KERUSAKAN JARINGAN DAN PRODUKSI SEKUNDER LARVA TRICHOPTERA PADA PERAIRAN YANG TERCEMAR MERKURI
GUNAWAN PRATAMA YOGA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kerusakan Jaringan dan Produksi Sekunder Larva Trichoptera pada Perairan yang Tercemar Merkuri adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2014
Gunawan Pratama Yoga NIM C261090059
iv
RINGKASAN GUNAWAN PRATAMA YOGA. Kerusakan Jaringan dan Produksi Sekunder Larva Trichoptera pada Perairan yang Tercemar Merkuri. Dibimbing oleh DJAMAR TUMPAL FLORANTHUS LUMBANBATU, ETTY RIANI, dan YUSLI WARDIATNO Penggunaan logam merkuri telah banyak diketahui digunakan oleh Penambang Emas Tanpa Ijin (PETI) dalam ekstraksi bijih emas di Sungai Cikaniki. Limbah ekstraksi bijih emas tersebut seringkali masih mengandung konsentrasi logam merkuri yang relatif tinggi, sehingga dapat mencemari sungai tersebut dan mengancam kehidupan biota akuatik yang ada di dalamnya serta dapat mengganggu kesehatan manusia. Pada biota air, di samping menyebabkan kematian, konsentrasi sub lethal merkuri menyebabkan berbagai gangguan fisiologis dan tingkah laku. Di samping itu, merkuri mempunyai kecenderungan untuk terakumulasi pada biota perairan yang pada akhirnya dapat menyebabkan biomagnifikasi pada rantai makanan di perairan. Sejauh ini belum ada penelitian yang mengamati kerusakan-kerusakan pada tingkat jaringan dan morfologi trichoptera, yang disebabkan oleh adanya pencemaran merkuri di daerah tropis, terutama di Sungai Cikaniki. Memahami respon yang terjadi pada tingkat jaringan, fisiologi, sampai dengan populasi terhadap paparan merkuri sangat penting untuk membuktikan adanya hubungan sebab akibat (cause and effect) serta gangguan fungsional yang terjadi pada populasi insekta air tersebut. Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis dampak pencemaran merkuri terhadap kerusakan jaringan insang dan usus bagian tengah (midgut), dan (2) mengkuantifikasi pengaruh pencemaran merkuri terhadap produksi sekunder jenis insekta air tersebut. Penelitian ini bermanfaat untuk memprediksi dampak aktivitas penambangan emas tanpa ijin (PETI) di Daerah Aliran Sungai Cikaniki terhadap keberlanjutan sumberdaya perairan di sungai tersebut. Penelitian ini terbagi atas dua bagian, bagian pertama, yaitu penelitian di lapangan yang terutama ditujukan untuk melihat pengaruh pencemaran merkuri terhadap produksi sekunder trichoptera. Sedangkan bagian kedua adalah uji toksisitas merkuri terhadap trichoptera yang dilakukan di laboratorium untuk mengetahui hubungan antara tingkat pemaparan merkuri dengan kerusakan jaringan yang dihasilkannya. Penelitian ini dilaksanakan selama sepuluh bulan dari bulan Januari 2012 sampai dengan Oktober 2012. Pengambilan sampel di lokasi pengamatan dilakukan setiap bulan selama 10 bulan. Pengambilan sampel air dan biota untuk daerah yang tercemar dilakukan di daerah Cisarua, Curug Bitung dan Lukut yang terletak di bantaran S. Cikaniki – Sub DAS Cisadane kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Sedangkan untuk pengambilan sampel pada daerah yang belum tercemar dilakukan di daerah bagian hulu Sungai Cikuluwung, di kawasan Taman Nasional Gunung Salak Endah, Kabupaten Bogor. Konsentrasi merkuri terlarut tertinggi ditemukan di Cisarua pada bulan April (5,78 µg/l) dan di Curug Bitung pada bulan September (5,46 µg/l), sedangkan konsentrasi merkuri dalam bentuk partikulat tertinggi ditemukan di Curug Bitung pada bulan September 57,24 µg/l. Konsentrasi merkuri di daerah
vi
Cisarua, Curug Bitung dan Lukut yang diakibatkan oleh ekstraksi emas pada penambangan emas tanpa ijin (PETI), sudah melebihi kriteria konsentrasi merkuri yang aman bagi lingkungan perairan. Toksisitas akut merkuri terhadap larva trichoptera pada 24 dan 48 jam berturut-turur adalah 0,391 dan 0, 318 mg/l. Berdasarkan nilai LC50 tersebut, nilai konsentrasi aman merkuri bagi larva trichoptera adalah 0,00032 mg/l atau 0,32 µg/l. Konsentrasi merkuri dalam bentuk partikulat di daerah tersebut menyebabkan terjadinya bioakumulasi merkuri yang cukup tinggi pada biota trichoptera, serta menyebabkan terjadinya kecacatan berupa penghitaman pada insang trachea biota tersebut dan terjadinya perluasan lumen pada usus trichoptera. Produksi sekunder Cheumatopsyche spp. di Sungai Cikaniki tergolong tinggi untuk perairan di daerah tropis. Produksi sekunder Cheumatopsyche spp, di Sungai Cikaniki terpengaruh oleh pencemaran merkuri yang berasal dari aktivitas amalgamasi emas dan peningkatan konsentrasi padatan terlarut Dari hasil Penelitian Pencemaran ini maka dapat disarankan dua hal yaitu, merkuri di Sungai Cikaniki sudah sangat membahayakan bagi kehidupan biota air yang hidup di dalamnya. Oleh karena itu perlu adanya aturan yang mengatur kegiatan amalgamasi emas dengan menggunakan merkuri di bantaran sungai tersebut. Selanjutnya perlu dilakukan penelitian pengaruh pencemaran merkuri ini terhadap kelangsungan hidup trichoptera dewasa di bantaran Sungai tersebut. Kata kunci :
Cikaniki, merkuri, Trichoptera, penghitaman insang, kerusakan usus, produksi sekunder
SUMMARY GUNAWAN PRATAMA YOGA. Tissue Damage and Secondary Production of Trichoptera Larvae in Mercury-Contaminated River. Supervised by DJAMAR TUMPAL FLORANTHUS LUMBANBATU, ETTY RIANI, and YUSLI WARDIATNO Utilisation of mercury for gold amalgamation has been widely known by illegal miners (PETI) in the extraction of gold ore in Cikaniki River. Waste of gold extraction is often still contain relatively high mercury concentrations, so it can pollute the river, threaten aquatic biota in it and can disrupt human health. For aquatic biota, mercury at sub lethal concentrations reported to cause a decrease in the ability to find food, avoid predators, decreased ability to proliferate, decreased growth and behavioral aberrations. In addition, mercury has a tendency to accumulate in aquatic biota, which in turn can lead to biomagnification in the food chain in the waters. Tissue damage in gills and midgut that occurs due to the accumulation of mercury in the body of trichoptera can cause metabolic failures in the organism, which in turn will reduce the ability of the organisms to maintain its biomass production and finally threaten its survival. So far, there is no study has looked at the damage at the tissue level and morphology of Trichoptera, which is caused by the presence of mercury pollution in the tropics, especially in Cikaniki River. Understanding the responses that occur at the tissue level, physiology, and population is very important to prove cause and effect as well as functional disorders that occur in the aquatic insect populations. The aims of this study were (1) to analyze the effects of mercury pollution on the gill and gut tissue damage central part (midgut), and (2) quantify the effects of mercury pollution on the production of secondary species of insect water. This research is useful to predict the impact of illegal gold mining (PETI) in Cikaniki Watershed to sustainability of aquatic resources in the river. Method used in this research was descriptive analytic research. Basic of the research was systematic approach to correlate between mercury pollution in the waters with tissue damage, and secondary production of the aquatic insects in the Cikaniki River. This study is divided into two parts, the first part, was the field research which primarily intended to look at the effects of mercury pollution on secondary production Trichoptera. While the second part was the trichoptera mercury toxicity test conducted in the laboratory to determine the relationship between levels of mercury exposure with resulting tissue damage. This study was conducted for ten months from January 2012 to October 2012. Samples were taken every month for 10 months. Water and biota from contaminated areas were taken in Cisarua, Curug Bitung and Lukut located on Cikaniki River. While for reference area, samples were taken from Cikuluwung, in the National Park area of Mount Salak Endah, Bogor Regency. The highest concentration of dissolved mercury found in Cisarua in April (5.78 mg/l) and in Curug Bitung in September (5.46 mg/l), whereas the concentration of mercury in the form of particulate matter found highest in Curug Bitung in September, 57.24 ug /l. The concentration of mercury in Cisarua, Curug Bitung and Lukut caused by the extraction of gold by illegal miners, already
viii
exceeding the criteria of safe concentrations of mercury to the aquatic environment. Acute toxicity of mercury to the trichoptera larvae at 24 and 48 hours respectively were 0.391 and 0, 318 mg /l. Based on the LC50, Mercuric safe concentration was 0,32 µg/l. The concentration of particulates mercury in the area caused in bioaccumulation of mercury in Trichoptera, as well as cause of deformities in the form of blackening on the biota tracheal gills and the expansion of the lumen of the intestine Trichoptera. Secondary production Cheumatopsyche spp. Cikaniki River was high for the tropical freshwater. Cheumatopsyche spp secondary production, in the Cikaniki River affected by mercury pollution from gold amalgamation activity and an increase in the concentration of dissolved solids From the results of this study it, can be suggested two things, namely, the mercury in the Cikaniki River been very dangerous for aquatic life that live in it. Hence the need for the rules governing the activities of gold by using mercury amalgamation in the catchment area. Further research needs to be done was the effect of mercury on the survival of adult trichoptera on the river bank. Keywords : Cikaniki, mercury, Trichoptera, gill darkening, midgut damage, secondary production
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
x
KERUSAKAN JARINGAN DAN PRODUKSI SEKUNDER LARVA TRICHOPTERA PADA PERAIRAN YANG TERCEMAR MERKURI
GUNAWAN PRATAMA YOGA
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
xii
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi. M.Sc. Dr. Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si.
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Tri Widiyanto, M.S. Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc
Judul Penelitian Nama NIM Program Studi
: Kerusakan Jaringan dan Produksi Sekunder Larva Trichoptera pada Perairan yang Tercemar Merkuri : Gunawan Pratama Yoga : C261090051 : Pengelolaan Sumberdaya Perairan (SDP) Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Djamar T. F. Lumbanbatu, M.Agr Ketua
Dr. Ir. Etty Riani, MS. Anggota
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian: 12 Agustus 2014
Tanggal Lulus:
xiv
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya, serta shalawat dan salam tetap tercurah pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian disertasi yang berjudul “Kerusakan Jaringan dan Produksi Sekunder Larva Trichoptera pada Perairan yang Tercemar Merkuri”. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya pada komisi pembimbing Bapak Prof. Dr. Ir Djamar T. F. Lumbanbatu, M.Agr., Ibu Dr. Ir Etty Riani, M.Si. dan Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. yang dengan penuh keikhlasan dan kesabaran telah meluangkan waktunya dalam memberikan arahan dan bimbingannya sehingga penulis bias menyusun disertasi ini dengan baik. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Penguji pada ujian Pra kualifikasi Doktor, Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc dan Dr. Ir. Isdrajat Setypbudiandi, M.Sc, penguji pada ujian tertutup, Dr. Ir. Isdrajat Setypbudiandi, M.Sc dan Dr. Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si, serta penguji pada ujian terbuka, Dr. Tri Widiyanto, dan Dr. Ir. Sigid Harijadi, MSc atas pertanyaan dan saran yang diberikan pada saat ujian. Pertanyaan dan saran tersebut sangat berarti bagi penulis untuk perbaikan disertasi agar semakin baik. Semoga Allah SWT menjadikan bimbingan, arahan dan masukan untuk perbaikan penulisan ilmiah ini sebagai amal sholih. Ungkapan rasa hormat dan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan FPIK, Ketua Program studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan dan dosen-dosen di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Institut Pertanian Bogor atas curahan ilmu dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan studi ini. Kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atas beasiswa Karyasiswa yang telah diberikan sehingga penulis mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan S3. Selanjutnya kepada Kepala Pusat Penelitian Limnologi-LIPI, rekan-rekan peneliti dan staf administrasi yang telah membantu sarana, moral dan administrasi sampai dengan penulis menyelesaikan tugas belajar program doktor di Sekolah Pascasarjana IPB. Ungkapan terimakasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Bapak H. Sutopo Martowardoyo, M.Sc dan Ibu Hj. Pudji Hastutiningsih, M.Sc, Istri tercinta Nina Hermayani Sadi, M.S. dan anak-anakku Ajeng Meiwita Nurrizky dan Vitaya Nur Khaleeda atas segala doa, dorongan semangat, kerelaan dan pengertian yang telah kalian berikan selama penulis menyelesaikan studi di IPB. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan tulisan ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya dan bagi kemajuan IPTEK di Indonesia. Aamiin Bogor, Agustus 2014 Gunawan Pratama Yoga
xvi
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 3 1.3. Rumusan Masalah ............................................................................... 5 1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 5 1.5. Perumusan Hipotesa ............................................................................ 5 1.6. Novelty ................................................................................................ 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 6 2.1. Merkuri di Perairan ............................................................................. 6 2.2. Toksisitas Merkuri terhadap Biota Air ................................................ 7 2.3. Bioakumulasi Merkuri ........................................................................ 7 2.4. Larva Trichoptera sebagai Biota Model Ekotoksikologi .................... 9 2.5. Histopatologi ..................................................................................... 11 2.5.1. Insang ......................................................................................... 11 2.5.2. Saluran Pencernaan .................................................................... 12 2.6. Produktivitas Sekunder ..................................................................... 13 2.7 Penilaian Resiko Ekologis.................................................................. 14 III. METODE PENELITIAN 16 3.1. Metode Penelitian.............................................................................. 16 3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................... 16 3.2.1. Waktu ............................................................................................. 16 3.2.2. Lokasi Penelitian ....................................................................... 16 3.3. Penelitian Lapangan .......................................................................... 17 3.3.1. Pengambilan Sampel Air ............................................................ 17 3.3.2. Pengambilan Sampel Biota ........................................................ 18 3.3.3. Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Air di Lapangan 18 3.4. Pengujian di Laboratorium ................................................................ 18 3.4.1. Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Air ............................. 18 3.4.2. Uji Toksisitas............................................................................. 19 3.4.3. Analisis Histologi ....................................................................... 20 3.4.4. Pengukuran Produksi Sekunder ................................................. 20 3.5. Analisa Data ..................................................................................... 21 3.5.1. Perhitungan Parameter Toksisitas Akut ..................................... 21 3.5.2. Uji Beda Nyata pada Penghitaman Insang ................................. 21 3.5.3. Perhitungan Produksi Sekunder ................................................. 21 3.5.4. Perhitungan Resiko Ekologis ..................................................... 22 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4.1. Konsentrasi Merkuri di Air dan Biota ............................................... 23 4.2. Toksisitas Merkuri terhadap Trichoptera .......................................... 25 4.3. Perubahan Morfologi Insang ............................................................. 27 4.4. Luas Permukaan Lumen Usus ........................................................... 29 4.5. Telaah Kualitas Fisika Sungai Cikaniki ............................................ 32 4.5.1 Suhu Air ...................................................................................... 32 4.5.2. Kecepatan Arus .......................................................................... 33
xviii
4.5.3. Turbiditas .................................................................................... 34 4.5.4. Padatan Tersuspensi Total .......................................................... 35 4.5.5. Konduktivitas .............................................................................. 36 4.6 Telaah Kualitas Kimia Sungai Cikaniki ............................................. 36 4.6.1 Nilai pH air .................................................................................. 36 4.6.2 Kesadahan .................................................................................... 37 4.6.3 Alkalinitas .................................................................................... 38 4.6.4 Oksigen Terlarut (DO) ................................................................. 39 4.6.5 Bahan Organik Total (TOM) ....................................................... 40 4.7. Produksi Sekunder ............................................................................. 41 4.8 Estimasi Resiko Ekologis ................................................................... 42 V. KESIMPULAN DAN SARAN 44 5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 44 5.2 Saran ................................................................................................... 44 LAMPIRAN 54
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8
Nilai LC50 96 jam dua jenis trichoptera Cyrnus trimaculatus dan Hydropsyche angutipennis Deskripsi lokasi pengambilan sampel Rata-rata kematian trichoptera pada konsentrasi uji toksisitas pendahuluan Rata-rata kematian trichoptera pada konsentrasi uji toksisitas akut definitif saat 24 jam dan 48 jam Ringkasan nilai LC50 beberapa logam berat terhadap trichoptera Hasil analisis uji luas penampang usus trichoptera cacat dan normal Jenis-jenis avertebrata dan jenis logam berat yang menyebabkan perubahan luas area lumennya. Ringkasan nilai rata-rata parameter produksi sekunder trichoptera di Sungai Cikaniki
9 17 26 26 27 31 32 42
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3
4
5 6 7 8 9 10
11
Diagram alir penelitian Siklus merkuri di lingkungan perairan. (diterjemahkan dari: USGS, 1995) Toksisitas akut logam Cu terhadap beberapa taksa biota akuatik. Tanda panah menunjukkan posisi dua jenis Trichoptera, Cyrnus trimaculatus dan Hydropsyche angutipennis (Sumber: van der Geest et al. 2000) Toksisitas akut diazinon terhadap beberapa taksa biota akuatik. Tanda panah menunjukkan posisi dua jenis Trichoptera, Cyrnus trimaculatus dan Hydropsyche angutipennis (Sumber: van der Geest et al. 2000) Bagian-bagian saluran pencernaan serangga mulai dari bagian depan sampai dengan bagian belakang (Snodgrass 1993). Lokasi pengambilan sampel Konsentrasi merkuri di air selama waktu penelitian.(a) Hg terlarut ; (b) Hg partikulat Bioakumulasi merkuri pada tubuh trichoptera selama waktu penelitian Korelasi antara bioakumulasi merkuri pada tubuh trichoptera dengan konsentrasi merkuri dalam bentuk partikulat Insang abdominal trichoptera normal (a) dan yang mengalami penghitaman (b) akibat pencemaran merkuri. Tanda panah menunjukkan penghitaman pada lembaran insang Persentase penghitaman insang trachea pada trichoptera di Sungai Cikaniki. Asterik menunjukkan beda nyata (p<0,05), Tanda bar menunjukkan standar deviasi.
4 6
10
10 12 17 23 24 24
27
28
xx
12
13
14
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 5
Kecenderungan hubungan persentase kecacatan dengan (a) konsentrasi merkuri partikulat, (b) akumulasi merkuri dalam tubuh biota Histologi potongan melintang usus trichoptera dengan pewarnaan hematoksilin-eosin. S = Sel tipe S, B = Sel tipe B, L = Lumen, P = jaringan periotrofik.. Penampang melintang permukaan usus trichoptera. (a) Penampang usus trichoptera normal, (b dan c) Penampang usus trichoptera yang mengalami kecacatan. Pewarnaan Hematoksilin-Eosin, Hasil pengukuran suhu air di setiap stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Hasil pengukuran kecepatan arus di setiap stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi Nilai turbiditas di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Nilai total padatan tersuspensi (TSS) di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Hasil pengukuran konduktivitas di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Hasil pengukuran pH air di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Hasil analisis kesadahan (mg/l setara CaCO3) di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi Hasil analisis alkalinitas di masing-masing stasiun pengamatan Tanda bar menunjukkan standar deviasi Konsentrasi DO di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Konsentrasi TOM di air dan indeks kimia pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Nilai Hazard Qoutient di keempat lokasi pengamatan pada bulan Januari – Oktober 2012.
29
30
31 33 34 35 35 36 37 38 39 40 40 43
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3 4 5 6 7
Lokasi pengambilan sampel Konsentrasi merkuri partikulat, terlarut dan terakumulasi di tubuh biota Data toksisitas merkuri terhadap Trichoptrera Hubungan lebar kepala dan berat tubuh larva Trichoptera Perhitungan produktivitas sekunder larva trichoptera di masing masing stasium Data Nilai HQ pada Masing-masing Stasiun Pengamatan Data pH dan alkalinitas bulanan
54 55 57 62 64 68 69
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah terbesar dalam penilaian dampak dan resiko lingkungan, sebagai bagian dari pengelolaan lingkungan terintegrasi (integrated environmental management, IEM), adalah menghubungkan dampak merugikan pencemaran pada organisme sentinel terhadap konsekuensi ekologisnya. Salah satu cara untuk memecahkan masalah tersebut adalah dengan menggunakan uji diagnostik klinis ekotoksikologis yaitu biomarker (Moore et al. 2004). Biomarker menurut van Gestel & van Brummelen (1996) adalah tanggapan biologis yang diukur pada tingkat organisme, atau bagian dari organism tersebut (biokimia, fisiologis, histologis dan morfologis, termasuk penampilan, pigmentasi, deformasi permukaan), terhadap bahan kimia di lingkungan atau produknya (urin, feses, rambut, bulu), yang menunjukkan penyimpangan dari kondisi normal, dan tidak dapat dideteksi pada organisme utuh. Cara-cara ekotoksikologi yang cepat dan murah ini dapat memberikan informasi mengenai status kesehatan individu dan populasi berdasarkan sampel individu yang relatif kecil. Dalam konteks status ekosistem atau kesehatan lingkungan, menurut Moore et al. (2004) biomarker juga digunakan untuk menghubungkan proses-proses kerusakan sel dan jaringan terhadap kondisi pada tingkat yang lebih tinggi (populasi dan komunitas). Avertebrata air layak digunakan dalam pengukuran biomarker, terutama karena biota tersebut, pertama, populasinya besar, sehingga mudah diambil sampelnya tanpa mengganggu dinamika populasinya, kedua, pengukuran biomarker pada beberapa spesies memungkinkan adanya keterkaitan antara biomarker respon dan pengaruh buruk yang terjadi pada tingkat populasi dan komunitas (van der Oost et al. 2005). Salah satu avertebrata air yang memiliki potensi sebagai indikator biologi perairan adalah larva Trichoptera. Penggunaan hewan tersebut sebagai indikator biologi didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu: 1). Salah satu penyusun terbesar dari komunitas makrozoobentos pada ekosistem sungai (Wiggins 1996; Vuori & Kukkonen 1996). 2) Distribusinya yang luas (Mackay & Wiggins 1979), 3) Kelimpahannya relatif tinggi, 4). Respon terhadap kualitas lingkungan bervariasi yang ditunjukkan dengan perubahan morfologi, kemampuan akumulasi bahan polutan, maupun perilaku (Sola & Prat 2006), 5). Keanekaragaman spesies yang relatif tinggi hingga ± 13.000 spesies (Holzenthal 2009) dan 89 spesies hidup di Sulawesi Utara (Geraci & Morse 2008), 6). Siklus hidup relatif panjang dengan lima tahap instar (Wiggins 1996), 7). Peran penting dalam rantai makanan sebagai dekomposer dan mangsa bagi burung maupun ikan, 8). Ukurannya relatif besar yaitu 1-3 cm dengan berat mencapai 30-100 mg (Vuori & Kukkonen 1996; Berra et al. 2006), 9). Tubuh relatif keras sehingga memudahkan dalam melihat abnormalitas/kecacatan, dan 10). Waktu untuk identifikasi hewan relatif lebih singkat (Vuori & Kukkonen 1996). Sungai Cikaniki di Kabupaten Bogor, Jawa Barat mengalami peningkatan aktivitas antropogenik antara lain berupa aktivitas ekstraksi logam emas yang dilakukan oleh penambang emas tanpa ijin (PETI) maupun secara resmi (PT.
