STUDI BIOEKOLOGI Anopheles spp. SEBAGAI DASAR PENYUSUNAN STRATEGI PENGENDALIAN VEKTOR MALARIA DI KABUPATEN HALMAHERA SELATAN PROVINSI MALUKU UTARA
AMIRULLAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: “Studi Bioekologi Anopheles spp Sebagai Dasar Penyusunan Strategi Pengendalian Vektor Malaria Di Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Januari 2012
Amirullah NRP: B 262 060021
ABSTRACT AMIRULLAH. Bioecological study of Anopheles spp. as a basic for developing of malaria vector control strategies in the South Halmahera District, North Maluku. Under supervisor of UPIK KESUMAWATI HADI, SUPRATMAN SUKOWATI, AUNU RAUF and FX. KOESHARTO. A study on bioecological aspects of Anopheles mosquitos was conducted in Saketa village, South Halmahera District. The research aimed to assess bioecological aspects of mosquito at four different ecosystems, i.e. forests, plantations, bushes, and housings, and to characterizing of mosquito breeding habitats include biting behavior and morning resting behavior of mosquito Anopheles. Mosquitoes were collected by using human landing collection from 6.00 pm to 6.00 am, four times per month. Larvae were collected from various type of habitats using WHO standard dipper (size of 300 ml) and reared until emerge then identified. Resting morning mosquitoes were collected four times a month in the early morning (6.00-7.30 am). The research results showed that there were 10 species of Anopheles i.e. Anopheles barbumbrosus, An. farauti, An. hackeri, An. indefinitus, An. kochi, An. koliensis, An. punctulatus, An. subpictus, An. tessellatus, and An. vagus. The highest Anopheles distribution was found in plantation ecosystem (35,82%), followed by forest ecosystem (33,78%), bushes ecosystem (24,98%), and housing ecosystem (5,42%). An. indefinitus dominantly found in forest ecosystems, whereas An. kochi dominantly found in plantations, bushes and housing areas. Based on correspodence analysis, Anopheles mosquitoes found spread in three main groups namely, An. farauti and An. tessellatus clustered on the bushes and housing ecosystems, whereas An. indefinitus, An. hackeri, An. subpictus and An. vagus on the forest ecosystem, and An. barbumbrosus, An. kochi, An. koliensis, and An. punctulatus clustered in plantation. There were eight types of breeding habitats of Anopheles spp. i.e. mud hole, ground pool, puddles, tire print/animals footprint, artificial containers, unused cans, ditches, and lagoon. There were six species of Anopheles found i.e. Anopheles farauti, An. indefinitus, An. kochi, An. punctulatus, An. subpictus and An. vagus. The most abundance spesies is An. indefinitus, followed by An. An. farauti, and An. kochi and the lowest abundance species is An. punctulatus. Although dominant habitat was puddles but most Anopheles were in mud holes. Substrate of the habitats were generally muds and the water was not flowing. Habitats around settlements, plantation and streets were surrounded by grasses, bushes, shrubs and trees. Kinds of water plants consisted of grasses, mosses, algae and their litters, while kinds of predator were dragonflies, shrimps, ephemeroptera, cyclops, gerris, tadpoles and small fish. The man biting activity of Anopheles spp. in Saketa took place throughout the month within one year of arrest. An. kochi was the species with the higest MBR value which took place in June in plantation ecosystems. In general, MBR activity peaked in February, March April, May, June and July with different fluctuation in each species and ecosystem types. Species with the highest MHD value was An. tessellatus which occurred at 21:00 to 22:00 on the in plantation. Generally MHD values peaked before midnight at 21:00 to 22:00 and after the middle of the night between the hours of 01:00 to 04:00. There were five species of Anopheles mosquitoes caught in the morning resting i.e. An, indefinitus, An. kochi, An. tessellatus, An. vagus and An. barbumbrosus.
The resting place of Anopheles in the morning on bushes ecosyatem were in a clump of bamboo, grass stems, and leaves/stems of shrubs. In plantation area, resting took place in sago groves, bamboo hedges, clumps/trunk sago, under the cottage/field for burning coconut fruits, waste piles and piles of leaves dry. Key words: Anopheles, Malaria, North Maluku, vector control
RINGKASAN AMIRULLAH. Studi Bioekologi Anopheles spp. Sebagai Dasar Penyusunan Strategi Pengendalian Vektor Malaria Di Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku. Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI, SUPRATMAN SUKOWATI, AUNU RAUF dan FX. KOESHARTO. Penelitian tentang aspek bioekologi Anopheles spp. telah dilakukan di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis aspek bioekologi Anopheles spp. pada empat jenis ekosistem yang berbeda yaitu, ekosistem hutan, perkebunan, semak dan permukiman, dan melakukan karakterisasi habitat perkembangbiakan termasuk perilaku mengisap darah dan perilaku istirahat pagi pada nyamuk Anopheles spp. Pengumpulan nyamuk dilakukan dengan menggunakan metode human landing collection (HLC) dari pukul 18.00-6.00 oleh penangkap terlatih sebanyak empat kali setiap bulan. Pengumpulan larva dilakukan dari berbagai jenis habitat perkembangan dengan menggunakan cidupan standar WHO. Larva yang terkumpul selanjutnya dipelihara dan diidentifikasi setelah menjadi nyamuk. Penangkapan nyamuk istirahat pagi dilakukan antara pukul 6.007.30 di kebun dan semak sebanyak empat kali sebulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 10 spesies Anopheles yaitu Anopheles barbumbrosus, An. farauti, An. hackeri, An. indefinitus, An. kochi, An. koliensis, An. punctulatus, An. subpictus, An. tessellatus, dan An. vagus. Anopheles tertinggi ditemukan pada ekosistem perkebunan (35,82%), diikuti oleh hutan (33,78%), semak (24,98%), dan terendah di permukiman (5,42%). An. indefinitus dominan pada ekosistem hutan, sedangkan An. kochi dominan pada ekosistem perkebunan, semak dan permukiman. Hasil analisis korespondensi menunjukkan bahwa nyamuk Anopheles tersebar dalam tiga kelompok utama yaitu An. farauti dan An. tessellatus mengelompok pada semak dan permukiman, An. indefinitus, An. hackeri, An. subpictus and An. vagus mengelompok di hutan, dan An. barbumbrosus, An. kochi, An. koliensis, dan An. punctulatus mengelompok di perkebunan. Habitat perkembangbiakan Anopheles spp. yaitu kobakan, kolam, kubangan, kontainer buatan, kaleng bekas, parit, dan lagun. Jenis Anopheles yang ditemukan terdiri atas enam spesies yaitu, Anopheles farauti, An. indefinitus, An. kochi, An. punctulatus, An. subpictus dan An. vagus. Spesies yang kelimpahannya paling tinggi adalah An. indefinitus, diikuti oleh An. farauti, An. kochi dan yang terendah adalah An. punctulatus. Tipe habitat didominasi oleh kubangan, tetapi Anopheles terbanyak terdapat di kobakan. Sebagian besar habitat substratnya berupa lumpur dan airnya tidak mengalir, terdapat di permukiman, perkebunan dan jalanan yang dikelilingi oleh rumput-rumputan, semak, perdu dan pohon. Habitat mengandung tanaman air berupa rumput-rumputan, lumut dan ganggang serta serasah, sedangkan predatornya adalah nimfa capung, udang-udangan, Ephemeroptera, cyclop, anggang-angang, kecebong dan ikan-ikan kecil. Perilaku mengisap darah Anopheles menunjukkan bahwa aktivitas mengisap darah Anopheles spp. di Saketa berlangsung sepanjang tahun. An. kochi adalah spesies dengan nilai MBR tertinggi yang berlangsung pada bulan Juni pada ekosistem perkebunan. Secara umum, aktivitas mengisap darah memuncak pada bulan Februari, Maret April, Mei, Juni dan Juli dengan fluktuasi yang berbeda pada setiap spesies dan jenis ekosistem. Spesies dengan nilai MHD tertinggi adalah
An. tessellatus yang terjadi pada pukul 21.00-22.00 pada ekosistem perkebunan. Secara umum nilai MHD memuncak sebelum tengah malam pada pukul 21.00-22.00 dan setelah tengah malam antara pukul 01.00-04.00. Nyamuk Anopheles spp. yang tertangkap istirahat pagi terdiri atas 5 spesies yaitu, An. indefinitus, An. kochi, An. tessellatus, An. vagus dan An. barbumbrosus. Tempat istirahat Anopheles pada ekosistem semak adalah rumpun bambu, batang rumput, dan daun/batang tanaman perdu, sedangkan di perkebunan Anopheles istirahat pada alang-alang, rumpun sagu, tanaman pagar, rumpun bambu, rumpun/batang sagu, kolong pondok/huma, tumpukan sampah dedaunan dan tumpukan daun kering. Kata kunci : Anopheles, bioekologi, Halmahera Selatan, vektor malaria
Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
STUDI BIOEKOLOGI Anopheles spp SEBAGAI DASAR PENYUSUNAN STRATEGI PENGENDALIAN VEKTOR MALARIA DI KABUPATEN HALMAHERA SELATAN PROVINSI MALUKU UTARA
AMIRULLAH
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Entomologi Kesehatan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup Tanggal 17 Januari 2012
: Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M.Si Dr. drh. Susi Soviana, M.Si
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka Tanggal 30 Januari 2012 : Dr. Lukman Hakim, M.Si Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini, M.Si
Judul Disertasi
: Studi Bioekologi Anopheles spp Sebagai Dasar Penyusunan Strategi Pengendalian Vektor Malaria Di Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara
Nama
: Amirullah
NRP Program Studi
: B 262060021 : Entomologi Kesehatan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S Ketua
Prof. Supratman Sukowati. Ph.D Anggota
Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc Anggota
Dr. drh. FX. Koesharto, M.Sc Anggota
Mengetahui : Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian : 30 Januari 2012
Tanggal Lulus :
Sesungguhnya Allah menciptakan segala sesuatu berdasarkan kodratnya dan masing-masing ciptaan-Nya memiliki nilai manfaat.
“Kupersembahkan Disertasi ini kepada Agamaku, Bangsa dan Negaraku, Kedua Orang Tuaku, Saudarasaudaraku, Isteri dan anak anakku tercinta yang senantiasa memberikan semangan dan motivasi, cinta dan kasih yang tiada henti.
PRAKATA
Tiada kata yang terindah untuk diucapkan selain ucapan Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang memberikan rahmat dan rahim-Nya sehingga penulis dapat menyelesasikan disertasi ini. Penelitian ini berjudul “Studi Bioekologi Anopheles Spp. Sebagai Dasar Penyusunan Strategi Pengendalian Vektor Malaria Di Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara” Dalam penyelesaian tulisan ini, berbagai pihak telah banyak membantu mulai dari tahap persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian hingga proses penyelesaiannya. Oleh karena itu perkenankanlah penulis pada kesempatan ini menghaturkan terimakasih yang tak terhingga kepada: 1
2
3 4
5
6
7
Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S selaku Ketua Komisi, Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf. M.Sc, Prof. Supratman Sukowati. Ph.D dan Dr. drh. FX. Koesharto. M.Sc selaku Anggota komisi yang telah banyak mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan disertasi ini. Project Management Unit, The Development and Up Grading of Haluoleo University Project Islamic Development Bank (IDB) Loan IND-105 & IND106. Yang telah membiayai studi program Doktor (S3) saya selama 2.5 tahun. Prof. Supratman Sukowati. Ph.D selaku PI project MTC-UNICEF Indonesia yang telah membiayai pelaksanaan penelitian ini. Bpk Prof. Dr. Singgih H. Sigit. M.Sc, Ibu Dr. drh Gunandini, M.Si, Ibu Dr. drh. Susi Soviana, M.Si, bpk DR. drh. Amin. M.Sc, dan sekali lagi kepada Ibu Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S, baik sebagai dosen maupun sebagai ketua Program Studi yang selama ini telah memberikan ilmunya secara tulus dan selalu memberi perhatian dan semangat, serta bantuan yang bukan hanya berupa moril, tetapi juga berupa materil dan telah sangat meringankan beban saya dalam memenuhi kewajiban-kewajiban akademik, juga kepada para staf di ENK, Ibu Juju, Pak Herry serta doa untuk Alm. Pak Yunus, bu Een, bu Wiwik dan pak Agus serta para staf lainnya di Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (IPHK). Ibu Dr. drh. Susi Soviana, M.Si, Bapak Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M.Si yang telah bersedia menjadi penguji di luar komisi pada sidang tertutup saya, serta Ibu Dr. drh Gunandini, M.Si dan Dr. Lukman Hakim hyang telah bersedia untuk menjadi penguji di luar komisi pada ujian terbuka saya. Ibu Drs. Shinta, M.Si, yang mengkoordinasi dan mengakomodasi segala kebutuhan penelitian di lapangan, Bpk IG. Wayan Djana yang telah menemani dan mengidentifikasi nyamuk di lapangan, Pak Sunardi dan Pak Sumardi dik Syafei dan Dik Antonius, Para staf dan adik-adik di Lab. Ekologi Litbangkes yang saat ini masih bercumbu dengan nyamuk di lapangan. Keluarga besar pak Akmal Hamaya di Tabah Hijrah dan para rekan-rekan di lapangan yang selama 1 tahun lebih bersama-sama menangkap nyamuk dan mengaduk-aduk genangan air di Saketa dan Tabah Hijrah.
8
9
10
11
12
11
12
Kepala Puskesmas Saketa dan seluruh stafnya, Bapak Firman SKM, Iswahyudi SKM, M.Kes dan Para staf Malaria Center di Labuha, bapak Djoko Sumardiono, MSi dan seluruh staf BMKG Labuha. Dr. Ir. Andi Irwan Nur, MES, seklg Dr. Muh. Ramli, M.Si, seklg Drs. Parakasi, M.Pd. Seklg, Dr. Ir. La Anadi, M.Si. Taswin Munier, S.Pi. MES, Mukhlis Hidayat, S.Pd. M.Kom, Dr. Miswar M.Si, Akhmad Mansur, SP. M.Si. yang telah memberikan berbagai jenis bantuan selama bersama-sama menempuh pendidikan di IPB, juga kepada Bang Oding, Terima kasih atas dukungan logistik, kedekatan dan gurauan yang hangat, memberikan support, doa dan semangat yang tiada henti. Ketua Wacana Sultra Bogor Ibu Ir. Husna Faad, M.Si dan segenap anggota wacana Sultra, terima kasih atas segala bantuan, dukungan dan kebersamaannya selama di Bogor. Pencapaian ini secara khusus saya dedikasikan buat Kakanda H. Nur Alam Sekeluarga yang sekaligus sebagai pengganti kedua orang tua penulis yang selama ini telah mendorong semangat dan mendukung baik secara moril dan materil dalam semua jenjang pendidikan saya sejak SD hingga tahapan penyelesaian S3 saat ini. Demikian pula kepada kakak-kakak dan adik-adik saya, Kakanda Sudirman, Kakanda Hj Nurhudaya sekeluarga, adik Ruslan sekeluarga, serta adik M Yunus sekeluarga. Yang tak pernah saya lupakan keluarga besar paman saya “Om Abbas Saleh, SH” yang selama ini telah menfasilitasi penulis akomodasi di Jakarta dan sarana transportasi selama penulis menyelesaikan proses penulisan, juga kepada keluarga besar Hj. Syamsia Manya S dan adik DR. Ir. H. Idris. MSi, keluarga besar H. Adam Abdullah/H. Ahmad Makkawaru di Makassar. Akhirnya pencapaian ini juga saya persembahkan secara khusus kepada isteri tercinta Hapsah, S.ST serta anak anakku tersayang Annisa Nurul Ilmi, Ahmad Munif Makarim dan Muh. Haritz Faqih yang senantiasa memberikan doa, dorongan semangat, materi dan cinta kasih yang merupakan sumber energi tiada henti. Semua pihak yang telah memberikan dukungan bdan bantuan dengan caranya masing-masing.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan tulisan ini.
Bogor, 30 Januari 2012
Amirullah
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sidenreng Rappang pada tanggal 9 Januari 1964 sebagai anak ke 5 pasangan Baharuddin La Odeng dan Hj. Mawar I Tombong. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Negeri Makassar dan lulus pada tahun 1987. Penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ekologi Hewan Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada (UGM) pada tahun 1995, dan menamatkannya pada tahun 1998. Pada tahun 2006 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor pada Program Studi Entomologi Kesehatan (ENK) IPB dengan bantuan beasiswa dari Islamic Development Bank (IDB) selama 2,5 tahun. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dari tahun 1988 hingga 1999, dan sejak tahun 1999 hingga sekarang sebagai staf pengajar di jurusan Biologi FMIPA Unhalu Kendari. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab peneliti adalah “Studi bioekologi Anopheles spp sebagai dasar penyusunan strategi pengendalian di Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara”. Selama mengikuti program S3, penulis telah menyusun artikel yang saat ini sedang diterbitkan dengan judul “Komunitas Nyamuk Anopheles spp di Desa Saketa, Daerah Endemik Malaria, Kecamatan Gane Barat Kabupaten Halmahera Selatan” pada jurnal “Berita Hayati” yang diterbitkan oleh LIPI. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
xvii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... 1 PENDAHULUAN .................................................................................. 2
3
xxi xxv xxix 1
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2.1 Malaria dan Vektornya ................................................................... 2.2 Penyebaran dan keragaman nyamuk Anopheles spp. .................... 2.3 Perilaku nyamuk Anopheles spp. ..................................................... 2.4 Habitat perkembangbiakan Anopheles spp. ..................................... 2.5 Pengaruh iklim global terhadap malaria .......................................... KELIMPAHAN DAN KERAGAMAN NYAMUK Anopheles spp. DI DESA SAKETA, DAERAH ENDEMIK MALARIA ........................
1 5 6 9 12 15
3.1 Pendahuluan ................................................................................ 3.2 Bahan dan Metode .......................................................................... 3.3 Hasil dan Pembahasan .....................................................................
21 22 22
3.3.1 3.3.2 3.3.3 3.3.4
Komunitas dan sebaran nyamuk Anlopheles spp. .................. Dominasi Anopheles spp. ...................................................... Kelimpahan Anopheles spp. pada empat jenis ekosistem ....... Kelimpahan Anopheles spp. berdasarkan spesies ................... 3.3.4.1 Anopheles punctulatus grup ..................................... 3.3.4.2 Anopheles barbumbrosus.......................................... 3.3.4.3 Anopheles hackeri ............. ....................................... 3.3.4.4 Anopheles indefinitus.................................................. 3.3.4.5 Anopheles kochi ......................................................... 3.3.4.6 Anopheles subpictus.................................................... 3.3.4.7 Anopheles tessellatus ................................................. 3.3.4.8 Anopheles vagus ..................................................... 3.3.5 Pengelompokan spesies Anopheles spp. berdasarkan jenis ekosistem ..................................................................... 3.4 Kesimpulan ...................................................................................... Daftar pustaka .............................................................................. 4 KARAKTERISTIK HABITAT LARVA Anopheles spp. DI DESA SAKETA, DAERAH ENDEMIK MALARIA DI KABUPATEN HALMAHERA SELATAN ....................................................
4.1 4.2
Pendahuluan ................................................................................. Bahan dan Metode ........................................................................ 4.2.1 Tempat dan waktu ....................................................................
4.3
4.2.2 Pengumpulan Larva Anopheles ............................................ 4.2.3 Analisis Data ....................................................................... Hasil dan Pembahasan .................................................................... 4.3.1 Habitat perkembangbiakan ................................................... 4.3.2 Kepadatan larva Anopheles spp. ..........................................
17
23 25 27 28 28 31 32 33 34 35 36 37 38 40 41 47 51 52 52 53 54 54 54 55
xviii
5
4.3.3 Jenis-jenis Anopheles spp. yang terdapat pada berbagai tipe habitat ........................................................................ 4.3.5 Keberhasilan larva menjadi nyamuk .................................. 4.3.6 Habitat Anopheles berdasarkan jarak dari rumah, Ketinggian dan fungsi lahan .............................................. 4.3.7. Faktor cuaca dan populasi larva Anopheles spp. pada Berbagai habitat perkembangbiakan di Saketa ................. 4.4 Karakteristik habitat perkembangbiakan Anopheles spp. di Desa Saketa ............................................................................ 4.4.1 Kobakan ............................................................................. 4.4.2 Kolam ................................................................................ 4.4.3 Kubangan ............................................................................ 4.4.4 Lagun ............................................................................... 4.4.5 Tapak ban/tapak hewan........................................................ 4.4.6 Parit .................................................................................. 4.5 Diskripsi nyamuk Anopheles spp. berdasarkan karakter habitat perkembangbiakannya di Saketa....................................... 4.5.1 Anopheles farauti ............................................................... 4.5.2 Anopheles indefinitus .......................................................... 4.5.3 Anopheles kochi ................................................................ 5.5.4. Anopheles punctulatus, An. subpictus dan An. vagus......... 4.6 Kesimpulan ................................................................................. Daftar Pustaka ............................................................................. PERILAKU MENGISAP DARAH NYAMUK Anopheles spp. DI DESA SAKETA KABUPATEN HALMAHERA SELATAN ................................................................. 5.1 Pendahuluan ................................................................................ 5.2 Bahan dan Metode ...................................................................... 5.3 Hasil dan pembahasan .................................................................. 5.3.1 Aktivitas mengisap darah per malam (Man Biting Rate/MBR) ..................................................... 5.3.1.1 Grup Anopheles punctulatus ............................... 5.3.1.2 Anopheles barbumbrosus ..................................... 5.3.1.3 Anopheles indefinitus ........................................... 5.3.1.4 Anopheles kochi .................................................. 5.3.1.5 Anopheles subpictus .............................................. 5.3.1.6 Anopheles tessellatus ............................................. 5.3.1.7 Anopheles vagus ................................................... 5.3.2. Aktivitas mengisap darah per jam (Man Hour Demsity/MHD) .........................................................
5.3.2.1 5.3.2.2 5.3.2.3 5.3.2.4 5.3.2.5 5.3.2.6 5.3.2.7
Grup Anopheles punctulatus .............................. Anopheles barbumbrosus,. .................................... Anopheles indefinitus ............................................ A Anopheles kochi ............................................... Anopheles subpictus ............................................... Anopheles tessellatus ............................................. Anopheles vagus ...................................................
56 58 60 64 66 66 67 68 69 71 72 73 76 78 81 85 92 95
101 103 106 108 108 110 111 112 113 114 115 116 117 117 120 121 122 123 124 125
xix
6 7
5.3 Perilaku Istirahat ......................................................................... .......... 5.4 Kesimpulan ........................................................................... ..... Daftar pustaka .......................................................................................... PEMBAHASAN UMUM ..................................................................... KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 7.1 Kesimpulan .................................................................................... 7.2 Saran ............................................................................................ DAFTAR PUSTAKA UMUM ............................................................... LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................
127 129 131 135 146 146 147 151 165
xx
xxi
DAFTAR TABEL Halaman 1
2
3 4
5
6
7
8
Sebaran dan indeks keanekaragaman Anopheles pada tiap jenis ekosistem di Desa Saketa, Kab. Hal-Sel dari September 2010 sampai Agustus 2011................................................................ Dominasi (D) nyamuk Anopheles spp. pada setiap jenis ekosistem di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011 ...................................................................... Keberadaan habitat Anopheles spp. di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari bulan September 2010-Agustus 2011....... Hasil penghitungan dan analisis data larva Anopheles spp. di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010-Agustus 2011. ......................................................... Jumlah individu dan persentase Anopheles spp. pada setiap tipe habitat perkembangbiakan di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari Bulan September 2010-Agustus 2011....................... Spesies Anopheles spp. yang terdapat pada setiap tipe habitat di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari bulan September 2010Agustus 2011 ..................................................................................... Jumlah tipe habitat, rata-rata dan proporsi larva dan nilai kelangsung hidupan nyamuk pada setiap tipe habitat Anopheles spp. di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010-Agustus 2011 .....................................................................................................
24
26 55
55
56
58
59
Spesies nyamuk Anopheles pada setiap tipe habitat, jarak habitat dari rumah terdekat, ketinggian (m dpl) dan fungsi lahan tempat habitat berada di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari Bulan September 2010-Agusutus 2011 ..........................................................
61
9
Jumlah larva, curah hujan, kecepatan angin, kelembaban (rH) dan suhu dari Bulan September 2010 hingga Agustus 2011 ......................
64
10
Jumlah larva, jumlah cidukan dan densitas larva, frekuensi nisbi dan kelimpahan nisbi nyamuk An. farauti pada setiap habitat di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari Bulan September 2010Agustus 2011 .....................................................................................
74
11
Karakteristik fisik-kimia habitat perkembangbiakan Anopheles farauti di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan .......................
76
12
Kedalaman, luas habitat, elevasi, jarak habitat dari rumah terdekat dan fungsi lahan di sekitar habitat perkembangbiakan nyamuk Anopheles farauti di Desa Saketa dari Bulan September 2010-Agustus 2011 ..............................................................
77
Karakteristik biologi habitat perkembangbiakan An. farauti di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010-Agustus 2011 .................................................................................
78
13
xxii
14
15
16
17
18
19 20
21
22
23
24
25
Jumlah larva, jumlah cidukan, densitas larva, frekuensi relatif dan kerapatan relatif An. indefinitus di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010Agustus 2011 ......................................................................................... Karakteristik fisik-kimia habitat perkembangbiakan Anopheles indefinitus di Desa Saketa kabupaten Halmahera Selatan .................................................................................. Karakteristik biologi habitat perkembangbiakan nyamuk An. indefinitus di Desa Saketa dari Bulan September 2010-Agustus 2011 ................................................................................. Karakteristik biologi habitat perkembangbiakan An. indefinites di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010-Agustus 2011 ................................................................................. Jumlah larva, jumlah cidukan, densitas larva, frekuensi relatif dan kerapatan relati An.kochi di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010Agustus 2011 ......................................................................................... Karakteristik fisik-kimia habitat perkembangbiakan An. kochi di Desa Saketa kabupaten Halmahera Selatan ........................................ Kedalaman, luas habitat, elevasi, jarak habitat dari Rumah terdekat dan fungsi lahan di sekitar habitat perkembangbiakan nyamuk An. kochi di Desa Saketa dari Bulan September 2010-Agustus 2011 ............................... Karakteristik biologi perkembangbiakan An. kochi di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010-Agustus 2011 .............................................................. Jumlah larva, jumlah cidukan, densitas larva, dan frekuensi relatif An. punctulatus, An. subpictus, dan An. vagus di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010- Agustus 2011 ............................................................................ Karakteristik fisik-kimia habitat perkembangbiakan An. kochi di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010-Agustus 2011 ............................................................................... Kedalaman, luas habitat, elevasi, jarak habitat dari rumah terdekat dan fungsi lahan di sekitar habitat perkembangbiakan nyamuk An. subpictus, An. puntulatus dan An. vagus di Desa Saketa dari Bulan September 2010-Agustus 2011 ................................................................................ Karakteristik biologi perkembangbiakan An. subpictus, An. puntulatus dan An. vagus di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010-Agustus 2011 .........................
78
79
80
81
82 83
84
84
85
86
87
88
xxiii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
2
3.
4
5
6
7
8
9
10
11 12
13 14 15 16
Penyebaran fauna di Indonesia, Garis Wallacea memisahkan fauna Oriental, Garis Lydekker memisahkan fauna Australasia, dan Garis Weber merupakan daerah transisi ......................................................... Kelimpahan (%) nyamuk Anopheles per bulan pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011........................................................................ Kelimpahan (%) An. punctulatus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011........................................................................................... Kelimpahan (%) An. farauti pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011. ....................................................................................................... Kelimpahan (%) An. koliensis pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011.. ................................................................................ . . Kelimpahan (%) An. barbumbrosus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011. . . . .................................................................. . . . . . . . . . Kelimpahan (%) An. hackeri pada empat jenis ekosistem Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011. . . . . ............................................................................................... Kelimpahan (%) An. indefinitus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011 ....................................................................................... Kelimpahan (%) An. kochi pada empat ekosistem di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011 ......................................................................................................... Populasi An. subpictus berdasarkan jenis ekosistem dan bulan penangkapan di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011.... .......................................... Kelimpahan (%) An. tessellatus empat di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011 .............. Kelimpahan (%) An. vagus pada empat eskosistem di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011. . . . . . . . .......................................................................................... Hasil analisis korespondensi (CA) antara jenis ekosistem dan spesies nyamuk Anopheles spp. di Desa Saketa.. . . . . . . . . . . . . ...................... . Cidukan untuk pengambilan larva pada beberapa tipe habitat............... . Persentase larva Anopheles pada setiap tipe habitat................................... Sebaran habitat perkembangbiakan nyamuk Anopeheles di Desa Saketa .......................................................................................
7
27
28
30
31
32
33
33
34
36 37
38 39 54 57 61
xxiv
17 18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Hasil analisis regresi hubungan antara kelembaban, curah hujan, kecepatan angin dan suhu terhadap populasi larva Anopheles spp. .......... Kepadatan mengisap darah perorang per malam (MBR) An. punctulatus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) ......................................... Kepadatan mengisap darah perorang per malam (MBR) An. farauti pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) ....................................... Kepadatan mengisap darah perorang per malam (MBR) An. koliensis pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011)............................................ Kepadatan mengisap darah perorang per malam (MBR) An. barbumbrosus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) ......................................... Kepadatan mengisap darah perorang per malam (MBR) An. indefinitus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) ......................................... Kepadatan mengisap darah perorang per malam (MBR) An. kochi pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) ......................................... Kepadatan mengisap darah perorang per malam (MBR) An. subpictus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) ........................................ Kepadatan mengisap darah perorang per malam (MBR) An. tessellatus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) ............................................ Kepadatan mengisap darah perorang per malam (MBR) An. vagus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) .......................................... Aktivitas menghisap darah per orang per jam (MHD) nyamuk An. punctulatus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) ............ ............................................. Aktivitas menghisap darah per orang per jam (MHD) nyamuk An. koliensis pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 201 0-Agustus 2011) .......................................................... Aktivitas menghisap darah per orang per jam (MHD) nyamuk An. farauti pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) .......................................................... Aktivitas menghisap darah per orang per jam (MHD) nyamuk An. barbumbrosus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) ............................................................ Aktivitas menghisap darah per orang per jam (MHD) nyamuk An. indefinitus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) ............................................................
65
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
122
xxv
32
33
34
35
36
Aktivitas menghisap darah per orang per jam (MHD) nyamuk An. kochi pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) ............................................. Aktivitas menghisap darah per orang per jam (MHD) nyamuk An. subpictus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) ........................................................... Aktivitas menghisap darah per orang per jam (MHD) nyamuk An. tessellatus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) ........................................................... Aktivitas menghisap darah per orang per jam (MHD) nyamuk An. vagus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) ........................................................... Kondisi lingkungan dan jenis ekosistem yang berpeluang menjadi faktor risiko penularan malaria di Desa Saketa ........................
123
124
125
126 147
xxvi
xxvii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3
4
5 6
7 8
9 10 11 12 13 14 15 16
Fluktuasi jumlah penderita malaria selama 5 tahun di Desa Saketa dari tahun 2007-2010. . . ...................................................... Peta kabupetan Halmahera Selatan................................................... Lokasi titik sampling penangkapan nyamuk Human landing Collection/HLC (A) titik-titik sampling larva pada habitat nyamuk Anopheles (bawah) di Desa Saketa (B).............................................................. Proses penangkapan nyamuk dengan HLC, pada 4 jenis ekosistem di Desa Saketa, A=kebun, B=hutan, C = semak, D=permukiman. ........................................................... Proses koleksi larva di berbagai tiper habitat...................................... Predator potensil larva yang sering dijumpai pada habitat perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Desa Saketa; Copepoda (kiri), Gerridae (kanan) Bawah: tanaman air (ganggang) di kolam ......................................................................... Habitat untuk istirahat pagi (atas) dan penangkapan nyamuk istirahat pagi (bawah) ........................................................................ Jumlah individu pada semua jenis Anopheles per ekosistem per bulan penangkapan di Desa Saketa dari September 2010-Agustus 2011. .......................................................... Rekapitulasi hasil tangkapan nyamuk Anopheles perspesies pada 4 jenis ekosistem ......................................................................... Kondisi beberapa parameter fisik pada habitat Anopheles jenis kubangan di Saketa ......................................................................... Kondisi beberapa parameter fisik pada habitat Anopheles jenis kobakan di Saketa.............................................................................. Kondisi beberapa parameter fisik pada habitat Anopheles jenis kolam di Saketa ................................................................................. Kondisi beberapa jenis parameter fisik pada habitat Anopheles jenis parit di Saketa ............................................................................. Kondisi beberapa jenis parameter fisik pada habitat Anopheles jenis tapak ban di Saketa ............................................................................ Kondisi beberapa jenis parameter fisik pada habitat Anopheles jenis parit ban di Saketa .............................................................................. Peta penyebaran jenis vektor malaria di Indonesia ............................
165 165
166
167 168
169 170
171 173 174 177 179 180 182 185 186
xxviii
1
BAB 1 PENDAHULUAN
Malaria masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia dan merupakan prioritas pertama di antara sepuluh masalah kesehatan di Indonesia (Sukadi & Rogayah 2009), dan upaya pengendaliannya menjadi komitmen global dalam Millenium Development Goals (MDGs). Sekitar 80 % dari 484 kabupaten/kota di Indonesia termasuk kategori endemis dan 45% penduduk berdomisili di desa endemis. Wilayah endemis malaria pada umumnya adalah desa-desa terpencil dengan kondisi lingkungan yang kurang baik, sarana transfortasi dan komunikasi yang sulit, akses pelayanan kesehatan yang kurang, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi masyarakat yang rendah serta buruknya perilaku hidup sehat masyarakat (Kemenkes RI 2011). Angka kesakitan malaria di beberapa wilayah cenderung menurun, namun demikian angka annual malaria incidence (AMI) masih tergolong tinggi, di luar Jawa dan Bali, angka AMI selama 5 tahun dari 2000-2005 menunjukkan nilai yang relatif konstan yaitu berturut-turut 31.1‰, 26.2‰, 22.3‰, 21.8 ‰ 21.2 dan 24.8‰ dari tahun 2000 hingga tahun 2005 (Kemenkes RI 2005). Sejak tahun 2007, upaya penanggulangan malaria dilihat berdasarkan indikator annual parasite incidence (API) dengan dasar bahwa setiap kasus malaria harus dibuktikan dengan hasil pemeriksaan darah dan semua kasus posistif harus diobati dengan kombinasi berbasis artemisinin (ACT). Angka API nasional tahun 2008 adalah 2,47‰ dan pada tahun 2009 menurun menjadi 1,85‰, tetapi naik menjadi 1,96 pada tahun 2010 (Kemenkes 2011). Daerah dengan angka API tertinggi adalah Papua barat (28,1‰), diikuti NTT (20,35‰), Papua (18,35‰), Maluku (8,94‰) dan Maluku Utara (8,91‰) (Kemenkes RI 2010). Provinsi Maluku Utara merupakan wilayah endemis malaria yang tergolong kategori high incidence area (HIA) dengan tingkat endemisitas di atas 50 ‰, dan menduduki peringkat kelima setelah Papua Barat, Papua, NTT dan Sulawesi Tengah, yaitu dengan tingkat prevalensi malaria 7,23‰ (Kemenkes RI 2008).
2
Angka AMI selama tiga tahun dari 2006-2008 berturut-turut adalah 54.50‰, 58.12‰ dan 55.45‰. Di Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Halmahera Selatan merupakan daerah dengan angka AMI tertinggi. Dari tahun 2006-2008 angka AMI berturut-turut adalah 77.78‰, 62.0‰, dan 57.5‰ (Dinkes Maluku Utara 2008). Angka AMI terakhir (2010) mencapai 54% (Dinkes Kab. Halmahera Selatan 2010), sedangkan angka API tercatat tetap untuk tahun 2008 dan 2009 yaitu 8,91‰ (Kemenkes RI 2011). Angka AMI dan API yang tinggi ini memerlukan perhatian khusus bukan hanya pada masalah penanganan klinis, tetapi juga diperlukan segera kajian entomologi terpadu dalam upaya pengendalian vektornya. Kabupaten Halmahera Selatan terletak antara 1260 45’-129030’ BT dan 0030’LU – 2000’ LS. Luas wilayah adalah 40.236.72 km2, 22% dari wilayahnya berupa daratan dan 78% merupakan lautan. Keadaan iklim dipengaruhi oleh angin laut terutama yang berasal dari laut Seram dan laut Maluku. Musim barat atau utara berlangsung dari Desember hingga Maret. Bulan April merupakan transisi ke musim selatan atau timur tenggara yang diikuti musim kemarau yang berlangsung dari bulan Mei hingga Oktober (BPS Kab. Halamahera Selatan 2010). Desa Saketa yang terdapat di Kecamatan Gane Barat, Kabupaten Halmahera Selatan, merupakan daerah endemis malaria tinggi, sejak tahun 2007 hingga Juni 2010 tercatat sebanyak 1.290 orang penderita, dengan angka annual parasite incidence (API) berturut-turut 225,4‰, 158,3‰, 157,7‰, 106,9‰ masingmasing untuk tahun 2007, 2008, 2009 dan 2010 [PSKGB 2010]. Desa ini merupakan desa pantai, memiliki pelabuhan yang merupakan pintu masuk ke Gane Barat dan Gane Timur dengan mobilitas masyarakat yang tinggi. Sebagian besar wilayah desa yang berada di luar permukiman merupakan areal perkebunan kelapa, tanaman cokelat, hutan dan sebagian berupa semak. Tingginya angka insiden malaria di desa ini berkaitan erat dengan keberadaan beberapa jenis vektor di berbagai jenis ekosistem dan tersedianya berbagai jenis habitat perkembangbiakannya di desa Saketa. Selain itu, pekerjaan utama masyarakat adalah berkebun, sementara perkebunan merupakan tempat yang banyak menyediakan habitat untuk perkembangbiakan nyamuk. Vektor lokal
3
merupakan determinan penting dalam dinamika penularan, sehingga diperlukan pengamatan vektor untuk menyusun strategi penegendalian dan mengatasi masalah malaria di daerah ini. Vektor di Maluku Utara merupakan campuran antara beberapa spesies oriental dari bagian barat dan kelompok Australasia yang bermigrasi ke wilayah Halmahera, meliputi spesies Anopheles farauti, An. punctulatus, An. koliensis, An. longirostris, dan An. bancrofti (Depkes 2008). Nyamuk Anopheles spp. yang telah ditemukan dari 15 jenis habitat perkembangbiakan di Kabupaten Halmahera Selatan berjumlah 11 spesies yaitu An. kochi, An. subpictus, An. vagus, An. tesselatus, An. farauti, An. barbumbrosus, An. ramsayi, An. punctulatus, An. hackeri, An. minimus dan An. umbrosus, namun berdasarkan hasil uji ELISA yang positif mengandung parasit (Plasmodium vivax) adalah An. indefinitus, An. kochi dan An. vagus (Sukowati 2010). Sementara itu, Mulyadi (2010) melaporkan lima spesies Anopheles di Desa Doro Halmahera Selatan, yaitu An. kochi, An. vagus, An. farauti, An. punctulatus, dan An. minimus. Penyebaran nyamuk Anopheles spp. dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, di antaranya lingkungan fisik berupa kondisi cuaca, letak geografis, fungsi lahan dan lingkungan mikro berupa genangan air untuk peletakan telur dan untuk habitat perkembangbiakan. Siklus hidup nyamuk juga sangat dipengaruhi oleh cuaca. Meskipun nyamuk lebih banyak hidup di permukiman, tahap hidup pradewasa lebih banyak hidup di alam. Larva nyamuk sangat rentan terhadap kelembaban udara, suhu udara yang menyimpang dan curah hujan yang berlebihan (Hadi & Koesharto 2006). Wilayah Saketa memiliki berbagai jenis ekosistem perairan alami berupa ekosistem lotik seperti sungai, kali-kali kecil dan mikroekosistem akuatik seperti genangan,
kobakan,
kubangan, jejak kaki hewan dan sebagainya yang
merupakan habitat alami berbagai jenis nyamuk. Selain itu, terdapat juga habitat buatan atau akibat aktivitas manusia seperti kolam,
parit,
jejak ban mobil,
sampan atau perahu yang tidak terpakai. Sebagaimana halnya dengan habitat lainnya seperti rawa, lagun, celah batuan, air yang mengalir lambat, genangan kecil dan besar, jenis habitat tersebut memiliki kondisi yang cocok untuk habitat perkembangbiakan nyamuk (Beebe et al. 2000).
4
Pengendalian vektor merupakan komponen utama untuk memutus rantai malaria, oleh karena itu pengendalian vektor menjadi elemen dasar keberhasilan program malaria. Vektor malaria sangat berbasis lingkungan dan bersifat spesifik lokal, oleh sebab itu dalam pengendalian vektor malaria diperlukan pemahaman yang rinci tentang spesies, karakteristik habitat serta epidemiologi penyakitnya (Sukowati 2008). Kendala umum yang dijumpai dalam pemberantasan malaria antara lain kualitas pemberantasan belum sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan, serta belum didasarkan pada pengetahuan bionomik vektornya sehingga tidak efektif, tidak efisien, tidak tepat sasaran. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis bioekologi nyamuk Anopheles spp. sebagai dasar penyusunan strategi pengendalian vektor malaria di Halmahera Selatan yang dapat memberikan informasi ilmiah yang bermakna dalam program pengendalian vektor. Kabupaten Halmahera Selatan merupakan wilayah yang sangat representatif sehingga data entomologi sangat diperlukan bagi perumusan kebijakan untuk kepentingan eleminisi vektor. Tujuan penelitian adalah (1) menganalisis bioekologi vektor malaria khususnya kelimpahan dan keanekaragaman nyamuk Anopheles spp. pada empat jenis ekosistem yang berbeda yaitu ekosistem hutan, perkebunan, semak dan permukiman, (2) menganalisis karakteristik habitat perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. yang meliputi tipe habitat, faktor lingkungan fisik, kimia dan biologinya, dan (3) menganalisis perilaku mengisap darah dan perilaku istirahat pagi nyamuk Anopheles spp. pada setiap jenis ekosistem. Berdasarkan tujuan umum penelitian tersebut, maka pelaksanaan penelitian dibagi menjadi tiga sub penelitian yaitu : 1
Kelimpahan dan keanekaragaman nyamuk Anopheles spp. di Desa Saketa, daerah endemik malaria yang dibahas dalam BAB 3
2
Karakteristik habitat larva Anopheles spp. di Desa Saketa daerah endemik malaria di Kabupaten Halmahera Selatan yang dibahas dalam BAB 4
3
Perilaku mengisap darah nyamuk Anopheles spp. Di desa saketa Kabupaten Halmahera Selatan yang dibahas dalam BAB 5
5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Malaria dan vektornya Pada dekade terakhir malaria muncul kembali dan menyebar luas dengan dampak yang merugikan bagi kesehatan, sosial ekonomi dan politik. Kemunculan kembali malaria lebih sering terjadi di daerah yang telah melakukan eradikasi atau pada daerah yang insidennya sudah sangat berkurang (WHO 2002). Penyebaran malaria dipengaruhi oleh lima faktor utama yaitu faktor manusia, parasit, vektor, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan yang berinteraksi dalam satu relung ekologi (Sukowati 2008). Penyebaran malaria juga dipengaruhi oleh meningkatnya mobilitas masyarakat dan hubungan komersil yang berakibat meningkatnya kasus malaria dan menyebabkan terjadinya endemik. Demikian pula halnya dengan perubahan ekologi sebagai akibat kegiatan manusia yang menciptakan kondisi yang cocok bagi nyamuk setempat dan penyakit infeksi yang disebarkannya (Wensdorfer & McGregor 1988). Di dunia, kecuali benua Antartika terdapat lebih dari 3.000 spesies nyamuk yang tergolong dalam 34 genus dari famili Culicidae (Fusco 2000). Di Indonesia terdapat 18 genus nyamuk yang terdiri atas 457 spesies. Empat genus penting yang sebagian besar spesiesnya berperan sebagai vektor adalah Anopheles (80 spesies), Culex (82 spesies), Aedes (125 spesies) dan Mansonia (8 spesies), sisanya sebagai anggota dari genus yang tidak penting dalam penularan penyakit (O’Connor & Sopa 1999). Dari 80 spesies Anopheles, 22 di antaranya telah dikonfirmasi sebagai vektor malaria yaitu An. aconitus, An. balabacensis, An. bancroftii, An.barbirostris, An. flavirostris, An. farauti, An. karwari, An.koliensis, An.punctulatus, An. ludlowae, An. letifer, An. leucosphyrus An. maculatus, An. minimus, An. nigerrimus, An. parengensis, An.sundaicus, An. subpictus, An. sinensis, An. umbrosus, An. vagus, dan An. tesselatus (Sukowati 2005; Kandun 2008).
6
Anopheles sejauh ini dilaporkan berperan sebagai vektor malaria. Jumlah Anopheles yang telah diidentifikasi secara morfologi sebanyak 457 jenis, tetapi dengan ditemukannya spesies sibling yang secara morfologi tidak bisa dibedakan maka diperkirakan jumlahnya mencapai 500 jenis. Distribusi Anopheles, bioekologi, dan peranannya sebagai vektor malaria sangat bervariasi dari daerah ke daerah. Oleh karena itu informasi tentang perilaku vektor malaria dan distribusinya harus diamati dengan baik secara individual maupun secara menurut spesies kompleks (WHO 2007). 2.2 Penyebaran dan keragaman nyamuk Anopheles spp. Indonesia dibagi oleh garis Weber yang memisahkan fauna-fauna oriental dan Australia sehingga diperlukan kunci indentifikasi khusus untuk fauna di sebelah barat garis Weber, demikian pula halnya dengan yang di sebelah timurnya (O’Connor & Soepanto 1999). Dengan demikian pembuatan satu kunci umum untuk identifikasi nyamuk di Indonesia sulit dilakukan. Penyebaran nyamuk Anopheles spp. di Indonesia mengikuti pola penyebaran fauna yang secara geografi terbagi dalam 2 kelompok besar, yaitu fauna bagian barat Indonesia (Sumatera, Jawa, Bali, Madura, Kalimantan) dan fauna bagian timur yaitu Sulawesi dan pulau di sebelah timurnya. Dua kelompok fauna ini mempunyai ciri yang berbeda dan dipisahkan oleh garis Wallace (garis antara Kalimantan dan Sulawesi yang berlanjut di antara Bali dan Lombok). Hamparan kepulauan di sebelah timur garis Wallace dari semula memang tidak termasuk kawasan Australia, karena garis batas barat kawasan Australia adalah Garis Lydekker yang mengikuti batas paparan Sahul. Dengan demikian ada daerah transisi yang dibatasi Garis Wallace di sebelah barat dan garis Lydekker di sebelah timur. Di antara kedua garis ini terdapat garis keseimbangan fauna yang dinamakan garis Weber (Gambar 1).
