STUDI ABNORMALITAS LARVA CHIRONOMID PADA PERAIRAN YANG TERCEMAR LOGAM BERAT
TYAS DITA PRAMESTHY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Abnormalitas Larva Chironomid pada Perairan yang Tercemar Logam Berat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2014 Tyas Dita Pramesthy NIM C251130256
RINGKASAN TYAS DITA PRAMESTHY. Studi Abnormalitas Larva Chironomid pada Perairan yang Tercemar Logam Berat. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO dan MAJARIANA KRISANTI. Chironomid merupakan salah satu larva serangga air dari ordo Diptera, Famili Chironomidae. Objek penelitian ini adalah genus Kiefferulus sp. dan subfamili Tanypodinae. Kiefferulus sp. memiliki ciri khusus pada bagian mulutnya yaitu berupa gigi mentum, sedangkan Tanypodinae berupa gigi ligula. Gigi pada larva chironomid dapat mengalami kecacatan atau abnormalitas apabila habitat perairan mengalami pencemaran logam berat. Tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan pengaruh logam berat terhadap kecacatan morfologi dari larva chironomid, serta modifikasi indeks abnormalitas untuk gigi mentum chironomid. Hasil pengamatan larva Kiefferulus sp. menunjukkan abnormalitas mentum yang terjadi pada perlakuan Hg 0 µg/L dan 1.8 µg/L sebesar 100%, sedangkan pada perlakuan Hg 0.2 µg/L, 0.6 µg/L dan 1.4 µg/L <100%, yaitu terdapat satu individu yang tidak mengalami abnormalitas pada gigi mentum. Terjadinya abnormalitas pada perlakuan Hg 0 µg/L dapat disebabkan oleh media air yang digunakan dalam pemeliharaan larva telah mengandung logam Pb. Abnormalitas gigi pada mentum larva Kiefferulus sp. dapat dilihat berdasarkan bagian-bagian gigi pada mentum yang terbagi menjadi 3 bagian yaitu gigi median, median lateral, dan lateral. Hasil penelitian menunjukkan bahwa abnormalitas pada Kiefferulus sp. lebih banyak terjadi pada gigi bagian lateral. Larva chironomid merupakan larva yang dapat mengakumulasi logam berat dalam jaringan tubuhnya. Larva Kiefferulus sp. pada setiap perlakuan mengandung logam Hg, dengan nilai tertinggi pada perlakuan 0.2 µg/L yaitu sebesar 1.75 mg/kg. Pada perlakuan 0 µg/L Hg terdapat sedikit kandungan Hg dalam biota yaitu 0.10 mg/kg. Kandungan Pb tertinggi pada perlakuan Hg 0.2 µg/L yaitu sebesar 427.78 mg/kg. Evaluasi abnormalitas pada larva chironomid dilakukan dengan menghitung nilai mentum deformity index/ indeks abnormalitas mentum. MDI yang merupakan modifikasi dari TSI dan ISLD dikembangkan untuk menghitung skor atau nilai indeks abnormalitas pada mentum. Hasil analisis telah menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi logam berat, maka nilai MDI akan semakin tinggi. Hal tersebut dapat dijadikan dasar bahwa MDI dapat digunakan sebagai evaluasi abnormalitas mentum pada larva Kiefferulus sp. Hasil penelitian yang dilakukan di Danau Lido menunjukkan bahwa konsentrasi timbal (Pb) di Danau Lido cukup tinggi, yaitu 0.08-0.19 mg/L. Sepuluh dari lima puluh lima larva Tanypodinae yang dikumpulkan mengalami abnormalitas pada ligula. Nilai Indeks deformitas ligula sebesar 4.4, nilai tersebut mengindikasi adanya respon larva chironomid pada pencemaran timbal. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu logam berat Hg dan Pb dapat menyebabkan abnormalitas pada gigi chironomid. Indeks abnormalitas mentum dapat digunakan untuk mengevaluasi tingkat abnormalitas pada Kiefferulus sp. Kata Kunci: Chironomid, abnormalitas ligula, abnormalitas mentum, logam berat
SUMMARY TYAS DITA PRAMESTHY. Study of Chironomid Larvae Deformities on Heavy Metal Contaminated Water. Supervised by YUSLI WARDIATNO and MAJARIANA KRISANTI. Chironomid is one of aquatic insect larvae of order Diptera, Famili Chironomidae. Object of this study are Kiefferulus sp. and subfamili Tanypodinae. Kiefferulus sp. has special characteristic on the mouth part, shown by the teeth of mentum, while Tanypodinae has ligula teeth. Chironomid larvae might have deformities in mouth part when aquatic habitats had been polluted by heavy metal. The purpose of this study is to describe the effect of heavy metals to morphological deformities of chironomid larvae and modification index for evaluation mentum deformity. The observation of Kiefferulus sp. larvae showed that mentum deformity 100% occured in Hg 0 µg/L and 1.8 µg/L, whereas Hg 0.2 µg/L, 0.6 µg/L and 1.4 µg/L treatment are <100%, there was treatment which did not show deformities in mentum. The occurrence of deformities in the treatment of Hg 0 µg/L can be caused by water media that was used in larvae rearing had Pb contain. Mentum deformity in larval Kiefferulus sp. can be seen on the part of teeth exactly on mentum which was divided into 3 parts, i.e. the median teeth, median lateral teeth, and lateral teeth. The result showed that the deformity of Kiefferulus sp. more common in lateral teeth. Chironomid larvae can accumulated heavy metals in body tissues. Larvae of Kiefferulus sp. at each treatment showed Hg contain, with the highest value in the treatment of 0.2 µg/L Hg i.e 1.75 mg / kg. In the treatment of 0 µg/L Hg there is 0.10 mg/kg Hg. The highest Pb contain in the treatment 0.2 µg/L Hg i.e. 427.78 mg/kg. Deformities evaluation of Kiefferulus sp. was conducted by calculating the value of mentum deformation index. MDI which is a modification of the TSI and ISLD was developed to calculate score or value of mentum deformity index. Results presented that higher concentration of heavy metals, caused higher MDI, so, MDI can be used as tool of Kiefferulus sp. mentum deformities evaluation. Result of research which was conducted in Lake Lido showed that lead (Pb) concentration in Lido Lake was quite high, i.e. 0.08-0.19 mg/L. Ten of fiftyfive collected Tanypodinae larvae exhibited deformation in their ligulae. Index of severity of ligula deformation (ILSD) was 4.4, indicating the response of the chironomid larvae to lead pollution. The conclusion of this study is the heavy metals Hg and Pb cause teeth deformities of chironomid. MDI can be used to evaluate the degree of deformity in Kiefferulus sp. Keywords: Chironomid , heavy metals, ligula deformities, mentum deformities
SUMMARY
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STUDI ABNORMALITAS LARVA CHIRONOMID PADA PERAIRAN YANG TERCEMAR LOGAM BERAT
TYAS DITA PRAMESTHY
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji luar komisi pembimbing pada ujian tesis: Dr Jojok Sudarso, SSi, MSi
Judul Tesis Nama NIM
: Studi Abnormalitas Larva Chironomid pada Perairan yang Tercemar Logam Berat : Tyas Dita Pramesthy : C251130256
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc Ketua
Dr Majariana Krisanti, SPi, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc
Tanggal Ujian: 22 Agustus 2014
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah yang berjudul Studi Abnormalitas Larva Chironomid pada Perairan yang Tercemar Logam Berat. Karya ilmiah ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada bulan Mei-Juni 2014 sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan. Pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Institut Pertanian Bogor (IPB) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis menjadi mahasiswa S2 sinergi sekolah pascasarjana IPB. 2. Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc dan Dr Majariana Krisanti, SPi, MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak arahan dan saran sehingga tulisan ini berhasil diselesaikan. 3. Dr Jojok Sudarso, SSi, MSi selaku penguji luar komisi yang telah memberikan saran dan koreksi dalam penyempurnaan karya ilmiah ini. 4. Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc selaku Ketua Program Studi SDP untuk tahun studi 2014-2017 sekaligus sebagai dosen penguji dari program studi yang telah memberikan bimbingan dalam menyelesaikan studi dan saran dalam penyempurnaan tulisan ini. 5. Dr Ir Enan M Adiwilaga selaku Ketua Program Studi SDP tahun 2010-2013 yang telah membantu dalam tahapan penyelesaian studi dan penelitian, serta seluruh dosen Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan yang telah banyak mengajari, memberikan ilmu serta pengalaman kepada penulis. 6. Seluruh staf departemen MSP, staf laboratorium biologi mikro, serta staf laboratorium produktivitas dan lingkungan perairan MSP IPB yang telah membantu dalam pelaksanaan kegiatan perkuliahan dan penelitian. 7. Keluarga tercinta, Bapak (Sahab Sahroni), Mama (Nani Mulyani), Kakak (Yodha Prasidya), serta Adik-adik (Bagas Pramudika dan Dianita Pradipta), yang selalu memberikan semangat, dukungan dan doa yang tidak pernah putus. 8. Seluruh sahabat-sahabat MSP 46, SDP 2012, SDP 2011 (Gilang, Ika, Devi, Arni, Novita, Selvia, Asyanto, Kusnanto, Ka Dita, Ka Pepen, Ka Alim, Ka Dede, Mba Sri, Ka Fuquh, Ka Bambang, Ka Perdana, Ka Wahyu, Ka Panji, Pak Syawal dan rekan-rekan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu), serta sahabat kost Puri Prasetya atas doa, dukungan, dan bantuannya dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian penulisan karya ilmiah ini. 9. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi atas beasiswa pendidikan yang telah diberikan selama satu tahun masa studi. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, September 2014
Tyas Dita Pramesthy
DAFTAR ISI 1. 2. 3. 4. 5.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Manfaat 6. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan Contoh Air dan Larva Chironomid di Danau Lido Pemeliharaan Larva Chironomid Pengamatan Kecacatan Morfologi Larva Chironomid Analisis Kandungan Logam Berat Pb dan Hg Analisis Data Indeks Abnormalitas Chironomid 7. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan 8. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran 9. DAFTAR PUSTAKA 10. LAMPIRAN 11. RIWAYAT HIDUP
vi viii vii viii vii viii vii 1 1 2 3 3 4 4 5 5 6 6 8 9 12 12 18 24 24 25 25 29 39
DAFTAR TABEL 1. Karakteristik abnormalitas dan nilai indeks dasar untuk setiap kelas 2. Kategori klasifikasi dasar dan nilai untuk tipe indeks secara individu pada abnormalitas ligula 3. Kandungan logam berat pada air Danau Lido 4. Persentase abnormalitas pada larva Kiefferulus sp. yang dipaparkan logam berat Hg. 5. Kandungan logam Hg dan Pb pada chironomid 6. Pendugaan Indeks Respon Morfologi dari larva Tanypodinae yang mengalami abnormalitas ligula di perairan Danau Lido
10 12 13 13 15 18
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4.
