STUDI ANALISIS TENTANG PENGARUH “MENCARI BENING MATA AIR” KARYA A. MUSTOFA BISRI TERHADAP PENDIDIKAN AKHLAK
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Bidang Ilmu Pendidikan Islam
Oleh: KHOIRUL ANWAR NIM: 131310000063 PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ (UNISNU) JEPARA 2015
NOTA PEMBIMBING Lamp : Hal
: Naskah Skripsi a.n. Sdra. Khoirul Anwar Kepada Yth. Bapak Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UNISNU Jepara Di Jepara. Assalamu’alaikum wr. wb. Setelah saya mengadakan koreksi dan perbaikan, baik dari segi isi, bahasa dan teknik penulisan, maka bersama ini saya kirimkan naskah skripsi saudara: Nama
: KHOIRUL ANWAR
NIM
: 131310000063
Program Studi
: Pendidikan Agama Islam (PAI)
Judul Proposal
: STUDI
ANALISIS
TENTANG
PENGARUH “MENCARI BENING MATA AIR” KARYA A. MUSTOFA BISRI TERHADAP PENDIDIKAN AKHLAK Selanjutnya saya mohon kepada Bapak Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan agar skripsi saudara tersebut dapat dimunaqosahkan. Dan atas perhatian bapak kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum wr. wb. Jepara, 28 September 2015 Pembimbing,
Drs. Maswan, M.M
ii
SURAT PERNYATAAN Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan dan disebutkan dalam daftar pustaka
Jepara, 28 September 2015 Penulis,
Khoirul Anwar
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirabbil alamin…. Akhirnya penulis sampai ke titik ini, sepercik keberhasilan yang Engkau hadiahkan padaku ya Rabb. Tak hentihentinya aku mengucap syukur pada_Mu. Shalawat dan Salam kepada idola ku Rasulullah SAW dan para sahabat yang mulia. Semoga sebuah karya sederhana ini menjadi amal shaleh bagiku dan menjadi kebanggaan bagi keluargaku tercinta. Ku persembahkan karya sederhana ini.. Untuk belahan jiwa ku bidadari surgaku yang tanpamu aku bukanlah
siapa-siapa di dunia fana ini, Ibundaku tersayang almarhumah Hj. Nafi’atun, pengorbananmu tak kan ku lupakan. Serta sosok ayah yang selalu tegas dan sabar dalam membimbingku, almarhum H. Busyari. Semoga amal ibadah kalian diterima oleh Allah SWT. dan kalian bahagia di alam sana, doa ku selalu untuk kalian. Kepada kakak-kakakku (Nurun Nadhifah) engkau layaknya ibu bagiku, nasihatmu kan slalu ku ingat, (Noor Cholis) engkau adalah panutanku, (Nor Azis) perjuanganmu adalah motivasiku, semoga engkau selalu sehat di Negeri sana, cepatlah kembali bersama kami, Siti Faizah (alm.), semoga amal ibadahmu diterima disisi-Nya, dan (Fathur Rozi) engkau bagaikan sahabat buatku, semangatmu adalah inspirasiku. Terima kasih tiada tara atas segala support yang telah diberikan selama ini dan semoga kalian semua selalu mendapatkan Ridha-Nya. Amin.
v
Terakhir, ku khususkan untuk wanita yang sudah setia menemaniku selama ini dan semoga untuk selamanya, tanpamu langkahku tak kan sampai disini, Nafilatun Nihayah. Akhir kata, semoga skripsi ini membawa kebermanfaatan. Jika hidup bisa ku tuliskan dengan tinta dari air samudera, mungkin masih kurang hanya untuk mengucapkan terima kasih.
vi
MOTTO Jangan mencari BANYAK Carilah BERKAH! BANYAK bisa didapat dengan hanya MEMINTA Tapi MEMBERI akan mendatangkan BERKAH (K.H. A. MUSTOFA BISRI)
Jangan terlalu bergantung pada orang lain Faktanya kamu lebih kuat Dari apa yang kamu pikirkan, Hanya kamu tidak mempercayainya ( Anwir )
vii
KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada sang revolusioner penakluk kebodohan dan kedzaliman, Nabi Agung Muhammad SAW yang telah menyelamatkan umatnya dengan cahaya kegemerlapan menuju kebenaran hakiki. Merupakan kebahagiaan tersendiri bagi penulis dapat mewujudkan skripsi yang berjudul “STUDI ANALISIS TENTANG PENGARUH “MENCARI BENING MATA AIR”
KARYA A. MUSTOFA BISRI TERHADAP
PENDIDIKAN AKHLAK”. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak dapat selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. K.H. Muhtarom, H.M., sebagai Rektor UNISNU Jepara 2. Bapak Drs. H. Akhirin Ali, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UNISNU Jepara 3. Bapak Drs. Maswan, MM., selaku Dosen Pembimbing yang penuh keikhlasan, kesabaran, dan pengertian dalam membimbing, mengarahkan, dan memberi masukan yang konstruksif demi terselesaikannya skripsi ini. 4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UNISNU Jepara. 5. Seluruh karyawan UNISNU Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, yang dengan telaten melayani dan membantu penulis dalam berbagai administrasi
viii
yang diperlukan. Khususnya bapak Dedi Merisa, S.H.I yang sudah banyak membantu penulis. 6. Maha guru K.H A. Mustofa Bisri yang telah memberikan spirit pencerahan dan filosofis kehidupan melalui karya dan pemikirannya. 7. Para ilmuwan, cendekiawan dan tokoh-tokoh pemikiran yang telah memberikan kesempatan penulis untuk menyelami samudera pemikirannya. 8. Kedua orang tua tercinta almarhum bapak H. Busyari dan almarhumah Ibu Hj. Nafi’atun yang penuh kasih dan kesabaran dalam merawat, mendidikku waktu kecil serta mengajariku tentang kehidupan yang fana ini, aku tak kan lupa dengan semua tutur kata kalian. Tak kan pernah cukup butir-butir darahku untuk membalaskan perjuangan kalian. Semoga kalian bahagia di alam sana. Terimalah amalnya Ya Rabb…… 9. Kakak-kakakku yang aku banggakan, Nurun Nadhifah, Noor Cholis, Nor Azis, Fathur Rozi, terima kasih atas semua motivasi dan dukungan kalian. Semoga keberkahan dan kebahagiaan selalu menyertai kalian. 10. Kekasihku tercinta Nafilatun Nihayah, yang sudah memberikan spirit yang luar biasa, tanpamu langkahku tak kan sampai disini. 11. Keluarga besar Pak de, bu de, pak lek, bu lek yang selalu memberi motivasi dan do’a. 12. Teman-teman senasib seperjuangan Tarbiyah A2 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih telah menjadi bagian dari memori kehidupan yang sempit ini. Semoga ilmu yang kita dapatkan dalam majlis yang sama bisa menjadi bekal bagi kehidupan kita..
ix
13. Semua teman, sahabat dan pihak-pihak yang telah membantu penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih atas kesempatan untuk belajar memahami kehidupan bersama. Semoga bantuan, bimbingan dan arahan mereka mendapat balasan yang layak dari Allah SWT. Penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran demi terwujudnya hasil yang lebih baik.semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Amin.
Jepara, 28 September 2015 Penulis,
Khoirul Anwar
x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i HALAMAN NOTA PEMBIMBING ............................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN .........................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………………... v HALAMAN MOTTO ......................................................................................
vii
HALAMAN KATA PENGANTAR ...............................................................
viii
HALAMAN DAFTAR ISI ..............................................................................
xi
HALAMAN ABSTRAK..................................................................................
xiii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
B. Penegasan Istilah .....................................................................
6
C. Rumusan Masalah ....................................................................
9
D. Tujuan Penelitian .....................................................................
9
E. Manfaat Penelitian ...................................................................
10
F. Kajian Pustaka .........................................................................
11
G. Metode Penelitian ....................................................................
12
H. Sistematika Penulisan ..............................................................
15
BAB II : LANDASAN TEORI A. Pengertian Pendidikan Akhlak………...................................... 18 B. Dasar dan Tujuan Pendidikan Akhlak………........................... 23
xi
C. Metode Pendidikan Akhlak…................................................
27
BAB III : K.H A. MUSTOFA BISRI DAN BUKU MENCARI BENING MATA AIR A. Riwayat Hidup K.H A. Mustofa Bisri 1. Latar Belakang Kehidupan.................................................
32
2. Karya - Karya Tulisnya.......................................................
33
B. Gambaran buku Mencari Bening Mata Air .............................
35
BAB IV : ANALISIS BUKU “MENCARI BENING MATA AIR” KARYA A. MUSTOFA BISRI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDIDIKAN AKHLAK A. Analisis Pentingnya Pendidikan Akhlak Khususnya Bagi Anak .........................................................................................
58
B. Analisis Nilai Pendidikan Akhlak yang terdapat dalam Buku Mencari Bening Mata Air dan pengaruhnya terhadap pendidikan akhlak…………………………………………….
66
BAB V : PENUTUP A. Keimpulan ...............................................................................
76
B. Saran ........................................................................................
78
C. Penutup ....................................................................................
79
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xii
ABSTRAK Khoirul Anwar (NIM. 131310000063). Studi Analisis tentang Pengaruh “Mencari Bening Mata Air” karya A. Mustofa Bisri terhadap Pendidikan Akhlak. Program Strata 1 Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan, UNISNU Jepara, 2015. Rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: (1) Apa saja nilai-nilai Pendidikan Akhlak yang terkandung dalam buku Mencari Bening Mata air Karya A. Mustofa Bisri? (2) Bagaimana pengaruh karya sastra terhadap pendidikan akhlak terutama dalam buku “Mencari Bening Mata Air” karya A. Mustofa Bisri? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) nilai-nilai Pendidikan Akhlak yang terkandung dalam buku Mencari Bening mata Air Karya A. Mustofa Bisri. (2) Pengaruh karya sastra terhadap pendidikan akhlak terutama dalam buku “Mencari Bening Mata Air” karya A. Mustofa Bisri. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode library research atau riset kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan penelitian yang berasal dari dokumen, buku, dan literature. Adapun metode analisis datanya: (1).metode analisis data (content analysis) (2) metode analisis sastra. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Pendidikan merupakan bagian yang terpenting dalam kehidupan manusia. Tanpa pendidikan, maka diyakini bahwa manusia sekarang tidak akan berbeda dengan generasi manusia masa lampau, bahkan mungkin saja malah lebih rendah atau lebih jelek kualitasnya. (2) sedangkan pendidikan akhlak adalah pendidikan yang berorientasi membimbing dan menuntun kondisi jiwa agar dapat menumbuhkan akhlak kebiasaan yang baik sesuai dengan aturan akal manusia dari syari’at agama. (3) Buku Mencari Bening Mata Air karya KH. A. Mustofa Bisri terdiri dari 5 bagian dan tiap bagian terdiri dari beberapa judul. Dalam tiap bab menjelaskan tentang nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kehidupan manusia. (4) Beberapa nilai pendidikan akhlak yang dapat diambil adalah perintah untuk hidup sederhana dan dermawan, larangan untuk bersifat boros, dan perintah untuk bersabar. Pendidikan akhlak kepada Allah (mengabdi kepada Allah serta taat kepada-Nya, ikhlas, tawakal, dan bersyukur kepada Allah, ridha atas ketentuan Allah, berdoa hanya kepada Allah, taubat dan beristigfar kepada-Nya), akhlak terhadap sesama manusia (cara memberi nasehat dan menerimanya, lapang dada, ikhlas, saling menolong). Sedangkan akhlak kepada diri sendiri diantaranya introspeksi diri, berbaik sangka, ikhtiar dan selalu berbuat yang terbaik. Nilai-nilai pendidikan di atas sangat relevan dengan ajaran-ajaran agama Islam yang tertuang dalam al-Qur’an dan alHadist, sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
xiii
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sudah lazim dikemukakan bahwa karya sastra merupakan gejala yang komplek yang akan mencakup berbagai dimensi. Dan bila dihubungkan dengan bidang terapan ataupun arah pemanfaatannya, karya sastra akhirnya juga dapat dirujukkan pada berbagai bidang. Salah satunya adalah bidang pendidikan.
Karya sastra dapat pula dijadikan sebagai media dalam penyampaian pesan pendidikan kepada para pembaca sebagai obyek pendidikan (si terdidik ). Bahkan pada kalangan tertentu membaca karya sastra merupakan hobi dimana apabila ia dapat melakukannya maka puaslah hatinya. Dengan hal ini, pembaca akan merasa senang dan diharapkan lebih mudah menangkap nilai - nilai pendidikan yang terkandung dalam karya sastra yang dibacanya. Namun yang perlu diingat bahwa para pembaca juga harus memastikan kandungan makna dalam sebuah karya sastra adalah nilai-nilai moral dan agama, meski dibahas dalam ragam variasi susunan kata dan bahasa yang berbeda. Hal ini dikarenakan karya sastra merupakan gejala komunikasi bahasa serta pembawa pesan dari penulis kepada pembaca. Sebagai gejala komunikasi bahasa, karya sastra bukan sekedar wujud material, melainkan merupakan gejala yang penuh makna yang terkandung dalam paparan bahasa.1
1
Aminuddin (ed), Sekitar Masalah Sastra, Beberapa Prinsip dan Model Pengembangannya, (Malang: Yayasan Asah Asih Asuh, 1990), hlm. 3.
2
Dengan kesadaran bahwa karya sastra merupakan komunikasi bahasa antara penulis dengan pembaca, maka dengan sendirinya isi yang tertuang dalam karya sastra jauh lebih penting diperhatikan daripada sekedar melihat dan mengamati kulit atau kemasan sastra itu sendiri. Dan dengan demikian pembaca akan menimbang baik buruknya suatu karya sastra dari isi yang lebih mengutamakan budi pekerti dan nilai - nilai moral sebagai kandungan nilai pendidikan. Pendidikan pada dasarnya adalah sebagai upaya memanusiakan manusia untuk mengembangkan potensi yang dimiliki setiap individu sehingga dapat hidup secara optimal, baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat, serta memiliki nilai-nilai moral dan sosial sebagai pedoman hidupnya. Dengan demikian pendidikan dapat dipandang sebagai usaha sadar yang bertujuan untuk mendewasakan anak.2 Sebagai konsep pendidikan barat, pendidikan Islam adalah pendidikan yang sadar akan tujuan, bahkan pendidikan Islam sendiri mempunyai ciri dan tujuan yang menonjol yakni sifatnya yang bercorak agamis dan mengedepankan nilai akhlak. Hal tersebut merupakan sifat keseluruhan yang mencakup segala aspek, baik secara pribadi maupun sosial yang tercermin dalam bentuk aspek perkembangan di masyarakat. Tujuannya jelas dan berimbang, tidak ada pertentangan antara unsur-unsurnya dengan cara-cara pelaksanaannya.3 Sebagai salah satu ciri pendidikan Islam yang paling menonjol adalah akhlak. Akhlak tidak hanya berperan sebagai salah satu penentu keberhasilan 2
Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, (Bandung: Sinar Baru Al Gesindo, 1991), hlm. 2. 3 Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 436.
3
pencapaian tujuan pendidikan Islam tetapi juga dapat membawa manusia menuju kebahagiaan abadi atau sebaliknya akan membawa manusia kearah siksaan abadi. Akhlak merupakan salah satu unsur penting yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia baik secara pribadi maupun kelompok, sehingga wajar jika persoalan akhlak telah dan selalu mendapatkan prioritas secara serius dikalangan ahli pikir maupun dunia pendidikan. Membicarakan akhlak merupakan hal yang sangat penting dan mendasar. Karena akhlak merupakan fondasi yang kokoh bagi terciptanya hubungan baik antara hamba dan Allah
(hablumminallah) dan antar sesama manusia
(hablumminannas). Akhlak yang mulia tidak lahir berdasarkan keturunan atau terjadi secara tiba-tiba. Akan tetapi, membutuhkan proses panjang yakni melalui pendidikan akhlak.4 Pada era globalisasi seperti sekarang ini dimana arus informasi begitu derasnya datang ditengah-tengah kita baik melalui media cetak maupun elektronik sering lebih banyak membawa pengaruh negatif dari pada pengaruh positifnya. Manusia cenderung dibuat pragmatis dalam segala hal. Sehingga dalam meraih sesuatu yang diinginkannya sering tidak segan-segan mengambil jalan pintas dan tidak peduli apakah hal itu bertentangan dengan norma-norma yang ada atau tidak. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan yang semakin maju akan menimbulkan persaingan yang semakin tajam dan kehidupan yang semakin keras.