7
Gambar 1. Penyebaran fauna di Indonesia, Garis Wallacea memisahkan fauna Oriental, Garis Lydekker memisahkan fauna Australasia, dan Garis Weber merupakan daerah transisi Spesies Anopheles di bagian barat garis Wallacea adalah spesies oriental di antaranya An. aconitus, An. sundaicus, An. subpictus, An. balabacensis, An. leucosphyrus, An. minimus dan An. barbirostris. Spesies Australasia di antaranya An. farauti, An. punctulatus, An. koliensis, An. longirostris dan An. bancrofti. Beberapa spesies dari kelompok oriental di antaranya ada yang bermigrasi ke timur, sehingga di wilayah Papua ditemukan spesies oriental, demikian pula halnya dengan kelompok Australasia ada yang bermigrasi ke bagian barat garis Lydekker (Sukowati 2008). Nyamuk Anopheles spp. yang ditemukan di Pulau Sumatera menunjukkan keragaman yang spesifik, Suwito (2010) melaporkan bahwa di Padang Cermin dan Rajabasa, Lampung Selatan terdapat 12 spesies Anopheles spp. yaitu An. sundaicus, An. vagus, An. tessellatus, An. aconitus, An. subpictus, An. annularis, An. kochi, An. minimus, An. barbirostris, An. maculatus, An. maculatus dan An. hyrcanus grup. Di Ogan Komering Olu (OKU), Sumatera Selatan ditemukan tujuh spesies yaitu An. aconitus, An. annularis, An. kochi, An. schuefneri, An. vagus, An. barbirostris, dan An. nigerrimus (U’din 2005). Nyamuk Anopheles spp. yang ditemukan di Pulau Jawa juga memiliki keragaman yang berbeda, misalnya di Kokap, Kulonprogo, Barodji et al. (2003) melaporkan bahwa ditemukan delapan spesies Anopheles spp yaitu An. aconitus, An. annularis, An. balabacensis, An. barbirostris, An. flavirostris, An. kochi, An. maculatus dan An. vagus. Sementara itu, Sumantri dan Iskandar (2005)
8
melaporkan bahwa di Pelabuhan Ratu dan daerah Cienunteung Gede, Tasikmalaya ditemukan enam spesies Anopheles spp. yaitu An. aconitus, An. annularis, An. maculatus, An. sundaicus, An. vagus dan An. barbirostris. Jumlah spesies Anopheles yang lebih tinggi ditemukan di Sukabumi sebagaimana yang dilaporkan oleh Munif et al. (2008), bahwa terdapat sembilan spesies Anopheles spp. yaitu yaitu An. aconitus, An. annularis, An. baezai, An. barbirostris, An. indefinitus, An. kochi, An. maculatus, An. sundaicus, dan An. vagus. Ndoen et al. 2010 menemukan jumlah spesies Anopheles spp. yang lebih tinggi di Jawa tengah yang terdiri dari sembilan spesies yaitu yaitu An. aconitus, An. subpictus, An. vagus, An. annularis, An. flavirostris, An. indefinitus, An. kiochi, An. maculatus, dan An. tessellatus. Di Kalimantan Tengah, dilaporkan terdapat dua spesies Anopheles spp. yaitu An. letifer dan An. umbrosus (Juliawati 2008). Di Kabupaten Donggala dan Banggai, Sulawesi Tengah ditemukan empat spesies Anopheles spp. yaitu An. barbirostris, An. subpictus, An. parangensis dan An. flavirostris (Jatsal et al. 2003). Sementara itu, Garjito et al. (2004), melaporkan bahwa di Kabupaten Parigi-Muotng terdapat sepuluh spesies Anopheles yaitu An. barbirostris, An, subpictus, An. parangensis, An. aconitus, An. hyrcanus grup, An. indefinitus, An. kochi, An. maculatus, An. tessellatus dan An. vagus. Nyamuk Anopheles spp. yang terdapat di Nusa Tenggara Barat terdiri dari sepuluh speises yaitu An. kochi, An. aconitus, An. annularis, An. barbirostris, An. campestris, An. indefinitus, An. subpictus, An. sundaicus, An. tessellatus, dan An. vagus (Soekirno, Ariati & Mardiana 2006). Sementara itu di Nusa Tenggara Timur ditemukan empat spesies Anopheles spp. yaitu An. barbirostris, An. subpictus, An. indefinitus dan An. annularis (Rahmawaty 2010). Keragaman spesies Anopheles di Maluku Utara lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia. Sukowati (2010) melaporkan bahwa di Halmahera Selatan terdapat sebelas spesies Anopheles yaitu An. kochi, An. subpictus, An. vagus, An. tesselatus, An. farauti, An. barbumbrosus, An. ramsayi,
An. punctulatus,
An. hackeri,
An. minimus dan
An. umbrosus.
Mulyadi (2010) melaporkan adanya lima spesies Anopheles di Desa Doro
9
Halmahera Selatan, yaitu An. kochi, An. vagus, An. farauti, An. punctulatus, dan An. minimus. Keragaman nyamuk Anopheles spp di Indonesia bersifat lokal spesifik, di beberapa spesies Anopheles Oriental ditemukan di wilayah Australasia, sebaliknya beberapa spesies Anopheles Australasia ditemukan di wilayah Oriental.
Bruce dan Bonne-Wepster (1947) menemukan
nyamuk Anopheles
yang menjadi vektor pada garis batas yang terletak antara Pulau Seram dengan Irian, terus ke selatan antara P. Timor dan P. Irian. Spesies-spesies dari nyamuk Anopheles vektor malaria di daerah Australia yang mengadakan migrasi ke daerah oriental adalah An. farauti, An. punctulatus, An. longirostris, dan An. bancrofti. Spesies oriental yang mengadakan migrasi ke daerah Australasia adalah An. karwari dan An. subpictus (Boesri 2007). 2.3. Perilaku nyamuk Anopheles spp. Nyamuk betina memerlukan protein untuk pembentukan telur. Makanan nyamuk adalah madu dan sari buah, yang tidak mengandung protein, nyamuk betina perlu mengisap darah untuk mendapatkan protein yang diperlukan untuk kebutuhan telur-telurnya. Nyamuk betina dari genus Toxorhynchites tidak pernah mengisap darah, larva nyamuk besar ini memenuhi kebutuhan proteinnya dengan cara memangsa jentik-jentik nyamuk yang lain (Depkes 2001). Nyamuk jantan tidak mengisap darah tetapi madu atau cairan tanaman. Nyamuk dewasa jantan umumnya hanya tahan hidup selama enam sampai tujuh hari, sedangkan yang betina dapat mencapai 2 minggu di alam. Nyamuk-nyamuk di laboratorium yang dipelihara dengan cukup karbohidrat dalam kelembaban yang tinggi dapat mencapai usia beberapa bulan. Nyamuk tertarik pada cahaya, pakaian berwarna gelap, manusia serta hewan. Hal ini disebabkan oleh perangsangan bau zat-zat yang dikeluarkan hewan terutama CO2 dan beberapa asam amino dan lokalisasi yang dekat pada suhu hangat serta kelembaban (Hadi & Koesharto 2006). Beberapa spesies nyamuk bersifat antropofilik yang lebih menyukai berdekatan
dengan
aktivitas
manusia,
spesies
ini
banyak
ditemukan
dipermukiman. Spesies zoofilik lebih menyukai hidup berdampingan dengan hewan atau ternak, sedangkan spesies antropozoofilik dapat berkembang baik
10
dalam lingkungan permukiman ataupun dekat dengan hewan. Spesies yang hidup bebeas di alam umumnya hidup dari bahan-bahan yang tersedia di alam, seperti cairan tumbuhan atau sisa-sisa kotoran dari tumbuhan dan hewan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa beberapa jenis nyamuk mencari makan dalam rumah (endofagik) dan istirahat dalam rumah (endofilik), sedangkan spesies lain memasuki rumah hanya untuk mencari makan (endofagik) tetapi istirahat di luar rumah (eksofilik), adapula yang mengisap darah di luar rumah (eksofagik) dan istirahat juga di luar rumah (eksofilik) (Hadi & Koesharto 2006). Berbagai studi membuktikan terjadinya perubahan perilaku nyamuk vektor malaria di Indonesia dan Afrika, sehingga perlu dipikirkan kembali bentuk pengendalian domestik seperti kelambu dan insektisida. Pemahaman mengenai jumlah nyamuk pada suatu tempat dan waktu tertentu belum cukup, tetapi perlu pula diketahui dimana dan kapan nyamuk mengisap darah manusia (Pates & Curtis 2005, Killeen et al. 2002). Perilaku mencari darah oleh nyamuk dipengaruhi oleh berbagai jenis faktor yang berkaitan. Beberapa faktor yang mempengaruhi nyamuk dalam mencari inang untuk menemukan darah adalah suhu, kelembaban, karbondioksida, aroma tubuh dan berbagai jenis faktor visual. Suhu. Suhu merupakan faktor penting sebagai pengarah dalam penemuan inang dan merupakan daya tarik utama bagi nyamuk untuk memberi reaksi mengisap darah (Bates 1970). Nyamuk dapat mendeteksi panas yang dikeluarkan oleh inang vertebrata dari jarak dekat dan mengarahkannya ke inang untuk mengisap darah, tetapi pada jarak tertentu yang lebih dekat, panas diduga tidak menunjukkan pengaruh terhadap daya tarik nyamuk ke inang (Clements 1999). Kelembaban udara. Kelembaban mempengaruhi metabolisme dan kelangsungan hidup nyamuk. Kelembaban yang rendah menyebabkan laju penguapan dari dalam tubuh nyamuk tinggi dan sehingga terjadi dehidrasi. Untuk perkembangbiakan nyamuk dibutuhkan kelembaban dengan ambien 60%. Nyamuk akan lebih aktif mencari sumber dan mengisap darah pada kelembaban yang lebih tinggi (Harijanto 2000). Menurut Epstein et al. 1998, kepadatan nyamuk berbanding lurus dengan kelembaban udara, semakin tinggi kelembaban udara, maka kepadatan nyamuk
11
akan semakin tinggi pula. Hal ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Juliawati (2008) bahwa kepadatan mengisap darah An. letifer di Nyaru Menteng, meningkat dengan meningkatnya kelembaban dan puncaknya terjadi pada saat kelembaban di atas 83% yang melebihi nilai kelembaban rata-rata (80,3%). Karbon dioksida (CO2). Nyamuk bereaksi positif terhadap karbon dioksida. Penelitian tentang pengaruh CO2 terhadap respon nyamuk masih terbatas dilakukan. Nyamuk Aedes aegypti merespon konsentrasi CO2 yang cocok, mereka merespon CO2 di udara pada ambang 0,015%-0,03% respon ini sama hingga konsentrasi 0,02%-0,04% CO2 di udara. Responnya menunjukkan indenpendensi dan tidak menunjukkan sensitifitas yang lebih besar terhadap konsentrasi CO2 yang dijumpai sebelumnya (Clements 1999). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Carlson et al. (1992) yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara penambahan konsentrasi CO2 dengan daya tarik Ae. aegypti terhadap inang. Aroma. Willis (1947) menyimpulkan bahwa aroma lengan manusia merupakan
rangsangan
yang
menarik
nyamuk
Ae.
aegypti,
dan
Ae.
quadrimaculatus. An. koliensis menunjukkan lebih banyak mengisap darah pada kaki dan bagian sekitar sendi kaki dari pada di tungkai kaki, dan jika kaki dan bagian sekitar sendi kaki ditutup, maka ia lebih suka mengisap darah pada bagian tungkai yang tidak berbulu daripada yang berbulu (Cooper & Frances 2000). An.
gambiae yang
merupakan
vektor utama
malaria di
Afrika,
menggunakan penciuman untuk menanggapi isyarat kimia yang diperlukan untuk makan, preferensi inang, dan pemilihan pasangan. Organ yang malaksanakan fungsi ini adalah reseptor bau (An. gambie olfactory response/AgORs) yang terletak dalam neuron sensorik perifer (Liu et al. 2010). Pada nyaku An. gambiae di Afrika, gerakan mendekati inang dikendalikan oleh berbagai penanda semiokimia yang bersifat olfaktori, yang saat ini dikenal sebagai kairomon spesifik pada manusia (Takken 1999). Penanda visual. Nyamuk tertarik pada inang yang bergerak, Ae. aegypti mendekati boks transparan yang berisi tikus rusa (Peromyscus) yang telah dibius dalam jumlah banyak, tetapi jumlah yang mengumpul pada boks yang berisi tikus rusa yang tidak dibius (aktif bergerak) dua kali lebih banyak jika dibandingkan
12
dengan boks yang pertama (Clements 1999). Brown dan Bannet (1981) melaporkan bahwa Ae. aegypti mengisap darah lebih banyak pada lengan umpan yang menggunakan kaos hitam jika dibandingkan dengan yang menggunakan kaos dengan warna lain. 2.4 Habitat perkembangbiakan Anopheles spp. Jenis habitat perkembanganbiakan nyamuk dikelompokkan berdasarkan dua cara yaitu bedasarkan sifat genangan air dan cara terbentukanya habitat. Berdasarkan sifat genangan air, habitat terdiri dari: 1) habitat dengan air yang menggenang permanen atau sementara seperti rawa yang luas, rawa di sekitar danau, kolam, genangan air dan mata air, 2) kumpulan air tawar yang sifatnya sementara seperti genangan air terbuka dan kumpulan bekas tapak kaki hewan, 3) air yang mengalir permanen seperti sungai dan selokan yang mengalir, 4) penampungan air alami seperti lubang di batu, pohon, lubang buatan hewan dan tempat penampungan air seperti kaleng bekas, ban, tempurung kelapa, dan 5) air payau seperti rawa pasang surut. Sedangkan menurut cara terbentuknya, habitat dibagi menjadi dua kelompok yaitu habitat yang bersifat alamiah seperti danau, rawa, genangan air, dan habitat buatan manusia seperti sawah, irigasi dan kolam (Rao 1981). Habitat nyamuk dalam pengertian luas didefinisikan sebagai tempat yang cocok
untuk
istirahat,
dimana
terdapat
inang
dan
menjadi
tempat
perkembangbiakan. Faktor yang mempengaruhi pemilihan nyamuk terhadap habitat utamanya adalah suhu, kelembaban, perlindungan terhadap matahari, angin dan predator (WHO 1975). Penyebaran nyamuk sangat dipengaruhi oleh karakteristik lokal, seperti karakteristik inang, lingkungan, dan karakteristik biotik. Letak geografi, lingkungan ekologi dan sosial budaya masyarakat mempengaruhi penyebarannya. Faktor ekologis berpengaruh dominan sebagai penentu prevalensi dan insidensi malaria pada suatu daerah endemis (Mardihusodo 2001). Nyamuk merupakan serangga yang sukses dalam memanfaatkan air di lingkungan, termasuk air alami dan air sumber buatan yang sifatnya permanen maupun temporer. Danau, aliran air, kolam, air payau, bendungan, saluran irigasi, air berbatuan, septik teng, selokan, kaleng bekas dan lain-lain dapat berperan
13
sebagai habitat perkembangbiakan larva nyamuk. Nyamuk dewasa bisa tinggal di sekitar habitat perkembangbiakannya, tetapi dapat juga terbang beberapa kilometer, tergantung spesies dan berbagai faktor lain. Perubahan lingkungan dan aktivitas penduduk seperti perkembangan infrastruktur, pertanian, pembuatan tambak dan irigasi, dapat menyediakan tempat perkembangbiakan bagi Anopheles (Oaks et al. 1992). Telur nyamuk harus diletakkan di permukaan air yang mengalir lambat atau air yang tenang. Larva mencari makan di bawah permukaan air, dan bernafas dengan udara permukaan (Minakawa et al. 1999). Telur nyamuk diletakkan secara berderet-deret seperti rakit di permukaan air (Culex) dan pada tumbuhan air (Mansonia), atau satu per satu dilekatkan pada dinding bejana yang berisi air (Aedes). Telur nyamuk Anopheles spp. diletakkan satu-per satu di atas permukaan air, menyerupai perahu dengan pelampung dari khorion yang berlekuk-lekuk di sebelah lateral (Hadi & Koesharto 2006). Berbagai tipe habitat mempengaruhi perkembangan dan keberhasilan larva Anopheles ssp menjadi nyamuk. Penelitian di Kenya menunjukkan adanya hubungan positif antara stabilitas habitat dan keberadaan pupa. Larva Anopheles gambie terutama terdapat pada lubang tanah, jejak kaki sapi, jalur ban, dan saluran drainase (Minakawa et al. 1999). Mikrohabitat ini sangat mendukung perkembangan nyamuk yang bersifat sinantropik karena mikrohabitat tersebut menyatu dengan kehidupan manusia. Oleh karena itu, berbagai jenis ekosistem buatan merupakan sumber ancaman penyakit dari berbagai nyamuk vektor. Hal ini juga terjadi di sepanjang Sungai Santa Ana sampai di lahan basah Prado dan lembah Chino California Selatan yang menunjukkan semakin besarnya ancaman nyamuk vektor dari waktu ke waktu akibat semakin berkembangannya berbagai habitat nyamuk sebagai dampak kegiatan pertanian (Mian 2006). Nyamuk yang hidup di alam dapat ditemukan pada berbagai ekosistem di antaranya adalah ekosistem hutan, semak, perkebunan dan permukiman, yang masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda. Berikut ini perbedaan dari masing-masing ekosistem tersebut. Ekosistem Hutan merupakan areal lahan yang dihuni oleh vegetasi tingkat tinggi menahun yang didominasi oleh vegetasi tingkat pohon, sedangkan semak
14
merupakan suatu areal yang didominasi oleh vegetasi yang rendah dengan banyak cabang yang muncul di atas atau dekat permukaan tanah. Ekosistem perkebunan merupakan areal lahan hasil konversi dari lahan hutan, semak atau dari lahan dengan fungsi lain yang kemudian dikelola secara berkesinambungan dengan memodifikasi vegetasi alaminya dengan tanaman budidaya berupa tanaman kelapa, cokelat, pala dan jenis tanaman komoditas lainnya. Ekosistem semak adalah areal yang terdiri atas vegetasi dengan ukuran tinggi tanaman yang rendah dan dicirikan oleh percabangan pada bagian pangkal pohon. Adapun ekosistem permukiman merupakan areal lahan yang peruntukannya dikhususkan untuk kawasan tempat tinggal atau permukiman. Beberapa jenis habitat perkembangbiakan nyamuk Anopheles antara lain berupa kobakan yang merupakan lubang kecil yang berisi air, biasanya muncul setelah hujan terbentuk, baik disengaja maupun secara alami oleh erosi percikan atau erosi permukaan yang mengakibatkan munculnya lubang kecil yang dapat menampung air hujan. Di Purworejo, Lestari et al. (2007) menemukan dua spesies Anopheles di kobakan yaitu An. maculatus dan An. balabacensis, sedangkan Muliadi (2010), menemukan An. farauti dan A. kochi pada bebebrapa kobakan di Desa Doro, Halmahera Selatan. Kubangan merupakan habitat yang berupa lubang atau cekungan dipermukaan tanah yang yang terbentuk secara alami ataupun akibat aktivitas manusia yang dapat menampung air hujan, ukuran dan retensi airnya lebih besar dari kobakan. Muliadi (2010), menemukan An. farauti dan A. vagus pada bebebrapa kobakan di Desa Doro, Halmahera Selatan. Jenis habitat lainnya adalah tapak ban terbentuk dari jejak roda kendaraan (roda 2 atau roda empat, atau gerobak) yang ditinggalkan dipermukaan tanah, terjadi jika kondisi tanah yang dilewati dalam keadaan lembek, becek dan sering terbentuk setelah hujan, sedangkan tapak hewan merupakan jejak kaki sapi atau kaki kerbau yang potensil menampung air hujan. Parit/Selokan merupakan saluran air yang sengaja dibuat dipermukaan tanah dengan cara dibuat galian secara memanjang
untuk
mengalirkan
air
permukaan
dan
mencegah
banjir.
Setyaningrum et al. (2008) melaporkan rata-rata kepadatan Anopheles spp. yang ditemukan di Desa Way Muli, Lampung mencapai 12,5 ind/250 ml.
15
Jenis habitat yang lebih besar adalah kolam yaitu tempat penampungan air di permukaan tanah yang sengaja dibuat untuk menampung air dalam jangka panjang, sehingga kedalamannya lebih tinggi dibanding habitat lainnya. Kolam biasanya berbentuk persegi panjang atau bentuk lainnya. Mardiana et al. 2002, menemukan An. subpictus dan An. vagus pada beberapa kolam yang terdapat di trenggalek, sedangkan Sukowati (2010) menemukan An. farauti dan An. vagus pada kolam yang terdapat di beberapa desa di Halmahera Selatan. Habitat yang juga berukuran relatif besar adalah lagun yang terdapat di mulut/muara kali kecil yang alirannya tidak permanen sepanjang tahun, terbentuk akibat hempasan gelombang laut yang membawa pasir ke bibir pantai dan menutup mulut muara secara temporer. Selama beberapa waktu tertentu hubungan dengan air laut terputus sehingga salinitas menurun drastis akibat terus bertambahnya suplai air tawar. Sukowati, 2010 menemukan lima spesies Anopheles pada beberapa lagun yang terdapat di Halmahera Selatan, yaitu An. punctulatus, An. vagus, An. barumbrosus, An. subpictus dan An. tessellatus. 2.5 Pengaruh iklim global terhadap malaria Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan kondisi iklim yang ditandai oleh perubahan sifat dari rata-rata variabel yang berlangsung lebih dari satu periode. Perubahan iklim merupakan dampak dari meningkatnya suhu global yang mencapai 0.74˚C dalam waktu 100 tahun, dan akan meningkat hingga 5˚C pada tahun 2008. Pengaruh perubahan iklim terhadap kesehatan manusia telah diprediksi secara global. Terdapat hubungan antara variabel iklim, penyakit diare dan malaria serta kisaran faktor bukan iklim dengan kesehatan manusia (Bhandari 2010). Perubahan iklim global yang berdampak terhadap perubahan cuaca mikro secara global juga berdampak luar biasa terhadap resiko penyakit kevektoran. Penambahan suhu 0,5˚C menyebabkan meningkatnya kelimpahan vektor 3-10%. Efek ini disebut dengan amplifikasi biologis dari perubahan iklim (Pazcual et al. 2006). Alonso et al. (2010) melaporkan bahwa perubahan suhu berperan penting terhadap meningkatnya
kasus
malaria
yang
disebabkan
oleh
semakin
melimpahnya jumlah nyamuk dan semakin cepatnya perkembangan parasit.
16
Selain itu juga ditunjukkan bahwa fluktuasi iklim berperan penting dalam memulai epidemi malaria di daerah tersebut. Suhu berpengaruh terhadap masa perkembangan dan perbedaan tahapan dalam siklus hidup nyamuk, laju mencari makan, siklus gonotrofik dan usia nyamuk. Kapasitas vektoral dan laju inokulasi entomologi dipengaruhi oleh kelimpahan vektor dalam hubungannya dengan jumlah orang pada suatu tempat, laju kelangsungan hidup harian, laju mencari makan, laju mencari makan dan waktu yang dibutuhkan selama periode siklus sporogoninya. Tahap ini sangat peka terhadap suhu lingkungan (Sukowati 2010). Patz dan Olson (2006) meneliti hubungan antara waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan parasit Plasmodium falciparum dan P. vivax dalam tubuh nyamuk An. gambiae, yang menunjukkan bahwa setelah melewati nilai suhu 18˚C, maka perkembangan keduanya akan semakin tinggi dengan kenaikan suhu. Masa inkubasi parasit malaria dalam tubuh nyamuk juga dipengaruhi oleh fluktuasi suhu harian. Fluktuasi suhu diurnal dibawah 21°C akan menghambat perkembangan parasit dibandingkan dengan suhu konstan, sedangkan fluktuasi yang melebihi 21°C mempercepat perkembangan parasit. Nyamuk memerlukan air tergenang untuk habitat perkembangbiakan dan membutuhkan kelembaban untuk viabilitasnya, curah hujan akan menciptakan habitat
perkembangbiakan atau
menyapu
nyamuk
fase pradewasa dan
menyebabkan vektor lebih infektif, akan tetapi suhu dan kekeringan yang terlalu tinggi akan mengurangi kelangsungan hidup nyamuk.
17
BAB 3 KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN NYAMUK Anopheles spp. DI HALMAHERA SELATAN, DAERAH ENDEMIK MALARIA [Abundance and diversity of Anopheles spp. mosquito in South Halmahera, A Malaria Endemic Region]
Abstrak
Penelitian tentang kelimpahan dan keanekaragaman nyamuk Anopheles spp. pada empat jenis ekosistem yang berbeda yaitu permukiman, perkebunan, semak dan hutan telah dilaksanakan di Desa Saketa yang merupakan daerah endemik di Kabupaten Halmahera Selatan. Penelitian ini dilaksanakan selama 12 bulan dari bulan September 2010 hingga Agustus 2011 bertujuan untuk mempelajari aspek ekologi Anopheles spp. pada tiap jenis ekosistem. Penangkapan nyamuk dilakukan dengan metode human landing collection dari pukul 18.00-6.00, sebanyak empat kali setiap bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 10 spesies Anopheles yaitu Anopheles barbumbrosus, An. farauti, An. hackeri, An. indefinitus, An. kochi, An. koliensis, An. punctulatus, An. subpictus, An. tessellatus, dan An. vagus. Anopheles tertinggi ditemukan pada ekosistem perkebunan (35,82%), diikuti oleh hutan (33,78%), semak (24,98%), dan terendah di permukiman (5,42%). An. indefinitus dominan pada ekosistem hutan, sedangkan An. kochi dominan pada ekosistem perkebunan, semak dan permukiman. Hasil analisis korespondensi menunjukkan bahwa nyamuk Anopheles tersebar dalam tiga kelompok utama yaitu An. farauti dan An. tessellatus mengelompok pada semak dan permukiman, An. indefinitus, An. hackeri, An. subpictus and An. vagus mengelompok di hutan, dan An. barbumbrosus, An. kochi, An. koliensis, dan An. punctulatus mengelompok di perkebunan. Kata kunci : Anopheles spp, endemik malaria, Halmahera Selatan, keaneka ragaman, kelimpahan
18
19
Abstract
A research on abundance and biodiversity of Anopheles mosquitoes were done in four different ecosystems, i.e. housings, plantations, bushes, and forests in South Halmahera, the endemic malaria district in North Maluku, started from September 2010 to August 2011. The research aimed to assess ecological aspect of Anopheles in each ecosystem types. Mosquitoes were collected by using human landing collection method from 6.00 pm to 6.00 am, four times per month. The research results showed that there were 10 species of Anopheles i.e. Anopheles barbumbrosus, An. farauti, An. hackeri, An. indefinitus, An. kochi, An. koliensis, An. punctulatus, An. subpictus, An. tessellatus, and An. vagus. The highest Anopheles distribution was found in plantation ecosystem (35,82%), followed by forest ecosystem (33,78%), bushes ecosystem (24,98%), and housing ecosystem (5,42%). An. indefinitus dominantly found in forest ecosystems, whereas An. kochi dominantly found in plantations, bushes and housing areas. Based on correspodence analysis, Anopheles mosquitoes found spread in three main groups namely, An. farauti and An. tessellatus clustered on the bushes and housing ecosystems, whereas An. indefinitus, An. hackeri, An. subpictus and An. vagus on the forest ecosystem, and An. barbumbrosus, An. kochi, An. koliensis, and An. punctulatus clustered in plantation. Key words:
abundance, Anopheles spp, biodiversity, malaria endemic, South Halmahera,
20
21
3. 1. Pendahuluan Desa Saketa memiliki luas ± 14.000 Ha, 4000 Ha di antaranya dalam bentuk hutan dan semak yang tidak dimanfaatkan, ± 150 Ha merupakan kawasan permukiman, dan selebihnya merupakan lahan perkebunan rakyat (GBDA, 2010) Penduduk Desa Saketa berjumlah 1.993 orang yang terdiri dari 402 KK. Saat ini di Desa Saketa terjadi perluasan wilayah perkebunan, penebangan hutan oleh pemegang HPH dan perubahan fungsi hutan secara drastis. Pembukaan lahan untuk perkebunan telah terjadi sejak lama dan semakin cepat seiiring dengan naiknya harga komoditas perkebunan. Sebagian besar warga Desa Saketa merupakan petani kebun (49,3%), nelayan (13,2%), dan sisanya bekerja sebagai pengolah kayu di hutan, buruh pelabuhan, pedagang dan pegawai yang sebagian besar di antaranya juga bekerja paruh waktu di kebun (PPDS, 2010). Aktivitas warga yang tinggi di lingkungan perkebunan, diduga telah memicu laju penyebaran malaria dari vektor ke manusia. Hal ini diindikasikan dengan tingginya kasus malaria yang terjadi selama ini. Desa Saketa merupakan daerah endemis malaria dengan tingkat infeksi tinggi, sehingga untuk daerah ini malaria masih merupakan masalah utama bagi kesehatan masyarakat. Berbagai upaya pemberantasan vektor telah dilakukan, akan tetapi angka penderita malaria masih tetap tinggi. Sejak tahun 2007 hingga 2009 tercatat sebanyak 1.296 orang penderita (PSKGB, 2010). Penyebabnya kemungkinan disebabkan terdapatnya berbagai jenis vektor dan habitatnya yang mendukung
perkembangan
dan
pertumbuhannya,
sehingga
diperlukan
pengamatan vektor untuk mengatasi masalah malaria di daerah ini. Perubahan
kompleksitas
tanaman
akan
mempengaruhi
komposisi,
kelimpahan dan sebaran hewan yang berperan dalam siklus transmisi penyakit pada manusia. Perubahan fungsi hutan dan fragmentasi habitat yang diikut i dengan berkurangnya biodiveristas akan meningkatkan laju kontak antara manusia dengan berbagai jenis patogen dan vektor penyakit (Pongsiri et al. 2009). Penurunan keanekaragaman hayati di sekitar habitat nyamuk berpengaruh terhadap munculnya kembali suatu penyakit, dimana hal ini masih kurang memperoleh perhatian. Berkurangnya keanekaragaman hayati akibat deforestasi berpengaruh langsung terhadap penyebaran penyakit zoonotik dan perubahan
22
perilaku vektor zoophilik menjadi antropophilik (Walsh et al. 1993). Kerusakan lingkungan dan ekspansi populasi vektor berperan penting dalam meningkatnya penyakit zoonotik secara drastis (Jones et al. 2008). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman, kelimpahan, dominasi, dan preferensi nyamuk Anopheles spp. terhadap beberapa jenis ekosistem yang berbeda di Desa Saketa, Halmahera Selatan.
3. 2 Bahan dan Metode Penelitian ini dilakukan selama 12 bulan dari bulan September 2010 hingga Agustus 2011, bertempat di Desa Saketa, Kecamatan Gane Barat, Kabupaten Halmahera Selatan yang merupakan kabupaten dengan kategori transmisi malaria tinggi [DKKHS 2008]. Desa ini terletak di pantai barat sebelah selatan Pulau Halmahera yang merupakan desa pantai yang dikelilingi oleh pegunungan dan sebagian besar wilayahnya merupakan lahan perkebunan, semak serta hutan. Penangkapan nyamuk dilakukan pada empat jenis ekosistem yang berbeda yaitu permukiman, perkebunan, semak dan hutan. Penangkapan dilakukan setiap jam mulai terbenam hingga terbitnya matahari (pukul 18.00 hingga pukul 06.00) sebanyak empat kali dalam sebulan dengan metode human landing collection (HLC) yang dilakukan oleh 2 orang penangkap terlatih. Nyamuk yang tertangkap dimasukkan ke paper cup dan dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi di bawah mikroskop stereo dengan buku kunci bergambar nyamuk Anopheles dewasa Maluku dan Papua (O’Connor & Soepanto 2000). Data yang terkumpul berupa jumlah nyamuk per spesies dari setiap jenis ekosistem dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel disrtribusi kelimpahan dan grafik. Data jumlah Anopheles dianalisis dengan menggunakan beberapa parameter
yaitu: Kelimpahan nisbi dihitung berdasarkan proporsi
nyamuk spesies Anopheles tertentu terhadap jumlah total nyamuk Anopheles yang tertangkap dikali 100%. Keanekaragaman spesies dihitung menggunakan indeks Shannon-Wienner, sedangkan dominasi dihitung dengan menggunakan rumus: P
D =
∑ i =1
ni ( ni − 1) N ( N − 1)
Keterangan : D = Indeks dominasi jenis, ni = Jumlah nyamuk jenis ke-i N = Jumlah seluruh nyamuk
23
Hasil analisis variabel ekologi yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan diagram, kemudian dideskripsikan dan dijadikan acuan inferensial. Preferensi spesies terhadap jenis ekosistem dianalisis dengan correspondence analysis/CA (Bengen 1999) menggunakan perangkat lunak Excell stat.2011.
3.3 Hasil dan Pembahasan 3.3.1 Komunitas dan Sebaran Nyamuk Anopheles spp. Jumlah nyamuk Anopheles yang tertangkap pada empat jenis ekosistem yang berbeda yaitu permukiman, perkebunan, semak dan hutan berjumlah 13.642 individu. Nyamuk Anopheles yang tertangkap terdiri dari 10 spesies yaitu, An. barbumbrosis, An. farauti, An. hackeri, An. indefinitus, An. kochi, An. koliensis, An. punctulatus, An. subpictus, An. tessellatus, dan An. vagus. Proporsi populasi tertinggi terdapat pada ekosistem perkebunan (35,82%), diikuti oleh ekosistem hutan (33,78%), semak (24,98%), dan terendah di permukiman (5,42%). An. kochi memiliki kelimpahan nisbi tertinggi (52,17%) diikuti oleh An. indefinitus dan An. tessellatus (35,52% dan 5,15%), serta terendah adalah An. hackeri (0,02%). Proporsi spesies lainnya relatif rendah yaitu 7,13%, dengan persentase per spesies kurang dari 2,5%. An. kochi mendominasi ekosistem perkebunan, semak dan permukiman, sementara An. indefinitus mendominasi hutan. An. indefinitus ditemukan dalam setiap bulan penangkapan pada ekosistem hutan, perkebunan dan semak, sementara An. kochi ditemukan di hutan pada setiap bulan penangkapan. Spesies lainnya memiliki frekuensi kurang dari 1,0 yang menunjukkan keberadaan spesies tersebut kurang dari 100% sepanjang 12 bulan penangkapan. Frekuensi keberadaan An. koliensis, An. punctulatus, An. subpictus, dan An. vagus kurang dari 50%, sedangkan An. hackeri hanya tertangkap di hutan dan semak dengan frekuensi 8%. Jumlah spesies yang ditemukan lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Syafruddin et al. (2010) bahwa di Halmahera Selatan selama November 2008 hingga Oktober 2009 tertangkap 28 nyamuk Anopheles dan terdiri atas 5 spesies yaitu An. vagus, An. kochi, An. farauti, An. barbumbrosus dan An. punctulatus, dan spesies dominan adalah An. vagus.
24
Tabel 1
Sebaran dan indeks keanekaragaman Anopheles spp. pada tiap jenis ekosistem di Desa Saketa, Kab. Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011
Spesies
Permukiman An. barbumbrosus 8 An. farauti 6 An. hackeri 0 An. indefinitus 236 An. kochi 390 An. koliensis 13 An. punctulatus 1 An. subpictus 4 An. tessellatus 59 An. vagus 22 Jumlah nyamuk 739 Jumlah spesies 9 Proporsi per ekosistem (%) 5,42 Indeks keanekaragaman (H') 1,1
Jenis ekosistem Perkebunan Semak Hutan 70 38 47 48 38 24 0 1 2 867 1.422 2.321 3.398 1.599 1.730 137 18 146 15 6 5 21 19 75 284 212 148 47 55 110 4.887 9 35,82 1,2
3.408 10 24,98 1,1
4.608 10 33,78 1,2
total
%
163 116 3 4.846 7.117 314 27 119 703 234
1,19 0,85 0,02 35,52 52,17 2,3 0,2 0,87 5,15 1,72
13.642 100 -
100 -
Tabel 1 menujukkan bahwa An. kochi merupakan spesies Anopheles dengan Sebagian besar populasi Anopheles menyebar pada ekosistem perkebunan (An. barbumbrosus, An. farauti,
An. kochi, An. punctulatus dan An. tessellatus).
Spesies An. hackeri, An. indefinitus, An. koliensis dan An. vagus memiliki jumlah yang lebih tinggi pada ekosistem hutan. Pada ekosistem semak dan permukiman tidak ditemukan spesies dominan sebagaimana halnya pada ekosistem hutan dan perkebunan. Sebaran Anopheles per spesies disajikan pada Tabel 1. kelimpahan nisbi tertinggi yaitu 52,17% diikuti oleh An. indefinitus (35,52%) dan terendah adalah An. punctulatus (0,2%). Meskipun kelimpahan An.kochi dan An. indefinitus cukup tinggi, tetapi spesies ini bukan vektor di Maluku Utara. An. indefinitus sejauh ini bersifat tidak susceptible (tidak rentan) terhadap parasit, dan belum pernah dilaporkan sebagai vektor malaria, sehingga hanya menyebabkan gangguan terhadap manusia. Kelimpahan An. kochi yang tinggi tetap perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan penyakit filariasis, spesies ini merupakan vektor filariasis di Papua yang secara geografis berdekatan dengan Halmahera. An. kochi telah dikonfirmasi sebagai vektor malaria di Sumatera Selatan dan pada tahun 1993 dilaporkan sebagai vektor Japanese encephalitis di Semarang (Winarno &
25
Hutajulu 2009). Kelimpahan atau densitas vektor jika dikaitkan dengan perannya sebagai inang parasit, merupakan komponen yang penting untuk diketahui karena secara langsung akan menentukan keefektifan dari kontak antara inang dan vektor (Eldridge & Edman 2000). Di desa ini terdapat dua spesies yang dominan yaitu An. kochi pada ekosistem perkebunan, semak dan permukiman dan An. indefinitus pada ekosistem hutan. Indeks keanekaragaman menunjukkan keanekaragaman spesies dalam suatu komunitas, semakin tinggi nilainya maka suatu komunitas akan semakin stabil. Keanekaragaman jenis akan tinggi bila terdapat banyak jenis nyamuk yang mendominasi suatu ekosistem, dan akan rendah bila hanya terdapat satu jenis yang mendominasi. Tinggi rendahnya keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu di antaranya adalah kualitas lingkungan (Llyoid & Ghelardi 1964 dalam Genisa 2006). Indeks keanekaragaman nyamuk yang tinggi menunjukkan ekosistem yang stabil, tetapi dari segi kevektoran justru dapat dijadikan sebagai indikator ancaman. Semakin beraneka ragam vektor menunjukkan sebagai semakin rentannya masyarakat terhadap ancaman penyakit oleh vektor. Hal ini menimbulkan masalah yang dapat menyulitkan dalam menentukan strategi pengendalian vektor. 3.3.2 Dominasi Anopheles spp Hasil analisis terhadap dominansi spesies Anopheles spp. pada setiap jenis ekosistem disajikan pada Tabel 2. Tanpak bahwa An. indefinitus dan An. kochi memiliki dominasi yang lebih tinggi pada semua jenis ekosistem jika dibandingkan dengan spesies lainnya. Spesies An. indefinitus mendominasi ekosistem hutan, sedangkan An. kochi mendominasi ekosistem perkebunan, semak dan permukiman. Tingginya dominasi spesies tersebut menunjukkan peran ekologi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan spesies lainnya. Spesies lain yang perlu mendapat perhatian khusus walaupun dominasi dan kelimpahannya rendah adalah Anopheles punctulatus grup (An. koliensis, An. punctulatus dan An. subpictus).
Ketiga spesies merupakan vektor malaria di
Maluku Utara dan Papua (Sukowati 2010; Winarno & Hutajulu 2009). Walaupun proporsinya dan nilai ekologinya cukup rendah, akan tetapi karena statusnya
26
sebagai vektor maka keberadaannya menjadi indikator ancaman bagi transmisi malaria di daerah ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan populasi Anopheles tertinggi di Desa Saketa ditemukan pada ekosistem perkebunan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Petney et al. (2009) untuk An. dirus yang dilaporkan lebih tinggi di perkebunan karet di Thailand Utara. Selain memberikan manfaat ekonomi, perkebunan juga menyediakan kondisi seperti naungan, suhu dan kelembaban yang lebih cocok untuk perkembangbiakan dan aktivitas Anopheles spp. Perkebunan yang baru dibuka akan meningkatkan kepadatan nyamuk dan kejadian penyakit, dan diduga menyebabkan kasus malaria hingga 25% di Provinsi Srisaket dan 31% di Ubon Ratchathani (Petney et al. 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Juri, Almirón dan Claps (2010) di dalam hutan dan tepi hutan di Argentina menunjukkan bahwa terdapat tiga kelompok utama nyamuk dalam hutan yaitu Anopheles (Arribalzaga) dengan proporsi 52.1%, diikut i oleh Anopheles (Nyssorhynchus) strodei (20.5%) dan Anopheles (Nyssorhynchus) evansae (6.4%). Kelimpahan nyamuk lebih tinggi di dalam hutan dibandingkan dengan bagian tepi hutan dengan An. pseudopunctipennis sebagai spesies yang paling melimpah. Tabel 2. Dominasi (D) nyamuk Anopheles spp. pada setiap jenis ekosistem di desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011 Spesies A. barbumbrosus An. farauti An. hackeri An. indefinitus An. kochi An. koliensis An. punctulatus An. subpictus An. tessellatus An. vagus
Hutan 0,03 0,01 0,00 63,73 35,40 0,25 0,00 0,07 0,26 0,14
Perkebunan 0,04 0,02 0,00 5,29 93,86 0,15 0,00 0,00 0,63 0,02
Permukiman 0,03 0,01 0,00 26,07 71,33 0,07 0,00 0,01 1,61 0,22
Semak 0,03 0,00 0,06 0,01 55,15 0,00 0,01 0,03 43,62 0,97
27
Pembalakan hutan akan mengubah fungsi lahan dan pola permukiman yang kemudian terbukti meningkatkan kasus malaria di Afrika (Duraiappah & Naeem 2005). Lahan yang terbuka lebih cocok untuk perkembangbiakan Anopheles spp jika dibandingkan dengan hutan, karena lahan terbuka akan mudah menampung air hujan (Marques 1987). Pembalakan hutan dan transformasi lahan menyebabkan perubahan iklim mikro seperti suhu dan kelembaban yang mempengaruhi transmisi penyakit yang terbawa nyamuk seperti malaria, Japanese encephalitis dan filariasis. Beberapa spesies Anopheles populasinya akan menurun tetapi lebih banyak meningkat akibat pembalakan dan perubahan fungsi hutan. Di Indonesia kelimpahan An. sundaicus meningkat akibat penebangan hutan (Yasuoka & Levins 2007). Chang et al. (1997) sebaliknya menyatakan bahwa penyiapan lahan untuk perkebunan sawit di Malaysia menyebabkan empat spesies mengalami penurunan kelimpahan, di antaranya Anopheles donaldi dan An. letifer dan telah menurunkan resiko malaria hingga 90%. 3.3.3 Kelimpahan Anopheles spp. pada empat jenis ekosistem Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan spesies Anopheles mengalami fluktuasi pada ke empat jenis ekosistem. Pada bulan September hingga Januari kelimpahan per spesies pada semua jenis ekosistem sangat rendah jika dibandingkan dengan bulan-bulan selanjutnya. Kelimpahan Anopheles spp. per bulan pada setiap jenis habitat disajikan pada Gambar 2 berikut: 45,0 40,0
Kelimpahan (%)
35,0 30,0 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0 Sep
Okt Nov Permukiman
Des
Jan Feb Mar Perkebunan
Apr Mei Semak
Jun
Jul Hutan
Ags
Gambar 2 Kelimpahan (%) nyamuk Anopheles spp. perbulan pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa
28
Secara umum populasi Anopheles spp. menunjukkan kenaikan secara lambat pada bulan Januari-Februari. Umumnya, kelimpahan mulai meningkat Februari dan Maret dan mencapai puncaknya pada bulan Mei, Juli dan Agustus di permukiman. Pada ekosistem perkebunan, puncak kelimpahan terjadi pada bulan Mei dan Juni dan menurun untuk bulan selanjutnya.
Pada ekosistem semak
kelimpahan mengalami puncak ganda yaitu pada bulan April dan Juni dan pada bulan berikutnya terus menurun. Pada ekosistem hutan kelimpahan tertinggi terjadi pada bulan Juni, selanjutnya kelimpahan menurun pada bulan berikutnya. 3.3.4. Kelimpahan Anopheles berdasarkan spesies Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan Anopheles spp. per spesies berfluktuasi pada setiap ekosistem. Kelimpahan Anopheles spp. per spesies pada setiap jenis ekosistem disajikan pada Gambar 3-12.
3.3.4.1 Anopheles punctulatus Grup (An. punctulatus, An. farauti dan An. koliensis). 3.3.4.1.1 Anopheles punctulatus An. punctulatus merupakan Anopheles terendah setelah An. koliensis, hanya tertangkap 27 individu (5% dari total populasi). Kelimpahan tertinggi terdapat di perkebunan (55,6%), diikuti oleh hutan (18,5%), semak (22,2%), dan ternedah di permukiman (3,7%). Kelimpahan An. puntulatus disajikan pada Gambar 3.
An. punctulatus Kelimpahan (%)
25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0
Sept
Okt
Nov Des Jan Feb Mar Apr Hutan Perkebunan Permukiman
Mei Jun Semak
Jul
Agu
Gambar 3 Kelimpahan (%) An. punctulatus pada empat di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011.
29
An. punctulatus tidak ditemukan pada bulan Agustus hingga November dan Januari, sementara pada bulan Desember dan Juni hanya tertangkap di perkebunan. Pada bulan Mei dan Juli, hanya ditemukan di semak. Jumlah yang ditemukan pada bulan Februari dan Maret tertinggi di perkebunan, dan tertinggi di semak pada bulan Mei. An. punctulatus ditemukan di hutan hanya pada bulan Februari dan Maret. Frekuensi keberadaan spesies An. punctulatus cukup rendah (<50%). Nilai FR tertinggi terdapat pada ekosistem perkebunan yaitu 0,42 dan di semak dengan nilai 0,33. An. punctulatus di Desa Saketa tidak memiliki arti penting secara ekologi, akan tetapi bersama dengan group punctulatus lainnya ia merupakan vektor di Papua (Sukowati 2009; Winarno & Hutajulu; 2008; Bangs et al. 1996). Hasil uji ELISA pada An. punctulatus yang ditemukan di Papua Nugini menunjukkan bahwa 45% sampel positif untuk Plasmodium vivax, 30% untuk P. falciparum dan 25% untuk P. malariae. Anopheles punctulatus grup merupakan vektor malaria dan filariasis yang disebabkan oleh Wuchereria bancrofti yang penyebarannya sangat luas di wilayah Pasifik barat daya (Beebe & Cooper 2002), dan merupakan vektor utama filariasis limfatik di seluruh daerah di Papua Nugini (Bockarie & Kazura 2003). Kirnowardoyo (1985) melaporkan An. punctulatus merupakan vektor malaria di Indonesia, di Papua Nugini dilaporkan sebagai vektor malaria yang juga lebih suka menggigit anjing untuk mengisap darah (Burkot, Dye & Graves 1985). 3.3.4.1.2 Anopheles farauti Gambar 4 menunjukkan kelimpahan An. farauti pada setiap jenis ekosistem. Kelimpahan tertinggi terdapat di perkebunan (41,4%), diikuti oleh hutan (20,7%), semak (32,8%) di semak, dan terendah di permukiman (5,1%). Pada bulan September nyamuk An. farauti hanya tertangkap di hutan, bulan Oktober dan Januari, hanya tertangkap di perkebunan, dan tidak ditemukan pada bulan Agustus. Pada bulan November dan April nyamuk ditemukan di hutan, perkebunan dan semak, namun tidak ditemukan di permukiman. Sementara itu pada bulan Januari dan Februari spesies ini hanya tertangkap di perkebunan. Spesies ini tertangkap di semua jenis ekosistem pada bulan Mei, Juni dan Juli.
30
An. farauti 14,0
Kelimpahan (%)
12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0 Sept
Okt
Nov
Des
Hutan
Gambar 4
Jan
Feb
Perkebunan
Mar
Apr
Permukiman
Mei
Jun
Jul
Agu
Semak
Kelimpahan (%) An. farauti pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010Agustus 2011.
Beebe & Cooper 2002, melaporkan bahwa An. farauti bersama An. punctulatus memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap faktor cuaca musiman dan diidentifikasi sebagai spesies yang tahan terhadap air asin sehingga penyebarannya sangat luas di wilayah Pasifik barat daya. Kedua spesies ini juga dilaporkan sebagai vektor di Buka dan Kepulauan Bougenville, Papua Nugini (Cooper & France 2002). Di Australia An. farauti ditemukan dominan (45%) di daerah pantai dan tertangkap hingga 50 km dari garis pantai (Cooper et al. 1995). 3.3.4.1.3 Anopheles koliensis An. koliensis termasuk jenis Anopheles yang proporsinya rendah. Selama penelitian hanya tertangkap 314 individu. Kelimpahan terttinggi terdapat hutan (46,50%), diikuti oleh perkebunan (43,63%), semak (5,73%) dan terendah di permukiman (4,14%). Kelimpahan (%) An. koliensis pada setiap jenis ekosistem disajikan pada Gambar 5. An. koliensis tidak ditemukan pada bulan Juli hingga November. Pada bulan Desember hingga Februari kelimpahannya mulai meningkat dan mencapai puncaknya pada bulan Maret di perkebunan. Kelimpahan pada `ekosistem hutan dan perkebunan lebih tinggi.
31
An. koliensis
45,0
Kelimpahan (%)
40,0 35,0 30,0 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0
Sept
Okt
Nov
Hutan
Des
Jan
Feb
Perkebunan
Mar
Apr
Permukiman
Mei
Jun
Jul
Agu
Semak
Gambar 5 Kelimpahan (%) An. koliensis pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011 Frekuensi keberadaan spesies An. koliensis tergolong rendah, hanya muncul beberapa kali selama bulan penangkapan. Namun demikian, ia merupakan vektor yang penyebarannya cukup luas meliputi Maluku, Halmahera dan Papua (Sukowati 2009; Winarno & Hutajulu 2009). Meskipun merupakan vektor di dataran tinggi Papua, penelitian yang dilakukan oleh Bangs et al. 1996 di Lembah Oksibil, Papua tidak menemukan parasit di antara 59 individu An. koliensis yang tertangkap selama 23 bulan. Nyamuk ini lebih senang menggigit pada bagian kaki dan pergelangan kaki jika dibandingkan dengan bagian tubuh manusia lainnya (Cooper & France 2000), tetapi lebih menyukai perangkap CDC light trap dari pada manusia (HLC) dan jenis perangkap lainnya (Hii et al. 2000). 3.3.4.2 Anopheles barbumbrosus Jumlah An. barbumbrosus yang tertangkap adalah 163 individu, kelimpahan tertinggi terdapat di perkebunan (42,9%) diikuti oleh hutan (28,8%), semak (23,3%) dan permukiman (4,9%). Spesies ini ditemukan di hutan dan di perkebunan pada bulan September, November dan Maret, tetapi tidak ditemukan pada bulan Desember. Gambar 6 menunjukkan kelimpahan An. barbumbrosus pada setiap jenis ekosistem.