Diagram alir perumusan masalah Peta lokasi penelitian di Danau Lido Morfologi bagian ventral kapsul kepala a. larva Chironominae Bagian mentum larva chironomid ; M gigi tengah (median teeth), ML gigi tengah lateral (median-lateral teeth), L gigi lateral (lateral teeth) 5. Ligula Tanypodinae (Warwick 1991) 6. Persentase abnormalitas pada setiap bagian gigi larva Kiefferulus sp. yang dipaparkan logam Hg 7. Hubungan peningkatan konsentrasi Hg di air dengan peningkatan konsentrasi Hg di biota 8. Hubungan peningkatan Hg di air dengan Pb di biota 9. Nilai indeks abnormalitas mentum pada Kiefferulus sp. 10. Siklus hidup larva chironomid modifikasi Charles et al. (2004) in Krisanti (2012) 11. Diagram interpretasi dari interaksi antara proses utama kontaminasi, kondisi tropik, dan sedimentasi dan respon biologis pada berbagai tingkat organisasi biologis (Warwick 1991)
3 4 7 9 11 14 15 16 17 19
23
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4.
Desain akuarium dalam penelitian Konsentrasi Hg yang digunakan dalam penelitian Gambar alat dan bahan Gambar mentum Kiefferulus sp. yang normal dan mengalami abnormalitas 5. Gambar ligula Tanypodinae yang normal dan mengalami abnormalitas 6. Gambar Lokasi Penelitian
viii vii
29 29 30 33 36 37
PENDAHULUAN Latar Belakang Lingkungan perairan merupakan lingkungan yang sering kali mengalami pencemaran. Pencemaran tersebut seringkali tidak diketahui di awal, sehingga perubahan pada lingkungan perairan tersebut tidak teridentifikasi. Pada umumnya pencemaran perairan hanya dinilai dari kualitas air, sementara untuk dampaknya terhadap biota perairan kurang diperhatikan. Townsend (2013) menyatakan bahwa analisis kimia bukan merupakan ukuran langsung dari kesehatan ekosistem. Adanya bahan kimia tersebut tidak berarti degradasi telah terjadi. Penilaian secara biologis dapat digunakan dalam mendeteksi atau mengukur adanya pencemaran pada lingkungan, karena pada akhirnya biota perairan akan terpengaruh ketika perubahan parameter kimia terjadi. Townsend (2013) menyatakan bahwa penilaian biologis digunakan untuk menentukan terjadinya degradasi di ekosistem dengan mengidentifikasi sumber-sumber potensial dan penyebab degradasi, serta memprediksi degradasi yang terjadi karena adanya penyebab lain atau yang berbeda. Salah satu jenis biota yang dapat digunakan sebagai penilaian biologis adalah makroinvertebrata. Alasan digunakan makroinvertebrata menurut Townsend (2013) adalah karena organisme tersebut terdistribusi secara luas pada berbagai ekosistem perairan, beragam di lingkungan air tawar, memiliki fungsi penting, membentuk bagian penting dari diet organisme lain, memiliki kepekaan bervariasi untuk stres yang berbeda, siklus hidup yang pendek, dan ukurannya yang kecil sehingga mudah untuk pemeriksaan, pengambilan, penyimpanan, dan transportasi. Selain itu, penggunaan makroinvertebrata juga dapat menghindari kendala etis yang terkait dengan spesies vertebrata. Salah satu biota yang dapat digunakan dalam penilaian secara biologis yaitu larva chironomid. Chironomid adalah spesies dari ordo Diptera, merupakan larva serangga yang hidup pada perairan. Chironomid tersebut dapat hidup pada perairan tawar, baik menggenang ataupun mengalir. Meskipun sebagian besar spesies menghuni air tawar, beberapa chironomid juga hidup di darat dan beberapa merupakan spesies laut (Oliver & Roussel 1983). Larva chironomid dapat tumbuh dan berkembang apabila kondisi lingkungan perairan dalam keadaan optimum, baik dari aspek fisika, kimia, maupun biologi, sehingga larva chironomid dapat digunakan untuk merefleksikan degradasi lingkungan (Lagrana et al. 2011). Kondisi lingkungan dapat berpengaruh pada tingkat kematian dari larva chironomid. Akan tetapi, beberapa jenis larva chironomid dapat mentolerir lingkungannya, seperti penurunan kandungan oksigen terlarut, peningkatan bahan anorganik, dan adanya kandungan logam berat dalam perairan. Kondisi lingkungan perairan juga dapat berpengaruh terhadap morfologi bagian kepala larva chironomid, yaitu berupa perubahan bentuk mandible, mentum, dan antena (Bhattacharya et al. 2005, Bhattacharya et al. 2006, AlShami et al. 2010). Perubahan morfologi pada larva chironomid lebih utama disebabkan oleh kandungan logam berat dalam suatu perairan. Logam berat dapat menjadi faktor utama karena bersifat toksik dan logam memiliki kemampuan untuk terakumulasi dalam kompartemen lingkungan. Logam berat akan mengikat partikel-partikel organik dan anorganik. Dalam jangka panjang, logam juga dapat
2 mengendap di bagian dasar sungai, danau, muara sungai, atau perairan laut. Hal tersebut dapat menyebabkan efek merusak terhadap organisme bentik dan ikan (Lagrana et al. 2011). Michailova & Petrova (2005) menyatakan bahwa, logam berat bersifat toksik bagi sel. Pengaruh logam berat dapat terjadi dalam jangka waktu yang pendek dengan konsentrasi tinggi, yaitu dapat menyebabkan keracunan akut untuk organisme air, atau logam berat tersebut dapat mempengaruhi organisme dengan konsentrasi rendah tetapi untuk jangka waktu yang panjang. Hal tersebut dapat menyebabkan keracunan kronis dan gangguan dalam fungsi vital, seperti perubahan morfologi, pertumbuhan, reproduksi, penetasan, terjadinya cacat, namun belum menunjukkan sebagai penyebab kematian. Hasil penelitian Bhattacharya et al. (2005, 2006) menunjukkan bahwa logam berat timbal (Pb) dapat menjadi penyebab penting dalam perubahan morfologi bagian mulut larva chironomid, peningkatan kandungan logam berat juga berkorelasi positif terhadap peningkatan persentase kecacatan morfologi pada larva chironomid. Janssens de Bisthoven et al. (1992) menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara kecacatan morfologi pada larva chironomid dengan kandungan logam timbal dan tembaga dalam larva tersebut. Berdasarkan hasil uji laboratorium yang telah dilakukan Vermeulen et al. (2000) menggambarkan bagian mulut larva chironomid mengalami kelainan bentuk setelah dipaparkan timbal dan merkuri. Pendekatan metode eksperimental menurut Townsend (2013) dapat mengatasi banyak masalah yang dihadapi dalam biomonitoring. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dalam skala laboratorium dengan tujuan untuk mendeskripsikan pengaruh logam berat terhadap kecacatan morfologi larva chironomid pada bagian mentum (gigi).
Rumusan Masalah Penggunaan logam berat pada kegiatan industri seringkali dapat meningkatkan kontaminasi logam di perairan hingga dapat menyebabkan terjadinya pencemaran di perairan tersebut. Kandungan logam berat yang bersifat toksik dapat menyebabkan perubahan struktur morfologi pada biota perairan, terutama biota yang hidupnya menetap (sesille) dan berukuran lebih kecil. Chironomid merupakan serangga yang memiliki fase telur dan larva di perairan dengan siklus hidup yang singkat. Kandungan logam berat pada air telah diketahui dapat memberikan pengaruh kecacatan atau abnormalitas morfologi pada larva chironomid. Penelitian yang dilakukan dalam skala laboratorium diharapkan dapat mendeskripsikan besarnya respon berupa kecacatan morfologi pada bagian mentum dengan logam berat Hg sebagai perlakuan dalam penelitian. Logam berat yang dapat mempengaruhi abnormalitas tidak hanya logam Hg, kandungan logam berat Pb pada Danau Lido telah menunjukkan pengaruh kecacatan morfologi pada larva chironomid di danau tersebut. Diagram alir penyusunan rumusan masalah terdapat pada Gambar 1.
3
- Hidrodinamika Danau Lido - Logam Pb - Larva chironomid
Morfologi gigi larva chironomid ?
Akumulasi
+
Abnormalitas bagian gigi
-
- Eggmass chironomid - Logam Hg - Bahan organik - Air Danau Lido - Kualitas air
- Kandungan logam dalam chironomid - Morfologi gigi larva chironomid
- Pertumbuhan - Akumulasi
?
+
- Gagal/menghambat emergence - Kematian
Gambar 1 Diagram alir perumusan masalah
Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan pengaruh logam berat terhadap kecacatan morfologi dari larva chironomid, serta memodifikasi indeks abnormalitas untuk analisis abnormalitas pada mentum chironomid.
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh logam berat terhadap kecacatan morfologi larva chironomid, sehingga dapat
+
4 digunakan untuk menduga resiko ekologi dari pemaparan suatu polutan sebelum dampak yang lebih besar terjadi.
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juli 2014. Lokasi pengambilan contoh massa telur (eggmass) dan larva chironomid di Danau Lido, Jawa Barat (Gambar 2). Kegiatan penelitian (pemaparan massa telur hingga menjadi larva pada logam berat) dilaksanakan di Laboratorium Eksperimental, Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pengamatan morfologi larva chironomid dilakukan di Laboratorium Biologi Mikro I, dan analisis kandungan logam berat pada larva chironomid dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pengamatan morfologi dan Analisis kandungan logam berat dilakukan pada akhir penelitian, setelah larva chironomid melewati instar III.