2 Antam). Penggunaan logam merkuri telah banyak diketahui digunakan oleh Penambang Emas Tanpa Ijin (PETI) dalam ekstraksi bijih emas di lokasi tersebut. Limbah ekstraksi bijih emas tersebut seringkali masih mengandung konsentrasi logam merkuri yang relatif tinggi, sehingga dapat mencemari Sungai Cikaniki dan mengancam kehidupan biota akuatik pada sungai tersebut. Diperkirakan 4,8 ton larutan merkuri dibuang ke Sungai Cikaniki oleh penambang tanpa ijin setiap tahunnya, sehingga mengakibatkan kontaminasi logam merkuri di sedimen bantaran Sungai Cikaniki relatif tinggi dengan kisaran konsentrasi antara 3,80 – 9,01 ppm (Halimah 2002). Konsentrasi merkuri yang terlarut di badan air Sungai Cikaniki berkisar antara 1,1 – 11,4 ppb (Yoga et al. 2009). Adanya aktivitas di sekitar ruas Sungai Cikaniki tersebut, di samping dapat mengganggu keseimbangan ekologi biota akuatik yang ada di dalamnya juga dapat mengganggu kesehatan manusia. Di dalam tubuh makhluk hidup, merkuri menyebabkan gangguan neuromotorik dan neuropati (Barbosa et al. 2003 ; Chen et al. 2009). Pada biota air, di samping menyebabkan kematian, merkuri pada konsentrasi sub lethal dilaporkan menyebabkan penurunan kemampuan mencari makan, ketidakmampuan menghindari pemangsa, penurunan kemampuan berkembang biak, penurunan pertumbuhan dan penyimpangan tingkah laku (Bank et al. 2007). Di samping itu, merkuri mempunyai kecenderungan untuk terakumulasi pada biota perairan yang pada akhirnya dapat menyebabkan biomagnifikasi pada rantai makanan di perairan (Bank et al. 2007; Chen et al. 2009; Santoro et al. 2008). Pada dasarnya merkuri dapat memasuki organisme bentik melalui dua jalur, pertama secara langsung, baik melalui aktivitas bernafas (respirasi), maupun dengan cara tertelan pada saat memakan sedimen atau perifiton serta pada saat proses penyaringan bahan-bahan partikulat. Jalur yang kedua adalah melalui rantai makanan (Zizek et al. 2007). Insang pada makroavertebrata akuatik merupakan organ target yang paling terkena dampak dari bahan pencemar terlarut yang masuk ke badan air. Hal tersebut dikarenakan oleh luasnya permukaan insang, dan karena kemampuan organ tersebut dalam mengakumulasi senyawasenyawa terlarut dan gas-gas (Skinner & Bennett 2007). Pada tingkat molekuler, penyebab kerusakan sel adalah karena ikatan yang kuat antara merkuri dengan grup thiol pada residu asam-asam amino proteinprotein penting. Kuatnya afinitas merkuri terhadap grup sulfhidril ini juga menjadi penyebab ikatan yang kuat dengan albumin. Pada organ yang terdapat banyak senyawa non protein yang mengandung thiol, merkuri diikat dan dinonaktifkan oleh senyawa-senyawa tersebut. Sebagai contoh, glutathione (GSH) mengikat Hg2+ untuk membentuk diglutathionyl merkuri (GS-Hg-GS). Oleh karena itu pada organ-organ yang memiliki konsentrasi GSH tinggi, maka akan tampak terjadi pembentukan senyawa kompleks GS-Hg-GS, yang akan diikuti dengan pelepasan senyawa kompleks tersebut menuju empedu atau aliran darah (Bolsterli 2007). Komunitas insekta air memainkan peranan penting pada proses-proses ekologi dan ekotoksikologi di danau dan sungai. Komunitas makroavertebrata pada umumnya mengintegrasikan perubahan-perubahan lingkungan pada karakteristik-karakteristik fisika, kimia dan ekologi habitatnya, baik secara spasial maupun temporal (Alloul et al. 1996). Penelitian mengenai pencemaran merkuri di Indonesia sebagian besar masih berkisar pada tingkat konsentrasi pencemaran merkuri di air (Limbong et al. 2004) dan sedimen (Yoga et al. 2005, Lasut et al.
3 2009), akumulasi logam tersebut pada ikan (Castilhos et al. 2006), makroinvertebrata air tawar (Yoga et al. 2009), avertebrata laut (Lasut et al. 2009), tingkat toksisitasnya pada biota air pada kondisi laboratorium (Yoga et al. 2005) serta pengaruh pencemaran merkuri terhadap struktur komunitas makroavertebrata (Sudarso et al. 2009). Sampai saat ini belum ada penelitian yang dapat menjelaskan bagaimana pengaruh pencemaran Hg pada tingkat sel pada individu dan bagaimana pengaruh tersebut menyebabkan perubahan pada tingkat populasi trichoptera pada daerah tropis. 1.2. Kerangka Pemikiran Beban pencemaran merkuri akibat adanya aktivitas penambangan emas tanpa ijin yang terjadi di Sungai Cikaniki dapat menyebabkan gangguan bagi kehidupan biota air pada umumnya, dan insekta air pada khususnya di perairan tersebut. Adanya proses hidrodinamika menyebabkan bahan pencemar merkuri yang masuk ke perairan mengalami transportasi, pelarutan, dan pengendapan, sehingga menyebabkan bahan pencemar tersebut tersedia bagi biota perairan terserap ke dalam tubuh biota tersebut, baik melalui aktivitas respirasi, konsumsi maupun difusi. Keberadaan logam merkuri di dalam tubuh insekta air dapat menyebabkan kematian maupun mengakibatkan toksisitas kronis seperti kerusakan pada tingkat sel. Kerusakan pada tingkat sel yang terjadi pada hewan tersebut dapat menyebabkan gangguan-gangguan pada metabolisme, fisiologi, dan reproduksi insekta air, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi pembentukan biomassa biota tersebut di perairan. Kehidupan dari komunitas insekta air terutama larva trichoptera sangat dipengaruhi oleh kualitas air, ketersediaan pakan berupa seston, serta ketersediaan habitat, misalnya materi organik partikulat kasar (coarse particulate organic matter, CPOM) sebagai sarang maupun sumber energi. Dalam suatu rantai makanan, trichoptera merupakan sumber makanan yang penting bagi biota pada tingkat trofik yang lebih tinggi yang ada di perairan tersebut, sehingga akan mempengaruhi biomassa ikan di perairan. Selain itu trichoptera juga berperan sebagai perombak materi organik partikulat kasar (CPOM) menjadi materi organik halus (fine particulate organic matter, FPOM) pada perairan sungai. Pertumbuhan insekta air di perairan dikendalikan oleh kondisi lingkungan perairan dan ketersediaan bahan organik di perairan tersebut. Diagram alir dari kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
4
Gambar 1. Diagram alir penelitian
1.3. Rumusan Masalah Sumber penyebab pencemaran merkuri yang terjadi di Sungai Cikaniki adalah adanya ekstraksi emas dengan menggunakan merkuri yang dilakukan oleh para penambang emas tanpa ijin. Air cucian dari proses ekstraksi bijih emas tersebut seringkali mengandung konsentrasi logam merkuri yang tinggi dan biasanya langsung dibuang ke alam tanpa proses pengolahan limbah terlebih dahulu. Limbah merkuri tersebut di perairan selanjutnya menyebabkan pencemaran merkuri baik dalam bentuk terlarut dan tersuspensi di badan perairan, maupun yang mengendap di sedimen. Setiap tahunnya larutan merkuri dibuang ke Sungai Cikaniki oleh penambang tanpa ijin ± 4,8 ton (Halimah 2002). Tingkat pencemaran logam merkuri di sedimen bantaran Sungai Cikaniki relatif tinggi dengan kisaran konsentrasi antara 3,80 – 9,01 ppm, sedangkan konsentrasi merkuri yang terlarut di badan air Sungai Cikaniki berkisar antara 1,1 – 11,4 ppb (Yoga et al. 2009). Kerusakan jaringan pada insang dan/atau perut bagian tengah (midgut) yang terjadi karena adanya akumulasi merkuri di dalam tubuh insekta air trichoptera dapat menyebabkan gangguan metabolisme pada insekta air tersebut yang pada akhirnya akan menurunkan kemampuan biota tersebut untuk mempertahankan produksi biomassanya dan akhirnya mengancam kelangsungan hidupnya. Sejauh ini belum ada penelitian yang mengamati kerusakan-kerusakan pada tingkat jaringan dan morfologi trichoptera, yang disebabkan oleh adanya pencemaran merkuri di daerah tropis, terutama di Sungai Cikaniki. Memahami respon yang terjadi pada tingkat jaringan, fisiologi, sampai dengan populasi terhadap paparan merkuri sangat penting untuk membuktikan adanya hubungan sebab akibat (cause and effect) serta gangguan fungsional yang terjadi pada populasi insekta air tersebut. 1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis dampak pencemaran merkuri terhadap kerusakan jaringan insang dan usus bagian tengah (midgut), dan (2) mengkuantifikasi pengaruh pencemaran merkuri terhadap produksi sekunder jenis insekta air tersebut. Penelitian ini bermanfaat untuk memprediksi dampak aktivitas penambangan emas tanpa ijin (PETI) di Daerah Aliran Sungai Cikaniki terhadap keberlanjutan sumberdaya perairan di sungai tersebut. 1.5. Perumusan Hipotesa Konsentrasi merkuri terlarut di Sungai Cikaniki yang tinggi, mencapai 1,1 – 11,4 ppb di air dan 3,80 – 9,01 ppm di sedimen, dapat menyebabkan bioakumulasi logam berat merkuri pada bagian-bagian tubuh larva trichoptera sehingga dapat menyebabkan kerusakan sel, perubahan morfologi, serta terganggunya produksi sekunder larva trichoptera. 1.6. Novelty Informasi mengenai tingkat kerusakan jaringan insang dan midgut trichoptera yang disebabkan oleh konsentrasi merkuri yang terlarut di air serta pengaruhnya terhadap produksi sekunder larva trichoptera di perairan tropis khususnya di Indonesia yang terkontaminasi oleh logam berat merkuri.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Merkuri di Perairan Siklus merkuri di lingkungan perairan adalah proses yang kompleks yang melibatkan transformasi kimiawi, biologis dan fisika, termasuk metilasi secara biotik dan abiotik, demetilasi, volatilisasi, fotoreduksi, fotooksidasi dan adsorpsi, banyak jalur pemaparan dan reaksi yang akan sangat tergantung pada input merkuri yang memasuki perairan, komposisi fisika-kimia sistem perairan dan taraf metabolisme berbagai biota yang ada di perairan tersebut (Hines & Brezonik 2007). Garis besar siklus merkuri di lingkungan perairan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Siklus merkuri di lingkungan perairan. (diterjemahkan dari: USGS, 1995) Sumber pencemaran mercuri di perairan antara lain adalah peleburan logam, pembakaran batubara pada pembangkit listrik tenaga batubara, tempat pembakaran sampah (termasuk limbah rumah sakit), pembakaran batubara dan bahan bakar fosil lainnya, serta pabrik semen (CCME, 2003; Chen et al. 2009), fungisida dalam pertanian (Schimtz, 1996), pembuatan dan pembuangan alat-alat listrik dan elektronik, seperti layar LCD, lampu, kabel, saklar listrik dan baterai (Wong et al. 2006) Pencemaran merkuri dapat memasuki berbagai tipe perairan, seperti sungai, danau maupun perairan pantai (Limbong et al. 2003), melalui dua jalur pemaparan utama yaitu melalui deposisi langsung, baik melalui atmosfir maupun pembuangan limbah cair, dan melalui aliran limpasan permukaan dari daerah tangkapan perairan tersebut (Chen et al. 2009).
7
2.2. Toksisitas Merkuri terhadap Biota Air Merkuri dalam berbagai bentuknya menyebabkan pengaruh toksik yang selektif pada organ biota air. Merkuri anorganik cenderung menyebabkan nephrotoxicity, toksisitas pada sistem ekskresi (ginjal), sedangkan merkuri organik, seperti metil merkuri, cenderung menyebabkan toksisitas pada sistem syaraf, neurotoxicity, terutama pada sistem syaraf pusat (Bolsterli 2007). Pada tingkat molekuler, merkuri memiliki kemampuan untuk berikatan dengan gugus thiol (sulfhydryl, -SH) pada asam amino seperti metalothionein (Roesijadi 1992) maupun protein-protein pengikat logam (Luoma & Carter 1991) lainnya dan membentuk ikatan kompleks. Ikatan kompleks tersebut akan tersirkulasi ke dalam darah, sehingga dapat mencapai organ ginjal, maupun sistem syaraf pusat. Sesampainya di organ target, ikatan kompleks tersebut akan membentuk kompleks Hg-disistein (Cys-Hg-Cys) yang sangat menyerupai gugus asam amino endogenus, sistein (Cys-Cys). Kompleks Hg-disistein (Cys-Hg-Cys) selanjutnya akan masuk ke dalam sel melalui sistem transportasi selektif. Sesampainya di dalam sel, ikatan kompleks tersebut akan terurai, dan menimbulkan pengaruh toksik pada sel (Bolsterli 2007) seperti kerusakan pada lisosom, perubahan sel-sel epitel dan atropi pada sel (Luoma & Carter 1991). Pengaruh toksisitas bahan pencemar terhadap biota perairan biasa dinyatakan sebagai lethal (akut), yaitu akibat-akibat yang timbul pada waktu kurang dari 96 jam atau sublethal (kronis), yaitu akibat-akibat yang timbul pada waktu lebih lama. Sifat toksik yang lethal dan sublethal dapat menimbulkan efek genetik maupun teratogenik terhadap biota yang bersangkutan. Pada perairan tawar, konsentrasi toksisitas akut (LC50 selama 24-96 jam) merkuri anorganik terhadap biota avertebrata berkisar antara 5 sampai 5600 g Hg/L, sedangkan terhadap ikan berkisar antara 150 sampai 900 g Hg/L (CCME, 2002). Pada uji toksisitas kronik (berkisar antara 7 sampai 21 hari), biota avertebrata memiliki sensitivitas terhadap merkuri yang sama dengan ikan. Konsentrasi merkuri anorganik yang menimbulkan efek (Effect Concentration, EC50) pada avertebrata berkisar antara 1,28 sampai 12,0 g Hg/L. Pada ikan, nilai kronik untuk merkuri anorganik berkisar antara 0,26 sampai > 64 g Hg/L (Niimi & Kissoon 1994; Snarski & Olson 1982). Penyebaran merkuri sebagian besar melalui bahan makanan. Pengaruh kronik/sublethal merkuri pada biota air dilaporkan menyebabkan penurunan kemampuan mencari makan, ketidakmampuan menghindari pemangsa, penurunan kemampuan berkembang biak, penurunan pertumbuhan dan penyimpangan tingkah laku (Desrosiers et al. 2006). 2.3. Bioakumulasi Merkuri Proses masuknya merkuri dari lingkungan perairan pada biota air melalui dua jalur pemaparan, yaitu respirasi dan pencernaan/trofik (Boudou & Ribeyre 1997 ; Roesijadi 1992). Merkuri yang dapat diserap oleh insang adalah merkuri dalam bentuk terlarut (Roesijadi 1992). Di insang, merkuri memasuki tubuh biota air berbagai proses transport yang terjadi lamela insang. Menurut Bolsterli (2007), merkuri dapat masuk ke dalam sel melalui Ca2+ channel karena merkuri menyerupai ion Ca2+ sehingga berkompetisi dengan ion tersebut untuk memasuki channel tersebut. Begitu memasuki sel insang, merkuri yang sangat mudah
8
berikatan dengan sulfur akan berikatan dengan makromolekul (DNA, asam amino, protein) yang mengandung gugus thiol seperti misalnya gluthathione, cysteine, metallothionein, homocystein, N-acetylcystein, albumin dan protein-protein lainnya (Lushchak 2008). Bila konsentrasi merkuri yang terdapat di insang melebihi kapasitas insang dalam mengikat logam tersebut, maka merkuri dapat memasuki sirkulasi peredaran darah melalui pembuluh-pembuluh darah kapiler yang banyak terdapat pada insang. Merkuri akan dibawa dari insang oleh darah ke seluruh tubuh. Jalur pemaparan kedua adalah melalui saluran pencernaan. Merkuri yang masuk ke dalam saluran pencernaan pada umumnya berupa merkuri yang berikatan dengan bahan organik seperti makanan dan bahan organik dari sedimen. Merkuri yang sampai pada saluran pencernaan akan diserap melalui mekanisme transport epitelial di usus. Merkuri yang ditelan bersama dengan makanan pertama kali akan berikatan dengan sel-sel kelenjar pencernaan, baru kemudian didistribusikan ke organ-organ yang lainnya. Plasma protein merupakan alat transportasi antar organ yang penting bagi merkuri (Roesijadi 1992). Darah atau hemolimf mempunyai peranan yang penting bagi transportasi logam berat antar organ/jaringan. Merkuri, dari saluran pencernaan, kemudian akan dibawa oleh darah/hemolimph menuju hati atau hepatopankreas. Hati atau hepatopankreas merupakan organ yang penting bagi proses akumulasi, detoksifikasi maupun depurasi karena organ tersebut berperan besar dalam metabolisme protein, asam lemak, karbohidrat, fagositosis partikel-partikel asing, akumulasi lemak, sekresi pigmen bilirubin dan ekskresi debris (Amaral et al. 2006). Merkuri mudah sekali terakumulasi pada biota perairan, terutama ikan dan kerang-kerangan, sehingga pemerintah Amerika Serikat menerbitkan peraturan pembatasan konsumsi ikan bagi para ibu yang sedang berencana untuk hamil, para ibu yang sedang hamil, para ibu yang sedang menyusui dan anak-anak yang masih mengalami perkembangan system syaraf (USEPA 2004). Merkuri anorganik (tidak termasuk unsur merkuri) dan metil merkuri memiliki reaksi yang kuat terhadap ligan-ligan intraseluler sehingga menyebabkan daya akumulasi yang kuat dalam biota perairan. Penyerapan dan akumulasi merkuri pada biota perairan sangat dipengaruhi oleh jenis merkuri yang ada di perairan, di mana spesies merkuri yang netral (seperti HgCl20 and CH3HgCl0) terserap lebih efisien dibandingkan spesies merkuri yang bermuatan seperti HgCl3- CH3Hg+ (Mason et al. 1996). Lasut et al. (2009) melaporkan bahwa pencemaran merkuri di Teluk Buyat, Sulawesi Utara telah menyebabkan bioakumulasi merkuri pada biota-biota soft coral, lamun, rumput laut, kepiting, gastropoda, kerang-kerangan dan ikan (Lutjanus basmira, Parupeneus multifasciatus, Epinephelus merra) dari konsentrasi rendah ke tinggi. Kisaran konsentrasi metil merkuri pada ikan di Teluk Buyat tersebut berkisar antara 46 ppb berat basah pada L. basmira sampai dengan 359 ppb berat basah pada E. merra. Sedangkan Limbong et al. (2003) yang meneliti kandungan merkuri pada ikan di DAS Talawaan, Sulawesi Utara mendapatkan bahwa sembilan dari 47 sampel ikan, meliputi 13 spesies, yang dianalisis mengandung merkuri yang cukup tinggi, dan konsentrasinya mencapai 6,3 kali konsentrasi ambang batas bagi konsumsi ikan yang ditetapkan oleh WHO/ICPS yaitu 0,5 mg/kg berat basah. Akumulasi merkuri tertinggi sebesar 3,14 mg/kg ditemukan pada ikan Caranx sp. yang merupakan ikan karnivora.
