Coral Reef Information and Training Centre (CRITC) - LIPI Jl. Raden Saleh No. 43, Jakarta 10330 Indonesia
LAPORAN COREMAP
STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN MENTAWAI (2004)
LAPORAN COREMAP
STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN MENTAWAI (2004)
Disusun oleh CRITC- Jakarta 2004
S TUDI B ASELINE E KOLOGI K ABUPATEN M ENTAWAI , S UMATERA B ARAT T AHUN 2004
KOORDINATOR TIM PENELITIAN
: G I Y A N T O , S.S I , M.S C .
PENANGGUNG JAWAB PENELITIAN
:
SISTIM INFORMASI GEOGRAFI
: D R S . W I N A R D I , M.S C .
KUALITAS PERAIRAN
: - DRS. EDI KUSMANTO - D R S . E D W A R D K E R E , M.S I .
MANGROVE
: DRS. SOEROYO
KARANG & MEGA BENTHOS
: D R A . A N N A M A N U P U T T Y , M.S I
IKAN KARANG
: D R A . S A S A N T I R. S U H A R T I , M.S C .
DOKUMENTASI
: R. S U T I Y A D I , A.M D .
ANALISA DATA
: G I Y A N T O , S.S I , M.S C .
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR GAMBAR ……………………………………...
iii
DAFTAR TABEL …………………………………………
ix
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………
xii
RINGKASAN EKSEKUTIF ………………………………
xiv
A. PENDAHULUAN ……………………….………………
xiv
B. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………….
xvi
C. SARAN ………………………………………………
xii
BAB I. PENDAHULUAN ………………………………...
1
A. LATAR BELAKANG …………………………………
1
B. TUJUAN PENELITIAN ……………………………….
4
C. RUANG LINGKUP PENELITIAN ………………………...
4
BAB II. METODE PENELITIAN ………………………...
6
A. LOKASI PENELITIAN ...……………………………….
6
B. WAKTU PENELITIAN …………………………………
19
C. PELAKSANA PENELITIAN …………………………….
19
D. METODE PENARIKAN SAMPEL DAN ANALISA DATA ...
19
1. Sistem Informasi Geografi …. …………………...
20
2. Kualitas Perairan …………………………………
23
3. Mangrove ………..…..…………………………...
23
4. Karang ……………………………………………
24
5. Mega Benthos ……………………………………
26
6. Ikan Karang ………………………………………
27
CRITC-COREMAP Jakarta
i
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………… A. SISTEM INFORMASI GEOGRAFI ………………………
30 30
1. Geometri Citra ……………………………………
30
2. Interpretasi Citra …………………………………
31
B. KUALITAS PERAIRAN …………………………………
34
1. Temperatur ……………………………………….
34
2. Salinitas …………………………………………..
37
3. Arus ………………………………………………
38
4. Fosfat ……………………………………………..
40
5. Nitrit ……………………………………………..
42
6. Nitrat ……………………………………………..
43
7. Oksigen Terlarut ………………………………...
45
8. Derajat Keasaman (pH) ………………………….
47
9. Kecerahan ………………………………………..
49
10. Warna …………………………………………...
50
11. Bau …………………………………………….
51
12. Sampah/Benda Padat Terapung (BPT) …………
52
13. Zat Padat Tersuspensi (TSS) ……………………
52
C. MANGROVE ...………………………………………..
54
D. KARANG …………………………………………….
60
E. MEGA BENTHOS …………………………………….
73
F. IKAN KARANG ……………………………………….
79
G. PEMBAHASAN UMUM ………………………………
90
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN …………………
94
A. KESIMPULAN …………………………………………
94
B. SARAN ………………………………………………
97
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………..
99
LAMPIRAN ……………………………………………….
105
CRITC-COREMAP Jakarta
ii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Gambar 2.a.
Peta lokasi penelitian di Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat ………………...
7
Posisi stasiun penelitian untuk temperatur dan salinitas air laut di perairan P. Sipora bagian utara .…………..…………………. 9
Gambar 2.b.
Posisi stasiun penelitian untuk temperatur dan salinitas air laut di perairan P. Siberut bagian selatan dan sekitarnya .…………….. 10
Gambar 3.a.
Gambar 3.b.
Gambar 4.a.
Gambar 4.b.
Posisi stasiun penelitian untuk parameter fosfat, nitrit, nitrat, oksigen terlarut, pH, kecerahan, warna, bau, benda padat terapung, dan zat padat tersuspensi di perairan P. Sipora bagian utara dan sekitarnya ….……………………………..
11
Posisi stasiun penelitian untuk parameter fosfat, nitrit, nitrat, oksigen terlarut, pH, kecerahan, warna, bau, benda padat terapung, dan zat padat tersuspensi di perairan P. Siberut bagian selatan dan sekitarnya ………….……………………..
12
Posisi stasiun penelitian mangrove di P. Sipora bagian utara dan sekitarnya ………
13
Posisi stasiun penelitian mangrove di P. Siberut bagian selatan dan sekitarnya …….
14
CRITC-COREMAP Jakarta
iii
Halaman Gambar 5.a.
Gambar 5.b.
Gambar 6.a.
Gambar 6.b.
Gambar 7.
Gambar 8.
Gambar 9.
Gambar 10.
Gambar 11.
Posisi stasiun penelitian untuk terumbu karang dan ikan karang dengan metode RRI di perairan P. Sipora bagian utara dan sekitarnya ………………………..………..
15
Posisi stasiun penelitian untuk terumbu karang dan ikan karang dengan metode RRI di perairan P. Siberut bagian selatan dan sekitarnya ………………………………….
16
Posisi stasiun penelitian untuk karang, mega benthos dan ikan karang pada stasiun transek permanen di perairan P. Sipora bagian utara dan sekitarnya ……………..
17
Posisi stasiun penelitian untuk karang, mega benthos dan ikan karang pada lokasi transek permanen di perairan P. Siberut bagian selatan dan sekitarnya ……………………..
18
Profil temperatur dan salinitas di perairan P. Sipora bagian utara …………………….….
36
Profil temperatur dan salinitas di perairan P. Siberut bagian selatan …………….....……
36
Vektor arus di timur laut P. Sipora bagian utara ………………………………………
38
Vektor arus di selat antara P. Sipora dan P. Siberut ……………………………………..
39
Vektor arus di sebelah timur laut P. Sipora bagian utara …………………………….....
40
CRITC-COREMAP Jakarta
iv
Halaman Gambar 12.
Gambar 13.
Gambar 14.
Gambar 15.
Gambar 16.
Kadar Fosfat (μg.at/l) di masing-masing stasiun penelitian di perairan Mentawai …...
41
Kadar Nitrat (μg.at/l) di masing-masing stasiun penelitian di lokasi penelitian di perairan Mentawai ………………………..
44
Kadar Oksigen terlarut (ppm) di masingmasing stasiun penelitian di lokasi penelitian di perairan Mentawai …………...
45
Nilai Derajat keasaman (pH) di masingmasing stasiun penelitian di lokasi penelitian di perairan Mentawai …………..
48
Nilai TSS (ppm) di masing-masing stasiun penelitian di lokasi penelitian di perairan Mentawai ………………………………….
54
Gambar 17.
Rerata persentase tutupan dari seluruh stasiun RRI (n=48 stasiun) untuk masingmasing kategori biota dan substrat ………... Gambar 18.a. Peta kondisi terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang hidup di masingmasing stasiun di P. Sipora bagian utara dengan metode RRI ……………………….
64
Gambar 18.b. Peta kondisi terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang hidup di masingmasing stasiun di P. Siberut bagian selatan dengan metode RRI ………………………..
65
Gambar 19.a. Peta persentase tutupan untuk masingmasing kategori biota dan substratnya di masing-masing stasiun transek permanen di P. Sipora bagian utara dengan metode LIT ..
66
CRITC-COREMAP Jakarta
63
v
Halaman Gambar 19.b. Peta persentase tutupan untuk masingmasing kategori biota dan substratnya di masing-masing stasiun transek permanen di P. Siberut bagian selatan dengan metode LIT ………………………………………… Gambar 20.
67
Histogram persentase tutupan kategori biota dan substrat di masing-masing stasiun transek permanen dengan metode LIT ……
68
Dendrogram analisa pengelompokan stasiun transek permanen di Kabupaten Mentawai berdasarkan jumlah kehadiran masingmasing jenis karang batu ………………….
71
MDS untuk stasiun transek permanen di Kabupaten Mentawai berdasarkan berdasarkan jumlah kehadiran masingmasing jenis karang batu ………………….
71
Analisa regresi antara nilai H’ dan persentase tutupan karang hidup ………….
72
Gambar 24.a. Hasil reef check untuk mega benthos yang memiliki nilai ekonomis penting dan sebagai indikator kesehatan karang pada di masing-masing stasiun transek permanen di P. Sipora bagian utara ……………………..
75
Gambar 24.b. Hasil reef check untuk mega benthos yang memiliki nilai ekonomis penting dan sebagai indikator kesehatan karang pada di masing-masing stasiun transek permanen di P. Siberut bagian selatan ………………….
76
Gambar 21.
Gambar 22.
Gambar 23.
CRITC-COREMAP Jakarta
vi
Halaman Gambar 25.
Dendrogram analisa pengelompokan stasiun transek permanen di Kabupaten Mentawai berdasarkan jumlah individu mega benthos..
78
MDS untuk stasiun transek permanen di Kabupaten Mentawai berdasarkan jumlah individu mega benthos …………………….
78
Gambar 27.a. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di masing-masing stasiun transek permanen di P. Sipora bagian utara dengan metode RRI ………….
81
Gambar 27.b. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di masing-masing stasiun transek permanen di P. Siberut bagian selatan dengan metode RRI ……….
82
Gambar 28.a. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di masing-masing stasiun transek permanen di P. Sipora bagian utara dengan metode UVC ……….
85
Gambar 28.b. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di masing-masing stasiun transek permanen di P. Siberut bagian selatan dengan metode UVC ……...
86
Gambar 26.
Gambar 29.
Dendrogram analisa pengelompokan stasiun transek permanen di Kabupaten Mentawai berdasarkan jumlah individu ikan karang yang telah ditransformasikan ke bentuk akar pangkat dua ………………………………..
CRITC-COREMAP Jakarta
89
vii
Halaman Gambar 30.
MDS untuk stasiun transek permanen di Kabupaten Mentawai berdasarkan jumlah individu ikan karang yang telah ditransformasikan ke bentuk akar pangkat dua ………………………………………...
CRITC-COREMAP Jakarta
90
viii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3.
Tabel 4.
Tabel 5.
Tabel 6.
Tabel 7.
Tabel 8.
Tabel 9.
Luas mangrove dan terumbu karang di P. Sipora bagian utara dan P. Siberut bagian selatan ………………………………………
34
Hasil pengukuran temperatur pada seluruh stasiun penelitian di perairan P. Sipora bagian utara dan P. Siberut bagian selatan …………..
35
Hasil pengukuran salinitas pada seluruh stasiun penelitian di perairan P. Sipora bagian utara dan P. Siberut bagian selatan ………….
37
Jenis mangrove yang dijumpai (tanda +) di Kabupaten Mentawai ………………………..
56
Daftar Nilai Penting ( % ) jenis pohon mangrove di Kabupaten Mentawai …………
57
Daftar kerapatan nisbi (KN), frekuensi nisbi (FN), dominasi nisbi (DN) dan nilai penting (NP) jenis pohon di Kabupaten Mentawai ….
57
Gambaran mengenai struktur mangrove di Kabupaten Mentawai ………………………..
58
Daftar Nilai Penting (%) jenis anak pohon di Kabupaten Mentawai ………………………..
59
Daftar kerapatan nisbi (KN), frekuensi nisbi (FN), dominasi nisbi (DN) dan nilai penting (NP) jenis anak pohon di Kabupaten Mentawai ……………………………………
60
CRITC-COREMAP Jakarta
ix
Halaman Tabel 10.
Tabel 11.
Tabel 12.
Tabel 13.
Tabel 14.
Tabel 15.
Tabel 16.
Tabel 17.
Jumlah jenis (S), Jumlah individu (N), Indeks keanekaragaman jenis Shannon (H’) yang dihitung menggunakan ln (=log e), dan Indeks kemerataan Pielou (J’) untuk karang batu di masing-masing stasiun transek permanen dengan metode LIT ………………………….
69
Nilai kemiripan Bray-Curtis berdasarkan jumlah kehadiran masing-masing jenis karang batu pada stasiun transek permanen ………...
70
Analisa variance hubungan antara nilai H’ dan persentase tutupan karang hidup ……….
72
Nilai kemiripan Bray-Curtis berdasarkan jumlah individu mega benthos di masingmasing stasiun transek permanen ……………
77
Sebelas jenis ikan karang yang memiliki nilai frekuensi relatif kehadiran terbesar (berdasarkan jumlah stasiun yang diamati) ….
80
Sepuluh besar jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan yang tertinggi .……….
80
Kelimpahan ikan karang untuk masingmasing suku yang dijumpai di lokasi transek permanen ……………………………………
84
Jumlah jenis (S), Jumlah individu (N), Indeks keanekaragaman jenis Shannon (H’) yang dihitung menggunakan ln (=log e), dan Indeks kemerataan Pielou (J’) untuk ikan karang di masing-masing stasiun transek permanen dengan metode UVC ………………………..
87
CRITC-COREMAP Jakarta
x
Halaman Tabel 18.
Nilai kemiripan Bray-Curtis berdasarkan jumlah individu ikan karang pada stasiun transek permanen ……………………………
CRITC-COREMAP Jakarta
88
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1.
Posisi stasiun penelitian untuk parameter temperatur dan salinitas air laut di perairan P. Sipora bagian utara dan perairan P. Siberut bagian selatan ……….
105
Posisi stasiun penelitian untuk parameter fosfat, nitrit, nitrat, oksigen terlarut, pH, kecerahan, warna, bau, benda padat terapung, dan zat padat tersuspensi di perairan P. Sipora bagian utara dan perairan P. Siberut bagian selatan ………
106
Lampiran 3.
Posisi stasiun penelitian untuk mangrove..
107
Lampiran 4.
Posisi stasiun penelitian karang dan ikan karang dengan metode RRI di perairan P. Sipora bagian utara dan perairan P. Siberut bagian selatan …………………...
108
Posisi stasiun stasiun transek permanen untuk karang, mega benthos dan ikan karang di perairan P. Sipora bagian utara dan perairan P. Siberut bagian selatan ….
110
Jenis karang batu yang diperoleh di perairan P. Sipora bagian utara dan perairan P. Siberut bagian selatan berdasarkan hasil LIT dan koleksi bebas ..
111
Persentase tutupan biota dan substrat pada masing-masing stasiun RRI di perairan P. Sipora bagian utara dan perairan P. Siberut bagian selatan …………………...
117
Lampiran 2.
Lampiran 5.
Lampiran 6.
Lampiran 7.
CRITC-COREMAP Jakarta
xii
Halaman Lampiran 8.
Lampiran 9.
Lampiran 10.
Persentase tutupan biota dan substrat dengan metode LIT di 6 stasiun transek permanent di perairan P. Sipora bagian utara dan perairan P. Siberut bagian selatan …………………………………...
120
Beberapa Mega benthos yang diamati dengan metode Reef Check Benthos (yang dimodifikasi) pada masing-masing stasiun transek permanent di perairan P. Sipora bagian utara dan perairan P. Siberut bagian selatan …………………………...
121
Kelimpahan jenis ikan (jumlah individu/transek) yang dijumpai di masing-masing stasiun transek permanen yang diperoleh dengan metode UVC di perairan P. Sipora bagian utara dan perairan P. Siberut bagian selatan ………
122
CRITC-COREMAP Jakarta
xiii
RINGKASAN EKSEKUTIF
A. P ENDAHULUAN COREMAP yang direncanakan berlangsung selama 15 tahun, yang terbagi dalam 3 fase, kini telah memasuki fase II. Pada fase ini terdapat penambahan beberapa lokasi baru
yang
pendanaannya
dibiayai
oleh
ADB
(Asian
Development Bank). Salah satu lokasi baru itu adalah Kepulauan Mentawai, yang secara administratif masuk ke dalam Kabupaten Mentawai, Propinsi Sumatera Barat. Wilayah Kabupaten Mentawai merupakan gugusan pulau yang terdiri dari empat pulau besar yaitu P. Siberut, P. Sipora, P. Pagai Utara dan P. Pagai Selatan serta beberapa pulau kecil disekitarnya, yang terletak sekitar 120 mil di sebelah barat pantai Padang, Sumatera Barat. Gugusan pulau-pulau tersebut dikenal sebagai Kepulauan Mentawai yang dahulu secara administratif masuk kedalam wilayah
Kabupaten
Padang
Pariaman.
Tetapi
seiring
dengan perkembangan otonomi daerah, kini kepulauan tersebut berkembang menjadi kabupaten sendiri yaitu Kabupaten Mentawai dengan ibukota kabupaten di Tua Pejat yang berada di P. Sipora. Kepulauan Mentawai secara geografis berada di Samudera Hindia sehingga perairan di kepulauan ini mempunyai sistem arus dan karakteristik massa air yang sangat
dipengaruhi
oleh
sistem
yang
berkembang
di
Samudera Hindia. Rataan pantainya umumnya sempit dan
CRITC-COREMAP Jakarta
xiv
memiliki pantai yang curam dan dalam baik di sisi Samudera Hindia maupun pada sisi yang menghadap daratan Sumatera. Penduduk
Kepulauan
Mentawai
merupakan
campuran dari beberapa suku, baik suku asli maupun pendatang
yang
telah
bermukim
sejak
lama.
Mata
pencaharian umumnya sebagai petani dan nelayan. Namun pekerjaan sebagai petani (terutama cengkeh dan kelapa) lebih dominan. Pada umumnya, kegiatan sebagai nelayan hanya dilakukan apabila harga ikan relative mahal. Sebagai
lokasi
baru
COREMAP,
studi
baseline
ekologi (ecological baseline study) sangatlah diperlukan untuk mendapatkan data dasar ekologi di lokasi tersebut, termasuk kondisi ekosistem terumbu karang, mangrove dan juga kondisi lingkungannya. Data-data yang diperoleh diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola ekosistem terumbu karang secara lestari. Selain itu, dalam studi ini juga dibuat
beberapa
transek
permanen
di
masing-masing
lokasi, agar kondisinya bisa dipantau di masa mendatang. Adanya data dasar dan data hasil pemantauan memiliki arti penting sebagai bahan evaluasi keberhasilan COREMAP. Kegiatan menggunakan efisiensi
penelitian Kapal
waktu
dan
Riset
di
lapangan
Baruna
biaya,
Jaya
kegiatan
dilakukan VIII.
Untuk
penelitian
ini
dilakukan menjadi satu dengan kegiatan studi baseline ekologi di perairan Kepulauan Mentawai dan Tapanuli Tengah. Kegiatan lapangan di ketiga lokasi tersebut berlangsung pada bulan Mei-Juni 2004.
CRITC-COREMAP Jakarta
xv
Kegiatan lapangan ini melibatkan staf CRITC (Coral Reef Information and Training Centre) Jakarta dibantu oleh
para
peneliti
dan
teknisi
Pusat
Penelitian
Oseanografi-LIPI, dan beberapa staf dari daerah setempat yang berasal dari CRITC daerah, BAPPEDA, serta Dinas Perikanan dan Kelautan. Seorang mahasiswa dari Jakarta (Universitas Indonesia) diikutkan dalam penelitian ini. Hal ini penting artinya bagi mahasiswa tersebut untuk dapat melengkapi Kegiatan Praktek Lapangannya. Dalam penelitian ini, sebelum penarikan sampel dilakukan,
terlebih
dahulu
ditentukan
peta
sebaran
terumbu karang di perairan tersebut berdasarkan peta sementara (tentative) yang diperoleh dari hasil interpretasi data citra digital Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper Plus (Landsat ETM+). Kemudian dipilih secara acak titiktitik penelitian (stasiun) sebagai sampel. Jumlah stasiun untuk masing-masing kelompok penelitian berbeda-beda disesuaikan dengan jumlah personil dan waktu yang tersedia, tetapi diharapkan sampel yang terambil cukup mewakili untuk menggambarkan tentang kondisi perairan di lokasi tersebut.
B. H ASIL
DAN
P EMBAHASAN
Dari data yang diperoleh di lapangan, kemudian dilakukan analisa data. Hasil dan pembahasannya adalah sebagai berikut:
CRITC-COREMAP Jakarta
xvi
Luasan hutan mangrove di P. Sipora bagian utara (Tua Pejat dan Igosoinan) dan P. Siberut bagian selatan (Katurai dan Muara Siberut) yaitu 38,1121 km 2 . Luasan terumbu karang yang meliputi fringing reef, patch reef dan shoal di perairan antara P. Sipora bagian utara (Tua Pejat dan Igosoinan) dan P. Siberut bagian selatan (Katurai dan Muara Siberut) yaitu adalah 88,3661 km 2 . Temperatur di perairan P. Sipora, berkisar antara 29,6610°C dan 30,7763°C dengan rerata 29,8540°C, sedangkan di perairan P. Siberut antara 29,4217°C hingga 30,0869 °C dengan rerata 29,7704°C Salinitas di perairan P. Sipora, berkisar antara 33,5856 PSU dan 33,9346 PSU dengan rerata 33,7785 PSU, sedangkan di perairan P. Siberut antara 33,5778 PSU dan 33,9519 PSU dengan rerata 33,8733 PSU. Kecepatan arus di sebelah timur P. Sipora bagian utara berkisar antara 5 cm/detik hingga 35 cm/detik, dengan arah dominan ke barat laut. Kecepatan arus yang relatif tinggi, mencapai 50 cm/detik di temukan di kedalaman 60m hingga 100m, dengan arah arus yang dominan ke barat laut. Pada kedalaman 100 m hingga dekat dasar, kecepatan
arusnya
relatif
lemah
kurang
dari
20
cm/detik, dengan arah barat laut dan selatan. Kecepatan arus di selat antara P. Sipora dan Siberut mencapai 70 cm/detik. Arah arus pada kondisi menuju pasang ke utara di perairan dekat P. Sipora kemudian ke selatan di
CRITC-COREMAP Jakarta
xvii
tengah selat dan kemudian dominan ke utara di sisi tenggara P. Siberut. Secara umum, untuk perairan Kepulauan Mentawai hingga
Sibolga
(Sumatera
Utara),
kondisi
arusnya
dipengaruhi oleh musim sedangkan pengaruh pasang surut tidak terlihat dominan. Kadar fosfat relative tinggi walaupun pada umumnya masih di bawah Nilai Ambang Batas (NAB) yang diberikan Kantor MNLH (NAB<0,015 ppm atau 4,9 μg.at/l ) yaitu antara 1,00-5,69 μg.at/l dengan rerata 3,465 μg.at/l. Kadar nitrit (NO 2 ) di semua lokasi penelitian rendah, yaitu <1,0 μg.at/l Kadar nitrat (NO 3 ) di perairan Mentawai berkisar antara 0,24-12,32 μg.at/l dengan rerata 4,46 μg.at/l. NAB untuk nitrat yang diberikan Kantor MNLH (1988) untuk biota dan wisata bahari yaitu 0,008 ppm atau 26,27 μg.at/l. Kadar oksigen terlarut di perairan Mentawai masih dalam kategori normal yaitu antara 5,82-7,26 ppm dengan rerata 6,72 ppm. NAB kadar oksigen terlarut untuk biota laut dan pariwisata adalah > 5 ppm (Kantor MNLH, 2004). Nilai hasil pengukuran pH di perairan Mentawai masih tergolong baik yaitu antara 7,9-8,1 dengan rerata 8,07. Kantor MNLH (2004) menetapkan NAB pH antara 7-8,5 untuk biota dan wisata bahari.
