TUGAS AKHIR – RC-14-1501
STUDI AIR TRAFFIC MANAGEMENT : STUDI KASUS ANALISIS RUANG UDARA DI BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA FACHRI RAMADHAN NRP 3112100112 Dosen Pembimbing Istiar, ST.,MT.
JURUSAN TEKNIK SIPIL Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2017
ii
TUGAS AKHIR – RC-14-1501
STUDI AIR TRAFFIC MANAGEMENT : STUDI KASUS ANALISIS RUANG UDARA DI BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA FACHRI RAMADHAN NRP 3112100112 Dosen Pembimbing Istiar, S.T., M.T. JURUSAN TEKNIK SIPIL Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2017
ii
FINAL PROJECT – RC-14-1501
STUDY OF AIR TRAFFIC MANAGEMENT : ANALYSIS OF JUANDA INTERNATIONAL AIRPORT’S CAPACITY CASE STUDY FACHRI RAMADHAN NRP 3112100112 Supervisor Istiar, S.T., M.T. JURUSAN TEKNIK SIPIL Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2017
iv
Studi Air Traffic Management : Studi Kasus Analisis Kapasitas Ruang Udara Bandar Udara Internasional Juanda Nama: Nrp: Dosen Pembimbing: Jurusan:
Fachri Ramadhan 31121000112 Istiar S.T.,M.T Teknik Sipil
ABSTRAK Air Traffic Management atau yang biasa disingkat ATM merupakan suatu kegiatan pengelolaan semua pesawat udara yang beroperasi di ruang udara atau airspace maupun maneuvering area yang memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan ATM adalah menciptakan keamanan dan efisiensi yang berkaitan dengan penerbangan (safe and efficient conduct of flight). ATM sendiri terdiri oleh Airspace Management (ASM) dan Air Traffic Flow Management (ATFM) Penelitian ini mengkaji tentang Penerapan Air Traffic Management di Bandar udara Internasional Juanda berdasarkan kapasitas Ruang Udara. Ruang Udara yang dimaksud adalah terminal airspace yang merupakan “jembatan” dari landasan Pacu dan rute penerbangan. Data yang dipakai adalah data sekunder. data sekunder didapat hasil dokumentasi dari lembaga- lembaga terkait. Perhitungan pada terminal airspace dilakukan menggunakan Teori Pendekatan Kapasitas Ultimate Landasan Pacu dan Teori Kapasitas Terminal Airspace oleh Janic..
v
Kesimpulan yang diharapkan adalah besar kapasitas yang mampu ditampung oleh terminal airspace dan perkembangan kedepannya didasari oleh Air Traffic Management. Pada tugas akhir ini setelah dilakukan analisis terhadap kapasitas runway, didapatkan kapasitas runway dengan operasi camp sebesar 26 operasi/jam. Sedangkan, pada analisis dengan metode FAA diperoleh kapasitas runway sebesar 58 operasi/jam pada kondisi VFR dan 71 operasi/jam pada kondisi IFR. Untuk kapasitas terminal airspace didapatkan kapasitas untuk operasi kedatangan sebesar 40 kedatangan/jam dengan metode formulasi pendekatan kapasitas runway. Sedangkan dengan menggunakan metode janic didapatkan kapasitas sebesar 43 kedatangan/jam. Hasil ini merupakan supply yang dimiliki oleh bandar udara Juanda. Keyword : Air Traffic Management, Kapasitas , Terminal Airspace
vi
Study of Air Traffic Management : Analysis of Juanda International Airport’s Capacity Case Study Nama Nrp Dosen Pembimbing Jurusan
: : : :
Fachri Ramadhan 31121000112 Istiar S.T.,M.T Teknik Sipil
ABSTRACT Air Traffic Management or ATM is an activity that manage of all aircraft operating either on air space or maneuvering area by use available resource, to accomplish specific goal. The goal of ATM is to create safe and efficient conduct of flight. ATM is consist of Airspace Management (ASM) and Air Traffic Flow Management (ATFM) This final project examined the implementation of air traffic management at Juanda International airport is based on the air space capacity. Air space is the "bridge" between runway and flight route. The data that used is secondary data from the institutions that related with this final project. The method used to analyze air space capacity is The ultimate runway capacity theory and The Janic theory. The expected conclusions are how much capacity that can be provided by terminal air space and the terminal air space development in the future based on Air Traffic Management. The final project analysis result is the air space capacity in mixed operations is 26 operation/hour. While using FAA method, the runway capacity is 58 operation/hour for VFR condition and 71 operation/hour for IFR condition. For
vii
terminal airspace capacity, the results when using approaching theory are 40 arrival/hour, while using The Janic theory, the results are slightly differ with 43 arrival/hour. That is the Juanda Airport capacity that can be used . Keyword : Air Traffic Management, Capacity , Terminal Airspace.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. karena atas rahmat Allah lah kami dapat menyelesaikan proposal tugas akhir ini dengan baik.Tugas akhirl ini kami susun selama satu semester dengan melalui beberapa asistensi terhadap dosen asistensi terkait Tugas akhir ini berisi tentang Analisis Kapasitas dari Ruang Udara Bandar Udara Internasional Juanda. yang didasari oleh Studi tentang Air traffic Flow Management. Dalam menyelesaikan tugas akhir ini kami telah dibantu oleh banyak pihak, untuk itu kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada: 1. Bapak Istiar S.T.,M.T. selaku dosen pembimbing 2. Ibu Ir. Ervina Ahyudanari M.E. selaku dosen kelas Teknik Penulisan Ilmiah 3. Segenap mahasiswa Teknik Sipil 2011 dan 2012 Penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pemyusunan tugas akhirl ini, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Surabaya, 20 Agustus 2016
ix
DAFTAR ISI ABSTRAK …………..................................................... v KATA PENGANTAR …............................................... ix DAFTAR ISI ...............................................................xii i DAFTAR TABEL ........................................................ xiii DAFTAR GAMBAR ................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN .............................................. 1 1.1 Latar Belakang .................................................. 1 1.2
Perumusan Masalah .......................................... 3
1.3
Tujuan ............................................................... 4
1.4
Batasan Masalah ............................................... 4
1.5
Lokasi studi ....................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................... 7 2.1 Umum ............................................................... 7 2.2
Air traffic Management ..................................... 7
2.3
Air Traffic Flow Management........................... 9
2.3.1
Manfaat Penggunaan ATFM ................... 11
2.3.2
Tujuan dan Limitasi dari ATFM ............. 12
2.3.3
Operasi ATFM ........................................ 13
2.4
Airspace Management..................................... 15
2.4.1 Airspace (Ruang Udara) ................................ 16 2.4.2
Airway ..................................................... 23
2.5
Airside Pada Area Bandar Udara .................... 24
2.6
Kapasitas Bandar Udara .................................. 25
2.6.1
Hubungan Kapasitas dan Demand .......... 30
x
2.6.2 Faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Bandar Udara ..................................................................... 33 2.6.3 Kapasitas Runway dan Pendekatan Kapasitas Airspace. ................................................................ 36 2.6.4 Permodelan Kapasitas Ruang Udara Janic ... 69 2.7
Delay .............................................................. 78
BAB III METODOLOGI .............................................. 81 3.1. Umum .................................................................. 81 3.2. Diagram Alir Penelitian ....................................... 82 3.3. Studi Literatur...................................................... 84 3.4. Pengumpulan Data .............................................. 84 3.4.1 Survey Sekunder ........................................... 84 3.5. Pengolahan Data .................................................. 85 3.6. Kesimpulan .......................................................... 85 BAB IV DATA DAN ANALISIS KAPASITAS RUNWAY ....................................................................... 87 4.1 Aturan Traffic dan Pola Traffic pada Bandar Udara Internasional Juanda. ....................................... 87 4.1.1
Umum ..................................................... 87
4.1.2
Aturan Traffic Bandar Udara Juanda ...... 87
4.1.3
Pola Traffic Bandar Udara Juanda ....... 101
4.2
Formulasi Kapasitas Ultimate ...................... 103
4.2.1 Analisis Kapasitas Ultimate Runway Menggunakan Teori Ruang – Waktu ................... 103 4.2.2 Analisis Kapasitas Ultimate Runway Menggunakan Metode FAA ................................ 119 4.3 Perhitungan Kapasitas Praktis Bandar Udara Juanda ..................................................................... 126
xi
4.4 Perhitungan Index Delay dan Total Delay Perjam ..................................................................... 131 4.4.1 Langkah Perhitungan Index Delay dan Total Delay .................................................................... 131 BAB V ......................................................................... 141 ANALISIS KAPASITAS RUANG UDARA ............ 141 5.1 Formulasi Kapasitas Airspace ....................... 141 5.1.1 Adaptasi Formulasi Ruang waktu untuk Perhitungan kapasitas airspace. ............................ 141 5.1.2 Langkah Perhitungan kapasitas Ultimate Terminal Airspace. ............................................... 142 5.1.3 Metode Janic untuk perhitungan kapasitas ultimate Airspace.................................................. 149 5.1.4 Langkah perhitungan kapasitas ultimate airspace dengan metode Janic .............................. 152 5.2 Upaya Peningkatan Kapasitas di Bandar Udara Juanda ...................................................................... 156 5.2.1 Upaya Peningkatan Kapasitas Runway di Bandar Udara Juanda ........................................... 156 5.2.2 Upaya peningkatan kapasitas Ruang udara di Bandar Udara Juanda ....................................... 171 BAB VI KESIMPULAN & SARAN .......................... 175 6.1 Kesimpulan ................................................... 175 6.2
Saran ............................................................. 176
DAFTAR PUSTAKA .................................................. 179
xii
DAFTAR TABEL Tabel 2. 1 Kelas-kelas dari wilayah udara...................... 21 Tabel 2. 2 Standar Separasi untuk Landing (IFR – Instrumental Flight Rules) .............................. 34 Tabel 2. 3 Klasifikasi Pesawat Terbang menurut Kecepatan Landing (kondisi IMC) ................. 35 Tabel 2. 4 Perkiraan Letak Exit Taxiway........................ 66 Tabel 4. 1 Detail titik marker ILS pada Runway 10 ...... 92 Tabel 4. 2 Rute Asal yang dihubungkan oleh STAR pada bandar Udara Juanda ....................................... 95 Tabel 4. 3 Rute Tujuan yang dihubungkan dengan SID. 96 Tabel 4. 4 Sektorisasi Ruang Udara di sekitar bandar udara Juanda.................................................... 97 Tabel 4. 5 Jadwal Penerbangan Minggu , 24 Juli 2016 pukul 11:00 – 11: 59 WIB............................. 105 Tabel 4. 6 Klasifikasi Pesawat Berdasarkan MTOW ... 107 Tabel 4. 7 Kecepatan Approach Tiap Tipe Pesawat ... 108 Tabel 4. 8 matrix jumlah operasi kedatangan hari minggu 24 Juli 2016 ................................................... 109 Tabel 4. 9 Matrix [Mij] untuk operasi kedatangan Minggu, 27 juli 2016..................................... 111 Tabel 4. 10 Matrix [Pij] untuk operasi kedatangan Minggu, 27 juli 2016..................................... 111 Tabel 4. 11 Tabel separasi antar keberangkatan ........... 112 Tabel 4. 12 Matrix Jumlah Operasi Keberangkatan ..... 113 Tabel 4. 13 Matrix [Pij] untuk keberangkatan .............. 113 Tabel 4. 14 matrix waktu inter departure ..................... 114 Tabel 4. 15 Probabilitas ROT dari Tiap Pesawat pada operasi kedatangan ........................................ 117
xiii
Tabel 4. 16 Kapasitas Ultimate Runway 10 Bandara Juanda 24-30 Juli 2016 .................................. 119 Tabel 4. 17 Frekuensi Pergerakan Berdasarkan Klasifikasi Pesawat .......................................................... 120 Tabel 4. 18 Presentase jumlah arrival terhadap operasi harian ............................................................. 121 Tabel 4. 19 Tabel Jarak Exit taxiway dengan masingmasing threshold............................................ 122 Tabel 4. 20 Tabel Kapasitas Runway Menurut FAA .... 126 Tabel 4. 21 Perbandingan Kapasitas Ultimate dan Praktis ....................................................................... 130 Tabel 4. 22 Tabel Data untuk Perhitungan Delay Index ....................................................................... 131 Tabel 4. 23 Perhitungan DDF dan ADF ....................... 135 Tabel 4. 24Perhitungan total hourly delay .................... 140 Tabel 4. 25 Matrix [Mij] untuk operasi kedatangan Minggu, 27 juli 2016 ..................................... 158 Tabel 4. 26 Matrix [Pij] untuk operasi kedatangan Minggu, 27 juli 2016 ..................................... 158 Tabel 4. 27 Probabilitas ROT dari Tiap Pesawat pada operasi kedatangan ........................................ 161 Tabel 4. 28 Kapasitas Ultimate Runway 10 Bandara Juanda 24-30 Juli 2016 .................................. 163 Tabel 4. 29 Matriks Pij berdasarkan klasifikasi ............ 164 Tabel 4. 30 Matrix Tij berdasarkan Klasifikasi ............ 164 Tabel 4. 31 Tabel Perubahan kapasitas berdasarkan Presentase Pesawat Terbang .......................... 164 Tabel 4. 32 Letak Exit Taxiway runway baru dan runway existing .......................................................... 166
xiv
Tabel 5. 1 Tabel Jumlah pasangan kedatangan 24 – 30 juli 2016 ................................................................... 145 Tabel 5. 2 Matriks Probabilitas Kedatangan 24 juli- 30 juli 2016 ........................................................ 146 Tabel 5. 3 Approach speed pada terminal airspace ...... 147 Tabel 5. 4 Matriks (Mij) jarak interarrival pada terminal airspace ......................................................... 148 Tabel 5. 5 Jumlah operasi penerbangan yang menggunakan pasangan entry gate RAMAT dan TIRUS ........................................................... 153 Tabel 5. 6 Matriks kltij ................................................... 154 Tabel 5. 7 Presentase Traffic ditiap entry gate ............. 155 Tabel 5. 4 Matriks (Mij) jarak interarrival pada terminal airspace ......................................................... 172
xv
( halaman ini sengaja dikosongkan )
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. 1. Peta Lokasi Bandara Juanda ....................... 6 Gambar 1. 2. Lokasi Bandara Juanda diambil dari satelit 6 Gambar 2. 1 Kelas-kelas Airspace untuk Regulatory Area ................................................................... 17 Gambar 2. 2 Grafik hubungan antara Delay dan kapasitas .................................................................... 29 Gambar 2. 3 Hubungan antara Ratio Demand – Capacity dan Fluktuasi Demand terhadap Average Hourly Delay Pesawat Terbang ................ 32 Gambar 2. 4 Diagram space time untuk error-free interarrival spacing pada closing case...... 42 Gambar 2. 5 Diagram space-time untuk error-free interarrival spacing pada opening case .... 43 Gambar 2. 6 Diagram space-time untuk error-free interarrival spacing pada opening case saat Vi > Vj untuk kedua buah pesawat terbang yang dipisahkan di sekitar entry gate ....... 44 Gambar 2. 7 Ilustrasi dari buffer spacing pada separasi sebenarnya antara Pesawat terbang saat memperhitungkan adanya position error .. 47 Gambar 2. 8 Diagram space-time untuk error-free interarrival spacing pada mixed ............... 54 Gambar 2. 9 Contoh Grafik Penentuan Kapasitas Runway ……………………................................... 61 Gambar 2. 10 Contoh Skema Tiga Dimensi Pada Ruang Udara Terminal ..........................................70
xvii
Gambar 2. 11 Contoh lintasan perkiraan approach dengan jarak horisontal antar pesawat…............... 74 Gambar 3. 1 Diagram Alur Penelitian .......................... 83 Gambar 4. 1 Skema Komunikasi Ujung Pandang FIR.. 89 Gambar 4. 2 Upper Control Areas Ujung Pandang FIR 90 Gambar 4. 3 Ilustrasi Kerja Instrument Landing System 91 Gambar 4. 4 Letak Marker ILS pada Approach Path ... 92 Gambar 4. 5 SID pada runway 28.................................. 93 Gambar 4. 6 STAR untuk Runway 10 ........................... 94 Gambar 4. 7 Perbandingan Jadwal Penerbangan Rencana dengan Operasi Aktual Pada 24 Juli 2016 ……………………………………......... 102 Gambar 4. 8 Konfigurasi Runway dan Taxiway bandara Juanda………………….......................... 122 Gambar 4. 9 Kapasitas Dasar Runway Bandara Juanda Pada Kondisi VFR ….............................. 124 Gambar 4. 10 Kapasitas dasar Runway Bandara Juanda Pada Kondisi IFR ……............................ 125 Gambar 4. 11 Grafik Kapasitas Praktis 24 juli 2016 ... 127 Gambar 4. 12 Grafik Kapasitas Praktis 25 Juli 2016 .. 127 Gambar 4. 13 Grafik Kapasitas Praktis 26 juli 2016 ... 128 Gambar 4. 14 Grafik Kapasitas Praktis 27 juli 2016 ... 128 Gambar 4. 15 Grafik Kapasitas Praktis 28 juli 2016 ... 129 Gambar 4. 16 Grafik Kapasitas Praktis 27 juli 2016 ... 129 Gambar 4. 17 Grafik Kapasitas Praktis 30 juli 2016 ... 130 Gambar 4. 18 Grafik Bantu Untuk Arrival Delay Index ................................................................. 132 Gambar 4. 19 Grafik Bantu Untuk Departure Delay Index .................................................................. 133
xviii
Gambar 4. 20 Grafik Bantu untuk Perhitungan Rata-Rata delay......................................................... 136 Gambar 4. 21 Perhitungan Nilai average delay untuk kedatangan menggunakan Grafik Bantu . 137 Gambar 4. 22 Perhitungan Nilai average delay untuk kedatangan menggunakan Grafik Bantu.. 138 Gambar 4. 23 Grafik Bantu untuk penentuan kapasitas runway baru pada kondisi VFR .............. 167 Gambar 4. 24 Grafik Bantu untuk penentuan kapasitas runway baru pada kondisi IFR ............... 168 Gambar 5. 1 charts ILS runway 10 approach path ... 144 Gambar 5. 2 STAR Runway 10 ................................... 150 Gambar 5. 3 Geometri Terminal Airspace dengan Entry Gate TIRUS dan RAMAT ...................... 151
xix
( halaman ini sengaja dikosongkan )
xx
BAB I PENDAHULUAN
1.2 Latar Belakang Bandara Internasional Juanda merupakan salah satu bandara tersibuk di Indonesia, baik dari segi volume penumpang maupun pergerakan lalu lintas udaranya. tercatat jumlah pengguna jasa pada tahun 2015 mencapai 15 juta penumpang. sedangkan operasi penerbangan mencapai 120.000 pergerakan (Dirjen Perhubungan Udara , 2016). Jumlah runway yang dimiliki Bandara Internasional Juanda saat ini hanya ada satu buah. Artinya, runway hanya dapat menampung satu buah pesawat yang take-off atau landing dalam satu waktu bersamaan. Oleh karena itu Bandara Juanda hanya dapat melayani satu buah pesawat yang akan take-off maupun landing dalam suatu waktu tertentu. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu sistem Air traffic Management yang baik yang dapat mengoptimalkan pergerakan lalu lintas udara di Bandara Juanda untuk meningkatkan kapasitas bandara. Penerapan Air Traffic Management di Indonesia sudah digunakan sebagai solusi peningkatan kapasitas bandar udara dan persiapan “Asean Open Sky”. Air Traffic Management (ATM) merupakan suatu penggabungan antara airborne functions dengan ground based functions (Air Traffic Services, Airspace Management dan Air traffic flow management) untuk menjamin keselamatan dan efisiensi pergerakan pesawat
1
2 pada saat melakukan semua fase penerbangannya (Ayu , 2009). Untuk menciptakan sistem Air traffic Management yang lebih baik, secara umum diperlukan pemanfaatan kemajuan teknologi semaksimal mungkin untuk mendukung transportasi udara agar lebih aman, sesuai dengan peraturan serta efisien dalam bidang sistem komunikasi, navigasi, dan surveillance. ATM terbagi menjadi dua subsistem manajemen, yaitu Air traffic flow management (ATFM) dan Air Space Management (ASM). Kedua subsistem tersebut saling mendukung untuk mencapai tujuan ATM, yaitu menjamin keselamatan dan efisiensi pergerakan pesawat udara. ATFM digunakan untuk membantu ATC untuk menyediakan penggunaan ruang udara dan kapasitas bandara yang paling efisien. Sedangkan ASM digunakan untuk memaksimalkan penggunaan ruang udara yang ada (Ayu, 2009). Pola pengaturan lalu lintas udara atau Air Traffic Flow Management (ATFM) yang dilakukan oleh Bandara Juanda pada ruang udara arrival dan departure adalah menggunakan pola koordinasi antar unit dengan menggunakan standar separasi Flight Level, secara vertikal dan separasi berdasarkan waktu, secara horisontal. Kapasitas suatu bandar udara sangat penting untuk diketahui, terkait dengan keselamatan penerbangan. Jika jumlah pesawat yang beroperasi di suatu bandar udara melebihi kapasitasnya, tentunya akan menyebabkan terjadinya overload pada sistem Air Traffic Management (ATM). Misalnya pada controller, yang akan mengalami kelebihan beban kerja dan terjadi kelelahan, sehingga peluang terjadi pelanggaran-pelanggaran akan meningkat yang dapat membahayakan keselamatan operasi penerbangan.
3 Hal lain yang terkait dengan kapasitas bandar udara adalah kualitas pelayanan. Jika jumlah pesawat yang beroperasi melebihi daya tampung Bandar udara, maka kualitas pelayanan yang diberikan akan menurun. Seperti misalnya akan terjadi penundaan pelaksanaan operasi penerbangan, yang tentu akan merugikan konsumen. Analisis yang akan dilakukan dalam pengerjaan tugas akhir ini menitik beratkan dalam perhitungan kapasitas airspace Bandara Juanda serta memahami bagaimana pengaturan air traffic flow di Bandara Juanda dan hal – hal yang mendukung pengoperasian ATFM di Bandara Juanda.Sehingga, penulis berniat membahas hal ini dalam tugas akhir yang berjudul “STUDI AIR TRAFFIC FLOW MANAGEMENT : STUDI KASUS ANALISIS KAPASITAS RUANG UDARA BANDARA JUANDA” 1.3
Perumusan Masalah
Adapun permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penulisan tugas akhir ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pola Air Traffic Flow Management di Bandara Juanda ? 2. Bagaimana kapasitas layanan pada ruang udara Departure dan Arrival di Bandara Juanda ? 3. Bagaimana Kapasitas Runway pada Bandar Udara Internasional Juanda ? 4. Bagaimana Hubungan Antara supply dan demand yang terjadi di Bandar Udara Internasional Juanda ? 5. Apakah Solusi yang ditawarkan untuk meningkatkan kapasitas ruang udara pada Bandar udara Internasional Juanda?
4 1.4
Tujuan
Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai adalah untuk : 1. Mengetahui pola Air traffic flow management di Bandara Juanda. 2. Mengetahui Kapasitas layanan pada ruang udara departure dan arrival di bandara Internasional Juanda. 3. Untuk Mengetahui Kapasitas Layan Runway pada Bandara Internasional Juanda. 4. Mengetahui Hubungan supply dan demand pada Bandar udara internasional Juanda 5. Memberikan Solusi peningkatan kapasitas pada ruang udara bandara internasional Juanda Berdasarkan ATFM.
1.5
Batasan Masalah
Agar tidak terjadi penyimpangan dalam pembahasan masalah ini maka perlu adanya batasan masalah sebagai berikut : 1. Lokasi penelitian adalah bandara Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur. 2. Perhitungan dilakukan pada keberangkatan dan kedatangan 3. Jadwal operasi penerbangan yang ditinjau adalah jadwal penerbangan di lapangan. 4. Perhitungan hanya dilakukan untuk kapasitas ruang udara dan sistem runway-taxiway di bandara Juanda.
5 5. Ruang Udara yang dimaksud adalah ruang udara Terminal. 6. Fixed Point yang digunakan adalah SABIT, NIMAS (kedatangan). 7. Pada perhitungan delay hanya melihat perbedaan waktu rencana dan waktu aktual juga tidak memperhatikan alasan keterlambatan. 8. Tidak membahas masalah biaya terkait dengan upaya peningkatan kapasitas.
6 1.6
Lokasi studi
Lokasi yang ditinjau adalah pada bandara Juanda di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. dengan koordinat 7°22′47″S 112°47′13″E. berikut ini adalah gambaran lokasi penelitian.
Gambar 1. 1. Peta Lokasi Bandara Juanda
Gambar 1. 2. Lokasi Bandara Juanda diambil dari satelit
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Umum
Bagian kedua dari penulisan tugas akhir ini adalah tinjauan pustaka. Bagian ini merupakan sumber referensi dan acuan proses perhitungan dan analisis pada tahaptahap selanjutnya.