32
An. barbumbrosus
14,0
Kelimpahan (%)
12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0
Sept
Okt
Nov
Hutan
Gambar 6
Des
Jan
Feb
Perkebunan
Mar
Apr
Permukiman
Mei
Jun
Jul
Agu
Semak
Kelimpahan (%) An. barbumbrosus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010Agustus 2011
Pada bulan Januari dan Februari spesies ini hanya tertangkap di perkebunan. Pada bulan September, November dan Maret nyamuk An. barbumbrosus tertangkap di hutan dan di perkebunan dan tidak ada yang tertangkap pada bulan Desember. Sementara pada bulan Januari dan Februari hanya tertangkap di perkebunan. Spesies ini tertangkap di semua jenis ekosistem pada bulan Mei dan Juli, sementara pada bulan Agustus tidak tertangkap di hutan. Amerasinghe et al. (2001) melaporkan bahwa An. barbumbrosus merupakan spesies paling melimpah di antara 15 spesies Anopheles pada bendungan irigasi di wilayah bagian utara Sri Lanka Tengah. An. barbumbrosus pertama kali dilaporkan sebagai vektor tahun 1943 yang menyebabkan wabah malaria bagi tentara Australia yang ditahan di Camp Changi, Singapura, penyakit ini dibawa para tawanan dari hutan perbatasan Thailand-Burma (Wilson & Reid 1949). Di Indonesia, belum ada laporan yang menyatakan nyamuk ini sebagai vektor. 3.3.4.3 Anopheles hackeri Kelimpahan An. hackeri sangat terbatas, jumlah yang tertangkap hanya berjumlah 3 individu pada ekosistem hutan (66,7%) dan semak (33,3%), pada bulan Maret dan April. Spesies ini merupakan sepesies dengan kelimpahan yang terendah di antara semua spesies lainnya. Kelimpahan An. hackeri disajikan pada Gambar 7.
33
An. hackeri
Kelimpahan (%)
35,0 30,0 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0 Sept Okt
Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Hutan Perkebunan Permukiman Semak
Jul
Agu
Gambar 7 Kelimpahan (%) An. hackeri pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011. Secara kevektoran, nyamuk ini bukan merupakan ancaman karena hingga saat ini belum ada satu laporan yang mengkomfirmasinya sebagai vektor untuk suatu jenis penyakit. 3.3.4.4 Anopheles indefinitus An. indefinitus ditemukan setiap bulan pada semua ekosistem dengan jumlah tertinggi pada ekosistem hutan dan terendah pada ekosistem permukiman. Kelimpahan (%) An. indefinitus disajikan pada Gambar 8.
Kelimpahan (%)
An. indefinitus 15,0 10,0 5,0 0,0 Sept
Okt Nov Hutan
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Perkebunan Permukiman Semak
Jul
Agu
Gambar 8 Kelimpahan (%) An. indefinitus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011
34
Kelimpahan An. indefinitus menempati urutan ke 2 setelah An. kochi. Kelimpahan An. indefinitus yang tertinggi terdapat di hutan (47,9%), diikuti oleh semak (29,3%), perkebunan (17,3%), dan terendah di permukiman (4,87%). Di Indonesia dan banyak negara yang bermasalah dengan malaria, nyamuk ini tidak berperan sebagai vektor. Namun demikian hasil uji ELISA terhadap An. indefinitus yang ditemukan di Desa Saketa menunjukkan adanya sampel yang posistif mengandung Plasmodium vivax (Sukowati, 2010). Di Pulau Jawa An. indefinitus sering ditemukan di sawah dan berasosiasi dengan kolam-kolam berumput, tambak dan kubangan dengan jumlah populasi yang terbatas (Ndoen et al. 2010). An. indefinitus masuk dari Vietnam dan wilayah Asia Tenggara ke Guam dan Spanyol melalui transportasi udara setelah perang dunia II. Nyamuk ini berpotensi sebagai vektor dan menyebabkan wabah malaria di Guam tahun 1966 dan 1969 (Gratz et al. 2007), di Indonesia nyamuk ini tidak berpotensi vektor tetapi hanya menimbulkan efek gangguan saja. 3.3.4.5 Anopheles kochi An. kochi merupakan Anopheles yang paling melimpah di Desa Saketa, proporsinya mencapai 55,2% dari jumlah total nyamuk Anopheles spp. yang tertangkap. Kelimpahan tertinggi terdapat di perkebunan (47,7%) diikuti di hutan (24,3%), semak (22,4%), dan
terendah di permukiman (5,48%). Gambar 9
menunjukkan kelimpahan An. kochi pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa.
An. kochi
Kelimpahan (%)
14,0 12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0
Sept
Okt
Nov Hutan
Des
Jan
Feb
Perkebunan
Mar
Apr
Permukiman
Mei
Jun
Jul
Agu
Semak
Gambar 9 Kelimpahan (%) An. kochi pada empat jenis ekosistem Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011
35
Kelimpahan An. kochi sangat rendah pada bulan September hingga Desember, mulai meningkat pada bulan Januari dan mencapai puncaknya pada bulan Mei-Juni. Di semak kelimpahannya mengalami puncak pada bulan April dan Juli, serta menurun mulai bulan Juli-Agustus. An. kochi lebih banyak tertangkap di perkebunan pada bulan Februari hingga Juni, dan pada bulan Juli lebih banyak tertangkap di semak. Spesies ini tertangkap dalam persentase yang kecil sepanjang bulan Agustus hingga Desember. An. kochi merupakan spesies oriental dan menyebar di wilayah Australasia melalui transportasi udara (Foley et al. 2000). Di Indonesia, nyamuk ini tidak termasuk sebagai spesies vaktor untuk malaria (Sukowati 2009) tetapi dinyatakan sebagai vektor untuk parasit Japanese encephalitis di Semarang, Jawa Tengah, dan vektor filariasis di Papua (Winarno & Hutajulu 2009). 3.3.4.6 Anopheles subpictus Total jumlah An. subpictus yang tertangkap selama penelitian adalah 119 individu, yaitu 21 individu (17,56%) di perkebunan, 75 individu di hutan (63,03%), 19 individu (15,97%) di semak, dan 4 individu (3,36%) di permukiman. Proporsi An. subpictus pada setiap jenis ekosistem disajikan pada Gambar 10. Pada bulan Desember hingga Februari, Juli dan Agustus tidak terdapat An. subpictus yang tertangkap. An. subpictus banyak tertangkap di hutan pada bulan September hingga November, serta Maret hingga Mei, kebanyakan nyamuk ini, dan pada bulan Juni
hanya tertangkap di perkebunan. Frekuensi keberadaan
spesies ini tertinggi tertangkap pada ekosistem hutan dan perkebunan yaitu 0,50. An. subpictus diketahui positif mengandung sporozoit di Sulawesi Selatan, Sultra (1942), Cirebon (1952), Atambua (1973), Banyuwangi dan Flores (1979). Nyamuk ini bersifat indoor dan zoophilik (Boesri 2007). Di Pulau Jawa An. subpictus banyak ditemukan di sawah, di Nusa Tenggara Timur merupakan spesies yang dominan di daerah pantai dan paling melimpah (65,5%) di daerah pantai di Nusa Tanggara Barat (Ndoen et al. 2010). An. subpictus dilaporkan menyebar luas sebagai vektor di Asia, di Sri Lanka merupakan nyamuk yang predominan baik dalam fase larva maupun dewasa. Sibling An. subpictus C tahan terhadap kadar garam hingga 4 ppt dan An. subpictus D hingga 8 ppt (Surendran et al. 2011).
36
An. subpictus 30,0
Kelimpahan (%)
25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0 Sept Okt Nov Des Hutan
Jan
Feb Mar Apr Mei Jun
Perkebunan
Permukiman
Jul
Agu
Semak
Gambar 10 Kelimpahan (%) An. subpictus pada empat dan bulan penangkapan di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011 Meskipun populasi An. subpictus cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan spesies lainnya di Saketa, spesies ini perlu diperhatikan karena merupakan inang bagi Plasmodium vivax dan P. falciparum di Sri Lanka (Amerasinghe et al. 1992). An. subpictus termasuk spesies Anopheles
yang dikonfirmasi sebagai
vektor di Maluku Utara (Winarno & Hutajulu 2009), dan oleh Sukowati (2009) dinyatakan juga sebagai vektor malaria di Sumatera Barat, Jawa Timur, NTB, NTT dan Sulawesi Tenggara. 3.3.4.7 Anopheles tesselatus An. tesselatus yang tertangkap selama penelitian adalah 703 individu, kelimpahan tertinggi terdapat di perkebunan (40,4%), diikuti oleh hutan (21,1%), semak (30,2%) dan yang terendah terdapat di permukiman (8,4%). Pada bulan September hingga November An. tessellatus kebanyakan tertangkap di hutan, sementara dari bulan Desember hingga Mei kebanyakan di perkebunan. Pada empat bulan berikutnya spesies ini terdapat pada semua jenis ekosistem, dengan kelimpahan tertinggi di semak. Anopheles tesselatus
yang terdapat di Pulau Nias, Sumatera Utara
berkembang biak di sawah, kolam-kolam, hutan, rawa dan tambak air tawar (Buwono, 1997), dan merupakan vektor di Maluku Utara, Maluku dan NTT (Aditama, 2009), dan di Kepulauan Sangir, Sulawesi Utara Sukowati (2009).
37
Sharma dan Hamzakoya (2001) menyatakan An. tessellatus sebagai vektor malaria yang berasal dari Pulau Maladewa yang masuk ke India dan tercatat sebagai vektor pada tahun 1972. Mendis et al. (1993) menginokulasi sporozoa dari penderita malaria ke tubuh An. tessellatus dan menemukan Plasmodium vivax dapat berkembang dalam tubuh nyamuk, tetapi tidak dapat diamati pada sporozoa P. palcifarum. Proporsi An. tesselatus per ekosistem disajikan dalam Gambar 11.
Kelimpahan (%)
An. tessellatus 18,0 16,0 14,0 12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0 Sept Okt Nov Des
Hutan
Jan
Perkebunan
Feb Mar Apr
Permukiman
Mei
Jun
Jul
Agu
Semak
Gambar 11 Kelimpahan (%) An. tessellatus pada empat di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011 3.3.4.8 Anopheles vagus Hasil penelitian menunjukkan An. vagus termasuk spesies yang tertangkap dengan jumlah individu yang rendah, selama penelitian tertangkap 234 individu. Kelimpahan tertinggi terdapat di perkebunan (20,1%), diikuti oleh hutan (47,0%), semak (23,5%) dan terendah di permukiman (9,4%). An. vagus tidak ditemukan pada bulan Januari hingga Juni, pada bulan November hanya tertangkap di semak, dan pada bulan Desember hanya ditemukan perkebunan. Pada bulan Juli dan Agustus spesies ini dtemukan pada ke empat jenis ekosistem. Frekuensi keberadaan An. vagus yang tertinggi adalah di semak (0,83) diikuti hutan dan perkebunan masing-masing 0,42 %. Kelimpahan An. vagus per ekosistem disajikan pada Gambar 12.
38
An. vagus Kelimpahan (%)
30,0 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0
Sept
Okt
Nov
Hutan
Des
Jan
Perkebunan
Feb
Mar
Apr
Permukiman
Mei
Jun
Jul
Agu
Semak
Gambar 12 Kelimpahan (%) An. vagus pada empat di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010 sampai Agustus 2011 An. vagus menyebar di negara Bangladesh, Kamboja, China, India, Laos, Malaysia, Kepulauan Mariana, Myanmar (Burma), Nepal, Sri Lanka, Thailand, Philipina, Vietnam dan Indonesia (Rueda et al. 2011). Spesies ini bersifat zoofilik dan lebih menyukai sapi (90%) dan kerbau air dibandingkan dengan manusia. Di Indonesia dikonfirmasi sebagai vektor di Jawa Barat (Sukowati 2009), Sulawesi Utara (Aditama 2009) dan di Jawa Barat dan NTT (Winarno & Hutajulu 2009). Nyamuk ini juga merupakan vektor sekunder pada permukiman yang tidak memiliki ternak atau primata (Prakash et al. 2004). Kelimpahan An. vagus dipengaruhi oleh curah hujan dan jenis habitat (Amerasinghe et al. 1999). Amerasinghe et al. (1991) melaporkan bahwa An. vagus merupakan salah satu spesies yang dominan akibat perubahan lingkungan yang terjadi selama berlangsungnya pelaksanaan pembangunan irigasi di Sri Lanka dan tetap menjadi dominan ketika spesies lainnya menjadi berkurang setelah irigasi terbangun. Di Sukabumi, An. vagus bersama dengan An. barbirostris, An. maculatus, merupakan spesies yang dominan dari 13 spesies yang ditangkap (Craig et al. 2009). 3.3.5 Pengelompokan spesies Anopheles spp. berdasarkan jenis ekosistem Anopheles spp. meskipun menyebar pada semua jenis ekosistem, ternyata tetap menunjukkan adanya pola pengelompokan spesies pada ekosistem tertentu. Hasil analisis korespondensi keterkaitan antara jenis ekosistem dengan distribusi jenis Anopheles di Desa Saketa, menunjukkan adanya korelasi antara parameter yang terpusat pada dua sumbu utama yaitu F1 dan F2. Kualitas informasi yang disajikan oleh kedua sumbu masing-masing sebesar 90,95% dan 7,91% sehingga
39
ragam spesies nyamuk berdasarkan jenis ekosistem dapat dijelaskan melalui kedua sumbu tersebut adalah sebesar 98,86% dari ragam total. Grafik pada gambar di atas menunjukkan bahwa terdapat 3 bentuk pengelompokan Anopheles berdasarkan ekosistem, yaitu An.hackeri, An. indifinitus, An.vagus, dan An. subpictus lebih sering ditemukan pada ekosistem hutan, An. farauti dan An. tessellatus lebih sering ditemukan pada ekosistem semak dan permukiman, serta An. punctulatus, An. barbumbrosis, An. koliensis, dan An. kochi lebih sering ditemukan pada ekosistem perkebunan. Hasil analisis korespondensi keterkaitan antara jenis ekosistem dengan distribusi jenis nyamuk Anopheles disajikan pada Gambar 13. Symmetric Plot (axes F1 and F2: 98.86 %) 1
Jenis ekosistem axis F2 (7.91%)
0.8 0.6 0.4 0.2 0
An. hac
-0.2
An. far An. tes Semak Permukiman An. ind An. koc An. puc An. vag An. bar Perkebunan Hutan An. sub
-0.4
An. kol
-0.6 -0.8 -1 -1
-0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 Species Anopheles F1 (90.95 %) -->
1
Gambar 13 Hasil analisis korespondensi (CA) antara jenis ekosistem dan spesies nyamuk Anopheles spp. di Desa Saketa. Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, maka selain spesies Anopheles dominan, spesies Anopheles lainnya yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan kevektoran adalah spesies yang masuk dalam grup punctulatus yaitu An. farauti, An. koliensis dan An. punctulatus. Ketiga spesies tersebut merupakan vektor di Papua yang secara georgrafis lebih dekat dengan Pulau Halmahera. Tingginya
mobilitas
masyarakat
Halmahera
perantau
dari
ke
Papua
memungkinkan tingginya peluang terinokulasinya parasit yang terbawa dari Papua pada spesies Anopheles di Halmahera khususnya grup punctulatus.
40
3.4 Kesimpulan Anopheles di Saketa terdapat pada empat jenis ekosistem yang berbeda yaitu perkebunan, hutan, semak dan permukiman. ditemukan terdiri
Nyamuk Anopheles spp. yang
atas 10 spesies yaitu; An. barbumbrosis, An. farauti, An.
hackeri, An. indefinitus, An. kochi, An. koliensis, An. punctulatus, An. subpictus, An. tessellatus, dan An. vagus. An. kochi merupakan spesies yang paling dominan pada ekosistem perkebunan, semak dan permukiman, sedangkan
spesies An.
indefinitus paling dominan pada ekosistem hutan. Jumlah jenis Anopheles yang ditemukan pada ke empat jenis ekosistem termasuk tinggi yaitu 10 spesies di hutan dan di perkebunan, dan masing-masing terdapat 9 spesies di semak dan permukiman. Kelimpahan Anopheles menunjukkan kenaikan secara lambat dari bulan September hingga FebruariMaret. Di permukiman, semak dan hutan kelimpahan mencapai puncaknya pada bulan Mei, Juli dan Agustus. Pada ekosistem perkebunan, kelimpahan mencapai puncaknya pada bulan Mei dan Juni, sedangkan di semak kelimpahannya mengalami puncak pada bulan April dan Juni. Hutan hanya mengalami satu puncak, yang terjadi pada bulan Juni, selanjutnya menurun pada bulan berikutnya. Proporsi jumlah Anopheles tertinggi terdapat pada ekosistem perkebunan, diikuti ekosistem hutan, semak dan permukiman. An. hackeri, An. indifinitus, An. vagus, dan An. subpictus cenderung mengelompok pada ekosistem hutan, sementara itu An. farauti dan An. tessellatus lebih cenderung mengelompok pada ekosistem semak dan permukiman, sedangkan An. punctulatus, An. barbumbrosis, An. koliensis, dan An. kochi cenderung mengelompok pada ekosistem perkebunan.
41
DAFTAR PUSTAKA Aditama TjY. 2009. Program pengendalian penyakit yang ditularkan vektor. Simposium dan seminar Nasional Asosiasi pengendali nyamjuk Indonesia (APNI). Seminar Nasional hari nyamuk 2009. Bogor Amerasinghe FP, Amerasinghe PH, Peiris JS, Wirtz RA. 1991. Anopheline ecology and malaria infection during the irrigation development of an area of the Mahaweli Project, Sri Lanka. Am. J. Trop. Med. Hyg. 1991 45(2):226-35. Amerasinghe FP, Kondradsen F, Hoek WV, Amerasinge HP, Gunawerdena JPW, Fonseka KT, Jayasinghe G. 2001. Small irrigation tanks as a source of malaria mosquito vectors: a study in North-Central Sri Lanka. International Water Management Institute. Research report 57. Colombo. Sri Lanka. Bangs MJ, Rusmiarto S, Anthony RL, Wirtz RA, Subianto DB. 1996. Malaria transmission by Anopheles punctulatus in the highlands of Irian Jaya, Indonesia. Am. Trop. Med. Parasitol. 90(1):29-38. Beebe NW, Cooper RD. 2002. Distribution and evolution of the Anopheles punctulatus group (Diptera: Culicidae) in Australia and Papua New Guinea. Int. J. Parasitol. 32(5):563-74. Bengen DG, 1999. Analisis statistik multivariabel/multidimensi. PSPSPL. IPB. Bogor Bockarie MJ, Kazura JW. 2003. Lymphatic filariasis in Papua New Guinea; Prospects for elemination. J. Med. Microbiol. Immunol. 192:9-14. Boewono DT, Nalim S, Suloarto T, Mujiono, Sukarno. 1997. Penentuan vektor malaria di Kecamatan Teluk Dalam, Nias. Cermin Dunia Kedokteran. 118:9-14. Burkot TR, Dye C, Graves PM. 1989. An analysis of some factors determining the sporozoite rates, human blood indexes, and biting rates of members of the Anopheles punctulatus complex in Papua New Guinea. Am. J. Trop. Med. Hyg. 40(3):229-34. Boesri H. 2007. Standar penangkapan vektor dalam rangka penelitian penularan Malaria di Indonesia. Balai Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (BPPVRP). Balitbangkes. Depkes. RI. Chang MS, Hii J, Buttner P, Mansoor F. 1997. Changes in abundance and behaviour of vector mosquitoes induced by land use during the development of an oil palm plantation in Sarawak. Transac. Roy. Soc. Med. Hyg. 91(4);382-386. Cooper RD, Frances SP. 2000. Biting sites of Anopheles koliensis on human collectors in Papua New Guinea. J. Am. Mosq. Ctrl. Assoc. 16(3):266-267. Cooper RD, Frances SP. 2002. Anopheles farauti, Malaria vectors on Buka and Bougainville Islands, Papua New Guinea. J. Am. Mosq. Ctrl. Assoc. 18(2):100-106. Duriappah AK, Naeem S. 2005. Ecosytem and Human Well-Bein, Biodiversity Synthesis. A report of the millenium asssesment. World Resources Institue. Washington. Foley D, Ebsworth P, Ristyanto B, Bryan JH. 2000. Anopheles kochi in Irian Jaya detected by size polymorphism of polymerase chain reaction-amplified internal transcribed spacer unit 2. J. Am. Mosq. Ctrl. Assoc. 16(2):164-5.
42
[GBDA] 2010. Gane Barat dalam angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten Halmahera Selatan, 2010. Genisa AS. 2006. Keanekaragaman fauna ikan di perairan mangrove Sungai Mahakam, Kalimamntan Timur. J. Osea. Limn. No 41: 39-53. Gratz NM, Steffe R, Cocksedge W. 2007. Why aircraft disinfection? Bulletin of WHO. 78(8):995-1004. Jones KE, Patel NG, Levy MA, Stroygard A, Balk D, Gittleman JL, Daszak P. 2008. Global trends ini emerging infectious disease, J. Nature 451:990-994 Kirnowardoyo S. 1985. Status of Anopheles malaria vectors in Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Public. Hlth. 16(1):129-32. Marques AC. 1987. Human migration and the spread of malaria in Brazil. Parasitol. Today. (3):166-170. Mendis GAC, Rajakaruna J, Weerasinghe S, Mendis C, Carter R, Mendis KN. 1993. Infectivity of Plasmodium vivax and P. falciparum to Anopheles tessellatus; relationship between oocyst and sporozoite development. Trans. Ryl.Soc.Trop.Med.Hyg. 87(1):3-6. O’Connor CT, Soepanto A. 2000. Kunci bergambar untuk Anopheles Maluku dan Papua, Dit-Jen P2M & PL Depkes RI. Jakarta. Petney T, Sithithaworn P, Satrawaha R, Warr CG, Andrews R, Wang YC, Feng CC. 2009. Potential Malaria Reemergence, Northeastern Thailand. J. Emerg. Infect. Dis. 15(8): 1330–1331. PPDS 2010. Papan potensi Desa Saketa. Pemerintah Desa Saketa, Kecmatan Gane Barat. Kab. Halmahera Selatan Pongsiri MJ, Roman J, Ezenwa VO, Goldbreg TL, Koren HS, Newbold SC, Ostfeld RS, Pattanayak SK & Salkel DJ. 2009. Biodiversity loss affect global disease ecology. J.bioSciens. 59(11):945-954 [PSKGB] Puskesmas Saketa Kecamatan Gane Barat. 2010. Laporan kerja Puskesmas Saketa Kecamatan Gane Barat, Kabupaten Halmahera Selatan. Prakash A, Bhattacharryya DR, Mohapatra PK, Mahanta J. 2004. Role of the prevalent Anopheles species in the transmission of Plasmodium falciparum and P. vivax in Assam State, North-Eastern India. Ann. Trop. Med. Parasitol. 98:559-567. Rueda LM, Pecor JE, Harrison BA, 2011. Updated distribution records for Anopheles vagus (diptera: Culicidae) in the Repoblic of Philippines, and consideration regarding its secondary vector roles in Southeast Asia. J. Trop. Biomed. 28(1):181-187. Sharma SK, Hamzakoya KK, 2001. Geographical spread of Anopheles stephensi, vector of urban malaria, and Aedes aegypti, vector of dengue/DHF, in Arabian Sea Islands of Lakshadweep, India. Dengue Bull. (25);88-91. Sukowati 2009. Malaria vector in Indonesia. Makalah Laporan MTC. Kemenkes Jakarta Sukowati S. 2010. Perilaku verktor malaria di Halmahera Selatan. Litbangkes, Makalah Laporan MTC. Kemenkes-RI. Jakarta. Surendran SN, Jude PJ, Ramasamy R. 2011. Variations in salinity tolerance of malaria vectors of the Anopheles subpictus complex in Sri Lanka and the implications for malaria transmission. J. Parasitol. Vect. 24;4:117.
43
Syafruddin D, Hidayat APN, Asih PBS, Hawley WA, Sukowati S, Lobo NF. 2010. Detection of 1014 kdr mutation in four major Anopheline malaria vectors in Indonesia. Malaria J. 9(315):1-8. Walsh JF, Molyneux DH, Birley MH. 1993. Deforestation: effects on vectorWilson MB, Reid JA.1949. Malaria among prisoners of war in Siam (“F” Force). Trans. Ryl Soc. Trop.Med.Hyg . 43(3):257-272. Yasuaka J, Levins R. 2007. Impact of deforestation and agricultural development on anopheline ecology and malaria epidemiology. Am. J. Trop Med.Hyg. 76(3). 450-460 Winarno, Hutajulu B. 2009. Review of National vector control policy in Indonesia. Directorat of VBDC DG DC & EH, MOH Indonesia. Makalah Laporan. Jakarta. Yasuaka J, Levins R. 2007. Impact of deforestation and agricultural development on anopheline ecology and malaria epidemiology. Am. J. Trop Med. Hyg. 76(3). 450-460.
44
45
BAB 4 KARAKTERISTIK HABITAT LARVA Anopheles spp. DI DESA SAKETA, DAERAH ENDEMIK MALARIA DI KABUPATEN HALMAHERA SELATAN [Habitat Characteristics of Anopheles Spp. larvae in Saketa Village, A Malaria Endemic Region in South Halmahera District]
Abstrak
Penelitian tentang karakteristik habitat larva Anopheles spp. dilakukan di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari bulan September 2010 hingga Agustus 2011. Tujuannya adalah menganalisis karakteristik fisik dan biologi habitat perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. Larva diambil dari berbagai tipe habitat dengan cidukan dan dipelihara hingga berkembang menjadi nyamuk, kemudian diidentifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat delapan tipe habitat perkembangbiakan Anopheles spp. yaitu kobakan, kolam, kubangan, kontainer buatan, kaleng bekas, parit, dan lagun. Jenis Anopheles yang ditemukan terdiri atas enam spesies yaitu, Anopheles farauti, An. indefinitus, An. kochi, An. punctulatus, An. subpictus dan An. vagus. Spesies yang kelimpahannya paling tinggi adalah An. indefinitus, diikuti oleh An. farauti, An. kochi dan yang terendah adalah An. punctulatus. Tipe habitat didominasi oleh kubangan, tetapi Anopheles terbanyak terdapat di kobakan. Sebagian besar habitat substratnya berupa lumpur dan airnya tidak mengalir, terdapat di permukiman, perkebunan dan jalanan yang dikelilingi oleh rumput-rumputan, semak, perdu dan pohon. Habitat mengandung tanaman air berupa rumput-rumputan, lumut dan ganggang serta serasah, sedangkan predatornya adalah nimfa capung, udang-udangan, Ephemeroptera, cyclop, anggang-angang, kecebong dan ikan-ikan kecil. Kata kunci : Anopheles spp, Endemik malaria, habitat, Halmahera Selatan,
46
47
Abstract A research on the characteristics of larval habitats of Anopheles spp. were done in the Saketa village, district of South Halmahera from September 2010 to August 2011. The aims of this research is to assess the physical and biological characteristics of Anopheles spp. mosquito breeding habitats. Larvae were collected from various type of habitats using WHO standard dipper (size of 300 ml) and reared until emerge to be identified. The results showed that there were eight types of breeding habitats of Anopheles spp. i.e. mud hole, ground pool, puddles, tire print/animals footprint, artificial containers, unused cans, ditches, and lagoon. There were six species of Anopheles found i.e. Anopheles farauti, An. indefinitus, An. kochi, An. punctulatus, An. subpictus and An. vagus. The most abundance spesies is An. indefinitus, followed by An. An. farauti, and An. kochi and the lowest abundance species is An. punctulatus. Although dominant habitat was puddles but most Anopheles were in mud holes. Substrate of the habitats were generally muds and the water was not flowing. Habitats around settlements, plantation and streets were surrounded by grasses, bushes, shrubs and trees. Kinds of water plants consisted of grasses, mosses, algae and their litters, while kinds of predator were dragonflies, shrimps, ephemeroptera, cyclops, gerris, tadpoles and small fish. Key word : Anopheles larvae, Habitat, malaria endemic, South of Halmahera,
48
49
4.1 Pendahuluan Malaria masih merupakan masalah kesehatan yang cukup berat di Provinsi Maluku Utara. Dalam empat tahun terakhir angka annual malaria incidence (AMI) masih cukup tinggi, tercatat 77,8‰, 62,0 ‰, 62,0‰ dan 57,5‰ berturutturut untuk tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009. Pada tahun 2010 angka AMI agak manurun tapi masih tetap tinggi yaitu 54,0‰ (Dinkes Kab. Halmahera Selatan 2010), sedangkan angka annual parasite insidence (API) tercatat tetap untuk tahun 2008 dan 2009 yaitu 8,91‰ (Kemenkes RI 2011). Keadaan ini memerlukan perhatian khusus karena selain AMI dan API yang tinggi, angka kasus baru malaria di Maluku Utara juga cukup tinggi. Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar, angka kasus baru malaria di Maluku Utara masih menempati posisi ke empat setelah Papua, Papua Barat dan NTT (Riskesdas 2010). Hal ini sangat memprihatinkan mengingat kondisi sanitasi dan lingkungan alami sebagian wilayah di Maluku Utara yang sangat menunjang perkembang biakan nyamuk, termasuk Anopheles. Nyamuk menggunakan genangan air sebagai tempat perkembangbiakan. Perubahan ekosistem alami menjadi perkebunan dan permukiman akan mempengaruhi kelimpahan dan keragaman tempat perkembangbiakan. Hal ini selanjutnya
mempengaruhi
populasi
nyamuk
Anopheles
sebagai
inang
memanfaatkan genangan temporer
untuk
Plasmodium (Poncon et al. 2007). Banyak
spesies
nyamuk
berkembangbiak. Di tempat seperti ini, nyamuk memperoleh sumberdaya yang diperlukan dan tekanan pemangsaan yang lebih rendah (Fischer & Scheigmann 2008). Kajian entomologi dari larva Anopheles akan memberikan gambaran kevektoran yang tepat, sehingga metode yang sering digunakan dalam survei entomologi
vektor
adalah
mengukur
kepadatan
larva
dari
habitat
perkembangbiakannya. Metode ini aman, murah dan memiliki kepekaan yang tinggi dalam mendeteksi vektor (Favaro et al. 2008). Beberapa spesies Coleoptera, Hemiptera, dan Odonata merupakan predator yang sering dijumpai pada badan air yang sifatnya sementara dan lahan basah (Favaro et al. 2008). Karakteristik habitat larva nyamuk dibutuhkan untuk memahami dinamika interaksi berbagai spesies vektor yang menjadi ancaman,
50
dan kajian terhadap predatornya diperlukan bagi pengembangan pengendalian vektor secara dini pada tingkat larva. Kerusakan habitat akibat perubahan penutupan lahan dan perubahan iklim akan meningkatkan ancaman penyakit infeksi, misalnya dengan perubahan tempat perkembangbiakan dan keanekaragaman vektor serta inangnya. Sistem irigasi sawah tropis
telah meningkatkan kasus malaria dan Japanes enchephalitis
sebagai dampak ekologi pengairan dan bertambahnya permukaan air untuk perkembangbiakan nyamuk. “Paradoks padi” diperkenalkan oleh Ijumbha dan Lindsay pada tahun 2001 untuk menjelaskan dampak pengairan yang meningkatkan populasi vektor yang dapat meningkatkan atau tidak kasus malaria (Duraiappah & Naeem 2005). Spesies yang berperan sebagai vektor di suatu daerah berbeda baik ekologi maupun biologinya. Untuk menentukan strategi pengendalian malaria di daerah endemis diperlukan studi entomologi setempat sebagai bahan acuan dalam menentukan strategi penanggulangan. Angka kasus malaria yang tinggi dan buruknya
sistem
drainase
serta
tersebarnya
berbagai
tipe
habitat
perkembangbiakan nyamuk pada berbagai jenis ekosistem di Desa Saketa, mendorong dilakukannya penelitian tetntang” Tipe dan karakteristik habitat larva Anopheles spp. di Desa Saketa daerah endemik malaria di Kabupaten Halmahera Selatan” untuk mempelajari karakteristik habitat Anopheles secara mendalam untuk membantu memecahkan masalah kevektoran di Halmahera Selatan, khususnya di Kecamatan Gane Barat. 4.2 Bahan dan Metode 4.2.1 Tempat dan Waktu Penelitian longitudinal ini dilakukan di Desa Saketa dan Dusun Loleba Kecamatan Gane Barat Kabupaten Halmahera Selatan selama 12 bulan dari Bulan September 2010 hingga Agustus 2011. Penelitian dilakukan pada wilayah dengan kisaran koordinat 0o 21’03,85” LS, 127o 50’05, 20” BT, 0o 21’53,78” LS, 127o 50’11,71” BT, 0o21’ 35,24”LS, 127o 51’11,28” BT, dan 0o 21’45,73” LS, 127o 51’ 0,146” BT, dengan ketinggian wilayah < 25 m.
51
4.2.2 Pengumpulan Larva Anopheles Pengumpulan larva Anopheles dilakukan pada berbagai tipe habitat yang berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan Anopheles pada masing-masing jenis lokasi yaitu lingkungan permukiman, perkebunan, semak dan hutan. Pengumpulan sampel larva, dilakukan pada habitat alami seperti, sungai, kali, mata air, parit, saluran irigasi, lagun, rawa, kolam, maupun habitat yang muncul karena aktivitas manusia seperti sumur, tapak ban, tapak hewan, kontainer/tangki air, kaleng/plastic bekas, dan perahu yang tidak digunakan. Pengambilan sampel dilakukan dengan dua cara; 1) menggunakan cidukan (dipper) larva standar (300 ml, diameter 13 cm) yang dilengkapi dengan tangkai ukuran 100 cm (Gambar 14) yang memenuhi standar WHO, dilakukan pada habitat yang mengandung air yang cukup dan memungkinkan dilakukannya pencidukan tanpa memberi gangguan yang berarti bagi larva. Dalam penelitian ini, pencidukan dilakukan pada kubangan, kolam lagun dan parit. 2) pada habitat yang kandungan airnya terbatas, pengumpulan larva dilakukan dengan menggunakan pipet dan langsung dimasukkan ke dalam kantong larva. Larva yang terciduk dikumpul dengan pipet dan dimasukkan ke dalam kantong larva atau botol sampel. Sisa air cidukan tidak dibuang di air sehingga tidak mengganggu larva dan pupa. Botol sampel yang berisi larva diberi label dan ditulis dengan pensil berdasarkan waktu (waktu/tanggal/bulan), titik sampling, dan stasiun pengamatan. Larva yang diperoleh dipelihara untuk mendapatkan nyamuk yang dapat diidentifikasi dengan tepat. Wadah pemeliharaan diberikan cairan ekstrak hati untuk menjaga kelangsungan hidup larva hingga eklosi menjadi nyamuk. Nyamuk yang eklosi selanjutnya diidentifikasi dengan menggunakan “Kunci identifikasi bergambar nyamuk Anopheles Maluku dan Irian (O’Connor & Soepanto 1999). Parameter lingkungan yang diukur adalah pH, salinitas, kekeruhan dan jenis vegetasi (makrohidrofita), gulma yang terdapat di dalam kolom air, dan vegetasi dominan yang terdapat disekitar habitat perkembangbiakan nyamuk. Parameter tersebut diukur pada enam habitat dan disesuaikan dengan jenis pemanfaatan lahan pada setiap habitat yaitu jalan, permukiman, perkebunan, semak belukar dan pantai.
52
Gambar 14 Cidukan untuk pengambilan larva nyamuk pada beberapa tipe habitat 4.2.3 Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menghitung kepadatan nyamuk yang menetas yang dikaitkan dengan tipe habitat, paramater fisik kimia dan biologi. Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Data kemudian dianalisis yang dihubungkan dengan data curah hujan dan kelembaban.
4.3 Hasil dan Pembahasan 4.3.1 Habitat perkembangbiakan Larva nyamuk Anopheles di Desa Saketa tersebar pada delapan tipe habitat yaiu, kobakan, kolam, kontainer buatan, kubangan, lagun, parit, kaleng bekas, dan tapak ban/tapak hewan. Keberadaan larva pada semua tipe habitat tidak berlangsung sepanjang waktu. Tapak ban/tapak hewan dan kobakan ditemukan hampir sepanjang waktu, sedangkan kolam menjadi habitat pada bulan Juni hingga Agustus. Lagun hanya ditemukan pada bulan Februari, Maret dan Mei, sedangkan parit menjadi habitat pada Bulan Oktober, November, Februari, Juni, Juli dan Agustus. Kontainer buatan dan plastik bekas menjadi habitat pada bulan Juli, tetapi larvanya tidak berhasil berkembang menjadi nyamuk. Pada bulan September tidak ada satupun tipe habitat yang mengandung larva.
53
Tabel 3 Keberadaan habitat Anopheles spp. di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari bulan September 2010-Agustus 2011 Jenis habitat
Sep okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Jlh
Kobakan Kolam Kontainer buatan Kubangan Lagun Parit Plastik bekas Tapak ban/tpk hewan
-
+ + +
+ + + -
+ +
+ + +
+ + -
+ + + +
+ + +
+ +
+ + + +
+ + + + + + +
+ + + + +
F%
8
66,7
3
25,0
1
8,3
7
58,3
3
25,0
6
50,0
1 9
8,3 75,0
Keterangan : + terdapat habitat - tidak terdapat habitat/habitat kering Tabel 3 menunjukkan frekuensi munculnya tipe habitat selama satu tahun pengamatan, tampak bahwa keberadaan habitat jenis tapak ban/tapak hewan paling tinggi (75%), diikuti oleh kobakan dan kubangan (66,7% dan 58,3%), yang paling rendah adalah kontainer buatan dan plastik/ kaleng bekas (8,3%). 4.3.2 Kepadatan larva Anopheles spp Suatu
habitat
dapat
tersedia
dan
cocok
untuk
mendukung
perkembangbiakan nyamuk jika kondisi lingkungan yang dibutuhkan terpenuhi. Kondisi lingkungan pada habitat perkembangbiakan akan mempengaruhi keberadaan, jenis dan kepadatan/populasi larva. Tabel 4 Hasil penghitungan dan analisis data larva Anopheles spp. di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010-Agustus 2011 Jenis habitat Kubangan Lagun Kolam Parit Kobakan Kontainer buatan Kaleng bekas Tapak ban/Tapak hewan Jumlah
Jlh habitat 25 9 4 9 13 3 1 19 83
Jlh larva
Ratarata
2466 429 208 432 825 95 10 1116 5581
98,6 47,7 52,0 48,0 63,5 31,7 10,0 58,7 67,2
Keterangan : D = Densitas larva (individu/300 ml)
Proporsi % 44,2 7,7 3,7 7,7 14,8 1,7 0,2 20,0 100,0
Jlh cidukan 215 90 30 50 -
D 11,5 4,8 6,9 8,6 -
54
Tabel 4 menunjukkan bahwa habitat dengan proporsi kandungan larva rendah yaitu kolam, kontainer buatan, lagun, parit, dan kaleng bekas dengan kisaran proporsi 0,2% -7,7%, sementara tipe habitat lain yaitu kobakan, tapak ban/tapak hewan, dan kubangan memiliki proporsi kandungan larva yang lebih tinggi dengan kisaran 14,8% - 44,2%. Jumlah dan kepadatan larva pada tipe habitat yang memiliki kolom air yang cukup untuk diciduk, kepadatan larvanya adalah 11,5 larva/300 ml pada kubangan, 8,6 larva/300 ml pada parit, 6,9 larva/300 ml pada kolam dan 4,8 larva/300 ml pada lagun. 4.3.3 Jenis-jenis Anopheles spp. yang terdapat pada berbagai tipe habitat Secara keseluruhan terdapat enam spesies nyamuk yaitu An. indefinitus, An. kochi, An. punctulatus, An. subpictus, An. farauti dan An. vagus. larva Anopheles tertinggi adalah An. indefinitus (47,0%), diikuti oleh An. farauti (36,0%), An. kochi (10,6), An. vagus (3,5%) dan terendah adalah An. subpictus (0,19%). Jumlah Anopheles yang diperoleh dari seluruh tipe habitat adalah 519 individu. Pada Gambar 15 disajikan persentase Anopheles per habitat yang menunjukkan bahwa Anopheles tertinggi terdapat di kobakan (26,2%), diikuti oleh lagun (25,6%), kubangan (15,4%), parit (14,8%), tapak ban/tapak hewan (14,6,0%) dan yang terendah adalah kolam (3,3%). Jumlah dan jenis Anopheles spp. dari berbagai tipe habitat di Desa Saketa disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah individu dan persentase Anopheles spp. pada setiap tipe habitat perkembangbiakan di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari Bulan September 2010-Agustus 2011 Jenis Habitat
An. An. farauti indefinitus
An. kochi
An . punctulatus
An. subpictus
%
n`
Jlh
N
%
N
%
n
%
n
Kubangan
8
4,3
68
27,9
3
5,5
0
0,0 1
100
0,0
0,0
Kobakan
29
15,5
66
27,0
24
43,6
0
0,0 0
0
17,0
94,4
Lagun
132
70,6
1
0,4
0
0,0
0
0,0 0
0
0,0
0,0
Kolam
0
0,0
10
4,1
7
12,7
0
0,0 0
0
0,0
0,0
Tapak ban
3
1,6
37
15,2
21
38,2
14
100,0 0
0
1,0
5,6
Parit
15
8,0
62
25,4
0
0,0
0
0,0 0
0
0,0
0,0
80 136 133 17 76 77
Jumlah
187
100
244
100
55
100
14
100 1
100
18,0
100
519
N
%
An. vagus
%
55
Di lagun terdapat dua spesies yaitu; An. indefinitus dan An. farauti, empat spesies pada kobakan yaitu An. indefinitus, An. kochi, An. farauti dan An. vagus, dua spesies pada kolam yaitu An. indefinitus dan An. kochi, serta tiga spesies pada kubangan yaitu An. indefinitus, An. subpictus dan An. farauti. Di parit terdapat tiga spesies yaitu An. indefinitus, An. punctulatus, dan An. farauti dan di tapak ban/tapak hewan terdapat empat spesies yaitu indefinitus, An. kochi, An. punctulatus, An. subpictus dan
An.
An. farauti. Pada
kaleng bekas dan kontainer buatan tidak ada larva yang berkembang menjadi nyamuk.
Penelitian di daerah transmigrasi Goal, Halmahera memperoleh 5
spesies Anopheles yaitu An. vagus, An. subpictus, An. tessellatus, An. farauti dan An. fragilis pada habitat sawah padi, parit yang ditumbuhi kangkung, kobakan bekas galian tanah, air jernih dengan pH 6 sampai 8, salinitas 0‰ suhu 25oC28oC, di sekitarnya terdapat pohon kelapa, rumpun pisang, semak, berbagai perdu dan rumput-rumputaan (Soekirno et al. 1997). Santoso NB, Hadi dan Koesharto (2004) melaporkan bahwa An. maculatus dan An. balabacencis ditemukan pada habitat dengan suhu air antara 24,10 0C – 24.15 0C, pH 7.13 -7.2, tingkat kekeruhan sebesar 5.11 -5.30 NTU dan angka kepadatan plankton minimal rata-rata 500/liter, tumbuh dan berkembang dengan baik pada perairan terbuka baik mengalir maupun tidak mengalir, dan dengan dasar berupa batu atau tanah dan ternaungi. Komposisi larva Anopheles pada setiap jenis habitat disajikan pada Gambar 15.
Gambar 15 Persentase larva Anopheles pada setiap tipe habitat perkembang biakan di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011)
56
Tabel 6. Spesies Anopheles spp. yang terdapat pada setiap tipe habitat di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari bulan September 2010Agustus 2011 Spesies An. farauti An. indefinitus An. kochi An. punctulatus An. subpictus An. vagus
Kubangan Kobakan
√ √ √ -√ --
√ √ √ --√
Jenis habitat Lagun Kolam Tapak ban
√ √ -----
-√ √ ----
√ √ √ √ -√
Parit
√ √ -----
Tabel 6 menunjukkan bahwa An. indefinitus merupakan nyamuk yang paling adaptif terhadap semua tipe habitat di Saketa, karena nyamuk ini dapat ditemukan pada semua tipe habitat, sedangkan An. punctulatus dan An. subpictus dapat dikatakan kurang toleran karena hanya ditemukan pada satu tipe habitat saja. 4.3.5 Keberhasilan larva menjadi nyamuk. Tabel 7 menunjukkan jumlah rata-rata larva tertinggi terdapat pada jenis kubangan (98,6 larva/habitat), diikuti oleh kobakan (63,5 larva/habitat), tapak ban/tapak hewan (58,7 larva/habitat), dan kolam (52 larva/habitat), sedangkan yang terendah adalah kaleng bekas. Proporsi larva tertinggi terdapat tipe habitat kubangan (44,20%) diikuti oleh tapak ban/tapak hewan (20,0%) dan kobakan (14,2%), sedangkan yang terendah adalah kolam (3,7%). Kontainer buatan dan kaleng bekas tidak dipertimbangkan karena pada habitat ini tidak terdapat larva yang berkembang menjadi nyamuk. Sebagian besar larva gagal berkembang menjadi nyamuk dewasa, bahkan di kontainer buatan dan plastik/kaleng bekas semua gagal eklosi. Tingkat keberhasilan larva menjadi nyamuk pada setiap tipe habitat cukup rendah, dengan rata-rata 9,3%. Angka tertinggi terdapat pada lagun (31,0%) diikuti parit dan kobakan (17,8% dan 16,5%) dan terendah pada tapak ban/tapak hewan dan kubangan (6,8% dan 3,2 %). Angka ini termasuk rendah dibandingkan dengan yang diperoleh dari hasil pemeliharaan yang langsung dilakukan pada habitatnya. Angka ini sesuai yang dilaporkan oleh Koendraadt et al. (2010) bahwa
57
perkembangan larva An. gambiae di dataran tinggi Afrika sangat rendah, hanya 2 dari 500 ekor larva yang dipelihara berkembang menjadi pupa, larva lainnya mati sebelum terjadi pupa si. Tabel 7 Jumlah tipe habitat, rata-rata dan proporsi larva dan nilai kelangsung hidupan nyamuk pada setiap tipe habitat Anopheles spp. di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010-Agustus 2011 Tipe habitat Kobakan Kolam Kontainer buatan Kubangan
Jlh Larva
Jlh Anopheles N
%
Keberhasilan (%)
14,8 3,7
136 17
26,2 3,3
16,5 8,2
95 2.466
1,7 44,2
0 80
0 15,4
0 3,2
429 432
133 77
25,6 14,8
31 17,8
0 76
0 14,6
0 6,8
519
100
9,3
N
%
825 208
Kaleng bekas Tapak ban/tapak hewan
10 1.116
7,7 7,7 0,2 20,0
Jumlah
5.581
100,0
Lagun Parit
Tingkat keberhasilan yang rendah juga dilaporkan oleh Munga (2007), bahwa larva yang menjadi pupa di saluran drainase adalah 6,8%, pada jejak kaki sapi adalah 0,7%, dan terendah pada kubangan bekas tambang emas (0,62%). Keadaan ini disebabkan oleh hubungan antara predator, ketersediaan makanan dan kestabilan habitat. Hasil ini tidak sama dengan yang dilaporkan oleh Greico et al. (2007) pada penelitian yang dilakukan langsung pada habitat nyamuk di Rawa Belize (perbatasan Mexico-Guatemala). Tingkat keberhasilan larva menjadi dewasa pada Anopheles albimanus mencapai 81%, An. vestitipennis (82%) dan Anopheles darlingi (85%). Tingkat keberhasilan larva An. gambiae berkurang 55-57% pada habitat yang terkena sinar matahari penuh (habitat terbuka) dan hanya 1-2% pada habitat dengan penutupan kanopi hutan yang penuh (habitat hutan) dan penutupan merupakan
kanopi variabel
parsial (habitat tepi signifikan
hutan).
untuk
Jumlah serasah
kelimpahan
daun juga
larva. Hasil
ini
menunjukkan bahwa deforestasi yang menyebabkan terbukanya sebagian kanopi akan membantu keberhasilasn larva An. gambiae di dataran tinggi (Tuno et al. 2005).
