STUDI APPARENT DIFFUSION COEFFICIENT DARI HIDROGEL PVA PADA MRI DAN KORELASINYA DENGAN HASIL PENGUKURAN KONSISTENSI MENGGUNAKAN PENETROMETER 1)
Dita Puspita Sari, 2) Yanurita Dwi Hapsari, M.Sc., 3)Prof. Dr. Darminto Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2011 Abstrak
Telah dilakukan studi pendahuluan mengenai Apparent Diffuson Coeffisient dari konsistensi suatu bahan hidrogel PVA pada Magnetic Resonance Imaging dan korelasinya dengan hasil pengukuran menggunakan penetrometer. Sejauh ini nilai ADC digunakan sebagai parameter tingkat konsistensi suatu bahan (khususnya tumor otak). Rendahnya nilai ADC mengindikasikan bahwa pergerakan air dalam jaringan otak yang abnormal sangat terganggu. Dibuat sampel hidrogel PVA 10,7 wt%, 9 wt%, 8,1 wt%, dan 7 wt% masing-masing melalui proses freezing and thawing selama 12 dan 8 jam, untuk 3, 4, dan 5 siklus proses tersebut. Nilai ADC diperoleh dari metode Diffusion Weighted Imaging pada MRI dengan nilai b bervariasi 0, 10, 500, dan 1000. Hasil ini kemudian dikorelasi dengan pengukuran konsistensi sampel menggunakan penetrometer. Untuk sampel 3 siklus tidak dapat dilakukan korelasi karena sampel terlalu rendah konsistensinya. Untuk sampel 4 siklus dan 5 siklus masing-masing memiliki nilai koefisien korelasi r = -0,931 dan -0,66 yang menginterpretasikan bahwa terdapat hubungan berbanding terbalik dari nilai ADC dengan konsistensi suatu bahan. Kata kunci : Apparent Diffusion Coefficient, Diffusion Weighted Imaging, hidrogel PVA, penetrometer.
I.
PENDAHULUAN Dalam dunia kedokteran Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan sebagai alat pemindai yang dapat menghasilkan citra paling detil. Dalam MRI, digunakan Diffusion Weighted Imaging (DWI) yang dapat memberikan informasi difusi molekul air di dalam suatu sel jaringan, sebagai salah satu metode yang digunakan untuk mempelajari penyakit tumor otak. Parameter yang umumnya digunakan adalah koefisien difusi atau apparent diffusion coefficient (ADC). Beberapa studi menunjukkan nilai ADC yang semakin rendah untuk level tumor tinggi atau konsistensi tumor yang semakin rendah. Namun dari hasil pengukuran dengan semua parameter MRI yang sama, didapatkan ketidaklinieran hubungan di atas. Di sisi lain, penetrometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur konsistensi suatu bahan dalam industri makanan. Pada penelitian ini alat penetrometer digunakan untuk mengukur konsistensi hidrogel polyvinylalcohol (PVA). Tugas akhir ini bertujuan untuk (1) mempelajari tentang ADC pada MRI, (2) mengukur nilai konsistensi sampel PVA menggunakan ADC dan alat penetrometer, (3) mengorelasikan nilai hasil pengukuran tersebut. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai parameter pendukung untuk mengurangi keambiguan dari penentuan konsistensi pada beberapa kasus penyakit tumor otak manusia. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Magnetic Resonance Imaging Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah metode pencitraan medis tanpa pembedahan atau non-invasive, umumnya digunakan untuk kasus-kasus istimewa yang memerlukan pencitraan medis lebih rinci. Gambaran sederhana dari pencitraan menggunakan MRI adalah kita meletakkan pasien ke dalam sebuah magnet besar dan kuat,
kemudian kita kirimkan gelombang radio pada pasien, kemudian pasien mengirimkan kembali gelombang radio tersebut ke MRI. MRI menerima sinyal dan merekonstruksikan citranya. MRI terdiri dari beberapa bagian: - Sebuah magnet yang memproduksi medan magnet yang kuat dan konstan. - Pemancar frekuensi radio dan koil penerima, yang mengeksitasi dan mendeteksi sinyal MR.
