STUDI EKOLOGI DAN REPRODUKSI POPULASI KERANG LUMPUR Anodontia edentula PADA EKOSISTEM MANGROVE TELUK AMBON BAGIAN DALAM
YULIANA NATAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
2
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Studi Ekologi dan Reproduksi Populasi Kerang Lumpur A. edentula pada Ekosistem Mangrove Teluk Ambon Bagian Dalam adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2008
Yuliana Natan NRP C661020041
3
ABSTRACT YULIANA NATAN. Ecology and Reproduction Study of Mudflat clam Anodontia edentula in Mangrove Ecosystem of Inner Ambon Bay. Under the Supervision of DIETRIECH. GEOFFREY. BENGEN, FREDINAN YULIANDA, and SIGIT ANGGORO PUTRO DWIONO. The mudflat clams, Anodonta edentula, of the family Lucinidae are found in the intertidal to subtidal zone of the mudflat coastal area . The clams burrow themselves to the depth of 20-60 cm in the muddy bottoms around the estuaries in mangrove forest, and can withstand the anoxic condition of sediment containing high sulfide. In Ambon, the mudflat clams were exploited during the season when fishes as source of protein were scarce. Over exploitation and pressure on the natural habitat of the clams will decrease the population. The objectives of this research were: to study the habitat typology and water quality in connection with distribution pattern and density of the mudflat clams to study the morphometric, growth, mortality and recruitment of the clam to determine the status of population; to analyze its ability to survive in different conditions of substrates; and to study aspects of reproduction of the clam to determine reproduction potency. The research was carried out in 13 months ( from January 2005 to January 2006) in mangrove ecosystem of Inner Ambon Bay. The site was divided into three zones, i.e. the front zone or zone I (near the waters), the middle zone or zone II, and the back zone or zone III (upper area of the mangrove forest). The analyses covered community structure of the mangrove, environmental characteristics of the waters (rainfall, temperature, salinity, pH, DO, sulphite, phosphate and nitrate), distribution patterns of the clams, lengthweight relationship, condition factor, growth rate and production. Aspects of reproduction were sex ratio, gonato somatic index, gonado maturity level, and fecundity. The results showed that mangrove area was dominated by Rhizophora apiculata, R. macronata and Sonneratia alba. Zone II was dominated by muddy sand with higher density of clam (35.25 ind./m2) compare to the other zones, particularly in February and November. A. edentula were distributed in clumps, shown by clusters of secure holes in their habitat. Relationship between some morphometric components of the clams indicated significant correlation, i.e. a linear relationship between length and weight, while power function were indicated by length and “inflation” and also by witdh and “inflation”. Temporal growth pattern indicated a positive allometric growth (b>3) every month. Distantly translocation from their original habitat did not increase the length, weight and production, while closely translocation indicated a small change caused by environmental condition that was sensitive to changes in environmental parameters. Subsequently, the asymtotic length (L infinity) of males, females, also males and females combined were 65.63 mm, 70.88mm and 70.58 mm, and the size of males was less than females; annual growth coefficient (K) of males, females, also males and females combined were 1.3, 1.5 and 1.5 relatively, which indicated a fast growth of the clams in relatively short period, which were 2.3 years for the males, 2 years for the females, and 2.1 year for males and females
4
combined. Subsequently, total mortality rate (Z) of the males, females, also males and females combined were 4.56 ± 0.31, 4.61 ± 0.65, and 4.95 ± 0.43. These high rates were caused by the extreme life condition, also by the thin and fragile shells of the clams. Recruitment occurred every month in the males, females, and also males and females combined. Overall, there were two unequal pulses. The peaks of males were in June (12.38%) and October (14.77%), while in the females were in April (16.88%0 and Auigust (15.12%), and in the males and females combined were in March (12.67%0 and May (20.26%). During 13 months observation, sex ratio did not changed much (1:1) month by month. Spawning occurred along through the year, and this was supported by gonado somatic index, maturity level and fecundity, with peaks of spawning season in the beginning of wet season April-May) and dry season (November-December). Keywords : Mudflat clam, growth, mortality, gonado somatic index, maturity level and fecundity
5
RINGKASAN YULIANA NATAN. Studi Ekologi dan Reproduksi Populasi Kerang Lumpur Anodontia edentula di Ekosistem Mangrove Teluk Ambon Bagian Dalam. Dibimbing oleh DIETRIECH GEOFFREY BENGEN, FREDINAN YULIANDA, dan SIGIT ANGGORO PUTRO DWIONO. Kerang lumpur, Anodontia edentula dari famili lucinidae, hidup pada daerah pantai berlumpur (mudflat) di zona intertidal sampai subtidal dan hidupnya berkelompok. Selain itu spesies ini membenamkan diri pada dasar berlumpur (muddy bottoms) sekitar estuari pada daerah hutan mangrove pada kedalaman 20 – 60 cm dan dapat hidup pada kondisi anoxic dengan sedimen mengandung banyak sulfida. Di Ambon kerang ini dimanfaatkan bila terjadi musim paceklik ketika ikan sebagai sumber protein hewani sulit diperoleh, sehingga populasi kerang ini akan mangalami tekanan bila tidak dikelola dengan baik. Aktivitas ekploitasi yang berlebihan, serta penekanan terhadap kondisi habitat alami dari kerang itu sendiri mengakibatkan penurunan populasi yang cukup mengkhawatirkan. Tujuan dari penelitian ini adalah: mengkaji tipologi habitat dan kualitas perairan dalam hubungannya dengan pola sebaran dan kepadatan kerang Anodontia edentula. mengkaji morfometrik, pertumbuhan, mortalitas dan rekrutmen dalam menentukan status populasi kerang Anodontia edentula; menganalisa kemampuan bertahan hidup kerang pada kondisi substrat yang berbeda, mengkaji aspek reproduksi kerang yang menentukan potensi reproduksi. Penelitian dilakukan selama 13 bulan (dari Januari 2005 sampai Januari 2006) di ekosistem hutan mangrove Teluk Ambon Bagian Dalam dimana dibagi atas 3 zona, yaitu zona depan hutan mangrove, tengah mangrove dan di belakang hutan mangrove. Metode analisis meliputi struktur komunitas mangrove, karakteristik lingkungan perairan (curah hujan, suhu, salinitas, pH, Oksigen terlarut, sulfite, fosfat dan nitrat), pola penyebaran kerang, hubungan panjang berat, faktor kondisi, kecepatan tumbuh dan produksi, sedangkan aspek reproduksi meliputi nisbah kelamin, indeks kematangan gonad, tingkat kematangan gonad serta fekunditas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: spesies mangrove didominasi oleh Rhizophota apoculata, R.macronata dan Sonneratia alba.. Pada zona II (tengah) didominasi oleh pasir berlumpur dengan kepadatan (35.25 ind/m2) lebih tinggi dari zona lainnya, terutama dibulan Febuari dan November. Kerang Anodontia edentula mempunyai pola penyebaran yang mengelompok, dimana terlihat dari terbentuknya kelompok lubang-lubang perlindungan di dalam habitat kerang. Keterkaitan antara beberapa komponen morfometri kerang menunjukkan hubungan yang sangat erat, dimana panjang dan lebar mempunyai hubungan yang linear, sedangkan panjang dan tebal serta lebar dan tebal menunjukkan hubungan kuasa. Pola pertumbuhan secara temporal menunjukkan pola yang allometrik positif (b>3) bulan demi bulan. Translokasi yang jauh dari lokasi asal tidak menunjukkan pertambahan panjang, berat ataupun produksi yang baik. Begitupun yang dekat dengan lokasi asal memperlihatkan sedikit perubahan dalam panjang, berat dan produksi, yang mana disebabkan oleh kondisi lingkungan yang peka terhadap perubahan parameter lingkungan. Panjang asimtot (L infinity) dicapai
6
oleh kerang jantan, betina dan gabungan masing-masing adalah 65.63 mm, 70.88 mm dan 70.58 mm, dimana ukuran jantan lebih kecil dari betinanya. Koefisien pertumbuhan (K) dari jantan, betina dan total masing masing 1.3, 1.5 dan 1.5 per tahun yang mengindikasikan pertumbuhan yang cepat dari kerang ini dengan laju pertumbuhannya memerlukan waktu yang pendek yaitu masing-masing 2.3 tahun, 2.0 tahun dan 2.1 tahun. Laju mortalitas total Z, untuk jantan, betina dan total masing-masing adalah 4.56±0.31, 4.61±0.65 dan 4.95±0.43. Laju mortalitas total yang cukup tinggi, disebabkan oleh kondisi hidup yang ekstrim dan cangkang yang cukup tipis dan rapuh. Pada kerang jantan, betina maupun gabungan total kerang menunjukkan rekrutmen terjadi setiap bulan. Secara keseluruhan telah terjadi dua puncak pulsa yang tidak sama (two unequal pulsa). Puncak rekrutmen pada kerang jantan terjadi pada bulan Juni (12.38%) dan Oktober, yaitu 14.77%; pada betina pada bulan April (16.88%) dan Agustus (15.12%) dan total gabungan pada bulan Maret (12.67%) dan Mei (20.26%). Nisbah kelamin selama 13 bulan pengamatan memperlihatkan fluktuasi yang hampir tidak berubah dari bulan ke bulan, yaitu 1:1. Pemijahan terjadi sepanjang tahun, hal ini didukung oleh Indeks Kematangan Gonad, Tingkat Kematangan Gonad dan Fekunditas dengan puncak pemijahan antara awal musim penghujan (April-Mei) dan musim kering (Nopember-Desember).
7
☼Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikann kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
8
STUDI EKOLOGI DAN REPRODUKSI POPULASI KERANG LUMPUR Anodontia edentula PADA EKOSISTEM MANGROVE TELUK AMBON BAGIAN DALAM
YULIANA NATAN
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
9
Judul Disertasi Lumpur
: Studi Ekologi dan Reproduksi Populasi Kerang Anodontia edentula pada Ekosistem Mangrove Teluk Ambon Bagian Dalam
Nama
: Yuliana Natan
NIM
: C661020041
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir.Dietriech.G.Bengen, DEA Ketua
Dr.Ir.Fredinan Yulianda,MSc DEA Anggota
Dr.Ir.Sigit.A.P.Dwiono, Anggota Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dr.Ir. Djisman Manurung,MSc Notodiputro,MS
Tanggal Ujian : 30 Januari 2008
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Dr.Ir.Khairil Anwar
Tanggal Lulus :
10
PRAKATA Disertasi Beberapa Aspek Ekologi dan Reproduksi Populasi Kerang Lumpur Anodontia edentula pada ekosistem mangrove Teluk Ambon Bagian Dalam merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Doktor pada program studi Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB. Disertasi ini diharapkan dapat memberi manfaat dan menjadi bahan rujukan pustaka dari kerang Anodontia edentula baik informasi ekologi, repdoduksi maupun pengelolaan yang berkelanjutan dari kerang ini di perairan Maluku. Segala Puji Syukur kepada Tuhan Jesus Kristus, atas berkat dan kasihNya disertasi ini dapat terselesaikan. Menyadari bahwa selama pendidikan hingga tersusunnya disertasi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan dukungan berbagai pihak baik moril maupun materiil. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : Komisi Pembimbing: Prof. DR.Dietriech.G.Bengen. DEA selaku Ketua, DR.Ir. Fredinan Yulianda dan DR. S.A.P Dwiono, DEA, masing-masing sebagai komisi pembimbing
atas dedikasi dan arahan dari ketiga Pembimbing, telah
membuka wawasan penulis mulai dari perencanaan, pelaksanaan penelitian hingga rangkumnya penulisan disertasi ini. Terima kasih kepada : Rektor universitas Pattimura, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura bersama seluruh staf akademik maupun administrasi atas dukungan selama pendidikan. Penulis patut berterima kasih kepada PEMDA Maluku, Pemerintahan Desa Lateri, Yayasan Dana Beasiswa Maluku, Yayasan Satyabhakti Widya, Yayasan Toyota & Astra, Bapak M. Sinanu, Ir.Y. .Masrikat, Penghuni P12, dan PERMAMA Bogor atas dukungan moril maupun materil. Ungkapan terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam penulis sampaikan kepada: Papa, Mama, Mertua, saudara-saudariku, serta seluruh keluargaku. Yang tercinta suamiku Ir.Tonny.S. Ongkers, MS dan anak-anakku terkasih Jodi dan Vania atas pengorbanan, doa dan dukungan yang tiada hentinya. Semoga Disertasi ini bermanfaat untuk yang membutuhkannya. Bogor, awal Januari 2008 Yuliana Natan
11
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 30 Januari 1962, dari Bapak Johannis Natan dan ibu Santje Liem. Penulis merupakan anak ke 2 dari enam bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan Universitas Pattimura, lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1993 penulis
diterima di Program Studi Ilmu kelautan pada Program
Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1996. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2002. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Selain itu juga diperoleh bantuan beasiswa dari Yayasan Beasiswa Dana Maluku (YDBM), PEMDA Maluku dan Yayasan Satyabakti Widya, Jakarta. Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura sejak tahun 1987 hingga sekarang. Sebuah makalah dengan judul “Studi ekologi kerang pantai berlumpur tropis Anodontia edentula di ekosistem mangrove”, telah disampaikan pada Seminar Nasional Moluska dalam Penelitian, Konservasi dan Ekonomi di Semarang pada 18 Juli 2007. Sebuah artikel akan diterbitkan dengan judul Beberapa Aspek Biologi Reproduksi kerang pantai berlumpur (Anodontia edentula, Linnaeus, 1758) pada ekosistem mangrove di Teluk Ambon Bagian Dalam pada jurnal Ichtyos Januari 2008 Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program doktor penulis.
12
DAFTAR ISI Halaman PRAKATA ............................................................................................................ i RIWAYAT HIDUP .............................................................................................. iii DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ................................................................................................ vii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii I. PENDAHULUAN ............................................................................................1 1.1 Latar Belakang..........................................................................................1 1.2 Perumusan Masalah .................................................................................5 1.3 Kerangka Pemikiran .................................................................................6 1.4 Tujuan Penelitian .....................................................................................9 1.5 Manfaat Penelitian ...................................................................................9 1.6 Hipotesis ..................................................................................................9 II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................10 2.1 Ekosistem Mangrove ...............................................................................10 2.2 Sistematika, Morfologi, dan Anatomi Kerang .......................................12 2.3 Sistem Reproduksi Pada Bivalvia .........................................................14 2.3.1 Oogenesis ......................................................................................16 2.3.2 Spermatogenesis, Spermiogenesis dan Sperma ............................17 2.4 Siklus Reproduksi ....................................................................................18 2.4.1 Faktor-Faktor Eksogen .................................................................19 2.4.2 Faktor- Faktor Endogen ................................................................20 2.5 Fertilisasi Gamet ....................................................................................20 2.6 Perkembangan Larva ............................................................................21 2.7 Beberapa Aspek Bio-Ekologi ................................................................22 2.7.1 Habitat ...........................................................................................22 2.7.2 Sebaran...........................................................................................22 2.7.3 Pertumbuhan .................................................................................23 2.7.4 Makanan dan Pencernaan ..............................................................24 2.7.5 Kondisi Hidrologi .........................................................................25 III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN .......................................................28 3.1 3.2 3.3
Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................28 Alat dan Bahan Penelitian .....................................................................29 Metode Penelitian ..................................................................................30 3.3.1 Mangrove ......................................................................................30 3.3.2 Sedimen......................................................................................... 31 3.3.3 Parameter Lingkungan Perairan ...................................................31 3.3.4 Kerang ..........................................................................................31 3.3.5 Kemampuan Adaptasi Keranag ................................................. 34 3.3.6 Reproduksi Kerang ......................................................................34 3.4 Analisis Data Kerang dan Lingkungan .................................................36
13
3.4.1 Mangrove ......................................................................................36 3.4.2 Variasi Karakteristik Lingkungan Perairan ..................................37 3.4.3 Kepadatan Kerang.. ........................................................................39 3.4.4 Pola Penyebaran ...........................................................................39 3.4.5 Morfometrik ..................................................................................40 3.4.6 Hubungan Panjang- Berat .............................................................40 3.4.7 Faktor Kondisi ...............................................................................40 3.4.8 Kecepatan Pertumbuhan ...............................................................41 3.4.9 Produksi Kerang ............................................................................41 3.4.10 Pertumbuhan ..................................................................................42 3.4.11 Pendugaan Mortalitas . ...................................................................46 3.4.12 Rekrutmen .....................................................................................47 3.4.13 Nisbah Kelamin ..............................................................................47 3.4.14 Indeks Kematangan Gonad dan Indeks Berat Daging ...................47 3.4.15 Fekunditas ......................................................................................48 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................49 4.1.Struktur Komunitas Mangrove........................................................
49
4.2 4.3 4.4
Karakteristik Substrat ......................................................................... 52 Karakteristik Lingkungan Perairan .......................................................54 Ekologi Kerang ..................................................................................... 66 4.4.1 Kepadatan ................................................................................... 66 4.4.2 Pola Penyebaran ..............................................................................72 4.4.3. Sebaran Ukuran Kerang .................................................................74 4.4.4. Morfometrik ...................................................................................77 4.4.5. Faktor Kondisi ................................................................................81 4.4.6.Jenis Makanan .................................................................................84 4.4.7.Kemampuan Adaptasi Kerang ........................................................85 4.4.8. Pertumbuhan ..................................................................................88 4.4.9. Mortalitas .......................................................................................95 4.4.10. Rekrutmen ....................................................................................96 4.5. Reproduksi Kerang ............................................................................. . 99 4.5.1.Nisbah kelamin .............................................................................. 99 4.5.2. Indeks Kematangan Gonad (IKG) ................................................101 4.5.3.Tingkat Kematangan Gonad ..........................................................103 4.5.4. Fekunditas .....................................................................................108 V. SIMPULAN DAN SARAN...........................................................................115 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................117 LAMPIRAN ........................................................................................................123
14
DAFTAR TABEL Halaman 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ..........................................29 2. Jenis-jenis mangrove yang ditemukan pada perairan Passo ..........................49 3. Penyebaran ukuran partikel substrat habitat kerang A. edentula .....................52 4. Parameter kualitas perairan di ketiga zona penelitian A. edentula .................54 5. Akar ciri dan persentase varians pada 5 sumbu utama dari PCA di ketiga zona ......................................................................................................61 6. Sebaran rataan kepadatan kerang A. edentula secara spasial ..........................68 7. Akar ciri dan persentase varians pada 5 sumbu utama dari PCA dengan kepadatan sebagai variabel suplemen di ketiga zona .........................68 8. Pola penyebaran populasi kerang A. edentula ...............................................73 9. Rataan panjang cangkang pada berbagai lokasi selama 16 minggu ...............86 10. Rataan berat cangkang pada berbagai lokasi selama 16 minggu ....................86 11. Ukuran kohort kerang A. edentula selama penelitian ....................................89 12. Persentase rekrutmen jantan, betina dan total kerang A. edentula .................97 13. Nisbah kelamin kerang A. edentula ...............................................................100 14. Statistik berat gonad, berat viscera dan IKG A. edentula ..............................102 15. Statistik IKG jantan dan betina A. edentula...................................................102 16. Tingkat Kematangan Gonad kerang betina A.edentula..............................105 17. Tingkat Kematangan Gonad kerang jantan A.edentula...... ...................
106
18. Persentase TKG kerang A. edentula selama penelitian ................................107 19. Frekuensi dan persentase matang kerang betina ...........................................108 20. Kisaran parameter ukuran dan jumlah telur .................................................109
15
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Pola pendekatan masalah dalam penelitian kerang di perairan pantai hutan mangrove Teluk Ambon Bagian Dalam .................................................8 2. Anatomi dari Loripes lucinnalis .....................................................................14 3. Skema sistem reproduksi dioceus pada bivalvia ...........................................15 4. Skema sistem reproduksi hermaprodites pada bivalvia ............................................ 16 5. Peta penyebaran Anodontia edentula ..............................................................23 6. Lokasi pengambilan contoh kerang dan mangrove ........................................28 7. Pengukuran morfometri kerang .....................................................................33 8. Peta sebaran nilai penting jenis mangrove ......................................................51 9. Sebaran partikel sedimen habitat kerang ........................................................53 10. Curah hujan dan lama hari hujan dari bulan Januari 2005 hingga Januari 2006 ....................................................................................................54 11. Sebaran nilai kualitas perairan pada zona I dari bulan Januari 2005 hingga Januari 2006 ........................................................................................58 12. Sebaran nilai kualitas perairan pada zona II dari bulan Januari 2005 hingga bulan Januari 2006 ..............................................................................59 13. Sebaran nilai kualitas perairan pada zona III dari bulan Januari 2005 hingga bulan Januari 2006 .....................................................................60 14. Grafik PCA karakteristik lingkungan perairan pada Zona I ...........................63 15. Grafik PCA karakteristik lingkungan perairan pada Zona II ..........................64 16. Grafik PCA karakteristik lingkungan perairan pada Zona III ........................65 17. Grafik PCA karakteristik kualitas air dan habitat dengan kepadatan sebagai variabel suplemen pada zona I ...........................................................69 18. Grafik PCA karakteristik kualitas air dan habitat dengan kepadatan sebagai variabel suplemen pada zona II......... .................................................70 19. Grafik PCA karakteristik kualitas air dan habitat dengan kepadatan sebagai variabel suplemen pada zona III ......... ...............................................74 20. Berbagai struktur ukuran dalam lubang habitat ..............................................73 21. Sebaran panjang cangkang dan berat total kerang A. edentula .......................76 22. Hubungan morfometrik cangkang kerang A. edentula ...................................78 23. Kurva hubungan panjang dan berat cangkang total kerang A. edentula total di perairan hutan mangrove pantai Passo Teluk Ambon Bagian Dalam ....................................................................................79
16
24. Kurva hubungan panjang berat cangkang kerang A. edentula jantan di perairan hutan mangrove pantai Passo Teluk Ambon Bagian Dalam ..............................................................................................................79 25. Kurva hubungan panjang berat cangkang kerang A. edentula betina di perairan hutan mangrove pantai Passo teluk Ambon Bagian Dalam ..............................................................................................................80 26. Grafik faktor kondisi per bulan .......................................................................82 27. Grafik PCA karakteristik kualitas air dan habitat dengan faktor kondisi sebagai variabel suplemen. ..............................................................................84 28. Jenis-jenis bakteri yang ditemukan di dalam tubuh kerang dan contoh tanah ....................................................................................................85 29. Kurva perubahan panjang cangkang selama 16 minggu ................................83 30. Kurva perubahan berat cangkang selama 16 minggu .....................................87 31. Kurva pertumbuhan kerang A. edentula yang diestimasi dari pergeseran modus tiap kohort .......................................................................89 32. Kurva pertumbuhan kerang A. edentula hasil analisis menggunakan program FiSAT (ver.0.31) ..............................................................................93 33. Dugaan kurva pertumbuhan kerang Adonontia edentula ...............................95 34. Kurva hasil tangkapan konversi panjang (LCCC) dari (a) kerang jantan, (b) betina dan (c) total .........................................................................97 35. Anakan kerang Anodontia edentula dalam induknya .....................................98 36. Rataan jumlah anakan dan ukuran tubuh inang ..............................................99 37. Persentase rekrutmen kerang A. edentula (a) jantan, (b) betina, dan (c) total ...........................................................................................................100 38. Grafik persentase nisbah kelamin kerang A. edentula ...................................101 39. Sebaran temporal IKG kerang A. edentula selama penelitian ......................104 40. Persentase TKG kerang betina A. edentula selama penelitian .....................108 41. Persentase matang kerang A. edentula betina selama penelitian .................109 42. Sebaran ukuran panjang dan rataan jumlah telur ..........................................111 43. Diameter telur selama penelitian ..................................................................112 44. Hubungan parameter tubuh dan jumlah telur ...............................................114
17
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Teluk Ambon telah dipandang oleh naturalis terbesar di abad yang lalu ( Alfred Wallace) sebagai salah satu lingkungan laut terkaya di dunia, dengan koral, kerang dan ikan yang melimpah di berbagai ekosistem. Teluk Ambon terdiri atas dua bagian, yaitu Teluk Ambon Bagian Luar (Outer Ambon Bay) dan Teluk Ambon Bagian Dalam (Inner Ambon Bay). Teluk Ambon Bagian Dalam memiliki bentuk teluk membulat dengan ambang (sill) sempit berkedalaman 12,8
meter. Dengan adanya ambang tersebut mengakibatkan
terhalangnya pertukaran massa air. Di samping itu perairan tersebut agak tenang dibandingkan dengan perairan Teluk Ambon Bagian Luar. Kondisi perairan yang terlindung ini memungkinkan beragam organisme hidup di berbagai ekosistem pesisir. Salah satu ekositem utama di wilayah pesisir Teluk Ambon adalah ekosistem hutan mangrove. Ekosistem ini merupakan bagian dari tatanan lingkungan pesisir yang mudah dikenali dan dibedakan dari ekosistem lainnya, karena membentuk suatu pemandangan yang khas di wilayah pesisir, terutama di dekat muara sungai. Ekosistem mangrove ini merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai banyak fungsi dan manfaat, antara lain sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen, selain juga berperan sebagai daerah asuhan, mencari makanan dan daerah pemijahan bagi berbagai jenis ikan, udang, moluska dan biota lainnya. Di samping itu juga, hutan mangrove dapat digunakan sebagai penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang dan bahan baku kertas. Dari semua kegunaan di atas, ekosistem mangrove mempunyai produkvitas yang tinggi bagi perairan, dengan kekayaan dan keanekaragaman organisme dan salah satu yang tinggi adalah bivalvia yang mendiami ekosistem ini. Bivalvia adalah moluska yang hidup di air tawar maupun air laut, umumnya sebagai microphagous atau suspension feeders. Kelas ini merupakan kelompok kedua terbesar setelah gastropoda (keong) dari filum moluska. Kurang lebih 80% atau sekitar 8.000 spesies hidup di berbagai kedalaman pada semua lingkungan
18
perairan laut dan sisanya di air tawar (Brusca dan Brusca 1990). Selanjutnya dikatakan bahwa kelas bivalvia atau hewan berkatup dua ini disebut Pelecypoda (Yunani: pelecys = kapak; podos=kaki) atau juga dikenal sebagai lamellibranchia. Kelas bivalvia atau pelecypoda ini kebanyakan hidup dengan membenamkan diri dalam lumpur maupun pasir, baik pada lingkungan perairan tawar maupun laut. Beberapa jenis bersifat merayap ataupun melekat pada batu, kayu, mangrove, dan benda padat lainnya (Brusca dan Brusca 1990). Bivalvia (oysters, scallops, clams, cochles dan mussels) mempunyai potensi sumberdaya penting di Indonesia karena pada kenyataannya hampir semua spesies bivalvia dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan manusia, meskipun hanya beberapa jenis bernilai ekonomis penting.
Mereka adalah dari jenis kerang-
kerangan dan tiram yaitu Pinctada maxima, P. margaritifera, Mytilus edulis, Crassostrea sp, Anadara sp, dan Perna sp. Beberapa dari jenis tersebut menghasilkan mutiara yang bernilai jutaan rupiah sedangkan yang lainnya merupakan sumber protein hewani yang sangat penting, terutama bagi penduduk yang mendiami daerah pesisir. Di Indo-Pasifik ditemukan kira-kira 17 famili bivalvia yang terdapat di hutan mangrove, antara lain: Arcidae, Ostridae, Isognomonidae, Anomiidae, Mytilidae, Corbiculidae, Tellinidae, Solenidae, Cultellidae, Laternulidae, Lucinidae, Pholadidae, Teredinidae, Asaphidae, Psammobidae, Blancomidae, dan Veredinidae. Bivalvia ini menyebar di mangrove Avicenia, Rhizophora, Laguncularia, Conocarpus dan lain-lain ( Morton 1983 ). Diantara semua famili di atas maka famili Lucinidae dengan spesiesnya A. edentula banyak dijumpai di ekosistem mangrove Teluk Ambon Bagian Dalam. Spesies ini mendiami areal berlumpur dekat aliran sungai dan estruari serta membenamkan diri secara berkelompok dalam lumpur. Jika hutan mangrove mendapat tekanan eksploitasi yang berlebihan, maka habitat dari kerang ini juga akan terganggu. Spesies ini di Philipina dikenal dengan nama imbaw, belakangan ini dieksploitasi dan merupakan sumber makanan bagi keluarga (Lebata 2000 dan 2001; Lebata dan Primavera 2001), demikian pula di Thailand, spesies ini cukup ekonomis dengan nilai jual minimal 3.00 euro/kg. Di Indonesia kerang ini kurang dikenal namun di Maluku spesies ini banyak dijumpai pada perairan pantai hutan
19
mangrove di desa Passo Teluk Ambon Bagian Dalam. Spesies ini sering dimanfaatkan masyarakat sekitarnya sebagai sumber protein hewani. Dari hasil analisis proksimat kerang A. edentula segar diketahui kandungan gizi kerang ini memiliki komposisi kadar air 86%, protein 10.8%, lemak 1.6%, abu 0.75% dan karbohidrat 0.6%. Di Ambon spesies ini dikenal dengan nama lokal bia putih, dan ditemukan berlimpah di perairan estuari desa Passo, Teluk Ambon Bagian Dalam. Spesies ini dimanfaatkan hanya bila ikan sulit diperoleh ketika musim timur. Spesies tersebut hidup berkelompok pada lubang areal dataran lumpur (mudflat) mangrove di intertidal dan subtidal ( Lim et al. 2001) dalam Ng dan Sivasothi (2003) pada kedalaman 28-50 cm dan menyimpan bakteri pengoksidasi sulfur pada insangnya. Dengan adanya bakteri pengoksidasi sulfur ini maka spesies tersebut mampu menyerap sulfida dalam jumlah yang banyak sehingga dapat digunakan sebagai biofilter pada areal budidaya dalam memperbaiki serta menjaga kualitas air budidaya. Hasil penelitian Lebata (2000 dan 2001) tentang pangambilan oksigen, sulfida dan nutrien oleh kerang A. edentula pada daerah mangrove berlumpur dengan menggunakan kerang A. edentula, menunjukkan bahwa konsentrasi sulfida berkurang secara dratis, dibandingkan dengan percobaan yang tidak menggunakan kerang tersebut. Di Indonesia kerang ini kurang mendapat perhatian, khususnya di Ambon, Maluku, padahal spesies ini merupakan makanan yang mengandung protein tinggi dan mempunyai nilai ekonomis sehingga dapat dikembangkan menjadi komoditi ekspor yang akan menambah devisa bagi negara. Spesies tersebut dikonsumsi dengan cara direbus dan dibumbui dan hanya dimanfaatkan bila terjadi musim paceklik dimana ikan sebagai sumber protein hewani sulit diperoleh, sehingga populasi spesies ini akan mengalami tekanan bila tidak dikelola dengan baik . Disamping terjadi penurunan populasi kerang akibat ekploitasi yang berlebihan, juga terjadi tekanan terhadap kondisi habitat alami dari kerang itu sendiri, dimana telah terjadi penurunan kualitas lingkungan pada perairan mangrove, luasan hutan mangrove yang semakin berkurang serta kecepatan sedimentasi yang cukup tinggi terutama pada areal dimana kerang tersebut hidup. Pattisina (1985) menemukan luas area hutan bakau sekitar 45 Ha, dan kini
20
hanya tinggal kurang lebih 10 Ha
di perairan Teluk Ambon Bagian Dalam
(Anonymous 2003). Sedimentasi yang cukup tinggi juga merupakan salah satu faktor yang berperan dalam penurunan kualitas perairan, dimana pada sungai Waitonahitu sekitar hutan mangrove desa Passo, Teluk Ambon Bagian Dalam memilik kecepatan sedimentasi sebesar 1.2 – 2.5 m²/tahun (Anonymous 2003). Disamping terganggunya habitat maka terjadi juga kecenderungan penurunan ukuran maksimum kerang akibat dari penurunan kualitas lingkungan, dimana ukuran maksimum kerang yang ditemukan hanya berkisar 6 cm (Latale 2003), sedangkan yang ditemukan oleh Poutier (1998) diacu dalam Carpenter dan Neim (1998) mencapai 7.5 cm dan Lebata (2000 dan 2001), Primavera et al. (2002) mencapai 9 cm di Philipina. Informasi tentang spesies ini masih sedikit. Misalnya beberapa laporan dari daerah ugahari dan Philipina mengenai klasifikasi spesies (Lamy 1920 ; Chavan, 1937 diacu dalam Carpenter dan Niem 1998), elemen sulfur pada insang A. edentula (Lebata 2000),
pengambilan oksigen, sulfida dan nutrien dari A.
edentula (Lebata 2001),
struktur insang, anatomi dan habitat (Lebata dan
Primavera 2001), dan
tentang koleksi A. edentula (Primavera et al. 2002).
Beberapa informasi thesis terakhir dari Iloilo Visayas University of Philipina (undergraduate thesis) tentang biologi reproduksi A. edentula (Cichon 2006). Di Indonesia hampir tidak ada data dan informasi serta publikasi dari spesies ini, sedangkan spesies tersebut mempunyai nilai ekonomis, ekologis, dan nilai gizi yang cukup tinggi, tetapi penelitian-penelitiannya masih kurang. Penelitian serta informasi tentang spesies tersebut di daerah tropis terutama di perairan Maluku khususnya Teluk Ambon Bagian Dalam masih minim, padahal spesies tersebut bernilai ekonomis (Lebata 2000 dan 2001) dan merupakan konsumsi lokal masyarakat perairan pesisir. Hanya ada satu penelitian yang telah dilakukan adalah oleh Latale (2003) tentang eksplorasi sumberdaya A. edentula di Teluk Ambon Bagian Dalam. Penelitian ini merupakan upaya untuk menggungkap aspek ekologi dan reproduksi dari spesies kerang A. edentula yang berada di ekosistem mangrove Teluk Ambon Bagian Dalam. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan bagi pengelolaan sumberdaya kerang di Indonesia.
21
1.2 Perumusan Masalah Ancaman kepunahan organisme laut terutama moluska di berbagai ekosistem akibat eksploitasi yang berlebihan, berubahnya ekosistem oleh sebabsebab tertentu seperti bencana alam, penebangan hutan mangrove, pencemaran akibat sampah domestik, penggunaan racun maupun kerusakan fisik oleh sebabsebab lain menyebabkan habitat dari moluska dan biota lainnya di perairan semakin terancam. Hal yang sama juga terjadi di perairan Maluku, khususnya hutan mangrove perairan pantai Passo, Teluk Ambon Bagian Dalam, yang merupakan habitat dari berbagai organisme laut antara lain ikan, moluska, kepiting, burung laut dan sebagainya. Kerusakan habitat dan populasi biota ekosistem mangrove akibat aktivitas manusia maupun sebab-sebab lain, akan memberikan dampak yang cukup serius. Dampak kerusakan ini akan berpengaruh pada kerang A. edentula yang merupakan salah satu jenis moluska dari kelas pelecypoda dan sangat berpotensi sebagai sumberdaya alami yang memiliki nilai gizi tinggi serta disukai masyarakat sebagai bahan makanan olahan juga mempunyai peluang pasar yang ekonomis. Hal ini menyebabkan meningkatnya permintaan sehingga mengakibatkan tingginya tingkat eksploitasi pada musim-musim tertentu terhadap kerang tersebut di alam. Tekanan yang diterima mengakibatkan berkurangnya populasi tersebut di alam. Bila kondisi tersebut berlangsung terus menerus dalam kurun waktu tertentu, maka akan mengakibatkan kepunahan. Di lain pihak, penurunan kualitas lingkungan yang diindikasikan dengan berkurangnya luasan hutan mangrove, laju sedimentasi yang cukup tinggi turut mempunyai andil dalam proses degradasi lingkungan. Akibat dari faktor-faktor di atas, ukuran maksimum juga menjadi berkurang. Kebiasaan masyarakat pesisir di Indonesia memanen moluska pada kondisi air surut, dan terkadang pemanenan cenderung tidak rasional, yakni tanpa memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian sumberdaya. Meskipun di beberapa tempat di Maluku telah menerapkan aturan adat tentang pelarangan pemanenan pada waktu tertentu (dikenal dengan istilah “sasi”), namun hal tersebut bukan jaminan untuk tidak terjadinya eksploitasi tidak rasional. Hal yang sama juga terjadi pada perairan hutan mangrove perairan pantai Passo, Teluk Ambon Bagian Dalam. Dari hasil wawancara dengan penduduk pencari kerang sekitar hutan
22
mangrove, terungkap bahwa populasi kerang ini sudah mulai menurun serta ukuran yang didapat relatif lebih kecil dari ukuran yang dipanen sebelumnya. Kurangnya penelitian dan informasi tentang kerang A. edentula tersebut merupakan hal yang patut disayangkan bila terjadi kepunahan sebelum informasi dari biota tersebut dapat terungkap, dan akan memberikan nilai tambah terhadap perbendaharan informasi khususnya bidang moluska di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan gambaran yang jelas tentang kerang A. edentula yang ditemukan di Maluku khususnya Teluk Ambon Bagian Dalam. Pengamatan yang difokuskan terhadap aspek ekologi dan reproduksi memungkinkan luaran penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi pengelolaan sumberdaya moluska secara berkelanjutan.
1.3 Kerangka Pemikiran Di areal hutan mangrove Teluk Ambon Dalam terdapat lokasi habitat kerang A.edentula. Pada habitatnya, kerang tersebut menyebar untuk mendapatkan makanan dalam substrat lumpur di kedalaman antara 20 – 50 cm (Lebata dan Primavera 2001). Makanan yang dikonsumsi digunakan untuk berbagai keperluan, antara lain untuk metabolisme dasar, pergerakan, reproduksi serta pemeliharaan bagian-bagian tubuh ataupun mengganti sel-sel yang kerang tersebut
tidak terpakai. Karena
berada di daerah pasang surut, maka pasang surut air akan
mempengaruhi aktivitas kerang serta fluktuasi ketersedian makanan. Substrat berperan sebagai penyedia makanan, tempat bertumbuh dan bereproduksi, tetapi juga sebagai tempat bertahan hidup pada kondisi yang kaya akan hidrogen sulfida dan anoxid. Keadaan ini memungkinkan endosimbiosis bakteria memainkan peran dalam menghasilkan materi organik. Cangkang kerang A. edentula yang tipis, sirkular dan trapezoidal, kuat serta agak terkompres, membuatnya mampu bertahan pada substrat pasir lumpur pada lapisan subtrat yang lebih dalam. Ciri cangkang yang tipis membedakannya dari famili Lucinidae lainnya. Pertumbuhan kerang dapat diukur melalui pertumbuhan cangkang maupun pertumbuhan beratnya. Pertumbuhan yang terjadi antara komponen cangkang dan beratnya dapat berlangsung secara berimbang
23
ataupun salah satunya memiliki kecepatan pertumbuhan yang melebihi lainnya maupun sebaliknya. Sebaran spasial kerang sering dipengaruhi oleh kondisi habitat, dan faktor lingkungan. Umumnya kerang bivalvia menyebar secara mengelompok, ini berkaitan dengan habitatnya di dalam subtrat (sedimen) dimana sebarannya tidak jauh serta berbeda antar lokasi maupun waktu. Reproduksi merupakan salah satu aktifitas yang memiliki peranan penting dalam mata-rantai siklus hidup suatu biota. Keterkaitan aktifitas reproduksi dengan mata rantai lainnya akan menentukan keberhasilan hidup biota tersebut. Seperti halnya biota lain maka keberhasilan hidup kerang di alam,
akan
bergantung pada kemampuan bertahan hidup dan mencapai umur reproduktif kemudian bereproduksi dan menghasilkan individu-individu baru sebagai penerus generasinya. Selama fungsi reproduksinya masih normal, maka proses reproduksi akan tetap berlangsung. Mengawali aktifitas reproduksi maka serangkaian proses yang harus dilewati oleh suatu biota antara lain proses pertumbuhan hingga mencapai tingkat dewasa kelamin serta proses pematangan gonad tahap akhir sebelum terjadinya pelepasan gamet. Informasi yang lengkap dan akurat tentang saat kerang A. edentula mengalami matang gonad untuk pertama kalinya perlu diketahui, karena berhubungan dengan upaya pengelolaan sumberdaya kerang tersebut di alam. Begitu pula dengan jumlah individu kerang betina serta potensi reproduksi merupakan hal yang penting diketahui agar dapat diramalkan seberapa besar rekruitmen yang terjadi pada suatu perairan dalam kurun waktu tertentu. Kesemuanya itu bertujuan kepada upaya pengelolaan yang rasional terutama menyangkut kuantitas eksploitasi dan pembatasan ukuran. Untuk menjawab semua permasalahan tentang ancaman terhadap habitat dan proses reproduksi kerang A. edentula maka perlu dilakukan suatu penelitian yang terpadu antara faktor lingkungan, ekologi dan biologi dari kerang tersebut. Informasi yang lengkap tentang kerang ini diharapkan dapat dipakai sebagai acuan pustaka bagi peneliti dan pengelola sumberdaya kerang. Kerangka pemikiran yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini dituangkan dalam bentuk diagram alir perumusan masalah seperti pada Gambar 1.