4
Ali Abdullah Halim Mahmud, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 9.
4
Hanya orang-orang yang berakhlak mulia dan berkepribadian yang mampu memegang teguh norma-norma yang berlaku di masyarakat. Akhlak menjadi masalah yang amat penting dan menjadi tolok ukur kualitas suatu bangsa. Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia memegang peranan yang sangat besar. Rusaknya suatu bangsa tergantung bagaimana akhlak manusia yang menghuninya. Untuk mewujudkan akhlak yang baik, sangat dibutuhkan adanya pendidikan akhlak bagi manusia dimulai sejak dini. Dengan mempelajari ilmu akhlak, tindakan manusia akan diukur secara kualitatif dan mempertimbangkan syari’at yang benar, yang datang dari ajaran Allah SWT. dan Rasul-Nya.5 Akhlak yang dituntunkan dalam Islam mengutamakan keseimbangan bagi kepentingan manusia yang meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan sesama makhluk. Selain itu juga mengandung keseimbangan urusan dunia dan urusan akhirat. Akhlak seseorang tidaklah muncul dengan sendirinya secara tiba-tiba, tetapi merupakan perpaduan dari berbagai pengalaman batin yang telah dialami seseorang sejak masa kecilnya. Jika seseorang dimasa kecilnya dipenuhi dengan pengalaman-pengalaman yang baik, maka kepribadiannya kemungkinan besar akan tumbuh baik, begitu juga sebaliknya. Akhlak maupun kepribadian yang tangguh harus ditanamkan sejak dini pada setia pribadi, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Cermin akhlak seorang muslim 5
Drs. Beni Ahmad Saebeni, M.Si. dan Drs. K.H. Abdul Hamid, M. Ag., Ilmu Akhlak, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), hlm.204.
5
itu mempunyai perilaku yang mengandung etika yang luhur, akhlak mulia, sopan santun, serta tata krama, karena akhlak merupakan suatu perilaku yang selalu berkaitan dengan nilai baik dan buruk. Perilaku manusia yang baik ditunjukkan oleh sifat-sifat dan gerak kehidupannya sehari-hari. Manusia sebagai individu dan sebagai makhluk sosial, tidak berhenti dari berperilaku. Setiap hari perilaku manusia dapat berubah-ubah meskipun manusia dapat membuat perencanaan untuk bertindak secara rutin.6 Begitu pentingnya akhlak sehingga mempunyai kedudukan yang sentral dalam kehidupan manusia baik sebagai individu ataupun sebagai makhluk sosial. Akhlak mempunyai daya cakup yang sangat luas dalam seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu pendidikan akhlak sangatlah penting untuk dipelajari dalam upaya untuk menyempurnakan akhlak. Pendidikan akhlak dapat dikatakan sebagai pendidikan moral dalam diskursus pendidikan Islam. Telaah lebih mendalam lagi tentang akhlak yang telah dirumuskan oleh para tokoh pendidikan Islam masa lalu menunjukkan bahwa puncak pendidikan akhlak terbentuknya karakter positif dalam perilaku anak didik. Dengan demikian masalah akhlak merupakan masalah yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia baik secara pribadi maupun kelompok masyarakat. Dari beberapa dasar di atas dapat disimpulkan bahwa karya dengan berbagai keunikan dan ciri khasnya memiliki hubungan erat dengan pendidikan. Dengan demikian karya sastra juga dapat dijadikan sebagai alternatif media pendidikan
6
Ibid, hlm. 205.
6
Islam. Seperti yang dikemukakan oleh Aminuddin berikut ini : Sudah lazim dikemukakan bahwa karya sastra merupakan gejala yang komplek yang akan mencakup berbagai dimensi. Dan bila dihubungkan dengan bidang terapan ataupun arah pemanfaatannya, karya sastra akhirnya juga dapat dirujukkan pada berbagai bidang. Salah satunya adalah bidang pendidikan.7 Selain itu sastra dan pendidikan juga merupakan dua hal yang saling menunjang dalam kehidupan kita. Sehingga, seperti yang diungkapkan Muhsin Ahmadi, apabila pendidikan dan pengajaran sastra ditangani dengan bijaksana, maka akan membawa kita dan anak-anak didik kita ke dalam kontak dengan beberapa pikiran-pikiran dan kepribadian besar dunia, para pendidik dan pemikir besar dari berbagai zaman.8
B. Penegasan Istilah Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penafsiran judul serta istilah yang ada dalam judul skripsi ini, maka perlu dikemukakan maksud dari kata-kata yang ada agar dapat dipahami dan beberapa peristilahan yang dipakainya juga perlu dibatasi terlebih dahulu. 1. Pendidikan Akhlak a. Pendidikan Pendidikan dalam arti luas adalah semua perbuatan dan usaha manusia dari generasi tua untuk memberikan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya dan ketrampilannya pada generasi dibawahnya.9 7
Aminuddin (ed.), op.cit., hlm. 4-5. Ibid., hlm. 162. 9 Soegarda Poerbakawatja dan H.A.H. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 257. 8
7
Menurut Dewantara Pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat mendapat keselamatan dan kebahagiaan yang setinggitingginya.10 Dengan demikian, pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi, yaitu sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai.11 b. Akhlak Kata “akhlaq” berasal dari bahasa Arab yaitu jama’ dari kata “khuluqun” yang secara linguistik diartikan dengan budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, tata krama, sopan santun, adab, dan tindakan. Dalam sebuah literatur disebutkan bahwa “akhlak ialah sifat-sifat manusia yang terdidik”.12 Sedangkan akhlak menurut istilah adalah peraturan Allah yang bersumberkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul baik peraturan yang menyangkut hubungan dengan al-khaliq (Allah), hubungan manusia dengan sesamanya, maupun hubungan manusia dengan lingkungannya (makhluk lain).13
10
hlm. 10.
11
Prof. Dr. Made Pidarta, Landasan Kependidikan, (Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2007),
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 69 12 Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 1 13 Ibid
8
Secara terminologis dapat dikatakan bahwa akhlak merupakan pranata perilaku manusia dalam segala aspek kehidupan. Ibn Maskawih yang dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan. Maka pendidikan akhlak dapat diartikan sebagai sifat-sifat (hal-hal) yang penting mengenai penjabaran sikap dan tata laku yang baik dan buruk seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu dan kehidupan sosialnya. 2. Mencari Bening Mata Air Buku Mencari Bening Mata Air: Renungan A. Mustofa Bisri yang diterbitkan oleh Kompas merupakan kumpulan dari naskah-naskah karya Gus Mus yang berbentuk renungan singkat/kata mutiara, dan juga puisi-puisi pendek. Menurut penulis didalam buku ini terdapat banyak nasihat-nasihat dari Gus Mus yang berupa akhlak baik bagi manusia sehingga bisa dijadikan evaluasi diri dalam berakhlakul karimah. 3. K.H. A. Mustofa Bisri K.H. A. Mustofa Bisri, panggilan akrabnya Gus Mus Lahir di Rembang, Jawa Tengah, pada tanggal 10 Agustus 1944. Ia adalah seorang kiai, budayawan, dan cendekiawan Muslim yang sangat bersahaja.
9
Pekerjaannya sebagai penulis dan Staf Pengajar di Pesantren Taman Pelajar Rembang, serta Penasihat di Majalah Cahaya Sufi (Jakarta) dan Almihrab (Semarang). Hingga sekarang ikut mengasuh situs Pesantren Ritual dan GusMus.Net. selain itu beliau aktif menulis kolom, esai, cerpen, dan puisi di berbagai media massa. Gus Mus adalah seorang penulis yang karya-karyanya membicarakan tentang akhlakul karimah, Beliau menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat Rembang; Pesantren Lirboyo Kediri; Pesantren Krapyak Yogyakarta; Pesantren Taman Pelajar Rembang; dan Al Qism Al’Aalie lid diraasaati alIslamiyyah wal ‘Arabiyah, Al Azhar University Kairo, Mesir.
C. Rumusan Masalah Dari Latar Belakang di atas, maka yang akan diangkat menjadi pokok masalah dalam skripsi ini adalah: 1.
Apa saja nilai-nilai Pendidikan Akhlak yang terkandung dalam buku Mencari Bening Mata air Karya K.H. A. Mustofa Bisri?
2.
Bagaimana pengaruh karya sastra terhadap Pendidikan Akhlak terutama dalam buku Mencari bening Mata Air Karya. A. Mustofa Bisri?
D. Tujuan Penelitian Sesuai dengan pokok permasalahan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah:
10
1.
Mengetahui nilai-nilai Pendidikan Akhlak yang terkandung dalam buku Mencari Bening mata Air Karya K.H. A. Mustofa Bisri.
2.
Mengetahui bagaimana pengaruh karya sastra terhadap Pendidikan Akhlak terutama dalam buku “Mencari Bening Mata Air” karya A. Mustofa Bisri.
E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang akan diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Manfaat Teoritis Hasil pembahasan secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti (informasi) khususnya bagi pengembangan Pendidikan Akhlak. Selain itu dapat dijadikan sebagai rujukan bagi penelitian selanjutnya.
2.
Manfaat Praktis Penelitian ini memiliki manfaat praktis bagi: a.
Penulis Bermanfaat untuk memberikan wawasan dalam meningkatkan pemahaman tentang nilai-nilai pendidikan akhlak dalam sebuah buku. Terutama dalam buku Mencari Bening Mata Air karya K.H. A. Mustofa Bisri.
b.
Bagi masyarakat Dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dalam bertingkah laku untuk membentuk manusia yang berakhlakul karimah.
11
F. Kajian Pustaka Dari penelusuran yang penulis lakukan, penulis tidak menemukan suatu penelitian yang secara spesifik membahas Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam buku Mencari Bening Mata Air karya K.H A. Mustofa bisri. Namun penulis menemukan penelitian yang membahas tentang pemikiran K.H A. Mustofa Bisri. Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Ni’maturrohmaniyah mahasiswa UNISNU Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan yang berjudul “Nilainilai Pendidikan Islam dalam Buku Lukisan Kaligrafi Karya K.H. A. Mustofa bisri”. Penulis juga menemukan penelitian tentang nilai-nilai pendidikan dari sastra lain, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Shofiyatun, mahasiswi Fakultas Tarbiyah UNISNU Jepara tahun 2012 yang berjudul “ Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrohman El Shirazy”. Akan tetapi pembahasan mengenai Gus Mus dari sudut pandang biografi, kehidupan serta pemikirannya telah dibahas lengkap dalam buku “Satu Rumah Seribu Pintu”. Dalam buku ini pun karya Gus Mus tidak dibahas secara detail, akan tetapi lebih menitik beratkan pada karya-karyanya yang lebih dahulu dan lebih banyak yaitu puisi. Disini penulis juga menggunakan literatur yang membahas tentang pendidikan Akhlak, diantaranya adalah: 1.
Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si. dan Drs. K.H. Abdul Hamid, M. Ag. pada bukunya “Ilmu Akhlak” yang diterbitkan oleh CV. Pustaka Setia Bandung
12
pada Tahun 2010. Dalam buku ini memaparkan tentang landasan dalam berakhlak, pembagian akhlak, dan macam-macam akhlak. 2.
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. dalam bukunya “Akhlak Tasawuf dan karakter Mulia” yang diterbitkan oleh PT. Raja Grafindo Persada Jakarta pada tahun 2012. Dalam buku ini menjelaskan bahwa akhlak merupakan hiasan diri yang membawa keuntungan bagi yang mengerjakannya. Akhlak yang ditawarkan Islam berdasarkan nilai-nilai mutlak yang bersumber pada alQur’an dan al-Hadits. Melalui bimbingan akhlak yang baik dengan orang tua sebagai pemeran utamanya, manusia akan dapat dihatarkan pada tingkah laku yang mulia. Kedua buku tersebut membahas lebih jauh tentang pendidikan moral atau akhlak dan pembinakan akhlak. Namun pada sekripsi kali ini penulis mencoba melengkapinya dengan menelaah buku karya K.H. A. mustofa bisri yang berjudul Mencari Bening Mata Air yang dijadikan pedoman dalam berakhlakkul karimah.
G. Metode Penelitian Metode adalah suatu cara atau teknik yang dilakukan dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian diartikan sebagai upaya dalam bidang pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip dengan sistematis untuk mewujudkan kebenaran. Metode penelitian yang penulis gunakan untuk meneliti judul yang ada pada skripsi ini adalah sebagai berikut:
13
1.
Jenis dan pendekatan Skripsi ini merupakan penelitian yang bersifat kualitatif murni atau literer, maka jenis penelitiannya adalah library research atau riset kepustakaan, yaitu dengan jalan mengumpulkan seluruh bahan-bahan penelitian yang dibutuhkan yang berasal dari dokumen-dokumen dan literatur-literatur. Untuk mendapatkan data dan penafsiran yang tepat maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Istilah pendekatan kualitatif dimaksudkan sebagai jenis pendekatan penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur setatistik atau bentuk hitungan lain.14
2.
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan.15 Adapun metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi. Dalam memperoleh data, penulis menggunakan metode library research atau riset kepustakaan, yaitu dengan jalan mengumpulkan seluruh bahan-bahan penelitian yang berasal dari dokumen-dokumen dan literaturliteratur. Adapun sumber-sumber tersebut yaitu:
14
hlm. 21.
15
Basrowi dan Suwadi, memahami penelitian kualitatif, (Jakarta : Rineka Cipta, 2008), Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999), hlm. 211.
14
a. Sumber Primer Sumber primer yaitu hasil-hasil penelitian atau tulisan karya peneliti atau teoritis yang orisinil.16 Dalam hal ini yaitu menggunakan data asli dari buku Mencari Bening Mata Air karya K.H. A. Mustofa Bisri. b. Sumber Sekunder Sumber sekunder yaitu sumber yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari sumber penelitiannya. Sumber data sekunder merupakan sumber data yang bersifat umum untuk diteliti yang berfungsi sebagai penunjang dalam penelitian yang berhubungan dengan pendidikan akhlak. Sumber ini dapat berupa karya ilmiah, dan buku-buku yang relevan dengan pembahasan skripsi yaitu buku yang membahas nilai-nilai pendidikan Akhlak bagi anak dalam pembentukan Akhlakul Karimah. Diantaranya yaitu “Ilmu Akhlak” karya Drs. Beni Ahmad Saebeni, M. Si. dan Drs. K.H. Abdul Hamid, M. Ag., “Menuju Kesempurnaan Akhlak” karya Ibn Miskawaih, “Etika Islam” karya Dr. H. Hamzah Ya’kub, “Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia” karya Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. dan buku-buku lain yang membahas tentang Pendidikan Akhlak. 3.
Metode Analisis Data Dalam menganalisa data yang telah dikumpulkan, penulis menggunakan metode sebagai berikut:
16
Ibnu Hajar, Dasar-Dasar Penelitian Kuantitatif dalam Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 83.
15
a. Metode Analisis Isi (Content Analysis) Metode analisis isi yaitu metode menganalisa data menurut isinya.17 Hal tersebut dikarenakan jenis penelitian yang penulis gunakan berkaitan dengan metode dokumentasi. Dikatakan oleh Rosadi Roslan, bahwa content analysis merupakan metode pengumpulan dan analisa data terhadap dokumen secara objektif dan sistematis.18 b. Metode Analisis Sastra Dalam hal ini, penulis menggunakan model analisis sosiologi sastra. Analisis ini berdasar pada adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat karena karya sastra ditulis oleh pengarang yang merupakan subyek dari anggota masyarakat. Selain itu, karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.19
H. Sistematika Penulisan Skripsi Sistematika penulisan skripsi ini merupakan hal yang sangat penting karena mempunyai fungsi yang mengatakan garis-garis besar dari masing-masing bab yang saling berurutan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekeliruan dalam 17
Suryadi Suryasubrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), hlm. 35. Rosadi Ruslan, Metode Penelitian PR Dan Komunikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 252. 19 Suryadi Suryasubrata, Op. Cit. hlm. 332. 18
16
penyusunannya, sehingga terhindar dari kesalahpahaman didalam penyajian dan untuk memudahkan skripsi ini. Adapun sistematika penulisan skripsi ini penulis membagi ke dalam tiga bagian. Adapun bagian-bagian tersebut adalah: 1.
