Pestisida secara umum mencakup bahan kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan organisme yang merugikan manusia, tumbuhan, ternak dan sebagainya yang diusahakan manusia. Insektisida diazinon merupakan salah satu pestisida untuk racun serangga, termasuk golongan organofosfat dari grup fosforotioat/fosforotionat mengandung unsur karbon dan fosfor serta dapat mengganggu sistem syaraf manusia. Insektisida golongan ini bekerja sangat efektif menghambat aktifitas enzim asetilkolinesterase (AchE) sebagian besar serangga, dan mengakibatkan akumulasi asetilkolin (Ach) dan tidak dapat berfungsi lagi sebagai neurotransmitter, kemudian akan mengakibatkan kontraksi otot yang diikuti dengan kelemahan, hilangnya refleksi (kelumpuhan) dan paralisis jaringan. Asetilkolin berlebihan menyebabkan tremor, kejang-kejang dan kematian. Enzim asetilkolinesterase
dibutuhkan untuk fungsi sistem syaraf (Lu 1995; Zhang &
Pehkonen 1999). Diazinon merupakan insektisida yang sangat efektif digunakan untuk memberantas dan membasmi, ataupun mengendalikan hama-hama tanaman seperti kutu daun, lalat, wereng, kumbang penggerek padi, dan sebagainya. Diazinon umumnya digunakan pada tanaman buah, padi, tebu, jagung, tembakau dan tanaman hortikultura. Insektisida dengan bahan aktif diazinon mempunyai nama dagang yang beragam diantaranya : basazinon 45 EC, basminon 60 EC, basudin 60 EC, basudin 10 G, brantasan 450 EC, diazinon 60 EC, sidazinon 600 EC, dazzel, nucidol, agrostar 600 EC, gardentox, kayazol, knox out, spectracide dan prozinon 600 EC (Frederick 2003). Insektisida ini sudah dilarang penggunaannya untuk tanaman padi berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 3 Tahun 1986 (Anonim 1987), namun sampai tanggal 1 Mei tahun 1997, saat masa beredarnya habis, sesuai
dengan
Keputusan
Menteri
Pertanian
No.
473/KPTS/TP.270/6/96,
insektisida tersebut masih beredar dan masih digunakan oleh petani.
Hal ini
terbukti hasil penelitian pada akhir 1997 (Ngabekti 1998) yang ternyata masih ditemukan residu diazinon pada sayuran kubis, selada dan tomat yang dipasarkan di Kota Semarang dengan residu 0.0069-0.0591 ppm. Insektisida golongan ini cukup stabil di lingkungan, sehingga mengakibatkan masalah kesehatan manusia dan lingkungan.
2.1.1. Struktur Diazinon
Diazinon memiliki nama kimia (0.0-dietil 0-2-isopropyl-6-metilpyrimidin-4methyl pyrimidinyl fosfosrotionat) dengan rumus empiris C12H21N2O3P5 adalah insektisida dan nematisida non sistemik berspektrum luas (broad spectrum) dan bertindak sebagai inhibitor asetilkolinesterase berakibat pada kolin (Sumner et al. 1988; EXTONET 1996). Rumus bangunnya disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Rumus bangun diazinon (Zhang & Pehkonen 1999)
2.1.2. Sifat Fisik, Kimia dan Biologi Diazinon Sifat fisik diazinon yang berkaitan dengan lingkungan adalah mempunyai titik didih 83-84oC, tekanan uap 1.4 10-4 mmHg pada 20oC, koefisien partisi oktanolair adalah 4, kelarutan dalam air 40 µg ml-1 pada 25oC, sedikit larut dalam air (kirakira 0.04%) dan dapat dicampur dengan pelarut organik (Merck Index 1998). Stabil dalam lingkungan alkali lemah tetapi sedikit terhidrolisis dalam air dan asam encer. Diazinon sangat sensitif terhadap oksidasi dan suhu tinggi, serta cepat terurai pada suhu di atas 100oC (Hayes & Laws 1991). Matsumura (1976) menyatakan bahwa sebagian besar diazinon mengalami degradasi membentuk asam dietiltiofosfonat. Persisten diazinon dalam air tawar dan air laut masing-masing adalah 11% dan 30% setelah aplikasi 17 hari, sedangkan residu dalam lumpur permukaan (2 mm) masih terdapat 0.05-2% setelah 21 hari aplikasi. Diazinon sangat mobil pada tanah dengan kandungan bahan organik rendah sampai sedang, dan immobil pada kandungan bahan organik tinggi (Arienzo et al. 1994). Koefisien partisi oktanol-air mengindikasikan diazinon bisa diakumulasi secara biologis dalam organisme, dan ini telah dijumpai pada ikan pada konsentrasi maksimum 300-360 kali konsentrasi di air. Volatilitas diazinon adalah 2.4 mg m-3 pada 20oC dan 18.6 mg m-3 pada 40oC. Diazinon mempunyai waktu paruh (half-life) 30 hari dan koefisien serap oleh tanah Koc=1.000 E (Wauchope et al. 1992), sedangkan konsentrasi diazinon sebesar 0.2-5.2 mg l-1 dapat membunuh ikan (Smith et al. 2007)
Diazinon mempunyai spektrum daya bunuh yang luas terhadap serangga dan berbagai cacing tanah. Toksisitas diazinon terhadap mamalia adalah sedang (II), dengan lethal doses (LD50) oral akut masing-masing 96-967 mg kg-1 pada tikus jantan dan 66-635 mg kg-1 pada tikus betina dan LD50 dermal akut masing-masing tikus adalah >2000 mg kg-1 (katagori III), LD50 inhalasi akut pada tikus 3.5 mg l-1 termasuk kategori III (Pesticide Fact Handbook 1986). LD50 untuk beberapa spesies burung 3-40 mg kg-1 dan spesies ikan 0.4-8 µg ml-1 (Sumner et al. 1985 laporan CIBA-GEIGY tidak dipublikasi).