9
2.4. Larva Trichoptera sebagai Biota Model Ekotoksikologi Trichoptera adalah insekta dengan metamorfosis yang lengkap, di mana larvanya berkembang melalui lima tahap instar. Trichoptera secara ekologis berperan sebagai pengurai bahan-bahan organik dan sebagai sumber pakan bagi ikan dan burung-burung. Kegunaan trichoptera untuk memantau kondisi perairan didasarkan pada distribusinya yang luas di berbagai perairan, terutama perairan mengalir, dan kemudahannya dikultur pada kondisi laboratorium (Greve et al. 1998). Pengamatan di lapangan mengindikasikan bahwa beberapa jenis avertebrata seperti larva Ephemeroptera, larva trichoptera dan larva Plecoptera memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap pencemaran di perairan bila dibandingkan dengan jenis avertebrata yang lainnya. Oleh karenanya ketiga jenis avertebrata tersebut secara luas digunakan untuk pemantauan kondisi biologis di perairan (Rosenberg & Resh 1993). Uji toksisitas standar dengan menggunakan beberapa jenis larva trichoptera telah dikembangkan, dan telah terbukti sensitivitasnya terhadap tembaga (Cu) dan insektisida Diazinon (Greve et al. 1998; Van der Geest et al. 1999 ; van der Geest et al. 2000). Van der Geest menguji sensitivitas dua jenis larva trichoptera yaitu Hydropsyche angutipennis (Van der Geest et al. 1999) dan Cyrnus trimaculatus (Van der Geest et al. 2000). Nilai LC50 kedua larva trichoptera tersebut terhadap diazinon dan tembaga (Cu) pada pemaparan 96 jam dapat dilihat pada Tabel 1. Kedua larva trichoptera tersebut lebih sensitif terhadap insektisida diazinon dibandingkan pada logam berat, seperti tembaga. Tabel 1 Nilai LC50 96 jam dua jenis larva trichoptera Cyrnus trimaculatus dan Hydropsyche angutipennis Toksikan Tembaga (Cu) Diazinon
Konsentrasi (µg/L) LC50 96 jam Cyrnus trimaculatusa
Hydropsyche angutipennisb
759 (402 – 1433)
350 (257 – 478)
1,1 (0,7 – 1,7)
1,3 (1,2 – 1,5)
Sumber : a van der Geest et al. (2000) ; b van der Geest et al. (1999) Lebih lanjut bila dibandingkan dengan biota-biota akuatik lainnya yang pernah diuji toksisitasnya maka kedua trichoptera tersebut cukup sensitif terhadap tembaga (Gambar 3) dan diazinon (Gambar 4). C. trimaculatus dan H. angutipennis cukup sensitif terhadap logam tembaga (Cu), hal tersebut ditunjukkan dengan nilai LC50 kedua trichoptera tersebut berada di pertengahan nilai-nilai LC50 biota akuatik lainnya. C. trimaculatus dan H. angutipennis memiliki sensitifitas yang sangat tinggi terhadap Diazinon, dan termasuk di antara biota akuatik yang paling sensitif. Hal tersebut dikarenakan kedua biota tersebut termasuk dalam biota target insektisida tersebut, yang mana mode of action insektisida tersebut ditujukan untuk membunuh insekta.
10
Gambar 3 Toksisitas akut logam Cu terhadap beberapa taksa biota akuatik. Tanda panah menunjukkan posisi dua jenis Trichoptera, Cyrnus trimaculatus dan Hydropsyche angutipennis (Sumber: van der Geest et al. 2000)
Gambar 4 Toksisitas akut diazinon terhadap beberapa taksa biota akuatik. Tanda panah menunjukkan posisi dua jenis Trichoptera, Cyrnus trimaculatus dan Hydropsyche angutipennis (Sumber: van der Geest et al. 2000).
11
2.5. Histopatologi Histopatologi saat ini sudah menjadi alat standar pada penelitian-penelitian toksikologi akuatik. Toksisitas bahan pencemar pada tingkat selular, jaringan dan organ yang dianalisis dengan teknik histopatologi selama ini terfokus pada pengembangan teknik-teknik histopatologi, keunggulan teknik tersebut, dan pengembangan biomarker yang dapat digunakan untuk mendeteksi dampak pencemaran pada tingkat jaringan dan organ pada penelitian-penelitian di laboratorium serta relevansinya pada penelitian di lapangan (Hinton 1994). Perubahan yang ditimbulkan akibat masuknya bahan pencemar pada tubuh ikan terutama pada organ pernafasan (insang) dan perut bagian tengah (midgut), dapat diamati secara histopatologi. Histologi adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang jaringan. Dengan menggunakan teknik histologi memungkinkan untuk mengamati pengaruh toksikan pada tingkatan sel dan jaringan secara visual (Peters et al. 2005). 2.5.1. Insang Insang adalah organ pernapasan utama pada umumnya hewan air. Epithelium insang adalah lokasi utama terjadinya pertukaran gas, pengaturan keseimbangan asam basa, dan regulasi ion. Oleh karena itu, jika hewan air dipapar pada lingkungan yang tercemar, akan membahayakan fungsi utama dari organ pernafasan tersebut (Connel & Miller 1995). Di antara larva serangga air, terdapat dua jenis struktur insang yang telah diketahui dengan cukup baik yaitu, insang trakea (tracheal gill) dan insang darah (blood gill). Istilah insang trakea diterapkan pada filamen dengan saluran trakea yang banyak dan rongga darah yang sangat kecil, struktur ini biasa ditemukan pada serangga seperti Ephemeroptera dan Trichoptera. Insang darah dibatasi hanya untuk organ yang memiliki lumen luas tetapi trakeanya kurang berkembang atau sama sekali tidak ada, insang ventral dan anal Chironomus (Thorpe 1933). Pertukaran gas dalam sistem trakea terutama dipengaruhi oleh difusi dan dimodifikasi oleh pembukaan dan penutupan spirakel, yang berfungsi mengontrol difusi (Wigglesworth 1931). Insang sangat peka terhadap pengaruh toksisitas logam. Logam berat kelas B sangat reaktif terhadap ligan sulfur dan nitrogen, sehingga ikatan logam berat kelas B tersebut sangat penting bagi fungsi normal metaloenzim dan juga metabolisme terhadap sel. Bilamana metaloenzim disubstitusi oleh logam yang bukan semestinya, maka akan menyebabkan protein mengalami deformasi dan mengakibatkan menurunnya kemampuan katalitik enzim tersebut. Di samping gangguan sistem biokimiawi tersebut perubahan struktur morfologi insang juga terjadi. Toksisitas logam-logam berat yang menyebabkan kerusakan insang dan struktur jaringan luar lainnya, dapat menimbulkan kematian yang disebabkan oleh proses anoxemia, yaitu terhambatnya fungsi sirkulasi dan ekskresi pada insang. Di samping itu kerusakan pada sistem pernafasan tersebut menyebabkan terhambatnya sistem transportasi elektron dan fosforilasi oksidatif pada rantai makanan yang pada akhirnya akan mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan. Unsur-unsur logam berat yang mempunyai pengaruh terhadap insang antara lain timah, seng, besi, tembaga, kadmium dan merkuri (Connel & Miller 1995).
12
Pengaruh logam berat Pb terhadap kerusakan jaringan insang ikan bandeng (Chanos chanos Forskal) diteliti oleh Siahaan (2003). Kerusakan jaringan insang pada ikan tersebut meliputi nekrosis, hipertropi, fusi lamella dan degenerasi jaringan ikat. Kerusakan insang tidak teramati pada ikan petek (Leiognathus equulus) di perairan Ancol yang terkontaminasi merkuri, namun demikian nekrosis terjadi pada organ hati (Riani 2010). 2.5.2. Saluran Pencernaan Saluran pencernaan serangga pada umumnya berbentuk tabung. Normalnya berbentuk lurus atau melingkar-lingkar dan memanjang dari mulai mulut sampai dengan anus. Saluran pencernaan serangga terdiri tiga bagian utama yaitu perut depan (stomodaeum atau foregut), perut tengah (mesenteron atau midgut), dan perut belakang (proctodaeum atau hindgut) (Snodgrass 1993, Wanderley-Teixeira et al. 2006). Gambar 5 mengilustrasikan ketiga bagian utama saluran pencernaan pada serangga.
Gambar 5 Bagian-bagian saluran pencernaan serangga mulai dari bagian depan sampai dengan bagian belakang (Snodgrass 1993). Perut bagian tengah memanjang mulai dari gastric caeca, sampai dengan sebelum tubulus malphigi. Di antara keduanya adalah ventriculus, yang merupakan daerah yang paling aktif dalam pencernaan. Gastric caeca berfungsi untuk menambah luas permukaan usus bagian tengah, sehingga meningkat kemampuannya untuk mengeluarkan enzim pencernaan dan mengekstrak produk yang bermanfaat dari makanan yang sedang dicerna. Perut bagian tengah tersebut dilapisi oleh membran semipermeabel yang terdiri dari protein dan kitin, seperti kutikula, yang memungkinkan terjadinya aliran cairan dan larutnya zat-zat di dalam usus pertengahan (Snodgrass 1993). Perut bagian tengah serangga secara umum dibentuk oleh lapisan sel tunggal yang bagian apikal biasanya berorientasi pada lumen dan bagian basal dibentuk oleh lamina basal (Ferreira et al. 2008). Epitel perut bagian tengah dari arthropoda air merupakan sistem organ penting dan relevan secara toksikologis untuk pemantauan pencemaran lingkungan. Matriks atau membran peritrofik pada arthropoda air, yang disekresikan oleh sel-sel epitel perut bagian tengah, terganggu fungsinya oleh logam berat seperti tembaga atau kadmium (Beaty et al. 2002). Fungsi membran peritrofik antara lain adalah sebagai pelindung bagi epitel perut bagian tengah terhadap proses pencernaan secara mekanik, dan pembentukan pembatas fisik untuk melawan infestasi oleh mikroorganisme (Malaspina & da Silva-Zacarin 2006). Sel-sel utama dari epitel perut bagian tengah pada serangga dewasa berbentuk kolumnar atau disebut juga sel pencernaan dan sel-sel regeneratif. Sel-
13
sel kolumnar bertanggung jawab dalam produksi dan sekresi enzim pencernaan dan penyerapan zat yang dicerna serta air, sedangkan sel-sel regeneratif ditemukan di dasar epitel dan menggantikan sel-sel kolumnar yang hilang karena abrasi dan penuaan sel, yang mana pada penggantian ini melibatkan pembagian dan diferensiasi sel regeneratif (Malaspina & da Silva-Zacarin 2006). 2.6. Produktivitas Sekunder Produksi sekunder secara umum didefinisikan sebagai pembentukan biomassa heterotrofik sejalan dengan pertambahan waktu. Produksi sekunder tahunan merupakan jumlah dari biomassa total yang diproduksi oleh sebuah populasi selama satu tahun. Kondisi ini termasuk produksi yang tersisa pada akhir tahun dan semua produksi yang hilang selama periode tersebut. Hilangnya produksi ini termasuk kematian (misalnya oleh penyakit, parasitisme, kanibalisme, predasi), hilangnya jaringan yang tersisa (misalnya oleh molting, kelaparan), dan emigrasi. Satuan dari produksi sekunder dapat berupa: Kcal.m2 /tahun atau KJ/m2/tahun (satuan energi), berat kering/ berat kering bebas abu, atau unit karbon seperti pada studi produktivitas primer. Standar konversi dari masing-masing satuan pada umumnya adalah: 1 gr berat kering ≈ 6 gr berat basah ≈ 0,9 gr berat kering bebas abu ≈ 0,5 gr C ≈ 5 Kcal ≈21 KJ (Benke dan Huryn 2007). Produksi sekunder dapat menyediakan informasi gabungan pada pertumbuhan individu dan keberlangsungan hidup populasi dan dianggap mewakili jumlah energi yang tersedia untuk tingkatan trofik yang lebih tinggi (Jin dan Ward 2007). Oleh sebab itu produksi sekunder seringkali dikaitkan dengan teori bioenergetik. Pada teori tersebut biasanya dibahas transformasi energi di dalam dan di antara organisme, yang difokuskan pada aliran energi di antara spesies melalui konsumsi sepanjang rantai makanan (Benke 2010). Secara umum pendugaan produksi sekunder dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu: teknik kohort dan non kohort. Teknik kohort digunakan ketika populasi memungkinkan mengikuti sebuah kohort (misalnya: individu yang menetas dari telur dengan selang waktu yang relatif singkat dan laju pertumbuhannya relatif sama) sepanjang waktu. Ketika sejarah hidup lebih komplek, maka tehnik non kohort sering digunakan. Sebagai sebuah kohort yang berkembang sepanjang waktu, adanya penurunan kepadatan secara umum disebabkan oleh kematian dan peningkatan berat individu dikarenakan pertumbuhan. Interval Produksi (misalnya waktu di antara dua data sampling) dengan mudah dapat dihitung secara langsung dari data lapangan melalui metode penambahan sesaat (increment-summation method) sebagai produk dari rerata kepadatan antara dua data sampling ( ) dan peningkatan berat individu (ΔW) yaitu x ΔW. Asumsi dari teknik kohort ini adalah satu generasi pertahun (Benke dan Huryn 2007). Produksi tahunan dihitung sebagai jumlah keseluruhan estimasi interval ditambah dengan biomassa awal. Secara matematis dapat digambarkan sebagai berikut:
14
Teknik non kohort digunakan ketika sejarah kehidupan sebuah populasi bersifat lebih kompleks atau tidak mengikuti sebagai kohort dari data lapangan. Metode tersebut membutuhkan independensi dari waktu perkembangan atau laju pertumbuhan biomassa. Salah satu metode yang umum digunakan pada teknik non kohort adalah metode frekwensi-ukuran (size frequency method) yang sebelumnya dikenal sebagai metode Hynes & Coleman (1968). Metode tersebut mengasumsikan sebuah rerata distribusi frekuensi-ukuran yang ditentukan dari sampel yang dikumpulkan sepanjang tahun mengikuti suatu kurva mortalitas untuk sebuah rata-rata kohort. Benke (1979) telah melakukan koreksi dari metode Hynes & Coleman (1968) dengan cara mengalikan nilai produksi yang telah dihasilkan dengan sebuah faktor koreksi yaitu 365/CPI (cohort production interval) ketika hewan tersebut memiliki waktu generasi yang lebih dari sekali bereproduksi dalam jangka waktu satu tahun (multivoltine). CPI umumnya ditetapkan dari rerata waktu (dalam hari) yang dibutuhkan dari mulai menetas hingga mencapai ukuran akhir. Kadangkala faktor koreksi tersebut menggunakan bulan dibandingkan dengan menggunakan hari yang rumusnya adalah sebagai berikut: 12/CPI (Benke & Huryn 2007). 2.7 Penilaian Resiko Ekologis Penilaian resiko ekologis adalah sebuah proses sistematik mengevaluasi yang menjelaskan dan mengkuantifikasi kemungkinan terjadinya dampak ekologis (bukan pada manusia) yang merugikan sebagai akibat dari terjadinya pemaparan sebuah stressor, atau lebih (USEPA 1992). Stressor di sini didefinisikan sebagai berbagai bentuk benda baik yang bersifat kimiawi, biologis maupun fisik yang dapat menimbulkan respon buruk terhadap komponen ekologi baik individu, populasi, komunitas, maupun ekosistem. Secara umum penilaian resiko ekologis terdiri dari empat komponen dasar, yaitu: identifikasi bahaya, penilaian pemaparan/pajanan, penilaian dampak ekologis, dan terakhir adalah karakterisasi resiko (NRC 1993). Identifikasi bahaya (NRC 1993) dan formulasi masalah (USEPA 1998) adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan proses dalam mengidentifikasi dan mendefinisikan bahaya yang akan diuji. Sedangkan formulasi masalah adalah proses perencanaan dan pengumpulan informasi secara sistematik yang ditujukan untuk menentukan cakupan yang akan dilaksanakan pada penilaian resiko ekologis (Hill et al. 2000). Hasil akhir dari formulasi masalah adalah model konseptual yang mengidentifikasi dan mengkarakterisasi awal ekosistem, stressor yang dicurigai menjadi penyebab masalah, sumbersumber daya ekologis yang akan dievaluasi, data-data yang diperlukan, serta metoda dan analisis yang diperlukan (Mount and Henry 2008). Pada tahap penilaian pajanan dilakukan pengumpulan dan analisis data serta informasi untuk mengkuantifikasi konsentrasi pajanan yang relevan bagi sumberdaya-sumberdaya ekologi pada daerah yang tercemar. Menurut Mount and Henry (2008), karakterisasi komponen pajanan terdiri dari : Pengukuran pajanan – Hasil dari pengukuran ini akan mengindikasikan distribusi dan besarnya konsentrasi bahan pencemar yang dianalisis
15
dan komponen-komponennya pada titik-titik potensial yang memungkinkan terjadinya kontak dengan reseptor-reseptor. Analisis pajanan – yaitu suatu suatu proses mengestimasi distribusi spasial dan temporal pajanan bahan-bahan pencemar. Profil pajanan – yaitu sebuah ringkasan yang memuat hasil-hasil analisis pajanan. Penilaian dampak ekologis adalah fase pengumpulan dan analisis data untuk menentukan konsentrasi pajanan atau laju pajanan yang tidak menimbulkan pengaruh yang menyebabkan kerusakan ekologis, atau mengkarakterisasi ada atau tidaknya dampak buruk yang ditimbulkan oleh bahan pencemar terhadap sumberdaya-sumberdaya ekologis di suatu tempat. Karakterisasi komponen-komponen dampak ekologis menurut Mount & Henry (2008) terdiri atas : Pengukuran dampak – Hasil dari pengukuran atau pengamatan yang dilakukan terhadap dampak yang terjadi akibat adanya pencemaran yang disebabkan bahan toksikan tertentu tersebut akan menentukan tindakan selanjutnya dalam menilai dampak pencemaran tersebut pada berbagai variasi pajanan. Analisis respon ekologi – Yaitu merupakan suatu analisis kuantifikasi data-data dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran bahan toksikan. Profil stressor-respon – Analisis respon komponen-komponen ekologis yang secara spesifik berkaitan dengan penjelasan hubungan antara besaran dan durasi pajanan dan dampak-dampak yang ditimbulkannya. Estimasi resiko – Yaitu sebuah proses yang memakai data-data yang dihasilkan dari analisis pajanan untuk membuat parameter dan menerapkankan model pajanan – respon (exposure – response model) dan mengestimasi resiko beserta analisis kemungkinan kejadiannya. Estimasi resiko dapat dihitung dengan menggunakan berbagai macam pendekatan dan teknik. Salah satu teknik yang umum dipakai adalah dengan menggunakan metoda quotient. Metoda ini sering digunakan pada bahan pencemar tunggal dan digunakan untuk mengidentifikasi adanya potensi resiko dari keberadaan bahan pencemar tersebut, namun tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi besaran dan probabilitas nya. Metoda quotient pada prinsipnya dilakukan dengan membandingkan konsentrasi bahan pencemar di lingkungan (Probable Effect Concentration, PEC) dengan konsentrasi standar bahan pencemar tersebut yang tidak menimbulkan damapak negatif (Predicted No Effect Concentration, PNEC) terhadap organisma yang dapat dianggap mewakili ekosistemnya. Nilai yang dihasilkan dari perbandingan PEC dan PNEC dikenal dengan nama hazard quotient (HQ) atau quotient resiko.
III. METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Metoda penelitian yang digunakan adalah penelitian deskripsi-analitik. Dasar pendekatan sistematik penelitian adalah keterkaitan/korelasi antara pencemaran logam berat merkuri yang ada di perairan dengan kerusakan jaringan, dan produksi sekunder insekta air tersebut di Sungai Cikaniki, Kabupaten Bogor Jawa Barat. Penelitian ini terbagi atas dua bagian, bagian pertama, yaitu penelitian di lapangan yang terutama ditujukan untuk melihat pengaruh pencemaran merkuri terhadap produksi sekunder trichoptera. Bagian kedua adalah uji toksisitas merkuri terhadap trichoptera yang dilakukan di laboratorium untuk mengetahui hubungan antara tingkat pemaparan merkuri dengan kerusakan jaringan yang dihasilkannya. 3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2.1. Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama sepuluh bulan dari bulan Januari 2012 sampai dengan Oktober 2012. Pengambilan sampel di lokasi pengamatan dilakukan setiap bulan selama 10 bulan secara berkala (time series). 3.2.2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah ruas Sungai Cikaniki, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang tercemar oleh logam berat merkuri (Gambar 6). Penentuan lokasi pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan bantuan peta rupa bumi dengan skala 1 : 125.000 yang didapatkan dari Badan Koordinasi Survei Pertanahan Nasional (Bakosurtanal) dan informasi data sekunder dari penelitian sebelumnya mengenai PETI di Sungai Cikaniki (Syawal, 2000; Halimah 2002). Penentuan posisi lokasi sampling di lapangan dilakukan dengan menggunakan alat Global Positioning System (GPS). Pengambilan sampel air dan biota untuk daerah yang tercemar dilakukan di daerah Cisarua, Curug Bitung dan Lukut yang terletak di bantaran S. Cikaniki – Sub DAS Cisadane Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Sedangkan untuk pengambilan sampel pada daerah yang belum tercemar dilakukan di daerah bagian hulu Sungai Cikuluwung, di kawasan Taman Nasional Gunung Salak Endah, Kabupaten Bogor. Deskripsi mengenai seluruh lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 2.