Bagian Muka Bagian ini memuat beberapa halaman, di antaranya adalah halaman judul, halaman abstrak, halaman nota pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, kata pengantar, dan daftar isi.
2.
Bagian isi terdiri dari: Bab I : Pendahuluan, yang merupakan gambaran secara global mengenai seluruh isi dari skripsi yang meliputi: latar belakang masalah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi. Bab II: Landasan Teori, yang berisi landasan teori yang berkaitan dengan skripsi yaitu: pengertian pendidikan akhlak, dasar dan tujuan pendidikan akhlak, serta metode pendidikan akhlak. Bab III: Dalam bab ini akan dibahas tentang biografi K.H. A. Mustofa Bisri dan karya-karya tulisnya, serta isi beberapa sub judul dari buku Mencari Bening Mata Air. Bab IV: Pada bab ini penulis mencoba menganalisis pengaruh karya sastra terutama dalam buku Mencari Bening Mata Air terhadap pendidikan akhlak.
17
Bab V : Merupakan penutup yang meliputi: kesimpulan, saran-saran dan kata penutup. 3.
Bagian Akhir Pada bagian ini akan memuat halaman daftar pustaka, lampiran lampiran dan daftar riwayat hidup penulis.
18
BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pendidikan Akhlak 1. Definisi Pendidikan Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran “kan”, mengandung arti “perbuatan” (hal, cara dan sebagainya). Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.1 Pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan kembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilainilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan.2 Menurut Ki Hajar Dewantara, mengartikan pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.3 Menurut H. M. Arifin, pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia; aspek rohani dan jasmani, juga harus
1
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi II (Jakarta: Balai Pustaka, 1994). 2 Fuad Ihsan, Dasar – Dasar Kependidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2011), hlm. 1-2 3 Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), Hlm. 69.
19
berlangsung secara bertahap.4 Dan menurut Prof Dr. Moh Ardani pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.5 Sedangkan dalam undang-undang RI No. 20 tentang Sisdiknas pada pasal satu menyebutkan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.6 Dari beberapa pengertian yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha manusia untuk dapat membantu, melatih, dan mengarahkan anak melalui transmisi pengetahuan, pengalaman, intelektual dan keberagamaan orang tua (pendidik) dalam kandungan sesuai dengan fitrah manusia supaya dapat berkembang sampai pada tujuan yang dicita-citakan yaitu kehidupan yang sempurna dengan terbentuknya kepribadian yang utama.
2. Definisi Akhlak Istilah akhlak sudah sangat akrab ditengah kehidupan kita. Mungkin hampir semua orang mengetahui arti kata “akhlak” karena perkataan akhlak selalu dikaitkan dengan tingkah laku manusia. Akan tetapi, agar lebih jelas dan meyakinkan , kata “akhlak” masih perlu untuk diartikan secara bahasa maupun 4
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Edisi revisi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), Cet. 5, hlm. 12. 5 Moh. Ardani, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Mitra Cahaya Utama), hlm. 4. 6 Undang-undang RI No. 20 Tentang Sisdiknas, (Bandung: Fokus Media,2003), hlm. 3.
20
istilah. Dengan demikian, pemahaman terhadap kata “akhlak” tidak sebatas kebiasaan praktis yang setiap hari kita dengar, tetapi sekaligus dipahami secara filosofis, terutama makna substansinya. Kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab, yaitu jamak dari kata “khuluqun” yang secara linguistik diartikan dengan budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at, tata karma, sopan santun, adab, dan tindakan.7 Kata “akhlak” juga berasal dari kata “khalaqa” atau “khalqun” artinya kejadian, serta erat hubungannya dengan “khaliq” artinya menciptakan, tindakan atau perbuatan, sebagaimana terdapat kata “al-khaliq” artinya pencipta dan “makhluq” artinya yang diciptakan.8 Sebenarnya
ada
dua
pendekatan
yang
dapat
digunakan
untuk
mendefinisikan kata “akhlak” yaitu pendekatan linguistik (kebahasaan) dan pendekatan terminologik (peristilahan). Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa Arab “al-akhlaqa-yukhliqu-ikhlaqan” berarti perangai, kelakuan, tabiat, watak dasar, dan kebiasaan.9 Kata “akhlak” secara etimologis, berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata “khalaqa”, kata asalnya adalah “khuliqun” berarti adat, perangai, atau tabiat. Secara terminologis, dapat dikatakan bahwa akhlak merupakan pranata perilaku manusia dalam segala aspek kehidupan. Dalam pengertian umum, akhlak dapat dipadankan dengan etika atau nilai moral.
7
Dr. H. Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: CV. Diponegoro, 1983), hlm. 11 Ibid. 9 Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. dan Drs. K.H. Abdul Hamid, M.Ag., Ilmu Akhlak, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 13. 8
21
Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) yang dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.10 Sedangkan menurut imam al-Ghazali, akhlak adalah suatu perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya, secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau direncanakan sebelumnya.11 Definisi-definisi akhlak tersebut secara substansial tampak saling melengkapi dan memiliki lima ciri penting dari akhlak, yaitu: 1. Akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehingga menjadi kepribadiannya 2. Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran 3. Akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa adanya paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan, dan keputusan yang bersangkutan 4. Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau bersandiwara
10
Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), hlm. 33. 11 Al-Ghazali, Mengobati Penyakit Hati Membentuk akhlak Mulia, (Bandung: Karisma, 1994), hlm. 31.
22
5. Sejalan dengan ciri yang keempat perbuatan akhlak (khusunya akhlak yang baik), akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah SWT., bukan karena ingin mendapatkan suatu pujian.12 Selain istilah akhlak, lazim juga dipergunakan istilah etika. Perkataan ini berasal dari bahasa Yunani”ethos” yang berarti adat kebiasaan. Ia membicarakan adat kebiasaan (perbuatan), tetapi bukan menurut arti tata adat melainkan tata-adab, yaitu berdasarkan intisari atau sifat dasar manusia: baik buruk. Jadi etika adalah teori tentang perbuatan manusia dilihat dari baik buruknya. Etika dan akhlak mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah sama-sama membahas masalah baik dan buruknya tingkah laku manusia sehingga akhlak sering disebut dengan etika Islam. Perbedaannya adalah etika bertitik dari akal pikiran, tidak dari agama, sedangkan akhlak berdasarkan ajaran Allah SWT. dan Rasul-Nya.13 Akhlak, disamping dikenal dengan istilah etika, juga dikenal dengan istilah moral. Perkataan moral berasal dari bahasa Latin mores, kata jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia, moral diterjemahkan sebagai susila. Moral artinya sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, yang baik dan wajar, sesuai dengan tindakan yang oleh umum diterima, meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Moral adalah perbuatan baik dan buruk yang didasarkan pada kesepakatan masyarakat. 12 13
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. dan Drs. K.H. Abdul Hamid, M.Ag., Op.Cit., hlm. 15 Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Op.Cit., hlm. 17.
23
Kesimpulan dari pembahasan mengenai pengertian akhlak, etika, dan moral adalah ketiga istilah tersebut memiliki kesamaan substansi jika dilihat secara normatif karena ketiganya menguatkan suatu pola tindakan yang dinilai “baik” dan “buruk”, hanya pola yang digunakan didasarkan pada ide-ide yang berbeda. Etika dinilai menurut pandangan filsafat tentang munculnya tindakan dan tujuan rasional dari suatu tindakan. Akhlak adalah wujud dari keimanan atau kekufuran manusia dalam bentuk tindakan, sedangkan moral merupakan bentuk tingkah laku yang diideologisasikan menurut pola hidup bermasyarakat dan bernegara yang rujukannya diambil, terutama dari sosial normatif suatu masyarakat, ideologi Negara, agama, dan dapat pula diambil dari pandanganpandangan filosofis manusia sebagai individu yang dihormati, pemimpin dan sesepuh masyarakat. Istilah akhlak secara sosiologis disama artikan dengan istilah moral, etika, tata susila, tingkah polah, perilaku, sopan santun, tata karma, dan handap asor (bahasa Sunda)-nya manusia dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat.
B. Dasar Dan Tujuan Pendidikan Akhlak 1. Dasar Pendidikan Akhlak Dalam agama Islam, landasan normatif akhlak manusia adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.14 Diantaranya adalah firman Allah SWT. dalam al-Qur’an surat al-Qalam ayat 4:
(٤ : ) اﻟﻘﻠم 14
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. dan Drs. K.H. Abdul Hamid, M.Ag., Op.Cit., hlm. 51.
24
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4) Ayat diatas menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. memiliki akhlak yang paling mulia. Oleh karena itu, seluruh umat manusia yang beriman kepada Nabi Muhammad SAW. wajib menjadikan akhlak beliau sebagai rujukan perilaku dan suri teladan. Bagi umat Islam, Allah SWT. adalah sumber utama yang dirujuk untuk dijadikan landasan bertingkah laku. Jika Allah SWT. dikatakan sebagai sumber rujukan dan landasan normatif dalam berakhlak, pada hakikatnya akhlak manusia adalah cermin dari akhlak Penciptanya karena Dzat-Nya memiliki sifat dan af’al (perilaku). Apabila manusia menyadari dan meyakini dengan semua fitrah alamiah ini, tiada landasan normatif yang paling benar, kecuali yang berasal dari Allah SWT., perjalanan manusia senantiasa waspada dengan setiap perubahan dalam kehidupan yang fana karena kefanaan berlaku bagi hukum alam.15 Kepentingan akhlak dalam kehidupan manusia dinyatakan dengan jelas dalam al-Qur’an. Al-Qur’an menerangkan berbagai pendekatan yang meletakkan al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan mengenai nilai dan akhlak yang paling jelas. Pendekatan al-Qur’an dalam menerangkan akhlak yang mulia, bukan pendekatan teoritikal, melainkan dalam bentuk konseptual dan penghayatan. Akhlak mulia dan akhlak buruk digambarkan dalam perwatakan
15
Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Op.Cit., hlm. 51.
25
manusia, dalam sejarah dan dalam realitas kehidupan manusia semasa alQur’an diturunkan.16
2. Tujuan Pendidikan Akhlak Secara umum akhlak dalam Islam memiliki tujuan akhir yaitu menggapai suatu kebahagiaan di dunia dan di akhirat yang diridhoi Allah SWT serta disenangi sesama makhluk. Pada dasarnya tujuan pokok akhlak adalah agar setiap Muslim berbudi pekerti, bertingkah laku, berperangai, atau beradat istiadat yang baik sesuai dengan ajaran Islam.17 Tujuan akhlak dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umumnya adalah membentuk kepribadian seorang Muslim yang memiliki akhlak mulia, baik secara lahiriah maupun batiniah. Adapun tujuan akhlak secara khusus adalah: a. Mengetahui tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad SAW. Tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad adalah menyempurnakan akhlak, sebagaimana hadits Nabi:
اِﻧّﻤﺎ ﺑﻌﺜﺖ ﻷﺗﻤﻤّﺎ ﻣﻜﺎرم اﻻﺧﻼق “sungguh aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Malik) Hadits ini berkaitan erat dengan firman Allah SWT.
16 17
Ibid., 21 Ibid., 25.
26
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107) Hubungan antara hadits dan ayat diatas ialah rahmat yang dibawa Nabi Muhammad bagi semesta alam terwujud melalui penyempurnaan akhlak. Mengetahui tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad tentunya akan mendorong kita untuk mencapai akhlak mulia karena akhlak merupakan sesuatu yang paling penting dalam agama. b. Menjembatani kerenggangan antara akhlak dan ibadah Tujuan lain mempelajari akhlak adalah menyatukan antara akhlak dan ibadah (antara agama dan dunia). Usaha menyatukan antara ibadah dan akhlak, dengan bimbingan hati yang diridhai Allah dengan keikhlasan akan terwujud perbuatan-perbuatan yang terpuji, yang seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat serta terhindar dari perbuatan tercela. c. Mengimplementasikan pengetahuan tentang akhlak dalam kehidupan Tujuan lain dari mempelajari akhlak adalah mendorong kita menjadi orang-orang yang mengimplementasikan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Etika tidak dapat menjadikan manusia baik atau buruk. Etika tidak akan bermanfaat apa-apa jika petunjuk-petunjuknya tidak diikuti. Tujuan etika tidak hanya mengetahui teori, tetapi juga memengaruhi dan
27
mendorong kita supaya membentuk hidup suci serta menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan.18 Jika tujuan akhlak tersebut dapat tercapai, maka manusia akan memiliki kebersihan batin yang pada gilirannya melahirkan perbuatan yang terpuji. Dari perbuatan yang terpuji ini akan lahirlah keadaan masyarakat yang damai, harmonis, rukun, sejahtera lahir dan batin yang memungkinkan ia dapat beraktivitas guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
C. Metode Pendidikan Akhlak Pendidikan akhlak merupakan tumpuan perhatian pertama dalam Islam. Hal ini dapat dilihat dari salah satu misi kerasulan Nabi Muhammad SAW. yang utama adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Perhatian Islam yang demikian terhadap pendidikan akhlak ini dapat pula dilihat dari perhatian Islam terhadap pembinaan jiwa yang harus didahulukan daripada pembinaan fisik, karena dari jiwa yang baik inilah akan lahir perbuatan-perbuatan
yang
baik
yang
pada
tahap
selanjutnya
akan
mempermudah menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan pada seluruh kehidupan manusia lahir dan batin. Metode pendidikan akhlak adalah suatu cara untuk menyampaikan bimbingan dalam rangka membentuk akhlakul karimah. Berkaitan dengan metode pendidikan akhlak, Islam mencakup metode secara luas. Namun motode yang mengandung nilai moralitas dipakai untuk merealisasikan nilai ideal yang 18
Ibid., 28
28
ada dalam tujuan pendidikan anak dalam Islam. Di antara metode-metode dalam pendidikan akhlak adalah: 1. Metode Keteladanan Ini adalah satu teknik pendidikan yang efektif dan sukses. Menulis atau menyusun sebuah metodologi pendidikan adalah mudah. Namun hal itu hanya tetap akan menjadi tulisan di atas kertas selama tidak diwujudkan dalam kehidupan nyata, dengan tingkah laku dan tindak tanduk.19 Pada diri anak terdapat potensi imitasi dan identifikasi terhadap seorang tokoh yang dikaguminya, sehingga kepada mereka seorang pendidik (guru atau orang tua) harus mampu memberikan suri tauladan yang baik. Keteladanan ini sangat efektif digunakan yaitu contoh yang jelas-jelas baik agar ditiru oleh anak didik. Memberi teladan maksudnya agar para orang tua atau pendidik terlebih dahulu menjadikan dirinya sebagai panutan bagi anak-anaknya. Untuk memenuhi hal itu, bagaimanapun para orang tua atau pendidik harus terlebih dahulu memahami dan mengamalkan ajaran agama. Dari sikap dan tingkah laku keagamaan tersebut diharapkan dapat ditransfer kepada anak-anak mereka dalam kehidupannya. Metode keteladan ini merupakan metode samawi yang diajarkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, yaitu dengan diutusnya seorang Rasul untuk menyampaikan risalah samawi kepada setiap umat. Rasul yang diutus tersebut adalah seorang yang mempunyai sifat-sifat luhur, baik spiritual, 19
Muhammad Qutb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun, (Bandung: PT. alMa’arif, 1993), hlm. 325.
29
moral maupun intelektual. Sehingga umat manusia meneladaninya, belajar darinya, memenuhi panggilannya, menggunakan metodenya dalam hal kemuliaan, keutamaan dan akhlak yang terpuji. Dalam metode peneladanan ini ada dua macam cara yaitu sengaja dan tidak sengaja. Keteladanan yang tidak sengaja adalah keteladanan dalam keilmuan, kepemimpinan, sifat keikhlasan. Sedangkan keteladanan yang disengaja adalah memberikan contoh membaca yang baik, melakukan shalat yang benar.20
2. Metode Pembiasaan atau Latihan Pembiasaan atau latihan sangat diperlukan dalam mewujudkan akhlak yang berbudi baik pada anak. Hal ini lazim digunakan untuk menegakkan sikap disiplin terhadap perilaku anak. Sejak kecil anak harus dibiasakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang baik, dilatih untuk bertingkah laku yang baik, diajari sopan santun, dan sebagainya. Kebiasaan mengambil peran penting dalam membentuk pribadi anak, banyak contoh pola kehidupan yang terjadi dalam keluarga menjadi dasar-dasar pembentukan pola kehidupan anak, dan tujuan dari pembiasaan itu sendiri adalah peranan kecakapan berbuat dan menyampaikan sesuatu, agar cara-cara tepat dapat dikuasai.
