STUDI FENOMENOLOGI GEGAR BUDAYA MAHASISWA ASAL SUMATERA DI UNTIRTA SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Konsentrasi Hubungan Masyarakat Program Studi Ilmu Komunikasi
Oleh: AYU SITI RACHMA NIM. 6662111633
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA SERANG 2016
i
ii
iii
ABSTRAK
Ayu Siti Rachma. NIM. 6662111633. Skripsi. Studi Fenomenologi Gegar Budaya Mahasiswa Asal Sumatera di UNTIRTA. Pembimbing I: Naniek Afrilla Framanik, S.Sos.,M.Si dan Pembimbing II: Uliviana Restu H, S.Sos., M.Ikom
Melakukan perantauan bukanlah suatu hal yang mudah karena individu akan bertemu dengan lingkungan dan budaya baru yang berbeda. Hal ini dapat menyebabkan individu mengalami gegar budaya saat melakukan interaksi antarbudaya di perantauan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor apa saja yang mendorong mahasiswa asal Sumatera melakukan perantauan, bagaimana proses interaksi yang terjadi serta upaya apa saja yang dilakukan untuk mengatasi gegar budaya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dan paradigma konstruktivisme. Penelitian ini menggunakan metode snowball dan purposive sampling dalam mendapatkan informan. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu wawancara dengan 5 key informan yang merupakan mahasiswa asal Sumatera yang sedang menempuh studi di Kampus Untirta dan 1 informan pendukung yaitu Guru Besar Bidang Ilmu Komunikasi Lintas Budaya pada FISIP Untirta dan juga observasi. Penelitian ini menggunakan analisis teori fenomenologi dari Alfred Schutz dan konsep culture shock dari Kalvero Oberg. Hasil dari penelitian ini yaitu, faktor yang mendorong mahasiswa melakukan perantauan adalah faktor pendidikan, budaya dan ekonomi. Dalam proses interaksi, mahasiswa asal Sumatera dituntut untuk menyesuaikan diri mulai dari budaya, bahasa, makanan, cuaca, dan kehidupan sosial. Perbedaan yang signifikan ini membuat mahasiswa asal Sumatera mengalami gegar budaya, namun untuk mengatasinya mereka mempunyai cara-cara tersendiri seperti bergabung dengan organisasi maupun komunitas di dalam dan di luar kampus untuk mengisi waktu luang dan berinteraksi dengan mahasiswa lain.
Kata Kunci: Komunikasi Antarbudaya, Gegar Budaya, Teori Fenomenologi.
iv
ABSTRACT
Ayu Siti Rachma. NIM. 6662111633. The Phenomenological Study of Culture Shock on Students from Sumatera in UNTIRTA. Lecturer I: Naniek Afrilla Framanik, S.Sos., M.Si and Lecturer II: Uliviana Restu H, S.Sos., M.Ikom
Leaving home is not an easy thing to do because people will meet a new environment and different culture. It can cause people to experience culture shock when they do intercultural communication. The purpose of this research is to reveal what factors that encourage Untirta’s students from Sumatera to leave their hometowns, how the process of intercultural communication occur and how they overcome the culture shock. This research uses a qualitative research method with phenomenological approach and constructivism paradigm. This research uses snowball and purposive sampling method in selecting the informants. The data collection technique used in this research is interview involving 5 key informants, Sumatera students who are studying in Untirta, and 1 additional informant who is Professor of Cross-Cultural Communication Studies at FISIP Untirta and also observation. The analysis of this research is conducted by applying the phenomenology theory by Alfred Schutz and the concept of culture shock by Kalvero Oberg. The results from this study reveal that there are 3 factors (education, culture and economic) that push Untirta student from Sumatera to leave their hometowns. In the process of communication, Untirta students from Sumatera are required to adjust themselves to the new culture, language, food, weather, and social life. The significant difference makes Untirta students from Sumatera experience culture shock, nevertheless they have their own way to overcome the problem such as by joining an organization and a comunity in or outside the college to spend their spare times and to communicate with other students.
Key words: Intercultural communication, culture shock, phenomenon theory.
v
“I swear by the time, most surely man is in loss, expect those who believe and do good, and enjoin on each other truth, and enjoin on each other patience” - QS.103: Al-Asr
“You don’t need anybody to tell you who you are or what you are. You are what you are!” – John Lennon
“Life isn’t how you survive the storm, but how you dance in the rain” – Unknown
This skripsi is dedicated to my parents.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah pada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman. Dengan usaha diiringi doa, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan, walaupun selama menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini banyak sekali mendapatkan hambatanhambatan, namun pada akhirnya hambatan tersebut dapat teratasi. Skripsi yang berjudul “Studi Fenomenologi Gegar Budaya Mahasiswa Asal Sumatera di UNTIRTA” ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas akhir dan syarat untuk memperoleh gelar strata (S1) Ilmu Komunikasi pada Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Penulis menyadari jika penelitian maupun penulisan skripsi ini masih belum sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dan juga berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak serta dapat menjadi sumbangsih yang berguna bagi perkembangan ilmu komunikasi. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tidak luput dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak selama proses yang cukup panjang, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd. selaku Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 2. Bapak Dr. Agus Sjafari, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 3. Ibu Dr. Rahmi Winangsih, M.Si. selaku Ketua Prodi Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 4. Ibu Naniek Afrilla F, S.Sos., M.Si. selaku Dosen Pembimbing I. Terima kasih atas waktu, kesempatan, bimbingan dan saran serta petunjuk yang diberikan kepada penulis. vii
5. Ibu Uliviana Restu H, S.Sos., M.Ikom. selaku Dosen Pembimbing II. Terima kasih atas kritik dan saran yang diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi. 6. Bapak Prof. Dr. Ahmad Sihabudin,, M.Si. yang sudah memberikan waktu dan kesempatan untuk menjadi narasumber dalam penelitian ini. 7. Bapak dan Ibu Dosen serta jajaran staf Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 8. Kedua orang tua peneliti, Mama dan Bapak yang yang selalu memberikan dukungan baik moral maupun materil, doa, motivasi, kesabaran, nasehat serta kasih sayang yang luar biasa. 9. Saudara-saudaraku tersayang, Kakak Ria, Kakak Kiki, Abang Bangkit, Kakak Dewi, serta dua keponakan super, Dera dan Yumnaa yang selalu meramaikan suasana. 10. Alzasya Asdrie Rivaldie yang selalu mendukung dan sudah mau mendengarkan keluh kesah selama proses penyelesaian skripsi yang panjang ini. 11. Sahabat-sahabat seperjuangan selama ini, Niken Lestari dan Dwi Afriani. Terima kasih sudah mau mendengarkan keluhan, memberikan dukungan serta tawa selama ini. 12. Teman-teman DIOLAS (Monic, Iqbal, Teguh, Dzikri, Fahmi, dll) yang merupakan teman seperjuangan dalam menempuh studi di Untirta ini dan seluruh teman-teman Ilmu Komunikasi 2011. 13. Teman-teman Science+ (Fitri, Fida, Dila, Kiki, Maya, Fulky, Dini) dan yang lainnya. Terima kasih atas tawa yang tiada ujung setiap kali bertemu. Semoga kita semua diberi kelancaran dalam memasuki tahap selanjutnya. 14. Teman-teman senasib dan seperjuangan semasa bimbingan (Lena, Isti, Ibos) dan lain-lain yang sudah saling memberikan semangat dan dukungannya. Kita pasti bakal kangen masa-masa saat menunggu dospem bersama.
viii
15. Rekan-rekan
di
kotaserang.com
yang
sudah
memberikan
kesempatan, ilmu serta kebersamaan selama ini. 16. Teman-teman “Hello Entertainment” yang sudah memberikan penulis pengalaman dan ilmu yang begitu berharga serta keluarga baru yang menyenangkan. 17. Kelima informan dalam penelitian ini (Tami, Risda, Rienny, Aslam dan Ferdi). Terima kasih sudah mau meluangkan waktu dan bersedia untuk berkontribusi dalam penelitian ini. 18. Serta semua pihak yang telah membantu penulis selama ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Akhir kata, penulis berharap semoga apa yang penulis buat ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan dan menjadi masukan bagi perkembangan penelitian ilmu komunikasi di waktu mendatang.
Serang, Februari 2016
Ayu Siti Rachma
ix
DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................ ii LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ............................................................... iii ABSTRAK ........................................................................................................... iv ABSTRACT ............................................................................................................v MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii DAFTAR ISI ...........................................................................................................x DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..................................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................7 1.3 Identifikasi Masalah ...........................................................................................7 1.4 Tujuan Penelitian ..............................................................................................7 1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................8 1.5.1 Manfaat Teoritis ..................................................................................8 1.5.2 Manfaat Praktis ...................................................................................8 BAB II: TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis ....................................................................................................9 2.1.1 Komunikasi .........................................................................................9 2.1.2 Budaya... ...........................................................................................11 2.1.3 Komunikasi Antarbudaya..................................................................13 2.1.4 Teori Fenomenologi ..........................................................................15 2.1.5 Culture Shock ....................................................................................22 2.2 Kerangka Berpikir ............................................................................................31 x
2.3 Penelitian Terdahulu ........................................................................................32 BAB III: METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ..................................................................35 3.2 Paradigma Penelitian .......................................................................................37 3.3 Ruang Lingkup Penelitian ...............................................................................38 3.4 Instrumen Penelitian ........................................................................................39 3.4.1 Sumber Data... ...................................................................................39 3.4.2 Teknik Pengumpulan Data ................................................................39 3.5 Informan Penelitian .........................................................................................41 3.5.1 Metode Pemilihan Informan... ..........................................................41 3.5.2 Karakteristik Informan ......................................................................42 3.6 Teknik Analisis Data ........................................................................................43 3.7 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ..............................................................45 3.8 Jadwal Penelitian..............................................................................................46 BAB IV: HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian...............................................................................47 4.2 Deskripsi Informan Penelitian .........................................................................49 4.3 Analisa Hasil Penelitian ..................................................................................56 4.3.1 Faktor Pendorong Mahasiswa Sumatera Melakukan Perantauan .....59 4.3.2 Proses Interaksi Mahasiswa Asal Sumatera di Untirta .....................72 4.3.3 Upaya Mengatasi Gegar Budaya yang dilakukan Mahasiswa Asal Sumatera............................................................................................96 BAB IV: PENUTUP 5.1 Kesimpulan ....................................................................................................105 5.2 Saran ...............................................................................................................106 Daftar Pustaka ...................................................................................................107 Daftar Riwayat Hidup .......................................................................................147
xi
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu ..............................................................................32 Tabel 3.8 Jadwal Penelitian....................................................................................46 Tabel 4.1 Identitas Key Informan ...........................................................................51
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Kurva-U Fase Culture Shock..............................................................29 Gambar 2.2 Bagan Kerangka Berpikir ...................................................................31
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 Pedoman Wawancara .......................................................................110 Lampiran 2 Hasil Wawancara Key Informan 1 ....................................................112 Lampiran 3 Hasil Wawancara Key Informan 2 ....................................................117 Lampiran 4 Hasil Wawancara Key Informan 3 ....................................................123 Lampiran 5 Hasil Wawancara Key Informan 4 ....................................................128 Lampiran 6 Hasil Wawancara Key Informan 5 ....................................................133 Lampiran 7 Hasil Wawancara Informan Pendukung ...........................................139 Lampiran 8 Catatan Bimbingan Skripsi ...............................................................143
xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Setiap individu berhak untuk mendapatkan pendidikan, namun karena kualitas pendidikan di Indonesia yang belum merata membuat sebagian masyarakat melakukan perantauan ke luar daerahnya untuk mendapatkan fasilitas pendidikan yang laik terutama pada tingkat perguruan tinggi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), orang yang belajar di perguruan tinggi disebut mahasiswa. Melakukan perantauan bukanlah satu hal yang mudah, mahasiswa yang merantau ini harus rela meninggalkan rumah, keluarga, teman dan lingkungannya, kemudian mereka akan menemui masyarakat dengan latar belakang budaya yang berbeda jauh dari tempat asal. Perbedaan ini didasari oleh negara Indonesia yang merupakan republik kesatuan yang terdiri dari 34 provinsi dengan beragama suku dan budaya. Mulyana dan Rakhmat (2005) menyatakan bahwa salah satu kecemasan yang terbesar adalah mengenai bagaimana harus berkomunikasi. Sangat wajar ketika individu masuk dalam lingkungan budaya baru mengalami kesulitan bahkan tekanan mental karena telah terbiasa dengan hal-hal yang ada di sekelilingnya.1
1
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. 2005. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal 174.
1
2
Situasi dan kondisi yang berbeda cukup jauh dari daerah asal mengakibatkan ketidaknyamanan baik psikis maupun fisik, hal inilah yang menyebabkan adanya gegar budaya atau culture shock. Mulyana dan Rakhmat (2005) mendefinisikan culture shock sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang yang familiar dalam hubungan sosial. Tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk itu meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi sehari-hari.2 Fenomena gegar budaya menjadi persoalan dasar bagi mahasiswa rantau karena seringkali fenomena inilah yang menjadi akar dari berbagai kesulitan penyesuaian diri, apalagi mahasiswa rantau tersebut berasal dari pulau yang berbeda dengan segala macam perbedaan mulai dari bahasa, budaya, cuaca dan sebagainya, seperti mahasiswa rantau asal Pulau Sumatera yang sedang menempuh pendidikan di Kampus Untirta - Banten. Pulau Sumatera biasa juga dikenal dengan sebutan pulau Andalas. Dalam Bahasa Sansekerta, pulau Sumatera disebut Suwarnadwipa yang berarti ‘Pulau Emas’. Memang tepat sekali penamaan ini sebab Pulau Sumatera sangat kaya akan hasil alam. Terletak di bagian barat gugusan Nusantara dengan posisi koordinat 0°00 LU 102°00 BT. Pulau seluas 470.000 km² ini merupakan pulau keenam terbesar di dunia.3
2
Ibid. Hal 174 Profil Pulau Sumatera. http://www.gosumatra.com/seputar-sumatera-indonesia/ diakses pada 25 Desember 2015 pukul 21:40 WIB 3
3
Suku asli Pulau Sumatera adalah Melayu. Suku Melayu memiliki keunikan tersendiri dalam hal pernikahan, yaitu pengantin perempuan harus ‘dibeli’ oleh pengantin dan keluarga laki-laki. Besar nominalnya tergantung pada tingkat pendidikan, strata sosial dan latar belakang keluarga pihak perempuan. Sementara Suku Batak lebih dominan di Provinsi Sumatera Utara. Di sini, mayoritas suku Batak beragama Kristen. Suku Batak memiliki pakaian adat khas yaitu ‘kain Ulos’. Kain ini selalu digunakan masyarakat Suku Batak dalam upacara-upacara adat mereka. Bahkan, bagi Suku Batak sumber kehangatan bagi manusia yaitu matahari, api, dan ulos.4 Suku besar lainnya di Pulau Sumatera adalah Suku Minang, atau juga biasa disebut
Suku
Minang
Kabau.
Suku
Minang
mayoritas
berasal
dari
Provinsi Sumatera Barat. Ciri khas dari suku ini adalah penduduknya yang suka merantau, atau dengan kata lain berpindah ke suatu tempat di luar kampung halaman mereka. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya Suku Minang di berbagai tempat dan provinsi di Indonesia. Selain bertani, mayoritas mata pencaharian masyarakat Suku Minang adalah berdagang. Masakan Padang yang berasal dari suku Minang sangat terkenal di penjuru dunia. Namun, perpindahan dan migrasi penduduk mengakibatkan populasi pulau Sumatera kini menjadi multi etnik. Tidak hanya Suku Melayu, tetapi juga Suku Aceh, Suku Batak, Suku Minangkabau, Suku Rejang, Suku Banjar, dan Tionghoa.5
4 5
Ibid Ibid
4
Pulau Sumatera terdiri atas 11 provinsi, diantaranya adalah: Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan ibukota Banda Aceh, Provinsi Sumatera Utara dengan ibukota Medan, Provinsi Sumatera Barat dengan ibukota Padang, Provinsi Riau dengan ibukota Pekanbaru, Provinsi Kepulauan Riau dengan ibukota Tanjung Pinang, Provinsi Jambi dengan ibukota Jambi, Provinsi Sumatera Selatan dengan ibukota Palembang, Provinsi Bangka Belitung
dengan
ibukota
Pangkal
Pinang,
Provinsi
Bengkulu
dengan
ibukota Bengkulu, dan Provinsi Lampung dengan ibukota Bandar Lampung. Kota Medan di Sumatera Utara adalah kota terbesar di pulau Sumatera dengan luas 265,10 km².6 Mayoritas penduduk beragama Islam. Bahkan, Nangroe Aceh Darussalam dinamai sebagai Serambi Mekkah, mengingat letaknya yang terdepan di pulau Sumatera dan tingginya tingkat ketaatan umat Islam di daerahnya. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, Hukum Islam pun turut digunakan sebagai sumber hukum Provinsi Aceh. Sementara untuk agama Kristen lebih dominan terdapat di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Umat Budha dan Hindu juga ada di pulau Sumatera, meski jumlahnya jauh lebih sedikit.7 Perbedaan latar belakang budaya yang cukup signifikan membuat mahasiswa rantau asal Sumatera merasa cemas dan membutuhkan penyesuain diri di lingkungan barunya yaitu Provinsi Banten. Penulis melakukan wawancara bersama salah seorang mahasiswi bernama Tami8. Tami menjelaskan bahwa ketika
6
Ibid Ibid 8 Mahasiswa komunikasi angkatan 2011 asal Pematang Siantar Sumatera Utara yang sedang menempuh studi di UNTIRTA Serang. Wawancara dilakukan pada 10 Desember 2015. 7
5
pertama kali tahu dirinya akan merantau ke Serang, ia merasakan kesenangan dan memiliki semangat yang tinggi untuk bertemu dengan hal-hal yang baru, namun ketika sudah pindah ke Serang, ia juga sempat merasakan kecemasan yang cukup tinggi saat melakukan komunikasi dengan mahasiswa lain yang bukan berasal dari Sumatera, salah satunya dipengaruhi oleh bahasa. Walaupun sama-sama menggunakan bahasa Indonesia, tetapi dialek yang digunakan sangat berbeda. Ini yang membuat Tami cukup berhati-hati ketika berkomunikasi bahkan sempat membuatnya enggan untuk berkomunikasi di dalam kelas sehingga ia menjadi lebih pendiam dibanding teman-temannya. Selain itu, adanya perbedaan kebudayaan dan kebiasaan dari tempat asalnya yaitu Sumatera, walaupun masih dalam satu negara yang sama. Makanan juga merupakan satu hal yang cukup berbeda dari daerah asal dimana Tami menganggap makanan di daerah Serang lebih berminyak dibandingkan di tempat asalnya yang lebih bersantan dan pedas. Butuh waktu sekitar 1 sampai 2 bulan untuk Tami membiasakan dirinya di lingkungan yang baru. Menyesuaikan diri di lingkungan baru adalah salah satu hal yang mau tak mau harus kita lakukan demi kelangsungan hidup, jika kita tidak bisa melakukannya maka berkomunikasi akan menjadi sangat sulit, atau bahkan tidak mungkin jika dalam berinteraksi kita tidak menciptakan simbol atau makna yang sama dengan lawan bicara, terutama jika kita memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Sihabudin (2013) menjelaskan bahwa budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan
6
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna dan diwariskan dari generasi ke generasi, melalui usaha individu dan kelompok.9 Budaya yang kita kenal sejak dalam kandungan hingga kehidupan kita kedepannya bahkan sampai mati akan terus mempengaruhi kita. Sihabudin (2013) mengatakan bahwa budaya dipelajari tidak diwariskan secara genetis, budaya juga berubah ketika orang-orang berhubungan antara yang satu dengan lainnya. Artinya budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan. Sebenarnya, seluruh perbendaharan perilaku kita sangat tergantung pada budaya kita dibesarkan. Bila budaya beraneka ragam, maka beragam pula praktik-praktik komunikasi.10 Manusia merupakan makhluk sosial yang bergantung satu sama lain, manusia tidak dapat hidup sendirian. Hal ini dipertegas oleh Porter & Samovar dalam (Sihabudin, 2013: 14), bahwa hampir setiap orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang-orang lainnya dan kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa berkomunikasi akan terisolasi.11 Atas dasar itulah penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih dalam tentang “Studi Fenomenologi Gegar Budaya Mahasiswa Asal Sumatera di Untirta” karena saat ini tidak hanya mahasiswa asal Provinsi Banten saja yang menempuh pendidikan di Untirta, melainkan mahasiswa di luar Banten bahkan di luar Pulau Jawa. Salah satunya adalah mahasiswa Sumatera yang memiliki latar
9
Ahmad Sihabudin. 2011. Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif Multidimensi. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Hal 19 10 Ibid. Hal 20 11 Ibid. Hal 14.
7
belakang kebudayaan yang cukup jauh berbeda dengan Provinsi Banten, khususnya Kota Serang dan Cilegon. 1.2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah penelitian dapat dirumuskan ke dalam pertanyaan sebagai berikut: “Bagaimana Fenomena Gegar Budaya Mahasiswa Asal Sumatera di Untirta?” 1.3 IDENTIFIKASI MASALAH Identifikasi masalah penelitian ini adalah: 1. Faktor apa saja yang mendorong mahasiswa asal Sumatera untuk merantau dan menempuh studi di Untirta? 2. Bagaimana proses interaksi yang dialami oleh mahasiswa asal Sumatera ketika melakukan perantauan atau menempuh studi di Untirta? 3. Upaya apa saja yang dilakukan mahasiswa rantau asal Sumatera di Untirta untuk mengatasi gegar budaya? 1.4 TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui faktor apa saja yang mendorong mahasiswa asal Sumatera untuk merantau dan menempuh studi di Untirta. 2. Mengetahui bagaimana proses interaksi yang dialami oleh mahasiswa asal Sumatera ketika melakukan perantauan atau menempuh studi di Untirta.
8
3. Mengetahui upaya apa saja yang dilakukan mahasiswa rantau asal Sumatera di Untirta untuk mengatasi gegar budaya. 1.5 MANFAAT PENELITIAN 1.5.1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan penjelasan ataupun deskripsi mengenai faktor-faktor apa saja yang mendorong mahasiswa asal Sumatera melakukan perantauan dan menempuh studi di Kampus Untirta Serang. Serta memberikan deskripsi bagaimana proses interaksi yang terjadi di tengah kebudayaan yang berbeda dan upaya-upaya apa saja yang dilakukan mahasiswa untuk mengatasi gegar budaya. 1.5.2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi sumbangsih dari penulis sekaligus menjadi bahan referensi untuk penelitian-penelitian mahasiswa khususnya Ilmu Komunikasi di masa yang akan datang mengenai faktor seseorang melakukan perantauan, fenomena gegar budaya, proses interaksi, serta upaya-upaya untuk mengatasinya. Penelitian ini juga diharapkan dapat lebih memantapkan penguasaan fungsi keilmuan yang dipelajari selama mengikuti program perkuliahan, serta membandingkan antara teori yang didapat dengan kenyataan di lapangan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Komunikasi Sebagai makhluk sosial, komunikasi merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia. Mulyana (2004: 41) menjelaskan bahwa kata komunikasi atau communication dalam bahasa inggris berasal dari kata latin communis
yang
berarti
sama,
communico,
communication,
atau
communicare yang berarti membagi atau membuat sama. Istilah communis seringkali disebut sebagai asal kata dari komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata Latin yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa pikiran, suatu makna, atau pesan dianut secara bersama, sehingga menimbulkan saling pengertian, saling memahami, atau saling percaya.1 Komunikasi pada dasarnya adalah suatu proses yang dinamis yang secara sinambung mengubah pihak-pihak yang berkomunikasi. Para pakar mendefinisikan komunikasi sebagai proses karena komunikasi merupakan kegiatan yang ditandai dengan tindakan, perubahan, pertukaran, dan perpindahan.2 Dalam penelitian ini, proses komunikasi lah yang akan
Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi “Suatu Pengantar”. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2002. Hal 41. 2 Ibid. Hal. 4. 1
9
10
menentukan bagaimanakah mahasiswa rantau asal Sumatera dapat menghadapi gegar budaya selama menempuh kuliah di Kampus UNTIRTA. Effendy (2004:7) mengatakan bahwa yang terpenting di dalam komunikasi ialah bagaimana caranya agar suatu pesan yang disampaikan komunikator itu menimbulkan dampak atau efek tertentu pada komunikan. Dampak yang ditimbulkan dapat diklasifikasikan menurut kadarnya, yakni:3 (a) Dampak kognitif adalah yang timbul pada komunikan yang menyebabkan dia menjadi tahu atau meningkatkan intelektualitasnya. Tujuan komunikator hanyalah berkisar pada upaya mengubah pikiran dari komunikan. (b) Dampak afektif lebih tinggi kadarnya daripada dampak kognitif. Tujuan komunikator bukan hanya sekedar supaya komunikan tahu, tetapi tergerak hatinya; menimbulkan perasaan tertentu, misalnya perasaan iba, terharu, sedih, gembira, marah dan sebagainya. (c) Dampak behavioral yakni dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku, tindakan dan kegiatan. Dampak-dampak dalam komunikasi dapat kita lihat dalam penelitian ini ketika mahasiswa asal Sumatera berkomunikasi dengan mahasiswa non Sumatera yang memiliki perbedaan dalam bahasa dan budaya karena akan ada banyak hal yang akan diketahui, mengubah pemikiran atau bahkan perilaku masing-masing. Hafied (2008:21) mengatakan bahwa komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya,
3
Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi. Bandung: PT Remaja RosdaKarya. 2004. Hal 7.
11
sengaja atau tidak sengaja dan tidak terbatas pada bentuk komunikasinya.4 Oleh karena itu komunikasi yang terjadi antara mahasiswa asal Sumatera dan non Sumatera tidak terbatas pada bahasa verbal saja namun juga non verbal. 2.1.2 Budaya Porter & Samovar dalam (Sihabudin, 2013: 19) menjelaskan bahwa budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan ekomnomi, politik dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya.5 Hal inilah yang menyebabkan masyarakat memiliki cara-caranya masing-masing dalam hal apapun. Apa yang mereka lakukan, bagaimana mereka bertindak, merupakan respons terhadap fungsi-fungsi budayanya. Sihabudin dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Antarbudaya (2013)
menjelaskan
bahwa
budaya
adalah
suatu
konsep
yang
membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna dan diwariskan dari generasi ke generasi, melalui usaha individu dan kelompok.6 Budaya-
4
Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2008. Hal 21 Ahmad Sihabudin. Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif Multidimensi. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2011. Hal 19 6 Ibid. Hal 19 5
12
budaya
inilah
yang
membentuk
sebuah
bahasa,
perilaku,
gaya
berkomunikasi dan sebagainya. Budaya berkesinambungan dan hadir di mana-mana, budaya juga berkenaan dengan bentuk fisik serta lingkungan sosial yang mempengaruhi hidup kita. Budaya kita, secara pasti mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati dan bahkan setelah mati, kita dikuburkan dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya kita. Budaya dipelajari tidak diwariskan secara genetis, budaya juga berubah ketika orang-orang berhubungan antara yang satu dengan lainnya.7 Dalam penelitian ini, mahasiswa rantau berasal dari satu pulau yang sama yaitu Sumatera namun berbeda daerah sehingga memiliki ciri khas budaya masing-masing. Ketika mahasiswa Sumatera merantau ke Pulau Jawa tentu saja perbedaan budaya makin terlihat signifikan. Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan, oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara siapa, tentang apa, dan bagaimana komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan, dan menafsirkan pesan. Sebenarnya, seluruh perbendaharan perilaku kita sangat tergantung pada budaya kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beragam pula praktik-praktik komunikasi.8
7 8
Ibid. Hal 19-20. Ibid. Hal 20.
13
Perbedaan budaya di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa inilah yang membuat mahasiswa rantau asal Sumatera melakukan komunikasi dengan mahasiswa non Sumatera menggunakan cara yang berbeda daripada ketika mereka berkomunikasi dengan mahasiswa asal Sumatera. 2.1.3 Komunikasi Antarbudaya William dalam Liliweri (2011:8) menjelaskan bahwa pembicaraan tentang komunikasi antarbudaya tak dapat dielakkan dari pengertian kebudayaan (budaya). Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata tetapi dua konsep yang tidak dapat dipisahkan, harus dicatat bahwa studi komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi.9 Menurut Liliweri, definisi yang paling sederhana dari komunikasi antarbudaya adalah menambah kata budaya ke dalam pernyataan “komunikasi antara dua orang atau lebih yang berbeda latar belakang kebudayaan”.10 Komunikasi antarbudaya dapat didefinisikan lebih sederhana lagi yaitu komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan. Samovar dan Porter dalam (Liliweri) juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.11 Seperti dalam penelitian ini ketika mahasiswa Sumatera berinteraksi dengan mahasiswa
9
Dr. Alo Liliweri, M.S. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR. 2011. Hal 8 10 Ibid. Hal 9 11 Ibid. Hal 10
14
non Sumatera maka hal ini termasuk ke dalama komunikasi antarbudaya karena adanya latar belakang budaya yang berbeda. Menurut Liliweri (2011:12), banyaknya pengertian komunikasi antarbudaya
membenarkan
sebuah
hipotesis
proses
komunikasi
antarbudaya, bahwa semakin besar derajat perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula kita kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. Jadi harus ada jaminan terhadap akurasi interpretasi pesan-pesan maupun non verbal.12 Hal ini disebabkan karena ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari kebudayaan yang berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam sejumlah hal, misalnya derajat pengetahuan, derajat kesulitan dalam peramalan, derajat ambiguitas, kebingungan, suasana misterius yang tak dapat dijelaskan, tidak bermanfaat, bahkan nampak tidak bersahabat. Dengan demikian manakala suatu masyarakat berada pada kondisi kebudayaan yang beragam maka komunikasi antarpribadi dapat menyentuh nuansa-nuansa komunikasi antarbudaya. Di sini kebudayaan yang menjadi latarbelakang kehidupan, akan mempengaruhi perilaku komunikasi manusia. Oleh karena itu di saat kita berkomunikasi antarpribadi dengan seseorang dalam masyarakat yang makin majemuk, maka dia merupakan orang yang pertama dipengaruhi oleh kebudayaan kita. Dalam penelitian ini, proses komunikasi lah yang akan menentukan bagaimana mahasiswa asal Sumatera berperilaku di perantauan.
12
Ibid. Hal 12
15
2.1.4 Teori Fenomenologi Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, Phainoai, yang berarti ‘menampak’ dan phainomenon merujuk pada ‘yang menampak’. Istilah ini diperkenalkan oleh Johann Heirinckh. Istilah fenomenologi apabila dilihat lebih lanjut berasal dari dua kata yakni; phenomenon yang berarti realitas yang tampak, dan logos yang berarti ilmu. Maka fenomenologi dapat diartikan sebagai ilmu yang berorientasi unutk mendapatan penjelasan dari realitas yang tampak. Lebih lanjut, Kuswarno (2009:2) menyebutkan bahwa Fenomenologi mengkonstruksi
berusaha makna
mencari dan
pemahaman
konsep
bagaimana
penting
dalam
manusia kerangka
intersubjektivitas (pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain).13 Penelitian ini akan mencari tahu bagaimana fenomena gegar budaya yang terjadi ketika mahasiswa Sumatera berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera, apakah akan terjadi pertukaran makna atau malah sebaliknya. Kuswarno (2009:2) menjelaskan bahwa pemikiran Weber tentang tindakan sosial menarik perhatian Alfred Schutz, sosiolog yang lahir di Vienna tahun 1899, terutama ketika melahirkan pemikiran tentang dasar metodologis dalam ilmu sosial. Fondasi metodologis di dalam ilmu sosial berdasarkan pemikiran Schutz dikenal dengan studi tentang fenomenologis, yang sebenarnya tiada lain merupakan kritikan Schutz tentang pemikiran-
13
Engkus Kuswarno. Fenomenologi; Fenomena Pengemis Kota Bandung. 2009. Bandung: Widya Padjadjaran. Hal 2.