17
Tabel 2 Deskripsi lokasi pengambilan sampel No. Nama Stasiun Lokasi 1 Cikulu wung 2
Cisarua
3
Curug Bitung
4
Lukut
Koordinat
Keterangan
6° 41’ 43,9” LS 106° 40’ 25,4” BT
Daerah rujukan yang merupakan kawasan konservasi, dan tidak ada aktivitas pengolahan emas rakyat 6° 38’ 15,16” LS Merupakan daerah pengolahan emas 106° 33’ 39,7” BT rakyat yang berada di bantaran sungai 6° 37’ 1,7” LS Merupakan daerah pengolahan emas 106° 32’ 31,4” BT rakyat yang berada pada di bantaran sungai dan di tengah sungai 6° 34’ 47,85” LS Merupakan bagian paling hilir dan tidak 106° 32’ 51,56” BT terlihat adanya pengolahan emas.
Gambar 6 Lokasi pengambilan sampel 3.3. Penelitian Lapangan 3.3.1. Pengambilan Sampel Air Sampel air diambil sebanyak 1 liter menggunakan botol Schott yang telah dicuci dengan asam nitrat 20%. Sebelum air diambil, botol dibilas terlebih dahulu dengan air sungai di lokasi pengambilan sampel, lalu air didinginkan pada suhu 4 C untuk dibawa ke laboratorium dan disimpan di lemari pendingin sampai saatnya dianalisis.
18
3.3.2. Pengambilan Sampel Biota Pengambilan sampel larva trichoptera dilakukan dengan menggunakan alat surber dengan luas bukaan 30 x 30 cm2 dan lebar mata jaring 0,2 mm, dengan lima kali ulangan pada masing-masing lokasi pengambilan sampel. Sampel yang terkumpul kemudian dimasukkan ke dalam kantung plastik dan diberi pengawet formalin 10%. Di laboratorium, penyortiran sampel dilakukan di bawah mikroskop stereo dengan pembesaran 10-45 kali. Hewan yang telah disortir diawet dengan alkohol 70%. Pada analisis histologi, larva trichoptera dengan ukuran panjang 0,75 – 1,5 cm diawet dengan menggunakan alkohol 70%. 3.3.3. Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Air di Lapangan Pengukuran oksigen terlarut, pH, padatan terlarut total, konduktivitas, suhu air, dan oksigen terlarut dilakukan secara langsung di lapangan dengan menggunakan alat water quality checker (WQC) yang telah dikalibrasi sebelumnya 3.4. Pengujian di Laboratorium 3.4.1. Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Air Bahan organik total (TOM) Analisis TOM menggunakan metode titrasi (APHA 1995). Sebanyak 100 ml sampel air ditambah dengan 5 ml larutan H2SO4 4 N dan dipanaskan hingga hampir mendidih. Larutan kemudian ditambah dengan 10 ml KMnO4 0,01 N dan dipanaskan selama 10 menit. Larutan ditambah dengan asam oksalat 0,01 N dan dititrasi dengan larutan KMnO4 0,01 N. Total padatan tersuspensi (TSS) Analisis padatan tersuspensi di air menggunakan metode gravimetri (APHA 1995). Sebanyak 100-200 ml sampel air disaring dengan menggunakan kertas saring GF/A. Kertas saring dikeringkan dalam oven yang bersuhu 105°C selama 2 jam. Kertas saring kemudian dipindah dalam desikator selama 24 jam dan dilakukan penimbangan. Penetapan Konsentrasi Merkuri dalam sampel Air dan Biota Uji Sampel air diambil sebanyak 1 liter dari setiap stasiun pengamatan. Analisis logam merkuri dalam sampel air dilakukan menurut Smoley (1992). Konsentrasi merkuri diukur dengan menggunakan alat Mercury Analyzer Hiranuma Hg-300. Alat ini pada dasarnya adalah spektrofotometer serapan atom uap dingin. Alat ini paling banyak digunakan untuk analisis kuantitatif merkuri dalam jumlah kecil dalam berbagai jenis sampel atau bahan (Silva 2006). Titik didih yang relatif rendah dan sifat yang mudah menguap menyebabkan raksa memungkinkan untuk diukur tanpa melibatkan penggunaan energi panas atau pemanasan elektrotermal (Chen 2008). Prinsip metode spektrometer serapan atom adalah serapan cahaya oleh atom. Atom-atom akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, untuk merkuri pada panjang gelombang 357,3 nm. Kemudian cahaya dengan panjang gelombang tersebut dilewatkan pada suatu sel yang mengandung atom-atom
19
bebas, maka sebagian cahaya tersebut akan diserap dan intensitas penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom bebas logam yang berada pada sel. Pada analisis merkuri, gas merkuri yang terbentuk dari reaksi reduksi didorong oleh gas argon masuk ke cell quartz yang akan disinari lampu katoda dengan panjang gelombang 253,7 nm untuk mengetahui absorbannya (Silva 2006) Analisis logam merkuri pada sampel biota trichoptera dilakukan berdasarkan Akagi dan Nishimura (1991) dan dianalisis dengan mercury analyzer HG-300. Penetapan nilai alkalinitas Penetapan nilai alkalinitas dilakukan dengan metoda titrimetri berdasarkan APHA (1995). Alkalinitas total dihitung sebagai berikut: Alkalinitas Total (mg ekivalen/L)
=
x 1000
Penetapan nilai kesadahan Penetapan nilai kesadahan dilakukan dengan metoda titrimetri berdasarkan APHA (1995). Kesadahan total dihitung sebagai berikut: Kesadahan Total (mg CaCO3/L)
=
3.4.2. Uji Toksisitas Uji toksisitas dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi merkuri yang terlarut di perairan terhadap jaringan larva trichoptera pada tingkat jaringan. Larva trichoptera diambil dari lokasi yang tidak tercemar, kemudian diaklimatisasi pada kondisi laboratorium selama dua sampai minggu bulan. Uji toksisitas dilakukan berdasarkan metoda uji toksisitas larva trichoptera Hydropsyche angustipennis (van der Geest et al. 1999). Uji toksisitas dilakukan dalam dua tahap. Uji pendahuluan lalu dilanjutkan uji toksisitas definitif. Uji Pendahuluan Uji pendahuluan dilakukan untuk mencari konsentrasi ambang atas dan ambang bawah. Konsentrasi ambang atas adalah konsentrasi terendah yang menyebabkan kematian 100% pada hewan uji. Konsentrasi ambang bawah adalah konsentrasi tertinggi yang tidak menyebabkan kematian sama sekali pada hewan uji (USEPA 2002). Uji pendahuluan dilakukan selama 24 jam, empat perlakuan dengan kisaran konsentrasi uji yang lebar (logaritmik), yaitu 0 ppm, 0,01 ppm 0,1 ppm, 1 ppm, dan 10 ppm, masing-masing perlakuan memiliki 2 ulangan. Jumlah hewan uji yang digunakan pada uji pendahuluan adalah 10 ekor. Biota uji dipaparkan terhadap larutan merkuri di dalam gelas beaker berukuran 250 ml dengan volume larutan uji 100 ml tanpa diberi makan. Jumlah kematian pada masing-masing perlakuan dihitung setelah perlakuan selama 48 jam, kemudian ditentukan konsentrasi tertinggi yang tidak menyebabkan kematian pada hewan uji (ambang bawah) dan konsentrasi terrendah yang menyebabkan kematian 100% pada hewan uji (ambang atas) (van der Geest et al. 1999).
20
Uji Definitif Uji definitif dilakukan untuk menentukan nilai LC50, yaitu konsentrasi yang menyebabkan kematian biota uji sebesar 50% dari yang diujikan. Uji definitif dilakukan terhadap lima konsentrasi uji yang berada di antara konsentrasi ambang atas dan ambang bawah, serta kontrol (USEPA 2002). Jumlah hewan uji yang digunakan pada uji definitif adalah 10 ekor (USEPA 2002). Biota uji dipaparkan terhadap larutan merkuri di dalam gelas beaker berukuran 250 ml dengan volume larutan uji 100 ml tanpa diberi makan. Kematian hewan uji diamati pada periode 24 jam dan 48 jam (van der Geest et al. 1999). Pada akhir pengujian, jumlah dan proporsi kematian di setiap perlakuan dicatat untuk kemudian dihitung LC50 nya. 3.4.3. Analisis Histologi Pengambilan insang trakea dan usus dari tubuh serangga air dilakukan dengan menggunakan pisau bedah dan pinset. Potongan tersebut dicuci sampai bersih dengan menggunakan larutan NaCl fisiologis dan selanjutnya diawetkan dalam larutan pengawet dan diisi ke dalam wadah bekas rol film. Insang trakea trichoptera kemudian diletakkan pada gelas obyek, kemudian ditetesi oleh larutan CMCP 10 untuk menjernihkan (clearing) preparat dan tutup dengan cover glass. Preparat lalu dipanaskan pada suhu 50°C selama 30 menit sebelum diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 400x. Kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh merkuri diamati melalui preparat histologis terhadap organ usus. Metode yang digunakan adalah metode histoteknik, dengan tahapan kerja sebagai berikut: 1). fiksasi, yaitu Proses pengawetan dilakukan agar tidak terjadi perubahan post-mortem (pasca kematian) pada jaringan. 2). dehidrasi, untuk mencegah terjadinya pengerutan. 3). penjernihan, untuk menghasilkan preparat jaringan yang lebih transparan dan berwarna lebih gelap. 4). infiltrasi, yaitu perendaman dalam secara bertingkat pada suhu 60°C (parafin keras). 5).penanaman organ ke dalam parafin, 6). proses pemotongan, dengan menggunakan mikrotom. Ketebalan jaringan ditetapkan setebal 5 mikron. 7). penempelan sayatan pada gelas obyek, deparafinasi dan pewarnaan dengan menggunakan pewarnaan Hematoksilin-Eosin. Luas penampang usus diamati di bawah mikroskop yang terhubung dengan kamera digital. Penampang usus kemudian diambil gambarnya pada pembesaran 400x. Gambar penampang usus tersebut kemudian diukur luasnya dengan menggunakan perangkat lunak ImageJ. 3.4.4. Pengukuran Produksi Sekunder Perhitungan produksi sekunder dilakukan dengan menggunakan metoda frekuensi ukuran (Metoda Hynes). Pada perhitungan ini kategori ukuran diwakili oleh kelima tahapan stadia larva Trichoptera. Nilai negatif pada jumlah kehilangan biomassa pada dua ukuran kategori kecil, tidak diikutkan pada perhitungan, dan dianggap nol pada penjumlahan produksi. Instar larva tahap awal seringkali tidak cukup terwakili dalam sampel yang terambil dan menyebabkan nilai negatif pada penghitungan nilai biomassa yang hilang. Secara teoritis,
21
kepadatan instar larva pertama sampai dengan ketiga tidak mungkin lebih rendah dibandingkan kepadatan instar larva sesudahnya (Benke & Wallace1980). Pengukuran produksi sekunder dilakukan dengan cara mengukur lebar kepala dan menimbang berat kering dari seluruh individu yang diperoleh setiap kali pengambilan sampel. Pengukuran lebar kepala dari larva trichoptera dengan menggunakan mikrometer okuler dalam sebuah mikroskop cahaya. Penentuan biomassa larva dilakukan berdasarkan metode Alexander & Smock (2005), yaitu larva trichoptera dikeringkan menggunakan oven pada suhu 60°C selama 24 jam. Larva kemudian ditimbang menggunakan timbangan analitik. Bila berat larva terlalu kecil yaitu kurang dari batas deteksi alat timbangan, maka dilakukan pendekatan dengan menggunakan statistik regresi power yang menghubungkan lebar kepala dengan berat dengan rumus dari Jin & Ward (2007) sebagai berikut: DM = aHWb Keterangan : DM = berat kering (mg), a = intercept, b = slope, dan HW = Lebar kepala (mm) 3.5. Analisa Data 3.5.1. Perhitungan Parameter Toksisitas Akut Perhitungan toksisitas akut dilakukan untuk mendapatkan nilai LC50, yaitu nilai konsentrasi toksikan yang menyebabkan kematian 50% hewan uji. Nilai LC50 dihitung dengan menggunakan metoda probit (USEPA 2002), yaitu dengan cara mengkorelasikan proporsi kematian hewan uji di akhir pengujian terhadap nilai logaritma konsentrasi merkuri yang diujikan pada kertas semi log. Penentuan nilai LC50 dihitung dengan bantuan perangkat lunak EPA Probit analysis versi 1.5. Nilai konsentrasi yang aman bagi lingkungan dihitung dari nilai LC50 yang dikalikan dengan nilai faktor aplikasi 0,001 untuk bahan-bahan pencemar yang persisten seperti logam berat (Frias-Espericuetas et al. 2008). 3.5.2. Uji Beda Nyata pada Penghitaman Insang Uji beda nyata Dunnet digunakan untuk mengetahui perbedaan persentase penghitaman insang antara lokasi rujukan (reference site), Cikuluwung, dengan lokasi pengamatan yang tercemar merkuri. Beda nyata ditentukan pada taraf nyata 0,05. 3.5.3. Perhitungan Produksi Sekunder Analisis produksi sekunder dilakukan dengan menggunakan metode frekwensi-ukuran (size-frequency method) seperti yang dijelaskan dalam Benke & Huryn (2007). Produksi sekunder dari larva trichoptera dihitung dengan menggunakan rumus : x ΔN x I dengan P = produksi, = berat individu (mg), ΔN = selisih densitas (jumlah/m2), dan I adalah ukuran kelas interval (Benke & Huryn 2007)
22
3.5.4. Perhitungan Resiko Ekologis Perhitungan resiko ekologis dilakukan dengan menggunakan metoda Hazard Quotient (HQ). HQ dihitung dengan cara membandingkan nilai konsentrasi bahan pencemar di lingkungan (Probable Effect Concentration, PEC) dengan nilai standar bahan pencemar tersebut yang tidak menimbulkan damapak negatif (Predicted No Effect Concentration, PNEC). Pada penelitian ini nilai PEC merupakan konsentrasi merkuri terlarut pada masing-masing stasiun yang didapat setiap bulan pengamatan. Nilai PNEC yang digunakan pada penelitian ini adalah nilai konsentrasi aman merkuri bagi larva trichoptera yang didapat dari uji toksisitas akut. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : HQ =
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Konsentrasi Merkuri di Air dan Biota Konsentrasi rata-rata merkuri terlarut, partikulat maupun yang terakumulasi pada trichoptera di Cikuluwung jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan konsentrasi merkuri di ketiga lokasi lainnya yang mengalami pencemaran merkuri yang berasal dari penambangan emas rakyat. Secara umum pola konsentrasi merkuri terlarut dan partikulat di Sungai Cikaniki mengalami peningkatan pada bulan Januari – Maret, kemudian menurun pada bulan Mei dan Juni, setelah itu meningkat lagi pada bulan Juli sampai dengan Oktober (Gambar 7). Konsentrasi merkuri terlarut tertinggi ditemukan di Cisarua pada bulan April (5,78 µg/l) dan di Curug Bitung pada bulan September (5,46 µg/l), sedangkan konsentrasi merkuri dalam bentuk partikulat tertinggi ditemukan di Curug Bitung pada bulan September, 57,24 µg/l.
Gambar 7 Konsentrasi merkuri di air selama waktu penelitian.(a) Hg terlarut ; (b) Hg partikulat Peningkatan konsentrasi merkuri terlarut dan partikulat pada bulan bulan tersebut diduga terkait dengan adanya peningkatan aktivitas amalgamasi emas yang terdapat di bantaran sungai di dua lokasi tersebut. Limbah lumpur yang masih bercampur dengan merkuri pada umumnya langsung dibuang ke saluran pembuangan yang langsung menuju ke sungai. Menurut Desrosiers et al. (2006) Limpasan permukaan yang terjadi pada saat turun hujan melarutkan lumpur yang
24
Hg (mg/kg)
mengandung merkuri ke sungai, sehingga meningkatkan konsentrasi merkuri dalam bentuk partikulat, koloid maupun yang terlarut di badan air. Peningkatan konsentrasi merkuri di air tersebut menyebabkan terjadinya bioakumulasi merkuri di tubuh trichoptera yang hidup di lokasi tersebut. Bioakumulasi merkuri tertinggi terjadi pada bulan September di Curug Bitung yaitu, 376,09 mg/Kg (Gambar 8). Bioakumulasi merkuri tersebut terutama disebabkan oleh konsentrasi merkuri dalam bentuk partikulat. Dari hasil analisis regresi didapat nilai korelasi yang sangat kuat, 0,923 antara konsentrasi merkuri partikulat dengan bioakumulasinya pada tubuh trichoptera (Gambar 9). 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Cikuluwung Cisarua Curug Bitung Lukut
Bulan
Hg partikulat (µg/l)
Gambar 8 Bioakumulasi merkuri pada tubuh trichoptera selama waktu penelitian
70 60 50 40 30 20 10 0
y = 0,1445x + 1,5153 R² = 0,9227
0
100
200
300
400
Hg bioakumulasi (µg/kg)
Gambar 9 Korelasi antara bioakumulasi merkuri pada tubuh trichoptera dengan konsentrasi merkuri dalam bentuk partikulat Akibat adanya pencemaran merkuri, terutama yang disebabkan oleh amalgamasi emas dengan menggunakan merkuri tersebut, konsentrasi merkuri di Daerah Cisarua, Curug Bitung dan Lukut melebihi kriteria konsentrasi merkuri yang aman bagi lingkungan perairan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka konsentrasi merkuri yang layak untuk baku mutu air golongan I dan II tidak boleh melebihi 0,001 mg/L. Menurut Novotny & Olem (1994), untuk
25
melindungi kehidupan hewan-hewan akuatik dari toksisitas akut maka konsentrasi merkuri di perairan tidak boleh melebihi 2,4 µg/l. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka konsentrasi merkuri di Sungai Cikaniki sudah melewati nilai ambang batas hampir sepanjang tahun. Larva trichoptera merupakan salah satu insekta air dominan di Sungai Cikaniki memiliki peranan yang sangat penting, selain sebagai perombak bahan organik, juga sebagai sumber makanan bagi hewan air lain (Greve et al. 1998) yang berada pada tingkat trofik predator yang pada umumnya berupa ikan maupun serangga air pada Ordo Odonata, Plecoptera, Coleoptera dan Hemiptera (Yoga et al. 2009). Di perairan, larva trichoptera termasuk pada kelompok kebiasaan makan fungsional collector filterer (Merritt & Cummins 2006). Bioakumulasi merkuri yang terjadi pada larva trichoptera dapat berpotensi menyebabkan terjadinya biomagnifikasi pada predator yang memangsa hewan tersebut. Bioakumulasi merkuri pada trichoptera di Sungai Cikuluwung, yang rata-rata per tahunnya 2,14 mg/kg, meskipun tidak mengalami pencemaran merkuri, namun nilainya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bioakumulasi merkuri pada trichoptera di Danau Washington, 6 µg/kg (McIntyre & Beauchamp 2007), dan Danau Range serta Danau Mouse, konsentrasinya berturut-turut adalah 70,5 6 µg/kg dan 92,4 6 µg/kg (Wong et al. 1997). Merkuri merupakan unsur yang sangat mudah menguap dan mengalami transportasi melalui udara (atmospheric transportation), sehingga dapat terbawa ke tempat yang tidak ada aktivitas yang menyebabkan pencemaran merkuri. (Boening 2000). Bioakumulasi merkuri pada trichoptera yang terjadi pada semua lokasi pengambilan sampel yang terdampak pencemaran merkuri di Sungai Cikaniki berkisar antara 90,20 – 376,09 mg/kg. Nilai tersebut jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan bioakumulasi merkuri pada jenis biota yang sama yang terjadi di Sungai Indrijca, Slovenia yang juga tercemar oleh merkuri karena penambangan emas selama 500 tahun. Meskipun tambang tersebut sudah ditutup sejak tahun 1994, konsentrasi merkuri di perairan tersebut masih cukup tinggi yaitu berkisar antara 0,004 – 0,02 µg/l yang kemudian menyebabkan bioakumulasi merkuri pada trichoptera yang hidup di sungai tersebut berkisar antara 0,4 – 50,5mg/kg (Zizek et al. 2007). 4.2. Toksisitas Merkuri terhadap Trichoptera Uji toksisitas merkuri terhadap trichoptera dilakukan dengan dua tahap. Pertama, uji pendahuluan selama 24 jam untuk mencari konsentrasi ambang atas dan ambang bawah, kemudian dilanjutkan dengan uji definitif untuk menentukan nilai LC50 selama 48 jam. Pengamatan pada kedua uji toksisitas tersebut dilakukan setiap 24 jam. Pada uji toksisitas pendahuluan (Tabel 3), kematian trichoptera sudah mulai tampak sejak konsentrasi terendah, 1 mg/l. Kematian hewan uji semakin meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi merkuri yang digunakan. Pada konsentrasi tertinggi, 10 mg/l, kematian hewan uji mencapai 100%. Dari data kematian hewan uji tersebut kemudian didapat nilai LC50 tentatif 0,53 mg/l. Nilai tersebut kemudian digunakan sebagai dasar penentuan konsentrasi uji pada uji definitif.
