ELIMINASI DIAZINON PADA LIMBAH CAIR SINTETIK MENGGUNAKAN BIOFILTER KOMPOS JAMUR TIRAM (SPENT MUSHROOM COMPOST)
DWI WIDANINGSIH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Eliminasi Diazinon pada Limbah Cair Sintetik Menggunakan Biofilter Kompos Jamur Tiram (Spent Mushroom Compost)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir desertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Dwi Widaningsih NIM: P 062020091
ABSTRACT
DWI WIDANINGSIH. Elimination of Diazinon in Synthetic Liquid Waste by Spent Mushroom Compost Biofilter. Under direction of ERLIZA NOOR, LATIFAH K. DARUSMAN and ETTY RIANI. Diazinon is a xenobiotic and recalcitrant compound that must be controlled seriously to protect humans and the environment from negative impacts. One method for removing diazinon from the environment is bioremediation with the use of a biofilter. The biofilter used in this study was spent mushroom compost (SMC). The research objectives were to analyze the effect of compost as a biofilter and the initial concentration of diazinon solution on a decreased of diazinon concentration, to analyze the optimum amount of compost and the initial concentration of diazinon solution that have produce a maximum decrease of diazinon concentration, and to identify the survival of bacteria in the high concentration of diazinon contaminated compost. The optimization method used was the response surface method (RSM). Different concentrations of diazinon solution were used, namely 500 ppm, 1000 ppm and 1500 ppm, added into the biofilter SMC, and then incubated for 9 days for the batch system and 4 days for the semi-continuous system. The compost used in the study ranged from 300-500 g. A decreased diazinon in the Batch systems was analyzed daily and in the semi-continuous system for hour/day. The results of the study indicated that in the optimum condition of the batch system with the amount of SMC compost of 499 g and the diazinon concentration of 685.68 ppm, a maximum decrease of 100% was reached for diazinon concentration at the 192th hour and in the semi-continuous system with the SMC compost of 493 g and the diazinon concentration of 562.72 ppm, the maximum decrease of 100% was obtained for the diazion concentration at the 75th hour. Bacteria that could survive in the SMC compost with a high concentration of diazinon (1707 ppm) were Pseudomonas stutzeri, Bacillus cereus, Bacillus brevis, Bacillus azotoformans and Micrococcus agalis sp. Further, the biofilter system with SMC is a good alternative for pesticide biodegradation. Keywords: elimination, diazinon, biofilter, spent mushroom compost, degrading bacteria
ABSTRAK Diazinon merupakan senyawa xenobiotik dan rekalsitran yang harus dikendalikan dengan sungguh-sungguh untuk melindungi manusia dan lingkungan dari dampak negatifnya. Salah satu metode untuk menghilangkan diazinon dari lingkungan adalah dengan bioremediasi menggunakan biofilter. Biofilter adalah teknologi inovatif untuk menangani air atau udara yang tercemar kontaminan melalui media filter untuk tempat hidup mikrooganisme pada reaktor, dan diharapkan kontaminan diuraikan menjadi senyawa yang lebih sederhana dan tidak berbahaya yaitu H2O dan CO2 Biofilter yang digunakan dalam penelitian ini adalah spent mushroom compost (SMC). Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis pengaruh faktor jumlah kompos sebagai biofilter dan konsentrasi larutan diazinon awal terhadap penurunan konsentrasi diazinon, menganalisis kondisi optimum jumlah kompos dan konsentrasi larutan diazinon awal yang menghasilkan penurunan konsentrasi maksimum dan mengidentifikasi bakteri yang mampu bertahan pada kompos yang tercemar diazinon konsentrasi tinggi. Metode optimasi yang digunakan adalah metode permukaan respon (response surface method/RSM). Konsentrasi larutan diazinon yang digunakan 500 ppm, 1000 ppm and 1500 ppm, ditambahkan ke dalam biofilter SMC, kemudian diinkubasi selama 9 hari untuk sistem Batch dan 4 hari untuk sistem Semi-kontinyu. Kompos yang digunakan berkisar 300-600 g. Penurunan diazinon untuk sistem Batch dianalisis setiap hari dan untuk sistem semi kontinyu setiap jam setiap hari. Hasil penelitian, keadaan optimum sistem batch, pada jumlah kompos SMC 499 g dan konsentrasi diazinon 685.68 ppm, dicapai penurunan konsentrasi diazinon maksimum 100% pada hari ke-8 dan pada sistem semi-kontinyu, keadaan optimum pada jumlah kompos SMC 492 g dan konsentrasi diazinon 662.72 ppm dicapai penurunan konsentrasi diazinon maksimum 100% pada jam ke-75. Bakteri yang mampu bertahan pada kompos SMC dengan diazinon konsentrasi tinggi (1707 ppm) adalah Pseudomonas stutzeri, Bacillus cereus, Bacillus brevis, Bacillus azotoformans dan Micrococcus agalis sp. Proses biofilter sistem semi-kontinyu lebih efisien waktunya 60% dibandingkan biofilter sistem batch. Selanjutnya sistem biofilter dengan SMC ini merupakan alternatif baik untuk biodegradasi pestisida.
Kata kunci : eliminasi, diazinon, spent mushroom compost, bakteri pendegradasi
RINGKASAN DWI WIDANINGSIH. Eliminasi Diazinon pada Limbah Cair Sintetik Menggunakan Biofilter Kompos Jamur Tiram (Spent Mushroom Compost). Dibimbing oleh ERLIZA NOOR, LATIFAH K. DARUSMAN dan ETTY RIANI. Pestisida merupakan senyawa xenobiotik dan sulit terdegradasi pada kondisi lingkungan atau bersifat rekalsitran. Upaya untuk mereduksi senyawa tersebut sudah banyak dilakukan diantaranya menggunakan metode yang beragam mulai dari metode fisik, kimia dan biologi seperti: pencucian, pengolahan tanah, aerasi, insinerasi, pemadatan dan penyimpanan, oksidasi ultraviolet, dan bioremediasi. Salah satu metode yang dapat dilakukan yaitu dengan teknik bioremediasi menggunakan spent mushroom compost (SMC). Penelitian dilaksanakan dengan membandingkan kinerja sistem batch dan sistem semi kontinyu. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor jumlah kompos sebagai biofilter dan konsentrasi larutan diazinon awal terhadap penurunan konsentrasi diazinon, menganalisis kondisi optimum jumlah kompos dan konsentrasi larutan diazinon awal yang menghasilkan penurunan konsentrasi maksimum dan mengidentifikasi bakteri yang mampu bertahan pada kompos yang tercemar diazinon konsentrasi tinggi. Biofilter sistem batch skala laboratorium, volume 2 liter larutan diazinon dengan konsentrasi 500 ppm, 1000 ppm dan 1500 ppm (sesuai perlakuan), dimasukkan ke dalam tabung biofilter silika diameter 7 cm yang sebelumnya telah diberi filter kompos media jamur tiram dengan berat 300 g, 450 g dan 600 g (sesuai perlakuan) dan diinkubasi selama 9 hari (sistem batch) dan 4 hari (sistem semi kontinyu). Penurunan konsentrasi diazinon diukur setiap hari dengan cara menganalisis sampel dengan menggunakan spektrofotometer. Penurunan konsentrasi diazinon pada sistem biofilter semi kontinyu dilakukan setiap hari setiap jam (selama 5 jam/hari). Optimasi menggunakan metode respon permukaan (RSM). Parameter yang dianalisis di awal penelitian yaitu unsur-unsur kompos jamur tiram (SMC), populasi dan jenis mikroorgnisme. Selama penelitian parameter yang diamati setiap hari meliputi konsentrasi diazinon, dan aktifitas mikroorganisme (metode flourescein diacetate assay /FDA) untuk sistem batch. Parameter yang diamati di akhir penelitian mencakup kadar diazinon, TPC, C/N, KTK, unsur hara, kadar air, kadar abu, pH, dan aktivitas mikroorganisme. Hasil analisis SMC sebelum dan sesudah penelitian berlangsung, terjadi perubahan unsur-unsur hara yang ada pada SMC, hasil ini disebabkan pemanfaatan unsur hara SMC baik unsur hara makro maupun pada unsur hara mikro oleh mikroorganisme. Ratio C/N dari 39% meningkat menjadi 49%. Hal ini menunjukkan adanya konsumsi oleh mikroorganisme. Kandungan karbon organik dari 44% menjadi 42% juga kandungan nitrogen organik 1.12% menjadi 0.86%. Populasi mikroorganisme pada biofilter sistem semi kontinyu dibandingkan populasi mikroorganisme pada biofilter sistem batch lebih tinggi. Keberadaan senyawa metabolit dianalisis dengan menggunakan KLT (khromatografi lapis tipis), senyawa metabolit dari degradasi diazinon tidak terdeteksi. Hal ini disebabkan penelitian dilakukan tanpa cahaya atau senyawa di bawah limit KLT.
Hasil identifikasi bakteri dari SMC sebelum penelitian dan hasil identifikasi bakteri dari SMC yang telah tercemar diazinon dan telah mengalami dekomposisi selama 10 hari, terdapat perbedaan yaitu Bacillus mycoides dan Chromobacterium sp tidak dijumpai di akhir penelitian. Hal ini bisa diartikan kedua bakteri tersebut tidak dapat bertahan hidup di media tercemar diazinon hingga akhir penelitian. Pada akhir penelitian terdapat 2 spesies bakteri yang pada SMC sebelum digunakan penelitian tidak ditemukan yakni Bacillus azotoformans dan Micrococcus agalis. Hal ini mengingat umumnya pertumbuhan mikroorganisme tidak seragam dan kemungkinan kedua spora bakteri tersebut diawal penelitian masih dalam keadaan dormansi, kemudian selama penelitian berlangsung dengan kondisi yang optimum bagi pertumbuhannya, maka merangsang kedua bakteri tersebut tumbuh dan berkembang. Persentase penurunan konsentrasi diazinon larutan dipengaruhi oleh jumlah kompos dan besarnya konsentrasi awal larutan diazinon pada proses biofilter sistem batch dan sistem semi kontinyu. Semakin besar jumlah kompos, sampai berat optimum maka persentase penurunan konsentrasi maksimum semakin meningkat. Dan semakin kecil konsentrasi diazinon awal maka semakin cepat dicapai penurunan konsentrasi diazinon 100%. Hal ini berkaitan dengan jumlah kompos yang besar, terdapat aktifitas dan diversitas mikroorganisme yang tinggi, sehingga kemampuan untuk mendegradasi diazinon juga tinggi. Kondisi optimal untuk sistem batch dan sistem semi kontinyu dicapai 100% pada perlakuan kombinasi filter kompos 499 g dan konsentrasi diazinon 685 ppm, dengan dengan waktu 8 hari (192 jam) serta perlakuan kombinasi filter kompos 493 g dan konsentrasi diazinon 662 ppm dengan waktu 75 jam. Proses degradasi yang efektif dapat dilakukan selama 75 jam dengan menggunakan biofilter kompos seberat 493 g pada konsentrasi 662 ppm dengan menggunakan biofilter sistem semi kontinyu. Kompos jamur tiram (SMC) mampu menghilangkan diazinon 100% pada konsentrasi larutan umpan yang tinggi. Hasil penelitian ini, bakteri dari SMC mampu mendegradasi diazinon konsentrasi tinggi dan lebih cepat dibandingkan penelitian sejenis yang sudah ada. Proses degradasi diazinon dengan menggunakan biofilter sistem semi kontinyu lebih efektif dan waktu yang dibutuhkan lebih cepat 60% dari waktu proses biofilter sistem batch. Bacillus (B. cereus, B. brevis, B. azotoformans) dan Micrococcus agalis spp. terbukti mampu bertahan pada diazinon konsentrasi tinggi. Aplikasi SMC untuk limbah cair pertanian di lapang, perlu dikaji lebih lanjut untuk melihat interaksi diazinon dengan bahan lainnya terhadap kinerja mikroorganisme yang ada dalam SMC.
Kata kunci: Eliminasi, diazinon, biofilter, kompos jamur tiram (spent mushroom compost), bakteri pendegradasi. . .
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
ELIMINASI DIAZINON PADA LIMBAH CAIR SINTETIK MENGGUNAKAN BIOFILTER KOMPOS JAMUR TIRAM (SPENT MUSHROOM COMPOST)
DWI WIDANINGSIH
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Penglolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Disertasi
: Eliminasi Diazinon pada Limbah Cair Sintetik Menggunakan Biofilter Kompos Jamur Tiram (Spent Mushroom Compost)
Nama
: Dwi Widaningsih
NIM
: P 062020091
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Erliza Noor Ketua
Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.S Anggota
Dr. Ir. Etty Riani, M.S Anggota
Diketahui Ketua Program Studi PSL
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 13 Juni 2011
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Dwi Andreas Santoso, M.S Dr. Ir. Achmad, M.S Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Zainal Alim Mas’ud, M.S Dr. Ir. Sutanto, M.Si
PRAKATA
Bismillaahir Rahmaanir Rahiim. Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul: “Eliminasi Diazinon pada Limbah Cair Sintetik Menggunakan Biofilter Kompos Jamur Tiram (Spent Mushroom Compost)”, yang dilaksanakan pada bulan Mei 2006–Juni 2007 di Laboratorium Bioproses IV Puslit Biotek-LIPI Cibinong. Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Erliza Noor selaku ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.S dan Dr. Ir. M. Ahkam Subroto, M.App.Sc.APU (almarhum) digantikan Dr. Ir. Etty Riani, M.S selaku anggota Komisi Pembimbing yang banyak memberi bimbingan, arahan, perhatian dan masukkan selama penulis melakukan penelitian dan penyusunan disertasi ini. Terima kasih juga kepada penulis sampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan seluruh staf pengajarnya yang telah memberi ilmu pengetahuan dan bimbingan kepada penulis selama kuliah di Institut Pertanian Bogor. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Rektor Universitas Udayana dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Udayana atas ijin, dorongan moril yang diberikan, Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas Republik Indonesia, atas bantuan beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS), Koordinator Proyek Penelitian dan Pengembangan Lingkungan melalui Sistem Bioremediasi, Puslit Biotek-LIPI Cibinong tahun anggaran 2005, atas pendanaan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis sehingga penelitian ini dapat terlaksana. Ungkapan terima kasih yang tulus ikhlas disampaikan kepada ayah Kapten (purn) H. Kadiran, ibu Tumirah, suami Letkol (purn) Ahmad Khozim SAg, kakak, adik-adik dan anak-anakku yang terkasih Aisyah Ning Asih, Abdillah Irfan Satria dan Fawzia Puji Insani, atas segala do’a dan kasih sayangnya. Terima kasih pula kepada rekan-rekan mahasiswa PSL angkatan 2002/2003, Dr. Joko Sutrisno, Dr. Nurhasanah dan Dr. Muhammad Wijaya, yang memberi dorongan serta motivasi, rekan-rekan di Laboratorium Bioproses IV Puslit Biotek-LIPI Cibinong yang banyak membantu selama penelitian. Kepada semua pihak yang telah membantu secara moril maupun materiil, penulis menyampaikan terima kasih, semoga Allah SWT memberi balasan pahala yang setimpal. Amiiin. Bogor, Januari 2012 Dwi Widaningsih
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Poso pada tanggal 05 Desember 1960 sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara dari pasangan Kapten (purn) H. Kadiran dan Tumirah. Suami bernama Letkol (purn) Ahmad Khozim, S.Ag. Mempunyai 3 orang putra/i; Aisyah Ning Asih; Abdillah Irfan Satria; dan Fawzia Puji Insani. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Udayana Bali dan lulus pada tahun 1985. Pendidikan pascasarjana di Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Indonesia dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2002, penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan pascasarjana di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional (BPPS). Penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakutas Pertanian, Universitas Udayana Bali sejak tahun 1987 hingga saat ini.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………………….
xiii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………….
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………………
xvi
I
II
PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang …………………………………………………………...
5
1.2
Perumusan Masalah …………………..…………………………………
5
1.3
Tujuan Penelitian………………………………………………………..
6
1.4
Kerangka Pemikiran ……………………………………………………
6
1.5
Hipotesis …………………………………………………………………
6
1.6
Manfaat Penelitian ……………………………………………………...
7
1.7
Novelty …………………………………………………………………….
7
1.8
Ruang Lingkup Penelitian ……………………………………………….
7
TINJAUAN PUSTAKA Insektisida Diazinon …...…………………………………………………
9
2.1.1 Struktur Diazinon …………………………………………………
10
2.1.2 Sifat Fisik, Kimia dan Biologi Diazinon ………………………….
10
2.1.3 Alur Biokimia pada Reduksi Diazinon di Alam ………………….
11
2.1.4 Keberadaan Diazinon di Lingkungan ……………………………
14
2.2
Teknik Pengolahan Diazinon dalam Limbah Cair …………………….
15
2.3
Bioremediasi dan Biodegradasi ………………………………………
16
2.3.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi Biodegradasi ………………
18
2.4
Biofilter Kompos ……………………………………………………….
19
2.5
Kompos dari Limbah Media Jamur Tiram ……………………………
20
2.5.1 Kandungan Mikroorganisme Kompos Jamur Tiram .................
22
2.5.2 Aplikasi Kompos Jamur Tiram untuk Degradasi …...…………
24
2.1
III
METODOLOGI 3.1
Tempat dan Waktu Penelitian.…………………………………………
26
3.2
Alat dan Bahan…………………………………………………………...
26
3.2.1 Alat.…………………………………………………………………
26
3.2.2 Bahan.………………………………………………………………
26
Tahapan Kerja …………………………………………………………...
27
3.3.1 Persiapan Bahan Kompos dan Identifikasi Mikroorganisme dari Kompos Jamur Tiram ……………………………………… 3.3.2 Analisis Kompos Jamur Tiram ….………………………………
27 27
3.3.3 Rancangan Reaktor Biofilter ….…………………………………
27
3.3.4 Persiapan Larutan Diazinon ………………………………………
28
3.3.5 Identifikasi Mikroorganisme dan Kompos Jamur Tiram ………
30
3.3.6 Analisis Populasi Mikroorganisme ……………………………….
30
3.3.7 Analisis Residu Diazinon dan Turunannya ....…………………
32
3.3.8 Analisis Aktifitas Mikroorganisme dengan Flourescein Diacetate Assay (FDA) …………………………………………… Rancangan Percobaan …………………………………….…………….
33 34
3.3
3.4 IV
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Analisis Kompos Jamur Tiram ……………………………………….
37
4.2
Bakteri dalam SMC Jamur Tiram (Spent Mushroom Compost)..........
40
4.3
Biodegradasi pada Sistem biofilter.....…………………………………
42
4.4
Penurunan Konsentrasi Diazinon Sistem Batch dan Semi Kontinyu.…………………………………………………………….
47
4.5
Uji Aktifitas Mikroorganisme.……………………………………………
51
4.6
Analisis Degradasi Diazinon dengan KLT.……………………………
52
4.7
Optimasi Persentase Penurunan Konsentrasi Diazinon.....................
53
4.8
Perkiraan Aplikasi Biofilter SMC di Lapangan.…………………………
58
KESIMPULAN DAN SARAN.……………………………………………………
63
DAFTAR PUSTAKA.……………………………………………………………
64
LAMPIRAN.……………………………………………………………………….
74
DAFTAR TABEL Halaman 1 Sifat fisika-kimia kompos jamur media P. pulmonarius.………………...
21
2 Karakteristik kompos limbah media jamur.……………………………….
22
3 Kisaran dan taraf peubah uji pada optimasi biofilter kompos.………….
35
4 Matrik satuan percobaan pada optimasi proses biofilter rancangan kompos komposit fraksional.……………………………………………….
35
5 Hasil analisis unsur hara SMC yang digunakan sistem batch.………...
37
6 Bakteri dari kompos jamur tiram.……………………………………………
38
7 Aktifitas mikroorganisme dan degradasi diazinon pada biofilter sistem batch.………………………………………………………………….
40
8 Beberapa data degradasi diazinon. Pada berbagai kondisi dan kompos…………………………………………………………………...
61
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Diagram alir kerangka pemikiran pada penelitian ini …………………….
8
2
Rumus bangun diazinon …………………………………………………….
10
3
Degradasi diazinon yang terjadi melalui proses biotik dan abiotik (Leland 1998) ……………………………………………………......
13
a) Skema biofilter sistem batch, dan (b) Biofilter sistem semi kontinyu.………………………………………………………………..
28
5
Diagram tahapan penelitian biofilter sistem batch.……………………….
30
6
Diagram tahapan penelitian biofilter sistem semi kontinyu.…………......
31
7
Perubahan pertumbuhan mikroorganisme pada sistem batch, berbagai konsentrasi diazinon dan jumlah kompos.…………………......................
43
Perubahan pertumbuhan mikroorganisme pada sistem batch, konsentrasi diazinon 1701 ppm dan jumlah kompos 450 g.……………..
44
Perubahan pertumbuhan mikroorganisme pada sistem semi kontinyu, berbagai konsentrasi diazinon dan jumlah kompos.………………………
45
10 Perubahan pertumbuhan mikroorganisme pada sistem semi kontinyu, diazinon konsentrasi 1701 ppm dan jumlah kompos 450 g…………….
46
11 Penurunan konsentrasi diazinon sistem batch.……………………………
47
12 Penurunan konsentrasi diazinon sistem semi kontinyu.…………………
48
13 Penurunan konsentrasi diazinon sistem batch hari ke-6..……………….
49
14 Penurunan konsentrasi diazinon sistem semi kontinyu pada jam ke-49.…………………………………………………………………......
50
15 Grafik aktifitas mikrooganisme dan degradasi konsentrasi diazinon sistem batch.…………………………………………………………………..
51
16 Kromatografi hasil KLT dengan eluen heksana: etyl asetat (10:1)…......
52
17 Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-8……………
54
18 Kontur permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-8.………….
55
19 Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon jam ke-75.………….
57
20 Kontur permukaan respon hasil degradasi diazinon jam ke-75.…….......
58
21 Sketsa rancangan biofilter kompos untuk pengolahan air irigasi tercemar senyawa kimia di lapang.…………………………......
60
4
8
9
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Data pengamatan analisis diazinon dengan spektrofotometer pada panjang gelombang (241nm)……………………………………………………
74
Hasil optimasi persentase penurunan konsentrasi diazinon dan jumlah kompos sistem batch inkubasi hari ke-8……………………………………….
75
Hasil optimasi persentase penurunan konsentrasi diazinon dan jumlah kompos sistem semi kontinyu inkubasi jam ke-75……………………………
76
4
Deskripsi hasil indentifikasi bakteri …………………………………………….
77
5
Analisis aktifitas mikroorgnisme dengan spektrofotometer pada panjang gelombang (490 nm)……………………………………………………………..
84
Pertumbuhan populasi mikroorganisme biofilter sistem batch dan sistem semi kontinyu……………………………………………………………………..
88
7
Foto mikroskopik bakteri hasil identifikasi dari SMC…………………………
89
8
Data persentase penurunan konsentrasi diazinon sistem batch perlakuan B5………………………………………………………………………………….
90
Data persentase penurunan konsentrasi diazinon sistem batch…………..
91
10 Data persentase penurunan konsentrasi diazinon sistem semi kontinyu…………………………………………………………………….
92
11 Perhitungan perkiraan scaling up biofilter kompos di lapang………………
93
2
3
6
9
12 Standar kualitas unsur makro kompos berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI-19-7030-2004)……………….………………………………..