16
pemikiran Weber, selain Husserl tentang sosiologi. Schutz setuju dengan pemikiran Weber tentang pengalaman dan perilaku manusia dalam dunia sosial keseharian sebagai realitas yang bermakna secara sosial. Schutz menyebut manusia yang berperilaku tersebut sebagai “aktor”. Ketika seseorang melihat atau mendengar apa yang dikatakan atau diperbuat aktor, dia akan memahami makna dari tindakan tersebut. Dalam dunia sosial hal demikian disebut sebagai sebuah “realitas interpretif”.14 Craib dalam (Basrowi dan Sudikin, 2002: 39) mengatakan bahwa Alfred Schutz merupakan ahli teori femenologi yang paling menonjol, menurutnya tugas fenomenologi menghubungkan antara pengetahuan ilmiah dengan pengalaman sehari-hari dan dari kegiatan dimana pengalaman dan pengetahuan berakar. Meyakini bahwa dunia yang dialami atas sebuah kesadaran manusia secara implisit, termasuk terhadap dunia eksternal, dapat dimengerti karena kesadaran kita dan sepanjang memiliki makna. Jadi fenomenologi mengidentifikasi masalah dari dunia pengalaman indrawi yang bermakna kepada dunia yang penuh dengan objek-objek yang bermakna, suatu hal yang semula terjadi dalam kesadaran individu secara terpisah dan kemudian secara kolektif di dalam interaksi antara kesadarankesadaran.15 Alfred menjelaskan
14
Schutz
merupakan
bagaimana
orang
fenomenologi
pertama dapat
yang
mencoba
diterapkan
untuk
Ibid. Hal 2. Basrowi dan Sudikin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif: Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendikia. 15
17
mengembangkan wawasan ke dalam dunia sosial. Ritzer & Goodman (2007:94) mengatakan bahwa Schutz memusatkan perhatian pada cara orang memahami kesadaran orang lain, akan tetapi ia hidup dalam aliran kesadaran diri sendiri. Perspektif yang digunakan oleh schutz untuk memahami kesadaran itu dengan konsep intersubjektif, yang dimaksud dengan dunia intersubjektif ini adalah kehidupan-dunia atau dunia kehidupan sehari-hari.16 Sendjaja (1994:375) mengatakan bahwa karya Schutz sangat penting bagi teori komunikasi karena menempatkan komunikasi sebagai faktor penting bagi realitas yang dialami seseorang. Realitas bagi kita tergantung pada apa yang kita pelajari dari orang lain dalam komunitas sosial budaya kita yang terbentuk suatu situasi historis. Seseorang dalam berbagi waktu dan tempat mengalami realitas yang berbeda. Bagi Schutz pengetahuan sosial mengandung formula yang merupakan cara-cara yang sudah dikenal untuk melakukan sesuatu. Memungkinkan seseorang untuk mengelompokan sesuatu menurut logika yang sama-sama dipahami dalam menyelesaikan masalah, melakukan peranan, berkomunikasi dan untuk menyesuaikan perilaku dalam perilaku yang berbeda. Sebagai fenomenologi sosial, filsafat Schutz memberikan dukungan bagi aliran pemikiran konstruksi sosial yang mengarahkan
16
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. 2007. Jakarta: Kencana. Hal 94.
18
pengamatan pada makna-makna yang dibawa oleh orang yang berbeda dalam suatu komunikasi. Schutz tidak menjelaskan adanya suatu kesamaan dalam semua kehidupan manusia yang melewati umur penciptanya. Dalam setiap situasi fenomenologis yakni konteks, ruang, waktu dan historis yang secara unik menempatkan individu memiliki dan menerapkan persediaan pengetahuan yang terdiri dari semua fakta, kepercayaan, keinginan, prasangka dan aturan, yang kita pelajari dari pengalaman pribadi dan pengetahuan siap pakai yang tersedia bagi kita di dunia yempat kita lahir dan eksis. Sehingga konsep intersubjektifitas dalam fenomenologi Schutz merupakan konsep yang memungkinkan kita melakukan interaksi dalam komunikasi. Dengan bekal karakteristik persediaan pengetahuan yang dimiliki, maka dapat saling berbagi perspektif dengan orang lain, dapat melakukan berbagai macam hubungan dengan orang lain. Pandangan Schutz, kategori pengetahuan, derajat pertama bersifat pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap muka dengan orang lain. Kemudian berbagai pengkhasan yang telah terbentuk dan dianut semua anggota suatu budaya, terdiri dari mitos, pengetahuan, budaya dan akal
sehat.
Maka
tujuan
utama
analisis
fenomenologis
adalah
mengkonstruksi dunia kehidupan manusia “sebenarnya” dalam bentuk yang mereka alami sendiri. Realitas dunia tersebut bersifat intersubjektif, dalam arti bahwa anggota masyarakat berbagai persepsi dasar mengenai dunia
19
yang mereka internalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan melakukan interaksi. Derajat
kedua
bagi
Schutz,
yaitu
mengkonseptualisasikan
pengamatan yang berhasil diamati oleh panca indera atas sebuah realitas yang ada, kemudian dikonfirmasikan realitas pengamatan tersebut kepada pelaku dalam realitas tersebut. Schutz menyetujui pemikiran Weber tentang penggalan dari perilaku manusia dalam dunia sosial keseharian sebagai realitas yang bermakna secara social. Cuff dan Payne dalam (Kuswarno, 2004:47) menjelaskan bahwa Schutz menyebutkan manusia yang berperilaku sebagai “aktor”. Ketika seseorang melihat perbuatan aktor atau mendengar apa yang dikatakan, ia akan memahami makna dari tindakan tersebut. Dalam dunia sosial hal demikian disebut sebagai sebuah “realitas interpretif”.17 Maka (Mulyana, 2002: 62) menjelaskan bahwa penelitian sosial adalah usaha untuk mengembangkan model-model sistem konsep dan relevansi subjek untuk penelitian oleh karena hal-hal tersebut dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari. Kaum fenomenologis menolak prediksi sebagai tujuan ilmu sosial, eksplanasi tidak identik dengan prediksi. Karena prediksi dapat menjadi tujuan hanya bagi fenomena yang memungkinkan penjelasan kausalitas. Sehingga dengan kata lain fenomenologi adalah mengkonstruksi
17
Engkus Kuswarno. 2004. Dunia Simbolik Pengemis: Konstruksi Realitas Sosial dan Management Komunikasi Pengemis Kota Bandung. Bandung. Disertasi Doktor Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.
20
dunia kehidupan manusia “sebenarnya” dalam bentuk yang mereka alami sendiri.18 Kemudian menurut Schutz, bahwa orang-orang begitu saja menerima dunia keseharian itu eksis dan orang lain berbagi pemahaman atas ciri-ciri penting dunia ini. Selain makna “intersubjektif”, dunia sosial menurut Schutz harus dilihat secara historis. Karenanya Schutz menyimpulkan bahwa tindakan sosial adalah tindakan yang berorientasi pada perilaku orang atau orang lain pada masa lalu baik sekarang ataupun akan datang. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam intersubjektivitas atau pemahaman kebermaknaan atas tindakan, ucapan, dan interaksi sebagai anggota masyarakat, yakni situasi pengkhasan. Karena menurut Schutz tindakan intersubjektif para aktor itu tidak muncul begitu saja, tetapi harus melalui proses panjang, artinya sebelum masuk pada tataran in order motive, menurut Schutz ada tahapan because motive yang mendahuluinya. Sehingga fenomenologi hadir untuk memahami makna subjektif manusia yang diatributkan pada tindakan-tindakan dan sebab-sebab serta konsekwensi dari tindakannya. (Basrowi dan Sudikin, 2002: 42). Penjelasan lain, bahwa Schutz melihat ke depan pada masa yang akan datang (looking-forward into the future) merupakan hal yang esensial bagi konsep tindakan atau action (handeln). Tindakan adalah perilaku yang diarahkan untuk mewujudkan tujuan pada masa datang yang telah
18
Deddy Mulyana. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
21
ditetapkan (determinate). Kalimat tersebut sebenarnya mengandung makna juga bahwa seseorang memiliki masa lalu (pastness). Dengan demikian tujuan tindakan memiliki elemen ke masa depan (futurity) dan elemen ke masa lalu (pastness). Dalam menggambarkan bahwa tujuan suatu tindakan sosial seseorang cukup kompleks, Schutz meminjam istilah tata bahasa dengan menyebut in the future perfect tense. Sementara itu, suatu tindakan dapat berupa “tindakan yang sedang berlangsung” (the action in progress), dan “tindakan yang telah lengkap” (the completed act). Dengan meminjam istilah dari Heidegger, Schutz menyebutkan bahwa “the complected act thus pictured in the future perfect tense as the project (Entwurf) of the action”. Apa yang disebut sebagai suatu “tindakan”, Schutz menjelaskan: “is the act which is the goal of the action and which is brought into being by the action”. Tindakan adalah sebuah makna yang rumit atau makna yang kontekstual, oleh karenanya, untuk menggambarkan keseluruhan tindakan seseorang perlu diberi fase. Dua fase yang diusulkan Schutz diberi nama tindakan in-order-to motivate, yang merujuk pada masa yang akan datang; dan tindakan because-motive yang merujuk pada masa lalu. Dia mencontohkan, jika seseorang membuka payung ketika hujan turun, maka motif pertama (“motif untuk”) akan berupa pernyataan “menjaga baju tetap kering”; sedangkan motif kedua (“motif-sebab) dengan melihat pengalam dan pengetahuan sebelumnya tentang bagaimana akibatnya pada baju jika
22
hujan tanpa payung, misalnya digambarkan sebagai pernyataan “agar baju tidak basah”. (Kuswarno, 2004: 48). Para fenomenolog percaya bahwa mahluk hidup tersedia berbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman kisah kitalah yang membentuk kenyataan. Tujuan pengertian subjek penelitian, yaitu melihatnya dari segi pandangan mereka. Jika ditelaah secara teliti, frase “dari segi pandangan mereka” menjadi persoalan. Persoalan pokoknya ialah “dari segi pandangan mereka” merupakan konstruk penelitian. Melihat subjek dari segi ide ini hasilnya barangkali akan memaksa subjek mengalami dunia asing baginya. (Moleong, 2006: 9).19 2.1.5 Culture Shock Culture shock mendapat perhatian ilmiah pada awal 1950-an dan awal 1960-an. Lysgaard, Oberg dan Gullahorn adalah yang pertama untuk menyajikan fenomena kualitatif sebagai penyesuaian antarbudaya. Definisi culture shock berkembang seiring berjalannya waktu, dan di sini definisi Adler disajikan20: "Culture shock adalah seperangkat reaksi emosional terhadap hilangnya persepsi dari budaya sendiri terhadap rangsangan
19
Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2006. Yingjuan MAO. “Living in the bubble” The Role of communication for Swedish adjustment in China. Gothenburg: University of Gothenburg Department of Applied Information Technology. 2014. Hal 9. 20
23
budaya baru yang memiliki sedikit atau tidak ada artinya, dan kesalahpahaman dari pengalaman baru dan beragam. Ini dapat mencakup perasaan tidak berdaya, mudah marah, dan ketakutan ditipu, terkontaminasi, terluka atau diabaikan " Culture shock juga dapat diartikan sebagai gegar budaya dan kejutan budaya. Kalvero Oberg dalam (Mulyana dan Rakhmat, 2005) memberikan definisi yang detail mengenai fenomena ini dalam paragraf berikut: “Kejutan budaya ditimbulkan oleh rasa gelisah sebagai akibat dari hilangnya semua tanda dan simbol yang biasa kita hadapi dalam hubungan sosial. Tanda dan petunjuk ini terdiri atas ribuan cara di mana kita mengorientasikan diri kita sendiri dalam kehidupan sehari-hari; bagaimana memberikan petunjuk, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana untuk tidak berespons. Petunjuk ini dapat berupa kata-kata, gerakan, ekspresi wajah, kebiasaan atau norma, diperlukan oleh kita semua dalam proses pertumbuhan dan menjadi bagian dari budaya kita sama halnya dengan bahasa yang kita ucapkan dan kepercayaan yang kita terima. Kita semua menginginkan ketenangan pikiran dan efisiensi ribuan petunjuk tersebut yang kebanyakan tidak kita sadari.”21
21
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2005. Hal 174.
24
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gegar budaya adalah rasa cemas dan kaget ketika individu memasuki budaya baru yang berbeda dengan budaya yang sudah melekat pada dirinya. Budaya yang sudah melekat pada diri individu ketika memasuki budaya baru akan menjadi tidak efektif karena setiap budaya mempunyai caranya tersendiri. Mulyana dan Rakhmat (2005) mendefinisikan culture shock sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan tanda-tanda dan lambanglambang yang familiar dalam hubungan sosial. Tanda-tanda atau petunjukpetunjuk itu meliputi seribu satu cara yang kita lakukan dalam mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi situasi sehari-hari.22 Mulyana dan Rakhmat (2007) menjelaskan bahwa pada dasarnya gegar budaya adalah berbenturan persepsi, yang diakibatkan penggunaan persepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami.23 Individu pada umumnya menerima begitu saja nilai-nilai yang dianut dan dibawa sejak lahir, yang juga dikonfirmasikan oleh orang-orang di sekitarnya. Beda halnya ketika individu memasuki suatu lingkungan baru, ia mengahadapi situasi yang membuatnya mempertanyakan kembali asumsi-asumsi tersebut, tentang apa yang disebut kebenaran, moralitas, kebaikan, kewajaran, kesopanan, kebijakan, dan sebagainya. Benturan-benturan persepsi itu yang kemudian
22
Ibid. Hal 174 Deddy Mulyana. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2007. Hal 247-249. 23
25
menimbulkan konflik dalam diri individu serta menyebabkannya individu merasa tertekan dan menderita. Efek inilah yang disebut gegar budaya. Taft (dalam Mulyana, 2007: 251) meringkas berbagai reaksi psikologis, sosial, dan fisik yang menandai gegar budaya, meliputi: Kelelahan fisik, seperti diwujudkan oleh kedongkolan, insomnia (sulit tidur), dan gangguan psikosomatik lainnya. Perasaan kehilangan karena tercerabut dari lingkungan yang dikenal. Penolakan individu terhadap anggota-anggota lingkungan baru dan perasaan tak berdaya karena tidak mampu menghadapi lingkungan asing.24 Gegar budaya dalam berbagai bentuknya merupakan suatu fenomena yang alamiah saja. Intensitasnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang pada dasarnya terbagi dua, yakni faktor internal (ciri-ciri kepribadian orang yang bersangkutan) dan faktor eksternal (kerumitan budaya atau lingkungan baru yang dimasuki). Tidak ada kepastian kapan gegar budaya ini akan muncul dihitung sejak individu memasuki budaya lain. Itu bergantung pada sejauh mana perbedaan budaya yang ada dan apakah individu memiliki ciri-ciri kepribadian yang kondusif untuk mengatasi gegar budaya tersebut. Bila perbedaan budaya tidak terlalu besar dan kita mempunyai kepribadian yang positif, seperti tegar dan toleran, kita mungkin tidak akan mengalamai gegar budaya yang berarti. Sebaliknya, bila perbedaan budaya bersifat ekstrem, sementara kita lembek, penakut, dan kurang percaya diri, kemungkinan besar kita akan mengalami gegar budaya. Berbagai penelitian
24
Ibid. Hal 247-249
26
empiris menunjukkan bahwa gegar budaya sebenarnya merupakan titik pangkal untuk mengembangkan kepribadian dan wawasan budaya kita, sehingga kita dapat menjadi orang-orang yang luwes dan terampil dalam bergaul dengan orang-orang dari berbagai budaya, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai budaya kita sendiri. Dalam membahas mengenai culture shock harus dipahami perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dan seseorang yang memutuskan untuk tinggal secara permanen (settlers). Seperti yang dikatakan oleh Bochner (dalam Samovar, Porter, dan McDaniel, 2010: 474), perhatian mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka reaksi mereka pun berbeda. Settlers berada dalam proses membuat komitmen tetap pada masyarakat barunya, sedangkan sojouners berada dalam landasan sementara, meskipun kesementaraan bervariasi, seperti turis dalam sehari atau pelajar asing dalam beberapa tahun. 25 Dalam bukunya Komunikasi Antarbudaya, Mulyana dan Rakhmat (2005) mengatakan bahwa bagi orang asing, pola budaya kelompok yang dimasuki bukanlah merupakan tempat berteduh, melainkan merupakan suatu arena petualangan, bukan merupakan materi kuliah tetapi suatu topik penyelidikan yang meragukan, bukan suatu alat untuk lepas dari situasisituasi problematik, melainkan suatu problematik tersendiri yang sulit dikuasai.26
25
Pengalaman-pengalaman
komunikasi
dengan
kontak
Samovar, dkk. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika. 2010. Hal 474. Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2005. Hal 143. 26
27
interpersonal yang secara langsung dengan orang-orang yang berbeda latar belakang budaya, seringkali menimbulkan frustasi. Individu biasanya merasa kikuk dan terasa asing dalam berhubungan dengan orang-orang dari lingkungan budaya baru yang ia masuki. Samovar dkk (2010) menjelaskan bahwa reaksi antara individu yang satu dengan individu lainnya terhadap culture shock bervariasi dan dapat muncul pada waktu yang berbeda pula. Reaksi-reaksi yang mungkin terjadi, antara lain27: permusuhan terhadap lingkungan yang baru, perasaan disorientasi, perasaan tertolak, sakit perut dan sakit kepala, rindu kampung halaman, merindukan teman dan keluarga, perasaan kehilangan status dan pengaruh, menyendiri, menganggap anggota budaya yang lain tidak sensitif. Selama
gegar
budaya
terjadi,
terdapat
konsekuensi
yang
diidentifikasi dan membentuk pola kurva-U. Pada tahun 1955, Lysgaard adalah yang pertama mengusulkannya28: "Penyesuaian sebagai proses dari waktu ke waktu tampaknya mengikuti bentuk kurva -U: penyesuaian dirasakan menjadi mudah dan sukses saat memulai; kemudian mengikuti 'krisis' di mana seseorang merasa kurang disesuaikan dengan baik, agak kesepian dan tidak bahagia; akhirnya orang mulai merasa lebih baik dengan penyesuaian kembali, menjadi lebih terintegrasi di luar negeri. "
27
Samovar, dkk. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika. 2010. Hal 476-477. Yingjuan MAO. “Living in the bubble” The Role of communication for Swedish adjustment in China. Gothenburg: University of Gothenburg Department of Applied Information Technology. 2014. Hal 9. 28
28
Berdasarkan hipotesis Lysgaard ini, model U-kurva ilustratif diperpanjang oleh Oberg dan menjadi populer sejak tahun 1960-an dan terus berada di masa percobaan selama lebih dari 50 tahun. Oberg menggambarkan empat tahap:29 (1) honeymoon, yang ditandai dengan daya tarik, kegembiraan, dan optimisme yang berlangsung dari beberapa hari sampai 6 bulan tergantung pada seberapa cepat seseorang menghadapinya dan komunikasi dengan budaya baru harus dimulai; (2) kesedihan, yang ditandai dengan sikap bermusuhan dan emosional stereotip terhadap negara tuan rumah dan meningkatkan hubungan dengan sesama pendatang; (3) pemulihan, yang ditandai dengan peningkatan pengetahuan bahasa dan kemampuan untuk berkeliling di negara tuan rumah, sikap superior terhadap warga negara tuan rumah, dan meningkatnya rasa humor; (4) penguasaan, yang berarti penyesuaian diri sudah selengkap mungkin, kecemasan sebagian besar pergi, dan konvensi baru diterima dan dinikmati. Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa orang biasanya melewati empat tingkatan culture shock. Samovar dkk (2010) menjelaskan bahwa keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva U sehingga disebut U-curve:30 Fase Kegembiraan, Fase Kekecewaan, Fase Awal Resolusi, dan Fase Berfungsi dengan Efektif.
29
Ibid. Hal 9-10.
30
Ibid. Hal 477-488
29
Gambar 2.1 Kurva-U Fase Culture Shock
Fase Kegembiraan merupakan fase pertama yang digambarkan sebagai ujung sebelah kiri dalam kurva-U. Fase ini berisi kegembiraan, harapan dan euforia sebagai antisipasi individu ketika memasuki budaya baru. Kemudian, Fase Kekecewaan, fase kedua dimana masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, kehidupan sosial yang baru, sekolah baru, dan lain-lain. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa, ketidakpuasan dan segala sesuatunya mengerikan. Individu menjadi bingung dan tercengang dengan sekitarnya dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap bermusuhan, mudah marah, tidak sabar dan bahkan menjadi tidak kompeten. Ini adalah periode krisis dalam culture shock. Selanjutnya, Fase Awal Resolusi, fase ketiga dimana individu mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada fase ini individu secara bertahap membuat beberapa penyesuaian dan modifikasi untuk menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan. Fase terakhir adalah Fase Berfungsi
30
dengan Efektif yang berada pada ujung sebelah kanan atas dari kurva-U. Individu telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, pola komunikasi, keyakinan, dan lain-lain). Kemampuan untuk hidup dalam dua budaya yang berbeda, biasanya juga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa ahli menyatakan bahwa untuk dapat hidup dalam dua budaya yang berbeda, seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu.
31
2.2 Kerangka Berpikir Gambar 2.2 Bagan Kerangka Berpikir Ilustrasi Gambar; Olahan Peneliti Fenomena Gegar Budaya
Teori Fenomenologi (Alfred Schutz)
Konsep Culture Shock (Kalvero Oberg) 1. Fase Kegembiraan 2. Fase Kekecewaan 3. Fase Awal Resolusi 4. Fase Berfungsi dengan Efektif (Samovar, Porter & McDaniel, 2010)
1. 2. 3. 4. 5.
Paradigma Konstruktivisme Tradisi Fenomenologi Pendekatan Kualitatif Metode Phenomenology Research Teknik Penelitian: wawancara dan observasi 6. Proses Pencarian Data 7. Proses Analisis Data
Konstruksi Gegar Budaya Mahasiswa Asal Sumatera di Untirta
2.3 Penelitian Terdahulu No.
Item
Emma Violita Pinem
Indah Maulidia
Muhammad Hyqal Kevinzky
1
Judul
Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya Pada Mahasiswa Malaysia di Medan (Studi Kasus Pada Mahasiswa Malaysia di Universitas Sumatera Utara)
Culture Shock dalam Interaksi Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Asal Papua di USU
Proses dan Dinamika Komunikasi Dalam Menghadapi Culture shock Pada Adaptasi Mahasiswa Perantauan (Kasus Adaptasi Mahasiswa Perantau di UNPAD Bandung)
2
Tahun
2011
2014
2011
3
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui culture shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa Malaysia di USU, dalam hal ini juga mengenai reaksi dan upaya mengatasi culture shock tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses komunikasi yang berlangsung antara mahasiswa Papua dan mahasiswa USU lainnya dan tahapan-tahapan culture shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa Papua di USU serta upaya mengatasi culture shock tersebut.
Untuk melihat bagaimana proses dan dinamika komunikasi mahasiswa perantauan di UNPAD Bandung dalam beradaptasi, ketika menghadapi culture shock.
4
Teori
Teori Interaksionisme Simbolik
Teori Interaksionisme Simbolik
Teori Akomodasi Komunikasi
32
33
5
Metode/
Kuantitatif/Deskriptif
Kualitatif/Interpretif
Kualitatif/Interpretif
Paradigma 6
Hasil Penelitian/ Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa para mahasiswa asal Malaysia memiliki kecenderungan culture shock tergolong sedang. Hal ini berarti mereka sudah bisa menyesuaikan diri, namun untuk beberapa informan masih mengalami beberapa masalah adaptasi seperti merasa diperlakukan berbeda dalam berinteraksi dengan penduduk lokal, tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik, dan masih kurang nyaman dengan perbedaan budaya yang ada.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa para mahasiswa asal Papua memiliki kecenderungan culture shock yang tergolong sedang. Hal ini berarti mereka sudah 33ias menyesuaikan diri dan merasa nyaman tinggal di Medan. Bahkan beberapa informan mengaku lebih nyaman tinggal di Medan daripada daerahnya sendiri yaitu Papua. Fakultas dan motivasi diri ikut mempengaruhi proses komunikasi yang terjalin antara Dalam hal terpaan dan upaya mahasiswa Papua dan mahasiswa mengatasinya dipengaruhi oleh 33ias33r USU lainnya. Mahasiswa asal jenis kelamin, asal fakultas dan lama Papua tidak selalu berteman menetap. Perempuan lebih tinggi dengan sesamanya tetapi mereka culture shocknya dan cenderung lebih juga berbaur dengan mahasiswa lambat dalam beradaptasi, sedangkan lainnya agar dapat menyesuaikan laki-laki lebih ringan terpaan culture diri dengan lingkungan barunya shock dan lebih cepat dalam dan merasa nyaman kuliah di beradaptasi. Mahasiswa di Fakultas USU. Kedokteran cenderung lebih berkelompok dan tidak akrab dengan mahasiswa Indonesia, sedangkan di
Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa terdapat sejumlah kecenderungan seseorang dalam beradaptasi dengan budaya asing di sekitarnya, yang kemudian menentukan pemilihan tipe adaptasinya agar bisa bertahan di perantau.
34
Fakultas Kedokteran Gigi, mahasiswa Malaysia lebih berbaur dengan mahasiswa Indonesia, meskipun ada yang juga masih sering berkumpul dengan sesamanya, tetapi kedekatan dan intensitas interaksi dengan mahasiswa Indonesia baik untuk urusan kampus atau di luar kampus lebih sering terjadi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi. Ini mempengaruhi proses adaptasi mereka. Selain itu, lama menetap juga turut mempengaruhi. Mahasiswa yang lebih lama menetap di Medan memiliki penyesuaian yang lebih menyeluruh. 7
Persamaan
Meneliti tentang culture shock Objek penelitian pada mahasiswa
8
Perbedaan
9
Sumber
Teori yang digunakan Metode penelitian yang digunakan Paradigma Penelitian http://repository.usu.ac.id/
Meneliti tentang culture shock Objek penelitian pada mahasiswa Metode penelitian yang digunakan
Teori yang digunakan Paradigma Penelitian
http://repository.usu.ac.id/
Meneliti tentang culture shock Objek penelitian pada mahasiswa Metode penelitian yang digunakan Teori yang digunakan Paradigma Penelitian
http://digilib.ui.ac.id/
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 PENDEKATAN DAN METODE PENELITIAN
Soehartono (2008:9) mendefinisikan metode penelitian adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data yang diperlukan. Metode penelitian perlu dibedakan dari teknik pengumpulan data yang merupakan teknik yang lebih spesifik untuk memperoleh data.1 Mengacu pada permasalahan penelitian yaitu
tentang studi fenomenologi gegar budaya mahasiswa asal Sumatera di Untirta, maka penulis memutuskan untuk menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Mulyana, (2001: 145-146) menjelaskan bahwa metodologi adalah proses, prinsip dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekati suatu masalah dan mencari jawabannya. Dengan kata lain, metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian.2 Metodologi dipengaruhi atau berdasarkan perspektif teoritis yang kita gunakan untuk melakukan penelitian, sementara perspektif teoritis itu sendiri adalah suatu kerangka penjelasan atau interpretasi yang memungkinkan penulis memahami data dan menghubungkan data yang rumit
1
Irawan Soehartono. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2008. Hal 9. 2 Deddy Mulyana. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2001. Hal 145-146.
35
36
dengan peristiwa dan situasi lain. Sebagaimana perspektif yang merupakan suatu rentang dari yang sangat objektif hingga sangat subjektif, maka metodologi pun sebenarnya merupakan suatu rentang juga, dari yang sangat kuantitatif (objektif) hingga yang sangat kualitatif (subjektif). Menurut Kriyantono (2006: 56-57), riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling, bahkan populasi atau samplingnya sangat terbatas. Jika data yang terkumpul sudah mendalam dan dapat menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya.3 Dalam penelitian ini, penulis menekankan pada persoalan kedalaman (kualitas) bukan pada banyaknya (kuantitas) data. Selain itu, penulis juga ikut aktif dalam menentukan jenis data yang diinginkan karena dalam riset kualitatif, periset adalah bagian integral dari data. Dengan demikian, periset menjadi instrumen riset yang harus terjun langsung di lapangan. Karena itu riset ini bersifat subjektif dan hasilnya lebih kasuistik bukan untuk digeneralisasikan Untuk mengetahui fenomena gegar budaya mahasiswa asal Sumatera, penulis menggunakan pendekatan fenomenologi, dimana dalam pendekatan ini penulis langsung meneliti sebuah kesadaran dari pengalaman (awareness of experience), yaitu keadaan yang memberikan sudut pandang pengalaman dari orang pertama. Jadi dengan menggunakan pendekatan fenomenologi, penulis meneliti secara langsung pada mahasiswa asal Sumatera di UNTIRTA sebagai key informan penelitian ini.
3
Rachmat Kriyantono. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. 2012. Hal 56-57.
37
Little John (2011:65) menjelaskan bahwa pendekatan fenomenologis berasumsi bahwa orang-orang secara aktif menginterpretasi pengalamanpengalamannya dan mencoba memahami dunia dengan pengalaman pribadinya. Pendekatan fenomenologi adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui dunia dari sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung dan berkaitan dengan sifat-sifat alami pengalaman manusia, dan makna yang dilekatkan padanya.4 Tidak hanya itu, untuk melengkapi penelitian yang dilakukan, penulis juga akan melakukan wawancara kepada ahli di bidangnya berkaitan dengan fenomena gegar budaya dari aspek komunikasi budaya. Wawancara dilakukan kepada Guru Besar bidang Ilmu Komunikasi Lintas Budaya FISIP UNTIRTA sebagai informan pendukung untuk memperkuat dan melengkapi penelitian mengenai studi fenomenologi gegar budaya mahasiswa asal Sumatera di Untirta. 3.2.
PARADIGMA PENELITIAN Penelitian ini sendiri menggunakan paradigma kontruktivisme dikarenakan
sesuai dengan sifat dan karakter permasalahan data yang diangkat dalam penelitian ini. Hidayat (2003:3) menjelaskan bahwa paradigma konstruktivisme memandang bahwa ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara/mengelola dunia sosial mereka.5
4
Littlejohn, Stephen W & Karen A. Foss, Teori Komunikasi (Theories of Human Comunication), (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), Hal. 65. 5 Dedy N. Hidayat, Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik Klasik (Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, 2003), Hal. 3.
38
Penulis
menggunakan
paradigma
konstruktivis
untuk
mengetahui
bagaimanakah fenomena gegar budaya pada mahasiswa asal Sumatera di UNTIRTA, dengan paradigma konstruktivis ini penulis bisa mendapatkan informasi yang lebih mendalam dari individu yang diteliti. Dalam penelitian ini, penulis akan memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali sedalam mungkin ingatan dan pengalaman informan berdasarkan fakta selama menempuh studi di Kampus UNTIRTA yang memiliki latar belakang budaya dan lingkungan yang berbeda. Hasil wawancara yang berdasarkan pengalaman informan inilah yang nanti akan dianalisis dan bisa saja sesuai dengan yang diharapkan oleh penulis ataupun tidak. Apakah informan mengalami gegar budaya dan dapat melakukan interaksi antarbudaya atau malah sebaliknya. 3.3 RUANG LINGKUP PENELITIAN Dalam penelitian ini, penulis akan mencantumkan batasan-batasan masalah sehingga tidak adanya kesalahpahaman dalam menginterpretasi, sekaligus memudahkan pembaca dalam memahami penelitian ini. Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, penulis memfokuskan penelitian pada faktor-faktor apa saja yang mendorong mahasiswa asal Sumatera di UNTIRTA melakukan perantauan. Kedua, bagaimana tahapan-tahapan gegar budaya yang dialami mahasiswa asal Sumatera. Ketiga, bagaimana proses interaksi yang terjadi ketika mahasiswa asal Sumatera melakukan perantauan dan terakhir, apa saja upaya yang dilakukan mahasiswa asal Sumatera dalam mengatasi gegar budaya.