26
Tabel 3
Rata-rata kematian trichoptera pendahuluan Konsentrasi Jumlah awal Kontrol 10 1 mg/l 10 2 mg/l 10 4 mg/l 10 8 mg/l 10 10 mg/l 10
pada
konsentrasi
uji
toksisitas
Kematian 24 jam 0 7 7 8 9 10
Pada uji toksisitas akut definitif, kematian hewan uji pada kontrol tidak pernah melebihi 20% yang merupakan batas kematian maksimum yang dimungkinkan dalam uji toksisitas akut menurut USEPA (2002). Pada jangka waktu 24 jam konsentrasi merkuri 2,00 mg/l menyebabkan kematian sebesar 90%, sedangkan pada 48 jam menyebabkan kematian 100% (Tabel 4). Tampak adanya hubungan dosis-respon (dose response relationship) pada kelulushidupan trichoptera setelah pemaparan merkuri selama 24 dan 48 jam. Nilai LC 50 yang didapat dari uji toksisitas akut tersebut untuk jangka waktu 24 dan 48 jam, berturut-turut adalah 0,391 dan 0, 318 mg/l. Perbedaan antara nilai LC50 24 jam dan 48 jam tidak terlalu besar. Hal tersebut menunjukkan bahwa toksisitas merkuri terhadap trichoptera setelah 24 jam menurun. Tabel 4
Rata-rata kematian trichoptera pada konsentrasi uji toksisitas akut definitif saat 24 jam dan 48 jam
Konsentrasi Kontrol 0,25 mg/l 0,50 mg/l 0,75 mg/l 1,00 mg/l 2,00 mg/l
Jumlah awal 10 10 10 10 10 10
Mortalitas 24 jam 0 3 6 8 8 9
Mortalitas 48 jam 1 5 7 8 9 10
Informasi toksisitas merkuri terhadap insekta terutama trichoptera belum banyak diungkap. Nilai LC50 48 jam merkuri terhadap trichoptera lebih rendah apabila dibandingkan dengan nilai LC50 48 jam merkuri terhadap Crangonyx pseudogracilis, 0,47 mg/l, dan Asellus aquaticus, 0,65 mg/l (Martin & Holdich 1986). Hal tersebut menunjukkan bahwa trichoptera lebih sensitif terhadap logam merkuri bila dibandingkan dengan kedua avertebrata air tersebut. Dibandingkan sensitivitasnya terhadap logam-logam lain seperti Cd, Cu, Pb Ni dan Zn, maka merkuri merupakan logam yang sangat toksik bagi Trichoptera, tokisisitasnya hanya lebih tinggi dibandingkan logam Cu (Tabel 5). Berdasarkan nilai LC50 tersebut kemudian dapat diketahui nilai konsentrasi aman merkuri bagi larva trichoptera adalah 0,00032 mg/l atau 0,32 µg/l. Menurut Sprague (1971), nilai konsentrasi aman pada umumnya digunakan berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu (1) pada pemaparan polutan jangka panjang, kematian yang terjadi dapat diabaikan, (2) berdasarkan pengamatan pengaruh kronik pada perairan yang tercemar, dan (3) tidak ada data pengaruh sublethal atau kronik dari uji toksisitas di laboratorium. Pada penelitian ini nilai uji
27
toksisitas kronik, oleh karena itu digunakan nilai konsentrasi aman yang dihitung dengan mengalikan nilai C50 dengan faktor aplikasi. Nilai konsentrasi aman yang didapat tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai baku mutu air golongan I dan II berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001, yaitu 0,001 mg/l. Tabel 5 Ringkasan nilai LC50 beberapa logam berat terhadap Trichoptera Spesies
Logam
Agapetus fuscipes Trichoptera sp. Cyrnus trimaculatus Hydropsyche angutipennis Trichoptera sp. Trichoptera sp. Trichoptera sp.
Cd Cd Cu Cu Cu Ni Zn
LC50 (mg/l) 149 6,86 0,36 0,16 10,22 47,31 91,08
Sumber McCahon et al. 1989 Rehwoldt et al. 1973 Van der Geest et al. 2000 Van der Geest et al. 2000 Rehwoldt et al. 1973 Rehwoldt et al. 1973 Rehwoldt et al. 1973
4.3. Perubahan Morfologi Insang Salah satu pengaruh pencemaran logam terhadap trichoptera adalah terjadinya abnormalitas morfologi pada hewan tersebut. Abnormalitas morfologi yang terjadi antara lain adalah terjadinya penghitaman pada lembaran-lembaran insang trachea (Vuori & Kukkonen 1996). Insang larva trichoptera merupakan salah satu organ tubuh yang paling terkena pengaruh gangguan lingkungan perairan karena organ tersebut memiliki luas permukaan yang besar sehingga meningkatkan akumulasi senyawa-senyawa kimia dan gas-gas yang terlarut di perairan (Skinner & Bennet 2007). Salah satu bentuk abnormalitas yang terjadi pada insang trachea trichoptera adalah terjadinya penghitaman pada lembarlembar insangnya. Gambar 10 menunjukkan perbandingan antara insang trachea pada trichoptera normal dan trichoptera yang abnormal.
a
b
Gambar 10 Insang abdominal trichoptera normal (a) dan yang mengalami penghitaman (b) akibat pencemaran merkuri. Tanda panah menunjukkan penghitaman pada lembaran insang Persentase kecacatan insang yang teramati dalam 10 bulan di lokasi penelitian bervariasi mulai dari 5% di Cikuluwung sampai dengan 91% di Curug Bitung. Kecacatan yang terjadi pada insang trachea pada penelitian ini berkorelasi
28
positif dengan konsentrasi merkuri dalam bentuk partikulat (0,78) dan akumulasi merkuri pada tubuh biota (0,77), seperti yang terlihat pada Gambar 12. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecacatan yang terjadi pada insang trichoptera berhubungan erat dengan konsentrasi merkuri dalam bentuk partikulat dan karena adanya akumulasi merkuri pada tubuh biota tersebut. 120
*
*
100
*
%
80 60 40 20 0 Cikuluwung
Cisarua
Curugbitung
Lukut
Gambar 11 Persentase penghitaman insang trachea pada trichoptera di Sungai Cikaniki. Asterik menunjukkan beda nyata (p<0,05), Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Penghitaman insang pada trichoptera yang hidup di sungai yang tercemar oleh merkuri juga ditemukan di DAS Dealaware, Amerika Seirikat Penghitaman pada insang mulai teramati ketika akumulasi merkuri pada hewan tersebut mencapai 20,6 µg/kg (Skinner & Bennett 2007). Sudarso (2012) juga mendapatkan penghitaman insang trichoptera di Sungai Ciliwung yang juga tercemar merkuri terjadi ketika konsentrasi merkuri di air mencapai 2,34 µg/l. Frias-Espericuetas (2008) mengamati penghitaman insang yang disebabkan oleh logam merkuri pada juvenile udang vanamei (Litopenaeus vannamei) melalui uji toksisitas kronik. Penghitaman insang pada udang vanamei mulai teramati pada konsentrasi merkuri 30,75 µg/l. Insang merupakan organ tempat terjadinya pertukaran ion-ion utama seperti Na+, Ca2+, Mg2+, Cl− dari dan ke dalam tubuh organisme perairan. Keberadaan logam berat non esensial seperti merkuri di perairan menyebabkan terhambatnya penyerapan ion-ion utama tersebut (Brix et al. 2011). Defisiensi ion-ion utama tersebut di dalam tubuh trichoptera menyebabkan peningkatan upaya penyerapan ion-ion utama tersebut oleh sel-sel epitel insang. Penyerapan aktif ion-ion utama tersebut diduga menyebabkan terjadinya penghitaman pada insang trachea trichoptera (Vuori 1994). Soegianto et al. (1999) mengusulkan dua hipotesa mengenai terjadinya penghitaman insang. Pertama, penghitaman pada insang tersebut dikarenakan terjadinya proses melanisasi. Proses tersebut terjadi ketika logam berat yang masuk ke dalam insang dilokalisir melalui fagositosis, sehingga terjebak di lapisan-lapisan haemocyte dan membentuk nodul. Nodul-nodul yang terbentuk tersebut kemudian mengalami melanisasi karena adanya aktivitas enzim fenoloksidase. Dugaan kedua, penghitaman insang disebabkan oleh autolysis dan nekrosis sel yang menyebabkan deposisi material hitam yang padat elektron,
29
seperti sulfida logam ataupun logam itu sendiri, pada jaringan yang mengalami nekrosis.
a 100
% cacat
80 60 40
y = 11,939ln(x) + 30,105 R² = 0,7846 n = 15
20 0 0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Hg Partikulat (mg/Kg)
b 120
% cacat
100 80 60 40
y = 14,369ln(x) - 2,8688 R² = 0,7735 n = 15
20 0 0
100
200
300
400
Bioakumulasi (mg/Kg)
Gambar 12 Kecenderungan hubungan persentase kecacatan dengan (a) konsentrasi merkuri partikulat, (b) bioakumulasi merkuri dalam tubuh biota 4.4. Luas Permukaan Lumen Usus Pengamatan luas lumen permukaan usus trichoptera dilakukan dengan membandingkannya antara trichoptera normal dengan trichoptera yang mengalami kecacatan berupa penghitaman pada insang tracheanya. Gambar 13 mengilustrasikan histologi potongan melintang usus bagian tengah trichoptera. Sel epithelium saluran pencernaan terdiri dari dua jenis sel, sel tipe B yang berukuran lebih besar dan tipe S yang berukuran lebih kecil. Sel tipe B berfungsi mensekresi enzim-enzim pencernaan dan penyerapan makanan, sedangkan sel tipe S berfungsi sebagai tempat penyimpanan terutama kontaminan seperti logam berat (Odendaal & Reinecke 2007).
30
Gambar 13 Histologi potongan melintang usus trichoptera dengan pewarnaan hematoksilin-eosin. S = Sel tipe S, B = Sel tipe B, L = Lumen, P = jaringan periotrofik.. Pada Gambar 14 tampak perubahan luas lumen usus trichoptera yang disebabkan oleh kontaminasi merkuri. Sel tipe B pada epithelium usus yang tidak mengalami kontaminasi merkuri tampak tebal dan mengandung lipid. Pada usus yang mengalami kontaminasi ringan, ukuran sel tipe B tampak mulai mengalami penyusutan ukuran di beberapa tempat, sehingga menyebabkan lumen mulai mengalami perluasan. Pada penelitian ini tampak bahwa dengan semakin tingginya tingkat kontaminasi merkuri, ketebalan epithelium semakin menyusut, sehingga semakin memperluas lumen. Semakin meluasnya lumen yang disebabkan karena menyusutnya sel-sel tipe B diduga menyebabkan terganggunya penyerapan makanan dari saluran pencernaaan. Rata-rata luas penampang lumen usus pada trichoptera yang cacat adalah 1,28 mm2, sedangkan pada trichoptera yang normal adalah 0,76 mm2, sedangkan ragam trichoptera yang cacat dan normal berturut-turut adalah 0,22 dan 0,05. Hasil analisis uji t antara keduanya, dapat diketahui adanya perbedaan yang nyata (p< 0,005) antara luas permukaan lumen usus trichoptera yang cacat dibandingkan dengan trichoptera yang normal (Tabel 6).
31
Gambar 14 Penampang melintang permukaan lumen usus trichoptera. (a) Penampang lumen usus trichoptera normal, (b dan c) Penampang lumen usus trichoptera yang mengalami kecacatan. Pewarnaan Hematoksilin-Eosin, Tabel 6
Hasil analisis uji luas penampang lumen usus trichoptera cacat dan normal n Normal Cacat
12 12
satuan mm2 mm2
Luas Penampang 0,762 1,278
Ragam 0,050 0,223
Insekta memiliki peran penting sebagai penghubung pada rantai transportasi logam berat antar tingkat trofik pada berbagai jejaring makanan, terlebih karena insekta memiliki struktur yang memungkinkan terjadinya bioakumulasi mineral pada berbagai organnya, seperti usus (Rodrigues et al. 2008). Sel-sel epitel usus dan saluran pencernaan merupakan penghalang pertama terhadap senyawa-senyawa beracun yang masuk ke dalam tubuh insekta, sehingga perubahan atau kerusakan yang diakibatkan oleh bahan-bahan pencemar dapat dideteksi secara dini pada organ-organ tersebut (Odendaal and Reinecke 2003). Teknik-teknik kuantitatif untuk menilai kerusakan jaringan telah makin banyak digunakan, terutama pada hewan-hewan avertebrata akuatik. Kuantifikasi ini dapat menghindarkan terjadinya subyektivitas seperti pada histologi deskriptif. Parameter yang digunakan dalam teknik kuantitatif ini biasanya adalah luas/area lumen, luas/area tubule, dan tinggi/tebal sel epitel (Lowe & Clarke 1989).
32
Peningkatan luas area lumen pada beberapa avertebrata yang dikarenakan oleh senyawa logam berat telah diamati (Tabel 7). Tabel 7 No. 1 2 3 4
Jenis-jenis avertebrata dan jenis logam berat yang menyebabkan perubahan luas area lumennya.
Taksa Littorina littorea Porcellio laevis Arion ater Lumbricus terrestris
Logam berat Cd Zn Hg Zn, Cd
Sumber Vega et al. 1989 Odendaal & Reinecke 2007 Marigomez et al. 1996 Amaral et al. 2006
Penyebab perubahan luas permukaan area lumen berdasarkan penelitian Morgan et al. (2002) pada jaringan chloragogenous di usus cacing tanah merupakan mekanisme untuk menangani keberadaan logam berat dalam jumlah besar dan cara membuangnya melalui proses peluruhan seluruh selnya. Selanjutnya Amaral dan Rodrigues (2005) menemukan adanya peningkatan laju apoptosis pada jaringan chloragogenous dan sel-sel epitel usus cacing tanah yang disebabkan oleh adanya konsentrasi logam Zn dan Cd yang tinggi pada tubuh hewan tersebut. Menurut Rodrigues et al. (2008), keberadaan logam berat pada sel-sel epitel usus menyebabkan terjadinya perubahan konsentrasi unsur-unsur renik (K, Mg, P dan S) di dalam sel, yang kemudian akan memicu terjadinya peningkatan apoptosis sebagai mekanisme untuk melakukan detoksifikasi. 4.5. Telaah Kualitas Fisika Sungai Cikaniki Hasil pengukuran kualitas fisik air Sungai Cikaniki selama penelitian dijelaskan di dalam sub bab di bawah ini : 4.5.1 Suhu Air Pengukuran suhu air selama penelitian di laksanakan dari Stasiun Cikuluwung sampai dengan Lukut menunjukkan kecenderungan meningkat dari 22,0°C sampai dengan 26,5°C (Gambar 15). Suhu air dapat mempengaruhi proses yang terjadi pada sungai misalnya proses dekomposisi bahan organik, ketersediaan oksigen terlarut, dan sejarah hidup dari banyak organisme makrozoobentos (Paul & Meyer 2001). Suhu air dan pergerakan air memegang peran penting dalam fisiologi respirasi dengan cara mengontrol ketersediaan oksigen dalam tubuh dan sebagai faktor utama dalam menentukan lokasi/distribusi dari sebuah spesies (Mackay & Wiggins 1979). Suhu air semakin meningkat ke arah hilir dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain elevasi tempat yang semakin rendah (597 - 264 mdpl), ketersediaan vegetasi dalam memberikan naungan, waktu pengukuran, musim, dan bahan-bahan cair lainnya hasil dari aktivitas antropogenik. Semakin berkurangnya tutupan vegetasi yang dapat menghalangi masuknya sinar matahari ke dasar sungai menyebabkan terjadinya peningkatan suhu air. Secara umum suhu air di Sungai Cikaniki masih sesuai bagi kehidupan sebagian besar organisme makrozoobentos yaitu antara 35-50°C (Williams 1979). Larva trichoptera mampu mentoleransi perubahan suhu air cukup luas di perairan lotik. Larva Eobrachycentrus gellidae mampu mentoleransi suhu air 2°C dan
33
Oligoplectrum echo mampu bertahan pada suhu 34°C atau lebih (Mackay & Wiggins 1979).
30,0
Suhu (°C)
25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0 Cikuluwung
Cisarua
Curug Bitung
Lukut
Lokasi
Gambar 15 Hasil pengukuran suhu air di setiap stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. 4.5.2. Kecepatan Arus Dalam ekosistem akuatik, variabel kecepatan arus merupakan faktor yang menentukan distribusi makrozoobentos (Katano et al. 2005). Spesies ekosistem air mengalir (running water) dapat mengalami stress ketika berada di ekosistem air menggenang (still water). Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut dan tingginya suhu air dapat di toleransi dengan cepatnya arus air (Mackay & Wiggins 1979). Pada Gambar 16 ditunjukkan hasil pengukuran kecepatan arus di masingmasing stasiun pengamatan yang cenderung menurun dari hulu ke hilir. Menurut Mason (1988) kecepatan arus di bagian hulu (Cikuluwung) hingga hilir (Lukut) termasuk dalam kategori sangat cepat (> 1 m/dt). Kecepatan arus ini dipengaruhi oleh slope/kemiringan dan tingkat kekasaran dari substrat dasar. Tingginya kecepatan arus di bagian hulu disebabkan oleh kemiringan lahan yang lebih curam di Cikuluwung dibandingkan dengan hilir (Lukut) yang lebih landai. Angelier (2003) menyebutkan kecepatan arus maksimum yang masih bisa di toleransi oleh larva trichoptera Rhyacophila sp. adalah 1,22 m/dt. Larva Glossosoma sp. yang termasuk dalam ekologi feeding grazer-scraper lebih menyukai arus sungai yang cepat. Larva hydropsychid Hydropsyche siltalai memerlukan kecepatan arus yang kontinyu dari 0,15 - 1 m/dt (Poepperl 2000).
34
6,0 5,0
m/det
4,0
3,0 2,0 1,0 0,0 Cikuluwung
Cisarua
Curug Bitung
Lukut
Lokasi
Gambar 16. Hasil pengukuran kecepatan arus di setiap stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi 4.5.3. Turbiditas Turbiditas secara umum didefinisikan sebagai tingkat kekeruhan air. Tingkat turbiditas di sungai biasanya disebabkan oleh padatan tersuspensi di dalam air. Peningkatan turbiditas di sungai berkaitan erat dengan konsentrasi sedimen yang terbawa oleh air. Sedimen tersebut biasanya berasal dari aktivitas antropogenik misalnya: pertanian, pembukaan lahan, erosi atau longsoran tanah, maupun yang disebabkan oleh blooming alga (US EPA 1997). Hasil pengukuran turbiditas di Sungai Cikaniki (Gambar 17) menunjukkan adanya peningkatan yang cukup tinggi mulai dari Cikuluwung, Cisarua, Curug Bitung dan Lukut berturut turut adalah 5,74, 11,37, 21,19 dan 35,52 NTU. Quinn et al. (1992) mengamati peningkatan turbiditas di atas 23 NTU dapat menurunkan kekayaan dan kelimpahan taksa sebagian besar makroavertebrata. Wood & Armitage (1997) menyatakan bahwa padatan tersuspensi dan endapan sedimen dapat mempengaruhi makroavertebrata melalui beberapa cara yaitu: merubah komposisi substrat, meningkatkan laju penghanyutan (drift) makroavertebrata karena ketidakstabilan substrat, mengganggu aktivitas respirasi, menganggu aktivitas makan, khususnya bagi kelompok filter feeding, penurunan jumlah perifiton, dan kelimpahan mangsa. Berdasarkan Quinn et al. (1992) maka komunitas larva trichoptera di Lukut berpotensi mengalami gangguan akibat tingginya turbiditas.
35
70
Turbiditas (NTU)
60 50 40 30
20 10 0 Cikuluwung
Cisarua
Curug Bitung
Lukut
Lokasi
Gambar 17 Nilai turbiditas di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. 4.5.4. Padatan Tersuspensi Total
TSS (mg/L)
Konsentrasi padatan tersuspensi terrendah teramati di Cikuluwung yaitu 5,64 mg/l, sedangkan yang tertinggi terdapat di Curug Bitung, 378,68 mg/l, berikutnya kemudian diikuti oleh Cisarua dan Lukut, berturut-turut adalah 214,56 dan 109,32 mg/l (Gambar 18). Tingginya konsentrasi padatan tersuspensi di tiga stasiun pengamatan di mana berlangsung proses ekstraksi emas di dalamnya, disebabkan oleh pembukaan lahan untuk kawasan pemukiman dan pertanian di daerah tersebut. Menurut Effendi (2003) padatan tersuspensi total di perairan terutama disebabkan oleh erosi yang terbawa ke badan air. Padatan tersuspensi total biasanya terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad renik. Lahan pertanian merupakan salah satu penyumbang utama padatan tersuspensi total dan sedimentasi ke badan air (Maul et al. 2004). Berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Alabaster & Lloyd (1982), konsentrasi padatan tersuspensi di Cikuluwung tidak berpengaruh bagi kepentingan perikanan (<25 mg/l). Pada stasiun pengamatan Cisarua, Curug Bitung dan Lukut, konsentrasi padatan tersuspensinya melebihi 25 mg/l, sehingga sudah tidak layak bagi kegiatan perikanan. 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 Cikuluwung
Cisarua
Curug Bitung
Lukut
Lokasi
Gambar 18 Nilai total padatan tersuspensi (TSS) di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.