95
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Degradasi kualitas lingkungan secara global antara lain disebabkan oleh
teknologi yang tidak ramah lingkungan sehingga dapat mencemari lingkungan. Salah satu pencemar lingkungan yang dikhawatirkan adalah bahan kimia yang berbahaya dan beracun seperti pestisida dan turunannya. Kekhawatiran ini cukup beralasan mengingat penggunaan pestisida dalam kehidupan manusia modern, baik dalam jumlah maupun jenis penggunaannya semakin meningkat. Pestisida pada mulanya digunakan di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan dan tanaman hortikultura sebagai pengendali organisme pengganggu tanaman. Saat ini pestisida bukan hanya dimanfaatkan untuk pertanian saja tetapi telah digunakan secara luas di berbagai bidang seperti bidang kesehatan sebagai pengendali serangga vektor penyakit pada manusia, perawatan rumput dari serangan hama, penyakit dan gulma pada lapangan golf, dsb. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang menghadapi masalah penggunaan pestisida yang tidak terkendali. Diazinon dan pestisida lainnya yang digunakan langsung ke tanah atau ke tanaman, rumput-rumputan, sebagian kecil sampai kepada sasaran dan sebagian besar pestisida tersebut terbuang ke lingkungan (Amer 2011). Selain itu penggunaan pestisida yang berlebihan juga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif seperti resistensi dan resurgensi serangga, terbunuhnya organisme bukan sasaran, adanya residu pestisida pada tanaman dan biji-bijian, terjadinya pencemaran lingkungan (residu senyawa kimia di tanah/sedimen dan
air) dan
menguapnya pestisida
ke udara, sehingga
menimbulkan residu yang berkepanjangan dan pada akhirnya menurunkan kualitas lingkungan. Walaupun residu pestisida dapat mengalami penguraian secara alami oleh mikroorganisme yang berada di lingkungan, namun tetap harus diwaspadai mengingat pestisida jenis tertentu sangat sulit terurai dan tingkat penyebarannya cepat. Sebagai contoh residu pestisida yang berada di permukaan tanah dapat menyebar ke dalam aliran sungai atau mengalami perkolasi ke dalam air tanah dan sampai ke danau (Silampari 2008). Diazinon merupakan salah satu pestisida golongan organofosfat yang banyak
digunakan di bidang pertanian setelah klorfirifos dan perlu mendapat
perhatian khusus, karena bersifat lebih toksik dibanding pestisida hidrokarbon terklorinasi (terutama terhadap mamalia dan unggas). Selain itu senyawa
organofosfat lebih mudah menyerap pada air permukaan dan “groundwater” (air bawah tanah), karena lebih mudah larut dalam air dibanding senyawa klorin (Reynolds 1986; Ku et al. 1998). Di Indonesia, diazinon umumnya digunakan pada komoditas pertanian secara luas, baik pada tanaman pangan maupun sayuran, seperti buncis, kubis, bawang merah dan cabe. Meskipun diazinon merupakan salah satu pestisida yang dilarang penggunaannya sejak 1 Mei 1997, namun kenyataan di lapangan masih saja ada petani yang menggunakan. Tingkat yang diperbolehkan di lingkungan yaitu sebesar 0.1 mg kg-1, keadaan saat ini memang masih di bawah ambang batas yang diperbolehkan di lingkungan (KEP 02/MENKLH/1988). Nilai batas maksimum residu (maximum residue limit./MRL) yang diperbolehkan di Indonesia untuk komoditas pangan sebesar 0.5000 mg kg-1 (Depkes & Deptan 1996). Meskipun nilainya masih di bawah nilai MRL. Alasan mengapa pestisida ini dilarang penggunaannya karena diazinon bersifat toksik terhadap unggas dan mamalia, metabolit yang dihasilkan sangat toksik dibandingkan diazinon serta mudah larut dalam air permukan dan air bawah tanah (USDA 2006). Pelarangan penggunaan pestisida belum menjamin pestisida tersebut tidak digunakan lagi. Bukti lain adalah hasil penelitian pada akhir tahun 1997, oleh Ngabekti (1998) yang mendapatkan hasil bahwa masih ditemukan residu diazinon pada sayur kubis, selada dan tomat yang dipasarkan di Kodya Semarang dengan residu diazinon 0.0069–0.0591 ppm. Tingkat residu diazinon di tanah ditentukan oleh frekuensi penggunaan diazinon. Organisme non target, contohnya burung terancam penggunaan insektisida di bidang pertanian (Heong & Escada 1997) baik secara langsung maupun tidak langsung, dan dapat digunakan sebagai bio indikator pencemaran lingkungan (Van Drooge 1998; Chao & Mei 2002). Hasil penelitian Suriadikarta et al. (2001) pada lahan budidaya tanaman sayuran di Brebes, menunjukkan residu diazinon pada tanah berkisar antara 0.0021-0.0065 ppm. Selanjutnya hasil penelitian Kuncoro et al. (2002) mendapati residu diazinon pada burung wallet di Rongkop, Gunung Kidul, Yogyakarta sebesar 0.159 ppm pada bulu, 0.150 ppm pada saluran pernafasan dan 0.018 ppm pada pencernaan. Diazinon pada tanah Das Citarum sebesar 0.013 ppm (Girsang 2008).
Residu diazinon pada buah
anggur 0.0031-0.0032 mg kg-1, apel merah 0.0008-0.0016 mgkg-1, pear 0.00190.0032 mgkg-1 (Syahbirin et al. 2010) dan pada shorgum sebesar 125.8 ug kg-1. (Daba et al. 2011).
Mengingat besarnya bahaya yang dapat muncul sebagai akibat adanya residu diazinon di lingkungan, maka telah banyak dilakukan berbagai penelitian untuk mengurangi residu pestisida di lingkungan (air dan tanah).
Penelitian
tersebut pada umumnya menggunakan metode yang beragam mulai dari metode fisik, kimia dan biologi seperti: pencucian, pengolahan tanah, aerasi, insinerasi, pemadatan dan penyimpanan, oksidasi ultraviolet, dan bioremediasi. Sejak satu dekade terakhir, juga telah dilakukan berbagai upaya untuk mereduksi residu senyawa kimia dalam tanah dan air semakin gencar dilakukan, antara lain dengan cara bioremediasi. Menurut Yani et al. (2003) bioremediasi merupakan bagian dari bioteknologi lingkungan yang memanfaatkan proses alami biodegradasi dengan menggunakan aktifitas mikroorganisme yang dapat memulihkan lahan tanah, air dan sedimen dari kontaminasi senyawa organik.
Degradasi oleh mikroorganisme berguna dalam
strategi pengembangan bioremediasi untuk detoksifikasi insektisida dengan menggunakan mikroorganisme (Qiu et al. 2006; Ortiz-Hernandez & SanchezSalinas 2010).
Biodegradasi adalah metode yang umum dilakukan untuk
mengubah polutan organik, merupakan suatu metode yang efektif, ekonomis dan resikonya kecil terhadap tumbuhan dan hewan indigenous (Liu et al. 2007) Akhir-akhir ini berkembang teknik bioremediasi kompos.
Pada teknik
bioremediasi kompos ini dilakukan penambahan kompos ke dalam tanah atau air yang tercemar. Kendala yang dihadapi cara ini antara lain adalah waktu remediasi yang lama, adaptasi mikroorganisme kompos dengan polutan cukup lama, komposisi kompos beragam sesuai dengan polutan yang akan dipecahkan, dsb. Penelitian bioremediasi tanah tercemar herbisida dicamba (3.000 ppm) dengan menggunakan 10 persen kompos matang yang dilakukan oleh Cole (1996) telah berhasil menurunkan konsentrasi herbisida dicamba pada tanah tercemar hingga tidak terdeteksi dalam waktu 50 hari (US-EPA 1998). Namun penelitian dengan metode penjerapan dengan menggunakan karbon aktif, terbukti kurang efektif serta memerlukan biaya besar. Menurut Vischetti et al. (2004) jika degradasi pestisida dilakukan dalam reaktor, waktu yang diperlukan relatif lebih cepat dibandingkan di tanah. Hal ini terbukti dari nilai waktu paruh klorpirifos yang kurang dari 14 hari sedangkan waktu paruhnya dalam tanah yaitu 60-70 hari. Adapun alasan penggunaan kompos matang dalam bioremediasi ini, karena pada kompos matang mengandung mikroorganisme 5-10 kali lebih banyak dibandingkan mikroorganisme yang ada pada tanah subur dan diversitas
mikroorganisme dalam kompos yang juga tinggi (Beffa et al. 1996). Menurut Cole (1996) kompos halaman yang terbuat dari daun-daunan mengandung 417 juta bakteri per gram berat kering dan 155 juta fungi per gram berat kering, sedangkan tanah subur mengandung 6-46 juta bakteri per gram berat kering dan 9-46 juta fungi per gram berat kering.
Selain itu, dilihat dari kandungan unsur-unsurnya
kompos juga mempunyai kemampuan menjerap yang baik.
Kombinasi unsur
organik yang tinggi dengan berbagai mineral makro seperti nitrogen, karbon, phospor dan mineral mikro seperti mangan, kalsium, seng, besi dsb. yang ada dalam kompos, mengakibatkan kompos dapat digunakan sebagai penjerap yang baik untuk senyawa organik dan anorganik (US-EPA 1998). Pada prinsipnya terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan pada bioremediasi kompos, salah satu teknik diantaranya adalah biofilter. Teknik ini pada umumnya digunakan untuk penanganan udara tercemar atau menghilangkan bau, namun biofilter kompos juga dapat digunakan untuk penanganan air yang tercemar.
Sebagai contoh dalam menangani air komersil, teknik ini dapat
mengubah minyak, lemak dan logam beracun yang ada dalam aliran air runoff secara efektif (Conrad 1995). Berbagai kompos telah digunakan sebagai media filter. Menurut Schwab (2000) biofilter menggunakan kompos dari daun-daunan dapat menjerap lebih dari 90 persen total padatan, 85 persen minyak dan lemak, dan 82–98 persen logam berat. Kompos yang potensial lainnya adalah kompos sisa substrat jamur tiram. Kompos tersebut telah digunakan pada pengolahan drainase limbah tambang asam. Pada aliran lambat, media filter kompos jamur dapat menaikkan pH limbah asam tambang dari pH 4 menjadi 6.5. Selain hal tersebut juga terjadi penurunan konsentrasi unsur mangan (Mn) dan besi (Fe) yang terlarut di dalamnya (Stark et al. 1994). Diharapkan teknik ini juga dapat diterapkan pada aliran air irigasi yang mengandung senyawa organik dan senyawa anorganik seperti Mn, Fe, padatan, lemak, minyak dan unsur logam berat. Teknik biofilter kompos, selain dapat menguraikan senyawa-senyawa polutan dan mengingat kandungan kalsium dalam kompos cukup tinggi, serta dapat menaikkan pH rendah air irigasi, yang saat ini dikenal dengan keasamannya yang rendah. Penelitian bioremediasi dengan menggunakan teknik biofilter kompos telah banyak dilakukan, namun hasil bioremediasi belum maksimal karena kompos yang digunakan hanyalah kompos halaman dan kompos sisa-sisa jeruk. Kedua jenis kompos ini mendegradasi insektisida metalaxyl dan imazamox selama 2-6 minggu
(Vischetti et al. 2004). Oleh karena itu perlu dicari media lain pengganti kompos halaman, dan salah satu media yang mengandung konsorsium mikroorganisme tinggi dan myselium jamur yang bisa mengeluarkan enzim ekstraselular adalah kompos jamur tiram. Kompos jamur tiram digunakan dalam penelitian ini sebagai biofilter, sebagai filter akan digunakan yang tidak lain dari sisa media jamur tiram putih. Keunggulan media ini adalah selain murah, juga tersedia cukup banyak dan kaya akan berbagai mikroorganisme, sehingga diharapkan mampu mendegradasi diazinon secara efektif. Diazinon meskipun sudah dilarang penggunaannya, tetapi masih dijumpai di beberapa tempat di Indonesia, contohnya di Lubuk Linggau, ditemukan 4 botol diazinon 600 g l -1 (Silampari 2008). Fakta ini menunjukkan bahwa diazinon masih digunakan di pertanian. Ada fakta lain yang mengagetkan lagi pada bulan juni 2011 saya ditawari diazinon oleh pemilik toko saprodi di daerah Taman Topi Bogor. Alasan masih digunakan diazinon oleh petani, kemungkinan masih mudah didapat, efektifitasnya tinggi, mudah aplikasinya dan ekonomis. 1.2.
Perumusan Masalah Kualitas lingkungan dapat dipertahankan dengan berbagai cara dan salah
satu cara tersebut antara lain dengan cara mencegah atau mengurangi senyawa kimia pencemar yang masuk ke lingkungan.
Salah satu teknik pengurangan
senyawa kimia pencemar yaitu biofilter kompos.
Degradasi senyawa kimia
pencemar dengan menggunakan biofilter kompos akan efektif jika mikroorganisme yang ada dalam kompos berada dalam kondisi optimal.
Selain itu adanya
mikroorganisme indigenous yang berpotensi untuk mendegradasi secara alamiah untuk senyawa-senyawa kimia tertentu, merupakan faktor pendukung untuk biodegradasi.
Sifat kompos yang kompleks menyebabkan kompos dapat
digunakan untuk menjerap dan menguraikan senyawa–senyawa kimia yang larut dalam air. Namun penelitian tentang hal tersebut masih belum ada, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian eliminasi diazinon dalam air menggunakan biofilter kompos jamur tiram (spent mushroom compost) dan perlu dicari kinerja biofilter kompos terbaik, yang diharapkan mampu menguraikan residu diazinon dengan baik. Berdasarkan uraian diatas muncul pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana kinerja biofilter kompos pada berbagai kondisi berat kompos dan konsentrasi larutan diazinon? 2. Bagaimana kombinasi konsentrasi larutan diazinon dengan berat kompos terbaik dalam mendegradasi diazinon?
3. Bagaimana pengaruh dari mikroorganisme indigenous (yang ada pada kompos jamur tiram) pada biofilter sistem batch dan sistem semi kontinyu.
1.3.
Tujuan Penelitian 1. Menganalisis kinerja biofilter kompos untuk bioremediasi residu diazinon cair dengan variasi berat kompos dan konsentrasi larutan diazinon. 2. Membandingkan
efektifitas
kinerja
mikroorganisme
untuk
mendegradasi diazinon pada sistem batch dan semi kontinyu.
1.4.
Kerangka Pemikiran Metode biofilter umumnya diterapkan untuk pengolahan limbah cair yang
berasal dari industri.
Penelitian metode biofilter ini diarahkan untuk dapat
digunakan di saluran air irigasi, dengan memakai pendekatan larutan limbah air buatan, mengandung residu diazinon.
Alasan memilih insektisida diazinon,
padahal insektisida ini sudah dilarang penggunaannya, karena pada saat penelitian ini dilakukan masih dijumpai penggunaannya secara illegal, dan di lapangan masih ditemukan residu diazinon pada produk tanaman, pada air dan tanah. Oleh karena itu, dipilih diazinon mewakili senyawa organofosfat pada penelitian ini. Kendala untuk optimasi proses umumnya adalah penentuan kerapatan media filter atau berat media filter yang digunakan dan pemilihan mikroorganisme yang sesuai. Pada penelitian ini digunakan biofilter spent mushroom compost (SMC) berasal dari kompos sisa media jamur tiram (Pleurotus ostreatus), dengan tujuan memanfaatkan konsorsium mikroorganisme yang ada dalam kompos untuk mendegradasi residu diazinon dalam air menggunakan kompos jamur tiram. Dalam rangka memaksimalkan kemampuan mikroorganisme yang ada, upaya berikutnya adalah melakukan fermentasi dengan sistem semi kontinyu (larutan diazinon dialirkan dengan pompa sirkulasi). Diagram alir kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1. 1.5.
Hipotesis
Hipotesis yang akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah : 1. Kondisi berat kompos berpengaruh pada kinerja biofilter dalam mendegradasi diazinon.
2. Berat kompos jamur tiram dan konsentrasi larutan diazinon berpengaruh terhadap tingkat degradasi diazinon. 3. Kompos jamur tiram kaya akan mikroorganisme yang berpotensi untuk menguraikan diazinon.
1.6.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah memberi kontribusi
bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam hal pengungkapan “biodegradasi diazinon dan teknologi biofilter kompos”
1.7.
Novelty Hal baru dalam penelitian ini adalah material kompos jamur tiram putih
(spent mushroom compost/SMC) untuk biofilter diazinon dalam air dengan sistem batch dan sistem semi kontinyu serta menunjukkan bahwa kinerja biofilter sistem semi kontinyu membutuhkan waktu lebih singkat dan konsentrasi yang didegradasi lebih besar jumlahnya dari sistem batch.
1.8.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi kinerja biofilter kompos jamur tiram
dalam mendegradasi senyawa diazinon pada limbah cair dengan menggunakan mikroorganisme yang berasal dari kompos jamur tiram.
Air irigasi/ industri
Air tercemar pestisida Dengan pendekatan Air dicemari larutan diazinon berbagai konsentrasi
Pengolahan sec. Fisik
Pengolahan sec. Biologi
Pengolahan sec. Kimia
Biofilter
Kompos Jamur tiram = 300 g
Sistem Batch
Kompos jamur tiram = 450 g
Kompos jamur tiram = 600 g
Sistem Semi Kontinyu/Pompa
Rekomendasi proses biofilter terbaik untuk mendegradasi residu diazinon
Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran pada penelitian ini.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Insektisida Diazinon
Pestisida secara umum mencakup bahan kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan organisme yang merugikan manusia, tumbuhan, ternak dan sebagainya yang diusahakan manusia. Insektisida diazinon merupakan salah satu pestisida untuk racun serangga, termasuk golongan organofosfat dari grup fosforotioat/fosforotionat mengandung unsur karbon dan fosfor serta dapat mengganggu sistem syaraf manusia. Insektisida golongan ini bekerja sangat efektif menghambat aktifitas enzim asetilkolinesterase (AchE) sebagian besar serangga, dan mengakibatkan akumulasi asetilkolin (Ach) dan tidak dapat berfungsi lagi sebagai neurotransmitter, kemudian akan mengakibatkan kontraksi otot yang diikuti dengan kelemahan, hilangnya refleksi (kelumpuhan) dan paralisis jaringan. Asetilkolin berlebihan menyebabkan tremor, kejang-kejang dan kematian. Enzim asetilkolinesterase
dibutuhkan untuk fungsi sistem syaraf (Lu 1995; Zhang &
Pehkonen 1999). Diazinon merupakan insektisida yang sangat efektif digunakan untuk memberantas dan membasmi, ataupun mengendalikan hama-hama tanaman seperti kutu daun, lalat, wereng, kumbang penggerek padi, dan sebagainya. Diazinon umumnya digunakan pada tanaman buah, padi, tebu, jagung, tembakau dan tanaman hortikultura. Insektisida dengan bahan aktif diazinon mempunyai nama dagang yang beragam diantaranya : basazinon 45 EC, basminon 60 EC, basudin 60 EC, basudin 10 G, brantasan 450 EC, diazinon 60 EC, sidazinon 600 EC, dazzel, nucidol, agrostar 600 EC, gardentox, kayazol, knox out, spectracide dan prozinon 600 EC (Frederick 2003). Insektisida ini sudah dilarang penggunaannya untuk tanaman padi berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 3 Tahun 1986 (Anonim 1987), namun sampai tanggal 1 Mei tahun 1997, saat masa beredarnya habis, sesuai
dengan
Keputusan
Menteri
Pertanian
No.
473/KPTS/TP.270/6/96,
insektisida tersebut masih beredar dan masih digunakan oleh petani.
Hal ini
terbukti hasil penelitian pada akhir 1997 (Ngabekti 1998) yang ternyata masih ditemukan residu diazinon pada sayuran kubis, selada dan tomat yang dipasarkan di Kota Semarang dengan residu 0.0069-0.0591 ppm. Insektisida golongan ini cukup stabil di lingkungan, sehingga mengakibatkan masalah kesehatan manusia dan lingkungan.
2.1.1. Struktur Diazinon
Diazinon memiliki nama kimia (0.0-dietil 0-2-isopropyl-6-metilpyrimidin-4methyl pyrimidinyl fosfosrotionat) dengan rumus empiris C12H21N2O3P5 adalah insektisida dan nematisida non sistemik berspektrum luas (broad spectrum) dan bertindak sebagai inhibitor asetilkolinesterase berakibat pada kolin (Sumner et al. 1988; EXTONET 1996). Rumus bangunnya disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Rumus bangun diazinon (Zhang & Pehkonen 1999)
2.1.2. Sifat Fisik, Kimia dan Biologi Diazinon Sifat fisik diazinon yang berkaitan dengan lingkungan adalah mempunyai titik didih 83-84oC, tekanan uap 1.4 10-4 mmHg pada 20oC, koefisien partisi oktanolair adalah 4, kelarutan dalam air 40 µg ml-1 pada 25oC, sedikit larut dalam air (kirakira 0.04%) dan dapat dicampur dengan pelarut organik (Merck Index 1998). Stabil dalam lingkungan alkali lemah tetapi sedikit terhidrolisis dalam air dan asam encer. Diazinon sangat sensitif terhadap oksidasi dan suhu tinggi, serta cepat terurai pada suhu di atas 100oC (Hayes & Laws 1991). Matsumura (1976) menyatakan bahwa sebagian besar diazinon mengalami degradasi membentuk asam dietiltiofosfonat. Persisten diazinon dalam air tawar dan air laut masing-masing adalah 11% dan 30% setelah aplikasi 17 hari, sedangkan residu dalam lumpur permukaan (2 mm) masih terdapat 0.05-2% setelah 21 hari aplikasi. Diazinon sangat mobil pada tanah dengan kandungan bahan organik rendah sampai sedang, dan immobil pada kandungan bahan organik tinggi (Arienzo et al. 1994). Koefisien partisi oktanol-air mengindikasikan diazinon bisa diakumulasi secara biologis dalam organisme, dan ini telah dijumpai pada ikan pada konsentrasi maksimum 300-360 kali konsentrasi di air. Volatilitas diazinon adalah 2.4 mg m-3 pada 20oC dan 18.6 mg m-3 pada 40oC. Diazinon mempunyai waktu paruh (half-life) 30 hari dan koefisien serap oleh tanah Koc=1.000 E (Wauchope et al. 1992), sedangkan konsentrasi diazinon sebesar 0.2-5.2 mg l-1 dapat membunuh ikan (Smith et al. 2007)
Diazinon mempunyai spektrum daya bunuh yang luas terhadap serangga dan berbagai cacing tanah. Toksisitas diazinon terhadap mamalia adalah sedang (II), dengan lethal doses (LD50) oral akut masing-masing 96-967 mg kg-1 pada tikus jantan dan 66-635 mg kg-1 pada tikus betina dan LD50 dermal akut masing-masing tikus adalah >2000 mg kg-1 (katagori III), LD50 inhalasi akut pada tikus 3.5 mg l-1 termasuk kategori III (Pesticide Fact Handbook 1986). LD50 untuk beberapa spesies burung 3-40 mg kg-1 dan spesies ikan 0.4-8 µg ml-1 (Sumner et al. 1985 laporan CIBA-GEIGY tidak dipublikasi).
2.1.3. Alur Biokimia pada Reduksi Diazinon di Alam Residu pestisida secara alamiah dapat hilang atau terurai dengan baik dalam lingkungan abiotik maupun lingkungan biotik.
Faktor-faktor yang
berpengaruh dalam penguraian pestisida adalah penguapan, pencucian, pelapukan dan dengan degradasi baik secara kimia, biologi maupun fotokimia.
Hidrolisis
diazinon menjadi IMPH (2-isopropyl-4-methyl-6-hydroxy pyrimidine) terutama diatur oleh proses abiotik, degradasi dari diazinon meningkat oleh mikroorganisme tanah, sehingga mikroorganisme menjadi faktor yang lebih dominan dari faktor abiotik (Leland 1998). Formulasi diazinon terdegradasi
menjadi
sejumlah tetraetilpirofosfat,
menghasilkan sulfotepp (S,S-TEPP) dan monothiotepp (O,S-TEPP), kedua senyawa tersebut mempunyai sifat toksik yang lebih tinggi dibandingkan diazinon dan merupakan inhibitor enzim kolinesterase terutama O,S-TEPP yaitu 14000 kali lebih toksik dari diazinon (Allender & Britt 1994). Oksidasi diazinon menjadi bentuk diazoxon yang lebih toksik, terjadi pada jaringan hewan dan tumbuhan (Mc Ewen & Stevenson 1989). Pada vertebrata, oksidasi terjadi di mikrosom hati, dalam kondisi ada oksigen dan NADPH2. Pada insekta, oksidasi terjadi dalam lemak tubuh dan metabolitnya dikeluarkan. Kecepatan oksidasi diazinon menjadi diazoxon, dua kali lipat untuk setiap kenaikan suhu 10 oC dari 10o–60oC, diazoxon tidak bisa diisolasi dari tanah (Leland 1998). Selanjutnya dikatakan bahwa degradasi diazinon lebih cepat pada air dengan suhu lebih hangat, maka degradasi menjadi 2-4 kali lebih
cepat pada air dengan suhu 21oC dibandingkan pada air dengan suhu (Moore et al. 2007). Proses pembentukan metabolit diazinon (reaksi transformasi enzimatik) terjadi melalui reaksi primer yaitu hidrolisis yang diikuti oleh reaksi pemecahan rantai cincin diazinon, sehingga diazinon terdegradasi pada reaksi primer menjadi 2-isopropyl-4-methyl-6-pyrimidinol (IMP) dan tiofosfonat. Menurut Ku et al. (1997) bahwa diazinon mengalami dekomposisi secara fotolisis pada pH 3 menghasilkan bentuk organik antara yang bisa diekspresikan sebagai jumlah dari 2-isopropyl-4methyl-6-pyrimidinol (IMP) dan tiofosfonat sebagai C diikuti dengan pembentukan ion SO4-2. Produk hidrolisis dan fotolisis tersebut diidentifikasi sebagai senyawa yang sifat toksiknya lebih rendah dibandingkan senyawa diazinon (Bollag 1974). Degradasi diazinon di air disebabkan oleh hydrolisis, terutama pada kondisi asam. Pada kondisi air streril half life diazinon selama 12 hari pada pH 5 dan pada air netral half life selama 138 hari pada pH 7 (US-EPA 2006). Diazinon mengalami degradasi dengan cahaya membutuhkan waktu 17.3-37.4 jam (Howard 1991) dan di tanah akan terurai menghasilkan CO2 (Roberts & Hutson 1999).
Degradasi
diazoxon yang diaplikasi pada tanah silt loam pada pH 8.1 dan suhu 25oC ditemukan mengikuti kurva linier dan half-life dalam tanah ditemukan 18 jam (Getzin 1968). Half-life diazinon studi laboratorium di tanah dengan pH 7.8 selama 39 hari (US-EPA 2007). Diazinon
dan
diazoxon
dihidrolisis
menjadi
2-isopropyl-4-metil-6-
hydroxypyrimidine (IMHP) yang memiliki toksisitas sangat rendah dan ada dalam dua bentuk isomer yaitu keton dan enol.
Pada pH 8.4 kecepatan hidrolisis
diazoxon, adalah 10 kali diazinon. Diazinon dan diazoxon masing-masing dikatalis dalam kondisi asam dan basa. Pada kondisi pH air alami 5.5-8.5 dan suhu kurang dari 25oC, residu diazinon akan bertahan lama Gomma et al. (1969). Hidrolisis di dalam tanah, nampaknya diadsorpsi dari pada dikatalisis asam (Konrad et al. 1967). Degradasi diazinon yang terjadi melalui proses biotik dan abiotik ditunjukan pada Gambar 3.