58
Tingkat keberhasilan larva Anopheles menjadi nyamuk pada habitat dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya predator. Pada sebagian besar habitat perkembangbiakan, ditemukan keberadaan beberapa jenis predator di antaranya larva capung (Odonata), larva udang-udangan (Crustacea), larva mayflies (Ephemeroptera), larva katak (Anura), dan ikan-ikan kecil. Di dataran tinggi Afrika Timur larva serangga dari ordo Diptera, Coleoptera, dan Odonata mendominasi habitat larva (Tuno et al. 2005). Menurut Setyaningrum (1998) keberadaan ikan pada habitat perkembang biakan nyamuk mempengaruhi kepadatan larva nyamuk, makin banyak ikan, maka kepadatan larva semakin kecil. Selanjutnya, Louca et al. 2009 melaporkan bahwa ikan Tilapia guineensis dan Epiplatys spilargyreius merupakan predator efektif yang melenyapkan larva fase akhir Anopheles dan Culicinae dalam 1 hari. Tingkat keberhasilan nyamuk juga dipengaruhi oleh curah hujan (Dale et al. 2005). Curah hujan yang cukup akan meningkatkan jumlah habitat dan menciptakan kelembaban yang dibutuhkan untuk perkembangan nyamuk, tetapi curah hujan yang tinggi akan menyebabkan tersapunya larva akibat terbawa air. Sebagian besar dari semua tipe habitat Anopheles spp. terbentuk oleh aktivitas manusia. Kobakan dan kubangan dapat bersifat alami maupun buatan, keduanya merupakan cekungan/lubang dangkal yang tergenang. Cekungan dapat terbentuk secara alami oleh erosi percikan ataupun erosi permukaan, atau oleh aktivitas manusia yang menyebabkan munculnya cekungan. Lagun merupakan habitat yang murni bersifat alami, umumnya muncul di muara kali kecil yang terbendung oleh tumpukan pasir yang dihempaskan ombak ke darat. Bendungan pasir menyebabkan air dalam lagun terpisah secara temporer dari air laut. Di Saketa, lagun muncul pada bulan Februari, Maret dan Mei dan merupakan habitat vektor yang potensil. 4.3.6
Habitat Anopheles berdasarkan jarak dari rumah, ketinggian dan fungsi lahan Spesies Anopheles yang ditemukan pada setiap tipe habitat, jarak habitat
dari rumah terdekat, ketinggian dan fungsi lahan tempat ditemukannya habitat disajikan pada Tabel 8 berikut.
59
Tabel 8 Spesies nyamuk Anopheles pada setiap tipe habitat, jarak habitat dari rumah terdekat, ketinggian (m dpl) dan fungsi lahan di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari Bulan September 2010-Agusutus 2011 Tipe habitat
Jarak dr Elevasi rmh (m) dpl (m)
Kaleng bekas
Fungsi Lahan
50
10
5
Kobakan
7-600
21-46
1, 2
Kolam
30-50
14-29
1, 2
10-600
34
1, 2
5-400
2-24
1,2,4,5
1-3
1, 5
10-1000
8-23
2, 4
10-550
3-46
1, 2
Kontainer buatan Kubangan Lagun Parit Tapak ban/tpk hewan Kisaran
100-500
5-1000
1-46
Jenis Anopheles spp.
Tidak ada An. indefinitus, An. kochi, An. farauti, dan An. vagus An. indefinitus, An. kochi Tidak ada An. indefinitus, An. kochi, An. subpictus, An. farauti An. indefinitus, An. farauti, An. kochi An. indefinitus, An. punctulatu, An. farauti An. indefinitus, An. kochi, An. punctulatus, An. farauti
1,2,4,5
Keterangan : 1. Kebun 2. Jalan 3. Semak 4. Permukiman 5. Pantai
Tabel 8 menunjukkan bahwa kubangan merupakan tipe habitat yang dapat ditemukan paling dekat dari rumah dengan kisaran jarak dari rumah 5-400 meter, ditemukan pada ketinggian antara 2-24 m dpl, terdapat baik di perkebunan maupun di jalanan. Pada habitat ini terdapat spesies An. indefinitus dan An. kochi. Lagun merupakan tipe habitat yang terjauh dari Desa Saketa tetapi paling dekat dengan Dusun Loleba, terletak pada jarak antara 100-500 meter dari rumah terdekat pada ketinggian 1-3 m dpl. Di lagun ditemukan dua spesies yaitu An. indefinitus dan An. farauti. Meskipun hanya mendukung dua spesies Anopheles saja, habitat ini menyumbang proporsi yang cukup besar di antara tipe habitat lainnya (penyumbang kedua setelah kobakan). Tabel 8 juga menunjukkan bahwa sebagian besar habitat berada pada ekosistem perkebunan dan jalanan, sebagian lagi di semak dan pantai. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan yang perlu diwaspadai dalam transmisi malaria dari vektor ke manusia bukan hanya pada wilayah permukiman, akan tetapi termasuk jenis ekosistem lainnya terutama di perkebunan termasuk perkebunan di sekitar pantai dan semak.
60
Mulyadi (2010) melaporkan bahwa di Desa Doro, jarak habitat perkembang biakan Anopheles terdekat dari rumah adalah 5 meter untuk kobakan, 20 meter untuk kubangan, 15 meter untuk parit, dengan jarak habitat terjauh adalah kali (45 m). Di Desa Saketa, sebagaimana umumnya dengan desa lain di Halmahera Selatan, permukiman dibentuk secara mengelompok yang dikelilingi oleh perkebunan. Dengan demikian, jarak habitat yang berjauhan dari rumah mengindikasikan bahwa habitat tersebut berada di luar wilayah permukiman yang dapat berupa semak, jalanan atau pantai, tetapi masih tetap berada dalam radius wilayah yang merupakan tempat berlangsungnya berbagai kegiatan masyarakat. Perkebunan perlu diwaspadai karena sebagian besar aktivitas masyarakat Desa Saketa berlangsung di perkebunan. Pada saat panen kelapa dan pembuatan kopra, petani kebun akan tinggal dan menetap selama beberapa hari hingga proses pengeringan dan pengangkutan kopra dirampungkan. Selama beberapa malam di kebun, para petani menghadapi resiko digigit nyamuk dan diinfeksi oleh parasit malaria. Siklus panen kelapa berlangsung setiap tiga bulan, karena sedemikian luasnya perkebunan kelapa di desa ini, maka siklus ini berlangsung sambung menyambung, sehingga hampir tidak ada hari tanpa pemanenan dan proses pembuatan kopra. Jarak habitat dengan lingkungan inang mempengaruhi potensi penularan malaria. Jarak habitat yang jauh dari permukiman menghambat vektor untuk kontak dengan inang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar habitat berada di kawasan perkebunan yang jaraknya cukup jauh dari permukiman/rumah. Jarak yang jauh dari rumah tidak berarti masyarakat juga jauh dari ancaman oleh gigitan vektor. Habitat
perkembangbiakan yang
berada di perkebunan
memungkinkan petani kebun juga menyatu dengan aktivitas vektor, sehingga dapat dipahami jika kasus malaria yang tinggi di Desa Saketa umumnya diderita oleh masyarakat dan anggota keluarga dari masyarakat yang berprofesi sebagai petani kebun (hasil wawancara dengan petugas Puskesmas Saketa). Hasil pemetaan terhadap titik-titik lokasi habitat yang ditemukan dari berbagai jenis fungsi lahan yang ditimpakan pada foto udara Desa Saketa disajikan pada Gambar 16.
61
A:1,2,3,4
A:1,2,3,4 B:1,2
A:1,2,3,4 F:1,2,3,5
F : 1,2,3,5
F,1,2,3,5
B:1,2
E : 1,3,5
E:1,2,3 F:1,2,3,5
E : 1,3,5 E:1,2,3
D : 1,3
D : 1,3 E: 1,3,5 D : 1,3
A:1,2,3,4
Peta Sebaran Habitat Anopheles spp. di Desa Saketa, Kec. Gane barat Kabupten Halmahera Selatan Skala : 1 : 15.000 m Legenda : Habitat dan spesies Hutan Perkebunan Semak Permukiman Sekolah/perkantoran Puskesmas Lapangan sepak bola Lapangan STQ Jalan A : Kobakan B : Kolam C : Kubangan D : Lagun E : Parit F : Tapak ban/tpk hewan 1 : An. indefinitus 2. An. kochi 3. An. farauti 4. An. vagus 5. An.punctulatus 6. An. subpictus
61
Gambar 16 Sebaran habitat perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Desa Saketa, September 2010-Agustus 2011.
62
4.3.7 Faktor cuaca dan populasi larva Anopheles spp. pada berbagai habitat perkembangbiakan di Desa Saketa Akumulasi jumlah larva per bulan dari semua jenis habita Anopheles di Desa Saketa dan data cuaca (curah hujan, kelembaban, suhu dan kecepatan angin) yang diperoleh dari stasiun BMKG Labuha, Kabupaten Halmahera Selatan disajikan dalam Tabel 8 berikut : Tabel 9 Jumlah larva, curah hujan, kecepatan angin, kelembaban (rH) dan suhu dari Bulan September 2010 hingga Agustus 2011 Bulan
Jumlah larva
Curah Hujan (mm)
0 120 144 376 594 234 182 484 31 111 98 422
50 33,5 52,8 83,3 39,3 24 54,8 61 48,5 38 31,5 2,5
September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus
Kecepatan angin (km/jam)
1,3 1,5 1,5 1 1 1,5 1,3 1,5 1,5 1,3 1,8 1,8
Kelembaban (%) 86,3 81 84 85 84,8 84 84,5 81,8 85,8 85,5 85,5 83,8
Suhu (C) 25,3 27,8 25,5 25,8 26 24,8 26,5 25,8 26,3 25,3 25,8 25,8
Faktor fisik dan kimia berperan penting dalam perkembangan dan penyebaran nyamuk. Faktor-faktor tersebut meliptui suhu, salinitas, kedalaman, pH, kecerahan/kekeruhan, velositas dan jenis substrat, demikian pula halnya dengan faktor cuaca seperti suhu harian, curah hujan, kelembaban dan kecepatan angin. Setiap spesies nyamuk membutuhkan faktor fisik dan kimia yang berbeda, juga dipengaruhi oleh faktor cuaca. (Brown 1979 dalam Setyaningrum et al. 2008). Hubungan antara faktor cuaca dengan jumlah larva disajikan dalam Gambar 17 berikut :
1200
1200
1000
1000
Jumlah Larva
Jumlah Larva
63
800
800
600
600
400
400 200
200
0
0 80
1,3 1,5 1,7 1,9 Kecepatan Angin (m/dt)
1200
1200
1000
1000
800
82
84
86
Kelembaban (%)
Jumlah Larva
1,1
Jumlah Larva
0,9
800
600
600
400
400
200
200
0
0 24
25
26 27 Suhu Udara (oC)
28
20
40
60 80 100 Curah Hujan (mm/hari)
Gambar 17 Hasil analisis regresi hubungan antara kelembaban, curah hujan, kecepatan angin dan suhu terhadap populasi larva Anopheles spp. pada berbagai habitat perkembangbiakan di Desa Saketa Bulan September 2010-Agustus 2011. Dari Gambar 17 tampak bahwa kenaikan curah hujan dapat memicu meningkatnya jumlah larva, tetapi pada kecepatan tertentu akan bertindak sebagai penghambat dan menyebabkan turunnya jumlah larva. Kenaikan curah hujan dari sekitar 23 mm hingga sekitar 40 mm akan menaikkan jumlah larva, tetapi peningkatan curah hujan yang melebihi 50 mm secara perlahan nakan menurunkan jumlah larva dan pada curah hujan yang melebihi 80 mm akan menyebabkan jumlah larva mencapai titik terendah (dibawah 50 ind). Gambar 17 menunjukkan bahwa secara polinominal, terdapat pengaruh antara kelembaban, curah hujan, kecepatan angin dan suhu terhadap populasi larva. Pengaruh tersebut dapat mencapai 29,6%; 24,2%; 34,1% dan 52,4% untuk masing-masing faktor tersebut secara berurutan. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa faktor suhu turut mempengaruhi jumlah populasi larva Anopheles spp. di Desa Seketa. Dalam hal ini, setiap perubahan positif dari suhu sebesar satu satuan,
64
akan diikuti oleh perubahan negatif dari populasi larva sebesar 5533,5 satuan. Namun demikian, faktor-faktor kelembaban, curah hujan, kecepatan angin dan suhu tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap perubahan populasi larva Anopheles spp. di Desa Seketa secara linear. Perilaku respon larva terhadap kecepatan angin menunjukkan adanya kecepatan pemicu dan penghambat untuk jumlah larva. Pada kecepatan angin 11,3 m/dt akan menurunkan jumlah larva dan kecepatan angin yang melebihi 1,4 m/dt akan menaikkan jumlah larva. Kelembaban udara akan meningkatkan jumlah larva pada rH sekitar 80%-83% dan akan menurunkan jumlah larva pada saat rH melebihi 84%, selanjutnya kenaikan suhu udara diatas 24,5 ˚C hingga 25,5 ˚C akan meningkatkan jumlah larva dan pada suhu˚C>26 akan menyebabkan jumlah larva berkurang.
4.4
Karakteristik habitat perkembangbiakan Anopheles di Desa Saketa
4.4.1 Kobakan Kobakan merupakan cekungan kecil di permukaan tanah yang terbentuk secara alami, disengaja atau tanpa disengaja yang sewaktu-waktu dapat menampung air. Karena ukurannya yang relatif kecil, maka daya tampung airnya juga terbatas, sehingga tipe habitat ini dapat muncul dan menghilang dalam waktu singkat. Kobakan banyak ditemukan tersebar di seluruh wilayah Desa Saketa, tetapi yang mengandung larva hanya yang terdapat di perkebunan dan di jalanan. Untungnya sebagian besar kobakan yang ditemukan tidak mengandung larva nyamuk dan banyak kobakan tidak mengandung larva Anopheles. Namun demikian, pada kobakan tersebut terdapat larva nyamuk (Culex) yang melimpah. Proporsi kobakan adalah 15,7% dari seluruh jumlah habitat. Pada kobakan ditemukan 4 spesies Anopheles yaitu An. indefinitus, An. kochi, An. farauti, dan An. vagus. Habitat ini terdapat di perkebunan (61,5%) dan di jalanan atau di pinggir jalan (38,5%), pada ketinggian 2-46 m dpl dengan rincian 1 kobakan terdapat diketinggian 2 m dpl, 7 terdapat pada 11-20 m dpl dan 3 pada 21-46 m dpl. Luasan kobakan terkecil adalah 0,5 x 0,5m dan terbesar 0,5x0,8m dengan kisaran kedalaman 3-15 cm. Kobakan berada antara 11-600 m dari rumah terdekat, dengan rincian 5 kobakan masing-masing berada pada jarak
65
7-10 dan 11-50 m, 2 kobakan berada pada jaran 100-150 m dan 1 kobakan terletak 600 m dari rumah terdekat. Kobakan memiliki pH antara 6-7, sedangkan kisaran temperatur air pada habitat ini adalah 23-38 ºC dengan rincian 4 buah pada kisaran 25-30 ºC, 6 buah pada kisaran 30-35 ºC, 3 buah pada kisaran 36-38 ºC. Nilai kelembaban udara antara 46-68 %. Salinitas air umumnya 0‰ dan hanya sekali pengamatan yang memiliki nilai salinitas 10‰ ditemukan pada kobakan di perkebunan dekat pinggir pantai. Kekeruhan air pada habitat ini bervariasi antara jernih hingga keruh. Jenis substrat terdiri dari substrat pasir dan lumpur masing-masing 50%. Kejernihan air di kobakan bervariasi dari jernih 58,3 %, sedang 33,3% dan keruh 16.7%. Sebagian besar kobakan tidak mengandung tanaman air (58,3%) mengandung tanaman air berupa lumut 2,3%, rumput 1,55% dan kesatuan lumut, rumput dan ganggang 0,77%. Sekitar 40% kobakan tanaman sekitarnya berupa pohon dan 60% berupa rerumputan. Sebagian besar kobakan (61,5%) tidak ternaungi oleh suatu vegetasi, terutama yang terdapat di jalan atau di pinggir jalan. 15,5% kobakan ternaungi dengan intensitas jarang, 0,76% dengan intesitas sedang dan 15,4% dengan intensitas naungan yang rapat. Meskipun kobakan merupakan habitat yang sangat labil dengan ukuran luas dan kedalaman yang rendah, habitat ini tetap ada (40%) yang memiliki berbagai macam jenis predator yang teramati. Predatorrnya bervariasi terdiri dari kecebong, udang-udangan, anggang-anggang, nimpha capung, dan ikan kecil. 4.4.2 Kolam Kolam di Saketa terdiri dari kolan yang sengaja dibangun untuk tujuan memelihara ikan dan penghias taman dan kolam yang terbentuk karena sengaja digali untuk kebutuhan timbunan bangunan rumah dan dibiarkan tidak tertimbun. Di kolam ditemukan hanya 2 spesies Anopheles yaitu An. kochi dan An. indefinitus. Proporsi kolam dari seluruh habitat sangat kecil (5%), proporsi larvanya 4 % dari total larva dan hanya mengandung 3% dari total jumlah Anopheles. Meskipun kolam merupakan habitat yang dapat menampung air dengan volume besar, keberadaannya sebagai habitat berlangsung hanya beberapa bulan selama waktu penelitian. Kolam di pekarangan, di isi air dan digunakan
66
untuk memelihara ikan mulai bulan Maret 2011, sedangkan kolam bekas galian berisi air sejak Januari dan berfungsi sebagai kubangan hingga bulan Mei 2011. Fungsinya sebagai kolam terjadi setelah proses penimbunan selesai dan dibiarakan terisi penuh air. Suhu di kolam berkisar antara 24-30 ˚C d engan p H 6 , salinitas 0 ‰ , substratnya berupa lumpur dengan air yang tidak mengalir dan jernih, 1 kali ditemukan keruh. Kolam terletak di pinggir jalan dan pekarangan rumah dengan jarak 3 dan 50 m dari rumah terdekat pada ketinggian 14 dan 29 m dpl. Tanaman air di kolam berupa rumput, lumut, ganggang, dan seresah dengan kerapatan jarang dan sedang. Tanaman sekitarnya berupa rumput, semak dan perdu dan tanpa dinaungi oleh suatu vegetasi. Predator larva ditemukan berupa ikan kecil, kecebong, nimpha capung, udang-udangan, cyclop dan angganganggang. 4.4.3 Kubangan Jumlah kubangan 30,12 % dari total jumlah habitat perkembangbiakan Anopheles di Desa Saketa. Ukuran kubangan lebih besar dari kobakan dan jauh lebih kecil dari kolam termasuk ukuran volumenya. Sebanyak 44,2% dari seluruh larva berada di kubangan, dan 15,4 % Anopheles berasal dari kubangan, pada habitat ini terdapat 3 spesies Anopheles yaitu An. indefinitus, An. farauti dan An. subpictus yang tersebar di perkebunan (32%), permukiman (28%), di jalan/di pinggir jalan (24%) dan 16% berada di semak. Jarak kobakan dari rumah terdekat bervariasi dari 5-300m dengan rincian 32% pada jarak 5-20 m, 32% pada jarak 21-50 m, 24% pada jarak 100-300 m dan 12 % pada jarak 70-100. Kubangan memiliki kedalaman antara 2-25 cm, dengan rincian 40% memiliki kedalaman 2-10 cm, 36% dengan kedalaman 21-25 cm dan 25% dengan kedalaman 11-20 cm. Kisaran Suhu air di kubangan bervariasi dari 27-39˚C, terdapat 4 buah kubangan pada kisaran suhu 27-30˚C, 15 pada kisaran 31-36˚C, dan 6 kubangan pada kisaran 37-39˚C, pH air kubangan berkisar antara 6-7, 84% air kobakan dengan pH 7 dan 16% dengan pH 6. Kobakan mengandung air mulai dari yang jernih hingga keruh, 72% kobakan memiliki air yang jernih, 16% dengan kekeruhan air sedang dan 12% keruh, dengan substrat berupa lumpur (52%) dan pasir (48%).
67
Kubangan mengandung berbagai jenis tanaman air. Sekitar 12% kubangan mengandung ganggang, 24% mengandung lumut, 16% mengandung rumput dan sebanyak 36% kubangan mengandung gabungan antara rumput, ganggang dan lumut, 12% sisasnya tidak mengandung tanaman air. Sebagian besar kubangan (80%) tidak mengandung tanaman air. Kerapatan tanaman air bervariasi mulai yang jarang dan sedang (masing-masing 8%), rapat 4% dan (80%). Di sekitar kubangan terdapat berbagai jenis tanaman, tetapi 4% di antaranya tidak mempunyai tanaman disekitarnya. Tanaman sekitar kubangan sebagian besar berupa rumupt (40%), pepohonan (16%), semak 4%, dan gabungan antara semakrumput dan pohon sebesar 36%. Tingkat kelulushidupan larva di kubangan sangat tergolong rendah (3.2%), hal ini kemungkinan disebabkan oleh terbawanya telur predator dalam wadah pemeliharaan di laboratorium. Berbagai jenis predator ditemukan di kubangan seperti Anggang-anggang, juvenil ikan dan ikan-ikan kecil, nimpha capung, cyclop, Ephemeroptera, dan kecebong. Meskipun demikian 39,1% di antaranya tidak mengandung predator. 4.4.4 Lagun Lagun merupakan salah satu habitat perkembangbiakan yang hanya muncul pada waktu-waktu tertentu. Di Desa Saketa, habitat ini mencul pada bulan Februari dan Maret. Di lagun ditemukan dua spesies Anopheles yaitu An. farauti (99,2%) dan An. indefinitus (0,8%). 70,6% dari semua An. farauti berasal dari lagun. Salinitas di lagun cukup rendah yaitu 0‰, hanya 1 kali muncul dengan salinitas 10‰ dengan pH air 6-7. Salinitas merupakan faktor pembatas utama bagi larva nyamuk, larva An. sundaicus mampu beradaptasi terhadap kadar garam hingga 2,4 % (Wensdorfer & McGregor 1988. Sembiring (2005) melaporkan bahwa larva An. sundaicus dapat hidup pada habitat dengan salinitas hingga 1,0 %. Penelitian Jatsal, et al. (2003) menemukan larva Anopheles subpictus mendominasi perkampungan nelayan di kawasan pantai Kabupaten Donggala dan Kabupaten Luwuk Banggai, nyamuk ini ditemukan di tambak dan muara sungai. Kondisi tersebut sangat mirip dengan kawasan pertambakan dan hutan bakau yang telah banyak dihuni oleh manusia khususnya kaum nelayan. Di Sungai Legundi, Lombok Timur An. sundaicus
68
berkembang pada kadar garam berkisar 0,1–0,6 %, dan masih ditemukan pada kadar garam 3,0% (Budasih 1993). Larva An. dirus dengan kepadatan yang tinggi ditemukan pada kadar garam 1,0–2,5% (Oo et al. 2002). Semua lagun di Saketa memiliki air yang tidak mengalir, umumnya airnya jernih, ditemukan 1 kali dengan tingkat kekeruhan sedang. Substratnya berupa pasir (56%), campuran pasir-kerikil (33,3%) dan lumpur (11,1%). Luas lagun bervariasi pada kisaran terendah 4x5m hingga 10x25m dengan kedalaman antara 50 m hingga 110 m, berada antara 25-500 m dari rumah terdekat dan paling banyak (55,6%) berada pada jarak antara 300-500 m. Sebagian besar (77.8%), terletak pada lahan berupa perkebunan yang berbatasan dengan pantai dan 22,5% terletak di pantai yang tidak memiliki fungsi lainnya pada ketinggian 1 m dpl (66,6%) dan 2 m dpl (33,3%). Di Saketa, sebagian besar lagun tidak memiliki tanaman air, sebagain kecil lainnya memiliki tanaman air berupa ganggang (33,3%), dan Hydrilla sp (11,1%). Tanaman di sekitar lagun berupa semak/perdu, rerumputan, pepohonan masingmasing sebesar 11,1% dan yang berupa gabungan antara rerumputansemak/perdu-pepohonan sebesar 66,6%. Sebagian besar memperoleh naungan dari vegetasi sekitarnya dengan intensitas naungan yang beragam, 44,4% lagun ternaungi dengan sedang, 22,2% ternaungi jarang dan sedang, dan 11,15% tidak ternaungi oleh vegetasi.
55,6% lagun tidak dinaungi oleh vegetasi, 33,3%
dinaungi dengan intensitas rendah dan 11,2% dinaungi dengan intensitas tinggi. Predatornya berupa ikan-ikan kecil, udang-udangan, Cyclops, dan Ephemeroptera yang hidup secara bersama-sama membentuk komunitas predator larva. Meskipun lagun hanya muncul pada Bulan Februari, Maret dan Mei, tetapi perannya cukup besar dari sisi kevektoran karena didominasi oleh An. farauti yang berperan sebagai vektor malaria di Maluku Utara (Sukowati 2009). An. farauti juga merupakan vektor malaria dan filariasis di daerah Indo-Pasifik dan Australia yang penyebarannya meliputi Indonesia bagian timur yaitu dari Maluku dan Papua, sampai Kepualaun Vanuatu (Foley et al. 1995 dalam Buwolaksono 2001).
69
4.4.5 Tapak ban/Tapak Hewan Tapak ban dan tapak hewan merupakan tipe habitat yang cukup banyak ditemukan di desa Saketa, terbentuk dari jejak kaki sapi yang digunakan sebagai penarik gerobak tanpa roda dan bekas ban truk yang merupakan sarana utama untuk mengangkut hasil perkebunan dan kayu dari hutan. Jejak kaki sapi akan menimbulkan lubang-lubang kecil di permukaan tanah yang menjadi habitat Anopheles jika terisi air. Selain tapak hewan, gerobak sapi juga menimbulkan jejak berupa alur berlubang memanjang yang mirip dengan jejak ban mobil. Tapak ban/tapak gerobak dan tapak hewan secara bersama-sama menimbulkan habitat untuk perkembangbiakan Anopheles spp. Sekitar 20% dari total larva yang diperoleh berasal dari tapak ban dan menempati proporsi 14,6% dari total nyamuk Anopheles hasil pemeliharaan dari semua tipe habitat. Tingkat kelangsungan hidup larva menjadi nyamuk adalah 6,8%, dalam hal ini dihasilkan An. farauti An. indefinitu, An. vagus, An, punctulatus dan An. kochi. Suhu di tapak ban berkisar antara 26-35˚C, dengan rincian 73.7% tapak ban memiliki suhu pada kisaran 26-30˚C dan 26,3% pada kisaran 31-35˚C. Sebagian besar air di tapak ban (63,1%) memiliki pH 7 dan 36,8% dengan pH 6 dan sebagian besar agak keruh/keruh tingkat sedang 42,1%, jernih 36,8% dan keruh 21,0%. Semuanya memiliki air yang tidak mengalir, sebanyak 73,6% substratnya berupa lumpur dan 26,3% berupa pasir. Sebagian besar tapak ban (52,6%) tidak mengandung tanaman air, dan proporsi yang mengandung ganggang, lumut dan rumput masing-masing 5,3%, dan 32% lainnya mengandung gabungan antara ganggang-lumut-rumput. 10,5% tapak ban tidak terdapat tanaman di sekitarnya. Sebagian besar dikitari oleh berbagai tanaman berupa pohon (10,5%), rumput (15,7%) dan gabungan keduanya (63,2%). Sebagian besar tapak ban berada pada ketinggian 3-45 m dpl dan sebagian besar terdapat di perkebunan (52,6%), jalanan/pinggir jalan (42,1%) dan hanya 52% terdapat dipermukiman. Predatornya bervariasi berupa anggang-anggang, cyclop, udang-udangan, Ephemeroptera, kumbang air, kecebong, dan nimpha capung.
70
4.4.6 Parit Parit terdapat di dalam dan di luar Desa Saketa. Sebagian besar tertimbun dan sengaja ditimbun masyarakat untuk jalan kendaraan. Akibatnya pada tempattempat tertentu, sebagian parit tidak berfungsi mengalirkan air bahkan malah menampung air dan habitat perkembangbiakan nyamuk. Sekitar 7,7% larva terdapat di parit dan 8,6% Anopheles berasal dari parit dengan nyamuk yang terdiri dari An. indefinitus (96,8%) dan An. kochi (3,2%). Ukuran parit yang menjadi habitat nyamuk beragam 0,3x0,3 hingga 1,5 x 50 dengan kedalaman antara 10 hingga 50 cm. Parit terdapat di permukiman dan jalan dan di pingir jalan di lingkungan permukiman dengan jarak terdekat dari rumah antara10 hingga 1000 m. Parit yang terdapat pada kisaran 15-50 m (66.6%) berlokasi di pinggir jalan di lingkungan permukiman. Suhu air dalam parit antara 27-40 C dengan rincian pada suhu 27 C-30 ˚C terdapat 88,8% dan hanya 11,2% dengan suhu diatas 30 ˚C. Sebanyak 77.8% parit memiliki pH 7 dan 22,2% salinitas 0‰,
dengan pH 6. Semua parit memiliki air dengan
53% airnya jernih dan 89% tidak mengalir, sisanya mengalir
lambat. Sebagian besar substratnya berupa lumpur (66,7%) dan 33,3% berupa pasir. Tanaman air di parit berupa rumput, ganggang, lumut juga banyak mengandung seresah. 33,3 % parit tidak dikitari oleh tanaman, lainnya di kelilingi oleh tanaman berupa rumput, perdu, semak dan pohon. Sedangkan predatornya berupa ikan kecil, udang-udangan, kecebong, nimpha capung, anggang-anggang dan Ephemeroptera. Setyaningrum (2008) melaporkan parit yang merupakan habitat Anopheles di Lampung mengandung tanaman air berupa bandotan (Ageratum conizoides) dengan ikan ceke (Gambusia affinis) predator. Air parit yang keruh oleh suspensi partikel yang berlebihan akan menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan larva, sedangkan air yang keruh karena partikel makanan akan menjadi habitat yang sangat cocok untuk perkembangan larva Anopheles (Sattler et al. 2005).
71
4.5
Diskripsi nyamuk Anopheles spp. berdasarkan karakteristik habitat perkembangbiakannya di Desa Saketa
4.5.1 Anopheles farauti An farauti terdapat pada lima jenis habitat yaitu parit, kobakan, kubangan, tapak ban dan lagun, tetapi tidak ditemukan di kolam, kontainer buatan dan plastik/kaleng bekas. Jumlah An. farauti dari semua jenis habitat adalah 187 individu (36% dari total Anopheles) dengan proporsi tertinggi terdapat pada habitat lagun (70,6%), diikuti kobakan (15,5%), dan paling rendah pada habitat tapak ban/tapak hewan (1,6%). Nyamuk An. farauti mendominasi berbagai habitat di Desa Doro Kabupaten Halmahera Selatan dengan frekuensi hingga 95,7%, menyebar pada 5 tipe habitat yaitu parit, kobakan, kubangan, kolam dan kali sebagaimana dilaporkan oleh Mulyadi (2010). Sementara itu, Sukowati (2010) melaporkan bahwa An. farauti ditemukan pada 14 tipe habitat yaitu berupa tapak ban, kubangan, kali, kobakan, rawa, estuari, aliran air, sumur, perahu yang tidak digunakan, lagun, kolam, kantong plastik bekas dan helm bekas yang tersebar pada 7 desa di Halmahera Selatan. Nyamuk An. farauti lebih banyak ditemukan di Lagun. Meskipun berasosiasi dengan pantai, salinitas air lagun di Saketa berkisar antara 0-1 ppt, jauh lebih rendah dibanding salinitas normal air laut (3,5 ppt). Rendahnya salinitas di lagun disebabkan oleh terputusnya masukan air laut dan adanya masukan air tawar secara simultan. Hal ini merupakan faktor pendukung tingginya populasi An. farauti di habitat jenis lagun, salinitas merupakan faktor yang mempengaruhi toleransi An. faruti di suatu habitat (Bell et al. 1999). Frekuensi keberadaan An. farauti cukup rendah, nyamuk ini muncul hanya pada bulan Februari pada habitat parit, pada bulan Januari dan Februari di kobakan dan lagun, pada bulan November 2010 dan Januari 2011 nyamuk ini muncul di kubangan. Sebagian besar An. farauti terdapat pada habitat jenis lagun yang terletak di bibir pantai. Meskipun lagun hanya muncul pada Bulan Februari, Maret dan Mei, habitat ini memiliki peran yang cukup besar dari sisi kevektoran karena didominasi oleh nyamuk An. farauti, di beberapa wilayah di Indonesia nyamuk ini terbukti sebagai vektor malaria (Winarno & Hutajulu 2009).
72
Tabel 10 Jumlah larva, jumlah cidukan dan densitas larva, frekuensi nisbi dan kelimpahan nisbi nyamuk An. farauti pada setiap habitat di Desa Saketa, Kabupaten Halmahera Selatan dari Bulan September 2010Agustus 2011 Tipe habitat
Jlh larva
Jlh
D
nH
nA
F (%)
Jlh Anoph.
K (%)
Kobakan Kubangan Lagun Parit Tapak ban/tapak Hewan Kolam
257 236 278 43 20 -
10 20 70 10 10 -
25,7 11,8 4 4,3 2 -
8 7 3 6 9 -
2 2 2 1 1 -
25,0 28,6 66,7 16,7 11,1 -
29 8 132 15 3 -
15,5 4,3 70,6 8,0 1,6 -
Jumlah
834
120
7
33
6
18,2
187
100
Ket. D = kepadatan/cidukan (volume cidukan = 300 ml), nH = jumlah bulan ditemukannya habitat, nA = jumlah bulan habitat mengandung larva A.farauti
An. farauti merupakan vektor malaria dan filariasis di daerah Indo-Pasifik dan Australia yang penyebarannya meliputi Indonesia bagian timur yaitu dari Maluku dan Papua, sampai Kepualaun Vanuatu (Foley et al. 1995 dalam Bowolaksono 2001) dan dikonfirmasi sebagai vektor malaria di Papua, maluku dan maluku Utara (Sukowati 2009; Winarno & Hutajulu 2009). An. farauti menyebar di daerah Indonesia bagian timur, barat daya Kepulauan Pasifik dan Benua Australia, yaitu Kepulauan Maluku sampai Kepulauan Vanuatu (Foley et al. 1995 dalam Bowolaksono 2001). Nyamuk ini telah beradaptasi terhadap iklim Muson di Australia bagian utara dan Papua Nugini pada ketinggian di atas 1500 dpl (Beebe & Cooper 2002). Larva nyamuk An. farauti tahan terhadap kadar garam, larvanya ditemukan hidup pada habitat rawa, lagun, muara sungai dan empang yang terlindung oleh vegetasi (Foley & Bryan 2000). 4.5.1.1 Karakteristik fisik, kimia dan biologi habitat Anopheles farauti Perkembangan larva nyamuk An. farauti dipengaruhi oleh faktor fisik, kimia dan biologi lingkungan habitat perkembangbiakannya. Lingkungan fisik yang mempengaruhi perkembangan larva adalah tempat bertelur, suhu air dan arus air. Faktor kimia adalah salinitas, pH dan endapan lumpur (jenis substrat). Sedangkan faktor biologi berupa keberadaan vegetasi air yang dapat berupa tanaman tingkat tinggi atau tingkat rendah, adanya naungan vegetasi, dan keberadaan predator.
73
Larva nyamuk hidup dalam kondisi lingkungan yang dinamis seperti curah hujan dan penguapan yang dapat mempengaruhi fluktuasi salinitas secara drastis. Kelangsungan hidup larva tergantung pada kemampuannya mengatur tekanan osmosis hemolimnya dengan cara mengabsorbsi dan mengeluarkan ion-ion dengan cara mengatur ion urinnya dalam rektum sebelum dikeluarkan (Smith et al. 2008). 4.5.1.2 Suhu air, pH, salinitas, kekeruhan, aliran air dan substrat pada habitat An. farauti Berbagai tipe habitat perkembangbiakan nyamuk Anopheles farauti dicirikan oleh kondisi lingkungan fisik yang beragam. Tabel 11 menunjukkan kisaran suhu air pada berbagai tipe habitat di Desa Saketa. An. farauti hidup di kubangan yang memiliki suhu 33-37oC, di lagun antara 28-37oC, di kobakan, parit dan tapak ban/tapak hewan pada suhu 29oC- 34oC. An. farauti memilih tipe habitat yang airnya tidak mengalir dan jernih. Dengan jenis substrat yang berlumpur, pasirberlumpur, berpasir dan kerikil berpasir. Suhu air pada habitat An. farauti di Saketa lebih tinggi jika dibanding dengan yang pernah dilaporkan oleh Soekirno et al. (1997) bahwa suhu air untuk habitat An. farauti di Halmahera berkisar 25oC- 28oC. Sedangakan di Raja Basa Lampung Selatan, dilaporkan oleh Setyaningrum et al. 2008 bahwa larva Anopheles spp. ditemukan pada habitat dengan suhu air antara 30,2oC-33,5oC. Suhu air mempengaruhi laju metabolisme larva, suhu optimun untuk pertumbuhan larva nyamuk dipengaruhi oleh wilayah geografis. Di daerah tropis kisaran suhu air adalah 23oC-27oC, ini merupakan suhu air optimun sehingga larva dapat menyelesaikan stadium pradewasanya dalam waktu dua minggu (WHO 1982). Semua tipe habitat perkembangan biakan menunjukkan pH 7 yang merupakan pH netral dan optimun bagi pertumbuhan larva. Setyningrum et al. 2008, melaporkan bahwa rawa dan selokan air yang merupakan habitat perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Raja Basa memiliki pH 6, sedangkan Mulyadi (2010) melaporkan kisaran pH pada berbagai habitat perkembangbiakan nyamuk di Desa Doro antara 6,9-7.
74
Tabel 11 Karaktersirtik fisik-kimia habitat perkembangbiakan Anopheles farauti di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan Habitat Kobakan Kubangan Lagun Parit Tapak ban/ tapak hewan
T air (C˚) 32 33-37 28-30 29 34
pH
Salinitas (ppt)
Kekeruhan
Velositas
7 7 7 7 7
0 0-1 0-1 0 0
jernih jernih-sedang jernih jernih keruh
tdk mengalir tdk mengalir tdk mengalir tdk mengalir tdk mengalir
Substrat lumpur Pasir & lumpur pasir, kerikil Pasir lumpur
4.5.1.3 Kedalaman air, luas habitat, ketinggian dari permukaan laut (dpl), jarak dari rumah, dan fungsi lahan pada habitat Anopheles farauti Anopheles farauti terdapat pada habitat yang memiliki air dengan kedalaman yang bervariasi dari 2 cm di kobakan, 5 cm di tapak ban, 10-15 cm di parit hingga 70-110 cm di lagun. Kedalaman air pada habitat mempengaruhi perkembangan larva. Air yang terlalu dalam menyebabkan difusi oksigen tidak homogen sehingga suplai oksigen hanya cukup di dekat lapisan permukaan saja. Briegel (2003) melaporkan bahwa kemampuan eklosi pupa menjadi dewasa pada beberapa jenis nyamuk berbeda berdasarkan kedalaman air pada habitat perkembangbiakannya. Aedes aegypti optimun pada kedalaman 0,5–2 cm dan menurun menjadi 50% hingga kedalaman 14 cm, sedangkan An. albimanus, An. gambiae dan An. stephensi optimun pada kedalaman 0,5–1,0 cm, tetapi semuanya gagal pada kedalaman yang melebihi 5 cm. Anopheles farauti terdapat pada habitat dengan luas yang bervariasi mulai dari 5 m2 - 250 m2, lagun merupakan habitat yang paling luas dan paling dalam, sedangkan tapak hewan merupakan habitat yang paling sempit. Luas permukaan mempengaruhi laju evaporasi yang mempengaruhi kelembaban dan masa waktu genangan. Habitat An. farauti terletak pada ketinggian antara 2-23 m dpl, lagun merupakan habitat yang paling dekat dari permukaan laut, sedangkan kobakan dan kubangan merupakan yang paling tinggi posisinya dari permukaan laut. Jarak habitat dari rumuah terdekat antara 5-500 m, kobakan dan kubangan merupakan habitat yang paling dekat dengan rumah dan yang paling jauh adalah lagun.
75
Tabel 12 Kedalaman, luas habitat, elevasi, jarak habitat dari rumah terdekat dan fungsi lahan di sekitar habitat perkembangbiakan nyamuk Anopheles farauti di Desa Saketa dari Bulan September 2010-Agustus 2011. Habitat Kobakan Kubangan Lagun Parit Tapak ban/ tpk hwn
Kedalaman (cm) 2 2 dan 10 70-110 10-15 5
Luas (m2)
Elevasi dpl (m)
5 2 & 23 15, 250, 40 23 15, 10, 12, 25, 40, 50 2-3 9 5 1,5, 25, 40 20
Jarak dr rmh (m) 5 15-100 100-500 10-20 30
Fungsi lahan permukiman, jalan Jalan kebun, pantai permukiman permukiman
4.5.1.4 Karakteristik biologi habitat perkembangbiakan Anopheles farauti An. faruti ditemukan pada habitat yang memiliki jenis tanaman air yang beragam, juga ditemukan pada kobakan dan tapak ban yang tidak mengandung tanaman air, tetapi lebih banyak ditemukan pada kobakan dan tapak ban yang memilik tanaman air berupa lumut, ganggang, rumput, serta serasah. Habitat An. farauti lainnya adalah kolam, lagun dan parit, ketiganya mengandung jenis tanaman air yang sama yaitu rumput, lumut, ganggang dan serasah. An. farauti memilih kobakan, kubangan, kolam, parit dan tapak ban yang di sekitarnya terdapat tanaman berupa rumput semak, perdu dan pepohonan, atau semak dan perdu seperti di lagun. An. farauti juga memilih habitat yang dinaungi oleh vegetasi seperti kobakan, lagun, dan tapak ban/tapak hewan dengan intensitas naungan yang beragam, mulai dari jarang, sedang hingga rapat. Semua tipe habitat An. farauti mengandung predator ataupun kompetitor dengan keragaman yang berbeda. Ikan-ikan kecil dan udang-udangan (Crustacea), merupakan predator potensil bagi larva Anopheles, sedangkan di kolam predator potensilnya adalah kecebong, ikan kecil dan nimpha capung, di kobakan terdapat kecebong, ikan kecil, nimpha capung dan anggan-anggan (Gerridae). Predator paling kompleks terdapat pada habitat jenis parit dan tapak ban/tapak hewan. Karakteristik biologi habitat perkembangbiakan An. farauti di Desa Saketa di sajikan pada Tabel 13.
76
Tabel 13 Karakteristik biologi habitat perkembangbiakan An. farauti di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010-Agustus 2011 Tanaman air/serasah
Tipe habitat Kobakan
Tanaman sekitar
Tanaman D tnm naungan air
Predator
tdk ada, lumut, ganggang, rumput, serasah, Lumut, ganggang, rumput air, serasah
rumput, jarang, tdk ada, kecebong, ikan kecil, semak, perdu, sedang jarang nimpha capung, anggangpohon anggang Semak, perdu
rapat
Parit
lumut, ganggang, rumput, serasah
rerumputan, semak, Perdu, pohon
tidak ada
Tapak ban/ Tpk hewan
tdk ada, rumput, lumut, ganggang
Lagun
sedang
ikan kecil,udang-udangan
tdk ada, kecebong, ikan kecil, sedang nimpha capung, udangudangan, anggang-anggang Ephemeroptera rumput, jarang, tdk ada, kecebong, nimpha semak, pohon sedang, jarang capung, udang-dangan, rapat anggang-anggang, ephemeroptera
4.5.2 Anopheles indefinitus An. indefinitus terdapat pada enam tipe habitat yaitu pada kobakan, kolam, lagun, parit dan tapak ban, penyebarannya lebih luas jika dibandingkan dengan An. farauti yang menyebar pada lima tipe habitat. Tabel 14 menunjukkan frekuensi dan densitas larva pada setiap habitat An. indefinitus dan proporsi dewasanya. An. identifinitus paling banyak ditemukan di parit (39,9%), diikuti kobakan (33,8%), dan paling rendah terdapat di lagun (5,4%). Tiga tipe habitat lainnya relatif memiliki kisaran antara 6,1-8,8%. Tabel 14
Jumlah larva, jumlah cidukan, densitas larva, frekuensi relatif dan kerapatan relatif An. indefinitus di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010-Agustus 2011
Tipe habitat Kobakan Kolam Kubangan Lagun Parit Tapak ban/tapak Hewan Total
Jlh larva 168 106 349 31 268 48 970
Jlh cidukan 15 20 35 10 40 30 150
D 11,2 5,3 10,0 3,1 6,7 1,6
nH
nL
F(%)
8 3 7 3 6 9
3 2 3 3 5 4
38 67 43 100 83 44
Jlh Anopheles
K (%)
66 10 68 1 62 37 148
27,0 4,1 27,9 0,4 25,4 15,2 100,0
Ket : D = kepadatan/cidukan (volume cidukan = 300 ml), nH = jumlah bulan ditemukannya habitat nL = jumlah bulan habitat mengandung larva A.indefinitus
77
4.5.2.1 Suhu air, pH, salinitas, kekeruhan, aliran air dan substrat pada habitat Anopheles indefinitus Tabel 15 menunjukkan bahwa An. indefinitus memiliki toleransi adaptasi terhadap perbedaan suhu air yang cukup tinggi. Larva An. indefinitus terdapat pada habitat dengan suhu air antara 26oC-400C, dan pada kisaran salinitas antara 0-1 ppt. An. indefinitus hanya ditemukan pada habitat yang tidak mengalir (lentik), dengan tingkat kekeruhan mulai dari yang jernih, sedang hingga keruh. Substrat habitatnya berupa pasir, lumpur atau keduanya. Tebel 15 Karakterisitik fisik-kimia habitat perkembangbiakan Anopheles indefinitus di Desa Saketa kabupaten Halmahera Selatan Habitat Kobakan Kolam Kubangan Lagun Parit Tapak ban
T udara (˚C) 28-31 22-29 29-46 28 27-34 26-27
T air (˚C) 31-35 24-30 31-40 28 27-40 26-28
pH Salinitas 6-7 6 7 6 6-7 6-7
0 0 0 1 0 0
kekeruhan sedang, keruh jernih, sedang jernih sedang jernih, sedang jernih, sdng, keruh
gerakan air tdk mengalir tdk mengalir tdk mengalir tdk mengalir tdk mengalir tdk mengalir
substrat pasir, lumpur lumpur lumpur, pasir lumpur lumpur lumpur
4.5.2.2 Kedalaman air, luas habitat, ketinggian dari permukaan laut (dpl), jarak dari rumah, dan fungsi lahan pada habitat Anopheles indefinitus Tabel 16 menunjukkan bahwa An. indefinitus memiliki toleransi yang luas terhadap kedalaman air dalam habitat perkembangbiakannya. An. indefinitus dapat hidup pada kedalaman 4-80 cm, tetapi populasinya lebih tinggi pada kisaran kedalaman antara 5-17 cm, terutama pada kobakan dan parit. Kisaran luas habitat perkembangbiakan An. indefinitus di Desa Saketa antara 1–35 m2. Habitat paling luas adalah kolam, terbentuk dari galian yang materialnya digunakan untuk bahan timbunan bangunan. An. indefinitus ditemukan pada habitat yang terdapat di perkebunan, permukiman, jalan dan pantai dengan jarak dari rumah terdekat antara 3-600 m pada ketinggian habitat yang bervariasi mulai dari 1m dpl (lagun) hingga 80 m dpl (kolam).
78
Tabel 16 Karakteristik biologi habitat perkembangbiakan nyamuk An. indefinitus di Desa Saketa dari Bulan September 2010-Agustus 2011 Tipe habitat Kobakan Kolam Kubangan Lagun Parit Tapak ban
Kedalaman (m) 5-7 15-80 5-7 50 10-17 4-5
Luas (m2)
1,5, 8 18, 35 1,5, 3, 6 20 3, 4, 5, 20 0,18, 12,
Ketinggian dpl (m)
Jarak dr rumah (m)
11-15 15-80 11-25 1 14-15 5-21
7-600 3-50 10 50 15-50 100-550
Fungsi lahan
perkebunan jalan, perkebunan permukiman pantai jalan, permukiman perkebunan
4.5.2.3 Karekateristik biologi habitat perkembangbiakan nyamuk Anopheles indefinitus Hasil inventarisasi karakter biologi pada habitat Anopheles indefinitus disajikan pada Tabel 17. An.indefinitus ditemukan pada habitat kobakan, kolam, lagun dan parit yang ditumbuhi tanaman air seperti rumput, ganggang, lumut dan serasah, sedangkan pada tapak ban/tapak hewan terdiri dari rumput, lumut, dan ganggang. Tanaman sekitarnya terdiri dari pohon, rumput, semak, dan pardu (pada kobakan), rumput, semak dan pardu (kolam), semak dan pardu (lagun), rumput dan perdu (parit) dan rumput, semak dan perdu (tapak ban/tapak hewan). Larva An. indefinitus
ditemukan pada habitat yang memiliki intensitas
naungan oleh vegetasi beragam, seperti di kobakan yang intensitas naungannya jarang dan sedang, di lagun yang naungannya rapat, di parit yang naungannya sedang dan rapat, dan di tapak ban/tapak hewan yang naungannya jarang, sedang dan rapat. Juga ditemukan pada habitat yang tidak memiliki tanaman pelindung seperti kolam. An. indefinitus ditemukan pada habitat dengan kerapatan tanaman air yang beragam, mulai dari yang jarang hingga sedang seperti pada kobakan, parit dan tapak ban, dan lagun dan di kolam tidak ternaungi Predator yang terdapat pada habitat An. indefinitus umumnya berupa dari kecebong, ikan kecil, nimpha capung, dan anggan-anggan (Gerridae).