36
4.5.5. Konduktivitas Hasil pengukuran konduktivitas air Sungai Cikaniki yang disajikan dalam Gambar 19 menunjukkan nilai konduktivitas terendah masih terdapat di Stasiun Cisarua (163,47 µS/cm2) dan yang tertinggi di Cikuluwung (385,96 µS/cm2). Peningkatan konduktivitas terlihat pada stasiun pengamatan di Lukut dan Curug Bitung, berturut-turut adalah 237,83 dan 227,91 µS/cm2. Nilai konduktivitas menunjukkan kemampuan air untuk menghantarkan aliran listrik. Kemampuan tersebut disebabkan oleh adanya garam-garam terlarut yang dapat terionisasi (Effendi 2003). Peningkatan nilai konduktivitas ini dapat disebabkan oleh keberadaan ion-ion di perairan yang berasal dari limbah rumah tangga, pertanian, industri, maupun aktivitas antropogenik lainnya. Barata et al. (2005) menunjukkan adanya korelasi positif (r > 0,5) antara besarnya nilai konduktivitas dengan kontaminasi beberapa logam berat antara lain: Zn, Cu, Pb, Cr, Ni, dan Co. Ditinjau dari besarnya nilai konduktivitas air Sungai Cikaniki selama penelitian secara umum masih tergolong relatif normal. Nilai konduktivitas air < 500 µS/cm2 masih mendukung sebagian besar kehidupan hewan air tawar (BPLHD 2006). 500,00 Konduktivitas (µS/det)
450,00 400,00
350,00 300,00 250,00 200,00 150,00 100,00 50,00 0,00 Cikuluwung
Cisarua
Curug Bitung Lokasi
Lukut
Gambar 19 Hasil pengukuran konduktivitas di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. 4.6 Telaah Kualitas Kimia Sungai Cikaniki Hasil pengukuran kualitas kimia dari sungai Cikaniki meliputi: pH air, oksigen terlarut (DO), kesadahan, alkalinitas, dan bahan organik total (TOM). 4.6.1 Nilai pH air pH merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen (H+) yang menunjukkan tingkat keasaman atau kebasaan suatu zat. Nilai pH dalam air berpengaruh penting pada normalnya fungsi fisiologi dalam organisme akuatik terutama dalam mengatur pertukaran ion dengan air dan respirasi (Robertson-Bryan 2004). Hasil pengukuran pH air secara langsung di lapangan (Gambar 20) menunjukkan nilai pH di Cikuluwung cenderung asam dengan nilai rata rata pH 5,9. Nilai pH tertinggi terdapat di Cisarua, 8,0, sedangkan di Curug Bitung dan Lukut berkisar pada nilai 7,9. Rendahnya nilai pH di Cikuluwung karena di
37
daerah tersebut terdapat sumber air panas yang mengandung sulfur cukup tinggi. Menurut Effendi (2003), nilai pH 5,5 – 6,0 dapat menyebabkan penurunan keanekaragaman plankton dan makroavertebrata, namun belum menyebabkan perubahan kelimpahan, biomassa dan produktivitasnya. Nilai pH di air antara 6,5-9 secara umum mendukung bagi kehidupan sebagian besar hewan akuatik maupun hidup secara normal dalam jangka waktu yang relatif panjang (Robertson-Bryan 2004). Kehidupan makroavertebrata umumnya mampu hidup secara normal ketika nilai pH berkisar antara 6-7 (BPLHD 2006). Larva Hydropsyche betteni dan Brachycentrus americanus masih mampu bertahan hidup dengan rendahnya nilai pH (Mackay & Wiggins 1979). Pada kondisi yang ekstrim, larva trichoptera masih dapat mentoleransi hingga nilai pH 2,4. Nilai pH yang ekstrim basa (11,5-12) beberapa larva trichoptera masih mampu bertahan hidup, namun tingkat pemunculannya keluar perairan (emergence) hewan tersebut cenderung menurun (Robertson-Bryan 2004). 9,00 8,00 7,00 6,00 pH
5,00
4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 Cikuluwung
Cisarua
Curug Bitung
Lukut
Lokasi
Gambar 20 Hasil pengukuran pH air di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. 4.6.2 Kesadahan Kesadahan air disebabkan adanya keberadaan ion metalik polivalen terutama kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) yang terlarut dalam air. Kesadahan dapat digunakan untuk menduga nilai padatan terlarut total (TDS) suatu perairan karena nilai TDS biasanya sebagian besar tersusun oleh ion-ion Ca, Mg, HCO3dan CO32- . Secara umum semakin tinggi nilai kesadahan di suatu perairan akan semakin mengurangi resiko toksisitas logam terhadap biota perairan (Weiner 2007). Hasil analisis kesadahan air (Gambar 21) menunjukkan kesadahan tertinggi terdapat di Cikuluwung (48 mg/l CaCO3), sedangkan yang terendah terdapat di Cisarua (29,49 mg/l CaCO3). Kesadahan di seluruh stasiun pengamatan tergolong pada kesadahan lunak (< 75 mg/l CaCO3). Rendahnya kesadahan ini mungkin erat kaitannya dengan rendahnya kandungan kapur atau mineral lainnya seperti magnesium yang menyusun batuan dasar sungai. Tingkat
38
kesadahan yang rendah berpotensi untuk meningkatkan toksisitas dari beberapa logam berat ke biota perairan. Kesadahan yang tinggi dalam air dapat membentuk logam hidroksida maupun karbonat yang dapat menurunkan toksisitas ion logam/ Me2+ (US-EPA 1986). Kesadahan dalam air mungkin erat kaitannya dengan masuknya buangan dari area pertanian maupun rumah tangga ke Sungai Cikaniki. 70,00
Kesadaha (mg/L CaCO3)
60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 Cikuluwung
Cisarua
Curug Bitung
Lukut
Lokasi
Gambar 21 Hasil analisis kesadahan (mg/l setara CaCO3) di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi 4.6.3 Alkalinitas Alkalinitas merupakan kapasitas air untuk menetralkan asam atau kuantitas anion di dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen. Alkalinitas juga sering digunakan untuk menunjukkan kapasitas ion bikarbonat, dan sampai tahap tertentu terhadap ion karbonat dan hidroksida, dalam menyangga perubahan pH perairan. Semakin tinggi alkalinitas maka semakin tinggi pula kemampuan air untuk menyangga fluktuasi pH perairan. Alkalinitas biasanya dinyatakan dalam satuan ppm (mg/l) kalsium karbonat (Yulfiperius et al. 2004). Pembentuk utama alkalinitas adalah ion-ion bikarbonat (HCO3-), karbonat (CO32-), dan hidroksida (OH-). Di antara ketiganya, ion bikarbonat merupakan ion yang paling dominan di perairan alami (Effendi 2003). Nilai rata-rata alkalinitas pada masing-masing stasiun pengamatan dari hulu ke hilir semakin meningkat, mulai dari 10,69 mg/l CaCO3 di Cikuluwung sampai dengan 41,91 mg/l CaCO3 di Lukut (Gambar 22). Peningkatan nilai alkalinitas di bagian hilir ini berhubungan dengan peningkatan nilai pH yang terjadi pada ketiga stasiun pengamatan di bagian hilir. Berdasarkan kriteria alkalinitas yang dibuat oleh Godfrey et al. (1996), nilai alkalinitas di Cikuluwung termasuk dalam kategori sensitif namun memiliki kapasitas penyangga yang sangat baik (>10-20 mg/l), sedangkan nilai alkalinitas di Cisarua, Curug Bitung dan Lukut termasuk dalam kategori tidak sensitif dan memiliki kapasitas penyangga yang sangat baik (>20 mg/l). Menurut Boyd (1988) perairan alami memiliki nilai alkalinitas sekitar 40 mg/l CaCO3. Peningkatan aktivitas antropogenik yang menyebabkan peningkatan dekomposisi bahan organik pada kondisi anaerob di perairan dapat menyebabkan terjadinya peningkatan alkalinitas perairan tersebut (Abril & Frankignoulle 2001).
39
Stasiun pengamatan Cisarua, Curug Bitung dan Lukut merupakan daerah pemukiman dan pertanian yang sebagian besar limbahnya masih dibuang langsung ke sungai, sehingga meningkatkan kandungan bahan organik di lokasilokasi tersebut.
Alkalinitas (mg CaC03/l)
60 50 40 30 20 10 0 Cikuluwung
Cisarua
Curug Bitung Lokasi
Lukut
Gambar 22 Hasil analisis alkalinitas di masing-masing stasiun pengamatan Tanda bar menunjukkan standar deviasi 4.6.4 Oksigen Terlarut (DO) Hasil pengukuran DO (konsentrasi oksigen terlarut) di Sungai Cikaniki berkisar mulai dari 6,64 di Lukut sampai dengan 6,76 mg/l di Curug Bitung (Gambar 23). Meskipun terjadi perbedaan konsentrasi oksigen terlarut antar stasiun pengamatan, namun tidak terdapat perbedaan konsentrasi oksigen terlarut yang nyata. Oksigen terlarut di perairan sebagian besar melalui difusi langsung dari atmosfer, selain itu dapat pula berasal dari hasil fotosintesis tanaman air (Weiner 2007). Di perairan air tawar yang belum tercemar konsentrasi oksigen terlarutnya sekitar 8 mg/l pada suhu 25°C (Effendi 2003). Secara umum kondisi DO lebih dari 4 mg/l masih memenuhi syarat untuk kehidupan biota akuatik untuk hidup secara layak. Konsentrasi DO kurang dari nilai tersebut dapat dikategorikan mengalami tercemar berat oleh bahan organik (BPLHD 2006). Shakla & Srivastava (1992) memberikan batas minimum DO pada kehidupan larva trichoptera yaitu sebesar 5-6 mg/l.
40
7,60 7,40
DO (mg/L)
7,20 7,00 6,80 6,60 6,40 6,20 Cikuluwung
Cisarua
Curug Bitung
Lukut
Lokasi
Gambar 23 Konsentrasi DO di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. 4.6.5 Bahan Organik Total (TOM) Kandungan bahan organik suatu perairan secara alami berasal dari sumber autochtonous (misalnya: plankton, alga, mikroba, dan sebagainya) maupun allochtonous (misalnya serasah) yang masuk ke dalam perairan (US-EPA 1986). Peningkatan konsentrasi bahan organik di perairan merupakan salah satu masalah yang menyebabkan menurunnya kualitas perairan sungai. Adanya aktifitas antropogenik yang menghasilkan limbah domestik maupun industri yang kaya akan bahan organik di sekitar sungai menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen terlarut di perairan tersebut (Weiner 2007). Hasil analisis TOM di Sungai Cikaniki (Gambar 24) menunjukkan konsentrasi bahan organik terendah dijumpai di Cikuluwung (10,58 mg/l) sedangkan yang tertinggi ditemui di Cisarua (17,90 mg/l). Meskipun terdapat perbedaan konsentrasi bahan organik total pada stasiunstasiun pengamatan, namun tidak terdapat perbedaan yang nyata antar stasiun pengamatan. 40,00 35,00 30,00 mg/l
25,00 20,00 15,00 10,00 5,00
0,00 Cikuluwung
Cisarua
Curug Bitung Lokasi
Lukut
Gambar 24 Konsentrasi TOM di air dan indeks kimia pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.
41
4.7. Produksi Sekunder Nilai kepadatan tahunan (N), biomassa tahunan (B), produksi tahunan (P) dan rasio P/B di lokasi pengamatan menunjukkan bahwa produksi sekunder trichoptera di Lukut merupakan yang tertinggi, kemudian diikuti oleh Cikuluwung, Cisarua dan Curug Bitung. Tingginya produksi di Lukut disebabkan oleh tingginya rata-rata kepadatan tahunan dan rata-rata biomassa di daerah tersebut, dibandingkan dengan kedua lokasi lainnya. Estimasi produksi sekunder tahunan trichoptera di lokasi pengamatan berkisar antara 408,31 – 14.458,96 mg/m2/tahun (bobot kering). Produksi sekunder larva trichoptera di Sungai Cikaniki lebih tinggi bila dibandingkan dengan produksi sekunder Cheumatopsyche spinosa, 265 mg/m2/th, dan Cheumatopsyche quadrata, 150 mg/m2/th di Sungai Tai Po Kau, Hongkong (Dudgeon 1997). Namun demikian nilai-nilai tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai produksi sekunder yang dihitung oleh Benke & Wallace (1997), 13.692 mg/m2/tahun, dan Bowles & Allen (1991), 17.020 mg/m2/tahun. Menurut Sanchez & Hendriks (1997), tingginya nilai produksi sekunder pada larva trichoptera dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingginya kepadatan larva, dan perbedaan voltinisme hewan tersebut. Perhitungan produksi sekunder di daerah tropis biasanya tidak terlalu tinggi, karena sulitnya menentukan pertumbuhan dan rasio P/B pada populasi yang perkembangannya kontinyu dan synchronous (Jacobsen et al. 2008). P/B tahunan larva trichoptera di lokasi pengamatan bervariasi mulai dari 4,68 sampai 11,95 pertahun. Nilai P/B kohort trichoptera sekitar separuh dari nilai P/B tahunannya. Nilai P/B kohort terendah terdapat di Curug Bitung, 3,00, sedangkan yang tertinggi di Lukut, 5,97 (Tabel 8). Menurut Sudarso (2012), Tingginya nilai P/B kohort di bagian hilir kemungkinan disebabkan karena adanya recruitment dari kohort baru dan pertumbuhan yang relative cepat untuk menyelesaikan siklus hidupnya. Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh peningkatan suhu air di bagian hilir dan ketersediaan makanan yang mendukung pertumbuhan larva Trichoptera. Hal tersebut mempercepat perkembangan larva untuk menjadi dewasa dan pada akhirnya akan mendorong terjadinya recruitment baru. Peran laju pertumbuhan dan biomassa dalam menentukan produksi sekunder dirangkum oleh rasio P/B (Huryn & Wallace, 2000) P/B Tahunan Cheumatopsyche spp telah dihitung oleh banyak peneliti lain, dan nilainya sangat bervariasi, dan berhubungan dengan perbedaan frekuensi bivoltinisme organisme di lokasi yang diamati ( Sanchez & Hendriks 1997). Bagi daerah tropis , rasio P/B tahunan di Lukut lebih tinggi bila dibandingkan hasil penelitian Dudgeon (1997) untuk Cheumatopsyche spinosa dan Cheumatopsyche ventricosa yaitu, 8,4 dan 9,7, sedangkan di Curug Bitung dan Cisarua lebih rendah. Namun demikian rasio P/B tahunan di Sungai Cikaniki masih lebih rendah dibandingkan rasio P/B tahunan Cheumatopsyche spp di Sungai Taliulah, Georgia Utara, Amerika yang dilaporkan oleh Benke & Wallace (1997).
42
Tabel 8
Ringkasan nilai rata-rata parameter produksi sekunder trichoptera di Sungai Cikaniki
Lokasi Cikuluwung Cisarua Curug Bitung Lukut
N (Ind/m2)
B (mg/m2)
351,11 57,78 44,44 900.00
614,42 93,99 68,09 1.210,18
P (mg/m2 /y1)
P/B Tahunan
2875,40 688,10 408,31 14.458,96
4,68 7,32 6,00 11,95
P/B Kohort 2,34 3,66 3,00 5,97
Rasio P/B kohort makroinvertebrata (rasio P/B selama rentang hidup kohort) di sungai biasanya ± 5 (Waters 1987), meskipun kisarannya antara 2-8 (Huryn & Wallace 2000). Berdasarkan nilai tersebut, rasio P/B di Cikuluwung, Cisarua dan Curug Bitung tergolong rendah, tetapi di Lukut rasionya sekitar 5. Hasil perhitungan produksi sekunder di Sungai Cikaniki ini mendukung Parker & Voshell (1983), dan Benke (1984) yang menemukan bahwa kohort rasio P/B untuk trichoptera berturut-turut berkisar 3,5 – 6,0 dan 3,2-5,2. P/B kohort (2 - 5) yang rendah biasanya terjadi pada serangga air hemimetabolous dan holometabolous yang sebagian dari sejarah hidup mereka meninggalkan habitat perairan ( Waters 1987). Rasio P/B kohort yang nilainya separuh dari nilai rasio P/B tahunan disebabkan nilai CPI yang digunakan dalam perhitungan produksi sekunder adalah setengah tahun (182,5). Analisis produksi sekunder dapat digunakan untuk menilai degradasi ekosistem (Carlisle & Clements 2003). Pencemaran dapat menyebabkan peningkatan produksi sekunder atau bertindak sebagai stressor fisiologis dan menyebabkan penurunan produksi tersebut (Benke & Huryn 2010). Beberapa penelitian telah menggunakan produksi sekunder avertebrata untuk menilai pengaruh kontaminasi logam berat. Hasil analisis produksi sekunder di Sungai Cikaniki menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi Hg partikulat dan TSS dalam air, menyebabkan penurunan produksi sekunder Trichoptera. Curug Bitung di mana konsentrasi Hg dan TSS yang tertinggi di antara lokasi-lokasi lainnya memiliki produksi sekunder terendah. Konsentrasi TSS di semua lokasi yang tinggi (> 10 mg/l) dapat menyebabkan penurunan konsentrasi kandungan organik perifiton ,yang merupakan sumber energi dasar yang penting di habitat sungai (Runck 2007). 4.8 Estimasi Resiko Ekologis Nilai HQ di Cikuluwung selama penelitian dilakukan hampir selalu di bawah satu, hanya pada bulan Juli 2012 nilainya melewati satu, 1,19 (Gambar 25), sehingga konsentrasi merkuri di bulan Juli di lokasi tersebut dapat menyebabkan gangguan pada biota akuatik, terutama Trichoptera, yang ada di Cikuluwung. Peningkatan nilai HQ tersebut dikarenakan oleh turunnya pH di bulan tersebut (Lampiran 6). Rata-rata nilai pH di Cikuluwung cenderung asam, namun pada bulan Juli pH di Cikuluwung mencapai nilai 5,3. Menurut Wang (1987), toksisitas merkuri lebih tinggi pada pH asam, sedangkan pH basa cenderung untuk menurunkan toksisitas merkuri. Menurut Salomons (1995) pH merupakan faktor yang sangat penting pada proses spesiasi logam di perairan. Dengan semakin
43
menurunnya nilai pH, logam berat terlarut semakin berpotensi untuk mengganggu proses-proses biologis. Spesies ion logam berat pada umumnya merupakan bentuk paling beracun untuk biota air. Nilai alkalinitas yang rendah dan kesadahan yang tergolong lunak di Cikuluwung menyebabkan pH di lokasi tersebut mudah berubah-ubah dengan kisaran yang cukup besar (5,3 – 7,1). Alkalinitas dan kesadahan merupakan “penyangga” di perairan alami dan toksisitas logam berkurang. Ada dua kemungkinan mekanisme yang menyebabkan penurunan kadar toksisitas logam yang disebabkan oleh kedua parameter tersebut. Pertama adalah kompleksasi ion logam dengan ion-ion karbonat, dan yang kedua karena adanyan kompetisi antara ion logam berat dengan ion-ion Ca dan/atau Mg (Wang 1987). Nilai HQ di Cisarua, Curug Bitung dan Lukut selalu di atas 1, dengan kisaran nilai antara 1,76 – 18,06. Konsentrasi merkuri terlarut yang tinggi di ketiga stasiun pengamatan tersebut menyebabkan nilai HQ di ketiga lokasi selalu di atas 1. Nilai tersebut menyebabkan trichoptera yang hidup di dalamnya mengalami gangguan toksisitas kronik seperti penghitaman pada insang trachea , sehingga populasinya pun terganggu. 20 18 16 14 12
Cikuluwung
10
Cisarua
8 6 4 2
Curug Bitung Lukut HQ =1
0
Gambar 25 Nilai Hazard Qoutient (HQ) di keempat lokasi pengamatan pada bulan Januari – Oktober 2012.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Konsentrasi merkuri dalam bentuk partikulat di daerah tersebut menyebabkan terjadinya bioakumulasi merkuri yang cukup tinggi pada biota trichoptera, serta menyebabkan terjadinya kecacatan berupa penghitaman pada insang trachea biota tersebut dan terjadinya perluasan lumen pada usus Trichoptera. 2. Produksi sekunder Cheumatopsyche spp. di Sungai Cikaniki tergolong tinggi untuk perairan di daerah tropis. Produksi sekunder Cheumatopsyche spp, di Sungai Cikaniki terpengaruh oleh pencemaran merkuri yang berasal dari aktivitas amalgamasi emas dan peningkatan konsentrasi padatan terlarut total di daerah aliran sungai tersebut, sehingga menurunkan produksi sekunder hewan tersebut 3. Konsentrasi merkuri yang aman bagi larva trichoptera adalah 0,32 µg/l. 4. Konsentrasi merkuri di daerah Cisarua, Curug Bitung dan Lukut yang diakibatkan oleh ekstraksi emas pada penambangan emas tanpa ijin (PETI), sudah melebihi kriteria konsentrasi merkuri yang aman bagi lingkungan perairan dan menimbulkan resiko ekologis pada perairan tersebut. 5.2 Saran Pencemaran merkuri di Sungai Cikaniki sudah sangat membahayakan bagi kehidupan biota air yang hidup di dalamnya. sehingga perlu adanya aturan yang mengatur kegiatan amalgamasi emas dengan menggunakan merkuri di bantaran sungai tersebut.