2.2
Air Traffic Management
Air Traffic Management atau yang biasa disingkat ATM merupakan suatu kegiatan pengelolaan semua pesawat udara yang beroperasi di ruang udara atau airspace maupun maneuvering area yang memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan ATM adalah menciptakan keamanan dan efisiensi yang berkaitan dengan penerbangan (Ayu , 2009). Fungsi dalam manajemen operasi lalu lintas udara atau ATM yaitu: Manajemen ruang udara atau Airspace Management Manajemen pelayanan lalu lintas udara atau Air traffic Service Management : - Air Trafic Service System (ATS System) - ATS System Capacity dan Air traffic flow management - ATS Contingency Plan Manajemen Sumber Daya ATS : - Manajemen ATS Personil - Manajemen sumber daya fasilitas atau Facility Management - Manajemen keselamatan ATS atau ATS Safety Management
7
8 Sistem ATM menyediakan layanan yang ditujukan untuk menjamin keselamatan dan efisiensi dari arus lalu lintas udara. sehingga sistem ini diharapkan mampu untuk mengatasi masalah di bawah ini. Mengakomodasi jumlah pertumbuhan user dengan kemampuan dan permintaan yang berbeda. Mencapai tingkat keselamatan yang tinggi dibawah pengawasan dari publik atau media masa. Menghubungkan kelompok besar pekerja yang terdiri dari operator manusia yang terlatih (Air traffic controllers dan staf teknik lainnya) dengan jaringan komputer dan jaringan komunikasi, surveillance, dan peralatan navigasi. Memanfaatkan perkembangan teknologi untuk mencapai efisiensi. Mendapatkan suatu hubungan antara kualitas pekerjaan dengan tingkat harga yang wajar untuk melayani providers dan users. Sistem ATM terdiri dari enam komponen sebagai berikut: Prosedur dan peraturan yang menunjukkan sistem operasi dari ATM dan pengaturan dari airspace disekitar bandar udara dan en-route. Sumber daya air traffic controllers, yang bertanggung jawab untuk menyediakan pelayanan ATM. Sistem otomasi (seperti komputer, display, dan software untuk keperluan khusus) yang menyediakan informasi kepada controllers mengenai status, lokasi,dan separasi dari pesawat terbang di dalam sistem dan membantu mereka dalam arus lalu lintas udara yang aman dan lancar. Selanjutnya ATC akan mengambil tidakan berupa : Position Data Processing and Display (RDPS/FDPS),
9 voice switching for ground communication, air – ground communication. Sistem komunikasi yang memungkinkan komunikasi suara, pertukaran dan sharing data untuk air-ground, ground-ground, dan air-air. Sistem navigasi yang menyediakan informasi real-time untuk tiap-tiap pesawat terbang mengenai posisi mereka, sehingga mereka dapat mengemudikan pesawat terbang melalui airspace dan di permukaan bandar udara. Sistem surveillance (seperti radar) yang menyediakan informasi posisi real-time untuk air traffic controllers, dan dapat pula untuk kokpit, untuk melacak pesawat terbang dan kondisi cuaca yang dapat membahayakan. (Ayu , 2009)
2.3
Air Traffic Flow Management
Air Traffic Flow Management atau yang biasa disingkat ATFM merupakan suatu peraturan dari lalu lintas udara atau air traffic yang dibutuhkan demi kelancaran lalu lintas udara dan menjaga agar kepadatan lalu lintas udara tersebut tidak melebihi kapasitas dari bandar udara atau air traffic control dalam menangani lalu lintas (http://www.cfmu.eurocontrol.int). Selain itu ATFM juga digunakan untuk menjamin kapasitas yang tersedia dapat digunakan secara efisien dengan Cara mencegah terjadinya kepadatan lalu lintas, penumpukan dan penambahan biaya akibat delay. ATFM bertujuan meningkatkan kapasitas airspace untuk memenuhi batasan kapasitas dari Air traffic control dan demand dari airlines untuk mengoptimasi biaya operasi. Jumlah pesawat terbang yang dapat dilayani untuk take-off maupun landing dari suatu bandar udara tertentu
10 atau jumlah pesawat terbang yang dapat dilayani pada suatu wilayah tertentu merupakan fungsi dari beberapa variabel, contohnya : Jumlah landasan pacu yang tersedia Kapasitas ATC Air traffic controllers dan Air traffic control melakukan beberapa tugas seperti : Terminal Approach, Final Approach, Ground (arrivals), Gate operations (arrivals), Airport Surface, Gate operations (departures), Ground (departures), dan sampai pada Take-off atau Transisition to Terminal and Center. Jenis – jenis tugas dan keahlian yang dimiliki ATC akan menentukan kapasitas dari bandara. Aturan separasi, baik vertikal maupun horisontal pada ruang udara yang dilayani Separasi vertikal digunakan karena pesawat terbang menghasilkan vorteks. Vorteks ini dapat berinteraksi sayap pesawat terbang yang berada di belakangnya dan dapat merusak gaya angkat pesawat terbang. Efek ini lebih sering terjadi jika pesawat terbang yang berada di belakang berukuran lebih kecil dari pesawat terbang yang di depannya. Sedangkan separasi horisontal diberikan pada dua pesawat terbang yang terpisah kurang dari jarak minimum separasi vertikal. Pembatasan airspace Pesawat terbang harus mengikuti aturan tertentu saat terbang di udara dan pembatasan jumlah pesawat yang dapat terbang dalam waktu tertentu. Keseluruhan pembatasan tersebut diatas merupakan fungsi dari waktu yang dapat menimbulkan masalah yang dinamis. Perkembangan ATFM membawa dampak yang sangat besar pada ATM dan sistem operasi. Hal ini disebabkan ATFM menjadi instrumen penting untuk menjaga delay pesawat terbang yang ada di
11 udara dalam tingkatan yang dapat dikendalikan, untuk mengurangi biaya operasi airlines dan pengguna airspace lainnya, juga untuk meningkatkan pemakaian bandar udara dan sumber daya ATM dengan lebih baik. Selain itu, ATFM juga dapat meningkatkan keselamatan dengan mengatur arus pergerakan pesawat terbang ke dalam bagian yang ramai dalam airspace dengan mengurangi kemungkinan pesawat terbang mengalami delay yang berlebihan di udara. Namun, ATFM juga mempunyai kelemahan antara lain karena ketidakefisiennya yang dapat memperlambat operasi air traffic dan memperburuk delay. Kelemahan–kelemahan tersebut bagaimanapun juga dapat diperbaiki secara bertahap melalui peningkatan keahlian, teknologi pendukung, dan decision-making processes. 2.3.1
Manfaat penggunaan ATFM
ATFM digunakan karena beberapa pertimbangan sebagai berikut : Hanya ada satu buah pesawat terbang yang dapat mendarat atau tinggal landas pada satu runway pada waktu yang sama. Pesawat udara harus terpisah dalam jarak atau selang waktu tertentu untuk menghindari terjadinya tabrakan. Kapasitas bandar udara yang terbatas sehingga hanya dapat melayani pesawat udara dalam jumlah tertentu demi keselamatan operasi. Kapasitas bandar udara tersebut juga tergantung dari banyak faktor, diantaranya : Jumlah runway yang tersedia Layout dari taxiway
12 Kemampuan air traffic control dalam melayani pesawat terbang arrival atau departure Keadaan cuaca pada saat itu Keadaan Cuaca dapat memberikan dampak yang besar bagi operasi penerbangan di Bandar udara. Angin yang besar dapat membatasi penggunaan runway, dan visibilitas rendah menyebabkan tingkat separasi antara pesawat udara perlu diperbesar. Selain itu, air traffic control unit hanya mampu melayani pesawat udara dalam jumlah yang terbatas. Keterbatasan air Traffic Control dapat disebabkan oleh kekurangan tenaga kerja, perawatan radar yang tidak memadai, atau kekurangan perlengkapan. Hal – hal tersebut dapat mempengaruhi kinerja dari air traffic control di bandar udara dan juga pusat air traffic control untuk en-route. 2.3.2
Tujuan dan limitasi dari ATFM
Tujuan dari ATFM dapat diringkas sebagai berikut: Mencegah overloading apapun di bandar udara dan fasilitas ATM dan layanan yang mungkin dapat mempengaruhi safety. Mengurangi dampak ekonomi dan lainnya untuk operator penerbangan akibat kemacetan air traffic. Hal ini dapat dilakukan dengan menyesuaikan arus pesawat terbang secara dinamik sehingga demand akan sesuai dengan kapasitas yang tersedia di bandar udara, terminal airspace, dan di en-route airspace.
13 ATFM dapat pula menurunkan efek kepadatan, namun tingkat kontribusinya tersebut memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan tersebut dapat berupa intervensi ATFM akibat bottlenecks pada sektor en-route dan intervensi akibat kapasitas bandar udara yang tidak mencukupi (sistem runway dan terminal airspace). Kasus „bottlenecks‟ biasanya dapat diatasi oleh operator penerbangan dengan tingkat biaya yang dikeluarkan relatif rendah, yaitu melalui tindakan untuk mengatasi gangguan yang disebabkan kondisi lokal, seperti rerouting pesawat terbang dan restrukturisasi traffic flow di airspace. Pada beberapa kasus, ATFM dapat menghasilkan kapasitas yang tidak akan tersedia jika tidak menggunakan ATFM dan hal ini dapat mengurangi delay pada operator penerbangan. Namun, jika bottlenecks terjadi di bandar udara tujuan maka delay tidak dapat dihindari lagi dan ATFM tidak dapat mengurangi total delay operator penerbangan. ATFM dapat menyelesaikan dua buah situasi berikut:
Mengurangi biaya dari delay yang tidak dapat dihindari Contohnya dengan menunda keberangkatan pesawat terbang di ground yang kemudian akan mengurangi konsumsi bahan bakar. Memodifikasi, yaitu suatu cara dimana delay didistribusikan secara merata ke seluruh operator penerbangan. 2.3.3
Operasi ATFM
Tiga fungsi utama yang dilakukan ATFM yaitu : Prediksi lokasi yang potensial terhadap overloads. Pengembangan solusi untuk mengatasi overloads tersebut.
14 Mengawasi pengimplementasian solusi tersebut. Pengimplementasian tersebut biasanya mencakup perbaikan dari solusi pada real time.
Solusi yang biasanya digunakan oleh ATFM untuk mengatasi overloads terdiri dari tiga prinsip intervensi, yaitu : Ground handling Contohnya : menunda pesawat terbang yang akan take-off untuk jangka waktu tertentu. Rerouting Penggantian atau restrukturisasi beberapa flight routes untuk memodifikasi distribusi traffic flows. Metering Contoh : mengatur tingkatan traffic saat melewati batas ruang tertentu dengan cara menyesuaikan separasi antar pesawat terbang. Untuk mencapai suatu sistem ATFM yang baik dibutuhkan keahlian, proses,dan informasi secara akurat dan tepat waktu. Sebagai contoh, FAA melakukan suatu langkah penting dalam pengembangan Enhanced Traffic Management System (ETMS) dan gabungan dari Aircraft Situation Display (ASD). ETMS telah menciptakan sistem informasi yang sangat besar dan terus berkembang, baik informasi historis maupun keadaan lingkungan saat ini, yang terdiri Sedangkan untuk solusi metering merupakan solusi yang paling efisien untuk dilakukan. Dari data geografis, air traffic, cuaca, dan data traffic management. Sebagian besar data ini dapat dibaca pada display apapun yang dilengkapi dengan ASD. Sistem ATFM menerima dan memproses informasi-informasi yang didapat dalam jumlah yang banyak dan harus
15 memutuskan bagian mana dari informasi tersebut yang relevan untuk mendukung flow management, dan data spesifik mana yang dibutuhkan pada tiap tingkatan decision making. 2.4
Airspace Management
Airspace Management merupakan bagian dari Air traffic Management (ATM). Airspace Management merupakan kegiatan pengaturan wilayah ruang udara di daerah bandara yang dilakukan untuk mencegah terjadinya tabrakan antar pesawat terbang yang berada dalam kawasan pergerakan bandar udara dengan rintangan yang berada di kawasan tersebut (Ayu, 2009). Pengaturan airspace area dilakukan oleh Air traffic control System (ATC Service), dalam hal ini oleh bagian Approach Control Service atau Approach Control Unit. Tugas Approach Control Service adalah memberikan panduan untuk transisi lalu lintas udara yang meninggalkan tahapan en-route menuju tahapan pendaratan di bandara dan dari tinggal landas menuju jalur penerbangan en-route yang direncanakan. Pengaturan airspace area di Bandara Internasional Juanda dilakukan oleh PT(Persero) Angkasa Pura I. Tujuan dari Airspace Management di Bandara Internasional Juanda adalah untuk meningkatkan daya tampung atau kapasitas ruang udara yang selanjutnya akan menciptakan kondisi lalu lintas udara yang aman, lancar, teratur, ekonomis serta efisien. Pengaturan lalu lintas udara di daerah sekitar bandara dibatasi oleh kapasitas bandara tersebut.
16 2.4.1 Airspace (ruang udara) Airspace adalah bagian dari atmosfer yang diatur oleh suatu negara tertentu pada bagian diatas teritorialnya dan teritorial airnya, atau lebih umum, semua bagian spesifik tiga dimensi dari atmosfer (Horonjeff, 2010). Pada dasarnya airspace dibagi menjadi dua jenis, yaitu : Controlled airspace Merupakan bagian dimana air traffic control diperlukan untuk melakukan pengaturan atas pesawat terbang yang berada di airspace tersebut. Uncontrolled airspace Merupakan bagian airspace dimana air traffic control tidak melakukan pengaturan apapun, meskipun sebagai tindakan advisory. Alokasi penggunaan flight rules di airspace dibagi menjadi dua, yaitu : Instrument Flight Rules Terbang dengan menggunakan IFR didefinisikan sebagai mengoperasikan pesawat terbang sesuai dengan Instrument Flight Rules yang berlaku. IFR dapat digunakan dalam kondisi cuaca apapun, baik cuaca cerah maupun cuaca buruk yang ekstrim Visual Flight Rules Terbang dengan menggunakan VFR pada umumnya merupakan cara untuk mengoperasikan pesawat terbang dengan referensi informasi luar yang didapat melalui pengamatan visual, dengan visibilitas terbang sejauh tiga mil dan dalam jarak 1000 feet bebas dari awan sekitar. Special VFR merupakan suatu perijinan dari ATC kepada pesawat terbang untuk beroperasi pada controlled
17 airspace dengan visibilitas minimum sejauh 1 mil dan "bebas dari awan.” Kategori pembagian airspace adalah sebagai berikut : Regulatory Terdiri dari area airspace kelas A, B, C, D, dan E; Restricted Areas dan Prohibited Areas. Ada pula kelas G untuk airspace yang tidak termasuk A, B, C, D, ataupun E. Non Regulatory Terdiri dari Military Operating Areas (MOA), Warning Areas, Alert Areas, dan Controlled Firing Area. Regulatory area didefinisikan seperti yang digambarkan pada Gambar 2.1 berikut :
Gambar 2. 1 Kelas-kelas Airspace untuk Regulatory Area Sumber : Planning and Design of Airports, Robert Horonjeff, 2010
18 Kelas A Airspace kelas ini berada pada ketinggian 18.000 feet Mean Sea Level (MSL) sampai Flight Level (FL) 600 (60.000 feet). Operasi pada kelas ini harus dilakukan dengan menggunakan Instrument Flight Rules (IFR) atau Special Visual Flight Rules (SVFR) dan harus memenuhi ijin dari ATC. Pengoperasian dengan Visual Flight Rules (VFR) tidak diperbolehkan pada kelas ini. Kelas B Airspace kelas ini berada sampai pada ketinggian 10.000 feet dari atas tanah yang mengelilingi bandar udara yang paling ramai di suatu negara, untuk beberapa kasus bahkan mungkin lebih tinggi. Tingkat paling tinggi dari airspace kelas B ini dapat ditambah secara horisontal hingga radius 15 nm di sekitar airport tower. Namun, tidak ada dimensi yang universal untuk semua kelas B. Hal ini dikarenakan traffic flow, keadaan geografis, dan pertimbangan lainnya mengenai arsitektur sesungguhnya dari tiap-tiap area kelas B. Operasi penerbangan pada kelas ini dapat dilakukan dengan menggunakan IFR, SVFR, atau VFR. Semua pesawat terbang harus mendapat ijin terlebih dahulu dari ATC untuk dapat beroperasi. Tiap-tiap penerbangan akan diberi separasi antara satu dengan lain di ATC. Visibilitas agar dapat beroperasi sejauh 3 mil dan harus bebas dari awan.
19
Kelas C Airspace kelas ini digunakan untuk garden-variety dari bandar udara komersial. Airspace ini dapat diubah sesuai dengan kondisi daerah masing-masing, namun pada umumnya batasnya berupa silinder yang mengelilingi bandar udara dengan diameter 5 mil dari permukaan hingga 1.200 feet AGL (Above Ground Level), dan kemudian bertambah diameter 10 mil hingga ketinggian 4.000 feet AGL. Operasi penerbangan pada kelas ini dilakukan dengan menggunakan IFR, SVFR, atau VFR. Semua penerbangan harus mendapat ijin dari ATC. Pesawat terbang yang beroperasi dengan menggunakan IFR dan SVFR diberi separasi antara satu dengan yang lain dari operasi pesawat terbang yang menggunakan VFR. Operasi penerbangan yang menggunakan VFR akan diberi informasi yang sama dengan penerbangan VFR lainnya. Kelas D Airspace kelas ini meliputi daerah dari permukaan hingga ketinggian 2.500 feet,dengan radius biasanya sebesar lima mil. Operasi penerbangan pada kelas ini dapat dilakukan dengan menggunakan IFR, SVFR, atau VFR. Operasi penerbangan dengan VFR harus dilakukan dengan menggunakan radio komunikasi dua arah. Visibilitas minimum yang diijinkan adalah tiga mil, dan berada pada jarak dibawah 500 ft, diatas 1.000 ft, dan 2.000 ft horisontal dari awan. Kelas E Pendefinisian kelas ini kompleks, karena kelas ini meliputi keseluruhan airspace yang tidak termasuk kelaskelas sebelumnya. Namun, kelas E biasanya mempunyai
20 empat batasan minimum, yaitu batas permukaan, 700 ft AGL, 1.200 ft AGL, atau 14.500 ft MSL. Kebanyakan negara menggunakan batas bawah dari kelas E sebesar 1.200 ft AGL. Operasi penerbangan pada kelas ini dapat dilakukan dengan menggunakan IFR, SVFR, dan VFR. Pesawat terbang yang beroperasi menggunakan IFR dan SVFR terpisah satu sama lain, dan harus memenuhi ijin dari ATC. Pesawat terbang yang beroperasi dengan VFR tidak membutuhkan ijin dari ATC. Namun dalam prakteknya, informasi traffic diberikan untuk semua penerbangan sesuai dengan informasi yang diberikan untuk penerbangan dengan VFR. Sedangkan untuk uncontrolled area didefinisikan sebagai berikut : Kelas G Airspace kelas ini merupakan bagian-bagian yang belum didefinisikan dalam kelas A, B, C, D, atau E. Airspace Kelas G ini terbentang pada permukaan bawah airspace Kelas E. Meski ATC tidak mempunyai otoritas atau tanggung jawab untuk mengatur lalu lintas udara, pilot harus memperhatikan batas minimum VFR yang terdapat pada airspace Kelas G ini. Operasi penerbangan dengan menggunakan IFR dan VFR diperbolehkan dan pesawat terbang dapat menerima layanan informasi penerbangan jika diinginkan. Secara singkat, pembagian kelas-kelas airspace untuk Regulatory Area adalah sebagai berikut :
21
Tabel 2. 1 Kelas-kelas dari wilayah udara Air space Flight visibility Distance From Clouds Class A Not applicable Not applicable Class B 3 statute miles Clears of clouds Class C 3 statute miles 500 feet below 1.000 feet above 2.000 feet Horizontal Class D 3 statute miles 500 feet below 1.000 feet above 2.000 feet horizontal Class E 500 feet below Less than 10.000 3 statute miles 1.000 feet above feet MSL 2.000 feet horizontal At or above 10.000 feet MSL
5 statute miles
1.000 feet below 1.000 feet above 1 statute mile horizontal
1 statute mile
Clear of clouds
1 statute mile
500 feet below 1.000 feet above
Class G 1.200 feet or less above the surface (regardless of MSL altitude) More than 1.200 feet above the
22 surface but less than 10.000 feet MSL More than 1.200 feet above the surface and at or above 10.000 feet MSL
2.000 feet horizontal 5 statutes miles
1.000 feet below 1.000 feet above 1 statute mile horizontal
Non-regulatory Area dibagi menjadi beberapa daerah, yaitu : Military Operating Area (MOA) Daerah ini digunakan untuk operasi atau latihan operasi militer bagi angkatan bersenjata suatu negara. Ketinggian daerah ini berbeda pada setiap area dan dapat ditentukan dengan melihat sectional chart legend. Pesawat yang dapat digunakan dalam area ini boleh berukuran berapa saja dan dengan bentuk apapun. Jika pesawat yang digunakan adalah IFR, maka ATC akan menyediakan separasi yang sesuai. Namun jika pesawat yang digunakan adalah VFR, disarankan untuk menghubungi fasilitas pengaturan untuk mengecek status MOA. ATC akan menyediakan separasi untuk penerbangan yang menggunakan VFR yang menghubungi mereka. Meskipun pilot pesawat VFR tidak dilarang untuk memasuki MOA, namun mereka harus tetap waspada terhadap aktifitas operasi militer yang sedang berlangsung, contohnya aerial refueling, pelatihan air combat, dan formation flying.
23 Warning Area Merupakan area berbahaya yang terbentang diatas perairan internasional, diluar batas pantai tiga mil. Penerbangan dengan menggunakan pesawat ultralight tidak mungkin dilakukan. Alert Area Area ini hampir sama dengan MOA, namun perbedaannya terdapat pada pesawat udara yang beroperasi di daerah ini harus memahami semua peraturan yang berlaku, baik sebagai pemakai maupun mengenai transiting area tersebut. Pesawat udara diperbolehkan melewati Alert Area tanpa ijin terlebih dahulu. Alert Area ini meliputi daerah dengan lalu lintas general aviation yang tinggi, operasi penerbangan yang tidak biasa atau banyaknya student training. Controlled Firing Area Controlled Firing Area (CFA) merupakan suatu ruang udara yang dirancang untuk melakukan aktivitas yang jika tidak dilakukan di daerah yang terkontrol dapat membahayakan pesawat lain yang tidak berkepentingan. 2.4.2 Airway Dalam dunia penerbangan, yang dimaksud dengan airway adalah rute yang dirancang di udara. Airways terletak diantara alat bantu navigasi, seperti VOR, NDB dan intersections. Sebuah airway disusun berdasarkan rute yang akan ditempuh dengan memperhatikan keberadaan fasilitas komunikasi, navigasi, surveillance yang terdapat di sepanjang rute yang akan dilalui (Ayu, 2009). Indonesia memiliki international airways dan domestic airways. Penamaan airway biasanya terdiri dari
24 empat karakter, yaitu ANNN. Diawali dengan A (alfabet) dan diikuti N (numerik). Secara umum terdapat empat jenis airway menurut alfabetnya, yaitu A (Amber), B (Blue), G (Golf), dan W (Whiskey) [2]. Berdasarkan data tahun 1999, domestic airway yang dimiliki Indonesia yaitu 53 buah airway dengan fasilitas VOR/DME dan NDB yang terpasang di sebagian besar bandar udara yang digunakan untuk memandu lalu lintas udara pada ruang udara en-route dan ruang udara terminal. International airway yang dimiliki Indonesia yaitu sekitar 27 buah airway. 2.5
Airside Pada Area Bandar Udara Airside area suatu bandar udara terdiri dari :
Apron /gate complex dengan interfaces yang memungkinkan user untuk lewat dari gedung terminal ke pesawat dan sebaliknya. Namun pada tugas akhir ini konsentrasi analisis dilakukan pada aircraft movement, bukan pada passenger movement sehingga bagian apron/gate complex ini tidak dianalisis lebih lanjut. Bagian apron/gate complex hanya perlu melihat berapa pesawat yang dapat dilayani oleh sistem ini. Jika pesawat yang harus dilayani lebih banyak daripada kapasitas apron/gate complex, maka akan terjadi delay pada sistem ini. Sistem taxi-ways dan sistem runways yang berbatasan dengan airspace yang memungkinkan pesawat menghabiskan waktu sesaat sebelum kedatangan dan setelah keberangkatan. Perlu diperhatikan pula agar waktu pelayanan dari sistem ini agar tidak melebihi jadwal yang sudah ada. Jika terjadi kelebihan waktu layan dari jadwal yang sudah ada maka delay tidak dapat dihindari, atau harus dilakukan rescheduling.