Gambar 3. Degradasi diazinon yang terjadi melalui proses biotik dan abiotik (Leland 1998)
2.1.4. Keberadaan Diazinon di Lingkungan Interaksi senyawa pestisida dan lingkungan tanah diatur oleh tiga faktor penting yaitu: 1) Proses sorpsi atau desorpsi; 2) Difusi – pencucian; 3) Degradasi. Perpindahan dan penghilangan senyawa pestisida dalam tanah terjadi karena: pencucian
(leaching),
aliran
buangan,
penguapan,
degradasi
kimia,
fotodekomposisi dan biodegradasi (Connel 1995). Aplikasi insektisida di lingkungan tidak hanya mempengaruhi jumlah dan aktifitas metabolik mikroorganisme, tetapi juga bisa merubah struktur komunitas mikroorganisme dalam tanah, beberapa mikroorganisme bisa tertekan dan lainnya berkembangbiak (Johansen et al. 2001). Akumulasi pestisida disebabkan adanya adsorbsi oleh alam melalui tanah, air dan makhluk hidup lainnya (Tarumingkeng 1992). Diazinon bisa diserap oleh akar tanaman dan di translokasikan pada tanaman dan cepat didegradasi di daun, buah dan rumput-rumputan dengan half life berkisar 2-14 hari (Kamrin 1997). Diazinon di tanaman mengalami metabolisis menghasilkan produk hidrolisis pyrimidinol (hydroxyl pyrimidinol) dan diazoxon (Robert & Hutson 1999). Selanjutnya dikatakan bahwa pestisida yang tertinggal di biosfer harus didegradasi agar menjadi berkurang atau hilang secara keseluruhan.
Diazinon
dilepas ke air permukan atau tanah melalui volatilisasi, fotolisis, hidrolisis dan biodegradasi.
Biodegradasi pada kondisi aerob merupakan alur proses utama
diazinon di tanah dan air (ATSDR 2008) dan degradasi diazinon pada kondisi anaerob juga berlangsung baik. Half life diazinon di tanah dipengaruhi oleh pH pada tanah dan tipe tanah, pada pH 4, 7 dan 10, half life diazinon adalah 66, 209 dan 153 hari. Kecepatan degradasi di alam maupun di dalam tumbuhan mengikuti kimia ordo pertama yaitu kecepatan degradasi dipengaruhi oleh banyaknya pestisida dan faktor waktu. Proses degradasi berlangsung dalam dua tahap yaitu proses dissipasi dan persistensi. Residu pestisida dalam tanaman atau hewan menurun atau hilang akibat metabolisme yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman atau hewan tersebut (Leland 1998). Secara alamiah di lingkungan yang tercemar diazinon, mengandung aneka ragam mikroorganisme, sehingga polutan yang ada di lingkungan tersebut dapat didegradasi.
Degradasi
diazinon
di
alam
tidak
hanya
dilakukan
oleh
mikroorganisme yang ada di lingkungan (mikroorganisme indigenous), tetapi dengan adanya cahaya diazinon juga dapat terdegradasi. Mikroorganisme
butuh
waktu yang sangat lama untuk beradaptasi dengan bahan/senyawa pencemar (residu pestisida), yang disebabkan karena mikroorganisme tersebut tidak pernah berhubungan langsung dengan residu pestisida tersebut. Oleh karena itu perlu suatu adaptasi dimana dalam proses adaptasi mikroorganisme tersebut berusaha mengeluarkan enzim atau plasmid yang dapat mendetoksifikasi senyawa yang akan didegradasi. 2.2. Teknik Pengolahan Diazinon dalam Limbah Cair Ada beberapa teknik penanganan yang digunakan untuk mengolah limbah cair yang meliputi metode fisika, kimia dan biologi. Cara-cara yang digunakan yaitu penyaringan/filtrasi,
absorbsi,
sedimentasi/pengendapan,
elektrodialisis,
penambahan zat pereaksi (seperti CaO, logam hidroksida), bioremediasi, fitoremediasi,
bioremediasi
kompos
dan
biofilter
(US-EPA
1998).
Upaya
meningkatkan kemampuan degradasi residu diazinon bisa dilakukan dengan mempertahankan
kondisi
optimal
untuk
kelangsungan
bioremediasi
dan
penambahan mikroorganisme yang mampu mendegradasi diazinon (Leland 1998) Pengolahan residu diazinon secara biologi bisa dilakukan dengan bioremediasi, yaitu penambahan mikroorganisme pada air yang tercemar diazinon, atau dengan memperkaya mikroorganisme indigenous, misalnya Arthobacter sp. dan Streptomyces sp. secara sinergis keduanya mampu mendegradasi diazinon (Leland 1998). Selanjutnya Leland (1998) mengisolasi Flavobacterium sp. dari air irigasi sawah yang menggunakan diazinon, mengatakan spesies ini mempunyai keistimewaan bisa memetabolis diazinon sebagai sumber karbon, selanjutnya diazinon dalam air irigasi yang diinkubasi diubah menjadi metabolit dalam 3 hari dan kemudian mineralisasi menjadi CO2 dalam waktu 2 hari berikutnya. Beberapa spesies bakteri bisa memanfaatkan diazinon sebagai sumber karbon dan energi, seperti Pseudomonas sp. (Ramanathan & Lalithakumari 1999), Agrobacterium sp. (Ghassempour et al. 2002; Yasouri 2006),
Arthrobacter sp.
(Ohshiro et al. 1996) dan Flavobacterium sp. (Ghassempour et al. 2002). Bakteri Serratia sp juga mempunyai kemampuan mendegradasi insektisida organofosfor lainnya secara sempurna (Cycon et al. 2009; Lakshmi et al. 2008; Rani et al. 2008). Di tanah tercemar diazinon terdapat isolate bakteri Bacillus, Pseudomonas mampu menurunkan konsentrasi diazinon 3 ppm dirombak selama 12 hari (Setyobudiarso 2008).
2.3. Bioremediasi dan Biodegradasi Akhir-akhir ini, teknik bioremediasi
banyak digunakan untuk penanganan
pengolahan limbah di industri. Teknik bioremediasi dinilai efektif dan ekonomis untuk membersihkan tanah, permukaan air dan kontaminasi tanah yang mengandung sejumlah bahan beracun seperti rekalsitran, senyawa kimia. Bioremediasi merupakan bagian dari bioteknologi lingkungan yang memanfaatkan proses alami biodegredasi dengan menggunakan aktifitas mikroorganisme yang dapat memulihkan lahan tanah, air dan sendimen dari kontaminan terutama senyawa organik (Yani et al. 2003), teknik teknologi rendah, mudah diterima masyarakat dan bisa digunakan dimana saja (Kamuludeen et al. 2003). Biodegradasi umumnya dilakukan oleh kelompok utama mikroorganisme tanah (fungi, bakteri dan actynomycetes) yang dapat secara mudah menyesuaikan diri atau mendegradasi pestisida melalui
proses oksidasi, pemutusan-ester,
hidrolisis ester, dan amida, oksidasi alkohol dan aldehida, dealkilasi, hidroksilasi, dehidrogenasi, epoksidasi, dehalogenasi, reduksi dan dealkilasi (Matsumura 1973, Strong & Burges 2008).
Biodegradasi merupakan penguraian suatu senyawa
menjadi yang lebih sederhana melalui aktifitas mikroorganisme (Onshiro et al. 1996). Said dan Fauzi (1996) menerangkan bahwa biodegradasi merupakan transformasi struktur dalam senyawa oleh pengaruh biologis sehingga terjadi perubahan integritas molekuler.
Dalam proses degradasi,
kondisi lingkungan
harus sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme. Bioremediasi merupakan proses degradasi bahan organik berbahaya secara biologi menjadi senyawa lain misalnya CO2, metan, air, garam organik, biomassa dan hasil samping yang sedikit lebih sederhana dari senyawa semula (Citroreksoko 1996).
Berbagai bahan pencemar umumnya senyawa senobiotik
(asing di alam) misalnya residu pestisida, deterjen, limbah eksplorasi dari pengolahan minyak bumi dan residu amunisi. Senyawa tersebut bersifat rekalsitran (sulit didegradasi) sehingga memiliki ketahanan yang tinggi di alam. Manfaat lain dari bioremediasi selain mendegradasi polutan, juga dapat menjerap bahan-bahan logam dan mineral serta memisahkan zat-zat yang tidak diinginkan dalam udara, air, tanah dan bahan baku proses produksi dalam industri (US-EPA 1998). Bioremediasi dapat dilakukan secara in situ dan ex situ. In situ yaitu bioremediasi dilakukan langsung di lingkungan yang tercemar (contohnya pengggunaan kompos dan penambahan mikroorganisme yang sesuai langsung pada tanah tercemar), sedangkan ex situ yaitu bioremediasi dilakukan di luar
lingkungan yang tercemar dengan membuat lingkungan baru bioreaktor yang dikondisikan dengan menggunakan inokulan yang dapat mendegradasi cemaran kontaminan organik, misalnya penggunaan biofilter untuk reduksi limbah cair di bidang pertanian (Citroreksoko 1996). Teknologi bioremediasi dapat dimanfaatkan sebagai salah satu teknik dalam penanganan limbah senyawa kimia termasuk pestisida. Beberapa penelitian terdahulu dilaporkan bahwa penggunaan kompos dalam proses bioremediasi telah terbukti efektif untuk mendegradasi banyak jenis kontaminan seperti hidrokarbon terklorinasi dan tidak terklorinasi, bahan-bahan kimia pengawet kayu, pelarut, logam berat, pestisida produk minyak, bahan peledak dan senyawa-senyawa senobiotik lainnya (US-EPA 1999; Gray et al. 1999; Baker & Bryson 2002). Alcaligenes
Bakteri aerob dari kompos seperti Pseudomonas sp,
sphingomonas,
Rhodococcus
dan
Mycobacterium,
mampu
mendegradasi pestisida, hidrokarbon, senyawa alkana dan poliaromatik (fenol, benzoate, benzene dan turunannya), bakteri ini menggunakan kontaminan sebagai sumber karbon dan energi (Haigler et al. 1992; Vidali 2001). Kompos limbah pertanian dan kotoran ternak dapat mengurangi DDT dari tanah tercemar di atas 600 ppm DDT (1.1.1-trichloro-2.2-bis (p-chlorophenyI ethan) menjadi kurang dari 140 ppm setelah pengomposan 4 minggu, tanpa dihasilkan DDD (1.2 dichloro-2.2-bis (p-chlorophenyl ethan) dan DDE (2.2-bis (p-chlorophenyl) 1.1 dichloroethylene) (Bernier et al. 1997). Tanah yang tercemar lebih dari satu senyawa nitro seperti TNT (trinitrotoluene), RDX (hexahydro-1.3.5 trinitro-1.3.5 triazine) dan HMX (octahydro-1.3.5.7 tetranitro-1.3.5.7 tetrazocine) dengan konsentrasi di atas 20.000 ppm, konsentrasinya berkurang 90% dengan menggunakan kompos campuran (Moser et al. 1999). Selanjutnya menurut Gray et al. (2000) bahwa kompos limbah pertanian berhasil mengurangi konsentrasi khlorin dari tanah tercemar senyawa klorin (methoxychlor) 600 ppm berkurang menjadi 140 ppm setelah pengomposan 4 minggu. Kompos digunakan untuk memperbaiki tanah yang terkontaminasi dengan berbagai polutan organic (Fermor et al. 2001). Kompos juga digunakan untuk bioremediasi limbah hidrokarbon, mampu mendegradasi minyak pelumas 75% (Suortti et al. 2000); minyak diesel 85% (Ryckeboer et al. 2003); minyak 88.25% (Munawar et al. 2007). Bakteri yang ditemukan pada tanah yang terkontaminasi minyak hidrokarbon yaitu: Azotobacter sp., Bacillus alvei, B. macerans, B. laterosporus, B. larvae, B. megaterium, Pseudomonas putida, Micrococcus roseus,
dan bakteri yang terdapat dalam kompos dari sampah kota, yang terkontaminasi minyak hidrokarbon yaitu: Azotobacter sp., Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa, Micrococcus agalis, M. roseus, Mycobacterium sp., Nocardia sp., (Pagoray 2009).
2.3.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Biodegradasi Mengingat mikroorganisme degradasi, maka
kondisi
sangat berperan penting
lingkungan
yang maksimal
dalam proses
mendukung aktifitas
mikroorganisme akan memaksimalkan proses biodegradasi. Keberhasilan proses biodegradasi banyak ditentukan oleh aktifitas enzim dalam mikroorganisme. Kemudian aktifitas mikroorganisme dioptimasikan dengan pengaturan kondisi dan pemberian suplemen yang sesuai. (Vidali 2001). Keberadaan oksigen dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri aerob dan merupakan faktor pembatas laju degradasi hidrokarbon. Oksigen digunakan untuk mengkatabolisme senyawa hidrokarbon dengan cara mengoksidasi substrat dengan katalisis enzim oksidase (Vidali
2001). Tingkat keasaman (pH) juga
merupakan faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan mikroorganisme. Umumnya bakteri tumbuh baik pada kisaran pH netral (pH 6.5–7.5), seperti P. aeruginosa yang tumbuh pada kisaran pH 6.6–7.0 dan mampu bertahan pada kisaran pH 5.6–8.0. Suhu akan berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia, kecepatan degradasi oleh mikroorganisme serta komposisi mikroorganisme selama proses degradasi. Pertumbuhan efektif untuk mikroorganisme berkisar antara 45o– 59oC (US-EPA 1994). Mikroorganisme membutuhkan nutrisi sebagai sumber karbon, energi dan keseimbangan
metabolisme
mendegradasi
tergantung
sel. pada
Menurut
Boopathy
mikroorganisme
(2000),
(konsentrasi
kemampuan biomassa,
keanekaragaman populasi dan aktifitas enzim), substrat (karakteristik fisikokimia, struktur molekul dan konsentrasi), serta faktor lingkungan (pH, suhu, kelembaban, tersedianya akseptor elektron sebagai sumber karbon dan energi).
Selain itu
struktur molekul dan konsentrasi kontaminan berpengaruh sangat kuat dalam proses bioremediasi. Bakteri pendegradasi diazinon, Serratia sp. mampu memanfaatkan diazinon sebagai sumber karbon dan fosfor pada keadaan pH 7.08.0 dan degradasi terhambat pada pH 5, 6 dan 9, 10. Bakteri ini juga mampu mendegradasi diazinon secara sempurna dalam waktu 11 hari pada suhu 25o-30oC, tetapi dalam waktu 13 hari pada suhu 20oC (Amer 2011).
2.4. Biofilter Kompos Biofilter adalah teknologi inovatif untuk menangani air atau udara yang tercemar kontaminan melalui media filter untuk tempat hidup mikrooganisme pada reaktor, dan diharapkan kontaminan diuraikan menjadi senyawa yang lebih sederhana dan tidak berbahaya yaitu H2O dan CO2. Umumnya pada biofilter diinokulasi dengan mikroorganisme kultur campuran dimana akan terjadi seleksi alamiah
sehingga
diperoleh
satu
jenis/lebih
mikroorganisme
yang
dapat
beradaptasi dengan lingkungan (US-EPA 1998). Teknologi biofilter yang umum digunakan adalah penggunaan campuran pasir dan krikil yang dibungkus atau karbon aktif kemudian ditambahkan mikroorganisme.
Masalah yang timbul umumnya pasir dan krikil mempunyai
kemampuan menjerap rendah, sehingga bahan ini tidak baik digunakan sebagai media untuk hidup mikroorganisme. Kemudian berkembang teknologi penggunaan kompos sebagai media filter untuk reduksi limbah cair.
Biofilter kompos lebih
menguntungkan dibandingkan karbon aktif granular karena masa pakai panjang 11.5 tahun sedangkan karbon aktif granular sangat singkat (Casucci et al. 2004). Pada biofilter kompos, kompos berperan sebagai penyaring (filter), dan penyerap (absorben) zat kimia yang akan dilewatkan pada biofilter tersebut. Fungsi ini dapat dianalogikan dengan fungsi tanah dan sendimen sebagai bahan yang dapat menghilangkan pencemar di lingkungan, melalui proses penyerapan pada permukaan sehingga menstabilkan pH, selanjutnya menguraikan zat pencemar (Connell 1995). Kelebihan kompos sebagai media filter (biasanya untuk aliran limbah cair) adalah karena memiliki porositas tinggi, kapasitas absorbsi tinggi terhadap senyawa organik dan anorganik, retensi kelembaban baik, dan kemampuan mendukung kecepatan degradasi tinggi (US-EPA 1998). Kapasitas absorbsi kompos terhadap senyawa organik dan anorganik bisa melalui beberapa mekanisme penyerapan seperti: gaya vander waal, ikatan hidrofobik, ikatan hidrogen, pertukaran ligan, pertukaran ion elekrostatik, interaksi tertutup dan penyerapan kimia (Connell 1995). Kemampuan penyerapan terhadap suatu zat kimia ditunjukkan oleh koefisien penyerapan (Haque et al. 1980). Selanjutnya menurut Connell (1995) faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan senyawa kimia adalah struktur zat kimia, kandungan bahan organik, pH media, ukuran partikel, kapasitas tukar elektron dan suhu.
Karakteristik biofilter kompos sebagai berikut: kapasitas pegang air (water holding capacity) dan total porositas tinggi; kinerja bertambah baik dengan bertambahnya waktu; terjadi penambahan nutrien; kelembaban antara 50-70%; suhu antara 20o–30oC; waktu tinggal (residence time) singkat; dan kedalaman filter satu meter (Leson 1991; Haug 1993; Toffey 1997). Pada awalnya aplikasi biofilter kompos untuk menguraikan gas hydrogen sulfite (83-99%) dan beberapa senyawa aromatik sederhana.
Selanjutnya aplikasi biofilter kompos berkembang untuk
menguraikan larutan chlorin alifatik dan senyawa mudah menguap lainnya/VOC (Ergas 1995).
2.5.
Kompos dari Limbah Media Jamur Tiram Kompos sebagai hasil akhir pengomposan, memiliki kandungan bahan
organik tinggi dan mineral yang penting untuk pertumbuhan tanaman. Kompos juga digunakan sebagai bahan penyerap (absorben) yang baik, terutama untuk senyawa kimia organik dan anorganik (US-EPA 1994). Hasil samping produksi jamur adalah limbah media budidaya jamur yang masih bisa digunakan sebagai kompos/pupuk dan makanan ternak. Maher dan Magette (1997) mengemukakan bahwa hasil analisis ekstrak kompos jamur di Irlandia mengandung bahan organik 65%, makro nutrien tinggi (nitrogen, phosphor, kalium dan kalsium), pH 6.6, dan electricity conductifity/konduktifitas listrik tinggi (7.500 µS cm-1). SMC (spent mushroom compost) adalah kompos dari limbah media budidaya
jamur,
mengandung
konsorsium
mikroorganisme
di
antaranya
Paenibacillus lentimorphus, Bacillus lecheniformis, B. subtilis, Pseudomonas meralanii,
Klebsiella
enterobacter
sp.
Sphingobacterium
multivarum,
Microbacterium, Stenophomonas sp. (Watabe et al. 2004). Bakteri tersebut bisa mengganggu kesehatan manusia dan hewan, contohnya Bacillus sp. merupakan pathogen pada debu, menimbulkan alergi, hipersensitif, pneumonitis. Kompos dari bekas media jamur P. pulmonarius yang mendegradasi substrat dengan bahan dasar dedak padi mengandung chitin 25% merupakan polimer N-asetil-dglukosamin (Law et al. 2003) dan sebagian besar komponen dari dinding sel fungi dan kandungan unsur lainnya tertera pada Tabel 1. Kompos jamur mempunyai beberapa keuntungan jika ditambahkan ke tanah, yaitu menambah nutrisi esensial bagi tanaman; menggantikan pupuk organik; sumber fosfor, kalium dan elemen trace juga nitrogen; kandungan bahan organik tinggi, sehingga penting untuk memperbaiki struktur tanah; meningkatkan
aktifitas
mikroorganisme
tanah
dan
cacing
tanah;
dan
memudahkan
menghancurkan struktur tanah pada saat pengolahan tanah (Glass 2003). Tabel 1 Sifat fisika-kimia kompos jamur media Pleurotus pulmonarius
Kandungan unsur
Ukuran
pH Abu (%) C (%) H (%) N (%) S (%) Chitin (%) Mineral Mangan (mg g-1) Kalium(mg g-1) Kalsium (mg g-1) Fe (mg g-1) Seng/Zn (mg g-1) Natrium (mg g-1) Ion yang larut dalam air Flourida (mg g-1) Clorida (mg g-1) Nitrit (mg g-1) Bromida (mg g-1) Nitrat (mg g-1) Fosfat (mg g-1) Sulfat (mg g-1)
7.69 ± 0.02 8.96 ± 0.30 25.61 ± 0.0 4.20 ± 1.33 2.42 ± 0.02 0.49 ± 0.15 25.17 ± 1.3 0.46 ± 0.04 6.91 ± 0.02 14.75 ± 7.0 0.34 ± 0.08 0.22 ± 0.13 1.30 ± 0.11 4.43 ± 1.25 67.44 ± 3.1 0.04 ± 0.00 2.17 ± 1.13 0.20 ± 0.09 31.44 ± 1.3 20.55 ± 0.6
Ekstrak dari 0.1 g kompos jamur dalam 10 ml air ultra murni Sumber: Law et al. 2003
Kompos jamur mempunyai karakteristik sebagai berikut: secara fisik mengandung 65% bahan organik, sehingga bermanfaat untuk memperbaiki struktur dan tekstur tanah, memperbaiki aerasi dan drainase, menambah kapasitas pegang air (water holding capacity/WHC), menambah aktifitas biologis tanah; bebas dari kontaminan benih gulma dan patogen tumbuhan; penampakan yaitu halus dan berbau tanah; sumber nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, sulfur; sumber elemen trace seperti besi, natrium, mangan, boron, tembaga dan seng (Glass 2003). Karakteristik kompos limbah media jamur dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Karakteristik kompos limbah media jamur
Sifat fisik
Keuntungan
Bahan organik 65%
Meningkatkan struktur dan tekstur tanah. Meningkatkan aktivitas biologis tanah Bebas dari polutan Berasal dari rerumputan dan tanaman patogen Kandungan nutrisi utama Sumber bahan organik N, P, K, Ca, dan S Unsur lain (dalam jumlah Sumber bahan organik Fe, Na, Mn, Br, Cu dan kecil) Zn.
Sumber: Glass (2003)
Pada media kompos jamur tiram terdapat miselia jamur yang mengeluarkan enzim extra-celullar yang memecah pestisida dan kemudian masuk ke sel mikroorganisme. Enzim ini digunakan sebagai energi untuk reproduksi sehingga dihasilkan populasi mikroorganisme lebih besar. Setelah enzim extra-celullar memecah pestisida, sehingga tersedia, pestisida masuk ke sel (intra-celullar). Penghancuran pestisida diperlukan air. Umumnya pestisida mengandung O, N, S yang cenderung larut ke dalam air karena ikatan hidrogen (Andrew & David 2002). Kompos (SMC) dari Pleurotus ostreatus (jamur tiram putih) mampu mendegradasi PAHs/Creosote pada tanah (Eggen 1999). Spesies fungi akar putih (white rot fungi) menghasilkan enzim yang berbeda-beda tergantung genetik dan kondisi pertumbuhannya. Degradasi oleh enzim meliputi lignin peroxidase (LIP), manganase dependent peroxidase (MnP), manganase independent peroxidase (MIP) dan lacasse (Bogan & Lamar 1996; Kofferman et al. 1996).
2.5.1. Kandungan Mikroorganisme Kompos Jamur Tiram Kompos jamur juga tempat hidup konsorsium mikroorganisme seperti fungi, bakteri (Ching 1997).
Bakteri yang diisolasi dari kompos jamur Pleurotus
pulmonarius dengan identitas yang belum diketahui, bisa toleran pada 100 mg l -1 PCP dan pada densitas 7.5 x 107 cfu ml-1 merubah 95.6 ± 9.7% PCP dengan 78.3 ± 5.2% dengan biodegradasi (Law et al. 2003). Selain hal tersebut kompos jamur P. pulmonarius mempunyai enzim immobil laccase (0.88 m moles min-1g-1) dan manganese peroxidase (0.58 m moles min-1g-1). Produktifitas enzimnya lebih tinggi dari yang dilaporkan (Ball & Jackson 1995; Trejo Hermandez et al. 2001)
Agent-bioremediasi PCP yang potensial termasuk bakteri Flavobacterium dan Pseudomonas yang melakukan oksidasi, deklorinasi, pemecahan cincin dengan produk turunan terlibat dalam siklus TCA (Apajalahti & Salkinoja-solonen 1987; Van Agteren et al. 1998). PCP juga dipecah oleh fungi non-spesifik enzim ligninolitik yang melanjutkan radikal bebas, seperti Pleurotus pulmonarius dan Tremetes versicolor (Tinaka et al. 1999; Crestini et al. 2000; Gullen et al. 2000; Ullah et al. 2000).
Flavobacterium termasuk bakteri gram-negatif anaerobik
fakultatif, berbentuk batang, mempunyai suhu optimal untuk pertumbuhan 20 o– 25oC diketahui dapat mendegradasi diazinon (Guirard & Snell 1981). Selama produksi kompos jamur, populasi Actinomicytes thermopilik meningkat,
meliputi
spesies
Thermomonospora,
Thermoactinomyces,
Saccharomonospora dan Streptomyces, dan umumnya seluruh bakteri diisolasi dari kompos jamur pada suhu 50oC dan memperlihatkan pertumbuhan pembentukan non-hifa seperti Baccilus spp. (Amner et al. 1988). Nakasaki et al. (1985) mengatakan bahwa suhu optimum untuk aktifitas mikroorganisme adalah di bawah 60oC.
