STUDI EFIKASI EKSTRAK DAUN KISAMPANG (Melicope denhamii) TERHADAP EKTOPARASIT PADA AYAM KAMPUNG YANG ADA DI BAGIAN EKOR
ENDAH ISMIATI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ABSTRAK ENDAH ISMIATI. Studi Efikasi Ekstrak Daun Kisampang (Melicope denhamii) Terhadap Ektoparasit Pada Ayam Kampung Yang Ada Dibagian Ekor. Dibimbing oleh AKHMAD ARIEF AMIN dan SRI RAHAYU.
Ayam kampung merupakan salah satu sumber protein hewani yang mempunyai peranan dalam kehidupan manusia yaitu untuk kecerdasan dan daya tahan tubuh (Shirakj et al .1980; dalam Hardjosworo dan Levine 1987). Namun pemeliharaan yang masih bersifat tradisional mempunyai resiko terinfeksi berbagai macam penyakit yang dapat mengganggu produktivitas ayam, salah satunya disebabkan oleh ektoparasit.Berbagai upaya untuk menanggulangi infestasi ektoparasit ini umumnya dilakukan dengan dua cara yaitu tindakan sanitasi dan penyemprotan insektisida. Tindakan sanitasi dilakukan dengan membebashamakan kandang sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun sedangkan penyemprotan insektisida dilakukan malam hari (Akoso 1998). Penggunaan insektisida sintesis yang intensif dapat menimbulkan dampak negatif diantaranya menyebabkan resistensi serangga terhadap insektisida, pencemaran lingkungan dan dapat menekan musuh alami hama (Metcalf 1982). Oleh karena itu penggunaan insektisida sintesis perlu digantikan kedudukannya dengan insektisida nabati. Salah satu insektisida nabati yang tergolong famili Rutaceae adalah Tanaman Kisampang (Melicope denhamii) yang mengandung saponin, tanin, flavonoid, minyak astiri, dan alkaloid. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas ekstrak daun kisampang (Melicope denhamii) sebagai insektisida nabati terhadap ektoparasit pada ayam. Pengujian dilakukan terlebih dahulu membuat ekstrak daun kisampang dengan cara melayukan daun kemudian diblender dengan perbandingan 1: 1 terhadap larutan etanol. 15 ekor ayam dibagi menjadi 5 kelompok yang diujikan dengan konsentrasi ekstrak 0%, 1,5%, 1%, 2,5%, dan 5% dengan pelarut aquades selama 3 menit. Ayam dikandangkan kembali selama 1 minggu. Pengamatan yang dilakukan adalah mengamati populasi ektoparasit yang ada pada bagian ekor ayam. Hasil yang didapat menunjukkan adanya pengaruh pemberian dari ekstrak daun Kisampang yaitu penurunan populasi seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak daun kisampang. Ektoparasit yang didapat adalah Lipeurus, Cuclotogaster, Goniodes, Goniocotes, Menacanthus, Menopon dan Tungau. Hasil statistik melalui uji Anova yang dilanjutkan dengan uji Duncan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada setiap tingkatan konsentrasi.
LEMBAR PENGESAHAN Judul
: Studi Efikasi Ekstrak Daun Kisampang (Melicope denhamii) Terhadap Ektoparasit Pada Ayam Yang Ada Dibagian Ekor
Nama
: Endah Ismiati
Nrp
: B04101158
Menyetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. drh. H. Ahmad Arief Amin
NIP. 131578836
Ir. Sri Rahayu, M.Si
NIP. 320006639
Mengetahui, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB
Dr. Drh. I. Wayan Teguh Wibawan, MS NIP. 131129090
Tanggal lulus :
Februari 2006
i
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 November 1983. Anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Ismail dan Ibu Endang Supriyatiningsih. Pendidikan yang telah ditempuh penulis yaitu tahun 1995 lulus dari Sekolah Dasar (SD) Nasional I Bekasi. Tahun 1998 penulis lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) Nasional I Bekasi dan tahun 2001 lulus dari Sekolah Menengah Umum (SMU) 14 Jakarta. Pada Tahun 2001 penulis diterima menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negri (UMPTN).
ii
KATA PENGANTAR Penulis panjatkan Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmatNya sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini yang merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Selama penelitian dan penulisan skripsi ini, tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Karena itu, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. drh. H Akhmad Arif Amin dan Ir. Sri Rahayu, Msi sebagai pembimbing skripsi yang telah membimbing, memberi nasihat selama melaksanakan penelitian sampai penyelesaian skripsi ini. 2. Dr. drh. Umi Cahyaningsih, Ms selaku ketua tim penguji dalam sidang kelulusan sarjana penulis. 3. Dr. Hj. Ietje Wientarsih, Apt. Msc selaku pembimbing akademik. 4. Staf laboratorium Entomologi atas kerjasamanya selama penelitian berlangsung. 5. My lovely Family, Ibu, Bapak, Mbak Is dan Dita atas segala dukungan, doa dan limpahan kasih sayangnya. 6. Mas Ivan tercinta atas segala kesabarannya menuntunku belajar mengenal arti hidup yang sesungguhnya. 7. Rekan-rekan seperjuangan Chipa, Dewi dan Nina atas kerjasamanya selama ini. 8. Feni, Ai, Kak Reti, Aditya dan seluruh Gastro 38. 9. Wisma satelit yang mengisi hari-hariku (Yen2, Eka, Hindun, Gilang, dll) 10. Segenap pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, tapi penulis berharap dengan adanya tulisan ini dapat menambah wawasan dan khasanah di bidang veteriner. Bogor, Februari 2006 Penulis
iii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………....
i
RIWAYAT HIDUP …………………………………………………
ii
KATA PENGANTAR .........................................................................
iii
DAFTAR ISI .......................................................................................
iv
DAFTAR TABEL ...............................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................
viii
I. PENDAHULUAN .........................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...................................................................
1
1.2. Tujuan ................................................................................
2
1.3. Ruang Lingkup Penelitian .................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................
3
2.1. Ektoparasit .........................................................................
3
2.1.1. Klasifikasi Ektoparasit ...........................................
3
2.1.2. Ektoparasit pada ayam kampung............................
3
2.2. Ayam Kampung (Gallus domesticus) ...............................
4
2.2.1. Taksonomi .............................................................
4
2.2.2. Ciri-ciri dan Morfologi ..........................................
5
2.2.3. Kerugian yang ditimbulkan Ektoparasit ...............
5
2.2.4. Pengendalian Ektoparasit ......................................
6
2.3. Kutu ..................................................................................
7
2.3.1. Siklus hidup .............................................................
7
2.3.2. Morfologi .................................................................
7
2.3.3. Telur .........................................................................
8
2.3.4. Larva ........................................................................
8
2.3.5. Dewasa .....................................................................
9
2.4. Tungau ..............................................................................
9
2.4.1. Siklus hidup .............................................................
9
iv
2.4.2. Morfologi .................................................................
10
2.4.3. Telur ..........................................................................
10
2.4.4. Larva .........................................................................
10
2.4.5. Nimfa ........................................................................
11
2.4.6. Dewasa ......................................................................
11
2.5. Tanaman Kisampang (Melicope denhamii) ......................
12
2.5.1. Taksonomi .............................................................
12
2.5.2. Ciri-ciri dan Morfologi .........................................
12
2.5.3. Kandungan dan Manfaat .......................................
13
III. BAHAN DAN METODA ............................................................
15
3.1. Waktu dan Tempat ............................................................
15
3.2. Alat dan Bahan .................................................................
15
3.3. Pembuatan Ekstrak Daun Kisampang ...............................
15
3.4. Pengujian ..........................................................................
16
3.5. Pengamatan ......................................................................
16
3.6. Analisis Data ....................................................................
17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................