Gambar 2 Peta lokasi penelitian di Danau Lido
5 Tahapan Penelitian Pengambilan Contoh Air dan Larva Chironomid di Danau Lido Pengambilan contoh air dilakukan untuk mengetahui kandungan logam berat merkuri (Hg) dan timbal (Pb) pada air Danau Lido. Contoh air diambil menggunakan botol contoh ukuran 500 mL. Pengambilan contoh air dilakukan di 2 titik, yaitu area KJA dan area dekat persawahan yang berdekatan dengan area wisata perahu. Air danau juga diambil untuk media pemeliharaan larva chironomid dalam akuarium. Air danau terlebih dahulu di saring menggunakan plankton net. Pengambilan contoh larva chironomid di Danau Lido dilakukan untuk membandingkan antara abnormalitas bagian mulut pada larva di lingkungan dengan abnormalitas bagian mulut pada larva yang dipelihara di laboratorium. Lokasi pengambilan larva chironomid di dekat area persawahan karena kedalaman air pada area danau dekat persawahan dangkal yaitu ± 2 m, sehingga lebih banyak ditemukan larva chironomid. Contoh larva chironomid diambil menggunakan Van Veen Grab sampler dari sedimen, kemudian sedimen disaring menggunakan saringan kasar dan halus untuk mendapatkan larva chironomid. Larva chironomid yang didapat diawetkan menggunakan alkohol 70%.
Pemeliharaan Larva Chironomid Penelitian dimulai dengan pengambilan massa telur Chironomid dari Danau Lido, Jawa Barat. Massa telur tersebut diambil dari danau, karena diharapkan mendapatkan beberapa telur dengan satu spesies. Lokasi pengambilan massa telur di dekat area persawahan. Lokasi ini dipilih berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan bahwa chironomid dewasa sering meletakkan telurnya pada batang tumbuhan air, dan pada area danau dekat persawahan ini banyak ditemukan tumbuhan air. Massa telur yang diambil merupakan gumpalan gelatin berwarna bening dan apabila diperhatikan terdiri dari butir-butir telur berwarna kecoklatan. Massa telur dari chironomid biasanya akan menetas dalam waktu 24 sampai 36 jam (Hershey & Lamberti 2001). Massa telur yang didapat dari Danau Lido kemudian dipindahkan ke wadah pemeliharaan berupa akuarium yang diberi penutup berupa waring (jaring benih ikan) (Lampiran 1). Penggunaan waring ini bertujuan untuk menghindari predator yang mungkin terdapat di ruang laboratorium. Pemeliharaan juga dilakukan di dalam ruang laboratorium agar kondisi pemeliharaan larva chironomid tetap dalam keadaan terkontrol atau tidak terpengaruhi oleh faktor lain, misalnya suhu dan predator. Ruang laboratorium diberi pendingin ruangan untuk mengatur suhu 25 oC agar logam Hg yang diberikan tidak menguap atau kosentrasi dari logam tersebut tetap stabil, selain itu ruang laboratorium dibuat gelap (tanpa cahaya) untuk menghindari tumbuhnya fitoplankton yang akan meningkatkan pertumbuhan zooplankton salah satu predator dari larva chironomid pada instar I (planktonik). Selama pemeliharaan, larva chironomid diberi pakan berupa bahan organik yang berasal dari kotoran kuda. Bahan organik yang digunakan sebanyak 0.5 g/L. Pemberian bahan organik ini mengacu pada hasil penelitian Krisanti (2012) dan Farhani (2012) yaitu apabila tidak diberi bahan organik, waktu capaian instar adalah 7 hari dan hanya mencapai instar I, sedangkan dengan pemberian
6 bahan organik 0.5 g/L waktu capaian dari instar I-IV berturut-turut adalah 4, 2, 13, dan 2 hari. Larva di dalam akuarium diberi perlakuan berupa konsentrasi Hg yang berbeda. Jenis Hg yang digunakan pada penelitian ini yaitu HgNO3. Perlakuan konsentrasi logam yang berbeda dilakukan untuk melihat perbedaan besarnya respon kecacatan pada larva chironomid yang terpapar logam berat. Konsentrasi yang digunakan mengacu pada kadar merkuri dalam Sungai Cikaniki, Bogor dimana sungai tersebut merupakan salah satu sungai yang menjadi tempat pembuangan limbah dari penambangan emas di Gunung Pongkor, Bogor. Menurut Syawal & Yustiawati (2012), kandungan Hg dalam Sungai Cikaniki pada tahun 2008 yaitu 2.743-4.846 µg/L dan pada tahun 2009 kandungan Hg mengalami penurunan yaitu 0.370-1.128 µg/L. Bhattacharya (2005) menyatakan bahwa kandungan Hg yang dapat menyebabkan kecacatan morfologi pada Chironomid yaitu 0.20-1.43 µg/L. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan beberapa perbedaan konsentrasi pada logam Hg dengan masing-masing 3 ulangan (Lampiran 2). Perlakuan perbedaan konsentrasi untuk jenis logam Hg yaitu 0 µg/L, 0.2 µg/L, 0.6 µg/L, 1.4 µg/L, dan 1.8 µg/L. Setelah melewati instar III, contoh larva chironomid diambil untuk analisis logam berat dan pengamatan morfologi chironomid.
Pengamatan Kecacatan Morfologi Larva Chironomid Pengamatan kecacatan atau abnormalitas pada bagian mulut difokuskan pada bagian gigi, baik ligula maupun mentum (Gambar 3). Pembuatan preparat chironomid dilakukan terlebih dahulu sebelum mengamati bentuk gigi. Tahapan dalam membuat preparat yaitu larva chironomid yang telah diawetkan direndam menggunakan KOH 10% dalam botol kaca selama 24 jam untuk membersihkan jaringan tubuh. Larva yang jaringannya sudah bersih diletakkan di kaca obyek menggunakan pipet tetes, kemudian posisi larva diatur menggunakan jarum agar bagian ventral berada di atas. Pengeringan (dehidrasi) kemudian dilakukan pada larva dengan menggunakan hot plate. Larva yang telah kering diberi Entellan® dan ditutup dengan kaca penutup. Pengamatan gigi menggunakan mikroskop trinokuler Zeiss yang terhubungkan dengan kamera Axio Cam Erc 5s dan dilengkapi dengan program Axio Vision Rel.4.8. Pengamatan abnormalitas atau kecacatan morfologi mengacu pada Al-Shami et al. (2011) untuk bagian mentum (Gambar 4), dan Warwick (1991) untuk bagian ligula (Gambar 5).
Analisis Kandungan Logam Berat Pb dan Hg 1. Analisis kandungan logam berat pada air Danau Lido Analisis kandungan logam berat terlarut dalam air menggunakan prosedur APHA (2012). Sebanyak 250 ml sampel air dimasukkan ke dalam gelas ukur 500 ml, lalu ditambahkan HCl pekat 2 ml dan APDC 2 ml. Setelah itu dipanaskan (oven) lebih kurang satu jam kemudian didinginkan. Sampel dalam gelas ukur tersebut kemudian dimasukkan ke dalam labu takar, lalu ditambahkan Isobutylel methylketon sebanyak 10 ml, didiamkan selama satu menit kemudian gas yang ada di dalam dikeluarkan. Selanjutnya didiamkan selama lima menit hingga terbentuk dua lapisan (fase) pada sampel. Fase anorganik (lapisan bawah)
7 dibuang dan fase organik (lapisan atas) ditambahkan asam nitrat sebanyak 25 ml dan diaduk selama satu menit, lalu diamkan hingga terbentuk lagi dua lapisan (fase). Bagian yang diambil adalah fase anorganik (lapisan bawah) yang selanjutnya dimasukkan ke dalam botol sampel. Kandungan logam dalam sampel logam tersebut siap diukur menggunakan nyala udara – asetilen yaitu dengan menggunakan metode AAS (Atomic Absorbstion Spectrometric).
Gambar 3 Morfologi bagian ventral kapsul kepala a. larva Chironominae b. larva Tanypodinae
8 2.
Analisis kandungan logam berat pada larva chironomid Metode yang digunakan untuk analisis logam berat yaitu metode GFAAS (Graphite Furnace Atomic Absorption Spectrophotometry). Metode GFAAS adalah teknik analisis yang dirancang untuk melakukan analisis kuantitatif dari berbagai jenis contoh logam. Pada GFAAS, volume atau bobot contoh yang diperlukan relatif lebih kecil, sehingga dapat menentukan kandungan logam dengan contoh yang memiliki bobot minim. Metode ini juga memiliki sensitivitas yang tinggi. Berdasarkan APHA (2012), tahapan dalam pengukuran kandungan logam dimulai dengan pengeringan contoh larva chironomid basah dalam oven hingga kering. Setelah kering, contoh ditumbuk hingga halus, dan ditimbang sebanyak 0.5-1.0 gram yang kemudian ditambahkan H2SO4 dan HNO3. Contoh didiamkan hingga uapnya hilang. Selanjutnya, contoh dipanaskan hingga berwarna kuning, dan didiamkan hingga dingin, kemudian diencerkan dengan menambahkan aquades dan HCl sebanyak 4:1 hingga mencapai 50 mL. Contoh yang telah diencerkan, dimasukkan ke dalam corong pemisah dan ditambahkan dengan larutan standar logam, kemudian diaduk hingga homogen. Setelah itu, supernatan dipisahkan dari larutan contoh kemudian diukur dengan menggunakan alat GFAAS.
Analisis Data Beberapa perhitungan dapat digunakan dalam mengevaluasi kejadian abnormalitas pada larva chironomid, di antaranya persentase individu yang mengalami abnormalitas pada bagian tertentu (% deformitas) dan Indeks Deformitas Ligula (ISLD). Bhattacharya et al. (2006) dan Warwick (1991) menyatakan persentase dari kecacatan atau abnormalitas pada struktur atau bagian tertentu dihitung menggunakan rumus:
Cranston (2004) menyatakan bahwa mentum pada larva dari sub famili Chironominae memiliki 15 gigi berpigmen gelap yang terdiri dari susunan satu gigi besar (tripartit median) yang diapit oleh satu gigi yang lebih kecil (median) dan dua lebih besar (median-lateral) dan empat gigi luar yang lebih kecil di kedua sisi (lateral) (Gambar 4). Al-Shami et al. (2011) menyatakan terjadinya abnormalitas juga dapat dikelompokkan berdasarkan posisi gigi tersebut. Oleh karena itu, perhitungan persentase abnormalitas pada larva Kiefferulus sp. yang merupakan salah satu genus dari sub famili Chironominae dapat dibedakan berdasarkan ketiga bagian gigi, yaitu median, median lateral, dan lateral.