39
3.4 INSTRUMEN PENELITIAN 3.4.1 SUMBER DATA Dalam penelitian ini terdapat dua jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer menurut Ruslan (2004:29) adalah data yang diperoleh langsung dari objek penelitian lapangan perorangan, kelompok dan organisasi.6 Adapun data yang menjadi sumber data primer adalah melalui wawancara kepada mahasiswa rantau asal Sumatera yang sesuai dengan kriteria dalam informan penelitian. Sedangkan menurut Bungin (2009:122) data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atas data yang kita butuhkan7, maka dari itu data sekunder didapat dari informan pendukung. Selain itu, penulis melakukan observasi dengan jenis observer as participant, sehingga penulis akan mengikuti keseharian informan berdasarkan izin informan, dan bergabung dalam setting kesehariannya. 3.4.2 TEKNIK PENGUMPULAN DATA Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, karena teknik pengumpulan data merupakan faktor yang sangat penting dalam setiap melakukan penelitian agar berjalan sesuai
6
Rosady Ruslan. Metode Penelitian PR dan Komunikasi. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004). Hal 29. 7 Burhan Bungin. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Kencana Predana Grup, 2009). Hal 122.
40
dengan apa yang diinginkan. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Wawancara Berger dalam Kriyantono (2006: 100) mengatakan bahwa wawancara adalah percakapan antara periset (seseorang yang berharap mendapatkan informasi) dan informan (seseorang yang diasumsikan mempunyai informasi penting tentang suatu objek. Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya.8 Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan teknik wawancara untuk mendapatkan data. Ada dua jenis informan pada penelitian ini, yaitu key informan, yang dimana penulis akan meneliti tentang fenomena gegar budaya dan yang kedua adalah informan tambahan, dimana penulis akan menggunakan data hasil wawancara sebagai triangulasi sumber atas data yang penulis peroleh dari key informan. Penelitian ini menggunakan wawancara semistruktur yang dimana penulis mempunyai daftar pertanyaan tertulis tapi memungkinkan juga untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan secara bebas, yang terkait dengan permasalahan gegar budaya dalam fase kegembiraan, fase kekecewaan, fase awal resolusi, fase berfungsi dengan efektif, motif merantau, proses interaksi dan upaya apa saja yang dilakukan untuk mengatasi gegar budaya.
8
Rachmat Kriyantono. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. 2012. Hal 100
41
2. Observasi Observasi merupakan metode pengumpulan data yang digunakan pada riset kualitatif. Observasi adalah interaksi (perilaku) dan percakapan yang terjadi di antara subjek yang diriset. Sehingga keunggulan metode ini adalah data yang dikumpulkan dalam dua bentuk: interaksi dan percakapan.9 Dalam penelitian ini, perilaku non-verbal juga mencakup perilaku verbal dari orang-orang yang diamati. Ini mencakup antara lain apa saja yang dilakukan, perbincangan apa saja yang dilakukan termasuk bahasa-bahasa gaul serta benda-benda apa yang mereka buat atau gunakan dalam interaksi sehari-hari. Dalam riset dikenal juga metode observasi partisipan dan observasi non-partisipan. Selain melakukan wawancara, peneliti juga akan melakukan observer as participant dimana peneliti akan mengikuti keseharian informan berdasarkan izin informan, dan bergabung dalam setting kesehariannya. 3.5 INFORMAN PENELITIAN 3.5.1
Metode Pemilihan Informan Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bersifat subjektif
karena metode pemilihan informan dalam penelitian kualitatif memberikan kebebasan bagi penulis untuk menentukan siapa informannya. Namun dikarenakan keterbatasan akses penulis dalam pemilihan informan, maka penulis menggunakan teknik snowball sampling. 9
Ibid. Hal 111
42
Sugiyono (2010: 61) menjelaskan bahwa Snowball Sampling adalah teknik penentuan subjek penelitian yang pada awalnya berjumlah kecil, kemudian subjek penelitian diminta untuk menunjukan kenalannya untuk dijadikan sampel.10 Namun, pemilihan informan juga didasari oleh beberapa kriteria yang ditetapkan oleh penulis (purposive sampling) guna menjaga kesesuaian data yang diperoleh dengan arah penelitian. Purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. 3.5.2
Karakteristik Informan Informan kunci (key informan) dipilih berdasarkan fenomena yang
diteliti yaitu mengenai fenomena gegar budaya mahasiswa asal Sumatera, oleh karena itu agar data objektif dapat diperoleh, maka penulis menetapkan bahwa informan utama (key informan) dalam penelitian ini yaitu mahasiswa asal Sumatera. Adapun mahasiswa tersebut memiliki kriteria sebagai berikut: a) Mahasiswa yang sedang menempuh studi di Kampus UNTIRTA b) Mahasiswa yang lahir dan besar di Pulau Sumatera c) Mahasiswa angkatan 2011-2015 Adapun informan kedua dalam penelitian ini yaitu informan pendukung yaitu ditentukan berdasarkan fokus penelitian mengenai komunikasi antarbudaya. Untuk itu, penulis akan melakukan penelitian tentang fenomena gegar budaya dilihat dari komunikasi antarbudaya, oeh karena itu
10
Sugiyono. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. 2010. Hal 61.
43
yang akan menjadi informan pendukung yaitu Guru Besar bidang Komunikasi Lintas Budaya FISIP UNTIRTA. 3.6.
TEKNIK ANALISIS DATA Penulis akan melakukan analisis data yang dimana merupakan kegiatan
mengurai sesuatu sampai ke komponen-komponenya dan kemudian menelaah hubungan masing-masing komponen dengan keseluruhan konteks dari berbagai sudut pandang, kemudian data yang telah diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. Patton dalam Moleong (2007:103) menjelaskan bahwa analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan uraian dasar.11 Definisi tersebut memberikan gambaran tentang betapa pentingnya kedudukan analisis data dilihat dari segi tujuan penelitian. Prinsip pokok penelitian kualitatif adalah menemukan teori dari data. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan langkah-langkah seperti yang dikemukakan oleh Burhan Bungin (2009:70) yaitu sebagai berikut:12 1) Pengumpulan Data (Data Collection) Pengumpulan data merupakan bagian integral dari kegiatan analisis data. Kegiatan pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan wawancara.
11
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif edisi revisi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2007. Hal. 103. 12 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Predana Grup. 2009. Hal 70.
44
2) Reduksi Data (Data Reduction) Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi dilakukan sejak pengumpulan data dimulai dengan membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, menulis memo dan sebagainya dengan maksud menyisihkan data/informasi yang tidak relevan. 3) Display Data Display data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif disajikan dalam bentuk teks naratif. Penyajiannya juga dapat berbentuk matrik, diagram, tabel dan bagan. 4) Verifikasi dan Penegasan Kesimpulan (Conclution Drawing and Verification) Merupakan kegiatan akhir dari analisis data. Penarikan kesimpulan berupa kegiatan interpretasi, yaitu menemukan makna data yang telah disajikan antara display data dan penarikan kesimpulan terdapat aktivitas analisis data yang ada. Dalam pengertian ini analisis data kualitatif merupakan upaya berlanjut, berulang dan terus-menerus. Masalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi menjadi gambaran keberhasilan secara berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis
45
yang terkait. Selanjutnya data yang telah dianalisis, dijelaskan dan dimaknai dalam bentuk kata-kata untuk mendiskripsikan fakta yang ada di lapangan, pemaknaan atau untuk menjawab pertanyaan penelitian yang kemudian diambil intisarinya saja. 3.7.
TEKNIK PEMERIKSAAN KEABSAHAN DATA Pada penelitian ini penulis menggunakan salah satu teknik pemeriksaan
triangulasi dari empat kriteria yaitu kepercayaan (credibility) untuk memeriksa keabsahan data. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Denzin dalam Moleong (2007) membedakan empat macam trangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori.13 Penulis menggunakan triangulasi sumber untuk mengecek keabsahan data dalam penelitian ini. Traingulasi sumber yang akan penulis gunakan yaitu dari hasil wawancara pada informan tambahan, yaitu dari penulis buku Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif Multidimensi. Patton dalam Moleong (2007:330) menjelaskan bahwa triangulasi sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif.14 Menurut Moleong (2007:331) hal itu dapat dicapai dengan jalan:15 (1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data
13
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif edisi revisi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2007. Hal. 330. 14 Ibid. Hal 330 15 Ibid. Hal. 331.
46
hasil wawancara. (2) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi. (3) Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu. (4) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan. (5) Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
3.8 JADWAL PENELITIAN No 1. 2. 3. 4.
5. 6.
Kegiatan Penelitian Bimbingan Bab 1, 2 dan 3. Sidang Outline Penyempurnaan Bab 1,2 dan 3. Observasi (Pengambilan Data di Lapangan) Bimbingan Bab 4&5 Sidang Skripsi
Mar 2015
Apr 2015
Mei 2015
Juni 2015
July 2015
Aug 2015
Sept 2015
Okt 2015
Nov 2015
Des 2015
Jan 2016
Feb 2016
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1
Deskripsi Objek Penelitian Objek penelitian dalam penelitian ini berfokus pada fenomena gegar budaya
mahasiswa asal Sumatera yang menempuh studi di Kampus Untirta. Mahasiswa Sumatera sebelumnya memiliki faktor-faktor tertentu yang mendorong mereka melakukan perantauan, di antaranya adalah untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi agar dapat meraih cita-cita juga memiliki masa depan yang lebih cerah. Melakukan perantauan bukanlah suatu hal yang mudah dikarenakan mahasiswa Sumatera diharuskan hidup mandiri tanpa ada keluarga yang mendampingi, apalagi perantauan dilakukan ke luar pulau yang jaraknya cukup jauh. Ketika datang ke kota perantauan, mahasiswa rantau mengalami kekagetan dengan lingkungan baru yang ditemuinya. Reaksi ini biasanya disebut dengan culture shock atau gegar budaya. Gegar budaya merupakan salah satu reaksi pada umumnya dimana perantau merasa kaget atas perbedaan yang terjadi mulai dari budaya, bahasa, makanan, kehidupan sosial, cuaca dan sebagainya. Mau tak mau hal ini menyebabkan mahasiswa rantau dituntut untuk melakukan penyesuaian terhadap hal-hal baru yang ada di sekitar. Contohnya ketika mahasiswa asal Sumatera harus melakukan komunikasi dengan masyarakat sekitar ataupun mahasiswa non Sumatera, mereka
47
48
tidak bisa menggunakan bahasa daerah asalnya tetapi mereka harus menyesuaikan diri dengan bahasa di Kota Serang dan Cilegon yang notabene menggunakan bahasa Sunda ataupun Jawa Serang. Walaupun tinggal di satu negara yang sama, dialek ataupun makna suatu kata akan memiliki arti yang berbeda di setiap daerahnya. Gaya bicara mahasiswa Sumatera pun menjadi kendala dalam berkomunikasi karena dianggap memiliki intonasi yang terlalu tinggi bagi masyarakat Serang dan Cilegon. Selain itu makanan juga menjadi masalah di perantauan, apalagi dengan budaya Indonesia yang begitu kaya membuat makanan di Indonesia memiliki berbagai macam jenis dan rasanya. Terlebih makanan di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa yang sangat berbeda, pada umumnya makanan di Pulau Sumatera lebih pedas dan kaya akan bumbu sementara di Pulau Jawa lebih manis dan tidak terlalu pedas. Kendala lainnya bagi mahasiswa Sumatera adalah cuaca di Serang dan Cilegon yang lebih terik dan berdebu dari Pulau Sumatera karena letaknya yang tidak begitu jauh dengan pantai maupun pabrik-pabrik kimia. Ketika seseorang mengalami gegar budaya, hal ini dapat menjadi suatu hal baik ataupun buruk tergantung indiviu memperlakukannya karena reaksi terhadap gegar budaya pada masing-masing individu berbeda. Hal baik akan terjadi jika mahasiswa rantau bisa dengan cepat menyesuaikan diri di lingkungan baru dan berbaur namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka gegar budaya bisa mempengaruhi keadaan fisik maupun psikis. Maka dari itu mahasiswa Sumatera memilih untuk mengikuti kegiatan di dalam maupun di luar kampus seperti
49
organisasi maupun komunitas untuk mengisi waktu luang serta beradaptasi dengan lingkungan baru. Fenomena gegar budaya semakin banyak terjadi saat ini karena sudah banyaknya masyarakat yang menempuh studi di luar daerahnya masing-masing, sehingga memacu penulis melakukan penelitian ini yang merupakan bagian dari komunikasi antarbudaya. Selain itu, ilmu komunikasi juga mempunyai peranan penting berkaitan dengan penelitian ini. Objek penelitian berkaitan erat dengan komunikasi antarbudaya. Berdasarkan yang telah dijelaskan sebelumnya di BAB II, komunikasi antarbudaya terjadi bila pengirim pesan adalah anggota dari suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota dari suatu budaya lain. Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antar orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik ataupun perbedaan sosioekonomi), hal inilah yang menjadi latar belakang dalam penelitian ini. 4.2.
Deskripsi Informan Penelitian Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara dengan cara
mendatangi dan menanyai langsung kepada para informan mengenai hal-hal yang menjadi kepentingan dalam penelitian. Dari pengumpulan data yang diperoleh penulis, informan pada penelitian ini berjumlah 6 (enam) orang yang terdiri dari 5 (lima) orang key informan yang sesuai dengan kriteria informan dan 1 (satu) informan pendukung atau narasumber yang merupakan Guru Besar Komunikasi Lintas Budaya FISIP UNTIRTA. Dalam pencarian key informan, penulis memerlukan waktu yang tidak sebentar dikarenakan mahasiswa rantau dari Sumatera tidak sebanyak mahasiswa
50
dari pulau Jawa dan tidak mudah untuk meminta kesediaan melakukan wawancara pada informan dikarenakan kesibukan mereka yang tengah melakukan ujian akhir semester. Dalam penelitian ini, data diri key informan menggunakan identitas asli. Penelitian dilakukan melalui kegiatan wawancara yang dimulai dari awal bulan Desember 2015 sampai akhir bulan Januari 2016. Penulis melakukan pendekatan terlebih dahulu pada key informan setelah itu penulis melakukan wawancara secara langsung pada key informan. Wawancara dilakukan dengan menggunakan alat bantu penelitian yaitu perekam suara handphone untuk mempermudah penulis dalam pengelolaan data. Sebelum melakukan wawancara, penulis terlebih dahulu melakukan pendekatan kepada para key informan melalui Line Messenger dan Whatsapp Messenger. Pada bulan November, penulis sudah mulai mencari dan melakukan pendekatan terlebih dahulu pada key informan, setelah itu barulah penulis melakukan wawancara. Wawancara dengan key informan pertama yaitu dilakukan pada tanggal 10 Desember 2015 bertempat di Kantin Belakang Untirta Serang dimulai pukul 16:49 s.d 17:43 WIB. Kemudian wawancara key informan kedua pada tanggal 14 Desember 2015 di tempat yang sama seperti key informan pertama yang dimulai dari pukul 17.10 s.d 18.05 WIB. Wawancara dengan key informan ketiga dan keempat dilakukan bersama di Laboratorium Teknik Industri Untirta Cilegon pada tanggal 24 Desember 2015 dimulai pukul 13:55 s.d 15.10 WIB dan wawancara key informan terakhir dilakukan di halaman PKM B Untirta Serang pada tanggal 28 Desember 2015 mulai pukul 17:30 s.d 18.20 WIB. Untuk informan pendukung, wawancara dilakukan setelah peneliti selesai melakukan wawancara
51
pada key informan. Wawancara dengan Guru Besar Komunikasi Lintas Budaya FISIP UNTIRTA dilakukan pada tanggal 20 Januari 2016 mulai pukul 13:55 WIB s.d 14:37 WIB di Gedung LPPM Kampus Untirta Serang. Tabel 4.1 Identitas Key Informan NO Nama
Asal
Status
1
Fauziah Nur Utami
Pematang Siantar
Informan 1
2
Risda Sinaga
Pematang Siantar
Informan 2
3
Rienny Yurike Sianipar
Bengkulu
Informan 3
4
Aslam Daniel
Lampung
Informan 4
5
Ferdinand Putra
Riau
Informan 5
1. Key Informan 1 Tami Fauziah Nur Utami atau yang biasa dipanggil Tami ini lahir pada tanggal 14 Maret 1994 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Perempuan yang mempunyai darah Batak dari ibunya ini pernah tinggal di Bengkulu ketika duduk di Sekolah Dasar, selebihnya ia tinggal di Pematang Siantar. Tami merupakan teman satu angkatan dan jurusan dengan penulis, juga pernah berada di suatu organisasi internal kampus yang sama. Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 2011 ini sangat aktif mengikuti organisasi internal maupun eksternal. Oleh karena Tami lahir dan besar di Pulau Sumatera dan sedang menempuh studi di Kampus Untirta maka penulis memilih Tami sebagai key informan penelitian.
52
Ketika penulis meminta Tami untuk menjadi informan penelitian, perempuan beerhijab ini sedikit malu pada awalnya, namun karena penulis memberikan penjelasan yang lebih detail akhirnya Tami bersedia melakukan wawancara. Wawancara dilakukan di Kantin Belakang Kampus Untirta Serang pada sore hari. Menurut penulis, anak pertama dari 3 bersaudara ini memiliki sifat yang ramah, open minded dan termasuk orang yang menyukai tantangan. 2. Key Informan 2 Risda Metode snowball sampling digunakan dalam penarikan informan penelitian ini, dimana penentuan informan diawali dengan pemilihan yang sesuai dengan kriteria informan, kemudian informan tersebut diminta untuk menunjuk kenalannya untuk dijadikan informan yang selanjutnya (Sugiyono, 2001:61), Risda terpilih. Pemilik nama lengkap Risda Sinaga ini merupakan teman satu kost Tami juga teman satu kampung halamannya. Perempuan yang bersuku Batak Simalungun ini lahir pada tanggal 26 November 1992 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Anak pertama dari 2 bersaudara ini merupakan mahasiswa jurusan Administrasi Negara angkatan 2011 yang sedang menunggu panggilan sidang. Oleh karena Risda lahir dan besar di Pulau Sumatera dan masih menjadi mahasiswa Untirta, penulis menjadikannya sebagai key informan. Sebelumnya Risda pernah berkuliah di Medan namun hanya 1 tahun pertama saja. Sebagai anak yang merantau jauh dari rumah, Risda memiliki materi yang lebih dari cukup dilihat dari penampilannya saat pertama kali bertemu dengan penulis. Risda juga cukup ramah dan terbuka ketika bercerita tentang pengalamannya merantau, tapi karena tidak pernah tinggal jauh sebelumnya ia
53
terkesan lebih selektif dalam berbagai hal yang berkaitan dengan kenyamanan selama tinggal di Serang. Risda juga aktif dalam organisasi di kampus baik internal maupun eksternal. Suasana ketika wawancara sebenarnya tidak begitu kondusif dikarenakan dilakukan di Kantin Belakang Kampus UNTIRTA Serang yang dimana banyak mahasiswa lain yang sedang berada di sana, namun Risda cukup kooperatif sehingga wawancara berjalan dengan lancar. 3. Key Informan 3 Rienny Rienny Yurike Sianipar atau yang biasa dipanggil Rienny ini lahir di Bengkulu, 2 April 1993. Anak ke-3 dari 4 bersaudara ini memiliki kedua orang tua yang berasal dari Sumatera Utara dan bersuku Batak, namun karena adanya faktor pekerjaan yang mengharuskan orang tua Rienny untuk pindah ke Bengkulu jauh sebelum Rienny lahir. Perempuan berkacamata dan berbehel ini merupakan mahasiswa jurusan Teknik Industri UNTIRTA angkatan 2012. Penulis menjadikan Rienny sebagai key informan dikarenakan Rienny lahir dan besar di Pulau Sumatera dan merupakan mahasiswa Untirta. Rienny merupakan mahasiswa yang aktif dalam organisasi baik internal maupun eksternal, bahkan ia merupakan salah satau mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari Beswan Djarum. Rienny merupakan junior dari teman penulis. Rienny memiliki sifat yang ramah, percaya diri dan menyambut baik ketika penulis memintanya untuk menjadi informan, namun karena kesibukannya sebagai assistant laboratorium membuat penulis harus menunggu waktu luang yang dimiliki Rienny. Wawancara berlangsung di Laboratorium Teknik Industri dan berjalan sangat kondusif karena pada hari itu perkuliahan sedang libur.
54
4. Key Informan 4 Aslam Pemilik nama lengkap Aslam Daniel atau biasa dipanggil Aslam ini merupakan teman dekat dari Rienny yang juga teman satu angkatan dari jurusan yang sama yaitu Teknik Industri 2012. Aslam dikenalkan Rienny kepada penulis karena sebelumnya penulis meminta Rienny untuk mencarikan temannya yang berasal dari Sumatera dan bersedia dijadikan informan penelitian ini. Kebetulan pada hari penulis ingin mewawancarai Rienny, Aslam sedang berada di Laboratorium Teknik Industri. Terpilihnya Aslam sebagai key informan juga didasari dari tempat lahir dan tinggal Aslam yang berada di Pulau Sumatera serta ia merupakan mahasiswa Untirta. Aslam lahir pada tanggal 1 Januari 1994 di Lampung, walaupun terlihat lebih pendiam dan lugu tapi ia cukup ramah ketika pertama kali bertemu dengan penulis dan sangat kooperatif ketika melakukan wawancara. Anak ke-2 dari 3 bersaudara ini juga aktif dalam organisasi baik internal maupun eksternal, selain itu Aslam juga disibukan oleh tugasnya menjadi assistant laboratorium. Saat SMA, Aslam pernah hidup mandiri dengan menge-kost karena jarak rumah dan sekolahnya yang cukup jauh namun masih di daerah Lampung. Wawancara terhadap Aslam berlangsung di Laboratorium Teknik Industri Untirta. 5. Key Informan 5 Ferdi Ferdinand Putra atau yang biasa dipanggil Ferdi ini lahir di Perawang-Riau pada tangga l 7 Oktober 1993. Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 2013 ini merupakan teman dari teman penulis yang juga merupakan junior penulis di kampus. Orang tua Ferdi berasal dari Sumatera Utara dan bersuku Batak, namun
55
sejak muda mereka merantau ke Riau sehingga Ferdi lahir dan besar di Riau. Oleh karena itu, penulis memilih Ferdi sebagai key informan. Anak ke-2 dari 7 bersaudara ini aktif dalam kegiatan di kampus maupun di luar kampus. Ferdi tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Komunikasi (HIMAKOM) dan UKM Olahraga UNTIRTA. Selain itu juga Ferdi turut bergabung di sebuah komunitas sepeda fixie yang berada di Serang karena kegemarannya terhadap olahraga sepeda. Butuh waktu cukup lama untuk penulis bisa melakukan wawancara dengan Ferdi dikarenakan kesibukannya dalam mengerjakan tugas perkuliahan dan kegiatan organisasinya. Wawancara dengan Ferdi dilakukan di halaman depan PKM B Untirta Serang karena saat itu Ferdi sedang ada kegiatan bersama teman organisasinya. Wawancara berlangsung dengan baik walaupun suasana tidak begitu kondusif dikarenakan sangat ramai. Pada awal melakukan wawancara, Ferdi terilhat kaku dan menutup diri namun seiring berjalannya waktu ia tidak sungkan untuk berbagi ceritanya selama merantau ke Serang. 6. Deskripsi Identitas Informan Pendukung Prof. Dr. Ahmad Sihabudin., M.Si. Informan pendukung dalam penelitian ini yakni seorang Guru Besar Bidang Ilmu Komunikasi Lintas Budaya pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNTIRTA. Prof. Dr. Ahmad Sihabudin dipilih penulis sebagai informan pendukung dikarenakan merupakan seorang ahli di bidangnya terutama komunikasi antarbudaya yang juga merupakan fokus dalam penelitian ini. Prof. Sihab lahir di Serang Banten pada tanggal 4 Juli 1965, ia menyelesaikan pendidikan di SD Negeri 4, SMPN 1, dan SMAN 1 Kota Tangerang. Meraih gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (Drs) di FIKOM IISIP Jakarta pada tahun 1989, Magister Sains bidang Ilmu
56
Komunikasi (M.Si) di Universitas Padjajaran pada tahun 1994, dan Doktor bidang Ilmu Penyuluhan Pembangunan (Dr) 2009 di Institut Pertanian Bogor. Saat ini Prof. Sihab mengajar di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, profesi sebagai dosen ia tekuni sejak tahun 1992. Hingga saat ini Prof. Sihab telah banyak menghasilkan karya-karya ilmiah, baik yang dipublikasikan maupun tidak. Di antaranya, yaitu buku “Saatnya Baduy Bicara” diterbitkan oleh PT Bumi Aksara (2010). “Implikasi Era Informasi Terhadap Gaya Hidup dan Budaya Massa” dimuat majalah ilmiah “Social Polites” di FISIP Universitas Kristen Indonesia. “PendapatPendapat Antaretnik di Kalangan Mahasiswa” karya ilmiah finalis PPMI 1999 Biro Pemasaran IPTEK LIPI 1999, “Prasangka Sosial KAT Baduy dimuat majalah ilmiah Mediator Jurnal Komunikasi Vol.9/No.1 Juni 2008, dan masih banyak lagi karya-karya lainnya. Dalam penelitian ini Prof Sihab berperan sebagai informan yang memberikan informasi terkait fenomena gegar budaya dalam komunikasi antarbudaya. Wawancara dengan informan pendukung berlangsung secara kondusif di Gedung LPPM Kampus Untirta Serang pada tanggal 20 Januari 2016 mulai pukul 13:55 WIB s.d 14:37 WIB. 4.3
Analisa Hasil Penelitian Penelitian yang membahas tentang fenomena gegar budaya mahasiswa asal
Sumatera ini menggunakan analisis teori Fenomenologi yang dikemukakan oleh Alfred Schutz. Fenomenologi dapat diartikan sebagai ilmu yang berorientasi unutuk mendapatan penjelasan dari realitas yang tampak. Lebih lanjut, Kuswarno (2009:2) menyebutkan bahwa Fenomenologi berusaha mencari pemahaman bagaimana manusia
mengkonstruksi
makna
dan
konsep
penting
dalam
kerangka
57
intersubjektivitas (pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain).1 Konsep intersubjektifitas dalam fenomenologi Schutz merupakan konsep yang memungkinkan kita melakukan interaksi dalam komunikasi. Dengan bekal karakteristik persediaan pengetahuan yang dimiliki, maka dapat saling berbagi perspektif dengan orang lain, dapat melakukan berbagai macam hubungan dengan orang lain. Lalu tindakan adalah sebuah makna yang rumit atau makna yang kontekstual, oleh karenanya, untuk menggambarkan keseluruhan tindakan seseorang perlu diberi fase. Dua fase yang diusulkan Schutz diberi nama tindakan in-order-to motivate, yang diartikan sebagai motif ada masa yang akan datang; dan tindakan because-motive yang merupakan motif sebab pada masa lalu. Motif-motif inilah yang merupakan faktor yang mendorong key informan melakukan perantauan. Selain itu dalam penelitian ini penulis menggunakan konsep culture shock. Culture shock yang dalam bahasa Indonesia berarti gegar budaya atau kejutan budaya diartikan sebagai rasa cemas dan kaget ketika individu memasuki budaya baru yang berbeda dengan budaya yang sudah melekat pada dirinya. Budaya yang sudah melekat pada diri individu ketika memasuki budaya baru akan menjadi tidak efektif karena setiap budaya mempunyai caranya tersendiri. Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa orang
1
Engkus Kuswarno. Fenomenologi; Fenomena Pengemis Kota Bandung. 2009. Bandung: Widya Padjadjaran. Hal 2.
58
biasanya melewati empat tingkatan culture shock. Samovar dkk (2010) menjelaskan bahwa keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva U sehingga disebut U-curve, yaitu:2 Fase Kegembiraan, Fase Kekecewaan, Fase Awal Resolusi, dan Fase Berfungsi dengan Efektif. Dalam penelitian ini, penulis berusaha mencari tau bagaimana tahapan-tahapan dari culture shock ini terjadi saat key informan melakukan perantauan. Berdasarkan hasil wawancara, keempat key informan yaitu Tami, Risda, Rienny, Aslam dan Ferdi memiliki sifat yang berbeda-beda. Dengan melihat langsung melalui observasi dan wawancara yang dilakukan penulis, penulis dapat melihat karakteristik kepribadian mereka masing-masing. Tami yang merupakan anak sulung dari tiga bersaudara ini merupakan wanita yang haus akan tantangan dan hal-hal baru. Key informan kedua yaitu Risda, anak pertama dari dua bersaudara ini cenderung melihat sesuatu dengan lebih detail dan selektif. Key informan ketiga yaitu Rienny merupakan wanita yang memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi dan tidak terlalu mengambil pusing jika ada hal-hal yang tidak disukainya. Key informan keempat yaitu Aslam yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara ini cenderung pendiam dan lugu dari yang lain dan key informan kelima yaitu Ferdi cenderung memiliki pemikiran tersendiri terhadap suatu hal dan cukup memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Menurut informan pendukung, gegar budaya bisa dikatakan kaget. Contohnya saja ketika seseorang dari perdesaan melakukan perantauan, ia bisa
2
Samovar, dkk. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika. 2010. Hal 477-488.
59
kaget karena banyaknya mobil ataupun kendaraan yang berlalu lalang di perantauan tidak seperti daerah asalnya yang masih terbilang sepi atau ketika ia biasa tidur pukul 8 dan 9 malam, tetapi di perantauan ternyata sampai pukul 12 malam pun masih ramai dengan aktivitas sehingga ia merasa terganggu baik fisik maupun psikis. Hal ini membuat seseorang melakukan penyesuaian dengan waktu yang cukup lama. Gegar budaya juga bisa disebut sebagai proses penyesuaian supaya seseorang tidak kaget dengan lingkungan baru, karena disebut gegar budaya ketika melakukan tindakan-tindakan yang di luar kebiasaan. “Kalau gegar budaya bisa dikatakan kaget, mungkin di sana mobil jarang di sini banyak mobil. Di sana kurang hiburan, di sini banyak hiburan. Jadi kaget yah, di sana kebiasaan tidur itu mungkin jam 8 jam 9 sudah pada di rumah, di sini ternyata jam 12 juga masih ramai. Itu kan membuat dia lama kan penyesuaiannya, jadi sebetulnya gegar budaya itu sebuah proses juga sih menurut saya yah. Sebuah proses untuk penyesuaian pada lingkungan itu, proses dia beradaptasi supaya tidak kaget. Karena disebut gegar budaya ketika dia melakukan tindakan-tindakan yang di luar kebiasaan dia, kan kaget tadinya nggak biasa tidur terlalu malam, di sini kan tidur sampai malam sehingga dia menjadi terganggu dan sakit. Itu juga akibat dari kurang beradaptasi”.3
4.3.1
Faktor
Pendorong
Mahasiswa
Sumatera
Melakukan
Perantauan Tindakan adalah sebuah makna yang rumit atau makna yang kontekstual, oleh karenanya, untuk menggambarkan keseluruhan tindakan seseorang perlu diberi fase. Dua fase yang diusulkan Schutz diberi nama tindakan in-order-to motivate atau “motif untuk” yang merujuk pada masa yang akan datang; dan tindakan because-motive atau “motif sebab” yang
3
Lampiran 7. Hasil Wawancara Informan Pendukung. Hal 140.