CRITC-COREMAP Jakarta
xviii
Pada lereng terumbu dengan kedalaman antara 5 m – 15 m, masih terlihat dasar perairan (Tampak Dasar). Hasil pengukuran warna air laut di seluruh stasiun di perairan Mentawai menunjukkan bahwa warna air masih alami yakni berkisar antara hijau muda sampai biru tua. Warna hijau muda umumnya dijumpai pada lokasi yang relatif dekat dengan pantai (lebih kurang 25 m), sedangkan biru tua relatif agak jauh dari pantai (50-100 m). Hasil
pengukuran
bau
yang
dilakukan
secara
organoleptik menunjukkan bahwa air laut yang berbau hanya dijumpai di dermaga pelabuhan Feri Tua Pejat. Sampah atau benda padat terapung ditemukan dalam jumlah yang sedikit dan pada umumnya dalam bentuk bahan organik yang terdiri dari serasah tumbuhan seperti kelapa, mangrove, semak belukar. Kadar TSS relatif masih rendah yaitu antara 3,75-8,78 ppm dengan rerata 5,14 ppm. NAB padatan tersuspensi untuk koral dan wisata bahari sebesar 20 ppm (Kantor MNLH, 2004), sedangkan untuk budidaya perikanan <80 ppm (Kantor MNLH, 1988). Dijumpai 25 jenis mangrove yang termasuk dalam 15 suku dari hasil transek dan koleksi bebas. Untuk kategori pohon (diameter >10 cm), diperoleh 9 jenis
di
Kabupaten
Mentawai,
dimana
Rhizophora
mucronata mendominasi di P. Sipora, P.Kuboi dan P. Silebut. Sedang untuk P. Siburu dan P. Siberut jenis yang mendominasi adalah Rhizophora apiculata.
CRITC-COREMAP Jakarta
xix
Kepadatan pohon rata-rata mencapai 473 batang per hektar dengan rata-rata ketinggian 13,15 meter yang berdiameter rata-rata mencapai 14,80 cm. Untuk anak pohon (diameter 2 - ≤ 10 cm), terdapat 11 jenis dimana jenis Rhizophora apiculata mendominasi P. Sipora , P. Siburu dan P. Siberut, sedangkan P. Kuboi dan P. Silebut didominasi jenis Bruguiera sexangula dan Rhizophora mucronata. Kepadatan anak pohon rata-rata mencapai 2905 batang per hektar dengan ketinggian rata-rata 4,93 meter dan diameter 5,07 cm. Dari hasil RRI, LIT dan pengamatan bebas berhasil dijumpai 166 jenis karang batu yang termasuk dalam 19 suku. Pengamatan terumbu karang dengan metode RRI yang dilakukan di 48 stasiun dijumpai persentase tutupan karang hidup antara 0,88%-66,90%, dengan rerata persentase tutupan karang hidup 14,89%. Kelimpahan jumlah
Acanthaster
yang
sedikit,
planci,
yaitu
hanya
ditemukan 16
dalam
individu/ha.
Karang jamur (CMR=Coral Mushrom) dijumpai dalam jumlah yang berlimpah yaitu 7913 individu/ha. Bulu babi (Diadema setosum) dijumpai dalam jumlah sedang yaitu
sebanyak
556
individu/ha.
Sedangkan
Kima
(Giant clam) dijumpai dalam jumlah yang sedikit, dimana untuk yang berukuran besar (panjang >20 cm) kelimpahannya berukuran
sebesar
kecil
CRITC-COREMAP Jakarta
48
(panjang
individu/ha, <
20
cm)
dan sebesar
yang 71
xx
individu/ha. Demikian pula halnya dengan tripang (holothurian) dimana yang berukuran besar (diameter >20) kelimpahannya hanya sebesar 79 individu/ha, sedangkan yang berukuran kecil tidak dijumpai sama sekali selama pengamatan dilakukan. Jenis ikan karang Acanthurus lineatus merupakan jenis yang paling sering dijumpai selama pengamatan RRI, dimana jenis ini berhasil dijumpai di 30 stasiun dari 48 stasiun RRI (Frekuensi relatif kehadiran berdasarkan jumlah stasiun yang diamati= 62,50 %). Underwater Visual Census (UVC) yang dilakukan di 9 Stasiun transek permanen menjumpai sebanyak 157 jenis ikan karang yang termasuk dalam 25 suku, dengan kelimpahan ikan karang sebesar 12263 individu per hektarnya. Jenis Chromis ternatensis merupakan jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan yang tertinggi dibandingkan dengan jenis ikan karang lainnya, yaitu sebesar 1502 individu/ha-nya Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting yang diperoleh dari UVC di lokasi transek permanen seperti ikan kakap (suku Lutjanidae) yaitu 165 individu/ha, ikan kerapu (suku Serranidae) 73 individu/ha, ikan ekor kuning (suku Caesionidae) yaitu 32 individu/ha. Selama penelitian
berlangsung,
ikan
Napoleon
(Cheilinus
undulatus) tidak dijumpai. Ikan kepe-kepe (Butterfly fish; suku Chaetodontidae) yang merupakan ikan indikator untuk menilai kesehatan terumbu karang memiliki kelimpahan 486 individu/ha.
CRITC-COREMAP Jakarta
xxi
Perbandingan kelimpahan kelompok ikan major, ikan target dan ikan indikator berturut-turut adalah 9219 individu/ha, 2559 individu/ha dan 486 individu/ha, sehingga perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator adalah 19:5:1. Ini berarti bahwa untuk
setiap
25
ikan
yang
dijumpai
di
perairan
Mentawai, kemungkinan komposisinya terdiri dari 19 individu ikan major, 5 individu ikan target dan 1 individu ikan indikator. Stasiun
MTWL01
dan
MTWL03
terlihat
memiliki
kemiripan yang tinggi baik dilihat dari jenis karang batunya, kelimpahan mega benthos (yang memiliki nilai ekonomi penting ataupun sebagai indikator kesehatan terumbu karang), maupun dari kelimpahan jenis ikan karangnya. Kedua stasiun tersebut berada pada sisi timur yang berhadapan dengan daratan P. Sumatera. Secara umum kualitas perairannya dapat dikatakan relatif masih baik untuk kehidupan karang serta biota laut lainnya.
C. S ARAN Dari pengalaman dan hasil yang diperoleh selama melakukan penelitian di lapangan maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut: Kesimpulan yang diambil mungkin tidak seluruhnya benar
untuk
menggambarkan
kondisi
Kepulauan
Mentawai secara keseluruhan mengingat penelitian kali ini difokuskan hanya pada perairan P. Sipora bagian
CRITC-COREMAP Jakarta
xxii
utara dan perairan P. Siberut bagian selatan. Selain itu, jumlah stasiun yang diambil untuk transek permanen (untuk
penelitian
karang,
mega
benthos
dan
ikan
karang) yang jumlahnya 9 stasiun juga masih sangatlah terbatas. Hal ini dikarenakan waktu penelitian yang sangat terbatas. Untuk itu sebaiknya jumlah stasiun transek permanen bisa ditambahkan pada penelitian selanjutnya. Secara umum, kualitas perairan di lokasi yang diteliti, dapat dikatakan relatif masih baik untuk kehidupan karang serta biota laut lainnya. Keadaan seperti ini perlu
dipertahankan
bahkan
jika
mungkin,
lebih
ditingkatkan lagi daya dukungnya, untuk kehidupan terumbu
karang
dan
biota
lainnya.
Pencemaran
lingkungan dan kerusakan lingkungan harus dicegah sedini mungkin, sehingga kelestarian sumberdaya yang ada tetap terjaga dan lestari. Dengan meningkatnya kegiatan di darat di sekitar Kepulauan Mentawai, pasti akan membawa pengaruh terhadap
ekosistem
di
perairan
ini,
baik
secara
langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, penelitian kembali di daerah ini sangatlah penting dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi sehingga hasilnya bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola ekosistem terumbu karang secara
lestari.
Selain
itu,
data
hasil
pemantauan
tersebut juga bisa dipakai sebagai bahan evaluasi keberhasilan COREMAP.
CRITC-COREMAP Jakarta
xxiii
BAB I. PENDAHULUAN
A. L ATAR B ELAKANG COREMAP yang direncanakan berlangsung selama 15 tahun, yang terbagi dalam 3 fase, kini telah memasuki fase II. Pada fase ini terdapat penambahan beberapa lokasi baru
yang
pendanaannya
dibiayai
oleh
ADB
(Asian
Development Bank). Salah satu lokasi baru itu adalah Kepulauan Mentawai, yang secara administratif masuk ke dalam Kabupaten Mentawai, Propinsi Sumatera Barat. Wilayah Kabupaten Mentawai merupakan gugusan pulau yang terdiri dari empat pulau besar yaitu P. Siberut, P. Sipora, P. Pagai Utara dan P. Pagai Selatan serta beberapa pulau kecil disekitarnya, yang terletak sekitar 120 mil di sebelah barat pantai Padang, Sumatera Barat. Gugusan pulau-pulau tersebut dikenal sebagai Kepulauan Mentawai yang dahulu secara administratif masuk kedalam wilayah
Kabupaten
Padang
Pariaman.
Tetapi
seiring
dengan perkembangan otonomi daerah, kini kepulauan tersebut berkembang menjadi kabupaten sendiri yaitu Kabupaten Mentawai dengan ibukota kabupaten di Tua Pejat yang berada di P. Sipora. Secara
umum
daerah
kajian
merupakan
daerah
dataran rendah dengan beberapa puncak bukit. Tutupan lahannya sebagian besar adalah berupa hutan primer. Untuk P. Siberut, sebagian besar hutan itu dikonservasi dalam bentuk sebagai kawasan Taman Nasional. Dari segi
CRITC-COREMAP Jakarta
1
pemanfaatan lahan, P. Sipora terlihat lebih berkembang dibandingkan P. Siberut. Pemanfaatan yang lazim di kedua pulau tersebut adalah perkebunan rakyat yang umumnya berupa tanaman kelapa di mintakat dekat pantai serta tanaman cengkeh untuk mintakat yang agak kedalam. Ditinjau secara litologis, kedua pulau mempunyai litologi batu lempungan dengan di beberapa tempat ada sisipan batuan intrusive. Dari umur geologi dapat diindikasaikan sebagai wilayah yang berumur resen dan masih muda. Oleh karena wilayah ini termasuk dalam jalur katulistiwa maka mempunyai curah hujan, kelembaban dan suhu udara yang tinggi. Curah hujan tahunan di atas 3000 mm, kelembaban di atas 75% dengan suhu udara antara 22 – 33 o C. Dengan batuan dasar lempungan dan kondisi iklim yang demikian, maka perkembangan tanah di wilayah itu sangat baik. Solum tanah cukup tebal walaupun sifatnya jelek karena tidak dapat meloloskan air dan batuannyapun tidak dapat menyimpan air. Sebagai akibatnya air tanah di daerah itu kurang mencukupi. Jikalau ada air tanah pun hanya di mintakat dekat pantai yang mutunya kurang baik. Kepulauan Mentawai secara geografis berada di Samudera Hindia sehingga perairan di kepulauan ini mempunyai sistem arus dan karakteristik massa air yang sangat
dipengaruhi
oleh
sistem
yang
berkembang
di
Samudera Hindia. Rataan pantainya umumnya sempit dan memiliki pantai yang curam dan dalam baik di sisi Samudera Hindia maupun pada sisi yang menghadap daratan Sumatera.
CRITC-COREMAP Jakarta
2
Penduduk
Kepulauan
Mentawai
merupakan
campuran dari beberapa suku, baik suku asli maupun pendatang
yang
telah
bermukim
sejak
lama.
Mata
pencaharian umumnya sebagai petani dan nelayan. Namun pekerjaan sebagai petani (terutama cengkeh dan kelapa) lebih dominan. Pada umumnya, kegiatan sebagai nelayan hanya dilakukan apabila harga ikan relative mahal. Dilihat dari sumberdaya perairannya, Kepulauan Mentawai memiliki potensi sumberdaya yang cukup andal bila dikelola dengan baik. Perairan ini memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan laut seperti ekosistem mangrove, lamun dan
karang.
pesatnya
Seiring
dengan
pembangunan
di
berjalannya
segala
bidang
waktu serta
dan krisis
ekonomi yang berkelanjutan telah memberikan tekanan yang
lebih
besar
terhadap
lingkungan
sekitarnya,
khususnya lingkungan perairannya. Perubahan kondisi perairan yang diakibatkan oleh perubahan fungsi hutan untuk peruntukan lahan di daratan Kabupaten Mentawai, terutama pada penebangan hutan yang
intensif
akan
mengubah
kondisi
lingkungan.
Perubahan sekecil apapun yang terjadi di daratan akan membawa
pengaruh
yang
signifikan
pada
kualitas
perairannya. Pengaruhnya disamping terjadi di daerah tersebut juga akan terdistribusi ke daerah lain yang terbawa oleh gerakan massa air melalui sistem arus yang berkembang di daerah ini. Sebagai
lokasi
baru
COREMAP,
studi
baseline
ekologi (ecological baseline study) sangatlah diperlukan
CRITC-COREMAP Jakarta
3
untuk mendapatkan data dasar ekologi di lokasi tersebut, termasuk kondisi ekosistem terumbu karang, mangrove dan juga kondisi lingkungannya. Data-data yang diperoleh diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola ekosistem terumbu karang secara lestari. Selain itu, dalam studi ini juga dibuat beberapa transek permanen di masing-masing lokasi baru tersebut sehingga bisa dipantau di masa mendatang. Adanya data dasar dan data hasil pemantauan pada masa mendatang sebagai data pembanding, dapat dijadikan bahan evaluasi yang penting bagi keberhasilan COREMAP.
B. T UJUAN P ENELITIAN Tujuan dari studi baseline ekologi ini adalah sebagai berikut: Mendapatkan Mentawai,
data
dasar
termasuk
ekologi
kondisi
di
Kabupaten
ekosistem
terumbu
karang, mangrove dan juga kondisi lingkungannya. Membuat transek permanen di beberapa tempat di Kabupaten Mentawai agar dapat dipantau di masa mendatang.
C. R UANG L INGKUP P ENELITIAN Ruang lingkup studi baseline ekologi ini meliputi empat tahapan yaitu: 1.
Tahap
persiapan,
meliputi
kegiatan
administrasi,
koordinasi dengan tim penelitian baik yang berada di
CRITC-COREMAP Jakarta
4
Jakarta maupun di daerah setempat, pengadaan dan mobilitas
peralatan
penelitian
serta
perancangan
penelitian untuk memperlancar pelaksanaan survey di lapangan. Selain itu, dalam tahapan ini juga dilakukan persiapan penyediaan peta dasar untuk lokasi penelitian yang akan dilakukan. 2. Tahap pengumpulan data, yang dilakukan langsung di lapangan yang meliputi data tentang kualitas perairan baik fisika maupun kimia perairan, terumbu karang, ikan karang dan mangrove. 3. Tahap analisa data, yang meliputi verifikasi data lapangan dan pengolahan data sehingga data lapangan bisa disajikan dengan lebih informatif. 4. Tahap pelaporan, yang meliputi pembuatan laporan sementara dan laporan akhir.
CRITC-COREMAP Jakarta
5
BAB II. METODE PENELITIAN
A. L OKASI P ENELITIAN Dari beberapa pulau yang terdapat di Kabupaten Mentawai, lokasi penelitian dilakukan di sekitar perairan P. Sipora bagian Utara dan P. Siberut bagian Selatan serta pulau-pulau kecil disekitarnya (Gambar 1), yang terletak di Kabupaten Mentawai, Propinsi Sumatera Barat. Pada lokasi ini pun,
penelitian dikhususkan hanya di sekitar
desa yang menjadi lokasi COREMAP Fase 2 yaitu Tuapejat (P. Sipora), serta Katurai dan Muara Siberut (P. Siberut). Dalam penelitian ini, sebelum penarikan sampel dilakukan,
terlebih
dahulu
ditentukan
peta
sebaran
terumbu karang di perairan tersebut berdasarkan peta sementara (tentative) yang diperoleh dari hasil interpretasi data citra digital Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper Plus (Landsat ETM+). Kemudian dipilih secara acak titiktitik penelitian (stasiun) sebagai sampel. Jumlah stasiun untuk masing-masing kelompok penelitian berbeda-beda disesuaikan dengan jumlah personil dan waktu yang tersedia, tetapi diharapkan sampel yang terambil cukup mewakili untuk menggambarkan tentang kondisi perairan di lokasi tersebut.
CRITC-COREMAP Jakarta
6
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat.
CRITC-COREMAP Jakarta
7
Untuk parameter temperatur dan salinitas air laut dilakukan di 27 stasiun dimana 16 stasiun terdapat di perairan P. Sipora bagian ut ara (Gambar 2.a. dan Lampiran 1) dan 11 stasiun terdapat di perairan P. Siberut bagian selatan (Gambar 2.b. dan Lampiran 1). Untuk parameter kecepatan dan arah arus air laut, selain dilakukan di sepanjang lintasan timur dan barat P. Sipora bagian utara serta lintasan di selat antara P. Sipora dan P. Siberut, juga dilakukan di dua stasiun harian yang terletak di timur dan barat P. Sipora bagian utara. Untuk
parameter
fosfat,
nitrit,
nitrat,
oksigen
terlarut, pH, kecerahan, warna, bau, benda padat terapung, dan
zat
padat
tersuspensi
dilakukan
di
22
stasiun
penelitian (Gambar 3.a., Gambar 3.b. dan Lampiran 2). Untuk mangrove, transek dilakukan di 8 stasiun yang terdapat di 5 pulau yang meliputi P. Sipora, P. Siburu, P. Siberut, P. Kuboi dan P. Silebut (Gambar 4.a., Gambar 4.b. dan Lampiran 3). Untuk
kelompok
karang
dan
ikan
karang,
pengamatan dilakukan di 48 stasiun dengan menggunakan metode RRI (Rapid Reef Resources Inventory) (Gambar 5.a.,
Gambar
5.b.
dan
Lampiran
4).
Untuk
proses
pemantauan kondisi kesehatan karang di masa sekarang dan yang akan datang, dipilih 9 stasiun sebagai titik-titik transek permanen (permanent transect) untuk karang, mega benthos yang memiliki nilai ekonomis penting dan sebagai indikator kesehatan terumbu karang, serta ikan karang (Gambar 6.a., Gambar 6.b. dan Lampiran 5).
CRITC-COREMAP Jakarta
8
Gambar 2.a. Posisi stasiun penelitian untuk temperatur dan salinitas air laut di perairan P. Sipora bagian utara.
CRITC-COREMAP Jakarta
9
Gambar 2.b.
CRITC-COREMAP Jakarta
Posisi stasiun penelitian untuk temperatur dan salinitas air laut di perairan P. Siberut bagian selatan dan sekitarny a.
10
Gambar 3.a. Posisi stasiun penelitian untuk parameter fosfat, nitrit, nitrat, oksigen terlarut, pH, kecerahan, warna, bau, benda padat terapung, dan zat padat tersuspensi di perairan P. Sipora bagian utara dan sekitarny a.
CRITC-COREMAP Jakarta
11
Gambar 3.b. Posisi stasiun penelitian untuk parameter fosfat, nitrit, nitrat, oksigen terlarut, pH, kecerahan, warna, bau, benda padat terapung, dan zat padat tersuspensi di perairan P. Siberut bagian selatan dan sekitarny a.
CRITC-COREMAP Jakarta
12
Gambar 4.a. Posisi stasiun penelitian mangrove di P. Sipora bagian utara dan sekitarny a.
CRITC-COREMAP Jakarta
13
Gambar 4.b. Posisi stasiun penelitian mangrove di P. Siberut bagian selatan dan sekitarny a.
CRITC-COREMAP Jakarta
14
Gambar 5a. Posisi stasiun penelitian untuk terumbu karang dan ikan karang dengan metode RRI di perairan P. Sipora bagian utara dan sekitarny a.
CRITC-COREMAP Jakarta
15
Gambar 5.b.
Posisi stasiun penelitian untuk terumbu karang dan ikan karang dengan metode RRI di perairan P. Siberut bagian selatan dan sekitarny a.
CRITC-COREMAP Jakarta
16
Gambar 6a. Posisi stasiun penelitian untuk karang, mega benthos dan ikan karang pada stasiun transek permanen di perairan P. Sipora bagian utara dan sekitarny a.
CRITC-COREMAP Jakarta
17
Gambar 6b. Posisi stasiun penelitian untuk karang, mega benthos dan ikan karang pada lokasi transek permanen di perairan P. Siberut bagian selatan dan sekitarny a.
CRITC-COREMAP Jakarta
18
B. W AKTU P ENELITIAN Berhubung
kegiatan
penelitian
di
lapangan
dilakukan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VIII. Untuk efisiensi waktu dan biaya, kegiatan penelitian ini dilakukan menjadi satu dengan kegiatan studi baseline ekologi di perairan Nias dan Tapanuli Tengah. Kegiatan lapangan di ketiga lokasi tersebut berlangsung pada Mei – Juni 2004.
C. P ELAKSANA P ENELITIAN Kegiatan penelitian di lapangan ini melibatkan staf CRITC (Coral Reef Information and Training Centre) Jakarta dibantu oleh para peneliti dan teknisi Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, beberapa staf dari daerah setempat yang berasal dari CRITC daerah, BAPPEDA, serta Dinas Perikanan dan Kelautan. Seorang mahasiswa dari Jakarta (Universitas Indonesia) juga turut serta dalam survey
ini
untuk
melengkapi
Kegiatan
Praktek
Lapangannya.
D. M ETODE P ENARIKAN S AMPEL
DAN
A NALISA D ATA
Penelitian Ecological Baseline Study ini melibatkan beberapa kelompok penelitian dan dibantu oleh personil untuk dokumentasi. Metode penarikan sampel dan analisa data
yang
digunakan
oleh
masing-masing
kelompok
penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
CRITC-COREMAP Jakarta
19
1. Sistem Informasi Geografi Untuk keperluan pembuatan peta dasar ekosistem perairan dangkal, hasil interpretasi citra penginderaan jauh (indraja) digunakan sebagai data dasar. Data citra indraja yang dipakai dalam studi ini adalah citra digital Landsat
7
Enhanced
Thematic
Mapper
Plus
(selanjutnya disebut Landsat ETM+) pada kanal sinar tampak dan kanal infra-merah dekat (band 1,2,3,4 dan 5). Saluran ETM+ 7 tidak digunakan dalam studi ini karena studinya lebih ke mintakat perairan bukan mintakat daratan. Sedangkan saluran infra-merah dekat ETM+ 4 dan 5 tetap dipakai karena band 4 masih berguna untuk perairan dangkal dan band 5 berguna untuk pembedaan mintakat mangrove. Citra
yang
digunakan
adalah
citra
dengan
cakupan penuh (full scene) yaitu 185 km x 185 km persegi.
Ukuran
piksel,
besarnya
unit
areal
di
permukaan bumi yang diwakili oleh satu nilai digital citra, pada saluran multi-spectral (band 1,2,3,4,5 dan 7) adalah 30 m x 30 m persegi. Adapun citra yang digunakan dalam studi ini seluruhnya ada 2 scenes yaitu: path-row 128-61 dan 128-62 (merekam wilayah P. Sipora dan P. Siberut). Sebelum kerja lapang dilakukan, di laboratorium terlebih dulu disusun peta tentatif.