25
Untuk memperkirakan kapasitas „ultimate‟ suatu bandar udara, airside area suatu bandar udara dibagi menjadi 4 komponen sebagai berikut : Ruang udara di sekitar bandar udara yang memungkinkan pesawat datang dan pergi. Sistem runway dimana pesawat menghabiskan waktu sesaat sebelum take-off dan setelah landing. Untuk tujuan memodelkan kapasitas „ultimate‟, sistem runway dan ruang udara sekitarnya biasanya dianggap sebagai komponen yang umum dari airside area suatu bandar udara. Jaringan taxi-ways yang menyediakan akses bagi pesawat untuk menuju runway sebelum take-off dan menuju apron/gate complex setelah landing. Ruang manuver yang terdapat di apron yang digunakan pesawat untuk masuk dan/atau keluar dari parking/gate stands, dimana dilakukan ground service. 2.6
Kapasitas Bandar Udara
Pembahasan mengenai teori kapasitas bandar udara diperlukan untuk memahami dan menentukan besarnya kapasitas pada Bandara Juanda, yang kemudian akan dibandingkan dengan jumlah operasi yang dilayani bandara untuk memenuhi fungsi dari ATFM. Pelayanan suatu sistem transportasi udara ditawarkan dalam bentuk satuan kapasitas yang disediakan oleh sistem dalam suatu waktu tertentu dan dalam kondisi tertentu. Oleh karena itu kapasitas suatu bandar udara menentukan banyaknya demand dari airline yang dapat dilayani oleh bandar udara tersebut. Bandar udara (aerodrome) adalah kawasan di tanah atau air tertentu (termasuk setiap bangunan, instalasi-
26 instalasi dan peralatan) yang dimaksudkan untuk digunakan seluruh maupun sebagian untuk pendaratan, keberangkatan dan pergerakan pesawat udara di permukaannya. Bandar udara (airport) dapat dibagi 2 bagian berdasarkan kegunaan fasilitasnya, sisi udara (air side) dan sisi darat (land side). Fasilitas yangtermasuk dalam sisi udara adalah ruang udara (airspace), landasan pacu (runway), landasan hubung (taxiway) dan landasan parkir (apron) (Indah, 2009). Kapasitas Bandar udara dapat didefinisikan sebagai kemampuan sistem untuk mengakomodasi operasi pendaratan dan tinggal landas pesawat yang dinyatakan dalam jumlah operasi pergerakan pesawat per satuan waktu (dalam operasi perjam atau per tahun). Untuk perencanaan bandar udara, kapasitas runway didefinisikan dengan dua cara yaitu :
Kapasitas Ultimate Berikut ini definisi kapasitas ultimate yang diambil dari beberapa sumber yaitu : a. Menurut Horonjeff dan McKelvey dalam Planning and Design of Airports, kapasitas jenuh didefinisikan sebagai jumlah maksimum pesawat beroperasi yang dapat ditampung oleh sistem selama waktu tertentu saat ada suat permintaan yang terus menerus untuk dilayani. b. Menurut Ashford dan Wright dalam Airport Engineering, kapasitas jenuh didefinisikan sebagai jumlah maksimum pesawat yang dapat ditangani selama periode tertentu dalam kondisi permintaan yang terus menerus. c. Menurut Odoni dan Neufville dalam Airport Systems kapasitas jenuh didefinisikan sebagai perkiraan jumlah pergerakan yang dapat dilakukan dalam satu jam pada
27 suatu sistem runway tanpa melanggar aturan Air Traffic Management (ATM), diasumsikan permintaan pesawat yang terus menerus. d. Menurut Wells dan Young dalam Airport Planning & Management , kapasitas jenuh didefinisikan sebagai nilai maksimum dimana operasi pesawat dapat ditangani dengan mengabaikandelay yang mungkin terjadi sebagai hasil dari ketidaksempurnaan dalam operasi. Sehingga dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan kapasitas ultimate adalah perkiraan jumlah pergerakan pesawat yang dapat ditampung oleh suatu sistem dalam suatu periode tertentu, pada kondisi permintaan yang terus menerus dengan mengabaikan delay yang terjadi, tanpa melanggar aturan ATM.
Kapasitas Praktis Berikut ini definisi kapasitas praktis yang diambil dari beberapa sumber yaitu : a. Menurut Horonjeff dan McKelvey dalam Planning and Design of Airports, kapasitas praktis didefinisikan sebagai jumlah pesawat beroperasi selama waktu tertentu yang disesuaikan dengan rata-rata penundaan (delay) pada suatu tingkat yang dapat ditoleransi. b. Menurut Ashford dan Wright dalam Airport Engineering , FAA merekomendasikan konsep pengukuran kapasitas praktis disesuaikan dengan tingkat delay yang dapat ditoleransi. (Contoh delay untuk pesawat yang berangkat rata-rata 4 menit selama dua puncak jam sibuk yang berdekatan pada satu minggu).
28 c. Menurut Odoni dan Neufville dalam Airport Systems, kapasitas praktis per jam atau Practical Hourly Capacity (PHCAP) merupakan metode yang dikembangkan oleh FAA pada awal tahun 1960. PHCAP didefinisikan sebagai perkiraan jumlah pergerakan pesawat yang mampu ilakukan dalam 1 jam pada suatu sistem runway dengan rata-rata delay 4 menit pada setiap pergerakan. d. Menurut Wells dan Young dalam Airport Planning & Management, kapasitas praktis dipahami sebagai suatu jumlah operasi yang mungkin ditampung pada suatu waktu tanpa melebihi suatu nominal delay. FAA mendefinisikannya sebagai jumlah operasi yang dapat ditangani pada suatu bandar udara yang menghasilkan rata-rata delay tidak lebih dari 4 menit selama periode tersibuk. Jadi definisi kapasitas praktis runway dapat disimpulkan sebagai perkiraan jumlah pergerakan pesawat yang dapat ditampung oleh suatu sistem dalam suatu periode tertentu, dengan mempertimbangkan delay yang dapat ditoleransi yaitu tidak lebih dari 4 menit. Kapasitas suatu bandar udara, baik kapasitas „ultimate‟ maupun kapasitas „practical‟ selalu tergantung pada kapasitas subsistemnya, yaitu landside area dan airside area. Perbedaan mendasar dari kedua ukuran kapasitas ini adalah yang satu dihubungkan dengan delay, yang merupakan ukuran dari service quality pada sistem bandar udara, dan yang lain tidak. Kapasitas ultimate tidak memperhitungkan delay dan menunjukkan kemampuan airfield untuk mengakomodasi pesawat terbang pada saat puncak periode operasi. Besarnya delay terutama dipengaruhi oleh pola dari demand seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2. Kapasitas ultimate tidak
29 terlalu banyak manfaatnya, kecuali untuk perencanaan jangka panjang. Untuk keperluan operasi sebaiknya menggunakan kapasitas praktis.
Gambar 2. 2 Grafik hubungan antara Delay dan kapasitas Sumber : Analisa Kapasitas Landasan Pacu : Studi Kasus Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Indah, 2009) Kapasitas suatu bandar udara dapat dihitung dengan menggunakan metode-metode yang tersedia. Salah satu metode yang paling sederhana dan banyak digunakan oleh bandar udara dan otoritas Air traffic control adalah dengan menghitung jumlah entitas yang dilayani dalam suatu interval waktu tertentu (per jam, per hari, per minggu, per bulan,dan/atau per tahun). Namun metode ini memiliki kelemahan, yaitu tidak dapat digunakan untuk analisis yang lebih lanjut karena metode ini hanya dapat
30 memberikan hasil perhitungan pada akhir periode. Metode ini tidak memperhitungkan faktor-faktor dan kondisikondisi yang mempengaruhi jumlah dan tingkat layanan yang diberikan dalam jangka waktu tertentu. Sebaliknya, metode ini dapat berguna dan tepat digunakan untuk membuat perbandingan yang sederhana dan jelas mengenai jumlah pergerakan pesawat dalam suatu waktu di suatu bandar udara. 2.6.1
Hubungan kapasitas dan demand
Kapasitas maksimum dari kapasitas ultimate suatu fasilitas dalam menyediakan jasa layanan untuk melayani demand dalam suatu waktu tertentu dapat diketahui jika terdapat demand yang kontiniu. Namun, dalam dunia penerbangan demand yang kontiniu tidak mungkin dapat terjadi dalam jangka waktu sistem penerbangan tersebut beroperasi. Meski diciptakan suatu demand kontiniu buatan dengan cara menyebabkan backlog atau membatasi fasilitas layanan yang ada, seperti membatasi periode operasi atau mengurangi staff operasi yang bertugas, hal ini akan menimbulkan delay pada fasilitas tersebut sehingga kualitas dari pelayanan akan menurun dan menyebabkan situasi yang tidak diinginkan terjadi. Jadi perencanaan suatu fasilitas perlu memperhatikan masalah penyediaan kapasitas yang mencukupi untuk mengakomodasi demand yang berfluktuasi dalam tingkatan atau level yang dapat diterima maupun kualitas dari layanan tersebut untuk jangka waktu yang panjang. Jika demand mulai mendekati kapasitas maka delay pada pesawat terbang akan terbentuk dengan sangat cepat. Congestion atau kepadatan biasanya dihubungkan dengan peningkatan delay, khususnya jika demand mendekati kapasitas untuk periode yang sangat singkat.
31 Tujuan utama dari pembelajaran kapasitas dan delay adalah untuk menentukan cara yang efektif dan efisien untuk meningkatkan kapasitas dan mengurangi delay di bandar udara. Dalam kenyataannya, analisis dilakukan untuk memeriksa perubahan demand, konfigurasi operasi di bandar udara, dan dampak dari modifikasi fasilitas dalam kualitas pelayanan demand. Besarnya delay sangat dipengaruhi oleh pola demand yang ada. Sebagai contoh, jika beberapa pesawat terbang ingin memakai airfield dalam waktu yang bersamaan maka akan timbul delay yang lebih besar daripada jika pesawat terbang tersebut dipisahkan dengan memberi jarak interval waktu. Karena fluktuasi demand pada tiap – tiap jam sangat bervariasi, maka average delay pada tiap tingkat demand pesawat terbang tiap jam juga sangat bervariasi. Kapasitas bergantung pada kondisi yang sedang berlaku pada saat itu, misalnya visibility, air traffic control, aircraft mix, dan tipe operasi. Oleh karena itu, untuk menghitung kapasitas harus ditentukan terlebih dahulu kondisi yang berlaku pada saat itu. Bagaimanapun juga, kapasitas tidak boleh disamakan dengan demand. Kapasitas mengarah pada kemampuan fisik dari airfield dan komponen –komponennya. Kapasitas mengukur supply, dan tidak bergantung pada besar dan fluktuasi demand serta jumlah delay pesawat terbang. Sedangkan delay tergantung pada kapasitas dan besar serta fluktuasi dari demand. Salah satu cara untuk mengurangi delay pesawat terbang adalah dengan meningkatkan kapasitas dan menyediakan pola demand yang lebih seragam (yaitu dengan mengurangi puncak demand). Hubungan tersebut dapat digambarkan melalui Gambar 2.3
32
Gambar 2. 3 Hubungan antara Ratio Demand – Capacity dan Fluktuasi Demand terhadap Average Hourly Delay Pesawat Terbang Sumber : Airport Engineering, Norman J. Ashford, 2011 Pada gambar diatas ditunjukkan bahwa saat demand mendekati kapasitas, maka delay pesawat terbang akan meningkat tajam. Oleh karena congestion yang biasanya dihubungkan dengan peningkatan delay, perancang harus menaruh perhatian lebih pada tingkatan demand bandara yang diinginkan jika mendekati kapasitas dalam waktu yang singkat. Dengan demikian, mengestimasi besarnya delay dan dampak ekonomi yang ditimbulkan akan lebih berguna dalam pengembangan bandara dibanding hanya menentukan kapasitas.
33 2.6.2 Faktor yang mempengaruhi kapasitas bandar udara Kapasitas airside area dari suatu bandar udara tergantung dari banyak faktor.Beberapa di antara faktor tersebut konstan terhadap waktu, namun yang lainnya seringkali berubah terhadap waktu. Faktor tetap yang paling penting dari kapasitas airside area adalah desain dari bandar udara itu sendiri yang digambarkan dengan penomoran dan arah runway, taxi-ways, instrumentasi runway, dan lain-lain. Faktor yang tidak tetap atau variable ada beberapa jenis, misalnya kondisi cuaca, dan tipe serta ukuran pesawat terbang yang beroperasi. Namun faktor yang tidak tetap atau tidak stabil yang paling mempengaruhi kapasitas airside area suatu bandar udara adalah kondisi meteorologi yang berlaku di bandar udara itu sendiri (visibilitas, arah angin). Kondisi meteorologi tersebut dapat menentukan tipe dan intensitas dari operasi pesawat terbang yang dapat diterima dengan tidak melanggar peraturan separasi dari ATC (Air traffic control). Berdasarkan keadaan cuaca yang berlaku di ruang udara, perhitungan kapasitas pada bandar udara dibedakan menjadi dua kondisi, yaitu IMC (Instrumental Meteorological Conditions) dan VMC (Visual Meteorological Conditions). Kondisi tersebut menentukan tipe aturan separasi antar pesawat terbang yang dilakukan oleh ATC. Karakteristik tertentu suatu pesawat terbang yang menggunakan bandar udara merepresentasikan faktor lain yang juga mempengaruhi kapasitas „ultimate‟ dari airside area. Pesawat terbang dapat dibedakan berdasarkan MTOW (Maximum Take off Weight), kecepatan approach/departure, waktu penggunaan runway saat landing dan/atau take-off, dan lain-lain. Dalam kondisi
34 cuaca yang stabil (baik IMC atau VMC) campuran traffic yang beraneka ragam terdiri dari pesawat yang memiliki berat yang berbeda dan aturan permintaan kecepatan minimal yang berbeda untuk memisahkan antar pesawat terbang saat landing atau take-off. Contohnya, dalam kondisi IMC, ICAO merekomendasikan penggunaan peraturan separasi berdasarkan jarak atau distance-based antara pesawat terbang tertentu pada saat landing sequence pada tabel 2.2
Tabel 2. 2 Standar Separasi untuk Landing (IFR – Instrumental Flight Rules) Leading Aircraft (nm) Trailing aircraft (nm) Light Medium Heavy Light 3 3 3 Medium 4 3 3 Heavy 6 5 4 Peraturan separasi distance-based pada Tabel 2.2 dapat diubah menjadi peraturan separasi berdasar waktu atau time-based dengan memasukkan kecepatan approach pesawat terbang dalam perhitungan. Perhitungan tersebut menghasilkan pengkategorian pesawat kedalam lima kriteria kelas landing yang ditunjukkan pada Tabel 2.3. Kecepatan yang dimaksud adalah kecepatan threshold dimana pada perhitungan-perhitungan pada kapasitas bandar udara diasumsikan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dari kecepatan landing sebenarnya dengan kecepatan threshold.
35
Tabel 2. 3 Klasifikasi Pesawat Terbang menurut Kecepatan Landing (kondisi IMC) Kelas Pesawat Terbang Kecepatan (knots) A 70-90 B 91-120 C 121-140 D 141-165 E diatas 165 Setiap pesawat udara akan menghasilkan wake vortex sebagai fungsi dari gaya angkat yang dihasilkan, hal ini dapat mempengaruhi pesawat lain yang beroperasi di belakangnya dan dapat menimbulkan kecelakaan. Oleh karena itu, pesawat terbang juga diklasifikasikan ke dalam kelompok wake vortex menurut MTOW masing-masing pesawat. Untuk membantu meningkatkan pelayanan dari ATC dalam menentukan jarak separasi yang sesuai antar pesawat terbang, pengelompokan pesawat terbang dibedakan berdasarkan kecepatan approach dan beratnya. Maka, pengelompokan kelas-kelas pesawat terbang pada Tabel 2.3 adalah sebagai berikut : Kelas A dan B termasuk kategori light aircraft dengan MTOW ≤ 7000 kg. Kelompok ini merupakan pesawat dengan mesin piston kecil dan mesin turboprop yang terkecil. Contoh : Dorrnier 228, Cessna Citation, dll. Kelas C termasuk kategori medium aircraft dengan MTOW antara 7000 sampai 136.000 kg. Kelompok ini mempunyai cakupan jenis yang cukup luas, mulai dari pesawat dengan mesin turboprop seperti ATR 42 sampai
36 pesawat klasik DC9, dan yang lebih modern yaitu pesawat A319, A320, B737, B757, dll. Kelas D dan E termasuk kategori pesawat heavy aircraft dengan MTOW diatas 136.000 kg. Yang termasuk dalam kategori ini contohnya B747, B767, B777, A300, A340, DC10, MD11, L1011, dll. 2.6.3 Kapasitas Runway dan Pendekatan Kapasitas Airspace. Pembahasan mengenai formulasi kapasitas runway ini diperlukan sebagai dasar pendekatan perhitungan kapasitas airspace. Pada bagian ini akan dibahas mengenai parameter – parameter penting yang akan digunakan sebagai perhitungan dan juga mengenai metoda perhitungan kapasitas runway. kapasitas yang dimaksud di sini digambarkan sebagai kemampuan fisik maksimum dari suatu sistem runway untuk memproses pesawat terbang. Kemampuan fisik tersebut merupakan kapasitas ultimate atau tingkat operasi maksimum dari pesawat terbang dalam suatu kondisi tertentu, selain itu kemampuan fisik tersebut tidak tergantung dari tingkat delay rata – rata pesawat terbang. Jika besar, sifat – sifat, dan pola dari demand tetap, maka delay hanya dapat dikurangi dengan cara meningkatkan kapasitas. Namun jika demand dapat dimanipulasi untuk menghasilkan suatu pola yang lebih teratur, maka delay dapat dikurangi tanpa perlu meningkatkan kapasitas. Jadi, mengestimasi kapasitas merupakan langkah yang perlu dilakukan dalam menentukan delay pesawat terbang. .
37 2.6.3.1 Formulasi ultimate capacity runway menggunakan teori ruang dan waktu Pada tahun 1960 sebuah pemodelan matematis untuk mengestimasi kapasitas runway dikembangkan oleh FAA bersama dengan Airborne Institute Laboratory .Pemodelan tersebut dikembangkan dengan menggunakan teori antrian steady – state. Teori antrian steady – state menganggap bahwa suatu sistem antrian sudah mencapai kondisi normal atau steady. Oleh karena itu, pada operasi steady state karakteristik dari suatu sistem antrian tidak berubah terhadap waktu, misalnya pada kondisi demand yang sudah kontinu. Pemodelan ini nantinya akan diasumsikan dapat digunakan untuk menghitung kapasitas pada airway pada bagian selanjutnya karena keduanya mempunyai karakteristik yang hampir sama. Pada dasarnya pemodelan matematis ini mewakili dua kondisi, yaitu runway melayani hanya arrival atau departure saja atau runway yang digunakan untuk operasi campuran atau mixed operations. Pada runway yang hanya digunakan untuk arrival atau departure, digunakan pemodelan yang simpel, yaitu antrian tipe Poisson di mana yang datang pertama akan dilayani terlebih dahulu, atau yang disebut first come first serve. Demand process untuk arrival atau departure digambarkan melalui distribusi Poisson dengan tingkat arrival atau departure rata – rata yang tertentu. Distribusi Poisson menggambarkan distribusi diskrit dari suatu peluang, di mana peluang sejumlah kejadian yang terjadi dalam waktu tertentu diketahui tingkat rata – ratanya dan tidak tergantung waktu dari kejadian terakhir yang berlangsung. Kebanyakan sistem antrian, seperti arrival dan departure digambarkan dengan dengan distribusi Poisson, di mana arrival dan departure adalah acak dan
38 tidak saling mempengaruhi. Oleh karena itu, pemodelan first come – first serve menggambarkan distribusi Poisson di mana pada suatu sistem antrian, kejadian yang satu tidak mempengaruhi kejadian yang lain, dalam hal ini arrival atau departure tidak saling mempengaruhi. Runway service process yaitu distribusi layanan umum yang ditunjukkan melalui mean service time dan standar deviasi dari mean service time. Untuk operasi campuran atau mixed, jika runway digunakan baik untuk take-off maupun landing, proses yang terjadi akan lebih rumit sehingga dikembangkan model preemptive spaced-arrivals, di mana operasi departure disisipkan diantara dua operasi arrival. Pada pemodelan tersebut penggunaan runway lebih mengutamakan arrival dibanding departure (Horonjeff, 2009). . Formulasi matematis ultimate capacity Pemodelan ini digunakan untuk menghitung jumlah maksimum pesawat terbang yang dapat beroperasi pada sistem runway dalam suatu jangka waktu tertentu dengan adanya demand layanan yang kontinu. Pada pemodelan ini kapasitas sama dengan kebalikan dari weighted-service time dari semua pesawat terbang yang dilayani. Sebagai contoh jika weighted-service time sebesar 90 detik, maka kapasitas suatu runway adalah satu operasi setiap 90 detik, atau 40 operasi per jam. Pemodelan ini mengganggap approach path yang biasa digunakan merupakan suatu kesatuan dengan sistem runway. Runway service time dapat didefinisikan sebagai separasi waktu arrival di udara, atau interarrival time, atau sebagai runway occupancy time, tergantung pada yang mana lebih besar.
39 Pengembangan model untuk Arrival Only Kapasitas suatu sistem runway yang digunakan hanya untuk arrival pesawat terbang dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut. - Campuran pesawat, yang biasanya ditandai dengan pembagian pesawat terbang ke dalam beberapa kelas sesuai dengan kecepatan approach-nya. - Kecepatan approach dari kelas – kelas pesawat terbang yang ada. - Panjang common approach path dari keseluruhan gate sampai runway threshold. - Peraturan separasi air traffic minimum atau separasi practical observed bila tidak ada pengaplikasian peraturan. - Besarnya error waktu arrival pada titik masuk sampai common approach path, entry gate, dan variasi kecepatan pesawat terbang pada common approach path. - Penentuan probabilitas dari pelanggaran separasi air traffic minimum yang dianggap dapat diterima atau yang dapat dicapai. - Rata – rata runway occupancy time dari berbagai variasi kelas pesawat terbang campuran dan besarnya variasi pada waktu tersebut. Kasus Error-Free Pesawat udara dikelompokkan menjadi beberapa kelas kecepatan tertentu (Vk) untuk memudahkan komputasi dengan akurasi yang tinggi. Untuk memperoleh arrival weighted service time dibutuhkan formulasi matriks yang menggambarkan waktu kedatangan pesawat terbang pada runway threshold. Dengan penggunaan matriks tersebut dan persentase kelas – kelas campuran pesawat
40 terbang yang ada, maka dapat dihitung besarnya weighted service time. Kapasitas suatu runway merupakan kebalikan dari weighted service time. Error free matrix yang terdiri dari elemen – elemen mij ditunjukkan sebagai [Mij], interval waktu pada runway threshold dari pesawat terbang dengan kecepatan dari kelas i yang kemudian diikuti dengan pesawat terbang dari kelas j, dengan mengasumsikan masing – masing pesawat terbang tiba tepat waktu (tanpa kesalahan atau error free) ∆Tij = Tj – Ti
(2.1)
dimana ∆Tij = separasi waktu sebenarnya pada runway threshold untuk dua arrival yang berurutan, pesawat terbang dengan kelas kecepatan i diikuti dengan pesawat terbang dengan kelas kecepatan j. Ti = waktu dari pesawat terbang leading, i, melewati runway threshold. Tj = waktu dari pesawat terbang trailing, j, melewati runway threshold. mij = minimum separasi error free interarrival pada runway threshold, yang sama dengan ∆Tij pada kasus error free. Kemudian digambarkan pula pi sebagai persentase pesawat terbang dari campuran kelas i dan pj sehingga merupakan persentase pesawat terbang dari campuran kelas j,
41
E∆Tij = ∑[pij] [Mij]
(2.2)
dimana E(∆Tij) = nilai service time yang diharapkan, atau waktu interarrival, pada Runway threshold untuk campuran pesawat terbang arrival. Pij = probabilitas dimana pesawat terbang leading i akan diikuti pesawat terbang trailing j kemudian. [pij] = matriks dari probabilitas tersebut. [Mij] = matriks dari separasi minimum interarrival mij. Kapasitas dari arrival diberikan sebagai berikut : Ca =
(2.3)
di mana Ca merupakan kapasitas runway untuk memproses campuran pesawat terbang tersebut. Untuk memperoleh waktu interarrival pada runway threshold, perlu diperhatikan kecepatan dari pesawat terbang leading, Vi , apakah lebih besar atau lebih kecil dari kecepatan pesawat terbang trailing. Separasi pada runway threshold akan berbeda pada tiap – tiap kasus pasangan kecepatan Vi - Vj. Kondisi tersebut dapat diilustrasikan melalui diagram space time pada Gambar 2.4 sampai dengan 2.6
42
Gambar 2. 4 Diagram space time untuk error-free interarrival spacing pada closing case saat Vi ≤ Vj Sumber : Planning and Design of Airports, Robert Horonjeff, 2010
43
Gambar 2. 5 Diagram space-time untuk error-free interarrival spacing pada opening case saat Vi > Vj untuk pengaturan pesawat terbang dari entry gate menuju arrival threshold Sumber : Planning and Design of Airports, Robert Horonjeff, 2010
44
Gambar 2. 6 Diagram space-time untuk error-free interarrival spacing pada opening case saat Vi > Vj untuk kedua buah pesawat terbang yang dipisahkan di sekitar entry gate Sumber : Planning and Design of Airports, Robert Horonjeff, 2010 Pada diagram tersebut digunakan notasi – notasi sebagai berikut : γ = panjang dari common approach path δ = jarak separasi minimum yang diijinkan antara dua pesawat terbang, pesawat terbang leading i dan pesawat terbang trailing j, di manapun selama berada di common approach path. Vi = approach speed dari pesawat terbang leading kelas k Vj = approach speed dari pesawat terbang trailing kelas k
45 Ri
= runway occupancy time dari pesawat terbang leading.
a. Closing Case (Vi ≤ Vj) Pemodelan pada kasus ini digunakan pada saat approach speed kecepatan pesawat terbang leading lebih kecil dari kecepatan pesawat terbang trailing,seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.1. Pada kasus closing, separasi antar pesawat terbang sepanjang waktu akan semakin kecil. Separasi waktu minimum, ∆Tij, yang terjadi pada saat pesawat terbang mencapai threshold dituliskan sebagai berikut :
∆ Tij = Tj-T +
(2.4)
Namun, jika runway occupancy time dari arrival Ri lebih besar daripada separasi di airborne, ∆Tij, maka hal itu akan menjadi separasi minimum pada threshold. b. Opening case (Vi ≥ Vj) Pada kasus ini approach speed pesawat terbang leading Vi lebih besar dari pesawat terbang trailing Vj, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5 dan Gambar 2.6. Separasi antar kedua pesawat terbang sepanjang waktu akan semakin besar pada kasus opening. Berdasarkan Persamaan 2.5, separasi waktu antar pesawat terbang saat pesawat mencapai threshold adalah sebagai berikut : ∆ Tij = Tj – Ti =
+[
-
]
(2.5)
46 Saat pengaturan dilakukan untuk mempertahankan separasi antara kedua pesawat terbang setelah pesawat terbang leading melewati entry gate, seperti pada Gambar 3.3, maka persamaannya adalah sebagai berikut : ∆ Tij = Tj – Ti =
+[
-
]
(2.6)
Perlu diperhatikan bahwa satu – satunya perbedaan yang terdapat dari Persamaan (2.5) dan Persamaan (2.6) hanyalah pada bagian pertama persamaan tersebut, dimana Vi dan Vj saling menggantikan. Mempertimbangkan Posisi Error Pemodelan pada kasus pertama menggambarkan situasi sistem yang sempurna tanpa ada error. Untuk mengatasi masalah position error perlu ditambahkan buffer time pada separasi waktu minimum untuk memastikan bahwa separasi minimum untuk interarrival tetap dapat dipertahankan. Ukuran buffer tergantung dari peluang pelanggaran peraturan separasi minimum yang dapat diterima.