Makanan dan Lingkungan
Ketersediaan Pakan
-
Habitat Kerang
+
Status Populasi
Pertumbuhan, Mortalitas dan Rekrutmen
Morfologi dan Anatomi
TKG
+
-
Musim dan Puncak Pemijahan
Jantan
Potensi Reproduksi
Betina
Seksualitas
Reproduksi
Ukuran Kematangan
Pengelolaan Berkelanjutan
Berat Tubuh
Karakteristik Morfometrik
Populasi Kerang
Gambar 1. Pola pendekatan masalah dalam penelitian kerang di ekosistem hutan mangrove Teluk Ambon Bagian Dalam
Sebaran Spasial, Kepadatan dan Kelimpahan
Kualitas Perairan Kualitas Substrat
Ekosistem Mangrove
Degradasi Lingkungan
24
25
1.4 Tujuan Penelitian 1. Menelaah tipologi habitat dan kualitas perairan serta hubungannya dengan pola sebaran kepadatan kerang A.edentula. 2. Menganalisis kemampuan bertahan hidup kerang pada kondisi substrat yang berbeda. 3. Mengkaji aspek pertumbuhan, mortalitas dan rekrutmen dalam menentukan status populasi kerang A.edentula. 4. Mengkaji aspek reproduksi kerang yang menentukan potensi reproduktif.
1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan ekologi, biologi, dan sistem reproduksi dari kerang A.edentula sehingga memberikan kontribusi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk pemanfaatan sumberdaya kerang yang berkelanjutan Informasi dasar tentang ekologi dan aspek-aspek
reproduksi kerang dapat
membuka wawasan ilmu mengenai bivalvia khususnya dan moluska umumnya. Hasil ini diharapkan menjadi acuan untuk memperdalam dan merangsang penelitianpenelitian biota moluska yang saat ini masih sangat sedikit dibandingkan potensinya yang sangat besar dan tersebar luas di seluruh Indonesia.
1.6 Hipotesis •
Tipologi habitat dan kualitas perairan akan menentukan status populasi dari kerang A.edentula.
•
Kondisi habitat akan menentukan kemampuan bertahan hidup kerang A.edentula.
•
Karakteristik pertumbuhan dan reproduksi menentukan potensi reproduksi A.edentula.
26
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keragaman hayati yang tertinggi di dunia dengan jumlah total 89 spesies, yang terdiri atas 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies parasitik (Nontji 1987). Beberapa spesies yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah: Mangrove (Rhizopora), Api-api (Avicennia), Pedada (Sonneratia), Tanjang (Bruguiera), Nyirih (Xylocarpus), Tengar (Ceriops), dan Buta-buta (Exoecaria). Komposisi jenis tumbuhan penyusun ekosistem mangrove ditentukan oleh beberapa faktor lingkungan terutama jenis tanah, genangan pasang surut, dan salinitas (Bengen 2002). Pada wilayah pesisir yang terbuka, jenis pohon yang dominan dan merupakan pohon perintis umumnya adalah api-api dan pedada. Api-api lebih senang hidup pada tanah berpasir yang agak keras, sedangkan pedada pada tanah berlumpur lembut. Pada daerah yang terlindung dari hempasan ombak, komunitas mangrove biasanya didominasi oleh pohon mangrove. Lebih ke arah daratan (hulu), pada tanah lempung yang agak pejal biasanya tumbuh komunitas tajang. Paku laut (Acrostichum aureum) dan jeruju (Acanthus ilicifolius) seringkali dijumpai di daerah pinggiran pohonpohon mangrove sebagai tumbuhan bawah (Dahuri 1996). Sejenis palma yang disebut nipa (Nypa fruticans) yang merupakan salah satu komponen penyususun ekosistem mangrove, sering tumbuh di tepian sungai ke arah hulu, dimana pengaruh aliran air tawar sangat dominan. Parameter lingkungan utama yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove adalah pasokan air tawar, salinitas, stabilitas substrat dan pasokan nutrien. Ketersedian air tawar dan salinitas yang mengendalikan efisiensi metabolisme dari ekosistem mangrove, dipengaruhi oleh frekuensi dan volume air tawar, frekuensi dan volume pasang surut, dan tingkat evaporasi. Stabilitas substrat dipengaruhi oleh kecepatan aliran air tawar dan muatan sedimen yang dikandungnya, laju pembilasan oleh arus pasang surut serta gaya gelombang (Berwick 1983). Sedangkan pasokan nutrien bagi ekosistem mangrove dipengaruhi oleh berbagai proses
27
yang saling terkait, yaitu masukan dan luaran dari ion-ion mineral anorganik dan bahan organik serta pendaur ulangan nutrien secara internal melalui jaring makanan berbasis detritus. Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam wilayah tropis yang memiliki manfaat ganda dengan pengaruh yang sangat luas terhadap aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Besarnya peranan ekosistem mangrove terhadap kehidupan dapat dilihat dari keragaman jenis hewan, baik yang hidup di perairan, di atas lahan, maupun di tajuktajuk tumbuhan serta ketergantungan manusia secara langsung terhadap ekosistem ini (Naamin 1991). Ekosistem mangrove merupakan produsen primer melalui serasah yang dihasilkannya. Serasah mangrove setelah melalui proses dekomposisi oleh sejumlah makroorganisme menghasilkan detritus dan berbagai jenis fitoplankton yang akan dimanfaatkan oleh konsumer primer yang terdiri dari zooplankton, ikan dan krustasea sampai akhirnya dimangsa oleh manusia sebagai konsumer utama (Sumarna 1985). Fungsi fisik dari ekosistem mangrove adalah menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi pantai, sebagai perangkap bahan pencemar dan limbah, perlindungan bagi tata guna lahan di wilayah pantai dari badai dan tsunami, pencegahan terhadap intrusi garam, pemurnian alami perairan pantai terhadap polusi serta suplai detritus dan hara untuk perairan pantai di dekatnya. Fungsi biologi ekosistem mangrove adalah sebagai daerah asuhan bagi larva dan individu muda, tempat mencari makan, tempat bertelur, serta habitat alami berbagai jenis biota yang beberapa diantaranya memiliki nilai komersial. Daun-daun mangrove yang berjatuhan dan berakumulasi pada sedimen mangrove sebagai ”leaf litter” (lapisan dan sisa-sisa daun), mendukung komunitas organisme detrital yang besar jumlahnya. Organisme ini bertindak sebagai pengurai daun-daun dan mengubahnya menjadi energi yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah moluska, krustasea, kepiting, ikan, reptilia laut, mamalia serta burung (Dahuri 1996).
28
2.2 Sistematika, Morfologi, dan Anatomi Kerang Menurut Poutiers (1998) diacu dalam Carpenter dan Niem (1998) kerang A.edentula, digolongkan sebagai berikut: Filum: Moluska Kelas : Bivalvia Ordo : Eulamellibranchia Super famili : Lucinacea Famili : Lucinidae Genus : Anodontia Spesies : Anodontia edentula Sedangkan Brusca dan Brusca (1990) memasukkan spesies ini ke dalam famili Unionoidae. Sinonim yang sering digunakan atau salah identifikasi dari spesies ini adalah Anodontia hawaiiensis (Dall et al. 1938 ); Cryptodon eutornus (Tomlin 1921); C. globulosum (Forskal 1775); Lucina edentula (Linnaeus 1758); L. ovum atau Anodontia pila (Reeve 1850), semuanya diacu dalam Carpenter dan Niem (1998). Spesies A.edentula ini dikenal dengan nama “toothless lucine”. Bentuk cangkangnya hampir sirkular, trapezoidal (segi empat dengan dua sisi sejalan), tipis, kuat dan agak terkompres (Dance 1976; Arnold dan Birtles 1987). Cangkangnya berkatup, lenticular dan hampir bulat sampai ke bagian subtrapezoidal, namun bagian samping mengalami pengecilan. Umbo kecil dan pendek. Lunule kecil, sering mengalami perubahan dan asimetris. Cangkang bagian luar konsentris atau membentuk lingkaran. Periostracum kadang-kadang bersisik. Tulang sendi bagian luar dijumpai dalam jumlah
banyak, tetapi punggung bagian belakang kurang tampak, karena
terbenam dalam alur-alur dari punggung bagian belakang. Engsel terdapat pada bagian anterior dan posterior, gigi lateral samping berada dalam katup. Ciri-ciri diagnostik dari spesies A.edentula adalah: cangkang umumnya tipis dan bulat pada bagian luar, sangat cembung (very inflated), bulat (globose). Tepi subhorizontal anterodorsal sangat bulat. Tepi posteriodorsal agak cembung dari garis tengah katup. Lunule flatfish, umumnya besar, agak tertekan (depressed) mendekati umbo, hampir simetri. Permukaan terluar katup sangat padat, garis pertumbuhan tidak beraturan. Periostracum tipis, agak tertekan ke arah permukaan cangkang. Ligamen
29
agak dalam (cekung), membentuk suatu lekuk miring dari sisi posterodorsal. Hinge (engsel) lemah tanpa gigi. Otot adductor anterior sangat panjang dan arcuate. Cangkang bagian luar berwarna putih buram. Bagian bawah cangkang (periostracum) berwarna kekuningan, dan bagian interior berwarna keputih-putihan. Super famili Lucinacea dicirikan dengan cangkang berbentuk bulat
dengan
umbo yang terletak ke arah anterior. Semua spesiesnya dikenal mempunyai cangkang berwarna putih, sering tidak berwarna pada bagian anterior dan posterior yang berada pada sisi cangkang dimana terletak bukaan (aperture) inhalent dan ekshalent. Pertautan kedua keping cangkang dihubungkan oleh ligamen yang juga berfungsi untuk membuka cangkang. Pada kebanyakan spesies Lucinacea, cangkang berbentuk bulat dan tebal, ada juga yang tipis dan rapuh sehingga mudah patah, tidak tampak lekuk atau garis-garis pada bagian luar permukaan cangkang. Pada bagian dalam cangkang terdapat mantel di sisi kiri dan kanan. Mantel berbentuk jaringan tipis dan lebar yang menutup seluruh tubuh dan terletak di bawah cangkang. Pada tepi mantel terdapat tiga lipatan yaitu: dalam, tengah, dan luar. Lipatan dalam adalah yang paling tebal, dan berisi otot radial dan otot melingkar, lipatan tengah mengandung alat indera, dan lipatan luar adalah sebagai penghasil lapisan cangkang. Di ujung posterior terdapat dua sifon, yaitu sifon inhalant untuk memasukkan air dan sifon exhalant untuk mengeluarkan air. Terdapat otot aduktor (anterior dan posterior) yang berfungsi untuk menutup cangkang, otot protraktor untuk
menjulurkan kaki
dan otot retraktor untuk
mengerutkan kaki. Dua otot aduktor pada bagian anterior memanjang, namun sering diikuti dengan cuping di bagian ventral yang berbentuk lengkung dan terpisah dari garis
pallial,
tetapi
bukan
pallial sinus.
Insangnya
tergolong
dalam jenis
eulamellibranchia dimana terdapat demibranch dalam yang besar, licin dan bentuknya menyerupai lipatan-lipatan kecil, akan tetapi demibranch yang lainnya kurang terlihat dengan jelas (Poutiers 1998 diacu dalam Carpenter dan Niem 1998). Kaki sangat panjang dengan ujung yang membesar. Umumnya famili ini mempunyai dua gigi kardinal dan tidak mempunyai pallial sinus (Dharma 1988 dan 1992). Terdapat mantel dengan sebuah dinding antero ventral yang terbuka lebar serta sebuah lubang pernapasan pada bagian belakang punggung (posterodorsal) serta sebuah lubang
30
pernapasan di bagian ventral yang berbentuk bulat. Bagian pinggir garis pallial, bukaan papila sering ditemukan adanya alat tambahan pada penutup insang di bagian depan perut (antero ventral).
Gambar 2. dibawah ini menyajikan anatomi dari Famili
Lucinidae secara umum:
Gambar 2. Anatomi dari Loripes lucinnalis (Fam:Lucinidae); CM= catch muscle, F=foot, IL= inner demibranch, L=ligamen, P=palp, QM=quick muscle, R= rectum (Allen, 1958).
2.3 Sistem Reproduksi Pada Bivalvia Sistem reproduksi pada bivalvia bervariasi, bergantung pada spesies tersebut. Berdasarkan pemisahan alat kelamin maka sistem reproduksi bivalvia di kelompokkan atas dua macam, yaitu : 1. Gonochorists atau dioeceus yaitu alat kelamin jantan dan betina terpisah pada individu yang berbeda. 2. Hermaphrodites (hermaprodit) yaitu alat kelamin jantan dan betina terdapat pada individu yang sama. Anatomi dari kedua sistem reproduksi ini berbeda, ada yang berhubungan dan berdekatan dengan ginjal ada juga yang terpisah. Dari anatomi ini terlihat ada yang mempunyai gonoduct yang sama untuk jantan dan betina tetapi ada juga yang terpisah. Gambar 3 dan 4 menunjukkan skema dari sistem reproduksi gonochorist dan hermaprodites pada beberapa spesies bivalvia.
31
Gambar 3. Skema sistem reproduksi dioeceus pada bivalvia; A) gamet disalurkan melalui pericardium, seperti pada leluhur bivalvia; B) gamet disalurkan melalui usus/ginjal dekat saluran renopericardial, seperti pada Yoldia; C) gamet disalurkan melalui nepridiophore, seperti pada Mytilus, atau pada ruang papilla seperti pada Phylobrya munita; D) gamet disalurkan melalui saluran/ perangkat yang terpisah, seperti pada Unionidae. Hanya ginjal dan gonad sebelah kanan yang diperlihatkan (Tompa et al. 1984). Gonad yang mengatur sistem reproduksi terletak dekat permukaan tubuh diantara ventrikula sebelah atas dan epitel sebelah luar. Gonad yang telah matang memiliki jaringan-jaringan canalis genitalis yang halus dan terlihat di permukaan tubuh karena pada saat itu permukaan tubuh menjadi tipis. Semakin mendekati ductus (saluran ova atau sperma) yang lebar, diameter canalis semakin membesar. Organ seks betina adalah ovari sedangkan jantan adalah testis. Produksi kelenjar kelamin disalurkan keluar melalui saluran-saluran kelamin. Penentuan jenis kelamin sulit ditentukan secara eksternal maupun internal, sebab gonad jantan dan betina mempunyai warna yang sama yaitu krem (Cahn 1949). Secara umum anatomi sistem reproduksi jantan dan betina dari bivalvia gonochorist (dioecious) sangat mirip, biasanya gonad sepasang dan terletak berdekatan dengan saluran pencernaan (Gambar 3 dan 4). Saluran reproduksi pada bivalvia dioecious hanya untuk menyalurkan gamet-gamet ke saluran exhalant. Pada beberapa bivalvia hermaprodite telur dan sperma dihasilkan pada bagian gonad yang berbeda namun mempunyai gonoduct yang sama. Sistem reproduksi juga berhubungan erat dengan sistem pencernaan. Pada bivalvia lamellibranchia dioecious, gonad biasanya
32
terdapat di antara bagian yang berkaitan dengan usus (intestinal loop) di bagian basal kaki atau terjalin diantara lambung, usus dan kelenjar pencernaan.. Pada beberapa spesies, gonad menyelubungi kelenjar pencernaan.
Gambar 4. Skema sistem reproduksi hermaphrodite pada bivalvia; A= Gonoduct (saluran gamet) yang kurang tampak terletak pada bagian dorsal dari ginjal/usus ( gonoduct mungkin saja tidak ada), seperti pada Pecten; B= sex jantan dan betina memiliki saluran gamet yang sama dan berhubungan/terbuka kearah ventral pada bagian ujung dari ginjal, seperti pada Teredo sp; C= sex jantan dan betina memiliki saluran gamet yang behubungan dengan saluran dekat nepridiophore, juga pada papilla, seperti pada Cardium serratum dan Sphaerium spp; D= Sex jantan dan betina memiliki saluran gamet yang terpisah dari nepridiophore, seperti pada Unionidae; E= Gonad terpisah tapi saluran gamet sex jantan dan betina bergabung dan berhubungan pada bagian anterior dari nepridiophore, seperti pada Pandora dan Silenia; F=sex jantan dan bertina terpisah sistem/salurannya, saluran jantan berada pada bagian anterior/atas dari betina dan keduanya berada pada bagian anterior dari nepridiophore, seperti pada Entodesma sp. Hanya ginjal dan gonad bagian kanan yang diperlihatkan. (Tompa et al. 1984). 2.3.1 Oogenesis Perkembangan oosit pada bivalva dimulai pada ukuran sekitar 5-7 mµ dan biasanya masih melekat pada dinding folikel dengan tangkai selama perkembangannya. Kontak sel-sel auxillary (sel pendukung) menjadi berkurang saat oosit dilapisi oleh “lapisan vitteline”. Oosit matang menuju ke lumen folikel dan akhirnya mengisi lumen, bentuknya menjadi tidak beraturan karena saling berdesakan. Oosit matang mempunyai
33
germinal vesikel di dalam nukleus, sitoplasma yang besar dan bagian terluar dengan “lapisan vitelline” yang diselubungi jelly. Oogenesis diawali dengan sel-sel germinal primodial, yang berada di dalam dinding terdalam folikel, kemudian berkembang menjadi oogenia primer, yang selanjutnya mengalami mitosis menjadi oogenia sekunder, dan setelah mengalami meiosis, menjadi oosit primer pada pembelahan sel pertama, kemudian pada pembelahan sel kedua menjadi oosit sekunder dan selanjutnya berdiferensiasi menjadi oosit matang. Diferensiasi oosit terdiri atas enam fase antara lain: 1. pembentukan germinal vesikel; 2. sintesis RNA; 3. Vitellogenesis; 4. pembentukan kortikel granula; 5. penambahan sel-sel auxillary pada oosit; dan 6. pematangan oosit. Vitellogenesis diawali dengan pembentukan granula kuning telur (yolk granula), yang kemudian diikuti oleh pembentukan “lapisan vitelline”. Selanjutnya terjadi mekanisme secara endogenous maupun eksogenous dari produksi kuning telur termasuk materi yang diambil pynocytosis langsung dari sel-sel auxillary yang mengandung zat gizi, menyerap sel-sel tersebut, memasukkan ke sitoplasma yang berhubungan dengan mitokondria dan hasil sekresi badan golgi serta retikulum endoplasma. Badan balbiani tampaknya tidak ikut dalam produksi kuning telur bagi perkembangan oosit. Sejauh yang diketahui hanya ada satu tipe interaksi antara folikel sel dan oosit pada bivalvia. Sel folikel yang menyelubungi oosit awal, kemudian lepas dan nampak seperti oosit yang menonjol di dalam lumen folikel, tetapi masih menempel pada bagian tangkai basal sampai matang. Energi yang dibutuhkan untuk produksi telur pada akhirnya diterima dari sumber makanan tetapi mungkin disalurkan ke tempat penyimpanan tenaga/energi.
2.3.2 Spermatogenesis, Spermiogenesis dan Sperma Proses produksi spermatogonia melalui pembelahan mitosis dari sel-sel gonial primer, yang
berada di sepanjang bagian terdalam periphery atau membran basal
lobular (dinding asinus). Lobulus-lobulus sekunder menyebar ke dalam jaringan penghubung. Spermatogonia primer adalah sel-sel germinal jantan terbesar dari bagian terdalam dinding asinus, yang merupakan diferensiasi sel-sel pertama. Heterokromatin
34
pada sel-sel ini terlihat mengumpul. Terdapat satu atau dua inti, seperti dua agregat mitokondria pada sitoplasma di sepanjang retikulum endoplasma. Sebagai hasil perkembangan berikutnya, sitoplasma mengecil pada setiap pembagian sel dan sel-sel menjadi lebih kecil serta bergerak ke arah pusat lumen, tinggal rangkaian sel-sel muda yang sedang berkembang menuju dinding asinus lobular. Akhirnya dinding asinus menjadi tipis dan lumen diisi oleh gamet matang. Spermatogenesis adalah proses fisiologis pembentukan spermatozoa yang berasal dari germinal sel spermatogonia. Sel germinal mengalami serangkaian pembelahan membran sel yang berkesinambungan dan perubahan perkembangan morfologi. Sel germinal yang disebut spermatogonia, akan mengalami mitosis beberapa kali, sebelum terbentuk spermatosit. Sel-sel spermatosit primer akan mengalami meiosis, dengan sekali terjadi pembelahan sel yang diikuti dengan pengurangan jumlah DNA sel menjadi separuh dari sel somatis. Sedangkan pembelahan sel (mitosis dan meiosis), termasuk proliferasi spermatogonia (mitosis) dan pembelahan meiosis disebut spermatocytogenesis. Haploid sel hasil pembelahan meiosis disebut spermatid. Selanjutnya spermatid mengalami serangkaian pembelahan struktur dan morfologis menjadi spermatozoa. Perubahan metamorfik ini disebut spermiogenesis. Sperma matang mengisi lumen lobulus dengan ekor dan kepala berjajar dalam barisan (Morse and Zardus 1997). Spermatozoa dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: kepala sperma yang biasanya terdiri dari nukleus berbentuk elips atau kerucut dan akrosoma dengan berbagai ukuran, komposisi, morfologi dan posisi pada spermatozoa, middle piece terdiri atas kumpulan empat atau lima mitokondria mengelilingi sepasang centriola di dekat bagian akhir kepala sperma, serta flagellum atau ekor sperma yang halus ditutupi oleh sitoplasma (Tompa et al. 1984; Thielley et al. 1993).
2.4 Siklus Reproduksi Siklus reproduksi pada moluska diketahui banyak variasinya, hal ini bergantung pada adanya sinyal dari lingkungannya. Sinyal-sinyal ini sepertinya memainkan peranan yang cukup penting dalam setiap tahapan pada siklus reproduksi terutama pada fungsi pengaturan kematangan gonad. Gametogenesis yang singkat dimulai sesudah pertumbuhan dan pematangan gonad. Selama proses pematangan gamet ini, banyak
35
faktor yang mempengaruhi. Beberapa faktor eksogen antara lain: suhu, periode bulan, kedalaman, faktor mekanis, kelimpahan dan ketersediaan pakan, dan intensitas cahaya, sedangkan faktor endogen, antara lain genetik dan hormon (Mackie 1984).
2.4.1 Faktor-Faktor Eksogen Dari semua faktor eksogen, maka suhu merupakan faktor yang berperan sangat penting. Pematangan gamet ditandai dengan fluktuasi suhu (suhu ambang). Faktor penting lainnya adalah kelimpahan dan ketersediaan pakan. Pada kebanyakan bivalvia organ reproduksi menyatu dengan visceral mass dan menunjukkan hubungan yang erat antara kegiatan reproduksi dan sistem pencernaran. Menurut Sastry (1979) diacu dalam Mackie (1984), bahwa perkembangan gonad memerlukan energi yang tinggi. Energi ini diperoleh dari perairan, cadangan yang disimpan atau dari keduanya, dimana hubungan antara ketersedian pakan di lingkungan, penyimpanan dan aktifitas reproduksi bervariasi pada setiap spesies. Periode kelimpahan makanan dan perkembangan gonad hampir bertepatan, sehingga sejumlah makanan yang diarahkan bagi kenampakan gonad bergantung pada konsentrasi pakan, suhu, dan kebutuhan metabolisme dasar individu; pertumbuhan gonad dan gametogenesis bergantung pada pengambilan pakan secara langsung selama periode perkembangan gonad. Pada beberapa spesies, perkembangan gonad dihubungkan dengan penyimpanan dan penggunaan cadangan yang diakumulasi tubuh selama periode kelimpahan makanan maksimum. Ketersediaan makanan ini erat kaitannya dengan waktu pemijahan. Pemijahan pada bivalvia terjadi secara bersamaan dengan ketersediaan makanan yang maksimum bagi perkembangan larva (Seed 1976; Jaramillo et al. 1993 diacu dalam GarciaDominguez et al. 1996). Dengan demikian pakan turut mempengaruhi perkembangan gonad dan pembentukan sel-sel gamet. Giese dan Pearse (1974) menduga bahwa naik dan turunnya jumlah makanan turut mempengaruhi jumlah energi yang tersimpan dan sangat mempengaruhi proses gametogenesis.
36
2.4.2 Faktor- Faktor Endogen Kontrol neurosecretory dan gametogenik bersifat dinamis yang berhubungan langsung dengan rangkaian kontrol balik. Kontrol balik tersebut bersamaan dengan pengaruh eksogen dan endogen pada berbagai proses yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan gonad dan aktifitas gametogenik (yaitu: metabolisme glikogen, akumulasi, mobilisasi cadangan nutrien, dan laju filtrasi). Kontrol hormon pemijahan juga terjadi pada bivalvia. Sperma tiram mengandung diantlin yang menyebabkan peningkatan ventilasi pada mantel cavity dengan pembesaran ukuran lubang ostial, pengendoran otot aduktor serta percepatan laju gerakan cilia. Sekresi sperma tersebut terjadi sebelum terjadi pemijahan telur.
2.5 Fertilisasi Gamet Spermatozoa dengan mitokondria mengumpul bagian
posterior
dalam massa yang bulat pada
kepala sperma, dicirikan sebagai spesies dengan pembuahan
eksternal. Akrosoma berfungsi untuk melarutkan lapisan telur dan menggabungkan plasma sperma dengan membran plasma telur. Pada waktu terlepas dari dinding ovari, ovum berbentuk buah pear dan pipih, berbentuk bujur sangkar, berangsur-angsur berubah bentuk menjadi bulat sesudah dilepaskan ke dalam air (Tompa et al. 1984). Fertilisasi silang (cross fertilization) biasanya terjadi pada bivalvia, dimana fertilisasi ini biasanya terjadi dalam tabung suprabranchial atau dalam tabung air pada insang bivalva (misalnya pada Unionacea, larviporous oyster, Teredo spp., Pseudokellya dan Lasaea). Pada bivalvia juga terjadi fertilisasi sendiri (self fertilization) terutama pada bivalvia hermaprodite simultan/hermaprodite sinkroni (misalnya pada Pecten irradians), dimana fertilisasi berlangsung ketika terjadi persatuan antara sel telur dan sperma dari gonad yang sama sewaktu keduanya turun menuju ke kantung genital (genital duct).
Kebanyakan bivalvia gonochorist mengeluarkan gamet-gamet dan
fertilisasi berlangsung di dalam air.
37
2.6 Perkembangan Larva Masa hidup larva veliger sebagai plankton bervariasi dari beberapa hari sampai beberapa bulan bergantung pada spesiesnya, sebelum akhirnya turun ke substrat. Metamorfosis dicirikan oleh lepasnya velum dengan tiba-tiba, untuk kemudian tumbuh menjadi kerang muda. Veliger turun di sembarang substrat dan hanya sedikit yang menemukan substrat yang cocok, atau memerlukan pengujian substrat dengan cermat dan menunda metamorfosis. Misalnya veliger Teredinid hanya mau mendarat pada substrat kayu. Proses reproduksi yang demikian menimbulkan risiko kegagalan atau kematian yang sangat besar, sehingga bivalvia laut seperti oyster menghasilkan 16–60 juta telur dalam satu musim. Pada bivalvia air tawar pembuahan terjadi dalam rongga suprabranchial, perkembangan larva mengalami modifikasi, kecuali spesies bivalvia Dreissena dan Nausitoria yang mempunyai veliger berenang bebas. Perkembangan embrio langsung terjadi pada kerang air tawar Sphaeriidae yang mengerami telurnya dalam saluran air diantara lembaran insang, dan keluar dari tubuh induknya sebagai anak kerang. Pada kerang air tawar famili Unionidae dan Mutelidae terjadi perkembangan tidak langsung yang sangat khusus, yaitu telur dalam insang menetas menjadi larva glochidium, lasidium atau hautoria, suatu bentuk larva yang termodifikasi untuk hidup sebagai parasit. Stadium glochidium setara dengan stadium veliger, tetapi tidak mempunyai velum dan kaki. Glochidium berukuran 0.05 mm sampai 0.5 mm, bergantung pada spesiesnya, mempunyai mantel dan alat indera berbentuk empat rumpun sikat, tali perekat dan dua keping cangkang, tidak mempunyai mulut maupun anus, saluran pencernaan kurang berkembang. Glochidia dari Unio dan Anodonta meninggalkan insang melalui rongga suprabranchial dan sifon ekshalant, sedangkan pada Lampsilis melalui bukaan sementara pada insang. Glochidia yang keluar dari induknya akan jatuh ke dasar perairan atau terbawa arus air. Bila ada ikan berenang dekat dasar perairan, maka glochidia yang terkait akan mengatupkan kedua keping cangkangnya pada sirip ikan atau bagian permukaan tubuh ikan. Jenis glochidia tanpa kait akan menempel pada insang ikan, yang terbawa oleh aliran saat bernafas. Penempelan glochidia menimbulkan reaksi ikan dengan tumbuhnya jaringan sekitar parasit dan membentuk kista. Larva glochidia di dalam kista hidup sebagai parasit, dengan mantelnya yang
38
berisi sel phagocyte memakan jaringan insang untuk pertumbuhannya. Selama periode parasit antara 10 sampai 30 hari terjadi metamofosis menjadi anak kerang. Akhirnya anak kerang keluar dari kista dan jatuh ke dasar perairan serta hidup dalam lumpur sebagaimana individu dewasa.
2.7 Beberapa Aspek Bio-Ekologi 2.7.1 Habitat Famili Lucinidae mempunyai habitat mulai dari pasir kasar sampai lumpur halus (Allen 1958). Spesies A.edentula merupakan salah satu famili lucinidae menggali lubang pada daerah pantai berlumpur (mudflat) di zona intertidal sampai subtidal (Lim et al. 2001 diacu dalam Ng dan Sivatoshi 2003). Spesies tersebut mendiami dasar berlumpur (muddy bottoms) sekitar estuari pada daerah hutan mangrove, dan sering menguburkan diri di bawah permukaan substrat (Sotto dan Gosel, 1982),
pada
kedalaman 20–50 cm di daerah hutan mangrove (Lebata 2000 dan 2001). Hidupnya pada kondisi anoksid dengan sulfida dari sedimen tereduksi (Lebata 2001). Dengan adanya pigmen respirasi haemoglobin membuat famili Lucinidae hidup pada habitat yang rendah konsentrasi oksigennya (Poutiers 1998 diacu dalam Carpenter dan Niem 1998). Simbiotik kemotropik oksidasi sulfur dari bakteria yang berada pada insang yang tipis membuat konstribusi substansial pada nutrisinya. Hasil penelitian dari Latale (2003) menemukan bahwa spesies ini mendiami subtrat bersedimen pasir sangat kasar (very coarse sand) sampai lumpur (silt atau clay), dan umumnya didominasi oleh pasir kasar (coarse sand) dan pasir ukuran sedang (medium sand), dan mempunyai nilai porositas antara 41.71% - 55.58%.
2.7.2 Sebaran Terjadinya sebaran suatu populasi karena kondisi lingkungan hidupnya dan keadaan populasi itu sendiri (Kendeigh 1980). Di samping itu Warwick (1982) menyatakan bahwa umumnya pola sebaran dan keadaan tubuh biota makrofauna bentik dipengaruhi oleh substrat dasar dari tempat hidupnya. Ludwig dan Reynold (1988) menyatakan bahwa pola sebaran secara garis besar terbagi atas 3 tipe, yaitu pola sebaran
39
acak, homogen dan berkelompok. Pola sebaran yang ditemukan oleh Latale (2003) di Perairan pantai desa Passo dari spesies A.edentula adalah mengelompok. Sebaran geografi dari spesies ini menurut Poutiers (1998) diacu dalam Carpenter dan Niem (1998), menyebar luas di Indo-Pasifik Barat, mulai dari Timur dan Selatan Afrika, termasuk Madagaskar dan Laut Merah, sampai ke Polinesia bagian Timur; dari Utara sampai Selatan Jepang dan Hawaii, juga Philipina (de la Rosa 2004) dan dari Selatan sampai New South Wales. Indonesia, khususnya Maluku (Ambon) termasuk dalam peta penyebaran spesies ini (Gambar 5).
Gambar 5. Peta penyebaran A. edentula (Poutiers, 1998 diacu dalam Carpenter dan Niem 1998). 2.7.3 Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran volume, panjang, dan bobot suatu organisme, sedangkan pertumbuhan bagi populasi sebagai pertambahan jumlah individu dari anggota populasi tersebut. Pertumbuhan dapat dilihat dari perubahan ukuran panjang dan bobot dalam satuan waktu atau dapat dikatakan sebagai peningkatan biomassa. Secara umum, Effendie (1978) mengemukakan bahwa pertumbuhan dapat dirumuskan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam waktu tertentu. Selanjutnya dikemukakan bahwa sebenarnya pertumbuhan adalah suatu proses biologi kompleks yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Proses pertumbuhan menurut Ricker
40
(1975) dipengaruhi oleh faktor internal (keturunan, seks, umur, parasit dan penyakit), dan faktor eksternal (makanan dan kondisi hidrologi perairan). Spesies A.edentula dapat tumbuh mencapai ukuran maksimum panjang cangkang 8–9 cm dengan berat total 180–210 gram, dan merupakan spesies yang potensial untuk di budidayakan (Primavera et al. 2002). Menurut Carpenter dan Niem (1998) A.edentula dapat mencapai panjang maksimum 7.5 cm, umumnya 5 cm. Latale (2003) mendapatkan bahwa panjang cangkang spesies ini dapat mencapai 6.95 cm. Spesies betina matang gonad antara berat 60 gram dengan panjang cangkang 57 mm sampai berat 125 gram dan 73 mm panjang cangkang (Lebata, 2000 dan 2001). Pola pertumbuhan merupakan bentuk laju pertumbuhan antara panjang dan berat suatu organisme. Latale (2003) menemukan bahwa pola pertumbuhan spesies A.edentula di perairan pantai Passo Teluk Ambon Bagian Dalam adalah bersifat allometrik negatif, dimana laju pertumbuhan panjang cangkang lebih cepat dari laju pertumbuhan beratnya.
2.7.4 Makanan dan Pencernaan Sebagian besar kerang merupakan ciliary feeder karena sebagai deposit feeder maupun filter feeder, cilia memegang peranan penting dalam mengalirkan makanan ke mulut. Saluran pencernaan terdiri atas mulut, oesophagus yang pendek, lambung yang dikelilingi kelenjar pencernaan, usus, rectum dan anus. Sebagian besar bivalvia tidak mempunyai radula karena semua makanan yang masuk ke mulut sudah disortir oleh palp. Makanan yang terbungkus lendir dari mulut masuk lambung melalui oesophagus. Lambung terbagi dua, bagian dorsal yang berhubungan dengan oesophagus dan kelenjar pencernaan, pada bagian ventral terdapat suatu kantung. Lambung berfungsi memisahkan makanan dari gulungan lendir. Partikel makanan yang halus mula-mula dicerna dengan amilase untuk dilanjutkan dengan pencernaan intracellular. Kantung crystalline style merupakan sumber amilase. Makanan yang tak dapat dicerna disalurkan oleh minor typolose ke usus. Usus biasanya panjang dan melingkar-lingkar melalui bagian dalam kaki dan gonad. Rektum memanjang ke posterior malalui bilik (ventricle) dan bagian dorsal otot aduktor posterior. Usus dan rektum berfungsi menjadikan sisa
41
percernaan (feses) ke dalam bentuk pelet, dan pada dindingnya tidak terjadi absorbsi makanan. Pelet dibuang keluar melalui sifon ekshalant. Spesies A. edentula,
termasuk hewan infauna yang bersimbiosis dengan
sedimen yang kaya organik dan habitat yang kaya akan hidrogen sulfida dan kondisi anoksid, makanan diperoleh dengan cara oksidasi sulfida melalui bakteri endosimbiont pada insang yang berwarna agak gelap Proses tersebut menghasilkan senyawa organik untuk dimanfaatkan oleh spesies tersebut (Lebata 2000 dan 2001; Lebata dan Primavera 2001; Primavera et al. 2002). Proses endosimbiosis dari bakteri membuat sistem pencernaan tereduksi (Primavera et al. 2004). Sistem pencernaan dari A.edentula tersebut dengan sendirinya tidak mempunyai usus.
2.7.5 Kondisi Hidrologi Kondisi hidrologi sangat berpengaruh terhadap kehadiran suatu organisme pada suatu wilayah tertentu. Beberapa kondisi hidrologi yang sangat mempengaruhi organisme penghuni daerah pasang surut adalah suhu, salinitas, kekeringan, oksigen, pH dan sebagainya. Parameter hidrologi yang ditemukan oleh Latale (2003) pada substrat dimana ditemukan A.edentula meliputi suhu 27.1–31.1 oC, salinitas 27–29 ppt dan pH 6.3–6.9. Menurut Suwignyo et al.