Pengolahan citra
untuk penyusunan peta dilakukan dengan perangkat lunak Extension Image Analysis 1.1 pada ArcView 3.2 version.
CRITC-COREMAP Jakarta
20
Prosedur mendapatkan
untuk peta
pengolahan
tentatif
daerah
citra
sampai
studi
meliputi
beberapa langkah berikut ini: Langkah
pertama,
citra
dibebaskan
atau
setidaknya dikurangi terhadap pengaruh noise yang ada. Koreksi untuk mengurangi noise ini dilakukan dengan teknik smoothing menggunakan filter low-pass. Langkah kedua, yaitu memblok atau membuang daerah tutupan awan. Ini dilakukan dengan pertamatama memilih areal contoh (training area) tutupan awan dan kemudian secara otomatis komputer diminta untuk memilih seluruh daerah tutupan awan pada cakupan citra. Setelah terpilih kemudian dikonversikan menjadi format shape file. Konversi ini diperlukan agar didapatkan data berbasis vektor (data citra berbasis raster) beserta topologinya yaitu tabel berisi atribut yang sangat berguna untuk analisis selanjutnya. Dari tabel itu kemudian dilakukan pemilihan daerah yang bukan awan dan selanjutnya disimpan dalam bentuk shape file. Daerah bukan awan inilah yang akan digunakan untuk analisis lanjutan. Langkah ketiga, yaitu memisahkan mintakat darat dan mintakat laut. Pada citra yang telah bebas dari
tutupan
awan
dilakukan
digitasi
batas
pulau
dengan cara digitasi langsung pada layar komputer (on the screen digitizing). Agar diperoleh hasil digitasi dengan ketelitian memadai, digitasi dilakukan pada skala tampilan citra 1 : 25000. Digitasi batas pulau ini dilakukan pada citra komposit warna semu kombinasi
CRITC-COREMAP Jakarta
21
band
4,
2,1.
Kombinasi
ini
dipilih
karena
dapat
memberikan kontras wilayah darat dan laut yang paling baik.
Agar
kontrasnya
maksimum,
penyusunan
komposit citra mengunakan data yang telah dipertajam dengan perentangan kontras non-linier model gamma. Setelah batas pulau diselesaikan, dengan cara yang sama pada mintakat laut didigitasi batas terluar dari mintakat terumbu. Komposit citra yang digunakan adalah kombinasi band 3,2,1 dengan model perentangan kontras yang sama. Sedangkan untuk digitasi batas sebaran mangrove, digunakan kombinasi citra lain yaitu kombinasi band 5,4,3. Dengan kombinasi ini disertai teknik perentangan kontras model gamma, mintakat pesisir yang ditumbuhi mangrove akan sangat mudah dibedakan dengan mintakat yang bervegetasi lain. Hasil interpretasi berupa peta sebaran mangrove dan terumbu karang yang bersifat tentatif. Berdasarkan secara
acak
peta
dipilih
tentatif
titik-titik
tersebut lokasi
kemudian
sampel
serta
ditentukan posisinya. Titik-titik sampel itu di lapangan dikunjungi dengan dipandu oleh alat penentu posisi secara global atau GPS. Selain sampel model titik-titik ini digunakan pula sampel model garis transek dari pantai kearah tubir yang juga dipilih secara acak. GPS yang dipergunakan saat kerja lapang adalah merk Garmin tipe 12CX dengan ketelitian posisi absolut sekitar 15 meter. Dari data yang terkumpul kemudian di laboratorium dilakukan interpretasi dan digitasi ulang agar diperoleh batas yang lebih akurat.
CRITC-COREMAP Jakarta
22
2. Kualitas Perairan Untuk kualitas perairan yang terdiri dari beberapa parameter fisika dan kimia osenaografi yaitu : a. Temperatur dan salinitas air laut diukur dengan menggunakan alat CTD (Conductive Temperature Depth), b.
Kecepatan
dan
arah
arus
air
laut
diukur
menggunakan alat ADCP (Accoustic Dopler Current Profiler), c. Fosfat, nitrit dan nitrat dengan spektrofotometer secara colorimetri (Stricland and Parson, 1968), d. Oksigen terlarut dengan titrasi (Winkler) secara titrimetri (Stricland and Parson, 1968), e. pH dengan pH meter portable (elektometrik), f. Kecerahan, warna, benda padat terapung secara visual, g. Bau secara organoleptik, h. Zat padat tersuspensi secara gravimetri (Alaert and Santika, 1995). 3. Mangrove Pengambilan data dilakukan baik secara koleksi bebas maupun dengan transek. Untuk transek digunakan metode
kuadrat
(Cox,
1967),
yaitu
dengan
menggunakan transek yang tegak lurus dengan garis pantai.
Setiap
transek
dibuat
petak-petak
yang
berukuran 10 x 10 meter untuk pohon (diameter >10
CRITC-COREMAP Jakarta
23
cm) secara berurutan mulai dari garis pantai sampai batas darat. Pada petak ini dihitung jenis, jumlah individu masing-masing jenis, diukur diameter, tinggi pohon. Untuk belta (diameter 2 cm sampai ≤10 cm) dibuat petak yang berukuran 5m x 5m meter yang terletak pada plot yang berukuran 10m x 10m dan juga dilakukan perhitungan seperti pada petak untuk pohon. Dari data tersebut diatas dapat diperoleh nilai kerapatan nisbi (KN), dominasi nisbi (DN), frekuensi nisbi (FN) dan nilai penting (NP) yang merupakan penjumlahan dari 3 kriteria tersebut. Jumlah individu suatu jenis KN = -------------------------------------------- x 100% Jumlah individu untuk semua jenis Nilai frekuensi suatu jenis FN = ------------------------------------------------------ x 100% Jumlah nilai-nilai frekuensi untuk semua jenis J u mla h t i t i k p e n g a mb i l a n c o n to h j e n is t e r d a p a t Frekuensi = ------------------------------------------------------- x 100% J u mla h s e mu a t i t i k p e n g a mb i l a n c o n to h
Jumlah luas bidang dasar untuk jenis DN = ---------------------------------------------------- x 100% Jumlah luas bidang dasar untuk semua jenis NP = KN + FN + DN
3. Karang Untuk mengetahui secara umum kondisi terumbu karang seperti persentase tutupan biota dan substrat di terumbu
karang
pada
setiap
stasiun
penelitian
digunakan metode Rapid Reef Resources Inventory
CRITC-COREMAP Jakarta
24
(RRI) (Long et al., 2004). Dengan metode ini, di setiap titik pengamatan yang telah ditentukan sebelumnya, seorang pengamat berenang selama sekitar 5 menit dan mengamati biota dan substrat yang ada di sekitarnya. Kemudian pengamat memperkirakan persentase tutupan dari masing-masing biota dan substrat yang dilihatnya selama kurun waktu tersebut dan mencatatnya ke kertas tahan air yang dibawanya. Pada
beberapa
stasiun
penelitian
dipasang
transek permanen di kedalaman antara 3-5 m yang diharapkan bisa dipantau di masa mendatang. Pada lokasi
transek
permanen,
data
diambil
dengan
menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) mengikuti English et al., (1997), dengan beberapa modifikasi. Panjang garis transek 10 m dan diulang sebanyak 3 kali. Teknis pelaksanaan di lapangannya yaitu seorang penyelam meletakkan pita berukuran sepanjang 70 m sejajar garis pantai dimana posisi pantai ada di sebelah kiri penyelam. Kemudian LIT ditentukan pada garis transek 0-10 m, 30-40 m dan 6070 m. Semua biota dan substrat yang berada tepat di garis
tersebut
dicatat
dengan
ketelitian
hingga
centimeter. Dari data hasil LIT tersebut bisa dihitung nilai persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substrat yang berada di bawah garis transek. Selain itu juga bisa diketahui jenis-jenis karang batu dan ukuran panjangnya, sehingga bisa dihitung nilai indek keanekaragaman Shannon (Shannon diversity index =
CRITC-COREMAP Jakarta
25
H’) (Shannon, 1948 ; Zar, 1996) dan indeks kemerataan Pielou (Pielou’s evenness index = J’) (Pielou, 1966 ; Zar, 1996) untuk jenis karang batu pada masing-masing stasiun
transek
permanen
yang
diperoleh
dengan
metode LIT. Rumus untuk nilai H’ dan J’ adalah : k H' = -Σ p i ln p i i=1 dimana p i = n i /N n i = frekuensi kehadiran jenis i N = frekuensi kehadiran semua jenis
J' = (H'/H' max ) H' max = ln S
dimana
S
= jumlah jenis
Selain itu, beberapa analisa lanjutan dilakukan dengan bantuan program statistik seperti analisa regresi (Supranto, 1991; Neter et al. 1996), analisa korelasi (Supranto,
1991;
pengelompokan
Neter
(Cluster
et
al.
analysis)
1996),
analisa
(Warwick
and
Clarke, 2001) dan Multi Dimensional Scaling (MDS) (Warwick and Clarke, 2001). 4. Mega Benthos Untuk mengetahui kelimpahan beberapa mega benthos,
terutama
yang
memiliki
nilai
ekonomis
penting dan bisa dijadikan indikator dari kesehatan terumbu karang, dilakukan metode Reef Check (yang
CRITC-COREMAP Jakarta
26
dimodifikasi) pada semua stasiun transek permanen. Semua biota tersebut yang berada 1 m di sebelah kiri dan kanan pita berukuran 70 m tadi dihitung jumlahnya, sehingga luas bidang yang teramati per transeknya yaitu (2 x 70) = 140 m 2 . Analisa lanjutan seperti analisa pengelompokan (Cluster
analysis)
dan
Multi
Dimensional
Scaling
(MDS) (Warwick and Clarke, 2001) dilakukan terhadap data kelimpahan individu dari beberapa mega benthos yang dijumpai. 5. Ikan Karang Seperti halnya terumbu karang, metode RRI juga diterapkan pada penelitian ini untuk mengetahui secara umum jenis-jenis ikan yang dijumpai pada setiap titik pengamatan. Sedangkan pada setiap titik transek permanen, metode
yang
digunakan
yaitu
metode
Underwater
Visual Census (UVC), dimana ikan-ikan yang dijumpai pada jarak 2,5 m di sebelah kiri dan sebelah kanan garis
transek
sepanjang
70
m
dicatat
jenis
dan
jumlahnya. Sehingga luas bidang yang teramati per transeknya yaitu (5 x 70 ) = 350 m 2 . Identifikasi jenis ikan karang mengacu kepada Masuda (1984), Kuiter (1992) dan Lieske dan Myers (1994). Khusus untuk ikan kerapu (grouper) digunakan acuan dari Randall and Heemstra (1991) dan FAO Species Catalogue Heemstra dan Randall (1993).
CRITC-COREMAP Jakarta
27
Sama halnya seperti pada karang, nilai indek keanekaragaman Shannon (Shannon diversity index = H’) (Shannon, 1948 ; Zar, 1996) dan indeks kemerataan Pielou (Pielou’s evenness index = J’) (Pielou, 1966 ; Zar, 1996) untuk jenis ikan karang di masing-masing stasiun transek permanen dari hasil UVC. Selain itu juga dihitung kelimpahan jenis ikan karang
dalam
kelimpahan
satuan
tiap
unit
jenis
ikan
individu/ha. karang
Dari
yang
data
dijumpai
dimasing-masing stasiun transek permanen dilakukan analisa pengelompokan (Cluster analysis) dan Multi Dimensional Scaling (MDS) (Warwick and Clarke, 2001). Spesies
ikan
yang
didata
dikelompokkan
ke
dalam 3 kelompok utama (ENGLISH, et al., 1997), yaitu : a. Ikan-ikan target, yaitu ikan ekonomis penting dan biasa ditangkap untuk konsumsi.
Biasanya mereka
menjadikan
sebagai
terumbu
karang
pemijahan dan sarang/daerah asuhan.
tempat Ikan-ikan
target ini diwakili oleh famili Serranidae (ikan kerapu), Lutjanidae (ikan kakap), Lethrinidae (ikan lencam), Nemipteridae (ikan kurisi), Caesionidae (ikan ekor kuning), Siganidae (ikan baronang), Haemulidae (ikan bibir tebal), Scaridae (ikan kakak tua) dan Acanthuridae (ikan pakol); b. Ikan-ikan indikator, yaitu jenis ikan karang yang khas mendiami daerah terumbu karang dan menjadi indikator
kesuburan
CRITC-COREMAP Jakarta
ekosistem
daerah
tersebut.
28
Ikan-ikan
indikator
diwakili
oleh
famili
Chaetodontidae (ikan kepe-kepe); c. Ikan-ikan major, merupakan jenis ikan berukuran kecil,
umumnya
5–25
cm,
dengan
karakteristik
pewarnaan yang beragam sehingga dikenal sebagai ikan
hias.
Kelompok
ini
umumnya
ditemukan
melimpah, baik dalam jumlah individu maupun jenisnya, serta cenderung bersifat teritorial.
Ikan-
ikan ini sepanjang hidupnya berada di terumbu karang, diwakili oleh famili Pomacentridae (ikan betok laut), Apogonidae (ikan serinding), Labridae (ikan sapu-sapu), dan Blenniidae (ikan peniru).
CRITC-COREMAP Jakarta
29
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. S ISTEM I NFORMASI G EOGRAFI Peta akhir hasil analisis dideskripsi dan dibahas berdasarkan data hasil pengamatan lapangan yang telah dikumpulkan. Selain itu dibahas pula geometri citra dan keterbatasan yang ada dalam pemrosesan citra sehingga tersusun peta akhir. 1. Geometri Citra Data
mentah
citra
(raw
data)
sudah
dalam
kondisi terkoreksi geometri karena produk data Landsat 7 ETM+ yang dipasarkan merupakan data level 1G. Pada level ini data sudah terkoreksi geometri dengan datum
WGS’84
menggunakan
sistem
koordinat
Universal Transverse Mercator (UTM). Berdasarkan keterangan yang tertera pada dokumen produk data Landsat 7, data yang direkam satelit memiliki tingkat kesalahan posisi kurang dari 50 meter. Ketelitian ini dapat dinaikkan lagi dengan aplikasi koreksi geometri menggunakan
ground
control
points
(GCP)
lokal
sampai mencapai kurang dari 15 meter kesalahannya. Untuk studi kali ini, walaupun rencananya akan diaplikasikan koreksi geometri citra ke koordinat lokal dengan GCP lokal, hal ini tidak jadi dilaksanakan. Ini didasari suatu kenyataan bahwa dari semua titik ground check di lapangan yang tersebar pada terumbu dekat pantai, terumbu tengah dan tubir, ternyata kesemuanya
CRITC-COREMAP Jakarta
30
dapat
diplot
dengan
baik
pada
peta
dasar.
Ini
mengindikasikan bahwa tingkat kesalahan posisi karena kesalahan geometri peta hasil interpretasi kurang dari 1 piksel citra (kurang dari 30 meter). Untuk itu koreksi geometri dengan koordinat lokal sudah tidak diperlukan lagi karena seluruh posisi hasil pengukuran di lapangan akan dapat diplotkan ke peta dasar dengan presisi tinggi. 2. Interpretasi Citra Sebelum proses klasifikasi, batas-batas pulau dan juga batas tubir terumbu didigitasi. Pada prakteknya pendigitasian
ini
menemui
kendala
ketika
harus
mendigit daerah yang tertutup awan. Satu-satunya jalan adalah
dengan
mendigit
secara
menduga-duga.
Konsekuensinya, hasil digitasi merupakan batas yang tidak akurat. Hal inilah yang menjadi kendala dan sekaligus merupakan keterbatasan metode ini. Namun demikian oleh karena kondisi citra yang tertutup awan ini
tidak
begitu
banyak
dijumpai
maka
dapatlah
dimaklumi. Keterbatasan lain dengan klasifikasi dengan citra ini
adalah
keterbatasan
kemampuan
energi
elektromagnetik dalam hal penetrasinya pada perairan. Oleh karena itu untuk keperluan interpretasi obyek bawah air seperti kali ini hanya menggunakan band 1, 2, 3, dan 4 sebagai masukan dalam proses penyusunan komposit citra. Ini didasari beberapa referensi yang mengatakan
bahwa
band-band
itulah
yang
mampu
menembus kedalam air. Pada perairan agak jernih
CRITC-COREMAP Jakarta
31
sampai jernih (seperti di daerah studi) band 4 dapat menembus sampai kedalaman 0,5 meter. Band 3 dapat menembus sampai kedalaman sekitar 5 meter. Band 2 lebih dalam lagi yaitu mencapai 15 meter, dan band 1 dapat
mencapai
25
meter
bahkan
bisa
diatas
30
meteran. Ini berarti bahwa obyek, apapun itu, yang berada di kedalaman lebih dari 25 m sangat sulit diidentifikasi. Pada studi ini telah disebutkan bahwa untuk peta tentatif
obyek
bawah
air
di
perairan
dangkal
diklasifikasi menjadi 3 klas yaitu fringing reef, patch reef, dan shoal. Setelah dilakukan pengecekan lapangan di seluruh titik sampel, ternyata hanya dijumpai kurang dari 10 % yang kurang tepat delineasinya (salah interpretasi). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketelitian interpretasi lebih dari 90%. Beberapa lokasi sampel
yang
delineasi
salah
ulang
tersebut
berdasarkan
kemudian data
dari
dilakukan lapangan.
Hasilnya kemudian disajikan menjadi peta sebaran terumbu karang dan mangrove. Berdasarkan peta hasil akhir ini kemudian dihitung luas mangrove dan terumbu karang. Hasilnya disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan citra komposit warna semu (false color composite) band 4,2,1 untuk saluran warna merah, hijau dan biru, dapat diinterpretasi bahwa di sepanjang pantai P. Siberut hanya ditemukan terumbu karang
tepi
(fringing
reef)
yang
umumnya
tipis.
Terumbu tepi cukup tebal didapati pada bagian depan dari desa Muara Siberut yang menghadap ke laut. Pada
CRITC-COREMAP Jakarta
32
bagian yang menghadap teluk walaupun ada tetapi hanya tipis. Sedangkan pada pulau-pulau kecil di dekatnya,
mintakat
terumbu
karang
relatif
tebal.
Ditemukan pula beberapa terumbu karang yang berupa gosong
(patch
reef).
Kondisi
ini
berbeda
dengan
keadaan di P. Sipora. Pada P. Sipora mintakat terumbu tepi tersebar hampir merata dengan ketebalan yang kurang-lebih sama antara pulau utama dan pulau-pulau kecil di dekatnya. Gosong terumbu di pulau tidak ditemukan dalam bentuk patch reef tetapi dalam bentuk shoal. Yang terakhir ini adalah gosong terumbu yang senantiasa berada di bawah permukaan air laut pada kondisi surut terendah sekalipun. Sedangkan patch reef adalah gosong terumbu yang kadang dapat muncul keatas
permukaan
air.
Kisaran
ketebalan
terumbu
adalah dari 30m – ratusan meter baik di kedua pulau yang menjadi daerah kajian. Dengan menggunakan kombinasi band 5, 4, 3, dalam citra komposit warna semu agar dapat mengenali mangrove dengan lebih baik, ternyata mangrove banyak ditemukan di P. Siberut dibanding di P. Sipora. Hampir di sepanjang pantai P. Siberut yang masuk wilayah studi ditumbuhi mangrove yang relatif tebal. Sedangkan di P. Sipora mangrove hanya ditemukan di sepanjang pantai sebelah utara dan timur saja. Mangrove juga ditemukan di pulau-pulau kecil baik yang dekat P. Siberut maupun dekat P. Sipora. Mangrove di pulaupulau kecil ini relatif tidak tebal dibandingkan dengan yang tumbuh di pulau utama.
CRITC-COREMAP Jakarta
33
Tabel 1. Luas mangrove dan terumbu karang di P. Sipora bagian utara dan P. Siberut bagian selatan. Luas (km2) Jenis Tutupan
Luas
Tua Pejat &
Katurai &
seluruhnya
Igosoinan
Muara Siberut
(km2)
9,7623
28,3498
38,1121
30,7747
25,6399
56,4146
-
7,6546
7,6546
24,2969
-
24,2969
Mangrove Terumbu karang Fringing reef Patch reef Shoal
B. K UALITAS
PERAIRAN
Penelitian
mengenai
kualitas
perairan
meliputi
parameter fisika dan kimia. 1. Temperatur Pada saat penelitian dilakukan di P. Sipora, perairan
dalam
kondisi
menjelang
pasang
hingga
menjelang surut. Temperature ar laut yang terekam oleh peralatan CTD SBE 16 sangat bervariasi, berkisar antara
29,6610°C
dan
30,7763°C
dengan
rata-rata
29,8540°C. Perbedaan temperatur permukaan untuk setiap lokasi sangat bervariasi tergantung pada lokasi dan pengaruh daratan yang berkembang serta profil kedalaman
perairan
berperan
dalam
mempengaruhi
temperatur, makin dalam perairannya makin rendah temperaturnya. Kisaran temperatur antara maksimum
CRITC-COREMAP Jakarta
34
dan minimum mencapai 1,1153°C (Tabel 2 dan Gambar 7). Selama Siberut,
penelitian
perairan
dalam
dilakukan kondisi
di
perairan
pasang
P.
minimum
hingga menjelang pasang maksimum. Temperature air laut yang terekam antara 29,4217°C hingga 30,0869 °C, dengan rerata temperatur untuk seluruh perairan ini 29,7704°C (Tabel 2). Temperatur perairan ini sangat dipengarui oleh daratan, terlihat dari data profil yang disajikan pada Gambar 8. Di perairan dekat pulau, permukaannya relatif tinggi kemudian menurun sesuai dengan kedalamannya, sedangkan di perairan selat antar pulau, termperatur yang terekan seragam dari permukaan hingga pada kedalaman 20 meter.
Tabel
2.
Hasil pengukuran temperatur pada seluruh stasiun penelitian di perairan P. Sipora bagian utara dan P. Siberut bagian selatan. Lokasi
Statistik Jumlah data Minimum Maksimum Kisaran Rerata Standar deviasi
CRITC-COREMAP Jakarta
P. Sipora bagian utara 146 29,6610 30,7763 1,1153 29.8541 0,22955
P. Siberut bagian selatan 238 29,4217 30,0869 0,6652 29,7704 0,10152
35
Gambar 7. Profil temperatur dan salinitas di perairan P. Sipora bagian utara.
Gambar 8. Profil temperatur dan salinitas di perairan P. Siberut bagian selatan.
CRITC-COREMAP Jakarta
36
2. Salinitas Pada saat penelitian dilakukan di P. Sipora, perairan
dalam
menjelang
kondisi
surut.
menjelang
Salinitas
air
pasang
hingga
yang
terekam
laut
berkisar antara 33,5856 PSU dan 33,9346 PSU dengan rata-rata 33,7785 PSU (Tabel 3). Profil salinitas dari permukaan
hingga
dekat
dasar
sangat
bervariasi,
tergantung pada kedalaman perairan dan lokasinya (Gambar 7). Selama Siberut,
penelitian
perairan
dalam
dilakukan kondisi
di
perairan
pasang
P.
minimum
hingga menjelang pasang maksimum. Profil salinitas untuk perairan ini mempunyai kisaran yang relatif rendah di perairan dekat daratan, kemudian meninggi sesuai dengan meningkatnya kedalaman. Di peraiaran selat antara pulau, profil salinitas yang terekam mirip dengan profil temperatur, mulai dari permukaan hingga dekat dasar relatif seragam. Salinitas yang terjadi selama penelitian berkisar antara 33,5778 PSU dan 33,9519 PSU (Gambar 8). Tabel 3. Hasil pengukuran salinitas pada seluruh stasiun penelitian di perairan P. Sipora bagian utara dan P. Siberut bagian selatan. Lokasi Statistik Jumlah data Minimum Maksimum Kisaran Rerata Standar deviasi
CRITC-COREMAP Jakarta
P. Sipora bagian utara 146 33,5856 33,9346 0,3490 33,7851 0,0613
P. Siberut bagian selatan 238 33,5778 33,9519 0,3741 33,8733 0,0662
37
3. Arus Pada lintasan ADCP di timur laut P. Sipora bagian utara (Trak Sipora_1a, Trak Sipora_1b, dan Trak Sipora _1c) yang dilakukan saat kondisi pasang menunjukkan bahwa kisaran kecepatan arusnya antara 5 cm/detik hingga 35 cm/detik, dengan arah dominan ke barat laut (Gambar 9). Kecepatan arus yang relatif tinggi, mencapai 50 cm/detik di temukan di kedalaman 60m hingga 100m. Arah arus pada kedalaman ini dominan ke barat laut. Pada kedalaman 100 m hingga dekat dasar, kecepatan arusnya relatif lemah kurang dari 20 cm/detik, dengan arah barat laut dan selatan.