45
DAFTAR PUSTAKA Akagi H, Nishimura H. 1991. Speciation of Mercury in The Soils and sediments environment. di dalam : Suzuki T (eds): Advances in Mercury Toxicology. New York [USA]: Plenum Press. hlm 53-76. Alabaster JS, Lloyd R. 1982. Water Quality Criteria for Freshwater Fish. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Butterworth, London [GB]. 297 p Alexander S, Smock LA. 2005. Life Histories and Production of Cheumatopsyche analis and Hydropsyche betteni (Trichoptera: Hydropsychidae) in an Urban Virginia Stream. Northeast Nat, 12(4):433–446. Alloul PB, Methot G, Lapierre L, Willsie A. 1996. Macroinvertebrate Community as Biological Indicator of Ecological and Toxicological Factors in Lake Saint-Francois (Quebec). Environ. Pollut. Vol. 91, No. 1, pp 65–87 Amaral A, Soto M, Cunha R, Marigomez I, Rodrigues A. 2006. Bioavailability and cellular effects of metals on Lumbricus terrestris inhabiting volcanic soils. Environ. Pollut, Vol. 142,103-108. Amaral A, Soto M, Cunha R, Marigomez I, Rodrigues A. 2006. Bioavailability and cellular effects of metals on Lumbricus terrestris inhabiting volcanic soils. Environ. Pollut. Vol. 142, pp.103 - 108 Angelier E.2003. Ecology of Stream and River. Enfield [USA]: Sience Publisher.215p [APHA] American Public Health Association. 1995. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water, 19th edition. Washington DC. [USA]. American Public Association/ American Water Work Association/ Water Environment Federation. Bank, MS., Burgess, JR., Evers, DC, Loftin, CS. 2007. Mercury Contamination of Biota from Acadia National Park, Maine: A Review. Environ Monit Assess. Vol 126:105–115 Barata C, Lekumberri I, Vila-escale M, Prat N, Porte C. 2005. Trace metal concentration, antioxidant enzyme activities and susceptibility to oxidative stress in the tricoptera larvae Hydropsyche exocellata from the Lobregat river basin (NE Spain). Aquatic Toxicology 74: 3–19. Barbosa AC, de Souza J, Dorea JG, Jardim WF, Fadini PS. 2003. Mercury Biomagnification in a Tropical Black Water, Rio Negro, Brazil. Arch of Environ. Contam. Toxicol., Vol 45, 235-246. Beaty BJ, Mackie RS, Mattingly KS, Carlson JO, Rayms-Keller A. 2002. The Midgut Epithelium of Aquatic Arthropods: A Critical Target Organ in environmental Toxicology. Environ. Health Perspect., Vol. 110, Supplement 6, pp. 911-914 Benke AC, Huryn AD. 2007. Secondary production of macroinvertebrates. di dalam Methods in Stream Ecology, 2nd. Hauer FR, Lamberti GA (eds). Elsevier: Burlington [USA]. Academic Press : hlm 691–710. Benke AC, Huryn AD. 2010. Benthic invertebrate production – Facilitating answers to ecological riddles in freshwater ecosystems. J N Am Benthol Soc, 29 (1) : 264-285. Benke AC, Wallace JB. 1980. Trophic basis of production among net-spinning caddisflies in a southern appalachian stream. Ecology, 61 (1): 108-118.
46
Benke AC, Wallace JB. 1997. Trophic basis of production among riverine caddisflies: implications for food web analysis. Ecology, 78 (4): 1132 – 1145. Benke AC. 1979. A modification of the Hynes method for estimating secondary production with particular significance for multivoltine populations. Limnol Oceanogr. 24, 168-171. Benke AC. 1984. Secondary production of aquatic insects. Pp. 289 – 322. In: Resh, V.H. & Rosenberg, D.M. (Eds). The Ecology of aquatic insects. Praeger, New York,. Benke AC. 2010. Secondary Production As Part of Bioenergetic Theory Contributions From Freshwater Benthic Science. River. Res. Applic. Vol 26: 36–44. Beyenbach KW. 2003. Transport mechanisms of diuresis in Malpighian tubules of insects. J. Exp. Biol. Vol. 206, 3845-3856 Bilby RE, Bisson PA. 1998. Function and distribution of large woody debris. di dalam S. Kantor (eds): River ecology and management. Lessons from the Pacific Coastal Ecoregion. New York [USA]. Springer p:324-338. Boening DW. 2000. Ecological Effects, Transport, and Fate of Mercury: A General Review. Chemosphere Vol. 40:1335–1351 Bolsterli UA. 2007. Mechanistic Toxicology. The Molecular Basis of How Chemicals Disrupt Biological Targets. Boca Raton [USA]. CRC Press: 399 pages. Boudou A. Ribeyre F. 1997. Aquatic Ecotoxicology: From the Ecosystem to the Cellular and Molecular Levels. Environ Health Perspect. Vol 105, Suplement I, 21-35. Bowles DE. & Allen RT. 1991. Secondary production of net-spinning caddisfly (Trichoptera: Curvipalpia) in an Ozark Stream. J Freshw Ecol, 6 (1): 93–100. [BPLHD] Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah. 2006. Status Ekologis Sungai Ciliwung, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat. Bandung [ID]. Brix KV, DeForest DK, Adams WJ. 2011. The sensitivity of aquatic insects to divalent metals: A comparative analysis of laboratory and field data. Sci Total Environ Vol 409, 4187–4197 Camargo J. 1991. Toxic Effects of Residual Chlorine on Larvae of Hydropsyche pellucidula (Trichoptera, Hydropsychidae): A Proposal of Biological Indicator. Bull Environ Contam Toxicol, Vol. 47, 261-265 Carlisle DM & Clements WH. 2003. Growth and secondary production of aquatic insects along a gradient of Zn contamination in rocky mountain streams. J N Am Benthol Soc, Vol 22 (4): 582 – 597. Castilhos ZC, Rodrigues-Filho S, Rodrigues APC, Villas-Boas RC, Siegel S, Veiga MM, Beinhoff C. 2006. Mercury contamination in fish from gold mining areas in Indonesia and human health risk assessment. Sci Total Environ. Vol 368: 320–325 [CCME] Le Conceil Canadien des Ministres de l’environment, 2003. Canadian Water Quality Guidelines for the Protection of Aquatic Life: Inorganic Mercury and Methyl mercury. Winnipeg [Ca] 6 halaman.
47
Chen Y, Dong X, Dai Y, Hu Q, Yu H, 2008. Determination of Trace Mercury in Chinese Herbal Medicine by Cold Vapour Generation-Atomic Fluorescence Spectrometry. Asian J Chem. Vol. 20, No. 6. pp 46394646 Chen, CY, Dionne M, Mayes BM, Ward DM, Sturup S, Jackson BP. 2009. Mercury Bioavailability and Bioaccumulation in Estuarine Food Webs in the Gulf of Maine. Environ. Sci. Technol, Vol 43, 1804 -1810. Connel DW, Miller GJ. 1995. Chemistry and Ecotoxicology of Pollution. New York [USA]. Willey Interscience Publisher: 520 halaman Desrosiers M, Planas D, Mucci A, 2006. Total Mercury and Methyl Mercury Accumulation in Periphyton of Boreal Shield Lakes: Influence of Watershed Physiographic Characteristics. Sci Total Environ. 355, 247 258. Dudgeon D. 1997. Life histories, secondary production and microdistribution of hydropsychid caddisflies (Trichoptera) in a tropical forest stream. J Zool, 243: 191–210. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta [ID]. Penerbit Kanisius. 258 halaman. Ferreira MAP, Lima JB, Rocha RM, Pimenta PFP. 2008. Morphological Aspect of the Midgut of Anopheles aquasalis (Curry, 1932) Insecta: Diptera. Intl J Morphol Vol 26(3):577-582. Frías-Espericueta MG, Abad-Rosales S, Nevárez-Velázquez AC, Osuna-López I, Páez-Osuna F, Lozano-Olvera R,Voltolina D. 2008. Histological effects of a combination of heavy metals on Pacific white shrimp Litopenaeus vannamei juveniles. Aquat Toxicol, vol. 89, p. 152-157. Godfrey PJ, MD Mattson, MF Walk, PA Kerr, OT Zajicek, A Ruby III. 1996. The Massachusetts Acid Rain Monitoring Project: Ten Years of Monitoring Massachusetts Lakes and Streams with Volunteers. Publication No. 171. Massachusetts [USA]. University of Massachusetts Water Resources Research Center: 179 halaman Greve GD, van Der Geest H, Stuijfzand S, Engels S, Kraak M. 1998. Development of Ecotoxicity Tests using Laboratory Reared Larvae of The Riverine Caddisflies Hydropsyche angustipennis and Cyrnus trimaculatus, in: Proceedings of Experimental and Applied Science of Entomology, N.E.V. Amsterdam, pp. 205 - 210. Halimah S. 2002. Pengkajian Pencemaran Merkuri dan Dampak Akumulasinya akibat Kegiatan Penambangan Emas. Laporan Penelitian. Jakarta [ID]. Asdep Urusan Sarana Bappedal – Kementerian Lingkungan Hidup. Hersey AE, Lamberti GA. 1998. Stream Macroinvertebrate Communities. Chapter 8. di dalam: Naiman RJ, Bilby RE, editor. River Ecology and Management Lessons from the Pasific Coastal Ecoregion. New York [USA]. Springer: hlm 169-199. Hill RA, Chapman PM, Mann GS, Lawrence GS. 2000. Level of Detail in Ecological Risk Assessments. Mar Pollut Bull Vol. 40, No. 6, pp. 471477. Hines NA, Brezonik PL. 2007. Mercury inputs and outputs at a small lake in northern Minnesota. Biogeochemistry Vol 84:265–284.
48
Hinton DE. 1994. Cells, Cellular Responses, and Their Markers in Chronic Toxicity of Fishes. di dalam : Malins DC and Ostrander GK (Eds). Aquatic Toxicology. Molecular and Cellular Perspectives. Boca Raton [USA].Lewis Publishers: halaman 207-240. Huryn DA & Wallace JB. 2000. Life history and production of stream insects. Annu. Rev. Entomol, Vol 45: 83–110. Hynes HBN, Coleman MJ.1968. A Simple Method of Assessment of the Annual Production of Stream Benthos. Limnol Oceanogr Vol 13:569-573. Jacobsen D,. Cressa C, Mathooko JM. Dudgeon D. 2008. Macroinvertebrates : Composition, life histories and production. In: Dudgeon, D. (Ed). Tropical Stream Ecology. Oxford [UK] Elsevier Inc. Pp. 65–105. Jin HS, Ward GM. 2007. Life History and Secondary Production of Glossosoma nigrior Banks (Trichoptera : Glossosomatidae) in Two Alabama Streams with Different Geology. Hydrobiologia Vol. 575 : 245 – 258. Katano I, Mitsuhashi H, Isobe Y, Sato H, Oishi T. 2005. Reach-scale Distribution Dynamics of a Grazing Stream Insect, Micrasema quadriloba Martynov (Brachycentridae, Trichoptera) in Relation to Current Velocity and Peryphyton Abundance. Zool Sci Vol 22: 853-860. Kiernan, JA. 1990. Histological and Histochemical Methods : Theory and Practice. Toronto [CA]. Pergamon Press: 433 halaman. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2011. Peran dan Tanggung Jawab Stakeholder dalam Pengelolaan Sungai Ciliwung (Masterplan Pengelolaan Sungai Ciliwung dan Kemajuan Penerapannya). Rakernis. Pusarpedal-KLH. Jakarta. Lasut MT, Yasuda Y, Edinger EN, Pangemanan JM. 2009. Mining in marine environment and its impact on residents of Buyat Bay, North Sulawesi, Indonesia. Water Air Soil Pollut, DOI 10.1007/s11270-009-0155-0. Leslie HA, Pavluk TI, bij de Vaate A, Kraak MH. 1999. Triad assessment of the impact of chromium contamination on benthic macroinvertebrates in the Chusovaya River (Urals, russia). Arch Environ Contam Toxicol. Vol 37(2):182-189. Limbong D, Kumampung J, Rimper J, Arai T, Miyazaki N. 2003. Emissions and environmental implications of mercury from artisanal gold mining in north Sulawesi, Indonesia. Sci Total Environ. Vol 302. 227–236. Limbong D, Kumampung J, Rumengan IFM, Arai T, Miyazaki N. 2004. Mercury Concentrations in the Community Drinking Water Sources Around Manado City, North Sulawesi, Indonesia. Bull. Environ. Contam. Toxicol Vol 73: 506–510. Lowe DM, Clarke KR. 1989. Contaminant-induced changes in the structure of the digestive epithelium of Mytilus edulis. Aquat Toxicol, Vol. 15, Issue 4, Pages 345-358.DOI :10.1016/0166-445X(89)90046-5. Luoma SN, Carter JL. 1991. Effects of Trace Metals on Aquatic Benthos. In Newman MC and Mc Intosh AW (Eds). Metal Ecotoxicology: Concepts and Applications. Michigan [USA]. Lewis Publishers: hlm 261-300. Lushchak VI. 2008. Oxidative stress as a component of transition metal toxicity in fish. In: Svensson, E.P. (Ed.). Aquatic Toxicology Research Focus., New York [USA] Nova Science Publishers Inc: hlm 1–29
49
Mackay RJ, Wiggins GB. 1979. Ecological diversity in Trichoptera. Ann Rev Entomol 24: 185-208. Maddrell HP, O’Donnel JO. 1992. Insect Malphigian Tubules: V-ATPase Action in ion and Fluid Transport. J Exp Biol. Vol 172, 417 – 429. Maddrell SHP, Gardiner BOC, Pilcher DEM, Reynolds SE.1974. Active Transport by Insect Malpighian Tubules of Acidic Dyes and of Acylamides. J. Exp. Biol. Vol 61, 357-377 Malaspina O, da Silva-Zacarin ECM. 2006. Cell Markers For Ecotoxicological Studies In Target Organs Of Bees. Brazilian Journal of morphological Science 23(3-4), 303-309 Marigomez I, Soto M, Kortabiarte M. 1996. Tissue-level biomarkers and biological effect of mercury on sentinel slugs, Arion ater. Arch. Environ, Contam. Toxicol. Vol. 31, pp. 54 - 62 Martin TR, Holdich DM. 1986. The Acute Lethal Toxicity of Heavy Metals to Peracarid Crustaceans (with Particular Reference to Fresh-Water Aselids & Gammarids). Water Res, Vol 20, No. 9, pp 1137 – 1147. Mason RP, Reinfelder JR, Morel FMM. 1996. Uptake, toxicity, and trophic transfer of mercury in a coastal diatom. Environ. Sci. Technol. Vol. 30:1835-1845. Maul JD, Farris JL, Milam CD, Cooper CM, Testa III S, Feldman DL. 2004. The Influence of Stream Habitat and Water Quality on Macroinvertebrate Communities in Degraded Streams of Northwest Mississipi. Hydrobiologia, 518: 79 – 94. McCahon CP, Whiles AJ, Pascoe D. 1989. The toxicity of cadmium to different larval instars of the trichopteran larvae Agapetus fuscipes Curtis and the importance of life cycle information in the design of toxicity tests. Hydrobiology ; 185:153–162 McIntyre JK & Beauchamp DA. 2007. Age and trophic position dominate bioaccumulation of mercury and organochlorines in the food web of Lake Washington. Sci Total Environ Vol 372, page 571–584 Merritt, RW., &. Cummins KW. 2006. Trophic Relationships of Macroinvertebrates, di dalam: Hauer FR and Lamberti GA (Eds). Methods in Stream Ecology. California [USA]. Academic Press: hlm 585 – 609. Moore MN, Depledge MH, Readman JW, Paul Leonard DR. 2004. An Integrated Biomarker-based Strategy for Ecotoxicological Evaluation of Risk in Environmental Management. Mutat Res Vol 552. p. 247 - 268 Morgan AJ, Turner MP, Morgan JE. 2002. Morphological plasticity in metalsequestering earthworm chloragocytes: morphometric electron microscopy provides a biomarker of exposure in field populations. Environ. Toxicol. Chem. Vol 21, pp. 610 – 618 Mount DR, Henry TR. 2008. Ecological Risk Assessment. di dalam Di Giulio R, and Hinton DE (Eds). The Toxicology of Fishes. Boca Raton [USA], CRC Press, Taylor and Francis Group: pp. 757 - 775. [NRC] National Research Council. 1993. Issues in Risk Assessment. Nartional Washington, D.C [USA] Academy Press: pp. 243 - 267. Newman MC, Clements WH. 2008. Ecotoxicology. A Comprehensive Treatment.. New York [USA]. CRC Press 882 halaman
50
Niimi AJ, Kissoon GP. 1994. Evaluation of Critical Body Burden Concept Based on Inorganic and Organic Mercury Toxicity to Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss). Arch. Environ. Contam. Toxicol. Vol 26: 169 – 178. Novotny V & Olem H. 1994. Water Quality Prevention, Identification and Management of Diffuse Pollution. Van Nostrand Reinhold. [USA]. 1054pp. Odendaal JP, Reinecke AJ. 2007. Quantitative assessment of effects of zinc on the histological structure of the hepatopancreas of terrestrial isopods. Arch. Environ, Contam. Toxicol. Vol. 53, pp. 359 - 364 Parker CR & Voshell JR 1983. Production of filter-feeding trichoptera in an impoundment and a free flowing river. Can J Zool, Vol 61:70–87 Paul MJ, Meyer JL. 2001. Stream in Urban Landscape. Annu Rev Ecol Syst Vol 32:333–365. Peters EC, Price KL, Horowitz DJB. 2005. Histological Preparation of Invertebrates for Evaluating Contaminant Effects. di dalam Ostrander GK (ed). Techniques in Aquatic Toxicology Volume 2., Boca Raton [USA] Taylor and Francis: halaman 653 – 686. Poepperl R. 2000. The Filter Feeders Hydropsyche angustipennis and H.pellucidula (Trichoptera: Hydropsychidae) in a Northern German Lowland Stream: Microdistribution, Larval Development, Emergence Pattern, and Secondary Production. Limnologica 30:65-72. Prommi T & Thamsenanupap P. 2013. Hydropsychid Gill Morphology (Insecta:Trichoptera) in Association with Water Quality Parameters. J Appl Sci Environ Sanitat, Vol. 8, No. 2, page 125 – 134. Quinn JM, Davies-Colley RJ, Hickey CW, Vickers ML, Ryan PA. 1992. Effects of Clay Discharges on Stream, 2. Benthic Invertebrates. Hydrobiologia 248: 235-247. Rehwoldt R, Lasko L, Shaw C, Wirhowski E. 1973. The acute toxicity of some heavy metal ions toward benthic organisms. Bull Environ Contam Toxicol;10 (5) :291–294. Riani E. 2010. Kontaminasi Merkuri (Hg) dalam Organ Tubuh Ikan Petek (Leiognathus equulus) Di Perairan Ancol, Teluk Jakarta. J Teknol Lingk Vol. 11, No. 2. Halaman 313 – 322. Robertson-Bryan Inc. 2004. pH Requirements of Freshwater Aquatic Life. California [USA].15 halaman. Rodrigues A, Cunha L, Amaral A, Medeiros J, Garcia P. 2008. Bioavailability of heavy metals and theirs on the midgut cells of a phytopagous insect inhabitating volcanic environments. Sci. Total. Environ Vol. 406 pp. 116 – 122 Roesijadi, G. 1992. Metallothioneins in Metal Regulation and Toxicity in Aquatic Animals. Aquat Toxicol. Vol 22, 81-114 Rombke J, Moltmann JF. 1996. Applied Ecotoxicology. Boca Raton [USA]. CRC Press: 282 halaman. Rosenberg DM, Resh VH. 1993. Introduction to Freshwater Biomonitoring and Benthic Macroinvertebrates. di dalam: Rosenberg DM and Resh VH. Editors. Freshwater Biomonitoring and Benthic Macroinvertebrates. London [UK]. Chapman & Hall: hlm 1 – 9.
51
Runck C. 2007. Macroinvertebrate production and food web energetics in an industrially contaminated Stream. Ecol Appl, 17(3): 740–753. Salomons W. 1995, Environmental impact of metals derived from mining activities: Processes, predictions, prevention. Journal of Geochemical Exploration, vol. 52, p. 5-23. Sanchez RM., & Hendricks. 1997. Life history and secondary production of Cheumatopsyche spp. in a small Appalachian stream with two different land uses on its watershed. Hydrobiologica, 354: 127–139. Santoro A, Blo G, Mastrolitti S, Fagioli F. 2008. Bioaccumulation of heavy metals by aquatic macroinvertebrates along the Basento River in the South of Italy. Water Air Soil Pollut. DOI 10.1007/s11270-008-9923-5 Schmitz, RJ. 1996. Introduction to Water Pollution Biology. Texas [USA].Gulf Publishing Company: 320 halaman. Shakla SK, Srivastava PR. 1992. Water Pollution and Toxicology. New Delhi [IN].Commonwealth Publishers: hlm 1-47. Siahaan DH. 2003. Toksisitas Logam Berat Pb terhadap Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal) pada Berbagai Tingkat Salinitas. [Tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.89 halaman. Silva MF, Toth IV, dan Rangel AOSS. 2006. Determination of Mercury in Fish by Cold Vapor Atomic Absorption Spectrophotometry Using a Multicommuted Flow Injection Analysis System. Analyt Sci Vol. 22 p: 861-864 Skinner KM, Bennett JD. 2007. Altered gill morphology in benthic macroinvertebrates from mercury enriched streams in the Neversink Reservoir Watershed, New York. Ecotoxicology, 16:311–316 Smoley CK. 1992. Determination of Mercury in Tissues by Cold Vapor Atomic Absorption Spectrometry.di dalam: [USEPA] United State Environmental Protection Agency. Methods for Determination of Metals in Environmental Samples. Boca Raton [USA]. CRC Press. Snarski VM, Olson GF. 1982. Chronic toxicity and bioaccumulation of mercuric chloride in the fathead minnow (Pimephales promelas). Aquat. Toxicol. 2: 143-156. Snodgrass RE. 1993. Principles of Insect Morphology. New York [USA]. Cornell University Press: 667 halaman Soegianto A, Charmantier-Daures M, Trilles JP, Charmantier G. 1999. Impact of cadmiumon the structure of gills and epipodites of the shrimp Penaeus japonicus (Crustacea: Decapoda). Aquat. Living Resour. 12, 57–70. Sprague JB. 1971. Measurement of Pollutant Toxicity to Fish-III Sublethal Effects and "Safe" Concentrations. Wat. Res. Vol. 5, pp. 245-266 Sudarso Y, Yoga GP, Suryono T, Syawal MS, dan Yustiawati. 2009. Pengaruh Aktivitas Antropogenik di Sungai Cikaniki (Jawa Barat) terhadap Komunitas Fauna Makrobentik. Limnotek Perairan Darat Tropis di Indonesia Vol. XVI, Nomor 2. Halaman 153-166. Sudarso Y. 2012. Keterkaitan Masukan Bahan Organik dan Logam Merkuri terhadap Struktur Komunitas dan Produktivitas Sekunder Larva Trichoptera di Sungai Ciliwung (Jawa Barat) [disertasi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. 134 halaman.