20
Dr. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), hlm. 143.
30
3. Metode Nasehat Diantara metode dan cara-cara mendidik yang efektif didalam upaya membentuk keimanan anak, mempersiapkannya secara moral, psikis, dan secara sosial adalah mendidiknya dengan memberi nasehat. Yang dimaksud metode nasehat adalah memberi peringatan untuk menghindari suatu perbuatan yang dilarang dan memerintahkan untuk mengerjakan perbuatan yang baik dengan berbicara lemah lembut, sehingga menyentuh anak yang dinasehati. Nasehat merupakan cara mendidik yang mengandalkan bahasa, baik lisan maupun tulisan dalam mewujudkan interaksi antar pendidik dengan peserta didik. Bahasa digunakan untuk meyakinkan, mempengaruhi orang yang dinasehati yang pada dasarnya nasehat bersifat penyampaian pesan dari sumbernya kepada pihak yang memerlukan. Nasehat dimaksudkan agar dapat menimbulkan kesadaran bagi yang mendengar atau membacanya dan mampu merasuk ke dalam sanubari untuk meningkatkan iman dan berbuat amal kebaikan dalam menjalani hidup dan juga untuk menjadi motivasi seseorang sebagai pengarahan dan pembinaan dalam hidupnya. Nasehat sangat tinggi nilainya dalam proses pendidikan akhlak, yang sepatutnya digunakan dalam usaha membantu dan mengarahkan peserta didik agar menjadi orang dewasa yang beriman dan mampu meemanfaatkan waktu dalam mengerjakan sesuatu yang diridloi Allah SWT untuk mengejar kebahagiaan dan kesejahteraan hidup didunia dan akhirat.
31
Bahasa atau kata-kata yang dipakai dalam suatu nasehat tidak asal bunyi atau terlontar dari sumbernya. Akan tetapi haruslah memakai dan memilih kalimat dan kata yang tepat dan sesuai dengan tempatnya, karena menyangkut perasaan dan kepribadian orang lain, agar nasehatnya tersebut dapat diterima oleh masyarakat. Sesungguhnya spiritualisasi Islam adalah metode agama Islam dalam pembinaan jiwa dan pendidikan akhlak manusia, karena pokok ajarannya adalah bersumber dari ajaran Al-Qur’an dan Hadis. Dan spiritualusasi Islam hanya bisa terwujud dengan usaha manusia sendiri dalam lingkup batas kemampuan dan fitrah manusianya serta batas-batas kenyataan hidupnya. Cara mengajarkan akhlak dapat dilakukan dengan taqdim al-takhali an al-akhlaq al-mazmumah summa al-tahalli bi alakhlaq al-mahmudah, yakni dalam
membawakan
ajaran
moral
adalah
dengan
jalan
takhalli
(mengosongkan/meninggalkan) akhlak tercela kemudian tahalli (mengisi atau melaksanakan) akhlak terpuji. Dalam membawakan ajaran moral itu dapat dilakukan juga dengan memberikan nasihat dan berdoa .
32
BAB III K.H. A. MUSTOFA BISRI (GUS MUS) DAN BUKU “MENCARI BENING MATA AIR” A. Biografi Gus Mus 1. Latar Belakang Kehidupan Gus Mus Ahmad Mustofa Bisri, panggilan akrabnya Gus Mus, lahir di Rembang 10 Agustus 1944. Beliau lahir dari pasangan KH. Bisri bin H. Zaenal Musthofa dan Hj. Ma’rufah binti KH. Kholil Harun. Gus Mus adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Ketujuh saudara Gus Mus yang lain adalah: KH. Kholil Bisri, KH. Adib Bisri, Hj. Faridah, Hj. Najihah, Nihayah, Labib, dan Hj. Atikah.1 Menikah dengan Siti Fatma, dikaruniai 6 (enam) anak perempuan; Ienas Tsuroiya, Kautsar Uzmut, Raudloh Quds, Raiyatul Bisriyah, Nada dan Almas dan seorang anak laki-laki Muhammad Bisri Mustofa: 3 (tiga) orang menantu: Ulil Abshar Abdalla, Reza Shafi Habibi, Dan Ahmad Samton; 3 (tiga) cucu; Ektada Bennabi Muhammad, Ektada Bilhadi Muhammad, dan Muhammad Ravi Hamadah.2 KH. A. Musthofa bisri, masa kecil dan remajanya di habiskan di Pesantren. Tercatat pernah nyantri di Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Krapyak Yogyakarta dan Pesantren Taman Pelajar, Rembang. Kemudian melanjutkan studinya di universitas al Azhar Kairo.3 1
Abu Asma Anshari, dkk, Ngetan Ngulon Ketemu Gus Mus, Refleksi 61 Tahun KH. Mustofa Bisri, (Semarang, HMT Foundation, 2005), hlm. 17. 2 A. Mustofa Bisri, Lukisan Kaligrafi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), hlm. 134. 3 K.H. A. Mustofa Bisri, Membuka Pintu Langit, (Jakarta: Kompas, 2008), hlm. 197.
33
Pekerjaannya sebagai penulis dan staf pengajar di Pesantren Taman Pelajar Rembang, penasehat di majalah Cahaya Sufi Jakarta dan al-Mihrab Semarang. Ikut mengasuh situs Pesantren Ritual dan GusMus.Net. Selain menulis, berceramah, dan baca puisi, Gus Mus, penggilan akrab pengarang ini, juga mengajar di Pesantren Taman Pelajar Rembang. Selain juga menjadi rais PBNU. Menulis kolom, esai, cerpen, puisi di berbagai media massa: Intisari, Amanah, Panji Masyarakat, DR, Horison, Jawa Pos, Tempo, Forum, Kompas, Suara Merdeka, Wawasan, Dumas, Bernas, dan lain lain. Ia juga melukis. Karya-karya lukisnya pernah tampil dalam pameran tunggal Lukisan Kletet di gedung pameran seni rupa DEPDIKBUD Jakarta (1997); Pameran Lukisan Bersama Amang Rahman dan D Zawawi Imron di Surabaya; (2000); Pameran Lukisan bersama pelukis-pelukis Ibukota, Bandung, dan Surabaya di Jakarta (2001); Pameran Kaos Perdamean di Surabaya (2001), di Gresik (2001), di Rembang (2001), di Jakarta (2001); Pameran Lukisan bersama para pelukis Ibukota Bandung, Surabaya di Surabaya (2003).
2. Karya-Karya Tulisnya KH. A Mustofa Bisri sangat produktif menulis. Selain menulis puisi dan cerpen ayah dari tujuh anak ini, juga produktif menulis esai diberbagai media terbitan ibukota dan daerah seperti : Intisari, Amanah, Panji Masyarakat, Editor, Pelita, Republika , Jawa Pos, Suara Merdeka, Wawasan, Aula, Warta dan penerbit lainnya. Adapun sejumlah karya tulisnya yang diterbitkan antara lain:
34
a. Ensiklopedi Ijmak (terjemahan bersama KH.. M.A. Sahal Mahfudz, Pustaka Firdaus, Jakarta) b. Proses Kebahagiaan (Sarana Sukses, Surabaya) c. Awas, Manusia dan Nyamuk Yang Perkasa (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press, Jakarta) d. Maha Kyai Hasyim Asy’ari (terjemahan, Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta) e. Saleh Ritual, Saleh Sosial : Esai-Esai Moral (Mizan Bandung) f. Mutiara - mutiara Benjol (Lembaga Studi Filsafat, Yogyakarta, 2004) g. Canda Nabi dan Tawa Sufi (Hikmah, Jakarta, ) h. Fikih Keseharian, Bunga Rampai Masalah-Malasah Keberagamaan (Yayasan Pendidikan al-Ibriz, Rembang dan Al-Miftah, Surabaya, 1997) i. Melihat Diri Sendiri (Gama Media, Yogyakarta) j. Syair Asmaul Husna (Al-Huda, Temanggung) k. Al-Muna, Terjemahan Syair Asmaul Husna (Al-Miftah, Surabaya) l. Pesan Islam Sehari-Hari (Risalah Gusti, Surabaya, 1999) Sedangkan sebagai seorang penyair, kumpulan puisinya sudah 8 (delapan), yaitu : a. Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (P3M, Jakarta dan kemudian Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991) b. Tadarus , Antologi Puisi ( Prima Pustaka, Yogyakarta, 1993) c. Pahlawan dan Tikus (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995) d. Rubaiyat Angin & Rumput (Diterbitkan atas kerjasama Majalah “Humor” dan PT. Matra Multi Media, Jakarta, 1995).
35
e. Wekwekwek (Risalah Gusti , Surabaya, 1996) f. Gelap Berlapis-Lapis (Fatma Press, Jakarta) g. Gandrung, Sajak-Sajak Cinta (Al-Ibriz, Rembang, 2000) h. Negeri Daging (Bentang Budaya, Yogyakarta, 2002) Sedangkan dalam bidang menulis cerpen, Gus Mus, baru menyelesaikan satu kumpulan cerpen yaitu “Lukisan Kaligrafi” (Penerbit Kompas, Jakarta, 2005), dan mendapat anugerah dari Majlis Sastra Asia Tenggara tahun 2005.4 Cerpen-cerpennya dimuat dalam berbagai harian seperti kompas, jawa pos, suara merdeka, media Indonesia. Gus mus, demikian ia dipanggil akrab, nyatanya tak hanya pakar di bidang kitab kuning, namun pikiran-pikirannya yang jernih seputar Islam dan masalah sosial budaya, politik dan tradisis keseharian umat Islam semakin di minati, terutama oleh generasi muda, karenanya, Gus Mus aktif menghampiri ummat melalui tulisan, seminar, ceramah, dan pengajian-pengajian, pembacaan puisi, disamping tetap tidak meninggalkan kesederhanaan dan tradisi sorogan di Pesantrennya.5
B. Gambaran Umum Tentang Buku Mencari Bening Mata Air K.H. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam buku ini mengajak kita untuk merenung sejenak mengenai makna hidup ini. Mengajak mencari beningnya mata air yang memancarkan kebersihan lahir batin. Selain itu juga kita dapat merenung sejenak tentang perilaku dan kesibukan kita sehari-hari. 4 5
Ibid., hlm. 198. K.H.. Mustofa Bisri, op.cit., hlm. 245.
36
Dalam buku ini terdapat beberapa nasehat Gus Mus tentang bagaimana seharusnya kita hidup berinteraksi dengan sesama manusia dalm kehidupan sehari-hari, namun penulis hanya mengambil beberapa sub judul saja diantaranya adalah: 1. Nabi Kasih Sayang6 “Benar-benar telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian sendiri, yang terasa berat baginya penderitaan kalian; penuh perhatian terhadap kalian; dan terhadap orang-orang Mukmin, sangat pengasih lagi penyayang” (Q.S. 9:128) Nabi Muhammad SAW diutus Allah tiada lain untuk merahmati semesta alam (Q.s. 21:107). Maka tentulah bukan kebetulan bila ternyata Nabi Muhammad SAW dan agama yang dibawanya merupakan rahmat. Merupakan kasih sayang bagi semesta Alam. Tentulah bukan kebetulan, bahkan hal yang wajar bahwa pembawa kasih sayang adalah seseorang yang pengasih dan penyayang. Siapapun yang mempelajari Sirah Nabi SAW, akan menjumpai kisah-kisah kasih sayang Nabi Muhammad SAW, sebagaimana siapapun yang mempelajari syariat agama akan dengan mudah menemukan bukti hikmah-hikmah kasih sayang Islam. Kasih sayang bisa dengan mudah Anda temui dalam kehidupan sehari-hari sang Rasul SAW, baik sebagai bapak dan suami dalam lingkungan keluarga, sebagai saudara di kalangan handai taulan, sebagai teman di kalangan sahabat, sebagai guru di antara para murid, sebagai pemimpin di kalangan ummat, bahkan sebagai manusia di tengah mahluk-mahluk Allah yang lain.
6
A. Mustofa Bisri, Mencari Bening Mata Air, (Jakarta: Kompas, 2008), hlm. 12.
37
Dalam surat At-taubah ayat 128 yang terjemahannya dinukil di awal tulisan ini, Allah menyifati nabi Muhammad SAW dengan beberapa sifat yang kesemuanya merupakan penggambaran akan besarnya kasih sayang beliau. Dalam ayat itu disebutkan bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang ‘aziezun alaihi maa’anittum, yang merasakan betapa berat melihat penderitaan dan harieshun ‘alaikum yang sangat mendambakan keselamatan kaumnya; dan raufun rahiem, pengasih lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman. Penderitaan kaumnya terasa berat sekali bagi Rasulullah SAW; baik pedneritaan itu dialami di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu Rasulullah SAW. hariesh, penuh perhatian, dan sangat mendambakan keselamatan kaumnya –ummat manusia- jangan sampai menderita. Dan hal ini dapat dilihat dari sikap dan sepak terjang beliau dalam kehidupan dan perjuangannya: bagaimana beliau menyantuni dan menganjurkan penyantunan terhadap kaum dhu’afa; bagaimana beliau menegakkan dan menganjurkan penegakan kebenaran dan keadilan; bagaimana beliau menghormati dan menganjurkan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia; bagaimana beliau berperingai dan menganjurkan untuk berperangai mulia (akhlaq al-kariemah); dan bagaimana beliau tak henti-hentinya melakukan dan menganjurkan amar ma’ruf nahi munkar dan seterusnya. Khusus tentang amar ma’ruf nahi munkar, bahkan menjadi ciri Nabi dan juga –diharapkan menjadi ciri- ummatnya. Amar ma’ruf nahi munkar, apabila dicermati, kiranya memang merupakan pengejawantahan dari keinginan keselamatan ummat manusia, agar tidak menderita, yang bersumber dari –dan didorong oleh kasih sayang itu pula.
38
Memang, boleh jadi hanya orang yang mempunyai rasa kasih sayang dan memahami arti sebenarnya dari kasih sayanglah yang mau dan menerima amar ma’ruf nahi munkar. Amar ma’ruf nahi munkar hampir tidak bisa dibayangkan berjalan dan apalagi membudaya dalam masyarakat yang tidak saling menyayangi dan mengasihi. Maka tidaklah mengherankan bahwa, sebagai pemimpin, Nabi Muhammad SAW. sangat ditaati, karena dan dengan kasih sayang; bukan ditaati karena ditakuti dan dengan kebencian atau keterpaksaan. Jadi, kasih sayang Allah yang mewujud dalam firman-Nya – perintah dan larangan-Nya- melalui pribadinya yang pengasih dan penyayang – ke dalam kehidupan ummat manusia. Atau boleh pula dikatakan apabila Islam merupakan kasih sayang Allah, maka Nabi Muhammad SAW merupakan “bentuk konkret” dari Islam itu sendiri. Maka tidak berlebihan jika Sayyidatina Aisyah r.a ketika ditanya tentang Rasulullah SAW hanya mengatakan “Kaana khuluqul-Qur’an” (Perilaku beliau adalah Qur’an). Dan kaum muslimin yang berimanlah yang selanjutnya diharapkan meneruskan membawa kasih sayang Ilahi itu kepada semesta alam. Bukankah Allah sendiri berfirman kepada Nabi SAW “Qul in kuntum tuhibbuun Allah fattabie’unnie
yuhbibkumullah…”
(Katakanlah,
“Jika
kalian
benar-benar
mencintai Allah, ikutilah jejakku; niscaya Allah mengasihi kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”) (Q.S. 3:31). Wallahu a’lam.