Gambar 9. Vektor arus di timur P. Sipora bagian utara.
Kondisi arus di selat antara P. Sipora dan Siberut (Trak Sipora-Siberut), yang disajikan pada Gambar 10, menunjukkan
bahwa
CRITC-COREMAP Jakarta
kecepatan
arus
yang
terekam
38
mencapai 70 cm/detik. Arah arus pada kondisi menuju pasang ke utara di perairan dekat P. Sipora kemudian ke selatan di tengah selat dan kemudian dominan ke utara di sisi tenggara P. Siberut. Pada Trak Sipora_1d yang berada di barat P. Sipora bagian utara (Gambar 10) yang dilakukan pada kondisi perairan menuju pasang, arah arus dominan ke utara untuk seluruh kolom air.
Gambar 10. Vektor arus di selat antara P. Sipora dan P. Siberut.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Stasiun Harian Sipora _1 yang berada di timur P. Sipora bagian utara (Gambar 11) yang dilakukan pada saat menuju surut, diperoleh gambaran bahwa arah arus di perairan ini dominan menuju ke utara-barat laut dari permukaan hingga pada kedalaman 50 meter sedangkan pada
CRITC-COREMAP Jakarta
39
kedalaman 60 meter hingga dekat dasar, arah arus berbalik ke selatan. Kecepatan arus maksimum yang terekam
pada
kondisi
ini
relatif
lemah
yaitu
30
cm/detik. Pada Stasiun Harian_2 yang berada di barat P. Sipora bagian utara (Gambar 11) yang dilakukan pada kondisi perairan menuju pasang, arah arus dominan ke utara
untuk
seluruh
kolom
air.
Kecepatan
arus
maksimum yang terekam pada kondisi ini mencapai 50 cm/detik.
Gambar 11. Vektor arus di sebelah timur laut P. Sipora bagian utara.
4. Fosfat Fosfat dalam air alam terdapat sebagai senyawa ortofosfat, polifosfat, dan
fosfat organis. Senyawa
fosfat
dalam
tersebut
CRITC-COREMAP Jakarta
terdapat
bentuk
terlarut,
40
tersuspensi atau terikat dalam sel organisme dalam air. Fosfat merupakan salah satu nutrisi bagi organisme perairan. Hasil pengukuran kadar fosfat di perairan Mentawai berkisar antara 1,00-5,69 μg.at/l dengan rerata 3,465 μg.at/l (Gambar 12).
6
Fosfat (ug.at/l)
5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Stasiun
Gambar 12. Kadar Fosfat (μg.at/l) di masing-masing stasiun penelitian di perairan Mentawai.
Tingginya kadar fosfat di perairan ini disebabkan karena letak stasiun pengamatan berada dekat pantai yang berasosiasi dengan hutan mangrove atau campuran mangrove dengan tumbuhan lainnya, sehingga ada tambahan fosfat yang berasal dari hutan mangrove. Kadar fosfat di perairan laut yang normal, yaitu antara 0,01- 1,68 μg.at/l (Sutamihardja, 1987), dan antara 0,01 - 4 μg.at/l (Brotowidjoyo et al., 1995), Menurut Ilahude & Liasaputra (1980) kadar fosfat di lapisan
CRITC-COREMAP Jakarta
41
permukaan
di
perairan
yang
tersubur
di
dunia
mendekati 0,60 μg.at/l, sedangkan menurut Liaw (1969) kadar fosfat di perairan yang cukup subur
berkisar
antara 0,07-1,61 μg.at/l. Berdasarkan Liaw (1969) atas, maka subur.
di
perairan ini termasuk ke dalam kategori
Kantor
MNLH
(2004)
memberikan
Nilai
Ambang Batas (NAB) untuk fosfat sebesar 0,015 ppm atau 4,9 μg.at/l untuk biota dan wisata bahari, tetapi tidak memberikan NAB untuk koral. Hal ini disebabkan karena
fosfat
perairan,
merupakan
sehingga
nutrisi
diperkirakan
bagi tidak
organisme memberikan
dampak negatif bagi koral. Kadar fosfat ini juga masih baik untuk terumbu karang, sebagai pembanding dapat dilihat kadar fosfat di perairan ekosistem terumbu karang Eri (Teluk Ambon) dan Raha yang kondisi karangnya
termasuk
kategori
sangat
baik
berkisar
antara 0,70-1,88 μg.at/l (Wenno et al., 1983, Sutarna, 1987) dan antara 0,13-1,79 μg.at./l (Edward, 2004). 5. Nitrit Nitrit
merupakan
senyawa
nitrogen
yang
dijumpai dalam jumlah yang kecil di perairan yang masih alami.
Senyawa ini kurang stabil tergantung
pada kadar oksigen terlarut yang terdapat dalam air. Menurut Winarno (1986) nitrit merupakan salah satu indikator adanya pencemaran oleh senyawa organis. Nitrit juga bersifat racun karena dapat bereaksi dengan haemoglobin dalam darah, sehingga darah tidak dapat mengangkut oksigen, di samping itu nitrit juga dapat membentuk nitrosamin
CRITC-COREMAP Jakarta
pada air buangan tertentu dan
42
dapat menimbulkan kanker (Alaert & Santika, 1984). Kantor MNLH (1988) menetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) untuk nitrit adalah nihil (tidak diperkenankan) untuk budidaya perikanan, taman laut konservasi dan pariwisata dan rekreasi. Kantor MNLH (2004) tidak mencantumkan
nitrit
sebagai
salah
satu
parameter
kualitas air. Berdasarkan hasil pengukuran kadar nitrit di perairan Mentawai, diperoleh kadar nitrit (N-NO 2 ) yang rendah yaitu kurang dari 1,0 μg.at/l pada semua stasiun penelitian. 6. Nitrat Nitrat adalah bentuk senyawa nitrogen yang stabil. Nitrat merupakan salah satu unsur penting untuk sintesa protein tumbuh-tumbuhan dan hewan, seperti halnya fosfat, nitrat dalam kadar yang tinggi dapat menstimulasi
pertumbuhan
ganggang
secara
tidak
terbatas, sehingga air kekurangan oksigen terlarut. Hasil
pengukuran
kadar
nitrat
(NO 3 )
di
perairan
Mentawai berkisar antara 0,24-12,32 μg.at/l dengan rerata 4,455 μg.at/l (Gambar 13). Kadar
nitrat di perairan ini tergolong relatif
tinggi. Kadar nitrat di perairan laut yang normal berkisar antara 0,01 – 0,50 μg.at/l
(Brotowidjoyo et
al., 1995). Departemen Pertanian menetapkan nitrat yang diperkenankan perikanan antara lain untuk
untuk tujuan
kadar
budidaya
ikan kakap dan kerapu
berkisar antara 0,9-3,2 μg.at/l (Anonim, 1985). Seperti
CRITC-COREMAP Jakarta
43
halnya fosfat, variasi kadar nitrat juga erat kaitannya dengan kepadatan fitoplankton. Kantor MNLH (1988) memberikan Nilai Ambang Batas (NAB) untuk nitrat adalah 0,008 ppm atau 26,27 µg. at/l untuk biota dan wisata bahari, namun tidak memberikan NAB untuk karang. Hal ini, seperti halnya fosfat disebabkan karena nitrat
merupakan
sehingga
nutrisi
diperkirakan
bagi
tidak
organisme memberikan
perairan, dampak
negatif terhadap karang. Kadar nitrat di perairan ini juga masih relatif baik untuk karang. Sebagai pembanding dapat dilihat kadar nitrat di perairan ekosistem terumbu karang di Eri (Teluk Ambon) dan Raha yang kondisi karangnya termasuk kategori sangat baik berkisar antara 0,22-5,10 μg.at/l (Wenno et al., 1983., Sutarna, 1987) dan antara 0,20-2,66 μg.at/l (Edward, 2004).
Kadar Nitrat (ug.at/l)
14 12 10 8 6 4 2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Stasiun
Gambar 13.
Kadar Nitrat (μg.at/l) di masing-masing stasiun penelitian di lokasi penelitian di perairan Mentawai.
CRITC-COREMAP Jakarta
44
7. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan parameter mutu air yang penting bagi kehidupan biota perairan. Kadar senyawa organis yang tinggi di suatu perairan akan menghabiskan banyak oksigen untuk penguraiannya. Perubahan menimbulkan
kadar
oksigen
kematian
bagi
yang
drastis
dapat
biota
perairan.
Hasil
pengukuran kadar oksigen terlarut di perairan Mentawai berkisar antara 5,82-7,26 ppm dengan rerata 6,72 ppm (Gambar 14).
Kadar Oksigen terlarut (ppm)
8 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Stasiun
Gambar 14. Kadar Oksigen terlarut (ppm) di masingmasing stasiun penelitian di lokasi penelitian di perairan Mentawai.
Kadar oksigen di perairan ini masih sesuai dengan kadar oksigen terlarut di lapisan permukaan pada perairan laut yang normal umumnya. Menurut Sutamihardja (1987) kadar oksigen di permukaan laut
CRITC-COREMAP Jakarta
45
yang normal berkisar antara 5,7 – 8,5 ppm. Nilai Ambang Batas (NAB) kadar oksigen terlarut
untuk
biota laut dan pariwisata adalah > 5 ppm atau 3,5 ml/l (Kantor MNLH, 2004). Untuk koral, Kantor MNKLH (2004)
tidak
memberikan
NAB.
Hal
ini
mungkin
disebabkan karena kebanyakan koral berada di perairan dangkal, di mana proses fotosintesis dan difusi oksigen dari atmosfir masih dapat berlangsung dengan baik. Kadar oksigen terlarut di dalam massa air nilainya adalah relatif, biasanya berkisar antara 6-14 ppm (4,2810
ml/l)
(Connel
et
al.,
1995).
Pada
umumnya
kandungan oksigen terlarut sebesar 5 ppm dengan suhu air berkisar antara 20-30 o C relatif masih baik untuk kehidupan ikan-ikan, bahkan apabila dalam perairan tidak terdapat senyawa-senyawa yang bersifat toksik (tidak tercemar) kandungan oksigen sebesar 2 ppm sudah cukup untuk mendukung kehidupan organisme perairan (Riva’i et al., 1982). Menurut Sutamihardja (1987), kadar
oksigen di perairan laut yang tercemar
ringan di lapisan permukaan adalah 5 ppm, dengan demikian dilihat dari kadar oksigen terlarutnya dapat dikatakan bahwa perairan ini relatif belum tercemar oleh senyawa-senyawa organis.
Kadar
oksigen hasil
pengamatan ini juga masih baik untuk terumbu karang. Kadar oksigen terlarut pada ekosistem terumbu karang Eri (Teluk Ambon) yang kondisi karangnya
termasuk
kategori sangat baik berkisar antara 3,10-5,67 ml/l (Wenno et al., 1983., Sutarna, 1987), di perairan Ihamahu Saparua berkisar antara 3,8-4,2 ml/l (Sutarna, 1988), dan perairan Raha
CRITC-COREMAP Jakarta
berkisar antara 3,68 – 4,53
46
ml/l
(5,05 – 6,34 ppm)(Edward, 2004).
(1991)
kadar
oksigen
di
Teluk
Menurut Dai
Nanwan
(Taiwan)
dimana terumbu karang tumbuh dan berkembang dengan baik berkisar antara 4,27 – 7,14 ppm (3,05-5,1 ml/l). Dengan
demikian
kadar
oksigen
di
perairan
ini
termasuk kategori baik. 8. Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman air penting untuk menentukan nilai daya guna dari air tersebut baik untuk berbagai kepentingan. pH adalah ukuran tingkat keasaman dari air atau besarnya konsentrasi ion H dalam air dan merupakan gambaran keseimbangan antara asam (H + ) dan
basa
(OH - )
dalam
air.
Nilai
pH
sangat
mempengaruhi daya produktivitas suatu perairan. Nilai hasil pengukuran pH di perairan Mentawai berkisar antara 7,9-8,1 dengan rerata 8,07 pH (Gambar 15). Variasi pH ini umumnya disebabkan oleh prosesproses kimia dan biologis yang dapat menghasilkan senyawa-senyawa
kimia
baik
yang
bersifat
asam
maupun alkalis. Selain itu adanya masukan-masukan limbah yang bersifat asam atau alkalis dari daratan dapat pula menjadi penyebab variasi pH. Nilai pH yang diperoleh di perairan ini masih sesuai dengan pH yang dijumpai di perairan laut yang normal. Nilai pH di perairan laut yang normal berkisar antara 8,0-8,5 (Salim, 1986) dan antara 7,0-8,5 (Odum, 1971). Untuk perairan Indonesia pH air laut permukaan berkisar antara 6,0-8,5 (Romimohtarto, 1988). Nilai pH ini masih baik untuk berbagai kepentingan. EPA (1973)
CRITC-COREMAP Jakarta
47
menetapkan kisaran pH untuk perikanan antara 6,5-8,5. Kantor MNLH (2004) menetapkan Nilai Ambang Batas pH 7-8,5 ± 0,2 satuan pH untuk biota dan
wisata
bahari, sedangkan untuk koral Kantor MNLH tidak memberikan NAB. Hal ini menunjukkan bahwa pH tidak memberikan dampak negatif terhadap koral. pH yang mendekati netral dan tidak menyebabkan iritasi pada mata dan kulit, merupakan pH yang diinginkan untuk pariwisata (mandi, selam dan renang) (EPA, 1973). Derajat keasaman (pH) di perairan Raha yang kondisi karangnya relatif masih baik berkisar antara 7,4-8,2. Dengan demikian dilihat dari nilai pH nya, kualitas perairan ini termasuk kategori baik.
8.4
pH
8.2 8.0 7.8 7.6 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Stasiun
Gambar 15. Nilai Derajat keasaman (pH) di masingmasing stasiun penelitian di lokasi penelitian di perairan Mentawai.
CRITC-COREMAP Jakarta
48
9. Kecerahan Kecerahan
merupakan
ukuran
sejauh
mana
penetrasi cahaya matahari dapat masuk ke perairan. Dari seluruh stasiun di Perairan Mentawai, dimana penarikan sampel dilakukan di daerah lereng terumbu dengan kedalaman antara 5 m – 15 m, masih terlihat dasar perairan (Tampak Dasar). Kecerahan air laut umumnya dipengaruhi oleh curah
hujan.
Curah
hujan
yang
tinggi
akan
menyebabkan terjadi turbulensi dan membawa lumpurlumpur yang berasal dari darat melalui aliran-aliran sungai ke perairan laut, sehingga perairan laut menjadi keruh. Menurut Sutarna (1987), keadaan seperti ini merupakan
salah satu penyebab rusaknya terumbu
karang di perairan laut akibat tertutup lumpur atau sedimen.
Kantor MNLH (1988) menetapkan NAB
kecerahan adalah > 3 m untuk perikanan, > 5 m untuk koral dan > 6 m untuk pariwisata (KMNLH, 2004). Sebagai pembanding dapat dilihat kecerahan air laut di Pulau Banda dan sekitarnya di mana kondisi karangnya relative masih baik berkisar anatara 18-45 m dan di perairan Raha antara tampak dasar (td)-8.5 m. Dengan demikian berdasarkan perairan
ini
termasuk
kecerahannya, kualitas
kategori
baik.
Kecerahan
berbanding terbalik dengan kekeruhan, makin cerah suatu perairan makin rendah tingkat kekeruhannya. Kekeruhan air adalah suatu ekspresi sifat optik air yang berkaitan dengan pembiasan dan penyerapan cahaya oleh bahan-bahan yang tersuspensi dalam air, sehingga
CRITC-COREMAP Jakarta
49
transmisi cahaya tidak berada dalam garis lurus. Oleh karena
itu
kekeruhan,
warna,
dan
kecerahan
air
merupakan fenomena-fenomena kualitas air yang saling berkaitan (NTAC, 1968). Welch (1952), Ruttner (1963), Boyd (1979, Alabaster & Lioyd (1980) menyatakan bahwa kekeruhan air terutama disebabkan oleh bahanbahan yang tersuspensi dan koloid dalam air. Bahanbahan
tersebut
dapat
berupa
plankton,
jasad-jasad
renik, bahan organik halus dan partikel-partikel tanah. Perairan dengan kekeruhan tinggi, akan menghalangi penetrasi cahaya dari udara ke permukaan air, sehingga proses fotosintesis berlangsung tidak sempurna, dan akibatnya produktivitas primer perairan rendah. 10. Warna Warna air dapat ditimbulkan oleh kehadiran organisme, berwarna,
bahan-bahan ekstrak
organik
senyawa
tersuspensi
organik
dan
yang
tumbuh-
tumbuhan. Selain itu dapat pula disebabkan oleh air limbah baik limbah perkotaan atau domestik maupun industri. Umumnya warna air (nampak) adalah warna yang
disebabkan
oleh
zat-zat
terlarut
dan
zat
tersuspensi, sedangkan warna nyata adalah warna yang kekeruhannya
telah
dihilangkan.
Hasil
pengukuran
warna air laut di seluruh stasiun di perairan Mentawai menunjukkan bahwa warna air masih alami yakni berkisar antara hijau muda sampai biru tua. Warna hijau muda umumnya dijumpai pada lokasi yang relatif dekat dengan pantai (lebih kurang 25 m), sedangkan biru tua relatif agak jauh dari pantai (50m -100 m).
CRITC-COREMAP Jakarta
50
Nilai
ini
masih
sesuai
dengan
NAB
yang
ditetapkan oleh Baku Mutu Air Laut (1988) untuk kepentingan perikanan yakni sebesar < 50 Pt.Co. Baku Mutu Air laut (KMNLH, 2004) tidak memasukan warna air
sebagai
salah
satu
parameter
fisika.
demikian berdasarkan warna air, kualitas
Dengan
perairan ini
termasuk kategori baik. 11. Bau Bau umumnya
disebabkan oleh dekomposisi
limbah organik secara anaerob.
Penguraian senyawa
organis secara anearob oleh bakteri menghasilkan gas beracun dan berbau seperti ammonia, hidrogen sulfida, dan metana. Hasil pengukuran bau yang dilakukan secara organoleptik di 22 stasiun di Perairan Mentawai menunjukkan
bahwa
air
laut
yang
berbau
hanya
dijumpai di St. 8 yang berada di dermaga pelabuhan Feri Tua Pejat, P. Sipora, Mentawai. Bau ini berasal dari gas-gas yang dihasilkan dari dekomposisi senyawa organik. Hasil
ini
masih
sesuai
dengan
NAB
yang
ditetapkan oleh Baku Mutu Air Laut (KMNLH, 2004) untuk biota yaitu bau alami (diperbolehkan) kecuali di St.8 tadi yang baunya sangat kuat dan tidak alami. Untuk wisata bahari KMNLH menetapkan NAB bau adalah tidak bau (TB), sedangkan untuk koral KMNLH tidak menetapkan NAB. Dengan demikian berdasarkan baunya, kualitas air laut di perairan ini termasuk kategori baik untuk biota.
CRITC-COREMAP Jakarta
51
12. Sampah/Benda Padat Terapung (BPT) Sampah/Benda terapung umumnya berasal dari aktivitas manusia baik di darat maupun di perairan laut sendiri. Benda terapung dapat berupa botol plastik, plastik
pembungkus,
tanaman/kelapa.
kaleng,
Hasil
karet/sandal,
pengamatan
benda
padat
terapung yang dilakukan di perairan Perairan Mentawai diperoleh bahwa sekitar 72 % stasiun (16 stasiun dari 22
stasiun
pengamatan)
diperoleh
sampah/benda
terapung, tetapi pada umumnya dalam bentuk serasah tumbuhan seperti kelapa, mangrove, semak belukar. Itupun dalam jumlah yang relatif sedikit. NAB untuk sampah yang ditetapkan Baku Mutu Air Laut (KMNLH, 2004) untuk biota dan wisata bahari adalah nihil, sedangkan untuk koral Kantor MNLH tersebut tidak memberikan NAB. Dengan demikian dilihat dari hasil pengamatan benda padat terapung, kualitas
perairan
ini
termasuk
kategori
sedang,
mengingat sampah/benda padat terapung merupakan serasah tumbuhan yang berupa daun, ranting hanya sedikit yang berupa plastik, kaleng, kayu, dan kertas. 13. Zat Padat Tersuspensi (TSS) Padatan tersuspensi adalah zat padat atau partikel yang
mempunyai
diameter
1
μm
yang
dapat
menyebabkan kekeruhan pada air, tidak larut dan tidak dapat mengendap langsung. Biasanya berupa partikelpartikel
anorganik,
organik,
maupun
campuran
keduanya. Partikel-partikel tersebut berasal dari run-
CRITC-COREMAP Jakarta
52
off, aliran sungai, buangan industri dan rumah tangga. Zat padat tersuspensi
ini merupakan pencemar umum
yang hampir dijumpai di semua perairan alam. Bahkan di perairan yang relatif bersih dan belum tercemar juga dijumpai zat padat tersusupensi dalam bentuk liat, debu dan pasir. Kadar TSS di Perairan Mentawai berkisar antara 3,75-8,78 ppm dengan rerata 5,14 ppm. pengukuran
kadar
TSS
di
masing-masing
Hasil stasiun
pengamatan di sajikan pada Gambar 16. Dari hasil tersebut terlihat bahwa kadar TSS di perairan ini relatif rendah dan belum menimbulkan pengaruh
terhadap
terumbu
karang.
Sebagai
pembanding, kadar TSS di perairan Raha yang kondisi karangnya relatif masih baik berkisar antara 70-80 ppm. Kantor MNLH (2004) menetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) untuk padatan tersuspensi sebesar 20 ppm untuk kepentingan koral dan wisata bahari, sedangkan Kantor MNLH (1988) memberikan NAB untuk budidaya perikanan
< 80 ppm. Menurut Sulastri & Bajoeri
(1995) kandungan TSS > 25 mg/l dapat menurunkan produksi biota perairan. Dengan demikian berdasarkan kadar
zat
padat
tersuspensi,
kualitas
perairan
ini
termasuk kategori baik.
CRITC-COREMAP Jakarta
53
TSS (ppm)
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Stasiun
Gambar 16. Nilai TSS (ppm) di masing-masing stasiun penelitian di lokasi penelitian di perairan Mentawai.