47
Gambar 2. 7 Ilustrasi dari buffer spacing pada separasi sebenarnya antara Pesawat terbang saat memperhitungkan adanya position error Sumber : Planning and Design of Airports, Robert Horonjeff, 2010
Pada Gambar 2.7 di atas dapat dilihat posisi dari pesawat terbang trailing saat mencapai runway threshold. Pada bagian atas dari ilustrasi tersebut, pesawat terbang trailing berurutan, sehingga posisi rata – ratanya ditentukan dari separasi minimum antara pesawat terbang leading dan trailing. Namun, jika posisi pesawat terbang merupakan variabel yang acak, akan ada persamaan peluang posisi pesawat terbang trailing berada baik di depan maupun belakang schedule. Pada umumnya, jika di depan schedule maka kriteria separasi minimum akan dilanggar. Jika position error terdistribusi normal, maka daerah yang
48 diarsir dari kurva distribusi normal akan sesuai dengan peluang pelanggaran peraturan separasi minimum sebesar 50%. Oleh karena itu untuk mengurangi peluang pelanggaran separasi minimum, pesawat udara harus dijadwalkan untuk tiba pada posisi tersebut pada saat yang lebih kemudian, dengan menciptakan buffer pada kriteria separasi minimum, seperti yang telihat pada bagian bawah ilustrasi Gambar 2.7. Pada kasus ini pelanggaran separasi hanya terjadi jika pesawat udara berada jauh di depan jadwal, sehingga peluang melewati batas akan semakin kecil yang ditunjukkan pada bagian yang diarsir. Dalam kenyataannya, air traffic controllers menjadwalkan pesawat terbang dengan sudah memperhitungkan buffer, sehingga pelanggaran dari peraturan separasi minimum berada pada level yang dapat diterima. Pada pemodelan closing case,nilai buffer dianggap konstan. Pada opening case, buffer tidak perlu berupa nilai yang konstan dan biasanya nilainya lebih kecil dibanding pada closing case. Pemodelan untuk buffer ditandai dengan matriks dari waktu buffer [Bij] untuk pesawat terbang kelas i diikuti dengan pesawat terbang kelas j. Matriks ini ditambahkan pada matriks error free untuk menentukan matriks waktu interarrival yang sebenarnya dari kapasitas yang akan dicari. Hubungannya ditunjukkan sebagai berikut :
E(∆Tij) = ∑[Pij][Mij+Bij] Dimana :
(2.7)
49 E(∆Tij) pij [pij] [Mij]
= Nilai perkiraan waktu antar kedatangan = Probabilitas kedatangan pesawat i diikuti oleh pesawat j = Matrik dari pij = Matrik separasi waktu antar kedatangan
a. Closing Case Pada kasus ini approach speed dari pesawat terbang leading lebih kecil daripada pesawat terbang trailing, dan separasinya ditunjukkan pada Gambar 2.4. ∆Tij adalah waktu minimum sebenarnya antara pesawat terbang kelas i dan kelas j, dan diasumsikan runway occupancy lebih kecil dari ∆Tij. Mean atau nilai yang diinginkan dari ∆Tij ditunjukkan dengan E(∆Tij) dan e0 adalah random error dengan mean nol yang terdistribusi normal dengan standar deviasi σ0. Untuk tiap pasangan arrival, ∆Tij = E(∆Tij) + e0. Untuk mencegah terjadinya pelanggaran jarak separasi minimum, nilai dari ∆Tij harus meningkat sesuai jumlah buffer bij. Dengan demikian, didapatkan persamaan : ∆Tij = mij + bq
(2.8)
Dan ∆Tij = mij + bq + eo
(2.9)
Pada kasus ini, separasi jarak minimum pada runway threshold diberikan pada Persamaan (2.4). Tujuan dari pemodelan kasus ini adalah untuk mencari nilai buffer
50 yang diperlukan pada probabilitas pelanggaran pv tertentu, sehingga Pv = Prob (∆Tij <
)
(2.10)
Atau Pv = Prob (∆Tij <
+bij+eo<
)
(2.11)
yang disederhanakan menjadi Pv = Prob (bij < - eo)
(2.12)
Dengan menggunakan asumsi bahwa error terdistribusi normal dengan standar deviasi σ0, nilai dari buffer dapat diperoleh : bij = qoσ0
(2.13)
b. Opening Case Pada opening case pesawat terbang leading mempunyai approach speed yang lebih besar daripada pesawat terbang trailing. Separasi yang terjadi antara kedua pesawat terbang meningkat pada saat di entry gate. Pemodelan untuk opening case ini berdasarkan dari perkiraan bahwa pesawat terbang trailing harus dijadwalkan tidak kurang dari jarak δij dibelakang pesawat terbang leading saat pesawat terbang leading berada di entry gate, namun diasumsikan pula bahwa separasi yang tepat dilakukan oleh air traffic control hanya pada saat pesawat terbang trailing mencapai entry gate. Asumsi ini terlihat pada Gambar 2.4 Untuk
51 kasus ini probabilitas dari pelanggaran merupakan probabilitas dari pesawat terbang trailing sampai di entry gate sebelum pesawat terbang leading berada pada jarak tertentu di dalam entry gate. Hal ini dapat diformulasikan sebagai berikut:
Pv = Prob (Tj –
< Ti -
(2.14)
Atau Pv = Prob [Tj-Ti <
(2.15)
Dengan menggunakan Persamaan (2.6) dan persamaan ini untuk menghitung separasi sebenarnya pada arrival threshold dan untuk mempermudah, diperoleh: bij = σoqv-δij(
(2.16)
Jadi, pada opening case nilai dari buffer berkurang dari yang dibutuhkan pada closing case, seperti yang terlihat pada Gambar 3.4. Nilai negatif dari buffer tidak diijinkan, sehingga buffer merupakan suatu angka positif yang tidak terbatas dengan minimum nilai nol. Matriks dari buffer [Bij] untuk tiap pasang pesawat terbang dengan interarrival buffer bij kemudian dapat ditentukan.
52 Model Departure Only Pesawat terbang yang akan departure biasanya diperbolehkan untuk take-off dengan mempertahankan interval waktu minimum antara pesawat terbang yang departure secara berurutan, maka waktu interdeparture( td), dan kapasitas runway untuk departure only Cd dapat dihitung sebagai berikut : Cd =
(2.17) dan
E(td) = ∑ [Pij] [td]
(2.18)
Dimana E(td) = nilai service time yang diharapkan, atau waktu interdeparture. [pij] = matriks dari probabilitas pesawat terbang departing leading i akan diikuti [td] = matriks waktu interdeparture. runway threshold untuk campuran pesawat terbang departure. oleh pesawat terbang departing trailing j. Pengembangan Model untuk Mixed Operations Pemodelan yang dikembangkan oleh Airborne Instruments Laboratory ini harus mengikuti empat aturan operasi, yaitu : Arrival selalu diprioritaskan daripada departure. Hanya satu pesawat terbang yang dapat memakai runway pada suatu waktu.
53
Departure tidak boleh direlease jika arrival yang selanjutnya berjarak kurang dari yang ditentukan dari runway threeshold, biasanya 2 nmi pada kondisi IFR. Departure yang berurutan diberi jarak pada separasi waktu minimum yang sama dengan departure service time.
Diagram space – time pada Gambar 2.8 dapat menggambarkan urutan dari mixed operation sesuai dengan peraturan yang berlaku di atas. Pada gambar tersebut Ti adalah waktu dari pesawat terbang leading i dan pesawat terbang trailing j, Tj melewati arrival threshold, δij adalah separasi minimum antara arrival, T1 adalah waktu saat pesawat terbang arrival telah melewati runway, Td adalah waktu saat pesawat terbang departure memulai take-off roll, δd merupakan jarak minimum suatu pesawat terbang arrival dari threshold sampai direlease untuk departure, T2 adalah waktu dimana departure dapat dirilis, Ri untuk arrival, G merupakan gap waktu dimana departure sudah dapat direlease, dan td adalah service time yang ditentukan untuk departure. merupakan runway occupancy time
54
Gambar 2. 8 Diagram space-time untuk error-free interarrival spacing pada mixed operation di sistem runway Sumber : Planning and Design of Airports, Robert Horonjeff, 2010 Karena arrival diprioritaskan dibanding departure, maka pesawat terbang arrival diurutkan dengan separasi minimum untuk interarrival dan pesawat terbang yang departure tidak boleh direlease hingga ada gap G antara arrival. Jadi, dapat dituliskan sebagai berikut : G = T2 –T1 ≥ 0
(2.19)
Namun diketahui bahwa T1 = Ti+Ri
(2.20)
55
Dan T2 = Ti--
(2.21)
Sehingga dapat dituliskan, T2-T1 ≥ (Tj -
) – (Ti+Ri) ≥ 0
(2.22)
Untuk merelease satu pesawat terbang departure di antara pasangan pesawat terbang yang arrival didapat :
Tj-Ti ≥ Ri+
(2.23)
Melalui perluasan dari persamaan ini, dapat dilihat dengan jelas bahwa waktu interarrival yang diperlukan E(∆Tij) untuk merelease nd departure antara pasangan arrival diformulasikan sebagai berikut E(∆Tij) ≥ E(Ri) + E(
) + (nd – 1) (E(td )
(2.24)
Perlu diperhatikan bahwa bagian akhir dari persamaan tersebut akan bernilai nol hanya jika pesawat terbang departure yang akan disisipkan antara pasangan arrival hanya satu buah. Untuk menghitung pelanggaran dari gap
56 spacing dapat dimasukkan error σGqv pada persamaan tersebut. Kapasitas untuk mixed operation diformulasikan sebagai berikut Cm =
+(∑ndpnd)
(2.25)
Dimana : Cm = kapasitas runway untuk memproses mixed operation E(∆Tij) = nilai interarrival time yang diinginkan Nd = jumlah departure yang dapat direlease pada tiap gap antara arrival pnd = probabilitas merelease nd departure pada tiap gap
2.6.3.2 Pendekatan metode perhitungan kapasitas runway untuk perhitungan kapasitas airway Setelah memahami metode perhitungan kapasitas untuk runway, selanjutnya diperlukan suatu metode untuk menghitung kapasitas dari airway yang menjadi pokok bahasan penulisan tugas akhir ini. Pada dasarnya sistem runway dan sistem airway hampir sama, keduanya melayani pesawat terbang dalam suatu ruang yang terbatas. Namun untuk sistem runway, pelayanannya adalah menyediakan tempat untuk pesawat terbang take off dan landing. Sedangkan untuk sistem airway menyediakan tempat untuk pesawat terbang melakukan fasa – fasa penerbangan selain take off dan landing, misalnya cruise, manuever, approach, maupun en-
57 route. Selain itu, sistem runway berada di ground dan sistem airway berada di airspace. Perbedaan mendasar dari sistem runway dan airway adalah sistem runway hanya dapat melayani satu pesawat terbang per satuan waktu, sedangkan pada sistem airway dapat melayani beberapa pesawat terbang sekaligus, sepanjang separasi minimum dapat dipertahankan. Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam mendekati metode yang sudah ada adalah harus ditentukan parameter – parameter yang penting dari setiap metode. Selain itu ditentukan asumsi yang akan digunakan untuk pendekatan metode yang sudah ada tersebut. Pendekatan Formulasi Matematis dari Ultimate Capacity untuk Sistem Airway Pendekatan pemodelan untuk sistem airway didapat dari formulasi matematis dari ultimate capacity untuk sistem runway. Pemodelan yang didapat kemudian akan digunakan untuk menghitung jumlah maksimum pesawat terbang yang dapat beroperasi pada sistem airway yang dapat mengakomodasinya dalam suatu jangka waktu tertentu dengan demand layanan yang kontinu. Model Arrival Only (Kasus Error-Free) Parameter – parameter penting yang menentukan besarnya kapasitas ultimate dari sistem runway untuk model arrival only kasus error free adalah sebagai berikut : γ = panjang dari common approach path δ = jarak separasi minimum yang diijinkan antara dua pesawat terbang, pesawat terbang leading i dan pesawat terbang trailing j, dimanapun selama berada di common approach path. Vi = approach speed dari pesawat terbang leading kelas k
58 Vj
= approach speed dari pesawat terbang trailing kelas k Ri = runway occupancy time dari pesawat terbang leading. ∆Tij = separasi waktu sebenarnya pada runway threshold untuk dua arrival yang berurutan pesawat terbang dengan kelas kecepatan i diikuti dengan pesawat terbang dengan kelas kecepatan j. E(∆Tij) = nilai service time yang diharapkan, atau waktu interarrival, pada runway threshold untuk campuran pesawat terbang arrival. Parameter – parameter tersebut selanjutnya dicari kesamaannya dengan sistem pada airway, sehingga menghasilkan parameter untuk pendekatan perhitungan kapasitas ultimate untuk sistem airway. Parameter – parameter tersebut adalah sebagai berikut: γ = panjang airway mulai dari VOR terdekat sampai titik awal common approach path untuk arrival, atau panjang airway mulai dari akhir common approach path sampai VOR/DME terdekat. δ = jarak separasi minimum yang diijinkan antara dua pesawat terbang, pesawat terbang leading i dan pesawat terbang trailing j, dimanapun selama berada di airway Vi = approach speed dari pesawat terbang leading kelas k Vj = approach speed dari pesawat terbang trailing kelas k Ri = common approach path occupancy time dari pesawat terbang leading, diasumsikan berdasarkan pengkategorian kecepatan pesawat terbang.
59 ∆Tij
= separasi waktu sebenarnya pada common approach path untuk dua arrival yang berurutan, pesawat terbang dengan kelas kecepatan i diikuti dengan pesawat terbang dengan kelas kecepatan j. Separasi waktu ini ditentukan berdasarkan peraturan separasi yang berlaku pada common approach path. E(∆Tij) = nilai service time yang diharapkan, atau waktu interarrival, pada common approach path untuk campuran pesawat terbang arrival.
Model Arrival Only (Kasus Error Position) Pada pendekatan perhitungan kapasitas ultimate sistem airway, hal yang perlu diperhatikan adalah adanya ukuran buffer time yang penting digunakan untuk mempertahankan separasi minimum interarrival. Nilai buffer pada sistem airway ini hampir sama dengan nilai buffer pada sistem runway, hanya saja perhitungan nilai buffer pada sistem airway dilakukan di airway untuk route segment tiap – tiap arrival. Model Departure Only Pada pemodelan perhitungan kapasitas ultimate untuk model departure only, parameter penting yang harus diperhatikan adalah besarnya interval waktu antar pesawat terbang yang departure secara berurutan. Pemodelan perhitungan kapasitas ultimate untuk model departure only pada airway dapat diasumsikan sama untuk pemodelan pada runway. Hal tersebut dikarenakan besarnya kapasitas ultimate untuk model departure only pada runway hanya dipengaruhi oleh probabilitas pesawat terbang departing leading i yang diikuti oleh pesawat terbang departing trailing j dan waktu interdeparture untuk pesawat terbang departure.
60
Perhitungan Kapasitas Practical untuk sistem Airway Perhitungan kapasitas praktis untuk sistem airway dilakukan dengan cara merata –ratakan demand pada jam – jam sibuk tiap hari dalam satu minggu dengan average delay sebesar 15 menit dari keseluruhan operasi dalam satu hari tersebut. Average delay 15 menit ditentukan sesuai dengan ketentuan delay untuk suatu airline, yaitu sebesar 15 menit. 2.6.3.3 Kapasitas Jenuh Runway Berdasarkan Metode FAA FAA sudah menyediakan petunjuk penghitungan kapasitas jenuh runway dengan komposisi pesawat yang berbeda-beda dan dengan konfigurasi runway yang berbeda-beda dalam Federal Aviation Administration (FAA) Advisory Circular (AC) 150/5060-5, Airport Capacity and Delay tahun 1983 dengan revisi tahun 1995 . Ada beberapa variabel yang berpengaruh dalam perhitungan tersebut yaitu : Konfigurasi runway dan penggunaannya Variabel utama dalam penghitungan kapasitas runway adalah jumlah dan tata letak (layout) dari runway, serta penggunaannya untuk kedatangan saja, keberangkatan saja atau campuran. Dalam Advisory Circular 150/5060-5, ada sekitar 64 konfigurasi runway yang digunakan sebagai dasar penghitungan kapasitas runway. Masing-masing konfigurasi mempunyai kapasitas yang berbeda sehubungan dengan jarak pisah aman (separation) antar pesawat baik yang berangkat maupun mendarat. Setelah mengetahui konfigurasi runway yang akan dihitung maka dapat diketahui grafik seperti contoh pada gambar 2.9, yang akan dijadikan dasar perhitungan.
61
Gambar 2. 9 Contoh Grafik Penentuan Kapasitas Runway Sumber : Planning and Design of Airports, Robert Horonjeff, 2010
Campuran pesawat yang beroperasi Mix Index adalah fungsi matematis yang digunakan dalam penghitungan kapasitas runway untuk mengetahui tingkat pengaruh pesawat berbadan lebar terhadap sistem runway. Hal ini terkait dengan perbedaan kecepatan pesawat saat melakukan pendekatan (approach) sehingga waktu yang diperlukan berbeda untuk setiap kelas pesawat, selain itu adalah adanya pengaruh udara yang berputar di belakang mesin pesawat (wake turbulence) terutama apabila beroperasi di belakang pesawat berbadan lebar sehingga harus ada jarak yang aman antar pesawat. Semakin besar perbedaan kelas pesawat yang beroperasi, maka semakin besar jarak aman yang diperlukan dan berarti semakin sedikit kapasitas operasi yang dihasilkan.
62 klasifikasi pesawat dapat dilihat di tabel 2.3. Mix Index dapat diperoleh dengan cara berikut ini MI = C + 3D (2.26) Dimana : MI = Mix index C = Persentase pesawat jenis C yang memakai runway D = Persentase pesawat jenis D yang memakai runway
Cuaca Fenomena cuaca yang berpengaruh terhadap operasi penerbangan terutama di bandar udara adalah ceiling (tinggi awan) dan visibility (jarak pandang). Terdapat 3 kategori untuk kondisi tersebut, yaitu: Visual Flight Rules (VFR), tinggi awan di atas 1000 ft dan jarak pandang lebih dari 3 mil. Instrument Flight Rules (IFR), tinggi awan 670 sampai 1000 ft dan atau jarak pandang 1 sampai 3 mil. Poor Visibility Condition (PVC) atau kondisi cuaca di bawah minimum, dimana tinggi awan di bawah 670 ft dan atau jarak pandang kurang dari 1 mil.
63
karena adanya kenyataan bahwa aturan pemisahan pesawat adalah berbeda dalam kondisi VFR dan IFR, yang pertama-tama diperlukan adalah menentukan kondisi tinggi awan dan jarak pandang, atau lebih tepatnya, aturan-aturan pemisahan yang berlaku untuk kondisi-kondisi penerbangan apabila tinggi awan paling rendah 1000 ft dan jarak pandang paling dekat 3 mil. Kondisi ini menghasilkan kondisi VFR. Apabila salah satu atau kedua hal tersebut tidak dipenuhi, maka berlaku kondisi IFR. Tentu saja, semua Bandar Udara mempunyai suatu jangka waktu dimana kondisi IFR berlaku. Oleh karena itu, kapasitas runway per jam pada umumnya ditentukan untuk setiap kondisi tersebut.
Persentase kedatangan Presentase Kedatangan adalah perbandingan antara jumlah pendaratan dengan seluruh operasi pesawat, yang akan dihitung dengan persamaan 2.27 sebagai berikut: Presentase Kedatangan = x 100% (2.27) Dimana : A = Jumlah kedatangan pesawat dalam 1 jam DA = Jumlah keberangkatan pesawat dalam 1 jam T = Jumlah Touch and Go dalam 1 jam Semakin besar persentase kedatangan maka akan semakin kecil kapasitas yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan prosedur kedatangan memerlukan waktu yang lebih lama daripada prosedur keberangkatan atau lepas landas pesawat terkait dengan separasi atau jarak pisah aman yang harus disediakan kepada pesawat.
64
Konfigurasi exit taxiway Exit factor merupakan faktor yang diakibatkan oleh jumlah taxiway dan jarak exit taxiway dari awal pendaratan atau keberangkatan pesawat. Hal ini berpengaruh terhadap penghitungan kapasitas, di mana jumlah taxiway keluar dari runway untuk pendaratan dan keluar dari apron untuk keberangkatan yang lebih banyak akan memperbesar kapasitas runway, sedangkan jarak keluar yang sesuai dengan banyak landasan hubung keluar juga akan memperbesar kapasitas yang ada. perhitungan kapasitas runway akibat letak taxiway dapat dihitung menggunakan persamaan 2.28. C = CbET (2.28) Dimana : C = Kapasitas per jam Cb = Kapasitas ideal/dasar E = Exit adjusment factor untuk jumlah dan lokasi runway exit T = Touch and go adjusment factor
2.6.3.4 Letak Exit Taxiway Letak exit taxiway tergantung pada campuran pesawat yang beroperasi, kecepatan approach dan touchdown, titik pesawat menyentuh landasan (touchdown), kecepatan pesawat keluar runway, rata-rata perlambatan yang dipengaruhi oleh kondisi permukaan runway. Menurut Horonjeff dan McKelvey dalam Planning and Design of Airports, berdasarkan pengamatan rata-rata perlambatan untuk pesawat angkutan udara adalah sekitar 5 ft/s2. Sedangkan menurut Ashford dan Wright dalam
65 Airport Engineering, ICAO merekomendasikan rata-rata perlambatan sebesar 1,25 m/s2 (4,1 ft/s2) dan FAA menggunakan rata-rata perlambatan sebesar 5 ft/s2. Jarak exit taxiway dari threshold runway (D) dapat didekati dengan persamaan 2.29. D = Dtd + De
(2.29)
Dimana : D = Jarak dari threshold runway ke exit taxiway Dtd = Jarak dari threshold runway ke titik touchdown De = Jarak dari titik touchdown ke exit taxiway Sementara itu, jarak dari titik touchdown ke exit taxiway (De) dapat didekati dengan persamaan 2.30. De =
(2.30)
Menurut Ashford dan Wright dalam Airport Engineering , jarak rata-rata dari threshold ke touchdown untuk pesawat turbojet (ketegori C dan D) sekitar 1500 ft dan sekitar 1000 ft untuk pesawat lainnya (kategori B). Sementara itu kecepatan touchdown sebesar 164 ft/s untuk pesawat kategori B, 202 ft/s untuk pesawat kategori C dan 237 ft/s untuk pesawat kategori D. Kecepatan pesawat keluar runway sekitar 40 mph (59 ft/s) untuk pesawat kecil dan 60 mph (88 ft/s) untuk pesawat besar. Menurut Horonjeff dan McKelvey dalam Planning and Design of Airports, jika diasumsikan bahwa (i) Jarak touchdown ke threshold untuk pesawat angkutan udara adalah 1500 ft sedangkan untuk pesawat twin engine general aviation adalah 1000 ft, (ii) Kecepatan pesawat keluar runway untuk kategori high speed exit adalah 60 mph, dan untuk regular exit adalah 15 mph, maka
66 perkiraan letak exit taxiway untuk beberapa tipe pesawat dapat dilihat pada tabel 2.4 berikut : Tabel 2. 4 Perkiraan Letak Exit Taxiway Sumber : Planning and Design of Airports, Robert Horonjeff, 2010
Dari kedua sumber diatas, maka disimpulkan asumsi yang digunakan dalam perhitungan letak exit taxiway untuk pesawat besar (kategori C dan D) adalah : 1. Rata-rata perlambatan 5 ft/s2 2. Jarak dari threshold ke touchdown 1500 ft. 3. Kecepatan touchdown pesawat kategori C diambil dari nilai yang paling besar antara 130 kts (191 ft/s) dengan 202 ft/s yaitu 202 ft/s. 4. Kecepatan touchdown pesawat kategori D diambil dari nilai yang paling besar antara 140 kts (206 ft/s) dengan 237 ft/s yaitu 237 ft/s. 5. Kecepatan keluar runway 60 mph (88 ft/s)
67 2.6.3.5 Runway Occupancy Time Runway Occupancy Time (ROT) adalah waktu suatu pesawat dalam memakai runway (Indah , 2009) secara umum. Ada 2 ROT yaitu : 1. Runway Occupancy Time Arrival (ROTA) adalah interval waktu antara pesawat melewati threshold runway dan ekor pesawat mengosongkan runway. 2. Runway Occupancy Time Departure (ROTD) adalah interval waktu antara pesawat melewati holding stop bar dan roda utama pesawat terangkat dari runway. Waktu pemakaian runway (ROT) total oleh sebuah pesawat dapat dihitung secara kasar dengan menggunakan prosedur berikut. ROT dibagi menjadi 4 bagian : 1. Waktu penerbangan dari threshold runway sampai roda utama (main gear) menyentuh runway. 2. Waktu yang diperlukan oleh roda depan (nose gear) untuk menyentuh runway setelah roda utama menyentuh terlebih dahulu. 3. Waktu yang diperlukan untuk mencapai kecepatan exit dari waktu roda depan menyentuh runway dan pengereman dilakukan. 4. Waktu yang diperlukan pesawat untuk membelok masuk ke taxiway dan mengosongkan runway. Menurut Horonjeff dan McKelvey dalam Planning and Design of Airports, untuk komponen pertama dapat diasumsikan bahwa kecepatan touchdown 5 sampai 8 kts lebih lambat daripada kecepatan saat melewati threshold runway.. Bagian yang kedua adalah kira-kira 3 detik dan bagian yang ketiga tergantung pada kecepatan pesawat di exit taxiway. Besarnya perlambatan di udara kira-kira 2,5 ft/s2. Waktu yang diperlukan untuk membelok keluar dari
68 runway kira-kira 10 detik. Jadi ROT total dalam detik dapat dihitung dengan persamaan 2.31 berikut : Ri =
(2.31)
Dimana : Ri Vot Vtd Ve t a1 a2
= Runway Occupancy Time (s) = Kecepatan saat melewati threshold runway (ft/s) = Kecepatan saat menyentuh runway (ft/s) = Kecepatan saat keluar runway (ft/s) = Waktu untuk membelok keluar dari runway (s) = Perlambatan rata-rata di udara (ft/s2) = Perlambatan rata-rata di darat (ft/s2) Menurut Indah dalam Studi Performansi Layout Exit Taxiway untuk Mendapatkan Kapasitas Optimum Landas Pacu Utara Bandar Udara Soekarno-Hatta, oleh karena letak exit taxiway pada setiap runway berbeda maka nilai t pada persamaan tersebut ditambahkan dengan persamaan berikut : t= Dtw D Ve
(2.32)
= Jarak exit taxiway dari threshold runway yang dapat digunakan (ft) = Jarak exit taxiway ideal dari threshold runway (ft) = Kecepatan saat keluar runway (ft/s)
Oleh karena persamaan 2.31 tidak mempertimbangkan letak exit taxiway yang berbeda, maka persamaan tersebut ditambahkan dengan persamaan 2.32.