2.1.3. Alur Biokimia pada Reduksi Diazinon di Alam Residu pestisida secara alamiah dapat hilang atau terurai dengan baik dalam lingkungan abiotik maupun lingkungan biotik.
Faktor-faktor yang
berpengaruh dalam penguraian pestisida adalah penguapan, pencucian, pelapukan dan dengan degradasi baik secara kimia, biologi maupun fotokimia.
Hidrolisis
diazinon menjadi IMPH (2-isopropyl-4-methyl-6-hydroxy pyrimidine) terutama diatur oleh proses abiotik, degradasi dari diazinon meningkat oleh mikroorganisme tanah, sehingga mikroorganisme menjadi faktor yang lebih dominan dari faktor abiotik (Leland 1998). Formulasi diazinon terdegradasi
menjadi
sejumlah tetraetilpirofosfat,
menghasilkan sulfotepp (S,S-TEPP) dan monothiotepp (O,S-TEPP), kedua senyawa tersebut mempunyai sifat toksik yang lebih tinggi dibandingkan diazinon dan merupakan inhibitor enzim kolinesterase terutama O,S-TEPP yaitu 14000 kali lebih toksik dari diazinon (Allender & Britt 1994). Oksidasi diazinon menjadi bentuk diazoxon yang lebih toksik, terjadi pada jaringan hewan dan tumbuhan (Mc Ewen & Stevenson 1989). Pada vertebrata, oksidasi terjadi di mikrosom hati, dalam kondisi ada oksigen dan NADPH2. Pada insekta, oksidasi terjadi dalam lemak tubuh dan metabolitnya dikeluarkan. Kecepatan oksidasi diazinon menjadi diazoxon, dua kali lipat untuk setiap kenaikan suhu 10 oC dari 10o–60oC, diazoxon tidak bisa diisolasi dari tanah (Leland 1998). Selanjutnya dikatakan bahwa degradasi diazinon lebih cepat pada air dengan suhu lebih hangat, maka degradasi menjadi 2-4 kali lebih
cepat pada air dengan suhu 21oC dibandingkan pada air dengan suhu (Moore et al. 2007). Proses pembentukan metabolit diazinon (reaksi transformasi enzimatik) terjadi melalui reaksi primer yaitu hidrolisis yang diikuti oleh reaksi pemecahan rantai cincin diazinon, sehingga diazinon terdegradasi pada reaksi primer menjadi 2-isopropyl-4-methyl-6-pyrimidinol (IMP) dan tiofosfonat. Menurut Ku et al. (1997) bahwa diazinon mengalami dekomposisi secara fotolisis pada pH 3 menghasilkan bentuk organik antara yang bisa diekspresikan sebagai jumlah dari 2-isopropyl-4methyl-6-pyrimidinol (IMP) dan tiofosfonat sebagai C diikuti dengan pembentukan ion SO4-2. Produk hidrolisis dan fotolisis tersebut diidentifikasi sebagai senyawa yang sifat toksiknya lebih rendah dibandingkan senyawa diazinon (Bollag 1974). Degradasi diazinon di air disebabkan oleh hydrolisis, terutama pada kondisi asam. Pada kondisi air streril half life diazinon selama 12 hari pada pH 5 dan pada air netral half life selama 138 hari pada pH 7 (US-EPA 2006). Diazinon mengalami degradasi dengan cahaya membutuhkan waktu 17.3-37.4 jam (Howard 1991) dan di tanah akan terurai menghasilkan CO2 (Roberts & Hutson 1999).
Degradasi
diazoxon yang diaplikasi pada tanah silt loam pada pH 8.1 dan suhu 25oC ditemukan mengikuti kurva linier dan half-life dalam tanah ditemukan 18 jam (Getzin 1968). Half-life diazinon studi laboratorium di tanah dengan pH 7.8 selama 39 hari (US-EPA 2007). Diazinon
dan
diazoxon
dihidrolisis
menjadi
2-isopropyl-4-metil-6-
hydroxypyrimidine (IMHP) yang memiliki toksisitas sangat rendah dan ada dalam dua bentuk isomer yaitu keton dan enol.
Pada pH 8.4 kecepatan hidrolisis
diazoxon, adalah 10 kali diazinon. Diazinon dan diazoxon masing-masing dikatalis dalam kondisi asam dan basa. Pada kondisi pH air alami 5.5-8.5 dan suhu kurang dari 25oC, residu diazinon akan bertahan lama Gomma et al. (1969). Hidrolisis di dalam tanah, nampaknya diadsorpsi dari pada dikatalisis asam (Konrad et al. 1967). Degradasi diazinon yang terjadi melalui proses biotik dan abiotik ditunjukan pada Gambar 3.