Hal ini didasarkan pada penelitian terhadap aktifitas mikroorganisme
tergantung pada bahan organik (McKinley 1984), dan diversitas spesies (Strom 1985). Populasi mikroorganisme heterotropik pada proses pengomposan daundaun halaman sebesar 2 x 1011 g-1, lebih besar dibanding mikroorganisme pada tanah yang tidak tersedia bahan organik (5%) sebesar 106 – 108 (Paul & Clark 1989). Penyebaran bakteri Pseudomonas pada daerah suhu sampai 50o-57oC, sedangkan Bacillus mempunyai daerah penyebaran yang luas, 100% pada suhu 60o-65oC dan masih mampu hidup pada suhu 65o-69oC. Bakteri pendegradasi pestisida yang umum telah diketahui meliputi Achromobacter, Arthrobacter, Pseudomonas, dan Flavobacterium spp. (Nakasaki 1985). Menurut Rao (1994) mikroorganisme genus Torulopsis, Chlorella, Pseudomonas, Thiobacillus dan Trichoderma dapat menguraikan pestisida golongan organofosfat seperti diazinon. Pseudomonas sp., Bacillus sp., Nocardia sp., Staphylococcus vibrio sp., Mycobacterium sp., mampu mendegradasi minyak bumi pada media air laut dan air tawar (Utomo 1997). Pseudomonas juga mampu mendegradasi senyawa hidrokarbon (Wijayaratih 2001); P aeruginosa, Arthrobacter simplex mampu mendegradasi minyak ( Harjito 2003); dan Flavobacterium, Pseudomonas dan Azoarcus bakteri dominan yang terdapat pada tanah di ladang minyak di Guadalupe (Kitt & Kaplan 2004).
Serratia liquefaciens, S. marcescens, Pseudomonas sp. dan konsorsiumnya dari tanah yang tercemar diazinon mampu mendegradasi 80-92% diazinon dalam waktu 14 hari, pada konsentrasi 50 mg l-1 (Cycon et al. 2009).
Hasil isolasi murni
dari kompos jamur tiram, mengandung mikroorganisme Bacillus sp, Pseudomonas sp. dan Chromobacterium, yang diharapkan mampu memecah diazinon.
2.5.2. Aplikasi Kompos Jamur Tiram untuk Degradasi Kompos jamur dimanfaatkan juga untuk memperbaiki tanah kritis, sebagai mulsa yang berperan untuk mempertahankan kelembaban tanah dan menekan pertumbuhan gulma, dan sebagai media tumbuh. Selain digunakan untuk memperbaiki struktur tanah, kompos jamur bisa digunakan sebagai pengganti humus
pada
sistem
“biobed”
yang
menggunakan
bahan
organik
untuk
mengabsorbsi dan mendegradasi pestisida. Pada lapisan tanah bagian atas dari “biobed” kaya akan humus dan kandungan liat rendah untuk mendukung aktifitas metabolisme
mikroorganisme dan
untuk
mengabsorbsi
maksimum jumlah
senobiotik (Casucci et al. 2004). Bahan komplek seperti kompos jamur juga digunakan untuk mendegradasi berbagai polutan organik (Ching 1997; Kuo & Regan 1998; Webb et al. 2001). Polutan pentakloropenol (PCP) berhasil dihilangkan dari air yang tercemar dengan menggunakan kompos jamur. Pentakloropenol bisa dimineralisasi jika diinkubasikan dengan kompos setelah masa pengkayaan yang sesuai. Kompos jamur sebanyak 5% dapat merubah 89.0 ± 0.4% dari 100 mgl -1 PCP dalam waktu 2 hari pada suhu ruang, dengan proses biodegradasi dominan 70.1 ± 2.2% (Law et al. 2003). Kompos jamur tiram mampu mendegradasi sebesar 90%, tanah yang tercemar diazinon 1000 ppm, selama 21 hari (Jumbriah 2006). Kompos jamur yang diperkaya dengan senyawa bensena, toluene, etilbensena, o-xilena dan p-xilena (BTEX) mampu memineralisasi (U-14C) bensena menjadi
14
CO2 lebih besar daripada kompos jamur yang tidak diperkaya setelah 14
hari, tetapi seluruh isolat mikroorganisme yang diekstraksi dari kompos jamur tidak mampu memineralisasi (U-14C) bensena dalam kultur murni (Semple et al. 1998). Selanjutnya kompos jamur yang dipasteurisasi memperlihatkan jumlah mineralisasi (U-14C) bensena lebih kecil (1.5%) dibandingkan dengan kompos jamur yang tidak dipasteurisasi dan diperkaya dengan campuran BTEX 2.5 mM, jumlah mineralisasi (U-14C) bensena sebesar 5.2%. Selanjutnya dengan memperpanjang masa
mineralisasi (U-14C) bensena, jumlah mineralisasi yang diperoleh bertambah besar pada suhu inkubasi 50oC jika dibandingkan pada suhu 37oC. Agent-bioremediasi PCP yang potensial termasuk bakteri Flavobacterium dan Pseudomonas yang melakukan oksidasi, deklorinasi, pemecahan cincin dengan produk turunan terlibat dalam siklus TCA (Apajalahti & Salkinoja-solonen 1987; Van Agteren et al. 1998). PCP juga dipecah oleh fungi non-spesifik enzim ligninolitik yang melepas radikal bebas, seperti Pleurotus pulmonarius dan Tremetes versicolor (Tinaka et al. 1999; Crestini et al. 2000; Gullen et al. 2000; Ullah et al. 2000). Kompos jamur mengandung berbagai gugus -OH, -NH yang bermanfaat untuk penjerapan. Pada kompos jamur juga terdapat berbagai anion (seperti fluorida, klorida, nitrit, bromida, nitrat, fosfat dan sulfat) ditemukan dalam kompos jamur yang kaya chitin berfungsi serupa (Lau et al. 2003). Asam humik dan asam fulfik juga terdapat pada kompos, bisa berperan sebagai penjerap pada proses degradasi diazinon oleh kompos, asam humik mampu menjerap diazinon sebesar 19% (Michel et al. 1997). Bioremediasi dengan menggunakan kompos, mampu mendegradasi minyak diesel 85% (Ryckeboer et al. 2003); minyak mentah 88.25% (Munawar et al. 2007). Kompos dari sampah kota, mampu mendegradasi tanah yang tercemar petroleum hidrokarbon sebesar 83% selama 12 minggu (Pagoray 2009). Limbah yang cukup tersedia dari industri budidaya jamur adalah kompos jamur, memang tidak sebaik karbon aktif dan Mycobacterium chlorophenolicum dalam mendegradasi PCP, tetapi karbon aktif mahal dan fermentasi biomassa dengan menggunakan M. chlorophenolicum butuh biaya besar (Law et al. 2003). Bakteri dari kompos jamur tiram Pleurotus ostreatus yaitu Pseudomonas stutzeri, B. mycoides, B. cereus, dan Chromobacterium mampu tumbuh dan beradaptasi pada media padat nutrien agar yang mengandung 100 ppm diazinon, bahkan B. cereus mampu mendegradasi diazinon pada media padat MSPY yang mengandung 1700 ppm diazinon (Jumbriah 2006).
III.
METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bioproses IV, Pusat Penelitian Bioteknologi – LIPI, Jalan Raya Bogor Km 46, Cibinong. Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2006 sampai Desember 2007. 3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah perlengkapan pengenceran (gelas piala, labu ukur, corong, tabung kaca 10 ml, 100 ml dan 1.000 ml), cawan petri, jarum oase, kertas saring, neraca analitik, pH meter, timbangan, pengukur
panjang,
autocklaf,
inkubator,
centrifuse,
tabung
glass
70
ml
(pyrex No. 9825), rotary shaker, beker glass, serta plastik hitam penutup tabung, quebec colony counter, spektrofotometer ( merk SHIMADZU UV-1201, 1-cm path longth call), laminar. Selain itu digunakan sejumlah kolom terbuat dari bahan acrilik/paralon dengan diameter 7 cm dilengkapi slang dan pompa, botol/wadah tertutup untuk cairan diazinon in let. 3.2.2. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah media jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) yang mengandung miselia, yang selanjutnya disebut kompos jamur tiram, dari pembudidayaan jamur di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Bogor, yang sudah tidak digunakan lagi. Pestisida organofosfat merek dagang diazinon 60 EC, chloroform, 0.5 M K2SO4, metanol (pa), etil asetat (teknis), aseton, aquadest, aquabidest, alkohol, spiritus.
Proses pertumbuhan
mikroorganisme, maka diperlukan bahan–bahan kimia lain seperti media NaCl faali, dextrosa, tripton agar, yeast, cycloheximide dan bakto agar ( Merck 1996) serta bahan-bahan untuk analisis populasi mikroorganisme digunakan metode flourecein diacetate assay/FDA (flourecein diacetate, penyangga natrium fosfat, membran filter polisulfon 0.45 mikron) dan analisis diazinon (nitrogen, asetonitril dan petroleum eter/methanol (Eggen 1999).
3.3. Tahapan Kerja
3.3.1. Persiapan Bahan Kompos dan Identifikasi Mikroorganisme dari Kompos Jamur Tiram Penelitian ini menggunakan limbah media jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) atau sisa proses produksi jamur tiram. Adapun komposisi dari media jamur tiram ini sebagai berikut : serbuk gergaji : dedak : gipsum : kapur = 40 kg : 40 kg : 8 kg : 5 kg dan air untuk memberi kelembaban 60%. Media kompos jamur tiram ini merupakan by-product budidaya jamur tiram setelah berproduksi 4 bulan. Limbah dikering-anginkan lebih dahulu, selama 2 jam, kemudian diayak dengan saringan, ukuran partikel 20-50 mesh.
Pada penelitian ini juga dilakukan
penentuan kualitas awal kompos dengan parameter sebagai berikut C/N ratio, kelembaban, karbon organik (%), fosfor, kalium, kapasitas tukar kation (KTK) dan pH
akan
dilakukan
sesuai
dengan
prosedur
SNI
serta
total
populasi
mikroorganisme dengan cara flourece diacetate assay (FDA).
3.3.2. Analisis Kompos Jamur Tiram Analisis sampel kompos sebelum penelitian dan setelah penelitian berakhir dilaksanakan oleh Laboratorium Tanah, IPB. Pengujian kompos jamur (SMC) yang meliputi: TPC, C/N, KTK, unsur hara, kadar air, kadar abu, pH, sedangkan aktivitas mikroorganisma dilakukan di Laboratorium IV Bioproses LIPI. 3.3.3. Rancangan Reaktor Biofilter Penelitian tahap pertama penggunaan biofilter kompos jamur tiram untuk menentukan kinerja terbaik dalam proses degradasi diazinon. Kolom terbuat dari acrylic/mika dengan diameter dalam 7 cm panjang 50 cm, masing–masing kolom bagian bawah diberi ram kawat untuk penyangga kompos dan pada dasar kolom ada kran out let, cairan diazinon ditampung dengan wadah erlemeyer (sistem batch), skema dapat dilihat pada Gambar 4 (a). Selain hal tersebut juga ada perlakuan lain yaitu sistem semi kontinyu dengan wadah erlemeyer yang dilengkapi slang daur ulang dan pompa untuk mengangkat cairan out let kembali masuk ke in let. skema dapat dilihat pada Gambar 4 (b). Kolom biofilter dan wadah penampung out let dilapisi plastik hitam, dengan asumsi selama penelitian berlangsung tidak terpapar cahaya. Penelitian ini menggunakan 11 tabung biofilter.
7 cm
1.tutup
2.tabung biofilter 50 cm
3.kompos 7.dudukan kayu 4.ram kawat 8.selang sirkulasi
5.kran
9.pompa 6.erlemeyer (a)
(b)
Gambar 4 (a) Skema biofilter sistem batch, dan (b) biofilter sistem semi kontinyu
Ke dalam masing–masing tabung dimasukkan kompos, yang telah dipersiapkan terlebih dahulu (kompos telah diketahui kualitas dan total populasi mikroorganisme awal), dengan perlakuan berat kompos, sesuai perlakuan pada desain metode permukaan respon (respons surface method/RSM) yaitu 300 g, 450 g, 600 g, dan sebagainya sesuai perlakuan. Tabung biofilter, agar dapat berdiri tegak didesain tempat dudukan serupa rak tabung reaksi terbuat dari bahan kayu. 3.3.4. Persiapan Larutan Diazinon Larutan diazinon konsentrasi 500 ppm, 1000 ppm dan 1500 ppm, dibuat dengan volume 2 liter. Pembuatan larutan dilakukan dengan cara mengencerkan diazinon teknis 60 EC. Ke dalam 2 liter aquadest dimasukkan diazinon teknik 60 EC, masing-masing sebesar 1.66 ml, 3.33 ml dan 5.0 ml.
Campuran diaduk
sampai homogen. Larutan diazinon dengan konsentrasi awal (500 ppm,1000 ppm dan 1500 ppm) dimasukkan ke dalam masing–masing tabung biofilter sesuai
dengan perlakuan. Tahapan penelitian biofilter sistem batch (tersaji pada Gambar 5) adalah sebagai berikut: 1. Kompos limbah media jamur tiram putih segar (SMC) dikering-anginkan, lalu diayak untuk memperoleh ukuran partikel yang seragam (20-50 mesh). 2. Larutan diazinon dibuat dengan cara: 2 liter air dicemari diazinon dengan konsentrasi (500 ppm, 1000 ppm, dan 1500 ppm) sesuai perlakuan pada rancangan percobaan. 3. Air yang telah dicemari diazinon (larutan diazinon) kemudian dimasukkan ke tabung biofilter kompos melalui atas, laju alir sesuai grafitasi. 4.
Fermentasi/inkubasi pada suhu ruang selama 10 hari, tanpa sirkulasi dan tanpa pengadukan.
5. Analisis cairan out let dan kompos biofilter (kadar diazinon, TPC, C/N, KTK, unsur hara, kadar air, kadar abu, pH, dan aktivitas mikroorganisme). 6. Konsentrasi diazinon out let dianalisis setiap kali setelah inkubasi selama 24 jam untuk biofilter sistem batch, dan untuk melihat pertumbuhan total populasi mikroorganisme dilakukan pengambilan sampel untuk total plate count (TPC) setiap hari hingga percobaan akhir.
Kemudian sampel
dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer. Tahapan penelitian biofilter sistem semi kontinyu (tersaji pada Gambar 6) adalah sebagai berikut: 1. Kompos limbah media jamur tiram putih segar (SMC) dikering-anginkan, lalu diayak untuk memperoleh ukuran partikel yang seragam (20-50 mesh). 2. Larutan diazinon dibuat dengan cara: 2 liter air dicemari diazinon dengan konsentarasi (500 ppm, 1000 ppm, dan 1500 ppm) sesuai perlakuan pada rancangan percobaan. 3. Air yang telah dicemari diazinon (larutan diazinon) kemudian dimasukkan ke tabung biofilter kompos melalui atas, setelah inkubasi semalam, keesokan harinya, air out let dimasukkan kembali ke tabung biofilter dengan menggunakan slang yang dilengkapi pompa, dengan laju air 4 ml dt-1. 4.
Fermentasi/inkubasi pada suhu ruang selama 4 hari, dan dilakukan sirkulasi dari out let ke in let selama 6 jam per hari dari pukul 10.00 s/d 15.00 WIB.
5. Analisis cairan out let dan kompos biofilter (kadar diazinon, TPC, C/N, KTK, unsur hara, kadar air, kadar abu, dan pH).
6. Pengambilan sampel untuk konsentrasi diazinon out let dilakukan setiap 1 jam sekali, setelah inkubasi selama 24 jam untuk biofilter sistem semi kontinyu, dimulai jam 10.00-15.00 WIB dilakukan sirkulasi pompa dan untuk melihat pertumbuhan total populasi mikroorganisme dilakukan pengambilan sampel untuk total plate count (TPC) setiap 1 jam hingga pengamatan akhir sampai jam 15.00
setiap
hari.
Kemudian
sampel
dianalisis
dengan
menggunakan
spektrofotometer.
Larutan diazinon 60 EC
Kompos jamur tiram
Sampling Analisis kompos (C/N, KTK, unsur hara, Kadar air, pH, aktifitas mikroorganisme)
setiap 24 jam untuk analisis penurunan kadar diazinon, populasi mikroorganisme
Biofilter Inkubasi waktu 10 hari
Cairan out let
Kompos biofilter
Analisis : Kadar diazinon, TPC, C/N, KTK, unsur hara, kadar abu, pH, dan aktifitas mikroorganisme Gambar 5 Diagram tahapan penelitian biofilter sistem batch. 3.3.5. Identifikasi Mikroorganisme dari Kompos Jamur Tiram Identifikasi mikroorganisme dari sampel kompos sebelum penelitian dan setelah penelitian berakhir 10 hari dilaksanakan oleh Laboratorium Bakteriologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB.
3.3.6. Analisis Populasi Mikroorganisme
Analisis populasi mikroorganisme dilakukan setiap hari untuk biofilter sistem batch dan setiap jam untuk biofilter semi kontinyu.
Metode total plate count
digunakan untuk menghitung populasi mikroorganisme (Marshall & Devinny 1988). Satu gram kompos dari masing-masing perlakuan dimasukkan ke tabung reaksi, Larutan diazinon 60 EC
Kompos jamur tiram Analisis kompos (C/N, KTK, unsur hara, Kadar air, pH)
Pompa sirkulasi
Biofilter Inkubasi waktu 4 hari
Cairan out let
Sampling Setiap hari, tiap hari 6 jam untuk analisis penurunan kadar diazinon dan populasi mikroorganisme
Kompos biofilter
Analisis : Kadar diazinon, TPC, C/N, KTK, unsur hara, kadar abu, pH Gambar 6 Diagram tahapan penelitian biofilter sistem semi kontinyu.
kemudian dilakukan pengenceran seri menggunakan tabung reaksi 20 buah. Larutan pengencer yang digunakan adalah larutan NaCl faali sebanyak 9 ml. Masing-masing pengenceran diambil 0.1 ml lalu diteteskan diagar plate kemudian diratakan dengan spreader segitiga. Seluruhnya dilakukan dalam keadaan steril di lemari laminar. Pembuatan media agar plate dengan cara, 1500 ml aquabidest dalam erlemeyer, ditambahkan 22.5 g bacto agar, 1.5 g dextrosa 7.5 g Tripton dan 2.25 g yeast dipanaskan dan distire, tambahkan beberapa tetes cycloheximide, untuk mencegah pertumbuhan fungi, setelah homogen dimasukkan ke dalam erlemeyer ukaran 250 ml, ditutup rapat lalu disterilisasi. Agar plate yang telah diinokulasi, disimpan diinkubator selama 3-5 hari pada suhu ruang untuk melihat pertumbuhan mikroorgnisme. Unit koloni mikroorganisme per-pengenceran dihitung dengan alat quebec colony counter. Jumlah koloni per
unit dibandingkan dengan tabel, untuk mengestimasi jumlah mikroorganisme (Haris & Somme 1968). Selanjutnya dihitung perubahan pertumbuhan mikroorganisme dengan mengurangi populasi mikroorganisme hari ini dengan hari sebelumnya dan hasilnya dibagi populasi mikroorganisme sebelumnya. Perubahan pertumbuhan mikroorganisme = (populasi H2-H1)/populasi H1 Keterangan : H1 = populasi hari pertama H2 = populasi hari kedua
3.3.7. Analisis Residu Diazinon dan Turunannya Analisis kadar diazinon menggunakan metode seperti yang dilakukan oleh Ningsih (2001) yaitu menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) dengan plat silika gel 60 F254 dan spektrofotometer UV/VIS Beckman DU 650 pada panjang gelombang 241 nm. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Metode ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui ada tidaknya produk turunan hasil degradasi diazinon dalam sampel. Analisis kadar diazinon dengan metode KLT ini menggunakan plat silika gel 60 F254 eluen pengembang heksana : etil asetat dengan perbandingan 10 : 1 (v/v) dan pewarna digunakan serium (II) sulfat (Ningsih 2001). KLT dilakukan dengan cara mentotolkan sampel out let dari perlakuan sistem batch (B4 hari ke-0 dan hari ke-9) pada plat kemudian dimasukkan ke dalam bejana yang berisi larutan pengembang dari heksana dan etyl asetat dengan perbandingan 10 : 1 (v/v) yang telah dijenuhkan selama 30 menit, dan selanjutnya didiamkan 7 menit, hingga eluen naik sampai batas garis. Spot yang terbentuk dapat dilihat dengan menggunakan sinar ultraviolet dan pewarnaan dengan menggunakan serum (II) sulfat. Spot yang diperoleh dibandingkan dengan spot dari diazinon teknis pekat dan spot dari stok diazinon 10000 ppm. Spektrofotometer UV-VIS Analisis residu diazinon dengan metode spektrofotometer ini merupakan modifikasi yang dilakukan oleh Bavcon et al. (2003) dengan metode yang dilakukan oleh Ningsih (2001), yaitu diawali dengan membuat grafik larutan standar diazinon. Diazinon 60 EC memiliki kandungan diazinon aktif sebanyak 600 g l-1. Pembuatan
kurva standar dilakukan dengan cara: membuat larutan stock konsentrasi 1.000 ppm dengan volume 10 ppm. Volume diazinon teknik 60 EC., yang diperlukan dihitung dengan rumus pengenceran (V1M1 = V2M2), sebesar 16.6 ul diazinon 60 EC, dipipet dengan menggunakan pipet effendorf (100 ul dan 1000 ul), kemudian ditera dengan menggunakan labu ukur lalu ditambah metanol pa. Selanjutnya dari larutan stok ini dibuat larutan standar diazinon dengan konsentrasi 0, 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, dan 45 ppm, dengan metanol pa sebagai pelarut. Serial larutan tersebut diukur absorbansinya pada panjang gelombang 241 nm dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS (Beckman DU 650), dan sebagai blanko digunakan metanol pa. Absorbansi terukur kemudian diplotkan terhadap konsentrasi, lalu dibuat grafik linearnya. Grafik linear yang dihasilkan digunakan sebagai grafik standar diazinon. Supernatan dari out let sampel hasil sampling pada pengamatan pertumbuhan
mikroorganisme
diukur
kandungan
diazinonnya
dengan
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 241 nm. Ke dalam masing-masing tabung sentrifus masukkan 5 ml sampel sesuai perlakuan, kemudian divortex terlebih dahulu selama 30 detik, kemudian diinkubasi di waterbath shaker selama 30 menit pada suhu 37oC.
Selanjutnya disentrifus
dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit, supernatan yang diperoleh kemudian diukur absorbansinya. Absorbansi yang diperoleh kemudian dikonversi menjadi konsentrasi diazinon dengan menggunkana grafik standar yang telah dibuat. Uji recovery diazinon dilakukan sebelum penelitian, untuk menguji metode ekstraksi diazinon dari sampel yang digunakan pada penelitian ini. recovery diazinon diperoleh rata-rata lebih besar dari 85%.
Hasil uji
Hal tersebut
memperlihatkan bahwa metode ekstrasi layak digunakan.
3.3.8. Analisis Aktifitas Mikroorganisme dengan Flourescein Diacetate Assay (FDA) Total populasi mikroorganisme pada kompos yang digunakan sebagai biofilter dihitung di awal penelitian dan akhir siklus penelitian dengan metode FDA/ flourescein diacetate assay (Hunter 2000; El Tarabily 2002).
Larutan standar FDA
dibuat dengan melarutkan 0.0399 g FDA dalam aseton hingga volume 100 mL. Standar dibuat dengan menambahkan 50 ml penyangga fosfat dan 10 g sampel kompos ke masing-masing sampel kompos ke masing-masing dari 7 buah botol/beker glass dan kemudian tambahkan 0, 0.1, 0.2, 0.3, 0.5, 1.0 dan 1.5 ml
dari flourescein standar. Hasilnya larutan mengandung ekuivalen dari 0, 50, 100, 250, 500, dan 750 µg FDA dirubah menjadi flourescein per botol.
Standar
diinkubasi pada rotary shaker (120 rpm) selama 1 jam dan kemudian ditambahkan 50 ml aseton. Larutan disentrifus selama 10 menit pada 6.000 rpm, lalu disaring
dan nilai absorban filtrat diukur dengan spektrofotometer (SHIMADZU UV-1201, 1cm path longth cell) pada 490 nm.
Nilai absorban diplot untuk memperoleh
persamaan regresi. Perlakuan pada sampel dilakukan dengan cara menimbang FDA 0.200 g lalu dilarutkan dengan aseton kemudian ditambah dengan “deionized water” (aquabidest) hingga 100 ml sebagai larutan stok.
Sampel ditimbang masing-
masing 10 g ke dalam erlemeyer ditambah 50 ml penyangga fosfat (pH 7.6) dan larutan FDA 0.5 ml kemudian diinkubasi dengan rotary shaker pada kecepatan 120 rpm selama satu jam kemudian ditambahkan 50 ml aseton. Larutan didekantasi (dipindahkan) ke dalam tabung sentrifuse dan disentrifuse dengan kecepatan 6000 rpm selama 10 menit, lalu disaring dengan milipore (0.45 µm). Absorban diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm.