39
2. Perintah dan Ajakan7 Kata amar yang berasal dari bahasa Arab sama artinya dengan perintah. Perintah ialah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu. Baik dalam kata amar maupun padanannya (perintah), kita merasakan adanya nuansa paksaan atau keharusan. Berbeda dengan ajakan yang “hanya” berarti undangan; anjuran, atau permintaan supaya berbuat. Ajakan lebih menyiratkan kelembutan. Sering kali, bahkan bernuansa “merayu” seperti yang sering diperlihatkan suami terhadap istri yang dicintainya atau sebaliknya. Tetapi, banyak juga yang mengacaukan antara ajakan dan perintah sebagaimana yang sering dilakukan oleh kebanyakan calo terminal. Berbicara tentang perintah dan ajakan, kita teringat pada dua istilah yang sangat popular dikalangan kaum muslimin; yaitu dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar. Selama ini, umum menganggap kedua istilah itu sama. Padahal, minimal dari segi bahasa keduanya berbeda seperti halnya perintah dan ajakan tadi. Di dalam Al Quran sendiri, kedua istilah itu sering digunakan. Kita pisahkan dulu istilah dakwah yang digunakan dengan pengertian doa dan menyeru yang juga banyak digunakan dalam Al Quran. Karena kita hanya sedang membicarakan dakwah atau dalam bahasa Indonesia, dakwah yang berarti ajakan dan sering disamakan dengan amar makruf nahi munkar. Lalu, bagaiman dengan amar-ma’ruf nahi ‘anil-munkar yang bernuansa lebih “keras”? amar makruf nahi ‘anal munkar (seharusnya) merupakan ciri komunitas orang-orang mukmin yang tentu saja sudah berada dijalan Allah. (Baca
7
Ibid., hlm. 22,
40
misalnya, Q. 3: 110, 114; 9: 71). Dalam bahasa Al Quran, mereka satu sama lain adalah waliy (dalam bahasa jawa, saya mengartiakn waliy dengan bala, kebalikan dari musuh). Di dalam komunitas seperti ini, perintah berbuat ma’ruf dan larangan berbuat kemungkaran merupakan keniscayaan. Sebab, mereka semua ada di satu jalan dan menuju satu tujuan. Jalan menuju keselamatan dan kebahagiyaan bersama. Kalau boleh kita urutkan, pertama-tama dakwah, kemudian amar ma’ruf nahi munkar. Wallahu a’lam bishshawaab.
3. Fid-Dunya Hasanah Wafil-Akhirati Hasanah8 Kepentingan pembangunan–seperti juga pada jaman revolusi, yaitu kepentingan revolusi–ternyata tidak hanya memerlukan dalil aqli, tapi juga dalil naqli. Apalagi jika masyarakat menjadi subyek–atau obyek–pembangunan justru “kaum beragama”. Apabila pembangunan itu menitikberatkan pada pembangunan material (kepentingan duniawi), meski konon tujuannya material dan spiritual (kepentingan akhirat), maka perlu dicarikan dalil-dalil tentang pentingnya materi. Minimal pentingnya menjaga “keseimbangan” antara keduanya (material bagi kehidupan dunia dan spiritual bagi kehidupan akhirat). Maka, dalil-dalil tentang mencari– atau setidak-tidaknya tentang peringatan untuk tidak melupakan–kesejahteraan dunia, pun perlu “digali” untuk digalakkan sosialisasinya. Tak jarang semangat ingin berpartisipasi dalam pembangunan material-yang menjadi titik berat pembangunan– ini mendorong para dai dan kyai justru
8
Ibid., hlm. 26.
41
melupakan kepentingan spiritual bagi kebahagiaan akhirat. Atau, setidaknya, kurang proporsional dalam melihat kedua kepentingan itu. Ketika berbicara tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara pentingya duniawi dan ukhrawi, biasanya para dai tidak cukup menyitir doa sapu jagat saja: rabbanaa aatinaa fid-dunya hasanah wa fil akhirati hasanah. Biasanya mereka juga tak lupa membawakan hadis popular ini: I’mal lidunyaaka kaannaka ta’iesyu abadan wa’mal liakhiratika kaannaka tamuutu ghadan, yang galibnya berarti “beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi dan beramallah kamu untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok pagi”. Kadang-kadang dirangkaikan pula dengan firman Allah dalam surat Al-Qashash (28), ayat 77: “wabtaghi fimaa aataakallahu ‘d-daaral aakhiratia walaa tansanashiebaka min ad-dunya….” Yang menurut
terjemahan Departemen
Agama diartikan, “dan carikan pada apa yang dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari (kenikmatan) duniawi...”. Umumnya orang sebagaimana para dainya segera memahami dalil-dalil tersebut sebagai anjuran untuk giat bekerja demi kesejahteraan di dunia dan giat beramal demi kebahagiaan di akhirat. Kita yang umumnya–tak usah dianjurkan pun–sudah senang “beramal” untuk kesejahteraan duniawi, mendengarkan dalil-dalil ini rasanya seperti mendapat pembenar, bahkan pemacu kita untuk lebih giat lagi bekerja demi kebahagiaan duniawi kita.
42
Lihat dan hitunglah jam-jam kesibukan kita. Berapa persen yang untuk dunia dan berapa persen untuk yang akhirat kita? Begitu semangat–bahkan matimatian–kita dalam bekerja untuk dunia kita, hingga kelihatan sekali kita memang beranggapan bahwa kita akan hidup abadi di dunia ini. Kita bisa saja berdalih bahwa jadwal kegiatan kita sehari-hari yang tampak didominasi kerja-kerja duniawi, sebenarnya juga dalam rangka mencari kebahagiaan ukhrawi. Bukankah perbuatan orang tergantung pada niatnya, “Innamal a'maalu binniyyaat wa likullimri-in maa nawaa.” Tapi, kita tentu tidak bisa berdusta kepada diri kita sendiri. Amal perbuatan kita pun menunjukkan belaka akan niat kita yang sebenarnya. Padahal, meski awal ayat 77 Surat sl-Qashash tersebut mengandung “peringatan” agar jangan melupakan (kenikmatan) dunia, “peringatan” itu jelas dalam konteks perintah untuk mencari kebahagiaan akhirat. Seolah-olah Allah– wallahu a'lam– “sekadar” memperingatkan, supaya dalam mencari kebahagiaan akhirat janganlah lalu kenikmatan duniawi yang juga merupakan anugerah-Nya ditinggalkan. (Bahkan, menurut tafsir Ibn Abbas,“Walaa tansa nasiibaka min addunya” diartikan “Janganlah kamu tinggalkan bagianmu dari akhirat karena bagianmu dari dunia”). Juga dalil I'mal lidunyaaka… --seandainya pun benar merupakan Hadist shahih–mengapa tidak dipahami, misalnya,“Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi.” Nah, karena kamu akan hidup abadi, jadi tak usah ngongso dan ngoyo, tak perlu ngotot. Sebaliknya, untuk akhiratmu, karena
43
kamu akan mati besok pagi, bergegaslah. Dengan pemahaman seperti ini, kiranya logika hikmahnya lebih kena. Sehubungan dengan itu, ketika kita mengulang-ulang doa,“Rabbanaa aatina fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah,” bukankah kita memang sedang mengharapkan kebahagiaan (secara materiil) di dunia dan kebahagiaan (surga) di akhirat, tanpa mengusut lebih lanjut, apakah memang demikian arti sebenarnya dari hasanah, khususnya hasanah fid-dunya itu? Pendek kata, jika tak mau mengartikan dalil-dalil tersebut sebagai anjuran berorientasi pada akhirat, bukankah tidak lebih baik kita mengartikan saja itu sebagai anjuran untuk memandang dunia dan akhirat secara proporsional (berimbang yang tidak mesti seimbang). Memang, repotnya, kini kita sepertinya sudah terbiasa berkepentingan dulu sebelum melihat dalil, dan bukan sebaliknya. Wallahu a'lam.
4. Sang Pemimpin Zahir sedang berada dipasar Madinah ketika tiba-tiba seseorang memeluknya kuat-kuat dari belakang. Tentu saja Zahir terkejut dan berusaha melepaskan diri, katanya: “Lepaskan aku! Siapa ini?” Orang yang memeluknya tidak melepaskannya justru berteriak: “siapa mau membeli budak saya ini?” begitu mendengar suaranya, Zahir pun sadar siapa orang yang mengejutkannya itu. Ia pun malah merapatkan punggungnya kedalam orang yang memeluknya, sebelum kemudian mencium tangannya. Lalu katanya riang: “Lihatlah, ya Rasulullah, ternyata saya tidak laku dijual.”
44
“Tidak, Zahir, di sisi Allah hargamu sangat tinggi;” sahut lelaki yang memeluk dan “menawarkan” dirinnya seolah budak itu yang ternyata tidak lain adalag Rasulullah, Muhammad SAW. Zahir Ibn Haram dari suku Asyja’, adalah satu di antara sekian banyak orang dusun yang sering datang berkunjung ke Madinah, sowan menghadap Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Tentang zahir ini, Rasulullah SAW pernah bersabda di hadapan sahabat-sahabtnya, “zahir adalah orang dusun kita dan kita adalah orang-orang kota dia.” Nabi Muhammmad SAW. Anda anggap pemimpin apa saja, pemimpin formalkah; pemimpin nonformal; pemimpin agama; pemimpin masyarakat; atau pemimpin negara, Anda akan sulit membayangkannya bercanda dipasar dengan salah seorang rakyatnya seperti kisah yang saya tuturkan (berdasarkan kitab hadis dan kitab biografi para sahabat, Asad al-ghaabahnya Ibn al-Atsier) di atas. Tetapi, itulah pemimpin agung, uswah hasanah kita Nabi Muhammad SAW. Dari kisah di atas, anda tentu bisa merasakan betapa bahagianya Zahir Ibn Haram. Seorang dusun, rakyat jelata, mendapat perlakuan yang begitu istimewa dari pemimpinnya. Lalu apakah kemudian Anda bisa mengukur kecintaan si rakyat itu kepada sang pemimpinnya? Bagaimana anda seorang santri dan mendapat perlakuan demikian akrab dari kiai anda? Atau anda seorang anggota partai dan mendapat perlakuan yang demikian dari pemimpin partai anda? Atau seandainya anda rakyat biasa dan diperlakukan demikian oleh tidak usah terlalu jauh: gubernur atau presiden, bupati anda?
45
Anda mungkin akan merasakan kebahagiaan yang tiada taranya; mungkin kebahagiaan bercampur bangga; dan pasti Anda akan semakin mencintai pemimpin anda itu. Sekarang pengandaiannya dibalik: seandainya Anda kiai atau pemimpin partai, atau bupati; apakah anda “sampek hati” bercanda dengan santri atau bawahan anda seperti yang dilakuakan oleh panutan Anda, Rasulullah SAW. itu? Boleh jadi kesulitan utama yang dialami umumnya pemimpin, ialah mempertahankan kemanusiaannya dan pandangannya terhadap manusia yang lain. Biasanya, karena selalu dihormati sebagai pemimpin, orang pun menganggap ataukah dirinya tidak lagi sebagi manusia biasa, atau orang lain sebagai tidak begitu manusia. Kharqaa’, perempuan berkulit hitam itu entah dari mana asalnya, orang hanya tahu bahwa ia seorang perempuan tua yang sehari-hari menyapu masjid dan membuang sampah. Seperti galibnya tukang sapu, tak banyak orang yang memperhatikannya. Sampai suatu hari ketika Nabi Muhammad SAW tiba-tiba bertannya kepada para sahabatnya, “aku kok suadah lama tidak melihat Kharqaa’; ke mana gerangan perempuan itu?” Seperti kaget beberapa sahabat menjawab: “Lho, Kharqaa’ sudah sebulan yang lalu meninggal, ya Rasulullah.” Boleh jadi para sahabat menganggap kematian Kharqaa’ tidak begitu penting hingga perlu memberitahukannya kepada Rasulullah SAW. Tetapi, ternyata Rasulullah SAW dengan nada menyesali, bersabda: “mengapa kalian tidak memberitahukannya kepadaku? Tunjukkan aku di mana dia dikuburkan?”. Orang-orang pun menunjukkan kuburnya dan sang
46
pemimpin agung pun bersembayang di atasnya, mendoakan perempuan tukang sapu itu. Nabi Muhammad SAW Anda anggap pemimpin apa saja, pemimpin formalkah; pemimpin nonformalkah; pemimpin agama; pemimpin masyarakat; atau pemimpin Negara, Anda pasti akan sulit membayangkan bagaimana pemimpin seagung beliau, masih memiliki perhatian yang begitu besar terhadap tukang sapu, seperti kisah nyata yang saya ceritakan (berdasarakan beberapa hadis sahih) di atas. Tetapi, itulah pemimpin agung, Uswah hasanah kita Nabi Muhammad SAW. Urusan-urusan besar tidak mampu membuatnya kehilangan perhatian terhadap rakyatnya, yang paling jembel sekalipun. Anas Ibnu Malik yang sejak kecil mengabdikan diri sebagai pelayan Rasulullah SAW bercerita: “Lebih Sembilan tahun aku menjadi pelayan Rasulullah SAW dan selama itu, bila aku melakukan sesuatu, tidak pernah beliau bersabda, “Mengapa kau lakukan itu?” Tidak pernah beliau mencelaku.” “Pernah, ketika aku masih kanak-kanak, diutus Rasulullah SAW untuk suatu urusan.” Cerita Anas lagi, “Meski dalam hati aku berniat pergi melaksanakan perintah beliau, tetapi aku berkata, “Aku tidak akan pergi.” Aku keluar rumah hingga melewati anak-anak yang sedang bermain di pasar. Tiba-tiba Rasulullah SAW memegang tengkukku dari belakang dan bersabda sambil tertawa, “Hai Anas kecil, kau akan pergi melaksanakan perintahku?” aku pun buru-buru menjawab, “ya, ya, ya Rasulullah, saya pergi.”
47
Nabi Muhammad SAW Anda anggap pemimpin apa saja, pemimpin formalkah; pemimpin nonformal; pemimpin agama; pemimpin masyarakat; atau pemimpin Negara, dapatkah Anda membayangkan kasih sayangnya yang begitu besar terhadap abdi kecilnya? Tetapi, pasti Anda dapat dengan mudah membayangkan betapa besar kecintaan dan hormat si abdi kepada “majikan”-nya itu. Waba’du; apakah saya sudah cukup bercerita tentang Nabi Muhammad SAW. sang pemimpin teladan yang luar biasa itu? Semoga Allah melimpahkan rahmat dan salamnya kepada beliau, kepada keluarga, para sahabat, dan kita semua umat beliau itu. Amin.
5. Takwa dan Sikap Sederhana9 Takwa, seperti galibnya istilah popular yang lain, sudah dianggap maklum; karenanya jarang orang yang merasa perlu membicarakannya lebih jauh. Secara sederhana, takwa dapat diartikan sebagai sikap waspada dan hati-hati. Hati-hati menjaga agar tidak ada perintah Allah yang kita abaikan. Hati-hati menjaga agar tidak ada larangan-Nya yang kita langgar. Hati-hati menjaga agar dalam melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya tidak justru menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah Ia gariskan. Dan tidak kalah penting dari itu semua adalah kehati-hatian menjaga keikhlasan kita. Kita perlu waspada dan hati-hati menjaga agar pelaksanaan perintah Allah maupun penghindaran dari larangan-Nya, semata-mata karena
9
Ibid., hlm. 75.
48
Allah. Melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya adalah demi dan karena Allah; bukan demi nafsu dan keinginan diri kita atau karena dorongan pamrih-pamrih yang lain. Kita hidup untuk beribadah, dan kita beribadah semata mengharap ridha Allah dan bukan mencari ridha dan kepuasan diri sendiri. Dalam ibadah mahdhah atau yang bersifat ritual, seperti sembahyang, berpuasa, dan sebagainya, ketulusan mencari ridha Allah ini mungkin relatif lebih mudah dibanding dengan ibadah yang bersifat sosial, seperti berbuat baik kepada sesama misalnya. Oleh karenanya, sudah sewajarnyalah apabila kita lebih berhati-hati dan terus mewaspadai ketulusan batin kita dalam hal melakukan ibadah-ibadah yang bersifat sosial itu. Misalnya dalam melaksanakan ibadah sosial ingin memperbaiki keadaan dan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah Air, untuk menciptakan Indonesia baru yang lebih baik, kita perlu pula terus mewaspadai niat batin kita. Kita perlu selalu bertanya kepada diri-diri kita sendiri, untuk apa sebenarnya kita berjuang. Kita berjuang untuk Tanah Air demi mendapatkan ridha Allah, ataukah sekedar untuk memuaskan nafsu dan kepentingan kita atau kelompok kita sendiri? Getir rasanya dan sekaligus geli kita mendengar banyak orang yang meneriakkan slogan-slogan mulia, seperti akhlakul karimah; ukhuwwah islamiyah; membangun masyarakat yang beradab, dan lain sebagainya, namun dalam pada itu mereka sekaligus bersikap dan berperilaku yang tidak berakhlak, menebarkan permusuhan di antara sesama saudara.