69 sehingga, perhitungan Runway Occupancy Time total dalam detik menggunakan persamaan 2.33 berikut. Ri =
+
(2.33)
Berdasarkan sumber yang ada, disimpulkan asumsi yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut : Selisih kecepatan pesawat saat melewati threshold runway dengan kecepatan touchdown diambil nilai terbesar antara 5 sampai 8 kts yaitu 8 kts (11,8 ft/s). Kecepatan touchdown pesawat kategori C adalah 202 ft/s dan pesawat kategori D adalah 237 ft/s. Kecepatan keluar runway 60 mph (88 ft/s) Rata-rata perlambatan di udara 2,5 ft/s2 Rata-rata perlambatan di darat 5 ft/s2.
2.6.4 Permodelan Kapasitas Ruang Udara Janic Pemodelan ruang udara secara umum terdiri dari bagian – bagian sektorisasi pemodelan kapasitas terminal airspace, pemodelan kapasitas air route, dan pemodelan kapasitas en-route. Pada tugas akhir ini pembahasan akan dilakukan pada ruang udara di bawah 7500 ft, oleh karena itu pemodelan yang akan digunakan untuk menentukan kapasitas airspace di daerah arrival dan departure Bandara Juanda adalah pemodelan kapasitas terminal airspace. Pemodelan kapasitas terminal airspace ini dikembangkan oleh Milan Janic dan Tosic pada tahun 1982. Ruang udara terminal biasanya digambarkan sebagai suatu prisma dengan dasar berbentuk polygon dimana pintu masuk atau entry gates ruang ini berada di pojok, seperti yang terlihat pada Gambar 2.9 . Entry gates
70 merupakan titik temu antara ruang udara terminal dan enroute. Entry gates ditentukan dengan bantuan peralatan navigasi dimana pesawat terbang arrival dapat melakukan holding sebelum masuk terminal airspace. Setelah memasuki ruang udara terminal, pesawat terbang akan mengikuti lintasan yang sudah ditentukan dari ruang udara terminal menuju landing runway.
Gambar 2. 10 Contoh Skema Tiga Dimensi Pada Ruang Udara Terminal Lintasan arrival dapat ditentukan dengan : • Bantuan peralatan navigasi yang diletakkan di terminal. Pesawat terbang yang mengikuti lintasan tersebut disebut Standard Approach Route (STAR). • Menggunakan komputer onboard. Pesawat terbang dapat mengikuti lintasan melalui navigasi udara 2-D atau 3-D. • Pesawat terbang mengikuti petunjuk langsung dari ATC. Petunjuk terdiri dari headings, ketingian, dan kemungkinan perubahan kecepatan (vectoring)
71 dimana dapat distandarisasi atau diganti menurut incoming traffic. Sistem ATC selalu meliputi radar monitoring dari lalu lintas udara pada ruang udara terminal. Jangkauan radar memastikan pengawasan separasi horisontal antara pesawat terbang yang arrival saat approach menuju bandara. Separasi yang digunakan untuk pesawat terbang yang approach menuju bandara hanya separasi horisontal. Lalu lintas arrival dan departure lebih sering dipisahkan dengan menggunakan separasi vertikal. Pemodelan ini menggunakan asumsi bahwa lintasan approach untuk semua pesawat terbang yang arrival akan landing pada runway yang sama. Lintasan approach tersebut terdiri dari tiga segmen garis lurus yang bertemu melalui ruang udara terminal menuju sebuah titik yang berada di atas garis tengah perpanjangan runway. Hal ini berarti tiap lintasan mempunyai segmen akhir yang merupakan final approach path. Selanjutnya diasumsikan kecepatan pesawat terbang yang arrival akan semakin berkurang saat mendekati landing runway. Kecepatan tersebut akan berubah sepanjang lintasan approach setiap kali pesawat terbang meninggalkan satu segmen lintasan dan menuju segmen lintasan lain, contohnya saat pesawat terbang mengganti headings. Pemodelan ini berdasarkan pemodelan yang dikembangkan oleh Blumstein (1960), yaitu pemodelan kapasitas runway. Berdasarkan pemodelan kapasitas runway tersebut dapat diasumsikan bahwa demand untuk layanan pada ruang udara terminal dalam suatu unit waktu adalah konstan. Oleh karena itu untuk menentukan besarnya kapasitas suatu sistem perlu diketahui besarnya rata – rata waktu minimum dimana operasi melewati „reference location‟ dari suatu sistem tersebut. Sebagai contoh, „reference location’ untuk ruang udara terminal
72 yaitu runway entry gate (titik E pada Gambar 2.9). Entry gate merupakan titik dimana operasi dihitung. Untuk menentukan besarnya kapasitas, terlebih dahulu ditentukan besarnya waktu interarrival minimum pada runway entry gate. Waktu interarrival tersebut tidak boleh melanggar ketetapan separasi minimum yang diberikan oleh ATC, baik sebelum maupun sesudah pesawat terbang melewati runway entry gate. Waktu interarrival pada runway entry gate antara pesawat terbang leading atau first-in-sequence dan pesawat terbang trailing atau second-in-sequence dinotasikan sebagai kltij. k menunjukkan lintasan pesawat terbang leading, l menunjukkan lintasan terbang pesawat terbang trailing, i menunjukkan tipe pesawat terbang leading, dan j menunjukkan tipe pesawat terbang trailing. Lintasan pesawat terbang arrival ditunjukkan melalui segmen – segmen garis lurus, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.9. Jika tiap entry gate terminal terhubung dengan runway entry gate hanya melalui satu buah lintasan (contohnya saat STAR tersedia), maka terminal entry gate dimana pesawat udara leading dan trailing berasal dapat direpresentasikan melalui k dan l. Probabilitas terjadinya urutan pesawat terbang ij pada entry gate, pesawat terbang leading i dari entry gate k, dan pesawat terbang trailing j dari entry gate l, dinotasikan dengan klpij. Diasumsikan bahwa kejadian dimana pesawat terbang leading i datang dari entry gate k dan pesawat terbang trailing j datang dari entry gate l merupakan kejadian yang tidak saling berpengaruh. Selain itu diasumsikan pula bahwa campuran pesawat terbang arrival tidak harus sama pada tiap terminal entry gate (contohnya pada beberapa entry gate yang signifikan adalah short-haul atau medium-haul traffic, sedangkan yang lain long-haul traffic). Campuran pesawat
73 terbang dapat berubah terhadap waktu, contohnya selama periode yang berbeda dalam satu waktu. Dengan mempertimbangkan parameter – parameter di atas, maka probabilitas urutan pesawat terbang dengan urutan traffic arrival yang datang dari entry gate k dan l adalah sebagai berikut : klPij =
Pk Pi/k Pl Pj/l
(2.34)
dimana pk = merupakan proporsi arriving traffic yang masuk ke terminal melalui entry gate k. pl = merupakan proporsi arriving traffic yang masuk ke terminal melalui entry gate l. pi/k = merupakan probabilitas pesawat terbang leading merupakan tipe kelas i, yang masuk ke terminal melalu entry gate k. pj/l = merupakan probabilitas pesawat terbang trailing merupakan tipe kelas j, yang masuk ke terminal melalui entry gate l. Sehingga besarnya waktu inter-arrival yang diharapkan pada runway entry gate ditunjukkan sebagai berikut : ta = ∑ kltij PkPi/kPlPj/l dan besarnya kapasitas adalah ʎ = l/ta
(2.35)
(2.36)
Distribusi traffic antar terminal entry gate dan campuran tipe pesawat terbang pada gate tertentu, sebagi input pemodelan, biasanya tetap dalam suatu periode waktu tertentu. Untuk menentukan besarnya kapasitas
74 melalui suatu „counting‟ point, besarnya waktu interarrival kltij harus dikurangi sesuai separasi dari air traffic control, kemudian dihitung besarnya ta, λ.
Gambar 2. 11 Contoh lintasan perkiraan approach dengan jarak horisontal antar sepasang pesawat klSij(t)
Besarnya klsij0 minimum dapat dicapai jika separasi awal klsij0 ditentukan sehingga separasi antar dua buah pesawat terbang sebesar klsij(t) = δij pada waktu t* saat dua buah pesawat terbang berada paling dekat satu sama lain. Jarak antara dua buah pesawat terbang i dan j yang datang dari entry gate ruang udara terminal k dan l pada lintasan k dan l dapat dipresentasikan melalui fungsi trigonometri komplek. Fungsi trigonometri kompleks tersebut akan berubah bentuknya bila posisi dua buah pesawat terbang berubah pada segmen lintasan approach.
75 Fungsi tersebut dapat berubah menjadi 13 bentuk yang berbeda tergantung dari kemungkinan posisi antara pesawat terbang i dan j pada segmen lintasan yang berbeda, k dan l. Berikut adalah fungsi yang berhubungan dengan situasi yang digambarkan pada Gambar 2.11 :
kl
t ij = (
(
)
(2.37)
dimana : klsij0
= separasi awal antara pesawat terbang i dan j, yaitu jarak antara pesawat terbang j dan entry gate ruang udara terminal l, dihitung sepanjang lintasan l dari pesawat terbang j, pada saat t = 0, yaitu pada saat pesawat terbang i memasuki ruang udara terminal di entry gate k. Separasi awal ini dapat bernilai negatif jika pesawat terbang j memasuki ruang udara sebelum pesawat terbang i. xk, yk, zk = merupakan panjang segmen lintasan k dan l yang menghubungkan entry xl, yl, zl gate k dan l dengan runway entry gate. vi , ui = kecepatan pesawat terbang tipe i sepanjang segmen xk, yk, dan zk. vj , uj = merupakan kecepatan pesawat terbang tipe j sepanjang segmen klsij0, xl,yl, dan zl Pada Persamaan 2.31 tersebut dapat dilihat bahwa waktu inter-arrival kltij untuk sepasang pesawat terbang merupakan peningkatan fungsi separasi awal klsij0. Untuk
76 memaksimalkan aliran yang melewati runway entry gate, yaitu kapasitas ruang udara terminal, maka besarnya kltij untuk tiap pasangan pesawat terbang ij yang datang dari entry gate k dan l harus diminimalkan. Namun peraturan separasi air traffic control tidak boleh dilanggar. Hal tersebut dapat dituliskan sebagai berikut : min klSij0
(2.38)
Berkaitan dengan
(2.39) dimana klSij(t) = separasi horisontal antara pesawat terbang i dan j datang dari gate k dan l. δij = peraturan separasi horisontal minimum yang diaplikasikan antara pesawat terbang tipe i dan j. γ = panjang common approach path untuk semua pesawat terbang arrival yang menghubungkan runway entry gate F dan runway threshold T. wi = kecepatan pesawat terbang tipe i pada common approach path. Besarnya klSij0 minimum dicari jika separasi horisontal antara dua buah pesawat terbang tidak lebih kecil dari yang diharuskan, dimana pesawat terbang yang pertama berada di ruang udara terminal antara entry gate dan landing runway threshold. Jarak antara dua buah pesawat terbang i dan j yang datang dari entry gate ruang udara terminal k dan l pada
77 lintasan k dan l dapat dipresentasikan melalui fungsi trigonometri komplek. Fungsi trigonometri kompleks tersebut akan berubah bentuknya bila posisi dua buah pesawat terbang berubah pada segmen lintasan approach. Fungsi tersebut dapat berubah menjadi 13 bentuk yang berbeda tergantung dari kemungkinan posisi antara pesawat terbang i dan j pada segmen lintasan yang berbeda, k dan l. Berikut adalah fungsi yang berhubungan dengan situasi yang digambarkan pada Gambar 2.11 : (2.40) dimana
Semua variabel dalam persamaan diatas, kecuali klsij0 dan t, dapat dianggap sebagai parameter untuk lintasan dan campuran pesawat terbang yang ada. Sehingga pada saat t* dari jarak minimum antara pasangan pesawat terbang, klsijmin = klsij(t*) dapat dicari, dan untuk : (2.41) klSij (t*) = δij yang berhubungan dengan :
78
klSij0
dan kltij0
Selanjutnya besar kltij dan pk, pl Serangkaian klsij0 menunjukkan kondisi separasi awal yang diperlukan untuk mengoperasikan trafic flow dalam tingkatan kapasitas. , pi/k, pj/l, ta dapat dihitung dan juga kapasitas λ. 2.7
Delay
Pembahasan mengenai delay diperlukan untuk menganalisis apakah demand dari airline untuk operasi pesawat terbang sudah berjalan sesuai dengan jadwal yang ditentukan atau belum, dan untuk melihat dampak yang ditimbulkan terhadap kapasitas bandara. Selain itu delay digunakan sebagai ukuran dari service quality dari suatu penyedia sistem transportasi udara. secara teori, delay dijelaskan sebagai penambahan waktu untuk melakukan suatu aktivitas dari waktu yang sudah direncanakan. Delay dan congestion atau kepadatan pada bandara merupakan ancaman utama bagi transportasi udara di masa depan. Karakteristik dinamik dari delay pada bandara sulit untuk diprediksi secara akurat. Secara umum, delay : Dapat terjadi bahkan pada periode dimana tingkatan demand lebih rendah daripada kapasitas. Tergantung secara nonlinear dari perubahan demand dan/atau kapasitas,akan menjadi sangat sensitif terhadap perubahan yang kecil saat demand mendekati atau lebih besar dari kapasitas. Konsekuensi utama dari kurangnya kapasitas airside di bandara adalah delay pada take-off dan landing, serta dampak ekonomi dan biaya lain – lainnya. Saat delay bertambah besar, maka dampak lain yang tidak diinginkan
79 akan menjadi biasa, seperti missed flight connections, penundaan penerbangan, dan pengalihan penerbangan ke bandara lain. Congestion dari bandara dan lalu lintas udara merupakan masalah yang terus berkembang dalam skala internasional dan dianggap menjadi salah satu hal mendesak dalam perkembangan industri transportasi udara di masa mendatang. Hubungan yang didapat antara delay dan tingkatan kapasitas, yaitu sebagai berikut : 1. Demand rate melebihi kapasitas Saat demand melebihi kapasitas, maka antrian dari pesawat terbang yang landing maupun departing biasanya akan pasti terjadi dan delay akan terjadi sepanjang hari selama tingkatan demand melebihi kapasitas dalam interval waktu apa pun. Delay yang terjadi biasanya disebut overload delay. 2. Delay yang terjadi disebabkan oleh variabilitas interval waktu antara permintaan waktu penggunaan runway secara berturut – turut atau berdasarkan variabilitas waktu untuk melayani tiap landing dan take-off. Beberapa sumber timbulnya variabilitas tersebut adalah Waktu instan dimana demand yang sebenarnya terjadi pada day-to-day basis diacak sebagai akibat dari deviasi schedule yang sudah diprediksi oleh karena alasan – alasan yang timbul (misalnya masalah mekanikal atau logistik pesawat terbang, delay pada bandara lain, pembatalan penerbangan, penumpang yang terlambat boarding, kru pesawat terbang yang terlambat). Total waktu yang digunakan untuk melayani departure dan arrival padasistem runway yang tidak konstan, namun bervariasi terhadap banyak faktor (misalnya tipe pesawat terbang, aturan separasi antar pesawat terbang, penggunaan runway exit, dll).
80 Efek nyata dari variabilitas tersebut adalah timbulnya interval waktu pada saat terbentuk kelompok atau “cluster” dari beberapa demand yang berdekatan dan/atau service time yang lebih lama dari biasanya. Antrian dari pesawat terbang kemudian akan terjadi, baik di ground dan/atau di udara. Saat demand lebih kecil dari kapasitas, namun mendekati kapasitas tersebut, maka dibutuhkan waktu yang lama sebelum antrian tidak ada lagi. Pada kenyataannya, kelompok baru dari demand atau lamanya service time dapat timbul sebelum antrian yang sudah terjadi tidak ada lagi dan barisan antrian dapat bertambah panjang sejenak. Delay yang terjadi biasanya disebut stochastic delay. Dengan demikian, antrian panjang dapat terjadi meski tingkatan demand lebih kecil dari kapasitas pada kasus dimana: Terdapat variabilitas waktu yang diperhitungkan antara demand yang berturut – turut pada sistem runway dan/atau variabilitas service time pada sistem runway. Tingkatan demand mendekati kapasitas sistem runway.
BAB III METODOLOGI 3.1. Umum Pada bab ini akan dijelaskan mengenai metodologi yang akan digunakan dalam penyelesaian Tugas Akhir ini. Metodologi merupakan penguraian atau penjelasan tentang tahapan- tahapan yang dilakukan dari awal pengerjaan hingga akhir penyelesaian tugas akhir ini, berdasarkan aturan yang berlaku sehingga ada landasan yang mendasari hasil pengerjaan Tugas Akhir ini.
81
82
3.2. Diagram Alir Penelitian
Identifikasi masalah Studi Literatur Pengumpulan Data Analisa Kapasitas Runway Berdasarkan Teori Ruang waktu
Analisa Kapasitas Runway Berdasarkan Metode FAA
Analisa Kapasitas Airspace Berdasarkan Teori Ruang waktu
A
Analisa Kapasitas Airspace Berdasarkan Teori Janic
A
Kapasitas Ultimate Airspace dan Runway Bandara Juanda Kapasitas praktis Bandara Juanda
Upaya Peningkatan Kapasitas
Kesimpulan Gambar 3. 1 Diagram Alur Penelitian
83
84 Terdapat empat tahap dalam penelitian ini yaitu Studi Literatur Pengumpulan Data Analisis Data Kesimpulan dan Saran 3.3. Studi Literatur Studi literatur yang dimaksudkan untuk dapat memahami data apa saja yang diperlukan, dan bagaimana cara mengolah data tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk dapat memahami tentang kapasitas runway dan airspace suatu bandara, serta mena
3.4. Pengumpulan Data 3.4.1 Survey Sekunder Karena semua data dapat didapatkan melalui lembagalembaga terkait tanpa harus melakukan survey langsung maka cukup dilakukan survey sekunder. Survey sekunder dilakukan dengan mengumpulkan data-data pendukung dari sejumlah lembaga terkait di wilayah studi dan aplikasi internet. Data yang dibutuhkan adalah sebagai berikut : Aturan ATFM : Separasi Vertikal dan Horizontal antar Pesawat. Data Pesawat : Jenis Pesawat, Klasifikasi Pesawat, Approach Speed. Geometri Runway dan Taxiway = Jarak Threshold Runway ke Exit Taxiway, Geometri Runway, Konfigurasi Taxiway.
85
Geometri Terminal Airspace = Letak Entry Point. Jarak Entry Point ke Common Approach Gate, Sudut Segmen dari Airway. Jadwal operasi keberangkatan dan kedatangan pesawat. Pengumpulan data penerbangan yang seharusnya menggunakan survei langsung di menara ATC digantikan dengan menggunakan aplikasi flight tracker di website www.flightradar24.com secara real time.
3.5. Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan terhadap data yang telah diperoleh melalui survey sekunder. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Metode Kapasitas Ultimate Runway dan Metode Janic untuk mendapatkan besar kapasitas sistem airspace-runway dari bandara internasional Juanda. Output yang sudah didapat akan dibandingkan dengan data operasional pesawat,. Sehingga dapat diketahui apakah kapasitas yang ada sekarang mencukupi atau tidak. 3.6. Kesimpulan Pada tahap ini merupakan tahapan akhir dengan berdasarkan hasil analisis yang dilakukan maka akan diambil kesimpulan mengenai kapasitas dari airside bandara internasional Juanda.
86
( halaman ini sengaja dikosongkan )
BAB IV DATA DAN ANALISIS KAPASITAS RUNWAY Secara garis besar, guna menyelesaikan proses analisis Tugas Akhir Studi Air Traffic Management : Studi Kasus Analisis Kapasitas Ruang Bandar Udara Internasional Juanda, perlu dilakukan tiga tahapan, antara lain: analisis kapasitas runway, analisis kapasitas ruang udara, dan penjabaran solusi yang dapat diterapkan di Bandar Udara Internasional Juanda. 4.1 Aturan Traffic dan Pola Traffic pada Bandar Udara Internasional Juanda. 4.1.1
Umum
Bandar Udara internasional Juanda adalah Bandar udara utama yang melayani wilayah Provinsi Jawa Timur. Bandar Udara Juanda Memiliki kode ICAO WARR dan kode IATA SUB. Bandar Juanda terletak pada koordinat 7°22′47″LU 112°47′13″BT. 4.1.2
Aturan Traffic Bandar Udara Juanda
Bandar udara Juanda termasuk klasifikasi bandar udara dengan kelas hub. Bandar udara juanda juga diklasifikasikan sebagai bandar udara dengan ruang udara manuver terminal level C. Sehingga bandar udara juanda mampu mengontrol penerbangan pada konsisi IFR, SVFR maupun VFR. Bandar Udara Juanda termasuk dalam kendali Ujung pandang FIR (Flight Information Region) yang berarti seluruh tanggung jawab lalu lintas pada bandar udara Juanda harus melapor pada
87
88 FIC (Flight Information Control). Skema komunikasi dari Ujung-Pandang FIR dapat digambarkan sebagai berikut :
89
Gambar 4. 1 Skema Komunikasi Ujung Pandang FIR
Sedangkan untuk area kerja dari Ujung – Pandang FIR adalah sebagai berikut :
90
Gambar 4. 2 Upper Control Areas Ujung Pandang FIR
91 Bandar Udara Juanda memiliki satu buah runway untuk operasi campuran ( kedatangan dan keberangkatan). Runway di bandar udara juanda memiliki azimut pada arah 262o dan 98o. Runway pada bandar udara juanda memiliki VOR/ DME pada kedua arah runway, namun alat bantu navigasi ILS hanya terletak pada Runway 10 bandar udara Juanda dan dapat diakses dengan frekuensi 110.10 MHz. ILS dipakai sebagai alat bantu utama dalam approach kedatangan. sehingga seperti saat pengambilan data, runway 10 merupakan runway yang digunakan untuk operasi penerbangan. Cara kerja ILS adalah mencocokkan koordinat pesawat dengan marking yang terletak pada perpanjangan runway. Sehingga dapat diketahui pesawat berada pada posisi yang benar untuk approach atau tidak. Berikut adalah ilustrasi kerja ILS :
Gambar 4. 3 Ilustrasi Kerja Instrument Landing System ILS pada bandar udara juanda memiliki titik marker yang harus diikuti dalam prosedur pendaratan secara berurutan. Titik tersebut adalah sebagai berikut :
92 Tabel 4. 1 Detail titik marker ILS pada Runway 10
Titik titik tersebut terbentang sepanjang area common approach path yang digambarkan sebagai berikut :
Gambar 4. 4 Letak Marker ILS pada Approach Path
93
Selain ILS terdapat juga sistem alat bantu operasi penerbangan pada terminal airspace pada bandar udara Juanda. Sistem ini disebut dengan STAR dan SID. Sistem ini membantu memberikan kontrol terhadap ruang udara di sekitar bandar udara juanda. Sistem STAR dan SID merupakan suatu alat bantu untuk membantu dalam prosedur approach. Approach yang dimaksud adalah proses perpindahan pesawat dari airway masuk menuju airspace kemudian melakukan operasi pendaratan dan sebaliknya. Sistem STAR dan SID ini membantu mempermudah kontrol ATC terhadap pesawat yang hendak melakukan operasi penerbangan di bandara Juanda. Berikut ini adalah STAR dan SID pada Bandar Udara Juanda :
Gambar 4. 5 SID pada runway 28
94
Gambar 4. 6 STAR untuk Runway 10 Secara garis besar kinerja SID dan STAR adalah membentuk sebuah rute yang terorganisir baik pada ruang udara sehingga mengurangi kepadatan yang terjadi akibat tidak terorganisirnya pergerakan pesawat ketika memasuki ruang udara terminal. Rute-rute yang dihubungkan oleh STAR dan SID adalah sebagai berikut.