79
Tabel 17 Karekateristik biologi habitat perkembangbiakan An. indefinitus di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010-Agustus 2011 Tanaman air/serasah
Tanaman sekitar
Kobakan
tdk ada, rumput, ganggang,lumut, serasah,
Kolam
Habitat
Lagun Parit
Tapak ban/
Tanaman naungan
D Tnm predator air
pohon2, rumput, semak, perdu,
jarang, sedang
tdk ada, kecebong,ikan kecil,nimpha jarang capung,anggang-anggang
ganggang lumut, rumput, serasah ganggang, lumut rumput, serasah ganggang, lumut, rumput, serasah
Rerumputan, Semak, perdu Semak, perdu
tidak ada
Sedang kecebong, ikan kecil, nimpha capung sedang ikan kecil,udang-udangan
Rumput, semak, perdu, pohon
sedang, rapat
tdk ada, kecebong, ikan kecil, sedang nimpha capung,udangudangan, angganganggang, ephemeroptera
tdk ada, rumput, lumut, ganggang
rumput, semak, pohon
jarang, sdg, rapat
tdk ada, kecebong,nimpha jarang capung,udang-udangan, anggang-anggang, ephemeroptera
Tpk hwn
Jarang
4.5.3 Anopheles kochi Tabel 18 menunjukkan empat tipe habitat bahwa nyamuk An. kochi. Proporsi An. kochi terbesar ditemukan di tapak ban/tapak hewan (43,6%), diikuti kobakan (38,2%), kolam (12,7%) dan kubangan (2,2%) Di Desa Doro, An. kochi hanya ditemukan di kobakan (Mulyadi 2010), di wilayah di Halmahera Selatan lainnya An. kochi ditemukan pada 5 tipe habitat yaitu tapak ban, kali, kubangan, kobakan dan dan rawa (Sukowati 2010). Di Padang Cermin, Lampung, An. koci hanya ditemukan di kobakan, sedangkan di Raja Basa ditemukan pada 2 tipe habitat yaitu kolam dan kobakan (Suwito et al. 2010) sedangkan Stoops et al. (2008)
melaporkan bahwa larva Anopheles kochi ditemukan di persawahan,
perkebunan dan permukiman dengan populasi yang jauh lebih tinggi di perkebunan dan persawahan jika dibandingkan dengan di permukiman. An. kochi dikonfirmasi sebagai vektor di Sumatera dan Sulawesi (Ditjen P2M dan PLP 1997), juga merupakan vektor filariasi di Papua dan vektor untuk javanese encephalitis di Semarang (Winarno & Hutajulu 2009).
80
Tabel 18
Jumlah larva, jumlah cidukan, densitas larva, frekuensi relatif dan kerapatan relati An. kochi di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010-Agustus 2011 Jlh
Jlh
cidukan 20 10 10 20 -
D
nH
Kobakan Kolam Kubangan Tapak ban/Tapak hewan Parit Lagun
larva 53 23 53 111 -
2,7 2,3 5,3 5,6 -
8 3 7 9 -
Jlh
240
60
4
Tipe habitat
nL
F(%)
2 1 1 2 -
25,0 33,3 14,3 22,2 -
Jlh nyamuk 24 7 3 21 52
K (%) 43,6 12,7 5,5 38,2 100,0
Ket : D = kepadatan/cidukan (volume cidukan = 300 ml) nH = jumlah bulan ditemukannya habitat nL = jumlah bulan habitat mengandung nyamuk An. kochi
4.5.3.1 Suhu air, pH, salinitas, kekeruhan, aliran air dan substrat pada habiatat Anopheles kochi Hasil pengukuran dan pengamatan terhadap faktor fisik habitat An. kochi disajikan pada Tabel 19. Tampak bahwa An.kochi ditemukan pada habitat yang memiliki suhu antara 28-35 oC. Suhu tersebut berada di luar kisaran optimun untuk habitat perkembangbiakan nyamuk yang menurut Hoedoyo (1993), antara 32-33,5 oC, atau antara 25-27 oC (Depkes RI 2001). Pola fluktuasi suhu air harian mempengaruhi metabolisme, pertumbuhan dan reproduksi hewan air. Suhu yang lebih tinggi meningkatkan metabolisme, dan mendorong terjadinya eklosi yang lebih cepat. Sebaliknya suhu yang rendah menurunkan laju metabolisme dan menghambat siklus hidup serangga air (Voshell & Reese 2002). Nilai pH menujukkan kadar asam/basa lingkungan perairan. An. kochi ditemukan pada habitat dengan pH 6-7, ini berbeda dengan kisaran pH pada habitat larva An. sundaicus (pH antara 7-8,5) yang dilaporkan di India, Vietnam termasuk Indonesia (Troops et al. 2004). An. kochi ditemukan pada habitat yang airnya jernih seperti kolam dan tapak ban atau yang airnya jernih hingga agak keruh (sedang) seperti di kobakan. Semua habitat An. kochi airnya tidak mengalir, dan substratnya berupa lumpur (pada kolam dan tapak ban), dan berupa pasir dan lumpur pada kobakan. Hal ini sejalan dengan yang dilaporkan Troops et al. 2004 larva An. sundaicus hidup pada habitat dengan air yang tidak mengalir dan memperoleh sinar matahari secara
81
langsung, dalam hal ini termasuk tambak yang dihuni alga dan tanaman air, rawa, mangrove, sumur, dan lagun. Kekeruhan dapat disebabkan oleh suspensi bahan anorganik maupun bahan organik terlarut. Kondisi air yang jernih hingga sedang, menunjukkan akumulasi bahan organik sebagai hasil fotosintesis rendah yang akan mempengaruhi kadar oksigen terlarut (DO) air. DO yang rendah akan menjadi faktor pembatas untuk metabolisme hewan-hewan air. Tabel 19 Karakteristik fisik-kimia habitat perkembangbiakan An. kochi di Desa Saketa kabupaten Halmahera Selatan Habitat Kobakan Kolam Kubangan Tapak ban/ tpk hewan
T air (˚C)
pH
31-35 6 - 7 28 6 29 6 28-34 6-7
Salinitas 0 0 0 0
Kekeruhan
Gerakan air
jernih, sedang Jernih Jernih Jernih
Tdk mengalir tdk mengalir Tdk mengalir tdk mengalir
Substrat pasir, lumpur lumpur lumpur lumpur
4.5.3.2 Kedalaman, luas, ketinggian dari permukaan laut (dpl), jarak dari rumah, dan fungsi lahan pada habitat Anopheles kochi Kedalaman air pada habitat An. kochi bervariasi mulai dari 4-5 cm pada tapak ban/tapak hewan, 3-50 cm pada kobakan hingga 80 cm pada kolam. Rendahnya populasi An. kochi di kolam kemungkinan disebabkan oleh tingginya tingkat kedalaman air (Tabel 20). Nyamuk Anopheles hanya dapat mentolerasi kedalaman air hingga 4,5 cm untuk eklosi, kemampuan ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Aedes aegypti yang toleran hingga kedalaman 50 cm (Briegel 2008). Nyamuk memerlukan air yang tenang untuk keberhasilan reproduksinya. Kualitas air memegang peran yang sangat penting dalam mengatur pertumbuhan dan survival tahap perkembangan nyamuk. Respon terhadap kualitas air mungkin berbeda-beda antar spesies. Culex tarsalis Coquillett, nyamuk air tawar misalnya, tidak dapat berkembang pada air tercemar, sedangkan Culex quiquefasciatus dapat berkembang dengan baik (Barr 1967 dalam Mian 2006).
82
Tabel 20 Kedalaman, luas habitat, elevasi, jarak habitat dari rumah terdekat dan fungsi lahan di sekitar habitat perkembangbiakan nyamuk An. kochi di Desa Saketa dari Bulan September 2010-Agustus 2011 Habitat
Kedalaman (cm)
Luas (m2)
3-50 80 10 4-5
0,5 - 12 18 21 0,18, 4,5
Kobakan Kolam Kubangan Tapak ban/tapak hewan
Ketinggian dpl (m)
Jarak dr rumah (m)
11-46 14 3 10
30-120 30 70 100-550
Fungsi lahan jalan, perkebunan jalan jalan perkebunan
4.5.3.3 Karekateristik biologi habitat perkembangbiakan nyamuk Anopheles kochi Hasil pengamatan terhadap karakterististik biologi pada habitat An. kochi disajikan pada Tabel 21. An. kochi dapat hidup pada habitat yang tidak memiliki tanaman air seperti kobakan atau pada habitat yang mengandung tanaman air berupa rerumputan seperti di tapak ban/tapak hewan, atau pada habitat yang mengandung tanaman air berupa lumut, ganggang, rumput dan juga mengandung serasah seperti di kolam. Serasah mempengaruhi interaksi dalam komunitas larva, fluktuasi kandungan serasah mempengaruhi struktur fisik habitat dan berpengaruh langsung terhadap ketersediaan sumber makanan dan secara tidak langsung mempengaruhi pemangsaan oleh predator (Lounibos 1983). Tabel 21
Habitat
Karekateristik biologi perkembangbiakan An. kochi di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010-Agustus 2011 Tanaman Air/serasah
Tanaman sekitar
Tanaman naungan tdk ada
D tnm air
Predator
Kobakan
tdk ada, rumput Rerumputan
Kolam
lumut, ganggang, Rerumputan, Tdk ada rumput, serasah Semak/ perdu
Kubangan
lumut
rerumputan
tdk ada
tdk ada, kecebong, ephemeroptera jarang jarang kecebong, ikan kecil, nimpha capung, udangudangan, angganganggang, Cyclops jarang kecebong, nimpha capung,
Tapak ban/t.hewan
tdk ada
rerumputan, pohonpohonan
jarang
tdk ada
kecebong, nimpha capung, anggang-anggang, ephemeroptera
83
Pemangsaan berperan penting dalam komunitas akuatik secara langsung dengan mengurangi kelimpahan mangsanya dan tidak langsung dengan mengubah keragaman mangsa dan ingteraksi antar spesies. Interaksi pemangsa dan mangsa dapat berubah oleh faktor fisik lingkungan (Alto, Griswold & Lounibos 2005). Beberapa karakter habitat An. kochi memiliki persamaan dengan An. sundaicus yang juga hidup pada habitat dengan air yang tidak mengalir dan memperoleh sinar matahari secara langsung, dalam hal ini termasuk tambak yang dihuni alga dan tanaman air, rawa, mangrove, sumur, dan lagun (Troops et al. 2004). Keberadaan tanaman air seperti alga berfilamen diperlukan oleh larva Anopheles karena menyediakan makanan bagi larva berupa mikro alga dan bakteri (Troops et al. 2004). 4.5.4 An. punctulatus, An.subpictus, dan An. vagus An. punctulatus, An.subpictus, dan An. vagus masing-masing memiliki jumlah dan tipe habitat yang terbatas, untuk diskripsinya disajikan secara bersamasama. Jumlah total ke tiga spesies tersebut adalah 34 individu, atau 6,6% dari total 519 individu yang ditemukan. Oleh sebab itu ke tiga spesies ini dikelompokkan sebagai kelompok minor dengan kerapatan nisbi 2,9%, 0,2% dan 3,5% masingmasing untuk An. punctulatus, An. subpictus, dan An. vagus. An. punctulatus memiliki kepadatan larva tertinggi yaitu 8,1 larva/3000 ml, dan paling rendah adalah An. vagus di habitat kobakan dengan jumlah 1 larva/300ml (Tabel 22). Tabel 22 Jumlah larva, jumlah cidukan, densitas larva, dan frekuensi relatif An. punctulatus, An. subpictus, dan An. vagus di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010-Agustus 2011 Jlh larva
Jlh cidukan
D larva
nH
A. punctulatus Tapak ban/tpk hwn
161
20
8,1
9
An. subpictus kubangan
28
10
2,8
An. vagus An. vagus
30 17 236
30 10 70
1 1,7 3,4
Spesies
Tipe habitat
kobakan tapak ban
F(%)
Jlh nyamuk
3
33,3
15
7
1
14,3
1
8 9
2 1
25 11,1
17 1 34
nL
Ket : D = kepadatan/cidukan (volume cidukan = 300 ml) nH = jumlah bulan ditemukannya habitat nL = jumlah bulan habitat mengandung nyamuk An. kochi
84
Semua individu An. punctulatus ditemukan pada tapak ban, An. subpictus hanya ditemukan pada kubangan. Sementara itu An. vagus selain di kobakan juga ditemukan pada tapak ban. Di Indonesia ketiga jenis nyamuk ini memiliki arti yang sangat penting dari sisi kevektoran. An. punctulatus dikonfirmasi sebagai vektor malaria di Papua, Maluku, Maluku Utara dan Nusa Tenggara, An. subpictus dikonfirmasi sebagai vektor malaria NTT dan Jawa Barat, dan vektor filariasis bancrofti di NTB, sedangkan An. vagus dikonfirmasi vektor malaria dan filariasis brugia di Papua (Sukowati 2009; Winarno & Hutajulu 2009). 4.5.4.1 Karakteristik fisik habitat Anopheles punctulatus, An. subpictus, dan An. vagus (Suhu, pH, salinitas, kekeruhan, aliran air dan substrat) Hasil pengamatan terhadap berbagai parameter fisik habitat disajikan pada Tabel 23. Tabel tersebut menunjukkan bahwa An. punctulatus terdapat pada habitat yang memiliki suhu antara 28-32˚C pH 6 dengan salinitas 0. Nyamuk ini hidup pada tapak ban yang bersubstrat pasir dengan air yang jernih dan tidak mengalir.
An. subpictus dapat hidup pada suhu 39˚C, p H 7 d an salinitas 0 ,
nyamuk ini ditemukan pada pada kubangan dengan substrat berpasir yang airnya jernih dan tidak mengalir. Sementara itu An. vagus ditemukan di kobakan yang jernih dan tapak ban yang keruh pada suhu antara 26-35˚C pada pH 7 dan salinitas 0. Habitatnya memiliki substrat berlumpur dengan air yang tidak mengalir. Hasil pengamatan tersebut sesuai yang dilaporkan oleh Yawan (2006) bahwa An. punctulatus tidak ditemukan berkembang biak di air payau maupun air limbah, habitat yang disenangi adalah genangan air sementara seperti bekas galian, parit, tapak ban, tapak hewan, perairan yang dengan substrat lumpur dan tidak mengandung tanaman air serta terkena sinar matahari langsung. Tabel 23 Karakteristik fisik-kimia habitat perkembangbiakan An. kochi di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010-Agustus 2011 Spesies
Habitat
T air (˚C)
pH
Salinitas
A. punctulatus An. subpictus An. vagus An. vagus
Tapak ban Kubangan Kobakan Tapak ban
28-32 37 26-35 26
6 7 7 7
0 0 0 0
Kekeruhan jernih jernih jernih keruh
Gerakan air tdk mengalir tdk mengalir tdk mengalir tdk mengalir
Substrat pasir pasir lumpur lumpur
85
Substrat menyediakan sumber makanan dan perlindungan terutama bagi fauna invertebrata, degradasi substrat dimanfaatkan oleh makro invertebrata dan menjaga kualitas air. Alga, serasah dan tanaman air menciptakan habitat yang cocok untuk makro invertebrata termasuk menyediakan makanan, tempat dan perlindungan (Voshell & Reese 2002) 4.5.4.2 Karakteristik fisik habitat Anopheles punctulatus, An.subpictus, dan An. vagus (kedalaman, luas, ketinggian dari permukaan laut (dpl), jarak dari rumah, dan fungsi lahan). Hasil pengamatan terhadap kedalaman, luas, ketinggian (elevasi), jarak dari rumah dan fungsi lahan tempat habitat perkembangbiakan An. punctulatus, An. subpictus,
dan
An. vagus
disajikan pada Tabel 24. Tampak bahwa An.
punctulatus hidup pada habitat dengan luas 4,5 m2, kedalaman 5 cm pada ketinggian 23 m dpl , berada di area jalanan sejauh 300 meter dari rumah terdekat. Sementara itu An. subpictus ditemukan pada habitat dengan luas 1 m2 dan kedalaman 5 cm pada ketinggian 18 m dpl, ditemukan di wilayah permukiman 5 meter sejauh dari rumah terdekat. Sedangkan an An. vagus ditemukan pada habitat dengan kedalaman antara 6-7 cm dengan luas antara 0,8-3,5 m2, pada ketinggian 12-15 m dpl. Habitatnya ditemukan pada wilayah perkebunan sejauh 7-110 meter dari rumah terdekat. Tabel 24 Kedalaman, luas habitat, elevasi, jarak habitat dari rumah terdekat dan fungsi lahan di sekitar habitat perkembangbiakan nyamuk An. subpictus, An. puntulatus dan An. vagus di Desa Saketa dari Bulan September 2010-Agustus 2011 Spesies An. punctulatus An. subpictus An. vagus An. vagus
Kedalaman (cm) 5 7 7 6
Luas (m2) 4,5 1 0,8 3,5
Elevasi dpl (m)
Jarak dr rumah (m)
Fungsi lahan
23 18 15 12
300 5 7 110
jalan permukiman Perkebunan Perkebunan
4.5.4.3 Karekateristik biologi habitat perkembangbiakan nyamuk Anopheles subpictus, An. puntulatus dan An. vagus Hasil pengamatan terhadap faktor biologi habitat perkembangbiakan Anopheles spp. disajikan pada Tabel 25. Tabel tersebut menunjukkan bahwa An. punctulatus hidup pada habitat yang tidak memiliki tanaman penaung, tetapi
86
memiliki tanaman air berupa lumut dengan kerapatan yang jarang, tanaman sekitarnya berupa rerumputan dan semak. An. vagus terdapat pada habitat yang memiliki tanaman penaung yang rapat atau pada habitat yang tanaman airnya berupa lumut dan rerumputan dengan kerapatan yang jarang, dan pada habitat yang di sekitarnya terdapat tanaman rerumputan dan pohon-pohon. Predator pada habitat ke tiga spesies Anopheles ini terdiri dari udangudangan, larva capung, ikan kecil dan anggang-anggang (Gerris sp). Habitat An. subpictus tidak memiliki tanaman penaung, tanaman airnya berupa lumut dan rumput dengan kerapatan yang jarang, tanaman sekitarnya adalah rerumputan, dan predatornya berupa anggang-anggang, nimpha capung dan Ephemeroptera. Beberapa spesies copepoda-cyclopoid merupakan predator larva nyamuk yang saat ini telah digunakan untuk mengurangi larva Aedes dari habitat buatan seperti ban bekas, bak air, dan sumur. Marten et al. (1999) mengamati berkurangnya larva An. albimanus pada kolam dan habitat lainnya oleh keberadaan Mesocyclops longisetus dan M. aspericornis pada penelitian yang dilakukan di wilayah Tomaco, Columbia (Marten, Nguyen & Ngo 1999). Predator
alami
telah
terbukti
mengurangi
populasi
larva
An.
gambiae. Predator seperti notonectidae, belostomatidae, kumbang dytiscidae, crustasea, copepoda, Odonata, laba-laba (Araneae: Lycosidae) dan amfibi telah terbukti berpotensi sebagai agen pengendali biologis terhadap spesies nyamuk di berbagai habitat seperti drainase pertanian, sawah dan badan-badan air kecil. Tabel 25 Karekateristik biologi perkembangbiakan An. subpictus, An. puntulatus dan An. vagus di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan dari September 2010-Agustus 2011 Spesies
Habitat
Tanaman air
An. punctulatus
Tapak ban/ lumut tpk.hewan An. subpictus Kubangan Lumut, Rumput An. vagus An. vagus
Kobakan
lumut, rumput Tapak ban/ rumput t.hewan
Tanaman sekitar
Tanaman D tnm naungan air jarang
Predator
Rerumputan, Semak/perdu
tdk ada
Rerumputan
Tidak ada jarang
Rerumputan
rapat
jarang
udang-udangan, larva capung
Rerumputan, rapat Pohon-pohonan
jarang
Ikan Kecil, Anggang-anggang
Ikan Kecil, Anggang-anggang Anggang-anggang, Nimpha Capung, Ephemeroptera
87
Irigasi pertanian, sawah dan badan-badan air yang kecil merupakan habitat larva yang dominan untuk An. gambiae. Predatornya memiliki berbagai mangsa dan cenderung mengatur kelimpahan larva nyamuk yang berbagi habitat yang sama. Interaksi Predator-larva telah ditemukan untuk menjadi salah satu faktor yang paling penting dalam kematian larva nyamuk pada habitat alami (Kweka et al. 2010). Heteroptera semi akuatik (Veliidae dan Gerridae) yang hidup di sawahsawah merupakan predator larva nyamuk yang penting (Ohba et al.
2010),
populasi larva sangat sedikit pada habitat yang dihuni oleh gerridae (angganganggang). Rawlins et al. (1991) melaporkan bahwa di Ashton village, Karibia terjadi penurunan populasi A.aegypti betina hingga 55% pada habitat yang dimasukkan dengan larva instar pertama nyamuk Toxorhynchites moctezuma dan menyarankan untuk mengaplikasikannya untuk jenis nyamuk lainnya. Larva nyamuk hidup dalam kondisi lingkungan yang dinamis seperti curah hujan dan penguapan yang dapat mempengaruhi fluktuasi salinitas secara drastis. Kelangsungan hidup larva tergantung pada kemampuannya mengatur tekanan osmosis hemolimnya dengan cara mengabsorbsi dan mengeluarkan ion-ion dengan cara mengatur ion urinnya dalam rektum sebelum dikeluarkan (Smith et al. 2008). Kedalaman habitat mempengaruhi perkembangan larva. Air yang terlalu dalam menyebabkan difusi oksigen tidak homogen sehingga suplai oksigen hanya cukup di dekat lapisan permukaan saja. Berdasarkan kedalaman air, habitat lagun dan kolam diperkirakan memiliki kedalaman yang dapat menjadi faktor pembatas bagi kelangsunghidupa larva Anopheles. Briegel (2003) melaporkan bahwa kemampuan eklosi pupa menjadi dewasa pada beberapa jenis nyamuk berbeda berdasarkan kedalaman air pada habitat perkembangbiakannya. Aedes aegipty optimun pada kedalaman 0,5–2 cm dan menurun menjadi 50% hingga kedalaman 14 cm, sedangkan An. albimus, An. gambie dan An. stephensi optimun pada kedalaman 0,5 – 1,0 cm, tetapi semuanya gagal pada kedalaman > 5 cm. Stoops et al. (2007) melaporkan bahwa, di Sukabumi nyamuk Anopheles menunjukkan peningkatan populasi dengan datangnya musim hujan, berkurangnya kanopi pohon, meningkatkanya suhu air dan rendahnya kedalaman air.
88
Kolam dan tapak ban airnya jernih sedangkan kobakan airnya jernih hingga agak keruh (sedang). Semua perairan habitat bersifat tidak mengalir, sedangkan substratnya merupakan lumpur (pada kolam dan tapak ban), dan berupa pasir dan lumpur pada kobakan. Pada kubangan ditemukan suhu hingga 46˚C, suhu tersebut berada di luar kisaran optimun untuk habitat perkembangbiakan nyamuk, suhu optimun untuk perkembangbiakan nyamuk adalah antara 32-33,5 oC (Hoedoyo 1993), sumber lainnya menyebutkan suhu optimun antara 25-27oC (Depkes RI 2001). Suhu air mempengaruhi DO yang sangat diperlukan oleh organisme air, semakin tinggi suhu maka kadar DO akan semakin rendah (Kordi & Tancung 2007). Pola fluktuasi suhu air harian mempengaruhi metabolisme, pertumbuhan dan reproduksi hewan air. Suhu yang lebih tinggi meningkatkan metabolisme, dan mendorong terjadinya eklosi yang lebih cepat. Sebaliknya suhu yang rendah menurunkan laju metabolisme dan menghambat siklus hidup serangga air (Voshell & Reese 2002). Perkembangan larva nyamuk Anopheles spp. dipengaruhi oleh faktor fisik, kimia dan biologi lingkungan habitat perkembangbiakannya (Buwolaksono 2001). Lingkungan fisik yang mempengaruhi perkembangan larva adalah tempat bertelur, suhu air dan arus air. Faktor kimia adalah salinitas, pH dan endapan lumpur (jenis substrat). Sedangkan faktor biologi berupa keberadaan vegetasi air yang dapat berupa tanaman tingkat tinggi atau tingkat rendah, adanya naungan vegetasi, dan keberadaan predator. Nilai pH menujukkan kadar asam/basa lingkungan perairan. pH pada habitat An. kochi adalah 6-7, ini sesuai dengan kisaran pH pada habitat larva An. sundaicus (pH antara 7-8,5) yang dilaporkan di India, Vietnam termasuk Indonesia (Troops et al. 2004). Semua tipe habitat perkembangan biakan menunjukkan pH 7 yang merupakan pH netral dan optimun bagi pertumbuhan larva. Setyningrum et al. (2008), melaporkan bahwa rawa dan selokan air yang merupakan habitat perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp. di Raja Basa memiliki pH 6, sedangkan Mulyadi (2010) melaporkan kisaran pH pada berbagai habitat perkembangbiakan nyamuk di Desa Doro antara 6,9-7.
89
Substrat menyediakan sumber makanan dan perlindungan terutama bagi fauna invertebrata, degradasi substrat dimanfaatkan oleh makro invertebrata dan menjaga kualitas air. Alga, serasah dan tanaman air menciptakan habitat yang cocok untuk makro inevertebrata termasuk menyediakan makanan, tempat dan perlindungan (Voshell & Reese 2002). Serasah mempengaruhi interaksi dalam komunitas larva, fluktuasi kandungan serasah mempengaruhi struktur fisik habitat dan berpengaruh langsung terhadap ketersediaan sumber makanan dan secara tidak langsung mempengaruhi pemangsaan oleh predator (Lounibos 1983). Keberadaan tanaman air seperti alga berfilamen sesungguhnya diperlukan oleh larva Anopheles karena menyediakan makanan bagi larva berupa mikro alga dan bakteri (Troops et al. 2004). Pemangsaan berperan penting dalam komunitas akuatik secara langsung dengan mengurangi kelimpahan mangsanya dan tidak langsung dengan mengubah keragaman mangsa dan ingteraksi antar spesies. Interaksi pemangsa dan mangsa dapat berubah oleh faktor fisik lingkungan (Alto, Griswold & Lounibos 2005). Predator larva pada beberapa tipe habitat hampir menunjukkan jenis yang sama. Predator umumnya berupa udang-udangan dan larva capung, nimpha capung, ikan-ikan kecil, kecebong dan anggang-anggang (Gerris sp). Beberapa spesies cyclop (copepoda) merupakan predator larva nyamuk yang saat ini telah digunakan untuk mengurangi larva Aedes dari habitat buatan seperti ban bekas, bak air, dan sumur. Marten et al. (1999) mengamati berkurangnya larva An. albimanus pada kolam dan habitat lainnya oleh keberadaan Mesocyclops longisetus dan M. aspericornis pada penelitian yang dilakukan di wilayah Tomaco, Columbia (Marten, Nguyen & Ngo 1999).
90
4.6 Kesimpulan Habitat perkembangbiakan Anopheles di Saketa terdiri dari 6 tipe yaitu kobakan, kubangan, parit, tapak ban/tapak hewan, kolam, dan lagun. Habitathabitat tersebut ditemukan di perkebunan, jalanan dan permukiman. Substrat habitat larva berupa lumpur atau lumpur berpasir dengan air yang tidak mengalir dan jernih. Tipe habitat yang paling banyak ditemukan adalah kubangan tetapi yang paling banyak mengandung nyamuk adalah kobakan. Predator larva Anopheles berupa ikan-ikan kecil dan ikan kepala timah (Aplocheilus panchax), nimpha capung (Anax sp), nimpha ephemeroptera, cyclop/kopepoda air tawar, anggang-anggang (Gerrris sp), dan kecebong. Anopheles yang ditemukan dari berbagai tipe habitat terdiri atas enam spesies yaitu An. indefinitus, An. farauti, An. kochi, An. punctulatus, An. subpictus dan An. vagus. An. indefinitus, An. farauti, dan An. kochi memiliki populasi yang tinggi, sedangkan spesies An. punctulatus, An. subpictus dan An. vagus memiliki jumlah yang rendah. Kubangan, kobakan dan tapak ban mengandung jumlah spesies Anopheles yang lebih tinggi dibanding tiga tipe habitat lainnya. Anopheles indefinitus dan An. farauti ditemukan di kobakan, kubangan, kolam, lagun, parit dan tapak ban, An. kochi ditemukan pada kobakan, kubangan, kolam dan tapak ban. An. vagus ditemukan di tapak ban dan kobakan, An. subpictus hanya di kubangan dan An. punctulatus hanya ditemukan di tapak ban. An. farauti An. farauti terdapat pada semua tipe habitat kecuali kolam, substratnya berupa lumpur (kobakan, kubangan) pasir dan kerikil (lagun dan parit). Habitatnya ternaungi oleh vegetasi hingga pada skala sedang, tanaman airnya terdiri atas lumut, ganggang, rumput dan serasah, sedangkan tanaman sekitar berupa rumput, semak, pardu dan pohon. Predator larva terdiri atas kecebong, ikan kecil, nimpha capung, udang-udangan, anggang-anggang dan ephemeroptera. An. indefinitus An. indefinitus terdapat semua tipe habitat yang tersebar di permukiman, perkebunan, jalan dan pantai pada ketinggian 1-80 m dpl, sejauh 3-600 m dari rumah, suhunya antara 28-40oC, pH 6-7, salinitas 0-10 ppt, Airnya tidak mengalir
91
dan tingkat kekeruhannya bervariasi dari skala jernih, sedang hingga keruh, substrat berupa lumpur atau bercampur pasir. Predatornya berupa ikan-ikan kecil, udang-udangan, nimpha capung, anggang-anggang, kecebong dan ephemeroptera. An. kochi An. kochi terdapat pada semua tipe habitat kecuali parit. Habiatnya menyebar di permukiman dan di jalan pada ketinggian 10-46 m dpl, memiliki suhu antar 28-35oC, kedalaman antara 4-5 cm (ban), 3-50 m (kobakan) dan 80 m (kolam), substratnya berupa lumpur, terdapat juga kobakan yang substratnya pasir. Predatornya berupa ikan-ikan kecil, udang-udangan, nimpha capung, anggang-anggang, kecebong dan Ephemeroptera. An. punctulatus Habitat An. punctulatus terdapat di jalan pada ketinggian 23 m dpl, sejauh 300 m dari rumah, suhunya antara 28-32oC, pH 6, salinitas 0 ppt, Airnya tidak mengalir dan jernih, substratnya berpasir dengan kedalaman air hingga 5 cm. Tanaman airnya berupa lumut dengan skala jarang, tanaman sekitarnya berupa rumput, semak dan perdu, predatornya adalah ikan-ikan kecil, dan angganganggang. An. subpictus Habitat An. subpictus terdapat di permukiman pada ketinggian 18 m dpl, sejauh 5 m dari rumah, suhu 37oC, pH 7, salinitas 0 ppt, Airnya tidak mengalir dan jernih, substratnya berpasir dengan kedalaman air hingga 7 cm. Tanaman airnya berupa rumput dan lumut dengan skala jarang, tanaman sekitarnya berupa rerumputan, predatornya nimpha capung, anggang-anggang dan ephemeroptera. An. vagus Habitat An. vagus terdapat di perkebunan pada ketinggian 12-15 m dpl, sejauh 7-110 m dari rumah, suhunya antara 26-35oC, pH 6-7, salinitas 0 ppt, Airnya tidak mengalir, kekeruhannya pada skala jernih dan keruh, substratnya berupa lumpur dengan kedalaman air 6-7 cm. Tanaman airnya berupa rumput dan lumut dengan skala jarang, tanaman sekitarnya berupa rerumputan dan pepohonan, predatornya berupa ikan kecil dan anggang-anggang.
92
93
DAFTAR PUSTAKA Aditama TjY. 2009. Program pengendalian penyakit yang ditularkan vektor. Simposium dan seminar Nasional Asosiasi pengendali nyamjuk Indonesia (APNI). Seminar Nasional hari nyamuk 2009. Bogor Alto, BW, Griswold MW, Lounibos LP. 2005. Habitat complexity and sex- dependent predation of mosquito larvae in containers. J. Oecol. 146: 300–310 Beebe NW, Cooper RD. 2002. Distribution and evolution of the Anopheles punctulatus group (Diptera: Culicidae) in Australia and Papua New Guinea. Int. J. Parasitol. 32(5):563-74. Blaustein L, Chase JM. 2007. Interactions between mosquito larvae and species that share the same trophic level. Annu. Rev. Entomol. 52:489-507. Bowolaksono A. 2001. Pengaruh pH terhadap perkembangan nyamuk Anopheles farauti Lav. di dalam kondisi laboratorium. Maj. Parasitol. Ind. 14(1):6-14 BPS Kab. Halmahera Selatan. 2010. Gane Barat dalam angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten Halmahera Selatan, 2010. Briegel H, 2003. Physiological base of mosquito ecology. J. Vect. Ecol. 28(1):111 Dale P, Sipe N, Sugianto, Hutajulu B, Ndoen Ermi, Papayungan M, Saikhu A, Prabowo YT. 2005. Malaria in Indonesi: a summary of recent research into its environmental relationship. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth. 36(1):1-13 Depkes RI 1999. Modul entomologi malaria 3. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Ditjen P2M dan PLP 1997. Vektor Malaria di Indonesia. Departemen Kesehatan RI. Jakarta [DPDS] 2010. Data potensi Desa Saketa Kecamatan Gane Barat, Kabupaten Halmahera Selatan. Kantor Desa Saketa. Duraiappah AK, Naeem S. 2005. Millenium Ecosystem Assesment; Ecosystem and Human Well-Being, biodiversity sinthesys. World Recouses Institute Washington. Favaro, EA, Mondini A, Dibo, MR, Barbosa AAC, Eiras AE, Neto FC. 2008. Assessment of entomological indicators of Aedes aegypti (L.) from adult and egg collection in Sao Paulo, Brazil. J. Vect. Ecol. 33(1):8-16 Fischer S, Scheigmann N. 2008. Association of immature mosquitoes and predatory insects in rain pools. J. Vect. Ecol. 33(1):46-55. Foley DH, Bryan JH. 2000. Shared salinity tolerance invalidates a test for the malaria vector Anopheles farauti s.s. on Guadalcanal, Solomon Islands [corrected]. J. Med. Vet. Entomol. 14(4):450-2. Garjito TA, Jastal, Wijaya Y, Lili, Chadijah S, Erlan A, Rosmini, Samarang, Udin Y, Labatjo Y. 2004. Studi bioekologi nyamuk Anopheles di wilayah pantai Timur Kabupaten Parigi-Moutong, Sulawesi Tengah. Bul. Penel. Kes. 32 (2):49-61
94
Grieco JP, Rejmánková E, Achee NL, Klein CN, Andre R, Roberts D. 2007. Habitat suitability for three species of Anopheles mosquitoes: larval growth and survival in reciprocal placement experiments. J.Vect. Ecol. 32(2):17687. Hoedoyo, R. 1998. Morfologi daur hidup dan perilaku nyamuk dalam Parasitologi Kedokteran, Edisi ke-3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta Imvoinpil DE, Keating J, Mbogo CM, Potts MD, Chowdhury RR, Beier JC. 2008. Abundance of immature Anopheles and Culicines (Diptera: Culicidae) in different water body types in the urban environmen of Malindi, Kenya. J. Vect. Ecol. 33(1):107-116 Kemenkes RI. 2001. Pedoman ekologi dan aspek perilaku vektor. Ditjen. PPM-L. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Kemenkes RI 2011. Kementerian Kesehatan RI. Propil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta Koenraadt. CJM, Paaijmans. KP, Schneider. P, Githeko. AK, Takken. W. 2006. Low larval vector survival explains unstable malaria in the western Kenya highlands. J. Trop. Med. Int. Hlth. 11(80:1195-1205. Kordi KMGH, Tancung AB. 2007. Pengelolaan kualitas air dalam budidaya perairan. Rineke Cipta. Jakarta. Kweka EJ, Zhou G, Gilbreath TM, Afrane Y, Nyindo M, Githeko AK, Yan G. 2010. Predation efficiency of Anopheles gambiae larvae by aquatic predators in Western Kenya Highlands. J. Parasitol. Vect. 4(128):1-7 Louca V, Lucas MC, Green C, Majambere M, Fillinger U, Lindsay AW. 2009. Role of Fish as Predators of Mosquito Larvae on the Floodplain of the Gambia River. J. Med. Entomol. 46(3):546–556. Marten GG, Nguyen M, Ngo G. 1999. Copepod predation on Anopheles quadrimaculatus larvae in rice field. J. Vect. Ecol 25(1):1-6 O’Connor CT, Soepanto A. 2000. Kunci bergambar untuk Anopheles Maluku dan Papua, Dit-Jen P2M & PL Depkes RI. Jakarta. Ohba SY, Huynh TTT, Kawada H, Le LL, Ngoc HT, Hoang SL, Higa Y, Takagi M. 2010. Hateropteran insects as mosquito predators in water jars in southern Vietnam. J. Vect. Ecol. 170-174 Poncon N, Balenghien T, Toty C, Ferre JP, Thomas C, Dervieux A, L’Ambert G, Schaffner F, Bardin O, Fontinelle D, 2007. Biology and dynamics of potential malaria vektors in Southern France. J. Malaria , V. (6)18:1-9. Rao TR. 1981. The Anophelines of India. Council of Medical Research. New Delhi Rawlins C, Clark G G, Martinez R.1991. Effects of single introduction of Toxorhynchites moctezuma upon Aedes aegypti on Caribbean Island. J. Am. Mosq. Ctrl. Assoc. 7(1):7-10 Sattler MA, Mtasiwa D, Kiama M, Premji Z, Tanne M, Killeen GF, Lengele C. 2005. Habitat characterization and spatial distribution of Anopheles sp. mosquito larvae in Dar es Salaam (Tanzania) during an extended dry period. Malaria J. 4(4):10-25.
95
Setyaningrum E, Murwani S, Rosa E, Andananta K. 2008. Studi ekologi perindukan nyamuk vektor malaria di Desa Way Muli, Kecamatan Rajabasa lampung Selatan. Proseeding Seminar hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Mmasyarakat Unila. Lampung Soekirno M, Santiyo K, Nadjib AA, Suyitno, Mursiyatno, Hasyimi M, 1997. Fauna Anopheles dan status, pola penularan serta endemisitas malaria di Halmahera, Maluku Utara. Cermin Dunia kedokteran. 118:15-24. Stoops CA, Gionar YR, Shinta, Priyanto S, Rahmat A, Elyazar IF, Sukowati S. 2008. Remotely-sensed land used pattern and the presence of Anopheles larva (Diptera: Culicidae) in Sukabumi, West Java, Indonesia. J. Vect. Ecol. 33(1):30-39. Suwito, Hadi UK, Singgih SH, Sukowati S. 2010. Distribusi spatial dan bioekologi Anopheles spp. di Lampung Selatan dan Pesawaran, Provinsi Lampung. J. Ekol. Kes. 9(3):1303-1310. Tuno N, Okeka W, Minakawa N, tagaki M, Yan G. 2005. Keberhasilan of Anopheles gambiae sensu stricto (Diptera: Culicidae) Larvae in Western Kenya Highland Forest. J. Med. Entomol. 42(3):270-277. Voshell J, Reese Jr. 2002. A Guide to common freshwater invertebrates of North America. The McDonald and Woodward Publishing Company. Blacksburg, VA. [WHO] World Health Organisation. 1982. Manual on environmental management for mosquito control with special emphasis on malaria vectors, WHO Offset Publication No. 66. Geneva. Winarno, Hutajulu B. 2009. Review of National vector control policy in Indonesia. Directorat of VBDC DG DC & EH, MOH Indonesia. Makalah Laporan. Jakarta. Voshell J, Reese J. 2002. A guide to fresh water invertebrates of North America. Mc Donald, Woodward Publishing Co. Blacksburg.VA. Yawan SF, 2006. Analisis faktor risiko kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Bosnik Kecamatan Biak Timur, Kabupaten Biak-Numfor Papua [Tesis]. Pascasarjana Undip. Semarang.
96
97
BAB 5 PERILAKU MENGISAP DARAH NYAMUK Anopheles spp. DI DESA SAKETA KABUPATEN HALMAHERA SELATAN [Biting behavior of Anopheles spp. mosquito in Saketa Village, South of Halmahera District]
Abstrak
Penelitian tentang perilaku mengisap darah dan perilaku istirahat pagi nyamuk Anopheles spp. dilakukan dari bulan September 2010 hingga Agustus 2011 di Desa Saketa Kabupaten Halmahera Selatan, bertujuan untuk mempelajari perilaku mengisap darah permalam dan perilaku mengisap darah perjam serta perilaku istirahat pagi nyamuk Anopheles spp. di wilayah Saketa. Penangkapan nyamuk dilakukan dengan metode human landing collection (HLC) pada empat jenis ekosistem yaitu permukiman, perkebunan, semak dan hutan. Pengumpulan data dilakukan tiap jam muali dari jam 18.00-06.00. Nyamuk yang dikumpulkan diidentifikasi dan dianalisis untuk menentukan laju menggigit permalam (MBR) dan laju menggigit perjamnya (MHD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas mengisap darah Anopheles spp. di Desa Saketa berlangsung sepanjang bulan dalam satu tahun penangkapan. An. kochi adalah spesies dengan nilai MBR tertinggi yang berlangsung pada bulan Juni di ekosistem perkebunan. Secara umum, aktivitas mengisap darah memuncak pada bulan Februari, Maret April, Mei, Juni dan Juli dengan flukstuasi yang berbeda pada setiap spesies dan jenis ekosistem. Spesies dengan nilai MHD tertinggi adalah An. tessellatus yang berlangsung pada pukul 21.00-22.00 pada ekosistem perkebebunan. Secara umum nilai MHD memuncak sebelum tengah malam pada pukul 21.00-22.00 dan setelah tengah malam antara pukul 1.00-4.00. Terdapat lima jenis nyamuk Anopheles yang tertangkap istirahat pagi yaitu, An, indefinitus, An. kochi, An. tessellatus, An. vagus dan An. barbumbrosus. Tempat istirahat Anopheles spp. pada ekosistem semak adalah rumpun bambu, batang rumput, dan daun/batang tanaman perdu dan diperkebunan berupa alang-alang, rumpun sagu dan tanaman pagar rumpun bambu, rumpun/batang sagu, kolong pondok/huma, tumpukan sampah dedaunan dan tumpukan daun kering. Kata kunci : Anopheles spp, perilaku mengisap darah, Halmahera Selatan.
98
99
Abstract
Research on the biting behavior and the resting morning behavior of Anopheles spp. was conducted from September 2010 to August 2011 in Saketa village, South Halmahera Regency, aims to study the man biting behavior per nigt (Man biting rate/MBR) and morning resting behavior of Anopheles in Saketa Village. Mosquitoes collection was conducted by human landing collection (HLC) on four types of ecosystem that is settlements, plantations, bush and forest. The data was collected every hour started from 18:00 to 6:00 hours. Mosquitoes collected were identified and analyzed to determine the biting rate per night (MBR) and biting rate per hour (MHD). The results showed that the man biting activity of Anopheles spp. in Saketa toke place throughout the month within one year of arrest. An. kochi wasthe species with the higest MBR value which took place in June in plantation ecosystems. In general, MBR activity peaked in February, March April, May, June and July with different fluctuation in each species and ecosystem types. Species with the highest MHD value was An. tessellatus which occurred at 21:00 to 22:00 on the in plantation. Generally MHD values peaked before midnight at 21:00 to 22:00 and after the middle of the night between the hours of 01:00 to 04:00. There were five species of Anopheles mosquitoes caught in the morning resting i.e. An, indefinitus, An. kochi, An. tessellatus, An. vagus and An. barbumbrosus. The resting place of Anopheles in the morning on bushes ecosystem were in a clump of bamboo, grass stems, and leaves/stems of shrubs. In plantation area, resting took place in sago groves, bamboo hedges, clumps/trunk sago, under the cottage/field for burning coconut fruits, waste piles and piles of leaves dry. Key words: Anopheles spp, biting behavior, South Halmahera
100
101
5.1 Pendahuluan Pengendalian vektor merupakan unsur utama dalam keberhasilan program penegendalian penularan penyakit tular vektor di Indonesia. Salah satu aspek dalam kajian bionomik yang penting diperhatikan dalam dalam pengendalian vektor malaria adalah perilaku mengisap darah nyamuk Anopheles. Nyamuk merupakan serangga antropofilik dan bersifat antropogenik yang perilakunya cenderung menyesuaikan dengan perilaku manusia. Beberapa jenis kebiasaan masyarakat seperti begadang di malam hari (di Bukit Menoreh) dan tidur dengan telanjang dada di alam terbuka (suku Kubu di Jambi) berpengaruh pada tingginya tingkat penularan di daerah tersebut (Depkes 2003). Nyamuk Anopheles bersifat krepuskular (aktif pada pergantian siang dan malam) dan nokturnal (aktif malam hari). Aktivitas terbang harian dipengaruhi oleh faktor cuaca (suhu dan kelembaban) dan kebutuham fisiologis seperti aktivitas kawin, istirahat, mencari makanan dan meletakkan telur (WHO 1975). Setiap spesies Anopheles memerlukan faktor-faktor yang spesifik untuk dapat menjadi vektor, seperti kesukaan (preferensi) dan frekuensi mengisap darahnya. Nyamuk Anopheles tertentu lebih menyukai darah binatang (zoofilik) atau manusia (antropofilik) atau keduanya (zooantropofilik). Perilaku mengisap darah nyamuk vektor sangat penting untuk menghitung kemampuan penularan malarianya (Warrell & Gilles 1993). Perilaku mengisap darah menunjukkan pola yang sangat beragam tergantung spesies dan tempatnya. Di Kulonprogo Yogjakarta, Anopheles maculatus dan An. balabacensis menunjukkan aktivitas mengisap darah sepanjang malam dengan puncak antara pukul 21.00-22.00 dan 03.00-04.00 untuk An. maculatus dan antara pukul 19.00-21.00 dan 24.00-02.00 untuk An. balabacensis (Barodji et al.
2003). Sementara itu di Padang Cermin dan
Rajabasa, An. sundaicus dilaporkan aktif sepanjang malam dengan puncak antara pukul 02.00-03.00 (Suwito et al. 2010). Pada siang hari nyamuk istirahat di beberapa tempat, dimana nyamuk yang istirahat dalam rumah lebih mudah ditemukan jika dibanding dengan yang di luar rumah. Perilaku istirahat Anopheles sangat beragam, populasi beberapa jenis nyamuk yang tinggi di Jamaika ditemukan di lubang kepiting (Service 1976), gua-
102
gua, cabang-cabang pohon, lumbung, pagar dan gorong-gorong (WHO 1975), juga ditemukan istirahat di rerumputan, pinggiran atap, tumpukan kayu dan dinding di luar rumah (Suwito et al. 2010). Pemahaman terhadap perilaku mengisap darah dan istirahat nyamuk akan sangat membantu program eleminasi vektor, namun demikian hingga saat ini penelitian mendalam tentang perilaku nyamuk Anopheles di Halmahera Selatan masih sangat terbatas, sehingga penelitian tentang perilaku mengisap darah dan istirahat nyamuk di daerah tersebut sangat diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perilaku nyamuk Anopheles yang berkaitan dengan perilaku mengisap darah per jam dan perilaku mengisap darah per malam pada ekosistem permukiman, perkebunan, semak dan hutan. Penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis perilaku istirahat pagi nyamuk Anopheles spp. di luar lingkungan permukiman (ekosistem perkebunan dan semak). 5.2 Bahan dan Metode Penelitian dilakukan di Desa Saketa Kecamatan Gane Barat Kabupaten Halmahera Selatan. Desa ini terletak di pantai barat sebelah selatan Pulau Halmahera, berlangsung selama 12 bulan dari bulan September 2010 hingga Agustus 2011. Data tentang perilaku mengisap darah diperoleh dari hasil penangkapan yang dilakukan pada empat jenis ekosistem yang berbeda yaitu hutan, perkebunan, semak, dan permukiman. Penangkapan dilakukan setiap jam pada malam hari mulai terbenam hingga terbitnya matahari (18.00-06.00) sebanyak empat kali dalam sebulan dengan menggunakan metode human landing collection (HLC) oleh dua orang pada setiap ekosistem. Nyamuk yang tertangkap dimasukkan ke paper cup dan dibawa ke laboratorium untuk identifikasi. Identifikasi dilakukan di bawah mikroskop stereo dengan buku kunci bergambar nyamuk Anopheles dewasa Maluku dan Papua (O’Connor & Soepanto 2000). Perilaku mengisap darah Anopheles disajikan dari hasil analisis terhadap laju mengisap darah nyamuk per malam atau man biting rate (MBR) dan laju mengisap darah nyamuk perjam atau man hour density (MHD), dihitung menurut metode WHO (1975) dalam Munif (2007) yang kemudian disajikan dalam bentuk grafik. MBR dan MHD dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
103
Man Biting Rate (MBR) MBR =
Jumlah nyamuk tertangkap per spesies Jlh malam x jumlah umpan orang
Man Hour Density (MHD) MHD =
Jumlah nyamuk tertangkap perspesies Jlh jam penangkapan x jumlah umpan orang
Pengumpulan nyamuk yang istirahat pagi hari (morning resting collection) bertujuan untuk mengamati nyamuk yang istirahat sebelum melakukan peletakan telur atau oviposisi. Nyamuk yang istirahat pada tumbuhan dikumpulkan dengan menggunakan aspirator yang merupakan metode standar dalam tekhnik entomologi. Pengumpulan nyamuk dilakukan pagi hari selama 1,5 jam dari jam 06.00 s/d 07.30 oleh kolektor terlatih di perkebunan dan semak. Jenis dan lokasi tempat istirahat dicatat untuk keperluan karakterisasi tempat istirahat nyamuk. Jumlah nyamuk per spesies dihitung dan dianalisis secara diskriptik lalu disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Letak geografis dan altitude masing-masing tipe habitat diukur dengan menggunakan GPS Garmin etrex 30.