60
merujuk pada masa lalu. Motif inilah yang dapat menjadi faktor pendorong seseorang melakukan perantauan. Berdasarkan hasil wawancara, key informan 1 yaitu Tami mengungkapkan bahwa ia sangat senang ketika mengetahui dirinya akan melakukan perantauan, karena ia teringat pengalaman masa kecilnya ketika sering berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya karena tuntutan pekerjaan orangtuanya. Walaupun waktu pertama kali orangtua Tami tidak mengizinkan dirinya melakukan perantauan mengingat ia merupakan seorang anak perempuan, namun hal tersebut tidak menurunkan tekad Tami untuk merantau karena keinginannya yang besar untuk mengetahui bagaimana situasi dan kondisi di Serang. “Kalau pertama kali keterima gue kan seneng juga yah pindahpindah kayak gitu terus emang dari kecil juga sering pindah-pindah gitu kan rumahnya, tinggalnya. Terus gue juga pengen tau nih di Serang itu kayak apa, excited lah. Penasaran lah gitu pengen ke sini, tapi waktu itu nggak dibolehin kan sama orang tua pertamapertamanya soalnya jauh, anak perempuan tapi guenya emang keukeuh pengen ke sini aja.”4 Tami menjelaskan rasa senang saat ingin merantau dikarenakan ia akan mendapatkan teman-teman dan lingkungan yang baru, terlebih ia dapat melanjutkan studi dengan jurusan yang diinginkan yaitu Ilmu Komunikasi, sehingga hal inilah yang dapat mendekatkan dan memudahkan Tami dalam mewujudkan cita-citanya menjadi seorang jurnalis.
4
Lampiran 2. Hasil Wawancara Key Informan 1. Hal 113.
61
Dipilihnya kampus Untirta oleh Tami dikarenakan Untirta memiliki passing grade yang lebih rendah yang sekiranya dapat dijangkau ketika ia melakukan test SNMPTN. Sebelumnya Tami sama sekali tidak mempunyai gambaran tentang situasi dan kondisi Kampus Untirta maupun Serang, tetapi karena faktor cita-citanya menjadi jurnalis itu yang membuatnya menjadi nekat melakukan perantauan. Hal ini menjelaskan jika Tami mempunyai tujuan ataupun “motif untuk” dalam melakukan perantauan karena Tami melihat dirinya di masa depan. “Pertamanya itu karena, ini alasan pribadi sih yah. Gue pengen kuliahnya kan komunikasi nah gue ngeliat tuh passing grade yang paling rendahnya nih yang setidaknya bisa terjangkau sama gue lah. Gue taro dah tuh pilihan ketiganya di untirta sebenernya gue gatau nih untirta itu di mana, gue cuma taunya di Banten doang tapi lebih spesifiknya gue gatau, tapi karena jurusan komunikasi itu yang bikin nekat sih soalnya cita-cita gue pengen jadi jurnalis.”5 Keinginan Tami menjadi jurnalis ini dilatarbelakangi atau “motif sebab” dari masa kecilnya yang sempat menonton berita tentang wartawan yang sedang meliput perang lalu dijadikan tawanan karena dikira penyusup. Hal ini membuat Tami tertarik menjadi jurnalis, ia membayangkan jika suatu saat ia akan melaporkan berita dari daerah konflik dengan latar belakang situasi baku tembak ataupun kerusuhan. “Kenapa pengen jadi jurnalis? Karena dulu waktu kecil pernah nonton berita gitu ada wartawan lagi ngeliput perang terus malah dijadiin tawanan karena dikira penyusup. Gue ngerasa tertarik aja bisa ngeliput terus ngelaporin dari daerah konflik pas live report terus dibelakang gue lagi ada baku tembak atau kerusuhan hahaha.”6
5 6
Ibid. Hal 112-113. Ibid. Hal 113.
62
Sama seperti Tami, key informan kedua, Risda. Anak dari seorang guru ini merasa senang ketika mengetahui akan merantau jauh dari kampung halaman, terutama ke pulau Jawa yang dianggapnya memiliki pendidikan yang lebih baik dari pada pulau Sumatera. Hal inilah yang menjadi “motif sebab” yang mendorong Risda melakukan perantauan. “Yah pertama seneng yah, soalnya kan di Jawa gitu secara mau merantau keluar dari daerah Sumatera Utara, yah seneng sih seneng pastinya waktu tau keterima di Jawa gitu kan. Kirain sama kayak sekelas sama UI lah, UI, UNPAD yang di Jawa-Jawa yang bagus-bagus kedengerannya gitu.”7 Merantaunya Risda ke Serang didukung oleh sang ibu dimana ibunya yang merupakan seorang guru merasa pendidikan di Pulau Jawa jauh lebih memadai dan bergengsi dari pada Pulau Sumatera, oleh karena itu ibunya meminta Risda untuk mengikuti test SNMPTN kembali walaupun Risda saat itu sudah berkuliah di Medan. Dipilihnya Untirta sebagai kampus tujuan juga dikarenakan saran dari ibu Risda yang sebelumnya mengetahui tentang Kampus Untirta dari mantan muridnya yang berkuliah di Untirta. Dalam hal ini, Risda memiliki “motif untuk” melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. “Kuliah, buat kuliah. Jadi mama ku kan guru terus dia tuh punya murid, nah muridnya tuh udah kuliah duluan di Untirta terus kuliahnya tuh di teknik. Nah dikira mama ku karena kuliah di Jawa itu mungkin lebih bagus yah daripada di Sumatera. Sebelumnya pernah kuliah di Medan juga di Polmet, nah terus karena dibilang Untirta di Jawa ya udah akhirnya disuruh nyoba SNMPTN suruh nyoba lagi di sini terus yah lulus ya udah ke sini deh kuliahnya.”8
7 8
Lampiran 3. Hasil Wawancara Key Informan 2. Hal 118. Ibid. Hal 117.
63
Sedangkan key informan ketiga yang bernama Rienny mengaku sempat merasa sedih sebelumnya ketika mengetahui akan berkuliah di UNTIRTA karena ia tidak diterima di Universitas pilihan pertamanya, namun kesedihan tersebut dialihkan oleh Rienny dimana ia percaya akan mendapat seseuatu hal yang berarti di Untirta seperi teman, pengalaman dan suasana baru. Selain itu Rienny juga ingin sekali merasakan hal yang sebelumnya dirasakan oleh kakak laki-lakinya yang sudah merantau terlebih dahulu ke Bandung, hal inilah yang menjadi faktor penyebab Rienny melakukan perantauan. “Sedih karena ga diterima di pilihan pertama, tapi nyoba nerima, kak. Soalnya mikir pasti bakal dapat sesuatu di Untirta kayak temen baru, pengalaman baru, suasana baru gitu. Pengalaman baru kayak abang aja yang udah rantau duluan jadi pengen aja.”9 Individu melakukan suatu tindakan disebabkan oleh motif-motif tertentu yang dimana memiliki tujuan dan sebabnya tersendiri. Sama halnya dengan Informan 3 yaitu Rienny yang melakukan perantauan dikarenakan memiliki tujuan untuk berkuliah. Hal tersebut didasari oleh pandangan Rienny yang melihat peluang dalam mencari kerja di masa depan karena pendidikan tinggi merupakan suatu modal untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, selain itu dipilihnya jurusan Teknik Industri juga karena menurut Rienny, jurusan inilah yang lebih banyak memiliki peluang pekerjaan dari pada jurusan lainnya.
9
Lampiran 4. Hasil Wawancara Key Informan 3. Hal 124.
64
Sayangnya, di kampung halaman Rienny yaitu Bengkulu tidak memiliki fasilitas pendidikan yang diinginkan oleh Rienny sehingga ia memilih Kampus Untirta sebagai tempat untuk menempuh pendidikan karena didasari oleh beberapa hal yaitu, Untirta merupakan Universitas Negeri, memiliki jurusan Teknik Industri yang berkareditasi B dan memiliki passing grade yang lebih rendah sehingga dapat dijangkau oleh Rienny ketika mengikuti test SNMPTN. “Yah karena kuliahnya dapetnya di sini hehe. Waktu milih sih sebenarnya nyari kemungkinan jadi pilihan 1-2 itu yang dipengenin banget, pilihan 3 itu yang dirasa paling mungkin diterima walaupun mungkin usahanya nggak banyak tapi pasti diterima lah intinya. Browsing sih nyari yang akreditasinya udah B tapi masih belum terlalu terkenal jadi mungkin orang belum banyak yang milih. Pokoknya jurusannya aja alasan utamanya karena pengen teknik awalnya, di Bengkulu univ negerinya ga ada teknik industri terus nyari-nyari, sebenarnya mau di ITS awalnya, cuma karena waktu tes juga nyari kemungkinan yang pasti lolos milihnya Untirta, lagian Untirta TInya udah B juga, lumayan kak. Milih teknik industri juga karena ngeliat peluang kerja nantinya. Jadi yah nekat aja kuliah di Untirta dan udah males ikut tes lagi.10 Sama seperti Rienny, Aslam sebagai key informan 4 pada awalnya merasa sedih dan minder karena saat itu ia belum diterima di Universitas manapun terlebih lagi sebelumnya ia sudah mengikut SNMPTN Undangan dan SIMAK UI yang berujung kegagalan, tetapi ketika mengetahui dirinya diterima di Untirta, Aslam merasa senang karena setidaknya hal itu dapat membuat ibunya tidak lagi khawatir. “Sebenarnya dulu sempat minder karena nggak keterima di manamana, kan pernah ditolak SNMPTN Undangan, SIMAK UI juga 10
Ibid. Hal 123-124.
65
ditolak. Jadi pas tau bahwa saya keterima di Untirta seneng karena ya udah lah nyokap udah lega saya udah keterima. Dulu belum pernah mikir bahwa Untirta gimana-gimana, seneng aja. Terus H+1 langsung ke sini langsung daftar ulang.”11 Selain itu Aslam merasa senang karena ia menganggap kota Cilegon menurutnya jauh lebih maju dari kampung halamannya yang notabene masih kental dengan perdesaannya. Bahkan mini market yang dapat dengan mudah kita jumpai di Cilegon, belum tersedia di daerah tempat tinggalnya yang tidak jauh dari pantai itu. “Karena rumah saya itu di desa yah, bahkan sampai sekarang pun belum ada Alfamart atau Indomaret. Bayangannya yah seneng aja gitu bisa kuliah di Untirta, perkembangannya udah maju lumayan kota gitu kan.”12 Aslam juga memiliki tujuan yang sama dengan informan lainnya yaitu ia melakukan perantauan dikarenakan ingin melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Sebelumnya Aslam menjadikan salah satu Universitas di Surabaya untuk pilihan pertama pada test SNMPTN dan Untirta di pilihan kedua, namun karena tidak diterima di pilihan pertama, otomatis Aslam melanjutkan kuliah di Untirta dengan jurusan Teknik Industri. Pada awalnya Aslam ingin sekali melanjutkan studi dengan jurusan Arsitektur di Universitas Gunadarma, namun karena tidak mendapat izin orang tua maka Aslam mencari alternatif jurusan lain. Aslam mengambil jurusan Teknik Industri Untirta dikarenakan akreditasinya yang sudah baik,
11 12
Lampiran 5. Hasil Wawancara Key Informan 4. Hal 129. Ibid. Hal 129.
66
selain itu juga ia melihat kekurangan dalam dirinya yaitu ia memiliki kelemahan dalam perhitungan. Aslam juga memiliki pandangan bahwa teknik industri memiliki cakupan yang luas dalam pekerjaan, ia ingin sekali bekerja di bagian pemasaran suatu perusahaan. Faktor lain yang menyebabkan Aslam melakukan perantauan karena di lingkungan keluarganya belum ada yang mengambil jurusan teknik, namun lebih banyak di bidang kesehatan. Selain itu, Aslam terbiasa hidup mandiri sejak SMA dan menurutnya faktor adat juga turut mempengaruhi dirinya yang dimana anak laki-laki diharuskan merantau menurut adat Lampung. “Tujuannya yah kuliah sebenernya karena dulu dapetnya di sini. Waktu itu kan SNMPTN tulis milih di sini pilihan kedua, pilihan pertamanya itu di Universitas di Surabaya. Jadi nggak keterima, keterimanya di pilihan keduanya industri untirta. Sebenernya waktu dulu mau masuk arsitektur di Gundar cuma ga disetujuan ortu jadi cari alternatif lain dan kenapa ambil Teknik Industri Untirta karena akreditasi sudah B dan gua ambil TI karena ngeliat kekurangan gua juga, Yu. Kekurangannya lemah di perhitungan, jadi ya TI jadi alternatifnya selain itu juga pengen kerja di bagian pemasaran perusahaan, nah pilih TI juga karena cangkupannya luas dalam pekerjaan. Terus di keluarga juga belum ada yang ngambil teknik dan lebih banyak ke bidang kesehatan. Terus ngelakuin perantauan juga karena udah biasa ngekos dari SMA dan karena adat sih. Kalau adat Lampung, laki-laki orang Lampung itu diharuskan merantau. Gitu.”13 Sedangkan key informan 5 yaitu Ferdi yang walaupun tidak mengetahui situasi dan kondisi kampus perantauannya, ia tetap memiliki keinginan yang besar untuk berkuliah di pulau Jawa dan mengambil jurusan Ilmu Komunikasi karena menganggap bahwa Universitas di Pulau Jawa
13
Ibid. Hal 128-129.
67
jauh lebih baik daripada di pulau Sumatera, namun hal ini dimentahkan oleh kenyataan yang menurut Ferdi ketika datang ke Untirta dimana jika dibandingkan dengan Universitas Riau yang jauh lebih besar, Untirta kalah telak. “Kirain pas pertama kali kuliah tuh, kan pengennya kan pertama kali pengennya tuh pokoknya di Jawa terus ikom. Udah itu aja dan nggak tau kalau Untirta kayak gini, sebelum berangkat ke Jawa nih kirain Universitas di Jawa-Jawa nih udah keren-keren. Eh ternyata sampai di sini..kalau dibandingin sih sama Universitas Riau di Pekanbaru jauh lebih besar, kalau kayak gini itungannya TK doang.”14 Ketika ditanya apakah Ferdi setidaknya memiliki bayangan hal-hal kesenangan yang akan didapatkan di Untirta saat pertama kali datang pun ia menjawab tidak terbayang apa-apa sama sekali, karena image yang buruk saat pertama kali ia datang. Hal ini membuat Ferdi merasa kaget dan aneh karena diluar harapannya yang menganggap semua Universitas di Pulau Jawa lebih baik daripada di Sumatera. “Nggak ada sama sekali, nggak kebayang apa-apa. Soalnya imej pertama masuk kayak gini. Kaget. Aneh. Jadi di luar ekspektasi.”15 Sama dengan informan lainnya, Ferdi juga memiliki tujuan untuk menempuh studi ketika melakukan perantauan. Hal yang mendorong Ferdi berani untuk merantau adalah karena jurusan kuliah yang ia idamkan yaitu Ilmu Komunikasi yang dimana merupakan jurusan kuliah yang dapat mendekatkan Ferdi dengan cita-citanya yaitu bekerja di sebuah stasiun televisi.
14 15
Lampiran 6. Hasil Wawancara Key Informan 5. Hal 134. Ibid. Hal 134.
68
Selain itu, Ferdi juga sangat ingin berkuliah di Pulau Jawa karena menurutnya Pulau Jawa memiliki pendidikan yang lebih baik daripada Pulau Sumatera. Anggapan tersebut merupakan faktor terbesar Ferdi melakukan perantauan. Walaupun Ferdi tidak tahu sama sekali tentang keadaan Untirta sebelumnya dan hanya mendapatkan sedikit informasi dari internet, ia tetap melakukan perantauan dan melanjutkan studinya karena faktor tersebut. “Ini karena kuliah doang, makannya ngerantau. Ngga tau kalau Untirta di mana juga sebelumnya. Milih Untirta juga karena asal pick doang, yang penting kuliah di Jawa dan ngambil jurusan ikom. Ternyata tembusnya yang Untirta. Pengen kuliah ikom karena pengen kerja di belakang layar TV, cuma jurusan itu yang menjurus ke TV. Ga ada gambaran sama sekali tentang Untirta sebelumnya tapi sempet searching juga sih pas udah lulus, tapi cuma ada foto gedung B sama A, yah pokomya nekat aja yang penting dapet ikom dan di Jawa karena Jawa kayanya lebih keren.16 Dari hasil pembahasan di atas dapat dilihat bahwa Tami, Risda, Rienny dan Aslam merasa senang ketika mengetahui akan melakukan perantauan karena akan memiliki pengalaman, teman juga suasana baru. Walaupun Rienny dan Aslam sempat merasa sedih dan minder sebelumnya karena tidak diterima di Universitas pilihan utamanya. Sedangkan Ferdi memiliki perasaan yang berbeda dari yang lain yaitu ia sudah merasa kecewa di tahap awal karena sebelumnya Ferdi memiliki ekspektasi yang tinggi, terutama karena daerah asalnya yaitu Pekanbaru dapat dibilang sebagai daerah perkotaan yang lebih maju dari pada Serang. Hal ini jauh berbeda dengan Aslam yang datang dari daerah perdesaan yang masih sepi,
16
Ibid. Hal 133-134.
69
sehingga ia merasa senang melakukan perantauan ke Cilegon karena sudah jauh
lebih
maju
dibandingkan
kampung
halamannya.
Harapan,
kegembiraan, optimisme dan euforia seseorang ketika akan melakukan perantauan ini dapat termasuk ke dalam fase kegembiraan dalam gegar budaya karena sebagai antisipasi individu ketika memasuki budaya baru. Hal ini berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa bulan tergantung pada seberapa cepat seseorang menghadapinya dan melakukan komunikasi dengan budaya baru. Menurut Kevinzky (2011:7), perantau memiliki sejumlah ekspektasi yang membuat mereka mau mencoba untuk menjalani aktivitas di wilayah yang baru. Ekspektasi tersebut bisa dikategorikan dalam beberapa aspek antara lain:17 (a) Aspek Hiburan yang meliputi keinginan informan untuk rekreasi dan keunikan khas daerah lain. (b) Aspek Sosial yang meliputi keinginan informan menambah teman dan memperluas pergaulan. (c) Aspek Tanggung Jawab yang merupakan aspek yang dimiliki informan untuk bersikap mandiri karena tanggung jawabnya sebagai mahasiswa dan karena sudah dewasa.
(d) Aspek Masa Lalu yang merupakan aspek
pengalaman masa lalu yang tidak begitu baik semasa sekolah dan berharap dengan kuliah di perantauan akan memiliki pengalaman yang lebih baik.18 Aspek-aspek inilah yang membuat kelima key informan memiliki ekspektasinya tersendiri ketika akan melakukan perantauan.
17
Muhammad Haiqal Kevinzky. Proses dan Dinamika Komunikasi Dalam Menghadapi Culture Shock Pada Adaptasi Mahasiswa Perantauan (Kasus Adaptasi Mahasiswa Perantau di UNPAD Bandung). Depok: FISIP UI. 2011. BAB IV Hal 7.
70
Selain itu, dari hasil pembahasan di atas ditemukan bahwa kelima key informan pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama dalam melakukan perantauan yaitu untuk menempuh studi.. Namun, salah satu key informan yaitu Aslam selain memiliki faktor untuk menempuh studi, ia juga memiliki faktor pendorong lain yaitu adat dimana menurutnya jika seorang anak laki-laki asal Lampung diharuskan untuk melakukan perantauan saat dewasa. Kelima key informan sebelum melakukan perantauan sama sekali tidak memiliki gambaran tentang Kampus Untirta ataupun daerah perantauannya, sebagian besar key informan hanya mendapatkan informasi sedikit dari internet, namun salah satu key informan yaitu Risda mendapatkan informasi lebih tentang Untirta dari mantan murid ibunya yang juga menempuh studi di Untirta. Salah satu faktor pendorong Tami, Rienny, Aslam dan Ferdi melakukan perantauan yaitu dikarenakan jurusan kuliah yang diidamkan dan juga cita-cita mereka yang sekiranya dapat diwujudkan dengan mengambil jurusan kuliah tersebut, sedangkan faktor pendorong Risda melakukan perantauan dikarenakan anggapannya tentang pendidikan di Pulau Jawa yang jauh lebih baik dan bergengsi dari Pulau Sumatera, hal tersebut juga sama dengan anggapan Ferdi. Faktor-faktor pendorong tersebut juga dipertegas oleh informan pendukung yaitu Prof. Sihab yang dimana menurutnya ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang melakukan perantauan. Pertama, faktor
71
pendidikan dapat mendorong seseorang mempunyai motivasi yang tinggi untuk belajar, hal ini juga bisa mendorong seseorang untuk menggapai citacitanya. Kelima key informan memiliki motif untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi, hal ini sesuai dengan faktor pendorong pendidikan. Motif melanjutkan studi ini juga menjadikan dasar key informan memasuki fase kegembiraan dimana mereka mendapatkan Universitas negeri. Kedua, faktor ekonomi dimana seseorang melakukan perantauan yang disebabkan karena minimnya lapangan pekerjaan di daerah asal juga dipengaruhi anggapan masyarakat bahwa jika di daerah lain misalnya ibukota Jakarta lebih mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Dalam penelitian ini, kelima key informan belum memperlihatkan motif ekonomi dalam melakukan perantauan, walaupun salah satu keinginan seseorang memasuki perguruan tinggi negeri dikarenakan biaya pendidikan yang relatif lebih murah dibandingkan perguruan tinggi swasta. Asumsi ini besar kemungkinan mendorong mereka memiliki faktor ekonomi. Ketiga, faktor budaya dimana suatu daerah memiliki filosofi “di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung” yang berarti setiap individu sebaiknya selalu mengikuti kebiasaan dan adat istiadat di tempat ia berada. Hal tersebut merupakan nilai-nilai leluhur yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalkan saja suku Batak dan Minang yang terkenal dengan jiwa perantaunya. Salah satu key informan memiliki faktor budaya dalam melakukan perantauan karena menurutnya pemikiran tersebut sudah menjadi warisan dan harus dilaksanakan. Faktor keempat yaitu faktor perkawinan, misalnya seorang
72
wanita Sumatera menikah dengan pria Jawa, hal ini membuat wanita tersebut mengikuti suaminya untuk tinggal di Jawa ataupun sebaliknya dan terakhir adalah faktor tugas dimana seseorang ditugaskan untuk merantau oleh atasan terkait pekerjaannya. Kedua faktor terakhir belum diperlihatkan oleh kelima key informan dikarenakan mereka belum menikah dan juga bekerja. “Misalnya ada motivasi ingin belajar, kan dia pasti mau nggak mau kan mobile, pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mungkin itu salah satunya ingin belajar, itu kan faktor pendorong. Ingin nambah penghasilan juga dia pindah, dari daerah yang susah mencari tempat kerja, konon katanya di Jawa lebih mudah. Katanya kalau dari Sumatera baik Minang maupun Batak memang ada jiwa perantau yang dipengaruhi oleh filosofi “di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”, ada nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhurnya. Misalnya tadi ingin dapat penghasilan lebih, dia kan harus hijrah. Kalau tadi ingin belajar, pendidikan. Karena kawin juga bisa, misalnya kawin dengan orang Jawa kan wanitanya bisa pindah atau sebaliknya atau karena tugas juga bisa.19 4.3.2 Proses Interaksi Mahasiswa Asal Sumatera di UNTIRTA Konsep intersubjektifitas dalam fenomenologi Schutz merupakan konsep yang memungkinkan kita melakukan interaksi dalam komunikasi. Dengan bekal karakteristik persediaan pengetahuan yang dimiliki, maka dapat saling berbagi perspektif dengan orang lain, dapat melakukan berbagai macam hubungan dengan orang lain. Pandangan Schutz, kategori pengetahuan, derajat pertama bersifat pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap muka dengan orang lain. Kemudian berbagai pengkhasan yang telah terbentuk dan dianut
19
Lampiran 7. Hasil Wawancara Informan Pendukung. Hal 140.
73
semua anggota suatu budaya, terdiri dari mitos, pengetahuan, budaya dan akal
sehat.
Maka
tujuan
utama
analisis
fenomenologis
adalah
mengkonstruksi dunia kehidupan manusia “sebenarnya” dalam bentuk yang mereka alami sendiri. Realitas dunia tersebut bersifat intersubjektif, dalam arti bahwa anggota masyarakat berbagai persepsi dasar mengenai dunia yang mereka internalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan melakukan interaksi. Dalam penelitian ini, pemahaman baru yang tercipta ketika seseorang sedang melakukan perantauan terbentuk dari interaksi atau hubungan yang dilakukan dengan orang lain. Ketika seseorang berusaha melakukan penyesuaian dikarekana adanya perbedaan-perbedaan antara kampung halaman dan kota perantauan. Key informan 1 yaitu Tami mengungkapkan ada beberapa hal yang berbeda antara Serang dan Pematang Siantar dimana terdapat perbedaan bahasa, adat, kebiasaan, dan juga makanan. Pada awal datang ia belum terbiasa dengan makanan-makanan di Serang yang menurutnya banyak yang diolah dengan cara digoreng, sementara Tami terbiasa makan makanan yang pedas dan bersantan. Dalam hal bahasa pun ia harus menghilangkan logat khas daerahnya dari yang campuran Melayu dan Batak menjadi lebih Sunda. “Bahasa, adat terus kebiasaan-kebiasaan, makanan. Nah terus kalau misalnya di medan kan makanan banyaknya yang pedes terus yang bersanten-santen kayak gitu. Terus pas ke sini tuh beda banyaknya kayak yang ke gorengan, tapi lama-lama disesuaikan kan terus cara berbicaranya. Kalau di sana kan emang yang batak
74
banget terus agak ke melayu-melayu kayak gitu kan, nah di sini harus menyesuaikan agak kesunda-sundaan.”20 Pada awal merantau, Tami mempunyai ketakutan maupun kecemasan yang tinggi ketika ingin berkomunikasi dengan mahasiswa non Sumatera dikarenakan ia memiliki logat Medan yang sangat kental dan khas. “Pertama-pertama sih gue waktu nyampe di sini jarang ngomong gue takut soalnya kalau ngomong ketauan banget kan, ini orang Medan nih ketauan banget kan.”21 Walaupun masih dalam satu negara yang sama, setiap daerah di Indonesia memiliki cara berkomunikasi yang berbeda sehingga hal ini menjadi kendala buat Tami, sedangkan budaya yang berbeda tidak terlalu menjadi kendala baginya. “Kesulitan nggak sih paling cara komunikasinya yang beda, kalo budaya sih beda tapi nggak jauh-jauh banget lah maksudnya ga terlalu jadi hambatan gitu ga jadi kesulitan paling cuma di komunikasi aja sih.”22 Tami sempat mengalami miskomunikasi atau kesalah pahaman ketika berbicara dengan mahasiswa non Sumatera, oleh karena itu Tami tidak malu untuk bertanya ke teman-temannya jika ada kata ataupun kalimat yang tidak ia mengerti. “Kalau miskomunikasi gitu iya pernah, paling gue nanya itu apa itu artinya apa. Pokoknya kalo gue gatau apa-apa gue nanya aja. Kalo miskomunikasi pernah sih tapi gue lupa spesifiknya apa tapi sering aja ada aja waktu awal-awal tuh pada ngomong kan, dia
20
Lampiran 2. Hasil Wawancara Key Informan 1. Hal 113. Ibid. Hal 114. 22 Ibid. Hal 114. 21
75
nyampeinnya apa gue nangkepnya apa. Pokonya ada lah waktu awal-awal banyak yang beda aja.”23 Tami mengaku bahwa ia sering dilanda rindu orang tua dan kampung halaman, namun bukan diakibatkan oleh hal-hal yang dibenci atau dirasa tidak cocok di perantauan. Tetapi ketika melihat teman-temannya pulang ke rumah masing-masing saat akhir pekan, hal ini yang biasanya membuat Tami ingin pulang. Tami merasa bahwa orang-orang di perantauan sangat ramah kepadanya dan tidak membeda-bedakan walaupun ia seorang pendatang, bahkan tak jarang Tami sering diajak untuk menginap di rumah temannya. Hal ini kemungkinan besar juga disebabkan karena Tami tergolong wanita yang berjiwa petualang tinggi sehingga ia terlihat lebih santai dalam menghadapi hal-hal yang baru dan berbeda sekalipun, sehingga lebih mudah beradaptasi. “Alesan pengen pulangnya sih itu, nggak pernah dari lingkungan sih. Kalau dari lingkungan sih malah welcome gitu, wih pendatang nih, ramah-ramah. Terus kalau misalnya weekend, anak-anak kan pada balik tuh yang Tangerang Jakarta, terus yang orang-orang Serangnya tuh kayak yaudah sini ke rumah gue, udah nginep di gue aja. Mau ke mana hayu gue temenin. Kalau misalnya gue mau balik ke Medan bukan karena alesan-alesan yang gue nggak betah di Serang karena lingkungannya, cuma kangen aja.24” Sedangkan Risda sebagai key informan 2 mempunyai berbagai macam kekecewaan selama tinggal di Serang yaitu karena kampusnya jauh lebih kecil dari yang ia harapkan bahkan dari kampus sebelumnya di Medan. Selain itu ketika Risda pertama kali datang pada tahun 2011, lingkungan di
23 24
Ibid. Hal 114. Ibid. Hal 114.
76
sekitar kampus pun dianggapnya masih terlihat sepi. Selain itu Risda juga mengeluhkan tentang makanan
yang
menurutnya terlalu banyak
mengandung MSG dan sempat membuat fisiknya lemah dan sakit dikarenakan tubuhnya masih merasa kaget dan belum terbiasa dengan makanan tersebut. Terbiasa tinggal di kampung halaman yang dekat dengan area pegunungan juga membuat Risda merasa tidak nyaman tinggal di Serang dikarenakan kondisi air yang keruh yang membuat kulitnya menjadi lebih gelap. Banyaknya hal-hal yang dikeluhkan Risda kemungkinan besar karena ia belum pernah hidup mandiri sehingga lebih selektif dengan halhal baru. “Ternyata pas nyampe di sini yaah ternyata kampusnya kecil banget kan, lebih kecil dari kampus yang sebelumnya. Terus waktu jalan juga kan sama mama yah ke sininya terus mama ngomong “lah kok kampusnya begini jalanannya sawah-sawah gitu, ini kampusnya di kampung?”. Biasanya namanya kampus pasti kan di kota kan di kota-kota besar. Pas baru-baru masuk yah rada sedikit kecewa sih sebenernya, kecewa lah.Yah makanan juga pertama-pertama di sini sempet sakit, sakit perut gitu kan. Penyesuaian makanan pertama kali tuh mungkin karena beda kali yah. Di Medan makananya pedes pedes sih tapi nggak tau deh mungkin di sini kebanyakan mecinmecin gitu kali yah. Kalau di sana kayaknya nggak terlalu gitu, terus yah sempet sakit perut gitu tuh yang apa sih, BAB darah yang gitugitu karena pertama kali penyesuaian diri kali sama makanan di sini cuma yah ke sini-sini udah lama tinggal di sini yah udah terbiasa sih. Terus airnya juga yang bikin kurang nyaman itu air. Keruh gitu kali yah, kalau di sana kan airnya bersih karena dari pegunungan itu kan jadi karena perumahannya deket sama pegunungan airnya bersih-bersih. Kulitpun semakin menghitam jadinya di sini.”25 Selain itu, Risda juga tidak terlalu menyukai kehidupan sosial di kampus yang menurutnya terlalu membeda-bedakan dan membuat kelompok-
25
Lampiran 3. Hasil Wawancara Key Informan 2. Hal 118.
