 Picloram 2.0 Picloram 2.5 2.4-D 0.5 2.4-D 1.0 2.4-D 1.5 2.4-D 2.0 2.4-D 2.5 0 Picloram 0.5 Picloram 1.0 Picloram 1.5 Picloram 2.0 Picloram 2.5 2.4-D 0.5 2.4-D 1.0 2.4-D 1.5 2.4-D 2.0 2.4-D 2.5
1 MST 0 25 37.5 62.5 75 87.5 75 62.5 37.5 12.5 75 0 0 12.5 12.5 25 75 0 0 0 0 0
2 MST 0 75 87.5 100 100 100 100 100 100 87.5 100 0 75 75 75 50 87.5 50 62.5 50 50 62.5
Persentase pertumbuhan kalus (%) 3 MST 4MST 5 MST 6 MST 0 0 0 0 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 0 0 0 0 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 75 100 100 100 100 100 100 100 75 87.5 100 100 87.5 87.5 100 100 100 100 100 100 75 87.5 100 100 87.5 87.5 100 100
7 MST 0 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 0 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
8 MST 0 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 0 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
39
40
Hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh nyata antara taraf konsentrasi zat pengatur tumbuh dan jenis eksplan terhadap skor pertumbuhan kalus berbeda nyata pada 1-8 MST. Secara umum pertumbuhan kalus dari eksplan aksis embrio muda menunjukkan hasil tertinggi yaitu dengan skor pertumbuhan kalus mencapai 5.0 dan terrendah 4.0, sedangkan pada eksplan embrio muda skor pertumbuhan kalus tertinggi mencapai 4.5 dan terendah 3.0 pada 8 MST (Tabel 6). Pertumbuhan kalus dari aksis embrio muda lebih tinggi dibandingkan embrio muda dan berbeda nyata pada 1-8 MST. Pertumbuhan kalus dari eksplan embrio muda lebih rendah disebabkan eksplan embrio muda lebih lambat dalam merespon perubahan lingkungan karena tidak mengalami pelukaan. Eksplan yang mengalami pelukaan lebih cepat dalam merespon perubahan lingkungan, karena stres dan respon terhadap zat pengatur tumbuh tertentu. Respon terhadap lingkungan tersebut mengakibatkan perubahan inter dan intraseluler dalam suatu jaringan, sehingga sel-sel tersebut menjadi aktif mengadakan pertumbuhan secara tidak terorganisir membentuk jaringan kalus, untuk beradaptasi terhadap lingkungan baru (Sopory dan Munshi 1998).
41
Tabel 6. Pengaruh auksin terhadap skor pertumbuhan kalus dari eksplan aksis embrio muda dan embrio muda J. curcas aksesi Dompu Jenis Eksplan
Aksis embrio muda
Konsentrasi ZPT(mg/l) 0 Picloram 0.5 Picloram 1.0 Picloram 1.5 Picloram 2.0 Picloram 2.5 2.4-D 0.5 2.4-D 1.0 2.4-D 1.5 2.4-D 2.0 2.4-D 2.5
P-value
Embrio muda
P-value
0 Picloram 0.5 Picloram 1.0 Picloram 1.5 Picloram 2.0 Picloram 2.5 2.4-D 0.5 2.4-D 1.0 2.4-D 1.5 2.4-D 2.0 2.4-D 2.5
1 MST 1.0 1.0 1.0 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0 1.0 1.0 2.0 0.029 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 2.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 0.555
2 MST 1.0 2.0 2.0 2.5 3.0 3.0 2.0 3.0 2.0 2.0 3.0 0.000 1.0 2.0 2.0 2.0 1.0 2.0 1.5 2.0 1.5 1.5 2.0 0.069
Skor pertumbuhan kalus 3 MST 4MST 5 MST 6 MST 1.0 1.0 1.0 1.0 2.0 3.0 4.0 4.0 2.5 3.0 4.0 4.0 3.0 3.0 4.0 4.0 3.0 4.0 4.0 4.0 3.0 3.5 4.5 5.0 3.0 4.0 5.0 5.0 3.0 3.0 4.0 4.0 3.0 3.0 3.0 3.0 2.0 3.0 3.0 3.0 3.0 3.0 4.0 4.0 0.000 0.001 0.000 0.000 1.0 1.0 1.0 1.0 2.0 2.0 2.0 3.0 2.0 3.0 3.0 3.5 2.0 3.0 3.0 4.0 2.0 2.0 3.0 3.0 2.5 3.0 3.5 4.0 2.0 2.0 2.5 2.5 2.0 2.0 3.0 3.0 2.0 2.0 3.0 3.0 2.0 2.0 3.0 3.0 2.0 2.0 2.5 2.5 0.003 0.000 0.000 0.000
7 MST 1.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 4.0 4.0 5.0 0.001 1.0 4.0 4.0 4.5 3.5 4.5 3.0 3.0 3.0 4.0 3.0 0.000
8 MST 1.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 4.0 4.0 5.0 0.001 1.0 4.0 4.0 4.5 3.5 4.5 3.0 3.0 3.0 4.0 3.0 0.000 41
Keterangan: Hasil analisis dengan uji Kruskal-Wallis, berbeda nyata pada 0.01
42
Tabel 7. Pengaruh picloram terhadap morfologi kalus yang terbentuk dari eksplan aksis embrio muda dan embrio muda J. curcas aksesi Dompu Jenis Eksplan
Aksis embrio muda
Embrio muda
Konsentrasi Auksin (mg/l)
Morfologi kalus
0 Picloram 0.5 Picloram 1.0 Picloram 1.5 Picloram 2.0 Picloram 2.5 2.4-D 0.5 2.4-D 1.0 2.4-D 1.5 2.4-D 2.0 2.4-D 2.5 0 Picloram 0.5 Picloram 1.0 Picloram 1.5 Picloram 2.0 Picloram 2.5 2.4-D 0.5 2.4-D 1.0 2.4-D 1.5 2.4-D 2.0 2.4-D 2.5
Tidak membentuk kalus Kompak, putih kecoklatan Kompak, putih kecoklatan Kompak putih kecoklatan Kompak, putih Kompak, putih Kompak, putih Kompak, putih Kompak, putih kecoklatan Kompak, putih kecoklatan Kompak, putih kecoklatan Tidak membentuk kalus Kompak, putih kecoklatan Kompak, putih kecoklatan Kompak, putih kecoklatan Kompak, putih kecoklatan Kompak, putih Kompak, putih kecoklatan Kompak, putih kecoklatan Remah, putih kecoklatan Remah, putih kecoklatan Remah, putih kecoklatan
Jumlah eksplan membentuk Embrio Somatik (%) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksplan embrio muda dan aksis embrio muda pada media yang mengandung 0-2.5 mgL-1 picloram dan 2.4-D tidak dapat membentuk kalus embriogenik dan embrio somatik (Tabel 7). Kalus yang dihasilkan merupakan kalus yang remah dan kompak. Pertumbuhan kalus yang tinggi dapat menghambat pembentukan kalus embriogenik dan embrio somatik (Oktavia et al. 2003). Embrio somatik tidak terbentuk dapat disebabkan oleh zat pengatur tumbuh yaitu picloram maupun 2.4-D yang digunakan belum optimal dan faktor lain seperti sumber eksplan, tahap perkembangan embrio zigotik, kondisi kultur dan hormon endogen (Jimenez 2001). Konsentrasi zat pengatur tumbuh yang optimum dalam pembentukan embrio somatik setiap aksesi dan jenis eksplan berbeda-beda. Pada eksplan aksis embrio tua dan kotiledon J. curcas komposit IP3-P, zat pengatur tumbuh yang optimum adalah picloram 1 mgL-1
43
(Nindita 2010), jahe gajah dengan picloram 10.0 dan 20.0 mgL-1 (Bakti et al. 2009), Manihot esculenta dengan picloram 12 mgL-1 dan 2.4-D 12 mgL-1 (Ihemere 2003).