5.3 Hasil Dan Pembahasan Perilaku mengisap darah yang selama ini dikenal dengan perilaku menggigit merupakan aspek penting dalam bioekologi Anopheles. Aktivitas mengisap darah dibedakan berdasarkan periode waktu mengisap darah yaitu per malam MBR, dan per jam MHD. Angka MBR dan MHD menunjukkan besaran jumlah vektor yang mengisap darah manusia yang mempengaruhi jumlah kasus malaria, sehingga rekaman data dapat dijadikan rujukan untuk peringatan dini dan penyusunan strategi pengendalian vektor dan antisipasi untuk kebijakan klinis. Aktivitas mengisap darah perorang permalam dihitung selama 12 bulan penangkapan menunjukkan pola yang berfluktuasi antar bulan penangkapan. Kecuali An. subpictus, semua spesies menunjukkan aktivitas mengisap darah yang rendah pada bulan pertama penangkapan (September 2010). Aktivitas umumnya memuncak pada bulan Maret hingga Juni-Juli 2011.
104
5.3.1 Aktivitas mengisap darah per malam (MBR) 5.3.1.1 Grup Anopheles punctulatus 5.3.1.1.1 Anopheles punctulatus An. punctulatus merupakan satu-satunya jenis Anopheles yang nilai MBRnya mencapai puncak pada bulan Februari yang terjadi pada ekosistem perkebunan dan hutan, MBR Anopheles lainnya mencapai puncaknya setelah bulan Februari. Rerata nilai MBRnya adalah 0,05, 0,16, 0,01 dan 0,06 nyamuk/ orang/malam berturut-turut untuk hutan, perkebunan, permukiman dan semak. Nilai MBR An. punctulatus di desa Saketa lebih rendah jika dibandingkan dengan yang dilaporkan di Desa Doro dengan nilai MBR teringgi 0,25 nyamuk/orang/ malam dan terendah 0.0 nyamuk/orang/malam (Mulyadi 2010). Gambar 18 menunjukkan bahwa antara MBR dan intensitas curah hujan tidak paralel yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara curah hujan dengan nilai MBR. Hal ini juga dilaporkan oleh Mulyadi (2010) yang menyatakan bahwa curah hujan tidak berpengaruh terhadap nilai MBR An. punctulatus di Desa Doro. Kehadiran An. puctulatus perlu diwaspadai pada bula Februari, Maret dan April, karena pada bulan tersebut populasinya cukup tinggi. Fluktuasi nilai MBR An. punctulatus dan intensitas curah hujan pada setiap jenis ekosistem disajikan pada Gambar 18. 90,0
0,7
80,0 70,0
0,6
60,0
0,5
50,0 0,4 40,0 0,3
30,0
0,2
Curah hujan (mm/hari)
MBR
An. punctulatus 0,8
20,0
0,1
10,0 0,0
0 Sep
Okt
CH
Nov
Des
Hutan
Jan
Feb
Mar
Perkebunan
Apr
Mei
Jun
Permukiman
Jul
Ags
Semak
Gambar 18 Kepadatan mengisap darah perorang permalam (MBR) An. punctulatus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011)
105
5.3.1.1.2 Anopheles farauti Nilai rata-rata MBR An. farauti selama satu tahun adalah 0,39, 0,24, 0,5 dan 0.06 dan nyamuk/orang/malam berturut-turut untuk semak, hutan, kebun dan permukiman. Anktivitas mengisap darah An. farauti dari bulan September hingga Maret memiliki puncak dan lembah yang sangat kecil, kemudian meningkat tajam pada bulan April dan Juni. Pada bulan November aktivitas mengisap darah di semak mencapai puncak dengan nilai 0,88 nyamuk/orang/malam yang merupakan nilai MBR tertinggi yang dicapai An. farauti hingga bulan April. Dari bulan September hingga Maret nilai MBR pada semua jenis ekosistem secara umum rendah. MBR juga mencapai puncak tertinggi di perkebunan pada bulan April dengan nilai 2,0 nyamuk/orang/malam, ini merupakan nilai MBR tertinggi dari nyamuk An. farauti di antara semua jenis ekosistem. Di semak MBR tertinggi terjadi pada bulan Juni (1,8 nyamuk/orang/malam), MBR pada semua jenis ekosistem juga memuncak pada bulan Juni dan menurun secara bersamaan pada bulan Juli hingga Agustus. Nilai MBR An. farauti di Desa Saketa lebih tinggi jika dibandingkan dengan di Desa Doro sebagaimana yang dilaporkan oleh Mulyadi (2010). Nilai MBR An. farauti selama 6 bulan penangkapan di Desa Doro adalah 0,75, 0,10, 0,13, 0,24, 0,39, dan 0,29 nyamuk/orang/malam, berturut-turut dari bulan Maret hingga Agustus 2010. Fluktuasi nilai MBR An. farauti disajikan pada Gambar 19.
2,5
90,0 80,0
2
70,0
MBR
60,0 1,5
50,0 40,0
1
30,0 20,0
0,5
10,0
Curah hujan (mm/hari)
An. farauti
0,0
0
Sep
Okt
CH
Nov
Des
Hutan
Jan
Feb
Mar
Perkebunan
Apr
Mei
Jun
Permukiman
Jul
Ags
Semak
Gambar 19 Kepadatan mengisap darah perorang permalam (MBR) An. farauti pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010Agustus 2011)
106
5.3.1.1.3 An. koliensis Rerata nilai MBR An.koliensis pada setiap jenis ekosistem adalah 1,52, 1,42,
0,14 dan 0,18
hutan, perkebunan,
nyamuk/orang/malam, masing-masing untuk ekosistem permukiman dan semak. Nilai MBR pada setiap jenis
ekosistem mencapai puncaknya pada bulan Maret dengan nilai 16,37, 10,1 0,37, 1,37 dan 1,75 nyamuk/orang/malam, berturut-turut untuk ekosistem hutan, perkebunan, permukiman dan semak. Dari Gambar 20 nampak bahwa nilai MBR tidak dipengaruhi oleh curah hujan. Dari bulan Mei hingga Agustus, nilai MBR sangat rendah bahkan pada ekosistem perkebunan dan semak nilainya nol (tidak ada satu ekosrpun nyamuk yang tertangkap).
90,0
16
80,0
14
70,0
12
60,0
10
50,0
8
40,0
6
30,0
4
20,0
2
10,0
0
0,0 Sep
Okt
CH
Nov
Des
Jan
Hutan
Feb
Mar
Perkebunan
Apr
Mei
Jun
Jul
Permukiman
Curah hujan (mm/hari)
MBR
An. koliensis 18
Ags
Semak
Gambar 20 Kepadatan mengisap darah perorang permalam (MBR) An. koliensis pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) 5.3.1.2 Anopheles barbumbrosus An. barbumbrosus mengisap darah hampir sepanjang bulan penangkapan dengan frekuensi yang berbeda pada setiap ekosistem. Aktivitas mengisap pada tiga jenis ekosistem mulai meningkat pada bulan Februari-Maret dan mencapai puncak tertinggi (kecuali di permukiman) pada bulan Juni dengan nilai MBR 2,5 dan 2,4 nyamuk/orang/malam masing-masing pada hutan dan perkebunan. Pada bulan itu, intensitas curah hujan jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Pola aktivitas mengisap darah Gambar 21.
perorang permalam disajikan pada
107
An. barbumbrosus 90,0 80,0 2,5 70,0 60,0
MBR
2
50,0 1,5 40,0 30,0
1
20,0 0,5
Curah hujan (mm/hari)
3
10,0 0,0
0 Sep
Okt
CH
Nov
Des
Hutan
Jan
Feb
Mar
Apr
Perkebunan
Mei
Jun
Permukiman
Jul
Ags
Semak
Gambar 21 Kepadatan mengisap darah perorang permalam (MBR) An. barbumbrosus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) Nilai rerata MBR An. barbumbrosus adalah 0,48, 0,72, 0,08 dan 0,39 nyamuk/orang/malam, masing-masing untuk ekosistem hutan, perkebunan, permukiman dan semak. Hal ini menunjukkan bahwa nilai MBR di permukiman lebih tinggi jika dibandingkan dengan di semak
yang dapat diartikan bahwa
potensi gangguan An. barbumbrosus lebih besar di rumah dari pada di semak. Pada bulan Juli aktivitas mengisap darah permalam menurun, kecuali pada ekosistem permukiman. Dari bulan September 2010 hingga Februari 2011, nilai MBR pada semua jenis ekosistem cukup rendah jika dibandingkan dengan nilai MBR pada bulan penangkapan berikutnya, pada periode tersebut rata-rata curah hujan cukup tinggi, bahkan Pada bulan Desember saat curah hujan memuncak, tidak ditemukan An.barbumbrosus di semua jenis ekosistem. 5.3.1.3 Anopheles indefinitus Nilai rerata MBR untuk nyamuk An. indefinitus adalah 24,18, 9,03, 2,46 dan 14,81 nyamuk/orang/malam berturut-turut pada ekosistem hutan, perkebunan, permukiman dan semak. Pola fluktuasi nilai MBR pada nyamuk An. indefinitus di semua jenis ekosistem (Gambar 22) menunjukkan pola yang mirip dengan pola MBR pada An. barbumbrosus dan An. farauti.
108
An. indefinitus 85,0
90,0
65,0
70,0
55,0
MBR
60,0 50,0
45,0
40,0
35,0
30,0
25,0
20,0
15,0
10,0
5,0
0,0
-5,0
Sep
Okt
CH
Nov
Des
Hutan
Jan
Feb
Mar
Perkebunan
Apr
Mei
Jun
Permukiman
Jul
Curah hujan (mm/hari)
75,0
80,0
Ags
Semak
Gambar 22 Kepadatan mengisap darah perorang permalam (MBR) An. indefinitus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) MBR pada bulan September hingga Maret menunjukkan nilai rata-rata yang lebih rendah kemudian meningkat bersamaan pada bulan April dan meningkat tajam bagi ekosistem hutan pada bulan Juni dengan nilai MBR 93,3 nyamuk/orang/malam. Nilai MBR di semak menunjukkan puncak ganda pada bulan April dan Juni dengan nilai MBR 5,6 dan 59.1 nyamuk/orang permalam. 5.3.1.4 An. kochi Nilai MBR An. kochi pada 3 bulan pertama sangat rendah berkisar dari 0,25-3,25 nyamuk/orang/malam dan mulai meningkat pada bulan Januari hingga mencapai puncaknya pada bulan Juni. Pada bulan ini, nilai MBR tertinggi adalah 107,9 nyamuk/orang/malam (perkebunan), diikuti semak (102,3/nyamuk/orang/ malam), hutan (81,5 nyamuk/orang/malam), dan yang terendah di permukiman (5,8 nyamuk/orang/ malam). Rerata nilai MBR teringgi terdapat di perkebunan (35,4 nyamuk/orang/malam) diikuti hutan (18,0 nyamuk/orang/malam), semak (16.7 nyamuk/orang/malam) dan terendah di permukiman (4,1 nyamuk/orang/ malam). Fluktuasi nilai MBR An. kochi dan pola curah hujan disajikan pada Gambar 23.
109
An. kochi
90,0 80,0
100
MBR
70,0 80
60,0 50,0
60 40,0 40
30,0 20,0
Curah hujan (mm/hari)
120
20 10,0 0
0,0 Sep
Okt
CH
Nov
Des
Hutan
Jan
Feb
Mar
Perkebunan
Apr
Mei
Jun
Permukiman
Jul
Ags
Semak
Gambar 23 Kepadatan mengisap darah perorang permalam (MBR) An. kochi pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) Jika grafik MBR An. kochi dikaitkan dengan grafik curah hujan, maka nilai MBR pada bulan September hingga Februari tidak dipengaruhi oleh curah hujan, tetap stasioner pada saat curah hujan meningkat, bahkan cenderung naik saat curah hujan turun. Hal ini berbeda dengan yang terjadi dari Februari, Maret hingga April, dimana nilai MBR meningkat terutama di perkebunan. Kenaikan ini seiring dengan kenaikan curah hujan yang meningkatkan kelembaban udara. Pada bulan April hingga Mei nilai MBR tetap meningkat (kecuali di permukiman) pada saat curah hujan menurun.
5.3.1.5 Anopheles subpictus An. subpictus ditemukan di daerah pantai, baik di dalam maupun di luar rumah, di Donggala ditemukan pada habitat berupa air payau dan tambak terlantar yang ditumbuhi tanaman air, atau tempat persiapan tambak yang airnya payau dan terkena sinar matahari langsung, nyamuk ini ditemukan paling banyak pada awalo musim kemarau (Jasta et al. 2003). Di Saketa, nyamuk ini ditemukan di habitat temporal yang tidak berhubungan dengan air laut seperti kobakan, kubangan dan tapak ban. Aktif mengisap darah pada malam hari, MBRnya sangat fluktuatif dengan nilai yang lebih tinggi pada awal penangkapan (September) dan berikutnya turun hingga
110
mencapai titik nol pada bulan Desember hingga Februari, nilai nol berlanjut hingga bulan Maret pada ekosistem semak dan permukiman. Nilai MBR meningkat kembali pada bulan Maret pada ekosistem hutan dan pada bulan April pada ketiga jenis ekosistem lainnya. Di permukiman, nyamuk ini hanya tertangkap pada bulan September dan April dengan jumlah populasi yang rendah. Fluktuasi nilai MBR An. subpictus dan intensitas curah hujan di sajikan pada Gambar 24. Nilai rata-rata MBR An. subpictus
adalah 0,78, 0,22, 0, 20 dan 0,04
masing-masing pada ekosistem hutan, perkebunan, semak dan permukiman. Kisaran nilai MBR ini lebih lebar jika dibandingkan dengan kisaran nilai MBR An. subpictus di Siboang, Sulawesi Tengah yang dilaporkan antara 0.08 hingga 0,40 (Jasta et al. 2003). Menurut Winarno dan Hutajulu (2008), An. subpictus merupakan vektor malaria di Maluku Utara sehingga kehadirannya perlu diwaspadai. Sukowati (2009) melaporkan An. subpictus sebagai vektor malaria di Sumatera Barat, Jawa Timur, NTB, NTT dan Sulawesi Selatan, dan bukan merupakan vektor malaria di Maluku Utara.
An. subpictus
5
85,0
4,5
75,0
4
MBR
55,0
3 45,0 2,5 35,0 2 25,0
1,5
15,0
1
Curah hujan (mm/hari)
65,0
3,5
5,0
0,5
-5,0
0
Sep
Okt
CH
Nov
Des
Hutan
Jan
Feb
Mar
Perkebunan
Apr
Mei
Jun
Permukiman
Jul
Ags
Semak
Gambar 24 Kepadatan mengisap darah perorang permalam (MBR) An. subpictus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011)
111
112
5.3.1.6 Anopheles tessellatus Aktivitas An tessellatus lebih banyak dilakukan di luar rumah (Munif, Sudomo & Soekirno 2007). Di Saketa nilai MBR An. tessellatus menunjukkan pola yang hampir sama dengan An. indefinitus dan An. kochi yang mendatar pada beberapa bulan penangkapan dari September 2010 hingga Februari dan Maret 2011. Nilai MBR mulai meningkat pada bulan Maret (perkebunan), April (semak), Mei (hutan dan permukiman) dan semuanya mencapai puncaknya pada bulan Juni. Nilai MBR rata-rata adalah 1,54, 2,96, 2,21 dan 0,61 berturut-turut pada ekosistem hutan, perkebunan, semak dan permukiman. Nilai ini jauh lebih tinggi dibanding nilai MBR An. tessellatus di Lengkong, Sukabumi nilai MBR An. tessellatus adalah 0,43 (Munif, Sudomo & Soekirno 2007). Nyamuk ini tergolong vektor malaria di Sulawesi Utara (Sukowati 2009). Fluktuasi nilai MBR An. tessellatus dan intensitas curah hujan perbulan disajikan pada Gambar 25.
90,0
14
80,0 70,0
MBR
12
60,0
10
50,0 8 40,0 6
30,0
4
Curah hujan (mm/hari)
An. tessellatus 16
20,0
2
10,0
0
0,0
Sep
Okt
CH
Nov
Des
Hutan
Jan
Feb
Mar
Perkebunan
Apr
Mei
Jun
Permukiman
Jul
Ags
Semak
Gambar 25 Kepadatan mengisap darah perorang permalam (MBR) An. punctulatus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011)
113
5.3.1.7 Anopheles vagus Nilai MBR rata-rata An. vagus adalah 1,15, 0,49, 0,57 dan 0,23 nyamuk/ orang/malam berturut-turut pada ekosistem hutan, perkebunan, semak dan permukiman. Nyamuk ini ditemukan dalam 5 bulan penangkapan pada ekosistem hutan, semak dan perkebunan, dan 2 bulan pada permukiman. Nilai tertinggi diperoleh pada bulan Juli pada ekosistem hutan (7,75 orang/permalam). Nilai MBR ini lebih rendah jika dibandingkan
dengan yang diperoleh di
Kecamatan Simpenan, Sukabumi yaitu 177,5 orang/permalam yang diperoleh dari An. vagus yang aktif di luar dan di dalam rumah. An. vagus dikonfiormasi sebagai vektor potensial karena mempunyai indeks sporozoit 0,0012. Selain itu karena populasinya yang paling tinggi dibanding spesies Anopheles lainnya di wilayah Saketa, maka nyamuk ini harus diperhatikan (Munif et al. 2008). An. vagus di beberapa tempat kurang diperhatikan dari segi kevektoran. Di India ia dianggap sebagai vektor pendamping di tenggara Pulau Andaman dan Nicobar, India (Kaliannagoun et al. 2005). Di Indonesia, An. vagus dikonfirmasi sebagai vektor di Jawa Barat dan Nusa tenggara Timur (Sukowati 2009; Winarno & Hutajulu 2009). Fluktuasi nilai MBR An. vagus dan intensitas curah hujan disajikan pada Gambar 24.
An. vagus
90,0
8
80,0
7
70,0
6
60,0
5
50,0
4
40,0
3
30,0
2
20,0
1
10,0
0
Curah hujan (mm/hari)
MBR
9
0,0
Sep
Okt
CH
Nov
Des
Hutan
Jan
Feb
Mar
Apr
Perkebunan
Mei
Jun
Jul
Permukiman
Ags
Semak
Gambar 26 Kepadatan mengisap darah perorang permalam (MBR) An. vagus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010Agustus 2011)
114
5.3.2 Aktivitas mengisap darah per jam (MHD) MHD menunjukkan jumlah atau kepadatan nyamuk yang mengisap darah per orang perjam. Nilai MHD setiap spesies pada setiap jenis ekosistem sangat bervariasi, demikian pula halnya dalam setiap jam penangkapan.
Nilai
MHD
setiap spesies Anopheles spp. pada empat jenis ekosistem di desa Saketa disajikan sebagai berikut; 5.3.2.1 Grup Anopheles punctulatus 5.3.2.1.1 Anopheles punctulatus Hasil analisis terhadap aktivitas mengisap darah An. punctulatus disajikan pada Gambar 27. Dari gambar tersebut tampak bahwa, puncak aktivitas mengisap darah tertinggi terjadi pada ekosistem semak yang terjadi antara pukul 02.0003.00. Aktivitas mengisap darah per jam lebih tinggi jika dibandingkan dengan ke tiga jenis ekosistem lainnya. Di ekosistem perkebunan aktivitas mengisap darah mencapai puncaknya antara pukul 01.00-02.00 dan 03.00-05.00. An. punctulatus nampaknya bersifat kreposkuler di permukiman, karena nyamuk ini hanya aktif mengisap darah sebanyak dua kali sepanjang malam, yaitu antara pukul 19.0020.00 dan 05.00-06.00. Grup punctulatus (An. punctulatus,
An. koliensis,
dan An.
farauti)
merupakan vektor
malaria dan filariasis Bancrofti yang penting. Aktivitas
mengisap darah
An. punctulatus berlangsung secara nokturnal, biasanya
memuncak sekitar pukul 22:00. Samarawickrema et al. (1993) melaporkan bahwa An. punctulatus yang merupakan vektor utama di Solomon lebih senang mengisap darah manusia di dalam rumah dan puncaknya terjadi sekitar tengah malam. Sedangkan di Desa Doro 79% An. punctulatus aktif mengisap darah rumah dan puncaknya terjadi sekitar pukul 19.00-20.00 (Mulyadi 2010).
di luar
115
An. punctulatus 0,005 0,0045 0,004
MHD
0,0035 0,003 0,0025 0,002 0,0015 0,001 0,0005 0 18-19 19-20 20-21 21-22 22-23 23-24
Hutan
Semak
0-1
1-2
Kebun
2-3
3-4
4-5
5-6
Rumah
Gambar 27 Aktivitas mengisap darah perorang perjam (MHD) nyamuk An. punctulatus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) 5.3.3.2.1.2 An. koliensis Hasil analisis terhadap aktivitas mengisap darah An. kochi disajikan pada Gambar 28. Dari gambar tersebut tampak bahwa, puncak aktivitas mengisap darah oleh An.koliensis yang sangat menonjol terjadi pada ekosistem perkebunan yang puncaknya terjadi empat kali yaitu antar pukul 19.00-20.00, 21.00-22.00 dan pukul 03.00-04.00. Pada ekosistem hutan, puncak aktivitas mengisap darah An.koliensis terjadi saat aktivitas mengisap darah di ekosistem hutan mencapai nilai terendah (lembah), sedangkan aktivitas mengisap darah di permukiman hanya terjadi pada antara pukul 01.00-02.00. Di kepulauan Solomon, An. koliensis aktif mengisap darah di luar ruangan dan puncaknya terjadi sekitar tengah malam (Samarawickrema et al. 1993). Dalam mengisap darah, An. koliensis lebih suka pada kaki dan lutut dari pada tangan, dan lebih menyukai kaki yang tidak berbulu daripada yang berbulu (Cooper & Frances 2008).
116
An. koliensis 0,004
0,0035
0,0035
MHD
0,003 0,0025 0,002 0,0015 0,001 0,0005 0 18-19 19-20 20-21 21-22 22-23 23-24
Hutan
Kebun
0-1
1-2
2-3
Semak
3-4
4-5
5-6
Rumah
Gambar 28 Aktivitas mengisap darah perorang perjam (MHD) nyamuk An. koliensis pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) 5.3.2.1.3 Anopheles farauti Hasil analisis terhadap nilai MHD An. farauti disajikan pada Gambar 29. Dari gambar tersebut tampak bahwa, puncak aktivitas mengisap darah An. farauti di hutan terjadi dua kali, pertama pada pukul 20.00-21.00 dan puncak paling tinggi terjadi pada pukul 00.00-01.00 dengan nilai 0,019 perjam. Di kebun, aktivitas mengisap darah tertinggi terjadi pada pukul 19.00-20.00, sedangkan di semak terjadi pada pukul 22.00-23.00. Di permukiman, puncak tertinggi terjadi pada pukul 21.00-22.00 dan terbentuk lagi pada akhir jam penangkapan (05.0006.00). Mulyadi (2010) melaporkan bahwa aktivitas mengisap darah pada An. farauti berlangsung dari pukul 19.00-24.00. Pada tiga jenis ekosistem yaitu perkebunan, semak, dan permukiman, perilaku mengisap darah
memperlihatkan pola yang mirip satu sama lainnya
yang berbeda jika dibandingkan dengan di hutan yang menunukkan adanya puncak yang jaiuh melebihi puncak-puncak pada ke tiga jenis ekosistem lainnya. Fluktuasi nilai MHD An. farauti disajikan pada Gambar 29.
117
An. farauti
0,025 0,020
0,019
MHD
0,015 0,010 0,005 0,000 18-19
19-20
20-21
Hutan
21-22
Kebun
22-23
23-24
Semak
0-1
1-2
2-3
Rumah
Gambar 29 Aktivityas mengisap darah perorang perjam (MHD) nyamuk An. farauti pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010Agustus 2011) Anopheles farauti merupakan vektor malaria di Australia bagian utara dan di kepulauan Solomon (Taylor 1997), di Indonesia telah dikonfirmasi sebagai vektor malaria di Papua (Winarno, Hutajulu 2008). An. farauti aktif mencari darah di dalam rumah (indoor) tetapi lebih banyak tertangkap di luar rumah (outdoor). Berbeda halnya dengan di Saketa yang aktif sepanjang malam, di Solomon aktivitasnya terutama pada awal malam dan 3 jam pertama yaitu pukul 18.0021.00, aktivitasnya tidak ditemukan pada waktu tengah malam (Taylor 1997). 5.3.2.2 Anopheles barbumbrosus Dalam penelitian ini An. barbumbrosus termasuk salah satu jenis yang proporsi populasinya tergolong rendah (1,19%) dan paling banyak terdapat di perkebunan. Aktivitas mengisap darah terjadi sepanjang malam pada ekosistem hutan, semak dan perkebunan. Di permukiman aktivitas mengisap darah lebih rendah jika dibandingkan dengan ekosistem lainnya.
Nilai MHD tertinggi
terdapat di perkebunan pada jam 22.00-23.00 dengan nilai 0.08 nyamuk/jam. Gambar 30 menunjukkan aktivitas mengisap darah An. barbumbrosus di hutan dan perkebunan mencapai puncaknya pada pukul 19.00-20.00, 22.00-23.00 dan pukul 0.00-01.00. Sementara itu puncak mengisap darah
di semak terjadi
pada pukul 20.00-21.00 dan 23.00-02.00. Hasil analisis tentang pola perilaku mengisap darah nyamuk An. barbumbrosus disajikan pada Gambar 30.
118
An. barbumbrosus
0,009 0,008
0,008
0,007 0,006
MHD
0,005 0,004
0,003
0,003 0,002 0,001 0,000 18-19
19-20
20-21
21-22
Hutan
22-23
23-24
0-1
Kebun
1-2
Semak
2-3
3-4
4-5
5-6
Rumah
Gambar 30 Aktivitas mengisap darah mengisap darah perorang perjam (MHD) An. barbumbrosus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) Di daerah Cha Ong Chang, Vietnam, An. barbumbrosus merupakan spesies domestik yang dilaporkan sebagai nyamuk zooantropofilik yang lebih banyak ditemukan outdoor dan lebih menyenangi darah manusia dibanding darah hewan (Trung et al 2008). Di Indonesia, nyamuk ini dikonfirmasi sebagai vektor di Sulawesi Tengah (Winarno & Hutajulu 2009). 5.3.2.3 Anopheles indefinitus Hasil analisis terhadap aktivitas mengisap darah An. indefinitus disajikan pada Gambar 31. Dari gambar tersebut tampak bahwa, puncak aktivitas mengisap darah
An. indefinitus pada ekosistem hutan terjadi sebanyak dua kali, pertama
pada pukul 21.00-22.00 dan pada pukul 020.00-03.00. Di perkebunan, puncak aktivitas mengisap darah
tertinggi terjadi antara pukul 22.00-23.00. Di semak
puncak mengigit terjadi pada jam 20.00-21.00 dan 22.00-23.00. Pada ekosistem semak dan ekosistem perkebunan, terjadi pola penurunan aktivitas mengisap darah dari pukul 23.00-04.00. Aktivitas mengisap darah An. indefinitus menurun pada ke empat jenis ekosistem pada pukul 04.00-05.00 dan kembali meningkat pada pukul 05.00-06.00.
119
An. indefinitus 0,25
0,20
MHD
0,20 0,15 0,10 0,05 0,00
18-19 19-20 20-21 21-22 22-23 23-24
Hutan
Kebun
0-1
1-2
Semak
2-3
3-4
4-5
5-6
Rumah
Gambar 31 Aktivitas mengisap darah perorang perjam (MHD) nyamuk An. indefinitus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) Anopheles idefinitus telah ditetapkan sebagai vektor malaria di India (Amarashinge et al. 1991), sedangkan di Indonesia belum dikonfirmasi sebagai nyamuk vektor untuk penyakit tertentu (Winarno & Hutajulu 2009). Munif et al. (2008) melaporkan semua nyamuk An. indefinitus yang tertangkap di Kecamatan Simpenan Kabupaten Sukabumi bersifat outdoor. Di Desa Doro, aktivitas nyamuk ini mencapai puncak pada awal malam, yaitu sekitar pukul 19.00-20.00, selanjutnya menurun lagi hingga pukul 01.00, Setelah pukul 01.00, tidak ditemukan lagi adanya aktivitas mengisap darah (Mulyadi 2010). 5.3.2.4 An. kochi Hasil analisis terhadap aktivitas mengisap darah An. kochi disajikan pada Gambar 32. Dari gambar tersebut tampak bahwa, puncak aktivitas mengisap darah oleh An.kochi yang sangat menonjol terjadi pada ekosistem semak yang puncaknya terjadi antara pukul 20.00-22.00 dan kemudian menurun hingga pukul 04.00-05.00, aktivitas kembali meningkat pada pukul 05.00-06.00. Pada tiga jenis ekosistem yaitu, hutan, perkebunan dan permukiman, aktivitas mengisap darah
tidak menunjukkan adanya fluktuasi yang menonjol
sehingga tidak ditemukan adanya puncak yang menunjukkan pemusatan waktu mengisap darah. Di Chan Ong Chang, Vietnam An. kochi mengisap darah hingga pukul 22.00 (Trung 1997).
120
An. kochi 0,30 0,24 0,25
MHD
0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 18-19
19-20
20-21 Hutan
Gambar 32
21-22 Kebun
22-23
23-24 Semak
0-1
1-2
2-3
Rumah
Aktivitas mengisap darah perorang perjam (MHD) nyamuk An. kochi pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010Agustus 2011)
5.3.2.5 Anopheles subpictus Tampak bahwa di permukiman, puncak aktivitas mengisap darah
An.
subpictus berlangsung pada pukul 21.00-22.00 yang terjadi pada ekosistem permukiman, semak dan hutan. Dari gambar tersebut terlihat bahwa, puncak aktivitas mengisap darah di permukiman jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis ekosistem lainya. Pada awal malam dan tengah malam, tidak ditemukan adanya aktivitas mengisap darah pada ekosistem perkebunan. An. subpictus yang terdapat di permukiman dan di hutan menunjukkan pola aktivitas yang meningkat menjelang pergantian dari malam ke siang (pukul 5.00-6.00). Pada ekosistem semak, aktivitas mengisap darah memuncak pada pukul 22.00-23.00. Secara umum, pola aktivitas mengisap darah menunjukkan penurunan yang rendah dari pukul 22.00 hingga akhir jam penangkapan. Jastal et al. (2003) melaporkan bahwa An. subpictus umumnya berada di daerah pantai, dan lebih banyak mengisap darah di dalam rumah. Garjito et al.
(2003)
melaporkan bahwa An. subpictus bersifat exofilik dan puncak aktivitas mengisap darahnya berlangsung dari pukul 21.00-03.00. Di Banyuwangi, 73% nyamuk An. subpictus aktif mengisap darah orang d luar rumah (Shinta, Sukowati & Mardiana 2003). Fluktuasi mengisap An. subpictus perjam disajikan pada Gambar 33.
121
An. subpictus 0,019 0,017 0,015
MHD
0,013 0,011 0,009 0,007 0,005 18-19 19-20 20-21 21-22 22-23 23-24
Hutan
0-1
Kebun
1-2
2-3
Semak
3-4
4-5
5-6
Rumah
Gambar 33 Aktivitas mengisap darah perorang perjam (MHD) nyamuk An. subpictus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) Di Sulawesi Tengah, aktivitas mengisap darah berbeda pada wilayah yang berbeda. Di Donggala nyamuk ini aktif mengisap darah pada awal malam baik di dalam maupun di luar rumah, dan puncaknya terjadi pada 21.00-22.00. Sementara itu di Siboang puncak mengisap darah terjadi pada pukul 19.00-20.00 di luar rumah dan 03.00-04.00 di luar rumah (Jastal et al. 2003). 5.3.2.6 Anopheles tesselatus Hasil analisis terhadap aktivitas mengisap darah An. tessellatus disajikan pada Gambar 34. Tampak bahwa di semak, puncak aktivitas mengisap darah An. tesselatus terjadi antara pukul 21.00-22.00 yang melebihi ke tiga jenis ekosistem lainnya, turun pada pukul 22.00-23.00 dan kembali naik dan merata dari pukul 00.00 hingga 02.00-03.00. Pada ekosistem permukiman An. tessellatus tidak ditemukan mengisap darah pada awal dan akhir penangkapan, sepanjang malam nyamuk ini memiliki Garjito et al. (2004) melaporkan bahwa An. tessellatus lebih menyukai mengisap darah di luar rumah dan pada hewan ternak yang dkandangkan.dan lebih suka istirahat pada dinding-dinding rumah dibanding tempat lainnya. Perilaku mengisap darah An. tessellatus juga diteliti oleh Munif, Sudomo dan Soekirno (2007) dan melaporkan bahwa aktivitas mengisap darah An. tessellatus di Kecamatan Lengkong, Sukabumi semuanya dilakukan di luar rumah dengan nilai MHD 0,04 orang per jam.
122
An. tessellatus 10,00 9,00 8,00 7,00
6,00
MHD
6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00
18-19 19-20 20-21 21-22 22-23 23-24 0-1 1-2 Semak Hutan Kebun
2-3 3-4 Rumah
4-5
5-6
Gambar 34 Aktivitas mengisap darah perorang perjam (MHD) nyamuk An. tessellatus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011) 5.3.2.7 Anopheles vagus Hasil analisis terhadap aktivitas mengisap darah An. vagus disajikan pada Gambar 33.
Tampak bahwa pada ekosistem hutan aktivitas mengisap darah
mengalami puncak ganda yaitu antara pukul 21.00-23.00, berikutnya terjadi antara pukul 00.00-01.00 dan 02.00-04.00. Pada ekosistem perkebunan aktivitas mengisap darah yang tertinggi terjadi antara pukul 19.00-20.00, sedangkan di semak terjadi puncak ganda yaitu antara pukul 20.00-21.00, 22.00-23.00 dan 02.00-04.00, sedangkan di ekositem permukiman aktivitas mengisap darah tertinggi berlangsung antara pukul 02.00-04.00. Pada akhir jam penangkapan aktivitas mengisap darah An. vagus tampak meningkat terutama pada ekosistem semak dan hutan. Meskipun secara umum aktivitas mengisap darah nyamuk An. vagus pada semua jenis ekosistem tidak menunjukkan suatu pola tertentu, namun tetap menggambarkan adanya kontradiksi antara ekosistem perkebunan, semak dan permukiman di satu sisi dan hutan di sisi lain. Pada beberapa waktu penangkapan, aktivitas mengisap darah
An. vagus
memuncak dan pada saat yang sama
aktivitas pada ke tiga jenis ekosistem lainnya menurun. Nyamuk An. vagus umumnya bersifat exofilik, Di Purworejo, semua An. vagus ditemukan
di luar rumah (Lestari et al. 2007), di daerah pantai
123
Banyuwangi An. vagus lebih suka mengisap darah ternak di kandang dibanding mengisap darah umpan orang di luar maupun di dalam rumah (Shinta, Supratman & Mardiana, 2003), sedangkan di Kabupaten Parigi, Muotong, lebih banyak ditemukan di luar rumah jika dibandingkan dengan dalam rumah, tempat istirahat yang paling disukai adalah dinding kandang hewan (Garjito et al. 2005). Nyamuk Anopheles terdiri dari berbagai spesies dengan berbagai perilaku khusus yang berkaitan dengan aktivitas mengisap darah Aktivitas mengisap darah
dan penularan malaria.
nyamuk yang tinggi di perkebunan menunjukkan
indikasi bahwa nyamuk yang tertangkap tergolong antrozoofilik. Di Desa Saketa, kebanyakan hewan ternak (sapi) dilepas atau diikat di antara pohon kelapa untuk mencegah berkeliaran di perkampungan. Di Nigeria, pada perkampungan yang memiliki ternak yang dikandangkan mempunyai resiko digigit lebih tinggi oleh golongan nyamuk zoofilik dan antropofilik, kelimpahan dan perilakunya juga berbeda dibanding daerah lainnya yang tidak memiliki ternak (Oyewole et al. 2007). Dengan demikian pembiaran sapi di perkebunan merupakan penghalang (cattle barrier) untuk masuk ke perkampungan. Fluktuasi aktivitas menggigiti An. vagus perjam disajikan pada Gambar 33.
An. vagus
0,01 0,009
0,0087
0,008
MHD
0,007 0,006 0,005 0,004 0,003 0,002 0,001 0 18-19 19-20 20-21 21-22 22-23 23-24
Hutan
Kebun
0-1
1-2
Semak
2-3
3-4
4-5
5-6
Rumah
Gambar 35 Aktivitas mengisap darah perorang perjam (MHD) nyamuk An. vagus pada empat jenis ekosistem di Desa Saketa (September 2010-Agustus 2011)
124
Penelitian longitudinal yang dilakukan di salah satu kawasan tambang emas di Venezuella berhasil mengungkap kelimpahan, perilaku mengisap darah dan parous rate Anopheles yang menunjukkan An. marajoara dan An. darlingi yang lebih melimpah di antara 6 species yang ditemukan. Keduanya juga menunjukkan pola aktivitas mengisap darah yang berbeda; aktivitas mengisap darah
An.
marajoara mencapai puncak pada jam 19.00 – 21.00 dan An. darlingi memiliki 2 puncak kecil yaitu pada jam 23.00 dan 03.00 – 04.00 (Moreno et al. 2007).
5.4 Perilaku Istirahat Perilaku istirahat nyamuk Anopheles disajikan dalam Tabel 9. Dalam penelitian ini diperoleh sebanyak 177 nyamuk yang terdiri dari 5 spesies yaitu, An. indefinitus, An. kochi, An. tessellatus, An. vagus dan An. barbumbrosus. Di ekosistem semak terdapat 3 spesies Anopheles yaitu An, indefinitus, An. kochi, dan An. tessellatus, sedangkan di perkebunan diperoleh 5 spesies yang istirahat yaitu An. indefinitus, An. kochi, An. tessellatus, An. vagus dan An. barbumbrosus. Nyamuk yang istirahat di semak didominasi oleh An. kochi, sedangkan di perkebunan didominasi oleh An. indefinitus. Pemilihan tempat istirahat bervariasi tergantung jenis ekosistem dan spesiesnya. Pada ekosistem semak, An. indefinitus lebih menyukai rumpun bambu, batang rumput, dan daun tanaman perdu, sedangkan di kebun ditemukan di alang-alang, rumpun sagu dan tanaman pagar. Di semak An. kochi lebih memilih jenis tempat istirahat berupa daun perdu, rumpun bambu, dinding pondok/gudang kopra, dan batang perdu, di kebun An. kochi memilih tempat istirahat berupa rumpun bambu, alang-alang, batang sagu, kolong pondok/huma, tumpukan sampah dedaunan dan tumpukan daun kering. Di semak nyamuk An. tessellatus istirahat di rumpun bambu sedangkan di kebun di alang-alang. An. vagus memilih istirahat di rumpun/batang sagu dan An.barbumbrosus memilih alang-alang untuk istirahat, keduanya hanya ditemukan istirahat di kebun. Pemilihan tempat istirahat oleh nyamuk Anopheles di Saketa berbeda jika dibandingkan dengan tempat istirahat An. sundaicus. Suwito (2010) melaporkan tempat istirahat An. sundaicus di Padang cermin dan Pesawaran terdiri dari rerumputan, pinggiran atap, tumpukan kayu, dinding luar untuk yang istirahat di luar rumah. Di dalam rumah, An. sundaicus ditemukan di gantungan jaring, kelambu, pakaian yang digantung, dinding dalam rumah, rak sepatu dan sapu lidi.
125
Pemilihan tempat istirahat pagi bagi Anopheles di Desa Saketa sesuai dengan yang dilaporkan oleh Tribuwono dan Ristiyanto (2004) terhadap An. maculatus di Kabupaten Magelang yang cenderung memilih lubang sampah, daun salak dan semak-semak sebagai tempat istirahat pada pagi hari. Perbedaan pemilihan tempat istirahat terjadi pada spesies yang berbeda atau spesies yang sama yang berbeda lokasi dan jenis tempat pengamatan dilakukan. Perbedaan yang terjadi dalam pemilihan tempat istirahat di semak dan diperkebunan disebabkan karena pada ke dua jenis ekosistem tersebut terdapat berbagai pilihan jenis tempat istirahat yang cocok bagi nyamuk. Berdasarkan tempat istirahat Anopheles,
maka tempat yang paling berisiko bagi manusia
adalah perkebunan yang jumlah dan keragaman Anophelesnya lebih tinggi. Di perkebunan, penularan parasit ke manusia berpeluang besar terjadi, khususnya bagi pekerja kopra di pondok dan petani kebun, dan ini dapat berlangsung meski pada siang hari. Tabel 27 Jenis nyamuk Anopheles dan pemilihan tempat istirahat di Desa Saketa, Halmahera Selatan Jenis ekosistem Semak
Kebun
Spesies An. indefinitus
Jlh Jenis tempat istirahat nyamuk 19
rumpun bambu, batang rumput, daun tanaman perdu daun perdu, rumpun bambu batang perdu rumpun bambu
An. kochi
26
An. tesselatus
1
An. indefinitus
46
An. kochi
36
alang-alang, rumpun sagu, tanaman pagar dan tumpukan sampah dedaunan rumpun bambu, alang-alang rumpun sagu, kolong pondok tumpukan sampah dedaunan tumpukan daun kering,
An. tesselatus An. vagus An. barbumbrosus
3 1 1
alang-alang batang sagu alang-alang
126
5.5 Kesimpulan Aktivitas menggigit permalam (MBR) Puncak kepadatan mengisap darah permalam (MBR) beberapa spesies Anopheles pada beberapa jenis ekosistem, hanya berlangsung dari bulan Februari hingga Juli 2011. Di perkebunan dan hutan, puncak aktivitas mengisap darah pada An. punctulatus terjadi pada bulan Februari. Pada bulan Maret, aktivitas mengisap darah
mencapai puncak pada spesies An. koliensis pada semua jenis
ekosistem dan An. subpictus yang hidup di hutan. Sedangkan An. farauti dan An. indefinitus yang hidup di perkebunan, An. subpictus yang terdapat di perkebunan, permukiman dan semak, dan An. kochi yang hidup disemak serta An. punctulatus yang terdapat di permukiman dan semak, aktivitas mengisap darahnya terjadi pada bulan April. Pada bulan Mei, puncak aktivitas mengisap darah permalam pada An.indefinitus terjadi di hutan dan pada An. barbumbrosus terjadi di permukiman. Pada bulan Juni, puncak aktivitas mengisap darah pada An. barbumbrosus terjadi di hutan, perkebunan dan semak, sedangkan An. farauti berlangsung di perkebunan, semak dan permukiman, An. indefinitus terjadi di semak, An. kochi terjadi di hutan, perkebunan dan semak, dan untuk An. tessellatus terjadi pada semua jenis ekosistem. Pada bulan Juli, hanya spesies An. vagus yang aktivitas mengisap darahnya mencapai puncak yang berlangsung pada semua jenis ekosistem Aktivitas mengisap darah per jam (MHD) Spesies An. barbumbrosus aktif mengisap darah sepanjang malam, aktivitas tertinggi berlangsung pada jam 22.00-23.00 pada ekosistem perkebunan. An. farauti aktif mengisap darah sepanjang malam dengan puncak tertinggi berlangsung pada pukul 24.00-01.00 di ekosistem hutan Secara umum aktivitas mengisap darah An. indefinitus, memuncak sebelum pukul 23.00 dengan aktivitas tertinggi berlangsung pada pukul 21.00-22.00 di hutan, sedangkan An. kochi lebih banyak aktif di semak dan hanya memiliki satu puncak dalam aktivitasnya mengisap darah yang berlangsung pada 21.00-22.00. An. koliensis lebih banyak ditemukan di perkebunan dan puncak aktivitas
127
mengisap darahnya berlangsung pada pukul 02.00-03.00. Sementara itu An. punctulatus lebih banyak aktif di semak dengan aktivitas mengisap darah tertinggi berlangsung pada puku 02-00-03.00. An. subpictus merupakan spesies yang lebih banyak aktif di permukiman dengan puncak aktivitas berlangsung pukul 21.00-22.00. An. tessellatus aktif mengisap darah sepanjang malam dengan puncak tertinggi pada pukul 21.0022.00 pada ekosistem semak. An. vagus aktif mengisap darah sepanjang malam dengan pjuncak aktivitas tertinggi berlangsung pada pukul 20.00-22.00. Perilaku istirahat pagi (Morning resting) Nyamuk Anopheles yang tertangkap istirahat pagi terdiri dari lima spesies yaitu, An. indefinitus, An. kochi, An. tessellatus, An. vagus dan An. barbumbrosus. Tiga spesies Anopheles ditemukan di semak yaitu An. indefinitus, An. kochi, dan An. tessellatus, sedangkan di perkebunan terdapat lima spesies yaitu An, indefinitus, An. kochi, An. tessellatus, An. vagus dan An. barbumbrosus. Tempat istirahat Anopheles di ekosistem semak berupa rumpun bambu, batang rumput, dan daun/batang tanaman perdu. Tempat istirahat di kebun berupa di alang-alang, rumpun sagu dan tanaman pagar rumpun bambu, alang-alang, rumpun/batang sagu, kolong pondok/huma, tumpukan sampah dedaunan dan tumpukan daun kering.
128
DAFTAR PUSTAKA Boewono DT, Ristiyanto. 2004. Studi bioekologi vektor malaria di Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Simposium nasional I Laporan Hasil Penelitian Litbangkes, 2004. Depkes RI. Jakarta. Cooper RD, Frances SP. 2000 Biting sites of Anopheles koliensis on human collectors in Papua New Guinea. J. Am. Mosq. Ctrl. Assoc. 16 (3):266-7. Depkes RI 2003. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI, Situasi malaria, data dan informasi malaria. Depkes RI. Jakarta. Garjito A, Jastal, Wijaya Y, Lili, Chadijah S, Erlan A, Rosmini, Samarang, Udin Y, labatjo Y. 2004. Studi bioekologi nyamuk Anopheles di wilayah pesisir pantai timur kabupaten Parigi-Muotong, Selawesi Tengah. Bul.Penel.Kes. 32(2):49-61. Kaliannagoun K, Jambulingam P, Natarajan R, Shriram AN, Das PK, Sehgal SC. 2005. Altered environment and risk of malaria outbreak in South Andaman, Andaman & Nicobar Islands, India affected by tsunami disaster. J. Malaria. 4(32):1-9. Lestari EW, Sukowati S, Soekodjo, Wigati RA. 2007. Vektor malaria di Bukit Menoreh, Purworejo, Jawa Tengah. Med. Lit. Bang. Kes. 12(1):30-35. Moreno, JEY. Palis R, Paez E., Perez E, Sanchez V. (2007). Abundance, biting behaviour and parous rate of anopheline mosquito species in relation to malaria incidence in gold-mining areas of southern Venezuela. J. Med. Vet. Entomol. 21, 339–349. Munif A, Sudomo, Sukirno, 2007. Bionomik Anopheles Spp. di daerah endemis malaria di Kecamatan Lengkong, Kabupaten Sukabumi. Bul. Penel. Kes. 35(2):57-80. Munif A, Rusmioarto S, Aryati Y, Andris H, Stoop CA. 2008. Konfirmasi status An. vagus sebagai vektor pendamping saat kejadian luar biasa malaria di Kabupaten Sukabumi, Indonesia. J. Ekol. Kes. 2(1):689-696. Oyewole IO, Awolola TS, Ibidapo CA, Oduola AO, Okawa OO, Obansa JA. 2007. Behavior and population dynamic of major anopheline vectors in a malaria endemic area in southern Nigeria. J. Vect. Borne. Dis. 44(3); 5664. Santoso NB, Upik Kesumawati Hadi, SH Sigit, FX Koesharto. 2004. Karakteristik Habitat Larva Anopheles Maculatus & Anopheles Balabacencis Di Daerah Endemik Malaria, Kecamatan Kokap, Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta. Seminar Nasional Entomologi dalam Perubahan lingkungan dan Sosial, Perhimpunan Entomologi Indonesia. Bogor. Service MW. 1976. Mosquito ecology. Applied science publishers Ltd. London. Shinta, Sukowati S, Mardiana. 2003. Komposisi spesies dan dominasi nyamuk Anopheles di daerah pantai Banyuwangi, Jawa Timur. Med. Lit. Bang. Kes. 13(3):1-8.