77
kelompok tertentu, seperti misalnya orang-orang Serang yang hanya bergaul dengan orang-orang Serang lainnya. “Paling pembeda-bedaan kelompok kali yah, misalnya kelompok yang orang sini gabungnya sama orang sini pokoknya terlalu membeda-bedakan orang itu paling.”26 Sedangkan interaksi yang dilakukan oleh Risda saat pertama kali merantau kurang lebih sama seperti Tami, karena mereka berasal dari Sumatera Utara maka mereka memiliki logat yang kental dan khas sendiri. Ketika Risda berbicara pun, mahasiswa non Sumatera menganggapnya terlalu kencang dan seperti orang yang sedang marah, padahal menurut Risda cara ia berbicara sudah sewajar mungkin. “Yah pertama-tama sih waktu pertama kali ngobrol, anak-anak kelas pada ngomong “oh suaranya kenceng banget yah kayak marah, oh orang Batak pada begitu yah”. Padahal itu ngomong biasa cuma nanya “eh namamu siapa?”, mungkin kedengerannya kayak “EH NAMAMU SIAPA?” gitu. Jadi ngerasanya mereka kan “oh ini orang marah-marah sambil ngomong” kayak gitu.”27 Risda juga sering melakukan miskomunikasi tanpa disadari saat berinteraksi dengan mahasiswa lain, misalnya saja tercetus bahasa-bahasa dari daerah asalnya seperti “mentel” yang orang Serang lebih mengenalnya dengan arti “centil”. “Ada sih beberapa kalimat gitu yang kadang keluar gitu merekanya kurang ngerti gitu bahasa-bahasa biasalah bahasa-bahasa di rumah. Merekanya suka “itu apa yah?”, jadi suka cari arti yang mereka ngerti, misalnya kayak “mentel” gitu. Itu kan mentel (centil) mereka nggak tau tuh yah.”28
26
Ibid. Hal 119. Ibid. Hal 119. 28 Ibid. Hal 119-120. 27
78
Karena adanya perbedaan makna inilah yang membuat Risda sempat merasa minder. Di kelasnya ada satu orang Tangerang yang juga bersuku Batak, namun menurut Risda hal itu tetap saja berbeda dengan dirinya karena ia sama sekali belum pernah tinggal di luar Sumatera sehingga gaya bahasa dan bicaranya masih kental dan jauh berbeda dari teman-teman kelasnya. Uniknya, seiring berjalannya waktu, teman-teman non Sumatera di kelas Risda merasa tertarik dengan cara berbicara Risda dan ingin mengetahui lebih dalam tentang budaya Batak. “Iyalah minder sedikit lah pasti di kelas apalagi di kelas cuma 2 orang tapi yang satu lagi bukan dari Sumatera Utara emang udah lahir di Tangerang kan jadi dia komunikasinya udah lancar sama anak-anaknya, kalau misalnya aku kan masih beda gitu jadi pertama-tama sempet mikir ah rada susah kali berteman, cuma ke sini-sini ternyata mereka emang tertarik gitu sama cara ngomong jadi pengen tau gitu tentang orang-orang Batak.”29 Informan ketiga yaitu Rienny menganggap Serang dan Bengkulu tidak terlalu beda, juga pada dasarnya ia lebih bersikap santai dengan keadaan di tempat perantauan namun ada beberapa hal yang berbeda, misalnya dalam hal tempat ibadah. Sebagai penganut Kristen Protestan, Rienny sangat menyayangkan tidak adanya Gereja di daerah Cilegon sehingga ia harus pergi ke Serang untuk melakukan ibadah yang dimana dibutuhkan waktu tempuh sekitar setengah jam. Selain itu, keramaian di pusat Kota seperti Mall dan pertokoan menurutnya lebih cepat tutup dibandingkan di tempat tinggalnya yaitu Bengkulu.
29
Ibid. Hal 120.
79
“Kurang lebih sih mirip yah cuma kalu misalnya dari segi kemudahan buat gereja itu susah karena Cilegon itu nggak ada gereja, nggak tau kenapa yah dari dulu sampai sekarang. Terus Cilegon itu cepet banget tutup pusat kota jam 8 jam 9 udah tutup jadi kayak terlalu apa gitu. Kalau di Bengkulu mah yah jam 10 masih rame kayak mall dan pertokoan di kota masih rame tapi di sini udah tutup jam 9, cepet banget.”30 Rienny juga sering dilanda rindu dan ingin pulang ke Bengkulu dikarenakan ia tidak memiliki sanak saudara di Cilegon. Ketika musim liburan tiba dan teman-temannya pulang ke rumah masing-masing, Rienny merasa sangat kesepian terlebih dia tidak pernah merayakan Natal di kampung halaman selama 4 tahun terakhir ini. “Bukan nggak cocok sih sebenernya paling yah karena nggak ada siapa-siapanya aja yang paling bikin nggak betah pengen pulang. Yah setiap temen-temen kalau pulang yah pengen pulang, terus kalau kayak sekarang lagi Natal. Nggak pernah Natal di rumah jadinya hampir 4 tahun terakhir.”31 Ketika ditanya apa hal yang tidak disukai tentang Cilegon, Rienny menjawab dengan sigap yaitu cuaca Cilegon yang jauh lebih panas dan berdebu, selain itu orang-orang Cilegon yang menurutnya bersikap lebih individual, tidak peduli dengan orang lain sehingga tidak saling respect dan kurang taat aturan. Hal ini yang membuat Rienny merasa lebih nyaman tinggal di Bengkulu. “Cilegon panas, banyak debu. Mungkin karena saya besar di Bengkulu jadi enakan di Bengkulu dari pada di sini. Kalau di Jawa itu menurut saya orangnya lebih individual jadi beda, individualnya susah diceritain pokoknya tipikal lo lo gue gue jadi acuh aja sama orang lain, mau orang lainnya gimana juga. Saling respectnya juga
30 31
Lampiran 4. Hasil Wawancara Key Informan 3. Hal 124. Ibid. Hal 125.
80
kurang. Kalau di Sumatera nggak se-individual itu dan orang sini juga kurang taat aturan.”32 Lain halnya dengan Tami dan Risda, dalam berinteraksi selama di perantauan, key informan 3 yaitu Rienny tidak terlalu butuh usaha yang keras untuk menyesuaikan diri karena pada dasarnya di Bengkulu tidak menggunakan logat yang kental maupun khas seperti di Sumatera Utara. Selain itu Rienny hanya membiasakan diri menggunakan kata ganti “guelo” karena “saya-kamu” dianggap terlalu formal oleh teman-temannya. “Biasa aja sih cuma mungkin pembiasaan yang mulai pakai cara ngomong yang gue lo-gue lo. Awalnya sih nggak pakai gue lo kan, saya kamu-saya kamu tapi karena emang menurut mereka saya kamu itu terlalu formal jadi diubah ke lo gue, tapi biasanya sih yah apa adanya aja.”33 Ketika ditanya apakah Rienny memiliki kesulitan dalam berinteraksi dengan mahasiswa lain, ia tidak merasa ada kesulitan karena mayoritas teman satu angkatannya di Teknik Industri juga berasal dari luar daerah Serang dan Cilegon, walaupun hanya dari Tangerang, Bekasi dan sekitarnya tapi karena sama-sama pendatang itulah yang membuat mereka menjadi berbaur. “Nggak sih kalau interaksi karena mayoritas angkatan kita banyak yang dari luar walaupun bukan luar Sumatera yah kayak Bekasi, Tangerang jadi kalau misalkan emang beda yah di situ dibaurin soalnya orang Cilegon Serang itu paling cuma 10 orang di angkatan kita, jadi sama-sama pendatang yah sama-sama berbaur aja.”34 Rienny juga sempat mengalami miskomunikasi saat berinteraksi dengan teman-temannya, misalnya saja ada beberapa kata yang sehari-hari
32
Ibid. Hal 125. Ibid. Hal 125-126. 34 Ibid. Hal 126. 33
81
yang biasa diucap oleh Rienny sebelumnya, tapi ternyata jika di Cilegon kata-kata itu dianggap terlalu formal dan jarang sekali diucapkan, contohnya seperti “pena” dan “pipet” yang terkesan terlalu baku di kalangan teman-temannya, sehingga ia menyesuaikan dengan menggantinya menjadi “pulpen” dan “sedotan”. “Ada sih, misalnya waktu saya ngomong pena, mereka ngomongnya pulpen. Mereka jadi suka bilangin pena terlalu formal, kenapa nggak pulpen. Terus sedotan, saya bilangnya pipet karena di Bengkulu ngomongnya pipet. Itu sih paling ada beberapa kata doang.”35 Selebihnya dia berinteraksi dengan apa adanya saja. Mahasiswa non Sumatera tidak pernah bersikap rasis kepada Rienny, namun sempat merasa kaget dan heran karena Rienny berasal dari Bengkulu yang dianggap terlalu jauh dari Cilegon. “Paling mereka kayak “dih jauh amat dari Bengkulu ke sini, ngapain lo?” gitu-gitu. Paling itu doang sih, kalau rasis-rasisan sih nggak, biasa aja.”36 Hal itu juga sempat membuat Rienny merasa minder karena kebanyakan teman-temannya berasal dari Provinsi Banten tapi seiring berjalannya waktu semua menjadi terbiasa. “Minder iya waktu awal karena mereka semua yah ibaratnya dari Jawa, saya dari luar tapi ya udah ke sini-sini biasa aja”37
35
Ibid. Hal 126. Ibid. Hal 126. 37 Ibid. Hal 126. 36
82
Sedangkan Aslam sebagai key informan 4 yang sebelumnya pernah hidup mandiri dengan tinggal kost-kost-an saat SMA, membuat dirinya tidak terlalu kaget untuk hidup sendiri. Dalam hal cuaca, Aslam mengamini pendapat Rienny yang mengatakan bahwa cuaca di Cilegon jauh lebih panas, bahkan rumah Aslam yang dekat dengan pantai pun tidak sepanas itu. “Cuaca, di sini lebih panas. Di sana itu deket pantai, rumah saya kan deket pantai tapi nggak panas. Hal yang nggak cocok sih alhamdulillah nggak ada karena saya dari SMA udah nge-kost.”38 Aslam juga menjelaskan ada hal yang tidak disukai dengan kehidupan sosial di kampusnya, ia mengatakan bahwa orang-orang di Cilegon terkesan kurang sopan, individual dan tidak ramah. Nada berbicaranya pun menurut Aslam terlalu tinggi dan kasar. Berbeda dengan orang Lampung yang walaupun memiliki watak keras tetapi masih terkesan sopan bahkan dengan orang yang tidak dikenal sekalipun. Menurut Aslam, hal ini mungkin disebabkan karena di Lampung ia lebih banyak mengenal orang-orang sehingga adanya kebersamaan daripada di Cilegon. “Tapi di kampus sih ada. Kayak kalau orang Lampung tuh walaupun keras tapi masih sopan gitu maksudnya nggak kenal pun masih sopan, tapi kalau di sini tuh kalau nggak kenal yah bodo amat gitu kayak sedikit nggak sopan menurut saya. Kurang ramah lah, agak sedikit keras. Nadanya juga kalau ngomong terlalu tinggi, nada kasar gitu. Mungkin juga karena di Lampung banyak kenal yah jadi kebersamaannya ada. Kalau di Cilegon engga begitu.39
38 39
Lampiran 5. Hasil Wawancara Key Informan 4. Hal 129. Ibid. Hal 130.
83
Sama halnya dengan key informan lain, Aslam selama di perantauan juga mendapatkan pemahaman-pemahaman baru ketika berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera. Walaupun Lampung tidak terlalu jauh dari Cilegon tetapi ada beberapa hal yang berbeda terutama bahasa. Aslam sering mempunyai kesalahpahaman dengan temannya dikarenakan perbedaan makna tersebut. “Kadang-kadang temen saya nggak tau bercanda atau apa, kadangkadang dia nanya, apa yang dia tanya sama yang saya jawab itu nggak sama karena beda nangkepnya. Bahasanya juga ada beberapa yang beda.”40 Sikap mahasiswa non Sumatera terhadap Aslam bermacam-macam, ada yang senang karena ketika mengenal Aslam berarti ia memiliki teman dari daerah yang jauh yaitu Lampung sehingga suatu hari bisa berkunjung. Selain itu ada juga yang menganggap Aslam aneh karena adanya perbedaan budaya di antara mereka. “Pertama seneng sih, ada yang seneng karena dia punya temen jauh di Lampung kan jadi dia bisa main ke Lampung terus ada yang bilang juga sedikit aneh freak gitu kan karena kita kan beda budaya yah.”41 Hal itu membuat Aslam merasa minder, apalagi Aslam berasal dari perdesaan dimana banyak hal-hal yang sebelumnya tidak ada di sana tetapi ada di Cilegon, terlebih lagi melihat banyak temannya yang berasal dari kota-kota yang lebih maju seperti Jakarta dan Tangerang, oleh karena itu pada awalnya Aslam takut untuk pergi ke tempat-tempat yang baru,
40 41
Ibid. Hal 130. Ibid. Hal 130.
84
contohnya saja ke tempat makan siap saji yang belum ada di kampung halamannya karena ia tidak tau tata cara pembayarannya. Sedangkan Ferdi yang tergolong cukup banyak merasa kecewa ketika merantau karena banyaknya perbedaan yang terjadi. Ferdi merasa jika pola pikir orang-orang Jawa lebih individualis dan jiwa sosialisnya kurang atau lebih mempedulikan kepentingan masing-masing. Menurut Ferdi, kalau di Pekanbaru, jika ada orang yang jatuh maka orang di sekitarnya akan peka dan membantu. “Kayaknya pola pikir orang-orang Jawa ini beda-beda deh. Kayak misalnya udah berpikir individualis, jiwa sosialisnya kurang terus masih berpikir sendiri kayak gitu. Kalau di sana kan lo ngeliat orang yang jatuh aja kayaknya peka banget teru bantuin. Itu sih bedanya.”42 Selain itu bahasa yang berbeda juga menjadi kendala bagi Ferdi, dialek daerah asal yang sudah melekat di dirinya mau tak mau harus dihilangkan dan mengikuti dialek dan bahasa di perantauan yang mayoritas menggunakan bahasa Sunda dan Jawa Serang (Jaseng). Makanan juga salah satu yang menjadi masalah bagi Ferdi karena menurutnya makanan yang ada di Serang teras hambar di lidahnya tidak seperti di daerah asalnya yang kaya akan bumbu, contohnya saja ia pernah mencicipi sayur asam yang menurutnya memiliki rasa yang terlalu hambar dan tidak cocok di lidah karena Ferdi terbiasa dengan makanan di Sumatera yang didominasi oleh makanan pedas, hal ini membuat Ferdi harus menambahkan sambal dan garam di makanannya.
42
Lampiran 6. Hasil Wawancara Key Informan 5. Hal 134.
85
“Iya bahasa juga beda banget. Di sini nih susah ngertinya juga, pada mayoritas bahasa Sunda sama Jaseng gitu kan, jadi sedikit banyaknya jadi belajar. Terus makanan juga wah beda banget, kalau di sini kayak apa sih sayur asem yah namanya itu hambar banget rasanya, nggak cocok di lidah. Jadi kalau di Sumatera tuh kan dominan makanannya pedes jadi ngerasa kalau makan di sini hambar, harus pake sambel banyak, pake asin banyak. Hambar aja. Mau makan kayak gimana juga tetep nggak puas.”43 Ketika berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera, Ferdi mengaku kesulitan karena ia sama sekali tidak mengerti bahasa Sunda ataupun Jaseng (Jawa-Serang) sehingga ketika teman-temannya sedang kumpul dan mengobrol, Ferdi sendiri yang tidak mengerti dan terkadang merasa diabaikan. “Agak susah sih karena mereka kan kayak ada pengkotakan gitu. Misalnya kalau lagi kumpul, mereka tuh kadang pakai bahasa mereka masing-masing terus yang kayak gue nggak ngerti sendiri terus mereka yang ngerti sendiri, ngerasa kayak dicuekin.”44 Selain itu, menurut Ferdi tanggapan orang-orang Jawa yang ia temui dan berinteraksi dengannya selalu bisa menebak terlebih dahulu jika Ferdi bukan orang Jawa karena logat dan cara berbicaranya yang berbeda. Namun sejauh ini Ferdi merasa semua tanggapan dari mahasiswa non Sumatera lebih banyak positif, walaupun ada hal seperti intonasi Ferdi saat berbicara masih dianggap seperti orang yang sedang marah-marah. “Misalnya nih kayak pertama kali gue sampe di Jawa terus ketemu sama orang-orang Jawa yang pribumi, terus ketika gue ngomong tuh kayak “lo bukan orang Jawa yah?”. Jadi udah nebak kalau logat gue beda, cara ngomong gue beda, mereka ngeresponnya gue tuh orang yang beda. Tapi yah kebanyakan sih respon mereka sama gue itu positif. Nggak terlalu negatif. Paling mereka berpikirnya gue 43 44
Ibid. Hal 134-135. Ibid. Hal 136.
86
kan orang Sumatera yah, ngomongnya terlalu keras kayak gitu yang mereka ngeresponnya cuma gitu doang sih yang negatifnya. Padahal emang nadanya kayak gitu, tapi bukan marah.”45 Untungnya Ferdi bukan termasuk orang yang tidak mudah minder. Saat Ferdi merasa berbeda sendiri dari teman-temannya, ia tetap merasa percaya diri dan mau belajar tentang lingkungan barunya. Walaupun pada awalnya Ferdi mengatakan bahwa ia lebih dulu bergaul dengan mahasiswa Sumatera yang ia kenal dari seniornya, tapi setelah itu ia menyesuaikan diri untuk bergaul dengan mahasiswa lainnya, terlebih tidak adanya mahasiswa yang berasal dari Pekanbaru. “Iya gue lebih menyesuain aja sih. Nggak ngerasa minder, tetep percaya diri aja. Kebetulan gue pertama kali datang ke sini ada senior ngenalin gue sama orang Medan juga jadi gue nyambung sama orang Medan. Setelah itu baru menyesuaikan mulai dapet temen dari Bekasi, Tangerang, Jakarta juga. Kebetulan mahasiswa dari Riau nggak ada soalnya sempet nyari-nyari juga orang-orang yang dari Pekanbaru ternyata nggak ada yang dari 2014 sampai 2015 nggak ada yang dari Riau.”46 Selama Ferdi menempuh studi di tahun ketiga, ia mengaku bahwa belum pernah sekalipun pulang ke rumahnya semenjak pertama kali merantau dikarenakan Ferdi merasakan kecewa berat terhadap situasi di perantauan yang menurutnya sangat jauh di luar ekspektasinya. Oleh karena itu Ferdi lebih memilih untuk tidak pulang ke kampung halamannya dengan alasan untuk menghindari rasa nyaman dan tidak mau kembali ke perantauan, walaupun ia tidak mengelak jika tetap merasakan rindu. “Kebetulan dari pertama kali regist ulang sampai sekarang belum pernah pulang udah hampir 3 tahun. Sebenernya disuruh pulang 45 46
Ibid. Hal 136. Ibid. Hal 136-137.
87
tapi nggak mau pulang. Soalnya pas semester 1 pas libur itu disuruh pulang kan tapi bilang ke orang tua kalo misalnya pulang nggak balik ke sini lagi soalnya udah tau kayak gini kampusnya. Jadi males pulang takut betah di sana lagi kan, takut pengen pindah kuliah. Jadi tiap semester bakal ditanya mulu dan jawabannya pasti kayak gitu mulu. Kangen mah pasti kangen tapi pengen sampai selesai aja, kalau bisa sampai sukses dulu baru balik.”47 Dari hasil pembahasan di atas, kelima key informan mengakui jika terdapat perbedaan-perbedaan antara kota perantauan dan daerah asal seperti bahasa, budaya, cuaca, makanan dan kehidupan sosial yang sempat membuat mereka kecewa. Namun reaksi kelima key informan berbedaberbeda dalam mengahadapinya. Tami yang mengeluhkan sulitnya berinteraksi dengan perbedaan bahasa maupun dialek, namun tetap mau bergaul dengan mahasiswa non Sumatera, bahkan ia menganggap bahwa orang Serang di sekitarnya sangat ramah. Hal ini mungkin disebabkan karena sikap Tami yang lebih open minded atau terbuka pikirannya terhadap perbedaan dan memiliki jiwa berpetualang sehingga hidup mandiri bukan menjadi masalah baginya. Hal tersebut berbeda dengan keempat key informan lainnya yang menganggap bahwa mahasiswa non Sumatera dan orang-orang di sekitar terkesan individual, mengkotak-kotakan pergaulan, berwatak keras, tidak sopan dan sebagainya. Selain itu, dalam hal makanan, Tami, Risda dan Ferdi sempat memiliki kendala dalam menyesuaikannya. Makanan di perantauan dianggap lebih berminyak, mengandung banyak MSG dan hambar. Risda sempat merasakan sakit karena tidak terbiasa dengan makanan tersebut,
47
Ibid. Hal 135.
88
sedangkan Ferdi yang sampai saat ini masih harus menambahkan sambal dan garam pada makanannya dikarenakan memiliki rasa yang terlalu hambar. Sedangkan Risda, Rienny dan Aslam sempat mengeluhkan keadaan cuaca di Serang dan Cilegon yang lebih panas dan berdebu sehingga membuat kulit menjadi lebih gelap. Hal ini termasuk ke dalam fase kekecewaan yang dimana masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa, ketidakpuasan dan segala sesuatunya mengerikan. Individu menjadi bingung dan tercengang dengan sekitarnya dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap bermusuhan, mudah marah, tidak sabar dan bahkan menjadi tidak kompeten. Ini adalah periode krisis dalam gegar budaya. Perbedaan-perbedaan yang terjadi membuat kelima key informan melakukan interkasi dan penyesuaian terhadap lingkungan barunya. Key informan 1 yaitu Tami sudah mulai terbiasa dengan segala situasi dan kondisi di Serang, terutama dalam hal komunikasi. Ketika pertama datang, logat daerah asalnya masih kental namun setelah 4 tahun berlalu, Tami sudah bisa berkomunikasi tanpa logat tersebut. Penulis pun melihat dengan jelas hal tersebut. Tami termasuk orang yang pintar menyesuaikan diri, dia menyesuaikan cara berkomunikasinya mengikuti daerah tersebut, ketika ia pulang ke Medan pun ia akan kembali berlogat Medan. “Lama-lama makin terbiasa udah ga terlalu, makannya gue logatnya juga udah ilang kan. Yah kayak gitu, kalau gue di sini gue nyesuain pake bahasa di sini kalau gue di medan gue balik lagi pake logat gue di Medan.”48 48
Lampiran 2. Hasil Wawancara Key Informan 1. Hal 115.
89
Tami tak mengelakan jika ia pernah mempunyai masalah dengan orang lain saat merantau, namun hal ini dapat diatasinya dengan lebih bersikap dewasa, tanpa harus membuat terlarut dalam masalah ataupun menjadikannya lebih rumit dan besar. “Yaudah paling biarin aja toh kita udah sama-sama dewasa ini, let it flow lah.”49 Sedangkan, ketika penulis melakukan wawancara dengan key informan 2 yaitu Risda, terkadang masih dapat terdengar logat khas Batak yang tercetus, namun selebihnya dia sudah dapat menyesuaikan diri dengan segala hal yang sebelumnya menjadi masalah untuk dirinya. Terutama ketika makanan sempat menjadi kendala bagi Risda namun sekarang ia sudah dapat menyesuaikan diri dengan makanan di Serang. “Iya dulu kan sempet BAB darah yang gitu-gitu karena pertama kali penyesuaian diri kali sama makanan di sini. Cuma yah ke sini-sini udah lama tinggal di sini yah udah terbiasa sih.”50 Selain itu dalam hal berbicara pun Risda sudah bisa menurunkan intonasinya sehingga menjadi lebih lembut dan tidak dianggap seperti orang yang sedang marah lagi oleh teman-temannya, walaupun hal itu cukup sulit karena memang bawaan dari daerah asalnya. “Agak susah sih kadang ngomong harus gimana yah emang kayak gini bawaannya gitu kan, cuma yah sekarang-sekarang udah belajar udah bisa lebih lembut lah ngomong.”51 Untuk kehidupan sosial di sekitar yang sebelumnya tidak disukai oleh Risda karena terbilang lebih membeda-bedakan dan berkelompok pun
49
Ibid. Hal 113. Lampiran 3. Hasil Wawancara Key Informan 2. Hal 117. 51 Ibid. Hal 119. 50
90
sudah tidak mau diambil pusing olehnya, namun Risda tetap berteman baik dengan mereka walaupun diakui tidak begitu dekat. “Yah dibodoamatin aja sih, cuma nggak ikut-ikut kelompokkelompoknya mereka tapi tetap berteman sama mereka mah berteman cuma nggak mau ikut geng-gengan kayak gitu.”52 Sama dengan Tami dan Risda, key informan 3 yaitu Rienny juga sudah bisa membiasakan dirinya dengan situasi dan kondisi di lingkungan sekitar. Sikap orang-orang di sekitarnya yang dianggap Rienny tidak terlalu ramah itu tidak dijadikan masalah lagi, karena dirinya juga tidak dapat bertindak apa-apa dan hal tersebut di luar jangkauannya. “Ditahan-tahan aja karena nggak bisa diapa-apain karena orang lain itu di luar jangkuan kita, nggak bisa kita ubah kayak apapun. Yah mereka kayak gitu ya udah.”53 Selain itu, key informan 4 yaitu Aslam juga sependapat dengan Rienny ketika harus menghadapi kehidupan sosial yang tidak mereka suka, ia lebih memilih untuk sabar dan tidak terlalu mempermasalahkan, namun Aslam juga tetap mencari teman yang memiliki satu pemikiran dengannya sehingga mengurangi perdebatan atau selisih paham. “Untuk mengatasi yang kayak gitu biasanya pertama nyari temen yang sepemikiran sama saya, kedua paling kalau ngeliat orang yang kayak gitu yah nyabarin diri aja sih.”54 Sama halnya dengan key informan lain, ketika menghadapi hal-hal yang tidak disukai selama di perantauan. Key informan 5 yaitu Ferdi memilih untuk tetap menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitarnya dan
52
Ibid. Hal 119. Lampiran 4. Hasil Wawancara Key Informan 3. Hal 125. 54 Lampiran 5. Hasil Wawancara Key Informan 4. Hal 130. 53
91
berusaha untuk tidak memikirkan orang yang menurutnya tidak pernah juga memikirkannya. Sehingga yang pada awalnya Ferdi lebih bersikap sosialis, terkadang ia juga harus bersikap individualis mengikuti pemikiran orangorang di sekitarnya. “Nyesuain sih. Gue kadang mikirnya ngapain lo mikirin orang yang nggak mikirin lo. Gue udah mulai berpikiran menyesuaikan diri kayak gitu. Ketika gue datang dari orang yang sosialis, gue bakal berpikiran kayak lo jangan terlalu sosialis Fer lo harus ngikutin permainan orang juga.”55 Dari pembahasan di atas, kelima key informan mendapatkan makna atau pengertian yang baru saat berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera karena mahasiswa asal Sumatera tidak bisa menggunakan bahasa daerahnya, maka mereka harus menyesuaikan diri dengan bahasa di perantauan. Reaksi mahasiswa Sumatera saat melakukan interaksi pertama kali dengan mahasiswa non Sumatera berbeda-beda. Tami, Risda, Rienny dan Aslam sempat merasa minder. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal seperti bahasa, logat, gaya bicara dan latar belakang kebudayaan yang berbeda. Sedangkan Ferdi yang walaupun memiliki perbedaan dalam bahasa, logat, gaya bicara, dan latar belakang kebudayaan yang berbeda, namun ia tetap percaya diri ketika berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera. Interaksi antara mahasiswa Sumatera dan non Sumatera dapat dikategorikan sebagai komunikasi antarbudaya. Menurut informan pendukung, jika merujuk pada beberapa pendapat ahli, komunikasi
55
Lampiran 6. Hasil Wawancara Key Informan 5. Hal 135.
92
antarbudaya terjadi ketika orang berberbeda budaya berkomunikasi, namun dilihat dari entitasnya terlebih dahulu. Seperti mahasiswa berkomunikasi dengan Dosen, maka mahasiswa tidak bisa berbicara selayaknya dengan mahasiswa lainnya. Sederhananya, komunikasi antarbudaya dapat terjadi kapanpun dan dimanapun, bahkan antara anak dan orang tua sekalipun. Kalau merujuk pada beberapa pendapat ahli, komunikasi antarbudaya sebetulnya ketika orang berbeda budaya dalam pengertian apa dulu, entitasnya apa. Ketika entitasnya antara anda dengan saya, saya dosen anda kan mahasiswa. Itu entitasnya kan posisi yah, pekerjaan atau status. Itu juga bisa dikatakan komunikasi antarbudaya karena anda kan lain cara nanyanya, nggak bisa anda lo-gue ke saya, mungkin ke teman anda yang entitasnya sama, bisa. Sederhananya gitu, jadi komunikasi antarbudaya bisa terjadi kapanpun dan dimanapun, anda dengan orang tua anda juga bisa dari sudut pandang itu dikatakan sebagai komunikasi antarbudaya. Anda bisa praktikan bagaimana anda berkomunikasi dengan teman anda dan bagaimana anda berkomunikasi dengan orang tua anda.56 Hal ini juga dipertegas oleh Liliweri (2011:26) yang dimana komunikasi antarpribadi yang terjadi di antara dua orang yang berbeda jenis kelamin (gender), berbeda status dan kelas sosial, misalnya antara atasan dengan bawahan, antara dosen dengan mahasiswa, antara dokter dengan pasien, antara pedagang dengan pembeli, antara orang Timor dengan Flores, antara orang Banyuwangi dengan Solo, antara orang Makassar dengan Bugis, antara orang Indonesia dengan orang Australia dapat digolongkan sebagai komunikasi antarbudaya.57
56
Lampiran 7. Hasil Wawancara Informan Pendukung. Hal 139. Alo Liliweri. 2011. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 26 57
93
Selain itu dari hasil pembahasan di atas, Risda, Rienny, Aslam dan Ferdi menganggap mahasiswa non Sumatera dirasa lebih bersikap individual, kurang sopan, membeda-bedakan orang lain dan sebagainya, sedangkan mahasiswa non Sumatera juga menganggap kelima key informan ketika berbicara seperti orang yang sedang marah sehingga dianggap berwatak keras. Namun menurut informan pendukung, tidak ada ukurannya jika orang Jawa lebih individual atau orang Sumatera mempunyai watak keras. Hal ini tergantung dari diri individu masing-masing dan bisa juga dipengaruhi oleh keluarga, lingkungan pekerjaan dan sebagainya. Itulah uniknya budaya, kita tidak bisa mengatakan suatu budaya lebih sopan atau tidak sopan karena hal itu tergantung dari nilai budaya tersebut. Misalnya saja cara makan orang Sumatera dan Sunda, cara berpakain orang pedalaman Papua, kita tidak bisa mengatakan hal itu sopan atau tidak sopan karena memang budaya mereka yang mengajarkan seperti itu. Kata siapa orang Jawa lebih individual atau orang Sumatera lebih keras. Saya punya kawan orang Sumatera baik-baik, lembut-lembut bahkan lebih dari orang Jawa. Tergantung marganya juga dengan lingkungan pekerjaan juga menentukan. Mungkin secara fisik, kasat mata dari bahasanya, logatnya kan tinggi padahal itu nada mereka seperti itu bukan berarti itu tidak sopan juga. Itulah uniknya budaya, kita tidak bisa mengatakan budaya ini lebih sopan, budaya B kurang sopan karena ukurannya lain tergantung nilai budaya tersebut. Apakah makan pakai tangan mengepal buat orang Sumatera itu sopan atau tidak sopan, menurut mereka memang budaya mereka mengajarkan seperti itu, cara makan pakai tangan itu kadang seperti diremas nasi dimasukan ke mulut kan orang Sunda lain lagi, nyocolnya kan sedikit-sedikit. Seperti dalam berpakaian orang Papua pakaiannya memang begitu masa bisa dikatakan tidak sopan, orang dia emang pakaiannya pakai koteka.58
58
Lampiran 7. Hasil Wawancara Informan Pendukung. Hal 142.
94
Sihabudin (2011:9) juga menjelaskan bahwa budaya secara pasti mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati dan bahkan setelah mati. Kita dikuburkan dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya kita. Budaya dipelajari tidak diwariskan secara genetis, budaya juga berubah ketika orang-orang berhubungan antara yang satu dengan lainnya.59 Dari hasil pembahasan di atas, kelima key informan yang tadinya memiliki permasalahan dan kekecewaan tertentu saat merantau, seiring berjalannya waktu mereka turut menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar karena hanya cara itulah yang membuat mereka bertahan untuk tetap melanjutkan
studinya
agar
tujuan
melakukan
perantauan
dapat
terealisasikan. Hal di atas juga dipertegas oleh informan pendukung yang menyatakan bahwa ketika ada hal baru dimanapun itu pasti akan ada kekagetan baik di pihak pendatang maupun orang yang didatangi. Hal ini merupakan bagian dari dinamika akulturasi yang dimana merupakan suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu pula yang lambat laun akan diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.