3.4. Rancangan Percobaan Penelitian ini untuk mengkaji kemampuan kompos matang sebagai biofilter residu diazinon dalam limbah cair sintetik. Penelitian menggunakan rancangan percobaan dengan perlakuan konsentrasi limbah cair diazinon awal/in let (x1), dan berat biofilter kompos dalam kolom (x2). Saat penelitian berlangsung diasumsikan, suhu sama yaitu suhu kamar, jenis kompos, kelembaban kompos dan kandungan oksigen seragam serta pengaruh cahaya ditiadakan. Kemudian tahap berikut dengan menambahkan pompa sirkulasi. Pada penelitian ini, untuk memperoleh pengaruh konsentrasi larutan diazinon dan berat kompos dalam biofilter terhadap hasil degradasi diazinon terbaik dilakukan optimasi dengan menggunakan metode permukaan respon (respons surface method/RSM) mengikuti rancangan komposit fraksional, masing-masing dengan peubah uji terdiri dari tiga taraf dengan rincian tersaji pada Tabel 3. Konsentrasi diazinon yang digunakan dalam penelitian ini adalah : C500 = limbah cair dengan konsentrasi diazinon 500 ppm. C1000 = limbah cair dengan konsentrasi diazinon 1000 ppm. C1500 = limbah cair dengan konsentrasi diazinon 1500 ppm.
Perlakuan berat biofilter kompos menggunakan 3 besaran, yaitu: 300 g, 450 g dan 600 g (Tabel 3).
Tabel 3 Kisaran dan taraf peubah uji pada optimasi biofilter kompos
Jenis perlakuan
Nilai rendah
Nilai tengah
Nilai tinggi
(-1)
(0)
(+1)
Konsentrasi diazinon (ppm)
500
1000
1500
Berat kompos dalam biofilter (g)
300
450
600
Central composite design (CCD) menurut Montgomery (1991) dalam percobaan ini digunakan dengan 3 ulangan pada titik pusat sehingga memenuhi model kuadratik, nilai pusat perlakuan digunakan konsentrasi diazinon 1000 ppm dan berat kompos 450 g. Matriks satuan-satuan percobaan pada proses biofilter dalam unit dan nilai asli disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Matrik satuan percobaan pada optimasi proses biofilter kompos rancangan komposit fraksional
No
Kode
Nilai asli
Penamaan
Diazinon
Kompos
Diazinon (ppm)
Kompos (g)
1
+1
+1
1500
600
B1
2
-1
+1
500
600
B2
3
+1
-1
1500
300
B3
4
-1
-1
500
300
B4
5
0
0
1000
450
B51
6
0
0
1000
450
B52
7
0
0
1000
450
B53
8
1.414
0
1707
450
B6
9
-1.414
0
293
450
B7
10
0
1.414
1000
662
B8
11
0
-1.414
1000
279
B9
Nilai asli diperoleh dengan rumus :
Nilai asli = {(nilai tertinggi/rendah-nilai tengah) x nilai kode + nilai tengah}
Adanya dua peubah uji ini, maka model kuadratiknya seperti bentuk persamaan berikut: Yi = bo + b1x1i + b2x2i + b11x1i2 + b22x2i2 + b12x1i + ri ................................. (1) Keterangan : Y = Respon dari masing-masing perlakuan X = (x1 : konsentrasi diazinon; x2 : berat kompos dalam kolom) b = Koefisien parameter r = Error
Parameter respon utama yang digunakan adalah penurunan konsentrasi diazinon (diazinon).
Di luar perlakuan tersebut dibuat 3 buah kontrol biofilter
kompos tanpa mikroorganisme (kompos yang disterilkan). Pada penelitian ini juga dicoba penggunaan pompa untuk mensirkulasi larutan diazinon.
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Kompos Jamur Tiram (MSC) SMC (spent mushroom compost) yang digunakan dalam penelitian ini adalah kompos setengah matang yang telah mengalami proses penguraian selama media tersebut dijadikan sebagai media budidaya jamur. Miselia jamur sebagian besar tersusun atas selulosa, hemiselulosa dan lignin, serta vitamin dan mineral, sehingga limbah substrat (media) tanam jamur masih mengandung sejumlah besar unsur hara yang diperlukan oleh mikroorganisme indigenous. Kompos jamur tiram dengan parameter SNI 19-7030-2004 tertera pada Lampiran 12, unsur makro dan unsur mikro sudah memenuhi syarat, sehingga cukup baik digunakan sebagai media biofilter.
Meskipun pada kompos jamur tiram nilai C/N ratio 39.90 lebih
besar dari nilai SNI 10-20, dan ini belum memenuhi syarat, namun nilai C/N ratio 39.90 ini baik digunakan untuk biofilter jika ditinjau dari fungsinya sebagai media adsorpsi. Karbon organik adalah faktor utama adsorpsi jika kompos dengan C/N ratio tinggi akan sangat efektif untuk menjerap pestisida (Rao & Davidson 1980; Juri et al. 1987). Hasil analisis unsur hara SMC jamur tiram yang digunakan pada penelitian ini tertera pada Tabel5. Kompos awal adalah SMC yang akan digunakan sebagai biofilter dan telah dikeringanginkan, partikelnya seragam serta tidak tercemar diazinon, sedangkan kompos akhir adalah SMC yang telah digunakan sebagai biofilter semasa penelitian dan telah dicemari diazinon 1701 ppm. Analisis kompos berdasarkan berat kering 100 g sampel kompos jamur tiram. Hasil analisis unsur hara SMC jamur tiram yang digunakan sebagai biofilter (Tabel 5), karbon organik sebesar 44.69% dan nitrogen organik sebesar 1.12%, menunjukkan kompos jamur tiram ini cukup baik digunakan sebagai biofilter. Karbon organik adalah elemen dasar untuk hidup mikroorganisme diperlukan dalam jumlah besar daripada elemen lainnya. Nutrisi makro yang diperlukan oleh mikroorganisme adalah karbon dan nitrogen.
Kondisi yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan
dan
aktifitas
mikroorganisme
yang
berperan
pada
proses
pengomposan dan degradasi diazinon, yaitu nutrisi makro karbon dan nitrogen dengan ratio 25 : 1 atau 40 : 1 (Dickson et al. 1991) dan 30 :1 (Brown et al. 1998), pH 6.5-8.2, kadar air 25-85% dan temperatur 20-30oC (Vidali 2001).
Tabel 5 Hasil analisis unsur hara SMC yang digunakan sistem Batch
No
Parameter
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
pH N-organik (%) N-NH4+ (ppm) N-NO3- (ppm) P2O3 (%) K2O (%) Ca (%) Mg (%) C-organik (%) Fe (ppm) Cu (ppm) Zn (ppm) Mn (ppm) KTK (meq/100g) S (ppm) C/N (%) Kadar air (%) Kadar Abu (%)
Kompos Awal
Kompos Akhir (+Diazinon1707 ppm)
7.39 1.12 18360.5 201.15 0.64 0.98 2.60 0.78 44.69 907.6 14.1 40.1 188.9 27.43 37.84 39.90 25.00 21.2
8.20 0.86 0.45 0.65 1.74 0.50 42.78 864.8 12.3 26.0 148.7 23.60 49.74 63.93 22.9
Kandungan Cu dalam tanah sebesar 2-250 ppm adalah normal ( Alloway 1995) dan kandungan Cu pada kompos jamur tiram sebesar 14.1 ppm, kadar Zn kompos sebesar 40.1 ppm, sedangkan kadar Zn 71-81 ppm dikatagorikan tinggi (Lindsay 1972) dan jika kadar Zn tinggi akan menekan serapan P dan Fe oleh tanaman (Andriano et al. 1971). Selain terjadi proses degradasi juga diharapkan terjadi proses pengomposan karena adanya aktivitas konsorsium mikroorganisme. Pseudomonas stutzeri, Bacillus mycoides, Bacillus cereus, Bacillus brevis, Chromobacterium sp, Bacillus azotoformans dan Micrococcus agalis dapat
memanfaatkan bahan organik seperti selulosa, hemiselulosa maupun lignin sebagai sumber energi sehingga terjadi proses dekomposisi. Analisis hasil SMC sebelum dan sesudah penelitian berlangsung, terjadi perubahan unsur-unsur hara. Hasil ini akibat dari pemanfaatan unsur hara SMC baik unsur hara makro maupun unsur mikro oleh mikroorganisme, disamping itu mikroorganisme juga memanfaatkan karbon dan fosfat dari diazinon sebagai sumber energi. Unsur hara mikro contohnya Fe (907.6 ppm menjadi 864.8 ppm) dimanfaatkan oleh mikroorganisme, berguna untuk proses reaksi biokimia seperti fotosintesis, respirasi, transportasi electron, reduksi nitrat, detoksifikasi radikal O2 (Juli & Neil 1999). Menurut Amer (2011), bahwa bakteri pendegradasi diazinon mampu memanfaatkan diazinon sebagai sumber karbon dan fosfor. Judoamidjojo et al. (1989) menyatakan sumber karbon merupakan faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan mikroorganisme optimal, tetapi apabila sumber karbon melewati kebutuhan mikroorganisme maka akan menimbulkan efek penghambatan terhadap pertumbuhan. Bakteri-bakteri pendegradasi diazinon yang mampu menggunakan diazinon sebagai sumber karbon yaitu Pseudomonas sp. (Rani et al. 2008), Agrobacterium sp. (EXTOXNET 1996: Yasouri 2006), Arthrobacter sp. (Ohshiro 1996), dan Flavobacterium sp. (EXTOXNET 1996). Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa sebelum dan sesudah percobaan terjadi perubahan nilai C/N dan perubahan kandungan unsur-unsur hara lainnya. Penambahan nilai C/N dari 39.90% menjadi 49.74%, berkaitan dengan peningkatan populasi mikroorganisme pengurai yang membebaskan CO2, dimana pemanfaatan bahan organik oleh mikroorganisme tersebut akan menurunkan kandungan karbon organik dari 44.69% menjadi 42.78% dan kandungan nitrogen organik berkurang dari 1.12% menjadi 0.86%, hal ini akibat terjadi fiksasi N. Amonium digunakan mikroorganisme untuk berkembangbiak membentuk sel baru, sebagian diubah menjadi nitrat dan sebagian lagi menguap. Karena terjadinya penurunan kandungan karbon dan penurunan kandungan nitrogen sehingga menyebabkan nilai C/N bertambah. Hal ini disebabkan oleh dekomposisi sel-sel bakteri yang mengalami fase kematian (death phase). Kondisi pH (7.39-8.20) dan kadar air (25.00-63.93%) pada saat penelitian berlangsung adalah kondisi yang optimum untuk pertumbuhan bakteri, pH optimum untuk aktifitas bakteri berkisar antara 6-7.5 (Golueke 1972), sedangkan menurut Kim et al. (2004) mengatakan bahwa pH ideal untuk degradasi selullosa adalah 7.5.
Proses biodegradasi diazinon ini berlangsung pada suhu 28-32oC, sehingga bakteri yang ada pada SMC dapat bekerja secara optimal, mengingat bakteri Pseudomonas sp, Chromobacterium sp, Bacillus azotoformans dan Micrococcus agalis merupakan bakteri mesofilik (20o-40oC), sedangkan bakteri Bacillus mycoides, Bacillus cereus, Bacillus brevis merupakan bakteri thermofilik (>40oC). Menurut Amer (2011) bakteri Serratia sp mampu mendegradasi diazinon secara sempurna dalam waktu 11 hari pada suhu 25o-30oC, namun
pada suhu 20oC
diperlukan waktu lebih lama yaitu 13 hari. Proses degradasi dapat mencapai maksimum jika kadar air optimum (Beck 1997; Bueno et al. 2008).
Recycled organics unit (2007) merekomendasikan
menjaga kandungan air tetap 60%, sedangkan Zang et al. (2009) menyarankan kondisi kadar air dipertahankan di bawah 65%. Penelitian ini berlangsung pada kadar air 25-63.93%, sehingga faktor kadar air sangat mendukung proses degradasi diazinon. Bakteri Bacillus sp dan Pseudomonas sp sangat berperanan dalam proses dekomposisi bahan-bahan organik SMC, tetapi bila didukung dengan kondisi yang optimal mengakibatkan proses degradasi berjalan cepat sehingga membutuhkan waktu pengomposan yang singkat.
4.2. Bakteri dalam SMC Jamur Tiram (Spent Mushroom Compost) Kompos jamur tiram yang akan digunakan sebagai biofilter, sebelum dan sesudah penelitian dianalisis kandungan bakterinya. Isolasi bakteri dari SMC jamur tiram (Pleurotus ostreatus) yang dilakukan diawal penelitian untuk memperoleh bakteri murni yang selanjutnya diidentifikasi. Hasil isolasi ini ditemukan 13 isolat kemudian diidentifikasi. Hasil identifikasi ditemukan bakteri Pseudomonas stutzeri, Bacillus mycoides, B. cereus, B. brevis dan Chromobacterium sp (Tabel 6).
Tabel 6 Bakteri dari kompos jamur tiram
No 1 2 3 4 5 6 7
Bakteri Pseudomonas stutzeri Bacillus mycoides, Bacillus cereus, Bacillus brevis Chromobacterium sp Bacillus azotoformans Micrococcus agalis
Fase temperatur
Sebelum penelitian
Sesudah penelitian
m, t t t t m m, t m
+ + + + + -
+ + + +
o
o
o
m = mesofilik (20 -40 C), t = thermofilik (>40 C), + = ada, - = tidak ada. Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology (Vol I and II; Palleroni, 1984). Dilakukan oleh Laboratorium Bakteriologi. Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Hasil identifikasi bakteri dari kompos setelah mengalami inkubasi 10 hari (penelitian berakhir) ditemukan 5 isolat kemudian diidentifikasi yaitu Bacillus cereus, B. brevis, B. azotoformans dan Micrococcus agalis, dengan B. brevis yang dominan (Tabel 6). Hasil identifikasi bakteri dari SMC sebelum penelitian dan hasil identifikasi bakteri dari SMC yang telah tercemar diazinon 1707 ppm dan telah mengalami dekomposisi selama 9 hari, terdapat perbedaan yaitu Pseudomonas stutzeri, B. mycoides dan Chromobacterium sp tidak dijumpai di akhir penelitian. Hal ini bisa dikatakan bahwa ketiga bakteri tersebut tidak dapat bertahan hidup di media tercemar diazinon hingga akhir penelitian (9 hari). Bacillus sp mendominasi di akhir penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Haasen et al. (2001) bahwa pada akhir siklus pengomposan ditemukan bakteri Bacillus sp. Pada akhir penelitian, di samping ditemukan B. brevis dan B. cereus, justru terdapat 2 spesies bakteri yang pada SMC sebelum digunakan penelitian tidak ditemukan yakni Bacillus azotoformans dan Micrococcus agalis. B. cereus mampu mendegradasi diazinon pada media padat MSPY yang mengandung 1700 ppm diazinon (Jumbriah 2006). Hal ini bisa terjadi kemungkinan pada awal penelitian, kedua jenis bakteri masih berbentuk spora, bakteri dalam keadaan dorman, kemudian selama penelitian berlangsung dengan kondisi yang optimum bagi pertumbuhannya, maka merangsang kedua bakteri
tersebut
tumbuh dan
berkembang. Bakteri gram positif seperti Bacillus, Anaerobacter dan Clostridium bisa berbentuk resisten, mengalami struktur dorman yang disebut endospora yaitu proses yang tidak reproduktif (Stephen 1998). Micrococcus sp yang diisolasi dari tanah, dapat mendegradasi Chlopyrifos (Guha 1997); demikian juga Alcaligenes faecalis pada kondisi tanah netral dan bersifat basa (Yang et al. 2005). Bakteri Micrococcus agalis yang terdapat dalam kompos dari sampah kota, mampu hidup pada tanah terkontaminasi minyak hidrokarbon (Pagoray 2009).
Hasil penelitian, Micrococcus agalis, yang ada pada kompos jamur tiram mampu hidup dan mendegradasi diazinon konsentrasi 1707 ppm. Pada akhir penelitian tidak dijumpai Pseudomonas sp. walaupun diketahui penyebaran
Pseudomonas
sp
sangat
luas.
Hal
ini
mungkin
disamping
Pseudomanas stutzeri tidak mampu bertahan pada diazinon konsentrasi tinggi, kemungkinan juga berkaitan dengan pH penelitian yang cukup tinggi (pH 8.2) di akhir penelitian. Pseudomonas sp dengan densitas inokulum sebesar 104 cfu/g tanah mampu mendegradasi ethoprophos pada suhu 20o-35o C dan pH 5.4 dalam waktu 16 hari (Karpouzas & Walker 2000). Bakteri Bacillus brevis bersifat gram positif, aerobik, membentuk spora, menghasilkan antibiotik gramicin dan tyrocidine, rod optik 35-55oC, aktifitas katalase gelatin positif (Stephen 1998).
4.3. Biodegradasi pada Sistem Biofilter Penurunan diazinon karena penjerapan Perlakuan kontrol dibuat untuk baseline studi (450 g kompos dan konsentrasi larutan awal 1000 ppm) berupa biofilter untuk sistem batch dengan kompos jamur tiram yang disterilkan. Hingga pengamatan inkubasi sampai dengan 10 hari tidak ditemukan adanya mikroorganisme. Namun terjadi penurunan konsentrasi diazinon, hingga hari ke-9, sebesar 2.5% dari konsentrasi awal (Lampiran 8). Penurunan konsentrasi diazinon kemungkinan disebabkan oleh faktor fisik (penguapan). Fenomena penguapan juga terlihat pada pengomposan diazinon dalam sistem benchtop dengan simulasi tekanan udara, terjadi pengurangan diazinon sebesar 22% (Petruska et al. 1985). Pengurangan sebesar 0.2%, diperoleh Frederick et al. (1996), menggunakan pengomposan diazinon dengan inkubasi 50 hari pada suhu 55º C. Jika keadaan ini dibandingkan dengan kompos perlakuan yang sama (B5) yang tidak mengalami sterilisasi, dengan jumlah kompos dan konsentrasi diazinon awal yang sama, maka penurunan konsentrasi diazinon sebesar 16.01% pada hari kedua rata-rata dari tiga ulangan. Penurunan ini disebabkan oleh kerja mikroorganisme yang ada dalam kompos SMC. Untuk itu kejadian penurunan konsentrasi diazinon pada penelitian ini diakibatkan oleh kerja mikroorganisme, khususnya bakteri yang ada pada kompos. Perubahan pertumbuhan mikroorganisme pada biofilter sistem batch disajikan pada Gambar 7. Pengamatan dilakukan hingga 9 hari. Hingga hari ke-2 untuk semua perlakuan, tidak ada perubahan pertumbuhan
mikroorganisme.
Diduga saat tersebut dalam lag phase. Perubahan pertumbuhan mikroorganisme umumnya meningkat pada hari ke-8 pada semua perlakuan (Lampiran 6) dan selanjutnya kembali turun diakibatkan pertumbuhan memasuki fase kematian (death phase). Pada hari ke-3 sampai hari ke-7 pada seluruh perlakuan, kecuali perlakuan B7, terjadi pertumbuhan mikroorganisme yang rendah. Pada saat ini penurunan konsentrasi diazinon juga rendah. Pada hari ke-8 pertumbuhan populasi mikroorganisme maksimum didukung oleh nilai FDA 0.9130 (tersaji pada Tabel 10).
Pada Gambar 8, diberikan detail salah satu perlakuan, terlihat bahwa
pertumbuhan mikroorganisme yang pesat pada hari ke-7, pada saat yang bersamaan degradasi diazinon berlangsung maksimal. Pertumbuhannya
B1
0 -200
2 3 4 5 6 7 8 9 waktu (hari)
2000
60
1500 1000 500 0 -500
100 80 60 40 20 0
Pertumbuhan (x10--3)
Pertumbuhan (x10 -6)
100 50 0 -50
2 3 4 5 6 7 8 9 waktu (hari)
0 2 3 4 5 6 7 8 9
-20
waktu (hari)
2 3 4 5 6 7 8 9 waktu (hari)
800 700 600 500 400 300 200 100 0 -100
2 3 4 5 6 7 8 9 waktu (hari)
B6
0.2 0.15 0.1 0.05 0 -0.05
23456789 waktu (hari)
B8
B7 150
20
0.25
120
-20
2 3 4 5 6 7 8 9 waktu (hari)
200
40
B5 Pertumbuhan (x10--3)
Pertumbuhan (x10 -3)
B4 60 50 40 30 20 10 0 -10
2 3 4 5 6 7 8 9 waktu (hari)
Pertumbuhan (x10-3)
200
80
Pertumbuhan (x10 -3)
400
2500
B9 Pertumbuhan (x 10--3)
600
Pertumbuhan (x10--3)
Pertumbuhan (x10--3)
800
B3
B2
1000
12 10 8 6 4 2 0 -2
2 3 4 5 6 7 8 9 waktu (hari)
Gambar 7 Perubahan pertumbuhan mikroorganisme pada sistem batch, berbagai konsentrasi diazinon dan jumlah kompos. Keterangan gambar: Gambar B1 B2 B3 B4 B5
Keterangan 1500ppm diazinon 600g kompos 500ppm diazinon 600g kompos 1500ppm diazinon 300g kompos 500ppm diazinon 300g kompos 1000ppm diazinon 450g kompos
Gambar B6 B7 B8 B9
Keterangan 1707ppm 293ppm 1000ppm 1000ppm
diazinon 450g kompos diazinon 450g kompos diazinon 662g kompos diazinon 279g kompos
mikroorganisme mengkonsumsi karbon dan fosfor dari diazinon sebagai sumber energi (Amer 2011). Hubungan antara konsentrasi diazinon, jumlah kompos dan waktu untuk berbagai perlakuan dioptimasikan untuk melihat kondisi terbaik penurunan diazinon. Proses semi kontinyu pada Gambar 9, pertumbuhan mikroorganisme terjadi hingga 99 jam. Hingga jam ke-29 untuk semua perlakuan terlihat tidak ada perubahan pertumbuhan mikroorganisme karena mikroorganisme dalam SMC tersebut masih berada pada fase lag. Setelah jam ke-49 terjadi peningkatan perubahan pertumbuhan mikroorganisme yang tinggi untuk semua perlakuan (Lampiran 6).
Pengecualian terjadi pada proses di perlakuan B7, dimana
konsentrasi diazinon yang digunakan rendah (293 ppm) dan jumlah kompos sedang (450 g). Peningkatan pertumbuhan mikroorganisme sudah terjadi di jam ke29. Hal ini karena konsentrasi diazinon rendah, maka toksisitas diazinon terhadap mikroorganime juga rendah dan jumlah kompos yang mendukung pertumbuhan mikroorgnisme. Menurut Barker (2002) jumlah karbon organik dan nitrogen yang ada pada kompos (SMC), merupakan faktor pembatas dalam proses mineralisasi pestisida. Peningkatan jumlah kompos sampai berat tertentu akan menstimulasi aktifitas mikroorganisme, sehingga mempercepat degradasi pestisida. Disamping itu penambahan kompos, bisa menambah stabilitas dan penurunan mineralisasi residu pestisida. 0.25
B6 rtumbuhan (x10 -3)
0.2
0.15
Gambar 8 Perubahan pertumbuhan mikroorganisme pada sistem batch (B6), konsentrasi diazinon 1707 ppm dan jumlah kompos 450g B2
0
6 1 -4 26 28 49 5153 7476 97 99 waktu (jam)
262849515374 76 97 99 -5
11
waktu (jam)
Pertumbuhan (x)
Pertumbuhan (x10 -3)
800 600 400 200 0
-200
waktu (jam)
100 50 0 -50 2628 49 51 53 73 769799 waktu (jam)
4 2 0
6 4 2 0 -2 26 28 49 51 53 74 76 97 99 waktu (jam)
2 1.5 1 0.5 0 waktu (jam)
B9
10 8
2.5
-0.5 26 28 4951 53 74 76 9799
26 28 49 51 53 74 76 97 99
B8 Pertumbuhan (x10 -3)
Pertumbuhan (x10 -6)
150
6
B6
waktu (jam)
B7 Gambar 6b. Perubahan per 200
8
B5
B4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 -0.5 2628 49 51 53 74 76 97 99
10
-2 26 28 4951537476 97 99 waktu (jam)
Pertumbuhan (x10 -3)
5
B3
Pertumbuhan (x)
10
16
Pertumbuhan (x10 -3)
Pertumbuhan (x10 -3)
Pertumbuhan (x10 -3)
B1 15
120 100 80 60 40 20 0 -20 26 28 49 51 53 74 76 97 99 waktu (jam)
Gambar 9 Perubahan pertumbuhan mikroorganisme pada sistem semi kontinyu, berbagai konsentrasi diazinon dan jumlah kompos. Keterangan: Gambar B1 B2 B3 B4 B5
Keterangan
Gambar
1500ppm diazinon 600g kompos 500ppm diazinon 600g kompos 1500ppm diazinon 300g kompos 500ppm diazinon 300g kompos 1000ppm diazinon 450g kompos
B6 B7 B8 B9
Keterangan 1707ppm 293ppm 1000ppm 1000ppm
diazinon 450g kompos diazinon 450g kompos diazinon 662g kompos diazinon 279g kompos
Pada Gambar 9, seluruh perlakuan nampak perubahan pertumbuhan mikroorganisme kecil, selanjutnya pada jam ke-74 perubahan pertumbuhan yang tinggi. Hal ini diperkirakan terjadi pergantian (substitusi) mikroorganisme yang berperan pada biodegradasi, mengingat hasil identifikasi bakteri dari kompos pada Tabel 7, terdapat 2 jenis bakteri di akhir penelitian, yang sebelumnya tidak terdapat. Pada Gambar 7 dan 9, menunjukkan bahwa mikroorganisme pada biofilter sistem semi kontinyu sudah mengalami perubahan pertumbuhan 2
mikroorganisme
4
maksimum (10 –10 kali) pada waktu inkubasi 74-75 jam, sedangkan perubahan pertumbuhan mikroorganisme pada sistem batch maksimum (102–106 kali) pada inkubasi
8
hari.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
perubahan
pertumbuhan
mikroorganisme pada biofilter sistem semi kontinyu lebih cepat dibandingkan pada biofilter sistem batch dan berakibat proses degradasi diazinon pada biofilter semi kontinyu juga lebih cepat dibandingkan pada biofilter sistem batch. Detail salah satu perlakuan pada biofilter semi kontinyu disajikan pada Gambar 10, perlakuan B6 dengan konsentrasi diazinon 1707 ppm dan jumlah kompos 450 g, perubahan pertumbuhan mikroorganisme pada jam ke-26 hingga jam ke-52 pertumbuhan mikroorganisme kecil, pada jam ke-73 ada pertumbuhan, dan meningkat pesat pada jam ke-75 sebesar 2130 kali. B6 2.5
umbuhan (x10 -3)
2 1.5
Gambar 10 Perubahan pertumbuhan mikroorganisme pada sistem semi kontinyu, konsentrasi diazinon 1707 ppm dan jumlah kompos 450 g Pada Gambar 8 dan Gambar 10 dibandingkan pengaruh pertumbuhan mikroorganisme terhadap waktu degradasi diazinon. Pertumbuhan mikroorganisme pesat pada Gambar 10 biofilter sistem semi kontinyu, terjadi pada jam ke-75 sebesar 2000 kali, sedangkan pada Gambar 8 biofilter sistem batch, terjadi 200 kali pada hari ke-7. Hal ini menunjukkan kinerja biofilter semi kontinyu lebih baik dan lebih efisien dibandingkan biofilter sistem batch.