Gambar 3. Degradasi diazinon yang terjadi melalui proses biotik dan abiotik (Leland 1998)
2.1.4. Keberadaan Diazinon di Lingkungan Interaksi senyawa pestisida dan lingkungan tanah diatur oleh tiga faktor penting yaitu: 1) Proses sorpsi atau desorpsi; 2) Difusi – pencucian; 3) Degradasi. Perpindahan dan penghilangan senyawa pestisida dalam tanah terjadi karena: pencucian
(leaching),
aliran
buangan,
penguapan,
degradasi
kimia,
fotodekomposisi dan biodegradasi (Connel 1995). Aplikasi insektisida di lingkungan tidak hanya mempengaruhi jumlah dan aktifitas metabolik mikroorganisme, tetapi juga bisa merubah struktur komunitas mikroorganisme dalam tanah, beberapa mikroorganisme bisa tertekan dan lainnya berkembangbiak (Johansen et al. 2001). Akumulasi pestisida disebabkan adanya adsorbsi oleh alam melalui tanah, air dan makhluk hidup lainnya (Tarumingkeng 1992). Diazinon bisa diserap oleh akar tanaman dan di translokasikan pada tanaman dan cepat didegradasi di daun, buah dan rumput-rumputan dengan half life berkisar 2-14 hari (Kamrin 1997). Diazinon di tanaman mengalami metabolisis menghasilkan produk hidrolisis pyrimidinol (hydroxyl pyrimidinol) dan diazoxon (Robert & Hutson 1999). Selanjutnya dikatakan bahwa pestisida yang tertinggal di biosfer harus didegradasi agar menjadi berkurang atau hilang secara keseluruhan.
Diazinon
dilepas ke air permukan atau tanah melalui volatilisasi, fotolisis, hidrolisis dan biodegradasi.
Biodegradasi pada kondisi aerob merupakan alur proses utama
diazinon di tanah dan air (ATSDR 2008) dan degradasi diazinon pada kondisi anaerob juga berlangsung baik. Half life diazinon di tanah dipengaruhi oleh pH pada tanah dan tipe tanah, pada pH 4, 7 dan 10, half life diazinon adalah 66, 209 dan 153 hari. Kecepatan degradasi di alam maupun di dalam tumbuhan mengikuti kimia ordo pertama yaitu kecepatan degradasi dipengaruhi oleh banyaknya pestisida dan faktor waktu. Proses degradasi berlangsung dalam dua tahap yaitu proses dissipasi dan persistensi. Residu pestisida dalam tanaman atau hewan menurun atau hilang akibat metabolisme yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman atau hewan tersebut (Leland 1998). Secara alamiah di lingkungan yang tercemar diazinon, mengandung aneka ragam mikroorganisme, sehingga polutan yang ada di lingkungan tersebut dapat didegradasi.
Degradasi
diazinon
di
alam
tidak
hanya
dilakukan
oleh
mikroorganisme yang ada di lingkungan (mikroorganisme indigenous), tetapi dengan adanya cahaya diazinon juga dapat terdegradasi. Mikroorganisme
butuh
waktu yang sangat lama untuk beradaptasi dengan bahan/senyawa pencemar (residu pestisida), yang disebabkan karena mikroorganisme tersebut tidak pernah berhubungan langsung dengan residu pestisida tersebut. Oleh karena itu perlu suatu adaptasi dimana dalam proses adaptasi mikroorganisme tersebut berusaha mengeluarkan enzim atau plasmid yang dapat mendetoksifikasi senyawa yang akan didegradasi. 2.2. Teknik Pengolahan Diazinon dalam Limbah Cair Ada beberapa teknik penanganan yang digunakan untuk mengolah limbah cair yang meliputi metode fisika, kimia dan biologi. Cara-cara yang digunakan yaitu penyaringan/filtrasi,
absorbsi,
sedimentasi/pengendapan,
elektrodialisis,
penambahan zat pereaksi (seperti CaO, logam hidroksida), bioremediasi, fitoremediasi,
bioremediasi
kompos
dan
biofilter
(US-EPA
1998).
Upaya
meningkatkan kemampuan degradasi residu diazinon bisa dilakukan dengan mempertahankan
kondisi
optimal
untuk
kelangsungan
bioremediasi
dan
penambahan mikroorganisme yang mampu mendegradasi diazinon (Leland 1998) Pengolahan residu diazinon secara biologi bisa dilakukan dengan bioremediasi, yaitu penambahan mikroorganisme pada air yang tercemar diazinon, atau dengan memperkaya mikroorganisme indigenous, misalnya Arthobacter sp. dan Streptomyces sp. secara sinergis keduanya mampu mendegradasi diazinon (Leland 1998). Selanjutnya Leland (1998) mengisolasi Flavobacterium sp. dari air irigasi sawah yang menggunakan diazinon, mengatakan spesies ini mempunyai keistimewaan bisa memetabolis diazinon sebagai sumber karbon, selanjutnya diazinon dalam air irigasi yang diinkubasi diubah menjadi metabolit dalam 3 hari dan kemudian mineralisasi menjadi CO2 dalam waktu 2 hari berikutnya. Beberapa spesies bakteri bisa memanfaatkan diazinon sebagai sumber karbon dan energi, seperti Pseudomonas sp. (Ramanathan & Lalithakumari 1999), Agrobacterium sp. (Ghassempour et al. 2002; Yasouri 2006),
Arthrobacter sp.
(Ohshiro et al. 1996) dan Flavobacterium sp. (Ghassempour et al. 2002). Bakteri Serratia sp juga mempunyai kemampuan mendegradasi insektisida organofosfor lainnya secara sempurna (Cycon et al. 2009; Lakshmi et al. 2008; Rani et al. 2008). Di tanah tercemar diazinon terdapat isolate bakteri Bacillus, Pseudomonas mampu menurunkan konsentrasi diazinon 3 ppm dirombak selama 12 hari (Setyobudiarso 2008).