59
Ahmad Sihabudin. Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif Multidimensi. Jakarta: PT Bumi Aksara. Hal 19-20.
95
Pada akhirnya, perbedaan budaya tersebut akan berasimilasi atau menyatu dengan proses penyesuaian diri atau adaptasi. Pendatang memang sudah sewajarnya harus banyak mengalah, dalam pengertian mereka harus banyak beradaptasi untuk bisa diterima di lingkungan barunya. Hal tersebut juga wajar terjadi di setiap kelompok dan lapisan masyarakat manapun kecuali memang sudah berada di level yang sama dan tidak ada yang harus dipersoalkan. “Di tempat manapun ketika ada hal baru yang mereka jumpai pasti ada kekagetan baik di pihak pendatang dan orang yang didatangi. Itu bagian dari dinamika akulturasi atau toh akhirnya lama-lama mereka akan berasimilasi yah menyatu juga, ada proses penyesuaian, adaptasi. Tentunya yang harus banyak mengalah memang dari yang datang, harus banyak beradaptasi karena mereka kan pendatang dalam pengertian untuk bisa diterima di lingkungan baru tentunya harus banyak penyesuaian kepada lingkungan baru yang mereka tempati. Yah sebaliknya kalau orang Serang pindah ke Medan tentunya menyesuaikan juga dengan adat di sana. Kalau menurut saya wajar terjadi di setiap kelompok masyarakat manapun dan lapisan masyarakat manapun kecuali memang sudah sama-sama selevel dalam pengertian dan tidak ada yang dipersoalkan.”60 Dari hasil pembahasan di atas, dapat dilihat jika kelima key informan sudah mulai memaklumi dan terbiasa dengan situasi dan kondisi di sekitar. Hal ini dapat digolongkan dalam fase awal resolusi pada culture shock dimana rasa kekecewaan sebelumnya perihal bahasa, kehidupan sosial, makanan, cuaca dan sebagainya sudah bukan menjadi kendala lagi, karena key informan sudah mulai mengerti mengenai budaya di tempat perantauan. Individu secara bertahap membuat beberapa penyesuaian dan modifikasi
60
Lampiran 7. Hasil Wawancara Informan Pendukung. Hal 141-142.
96
untuk menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan. 4.3.3 Upaya Mengatasi Gegar Budaya yang dilakukan Mahasiswa Asal Sumatera Ketika mengalami gegar budaya, perantau tentu saja tidak ingin berlarut-larut dalam kekecewaan karena hal tersebut dapat menghambat keberlangsungan hidupnya selama di perantauan. Oleh karena itu, perantau melakukan proses interaksi untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru. Dalam mengatasi gegar budaya, kelima key informan memiliki caranya masing-masing. Setelah melakukan penyesuaian, biasanya perantau menjadi maklum dan terbiasa. Selama di perantauan, Tami mempunyai kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi rasa rindu kepada kampung halamannya dan juga dapat menambah teman serta pengalaman bagi dirinya. Tami aktif dalam berbagai organisasi internal maupun eksternal seperti DPM FISIP, UNTIRTA TV, UKM Jurnalistik, BEM FISIP dan Kemangteer. “Pertama gue ikut DPM FISIP fraksi ikom 2011, terus ikut untirta tv, baru ikut ukm jurnalistik, abis itu gue ikut bem fisip abis itu gue ikut kemangteer. Jadi karena emang gue pendatang kan terus emang nggak ada rumah buat pulang, yah mau nggak mau banyakbanyakin organisasi biar banyak-banyak kegiatan dan banyakbanyakin teman juga. Biar nggak sepi aja di sininya, jadi ada aja kegiatan.”61
61
Lampiran 2. Hasil Wawancara Key Informan 1. Hal 116.
97
Tami juga mengaku sudah merasa nyaman tinggal di Serang dikarenakan sudah tinggal selama 4 tahun dan menurutnya ia sudah melakukan penyesuaian dengan baik terutama dalam hal berkomunikasi. “Iya udah nyaman sih udah 4 tahun lebih juga kan udah penyesuaian”62 Tami membutuhkan waktu sekitar sebulan sampai dua bulan dari masa Ospek untuk menyesuaikan diri dan leluasa berbicara ke teman-teman yang lain karena ketika teman-temannya pada awal semester sedang bersemangat untuk bertanya segala macam hal kepada Dosen, Tami memilih diam karena merasa takut jika ia berbicara dengan logat khasnya itu maka ia akan di-bully . “Sekitar sebulan dua bulan lah mulai dari ospek baru gue bisa leluasa ngobrol. Gue juga dulu awal-awalnya kayak di kelas gitu kan waktu maba kita masih pada semangat-semangatnya kan nanya segala macem, gue mah udah diem aja, gue takut di-bully gue takut beda aja kan. kalo gue sih ngerasanya gue beda sendiri itu gue ga berani, gue malu aja yaudah gue menyesuaikan.”63 Informan 2 yaitu Risda juga mengisi hari-harinya dengan mengikuti berbagai macam kegiatan di Kampus seperti organisasi DPM FISIP, BEM FISIP dan GMKI. Diakui Risda jika kegiatan ini dilakukan untuk mengisi waktu luang agar tidak bosan jika hanya kuliah dan langsung pulang ke kost saja, juga menambah teman dan pengetahuan. “Iya ikut organisasi pernah ikut jurnal, DPM FISIP, BEM FISIP sama GMKI. Ngisi waktu luang lah biar nggak bosan di kostan kalau cuma pulang kostan pulang kostan kayaknya nggak hidup banget. Ikut organisasi kan lebih banyak teman juga banyak pengetahuan lah.”64 62
Ibid. Hal 115. Ibid. Hal 116. 64 Lampiran 3. Hasil Wawancara Key Informan 2. Hal 121. 63
98
Risda juga sudah merasa nyaman tinggal di Serang karena menurutnya memang harus seperti itu mengingat ia masih harus menempuh studinya, tapi dari keinginan sebenarnya, ia masih ingin tinggal di Medan karena menurutnya rumah sendiri akan selalu lebih nyaman, bahkan ia ingin menghabiskan masa tuanya di sana. “Nyaman-nyaman nggak nyaman lah, nyamannya karena emang harus kan tinggal di Serang nyelesaiin kuliah tapi kalau sesuai keinginan mah kalau bisa pulang lagi nanti tinggal di sana, tuanya lah balik lagi ke Medan ke rumah sendiri kayaknya lebih enak.”65 Selain itu Risda sudah bisa menyesuaikan diri dengan baik, seperti Tami yang mempunyai kendala dalam hal komunikasi sebelumnya, Risda pun mempunyai kendala yang sama. Butuh waktu sekitar sebulan sampai dua bulan untuk Risda menyesuaikan diri di lingkungan baru, menurutnya menyesuaikan diri cukup mudah dilakukan namun menyesuaikan hati yang cukup sulit untuk dilalukan. “Iya sekarang udah cukup baik lah bisa berkomunikasi dengan semuanya. Paling sebulan dua bulan kali yah nyesuain dirinya, nyesuain diri mah gampang cuma buat yang sama kayak hati itu yang susah kan berteman sesuai dengan keinginan hati.”66 Sama halnya seperti Tami dan Risda, key informan 3 yaitu Rienny juga termasuk orang yang aktif baik di lingkungan internal maupun eksternal. Rienny mengikuti oraganisasi-organisasi seperti Himpunan Mahasiswa,
perkumpulan
Mahasiswa
Kristen,
menjadi
assistant
laboratorium bahkan karena prestasinya ia menjadi penerima beasiswa dari Beswan Dajrum. 65 66
Ibid. Hal 120. Ibid. Hal 120-121.
99
“Ikut Himpunan terus ikut perkumpulan mahasiswa Kristen Serang Cilegon dari Untirta itu juga sempet. Jadi asistant lab terus paling ikut-ikut acara beswan Djarum.”67 Sama halnya seperti Risda, Rienny juga mau tak mau harus bisa senyaman mungkin di perantauan. Walaupun ada beberapa hal yang tidak terfasilitasi seperi Gereja, tetapi Rienny harus tetap membiasakan diri dengan pergi beribadah ke Serang, bukan malah membuatnya menjadi semakin malas untuk beribadah. Sehingga Rienny lebih memilih berdamai dan menerima dengan segala perbedaan yang ada di perantauan. “Sebenernya dipaksa nyaman aja, misalkan nih kalau ibadah kan mesti ke Serang jadi dibiasain aja bukan malah ah Cilegon nggak ada ini nggak usahlah. Jadi kayak yaudah dibiasain aja diterimaterima aja.”68 Rienny membutuhkan waktu 1 semester untuk dapat menyesuaikan diri di lingkungan baru, karena di semester pertama itulah Rienny menghadapi hal-hal yang baru seperti teman-teman dan metode belajar. Pada semester berikutnya ia sudah mulai disibukan dengan adanya praktikum sehingga membuatnya menjadi berbaur dengan mahasiswa lain. Selain itu proses adaptasi Rienny pun dibantu dengan adanya Industrial Friendly Camp (IFC) yang diadakan untuk saling mengenal teman-teman satu angkatan. “Paling semester 1 itu yang paling awal, soalnya kan itu masuk kuliah pertama, ketemu orang-orang baru pertama, metode belajar baru pertama, lingkungannya baru jadi paling semester awal. Semester 2 mah karena udah praktikum pasti berbaurnya lebih ke merekanya. Kita kan biasanya ada IFC gitu kan itu lebih ngenalin 67 68
Lampiran 4. Hasil Wawancara Key Informan 3. Hal 127. Ibid. Hal 126.
100
kita ke satu angkatan jadi setelah IFC itu paling udah deket, jadi satu semester awal aja.”69 Sama seperti informan lainnya, Aslam juga aktif dalam organisasi seperti Himpunan Mahasiswa, IMTI dan juga ia disibukan oleh tugasnya menjadi assistant laboratorium. “Iya organisasi ada di himpunan, ada organisasi IMTI (Ikatan Mahasiswa Teknik Industri) Zona Jakarta Raya, paling ngumpul sama angkatan sama jadi asistant lab juga.”70 Seperti key informan lainnya, Aslam juga sudah merasa nyaman tinggal di Cilegon. Kendala-kendala yang sebelumnya sudah dapat dilewati dengan melakukan penyesuaian dengan baik di lingkungan sekitarnya. “Kalau sekarang udah nyaman tinggal di sini, udah banyak temen juga kan. Saya rasa juga saya udah melakukan penyesuaian dengan baik”71 Butuh waktu yang cukup lama yaitu 2 semester untuk Aslam menyesuaikan diri. Sama halnya dengan Rienny, Aslam pun sangat terbantu dengan adanya Industrial Friendly Camp (IFC) yang merupakan kegiatan pengenalan jurusan Teknik Industri dimana kegiatan ini mendekatkan mahasiswa Teknik Industri terutama mahasiswa barunya, sehingga setelah IFC berlangsung, Aslam mempunyai lebih banyak teman. “2 semester, dibantu juga sama adanya Industrial Freindly Camp semacem ospek jurusan gitu. Jadi di sana kita sharing sama alumni, senior dan himpunan. Dikasih materi tentang TI, ada mecahin studi case gitu sama games dan lain-lain, jadi bikin makin akrab dan
69
Ibid. Hal 127. Lampiran 5. Hasil Wawancara Key Informan 4. Hal 131. 71 Ibid. Hal 131. 70
101
seangkatan saling ngelengkapin gitu. Dari situ jadi punya banyak temen”72 Seperti key informan yang lain, Ferdi juga memilih untuk memiliki aktivitas lain selain berkuliah yaitu mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa Komunikasi, bergabung dalam UKM Olahraga Untirta dan ikut bergabung dalam komunitas sepeda Fixie di Serang. “Kebetulan gue ikut HIMAKOM, UKM Olahraga sama ikut komunitas fixie gitu di luar kampus.”73 Ferdi merasa setelah melakukan perantauan, ia terkadang merasakan senang dan juga susah. Kadang ketika Ferdi masih berhubungan dengan teman semasa SMA, ada sedikit rasa penyesalan yang muncul karena ia tidak berhasil menempuh studi di kampus impiannya. Namun ketika Ferdi sudah bertemu teman-temannya di kampus dan menghabiskan waktu bersama, ia sudah bisa menikmati dan tidak memikirkan hal-hal yang membuat ia merasa menyesal. “Yah kayak gitu lah, kalau dibilang seneng mah seneng kalau dibilang susah mah susah. Kadang kepikiran juga sih kayak temen kan pada tembusnya di Undip, kadang kalau masih berhubungan sama yang di sana kayak masih ada nyesel, tapi kalau ketemu temen-temen lagi yang di Untirtanya terus nongkrong bareng seruseruan, jadi nggak kepikiran lagi.”74 Ferdi
masih
merasa
bahwa
menyesuaikan
bahasa
ketika
berkomunikasi dengan mahasiswa non Sumatera masih tergolong sulit walaupun sudah hampir 3 tahun ia tinggal di Serang, terutama dengan bahasa Sunda dan Jawa Serang (Jaseng).
72
Ibid. Hal 131. Lampiran 6. Hasil Wawancara Key Informan 5. Hal 137. 74 Ibid. Hal 137. 73
102
“Kadang-kadang masih menyesuaikan soalnya bahasa yang kayak bahasa sunda masih sedikit banget ngertinya, Jasengnya juga.”75 Diakui Ferdi, ia baru bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang sangat berbeda dari daerah asalnya ini sekitar 2 semester. “Penyesuain dirinya lama itu mah, mungkin sampe 2 semester kali yah.”76 Dalam hasil pembahasan di atas, kelima key informan pada umumnya mengikuti berbagai macam kegiatan baik di dalam maupun luar kampus, namun tetap sesuai dengan hobi maupun passion masing-masing. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir gegar budaya yang terjadi sehingga mahasiswa Sumatera menjadi lupa dengan kekecewaan mereka tentang hal-hal yang sebelumnya sempat menjadi sebuah kendala. Kegiatan-kegiatan tersebut juga membuat mahasiswa Sumatera lebih banyak berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera sehingga mempunyai kenalan dan bisa menjalin persahabatan serta bisa membiasakan diri dengan lingkungan yang baru. Hal tersebut dapat digolongkan dalam fase berfungsi efektif pada culture shock yang dimana individu telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, pola komunikasi, keyakinan, dan lain-lain). Kemampuan untuk hidup dalam dua budaya yang berbeda, biasanya juga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa ahli menyatakan bahwa untuk dapat hidup dalam dua budaya yang berbeda, seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu.
75 76
Ibid. Hal 137. Ibid. Hal 137.
103
Seperti apa yang dikatakan informan pendukung yaitu jika individu ingin mengatasi gegar budaya maka ia harus banyak membaca situasi ataupun kebiasaan di lingkungan baru. Menurut informan pendukung, dalam gegar budaya seseorang memiliki tahapannya masing-masing. Informan pendukung berhipotesis jika seseorang semakin banyak membaca sebuah kebiasaan di tempat baru, maka ia akan semakin meminimalkan gegar budaya tersebut. Fase gegar budaya pada dasarnya ketika individu kurang siap masuk ke tempat baru, gegar budaya pasti akan terjadi tak peduli sehebat apapun individu tersebut. Misalnya ketika seseorang belum pernah datang ke jamuan makan malam lengkap, maka kemungkinan besar seseorang itu akan bingung dalam memilih pakaian apa yang pantas. Hal ini juga termasuk ke dalam gegar budaya karena sebenarnya gegar budaya tidak mesti terjadi antar tempat ke tempat lain atau dalam pengertian pindahnya satu kultur ke kultur lain, dalam satu kota juga akan ada gejala ketidaksiapan dalam menghadapi sebuah kultur atau tradisi baru. Menurut informan pendukung, ketika ada seseorang yang kurang siap menghadapi satu keadaan yang baru bisa dikatakan terjadi shock culture. “Mungkin kalau dibilang tahapan biasanya kan setiap orang bedabeda, tidak bisa disamakan. Kalau saya sih berhipotesis begini, semakin dia banyak membaca sebuah kebiasaan di tempat itu, dia akan semakin meminimalkan gegar budaya itu. Yah fasenya sebetulnya kan ketika dia kurang siap masuk ke tempat baru pasti ada gegar budaya, sehebat apapun dia. Anda misalnya belum terbiasa dapat jamuan makan malam lengkap, mungkin juga anda bingung pakai baju apa. Kan itu juga termasuk gegar budaya, tidak mesti terjadi antar tempat ke tempat lain. Ketika kita masuk ke dalam satu kelompok sosial yang berbeda dengan kita, itu biasanya
104
juga akan terjadi gegar budaya. Sebenarnya gegar budaya itu tidak mesti harus dalam pengertian pindahnya dari satu kultur ke kultur lain, tempat ke tempat lain, dalam satu kota juga ada gejala ketidak siapan kita dalam menghadapi sebuah kultur, tradiri baru itu. Menurut pandangan saya, ketika ada seseorang yang kurang siap menghadapi satu keadaan yang baru bisa dikatakan terjadi shock culture. Misalnya saya menerapkan kebijakan mahasiswa yang masuk kelas saya harus pakai seragam, pasti kan banyak yang protes dan nggak ada yang siap juga. Ini apa-apaan mengubah tradisi yang ada.”77 Dari hasil pembahasan di atas, kelima key informan sudah merasa nyaman tinggal di kota perantauan, walaupun level kenyamanan tersebut berbeda-beda. Ada yang sepenuhnya nyaman adapula yang mau tak mau harus merasa nyaman. Namun sejauh ini, kelima key informan sudah melakukan penyesuaian dengan cukup baik terhadap lingkungan di sekitarnya. Jangka waktu penyesuaian diri key informan cukup berbedabeda. Tami dan Risda hanya membutuhkan waktu 1 sampai 2 bulan untuk beradaptasi, Rienny membutuhkan waktu 1 semester atau 6 bulan, sedangkan Aslam dan Ferdi membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu 2 semester atau 1 tahun. Hal ini menjelaskan jika setiap individu memiliki reaksi yang berbeda saat menghadapi culture shock.
77
Lampiran 7. Hasil Wawancara Informan Pendukung. Hal 140-141.
BAB V PENUTUP 5.1
Kesimpulan Dari hasil penelitian ini, didapatkan beberapa kesimpulan dalam fenomena
gegar budaya yaitu sebagai berikut: 1) Faktor yang mendorong mahasiswa untuk merantau adalah: faktor pendidikan, faktor ekonomi, dan faktor budaya. Kelima key informan memiliki harapan atau ekspektasi ketika akan melakukan perantauan serta motif untuk berkuliah dan menggapai cita-cita, hal ini juga termasuk ke dalam fase kegembiraan. 2) Proses interaksi yang dialami oleh mahasiswa Sumatera di perantauan diakibatkan adanya fase kekecewaan yang dimana terlihat banyaknya perbedaan antara kampung halaman dan kota perantauan sehingga memicu terjadinya penyesuaian terhadap hal-hal yang baru di perantauan sehingga adanya pertukaran makna, persepsi dan perspektif, sehingga hal ini termasuk ke dalam fase awal resolusi. 3) Untuk mengatasi gegar budaya, kelima key informan mengisi kegiatan sehari-hari dengan mengikuti organisasi maupun komunitas di dalam dan luar kampus. Sehingga hal ini membuat key informan lebih banyak berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera juga lebih mengenal situasi
105
106
dan kondisi di lingkungan sekitar, selain itu masalah-masalah yang menjadi kendala sebelumnya dapat teratasi karena adanya keterbiasaan dan hal ini termasuk ke dalam fase berfungsi dengan efektif. 5.2
Saran Adapun saran yang ingin disampaikan oleh penulis adalah: 1) Untuk setiap individu yang akan melakukan perantauan, diharapkan sebisa mungkin sebelumnya mencari tahu informasi yang banyak tentang situasi dan keadaan di tempat perantauan agar tidak adanya kebingungan atau kekecewaan yang amat mendalam ketika datang ke perantauan. Selain itu, diusahakan untuk dapat menerima dan bersikap terbuka terhadap perbedaan-perbedaan yang ada perantauan, karena hal tersebut merupakan suatu identitas budaya. 2) Untuk penelitian tentang fenomena yang sama yaitu fenomena gegar budaya pada perantau, penulis menyarankan, agar peneliti selanjutnya dapat memperluas dan menambah jumlah informan yang diteliti karena setiap individu memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Selain itu, disarankan agar peneliti menggunakan paradigma kritis dan memakai teori komunikasi lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Predana Grup. Effendy, Onong Uchjana. 2004. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Elvinaro, Ardianto dan Bambang Q. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: simbiosa rekatama Media. Goodman, Douglas J dan George Ritzer. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana. Hafied. 2008. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hidayat, Dedy N. 2003. Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik Klasik. Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia. Kevinzky, Muhammad Haiqal. 2011. Proses dan Dinamika Komunikasi Dalam Menghadapi Culture Shock Pada Adaptasi Mahasiswa Perantauan (Kasus Adaptasi Mahasiswa Perantau di UNPAD Bandung). Depok: FISIP UI. Kriyantono, Rachmat. 2012. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. Kuswarno, Engkus. 2009. Metode Penelitian Komunikasi Fenomenologi: Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjadjaran. Liliweri, Alo. 2011. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Littlejohn, Stephen W. & Karen A.Foss. 2005. Theories Of Human Communication. 8 ed. Canada: Wadsworth. Lubis, Lusiana Andriana. 2002. Penerapan Komunikasi Lintas Budaya di Antara Perbedaan Budaya. Medan: Digitalized by USU digital library. MAO, Yingjuan. “Living in the bubble” The Role of communication for Swedish adjustment in China. 2014. Gothenburg: University of Gothenburg Department of Applied Information Technology. Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyana, Dedy. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya . Rosdakarya
.. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja
107
Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. 2005. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Nazir, Moch. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Salemba Empat Neuman, W. L. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches-6.ed. USA: Pearson Education. Inc. Patton, M. Q. 2006. Social Research and Evaluation Methods (3rd ed). Thousand Oaks, CA: Sage. Poerwandari, Kristi. 2013. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok: LPSP3 UI. Ruslan, Rosady. 2004. Metode Penelitian PR dan Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Samovar, dkk. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika Sihabudin, Ahmad. 2011. Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif Multidimensi. Jakarta: PT. Bumi Aksara Soehartono, Irawan. 2008. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sudikin, dan Basrowi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif: Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendikia. Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. West, Richard & Lynn H. Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi; Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Sumber Internet: Profil Pulau Sumatera. http://www.gosumatra.com/seputar-sumatera-indonesia/ diakses pada 25 Desember 2015 pukul 21:40 WIB
108
LAMPIRAN
109
LAMPIRAN 1 PEDOMAN WAWANCARA
Nama Lengkap
:
TTL
:
Asal Daerah
:
Suku
:
Agama
:
Jurusan
:
1. Apakah anda lahir dan besar di Sumatera? 2. Apakah orang tua anda asli dari Sumatera? 3. Apakah anda pernah tinggal di daerah lain selain di Sumatera sebelumnya? 4. Apakah anda pernah berkunjung ke Serang/Cilegon sebelumnya? 5. Apakah anda memiliki saudara di Serang/Cilegon? 6. Apa tujuan anda melakukan perantauan ke Serang-Banten? 7. Apa yang mendorong anda melakukan perantauan ke Serang-Banten dan berkuliah di UNTIRTA? 8. Di mana anda tinggal saat ini? 9. Bagaimana perasaan anda ketika mengetahui akan berkuliah di Untirta Serang? 10. Bayangan kesenangan apa saja yang anda pikir akan anda dapatkan ketika pindah ke Serang? 11. Hal-hal apa saja yang sangat berbeda dengan daerah asal anda? 12. Adakah hal-hal yang membuat anda merasa tidak cocok untuk tinggal di Serang/Cilegon? 13. Apakah anda pernah berpikir untuk pulang kembali ke Sumatera karena merasa tidak nyaman tinggal di Serang/Cilegon? 14. Hal-hal apa saja yang tidak anda sukai dari kehidupan sosial yang ada di kampus atau lingkungan sekitar anda ketika awal anda pindah ke sini
110
15. Apa saja yang anda lakukan untuk mengatasi hal-hal yang anda tidak sukai tersebut? 16. Apa yang anda lakukan ketika berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera pada awal anda datang ke UNTIRTA? 17. Kesulitan-kesulitan apa saja yang anda alami ketika berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera? 18. Apakah pernah ada
kesalahpahaman
atau
miskomunikasi
ketika
berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera? Jika iya, contohnya seperti apa? 19. Bagaimana sikap mahasiswa non Sumatera ketika pertama kali berinteraksi dengan anda? 20. Perasaan-perasaan apa saja yang muncul ketika mengetahui jika anda cukup berbeda dari yang lain? 21. Ketika anda tiba di UNTIRTA, anda bergaul dengan mahasiswa dari daerah mana? 22. Apakah ada komunitas perkumpulan mahasiswa asal Sumatera? Jika iya, apakah anda turut bergabung di dalamnya? 23. Bagaimana perasaan anda setelah selama ini tinggal di Serang/Cilegon? 24. Bagaimana cara anda menyesuaikan diri dengan lingkungan? 25. Berapa lama waktu yang anda perlukan untuk menyesuaikan diri ketika pertama kali datang ke Serang/Cilegon? 26. Kegiatan apa saja yang anda lakukan selama tinggal di Serang? Apakah anda ikut bergabung ke dalam organisasi internal ataupun eksternal? Jika iya, tolong sebutkan. 27. Bagaimana sikap dan kepribadian anda setelah melakukan perantauan? 28. Berapa waktu sekali anda pulang ke Sumatera?
LAMPIRAN 2 HASIL WAWANCARA KEY INFORMAN 1
Nama Lengkap
: Fauziah Nur Utami
TTL
: Pematang Siantar, 14 Maret 1994
Asal Daerah
: Pematang Siantar, Sumatera Utara
Suku
: Jawa
Agama
: Islam
Jurusan
: Ilmu Komunikasi angkatan 2011
1. Sebelumnya lo lahir di Sumatera Utara kan, terus sampai SMA juga? Sampai SMA di Sumatera utara, sebenernya waktu sd gue sempet tinggal di Bengkulu juga soalnya kan orang tua gue tugasnya tuh keluar kota terus jadi emang udah sering pindah-pindah gitulah tapi itu cuma sampai SD doang nah terakhir itu yang paling jauh yang keluar dari provinsi sumatera utara itu ke bengkulu. Sebelumnya yang di sumatera utaranya juga udah pindah-pindah terus bukan di satu kota tapi udah mulai SMP SMA nya gue netep di kota gue di pematang siantar. 2. Terus kalau orang tua sendiri asli sendiri asli mana? Orang tua dua-duanya asli sumatera utara. 3. Ada turunan bataknya nggak? Kalau ibu batak, kalau bapak jawa tapi keluarga bapak itu dari embahnya gue itu udah tinggal di sana dan bokap gue juga lahirnya udah di sana udah di sumatera utara udah di siantar. 4. Lo pernah berkunjung ke Serang nggak sebelumnya? Belum pernah tuh. 5. Apa lo punya saudara di Serang? Nggak punya 6. Apa tujuan lo merantau ke Serang? Tujuannya yah kuliah sih pastinya. 7. Apa yang menyebabkan lo memilih Serang atau UNTIRTA lah sebagai tujuan? Pertamanya itu karena, ini alasan pribadi sih yah. Gue pengen kuliahnya kan komunikasi nah gue ngeliat tuh passing grade yang paling rendahnya
nih yang setidaknya bisa terjangkau sama gue lah. Gue taro dah tuh pilihan ketiganya di untirta sebenernya gue gatau nih untirta itu di mana, gue cuma taunya di Banten doang tapi lebih spesifiknya gue gatau, tapi karena jurusan itu yang bikin nekat sih soalnya cita-cita gue pengen jadi jurnalis. 8. Kenapa lo pengen jadi jurnalis? Kenapa pengen jadi jurnalis? Karena dulu waktu kecil pernah nonton berita gitu ada wartawan lagi ngeliput perang terus malah dijadiin tawanan karena dikira penyusup. Gue ngerasa tertarik aja bisa ngeliput terus ngelaporin dari daerah konflik pas live report terus di belakang gue lagi ada baku tembak atau kerusuhan hahaha. 9. Emang pilihan pertama sama keduanya di mana? Pilihan pertama sama keduanya di USU di sumatera utara kan tapi ga keterima, keterimanya di pilihan ketiga ya udah gue ke sini. Trus ada juga kakak kelas gue yang kuliah di sini yaudah gue nanya-nanya ke dia gimana gue bisa sampe ke serang, naek apa aja ke sininya terus waktu gue daftar ulang di sini ditemenin sama dia. 10. Jadi pas lo kuliah itu pertama kalinya lo keluar sendirian dari Sumatera Utara ke Jawa? Iya ke Serang. 11. Gimana perasaan lo pas pertama kali keterima di untirta? Kalau pertama kali keterima gue kan seneng juga yah pindah-pindah kayak gitu terus emang dari kecil juga sering pindah-pindah gitu kan rumahnya, tinggalnya. Terus gue juga pengen tau nih di Serang itu kayak apa, excited lah. Penasaran lah gitu pengen ke sini, tapi waktu itu nggak dibolehin kan sama orang tua pertama-pertamanya soalnya jauh, anak perempuan tapi guenya emang keukeuh pengen ke sini aja. 12. Bayangan kesenangan apa aja yang lo pikir akan didapatkan ketika pindah ke sini? Kesenangnnya dapat teman-teman baru, dapet lingkungan baru, terus kesenangannya gue bisa kuliah di jurusan ilmu komunikasi dan bisa mewujudkan mimpi gue menjadi jurnalis. 13. Apa aja yang beda antara Serang dan Sumatera Utara? Bahasa, adat terus kebiasaan-kebiasaan, makanan. Nah terus kalau misalnya di medan kan makanan banyaknya yang pedes terus yang bersanten-santen kayak gitu. Terus pas ke sini tuh beda banyaknya kayak yang ke gorengan, tapi lama-lama disesuaikan kan terus cara berbicaranya. Kalau di sana kan emang yang batak banget terus agak ke melayu-melayu kayak gitu kan, nah di sini harus menyesuaikan agak kesunda-sundaan.