Pada biofilter sistem semi
kontinyu terdapat sirkulasi larutan diazinon, yang kemungkinan berdampak pada adanya aerasi, untuk bakteri yang bersifat fakultatif hal ini dapat mempercepat pertumbuhan, akibatnya pertumbuhan mikroorganisme pesat. 4.4. Penurunan Konsentrasi Diazinon sistem batch dan semi kontinyu Persentase penurunan konsentrasi diazinon larutan dipengaruhi oleh jumlah kompos dan besarnya konsentrasi larutan diazinon (Gambar 11). Semakin besar jumlah kompos, maka persentase penurunan konsentrasi diazinon maksimum semakin cepat dicapai (konsentrasi larutan diazinon yang sama 500 ppm dan dengan jumlah kompos yang berbeda B2 = 600 g, maka 100% penurunan
Penurunan Kons Diazinon (%)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1
2
1500ppm D 600g K B1 500ppm D 300g K B4 293ppm D 450g K B7
3
4
5 Hari
6
500ppm D 600g K B2 1000ppm D 450g K B5 1000ppm D 662g K B8
7
8
9
1500ppm D 300g K B3 1707ppm D 450g K B6 1000ppm D 279g K B9
Gambar 11 Penurunan konsentrasi diazinon sistem batch
konsentrasi diazinon dicapai pada hari ke-6 dibandingkan jumlah kompos sedikit, B4 = 300 g pada hari ke-8 hanya 85%. Hal ini berkaitan dengan jumlah kompos yang besar, terdapat jumlah dan diversitas mikroorganisme yang tinggi, sehingga kemampuan mendegradasi diazinon, juga tinggi. Jumlah inokulum bakteri pendegradasi dan konsentrasi kontaminan berpengaruh pada kemampuan bakteri mendegradasi diazinon, semakin besar jumlah inokulum maka degradasi diazinon semakin besar dan waktu yang dibutuhkan semakin cepat, konsentrasi kontaminan meningkat diperlukan waktu semakin lama (Abo-Amer 2011). Pada Gambar 11 dan 12, secara umum persentase penurunan konsentrasi diazinon pada sistem semi kontinyu dicapai (75 jam), lebih cepat 60% dibandingkan sistem batch (6-9 hari atau 144-192 jam). Degradasi pestisida pada sistem semi kontinyu lebih efisien waktunya, disebabkan selain faktor suhu, pH, kelembaban, dan nutrisi, yang mendukung hampir sama dengan pada biofilter sistem batch, ada faktor aerasi yang menghasilkan oksigen, sehingga menambah kemampuan degradasi diazinon oleh mikroorganisme. Hasil penelitian Aasen et al. (1996), bahwa penggunaan aerasi untuk mensuplai oksigen, pada proses bioremediasi,
signifikan
dibandingkan tanpa aerasi.
meningkatkan
mineralisasi
(hidrokarbon petroleum)
Penurunan Kons Diazinon (%)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 24 25 26 27 28 29 49 50 51 52 53 73 74 75 76 77 97 98 99 Jam 1500ppm D 600g K B1 500ppm D 300g K B4 293ppm D 450g K B7
500ppm D 600g K B2 1000ppm D 450g K B5 1000ppm D 662g K B8
1500ppm D 300g K B3 1707ppm D 450g K B6 1000ppm D 279g K B9
Gambar 12 Penurunan konsentrasi diazinon sistem semi kontinyu
Disamping itu, beberapa di antara bakteri pendegradasi dari kompos (SMC) seperti Pseudomonas sp., Alcaligenes sp., Rhodococcus dan Mycobacterium diketahui sebagai bakteri aerobik pendegradasi pestisida dan hydrocarbon (Vidali 2001). Penurunan konsentrasi diazinon semakin besar karena selain dipengaruhi oleh faktor lingkungan (suhu, pH, kadar air) yang optimum, waktu juga berpengaruh terhadap penurunan konsentrasi diazinon, semakin lama waktu remediasi maka penurunan konsentrasi diazinon semakin besar untuk sistem batch. Persentase penurunan konsentrasi diazinon sistem batch pada hari ke-6 tersaji pada Gambar 13. Besarnya penurunan konsentrasi diazinon dipengaruhi oleh jumlah kompos. Jumlah kompos meningkat, mengakibatkan populasi mikroorganisme meningkat, sehingga kemampuan mendegradasi meningkat. Jumlah kompos identik dengan populasi mikroorganisme.
Penurunan konsentrasi diazinon (%)
100
80
60
40
20
0 1500ppm D 600g K B1 500ppm D 300g K B4 293ppm D 450G K B7
Perlakuan 500ppm D 600g K B2 1000ppm D 450g K B5 1000ppm D 662g K B8
1500ppm D 300g K B3 1707ppm D 450g K B6 1000ppm D 279g K B9
Gambar 13 Penurunan konsentrasi diazinon sistem batch hari ke-6 Pada perlakuan B4 dan B2, jumlah kompos dinaikan dua kali, dari 300 g menjadi 600 g, terlihat degradasi diazinon meningkat dari 66.67% menjadi 89.89 %. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Amer (2011), pada peningkatan bakteri 100 kali diperoleh kenaikkan penurunan kadar diazinon sebesar 30%. Pada Gambar 13 perlakuan B5 dan B8, jumlah kompos meningkat namun tidak meningkatan penurunan konsentrasi diazinon. Hal ini disebabkan kerapatan kompos meningkat dari 0.26 g cm-3 menjadi 0.38 g cm-3, sedangkan kerapatan pada jumlah kompos optimum sebesar 0.26 g cm-3, sehingga aerasi berkurang dan berakibat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Selanjutnya menghambat proses degradasi diazinon. Degradsi diazinon dipengaruhi oleh konsentrasi larutan in put dan jumlah kompos. Jumlah kompos tertentu akan menghasilkan degradasi diazinon maksimum, oleh karena itu akan dilakukan analisis dengan optimasi yang dibahas pada sub bab berikutnya. Pada Gambar 14, peningkatan jumlah kompos hanya sedikit meningkatkan persentase penurunan konsentrasi diazinon pada larutan awal 1000 ppm dengan waktu 49 jam (B5 dan B8). Sirkulasi larutan mempengaruhi waktu yang digunakan untuk degradasi diazinon menjadi lebih singkat.
Penurunan konsentrasi diazinon (%)
100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 Perlakuan 1500ppm D 600g K B1 500ppm D 300g K B4 293ppm D 450g K B7
500ppm D 600g K B2 1000ppm D 450g K B5 1000ppm D 662g K B8
1500ppm D 300g K B3 1707ppm D 450g K B6 1000ppm D 279g K B9
Gambar 14 Penurunan konsentrasi diazinon sistem semi kontinyu pada jam ke-49 Degradasi diazinon mendekati 100% terjadi pada perlakuan dengan konsentrasi larutan diazinon awal sampai 500 ppm dengan waktu 49 jam (Gambar 14). Pada Gambar 13 dan Gambar 14 dibandingkan, pada perlakuan B5 sistem batch
mampu
menurunkan dikonsentrasi
diazinon
71.06% (Lampiran 9),
sedangkan dengan sistem semi kontinyu diazinon dapat didegradasi sebesar 84.47% (Lampiran 10). Adanya sirkulasi larutan diazinon, tidak saja waktu degradasi menjadi lebih singkat tetapi juga mampu mendegradasi diazinon lebih besar daripada dengan sistem batch.
4.5. Uji Aktivitas Mikroorganisme Peningkatan aktivitas mikroorganisme juga dapat dilihat dari hasil analisis dengan menggunakan fluorescein diacetat assay (FDA). Hasil uji aktivitas mikroorganisme (Gambar 15) terlihat bahwa aktivitas mikroorganisme cenderung mengkuti kurva pertumbuhan mikroorganisme yaitu melewati fase lamban (lag phase), fase eksponensial (exponential phase), fase diam (stasionary phase), dan fase mati (death phase). Pada hari ke-0 hingga hari ke-9 ada kecenderungan naik tetapi setelah hari ke-8 aktivitas mikroorganisme sudah menurun dan sebagian mikroorganisme cenderung mati, terlihat pada sampel (B3) yang jumlah komposnya relatif lebih kecil dengan konsentrasi diazinon yang tinggi sehingga kemampuan hidup mikroorganisme pada kondisi tersebut sangat kecil.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1
2
3
4
FDA (/g)
5
6 7 Hari Ke
8
9
Penurunan C Diazinon (%)
Aktifitas (FDA/g)
1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 10 11
Penurunan C Diazinon
Gambar 15 Grafik aktifitas mikroorganisme dan degradasi konsentrasi diazinon sistem batch
FDA
menggambarkan
aktifitas
enzim
hidrolitik
mikroorganisme.
Peningkatan jumlah FDA yang diproduksi dari hari ke-0 hingga hari ke-8 semakin banyak. Pada hari ke-9 terlihat adanya penurunan aktivitas mikroorganisme bahkan ada yang cenderung mati. Semakin banyak produk FDA yang dihasilkan menunjukkan semakin besar pula aktivitas mikroorganismenya. Sampel pada hari ke-8 menuju hari ke-9 produk FDA yang diproduksi, sudah terlihat angka yang menurun, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada lagi FDA yang diproduksi oleh karena mikroorganisme tersebut tidak dapat lagi menggunakan diazinon sebagai sumber nutrisi dan energi untuk pertumbuhannya. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa mikroorganisme yang ada dalam SMC dapat menggunakan diazinon sebagai sumber karbon dan energi untuk pertumbuhannya sehingga populasi mikroorganisme dan aktivitasnya meningkat, hal ini mengakibatkan kemampuan mikroorganisme dalam mendegradasi senyawa diazinon menjadi meningkat sehingga terjadi
penurunan konsentrasi diazinon. Gambar 15,
persentase penurunan konsentrasi diazinon maksimum dicapai pada saat aktifitas mikroorganisme meningkat, sehingga terjadi suatu proses perombakan (degradasi) diazinon menjadi senyawa yang lebih sederhana.
4.6. Analisis Degradasi Diazinon dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Senyawa turunan hasil degradasi diazinon oleh aktivitas mikroorganisme yang berasal dari SMC, ada atau tidaknya dipastikan dengan dilakukan analisis diazinon menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). Hasil analisis dengan KLT dapat dilihat pada Gambar 16.
Rf (jarak)
1
2
3
4
Sampel Gambar 16 Kromatogram hasil KLT dengan eluen heksana : etyl asetat (10:1) (1) diazinon teknis pekat; (2) stok diazinon 10000 ppm; (3) sampel B4 (H9); (4) sampel B4 (H0)
Gambar 16 secara kualitatif terlihat bahwa diazinon teknis pekat (1) dan stok diazinon 10000 ppm (2) terdapat satu spot berwarna merah muda dengan masing-masing nilai Rf 0.44 dan 0.42. Pada sampel hari ke-9 (3) juga terdapat satu spot berwarna merah muda dan pada hari ke-0 (4) ada satu spot dengan masingmasing nilai Rf 0.42 dan 0.44 sama dengan stok diazinon 10000 ppm dan diazinon teknis pekat, diduga spot berwarna merah muda adalah diazinon, tak dijumpai spot lain selain spot yang berwarna merah muda. Adanya satu spot berwarna merah muda pada KLT menunjukan ada kemungkinan turunan diazinon hasil degradasi tidak terdeteksi, KLT kurang sensitif karena konsentrasi diazinon rendah, di bawah limit deteksi KLT. Hal ini sesuai pernyataan bahwa diazoxon yang merupakan turunan dari degradasi diazinon ditemukan pada hasil penelitian di lapangan atau di lingkungan tetapi tidak ditemukan di percobaan laboratorium (US-EPA 2000). Selanjutnya hasil penelitian Bavcon et al. (2003), tidak ditemukan metabolit hasil turunan degradasi diazinon pada percobaan laboratorium dalam kondisi gelap (tanpa cahaya). Secara umum diazinon mempunyai rute degradasi mencakup pemutusan ikatan P–O–pirimidin oleh aktivitas NADPH-dependent oksidase. Komponen
heterosiklik diazinon dapat diaktivasi oleh enzim monooksidase yang membentuk derivatif P=O membentuk
menghasilkan diazoxon, tetapi senyawa ini dapat terhidrolisis 2-isopropyl-4-methyl-6-hydroxypyrimidine
(IMHP)
dan
asam
tiofosfonat. Di alam, pada kondisi asam atau alkali, diazinon dapat terdegradasi dengan cepat, tetapi pada kondisi netral kecepatan degradasinya lebih lambat (McEwen & Stephenson 1979). Pada penelitian ini proses degradasi berlangsung dalam keadaan pH netral cenderung basa (pH 7.39-8.20) sehingga secara alami diazinon terdegradasi lambat, namun dengan adanya penambahan SMC mengakibatkan diazinon dapat terdegradasi secara mikrobial dan fermentasi berlangsung dengan cepat. Cepatnya degradasi diazinon ini disebabkan adanya bantuan aktivitas bakteri ataupun mikroorganisme lainnya yang terdapat dalam SMC tersebut.
4.7. Optimasi Persentase Penurunan Konsentrasi Diazinon Model grafik permukaan respon dan kontur permukaan respon biofilter sistem batch, hari ke-8 dapat dilihat pada Gambar 17 dan Gambar 18. Hasil optimasi persentase penurunan konsentrasi diazinon pada hari ke-8 dapat digambarkan pada persamaan kuadratik sebagai berikut: Y = 101.40 – 11.41 X1 – 8.73 X12 + 16.73 X2 - 24.37 X22 + 1.35 X1 X2 …………….(2) Pada model persamaan (2) memperlihatkan bahwa kompos berpengaruh signifikan terhadap penurunan konsentrasi diazinon larutan dengan P = 0.04. Hal ini mengandung arti bahwa penambahan kompos mempunyai pengaruh positif terhadap persentase konsentrasi penurunan diazinon yang dihasilkan. Namun pada titik variabel 499 g terjadi titik balik, sehingga faktor jumlah kompos berpengaruh negatif terhadap persentasi penurunan konsentrasi diazinon yang dihasilkan. Faktor konsentrasi larutan diazinon pada persamaan (2) di atas juga memperlihatkan pengaruh yang positif terhadap persentase penurunan konsentrasi diazinon yang dihasilkan. Namun pada titik variabel 685.68 ppm terjadi titik balik. Faktor konsentrasi larutan diazinon berpengaruh negatif terhadap persentase penurunan konsentrasi diazinon yang dihasilkan. Titik optimum yang menghasilkan nilai persentase penurunan konsentrasi diazinon maksimum sebesar 100%, adalah pada faktor jumlah kompos 499 g dan faktor konsentrasi larutan diazinon 685.68 ppm.
Gambar 17 Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-8 Gambar 17 dan 18 menunjukkan bahwa jumlah kompos berpengaruh positif secara linear terhadap penurunan konsentrasi diazinon, yakni semakin banyak kompos sampai batas tertentu yakni 499 g, maka penurunan konsentrasi diazinon juga semakin besar. Kondisi ini terjadi karena jumlah mikroorganisme yang terdapat pada kompos yang jumlahnya banyak, juga semakin banyak. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa penurunan konsentrasi diazinon terjadi sebagai akibat tingginya proses metabolisme yang dilakukan bakteri dan mikroorganisme lainnya yang terdapat dalam SMC. Mikroorganisme tersebut mampu menggunakan senyawa diazinon sebagai sumber karbon dan energi, sehingga terjadi peningkatan jumlah populasi dan aktifitas mikroorganisme dalam mendegradasi diazinon. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan populasi dan aktifitas mikroorganisme, menyebabkan konsentrasi diazinon mengalami penurunan.
Namun demikian pada penambahan kompos melebihi 499 g
memberikan pengaruh yang sebaliknya. Hal ini disebabkan jumlah kompos yang tinggi justru akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
Hal ini sesuai
dengan pendapat Judoamidjojo et al. (1989) yang mengatakan bahwa ketersediaan karbon merupakan faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan optimal, tetapi apabila
sumber
karbon
melewati
kebutuhan
mikroorganisme
menimbulkan efek penghambatan pada pertumbuhannya.
maka akan
Gambar 18 Kontur permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-8 Selain faktor ketersediaan karbon, dalam proses degradasi pestisida juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu dan pH. Dalam hal ini untuk menghasilkan proses degradasi yang baik oleh mikroorganisme, diperlukan suhu dan pH optimum yakni suhu antara 45 o-59o C (US-EPA 1994) dan pH 6.5-7.5 (Fletcher 1991). Bakteri Serratia sp mendegradasi sempurna diazinon 50 ml l -1 pada pH 7.5-8.0 selama 11 hari.
Penelitian ini berlangsung pada suhu 29o-32o C
dan pH larutan eluen rata-rata 7.39-8.2. Hal ini memperlihatkan bahwa kondisi penelitian merupakan kondisi yang relatif baik sehingga mendukung proses degradasi. Menurut Kim et al (2004) bahwa pH ideal untuk pertumbuhan mikroorganisme kompos adalah 7.5, selanjutnya pH 8.5-9 (kondisi alkali) akan mendorong pelepasan gas ammonia (NH3) (Saludes et al. 2008). Persamaan (2) memberikan informasi bahwa semakin tinggi konsentrasi diazinon
memberikan
pengaruh
negatif
terhadap
persentase
penurunan
konsentrasi diazinon dengan kata lain konsentrasi diazinon memberikan pengaruh negatif setelah titik kritis dilampaui yakni 685.68 ppm, terhadap penurunan konsentrasi diazinon. Semakin tinggi konsentrasi diazinon maka penurunan konsentrasi diazinon juga semakin kecil. Hal ini disebabkan konsentrasi diazinon yang tinggi akan memiliki sifat toksisitas terhadap mikroorganisme yang tinggi pula. Jumlah kompos
memberikan pengaruh
positif
terhadap penurunan
konsentrasi diazinon sampai titik kritis karena semakin banyaknya mikroorganisme yang berperan dalam proses biodegradasi. Hal ini disebabkan mikroorganisme telah beradaptasi dengan senyawa diazinon, sehingga mikroorganisme tersebut
mengeluarkan enzim dan plasmid yang dapat mendegradasi diazinon dengan mendetoksifikasi diazinon tersebut menjadi zat yang kurang atau tidak beracun. Diazinon adalah salah satu jenis pestisida golongan organofosfat yang paling stabil di dalam tanah. Waktu paruh diazinon adalah 30 hari (Wauchope et al. 1992). Tabel 7 Aktifitas mikroorganisme dan degradasi diazinon pada biofilter Batch (B5) Hari ke-
Aktifitas mikro organisme (FDA g-1)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0.4406 0.4522 0.4665 0.5333 0.5541 0.6673 0.7865 0.8111 0.9130 0.8511 0.8385
sistem
Penurunan konsentrasi diazinon (%)
0 16.01 25.42 41.87 50.91 71.06 92.18 (100) (-) (-)
(-) : konsentrasi diazinon tidak terdeteksi
Tabel 7 menunjukkan bahwa aktifitas mikroorganisme dan degradasi diazinon pada kombinasi konsentrasi larutan diazinon 1000 ppm dan jumlah kompos 450 g.
Aktifitas mikroorganisme, dari awal cenderung meningkat dan
mencapai maksimum pada hari ke-8 dan menurun hingga akhir penelitian, dan persentase
penurunan
diazinon
mencapai
maksimal.
Hal
ini
karena
mikroorganisme dalam SMC tersebut masih dalam penyesuaian dan pertumbuhan awal, kemudian pada hari ke-5 pertumbuhan pesat sehingga proses degradasi juga meningkat dan mengakibatkan penurunan konsentrasi diazinon maksimal. Pada hari ke-8 pertumbuhan populasi mikroorganisme mencapai puncaknya ditunjukkan dengan nilai FDA 0.9130 dan hari ke-9 mengalami fase diam dan penurunan serta sebagian mikroorganisme mati. Konsentrasi diazinon sistem pompa (semi kontinyu)
Hasil optimasi persentase penurunan konsentrasi diazinon pada biofilter sistem semi kontinyu pada jam ke-75 dapat dilihat pada Gambar 19 dan Gambar 20, dan persamaan kuadratik sebagai berikut: Y = 99.94 - 10.28 X1 - 7.40 X1 2 + 2.01 X2 - 2.30 X2 2 + 1.03 X1X2 ………..….……..(3) Pada model
persamaan (3), permukaan respon jam ke-75, memberi
gambaran solusi optimum yang dihasilkan berupa solusi maksimum dengan nilai prediksi 101.81 ppm, nilai kritis konsentrasi larutan diazinon 662.72 ppm dan jumlah kompos 493 g, konsentrasi larutan diazinon berpengaruh negatif signifikan terhadap penurunan persentase konsentrasi diazinon larutan dengan P = 0.0000. demikian juga jumlah kompos berpengaruh signifikan pada P = 0.0000.
Gambar 19 Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon jam ke-75
Gambar 20 Kontur permukaan respon hasil degradasi diazinon jam ke-75
Berdasarkan persamaan (3) dalam tiga jam pertama pada hari ketiga atau pada jam ke-75 diperoleh bentuk permukaan respon interaksi antara konsentrasi larutan diazinon dengan jumlah kompos yang digunakan sebagai biofilter terhadap persentase penurunan konsentrasi diazinon larutan (Gambar 19 dan 20). Jumlah kompos berpengaruh positif secara linier terhadap penurunan konsentrasi diazinon dimana semakin banyak kompos sampai titik 493 g maka penurunan konsentrasi diazinon juga semakin besar, hal ini disebabkan karena jumlah mikroorganisme yang berperan dalam proses degradasi juga semakin banyak. Konsentrasi larutan diazinon memberi pengaruh negatif terhadap penurunan konsentrasi diazinon dalam hal ini semakin tinggi konsentrasi
larutan diazinon maka sifat toksiknya
semakin kuat sehingga menyebabkan penurunan konsentrasi diazinon semakin kecil. Gerakan air pada biofilter sistem semi kontinyu menimbulkan gas, sehingga akan meningkatkan suhu, selanjutnya menstimulasi bakteri dalam proses degradasi. Adanya aerasi yang sesuai akan mengaktifkan fungi akar putih (Whiterot fungi), mendegradasi limbah lignoselullose (Lopez et al. 2002).
4.8. Perkiraan Aplikasi Biofilter SMC di Lapangan Upaya aplikasi bioremediasi skala laboratorium ke lapangan/lingkungan hendaknya memperhatikan beberapa tahapan, tahapan pertama yakni: karakteristik lokasi,
meliputi
karakteristik
kontaminan,
hidrogeokimiawi,
mikroorganisme.
Tahapan kedua evaluasi treatmen dan tahapan terakhir adalah proses scaling up. Aplikasi bioremediasi dari laboratorium ke lapangan/lingkungan tidak selalu berhasil, namun bisa juga sebaliknya, tergantung banyak faktor.
Karakteristik
lokasi harus dipelajari dengan seksama, misalnya karakteristik hidrogeokimiawi meliputi sifat geologis, arah dan laju alir, nutrisi makro dan mikro.
Berkaitan
dengan proses scaling up ini, dicoba merancang biofilter sederhana yang kelak bisa diaplikasikan di lingkungan (irigasi pertanian). Pada penelitian biofilter yang telah dilakukan di laboratorium, untuk mengetahui degradibilitas diazinon dan diperoleh perkiraan waktu yang dibutuhkan
untuk menghilangkan diazinon sampai batas yang diijinkan, serta mengetahui fungsi SMC sebagai sumber nutrisi dan energi bagi pertumbuhan mikroorganisme. Maka logikanya, tindakan memindahkan biofilter tersebut ke saluran irigasi, dibutuhkan biofilter, dengan bentuk, ukuran, dan designnya disesuaikan dengan saluran irigasi pertanian.
Hasil penelitian tingkat laboratorium ini dapat
diaplikasikan ke lapang melalui pendekatan skala (scale up).