9
Gambar 4 Bagian mentum larva chironomid ; M gigi tengah (median teeth), ML gigi tengah lateral (median-lateral teeth), L gigi lateral (lateral teeth) Sumber: Al-Shami et al. (2011)
Indeks Abnormalitas Chironomid Indeks abnormalitas larva chironomid dapat digolongkan menjadi beberapa indeks sesuai dengan jenis atau spesies yang diamati. Untuk menganalisis abnormalitas pada mentum Kiefferulus sp. digunakan rumus Mentum deformity index (MDI) yang merupakan modifikasi dari Toxic Score Index (TSI) (Lenat 1993) dan Index of severity of ligula deformation (ISLD) (Warwick 1991), sedangkan untuk menganalisis indeks pada jenis Tanypodinae menggunakan rumus Index of severity of ligula deformation (ISLD) (Warwick 1991). 1.
Mentum deformity index (MDI) Mentum deformity index (MDI) merupakan modifikasi dari TSI dan ISLD yang dikembangkan untuk menghitung skor atau nilai indeks abnormalitas pada mentum Kiefferulus sp. Lenat (1993) mengklasifikasikan abnormalitas mentum ke dalam 3 kelas. Kelas I terdiri dari gigi yang mengalami sedikit abnormalitas (rusak ringan), kelas II terdiri dari larva dengan abnormalitas gigi sedikit lebih parah, sedangkan kelas III terdiri dari larva dengan abnormalitas parah, terdapat gigi tambahan atau gigi yang hilang. Analisis TSI oleh Lenat (1993) digunakan untuk menduga pencemaran yang terjadi pada suatu perairan menggunakan Chironomus sp. Warwick (1991) membuktikan dengan ISLD bahwa perairan yang mengalami pencemaran lebih besar akan menyebabkan abnormalitas pada ligula yang lebih besar, sehingga nilai indeks abnormalitasnya lebih besar berdasarkan tahapan pemberian skor pada setiap kerusakan. Perhitungan indeks abnormalitas pada mentum Kiefferulus sp. menggabungkan konsep TSI (Lenat 1993) dimana biota yang digunakan berasal dari sub famili yang sama yaitu Chironominae dan konsep ISLD (Warwick 1991) untuk pemberian nilai skor dari abnormalitas yang terjadi pada setiap individu.
10 Indeks abnormalitas mentum mengklasifikasikan abnormalitas menjadi 3 kelas dengan beberapa karakteristik abnormalitas tertentu pada setiap kelas (Tabel 1). Sebelum menentukan MDI, terlebih dahulu dilakukan perhitungan Modified Index of Morphological Response (MIMR) yang dimodifikasi berdasarkan Index of Morphological Response (IMR) (Warwick 1991). Langkah awal untuk menghitung MIMR terlebih dahulu memberikan skor nilai indeks dasar pada setiap individu berdasarkan abnormalitas yang dikelompokkan berdasarkan 3 kelas (MIMR individu). Penilaian MIMR individu untuk setiap kelas mengacu pada nilai indeks dasar Warwick (1991) yang digunakan untuk memberikan skor pada ligula (Tabel 2). Nilai indeks dasar untuk MIMR individu tersebut merupakan nilai rata-rata dari nilai indeks dasar IMR pada setiap aspek kecacatan yang terdapat pada masing-masing kelas.
Tabel 1 Karakteristik abnormalitas dan nilai indeks dasar untuk setiap kelas Nilai Indeks Kelas Karakteristik Deformitas Dasar I Perubahan/modifikasi sedikit "chipped" 2 Perubahan/modifikasi lebih terlihat, II tumpang tindih gigi (over lapping), 23 massive/kerusakan sedikit Gigi tambahan, gigi garpu, III 29 massive/kerusakan lebih besar
Indeks abnormalitas mentum dapat ditentukan dengan terlebih dahulu menghitung nilai MIMR untuk seluruh individu. Rumus untuk menilai MIMR semua individu yaitu:
∑
Rumus dalam menentukan nilai indeks abnormalitas mentum mengacu pada rumus ISLD Warwick (1991), dimana nilai total MIMR dari setiap individu dibagi dengan jumlah total individu yang dianalisis.
Hasil perhitungan dari MDI merupakan pengukuran dari respon morfologi sebagai dampak stres lingkungan pada chironomid.
11 2.
Index of Severity of Ligula Deformation (ISLD) Nilai ISLD dapat digunakan untuk evaluasi abnormalitas pada Chironomid yang memiliki ligula. Larva Tanypodinae merupakan larva yang memiliki struktur khusus berupa ligula, paraligula, dan appendage yang terletak pada dorsal mentum (Epler 2001). Ligula memiliki ciri berwarna gelap atau kecoklatan dengan jumlah gigi 5 dan berbentuk simetri (Gambar 5).
Gambar 5 Ligula Tanypodinae (Warwick 1991)
Tahapan untuk menentukan ISLD yaitu terlebih dahulu menentukan Index of Morphological Response (IMR). Indeks respon morfologi (IMR) dihitung untuk setiap abnormalitas atau kecacatan berdasarkan 8 langkah dasar (Tabel 2) Warwick (1991), kemudian IMR dapat ditentukan untuk setiap individu dengan rumus sebagai berikut:
∑ Indeks tingkat abnormalitas pada ligula (Index of severity of ligula deformation) menginterpretasikan pengukuran dari respon morfologi sebagai dampak stress lingkungan pada Chironomid (Warwick 1991). Penentuan indeks ini dengan rumus sebagai berikut:
di mana n adalah jumlah total individu Chironomid yang dianalisis secara morfologi.
12 Tabel 2 Kategori klasifikasi dasar dan nilai untuk tipe indeks secara individu pada abnormalitas ligula Langkah Aspek deformitas Nilai indeks dasar 1 Jumlah gigi 5 gigi 1 4 atau 6 gigi 2 3 atau 7 gigi 4 2 atau 8 gigi 8 1 atau 9 gigi 16 0 atau 10 gigi 32 >10 gigi ? 2 Modifikasi gigi; lebih besar, gigi luar 2 3 Tumpang tindih gigi (over lapping) 4 4 Kehadiran gigi aksesori atau tambahan 8 5 Keberadaan gigi garpu (Forked teeth) 16 6 Gabungan antara ligula dan paraligula 32 7 Massive disorganization 64 8 Tidak simetris 64
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Danau Lido merupakan danau yang terletak pada ketinggian 502.2 m dpl. Danau Lido memiliki bentuk tidak beraturan, dan disekitar danau ditumbuhi oleh belukar dan pohon. Danau Lido merupakan danau yang relatif kecil dengan luas 21 Ha dan termasuk kategori danau buatan yang dibuat pada abad ke-18 yaitu ketika dibendungnya Sungai Ciletuh untuk pembangunan jalan raya BogorSukabumi (Nancy 2007). Danau Lido mempunyai satu inlet dan dua outlet. Sumber utama air Danau Lido berasal dari aliran Sungai Ciletuh dan sumber air lainnya berasal dari air permukaan dan air aliran tanah (ground water). Danau Lido pada awalnya dimanfaatkan untuk mengairi areal persawahan, kini Danau Lido telah dimanfaatkan untuk beberapa kegiatan, seperti KJA, wisata perahu, dan rumah makan apung. Kegiatan tersebut diduga telah mengubah kualitas dari Danau Lido. Salah satu parameter kualitas air yang dapat mengalami perubahan yaitu kandungan logam berat. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kandungan logam berat merkuri (Hg) dan timbal (Pb) pada air Danau Lido. Pengambilan sampel air dilakukan pada dua titik, yaitu area KJA dan area sawah yang berdekatan dengan area wisata perahu. Hasil analisis kandungan logam Hg dan Pb pada Danau Lido terdapat pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa kandungan Pb di Danau Lido telah melewati baku mutu. Baku mutu tersebut mengacu pada PP No. 82 tahun 2001 mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air untuk kelas 3 yaitu untuk kegiatan perikanan. Kandungan Hg pada Danau Lido tidak terdeteksi
13 dalam hasil analisis sehingga kandungan Hg pada Danau Lido masih di bawah baku mutu.
Tabel 3 Kandungan logam berat pada air Danau Lido Area Area Baku Mutu* Logam Satuan Sawah KJA mg/L 0.190 0.083 0.03 Timbal (Pb) mg/L <0.002 <0.002 0.002 Raksa (Hg) * PP No. 82 tahun 2001 peruntukan kelas III
Massa telur (eggmass) yang berasal dari Danau Lido merupakan telur larva chironomid dari genus Kiefferulus sp. Ciri khusus Kiefferulus sp. yang dipelihara dalam laboratorium yaitu memiliki sepasang insang, terdapat 5 ruas antena, memiliki gigi mentum, gigi premandible berjumlah lebih dari 2, dan memiliki mandible bergigi banyak, serta tidak memiliki striae. Klasifikasi genus Kiefferulus sp. menurut Eppler (2001) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Diptera Famili : Chironomidae Subfamili : Chironominae Genus : Kiefferulus sp. Kandungan logam berat pada perairan telah diketahui dapat menyebabkan perubahan atau abnormalitas pada morfologi biota akuatik. Untuk mendeskripsikan abnormalitas pada morfologi larva chironomid diambil sejumlah contoh larva yang telah dipelihara di laboratorium. Jumlah total larva Kiefferulus sp. yang dianalisis secara morfologi sebanyak 1083 individu. Hasil pengamatan dari setiap individu menunjukkan bahwa hampir seluruh individu mengalami deformitas, hal tersebut dapat dibuktikan dengan nilai persentase abnormalitas dari setiap perlakuan menunjukkan nilai yang tinggi (Tabel 4).
Tabel 4 Persentase abnormalitas pada larva Kiefferulus sp. yang dipaparkan logam berat Hg ∑Rata-rata Hg (µg/L) % Deformitas individu 53 0 100.00 66 0.2 98.97 0.6 62 99.44 1.4 60 99.44 1.8 57 100.00
14 Persentase abnormalitas pada perlakuan Hg 0.2 µg/L, 0.6 µg/L, dan 1.4 µg/L menunjukkan bahwa terdapat individu yang tidak mengalami deformitas. Individu yang tidak mengalami abnormalitas yaitu masing-masing 1 individu dari rata-rata jumlah individu pada setiap perlakuan. Nilai persentase abnormalitas juga menunjukkan nilai yang tidak berbeda secara signifikan antar tiap perlakuan. Abnormalitas yang dianalisis pada penelitian ini yaitu abnormalitas gigi pada mentum larva Kiefferulus sp. Abnormalitas gigi pada mentum larva Kiefferulus sp. dilihat berdasarkan bagian-bagian gigi pada mentum, yaitu gigi median merupakan gigi yang diapit oleh gigi yang lebih kecil, median lateral merupakan dua gigi yang lebih besar, dan lateral merupakan empat gigi luar yang lebih kecil di kedua sisi (Gambar 4). Besarnya persentase abnormalitas pada setiap bagian gigi dari seluruh perlakuan dapat dilihat pada Gambar 6.