95 Tabel 4. 2 Rute Asal yang dihubungkan oleh STAR pada bandar Udara Juanda Runway 10 Entry
Rute
Asal Jakarta
Entry
Runway 28 Rute Asal Jakarta
Palembang W45
Palembang
Bandung
W45
Semarang
Semarang
Jogjakarta RAMAT
G361 W43 W34 W33
L511
Singapore Malaysia
Jogjakarta VERSA
G461 W43
NTT NTB
W34
NTT NTB
W33
Bali
W31W
NTB NTT NTB Bali Jember Pangkal Pinang Tanjung Pinang
Tanjung Pinang
L511
Malaysia
M635 DIRGA
Pangkalan Bun W31W
Palu
Samarinda Makassar
Makassar Kendari
Malaysia Banjarmasin Balikpapan
Balikpapan Pangkalan Bun
Aceh Singapore
Singapore
Samarinda W32N
NTT
Pangkal Pinang
Banjarmasin
TIRUS
Jakarta
Jember
Aceh M635
Bandung
Kendari W32N
Palu
96 Tabel 4. 3 Rute Tujuan yang dihubungkan dengan SID Runway 10 & 28 Entry
Rute
Tujuan Jakarta Palembang
LASEM
M766
Bandung Semarang Jogjakarta
M635
Singapore Malaysia Banjarmasin
RAMPY W31
Balikpapan Pangkalan Bun Samarinda Makassar
FANDO
W32
Kendari Palu
ENTAS
W34-43
RABOL
W33
NTT NTB Bali
97 Ruang udara terminal Bandar Udara Juanda sendiri terdiri dari berbagai sektor. Masing masing sektor memiliki pengaturan dan peraturannya sendiri. Sektor Ruang Udara pada bandar udara Juanda dapat dibagi sebagai berikut : Tabel 4. 4 Sektorisasi Ruang Udara di sekitar bandar udara Juanda
98 Ground Area Area Ground ini dikontrol oleh Juanda_GND (118.9 MHz). Pada area ground ini terdapat sisi darat bandara seperti apron, taxiway, dan runway. Pada area ini terdapat pekerjaan ground handling, menentukan antrian, dan menentukan clearance. Pada area ini terdapat aturan khusus seperti : - Squawk pada range 6300-6377 - Flight Plan harus berdasarkan SID - Ketika Traffic sedang padat, clearance dapat diberikan saat taxiing. - Jumlah maksimum operasi VFR adalah 3. Jika lebih koordinasi dengan TWR. - Untuk operasi kedatangan pada terminal 1. Digunakan N3 dan N6. Sedangkan untuk operasi keberangkatan, gunakan N4 dan N5. N3 dilarang untuk keberangkatan - Pada terminal 2, untuk kedatangan digunakan S4-SP2-S3SP1 atau S3-SP1. Sedangkan keberangkatan menuju ke jalur terdekat antara SP2 dan S1. - Terkait dengan populasi burung di area bandara maka pilot diperintahkan siaga pada pukul 23:00 – 02:00 dan 09:3011:00 CTR (control zone) Area ini disebut dengan area kontrol bandara. Unit yang bertugas mengatur area ini disebut dengan WARR_TWR (123.2 MHz) . Tugas dari WARR_TWR adalah : - memberikan ijin operasi penerbangan - memberikan ijin penggunaan runway untuk operasi lain - memberikan ijin VFR - memberikan informasi VFR/IFR dan VFR/VFR - melakukan pelayanan kontrol pada area kontrol - koordinasi dengan ground dan director
99
-
pada unit ATC WARR_TWR pada bandara Juanda terdapat beberapa aturan lalu lintas khusus yang harus dipenuhi sebagai berikut : semua keberangkatan harus mengikuti SID kecuali ada alternatif lain yang diberikan Director. Hindari tailwind pada area selatan Lepas dari WARR_TWR, pesawat yang ada di udara harus langsung mengontak WARR_APP. Untuk missed approach ikuti instruksi pada AIP.
Terminal Manouver Airspace (TMA) Terminal Manouver Airspace adalah ruang udara yang fungsi utamanya adalah sebagai tempat manuver untuk melakukan approach dari airway menuju bandar udara. Pada bandar udara Juanda unit yang bertugas terhadap area ini disebut dengan WARR_APP. WARR_APP dipisah menjadi 2 bagian, yaitu SURABAYA WEST CONTROL (125.10 Mhz) dan SURABAYA EAST CONTROL (124.00 MHz). 2 bagian ini mengontrol 2 bagian ruang udara yang berbeda. Tugas dari WARR_APP adalah : - Memandu pesawat yang datang - Memberikan panduan terhadap pesawat yang mengalami missing approach. - Melakukan kontrol separasi - Melakukan panduan terhadap pesawat yang berada pada area TMA - Melakukan pengawasan terhadap RADAR - Memberikan perintah holding - Melakukan kontrol terhadap entry point Sedangkan aturan khusus yang terdapat pada Area TMA bandar Udara Juanda adalah sebagai berikut : - Ketika runway 10 digunakan pesawat yang berangkat pada ketinggian awal 5000 ft akan diinstruksikan naik ke 24000 ft dan melakukan transfer ke WAAZ_B_CTR.
100 - Ketika runway 28 yang digunakan, pesawt yang berangkat pada ketinggian awal 7000 ft harus mewaspadai area disekitar RAMPY dan FANDO. Karean ada kemungkinan terjadinya konflik dengan kedatangan dari ROBIT dan ROPIA. Kemudian melakukan transfer ke WAAZ_B_CTR. - Separasi minimum yang digunakan adalah 5NM pada area TMA. - Ketika RADAR mengalami gangguan maka berlaih pada separasi non RADAR. - Ketika radio bermasalah maka kode squawk yang digunakan adalah 7600 - Ketinggian minimum yang diperbolehkan adalah 2000ft akibat adanya halangan antenna. Upper Area Control (UAC) Upper Area control adalah ruang udara luas yang digunakan untuk operasi enroute. Area ini merupaka area yang paling tinggi dan luas dalam susunan FIR. Di area ini biasanya pesawat tidak memiliki batas kecepatan yang ditentukan dan memasuki mode auto-pilot. Pada area ini yang melakukan kontrol adalah WARR_D_APP (119.10 Mhz ). Tugas dari WARR_D_APP adalah : - Melakukan Panduan sesuai STAR dan SID - Membantu manuver vectoring menggunakan ketinggian, arah dan kecepatan - Memberikan ijin enroute Sedangkan aturan khusus yang berlaku pada UAC bandar udara juanda - Pesawat yang beroperasi harus memiliki perangkat radio dua arah. - Semua penerbangan yang berasal dari BALI CONTROL harus menurunkan ketinggian sampi 2000 untuk pengoperasian ILS. - Pada pengoperasian runway 10, traffic dari ROBIT dan ROPIA akan ditransfer sebelum SBR, mempertahankan
101 ketinggian 8000 ft. Setelah SBR penerbangan diarahkan ke arah 250. Turun ke 4000 ft. Untuk join ke ILS. Jika membutuhkan downwind maka diarahkan ke arah 280 - WARR_D_APP akan mengatur traffic dari ROBIT dan RABOL setelah ditransfer dari BALI CONTROL. Memberikan vector ke SABIT untuk VOR/DME approach ke RW 28. Hati hati terhadap pesawat dari SABIT yang berpotongan pada 2500 ft. Jangan ragu untuk melakukan penyisipan awal ketika traffic sedang tinggi. - Ketika terjadi missed approach maka mengikuti prosedur ILS/GNSS yang tersedia. - Holding pada runway 10 terletak pada NIMAS ketinggian 4000 ft, dan RW 28 pada SABIT 5000 ft.
4.1.3
Pola Traffic Bandar Udara Juanda
Pola Traffic bandar udara juanda dilihat berdasarkan jadwal dan aktual yang terjadi. Pengamatan dilakukan pada tanggal 24-30 Juli 2016 melalui website http://flightradar24.com. Flightradar24 merupakan flight tracker yang memiliki fitur real-time untuk operasi penerbangan. Berikut adalah contoh aktual dan jadwal yang terjadi.
102 35
Jumlah Operasi
30 25 20 15 10 5
0 4:00
6:00
8:00
10:00 12:00 14:00 16:00 18:00 20:00 22:00
0:00
JAM AKTUAL
JADWAL RENCANA
Gambar 4. 7 Perbandingan Jadwal Penerbangan Rencana dengan Operasi Aktual Pada 24 Juli 2016
103
4.2 Formulasi Kapasitas Ultimate Perhitungan kapasitas ultimate di bandara juanda dilakukan dengan 2 metode yaitu metode Ruang-Waktu dan metode FAA. 4.2.1 Analisis Kapasitas Ultimate Runway Menggunakan Teori Ruang – Waktu Analisis menggunakan teori ruang – waktu ini bertujuan untuk memodelkan pergerakan pesawat pada runway dengan dimensi pembatas jarak dan waktu. Analisis ini bertujuan mendapatkan kapasitas ultimate yang mendekati dengan keadaan sebenarnya. Data yang diperlukan untuk perhitungan kapasitas jenuh runway dengan teori ruang -waktu adalah sebagai berikut : Kecepatan approach tiap tipe pesawat Runway Occupancy Time untuk tiap-tiap tipe pesawat Aturan Separasi yang diterapkan di Bandar Udara Juanda Panjang Final Approach Path (FAP) masing-masing runway pada Instrument Approach Chart Bandar Udara Juanda ,yang didapat dari Aeronautical Information Publication (AIP) Probabilitas frekuensi terjadinya urutan pesawat yang datang berdasarkan kecepatan approach dan klasifikasi pesawat.
104 4.1.1.1 Langkah Analisis kapasitas ultimate menggunakan teori ruang dan waktu. Langkah – langkah perhitungan kapasitas ultimate runway menggunakan teori ruang dan waktu adalah sebagai berikut: a) kapasitas sistem runway untuk kedatangan saja (arrival only) Sistem runway yang digunakan dalam permodelan ini adalah runway 10. Dikarenakan selama pengumpulan data, runway 10 menjadi pilihan seluruh operasi penerbangan untuk melakukan operasi take-off maupun landing. Pada runway 10 memiliki FAP sepanjang 6 nm dan separasi antar pesawat sesuai dengan tabel 2.2. selanjutnya dilakukan perhitungan berdasarkan jadwal penerbangan pada suatu rentang waktu tertentu. Contoh perhitungan dilakukan pada hari Minggu, 24 Juli 2016 pukul 11:00-11:59 WIB
105
Tabel 4. 5 Jadwal Penerbangan Minggu , 24 Juli 2016 pukul 11:00 – 11: 59 WIB Nomor Penerbang an GIA364 XT393 JT692 BTK7513 CTV9702 GIA342 JT970 GIA313 QZ302 GIA7307 CTV876 SJY254 CTV671 CTV920 CTV654
Keberangkat an
Kedatang an
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Keberangkat an
Keberangkat an
Kedatang an
Kedatang an
Rencana
Aktual
Rencana
Aktual
11:00 9:30 11:00 9:35 9:00 11:05 9:00 11:10 11:10
11:21 9:21 11:37 9:42 9:13 12:43 9:20 11:33 11:50
11:00
11:23
11:05 11:05
10:47 10:58
11:10
11:20
10:20 9:30 11:20 8:40 9:05 11:20
10:20 10:08 10:46 8:50 9:17 11:35
11:15 11:15
11:11 11:26
11:20 11:20
11:08 11:17
Runwa y
Entry Gate
10 10 10 10 10 10 10 10 10
ENTAS TIRUS ENTAS RAMAT RAMAT RABOL TIRUS LASEM RAMPY
10 10 10 10 10 10
RAMAT TIRUS ENTAS TIRUS TIRUS RAMPY
jenis Pesawa t CRJ100 0 A320 B737-9 A320 A320 B737-8 B737-9 B737-8 A320 ATR72 A320 B737-8 A320 A320 A320
106
KD710 GIA360 JT892 LNI365 LNI222 BTK6284 CTV804 GA310
1 1 1 1 1 1 1 1
10:00 11:25 8:30 10:55 11:35 11:35 11:35 10:10
10:00 11:44 9:11 10:55 11:28 11:48 11:56 10:53
11:25
11:31
11:30 11:35
11:52 11:14
11:45
11:57
10 10 10 10 10 10 10 10
TIRUS LASEM RAMAT TIRUS RAMPY RAMPY LASEM RAMAT
GA7304 CTV786 BTK7512 CTV923 CTV670 LNI973
1 1 1 1 1 1
11:45 11:45 11:50 11:50 11:50 11:50
12:06 12:18 12:09 12:11 12:13 12:16
10 10 10 10 10 10
RABOL LASEM LASEM RAMPY FANDO RAMPY
KLS651
1
11:50
12:45
10
RAMPY
ATR72 B737-8 B737-9 B737-9 B737-8 A320 A320 B737-8 ATR72 A320 A320 A320 A320 B737-9 ATR72
107 untuk menentukan separasi antar pesawat maka digunakan pengkategorian pesawat berdasarkan MTOW sebagai berikut :
H (Heavy) Pesawat dengan MTOW 136.000 kg (300.000 lb) atau lebih; M (Medium) Pesawat dengan MTOW kurang 136.000 kg (300.000 lb) dan lebih dari 7.000 kg (15.500 lb). L (Light) Pesawat dengan MTOW 7 000 kg (15 500 lb) kurang
sehingga menurut pesawat yang beroperasi pada hari Minggu, 27 Juli 2016 pukul 11:00-11:59 WIB dapat dituliskan sebagai berikut: Tabel 4. 6 Klasifikasi Pesawat Berdasarkan MTOW Nomor jenis Kategori Penerbangan Pesawat Pesawat GIA364 CRJ1000 M XT393 A320 M JT692 B737-9 M BTK7513 A320 M CTV9702 A320 M GIA342 B737-8 M JT970 B737-9 M GIA313 B737-8 M QZ302 A320 M GIA7307 ATR-72 M CTV876 A320 M SJY254 B737-8 M CTV671 A320 M CTV920 A320 M
108 CTV654 KD710 GIA360 JT892 LNI365 LNI222 BTK6284 CTV804 GA310 GA7304 CTV786 BTK7512 CTV923 CTV670 LNI973 KLS651
A320 ATR-72 B737-8 B737-9 B737-9 B737-8 A320 A320 B737-8 ATR-72 A320 A320 A320 A320 B737-9 ATR-72
M M M M M M M M M M M M M M M M
sedangkan untuk kecepatan approach setiap pesawat dapat ditabelkan sebagai berikut: Tabel 4. 7 Kecepatan Approach Tiap Tipe Pesawat (Sumber : Indah, I Gusti Studi Performansi Layout Exit Taxiway untuk Mendapatkan Kapasitas Optimum Landas Pacu Utara Bandar Udara Soekarno-Hatta)
Tipe Pesawat Boeing 727 all series (B722, B72F) Boeing 737 all series (B732, B733, B734, B735,B738, B739) Boeing 747 all series (B743, B744, B74F) Boeing 767 all series (B763)
Kecepatan (Knot) 130 130 145 140
109 Boeing 777 all series (B772, B773) McDonnell Douglas MD 80 series (MD80, MD82) McDonnell Douglas MD 90 series (MD90, MD93) McDonnell Douglas MD 11 (MD11) Airbus A300 – 600 (A306) Airbus A310 family (A310) Airbus A320 family (A319, A320) Airbus A330 family (A330, A332, A333) Airbus A340-500 (A345) British Aerospace 146 (BA46) Fokker 100 (F100) Bombardier CRJ-1000 ATR-72
145 135 135 140 135 135 135 140 140 125 130 135 105
Selanjutnya perhitungan dilakukan dengan mengelompokkan operasi kedatangan dalam bentuk matrix sesuai dengan urutan pesawat sebagai berikut : Tabel 4. 8 matrix jumlah operasi kedatangan hari minggu 24 Juli 2016 trailing leading A320 B737 A330 ATR CRJ1000 MD80 A320 24 26 1 3 3 B737 22 40 2 5 A330 2 1 1 ATR 4 4 CRJ1000 1 2 MD80
110
a. Closing Case (Vi ≤ Vj) Sebagai contoh diambil GA7307 (ATR-72, leading)– QG876(A320,trailing). Vi = 105 knot Vj = 135 knot Dengan menggunakan persamaan 2.4 dicari besarnya ∆ Tij dan dimasukkan dalam matrik [Mij]. sebagai berikut : ∆ Tij =
=
=
171.4 s
b. Opening Case (Vi > Vj) Sebagai contoh diambil QG920 (Airbus A320, leading) – KD710 (ATR-72 trailing). Vi = 135 knot Vj = 105 knot Dengan menggunakan persamaan 2.6 dicari besarnya ∆ Tij dan dimasukkan dalam matrik [Mij]. sebagai berikut : ∆ Tij = Tj – Ti =
+[
-
]=
+6x[
-
]
= 217 s Demikian seterusnya dihitung untuk semua kombinasi Vi dan Vj yang selanjutnya disusun menjadi matrik [Mij] berikut.
111
Tabel 4. 9 Matrix [Mij] untuk operasi kedatangan Minggu, 27 juli 2016 ARRIVAL
trailing
leading
A320
B737
A330
ATR
CRJ1000
MD80
A320
133,3
144,6
133,3
217,1
133,3
133,3
B737
138,5
138,5
138,5
217,1
144,6
138,5
A330
139,0
150,3
128,6
222,9
139,0
139,0
ATR
171,4
171,4
171,4
171,4
171,4
171,4
CRJ1000
133,3
144,6
133,3
87,6
133,3
133,3
MD80
133,3
144,6
133,3
87,6
133,3
133,3
Sedangkan probabilitas terjadinya urutan pesawat yang datang untuk semua kombinasi Vi dan Vj didapatkan dengan membandingkan urutan kedatangan dengan total jumlah kedatangan yang terjadi. sehingga didapatkan matriks [Pi] sebagai berikut: Tabel 4. 10 Matrix [Pij] untuk operasi kedatangan Minggu, 27 juli 2016 trailing leading A320 B737 A330 ATR CRJ1000 MD80 A320 15,1 28,2 0,0 0,0 3,4 0,0 B737 25,3 48,8 0,9 9,6 0,0 0,0 A330 0,9 0,0 0,8 0,0 0,0 0,0 ATR 3,2 4,3 0,0 0,0 0,0 0,0 CRJ1000 0,8 2,7 0,0 0,0 0,0 0,0 MD80 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
112 Nilai perkiraan waktu antar kedatangan (interarrival time) dihitung dengan menggunakan persamaan 2.2, yaitu sebagai berikut : E(∆Tij) = Σ[Pij][Mij] E(∆Tij) = 133(0.113) +144.6(28.2) +133.3(0) + ….+133.3(0) E(∆Tij) = 87.84 s Dengan menggunakan persamaan 2.5, kapasitas runway 10 untuk operasi kedatangan saja adalah Ca = = = 25 arrival/jam b) Kapasitas sistem runway untuk keberangkatan saja (departure only) Matrik waktu antar keberangkatan (interdeparture time) disusun berdasarkan aturan separasi minimum antar keberangkatan. dapat dilihat pada tabel 4.7 berikut. Tabel 4. 11 Tabel separasi antar keberangkatan Leading trailing Heavy Large Small Heavy 60 s 120 s 180 s Large 60 s 60 s 120 s Small
60 s
60 s
60 s
Menurut Jadwal Penerbangan urutan terjadinya kedatangan dapat dituliskan sebagai berikut :
113 Tabel 4. 12 Matrix Jumlah Operasi Keberangkatan trailing leading A320 B737 A330 ATR CRJ1000 MD80 A320 24 26 1 3 3 0 B737 22 40 2 5 0 0 A330 2 1 1 0 0 0 ATR 4 4 0 0 0 0 CRJ1000 1 2 0 0 0 0 MD80 0 0 0 0 0 0
Sedangkan probabilitas terjadinya urutan pesawat yang berangkat untuk semua kombinasi Vi dan Vj didapatkan dengan membandingkan urutan kedatangan dengan total jumlah kedatangan yang terjadi. sehingga didapatkan matriks [Pi] sebagai berikut:
leading A320 B737 A330 ATR CRJ1000 MD80
Tabel 4. 13 Matrix [Pij] untuk keberangkatan trailing A320 B737 A330 ATR CRJ1000 MD80 0,170213 0,184397 0,007092 0,021277 0,021277 0 0,156028 0,283688 0,014184 0,035461 0 0 0,014184 0,007092 0,007092 0 0 0 0,028369 0,028369 0 0 0 0 0,007092 0,014184 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
114 Sedangkan separasi antar kedatangan dapat dimodelkan dalam matrix [td] sebagai berikut Tabel 4. 14 matrix waktu inter departure trailing leading A320 B737 A330 ATR CRJ1000 MD80 A320 60 60 60 60 60 60 B737 60 60 60 60 60 60 A330 120 120 60 120 120 120 ATR 60 60 60 60 60 60 CRJ1000 60 60 60 60 60 60 MD80 60 60 60 60 60 60
Dengan menggunakan persamaan 2.18 maka didapatkan waktu interdeparture adalah E(td) = Σ[Pij][td] E(td) = 0.170(60) + 0.189(60) + 0.007(60) + .....+0.0556(60) = 60 s Kapasitas runway untuk operasi keberangkatan saja dihitung dengan menggunakan persamaan 2.17, yaitu sebagai berikut : Cd =
=
= 60 keberangkatan/jam
115
c) Kapasitas sistem runway untuk operasi campuran (mixed operation) Karena pada kasus runway 10 bandar udara Juanda digunakan untuk operasi kedatangan dan keberangkatan, maka diperlukan perhitungan lebih lanjut untuk menentukan kapasitas ultimate dari runway 10. Perhitungan dilakukan dengan menghitung celah (Gap) antar kedatangan terlebih dahulu. separasi antara kedatangan dengan keberangkatan dan sebaliknya dapat dimodelkan dengan keadaan runway sudah bersih, dengan kata lain separasi antara kedatangan dengan keberangkatan maupun sebaliknya dapat dinyatakan dalam runway occupany time.
Perhitungan Gap antar operasi kedatangan dapat dihitung menggunakan persamaan berikut: Gh-s = T2-T1 = (E(∆Tij) -
) – (ROT)
dimana : G = Gap antar kedatangan (s) T2 = Waktu Arrival Trailing(s) T1 = Waktu Arrival Leading(s) E(∆Tij = Waktu Interarrival (s) = Jarak separasi minimum (nm) ROT = Runway Occupation time(s) Vs = kecepatan pesawat trailing (knot)
(4.1)
116 diambil contoh arrival BTK 7512 (Airbus A320 , Leading) – CTV 9702 (Airbus A320, Trailing) E(∆Tij) = 80 s = 3 nm ROT = 65 s Vs = 135 knots Gh-s = T2-T1 = (E(∆Tij) = T2-T1 = 133 = 68 s
) – (ROT) ) – (65)
pada kasus kedatangan A320 – A320 yang berhimpitan maka terjadi gap selama 68 detik dimana secara teori apabial pilot mampu menjamin pesawat akan mengudara dalam waktu 68 detik maka 1 keberangkatan diperbolehkan berangkat. diambil contoh arrival QG920 (Airbus A320 , Leading) – KD710(Atr-72, Trailing) E(∆Tij = 148 s = 3 nm ROT = 65 s Vs = 105 knots Gh-s = T2-T1 = (E(∆Tij) - ) – (ROT) = T2-T1 = 148 = 84 s
) – (65)
pada kasus kedatangan ATR-72 – A320 yang berhimpitan maka gap yang terjadi adalah 84 detik.