c). Induksi embrio somatik dari eksplan aksis embrio buah masak hijau J. curcas aksesi Dompu dengan picloram dan 2.4-D Semua eksplan aksis embrio buah masak pada 1 MST mulai membentuk kalus non embriogenik pada media MS yang mengandung picloram atau 2.4-D, sedangkan pada media tanpa ZPT eksplan tidak membentuk kalus. Zat pengatur tumbuh picloram dan 2.4-D berperan dalam proses pembelahan sel dalam pembentukan kalus, sedangkan media MS berperan dalam proses pertumbuhan, sehingga aksis embrio buah masak tumbuh membentuk akar dan batang. Persentase pembentukan kalus mencapai 100% pada 2 MST (Tabel 8). Tabel 8. Pengaruh ZPT terhadap persentase pertumbuhan kalus dari eksplan aksis embrio buah masak hijau J. curcas aksesi Dompu Konsentrasi ZPT (mg/l) 0 Pic 0.5 Pic 1.0 Pic 1.5 Pic 2.0 Pic 2.5 2.4-D 0.5 2.4-D 1.0 2.4-D 1.5 2.4-D 2.0 2.4-D 2.5
1 MST 0 30 70 80 100 100 80 100 100 100 100
2 MST 0 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Persentase pertumbuhan kalus (%) 3MST 4 MST 5 MST 6 MST 0 0 0 0 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
7 MST 0 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
8 MST 0 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Respon pembentukan kalus bermula dari bekas irisan eksplan aksis embrio buah masak yang berinteraksi dengan media yang mengandung ZPT dan mulai berubah bentuk menjadi massa kalus sejalan dengan bertambahnya umur kultur. Pertumbuhan kalus pada semua media yang mengandung zat pengatur tumbuh picloram dan 2.4-D tidak berbeda nyata pada 7 sampai 8 MST. Skor pertumbuhan kalus menunjukkan pada media yang mengandung picloram 1.5 dan 2.5 mgL-1 pada 6 MST dapat mencapai skor 5, sedangkan pada semua media yang mengandung 2.4-D mencapai skor 4 (Tabel 9). Hal ini sejalan dengan hasil
44
penelitian Nindita (2010) yang menunjukkan bahwa skor pertumbuhan kalus dengan menggunakan picloram lebih tinggi dari pada menggunakan 2.4-D pada eksplan aksis embrio dan kotiledon J. curcas. Berbeda dengan penelitian Fitch dan Moore (1990), bahwa pertumbuhan kalus Saccharum lebih cepat pada media yang mengandung 2.4-D dibandingkan pada media yang mengandung picloram. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan kalus dipengaruhi oleh genotipe tanaman, jenis eksplan, zat pengatur tumbuh dan interaksi zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media dengan zat pengatur tumbuh yang diproduksi oleh sel secara endogen. Tabel 9. Pengaruh ZPT terhadap skor pertumbuhan kalus dari eksplan aksis buah masak hijau J. curcas aksesi Dompu Konsentrasi ZPT (mg/l) 0 Pic 0.5 Pic 1.0 Pic 1.5 Pic 2.0 Pic 2.5 2.4-D 0.5 2.4-D 1.0 2.4-D 1.5 2.4-D 2.0 2.4-D 2.5 P-value
1 MST 1.0 1.0 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0 0.000
2 MST 1.0 2.0 3.0 3.0 3.0 3.0 2.0 3.0 3.0 3.0 3.0 0.000
Skor pertumbuhan kalus 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 1.0 1.0 1.0 1.0 2.0 3.0 4.0 4.0 3.0 4.0 4.0 4.0 3.0 3.5 4.0 5.0 3.0 4.0 4.0 4.0 3.0 4.0 4.0 5.0 2.0 3.0 3.0 4.0 3.0 4.0 4.0 4.0 3.0 3.5 4.0 4.0 3.0 3.0 4.0 4.0 3.0 3.0 4.0 4.0 0.000 0.000 0.000 0.000
7 MST 1.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 0.002
8 MST 1.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 0.003
Keterangan: Hasil analisis dengan uji Kruskal-Wallis, berbeda sangat nyata pada P<0.01 Penggunaan picloram atau 2.4-D secara tunggal pada semua konsentrasi yang diaplikasikan menghasilkan kalus non embriogenik dengan struktur sebagian kompak dan sebagian remah (Tabel 10). Menurut Manuhara (2001), kalus remah merupakan kalus yang tersusun atas sel-sel yang panjang berbentuk tubular dimana struktur sel-selnya renggang, tidak teratur dan mudah lepas. Kalus meremah apabila disubkultur ke media yang sesuai dapat menginduksi pembentukan sel embriogenik. Kalus kompak merupakan kalus yang tersusun atas sel-sel berbentuk nodular, dengan struktur yang padat dan sulit dipisahkan serta mengandung banyak air. Menurut Steeves dan Sussex (1994) kalus remah tersusun dari sel-sel yang cenderung berbentuk tidak teratur, relatif kecil-kecil
45
ukurannya, inti selnya besar, dan sitoplasma yang masih kental. Kalus kompak disebabkan oleh sel-sel yang semula membelah mengalami penurunan aktivitas proliferasinya. Aktivitas ini dipengaruhi oleh auksin alami dari eksplan asal (Santosa dan Nursandi, 2002). Tabel 10. Pengaruh ZPT terhadap morfologi kalus dan jumlah embrio somatik yang terbentuk dari eksplan aksis embrio buah masak hijau J. curcas aksesi Dompu. Konsentrasi ZPT (mg/l) 0 Picloram 0.5 Picloram 1.0 Picloram 1.5 Picloram 2.0 Picloram 2.5 2.4-D 0.5 2.4-D 1.0 2.4-D 1.5 2.4-D 2.0 2.4-D 2.5
Morfologi kalus Tidak membentuk kalus Kompak, remah, putih kecoklatan Kompak, remah, putih kecoklatan Kompak, remah, putih kecoklatan Kompak, remah, putih kecoklatan Kompak, remah, putih kecoklatan dan embriogenik Kompak, remah, putih kecoklatan Kompak, remah, putih kecoklatan Kompak, remah, putih kecoklatan Kompak, remah, putih kecoklatan Kompak, remah, putih kecoklatan
Jumlah eksplan membentuk embrio Somatik (%) 0 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0
Embrio somatik terbentuk pada media MS yang mengandung 2.5 mgL-1 picloram dengan persentase jumlah eksplan membentuk embrio somatik sebesar 10% dan terbentuk di 6 MST. Pada 8 MST terdapat 2 embrio somatik fase globular dan 5 fase kotiledon (Gambar 9). Pada media MS yang mengandung 2.4D, eksplan tidak membentuk kalus embriogenik dan embrio somatik. Pembentukan embrio somatik tidak hanya ditentukan oleh auksin dan kandungan nutrisi yang diberikan ke media kultur, tetapi juga faktor endogen yang mempengaruhi pengaturan embryogenesis seperti hormon, protein dan gen transkripsi (Umehara 2007).
46
a
b
Gambar 9. Embrio somatik J. curcas aksesi Dompu yang terbentuk pada 8 MST dari eksplan aksis embrio buah masak (a. fase globular, b. fase kotiledon). Pembentukan embrio somatik pada media MS yang mengandung 2.5 mgL-1 picloram menunjukkan bahwa picloram dengan konsentrasi tersebut mampu menginduksi sel-sel yang mempunyai kemampuan membentuk embrio somatik. Sumber eksplan yang sama maupun berbeda mempunyai kapasitas embriogenik yang berbeda pula. Kemampuan sel-sel membentuk embrio somatik berhubungan erat dengan aktivitas gen yang spesifik yang mempengaruhi embriogenesis somatik (Canhoto et al. 1996). Faktor lain yang mempengaruhi embriogenesis adalah faktor endogen. Menurut Umehara et al. (2007), faktor endogen yang mempengaruhi embriogenesis tanaman yang utama adalah gen transkripsi seperti LEC1, LEC2, FUS3, ABI3/VP1. Faktor endogen lain yang juga mempunyai peran dalam embriogenesis adalah hormon dan senyawa kimia dengan berat molekul yang rendah seperti auksin, giberellin (GA), asam absisik (ABA), phytosulfokine yang dapat mendorong embriogenesis somatik dan senyawa fenolik yang dapat menghambat embriogenesis somatik. Pembentukan embrio somatik J. curcas dari berbagai jenis eksplan dan zat pengatur tumbuh sudah banyak dilaporkan. Keberhasilan pembentukan embrio somatik berhubungan erat dengan faktor eksogen dan endogen. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jha et al. 2007 menunjukkan bahwa eksplan daun J. curcas pada media MS yang mengandung 0.5-1.0 mgL-1 kinetin dan 0.1-1.0 mg/L-1 IBA dan Sardana et al. 2000 pada media MS yang mengandung 3.0 mgL-1 BAP dan 1.0 mgL-1 IAA mampu menginduksi embrio somatik. Kalimuthu (2007) dengan eksplan kotiledon pada media MS yang mengandung 1.5 mgL-1 BAP dan Nindita
47
(2010) dengan eksplan aksis embrio tua dan kotiledon pada media MS yang mengandung 1.0 mgL-1 picloram dapat menginduksi embrio somatik J.curcas. Induksi embrio somatik dipengaruhi oleh faktor eksplan, jenis dan konsentrasi auksin. Dalam hal ini terdapat hubungan sensitivitas sel atau jaringan terhadap auksin (picloram atau 2.4-D) yang mengakibatkan perbedaan potensial sel-sel eksplan aksis embrio buah masak dalam merespon picloram atau 2.4-D untuk menginduksi embrio somatik. Penggunaan picloram mampu mengaktivasi sinyal transduksi sehingga sel dapat mengadakan pengaturan kembali ekspresi gen dan menginduksi pembelahan sel menuju pertumbuhan kalus atau embriogenesis somatik. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen akan menentukan arah perkembangan suatu kultur. Penambahan auksin pada medium akan mengubah nisbah zat pengatur tumbuh endogen yang kemudian menjadi faktor penentu untuk proses pertumbuhan dan morfogenesis dari eksplan (Oktavia et al. 2003). Penelitian ini menunjukkan bahwa induksi embrio somatik J. curcas memerlukan auksin (picloram) dengan konsentrasi 2.5 mgL-1 dan picloram berperan penting dalam embriogenesis somatik. d). Induksi embrio somatik dari eksplan aksis embrio buah masak hijau J. curcas aksesi Dompu dengan picloram Penelitian ini merupakan lanjutan dari induksi embrio somatik dengan perlakuan ZPT picloram menggunakan eksplan aksis embrio buah masak hijau (Percobaan 1c). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa eksplan aksis embrio buah masak dapat membentuk embrio somatik dengan persentase yang kecil yaitu 10% pada media MS yang mengandung picloram 2.5 mgL-1. Hasil yang kurang maksimal mendorong penelitian ini dilanjutkan dengan meningkatkan konsentrasi picloram menjadi 2.5-5.0 mgL-1. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi picloram yang optimal dalam embriogenesis somatik J. curcas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa embrio somatik dapat terbentuk pada media MS yang mengandung 2.5-5.0 mgL-1 picloram. Pembentukan embrio somatik dapat terjadi tanpa fase kalus (embriogenesis langsung) maupun melalui fase kalus (embriogenesis tidak langsung). Pada embriogenesis tidak langsung, sel-sel kalus dapat berkembang membentuk embrio somatik, tetapi tidak semua sel-sel kalus tersebut mampu berkembang menjadi embrio somatik. Hal ini
48
disebabkan karena adanya kompetisi diantara sel-sel embriogenik untuk mengadakan perkembangan lebih lanjut membentuk embrio somatik. Pada umumnya, pembentukan embrio somatik secara langsung dan tidak langsung dapat terjadi pada berbagai jenis eksplan dari aksesi tertentu dengan penambahan ZPT (auksin dan sitokinin) maupun tanpa ZPT. Penambahan ZPT ke media kultur dapat diberikan secara tunggal maupun kombinasi. Pembentukan embrio somatik langsung terjadi pada media dengan penambahan 3.0 mgL-1 picloram pada 8 MST. Pembentukan embrio somatik secara tidak langsung terjadi di media 2.5 mgL-1 picloram pada 6 MST dan 4.0 mgL-1 picloram pada 7-8 MST, sedangkan pada media 5.0 mgL-1 picloram terjadi pembentukan embrio somatik secara langsung dan tidak langsung pada 7-8 MST. Gambar 10 menunjukkan tipe embriogenesis yang terjadi pada eksplan aksis embrio buah masak yang diinduksi pada media MS yang mengandung 2.5-5.0 mgL-1 picloram.