129
Suwito, Hadi UK, Singgih SH, Sukowati S. 2010. Distribusi spatial dan bioekologi Anopheles spp. di Lampung Selatan dan Pesawaran, Provinsi Lampung. J. Ekol. Kes. 9(3):1303-1310. Trung HD, Bortel WV, Sochanta T, Keokencahan K, Briet OJ, Coosemans M. 2005. Behavioural heterogeneity of Anopheles spesies in ecological different localities in Southeast Asia: a cahallenge for vector control. J. Trop. Med. Int. Hlth. 10(3): 251-262. Warrell DA, Gilles HM, 1993. Essential malariology. 3rd ed. Edward Arnold, Hodder and Stoughton. London. [WHO], 1975. World Health Organization. Manual on Practical Entomology in Malaria. Part I. Vector bionomics and Organzation of anti-malarial activity. WHO Geneva. Winarno, Hutajulu B. 2009. Review of National vector control policy in Indonesia. Directorat of VBDC DG DC & EH, MOH Indonesia. Makalah Laporan. Jakarta
130
PEMBAHASAN UMUM
131
132
BAB 6 PEMBAHASAN UMUM Angka annual malaria incidence (AMI) di Kabupaten Halmahera Selatan merupakan yang tertinggi di Provinsi Maluku. Pada tahun 2010 angka AMI mencapai 54,0‰ (Dinkes Kab. Halmahera Selatan 2010). Angka AMI yang tinggi ini memerlukan perhatian khusus dari berbagai aspek, termasuk aspek entomologi dengan melakukan analisis secara mendalam terhadap vektor dan perilakunya. Desa Saketa merupakan pintu utama untuk akses ke berbagai wilayah di Gane Barat dan Gane Timur, karena terdapat pelabuhan terbesar di pantai barat Pulau Halmahera bagian selatan, selain itu juga terdapat dermaga khusus untuk alat transfortasi laut jarak pendek untuk kapal-kapal kecil dan speedboat. Oleh sebab itu Desa Saketa juga berfungsi sebagai Desa transit untuk masuk dan keluar Gane Barat dan Gane Timur, sehingga mobilitas masyarakat sangat tinggi. Kondisi Desa Saketa secara fisik juga sangat mendukung untuk syarat hidup sehat. Sebagai ibukota kecamatan, kondisi berbagai prasarana cukup memadai, sanitasi dan drainase cukup baik, sebagain besar jalanan utama desa telah diaspal dan lainnya merupakan jalan pengerasan sehingga sepintas tidak memberi ruang untuk tersedianya habitat perkembangbiakan nyamuk. Akan tetapi Desa Saketa masih merupakan daerah endemis malaria tinggi, dengan angka AMI berturutturut 225,4‰, 158,3‰, 157,7‰, 106,9‰ masing-masing untuk tahun 2007, 2008, 2009 dan 2010. Kenyataan ini menunjukkan bahwa terdapat sumber atau habitat perkembangbiakan vektor malaria di luar wilayah permukiman. Di Desa Saketa, sebagian besar wilayahnya merupakan areal perkebunan kelapa, sebagian lagi berupa hutan dan semak. Berbagai tipe habitat perkembangbiakan nyamuk ditemukan terutama menyebar di perkebunan, jalanan dan permukiman. oleh sebab itu perlu upaya pengendalian berbasis pemahaman vektor untuk mengatasi masalah malaria secara efektif dan efisien di daerah ini. Data dan informasi tentang bioekologi, karakteristik lingkungan fisik dan kimia pada tipe-tipe habitat perkembangbiakan nyamuk dan perilaku vektor malaria dapat dijadikan acuan dalam program pengendalian malaria.
133
Aktivitas utama masyarakat adalah berkebun dan mengelola kopra yang mengharuskan mereka berada selama 24 jam di kebun untuk beberapa hari sampai proses pengolahan dan pemanenan kopra selesai. Sekitar 63,4% KK di Saketa berprofesi sebagai pengolah/petani kebun yang tiap hari masuk atau tinggal beberapa hari dalam seminggu di perkebunan, 3,0% pengolah kayu yang lebih banyak tinggal di hutan, dan sisanya berprofesi sebagai PNS, buruh dan nelayan yang sebagian besar memiliki kebun yang diolah, dan hanya 7,7% sebagai pedagang yang lepas dari aktivitas di kebun (PPDS 2011). Masyarakat yang berprofesi sebagai pengolah kebun, menjadi sangat rentan terhadap malaria. Profesi sebagai pengolah kopra atau pekerja di perkebunan kelapa dan siklus pengolahan kopra yang pendek serta dan tersedianya berbagai jenis habitat vektor di perkebunan, ditengarai merupakan penyebab rentannya masyarakat terhadap malaria. Hal ini disebabkan karena tingginya peluang terjadinya kontak antara masyarakat yang bekerja di kebun dengan berbagai spesies Anopheles di perkebunan. Di Desa Saketa, ditemukan 10 spesies nyamuk Anopheles yaitu An. barbumbrosus, An. farauti, An. hackeri, An. indefinitus, An. kochi, An. koliensis, An. punctulatus, An. subpictus, An. tessellatus, dan An. vagus. Hasil uji ELISA menunjukkan bahwa terdapat tiga spesies yang dinyatakan psositif mengandung Plasmodium vivax yaitu An. indefinitus, An. kochi dan An. vagus. Oleh sebab itu selain punctulatus grup, ketiga spesies ini perlu diperhatikan lebih lanjut terutama yang berkaitan dengan kapasitas kevektorannya. Anopheles spp. yang ditemukan di Desa Saketa menyebar pada ekosistem perkebunan dengan proporsi 35,82%, ekosistem hutan (33,78%), semak (24,98%), dan permukiman (5,42%). Kondisi lingkungan pada ke empat jenis ekosistem tersebut sangat berbeda terutama yang berkaitan dengan sumber daya yang diperlukan oleh nyamuk untuk berkembangbiak dan bertahan hidup. Menurut Bruce-Chwatt (1985), nyamuk hidup di daerah tertentu dengan kondisi habitat lingkungan yang spesifik seperti daerah pantai, rawa-rawa, persawahan, hutan dan pegunungan. Kondisi lingkungan pada ekosistem perkebunan, hutan dan semak mendukung untuk kehidupan nyamuk Anopheles yang diindikasikan dengan besarnya populasi di tempat tersebut.
134
Nyamuk An. kochi memiliki populasi tertinggi dengan proporsi 52,17% diikuti oleh An. indefinitus dan An. tessellatus (35,52% dan 5,15%),
serta
populasi terendah adalah An. hackeri (0,02%). An. subpictus populasinya 0,87%. An. kochi dominan pada di perkebunan, semak dan permukiman, sementara An. indefinitus dominan di hutan. An. indefinitus ditemukan dalam setiap bulan penangkapan pada ekosistem hutan, perkebunan dan semak, sementara An. kochi ditemukan di hutan pada setiap bulan penangkapan. Dengan tidak mengabaikan nilai ekologinya, spesies yang perlu memperoleh perhatian khusus adalah Anopheles punctulatus grup yaitu An. punctulatus, An. koliensis dan An. subpictus, ketiga spesies ini merupakan vektor malaria di Maluku, Maluku Utara, dan Papua (Sukowati 2009). Anopheles yang ditemukan di Desa Saketa berjumlah 10 spesies, 8 spesies di antaranya termasuk dalam 22 spesies yang tergolong vektor malaria pada beberapa daerah di Indonesia. Spesies vektor tersebut adalah, An. farauti, An. koliensis, An. punctulatus, An. subpictus, An. tessellatus, dan An. vagus (Sukowati 2009). An. An. kochi, dan An. barbumbrosus juga merupakan vektor (Winarno & Hutajulu 2009). Sejauh ini An. punctulatus, An. farauti, An. koliensis (Sukowati 2009), An. subpictus (Winarno & Hutajulu 2009) dan An. tessellatus (Aditama 2009) telah dinyatakan sebagai vektor di Maluku Utara. Hingga saat belum ada laporan yang mengkonfirmasi An. indefinitus dan An. hackeri sebagai vektor di Indonesia. Meskipun demikian keduanya tetap berpotensi sebagai vektor. An. indefinitus merupakan vektor di Guam, sedangkan An. hackeri telah menjadi vektor malaria di Malaysia, Philipina dan Formusa (Gratz et al. 2007). Hasil uji ELISA menunjukkan dari sampel An. indefinitus di Saketa, menunjukkan adanya sampel yang positif mengandung parasit Plasmodium vivax (Sukowati 2010). Di Desa Saketa terdapat delapan tipe habitat perkembangbiakan Anopheles yaitu kubangan, kobakan, kontainer buatan, kantong plastik bekas, parit, kolam dan lagun. Hasil pemeliharaan larva dari berbagai tipe habitat tersebut diperoleh enam spesies yaitu An. indefinitus, An. farauti, An. kochi, An. punctulatus, An. subpictus dan An. vagus. Tiga spesies Anopheles yaitu An. indefinitus, An. farauti, dan An. kochi merupakan spesies dengan jumlah populasi yang besar, sedangkan
135
tiga spesies lainnya yaitu An. punctulatus, An. subpictus dan An. vagus memiliki jumlah populasi yang sangat rendah. Kubangan, kobakan dan tapak ban mengandung jumlah spesies Anopheles yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tiga tipe habitat lainnya. Konfirmasi vektor dilakukan dengan pembelahan kelenjar ludah untuk memastikan ada tidaknya sporozoit pada tubuh nyamuk atau dengan uji ELISA. Uji ELISA dilakukan untuk sporozoit dengan menggunakan antibodi monoklonal [WHO 2003]. Hingga saat ini ketiga spesies Anopheles punctulastus grup telah dinyatakan sebagai vektor di Provinsi Maluku Utara, spesies tersebut adalah An. punctulatus, An. farauti dan An. koliensis (Sukowati 2010), selain itu An. subpictus juga dinyatakan sebagai vektor (Winarno & Hutajulu 2009). Keberadaan punctulatus grup di lapangan harus dapat dijadikan sebagai peringatan dini akan bahaya malaria di masyarakat di Maluku Utara. Pendugaan potensi vektor dapat juga dilakukan dengan melihat beberapa syarat yaitu, nyamuk dapat diduga sebagai vektor jika mempunyai intensitas kontak dengan manusia (nilai MBR) cukup tinggi, memiliki jumlah yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan spesies lain dan mempunyai umur yang cukup panjang dalam persen nyamuk, dan telah dikonfirmasi sebagai vektor di tempat lain (Munif et al. 2008). Jika memperhatikan persyaratan untuk pendugaan potensi vektor tersebut, maka nyamuk An. farauti dan An. vagus perlu diperhatikan secara khusus karena sangat memenuhi untuk syarat pendugaan vektor tersebut. Sementara itu An.kochi yang intensitas keberadaan dan kelimpahannya sangat tinggi, sejauh ini belum dilaporkan sebagai vektor untuk di Indonesia (Sukowati 2009), sehingga dianggap hanya memberi efek gangguan saja. Provinsi Maluku Utara menempati urutan ke-4 dalam angka kasus baru dan angka period prevalence malaria di Indonesia (Kemenkes RI 2010), dan Halmahera Selatan merupakan kabupaten yang nilai insiden malarinya tertinggi di Provinsi Maluku Utara (Depkes Kab. Halmahera Selatan 2010). Jika dikaitkan dengan rendahnya nilai dominansi dan proporsi punctulatus group (An. punctulatus, An. koliensis dan An. subpictus) maka hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan untuk dilakukannya konfirmasi ulang terhadap spesies-
136
spesies lainnya yang memiliki proporsi, dominansi dan frekuansi kehadiran yang cukup tinggi. Meski dominansi dan proporsi An.punctulatus group cukup rendah, kehadirannya tetap perlu diwaspadai karena ke tiga anggota group ini telah menjadi vektor di Papua, Maluku dan Maluku Utara (Sukowati 2009). Dalam penelitian ini An. kochi memiliki proporsi tertinggi yaitu 47,74% terdapat di perkebunan, 24,31% di hutan, semak 22,47% dan hanya 5,48 di permukiman. Nyamuk ini meskipun bukan merupakan vektor di Maluku Utara, tetapi karena intensitas keberadaan dan kelimpahannya yang tinggi menyebabkan nyamuk tetap perlu diperhatikan karena An. kochi positif sebagai vektor malaria di Sumatera (Winarno & Hutajulu 2009). Perilaku mengisap darah yang diamati dengan perhitungan MBR dan MHD, menunjukkan nyamuk Anopheles aktif mengisap darah sepanjang tahun dengan bulan-bulan puncak berlangsung bulan Februari hingga Juli 2011. Pada bulan Februari, puncak aktivitas mengisap darah pada An. punctulatus terjadi pada ekosistem hutan dan perkebunan. Aktivitas mengisap darah mencapai puncak tertinggi pada bulan Juni untuk kebanyakan spesies Anopheles pada ekosistem perkebunan, hutan dan semak. Sedangkan pada bulan Juli, hanya spesies An. vagus yang aktivitas mengisap darah nya mencapai puncak yang berlangsung pada semua jenis ekosistem. Nyamuk Anopheles di Desa Saketa aktif mengisap sepanjang malam, dan aktivitas mengisap darahnya umumnya menunjukkan puncak ganda. Aktivitas mengisap darah mencapai puncak untuk pertama kali sekitar pukul 21.00-23.00 dan puncak kedua terjadi setelah lewat tengah malam sekitar puku jam 01.0002.00 dan 02.00-03.00. Aktivitas mengisap darah yang berlangsung hampir sepanjang malam menyebabkan tinggi peluang terjadinya kontak antara vektor dengan masyarakat yang bekerja malam di perkebunan saat pengovenan kopra. Tidak mengherankan jika morbiditas malaria dalam keluarga petani kebun menjadi tinggi. Nyamuk memiliki perilaku mencari darah dan perilaku istirahat yang beragam. Beberapa jenis nyamuk aktif secara kreposkular dan nokturnal, mereka istirahat pada siang hari di tempat tertentu yang cocok. Aktivitas terbangnya dipengaruhi oleh faktor cuaca, kebutuhan makanan, kawin, istirahat, dan
137
meletakkan telur. Nyamuk eksofilik lebih banyak mengisap darah di luar ruangan, sedangkan yang endofilik mengisap darah di dalam ruangan tetapi sewaktu-waktu akan mengisap darah di luar jika terdapat inang. Di desa Saketa, aktivitas nyamuk eksofilik menjadi objek kajian yang penting. Populasi Anopheles di permukiman jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan di perkebunan, semak dan hutan. Aktivitas mengisap darah berlangsung sepanjang tahun pada An. farauti, An. kochi dan An. indefinitus. Umumnya puncak aktivitas mengisap darah berlangsung lebih dari satu kali. Pada An. barbumbrosus, An. tessellatus dan An. subpictus, terdapat dua puncak aktivitas mengisap darah dimana puncak pertama selalu lebih tinggi daripada puncak kedua. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan WHO, (1975) bahwa aktivitas nyamuk pada malam hari umumnya memiliki dua puncak yaitu puncak pertama sebelum pukul 22.00 yang merupakan puncak tertinggi dan puncak kedua setelah tengah malam dengan puncak yang lebih rendah. Hal ini agak berbeda dengan pola aktivitas mencari darah pada spesis An. farauti, An. kochi, An. koliensis, dan An. puntulatus yang juga memiliki beberapa puncak tetapi umumnya puncak pertama selalu lebih rendah dinading puncak berikutnya. Nyamuk memiliki preferensi spesifik terhadap pemilihan tempat istirahat pagi, An. kochi, An. indefinitus dan An. tessellatus ditemukan istirahat baik pada ekosistem perkebunan maupun semak. Sedangkan An. vagus dan An. barbumbrosus hanya ditemukan istirahat di perkebunan. Deforestasi dan perubahan penggunaan pengembangan
komersial,
pembangunan
jalan,
lahan untuk
permukiman,
sistem pengendalian
air
(bendungan, kanal, sistem irigasi, waduk), serta pengaruh perubahan iklim, telah meningkatkan morbiditas dan mortalitas sebagai akibat yang muncul dari penyakit parasit.
Penggantian tanaman hutan dengan perkebunan, pertanian dan
peternakan, dapat menciptakan habitat yang mendukung bagi pertumbuhan dan perkembabiakan parasit dan vektor inangnya (Patz et al. 2000). Perkebunan merupakan tempat rutin untuk aktivitas sebagian besar masyarakat Maluku Utara, khususnya masyarakat Halmahera Selatan. Nyamuk yang istirahat pagi akan terganggu oleh aktivitas manusia dan menjadi tertarik untuk melakukan aktivitas mencari darah siang hari. Hal ini juga akan
138
berlangsung di semak yang umumnya terdapat berdampingan atau bercampur dengan lahan perkebunan. Di Saketa, kontak Anopheles-manusia dengan instensitas tinggi terjadi di perkebunan. Di Saketa, perkebunan dapat beralih fungsi sebagai permukiman temporer mulai saat berlangsungnya panen kelapa dan selama berlangungnya proses pembuatan kopra hingga habis terjual dan diangkut. Selama masa tersebut, petani kelapa (sering dengan beberapa anggota keluarga) akan tinggal beberapa saat di perkebunan. Selama tinggal di perkebunan, maka risiko terpapar vektor tidak dapat dihindari. Tidak mengherankan jika menurut catatan di Puskesmas Saketa, penderita malaria paling tinggi berasal dari keluarga pengolah kebun. Nyamuk dikenal sebagai mahluk antropogenik yang aktivitasnya tidak dapat berjauhan dengan manusia. Kegiatan manusia di perkebunan, hutan dan semak yang juga merupakan tempat berbagai tipe habitat nyamuk akan menjadikan ekosistem tersebut sebagai ekosistem yang selalu membentuk interaksi manusianyamuk yang merugikan manusia. Jumlah Anopheles yang ditemukan di perkebunan lebih tinggi jika dibandingkan dengan ke tiga jenis ekosistem lainnya. Tingginya populasi Anopheles di perkebunan didukung oleh tersedianya beberapa tipe habitat perkembangbiakan dalam kawasan perkebunan. Selain itu terciptanya naungan oleh rimbunan daun kelapa dan berbagai jenis vegetasi bawah kanopi kebun, serta banyaknya genangan permukaan menciptakan kelembaban tinggi yang sifatnya mikro. Hal ini sangat mendukung kelangsungan hidup dan perkembangbiakan Anopheles. Setiap spesies menempati niche ekologi tertentu yang secara genetik dan perilaku akan beradaptasi dengan lingkungan buatan manusia. Dalam beradaptasi dengan perubahan kondisi lingkungan, beberapa vektor merubah perilaku mencari inang dari zoofilik menjadi antrofilik (Patz et al. 2000). Perkembangan larva nyamuk dipengaruhi oleh faktor fisik, biologi dan kimia
lingkungan
habitatnya.
Lingkungan
fisik
yang
mempengaruhi
perkembangan larva adalah tempat bertelur, suhu air dan arus air, sedangkan faktor biologinya berupa keberadaan vegetasi tingkat tinggi maupun tingkat rendah, dan keberadaan predator larva, sedangkan faktor kimianya berupa pH, salinitas dan endapan lumpur (Buwolaksono 2001).
139
Nyamuk merupakan spesies yang paling peka terhadap perubahan lingkungan karena penggundulan hutan. Kelangsunghidupan, kepadatan dan sebarannya dipengaruhi oleh perubahan kecil kondisi lingkungan seperti suhu, kelembaban dan ketersediaan habitat yang cocok. Perubahan ekologi nyamuk dan pola perilaku masyarakat di daerah yang mengalami deforestasi mempengaruhi penularan beberapa penyakit akibat vektor seperti malaria, Japanes encephalitis dan filariasis. Secara langsung atau tidak langsung, deforstasi mempengaruhi prevalensi, insiden dan distribusi malaria (Yasuoka 2007). Hasil
penelitian
di
lapangan
menunjukkan
bahwa
tipe
habitat
perkembangbiakan yang terdapat di perkebunan adalah tapak ban, tapak hewan, kobakan, kubangan, kolam, parit bahkan lagun. Perkebunan mengakomodasi kebutuhan berbagai sumberdaya untuk perkembangbiakan nyamuk Anopheles, sehingga semua spesies Anopheles yang ditemukan di Saketa juga ditemukan di perkebunan Saketa. Menurut Sukirno et al. (1983) larva Anopheles lebih menyukai dasar perairan yang cenderung berpasir. Hal ini sesuai dengan dengan kondisi di Saketa yang struktur tanahnya didominasi oleh pasir. Substrat pasir tidak dapat menahan air sehingga kandungan air di habitat menjadi cepat habis dan mengering, apalagi jika laju evaporasi lebih tinggi. Lain halnya jika substratnya berlumpur, habitat ini dapat menahan air untuk waktu yang lama. Lapisan lumpur tipis yang menyusun substrat menutupi bagian tanah berpasir pada lapisan bawahnya sehingga meningkatkan retensi air dan memberi peluang bagi telur nyamuk untuk berkembang dan menyelsaikan siklus hidupnya. Berdasarkan hal tersebut, faktor fisik seperti tipe habitat, suhu, kelembaban dan sifar air yang tidak mengalir pada habiatat nyamuk di Desa Saketa menyediakan kondisi yang sangat mendukung untuk perkembangan larva. Meskipun bersifat temporer karena daya retensi air pada habitat yang rendah, kontinuitas habitat yang mengandung air cukup tinggi, hal ini disebabkan oleh frekuensi hujan yang cukup tinggi di lapangan. Hal ini menciptakan habitat yang bersifat ephemeral pathcines, yaitu habitat yang hanya dapat dihuni secara singkat tapi bertambalan secara temporal sehingga secara kolekstif mendukung kontinuitas habitat (Soetjipto 1993).
140
Intensitas curah hujan yang sangat rendah hanya terjadi pada bulan Februari, sehingga ketersediaan air menjadi faktor pembatas pada habitat dangkal dan berukuran kecil seperti kobakan dan kubangan. Faktor lingkungan ini justru justru menyebabkan terbentuknya habitat baru berupa lagun. Lagun terbentuk dari terbendungnya muara kali oleh pasir yang dihempaskan oleh ombak ke arah daratan. Lagun dengan cepat mengalami penurunan salinitas akibat semakin banyaknya air tawar yang tertampung. Berdasarkan pengukuran, salinitas pada semua tipe habitat termasuk lagun menunjukkan 0‰ yang menunjukkan bahwa semua tipe habitat tersebut termasuk jenis air tawar sehingga untuk tidak diperlukan mekanisme osmporegulasi tertentu dalam perkembangan larva hingga menjadi nyamuk. Setyaningrum et al. 2008 melaporkan bahwa habitat vektor yang berupa selokan air mengalir, selokan air tergenang dan rawa di Desa Way Muli Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan memiliki salinitas 0‰ dan tetap mendukung untuk perkembangan larva. Di Desa Saketa, kubangan dan kolam dapat dianggap sebagai tipe habitat yang bersifat permanen bagi perkembangbiakan nyamuk. Tipe habitat ini dapat menampung air untuk jangka waktu yang lama dan menjadi habitat permanen sehingga mendukung perkembangbiakan kontinyu untuk nyamuk. Kondisi ini juga menguntungkan bagi vegetasi tingkat rendah maupun vegetasi tinggi dan juvenil berbagai jenis ikan, larva dan dewasa udang-udangan, larva capung, dan berbagai serangga lainnya baik larva maupun dewasanya untuk menjadikan kubangan dan kolam sebagai habitat perkembangbiakan dan pertumbuhannya. Keberadaan flora dan fauna dapat menguntungkan dan sekaligus merugikan larva nyamuk. Penutupan perairan oleh tanaman tingkat tinggi menimbulkan kesulitan pemilihan oviposisi bagi nyamuk dan menguras ketersediaan oksigen terlarut (DO). Larva beradaptasi untuk hidup dan mencari makan di sekitar dan di permukaan air, respirasi dilakukan dengan mengkonsumsi oksigen bebas dari udara dengan menggunkan sifon. Akan tetapi beberapa jenis larva nyamuk bernafas dengan oksigen terlarut menggunkan respirasi kulit (WHO 1975) dan bagi jenis ini DO yang rendah akan menimbulkan masalah respirasi. Sedangkan kehadiran berbagai jenis predator akan merugikan larva dan menurunkan angka kelangsungan hidupnya.
141
Tingginya angka AMI di Desa Saketa, dapat dikaitkan dengan luasnya penyebaran Anopheles. Di perkebunan, kombinasi antara faktor kepadatan, perilaku
vektor,
faktor
habitat
dan
faktor
profesi/perilaku
masyarakat
menyebabkan Desa Saketa menjadi sebuah desa dengan insiden malaria tinggi. Kontak antara nyamuk dengan petani di perkebunan sulit dihindarkan, karena sekitar 70 % KK di Saketa merupakan petani kebun yang sewaktu-waktu juga menjadi pengolah/pencari kayu di hutan. Secara nasional, 29,8% dari angka baru kasus malaria berasal dari kelompok pekerjaan petani/pengolah kebun (Riskesdas 2010). Proporsi kelompok kerja untuk kasus malaria baru di Halmahera Selatan bisa mencapai angka yang jauh lebih tinggi, mengingat proporsi petani kebun yang cukup besar. Berdasarkan paparan di atas, maka di perkebunan, terdapat beberapa kondisi yang perlu diperhatikan berkaitan dengan potensinya sebagai tempat transmisi malaria yaitu 1). Kelimpahan dan keanekaragaman Anopheles yang tinggi, 2). Perilaku mengisap darah Anopheles yang berlangsung sepanjang tahun dan dan sepanjang malam, 3). Tersedianya berbagai jenis habitas perkembangbiakan yang tersedia sepanjang tahun, 4). Jenis profesi dan aktivitas masyarakat yang lebih banyak berlangsung di perkebunan. Ke empat faktor tersebut menyebabkan intensitas dan ferkuensi kontak antara nyamuk dengan manusia berlangsung lebih sering di perkebunan. Oleh sebab itu berdasarkan hasil analisis terhadap bioekologi Anopheles spp di Saketa dapat disimpulkan bahwa “terjadinya transmisi parasit dari vektor ke manusia, tidak hanya berlangsung di rumah atau di lingkungan permukiman saja, tetapi sesungguhnya juga berlangsung terutama di perkebunan, selain itu juga terjadi di semak dan hutan dengan intensitas yang mungkin melebihi di permukiman”. Dengan demikian, maka perlu dirumuskan suatu kebijakan dan tindakan yang tidak lagi hanya berfokus pada lingkungan permukiman semata-mata, tetapi lebih difokuskan pada pengendalian berbasis profesi masyarakat dengan mempertimbangkan kegiatan masyarakat di lokasi atau wilayah yang memiliki potensi sebagai tempat habitat perkembang biakan vektor.
142
Kondisi lingkungan dan jenis ekosistem yang berpeluang menjadi faktor risiko penularan malaria di Desa Saketa secara garis besar dapat di rumuskan dalam suatu kerangka sebagai berikut. Anopheles • Curah hujan tinggi • retensi tanah rndh • Sanitasi/drainase kebun buruk • Jns alat pengangkutan
Kelimpahan keanekaragaman Anopeles spp
• Kelembaban • Suhu, angin • Ketersediaan genangan
Perilaku istirahat
• HABITAT BERAGAM • Temporal & kontinyu • Keragaman tinggi Pencegahan : Anti nyamuk, Kelambu, Sanitasi lingk.
• Perkebunan • Hutan • Semak • Permukiman
Anopheles rendah Pengetahuan, Sikap & Perilaku (PSP)dan Profesi masyarakat
• Pelayanan kesehatan
Kasus malaria
Transmisi tdk hanya terjadi di permukiman, ttp juga di :
“Kebun, hutan & semak”
1. PARADIGMA TRANSMISI VEKTOR 2. MANAJEMEN PENGENDALIAN VEKTOR 3. KONFIRMASI SPESIES VEKTOR
Gambar 36 Kondisi lingkungan dan jenis ekosistem yang berpeluang menjadi faktor risiko penularan malaria di Desa Saketa
143
6. 1. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1.1 Kesimpulan Di Desa Saketa terdapat 10 spesies Anopheles yaitu An. barbumbrosis, An. farauti, An. hackeri, An. indefinitus, An. kochi, An. koliensis, An. punctulatus, An. subpictus, An. tessellatus, dan An. vagus yang terdapat pada pada empat jenis ekosistem yang berbeda yaitu permukiman, perkebunan, semak dan hutan. Jumlah Anopheles yang tertinggi terdapat pada ekosistem perkebunan, diikuti ekosistem hutan, semak dan permukiman, pada ke empat jenis ekosistem tersebut An. kochi dan An. indefinitus merupakan dua spesies yang lebih dominasi. Habitat perkembangbiakan Anopheles di Saketa terdiri dari 8 jenis yaitu kobakan, kubangan, parit, tapak ban/tapak hewan, kolam, lagun, kontainer bekas dan kaleng bekas, Tipe habitat yang paling banyak ditemukan adalah kubangan tetapi yang paling banyak mengandung nyamuk adalah kobakan. Jumlah spesies Anopheles yang ditemukan dari berbagai tipe habitat perkembangbiakan terdiri dari enam spesies yaitu An. indefinitus, An. farauti, An. kochi, An. punctulatus, An. subpictus dan An. vagus. Anopheles indefinitus dan An. farauti ditemukan di kobakan, kubangan, kolam, lagun, parit dan tapak ban, An. kochi ditemukan di kobakan, kubangan, kolam dan tapak ban. Sementara itu An. vagus ditemukan di tapak ban dan kobakan, sedangkan An. subpictus hanya di kubangan dan An. punctulatus hanya ditemukan di tapak ban. Aktivitas mengisap darah sepanjang tahun yang puncaknya mulai terjadi pada bulan Februari hingga Agustus 2011, aktivitas mengisap darah berlangsung pada bulan April, Mei dan Juni. Aktivitas mengisap darah
tertinggi perjam
menunjukkan pola yang sangat berfluktuasi, tetapi secara umum memiliki puncak ganda yang lebih banyak berlangsung sebelum pukul 21.00-24.00 (puncak pertama) yang berlanjut setelah tengah malam (puncak II) dengan puncak yang lebih rendah jika dibandingkan dengan puncak I. Nyamuk Anopheles yang istirahat pagi ditemukan lima spesies yaitu, An, indefinitus, An. kochi, An. tessellatus, An. vagus dan An. barbumbrosus. Lima spesies istirahat di perkebunan yaitu An, indefinitus, An. kochi, An. tessellatus, An.
144
vagus dan An. barbumbrosus dan tiga spesies istirahat pada ekosistem semak yaitu An, indefinitus, An. kochi, dan An. tessellatus. Pemilihan habitat untuk perkembangbiakan, habitat mencari darah, dan habitat untuk istirahat nyamuk Anopheles di lakukan paling banyak di perkebunan, diikuti hutan, semak dan permukiman. 6.1.2 Saran 1. Keberadaan spesies punctulatus grup perlu diperhatikan secara khusus karena meskipun kelimpahannya rendah, grup ini merupakan vektor malaria di Papua, Maluku dan Maluku Utara. 2. Perlu mengubah pola pikir stakeholder untuk lebih memperhatikan situs-situs terjadinya transmisi parasit bukan hanya di lingkungan rumah dan sekitar permukiman dan juga lebih memperhatikan potensi tular vektor yang didasarkan pada jenis profesi masyarakat yang lebih berpeluang kontak dengan vektor. 3. Pengendalian malaria perlu melibatkan masyarakat dan pihak terkait dengan lebih memperluas jangkauan bukan hanya di lingkungan permukiman saja, tetapi juga pada tipe-tipe ekosistem tertentu di sekitar permukiman terutama yang dieksploitasi secara rutin oleh masyarakat lokal. 4. Perkebunan merupakan sumber utama untuk habitat perkembangbiakan, habitat mencari darah dan habitat untuk istirahat nyamuk Anopheles, oleh sebab itu perlu dilakukan pengendalian fisik secara rutin dengan menimbun kobakan, kubangan dan terutama tapak ban yang sering ditemukan di perkebunan, dan mengalirkan air parit yang tersumbat. 5. Pembangunan jalan tani yang menjangkau seluruh areal perkebunan mutlak diperlukan, karena selain memudahkan mobilisasi kebutuhan dan produk perkebunan, juga akan meminimalisir terbentuknya genangan-genangan dari jejak ban mobil atau motor yang menjadi penyebab utama timbulnya genangan. 6. Perlu upaya untuk mengembangkan perilaku masyarakat untuk mencegah dan mengurangi kontak dengan vektor terutama yang bekerja hingga malam hari. 7. Perlu pemantauan parasit secara berkesinambungan dengan memperhatikan bulan-bulan terjadinya waktu puncak mengisap darah nyamuk Anopheles untuk mencegah terjadinya outbreak malaria.
145
146
DAFTAR PUSTAKA UMUM
147
148
DAFTAR PUSTAKA Aditama Tj.Y. 2009. Program pengendalian penyakit yang ditularkan vektor. Prosiding. Seminar Nasioanl hari nyamuk 2009 “Partisipasi masyarakat dalam program pengendalian nyamuk terpadu” Bogor. Alonso D, Bouma MJ, Pascual M. 2010. Epidemic malaria and warmer temperatures in recent decades in an East African Highland. J. Proc. Roy. Soc. 278(712):1661-1669. Alto, BW, Griswold MW & Lounibos L. Philip. 2005. Habitat complexity and sexdependent predation of mosquito larvae in containers. J. Oecologia. 146:300–310. Amerasinghe PH, Amerasinghe FP, Konradsen F, Fonseka KT, Wirtz RA. 2009. Malaria vectors in a traditional dry zone village in Sri Lanka. Am. J. Trop. Med. Hyg. 60(3):421-9. Amerasinghe FP, Kondradsen F, Hoek WV, Amerasinge HP, Gunawerdena JPW, Fonseka KT, Jayasinghe G. 2001. Small irrigation tanks as a source of malaria mosquito vectors: a study in North-Central Sri Lanka. International Water Management Institute. Research report 57. Colombo. Sri Lanka. Amerasinghe FP, Amerasinghe PH, Peiris JS, Wirtz RA. 1991. Anopheline ecology and malaria infection during the irrigation development of an area of the Mahaweli Project, Sri Lanka. Am. J. Trop. Med. Hyg. 45(2):226-35. Anonim, 2005. West Nile Virus. How Dairies can help ”fight the bite” Univ. of California. Kings County. http://cekings.ucdavis.edu Anonim, 2005. Beyond Pesticide. E Street SE, Suite 200 Washington, DC.org www.beyondpesticides.org Anonim. 2007. Thermal Stress and Air Pollution-Related Diseases. http://www. grida.no/climate/ipcc. Bangs MJ, Rusmiarto S, Anthony RL, Wirtz RA, Subianto DB. 1996. Malaria transmission by Anopheles punctulatus in the highlands of Irian Jaya, Indonesia. Am. Trop. Med. Parasitol. 90(1):29-38. Barodji, Damar TB, Boesri H, Sudini, Sumardi. 2003. Bionomik vektor dan situasi malaria di Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Yogjakarta. J. Ekol. Kes. 2(2): 209-216. Beebe NW, Cooper RD. 2002. Distribution and evolution of the Anopheles punctulatus group (Diptera: Culicidae) in Australia and Papua New Guinea. Int. J. Parasitol .32(5):563-74. Beebe NW, Bakote’e B, Ellis JT, Cooper RD. 2000. Differential ecology of Anopheles punctulatus and three members of Anopheles farauti complex of mosquitoes on Guadalcanal Solomon Islands identify by PCR-RLFP analysis. J. Med. Vetr. Entomol. 14:308-312. Bengen DG, 1999. Analisis statistik multivariabel/multidimensi. PSPSPL. IPB. Bogor Bhalala H, Arias J. 2008. The ZumbaTM Mosquito Trap, a novel surveylance tolls for host seeking mosquito. Fairfax county Health Department. MaintSt, Fairfax. Bhandari GP. 2010. Climate change and health research in Nepal. The proceeding. South-East Asia Regional Confrence on Epidemiology. WHO, regional office for South-East Asia. New Delhi.
149
Blaustein L, Chase JM. 2007. Interactions between mosquito larvae and species that share the same trophic level. Annu. Rev. Entomol. 52:489-507. Bockarie MJ, Kazura JW. 2002. Lymphatic filariasis in Papua New Guinea; Prospects for elemination. J. Med. Microbiol. Immunol. 192:9-14. Boesri H. 2007. Standar penangkapan vektor dalam rangka penelitian penularan Malaria di Indonesia. Balai Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (BPPVRP). Balitbangkes. Depkes. RI. Boewono DT, Nalim S, Suloarto T, Mujiono, Sukarno. 1997. Penentuan vektor malaria di Kecamatan Teluk Dalam, Nias. Cermin Dunia Kedokteran. 118:9-14. Boewono DT, Ristiyanto. 2004. Studi bioekologi vektor malaria di Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Simposium Nasional I Laporan Hasil Penelitian Litbangkes, 2004. Depkes RI. Jakarta. Bowolaksono A. 2001. Pengaruh pH terhadap perkembangan nyamuk Anopheles farauti Lav. di dalam kondisi laboratorium. Maj. Parasitol. Ind. 14(1):614. Boyd CE. 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Alabama Agricultureal Experiment Station, Auburn University, Alabama. BPS Kabupaten Halmahera Selatan. 2010. Gane Barat dalam Angka. BPS Hal Sel. Labuha Briegel H, 2003. Physiological base of mosquito ecology. J. Vect. Ecol. 28(1):111. Bruce-Chwatt LJ, 1985. Essesntial Malariology. 2nd ed. John Wiley & Son. New York. Budasih, H. 1993. Beberapa aspek ekologi habitat perkembangbiakan An. sundaicus Rodenwaldt dalam kaitannya dengan epidemiologi malaria di desa Labuan Lombok, Lombok Timur [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. Burkot TR, Dye C, Graves PM. 1989. An analysis of some factors determining the sporozoite rates, human blood indexes, and biting rates of members of the Anopheles punctulatus complex in Papua New Guinea. Am. J. Trop. Med. Hyg. 40(3):229-34. Carlson. DA, Scweek CE, Brenner JF. 1992. Carbondioksida released from skin; effect of temperature and insect repellents. J. Med. Entomol. 29(20):165170. Chang MS, Chun M, Hwa, Teng HJ, Chen CF, Chen YC, Jeng CR. 2008. The resting sites and blood-meal sources of Anopheles minimus in Taiwan. J. Mal. 7(105):2875-2877 Chang MS, Hii J, Buttner P, Mansoor F. 1997. Changes in abundance and behaviour of vector mosquitoes induced by land use during the development of an oil palm plantation in Sarawak. J. Trans. Ryl. Soc. Trop. Med. Hyg. 91(4);382-386. Cleements AN. 1999. The biology of mosquito. Vol 2. Sensory reception and behavior. CABI publishing. University Press. Cambridge.
150
Coll-Seck AM., 2005. Malaria prevention and control strategy 2006-2010, the African Medical and Research Foundation, Produced by the AMREF Department of Communication Cooper RD, Frances SP, Sweeney AW.1995. Distribution of members of the Anopheles farauti complex in the northern territory of Australia. J. Am. Mosq. Ctrl. Assoc.11(1):66-71. Cooper RD, Frances SP. 2000 Biting sites of Anopheles koliensis on human collectors in Papua New Guinea. J. Am. Mosq. Ctrl. Assoc. 16(3):266-7. Cooper RD, Frances SP. 2002. Farauti Malaria vectors on Buka and Bougainville Islands, Papua New Guinea. J. Am. Mosq. Ctrl. Assoc. 18(2):100-106. Craig AS, Saptoro R, Susapto D, Munif A, Andris H, Barbara KA, Sukowati S. 2009. Bionomics of Anopheles spp. (Diptera: Culicidae) in a Malaria Endemic Region of Sukabumi, West Java. J. Vect. Ecol. 34(2):200-207. Dale P, Sipe N, Sugianto, Hutajulu B, Ndoen E, Papayungan M, Saikhu A, Prabowo AT. 2005. Malaria In Indonesia: A Summary Of Recent Research Into Its Environmental Relationships. Southeast Asian. J. Trop. Med. Pub. Hlth. 36(1):1-13 Depkes RI 1999. Modul entomologi malaria 3. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Depkes RI. 2003. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI, Situasi malaria, data dan informasi malaria. Depkes RI. Jakarta. Depkes RI 2001. Pedoman ekologi dan aspek perilaku vaktor. Ditjen. PPM-L. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Dini AMV, Fitrniany RN, Wulandari RA. 2010. Faktor iklim dan angka inseiden demam berdarah dengeu di Kabupaten Serang. Bulletin Makara kesehatan.14(1):31-38. Ditjen P2M dan PLP 1997. Vektor malaria di Indonesia. Departemen Kesehatan RI. Jakarta [DPDS] 2010. Data potensi Desa Saketa Kecamatan Gane Barat, Kabupaten Halmahera Selatan. Kantor Desa Saketa. [DKPKHS]. 2010. Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Selatan. Laporan tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Selatan. Dinkes Hal Sel. Labuha Duraiappah AK, Naeem S. 2005. Millenium Ecosystem Assesment ; Ecosystem and Human Well-Being, biodiversity sinthesys. World Recouses Institute Washington. Eldridge BF, Edman JD. 2000. Medical entomology; a Textbook on public health and veterinary problem caused by arthropods. Kluwer Academic Publisher. Dordrecht. Epstein PR, Diaz HR, Elias S, Grabherr G, Graham NE, Martens WJM, Thomson EM, Susskind J. 1998. Biological and physical signs of climate change: focused on mosquito borne diaseaes. Bull. Am. Metr. Soc. 79:409-416. Favaro, EA, Mondini A, Dibo, MR, Barbosa AAC, Eiras AE, Neto FC. 2008. Assessment of entomological indicators of Aedes aegypti (L.) from adult and egg collection in Sao Paulo, Brazil. J. Vect. Ecol. 33(1):8-16.
151
Fischer S, Scheigmann N. 2008. Association of immature mosquitoes and predatory insects in rain pools. J. Vect. Ecol. 33(1):46-55. Foley DH, Bryan JH. 2000. Shared salinity tolerance invalidates a test for the malaria vector Anopheles farauti ss. on Guadalcanal, Solomon Islands [corrected]. J. Med. Vet. Entomol. 14(4):450-2. Foley D, Ebsworth P, Ristyanto B, Bryan JH.2000. Anopheles kochi in Irian Jaya detected by size polymorphism of polymerase chain reaction-amplified internal transcribed spacer Unit 2. J. Am. Mosq. Ctrl. Assoc. 16(2):164-5. Fusco P. 2000. Connecticut Mosquito Management Program. Connecticut Departement of Environmental Protection-Wild life Division. Gani A. 2000. Economic impact of infectious diseases. Regional action conference for surveillance and response to infectious diseases outbreaks in South East Asia. Denpasar, Bali:WHO/Namru/MOH-Indonesia, 11-14 September, 2000. Garjito TA, Jastal, Wijaya Y, Lili, Chadijah S, Erlan A, Rosmini, Samarang, Udin Y, Labatjo Y. 2004. Studi bioekologi nyamuk Anopheles di wilayah pantai Timur Kabupaten Parigi-Moutong, Sulawesi Tengah. Bul. Penel. Kes. 32 (2):49-61 Genisa AS. 2006. Keanekaragaman fauna ikan di perairan mangrove Sungai Mahakam, Kalimamntan Timur. J. Os. Limnol. 41: 39-53 Gillies MT, De Meillon B 1968. The Anophelinae of Africa south of the Sahara (Ethiopian zoogeographical region). Johannesburg: The South African Institute for Medical Research; 1968. Gratz NM, Steffe R, Cocksedge W. 2000. Why aircraft disinfection? Bull. WHO. 78(8):995-1004. Grieco JP, Rejmánková E, Achee NL, Klein CN, Andre R, Roberts D. 2007. Habitat suitability for three species of Anopheles mosquitoes: larval growth and survival in reciprocal placement experiments. J. Vect. Ecol. 32(2):17687. Hadi UK, Koesharto FX. 2006. Nyamuk. Di dalam: Sigit HS, Upik KH. Editor. Hama permukiman Indonesia: Pengendalian, Biologi dan Pengendalian. UKPHP FKH-IPB. Bogor. Hal 23-51. Harijanto P.N. 2000. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan Penanganan Malaria. EGC. Jakarta. Hii JL, Smith T, Mai A, Ibam E, Alpers MP. 2000. Comparison between anopheline mosquitoes (Diptera: Culicidae) caught using different methods in a malaria endemic area of Papua New Guinea. Bull. Entomol. Res. 90(3):211-9. Hoedoyo, R. 1998. Morfologi daur hidup dan perilaku nyamuk dalam parasitologi kedokteran, Edisi ke-3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta Imvoinpil DE, Keating J, Mbogo Cm, Potts MD, Chowdhury RR, Beier JC. 2008. Abundance of immature Anopheles and culicines (Diptera: Culicidae) in different water body types in the urban environment of Malindi, Kenya. J. Vect. Ecol. 33(1): 107-116
152
Jatsal, Wijaya Y, Wibowo T, Patonda M, 2003. Beberapa aspek bionomik vektor malaria di Sulawesi Tengah. J. Ekol. Kes. 2(2):217-222 Jones KE, Patel NG, Levy MA, Stroygard A, Balk D, Gittleman JL, Daszak P. 2008. Global trends ini emerging infectious disease, Nature. 451:990-994. Juliawati R. 2008. Studi perilaku nyamuk Anopheles dan kaitannya dengan epdemiologi malaria di sekitar Pusat Reintroduksi urang utan Nyaru Menteng, Palangkaraya, Kalimatan Tengah. [Tesis]. ENK-IPB. Bogor. Juri MJD, Almirón WR, Claps GL. 2010. Population Fluctuation of Anopheles (Diptera: Culicidae) in Forest and Forest Edge Habitats in Tucumán Province, Argentina. J. Vect. Ecol. 35(1):28-34. Kaliannagoun K, Jambulingam P, Natarajan R, Shriram AN, Das PK, Sehgal SC. 2005. Altered environment and risk of malaria outbreak in South Andaman, Andaman & Nicobar Islands, India affected by tsunami disaster. J. Malaria, 4(32):1-9. Kandun IN. 2008. Kebijakan nasional pengendalian penyakit yang ditularkan nyamuk. Keynote speaker Direktur Jendral PP&L Depkes RI. Disampaikan pada simposium & seminar nasional Asosiasi Pengendalian Nyamuk Indonesia (APNI) di FK Unhas. Makassar. Kemenkes RI 2010. Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar, Riskesdas 2010.Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Kemenkes RI. Jakarta 2010. Kemenkes RI 2011. Kementerian Kesehatan RI. Propil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta Kern WH, Jr. 2007. Some Small Native Freshwater Fish Recommended for Mosquito and Midge Control in Ornamental Ponds, Entomology and Nematology Department, Ft. Lauderdale Research and Education Center, Cooperative Extension Service, Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida, Ft. Lauderdale, FL. http://edis.ifas.ufl.edu. Killeen GF, Fillinger U, Kiche I, Gouagna LC, Knols BG. 2002. Eradication of Anopheles gambiae from Brazil: lessons for malaria control in Africa. Lancet Infect Dis.(2):618-27 Kirnowardoyo S. 1985. Status of Anopheles malaria vectors in Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Public. Health. 16(1):129-32. Koenraadt. CJM, Paaijmans. KP, Schneider. P, Githeko. AK, & Takken. W. 2006. Low larval vector survival explains unstable malaria in the western Kenya highlands. .J. Trop. Med. Int. Hlth. 11(80:1195-1205. Kweka EJ, Zhou G, Gilbreath TM, Afrane Y, Nyindo M, Githeko AK, Yan G. 2010. Predation efficiency of Anopheles gambiae larvae by aquatic predators in western Kenya highlands. J. Parasitol. vect. 4(128):1-7 Lestari EW, Sukowati S, Soekodjo, Wigati RA. 2007. Vektor malaria di Bukit Menoreh, Purworejo, Jawa Tengah. Med. Lit.Bang.Kes. 12(1):30-35. Liu C, Pitts R. J, Jonathan D. B, Jones P.L, Wang G, Zwiebel LJ. 2010. Distinct olfactory signaling mechanisms in the malaria vector mosquito Anopheles gambie. J. Bio. 8(8):1-17.