18
V. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................
23
VI. DAFTAR PUSTAKA .................................................................
24
LAMPIRAN .......................................................................................
26
v
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Jumlah ektoparasit pradewasa pada berbagai tingkatan konsentrasi ......................................................................
19
Tabel 2. Jumlah ektoparasit dewasa pada berbagai tingkatan konsentrasi ......................................................................
20
Tabel 3. Persentase penurunan jumlah populasi tungau dan kutu dengan membandingkan .................................................
21
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Ayam kampung .............................................................
5
Gambar 2. Siklus hidup kutu ..........................................................
7
Gambar 3. Telur kutu ......................................................................
8
Gambar 4. Larva kutu .....................................................................
8
Gambar 5. Kutu dewasa ..................................................................
9
Gambar 6. Siklus hidup tungau .......................................................
9
Gambar 7. Telur tungau ..................................................................
10
Gambar 8. Larva tungau .................................................................
10
Gambar 9. Nimfa tungau ................................................................
11
Gambar 10. Tungau dewasa .............................................................
11
Gambar 11. Daun kisampang (Melicope denhamii) ........................
13
Gambar 12. Ekstrak daun kisampang ...............................................
15
Gambar 13. Bagian ekor ayam kampung .........................................
16
Gambar 14. Diagram jumlah populasi ektoparasit pada berbagai tingkatan konsentrasi ....................................................
18
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Rataan jumlah Lipeurus yang hidup di beberapa konsentrasi .............
27
Rataan jumlah Cuclotogaster yang hidup di beberapa konsentrasi ....
27
Rataan jumlah Goniodes yang hidup di beberapa konsentrasi ...........
28
Rataan jumlah Goniocotes yang hidup di beberapa konsentrasi ........
28
Rataan jumlah Menacanthus yang hidup di beberapa konsentrasi .....
29
Rataan jumlah Menopon yang hidup di beberapa konsentrasi ............
29
Rataan jumlah Tungau yang hidup di beberapa konsentrasi ..............
30
Rataan jumlah Ektoparasit yang hidup pada konsentrasi 0% .............
30
Rataan jumlah Ektoparasit yang hidup pada konsentrasi 0,5% ..........
31
Rataan jumlah Ektoparasit yang hidup pada konsentrasi 1% .............
31
Rataan jumlah Ektoparasit yang hidup pada konsentrasi 2,5% ..........
32
Rataan jumlah Ektoparasit yang hidup pada konsentrasi 5% .............
32
viii
I. .PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ayam kampung merupakan salah satu sumber protein hewani yang mempunyai peranan dalam kehidupan manusia yaitu untuk kecerdasan dan daya tahan tubuh (Shirakj et al. 1980; dalam Hardjosworo dan Levine 1987). Keuntungan beternak ayam kampung antara lain berkembangbiak cepat, usia produksi pendek, dan dapat dipelihara secara ekstensif (Sarwono 2003). Namun karena pemeliharaanya yang masih bersifat tradisional, resiko ayam kampung terinfeksi berbagai macam penyakit yang dapat mengganggu produktivitasnya menjadi semakin besar. Salah satunya disebabkan oleh ektoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidup dibagian luar dari tempatnya bergantung atau pada permukaan inangnya contohnya kelas Insecta dan kelas Arachnida. Menurut Marshall (1981), beberapa faktor yang berpengaruh terhadap penyebaran ektoparasit adalah suhu tubuh inang dan lingkungan, kondisi lingkungan serta struktur dan jumlah bulu pada inang. Berbagai upaya untuk menanggulangi infestasi ektoparasit ini umumnya dilakukan dengan dua cara yaitu tindakan sanitasi dan penyemprotan insektisida. Tindakan sanitasi dilakukan dengan kurangnya dua kali dalam satu tahun
membebashamakan kandang sekurangsedangkan penyemprotan insektisida
sebaiknya dilakukan pada malam hari (Akoso 1998). Penggunaan insektisida sintetik yang intensif dapat menimbulkan dampak negatif diantaranya menyebabkan resistensi serangga terhadap insektisida, pencemaran lingkungan dan dapat menekan musuh alami hama (Metcalf 1982). Oleh karena itu penggunaan insektisida sintetik perlu digantikan kedudukannya dengan insektisida nabati. Insektisida nabati adalah insektisida yang berasal dari tumbuhan, yang bersifat lebih selektif karena tidak membunuh mahluk hidup bukan sasaran, daya kerja tinggi, ramah lingkungan (mudah terurai), mempunyai toksisitas yang rendah sehingga tingkat keamanan lebih tinggi (Jhonson 1998). Beberapa tanaman tertentu telah diketahui mengandung senyawa yang dapat bersifat sebagai insektisida, salah satunya tanaman kisampang (Melicope denhamii). Pada penelitian ini digunakan ekstrak daun kisampang (Melicope
1
denhamii) sebagai bahan uji insektisida nabati yang tergolong ke dalam famili Rutaceae. Menurut Syahputra (2000) sumber potensial insektisida botani berasal dari famili Meliacaea, Annonaceae, Asterodeae, dan Rutaceae. Tanaman kisampang
diduga memiliki senyawa saponin, alkaloid, tanin,
flavanoid, minyak atsiri dan senyawa lainnya. Zat saponin dapat menurunkan tegangan permukaan mukosa traktus digestivus sehingga terjadi korosif dan selanjutnya kematian (Aminah 1995). Flavanoid terbagi atas tanin dan alkaloid yang dapat berfungsi sebagai anti oksidan dan anti histamin. Tanin merupakan antiseptik untuk mencegah hama serangga yang akan mengganggu kehidupan tanaman itu sendiri. Alkaloid pada tanaman kisampang mengandung bahan aktif evodiamine dan rutaecarpin. Minyak astiri memiliki aroma yang tajam sehingga diduga ektoparasit tidak menyukai aroma ini. Penyebaran tanaman ini sudah meluas hingga ke seluruh Indonesia 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas ekstrak daun kisampang (Melicope denhamii) sebagai insektisida nabati terhadap ektoparasit pada ayam kampung di bagian ekor. 1.3.