117 Kemudian dicari ∑Ri yang merupakan probabilitas dari runway occupancy time pada setiap tipe pesawat yang dapat ditabelkan sebagai berikut : Tabel 4. 15 Probabilitas ROT dari Tiap Pesawat pada operasi kedatangan Tipe Pesawat ROT Jumlah total probabilitas Boeing 737 all series 65 96 168 0.57 Airbus A320 family (A319, A320) 65 58 168 0.36 ATR-72 Series 55 8 168 0.048 MD80 Series 70 0 168 0 A330 Series 75 2 168 0.012 CRJ-1000 Series 70 4 168 0.024 ∑Ri = (ROT A320 x p A-320) + (ROT b737 x p 737) + (ROT ATR-72 x p ATR-72)+..... (ROT CRJ-1000 x p CRJ1000)+..... ∑RI = (65 x 0.36) + (65 x 0.57) + (55 x 0.048)....... = 65 s Selanjutnya dicari nilai ∑(δd/Vj) yaitu sebagai berikut: ∑( δd/Vj) = 0.36 ++0.012
+0.57
+0.048
+0
++0.024
∑( δd/Vj) = 138 s Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk jumlah gap yang diperlukan untuk melepas sejumlah keberangkatan tertentu dengan persamaan 2.24
118
E(∆Tij) ≥ E(Ri) + E(
) + (nd – 1) (E(td )
162 ≥ 59 + 138 + (nd – 1) (E(td ) 162 ≥ 203 + (nd – 1) (E(td ) kebutuhan inter arrival time untuk 1 keberangkatan = 203 s kebutuhan inter arrival time untuk 2 keberangkatan = 263 s kebutuhan inter arrival time untuk 3 keberangkatan = 343 s Untuk diselingi satu keberangkatan maka dibutuhkan Gap sebesar 223 detik sehingga berdasarkan persaamaan 2.25 dapat dihitung kapasitas ultimate runway 10 untuk operasi campuran. Cm = +(∑ndpnd) = +(1x0x0.006x0.006)) Cm = 25 operasi/jam Hasil Perhitungan selama 24 – 27 Juli 2016 dapat ditabelkan sebagai berikut:
119
Tabel 4. 16 Kapasitas Ultimate Runway 10 Bandara Juanda 24-30 Juli 2016 g E(∆Tij) Etd Ca Cd Cm hari minggu 6 143.89 60 25 60 25 senin 6 143.3 60 25 60 26 selasa 6 144 60 25 59 26 rabu 6 142 60 25 60 26 kamis 6 143 60 25 60 26 jumat 6 144.7 60 25 60 26 sabtu 6 144.9 60 25 60 25 4.2.2 Analisis Kapasitas Ultimate Runway Menggunakan Metode FAA Data-data yang diperlukan dalam penentuan kapasitas jenuh runway menggunakan metode FAA adalah sebagai berikut :
Konfigurasi Runway Konfigurasi Runway di bandara Juanda adalah single runway dengan 11 exit taxiway. dimensi dari runway sendiri adalah 3000 m (panjang) x 45 meter (lebar). serta arah magnitude sebesar 99o dan 278o . runway ini digunakan untuk operasi campuran (keberangkatan dan kedatangan) berdasarkan Advisory Circular 150/5060-5, digunakan grafik dalam penentuan kapasitas ultimate runway. Mix Index Mix Index merupakan index campuran dari komposisi pesawat dengan Kategori FAA tertentu terhadap
120 keseluruhan Operasi penerbangan. dalam penelitian ini digunakan data pesawat dengan kategori FAA C dan D dengan kurun waktu 24 juli – 30 juli 2016. untuk frekuensi pergerakan pesawat dan Mix Index dapat diuraikan dalam tabel berikut : Tabel 4. 17 Frekuensi Pergerakan Berdasarkan Klasifikasi Pesawat Tipe Pesawat Klasifikasi Frekuensi Presentase B727 all series B737 all series MD80 series C 2296 97.83 MD90 series CRJ-1xxx series ATR-7x series A320 family B747 all series B767 all series B777 all series A300-600 A310 A330 all series A340 all series Total
D
51
2347
2.17
121
Persen Arrival Merupakan presentase kedatangan dari total operasi penerbangan pada suatu waktu tertentu. dalam penelitian ini digunakan presentase kedatangan harian terhadap total operasi/hari Tabel 4. 18 Presentase jumlah arrival terhadap operasi harian Presentase Arrival HARI MINGGU SENIN SELASA RABU KAMIS JUMAT SABTU
TOTAL ARRIVAL 168 170 168 168 172 177 176
OPERASI 336 337 338 348 323 347 334
% 50.0 50.445104 49.704142 48.275862 53.250774 51.008646 52.694611
122
Exit Factor Merupakan Faktor yang dipengaruhi oleh letak dari exit taxiway. karena runway bandara juanda memiliki 2 magnitude yaitu 10 dan 28, maka perhitungan dilakukan dari threshold masing masing runway.
Gambar 4. 8 Konfigurasi Runway dan Taxiway bandara Juanda
Runway 10 28
Tabel 4. 19 Tabel Jarak Exit taxiway dengan masing-masing threshold Jarak Exit Taxiway dari threshold Runway (m) Exit Factor N1 0 2993
N2 928 2065
N3 1670 1323
N4 2503 490
N5 2993 0
S1 0 2993
S2 715 2278
S3 1485 1506
S4 2257 734
S5 2993 0
1 1
123 4.1.2.1 Langkah Analisis kapasitas ultimate Menggunakan Metode FAA a) Menghitung Kapasitas Dasar Runway Dalam menghitung kapasitas dasar runway maka diperlukan alat bantu grafik. Menurut tabel 4.12 presentase dari pesawat kelas C adalah 97.83 % dan kelas D adalah 2.17% . menurut persamaan 2.26 dapat dihitung mix index sebagai berikut : MI = C + 3D = 97.83 + 3 ( 2.17) = 104 Presentase Arrival dapat didapatkan dari tabel 4.13. karena pada 1 minggu nilai presentase arrival berkisar antara 48 – 53 % maka diambil 50 % sebagai nilai rata-rata presentase arrival. Selanjutnya digunakan alat bantu Grafik untuk menentukan kapasitas dasar runway dalam kondisi IFR maupun VFR.
124
Gambar 4. 9 Kapasitas Dasar Runway Bandara Juanda Pada Kondisi VFR
125
Gambar 4. 10 Kapasitas dasar Runway Bandara Juanda Pada Kondisi IFR Dari kedua grafik diatas diperoleh kapasitas dasar dari Runway Bandar udara internasional juanda sebesar 58 operasi/jam untuk kondisi VFR dan 75 operasi / jam untuk kondisi IFR. b) Menghitung Kapasitas Jenuh Runway Berdasarkan kapasitas dasar diatas, maka kita dapat menghitung kapasitas jenuh runway dengan persamaan pada gambar 2.9. pada penelitian ini presentase touch and go
126 diabaikan karena presentasenya umumnya sangat kecil. sehingga kapasitas jenuh dapat dihitung seperti berikut : C = C* x T xE = 58 x 1 x 1 = 58 operasi / jam sehingga perhitungan untuk runway 10 dapat ditabelkan sebagai berikut: Tabel 4. 20 Tabel Kapasitas Runway Menurut FAA C* E Cd Runway T VFR IFR VFR IFR VFR IFR 10 1 58 75 1 1 58 75 4.3 Perhitungan Kapasitas Praktis Bandar Udara Juanda Perhitungan kapasitas praktis dilakukan dengan melihat demand yang terkena delay sebesar 15 menit pada jam – jam sibuk per hari dalam satu minggu. 15 menit adalah ukuran untuk menentukan kinerja sebuah airline, dimana jika delay dibawah 30 menit masih dapat dianggap wajar, karena sebab-sebab tertentu seperti keterlambatan penumpang, gangguan operasional, traffic, dan lain – lain.
127 dari hasil perhitungan didapatkan hasil sebagai berikut :
Gambar 4. 11 Grafik Kapasitas Praktis 24 juli 2016
Gambar 4. 12 Grafik Kapasitas Praktis 25 Juli 2016
128
Gambar 4. 13 Grafik Kapasitas Praktis 26 juli 2016
Gambar 4. 14 Grafik Kapasitas Praktis 27 juli 2016
129
Gambar 4. 15 Grafik Kapasitas Praktis 28 juli 2016
Gambar 4. 16 Grafik Kapasitas Praktis 27 juli 2016
130
Gambar 4. 17 Grafik Kapasitas Praktis 30 juli 2016 Sehingga dapat dituliskan kapasitas Runway Bandar udara juanda sebagai berikut : Tabel 4. 21 Perbandingan Kapasitas Ultimate dan Praktis Kapasitas Kapasitas Ultimate Presentase RuangRuang Hari Praktis FAA waktu FAA Waktu 15 58 25 36,6 60 Minggu 12 58 26 29,3 46 Senin 12 58 26 30,0 46 Selasa 14 58 26 34,1 54 Rabu 15 58 26 36,6 57.6 Kamis 15 58 26 36,6 57.6 Jumat 15 58 26 37,5 57.6 Sabtu
131 4.4 Perhitungan Index Delay dan Total Delay Perjam 4.4.1 Langkah Perhitungan Index Delay dan Total Delay Pada perhitungan indeks delay dan total delay perjam maka harus dipersiapkan data –data sebagai berikut :
Kapasitas Jenuh (ultimate) pada runway yang ditinjau Kapasitas Jenuh yang digunakan pada penelitian ini ada 2 yaitu kapasitas FAA dan kapasitas jenuh berdasarkan teori ruang dan waktu. Demand yang terjadi pada jam yang ditinjau Demand yang terjadi dapat diambil melalui jadwal penerbangan rencana. Mix Index dan Presentase Arrival Mix Index dan Presentase Arrival didapatkan melalui tabel 4.13 dari data data diatas dapat ditabelkan sebagai berikut Tabel 4. 22 Tabel Data untuk Perhitungan Delay Index Kapasitas
Kapasitas
Demand
Rasio
Persen
D/C
Mix
hari Ultimate
FAA
Perjam
arrival
Index
Minggu
25
58
30
1,18
0,52
50,00
104,35
Senin
26
58
28
1,07
0,48
50,45
104,35
Selasa
26
58
28
1,07
0,48
49,70
104,35
Rabu
26
58
31
1,19
0,53
48,28
104,35
Kamis
26
58
28
1,07
0,48
53,25
104,35
Jumat
26
58
26
1,01
0,45
51,01
104,35
Sabtu
25
58
28
1,13
0,48
52,69
104,35
Average
26
1,10
0,49
50,77
132
a) Menghitung Delay Index Untuk menghitung delay Index maka diperlukan alat bantu grafik. Grafik ini membutuhkan mix Index dan perbandingan antara kapasitas jenuh dengan demand yang terjadi.
Gambar 4. 18 Grafik Bantu Untuk Arrival Delay Index (Sumber: Airport Enginering, Ashford, J. Norman)
133
Gambar 4. 19 Grafik Bantu Untuk Departure Delay Index (Sumber: Airport Enginering, Ashford, J. Norman)
dari hasil diatas dapat diperoleh Arrival delay index (ADI) dan Departure Delay Index (DDI). Index ini menunjukkan kemampuan runway untuk memproses penggunaan tertentu akibat tipe pesawat, rasio kedatangan dan keberangkatan, dan demand yang terjadi. b) Menghitung Faktor Delay Faktor delay terdiri dari Arrival delay factor dan Departure delay factor. perhitungan dapat dilakukan dengan persamaan sebagai berikut:
134
ADF = ADI x (D/C)
(4.2)
dan DDF = DDI x (D/C)
(4.3)
diambil contoh hari senin 25 juli 2016 : ADF (Ruang-Waktu)= ADI x (D/C) = 0.88 x 1.07 = 0.94 ADF (FAA)= ADI x (D/C) = 0.88 x 0.48 = 0.42 DDF (Ruang-Waktu)= DDI x (D/C) = 0.75 x 1.07 = 0.8 DDF (FAA)= DDI x (D/C) = 0.58 x 0.48 = 0.28 dari perhitungan diatas dapat ditabelkan sebagai berikut :
135 Tabel 4. 23 Perhitungan DDF dan ADF ADF DDI DDF Rasio D/C ADI hari R/W FAA R/W FAA R/W FAA R/W FAA Minggu 1,18 0,52 0,88 1,04 0,46 0,75 0,58 0,89 0,30 1,07 0,48 0,88 0,94 0,42 0,75 0,58 0,80 0,28 Senin Selasa 1,07 0,48 0,88 0,94 0,42 0,75 0,58 0,80 0,28 1,19 0,53 0,88 1,05 0,47 0,75 0,58 0,89 0,31 Rabu Kamis 1,07 0,48 0,88 0,94 0,42 0,75 0,58 0,80 0,28 1,01 0,45 0,88 0,89 0,39 0,75 0,58 0,76 0,26 Jumat 1,13 0,48 0,88 0,99 0,42 0,75 0,58 0,85 0,28 Sabtu Average 1,10 0,49 0,88 0,97 0,43 0,75 0,58 0,83 0,28
136 c) Mencari Demand Maksimum dalam 15 menit dan perbandingannya dengan demand total 1 jam. nilai ini akan digunakan sebagai demand profile factor pada perhitungan rata-rata delay perjam. d) Menggunakan Grafik bantu untuk menghitung Rata-Rata delay perjam.
Gambar 4. 20 Grafik Bantu untuk Perhitungan Rata-Rata delay/jam
137
Gambar 4. 21 Perhitungan Nilai average delay untuk kedatangan menggunakan Grafik Bantu
138
Gambar 4. 22 Perhitungan Nilai average delay untuk keberangkatan menggunakan Grafik Bantu
139 e) Menghitung Total delay perjam yang terjadi menggunakan persamaan DTH = HD{[PA × DAHA] + [(1 − PA) × DAHD]} (4.4) dimana : DTH HD PA DAHA
= total hourly delay (min) = Demand Perjam ( Pesawat) = Presentase Kedatangan/100 = Rata- Rata delay perkedatangan pesawat di runway(min) DAHD = Rata- Rata delay perkeberangkatan pesawat di runway(min) dari persamaan 4.4 dan gambar 4.13 dan 4.14 dapat ditabelkan hitungannya seperti berikut :
140
Tabel 4. 24Perhitungan total hourly delay
BAB V ANALISIS KAPASITAS RUANG UDARA
5.1
Formulasi Kapasitas Airspace
Untuk Perhitungan kapasitas ruang udara terminal pada tugas akhir ini digunakan dua metode yang berbeda. Tujuannya adalah mendapatkan hasil dan perbandingan yang lebih akurat. Disini metode yang digunakan adalah adaptasi metode ruang waktu untuk perhitungan kapasitas runway. Metode kedua adalah metode yang dikembangkan Milan Janic untuk menentukan kapasitas ultimate terminal airspace.
5.1.1 Adaptasi Formulasi Ruang waktu untuk Perhitungan kapasitas airspace.
Alasan penggunaan metode adaptasi ini adalah kemiripan pola-pola parameter dan perilaku yang terjadi antara runway dan terminal airspace. Dimana keduanya melayani suatu operasi penerbangan disuatu space terbatas dalam satu waktu tertentu, dan dibatasi oleh aturan-aturan penerbangan. Permodelan yang dilakukan pada tugas akhir ini berfokus pada penggunaan ruang udara dibawah ketinggian 7500 ft disekitar bandara juanda. Perbedaan antara perhitungan kapasitas runway dan kapasitas airspace adalah kegiatan operasi penerbangan yang terjadi. Pada runway memunginkan terjadinya mixed operation dimana terjadinya landing dan take-off pada tempat yang sama. Sedangkan pada
141
142 terminal airspace hanya terdapat satu operasi untuk setiap ruang udara yang tersedia. Yaitu kedatangan saja atau keberangkatan saja. Sehingga tidak mungkin terjadinya mixed operation pada suatu terminal airspace yang sama. 5.1.2 Langkah Perhitungan kapasitas Ultimate Terminal Airspace. Berdasarkan kajian pustaka di bab 2, maka parameterparameter yang dibutuhkan adalah sebagau berikut : γ
δ
Vi Vj Ri
∆Tij
= panjang airway mulai dari VOR terdekat sampai titik awal common approach path untuk arrival, atau panjang airway mulai dari akhir common approach path sampai VOR/DME terdekat. = jarak separasi minimum yang diijinkan antara dua pesawat terbang, pesawat terbang leading i dan pesawat terbang trailing j, dimanapun selama berada di airway = approach speed dari pesawat terbang leading kelas k = approach speed dari pesawat terbang trailing kelas k = common approach path occupancy time dari pesawat terbang leading, diasumsikan berdasarkan pengkategorian kecepatan pesawat terbang. = separasi waktu sebenarnya pada common approach path untuk dua arrival yang berurutan, pesawat terbang dengan kelas kecepatan i diikuti dengan pesawat terbang dengan kelas kecepatan j. Separasi waktu ini ditentukan berdasarkan peraturan separasi yang berlaku pada common approach path.
143 E(∆Tij) = nilai service time yang diharapkan, atau waktu interarrival, pada common approach path untuk campuran pesawat terbang arrival.
Sedangkan untuk perhitungan kapasitas ultimate airspace langkah-langkahnya sebagai berikut : Persiapan data Data yang dipersiapkan antara lain adalah data teknis pesawat, jadwal penerbangan, dan chart untuk operasi dengan alat bantu ILS. Pada bandara juanda ILS terletak di ujung runway 10. Contoh dari chart ILS adalah sebagai berikut seperti gambar dibawah ini:
144
Gambar 5. 1 charts ILS runway 10 approach path
145 Dengan menggunakan ILS charts diketahui bahwa panjang approach path yang tersedia adalah sepanjang 14 NM sedangkan untuk separasi (δ) menggunakan separasi standar bandar udara juanda sebesar 5 NM.
Membuat presentase kedatangan selama 1 minggu. Presentase kedatangan selama 1 minggu digunakan untuk membuat matriks probabilitas kedatangan pesawat. Pembuatannya dilakukan dengan mencatat pasangan pesawat terbang sesuai dengan jadwal kedatangan rencana. Hal ini bertujuan untuk mencari separasi waktu di tiap-tiap kombinasi pesawat. Berikut adalah jumlah pasangan pesawat dan matriks probabilitasnya selama 1 minggu Tabel 5. 1 Tabel Jumlah pasangan kedatangan 24 – 30 juli 2016 trailing leading A320 B737 A330 ATR CRJ1000 MD80 A320 155 219 9 15 4 1 B737 201 368 11 26 0 0 A330 10 10 4 0 0 0 ATR 18 23 0 0 0 0 CRJ1000 1 3 0 0 0 0 MD80 1 0 0 0 0 0
146
Tabel 5. 2 Matriks Probabilitas Kedatangan 24 juli- 30 juli 2016 trailing leading A320 B737 A330 ATR CRJ1000 MD80 A320 0,14 0,20 0,01 0,01 0,00 0,00 B737 0,19 0,34 0,01 0,02 0,00 0,00 A330 0,01 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 ATR 0,02 0,02 0,00 0,00 0,00 0,00 CRJ1000 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 MD80 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Perhitungan waktu antar arrival untuk menentukan separasi antar pesawat maka digunakan pengkategorian pesawat berdasarkan MTOW sebagai berikut :
H (Heavy) Pesawat dengan MTOW 136.000 kg (300.000 lb) atau lebih; M (Medium) Pesawat dengan MTOW kurang 136.000 kg (300.000 lb) dan lebih dari 7.000 kg (15.500 lb). L (Light) Pesawat dengan MTOW 7 000 kg (15 500 lb) kurang
sehingga menurut pesawat yang beroperasi pada hari Minggu, 27 Juli 2016 pukul 11:00-11:59 WIB dapat dituliskan pada tabel 4.2. sedangkan untuk approach speed telah dituliskan pada tabel 5.3. sama seperti perhitungan kapasitas ultimate untuk runway, pada perhitungan airspace juga terdapat closing case dan opening case sesuai dengan approach speednya.
147
Tabel 5. 3 Approach speed pada terminal airspace Kecepatan Tipe Pesawat (Knot) Boeing 737 all series (B732, B733, B734, B735,B738, B739) 205 McDonnell Douglas MD 80 series (MD80, MD82) 230 Airbus A320 family (A319, A320) 215 Airbus A330 family (A330, A332, A333) 230 Bombardier CRJ-1000 200 ATR-72 210
Closing Case (Vi ≤ Vj)
Sebagai contoh diambil GA7307 (ATR-72, leading)– QG876(A320,trailing). Vi = 210 knot Vj = 215 knot Dengan menggunakan persamaan 2.4 dicari besarnya ∆ Tij dan dimasukkan dalam matrik [Mij]. sebagai berikut : ∆ Tij =
=
=
85.71 s
Opening Case (Vi > Vj)
Sebagai contoh diambil QG920 (Airbus A320, leading) – KD710 (ATR-72 trailing). Vi = 215 knot
148 Vj = 210 knot Dengan menggunakan persamaan 2.6 dicari besarnya ∆ Tij dan dimasukkan dalam matrik [Mij]. sebagai berikut : ∆ Tij = Tj – Ti =
+[
-
]=
+[
-
]
= 91.69 s Demikian seterusnya dihitung untuk semua kombinasi Vi dan Vj yang selanjutnya disusun menjadi matrik [Mij] berikut. Tabel 5. 4 Matriks (Mij) jarak interarrival pada terminal airspace ARRIVAL leading
trailing B737
A330
CRJ1000
MD80
A320
83,72
100,06
83,72
91,69
108,84
83,72
B737
87,80
87,80
87,80
87,80
96,59
87,80
A330
100,10
116,44
78,26
108,07
125,22
83,72
ATR
85,71
100,06
85,71
85,71
108,84
85,71
CRJ1000
64,88
81,22
43,04
72,86
90,00
90,00
100,10
116,44
78,26
108,07
125,22
78,26
MD80
A320
ATR
Nilai perkiraan waktu antar kedatangan (interarrival time) dihitung dengan menggunakan persamaan 2.2, yaitu sebagai berikut : E(∆Tij) = Σ[Pij][Mij] E(∆Tij) = 83.72(0.14) +100.06(0.2) +83.72(0.01) + ….+78.26(0) E(∆Tij) = 90.34 s
149 Dengan menggunakan persamaan 2.5, kapasitas runway 10 untuk operasi kedatangan saja adalah Ca = = = 40 arrival/jam
5.1.3 Metode Janic untuk perhitungan kapasitas ultimate Airspace Dalam metode janic untuk menentukan kapasitas ultimate sebuah terninal airspace nampak sebagai bidang tiga dimensi yang dibatasi oleh titik-titik tertentu. Titik ini disebut dengan entry gate. Entry gate ini sekaligus digunakan sebagai tempat masuknya pesawat kedalam terminal airspace. Pada bandara juanda terminal airspace ini ditandai dengan menggunakan charts yang disebut standar arrival chart (STAR).
150
Gambar 5. 2 STAR Runway 10
151 Dalam tugas akhir ini digunakan runway 10 sebagai dasar perhitungan karena pada pengumpulan data, seluruh operasi menggunakan runway 10. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan titik RAMAT dan TIRUS sebagai entry gate dalam perhitungan. Dengan ditetapkannya RAMAT dan TIRUS sebagai titik entry maka pembatasan ruang udara terletak dibawah 7500 ft. Geometri terminal airspace dari juanda menurut STAR adalah sebagai berikut :
Gambar 5. 3 Geometri Terminal Airspace dengan Entry Gate TIRUS dan RAMAT
152 Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa jarak dari RAMAT ke NIMAS (xl) adalah 12.9 nM, TIRUS ke NIMAS (xk) adalah 34 nM, sedangkan jarak NIMAS menuju FAP adalah 9 nM. Separasi awal klSij0 ditentukan berdasarkan jarak entry gate RAMAT ke TIRUS yaitu ketika dua pesawat terbang memasuki terminal airspace secara bersamaan sebesar sebesar 34 nM.
5.1.4 Langkah perhitungan kapasitas ultimate airspace dengan metode Janic
Data yang dibutuhkan pada metoda Janic ini adalah sebagai berikut :
Geometri dan batasan dari terminal airspace Kecepatan Approach dari tiap tipe pesawat Aturan Separasi yang diterapkan di Bandar Udara Juanda Probabilitas masuknya pesawat melalui entry gate yang sudah ditentukan
Sedangkan langkah perhitungan menggunakan metode janic adalah sebagai berikut: a)
Menghitung probabilitas penggunaan entry gate TIRUS dan RAMAT. Dasar metode janic adalah ketika pesawat memasuki terminal airspace dan melakukan approach untuk operasi pendaratan. Berikut adalah presentase penggunaan pasangan entry gate RAMAT dan TIRUS pada tanggal 24-30 Juli 2016 :
153 Tabel 5. 5 Jumlah operasi penerbangan yang menggunakan pasangan entry gate RAMAT dan TIRUS TRAILING WEEKLY RAMAT TIRUS LEADING Kelas H M H M H 0 5 3 3 RAMAT M 3 395 2 275 H 6 3 0 1 TIRUS M 2 275 4 126 Pembagian kelas pesawat mengikuti pembagian berdasarkan MTOW yang telah dibahas di Bab 4 sedangkan untuk separasi menggunakan separasi standar 5 NM. b)
Menentukan interarrival time(kltij) berdasarkan entry gate. Seperti metode ruang-waktu, dalam metode janic juga membutuhkan jarak antar kedatangan untuk menghitung kapasitas ultimate dari terminal airspace. Perhitungan kltij dapat menggunakan persamaan 2.37.