(1981) diacu dalam Razak (2002), lingkungan
perairan yang optimum untuk kehidupan Anodonta woodiana adalah perairan dengan pH 6,0–7.6, kandungan oksigen terlarut (DO) 3.8–12.5 mg/l, dan suhu 24–29 oC. Perubahan suhu akan berpengaruh terhadap pola kehidupan organisme perairan. Pengaruh suhu yang utama adalah mengontrol penyebaran hewan dan tumbuhan. Suhu mempengaruhi
secara langsung aktifitas organisme seperti pertumbuhan dan
metabolisme bahkan menyebabkan kematian organisme. Sedangkan pengaruh tidak langsung adalah meningkatnya daya akumulasi berbagai zat kimia dan menurunkan kadar oksigen dalam air. Suhu juga merupakan faktor pembatas bagi beberapa fungsi biologis hewan air seperti migrasi, pemijahan, kecepatan proses perkembangan embrio serta kecepatan bergerak. Setiap spesies hewan moluska mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap suhu. Suhu optimum bagi moluska bentik berkisar antara 25 dan 28 oC (Hutagalung 1988 dan Huet 1972 diacu dalam Razak 2002 )
42
Selain suhu maka parameter hidrologi lainnya adalah salinitas. Salinitas dapat mempengaruhi kerang melalui
pemanfaatan pakan dan pertumbuhan, baik secara
langsung maupun tidak langsung, terutama mempengaruhi tekanan osmosis. Pada kebanyakan hewan laut, termasuk juga kerang yang merupakan tipe osmoregulatoreuryhaline, pengaruh langsung dari salinitas media adalah lewat efek osmotiknya terhadap osmoregulasi dan kemampuan digesti serta absorbsi
pakan. Secara tidak
langsung salinitas mempengaruhi kerang melalui perubahan kualitas air seperti pH dan oksigen terlarut. Salinitas optimum bagi hewan moluska berkisar antara 2–36 ppt (Setiobudiandi 1995). Kadar ion hydrogen (pH) perairan merupakan parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme. Setiap organisme mempunyai pH optimal, pH moluska berkisar antara 6.5–7.5 (Russel-Hunter 1968), sedangkan pH yang baik bagi pertumbuhan tiram berkisar antara 6.5-9 (Irianto, et al. 1986). Pescod (1973) menyatakan bahwa selain fotosintesis, pH perairan juga dipengaruhi oleh suhu dan keberadaan ion-ion dalam perairan tersebut. Peningkatan pH alami akan dapat meningkatkan toksitas ammonia. Oksigen adalah salah satu gas terlarut yang memegang peranan penting untuk menunjang kehidupan organisme dalam proses respirasi dan metabolisme sel. Clark (1977) menyatakan bahwa DO (Dissolved Oxygen) optimum moluska berkisar antara 4.1–6.6 ppm dengan batas minimal toleransi 4 ppm. Fosfor merupakan unsur pembatas pertumbuhan yang umum pada fitoplankton, meskipun fosfor ini dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit. Pada umumnya fosfat di perairan alami tidak lebih dari 0.1 mg/1. Apabila kandungan fosfat cukup tinggi maka akan terjadi eutrofikasi (Goldman dan Horne 1983). Ortofosfat (PO4-P) terlarut merupakan fosfor dalam bentuk anorganik yang dapat langsung dimanfaatkan dan mudah diserap oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya (Lind 1979). Ammonia di perairan dapat berasal dari proses dekomposisi bahan organik yang banyak mengandung senyawa nitrogen (protein) oleh mikroba (ammonifikasi), ekskresi organisme, dan reduksi nitrit oleh bakteri. Setiap ammonia yang terbebas ke suatu lingkungan akan membentuk reaksi keseimbangan dengan ammonium. Ammonia atau ammonium dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan akuatik atau mengalami nitrifikasi menjadi nitrat. Dalam perairan
43
yang tidak tercemar dan cukup teroksigenisasi, senyawa amonia relatif sedikit jumlahnya, yaitu kurang dari 1 ppm. Dalam baku mutu air laut, untuk biota laut kadar ammonia yang diperkenankan adalah tidak melebihi 0,1 ppm (MENKLH 1988). Menurut Mahida (1984), keberadaan amonia di perairan merupakan hasil proses pembusukan bahan organik oleh bakteri. Sulfur merupakan salah satu elemen yang esensial bagi mahluk hidup, karena merupakan elemen penting dalam protoplasma. Ion sulfat yang telah diserap oleh organisme mengalami reduksi hingga menjadi bentuk sulfidril (SH) di dalam protein. Ion sulfat yang bersifat larut dan merupakan bentuk oksidasi utama sulfur adalah salah satu anion utama di perairan, menempati urutan kedua setelah bikarbonat. Kadar sulfat yang melebihi 500 mg/liter dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada sistem pencernaan. Sulfida total (H2S, HS-, dan S2-) yang terdapat di dasar perairan yang banyak mengandung deposit lumpur mencapai 0.7 mg/liter, sedangkan pada kolom air biasanya berkisar antara 0.02–0.1 mg/liter (Effendi 2003).
44
III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian
dilakukan terhadap kerang A.edentula, yang terdapat di perairan
intertidal sekitar hutan mangrove desa Passo di Teluk Ambon Bagian Dalam, yang secara geografis berada pada kedudukan 3o38’15” Lintang Selatan dan 128o14’45” Bujur Timur (Lampiran 1). Secara visual terlihat bahwa perairan pantai desa Passo memiliki topografi yang landai dan karakteristiknya mirip dengan perairan estuari lainnya, yaitu memiliki banyak sungai dan anak sungai. Perairan pantai Passo dengan sungai Wai Tonahitu ini didominasi oleh mangrove jenis Sonneratia alba dan Rhizophora apiculata, dengan substrat beragam mulai dari lumpur sampai pasir kasar pada tepi pantai sampai daerah genangan yang berbatasan dengan vegetasi darat (Anonimous, 2003). Lokasi penelitian dibagi atas 3 zona berdasarkan penyebaran mangrove pada lokasi tersebut. Zona I yaitu bagian depan mangrove yang berbatasan dengan daerah pasang surut, zona II bagian tengah hutan mangrove, dan zona III bagian belakang hutan mangrove yang berbatasan dengan perumahan penduduk. Ilustrasi pembagian lokasi penelitian pada Gambar 6.
Gambar 6. Lokasi pengambilan contoh kerang, mangrove, dan translokasi (DS = dekat sungai, DM= depan mangrove, JS = jauh dari mangrove, LK1= lokasi asal 1, LK2= lokasi asal 2).
45
Pengambilan contoh kerang dalam penelitian ini dilakukan selama setahun sejak Januari tahun 2005 sampai Januari 2006 di perairan pantai desa Passo Teluk Ambon Bagian Dalam dengan alasan bahwa terdapat dua musim, yaitu musim Barat dan Timur. Dengan demikian kedua musim tersebut akan terwakili.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian Peralatan dan bahan yang digunakan untuk mengukur parameter ekologis perairan, parameter biologi dan reproduksi disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian A.edentula. No Parameter Alat Bahan 1. Mangrove - Meteran Jenis Mangrove - Tali - Hand tally counter - Gunting - Kantong plastik - Label - Lembaran Data 2. Sebaran dan kepadatan - Kompas Individu kerang populasi - Petak kuadran A.edentula - Meteran plastik dan tali - Ayakan dan sekop - Label dan plastik 3. Struktur populasi dan - Kaliper Individu kerang pertumbuhan - Timbangan “digital A.edentula hand balance” - Contoh gonad Perkembangan gonad - Timbangan OHaus 4. - Formaldehida 10% - Mikrotom - Larutan alkohol - Mikroskop compound - Mikroskop binokuler bertingkat - Gelas piala - Parafin - Canada Balsem - Botol sample - Pewarnaan dengan - Kaca objek hematoksilin- Label eosin Mayer’s - Sel Sedgwick rafter Fekunditas - Cawan petri Gonad kerang 5. - Pipet - Aquades - Mikroskop binokuler Gonad kerang 6. Rasio kelamin - Pisau - Nampan plastik - Mikroskop binokuler
46
Lanjutan Tabel 1. No Parameter 7. Kualitas Lingkungan - Suhu - Salinitas - pH - Oksigen Terlarut (DO) - Nitrat Nitrogen (NO3N) - Total P - Sulfida sbg H2S 8.
Habitat substrat
9. 10.
Jenis Bakteri Wadah translokasi
Alat - Botol sample - Termometer - Refraktometer - pH meter - DO meter - Spektrofotometer - Sda - Sda -Metode Olsen -Pengekstrak MorganWolf - Sediment core - Automatic seaving shaker - Oven WTB binder - Medium agar - Kotak kawat ram
Bahan Contoh air
Contoh sedimen
Contoh kerang Contoh kerang
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Mangrove Karena kerang yang diteliti hidup pada perairan pantai mangrove dan hidupnya di sepanjang aliran air yang ditumbuhi berbagai jenis pohon mangrove, maka perlu diketahui jenis mangrove dan sedimen pada daerah tersebut. Pengambilan data kerapatan jenis mangrove dilakukan dengan metode transek garis (line transect) berdasarkan zona, dari arah laut ke darat, sesuai dengan pembagian zona penelitian. Di sepanjang garis transek diletakkan petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 x 10 m2 untuk kategori pohon (diameter >10 cm sebanyak paling kurang 3 petak contoh (plot)), sapihan (diameter 2-10 cm), dan anakan (diameter <2 cm). Kemudian mendeterminasi spesies, jumlah individu setiap spesies dan mengukur lingkaran batang pada jarak 1.3 m dari tanah (English et al. 1994). Beberapa contoh daun mangrove diambil untuk keperluan identifikasi spesies mangrove.
47
3.3.2 Sedimen Pengambilan contoh sedimen dilakukan di salah satu muara sungai Wai Tonahitu pada perairan pantai desa Passo Teluk Ambon Bagian Dalam. Titik-titik pengambilan sedimen sesuai dengan pembagian zona yaitu dekat dengan mangrove, jauh dari mangrove ke arah laut dan zona antara. Pengambilan contoh sedimen ini dilakukan sebanyak dua kali selama penelitian berlangsung. Untuk mengetahui dominasi ukuran butiran dan jenis sedimen pada substrat, maka dilakukan pengambilan contoh dengan “sediment core” sampai kedalaman 50 cm pada setiap kuadran pengamatan bersamaan dengan pengambilan contoh A.edentula. Sedimen dikering anginkan untuk analisis partikel butiran yang dilakukan di laboratorium kimia, Balai Penelitian Tanah, Departemen Pertanian, Bogor. Hasil yang diperoleh diklasifikasikan dalam klasifikasi skala wenworth sediment (Dyer, 1986) berdasarkan ukuran butiran, yaitu lempung/liat (clay), lanau/lumpur (silt), pasir (sand), butiran (granule), kerikil/koral (pebble), batu bulat (cobble) dan batu besar (boulder). Skala wenworth sedimen sebagai panduan pengklasifikasian tertera pada Lampiran 2. Hasil pengklasifikasian butiran diplotkan ke dalam segitiga Shephard (1954) diacu dalam Dyer (1986). 3.3.3 Parameter Lingkungan Perairan Parameter lingkungan perairan yang diukur meliputi: curah hujan, suhu, salinitas, pH, DO, sulfat, fosfat dan nitrat. Pengambilan contoh kualitas air dalam sedimen dilakukan bersamaan dengan pengambilan contoh ukuran partikel serta organisme kerang pada saat surut. Pengambilan contoh ini dilakukan setiap sebulan sekali selama setahun pada saat pasang surut di ketiga stasiun. Data curah hujan diperoleh dari BMG Stasiun Ambon. 3.3.4 Kerang Pengambilan contoh kerang dengan menggunakan metode transek garis (line transect) dengan interval 10 m dimana penarikan tali transek mulai dari surut terendah di sepanjang
pantai dekat aliran sungai sampai di areal hutan mangrove (areal
intertidal). Pembagian zona dibagi atas dekat dengan mangrove, jauh dari mangrove ke arah laut dan zona antara. Pengambilan contoh ini dilakukan pada saat surut dengan cara
48
menyekop substrat yang terdapat di dalam setiap kuadran pengamatan (ukuran 1 x 1 m2) sampai pada kedalaman 20 cm lalu dilanjutkan dengan tangan hingga kedalaman 50 cm untuk mencegah kerusakan pada kulit kerang yang rapuh. Pengambilan contoh ini dilakukan sebulan sekali selama 13 bulan (mewakili 2 musim, yaitu Timur dan Barat). Spesimen A.edentula yang diperoleh dimasukkan dalam wadah berupa ember plastik, sebagian dimasukkan ke kantong plastik dan diawetkan dengan formalin 10%, dan diberi label. Semua individu A.edentula yang didapat dihitung jumlahnya dan diukur panjang, lebar dan tebal, serta ditimbang beratnya. Jumlah individu yang didapat untuk melihat sebaran horisontal, kepadatan, kelimpahan, dan pergeseran modus. Untuk itu dilakukan pengukuran morfometriknya dimana panjang cangkang diukur dari ujung anterior sampai ujung posterior memakai caliper dengan ketelitian 1.00 mm (Gambar 7) serta ditimbang beratnya menggunakan timbangan digital Ohaus Precision Plus dengan ketelitian 0.001 gr. Setiap pengukuran tanpa pemulihan (sampling without replacement) dilakukan terhadap parameter populasi. Sebagian contoh kerang yang hampir seragam ukurannya diambil untuk ditranslokasikan (transplantasi ke daerah sekitarnya) untuk melihat parameter populasi (pertambahan panjang, berat dan produksi kerang). Identifikasi jenis makanan dari kerang A.edentula dilakukan pada Laboratorium Bakterilogi, Fakultas Kedokteran Institut Pertanian Bogor, untuk melihat jenis bakteri pada tubuh kerang serta pada sedimen yang merupakan habitatnya.
49
Garis tengah cangkang
Lebar
`
Panjang
Tebal
Gambar 7. Pengukuran morfometri kerang
50
3.3.5 Kemampuan Adaptasi Kerang. Untuk mennganalisis kemampuan adaptasi kerang terhadap habitat yang baru maka dilakukan percobaan translokasi dengan tujuan untuk melihat apakah kerangkerang yang dipelihara di habitat yang berbeda dapat bertumbuh dan berkembang seperti layaknya habitat aslinya atau tidak. Translokasi dilakukan pada beberapa lokasi (sarang) yang berbeda (tiga sarang) dan yang sama dengan habitat asli (dua sarang). Setelah individu yang terambil pada pengambilan contoh, maka dilakukan translokasi, dimana pemeliharaan dilakukan pada lima sarang yaitu dekat sungai (DS), depan mangrove (DM), jauh dari sungai (JS), lokasi asal 1 (LK1), lokasi asal 2 (LK2) seperti terlihat pada Gambar 6, setiap sarang terdiri dari 30 individu yang relatif sama ukurannya. Ke 30 individu kerang ini dimasukkan kedalam wadah (sarang) berbentuk empat persegi panjang yang terbuat dari kawat ram yang berukuran 20 x 30 x 20 cm (Lampiran 3), untuk menghindari kerang hilang dari tempat pemeliharaan. Semua kerang diukur panjang, lebar dan tinggi serta ditimbang beratnya lalu dimasukkan ke wadah pemeliharaan kemudian wadah-wadah ini ditempatkan pada kedalaman 50 cm. Selanjutnya diamati pertumbuhan, mortalitas dan kualitas sedimen serta parameter hidrologinya, setiap 2 minggu selama 4 bulan. Analisis data yang dilakukan ini meliputi kecepatan tumbuh dalam berat dan panjang, mortalitas dan produksi kerang pada 5 sarang pengamatan.
3.3.6 Reproduksi Kerang Kerang- kerang yang ditemukan lalu dimasukkan ke dalam wadah berupa ember plastik dan dimasukan air laut agar kerang tetap terendam, kemudian dibawa ke laboratorium fakultas perikanan untuk dilakukan penimbangan dan pembedahan serta pengamatan. Pengamatan morfologi organ reproduksi kerang mencakup alat kelamin, gonad (testis dan ovarium), dan sistem reproduksi termasuk kemungkinan terjadi perubahan kelamin. Pengamatan dilakukan sebulan sekali terhadap contoh kerang yang diambil secara acak, jumlah contoh bervariasi bergantung pada banyak kerang yang ditemukan saat pengambilan contoh. Tahapan kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
51
•
Pengukuran panjang cangkang dan bobot basah tubuh (cangkang dan daging): Panjang cangkang adalah jarak yang diukur dari ujung anterior ke ujung posterior cangkang. Lebar cangkang adalah jarak yang diukur pada bagian dorsal ke bagian ventral cangkang. Tebal cangkang adalah jarak yang diukur dari tepi cangkang bagian atas ke tepi cangkang bagian bawah (Gambar 7).
•
Penimbangan terhadap bobot tubuh dilakukan dengan menggunakan timbangan digital OHAUS Precision Plus dengan ketelitian 0.001 gr (penimbangan basah maupun kering), selanjutnya bobot daging tanpa cangkang (bobot viscera) juga ditimbang. Terakhir dilakukan penimbangan terhadap bobot gonad.
•
Pengamatan alat kelamin; karena kerang yang diamati ini tidak dapat dibedakan kelaminnya secara visual dari bentuk dan warna cangkang maupun bentuk dan warna gonad maka harus dilakukan pembedahan terhadap gonad kerang tersebut. Untuk keperluan ini maka kerang diambil secara acak sebanyak 30-40 contoh dari sebaran ukuran yang ada untuk diamati dibawah mikroskop dan ditentukan rasio kelaminnya.
•
Penimbangan terhadap bobot gonad dan visceral massnya
bertujuan untuk
menghitung indeks kematangan gonad atau gonado somatik indeks. Contoh sebanyak 30-40 individu kerang dibedah untuk diambil gonadnya. Bobot gonad digunakan untuk menghitung indeks kematangan gonad yang merupakan parameter untuk menentukan tingkat kematangan gonad. •
Pengamatan histologis. Karena pengamatan secara langsung dengan mikroskop hanya dapat membedakan sperma dan telur tetapi tidak dapat menentukan tingkatan kematangan gonadnya, maka perlu dilakukan pengamatan histologis dengan membuat preparat histologis. Pengamatan histologis gonad merupakan salah satu metode untuk mengamati Tingkat Perkembangan Gonad. Untuk keperluan histologi diambil secara acak contoh sebannyak 10-15 individu kerang kemudian dibedah dan diambil
gonadnya untuk diawetkan dalam larutan
fiksatif bouin selama 24 jam. Komposisi larutan bouin terdiri atas 150 ml asam pikrat jenuh + 50 ml formalin 40% + 10 ml asam asetat glacial (Roper dan Sweney 1983). Gonad kerang yang akan dibuat preparat histologi terlebih dahulu dipisahkan dari tubuhnya lalu ditimbang dan difiksasi dalam larutan
52
bouin (Rao 1973). Setelah itu gonad siap untuk dibuat preparat histologi. Prosedur pembuatan preparat histology dapat dilihat pada Lampiran 4. Penentuan tingkat kematangan gonad dilakukan dengan mengamati preparat histologis yang berpatokan pada kriteria yang dikemukan oleh Rose et al. ( 1990). •
Untuk analisis fekunditas maka setiap bulan diambil 15 contoh kerang. Individu-individu ini dibedah dan diamati dibawah mikroskop. Gonad kerang betina yang matang ditimbang dan diawetkan untuk dihitung jumlah telurnya. Selanjutnya fraksi ovarium tersebut direndam dalam larutan Gilson. Larutan Gilson terdiri dari 100 ml alcohol 60% + 880 ml air + 15 ml asam nitrit + 18 ml asam asetat glacial + 20 g mercuri chloride (Effendie 1992). Perendaman diusahakan sedemikian rupa agar seluruh gonad terkena larutan tersebut. Untuk perhitungan jumlah telur dengan menggunakan metoda gabungan gravimetrik, volumetrik, dan metode hitung (Effendie 1992).
3.4 Analisis Data Kerang dan Lingkungan 3.4.1 Mangrove • Kerapatan Jenis:
Di =
ni A
dimana, Di = kerapatan jenis ke i, ni = jumlah total tegakan jenis ke-i A = luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot).
• Kerapatan Relatif adalah perbandingan antara jumlah tegakan jenis ke i (ni) dan jumlah total tegakan seluruh jenis (Σ n): RDi =
ni x 100 ∑ ni
• Frekuensi jenis (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam petak contoh/plot yang diamati: Fi =
pi ∑p
53
dimana, Fi adalah frekuensi ke i, pi adalah jumlah petak contoh/plot dimana ditemukan jenis i dan p adalah jumlah total petak contoh/plot yang diamati.
• Frekuensi Relatif jenis (RF1) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i (Fi) dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (ΣF): RF1 =
Fi x 100 ∑F
• Penutupan Jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis ke i dalam suatu unit area:
Ci =
dimana, BA =
π DBH 2 4
∑ BA A (Cm2), π (3.1416) adalah suatu konstanta dan DBH adalah
diameter batang pohon dari jenis i, A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot). DBH =
CBH
π
(dalam Cm), CBH
adalah lingkaran pohon setinggi dada. • Penutupan Relatif jenis (RCi) adalah perbandingan antara luas area penutupan jenis i (Ci) dan luas area penutupan untuk seluruh jenis (ΣC): RCi =
Ci x 100 ∑C
Jumlah nilai kerapatan relatif jenis (RDi), frekuensi relatif jenis (RF1), dan penutupan relatif jenis (RFi) menunjukkan Nilai Penting Jenis (NP atau (IVi) : NP atau IVi = RDi + RF1 + RC1 Nilai Penting Jenis (NP) atau IVi berkisar antara 0 dan 300, Nilai penting ini memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove. 3.4.2 Variasi Karakteristik Lingkungan Perairan
Untuk mengkaji variasi karakteristik lingkungan perairan antar waktu pengamatan, digunakan suatu pedekatan analisis statistik multivariabel yang didasarkan
54
pada Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis, PCA) (Lagendre and Lagendre 1983; Lagarde 1983; Foucart 1985; Bengen and Belaud 1992b). Analisis Komponen Utama (PCA) merupakan metode statistik deskriptif yang mempresentasikan data dalam bentuk grafik, informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data yang dimaksud terdiri atas waktu pengamatan sebagai individu statistik (baris) dan karakteristik lingkungan sebagai variabel kuantitatif (kolom). Data karakteristik lingkungan yang diukur tidak berunit pengukuran dan ragam yang sama, sehingga sebelum melakukan Analisis Komponen Utama data tersebut dinormalisasikan terlebih dahulu melalui pemusatan (selisih antara nilai variabel asal dan nilai rata-rata variabel) dan pereduksian (hasil bagi antara nilai variabel yang telah dipusatkan dan simpangan baku variabel tersebut). Degan demikian Analisis Komponen Utama tidak direalisasikan dari nilai-nilai variabel asal, tapi dari indeks sintetik yang diperoleh dari kombinasi linear variabel asal. Di antara semua indeks sintetik yang mungkin, PCA mencari terlebih dahulu indeks yang menunjukkan ragam waktu pengamatan yang maksimum. Indeks ini disebut sebagai komponen utama pertama yang merupakan sumbu ke i (axis ke-i, F1). Suatu proporsi tertentu dari ragam total waktu pengamatan dijelaskan oleh komponen utama ini. Selanjutnya dicari komponen utama kedua (F2) yang tidak berkorelasi dengan komponen utama pertama. Komponen utama kedua memberikan informasi terbesar sebagai pelengkap komponen utama pertama. Proses ini berlanjut terus hingga diperoleh komponen utama ke-p, dimana bagian informasi yang dapat dijelaskan semakin kecil. Pada prinsipnya PCA menggunakan jarak Euclidean yang didasarkan pada rumus (Lagendre and Lagendre 1983; Lagarde 1983; Foucart 1985): p
d2 (i, i”) =
∑ ( xij − xi' j ) 2 j =i
dimana i, i’ = dua waktu pengamatan (baris) j
= variabel lingkungan
Semakin kecil jarak Euclidean antar dua waktu pengamatan maka semakin mirip karakteristik lingkungan perairan antar dua waktu pengamatan tersebut. Demikian pula
55
sebaliknya semakin besar jarak Euclidean antar dua waktu pengamatan maka semakin berbeda karakteristik waktu kedua waktu pengamatan tersebut. Pengolahan data parameter lingkungan perairan menggunakan perangkat lunak (soft ware) dari excel yang dikenal sebagai program EXCELSTAT. Di samping itu untuk melihat keterkaitan antara parameter lingkungan dan faktor kondisi kerang antar waktu pengamataan (bulan) dilakukan analisis komponen utama dengan memasukkan variabel indeks faktor kondisi. Keluarannya dalam suatu kurva biplot dari parameter lingkungan dan faktor kondisi.
3.4.3 Kepadatan Kerang
Untuk mengetahui kepadatan digunakan formula menurut Krebs (1978):
Kepadata n (individu / m 2 ) =
Jumlah individu suatu spesies Total pengamata n
Analisis variance (ANOVA) digunakan untuk melihat signifikansi perbedaan kepadatan antar zona. Jika terdapat perbedaan yang signifikan maka dilanjutkan dengan uji Tukey (Steel and Torrie 1989) untuk melihat zona mana saja yang berbeda. Variasi karakteristik lingkungan perairan (parameter kualitas air dan sedimen) antar waktu pengamatan dikaitkan dengan kepadatan setiap zona sebagai variabel suplemen, digunakan suatu pendekatan analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis, PCA).
3.4.4 Pola Penyebaran
Untuk mengetahui pola sebaran dari populasi A.edentula di lokasi penelitian, maka digunakan rasio ragam terhadap rataan (Pielou 1977 diacu dalam Ludwig dan Reynold, 1988), yaitu membandingkan rataan (mean) dan ragam (variance). Rataan populasi ( μ ) diduga dari rataan contoh ( x ), sedangkan ragam populasi ( σ 2 ) diduga dari ragam contoh ( s 2 ). Tiga tipe pola penyebaran akan didapatkan dari rasio ragam-rataan, yaitu: 1). Berpola acak (radom) jika σ 2 = μ , berdistribusi normal
56
2). Berpola kelompok (agragate/clumped) jika σ 2 > μ , berdistribusi binomial negatif 3). Berpola seragam (uniform) jika σ 2 < μ berdistribusi dengan poisson 3.4.5 Morfometrik
Analisis hubungan morfometrik antara panjang dengan lebar dan tebal serta antara lebar dan tinggi adalah: P=a+bL P = a + Tb L = a + Tb dimana: P = panjang cangkang, L = lebar cangkang, T = tebal cangkang, a dan b = konstanta 3.4.6 Hubungan Panjang- Berat
Pola perumbuhan kerang dapat diketahui melalui hubungan panjang cangkang dengan bobot tubuh kerang (berat basah) yang dianalisis melalui hubungan persamaan regresi kuasa (power regression) sebagai berikut (Ricker 1975): W = aLb atau log W = log a + b log L dimana: W = berat basah (g) L = panjang cangkang (mm) a dan b = konstanta Untuk menguji apakah konstanta b sama dengan tiga atau tidak (isometrik atau allometrik) dilakukan uji t. Persamaan di atas dilakukan baik terhadap jenis kelamin maupun per bulan pengamatan.
3.4.7 Faktor Kondisi
Faktor kondisi atau kemontokan kerang spesies A.edentula dinyatakan dalam angka yang dihitung sesuai dengan rumus yang dikemukakan oleh King (1995): CF =
Wcal W pred
57
dimana: CF
= faktor kondisi
Wcal = rataan berat contoh kerang (gr) Wpred = rataan berat kerang yang didapat dari hubungan panjang berat (gr) Nilai faktor kondisi dilakukan terhadap bulan pengamatan dan akan terlihat bulan-bulan mana saja yang mempunyai derajat kemontokan bagus. Pendekatan analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis, PCA) untuk melihat Variasi karakteristik lingkungan perairan (parameter kualitas air) antar waktu pengamatan dengan faktor kondisi dimana faktor kondisi sebagai variabel suplemen.
3.4.8 Kecepatan Pertumbuhan
Analisis kecepatan perubahan berat dan panjang dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Ricker (1975):
G=
ln W2 − ln W1 (kecepatan tumbuh dalam berat) Δt
G=
ln L1 − ln L1 (kecepatan tumbuh dalam panjang) Δt
dimana: W2 dan W1 = rataan berat tubuh pada waktu t=2 dan t=1 L2 dan L1 = rataan panjang cangkang pada waktu t=2 dan t=1 ∆ t = lamanya waktu pengamatan
3.4.9 Produksi kerang
Analisis produksi kerang dan biomassa kerang dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukan oleh Chapman dalam Bagenal (1978 ), sebagai berikut:
P = G.Δt.B
58
B + B2 B= 1 2
dimana P = produksi G = kecepatan tumbuh
B = rataan biomassa ∆t = selang waktu Sedangkan stok biomassa didapat dari SB =
∑
s
B
dimana SB = stok biomassa kerang Σ s = jumlah biomassa kerang
B = rataan biomassa
3.4.10 Pertumbuhan
Untuk melihat banyaknya kelompok umur (kohort) kerang A.edentula maka dianalisis menggunakan Model Class progression Analysis, (MPA) dalam program FiSAT. Metode ini dipakai untuk menduga pertumbuhan melalui pergeseran modus dari serangkaian data frekuensi panjang. Hal ini dapat digambarkan melalui histogram frekuensi panjang yang dibagi ke dalam kohort. MPA adalah Metode Bhattacharya sebagai penduga awal (initial guess) dan diperhalus (refined) dengan NORMSEP yang membagi tiap komponen ke dalam frekuensi ukuran contoh. Analisis pemisahan kelompok-kelompok umur kerang berdasarkan ukuran panjang yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode Bhattacharya sebagai dugaan awal (initial guess). Metode Bhattacharya merupakan salah satu grafis untuk memisahkan data sebaran frekuensi panjang ke dalam beberapa distribusi normal. Berdasarkan Sparre dan Venema (1992), penentuan distribusi normal ini dimulai dari sisi kiri distribusi total kemudian bergerak ke kanan selama masih ada distribusi normal yaug dapat dipisahkan dari distribusi total. Seluruh proses pemisahan distribusi normal adalah sebagai berikut:
59
1. Menentukan sudut kemiringan (slope) sebuah distribusi normal yarg tidak terkontaminasi, yang terletak pada sisi kiri distribusi normal 2. Menentukan distribusi normal kelompok dan mentransformasikan ke dalam satu garis lurus. 3. Menentukan jumlah kerang (N) yang terdapat dalam kelas-kclas panjang yang termasuk dalam kelompok pertama dan memisahkan dari distribusi total. 4. Mengulangi proses diatas untuk mencari distribusi normal frekuensi panjang selanjutnya, sampai tidak ada lagi distribusi normal yang ditemukan. 5. Nilai rata-rata (modus) dari tiap-tiap kelompok yang telah ditentukan melalui tahap 1 dan 4 dapat digunakan untuk mencari perbedaan umur tiap-tiap kelompok. Distribusi normal mempunyai persamaan sebagai berikut : Fc ( x) =
(n)(dL) ( s )( 2π )
exp
(x − x )2 (2s 2 )
Keterangan : Fc (x) = frekuensi teoritis n
= jumlah pengamatan
dL = interval kelas x
= tengah-tengah kelas
x = rataan panjang
π
= 3,14159
s
= simpangan baku
dengan:
s=
1 2 * ∑ Fi *( x − x) i n −1
Keterangan : n
= jumlah kerang
xi = panjang kerang ke- i F = frekuensi ke i
...............................................(1)
60
Untuk melinierkan persamaan (1), ditempuh dengan dua langkah : 1. Mengkonversikan suatu persamaan distribusi normal ke dalam suatu parabola. Langkah ini dilakukan dengan menarik logaritma kedua sisi persamaan (1):
ln fc ( x) = ln
(n)(dL) ( s )( 2π )
exp
( xi −x) 2 .............................................. (2) (2 x 2 )
Dengan menganggap ln fc (x) merupakan suatu peubah tidak bebas y dan x sebagai peubah bebas, maka dtperoleh hubungan fungsional antara y dan x, sehingga persamaan (2) dapat ditunjuk secara grafis oleh suatu parabola yang mempunyai rumus sebagai berikut :
y = a + b (x) + c (x)2 ....................................................................... (3) dengan :
y’ = ln Fc(x) – ln Fc(x)
a = ln
b=
(n)(dL) ( s )( 2π
x s2
− ( xi − x ) 2
dan c =
1 2s 2
2. Mengkonversi parabola pada langkah 1 di atas ke dalam suatu
persamaan
linier y' = ln(fc (x + dL) – ln Fc(x) ............................................................. (4) dapat ditulis :
61
y' = ∆ ln ( Fc [ x + ( dL/2] ..............................................................(5) dimana y' adalah selisih antara jumlah logaritma kelas panjang tertentu dan jumlah logaritma kelas panjang sebelumnya. ∆ (delta) menunjukkan suatu perbedaan kecil antara nilai-nilai dua fungsi. Kemudian y' diplotkan terhadap suatu peubah baru z, dimana, z = x + dL/2 ......................................................................... (6)
Persamaan (2) kemudian dimasukkan ke dalam persamaan (4), menjadi : y, =
(dL)( x) (dL)( x + dL / 2) ........................................................(7) − 2 2 s s
atau y’ = a + b (z) .................................................................................(8) dimana : a=
(dL)( x) s2
(dL) (x) a = ---------s2
dan
dan
b=−
dL s2
dL b = - --s2
kemudian menghitung ragam dan panjang rata-ratanya (modus) dengan menggunakan persamaan-persamaan berikut ini : s2 =
− dL b
dan
x =
−a b2
(Bhattacharya 1967 diacu dalam Sparre dan Venema, 1998). Pemisahan distribusi normal dengan metode Bhattacharya ini dilakukan dengan bantuan paket program FISAT (Gayanilo dan Pauly 1997).
62
Setelah diperoleh dugaan rataan masing-masing kohort (sub populasi), untuk memperhalus dugaan kurva maka dilanjutkan dengan program NORMSEP (NORMal SEParation) yang menerapkan konsep maximum likehood. Parameter pertumbuhan K dan L∞ dianalisis dengan metode frekuensi panjang kerang (ELEFAN I) dari perangkat lunak FiSAT versi 03.1. Adapun prinsip penerapan frekuensi panjang terdiri atas dua tahap utama yaitu restruktur panjang dan penyesuaian kurva pertumbuhan. Prosedur yang harus dilalui adalah sebagai berikut: (1). Data sebaran frekuensi panjang dirunut menurut waktu (time series). Penyusunan kembali sebaran frekuensi panjang dengan bantuan rataan bergerak (moving average) untuk memisahkan modus setiap contoh. Puncak-puncak (peaks) adalah frekuensi yang lebih besar dari frekuensi rataan bergeraknya, sedangkan lembahlembah (troughs) merupakan frekuensi yang lebih kecil dari rataan bergeraknya. (2). Pemberian nilai positif dan negatif terhadap masing-masing puncak dan lembah. Kemudian terhadap setiap contoh dihitung jumlah puncak yang tersedia (available sum of peaks/ASP). ASP merupakan skor maksimum yang dapat dicapai oleh sebuah kurva, yang berupa nilai positif. (3). Pelacakan (tracking) kurva pertumbuhan melalui sejumlah contoh frekuensi panjang yang tersusun (restructured) di atas. Kurva pertumbuhan yang dipilih adalah yang paling banyak melalui puncak dan menghindari paling banyak lembah. Atau kurva-kurva pertumbuhan yang menghasilkan nilai tertinggi dari ESP (explained sum of peaks) atau ASP yang dipilih. Pendugaan umur kerang pada waktu lahir (t0) dimaksudkan untuk mendapatkan informasi mengenai kerang yang juga disandingkan dengan informasi puncak pemijahan. Nilai t0 dapat diperoleh melalui nilai-nilai K dan L∞ yang diterapkan dalam persamaan Log10(-to) = -0.3922-0.2752 log10 L∞ -1.038 log10 K (Pauly 1980), dimana K adalah koefisien pertumbuhan, L∞ adalah panjang asimtot dan t0 (parameter kondisi awal) adalah umur ketika panjang sama dengan nol. Rentang hidup alamiah (longevity) merupakan rentang waktu hidup bagi suatu spesies yang didefenisikan oleh Pauly (1982) sebagai rentang waktu hidup yang dicapai oleh suatu spesies dalam suatu kohort hingga 99% dari seluruh anggota kohort mencapai kematian secara alami. Persamaan von Bertalanffy bila dijabarkan lebih
63
lanjut, maka akan diperoleh persamaan t = log10 (1-Lt/ L∞)/K + t0; dan jika panjang maksimum (L maks) = 0.95(L∞) dimasukkan ke dalam persamaan diatas, maka didapatkan umur kerang terpanjang (life span) adalah t maks = 2.9957/K + t0. (Pauly 1980).
3.4.11 Pendugaan Mortalitas
Pendugaan mortalitas total (Z) diduga melalui hubungan linear antara logaritma natural dari perubahan jumlah kerang per waktu bertumbuh kelas ke-i dengan umur, yang dikenal dengan nama kurva hasil tangkapan yang dikonversi ke panjang, Length Converted Catch Curve (LCCC) dengan formulanya: ln(Ni/Δti) = a + b · ti dimana: N adalah jumlah kerang pada kelas panjang i, Δt
adalah
waktu yang
diperlukan bagi kerang bertumbuh pada kelas panjang ke i, t adalah umur (atau umur relatif, dihitung dengan to = 0) berhubungan dengan nilai tengah kelas ke i, dan b adalah sudut/slope yang merupakan nilai Z. 3.4.12 Rekrutmen
Penambahan individu pertama ke populasi kerang dari data frekuensi panjang dibantu dengan suatu metode pendekatan yang difasilitasi oleh perangkat lunak FiSAT (Sparre & Venema 1998). Program ini merekonstruksi pulsa rekrutmen dari suatu runutan data frekuensi panjang yang disesuaikan dengan persamaan von Bertalanffy growth (VBGF) untuk mendeterminasi jumlah pulsa per tahun dan kekuatan relative setiap pulsa.
3.4.13 Nisbah Kelamin
Dalam pengamatan jenis kelamin kerang terdapat 3 kategori, yaitu jantan, betina dan neuter. Analisis nisbah kelamin tidak disertakan neuter. Data yang terkumpul setiap bulan dipisahkan menurut jenis kelamin dan kemudian disusun hipotesis yang mana (H0): tidak ada perbedaan antara jumlah kerang jantan dan betina yang muncul setiap
64
bulan (nisbah kelamin antara jantan dan betina adalah seimbang, yaitu 1:1), dan hipotesis alternatif (H1): terdapat perbedaan antara jumlah kerang jantan dan betina yang muncul pada setiap pengamatan. Kemudian dilakukan uji χ2 signifikansi 0.05 dengan nilai χ2
tabel
pada taraf
db 12 = 5.23 dengan kriteria pegujian sebagai
berikut: H0: diterima apabila χ2 hitung ≤ 5.23 dan H0 ditolak apabila χ2 hitung > 5.23 pada taraf kepercayaan 95% atau α =0.05 (Steel dan Torrie 1991)
3.4.14 Indeks Kematangan Gonad dan Indeks Berat Daging
Nilai indeks kematangan gonad (IKG) yang dikenal dengan Gonado Somatic Index (GSI) ditentukan berdasarkan rumus yang dikemukakan oleh Effendie (1992) sebagai berikut: IKG =
Berat Gonad ( gr ) x100 Berat Tubuh ( gr )
IBD =
Berat Viscera ( gr ) x 100 Berat Tubuh ( gr )
dimana: IKG = Indeks Kematangan Gonad dan IBD = Indeks Berat Daging Variasi karakteristik lingkungan perairan (parameter kualitas air) antar waktu pengamatan dikaitkan dengan IKG sebagai variabel suplemen, digunakan suatu pedekatan analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis, PCA). Di samping IKG ini, juga dilihat pola pergeseran modus perbulan dan dapat meramalkan kapan rekrutmen terjadi, yaitu dengan
grafik frekuensi distribusi
(deskriptif). Pola pergeseran ini dihubungkan dengan pergeseran modus ukuran (baik panjang maupun berat).