2.3. Bioremediasi dan Biodegradasi Akhir-akhir ini, teknik bioremediasi
banyak digunakan untuk penanganan
pengolahan limbah di industri. Teknik bioremediasi dinilai efektif dan ekonomis untuk membersihkan tanah, permukaan air dan kontaminasi tanah yang mengandung sejumlah bahan beracun seperti rekalsitran, senyawa kimia. Bioremediasi merupakan bagian dari bioteknologi lingkungan yang memanfaatkan proses alami biodegredasi dengan menggunakan aktifitas mikroorganisme yang dapat memulihkan lahan tanah, air dan sendimen dari kontaminan terutama senyawa organik (Yani et al. 2003), teknik teknologi rendah, mudah diterima masyarakat dan bisa digunakan dimana saja (Kamuludeen et al. 2003). Biodegradasi umumnya dilakukan oleh kelompok utama mikroorganisme tanah (fungi, bakteri dan actynomycetes) yang dapat secara mudah menyesuaikan diri atau mendegradasi pestisida melalui
proses oksidasi, pemutusan-ester,
hidrolisis ester, dan amida, oksidasi alkohol dan aldehida, dealkilasi, hidroksilasi, dehidrogenasi, epoksidasi, dehalogenasi, reduksi dan dealkilasi (Matsumura 1973, Strong & Burges 2008).
Biodegradasi merupakan penguraian suatu senyawa
menjadi yang lebih sederhana melalui aktifitas mikroorganisme (Onshiro et al. 1996). Said dan Fauzi (1996) menerangkan bahwa biodegradasi merupakan transformasi struktur dalam senyawa oleh pengaruh biologis sehingga terjadi perubahan integritas molekuler.
Dalam proses degradasi,
kondisi lingkungan
harus sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme. Bioremediasi merupakan proses degradasi bahan organik berbahaya secara biologi menjadi senyawa lain misalnya CO2, metan, air, garam organik, biomassa dan hasil samping yang sedikit lebih sederhana dari senyawa semula (Citroreksoko 1996).
Berbagai bahan pencemar umumnya senyawa senobiotik
(asing di alam) misalnya residu pestisida, deterjen, limbah eksplorasi dari pengolahan minyak bumi dan residu amunisi. Senyawa tersebut bersifat rekalsitran (sulit didegradasi) sehingga memiliki ketahanan yang tinggi di alam. Manfaat lain dari bioremediasi selain mendegradasi polutan, juga dapat menjerap bahan-bahan logam dan mineral serta memisahkan zat-zat yang tidak diinginkan dalam udara, air, tanah dan bahan baku proses produksi dalam industri (US-EPA 1998). Bioremediasi dapat dilakukan secara in situ dan ex situ. In situ yaitu bioremediasi dilakukan langsung di lingkungan yang tercemar (contohnya pengggunaan kompos dan penambahan mikroorganisme yang sesuai langsung pada tanah tercemar), sedangkan ex situ yaitu bioremediasi dilakukan di luar
lingkungan yang tercemar dengan membuat lingkungan baru bioreaktor yang dikondisikan dengan menggunakan inokulan yang dapat mendegradasi cemaran kontaminan organik, misalnya penggunaan biofilter untuk reduksi limbah cair di bidang pertanian (Citroreksoko 1996). Teknologi bioremediasi dapat dimanfaatkan sebagai salah satu teknik dalam penanganan limbah senyawa kimia termasuk pestisida. Beberapa penelitian terdahulu dilaporkan bahwa penggunaan kompos dalam proses bioremediasi telah terbukti efektif untuk mendegradasi banyak jenis kontaminan seperti hidrokarbon terklorinasi dan tidak terklorinasi, bahan-bahan kimia pengawet kayu, pelarut, logam berat, pestisida produk minyak, bahan peledak dan senyawa-senyawa senobiotik lainnya (US-EPA 1999; Gray et al. 1999; Baker & Bryson 2002). Alcaligenes
Bakteri aerob dari kompos seperti Pseudomonas sp,
sphingomonas,
Rhodococcus
dan
Mycobacterium,
mampu
mendegradasi pestisida, hidrokarbon, senyawa alkana dan poliaromatik (fenol, benzoate, benzene dan turunannya), bakteri ini menggunakan kontaminan sebagai sumber karbon dan energi (Haigler et al. 1992; Vidali 2001). Kompos limbah pertanian dan kotoran ternak dapat mengurangi DDT dari tanah tercemar di atas 600 ppm DDT (1.1.1-trichloro-2.2-bis (p-chlorophenyI ethan) menjadi kurang dari 140 ppm setelah pengomposan 4 minggu, tanpa dihasilkan DDD (1.2 dichloro-2.2-bis (p-chlorophenyl ethan) dan DDE (2.2-bis (p-chlorophenyl) 1.1 dichloroethylene) (Bernier et al. 1997). Tanah yang tercemar lebih dari satu senyawa nitro seperti TNT (trinitrotoluene), RDX (hexahydro-1.3.5 trinitro-1.3.5 triazine) dan HMX (octahydro-1.3.5.7 tetranitro-1.3.5.7 tetrazocine) dengan konsentrasi di atas 20.000 ppm, konsentrasinya berkurang 90% dengan menggunakan kompos campuran (Moser et al. 1999). Selanjutnya menurut Gray et al. (2000) bahwa kompos limbah pertanian berhasil mengurangi konsentrasi khlorin dari tanah tercemar senyawa klorin (methoxychlor) 600 ppm berkurang menjadi 140 ppm setelah pengomposan 4 minggu. Kompos digunakan untuk memperbaiki tanah yang terkontaminasi dengan berbagai polutan organic (Fermor et al. 2001). Kompos juga digunakan untuk bioremediasi limbah hidrokarbon, mampu mendegradasi minyak pelumas 75% (Suortti et al. 2000); minyak diesel 85% (Ryckeboer et al. 2003); minyak 88.25% (Munawar et al. 2007). Bakteri yang ditemukan pada tanah yang terkontaminasi minyak hidrokarbon yaitu: Azotobacter sp., Bacillus alvei, B. macerans, B. laterosporus, B. larvae, B. megaterium, Pseudomonas putida, Micrococcus roseus,
dan bakteri yang terdapat dalam kompos dari sampah kota, yang terkontaminasi minyak hidrokarbon yaitu: Azotobacter sp., Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa, Micrococcus agalis, M. roseus, Mycobacterium sp., Nocardia sp., (Pagoray 2009).