Ruang Lingkup Penelitian
Pada penelitian ini dilakukan pemaparan ekstrak daun kisampang (Melicope denhamii) terhadap ektoparasit dimana yang dicatat dalam pengamatan ini adalah jumlah populasi serta mengidentifikasi ektoparasit pada ayam kampung pada setiap tingkatan konsentrasi.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ektoparasit 2.1.1 Klasifikasi ektoparasit Ektoparasit unggas termasuk dalam Kelas Insecta dan Arachnida. Yang termasuk dalam Kelas Insecta adalah kutu (Ordo Pththiraptera), sedangkan yang termasuk dalam kelas Arachnida adalah tungau (Ordo Acariformes). Ordo Phthiraptera terbagi atas 2 sub ordo yaitu Mallophaga dan Anoplura. Mallophaga memiliki 3 super famili yaitu Ischnocera, Amblycera dan Rynchopthirina. Kutu-kutu yang termasuk dalam super famili Ischnocera adalah Cuclotogaster, Lipeurus, Goniodes dan Goniocotes. Sedangkan yang termasuk dalam
super
famili
Amblycera
adalah
Menopon
dan
Menacanthus.
Haematomyzidae adalah salah satu genus dari superfamili Rynchopthirina. Ordo Acariformes mempunyai 3 subordo yaitu Astigmata, Prostigmata dan Mesostigmata. Penamaaan subordo ini dilihat dari tempat stigmata atau lubang pernafasan. Astigmata bernafas melalui permukaan yang lembut, Prostigmata mempunyai stigmata yang terletak pada bagian depan tubuh, dan pada Mesostigmata terletak diantara pasangan kaki keiga dan keempat. Ornythonyssus bursa dan Dermanyssus gallinae adalah tungau yang sering menginfeksi ayam (Tabbu 2002). 2.1.2. Ektoparasit pada ayam kampung Kutu merupakan ektoparasit permanen, yang berarti siklus hidupnya mulai dari telur, nimfa, dan yang dewasa ada diatas permukaan tubuh hewan dan manusia, untuk melangsungkan hidupnya jenis ini memilih daerah habitat yang cocok di atas permukaan kulit induk semang agar dapat makan tanpa terganggu. Mereka bertelur pada bulu, dan dibutuhkan panas tubuh ayam untuk penetasan telurnya (Biester dan Schwarte 1959). Jangka waktu untuk hidup normal bagi parasit kutu ini dapat sampai beberapa bulan tetapi jika jauh dari inang hanya tahan hidup 5-6 hari (Loomis 1984). Menurut Hungerford (1969) kutu-kutu tersebut biasanya memakan kerakkerak kulit. Selain itu juga memakan selubung pelindung bulu yang sedang
3
berkembang, serabut-serabut bulu, bulu halus dan kulit yang mengelupas (Lancaster et al. 1986). Menacanthus stramineus adalah satu-satunya species Mallophaga yang menghisap darah yang keluar dari inang (Ross 1948). Sedangkan pada ordo Iscnocera, Cuclotogaster heterographus makan dengan cara yang sama dengan Menacanthus stramineus dan memilki daur hidup yang sama serta kutu ini merupakan hama yang serius pada ayam. Kutu, tungau, pinjal dan caplak adalah parasit pada ayam yang menyebabkan kerugian ekonomi yang serius dan beberapa ektoparasit dapat memindahkan mikroorganisme penyebab penyakit (Hungerford 1969). 2.2. Ayam kampung (Gallus domesticus) Ayam kampung disebut juga ayam sayur atau lokal yang merupakan ayam yang dipelihara secara turun temurun dan mempunyai sifat masih liar, suka mengeram, warna beraneka ragam, bentuk badannya kecil dengan produksi telur yang masih rendah (Mansjoer 1985). Ayam kampung sebagai salah satu sumber protein hewani mempunyai potensi untuk dikembangkan di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya permintaan akan permintaan ayam kampung yang besar. Jika dilihat dari segi harga, daging dan telur ayam kampung lebih mahal daripada ayam ras. Hal ini dikarenakan produktifitas ayam kampung masih rendah karena pemeliharaan yang masih bersifat tradisional dan terkadang peternak masih mengabaikan masalah-masalah kesehatan. 2.2.1. Taksonomi Taksonomi ayam kampung (Hickman 1970 dalam Sarwono 2003) : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Aves
Subkelas
: Neornithes
Superordo
: Neognathae
Ordo
: Galliformes
4
Famili
: Phasianidae
Genus
: Gallus
Species
: Gallus domesticus
2.2.2. Ciri-ciri dan Morfologi Umumnya ayam kampung di Indonesia mempunyai tubuh yang kompak dengan susunan otot-otot yang baik, tidak pandai terbang dan mempunyai kesukaan berjalan-jalan serta mengais tanah. Oleh karena itu, ayam kampung memiliki kuku yang tajam dengan jari kaki yang tidak terlalu panjang tetapi cukup kuat serta kaki yang panjang dengan betis dan paha yang kokoh. Bentuk tubuh yang dimiliki ayam kampung adalah kecil agak ramping. Ayam kampung memiliki warna bulu yang bervariasi, hitam, putih, coklat, kuning kemerahan atau kombinasi warna-warna tersebut. Jantan memiliki tubuh yang lebih besar daripada betina dengan jengger yang bergerigi besar dan tegak. Betina mempunyai jengger yang kecil, tebal dan berwarna merah cerah. Selain itu pada jantan terdapat pial berwarna merah cerah, sedangkan betina memiliki pial yang kecil dan bergelambir. Ayam kampung biasanya hidup pada dataran rendah dengan ketinggian antara 500-800 m diatas permukaan laut (Mansjoer 1985).