Persentase Deformitas (%)
100
80
60
40
20
0
0
0.2
Median teeth
0.6 Hg (µg/L)
1.4
Med-Lateral teeth
1.8 Lateral teeth
Gambar 6 Persentase abnormalitas pada setiap bagian gigi larva Kiefferulus sp. yang dipaparkan logam Hg
Gambar 6 menunjukkan bahwa abnormalitas lebih banyak terjadi pada gigi bagian lateral. Abnormalitas banyak terjadi pada gigi lateral berupa tumpang tindih gigi, modifikasi gigi, serta terjadinya gigi rusak/massive lebih besar dibandingkan bagian gigi yang lainnya. Kejadian abnormalitas paling sedikit terjadi pada gigi median lateral. Abnormalitas pada gigi median lateral didominasi oleh modifikasi gigi yang kecil (chipped), serta adanya sedikit
15 kerusakan. Abnormalitas yang terjadi pada gigi median pada umumnya berupa modifikasi 2 gigi kecil yang menyatu dengan gigi besar ditengah. Larva chironomid merupakan larva yang dapat mengakumulasi logam berat dalam jaringan tubuhnya. Hasil analisis kandungan logam berat Pb dan Hg pada larva Kiefferulus sp. menunjukkan bahwa larva tersebut dapat mengakumulasi logam Pb dan Hg dalam jaringan tubuhnya. Besarnya kandungan logam Pb dan Hg pada Kiefferulus sp. dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Kandungan logam Hg dan Pb pada chironomid Hg (µg/L) Logam Satuan 0 0.2 0.6 1.4 1.8 Raksa (Hg) mg/kg 0.10 1.75 0.90 0.99 1.54 Timbal (Pb) mg/kg 90.44 427.78 220.00 414.77 218.31
Peningkatan konsentrasi Hg biota (mg/kg)
Tabel 5 menunjukkan bahwa kandungan Pb pada Kiefferulus sp. lebih tinggi dibandingkan kandungan Hg. Kandungan Hg dan Pb tertinggi terdapat pada perlakuan Hg 0.2 µg/L, yaitu 1.75 mg/kg Hg dan 427.78 mg/kg Pb. Peningkatan konsentrasi Hg di air dapat meningkatkan kandungan Hg pada biota. Hubungan peningkatan konsentrasi Hg di air dan biota dapat dilihat pada Gambar 7.
1
y = 0.0788x + 0.1299 R² = 0.8774
0.8
0.6
0.4
0.2
0 0
3
6
9
Peningkatan konsentrasi Hg air (µg/L) Gambar 7 Hubungan peningkatan konsentrasi Hg di air dengan peningkatan konsentrasi Hg di biota
16
Peningkatan konsentrasi Pb biota (mg/kg)
Gambar 7 menunjukkan bahwa hubungan antara peningkatan konsentrasi Hg di air dengan biota berbanding lurus, yaitu peningkatan konsentrasi Hg di air dapat meningkatkan konsentrasi Hg di biota ( <α 0.1). Nilai korelasi dari hubungan antara peningkatan konsentrasi Hg di air dengan biota yaitu 0.93, hal tersebut berarti hubungan keduanya sangat erat. Peningkatan konsentrasi Hg di air dapat meningkatkan atau menurunkan kandungan Pb di air. Hubungan peningkatan konsentrasi Hg di air dan Pb di biota dapat dilihat pada Gambar 8.
1 0.8 0.6 0.4
y = -0.0196x2 + 0.227x + 0.1559 R² = 0.7653
0.2 0 0
3
6
9
Peningkatan konsentrasi Hg air (µg/L) Gambar 8 Hubungan peningkatan Hg di air dengan Pb di biota
Gambar 8 menunjukkan hubungan antara peningkatan Hg di air dengan peningkatan Pb pada biota. Kurva pada Gambar 8 merupakan kurva dengan bentuk polynomial, sehingga persamaan pada hubungan Hg di air dengan Pb pada biota membentuk persamaan kuadratik. Terbentuknya persamaan kuadratik mengindikasikan bahwa kandungan Hg di air dapat mempengaruhi kandungan Pb di biota ( <α . ). Berdasarkan hubungan tersebut, didapatkan nilai korelasi 0.87. Hal tersebut berarti hubungan keduanya sangat erat. Evaluasi abnormalitas pada larva chironomid dalam penelitian ini dilakukan dengan menghitung nilai Mentum Deformity Index/indeks abnormalitas mentum (MDI). Asumsi yang digunakan yaitu semakin besar konsentrasi logam, maka nilai indeks abnormalitas mentum akan semakin besar. Nilai MDI dari larva Kiefferulus sp. yang dipaparkan Hg dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9 menunjukkan bahwa nilai MDI tertinggi terdapat pada perlakuan Hg 1.8 µg/L yaitu sebesar 25.00. Secara umum Gambar 9 telah menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi logam berat, maka nilai MDI akan semakin tinggi. Nilai korelasi dari hubungan nilai konsentrasi dengan MDI sebesar 0.82 yang berarti hubungan keduanya sangat erat. Hal tersebut dapat
17 dijadikan dasar bahwa MDI dapat digunakan sebagai evaluasi abnormalitas mentum pada larva Kiefferulus sp. ( <α . ).
Indeks deformitas mentum
26 25
24 23 22
y = 0.6919x + 21.476 R² = 0.673
21
20 19 0
0.2
0.6
1.4
1.8
Hg (µg/L)
Gambar 9 Nilai indeks abnormalitas mentum pada Kiefferulus sp.
Sebagai perbandingan hasil penelitian di laboratorium dilakukan analisis abnormalitas pada larva chironomid yang terdapat di Danau Lido. Larva chironomid yang diperoleh dari Danau Lido merupakan jenis dari sub famili Tanypodinae. Eppler (2001) mengklasifikasikan Tanypodinae sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Diptera Famili : Chironomidae Subfamili : Tanypodinae Analisis besarnya abnormalitas pada larva Tanypodinae menggunakan analisis ISLD. Hasil analisis abnormalitas pada larva Tanypodinae (Lampiran 5) terdapat pada Tabel 6. Tabel 6 menunjukkan bahwa larva chironomid Tanypodinae pada Danau Lido yang telah mengalami pencemaran Pb mengalami deformitas. Nilai ISLD larva Tanypodinae yang diperoleh yaitu 4.4. Nilai tersebut merupakan nilai yang menunjukkan bahwa telah terjadinya respon morfologi terhadap lingkungan yang tercemar.
18 Tabel 6
Pendugaan Indeks Respon Morfologi dari larva Tanypodinae yang mengalami abnormalitas ligula di perairan Danau Lido Langkah-Langkah
Gambar *
overlapping
Kehadiran gigi aksesori atau tambahan
Keberadaan gigi garfu
Gabungan antara Massive Tidak Ligula dan disorganization simetris Paraligula
IMR
Jumlah gigi
Modifikasi gigi
b
1
2
c
1
2
3
d
1
2
3
e
1
2
f
2
g
16
4
20
h
1
4
5
i
2
2
j
4
2
k
1
2
a
0 64
67
3 64
66
4 64
70 3
IMR
244
ISLD (n=55)
4.4
*Lampiran 5
Pembahasan Chironomid merupakan salah satu larva serangga air dari ordo Diptera, Famili Chironomidae. Lebih dari 50% spesies serangga air yang telah diketahui merupakan ordo diptera, dan chironomid merupakan famili terbesar dari serangga air tawar (Ward 1992). Frouz et al. (2003) menyatakan chironomid merupakan hewan yang tersebar hampir di seluruh dunia dengan menempati habitat yang berbeda pada setiap ekosistem perairan. Chironomid biasanya menjadi kelompok makroinvertebrata paling melimpah, baik dalam jumlah spesies maupun jumlah individu yang dapat ditemukan pada hampir seluruh habitat air tawar (Eppler 2001). Hewan ini berperan penting pada ekosistem perairan karena termasuk dalam salah satu rantai makanan pada suatu ekosistem. Biasanya hewan ini merupakan makanan bagi makroavertebrata yang lebih besar, ikan, serta burung air (Frouz et al. 2003, Ciborowski & Corkum 2003). Sebagian besar spesies anggota Chironomid ini memiliki kebiasaan hidup meliang pada sedimen yang lunak ketika fase larva. Siklus hidup chironomid yaitu dimulai dari telur, kemudian menjadi larva dengan empat fase instar. Larva akan berkembang menjadi pupa. Pupa selanjutnya akan berkembang menjadi chironomid dewasa (Gambar 10). Setelah melakukan pemijahan, chironomid dewasa akan meletakkan telurnya di permukaan air dalam bentuk gelatin yang kompleks (Bay 2003). Chironomid biasanya disebut non-biting midges (agas yang tidak menggigit) ketika dewasa dan bloodworms (cacing darah) ketika masih dalam fase larva.