C. M ANGROVE Pada umumnya kondisi mangrove di Kabupaten Mentawai ini tidak begitu tebal, ketebalan mangrove berkisar antara 100 – 200 m dari batas laut ke arah darat. Hasil koleksi bebas dan pencuplikan data yang di lakukan sebanyak 8 transek di 5 pulau yang meliputi P. Sipora, P. Siburu, P. Siberut, P. Kuboi dan
P. Silebut,
berhasil dijumpai 25 jenis mangrove yang termasuk dalam 15 suku (Tabel 4). Untuk
kategori
pohon
(diameter
>
10
cm),
berdasarkan hasil dari seluruh transek yang dilakukan, banyaknya jenis bervariasi (Tabel 5). Jenis Rhizophora mucronata mendominasi di Pulau Sipora, Pulau Kuboi
CRITC-COREMAP Jakarta
54
dan Pulau Silebut. Jenis ini umumnya tumbuh baik di habitat yang mempunyai lumpur yang dalam (STENNIS, 1958) akan tetapi kondisi habitat bagian dalam berupa batu-batuan atau koral mati maka jenis tersebut tidak bisa tumbuh maksimal seperti yang didapatkan di hutan mangrove
bagian
timur
Sumatera
(Sembilang)
yang
diameternya dapat mencapai lebih dari 40 cm dengan ketinggian lebih dari 25 meter.
Salah satu faktor yang
menyebabkan tidak maksimalnya tumbuh jenis ini adalah tidak terdapatnya sungai besar yang membawa lumpur untuk di alirkan ke daerah pantai. Sedang untuk Pulau Siburu dan Pulau Siberut jenis yang mendominasi adalah Rhizophora
apiculata.
Jenis
ini
umumnya
sifat
tumbuhnya hampir sama dengan Rhizophora mucronata hanya habitatnya pada lumpur yang agak dalam. Secara keseluruhan jenis mangrove berupa pohon yang
didapatkan
mencapai 9
di
daerah
Kabupaten
Mentawai
jenis (Tabel 6). Jenis yang mendominasi
adalah Rhizophora apiculata dengan nilai penting (NP) 121,22 %, sedang codominan diduduki jenis Rhizophora mucronata dengan nilai penting 72,29 %. Tujuh jenis lainnya mempunyai NP kurang dari 30 % (Tabel 6). Kepadatan pohon rata-rata mencapai 473 batang per hektar dengan rata-rata ketinggian 13,15 meter yang berdiameter rata-rata mencapai 14,80 cm (Tabel 7).
CRITC-COREMAP Jakarta
55
Tabel 4. Jenis mangrove y ang dijumpai (tanda +) di Kabupaten Mentawai. Lokasi No.
Suku
No.
Jenis
1.
Acanthaceae
1.
Acanthus illicifolius
2.
Baringtoniaceae
2.
Baringtonia racemosa
3.
Combretaceae
3.
Lumnitzera littorea
4.
L. racemosa
1
2
3
+
+
Euphorbiaceae
5.
Exoecaria agallocha
5.
Flagellaniaceae
6.
Flagellaria indica
+
6.
Goodeniaceae
7.
Scaevola taccada
+
7.
Lythraceae
8.
Phempis acidula
8.
Malvaceae
9.
Thespesia populnea
9.
Meliaceae
10.
Xylocarpus gangeticus
11.
X. granatum
12.
X. moluccensis
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Nypa fruticans
12.
Polypodiaceae
15.
Acrostichum aureum
13.
Rhizophoraceae
16.
Bruguiera cylindrica
17.
B. gymnorrhiza
18.
B. sexangula
+
19.
Ceriops decandra
+
20.
C. tagal
+
21.
Rhizophora apiculata
+
22.
R. mucronata
+
23.
R. stylosa
+
+
+
+
+
+
+
Keterangan lokasi :
+
+
14.
Heritiera littoralis
+
+
Palmae
25.
+
+
11.
Sterculiaceae
+
+
Aegiceras corniculatum
15.
+
+
13.
Sonneratia alba
+
+
Myrsinaceae
24.
+
+
10.
Combretaceae
5
+
4.
14.
4
+ +
+
+ +
+
+
+
1. P. Sipora (Utara)
4. P. Kuboi
2. P. Siburu
5. P. Silebut
+
+ +
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
3. P. Siberut (Timur)
CRITC-COREMAP Jakarta
56
Tabel 5. Daftar Nilai Penting ( % ) jenis pohon mangrove di Perairan Mentawai. No.
Lokasi
Jenis
1
2
3
4
5
1.
Rhizophora apiculata
101,02
168,94
170,53
41,00
75,71
2.
R. mucronata
105,83
-
48,51
113,07
110,33
3.
Bruguiera gymnorrhiza
-
89,17
33,80
-
-
4.
B. parviflora
-
41,89
-
-
-
5.
Ceriops tagal
43,92
-
-
-
-
6.
Lumnitzera littorea
14,87
-
-
-
-
7.
L. racemosa
34,36
-
24,08
46,24
-
8.
Xylocarpus granatum
-
-
23,08
-
113,96
9.
X. moluccensis
-
-
-
99,69
-
Keterangan lokasi :
1. P. Sipora (Utara) 2. P. Siburu
4. P. Kuboi 5. P. Silebut
3. P. Siberut (Timur)
Tabel 6. Daftar kerapatan nisbi (KN), frekuensi nisbi (FN), dominasi nisbi (DN) dan nilai penting (NP) jenis pohon di Kabupaten Mentawai No.
Jenis
KN (%)
FN (%)
DN (%)
NP (%)
25,35
72,29
1.
Rhizophpora apiculata
26,94
20,00
2.
R. apiculata
37,50
37,79
45,93
121,22
3.
Bruguiera gymnorrhiza
8,65
4,44
12,97
26,06
4.
Lumnitzera racemosa
7,69
11,11
5,43
24,23
5.
Ceriops tagal
6,73
11,11
3,42
21,26
6.
Xylocarpus granatum
2,88
6,67
2,09
11,64
7.
X. moluccensis
2,88
4,44
1,52
8,84
8.
Bruguiera parviflora
2,85
2,22
1,49
7,56
9.
Lumnitzera littorea
2,88
2,22
1,80
6,90
CRITC-COREMAP Jakarta
57
Tabel
7.
Gambaran mengenai struktur Kabupaten Mentawai.
mangrove
di
Atribut vegetasi
Struktur
Keterangan
Pohon : • Dominan • Codominan
Ra (NP: 121,22 %) Rm (NP: 72,29 %)
Anak pohon : • Dominan • Codominan
NP = Nilai Penting Ra = Rhizophora apiculata Rm = Rhizophora
Ra (NP: 97,53 %) Rm (NP: 55,03 %)
mucronata
Kepadatan : • Pohon (batang/Ha) • Anak pohon (batang/Ha)
473 2905
Rata-rata tinggi (m): • Pohon • Anak pohon
13,15 4,93
Sa = Sonneratia alba Of = Oncosperma
Banyaknya jenis
filamentosa
25
Rata2 diameter (cm): • Pohon • Anak pohon
14,80 5,07
Untuk anak pohon (diameter 2cm - ≤ 10cm), tiga pulau di dominasi oleh jenis Rhizophora apiculata yaitu Pulau Sipora (NP. 115,47 %), Pulau Siburu (NP. 186,66 %) dan Pulau Siberut (NP. 80,47 %), sedangkan Pulau
Kuboi
dan
Pulau
Silebut
didominasi
jenis
Bruguiera sexangula (NP. 95,17 %) dan Rhizophora mucronata (NP. 96,25 %) (Tabel 8). Dari pencuplikan data sebanyak 8 transek di daerah Kabupaten Mentawai ini didapatkan 11 jenis anak pohon yang didominasi oleh Rhizophora apiculata dengan nilai penting 97,53 %,
sedang
codominan
ditempati
oleh
Rhizophora
mucronata dengan nilai penting 55,03 %. Jenis-jenis lainnya mempunyai nilai penting kurang dari 50 % (Tabel 9). Dengan demikian untuk masa mendatang di
CRITC-COREMAP Jakarta
58
daerah ini tetap akan didominasi jenis Rhizophora apiculata. Kepadatan anak pohon rata-rata mencapau 2905 batang per hektar dengan ketinggian rata-rata 4,93 meter dan diameter 5,07 cm (Tabel 7). Dibandingkan dengan hasil yang diperoleh di Nias dan Tapanuli Tengah, yang posisinya sama-sama terletak
di
bagian
barat
P.
Sumatera,
kepadatan
kategori pohon mangrove di Kabupaten Mentawai (473 batang/ha)
merupakan
yang
terbesar
dibandingkan
dengan di Nias (160 batang/ha) dan Tapanuli Tengah (288 batang/ha). Untuk kategori anak pohon, kepadatan di Kabupaten Mentawai (2905 batang/ha) lebih tinggi dibandingkan
di
Nias
(2696
batang/ha),
walaupun
kepadatannya masih lebih rendah dibandingkan dengan di Tapanuli Tengah (2995 batang/ha). Tabel 8. Daftar Nilai Penting (%) jenis anak pohon di Kabupaten Mentawai. No.
Lokasi
Jenis
1
2
3
4
5
1.
Rhizophora apiculata
115,47
186,66
80.47
69,64
35,45
2.
R. mucronata
75,68
-
29,49
-
96,29
3.
R. stylosa
-
-
21,12
-
-
4.
Ceriops decandra
7,38
-
-
-
21,15
5.
C. tagal
38,46
-
-
80,17
-
6.
Lumnitzera racemosa
50,29
-
29,60
-
-
7.
L. littorea
12,72
-
-
-
-
8.
Bruguiera gymnorrhiza
-
77,88
27,43
-
23,39
9.
B. sexangula
-
39,46
40,82
95,17
57,64
10.
B. cylindrica
-
-
71,07
-
36,63
11.
Xylocarpus moluccensis
-
-
-
55,02
29,45
Keterangan lokasi :
1. P. Sipora (Utara)
4. P. Kuboi
2. P. Siburu
5. P. Silebut
3. P. Siberut (Timur)
CRITC-COREMAP Jakarta
59
Tabel 9. Daftar kerapatan nisbi (KN), frekuensi nisbi (FN), dominasi nisbi (DN) dan nilai penting (NP) jenis anak pohon di Kabupaten Mentawai No.
Jenis
KN (%)
FN (%)
DN (%)
NP (%)
1.
Rhizophora apiculata
28,26
32,73
36,54
97,53
2.
R. mucronata
20,29
16,36
18,38
55,03
3.
Bruguiera sexangula
10,87
12,73
13,62
37,22
4.
Lumnitzera racemosa
7,25
7,27
9,87
24,39
5.
Bruguiera cylindrica
10,87
5,45
5,29
21,61
6.
Ceriops tagal
5,80
9,09
5,91
20,80
7.
Bruguiera gymnorrhiza
6,52
5,45
3,51
15,48
8.
Xylocarpus moluccensis
5,07
3,64
3,17
11,88
9.
Ceriops decandra
2,17
3,64
1,31
7,12
10.
Lumnitzera littorea
1,45
1,82
1,53
4,80
11.
Rhizophora stylosa
1,45
1,82
0,87
4,14
D. K ARANG Di P. Sipora bagian utara dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, pada umumnya memiliki pantai berpasir yang tidak begitu lebar, dilanjutkan dengan rataan terumbu yang semakin jauh dari pantai (50-100 m) semakin curam, dengan sudut kemiringan 40 o -60 o . Pada beberapa tempat, pada dasar rataan terumbunya terlihat lorong-lorong yang tegak lurus pantai, menandakan energi gelombang di daerah ini relatif cukup besar. Kenampakan ini juga dicirikan dari bentuk-bentuk pertumbuhan jenis karang yang umumnya mempunyai ukuran koloni yang relatif kecil
dengan
percabangan
yang
sangat
kompak.
Pertumbuhan karang relatif kurang bervariasi dan memiliki rugositas
yang
rendah.
Karang
yang
tumbuh
pada
kedalaman 1-5 m di dominasi oleh suku Pocilloporidae
CRITC-COREMAP Jakarta
60
dari marga Pocillopora, Stylophora dan Seriatopora, suku Faviidae dari marga Favia dan Favites, dan suku Poritidae dari
marga
Porites.
Karang
Pocillopora
verrucosa
merupakan jenis yang paling dominan, diikuti oleh karang dari marga Porites dan Favia. Pertumbuhan Acropora umumnya dengan koloni yang kecil dan percabangan yang pendek. Pada kedalaman 5-10 m bentuk pertumbuhan karang lebih bervariasi, tetapi lebih didominasi oleh karang yang mempunyai bentuk pertumbuhan masif dan merayap
(encrusting).
Pada
kedalaman
10-20
meter
pertumbuhan karang sudah jarang dijumpai dan pasir terlihat lebih mendominasi. Pada P. Siberut bagian selatan dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, pada umumnya memiliki pantai yang sempit dan ditumbuhi oleh mangrove dari marga Rhizopora. Lebar rataan terumbu berkisar antara 50-100 m dengan dasar berupa karang mati dan pasir kasar yang ditumbuhi oleh turf algae. Sudut kemiringan tubir antara 40°-60°. Karang yang tumbuh umumnya memiliki bentuk pertumbuhan merayap (encrusting) dan masif, antara lain Montipora informis, Echinopora mammiformis dan Favia speciosa. Pada kedalaman 2-7 m, lereng terumbu didominasi oleh pertumbuhan Porites dengan bentuk pertumbuhan masif dan
bercabang
dengan
diselingi
oleh
pertumbuhan
Acropora palifera. Biota lain yang cukup menonjol adalah hydroid, karang lunak (soft coral) dan sponge. Pada kedalaman lebih dari 10 m, karang sudah jarang dijumpai, yang terlihat hanya hamparan pasir yang sangat luas.
CRITC-COREMAP Jakarta
61
Dari hasil RRI, LIT dan pengamatan bebas berhasil dijumpai 166 jenis karang batu yang termasuk dalam 19 suku (Lampiran 6). Pengamatan terumbu karang dengan metode RRI yang dilakukan di 48 stasiun dijumpai tutupan karang hidup antara 0,88%-66,90%, dengan rerata tutupan karang hidup 14,89%. Berdasarkan hasil RRI ini pula terlihat bahwa persentase tutupan karang hidup di P. Sipora bagian utara tidak terlalu berbeda dengan di P. Siberut bagian selatan dimana rerata persentase tutupan di P. Sipora bagian utara sebesar 15,64% (n=24 stasiun) dan di P. Siberut bagian selatan sebesar 14,14 % (n=24 stasiun). Gambar 17 menampilkan rerata persentase tutupan dari seluruh stasiun RRI (n=48 stasiun) untuk masing-masing kategori biota dan substrat yaitu Karang hidup (terdiri dari Acropora, Non Acropora), karang mati (dead scleractinia), karang mati yang ditumbuhi alga (dead scleractinia with algae), karang lunak (soft coral), sponge, fleshy seaweed, biota lain (other biota), pecahan karang (rubble), pasir (sand) dan lumpur (silt). Dari 48 stasiun RRI tersebut, tak ada satu stasiun pun yang dikategorikan sangat baik (persentase tutupan karang
hidup
75%
-100%).
Sedangkan
2
stasiun
dikategorikan baik (persentase tutupan karang hidup 50% 74%), 8 stasiun dalam kondisi cukup (persentase tutupan karang hidup 25% - 49%), dan 28 stasiun dalam kondisi kurang (persentase tutupan karang hidup <25 %). Peta kondisi terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang hidup di masing-masing stasiun RRI ditampilkan
CRITC-COREMAP Jakarta
62
pada Gambar 18.a. dan Gambar 18.b. Sedangkan hasil lengkap persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substrat di masing-masing stasiun RRI dapat dilihat pada Lampiran 7.
Acropora Non Acropora Dead Coral Dead Coral with Algae Soft Coral Sponge Fleshy seaweed Other Biota Rubble Sand Silt Rock
Gambar 17. Rerata persentase tutupan dari seluruh stasiun RRI (n=48 stasiun) untuk masing-masing kategori biota dan substrat.
Pengamatan terumbu karang dengan metode LIT di 9 stasiun transek permanen menunjukkan bahwa terumbu karang yang masuk dalam kategori baik sebanyak 2 stasiun, kategori cukup sebanyak 3 stasiun, dan kategori kurang sebanyak 4 stasiun. Peta persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substratnya di masingmasing stasiun transek permanen yang dilakukan dengan metode LIT ditampilkan pada Gambar 19.a. dan Gambar 19.b. Sedangkan hasil lengkap persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substratnya disajikan pada Gambar 20 dan Lampiran 8.
CRITC-COREMAP Jakarta
63
Gambar 18.a. Peta kondisi terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang hidup di masing-masing stasiun di P. Sipora bagian utara dengan metode RRI.
CRITC-COREMAP Jakarta
64
Gambar 18.b. Peta kondisi terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang hidup di masing-masing stasiun di P. Siberut bagian selatan dengan metode RRI.
CRITC-COREMAP Jakarta
65
Gambar 19.a. Peta persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substratny a di masing-masing stasiun transek permanen di P. Sipora bagian utara dengan metode LIT.
CRITC-COREMAP Jakarta
66
Gambar 19.b. Peta persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substratny a di masing-masing stasiun transek permanen di P. Siberut bagian selatan dengan metode LIT.
CRITC-COREMAP Jakarta
67
100% Rock Silt
80%
Sand Rubble
60%
Other Biota Fleshy Seaweed
40%
Sponge Soft Coral
20%
Dead Coral wih algae Dead Coral
Gambar 20.
MTWL09
MTWL08
MTWL07
MTWL06
MTWL05
MTWL04
MTWL03
MTWL02
MTWL01
0%
Non Acropora Acropora
Histogram persentase tutupan kategori biota dan substrat di masing-masing stasiun transek permanen dengan metode LIT.
Diantara 9 stasiun transek permanen, nilai indeks keanekaragaman jenis Shannon yang tertinggi dijumpai di stasiun MTWL09 yang posisinya terletak di pulau kecil antara P. Sipora dan P. Siberut. Pada stasiun ini, jenisjenis karang batu terlihat menyebar merata, dimana tak dijumpai suatu jenis yang terlihat lebih dominan dibanding jenis lainnya. Hal ini juga bisa dilihat dari nilai indeks kemerataan jenis karang batunya yang relatif tinggi (Tabel 10). Nilai indeks kemerataan yang terendah dijumpai pada Stasiun MTWL08 (Tabel 8). Pada stasiun ini, Porites cylindrica terlihat lebih dominan dibanding jenis lainnya.
CRITC-COREMAP Jakarta
68
Tabel 10. Jumlah jenis (S), Jumlah individu (N), Indeks keanekaragaman jenis Shannon (H’) y ang dihitung menggunakan ln (=log e), dan Indeks kemerataan Pielou (J’) untuk karang batu di masing-masing stasiun transek permanen dengan metode LIT. Stasiun
S
N
H’
J’
MTWL01
19
81
2,382
0,809
MTWL02
19
36
2,589
0,879
MTWL03
17
84
2,309
0,815
MTWL04
16
61
2,301
0,830
MTWL05
30
100
2,829
0,832
MTWL06
14
42
2,149
0,814
MTWL07
14
58
2,037
0,772
MTWL08
9
18
1,783
0,812
MTWL09
21
57
2,714
0,891
Nilai kemiripan Bray-Curtis (Bray-Curtis Similarity) yang dihitung berdasarkan jumlah kehadiran (number of occurrence) dari masing-masing jenis karang batu di setiap stasiun transek permanen ditampilkan pada Tabel 11. Kemudian dengan menggunakan metode rerata kelompok (group average), dilakukan analisa pengelompokan (cluster analysis) dengan bantuan program PRIMER diperoleh dendrogram seperti pada Gambar 21. Dengan memilih tingkat kemiripan 50 %, terlihat bahwa hanya stasiun MTWL01 dan MTWL03 saja yang mengelompok dalam satu kelompok. Analisa MDS (Multi Dimensial Scaling) dengan nilai Stress=0,13 juga menunjukkan bahwa stasiun MTWL01 mengelompok dengan stasiun MTWL03 (Gambar 22). Pada kedua stasiun ini, Seriatopora hystrix tampak umum dijumpai.
CRITC-COREMAP Jakarta
69
Tabel 11. Nilai kemiripan Bray-Curtis berdasarkan jumlah kehadiran masing-masing jenis karang batu pada stasiun transek permanen. Stasiun
MTWL01 MTWL02 MTWL03 MTWL04 MTWL05 MTWL06 MTWL07 MTWL08 MTWL09
MTWL01
-
MTWL02
25,641
-
MTWL03
65,455
33,333
-
MTWL04
19,718
30,928
19,310
-
MTWL05
33,149
22,059
25,000
22,360
-
MTWL06
14,634
30,769
17,460
19,417
12,676
-
MTWL07
35,971
19,149
40,845
23,529
22,785
20,000
-
MTWL08
6,061
25,926
13,725
5,063
10,169
6,667
2,632
-
MTWL09
18,841
19,355
12,766
25,424
39,490
20,202
12,174
10,667
CRITC-COREMAP Jakarta
-
70
0 Similarity
20 40 60
MTWL04
MTWL02
MTWL06
MTWL03
MTWL01
MTWL07
MTWL09
MTWL05
100
MTWL08
80
Gambar 21. Dendrogram analisa pengelompokan stasiun transek permanen di Kabupaten Mentawai berdasarkan jumlah kehadiran masingmasing jenis karang batu.
Stress: 0.13 MTWL06 MTWL09
MTWL04 MTWL02 MTWL07 MTWL08 MTWL05
MTWL01 MTWL03
Gambar 22.
MDS untuk stasiun transek permanen di Kabupaten Mentawai berdasarkan berdasarkan jumlah kehadiran masingmasing jenis karang batu.
CRITC-COREMAP Jakarta
71
Analisa variansi untuk menyelidiki hubungan antara nilai indeks keanekaragaman Shanon (H’) dan persentase tutupan karang hidup di masing-masing stasiun transek permanen menunjukkan adanya hubungan antara kedua variabel tersebut (p>0,01) (Tabel 12). Analisa regresi antara keduanya menunjukkan hubungan linear positif dengan dengan koefisien korelasi (r)= 0,4215 (Gambar 23). Analisa variance hubungan antara nilai H’ dan persentase tutupan karang hidup.
Tabel 12.
Sumber variasi
DF
SS
MS
F
p
Regressi
1
0,1569
0,1569
1,5123
0,2585
Sesatan
7
0,7264
0,1038
Total
8
0,8833
H' = 0.0087*(% tutupan karang hidup) + 2.0593 2
r = 0,1777 ; r = 0.4215 4
H'
3 2 1 0 0
Gambar 23.
20 40 Tutupan karang hidup (%)
60
Analisa regresi antara nilai H’ dan persentase tutupan karang hidup.
CRITC-COREMAP Jakarta
72
E. M EGA B ENTHOS Seperti yang diuraikan dalam metode penarikan sampel
dan
analisa
data,
metode
Reef
check
yang
dilakukan pada lokasi transek permanen dalam penelitian ini mencatat hanya beberapa dari jenis mega benthos yang bernilai ekonomis penting ataupun yang bisa dijadikan indikator dalam menilai kondisi kesehatan terumbu karang. Dari hasil Reef check tersebut diperoleh bahwa kelimpahan Acanthaster planci, yang merupakan hewan pemakan polip karang ditemukan dalam jumlah yang sedikit, yaitu hanya 16 individu/ha. Karang
jamur
(CMR=Coral
Mushrom)
dijumpai
dalam jumlah yang berlimpah yaitu 7913 individu/ha. Tingginya
kelimpahan
CMR
terutama
dijumpai
pada
Stasiun MTWL04 dan MTWL05. Stasiun MTWL04 dan MTWL05 ini posisinya berada pada barat laut P. Sipora bagian utara, tepatnya di daerah teluk dekat dengan muara sungai. Bulu
babi
(Diadema
setosum)
dijumpai
dalam
jumlah sedang yaitu 556 individu/ha. Sedangkan Kima (Giant clam) dijumpai dalam jumlah yang sedikit, dimana untuk
yang
berukuran
besar
(panjang
>20
cm)
kelimpahannya sebesar 48 individu/ha, dan yang berukuran kecil (panjang < 20 cm) sebesar 71 individu/ha. Demikian pula halnya dengan tripang (holothurian) dimana yang berukuran besar (diameter >20) kelimpahannya hanya sebesar 79 individu/ha, sedangkan yang berukuran kecil tidak dijumpai sama sekali selama pengamatan dilakukan.