a
c
b
d
d
Gambar 10. Pembentukan embrio somatik J. curcas aksesi Dompu secara tidak langsung a) media MS + 2,5 mgL-1 picloram b) media MS + 4 mgL-1 picloram c) media MS + 5 mgL-1 picloram dan pembentukan embrio somatik secara langsung d) media MS + 3 mgL-1 picloram, e) media MS + 5 mgL-1 picloram. Embriogenesis pada J. curcas dapat terbentuk secara langsung dari eksplan kotiledon pada media MS yang mengandung 1.5; 2.0 dan 2.5 mgL-1 BAP (Kalimuthu et al. 2007), sedangkan embriogenesis tidak langsung dari eksplan
49
daun pada media 2.0 mgL-1 kinetin (Jha et al. 2007), dan Nindita (2010) dengan eksplan aksis embrio dewasa dan kotiledon pada media yang mengandung 1.0 mgL-1 picloram. Ini menunjukkan bahwa pada J. curcas pembentukan embrio somatik dapat terbentuk dari berbagai ekspan dan zat pengatur tumbuh sitokinin maupun auksin secara tunggal. Menurut Namasivayam (2007) pembentukan embrio somatik dipengaruhi bukan hanya oleh kondisi kultur seperti keseimbangan zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen, kondisi osmotik, perubahan pH, tetapi juga oleh aksesi, jaringan dan tahap perkembangan eksplan. Embriogenesis langsung terjadi pada permukaan jaringan eksplan yang diawali dengan terbentuknya embrioid kecil berwarna putih dan selanjutnya berkembang membentuk embrio fase globular. Proses tersebut terjadi pada sel-sel pre embryogenic determine cell (PEDC) yang dalam kondisi kultur yang sesuai akan tumbuh membentuk embrio somatik. Embriogenesis tidak langsung diawali dengan pembentukan kalus dan sesudah itu terbentuk embrio somatik. Proses tersebut terjadi pada sel-sel induced embryogenic determine cell (IEDC) yang memerlukan zat pengatur tumbuh untuk membelah diri dan kembali ke status embriogenik. Embriogenesis tak langsung terjadi pada sel-sel yang telah mengalami dediferensiasi, pembelahan sel, dan transformasi menjadi sel embriogenik. Sel-sel embriogenik yang akan menjadi embrio adalah sel-sel yang berukuran kecil, sitoplasmanya padat, nukleusnya besar, vakuolanya kecil dan butir-butir patinya sangat banyak (William dan Maheswaran 1986). Regenerasi tanaman melalui embriogenesis tidak langsung lebih menguntungkan, karena sel-sel yang mengalami dediferensiasi dan pembelahan sel lebih banyak akibat terbentuknya kalus, sehingga lebih mudah untuk proliferasi membentuk kalus embriogenik. Embrio somatik yang dihasilkanpun seragam dan cepat. Tetapi embriogenesis tidak langsung memerlukan pengaturan zat pengatur tumbuh untuk membelah diri dan kembali ke status embriogenik. Pada embriogenesis langsung, proses pembentukan embrio somatik tanpa melalui fase kalus, sehingga embrio somatik yang dihasilkan jumlahnya sedikit dan tidak seragam. Kelebihannya yaitu bahwa proses embriogenesis terjadi pada sel-sel pre embryogenic determine cell (PEDC) yang dalam kondisi kultur yang sesuai dan tanpa zat pengatur tumbuh dapat tumbuh membentuk embrio somatik.
50
Embrio somatik dari eksplan aksis embrio buah masak dapat terbentuk pada media yang mengandung picloram 2.5-5.0 mgL-1 dengan efisiensi pembentukan embrio somatik sebesar 11%. Tabel 11 menunjukkan skor pertumbuhan kalus dengan skor tertinggi 5.0 pada media yang mengandung picloram 2.5 mgL-1 pada 8 MST. Kisaran persentase eksplan yang membentuk embrio somatik yaitu antara 5.56-16.67%. Meskipun skor pertumbuhan kalus dan persentase eksplan membentuk embrio somatik tidak berbeda nyata, media dengan 5.0 mgL-1 picloram menghasilkan persentase tertinggi yaitu 16.67%. Embrio somatik terbentuk pada 6 MST pada media yang mengandung 2.5 mgL-1 picloram, sedangkan pada media dengan 3.0 mgL-1 picloram pada 8 MST, media dengan 4.0 mgL-1 dan media dengan 5.0 mgL-1 picloram pada 7-8 MST. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nindita (2010) menunjukkan bahwa picloram pada konsentrasi 1.0 mgL-1 mampu menginduksi embrio somatik dari eksplan aksis embrio tua dan kotiledon J. curcas rata-rata 30 hari setelah tanam. Ini menunjukkan bahwa pembentukan embrio somatik dipengaruhi oleh jenis eksplan, aksesi sumber eksplan dan konsentrasi ZPT yang diberikan ke dalam media kultur. Tabel 11. Pengaruh picloram terhadap skor pertumbuhan kalus, persentase eksplan membentuk embrio somatik dan waktu pembentukan embrio somatik pada 8 MST
2.5
Skor pertumbuhan kalus 1) 5.0
Eksplan membentuk embrio somatik (%) 2) 11.11
Waktu mulai muncul embrio somatik (MST) 6
3.0
4.0
5.56
8
4.0
4.0
11.11
7 dan 8
5.0
4.0
16.67
7 dan 8
P-value
0.169
Konsentrasi Picloram (mgL-1)
Keterangan :
1)
Hasil analisis skor pertumbuhan kalus dengan uji Kruskal-Wallis, tidak berbeda nyata.
2)
Data untuk masing-masing peubah tidak berbeda nyata berdasarkan uji anova.
Penggunaan picloram secara tunggal pada semua konsentrasi yang diaplikasikan menghasilkan kalus dengan struktur remah yang berwarna putih
51
kecoklatan. Ini mengindikasikan bahwa jaringan yang mudah membentuk kalus adalah jaringan yang sensitif terhadap perlakuan picloram sehingga menjadi lebih responsif dan lebih mudah diinduksi menjadi embriogenik dan mampu berkembang menjadi embrio somatik. Kalus embriogenik terjadi pada eksplan yang membentuk embriogenesis tidak langsung, sedangkan pada embriogenesis langsung yang merupakan pembentukan embrio somatik tanpa melalui fase kalus tidak terbentuk kalus embriogenik. Tabel 12 menunjukkan tipe embriogenesis dan jumlah tahap embrio somatik dari eksplan aksis embrio buah masak pada konsentrasi 2.5-5.0 mgL-1 picloram. Media dengan penambahan picloram 2.5-5.0 mgL-1 cenderung menginduksi embrio somatik secara tidak langsung. Embrio somatik secara tidak langsung yang terbentuk berjumlah 5 eksplan, sedangkan secara langsung berjumlah 3 eksplan. Pembentukan embrio somatik langsung dan tidak langsung diduga karena gen yang mengkode embriogenesis dipengaruhi oleh interaksi antara hormon endogen dengan eksogen di dalam media. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa picloram dengan konsentrasi 2.5 mgL-1 yang terbaik, karena tipe embriogenesis yang dihasilkan merupakan tipe embriogenesis tidak langsung dan konsentrasinya lebih rendah. Tabel 12. Pengaruh picloram terhadap tipe embriogenesis dan tahap embrio somatik yang terbentuk dari eksplan aksis buah masak hijau J. curcas aksesi Dompu pada 8 MTS Konsentrasi Picloram (mgL-1) 2.5 3.0 4.0 5.0
Jumlah eksplan dan tipe embriogenesis Tidak Langsung langsung 0 2 1 0 0 2 2 1
Jumlah embrio somatik pada tahap embrio somatik Globular Jantung 2 3 1 2
1 1 0 2
Torpedo
Kotiledon
2 1 2 4
2 0 3 5
Eksplan yang digunakan adalah eksplan aksis embrio buah masak yang secara morfologi berwarna hijau atau 71-95 hari setelah pembungaan (Mao et al. 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aksis embrio buah masak lebih responsif dibanding aksis embrio muda dalam pembentukan kalus dan embrio somatik. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Varshney dan Johnson (2010),
52
bahwa respon pembentukan kalus dan regenerasi tunas lebih baik dengan menggunakan embrio buah masak J. curcas yang berukuran 1.1-1.5 cm dibandingkan embrio muda yang berukuran 0.2-0.9 cm. Ini menunjukkan bahwa sel jaringan yang lebih muda, belum tentu mempunyai respon yang lebih baik dalam induksi kalus atau embrio somatik. Umur eksplan dan tahap perkembangan eksplan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan embrio somatik, karena setiap sel mempunyai kemampuan yang berbeda dalam proses embriogenik, sehingga sumber eksplan yang sama maupun berbeda mempunyai kemampuan untuk membentuk sel embriogenik yang berbeda pula. Peristiwa tersebut berhubungan dengan aktivitas gen spesifik yaitu gen transkripsi seperti LEC1, LEC2, dan VP1 yang mempengaruhi embriogenesis somatik. Pembentukan sel embriogenik dipengaruhi oleh jenis eksplan, genotipe tanaman donor, kondisi kultur, hormon endogen, hormon eksogen dan aktivitas gen (Umehara 2007). 2. Proliferasi dan Pendewasaan Kalus Embriogenik a). Proliferasi dan pendewasaan kalus embriogenik pada media padat Kalus embriogenik dan embrio somatik aksesi Dompu dari media picloram 2.5 mgL-1 (Percobaan 1c) disubkultur pada media MS tanpa zat pengatur tumbuh dengan penambahan vitamin Gamborg B5 dan fitagel 2.5 gL-1. Setelah umur 2 minggu kalus embriogenik berkembang membentuk proembrio. Hasil penelitian menunjukkan perkembangan kalus embriogenik dari eksplan aksis embrio buah masak menjadi proembrio, globular, jantung, torpedo, kotiledon dan kecambah. Kultur proembrio yang terbentuk pada media MS padat tanpa ZPT mengalami proliferasi dan pendewasaan. Hal ini ditandai dengan massa proembriogenik yang meningkat dan selanjutnya berkembang membentuk tahap globular. Menurut Williams dan Maheswaran (1986), sel-sel embriogenik yang akan menjadi embrio adalah sel-sel yang berukuran kecil, sitoplasmanya padat, nukleusnya besar, vakuolanya kecil, butir-butir patinya sangat banyak, aktivitas metabolisme dan sintesis RNA meningkat. Morfologi sel-sel embriogenik tersebut yang mempunyai kemampuan untuk membentuk embrio (Feher et al. 2003).