- Gradien medan magnet, yang melokalisasi sinyal MRI. Medan gradien diproduksi dari tiga set gradien koil, satu untuk setiap koordinat arah x,y, dan z, di mana arus listrik yang besar dipakai secara berulang kali dalam kontrol sekuen pulsa. - Sebuah sistem komputer untuk pengendali pencitraan dan penyimpanan dokumen. - Tempat pasien yang nyaman dan peralatan monitoring. 2.2. Prinsip Dasar Magnetic Resonance Imaging Prinsip dasar MRI memanfaatkan momen magnetik atom-atom dalam tubuh manusia. Setiap inti atom memiliki momen magnetik inti atom yang sebanding dengan vektor momentum angular spinj jj dinyatakan sebagai berikut ,
momen magnetik atom-atom seperti digambarkan pada Gambar 2.1. Sebelum mendapat pengaruh dari medan magnet Bo , atom- atom bergerak bebas secara acak. Setelah mendapat pengaruh dari medan tersebut,atom-atom akan berpresisi hingga sejajar dengan medan tersebut mengakibatkan spin akan searah medan atau berlawanan arah (paralel atau antiparalel). Secara matematis, torsi yang dihasilkan dari perkalian silang lengan momen magnetik dengan medan magnet luar dalam arah sumbu z akan sama dengan perubahan momentum angularnya, dinyatakan sebagai berikut .
(3)
(1)
dengan g adalah rasio giromagnetik. Deskripsi teori kuantum mekanik dari inti atomik, yang dikemukakan oleh Dirac pada tahun 1930, memprediksi suatu ciri khas dari momentum angular spin. Pada kenyataannya, sifat dari spin elektron yang diteliti 6 tahun sebelumnya oleh Stern dan Gerlach, yang melewatkan sinar dari atom-atom netral melewati sebuah medan magnetik takhomogen, dapat memiliki momentum angular yang bernilai kelipatan ½. Besar momen magnetik dinyatakan dengan
a b c Gambar 2.1 (a) representasi geometri dari atom-atom sebelum ada medan magnetik luar Bo, (b) kemudian momen magnetik dalam medan magnet Bo, dan (c) berpresisi menghasilkan posisi paralel atau antiparalel. Vektor magnetisasi merupakan penjumlahan seluruh momen magnetik molekul, dinyatakan sebagai berikut
(4) ,
(2)
di mana I adalah nomor kuantum spin yang nilainya berbeda untuk setiap atom. Untuk mebangkitkan sifat dari resonansi magnetik, inti atom tidak boleh memiliki nilai I sama dengan 0. Sejauh ini dalam aplikasi biomedik, proton (1H) adalah inti atom yang paling banyak digunakan karena memang atom Hidrogen berlimbah secara alami dalam tubuh manusia. Contoh lain adalah (13C) yaitu isotop dari (12C), (19F), dan (31P) . Medan magnet besar MRI (selanjutnya disebut . Medan Bo) berada pada orientasi Bo memberi pengaruh pada arah magnet Bo
Dalam bentuk energi, momen magnetik yang berada dalam medan magnetik luar dinyatakan sebagai berikut .
(5)
Maka untuk spin up (mI = 1/2) dan spin down (mI = -1/2), energinya adalah sebagai berikut
dan .
(6)
Dari persamaan magnetisasi
(11)
didapatkan
besar . (12)
Gambar 2.2 Level energi ketika spin diberi medan magnet luar konstan, terjadi pembelahan energi, spin up dan spin down.
Setelah medan magnet B0 dibangkitkan dan menyebabkan spin-spin berada pada posisi sejajar dengan medan magnet besar tersebut, sinyal radio frekuensi diberikan kepada pasien. Frekuensi radio ini dipadankan dengan frekuensi natural dari atom-atom yang berpresisi akibat medan magnetik luar, yang disebut frekuensi Larmor ωο, sebesar .
(13)
Sinyal RF yang dibangkitkan, dinyatakan sebagai fungsi medan magnet kecil B1 (t) cos ( Gambar 2.3 Level energi ketika medan magnet luar menjadi tidak konstan akibat penambahan gradien medan magnet. Dari persamaan (6), energi antara 2 keadaan spin diberikan oleh . (7) Perbandingan jumlah atom spin up dan spin down menurut teori statistik diberikan .
(8)
Pada praktiknya ∆E << KT, sehingga dengan pendekatan Deret Tylor ,
(9)
dengan adalah fungsi pulsa amplop, adalah frekuensi pembawa eksitasi dan adalah sudut fase awal. Keadaan ini seperti digambarkan pada Gambar 2.2, Medan magnet luar sekarang bukan hanya Bo namun ada penambahan dari gradien medan magnet dan pengaruh dari frekuensi radio. Pembelahan energi menjadi seperti pada Gambar 2.2, sehingga untuk setiap titik (atau selanjutnya kita mengerti sebagai daerah potongan gambar) akan memiliki frekuensi resonansi radio yang berbeda-beda bergantung dari besar medan magnet luar yang dinyatakan dengan persamaan frekuensi Larmor. Dalam studi MR, penurunan magnetisasi dinyatakan dengan persamaan Bloch (Torrey, 1956 ).
maka .