19
Gambar 10 Siklus hidup larva chironomid modifikasi Charles et al. (2004) in Krisanti (2012)
Kiefferulus sp. memiliki ciri khusus pada bagian mulutnya yaitu berupa gigi mentum, sedangkan Tanypodinae berupa gigi ligula. Gigi pada larva chironomid dapat mengalami kecacatan atau abnormalitas apabila habitat perairan mengalami pencemaran logam berat (Al-Shami et al. 2011, Bhattacharya et al. 2006, Janssens de Bisthoven et al. 1992, Warwick 1991). Hasil pengamatan larva Kiefferulus sp. pada setiap individu menunjukkan bahwa hampir seluruh individu mengalami abnormalitas pada gigi mentum. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan nilai persentase abnormalitas dari setiap perlakuan menunjukkan nilai yang tinggi (Tabel 4). Abnormalitas yang terjadi pada gigi mentum tersebut disebabkan terpaparnya larva Kiefferulus sp. oleh logam berat Hg dengan berbagai konsentrasi. Abnormalitas pada morfologi yang terjadi disebabkan oleh rusaknya jaringan-jaringan dalam tubuh biota. Rusaknya jaringan pada biota diakibatkan oleh adanya reaksi-reaksi logam berat pada tubuh, dimana dengan konsentrasi rendah ion-ion logam berat mampu menghambat kerja enzim yang dapat menyebabkan terganggunya metabolisme pada biota, sehingga pada tingkat toksisitas kronis dapat menyebabkan kelainan berkelanjutan yang menjadikan biota tersebut cacat. Abnormalitas yang terjadi pada perlakuan Hg 0 µg/L yaitu 100%. Warwick (1985) menyatakan bahwa abnormalitas dapat ditemukan pada larva chironomid di lingkungan yang tidak tercemar, walaupun sangat sedikit dan dengan frekuensi yang sangat kecil dibandingkan pada lingkungan yang tercemar. Terjadinya abnormalitas pada perlakuan Hg 0 µg/L dapat disebabkan oleh media air yang digunakan dalam pemeliharaan larva telah mengandung logam Pb. Bagian mulut larva chironomid mengalami kelainan bentuk setelah dipaparkan timbal dan merkuri Vermeulen et al. (2000). Luoma & Carter (1991) menyatakan bahwa konsentrasi logam berat tidak selalu mencerminkan toksisitas logam yang sebenarnya. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya kontaminan lain yang juga
20 memberikan pengaruh terhadap kejadian toksisitas, misalnya polutan organik (PCB). Brezonik et al. (1991) menyatakan faktor lain yang turut berpengaruh pada spesiasi logam dalam mengontrol bioavailability antara lain kondisi fisik dan kimia perairan, misalnya: kekuatan ion, alkalinitas, kompleksitas ikatan/ ligan, pH, potensial redoks, dan sebagainya. Selain karena pengaruh pemaparan logam berat selama penelitian, abnormalitas yang terjadi juga dapat disebabkan oleh faktor genetik, karena perairan Danau Lido telah mengalami pencemaran, sehingga massa telur yang diambil dapat berasal dari induk yang telah mengalami perubahan secara genetik. Clarke (1993) menyatakan bahwa perbedaan secara morfologi dapat terjadi karena dua hal, yaitu genetik dan tekanan lingkungan. Abnormalitas mentum yang terjadi pada perlakuan Hg 0.2 µg/L, 0.6 µg/L, dan 1.4 µg/L tidak 100%, yaitu terdapat satu individu yang tidak mengalami abnormalitas pada gigi mentum. Abnormalitas pada mentum tidak terjadi pada individu tersebut karena pada satu individu tersebut diduga telah terjadi abnormalitas pada bagian morfologi lainnya yang tidak diamati atau dianalisis. Abnormalitas pada individu chironomid dapat beragam, mulai dari abnormalitas gigi, antenna, dan mandible (Al Shami et al. 2010, Wise et al. 2001, Warwick 1991, Warwick & Tisdale 1988, Zhang 2008). Wise et al. (2001) menyatakan bahwa abnormalitas pada Chironomus sp. lebih dominan terjadi pada satu bagian tubuh. Pengamatan pada mentum dan mandible larva chironomid yang mengalami cacat pada kedua bagian hanya 3-5 individu dari rata-rata 50 individu yang dianalisis (1-10%). Berdasarkan pengamatan bentuk ligula pada Tanypodinae yang diperoleh dari Danau Lido diketahui bahwa larva tersebut telah mengalami kecacatan (deformitas) sebesar 18.18 %. Larva yang mengalami abnormalitas ligula sebanyak 10 individu dari 55 individu yang dikumpulkan (Lampiran 5). Hal ini berarti masih terdapat individu yang tidak mengalami abnormalitas gigi pada danau yang tercemar logam Pb. Power & Chapman (1992) menyatakan bahwa tingginya konsentrasi logam belum tentu menyebabkan gejala toksisitas yang tinggi, hal tersebut bergantung pada jumlah ion yang bersifat bioavailable, yaitu bentuk fraksi kontaminan total pada air atau sedimen yang dapat menyebabkan toksisitas. Abnormalitas gigi pada mentum larva Kiefferulus sp. dapat dilihat berdasarkan bagian-bagian gigi pada mentum yang terbagi menjadi 3 bagian, yaitu gigi median, median lateral, dan lateral. Hasil penelitian menunjukkan bahwa abnormalitas pada Kiefferulus sp. lebih banyak terjadi pada gigi bagian lateral (Gambar 6). Gigi merupakan bagian tubuh yang sebagian besar tersusun oleh zat kitin. Kelesoglu (2007) menyatakan bahwa logam berat dapat merusak ikatan biopolimer dari kitin. Oleh karena itu, adanya pemaparan logam berat dapat menyebabkan kerusakan pada gigi Kiefferulus sp. Larva chironomid merupakan larva yang dapat mengakumulasi logam berat dalam jaringan tubuhnya. Seidman et al. (1986) menyatakan bahwa dalam waktu 4 hari pemaparan logam kadmium, larva Chironomus thummi dapat mengakumulasi logam kadmium tersebut sebanyak 63.5–81.4 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa chironomid pada setiap perlakuan mengandung logam Hg dan Pb. Besarnya kandungan logam pada biota tergantung dari kemampuan biokonsentrasi dari setiap biota. Pada perlakuan 0 µg/L Hg terdapat sedikit kandungan Hg dalam biota yaitu 0.10 mg/kg. Hal tersebut dapat terjadi karena
21 adanya kandungan Hg pada air Lido, namun tidak terdeteksi pada hasil analisis air karena keterbatasan deteksi limit alat. Keckes & Mienttinen (1972) menyatakan bahwa pada dasarnya merkuri terdapat di seluruh alam. Kandungan merkuri dalam air tanah berkisar 0.01–0.07 ppb, sungai dan danau 0.08–0.12 ppb, tanah 30–500 ppb, dan dalam batuan vulkanik antara 10-100 ppb. Mwamburi (2003) menyatakan bahwa kontaminasi logam Hg sebagian besar berasal dari buangan limbah industri, emisi atmosfer, dan pelindihan bahan kimia dari lahan pertanian. Logam merkuri termasuk dalam jenis logam yang memiliki kemampuan untuk akumulasi pada makhluk hidup dan biomagnifikasi pada rantai makanan. Hal tersebut dapat dijadikan dasar bahwa kandungan merkuri pada biota dengan perlakuan 0 µg/L Hg berasal dari kandungan merkuri yang terdapat di alam. Kandungan Pb pada Kiefferulus sp. disebabkan karena adanya kandungan Pb yang tinggi pada air Danau Lido yang digunakan sebagai media pemeliharaan larva Kiefferulus sp. Terserapnya logam ke dalam biota dapat melalui beberapa cara, yaitu : 1) tercerna bersama partikel makanan, logam berat di air cenderung berikatan dengan partikel organik, sehingga berpotensi terbawa saat biota memanfaatkan bahan organik. 2) teradsorbsi, senyawa logam dalam bentuk terlarut dapat dengan mudah teradsorbsi pada jaringan eksoskeleton di beberapa jenis serangga atau hewan bentik lainnya yang sering mengadakan kontak langsung dengan sedimen (Timmermans et al. 1992). Hubungan antara peningkatan konsentrasi Hg di air dengan biota berbanding lurus (Gambar 7), yaitu peningkatan konsentrasi Hg di air dapat meningkatkan konsentrasi Hg di biota. Hubungan antara peningkatan konsentrasi Hg di air dengan biota adalah linier. Berbeda dengan hubungan peningkatan konsentrasi Hg di air dengan biota, hubungan antara peningkatan Hg di air dengan kandungan Pb pada biota membentuk kurva polynomial (Gambar 8), dimana kandungan Pb terus meningkat diawal seiring dengan pertambahan Hg, akan tetapi pada titik tertentu kandungan Hg di air yang lebih banyak akan menurunkan kandungan Pb pada biota, sehingga dapat diketahui bahwa hubungan antara peningkatan Hg di air dengan kandungan Pb pada biota merupakan hubungan kuadratik. Dengan demikian, dapat diduga bahwa antara Hg dan Pb terdapat hubungan sinergi, akan tetapi hubungan sinergi tersebut dapat berbeda pada perbandingan tingkat konsentrasi tertentu. Evaluasi abnormalitas pada larva chironomid pada penelitian ini dilakukan dengan menghitung nilai Mentum Deformity Index/indeks abnormalitas mentum. MDI dikembangkan dengan memodifikasi TSI dan ISLD. Mentum deformity index (MDI) dikembangkan dengan alasan TSI yang merupakan indeks pencemaran untuk menduga terjadinya kontaminasi atau pencemaran di suatu perairan hingga seberapa besar tingkat pencemaran tersebut, sedangkan MDI dikembangkan untuk menduga adanya kontaminasi dengan menggunakan biota (larva chironomid) sehingga dapat terlihat apabila ada perubahan pada morfologi larva chironomid. Hal tersebut menunjukkan bahwa telah terjadinya kontaminasi logam berat pada perairan tersebut. Hasil analisis telah menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi logam berat, maka nilai MDI akan semakin tinggi (Gambar 9). Hal tersebut dapat dijadikan dasar bahwa MDI atau indeks abnormalitas mentum dapat digunakan sebagai evaluasi abnormalitas mentum pada larva Kiefferulus sp. Nilai indeks digunakan untuk menggambarkan bahwa telah terjadinya respon morfologi pada biota karena adanya stress lingkungan.