53
Proliferasi embrio pada kalus embriogenik terjadi pada sel-sel permukaan atau apikal dari embrio somatik primer (embrio yang pertama kali muncul) (Finner 1988). Pada proses proliferasi, satu sel atau sekelompok sel di permukaan embrio primer akan membentuk embrio somatik baru (embrio sekunder) (Pardal 2002). Hasil percobaan menunjukkan bahwa pada media MS padat tanpa ZPT terjadi proliferasi kalus embriogenik yang membentuk proembrio dalam jumlah banyak. Media ini meningkatkan kalus embriogenik karena dalam proliferasi tidak membutuhkan auksin secara eksogen atau konsentrasi auksin diturunkan. Auksin merupakan pendorong untuk ekspresi gen yang menentukan diferensiasi dan pertumbuhan embrio somatik selanjutnya (Canhoto et al. 1996). Umumnya pemberian auksin yang rendah secara eksogen akan mendorong proliferasi massa proembriogenik, sebaliknya pemberian auksin yang tinggi akan menghambat perkembangan embrio somatik selanjutnya, karena auksin eksogen akan meniadakan polaritas auksin endogen yang menyebabkan gradien auksin endogen terganggu dengan adanya difusi auksin eksogen ke dalam sel-sel embrio somatik. Penghilangan
atau
pengurangan
konsentrasi
auksin
akan
mendorong
perkembangan embrio somatik, walaupun keberadaan auksin dan sitokinin dapat mendorong perkecambahan (Lyngved 2008). Gambar 11 menunjukkan tahap perkembangan dan pertumbuhan embrio somatik dari proembrio, globular, jantung, torpedo sampai berkembang menjadi kotiledon dan kecambah. Jumlah embrio somatik yang terbentuk pada 4 minggu berjumlah 20 globular, 23 jantung, 30 torpedo, 14 kotiledon dan 4 kotiledon dengan akar primer. Penelitian Kordestani dan Karami (2008) menunjukkan bahwa pertumbuhan embrio somatik strawberi dari tahap globular menjadi tahap kotiledon dapat terbentuk pada media MS tanpa zat pengatur tubuh pada 1-2 minggu dan persentase pertumbuhannya meningkat seiring dengan penambahan sukrosa.
54
a
b
c
d
e
f
Gambar 11. Tahapan perkembangan embrio somatik J. curcas aksesi Dompu a) proembrio, b) globular, c) jantung, d) torpedo, e) kotiledon, dan f) embrio yang sudah berkecambah pada media MS tanpa ZPT. Pada penelitian 1d, kalus embriogenik yang terbentuk disubkultur ke media MS padat tanpa zat pengatur tumbuh selama 2 minggu. Subkultur ke media MS padat tanpa ZPT bertujuan untuk menggantikan unsur-unsur hara yang berkurang dan menurunkan konsentrasi auksin eksogen yang dibutuhkan pada perdewasaan kalus embriogenik dan embrio somatik. Tahap proliferasi pada subkultur pertama memperlihatkan kalus embriogenik dan embrio somatik yang terbentuk secara tidak langsung mengalami proliferasi dan pendewasaan dengan meningkatnya jumlah kalus embriogenik dan jumlah embrio somatik pada beberapa tahap perkembangan embrio (Tabel 13), sedangkan embrio somatik yang terbentuk secara embriogenesis langsung tidak mengalami proliferasi tetapi mengalami pendewasaan. Hal ini disebabkan karena pada embriogenesis langsung tidak terbentuk kalus embriogenik, sehingga embrio somatik yang terbentuk pada media tanpa ZPT hanya mengalami pendewasaan dan tidak berproliferasi.
55
Tabel 13. Pengaruh media MS tanpa ZPT terhadap pembentukan embrio somatik pada 2 minggu setelah subkultur Media asal eksplan (mgL-1) Picloram 2.5 Picloram 3.0 Picloram 4.0 Picloram 5.0
Pertambahan jumlah embrio somatik pada tiap tahap perkembangan embrio Globular Jantung Torpedo Kotiledon 1 0 1 1 0 1 0 2 1 2 0 1 2 1 2 3
b). Proliferasi dan pendewasaan kalus embriogenik pada media cair Kalus embriogenik dan embrio somatik yang terbentuk pada penelitian 1d disubkultur ke media proliferasi dan pendewasaan yaitu media MS cair tanpa atau dengan penambahan 2.5 mgL-1 picloram. Proliferasi kalus embriogenik dapat terjadi pada media tanpa ZPT, karena kalus embriogenik dalam pertumbuhannya tidak membutuhkan auksin eksogen atau auksin dalam konsentrasi rendah. Konsentrasi auksin yang tinggi dapat menghambat proliferasi, pendewasaan kalus embriogenik dan perkembangan embrio somatik. Auksin eksogen yang tinggi diperlukan untuk tahap awal induksi kalus embriogenik, sedangkan untuk tahap perkembangan dan proliferasi tidak dibutuhkan auksin yang tinggi. Beberapa penelitian mendukung hal ini, misalnya pada bawang (Mariani et al. 2003), dan cokelat (Maximova et al. 2005). Proliferasi dan pendewasaan embrio somatik dapat terjadi pada media yang mengandung picloram 2.5 mgL-1 dan media tanpa ZPT (Gambar 12). Pada umumnya proliferasi embrio somatik memerlukan auksin dengan konsentrasi rendah atau tanpa auksin, sedangkan pendewasaan terjadi pada media tanpa auksin. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pinto et al. (2008) menunjukkan bahwa proliferasi embrio somatik Eucalyptus globulus meningkat dengan penurunan konsentrasi auksin dan tanpa auksin.
56
a
b
c
Gambar 12. Proliferasi dan pendewasaan embrio somatik J. curcas aksesi Dompu pada media cair 4 MST. a) embrio somatik pada media MS tanpa ZPT dari eksplan embrio somatik di media MS + 2.5 mgL-1 picloram, b) embrio somatik pada media MS + 2.5 mgL-1 picloram dari eksplan embrio somatik di media MS + 4.0 mgL-1 picloram dan c) embrio somatik pada media MS dari eksplan embrio somatik di media MS + 5.0 mgL-1 picloram yang terbentuk dari embriogenesis langsung. Pada penelitian ini terlihat bahwa proliferasi kalus embriogenik dan pembentukan embrio somatik J. curcas lebih banyak terjadi pada media tanpa ZPT. Diduga keterlibatan auksin endogen dalam media MS cair dapat mendorong proliferasi embrio somatik. Pada media MS yang ditambahkan 2.5 mgL-1 picloram, proliferasi embrio somatik terbentuk lebih sedikit. Ini disebabkan oleh konsentrasi picloram yang terlalu tinggi yaitu 2.5 mgL-1, sehingga mempengaruhi proliferasi embrio somatik. Sel-sel kalus embriogenik dapat berkembang membentuk embrio somatik, tetapi tidak semua sel-sel kalus embriogenik mampu berkembang menjadi embrio somatik. Hal ini disebabkan karena adanya kompetisi diantara sel-sel embriogenik untuk mengadakan perkembangan lebih lanjut. Semua kalus embriogenik dan embrio somatik pada media MS cair dengan atau tanpa penambahan 2.5 mgL-1 picloram mengalami pendewasaan, sehingga pada media ini terbentuk fase globular, jantung, torpedo dan kotiledon. Kalus embriogenik dan embrio somatik yang berasal dari media 2.5 mgL-1 picloram yang disubkultur ke media MS tanpa picloram mengalami proliferasi dan pendewasaan dengan terbentuknya embrio somatik yang meningkat. Pada media MS embrio somatik yang berasal dari 5.0 mgL-1 picloram mengalami pendewasaan. Pada media MS yang mengandung 2.5 mgL-1 picloram, kalus embriogenik berproliferasi dan berkembang membentuk embrio somatik, tetapi lebih sedikit
57
dibanding pada media tanpa picloram. Penambahan zat pengatur tumbuh picloram dapat menginduksi embrio somatik yang efektif. Hal ini terjadi karena picloram mampu menginduksi sel-sel somatik dan kalus embriogenik yang berpotensi membentuk embrio somatik. Hasil penelitian Karami dan Kordestani (2007) menunjukkan bahwa media MS yang mengandung picloram 2 dan 4 mgL-1 dapat meningkatkan proliferasi kalus embriogenik Carnation (Dianthus caryophyllus) mencapai 40% selama 4 minggu. Penggunaan zat pengatur tumbuh yang tepat dan konsentrasi
yang
sesuai
dengan
fisiologi
eksplan
dan
jenis
tanaman
mempengaruhi keberhasilan proliferasi kalus embriogenik dan embrio somatik. Setiap jenis dan jaringan tanaman mempunyai respon yang berbeda terhadap pengaruh zat pengatur tumbuh eksogen. c). Histodiferensiasi (tahap-tahap pertumbuhan embrio somatik) Embrio somatik yang terbentuk pada media cair, baik dengan penambahan picloram maupun tanpa picloram dapat tumbuh membentuk tahap perkembangan embrio selanjutnya. Embrio somatik pada tiap tahap dapat dilihat pada Gambar 13.
a
b
c
d
Gambar 13. Embrio somatik J. curcas aksesi Dompu pada berbagai tahap perkembangan di media MS cair + 2.5 mg/l picloram. a) globular, b) jantung, c) torpedo dan d) kotiledon. Untuk melihat struktur dan pertumbuhan embrio somatik maka dilakukan pengamatan secara anatomi dengan membuat irisan membujur dari potongan embrio somatik pada beberapa tahap pertumbuhannya. Gambar 14 menunjukkan irisan membujur dari berbagai fase perkembangan embrio somatik yang berasal dari eksplan aksis embrio buah masak pada media pendewasaan. Gambar 14a merupakan fase globular yang terdiri dari sel-sel berukuran kecil dengan sitoplasma pekat, terdapat banyak organel, inti besar dan densitas
58
ribosom tinggi (Halperin dan Jensen, 1967). Fase ini merupakan permulaan diferensiasi struktural, yang secara histogenesis dimulai dengan pembentukan protoderm yang mengelilingi embrio somatik. Protoderm merupakan sel-sel yang menutupi atau terletak di atas sel meristem apikal dan primordial daun. Gambar 14b merupakan fase jantung, disini masih terdapat suspensor-like structure dan mulai terdapat celah yang membagi menjadi dua daerah. Fase jantung ditandai dengan pemanjangan pada bagian aksial, sehingga fase ini disebut tahap pemanjangan embrio somatik. Gambar 14c merupakan fase torpedo yang ditandai dengan kotiledon yang semakin membesar diikuti pembentukan lekukan dan meristem dasar terdiri atas sel-sel parenkim yang berukuran lebih besar. Gambar 14d merupakan fase kotiledon dengan adanya prokambium antara kutub tunas dan akar yang sudah terpisah. Selanjut prokambium tumbuh dan berkembang membentuk tunas.
a
b
c
d
Gambar 14. Irisan membujur dari berbagai fase perkembagan embrio somatik yang berasal dari eksplan aksis embrio buah masak aksesi Dompu pada media pendewasaan MS tanpa zat pengatur tumbuh (a) globular, (b) jantung, (c) torpedo dan (d) kotiledon.