(10)
Karena vektor magnetisasi merupakan penjumlahan seluruh momen magnetik seperti dijelaskan dalam persamaan (4), dan Bo hanya terdapat pada orientasi z, maka vektor magnetisasi dapat dinyatakan sebagai berikut
.
(11)
,
(14)
di mana T1 dan T2 menyatakan konstanta waktu yang mencirikan proses relaksasi dari sistem spin setelah spin-spin tersebut diganggu dari keseimbangan termalnya. Untuk T1 berhubungan dengan relaksasi longitudinal dalam arah sumbu z, sedangkan T2 berhubungan dengan relaksasi transversal dalam arah sumbu x-y. solusi persamaan magnetisasi dalam RF sebagai berikut
,
(15a) (15b) ,
dengan ∆ω(r) = ω(r) + ω0 Dalam bentuk kompleks, sinyal MRI dapat dinyatakan sebagai
(15c)
untuk , dengan τp adalah lebar pulsa. Persamaan ini mengindikasikan efek yang diamati dari eksitasi resonansi-On dari pada koordinat berputar. Pada saat resonansi dimatikan (resonansi-Off), B total dalam RF dinyatakan sebagai
. (21) Dengan mengingat pernyataan notasi kompleks untuk B dan M, Br,xy = Br,x + i Br,y dan Mxy = Mx + iMy , kita mendapatkan
(16) di mana = . Dari persamaan di atas kita dapatkan solusi magnetisasi dalam kondisi resonansi-Off dalam RF sebagai berikut
(22a) dan (r,0).
(22b)
, (17a)
,
(17b) . (17c)
2.2.1. Prinsip Dasar Deteksi Sinyal MRI Jika kita asumsikan Br (r) adalah medan magnet dari koil penerima, maka fluks magnetik sepanjang koil dari M(r,t) diberikan oleh .
(18)
Dari hukum Faraday, kita dapatkan besarnya tegangan yang dihasilkan dari fluks magnet tersebut adalah .
Dari substitusi persamaan di atas selanjutnya dapat dituliskan sebagai . (23) Apabila koil penerima memiliki penerimaan medan yang homogen pada bagian/daerah tertentu, seperti yang terjadi pada MRI, ekspresi sinyal pada pers. (23) dapat dituliskan menjadi .
(24)
Jika ada distribusi medan sebesar B(r) = B0 +∆B(r) dengan beda frekuensi ∆ω(r) = γ∆B(r), pers. (23) menjadi , (25)
(19) Setelah melalui filter lolos rendah, sinyal yang dihasilkan dapat dinyatakan sebagai
dan jika ∆B tidak homogen, pers. (45) menjadi
. ,
(20)
(26)
2.2.2. Prinsip Dasar Pencitraan pada MRI Jika kita asumsikan ∆ω dengan ω, ekspresi sinyal MRI setelah waktu relaksasi tertentu pada pers. (48) dapat disederhanakan menjadi . (27) Persamaan (49) menyatakan sinyal MRI dapat diperoleh dari transformasi Fourier relaksasi magnetisasi pada arah transversal dan longitudinal. Pencitraan atau imaging merupakan proses pembentukan bayangan dari suatu benda nyata yang menghasilkan suatu citra atau image. Misalkan pada fotografi, sumber cahaya tampak dipantulkan oleh obyek dan diterima oleh plat fotografi di dalam kamera. Cahaya tampak tidak dapat menembus obyek, sehingga pencitraan pada kamera adalah refleksi dari obyek tersebut. Pada MRI, frekuensi rendah gelombang radio menembus jaringan dan memantulkan magnetisasi spin-spin di dalam obyek. Maka citra yang dihasilkan adalah jaringan-jaringan di dalam obyek. Citra ini kemudian direkonstruksi dan ditampilkan sebagai irisan-irisan jaringan dalam satuan pixel. Pencitraan 3D pada MRI dimungkinkan oleh sekuen-sekuen pulsa MRI yang diberikan dalam sumbu-x, sumbu-y, dan sumbu-z. Sehingga yang dihasilkan adalah potonganpotongan gambar sepanjang sumbu-z dan dalam daerah atau luasan-xy. Sebuah sekuen pulsa MRI ditampilkan pada Gambar 2.4. Satu sekuens pulsa pada MRI menyatakan serangkaian sinyal yang membentuk citra dalam satu pixel.