153
Louca V, Lucas MC, Green C, Majambere M, Fillinger U, Lindsay AW. 2009. Role of fish as predators of mosquito larvae on the floodplain of the Gambia River. J. Med. Entomol. 46(3): 546–556. Ludwiq JA, Reynold JF, 1988. Statistical ecology a primer on methods and computing. John Wiley & Sons, New York. Mardiana, Shinta, Wigati, Enny WL, Sukijo. 2002. Berbagai jenis nyamuk Anopheles dan tempat perindukannya yang ditemukan di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Med. Lit. Bang. Kes. 12(4):30-35 Mardiana, Perwitasari D. 2010. Habitat yang potensial untuk Anopheles vagus di Kecamatan Labuan dan Kecamatan Sumur, Pandeglang Provinsi Banten. J. Ekol. Kes. 9(1):39-45. Mardihusodo SJ. 1997. Aplikasi pengindraan jauh dan sistem informasi geografi untuk pemetaan dan pengendalian Malaria. Seminar Nasional Pengindraan Jauh untuk Kesehatan. Pemantauan dan Pengendalian Penyakit terkait Lingkungan. UGM. Yogjakarta Marques AC. 1987. Human migration and the spread of malaria in Brazil. Parasitol. Today. (3):166-170. Marten GG, Nguyen M, Ngo G. 1999. Copepod predation on Anopheles quadrimaculatus larvae in rice field. J. Vect. Ecol. 25(1)1-6. Mendis GAC, Rajakaruna J, Weerasinghe S, Mendis C, Carter R, Mendis KN. 1993. Infectivity of Plasmodium vivax and P. falciparum to Anopheles tessellatus; relationship between oocyst and sporozoite development. J. Trans. Ryl. Soc. Trop. Med. Hyg. 87(1):3-6. [MKKSRI & WHO]. Malaria Situation – Strategic Plan in Roll Back Malaria (Gebrak Malaria) 2001-2005. Jakarta, MOH & Social Welfare Republic of Indonesia. 2001. Minakawa, N, Mutero CN, Guithure JI, Beier JC, Yan G. 1999. Spatial distribution and habitat charakterisation of anophelinae mosquito larvae in western Kenya. Am. J. Trop. Med. Hyg. (61):1010-1016. Mogi MK, Miyagi, Toma T, Hasan M, Abadi K, Syafruddin D. 1995. Age Structure of Anopheles subpictus (Diptera: Culicidae) Collected by a Light Trap in Halmahera, Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth. 26(4):760-766. Moreno JE, Runio-Palis Y, Paez E, Peres E, Sances V. 2007. Abundance, biting behaviour and parous rate of Anopheline mosquito species in relation to malaria incidence in gold-mining areas of southern Venezuela. J. Med. Vet. Entomol. 21: 339–349. Mulyadi 2010. Distribusi spatial dan karakteristik habitat perkembangbiakan Anopheles spp. serta peranannya dalam penularan malaria di Desa Doro kabupaten Halmahera Selatan [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Munga S, Minakawa N, Zhou G, Githeko AK, Yan G. 2007 Survivorship of immature stages of Anopheles gambiae s.l. (Diptera: Culicidae) in natural habitats in western Kenya highlands. J. Med. Entomol. 44:758-764.
154
Munif A, Sudomo, Sukirno, 2007. Bionomik Anopheles Spp. di daerah endemis malaria di Kecamatan Lengkong, Kabupaten Sukabumi. Bul. Penel Kes. 35(2):57-80. Munif A, Rusmioarto S, Aryati Y, Andris H, Stoop CA. 2008. Konfirmasi status An. vagus sebagai vektor pendamping saat kejadian luar biasa malaria di Kabupaten Sukabumi, Indonesia. J. Ekol. Kes. 2(1):689-696. Ndoen E, Wild C, Dale P, Sipe N, Dale M. 2010. Relationships between anopheline mosquitoes and topography in West Timor and Java, Indonesia. J. Mal. 9(242):1-9. Nurhayati, S., 2006. Teknologi Nuklir dalam Pengendalian Vektor Penyakit Malaria. Informasi Iptek. Bulletin Alara. 8(1):43-48. Oaks SC Jr, Mitchell VS, Pearson GW, Carperter CCJ, 1991. Malaria Obstacles and Opportunities. Ins. Of Med. National Aca Press. Washington DC. O’Connor CT, Soepanto A. 2000. Kunci bergambar untuk Anopheles Maluku dan Papua, Dit-Jen P2M & PL Depkes RI. Jakarta Oo TT, Storch V, Becker N. 2002. Studies on Bionomic of Anopheles dirus (Culicidae: Diptera) in Mudon, Mon State Myanmar. J. Vec. Ecol. 27(1):4445. Oyewole IO, Awolola TS, Ibidapo CA, Oduola AO, Okawa OO & Obansa JA. 2007. Behavior and population dynamic of major anopheline vectors in a malaria endemic area in southern Nigeria. J. Vect. Borne. Dis. 44(3); 56-64. Patz JA, Graczyk TK, Geller N, Vittor AY. 2000. Effects of environmental change on emerging parasitic diseases. Int. J. Parasitol. 30(12-13):13951405. Petney T, Sithithaworn P, Satrawaha R, Warr CG, Andrews R, Wang YC, Feng CC. 2009. Potential Malaria Reemergence, Northeastern Thailand. J. Emerg. Infect. Dis. 15(8): 1330–1331. Pluess B, Ivo Mueller, Levi D, King G, Smith TA, LeAmbert, G, Goff GL, Brengues C, Schaffner F, Fontenille D. 2007. Biology and dymanic of potential malaria vector in Southern France. J. Mal. 6(18):1-9. Poncon N, Balenghien T, Toty C, Ferre JP, Thomas C, Dervieux A, L’Ambert G, Schaffner F, Bardin O, Fontinelle D, 2007. Biology and dynamics of potential malaria vektors in Southern France. J. Malaria , V. (6)18:1-9. Pongsiri MJ, Roman J, Ezenwa VO, Goldbreg TL, Koren HS, Newbold SC, Ostfeld RS, Pattanayak SK & Salkel DJ. 2009. Biodiversity loss affect global disease ecology. J. Bio. Sci. 59(11):945-954 [PSKGB] Puskesmas Saketa Kecamatan Gane Barat. 2010. Laporan kerja Puskesmas Saketa Kecamatan Gane Barat, Kabupaten Halmahera Selatan. Prakash A, Bhattacharryya DR, Mohapatra PK, Mahanta J. 2004. Role of the prevalent Anopheles species in the transmission of Plasmodium falciparum and P. vivax in Assam State, north-eastern India. Ann. Trop. Med. Parasitol. 98:559-567. Rahmawaty, 2009. Keragaman jenis, perilaku, dan habitat Anopheles spp. di Desa Lifuleo Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. [Tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
155
Rawlins C, Clark G G, Martinez R.1991. Effects of single introduction of Toxorhynchites moctezuma upon Aedes aegypti on a Caribbean Island. J. Am. Mosq. Ctrl. Assoc. 7(1):7-10 Romi R, Sabatinelli G, Majori G. 2001. Could Malaria reappear in Italy. J. Infect Dis. 7(6):915-919. Rueda LM, Pecor JE, Harrison BA, 2011. Updated distribution records for Anopheles vagus (diptera: Culicidae) in the Repoblic of Philippines, and consideration regarding its secondary vector roles in Southeast Asia. J. Trop. Biomed. 28(1):181-187. Samarawickrema WA, Parkinson A, Kere DN, Galo O. 1993. Seasonal abundance and biting behaviour of Anopheles punctulatus and An.koliensis in Malaita Province, Solomon Islands, and a trial of permethrin impregnated bednets against malaria transmission. J.Vet. Entomol. 6(4):371-378 Santoso NB, Upik Kesumawati Hadi, SH Sigit, FX Koesharto. 2004. Karakteristik Habitat Larva Anopheles Maculatus & Anopheles Balabacencis Di Daerah Endemik Malaria, Kecamatan Kokap, Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta. Seminar Nasional Entomologi dalam Perubahan lingkungan dan Sosial, Perhimpunan Entomologi Indonesia. Bogor. Sattler MA, Mtasiwa D, Kiama M, Premji Z, Tanne M, Killeen GF, Lengele C. 2005. Habitat characterization and spatial distribution of Anopheles sp. mosquito larvae in Dar es Salaam (Tanzania) during an extended dry period. Malaria J. 4(4);10-25. Schellenberg D, Menendez C, Aponte J, Guinovart C, Mshinda H, Tanner M, Alonso P. 2004. The Changing Epidemology of Malaria in Ifakara Town, Soutern Tanzania. J. Trop. Med. Int. Hlth, 9(1):68-76. Sembiring TUJ. 2005. Karakteristik Habitat Larva Anopheles sundaicus (Rodenwaldt) (Diptera: Culicidae) di Daerah Pasang Surut Asahan, Sumatera Utara [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Service MW. 1976. Mosquito ecology. Applied science publishers Ltd. London. Service WM, 1993. Medical Entomology for Student, part 2: Anopheline Mosquitoes. Second Edition. Cambridge University. Sharma SK, Hamzakoya KK, 2001. Geographical spread of Anopheles stephensi, vector of urban malaria, and Aedes aegypti, vector of dengue/DHF, in Arabian Sea Islands of Lakshadweep, India. Dengue Bull. (25):88-91. Shinta, Sukowati S & Mardiana. 2003. Komposisi spesies dan dominasi nyamuk Anopheles di daerah pantai Banyuwangi, Jawa Timur. Med. Lit. Bang. Kes. 13(3):1-8. Setyaningrum E, Murwani S, Rosa E & Andananta K. 2008. Studi ekologi perindukan nyamuk vektor malaria di Desa Way Muli, Kecamatan Rajabasa lampung Selatan. Di dalam : Proseeding dalam Seminar hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat Unila. 292-313. Soekirno M, Santiyo K, Nadjib AA, Suyitno, Mursiyatno, Hasyimi M, 1997. Fauna Anopheles dan status, pola penularan serta endemisitas malaria di Halmahera, Maluku Utara. Cermin Dunia Kedokteran. 118:15-24. Soetjipto, 1993. Pengantar Ekologi Hewan. Gadjah Mada Press. Yogjakarta
156
Stoops CA, Gionar YR, Shinta, Priyanto S, Rahmat A, Elyazar IF, Sukowati S. 2008. Remotely-sensed land used pattern and the presence of Anopheles larva (Diptera: Culicidae) in Sukabumi, West Java, Indonesia. J. Vect. Ecol. 33(1):30-39. Stoops CA, Yoyo R. Gionar, Shinta, Sismadi P, Iqbal.R.F. Elyazar, Bangs MJ, Sukaowati S. 2008. Environmental factors Associated with spatial and temporal distribution of Anopheles (Diptera:Culicidae) larvae in Sukabumi, West Java. Indonesia. J. Med. Entomol. 44:543-567. Sukadi W, Rogayah H. 2009. Monitoring of insecticida resistence in Indonesia. Makalah. IRM Workshop, Hanoi-Vietnam. Sukowati S. 2005. Manajemen vektor terpadu dan penelitian vektor di Indonesia. Makalah utama workshop sehari Pengendalian Vektor. Jakarta Sukowati, S. 2008. Masalah keragaman spesies vektor malaria dan cara pengendaliannya di Indonesia. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Entomologi. Badan Litbangkes Depkes RI. Jakarta. Sukowati, 2009. Malaria vectors in Indonesia. Makalah Laporan MTC. Kemenkes-RI. Jakarta. Sukowati, S. 2010. The impact of climate change on vector-borne diseases in Indonesia. Proceeding in South-east Asia Regional Conference on Epidemiology. WHO. New Delhi. Sukowati S. 2010a. Perilaku verktor malaria di Halmahera Selatan. Litbangkes, Makalah Laporan MTC. Kemenkes-RI. Jakarta. Sukowati, 2010b. The impact of Climate change on vector-borne disease in Indonesia. Proceeding in South-East Asia Regional Conference on Epidemiology. WHO, regional office for South-East Asia. New Delhi. Sumantri RA, Iskandar DT, 2005. Kajian kebaragaman genetik nyamuk Anopheles barbirostris dan An. vagus di dua daerah endemik penyakit malaria di Jawa Barat. J. Mat. Sains 10(2):37-44. Surendran SN, Jude PJ, Ramasamy R. 2011. Variations in salinity tolerance of malaria vectors of the Anopheles subpictus complex in Sri Lanka and the implications for malaria transmission. J. Parasitol. Vect. 24;4:117. Suwito, Hadi UK, Singgih SH, Sukowati S. 2010. Distribusi spatial dan bioekologi Anopheles spp. di Lampung Selatan dan Pesawaran, Provinsi Lampung. J. Ekol. Kes. 9(3):1303-1310. Syafruddin D, Hidayat APN, Asih PBS, Hawley WA, Sukowati S, Lobo NF. 2010. Detection of 1014 kdr mutation in four major Anopheline malaria vectors in Indonesia. Malaria J. 9(315):1-8. Takken W. Odor-mediated behavior of Afrotropical mosquitoes. Annu. Rev. Entomol. 44:131-157 Tarumengkeng R. 2001. Biologi dan Perilaku Rayap. PSIH IPB. Bogor. Taylor B. 1975. Observation on malaria vectors of the Anopheles punctulatus Complex in the British Solomon Island Protectorate. J. Med. Entomol. 11:677-687 Tuno N, Okeka W, Minakawa N, tagaki M & Yan G. 2005. Survivorship of Anopheles gambiae sensu stricto (Diptera: Culicidae) Larvae in Western Kenya Highland Forest. J.Med. Entomol. 42(3):270-277.
157
U’din. 2005. Studi perilaku mengisap darah Anopheles spp. di Desa Segara Kembang Kecamatan Langkiti Kabupaten Ogan Komering Olu (OKU) Sumatera Selatan [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Voshell J, Reese Jr. 2002. A Guide to common freshwater invertebrates of North America. The McDonald and Woodward Publishing Company. Blacksburg, VA. Walsh JF, Molyneux DH, Birley MH. 1993. Deforestation: effects on vectorborne disease. J. Parasitol. 106:55-75 Wendsdorfer WH, McGregor I (1988). Malaria. Principle and practice of Malariology. 2 volumes. Churchill Livingstone Edinburg. Wharton RH & Eyles DE. 1961. Anopheles hackeri, a Vectór of Plasmodium knowlesi in Malaya. Science. 134(3474):279-280 [WHO], 1975. Manual on Practical Entomology in Malaria. Part I, Vector Bionomics and Organisation of Anti Malaria Activities. Geneva. [WHO] World Health Organisation. 1982. Manual on environmental management for mosquito control with special emphasis on malaria vectors, WHO Offset Publication No. 66. Geneva. [WHO], 2000. Expert Committe on Malaria, Twentieth Report, World Health Organization Tehnical Report Series 892, Geneva [WHO], 2002a. Malaria Entomology and Vektor Control (Learner’s guide), Thirth edition. Social Mobilization And Training Control, Prevention And Eradication Department Communicable Diseases Cluster World Health Organization. Geneva. [WHO]. 2002b. Regional Office for Europe, Copenhagen, Epidemological Surveilance of Malaria in Countries of Central and Eastern Europe and Selected Newly Independent State. EUR/02/503719, 1-20. [WHO]. 2006. Pan American Health Organisation (PAHO). Annual Malaria Case and Deaths in Americas, 1998-2006. http://www.paho.org. [WHO], 2003. Malaria entomology and vector control. WHO/CDS/CPE/SMT. Rev. Part II. [WHO]. 2007. Revised malaria control strategy and its Implementation. Report of an Intercountry Meeting. Chiangmai, Thailand Willis ER. 1947. The olfactory responses of female mosquo itoes. J. Econ. Ent. 40:769-778 Wilson MB & Reid JA.1949. Malaria among prisoners of war in Siam (“F” Force). J. Trans. Ryl. Soc. Trop. Med. Hyg . 43(3):257-272. Winarno, Hutajulu B. 2009. Review of National vector control policy in Indonesia. Directorat of VBDC DG DC & EH, MOH Indonesia. Makalah Laporan. Jakarta. Winderli PT, Thatcher BD, Santos JMM,. Scarpazza VM, Rodrigues IB, Rafael MS. 1998. Ecologic observation on Anopheline vector in the Brazilian Amazon. Am. J. Trop. Med. 59(2):235-335. Vythilingam I. 2010. Plasmodium knowlesi in humans: a review on the role of its vectors in Malaysia. Review Paper. J. Trop. Biomed. 27(1):1-12.
158
Voshell J, Reese J. 2002. A guide to fresh water invertebrates of North America. Mc Donald & Woodward Publishing Co. Blacksburg.VA. Yasuoka J, Levins R. 2007. Impact of deforestation and agricultural development on anopheline ecology and malaria epidemiology. Am. J. Trop. Med. Hyg. 76(3). 450-460 Yawan SF, 2006. Analisis faktor risiko kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Bosnik Kecamatan Biak Timur, Kabupaten Biak-Numfor Papua [Tesis]. Universitas Diponegoro, Semarang. Warrell DA and. Gilles HM, 1993. Essential malariology. 3rd ed. Edward Arnold, Hodder and Stoughton. London. Willis, ER. 1947. The olfactory responses of female mosquito. J. Econ. Entomol. 40:769-778. Winarno & Hutajulu B. 2009. Review of National vector control policy in Indonesia. Directorat of VBDC DG DC & EH, MOH Indonesia. Makalah Laporan. Jakarta Trung HD, Bortel WV, Sochanta T, Keokencahan K, Briet OJ, Coosemans M. 2005. Behavioural heterogeneity of Anopheles spesies in ecological different localities in Southeast Asia: a cahallenge for vector control. J. Trop. Med. Int. Hlth. 10(3): 251-262.
159
160
LAMPIRAN-LAMPIRAN
161
162
LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1 Fluktuasi jumlah penderita malaria selama 5 tahun di Desa Saketa dari tahun 2007-2010 Tahun 2007 2008 2009 2010
Penduduk
Pf
Pv
Mix
Total
1.921
236 88 198 177 699
73 98 46 16 233
124 118 36 20 298
433 304 280 213 1290
1.921 1.775 1.993
(2007-2010) Ket : Pf : Plasmodium falsivarum Pv : P. vivax Sumber : PKKS, 2010.
Lampiran 2. Peta kabupetan Halmahera Selatan
163
Lampiran 3. Lokasi titik sampling penangkapan nyamuk HLC (A) titik-titik sampling larva pada habitat nyamuk Anopheles (bawah) di Desa Saketa (B)
A
B
164
Lampiran 4. Proses penangkapan nyamuk dengan Human landing Collection (HLC), pada 4 jenis ekosistem di Desa Saketa, A=kebun, B=hutan, C = semak, D=permukiman
A
B
C
D
165
Lampiran 5 Proses koleksi larva di berbagai tipe habitat
166
Lampiran 6 Atas : Predator potensil larva yang sering dijumpai pada habitat perkembangbiakan nyamuk Abopheles spp. di Desa Saketa; Copepoda (kiri), Gerridae (kanan) Bawah : tanaman air (ganggang) di kolam
Cladophora
167
Lampiran 7. Habitat untuk istirahat pagi (atas) dan
penangkapan nyamuk istirahat pagi (bawah)
168
Lampiran 8
1.
Jumlah individu pada semua jenis Anopheles per ekosistem perbulan penangkapan di Desa Saketa dari September 2010Agustus 2011.
Jumlah hasil tangkapan An. barbumbrosus pada 4 jenis ekosistim
Ekosistem/bln
Sept
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Hutan Perkebunan Permukiman Semak
3 2 0 2
2 0 0 0
1 1 0 0
0 0 0 0
0 2 0 0
0 3 0 0
1 11 0 11
2 11 0 2
5 9 3 5
20 19 0 8
13 6 3 8
0 6 2 2
2.
Jumlah hasil tangkapan An. farauti pada 4 jenis ekoistem
Ekosistem/bln Hutan Perkebunan Permukiman Semak
3.
Sept
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
1 0 0 0
0 1 0 0
1 3 0 7
1 3 0 0
0 3 0 0
2 3 0 1
2 4 0 0
6 16 0 4
4 6 2 8
6 7 3 14
1 2 1 4
0 0 0 0
Mei
Jun
Jul
Agu
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
Jumlah hasil tangkapan An. hackeri pada 4 jenis ekosistem
Ekosistem/bln
Sept
Okt
Nov
Des
Hutan Perkebunan Permukiman Semak
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
Jan Feb 0 0 0 0
Mar Apr
0 0 0 0
1 0 0 0
1 0 0 1
4. Jumlah hasil tangkapan An. indefinitus pada 4 jenis ekosistem Ekosistem/bln
Sept
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Hutan
67
17
69
57
73
65
5
314
746
401
360
147
Perkebunan Permukiman Semak
18 0 23
8 3 1
33 11 44
121 0 112
15 6 17
45 11 14
15 0 1
248 47 449
167 55 102
39 19 473
33 15 28
125 69 158
4. Jumlah hasil tangkapan An. kochi pada 4 jenis eksosistem Ekosistem/bln
Sept
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Hutan Perkebunan Permukiman Semak
26 7 0 10
13 7 0 5
15 0 0 3
2 24 2 3
84 45 3 8
31 167 10 11
131 411 12 11
60 538 15 368
139 809 87 245
652 863 47 818
427 354 127 0
150 173 87 117
169
5. Jumlah hasil tangkapan An. koliensis pada 4 jenis ekosistem Ekosistem/bln
Sept
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Hutan Perkebunan Permukiman Semak
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
2 4 0 0
3 14 0 2
9 35 0 1
131 83 11 14
0 1 0 1
0 0 1 0
1 0 1 0
0 0 0 0
0 0 0 0
6. Jumlah hasil tangkapan An. punctulatus pada 4 jenis eskosistem Ekosistem/bln
Sept
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Hutan Perkebunan Permukiman Semak
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 1 0 0
0 0 0 0
3 6 0 0
2 4 0 1
0 3 1 3
0 0 0 1
0 1 0 0
0 0 0 1
0 0 0 0
7.
Jumlah hasil tangkapan An. subpictus pada 4 jenis ekosistem
Ekosistem/bln
Sept
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Hutan Perkebunan Permukiman Semak
35 10 3 10
5 2 0 4
2 0 0 1
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
20 1 0 0
11 6 1 4
2 1 0 0
0 1 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
8.
Jumlah hasil tangkapan An. tessellatus pada 4 jenis ekosistem
Ekosistem/bln Hutan Perkebunan Permukiman Semak
9.
Sept Okt 4 1 0 1
4 2 0 1
Nov
Des
Jan
Feb
3 0 0 0
4 9 0 0
7 8 0 1
0 2 0 1
Mar Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
4 24 0 1
12 53 20 28
100 104 24 113
5 28 11 36
4 5 3 7
1 48 1 23
Jumlah hasil tangkapan An. vagus pada 4 jenis ekosistem
Ekosistem/bln
Sept
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Hutan Perkebunan Permukiman Semak
18 8 0 30
23 21 0 7
1 0 0 3
0 2 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
62 7 11 3
6 9 11 12
170
Lampiran 9 Rekapitulasi hasil tangkapan nyamuk Anopheles perspesies pada 4 jenis ekosistem Ekoistem Hutan kebun Rumah Semak Jumlah
Ket :
vag 110 47 22 55 234
tes 148 284 59 212 703
sub
puc
75 21 4 19 119
5 15 1 6 27
kol
koc
ind
146 137 13 18 314
1730 3398 390 1599 7117
2321 867 236 1422 4846
hac far 2 0 0 1 3
24 48 6 38 116
bar
Jumlah
47 70 8 38 163
4608 4887 739 3408 13642
vag = An. vagus tes = An tessellatus sub = An. subpictus puc = An.punctulatus kol = An. koliensis koc = An. kochi ind = An. indefinitus hac = An. hackeri far = An. farauti bar = An. barbumbrosus
171
Lampiran 10 Kondisi beberapa parameter fisik pada habitat Anopheles jenis kubangan di Saketa 1. Nilai kuantitatif dan kualitatif beberapa jenis parameter fisik kimia habitat perkembangbiakan Anopheles jenis kubangan Kubangan ke
Suhu
pH
Salinitas
Kekeruhan
Aliran air
Substrat
1
28
6
0
Jernih
Tdk mengalir
Lumpur
2
27
6
0
Keruh
Tdk mengalir
Lumpur
3
31
7
0
Jernih
Tdk mengalir
Lumpur
4
6
0
Jernih
Tdk mengalir
Pasir
5
29 27
7
0
Sedang
Tdk mengalir
Pasir
6
32
7
0
Jernih
Tdk mengalir
Pasir
7
32
7
0
Jernih
Tdk mengalir
Pasir
8
29
7
0
Jernih
Tdk mengalir
Pasir
9
31
7
0
Jernih
Tdk mengalir
Lumpur
10
34
7
0
Jernih
Tdk mengalir
Lumpur
11
33
7
0
sedang
Tdk mengalir
Pasir
12
37
7
0
jernih
Tdk mengalir
Pasir
13
40
7
0
Jernih
Tdk mengalir
Lumpur
14
37
7
0
Sedang
Tdk mengalir
Pasir
15
33
7
0
Jernih
Tdk mengalir
Pasir
16
27
7
0
Jernih
Tdk mengalir
Pasir
17
39
7
0
Jernih
Tdk mengalir
Pasir
18
34
7
0
Keruh
Tdk mengalir
Lumpur
19
33
7
1
Jernih
Tdk mengalir
Lumpur
20
29
6
0
Jernih
Tdk mengalir
Pasir
21
28
7
0
Jernih
Tdk mengalir
Lumpur
22
30
7
0
Jernih
Tdk mengalir
Lumpur
23
29
7
0
Sedang
Tdk mengalir
Lumpur
Jernih Keruh
Tdk mengalir
Lumpur Lumpur
24 25
29 31
7 7
0 0
Tdk mengalir
172
2.
Kondisi beberapa jenis parameter fisik berkaitan dengan luas, kedalaman, jarak terdekat dari ruma, fungsi lahan dan ketinggian habitat dari permukaan laut pada habitat Anopheles jenis kubangan di Saketa
Kubangan ke
luas
dalam
jarak
Fungsi lahan
Ketinggian (m dpl)
1
6
15
20
Perkebunan
11
2
1x1,5
15
30
Permukiman
2
3
1,5
10
5
Jalan
12
4
7
20
300
Semak Belukar
24
5
3
5
20
Jalan
30
6
1,5
10
15
Semak Belukar
11
7
4
5
35
Semak Belukar
9
8
2
5
20
Permukiman
12
9
8
10
25
Perkebunan
21
10
3x4
7
120
Perkebunan
15
11
5 x 0,8
6
50
17
12
4 x 1,5
12
70
Jalan Perkebunan
12
13
1x0.5
5
10
permukiman
25
14
3x1,5
15
5
permukiman
23
15
3x1,5
7
10
Permukiman
15
16
2x0,5
7
5
Permukiman
18
17
3x1,5
7
10
11
18
3x05
10
40
Permukiman Perkebunan
19
3x0.5
10
100
Jalan
2
20
7x3
70
Jalan
3
21
1x2
10
10
Jalan
22
4X8
50
100
Perkebunan
23 16
23
3x3
10
400
Perkebunan
26
24 25
2x4 0,3x1
15 5
300 25
Pers Permukiman,Perkebunan
24 22
2
173
3. Kondisi beberapa parameter biologis pada habitat Anopheles jenis kubangan di Saketa Kuban gan ke
Tanaman air
Tanaman sekitar
Tnm kerapatan pelindung tnm air
predator
1
Rumput
Rerumputan
Jarang
Sedang
2
Lumut
Rerumputan
Tdk ada
Jarang
3
Rumput
sedang
Jarang
4
Rumput
Rerumputan, Pohon-pohonan Semak/perdu
Udang2an, Ephymeroptera Kecebong, nimpha capung, anggang2 Tdk Ada
Rapat
Rapat
Anggang-anggang
5
Lumut
rumput, pohon2an
Tdk ada
Jarang
Ephymeroptera
6
Lumut
Rerumputan
Tdk ada
Jarang
Tdk Ada
7
Ganggang
Pohon-pohonan
Tdk ada
Jarang
Ephymeroptera
8
Ganggang
Pohon-pohonan
Tdk ada
Jarang
Tdk Ada
9
Ganggang
Pohon-pohonan
Tdk ada
Jarang
Tdk Ada
10
Tidak ada
Rerumputan
Tdk ada
Tidak ada
11
Tidak ada
Rerumputan
Tdk ada
Tidak ada
12
ganggang, rumput
Rerumputan, perdu
Tdk ada
sedang
13
Ganggang, seresah
Tidak ada
Tdk ada
Jarang
14
Lumut, rumput Lumut
Rerumputan
Tdk ada
Jarang
Rerumputan
Tdk ada
Sedang
Tdk Ada
16
Lumut,Ru mput
Rerumputan
Tdk ada
Jarang
Anggang-anggang, nimpha capung, Ephemeroptera
17
Lumut
Rerumputan
Tdk ada
Sedang
Tdk Ada
18
Tidak ada
Pohon-pohonan
Jarang
Tidak ada
19
Lumut Ganggang Lumut Ganggang, adaRumput
rumput, semak, pohon-pohonan Rerumputan, Semak/perdu, Pohon-pohonan
Tdk ada
Jarang
Tdk ada
Jarang
Lumut, rum Rerumputan, put, Serasah Semak/perdu Lumut Rerumputan, Semak/perdu
Tdk ada
Jarang
Tdk ada
Jarang
23
Rumput
sedang
Tidak ada
24
Lumut.Ru mput Lumut, Ganggang,
Tidak ada Tidak ada
Jarang
15
20
21 22
25
Rerumputan, Semak, Pohon2an Rerumputan. Semak/perdu Pohon-pohonan
Sedang
Kecebong, ephemeroptera Tdk Ada kecebong, nimpa capung, anggan2, Ephemeroptera kecebong, anggang2 ikan kecil, udang2an
Nimpha Capung,Angganganggang Tdk Ada Kecebong, nimpha capung, udang2an, anggang-anggang, Ephemeroptera Kecebong, Nimpha Capung, Anggang2 Kecebong, Nimpha Capung, Udang2an,, Anggang2,, Cyclops Nimpha Capung. Anggang-anggang Nimpha Capung. Anggang-anggang Tdk ada
174
Lampiran 11 Kondisi beberapa parameter fisik pada habitat Anopheles jenis kobakan di Saketa 1.
Nilai kuantitatif dan kualitatif beberapa jenis parameter fisik kimia habitat perkembangbiakan Anopheles jenis kobakan
. Kobakan ke 1
T air (˚C) 38
2
36
6
03x2
3
37
7
4
35
5
pH 7
ukuran kedalaman (m) (cm) 0,3x1,5 10
substrat
kekeruhan
Aliran air
Lumpur
Jernih
Tidak Mengalir
15
pasir
jernih
Tidak mengalir
0,5X0,8
5
Pasir
sedang
Tidak Mengalir
7
0,4x2
7
Pasir
Keruh
Tidak Mengalir
35
7
0,4x2
7
Lumpur
jernih
Tidak Mengalir
6
32
7
0,5x0.5
2
Lumpur
Jernih
Tidak Mengalir
7
27
6
0,4x0,5
5
Pasir
Keruh
Tidak Mengalir
8
28
7
0,5x2
10
Pasir
Jernih
Tidak Mengalir
9
24
6
0,5X1
5
Pasir
Sedang
Tidak Mengalir
10
28
6
0,5X1
5
Pasir
Sedang
Tidak Mengalir
11
28
6
0x3x1
Lumpur
Sedang
Tidak mengalir
12 13
36 31
6 6
0,3x2,5 0,5x1
Pasir Lumpur
Jernih Sedang
Tidak Mengalir Tidak Mengalir
15 5
175
2.
Jenis tanaman air, tanaman sekitar, kerapatan tanaman naungan dan predator yang ditemukan pada kobakan di Desa Saketa
Kobakan ke
Tnm air
Tnm sekitar
naungan
tnm air
predator
1
Tdk ada
Rerumputan
Tdk ada
Tdk ada
kecebong, ephemeroptera
2
Tdk ada
Pohonpohonan
Tdk ada
Tdk ada
Tidak Ada
3
Tdk ada
Rerumputan
Tdk ada
Tdk ada
kecebong,Ephemeroptera
4
Tdk ada
pophon-pohon
Sedang
Tdk ada
udang-udangan, l arva capung
5
lumut
rerumputan
rapat
Jarang
udang-udangan, larva capung
6
Tdk ada
Pohonpohonan
Tdk ada
Tdk ada
Tidak Ada
7
Tdk ada
Rerumputan,
Tdk ada
Tdk ada
Kecebong, angganganggang
Tdk ada
Jarang
kecebong, nimpha capung
Semak/perdu 8
Lumut, rumput Ganggang
Rerumputan,
9
Rumput
Rerumputan
Tdk ada
Jarang
kecebong, nimpha capung, udang-udangan
10
Rumput
Rerumputan
Tdk ada
Jarang
Kecebong,nimpha capung,udang-Udangan
11
Tdk ada
Jarang
Jarang
Tidak Ada
12
Rumput
Pohonpohonan Rerumputan
Tdk ada
Jarang
kecebong, nimpha capung, udang-udangan
13
Lumut, Ganggang, Rumput,
Rerumputan, Semak/perdu, Pohonpohonan
Jarang
Jarang
Kecebong, Ikan Kecil, Nimpha, Capung, Anggang-anggang
Semak/perdu
176
Lampiran 12
1.
Kondisi beberapa parameter fisik pada habitat Anopheles jenis kolam di Saketa
Karakter fisik dan kimia kolam berupa suhu, pH, kelembaban, aliran air, dan jenis substrat sebagai habitat Anopheles di Desa Saketa No
suhu
pH
rH
salinitas kekeruhan
aliran air
substrat
1 2
24 24
6 6
68 68
0 0
Jernih jernih
Tdk mengalir Tdk mengalir
Lumpur Lumpur
3
28
6
56
0
Jernih
Tdk mengalir
Lumpur
4
30
6
45
0
Sedang
Tdk mengalir
Lumpur
2. Karakter fisik kolam dalam hal ukuran luas, kedalaman air, jarak dari rumah terdekat, posisi di atas permukaan laut dan fungsi lahan tempat kolam No
Luas (m)
kedalaman (cm)
Jarak (m)
Elevasi (m dpl)
Fungsi lahan
1 2
7X5 7X5
80 80
50 50
14 14
Pinggir Jalan Pinggir Jalan
3
3x6
80
3
29
Halaman rumah
4
3x6
15
3
29
Halaman rumah
3. Jenis tanaman air, tanaman sekitar, tanaman pelindung, kerapatan tanaman air dan jenis predator pada habitat jenis kolam di saketa Tnm pelindung
Kerapatan tnm air
Rerumputan, Semak/perdu
Tidak ada
Jarang
Kecebong,, ikan Kecil, nimpha capung, udang-udangan, anggang-anggang, cyclops
lumjut, ganggang, rumput, seresah
Rerumputan, Semak/perdu
Tidak ada
Jarang
Kecebong, ikan kecil, nimpha capung, udang-udangan, anggang-anggang, cyclops
3
Lumut,Ganggang, Rumput,Serasah
Rerumputan, Semak/perdu
Tidak ada
Jarang
Kecebong, ikan kecil, nimpha capung, udang-udangan, anggang-anggang, cyclops
4
Lumut,Ganggang
Rerumputan, Semak/perdu
Tidak ada
Sedang
Kecebong, ikan kecil, nimpha capung
No
Tnm air
Tnm sekitar
1
Lumut, ganggang, Rumput, Serasah
2
Predator
177
Lampiran 13 Kondisi beberapa jenis parameter fisik pada habitat Anopheles jenis parit di Saketa 1. Data fisik dan kimia untuk suhu, pH, kelembaban, aliran air, dan jenis substrat sebagai habitat Anopheles jenis parit di Desa Saketa No
Suhu (˚C)
pH
Salinitas
Kekeruhan
Aliran air
Substrat
1
30
6
0
Jernih
Tidak Mengalir
Pasir, kerikil
2
30
6
0
Jernih
Tidak Mengalir
Pasir, kerikil
3
33
6
0
Jernih
Tidak Mengalir
Pasir
4
32
6
0
Jernih
Tidak Mengalir
Pasir
5
28
6
0
Jernih
Tidak Mengalir
Pasir, kerikil
6
28
7
0
Jernih
Tidak Mengalir
Pasir
7
29
7
0
Jernih
Tidak Mengalir
Pasir
8
30
7
0
Jernih
Tidak Mengalir
Pasir
9
28
6
1
Sedang
Tidak Mengalir
Lumpur
2. Ukuran luas, kedalaman air, jarak dari rumah terdekat, posisi di atas permukaan laut dan fungsi lahan pada habitat Anopheles jenis parit Luas parit (m)
Kedalaman (m)
1
8x50
110
100
Perkebunan, Pantai
1
2
10x25
70
300
Perkebunan, Pantai
2
3
5x20
100
400
Perkebunan, Pantai
2
4
8x15
80
500
Perkebunan,Pantai
2
5
6x50
110
150
Perkebunan, Pantai
1
6
2x20
30
500
Perkebunan, Pantai
1
7
5x10
50
400
Perkebunan, Pantai
1
8
6x12
80
25
pantai
1
9
4x5
50
500
Pantai
1
No
Jarak dari rumah (m)
Fungsi lahan
Elevasi (dpl m)
178
3.
Jenis tanaman air, tanaman sekitar, tanaman pelindung, kerapatan tanaman air dan jenis predator pada habitat jenis parit di saketa Tanaman air
1
Ganggang
Rerumputan, Semak /perdu, Pohon2an (bakau)
Tdk ada
Jarang
Ikan kecil, udang-udangan, Cyclops, Ephemeroptera
2
Hydrilia
Rerumputan, Semak/ perdu, Pohon2an
sedang
Jarang
Ikan Kecil, udang-udangan, cyclops, Ephemeroptera
3
Ganggang
Rerumputan, Semak/ perdu, Pohon2an
sedang
Jarang
Ikan kecil, udang-udangan, Cyclops, Ephemeroptera
4
Tidak ada
Rerumputan, Semak/ perdu, Pohon2an
sedang
Tdk ada
Ikan Kecil, udang-udangan, Cyclops, Ephemeroptera
5
Tidak ada
Pohon-pohonan
sedang
Tdk ada
Ikan Kecil, udang-udangan, cyclops, Ephemeroptera
Tanaman sekitar
Tanaman pelindung
Kerapatan tanaman air
No
(bakau)
Predator
6
Tidak ada
Rerumputan, Semak/ perdu, Pohon2an
Jarang
Tdk ada
Ikan Kecil, udang-udangan, cyclops, Ephemeroptera
7
Tidak ada
Rerumputan, Semak/ perdu, Pohon2an
Jarang
Tdk ada
Ikan Kecil, udang-udangan, cyclops, Ephemeroptera
8
Tidak ada
Rerumputan
Tdk ada
Tdk ada
Ikan kecil, udang-udangan
9
ganggang
Semak/perdu
Rapat
Sedang
Ikan kecil, Udang-udangan
179
Lampiran 14 Kondisi beberapa jenis parameter fisik pada habitat Anopheles jenis tapak ban di Saketa 1. Data suhu (˚C), pH, kelembaban, aliran air, dan jenis substrat habitat Anopheles jenis tapak ban di Desa Saketa No Tapak 1
suhu
pH
salinitas
kekeruhan
Aliran air
substrat
30
7
0
Keruh
Tidak Mengalir
Lumpur
2
28
7
0
Sedang
Tidak Mengalir
Pasir
3
28
7
0
Keruh
Tidak Mengalir
Lumpur
4
29
7
0
Sedang
Tidak Mengalir
Pasir
5
34
7
0
jernih
Tidak Mengalir
Lumpur
6
35
7
0
jernih
Tidak Mengalir
Pasir
7
26
7
0
Keruh
Tidak Mengalir
Lumpur
8
26
7
0
Keruh
Tidak Mengalir
Lumpur
9
35
6
0
Sedang
Tidak Mengalir
Lumpur
10
33
6
0
Sedang
Tidak Mengalir
Lumpur
11
34
7
1
Jernih
Tidak Mengalir
Lumpur
12
26
6
0
Sedang
Tidak Mengalir
Lumpur
13
28
7
0
Jernih
Tidak Mengalir
Pasir
14
29
7
0
Sedang
Tidak Mengalir
Lumpur
15 16
28
6
26
6
0 0
Jernih Jernih
Tidak Mengalir Tidak Mengalir
Pasir Lumpur
17
28
6
0
Jernih
Tidak Mengalir
Lumpur
18
28
6
0
Sedang
Tidak Mengalir
Lumpur
19
30
7
0
Sedang
Tidak Mengalir
Lumpur
180
2.
Data ukuran luas, kedalaman air, jarak dari rumah terdekat, posisi di atas permukaan laut dan fungsi lahan tempat habitat berada pada habitat Anopheles jenis tapak ban/tapak hewan di Saketa
Tapak ke
Luas tapak ban (m)
dalam (m)
jarak (m)
Fungsi lahan
elevasi (dpl m)
1
2
15
10
Permukiman
8
2
3
5
20
Jalan
16
3
2
10
10
Jalan
15
4
2
5
15
Perkebunan
25
5
3 x 1,5
4
100
Perkebunan
42
6
0,4 x 1
4
10
Jalan
23
7
8x1,5
4
100
Perkebunan
5
8
7x0,5
6
110
Perkebunan
12
9
5x03
7
70
Jalan
26
10
5x03
2
20
Jalan
3
11
3x0.5
5
30
Jalan
20
12
0,4x0,4
7
20
Perkebunan
13
0,3x1
5
5
Jalan
26 3
14
0.3x2
5
300
Perkebunan
27
15 16
1,5 x 1.5 0,3X0,6
5 5
300 550
Jalan Perkebunan
23
17
0,3X0,6
5
550
Perkebunan
21
18
0,3x4
3
500
Perkebunan
15
19
0,3X0,1
5
300
Perkebunan
23
21
181
3. Jenis tanaman air, tanaman pelindung, kerapatan tanaman air, dan predator larva pada habitat Anopheles jenis tapak ban/tapak hewan di Desa Saketa No
tnm air
tnm sekitar
tnm pelindung
kerapan tnm air
predator
1
Rumput
Rerumputan
Tdk ada
Tdk ada
2
Rumput, Ganggang
Rerumputan, Pohon-pohonan
Tdk ada
Jarang
Tidak Ada
3
Rumput, Ganggang
Tidak ada
Tdk ada
Sedang
Tidak Ada
4
Ganggang
Pohon-pohonan
Tdk ada
Jarang
kecebong, Ephemeroptera
5
Tidak ada
Rerumputan
Tdk ada
Tdk ada
Tidak ada
6
Tidak ada
Tdk ada
Tdk ada
Anggang-anggang, Nimpha Capung, Ephemeroptera
7
Rumput
Rerumputan, Pohonpohonan
Rapat
Jarang
Nimpha Capung, Ephemeroptera
8
Rumput
Rerumputan, Pohonpohonan
Rapat
Jarang
Kecebong, Nimpha Capung, Anggang-anggang
9
Tidak ada
Pohon-pohonan
Jarang
Jarang
Nimpha Capung, Anggang-anggang
10
Tidak ada
Tidak ada
Tdk ada
Tdk ada
11
Lumut, Ganggang, Rumput
Rerumputan, Semak/perdu, Pohon-pohonan
Tdk ada
Jarang
12
Tidak ada
Semak/perdu, Pohon-pohonan
Jarang
Tdk ada
Nimpha Capung
13
Tidak ada
Rerumputan, Semak/perdu
Tdk ada
Tdk ada
Nimpha Capung, Angganganggang
14
Tidak ada
Semak/perdu, Pohon-pohonan
sedang
Tdk ada
15
Lumut
Rerumputan, Semak/perdu
Tdk ada
16
Tidak ada
Rerumputan, Pohonpohonan
Jarang
Tdk ada
Kecebong, Nimpha Capung, Anggang-anggang
17
Tidak ada
Rerumputan, Pohonpohonan
Jarang
Tdk ada
Kecebong, Nimpha Capung, Udang-Udangan, Angganganggang
18
Lumut, Ganggang
Rerumputan, Semak/perdu
sedang
Jarang
Kecebong, Nimpha Capung, Anggang-anggang
19
Tidak ada
Rerumputan, Semak/perdu
Jarang
Tdk ada
Kecebong, Nimpha Capung, Anggang-anggang
Rerumputan
Jarang
Ephymeroptera
Kecebong, Angganganggang, Cyclops ,Ephemeroptera Kecebong, Anggang -anggang, kumbang air
Ikan Kecil, Anggang-anggang Kecebong, Nimpha Capung, Anggang-anggang
182
Lampiran 15 Kondisi beberapa jenis parameter fisik pada habitat Anopheles jenis parit ban di Saketa 1. Suhu, pH air, salinitas, velosity dan jenis substrat pada parit sebagai habitat perkembang biakan yamuk di Saketa suhu
pH
salinitas
kekeruhan
Aliran air
substrat
28 30
7 7
0 0
Jernih Sedang
Tidak Mengalir Lambat
Pasir Lumpur
27
7
0
Sedang
Tidak Mengalir
Pasir
28
7
0
Jernih
Tidak Mengalir
Lumpur
40
7
0
Sedang
Tidak Mengalir
Lumpur
29
7
0
Jernih
Tidak Mengalir
Pasir
27
6
0
Jernih
Tidak Mengalir
Lumpur
27
6
0
jernih
tidak mengalir
lumpur
31
7
0
Sedang
Tidak Mengalir
Lumpur
2. Karakter fisik Parit berupa ukuran luas, kedalaman, jarak dari rumah terdekat, fungsi lahan dan elevasi habitat parit di Desa Saketa No
Luas kobakan (m)
dalam (m)
jarak (m)
Fungsi lahan
elevasi (dpl m)
1 2
0,5 x 15 1.5x 50
10 50
10 1000
Permukiman Jalan
10 23
3
0,3X3
50
200
Jalan
14
4
1x20
17
15
Permukiman
15
5
5x1
17
50
Jalan di permukiman
0
6
0.3x30
10
20
Permukiman
11
7
0,5X6
10
15
Permukiman,Jalan
1
8
0,5x6
10
15
permukiman, jalan
6
9
0,5x8
10
700
Jalan
5
183
3. Jenis tanaman air, tanaman pelindung, kerapatan tanaman air, dan predator larva pada habitat Anopheles jenis tapak ban/tapak hewan di Desa Saketa No
tnm air
tnm pelindung
tnm sekitar
kerapan tnm air
predator
1
Rumput
tdk ada
tdk ada
Sedang
Ephemeroptera
2
Rumput
Rerumputan
tdk ada
Jarang
Udang-Udangan,Angganganggang,Cyclops
3
Tidak ada
Semak/perdu
Rapat
tdk ada
Kecebong
4
Rerumputan, serasah
tdk ada
tdk ada
tdk ada
Kecebong, ikan-ikan kecil, udang-udangan, ephemeroptera
5
Ljumut, rumput
Rerumputan, Perdu, pohon
sedanga
Sedang
ikan-ikan kecil, udang2an
6
Lumut, Ganggang,
tdk ada
tdk ada
Jarang
Kecebong,Nimpha Capung,Anggang-anggang
Lumut, Ganggang,
Rerumputan,
tdk ada
tdk ada
Rumput
Semak/
Kecebong,Nimpha Capung,Anggang-anggang
Rumput 7
perdu 8
lumut, ganggang, rumput
rumput, semak
tdk ada
jarang
kecebong, nimpa, udangudangan
9
Lumut, Ganggang,
Rerumputan,
Jarang
Sedang
Rumput, Serasah
Semak/ perdu
Kecebong,Ikan Kecil,Nimpha Capung,UdangUdangan,Anggang-anggang
Lampiran 15. Peta penyebaran jenis vektor malaria di Indonesia 2. An. balabacensis 3. An. bancroftii 4.An.barbirostris 5 An flavirostris. 6. An farauti 7. An.karwari 8. An.koliensis 9. An.punctulatus 10. An.ludlowi 11. An. letifer 12. An. leucosphyrus .
2,11,13, 1 7
17
4 14
17 1 8
17
1 9 17
17 13 11
17 21 1 2
SSUKOWATI
17 1 2 11
17 1 3 3
2 12
2 18 0
22 13
6
5 8 6
14 An. minimus. 15. An. nigerrimus 16. An. parengensis 17,An.sundaicus 18. An.subpictus 19. An. sinensis 20.An. umbrosus 21. An. vagus 22. An. tesselatus
7
1 8
4,17,1 4 8
13 1,17,1 8 4,14, 17,18
18 4, 17
DISTRIBUSI VEKTOR MALARIA DI INDONESIA
9
184