59
PEMBAHASAN UMUM Usaha pengembangan minyak nabati khususnya minyak jarak sebagai energi alternatif sangat menjanjikan, akan tetapi pengembangan ini masih banyak kendala. Kendala utama dalam pengembangan minyak jarak adalah rendahnya produktivitas dan tidak seragamnya kandungan minyak dalam biji (Hasnam, 2006). Oleh sebab itu, dibutuhkan beberapa metode untuk meningkatkan produktivitas dan kandungan minyak bijinya, diantaranya dengan penyediaan bibit unggul, perawatan tanaman, memperbaiki lingkungan tumbuh, ataupun juga perbaikan sifat genetik tanaman melalui metode konvensional maupun metode mutakhir yaitu dengan teknik kultur jaringan. Teknik kultur jaringan merupakan suatu metode alternatif yang biasa digunakan untuk propagasi tanaman, perbaikan atau peningkatan kualitas tanaman dan produksi metabolit. Penelitian kultur jaringan J. curcas telah banyak dilakukan dengan menggunakan berbagai metode regenerasi, jenis eksplan dan zat pengatur tumbuh (Mukherjee et al. 2011). Salah satu metode regenerasi yang digunakan untuk mendapatkan regenerasi tanaman yang cepat dan banyak adalah dengan embriogenesis somatik. Berbagai laporan embriogenesis J. curcas dari para peneliti menyebutkan bahwa embrio somatik dapat terbentuk dari berbagai eksplan dan zat pengatur tumbuh, baik secara tunggal maupun kombinasi. Beberapa metode dengan menggunakan berbagai eksplan dan zat pengatur tumbuh dapat menghasilkan embrio somatik secara langsung dan tidak langsung. Pembentukan kalus embriogenik dapat mencapai persentase yang besar, namun masih mengalami hambatan dalam regenerasi tanamannya, sehingga pada kenyataannya penerapan perbanyakan melalui embrio somatik belum mencapai efisiensi yang cukup tinggi (Sardana et al. 2000; Jha et al. 2007; Kalimuthu 2007; Nindita 2010). Pada penelitian ini dilakukan 6 percobaan. Percobaan pertama sampai keempat meliputi induksi embrio somatik dari berbagai eksplan (daun, hipokotil, aksis, kotiledon, embrio muda, aksis embrio muda dan aksis embrio buah masak) dan genotipe (komposit IP3-P dan Dompu). Percobaan kelima dan keenam meliputi proliferasi dan pendewasaaan kalus embriogenik yang terbentuk dari
60
penelitian pertama. Proses penelitian induksi embriogenesis somatik J. curcas dapat dilihat pada Gambar 15.
Tanaman J. curcas Jenis Eksplan
Komposit IP3-P A. B. C. D.
Daun Hipokotil Aksis Embrio Tua Kotiledon
Aksesi Dompu
Aksesi Dompu
E. Embrio Muda F. Aksis Embrio Muda
G. Aksis Embrio Buah Masak
Induksi Embrio Somatik
Induksi Embrio Somatik Induksi Embrio Somatik Picloram 0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0; 2.5 mg/L-1
Picloram dan 2.4-D 0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0; 2.5 mg/L-1
Picloram dan 2.4-D 0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0; 2.5 mg/L-1
Embriogenesis Somatik Picloram 2.5 mg/L-1
Tidak Membentuk Embrio Somatik
Tidak Membentuk Embrio Somatik
Optimasi Picloram 2.5; 3.0; 4.0; 5.0 mg/L-1
Embriogenesis Langsung 3.0 & 5.0 mg/L-1
Embriogenesis Tidak Langsung 2.5; 4.0 & 5.0 mg/L-1
Media MS Padat Vit B5, Fitagel
Media MS Cair Embriogenesis Langsung
MS Tanpa ZPT
Kotiledon 4 MST
Media MS Padat Vit B5, Fitagel
Planlet
Embriogenesis Tidak Langsung
MS Tanpa ZPT
MS + Picloram 2.5 mg/L-1
Fase globular, jantung, torpedo dan kotiledon 4 MST
Gambar 15. Skema diagram alir sistem embriogenesis J. curcas yang dihasilkan pada penelitian ini.
61
Percobaan pertama menunjukkan bahwa induksi embrio somatik dari eksplan daun, hipokotil, aksis embrio dan kotiledon J. curcas komposit IP3-P, dengan menggunakan zat pengatur tumbuh picloram 0-2.5 mgL-1 tidak membentuk kalus embriogenik dan embrio somatik. Pada percobaan kedua kalus embriogenik dan embrio somatik juga tidak terbentuk pada eksplan embrio muda dan aksis embrio muda J. curcas aksesi Dompu dengan menggunakan zat pengatur tumbuh picloram atau 2.4-D dengan konsentrasi masing-masing 0-2.5 mgL-1. Percobaan ketiga, pembentukan kalus embriogenik dan embrio somatik terjadi pada eksplan aksis embrio buah masak J. curcas aksesi Dompu dengan menggunakan media MS yang ditambahkan 2.5 mgL-1 picloram. Untuk menginduksi kalus embriogenik dan embrio somatik, konsentrasi picloram yang digunakan yaitu 0.5-2.5 mgL-1 setara dengan 2.07-10.35 μM dan konsentrasi 2.4-D yaitu 0.5-2.5 mgL-1 setara dengan 2.26-11.31 μM. Konsentrasi 2.4-D lebih tinggi 0.19-0.96 μM dibandingkan dengan konsentrasi picloram. Eksplan yang membentuk kalus embriogenik dan embrio somatik yaitu eksplan aksis embrio buah masak J. curcas aksesi Dompu yang diinduksi pada media MS dengan konsentrasi picloram 2.5 mgL-1 (10.35 μM), sedangkan pada media yang mengandung 2.5 mgL-1 (11.31 μM) tidak membentuk kalus embriogenik dan embrio somatik. Media yang mengandung picloram maupun 2.4-D mampu menginduksi pembentukan kalus dari semua jenis eksplan. Kalus dengan skor pertumbuhan tertinggi terjadi pada eksplan hipokotil J. curcas komposit IP3-P, sedangkan skor pertumbuhan terendah terjadi pada eksplan embrio muda aksesi Dompu. Eksplan hipokotil lebih responsif dalam pembentukan kalus karena berasal dari kecambah yang berumur 1 minggu dan mengalami pelukaan. Berbeda dengan eksplan embrio muda yang terdiri dari jaringan muda, tanpa mengalami pelukaan, sehingga responnya lebih lambat. Eksplan yang mengalami pelukaan lebih cepat dalam merespon perubahan lingkungan, karena stres dan respon terhadap zat pengatur tumbuh. Kalus yang dihasilkan merupakan kalus remah dan kompak yang berwarna putih dan kalus mulai terbentuk pada 1 MST. Setiap sel, jaringan dan organ mempunyai kemampuan yang berbeda dalam merespon pembentukan kalus. Ini menunjukkan bahwa pembentukan kalus dipengaruhi oleh sumber
62
eksplan (jenis, umur dan genotipe), zat pengatur tumbuh dan kondisi lingkungan seperti media, pH, cahaya. Varshney dan Johnson (2010) melaporkan bahwa embrio muda J. curcas dari berbagai ukuran menghasilkan persentase pembentukan kalus yang berbeda. Ukuran embrio muda 1.1-1.5 cm mempunyai respon pembentukan kalus yang tertinggi dibandingkan dengan embrio muda berukuran 0.2-0.9 cm. Hasil penelitian Prakash dan Gurumurthi (2009) menunjukkan
bahwa
umur
kotiledon
Eucalyptus
camaldulensis
dapat
mempengaruhi pembentukan kalus. Persentase pembentukan kalus tertinggi pada eksplan kotiledon yang berasal dari kecambah yang berumur 15 hari, sedangkan terendah pada eksplan kotiledon yang berasal dari kecambah yang berumur 30 hari. Pada eksplan daun, hipokotil, aksis dan kotiledon J. curcas komposit IP3P dan eksplan embrio muda dan aksis embrio muda J. curcas aksesi Dompu tidak membentuk kalus embriogenik dan embrio somatik. Semua eksplan membentuk kalus dengan skor pertumbuhan kalus yang berbeda pada media yang mengandung 0-2.5 mgL-1 picloram atau 2.4-D. Berbeda dengan penelitian Nindita (2010), konsentrasi zat pengatur tumbuh picloram 1.0 mgL-1 dapat menginduksi pemebentukan embrio somatik sebesar 65% yang berasal dari eksplan aksis dan 45% pada eksplan kotiledon J. curcas komposit IP3-P. Kalus embriogenik dan embrio somatik tidak dapat terbentuk dapat disebabkan oleh zat pengatur tumbuh yaitu picloram dan 2.4-D yang belum optimal, sehingga tidak dapat menginduksi pembentukan sel embriogenik dengan menginisiasi aktivitas diferensial gen. Faktor lain yang mempengaruhi pembentukan embrio somatik adalah sumber eksplan, tahap perkembangan embrio zigotik, kondisi kultur dan hormon endogen (Jimenez, 2001). Pada penelitian induksi embrio somatik dari eksplan aksis embrio buah masak J. curcas aksesi Dompu dapat terbentuk kalus embriogenik dan embrio somatik. Pembentukan embrio somatik terjadi pada media MS yang mengandung 2.5 mgL-1 picloram dengan persentase eksplan membentuk embrio somatik sebesar 10% dan terbentuk pada 6 MST. Pada media MS yang mengandung 2.4D, eksplan tidak membentuk kalus embriogenik dan embrio somatik. Pembentukan embrio somatik tidak hanya ditentukan oleh auksin dan kandungan
63
nutrisi yang diberikan ke dalam media, tetapi juga faktor endogen. Embriogenesis somatik merupakan perkembangan embrio somatik dari sel somatik yang dalam prosesnya rumit melibatkan berbagai metabolisme dalam sel dan dipengaruhi oleh banyak faktor endogen seperti hormon, protein dan faktor transkripsi (Umehara et al. 2007). Penggunaan picloram mampu menginduksi pembentukan embrio somatik karena picloram merupakan golongan auksin. Auksin dibutuhkan dalam menginduksi pembentukan sel embriogenik dengan menginisiasi aktivitas diferensial gen dan memanipulasi sekumpulan gen untuk meningkatkan populasi sel