Sinyal Akuisisi data
Gambar 2.4 Sekuen Pulsa MRI
Pada baris pertama dan kedua nampak sebuah pulsa RF secara langsung diberikan dengan sebuah potongan selektif gradien GSS (gradient slice selective) dalam arah sumbu z. Dengan mengombinasikan eksitasi RF dengan sebuah gradien pada sumbu z, interaksi MR dibatasi menjadi tingkat 2 dimensi. Kemudian GPE (Gradien Phase Encoding) diberikan dengan arah yang tegak lurus dengan potongan seleksi dalam arah sumbu x atau y. Selanjutnya GFE (Gradient Frequency Encode) atau gradien yang terbaca, diberikan pada arah ketiga dalam arah sumbu x atau y. Baris terakhir menunjukkan waktu ketika sinyal MR diukur. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan satu kali sekuen disebut TR (time repetition). Variabel penting dalam pemindaian MRI adalah repetition time TR dan echo time TE. TE menyatakan waktu yang dibutuhkan dari pemberian pulsa RF hingga puncak dari sinyal yang terinduksi dalam koil, mencakup sayatan pulsa 900 yang diikuti dengan 1 atau lebih pulsa 1800. ‘Echo’ merepresentasikan sinyal yang diterima dari slice yang dimaksudkan pada tubuh. TR pendek dan TE pendek menghasilkan gambar T1 (T1-weighted image) sedangkan TR panjang dan TE panjang menghasilkan gambar T2 (T2-weighted image). 2.3. Prinsip Dasar MRI Difusi Difusi terjadi sebagai hasil dari pergerakan konstan molekul-molekul air. Air menempati 60%-80% berat badan kita. Panas yang berhubungan dengan temperatur tubuh kita memberikan energi untuk molekulmolekul air, yang menyebabkan molekulmolekul tersebut bergerak secara acak. Fenomena ini disebut Gerak Brown setelah seorang fisikawan, bernama R. Brown mendeskripsikan hal tersebut (Brown, 1928). Hal ini dapat didemonstrasikan dengan menambahkan beberapa tetes tinta ke dalam seember air. Pada awalnya, tinta akan terkonsentrasi dalam volume yang sangat kecil, namun tinta akan dengan cepat terdifusi dan bercampur dengan air sisanya. Kecepatan dari proses diffusi ini dapat digunakan untuk mengukur sifat dari air tersebut. Dengan cara yang serupa, kita dapat menambahkan beberapa tetes ‘tinta’ pada jaringan otak dan mengikuti perkembangannya, kemudian kita akan mendapatkan pengetahuan tentang
jaringan itu sendiri, sebaik jika apabila jaringan tersebut terinfeksi oleh bermacam proses penyakit. Ketika pasien memasuki medan magnet statik, spin-spin nuklir (magnet kecil di dalam setiap proton dari inti atom) akan mengarah sejajar sepanjang arah dari magnet besar. Gradien medan magnet dari waktu yang singkat tersebut akan memperkecil medan magnet untuk spin-spin yang ditempatkan pada daerah yang berbeda di dalam jaringan. Perbedaan utama pencitraan MRI difusi dari MRI konvensional adalah pada penggunaan gradien difusi yang ditambahkan untuk memperlihatkan penyebaran medan gradien tambahan dalam sumbu x, y,dan z sehingga mendapatkan nilai koefisien difusi dari suatu zat atau materi yang dipindai. Untuk menampilkan citra hasil MRI difusi, digunakan sekuens pulsa gradien. Sekuens pulsa gradien yang sering digunakan dalam studi MRI difusi adalah sekuens gradien spin echo dan ditunjukkan pada Gambar 2.6. Dalam satu TE, sepasang medan gradien digunakan untuk menampilkan ‘diffusionencoding’. Setiap gradien pada pasangan gradien ini akan berakhir pada waktu d, dengan kuat G (biasanya pada satuan mT/m), dan pasangan gradien terpisah dengan waktu D. Intensitas dari sinyal akan tergantung pada beberapa parameter dan dinyatakan sebagai S = S0 exp (-b ADC),
(28)
di mana ADC adalah koefisien difusi atau apparent diffusion coefficient dan b adalah faktor gradien atau faktor b. S0 adalah intensitas sinyal yang dibentuk ketika tidak ada gradien difusi yang digunakan. Akuisisi
abnormal sangat terganggu. Koefisien difusi yang dihitung biasanya disebut ‘apparent’ karena hal ini sering merupakan rata-rata pengukuran dari proses yang sangat rumit dalam jaringan. Faktor b berhubungan dengan parameter – parameter gradien δ, G, dan ∆ (Gambar 2.6), biasanya dinyatakan dalam bentuk b ∝ ( δG)2 (∆ − δ/3) ,