Gambar 1. Ayam kampung
5
2.2.3. Kerugian yang ditimbulkan oleh Ektoparasit Dalam keadaan dan cuaca normal, kualitas dan jumlah makanan cukup, dan pemeliharaan ayam yang baik, maka mikroorganisme perusak tubuh ayam juga dalam keadaan normal, tidak ada yang merusak satu sama lain. Akan tetapi, bila terjadi gangguan dari keadaan yang normal itu, misalnya cuaca yang buruk akan menyebabkan mikroorganisme perusak mempunyai kesempatan untuk bergerak. Salah satu mikroorganisme penyebab penyakit pada ayam adalah parasit. Jenis parasit pada umumnya misalnya cacing, kutu, tungau dan lain-lain. Ayam yang terserang penyakit parasit ini pada umumnya tidak menyebabkan kematian, tetapi dapat menyebabkan gangguan pada ayam. Gangguan dapat berupa timbulnya iritasi, kegatalan kulit, nafsu makan menurun akibat kutu yang merayap dan menggigit bulu. Hal ini dapat menyebabkan ayam merasa tidak nyaman dan terhambatnya pertumbuhan. 2.2.4. Pengendalian Ektoparasit Beberapa usaha pencegahan penyakit yang menyerang ayam telah banyak dilakukan. Namun demikian, selalu ada ayam yang terjangkit penyakit karena terjadinya penyakit ditimbulkan oleh banyak vektor penyakit. Kasus kutuan cukup banyak menyerang perternakan ayam kampung. Kutuan ini terjadi akibat kandang yang kotor dan kurang sinar atau terlalu gelap. Hal ini terjadi akibat salah dalam merancang kandang dan kebersihan kandang kurang diperhatikan. Biasanya sarang kutu yang paling subur pada bak telur atau rak telur. Hal ini disebabkan rak pada umumnya ditempatkan pada yang gelap. Ini pula yang menyebabkan kutuan lebih banyak menyerang ayam dewasa daripada ayam muda. Banyak cara dalam mengendalikan ataupun membasmi populasi ektoparasit yang terdapat pada ayam. Salah satu cara yang paling mudah dilakukan adalah dengan menjaga kebersihan kandang yang merupakan salah satu faktor pembatas penyebaran ektoparasit. Cara membasmi ektoparasit pada
6
kandang ayam dengan cara menyemprot seluruh kandang dengan obat kutu terutama di bak telur selain itu juga ditaburi bubuk obat anti kutu. Efektivitas penggunaan obat untuk pencegahan dan pengobatan ini tergantung pada cara obat itu dimasukkan ke dalam tubuh ayam. Untuk pencegahan dapat dilakukan melalui makanan atau minuman, sedangkan untuk pengobatan dilakukan dengan suntikan. 2.3. Kutu 2.3.1. Siklus Hidup Kutu mengalami metamorfosis sederhana atau tidak sempurna. Tahapan ini dimulai dari telur, nimfa instar pertama sampai ketiga dan akhirnya tumbuh menjadi dewasa. Secara umum seluruh tahapan perkembangannya berada pada inangnya. Tahapan perkembangan hidup kutu sangat dipengaruhi oleh temperatur tubuh inang itu sendiri. Telur akan menetas menjadi nimfa dalam waktu 5-18 hari tergantung dari jenis kutu. Warna nimfa dan kutu dewasa keputih-putihan, dan makin tua umurnya makin gelap. Kutu dewasa dapat hidup 10 hari hingga beberapa bulan.
Gambar 2 . Siklus hidup kutu 2.3.2. Morfologi Kutu merupakan serangga ektoparasit yang tidak bersayap, yang hidupnya secara obligat karena seluruh hidupnya berada dan sangat bergantung pada inangnya. Morfologi dari kutu ini sudah
mampu beradaptasi dengan cara
hidupnya. Ciri-ciri dari kutu antara lain tidak memilki sayap, sebagian besar tidak
7
mempunyai mata, bentuk tubuh pipih dorsoventral, bagian mulut disesuaikan untuk menusuk, menghisap ataupun mengunyah, dan memiliki enam kaki yang kokoh dengan kuku yang besar pada ujung tarsus serta tonjolan tibia untuk merayap dan memegangi bulu atau rambut inangnya. 2.3.3. Telur Kutu betina mampu memproduksi 10-300 telur selama hidupnya. Telurnya berukuran 1-2 mm, berbentuk oval, berwarna putih dan pada beberapa jenis permukaan telur bercorak-corak dan dilengkapi dengan operkulum. Nits atau telur kutu biasanya menempel pada bulu atau rambut inangnya yang direkatkan dengan semacam zat semen pada bagian memanjang telur dan biasanya dalam bentuk bergerombol serta membutuhkan waktu 4-7 hari untuk menetas (Tabbu 2002).
Gambar 3. Telur kutu 2.3.4. Nimfa Dalam setiap stadium nimfa, kutu dapat memakan waktu 3 hari dan biasanya masing-masing stadium nimfa memiliki ukuran yang berbeda. Nimfa yang baru keluar memiliki bentuk yang sudah mirip dengan induknya. Ukuran tubuhnya lebih kecil, ramping, berambut pendek dan warnanya lebih terang. Dalam waktu 7 hari nimfa ini menjadi dewasa setelah berganti kulit 3 kali.
8
Gambar 4. Larva kutu 2.3.5. Dewasa Kutu jantan berukuran 1,71 mm dan memiliki bagian posterior kepala yang sangat lebar dan kepala bagian depan berbentuk bulat. Sedangkan kutu betina berukuran panjang 2,04 mm dan memiliki bentuk kepala triangular dengan panjang dan luas yang sama. Pada setiap toraks dan abdominal bagian dorsalnya terdapat deretan setae atau bulu keras yang merupakan pelindung mekanik bagi kutu (Soulsby 1982). Kutu dewasa dapat hidup selama 9 bulan dan biasanya jenis ini tidak menyerang ayam muda karena ayam muda memiliki bulu yang relatif sedikit.
Gambar 5. Ektoparasit pada ayam (ki-ka : Menopon gallinae, Lipeurus caponis, Goniodes gigas, Menachanthus stramineus, Goniocotes gallinae, Cuclotogaster heterographus,) (Sumber : Http://www.cdfound.to.it/Html/ecto-4.htm)
2.4. Tungau 2.4.1.
Siklus hidup
Tungau mengalami metamorfosis sempurna. Tahapan ini dimulai dari telur, larva, stadium awal nimfa (protonimfa) lalu stadium akhir nimfa (deutonimfa) dan akhirnya tumbuh menjadi dewasa.. Telur akan menetas menjadi larva dalam waktu 2-3 hari. Larva akan menjadi nimfa setelah 2-4 hari diteruskan stadium dewasa selama 2-3 hari.
9
Gambar 6. siklus hidup tungau 2.4.2. Morfologi Tubuh tungau terbagi atas 2 bagian utama yaitu gnathosoma (kepala dan thoraks) dan idiosoma (abdomen). Pada bagian gnathosoma memilki sepasang pedipalpus dan chelicerae. Pedipalpus terdiri atas tiga atau empat ruas yang berfungsi sebagai alat sensoris sederhana untuk membantu proses makan tungau. Chelicerae terdiri atas dua ruas dan ujungnya dilengkapi dengan dua atau lebih kait yang dapat digerak-gerakan. Idiosoma tidak mempunyai skutum atau perisai dorsal dan terbagi menjadi 2 bagian yaitu podosoma terdapat empat pasang kaki dan opisthosoma terdapat alat kelamin, pernafasan dan anus. 2.4.3. Telur Tungau betina menghisap darah sebelum bertelur dan menyimpan telur dalam celah dan retakan dinding. Telur akan menetas dalam 2-3 hari, memproduksi larva selama 1-2 hari setelah itu akan menjadi nimfa dalam waktu 1-2 hari.
Gambar 7. Telur tungau (Sumber : Http: www.cdfound.to.it/HTML/gallinae1.htm)
10
2.4.4. Larva . Pada periode larva, ditandai dengan tungau yang memiliki 3 pasang kaki. Tungau sudah dapat bertindak sebagai ektoparasit. Setelah menghisap darah maka akan menjadi nimfa kemudian menjadi dewasa.
Gambar 8. Larva tungau 2.4.5 Nimfa Nimfa tungau memilki periode yang panjang dan dibagi menjadi stadium protonimfa selama 1-2 hari kemudian menghisap darah kembali dan masuk dalam stadium deutonimfa selama 1-2 hari. Tungau pada bentuk ini sangat tahan terhadap tekanan fisik lingkungan dan memilki alat perekat pada kakinya untuk menempelkan tubuhnya pada serangga lain. Tahap ini merupakan tahap inaktif dan tidak makan (puasa).