22 Oleh karena itu, semakin tingginya nilai indeks abnormalitas, maka dapat disimpulkan semakin tingginya kontaminasi atau pencemaran yang terjadi. Hasil pengamatan abnormalitas gigi pada larva chironomid yang berasal dari Danau Lido digunakan sebagai pembanding hasil penelitian di laboratorium. Nilai ISLD larva Tanypodinae yang diperoleh dari Danau Lido yaitu 4.4 (Tabel 6). Nilai ISLD juga merupakan nilai yang menunjukkan bahwa telah terjadinya respon morfologi terhadap lingkungan yang tercemar (Warwick 1991). Hasil penelitian Warwick (1991) menunjukkan bahwa nilai ISLD dari larva chironomid lebih tinggi pada stasiun pengamatan yang memiliki kandungan bahan pencemar lebih tinggi. Seiring waktu, kandungan bahan pencemar yang meningkat juga meningkatkan nilai ISLD dari larva chironomid. Berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, kandungan Pb di Danau Lido (Tabel 3) telah melewati baku mutu untuk kelas 3, yaitu untuk kegiatan perikanan. Oleh karena itu, abnormalitas pada larva chironomid dapat terjadi, karena kandungan Pb di Danau Lido sudah cukup tinggi. Bhattacharya (2005) menyatakan bahwa kandungan Pb yang dapat menyebabkan kecacatan pada chironomid yaitu 2.40-5.02 µg/L. Tingginya kandungan Pb di Danau Lido dapat disebabkan oleh adanya kegiatan pariwisata air yang menggunakan rakit dengan bahan bakar solar/premium, dan berasal dari sungai yang masuk melalui inlet danau. Timbal secara alami berasal dari pelapukan batuan dan erosi tanah yang mengandung timbal sulfida (PbS). Lebih dari 200000 ton Pb dipergunakan dalam industri kimia yang berbentuk tetra-etilPb, yang biasanya dicampur dengan bahan bakar minyak (BBM) dengan tujuan meningkatkan daya tahan mesin. Timbal (Pb) juga telah banyak digunakan pada bahan bangunan, solder, cat, dan pembuatan alat dengan bahan-bahan logam (Moore & Ramamoorthy 1984). Odum (1971) menyatakan bahwa konsentrasi logam Pb yang berasal dari debu jalanan dapat mencapai 100-67800 ppm, dan dari aliran permukaan mencapai 100-12000 ppb. Logam berat Pb dan Hg telah menjadi penyebab abnormalitas pada gigi chironomid, baik Kiefferulus sp. maupun anggota dari Tanypodinae. Kopp & Troelstrup (2009) menyatakan bahwa larva dari Chironominae dan Tanypodinae dapat mengalami abnormalitas karena stress lingkungan minimal oleh kontaminasi bahan toksik. Michailova & Petrova (2005) menyatakan bahwa logam berat bersifat toksik bagi sel. Pengaruh logam berat dapat terjadi dalam jangka waktu yang pendek dengan konsentrasi tinggi, yaitu dapat menyebabkan keracunan akut untuk organisme air, atau logam berat tersebut dapat mempengaruhi organisme dengan konsentrasi rendah tetapi untuk jangka waktu yang panjang. Hal tersebut dapat menyebabkan keracunan kronis dan gangguan dalam fungsi vital, seperti perubahan morfologi, pertumbuhan, reproduksi, penetasan, terjadinya cacat, namun tidak menunjukkan sebagai penyebab kematian. Arimoro et al. (2007) menyatakan bahwa perbedaan parameter kualitas air seperti kekeruhan, oksigen terlarut, BOD5, COD, nitrat-nitrogen, dan fosfatfosfor berpengaruh terhadap kelimpahan dan struktur komunitas chironomid. Wardiatno & Krisanti (2013) menyatakan bahwa kandungan oksigen dan bahan organik dapat mempengaruhi keanekaragaman dan kelimpahan dari larva chironomid. Jeyasingham & Ling (1997) menyatakan bahwa tidak ada pola yang jelas dari pengaruh substrat terhadap kecacatan struktur kepala, meskipun
23 beberapa struktur mungkin menjadi indikator lebih peka bagi fisikemistri (physicochemistry) dari substrat. Pengaruh logam berat tidak hanya menunjukkan kejadian abnormalitas pada gigi dari larva Kiefferulus sp., namun hasil penelitian di laboratorium menunjukkan semakin cepatnya beberapa biota menjadi dewasa. Selama 18 hari waktu pemeliharaan, satu larva dari perlakuan Hg 0.2 µg/L, 1.4 µg/L dan 1.8 µg/L telah menjadi dewasa (terbang). Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa logam berat dapat menyebabkan emergence menjadi dewasa. Sudarso (2013) menyatakan bahwa keberadaan merkuri yang terakumulasi di tubuh larva Trichoptera hydropsychid menunjukkan bioavailability logam tersebut di perairan yang berpotensi menimbulkan gangguan bagi larva tersebut untuk emergence menjadi dewasa. Pinder et al. (1993) menyatakan bahwa emergence dewasa larva chironomid berhubungan dengan kondisi lingkungan dan predasi. Menurut Warwick (1991) bahan yang bersifat toksik, tidak hanya mempengaruhi secara individu chironomid, namun dapat mempengaruhi hingga populasi (Gambar 11).
Gambar 11 Diagram interpretasi dari interaksi antara proses utama kontaminasi, kondisi tropik, dan sedimentasi dan respon biologis pada berbagai tingkat organisasi biologis (Warwick 1991)
Penelitian dalam skala laboratorium yang dilakukan dapat dijadikan acuan sebagai pengelolaan suatu perairan, dimana telah digambarkan bahwa larva chironomid yang terpapar logam berat mengalami abnormalitas pada bagian kepala. Selain menunjukkan kejadian abnormalitas, larva chironomid juga merupakan larva yang toleran terhadap peningkatan kontaminasi logam berat, sehingga dominansi makrozoobentos pada beberapa spesies Famili Chironomidae dan Hydropsychidae merupakan sinyal awal dari meningkatnya kontaminasi
24 logam (Winner et al. 1980; Luoma & Carter 1991; Canfield et al. 1994). Oleh karena itu, larva chironomid dapat dijadikan sebagai indikator biologi lingkungan yang terkontaminasi logam berat. Walkel (2001) in Heinrich et al. (2006) menyatakan bahwa larva chironomid dapat digunakan sebagai indikator perubahan lingkungan karena sangat cepat merespon perubahan kondisi perairan. Indikator adalah fitur terukur yang memberikan informasi yang berguna mengenai status ekosistem, kualitas atau tren dan faktor-faktor yang mempengaruhi mereka. Konsep indikator biologi yaitu penggunaan hewan atau tumbuhan sebagai instrumen guna menilai kondisi kualitas lingkungan. Penggunaan indikator biologi akan memudahkan pembuat kebijakan atau pengelola dalam pengambilan keputusan pengelolaan, karena dalam pengambilan keputusan perlu informasi pada semua tingkatan yang tepat dan relevan. Penggunaan indeks pada indikator biologi (biota) lebih baik dibandingkan penggunaan indeks pencemaran. Penggunaan indeks pencemaran logam hanya didasarkan pada rasio konsentrasi terhadap situs rujukan (reference site) dan belum tentu mencerminkan tingkat bioavailability maupun gangguan pada biota akuatik yang sebenarnya. Penggunaan indeks pencemaran hanya menunjukkan sampai seberapa tingkat pengkayaan logam tersebut pada masing-masing stasiun pengamatan dibandingkan dengan konsentrasi latar belakangnya (background concentration). Pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengurangi abnormalitas pada larva chironomid yaitu dengan mengurangi masuknya logam berat kedalam perairan. Apabila kontaminasi logam berkurang, maka abnormalitas yang terjadi pada larva chironomid dapat berkurang. Frank & Kohn (1982) menyatakan bahwa respon morfologi berupa abnormalitas pada chironomid dapat kembali normal jika stressor dihilangkan. Penulis tersebut memindahkan larva Chironomus riparius dan C. plumosus dari lingkungan yang tercemar tinggi ke kondisi bersih di laboratorium. Frekuensi dari abnormalitas dimana pada seluruh populasi sebesar 40% pada perairan yang tercemar, menurun sekitar 2% setelah satu generasi setelah ditempatkan pada kondisi yang bersih atau tidak tercemar. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mengurangi kandungan logam berat di perairan. Masukan bahan logam berat dapat berkurang apabila sumber (point resource) dapat dikurangi. Cara yang dapat dilakukan yaitu penerapan instalasi pengolahan limbah yang baik dan optimal di seluruh kegiatan industri dan penerapan instalasi pengolahan limbah pada inlet suatu perairan, serta pengurangan pengunaan bahan logam berat pada bahan baku industri.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Logam berat dapat menyebabkan abnormalitas gigi pada larva Kiefferulus sp. Hasil penelitian lapang menujukkan bahwa larva chironomid Tanypodinae pada danau yang tercemar mengalami abnormalitas ligula. Indeks abnormalitas mentum (MDI) dapat digunakan untuk mengevaluasi tingkat abnormalitas pada mentum Kiefferulus sp.
25 Saran Diperlukan perlakuan kontrol dengan menggunakan air steril, seperti air akuades untuk membuktikan tidak adanya penyebab lain yang menyebabkan abnormalitas gigi pada chironomid.