2.3.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Biodegradasi Mengingat mikroorganisme degradasi, maka
kondisi
sangat berperan penting
lingkungan
yang maksimal
dalam proses
mendukung aktifitas
mikroorganisme akan memaksimalkan proses biodegradasi. Keberhasilan proses biodegradasi banyak ditentukan oleh aktifitas enzim dalam mikroorganisme. Kemudian aktifitas mikroorganisme dioptimasikan dengan pengaturan kondisi dan pemberian suplemen yang sesuai. (Vidali 2001). Keberadaan oksigen dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri aerob dan merupakan faktor pembatas laju degradasi hidrokarbon. Oksigen digunakan untuk mengkatabolisme senyawa hidrokarbon dengan cara mengoksidasi substrat dengan katalisis enzim oksidase (Vidali
2001). Tingkat keasaman (pH) juga
merupakan faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan mikroorganisme. Umumnya bakteri tumbuh baik pada kisaran pH netral (pH 6.5–7.5), seperti P. aeruginosa yang tumbuh pada kisaran pH 6.6–7.0 dan mampu bertahan pada kisaran pH 5.6–8.0. Suhu akan berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia, kecepatan degradasi oleh mikroorganisme serta komposisi mikroorganisme selama proses degradasi. Pertumbuhan efektif untuk mikroorganisme berkisar antara 45o– 59oC (US-EPA 1994). Mikroorganisme membutuhkan nutrisi sebagai sumber karbon, energi dan keseimbangan
metabolisme
mendegradasi
tergantung
sel. pada
Menurut
Boopathy
mikroorganisme
(2000),
(konsentrasi
kemampuan biomassa,
keanekaragaman populasi dan aktifitas enzim), substrat (karakteristik fisikokimia, struktur molekul dan konsentrasi), serta faktor lingkungan (pH, suhu, kelembaban, tersedianya akseptor elektron sebagai sumber karbon dan energi).
Selain itu
struktur molekul dan konsentrasi kontaminan berpengaruh sangat kuat dalam proses bioremediasi. Bakteri pendegradasi diazinon, Serratia sp. mampu memanfaatkan diazinon sebagai sumber karbon dan fosfor pada keadaan pH 7.08.0 dan degradasi terhambat pada pH 5, 6 dan 9, 10. Bakteri ini juga mampu mendegradasi diazinon secara sempurna dalam waktu 11 hari pada suhu 25o-30oC, tetapi dalam waktu 13 hari pada suhu 20oC (Amer 2011).
2.4. Biofilter Kompos Biofilter adalah teknologi inovatif untuk menangani air atau udara yang tercemar kontaminan melalui media filter untuk tempat hidup mikrooganisme pada reaktor, dan diharapkan kontaminan diuraikan menjadi senyawa yang lebih sederhana dan tidak berbahaya yaitu H2O dan CO2. Umumnya pada biofilter diinokulasi dengan mikroorganisme kultur campuran dimana akan terjadi seleksi alamiah
sehingga
diperoleh
satu
jenis/lebih
mikroorganisme
yang
dapat
beradaptasi dengan lingkungan (US-EPA 1998). Teknologi biofilter yang umum digunakan adalah penggunaan campuran pasir dan krikil yang dibungkus atau karbon aktif kemudian ditambahkan mikroorganisme.
Masalah yang timbul umumnya pasir dan krikil mempunyai
kemampuan menjerap rendah, sehingga bahan ini tidak baik digunakan sebagai media untuk hidup mikroorganisme. Kemudian berkembang teknologi penggunaan kompos sebagai media filter untuk reduksi limbah cair.
Biofilter kompos lebih
menguntungkan dibandingkan karbon aktif granular karena masa pakai panjang 11.5 tahun sedangkan karbon aktif granular sangat singkat (Casucci et al. 2004). Pada biofilter kompos, kompos berperan sebagai penyaring (filter), dan penyerap (absorben) zat kimia yang akan dilewatkan pada biofilter tersebut. Fungsi ini dapat dianalogikan dengan fungsi tanah dan sendimen sebagai bahan yang dapat menghilangkan pencemar di lingkungan, melalui proses penyerapan pada permukaan sehingga menstabilkan pH, selanjutnya menguraikan zat pencemar (Connell 1995). Kelebihan kompos sebagai media filter (biasanya untuk aliran limbah cair) adalah karena memiliki porositas tinggi, kapasitas absorbsi tinggi terhadap senyawa organik dan anorganik, retensi kelembaban baik, dan kemampuan mendukung kecepatan degradasi tinggi (US-EPA 1998). Kapasitas absorbsi kompos terhadap senyawa organik dan anorganik bisa melalui beberapa mekanisme penyerapan seperti: gaya vander waal, ikatan hidrofobik, ikatan hidrogen, pertukaran ligan, pertukaran ion elekrostatik, interaksi tertutup dan penyerapan kimia (Connell 1995). Kemampuan penyerapan terhadap suatu zat kimia ditunjukkan oleh koefisien penyerapan (Haque et al. 1980). Selanjutnya menurut Connell (1995) faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan senyawa kimia adalah struktur zat kimia, kandungan bahan organik, pH media, ukuran partikel, kapasitas tukar elektron dan suhu.