14. Ada nggak hal-hal yang ngebuat lo ngerasa nggak cocok tinggal di sini dan bikin lo pengen pulang? Kalau buat itunya sih nggak ada, tapi kalau pengen pulang bukan garagara itu sih sebenernya, cuma karena kangen terus nggak biasa pisah sama orang tua. Alesan pengen pulangnya sih itu, nggak pernah dari lingkungan sih. Kalau dari lingkungan sih malah welcome gitu, wih pendatang nih, ramah-ramah. Terus kalau misalnya weekend, anak-anak kan pada balik tuh yang Tangerang Jakarta, terus yang orang-orang Serangnya tuh kayak yaudah sini ke rumah gue, udah nginep di gue aja. Mau ke mana hayu gue temenin. Kalau misalnya gue mau balik ke Medan bukan karena alesanalesan yang gue nggak betah di Serang karena lingkungannya, cuma kangen aja. 15. Terus ada yang lo nggak suka nggak dari kehidupan sosial di kampus atau lingkungan sekitar? Pernah sih ada masalah soal itu tapi yah nggak gimana-gimana. 16. Terus apa yang lo lakuin untuk mengatasi hal itu? Yaudah paling biarin aja toh kita udah sama-sama dewasa ini, let it flow lah. 17. Bagaimana proses interaksi yang lo lakuin waktu pertama datang ke sini? Pertama-pertama sih gue waktu nyampe di sini jarang ngomong gue takut soalnya kalau ngomong ketauan banget kan, ini orang Medan nih ketauan banget kan. 18. Apakah ada kesulitan berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera? Kesulitan nggak sih paling cara komunikasinya yang beda, kalo budaya sih beda tapi nggak jauh-jauh banget lah maksudnya ga terlalu jadi hambatan gitu ga jadi kesulitan paling cuma di komunikasi aja sih. 19. Pernah ada kesalahpahaman atau miskomunikasi nggak waktu ngomong? Kalau miskomunikasi gitu iya pernah, paling gue nanya itu apa itu artinya apa. Pokoknya kalo gue gatau apa-apa gue nanya aja. Kalo miskomunikasi pernah sih tapi gue lupa spesifiknya apa tapi sering aja ada aja waktu awalawla tuh pada ngomong kan, dia nyampeinnya apa gue nangkepnya apa. Pokonya ada lah waktu awal-awal banyak yang beda aja. 20. Bagaimana sikap mahasiswa non Sumatera waktu pertama kali berinteraksi sama lo? Pernah tuh gue pas lagi ospek kan kita nulis nama gitu yah sama asal sekolah, gue bikin SMA 1 Medan tuh udah tuh jadi pada nanya “lu dari Medan? Asli dari Medan?” “Iya aku dari Medan”. Ketauan kan logatnya wah anjir di-bully gue. “lu ngapain jauh-jauh kuliah ke sini?” “yah gatau,
emang keterimanya di sini”. Udah tuh gue pokoknya kalau ngomong tuh jadi bahan pengeliatan orang aja. Udah tuh awal-awal kuliah tuh ga banyak ngomong, udah diem aja, gue dengerin orang aja ngomong. Gue pengen ngomong cuma udahlah dari pada di-bully kan gue nyesuaikan dulu kan, ya udah gue diem aja. Lama-lama makin terbiasa udah ga terlalu, makannya gue logatnya juga udah ilang kan. Yah kayak gitu, kalau gue di sini gue nyesuain pake bahasa di sini kalau gue di medan gue balik lagi pake logat gue di medan. 21. Pernah ngerasa minder nggak sebelumnya karena lo beda dari yang lain? Sering banget yah itu karena logat gue yang beda sendiri. 22. Waktu lo ke sini bergaulnya sama yang dari Sumatera aja apa udah berbaur sama yang lain? Waktu itu kan gue dianterin nyokap ke sini kan terus daftar ulang balik lagi ke sana baru pas ospek tuh gue berangkat dari Siantar itu sendirian ke sini. Gue nyampe di bandara dijemput sama sepupu gue yang di Jakarta baru dianterin ke sini tuh nyari kostan, ketemu sama si Risda pas lagi sama-sama nyari kostan. Terus biasalah logat-logat Sumatera banget kan ngomong, “dari Medan juga yah?” “Iya dari Medan, kau dari mana?” “dari Medan juga” “oh iya Medannya di mana?” “di Siantar”. Satu kota kan ternyata, yaudah kenalan dah tuh mulai dari situ baru bareng terus. Mulai dari situ kita sekamar berdua, kemana-mana bareng pokoknya, soalnya kan kita di Serang itu nggak ada keluarga. Adanya di Jakarta sama di Bekasi. Yaudah kita berdua aja, lama-lama kenal temen-temen pas ospek udah makin banyak makin banyak yaudah biasa aja. Kan waktu awal-awal semuanya masih baru pada kenal kan, yaudah gue ikut-ikutan aja. Terus di kelas gue dulu ga ada sih yang dari sumatera utaranya. Adanya orang batak tapi bukan dari sumatera utara tapi dia kelas A, si ucok tuh. Nah gue dulu deketnya sama dia tuh sama ucok sama si sarah cuma beda kelas. Udah tuh lama-lama menyesuaikan diri sendiri. 23. Di sini ada komunitas mahasiswa Sumatera nggak terus lo ikutan nggak? Kayaknya ada tapi gue nggak tau sih nggak ikutan, kayaknya si Risda tau tuh. 24. Apa lo sekarang udah ngerasa nyaman tinggal di sini? Iya udah nyaman sih udah 4 tahun lebih juga. 25. Jadi lo udah ngelakuin penyesuaian dengan baik yah? Iya udah.
26. Butuh waktu berapa lama buat menyesuaikan diri sama kondisi di sini? Sekitar sebulan dua bulan lah mulai dari ospek baru gue bisa leluasa ngobrol. Gue juga dulu awal-awalnya kayak di kelas gitu kan waktu maba kita masih pada semangat-semangatnya kan nanya segala macem, gue mah udah diem aja, gue takut di-bully gue takut beda aja kan. kalo gue sih ngerasanya gue beda sendiri itu gue ga berani, gue malu aja yaudah gue menyesuaikan. 27. Lo ikut organisasi apa aja? Pertama gue ikut DPM FISIP fraksi ikom 2011, terus ikut untirta tv, baru ikut ukm jurnalistik, abis itu gue ikut bem fisip abis itu gue ikut kemangteer. Jadi karena emang gue pendatang kan terus emang nggak ada rumah buat pulang, yah mau nggak mau banyak-banyakin organisasi biar banyakbanyak kegiatan dan banyak-banyakin teman juga. Biar nggak sepi aja di sininya, jadi ada aja kegiatan. 28. Apakah merantau jauh dari keluarga mengubah sikap dan kepribadian lo? Iya mengubah sikap dan kepribadian. Kalau sama keluarga gue jadi lebih care lebih peduli karena emang jauh kan tinggalnya. Terus kalau untuk kepribadian, gue jadi lebih terbuka sama orang-orang dengan latar belakang yang berbeda, gue lebih toleransi lagi sama orang-orang. Belajar gimana caranya biar bisa diterima di lingkungan orang lain. 29. Pernah ngerasa homesick nggak terus kalau lagi homesick biasanya ngapain? Sering sih yah paling nelpon atau sms keluarga sih. 30. Lo pulangnya berapa kali setahun? Per semester, jadi setahun dua kali. Pas semesteran aja gue baliknya. 31. Menurut lo, Risda ngalamin hal yang sama nggak sih kayak lo, ada rasa yang waktu pas awal datang ke sini? Kalau awal-awal dia kayaknya sempat deh pengen pulang, sempet kayak nggak betah gitu tapi gatau sih yah nanti coba deh tanya dia langsung. Soalnya kan setiap orang kan beda-beda yah inian pola adaptasinya. Kalau gue sih orangnya mau dimana aja juga yah hayu aja selama orangnya welcome. Cuma tapi kalo misalnya emang udah bermasalah dari awal ya iyalah yah siapa yang betah juga. Tapi kan sejauh ini ya udah sih samasama kuliah ini kan sama-sama nuntut ilmu, yaudah ga ada masalah sih gue mah.
LAMPIRAN 3 HASIL WAWANCARA KEY INFORMAN 2
Nama Lengkap
: Risdayanti Sinaga
TTL
: Pematang Siantar, 26 November 1992
Asal Daerah
: Pematang Siantar, Sumatera Utara
Suku
: Batak Simalungun
Agama
: Kristen
Jurusan
: Ilmu Administrasi Negara angkatan 2011
1. Lo lahir dan besar di Sumatera Utara? Iya 2. Terus orang tua aslinya mana? Dari Sumatera. 3. Dua-duanya? He’eh dua-duanya. 4. Terus pernah tinggal di daerah lain nggak selain di Sumatera Utara? Oh, nggak pernah. Dari lahir sampai besar di Sumatera Utara 5. Sebelumnya pernah berkunjung ke Serang? Belum. 6. Terus punya saudara di Serang? Nggak 7. Tujuan ngelakuin perantauan ke Serang ini buat apa? Kuliah, buat kuliah. 8. Kenapa kok bisa milih Serang sih buat tujuan kuliahnya? Jadi mama ku kan guru terus dia tuh punya murid, nah muridnya tuh udah kuliah duluan di Untirta terus kuliahnya tuh di teknik. Nah dikira mama ku karena kuliah di Jawa itu mungkin lebih bagus yah daripada di Sumatera. Sebelumnya pernah kuliah di Medan juga di Polmet, nah terus karena dibilang Untirta di Jawa ya udah akhirnya disuruh nyoba SNMPTN suruh nyoba lagi di sini terus yah lulus ya udah ke sini deh kuliahnya.
9. Sekarang tinggalnya di mana? Di Pondok Indah Estate, nge-kost. 10. Terus perasaan lo waktu pertama tahu bakal kuliah di Untirta gimana? Yah pertama seneng yah, soalnya kan di Jawa gitu secara mau merantau keluar dari daerah Sumatera Utara, yah seneng sih seneng pastinya waktu tau keterima di Jawa gitu kan. Kirain sama kayak sekelas sama UI lah, UI, UNPAD yang di Jawa-Jawa yang bagus-bagus kedengerannya gitu. 11. Taunya? Ternyata pas nyampe di sini yaah ternyata kampusnya kecil banget kan, lebih kecil dari kampus yang sebelumnya. Terus waktu jalan juga kan sama mama yah ke sininya terus mama ngomong “lah kok kampusnya begini jalanannya sawah-sawah gitu, ini kampusnya di kampung?”. Biasanya namanya kampus pasti kan di kota kan di kota-kota besar. Pas baru-baru masuk yah rada sedikit kecewa sih sebenernya, kecewa lah. 12. Hal-hal apa aja sih yang beda banget dari daerah asal? Mungkin lingkungannya yah kalau di sana kan secara dari komunikasi lah misalnya, kalau di sana kan ngomongnya pake “kali kali” gitu, kalau di sini pakenya “banget”. Terus kayak ada tata bahasanya tuh pasti rada beda lah, mereka suka nggak mngerti gitu kan sama omongan, namanya juga belum pernah tinggal di Jawa. Jadi namanya yang bahasa asli itu masih kebawa-bawa ke sini. 13. Terus kalau misalnya makanan? Yah makanan juga pertama-pertama di sini sempet sakit, sakit perut gitu kan. Penyesuaian makanan pertama kali tuh mungkin karena beda kali yah. 14. Kalu di sana makanannya kayak gimana? Yah pedes pedes sih tapi nggak tau deh mungkin di sini kebanyakan mecinmecin gitu kali yah. Kalau di sana kayaknya nggak terlalu gitu, terus yah sempet sakit perut gitu tuh yang apa sih, BAB darah yang gitu-gitu karena pertama kali penyesuaian diri kali sama makanan di sini. Cuma yah ke sinisini udah lama tinggal di sini yah udah terbiasa sih. 15. Terus kalau budayanya sendiri beda banget nggak? Iya kalau budaya sih beda, cuma yah ngeliat suku baduy sih tertarik sih cuma tetep lah lebih nyaman sama budaya sendiri kan. Terus airnya juga yang bikin kurang nyaman itu air. 16. Airnya kenapa? Keruh gitu kali yah, kalau di sana kan airnya bersih karena dari pegunungan itu kan jadi karena perumahannya deket sama pegunungan airnya bersih-bersih. Kulitpun semakin menghitam jadinya di sini.
17. Terus setelah selama ini ada nggak sih hal-hal yang ngerasa nggak cocok tinggal di Serang? Yah paling air-air itu doang terus yang apa sih, yang panas cuacanya panas banget itu kan bikin kulit hitam jadi ngerasa ah nggak enak nih, enakan tinggal di Jakarta daripada di sini. Sepi juga kan di sini. 18. Terus sempet nggak sih waktu awal-awal pernah berpikir untuk pulang lah udah nggak mau di sini? Iya pasti adalah awal-awal karena ngeliat yang yah kampusnya begitu misalnya kan, terus ngeliat daerahnya. Dulu kan di sini masih sepi gitu kan, masih kayak apa yah pokonya masih sepi lah. Makanan juga belum sebanyak sekarang kan tempat-tempat makan, masih sepi cari makan juga harus ke depan gitu ngerasa kayaknya susah banget. Kuranglah kurang nyaman pokonya. 19. Terus ada nggak sih hal-hal yang nggak lo sukai dari kehidupan sosial di kampus atau lingkungan sekitar? Paling pembeda-bedaan kelompok kali yah, misalnya kelompok yang orang sini gabungnya sama orang sini pokoknya terlalu membeda-bedakan orang itu paling. 20. Terus ngatasin hal itu lo gimana? Yah dibodoamatin aja sih, cuma nggak ikut-ikut kelompok-kelompoknya mereka tapi tetap berteman sama mereka mah berteman cuma nggak mau ikut geng-gengan kayak gitu. 21. Bagaimana proses interaksi yang lo lakuin waktu awal jadi mahasiswa sama mahasiswa non Sumatera Utara? Yah pertama-tama sih waktu pertama kali ngobrol, anak-anak kelas pada ngomong “oh suaranya kenceng banget yah kayak marah, oh orang Batak pada begitu yah”. Padahal itu ngomong biasa cuma nanya “eh namamu siapa?”, mungkin kedengerannya kayak “EH NAMAMU SIAPA?” gitu. Jadi ngerasanya mereka kan “oh ini orang marah-marah sambil ngomong” kayak gitu. Agak susah sih kadang ngomong harus gimana yah emang kayak gini bawaannya gitu kan, cuma yah sekarang-sekarang udah belajar udah bisa lebih lembut lah ngomong. 22. Terus ada kesulitan dalam interaksi nggak sama merekanya? Pas pertama-tama sih iya gitu cuma ke sini-sini sih udah nggak yah. Cara bahasa yang beda itu kali yah. 23. Pernah ada kesalahan paham atau miskomunikasi nggak pas ngomong? Ada sih beberapa kalimat gitu yang kadang keluar gitu merekanya kurang ngerti gitu bahasa-bahasa biasalah bahasa-bahasa di rumah. Merekanya
suka “itu apa yah?”, jadi suka cari arti yang mereka ngerti, misalnya kayak “mentel” gitu. Itu kan mentel mereka nggak tau tuh yah. 24. Artinya apa? Centil, kan taunya centil. Kalu di sana kan ngomongnya ih mentel banget, mentel kali lah anak itu. Kalu di sini ih centil yah. Gitu. 25. Terus waktu awal pernah merasa minder nggak sih gara-gara yang dari Sumatera Utara kan dikit? Iyalah minder sedikit lah pasti di kelas apalagi di kelas cuma 2 orang tapi yang satu lagi bukan dari Sumatera Utara emang udah lahir di Tangerang kan jadi dia komunikasinya udah lancar sama anak-anaknya, kalau misalnya aku kan masih beda gitu jadi pertama-tama sempet mikir ah rada susah kali berteman, cuma ke sini-sini ternyata mereka emang tertarik gitu sama cara ngomong jadi pengen tau gitu tentang orang-orang Batak. 26. Terus waktu awal ke sini mainnya sama orang-orang yang dari Sumatera Utara aja apa langsung berbaur? Berbaur kok ke semua soalnya waktu pertama kali kuliah itu nggak tau nggak terlalu banyak kenal orang-orang Batak,belum tau banget di manamana orang Batak paling satu dua senior doang, kalau di kelas gabung sama semuanya. 27. Kalau di sini ada komunitasnya nggak? Di sini sih kayaknya nggak ada deh kalau di Serang yah, tapi kalau di Cilegon ada dari kampus untirta juga namanya itu GEROBAK (Gerombolan Orang Batak). 28. Itu yang dari sana asli semua? Nggak asli dari Sumatera Utara sih cuma yah orang-orang Batak cuma yang mendiriin mah emang dari rantau langsung sana. 29. Ikutan gabung nggak? Nggak soalnya tuh cuma buat anak-anak teknik doang. 30. Terus kalau sekarang udah ngerasa nyaman belum tinggal di Serang? Nyaman-nyaman nggak nyaman lah, nyamannya karena emang harus kan tinggal di Serang nyelesaiin kuliah tapi kalau sesuai keinginan mah kalau bisa pulang lagi nanti tinggal di sana, tuanya lah balik lagi ke Medan ke rumah sendiri kayaknya lebih enak. 31. Apa lo udah merasa melakukan penyesuaian dengan baik dengan lingkungan saat ini? Iya udah cukup baik lah bisa berkomunikasi dengan semuanya.
32. Berapa lama waktu yang anda perlukan untuk menyesuaikan diri dari waktu awal ke sini? Paling sebulan dua bulan kali yah nyesuain dirinya, nyesuain diri mah gampang cuma buat yang sama kayak hati itu yang susah kan berteman sesuai dengan keinginan hati. 33. Kalau di sini kegiatan apa aja yang lo lakuin? Lo ikut organisasi? Iya ikut organisasi pernah ikut jurnal, DPM FISIP, BEM FISIP sama GMKI. 34. Itu buat ngisi waktu luang? Iya ngisi waktu luang lah biar nggak bosan di kostan kalau cuma pulang kostan pulang kostan kayaknya nggak hidup banget. Ikut organisasi kan lebih banyak teman juga banyak pengetahuan lah. 35. Setelah merantau sikap lo jadi berubah nggak sih dari sebelumnya? Setelah merantau jadi lebih mandiri atau lebih apa? Iya sih karena merantau emang lebih mandiri, cara bahasa kadang agak beda gitu kalau pulang ke rumah kan sehari dua hari lah bahasa masih kebawa bahasa sini cuma lama-lama udah balik lagi bahasa ke sono, pulang ke sini lagi gitu juga cuma kalau perubahan-perubahan besar itu nggak sih. 36. Selama di sini pernah ngerasa “homesick” nggak? Sering, sering banget malah. 37. Terus apa yang lo lakuin kalau misalnya lagi homesick gitu? Paling nelpon orang tua terus kalau nggak video call gitu ngeliat keadaankeadaan yang di sana karena kangen rumah, orang tua, sama suasana yang di sana. 38. Berapa kali pulang ke sana? Dulu sih sekali setahun cuma tahun ini belum pulang setahun lebih belum pulang, hampir satu setengah tahun belum pulang. 39. Rencananya mau pulang kapan? Habis sidang lah paling sidang skripsi. 40. Di sini ada juga kan mahasiswa dari Sumatera Utara, kenal banyak nggak sih atau beberapa doang? Oh banyak, cukup banyak lah apalagi di organisasi GMKI itu kan rata-rata orang Batak semua itu, jadi yah semua yang dari Sumatera Utara juga jadi pada kenal semua.
41. Terus menurut lo mereka juga ngalamin nggak sih hal-hal yang sama kayak lo? Iya mereka juga pada cerita yah pada ngomong iya susah yah ngomong gini-gini. Cuma kayaknya di UNTIRTA udah banyak orang Batak yah jadi anak-anak yang lain juga yang non Sumatera Utara gitu yah ngerasa yah oh emang mereka adatnya begitu. Kalau tahun kita waktu 2011 kan emang masih sedikit banget orang Batak dari Sumatera jadi mereka kayak kaget gitu ngeliat oh ada orang dari jauh banget mau kuliah di UNTIRTA, cuma ke sini-sini sekarang udah banyak seniornya mah udah nggak terlalu wah banget. 42. Kalau kumpul sama mereka ngomongnya pakai bahasa Batak semua? Nggak sih kadang pakai bahasa Indonesia, cuma kalau yang bisa bahasa Batak pasti bahasa Batak. Soalnya nggak semua orang Batak itu bisa pakai bahasanya mereka, paling yang emang betul-betul dari daerah sana.
LAMPIRAN 4 HASIL WAWANCARA KEY INFORMAN 3
Nama Lengkap
: Rienny Yurike Sianipar
TTL
: Bengkulu, 2 April 1993
Asal Daerah
: Bengkulu
Suku
: Batak
Agama
: Kristen Protestan
Jurusan
: Teknik Industri angkatan 2012
1. Lo lahir dan besar di Sumatera apa gimana? Lahir dan besar di Bengkulu. 2. Terus kalau orang tua sendiri aslinya mana? Kalau orang tua dari Sumatera Utara cuma karena kerjanya di Bengkulu jadi move ke Bengkulu. 3. Itu pindahnya waktu kapan? Udah dari tahun 80-an lah. 4. Pernah tinggal nggak di daerah lain selain di Bengkulu? Kalau tinggal nggak paling jalan-jalan visit-visit seminggu-seminggu. 5. Terus sebelumnya pernah datang ke Cilegon? Nggak pernah. 6. Punya saudara di sini? Nggak 7. Tujuannya ngelakuin perantauan ke sini apa? Yah karena kuliahnya dapetnya di sini hehe. 8. Apa nyebabin lo milih Untirta sebagai kampus? Waktu milih sih sebenarnya nyari kemungkinan jadi pilihan 1-2 itu yang dipengenin banget, pilihan 3 itu yang dirasa paling mungkin diterima walaupun mungkin usahanya nggak banyak tapi pasti diterima lah intinya. 9. Emang pilihan 1 sama 2-nya apa? ITS, USU.
107
10. Terus tau adanya UNTIRTA dari mana? Browsing sih nyari yang akreditasinya udah B tapi masih belum terlalu terkenal jadi mungkin orang belum banyak yang milih. Pokoknya jurusannya aja alasan utamanya karena pengen teknik awalnya, di Bengkulu univ negerinya ga ada teknik industri terus nyari-nyari, sebenarnya mau di ITS awalnya, Cuma karena wajtu tes juga nyari kemungkinan yang pasti lolos milihnya Untirta, lagian Untirta TInya udah B juga, lumayan kak. Milih teknik industri juga karena ngeliat peluang kerja nantinya. Jadi yah nekat aja kuliah di Untirta dan udah males ikut tes lagi. 11. Sekarang tinggalnya di mana? Di DAMKAR Cilegon. 12. Kost? Iya. 13. Terus bagaimana perasaan lo ketika tau bakal kuliah di Untirta? Sedih karena ga diterima di pilihan pertama, tapi nyoba nerima, kak. Soalnya mikir pasti bakal dapat sesuatu di Untirta kayak temen baru, pengalaman baru, suasana baru gitu. Pengalaman baru kayak abang aja yang udah rantau duluan jadi pengen aja. 14. Kalau ke Pulau Jawa sendiri sebelumnya udah pernah? Udah tapi paling ke Jakarta doang. 15. Ada nggak sih bayangan kesenangan pas mau pindah ke Cilegon? Yah paling kayak bikin hidup baru aja, teman baru, pengalaman baru kayak abang aja yang udah rantau duluan jadi pengen aja. 16. Kalau abangnya rantau ke mana? Ke Bandung tapi sekarang di Jakarta. 17. Apa sih yang berbeda antara Cilegon dan Bengkulu? Kurang lebih sih mirip yah cuma kalu misalnya dari segi kemudahan buat gereja itu susah karena Cilegon itu nggak ada gereja, nggak tau kenapa yah dari dulu sampai sekarang. Terus Cilegon itu cepet banget tutup pusat kota jam 8 jam 9 udah tutup jadi kayak terlalu apa gitu. Kalau di Bengkulu mah yah jam 10 masih rame kayak mall dan pertokoan di kota masih rame tapi di sini udah tutup jam 9, cepet banget. 18. Kalau bahasa ada nggak bedanya? Bahasa yah paling cuma kayak lo gue-nya aja sih karena di Bengkulu nggak pakai lo gue.
108
19. Kalau di Bengkulu bahasanya apa yah? Tetep bahasa Indonesia. 20. Tapi logatnya? Dari awal nggak berlogat sih emang udah nggak logat. Nggak kayak Sumatera Utara yang logatnya kental gitu, Bengkulu nggak. 21. Kalau misalnya makanan? Makanan biasa aja. 22. Nggak ada bedanya? Nggak sih paling makanan khas sini yang nggak ada di sana, kalau rasa sih biasa aja. 23. Terus ada nggak sih hal yang ngebuat lo nggak cocok tinggal di sini? Bukan nggak cocok sih sebenernya paling yah karena nggak ada siapasiapanya aja yang paling bikin nggak betah pengen pulang. 24. Terus pernah berpikir untuk pulang? Berpikir dong hehe. 25. Waktu awal-awal apa gimana? Yah setiap temen-temen kalau pulang yah pengen pulang, terus kalau kayak sekarang lagi Natal. Nggak pernah Natal di rumah jadinya hampir 4 tahun terakhir. 26. Terus ada nggak sih yang nggak di sukain tinggal di sini? Cilegon panas, banyak debu. 27. Terus kalau orang-orangnya ramah-ramah apa gimana? Kehidupan sosialnya lah. Mungkin karena saya besar di Bengkulu jadi enakan di Bengkulu dari pada di sini. Kalau di Jawa itu menurut saya orangnya lebih individual jadi beda, individualnya susah diceritain pokoknya tipikal lo lo gue gue jadi acuh aja sama orang lain, mau orang lainnya gimana juga. Saling respectnya juga kurang. Kalau di Sumatera nggak se-individual itu dan kurang taat aturan aja. 28. Terus apa yang lo lakuin buat ngatasin hal yang nggak lo suka itu? Ditahan-tahan aja karena nggak bisa diapa-apain karena orang lain itu di luar jangkuan kita, nggak bisa kitaubah kayak apapun. Yah mereka kayak gitu ya udah. 29. Bagaimana proses interaksi yang lo lakuin terhadap mahasiswa non Sumatera? Biasa aja sih cuma mungkin pembiasaan yang mulai pakai cara ngomong yang gue lo-gue lo. Awalnya sih nggak pakai gue lo kan, saya kamu-saya
109
kamu tapi karena emang menurut mereka saya kamu itu terlalu formal jadi diubah ke lo gue, tapi biasanya sih yah apa adanya aja. 30. Terus ada kesulitan dalam interaksi nggak sama merekanya? Nggak sih kalau interaksi karena mayoritas angkatan kita banyak yang dari luar walaupun bukan luar Sumatera yah kayak Bekasi, Tangerang jadi kalau misalkan emang beda yah di situ dibaurin soalnya orang Cilegon Serang itu paling cuma 10 orang di angkatan kita, jadi sama-sama pendatang yah sama-sama berbaur aja. 31. Terus pernah miskomunikasi nggak waktu lagi ngomong? Atau ada arti-arti yang nggak ngerti? Ada sih, misalnya waktu saya ngomong pena, mereka ngomongnya pulpen. Mereka jadi suka bilangin pena terlalu formal, kenapa nggak pulpen. Terus sedotan, saya bilangnya pipet karena di Bengkulu ngomongnya pipet. Itu sih paling ada beberapa kata doang. 32. Terus gimana sikap mahasiswa yang lain waktu pertama kali berinteraksi sama lo? Paling mereka kayak “dih jauh amat dari Bengkulu ke sini, ngapain lo?” gitu-gitu. Paling itu doang sih, kalau rasis-rasisan sih nggak, biasa aja. 33. Pernah ngerasa minder nggak? Minder iya waktu awal karena mereka semua yah ibaratnya dari Jawa, saya dari luar tapi ya udah ke sini-sini biasa aja. 34. Terus waktu awal rantau ke sini bergaulnya pertama sama mahasiswa yang dari Sumatera doang atau langsung berbaur sama semua? Waktu pertama kali datang itu kan nge-kost. Kita udah kenalan duluan di twitter sama anak-anak yang teknik industri, nah dia anak Bekasi terus ketemuan di kost. Sebenernya bukan karena sama daerahnya tapi karena emang udah kenalan duluan di twitter waktu itu. 35. Terus ada komunitas nggak sih atau perkumpulan mahasiswa asal Sumatera? Sebenernya kalau perkumpulan resmi Bengkulu nggak ada, yang ada itu Padang setahu saya cuma kalau kita biasanya awal semester baru kalau ada anak baru nih dia anak Bengkulu, kita kumpul gitu kenalan-kenalan doang tapi bukan komunitas resmi. Kalau Bengkulu yah, kalau Padang mereka punya komunitas resmi. 36. Terus kalau sekarang udah ngerasa nyaman belum tinggal di Cilegon? Sebenernya dipaksa nyaman aja, misalkan nih kalau ibadah kan mesti ke Serang jadi dibiasain aja bukan malah ah Cilegon nggak ada ini nggak usahlah. Jadi kayak yaudah dibiasain aja diterima-terima aja.
110
37. Jadi udah ngerasa melakukan penyesuaian dengan baik yah? Iya. 38. Jadi berapa lama waktu yang diperlukan untuk adaptasi? Paling semester 1 itu yang paling awal, soalnya kan itu masuk kuliah pertama, ketemu orang-orang baru pertama, metode belajar baru pertama, lingkungannya baru jadi paling semester awal. Semester 2 mah karena udah praktikum pasti berbaurnya lebih ke merekanya. Kita kan biasanya ada IFC gitu kan itu lebih ngenalin kita ke satu angkatan jadi setelah IFC itu paling udah deket, jadi satu semester awal aja. 39. Kegiatan apa aja yang lo lakuin di Cilegon selama ini? Ikut organisasi apa aja? Ikut Himpunan terus ikut perkumpulan mahasiswa Kristen Serang Cilegon dari Untirta itu juga sempet. Jadi asistant lab terus paling ikut-ikut acara beswan Djarum. 40. Terus apa merantau jauh dari keluarga itu mengubah sikap lo atau kepribadian lo nggak? Paling ngerubahnya jadi bisa manajemen waktu, uang. 41. Ke arah yang baik yah? Tapi yah paling masalahnya kalau misalkan kuliahnya pulang malem, nggak selalu cerita ke orang tua karena paling ibu pasti ngomongnya “ngapain kuliah pulang malem-malem sampai jam 12”, padahal mah emang ngerjain tugas, laporan gitu-gitu. 42. Terus pernah ngerasa “homesick” nggak? Pernah, sekarang. Pokoknya ketika orang-orang pada libur, nggak ada apa-apa. Pengen pulang pasti kayak gitu. 43. Terus apa yang lo lakuin kalau misalnya lagi homesick gitu? Paling main ke Jakarta ketemu kakak sama abang, kalau nggak telpon nyokap. 44. Terus kalau pulang ke Bengkulu berapa kali setahun? Satu semester sekali biasanya setelah ujian semester pulang. 45. Di sini ada juga kan mahasiswa rantau lain, sepengetahuan lo mereka punya kendala yang sama nggak kayak lo? Paling sama mereka pulangnya 1 semester sekali, rata-rata nggak punya keluarga di sini jadi cari kesibukan aja sendiri-sendiri, butuh adaptasi juga.
111
LAMPIRAN 5 HASIL WAWANCARA KEY INFORMAN 4
Nama Lengkap
: Aslam Daniel
TTL
: Lampung, 1 Januari 1994
Asal Daerah
: Lampung Selatan
Suku
: Lampung
Agama
: Islam
Jurusan
: Teknik Industri angkatan 2012
1. Lo lahir dan besar di Lampung? Iya lahir dan besar di Lampung 2. Orang tua asli mana? Kalau nyokap orang Jawa cuma lahirnya di Lampung, kalau bapak baru asli Lampung. 3. Pernah tinggal di daerah lain nggak sebelumnya? Sebelumnya belum pernah, baru kali ini. 4. Sebelumnya pernah berkunjung ke Cilegon? Pernah waktu itu berkunjung ke Cilegon, kan kakak kuliah di sini dulu, sebelum lulus pernah ngunjungin tuh kakak sekali. 5. Punya saudara di sini nggak? Saudara nggak ada, cuma kalau temen ibu tuh ada. 6. Tujuannya ngelakuin perantauan ke sini apa? Tujuannya yah kuliah sebenernya karena dulu dapetnya di sini. 7. Jadi yang nyebabin lo melakukan perantauan gara-gara diterima di sini? Emang milih apa SNMPTN-nya? Waktu itu kan SNMPTN tulis milih di sini pilihan kedua, pilihan pertamanya itu di Universitas di Surabaya. Jadi nggak keterima, keterimanya di pilihan keduanya industri untirta. Sebenernya waktu dulu mau masuk arsitektur di Gundar cuma ga disetujuan ortu jadi cari alternatif lain dan kenapa ambil Teknik Industri Untirta karena akreditasi sudah B dan gua ambil TI karena ngeliat kekurangan gua juga, Yu. Kekurangannya lemah di perhitungan, jadi ya TI jadi alternatifnya selain itu juga pengen kerja di bagian pemasaran perusahaan, nah pilih TI juga karena cangkupannya luas dalam
112
pekerjaan. Terus di keluarga juga belum ada yang ngambil teknik dan lebih banyak ke bidang kesehatan. Terus ngelakuin perantauan juga karena udah biasa ngekos dari SMA dan karena adat sih. Kalau adat Lampung, laki-laki orang Lampung itu diharuskan merantau. Gitu. 8. Jadi udah tau duluan UNTIRTA dari kakak yah? Kalau untirta taunya dari guru di sekolah. 9. Sekarang tinggal di mana? Di Perumahan Palm nge-kost. 10. Terus bagaimana perasaan lo ketika tau bakal kuliah di Untirta? Sebenarnya dulu sempat minder karena nggak keterima di mana-mana, kan pernah ditolak SNMPTN Undangan, SIMAK UI juga ditolak. Jadi pas tau bahwa saya keterima di Untirta seneng karena ya udah lah nyokap udah lega saya udah keterima. Dulu belum pernah mikir bahwa Untirta gimanagimana, seneng aja. Terus H+1 langsung ke sini langsung daftar ulang. 11. Terus bayangan kesenangannya pas bakal pindah ke sini apa aja? Karena rumah saya itu di Desa yah, bahkan sampai sekarang pun belum ada alfamart atau indomaret. Bayangannya yah seneng aja gitu bisa kuliah di Untirta, perkembangannya udah maju lumayan kota gitu kan. 12. Hal-hal apa aja yang beda dari daerah asal? Cuaca, di sini lebih panas. Di sana itu deket pantai, rumah saya kan deket pantai tapi nggak panas. 13. Terus kalau makanan? Makanan sama. 14. Kalau bahasa? Iya kalau bahasa waktu awal-awal semester 1 dan 2. Saya suka dibilang agak sedikit aneh, kalau ngomong kayak marah-marah dulu kata temen saya. Katanya intonasinya agak tinggi mungkin karena saya dari Sumatera. 15. Terus ada nggak sih hal-hal yang ngebuat ngerasa nggak cocok tinggal di sini? Nggak cocok sih alhamdulillah nggak ada karena saya dari SMA udah ngekost. 16. Tapi masih di Lampung? Iya masih di Lampung. 17. Terus pernah berpikir untuk pulang nggak karena nggak nyaman tinggal di sini? Nggak, tapi awal-awal pernah dulu kalau temen-temen pada pulang.