dan hal-hal ini diatur pada saat eksperimen. Persamaan untuk faktor b menjelaskan kepada kita bahwa kita dapat menaikkan diffusion weighting (DW) dengan menaikkan waktu gradien, δ atau ∆, atau kuat gradien, G. Nilai b juga dapat dinyatakan dengan : b = γ2G2δ2 (∆ − δ/3) ,
Gambar 2.6 tipe sekuen pulsa untuk pencitraan difusi. Area yang dibuat gelap merepresentasikan medan pulsa gradien. Sejauh ini nilai ADC digunakan sebagai parameter tingkat konsistensi tumor otak. Rendahnya nilai ADC mengindikasikan bahwa pergerakan air dalam jaringan otak yang
(30)
di mana γ adalah rasio giromagnetik. Dari persamaan (50), intensitas sinyal akan menurun jika DW digunakan, b ≠ 0. Seperti pada pendifusian spin yang sedang bergerak di dalam medan gradien, setiap spin terinfeksi secara berbeda oleh medan. Hal ini mengakibatkan spin tidak sejajar satu sama lain. Karena pengukuran sinyal adalah penjumlahan dari sinyal-sinyal kecil dari semua spin secara individual, ketidaksejajaran ini, atau biasa disebut dephasing, disebabkan oleh hasil dari pulsa gradien pada pemberian intensitas sinyal. Semakin panjang jarak difusi, semakin lemah sinyal yang diperoleh atau lebih banyak dephasing, seperti digambarkan dalam Gambar 2.7. 2.3.1. Koefisien Difusi atau ADC MRI difusi bekerja berdasarkan hukum difusi Fick dimana besarnya difusi pada suatu fluida akan sebanding dengan perubahan konsentrasi tiap satuan jarak J = -D
DW: Diffusion
(29)
,
(31)
dengan J menyatakan difusi yang terjadi pada suatu penampang, D adalah koefisien difusi, C adalah konsentrasi dan x menyatakan jarak. Difusi pada fluida ini disebabkan adanya gerak acak Brown dari molekul dalam fluida yang terus-menerus bergerak dan bertabrakan dengan sekelilingnya. Dari Persamaan (51) dapat dilihat bahwa ketika faktor b pada MRI difusi yang digunakan sudah tepat, jaringan-jaringan dengan nilai ADC yang lebih tinggi memproduksi sinyal yang lebih rendah.
Dengan kata lain nilai faktor-b mengontrol derajat pelemahan sinyal MR. Jika kita membandingkan citra DWI dengan variasi faktor b yang berbeda-beda, kita dapat membuat gambaran setiap pixel dan mendapakan peta parameter dari nilai ADC. Selain itu pengukuran nilai ADC menggunakan nilai b yang berbeda-beda akan lebih akurat. Nilai faktor-b yang lebih tinggi mengakibatkan nilai ADC yang lebih rendah pada parameter lain yang sama. Kalkulasi dari peta ADC akan memiliki intensitas pixel citra yang dapat memberikan bayangan tentang kuat difusi pada pixel tersebut. Dari pers. (51), kita mengetahui bahwa untuk membuat peta ADC, kita juga memerlukan informasi mengenai S0 yang didapatkan ketika gradient difusi tidak digunakan. Oleh karena itu, dibutuhkan metode lain yang menghasilkan citra tanpa gradien difusi. Pada studi MRI difusi, TE yang panjang (sekitar milisekon) atau pencitraan T2weighted seringkali digunakan untuk menghasilkan citra S0. 2.4. Penetrometer Penetrometer adalah suatu alat yang umumnya digunakan dalam bidang industri untuk menentukan nilai kekenyalan atau kekerasan dari sejumlah produk yang berbeda. Kekenyalan atau konsistensi suatu bahan didapatkan dengan menekan sampel pada penetrometer menggunakan penekan standar seperti kerucut, batang atau jarum yang ditenggelamkan ke dalam bahan sampel. Hasil pengukurannya menunjukkan tingkat kekerasan atau kelunakan bahan serta tergantung pada kondisi sampel seperti ukuran, berat penekan, geometri dan waktu. Semakin lunak sampel, penekan penetrometer akan tenggelam makin dalam dan menunjukkan angka yang semakin besar. Dapat dianalisis bahwa prinsip operasional penetrometer bergantung pada tekanan dan gravitasi. Bila sebuah penetrometer dengan massa m menekan suatu sampel hingga penetrometer bergeser sejuah h, energi potensial W yang dihasilkannya adalah sebesar W = mgh