CRITC-COREMAP Jakarta
73
Hasil reef check selengkapnya di masing-masing stasiun transek permanen bisa dilihat pada Gambar 24.a., Gambar 24.b. dan Lampiran 9. Beberapa jenis mungkin tidak dijumpai pada saat pengamatan berlangsung karena luas pengamatan yang dibatasi (luasan bidang pengamatan = 140 m 2 /transek), sehingga tidak menutup kemungkinan akan dijumpai pada lokasi di luar transek. Hasil kelimpahan
analisa
cluster
mega
benthos
dan
MDS
yang
berdasarkan
diamati
dengan
menggunakan program PRIMER dimana pengukurannya memakai
nilai
kemiripan
Bray-Curtis
(Bray-Curtis
Similarity) (Tabel 13) dengan metode rerata kelompok (group average) diperoleh hasil seperti pada Gambar 25 dan Gambar 26. Dari
Gambar
tersebut
terlihat
bahwa
stasiun
MTWL02 terpisah dibandingkan dengan stasiun lainnya. Pada stasiun MTWL02 ini, Giant clam yang berukuran kecil (panjang < 20cm) dan Holothurian yang berukuran besar (panjang >20cm) relatif lebih banyak dijumpai dibandingkan dengan di stasiun lain. Sebaliknya, pada stasiun ini pula, kelimpahan Diadema setosum relatif rendah.
CRITC-COREMAP Jakarta
74
Gambar 24. a. Hasil reef check untuk mega benthos y ang memiliki nilai ekonomis penting dan sebagai indikator kesehatan karang pada di masing-masing stasiun transek permanen di P. Sipora bagian utara.
CRITC-COREMAP Jakarta
75
Gambar 24.b. Hasil reef check untuk mega benthos y ang memiliki nilai ekonomis penting dan sebagai indikator kesehatan karang pada di masing-masing stasiun transek permanen di P. Siberut bagian selatan.
CRITC-COREMAP Jakarta
76
Tabel 13. Nilai kemiripan Bray-Curtis berdasarkan jumlah individu mega benthos di masing-masing stasiun transek permanen. Stasiun
MTWL01 MTWL02 MTWL03 MTWL04 MTWL05 MTWL06 MTWL07 MTWL08 MTWL09
MTWL01
-
MTWL02
10,811
-
MTWL03
76,923
11,111
-
MTWL04
5,957
0,862
1,709
-
MTWL05
2,229
0,000
0,638
52,005
-
MTWL06
46,512
15,000
23,810
15,966
6,022
-
MTWL07
68,750
20,690
70,968
0,000
0,000
17,143
-
MTWL08
70,588
12,500
56,000
13,821
5,321
74,074
51,163
-
MTWL09
19,780
8,939
15,470
72,679
35,844
24,865
13,793
32,124
CRITC-COREMAP Jakarta
-
77
0
Similarity
20
40
60
MTWL03
MTWL01
MTWL07
MTWL08
MTWL06
MTWL02
MTWL09
MTWL04
100
MTWL05
80
Dendrogram analisa pengelompokan stasiun transek permanen di Kabupaten Mentawai berdasarkan jumlah individu mega benthos.
Gambar 25.
Stress: 0.04 MTWL02
MTWL07
MTWL03 MTWL01 MTWL08 MTWL09
MTWL06
MTWL04
MTWL05
Gambar 26.
MDS untuk stasiun transek permanen di Kabupaten Mentawai berdasarkan jumlah individu mega benthos.
CRITC-COREMAP Jakarta
78
F. I KAN
KARANG
Dari hasil RRI terhadap ikan karang yang dilakukan di 48 stasiun berhasil dijumpai 179 jenis (spesies) ikan karang yang termasuk dalam 34 suku ikan karang. Jenis Acanthurus lineatus merupakan jenis yang paling sering dijumpai selama pengamatan, dimana jenis ini berhasil dijumpai di 30 stasiun dari 48 stasiun RRI (Frekuensi relatif
kehadiran
berdasarkan
jumlah
stasiun
yang
diamati= 62,50 %). Kemudian diikuti oleh Thalassoma hardwickii (56,25%) dan Zebrasoma scopas (52,08%). Sedangkan jenis-jenis ikan karang lainnya dijumpai kurang dari separuh stasiun RRI yang diamati. Sebelas jenis ikan karang yang memiliki nilai frekuensi relatif kehadiran terbesar (berdasarkan jumlah stasiun yang diamati) bisa dilihat pada Tabel 14. Dari
seluruh
stasiun
RRI
yang
diamati,
Perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di masing-masing stasiun RRI ditampilkan pada Gambar 27.a. dan Gambar 27.b. Underwater Visual Census (UVC) yang dilakukan di 9 Stasiun transek permanen menjumpai sebanyak 157 jenis ikan karang yang termasuk dalam 25 suku, dengan nilai kelimpahan
ikan
karang
sebesar
12263
individu
per
hektarnya. Jenis Chromis ternatensis merupakan jenis ikan karang
yang
memiliki
kelimpahan
yang
tertinggi
dibandingkan dengan jenis ikan karang lainnya, yaitu sebesar
1502
individu/ha-nya,
kemudian
diikuti
oleh
Chromis iomelas (619 individu/ha) dan Neopomacentrus
CRITC-COREMAP Jakarta
79
azysron (546 individu/ha). Sepuluh besar jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan yang tertinggi ditampilkan dalam Tabel 15. Tabel 14. Sebelas jenis ikan karang y ang memiliki nilai frekuensi relatif kehadiran terbesar (berdasarkan jumlah stasiun y ang diamati). No.
Jenis
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Acanthurus lineatus Thalassoma hardwickii Zebrasoma scopas Ctenochaetus striatus Lutjanus decussatus Halichoeres hortulanus Labroides dimidiatus Pomacentrus moluccensis Scarus sordidus Chromis margaritifer Pomacentrus bankanensis
Frekuensi relatif kehadiran (%) 62,50 56,25 52,08 45,83 39,58 37,50 37,50 37,50 37,50 35,42 35,42
Tabel 15. Sepuluh besar jenis ikan karang y ang memiliki kelimpahan y ang tertinggi. No.
Jenis
Kelimpahan (jml individu/ha)
1.
Chromis ternatensis
1502
2.
Chromis iomelas
619
3.
Neopomacentrus azysron
546
4.
Cirrhilabrus cyanopleura
537
5.
Plectroglyphidodon lacrymatus
537
6.
Dascyllus trimaculatus
521
7.
Pomacentrus moluccensis
476
8.
Chromis viridis
422
9.
Halichoeres spp.
368
10.
Acanthurus blochii
317
CRITC-COREMAP Jakarta
80
Gambar 27.a. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di masingmasing stasiun transek permanen di P. Sipora bagian utara dengan metode RRI.
CRITC-COREMAP Jakarta
81
Gambar 27.b. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di masingmasing stasiun transek permanen di P. Siberut bagian selatan dengan metode RRI.
CRITC-COREMAP Jakarta
82
Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting yang diperoleh dari UVC di lokasi transek permanen seperti
ikan
kakap
(suku
Lutjanidae)
yaitu
165
individu/ha, ikan kerapu (suku Serranidae) 73 individu/ha, ikan ekor kuning (suku Caesionidae) yaitu 32 individu/ha. Ikan
kepe-kepe
(Butterfly
fish;
suku
Chaetodontidae) yang merupakan ikan indikator untuk menilai kesehatan terumbu karang memiliki kelimpahan 486 individu/ha. Selama penelitian berlangsung, ikan Napoleon
(Cheilinus
Kelimpahan
ikan
tidak
undulatus)
karang
untuk
dijumpai.
masing-masing
suku
ditampilkan dalam Tabel 16. Jumlah individu untuk setiap jenis ikan karang yang dijumpai
di
masing-masing
stasiun
transek
permanen
dengan menggunakan metode UVC bisa dilihat pada Lampiran
10.
Hasil
UVC
juga
menunjukkan
bahwa
kelimpahan kelompok ikan major, ikan target dan ikan indikator berturut-turut adalah 9219 individu/ha, 2559 individu/ha dan 486 individu/ha, sehingga perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator adalah 19:5:1. Ini berarti bahwa untuk setiap 25 ikan yang dijumpai
di
perairan
Mentawai,
kemungkinan
komposisinya terdiri dari 19 individu ikan major, 5 individu ikan target dan 1 individu ikan indikator. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di masing-masing stasiun transek permanen ditampilkan pada Gambar 28.a. dan Gambar 28.b.
CRITC-COREMAP Jakarta
83
Tabel 16. Kelimpahan ikan karang untuk masingmasing suku y ang dijumpai di lokasi transek permanen. NO.
SUKU
KELIMPAHAN (jml individu/ha)
1.
POMACENTRIDAE
6714
2.
LABRIDAE
2060
3.
ACANTHURIDAE
1146
4.
CHAETODONTIDAE
486
5.
SCARIDAE
362
6.
MULLIDAE
216
7.
SCOLOPSIDAE
194
8.
BALISTIDAE
187
9.
LUTJANIDAE
165
10.
CARANGIDAE
143
11.
LETHRINIDAE
124
12.
POMACANTHIDAE
95
13.
SERRANIDAE
73
14.
HOLOCENTRIDAE
60
15.
SYNODONTIDAE
48
16.
MICRODESMIDAE
44
17.
APOGONIDAE
32
18.
CAESIONIDAE
32
19.
ZANCLIDAE
32
20.
SIGANIDAE
25
21.
HARPODONTIDAE
10
22.
PSEUDOCHROMIDAE
6
23.
MURAENIDAE
3
24.
PLATACIDAE
3
25.
TETRAODONTIDAE
3
CRITC-COREMAP Jakarta
84
Gambar 28.a. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di masingmasing stasiun transek permanen di P. Sipora bagian utara dengan metode UVC.
CRITC-COREMAP Jakarta
85
Gambar 28.b. Peta perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di masingmasing stasiun transek permanen di P. Siberut bagian selatan dengan metode UVC.
CRITC-COREMAP Jakarta
86
Berdasarkan
hasil
perhitungan
nilai
indeks
keanekaragaman jenis Shannon dan nilai kemerataan jenis Pielou (Tabel 17), terlihat bahwa untuk kedua nilai indeks tersebut, pada stasiun MTWL08 memiliki nilai yang rendah (H’=1,770 dan J’=0,671). Hal ini disebabkan karena sedikitnya jenis ikan karang yang dijumpai di stasiun tersebut, dan adanya jenis yang terlihat lebih dominan dibanding jenis yang lainnya yaitu Caranx sp. dan Chromis viridis. Tabel 17. Jumlah jenis (S), Jumlah individu (N), Indeks keanekaragaman jenis Shannon (H’) y ang dihitung menggunakan ln (=log e), dan Indeks kemerataan Pielou (J’) untuk ikan karang di masing-masing stasiun transek permanen dengan metode UVC. Stasiun
S
N
H’
J’
MTWL01
87
567
3,606
0,807
MTWL02
47
324
3,435
0,892
MTWL03
60
756
2,870
0,701
MTWL04
32
308
2,370
0,684
MTWL05
39
336
3,042
0,830
MTWL06
55
387
3,423
0,854
MTWL07
33
251
2,309
0,660
MTWL08
14
102
1,770
0,671
MTWL09
43
832
3,123
0,830
Sebelum dilakukan analisa pengelompokan (cluster analysis), data jumlah individu yang dijumpai di masingmasing stasiun transek permanen ditransformasikan ke dalam
bentuk
akar
pangkat
dua,
dan
dihitung
nilai
kemiripan antar stasiun berdasarkan nilai kemiripan BrayCurtis, yang hasilnya ditampilkan pada Tabel 18.
CRITC-COREMAP Jakarta
87
Tabel 18. Nilai kemiripan Bray-Curtis berdasarkan jumlah individu ikan karang pada stasiun transek permanen. Stasiun
MTWL01 MTWL02 MTWL03 MTWL04 MTWL05 MTWL06 MTWL07 MTWL08 MTWL09
MTWL01
-
MTWL02
30,089
-
MTWL03
54,181
32,981
-
MTWL04
21,375
35,837
26,869
-
MTWL05
31,632
38,281
37,896
26,355
-
MTWL06
43,663
37,523
43,042
34,715
34,056
-
MTWL07
20,129
20,047
22,647
24,138
20,598
33,072
-
MTWL08
8,776
17,816
8,385
13,556
18,784
9,673
9,708
-
MTWL09
26,455
37,967
39,343
31,848
43,039
39,750
18,352
16,201
CRITC-COREMAP Jakarta
-
88
Dengan memilih tingkat kemiripan 50 % dari hasil analisa
pengelompokan
berdasarkan
rerata
kelompok
(group average) (Gambar 29), terlihat hanya stasiun MTWL01 dan MTWL03 saja yang mengelompok dalam satu kelompok. Analisa MDS (Multi Dimensial Scaling) dengan nilai Stress=0,07 juga menunjukkan bahwa stasiun MTWL01 mengelompok dengan stasiun MTWL03 (Gambar 30). Pada kedua stasiun ini, Pomacentrus bankanensis dan P. lepidogenys tampak umum dijumpai.
0
Similarity
20
40
60
MTWL09
MTWL05
MTWL02
MTWL03
MTWL01
MTWL06
MTWL04
MTWL07
100
MTWL08
80
Gambar 29. Dendrogram analisa pengelompokan stasiun transek permanen di Kabupaten Mentawai berdasarkan jumlah individu ikan karang y ang telah ditransformasikan ke bentuk akar pangkat dua.
CRITC-COREMAP Jakarta
89
Stress: 0.07
MTWL02 MTWL09
MTWL01 MTWL03
MTWL05 MTWL06 MTWL08
MTWL04
MTWL07
Gambar 30. MDS untuk stasiun transek permanen di Kabupaten Mentawai berdasarkan jumlah individu ikan karang y ang telah ditransformasikan ke bentuk akar pangkat dua.
G. P EMBAHASAN U MUM Kepulauan Mentawai secara geografis berada di Samudera Hindia sehingga perairan di kepulauan ini mempunyai sistem arus dan karakteristik massa air yang sangat
dipengaruhi
oleh
sistem
yang
berkembang
di
Samudera Hindia. Perubahan sekecil apapun yang terjadi di daratan akan membawa pengaruh yang signifikan pada kualitas perairannya. Pengaruhnya disamping terjadi di daerah tersebut juga akan terdistribusi ke daerah lain yang terbawa oleh gerakan massa air melalui sistem arus yang berkembang di daerah ini. Pola arus menentukan pola
CRITC-COREMAP Jakarta
90
sebaran zat yang terlarut dan materi yang melayang di dalam air, baik zat hara, bahan pencemar, plankton, telur dan larva biota laut, maupun materi dasar laut yang teraduk akibat gelombang laut atau sebab lainnya. Sistem arus suatu perairan selalu berubah-ubah mengikuti pola pasang-surut, kondisi angin dan musim. Untuk perairan Kepulauan Mentawai hingga Sibolga (Sumatera Utara), kondisi
arusnya
terutama
dipengaruhi
oleh
musim
sedangkan pengaruh pasang surut tidak terlihat dominan. Kecuali
di
beberapa
stasiun
penelitian
yang
lokasinya berdekatan dengan pelabuhan laut, secara umum kualitas perairannya masih dapat dikatakan relatif baik untuk kehidupan karang serta biota laut, dimana nilainya masih
dibawah
nilai
ambang
batas
maksimum
yang
dianjurkan KLH. Walaupun begitu tanda-tanda adanya pencemaran di perairan ini perlu mendapatkan perhatian, terlihat dari tingginya kelimpahan beberapa mega bentos yang
umum
dijumpai
pada
daerah
yang
tercemar
perairannya. Luasan hutan mangrove di P. Sipora bagian utara (Tua Pejat dan Igosoinan) dan P. Siberut bagian selatan (Katurai dan Muara Siberut) yaitu 38,1121 km 2 . Untuk kategori pohon, diperkirakan ada sekitar 1.802.702,30 batang (473 batang/ha) dengan rerata ketinggian 13,15 m dan rerata diameter 14,80 cm. Untuk kategori anak pohon, diperkirakan
ada
sekitar
11.071.565,05
batang
(2905
batang/ha) dengan rerata ketinggian 4,93 m dan rerata diameter 5,07 cm.
CRITC-COREMAP Jakarta
91
Karang batu, yang merupakan komponen utama dalam ekosistem terumbu karang, masih memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang di perairan Kepulauan Mentawai ini meskipun pada beberapa stasiun penelitian dijumpai
dalam
persentase
tutupan
yang
rendah.
Berdasarkan hasil RRI yang telah dilakukan pada studi baseline ekologi pada 2004 ini, secara umum dapat dikatakan
bahwa
persentase
tutupan
karang
batu
di
Kepulauan Mentawai (14,89%) lebih rendah dibandingkan dengan di Nias (25,90%) dan Tapanuli Tengah (26,98%). Luasan terumbu karang yang meliputi fringing reef, patch reef dan shoal di perairan antara P. Sipora bagian utara (Tua Pejat dan Igosoinan) dan P. Siberut bagian selatan (Katurai dan Muara Siberut) yaitu adalah 88,3661 km 2 . Berdasarkan hasil dari RRI dimana rerata persentase tutupan karang hidup di wilayah ini sebesar 14,89 %, maka perkiraan luas karang hidupnya sebesar 13,1532 km 2 . Walaupun karang
batu
keanekaragaman (koefisien
sumbangan terhadap jenis
nilai
persentase
meningkatnya (H’)
nilai
hanya
sebesar
determinasi=r =0,1777),
namun
2
tutupan indeks
17,77
%
terdapat
hubungan linear positif antara keduanya. Ini berarti bahwa semakin tinggi persentase tutupan karang batu, semakin tinggi pula nilai keanekaragaman jenis karang batunya. Beranekaragamnya jenis karang batu dengan persentase tutupan yang tinggi dimungkinkan bila ukuran koloni dari setiap jenis karang batunya tidak begitu besar. Stasiun MTWL01 dan MTWL03 terlihat memiliki kemiripan yang tinggi baik dilihat dari jenis karang
CRITC-COREMAP Jakarta
92
batunya, kelimpahan mega benthos (yang memiliki nilai ekonomi penting ataupun sebagai indikator kesehatan terumbu karang), maupun dari kelimpahan jenis ikan karangnya. MTWL01 berada pada timur laut P. Sipora bagian utara, sedangkan MTWL03 berada di bagian barat P. Siburu, sebuah pulau kecil yang berada di bagian utara Pulau Sipora. Kedua stasiun tersebut berada pada sisi timur yang berhadapan dengan daratan P. Sumatera.
CRITC-COREMAP Jakarta
93
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. K ESIMPULAN Dari hasil dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: Kepulauan
Mentawai
secara
geografis
berada
di
Samudera Hindia sehingga perairan di kepulauan ini mempunyai sistem arus dan karakteristik massa air yang sangat dipengaruhi oleh sistem yang berkembang di Samudera Hindia. Kondisi arus di perairan Kepulauan Mentawai hingga Sibolga (Sumatera Utara), terutama dipengaruhi oleh musim sedangkan pengaruh pasang surut tidak terlihat dominan. Kecuali di beberapa stasiun penelitian yang lokasinya dekat dengan pelabuhan laut, secara umum kadar zat hara di perairan sekitar wilayah ini masih dibawah nilai ambang batas maksimum yang dianjurkan KLH untuk biota
laut.
Walaupun
begitu
tanda-tanda
adanya
pencemaran di perairan ini bisa terlihat dari tingginya kelimpahan beberapa mega bentos (misal CMR, bulu babi) yang umum dijumpai pada daerah yang tercemar perairannya. Dijumpai 25 jenis mangrove yang termasuk dalam 15 suku dari hasil transek dan koleksi bebas. Luasan hutan mangrove di P. Sipora bagian utara (Tua Pejat dan Igosoinan) dan P. Siberut bagian selatan (Katurai dan
CRITC-COREMAP Jakarta
94
Muara Siberut) yaitu 38,1121 km 2 . Untuk kategori pohon, diperkirakan ada sekitar 1.802.702,30 batang (473 batang/ha) dengan rerata ketinggian 13,15 m dan rerata diameter 14,80 cm. Untuk kategori anak pohon, diperkirakan ada sekitar 11.071.565,05 batang (2905 batang/ha) dengan rerata ketinggian 4,93 m dan rerata diameter 5,07 cm. Luasan terumbu karang yang meliputi fringing reef, patch reef dan shoal di perairan antara P. Sipora bagian utara (Tua Pejat dan Igosoinan) dan P. Siberut bagian selatan (Katurai dan Muara Siberut) yaitu adalah 88,3661 km 2 . Berdasarkan hasil dari RRI dimana rerata persentase tutupan karang hidup di wilayah ini sebesar 14,89 %, maka perkiraan luas karang hidupnya sebesar 13,1532 km 2 . Dari hasil RRI, LIT dan pengamatan bebas berhasil dijumpai 166 jenis karang batu yang termasuk dalam 19 suku. Pengamatan terumbu karang dengan metode RRI yang dilakukan di 48 stasiun dijumpai persentase tutupan karang hidup antara 0,88%-66,90%, dengan rerata persentase tutupan karang hidup 14,89%. Ditinjau dari persentase tutupan karang hidupnya, secara umum terumbu karang di perairan ini dapat dikategorikan “kurang”. Underwater Visual Census (UVC) yang dilakukan di 9 Stasiun transek permanen menjumpai sebanyak 157 jenis ikan karang yang termasuk dalam 25 suku, dengan
CRITC-COREMAP Jakarta
95
kelimpahan ikan karang sebesar 12263 individu per hektarnya. Jenis Chromis ternatensis merupakan jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan yang tertinggi dibandingkan dengan jenis ikan karang lainnya, yaitu sebesar 1502 individu/ha-nya Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting yang diperoleh dari UVC di lokasi transek permanen seperti ikan kakap (suku Lutjanidae) yaitu 165 individu/ha, ikan kerapu (suku Serranidae) 73 individu/ha, ikan ekor kuning (suku Caesionidae) yaitu 32 individu/ha. Ikan kepe-kepe (Butterfly fish; suku Chaetodontidae) yang merupakan ikan indikator untuk menilai kesehatan terumbu karang memiliki kelimpahan 486 individu/ha. Selama
penelitian
berlangsung,
ikan
Napoleon
(Cheilinus undulatus) tidak dijumpai. Perbandingan kelimpahan kelompok ikan major, ikan target dan ikan indikator berturut-turut adalah 9219 individu/ha, 2559 individu/ha dan 486 individu/ha, sehingga perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator adalah 19:5:1. Ini berarti bahwa untuk
setiap
25
ikan
yang
dijumpai
di
perairan
Mentawai, kemungkinan komposisinya terdiri dari 19 individu ikan major, 5 individu ikan target dan 1 individu ikan indikator. Stasiun
MTWL01
dan
MTWL03
terlihat
memiliki
kemiripan yang tinggi baik dilihat dari jenis karang batunya, kelimpahan mega benthos (yang memiliki nilai ekonomi penting ataupun sebagai indikator kesehatan
CRITC-COREMAP Jakarta
96
terumbu karang), maupun dari kelimpahan jenis ikan karangnya. Kedua stasiun tersebut berada pada sisi timur yang berhadapan dengan daratan P. Sumatera.