Gambar 9. Nympha tungau 2.4.6 Dewasa Tungau dewasa berukuran 0,7mm dan memiliki 8 kaki. Tungau berwarna kelabu akan berubah menjadi kehitam-hitaman bila terisi darah. Ektoparasit ini dapat hidup selama 34 minggu tanpa makan.
11
Gambar 10. Tungau dewasa
2.5. Tanaman kisampang (Melicope denhamii) Tanaman Kisampang (Melicope denhamii) termasuk tanaman dari famili Rutaceae yang diduga mengandung senyawa saponin, alkaloid, tanin, flavanoid, minyak astri dan senyawa lainnya. Tanaman ini dapat ditemukan di pulau Maskarena, Asia Tenggara, Asia Bagian Timur dan Polinensia. 2.5.1. Taksonomi Taksonomi tanaman kisampang (T. G. Hartley dalam Thaha 2005) : Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Traeheobionta Superdivisi
: Spermatophyta
Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotiledone
Ordo
: Diperales
Famili
: Rutaceae
Genus
: Melicope
Species
: Melicope denhamii
Menurut Heyne (1978) ada beberapa nama dari tanaman kisampang antara lain : Kisampang ( Sunda ), Sampang ( Jawa ), Empag ( Bali ), Rama in asu ( Minahasa ), Sauju ( Ternate ), Saihu ( Tidore ) dan Getah belo ( Lombok ).
12
2.5.2. Ciri-ciri dan Morfologi Kisampang termasuk jenis tanaman perdu dengan batang kayu yang lunak dan merupakan tanaman asli Indonesia yang tersebar di kepulauan Jawa. Meskipun kayunya lunak dan mudah digigit tetapi tidak ada serangga yang berani menyerangnya. Tanaman kisampang tumbuh pada ketinggian 1000-1500 m diatas permukaan laut dengan tinggi 6-25 m berdiameter 45 cm. Daun kisampang berwarna hijau dan bercabang tiga. Terdapat lapisan bawah daun meruncing yang berukuran 12,5-32 mm. Ujung daun lonjong lalu menyempit bahkan ada yang membulat pada bagian dasarnya. Tanaman dilengkapi dengan duri yang panjangnya 7-25 mm (Dassayanake & Fosberg 1985) Bunga berwarna hijau terang dengan sisik pada bagian sisinya, memiliki calyx-segmen, berbentuk ovate-triangular, stigma meluas dan berlobus. Pada bagian luar terdapat bulu tipis dengan panjang 2-3 mm yang berbentuk cakram. Filamen daun kisampang jantan berukuran 3,5-4 mm sedangkan betina memiliki staminode dengan ukuran 1,5 mm. Menurut Heyne (1978) pada kulit kayunya yang retak atau pada bagian tempat yang terdapat mata kayu akan mengalir suatu damar yang biasanya berwarna bening, kuning pucat tapi kadang-kadang dapat berwarna kuning tua atau seperti belerang.
Gambar 11. Daun kisampang (Melicope denhamii) 2.5.3. Kandungan dan Manfaat Tanaman kisampang telah lama dikenal dan dimanfaatkan masyarakat Indonesia sejak dulu
meskipun kandungan zat-zat aktif yang terkandung
13
didalamnya belum ada yang meneliti secara detail. Orang Lombok khususnya masyarakat Sasak telah memanfaatkan damar dari tanaman ini, mereka menampung semacam damar belo dengan cara membuat celah pada batangnya kemudian damar tersebut dilelehkan diatas api dan dicampur dengan minyak kelapa, setelah itu digunakan untuk mempernis bambu. Selain masyarakat Lombok, masyarakat Jawa Tengah juga menggunakan damar kisampang sebagai bahan pernis (Heyne 1978). Masyarakat Bali juga menggunakan damar kisampang untuk meletakkan keris pada gagangnya karena mereka menganggap bahwa damar dari tanaman ini dapat meletakkan barang-barang dari logam dengan baik. Menurut indeks tumbuh-tumbuhan obat, daun kisampang dapat digunakan sebagai sabun, antikonvulsan dan obat demam.
Ekstrak daun kisampang berpotensi sebagai
insektisida. Famili tumbuhan yang
dianggap merupakan sumber potensial
insektisida botani adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteroceae, dan Rutaceae (Syahputra 2000). Pada penelitian ini digunakan ekstrak daun kisampang (Melicope denhamii) yang termasuk ke dalam famili Rutaceae. Daun kisampang biasa digunakan sebagai sabun mandi untuk membersihkan kepala dan badan. Selain itu dapat digunakan untuk memandikan ternak sehingga serangga penganggu tidak berani mendekat. Hal ini dapat disebabkan karena daun kisampang mengandung saponin, minyak atsiri, dan tanin. Salah satu sifat saponin adalah dapat menurunkan tegangan permukaan, minyak atsiri memberikan aroma yang khas pada tanaman serta mempunyai rasa getir sedangkan tanin menyebabkan keset atau sepet dan dikenal sebagai senyawa penolak terhadap hewan pemakan tumbuhan.
14
III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2004 sampai bulan Agustus 2005 di Laboratorium Entomologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. 3.2. Alat dan Bahan Peralatan dan bahan yang digunakan adalah timbangan, cawan petri, pipet ukur, wadah tertutup, ember, saringan, blender, kandang ayam, ayam kampung, pakan ayam, larutan etanol, aquades dan daun kisampang (Melicope denhamii). 3.3. Pembuatan Ekstrak Daun Kisampang Daun kisampang yang baru dipetik dari pohon dicuci bersih kemudian dilayukan selama sehari untuk mengurangi kandungan airnya. Selanjutnya daun dipotong kecil-kecil, ditimbang kemudian diblender dengan pelarut. Pelarut yang digunakan adalah larutan etanol dengan perbandingan pencampuran 1:1 yang berarti tiap 1 gram daun kisampang dicampur dengan 1 ml etanol. Setelah daun kisampang dicampur lalu dibiarkan selama 1 hari. Penyediaan ekstrak ini menggunakan metode maserasi yang bertujuan agar bahan aktif yang terkandung didalam daun kisampang dapat keluar. Kemudian ekstrak ini ditampung dan disimpan dalam suatu wadah tertutup.