3.4.15 Fekunditas
Fekunditas mutlak ditentukan pada sejumlah kerang betina yang telah matang dan dihitung berdasarkan metode gabungan gravimetrik, volumetrik dan jumlah (Effendie 1997; Yulianda 2003) dengan formula sebagai berikut:
65
F=
GxVxX Q
dimana: F = jumlah telur seluruhnya (butir) G = bobot seluruh gonad (gr) V = volume pengenceran X = jumlah telur setiap cc (butir) Q = berat sebagian kecil gonad (gr) Selanjutnya untuk menentukan hubungan antara fekunditas telur dengan panjang cangkang serta fekunditas telur dan berat kering kerang tersebut, maka masing-masing hubungan antara kedua komponen tersebut dengan fekunditas ditentukan berdasarkan persamaan Ricker (1975): F = a1Lb1 F = a2Wb2 dimana: F = fekunditas (butir) L = panjang cangkang (mm) W = berat kering tubuh (gr) a dan b = konstanta
66
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Struktur Komunitas Mangrove
Pengambilan contoh mangrove dilakukan pada bulan Januari 2005, bersamaan dengan dimulainya penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 14 jenis mangrove yang terdiri dari 10 famili, seperti yang disajikan pada Tabel 2. Famili
Tabel 2. Jenis-jenis mangrove yang ditemukan pada perairan Passo Spesies Zona I Zona II Zona III
Rhizophoraceae
Rhizophora mucronata Rhizophora apiculata Bruguiera gymnorrhiza Bruguiera parviflota Ceriops tagal Sonneratiaceae Sonneratia alba Avicenniaceae Avicennia marina Maliaceae Xylocarpus granatum Myrsinaceae Aegiceras corniculatum Sterculiaceae Heritiera littoralis Euphorbiaceae Excoecaria agallocha Acanthaceae Acanthus ilicifolius Arecaceae Nypa fruticans Pandanaceae Pandanus tectorius Ket : + = ada, - = tidak ada,
+ + + + + + + + -
+ + + + + + + + -
+ + + + + + + + + + + + +
Dari Tabel 2, terlihat bahwa famili Rhizophoraceae dengan 5 jenis merupakan famili yang cukup dominan. Dilihat dari komposisi flora, struktur dan kenampakan umum ekosistem hutan, maka ekosistem hutan mangrove Passo termasuk tipe komunitas mangrove muda. Sukarjo (1984) menyatakan bahwa komunitas tipe ini dicirikan dengan adanya lapisan tajuk hutan yang seragam tingginya dan tersusun terutama oleh Rhizophora spp. Jenis-jenis ini akan berkembang pula setelah kolonisasi jenis Avicennia dan Sonneratia. Selanjutnya komunitas mangrove muda akan terjadi pencampuran jenis-jenis Rhizophora dan beberapa jenis mangrove lainnya seperti Brugueira, Xylocarpus dan di bagian yang cukup jauh dari laut bercampur dengan Excoecaria agalocha. Dilihat dari distribusi dan keragaman jenisnya, zona yang memiliki jumlah jenis terbanyak adalah pada zona 3, sedangkan ke 2 zona yang lainnya mempunyai jumlah
67
jenis lebih sedikit. Hal ini karena pada zona 1 dan 2 mangrovenya agak tipis dan kondisi lingkungannya cenderung homogen, sebaliknya pada zona 3 mangrove kelihatan cukup tebal dan terlihat adanya perubahan kondisi lingkungan yang jelas dari garis pantai ke arah daratan menyebabkan jenis-jenis yang tumbuh lebih beragam. Berdasarkan hasil penelitian ( Lampiran 5, 6 dan 7), dan ditampilkan pada Gambar 8, diperoleh Rhizophora apiculata memiliki nilai penting tertinggi untuk kelompok pohon pada zona I (175.453 %) dan Rhizophora mucronata pada zona II (96.889 %), sedangkan zona III didominasi oleh Sonneratia alba (NP = 75.658 %). Tingginya nilai penting ini didukung oleh tingginya nilai kerapatan, frekuensi dan dominasi jenis. Ini berarti jenis-jenis tersebut mempunyai nilai kumulatif penguasaan yang lebih besar pada daerah penelitian. Untuk kelompok sapihan, Aegiceras corniculatum mendominasi zona I (NP =147.430 %) dan zona II (NP = 165.504 %), sedangkan zona III didominasi oleh Rhizophora mucronata (NP = 91.202 %), Untuk kelompok anakan, Rhizophora apiculata mendominasi zona I (NP = 108.495%), zona II didominasi oleh Bruguiera gymnorrhiza (NP = 83.747%) dan zona III didominasi oleh Sonneratia alba ( NP = 187,486 %). Jenis-jenis yang memiliki nilai penting tinggi untuk kelompok pohon sama dengan jenis-jenis pada kelompok anakan, namun berbeda dengan kelompok sapihan. Umumnya apabila suatu jenis memiliki jumlah pohon yang banyak, maka
akan
menghasilkan jumlah anakan yang banyak dan kemudian bertumbuh menjadi sapihan yang sama banyaknya. Kondisi ini tidak terjadi pada kondisi mangrove perairan Passo. Hal ini diduga karena telah terjadi pemanfaatan jenis mangrove Sonneratia alba dan Rhizophora apiculata lebih banyak pada kelompok sapihan oleh penduduk sekitar. Selain itu jenis Aegiceras corniculatum umumnya memiliki diameter pohon yang tidak terlalu besar sehingga banyak ditemukan dalam katagori sapihan.
68
69
4.2 Karakteristik Substrat
Hasil analisis laboratorium dari ukuran partikel substrat yang merupakan habitat kerang diklasifikasikan menurut skala Wenworth, yang menggolongkan partikel dari lempung (clay) sampai batu besar (boulder) dengan diameter 1/4096 mm sampai 2 048 mm. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Setelah terklasifikasi kemudian didapatkan persentase rataan ukuran partikel berdasarkan zona (Tabel 3), dan divisualisasikan pada Gambar 9. Tabel 3. Penyebaran ukuran partikel substrat habitat kerang A.edentula Persentase rataan ukuran partikel Zona Pasir Lanau Lempung I 87.15 % 9.25 % 3.60 % II 73.95 % 16.42 % 9.63 % III 83.27 % 11.67 % 5.07 % Zona I, II dan III didominasi oleh pasir berlumpur, apabila dilihat dari urutan dominansi rataan persentase, maka zona I mengandung butiran yang lebih besar dari zona lainnya. Makin ke darat (dari zona I sampai ke zona III) terlihat bahwa butirannya semakin halus, tetapi zona pertengahan lebih halus dari zona lainnya. Begitupun jika dilihat per fraksi butiran (10 kelas ukuran), maka setiap fraksi ukuran akan berubah mengecil dari zona depan (zona I) ke zona belakang (zona III) (Lampiran 8). Kondisi ini (zona II) sesuai dengan namanya mudflat clam dimana kerang A.edentula hidup pada areal lumpur yang didominasi pasir. Adanya pasir akan meningkatkan pertukaran massa air dan tersedianya oksigen sehingga berpeluang bagi kerang untuk beradaptasi. Dikatakan oleh Dyier (1986) bahwa pada muara sungai, sedimen yang tertumpuk berupa lumpur berpasir. Kemudian Sukarjo (1984) menyatakan bahwa karaktersitik sedimen (kandungan butiran) di hutan bakau berbeda-beda, ada yang didominasi subsrat kasar dan ada pula yang halus Pada lokasi penelitian yang berada dekat dengan aliran sungai, kondisi substrat bagian tengah hutan mangrove memiliki ukuran partikel lebih halus. Kenyataan yang didapat menunjukkan bahwa habitat yang berada pada kondisi tersebut sesuai dengan kehidupan kerang terutama dari famili Lucinacea (Allen 1958), dimana A.edentula termasuk famili tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa kisaran hidup famili tersebut dari pasir kasar (coarse sand) sampai dengan lumpur halus (fine mud).
70
Kurangnya informasi tentang struktur sedimen dimana kerang A.edentula hidup sehingga hanya diperbandingkan dengan famili atau genus yang sama dari kerang tersebut. Pennak (1989) menyatakan bahwa umumnya kelompok subfamili Anodontidae menyukai subtrat pasir berlumpur. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Latale (2003); Lebata (2000 dan 2001), Lebata dan Primavera (2001) serta Sotto dan von Gosel (1982), A.edentula mendiami dasar pasir berlumpur (sandy muddy bottom) di area mangrove. Salah satu jenis kerang lumpur (Anodontia alba) menyukai sedimen yang lebih halus (finer sediment) dengan diameter lebih dari 0.2 mm (Moore dan Lopez` 1972). Jika dibandingkan substrat yang didapatkan di lokasi penelitian (Lampiran 7), terutama Zona I, II dan III, ditemukan ukuran yang lebih dari 0.2 mm adalah masingmasing 60.60%,
41.05% dan 51.70%, maka dapat dikatakan bahwa jenis kerang
A.edentula hidupnya menyenangi substrat yang relatif sama dengan Anodontia alba. Pengelompokan substrat sedimen menurut Shepard (1954) dalam Dyier (1986) dari hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa posisi ketiga zona berada pada lokasi pasir, tetapi pada zona II sedikit berada pada posisi pasir lumpuran, hal ini terlihat pada Gambar 9 dengan sebaran segitiga Shepard.
Zona I Zona II Zona III
Gambar 9. Sebaran partikel sedimen habitat kerang.
71
4.3 Karakteristik Lingkungan Perairan
Ditemukan curah hujan terendah 51.1 mm terjadi pada bulan Februari 2005 dan tertinggi pada bulan Mei, yaitu 589.3 mm dan Juli 559.5 mm, sedangkan jumlah hari hujan terendah dalam sebulan ditemukan pada bulan Februari dan Nopember 2005 (7 dan 9 hari) dan tertinggi pada bulan Mei 2005, yaitu 24 hari (Lampiran 9). Curah hujan tidak selamanya berkorelasi dengan jumlah hari hujan. Ada bulan-bulan tertentu yang mempunyai banyak hari hujan tetapi curah hujannya sedikit, seperti pada bulan Januari 2006. Umumnya curah hujan berkorelasi dengan jumlah hari hujan. Banyaknya curah hujan dan jumlah hari hujan tertera pada Gambar 10. Jumlah Hari Hujan
600
30
400
20
200
10
0
Junlah Hari Hujan (hari)
Curah Hujan (mm)
Curah Hujan
0 J
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
J
Bulan Pengamatan
Gambar 10. Curah hujan dan jumlah hari hujan dari bulan Januari 2005 hingga Januari 2006. Hasil perhitungan deskripsi statistik dari nilai kualitas perairan pada lokasi zona I, II dan III dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Parameter kualitas perairan di ketiga zona penelitian A.edentula. Zona I Rataan SD Minimum Maksimum
Rataan SD Minimum Maksimum
Suhu (oC) 27.86 1.57 24.90 30.20
Suhu (oC) 27.94 2.18 24.00 31.30
Salinitas (‰) 30.00 2.00 27.00 34.00
D.O pH (mg/l) 6.37 2.52 0.36 0.62 5.67 1.50 6.91 3.30
SO3 (mg/l) 0.68 0.25 0.20 1.00
N-NO3 (mg/l) 1.04 0.27 0.54 1.37
P-PO4 (mg/l) 0.07 0.02 0.05 0.10
Salinitas (‰) 29.15 2.08 26.00 32.00
Zona II D.O pH (mg/l) 6.24 1.94 0.56 0.79 5.34 1.00 6.98 3.10
SO3 (mg/l) 0.60 0.32 0.20 0.90
N-NO3 (mg/l) 1.15 0.36 0.50 1.45
P-PO4 (mg/l) 0.12 0.17 0.06 0.68
72
Lanjutan Tabel 4.
Rataan SD Minimum Maksimum
Suhu (oC) 28.20 1.82 24.70 31.00
Salinitas (‰) 30.08 2.06 26.00 33.00
Zona III D.O pH (mg/l) 6.39 2.12 0.53 0.74 5.45 1.00 6.97 3.20
SO3 (mg/l) 0.66 0.27 0.20 1.00
N-NO3 (mg/l) 1.07 0.33 0.45 1.38
P-PO4 (mg/l) 0.08 0.02 0.06 0.10
Suhu habitat pada zona I berkisar antara 24.90 oC hingga 30.20
o
C dengan
rataan suhu 27.86 oC, pada zona II didapatkan antara 24.00 oC hingga 31.30 oC dengan rataan suhu 27.94 oC, sedangkan pada zona III suhu berkisar antara 24.70 oC hingga 31.00 oC dengan rataan suhu 28.20 oC.
Data curah hujan BMG zona Ambon
menunjukkan bahwa selama tahun 2005 telah terjadi curah hujan yang tinggi, terutama pada bulan Mei 2005 dengan jumlah curah hujan 24 hari (Lampiran 9). Hal ini berdampak terhadap perubahan nilai suhu perairan dimana ada kecenderungan penurunan suhu perairan jika terdapat kenaikan curah hujan.
Jika
dilihat
dari
rataan suhu pada ketiga zona, terlihat bahwa hampir tidak ada perbedaan yang signifikan antara rataan suhu di ketiga zona, jika dibandingkan dengan hasil penelitian Latale (2003) di ekosistem mangrove Teluk Ambon Bagian Dalam, dapat dikatakan relatif hampir sama (antara 27.1 oC dan 31.1 oC). Hal ini didukung juga oleh penelitian Lebata (2001) yaitu antara 27 oC dan 30 oC, dan Lebata (2000 dan 2001) pada musim kering (27 oC dan 31 oC). Sebaran nilai dan fluktuasi kualitas perairan selama penelitian, termasuk suhu pada ketiga zona dapat kita lihat pada Gambar 11, 12 dan 13. Salinitas habitat pada zona I berkisar antara 27 o/oo hingga 34 o/oo dengan rataan salinitas 30.00 o/oo, pada zona II didapatkan antara 26 o/oo hingga 32 o/oo dengan rataan salinitas 29.15 o/oo, sedangkan pada zona III salinitas berkisar antara 26 o/oo hingga 33 o
/oo dengan rataan salinitas 30.08 o/oo. Salinitas mempuyai korelasi dengan curah hujan, dan jumlah hari hujan. Terlihat
bahwa apa yang terjadi pada suhu, terjadi juga terhadap salinitas dalam hubungannya dengan curah hujan. Kecenderungan penurunan nilai salinitas selalu diikuti dengan kenaikan curah hujan. Di samping itu juga jumlah hari hujan mempunyai kontribusi yang signifikan dalam kenaikan nilai salinitas. Ini terlihat pada bulan Februari 2005 dan
73
Nopember 2005 ketika jumlah hari hujan sedikit, masing-masing 7 hari dan 9 hari. Nilai salinitasnya cukup tinggi pada kedua bulan tersebut, yaitu 31 o/oo dan 34 o/oo. Rataan salinitas pada zona tengah sedikit agak rendah selama penelitian, tetapi jika dilihat secara bulanan dan dikaitkan dengan curah hujan dan jumlah hari hujan, maka salinitas sangat dipengaruhi oleh kedua parameter lingkungan tersebut. Jika melihat rataan salinitas yang ditemukan selama penelitian dan dibandingkan dengan dengan penelitian sebelumnya menunjukan salinitas masih dalam kisaran toreransi. Lebata (2000 dan 2001) menemukan kisaran salinitas pada musim kering antara 27 o/oo sampai 31 o/oo, Latale (2003) antara 27 o/oo sampai 29 o/oo. Setiobudiandi
(1995)
menyatakan bahwa kisaran optimum bagi kehidupan moluska mempunyai kisaran yang luas yaitu antara 2 o/oo sampai 36o/oo. Pada zona I, pH berkisar antara 5.67 hingga 6.91 dengan rataan pH 6.37, zona II, pH berkisar antara 5.34 hingga 6.98 dengan rataan pH 6.24, sedangkan pada zona III, pH berkisar antara 5.45 hingga 6.97 dengan rataan pH 6.39. Nilai pH hasil penelitian ini berada pada kisaran agak keasaman. Perubahan nilai pH hampir tidak menunjukkan perubahan yang berarti, dan bila dibandingkan dengan pendapat yang dikatakan oleh Russel-Hunter (1968), bahwa kisaran pH bagi moluska antara 6.5–7.5. Hasil penelitian Latale menemukan nilai pH berkisar antara 6.3–6.9; Lebata (2000 dan 2001) pada musim kering menemukan pH berkisar antara 5.15 sampai 6.55. Jika dilihat dari hasil yang didapat oleh peneliti sebelumnya, maka habitat spesies ini menyenangi kondisi sedikit agak asam. Kondisi habitat penelitian jelas mengindikasikan kondisi asam sulfit yang agak tinggi. Ditinjau dari kondisi ekosistem dengan pH yang agak keasaman, maka Effendi (2003) menyatakan bahwa jika pH antara 5.5–6.0 mempunyai keanekaragaman bentos yang sedikit. Ini terbukti bahwa hanya ada 1 jenis bivalvia (kerang) pada habitat tersebut, yaitu A.edentula. Pada zona I, DO (oksigen terlarut) berkisar antara 1.50 mg/l hingga 3.30 mg/l dengan rataan DO 2.52 mg/l, zona II, DO berkisar antara 1.00 mg/l hingga 3.10 mg/l dengan rataan DO 1.94 mg/l, sedangkan pada zona III didapatkan antara 1.00 mg/l hingga 3.20 mg/l dengan rataan DO 2.12 mg/l. Dilihat dari nilai DO yang didapat, maka dapat dikatakan bahwa kondisi habitat mempunyai DO yang agak anoksid. Bagi kehidupan normal, kehidupan organisme perairan (bentos) harus lebih besar dari apa
74
yang didapat. Clark (1977) menyatakan bahwa DO optimum hewan moluska antara 4.16.6 ppm (mg/l) dengan batas toleransi minimum adalah 4 ppm. Jika dibandingkan dengan hasil yang didapatkan oleh Lebata (2000 dan 2001) pada musim kering di habitat A.edentula Filipina, yaitu antara 0.2–1 mg/l, kondisi anoksid tersebut dikarenakan suhu yang tinggi. Terlihat bahwa ada suatu kecenderungan bahwa penurunan atau penaikan suhu dibarengi oleh DO. Secara teori bahwa DO merupakan fungsi suhu. Sulfit habitat pada zona I berkisar antara 0.20 mg/l hingga 1.00 mg/l dengan rataan 0.68 mg/l, pada zona II didapatkan antara 0.20 mg/l hingga 0.90 mg/l dengan rataan 0.60 mg/l, sedangkan pada zona III sulfit berkisar antara 0.20 mg/l hingga 1.00 mg/l dengan rataan 0.66 mg/l. Kadar sulfit dapat dikatakan mencapai suatu kadar sulfit lumpur (sludge), karena Effendi (2003) menyatakan bahwa kadar sulfit dalam deposit lumpur dapat mencapai 0.7 mg/l. Dari hasil penelitian Lebata di habitat A.edentula Filipina didapatkan nilai sulfit antara 1.5 – 30 μm atau setara dengan 0.05 sampai 1 mg/l. Hasil yang didapat sesuai dengan yang didapatkan oleh peneliti lain dengan kadar sulfit yang tinggi. Penurunan DO sebanding dengan penurunan kadar sulfit. Lebata (2001) dalam percobaannya tentang perubahan oksigen, sulfit dan nutrient dari kerang A.edentula menyatakan penurunan DO dibarengi dengan sulfit menandakan bahwa sama-sama digunakan oleh kerang tersebut. Rataan nilai sulfit, maupun parameter lainnya seperti DO, salinitas dan pH pada zona II sedikit lebih rendah dari zona lainnya. Pada zona I, nitrat berkisar antara 0.54 mg/l hingga 1.37 mg/l dengan rataan 1.04 mg/l, pada zona II didapatkan antara 0.50 mg/l hingga 1.45 mg/l dengan rataan 1.15 mg/l, sedangkan zona III nitrat berkisar antara 0.45 mg/l hingga 1.38 mg/l dengan rataan 1.07 mg/l. Rataan kadar nitrat di zona II lebih tinggi dari kedua zona lainnya. Kadar nitrat tersebut menurut Wetzel (1969) dalam Effendi (2003) termasuk perairan yang oligotropik dimana tingkat kesuburan rendah (0-1 mg/l). Fosfat habitat pada zona I berkisar antara 0.05 mg/l hingga 0.10 mg/l dengan rataan fosfat 0.07 mg/l, pada zona II didapatkan antara 0.06 mg/l hingga 0.68 mg/l dengan rataan fosfat 0.12 mg/l, sedangkan pada zona III fosfat berkisar antara 0.06 mg/l hingga 0.10 mg/l dengan rataan fosfat 0.08 mg/l. Untuk perairan alami, kadar nitrat
75
antara 0.005 - 0.02 mg/l. Jika dilihat dari rataan kadar fosfat di ketiga zona adalah cukup tinggi, terutama di zona II dan III yang selalu mendapat suplai air tawar dari darat, baik itu pada saat surut maupun pasang.
Suhu
Salinitas
35
40 30 20 10 0
30 25 20 J05 F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
Salinitas (o/oo)
Suhu (oC)
(a)
D J06
Bulan Pengamatan
pH
pH
D.O
8
4
6
3
4
2
2
1
0
DO (mg/l)
(b)
0 J05 F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D J06
Bulan Pengamatan
(mg/l)
Sulfit dan Nitart
Nitrat
Fosfat
1.5
0.12 0.1
1 0.5
0.08 0.06 0.04
0
0.02 0 J05 F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
Fosfat (mg/l)
Sulfit
(c)
D J06
Bulan Pengamatan
Gambar 11. Sebaran nilai kualitas perairan pada zona I dari bulan Januari 2005 hingga Januari 2006.
76
Suhu (oC)
Salinitas
32
35
30
30 25
28
20
26
15
24
10
22
5
20
Salinitas (o/oo)
Suhu
(a)
0 J05
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
J06
Bulan Pengamatan
pH
pH
D.O
8 7 6 5 4 3 2 1 0
3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 J05
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
DO (mg/l)
(b)
J06
Bulan Pengamatan
Nitrat(mg/l)
Sulfit dan
Nitrat
Fosfat
2
0.8
1.5
0.6
1
0.4
0.5
0.2
D J0 6
N
O
S
A
J
J
A
M
F
0 M
J0 5
0
Fosfat (mg/l)
Sulfit
(c)
Bulan Pengamatan
Gambar 12. Sebaran nilai kualitas perairan pada zona II dari bulan Januari 2005 hingga bulan Januari 2006.
77
Suhu (oC)
Salinitas
32
35
30
30 25
28
20
26
15
24
10
22
5
20
Salinitas (o/oo)
Suhu
(a)
0 J05
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
J06
Bulan Pengamatan
pH
3.5
8 7 6 5 4 3 2 1 0
3 2.5 2 1.5 1
DO (mg/l)
pH
(b)
D.O
0.5 0 J05
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
J06
Bulan Pengamatan
Fosfat
1.5
0.15
1
0.1
0.5
0.05
D J0 6
N
O
S
J
A
J
A
M
F
0
M
0
J0 5
(mg/l)
Sulfit dan Nitrat
Nitrat
Fosfat (mg/l)
Sulfit
(c)
Bulan Pengamatan
Gambar 13. Sebaran nilai kualitas perairan pada zona III dari bulan Januari 2005 hingga bulan Januari 2006. Untuk mengkaji karakteristik lingkungan perairan terhadap waktu penelitian selama 13 bulan, digunakan analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis, PCA). Analisis Komponen Utama digunakan karena parameter lingkungan perairan lebih tepat dalam menerangkan ordinasi spesies dalam waktu. Data parameter lingkungan yang dianalisis mempunyai unit pengukuran yang berbeda, maka sebelum dilakukan Analisis Komponen Utama terlebih dahulu dilakukan pemusatan dan pereduksian terhadap data.
78
Hasil perhitungan pada zona I, diperoleh matriks korelasi antara tiap parameter adalah seperti yang terlihat pada Lampiran 10a. Terlihat bahwa korelasi yang cukup erat adalah antara parameter pH-suhu (0.8089), salinitas-suhu (0.9087), PO4 air-suhu (0.8881) curah hujan-suhu (-0.9003), jumlah hari hujan (JHH)-suhu (0.8920), curah hujan (CH)-pH (-0.8086) dan PO4 air-salinitas (0.9121), curah hujan CH-salinitas (0.7415), JHH-salinitas (-0.8701), JHH-PO4 air (-0.8608). Hasil perhitungan pada zona II (Lampiran 11a) yang mempunyai korelasi cukup erat adalah salinitas- suhu (0.9083), DO-suhu (-.9137), sulfit air-suhu(-0.8314), curah hujan-suhu (-0.7541), jumlah hari hujan (JHH)-suhu (0.8986), DO-pH (0.8431), NO3 air–pH (0.8097), DO-salinitas (-0.8905), Sulfit air-salinitas (-0.8986), JHH-salinitas (0.9121), sulfit air-DO (0.8840), JHH-DO (0.8182), JHH-Sulfit air (0.8524), CH-NO3 air (-0.8307) dan JHH-CH (0.7848). Demikian juga pada zona III, matriks korelasinya dapat dilihat pada Lampiran 12a. dimana korelasi yang cukup erat adalah DO-suhu(-0.835), curah hujan-suhu (0.869), JHH-suhu (-0.888), CH-pH (-.805), dan PO4 air-salinitas (0.9121), CH-salinitas (-0.747), JHH-salinitas (-0.750), JHH-PO4 air (-0.730) dan JHH-CH (0.785). Tabel 5 di bawah ini memperlihatkan korelasi antar parameter-parameter dengan sumbu-sumbu utamanya. Akar ciri dan persentase varians pada zona I, II dan III menggambarkan seberapa banyak sumbu yang menerangkan parameter. Tabel 5. Akar ciri dan persentase varians pada 5 sumbu utama dari PCA di ketiga zona ZONA Akar ciri (%) Varians (%) Kumulatif (%)
I II III I II III I II III
1 6.1712 6.4070 5.9313 0.6857 0.7119 0.6590 0.6857 0.7119 0.6590
2 1.3044 1.1565 1.0103 0.1449 0.1285 0.1123 0.8306 0.8404 0.7713
Sumbu Utama 3 4 0.6700 0.3075 0.7562 0.3669 0.7468 0.5663 0.0342 0.0744 0.0408 0.0840 0.0629 0.0830 0.9051 0.9392 0.9244 0.9652 0.8543 0.9172
5 0.2692 0.1441 0.2928 0.0299 0.0160 0.0325 0.9692 0.9812 0.9497
Terlihat bahwa kontribusi ketiga zona terpusat hanya di 2 sumbu utama yaitu zona I sebesar 83.06%, zona II sebesar 84.04% dan zona III sebesar 77.13% dari ragam total. Untuk menjelaskan lebih mendetail tentang peranan tiap variabel (parameter)
79
lingkungan perairan pada sumbu-sumbu utama tersebut maka dapat dilihat dari korelasi antar parameter lingkungan perairan pada Lampiran 10, 11 dan 12. Korelasi antar parameter lingkungan ditampilkan pada lima sumbu utama. Informasi terbesar diterangkan pada sumbu 1 dan 2, maka terlihat bahwa hampir seluruh variabel yang berperan di sumbu utama pada Zona I (Lampiran 10b). Begitupun pada zona II dan III (Lampiran 11b dan 12b) dimana kontribusi terpusat pada sumbu 1, hanya ada satu variabel yaitu PO4 air dimana kontribusinya terpusat di sumbu dua, yaitu sebesar 76% (Lampiran 11b). Tampilan peranan masing-masing variabel pada sumbu 1 dan 2 dari masing-masing zona terlihat pada Gambar 14a (zona I), Gambar 15a (zona II) dan Gambar 16a (zona III). Untuk mengkaji peranan waktu pengamatan terhadap sumbu-sumbu, maka didapatkan besar sudut kosinus kuadrat yang menentukan kualitas representase (goodness of fit) dari waktu pengamatan. Pada Lampiran 10c (kualitas representase setiap bulan pengamatan di zona I) terlihat bahwa ada 3 kelompok bulan pengamatan yang mempunyai kontribusi dalam parameter lingkungan perairan, yaitu kelompok Mei dan Juni; kelompok Nopember dan Februari serta kelompok Januari 05 dan Desember. Tampilan representase kelompok parameter lingkungan perairan di zona I dapat kita lihat pada Gambar 14a. Kualitas representase setiap bulan pengamatan di zona II (Lampiran 11c) menunjukkan bahwa ada 2 kelompok waktu pengamatan parameter lingkungan, yaitu kelompok Mei, Juni dan Juli, serta kelompok Februari, September dan Nopember. Representase pengelompokan dapat kita lihat di Gambar 15b. Di zona III (Lampiran 12c) terdapat 2 kelompok waktu pengamatan parameter lingkungan, yaitu kelompok Mei, Juli, serta kelompok Februari, dan Nopember. Representase pengelompokan dapat kita lihat di Gambar 16b. Pada ke 3 zona (zona I, II, dan III) diketahui adanya suatu keterkaitan parameter yang kuat. Keterkaitan hubungan tersebut dijelaskan oleh korelasi antar parameter lingkungan yang bertumpu di sumbu 1 dari hasil Analisis Komponen Utama. Ini menunjukkan bahwa keberadaan spesies kerang sangat ditentukan oleh parameter tersebut. Pencirian dari parameter lingkungan perairan dalam hal ini ditunjukkan dengan bulan-bulan pengamatan di zona I, II dan III dimana terdapat beberapa kelompok bulan
80
yang mencirikan karakteristik spesifik bulan tersebut. Kelompok bulan Mei, Juni dan Juli mencirikan bulan-bulan dengan curah hujan yang tinggi, lama hari hujan yang banyak, serta derivat terhadap parameter lainnya seperti suhu dan salinitas. Kelompok bulan Februari dan Nopember mencirikan bulan-bulan kering di mana curah hujan rendah, lama hari hujan sedikit, suhu dan salinitas yang cukup tinggi serta derivat parameter lainnya. a) Lingkaran korelasi pada sumbu 1 dan 2 (83% ) 1.5
-- sumbu 2 (14% ) -->
1 D.O SULFITair
0.5
pH NO3air Suhu Salinitas PO4air
LHH
0
CH
-0.5 -1 -1.5 -1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
-- sumbu 1 (69% ) -->
b) Observasi pada sumbu 1 and 2 (83% ) 2.5
Jan05 Des
2 -- sumbu 2 (14% ) -->
1.5
Agust
1 0.5
Jan06 Okt April Juni
0 Mei
-0.5
Sept
Mar
Nop
-1
Feb
-1.5 Juli
-2 -2.5 -6
-4
-2
0
2
4
6
-- sum bu 1 (69% ) -->
Gambar 14. Grafik PCA karakteristik lingkungan perairan pada zona I a). Lingkaran korelasi variabel lingkungan perairan pada sumbu 1 dan 2 b) Proyeksi waktu pengamatan pada sumbu 1 dan 2
81
a) Lingkaran korelasi pada sumbu 1 dan 2 (84% ) 1.5
-- sumbu 2 (13% ) -->
1 PO4air 0.5
CH Salinitas Suhu pH
0
LHH D.O SULFITair
NO3air
-0.5 -1 -1.5 -1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
-- sum bu 1 (71% ) -->
Observasi pada sumbu 1 dan 2 (84% ) 3.5 3
Mar
-- sumbu 2 (13% ) -->
2.5 2 1.5 Juli Mei
1 0.5
Juni Feb Agust Nop Sept
0 -0.5
Okt Jan06 Des jan05 April
-1 -1.5 -4
-2
0
2
4
6
-- sum bu 1 (71% ) -->
Gambar 15. Grafik PCA karakteristik lingkungan perairan pada zona II a). Lingkaran korelasi variabel lingkungan perairan pada sumbu 1 dan 2 b) Proyeksi waktu pengamatan pada sumbu 1 dan 2
82
a) Lingkaran korelasi pada sumbu 1 dan 2 (77% ) 1.5
-- sumbu 2 (11% ) -->
1 SULFITair
0.5
pH Salinitas
LHH
0
Suhu NO3air PO4air
D.O CH
-0.5 -1 -1.5 -1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
-- sum bu 1 (66% ) -->
Observasi pada sumbu 1 dan 2 (77% ) 2 1.5
Okt Agust Jan06 Sept
-- sumbu 2 (11% ) -->
1 0.5 Juni
0 -0.5
Juli
-1
Jan05 Des Mar Nop
April
Mei
-1.5 -2
Feb
-2.5 -6
-4
-2
0
2
4
6
-- sum bu 1 (66% ) -->
Gamba 16. Grafik PCA karakteristik lingkungan perairan pada zona III a). Lingkaran korelasi variabel lingkungan perairan pada sumbu 1 dan 2 b) Proyeksi waktu pengamatan pada sumbu 1 dan 2
83
4.4 Ekologi Kerang 4.4.1 Kepadatan Kerang
Penelitian selama 13 bulan dari Januari 2005 sampai Januari 2006, menghasilkan suatu sebaran kepadatan dari ketiga zona. Kepadatan masing-masing zona beserta rataannya terlampir pada Lampiran 13. Kepadatan tertinggi di zona I terjadi pada bulan Februari 2005 sedangkan terendah pada bulan Januari 2005. Zona II memiliki kepadatan tertinggi pada bulan Nopember 2005, sedangkan terendah pada bulan Desember 2005. Pada zona III ditemukan kepadatan tertinggi pada
bulan
Nopember dan terendah pada bulan Januari 2005. Jika dilihat sebaran rataan kepadatan secara temporal dari Januari 2005 sampai Januari 2006 ternyata kepadatan tertinggi terjadi pada bulan Nopember 2005 dengan kepadatan sebesar 29 ind/m2, dan terendah pada bulan Januari 2005 sebesar 9 ind/m2. Kepadatan secara temporal pada bulan Nopember 2005 adalah yang tertinggi, dan jika dikaitkan dengan parameter curah hujan dan lama waktu hujan di bulan tersebut adalah sangat sedikit serta frekuensinya juga sedikit. Selain itu bulan Nopember 2005 juga mempunyai parameter kualitas perairan yang sangat spesifik terutama suhu, salinitas, DO dan sulfit sangat ekstrim dibandingkan dengan parameter lainnya. Sebaran spasial rataan kepadatan per zona disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 menunjukkan bahwa zona II mempunyai rataan kepadatan yang tinggi (27 ind/m2) dan kepadatan maksimum yang lebih besar dibandingkan zona lain (35 ind/m2). Untuk membuktikan bahwa zona II mempunyai kepadatan yang berbeda dari zona lainnya, maka dilakukan uji sidik ragam/ANOVA (Analysis Of Variance). Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rataan kepadatan antar zona, dimana zona II sangat berbeda dengan zona lainnya. Dari uji Tukey nampak bahwa kepadatan di zona II menunjukkan perbedaan rataan dengan zona lainnya (Lampiran 14). Zona II merupakan zona yang cocok dengan kehidupan kerang Anodontia edentula, dimana kepadatan selalu banyak. Zona II juga mempunyai nilai parameter kualitas air (suhu, salinitas, DO dan sulfit) yang berbeda dengan zona lainnya.
84
Dilihat dari nilai kepadatan A.edentula, baik itu bersifat spasial maupun temporal, maka kepadatan spesies tersebut yang ditemukan pada penelitian ini sedikit lebih rendah, jika dibandingkan dengan yang dilakukan oleh Latale (2003) di lokasi yang sama yang memperoleh kepadatan 38.5 individu/m2. Hal ini disebabkan oleh ekploitasi yang berlebihan dari pencari kerang. Moore dan Lopez (1972) mendapatkan kepadatan Anodontia alba di perairan Miami yang rendah, yaitu 0.94 individu/m2. Kerang famili Lucinidae yang dapat mencapai kepadatan tinggi 1500 individu/m2 adalah Lucinome borealis (Lampiran 15), sementara jenis lain hanya mencapai kepadatan 3.8 individu/m2 (Johnson et al., 2002). Seperti berbagai organisme, kepadatan berbeda dari tempat ke tempat, dari habitat ke habitat dan dari jenis ke jenis (Lebata, komunikasi personal). Kepadatan kerang secara temporal dari bulan ke bulan memperlihatkan adanya puncak-puncak kepadatan. Pada bulan November 2005 mempunyai kepadatan yang tinggi yang kemungkinan disebabkan oleh faktor makanan dan parameter kualitas air yang tidak sesuai dengan bulan-bulan lainnya. Tabel 6. Sebaran rataan kepadatan kerang A.edentula secara spasial Statistik
Zona I
Zona II
Zona III
Rataan zona
Rataan Standar deviasi Minimum Maksimum
13 5 4 22
26 5.00 19 35
18 7 2.00 31
19 5 9 29
Untuk mengkaji karakteristik lingkungan (parameter kualitas air dan habitat) terhadap waktu penelitian dengan kepadatan sebagai variabel suplemen dianalisis dengan Analisis Komponen Utama, PCA. Hasil perhitungan matriks korelasi (Lampiran 16) antara kepadatan sebagai variabel suplemen dengan parameter kualitas air dan habitat menunjukkan kepadatan berkorelasi dengan suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO), sulfit, fosfat, lama hari hujan serta butiran sedimen berukuran 1 um sampai 50 um (antara lempung halus/fine clay sampai lanau kasar/ coarse silt di ketiga zona. Akar ciri dan persentase varians pada zona I, II dan III menggambarkan seberapa banyak sumbu yang menerangkan parameter
85
kualitas air dan parameter dengan kepadatan sebagai variabel suplemen. Akar ciri dan persentase varians tersebut dari ketiga zona disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Akar ciri dan persentase varians pada 5 sumbu utama dari PCA dengan kepadatan sebagai variabel suplemen di ketiga zona. ZONA Akar ciri (%) Varians (%) Kumulatif (%)
I II III I II III I II III
1
2
7.7872 7.7994 7.2599 0.4581 0.4588 0.4271 0.4581 0.4588 0.4271
2.9290 3.0800 3.1482 0.1723 0.1812 0.1852 0.6304 0.6400 0.6122
Sumbu Utama 3 4 1.8143 1.7963 2.0370 0.1067 0.1057 0.1198 0.7371 0.7456 0.7321
1.5867 1.5243 1.4028 0.0933 0.0897 0.0825 0.8304 0.8353 0.8146
5 0.9041 1.0522 0.9558 0.0532 0.0619 0.0562 0.8836 0.8972 0.8708
Terlihat bahwa kontribusi ketiga zona terpusat hanya di 2 sumbu utama yaitu zona I sebesar 63.04%, zona II sebesar 64% dan zona III sebesar 61.2% dari ragam total. Untuk menjelaskan lebih mendetail tentang peranan tiap variabel (parameter) kualitas air dan habitat dengan kepadatan sebagai variabel suplemen pada sumbu-sumbu utama tersebut maka dapat dilihat dari korelasi antar parameter lingkungan perairan dan kepadatan pada Lampiran 17, 18 dan 19. Korelasi antar parameter lingkungan ditampilkan pada lima sumbu utama. Informasi terbesar diterangkan pada sumbu 1 dan 2, maka terlihat bahwa hampir seluruh variabel yang berperan di sumbu utama pada zona I (Lampiran 17a). Begitupun pada zona II dan III (Lampiran 18a dan 19a) dimana kontribusi terpusat pada sumbu 1. Tampilan peranan masing-masing variabel pada sumbu 1 dan 2 dari masingmasing zona terlihat pada Gambar 17a (zona I), Gambar 18a (zona II) dan Gambar 19a (zona III). Untuk mengkaji peranan waktu pengamatan terhadap sumbu-sumbu, maka didapatkan besar sudut kosinus kuadrat yang menentukan kualitas representase (goodness of fit) dari waktu pengamatan. Hasil perhitungan besarnya sudut tersebut dapat dilihat pada Lampiran 17 b (zona I), 18 b (zona II) dan 19 b (zona III). Proyeksi waktu pengamatan serta pengelompokannya dapat kita lihat pada Gambar 17 b, 18b dan 19b.