B. SARAN Dari pengalaman dan hasil yang diperoleh selama melakukan penelitian di lapangan maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut: Kesimpulan yang diambil mungkin tidak seluruhnya benar
untuk
menggambarkan
kondisi
Kepulauan
Mentawai secara keseluruhan mengingat penelitian kali ini difokuskan hanya pada perairan P. Sipora bagian utara dan perairan P. Siberut bagian selatan. Selain itu, jumlah stasiun yang diambil untuk transek permanen (untuk
penelitian
karang,
mega
benthos
dan
ikan
karang) yang jumlahnya 9 stasiun juga masih sangatlah terbatas. Hal ini dikarenakan waktu penelitian yang sangat terbatas. Untuk itu sebaiknya jumlah stasiun transek permanen bisa ditambahkan pada penelitian selanjutnya. Secara umum, kualitas perairan di lokasi yang diteliti, dapat dikatakan relatif masih baik untuk kehidupan karang serta biota laut lainnya. Keadaan seperti ini perlu
dipertahankan
bahkan
jika
mungkin,
lebih
ditingkatkan lagi daya dukungnya, untuk kehidupan terumbu
karang
dan
biota
lainnya.
Pencemaran
lingkungan dan kerusakan lingkungan harus dicegah
CRITC-COREMAP Jakarta
97
sedini mungkin, sehingga kelestarian sumberdaya yang ada tetap terjaga dan lestari. Dengan meningkatnya kegiatan di darat di sekitar Kepulauan Mentawai, pasti akan membawa pengaruh terhadap
ekosistem
di
perairan
ini,
baik
secara
langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, penelitian kembali di daerah ini sangatlah penting dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi sehingga hasilnya bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola ekosistem terumbu karang secara
lestari.
Selain
itu,
data
hasil
pemantauan
tersebut juga bisa dipakai sebagai bahan evaluasi keberhasilan COREMAP.
CRITC-COREMAP Jakarta
98
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
1985.
Baku
Mutu
Lingkungan
Hidup
dan
Pengendalian Pencemaran Lingkungan. Laporan Khusus: Asisten I Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta. Alaert, G dan S.S. Santika. 1987. Metode Penelitian Air. Penerbit: Usaha Nasional Surabaya: 389p. Alabaster, J.S. dan Lloyd, R. 1980. Water Quality Criteria for Freswater Fish. Butterworths, London. Brotowidjoyo,
M.D.,
D.
Tribowo.,
E.
Mubyarto.
1995.
Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Liberty, Yogyakarta. Connel, W. D., dan Gregory, J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Penerbit Universitas Indonesia: 520p. Cox, G.W.
1967.
Laboratory manual of General Ecology.
M.W.C. Brown Company, Minneapolis, Minnesota. Dai, C.F. 1991. Reef Environment and Coral Fauna of Southern Taiwan. Atol. Res. Bull. No.S: 354. Eliza.
1992.
Dampak
Pariwisata
terhadap
Pertumbuhan
Terumbu Karang. Lingkungan dan Pembangunan Vol.12 No.3.: 158-170.
CRITC-COREMAP Jakarta
99
Edward dan Z. Tarigan. 2004. Pemantauan Kondisi Hidrologi di Perairan Raha P. Muna dalam kaitannya dengan Kondisi
Terumbu
Karang.
Jurnal
“Sains”
Universitas Indonesia (dalam proses penerbitan). Edward. 1986. Kandungan Zat Hara Fosfat di Laut Banda. Laporan : Penelitian BPSDL-LIPI Ambon. Edward. 1996. Kandungan
Zat
Oksiegen Terlarut
Hara di
Fosfat,
Nitrat
Perairan
dan
Waisarisa.
dan Pembangunan, Vol 16, No 2,
Lingkungan
Jakarta: 149-159. English, S.; C. Wilkinson and V. Baker, 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Second edition. Australian
Institute
of
Marine
Science.
Townsville: 390 p. EPA, 1973. Water Quality Criteria. Ecological Research Series. Washington: 595 p. Hamzah, MS., M.t Soamole dan T. Wenno. 1993. Kondisi Oseanografi
Perairan
Kepulauan
Banda
dan
Lusipara. Laporan Kemajuan Triwulan IV. BPSDL –LIPI Ambon: 94-97. Ilahude, A.
dan
Liasaputra. 1980. Sebaran
Parameter Hidrologi di Teluk Jakarta. Buku Jakarta, Pengkajian
Fisika,
Normal Teluk
Kimia, Biologi &
Geologi (Nontji, A dan A. Djamali ed). LON-LIPI Jakarta. 1-48 p.
CRITC-COREMAP Jakarta
100
Kantor
MNLH.
1988.
Kependudukan
Keputusan
Menteri
Negara
dan Lingkungan Hidup No.Kep-
02/MNKLH/I/1988 Tentang Pedoman Penetapan Baku
Mutu Lingkungan. Kantor Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta Kantor
MNLH.
2004.
Lingkungan
Keputusan
Hidup
Menteri
Negara
No.Kep-51/2004
dan
Tentang
Pedoman Penetapan Baku Mutu Air Laut. Kantor Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan
Hidup, Jakarta. Keenan W. C., C.K. Donald and Jesse. 1980. General College Chemistry , 6 th edt. Harper & Row Publisher, New York. Liaw. W.K.
1969. Chemical and Biological Studies
and
Fish Ponds and Resevoirs in Taiwan. Fisheries Series No. 7. Long, B.G. ; G. Andrew; Y.G. Wang and Suharsono, 2004. Sampling accuracy of reef resource inventory technique. Coral Reefs: 1-17. Mulyanto,
1992.
Lingkungan
Hidup
Untuk
Ikan.
Depdikbud, Jakarta: 138 p. Mechlas, B.J.,
K.K. Hekimian., L.A. Schinazi and R.H.
Dudley. 1972. An Integration into recreational water quality, water quality data book. US. EPA. Wasington (4): 35-55.
CRITC-COREMAP Jakarta
101
Neter, J.; M.H.
Kunter ; C.J.
Wasserman.
1996.
Nachtsheim
Applied
Linear
&
W.
Statistical
Models. Fourth edition. The Mc Graw Hill–Co. Inc USA:1408p NTAC (National Technical Advisor Commintee). 1968. Water Quality Criteria. Report of the National Technical Advisory
Committee
to
the
Secretary
of
the
Interior. Washington. Nybakken
W.
J.
1988.
Biologi
Laut,Suatu
Pendekatan
Ekologis. Penerbit PT. Gramedia Jakarta: 459 p. Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. W.B. sounders Company, Philadelphia: 574 p. Pielou, E.C. 1966. The measurement of diversity in different types of biological collections. J. Theoret. Biol. 13: 131-144. Riva’i, R.S dan K. Pertagunawan. 1983. Biologi Perikanan I. Penerbit CV. Kayago. Jakarta: 143 p. Romimohtarto, K dan Thayib, S.S. 1982. Kondisi Lingkungan dan Laut di Indonesia. LON-LIPI, Jakarta: 246 p. Romimohtarto, K. 1988. Kualitas Air dalam Budidaya Laut. Sea Farming Workshop Report. Bandar lampung. Salim, E. 1986. Baku Mutu Lingkungan. KLH, Jakarta: 25 p. Shannon,
C.E.
1948.
A
mathematical
theory
of
communication. Bell System Tech. J. 27: 379-423, 623-656.
CRITC-COREMAP Jakarta
102
Strickland,
J.D.H and
T.R. Parsons.
1968.
A Practical
Handbook of Seawater Analysis. Fish. Res. Board Canada (167): 311 p Sulastri
dan
Bajoeri.
1995.
Tingkat
Kualitas
Perairan
Cimandur, Cililit dan Cisiih di Wilayah Banten Selatan Jawa Barat. Prosiding : Hasil Penelitian Puslitbang Limnologi-LIPI 1994/95. Bogor. 120135. Supranto. 1991. Statistik, teori dan aplikasi edisi kelima jilid 2. Penerbit Erlangga. Jakarta. Susana T. 1988. Pengaruh Senyawa Klorin Terhadap Biota Laut. Warta ISOI: 4 –6 p. Sutamihardja,
R.T.M.
Lingkungan.
1978.
Kualitas
Sekolah
Pencemaran
Pascasarjana
Jurusan
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Bahan Kuliah: Institut Pertanian Bogor, Bogor Sutarna, I.N. 1987. Keanekargaman dan Kekayaan Jenis Karang batu di Teluk Ambon Bagian Luar, P. Ambon. Buku Teluk Ambon (Biologi, Perikanan, Oseanografi dan Geologi). BSDL LIPI Ambon:1- 9. Warwick, R.M. and K.R. Clarke, 2001. Change in marine communities: an approach to stasistical analysis and
interpretation,
2nd
edition.
PRIMER-
E:Plymouth. Welch,
E.
B.
1980.
Ecological
Effect
of
Wasterwater.
Cambridge University Press. London: 357 p.
CRITC-COREMAP Jakarta
103
Wenno, L.F., Walman, H., dan D. Sahetapy. 1983. Penelitian Pengaruh Sirkulasi Air Terhadap Pertumbuhan Karang di Perairan Teluk Ambon. Laporan Pen. Proyek BSDL LIPI Ambon: 68-69. Winarno, F.G. 1986. Air Untuk Industri Pangan. Penerbit PT. Gramedia, Jakarta Zar, J. H., 1996. Biostatistical Analysis. Second edition. Prentice-Hall Int. Inc. New Jersey: 662 p.
CRITC-COREMAP Jakarta
104
LAMPIRAN
Lampiran 1. Posisi stasiun penelitian untuk parameter temperatur dan salinitas air laut di perairan P. Sipora bagian utara dan perairan P. Siberut bagian selatan. Lokasi P. Sipora bagian utara dan sekitarnya
P. Siberut bagian selatan dan sekitarnya
CRITC-COREMAP Jakarta
Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Posisi Latitude
Longitude
-2.02556 -2.02556 -2.05444 -2.03639 -2.00111 -1.98639 -1.96500 -2.03472 -2.02583 -2.01306 -1.98778 -1.77833 -1.80444 -1.83889 -1.85139 -1.86583 -1.87556 -1.88361 -1.90278 -1.80444 -1.78611 -1.77194 -1.75250 -1.74528 -1.75028 -1.70889 -1.69278
99.59025 99.61556 99.66417 99.64278 99.59833 99.60611 99.57917 99.57833 99.57194 99.57833 99.58361 99.29861 99.29222 99.29861 99.29944 99.29306 99.29111 99.29556 99.30722 99.29222 99.28306 99.27083 99.24667 99.25139 99.26722 99.29611 99.30611
105
Lampiran 2.
Posisi stasiun penelitian untuk parameter fosfat, nitrit, nitrat, oksigen terlarut, pH, kecerahan, warna, bau, benda padat terapung, dan zat padat tersuspensi di perairan P. Sipora bagian utara dan perairan P. Siberut bagian selatan.
Posisi Lokasi
Stasiun Latitude
Longitude
P. Sipora bagian utara
1
-2.05444
99.66417
dan sekitarnya
2
-2.03639
99.64278
3
-2.02556
99.61556
4
-1.98639
99.60611
5
-1.96500
99.57917
6
-1.98778
99.58361
7
-2.01306
99.57833
8
-2.02556
99.59025
9
-2.00111
99.59833
10
-2.03472
99.57833
11
-2.02583
99.57194
P. Siberut bagian selatan
12
-1.90278
99.30722
dan sekitarnya
13
-1.87556
99.29111
14
-1.85139
99.29944
15
-1.80444
99.29222
16
-1.77833
99.29861
17
-1.78875
99.26084
18
-1.74528
99.25139
19
-1.74200
99.26722
20
-1.73095
99.29199
21
-1.70889
99.29000
22
-1.69278
99.30611
CRITC-COREMAP Jakarta
106
Lampiran 3. Posisi stasiun penelitian untuk mangrove.
Posisi Lokasi
Stasiun Latitude
Longitude
1
-2.03133
99.59056
2
-2.03217
99.60540
3
-2.03196
99.61148
4
-1.99671
99.60354
5
-1.99340
99.59658
6
-1.75135
99.27783
7
-1.74482
99.27378
P. Kuboi
8
-1.74877
99.26750
P. Silebut
9
-1.77376
99.26310
10
-1.76947
99.26405
P. Sipora
P. Siburu P. Siberut
CRITC-COREMAP Jakarta
107
Lampiran 4.
Posisi stasiun penelitian karang dan ikan karang dengan metode RRI di perairan P. Sipora bagian utara dan perairan P. Siberut bagian selatan.
Lokasi
Stasiun
Posisi Latitude
Longitude
P. Sipora bagian utara
MTWR01
-1.97000
99.57587
dan sekitarnya
MTWR02
-1.98097
99.59977
MTWR03
-1.99763
99.60388
MTWR04
-2.01425
99.57917
MTWR05
-2.02533
99.57745
MTWR06
-2.02542
99.56977
MTWR07
-2.00140
99.56820
MTWR08
-1.99070
99.58090
MTWR09
-2.09245
99.70795
MTWR10
-2.07385
99.69578
MTWR11
-2.06743
99.68192
MTWR12
-2.05745
99.66405
MTWR13
-2.04283
99.65328
MTWR14
-2.03810
99.64308
MTWR15
-2.02400
99.63023
MTWR16
-2.02529
99.61329
MTWR17
-2.02813
99.59423
MTWR18
-2.03463
99.57083
MTWR19
-2.04747
99.55355
MTWR20
-2.06585
99.55408
MTWR21
-2.09802
99.55092
MTWR22
-2.13237
99.56178
MTWR23
-2.14940
99.55935
MTWR24
-2.13300
99.53700
bersambung
CRITC-COREMAP Jakarta
108
Sambungan Lampiran 4 Lokasi
Stasiun
Posisi Latitude
Longitude
P. Siberut bagian selatan
MTWR25
-1.91450
99.29007
dan sekitarnya
MTWR26
-1.87063
99.27440
MTWR27
-1.84333
99.24352
MTWR28
-1.64829
99.29439
MTWR29
-1.68107
99.30843
MTWR30
-1.69576
99.30098
MTWR31
-1.70020
99.29448
MTWR32
-1.72783
99.29037
MTWR33
-1.74818
99.29347
MTWR34
-1.73530
99.32190
MTWR35
-1.75125
99.26927
MTWR36
-1.75001
99.24225
MTWR37
-1.76869
99.26919
MTWR38
-1.78086
99.30021
MTWR39
-1.79201
99.24555
MTWR40
-1.81482
99.26623
MTWR41
-1.83945
99.27566
MTWR42
-1.81390
99.29177
MTWR43
-1.79680
99.28507
MTWR44
-1.83580
99.32188
MTWR45
-1.85800
99.30516
MTWR46
-1.87686
99.29147
MTWR47
-1.91274
99.31093
MTWR48
-1.89754
99.29847
CRITC-COREMAP Jakarta
109
Lampiran 5. Posisi stasiun stasiun transek permanen untuk karang, mega benthos dan ikan karang di perairan P. Sipora bagian utara dan perairan P. Siberut bagian selatan.
Posisi Lokasi
Stasiun Latitude
Longitude
P. Sipora bagian utara
MTWL01
-2.06760
99.68182
dan sekitarnya
MTWL02
-2.02533
99.57745
MTWL03
-1.98093
99.59967
MTWL04
-2.14322
99.54128
MTWL05
-2.13300
99.53700
P. Siberut bagian selatan
MTWL06
-1.69577
99.30110
dan sekitarnya
MTWL07
-1.75085
99.27022
MTWL08
-1.81112
99.29150
MTWL09
-1.87213
99.28552
CRITC-COREMAP Jakarta
110
Lampiran 6. Jenis karang batu y ang diperoleh di perairan P. Sipora bagian utara dan perairan P. Siberut bagian selatan berdasarkan hasil LIT dan koleksi bebas.
No.
I
SUKU Jenis ASTROCOENIIDAE 1 Stylocoeniella armata
II 2 3 4 5 6 7 8 9 III 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
CRITC-COREMAP Jakarta
POCILLOPORIDAE Pocillopora damicornis P. eydouxi P. verrucosa Seriatopora caliendrum S. hystrix Stylophora pistillata Palauastrea ramosa Madracis kirby ACROPORIDAE Montipora aequituberculata M. capricornis M. digitata M. foliosa M. grisea M. hispida M. hoffmeisteri M. incrassata M. informis M. millepora M. nodosa M. spumosa M. turgescens M. venosa M. verrucosa Anacropora forbesi A. reticulata Acropora abrolhosensis
111
28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 IV 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66
CRITC-COREMAP Jakarta
A. acuminata A. brueggemanni A. caroliniana A. cerealis A. cuneata A. cytherea A. dendrum A. digitifera A. divaricata A. echinata A. florida A. formosa A. gemmifera A. grandis A. humilis A. hyacinthus A. intermedia A. loripes A. microphthalma A. nana A. palifera A. pulchra A. speciosa A. subglabra A. tenuis A. valenciennesi Astreopora explanata A. gracilis PORITIDAE Porites cylindrica P. lichen P. lobata P. lutea P. nigrescens P. rus Porites sp. Goniopora columna G. djiboutiensis G. minor Alveopora catalai
112
V 67 68 69 70
SIDERASTREIDAE Pseudosiderastrea tayami Psammocora contigua P. digitata Coscinaraea columna
71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83
AGARICIIDAE Pavona cactus P. decussata P. explanulata P. varians P. venosa Leptoseris explanata L. papyracea L. scabra L. yabei Gardineroseris planulata Coeloseris mayeri Pachyseris rugosa P. speciosa
84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98
FUNGIIDAE Cycloseris patelliformis Diaseris distorta Heliofungia actiniformis Fungia concinna F. fungites F. repanda F. scruposa F. talpina F. valida Fungia sp. Polyphyllia talpina Halomitra pileus Lithophyllon edwardsi L. elegans Podabacia crustacea
VI
VII
CRITC-COREMAP Jakarta
113
VIII OCULINIDAE 99 Galaxea astreata 100 G. fascicularis 101 Galaxea sp. IX PECTINIIDAE 102 Echinophyllia aspera 103 Oxypora glabra 104 Mycedium elephantotus 105 Pectinia lactuca X 106 107 108 109 110 111 112 113
MUSSIDAE Cynarina lacrymalis Scolymia australis Acanthastrea bowerbanki Lobophyllia corymbosa L. hemprichii L. pachysepta Symphyllia radians S. valenciennesii
XI MERULINIDAE 114 Hydnophora exesa 115 H. microconos 116 H. rigida 117 Hydnophora sp. 118 Merulina ampliata 119 M. scabricula 120 Scapophyllia cylindrica
121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131
CRITC-COREMAP Jakarta
FAVIIDAE Caulastrea curvata C. furcata Favia favus F. laxa F. maritima F. maxima F. pallida F. stelligera Barabattoia amicorum Favites abdita F. complanata
114
132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153
F. flexuosa F. halicora Favites sp. Goniastrea aspera G. edwardsi G. pectinata G. retiformis Goniastrea sp. Platygyra daedalea P. pini Leptoria phrygia Oulophyllia bennettae Montastrea annuligera M. curta Montastrea sp. Diploastrea heliopora Leptastrea inaequalis L. purpurea Cyphastrea chalcidicum C. serailia Echinopora gemmacea E. lamellosa
XIII TRACHYPHYLLIIDAE 154 Trachyphyllia geoffroyi XIV CARYOPHYLLIIDAE 155 Euphyllia ancora 156 E. cristata 157 E. glabrescens 158 Plerogyra sinuosa 159 Physogyra lichtensteini XV DENDROPHYLLIIDAE 160 Turbinaria peltata 161 Tubastrea faulkneri XVI TUBIPORIDAE 162 Tubipora musica XVII HELIOPORIDAE 163 Heliopora coerulea
CRITC-COREMAP Jakarta
115
XVIII MILLEPORIDAE 164 Millepora tenella 165 Millepora sp. XIX STYLASTERIDAE 166 Distichopora sp.
CRITC-COREMAP Jakarta
116
Lampiran 7. Persentase tutupan biota dan substrat pada masing-masing stasiun RRI di perairan P. Sipora bagian utara dan perairan P. Siberut bagian selatan.