Gambar 12 . Ekstrak daun kisampang
15
3.4. Pengujian Pengujian ini menggunakan persamaan sebagai berikut : C1 V1 = C2 V2 Keterangan : • •
C1 C2
• •
V1 V2
: Konsentrasi aquades : Konsentrasi ekstrak daun kisampang yang digunakan dalam pengujian : Volume tetap 5 L : Volume ekstrak daun kisampang yang ditambahkan ke dalam 5 L air
Terlebih dahulu melakukan pengandangan terhadap 15 ekor ayam kampung dewasa umur +1 tahun selama satu minggu. Kelompok ayam ini dibagi menjadi 5 kandang sesuai dengan perlakuan yang dilakukan. Setelah itu dibuat larutan percobaan dengan cara mencampurkan setiap ekstrak daun kisampang dengan pelarut aquades. Ayam dimasukkan ke dalam wadah pada setiap konsentrasi pelarut yang berbeda yaitu 0%, 0,5% 1% 2,5% dan 5% dengan setiap perlakuan selama 3 menit. Pengujian ini bertujuan untuk mendapatkan perbandingan yang jelas terhadap jumlah populasi genus ektoparasit yang terdapat di bagian ekor ayam kampung. 3.5. Pengamatan Pengamatan yang dilakukan adalah mengamati dan mengidentifikasi jumlah populasi berbagai genus dari ektoparasit pada ayam kampung yang ada di bagian ekor. Pengamatan ini dilakukan dalam waktu satu minggu setelah ayam kampung direndam dengan ekstrak daun Melicope denhamii dalam pelarut aquades.
Gambar 13. Bagian ekor ayam
16
3.6. Analisis Data Pada penelitian ini, diuji pengaruh ekstrak daun kisampang (Melicope denhamii) terhadap jumlah populasi genus ektoparasit pada ayam dibagian ekor pada konsentrasi 0%, 0,5%, 1%, 2,5% dan 5%. Hasil yang didapat kemudian dianalisa dengan cara deskriptif.
17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Ektoparasit yang didapat setelah dilakukan pemaparan ekstrak daun kisampang dengan berbagai konsentrasi adalah tungau, Menacanthus, Menopon, Goniodes, Lipeurus, Goniocotes dan Cuclotogaster. Menurut De Vaney (1986), terdapat dua kelompok ektoparasit yang dapat menyerang ayam. Kelompok pertama adalah kelompok ektoparasit yang hanya memakan sel-sel kulit yang sudah mati dan bagian kulit seperti bulu, contohnya Goniocotes, Lipeurus, Cuclotogaster dan Goniodes. Kelompok kedua adalah ektoparasit yang menimbulkan kerusakan dan kerugian ekonomi yang cukup besar, karena ektoparasit ini memakan sel-sel yang masih hidup, contohnya Menacanthus dan Menopon. Tungau umumnya memakan darah atau cairan limfe dari tubuh inang yang ditumpanginya. Hasil pengujian pengaruh ekstrak daun kisampang terhadap jumlah populasi ektoparasit yang ada pada bagian ekor, dapat dilihat pada gambar 6. Terlihat adanya fluktuasi penurunan jumlah populasi genus ektoparasit tungau, Menacanthus, Menopon, Goniodes, Lipeurus, Goniocotes dan Cuclotogaster setelah terpapar ekstrak daun kisampang.
80 Ju m lah
70 60 50 40 30
s
u a
o
n u T
M
e
n
M
a
e
c
n
h
o
g
p
n a
o c io n o G
n
tu
s te
s e d io n o G
C
u
c
L
lo
ip
to
e
g
u
a
ru
st
s
0
e
r
20 10
G e n u s e kto p a ra si t 0%
0,5%
1%
2,5%
5%
Gambar 17. Diagram jumlah populasi ektoparasit pada berbagai tingkatan konsentrasi Jumlah ektoparasit yang paling banyak ditemukan pada semua konsentrasi (0%, 0,5%, 1%, 2,5%, 5%) adalah tungau, sedangkan jumlah ektoparasit yang paling sedikit yang ditemukan setelah pemberian ekstrak daun kisampang
18
(Melicope denhamii) adalah genus Cuclotogaster. Adanya keanekaragaman ektoparasit yang ditemukan pada bagian ekor ayam kampung, dapat disebabkan kontak ekor dengan bagian tubuh yang lain seperti kepala dan sayap akibat adanya perilaku (behaviour) ayam. Lipeurus biasanya hidup pada bulu-bulu sayap yang besar, Menopon hidup di tangkai bulu ayam, Menacanthus disebut juga kutu tubuh yang hidup pada kulit ayam yang bulu-bulunya jarang, Cuclotogaster berhabitat daerah kepala, Gonoides ataupun Goniocotes mempunyai habitat di daerah yang tertutup oleh bulu-bulu yang pendek, sedangkan tungau biasanya menyebar pada semua bagian tubuh serta hidup di daerah bulu-bulu halus ayam (Partosodjoeno 1991). Tabel 1. Jumlah ektoparasit pradewasa yang hidup pada berbagai tingkatan konsentrasi Konsentrasi
Ektoparasit (3 ekor) Lipeurus
Cuclotogaster
Goniodes
Goniocotes
Menacanthus
Menopon
Tungau
0%
12
0
13
3
102
3
-
0,5%
10
0
4
0
46
1
-
1%
12
0
5
0
39
1
-
2,5%
0
0
2
1
8
0
-
5%
0
0
0
0
0
0
-
Pada Tabel 1, terlihat pengaruh pemberian ekstrak daun kisampang terhadap jumlah pradewasa genus ektoparasit Menacanthus, Menopon, Goniodes, Lipeurus, Goniocotes dan Cuclotogaster diberbagai konsentrasi (0%, 0,5 %, 1%, 2,5 %, 5%). Namun tidak dapat diidentifikasi tungau pradewasa sebab ukuran tungau yang sangat kecil sehingga diperlukan peralatan khusus untuk mengidentifikasinya. Pada konsentrasi 0%, dapat ditemukan ektoparasit pradewasa dari genus Lipeurus, Goniodes, Goniocotes, Menacanthus dan Menopon, sedangkan Cuclotogaster tidak ditemukan. Pada konsentrasi 0,5% jumlah ektoparasit pradewasa genus Lipeurus, Goniodes, Goniocotes, Menacanthus dan Menopon mengalami penurunan. Penurunan jumlah ektoparasit pradewasa hingga 100%
19
pada konsentrasi 0,5% didapat pada genus Goniocotes. Pada konsentrasi 1% jumlah pradewasa genus Lipeurus dan Goniodes lebih banyak dibandingkan kelompok kontrol, sedangkan jumlah pradewasa genus Menacanthus mengalami penurunan. Pada konsentrasi yang sama jumlah ektoparasit pradewasa pada genus Menopon tetap jika dibandingkan dengan konsentrasi 0,5%. Genus Lipeurus, Goniodes, Menopon pada konsentrasi 2,5% mengalami penurunan hingga 100%, sedangkan genus Goniocotes lebih tinggi jumlah pradewasanya dibanding konsentrasi 1%. Hal ini dapat disebabkan adanya telur kutu menetas sehingga jumlah pradewasa genus ini bertambah. Telur akan melekat pada bulu dan biasanya dalam bentuk bergerombol serta membutuhkan waktu 4-7 hari untuk menetas (Tabbu 2002). Pada konsentrasi 5% dari semua genus ektoparasit sudah tidak ditemukan lagi, keadaan ini dapat disebabkan semakin tingginya tingkat keterpaparan zat-zat aktif yang bersifat toksik dari daun kisampang yang dapat menyebabkan kematian ektoparasit pradewasa. Tabel 2. Jumlah ektoparasit dewasa yang hidup pada berbagai tingkatan konsentrasi Konsentrasi