embriogenik
melalui
pembelahan
sel
secara
berulang-ulang,
serta
menstimulasi terjadinya difensiasiasi sel dan terbentuknya embrio (Gray 2005). Peningkatan konsentrasi zat pengatur tumbuh picloram pada induksi embrio somatik dari eksplan aksis embrio buah masak aksesi Dompu, dapat menghasilkan embrio somatik yang terbentuk secara embriogenesis langsung dan tak langsung. Embriogenesis langsung dapat terjadi pada media MS yang mengandung picloram 3.0 mgL-1, sedangkan embriogenesis tidak langsung terjadi pada media MS yang mengandung picloram 2.5 dan 4.0 mgL-1. Embriogenesis langsung dan tidak langsung terjadi pada media MS yang mengandung picloram 5.0 mgL-1. Pada penelitian embriogenesis J. curcas dilaporkan bahwa embrio somatik dapat terbentuk melalui embriogenesis langsung (Kalimuthu et al. 2007) dan tidak langsung (Jha et al. 2007; Nindita 2010). Pembentukan embriogenesis secara langsung umumnya terjadi dengan menggunakan zat pengatur tumbuh auksin, sedangkan embrogenesis tidak langsung terjadi dengan menggunakan zat pengatur tumbuh auksin atau kombinasi auksin dengan sitokinin dengan perbandingan auksin yang lebih tinggi dengan sitokinin. Eksplan yang digunakan dalam embriogenesis tidak langsung umumnya semua eksplan yang mempunyai jaringan yang merismatik dan lebih responsif terhadap zat pengatur tumbuh. Menurut Vikrant dan Rashid (2001), embriogenesis secara langsung sering terjadi pada eksplan yang berasal dari mikrospora, embrio muda dan bakal biji (ovule). Dalam penelitian ini, terbentuknya embriogenesis secara langsung dan tidak langsung pada jenis eksplan (aksis embrio buah masak) dan penggunaan zat pengatur tumbuh (picloram) yang sama, menunjukkan adanya
64
pengaruh interaksi hormon endogen dan eksogen di dalam media yang dapat mempengaruhi ekspresi gen. Menurut Chugh dan Khurana (2002), banyak gen yang sudah teridentifikasi yang mempenaruhi embriogenesis somatik pada tanaman, diantaranya gen yang berperan dalam signal transduksi (SERKs,swCDKs, CRKs, MsCPK3), homeobox gen yang berperan dalam perkembangan embrio (CHB1CHB6, Sbh1, DcDB1), gen yang berperan dalam pendewasaan (Mat1, Dc2.15, Dc3, Dc8, DcEMB1, Em, DcECP31,DcECP40, MsLEC1, MsLEC2), gen yang berperan dalam merespon hormon (DcArg-1, pJW1, pJW2, DcECP63, DcECP40, DcECP31), dan gen yang berperan dalam ekspresi protein ekstraseluler (EP31,EP3-2, PgChi-1, PgGlu-1, EP2, DcAGP1). Proliferasi dan pendewasaan kalus embriogenik dan embrio somatik J. curcas dapat dilakukan dengan menggunakan media padat maupun cair. Pada media MS padat dengan penambahan vitamin Gamborg B5 dan phytagel 2.5 gL-1, kalus embriogenik berkembang membentuk proembrio, globular, jantung, torpedo, kotiedon dan kecambah selama 4 minggu. Perkembangan kalus embriogenik membentuk proembrio tidak membutuhkan auksin eksogen. Auksin endogen pada kalus embriogenik tersebut dapat mendorong proliferasi dan pendewasaan embrio somatik, sehingga proembrio yang dihasikan cukup banyak. Umumnya pemberian auksin yang rendah secara eksogen akan mendorong proliferasi massa proembriogenik, sedangkan pemberian auksin yang tinggi menghambat perkembangan embrio (Lyngved 2008). Proliferasi dan pendewasaan kalus embriogenik dan embrio somatik dapat terjadi pada media MS cair tanpa zat pengatur tumbuh, maupun dengan penambahan 2.5 mgL-1 picloram. Proliferasi pada media tanpa zat pengatur tumbuh lebih tinggi dibandingkan pada media yang mengandung zat pengatur tumbuh. Pada tahap proliferasi dibutuhkan auksin yang rendah atau tanpa auksin. Hal ini terjadi karena auksin endogen yang dihasilkan dari eksplan dapat menginduksi sel-sel somatik dan kalus embriogenik yang berpotensi membentuk embrio somatik, sedangkan pada media yang mengandung zat pengatur tumbuh, kalus embriogenik yang berproliferasi lebih sedikit dan mendorong perkembangan embrio somatik ke tahap perkembangan embrio selanjutnya. Sel-sel kalus dapat
65
berkembang membentuk embrio somatik, tetapi tidak semua sel-sel kalus tersebut mampu berkembang menjadi embrio somatik. Hal ini disebabkan karena adanya kompetisi di antara sel-sel embriogenik untuk mengadakan perkembangan lebih lanjut (Utami et al. 2007). Auksin meningkatkan kuantitas sel-sel embriogenik dengan cara memacu pembelahan sel untuk membentuk massa proembriogenik, serta mencegah inisiasi pertumbuhan yang teratur pada sel-sel tersebut. Pada media dengan penambahan picloram maupun tanpa zat pengatur tumbuh, kalus embriogenik dan embrio somatik mengalami pendewasaan membentuk tahapan perkembangan embrio dari globular, jantung, torpedo dan kotiledon. Penggunakan zat pengatur tumbuh yang tepat dan konsentrasi yang sesuai dengan fisiologi eksplan dan jenis tanaman mempengaruhi keberhasilan proliferasi kalus embriogenik dan embrio somatik. Untuk melihat struktur embrio somatik dari berbagai tahapan, maka dilakukan pengamatan secara anatomi dengan membuat irisan membujur pada berbagai tahap perkembangan embrio somatik. Keberhasilan pembentukan embrio somatik J. curcas aksesi Dompu dapat dimanfaatkan sebagai protokol dalam perbanyakan massal, karena propagula yang dihasilkan tidak terbatas dan dapat diperoleh dalam waktu yang lebih singkat. Dengan demikian bibit yang dihasilkan per satuan wadah per satuan waktu jauh lebih banyak dibandingkan cara in vitro lainnya, dengan demikian untuk perbanyakan massal, embriogenesis somatik dapat mempercepat pengembangan varietas unggul. Walaupun demikian aplikasinya masih terbatas dibandingkan cara lainnya karena metodenya lebih sulit, masalah dormansi yang sulit dipecahkan, daya morfogenesis yang cepat menurun karena frekuensi subkultur yang tinggi, kultur lebih rapuh sehingga memerlukan penanganan yang khusus dan peluang mutasi lebih tinggi. Walaupun demikian dengan menggunakan metoda dan formulasi yang tepat banyak tanaman kehutanan yang telah berhasil diperbanyak melalui cara tersebut J. curcas aksesi Dompu merupakan tanaman yang lebih tahan kekeringan dan memiliki kandungan minyak sebesar 30-37% dengan bobot biji 2.0-2.23 gr. Dengan potensi tersebut, untuk mendukung program pemuliaan tanaman melalui rekayasa genetika, penggunaan embrio somatik dapat mempercepat keberhasilan
66
dengan peluang transformasi yang lebih tinggi, sehingga dapat menghasilkan varietas baru J.curcas yang lebih tinggi produktivitasnya, seragam dan tahan penyakit. Manfaat lain dari embrio somatik J. curcas yaitu dalam penyimpanan jangka pendek maupun jangka panjang, embrio somatik dapat digunakan sebagai benih sintetis, karena embrio somatik merupakan bahan yang ideal untuk disimpan dan diregenerasikan membentuk bibit somatik.
67
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Eksplan daun, hipokotil, aksis embrio tua dan kotiledon J. curcas komposit IP3-P pada media MS yang ditambahkan ZPT picloram 0.0; 0.5; 1.0; 1,5; 2.0 dan 2.5 mgL-1 tidak dapat membentuk kalus embriogenik dan embrio somatik. Eksplan embrio muda dan aksis embrio muda J. curcas aksesi Dompu pada media MS yang ditambahkan ZPT picloram 0.0; 0.5; 1.0; 1,5; 2.0; 2.5 mgL-1 atau 2.4-D 0.0; 0.5; 1.0; 1,5; 2.0; 2.5 mgL-1 tidak dapat membentuk kalus embriogenik dan embrio somatik. Kalus embriogenik dan embrio somatik dapat terbentuk dari eksplan aksis embrio buah masak hijau aksesi Dompu pada media MS padat dengan penambahan ZPT picloram dengan konsentrasi 2.5; 3.0; 4.0 dan 5.0 mgL-1. Embriogenesis somatik terbentuk secara langsung pada media MS yang mengandung picloram 3.0 dan 5.0 mgL-1 dan tidak langsung pada media MS yang mengandung picloram 2.5; 4.0 dan 5.0 mgL-1. Proliferasi dan pendewasaan dapat dilakukan di media MS padat, cair tanpa zat pengatur tumbuh dan MS cair dengan penambahan konsentrasi 2.5 mgL-1 picloram, sukrosa 3% dan vitamin Gamborg B5. Saran - Identitas sampel harus jelas terutama untuk benih komposit, karena berasal dari populasi yang tidak seragam (heterogen). - Penelitian optimasi media padat dan cair untuk proliferasi kalus embriogenik perlu dilanjutkan untuk mendapatkan kalus embriogenik yang seragam dengan penambahan konsentrasi picloram lebih rendah dari 2.5 mgL-1.