113
18. Terus ada nggak sih yang nggak di sukain dari kehidupan sosial di kampus atau lingkunga sekitar? Kalau di kampus sih ada. Kayak kalau orang Lampung tuh walaupun keras tapi masih sopan gitu maksudnya nggak kenal pun masih sopan, tapi kalau di sini tuh kalau nggak kenal yah bodo amat gitu kayak sedikit nggak sopan menurut saya. Kurang ramah lah, agak sedikit keras. Nadanya juga kalau ngomong terlalu tinggi, nada kasar gitu. Mungkin juga karena di Lampung banyak kenal yah jadi kebersamaannya ada, kalau di Cilegon engga begitu. 19. Untuk mengatasi hal yang kayak gitu biasanya apa yang lo lakuin? Untuk mengatasi yang kayak gitu biasanya pertama nyari temen yang sepemikiran sama saya, kedua paling kalau ngeliat orang yang kayak gitu yah nyabarin diri aja sih. 20. Bagaimana proses interaksi yang lo lakuin terhadap mahasiswa non Sumatera? Kalau dulu saya nggak tau kalau di sini ada Sumatera lain yah, jadi saya paling nyari temen. Saya dulu pikirannya saya harus punya temen deket nih biar saya punya kostan di sini, akhirnya dapet lah temen. Dari satu temen itu baru kita nyabang kan, temen saya ngenalin saya ke temen-temennya. Akhirnya tadi ada camp nah dari camp itu disatuin, jadi tau. 21. Terus ada kesulitan nggak sih dalam interaksi sama mahasiswa lain? Kadang-kadang temen saya nggak tau bercanda atau apa, kadang-kadang dia nanya, apa yang dia tanya sama yang saya jawab itu nggak sama karena beda nangkepnya. Bahasanya juga ada beberapa yang beda. 22. Jadi pernah ada miskomunikasi gitu yah? Iya pernah, sering. 23. Terus gimana sikap mahasiswa yang lain waktu pertama kali berinteraksi sama lo? Pertama seneng sih, ada yang seneng karena dia punya temen jauh di Lampung kan jadi dia bisa main ke Lampung terus ada yang bilang juga sedikit aneh freka gitu kan karena kita kan beda budaya yah. 24. Pernah ngerasa minder nggak? Minder pernah karena saya datang dari desa kan, terus di sini tementemennya dari Jakarta Tangerang udah kota-kota maju. Bahkan saya juga dulu kayak minder diajak ke mana karena saya belum pernah, takut. Kayak dulu saya juga pernah, kan di sini KFC yah, kalau di sana nggak ada KFC yah. Mau ke KFC kayak cara bayarnya gitu-gitu kan masih kepikiran. Gitu sih yang minder dulu.
114
25. Terus waktu awal rantau ke sini bergaulnya sama tadi temennya asal mana? Asal Bayah. 26. Jadi berbaurnya langsung sama mahasiswa daerah lain yah karena belum tau ada yang dari Sumatera? Iya nggak tau. 27. Terus ada komunitas nggak sih atau perkumpulan dari Lampung? Kalau dulu ada pernah semester satu dikenalin sama abang panitia pengenalan kampus, dia orang Lampung. Dia nyariin kostan saya, dia juga ngenalin temen-temennya yang dari Lampung. Juga ada komunitasnya dulu, ketuanya ada di Serang jadi kita sering bolak-balik Serang waktu semester satu. 28. Komunitasnya namanya apa? Komunitasnya ini perkumpulan, apa yah, pokoknya orang Lampung aja. 29. Terus kalau sekarang udah ngerasa nyaman belum tinggal di Cilegon? Kalau sekarang udah nyaman. 30. Jadi udah ngerasa melakukan penyesuaian dengan baik yah? Iya udah melakukan penyesuaian dengan baik 31. Butuh waktu berapa lama untuk adaptasi? 2 semester, dibantu juga sama adanya Industrial Freindly Camp semacem ospek jurusan gitu. Jadi di sana kita sharing sama alumni, senior dan himpunan. Dikasih materi tentang TI, ada mecahin studi case gitu sama games dan lain-lain, jadi bikin makin akrab dan seangkatan saling ngelengkapin gitu. Dari situ jadi punya banyak temen. 32. Kegiatan apa aja yang dilakuin di sini? Ikutan organisasi? Iya organisasi ada di himpunan, ada organisasi IMTI (Ikatan Mahasiswa Teknik Industri) Zona Jakarta Raya, paling ngumpul sama angkatan sama jadi asistant lab juga. 33. Terus gara-gara merantau itu mengubah sikap atau kepribadian lo nggak? Iya mengubah. Di sana juga sih ngomongnya selalu gue-lo, tapi di sini berubahnya paling pola pikir. Nggak tau yah karena teman-temannya sekarang pada heboh gitu saya jadi kebawa. Dulu kan saya orangnya pendiem. 34. Terus pernah ngerasa “homesick” nggak? Pernah, kalau puasa.
115
35. Bedanya puasa di sini sama di sana apa? Kalau di sana tuh bisa ngaji malem-malem tapi kalau di sini nggak bisa karena saya nggak kenal sama lingkungannya. 36. Terus kalau lagi homesick gitu biasanya ngapain? Paling nelpon kalau nggak SMS. Paling nyibukin diri sama temen-temen biasanya maen ke mana. Tapi kadang kalau saya udah lama nggak pulang, ibu ke sini. 37. Terus kalau pulang berapa kali setahun? Sebulan dua kali tapi kalau dulu jarang pulang dari semester 1 sampai semester 5 lah paling satu semester dua kali pulang. Gara-gara sibuk terus ongkos mahal, kalau dari sini ke Tangerang kan murah. Kalau dari sini ke Lampung tuh deket cuma mahal, saya kan bawa motor jadi 50 ribu, PP kan 100. 38. Kalau dari Bakahuni itu masih jauh lagi? Iya sekitar 1 jam. 39. Di sini ada juga kan mahasiswa rantau lain, sepengetahuan lo mereka punya kendala yang sama nggak kayak lo? Kendala tuh paling tempatnya di sini kita nggak tau daerahnya, kalu mau cari apa-apa susah karena di sini kan kotanya kecil yah. Terus yang kedua paling kadang jadi bahan buat ketawa-ketawa gitu karena di Sumatera kan masih banyaknya perdesaan dari pada kotanya. Terus yang ketiga bahasa, dulu saya bisa bahasa Lampung tapi sekarang agak lupa karena jarang dipakai. Waktu awal sih masih tau masih keceplosan juga tapi sekarang kalau pulang jadi kayak aneh. Jadi kadang saya kalau ngomong bahasa Lampung malah jadi kecampur bahasa Inggris.
116
LAMPIRAN 6 HASIL WAWANCARA KEY INFORMAN 5
Nama Lengkap
: Ferdinand Putra
TTL
: Perawang, 7 Oktober 1993
Asal Daerah
: Pekanbaru
Suku
: Batak
Agama
: Kristen
Jurusan
: Ilmu Komunikasi angkatan 2013
1. Lahir dan besar di mana? Lahir dan besarnya di Perawang 2. Kalau orang tua asli mana? Asli orang tua dari Medan, dua-duanya merantau ke Pekanbaru dari pas muda. 3. Sebelumnya pernah tinggal di daerah lain nggak? Pernah tapi paling cuma sebulan kayak gitu doang, ke Jambi pernah. 4. Sebelumnya pernah ke Serang? Belum, ini pertama kali pas kuliah doang. 5. Punya saudara di Serang? Di Cilegon ada 6. Kalau ke Cilegon pernah? Pernah 7. Terus tujuannya melakukan perantauan ke sini apa? Ini karena kuliah doang, makannya ngerantau. Ngga tau kalau Untirta di mana juga sebelumnya.
117
8. Terus hal-hal apa aja yang mendorong untuk milih kuliah di UNTIRTA? Milih Untirta juga karena asal pick doang, yang penting kuliah di Jawa dan ngambil jurusan ikom. Ternyata tembusnya yang Untirta. Pengen kuliah ikom karena pengen kerja di belakang layar TV, cuma jurusan itu yang menjurus ke TV. Ga ada gambaran sama sekali tentang Untirta sebelumnya tapi sempet searching juga sih pas udah lulus, tapi cuma ada foto gedung B sama A, yah pokomya nekat aja yang penting dapet ikom dan di Jawa karena Jawa kayanya lebih keren. 9. Jadi ikutan SNMPTN? Nggak, ikut UMB. Pilihan terakhir. 10. Sekarang tinggal di mana? Tinggal di Serang nge-kost, di BMS. 11. Bagaimana perasaannya waktu tau bakal kuliah di Untirta? Kirain pas pertama kali kuliah tuh, kan pengennya kan pertama kali pengennya tuh pokoknya di Jawa terus ikom. Udah itu aja dan nggak tau kalau Untirta kayak gini, sebelum berangkat ke Jawa nih kirain Universitas di Jawa-Jawa nih udah keren-keren. Eh ternyata sampai di sini..kalau dibandingin sih sama Universitas Riau di Pekanbaru jauh lebih besar, kalau kayak gini itungannya TK doang. 12. Ada nggak sih bayangan kesenangan yang sekiranya bakal didapetin di Untirta waktu pas pertama datang? Nggak ada sama sekali, nggak kebayang apa-apa. Soalnya imej pertama masuk kayak gini. Kaget. Aneh. Jadi di luar ekspektasi. 13. Hal-hal apa saja yang berbeda antara Riau dan Serang? Kayaknya pola pikir orang-orang Jawa ini beda-beda deh. Kayak misalnya udah berpikir individualis, jiwa sosialisnya kurang terus masih berpikir sendiri kayak gitu. Kalau di sana kan lo ngeliat orang yang jatuh aja kayaknya peka banget. Itu sih bedanya. 14. Kalau bahasa gimana? Iya bahasa juga beda banget. Di sini nih susah ngertinya juga, pada mayoritas bahasa Sunda sama Jaseng gitu kan, jadi sedikit banyaknya jadi belajar. 15. Kalau makanan? Pernah nyoba sih tapi nggak semuanya, kayak bandeng pernah nyoba.
118
16. Tapi kalau misalnya makanan sehari-hari gimana? Wah beda banget, kalau di sini kayak apa sih sayur asem yah namanya itu hambar banget rasanya, nggak cocok di lidah. Jadi kalau di Sumatera tuh kan dominan makanannya pedes jadi ngerasa kalau makan di sini hambar, harus pake sambel banyak, pake asin banyak. Hambar aja. Mau makan kayak gimana juga tetep nggak puas. 17. Terus ada hal-hal yang dirasa nggak cocok untuk tinggal di Serang? Yang nggak cocok makannya sih emang agak susah, penyesuaian diri sama bahasa. Kalau nongkrong ke mana tuh kadang temen pake bahasa sunda atau jasengmya jadi belajar nyesuain diri aja. 18. Terus pernah kepikiran untuk pulang nggak? Kebetulan dari pertama kali regist ulang sampai sekarang belum pernah pulang udah hampir 3 tahun. 19. Kok nggak pulang? Sebenernya disuruh pulang tapi nggak mau pulang. Soalnya pas semester 1 pas libur itu disuruh pulang kan tapi bilang ke orang tua kalo misalnya pulang nggak balik ke sini lagi soalnya udah tau kayak gini kampusnya. Jadi males pulang takut betah di sana lagi kan, takut pengen pindah kuliah. Jadi tiap semester bakal ditanya mulu dan jawabannya pasti kayak gitu mulu. 20. Tapi kangen nggak sih? Kangen mah pasti kangen tapi pengen sampai selesai aja, kalau bisa sampai sukses dulu baru balik. 21. Terus ada nggak sih hal-hal yang nggak disukai dari kehidupan sosial di kampus atau lingkungan sekitar? Gue ngerasa kalau pas di kampus nih gue ngeliat jenis-jenis orang tuh jadi banyak banget. Kalau dulu kan waktu sekolah SMK kayaknya hidup orang tuh monoton, jadi yang satu berpikiran pulang yah pulang semua. Kalau sekarang di kampus nih kayak di Jawa nih orang udah berpikiran kayak “lo-lo gue-gue”. Udah berpikir sendiri ngerasa udah punya masa depan sendiri. Yah lo ngurusin diri lo sendiri kayak gitu tapi tetep ada sih orangorang yang masih berpikiran sosialis. 22. Apa yang lo lakukan untuk mengatasi hal-hal tersebut? Nyesuain sih. Gue kadang mikirnya ngapain lo mikirin orang yang nggak mikirin lo. Gue udah mulai berpikiran menyesuaikan diri kayak gitu. Ketika gue datang dari orang yang sosialis, gue bakal berpikiran kayak lo jangan terlalu sosialis Fer lo harus ngikutin permainan orang juga.
119
23. Terus waktu pas awal datang ke sini gimana sih interaksinya sama mahasiswa yang dari non Sumatera? Agak susah sih karena mereka kan kayak ada pengkotakan gitu. Misalnya kalau lagi kumpul, mereka tuh kadang pakai bahasa mereka masing-masing terus yang kayak gue nggak ngerti sendiri terus mereka yang ngerti sendiri, ngerasa kayak dicuekin. 24. Terus ada kesulitan-kesulitan apa saja yang dialami ketika berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera? Kesulitan myesuain diri supaya gue bisa ngerti mereka ngomong apa. 25. Apa pernah ada kesalahan paham atau miskomunikasi ketika berinteraksi dengan mahasiswa non Sumatera? Pernah sih yang kayak gue kira ini bahasa Sunda eh ternyata ini bahasa Jasengnya. Jadi kayak salah pake gitu kalau ngobrol suka nggak nyambung. Masih proses belajar sih. 26. Bagaimana sikap mahasiswa non Sumatera ketika pertama kali berinteraksi dengan lo? Misalnya nih kayak pertama kali gue sampe di Jawa terus ketemu sama orang-orang Jawa yang pribumi, terus ketika gue ngomong tuh kayak “lo bukan orang Jawa yah?”. Jadi udah nebak kalau logat gue beda, cara ngomong gue beda, mereka ngeresponnya gue tuh orang yang beda. 27. Tapi menurut lo respon dari mereka lebih ke arah positif atau negatif? Kalau menurut gue sih kebanyakan positif. Nggak terlalu negatif. Paling mereka berpikirnya gue kan orang Sumater yah, ngomongnya terlalu keras kayak gitu yang mereka ngeresponnya cuma gitu doang sih yang negatifnya. Padahal emang nadanya kayak gitu, tapi bukan marah. 28. Perasaan-perasaan apa saja yang muncul ketika mengetahui jika lo cukup berbeda dari yang lain? Iya gue lebih menyesuain aja sih. Nggak ngerasa minder, tetep percaya diri aja. 29. Terus waktu pertama kali datang ke sini, bergaul dengan mahasiswa dari daerah mana? Kebetulan gue pertama kali datang ke sini ada senior ngenalin gue sama orang Medan juga jadi gue nyambung sama orang Medan. Setelah itu baru menyesuaikan mulai dapet temen dari Bekasi, Tangerang, Jakarta juga.
120
30. Ada komunitas perkumpulan mahasiswa asal Sumatera atau Riau nggak di sini? Kebetulan Riau nggak ada soalnya sempet nyari-nyari juga orang-orang yang dari Pekanbaru ternyata nggak ada yang dari 2014 sampai 2015 nggak ada yang dari Riau. 31. Terus bagaimana perasaan setelah selama ini tinggal di Serang? Yah kayak gitu lah, kalau dibilang seneng mah seneng kalau dibilang susah mah susah. Kadang kepikiran juga sih kayak temen kan pada tembusnya di Undip, kadang kalau masih berhubungan sama yang di sana kayak masih ada nyesel, tapi kalau ketemu temen-temen lagi yang di Untirtanya terus nongkrong bareng seru-seruan, jadi nggak kepikiran lagi. 32. Terus berarti sekarang proses penyesuaian dirinya masih berjalan atau sudah selesai? Kadang-kadang masih menyesuaikan soalnya bahasa yang kayak bahasa sunda masih sedikit banget ngertinya, Jasengnya juga. 33. Tapi waktu awal butuh penyesuaian diri berapa lama? Lama itu mah, mungkin sampe 2 semester kali yah. 34. Sekarang ikutan kegiatan apa aja di kampus atau di luar kampus? Kebetulan gue ikut HIMAKOM, UKM Olahraga sama ikut komunitas fixie gitu di luar kampus. 35. Bagaimana sikap dan kepribadian lo setelah melakukan perantauan? Iya, kayak kemarin telponan sama orang tua itu ada respon, gue nggak tau ini positif atau negatif, “Bang, kayaknya logatnya agak berubah dikit”. Jadi kayak ada kombinasi dari logat gue dari yang Pekanbaru kecampur sama logat yang dari Jawa gitu yang kayak orang-orang di sini deh. 36. Emang kalau di Pekanbaru logatnya apa sih? Melayu? Melayu-Minang. Jadi di sono tuh mayoritas orang tuh kalau nggak bahasanya Minang yah Melayu sama kayak yang Padang tapi Minangnya kasar, tapi Minang Padang ada 2 juga, Minang kasar sama lembut. 37. Bisa contohin logat Pekanbaru nggak? Kalau misalnya bahasa Minangnya itu kalau di Padang kan “Ambo” pakenya, “Ambo itu saya, kalau di Pekanbaru itu “Aden”. “Aden nio payi” – aku mau pergi. Kalau di bahasa Padang halusnya kan “Ambo nio ka payi”.
121
38. Jadi kalau di sini kan pakainya “gue-lo” sekarang, susah nggak? Gue dulu pertama kali sampai di sini kan gue bahasanya “aku-kau” sama “aku-kamu”. Jadi gue belajar juga nyesuain pake “lo-gue” itu gue nyesuainnya hampir 1 sampai 2 semester pakai bahasa “lo-gue”. 39. Pernah denger istilah “homesick” nggak? “Homesick?” 40. Iya kangen rumah gitu. Lo kan nggak pernah pulang yah, terus gimana kangen nggak? Sebenernya kangen-kangennya kalau liat temen tiap hari Sabtu kan balik, itu suka kepikiran temen gue bisa balik. Kadang dimotivasi juga sama temen kan, “lo nggak balik?” “yakin lo nyuruh gue balik?” gue bilang kayak gitu. Seolah-olah dia nyuruh gue balik tapi kalau gue balik, gue nggak akan balik. 41. Terus kalau udah kangen begitu ngatasinya gimana? Paling telponan sih. 42. Terus kan ada mahasiswa rantau dari Sumatera juga yah. Sepengetahuan lo, bagaimana pengalaman teman-teman mahasiswa rantau yang lain? Apa memiliki kendala yang sama dengan lo? Pasti. Waktu pertama kali sampe kan orang Sumatera ngomongnya “akukau” “aku-kamu” yah jadi harus menyesuaikan bahasanya sama cara bergaul sih kayaknya beda. Bisa dibilang sedikit lebih bebas sih, soalnya gue liat tuh di Untirta lebih banyak pendatang dibandingkan orang pribuminya, jadi ada percampuran budaya kayak ada orang-orang Jakarta yang bebas gitu terus dicampur sama orang pribumi terus ada lagi dari orang pulau jawa sananya terus dicampur lagi jadi macem-macem gitu.
122
LAMPIRAN 7 HASIL WAWANCARA INFORMAN PENDUKUNG Nama Informan: Prof. Dr. Ahmad Sihabudin., M.Si. 1. Apakah yang dimaksud dengan pengertian komunikasi? Kalau pengertian komunikasi yang sudah kita sama-sama pahami yah, ketika ada orang saling mengoper sebuah pesan, sebuah simbol juga itu komunikasi yah. Kalau pengertian lebih jauh kan, kalau kata Prof Onong atau Devito, ketika ada saling sama-sama paham baru disebut komunikasi, kalau tidak paham berarti miskomunikasi. Itu secara umum komunikasi. Jadi kegiatan orang menyampaikan pesan itu dalam arti luas bisa gambar, bisa benda, seperti saya ngasih hadiah ke sesorang yang saya sukai, itu kan juga komunikasi. 2. Apakah yang dimaksud dengan budaya? Budaya itu kan luas yah pengertiannya. Cara berpikir juga budaya, makanan juga bisa berarti suatu kebudayaan, bahasa sendiri kan budaya, cara berpakaian juga budaya, sikap juga budaya. Kenapa kita harus bersikap berbeda ketika kita berbicara dengan orang yang lebih tua atau lebih senior dari kita kan itu juga menandakan. Budaya itu punya pengertian yang sangat luas, kalau anda tanya saya budaya itu apa sih, cara ngomong juga budaya kan. Kenapa kita harus “assalamualaikum” atau mengucapkan salam lah ketika kita berjumpa seseorang yang kita kenal. Mungkin karena itu budaya yang mengajarkan pada kita melalui pemahaman oleh orang tua kita kan, kita diajarkan. Karena budaya kan sesuatu yang bisa dipelajari, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi bisa lewat komunikasi seperti ini, bisa lewat belajar. 3. Apakah yang dimaksud dengan komunikasi antarbudaya? Kalau merujuk pada beberapa pendapat ahli, komunikasi antarbudaya sebetulnya ketika orang berbeda budaya dalam pengertian apa dulu, entitasnya apa. Ketika entitasnya antara anda dengan saya, saya dosen anda kan mahasiswa. Itu entitasnya kan posisi yah, pekerjaan atau status. Itu juga bisa dikatakan komunikasi antarbudaya karena anda kan lain cara nanyanya, nggak bisa anda lo-gue ke saya, mungkin ke teman anda yang entitasnya sama, bisa. Sederhananya gitu, jadi komunikasi antarbudaya bisa terjadi kapanpun dan dimanapun, anda dengan orang tua anda juga bisa dari sudut pandang itu dikatakan sebagai komunikasi antarbudaya. Anda bisa praktikan bagaimana anda berkomunikasi dengan teman anda dan bagaimana anda berkomunikasi dengan orang tua anda.
123
4. Apa yang menyebabkan seseorang melakukan perantauan? Apakah ada faktor-faktor tertentu? Yah banyak hal. Misalnya kalau kita pilah-pilah yah, saya juga nggak bisa spesifik faktornya apa. Misalnya ada motivasi ingin belajar, kan dia pasti mau nggak mau kan mobile, pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mungkin itu salah satunya ingin belajar, itu kan faktor pendorong. Ingin nambah penghasilan juga dia pindah, dari daerah yang susah mencari tempat kerja, konon katanya di Jawa lebih mudah. Jadi faktor pendorongnya, motivasi dia belajar. Katanya kalau dari Sumatera baik Minang maupun Batak memang ada jiwa perantau, tapi faktor spesifiknya mungkin anda bisa baca yah kenapa sih orang Minang merantau. Mungkin dipengaruhi oleh filosofi “di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”. Kita harus bisa menyesuaikan sehingga dia ada ketekadan untuk itu, ada nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhurnya. Misalnya tadi ingin dapat penghasilan lebih, dia kan harus hijrah. Kalau tadi ingin belajar, pendidikan. Karena kawin juga bisa, misalnya kawin dengan orang Jawa kan wanitanya bisa pindah atau sebaliknya atau karena tugas juga bisa. Tapi kalau spesifiknya tuh saya juga nggak bisa ngejelasin, sebetulnya kenapa karena belum pasti ngadain riset. Mungkin sudah ada itu penelitianpenelitian tentang orang Minang suka merantau atau kalau di Sunda itu orang Tasik, banyak yang merantau laki-lakinya. 5. Apa yang dimaksud dengan culture shock? Kalau gegar budaya bisa dikatakan kaget, mungkin di sana mobil jarang di sini banyak mobil. Di sana kurang hiburan, di sini banyak hiburan. Jadi kaget yah, di sana kebiasaan tidur itu mungkin jam 8 jam 9 sudah pada di rumah, di sini ternyata jam 12 juga masih ramai. Itu kan membuat dia lama kan penyesuaiannya, jadi sebetulnya gegar budaya itu sebuah proses juga sih menurut saya yah. Sebuah proses untuk penyesuaian pada lingkungan itu, proses dia beradaptasi supaya tidak kaget. Karena disebut gegar budaya ketika dia melakukan tindakan-tindakan yang di luar kebiasaan dia, kan kaget tadinya nggak biasa tidur terlalu malam, di sini kan tidur sampai malam sehingga dia menjadi terganggu dan sakit. Itu juga akibat dari kurang beradaptasi. 6. Apakah culture shock memiliki fase atau tahapan? Mungkin kalau dibilang tahapan biasanya kan setiap orang beda-beda, tidak bisa disamakan. Kalau saya sih berhipotesis begini, semakin dia banyak membaca sebuah kebiasaan di tempat itu, dia akan semakin meminimalkan gegar budaya itu. Misalnya saya mau ke Papua, paling nggak saya sedikit banyak kan tahu tentang Papua. Kalau saya tidak bisa mengatakan tahap-tahap yah bagaimana sih fasenya. Yah fasenya sebetulnya kan ketika dia kurang siap masuk ke tempat baru pasti ada gegar budaya, sehebat apapun dia. Anda misalnya belum terbiasa dapat jamuan makan malam lengkap, mungkin juga anda bingung pakai baju apa. Kan itu juga termasuk gegar budaya, tidak mesti terjadi antar tempat ke tempat
124
lain. Ketika kita masuk ke dalam satu kelompok sosial yang berbeda dengan kita, itu biasanya juga akan terjadi gegar budaya. Misalnya anda komunitas mahasiswa Untirta, anda masuk ke komunitas IAIN, mungkin juga anda agak merasa “kok beda yah suasananya”. Sebenarnya gegar budaya itu tidak mesti harus dalam pengertian pindahnya dari satu kultur ke kultur lain, tempat ke tempat lain, dalam satu kota juga ada gejala ketidak siapan kita dalam menghadapi sebuah kultur, tradiri baru itu. Menurut pandangan saya, ketika ada seseorang yang kurang siap menghadapi satu keadaan yang baru bisa dikatakan terjadi shock culture. Misalnya saya menerapkan kebijakan mahasiswa yang masuk kelas saya harus pakai seragam, pasti kan banyak yang protes dan nggak ada yang siap juga. Ini apa-apaan mengubah tradisi yang ada. 7. Saya kan sudah wawancara sebelumnya dengan mahasiswa asal Sumatera, Pak. Waktu awal mereka mau merantau mereka memiliki semangat dan ekspektasi tersendiri. Apakah benar orang yang mau merantau memiliki ekspektasi? Iya harapan, ternyata nggak? 8. Kebanyakan sih bener, Pak, harapannya tingi-tinggi tapi pas datang kok gini yah. Kebanyakan yang dari Sumatera nganggepnya Jawa itu lebih baik, Pak. Kotanya asalnya mana? 9. Medan, Pekanbaru, Lampung dan Bengkulu. Kalau Bengkulu kita masih bersaing lah, saya kan pernah ke sana. Kalau kayak orang Palembang, orang Medan, orang Bandar Lampung pasti kecewa karena nggak sesuai dengan harapan mereka, pas masuk ke Serang di Serang nggak ada apa-apa. Kayak di Medan, Medan kan kota besar ke4 atau ke-5 di Indonesia. Jauh. Palembang juga. 10. Waktu pertama kali berinteraksi dengan orang-orang non Sumatera, mereka mengalami perbedaan sehingga adanya celetukan atau sindiran. Hal itu dikarenakan oleh apa? Itu mah biasa yah, di tempat manapun ketika ada hal baru yang mereka jumpai pasti ada kekagetan baik di pihak pendatang dan orang yang didatangi. Itu bagain dari dinamika akulturasi atau toh akhirnya lama-lama mereka akan berasimilasi yah menyatu juga, ada proses penyesuaian, adaptasi. Tentunya yang harus banyak mengalah memang dari yang datang, harus banyak beradaptasi karena mereka kan pendatang dalam pengertian untuk bisa diterima di lingkungan baru tentunya harus banyak penyesuaian kepada lingkungan baru yang mereka tempati. Yah sebaliknya kalau orang Serang pindah ke Medan tentunya menyesuaikan juga dengan adat di sana. Kalau menurut saya wajar terjadi di setiap kelompok masyarakat manapun dan lapisan masyarakat manapun kecuali memang
125
sudah sama-sama selevel dalam pengertian dan tidak ada yang dipersoalkan.
11. Terus ada stereotype kalau orang Jawa itu nganggep orang Sumatera lebih keras, pak. Nah ternyata setelah wawancara, orang Sumatera ini yang lebih banyak menganggap orang Jawa lebih individual. Menurut bapak gimana? Saya nggak tau persis yah datanya, kata siapa orang Jawa lebih individual atau orang Sumatera lebih keras. Saya punya kawan orang Sumatera baikbaik, lembut-lembut bahkan lebih dari orang Jawa. Tergantung marganya juga dengan lingkungan pekerjaan juga menentukan. Mungkin secara fisik, kasat mata dari bahasanya, logatnya kan tinggi padahal itu nada mereka seperti itu bukan berarti itu tidak sopan juga. Itulah uniknya budaya, kita tidak bisa mengatakan budaya ini lebih sopan, budaya B kurang sopan karena ukurannya lain tergantung nilai budaya tersebut. Apakah makan pakai tangan mengepal buat orang Sumatera itu sopan atau tidak sopan, menurut mereka memang budaya mereka mengajarkan seperti itu, cara makan pakai tangan itu kadang seperti diremas nasi dimasukan ke mulut kan orang Sunda lain lagi, nyocolnya kan sedikit-sedikit. Seperti dalam berpakaian orang Papua pakaiannya memang begitu masa bisa dikatakan tidak sopan, orang dia emang pakaiannya pakai koteka.
126
127
128
129
130
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Tempat Lahir Tanggal Lahir Jenis Kelamin Alamat No. Telp Email
: Ayu Siti Rachma : Serang : 03 November 1993 : Perempuan : Komp. Pasir Indah, Jl. Sarikaya B.21 Serang - Banten : 089-66-5484-333 :
[email protected]
Riwayat Pendidikan 1998 – 1999 1999 – 2005 2005 – 2008 2008 – 2011 2011 – 2016
: : TK KWPK Serang - Banten : SD Negeri Cinanggung Serang - Banten : SMP Negeri 1 Kota Serang – Banten : SMA Prisma Serang Banten : S1- Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Pengalaman Organisasi 2012
: : UKM Jurnalistik UNTIRTA
Kursus
:
2010 Pengalaman Kerja
: LIA Serang :
Sep 2014 – Okt 2014 : Job Training di Humas Setda Kabupaten Serang
131