Acropora
Non Acropora
Dead Coral
Dead Coral with Algae
Soft Coral
Sponge
Fleshy Seaweed
Other Biota
Rubble
Sand
Silt
Rock
8.33
3.13
5.21
2.08
41.67
0.00
1.04
0.00
0.00
20.83
26.04
0.00
0.00
MTWR02
3.85
1.92
1.92
1.92
48.08
0.00
2.88
0.00
0.00
38.46
4.81
0.00
0.00
MTWR03
10.00
2.00
8.00
0.00
50.00
0.00
0.00
0.00
0.00
25.00
15.00
0.00
0.00
MTWR04
5.10
0.00
5.10
0.00
10.20
0.00
3.06
10.20
0.02
51.01
20.40
0.00
0.00
MTWR05
7.21
2.06
5.15
0.00
56.64
0.00
5.15
0.00
0.11
0.00
30.89
0.00
0.00
MTWR06
20.57
5.14
15.43
0.00
5.14
5.14
5.14
2.06
0.23
51.43
10.29
0.00
0.00
MTWR07
13.24
3.06
10.19
0.00
30.56
0.00
5.09
5.09
0.17
30.56
10.19
5.09
0.00
MTWR08
4.72
1.89
2.83
0.00
37.74
0.00
0.94
0.00
0.00
28.30
28.30
0.00
0.00
MTWR09
6.78
2.54
4.24
1.69
38.14
0.00
0.85
5.93
0.00
38.14
8.47
0.00
0.00
MTWR10
21.87
4.17
17.70
3.12
41.65
1.04
1.04
0.00
0.03
31.24
0.00
0.00
0.00
MTWR11
32.84
6.21
26.63
1.78
35.50
0.00
0.00
0.00
0.60
22.19
7.10
0.00
0.00
MTWR12
13.25
5.10
8.16
0.00
45.88
0.00
0.00
0.00
0.09
40.78
0.00
0.00
0.00
MTWR13
4.67
1.87
2.80
1.87
37.38
0.00
0.00
0.00
0.00
32.71
23.36
0.00
0.00
MTWR14
12.40
2.48
9.92
0.83
28.92
0.00
0.00
0.00
0.01
37.19
20.66
0.00
0.00
MTWR15
6.12
2.04
4.08
0.00
35.71
1.02
1.02
0.00
0.02
25.51
30.61
0.00
0.00
Stasiun
Live Coral
MTWR01
bersambung
CRITC-COREMAP Jakarta
117
Sambungan Lampiran 7 Acropora
Non Acropora
Dead Coral
Dead Coral with Algae
Soft Coral
Sponge
Fleshy Seaweed
Other Biota
Rubble
Sand
Silt
Rock
7.27
4.55
2.73
1.82
72.73
0.00
0.00
0.00
0.00
13.64
4.55
0.00
0.00
MTWR17
5.24
0.00
5.24
0.00
0.00
0.00
5.24
5.24
0.52
73.30
10.47
0.00
0.00
MTWR18
13.40
3.09
10.31
0.00
61.84
0.00
2.06
2.06
0.03
20.61
0.00
0.00
0.00
MTWR19
36.78
2.30
34.48
0.00
45.98
0.00
5.75
5.75
0.00
5.75
0.00
0.00
0.00
MTWR20
14.28
0.00
14.28
0.00
71.39
0.00
7.14
7.14
0.06
0.00
0.00
0.00
0.00
MTWR21
27.84
2.06
25.77
0.00
46.39
0.00
5.15
5.15
0.00
10.31
5.15
0.00
0.00
MTWR22
17.52
2.06
15.46
0.00
61.82
0.00
5.15
10.30
0.06
5.15
0.00
0.00
0.00
MTWR23
45.00
10.00
35.00
0.00
30.00
0.00
5.00
10.00
0.01
5.00
5.00
0.00
0.00
MTWR24
37.02
4.63
32.40
0.00
37.02
0.00
4.63
16.66
0.04
4.63
0.00
0.00
0.00
MTWR25
25.58
2.33
23.26
0.00
69.77
2.33
1.16
1.16
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
MTWR26
25.74
0.99
24.75
0.00
39.60
1.98
2.97
0.00
0.00
24.75
4.95
0.00
0.00
MTWR27
6.93
1.98
4.95
2.97
49.50
1.98
0.99
2.97
0.00
29.70
4.95
0.00
0.00
MTWR28
1.31
0.00
1.31
0.00
1.31
0.00
1.31
0.00
0.14
3.94
65.70
26.28
0.00
MTWR29
4.50
1.80
2.70
0.00
54.05
0.00
0.90
0.00
0.00
27.03
13.51
0.00
0.00
MTWR30
2.00
0.00
2.00
0.00
50.00
0.00
1.00
2.00
0.00
35.00
10.00
0.00
0.00
MTWR31
0.88
0.00
0.88
0.00
35.39
0.00
0.00
1.77
0.03
53.08
4.42
4.42
0.00
MTWR32
2.73
0.00
2.73
0.00
54.55
0.00
0.91
0.91
0.00
27.27
13.64
0.00
0.00
Stasiun
Live Coral
MTWR16
bersambung
CRITC-COREMAP Jakarta
118
Sambungan Lampiran 7 Acropora
Non Acropora
Dead Coral
Dead Coral with Algae
Soft Coral
Sponge
Fleshy Seaweed
Other Biota
Rubble
Sand
Silt
Rock
6.25
0.00
6.25
0.00
44.64
1.79
0.00
2.68
0.00
26.79
17.86
0.00
0.00
MTWR34
5.26
2.11
3.16
0.00
84.21
0.00
0.00
0.00
0.00
10.53
0.00
0.00
0.00
MTWR35
66.90
24.65
42.25
0.00
17.61
0.00
0.00
1.41
0.00
10.56
3.52
0.00
0.00
MTWR36
3.06
0.00
3.06
0.00
61.22
0.00
0.00
15.31
0.00
10.20
10.20
0.00
0.00
MTWR37
17.53
2.06
15.46
0.00
51.55
0.00
0.00
0.00
0.00
20.62
10.31
0.00
0.00
MTWR38
1.94
0.00
1.94
0.00
58.25
0.00
0.97
0.00
0.00
29.13
9.71
0.00
0.00
MTWR39
11.00
1.00
10.00
0.00
70.00
2.00
2.00
10.00
0.00
5.00
0.00
0.00
0.00
MTWR40
16.67
2.78
13.89
1.39
69.44
2.78
1.39
4.17
0.00
0.00
4.17
0.00
0.00
MTWR41
24.18
2.20
21.98
0.00
54.95
2.20
2.20
0.00
0.00
0.00
16.48
0.00
0.00
MTWR42
5.49
0.00
5.49
0.00
65.92
0.00
0.00
1.10
0.02
21.97
5.49
0.00
0.00
MTWR43
2.06
1.03
1.03
0.00
30.92
0.00
0.00
0.00
0.03
46.38
20.61
0.00
0.00
MTWR44
8.16
3.06
5.10
0.00
40.82
0.00
5.10
0.00
0.00
40.82
5.10
0.00
0.00
MTWR45
10.00
0.00
10.00
0.00
50.00
30.00
10.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
MTWR46
51.00
1.00
50.00
0.00
10.00
0.00
5.00
4.00
0.00
30.00
0.00
0.00
0.00
MTWR47
12.00
2.00
10.00
0.00
60.00
5.00
3.00
5.00
0.00
10.00
5.00
0.00
0.00
MTWR48
28.19
2.56
25.63
0.00
64.06
3.84
1.28
1.28
0.06
0.00
1.28
0.00
0.00
Rerata
14.89
2.58
12.31
0.41
44.96
1.27
2.22
2.90
0.05
22.39
10.17
0.75
0.00
Stasiun
Live Coral
MTWR33
CRITC-COREMAP Jakarta
119
Lampiran 8. Persentase tutupan biota dan substrat dengan metode LIT di 6 stasiun transek permanent di perairan P. Sipora bagian utara dan perairan P. Siberut bagian selatan.
Acropora
Non Acropora
Dead Coral
Dead Coral with Algae
Soft Coral
Sponge
Fleshy Seaweed
Other Biota
Rubble
Sand
Silt
Rock
43.17
0.67
42.50
0.37
52.17
1.27
0.00
1.67
0.37
1.00
0.00
0.00
0.00
MTWL02
18.40
0.53
17.87
0.00
31.80
1.00
17.17
0.77
1.60
6.17
23.10
0.00
0.00
MTWL03
38.97
6.40
32.57
0.33
49.03
0.17
0.27
0.67
0.97
9.60
0.00
0.00
0.00
MTWL04
54.60
0.00
54.60
0.00
23.50
0.83
0.00
9.03
1.97
10.07
0.00
0.00
0.00
MTWL05
52.07
0.70
51.37
0.00
40.03
1.40
0.00
1.43
5.07
0.00
0.00
0.00
0.00
MTWL06
21.43
2.33
19.10
0.00
60.17
0.73
0.00
10.77
0.43
0.00
6.03
0.43
0.00
MTWL07
33.80
0.00
33.80
0.00
43.20
0.00
0.00
4.57
4.93
12.83
0.67
0.00
0.00
MTWL08
7.23
0.23
7.00
0.00
58.77
0.00
0.00
25.33
0.00
5.17
0.77
2.73
0.00
MTWL09
23.83
2.97
20.87
0.00
20.70
0.00
1.13
0.63
10.60
40.63
2.47
0.00
0.00
Stasiun
Live Coral
MTWL01
CRITC-COREMAP Jakarta
120
Lampiran 9. Beberapa Mega benthos y ang diamati dengan metode Reef Check Benthos (y ang dimodifikasi) pada masing-masing stasiun transek permanent di perairan P. Sipora bagian utara dan perairan P. Siberut bagian selatan.
Stasiun
MTWL01 MTWL02 MTWL03 MTWL04 MTWL05 MTWL06 MTWL07 MTWL08 MTWL09
Rerata Kelimpahan jml ind. (jml ind./ha) per transek 0.2 16
Acanthaster planci
1
0
1
0
0
0
0
0
0
CMR
7
0
2
213
605
19
0
16
135
110.8
7913
Diadema setosum
11
2
12
0
0
3
11
13
18
7.8
556
Drupella
1
0
2
0
0
0
0
0
0
0.3
24
Large Giant clam
0
2
0
0
0
1
0
1
2
0.7
48
Small Giant clam
0
7
0
1
0
0
0
0
1
1.0
71
Large Holothurian
0
6
0
0
0
0
1
0
3
1.1
79
Small Holothurian
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.0
0
Lobster
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.0
0
Pencil sea urchin
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0.2
16
Trochus niloticus
0
0
0
1
3
0
0
1
3
0.9
63
CRITC-COREMAP Jakarta
121
Lampiran 10. Kelimpahan jenis ikan (jumlah individu/transek) y ang dijumpai di masing-masing stasiun transek permanen y ang diperoleh dengan metode UVC di perairan P. Sipora bagian utara dan perairan P. Siberut bagian selatan. No.
NAMA SPECIES
NAMA SUKU
KELOMPOK MTWL01 MTWL02 MTWL03 MTWL04 MTWL05 MTWL06 MTWL07 MTWL08 MTWL09
1
Acanthurus bariene
ACANTHURIDAE
TARGET
1
2
Acanthurus blochii
ACANTHURIDAE
TARGET
3
Acanthurus leucosternon
ACANTHURIDAE
TARGET
3
4
Acanthurus lineatus
ACANTHURIDAE
TARGET
3
5
Acanthurus nigricans
ACANTHURIDAE
TARGET
20
6
Acanthurus pyroferus
ACANTHURIDAE
TARGET
1
7
Acanthurus sp.
ACANTHURIDAE
TARGET
1
8
Acanthurus triostegus
ACANTHURIDAE
TARGET
9
Acanthurus xanthopterus
ACANTHURIDAE
TARGET
10
Aethaloperca rogaa
SERRANIDAE
TARGET
1
11
Amblyglyphidodon aureus
POMACENTRIDAE
MAJOR
3
12
Amblyglyphidodon leucogaster
POMACENTRIDAE
MAJOR
3
13
Amphiprion clarckii
POMACENTRIDAE
MAJOR
4
14
Amphiprion ephippium
POMACENTRIDAE
MAJOR
15
Anampses melanurus
LABRIDAE
MAJOR
16
Apogon compressus
APOGONIDAE
MAJOR
17
Arothron immaculatus
TETRAODONTIDAE
MAJOR
100 2
3 3
3
3
2
2 2 10 8 6 1
1
4 4
1
1
3 10
1
Bersambung
CRITC-COREMAP Jakarta
122
Sambungan Lampiran 10 No.
NAMA SPECIES
NAMA SUKU
KELOMPOK MTWL01 MTWL02 MTWL03 MTWL04 MTWL05 MTWL06 MTWL07 MTWL08 MTWL09
18
Balistapus undulatus
BALISTIDAE
MAJOR
3
4
19
Balistoides viridescen
BALISTIDAE
MAJOR
20
Bodianus mesothorax
LABRIDAE
MAJOR
21
Caesio lunaris
CAESIODIDAE
TARGET
3
22
Caesio teres
CAESIODIDAE
TARGET
7
23
Caranx melampygus
CARANGIDAE
TARGET
24
Caranx sp.
CARANGIDAE
TARGET
4
25
Centropyge bispinosus
POMACANTHIDAE
MAJOR
1
26
Centropyge eibli
POMACANTHIDAE
MAJOR
27
Centropyge vrolicki
POMACANTHIDAE
MAJOR
1
6
28
Cephalopholis argus
SERRANIDAE
TARGET
1
1
29
Cephalopholis boenack
SERRANIDAE
TARGET
5
1
30
Cephalopholis cyanostigma
SERRANIDAE
TARGET
1
1
31
Cephalopholis miniatus
SERRANIDAE
TARGET
1
32
Cephalopholis urodeta
SERRANIDAE
TARGET
1
33
Chaetodon baronesa
CHAETODONTIDAE
INDIKATOR
34
Chaetodon ephippium
CHAETODONTIDAE
INDIKATOR
35
Chaetodon kleinii
CHAETODONTIDAE
INDIKATOR
36
Chaetodon lineolatus
CHAETODONTIDAE
INDIKATOR
3 2
2
3
7
2
11
3 4
4
1 40
2
3
1
4
2
2 14 2
2
1
6 2
Bersambung
CRITC-COREMAP Jakarta
123
Sambungan Lampiran 10 No.
NAMA SPECIES
NAMA SUKU
KELOMPOK MTWL01 MTWL02 MTWL03 MTWL04 MTWL05 MTWL06 MTWL07 MTWL08 MTWL09
37
Chaetodon punctatofasciatus
CHAETODONTIDAE
INDIKATOR
1
38
Chaetodon rafflesii
CHAETODONTIDAE
INDIKATOR
39
Chaetodon semion
CHAETODONTIDAE
INDIKATOR
40
Chaetodon trifasciatus
CHAETODONTIDAE
INDIKATOR
6
41
Chaetodon ulietensis
CHAETODONTIDAE
INDIKATOR
3
42
Chaetodon vagabundus
CHAETODONTIDAE
INDIKATOR
43
Cheilinus chlorurus
LABRIDAE
TARGET
44
Cheilinus diagramus
LABRIDAE
TARGET
45
Cheilinus fasciatus
LABRIDAE
TARGET
46
Cheilinus trilobatus
LABRIDAE
TARGET
47
Chromis atripectoralis
POMACENTRIDAE
MAJOR
48
Chromis iomelas
POMACENTRIDAE
MAJOR
49
Chromis margaritifer
POMACENTRIDAE
MAJOR
5
24
4
50
Chromis ternatensis
POMACENTRIDAE
MAJOR
75
170
80
51
Chromis viridis
POMACENTRIDAE
MAJOR
52
Chromis weberi
POMACENTRIDAE
MAJOR
30
53
Chromis xanthura
POMACENTRIDAE
MAJOR
30
15
54
Chrysiptera rollandi
POMACENTRIDAE
MAJOR
5
2
55
Chrysiptera talboti
POMACENTRIDAE
MAJOR
8
1
1 7
4
2
4
9
28
3
13
1 2
2
1
3
4
2
4
2
1
3
1
2 6
1
2
1
40
40
3
4
70
3
30
23
118
35
20
8
3
113 29
54
7
Bersambung
CRITC-COREMAP Jakarta
124
Sambungan Lampiran 10 No.
NAMA SPECIES
56
Cirrhilabrus cyanopleura
LABRIDAE
MAJOR
79
57
Cirrhitichthys falco
LABRIDAE
MAJOR
1
58
Ctenochaetus binotatus
ACANTHURIDAE
TARGET
1
59
Ctenochaetus striatus
ACANTHURIDAE
TARGET
11
60
Ctenochaetus strigosus
ACANTHURIDAE
TARGET
3
61
Dascyllus aruanus
POMACENTRIDAE
MAJOR
62
Dascyllus reticulatus
POMACENTRIDAE
MAJOR
63
Dascyllus trimaculatus
POMACENTRIDAE
MAJOR
64
Epibulus insidiator
LABRIDAE
MAJOR
65
Epinephelus merra
SERRANIDAE
TARGET
66
Forcipiger longirostris
CHAETODONTIDAE
INDIKATOR
2
67
Gnathodentex aurolineatus
LETHRINIDAE
TARGET
10
68
Gomphosus varius
LABRIDAE
MAJOR
1
69
Gracila albomarginata
SERRANIDAE
TARGET
70
Gymnothorax meleagris
MURAENIDAE
MAJOR
71
Halichoeres argus
LABRIDAE
MAJOR
72
Halichoeres hortulanus
LABRIDAE
MAJOR
73
Halichoeres marginatus
LABRIDAE
MAJOR
74
Halichoeres melanurus
LABRIDAE
MAJOR
NAMA SUKU
KELOMPOK MTWL01 MTWL02 MTWL03 MTWL04 MTWL05 MTWL06 MTWL07 MTWL08 MTWL09 65
14
25
10
21
3
50
10
8
8
10
13
12
150
10
16
4 2
2 1
1
3
2
1
7
2
12
1 1 10 2
7
2
4
4
2
3
17
3 5
Bersambung
CRITC-COREMAP Jakarta
125
Sambungan Lampiran 10 No.
NAMA SPECIES
NAMA SUKU
KELOMPOK MTWL01 MTWL02 MTWL03 MTWL04 MTWL05 MTWL06 MTWL07 MTWL08 MTWL09
75
Halichoeres scapularis
LABRIDAE
MAJOR
1
76
Halichoeres spp.
LABRIDAE
MAJOR
3
77
Hemigymnus fasciatus
LABRIDAE
TARGET
1
78
Hemigymnus melapterus
LABRIDAE
TARGET
79
Heniochus chrysostomus
CHAETODONTIDAE
INDIKATOR
80
Heniochus monoceros
CHAETODONTIDAE
INDIKATOR
2
6
81
Heniochus varius
CHAETODONTIDAE
INDIKATOR
4
2
82
Labracinus cyclophthalmus
PSEUDOCHROMIDAE
MAJOR
1
1
83
Labrichthys unilineatus
LABRIDAE
MAJOR
1
4
84
Labroides bicolor
LABRIDAE
MAJOR
2
3
1
85
Labroides dimidiatus
LABRIDAE
MAJOR
3
4
1
86
Lethrinus harax
LETHRINIDAE
TARGET
87
Lethrinus ornatus
LETHRINIDAE
TARGET
1
88
Lutjanus bohar
LUTJANIDAE
TARGET
5
89
Lutjanus carponotatus
LUTJANIDAE
TARGET
1
90
Lutjanus decussatus
LUTJANIDAE
TARGET
4
2
91
Lutjanus fulvus
LUTJANIDAE
TARGET
4
6
92
Lutjanus fulviflama
LUTJANIDAE
TARGET
93
Macolor macularis
LUTJANIDAE
TARGET
2
16
2
30
17
66
9 7
5 2
2
2
1
1
3
2
2 8
2
7
5
3
4
2
11
2
4
3
2
3
1
3
3 3
Bersambung
CRITC-COREMAP Jakarta
126
Sambungan Lampiran 10 No.
NAMA SPECIES
NAMA SUKU
KELOMPOK MTWL01 MTWL02 MTWL03 MTWL04 MTWL05 MTWL06 MTWL07 MTWL08 MTWL09
94
Macolor niger
LUTJANIDAE
TARGET
2
95
Melichthys niger
BALISTIDAE
MAJOR
4
96
Melichthys vidua
BALISTIDAE
MAJOR
1
97
Monotaxis grandoculis
LETHRINIDAE
TARGET
24
98
Mulloidichthys flavolineatus
MULLIDAE
TARGET
4
99
Myripristis hexagonatus
HOLOCENTRIDAE
TARGET
7
100
Myripristis sp
HOLOCENTRIDAE
TARGET
101
Naso lituratus
ACANTHURIDAE
TARGET
102
Neopomacentrus azysron
POMACENTRIDAE
MAJOR
103
Paracirrhites fosteri
LABRIDAE
MAJOR
104
Paraglyphidodon melas
POMACENTRIDAE
MAJOR
105
Paraglyphidodon nigroris
POMACENTRIDAE
MAJOR
106
Parupeneus barberinus
MULLIDAE
TARGET
1
107
Parupeneus bifasciatus
MULLIDAE
TARGET
2
108
Parupeneus cyclostomus
MULLIDAE
TARGET
3
109
Parupeneus multifasciatus
MULLIDAE
TARGET
110
Platax orbicularis
PLATACIDAE
TARGET
111
Plectroglyphidodon dickii
POMACENTRIDAE
MAJOR
112
Plectroglyphidodon lacrymatus
POMACENTRIDAE
MAJOR
28
2
3 23 16 3
27
15
110
4
4
4
1 4
23 12
10 3
3
3 1
3 16
2
3
1 2
12
1 6 16
9 15
70
8
6 16
3
49
Bersambung
CRITC-COREMAP Jakarta
127
Sambungan Lampiran 10 No.
NAMA SPECIES
113
Plectroglyphidodon leucozona
114
NAMA SUKU
KELOMPOK MTWL01 MTWL02 MTWL03 MTWL04 MTWL05 MTWL06 MTWL07 MTWL08 MTWL09
POMACENTRIDAE
MAJOR
3
Plectropomus maculatum
SERRANIDAE
TARGET
115
Pomacanthus imperator
POMACANTHIDAE
MAJOR
116
Pomacentrus bankanensis
POMACENTRIDAE
MAJOR
117
Pomacentrus chrysurus
POMACENTRIDAE
MAJOR
118
Pomacentrus lepidogenys
POMACENTRIDAE
MAJOR
15
119
Pomacentrus moluccensis
POMACENTRIDAE
MAJOR
15
34
21
4
11
13
120
Pomacentrus philippinus
POMACENTRIDAE
MAJOR
5
20
3
5
5
8
121
Pomacentrus sp.
POMACENTRIDAE
MAJOR
122
Pomacentrus talboti
POMACENTRIDAE
MAJOR
123
Pomacentrus tripunctatus
POMACENTRIDAE
MAJOR
124
Priacanthus hammrur
HOLOCENTRIDAE
TARGET
125
Pseudocheilinus hexataenia
LABRIDAE
MAJOR
126
Ptereleotris evides
MICRODESMIDAE
MAJOR
127
Ptereleotris radiata
MICRODESMIDAE
MAJOR
128
Ptereleotris sp
MICRODESMIDAE
MAJOR
129
Pygoplites diacanthus
POMACANTHIDAE
MAJOR
130
Sargocentron caudimaculatum
HOLOCENTRIDAE
TARGET
131
Saurida sp
HARPODONTIDAE
TARGET
1 2 18
7
13
1 7
12
2
48
18 2
36
2 15 6
7
2 11
11
2
4
4
2 2 2
2
2
1
3
1
3 3 3
Bersambung
CRITC-COREMAP Jakarta
128
Sambungan Lampiran 10 No.
NAMA SPECIES
NAMA SUKU
KELOMPOK MTWL01 MTWL02 MTWL03 MTWL04 MTWL05 MTWL06 MTWL07 MTWL08 MTWL09
132
Scarus bicolor
SCARIDAE
TARGET
1
1
133
Scarus bleekeri
SCARIDAE
TARGET
3
134
Scarus dimidiatus
SCARIDAE
TARGET
2
135
Scarus ghobban
SCARIDAE
TARGET
3
12
136
Scarus niger
SCARIDAE
TARGET
3
6
137
Scarus prasiognathus
SCARIDAE
TARGET
138
Scarus schlegeli
SCARIDAE
TARGET
3
139
Scarus sordidus
SCARIDAE
TARGET
1
140
Scarus spp.
SCARIDAE
TARGET
141
Scolopsis bilineatus
SCOLOPSIDAE
TARGET
4
14
4
142
Scolopsis margaritifer
SCOLOPSIDAE
TARGET
6
3
4
143
Siganus coralinus
SIGANIDAE
TARGET
6
144
Siganus puelus
SIGANIDAE
TARGET
145
Stegastes nigricans
POMACENTRIDAE
MAJOR
146
Stegastes sp.
POMACENTRIDAE
MAJOR
147
Stethojulis bandanensis
LABRIDAE
MAJOR
148
Stethojulis strigiventer
LABRIDAE
MAJOR
149
Sufflamen bursa
BALISTIDAE
MAJOR
1
150
Sufflamen chrysopterus
BALISTIDAE
MAJOR
2
3 1
2
4
3
9
3
1
16
4
2
8 3
1
1
1
7
10
3
5 4
1
11
2
2 4
7 1 2
3
2
Bersambung
CRITC-COREMAP Jakarta
129
Sambungan Lampiran 10 No.
NAMA SPECIES
151
Synodus variegatus
152
NAMA SUKU
KELOMPOK MTWL01 MTWL02 MTWL03 MTWL04 MTWL05 MTWL06 MTWL07 MTWL08 MTWL09
SYNODONTIDAE
TARGET
Thalassoma hardwickii
LABRIDAE
MAJOR
5
153
Thalassoma janseni
LABRIDAE
MAJOR
5
154
Thalassoma lunare
155
Variola louti
156 157
LABRIDAE
MAJOR
SERRANIDAE
TARGET
Zanclus cornotus
ZANCLIDAE
MAJOR
Zebrasoma scopas
ACANTHURIDAE
MAJOR
.
CRITC-COREMAP Jakarta
1 6
14 7
18
4
3
8
6 8
4
3
1
2
2
1
1 3
3
5
7
8
4
9
6
567
324
756
308
336
387
251
102
832
a. Ikan Major
374
192
639
168
259
295
219
53
705
b. kan Target
179
110
57
132
53
84
20
47
124
c. Ikan. Indikator
14
22
60
8
24
8
12
2
3
Jumlah jenis
87
47
60
32
39
55
33
14
43
Jumlah family
17
16
15
9
12
14
13
7
14
Jumlah Individu
41
130