86
Correlations circle on axes 1 and 2 (63% )
a
1.5
-- axis 2 (17% ) -->
1
E
A
F
0.5 D.O Sul LHH D CH
0
B Nit
Suhu Fos Sal pH KPDT
G
-0.5
C -1 -1.5 -1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
-- axis 1 (46% ) -->
Observations on axes 1 and 2 (63% )
b 4
JAN05
3 -- axis 2 (17% ) -->
FEB 2
OKT AGU
1 MAY
0
SEP
JUL
-1
JUN
-2
3JAN06 APR MAR DES NOP
-3 -6
-4
-2
0
2
4
6
-- axis 1 (46% ) -->
Gambar 17. Grafik PCA karakteristik kualitas air dan habitat dengan kepadatan sebagai variabel suplemen pada zona I a). Lingkaran korelasi variabel lingkungan perairan pada sumbu 1 dan 2 b). Proyeksi waktu pengamatan pada sumbu 1 dan 2
87
Correlations circle on axes 1 and 2 (64% )
a
1.5 1
E F
-- axis 2 (18% ) -->
A 0.5 Suhu SalNit
0
B
pH
D.O Sul LHH D CH
G KPDT Fos
-0.5
C -1 -1.5 -1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
-- axis 1 (46% ) -->
Observations on axes 1 and 2 (64% )
b
4
-- axis 2 (18% ) -->
JAN05
FEB
3 2
OKT
1
AGU MAY
0
SEP
JAN06 APR
-1
JUNJUL
DES
-2
NOP MAR
-3 -5
0
5
10
-- axis 1 (46% ) -->
Gambar 18. Grafik PCA karakteristik kualitas air dan habitat dengan kepadatan sebagai variabel suplemen pada zona II a). Lingkaran korelasi variabel lingkungan perairan pada sumbu 1 dan 2 b) Proyeksi waktu pengamatan pada sumbu 1 dan 2
88
Correlations circle on axes 1 and 2 (61% )
a
1.5
-- axis 2 (19% ) -->
1
E
A
F
0.5 D.O
0
B
Sul
LHH D CH
-0.5
Suhu NitFos pHSal
G KPDT C
-1 -1.5 -1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
-- axis 1 (43% ) -->
Observations on axes 1 and 2 (61% )
b
5 4
JAN05
-- axis 2 (19% ) -->
3
FEB
2
OKT AGU
1
SEP
0
MAY
-1
JUL
JAN06 JUN APR MAR
-2 -3 -10
DES
-5
0
NOP 5
10
-- axis 1 (43% ) -->
Gambar 19. Grafik PCA karakteristik kualitas air dan habitat dengan kepadatan sebagai variabel suplemen pada zona III a). Lingkaran korelasi variabel lingkungan perairan pada sumbu 1 dan 2 b) Proyeksi waktu pengamatan pada sumbu 1 dan 2
89
Dari ke 3 zona (zona I, II, dan III) dikaitkan dengan waktu pengamatan, terlihat adalah 3 kelompok waktu yang mencirikan parameter kualitas air dan habitat serta kepadatan sebagai variabel suplemen. Kelompok I diwakili oleh kelompok Mei, kelompok II oleh kelompok Nopember dan kelompok II oleh kelompok Februari. Pencirian dari parameter lingkungan perairan dalam hal ini ditunjukan dengan bulan-bulan pengamatan di zona I, II dan III dimana terdapat beberapa kelompok bulan yang mencirikan karakteristik spesifik bulan tersebut. Kelompok bulan Mei, Juni dan Juli mencirikan bulan-bulan dengan curah hujan yang tinggi, lama hari hujan yang banyak, serta derivat terhadap parameter lainnya seperti suhu dan salinitas membuat kepadatan selalu tinggi Kelompok bulan Februari dan Nopember mencirikan bulanbulan kering dimana curah hujan rendah, lama hari hujan sedikit, suhu dan salinitas yang cukup tinggi serta derivat parameter lainnya. Kelompok-kelompok tersebut di zona II mempunyai kepadatan kerang
A.edentula
yang tinggi terutama bulan
Nopember dan Februari, dan bila dihubungkan dengan parameter kualitas air dan habitat, maka zona II berbeda dengan zona lainnya.
4.4.2 Pola Penyebaran.
Kerang A.edentula hidup pada kedalaman 20-50 cm dibawah permukaan akarakar mangrove, sehingga untuk mendapatkan kerang tersebut dilakukan dengan cara menggali (menyuplik) dengan tangan ke sarang-sarang. Salah satu cara adalah dengan melihat adanya tumpukan/gundukan pasir yang berwarna abu-abu keunguan. Dari pengalaman penelitian pendahuluan biasanya bila telah ditemukan 1 atau 2 individu kerang maka selanjutnya akan ditemukan sekelompok kerang dengan jumlah yang bervariasi. Kerang ini hidup dengan cara membenamkan diri dalam lumpur berpasir atau pasir berlumpur dengan posisi membenamkan cangkang dimana bagian umbonya pada lumpur pasir. Setiap populasi memiliki struktur sebaran individu yang disebut dengan pola sebaran populasi. Pola sebaran populasi ini terbagi menjadi 3 pola yaitu seragam, acak dan mengelompok. Untuk mengetahui pola apa yang dimiliki kerang A.edentula maka
90
dilakukan perhitungan rasio rataan-ragam. Hasil perhitungan terhadap rasio rataanragam disajikan pada Tabel 8. Dari Tabel 8 tersebut terlihat bahwa ragam lebih besar dibandingkan rataan populasi pada seluruh bulan pengamatan, yang mengindikasikan pola mengelompok. Terbentuknya pola penyebaran dari kerang ini terkait dengan tingkah laku (behaviour) dan daur hidup dari kerang tersebut. Pola penyebaran berkelompok (clumped) merupakan ciri dari populasi A.edentula dimana selalu ditemukan banyak individu berbagai ukuran dalam suatu lubang atau sarang. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada Gambar 20. Tabel 8. Pola penyebaran populasi kerang A. Edentula. Bulan Januari 05 Perbuari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari 06
µ 17.33 22.00 25.10 19.50 18.50 24.00 19.80 19.70 25.30 16.70 29.36 14.00 16.20
σ2 61.87 49.78 43.43 50.71 42.06 49.25 104.62 21.34 48.23 51.12 54.45 46.67 35.07
Pola penyebaran Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok
91
Gambar 20. Berbagai struktur ukuran dalam lubang habitat kerang A.edentula Menurut Nybakken (1988), pola penyebaran berkelompok berkaitan dengan kemampuan larva hewan bentik memilih daerah yang akan ditempatinya. Selain itu morfologi cangkang turut mempengaruhi pemilihan terhadap habitat. Jika substrat dan faktor fisika-kimia perairan tidak mendukung maka larva tidak akan menetap atau bermetamorfosis. Ada beberapa faktor yang menentukan penyebaran kerang di alam terutama faktor lingkungan dan keberadaan makanan. Kerang A.edentula dengan ukuran yang bervariasi dalam suatu lubang/sarang menunjukkan bahwa kerang ukuran besar melindungi yang kecil (anakan) karena kerang ukuran kecil peka terhadap perubahan lingkungan yang ekstrim. Hal ini ditunjukkan dengan adanya beberapa anakan dalam tubuh induknya, dimana induk memberi
perlindungan kepada anakan terhadap
perubahan lingkungan yang fluktuatif, terutama oksigen dan sulfit yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anakan kerang tersebut.
92
4.4.3 Sebaran Ukuran Kerang
Kerang yang berhasil dikoleksi sebayak 2 692 individu, terdiri atas 1 154 individu jantan, 1 192 individu betina dan 346 individu neuter (yang belum terdeteksi kelaminnya). Rataan persentase kehadiran
jenis kelamin jantan, betina dan neuter
masing-masing sebesar 44.28%, 42.87% dan 12.85% (Lampiran 20). Persentase dari jantan dan betina terbesar terdapat pada bulan Nopember sedangkan neuter pada bulan Februari. Diduga keberadaan neuter dibulan tersebut merupakan rekruitmen terbesar, karena ukuran neuter antara 5 mm sampai 39 mm dan ini termasuk ukuran kecil dan dikatagorikan sebagai juvenil dan muda. Berdasarkan panjang cangkang, frekuensi kehadiran jantan, betina dan neuter tertinggi masing-masing ditemukan pada kelas ukuran 36-40 mm, 41-45 mm dan 26-30 mm. Sebaliknya frekuensi kehadiran terendah dari jantan, betina dan neuter masingmasing pada kelas ukuran 61-65 mm, 21-25 mm dan 0.5 mm (Lampiran 21). Dari frekuensi yang ditemukan, maka secara umum dapat dikatakan bahwa kerang terbanyak berada pada kisaran ukuran muda, dan anakan serta dewasa tertua memiliki frekuensi tersedikit. Hal ini merupakan suatu gejala umum dari suatu sebaran normal dari populasi suatu organisme di mana puncak frekuensi berada di sekitar nilai tengah. Hasil penelitian Moore dan Lopez (1972) menemukan bahwa sebaran dimensi panjang kerang lumpur (mud clam) Anodontia alba cenderung mengikuti suatu sebaran normal. Bagi frekuensi kehadiran berdasarkan berat (Lampiran 22), individu berbobot ringan mendominasi jantan, betina maupun neuter. Gejala tersebut kemungkinan disebabkan oleh ukuran kerang yang kecil mendominasi populasi. Sebaran ukuran panjang kerang jantan berkisar antara 24 mm sampai 61 mm dengan panjang rataan adalah 40.3 mm (SD ± 6.8), betina berkisar antara 23 mm sampai dengan 68 mm dengan panjang rataan adalah 44.9 mm (SD ± 8.1), sedangkan neuter berkisar antara 5 mm sampai dengan 39 mm dengan panjang rataan adalah 22.7 mm (SD ± 6.8), dan sebaran total panjang kerang berkisar antara 5 mm sampai 68 mm dengan rataannya 40.1 mm (SD ± 10.2). Kurva kisaran panjang cangkang dapat dilihat pada Gambar 21a.
93
Total bobot basah kerang yang dikoleksi dari 2 692 individu sebesar
59
710.3 gr dengan kisaran antara 0.1 gr sampai 97.5 gr dan bobot rataan adalah 22.2 gr (SD ± 15.9). Kisaran bobot basah kerang jantan antara 3.7 gr sampai 78.8 gr dengan rataan 20.6 gr (SD ± 12.3), kerang betina mempunyai kisaran bobot basah antara 2.3 gr sampai 97.5 gr dengan rataan 29 gr (SD ± 16.7). Untuk kerang yang tergolong neuter berkisar antara 0.1 gr sampai 16.2 gr dengan rataan 3.8 gr (SD ± 2.8). Sebaran berat tubuh dapat dilihat pada Gambar 21b. Penelitian yang dilakukan di perairan hutan mangrove desa Passo pada kerang A.edentula menunjukkan ukuran panjang dan berat yang tidak maksimum. Pada lokasi yang sama, Latale (2003) menemukan panjang maksimum 6.95 mm. Jika kita membandingkan hasil yang didapatkan oleh Lebata (2000 dan 2001) yang menemukan panjang cangkang (shell length) maksimum sampai 9 cm dengan berat maksimum 210 gr (body weight), maka perbedaan yang begitu menyolok kemungkinan disebabkan oleh perbedaan kondisi yang berbeda karena faktor habitat dan kelimpahan makanan disamping itu juga faktor genetik mempengaruhi ukuran.
(a) 45
45
40
Jantan N = 1154
30
40
25 20 15
Betina N = 1192
35 P ro sen tase (% )
P ro sen tase (% )
35
30 25 20 15
10
10
5
5
0
0 2.5
7.5 12.5 17.5 22.5 27.5 32.5 37.5 42.5 47.5 52.5 57.5 62.5 67.5
2.5
7.5 12.5 17.5 22.5 27.5 32.5 37.5 42.5 47.5 52.5 57.5 62.5 67.5 Nilai Tengah Panjang (mm)
25
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Neuter N = 346
Total N = 2692
20 P ro sen tase (% )
P r o s e n ta s e (% )
Nilai Tengah Panjang (mm)
15 10 5
2.5 7.5 12.5 17.5 22.5 27.5 32.5 37.5 42.5 47.5 52.5 57.5 62.5 67.5 Nilai Tengah Panjang (mm)
0 2.5
7.5 12.5 17.5 22.5 27.5 32.5 37.5 42.5 47.5 52.5 57.5 62.5 67.5 Nilai Tengah Panjang (mm)
94
(b) 70
70
Jantan N = 1154
60
40
Nilai Tengah Berat (gr)
92 .5
82 .5
72 .5
70
Neuter N = 346
60
Total N = 2692
60
50
Nilai Tengah Berat (gr)
92 .5
82 .5
72 .5
62 .5
52 .5
2. 5
92 .5
82 .5
72 .5
62 .5
52 .5
42 .5
0
32 .5
0
22 .5
10
12 .5
20
10
42 .5
30
20
32 .5
30
40
22 .5
40
12 .5
Prosentase (%)
50
Prosentase (%)
62 .5
Nilai Tengah Berat (gr)
70
2. 5
42 .5
2. 5
82 .5
92 .5
62 .5
42 .5
72 .5
0 52 .5
0 32 .5
10
22 .5
20
10
52 .5
30
20
32 .5
30
22 .5
40
12 .5
Prosentase (%)
50
12 .5
Prosentase (%)
50
2. 5
Betina N = 1192
60
Nialai Tengah Berat (gr)
Gambar 21. Sebaran panjang cangkang dan berat total kerang A.edentula a). Kisaran panjang cangkang (mm) b). Kisaran berat tubuh total (gr)
4.4.4 Morfometrik
Model hubungan antar komponen morfometri kerang divisualisasikan dalam bentuk grafik dan persamaan regresi. Komponen morfometri yang digambarkan tersebut adalah hubungan antara panjang cangkang dengan beberapa komponen lainnya seperti panjang cangkang dan lebar cangkang, di samping itu antara panjang cangkang dan tebal cangkang serta lebar cangkang dan tebal cangkang (Gambar 22). Panjang cangkang merupakan komponen terbesar di antara semua komponen morfometri kerang. Untuk jenis moluska dengan bentuk tubuh pengukuran komponen ukuran tubuh tidak merupakan masalah
relatif konstan, dan lebih akurat
dibandingkan dengan hewan akuatik lainnya yang tubuhnya elastik dan berubah-ubah (plastic body). Jika dibandingkan dengan lebar cangkang, maka rataan nilai rasio antara kedua komponen (panjang dan lebar) adalah 1.3. Hubungan antara kedua komponen morfometri tersebut dapat didekati melalui regresi y = 0.9048 x + 0.5512 dengan nilai koefisien determinasi (R2 = 0.9726). Nilai rataan rasio antara panjang
95
cangkang dan tebal cangkang adalah sebesar 1.7 dengan model hubungan bersifat model kuasa (kepangkatan) yaitu y = 0.173x1.3239 dan R2 sebesar 0.9325 Lebar cangkang merupakan komponen kedua yang relatif mudah untuk diukur. Rataan nilai rasio antara
lebar cangkang dan tebal cangkang adalah 1.6 dengan
persamaan regresi y = 0.2095 x1.3021, dan nilai indeks determinasi (R2) sebesar 0.9247. Bentuk model hubungan yang erat antara komponen ukuran tubuh serta rasio antara berbagai komponen morfometrik dapat dijadikan salah satu penciri kerang A.edentula di Ambon, Maluku.
Rasio dan persamaan regresi dapat dijadikan sebagai salah satu
parameter yang dapat membantu dalam identifikasi kerang pantai berlumpur (mudflat clam) A.edentula.
L eb ar C an g kan g (m m )
96
70 60 50 40 30 20 10 0
y = 0.9048x + 0.5512 R2 = 0.9726 n =2 692
0
20
40
60
80
Panjang Cangkang (mm)
70 y = 0.173x 1.3239 R2 = 0.9325 n = 2692
Tebal Cangkang (mm)
60 50 40 30 20 10 0 0
20
40
60
80
60
80
Panjang Cangkang (m m )
Tebal Cangkang (mm)
70 y = 0.2095x 1.3021 R2 = 0.9246 n = 2692
60 50 40 30 20 10 0 0
20
40
Lebar Cangkang (m m )
Gambar 22. Hubungan morfometrik cangkang kerang A.edentula Hubungan panjang berat dari hewan-hewan akuatik dimaksudkan untuk menduga pola pertumbuhan dari hewan-hewan tersebut. Hubungan tersebut dapat diestimasi melalui kecenderungan penyebaran data panjang dan berat yang diperoleh dari pengukuran komponen morfometrik. Pendugaan parameter b, koefisien hubungan panjang berat, dianalisis melalui pendekatan hubungan kuasa (power regression) yang disederhanakan melalui transformasi linear.
97
Hubungan panjang dan berat kerang total digambarkan berdasarkan persamaan model hubungan W = 0.0002 L3.3134 (L = panjang dan W = berat), dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.9658. Uji t (t student) terhadap koefisien b menunjukkan bahwa b lebih besar dari 3 (allometrik positif) dengan nilai t = 275.13. Hasil tersebut diperkuat dengan uji hipotesis yang menyatakan bahwa hipotesis nol ditolak (p = 0.05) yang berarti bahwa antara laju pertumbuhan berat dan panjang total kerang di perairan hutan mangrove pantai Passo Teluk Ambon Bagian Dalam adalah tidak seimbang. (Gambar 23). 120 3.1343
y = 0.0002x
Berat (g r)
100
2
R = 0.9657 n = 2692
80 60 40 20 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
Panjang (mm)
Gambar 23. Kurva hubungan panjang dan berat cangkang kerang A. edentula total di hutan mangrove pantai Passo Teluk Ambon Bagian Dalam. Hasil analisis data panjang dan berat kerang dapat dipisahkan menurut jenis kelamin, diperoleh hubungan panjang berat kerang jantan diekspresikan sebagai: W = 0.0001 L3.288 dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.9294. Dari hasil uji lanjut dengan uji t (t student) terhadap koefisien b menunjukkan bahwa nilai b lebih besar dari 3 (allometrik positif) dimana t = 123.15. Hal ini diperkuat lagi dengan hasil uji hipotesis (p=0.05) yang menunjukkan bahwa hipotesis nol ditolak yang berarti bahwa antara laju pertumbuhan berat dan panjang kerang jantan adalah tidak seimbang. (Gambar 24). Jantan 90 y = 1E-04x3.288 R2 = 0.9294 n = 1154
80 70 Berat (gr)
60 50 40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
Panjang (mm)
50
60
70
98
Gambar 24. Kurva hubungan panjang berat cangkang kerang A.edentula jantan di perairan hutan mangrove pantai Passo Teluk Ambon Bagian Dalam. Kondisi pola pertumbuhan yang berlaku pada kerang jantan, berlaku juga pada betina. Hasil analisis menunjukkan bahwa pola pertumbuhannya bersifat allometrik positif seperti yang ditunjukkan pada persamaan model W = 0.00008 L
3.321
dengan nilai
koefisien determinasi (R2) sebesar 0.9327. Uji t (t student) terhadap koefisien b menunjukkan bahwa nilai b lebih besar dari 3 (allometrik positif) dimana t = 128.38. Hal ini diperkuat lagi dengan hasil uji hipotesis (p=0.05) yang menunjukkan bahwa hipotesis nol ditolak yang berarti bahwa antara laju pertumbuhan berat dan panjang kerang betina adalah tidak seimbang (Gambar 25). Betina 120 y = 8E-05x 3.3213 R2 = 0.9327 n = 1192
100
Berat (gr)
80 60 40 20 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
Panjang (mm)
Gambar 25. Kurva hubungan panjang berat cangkang kerang A.edentula betina di perairan hutan mangrove pantai Passo teluk Ambon Bagian Dalam. Pola pertumbuhan kerang
berdasarkan jenis kelamin pada tiap-tiap bulan
menunjukkan bahwa pola pertumbuhan individu jantan selama penelitian adalah bersifat pertumbuhan allometrik positif (b>3). Pola pertumbuhan betina juga seperti yang dialami oleh jantan, dan juga total keseluruhan kerang, yaitu bersifat allometrik positif. Tidak dilakukan kajian tentang pola pertumbuhan neuter, disebabkan adanya bulanbulan tertentu yang mempunyai contoh kerang neuter yang sedikit dan tidak dapat menggambarkan pola. Gambar pola pertumbuhan masing-masing jenis kelamin dan total pada masing-masing bulan dapat dilihat pada Lampiran 23, 24 dan 25. Hubungan antara komponen panjang cangkang dengan berat
cangkang
mengindikasikan terjadinya pertumbuhan allometrik yaitu laju pertambahan berat tidak seiring dengan pertambahan panjangnya. Hal ini terjadi per bulan maupun total seluruh
99
bulan pengamatan. Hasil tersebut berarti bahwa pertambahan berat (cangkang ditambah dengan berat daging atau viscera weight) lebih cepat bertambah dibandingkan panjangnya seiring dengan waktu. Kondisi tersebut menandakan bahwa ada pengumpulan energi yang didapat lewat makanan dan kondisi lingkungan yang baik. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian bivalvia lainnya (Lampiran 26), maka ada pertumbuhan yang bersifat allometrik (positif maupun negatif) dan ada pula yang bersifat isometrik. Penelitian dari Anodontia woodiana (Afanasjev et al. 2001) di Polandia menghasilkan pola pertumbuhan allometrik negatif. Pola pertumbuhan dari jenis yang sama belum tentu menghasilkan nilai yang sama, begitupun jenis yang berbeda bisa mempunyai pola yang sama. Pola pertumbuhan bergantung pada ketersediaan makanan, dimana jika makanan berlimpah maka laju penambahan berat semakin cepat dan menghasilkan pertumbuhan yang allometrik positif.
4.4.5 Faktor Kondisi
Faktor kondisi relatif (CF) dapat dihitung dengan mengukur berbagai pengaruh faktor biologi dan ekologi yang mempengaruhi laju pertumbuhan, reproduksi, derajat kemontokan (degree of fitness) dan kecocokan lingkungan. King (1995) menyatakan variasi musiman dari kondisi moluska merefleksikan variasi kelimpahan makanan dan tingkat reproduksi. Rataan faktor kondisi bulanan berkisar antara 1.07 sampai dengan 1.96 dengan nilai rataan 1.31 ±0.27 (Lampiran 27). Keseluruhan nilai rataan faktor kondisi lebih dari nilai 1, mengindikasikan bahwa rataan berat kerang contoh (Wcal) lebih berat dari rataan dugaan (Wpred) hasil perhitungan hubungan panjang berat. Nilai faktor kondisi tertinggi terjadi pada bulan Februari (musim panas) mempunyai rataan berat contoh yang rendah (Lampiran 27), rataan berat contoh yang rendah ini disebabkan oleh kisaran berat contoh yang melebar yaitu antara kisaran berat 0.1 gr sampai 63.1 gr. Hasil perhitungan faktor kondisi selama penelitian digrafikkan pada Gambar 26. Faktor kondisi selama penelitian mengindikasikan bahwa setiap bulan aspek biologi dan ekologi dari kerang sangat baik terutama derajat kemontokan, pertumbuhan serta reproduksi. Pada bulan Februari nilai faktor kondisi sangat tinggi, ini dimungkinkan karena kepadatan kerang cukup tinggi, di samping itu bulan Januari
100
2005 menempati tempat kedua dalam hal kondisi ekologi maupun biologi kerang. Tidak ada data pembanding dari jenis kerang ini maupun kelompok Lucinidea yang bisa menerangkan kondisi kerang yang ditemukan. 2.5
Faktor Kondisi
2 1.5 1 0.5 0
J 05
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
Bulan Pengamatan
J 06
Gambar 26. Grafik faktor kondisi per bulan Jika faktor kondisi sebagai variabel suplemen dihubungkan dengan parameter kualitas air secara temporal diterangkan dengan PCA, maka terlihat kontribusi terpusat hanya di 2 sumbu utama yaitu sebesar 77.39%, (Lampiran 28).
Kualitas
representase setiap bulan pengamatan (Lampiran 28) menunjukkan bahwa ada 3 kelompok waktu pengamatan parameter lingkungan dan faktor kondisi sebagai variabel suplemen, yaitu kelompok Mei, Juni dan Juli, kelompok Desember dan Januari 05 serta kelompok Februari, September dan Nopember. Representase pengelompokan dapat kita lihat di Gambar 27. Dari matriks korelasi diketahui adanya suatu keterkaitan parameter dan faktor kondisi yang kuat. Keterkaitan hubungan tersebut dijelaskan oleh korelasi antar parameter lingkungan yang bertumpu di sumbu 1 dari hasil Analisis Komponen Utama. Zona I, II dan III, kelompok Februari dipengaruhi oleh faktor kondisi yang tinggi, sedangkan kelompok Mei dipengaruhi oleh curah hujan dan lama hari hujan dengan derivatnya adalah suhu dan salinitas (Lampiran 28).
101
a
Correlations circle on axes 1 and 2 (77% ) 1.5
-- axis 2 (13% ) -->
1 D.O SULFITair
0.5
pH NO3air FK Suhu Salinitas PO4air
LHH
0
CH
-0.5 -1 -1.5 -1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
-- axis 1 (64% ) -->
Observations on axes 1 and 2 (77% )
b
3 2.5
Jan05
-- axis 2 (13% ) -->
2
Des
1.5 Agust
1 0.5 Mei
-0.5
Sept
Jan06 Okt Juni April
0
Mar
-1
Nop Feb
-1.5 Juli
-2 -2.5 -6
-4
-2
0
2
4
6
-- axis 1 (64% ) -->
Gambar 27. Grafik PCA karakteristik kualitas air dan habitat dengan faktor kondisi sebagai variabel suplemen a). Lingkaran korelasi variabel lingkungan perairan pada sumbu 1 dan 2 b) Proyeksi waktu pengamatan pada sumbu 1 dan 2
102
4.4.6 Jenis Makanan
Kerang A.edentula memiliki sistem pencernaan yang tereduksi. Dengan bakteri endosimbion
pada
insangnya,
mampu
memproduksi
senyawa
organik
yang
dipergunakan untuk nutrisi kerang ini. Hasil identifikasi jenis bakteri baik terhadap kerang A.edentula maupun contoh tanah dari lokasi penelitian, menemukan bahwa pada tubuh kerang ditemukan jenisjenis bakteri antara lain: Micrococcus varians, Staphylococcus aureus dan Bacillus licheniformis. Sedangkan pada tanah di mangrove ditemukan Micrococcus varians, Bacillus circullus dan Bacillus brevis. Hasil identifikasi jenis bakteri ini terlihat pada Gambar 28.
Bacillus licheniformis
Bacillus brevis
Micrococcus varians
Staphylocoocus aureus
Gambar 28 Jenis-jenis bakteri yang ditemukan dalam tubuh kerang dan sedimen habitat kerang A.edentula.
103
Simbiosis bakteri dengan bivalvia telah diamati oleh banyak peneliti, terutama endosymbiosis. Penelitian Cary et al (1989) tentang strategi nutrisi dari endosymbiosis bakteri pada bivalvia menemukan bahwa terdapat jenis bakteri sulfur (Thiobacillus denitrificans) yang merupakan jenis bakteri endosymbiont pada bivalvia. Lebata dan Primavera (2001) menemukan jenis-jenis bakteri berbentuk cocoid dan bentuk seragam pada insang kerang Anodontia edentula. Jika dilihat jenis-jenis yang ditemukan maka terdapat dua bentuk dari jenis bakteri, yaitu berbentuk coccus (Micrococcus varians dan Staphylococcus aureus) yang bisa hidup pada kondisi aerob dan anaerob, serta bentuk batang (Bacillus licheniformis dan Bacillus brevis ) yang anaerob dan ada beberapa spesies hidup pada kondisi aerob. Terdapatnya jenis-jenis anaerob dan sedikit aerob membuktikan bahwa jenis bakteri tersebut termasuk bakteri endosymbiont di dalam tubuh kerang A.edentula. Lebata (2000b) menyatakan bahwa bakteri sulfit di dalam tubuh kerang diangkut lewat darah ke insang. Pada insang berdiam jenis-jenis bakteri sulfur dan menggunakan elemen (unsur) sulfur tersebut untuk metabolik dan menghasilkan senyawa anorganik. Ditambahkan oleh Lebata bahwa di samping penggunaan bakteri endosymbiont untuk nutrisi, maka sumber nutrisi lainnya dalam jumlah sedikit terambil dari particulate matter yang mana pada kerang Anodontia edentula diketahui mempunyai lambung (gut) yang tereduksi. Jenis kerang ini memanfaatkan kakinya untuk mencari sulfit ke dalam habitat yang lebih dalam jika kondisi sulfur berkurang. Kelebihan dari kerang ini juga dapat menggunakan oksigen dengan menjulurkan kakinya ke permukaan lubang.
4.4.7 Kemampuan Adaptasi Kerang
Kemampuan adaptasi kerang dianalisis melalui percobaan translokasi yang dilakukan selama 16 minggu dengan memelihara kerang dengan ukuran yang diasumsikan seragam sebanyak 30 ekor pada setiap keranjang dan ditempatkan pada lima zona yang berbeda yaitu di dekat sungai (DS), dekat mangrove (DM), jauh dari sungai (JS), lokasi penelitian I (LK1) dan lokasi penelitian II (LK2) pada kedalaman 50 cm dari permukaan sesuai dengan kedalaman dimana kerang biasanya hidup. Hasil percobaan pemeliharaan selama 16 minggu menghasilkan ukuran panjang yang hampir
104
tidak bertambah sampai kondisi stagnan, dan kebanyakan individu yang mati, kecuali pada lokasi yang dekat dengan lokasi sampling seperti LK1 dan LK2 (Tabel 9). Selama 16 minggu di LK1 dan LK2 hanya terjadi penambahan panjang masing-masing 5.80 mm dan 2.6 mm Begitupun juga dengan pertambahan berat cangkang yang lambat (Tabel 10) dan hampir tidak ada pertambahan berat pada individu tersebut. Perubahan pertambahan panjang dan berat dapat kita lihat Gambar 29 dan Gambar 30. Hanya pada lokasi sampling LK1 dan LK2 terjadi sedikit penambahan, yaitu masing-masing 1.92 gr dan 1.09 gr selama 16 minggu. Dari hasil yang diperoleh, dapat dikatakan bahwa memelihara hewan-hewan tersebut secara translokasi dapat merugikan. Hal ini disebabkan oleh kehidupannya pada kondisi lingkungan yang kritis. Hasil penelitian Lebata (2000a) mendapatkan bahwa hewan ini mampu hidup di akuarium sampai 3 minggu. Sedangkan dari hasil pengamatan peneliti di lapangan, kerang yang diperoleh dari habitat asalnya dan dimasukkan kedalam ember plastik bersama sedimen dan airnya kemudian dibiarkan di alam terbuka dapat bertahan hidup selama 13 hari. Tabel 9. Rataan panjang cangkang pada berbagai lokasi selama 16 minggu DS DM JS LK1 LK2 Minggu 0 41.17 39.03 34.90 28.70 34.80 Minggu 2 41.20 39.06 35.04 28.90 34.86 Minggu 4 41.28 39.15 35.21 31.13 35.92 Minggu 6 41.44 39.33 35.35 31.80 36.57 Minggu 8 42.00 39.40 35.35 32.50 37.40 Minggu 12 42.00 39.50 35.67 33.50 37.40 Minggu 16 42.00 39.50 35.67 34.50 37.40 Tabel 10. Rataan berat cangkang pada berbagai lokasi selama 16 minggu DS DM JS LK1 LK2 Minggu 0 19.54 16.54 12.77 7.12 11.89 Minggu 2 19.60 16.14 12.56 7.64 11.91 Minggu 4 19.60 16.22 12.63 7.73 12.10 Minggu 6 20.20 17.40 13.51 7.97 12.37 Minggu 8 21.24 16.84 11.74 7.82 12.61 Minggu 12 18.75 17.50 12.43 7.89 12.63 Minggu 16 19.60 17.50 12.43 9.04 12.98
Rataan panjang (mm)
105
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
DS DM JS LK1 LK2
m0
m2
m4
m6
m8
m12
m16
Minggu
Gambar 29. Rataan panjang cangkang selama 16 minggu
Rataan berat (gr)
25 20
DS
15
DM JS
10
LK1
5
LK2
0 m0
m2
m4
m6
m8
m12
m16
Minggu
Gambar 30. Rataan berat cangkang selama 16 minggu. Pada Lampiran 29 terlihat produksi dari hasil translokasi pada daerah yang dekat sungai (DS), daerah berhadapan dengan mangrove dilihat dari pantai (DM), yang jauh dari sungai (JS), dekat dengan lokasi pengambilan contoh di mana ada 2 keranjang (LK1) dan LK2). Dari hasil perhitungan terhadap produksi biomassa yang dilakukan selama 16 minggu terlihat bahwa produksi maksimum hanya terjadi pada lokasi yang berada pada areal pengambilan contoh kerang di mana secara alami kerang tersebut hidup, yaitu 2.07 gr per minggu (LK1). Sedangkan pada lokasi DS, DM, JS dan LK2 mempunyai produksi per minggu masing-masing 0.83 gr, 0.94 gr, -5.13 gr dan 1.52 gr. Hasil tersebut memperlihatkan produksi yang sangat kecil dan ada yang menyusut dan
106
mati. Oleh karena itu untuk melakukan translokasi, perlu penangaan yang teliti dan ketat. 4.4.8 Pertumbuhan
Selama penelitian, panjang cangkang yang berhasil dikoleksi antara 5 mm hingga 68 mm yang mewakili 6 kohort (Tabel 11). Hasil interpretasi terhadap sebaran data panjang cangkang memberikan indikasi terjadinya pertumbuhan dalam tiap kohort kerang. Hal ini terlihat adanya pergeseran modus dari bulan sebelumnya ke bulan berikutnya (Gambar 31). Kerang pada kohort A mengalami pergeseran modus nilai rataan panjang cangkang (mean) dari 44.80 ± 7.73mm di bulan Januari 2005 menjadi 52.79 ± 3.98 mm pada bulan April, dengan rataan pertumbuhan panjang cangkang sebesar 2.67 mm per bulan. Pada kohort B, modus nilai rataan panjang cangkang bergeser dari 20.52 ±5.77mm pada bulan Januari menjadi 46.90 ± 8.87mm pada bulan Juli dengan pertumbuhan rataan panjang cangkang 4.40 mm per bulan. Pada kohort C, modus nilai rataan panjang cangkang bergeser dari 14.39 ± 4.97mm pada bulan Februari menjadi 43.26 ± 7.94mm pada bulan Agustus dengan pertumbuhan rataan panjang cangkang 4.81 mm per bulan.. Pergeseran modus nilai rataan panjang cangkang yang dialami oleh kohort D dari 30.86 ± 6.72mm pada bulan Juni hingga mencapai 41.30 ± 7.80mm pada bulan Oktober dengan pertumbuhan rataan panjang cangkang 2.67 mm per bulan. Pada kohort E, pergeseran modus nilai rataan panjang cangkang dari 10.76 ± 3.45mm pada bulan Nopember menjadi 15.53 ± 5.77mm pada bulan Desember dengan pertumbuhan rataan panjang cangkang 4.77 mm per bulan. Kohort yang terakhir adalah kohort F yang dimulai dari bulan Nopember 2005 dengan nilai rataan panjang cangkang sebesar 38.64 ± 9.45mm, bulan Desember 42.52 ± 7.73mm, hingga bulan Januari 2006 dengan nilai rataan panjang cangkang sebesar 45.39 ± 6.98mm, dengan pertumbuhan per bulan sebesar 3.77 mm. Laju pertumbuhan maksimum yang didapat perbulan adalah 4.81 mm, merupakan suatu ciri kerang yang mempunyai suatu pertumbuhan cepat (a fastgrowing) dengan umur pendek (short lived). Del-Nortes-Campos (2004), mendapatkan bahwa clam tropis Gari elongata (sunset elongate clam) mempunyai pertumbuhan
107
antara 0.9 mm sampai 7.8 mm per bulan. Jika dilihat dari ketebalan cangkang, maka kerang A.edentula mempunyai cangkang yang tipis dan rapuh, keadaan demikian menyebabkan pertumbuhan cangkang akan bertumbuh cepat. Di antara semua kohort maka kohort E merupakan kohort yang mempunyai rataan panjang terkecil. Walaupun kecil tetap terjadi penambahan individu baru di antara bulan Nopember. Tabel 11. Ukuran kohort kerang A.edentula selama penelitian Bulan
Kohort
Januari 2005
B A C B B B A C D B C D D E F E F F
Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Januari 2006
Rataan Panjang (mm) ± SD 20.52±5.77 44.80±7.73 14.39±4.97 38.35±9.22 41.35±8.03 35.85±6.48 52.79±3.98 39.82±7.59 30.86±6.72 46.90±8.87 43.26±7.94 40.98±8.16 41.30±7.80 10.76±3.45 38.84±9.43 15.53±5.77 42.52±7.73 45.39±6.98
Populasi
22 82 61 159 251 162 33 185 216 198 230 269 197 14 311 22 81 161
60 A 50
B
F
Rataan Panjang (mm)
C
D
40
30
20
E
10
0
J 05
F
M
A
M
J
J
A
S
Bulan Pengamatan
O
N
D
J 06
Gambar 31. Kurva pertumbuhan kerang A.edentula yang diestimasi dari pergeseran modus tiap kohort
108
Pengamatan atas kohort menunjukkan bahwa umumnya setiap bulan terdapat satu kohort, dan hanya ada beberapa bulan yang mempunyai dua kohort seperti bulan Januari, Februari, Nopember dan Desember. Kohort berukuran kecil selalu lebih sedikit dari yang berukuran besar, yang kemungkinan disebabkan oleh tekanan intensif tehadap ukuran lebih besar pada populasi A. edentula. Hasil penelitian dari Rice et al. (1989) menemukan bahwa pengaruh upaya tangkap yang intensif terhadap bivalvia Mercenaria mercenaria di Teluk Narragansett mengakibatkan ukuran muda semakin sedikit frekuensinya dibandingkan dengan yang lebih tua. Hasil analisis kohort selama periode penelitian ini tertera pada Lampiran 30. Bulan-bulan di mana terdapat lebih dari satu kohort setiap bulan menandakan bahwa ada penambahan individu baru di bulan tersebut. Ini terlihat dari pergeseran modus dari rataan kohort yang kecil ke besar. Hasil analisis parameter pertumbuhan berdasarkan data frekuensi panjang yang dikoleksi selama 12 bulan, dengan menggunakan program FiSAT, sub program ELEFAN maka diperoleh nilai koefisien pertumbuhan panjang asimtotik atau panjang infinity (L∞) jantan, betina dan total (tanpa pemisahan jenis kelamin) masing-masing 65.63 mm, 70.88 mm dan 70.58 mm dengan koefisien pertumbuhan (K) dari jantan, betina dan total masing masing 1.3, 1.5 dan 1.5 per tahun (Lampiran 31.) Panjang infinity atau panjang asimtot menunjukkan seberapa besar ukuran cangkang yang dapat dicapai oleh suatu individu kerang. Koefisien pertumbuhan (K) merupakan faktor penting untuk mengetahui laju pertumbuhan kerang mencapai ukuran infinity. Nilai (K) berbeda antara satu jenis dengan jenis lainnya, bahkan perbedaan tersebut dapat terjadi pada jenis yang sama dengan lokasi yang sama. Nilai koefisien pertumbuhan K menunjukkan seberapa cepat suatu spesies mencapai panjang atau berat infinity (Sparre dan Venema 1998). Literatur serta informasi tentang kerang A.edentula sangat terbatas. Jika menggunakan data/nilai panjang maksimum yang ditemukan oleh Lebata (2000 dan 2001), sebesar 13 cm, dugaan panjang infinity (L∞) A. edentula berdasarkan rumus Pauly (1980) yaitu Lmax dibagi 0.95, maka panjang infinity adalah 13.67 cm. Apabila dibandingkan dengan apa yang didapatkan di perairan hutan mangrove desa Passo (L∞ total = 70.58 mm), maka L∞ lebih kecil dari di Philipina. Lebata (komunikasi personal) mengatakan bahwa berbeda tempat (lokasi), maka berbeda parameter populasinya. Nilai
109
panjang asimtotik (infinity) jantan
lebih kecil dari betina
pada perairan
hutan
mangrove desa Passo, menandakan bahwa secara genetis jantan lebih kecil dari betinanya. Berbeda jenis berbeda pula panjang infinity (L∞), seperti yang terjadi pada Anodontia woodiana dimana panjang infinity bisa mencapai 23 cm. Jenis lainnya seperti kerang estuari (sunset elongate clam) di Philipina, panjang infinity mencapai 93 mm. Jadi berbeda lokasi dan jenis maka berbeda pula panjang infinitynya. Panjang infinity A.edentula di perairan hutan mangrove
desa Passo merupakan suatu informasi awal, dan akan
dimonitor ukuran parameter tersebut di masa akan datang yang dijadikan baseline data untuk pemantauan parameter populasi. Koefisien pertumbuhan, K yang ditemukan perairan hutan mangrove
desa
Passo, menunjukkan kecepatan tumbuh yang cepat. Del Norte-Campos (2004) yang meneliti sunset elongate clam di air tawar dan estuari mendapatkan nilai K=1 dan dia menyimpulkan K dari spesies tersebut merupakan spesies yang cepat tumbuh. Lain lagi jika K yang didapatkan pada spesies kerang mutiara (Pinctada radiata) di perairan Qatar semenanjung Arab (Muhammed dan Yassien 2003) dengan panjang 132.18 mm dan K = 0.34 per tahun menunjukkan pertumbuhan yang lama, memerlukan waktu mencapai panjang asimtotik 10 tahun. Salah satu jenis mussel Anodontia woodiana dengan nilai L asimtot 23 cm, K = 0.227 mencapai umur 10 tahun (Afanajev et al, 2001). Begitupun K yang didapatkan dari Anadontia edentula di perairan hutan mangrove Passo (K jantan = 1.3;
K betina = 1.5 dan K gabungan = 1.5) dapat
dikatakan sangat cepat dimana jantannya sedikit lebih lama mencapai panjang asimtotik. Laju pertumbuhannya memerlukan waktu yang pendek yaitu antara 2 sampai 2.3 tahun mencapai panjang asimtotik. Hasil analisis distribusi sebaran cangkang selama periode penelitian, memberikan nilai beberapa parameter pertumbuhan yang merupakan dasar dalam pembentukan kurva pertumbuhan von Bertalanffy dari kerang Anadontia edentula. Gambar 32 memperlihatkan kurva pertumbuhan von Bertalanffy kerang jantan, betina serta total (gabungan) berasal dari perairan intertidal sekitar hutan mangrove desa Passo di Teluk Ambon Bagian Dalam.