49
Alangkah tertipunya mereka yang merasa diri dan bahkan mengaku-aku berjuang demi hal-hal yang mulia, seperti demi agama dan demi negara, tapi tindak-tanduknya justru menodai kemulian itu sendiri. Bahkan ada yangna’udzubillah-meneriakkan asma Allah sambil memperlihatkan keganasannya kepada sesama hamba Allah. Mereka itu umumnya tertipu oleh semangat mereka sendiri. Setan paling suka dan paling lihai menunggangi semangat orang yang bodoh atau kurang pikir, untuk dibelokkan dari tujuan mulia semula. Mereka yang katanya berjuang ingin menegakkan demokrasi, misalnya, karena terlalu bersemangat, tiba-tiba justru menjadi orang-orang yang sangat tidak demokratis; tidak menghormati perbedaan dan bahkan menganggap musuh setiap pihak yang berbeda. Demikian pula, mereka yang katanya ingin berjuang untuk agama, menegakkan syariat Tuhan, karena terlalu bersemangat, sering kali justru dibelokkan oleh setan dan tanpa sadar melakukan hal-hal yang tak pantas dilakukan oleh orang yang ber-Tuhan dan beragama, seperti sudah dicontohkan di muka. Lebih konyol lagi, apabila yang tergoda melakukan hal-hal bodoh semacam itu adalah mereka yang sudah terlanjur dijadikan atau dianggap imam dan panutan. Karena, para pengikut biasanya akan bertindak lebih bodoh lagi. Seorang panutan cukup memaki untuk membuat para pengikutnya membenci, seperti halnya guru cukup kencing berdiri untuk membuat murid-muridnya kencing berlari. Biasanya, kekonyolan terjadi lantaran sikap yang berlebihan. Sikap berlebihan tidak hanya dapat membuat orang sulit berlaku adil dan istiqamah, tapi
50
sering kali dapat menjerumuskan orang kepada tindakan yang bodoh. Berlebihan dalam menyintai atau sebaliknya membenci, acap kali membuat orang bersikap konyol. Bahkan, orang yang berlebihan dalam mencintai diri sendiri, dapat kehilangan penalaran warasnya, sebagaimana terjadi pada mereka yang mengangkat diri sebagai imam, nabi, bahkan titisan malaikat Jibril. Mereka yang berlebihan menyintai imamnya pun pada gilirannya juga kehilangan penalaran sehatnya. Rasanya kita perlu membiasakan kembali sikap hidup sederhana, sebagaimana diajarkan dan dicontohkan kanjeng Nabi Muhammad SAW. Maka, kita dapat dengan lebih mudah berlaku adil dan istiqamah, dapat memandang sesuatu tanpa kehilangan penalaran sehat.
6. Anak Muda Yang Bersemangat10 Semangat beribadah anak muda itu memang luar biasa. Baginya, tak ada hari tanpa puasa dan tak ada malam tanpa qiyaamullail. Siang puasa malamnya membaca Al Qur’an. Mendengar anak muda yang tidak lain adalah sahabat Nabi Abdullah Ibnu Amr itu Nabi Muhammad SAW pun bersabda, menanyainya: “Aku dengar kau selalu puasa di siang hari dan membaca Al Quran sepanjang malam, benar?” “Benar, wahai Rasulullah, dan aku melakukan itu semata-mata menginginkan kebaikan.” “Sesugguhnya cukup bagimu berpuasa 3 hari setiap bulan.”
10
Ibid., hlm. 111.
51
“Istrimu punya hak yang wajib kamu penuhi, tamumu punya hak yang wajib kamu penuhi, dan jasmanimu juga punya hak yang wajib kamu penuhi. Maka puasa saja seperti puasanya Nabi Daud. Beliau itu orang yang paling kuat ibadahnya.” “Ya Rasulullah, bagaimana itu puasa Nabi Daud?” “Sehari berpuasa, sehari tidak. Dan bacalah Al Quran setiap bulan.” “Ya Rasulullah, saya kuat melakukan yang lebih afdol daripada itu.” “Kalo begitu, baca setiap 20 hari.” “Ya Rasulullah, saya kuat melakukan yang lebih afdol daripada itu.” “Ya baca setiap 10 hari.” “Ya Rasulullah, saya kuat melakukan yang lebih afdol daripada itu.” “Oke, bacalah setiap 7 hari. Dan jangan lebih dari itu. Isterimu punya hak yang wajib kamu penuhi, tamumu punya hak yang wajib kamu penuhi, dan jasmanimu juga punya hak yang wajib kamu penuhi.” Ketika Abdullah Ibnu Amr sudah tua, dengan nada agak menyesal, berkata, “Ah, seandainya dulu aku menerima kemurahan Rasulullah SAW...” Dalam suasana maraknya anak-anak muda bersemangat dalam beragama dan beribadah akhir-akhir ini, makna apa yang dapat kita ambil dari kisah dari Hadis sahih riwayat Imam Bukhari di atas? Petama-tama, kondisi itu perlu kita syukuri. Sebagai bentuk syukur kita, kita perlu menjaga semangat itu agar tetap menjadi faktor positif terutama dalam kehidupan keberagamaan kita. Beragama dan beribadah sesuai tuntunan yang
52
diberikan oleh Sang Pembawa agama itu sendiri, dalam hal ini adalah Rasulullah SAW. Kisah nyata yang diceritakan sendiri oleh pelakunya, sayyidina Abdullah Ibnu Amr melalui antara lain riwayat Imam Bukhari di atas, memberikan gambaran yang menarik tentang “tawar-menawar” antara semangat keberagamaan yang menggebu dari anak muda dan kearifan Sang Pembawa agama. Semangat anak muda yang merasa memiliki kekuatan riil untuk melakuakn amal semesta, tetapi juga terutama kelangsungana amaliah baik itu sendiri. Orang arif mengatakan “Laa khaira fii khairin laa yaduumu bal syarrun laa yaduumu khairun min khairin laa yaduumu” yang artinya: tidak ada baiknya kebaikan yang tidak berlangsung terus, malahan keburukan yang tidak berlangsung terus, malahan keburukan yang tidak berlangsung terus, lebih baik dari pada kebaikan yang tidak berlangsung terus. Ucapan sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Amr, di masa tuanya boleh jadi merupakan semacam “penyesalan” mengapa tidak mengikuti bimbingan Nabinya yang menawarkan sesuatu yang lebih ringan tampaknya, tetapi dapat dilaksanakan dalam segala umur dengan semangat dan gairah yang sama. Kisah sahabat Abdullah Ibnu Amr di atas hanya sebagaian dari tuntunan Rasulullah SAW dalam hal bersikap tawassuth, tidak berlebihan, dan hikmahnya. Masih banyak Hadis yang menganjurkan kita untuk bersikap sedang-sedang atau sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam segala hal. Kenyataan juga membuktikan bahwa berlebih-lebihan hampir selalu menimbulkan masalah. Berlebih-lebihan mencintai maupun membenci, misalnya,
53
sama-sama
berakibat
buruk.
Berlebih-lebihan
dalam
mencintai
dunia
menimbulkan malapetaka. Berlebih-lebihan menilai kehebatan diri sendiri juga terbukti merusak diri sendiri dan lingkungan. Oarang yang berlebih-lebihan dalam segala hal, pasti tidak bisa berlaku adil dan Istiqamah. Biasanya, ketika sedang bersemangat, kita memang sering lupa akan keburukan sikap berlebih-lebihan itu. Sementara, sudah merupakan kewajaran bahwa kaum muda memiliki semangat yang berkobar-kobar. Ini merupakan hal yang positif. Apalagi, semangat itu merupakan semangat beragama. Yang perlu dijaga ialah bagaimana semangat itu tidak seperti ungkapan, “panas-panas tai ayam” dan tidak menjerumuskan kepada sikap berlebih-lebihan. Untuk itu, semangat beragama mesti diikuti dengan semangat terus memperdalam pengetahuan tentang agama. Kalau tidak--kalau semangat beragama jauh lebih besar daripada pemahaman tentang agama justru malah bisa menimbulkan masalah seperti yang sering terjadi di sekitar kita dewasa ini.
7. Sederhana dan Berlebihan11 Sikap sederhana, ternyata tidak sederhana. Sikap hidup sederhana tidak sesederhana menasehatkannya. Buktinya, meskipun dari dulu dikampanyekan, belum terlihat ada pendukungnya, kecuali dari kalangan mereka yang memang kesederhanaan sudah menjadi keniscayaan mereka.
11
Ibid., hlm. 148.
54
Sikap sederhana, sedang atau bersahaja adalah sikap tengah yang sangat dianjurkan oleh Islam. Kebalikannya adalah sikap berlebih-lebihan. Berlebihlebihan dalam hal apa saja dikecam tidak hanya oleh agama. Mulai dari makan dan minum, Allah melarang kita berlebih-lebihan. “Yaa banii Aadama khudzuu ziinatakum ‘inda kulli masjidin wakuluu wasyrabuu walaa tusrifuu, innahu laa yuhibbul musrifiin” (QS. al-A’raf 6: 31), “Wahai anak-cucu Adam, pakailah busana indahmu di setiap masjid (ketika akan shalat, thawaf, atau ibadah-ibadah yang lain); makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai mereka yang berlebih-lebihan.” Bahkan, bersedekah pun kita tidak boleh berlebih-lebihan (Baca QS. 6: 141) Dalam surah al-Isra ayat 29, secara metaforik yang indah, Allah memberi pedoman sikap tengah-tengah yang tidak berlebihan di dalam menyikapi harta, tidak bakhil dan tidak boros. Firman-Nya:“Walaa taj’al yadaaka maghluulatan ilaa ‘unuqika walaa tabsuth-haa kullal basthi fataq’udaa maluuman mahsuuraa.” (Dan janganlah jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan terlalu membebernya, nanti kamu dicela dan menyesal). Kita tidak boleh bakhil, berlebih-lebihan menyayangi harta dan tidak boleh tabdziir, berlebih-lebihan dalam mentasarufkan sesuatu. Tabdziir yang dilarang dan pelakunya disebut sebagai ‘kawan-kawannya para setan’ (QS. 17: 27), biasanya hanya diartikan sebagai berlebih-lebihan mentasarufkan uang atau menghambur-hamburkan uang. Sehingga, sering kali kita saksikan banyak dari kalangan kaum Muslim yang dalam hal uang tidak tabdziir, tapi tanpa sadar suka menghambur-hamburkan air ketika berwudhu, misalnya. Atau, menghambur-
55
hamburkan energi listrik, setiap hari. (Boleh jadi, karena santernya isu krisis energi di dunia saja yang mulai menyadarkan kita akan perlunya bersikap tidak berlebih-lebihan dalam hal ini). Dalam beragama pun, kita tidak boleh berlebih-lebihan, melampaui batas. Dalam surah al-Maidah ayat 87, Allah berfirman kepada kaum beriman: “Yaa ayyuhalladziina aamanuu laa tuharrimuu thayyibaati maa ahallaLlahu lakum walaa ta’taduu, innallaha laa yuhibbul mu’tadiin” (Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai mereka yang melampaui batas). Dalam berjuang fii sabiilillah juga demikian. “Waqaatiluu fii sabiiliLlahi alladziina yuqaatiluunakum walaa ta’taduu, innaLlaha laa yuhibbul mu’tadiin.” (QS. 2: 190) “Dan perangilah-di jalan Allah-mereka yang memerangimu dan jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai mereka yang melampaui batas). Demikianlah, apabila kita perhatikan firman-firman Allah dan sabda-sabda serta contoh tauladan Rasulullah SAW, jelas sekali bahwa sikap berlebih-lebihan dalam apa saja-termasuk dalam beribadah-sangat dilarang. Berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam banyak hal terbukti sering menimbulkan masalah. Menyukai dunia dan materi berlebihan telah terbukti menjerumuskan banyak kaum dalam bencana. Menyintai dan membenci orang berlebihan telah terbukti banyak menimbulkan problem kemasyarakatan.
56
Dari sisi lain, orang yang berlebihan, sulit dibayangkan bisa berlaku adil dan istiqamah. Dua hal yang menjadi kunci kebahagian dan kedamaian dunia akhirat.
8. Tawassuth dan Tatharruf12 Sudah selayaknya umat Islam menjadi ummatan wasatha, umat tengahtengah. Rasul mereka Nabi Muhammad tidak hanya mengajarkan tetapi juga senantiasa mencontohkan sikap dan perilaku tengah-tengah, tawassuth wal I’tidal. Sikap tawassuth wal I’tidal, tengah-tengah dan jejeg akan mempermudah kita untuk berlaku adil dan istiqamah,dua hal sangat mulia sekaligus sulit yang sering diseur-tegaskan al-Qur’an. Untuk menjadi orang yang adil dan istiqamah akan lebih sulit lagi bagi mereka yang tidak membiasakan sikap dan perilaku tawassuth wal I’tidal. Kebalikan dari tawassuth wal I’tidal ialah tatharruf, ekstrem, berlebihlebihan. Dari segi pengerahan energi tatharruf kiranya jauh lebih banyak memerlukan energi disbanding tawassuth. Seperti halnya meninggalkan maksiat tentu lebih tidak ribet mengerahkan energi ketimbang melakukan maksiat. Hidup sederhana alias tawassuth jauh lebih sederhana ketimbang hidup mewah berlebih-lebihan. Manusia juga cenderung bersikap tatharruf dari pada tawassuth. Padahal tatharruf mempunyai risiko yang sering kali sangat berat dan parah. Makan minum berlebihan, berisiko sakit; senang dan benci berlebihan, berisiko tidak bisa
12
Ibid., hlm. 84.
57
adil dan obyektif; menyenangi dunia berlebihan, berisiko melupakan akhirat; bahkan ibadah yang berlebihan, berisiko bosan dan tidak bisa istiqamah. Dalam dunia yang seperti ini, bukankah sangat relevan apabila kita kembali ke Mata Air, kepada ajaran dan contoh agung kita Nabi Muhammad SAW. bagi mengembangkan sikap dan perilaku tawassuth wal I’tidal sebagai ummatan wasatha dalam upaya rahmatan lil’alamin.
58
BAB IV ANALISIS “MENCARI BENING MATA AIR” KARYA A. MUSTOFA BISRI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDIDIKAN AKHLAK Seiring zaman yang semakin bergulir dalam arus modernisasi dan globalisasi yang penuh tantangan dengan arus multidimensi. Berbagai fenomena kerusakan moral atau akhlak terjadi ditengah masyarakat kita. Beberapa tahun ini Bangsa Indonesia terjangkit berbagai krisis dalam segala bidang baik aspek ekonomi, sosial, budaya, moralitas, politik dan lain-lain, yang pada hakikatnya adalah berawal dari krisis akhlak. Maraknya tawuran antar pelajar, penyalahgunaan narkoba, perilaku asusila, pergaulan bebas yang menjamur kepedesaan serta penyakit lainnya yang itu semua karena disebabkan oleh merosotnya moral bangsa. Pendidikan Akhlak sangat mempengaruhi dalam hal kecerdasan Spiritual bahkan bagi IQ dan EQ juga. Diakui atau tidak kecerdasan yang paling utama dan paling inti dari beberapa kecerdasan itu adalah kecerdasan spiritual, untuk bisa mempunyai kecerdasan spiritual kita hendaknya harus berakhlak. Karena diantara ciri-ciri orang yang cerdas spiritual itu adalah memiliki kesadaran diri yang tinggi.1
1
Abdul Wahid Hasan, SQ Nabi, Aplikasi Strategi & Model Kecerdasan Spiritual Rasulullah di Masa Kini, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), hal 74.