(32)
Resistensi terhadap tekanan yang dihasilkan oleh penetrometer pada sampel dinyatakan dengan Dutch formula dan dirumuskan sebagai R= (33)
dengan R adalah resistensi terhadap tekanan penetrometer (N/m2), A adalah luas /area penekan (m2), g adalah percepatan gravitasi (=9,8 m/s2), m adalah massa penetrometer (kg), h adalah pegeseran penetrometer (m), dan ∆z adalah kedalaman tekanan atau pergesaran yang terjadi pada sampel (m). Bila penetrometer yang digunakan memiliki luas penekan A, sedangkan massa penetrometer adalah m, kemudian diterapkan pergeseran h yang sama untuk setiap sampel, akan didapatkan ∆z yang berbeda untuk setiap yang memiliki konsistensi berbeda-beda. Semakin kenyal suatu sampel, konsistensinya akan semakin tinggi, resistensinya terhadap tekanan akan semakin kecil dan sebaliknya, pergeseran ∆z yang dihasilkan akan semakin besar. Pada penetrometer manual, penekan diletakkan pada permukaan sampel dan percobaan dimulai dengan menekan pemicu jarum dan membiarkan jarum tenggelam ke sampel, kemudian kedalaman jarum diukur dengan tongkat pengukur yang letaknya berhimpitan dengan jarum. Tongkat tersebut terhubung dengan display pembacaan jarum yang dapat dibaca dengan skala tertentu. 2.5. Hidrogel Polyvinyl Alcohol (PVA) Poly(vinyl alcohol), PVA, adalah polimer sintetik. PVA yang terhidrolisis sepenuhnya terdiri dari monomer yang berulang-ulang yang menghubungkan grup alkohol. PVA terbentuk dari Vinyl acetate yang dipolimerisasi menjadi poly(vinyl acetate), yang kemudian dihidrolisasi menjadi bentuk PVA seperti pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Struktur PVA Meskipun PVA dapat dipecah mata rantainya dengan proses kimia, proses fisika lebih banyak dilakukan dalam aplikasi biomedika karena menghindari pengaruh racun akibat reaksi kimia.
Salah satu metode yang digunakan adalah siklus pembekuan dan pencairan (freezing and thawing method) (Hassan and Peppas,1992). Lama waktu pembekuan tergantung dari banyaknya sampel yang dibuat. Kekristalan polimer ini dapat meningkat dengan menambahkan waktu pembekuan. Selama proses pencairan, kekristalan yang awalnya meningkat kemudian terjadi penurunan. Banyaknya siklus pembekuan dan pencairan ini memungkinkan menentukan derajat kekristalan sampel yang dibuat. Secara umum, modulus dari hidrogel PVA meningkat dengan penambahan siklus pembekuan dan pencairan. Efek pembekuan-pencairan telah dimanfaatkan untuk menghasilkan cryogel PVA dengan modulus cukup tinggi (Muratoglu, 2009). Pada penelitian sebelumnya didapatkan nilai ADC yang semakin menurun dengan bertambahnya siklus pembekuan dan pencairan pada konsentrasi hidrogel PVA yang sama (Kennedy, 2010).
refrigerator). Bahan yang dibutuhkan adalah sampel PVA 77000 dan aquades. 3.2.2. Cara kerja PVA dibentuk melalui proses pembekuan (freezing) dan pencairan (thawing) dengan cara dimasukkan ke dalam mesin pembeku (freezer refrigerator) selama 12 jam dan dikeluarkan selama 8 jam dalam beberapa siklus , dari 3 hingga 5 siklus. Preparasi Sampel
Bahan Polyvinylalcohol
1:10
5 cy
.
3.1. Pembuatan sampel PVA 3.1.1. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan untuk membuat sampel PVA adalah wadah plastik (plastic containers) 750 ml sebanyak 12 buah, spatula kaca dan mesin pembeku (freezer
4 cy
1:16
3 cy
Dari Nilai ADC menggunakan MRI
b=0
b = 10
b = 500
Menggunakan Penetrometer
b = 1000
Dikorelasi Menggunkan Metode Korelasi Pearson
(34)
III. METODOLOGI Sampel buatan dari bahan PVA (polyvynilalcohol) disiapkan dan nilai ADC dari sampel ditentukan dengan MRI pada pengujian ini. Pengambilan data nilai ADC pada sampel dengan pemeriksaan MRI dilakukan secara terpisah di Brain Clinic Surabaya. Setelah itu dilakukan pengambilan data nilai konsistensi menggunakan penetrometer analog di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya.