110
(a)
JANTAN
(b)
BETINA
(c)
TOTAL
Gambar 32. Kurva pertumbuhan kerang A.edentula hasil analisis menggunakan program FiSAT (ver.0.31) a).Kurva pertumbuhan kerang jantan: L∞ = 65.63 m m dan K =1.3 b) Kurva pertumbuhan kerang betina: L∞ = 70.88 mm dan K =1.5 c) Kurva pertumbuhan kerang total: L∞ = 71.28 mm dan K =1.4 Dari nilai-nilai K dan L∞ yang telah diperoleh di atas, maka selanjutnya dilakukan analisis untuk mendapatkan to (umur pada saat panjang sama dengan nol), dengan memasukkan formula yang dikembangkan oleh Pauly (1980), yaitu: Log10(-to) = -0.3922-0.2752 log10 L∞ -1.038 log10 K. Dari hasil perhitungan t0 terhadap kerang jantan, betina dan total masing-masing diperoleh t0 = -0.096 tahun atau 1.15 bulan, -0.081 tahun atau 0.97 bulan dan total 0.087 tahun atau 1.00 bulan. Sparre dan Venema (1998) menyatakan bahwa umur t0 dinamakan juga sebagai parameter kondisi awal (the initial condition parameter) yang menentukan titik dalam ukuran waktu ketika (ikan/kerang) memiliki panjang nol. Jika ditinjau dari segi biologi, hal ini tidak berarti karena pertumbuhan dimulai pada saat
111
telur menetas ketika larva memiliki panjang tertentu. Dari hasil analisis parameter pertumbuhan didapatkan persamaan von Bertalanffy sebagai berikut: Jantan : Lt = 65.63 [1 - e-1.3(t+0.096) ] Betina : Lt = 70.88 [1 - e-1.5(t+0.081) ] Total : Lt = 70.58 [1 - e-1.4(t+0.087) ]
Dari beberapa parameter yang diperoleh, maka kita dapat menentukan rentang hidup (longevity) untuk kerang jantan, betina dan total Persamaan von Bertalanffy bila dijabarkan lebih lanjut, maka akan diperoleh persamaan t = log10 (1-Lt/ L∞)/K + to; dan jika panjang maksimum (L maks) = 0.95(L∞) dimasukkan ke dalam persamaan di atas, maka didapat umur kerang terpanjang (life span) adalah t maks = 2.9957/K + to. Rentan hidup (t max) dari jantan, betina dan total masing masing 2.3 tahun, 2 tahun dan 2.1 tahun, sedangkan untuk panjang maksimun jantan, betina, dan total masing-masing 62.35 mm, 67.34 mm dan 67.70 mm. Dengan memperhatikan umur maksimum, umur to, K dan L∞, maka dapat dibentuk dugaan kurva pertumbuhan, jantan, betina dan total dari model yang terbentuk, dimana dapat dilihat pada Gambar 33. Hasil analisis terhadap parameter pertumbuhan memperlihatkan bahwa panjang infinitif (L∞) kerang jantan relatif lebih kecil dari kerang betina maupun gabungan jenis kelaminnya, begitupun juga parameter koefisien pertumbuhan K kerang jantan lebih kecil dari kerang betina maupun gabungan jenis kelamin. Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi alami, untuk mencapai panjang cangkang asimtotik kerang betina ataupun gabungan jenis kelamin memiliki kecepatan tumbuh yang lebih cepat dari kerang jantan, karena satuan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai ukuran infinitif relatif lebih pendek. Hal ini juga dibarengi dengan rentang waktu hidup jantan relatif lebih lama (2.3 tahun) dibandingkan dengan betina, dan gabungan jenis kelamin yaitu 2 tahun. Koefisien
pertumbuhan K merupakan parameter penting dalam
persamaan von
Bertalanffy, karena dapat menggambarkan laju pertumbuhan kerang untuk mencapai ukuran maksimum serta dapat pula dipakai untuk membandingkan laju pertumbuhan dari jenis-jenis yang berbeda ataupun jenis yang sama dan berasal dari lingkungan yang berbeda.
112
70
(a) Panjang (mm)
60 50 40 30
Jantan : Lt = 65.63 [1 - e-1.3(t+0.096) ]
20 10 0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
2.5
3
2.5
3
Waktu (tahun) 80
(b)
70 Panjang (mm)
60 50 40 30 20
Betina: Lt = 70.88 [1 - e-1.5(t+0.081) ]
10 0 0
0.5
1
1.5
2
Waktu (tahun)
80
(c)
70 Panjag (mm)
60 50 40 30 20 10
Total : Lt = 70.58 [1 - e-1.5(t+0.087) ]
0 0
0.5
1
1.5
2
Wak tu (tahun)
Gambar 33. Dugaan kurva pertumbuhan kerang Adonontia edentula. (a). Kurva pertumbuhan jantan
113
(b) Kurva pertumvbuhan betina (c) Kurva Pertumbuhan gabungan 4.4.9 Mortalitas
Mortalitas kerang diduga melalui Length Converted Catch Curve, LCCC yang dibuat dari kehilangan individu setiap kelas ukuran. Ukuran-ukuran kerang dipisahkan kedalam kelompok ukuran dengan interval 5 mm. Dengan mengepas (fit) umur relatif dari contoh (dt) melawan logaritma natural jumlah individu setiap kelas (ln N/dt) dihasilkan suatu persamaan linear dari kerang jantan, adalah Y= 10.41-4.56 X dengan r = -0.99, kerang betina dengan Y= 10.33–4.61 X dengan r = -0.97, dan kerang total dengan Y = 11.19–4.95 X dengan r = -0.98. Gambar kurva LCCC dari kerang jantan, betina dan total terlihat pada Gambar 34. Nilai mortalitas total didapat dari negatif slope, dengan demikian Z untuk jantan, betina dan total masing-masing adalah 4.56±0.31, 4.61±0.65 dan 4.95±0.43. Kalkulasi laju mortalitas untuk jantan, betina dan total masing-masing 99.7%, 99.0% dan 99.6% per tahun. Laju mortalitas total yang cukup tinggi, dimana mortalitas terdiri atas laju mortalitas karena alami (M) dan penangkapan/pemanfaatan ini
penangkapan/pemanfaatan (F). Mortalitas karena
kemungkinan disebabkan oleh
pemanfaatan kerang
karena musim paceklik dimana ikan sulit didapatkan bahkan tidak ada ikan sedangkan mortalitas alami disebabkan oleh sebab-sebab alami seperti penyakit, predator ataupun interaksi biotik (biotik interaction) seperti eutrofikasi (Del Norte-Campos, 2004). Jika dilihat dari strategi hidup kerang, maka kerang tersebut hidup pada kondisi yang ekstrim dan cangkang yang cukup tipis mudah diserang predador seperti cangkang yang dibor oleh predator, seperti yang dialami oleh kerang Pinctada radiata (Muhammed dan Yassien, 2003). Kurangnya penelitian tentang seberapa besar mortalitas yang dipengaruhi oleh penyebab alami (M) dan panangkapan/pemanfaatan (F) sehingga tidak ada pembanding dengan penelitian ini.
114
(a)
(b)
(c)
Gambar 34. Kurva konversi hasil tangkapan panjang (LCCC) kerang A.edentula (a) jantan, (b) betina dan (c) total.
4.4.10 Rekrutmen
Hasil analisis menggunakan program FiSAT dangan sub program recruitment pattern menunjukkan bahwa selama penelitian berlangsung telah terjadi penambahan individu baru (recruitment) yang turut pula mempengaruhi dinamika populasi kerang di alam. Penambahan individu baru pada suatu populasi
merupakan suatu hal yang
positif bagi kestabilan populasi itu sendiri. Dalam penelitian ini walaupun pengamatan secara langsung terhadap kehadiran juvenil kerang di alam jarang ditemukan, tetapi ditemukan dalam tubuh induk kerang (Gambar 35). Ini mengindikasikan bahwa strategi
115
hidup kerang dilindungi dalam tubuh induknya, terutama menghindari perubahan lingkungan yang ekstrim. Dengan data hasil analisis menggunakan program FiSAT dihasilkan persentase rekrutmen (Tabel 12) dan ini mengindikasikan bahwa di lokasi penelitian telah terjadi penambahan individu baru pada setiap bulannya. Tabel 12. Persentase rekrutmen bulanan jantan, betina dan total kerang A.edentula % Rekrutmen Bulan Jantan Betina Total Januari 2005 1.25 1.98 2.12 Februari 6.29 3.95 7.47 Maret 8.83 8.27 12.67 April 9.94 16.88 8.64 Mei 10.47 11.35 20.26 Juni 12.38 6.67 18.39 Juli 7.45 10.31 15.92 Agustus 12.16 15.12 10.52 September 7.47 13.29 2.45 Oktober 14.77 2.22 0.19 November 8.97 9.95 1.39 Desember 0.00 0.00 0.00 Walaupun secara umum penambahan individu baru yang relatif tidak terlalu besar (Tabel 12), namun hal ini cukup berarti bagi kesinambungan populasi di alam. Selama ini tekanan terhadap populasi kerang di parairan pantai hutan mangrove Passo berasal dari manusia pada musim paceklik (human influence), selain itu terdapat interaksi biotik seperti predator, persaingan dan tekanan lingkungan, namun masih memungkinkan keberadaan status populasi kerang ini.
Anakan Insang Mantel Cangkang
Gambar 35. Anakan kerang A.edentula dalam induknya
116
Rataan jumlah anakan dalam induk jantan maupun betina secara temporal memperlihatkan suatu jumlah yang sedikit, dimana ditemukan 1 sampai 6 individu anak dalam satu individu inang, dimana setiap bulan ditemukan anakan. Lebih besar ukuran inang, maka lebih banyak jumlah anakan. Frekueunsi kejadian secara temporal ditemukan setiap bulan dengan rataan frekuensi terbanyak pada bulan Juni dan Nopember. Hasil analisis jumlah anakan dan ukuran tubuh inang terlihat pada Gambar 36dan Lampiran 32. 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0
Rataan Anakan Rataan Panjang
0.0
J J A S O N D J0 6
J0 5 F M A M
5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
Rataan Panjang (mm)
Rataan Jumlah Anakan
a)
60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0
Rataan Anakan Rataan Berat
0.0 J J A S O N D J0 6
J0 5 F M A M
5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
Rataan Berat (gr)
b)
Rataan Jumlah Anakan
Bulan
Bulan
Gambar 36 Rataan jumlah anakan dan ukuran tubuh inang a) Rataan jumlah anakan dengan rataan panjang b) Rataan jumlah anakan dengan rataan berat Pada kerang jantan, betina maupun gabungan total kerang menunjukkan hampir setiap bulan terjadi rekrutmen, kecuali bulan Desember. Secara keseluruhan telah terjadi dua puncak pulsa yang tidak sama (two unequal pulse). Puncak rekrutmen pada kerang jantan terjadi pada bulan Juni (12.38%) dan Oktober, yaitu 14.77%; pada betina pada bulan April (16.88%) dan Agustus (15.12%) dan total gabungan pada bulan Maret (12.67%) dan Mei (20.26%). Hasil olahan pola rekrutmen tergambar pada Gambar 37.
117
(a)
(b)
(c)
Gambar 37 Persentase rekrutmen kerang A.edentula (a) jantan, (b) betina dan (c) total. 4.5 Reproduksi Kerang 4.5.1 Nisbah kelamin
Sampai saat ini belum ada informasi tentang penentuan jenis kelamin kerang jantan maupun betina melalui ciri morfologi maupun melalui kelamin sekunder. Hal yang selama ini dilakukan untuk mengetahui jenis kelamin kerang adalah melalui pembedahan, yang sudah tentunya akan membahayakan hewan tersebut, bahkan lebih sering mendatangkan kematian. Dari hasil pengamatan terhadap kondisi gonad kerang
118
disimpulkan bahwa kerang A.edentula adalah bersifat dioecious, dimana kelamin jantan dan betina terpisah. Dari hasil analisis nisbah kelamin selama 13 bulan pengamatan, maka terlihat bahwa fluktuasi rasio kelamin hampir tidak berubah dengan rataan nisbah kelamin 0.975 (SD± 0.065). Pada bulan Februari, April, September dan Desember secara relatif didominasi oleh jantan, sebaliknya bulan lain didominasi oleh betina (Tabel 13). Secara keseluruhan, dari hasil pengujian dengan uji χ2 (khi kuadrat) dengan taraf signifikansi α =0.05 (χ2hitung = 0.934, χ2tabel dengan derajat bebas 12 pada taraf kepercayaan 95% = 5.23 dan Nilai Probability 1.000) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rasio kelamin antar bulan pengamatan. Hal ini didukung dengan Gambar 38 dimana terlihat persentase jantan betina yang hampir seimbang. Dengan demikian disimpulkan bahwa nisbah kelamin kerang selama penelitian berada dalam kondisi seimbang. Tabel 13. Nisbah kelamin kerang A.edentula Bulan Januari 05 Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Januari 06
Individu jantan 14 24 39 30 28 22 31 36 42 29 44 22 25
Individu betina 14 23 40 27 30 22 35 38 41 34 47 21 25
Nisbah kelamin 0.98 1.04 0.96 1.11 0.93 0.99 0.88 0.95 1.02 0.87 0.94 1.03 0.99
80.00 60.00 %betina
40.00
%jantan
J06
D
N
O
S
A
J
J
M
A
M
0.00
F
20.00
J05
Persentase Kelamin (%)
100.00
Bulan Pengamatan
Gambar 38. Grafik persentase nisbah kelamin kerang A.edentula
119
Pemijahan kerang di alam dapat terjadi bila kehadiran kerang jantan atau betina berada pada lokasi yang sama.
Kehadiran kerang tersebut secara bersama-sama
merupakan salah satu faktor yang akan menunjang kestabilan populasinya di alam, sebab hal ini akan memudahkan terjadinya fertilisasi bila terjadi pemijahan. Hasil analisis menunjukkan bahwa nisbah kelamin antara kerang jantan dan betina secara umum berada pada kondisi yang seimbang (1:1). Kondisi ini berarti bahwa setiap induk kerang jantan dan betina menghasilkan sperma dan telur yang seimbang dan diprediksi akan menjamin keberhasilan fertilisasi pada saat pemijahan dengan syarat bahwa kondisi makanan dan lingkungan menunjang proses ini. Berbagai catatan mengenai kelas bivalva menunjukkan bahwa nisbah kelamin bervariasi, tetapi umumnya famili-famili tertentu seperti Unionidae spesies Vlesunio ambiguos (Widarto 1996), dan famili Lucinidae seperti Anodontia alba (Moore dan Lopez 1972), memiliki nisbah kelamin yang seimbang. Hasil penelitian ini menunjukkan ada sedikit kecenderungan betina lebih banyak dari jantan. Jumlah betina yang lebih banyak merupakan suatu keuntungan bagi populasi karena peluang keberhasilan reproduksinya akan lebih besar, terlebih lagi bagi kerang yang hidup di areal lentik (tenang/tidak mengalir). Morton, (1991) menyebut fenomena ini sebagai suatu strategi mengoptimumkan fungsi reproduksi. Dia menyebutkan dua spesies yang mempunyai strategi reproduksi seperti ini yaitu Anodonta woodiana dan Limnoperna fortunei. Sebaliknya jika persentase jantan yang banyak, dapat diidentikkan sebagai strategi pada areal lotik (mengalir), dimana jantan harus memproduksi sperma yang banyak karena akan hilang terbawa aliran air sehingga dapat diharapkan untuk mengimbangi sperma yang hilang terbawa aliran air dan memperbesar peluang keberhasilan terjadinya fertilisasi.
4.5.2 Indeks Kematangan Gonad (IKG)
Indeks kematangan gonad (IKG) merupakan tanda utama membedakan kematangan gonad berdasarkan berat gonad. Secara alami berhubungan dengan ukuran dan berat tubuh. Beberapa peneliti menggunakan istilah ”index of maturity”, ”gonado somatic index” dan ada yang menggunakan ”Rapport gonado somatique”. Dalam penelitian ini digunakan istilah ”Gonado Somatic Index, GSI” sebagai salah satu ukuran aktivitas gonad. GSI atau IKG (Indeks Kematangan Gonad) yang digunakan merupakan
120
rasio berat gonad dengan berat daging (viscera weight) dalam persen. Nilai tersebut akan meningkat dan akan mencapai maksimum pada saat pemijahan. Dari 389 individu kerang yang diamati baik jantan maupun betina didapatkan IKG antara 9.80% sampai 62.50% dengan standar deviasi 10.31% (Tabel 14). Disini terlihat bahwa kondisi nilai maksimum (IKG = 62.50%) adalah kondisi dimana gonad pada saat pemijahan. Jika dilihat secara rinci kondisi IKG jantan dan betina maka rataan IKG jantan lebih kecil dari betina (Tabel 15). Menurut Effendie (1992), ikan jantan mempunyai IKG lebih kecil dari betinanya, dan kondisi ini berlaku pula pada kerang A.edentula. Kondisi IKG pada kerang A.edentula di perairan hutan mangrove desa Passo dimana IKG betina lebih besar dari jantan, juga ditemukan sama seperti di Visayas Ilo-ilo Philipina (Sorongan 1996). Tabel 14. Statistik berat gonad, berat viscera dan IKG A.edentula Statistik
Rataan SD Minimum Maksimum
Berat Gonad (mm) 1.24 1.16 0.10 7.60
Berat Viscera (gr) 3.76 3.25 0.40 18.40
IKG (%) 33.22 10.31 9.80 62.50
Tabel 15. Statistik IKG jantan dan betina A.edentula Statistik
Rataan SD Minimum Maksimum
IKG Jantan (%) 5.75 2.24 1.41 13.04
IKG Betina (%) 6.07 2.50 1.19 19.61
Secara temporal terlihat bahwa rataan puncak-puncak IKG dan Indeks Berat Daging (IBD) berfluktuasi selama penelitian 13 bulan (Lampiran 33). Puncak-puncak IKG pada bulan April dan Mei 2005 serta Nopember dan Desember 2005, sedangkan IBD sebaliknya pada bulan Januari dan Pebruari 2005 serta Desember dan Januari 2006. Jika dibandingkan dengan rataan puncak IBD adalah fakta yang terbalik karena terjadinya pengalihan energi dari jaringan somatic ke pertumbuhan produk seksual (Gambar 36). Periode pengalihan energi ini juga ditemukan
pada penelitian yang
dilakukan oleh Samentar et al. (2004) di provinsi Guimaras, Philipina Tengah terhadap
121
spesies A.edentula, dimana selalu terjadi puncak-puncak IKG yang teratur, dan puncaknya ditemukan pada bulan April dan Mei. Penelitian mandiri yang dilakukan oleh Samentar (1997) di Guimaras Philipina menunjukkan bahwa puncak IKG kerang “imbaw” (mudflat clam) Lucinoma annulata terjadi pada bulan November dan pemijahan terjadi pada bulan Desember. Pada penelitian di perairan hutan mangrove desa Passo ditemukan dua puncak IKG yaitu pada bulan April dan Mei serta Nopember dan Desember, sedangkan bulan-bulan lainnya nilai IKG tidak berfluktuatif. Bulan April dan Mei serta Nopember dan Desember, merupakan bulan-bulan awal hujan serta bulan-bulan kering. Dengan demikian awal musim hujan dan kering merupakan musim dimana A.edentula mempunyai IKG (GSI) yang tinggi. Widarto (1996) menemukan bahwa puncak-puncak pemijahan dari kijing air tawar sangat berkorelasi dengan musim kering atau musim panas. Sedangkan
Millarez (2005) menemukan bahwa proses
gametogenesis pada kerang A.edentula terjadi sepanjang tahun dan puncak pemijahan tertinggi terjadi pada bulan November dan Desember di Philipina. Bila dibandingkan dengan penelitian di Passo Ambon, ada bulan puncak pemijahan yang sama tetapi ada juga yang beda, dikarenakan lokasi yang berbeda. Rataan IKG Rataan IBD 10
72
9
71
8
70
7 IKG
68
5
67
4
IBD
69
6
66
3 2
65
1
64
0
63 J05
F
M
A M J J A S Bulan Pengamatan
O
N
D
J06
Gambar 39. Sebaran temporal IKG dan IBD kerang A.edentula selama penelitian
4.5.3 Tingkat Kematangan Gonad
Pengamatan kondisi gonad kerang selama penelitian berlangsung meliputi tingkat perkembangan gonad yang intinya adalah mengetahui waktu terjadinya pemijahan. Analisis terhadap tingkat perkembangan gonad kerang tidak dapat dilakukan secara visual karena gonad dibungkus oleh mantel dan berada dalam cangkang yang tertutup
122
rapat. Apabila cangkang dibuka dan dikeluarkan seluruh visceral mass maka harus mematikan kerang. Ketika diambil gonad kerang untuk diamati, gonad akan mengerut sehingga sulit untuk diamati secara visual. Tingkat perkembangan gonad kerang hanya dapat dilakukan secara histologi. Dengan berpatokan pada kriteria menurut Rose et al. (1990), maka hasil pengamatan selama setahun terhadap 150 preparat histologi diperoleh beberapa tingkatan perkembangan yang disajikan pada Tabel 16 dan 17. Setiap tingkatan perkembangan gonad (I-IV)dari kerang betina disajikan dalam gambar disertai keterangan yang terlihat pada Tabel 16 diatas sedangkan untuk kerang jantan tingkat perkembangan gonadnya disajikan pada Tabel 17. Untuk kerang jantan tidak ditemukan gambar TKG I selama penelitian ini, hal ini mungkin disebabkan oleh perkembangan dari sel-sel spermatogonia yang cukup cepat sehingga tidak terwakili oleh pengambilan sampel dilapangan. Pengamatan histologi terhadap gonad kerang betina menunjukkan bahwa setiap bulan ditemukan persentase TKG I, II, III dan IV (Tabel 18). Ditemukan bahwa pada TKG I tidak tampak pada bulan April, Mei, Juli dan Nopember, dengan puncak pada bulan Juni (28.57%). Pada Februari dan Maret, terjadi puncak presentase TKG II (33.33%). Persentase TKG III tertinggi ditemukan pada bulan Agustus (42.86%). TKG IV tertinggi (85.71%), terjadi pada bulan Nopember dan Desember dan hampir setiap bulan terdapat TKG IV tersebut. Untuk melihat persentase hasil berbagai tingkat dapat kita lihat pada Gambar 40. Dari pengamatan histologi pada TKG IV menunjukkan persentase yang tinggi, terutama di bulan April (71.43%), Mei (85.71%), Juli (85.71%) serta Nopember (85.71%) dan Desember (85.71%). TKG IV menunjukkan berakhirnya pemijahan, dan jika dikaitkan dengan IKG, maka kedua parameter menunjukkan suatu kondisi yang sama, dan ini menunjukan bahwa kondisi IKG merupakan indikator dari TKG, yang mana terlihat pada bulan-bulan kejadian puncak kedua parameter. Dari hasil tersebut di atas, ternyata tingkat matang (TKG IV) selalu hadir setiap bulan, dan ini memperlihatkan bahwa pemijahan selalu ada dalam setiap bulan tetapi
dengan
persentase pemijahan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, rekrut bisa didapatkan setiap bulan.
123
Tabel 16. Tingkat Kematangan Gonad Kerang Betina A. edentula TKG Kerang Betina
Keterangan Tingkat I : Gametogenesis awal : • Sel telur mulai berkembang • Folikel mengandung sel telur berukuran kecil dan oosit belum matang yang berproliferasi memenuhi bagian dalam dinding folikel. Ada sedikit oosit yang matang. • Dinding folikel sebagian besar dikelilingi oleh oosit yang berbentuk memanjang, beberapa diantaranya menampakkan nukleus dan nukleolus • Penghubung oosit mengisi lumen.
Tingkat II: Gametogenesis tahap aktif sampai mendekati matang: • Oosit belum matang, berbentuk peduncle di dalam folikel • Terdapat oosit bebas berbentuk poligonal dengan yolk dan nukleolus
Tingkat III: Tahap matang : • Folikel-folikel lumen diisi oleh oosit bebas dan oosit penghubung yang berbentuk ova polygonal. • Folikel-folikel telah menyatu • Folikel-folikel lebih banyak diisi oleh oosit bebas dengan yolk dan nukleolus.
124
Tingkat IV: Tahap pemijahan sebagian : • Jumlah sel telur berkurang/ sedikit • Folikel-folikel mengempis sebagian kosong • Lumen diisi residu oosit bebas • Spent, lumen kosong
Tabel 17. Tingkat Kematangan Gonad Kerang Jantan A. edentula TKG Kerang Jantan Keterangan Tingakt I : • Membran basal lobulus jelas dan utuh Tidak ditemukan • Systa-systa penuh dalam lobulus • Tidak ada spermatozoa ditengah lobulus Tingkat II : • Membran basal lobulus jelas • Systa mulai pecah, spermatocyt pada dinding lobulus • Spermatozoa sebagian ada disentrum lobuli
Tingkat III : • Membran basal lobulus sudah pecah dan menghilang • Sperma mengisi ruang yang sama dalam saluran
Tingkat IV : • Jumlah spermatozoa (kosong) • Lobulus kolaps • spent
sangat
sedikit
125
Morton (1991) menemukan TKG untuk kijing air tawar Valesunio ambiguous terdiri atas 5 tahap perkembangan yaitu dini (primodium), perkembangan (developing), pematangan (maturing), matang (ripe) dan kosong (spent), sedangkan TKG tiram mutiara Pteria penguin terdiri atas 5 tahap juga yaitu tahap tidak aktif, gametogenesis awal,
gametogenesis aktif, matang, pemijahan sebagian (Pattiasina, 2001). Bila
dibandingkan dengan A.edentula yang mempunyai 4 tahap perkembagan gonad seperti yang nampak pada Tabel 16 dan 17. hal ini menunjukkan bahwa berbeda spesies berbeda juga TKGnya. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti kerang A.edentula ini, terutama di negara Philipina, seperti Ramos (2004), Dideles (2005) dan Milarez (2005) diketahui bahwa kerang tersebut memijah sepanjang tahun. Dengan demikian hasil yang didapatkan oleh peneliti-peneliti tersebut sama seperti apa yang ditemukan di perairan pantai hutan mangrove Passo. Tabel 18. TKG kerang A.edentula selama penelitian Bulan Januari05 Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Januari 06
I 16.67 16.67 16.67 0.00 14.29 28.57 0.00 0.00 20.00 16.67 0.00 14.29 25.00
Tingkat (%) II III 16.67 16.67 33.33 16.67 33.33 16.67 14.29 14.29 0.00 0.00 28.57 0.00 0.00 14.29 14.29 42.86 20.00 20.00 0.00 33.33 14.29 0.00 0.00 0.00 25.00 25.00
IV 50.00 33.33 33.33 71.43 85.71 42.86 85.71 42.86 40.00 50.00 85.71 85.71 25.00
% Kematangan
126
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
IV III II I
J 05
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D J 06
Bulan Pengamatan
Gambar 40. Persentase TKG kerang A.edentula betina selama penelitian 4.5.4 Fekunditas
Fekunditas sebenarnya diartikan sebagai jumlah telur yang matang sebelum dikeluarkan pada waktu memijah. Fekunditas demikian merupakan fekunditas individu atau fekunditas mutlak (Effendie 1992). Dengan demikian pengamatan fekunditas ini bertujuan untuk mengetahui potensi reproduksi kerang yang dilakukan hanya pada individu betina. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal terhadap tingkat kematangan gonad, maka pengamatan visual dengan bantuan mikroskop dilakukan terhadap individu kerang yang telah mencapai ukuran matang gonad. Contoh diambil setiap bulan dengan n = 30 individu, maka didapatkan sebaran matang kerang betina perbulan seperti padaTabel 19. Tabel 19. Frekuensi dan persentase matang kerang betina Bulan Januari 05 Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Januari06
Frekuensi 8 7 7 8 8 7 8 10 13 12 7 10 7
Persentase matang (%) 26.67 23.33 23.33 26.67 26.67 23.33 26.67 33.33 43.33 40.00 23.33 33.33 23.33
127
Terlihat pada presentase matang betina tertinggi berada pada bulan September (43.33%) dan Oktober (40.00%). Ini mengindikasikan bahwa pada bulan selanjutnya akan terjadi pemijahan yang menghasilkan keturunan yang banyak. Kecocokan hasil ini sesuai dengan hasil yang didapatkan dengan parameter reproduksi lainnya yaitu pada bulan Nopember dan Desember dimana IKG serta TKG memiliki nilai tinggi. Visualisasi presentase kerang betina matang disajikan pada Gambar 41. 50 % Matang
40 30 20 10
J A uli gu st S ep us te m be r O kt ob N op er em b D es er em be Ja r nu ar i0 6
Ju ni
M ei
A pr il
Ja nu a
ri 05 Fe br ua ri M ar et
0
Bulan Pengamatan
Gambar 41. Persentase matang kerang A.edentula betina selama penelitian Hasil analisis menunjukkan seekor induk kerang betina dapat mencapai jumlah telur sebanyak 2 174 880 telur per ekor yang dicapai oleh panjang cangkang 61 mm, lebar 55 mm dan tinggi 10 mm serta berat 66.2 gr. Kondisi maksimal dari jumlah telur serta parameter ukuran cangkang kerang dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Kisaran parameter ukuran dan jumlah telur Statistik
Panjang Lebar
Tinggi
Berat
Fekunditas
(mm)
(mm)
(mm)
(gr)
(jumlah telur)
Rataan
40.41
36.86
23.57
22.93
337 589
SD
7.76
7.23
6.58
13.91
310 094
Minimum
24
20
4
3
47 760
Maksimum
61
55
40
66.2
2 174 880
Seekor kerang betina yang memiliki kisaran panjang minimal antara 21-25 mm dapat menghasilkan telur antara 56 160 telur sampai 96 480 telur (Lampiran 34), sedangkan kerang dengan ukuran cangkang maksimal antara 61-65 mm dapat mecapai 2 174 880 telur. Penelitian tentang fekunditas dari ”imbaw” A.edentula telah dilakukan oleh Guevarra (2005) di Philipina. Dia menemukan fekunditas dengan kisaran ukuran
128
40 mm – 55 mm sebesar 2 200 947 butir telur dan kisaran 22- 40 mm sebesar 628 852 butir telur. Hasil penelitiannya secara relatif menunjukkan kesamaan dalam jumlah, tetapi jika dilihat dari ukuran panjang cangkang, maka ditemukan ukuran cangkang yang lebih besar pada hasil yang didapat di perairan hutan mangrove desa Passo dimana penelitian kerang diteliti, baik itu kisaran ukuran maksimal maupun ukuran kecil. Selanjutnya, dari hasil penelitian Guevara ditemukan hubungan antara panjang cangkang dan jumlah telur kerang, dimana semakin panjang ukuran kerang maka semakin besar jumlah telurnya. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan hasil penelitian yang didapatkan di perairan hutan mangrove desa Passo. Sebaran ukuran panjang yang meningkat dan rataan jumlah telur yang meningkat menandakan suatu hubungan yang linear yang mana terlihat pada Gambar 42. Terjadinya suatu kenaikan yang progresif ini berkaitan dengan volume tubuh kerang yang menampung gonad ataupun telur.
Fekunditas (jumlah telur)
2500000 2000000 1500000 1000000 500000 0 17.5 22.5 27.5 32.5 37.5 42.5 47.5 52.5 57.5 Rataan panjang (m m )
Gambar 42. Sebaran ukuran panjang dan rataan jumlah telur Sebaran temporal jumlah telur
dari kerang ini tertera pada Lampiran 35.
Fekunditas tinggi didapatkan pada bulan-bulan musim kering dimana curah hujan tidak banyak dan jumlah hari hujan sedikit, yaitu pada bulan Januari (rataan telur = 405 440) dan Februari 2005 (rataan telur = 489 200) serta Nopember (rataan telur = 578 206) dan Desember 2005 (rataan telur = 411 616). Kekecualian terjadi pada bulan Juli (rataan telur = 452 966) saat kelimpahan telur cukup tinggi. Kekecualian ini linear dengan IKG (GSI) pada bulan Juli dimana IKG nya cukup tinggi.
Tingginya fekunditas pada
bulan Januari dan Februari serta Nopember dan Desember berhubungan dengan bulan
129
kering (dry season) dimana suhu perairan tinggi menyebabkan fekunditas tinggi. Penelitian tentang puncak pemijahan dari Del Norte-campos (2004) mengatakan bahwa pada musim kering terjadi puncak pemijahan dari spesies kerang Gari elongata di daerah Banate Bay, West Central Philippines. Hal ini memperkuat hasil yang didapatkan di perairan hutan mangrove desa Passo bahwa puncak-puncak fekunditas terjadi di musim kering, yang mana ditopang dengan puncak-puncak IKG. Menurut Dideles (2005) yang meneliti tentang ”sexual dimorphism” pada mud clam Austriella corrugata di Philipina dan Millarez (2005) tentang ratio kelamin dan ”sexual dimorphism” dari
mudflat clam ”imbaw” A.edentula diketahui bahwa fekunditas
terjadi sepanjang tahun (aktivitas gonad terus menerus sepanjang tahun) dan relatif konstan, tetapi ada puncak-puncak fekunditas tinggi pada musim kering. Keterangan ini diperkuat oleh Ramos (2004) yang meneliti kematangan gonad (gonadal maturity) dari A.edentula dan menyatakan bahwa pemijahan terjadi sepanjang tahun. Beberapa peneliti bivalvia seperti Hadfield dan Anderson (2004) tentang siklus reproduksi dari bivalvia Anadara trapezia (Deshayes), Del Norte Campos (2004) tentang populasi biologi dari kerang sunset elongate clam Gari elongata dan Widarto (1996) tentang biologi reproduksi kijing air tawar tropis di Australia menemukan bahwa kematangan terjadi pada bulan kering dan suhu tinggi. Pola-pola puncak fekunditas menunjukkan terjadinya pemijahan pada musim kering. Jumlah telur yang matang dan banyak mengindikasikan kematangan kerang. Ini semua dipengaruhi oleh faktor kondisi yang merupakan akibat dari curah hujan dan lama hari hujan. Hal ini akan semakin memperkuat pernyataan bahwa pada bulan kering sering terjadi pemijahan yang didukung oleh jumlah telur, tingkat matang dan diameter telur yang besar, disamping ada bulan lain yang turut menyumbang fekunditas selama setahun. Gambar 43 memperlihatkan rataan diameter yang hampir konstan (Lampiran 36), tetapi pada bulan kering (Nopember-Desember) sedikit agak besar diameternya. Pada Bulan Juni dan Juli mempunyai diameter yang kecil yang kemungkinan besar merupakan perkembangan telur yang mulai berkembang dimana terjadi pada musim basah. Rataan diameter terendah terjadi pada Bulan Mei, tetapi pada bulan tersebut terdapat banyak berukuran besar dan kecil, dan jika dihubungkan dengan TKG maka terjadi pada TKG I dan IV.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Ja n2 0 Fe 05 br ua ri M ar et Ap ril M ei Ju ni J Ag uli us Se tu s pt em be r O kt o No be pe r m De be se r m b Ja e r n2 00 6
Diameter telur (um)
130
Bulan
Gambar 43. Diameter telur selama penelitian Di antara hubungan parameter ukuran cangkang kerang dan jumlah telur, maka panjang cangkang dan berat tubuh sangat berkorelasi dengan jumlah telur yang dihasilkan. Hubungan secara linear ini dapat dijadikan model penduga bagi kedua parameter, yaitu semakin panjang cangkang serta semakin berat kerang maka jumlah telur semakin banyak. Parameter ukuran tubuh lain seperti lebar, dan tebal tidak terlalu bagus sebagai penduga. Hubungan-hubungan linear tersebut terlihat pada Gambar 44. Data hasil pengamatan memberikan indikasi bahwa parameter ukuran dan berat gonad turut menentukan jumlah telur yang dapat dihasilkan oleh seekor kerang, terutama ukuran panjang yang mempunyai hubungan kuasa dengan berat gonad (y = 1E-06x3.7362 ; y adalah berat gonad dan x adalah panjang). Karena semakin besar ukuran cangkang dan makin tinggi nilai berat gonad akan berpengaruh terhadap volume gonad. Hal ini akan berimplikasi terhadap jumlah telur yang dihasilkan. Sebenarnya berat gonad turut berpengaruh terhadap hubungan dengan berat tubuh, tetapi ada pengaruh kandungan air dalam tubuh kerang sehingga terlihat keacakan hubungan kedua parameter.Hubungan antara berat gonad dan parameter lainnya terlihat pada Lampiran 37.
131
6.5 y = 3.6895x - 0.5143 R2 = 0.7582 n=192
Log Fekunditas (# telur)
6
5.5 5
4.5
4 1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
Log Panjang (m m )
Log Fekunditas (# telur)
6.5 y = 1.1506x + 3.9117 R2 = 0.8079 n=192
6 5.5 5 4.5 4 0
0.5
1
1.5
2
L o g F e k u n d ita s ( # te lu r )
Log Berat (gr)
6.5 y = 2.0993x + 2.5404 R2 = 0.603 n=192
6 5.5 5 4.5 4 0.5
0.7
0.9
1.1
1.3
1.5
1.7
Log Tebal (mm)
Log Fekunditas (#telur)
6.5 y = 3.2004x + 0.3909 R2 = 0.6434 n =192
6 5.5 5 4.5 4 1
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.6
1.7
1.8
Log Lebar (m m )
Gambar 44. Hubungan parameter tubuh dan jumlah telur. a) panjang-fekunditas, b) berat-fekunditas, c) tinggi-fekunditas, dan d) lebar-fekunditas
132
Sebenarnya berat gonad merupakan derivat dari berat tubuh. Semakin berat suatu individu betina yang matang, maka semakin berat gonadnya. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak ada suatu pola hubungan antara kedua parameter tersebut, ini disebabkan oleh adanya kandungan air dalam tubuh kerang yang mempegaruhi pola hubungan sehingga tidak jelas pola tersebut. Kepencaran data (data scatter) pada hubungan dapat dilihat pada gambar hubungan berat tubuh ataupun berat viscera (daging) terhadap berat gonad (Lampiran 38). Dari hasil pengamatan serta pengujian kandungan air maka dilakukan pembelahan cangkang dan penimbangan terhadap berat cangkang, berat viscera sehingga didapatkan berat kandungan air. Hasil analisis terhadap 367 kerang dengan berbagai ukuran didapatkan rataan kandungan air sebesar 44.31% dengan SD = 8.65%, berkisar antara 7.89% sampai 61.31% (Lampiran 39). Sebaran kandungan air yang cukup tinggi serta keragamannya mengindikasikan bahwa tidak terdapat hubungan berat gonad dengan berat tubuh.