59
Dengan kesadaran diri, orang akan berfikir dan bertanya tentang hakikat hidup dengan mengetahui hakikat hidup orang akan lebih dekat pada Tuhannya dengan sebab selalu dekat merasakan dekat dengan Tuhannya orang tersebut akan berakhlak yang baik dan akan tumbuh dalam diri kecerdasan baik intelektual, emosinal lebih-lebih spiritual. Kenyataan yang tak dapat dibantah bahwa akhlak adalah sangat penting dalam mengarungi gelapnya dunia, sebelum lahirnya Nabi akhiruzzaman Muhammad SAW. negara Arab sangatlah gelap seperti tidak ada kehidupan yang sebenarnya lebih-lebih kaum wanita yang di waktu itu adanya sama dengan tidak ada, hal itu semua karena akhlak dan tingkah laku penduduknya yang sangat tidak terhormat dan sangat memprihatinkan terhadap sesama makhluk Allah. Makanya, Allah mengutus Nabinya yaitu Muhammad Ibnu Abdullah untuk memperbaiki akhlak, dan menghormati sesama makhluk Allah. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda; “Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaqnya.”2 Maka, sudah sewajarnya jika pembicaraan ini selalu berada di depan mata seorang mukmin. Karena, jika seseorang mengetahui bahwa dia tidak bisa menjadi figur yang sempurna keimanannya kecuali dengan memperbaiki budi pekertinya, maka hal ini akan menjadi sebuah pendorong baginya untuk berperilaku dengan budi
2
Sunan abu Daud, maktabah as-syamila, Juz 12, hlm 292.
60
pekerti yang baik dan sifat-sifat yang tinggi mulia, serta ia akan meninggalkan perbuatan yang rendah dan hina. Manusia yang dilahirkan adalah dalam keadaan fithrah, terdiri atas kecerdasan, kemampuan, potensi, watak, dan motif. Menurut Al-Ghazali yang dikutip dalam buku Zaenuddin, dkk menyatakan bahwa : “Anak adalah suatu amanah dari Tuhan kepada kedua orang tuanya, hatinya suci bagaikan jauhar yang indah sederhana dan bersih, suci dari segala goresan dan bentuk, Ia masih menerima segala apa yang digoreskan kepadanya dan cenderung kepada setiap hal yang ditujukan kepadanya”. Setiap anak berpotensi untuk menjadi cerdas secara emosional, intelektual maupun spiritualnya, karena secara fitri manusia dibekali kecerdasan oleh Allah SWT. dalam rangka mengaktualisasikan dirinya sebagai hamba (Abdun) dan Khalifatullah di bumi. Selanjutnya, manusia mempunyai banyak kesempatan untuk dapat mengembangkan kecerdasannya secara optimal. Dalam konteks ini, peran pendidik sebagai orang tua kedua dari anak sangatlah penting dalam menumbuhkan dan mengembangkan kecerdasan anaknya. Seperti disebutkan diatas bahwa anak dilahirkan dalam keadaan suci, dalam hal ini Nabi Muhammad Saw bersabda:
61
ي أَ ْﺧﺒَـ َﺮﻧِﻲ أَﺑُﻮ َﺳﻠَ َﻤﺔَ ﺑْ ُﻦ َﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ ْﺣ َﻤ ِﻦ أَ ﱠن ﺲ َﻋ ْﻦ اﻟ ﱡﺰْﻫ ِﺮ ﱢ ُ َُﺣ ﱠﺪﺛَـﻨَﺎ َﻋ ْﺒﺪَا ُن أَ ْﺧﺒَـ َﺮﻧَﺎ َﻋ ْﺒ ُﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ أَ ْﺧﺒَـ َﺮﻧَﺎ ﻳُﻮﻧ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻣَﺎ ِﻣ ْﻦ ﻣ َْﻮﻟُﻮ ٍد إ ﱠِﻻ ﻳُﻮﻟَ ُﺪ َﻋﻠَﻰ َ ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُ َﺎل َرﺳ َ ﻗ, َﺎل َ ﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋ ْﻨﻪُ ﻗ ِ أَﺑَﺎ ُﻫ َﺮﻳْـ َﺮةَ َر ﺼﺮَاﻧِِﻪ أ َْو ﻳُ َﻤ ﱢﺠﺴَﺎﻧِِﻪ َﻮدَاﻧِِﻪ َوﻳـُﻨَ ﱢ اﻟْ ِﻔﻄْ َﺮةِ ﻓَﺄَﺑـَﻮَاﻩُ ﻳـُﻬ ﱢ “Dari Abu Hurairah berkata bahwasanya Nabi SAW bersabda : Semua anakanak dilahirkan suci (fitrah), tetapi ibu bapaknyalah yang menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi”.3 (HR. Muslim). Selanjutnya Ibnu Sina menyatakan dalam buku perbandingan pendidikan Islam karangan Ali Al-Jumbulati bahwa pendidikan Islam sangat memperhatikan segi akhlak yang menjadi fokus perhatian dari seluruh para pemikiran filsafat pendidikan yaitu mendidik anak dengan menumbuhkan kemampuan beragama yang benar. Oleh karena itu pendidikan agama menjadi landasan utama bagi pencapaian tujuan pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak adalah segala-galanya serta kehidupan manusia adalah bergantung pada akhlak (tiada kehidupan tanpa akhlak). Berlandaskan tujuan akhir pendidikan agama adalah tercapainya pendidikan akhlak yang luhur, maka di sinilah peran pendidikan dalam Islam untuk membimbing, mengarahkan, membentuk siswa atau pelajar secara bertahap atau berangsur-angsur demi terwujudnya tujuan penciptaan manusia yaitu sebagai "abdun" (hamba Allah) dan sebagai "khalifah" (pemimpin) di bumi.
3
265.
Shaheh Bukhari, Maktabah-As-Syamila , Juz 5, hlm 144, Juz 14, hlm 447, Juz 20 hlm
62
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya tentang pendidikan akhlak dan juga kajian singkat tentang buku mencari bening mata air karya A. Mustofa Bisri. Berikut ini penulis akan menguraikan secara spesifik tentang bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak dalam buku tersebut dan pengaruhnya terhadap pendidikan akhlak, terutama pada akhlak anak. Kejadian anak bukanlah kehendak dari seseorang atau semua manusia, apalagi diri anak itu sendiri. Bahkan tak seorang pun pernah mengetahui atau menginginkan akan kejadiannya. Akan tetapi anak itu ada tidak lain adalah karena kehendak Allah semata, yang menciptakan semua manusia serta segala sesuatu yang ada. Adapun pandangan terhadap anak sering ditentukan oleh cara seseorang dalam mengajar dan mengasuh mereka.4 Dalam siklus kehidupan manusia, masa kanak-kanak merupakan sebuah periode yang paling penting, namun sekaligus juga merupakan suatu periode yang sangat berbahaya dalam artian sangat memerlukan perhatian dalam kesungguhan dari pihak-pihak yang bertanggung jawab mengenai kehidupan anak-anak. Sebagaimana dalam sabda Nabi Muhammad SAW.:
ﻣﺎ ﻣﻦ ﻣﻮﻟﻮد اﻻّ ﯾﻮﻟﺪ ﻋﻠﻰ اﻟﻔﻄﺮة وإﻧّﻤﺎ أﺑﻮاه ﯾﮭﻮّداﻧﮫ او ﯾﻨﺼّﺮاﻧﮫ أو ﯾﻤﺠّ ﺴﺎﻧﮫ ( )رواه ﻣﺴﻠﻢ
4
Dr. Mansur, M.A., Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 1.
63
“Setiap anak dilahirkan dalam keadan fitrah (bersih dan suci), maka kedua orang tuanya lah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi.” (HR. Muslim)5 Oleh karena itu penanaman pendidikan pada masa itu sangatlah penting agar anak memiliki bekal dalam hidup selanjutnya. Dan pendidikan yang relevan ditanamkan pada masa ini adalah pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak harus dilakukan sejak dini, sebelum kerangka watak dan kepribadian seorang anak yang masih suci itu diwarnai oleh pengaruh lingkungan yang belum tentu paralel dengan tuntunan agama. Al-Ghazali menegaskan bahwa usaha untuk melatih anak-anak agar mereka itu memperoleh pendidikan yang baik serta akhlak yang mulia termasuk hal yang amat penting. Anak adalah karunia terbesar dari Allah yang mengharuskan kita bersyukur kepada-Nya. Tapi ingat, makna bersyukur bukan semata-mata diekspresikan dengan ucapan terima kasih. Islam mengajarkan bahwa karunia apapun yang diberikan Allah mesti diperlakukan secara adil. Kita mesti bersikap sempurna, sehingga sesuai janji Allah, Dia akan menambah karunia-Nya kepada kita bila kita mau bersyukur.6 Seorang anak adalah amanat yang diberikan oleh Allah SWT. kepada orang tuanya. Hatinya yang suci adalah bagaikan mutiara yang belum dibentuk.
5
46.
6
Imam Abi Husain Muslim Bin Hajaj, Shahih Muslim, (Mesir: Daar al Fikr, t.th.), hlm.
Ibnu Hasan Najafi & Mohammed A. Khalfan, Pendidikan & Psikologi Anak, (Jakarta: Cahaya, 2006), hlm. 41.
64
Karena itu, dengan mudah saja ia menerima segala bentuk rekayasa yang ditujukan kepadanya. Ditangan anak, masa depan bergantung. Maka tidak keliru apabila anak diposisikan sebagai aset masa depan. Dengan demikian anak mempunyai hak hidup yang layak untuk masa depan sebagaimana seorang ibu dan ayaahnya. Dari sinilah timbul suatu tanggung jawab orang tua terhadap anaknya untuk mempersiapkan masa depan anak. Termasuk didalamnya yang terpenting adalah pembentukan pribadi anak melalui pendidikan karakter.7 Masa anak-anak adalah tepat untuk membentuk menjadi Muslim ideal. Para orang tua yang memberikan sepenuhnya apa yang dimiliki demi keamanan dan masa depan anak-anaknya, mesti memperhatikan perkembangan mental mereka, yaitu dengan memberikan pendidikan akhlak. Mereka harus benar-benar memahami bahwa basis budaya dan kehidupan yang baik bergantung pada akhlak.8 Jika dibiasakan melakukan kebaikan dan menerima pengajaran yang baik, ia akan tumbuh dewasa dalam keadaan baik dan bahagia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Dan kedua orang tuanya, gurunya, serta pendidikannya pun ikut pula menerima pahala yang disediakan baginya. Tetapi jika dibiasakan kepadanya perbuatan yang buruk atau ditelantarkan seperti halnya hewan yang berkeliaran tak menentu, niscaya ia akan sengsara dan 7
Drs. Marijan, M.Pd., Metode Pendidikan Anak Membangun Karakter anak yang Berbudi Mulia, Cerdas, dan Berprestasi, (Yogyakarta: Sabda Media, 2012), hlm. 16. 8 Ibid., hlm. 65.
65
binasa, dosanya akan dipikul juga oleh kedua orang tuanya, walinya, atau siapa saja yang bertanggung jawab atas pendidikannya. Oleh karena seorang anak siap menerima pengaruh apapun dari orang lain, maka pendidikan akhlak harus dimulai sejak dini. Sejak awal anak harus dihindarkan dari lingkungan yang jelek dan mesti diasuh dan disusui oleh wanita yang shalihah, kuat dalam ajaran agama, dan tidak makan kecuali yang halal saja. Kemudian pada saat kemampuan membedakan antara yang baik dan buruk mulai muncul dalam diri anak, perhatian harus lebih ditingkatkan lagi untuk memastikan bahwa ia mengaitkan nilai kebaikan dengan hal-hal yang memang baik dan nilai keburukan kepada hal-hal yang memang buruk. Dalam rangka menyelamatkan dan memperkokoh akidah Islamiah anak, pendidikan anak harus dilengkapi dengan pendidikan akhlak yang memadahi. Dalam al-Qur’an sendiri banyak sekali ayat yang menyindir, memerintahkan atau menekankan pentingnya akhlak bagi setiap hamba Allah yang beriman. Maka dalam rangka mendidik akhlak kepada anak-anak, selain harus diberikan keteladanan yang tepat, juga harus ditunjukkan tentang bagaimana harus menghormati dan seterusnya. Karena pendidikan akhlak sangat penting sekali, bahkan Rasul sendiri diperintahkan Allah untuk menyempurnakan akhlak.9 Orang tua diharapkan bekerja keras dalam mengarahkan pola pikir anak, menanamkan standar-standar akhlak, dan mengembangkan pada dirinya tradisi dan budaya religius. Ini penting sekali agar mereka dapat menjadi pribadi mulia di 9
Dr. Mansur, Op.Cit., hlm. 117.
66
dunia ini; dan dalam setiap langkah dan segala hal, menjadi teladan kebajikan dan merefleksikan nilai-nilai al-Qur’an. Karena itu kewajiban utama mendidik anak adalah membesarkan mereka dibawah atap kebenaran, mengasuh mereka dengan tindakan-tindakan bajik, menyelaraskan pikiran mereka, dan menjadikan mereka menghargai waktu. Lebih jauh, generasi baru ini mesti diajarkan memperhatikan ucapan dan janji sehingga menjadi bagian dari kepribadiannya. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya tentang nilai-nilai pendidikan akhlak dan juga kajian singkat tentang buku Mencari Bening Mata Air karya K.H A. Mustofa Bisri. Berikut ini penulis akan menguraikan secara spesifik tentang bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak pada buku tersebut. Adapun nilai pendidikan akhlak yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Sikap Sederhana dan Dermawan Hidup tidak bermewah-mewahan adalah anjuran agama Islam. Nabi besar Muhammad SAW. tidak mencontohkan perilaku hidup mewah melainkan sebaliknya. Bahkan dari ucapan beliau mengisyaratkan tidak ada kecintaan terhadap umatnya yang hidup bermewah-mewahan. Sebaliknya Nabi sangat dekat dengan orang-orang yang miskin dan berlaku sederhana. Nilai kesederhanaan dan kedermawanan sebagai nilai utama yang harus dibiasakan pada anak sejak awal, baik dalam hal makanan, pakaian, dan sebagainya. Allah SWT berfirman:
67
( ٦٧: ) اﻟﻔﺮﻗﺎن “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengahtengah antara yg demikian.” (QS.Al- Furqon:67) Hendaknya kita semua mampu mengendalikan hawa nafsu kita, sehingga tidak diperdayakan oleh kehidupan dunia yang penuh dengan kemewahan, kelezatan dan kesenangan yang membutakan hati. Ada baiknya kita semua mempergunakan apa yang kita punya dengan semestinya, dan Allah SWT Berfirman:
( ١٩٥ : ) اﻟﺒﻘﺮة “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah Ayat : 195) Membelanjakan harta (infaq) bisa berbentuk wajib, sunnah, mubah, bahkan haram. Wajib dalam hal nafkah kepada anak- isteri, zakat, dan lain lain. Sunnah dalam hal shodaqoh, memberi hadiah, wasiat, dn lain lain. Mubah dalam hal rekreasi, dan lain lain. Haram jika bersifat berlebihan dan digunakan untuk hal-hal yang diharamkan.
68
Jika kita punya sesuatu yang lebih, berikanlah kepada yang lebih membutuhkan. Bahkan Allah SWT menyuruh kita untuk memberikan kepada yg lebih membutuhkan, dan Allah tidak suka dengan orang-orang yang berlebihan, seperti dalam Firman Allah SWT berikut:
( ١٤١ : ) اﻻﻧﻌﺎم “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan..” (QS.Al-An’am:141) Jika kita mempunyai sesuatu Harta yang lebih tapi kita menutup rapatrapat harta kita dengan berlaku kikir, sesungguhnya kita tidak akan mendapatkan kebaikan sama sekali. Al-Qur’an menjelaskan bagaimana kemurkaan Allah pada orang yang kikir, sebagaimana termaktub dalam ayat berikut:
69
Tidak mengajari atau tak ingin mengajari anak menjadi dermawan adalah juga bentuk kekikiran.10 Untuk itulah, solusinya adalah mari membiasakan diri hidup sederhana. Qona’ah bisa menjadi hal solutif. Qona’ah ialah sifat menerima apa adanya. Ia merupakan harta yang tidak pernah sirna. 2. Larangan Sikap Boros Boros artinya membelanjakan harta, atau membeli sesuatu tanpa dipikirkan kegunaanya. Orang yang boros akan membeli apa saja menurut selera yang muncul pada waktu itu. Kadang-kadang barang yang dibeli itu tidak sebenarnya sudah ada dan masih bisa digunakan. Namun barang-barang yang sudah lama itu tidak dipakai lagi bahkan dibuang begitu saja. Demikianlah keinginana itu selalu muncul dan akan dipenuhinya., selama masih ada uang. Kalau uangnya habis ia akan berusaha sekuat tenaga walau apapun yang terjadi. Dia mudah tergoda oleh setan sehingga berat untuk meninggalkanya.