52
Syawal, MS, 2000. Pengamatan Kualitas Air Sungai Cikaniki Sub. DAS Cisadane, Leuwiliang Bogor. [Skripsi] Bogor [ID] Universitas Pakuan. Thorpe WH. 1933. Tracheal and Blood Gills in Aquatic Insect Larvae. Nature 131, p. 549-550 . DOI: 10.1038/131549b0 [USEPA] United State Environmental Protection Agency. 1986. Quality Criteria for Water, EPA/440/5-86/001, Washington DC [USA]. [USEPA] United State Environmental Protection Agency. 1992. Framework for Ecological Risk Assessment. EPA/630/R-92/001. Washington D.C. [USA] Office of Research and Development, U.S. Environmental Protection Agency, [USEPA] United State Environmental Protection Agency. 2002. Methods for Measuring the Acute Toxicity of Effluents and Receiving Waters to Freshwater and Marine Organisms EPA-821-R-02-012. Washington D.C. [USA].U.S. Environmental Protection Agency Office of Water. [USEPA] United State Environmental Protection Agency. 2004 National listing of fish advisories. EPA-823-F-05-004. Washington D.C. [USA]. U.S. Environmental Protection Agency, Office of Water [USGS] United State Geological Survey. 1995. Mercury Contamination of Aquatic Ecosystems. Fact Sheet FS-216-95. 4p. van der Geest HG, Greve GD, de Haas EM, Scheper BB, Kraak MHS, Stuijfzand SC, Augustijn KH, Admiraal W. 1999. Survival and Behavioral Responses of Larvae of the Caddisfly Hydropsyche angustipennis to Copper and Diazinon. Environ. Toxic. Chem., Vol. 18, No. 9, pp. 1965– 1971 van Der Geest, H., Greve, G., Kroon, A., Kuijl, S., Kraak, M., Admiraal, W., 2000. Sensitivity of characteristic riverine insects, the caddisfly Cyrnus trimaculatus and the mayfly Ephoron virgo, to copper and diazinon. Environ. Pollut. 109, 177 - 182. van der Oost R, Porte-Visa C, van den Brink NW. 2005. Biomarkers in Environmental Assessment, di dalam : Den Besten PJ, Munawar M (eds). Ecotoxicological Testing of Marine and Freshwater Ecosystems. Emerging Techniques, Trends, and Strategies.. Boca Raton [USA]. Taylor and Francis: hlm 87 – 152. van Gestel CAM, van Brummelen. 1996. Incorporation of the Biomarker Concept in Ecotoxicology Calls for a Redefinition of Terms. Ecotoxicology Vol 5, p. 217 - 225 Vega MM, Marigomez JA, Angulo E. 1989. Quantitative alterations the structure of the digestive cell of Littorina littorea on exposure to cadmium. Mar Biol. Vol. 103, pp. 547 - 553 Vuori KM & Kukkonen, J. 1996. Metal Concentrations in Hydropsyche pellucidula Larvae (Trichoptera, Hydropsychidae) in relation to the Anal Papillae Abnormalities and Age of Exocuticle. Water Res Vol. 30, No. 10, pp. 2265-2272 Vuori KM. 1994. Rapid Behavioural and Morphological Responses of Hydropsychid Larvae (Trichoptera, Hydropsychidae) to Sublethal Cadmium Exposure. Environ Pollut Vol 84, Issue 3, Pages 291-299
53
Walter R. Terra and Clélia Ferreira. 2003. Digestive system. di dalam: Resh VH and Carde RT (eds). Encyclopedia of Insects. London [UK]. Academic Press: hlm 313 – 323. Wanderley-Teixeira V, Teixeira AAC, Cunha Fm, Costa MKCM, Veiga AFSL, Oliveira JV. 2006. Histological Description of the Midgut and the Pyloric Valve of Tropidacris collaris (Stoll, 1813) (Orthopetera: Romaleidae). Braz J Biol, Vol 66(4): 1045-1049. Waters TF. 1987. The effect of growth and survival patterns upon the cohort P/B ratio. J N Am Benthol Soc, 6(4): 223–239. Weiner RA. 2003. Applications of Environmental Chemistry. A Practical Guide. Boca Raton [USA]. CRC Press: 442 halaman. Wigglesworth VB, 1931. The Respiration of Insects. Biol Rev, Volume 6, Issue 2, p. 181–220. Williams DD. 1979. Aquatic Habitat of Canada and Their Insects. Memoirs of The Entomology Society of Canada. 108: 211-234. Wong AHK, McQueen DJ, Williams DD, Demers E. 1997. Transfer of mercury from benthic invertebrates to fishes in lakes with contrasting fish community structures. Can. J. Fish. Aquat. Sci. Vol. 54, page 1320 1330 Wong CSC., Duzgoren-Aydin NS, Aydin A, Wong MH. 2006. Sources and trends of environmental mercury emissions in Asia. Sci Total Environ. Vol 368, 649–662. Wood PJ, Armitage PD. 1997. Biological effects of fine sediment in the lotic environment. Environ Manage 21(2): 203-217. Yoga GP, Sudarso Y, Suryono Y, Awalina, Syawal MS, Yustiawati. 2009. Bioakumulasi Logam Merkuri pada Beberapa Tipe Kebiasaan Makan Fungsional Biota Air di Sungai Cikaniki. Limnotek Perairan Darat Tropis di Indonesia. Vol. XVI, Nomor 2. Halaman 167-179. Yoga, GP. Sudarso Y, Syawal MS., Nasution H. 2005. Kajian Toksisitas Sedimen Sungai Sungai Cikaniki Sub DAS Cisadane. Limnotek. Perairan Darat Tropis di Indonesia. Volume XII, Nomor 2, 40 – 52. Yulfiperius, Toelihere MR, Affandi R, Sjafei DS. 2004. Pengaruh alkalinitas terhadap Kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan Lalawak Burbodes sp. Jurnal lktiologi Indonesia, Volume 4, Nomor 1. Halaman 1-5 Zizek S, Horvat M, Gibicar D, Fajon V, Toman MJ. 2007. Bioaccumulation of Mercury in Benthic Communities of a River Ecosystem Affected by Mercury mining. Sci Total Environ. Vol 377 : 407 – 415 .
LAMPIRAN Lampiran 1. Lokasi Pengambilan sampel
Stasiun 1 Cikuluwung
Stasiun 2 Cisarua
Stasiun 3 Curug Bitung
Stasiun 4 Lukut
55 Lampiran 2 Konsentrasi merkuri partikulat, terlarut dan terakumulasi di tubuh biota bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober min max
Cikuluwung 1,81 1,76 3,27 3,21 0,61 0,65 3,94 3,61 1,39 1,13 0,61 3,94
Hg Bioakumulasi (mg/kg) Cisarua Curugbitung Lukut 94,80 313,69 213,46 90,20 277,27 213,46 254,00 195,63 135,86 285,71 206,51 125,16 124,82 148,80 175,85 109,19 205,20 168,16 269,88 182,44 193,49 285,71 158,61 143,64 112,57 376,09 144,63 93,51 326,00 135,37 90,20 148,80 125,16 285,71 376,09 213,46
Hg Partikulat (µg/l) bulan Cikuluwung Cisarua Curugbitung Lukut Januari 0,59 16,42 49,96 34,34 Februari 0,25 16,44 34,39 38,71 Maret 0,54 34,00 35,22 13,83 April 0,40 38,85 36,08 22,70 Mei 1,30 28,62 27,71 27,00 Juni 1,28 14,14 28,52 19,11 Juli 0,32 40,83 22,36 33,04 Agustus 2,70 46,79 22,36 30,19 September 2,96 11,64 57,24 24,79 Oktober 0,30 23,28 43,28 13,29 min 0,25 11,64 22,36 13,29 max 2,96 46,79 57,24 38,71
56 Hg terlarut (µg/l) bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober min max
Cikuluwung Cisarua Curugbitung 0,0078 1,0780 3,0078 0,0078 1,0780 2,5078 0,0078 3,7800 1,7800 0,0078 5,7800 2,0780 0,0078 0,5620 1,2513 0,0078 0,6889 1,7735 0,3820 2,8340 2,2634 0,1762 3,6314 3,9059 0,1567 4,0094 5,4627 0,2266 3,2319 5,2977 0,01 0,56 1,25 0,38 5,78 5,46
Lukut 2,5078 2,5078 1,0078 2,0078 3,4285 2,5447 4,1766 1,6700 2,5087 1,5277 1,01 4,18
57 Lampiran 3 Data toksisitas merkuri terhadap trichoptrera EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LC/EC VALUES Version 1.5 Toksisitas Hg thd Cheumatopsyche Observed
Proportion Responding
Number
Proportion
Adjusted for
Resp.
Responding
Controls
0.3000 0.6000 0.8000 0.8000 0.9000
0.3000 0.6000 0.8000 0.8000 0.9000
Predicted Number Proportion Conc. Exposed Responding 0.2500 0.5000 0.7500 1.0000 2.0000
10 10 10 10 10
3 6 8 8 9
Chi - Square for Heterogeneity (calculated) Chi - Square for Heterogeneity (tabular value at 0.05 level) Mu Sigma
= =
0.3418 0.5893 0.7245 0.8049 0.9322
=
0.534
=
7.815
-0.408334 0.475289
Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits ---------------------------------------------------------------Intercept 5.859127 0.249991 (5.369145,6.349109) Slope 2.103981 0.718737 (0.695257,3.512706) Theoretical Spontaneous Response Rate = 0.0000 Toksisitas Hg thd Cheumatopsyche Estimated LC/EC Values and Confidence Limits Exposure 95% Confidence Limits Point Conc. Lower Upper LC/EC 1.00 0.031 0.000 0.107 LC/EC 5.00 0.065 0.001 0.169 LC/EC 10.00 0.096 0.002 0.217 LC/EC 15.00 0.126 0.005 0.258 LC/EC 50.00 0.391 0.122 0.598 LC/EC 85.00 1.214 0.772 5.773 LC/EC 90.00 1.588 0.948 12.436 LC/EC 95.00 2.363 1.249 39.911 LC/EC 99.00 4.981 2.019 368.576
58 PLOT OF ADJUSTED PROBITS AND PREDICTED REGRESSION LINE Probit 10+ 9+ 8+ . 7+ . .. .. ... .... o 6+ .... o...o ... .... ..o. 5+ ... .... .... ... o .... 4+ .... .... ... .. .. 3+ . -. 2+ 1+ 0+ -+--------------+--------+---------+---------+--------+--------------+EC01 EC10 EC25 EC50 EC75 EC90 EC99
59 EPA PROBIT ANALYSIS PROGRAM USED FOR CALCULATING LC/EC VALUES Version 1.5
Toksisitas Hg thd Cheumatopsyche 48 jam
Predicted Number Proportion Conc. Exposed Responding Control 0.1031 0.2500 0.3979 0.5000 0.6873 0.7500 0.8225 1.0000 0.8916 2.0000 0.9763
Observed
Proportion Responding
Number
Proportion
Adjusted for
Resp.
Responding
Controls
10
1
0.1000
0.0000
10
5
0.5000
0.4425
10
7
0.7000
0.6655
10
8
0.8000
0.7770
10
9
0.9000
0.8885
10
10
1.0000
1.0000
Chi - Square for Heterogeneity (calculated) Chi - Square for Heterogeneity (tabular value at 0.05 level) Mu Sigma
= =
=
0.426
=
7.815
-0.497755 0.403054
Parameter Estimate Std. Err. 95% Confidence Limits ---------------------------------------------------------------Intercept 6.234958 0.341040 (5.566520,6.903395) Slope 2.481055 0.911457 (0.694599,4.267510) Spontaneous 0.103101 0.096010 (-0.085079,0.291281) Response Rate
60 Toksisitas Hg thd Cheumatopsyche 48 jam Estimated LC/EC Values and Confidence Limits Exposure Conc.
Point LC/EC LC/EC LC/EC LC/EC LC/EC LC/EC LC/EC LC/EC LC/EC
1.00 5.00 10.00 15.00 50.00 85.00 90.00 95.00 99.00
0.037 0.069 0.097 0.121 0.318 0.832 1.044 1.463 2.753
95% Confidence Limits Lower Upper 0.000 0.000 0.001 0.002 0.053 0.520 0.654 0.857 1.313
0.124 0.181 0.223 0.258 0.510 2.806 5.738 17.770 160.211
61 PLOT OF ADJUSTED PROBITS AND PREDICTED REGRESSION LINE Probit 10+ o 9+ 8+ . 7+ . . . . ... ..o. 6+ ... ...o ... ...o ... 5+ ... o.. ... ... .... 4+ ... .... .. . . . . 3+ . -. 2+ 1+ 0+ -+--------------+--------+---------+---------+--------+--------------+EC01 EC10 EC25 EC50 EC75 EC90 EC99
62 Lampiran 4. Hubungan Lebar Kepala dan Berat Tubuh Larva Trichoptera 0,007
y = 3E-13x3,2143 R² = 0,9502
Berat tubuh (gr)
0,006 0,005 0,004 0,003 0,002 0,001 0 0
500
1000 Lebar kepala (µm)
1500
Gambar Grafik hubungan lebar kepala dan berat tubuh larva Trichoptera di Stasiun Cikuluwung
0,007 y = 9E-15x3,7703 R² = 0,8842
Berat tubuh (gr)
0,006 0,005 0,004 0,003
0,002 0,001 0 500
700
900 1100 Lebar kepala (µm)
1300
1500
Gambar Grafik hubungan lebar kepala dan berat tubuh larvaTrichoptera di Stasiun Cisarua
63 0,0035
y = 3E-12x2,9212 R² = 0,9548
Berat tubuh (gr)
0,003 0,0025 0,002 0,0015 0,001 0,0005 0
500
700
900 Lebar kepala (µm)
1100
1300
Gambar Grafik hubungan lebar kepala dan berat tubuh larvaTrichoptera di Stasiun Curug Bitung
0,004 0,0035
y = 7E-15x3,7767 R² = 0,9418
Berat tubuh (gr)
0,003 0,0025 0,002 0,0015 0,001 0,0005 0 400
600
800 Lebar kepala (µm)
1000
1200
Gambar Grafik hubungan lebar kepala dan berat tubuh larvaTrichoptera di Stasiun Lukut
64
64
Lampiran 5. Perhitungan produktivitas sekunder larva Trichoptera di masing masing stasium Perhitungan Produksi Sekunder larva Trichoptera di Stasiun Cikuluwung Massa kepadatan individu (Jumlah/m2) rata2
panjang
262,5 - 450 487,5 - 637,5 750 - 1050 1087,5 1368,75 1425 - 1575
Jumlah densitas yang hilang (Jumlah/m2)
N = n/m2 9 38 131
W 0,0530 0,2393 0,9205
ΔN
160 13
2,6384 4,6553
-29 147 13
-29 -93
Biomassa (mg/m2)
NxW 0,4715 9,0402 120,6868
Biomassa yang hilang (mg/m2)
Waktu jumlah ukuran klelas
W rata = (w1+W2)^0,5
W rata. Δ N
W rata. Δ N x 5
0,54068828 1,07693662
-15,6199 -100,5141
-78,10 -502,57
1,88650732 2,70069586 4,6553
-54,4991 396,1021 62,0712
-272,50 1980,51 310,36
Massa yang hilang (mg)
-
Biomass Konversi produksi ke 1 tahun (365/182) Produksi Produksi tahunan Cohort P/B P/B tahunan
422,1467 62,0712
614,42 2,01 1437,70 2875,40 2,34 4,68
65
Perhitungan Produksi Sekunder larva Trichoptera di Stasiun Cisarua
panjang
450 - 656,25 675 - 881,25 900 - 975 993,75 - 1068,75 1087,5 - 1425
Massa kepadatan individu (Jumlah/m2) rata2 N = n/m2 4,44 11,11 26,67 6,67 8,89
W 0,30 0,56 1,36 2,13 4,05
Jumlah densitas yang hilang (Jumlah/m2) ΔN -6,67 -15,56 20,00 -2,22 8,89
Biomass Konversi produksi ke 1 tahun (365/182) Produksi Produksi tahunan Cohort P/B P/B tahunan
Biomassa (mg/m2)
NxW 1,33 6,20 36,24 14,22 36,00
Biomassa yang hilang (mg/m2)
Waktu jumlah ukuran klelas
W rata = (w1+W2)^0.5
W rata. Δ N
W rata. Δ N x 5
0,93 1,38 1,87 2,49 4,05
-6,17 -21,54 37,37 -5,53 36,00
-30,87 -107,68 186,87 -27,63 180,00
Massa yang hilang (mg)
93,99 2,01 344,05 688,10 3,66 7,32
65
66
66
Perhitungan Produksi Sekunder larva Trichoptera di Stasiun Curug Bitung
panjang
450 - 656,25 675 - 881,25 900 - 975 993,75 - 1068,75 1087,5 - 1425
Massa kepadatan individu (Jumlah/m2) rata2 N = n/m2 6,67 8,89 6,67 13,33 8,89
W 0,40 0,84 1,45 1,88 2,61
Jumlah densitas yang hilang (Jumlah/m2) ΔN 0,00 2,22 -6,67 4,44 8,89
Biomass Konversi produksi ke 1 tahun (365/182) Produksi Produksi tahunan Cohort P/B P/B tahunan
Biomassa (mg/m2)
NxW 2,67 7,45 9,66 25,11 23,21
68,09 2,01 204,16 408,31 3,00 6,00
W rata = (w1+W2)^0.5
W rata. Δ N
Waktu jumlah ukuran klelas W rata. Δ N x5
1,11 1,51 1,83 2,12 2,61
0,00 3,36 -12,17 9,42 23,21
0,00 16,80 -60,85 47,11 116,03
Massa yang hilang (mg)
Biomassa yang hilang (mg/m2)
67
Perhitungan Produksi Sekunder larva Trichoptera di Stasiun Lukut
panjang
450 - 656,25 675 - 881,25 900 - 975 993,75 - 1068,75 1087,5 - 1425
Massa kepadatan individu (Jumlah/m2) rata2 N = n/m2 40,00 124,44 428,89 284,44 22,22
W 0,24 0,69 1,29 1,79 2,40
Jumlah densitas yang hilang (Jumlah/m2) ΔN 0,00 0,00 144,44 262,22 22,22
Biomass Konversi produksi ke 1 tahun (365/182) Produksi Produksi tahunan Cohort P/B P/B tahunan
Biomassa (mg/m2)
NxW 9,47 85,29 552,28 509,90 53,25
W rata = (w1+W2)^0.5
W rata. Δ N
Waktu jumlah ukuran klelas W rata. Δ N x5
0,96 1,40 1,76 2,05 2,40
0,00 0,00 253,51 536,68 53,25
0,00 0,00 1267,56 2683,40 266,24
Massa yang hilang (mg)
Biomassa yang hilang (mg/m2)
1210,18 2,01 7229,48 14458,96 5,97 11,95
67
68
Lampiran 6. Data Nilai HQ pada Masing-masing Stasiun Pengamatan
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober
Curug Cikuluwung Cisarua Bitung Lukut 0,02 3,37 9,40 7,84 0,02 3,37 7,84 7,84 0,02 11,81 5,56 3,15 0,02 18,06 6,49 6,27 0,02 1,76 3,91 10,71 0,02 2,15 5,54 7,95 1,19 8,86 7,07 13,05 0,55 11,35 12,21 5,22 0,49 12,53 17,07 7,84 0,71 10,10 16,56 4,77
69
Lampiran 7. Data pH dan Alkalinitas Bulanan 1. PH
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober
Cikuluwung
Cisarua
6,5 5,0 6,2 6,5 6,2 7,1 5,3 6,1 6,4 6,7
7,6 7,3 8,3 7,9 8,2 9,0 7,9 8,6 7,9 7,8
Curug Bitung 7,7 7,8 8,1 8,3 8,1 8,2 7,8 7,9 8,0 7,3
Lukut 7,1 7,6 7,5 8,8 8,2 8,3 7,9 8,1 8,4 7,3
2. Alkalinitas Cikuluwung
Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober
Cisarua
Curug Bitung
Lukut
mg CaC03/l mg CaC03/l mg CaC03/l mg CaC03/l 6,30 29,00 32,10 34,70 6,30 23,90 27,70 31,50 8,20 23,90 37,80 42,21 6,30 54,20 41,60 38,40 5,90 31,90 41,60 41,00 12,40 42,90 51,40 52,00 5,90 18,20 44,20 41,60 20,80 53,90 50,10 50,10 24,10 24,10
32,80 32,80
50,30 50,30
45,70 45,70
70
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di DKI Jakarta tanggal 21 Juni 1969 sebagai anak pertama dari pasangan Bapak H. Sutopo Martowardoyo, M.Sc dan Ibu Hj.Pudji Hastutiningsih, M.Sc. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Penulis menikah pada tahun 1997 dengan Nina Hermayani Sadi, M.Si, dan saat ini telah dikaruniai dua orang anak perempuan, Ajeng Meiwita Nurrizky (16 Tahun) dan Vitaya Nur Khaleeda (8 tahun) Pendidikan sarjana S1 ditempuh di Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Malang dan lulus tahun 1992. Pada tahun 2000, penulis diterima di Program Studi Environmental Toxicology, Technology and Management di Asian Institute of Technology, Thailand melalui beasiswa DAAD dan menamatkan kuliah tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan di tahun 2009 melalui beasiswa Karyasiswa LIPI Penulis bekerja di Puslit Limnologi-LIPI Cibinong-Bogor mulai tahun 1994 hingga sekarang dan posisi terakhir dalam jabatan fungsional sebagai Peneliti Muda. Bidang penelitian yang ditekuni dan menjadi tanggung jawab penulis sebagai peneliti adalah toksikologi akuatik.