133
V. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Kepadatan Kerang Anodontia edentula berkisar antara 9-29 ind/m2 dijumpai lebih besar pada zona II dibandingkan dengan zona lainnya, terutama pada bulan November 2005 (musim kering) dan Mei (awal penghujan). Hutan mangrovenya didominasi oleh Rhizophora spp dan Avicenia marina, dengan substratnya antara lempung halus dan lanau kasar. Variasi suhu, salinitas, DO serta kandungan sulfitnya tergantung pada curah hujan dan lamanya hari hujan. Kemampuan adaptasi kerang pada habitat yang jauh dari lokasi asal tidak menunjukkan pertambahan panjang, berat ataupun produksi yang baik. Begitupun yang dekat dengan lokasi asal memperlihatkan sedikit perubahan dalam panjang, berat dan produksi, hal ini disebabkan oleh kondisi kerang yang peka terhadap perubahan parameter lingkungan. Panjang asimtot (L infinity) dan koefisien pertumbuhan (K) dari kerang jantan (65.63 mm) dan (1.3) per tahun sedangkan untuk betina (70.88 mm) dan (1.5) per tahun. Nilai K ini mengindikasikan laju pertumbuhan yang cepat dengan umur yang pendek yaitu 2.3 tahun dan 2.0 tahun. Laju mortalitas total (Z), untuk kerang jantan lebih kecil dari kerang betina. Rekruitmen terjadi setiap bulan baik itu pada kerang jantan maupun betina. Secara keseluruhan terjadi dua puncak pulsa yang tidak sama (two unequal pulse). Puncak rekruitmen pada kerang jantan terjadi pada bulan Juni dan Oktober sedangkan kerang betina pada bulan April dan Agustus. Puncak rekruitment kerang betina lebih tinggi dari kerang jantan. Nisbah kelamin selama 13 bulan pengamatan memperlihatkan fluktuasi yang hampir tidak berubah dari bulan ke bulan, yaitu 1:1. Pemijahan terjadi sepanjang tahun, hal ini didukung oleh Indeks Kematangan Gonad, Tingkat Kematangan Gonad dan Fekunditas. Fekunditas, diameter telur dan indeks Berat Daging sangat dipengaruhi oleh faktor kondisi akibat dari keterkaitan dengan curah hujan dan lama hari hujan serta derivatnya yaitu suhu dan salinitas di bulan kering dan awal musim penghujan.
134
Saran
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka penulis menyarankan •
Dalam pengelolaan kerang Anodontia edentula harus diperhatikan dengan benar waktu kapan memanen dan tidak boleh memanen. Daerah atau habitat yang merupakan titik konsentrasi kerang tersebut harus dijaga dan dilindungi dari eksploitasi yang berlebihan dan kepunahan.
•
Perlu dilakukan penelitian tentang peranan bakteri dalam menyediakan sumber energi bagi pertumbuhan kerang
•
Perlu dikembagkan suatu teknik pemeliharaan kerang secara alami agar tidak mengalami tekanan lingkungan sewaktu dipelihara pada habitat yang berbeda.
135
DAFTAR PUSTAKA Afanasjev SA, Zdanowski B, Kraszewski A. 2001. Growth and population structure of the mussel Anodonta woodiana (Lea 1834) (Bivalvia, Unionidae) in the Heated Konin Lakes System. Archives of Polish Fisheries. 9(1) :123- 131. Allen JA. 1958. On the basic form and adaptation to habitat in the Lucinacea (Eulamellibranchia). Departemen of Zoology, King’s College, University of Durham. 421- 484p. Anonimous. 2003. Data dan informasi sumberdaya perikanan Kota Ambon dan Kep. Lucipara. Kerjasama Pemerintah Daerah Kodya Ambon dan Fakultas Perikanan Unpatti, Ambon. Arnold PW, Birtles RA. 1989. Soft sediment marine invertebrate of Asia and Australia. Course notes from a workshop held at James Cook University. Australian Institute of Marine Science. Townsville. 272p. Bagenal T. 1978. Methods for assesment of fish production in fresh waters. Oxford. London. 117-217p. Bengen DG. Lim P and Belaud A. 1992. Fish population structure and typology in three ancient arm of the Gronne river. Annls Limnol. 28 (1): 25-36. Bengen DG. 2002. Pedoman teknis pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. pusat kajian sumberdaya pesisir dan lautan. Institut Pertanian Bogor. 59 hal. Berwick NL. 1983. Guidelines for the analysis of biophysical impacts to tropical coastal marine resourses. The Bombay natural history society Centanary. Seminar Conservation Developing Countries. Bombay. India. Brusca RC, Brusca GJ. 1990. Invertebrate. Saunderland, Sinauer Assosiciated. Inc Publishers. New York. 645-769p. Cahn AR. 1949. Pearl Culture in Japan. Fishery leaflet 357. United State. Departement of Interior, Fish and Widlife Service, Washington, D.C. Cary SC, Vetter RD, Felbeck H. 1989. Habitat characterization and nutritional strategies of the endosymbiont-bearing bivalve. Mar.Eco.Pro. Ser. 55:31-45. Chichon MF. 2006. Imbaw: An abstract-bibliography, college of fisheries and ocean sciences library U.P. in the Visayas. Philippines. http://Fish.bibl.org/ imbaw/serch.php/ cichon.htm (17 Agustus 2006) Clark RB. 1977. Marine Pollution. Clarendon Press. Oxford. Clarke KR, Warwick RM. 1994. Change in marine communities: An approach to statistical analysis and interpretation. Bourne Press Limt, Bournemount, UK. 144pp Chipperfield PNJ. 1953. Oberservation on the breeding and settlement of Mytilus edulis (L) in British Water. Journal Mar. Biol. Ass. 32 : 449 – 476.
136
Dance SP. 1976. The Collector’s Encyclopedia of Shells. Carter Nash Cameron Limited. Italy. 288p. Dahuri R. 1996. Tipologi ekosistem pesisir dan laut serta tingkat kerawanannya. Makalah Kursus Penyusunan analisis Mengenai Dampak Lingkungan XVIII, BAPEDAL dan PPSML LPUI, Jakarta, 14 Maret 1996. de la Rosa JS. 2004. Helping the mangrove clam spawn. Bureau of Agriculture Research. Philippines. Bar Digest. 6(1): 1-2 Del Norte-campos AGC, 2004. Some aspects of the population biology of the subset elongate clam Gari elongate (Lamarck 1818) (Mollusca, Palecypoda: Psammobiidae) from the Beate Bay area, West Central Philippines. Asian publ.Sci. 17: 299-312. Dharma B. 1988. Siput dan Kerang (Indonesian Shells). Pt. Sarana Graha. Jakarta. 111 hal. -----------. 1992. Siput dan Kerang Indonesia (Indonesia Shells). Pt. Sarana Graha. Jakarta. 134 hal. Dideles KMJ. 2005. A preliminary study of sexual dimorphism and hermaphroditism occurring in the mud clam sp, Austriella corrugate (Deshayes, 1843). B.S.Biology, University of Philippines, Visayas, Ilo-ilo. 75p. Dyer KR. 1986. Coastal and estuarine sediment dynamics, John Wiley and Sons Ltd, New York. Effendie MI. 1978. Biologi Perikanan. Bagian I: Studi Natural History. Yayasan Dewi Sri Bogor. 102 hal. ---------------. 1992. Biologi Perikanan. Yayasan Agromedia. Jakarta.120 hal. ---------------. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka. Jakarta.155 hal. Effendi H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumber-daya dan lingkungan perairan. Penerbit Kanisius, Yogjakarta. Hal 139-144. English S, Wilkinson C, Baker V. (eds) 1994. Survey manual for tropical marine resources. ASEAN-Australia Marine Science Project. Australian Institute of Marine Science. Townsville 367p. Foucart T. 1985. Analyse factorielle. Programmation sur micro ordinateur. Mason. Paris. 234p. Garcia-Dominguez F, Ceballoz-Vazquez BP, Quezada AT. 1996. Spawning cycle to the pearl oyster, Pinctada mazatlanica (Hanley, 1856), (Pteridae) at Isla Espiritu Santo, Baja Califotnia Sur, Maxico. J. Shellfish. Res. 15(2) : 297- 303. Giese AC, Pearse JS. 1974. Introduction and general principal of marine invertebrate In Giese, A.C. and J.S. Pearse (eds). Reproduction of marine invertebrate. Vol I. Acoelometed and Metazoan. Academic Press Inc., New York. Goldman CR, Horne AJ. 1983. Limnology. Mc Graw-Hill International.Co. Tokyo.
137
Guevarra AR. 2005. A preliminary study on fecundity measure of the mudclam Anodontia edentula. B.S.Biology, University of Philippines, Visayas, Ilo-ilo. 26p. Hadfield AJ, Anderson DT. 2004, reproductive cycles of the bivalve mollusks Anadara trapezia (Delhayes), Venerupis crenata Lamarck and Anomia descripta Iredale in the Sydney region. Australian Journal of Marine and Freshwater Research 39(5).649-660p. Irianto HE, Sarmanto P, Rahayu U, Fauzyah YN, Putro S. 1986. Penelitian pendahuluan lingkungan budidaya kerang hijau ( Mytilus viridis) dan tiram ( Crassostrea iradelai ) di Bojonegara, Serang. Jawa Barat. J. Penelitian Pasca Panen Perikanan (51): 1-7. Johnson MA, Frenandez C, Pergent G. 2002. The ecological importance of an invertebrate chemouautotrophic symbiosis to phanerogam seagrass beds. Bulletin Marine Science, 71(3) 1343-1351. Kendeigh SC. 1980. Ecology with special reference to animal and man. Prentice-Hall India. 409p. Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. University of British Columbia. Harper, Inc. New York. King M. 1995. Fisheries biology assessment and management. Fishing News Books. Lagarde J. 1983. Initiation a l’analyse de donnees. Dunod, Bordas. 157pp Lagendre L, Lagendre P. 1983. Numerical ecology. Elsevier Scientific Publishing Company. New York. 419pp. Latale SS. 2003. Studi pendahuluan eksplorasi sumberdaya Anodontia edentula pada perairan pantai desa Passo Teluk Ambon Bagian Dalam (Skripsi). Fakultas Perikanan Universitas Pattimura. Ambon. 58 hal. Lebata MJHL. 2000. Elemental Sulphur in the Gills of the Mangrove Mud Clam. Anodontia edentula (Family Lucinidae). Journal of Shell Shellfish Researh 19(1), 241-245. Lebata MJHL. 2001. Oxygen, sulphide and nutrient uptake of the mangrove mud clam Anodontia edentula (Family: Lucinidae). Marine Pollution Bulletin. 11(42), 1133-1138. Elsevier Science Ltd. Lebata MJHL, Primavera. 2001 Gill Structure, Anatomy and Habitat of Anodontia edentula :Evidence of endosymbiosis. Journal of Shellfish Researh. 20(3):12731278. Lim KKP, Murphy HDH, Morgani T, Sivasothi N, Ng PKL, Seong BC, Hugh T, Tan W, Tan KS, Tan TK. 2001. Animal diversity. In P.K.L.Ng and N.Sivasothi, 2003 (Eds). A Guide to mangrove of Singapore 1. Singapore Science Centre. Lind OT. 1979. Handbook of common methods in limnology. Ed. Ke-2. Mosby Co. St. Louis, London.
138
Ludwig JA Reynolds JF. 1988. Statistical ecology. A Primer on Methods and Computing. A Willey Interscience Publish. New York. 337p Mackie GL. 1984. Bivalve In Wilbur, K. (ed). The Mollusc. Academy Press. Orlando. San Diego. San Fransisco. New York. 351- 418 pp Mahida UN. 1984. Pencemaran air dan pemanfaatan limbah industri. Rajawali. Jakarta. MENKLH. 1988. Pedoman penetapan baku mutu lingkungan. Kep 02/MENKLH/1988. Sekretariat Menteri KLH. Jakarta. Millarez CE. 2005. Sex ratio, spawning periodically and sexual dimorphism of the mud clam “imbaw” , Anodontia edentula, Linneaus, 1758), from Nueva Valencia, Guimaras Islands. B.S.Biology, University of Philippines, Visayas, Ilo-ilo. 37p. Moore HB Lopez NN. 1992. A contribution to the ecology of the lamellibranch Anodontia alba. Bull. Mar. Sci. 22 (2): 381-390 . Morse M, Patricia, John D, Zardus. 1997. Microscopic anatomy of invertebrate. Vol. 6 : Mollusca II. Willey-Liss, Inc. Dept. of Biology & Marine Science, Northeasters University Nahant, Massachusetts. pp 7-118. Morton B. 1983. The Mollusca. Vol 6: Ecology manggrove bivalve. Academic Press, Inc. Orlando, New York. pp 77-130. --------------. 1991. Do the bivalvia demonstrate environment specific sexual strategies? A Hongkong model. J. of Zool 223:131-142. Muhammed SZ, Yassien H.M. 2003. Population parameters of the pearl oyster Pinctada radiata (Leach) in Qatari waters Arab gulf. Turkey. J.Zool 27:339-343. Naamin N. 1991. Penggunaan lahan mangrove untuk budidaya tambak, keuntungan dan kerugiannya. Dalam Subagjo Soemodihardjo. Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove. Panitia Nasional Pangan MAB Indonesia-LIPI. Nybakken JW. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan. Gramedia, Jakarta.459 hal Nontji A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Park KY, Oh CW. 2002. Length-weight relationship of bivalvia from coastal water of Korea. Naga. The ICLARM Quarterly 25(1): 20-22 Pattisina LA. 1985. Kecepatan guguran daun mangrove di hutan manggove Passo, Teluk Ambon Bagian Dalam. Fak. Perikanan Universitas Pattimura. Ambon. 54 hal. Pattiasina BJ. 2001. Kajian Pematangan Gonad tiram mutiara (Pteria penguin) pada habitat mangrove, lamun dan terumbu karang. Institut Pertanian Bogor. 127 hal. Pauly D. 1980. A selection of simple methods for the assesment of tropical fish stocks. FAO Fish Circ (729):54p. -----------. 1982. Studying species dynamics in tropical multispecies context. ICLARM Conference Proceedings 9, Manila, Philippines.
139
Pennak RW. 1989. Freshwater invertebrates of United States. Protozoa to mollusca. Third edition. John Willey & Sons. New York. Pescod MB. 1973. Investigation of rasional effluent and stream stadart for tropical countries. Environmental Engineering Division. Asian Institute Technology Bangkok. Poutiers JM. 1998. Bivalves (Acephala, Lamellibranchia, Pelecypoda), pp 123-362. In Carpenter, K.E and V.H. Niem. 1998. FAO Species Identification guide for Fishery Purposes. The Living Marine resources of the Western Central Pacific 1. Seaweeds, Corals, Bivalves and Gastropods. Rome. 686p. Primavera JH, Lebata MJHL, Gustilo LF, Altamirano JP. 2002. Collection of the clam Anodontia edentula in mangrove habitats in Panay and Guimaras, central Philippines. J. Wetland, Mgt. 10 (5). 363-370. Ramos TJ. 2004. A preliminary study of the gonadal maturity of “imbaw”, (Linne, 1758). B.S.Biology, University of Philippines, Visayas, Ilo-ilo. 28p. Rao B. 1973. Sex phenomenon and reproductive cycle in the limpet, cellana radiate (Born) ( Gastropoda : prosobranchia). J. Exp Mar Bul Ecol 12: 263–278. Razak A. 2002. Dinamika karakteristik fisik- kimia sedimen dan hubungannya dengan struktur komunitas moluska benthik di Muara Bandar Bakali Padang. Thesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 106 hal. Rice MA, Hickox C, Zehra I. 1989. Effects on intensive fishing effort on the population structure of quahogs, Marcenaria marcenaria (Linnaeus 1758), in Narragansett Bay. Journal of Shellfish Researh. 8(2):345-354. Ricker WE. 1975. Computation and interpretation of bological statistics of fish populations. Bull. Fish. Res. Board Can. 19:191-382. Roberts D, Soemodihardjo S, Kastoro W. 1982. Shallow water marine mollusc of North- West Java. LON LIPI Jakarta. 143p. Roper CEF, Sweeney MJ. 1983. Techniques for fixation, preservation, and curation of cephalopods. Mem. Nat. Mus. Victoria 44: 29 – 47. Rose RA, Dybdahl RE, Harders S. 1990. Reproductive cycle of the western Australian silverlip pearl oyster, P.maxima (Jameson) (Mollusca: Pteridae), J. Shellfish Res 9(2):261-271. Russel-Hunter WD. 1968. Biology of Lower Invertebrate. The Mcmillan Company. New York.146p. Samentar LP. 1997. A preliminary study of the reproductive biology of “imbaw”, Lucinoma annulata (Reeve,1850). B.S.Biology, University of Philippines, Visayas, Ilo-ilo. 35p Samentar LP, Formacion MJ, Geduspan JS. 2004. Reproductive biology of the muddwelling clam, imbaw (Anodontia edentula) in Guimaras province, central Philippines. UPV J. Nat.Sci 9(2): 217-228.
140
Setiobudiandi I. 1995. Mollusca (Sumberdaya Non hayati Ikan). Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. FPIK-IPB. Bogor. Smith SS, Boediman A. 1974. Mollusc Collection of The Rumphius Expedition I. Oseanologi di Indonesia.1:27-35. Sorongan IP. 1996. A Preliminary study of mollusk locally known as “Imbaw”. Characterizatio and determination of sexual dimorphism. Undergraduate thesis. B.S.Biology, University of Philippines, Visayas, Ilo-ilo. 37p. Sotto EB, von Gosel R. 1982. Some comercial bivalves of Cebu Philippines. Philipp Sci 19:43-101. Sparre P, Venema SC. 1992 Introduction to tropical fish assesment.FAO Fisheries Departement. Rome. 407p. Sukardjo S. 1984. Ekosistem mangrove. Oceana: 9(4): 102-115. Sumarna Y. 1985. Hutan mangrove dan permasalahannya di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. I (1): 23-31 Steel GD, Torrie JH. 1989. Prinsip dan prosedur statistic. Suatu pendekatan biometric. PT Gramedia, Jakarta 748 hal. Storer TI, Usinger RL, Stebbins RC, Nybakken JW. 1983. General Zoology. TMH Edition. McGraw-Hill Book Company Ltd. New Delhi. 315p. Taylor BJR. 1965. The analysis of polymodal frequency distributions. J. Aim, Ecol. 34: 445-452. Thielley M, Weppe M, Herbault Ch. 1993. Ultrastructural study of gameto genesis in the French Polynesia black pearl oyster Pinctada margaritifera (Mollusca, Bivalvia). I-Spermatogenesis. J. Shellfish Res. 12 (1) 41-47. Tompa AS, Verdonk NV, van den Biggelaar JAM. 1984. The Mollusca. Vol 7: Reproduction. Academic Press. 486p. Widarto TH. 1996. Beberapa aspek biologi reproduksi kijing air tawar yang hidup di daerah tropis. Hayati 3 (1): 21-25. Yulianda F. 2003. Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Keong Macan (Babylonia spirata Linnaeus, 1758). Disertasi. Program Studi Biologi Reproduksi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 132 hal.
141
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian
142
Lampiran 2. Klasifikasi ukuran butiran sedimen berdasarkan skala Wenworth (Dyer, 1986) Diameter partikel Skala Wentworth mm μm Sangat besar (very large)) 2048 Batu besar Besar (big) 1024 (Boulder) Medium (medium) 512 Kecil (small) 256 Batu bulat Besar (large) 128 (Cobble) Kecil (small) 64 Sangat kasar (very coarse) 32 Batu Kerikil Kasar (coarse) 16 (Pebble) Medium (medium) 8 Halus (fine) 4 Butiran (Granule) Sangat halus 2 Sangat kasar (very coarse) 1000 1 Kasar (coarse) Pasir 500 ½ Medium (medium) (Sand) 250 ¼ Halus (fine) 125 1/8 Sangat halus (very fine) 62.5 1/16 Kasar (coarse) 31.3 1/32 Lanau Medium (medium) 15.6 1/64 (Silt) Halus (fine) 7.8 1/128 Sangat halus 3.9 1/256 Kasar (coarse) 1.95 1/512 Medium (medium) Lempung 0.98 1/1024 Halus (fine) (Clay) 0.49 1/2048 Sangat halus (very fine) 0.24 1/4096 Koloid
143
Lampiran 3. Sarang pemeliharaan kerang saat translokasi
20 cm 20 cm 30 cm Kerang: 30 Individu Gambar Ilustrasi wadah kawat ram untuk pemeliharaan kerang yang ditranslokasikan
144
Lampiran 4. Prosedur pembuatan preparat histology dengan metoda irisan Fiksasi Gonad yang diambil dicuci dengan NaCl fisiologis lalu direndam dalam larutan fiksasi buoin selama 24 jam (campuran 15cc asam pikrat jenuh + 5cc formalin pekat + 1cc asam cuka pekat). Dipindahkan kedalam larutan alcohol 70% beberapa kali sampai warna kuning lenyap selanutnya diproses berturutturut sebagai berikut: ▼ Dehidrasi I Semua organ direndam dalam rangkaian alkohol dengan konsentrasi 30%, 50%, 70%, 80%, 90%, 95%, masing-masing selama 2 jam. Lalu dalam alkohol 100% I, alkohol 100% II, alkohol 100% III, masingmasing selama 1 jam. ▼ Penjernihan I Semua organ direndam dalam alcohol 100% + xylol (1:1) selama 45 menit kemudian direndam dalam xylol I, xylol II, Xylol III, masing-masing selama 45 menit. ▼ Infiltrasi Semua organ dimasukkan dalam xylol + paraffin (1:1) selama 45 menit dalam suhu 60°c, selanjutnya direndam dalam paraffin I, paraffin II, paraffin III, masing- masing selama 45 menit pada suhu 63°c. ▼ Penanaman Merupakan penanaman organ kedalam balok paraffin sampai paraffin mengeras selama satu hari. ▼ Pemotongan dengan mikrotom Spesimen dipotong tipis (5-6 µ),diletakkan diatas gelas objek dengan bantuan diapungkan di atas air hangat (50°c). ▼ Deparafinisasi Preparat direndam berturut-turut dalam xylol I, xylol II, masing-masing selama 5 menit. ▼ Rehidrasi Preparat direndam berturut-turut dengan alcohol 100% I, alkohol 100% II, alcohol 95%, alcohol 90%, alcohol 80%, alcohol 70% masing-masing selama 2-3 menit, kemudian direndam dalam air hingga specimen berwarna putih bening. ▼ Pewarnaan Preparat direndam dalam larutan hemotoksilin selama 3 menit lalu dicuci dengan air keran mengalir. Dilanjutkan dengan perendaman dalam eosin selama beberapa menit, lalu dicuci dengan air keran mengalir. ▼ Dehidrasi II Preparat direndam dalam alcohol 70%, 80%, 90%, 95%, 100% I, !00% II, masing-masing selama satu menit. ▼ Penjernihan II Preparat direndam dalam xylol I, xylol II, masing-masing selama satu menit. ▼ Penutupan dengan gelas penutup (mounting) Preparat diberi label sesuai perlakuan lalu ditutup dengan gelas penutup dengan perekat entelan atau Canada balsam, kemudian dibiarkan selama 12 jam
145
Lampiran 5. Struktur Komunitas pada Zona I Pohon No
1 2 3 4 5 6 7
Sonneratia alba Rhizophora apiculata Aegieeras corniculatum Avicennia marina Bruguiera gymnorrhiza Bruguiera parviflona Heritiera litoralis Total
Sapihan No 1 2 3 4
3 4 5
Spesies
Rhizophora apiculata Aegieeras corniculatum Avicennia marina Bruguiera gymnorrhiza Total
Anakan No
1 2
Spesies
Spesies
Soneratia alba Rhizophora apiculata Aegieeras corniculstum Bruguiera gymnorrhiza Bruguiera parviflona Total Keterangan:
D
RD
F
RF
C
RC
NP
(ind/m^2) 0.015 0.043
(%) 20.642 59.633
0.158 0.684
(%) 14.286 61.905
(CM^2/M^2) 7.338 11.880
(%) 33.290 53.897
(%) 68.218 175.435
0.008 0.001
11.009 1.376
0.140 0.018
12.698 1.587
0.103 0.713
0.468 3.235
24.175 6.198
0.002 0.002 0.002 0.073
2.294 2.752 2.294 100.000
0.035 0.035 0.035 1.105
3.175 3.175 3.175 100.000
0.811 0.491 0.707 22.042
3.679 2.225 3.206 100.000
9.147 8.152 8.675 300.000
D
RD
F
RF
C
RC
NP
(ind/m^2) 0.012
(%) 34.615
0.094
(%) 37.500
(CM^2/M^2) 0.214
(%) 34.290
(%) 106.406
0.016 0.003
46.154 9.615
0.125 0.016
50.000 6.250
0.320 0.050
51.276 7.974
147.430 23.840
0.003 0.035
9.615 100.000
0.016 0.250
6.250 100.000
0.040 0.624
6.459 100.000
22.325 300.000
D
RD
F
RF
C
RC
NP
(ind/m^2) 0.145 0.234
(%) 23.092 37.156
0.038 0.052
(%) 28.571 39.286
(CM^2/M^2) 0.011 0.010
(%) 35.755 32.054
(%) 87.419 108.495
0.088
14.008
0.014
10.714
0.005
15.008
39.730
0.081 0.081 0.630
12.872 12.872 100.000
0.014 0.014 0.133
10.714 10.714 100.000
0.003 0.003 0.030
8.879 8.304 100.000
32.466 31.891 300.000
D = Kerapatan RD = Kerapatan relatif F = Frekuensi RF = Frekuensi Relatif C = Penutupan/Dominansi RC = Penutupan/Dominansi Relatif NP atau IVi = Nilai Penting
146
Lampiran 6. Struktur Komunitas Pada zona II Pohon No
1 2 3 4 5 6 7
Rhizophora mucronata Rhizophora apiculata Sonneratia alba Bruguiera gymnorrhiza Bruguiera parviflona Avicenia marina Aegieeras corniculstum Total
Sapihan No
1 2 3
4 5
Spesies
Rhizophora mucronata Avicennia marina Aegieeras corniculstum Total
Anakan No
1 2 3
Spesies
Spesies
Rhizophora mucronata Rhizophora apiculata Sonneratia alba Bruguiera gymnorrhiza Aegieeras corniculatum Total Keterangan:
D
RD
(ind/m^2)
(%)
F
RF
C
RC
NP
(%)
(CM^2/M^2)
(%)
(%)
0.052 0.033 0.043
38.783 25.022 32.171
0.554 0.357 0.536
36.047 23.256 34.884
5.019 8.087 5.925
22.059 35.542 26.040
96.889 83.819 93.095
0.001 0.001 0.001
0.834 0.938 0.751
0.018 0.018 0.018
1.163 1.163 1.163
0.812 0.694 1.187
3.568 3.050 5.216
5.564 5.152 7.130
0.002 0.133
1.501 100.000
0.036 1.536
2.326 100.000
1.029 22.752
4.524 100.000
8.351 300.000
D
RD
F
RF
C
RC
NP
(ind/m^2)
(%)
(%)
(CM^2/M^2)
(%)
(%)
0.003 0.003
18.627 18.627
0.063 0.063
30.723 30.723
0.072 0.044
22.209 13.586
71.560 62.937
0.008 0.013
62.745 100.000
0.078 0.203
38.554 100.000
0.207 0.322
64.204 100.000
165.504 300.000
RD (%)
F
RF (%)
RC (%)
NP (%)
D (ind/m^2)
C (CM^2/M^2)
0.027 0.022 0.021
23.006 18.505 18.111
0.005 0.005 0.005
20.000 20.000 20.000
0.048 0.014 0.015
36.523 10.351 11.533
79.529 48.856 49.645
0.027
23.006
0.005
20.000
0.053
40.468
83.474
0.020 0.117
17.372 100.000
0.005 0.023
20.000 100.000
0.001 0.131
1.124 100.000
38.496 300.000
D = Kerapatan RD = Kerapatan relatif F = Frekuensi RF = Frekuensi Relatif C = Penutupan/Dominansi RC = Penutupan/Dominansi Relatif NP atau IVi = Nilai Penting
147
Lampiran 7. Struktur Komunitas pada zona III Pohon No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
K (ind/m^2) 0.022 0.004 0.012 0.007 0.017 0.014 0.003 0.002 0.002 0.001 0.084
KR (%) 26.190 4.762 14.286 8.333 20.238 16.667 3.571 2.381 2.381 1.190 100.000
Spesies
K
Sonneratia alba Aegieeras corniculstum Rhizophora mucronata Rhizophora apiculata Ceriops tagal Bruguiera parviflona Heritiera litoralis Avicennia marina Excoeearia agalocha Total
Sonneratia alba Aegieeras corniculstum Rhizophora mucronata Rhizophora apiculata Ceriops tagal Bruguiera parviflona Heritiera litoralis Avicennia marina Excoeearia agalocha Xylocarpus granatum Total
Sapihan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Anakan No 1 2 3 4 5 6
Spesies
Spesies
Sonneratia alba Rhizophora mucronata Rhizophora apiculata Ceriops tagal Bruguiera gymnorrhiza Avicennia marina Total Keterangan:
F 0.22 0.04 0.12 0.07 0.17 0.14 0.03 0.02 0.02 0.01 0.84
FR (%) 26.190 4.762 14.286 8.333 20.238 16.667 3.571 2.381 2.381 1.190 100.000
D (CM^2/M^2) 5.012 0.426 3.121 1.555 2.040 6.256 1.362 1.432 0.072 0.255 21.532
DR (%) 23.277 1.980 14.496 7.220 9.475 29.055 6.327 6.653 0.334 1.184 100.000
NP (%) 75.658 11.504 43.068 23.887 49.951 62.388 13.470 11.415 5.095 3.565 300.000
KR
F
FR
D
DR
NP
(ind/m^2) 0.013 0.002 0.023 0.018 0.007 0.008 0.002 0.002 0.003 0.078
(%) 16.266 3.030 29.433 22.892 8.585 10.301 3.030 3.030 3.434 100.000
0.316 0.059 0.571 0.444 0.167 0.200 0.059 0.059 0.067 1.941
(%) 16.266 3.030 29.433 22.892 8.585 10.301 3.030 3.030 3.434 100.000
(CM^2/M^2) 0.407 0.042 0.764 0.355 0.180 0.495 0.045 0.054 0.021 2.362
(%) 17.211 1.775 32.337 15.033 7.615 20.946 1.904 2.293 0.888 100.000
(%) 49.742 7.834 91.202 60.818 24.784 41.549 7.963 8.353 7.755 300.000
K (ind/m^2) 0.089 0.011 0.006 0.011 0.022 0.006 0.144
KR (%) 61.538 7.692 3.846 7.692 15.385 3.846 100.000
FR (%) 61.538 7.692 3.846 7.692 15.385 3.846 100.000
D (CM^2/M^2) 0.213 0.029 0.006 0.016 0.058 0.009 0.331
DR (%) 64.409 8.764 1.924 4.697 17.501 2.705 100.000
NP (%) 187.486 24.148 9.616 20.082 48.270 10.398 300.000
F 0.533 0.067 0.033 0.067 0.133 0.033 0.867
D = Kerapatan RD = Kerapatan relatif F = Frekuensi RF = Frekuensi Relatif C = Penutupan/Dominansi RC = Penutupan/Dominansi Relatif NP atau IVi = Nilai Penting
148
Zona I Ukuran partikel
Total Ratarata
I -2 mm 7.1 3.3 3.2 2.9 16.50
0.5-1,1 mm 27.5 18.7 16.1 18.7 81.00
0,2-0,5 mm 34.9 46.3 32.7 47.0 160.90
0,1-0,2 mm 18.7 24.8 25.4 21.3 90.20
4.13
20.25
40.23
22.55
50 µm-0,l µm 4.8 3.2 11.1 5.8 24.90
(%) 20-50 µm 1.0 0.4 4.2 1.3 6.90
5-20 µm 1.0 0.2 3.6 0.4 5.20
2-5 µm 0.5 0.4 0.7 0.9 2.50
0,2 µ 0 1 2 1 4.
6.23
1.73
1.30
0.63
1.
(%) 20-50 µm 3.2 4.9 2.0 6.5 3.3 4.2 24.10 4.02
5-20 µm 4.1 4.3 6.0 4.6 3.9 4.6 27.50 4.58
2-5 µm 3.3 4.8 3.6 4.0 5.3 1.2 22.20 3.70
0,2 µ 1 2 1 2 4 1 14. 2.
5-20 µm 0.2 6.3 1.9 0.9 0.5 10.8 20.60
2-5 µm 0.1 4.5 0.9 1.2 1.3 0.9 8.90
0,2 µ 0 2 2 0 1 0 7.
3.43
1.48
1.