68
69
DAFTAR PUSTAKA Ammirato PV. 1984. Induction, Maintenance, and Manipulation of Development in Embryogenic Cell Suspension Culture. In: Vasil IK (ed) Cell Culture and Somatic Cell Genetics of Plants. Volume 1: Laboratory Applications. Academic Press Inc. Orlando, Florida. Bakti C, Wattimena GA, Witjaksono. 2009. Embriogenesis somatik jahe (Zingiber officinale Rosc.) pada berbagai zat pengatur tumbuh. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/03/ Bhansali. 1990. Somatic embryogenesis and regeneration of plantlet in pomegranate. Ann Bot 66: 249-254 Bhojwani SS, Razdan MK. 1996. Plant Tissue Culture: Theory and Practice. Elsevier, Amsterdam. 125-166 Canhoto JM, Mesquita JF, Cruz GS. 1996. Ultrastructural change in cotyledon of Pineaple Guava (Myrtaceae) during somatic embryogenesis. Annals of Botany 78: 513-521 Chen JT, Chang WC. 2001. Effect of auxin and cytokinins on direct somatic embryogenesis on leaf explant of Oncidium’’Gower Ramsey’’Plant Growth Regulation. 34: 229-232 Chugh A and Khurana P. 2002. Gene expression during somatic embryogenesis recent advances. Current Science. 86: 715-728 Datta MM, Mukherjee P, Ghosh B, Jha TB. 2007. In vitro clonal propagation of biodiesel plant (Jatropha curcas L.) Curr Sci 93:1438–1442 Deore A, Johnson TS. 2008. High-frequency plant regeneration from leaf-disc cultures of Jatropha curcas L.: an important biodiesel. Plant Biotechnol Rep 2:7–11 Doyle A, Griffiths BJ. 1999. Cell & Tissue Culture: Laboratory Procedures in Biotechnology. J.Wiley & Son Ltd. England Endress R. 1994. Plant Cell biotechnology. Springer-Verlag. Berlin Heidelberg. 353 hlm. Feher A, Pasternak TP, Dudits D. 2003. Transition of somatic plant cells to an embryogenic state. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 74:201-228 Fitch MMM, Moore PH. 1990. Comparison of 2.4-D and picloram for selection of long-term totipotent green callus cultures of sugarcane. Kluwer Academic Publisher. Netherlands. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 20: 157-163 Gaba VP. 2005. Plant Growth Regulator. In R.N. Trigiano and DJ. Gray (eds.) Plant Tissue Culture and Development. CRC Press. London. p. 87-100. Gaj MD. 2001. Direct somatic embryogenesis as a rapid and efficient system for in vitro regeneration of Arabidopsis thaliana. Plant Cell and Organ Culture 64:39-46
70
George EF, Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Eastern Press. England. George EF, Hall MA, De Klerk G. 2008. Plant Propagation by Tissue Culture 3rd Edition Volume 1. The Background. Springer, Netherland. Gray DJ. 2005. Propagation from nonmeristematic tissue: nonzygotic embryogenesis, p. 187-200. In: Trigiano and Gray DJ (Eds.). Plant Development and Biotecnology. CRC Press. United States of America. Grootboom AW, et al. 2008. In vitro culture and plant regeneration of Sorghum genotypes using immature zygotic embryos as explant source. International Journal of Botany 4(4):450-455 Gunawan LW. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan. PAU-IPB. Bogor Hambali E. 2006. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel. Penebar Swadaya. Jakarta. Hartman HT, Kester DE. Davis-Jr FT. 1990. Plant Propagation Principles and Practices. Prentice Hall, Inc : new Jersey. 727 Hasnam. 2006. Teka-teki produktivias jarak pagar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. InfoTek Jarak Pagar. 1 (8). Hasnam. 2007. Improvement of Jatropha curcas L. in Indonesia; promise and performance. Proceeding International Workshop on the Development of the Jatropha curcas L. Industry. Hainan Island, China. p.28-34. Hendaryono DPS, Wijayani A. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Kanisius. Yogyakarta. Heller J. 1996. Physic nut, Jatropha curcas L. Promoting the conservation and used of underutilized and neglected crops. No 1. Internasional Plant Genetic Resource Institute, Rome Herrera AA, Gonzalez AK, Moo RC, Figueroa FRQ. 2008. Expression of WUSCHEL in Coffea canephora causes ectopic morphogenesis and increases somatic embryogenesis. Plant Cell Tiss Organ Cult, 94:171-180 Jha TB, Mukherjee P, Data MM. 2007. Somatic embryogenesis in Jatropha curcas Linn. an important biofuel plant. Plant Biotechnol Rep 1:135–140 Jimenez VM. 2001. Regulation of In Vitro Somatic Embryogenesis with Emphasis on the Role of Endogenous Hormones. R. Bras. Fisiol. Veg.13(2): 196-223 Jiménez VM. 2005. Involvement of plant hormones and plant growth regulators on in vitro somatic embryogenesis. Plant Growth Regulators 47:91-110 Kalimuthu K, Paulsamy S, Senthilkumar R dan Sathy M. 2007. In vitro Propagation of the Biodiesel Plant Jatropha curcas L. Plant Tissue Culture & Biotechnology Journal 17(2): 137-147
71
Karami O, Kardestani GK. 2007. Proliferation, shoot organogenesis and somatic embryogenesis in embryogenic callus of Carnation. Journal of Fruit and Ornamental Plant Research 15: 167-175 Khatri P, Gandhi D. 2011. Plant Tissue Culture of Jatropha curcas L.: A review. Imperial journal of pharmacognocy & natural products 1:6-13 Kiong ALP, Wan LS, Hussein S, Ibrahim R. 2008. Induction of somatic embryos from differen Explants of Citrus sinensis.Plant Sciences 3(1):18-32 Kiyosuke S, Satoh S, Kamada H, Harada H. 1993. Somatic embryogenesis in higher plants. J Plant Res Special Issue 3: 75-82 Kumari A, Cheema GS, Munshi SK. 2000. A hypocotyl-derived somatic embryogenic system in Brassica juncea Czern & Coss and its manipulation for enhanced storage lipid accumulation. Plant Cell Tissue and Organ Culture. 63:109-120 Kusuma, L. A. 2009. Kultur Jaringan Jarak. http://leqi.files.wordpress.com/. [2 Oktober 2010] Kysely W, Myers JR, Lameri PA, Collins GB, Jacobsen HJ. 1987. Plant regeneration via somatic embryogenesis in pea (Pisum sativum L.). Plant Cell Rep 6: 305-308. Kyseiy W, Jacobsen HJ.1990. Somatic embryogenesis from pea embryos and shoot apices. Plant Cell Tissue Organ Culture 20: 7-14. Kyte L, Kleyn J. 1996. Plants from test tubes, An Introduction to Micropropagation.Timbers press. Portland Lemhanas RI (Lembaga Pertahanan Nasional). 2007. Sumber Energi Alternatif Menuju Ketahanan Energi Nasional. http://www.lemhanas.go.id [6 Agustus 2010] Lin J, Fang Y, Lin T, Fang C. 2003. Antitumor effects of curcin from seeds of Jatropha curcas L. Acta Pharmacol Sin. 24: 241-246 Lyngved R. 2008. Somatic embryogenesis in Cyclamen persicum [Thesis]. Norwegian University of Science and Technology. Faculty of Natural Sciences and Technology. Department of Biology. Manuhara YSW. 2001. Regenerasi tanaman sawi (Brassica juncea L.var Morakot) melalui teknik kultur jaringan. Jurnal MIPA Universitas Airlangga 6 (2):127-130. Marian TS, Miyake H, Esyanti RR, Nurwendah I. 2003. Effect of 2.4-D on Indirect somatic embryogenesis and surface structural changes in garlic (Allium sativum L.) cv. Lumbu Hijau. Jurnal Matematika dan Sains, 8 (4): 133-139 Mariska I, Hutami S, Kosmiatin M, dan Adil WH. 2001. Regenerasi massa sel embrionik kedelai setelah diseleksi pada kondisi Al berbeda dan pH rendah. Berita Puslitbangtan 20:1-3 Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab. IPB press hlm 61-66
72