Aplikasi reaktor
biofilter kompos ke lapang, perlu diperhatikan dalam peningkatan skala pada tingkat lapang antara lain adalah jumlah kompos yang digunakan sebagai biofilter, dimensi biofilter dan waktu tinggal. Penggunaan pestisida di Indonesia beragam jenis dan jumlahnya sehingga, senyawa kimia pestisida yang masuk ke aliran air sungai ataupun irigasi juga beragam jenis dan jumlah konsentrasinya. Dampak negatif dari senyawa kimia pestisida tersebut dapat dikurangi dengan cara pengolahan yang mudah, sederhana dan efektif dengan menggunakan biofilter kompos. Penerapan biofilter kompos di lapangan, volume reaktor tingkat lapangan disesuaikan dengan laju alir air irigasi yang ada di areal persawahan pada waktu tertentu. Pada areal persawahan tidak ada data pasti berapa laju alir air irigasi di suatu areal persawahan yang ada pada periode tertentu, namun diperkirakan laju air irigasi sekitar 0.87 l dt-1 = 0.00087 m3 dt-1 (8.7 x 10-4 m3 dt-1) pada musim kemarau. Dengan laju alir air irigasi tersebut, ukuran biofilter kompos yang sesuai adalah persegi panjang dengan perkiraan volume 4.78 m3, dengan dimensi panjang 4.24 m, lebar 1.50 m dan tinggi 0.75 m.
Box dibuat dengan kerangka
besi/aluminium/kayu dengan 4 atau 6 kaki, sisi arah in let dan out let dilengkapi ram kawat agar dapat menahan kompos filter. Sisi lainnya bisa menggunakan plastik sheet tebal, dan bagian atas box ditutup plastik (hitam atau transparan). Design pada reaktor dirancang kondisi aerob, sehingga rancangan yang mudah adalah di buat di saluran irigasi dalam bentuk persegi panjang (Gambar 21). Bentuk dimensi tersebut, harapannya air irigasi dapat mengalir merata, sehingga meningkatkan kontak dengan kompos dalam biofilter. Plastik Hitam
p = 4.24 m
Kawat Ram t = 0.75 m
Kompos
l =1.50 m Kawat Ram
Laju Air
Gambar 21 Sketsa rancangan biofilter kompos untuk pengolahan air irigasi tercemar senyawa kimia pestisida di lapang Faktor lain yang menentukan efisiensi reduksi senyawa kimia pestisida oleh biofilter adalah aerasi (adanya pergerakan cair limbah/aliran).
Hasil penelitian
dengan aerasi skala laboratorium menunjukkan bahwa dengan areasi, populasi bakteri tumbuh cukup memadai dan lebih cepat 5 hari mencapai degradasi optimum, dengan konsentrasi yang sama
jika dibanding tanpa aerasi (sistem
batch) saat mendegradasi senyawa kimia diazinon. Hal yang perlu diperhitungkan adalah waktu tinggal.
Berdasarkan hasil
penelitian tingkat laboratorium diperoleh waktu tinggal 91.48 menit atau 1 jam 31.48 menit (5488.93 detik) untuk mendegradasi senyawa diazinon konsentrasi 100 ppm di lapang sampai tidak terdeteksi.
Apabila menggunakan sistem semi kontinyu,
maka diperlukan perhitungan lanjutan untuk laju alir. Box filter dirancang sebagai tempat meletakkan kompos SMC, dengan volume 4.78 m3 dan waktu tinggal 1 jam 31.48 menit dengan laju alir di lapang adalah 0.87 l dt-1.
Gambar 21 belum
mempertimbangkan faktor biaya, efektifitas, kelayakan. Bahan organik komplek contohnya SMC dikenal mampu mendegradasi berbagai senyawa organofosfat (Ching 1997; Kuo & Regan 1998; Webb et al. 2001), sehingga penggunaan kompos jamur tiram sebagai biofilter di sumber point saluran irigasi pertanian, sangat efisien dan efektif untuk memperoleh air irigasi yang memenuhi kebutuhan pertumbuhan tanaman pangan. Pada Tabel 8 merupakan data degradasi diazinon pada berbagai kondisi yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, dengan konsentrasi diazinon awal yang berbeda-beda, dan dengan menggunakan kompos dan SMC sebagai pendegradasi diazinon dengan metode yang berbeda-beda, dan dihasilkan penurunan konsentrasi diazinon yang sangat besar dan waktu yang singkat jika menggunakan SMC. Hal ini menunjukkan keunggulan SMC sebagai pendegradasi diazinon dibandingkan kompos organik pada umumnya. Disamping itu populasi dan diversitas mikroorganisme yang ada pada SMC lebih tinggi dibandingkan mikroorganisme yang ada pada kompos (US-EPA 1998). Penggunaan SMC jamur tiram sebagai pendegradasi senyawa diazinon membutuhkan waktu lebih cepat dan lebih efektif dibandingkan menggunakan kompos bahan organik tanpa cahaya hasil penelitian Bavcon (2003).
Tabel 8. Beberapa data degradasi diazinon pada berbagai kondisi dan kompos
Waktu (hari)
Konsentrasi Awal (ppm)
Penurunan Konsentrasi (%)
Keterangan
Alami
120
-
75 - 100
Rao (1994)
Bahan Organik terkena cahaya matahari
21
6.9
30
Bavcon (2003)
Bahan Organik tanpa cahaya
21
6.9
0
Bavcon (2003)
Komposting (sistem windrow)
10
10
>97
Reddy & Michel
Komposting (pupuk, serbuk gergaji dengan cahaya)
10
100
100
Komposting (rumput dengan cahaya)
10
9
99
Komposting (SMC tanpa cahaya)
21
1000
90
Jumbriah (2006)
Komposting (SMC sistem batch tanpa cahaya) *
8
1000
100
Hasil penelitian
Komposting (SMC sistem semi kontinyu tanpa cahaya)*
4
1500
100
Metode
(1999) Reddy & Michel (1999)
Reddy & Michel (1999)
Hasil penelitian
* Hasil penelitian. Kemungkinan lain adalah kondisi penelitian juga berpengaruh terhadap proses degradasi yaitu penelitian ini menggunakan SMC dan dilakukan dalam kondisi liquid. Penelitian Bavcon (2003) dalam kondisi padat, sehingga penyebaran mikroorganisme sulit homogen/merata dan kontak antara mikroorganisme dengan polutan juga sulit terjadi dibandingkan jika kondisi liquid/cairan. Penggunaan SMC jamur tiram sebagai biofilter tanpa cahaya untuk mendegradasi larutan diazinon lebih baik dan lebih efektif dibandingkan penggunaan kompos jamur tiram yang dicampurkan langsung pada tanah yang
dicemari diazinon tanpa cahaya. SMC jamur tiram mendegradasi larutam diazinon 1000 ppm dengan sistem batch lebih baik dan lebih cepat dibandingkan SMC jamur tiram yang dicampurkan langsung di tanah yang dicemari larutan diazinon 1000 ppm. Hasil penelitian Jumbriah (2006) bahwa diperlukan waktu 21 hari untuk mendegradasi diazinon dan menurunkan 90% konsentrasi diazinon pada tanah yang dicemari diazinon 1000 ppm. Hasil penelitian ini diperlukan waktu lebih cepat, 8 hari, untuk menurunkan 100% konsentrasi diazinon 1000 ppm dalam larutan dengan
biofilter
sistem
batch.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
populasi
mikroorganisme dalam SMC sangat berperan dalam proses degradasi diazinon. Populasi mikroorganisme pada kondisi optimum sebesar 4.5 x 106 (Jumbriah 2006), sedangkan perubahan pertumbuhan mikroorganisme pada penelitian ini, pada hari ke-8 (jam ke-192) merupakan pertumbuhan maksimum.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Kompos jamur tiram (SMC) sebagai biofilter mampu menghilangkan konsentrasi larutan diazinon 100% pada konsentrasi umpan yang tinggi. 1. Konsentrasi larutan diazinon out let mampu dihilangkan 100% dengan biofilter sistem batch setelah jam ke-192 dan setelah jam ke75 dengan sistem semi kontinyu. 2. Sistem biofilter semi kontinyu dapat mendegradasi diazinon dengan waktu lebih cepat 60% dan lebih baik dibandingkan sistem batch. 3. Kondisi optimal untuk degradasi diazinon pada penelitian ini adalah jumlah kompos 499 g dan konsentrasi larutan diazinon umpan 685 ppm untuk sistem batch serta jumlah kompos 493 g dan konsentrasi larutan diazinon umpan 662 ppm untuk sistem semi kontinyu. 4. Bacillus (B. cereus, B. brevis, B. azotoformans) dan Micrococcus agalis spp. terbukti mampu bertahan pada diazinon konsentrasi tinggi.
Saran Aplikasi SMC untuk limbah cair pertanian di lapang, perlu dikaji lebih lanjut untuk melihat interaksi diazinon dengan bahan lainnya terhadap kinerja mikroorganisme yang ada dalam SMC.
DAFTAR PUSTAKA Amer A, Aly E. 2011. Biodegradation of Diazinon by Serratia marcescens DI101 and its Use in Bioremediation of Contaminated Environment J. Microbiol. Biotechnol. 21(1), 71–80 doi: 10.4014/jmb.1007.07024. Al Agely A, Sylvia DM, Ma L. 2005. Mycorrhiza increase arsenic uptake by the hyperaccumulator Chinese brake fern (Pteris vittata L.). J of Environ. Quality, 34: 2181–2186. Alloway BJ. 1995. Heavy Metal in Soils. 2rd Edition. Blackie Academic & Prof. Chapman & Hall. London–Glasgow-wenheim-New York-Tokyo Melbourne368 p. Amner W, McCarthy AJ, Edwards C. 1988. Quantitative assessment of factors affecting recovery of indigenous and released thermophilic bacteria from compost. Appl. Environ. Microbiol. 54.3107-3 Andrew S, David Crohn. 2002. Environmental Science. University of California. Andriano DC, Paul SGM, Murphy LS. 1971. Phosphorus-iron and phosphorus-zinc relationship in corn (zea mays L) seedlings as affected by mineral nutrition. J. Agron. 63:36-39. Apajalahti JHA, Salkinoja SMS. 1987. Dechlorination and para-hydroxylation of polychlorinated phenol by Rhodococcus chlorophenolicus. J. Bacteriol. 169, 675-681. Arienzo M, Crisanto T, Sanchez MMJ, Sanchez C. 1994. Effect of soil characteristics on adsorption and mobility of (14C) diazinon. J. Agric. Food Chem. 42: 1803-1808 Beck M. 1997. The Secret Life of Compost. A Guide to Static-Pile Composting– Lawn, Garden, Feedlot or Farm, Acres USA, Austin, TX. Beffa T, Blanc M, Aragno M. 1996. Obligately and facultatively autotrophic, sulfurand hydrogen-oxidizing thermophilic bacteria isolated from hot composts. Achives of Microbiol. 165, 34-40 Bernier, Roger L, Neil CC, Gray, Lori E Moser. 1997. Compost decontamination of DDT contaminated soil. United Stated Patent No. 5.660.612. Bogan BW, Lamar RT. 1996. Polycyclic Aromatic Hydrocarbon degrading capabilities of HHB 1625 and its extra-cellular ligninolytic enzyme. Appl. Environ. Microbiol. 62: 1597-1603 Bollag JM. 1974. Microbial Transformation of Pesticides. Adv. Appl. Microbiol V. 18: 75-130. Boophaty R. 2000. Factor Limiting Bioremediation Technology. Rev.paper. Biosource. Technol. 74: 63-67.
Brown KH, BouwKamp JC, Gouin FR. 1998. The Influence of C:P ratio on the biological degradation of municipal solid waste. Compost Sci. Util. 6(1): 5358. Bueno P, Tapias R, Lopez F, Diaz MJ. 2008. Optimizing composting parameters for nitrogen conservation in composting. Biores. Technol. 99(11): 5069-5077. Casucci C, Monaci E, Vischetti C, Perucci P. 2004. Urban Waste Compost as Biofilter in Water Decontamination from Pesticides. 3 rd European Conference on Pesticides and Related Organic Micropollutans in the Environment, 7-10 Oktober 2004, Halkidiki, Greece. 295-298. Chen W, Mulchandani A. 1998. The Use of Biocatalystis for Pesticide Detoxification J Tib. tech. 16: 71-76. Chen WM, Wu CH, Euan KJ, Chang JS. 2008. Metal biosorption capability of Cupriavidus taiwanensis and its effects on heavy metal removal by nodulated Mimosa pudica. J of Hazardous Materials, 151: 364-371. Chen YX, Wang YP, Lin Q, Luo YM. 2005. Effect of copper-tolerant rhizosphere bacteria on mobility of copper in soil and copper accumulation by Elsholtzia splendens. J. Environ Intern. 31: 861–866. Ching ML. 1997. The feasibility of using spent mushroom compost of oyster mushroom as a bioremediating agent. M. Phil. Thesis. Chinese Univ.of Hongkong, Hongkong. Citroreksoko P. 1996. Pengantar Bioremediasi. Prosiding Pelatihan dan Lokakarya Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan. Cibinong, 24-28 Juni 1996. LIPI/BPPT/HSF. 1-5. Connel Des W, Gregory JM. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Penterjemah Yanti Koestoer; Pendamping Sahati. Jakarta. UI-Press. Conrad P. 1995. ”Comercial Application for Compost Biofilter”. BioCycle 36: 57-60 Crestini C, D’Annibale, Sermanni AGG, Saladino R. 2000. The reactivity of phenolic and non-phenolic residual kraft lignin model compound with Mn (II)peroxidase from Lentinula edodes. Bioorganic and Med. Chem. 8: 433-438. Cybulski Z, Dzuirla E, Kaczorek E, Olszanowski A. 2003. The influence of emulsifiers on hydrocarbon biodegradation by Pseudomonadacea and Bacillacea strains. Spill Sci and Technol Bul. 8: 503–507. Cycon
M, Wojcik M, Piotrowska-Seget Z. 2009. Biodegradation of the organophosphorus insecticide diazinon by Serratia sp. and Pseudomonas sp. and their use in bioremediation of contaminated soil. Chemosphere 76: 494-501.
Daba D, Hymete BAA, Mohamed AM, Bekhit ACL. 2011. Multi Residu Analysis of Pesticides in Wheat and Khat Collected from different regions of Ethiopia.
Dept. of Pharmaceutical Chemestry School of Pharmacy, Jimma University. Jimma Ethiopia. Delgado RM, Ruiz-Montoya M, Giraldez L, Cabeza IO, Lopez R, Diaz MJ. 2010. Effect of control parameters on emitted volatile compounds in manucipal solid waste and pine trimmings composting. J. Environ. Sci. Health Part AToxic/Hazard. Subst. Environ Eng. 45(7), 855-862. Dennison MJ, Turner APF. 1995. Biosensor for Environmental Monitoring, J Biotechnol. Adv 13: 1-12. Depkes & Deptan 1996. SK bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian No.711/Kepts/Tp.270/8/96. Tentang Batas Maksimum Residu (BMR) pada Hasil Pertanian. Depkes dan Deptan Jakarta. Dickson N, Richard T, Kozlowski R. 1991. Composting to Reduce the Waste Stream. A Guide to Small Scale Food and Yard Waste Composting. Nature Agricultural & Engineering Service (NRAES-43) 152 Riley-Roob, cooperative Extention, Ithaco. Eggen, T. 1999. Application of fungal substrate from commercial mushroom production -Pleurotus ostreatus- for bioremediation of creosot contaminated soil. Intern Biodeterio & Biodegr 44:117-126 (www.elsevier.com/locate/ibiod) Ergas SJED, Schroeder DPY, Chang, Morton RL. 1995. Control of Volatile organic Compound Emission Using a Compost Biofilter. Water Environ Research 67: 816-821. Extension Toxicology Network. 1996. EXTOXNET Pesticide Information Profiles: Diazinon. June 15, 2000 (http://ace.orst.edu/cgi bin/mfs/01/ pips/ diazinon). Frank CL.1995. Toksikologi Dasar. Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko, Edisi II penterjemah Edi Nugroho. Univ. Indonesia Press. Frederick C, Michel JR, Doohan D. 1996. Clorpyralid and Other Pesticides in Compost. http: Ohioline.osu.edu. Ganesan V, 2008. Rhizoremediation of Cadmium Soil Using a Cadmium-Resistant Plant Growth-Promoting Rhizopseudomonad. Current Microbiol. 56:403– 407. Ghassempour A, Mohammadkhah A, Najafi F, Rajabzadeh M. 2002. Monitoring of the pesticide diazinon in soil, stem and surface water of rice fields. Anal. Sci. 18: 779-783. Girsang MSW, Oginawati K, Irsyad M, Poerbandono. 2008. Pemetaan Pencemar Insektisida Organofosfat pada Tanah Daerah Pertanian sebagai Informasi tingkat Pencemar Insektisida di Sekitar DAS Citarum Hulu. PSTL. ITB. Bandung.
Glass B. 2003. Enrich Your Business with Spent Mushroom Compost (SMC). Bord Glass Mushroom Book. Btanchardstone. Dublin 15. Ireland. Email:
[email protected]. (hhtp://www.bordglass.ie) (6 Januari 2003). Gonzaga MIS, Santos JAG, Ma LQ, 2006. Arsenic phytoextraction and hyperaccumulation by fern species. Sci Agric. 63:90–101. Granger J, Price NM. 1999. The Importance of Siderophore in Iron nutrition of Heterotrophic marine bacteria. Limmol Oceanog 44 (3):54-55 Canada. Gray NCC, Moser GP, Moser LE. 2000. Compost decontamination of soil contaminated with methoxychlor. United Stated Patent No. 6.060.292. Guillen F, Gomez T, Martinez V, Matinez MJAT. 2000. Production of hydroxyl radical by synergistic action of fungal laccase and aryl alcohol oxidase. Archives for Biochem and Biophys. 383:142-147. Guirard BM, Snell EE. 1981. Biochemical factor in Growth. Manual of Methods for General Bacteriology. Am Soc for Microbiol. Washington. Gupta A, Rai V, Bagdwal N, Goel R. 2005. In situ characterization of mercury resistant growth promoting fluorescent pseudomonas. Microbiol Research, 160:385–388. Haigler BE, Pettigrew CA, Span JC. 1992. Biodegradation of mixtures of substituted benzenes by Pseudomonas sp strain JS 150. J Appl. Environ. Microbiol. 58: 2237-2244. Haque R, Falco J, Cohen S, Riordan C. 1980. Role of Transport and Fate Studies in the Exposure Assessment and Screening of Toxic Chemicaks. R. Haque Ed. Dynamics, Exposure and Hazard Assessment of Toxic Chemicals. An Arbor Science. Michigan h. 47-46. Hassen A, Belguith K, Jedidi N, Cherif A, Cherif M, Boudabous A. 2001. Microbial characterization during composting of municipal solid waste. Bioresource Technol. 80(3), 217-225. Heong KL, Escalada MM. 1997. A comparative analysis of pest management practice of rice Farmes in asia in Pest Manangement of Rice Farmes in Asia. Internl Rice Research Inst. Manila. Philippines. Horne I, Sutherland TD, Harcourt RL, Russell RJ, Oakeshott JG. 2002. Identification of an opd (organophosphate degradation) gene in an Agrobacterium isolate. Appl. Environ. Microbiol. 68: 3371-3376. Indriyani YH. 1999. Membuat Kompos secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta. Ionescu M, Beranova K, Dudkova V, Kochankova L, Demnerova K, Macek T, Mackova M. 2009. Isolation and characterization of different plant associated bacteria and their potential to degrade polychlorinated biphenyls, Int Biodeter & Biodegr. 63: 667-672.
Jiang C, Sun H, Sun T, Zhang Q, Zhang Y. 2009. Immobilization of cadmium in soils by UV-mutated Bacillus subtilis 38 bioaugmentation and NovoGro amendment. J. of Hazardous Materials. 19: 88-92.
Jumbriah. 2006. Bioremediasi Tanah Tercemar Diazinon Secara Ex Situ dengan Menggunakan Kompos Limbah Media Jamur (Spent Mushroom Compost). Thesis. Pascasarjana IPB. Bogor. Jussila MM, Ji Zhao, Souminen L, Lindstrom K. 2007. TOL plasmid transfer during bacterial conjugation in vitro and rhizoremediation of oil compounds in vivo. J. Environ. Pollut. 146: 510-524. Jussila MM, Jurgens G, Lindstrom K, Souminen L. 2006. Genetic diversity of culturable bacteria in oil-contaminated rhizosphere of Galega oriental. J. Environ. Pollut. 139: 244-257. Jury WA, Winer AM, Spencer WF, Focht DD. 1987. Transport and transformation of organic chemical in the soil-air-water system. Rev. Environ. Contam. Toxicol. 99:119-164. Kamrin MA. 1997. Pesticides Profiles: Toxicity, Invironmental Impact and Fate. Lewis Publish. Boca Raton. 157-159. Karpouzas DG, Walker A. 2000. Factors influencing the ability of Pseudomonas putida epI to degrade ethoprophos in soil. J. Soil Biol. Biochem. 32: 17531762. Karpouzas DG, Fotopoulou A, Menkissoglu SU, Singh BK. 2005. Nonspecific biodegradation of the organophosphorus pesticides, cadusafos and ethoprophos by two bacterial isolates. FEMS Microbiol. Ecol. 53: 369-378. Kofferman MJJ, Wasseveld RA, Field JA. 1996. Hydrogen-peroxide Production as a limiting factor in xenobiotic compound by nitrogen sufficient culture of Bjerkandera (adusta) Strain sp. Ku Y, J L Chang, SC Cheng. 1998. Effect of Solution pH on the Hydrolysis and Photolysis of Diazinon in Aqueous Solution. Water, Air and Soil Pollut. 108: 445-456. Kluwer Acad. Kuncara JH; Aida Y, Yuda P. 2002. Akumulasi Organofosfat pada Walet Sarang Putih (Collocasia fuciphaga Thunberg). Biota Vol (2): 89. Kuo WS, Regan RW. 1998. Aerobic Carbamate Bioremediation Aided by Compost Residuals from the Mushroom Industry: laboratory study. Compost sci and utilatition. 6: 19-29. Lakshmi CV, Kumar M, Khanna S. 2008. Biotransformation of chlorpyrifos and bioremediation of contaminated soil. Int. Biodeter. Biodegr. 62: 204-209. Landsay W. 1972. Zinc in soil and plant nutrition. Ad. 112. Agron. 42:147-186
Lau KL, Tsang YY, Chiu SW. 2003. Use of Spent Mushroom Compost to Bioremediate PAH-contaminated samples. Chemosphere this issue. Doi: 10.1016/S0045-6535(03)00493-4. Law WM, Lau WN, Lo KL, Wai LM, Chiu SW. 2003. Removal of Biocide Pentachlorophenol in Water System by the Spent Mushroom Compost of Pleurotus pulmonarius. Chemosphere. 52 1531-1537. Doi: 10.1016/S00456535(03)00492-2. Leland JE. 1998. Evaluating the Hazard of Land Applying Composted Diazinon Waste Using Earthworm Biomonitoring. Thesis. Virginia Polytechnic Inst. Virginia. Liu F, Hong M, Liu D, Li Y. 2007. Biodegradation of methyl parathion by Acinetobacter radioresistens USTB-04. J. Environ. Sci. 19: 1257-1260. Magette W, Smyth S, Dodd V. ? Logistical Consideration for Spent mushroom Compost Utilisation. Agricultural and Food Engineering Department, Univ Coll Dublin. Ireland. E-mail :
[email protected]. Marshal T. Devinny JS. 1988. The microbial ecosystem in a petroleum waste landfarm. J. Wat. Sci. Tech. 20: 285-291. Matsumura F. 1976. Toxicology of Insecticides. Plenum Press. New York. Moore MT, Cooper CM, Smith JrS, Cullum R F, Knight SS, Locke M A, Bennett E R. 2007. Diazinon Mitigation in Constructed Wetlands: Influence of Vegetation. Water. Air. Soil Pollut. 184: 313-321. Muflihah. 2004. Analisis Residu Diazinon dan Klorpirifos menggunakan Kromatografi Gas. Thesis Program Pascasarjana Univ. Gajah Mada. Yogyakarta. McEwen FL, Stephenson GR. 1989. The Use and Significance of Pesticides in the Environment. John Wiley and Son. New York. McKinley VL, Vestal J. 1984. Biokinetic analyses of adaptation and succession: microbial activity in composting municipal sewage sludge. Appl. Environ. Microbiol. 47: 933-941. Moser Guy P, Neil CCGray. 1999. Compost decontamination of soil contaminated with TNT. HMX and RDX with aerobic and anaerobic microorganism. United Stated Patent No. 5.998.199. Munawar, Mukhtasor, Surtiningsih T. 2007. Bioremediasi Tumpahan Minyak Mentah dengan Metode Biostimulasi Nutrien Organik di Lingkungan Pantai Surabaya Timur, Berk. Penelitian Hayati. Vol. 13: 91-96. Nakasaki K, Shoda M, Kubota H. 1985. Effect of temperature on composting of sewage sludge. Appl. Environ. Microbiol. 50:1526-1530.
Narasimhan K, Basheer C, Bajic VB, Swarup S. 2003. Enhancement of plant– microbe interactions using a rhizosphere metabolomics-driven approach and its application in the removal of polychlorinated biphenyls. Plant Physiol. 132:146–153.