Ektoparasit (3 ekor) Lipeurus
Cuclotogaster
Goniodes
Goniocotes
Menacanthus
Menopon
Tungau
0%
11
2
13
6
59
57
211
0,5%
9
1
6
1
35
46
187
1%
4
0
2
1
13
12
143
2,5%
2
0
2
1
5
3
108
5%
1
0
0
1
0
1
50
Dari Tabel 2 dapat dilihat, ekstrak daun kisampang berpengaruh terhadap jumlah ektoparasit dewasa pada berbagai tingkatan konsentrasi. Umumnya populasi
ektoparasit
mengalami
penurunan
seiring
dengan
peningkatan
konsentrasi ekstrak daun kisampang. Pada konsentrasi 0%, populasi ektoparasit dewasa didominasi oleh tungau dan Menacanthus. Tungau mempunyai habitat di seluruh tubuh, mereka dapat hidup dan berkembang pada celah-celah lantai, dinding kandang, tempat mengeram dan benda-benda lain di kandang, sedangkan
20
Menacanthus hidup dengan cara menghisap darah (Loomis 1984 dalam Hofstad et al.). Pada konsentrasi 0,5%, populasi semua genus ektoparasit dewasa mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kontrol (0%). Namun pada genus Goniocotes terlihat penurunan hampir mencapai 100%. Cuclotogaster juga masih ditemukan, meskipun genus ini berhabitat pada kepala, disebabkan ayam yang mempunyai kebiasaan mematuk-matuki bagian tubuhnya yang gatal (Bains 1979 dalam Lancaster dan Meisch 1986). Seperti halnya pada konsentrasi 0,5%, secara keseluruhan populasi semua genus ektoparasit pada konsentrasi 1% mengalami penurunan. Hal yang paling mencolok pada tingkat konsentrasi 1 %, Cuclotogaster tidak ditemukan lagi. Ayam sudah mulai tenang sehingga tidak adanya perilaku mematuk-matuki tubuhnya lagi. Penurunan jumlah kutu pada kelompok ini diduga diakibatkan matinya kutu-kutu tersebut akibat adanya zat alkaloid didalam tanaman kisampang yang dapat menginhibisi syaraf parasimpatik pada system syaraf pusat (Aminah 1995). Pada konsentrasi 2,5%, jumlah Goniodes dan Goniocotes tidak mengalami penurunan jika dibandingkan dengan konsentrasi 1%. Ekstrak daun kisampang pada konsentrasi 5% sangat berpengaruh terhadap jumlah populasi ektoparasit dewasa jika dibandingkan dengan kontrol. Genus Cuclotogaster, Goniodes dan Menacanthus tidak ditemukan lagi pada konsentrasi ini. Keberadaan tungau masih mendominasi meskipun tidak sebanyak jumlahnya pada tingkatan konsentrasi sebelumnya akan tetapi genus Goniocotes dan Menopon mengalami penurunan jumlah ektoparasit dewasa. Tabel 3. Persentase penurunan jumlah populasi tungau dan kutu dengan membandingkan populasi perlakuan terhadap kontrol (0%) Konsentrasi
Tungau
Kutu
0,5%
11.37
43.42
1%
32.23
68.33
2,5%
48.81
91.46
5%
76.30
98.93
21
Pada tabel 3, terlihat perbandingan persentase jumlah total dari tungau dan kutu setelah dilakukan pemaparan ekstrak daun kisampang (Melicope denhamii) dengan konsentrasi 0,5%, 1%, 2,5% dan 5%. Pada konsentrasi
0,5% kutu
mengalami penurunan persentase sebesar 43,42% sedangkan tungau hanya 11,37 %. Persentase penurunan sudah melebihi 50% terlihat pada kutu di konsentrasi 1%, tungau hanya mengalami penurunan sebesar 32,23%. Efektifitas dari daun kisampang sangat terlihat pada konsentrasi 2,5% pada kutu dan tungau. Pada kutu penurunan telah mencapai 91,46% sedangkan tungau 48,81%. Pada konsentrasi 5%, penurunan persentase kutu sudah mencapai 98,93% sedangkan tungau 76,30%. Penurunan
populasi kutu lebih besar daripada tungau pada semua
tingkatan konsentrasi setelah dilakukan pemaparan ekstrak daun kisampang. Akibat adanya pengaruh zat-zat aktif pada daun kisampang yang bersifat toksik akan menyebabkan keracunan serta kematian pada ektoparasit. Tanaman ini juga diduga mengandung minyak atsiri (essensial oil), tanin, alkaloid, saponin, dan flavanoid yang dapat mempengaruhi perkembangan serangga (Aminah 1995). Senyawa tanin terdapat dalam bagian tanaman pada daun, buah kulit, buah, kayu maupun batang. Tanin merupakan antiseptik untuk mencegah hama serangga yang akan mengganggu kehidupan tanaman itu sendiri. Alkaloid pada tanaman kisampang mengandung bahan aktif evodiamine dan rutaecarpin. Evodiamine menyebabkan kehilangan produksi panas dan pada saat yang bersamaan menghilangkan energi yang berada dalam makanan yang kemudian akan berakibat pada kehilangan berat badan (Anonim 2004). Rutaecarpin adalah zat yang dapat menyebabkan hipotensi dan vasorelaksasi (Wang 2002). Menurut Aminah (1995), zat saponin dapat menurunkan tegangan permukaan mukosa traktus digestivus sehingga terjadi degeneratif dan selanjutnya kematian. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang diberikan semakin banyak pula kematian ektoparasit ini. Selain sebagai insektisida kemungkinan kutu dan tungau ini mengalami keracunan. Zat-zat yang bersifat toksik ini dapat masuk melalui beberapa bagian tubuh serangga yaitu dinding tubuh, jalur pernafasan, dan alat pencernaan (Sastrodihardjo 1979).
22
V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Daun kisampang mempunyai potensi sebagai insektisida nabati terhadap ektoparasit pada ayam kampung. 2. Pemberian ekstrak daun kisampang (Melicope denhamii) menyebabkan penurunan jumlah populasi kutu secara keseluruhan hingga 98,93% dan pada tungau sebesar 76,30% pada konsentrasi 5%.
Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap dosis yang tepat untuk tungau. 2. Kandungan zat-zat aktif tanaman kisampang (Melicope denhamii) harus lebih dapat digali agar diketahui cara kerja dan perubahan aspek biologi yang dapat menyebabkan kematian pada ektoparasit pada ayam.