Karakteristik biofilter kompos sebagai berikut: kapasitas pegang air (water holding capacity) dan total porositas tinggi; kinerja bertambah baik dengan bertambahnya waktu; terjadi penambahan nutrien; kelembaban antara 50-70%; suhu antara 20o–30oC; waktu tinggal (residence time) singkat; dan kedalaman filter satu meter (Leson 1991; Haug 1993; Toffey 1997). Pada awalnya aplikasi biofilter kompos untuk menguraikan gas hydrogen sulfite (83-99%) dan beberapa senyawa aromatik sederhana.
Selanjutnya aplikasi biofilter kompos berkembang untuk
menguraikan larutan chlorin alifatik dan senyawa mudah menguap lainnya/VOC (Ergas 1995).
2.5.
Kompos dari Limbah Media Jamur Tiram Kompos sebagai hasil akhir pengomposan, memiliki kandungan bahan
organik tinggi dan mineral yang penting untuk pertumbuhan tanaman. Kompos juga digunakan sebagai bahan penyerap (absorben) yang baik, terutama untuk senyawa kimia organik dan anorganik (US-EPA 1994). Hasil samping produksi jamur adalah limbah media budidaya jamur yang masih bisa digunakan sebagai kompos/pupuk dan makanan ternak. Maher dan Magette (1997) mengemukakan bahwa hasil analisis ekstrak kompos jamur di Irlandia mengandung bahan organik 65%, makro nutrien tinggi (nitrogen, phosphor, kalium dan kalsium), pH 6.6, dan electricity conductifity/konduktifitas listrik tinggi (7.500 µS cm-1). SMC (spent mushroom compost) adalah kompos dari limbah media budidaya
jamur,
mengandung
konsorsium
mikroorganisme
di
antaranya
Paenibacillus lentimorphus, Bacillus lecheniformis, B. subtilis, Pseudomonas meralanii,
Klebsiella
enterobacter
sp.
Sphingobacterium
multivarum,
Microbacterium, Stenophomonas sp. (Watabe et al. 2004). Bakteri tersebut bisa mengganggu kesehatan manusia dan hewan, contohnya Bacillus sp. merupakan pathogen pada debu, menimbulkan alergi, hipersensitif, pneumonitis. Kompos dari bekas media jamur P. pulmonarius yang mendegradasi substrat dengan bahan dasar dedak padi mengandung chitin 25% merupakan polimer N-asetil-dglukosamin (Law et al. 2003) dan sebagian besar komponen dari dinding sel fungi dan kandungan unsur lainnya tertera pada Tabel 1. Kompos jamur mempunyai beberapa keuntungan jika ditambahkan ke tanah, yaitu menambah nutrisi esensial bagi tanaman; menggantikan pupuk organik; sumber fosfor, kalium dan elemen trace juga nitrogen; kandungan bahan organik tinggi, sehingga penting untuk memperbaiki struktur tanah; meningkatkan
aktifitas
mikroorganisme
tanah
dan
cacing
tanah;
dan
memudahkan
menghancurkan struktur tanah pada saat pengolahan tanah (Glass 2003). Tabel 1 Sifat fisika-kimia kompos jamur media Pleurotus pulmonarius
Kandungan unsur
Ukuran
pH Abu (%) C (%) H (%) N (%) S (%) Chitin (%) Mineral Mangan (mg g-1) Kalium(mg g-1) Kalsium (mg g-1) Fe (mg g-1) Seng/Zn (mg g-1) Natrium (mg g-1) Ion yang larut dalam air Flourida (mg g-1) Clorida (mg g-1) Nitrit (mg g-1) Bromida (mg g-1) Nitrat (mg g-1) Fosfat (mg g-1) Sulfat (mg g-1)
7.69 ± 0.02 8.96 ± 0.30 25.61 ± 0.0 4.20 ± 1.33 2.42 ± 0.02 0.49 ± 0.15 25.17 ± 1.3 0.46 ± 0.04 6.91 ± 0.02 14.75 ± 7.0 0.34 ± 0.08 0.22 ± 0.13 1.30 ± 0.11 4.43 ± 1.25 67.44 ± 3.1 0.04 ± 0.00 2.17 ± 1.13 0.20 ± 0.09 31.44 ± 1.3 20.55 ± 0.6
Ekstrak dari 0.1 g kompos jamur dalam 10 ml air ultra murni Sumber: Law et al. 2003
Kompos jamur mempunyai karakteristik sebagai berikut: secara fisik mengandung 65% bahan organik, sehingga bermanfaat untuk memperbaiki struktur dan tekstur tanah, memperbaiki aerasi dan drainase, menambah kapasitas pegang air (water holding capacity/WHC), menambah aktifitas biologis tanah; bebas dari kontaminan benih gulma dan patogen tumbuhan; penampakan yaitu halus dan berbau tanah; sumber nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, sulfur; sumber elemen trace seperti besi, natrium, mangan, boron, tembaga dan seng (Glass 2003). Karakteristik kompos limbah media jamur dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Karakteristik kompos limbah media jamur
Sifat fisik
Keuntungan
Bahan organik 65%
Meningkatkan struktur dan tekstur tanah. Meningkatkan aktivitas biologis tanah Bebas dari polutan Berasal dari rerumputan dan tanaman patogen Kandungan nutrisi utama Sumber bahan organik N, P, K, Ca, dan S Unsur lain (dalam jumlah Sumber bahan organik Fe, Na, Mn, Br, Cu dan kecil) Zn.