Maximova SN, Young A, Pishak S, Miller C, Traore A, Guiltinan MJ. 2005. Integrated system for propagation of Theobroma cacao L. Di dalam Jain SM dan Gupta PK editor. Protocol for Somatic Embryogenesis in Woody Plants. Netherlands: Springer. Mukherjee P, Varshney A, Johnson TS, Jha TB. 2011. Jatropha curcas: a review on biotechnological status and challenges.Plant Biotechnol Rep 5:197-215 Namasivayam P. 2007. Acquisitio of embryogenic competence during somatic embryogenesis. Plant Cell Tissue and Organ Culture 90:1–8 Nindita A. 2010. Studi perbanyakan masal jarak pagar unggul (Jatropha curcas L.) secara in vitro melalui lintasan organogenesis dan embrioenesis [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Noggle, GR, GJ. Fritz. 1983. Introductory Plant Physiology: Second Edition. Prentince-Hall, Inc. New Jersey. Oggema JN, Ouma JP, Kinyua MG. 2007. Responses of five locally Adapted sweet potato (Ipomoea batatas L. cultivars to in vitro plant regeneration via direct and indirect embryogenesis. Plant sciences 6(4):617-622 Oktavia F, Siswanto, Budiani A, Sudarsono. 2003. Embriogenesis somatik langsung dan regenerasi planlet kopi arabika (Coffea arabica) dari berbagai eksplan. Menara Perkebunan, 71(2), 44-55 Openshaw K. 2000. A review of Jatropha curcas: an oil plant of unfulfilled promise. Biomass Bioeneg 19:1-15 Pacheco G et al. 2007. The role of BAP in somatic embryogenesis induction from seed explants of Arachis species from Sections Erectoides and Procumbentes. Plant Cell Tissue and Organ Culture 88:121–126 Pardal SJ. 2002. Perkembangan penelitian regenerasi dan transformasi tanaman kedelai. Buletin AgroBiogen 5: 37-44. Pierik RLM. 1997. In Vitro Culture of Hinger Plants. Kluwer Acedemic Publisher. Netherlands. Pinto G et al. 2008. Factors affecting maintenance, proliferation, and germination of secondary somatic embryos of Eucalyptus globulus Labill. Plant Cell Tissue and Organ Culture 95:69–78 Prabakaran AJ, Sujatha M.1999. Jatropha tanjorensis Ellis and Saroja, a natural interspecific hybryd occurring in Tamil Nadu, India. Genet Resour Crop Evol 46:23-218 Prakash MG and Gurumurthi K. 2009. Effects of type of explant and age, plant growth regulators and medium strength on somatic embryogenesis and plant regeneration in Eucalyptus camaldulensis. Plant Cell Tissue and Organ Culture 100:13–20 Prana MS. 2006. Budidaya Jarak Pagar Sumber Biodiesel. LIPI Press. Jakarta. Preil W, Beck A. 1991. Somatic embryogenesis in bioreactor culture. Acta Horticulture. 289: 179-192
73
Presiden Republik Indonesia. 2006. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, Jakarta Purkayastha J et al. 2010. Efficient in vitro plant regeneration from shoot apices and gene transfer by particle bombardment in Jatropha curcas. Biol Planta 54(1):13–20 Purnamaningsih R. 2002. Regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik dan beberapa gen yang mengendalikannya. Buletin AgroBio 5(2):51-58 Qin WL et al. 2004. Plant regeneration from epicotyl explants of Jatropha curcas. J Plant Physiol Mol Biol 30:475–478 Rajore S, Batra A. 2005. Efficient plant regeneration via shoot tip explant in Jatropha curcas. J Plant Biochem Biotech 14:73–75 Rose RJ et al. 2010. Developmental Biology of Somatic Embryogenesis. In Pua EC and Davey MR, (eds). Plant Developmental Biology – Biotechnological Perspectives: Volume 2. Verlag: Springer. Santosa U, Nursandi F. 2002. Kultur Jaringan Tanaman. Malang: Penerbit UMM Press. Sardana J, Batra A, Ali DJ. 2000. An expetious method for regeneration of somatic embryos in Jatropha curcas L. Phytomorphology. 50:239-242 Sass JE. 1951. Botanical microtechnique. Ames, Iowa State College Press. Satyavathi VV, Jauhar PP, Elias EM and Rao MB. 2004. Genomics, molecular genetic and biotechnology efects of growth regulators on in vitro plant regeneration. Crop Sci. 44:1839-1846. Shrivastava S, Banerjee M. 2008. In vitro clonal propagation of physic nut (Jatropha curcas L): Influence of additives. Int J Integrative Biol 3:73–79 Soomro R, Memon RA. 2007. Establishment of callus and suspension culture in Jatropha curcas. Pak J Bot 39:2431–2441 Sopory KS, Munshi M. 1998. Protein kinases and phosphatases and their role in cellular signaling in plants. In. Conger BV (ed). Plant science Vol 17.CRC Press LLc. New York Steeves TA and Sussex IM .1994. Pattern in Plant Development. Second Edition. New York: Cambridge University Press. Sujatha M, Makkar HPS, Becker K. 2005. Shoot bud proliferation from axillary nodes and leaf sections of non-toxic Jatropha curcas L. Plant Growth Reg 47:83–90 Sukmadjaja D. 2005. Embriogenesis somatik langsung pada tanaman cendana. Jurnal Bioteknologi Pertanian, 10 (1): 1-6 Syakir M. 2010. Prospek dan Kendala Pengembangan Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Sebagai Bahan Bakar Nabati di Indonesia. Perspektif, 9 (2). 55 65
74
Thepsamran N, Thepsithar C, Thongpukdee A. 2007. In vitro multiple shoot induction of physic nut (Jatropha curcas). http://www.scisoc.or.th/stt/32/sec f/paper/stt32 F F0007.pdf Umehara M, Ikeda M, Kamada H. 2007. Endogenous factors that regulate plant embryogenesis: Recent advances. Japanese Journal of Plant Science 1:1-6 Utami ESW, Sumardi I, Taryono, Semiarti E. 2007. Pengaruh α-Naphtaleneacetic Acid (NAA) terhadap embriogenesis somatik Anggrek Bulan Phalaenopsis amabilis L. Jurnal Biodiversitas 8(4):295-299 Varshney A, Johnson TS. 2010. Efficient plant regeneration from immature embryo cultures of Jatropha curcas, a biodiesel plant. Plant Biotech Rep 4:139–148 Vikrant and Rashid A. 2001. Comparative study of somatic embryogenesis from immature and mature embryos and organogenesis from leaf-base of Triticale. Plant Cell, Tissue and Organ Culture, Dordrecht, v. 64, n. 1, p 3338, 2001. Walpole RE. 1995. Pengantar Statistika. Ed ke-3 Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal 442-450 Wattimena GA. 2006. Kecenderungan Marginalisasi Peran Kultur Jaringan dalam Pemuliaan Tanaman. Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman. Hal 6-8 William EG, Maheswaran G. 1986. Somatic Embryogenesis: Factor Influencing Coordinated Behavior of Cell as an Group. Ann. Bot. 57: 443-462. Zhang B, Liu F, Yao C. 2000. Plant Regeneration via Somatic Embryogenesis in Cotton. Plant Cell Tissue and Organ Culture 60: 89-94. Zou J et al. 1995. Induction of lipid and oleosin biosynthessis by absisic acid and its metabolites in microspore-derived embryos of Brassica napus. Plant physiology. 108: 563-571 Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Solusi Perbanyakan Tanaman Budidaya. Bumi Aksara. Jakarta.
75
LAMPIRAN
76
77
Lampiran 1 Komposisi Media Murashige and Skoog dan Media Gamborg Komposisi Media Murashige and Skoog dan Media Gamborg MS B5 Bahan Kimia (mgL-1) (mgL-1) (NH4)2SO4 134 NH4 NO 1650 KNO3 1900 2500 CaCl2 . 2H2O 440 150 MgSO4 . 7H2O 370 250 KH2 PO4 170 NaH2PO4 . H2O 150 FeSO4 . 7H2O 27.8 27.8 Na2EDTA 37.3 37.3 MnSO4 . 4H2O 22.3 MnSO4 . H2O 10.0 ZnSO2 . 7H2O 8.6 2.0 H3BO3 6.2 3.0 KI 0.83 0.75 Na2MoO4 . 2H2O 0.25 0.25 CuSO4 . 5H2O 0.025 0.025 CoCl2 . 6H2O 0.025 0.025 Myi-inositol 100 100 Niacin 0.5 1.0 Pyridoxine-HCl 0.5 1.0 Thiamine-HCl 0.1 10.0 Glycine 2.0 Sucrosa 30000 20000
78
Lampiran 2 Metode Parafin (Sass, 1951) yang Dimodifikasi.
1. Fiksasi. Organ tanaman yang akan diamatidipotong dan dimasukkan ke dalam larutan fixative (misalnya FAA) dan diletakkan dalam vaccum, selama minimal 24 jam. 2. Dehidrasi. Penghilanga air yang ada dalam jaringan tanaman, dilanjutkan ethanol 70% sampai dengan larutan ethanol 95% sample masih di dalam vaccum. Masing-masing tahap dehidrasi dilakukan selama minimal 3 jam (tergantung pada jenis jaringan). a) Ethanol 70% b) Ethanol 95% c) Ethanol absolute d) Ethanol : Xylol = 3 : 1 e) Ethanol : Xylol = 1 : 1 f) Ethanol : Xylol = 1 : 3 g) Xylol I h) Xylol II 3. Infiltrasi. Pada tahap ini, material yang telah direndam dalam xylol diberi serbuk parafin secara perlahan-lahan sampai jenuh. Selanjutnya material dimasukkan dalam inkubator (±60 0C) untuk infiltrasi selanjutnya. Masingmasing tahap di bawah ini minimal 3 jam. a) Buang larutan xylol : parafin ¼ bagian dan ganti dengan parafin ¼ bagian b) Buang larutan xylol : parafin ½ bagian dan ganti dengan parafin ½ bagian c) Buang larutan xylol : parafin ¾ bagian dan ganti dengan parafin ¾ bagian d) Buang larutan xylol : parafin 1 bagian dan ganti dengan parafin 1 bagian Catatan: parafin yang baik memiliki titik leleh (56-58)°C 4. Embedding. Tahap ini dilakukan dengan meletakkan material ke dalam parafin cair dan biarkan hingga membeku, dengan tujuan untuk memudahkan dalam memotong material. Peletakkan material sesuai dengan jenis irisan yang diamati.
79
5. Pengirisan. Sebelum dilakukan pengirisan, terlebih dahulu object glass diolesi dengan haupt adhesive atau glycerin. Selanjutnya preparat yang telah diiris diletakkan pada bject glass, ditetesi sedikit air dan diletakkan di atas hot plate. 6. Pewarnaan a) Xylol I (3 menit) b) Xylol II (3 menit) c) Ethanol : Xylol = 1 : 3 (3 menit) d) Ethanol : Xylol = 1 : 3 (3 menit) e) Ethanol : Xylol = 3 : 1 (3 menit) f) Ethanol absolute (3 menit) g) Ethanol 95% (3 menit) h) Ethanol 70% (3 menit) i) Safranin 1% (1-24 jam) j) Ethanol 70% (3 menit) k) Ethanol 70% (3 menit) l) Ethanol 95% (3 menit) m) Ethanol absolute (3 menit) n) Fast green 2% o) Ethanol absolute p) Ethanol absolute q) Ethanol : Xylol = 3 : 1 (3 menit) r) Ethanol : Xylol = 1 : 1 (3 menit) s) Ethanol : Xylol = 1 : 3 (3 menit) t) Xylol I (3 menit) u) Xylol II (3 menit) Selanjutnya preparat ditutup dengan entellan atau canada balsm.
80