23
VI. DAFTAR PUSTAKA Akoso, B. T. 1998. Kesehatan Unggas. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. hlm:134146. Aminah, N. S. 1995. Evaluasi Tiga Jenis Tumbuhan Sebagai Insektisida dan Repelan Terhadap Nyamuk Di Laboratorium. [tesis]. Program Pasca Sarjana-IPB. [Anonim]. 2004. Evodia Fruit (Evodia rutaecarpa). http://www.healthychoicesnm. Com/prod_termozin.htm. [6 Desember 2004]. Biester, H. E dan L. H. Schwarte. 1959. Disease of Poultry. The Lowa State University Press. Ames. Iowa. USA. Dassayanake, M.D and F. R. Fortsberg. 1985. Flora of Ceylon. American Publishing Co Put Ltd. New Delhi. hlm : 113-141. De Vaney, J. A. 1986. Effect of the NorthernFowl Mite, Ornythonyssus sylviarum (Canestrini and Fanzago). On Egg Quality of White Leghorn Hens. Poultry Sci. 60 : 2200-2202 Hardjosworo, P.S dan J. M. Levine, 1987. Pengembangan Peternakan di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. hlm:10-30. Heyne, K.1978. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Badan Litbang Departemen Kehutanan .Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. hlm : 1119-1120. Hungerford, T. G. 1969. Disease Of Poultry. Angus and Robertson. SydneyLondon-Melbourne. hlm : 672-675. Jhonson, D.1998. Vendors Of Microbial And Botanical Insecticides And Insect Monitoring Devices. http://www.uky.edu/Agriculture/Entomology/Entfact Fideopslef24.htm. [2 Desember 2004] Kesumawati, U dan Susi Soviana. 2000. Ektoparasit :Pengenalan dan Pengendaliannya. Bogor. hlm : 55-57. Loomis, E. C. 1984. Eksternal Parasites dalam Hofstad et al Ed. Disease of Poultry. 1984. Iowa. USA. hlm : 213-230. Lancaster. J. L dan M. V. Meisch. 1986. Arthropods in Livestock and Poultry Production. Ellis Horwood Limited. England.
24
Mansjoer, S. S. 1985. Pengkajian Sifat-sifat Produksi Ayam Kampung serta Persilangan dengan Ayam Rhode Island. [disertasi]. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Marshall, A. G. 1988. The Geology of Ectoparasitic Insect. Academic Press Inc. London. hlm : 30-40. Metcalf, R. L. 1982. Insecticides in Pest Management Introduction To Insect Pest Managemen. Jhon Wiley and Sons. New York. hlm: 217-225. Ross, H. H. 1948. A Text Book of Entomology. John Wiley & Sons. Inc. New York. Sarwono, B. 2003. Beternak Ayam Buras. Penerbit Swadaya. Jakarta. Sastrodihardjo, Soelaksono. 1979. Pengantar Entomologi Terapan. Penerbit ITB. Bandung. hlm : 10-21. Soulsby, E. J. L. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal. Bailliere Tindall. London. Schwartz, L. D. 1981. 2nd Ed. Poultry Hand Book. College of Agriculture the Pensylvania State University. University Park. Pensylvania. Syahputra, Edy. 2000. Hutan Kalbar Sumber Pestisida Botani: Dulu, Kini dan Kelak. http://rudyct.tripod.com/sem1_012/edi_syahputra.htm. [15 Juni 2004]. Partosoedjono, S. 1991. Biologi Ektoparasit. IUC : Life Science Inter University Press. Institut Pertanian Bogor. hlm : 43-165 Tabbu, C. R. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. hlm : 88-103. Thaha, A. H. 2005. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Kisampang (Melicope denhamii) Dalam Konsentrasi Rendah Terhadap Perkembangan Stadium Pradewasa Nyamuk Aedes aegypti. [skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan. Wang, GJ et al. 2002. Rutaecarpin on Calcium Channel Activities in Vaskular Endothelial and Smooth Muscle Cells•. http://jpet.Aspetjournalis. org/cgi/content/full/289/3/1237. [6 Desember 2004].
25
26
0.67
0.33
4.33 7.67
6.33
Konsentrasi 0%
Konsentrasi 0,5%
Konsentrasi 1%
Konsentrasi 2,5%
Konsentrasi 5%
Gambar 1. Rataan jumlah Lipeurus yang hidup di beberapa konsentrasi
0 0.33
0.67
Konsentrasi 0%
Konsentrasi 0,5%
Konsentrasi 1%
Konsentrasi 2,5%
Konsentrasi 5%
Gambar 2. Rataan jumlah Cuclotogaster yang hidup di beberapa konsentrasi
27
1.34
0
2.34
8.66 3.33
Konsentrasi 0%
Konsentrasi 0,5%
Konsentrasi 1%
Konsentrasi 2,5%
Konsentrasi 5%
Gambar 3. Rataan jumlah Goniodes yang hidup di beberapa konsentrasi
0.33 0.66
0.33 0.33
3
Konsentrasi 0%
Konsentrasi 0,5%
Konsentrasi 1%
Konsentrasi 2,5%
Konsentrasi 5%
Gambar 4. Rataan jumlah Goniocotes yang hidup di beberapa konsentrasi
28
4.34
0
17.33
53.67
27
Konsentrasi 0%
Konsentrasi 0,5%
Konsentrasi 1%
Konsentrasi 2,5%
Konsentrasi 5%
Gambar 5. Rataan jumlah Menacanthus yang hidup di beberapa konsentrasi
1
4.33
0.33
20.67
15.66
Konsentrasi 0%
Konsentrasi 0,5%
Konsentrasi 1%
Konsentrasi 2,5%
Konsentrasi 5%
Gambar 6. Rataan jumlah Menopon yang hidup di beberapa konsentrasi
29
16.67 36
70.33
47.67 62.33
Konsentrasi 0%
Konsentrasi 0,5%
Konsentrasi 1%
Konsentrasi 2,5%
Konsentrasi 5%
Gambar 7. Rataan jumlah Tungau yang hidup di beberapa konsentrasi
7.67
0.67
8.66
3
70.33
53.67
20.67
Lipeurus
Cuclotogaster
Goniodes
Goniocotes
Menachantus
Menopon
Tungau
Gambar 8. Rataan jumlah Ektoparasit yang hidup pada konsentrasi 0%
30
6.33
0.33 3.33 0.33
27
62.33
15.66
Lipeurus
Cuclotogaster
Goniodes
Goniocotes
Menachantus
Menopon
Tungau
Gambar 9. Rataan jumlah Ektoparasit yang hidup pada konsentrasi 0,5%
4.33
0
2.34 0.33
17.33
47.67 4.33
Lipeurus
Cuclotogaster
Goniodes
Goniocotes
Menachantus
Menopon
Tungau
Gambar 10. Rataan jumlah Ektoparasit yang hidup pada konsentrasi 1%
31
0.67 0
1.34
0.66
4.34 1
36
Lipeurus
Cuclotogaster
Goniodes
Goniocotes
Menachantus
Menopon
Tungau
Gambar 11. Rataan jumlah Ektoparasit yang hidup pada konsentrasi 2,5%
0.33 0 0.33 0 0.33
16.67
Lipeurus
Cuclotogaster
Goniodes
Goniocotes
Menachantus
Menopon
Tungau
Gambar 9. Rataan jumlah Ektoparasit yang hidup pada konsentrasi 5%
32