10
Ibnu Hasan Najafi & Mohammed A. Khalfan, Op.Cit., hlm. 254.
70
Sifat boros bukan hanya terdapat pada harta, tetapi dapat juga terjadi dalam hal yang lain. Misalnya boros dalam penggunaan tenaga, boros dalam penggunaan listrik, boros dalam memakai air, melakukan suatu hal yang tidak bermanfaat, membuang-buang waktu dan banyak lagi contoh-contoh lain yang termasuk boros. Allah tidak menyukai orang-orang yang boros. Pemboros-pemboros sudah dicap oleh Allah sebagai teman setan. Jadi orang-orang yang boros kelakuannya sama dengan setan dan cocok menjadi teman setan. Sebagaimana dalam al-Qur;an surat al-Isra’ ayat 26 menjelaskan: "Dan janganlah kamu menghamburhamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan". Rasulullah telah memberikan contoh kepada kita untuk tidak boros. Mulai dari pakaian yang dipakainya, hartanya dan lain sebagainya. Nabi Muhammad saw tidak pernah boros bahkan memanfaatkan apa-apa yang masih bisa digunakan. Cara mengatasi sifat boros ini adalah dengan berhemat dan yang lebih penting lagi kita harus menyadari bahwa harta, kekayaan (dunia) tidak dapat kita bawa ke akhirat nanti, yang akan kita bawa adalah amalan dan perbuatan yang telah kita lakukan di dunia. Untuk itu mulai dari sekarang kita harus bisa berhemat dan membiasakannya. Hemat merupakan sikap yang baik, dalam pengertian membelanjakan harta secara efektif dan tidak cenderung mubadzir. Dalam firman Allah disebutkan:
71
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janglah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. Melalui ayat ini, Allah mengingatkan bahwa sikap terlalu kikir mengluarkan harta terhadap dirinya dan orang lain adalah hina. Demikian juga terlalu pemurah, karena sikap terlahir ini sering membuat seseorang menyesal. Tetapi Islam menganjurkan sikap moderasi atau pertengahan dalam mengeluarkan pembelajaran. Berhemat tidak sama dengan kikir. Orang yang berhemat tidak menghambur-hamburkan harta untuk keperluan yang tidak penting. Orang yang kikir (bakhil) adalah orang yang susah mengeluarkan uangnya kecuali terpaksa. Nabi Muhammad saw. bukan hanya mencontohkan kepada makanan saja tetapi juga pada waktu. Nabi Muhammad saw sangat menghargai makanan walau hanya sisa-sisa makanan yang menempel dijari dan makanan yang telah jatuh juga diambil kembali karena nabi Muhammad saw begitu menghargai nikmat. Perbuatan boros adalah gaya hidup gemar berlebih-lebihan dalam menggunakan harta, uang maupun sumber daya yang ada demi kesenangan saja. Dengan terbiasa berbuat boros seseorang bisa menjadi buta terhadap orang-orang
72
membutuhkan di sekitarnya, sulit membedakan antara yang halal dan yang haram, mana yang boleh dan mana tidak boleh dilakukan, dan lain sebagainya. Allah SWT. menyuruh kita untuk hidup sederhana dan hemat, karena jika semua orang menjadi boros maka suatu bangsa bisa rusak/hancur.
3. Bersikap Sabar Sabar artinya menerima takdir atau nasib yang diberikan oleh Allah dengan senang hati dan luas dada, tidak menyalahkan siapapun terlebih Allah. Sifat sabar inilah yang harus kita tanamkan pada anak sedini mungkin. Manusia bisa berdoa minta macam-macam tetapi Tuhanlah pengambil keputusan. Oleh karena itu, timbul suatu kewajiban bagi manusia untuk berikhtiyar. Setelah berikhtiyar disertai doa memohon kepada Allah selanjutnya menunggu ketentuan dari-Nya. Manusia harus insaf bahwa apa yang diminta mungkin dikabulkan tetapi ditunda, dikabulkan langsung, bahkan mungkin tidak dikabulkan. Untuk menyingkapi kemungkinan-kemungkinan itu harus memahami arti bersyukur dan sabar. Apabila keinginan kita dikabulkan oleh Allah maka kewajiban kita adalah bersyukur. Kita bisa merenungkan dengan membandingkan bagaimana rasanya apabila permohonan kita tidak dikabulkan. Kita bisa melihat orang-orang disekitar kita banyak yang permohonannya tidak dikabulkan.
73
Kembangkan pemahaman sifat sabar pada anak agar lebih mantap dalam jiwanya. Katakana bahwa sifat sabar sangat disayang Allah, kesabaran sangat dianjurkan oleh agama. Adapun konsep pendidikan akhlak pada anak-anak adalah sebagai berikut: 1. Akhlak terhadap Allah Akhlak kepada Allah SWT. dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai penciptanya. Akhlak kepada Allah meliputi: a. Mengabdi hanya kepada Allah Meyakini
bahwa
Dia
sungguh-sungguh
ada
dan
tidak
akan
menyekutukannya dengan apapun dalam bentuk apapun. b. Taat kepada Allah Melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya c. Ikhlas Yakni kewajiban manusia beribadah hanya kepada Allah dengan ikhlas dan pasrah, tidak boleh beribadah kepada apa dan siapapun selain kepada-Nya d. Bersyukur kepada Allah Bersyukur atas semua nikmat Allah, baik nikmat berupa kesehatan jasmani dan rohani, maupun nikmat yang terbentuk sumber kehidupan yang diciptakan-Nya dipermukaan bumi agar diolah untuk dimanfaatkan manusia. e. Tawakkal Mempercayakan diri kepada Allah dalam melaksanakan suatu pekerjaan yang telah direncanakan dengan mantap.
74
f. Taubat dan Istighfar Manusia tidak lepas dari dosa dan noda. Dalam keadaan seseorang terjerumus kedalam salah satu dosa, hendaklah manusia segera ingat kepada Allah, menyesli perbuatannya yang salah, memohon ampunan (istighfar) kepada-Nya serta kembali (taubat) dengan sebenar-benarnya.
2. Akhlak terhadap sesama manusia Perilaku manusia yang berhubungan dengan sesama manusia terdiri atas: a.
Perilaku yang berhubungan dengan diri sendiri Setiap manusia mempunyai keawjiban moral terhadap dirinya sendiri antara lain:
b.
-
Memelihara kesucian diri, baik jasmani maupun rohani
-
Sabar
-
Tawadhu’
-
Pemaaf dan mohon maaf
Perilaku yang berhubungan dengan sesama Muslim -
Menghubungkan tali persaudaraan
-
Saling tolong menolong
-
Membina persatuan
Urgensi pendidikan akhlak dalam kehidupan manusia itu bermuara atau berpuncak kepada kecerdasan spiritual yang tinggi serta memiliki beberapa fungsi dan manfaat yang dijadikan panduan bagi seorang muslim yaitu sebagai berikut; 1. Akhlak sebagai bukti nyata keimanan seseorang
75
2. Akhlak sebagai hiasan orang beriman 3. Akhlak sebagai amalan yang paling berat timbangannya 4. Akhlak mulia merupakan simbol segenap kebaikan 5. Akhlak merupakan pilar bagi tegaknya masyarakat yang diidam-idamkan 6. Akhlak merupakan tujuan akhir diturunkannya Islam ke dunia. Akhlak merupakan sebuah tabiat atau ketetapan asli, akhlak juga bisa diperoleh atau diupayakan dengan jalan berusaha, maka pendidikan akhlak itu seharusnya menjadi pelajaran pokok di setiap lembaga pendidikan dan bukan hanya sebagai pelajaran pokok saja tetapi harus di praktekan dalam kehidupan sehari-harinya karena dengan akhlak yang baik maka seseorang akan bisa mempengaruhi sikap dan tingkah lakunya serta bisa mencerdaskan secara emosinal dan spiritual bagi dirinya. Dari uraian di atas bahwa pendidikan akhlak itu sangatlah penting dalam mengarungi kehidupan ini dan bisa membentuk anak cerdas secara emosinal dan spiritual.
76
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan uraian-uraian yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pendidikan akhlak yang terkandung dalam buku Mencari Bening Mata Air karya Gus Mus diantaranya: a. Perintah untuk bersikap Sederhana dan Dermawan b. Larangan Sikap Boros c. Perintah untuk bersabar Akhlak kepada Allah adalah sebagai berikut: Mengabdi hanya kepada Allah, Taat kepada Allah, Ikhlas, Bersyukur kepada Allah, Tawakkal, Taubat dan Istighfar. Adapun akhlak kepada sesama manusia: Sabar, Tawadhu’, Pemaaf, Menghubungkan tali persaudaraan, Saling tolong menolong, Membina persatuan, dan lain sebagainya. 2. Karya sastra dapat diartikan sebagai suatu tulisan atau karangan yang unsur estetiknya dominan dan dapat dijadikan sebagai alat pengajaran. Sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat karena karya sastra ditulis oleh pengarang yang merupakan subyek dari anggota masyarakat. Selain itu, karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang
77
pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat. Hal ini terutama dalam hal pendidikan akhlak. Pendidikan Akhlak sangat mempengaruhi dalam hal kecerdasan Spiritual bahkan bagi IQ dan EQ juga. Diakui atau tidak kecerdasan yang paling utama dan paling inti dari beberapa kecerdasan itu adalah kecerdasan spiritual, untuk bisa mempunyai kecerdasan spiritual kita hendaknya harus berakhlak. Karena diantara ciri-ciri orang yang cerdas spiritual itu adalah memiliki kesadaran diri yang tinggi. Dalam ajaran Islam, pendidikan yang utama adalah akhlak, dimana manusia memiliki akhlak yang utama sebagai manusia yang sempurna (insan kamil) sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Akhlak merupakan fondasi yang kokoh bagi terciptanya hubungan baik antara hamba dan Allah SWT. (hablumminallah) dan antar sesama (hablumminannas). Akhlak yang mulia tidak lahir berdasarkan keturunan atau terjadi secara tiba-tiba. Akan tetapi, membutuhkan proses panjang yakni melalui pendidikan akhlak. Akhlak pada dasarnya adalah sikap yang melekat pada diri seseorang secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan. Apabila perbuatan spontan yang baik disebut akhlakul Karimah. Sebaliknya, apabila yang disebut akhlak yang buruk maka disebut akhlakuk Madzmumah.
78
Apabila dikaji tentang nilai-nilai akhlak dalam kehidupan sehari-hari berarti menganalisis perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan dan berhubungan dengan Sesama manusia. Perilaku ini merupakan cerminan dari nilai akhlak. B. SARAN-SARAN 1. Mengingat pentingnya akhlak dalam kehidupan manusia, maka semestinya pendidikan akhlak harus dimulai sejak dini, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. 2. Orang tua, sebagai pendidik pertama dan yang utama bagi anak di lingkungan keluarga, memiliki tugas yang sangat penting dalam pembentukan akhlak yang mulia. Untuk itu, hendaklah para orang tua memiliki kesadaran akan tanggung jawabnya dalam membekali diri anak dengan ajaran-ajaran agama dan akhlak yang baik, serta mampu menjadi teladan yang baik dalam semua tingkah lakunya serta memberikan kasih sayangnya kepada anak-anaknya. 3. Bagi para guru di lingkungan sekolah, hendaknya memberikan materi yang disesuaikan dengan psikologi dan perkembangan anak, serta membimbing anak dengan teladan yang baik sehingga lahir anak didik yang berakhlakul karimah. 4. Dalam lingkungan masyarakat, seorang anak harus mampu mengontrol dirinya agar tidak terjerumus ke dalam hal yang tidak sesuai dengan norma masyarakat maupun ajaran agama.
79
C. PENUTUP Alhamdulillah dengan rasa syukur yang mendalam, penulis memuja Allah swt. yang maha Agung dan maha Kuasa, karena atas kuasa dan ridla-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Selanjutnya shalawat dan salam, penulis curahkan kepada Beliau Nabi Muhammad SAW., semoga kita semua termasuk ummatnya yang mahbbah kepada beliau dan mendapatkan syafaatnya di hari kiamat nanti. Amin. Sebagai penulis skripsi ini, saya menyadari dengan sepenuh hati bahwa meskipun penulis sudah berusaha dengan sekuat tenaga dan fikiran, namun karena keterbatasan kemampuan intelektual penulis, maka dengan penuh kesadaran saya mengakui skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis menerima saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan skripsi.
DAFTAR PUSTAKA
Abi Husain Muslim bin Hajaj, Imam, Shahih Muslim, Mesir: Daar al-Fikr, th.t. Al-Ghazali, Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia, Bandung: Karisma, 1994. Al-Syaibany, Omar Muhammad al-Toumy, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Aminuddin (ed), Sekitar Masalah Sastra, Beberapa Prinsip dan Model Pengembangannya, Malang: Yayasan Asah Asih Asuh, 1990. Anshari, Abu Asma, Ngetan Ngulon Ketemu Gus Mus, Semarang: HMT Foundation, 2005. Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010. Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994. Basrowi dan Suwadi, Memahami Penelitian Kualitatif, Jakarta : Rineka Cipta, 2008. Bisri, A. Mustofa, Lukisan Kaligrafi, Jakarta: Kompas, 2009. ______________, Membuka pintu Langit, Jakarta: Kompas, 2008. ______________, Mencari Bening Mata Air (Renungan A. Mustofa Bisri), Jakarta: Kompas, 2008. Hajar, Ibnu, Dasar-Dasar Penelitian Kuantitatif dalam Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Hartini dan G. Kartasapoeta, Kamus Sosiologi dan Kependidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 1992. Ihsan, Fuad, Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2011. Mahmud, Ali Abdullah Halim, Akhlak Mulia, Jakarta: Gema Insani Press, 2004. Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Marijan, Metode Pendidikan Anak, Yogyakarta: Sabda Media, 2012.
Miskawaih, Ibn, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Bandung: Mizan, 1994. Mulyana, Rohmat, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta, 2011. Muslich, Masnur, Pendidikan Karakter Menjawab Multidimensional, Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Tantangan
Krisis
Mukni’ah, Materi Pendidikan Agama Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011. Najafi, Ibnu Hasan & Mohammed A. Khalfan, Pendidikan & Psikologi Anak, Jakarta: Cahaya, 2006. Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012. Nazir, Moh., Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999. Pidarta, Made, Landasan Kependidikan, Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2007. Poerbakawatja, Soegarda dan H.A.H. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1982. Qutb, Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, Bandung: PT. al-Ma’arif, 1993. Ruslan, Rosadi, Metode Penelitian PR Dan Komunikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Saebeni, Beni Ahmad dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012. Shaheh Bukhari, Maktabah-As-Syamilah, Juz 5, hlm 144, Juz 14, hlm 447, Juz 20 hlm 265. Sudjana, Nana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Bandung: Sinar Baru Al Gesindo, 1991. Sunan abu Daud, Maktabah as-Syamila, Juz 12, hlm 292. Suryasubrata, Suryadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Rajawali Press, 1992. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994. ____________, Undang-undang RI No. 20 tentang Sisdiknas, Bandung: Fokus Media, 2003. Ya’kub, Hamzah, Etika Islam, Bandung: Diponegoro, 1993. Zain, Labibah & Lathiful Khuluq, Gus Mus Satu Rumah Seribu Pintu, (Yogyakarta: LKiS, 2009. Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Khoirul Anwar
NIM
: 131310000063
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Tempat, Tanggal Lahir
: Jepara, 29 Januari 1991
Agama
: Islam
Alamat
: Sekuro RT. 11 RW. 03 Mlonggo Jepara
Pendidikan
: - SD 01 Jambu Mlonggo Jepara - MTs. Salafiyah Kajen Margoyoso Pati - MA. Salafiyah Kajen Margoyoso Pati - UNISNU Jepara
Nama orang tua Ayah
: alm. H. Busyari
Ibu
: almh. Hj. Nafi’atun Daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Jepara, 28 September 2015 Penulis,
Khoirul Anwar