Sumber: Glass (2003)
Pada media kompos jamur tiram terdapat miselia jamur yang mengeluarkan enzim extra-celullar yang memecah pestisida dan kemudian masuk ke sel mikroorganisme. Enzim ini digunakan sebagai energi untuk reproduksi sehingga dihasilkan populasi mikroorganisme lebih besar. Setelah enzim extra-celullar memecah pestisida, sehingga tersedia, pestisida masuk ke sel (intra-celullar). Penghancuran pestisida diperlukan air. Umumnya pestisida mengandung O, N, S yang cenderung larut ke dalam air karena ikatan hidrogen (Andrew & David 2002). Kompos (SMC) dari Pleurotus ostreatus (jamur tiram putih) mampu mendegradasi PAHs/Creosote pada tanah (Eggen 1999). Spesies fungi akar putih (white rot fungi) menghasilkan enzim yang berbeda-beda tergantung genetik dan kondisi pertumbuhannya. Degradasi oleh enzim meliputi lignin peroxidase (LIP), manganase dependent peroxidase (MnP), manganase independent peroxidase (MIP) dan lacasse (Bogan & Lamar 1996; Kofferman et al. 1996).
2.5.1. Kandungan Mikroorganisme Kompos Jamur Tiram Kompos jamur juga tempat hidup konsorsium mikroorganisme seperti fungi, bakteri (Ching 1997).
Bakteri yang diisolasi dari kompos jamur Pleurotus
pulmonarius dengan identitas yang belum diketahui, bisa toleran pada 100 mg l -1 PCP dan pada densitas 7.5 x 107 cfu ml-1 merubah 95.6 ± 9.7% PCP dengan 78.3 ± 5.2% dengan biodegradasi (Law et al. 2003). Selain hal tersebut kompos jamur P. pulmonarius mempunyai enzim immobil laccase (0.88 m moles min-1g-1) dan manganese peroxidase (0.58 m moles min-1g-1). Produktifitas enzimnya lebih tinggi dari yang dilaporkan (Ball & Jackson 1995; Trejo Hermandez et al. 2001)
Agent-bioremediasi PCP yang potensial termasuk bakteri Flavobacterium dan Pseudomonas yang melakukan oksidasi, deklorinasi, pemecahan cincin dengan produk turunan terlibat dalam siklus TCA (Apajalahti & Salkinoja-solonen 1987; Van Agteren et al. 1998). PCP juga dipecah oleh fungi non-spesifik enzim ligninolitik yang melanjutkan radikal bebas, seperti Pleurotus pulmonarius dan Tremetes versicolor (Tinaka et al. 1999; Crestini et al. 2000; Gullen et al. 2000; Ullah et al. 2000).
Flavobacterium termasuk bakteri gram-negatif anaerobik
fakultatif, berbentuk batang, mempunyai suhu optimal untuk pertumbuhan 20 o– 25oC diketahui dapat mendegradasi diazinon (Guirard & Snell 1981). Selama produksi kompos jamur, populasi Actinomicytes thermopilik meningkat,
meliputi
spesies
Thermomonospora,
Thermoactinomyces,
Saccharomonospora dan Streptomyces, dan umumnya seluruh bakteri diisolasi dari kompos jamur pada suhu 50oC dan memperlihatkan pertumbuhan pembentukan non-hifa seperti Baccilus spp. (Amner et al. 1988). Nakasaki et al. (1985) mengatakan bahwa suhu optimum untuk aktifitas mikroorganisme adalah di bawah 60oC.
Hal ini didasarkan pada penelitian terhadap aktifitas mikroorganisme
tergantung pada bahan organik (McKinley 1984), dan diversitas spesies (Strom 1985). Populasi mikroorganisme heterotropik pada proses pengomposan daundaun halaman sebesar 2 x 1011 g-1, lebih besar dibanding mikroorganisme pada tanah yang tidak tersedia bahan organik (5%) sebesar 106 – 108 (Paul & Clark 1989). Penyebaran bakteri Pseudomonas pada daerah suhu sampai 50o-57oC, sedangkan Bacillus mempunyai daerah penyebaran yang luas, 100% pada suhu 60o-65oC dan masih mampu hidup pada suhu 65o-69oC. Bakteri pendegradasi pestisida yang umum telah diketahui meliputi Achromobacter, Arthrobacter, Pseudomonas, dan Flavobacterium spp. (Nakasaki 1985). Menurut Rao (1994) mikroorganisme genus Torulopsis, Chlorella, Pseudomonas, Thiobacillus dan Trichoderma dapat menguraikan pestisida golongan organofosfat seperti diazinon. Pseudomonas sp., Bacillus sp., Nocardia sp., Staphylococcus vibrio sp., Mycobacterium sp., mampu mendegradasi minyak bumi pada media air laut dan air tawar (Utomo 1997). Pseudomonas juga mampu mendegradasi senyawa hidrokarbon (Wijayaratih 2001); P aeruginosa, Arthrobacter simplex mampu mendegradasi minyak ( Harjito 2003); dan Flavobacterium, Pseudomonas dan Azoarcus bakteri dominan yang terdapat pada tanah di ladang minyak di Guadalupe (Kitt & Kaplan 2004).