1:14
Pengukuran Konsistensi
2.6. Metode Korelasi Pearson Korelasi Pearson digunakan untuk menyatakan ada atau tidaknya hubungan antara variabel X dan Y. Untuk hal tersebut dicari nilai r sebagai koefisien yang menyatakan hubungan tersebut
1:12
Korelasi Hasil Pengukuran Dua Metode
Gambar 3.1 Diagram Alir Metodologi
a
b
c
d
Gambar 3.2 (a) Preparasi sampel, (b) Sampel yang akan dipindai menggunakan koil kepala 8HRBRAIN pada MRI, (c) MRI GE 1,5 Tesla, (d) pengukuran konsistensi sampel menggunakan penetrometer Setelah semua sampel siap dan telah mengalami 3 hingga 5 siklus pembekuan dan pencairan, sampel dipindai menggunakan MRI dan diuji konsistensinya menggunakan penetrometer analog. 3.1.3. Pengambilan Data ADC dengan Difusi MRI Pengambilan data dilakukan dengan MRI GE 1,5 Tesla dengan sequence DW EPI (Diffusion Weighted Echo Planar Imaging) Asset, dengan TE = 51,8 ms dan TR = 5000 ms untuk nilai b=0 dan b=10; TE = 81,5 ms dan TR = 5000 ms untuk nilai b=500; TE = 92,4 ms dan TR = 5000 ms untuk nilai b=1000, serta menggunakan koil kepala (headcoil 8HRBRAIN). Pengukuran ADC menggunakan MRI dilakukan pada 7 titik yang berbeda pada setiap sampel, dan menggunakan 4 nilai b yang berbeda, yaitu b=0 dengan menggunakan image T2 weighted, b=10 , b=500, b=1000 dengan diffusion weighted. 3.1.4. Pengambilan Data Konsistensi dengan Penetrometer Pengukuran konsistensi menggunakan penetrometer juga dilakukan pada kurang lebih 7 titik yang berbeda pada setiap sampel. Pengambilan data dilakukan dengan cara meletakkan sampel tepat di bawah jarum penetrometer kemudian menekankan jarum tersebut tepat dimulai dari permukaan sampel, dan dibaca kedalaman jarum yang menembus sampel tersebut. Setelah kedua data didapat, hasilnya dikorelasi dengan metode korelasi Pearson sesuai dengan dasar teori. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 4.1 Hasil pengukuran konsistensi menggunakan penetrometer
a
b
c Gambar 4.2 Hasil Pengukuran menggunakan MRI untuk b=1000
ADC
Tabel 4.1 Hasil Korelasi 2 Metode Hasil Korelasi Menggunakan Metode Korelasi Pearson koefisien interpretasi sampel korelasi r cukup korelasi, 4 -0,661 berbanding terbalik siklus korelasi tinggi, 5 -0,971 berbanding terbalik siklus
Dari hasil yang kita dapatkan, untuk pengukuran ADC menggunakan MRI pada b=0 dan b=10, nilai standar deviasi besar, atau fluktuasi data besar, sehingga hasil ini kurang akurat untuk dianalisis. Pada b=500 dan b=1000, nilai standar deviasi jauh lebih kecil, maka data ini yang dapat dianalisis. Proses pembekuan dan pencairan yang dilakukan secara berulang memungkinkan
pembentukan kekristalan hidrogel. Dari hasil yang diperoleh, untuk hasil penetrometer, semakin besar siklus, semakin keras sampel; sedangkan hasil nilai ADC sama untuk sampel 4 siklus dan 5 siklus, namun hanya untuk 3 siklus yang menunjukkan kecenderungan penurunan nilai ADC untuk sampel dengan konsentrasi PVA lebih pekat. Pada sampel 3 siklus, dimungkinkan hidrogel PVA belum terbentuk dengan sempurna, sehingga pergerakan air yang terbaca pada pemindaian ADC masih cenderung berpengaruh pada jumlah volume air dalam bahan, dan menghasilkan nilai ADC yang semakin menurun untuk konsentrasi PVA hidrogel yang semakin tinggi. Hal ini dapat dianilisis dari data penetrometer untuk siklus yang lebih tinggi, yaitu 4 siklus dan 5 siklus. Dari hasil menunjukkan bahwa semakin besar siklus, bahan akan semakin keras, sehingga jelas konsistensinya semakin kecil. Maka dapat dikaitkan bahwa hubungan nilai ADC dengan nilai konsistensi suatu bahan