154
kl
(
t ij = (
)
(2.37)
digunakan contoh perhitungan QZ387 (A320, leading, TIRUS) dengan ID7519 (A320 ,trailing ,RAMAT) kl
t ij = (
kl
t ij = 408 s
(
)
hasil dari perhitungan kl t ij ini dapat ditabelkan dengan sebagai berikut Tabel 5. 6 Matriks kltij TRAILING RAMAT TIRUS LEADING H M H 78,26 78,26 408,52 RAMAT H 45,61 85,71 375,88 M -252,00 -211,90 78,26 TIRUS H -316,10 -276,00 14,16 M
M 408,52 447,43 149,81 85,71
Terlihat diatas bahwa terdapat nilai minus pada matriks kltij yang menunjukkan bahwa pesawat trailing akan masuk lebih dulu daripada pesawat leading.
155 c)
Menentukan interarrival time (ta)
Setelah mendapatkan matriks kltij maka dengan menggunakan persamaan 2.34 akan didapatkan waktu interarrival rata-rata. Untuk mendapatkan waktu inter arrival rata-rata maka perlu dilakukan perhitungan terhadap presentase arrival ditiap-tiap entry gate. Berikut ini adalah presentase arrival di tiap gate
H M
Tabel 5. 7 Presentase Traffic ditiap entry gate RAMAT TIRUS 0,99 0,99 0,01 0,01
Selain itu juga diperlukan probabilitas pasangan pesawat yang datang melalui entry gate RAMAT dan TIRUS. Perhitungan dilakukan dengan menghitung pasangan pesawat pada operasi kedatangan berdasarkan entry gatenya masing masing seperti yang tercantum pada tabel 5.5. Dengan persamaan 2.34 maka dapat dihitung ta seperti dibawah ini: ta =∑ Pk Pi/k Pl Pj/l ta = (62.6 x 0 x 0.01)+(78.26 x 0.005 x 0.01) + ..........+ (51.42 x 0.114 x 0.99) ta = 84 s
156 kapasitas terminal airspace menurut Janic adalah ʎ = 1/ta = = 43 arrival/jam berdasarkan hasil perhitungan didapatkan bahwa kapasitas ultimate terminal airspace menggunakan metode pendekatan menghasilkan 40 operasi/jam, sedangkan ketika menggunakan metode janic didapatkan kapasitas sebesar 43 operasi/jam. Hal ini disebabkan karena pada perhitungan kapasitas janic lebih memperhitungkan posisi entry gate , sehingga lebih mirip dengan keadaan sebenarnya.
5.2
Upaya Peningkatan Kapasitas di Bandar Udara Juanda
5.2.1 Upaya Peningkatan Kapasitas Runway di Bandar Udara Juanda
Pengurangan separasi berdasarkan ICAO Pengurangan separasi merupakan salah satu solusi untuk masalah kurangnya kapasitas runway yang ada tanpa harus membangun infrastruktur baru. Di bandar udara juanda masih menganut aturan separasi lama sejau 5 NM untuk semua jenis pesawat. Sedangkan pada penerbangan modern sudah digunakan separasi longitudinal yang sudah ditampilkan pada tabel 2.2. Langkah perhitungan yang digunakan sama dengan menghitung kapasitas runway berdasarkan ruang dan waktu.
157 a. Menghitung kapasitas runway berdasarkan operasi kedatangan saja a. Closing Case (Vi ≤ Vj) Sebagai contoh diambil GA7307 (ATR-72, leading)– QG876(A320,trailing). Vi = 105 knot Vj = 135 knot Dengan menggunakan persamaan 2.4 dicari besarnya ∆ Tij dan dimasukkan dalam matrik [Mij]. sebagai berikut : ∆ Tij =
=
=
80 s
b. Opening Case (Vi > Vj) Sebagai contoh diambil QG920 (Airbus A320, leading) – KD710 (ATR-72 trailing). Vi = 135 knot Vj = 105 knot Dengan menggunakan persamaan 2.6 dicari besarnya ∆ Tij dan dimasukkan dalam matrik [Mij]. sebagai berikut : ∆ Tij = Tj – Ti =
+[
-
]=
+6x[
-
]
= 148.6 s Demikian seterusnya dihitung untuk semua kombinasi Vi dan Vj yang selanjutnya disusun menjadi matrik [Mij] berikut.
158
Tabel 4. 25 Matrix [Mij] untuk operasi kedatangan Minggu, 27 juli 2016 ARRIVAL leading
trailing A320
B737
A330
ATR
CRJ1000
MD80
A320
80,0
89,2
80,0
148,6
80,0
80,0
B737
83,1
83,1
83,1
148,6
89,2
83,1
A330
139,0
150,3
102,9
222,9
139,0
139,0
ATR
102,9
102,9
102,9
102,9
102,9
102,9
CRJ1000
80,0
89,2
80,0
148,6
80,0
80,0
MD80
80,0
89,2
80,0
148,6
80,0
80,0
Dengan menggunakan separasi standar ICAO maka didapatkan waktu interarrival yang lebih rendah. Sedangkan probabilitas terjadinya urutan pesawat yang datang untuk semua kombinasi Vi dan Vj didapatkan dengan membandingkan urutan kedatangan dengan total jumlah kedatangan yang terjadi. sehingga didapatkan matriks [Pi] sebagai berikut: Tabel 4. 26 Matrix [Pij] untuk operasi kedatangan Minggu, 27 juli 2016 trailing leading A320 B737 A330 ATR CRJ1000 MD80 A320 15,1 28,2 0,0 0,0 3,4 0,0 B737 25,3 48,8 0,9 9,6 0,0 0,0 A330 0,9 0,0 0,8 0,0 0,0 0,0 ATR 3,2 4,3 0,0 0,0 0,0 0,0 CRJ1000 0,8 2,7 0,0 0,0 0,0 0,0 MD80 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
159 Nilai perkiraan waktu antar kedatangan (interarrival time) dihitung dengan menggunakan persamaan 2.2, yaitu sebagai berikut : E(∆Tij) = Σ[Pij][Mij] E(∆Tij) = 80(0.113) +89.2(28.2) +80.0(0) + ….+80(0) E(∆Tij) = 88.178 s Dengan menggunakan persamaan 2.5, kapasitas runway 10 untuk operasi kedatangan saja adalah Ca = = = 41 arrival/jam b) Kapasitas sistem runway untuk keberangkatan saja (departure only) untuk kapasitas runway pada operasi keberangkatan saja, sama dengan hasil yang dihitung sebelum dilakukan usaha pengurangan separasi. Karena untuk pengaturan separasai kedatangan sudah menggunakan standar ICAO. c) Kapasitas sistem runway untuk operasi campuran (mixed operation) padaproses perhitungan untuk operasi campuran juga sama dengan yang dilakukan sebelum adanya pengurangan separasi Perhitungan Gap antar operasi kedatangan dapat dihitung menggunakan persamaan berikut: Gh-s = T2-T1 = (E(∆Tij) -
) – (ROT)
dimana : G = Gap antar kedatangan (s) T2 = Waktu Arrival Trailing(s)
(4.1)
160 T1 = Waktu Arrival Leading(s) E(∆Tij = Waktu Interarrival (s) = Jarak separasi minimum (nm) ROT = Runway Occupation time(s) Vs = kecepatan pesawat trailing (knot) diambil contoh arrival BTK 7512 (Airbus A320 , Leading) – CTV 9702 (Airbus A320, Trailing) E(∆Tij) = 80 s = 3 nm ROT = 65 s Vs = 135 knots Gh-s = T2-T1 = (E(∆Tij) = T2-T1 = 133 = 15 s
) – (ROT) ) – (65)
diambil contoh arrival QG920 (Airbus A320 , Leading) – KD710(Atr-72, Trailing) E(∆Tij = 148 s = 3 nm ROT = 65 s Vs = 105 knots Gh-s = T2-T1 = (E(∆Tij) - ) – (ROT) = T2-T1 = 148 = 84 s
) – (65)
pada kasus kedatangan ATR-72 – A320 yang berhimpitan maka gap yang terjadi adalah 84 detik.
161
Kemudian dicari ∑Ri yang merupakan probabilitas dari runway occupancy time pada setiap tipe pesawat yang dapat ditabelkan sebagai berikut : Tabel 4. 27 Probabilitas ROT dari Tiap Pesawat pada operasi kedatangan Tipe Pesawat ROT Jumlah total probabilitas Boeing 737 all series 65 96 168 0.57 Airbus A320 family (A319, A320) 65 58 168 0.36 ATR-72 Series 55 8 168 0.048 MD80 Series 70 0 168 0 A330 Series 75 2 168 0.012 CRJ-1000 Series 70 4 168 0.024 ∑Ri = (ROT A320 x p A-320) + (ROT b737 x p 737) + (ROT ATR-72 x p ATR-72)+..... (ROT CRJ-1000 x p CRJ1000)+..... ∑RI = (65 x 0.36) + (65 x 0.57) + (55 x 0.048)....... = 65 s Selanjutnya dicari nilai ∑(δd/Vj) yaitu sebagai berikut: ∑( δd/Vj) = 0.36 ++0.012
++0.024
∑( δd/Vj) = 138 s
+0.57
+0.048
+0
162 Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk jumlah gap yang diperlukan untuk melepas sejumlah keberangkatan tertentu dengan persamaan 2.24 E(∆Tij) ≥ E(Ri) + E(
) + (nd – 1) (E(td )
162 ≥ 59 + 138 + (nd – 1) (E(td ) 162 ≥ 203 + (nd – 1) (E(td ) kebutuhan inter arrival time untuk 1 keberangkatan = 203 s kebutuhan inter arrival time untuk 2 keberangkatan = 263 s kebutuhan inter arrival time untuk 3 keberangkatan = 343 s Untuk diselingi satu keberangkatan maka dibutuhkan Gap sebesar 223 detik sehingga berdasarkan persaamaan 2.25 dapat dihitung kapasitas ultimate runway 10 untuk operasi campuran. Cm = +(∑ndpnd) = +(1x0) Cm = 41 operasi/jam Hasil Perhitungan selama 24 – 27 Juli 2016 dapat ditabelkan sebagai berikut:
163
Tabel 4. 28 Kapasitas Ultimate Runway 10 Bandara Juanda 24-30 Juli 2016 g E(∆Tij) Etd Ca Cd Cm hari minggu 6 88.2 60 41 60 41 senin 6 88.74 61 41 59 41 selasa 6 89 62 40 58 40 rabu 6 88 61 41 60 41 kamis 6 88 62 41 58 41 jumat 6 89 60 40 60 42 sabtu 6 89 61 40 58 40
Perubahan Populasi Pesawat Perubahan populasi pesawat disini menggunakan komposisi sebesar 97.83% untuk pesawat berkategori medium dan 2.17% untuk pesawat berkategori heavy. Karena mix index merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kapasitas runway maka, dilakukan analisa untuk menentukan kapasitas runway berdasarkan komposisi pesawat yang terjadi. Pada Bab 4 telah dihitung interarrival time yang dibutuhkan untuk masing- masing tipe pesawat. Pada pembahasan kali ini waktu interarrival akan disederhanakan dengan membuat matrix interarrival berdasarkan klasifikasi pesawat saja dengan cara merata-rata waktu interarrival dan probabilitas sehingga diperoleh matriks-matriks berikut :
164 Tabel 4. 29 Matriks Pij berdasarkan klasifikasi Leading Trailing M H M 0,965395 0,023957 H 0,023957 0,004437
Tabel 4. 30 Matrix Tij berdasarkan Klasifikasi Leading Trailing M H M 146,4205 141,978 H 158,0659 128,5714
Dengan cara permodelan kapasitas ruwnay ruang-waktu. Maka dapat dicari kapasitas dari runway dengan merubah presentase probabilitas sebagai berikut : Tabel 4. 31 Tabel Perubahan kapasitas berdasarkan Presentase Pesawat Terbang Presentase
Pij
E Δtij
Cm
0
146
25
0,09
0,02
148
24
0,16
0,16
0,04
146
25
0,49
0,21
0,21
0,09
146
25
40
0,36
0,24
0,24
0,16
145
25
50
0,25
0,25
0,25
0,25
143
25
60
0,16
0,24
0,24
0,36
143
25
M
H
PM-M
PM-H
PH-M
PH-H
100
0
1
0
0
90
10
0,81
0,09
80
20
0,64
70
30
60 50 40
165
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa faktor populasi pesawat hanya sedikit berpengaruh terhadap kapasitas runway secara langsung pada metode Ruang Waktu.
Penambahan Runway
Upaya terakhir yang bisa diambil dalam peningkatan kapasitas runway adalah penambahan runway baru. Sebenarnya penambahan runway merupakan cara yang kurang efisien. Runway adalah fasilitas yang mahal dalam perencanaan sebuah bandara. Selain itu dengan bertambahnya runway tanpa perbaikan performa manajemennya malah akan membuat kepadatan lebih bertambah. Pada penelitian ini digunakan asumsi apabila runway baru terletak secara parallel diutara runway existing dengan memiliki 5 exit taxiway dengan 3 rapid exit taxiway (identik dengan sisi selatan runway existing). Dimensi dari runway baru ini akan identik dengan runway existing. Dengan asumsi bahwa demand yang dilayani adalah tetap maka berdasarkan metode FAA dapat ditentukan kapasitas kedua runway bandar udara juanda seperti dibawah ini :
166 Tabel 4. 32 Letak Exit Taxiway runway baru dan runway existing Jarak Exit Taxiway dari threshold Runway (m)
Exit Factor
Runway N1
N2
N3
N4
N5
S1
S2
S3
S4
S5
10R
0
928
1670
2503
2993
0
715
1485
2257
2993
1
28R
2993
2065
1323
490
0
2993
2278
1506
734
0
1
10R
0
0
0
0
0
0
715
1485
2257
2993
0,94
28R
0
0
0
0
0
2993
2278
1506
734
0
0,94
167 Dengan asumsi bahwa demand yang akan dilayani tetap maka untuk mix index tetap seperti yang sudah dihitung di perhitungan kapasitas FAA yaitu sebesar 104. Presentase arrival juga tetap seperti pada perhitungan kapasitas FAA yaitu rata-rata sebesar 50%. Data-data tersebut dimasukkan dalam grafik bantu sebagai berikut:
Gambar 4. 23 Grafik Bantu untuk penentuan kapasitas runway baru pada kondisi VFR
168
Gambar 4. 24 Grafik Bantu untuk penentuan kapasitas runway baru pada kondisi IFR Asumsi untuk peresentase penggunaan runway adalah 100%100% yang artinya demand yang ada akan dibagi secara merata ke kedua runway. Sehingga perhitungan kapasitsnya menjadi seperti berikut : Kondisi VFR : C = 100 % x (C Runway 10L)+ 100% x (C runway 10 R) = 100 % x (54)+ 100% x (58) = 103 operasi / jam
169 Kondisi IFR : C = 100 % x (C Runway 10L)+ 100% x (C runway 10 R) = 100 % x (70)+ 100% x (75) = 145 operasi / jam Sehingga dengan penambahan runway diperoleh peningkatan kapasitas yang terjadi mencapai 103 operasi untuk VFR dan 145 operasi untuk IFR. Selain penambahan runway, kita dapat melakukan pengaturan dengan mengubah pola penggunaan runway. Dengan dua buah runway yang dimiliki sekarang, terdapat beberapa pola dalam pengoperasian runway, yaitu : a. Satu runway untuk operasi kedatangan saja dan satu runway untuk operasi keberangkatan saja. Apabila runway dioperasikan secara terpisah (segregated), di mana 1 runway digunakan untuk operasi kedatangan saja sedangkan runway lainnyadigunakan untuk operasi keberangkatan saja maka kapasitas jenuh runway di Bandara Juanda merupakan penjumlahan kapasitas jenuh runway tunggal untuk operasi keberangkatan dan kedatangan saja. Dari hasil perhitungan kapasitas jenuh runway dengan formulasi matematis didapat kapasitas jenuh runway tunggal untuk operasi keberangkatan saja adalah 58 operasi per jam, sedangkan kapasitas jenuh runway tunggal untukoperasi kedatangan saja adalah 25 operasi per jam. Jadi kapasitas kedua runway untuk operasi terpisah adalah 83 operasi per jam.
170 b. Satu runway untuk operasi keberangkatan saja dan satu runway untuk operasi campuran Dari hasil perhitungan kapasitas jenuh runway dengan formulasi matematis didapat kapasitas jenuh runway tunggal untuk operasi keberangkatan saja adalah 58 operasi per jam, sedangkan kapasitas jenuh runway tunggal untuk operasi campuran adalah 26 operasi per jam. Jadi kapasitas jenuh kedua runway adalah 84 operasi per jam.
c. Satu runway untuk operasi kedatangan saja dan satu runway untuk operasi campuran Dari hasil perhitungan kapasitas jenuh runway dengan formulasi matematis didapat kapasitas jenuh runway tunggal untuk operasi kedatangan saja adalah 25 operasi per jam, sedangkan kapasitas jenuh runway tunggal untuk operasi campuran adalah 26 operasi per jam. Dengan demikian kapasitas kedua runway adalah 51 operasi per jam.
d. Kedua runway untuk operasi campuran Dari hasil perhitungan kapasitas jenuh runway dengan formulasi matematis didapat kapasitas jenuh runway tunggal untuk operasi campuran adalah 26 operasi per jam, sehingga kapasitas kedua runway mencapai 52 operasi/ jam.
5.2.2 Upaya peningkatan kapasitas Ruang udara di Bandar Udara Juanda Selain runway faktor yang berpengaruh dari kapasitas suatu bandar udara adalah kapasitas ruang udara. Dari penelitian yang dilakukan pada tugas akhir ini menghasilkan bahwa sebenarnya kapasitas dari ruang udara Juanda ini masih mencukupi dengan demand yang terjadi selama ini. Sehingga, peningkatan kapasitas ruang udara yang dibahas pada tugas akhir ini hanya sebatas teoritis dan sebagai referensi saja.
Pengurangan separasi berdasarkan ICAO Pengurangan separasi merupakan salah satu solusi untuk masalah kurangnya kapasitas ruang udara. Di bandar udara juanda masih menganut aturan separasi lama sejauh 5 NM untuk semua jenis pesawat. Sedangkan pada penerbangan modern sudah digunakan separasi longitudinal yang sudah ditampilkan pada tabel 2.2. Langkah perhitungan yang digunakan sama dengan menghitung kapasitas ruang udara berdasarkan ruang dan waktu. a.
Closing Case (Vi ≤ Vj)
Sebagai contoh diambil GA7307 (ATR-72, leading)– QG876(A320,trailing). Vi = 210 knot Vj = 215 knot Dengan menggunakan persamaan 2.4 dicari besarnya ∆ Tij dan dimasukkan dalam matrik [Mij]. sebagai berikut :
171
172
∆ Tij =
=
=
85.71 s
b. Opening Case (Vi > Vj) Sebagai contoh diambil QG920 (Airbus A320, leading) – KD710 (ATR-72 trailing). Vi = 215 knot Vj = 210 knot Dengan menggunakan persamaan 2.6 dicari besarnya ∆ Tij dan dimasukkan dalam matrik [Mij]. sebagai berikut : ∆ Tij = Tj – Ti =
+[
-
]=
+[
-
]
= 91.69 s Demikian seterusnya dihitung untuk semua kombinasi Vi dan Vj yang selanjutnya disusun menjadi matrik [Mij] berikut. Tabel 5. 8 Matriks (Mij) jarak interarrival pada terminal airspace ARRIVAL leading
trailing A320
B737
A330
ATR
CRJ1000
MD80
A320
50,23
64,93
50,23
57,41
72,84
50,23
B737
52,68
52,68
52,68
52,68
60,59
52,68
A330
100,10
116,44
62,61
108,07
125,22
83,72
ATR
51,43
64,93
51,43
51,43
72,84
51,43
CRJ1000
54,00
54,00
54,00
54,00
54,00
54,00
MD80
66,61
81,31
46,96
73,79
89,22
46,96
173
Nilai perkiraan waktu antar kedatangan (interarrival time) dihitung dengan menggunakan persamaan 2.2, yaitu sebagai berikut : E(∆Tij) = Σ[Pij][Mij] E(∆Tij) = 50.23(0.14) +64.93(0.2) +50.23(0.01) + ….+46.96 (0) E(∆Tij) = 56.26 s Dengan menggunakan persamaan 2.5, kapasitas runway 10 untuk operasi kedatangan saja adalah Ca = = = 64 arrival/jam
174
( halaman ini sengaja dikosongkan )
BAB VI KESIMPULAN & SARAN
Pada bab ini akan diberikan kesimpulan mengenai tugas akhir ini dan rekomendasi yang diberikan pada pihakpihak terkait. 6.1
Kesimpulan
Beberapa hal yang dapat disimpulkan di tugas akhir ini adalah : 1. Pola pengaturan di bandar udara internasional Juanda menggunakan koordinasi antar unit yang mengacu pada peraturan AIP dan chart approach yang diterbitkan oleh dirjen perhubungan udara Indonesia. 2.
Berdasarkan hasil penelitian untuk kapasitas ruang udara menggunakan pendekatan ruang/waktu maka didapatkan kapasitas sebesar 40 operasi/jam. Sedangkan berdasarkan metode Janic didapatkan perhitungan sebesar 43 operasi/ jam.
3.
Berdasarkan hasil penelitian untuk kapasitas runway didapatkan untuk metode ruang-waktu menghasilkan kapasitas sebesar 26 operasi/jam, sedangkan ketika menggunakan metode dari FAA dihasilkan kapasitas sebesar 58 operasi/jam
175
176 4.
dari hasil perhitungan didapatkan bahwa kapasitas (supply) lebih besar daripada jumlah operasi (demand) yang terjadi di Bandar udara Juanda.
5.
Setelah melalui upaya peningkatan, kapasitas maksimum runway bandar udara juanda dapat ditingkatkan hingga mencapai 84 operasi/jam. Setelah melalui upaya peningkatan kapasitas maksimum ruang udara kedatangan bandar udara dapat ditingkatkan hingga mencapai 64 kedatangan/jam
6.2
Saran
Guna memberikan evaluasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat, swasta dan pemerintah, maka penulis memberikan beberapa saran terkait kondisi kapasitas ruang udara Bandara Juanda, antara lain: 1. Hasil studi ini dapat digunakan sebagai langkah awal untuk menentukan kebijakan dan pengembangan bandara yang berdasarkan Air traffic management 2. Memperbaiki fasilitas dan infrastruktur pendukung operasi penerbangan. 3. Berdasarkan Jadwal penerbangan dan lembaga lain menunjukkan bahwa kapasitas dari bandar udara juanda sebesar 26 operasi/jam. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya selain kapasitas ruang udara dan runway faktor lain juga berpengaruh, seperti cuaca, ground handling, serta jumlah gate yang ada.
177 Selain itu, guna meningkatkan kualitas analisis dan studi selanjutnya, terdapat beberapa masukan bagi penulis dan pihak yang terlibat dalam penyelesaian tugas ini, diantaranya: 1. Instansi pemegang kuasa bandara hendaknya, meberikan kemudahan untuk meninjau kinerja bandara demi kebaikan bersama. 2. Perlu dilakukan studi lebih lanjut mengenai korelasi ruang udara dan kapasitas pendukung penerbangan.
178
( halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR PUSTAKA
Aeronautical Information Publication ., Dirjen Perhubungan Udara Republik Indonesia ., 2016 Ashford, N.J ., Mumayiz, S.A., Wright, P.H., 2011. Airport Engineering Planning, Design, And Development of 21stCentury Airports. John Wiley & Sons Inc. Airport Capacity and Delay, Advisory Circular AC 150/50605. Federal Aviation Association , Washington, 1983. Ayu, Fransisca. (2009). “Studi Air traffic Flow Management : Studi Kasus Bandara Internasional Soekarno Hatta”. Bandung :Teknik Penerbangan Institut Teknologi Bandung Horonjeff, Robert ., McKelvey, F.X., Sproule, William J., Young, S.B., 2010. Planning & Design of Airport. McGraw Hill Inc. Indonesia ATFM Implementation ., ICAO ., 2014. Indah, I Gusti. (2009). “Studi Performansi Layout Exit Taxiway untuk Mendapatkan Kapasitas Optimum Landas Pacu Utara Bandar Udara Soekarno-Hatta”. Bandung :Teknik Penerbangan Institut Teknologi Bandung Janic, Milan., 2000., Air Transport System Analysis and Modelling. Amsterdam. Odoni, A., Neufville, R., 2003 Airport System : Planning, Design, and Management. McGraw Hill.Inc
179
180 Young, S.B., Wells, A.T., 2011. Airport Planning and Management. McGraw Hill .Inc http:// www.flightradar24.com diakses pada tanggal 24-30 Juli 2016. http:// www.wuunderground.com diakses tanggal 24-30 Juli 2016
FACHRI RAMADHAN Penulis dilahirkan di Malang pada 17 Februari 1994, merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis telah menempuh pendidikan formal yaitu di BA RESTU, Malang (1999-2000), MIN Malang 1 (2000-2006), SMPN 3 Malang (2006-2009) dan SMAN 3 Malang (2009-2012). Sebelum lulus dari SMA pada Tahun 2012, Penulis mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) melalui jalur seleksi tertulis dan diterima di Jurusan Teknik Sipil, FTSP, ITS pada tahun 2012 dan terdaftar dengan NRP 3112100112. Di Jurusan Teknik Sipil ini Penulis adalah Mahasiswa Program Sarjana (S1).
Email :
[email protected]