Serratia liquefaciens, S. marcescens, Pseudomonas sp. dan konsorsiumnya dari tanah yang tercemar diazinon mampu mendegradasi 80-92% diazinon dalam waktu 14 hari, pada konsentrasi 50 mg l-1 (Cycon et al. 2009).
Hasil isolasi murni
dari kompos jamur tiram, mengandung mikroorganisme Bacillus sp, Pseudomonas sp. dan Chromobacterium, yang diharapkan mampu memecah diazinon.
2.5.2. Aplikasi Kompos Jamur Tiram untuk Degradasi Kompos jamur dimanfaatkan juga untuk memperbaiki tanah kritis, sebagai mulsa yang berperan untuk mempertahankan kelembaban tanah dan menekan pertumbuhan gulma, dan sebagai media tumbuh. Selain digunakan untuk memperbaiki struktur tanah, kompos jamur bisa digunakan sebagai pengganti humus
pada
sistem
“biobed”
yang
menggunakan
bahan
organik
untuk
mengabsorbsi dan mendegradasi pestisida. Pada lapisan tanah bagian atas dari “biobed” kaya akan humus dan kandungan liat rendah untuk mendukung aktifitas metabolisme
mikroorganisme dan
untuk
mengabsorbsi
maksimum jumlah
senobiotik (Casucci et al. 2004). Bahan komplek seperti kompos jamur juga digunakan untuk mendegradasi berbagai polutan organik (Ching 1997; Kuo & Regan 1998; Webb et al. 2001). Polutan pentakloropenol (PCP) berhasil dihilangkan dari air yang tercemar dengan menggunakan kompos jamur. Pentakloropenol bisa dimineralisasi jika diinkubasikan dengan kompos setelah masa pengkayaan yang sesuai. Kompos jamur sebanyak 5% dapat merubah 89.0 ± 0.4% dari 100 mgl -1 PCP dalam waktu 2 hari pada suhu ruang, dengan proses biodegradasi dominan 70.1 ± 2.2% (Law et al. 2003). Kompos jamur tiram mampu mendegradasi sebesar 90%, tanah yang tercemar diazinon 1000 ppm, selama 21 hari (Jumbriah 2006). Kompos jamur yang diperkaya dengan senyawa bensena, toluene, etilbensena, o-xilena dan p-xilena (BTEX) mampu memineralisasi (U-14C) bensena menjadi
14
CO2 lebih besar daripada kompos jamur yang tidak diperkaya setelah 14
hari, tetapi seluruh isolat mikroorganisme yang diekstraksi dari kompos jamur tidak mampu memineralisasi (U-14C) bensena dalam kultur murni (Semple et al. 1998). Selanjutnya kompos jamur yang dipasteurisasi memperlihatkan jumlah mineralisasi (U-14C) bensena lebih kecil (1.5%) dibandingkan dengan kompos jamur yang tidak dipasteurisasi dan diperkaya dengan campuran BTEX 2.5 mM, jumlah mineralisasi (U-14C) bensena sebesar 5.2%. Selanjutnya dengan memperpanjang masa
mineralisasi (U-14C) bensena, jumlah mineralisasi yang diperoleh bertambah besar pada suhu inkubasi 50oC jika dibandingkan pada suhu 37oC. Agent-bioremediasi PCP yang potensial termasuk bakteri Flavobacterium dan Pseudomonas yang melakukan oksidasi, deklorinasi, pemecahan cincin dengan produk turunan terlibat dalam siklus TCA (Apajalahti & Salkinoja-solonen 1987; Van Agteren et al. 1998). PCP juga dipecah oleh fungi non-spesifik enzim ligninolitik yang melepas radikal bebas, seperti Pleurotus pulmonarius dan Tremetes versicolor (Tinaka et al. 1999; Crestini et al. 2000; Gullen et al. 2000; Ullah et al. 2000). Kompos jamur mengandung berbagai gugus -OH, -NH yang bermanfaat untuk penjerapan. Pada kompos jamur juga terdapat berbagai anion (seperti fluorida, klorida, nitrit, bromida, nitrat, fosfat dan sulfat) ditemukan dalam kompos jamur yang kaya chitin berfungsi serupa (Lau et al. 2003). Asam humik dan asam fulfik juga terdapat pada kompos, bisa berperan sebagai penjerap pada proses degradasi diazinon oleh kompos, asam humik mampu menjerap diazinon sebesar 19% (Michel et al. 1997). Bioremediasi dengan menggunakan kompos, mampu mendegradasi minyak diesel 85% (Ryckeboer et al. 2003); minyak mentah 88.25% (Munawar et al. 2007). Kompos dari sampah kota, mampu mendegradasi tanah yang tercemar petroleum hidrokarbon sebesar 83% selama 12 minggu (Pagoray 2009). Limbah yang cukup tersedia dari industri budidaya jamur adalah kompos jamur, memang tidak sebaik karbon aktif dan Mycobacterium chlorophenolicum dalam mendegradasi PCP, tetapi karbon aktif mahal dan fermentasi biomassa dengan menggunakan M. chlorophenolicum butuh biaya besar (Law et al. 2003). Bakteri dari kompos jamur tiram Pleurotus ostreatus yaitu Pseudomonas stutzeri, B. mycoides, B. cereus, dan Chromobacterium mampu tumbuh dan beradaptasi pada media padat nutrien agar yang mengandung 100 ppm diazinon, bahkan B. cereus mampu mendegradasi diazinon pada media padat MSPY yang mengandung 1700 ppm diazinon (Jumbriah 2006).