adalah berbanding terbalik. Jika dianalisis pada konsentrasi yang sama, 1:10 contohnya, nilai ADC akan semakin turun dengan penambahan siklus. Pada data tercatat untuk sampel 3 siklus, 4 siklus, 5 siklus, nilai rata-rata ADC masingmasing adalah 0,001228 10-4 mm2/s, 0,00118114 10-4 mm2/s, dan 0,0011510-4 2 mm /s. Hal ini sesuai dengan dasar teori yang disebutkan pada bagian sebelumnya. Semakin keras suatu bahan tidak mengindikasikan semakin rendahnya nilai ADC. Namun karena data yang didapatkan adalah hasil dari suatu korelasi, yang jika diamati data dari nilai ADC cenderung naik untuk konsentrasi PVA yang lebih pekat pada sampel 4 siklus dan 5 siklus, dan didapatkan hasil yang berbeda untuk sampel 3 siklus. V. KESIMPULAN Dari hasil korelasi didapatkan bahwa untuk data sampel 3 siklus tidak dapat dilakukan korelasi, karena tidak diperoleh data menggunakan penetrometer, maka sebaiknya digunakan sampel hidrogel PVA dengan perbandingan PVA lebih besar dari 1:10 atau di atas 10,7 wt%. Untuk data sampel 4 siklus didapatkan korelasi antara kedua metode dengan nilai r = -0,931 yang menginterpretasikan terdapat korelasi yang tinggi antara 2 metode. Untuk data sampel 5 siklus didapatkan korelasi antara kedua metode
dengan nilai r = -0,66 yang menginterpretasikan terdapat cukup korelasi, dan hubungan negatip antara kedua metode ini. Terdapat hubungan berbanding terbalik antara nilai ADC dengan konsistensi suatu bahan pada parameter sampel PVA dari konsentrasi 1:10 (10,7 wt%), 1:12 (9 wt%), 1:14 (8,1 wt%), dan 1:16 (7 wt%) untuk 4 dan 5 siklus. Untuk penelitian lebih lanjut, perlu diamati untuk preparasi sampel PVA dengan siklus dan konsentrasi lainnya, misalnya dengan perbandingan PVA lebih besar dari konsentrasi perbandingan volume PVA dan air 1:10 atau hidrogel PVA 10,7 wt%. DAFTAR PUSTAKA Clare, Stuart. 1997. “Functional MRI : Methods and Application”. Submitted to the University of Nottingham for the degree of Doctor of Philosophy. Dwi, H.Y., Darminto, Cahyono, dkk. 2010. “Perancangan dan Pembuatan Penetrometer untuk menentukan Konsistensi Tumor Otak”. Jurnal Fisika dan Aplikasinya Volume 6, no.2. ITS Surabaya. Hygino, L. Celso. 2008. “Diffusion-Weighted MR Imaging in Brain Tumor.” Neurology Clinical CDPI e MultiImagem Ressonância Magnética Rio de Janeiro, Brazil. H. C. Torrey. 1956. “Bloch Equation with Difffusion Term.” Phys. Rev., vol.140, pp. 563 – 565. Hashemi, Ray H. 1997. MRI The Basics. Lippincot Williams & Wilkins. Hassan, Peppas, Nikolas. 2000. “ Structure and Application of Poly (vinyl alcohol) Hydrogels Produced by Conventional Crosslinking or by Freezing/Thawing Methods.” Advance in Polymer Science Vol. 153 Springer-Verlag Berlin Heidelberg. USA. Kennedy, L.Karen. 2010. “Controlled Delivery of Serp-1 Protein from Poly(vinyl alcohol) Hydrogel”. A thesis submited in partial fulfillment of the requirement for the degree of Doctor of Philosophy. The School of Graduate and Postdoctoral Studies, The University of Western Ontario, London, Ontario, Canada.
Liang,
Zhi-Pei., Lauterbur,Paul C. 2000 Principles of Magnetic Resonance Imaging A signal Processing Perspective. Institute of Electrical and Electronics Engineers, Inc. McRobbie, Donald W. dkk. 2000. MRI Picture to Proton. Cambridge University Press. Moritani, Toshio. 2009. Diffusion-Weighted MR Imaging of The Brain. Berlin Heidelberg : Springer-Verlag. Yamasaki,F. MD, PhD, dkk. 2005. ”Apparent Diffusion Coefficient of Human Brain Tumors www. imaios.com
at MR Imaging”. Radiology 2005; 235:985– 991.