DAFTAR PUSTAKA Al-Shami SA, Rawi CSM, Nor SAM, Ahmad AH, Ali A. 2010. Morphological deformities in Chironomus spp. (diptera: chironomidae) larvae as a tool for impact assessment of anthropogenic and environmental stresses on three rivers in the juru river system, Penang, Malaysia. Environmental entomology 39(1): 210-222. Al-Shami SA, Salmah MRC, Hassan AA, Azizah MNS. 2011. Evaluation of mentum deformities of Chironomus spp. (chironomidae: diptera) larvae using modified toxic score index (mtsi) to assess the environmental stress in juru river basin, Penang, Malaysia. Environmental Monitoring Assessment 177: 233–244. [APHA]. 2012. Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater 22nd Edition. American Public Health Association. Washington DC. Arimoro FO, Ikomi RB, Iwegbue CMA. 2007. Water quality changes in relation to diptera community patterns and diversity measured at an organic effluent impacted stream in the Niger Delta, Nigeria. Ecological Indicators. 7: 541552. Bay EC. 2003. Chironomid midges. Emeritus urban entomologist WSU Puyallup. 3 pp. Bhattacharya G, Sadhu AK, Mazumdar A, Chaudhuri PK. 2005. Antennal deformities of chironomid larvae and their use in biomonitoring of heavy metal pollutants in the river damodar of West Bengal, India. Environmental Monitoring and Assessment 108: 67-84. Bhattacharya G, Sadhu AK, Mazumdar A, Majumdar U, Chaudhuri PK, Ali A. 2006. Assessment of impact of heavy metals on the communities and morphological deformities of chironomidae larvae in the river damodar (India, West Bengal). Supplementa ad acta hydrobiologica 8: 21-32. Brezonik PL, King SO, and Mach CE. 1991. The Influence of Water Chemistry on Trace Metal Bioavailability and Toxicity to Aquatic Organism. Di dalam: Newman MC. and Mintosh AW. editor. Metal Ecotoxicology concepts and Application. Lewis Publishers. Michigan. USA. Canfield TJ, Kimble NE, Grumbaugh WG, Dwyer FJ, Ingersoll CG, Fairchild JF. 1994. Use of benthic macroinvertebrate community structure and sediment quality triad to evaluate metal contaminated sediment in the upper clark fork river, Montana. Environmental Toxicology and Chemistry 13(12): 19992012. Ciborowski JJH, Corkum LD. 2003. Appendix 9: Sediment-zoobenthos interactions. Di dalam: Evaluating Ecosystem Results of PCB Control
26 Measures within the Detroit River–Western Lake Erie Basin. United Earth Fund. p: 78-82. Clarke KR. 1993. Non-parametric multivariate analyses of changes in community structure. Austrlian Journal of Ecology 18: 117-143. Eppler JH. 2001. Identification manual for the larval Chironomidae (Diptera) of North and South Carolina. EPA Region 4 and Human Health and Ecological Criteria Division. Crawfordville. Farhani SA. 2012. Pertumbuhan dan perkembangan larva Chironomus sp. pada level bahan organik berbeda dalam skala laboratorium [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Frank C, Kohn T. 1982. The influence of waste water and thermal pollution on the benthos of an urban channel, Di Dalam: R. Born-kamm (ed.) Urban ecology. 2nd European Ecol. Symp., Blackwell Scientific Publications, Oxford, UK. p: 345-346. Frouz J, Matena J, Ali A. 2003. Survival strategies of chironomids (Diptera: Chironomidae) living in temporary habitats: A Review. University of Florida, Florida Research and Education Center. USA. Heinrich M, Barnekov L, Rosenberg S. 2006. A comparison of chironomid biostratigraphy from Lake Vuolep Njakajaure with vegetation, lake-level, and climate changes in Abisko National Park, Sweden. J Paleolimnol 36: 119-131. Hershey AE, Lamberti GA. 2001. Aquatic insect ecology. Di dalam: Thorp JH and Covich AP (eds.). Classification of North American Freshwater Invertebrates. 2nd Edition. Academic Press. San Diego. Janssens de bisthoven LG, Timmermans KR, Ollevier F. 1992. The concentration of cadmium, lead, copper and zinc in Chironomus gr. Thummi larvae (diptera, chironomidae) with deformed versus normal menta. Hydrobiologia 239: 141-149. Jeyasingham K, Ling N. 1997. Head capsule deformities in Chironomus zealandicus (Diptera: Chironomidae): influence of site and substrate. New Zealand Journal of Marine and Freshwater Research 3: 175-184. Keckes S, Miettinen JK. 1972. Mercury as a Marine Pollution. Di dalam: FAO Marine Pollution and Sea Life. England. News Ltd. Kelesoglu S. 2007. Comparative adsorption studies of heavy metal ions on chitin and chitosan biopolymers [Tesis]. Izmir (TR): Izmir Institute of Technology. Kopp A, Troelstrup Jr. NH. 2009. Mentum deformation of chironomidae subfamilies, functional feeding guilds, and habit guilds within the cheyenne river basin, South Dakota. Proceedings of the South Dakota Academy of Science: Vol. 88 Krisanti M. 2012. Produktivitas larva chironomidae pada substrat buatan di kedalaman perairan dan kandungan bahan organik berbeda [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lagrana CC, Dahlia C, Apodaca, David CPC. 2011. Chironomids as biological indicators of metal contamination in aquatic environment. International Journal of Environmental Science and Development 2(4): 506-510.
27 Lenat DR. 1993. Using mentum deformities of chironomus larvae to evaluate the effects of toxicity and organic loading in streams. Journal of the North American Benthological Society 12(3): 265-269. Luoma SN, Carter JL. 1991. Effect of Trace Metal on Aquatic Benthos. Di dalam: Newman MC, McIntosh AW, editor. Metal Ecotoxicology: Concepts and Applications. Chelsea. Michigan. Lewis Publishers. p: 61-30. Michailova P, Petrova N. 2005. Comparative effect of heavy metals on the polytene chromosomes of chironomidae, dipteral. Proceedings the balkan scientific conference of biology in Plovdiv (BG). P: 539-552. Moore JW, Ramamoorthy S. 1984. Heavy Metals in Natural Waters. SpringerVerlag. New York. Mwamburi J. 2003. Variations in trace elements in bottom sediments of major Vc ’ ,K . Lakes & Reservoirs: Research and Management 8: 5-13. Nancy EP. 2007. Kajian pengelolaan kawasan wisata di Danau Lido Kabupaten Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition. WB Sounder Co. Philadelphia. 574p. Oliver DR, Roussel ME. 1983. The Insect and Arachnids of Canada 11th ed: The genera of larvae midges of Canada (Diptera: Chironomidae), Biosystematics Research Institute Ottawa, Ontario. Research Branch., Agriculture Canada. Pinder AM, Trayler KM, Mercer JW, Arena J, Davis AJ. 1993. Diel periodicities of adult emergence of some chironomids (diptera: chironomidae) and a mayfly (ephemeroptera: caenidae) at a Western Australian wetland. Journal Australian Entomological Society 32: 129-135. Power EA, Chapman PM. 1992. Assessing Sediment Quality. In: A. Burton (Eds): Sediment Toxicity Assessment. Lewis Publishers. [PP] Peraturan Pemerintah. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001. Tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Seidman LA, Bergtrom G, Gingrich DJ, Remsen CC. 1986. Accumulation of cadmium by the fourth instar larva of the fly Chironomus thummi. Tissue & Cell 18(3): 395-405. Sudarso J. 2013. Keterkaitan masukan bahan organik dan logam merkuri terhadap struktur komunitas dan produktivitas sekunder larva trichoptera di sungai ciliwung (jawa barat) [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Syawal S, Yustiawati. 2012. Speciation analysis of mercury in river water in West Java, Indonesia. LIPI 5(48): 22-24. Timmermans KR, Peeters W, and Tonkes M. 1992. Cadmium, zinc, lead, and copper in Chironomus riparius (meigen) larvae (diptera, chironomidae): uptake and effects. Hydrobiologia 241: 119-134. Townsend KR. 2013. Using chironomidae to assess water and sediment quality [Disertasi] Melbourne (AU): University of Melbourne. Vermeulen AC, Liberloo G, Dumont P, Ollevier, Goddeeris B. 2000. Exposure of Chironomus riparius larvae (diptera) to lead, mercury βsitosterol: effects on mouthpart deformation and moulting. Chemosphere 41(10): 1581-591.
28 Ward JV. 1992. Aquatic insect ecology: 1. biology and habitat. John Wiley & Sons, Inc. New York. Wardiatno Y, Krisanti M. 2013. The vertical dynamics of larval chironomids on artificial substrates in Lake Lido (Bogor, Indonesia). Tropical Life Sciences Research. 24(2): 13-29. Warwick WF. 1985. Morphological abnormalities in chironomidae (diptera) larvae as measures of toxic stress in fresh water ecosystem: indexing antennal deformities in Chironomus meigen. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 42: 1881-1914. Warwick WF. 1991. Indexing deformities in ligulae and antennae of procladius larvae (diptera: chironomidae): application to contaminant-stressed environments. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 48: 1151-1166. Warwick WF, Tisdale NA. 1988. Morphological deformities in Chironomus, Cryptochironomus, and Procladius (diptera: chironornidae) from two differentially stressed sites in Tobin Lake, Saskatchewan. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 45: 1123-1144. Winner RW, Bossel MW, Farrell MP. 1980. Insect community structure as an index of heavy metal pollution in lotic ecosystems. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 37: 647-655. Wise RR, Pierstorff CA, Nelson SL, Bursek RM, Plude JL, McNello M, Hein J. 2001. Morphological deformities in Chironomus (chironomidae:diptera) larvae as indicator of pollution in Lake Winnebago, Wisconsin. Journal Great Lakes Resource 27(4): 503-509. Zhang J. 2008. Zoobenthic community composition and chironomidae (diptera) mouthpart deformities as indicators of sediment contamination in the Lake Huron-Lake Erie corridor of the Laurentian Great Lakes [Tesis]. Canada (CA): University of Windsor.
LAMPIRAN Lampiran 1 Desain akuarium dalam penelitian
Lampiran 2 Konsentrasi Hg yang digunakan dalam penelitian
Seri akuarium
Hg (µg/L)
A
0.2
B
0.6
C
1.4
D
1.8
E
0
30
Lampiran 3 Gambar alat dan bahan
Van Veen Grab
Saringan halus
Pinset
Larva chironomid Alkohol 70%
Botol Air contoh
botol film plastik
Wadah air Danau Lido
Pengambilan larva chironomid dan air di Danau Lido
31
Lampiran 3 Lanjutan
Bahan organik
Kain kassa pembungkus bahan organik
Larva Kiefferulus sp. di dasar akuarium
Pipet
Larva Kiefferulus sp..
Egg mass
Akuarium
botol film plastik
Pemeliharaan larva chironomid di Laboratorium
Alkohol 70%
32
Lamoiran 3 Lanjutan
Larva chironomid yang telah diawetkan dalam alkohol 70%
Mikroskop
Botol kaca
Entelan
Pembuatan preparat dan pengamatan morfologi larva chironomid di Laboratorium
KOH 10%
Kaca objek & kaca penutup
33
Lampiran 4 Gambar mentum Kiefferulus sp. yang normal dan mengalami abnormalitas
34
Lampiran 4 Lanjutan
20µm
20µm
35
Lampiran 4 Lanjutan
20µm
36
Lampiran 5 Gambar ligula Tanypodinae yang normal dan mengalami abnormalitas c
a
b
20µm
20µm
d
20µm
f
e
20µm
20µm
g
h
i
20µm
20µm
k
j
20µm
20µm
20µm
20µm
37
Lampiran 6 Gambar Lokasi Penelitian
Area Danau Lido dekat persawahan
Area Danau Lido tempat rekreasi
38
Area Danau Lido tempat KJA
Laboratorium tempat pemeliharaan eggmass hingga menjadi larva
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 28 November 1991 dari Bapak Sahab Sahroni dan Ibu Nani Mulyani sebagai putri kedua dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan studi sarjana dengan gelar Sarjana Perikanan pada tahun 2013 di Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2012 penulis berkesempatan melanjutkan studi dalam program sinergi pascasarjana S2 di Institut Pertanian Bogor pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan dan menyelesaikan studi magister sains pada tahun 2014. Sebuah karya ilmiah yang merupakan bagian dari tesis Penulis telah diterbitkan pada jurnal JIPI tahun 2014 dengan judul “Deformitas Ligula Larva Tanypodinae sebagai Indikator Pencemaran Logam Berat Di Danau Lido, Jawa Barat”.