Zona II Ukuran partikel
Total Rata-rata
I -2 mm 1.0 1.0 0.3 0.3 0.9 1.1 4.60 0.77
0.5-1,1 mm 7.8 7.3 5.1 2.8 3.6 7.3 33.90 5.65
0,2-0,5 mm 44.1 33.7 38.6 32.7 18.6 40.1 207.80 34.63
0,1-0,2 mm 23.7 30.0 31.9 34.2 46.4 31.2 197.40 32.90
50 µm-0,l µm 6.7 7.3 6.6 9.2 10.7 6.4 46.90 7.82
Zona III Ukuran partikel
Total Ratarata
I -2 mm 2.0 1.3 1.9 1.6 1.5 1.4 9.70
0.5-1,1 mm 12.9 9.3 8.8 8.0 8.1 10.7 57.80
0,2-0,5 mm 39.2 45.9 30.7 47.2 31.1 48.6 242.70
0,1-0,2 mm 34.9 17.5 40.6 32.1 45.5 18.8 189.40
50 µm-0,l µm 6.5 5.1 9.1 6.1 7.7 4.6 39.10
(%) 20-50 µm 0.4 2.6 1.6 1.7 2.2 1.8 10.30
1.62
9.63
40.45
31.57
6.52
1.72
149
Lampiran 9. Curah hujan dan lama hari hujan tahun 2005 sampai 2006 (Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Zona Ambon) Bulan Curah Hujan (mm) Jumlah Hari Hujan (mm) Januari 2005
88.3
15
Februari
51.1
7
Maret
202.7
12
April
230.2
19
Mei
589.3
24
Juni
236
18
Juli
559.5
21
Agustus
211.6
15
September
93.2
13
Oktober
227.7
17
Nopember
97.3
9
Desember
173.4
17
Januari 2006
156.8
19
150
Lampiran 10. Hasil olahan PCA di Zona I a). Matriks korelasi antara tiap parameter lingkungan Salinit Suhu pH as D.O 1 0.8059 0.9087 -0.4176 Suhu 0.8059 1 0.7935 -0.2608 pH Salinita 0.9087 0.7935 1 -0.4879 s -0.4176 -0.2608 -0.4879 1 D.O SULFI -0.5231 -0.3952 -0.6636 0.7907 Tair 0.5557 0.6256 0.5410 -0.2993 NO3air 0.8881 0.6390 0.9121 -0.5894 PO4air -0.9003 -0.8046 -0.7415 0.3356 CH -0.8920 -0.6470 -0.8701 0.5540 LHH
SULFI T air -0.5231 -0.3952
NO3 air 0.5557 0.6256
PO4 air 0.8881 0.6390
CH -0.9003 -0.8046
LHH -0.8920 -0.6470
-0.6636 0.7907
0.5410 -0.2993
0.9121 -0.5894
-0.7415 0.3356
-0.8701 0.5540
1 -0.3026 -0.6904 0.3397 0.7232
-0.3026 1 0.3532 -0.5875 -0.5390
-0.6904 0.3532 1 -0.6754 -0.8608
0.3397 -0.5875 -0.6754 1 0.7848
0.7232 -0.5390 -0.8608 0.7848 1
b). Korelasi antar parameter lingkungan pada lima sumbu utama factor 1 factor 2 factor 3 factor 4 factor 5 0.9485 0.1933 -0.1827 -0.0843 -0.0554 Suhu 0.8165 0.3992 0.0342 0.1844 0.3592 pH 0.9471 0.0247 -0.1374 0.2050 -0.0219 Salinitas -0.6122 0.6597 -0.2726 0.2523 -0.1880 D.O 0.6131 -0.1005 -0.2054 -0.0067 SULFITair -0.7182 0.6330 0.3484 0.6612 0.0660 -0.1655 NO3air 0.9063 -0.1712 -0.2940 0.0372 -0.0550 PO4air -0.8473 -0.3737 0.0533 0.3311 -0.0662 CH -0.9366 0.0753 0.0754 0.0563 0.2578 LHH c). Kualitas representase (kosinus kuadrat) dari setiap bulan pada lima sumbu utama axis 1 axis 2 axis 3 axis 4 axis 5 0.0056 0.8316 0.0815 0.0004 0.0396 Jan05 0.8372 0.1272 0.0040 0.0153 0.0089 Feb 0.3303 0.2106 0.1153 0.1164 0.1799 Mar 0.3758 0.0561 0.1759 0.0709 0.1763 April 0.8820 0.0133 0.0481 0.0305 0.0002 Mei 0.4787 0.0296 0.0556 0.0056 0.1533 Juni 0.7977 0.1698 0.0100 0.0071 0.0023 Juli 0.0689 0.5575 0.0014 0.0079 0.3582 Agust 0.8894 0.0055 0.0200 0.0262 0.0230 Sept 0.0902 0.0001 0.8814 0.0015 0.0012 Okt 0.9374 0.0254 0.0000 0.0331 0.0015 Nop 0.0408 0.6821 0.1716 0.0047 0.0672 Des 0.2217 0.0201 0.0480 0.5150 0.0506 Jan06
151
Lampiran 11. Hasil olahan PCA di Zona II a). Matriks korelasi antara tiap parameter lingkungan Salinita Suhu pH s D.O 1 0.7161 0.9083 -0.9137 Suhu 0.7161 1 0.6503 -0.8431 pH 0.9083 0.6503 1 -0.8905 Salinitas -0.9137 -0.8431 -0.8905 1 D.O SULFITai -0.8314 -0.6100 -0.8986 0.8840 r 0.7508 0.8097 0.5588 -0.7400 NO3air 0.2223 0.3608 0.3231 -0.3714 PO4air -0.7541 -0.7065 -0.6635 0.6720 CH -0.8986 -0.6029 -0.9121 0.8182 LHH
SULFI Tair -0.8314 -0.6100 -0.8986 0.8840
NO3 air 0.7508 0.8097 0.5588 -0.7400
PO4 air 0.2223 0.3608 0.3231 -0.3714
CH -0.7541 -0.7065 -0.6635 0.6720
LHH -0.8986 -0.6029 -0.9121 0.8182
1 -0.4280 -0.4349 0.4929 0.8524
-0.4280 1 0.0967 -0.8307 -0.6470
-0.4349 0.0967 1 -0.0925 -0.3058
0.4929 -0.8307 -0.0925 1 0.7848
0.8524 -0.6470 -0.3058 0.7848 1
a). Korelasi antar parameter lingkungan pada lima sumbu utama factor 1 factor 2 factor 3 factor 4 factor 5 -0.9531 -0.0610 -0.1741 0.0354 0.1569 Suhu -0.8370 -0.1128 0.4210 0.2572 -0.1879 pH -0.9220 0.1598 -0.2756 0.0007 -0.0666 Salinitas 0.9595 -0.0801 -0.0139 -0.2358 -0.0382 D.O SULFITai 0.8632 -0.3713 0.2621 -0.1282 0.0487 r -0.7949 -0.4676 0.3096 0.0084 0.2129 NO3air -0.3658 0.7587 0.4908 -0.2126 0.0587 PO4air 0.8157 0.4170 -0.0947 0.3396 0.1636 CH 0.9227 -0.0456 0.2410 0.2584 -0.0187 LHH c). Kualitas representase (kosinus kuadrat) dari setiap bulan pada lima sumbu utama axis 1 axis 2 axis 3 axis 4 axis 5 0.0017 0.5781 0.1712 0.1499 0.0127 Jan05 0.6682 0.0004 0.2275 0.0673 0.0342 Feb 0.4051 0.4480 0.1366 0.0098 0.0005 Mar 0.2448 0.3179 0.2851 0.0087 0.1114 April 0.9263 0.0321 0.0057 0.0183 0.0088 Mei 0.7493 0.0131 0.0536 0.1221 0.0509 Juni 0.8859 0.0651 0.0274 0.0055 0.0004 Juli 0.7041 0.0006 0.0410 0.2266 0.0021 Agust 0.8792 0.0010 0.0101 0.0595 0.0378 Sept 0.0644 0.2976 0.0001 0.0004 0.0148 Okt 0.9377 0.0032 0.0269 0.0134 0.0015 Nop 0.1113 0.5247 0.3157 0.0061 0.0005 Des 0.2423 0.4391 0.2848 0.0020 0.0084 Jan06
152
Lampiran 12. Hasil olahan PCA di Zona III a). Matriks korelasi antara tiap parameter lingkungan
Suhu pH Salinitas D.O SULFITair NO3air PO4air CH LHH
Suhu 1.000 0.701 0.750 -0.835 -0.630 0.584 0.716 -0.869 -0.888
pH 0.701 1.000 0.674 -0.680 -0.166 0.437 0.362 -0.670 -0.510
Salinitas 0.750 0.674 1.000 -0.714 -0.320 0.524 0.590 -0.747 -0.750
D.O -0.835 -0.680 -0.714 1.000 0.649 -0.574 -0.371 0.730 0.704
SULFITair -0.630 -0.166 -0.320 0.649 1.000 -0.389 -0.509 0.450 0.626
NO3 air 0.584 0.437 0.524 -0.574 -0.389 1.000 0.631 -0.457 -0.526
PO4 air 0.716 0.362 0.590 -0.371 -0.509 0.631 1.000 -0.541 -0.730
b). Korelasi antar parameter lingkungan pada lima sumbu utama factor factor 1 factor 2 factor 3 factor 4 5 0.9655 -0.0047 -0.0817 -0.0825 -0.1295 Suhu 0.7211 0.5785 0.0202 0.1205 -0.3122 pH 0.8442 0.2734 0.1300 -0.1343 0.3526 Salinitas -0.8641 -0.1110 0.3433 -0.3027 -0.1093 D.O 0.6005 0.4201 -0.1140 0.0690 SULFITair -0.6417 0.6913 -0.1616 0.4548 0.5113 0.0667 NO3air 0.7433 -0.3719 0.4544 -0.2305 -0.1558 PO4air -0.8718 -0.1994 0.1196 0.2059 0.0138 CH -0.9042 0.1544 0.0299 0.2557 -0.0930 LHH c) Kualitas representase (kosinus kuadrat) dari setiap bulan pada lima sumbu utama axis 1 axis 2 axis 3 axis 4 axis 5 0.0549 0.0271 0.0893 0.0115 0.0008 Jan05 0.6480 0.2725 0.0119 0.0237 0.0088 Feb 0.7341 0.0069 0.0633 0.0175 0.0184 Mar 0.0429 0.1780 0.5098 0.0031 0.1347 April 0.8519 0.0546 0.0087 0.0787 0.0010 Mei 0.6601 0.0059 0.0569 0.2644 0.0000 Juni 0.9267 0.0180 0.0001 0.0134 0.0160 Juli 0.0380 0.5737 0.0850 0.1058 0.0132 Agust 0.5198 0.1244 0.3237 0.0279 0.0009 Sept 0.0929 0.4734 0.1310 0.1597 0.0749 Okt 0.9400 0.0217 0.0056 0.0016 0.0002 Nop 0.1599 0.0002 0.4941 0.1582 0.1622 Des 0.0031 0.2775 0.0713 0.1821 0.3620 Jan06
CH -0.869 -0.670 -0.747 0.730 0.450 -0.457 -0.541 1.000 0.785
153
Lampiran 13. Kepadatan masing-masing zona dan kepadatan total kerang edentula Bulan Pengamatan Januari 05
Zona I (ind/m2)
Zona II (ind/m2)
4
21
2
9
22
29
15
22
17
32
24
24
13
27
17
19
13
24
17
18
10
30
22
21
9
27
21
19
19
24
17
20
17
32
25
25
8
24
16
16
20
35
31
29
8
19
14
13
14
21
16
17
Anodontia
Zona III Rataan kepadatan (ind/m2) (ind/m2)
Perbuari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari 06
154
Lampiran 14 Analisis ragam terhadap kepadatan kerang. Analisis Ragam Kepadatan SK
DB
JK
KT
F
P
Faktor
2
1140.2
570.1 16.81 0.000
Sisaan
36
1221.0
33.9
Total
38
2361.3
95% tingkat kepercayaan bagi rataan Berdasarkan SD gabungan Tingkat
N
Rataan
SD
Zona I
13
13.408
5.395
Zon II
13
26.481
5.005
Zona III
13
18.104
6.899
----+---------+---------+---------+-(----*-----) (----*-----) (----*-----) ----+---------+---------+---------+--
SD gabungan =
5.824
12.0
18.0
24.0
30.0
155
Lampiran 15. Kepadatan spesies-spesies Lucinidae pada padang lamun (Johnson et al (2002). Spesies bivalva
Wallucina assimilis
Codakia arbicularis C. costata dan Ctena orbiculata Bersama Linga pensylvanica Solemya velum Lucina floridana L floridana Lucinoma borealis L borealis Lucinella divaricata Loripes lacteus
Lamun
Posidonia australis, Amphibolis antartica Campuran lamun Thalassia
Kepadatan (ind m2) 718±357
Pustaka
Barnes and Hickman, 1999
565±259
Thalassia
1.048±267 Tidak ada data 26
Thalassia
jarang
Zostera Thalassia Rupia Zostera
Tiada data 84±12 83±11 74±34 3.8
Zostera Cymodocea
120-1500 200-300
Monnat, 1970 Monnat, 1970
775±364
Johnson et al, 2002
Berg and Alotolo, 1984 Aurelia, 1969 Schweimans and Felbeck, 1985 Cavanaugh, 1983 Fisher and Hand, 1984 Fisher and Hand, 1984 Dando et al, 1986a
156
Lampiran 16. Matriks korelasi kepadatan dan parameter kualitas air dan sedimen di zona I, II da III hasil olahan PCA Parameter Kepadatan zona Kepadatan zona Kepadatan zona I II III Suhu 0.5124 0.4568 0.4608 pH
0.2257
0.2036
-0.0688
Salinitas
0.5454
0.5354
0.4928
DO
-0.6948
-0.6353
-0.4822
Sulfit
-0.6459
-0.6449
-0.5241
Nitrat
0.4485
-0.0700
0.4660
Fosfat
0.6228
0.3872
0.4627
Curah hujan
-0.3016
-0.1309
0.1236
Lama hr hjn
-0.6255
-0.5210
-0.4286
A 1 -2 mm
0.0506
-0.1345
-0.4076
B 0,5-1mm
0.1509
0.2733
0.1549
C 0,2-;5mm
0.1933
0.2577
0.3444
D 0,1-0,2 mm
-0.2625
-0.2746
-0.1828
E 50um-0,1um
-0.4036
-0.4358
-0.4303
F 20-50um
-0.0339
-0.2979
-0.1978
G 5-20um
0.0222
-0.0008
0.1520
157
Lampiran 17. Hasil olahan PCA di zona I dengan kepadatan sebagai variabel suplemen. a) Korelasi antara parameter lingkungan, habitat dan kepadatan pada 5 sumbu utama Suhu pH Sal D.O Sul Nit Fos CH LHH A 1 -2 mm B 0,5-1mm C 0,2-;5mm D 0,1-0,2 mm E 50um-0,1um F 20-50um G 5-20um Variabel suplemen Kepadatan
factor 1 0.9460 0.8147 0.9679 -0.5944 -0.6925 0.6159 0.9168 -0.8388 -0.9160
factor 2 0.1028 -0.1103 -0.0274 0.2649 0.0750 0.1106 0.0340 -0.1632 -0.1427
factor 3 0.1542 0.4044 0.0931 0.6779 0.5496 0.0418 -0.1332 -0.2842 0.1132
factor 4 0.0973 -0.1468 0.0921 0.0862 -0.1842 -0.2030 0.0312 0.0664 -0.2514
factor 5 0.0272 0.1802 -0.1009 0.0549 0.1124 0.6913 -0.2443 -0.1238 -0.0518
0.4267
0.8278
0.1826
-0.2597
-0.0208
0.5030
0.0855
0.0906
-0.6697
-0.2063
0.3750
-0.7938
0.2404
-0.1326
-0.1472
-0.8017
-0.1334
-0.2325
-0.1139
0.3880
-0.0540
0.9197
-0.1631
-0.0019
-0.1110
-0.1590
0.6652
0.0019
0.5726
0.0255
0.2812
-0.3431
0.4642
0.7098
0.0365
0.6089
-0.1511
-0.5900
0.1336
0.2449
b) Kualitas representase (kosinus kuadrat) dari setiap bulan pada 5 sumbu utama JAN05 FEB MAR APR MAY JUN JUL AGU SEP OKT NOP DES JAN06
axis 1 0.0005 0.5009 0.0974 0.1676 0.7940 0.4545 0.6777 0.0056 0.5987 0.0287 0.6988 0.0165 0.1222
axis 2 0.6815 0.2352 0.2778 0.2952 0.0008 0.0589 0.0137 0.1378 0.0020 0.2554 0.1693 0.2697 0.1692
axis 3 0.2116 0.1804 0.2769 0.0331 0.0685 0.0259 0.0219 0.0388 0.0019 0.0503 0.0000 0.6051 0.0020
axis 4 0.0004 0.0576 0.0172 0.1242 0.0170 0.0633 0.0883 0.1325 0.3112 0.0134 0.1040 0.0412 0.1304
axis 5 0.0331 0.0000 0.0475 0.0003 0.0388 0.0256 0.0970 0.1843 0.0070 0.4924 0.0000 0.0022 0.0060
158
Lampiran 18. Hasil olahan PCA di zona II dengan kepadatan sebagai variabel suplemen. a) Korelasi antara parameter lingkungan, habitat dan kepadatan pada 5 sumbu utama Suhu pH Sal D.O Sul Nit Fos CH LHH A 1 -2 mm B 0,5-1mm C 0,2-;5mm D 0,1-0,2 mm E 50um-0,1um F 20-50um G 5-20um Variabel suplemen Kepadatan
factor 1 -0.9379 -0.8505 -0.9135 0.9527 0.8504 -0.7870 -0.3087 0.8190 0.9100
factor 2 0.1081 -0.2233 0.0742 0.0551 0.0372 0.1497 -0.3717 -0.1895 -0.1450
factor 3 0.0747 -0.2321 0.2085 -0.0635 -0.3694 -0.4605 0.5324 0.2662 -0.1201
factor 4 -0.0727 0.1809 -0.1903 0.0526 0.2487 0.1027 -0.0941 -0.1631 0.2624
factor 5 0.0057 0.2073 -0.0611 -0.0612 0.1228 0.2915 0.6172 -0.1568 0.0187
-0.4432
0.8121
0.0206
0.3117
0.0039
-0.4456
0.0746
0.1582
0.6700
-0.4671
-0.4303
-0.7871
-0.2813
0.2125
0.0487
0.8036
-0.1669
0.2833
-0.0545
0.2346
0.1009
0.9133
0.1788
0.0238
0.1759
0.0828
0.6731
-0.0907
-0.5459
-0.0489
-0.2470
-0.2675
-0.5860
-0.5991
-0.2635
-0.4620
-0.3461
0.6354
-0.1375
-0.3427
b) Kualitas representase (kosinus kuadrat) dari setiap bulan pada 5 sumbu utama JAN05 FEB MAR APR MAY JUN JUL AGU SEP OKT NOP DES JAN06
axis 1 0.0008 0.3563 0.2588 0.1362 0.8793 0.5893 0.6912 0.2697 0.5242 0.0011 0.6172 0.0223 0.1509
axis 2 0.8014 0.4438 0.2204 0.1385 0.0002 0.0414 0.0146 0.1109 0.0048 0.5046 0.1713 0.2331 0.0511
axis 3 0.0735 0.0507 0.2563 0.1082 0.0585 0.1095 0.0057 0.0162 0.0332 0.0138 0.0197 0.6098 0.3131
axis 4 0.0007 0.0855 0.0079 0.1901 0.0002 0.0041 0.0895 0.1541 0.3001 0.1766 0.0992 0.0081 0.2214
axis 5 0.0270 0.0019 0.2347 0.0631 0.0010 0.0141 0.0826 0.0035 0.1109 0.0137 0.0501 0.0053 0.1474
159
Lampiran 19. Hasil olahan PCA di zona III dengan kepadatan sebagai variabel suplemen. a) Korelasi antara parameter lingkungan, habitat dan kepadatan pada 5 sumbu utama Suhu pH Sal D.O Sul Nit Fos CH LHH A 1 -2 mm B 0,5-1mm C 0,2-;5mm D 0,1-0,2 mm E 50um-0,1um F 20-50um G 5-20um Variabel suplemen Kepadatan
factor 1 0.9434 0.7615 0.8820 -0.8404 -0.5828 0.6511 0.7535 -0.8513 -0.8734
factor 2 0.1796 -0.0515 -0.0699 0.0301 0.1704 0.0122 -0.0343 -0.3219 -0.2412
factor 3 -0.1220 0.2206 0.2533 0.3168 0.6442 0.0272 0.0891 -0.0067 0.2030
factor 4 0.0009 -0.5047 0.0465 0.2703 -0.1675 0.0877 0.4990 0.2131 -0.2649
factor 5 -0.1030 0.0954 0.0920 0.0298 0.3138 -0.3975 -0.1584 0.1114 -0.0276
0.3084
0.9040
0.2291
-0.0922
0.0571
0.3997
0.1882
0.7254
0.1542
0.1377
0.5476
-0.6949
0.2734
-0.2235
0.0842
-0.7929
-0.2416
-0.0701
-0.0272
-0.4344
-0.2053
0.8983
-0.1458
0.1554
-0.1269
-0.2109
0.5751
-0.4650
0.1106
0.4490
0.3810
-0.3492
-0.6678
-0.2084
0.3396
0.2678
-0.5117
0.0472
0.7139
0.2845
b) Kualitas representase (kosinus kuadrat) dari setiap bulan pada 5 sumbu utama JAN05 FEB MAR APR MAY JUN JUL AGU SEP OKT NOP DES JAN06
axis 1 0.0263 0.2820 0.3172 0.0259 0.8501 0.5566 0.6298 0.0068 0.3811 0.0225 0.7150 0.0855 0.0011
axis 2 0.7991 0.3089 0.2332 0.0932 0.0044 0.0490 0.0706 0.1279 0.0041 0.3475 0.1704 0.2901 0.0773
axis 3 0.0351 0.1571 0.0181 0.0928 0.0002 0.0180 0.0117 0.0034 0.5425 0.0833 0.0799 0.1913 0.0471
axis 4 0.0784 0.2190 0.0207 0.0290 0.0103 0.0013 0.0843 0.1606 0.0172 0.0924 0.0079 0.2981 0.2610
axis 5 0.0002 0.0157 0.1632 0.1859 0.0691 0.0061 0.1896 0.1225 0.0080 0.0685 0.0116 0.0020 0.0302
160
Lampiran 20. Prosentase kehadiran masing-masing jenis kelamin
Bulan Januari 05
Jantan
% Jantan Betina
% % Jumlah Betina Neuter Neuter total
42
40.38
43
41.35
19
18.27
104
71
32.27
68
30.91
81
36.82
220
116
46.22
121
48.21
14
5.58
251
91
46.67
82
42.05
22
11.28
195
83
44.86
89
48.11
13
7.03
185
66
30.56
67
31.02
83
38.43
216
92
46.46
104
52.53
2
1.01
198
108
46.96
114
49.57
8
3.48
230
125
46.47
123
45.72
21
7.81
269
88
44.67
101
51.27
8
4.06
197
132
40.49
141
43.25
53
16.26
326
65
46.43
63
45.00
12
8.57
140
75
46.58 42.87
76
47.20 44.28
10
6.21 12.85
161
Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Januari 05 Rataan
161
Lampiran 21. Fekuensi kehadiran berdasarkan kisaran panjang Kisaran Panjang (mm) 0-5
Nilai Tengah (mm) 2.5
Jantan 0
Betina 0
Neuter 4
Total 4
6-10
7.5
0
0
20
20
11-15
12.5
0
0
36
36
16-20
17.5
0
0
46
46
21-25
22.5
2
1
81
84
26-30
27.5
53
28
146
227
31-35
32.5
276
132
8
416
36-40
37.5
312
227
5
544
41-45
42.5
231
262
0
493
46-50
47.5
193
194
0
387
51-55
52.5
66
230
0
296
56-60
57.5
20
93
0
113
61-65
62.5
1
21
0
22
66-70
67.5
0
4
0
4
1154
1192
346
2692
Total
Frekuensi
162
Lampiran 22. Fekuensi kehadiran berdasarkan kisaran berat Kisaran Berat (gr)
Nilai Tengah (gr)
Jantan
Betina
Neuter
Total
0-5
2.5
1
9
234
244
6-10
7.5
218
104
104
426
11-15
12.5
281
163
7
451
16-20
17.5
184
181
1
366
21-25
22.5
122
144
0
266
26-30
27.5
114
111
0
225
31-35
32.5
88
77
0
165
36-40
37.5
53
70
0
123
41-45
42.5
37
94
0
131
46-50
47.5
22
75
0
97
51-55
52.5
14
75
0
89
56-60
57.5
13
42
0
55
61-65
62.5
2
22
0
24
66-70
67.5
2
9
0
11
71-75
72.5
2
7
0
9
76-80
77.5
1
1
0
2
81-85
82.5
0
4
0
4
86-90
87.5
0
2
0
2
90-95
92.5
0
1
0
1
96-100
97.5
0
1
0
1
1154
1192
346
2692
Total
Frekuensi
163
Lampiran 23. Pola pertumbuhan jantan per bulan Jantan Januari 05
Jantan Februari
70 50
60
y = 0.0002x 3.048 R2 = 0.9149 n = 71
50
40
Berat
Berat
70
y = 8E-05x 3.3267 R2 = 0.9297 n = 42
60
30
40 30 20
20 10
10
0
0 0
10
20
30
40
50
60
70
0
10
20
30
Panjang
60 40
50
60
70
50
60
70
50
60
70
50
60
30 20 10 0
10
20
30
40
50
60
70
0
10
20
30
40
Panjang
Jantan Juni
Jantan Mei
70
70
y = 0.0002x 3.019 R2 = 0.8903 n = 66
60
60 y = 9E-05x 3.3496 R2 = 0.8693 n = 83
40 30
50 Berat
50 Berat
70
y = 8E-05x 3.3426 R2 = 0.9214 n = 91
50 Berat
Berat
y = 4E-05x 3.487 R2 = 0.9249 n = 116
Panjang
20
40 30 20
10
10
0 0
10
20
30
40
50
60
0
70
0
10
20
30
Panjang
40
Panjang
Ja nta n Agustus
Jantan Juli 70
70
y = 0.0001x 3.2697 R2 = 0.9506 n = 92
60 50
60 y = 0.0001x 3.2499 R2 = 0.9351 n = 108
50
40
B erat
Berat
60
70
70 60 50 40 30 20 10 0 0
30 20
40 30 20
10
10
0 0
10
20
30
40
50
60
0
70
0
10
20
30
Panjang
40
Panjang
Jantan Oktober
Ja nta n Se pte mbe r 70
70 60
60 y = 0.0002x 3.1543 R2 = 0.9087 n = 125
40
50 40
B erat
50 B e ra t
50
Jantan April
Jantan Maret
30
y = 0.0002x 3.1397 R2 = 0.9234 n = 88
30 20
20
10
10
0
0 0
10
20
30
40
50
60
0
70
10
20
30
40
70
Panjang
Panjang
Jantan Desember
Jantan Nopember
70
70 60
50 Berat
50 40
y = 7E-05x 3.3876 R2 = 0.9303 n = 65
60
y = 5E-05x 3.4519 R2 = 0.9284 n = 132
30 20
40 30 20
10 0
10 0
0
20
40
60
0
10
20
30
40
Panjang
Panjang
Jantan Januari 06 70
y = 7E-05x 3.3709 R2 = 0.9153 n = 75
60 50 Berat
Berat
40
Panjang
40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
Panjang
50
60
70
50
60
70
164
Lampiran 24 Pola pertumbuhan kerang betina per bulan Betina Februari
Betina Januari 05
70
70 y = 6E-05x 3.3974 R2 = 0.9234 n = 43
Bearat
50 40
60
y = 7E-05x 3.3375 R2 = 0.9001 n = 68
50 40
Berat
60
30
30
20
20
10
10
0
0
0
10
20
30
40
50
60
70
0
10
20
30
Panjang
Betina Maret
40
50
20
70
50
60
70
50
60
70
50
60
70
50
60
70
60
70
40 30 20 10
0
10
20
30
40
50
60
0
70
0
Panjang
10
20
30
40
Panjang
Betina Juni
Betina Mei
70
70 60 50 40 30 20 10 0
y = 4E-05x 3.4993 R2 = 0.8619 n = 67
60 50
y = 7E-05x3.3811 R2 = 0.862 n = 89
40
Berat
Berat
60
y = 0.0001x 3.23 R2 = 0.9216 n = 82
60
Berat
Berat
70
0
30 20 10
0
10
20
30
40
50
60
0
70
0
10
20
30
Panjang
40
Panjang
Betina Agustus
Betina Juli 70
70 y = 8E-05x 3.3231 R2 = 0.9433 n = 104
60 50
y = 0.0001x 3.251 R2 = 0.9092 n = 115
60 50
40
40
Berat
Berat
50
Betina April
y = 7E-05x3.3647 R2 = 0.9289 n = 121
60
30
30 20
20
10
10
0
0 0
10
20
30
40
50
60
0
70
10
20
30
40
Panjang
Panjang
Be tina Oktobe r
Betina September
70
70 60
50 40
B e ra t
40
y = 0.0002x 3.1506 R2 = 0.9674 n = 101
60
y = 0.0001x 3.1998 R2 = 0.9474 n = 123
50 Berat
40
Panjang
30
30
20
20
10
10
0 0
10
20
30
40
50
60
70
0 0
Panjang
20
30
40
Panjang
Betina Desember 70
y = 5E-05x 3.4434 R2 = 0.9235 n = 142
y = 0.0001x 3.2448 R2 = 0.9549 n = 63
60 50 40
Berat
Berat
30 20 10
20
30
40
50
60
0
70
0
10
20
30
Panjang
40
Panjang
Betina Januari 06 70
y = 0.0002x 3.1439 R2 = 0.8938 n - 76
60 50 Berat
Betina Nope m ber 70 60 50 40 30 20 10 0 0 10
10
40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
Panjang
50
60
70
50
165
ampiran 25. Pola pertumbuhan total per bulan Total Januari 05
Total Februari
100
60
y = 0.0002x 3.004 R2 = 0.972 n = 220
80 60
Berat
80 Berat
100
y = 0.0001x 3.2131 R2 = 0.9738 n = 104
40
40 20
20
0
0 0
20
40
60
0
80
20
40
100 60
60
40
40
20
60
80
60
80
60
80
60
80
0
0
20
40
60
80
0
20
40
Panjang
Panjang
Total Juni
Total Mei 100
80
y = 0.0001x R2 = 0.8781 n = 185
60
Berat (gr)
3.2737
80 Berat
80
20
0
40 20 0
y = 3E-05x 3.5857 R2 = 0.9082
60 40 20 0
0
20
40
60
80
0
20
40 Panjang (m m )
Panjang
Total Juli 100 80 60 40 20 0
Total Agustus 100
y = 0.0003x 3.0001 R2 = 0.8048 n = 198
y = 0.0002x 3.1135 R2 = 0.906 n = 230
80 Berat
Berat
60
y = 1E-04x3.291 R 2 = 0.9538 n = 195
80 Berat
Berat
100
y = 0.0002x 3.0549 R2 = 0.8291 n = 251
80
60 40 20 0
0
20
40
60
80
0
20
40
Panjang
Panjang
Total Oktober
Total September 100 80 60 40 20 0
100
y = 0.0001x 3.2019 R2 = 0.9425 n = 269 se 0
20
y = 0.0002x 3.0718 R2 = 0.8373 n = 197
80 Berat
Berat
80
Total April
Total Maret
60 40 20
40
60
0
80
0
20
Panjang
100
Total Desember 100
y = 0.0003x R2 = 0.9517 n = 326
3.0172
60
y = 0.0002x 3.0689 R2 = 0.9669 n = 140
80 Berat
80
40 Panjang
Total Nopember
40 20
60 40 20
0 0
20
40
60
0
80
0
20
Panjang
40 Panjang
Total Januari 06 100
y = 1E-04x 3.2768 R2 = 0.9171 n = 161
80 Berat
Berat
60
Panjang
Panjang
60 40 20 0 0
20
40 Panjang
60
80
166
Lampiran 26. Beberapa parameter hubungan panjang berat dari jenis bivalvia Spesies Scapharca broughttonii Scapharca subcrenata Tagilarca grannosa Fulvia mutica Mactra chinensis Ruditapes philippinaum Cyclina sinensis Haliotis (Nordotis) discus Mya arenaria Mytilus edulis Battilus cornutus Solenstriclus Meretrix lusona
n 88
a 0.0073
b 3.31
R2 0.943
Sumber Park and Oh (2002)
114
4.0003
2.97
0.935
Park and Oh (2002)
377
6.0083
2.82
0.960
Park and Oh (2002)
24 100 492
0.0019 2.0062 1.0063
3.49 2.83 3.04
0.972 0.911 0.962
Park and Oh (2002) Park and Oh (2002) Park and Oh (2002)
99 91
2.0071 0.0079
3.06 3.10
0.958 0.948
Park and Oh (2002) Park and Oh (2002)
81 110 42 489 21
1.0019 1.0071 2.0094 2.0071 102.0040
2.96 2.85 2.94 2.55 2.93
0.933 0.932 0.975 0.917 -
Mytilus coronatus
15
2.0005
2.80
-
Patinopecten yassoansis
10
1.0051
2.98
0.996
Atrina pinnata japonica Panope japonica
55
2.0057
2.44
-
37
14.0044
2.61
0.759
Anodonta woodiana
68
0.4110
2.149
-
Park and Oh (2002) Park and Oh (2002) Park and Oh (2002) Park and Oh (2002) Kim and Chao (1982) dalam Park and Oh (2002) Yoa and Kang (1974) dalam Park and Oh (2002) Yao and Ryu (1981) dalam Park and Oh (2002) Choe (1980) dalam Park and Oh (2002) Lee at al (1998) dalam Park and Oh (2002) Afanasjev, et al (2001)
Anodontia edentula jantan Anodontia edentula betina
1154 0.0001
3.288
0.929
Penelitian ini
1192 0.00008
3.3213 0.933
Penelitian ini
167
Lampiran 27. Faktor kondisi kerang A. edentula per bulan Bulan Pengamatan
Rataan Berat Contoh (gr)
Jumlah Contoh (n)
Standar Deviasi Contoh
Berat Prediksi (gr)
Faktor Kondisi
Januari 05
22.43
104
16.95
13.17
1.70
Februari
13.13
220
13.22
6.70
1.96
Maret
23.18
251
15.08
17.99
1.29
April
20.28
195
14.87
17.64
1.15
Mei
22.87
185
13.73
18.23
1.25
Juni
8.94
216
5.23
6.77
1.32
Juli
34.38
198
18.72
32.19
1.07
Agustus
26.49
230
14.85
24.84
1.07
September
21.76
269
13.69
14.61
1.49
Oktober
20.04
197
12.80
16.88
1.19
Nopember
19.91
325
15.47
17.98
1.11
Desember
27.85
141
18.06
20.15
1.38
Januari 06
30.42
161
14.71
28.25
1.08
168
Lampiran 28. Akar ciri, prosentase varians, kosinus kuadrat dan korelasi antar parameter kualitas air, dimana faktor kondisi sebagai variabel suplemen Akar cirri dan persentase varians Eigenvalues Nilai Persen variabilitas Persen kumulatif
1 6.4148
2 1.3240
3 0.8124
4 0.6364
5 0.3031
0.6415
0.1324
0.0812
0.0636
0.0303
0.6415
0.7739
0.8551
0.9188
0.9491
Kosinus kuadrat Jan05 Feb Mar April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop Des Jan06
axis 1 0.0321 0.7599 0.3025 0.3918 0.8641 0.4512 0.8096 0.1032 0.8928 0.1094 0.8049 0.0291 0.2542
axis 2 0.7349 0.0556 0.2213 0.0685 0.0066 0.0151 0.1584 0.3262 0.0042 0.0012 0.0525 0.6797 0.0037
axis 3 0.1964 0.1246 0.0213 0.0127 0.0436 0.1128 0.0001 0.1835 0.0000 0.2685 0.0951 0.0460 0.0660
Korelasi Suhu pH Salinitas D.O SULFITair NO3air PO4air CH LHH Variabel suplemen Faktor kondisi
Variabel suplemen Faktor kondisi 0.4250 0.3080 0.4214 -0.2166 -0.3178 0.3761 0.3619 -0.4681 -0.5198 1
axis 4 0.0008 0.0535 0.0896 0.2203 0.0236 0.0089 0.0103 0.0493 0.0259 0.5940 0.0222 0.1341 0.1144
axis 5 0.0065 0.0031 0.0913 0.0938 0.0301 0.0049 0.0082 0.0099 0.0154 0.0012 0.0207 0.0026 0.5131
169
Lampiran 29. Rataan produksi kerang per minggu selama 16 minggu Dekat sungai Rataan Ln berat berat 19.54 2.97
Kec. tumbuh
Jumlah stok 30
Stok biomas 586.2
25
489.9
18
352.8
0.0029 19.60
2.98
19.60
2.98
0.0002 0.0302 20.20
3.01
9
181.8
3
63.72
2
37.5
0.0502 21.24
3.06
18.75
2.93
-0.1247 0.0443 19.60
2.98
Depan mangrove Rataan Ln berat berat 16.54 2.81
Kec tumbuh
Jum stok 30
Stok biomas 496.2
2.78
17
274.3
16.22
2.79
13
210.9
0.0054 0.0700 17.40
2.86
6
104.4
5
84.2
-0.0327 16.84
2.82
17.50
2.86
0.0384
Jauh dari sungai Rataan Ln berat berat 12.78 2.55
Jum stok 30
Stok biomas 383.4
23
288.8
19
240
17
229.7
17
199.6
-0.0176 12.56
2.53
12.63
2.54
13.51
2.60
11.74
2.46
12.43
2.52
3.08
421.35
0.17
267.3
16.12
122.76
12.33
50.61
-25.24
38.35
6.80 0.83
Rataan biomas
Produksi (gr)
385.25
-19.09
242.60
2.63
157.65
22.08
94.30
-6.17
77.10
11.86
4 70 Produksi per minggu Kec tumbuh
0.0060 0.0674 -0.1405 0.0573 3 37.3 Produksi per minggu
Produksi (gr)
538.05
2 39.2 Produksi per minggu
-0.0248 16.14
Rataan biomas
0.94 Rataan biomas
Produksi (gr)
191.70
-6.76
264.40
3.15
234.85
31.64
214.65
-60.30
118.45
27.14 -5.13
170
Lanjutan Lampiran 29 Lokasi penelitian I Rataan Ln berat berat 7.12 1.96
Kec tumbuh
Jum stok 30
Stok biomas 213.6
20
152.8
8
61.84
5
39.85
2
15.64
2
15.78
0.0705 7.64
2.03
7.73
2.05
7.97
2.08
7.82
2.06
7.89
2.07
8.04
2.08
0.0117 0.0306 -0.0190 0.0089 0.0188
Lokasi penelitian II Rataan Ln berat berat 11.89 2.48 2.48
12.10
2.49
12.37
2.52
Kec tumbuh
Jum stok 30
Stok biomas 356.7
29
345.39
12
145.2
7
86.59
0.0158 0.0221 0.0192 12.61
2.53
5
63.05
5
63.15
0.0016 12.63
2.54
12.98
2.56
Produksi (gr)
183.2
25.83
107.32
2.51
50.845
3.11
27.745
-1.05
15.71
0.56
15.93
1.20
2 16.08 Produksi per minggu
0.0017 11.91
Rataan biomas
0.0273 5 64.9 Produksi per minggu
2.01
Rataan biomas
Produksi (gr)
351.05
1.18
245.30
7.76
115.90
5.12
74.82
2.88
63.10
0.40
64.03
7.00 1.52
171
Lampiran 30. Sebaran ukuran cangkang, kurva modus dan jumlah kohort kerang setiap bulan pengamatan. Hasil analisis menggunakan metode NORMSep dengan program FiSAT
Januari 2005
Maret 2005
Mei 2005
Juli 2005
Februari 2005 n=220
n= 104
n= 251
n=185
n= 198
September 2005
Nopember 2005
April 2005
n=195
Juni 2005
n=216
Agustus 2005
n=269
n= 325
Januari 2006
n=161
n=230
Oktober 2005
n=197
Desember 2005
n=141
172
Lampiran 31. Parameter pertumbuhan cangkang (a) jantan, (b) betina dan (c) total dari hasil analisis dengan program FiSAT
a)
b)
c)
173
Lampiran 32. Rataan frekuensi jumlah anakan dengan ukuran inang Bulan
Rataan Anakan
Rataan Panjang
Rataan Berat
Januari05
1.4
35.1
13.4
Februari
1.4
36.9
13.9
Maret
1.5
30.8
9.1
April
1.3
40.1
19.7
Mea
3.2
51.1
45.5
Juni
4.6
54.3
53.6
Juli
3.2
50.0
34.7
Agustus
1.2
35.0
13.3
September
1.5
34.6
12.3
Oktober
1.4
40.7
22.7
November
4.2
51.3
40.6
Desember
1.6
41.0
22.5
Januari06
1.8
43.4
22.8
174
Lampiran 33. Rataan IKG dan IBD perbulan selama penelitian Bulan
Rataan IKG
Rataan IBD
Januari '05
5.65
70.72
Pebruari
5.44
69.94
Maret
5.95
68.46
April
7.59
68.31
Mei
8.81
66.74
Juni
5.91
68.74
Juli
5.44
68.69
Agustus
5.03
69.00
September
4.31
69.20
Oktober
4.12
69.28
November
7.67
66.08
Desember
7.32
70.15
Januari '06
4.69
70.20
175
Lampiran 34. Kisaran jumlah telur Kisaran Panjang (mm) 0-5
Rataan Panjang (mm) 2.5
Jumlah telur terendah 0
Jumlah telur terbanyak 0
Rataan jumlah telur 0
6-15
7.5
0
0
0
16-20
12.5
0
0
0
21-25
17.5
56160
96480
76320
26-30
22.5
51120
170640
110880
31-35
27.5
47760
285600
166680
36-40
32.5
76320
384240
230280
41-45
37.5
119760
822960
471360
46-50
42.5
199440
837600
518520
51-55
47.5
316800
1656240
986520
56-60
52.5
578499
1274880
926690
61-65
57.5
2174880
2174880
2174880
66-70
62.5
0
0
0
176
Lampiran 35 Fekunditas perbulan dengan kisaran panjang dan berat
Januari 05
Jumlah Telur (butiran) 608 600
Rataan Jumlah Telur (butiran) 405 440
Kisaran Panjang (mm) 28-55
Kisaran Berat (gr) 5.2-53
Februari
7 338 000
489 200
34-55
12-54.8
Maret
4 193 520
279 568
25-59
3.1-66.2
April
1 519 920
101 328
25-40
6-23.4
Mei
2 983 920
213 137
30-48
4-43.7
Juni
4 003 920
266 928
33-50
9.1-34.7
Juli
6 341 520
452 966
35-57
20.5-45
Agustus
2 531 040
180 789
33-46
10.6-29.4
September
5 675 280
378 352
35-57
12.6-54.6
Oktober
2 830 800
188 720
24-42
3.8-40.5
Nopember
8 673 120
578 208
30-61
12.4-65.1
Desember
6 174 240
411 616
27-54
5.9-50.3
Januari06
3 876 480
258 432
28-50
6-40.5
Bulan
177
Lampiran 36. Statistik diameter telur (mikron)
Rataan 59.83
Standar deviasi 8.51
Jumlah Contoh 60
Feb
60.49
7.67
36
37.50
45.00
82.50
Mar
58.83
9.60
30
35.00
45.00
80.00
Apr
52.67
6.53
78
25.00
45.00
70.00
Mei
29.28
19.21
77
70.00
5.00
75.00
Juni
30.63
21.67
100
62.5
2.50
65.00
Juli
50.85
8.50
62
37.50
37.50
75.00
Agustus
58.13
8.07
100
50.00
25.00
75.00
Sept.
57.15
9.77
71
52.50
22.50
75.00
Okt.
59.00
8.46
75
35.00
40.00
75.00
Nop
63.39
8.71
56
37.50
37.50
75.00
Des.
62.32
7.66
42
25.00
50.00
75.00
Jan 2006
46.96
17.48
28
60.00
12.50
72.50
Jan 2005
Kisaran Minimum Maksimum 42.50 45.00 87.50
178
Lampiran 37. Kurva hubungan parameter tubuh kerang dengan berat gonad 8
y = 1E-06x 3.7362 R2 = 0.7661 n = 387
Berat gonad (gr)
7 6 5 4 3 2 1 0 0
10
20
30
40
50
60
70
Panjang (mm)
8 Berat Gonad (gr)
7
y = 2E-06x 3.6766 R2 = 0.7545 n = 387
6 5 4 3 2 1 0 0
10
20
30
40
50
60
Lebar (mm)
8 Berat Gonad (gr)
7
y = 0.0004x 2.4896 R2 = 0.7071 n =387
6 5 4 3 2 1 0 0
10
20
30
40
50
Tebal (mm)
Berat Gonad (gr)
8 6 4 2 0 0
100
200 Berat Daging (gr)
300
400
179
Lampiran 39. Statistik persentase kadar air Berat Total
Berat Gonad
Berat Viscera
Berat cangkang
Berat Air
19.38
1.24
3.75
5.89
8.53
44.31
0.68
0.06
0.16
0.19
0.31
0.44
Median
15.30
0.80
2.60
4.80
6.90
45.23
Mode
15.30
0.30
2.00
3.30
6.20
46.15
Standar deviasi
13.47
1.15
3.24
3.72
6.03
8.65
Ragam contoh
181.54
1.33
10.49
13.86
36.36
74.87
2.49
5.32
3.38
1.50
3.78
2.99
1.55
2.06
1.77
1.33
1.74
-1.19
80.30
7.50
18.00
20.80
36.60
53.43
Minimum
2.90
0.10
0.40
1.20
0.30
7.89
Maximum
83.20
7.60
18.40
22.00
36.90
61.32
7499.10
478.60
1450.00
2280.50
3300.00
17148.98
387.00
387.00
387.00
387.00
387.00
387.00
Statistik Rataan Standar sisaan
Kurtosis
% Air
Skewness (Kemelunjuran) Kisaran
Jumlah total Jumlah contoh