Ningsih D. 2001. Bioremediasi Diazinon secara Exsitu Menggunakan Mikroba Indigenous isolat B3. Skripsi. Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Bogor. Ohshiro K, Kakuta T. Sakai T, Hirota H, Hoshino T, Uchiyama T. 1996. Bioremediation of Organophosphorus Insecticides by Bacteria Isolated from Turf Green Soil. J. Ferment. Bioeng. 82: 28-32. Ortiz-Hernandez M, Sanchez SE. 2010. Biodegradation of the organophosphate pesticide tetrachlorvinphos by bacteria isolated from agricultural soils in Mexico. Rev. Int. Contam. Ambient. 26: 27-38. Pajuelo E, Ignacio D, Rodríguez L, Mohammed D, Antonio JP. 2008. Toxic effects of arsenic on Sinorhizobium–Medicago sativa symbiotic interaction. J. Environ Pollut. 154: 203-211. Pagoray H. 2009. Biostimulasi dan Bioaugmentation untuk Bioremediasi Limbah Hidrokarbon derta Analisis Keberlanjutan. Thesis. PSL. IPB. Bogor. Qiu XH, Bai WQ, Zhong QZ, Li MFQ, He, Li BT. 2006. Isolation and characterization of a bacterial strain of the genus Achrobactrum with methyl parathion mineralizing activity. J. Appl. Microbiol. 101: 986-994. Rani MS, Lakshmi KV, Devi PS, Madhuri RJ, Aruna S, Jyothi K, Narasimha G, Venkateswarlu K. 2008. Isolation and characterization of a chlorpyrifos degrading bacterium from agricultural soil and its growth response. Afr. J. Microbiol. Res. 2: 26-31. Rao PSC, Davidson JM. 1980. Estimation of pesticide retention and transformation parameters required in non point source pollution models. In: Overcash. MR. Davidson JM (Eds). Environmental Impact of non point source Pollution. Ann. Arbor Sci. Publ. MI. 23-67. Roberts TR, Hutson DH. 1999. Metabolic Pathways of Agrochemicals-Part 2: Insecticides and Fungicides; Royal Soc of Chemistry: Cambridge, UK; 258263. Rosenberg E. 1993. Exploiting Microbial Growth on Hydrocarbon-new market. Trends in Biotechnol 13 (10): 419-423. Said GE, Fauzi AM. 1996. Bioremediasi dengan Mikroorganisme. Prosiding Pelatihan dan Lokakarya “Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan”. Cibinong, 24-28 Juni 1996. LIPI/BPPT/HSF. 11-17.
Saludes RB, Iwabuchi K, Miyatake F, Abe Y, Honda Y. 2008. Characterization of dairy cattle manure/wallboard paper compost mixture,” Biores. Technol. 99 (15). 7285-7290. Schwab J. 2000. Compost; Better, Faster, Cheaper Cleanups. J. Waste Agecom.
Sell J, Kayser A, Schulin R, Brunner I. 2005. Contribution of ectomycorrhizal fungi to cadmium uptake of poplars and willows from a heavily polluted soil. J. Plant Soil. 277: 245-253. Semple KT, Ngaire U. Watts, Terry R. Fermer. 1998. Factors Affecting Mineralization of [U-14 C] Benzene in Spent mushroom Substrate. FEMS Microbiol Letter 164 317-321. PII: S0378-1097(98) 00235-3. Semple KT, Reid BJ, Fermor TR. 2001. Impact of Composting Strategies on The Treatment of Soil Contaminated With Organic Pollutants. Rev. J. Environ. Pollut. 112: 269-283. Setyaningsih E. 1990. Residu Fenitrothion pada Sayuran Kubis (Brassica oleracea var capitata L) Sehabis Dipanen, di Pasar dan setelah Pengolahan. Tesis, Pascasarjana IPB Bogor. Setyobudiarso H. 2008. Perombakan Residu Diazinon dalam Tanah Pertanian Hortikultura dengan Teknik Biodegradasi. Thesis. Unair. Sheng-wang PAN, Shi-qiang WEI, Xin YUAN, Sheng-xian CAO. 2008. The Removal and Remediation of Phenanthrene and Pyrene in Soil by Mixed Cropping of Alfalfa and Rape. Agricl Sci. in China. 7:1355-1364. Sheng XF, Xia JJ. 2006. Improvement of rape (Brassica napus) plant growth and cadmium uptake by cadmium resistant bacteria. Chemosphere. 64:1036– 1042. Singh K, Brajesh K, Walker A, Alum J, Morgan W, Wright DJ. 2004. Biodegradation of chlorpyrifos by Enterobacter strain B-14 and its use in biodegradation of contaminated soils. Appl. Environ. Microbiol. 70: 48554863. Smith JrS, Lizotte RE, More MT. 2007. Toxicity Assessment of Diazinon in a Constructed Wetland Using Hyalella azteca. Bul. Environ Contam. Toxicol. 79.58-61. Soebroto MA. 1996. Fitoremediasi. Prosiding Pelatihan dan Lokakarya Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan. Cibinong, 24-28 Juni 1996. LIPI/BPPT/HSF. 51-59. Soerjani M. 1990. Penggunaan Pestisida di Indonesia dan beberapa negara lain di Asia dan Dampaknya terhadap Lingkungan. Dalam Perlindungan Tanaman Menunjang Terwujudnya Pertanian dan Kelestarian Lingkungan. Agricon Bogor: 695-715.
Sorensen SR, Albers CN, Aamand J. 2008. Rapid mineralization of the phenylurea herbicide diuron by Variovorax sp. strain SRS16 in pure culture and within a two-member consortium. Appl. Environ. Microbiol. 74: 2332-2340. Stephen A. 1998. “Bacteria binomials” 26 April 1998. Ohio State University. Strom PF. 1985. Effect of temperature on bacterial species diversity in thermophilic solid-waste composting. Appl. Environ. Microbiol. 50:899-905. Sumner DD, Keller AE, Honeycutt RC, Guth JA. 1988. Fate of diazinon in the environment. In Fate of Pesticides in the Environment. Biggar, J.W. and J.N. Seiber eds. Pp. 109-114. The Regents of the Univ of California, Div. of Agric and Natural Resources. Oakland, CA. Suortti MA, Puustinen J, Jorgensen SK. 2000. Bioremediation of Petroleum Hydrocarbon-Contaminated Soil by Composting in Biopiles. Environ. Poll. 107: 245-254. Suriadikarta DA, Sjamsidi G, Mansur DJ, Abdurachman. 2001. Increasing Food Crop Productivity through Intensive Agricultural Program in Indonesia. Workshop on Integrated Plant Nutrient System IPNS Development an Rural Proverty Alleviation, 18-20 September 2001 Thailand Bangkok. Sutamihardja RTM. 1999. Kumpulan materi kuliah Toksikologi Lingkungan. Angkt. XVII. Th 1998/1999. Ilmu Lingkungan. Pascasarjana Univ. Indonesia. Syahbirin G, Purnama H, Prijono D. 2010. Residu pestisida pada 3 jenis buah impor di Bogor. IPB. Tarumingkeng RC, Sutamihardja RTM. 1980. Toksikologi Insektisida. Bagian I. Penggolongan dan Sifat-sifat Pestisida. SPS-IPB. Bogor. The Marck Index. 1996. An Encyclopedia of Chemical, Drugs, and Biologicals. 12th Ed. USA: Pub. by Merch Research Laboratories Div. of MERCK & CO., Inc. Tinaka H, Itakura S, Enoki A. 1999. Hydroxyl radical generation by an extracellular low-molecular-weight substance and phenolic oxidase activity during wood degradation by the white rot basidiomycetes Trametes versicolor. J Biotecnol. 74: 57-70. Toffey WE. 1997. Biofiltration – Black Box or Biofilter. Biocycle. 38: 58-63 Trotta A, Falaschi P, Cornara L, Mingati V, Fusconi A, Drava G, Berta G. 2006. Arbuscular mycorrhizae increase the arsenic translocation factor in the As hyperaccumulating fern Pteris vittata L. J. Chemosphere. 65: 74–81. Ullah MA, Bedfort CT, Evans CS. 2000. Reactions of pentachlorophenol with laccase from Coriolus versicolor. Appl Microbiol and Biotecnol. 53: 230-234. USDA. 2006. Pesticide Data Program Annual Sammary. Calender Year 2006. U.S. Dept of Agriculture. Agricultural Marketing Service, Washington .DC.
US-EPA. 1994. Composting Yard Trimming and Municipal Solid Waste EPA 530R-94-003 (hhtp://www.epa.gov/). US-EPA. 1997. Innovative Uses: of Compost Bioremediation and pollution Prevention. EPA 530-F-97-042 (hhtp://www.epa.gov/).
US-EPA. 1998. An Analisis of Composting As an Environmental Remediation Technology. EPA 530-R-98-003 (hhtp://www. epa.gov/). US-EPA. 2006. Drinking Water Standards and Helth Advisories. ://www.epa.gov/waters science/criteria/drinking/dwstandards.pdf ).
(http
Van Agteren MH, Keuning S, Janssen DB. 1998. Hand-book on Biodegradation and Biologoical treatment of Hazardous Organic Compounds. Kluwer Acad. Netherlands. Van Drooge BL. 1998. Organochlorine residues and fatty acid compositions in the lives of Diurnal Raptors from The Iberian Peninsula. Final Project. Van Hall Inst. Environ Sci. Leeuwareden. Netherlands. Vincent G. 1994. Metode Perancangan Percobaan untuk Ilmu-ilmu Pertanian, Ilmuilmu Teknik, Biologi. Cet. II. Armico Bandung. Vischetti C, Capri E, Trevisan M, Casucci C, Perucci P. 2004. Biomassbed: a biological system to reduce pesticide point contamination at farm. ELSEVIER. Chemosphere 55: 823-828. Wallnofer PR, Engelhardt G. 1989. Microbial degradation of pesticides. In G. Haug and H. Hoffmann (ed.), Chemistry of plant protection. vol. 2. p.1115 Springer-Verlag KG, Berlin. Wauchope RD, Buttler TM, Hornsby AG, Augustijn-Beckers PWM, Burt JP. 1992. The Scs/ars/ces Pesticide Properties Database for Environmental Decision Making: Rev.Environ. Contam.Toxicol. V. 123:156. Webb MD, Ewbank G, Perkins J, McCarthy AJ. 2001. Metabolism of Pentachlorophenol by Saccaromonospora viridis strains Isolated from Mushroom Compost.. J. Soil Biol and Biochem. 33: 1903-1914. Wieshammer G, Unterbrunner R, García BT, Zivkovic MF, Puschenreiter M, Wenzel WW. 2007. Phytoextraction of Cd and Zn from agricultural soils by Salix ssp. and intercropping of Salix caprea and Arabidopsis halleri. Plant Soil. 298: 255–264. Wijayaratih Y. 2001. Perombakan Senyawa Hidrokarbon Aromatis Polisiklik (Naptalen) pada Kadar Tinggi oleh Pseudomonas NY-1. J. Manusia Lingk. 8: 130-141.
Wisjnuprapto. 1996. Bioremediasi, Manfaat dan Pengembangannya. Prosiding Pelatihan dan Lokakarya “Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan”. Cibinong, 24-28 Juni 1996. LIPI/BPPT/HSF. 173-185. Wu FY, Ye ZH, Wu SC, Wong MH. 2007. Metal accumulation and arbuscular mycorrhizal status in metallicolous and nonmetallicolous populations of Pteris vittata L. and Sedum alfredii Hance. Planta. 226:1363–1378.
Yani M, Fauzi AM, Ariwibowo F. 2003. Bioremediasi Lahan Terkontaminasi Senyawa Hidrokarbon. Seminar Bioremediasi dan Rehabilitasi Lahan Sekitar Pertambangan dan Perminyakan”. Forum Bioremediasi IPB-PKSPLIPB. Bogor. 20 Pebruari 2003. Yang C, Liu N, Guo X, Qiao C. 2006. Cloning of mpd gene from chlorpyrifos degrading bacterium and use of this strain in bioremediation of contaminated soil. FEMS Microbiol. Lett. 265:118-125. Yang L, Zhao YH, Zhang BX, Yang CH, Zhang X. 2005. Isolation and characterization of a chlorpyrifos and 3, 5, 6-trichloro-2-pyridinol degrading bacterium. FEMS Microbiol. Lett. 251: 67-73. Yasouri FN. 2006. Plasmid mediated degradation of diazinon by three bacterial strains, Pseudomonas sp., Flavobacterium sp. and Agrobacterium sp. Asian J. Chem. 18: 2437-2444. Yateem A, T Al-Sharrah, A Bin-Haji, 2007. Investigation of Microbes in the Rhizosphere of Selected Grasses for Rhizoremediation of HydrocarbonContaminated Soils. J. Soil & Sediment Contami. 16(3): 269-273. Zhang Q, Pehkonen SO. 1999. Oxidation of diazinon by aqueous chlorine : kinetics, mechanism, dan produtc studies. Agric Food. Chem. 47: 1760-1766.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data pengamatan analisis diazinon dengan spektrofotometer pada panjang gelombang (241 nm) a. Kurva standar diazinon Konsentrasi diazinon (ppm) 0 5 10 15 20 25 30 35 40
Absorbansi I 0.0000 0.2441 0.3265 0.3358 0.4358 0.5103 0.5436 0.6765 1.0492
II 0.0000 0.2425 0.3261 0.3471 0.4353 0.5091 0.5421 0.6782 1.1597
III 0.0000 0.2440 0.3260 0.3373 0.4373 0.5092 0.5437 0.6803 1.1592
Rata-rata 0.0000 0.2435 0.3261 0.3401 0.4361 0.5095 0.5431 0.6783 1.1227
Lampiran 1. Data pengamatan analisis diazinon dengan spektrofotometer pada panjang gelombang (241 nm)
Kons.Diazinon (ppm) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
I 0.0177 0.1153 0.1641 0.2615 0.3530 0.4188 0.4809 0.5550 0.5946 0.7412
Absorbansi II 0.0174 0.1152 0.1644 0.2618 0.3533 0.4187 0.4806 0.5550 0.5946 0.7414
III 0.0174 0.1154 0.1644 0.2618 0.3533 0.4186 0.4806 0.5547 0.5949 0.7413
rata-rata 0.0175 0.1153 0.1643 0.2617 0.3532 0.4187 0.4807 0.5549 0.5947 0.7413
Lampiran 2. Hasil optimasi persentase penurunan konsentrasi diazinon dan jumlah kompos pada sistem batch inkubasi hari ke-8
1. Analysis of a central composite (respone surface method) a) Efect Estimates
b) Critical Value
c) Fitted Response Surface
d.) Fitted Response Profile
Lampiran 3
Hasil optimasi persentase penurunan konsentrasi diazinon dan jumlah kompos sistem semi kontinyu inkubasi jam ke-75
1. Analisis of a central composite (response surface method) a) Efect Estimates
b) Critical Value
c) Fitted Response Surface
d) Fitted Response Profile
Lampiran 4 Deskripsi hasil identifikasi bakteri 1
2
3
4
5
Coloni Morfologi Gram stain
G+Ve btg G+Ve btg G+Ve btg G+Ve btg G+Ve btg + + + + + Pertumbuhan pada 37 C O Pertumbuhan pada ... C Catalase Oxidase Glukose O/F Pertumbuhan pada Mac Conkey Motility Hemolysis Citrate + + + + + MR Test + + + + VP Test + + + + + Indole Gelatin + + + + + O
H2 S pada TsiA Lysin decarboxylase Ornithine decarboxylase Urease Nitrase Aesculin hydrolysis Pertumbuhan pada NA/Broth Glukose Adonitol Arabinose Dulcitol Glycerol Inocitol Lactose Maltose Mannitol Raffnose Rhamnose Salicin Sorbitol Sukrose Trehalose Xylose
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
d
-
-
-
-
-
Lampiran 4 Lanjutan 6
7
8
9
10
Coloni Morfologi Gram stain
G+Ve btg G+Ve btg G+Ve btg G+Ve btg G+Ve btg + + + + + Pertumbuhan pada 37 C O Pertumbuhan pada ... C Catalase + Oxidase + Glukose O/F Pertumbuhan pada Mac + Conkey Motility + Hemolysis Citrate + + + + + MR Test + + + VP Test + + Indole Gelatin + + + + + O
H2 S pada TsiA Lysin decarboxylase Ornithine decarboxylase Urease Nitrase Aesculin hydrolysis Pertumbuhan pada NA/Broth Glukose Adonitol Arabinose Dulcitol Glycerol Inocitol Lactose Maltose Mannitol Raffnose Rhamnose Salicin Sorbitol Sukrose Trehalose Xylose
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
-
d
-
-
-
-
+
d -
-
Lampiran 4 Lanjutan 11
12
13
Coloni Morfologi Gram stain G+Ve btg G+Ve btg G+Ve btg O + + + Pertumbuhan pada 37 C O + + + Pertumbuhan pada ... C Catalase + Oxidase + Glukose O/F Pertumbuhan pada Mac + Conkey Motility + Hemolysis Citrate + + + MR Test VP Test + Indole Gelatin + + H2 S pada TsiA Lysin decarboxylase Ornithine decarboxylase Urease Nitrase + + + Aesculin hydrolysis Pertumbuhan pada NA/Broth Glukose + + + Adonitol Arabinose d Dulcitol Glycerol Inocitol Lactose Maltose d Mannitol Raffnose Rhamnose Salicin Sorbitol Sukrose Trehalose Xylose +
Lampiran 4 Lanjutan Keterarangan hasil identifikasi bakteri. 1. Bacillus mycoides 2. Bacillus mycoides 3. Bacillus cereus 4. Bacillus cereus 5. Bacillus cereus 6. Bacillus cereus 7. Chromo bacterium sp 8. Bacillus cereus 9. Bacillus brevis 10. Bacillus brevis 11. Bacillus cereus 12. Bacillus brevis 13. Pseudomonas stutzeri
Lampiran 5 Analisis aktivitas mikroorganisme dengan spektrofotometri pada panjang gelombang ( = )ג490 nm. 1. Kurva Standar FDA Absorbansi I II 0.1962 0.1966 0.2055 0.2059 0.2175 0.2179 0.2715 0.2710 0.3204 0.3206 0.5464 0.5463 0.6071 0.6077
FDA 0.0 0.1 0.2 0.3 0.5 1.0 1.5
III 0.1964 0.2052 0.2172 0.2715 0.3202 0.5468 0.6078
rata-rata 0.1964 0.2055 0.2175 0.2713 0.3204 0.5465 0.6075
Kurva Standar FDA 0,7
Absorbansi
0,6 0,5 0,4
y = 0,3059x + 0,1806 0,3
2
R = 0,9673
0,2 0,1 0 0
0,5
1
1,5
2
Volume FDA (ml)
Lampiran Produk FDA pada sampel
a. Sampel B1 Absorbansi 0.3111 0.3205 0.3506 0.4211 0.4617 0.4306
Produk FDA 1 Produk FDA
Hari ke 0 2 4 6 8 10
Produk FDA 0.4266 0.4573 0.5557 0.7862 0.9189 0.8173
0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
2
4
6 Hari ke -
8
10
12
b. Sampel B2 Produk FDA
Absorbansi 0.3186 0.3207 0.3511 0.4167 0.4409 0.4225
Produk FDA 0.4511 0.4580 0.5534 0.7718 0.8509 0.7908
1 Produk FDA
Hari ke 0 2 4 6 8 10
0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
2
4
6
8
10
12
Hari k e-
c. Sampel B3 Produk FDA
Absorbansi 0.3098 0.3247 0.3578 0.4497 0.4802 0.4598
Produk FDA 0.4096 0.4711 0.5793 0.8797 0.9794 0.9127
1,2 1 Produk FDA
Hari ke 0 2 4 6 8 10
0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
2
4
6
8
10
12
8
10
12
Hari ke-
d. Sampel B4 Produk FDA
Absorbansi 0.3176 0.3241 0.3545 0.4263 0.4691 0.4383
Produk FDA 0.4479 0.4691 0.5672 0.8032 0.9431 0.8424
1 Produk FDA
Hari ke 0 2 4 6 8 10
0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
2
4
6 Hari ke-
e. Sampel B5 Absorbansi 0.3154 0.3233 0.3501 0.4212 0.4599 0.4371
Produk FDA 0.4406 0.4665 0.5541 0.7865 0.913 0.8385
1 0,8 Produk FDA
Hari ke 0 2 4 6 8 10
Produk FDA
0,6 0,4 0,2 0 0
2
4
6
8
10
12
8
10
12
Hari ke-
f. Sampel B6 Produk FDA
Absorbansi 0.3112 0.3207 0.3417 0.3965 0.4124 0.3989
Produk FDA 0.4269 0.458 0.5266 0.7058 0.7578 0.7136
0,8 Produk FDA
Hari ke 0 2 4 6 8 10
0,6 0,4 0,2 0 0
2
4
6 Hari ke-
g. Sampel B7 Produk FDA
Absorbansi 0.3155 0.3254 0.3561 0.4252 0.4688 0.4371
Produk FDA 0.4409 0.4734 0.5737 0.7996 0.9421 0.8385
1 0,8 Produk FDA
Hari ke 0 2 4 6 8 10
0,6 0,4 0,2 0 0
2
4
6 hari ke-
8
10
12
h. Sampel B8 Produk FDA
Absorbansi 0.3144 0.3208 0.3518 0.4203 0.4591 0.436
Produk FDA 0.4374 0.4583 0.5597 0.7836 0.9104 0.8349
1 0,8 Produk FDA
Hari ke 0 2 4 6 8 10
0,6 0,4 0,2 0 0
2
4
6
8
10
12
8
10
12
Hari ke-
i. Sampel B9 Produk FDA
Absorbansi 0.3101 0.3199 0.3321 0.3981 0.4197 0.4001
Produk FDA 0.4233 0.4554 0.4953 0.7110 0.7816 0.7176
1 0,8 Produk FDA
Hari ke 0 2 4 6 8 10
0,6 0,4 0,2 0 0
2
4
6 Har i k e-
j. Sampel B Kontrol Produk FDA
Absorbansi 0.3199 0.3274 0.3582 0.4282 0.4699 0.4397
Produk FDA 0.4554 0.4799 0.5806 0.8094 0.9457 0.8470
1 0,8 Produk FDA
Hari ke 0 2 4 6 8 10
0,6 0,4 0,2 0 0
2
4
6 Hari k e-
8
10
12
Lampiran 7. Foto mikroskopik bakteri hasil identifikasi dari SMC
Pseudomonas stutzeri
Bacillus mycoides
Bacillus cereus
Bacillus brevis
Chromobacterium spp
Jenis-jenis bakteri pada SMC
Lampiran 6 Pertumbuhan populasi mikroorganisme biofilter sistem batch dan sistem Semi kontinyu
Tabel Pertumbuhan populasi mikroorganisme biofilter sistem batch
Hari 2 3 4 5 6 7 8 9
B1
-0.9 44.2 0.1 1.4 104 2 1.5 10 0 0 0
B2
-0.9 3 4.6 10 0.76 2.6 102 70.64 -0.28 6 1.9 10 -0.92
B3
-0.99 2 1.1 10 0.02 11.34 11.78 2 8.6 10 4 6.8 10 -0.99
B4
-0.99 95 12.61 -0.26 82.56 2 3.0 10 4 4.8 10 -0.98
B5
-0.98 75.67 0.03 12.66 66.01 16.08 4 9.8 10 -0.39
B6
-0.99 10.82 0.54 -0.89 -0.39 2 2.1 10 -0.38 2.29
B7
B8
B9
-0.92 7 16 10 -0.41 4.9 16.79 5.19 2 2.5 10 -0.96
-0.99 69.71 0.06 12.24 75.53 2 1.6 10 5 7.1 10 -0.98
-0.99 9.39 13.15 0.09 0.34 0.41 3 9.9 10 -0.81
Tabel Pertumbuhan populasi mikroorganisme biofilter sistem Semi kontinyu
Jam 26 27 28 29 49 50 51 52 53 73 74 75 76 77 97 98 99
B1 -0.57 -0.63 -0.89 -0.11 2 4.5 10 0.05 0.05 0.05 4 1.36 10 99.01 3 1.5 10 7.58 8.32 -0.99 -0.9 -0.9 -0.9
B2 -0.52 -0.61 -0.92 -0.14 3 5.1 10 0.05 0.05 0.05 2 4.08 10 99.02 2 7.1510 6.15 18.14 -0.92 -0.9 -0.9 -0.9
B3 -0.54 -0.62 -0.95 -0.13 2 1.2 10 0.05 0.05 0.05 9.83 99.12 2 1.26 10 8.6 103 -0.32 -0.99 -0.9 -0.9 -0.9
B4 -0.53 -0.64 -0.9448 -0.15 2 1.05 10 0.05 0.05 0.05 7.75 99.05 2 8.34 10 3.04 103 -0.51 -0.98 -0.9 -0.9 -0.9
B5
B6
B7
B8
B9
-0.51 -0.61 -0.93 -0.15 84.18 0.05 0.05 0.05 11.14 99.09 2 6.69 10 1.69 102 -0.01 -0.39 -0.9 -0.9 -0.9
-0.5 -0.62 -0.97 -0.13 12.13 0.05 0.05 0.05 -0.86 99.03 5.09 2.13 103 -0.99 -0.96 -0.9 -0.9 -0.9
-0.53 -0.65 -0.59 -0.12 9 1.8 10 0.05 0.05 0.05 1.99 99.11 2 1.76 10 60.90 -0.99 -0.95 -0.9 -0.9 -0.9
-0.54 -0.63 -0.93 -0.12 77.56 0.05 0.05 0.05 11.09 99.03 3 7.65 10 1.61 102 6.13 -0.97 -0.9 -0.9 -0.9
-0.51 -0.62 -0.95 -0.11 10.54 0.05 0.05 0.05 12.36 99.00 12.41 13.09 -0.9 -0.80 -0.9 -0.9 -0.9
Lampiran 8
Hari Ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Data persentase penurunan konsentrasi diazinon sistem batch
C B 5 steril (ppm) 956 946.44 944.50 939.70 937.83 935.92 934.96 933.05 932
Penurunan C diazinon (ppm) 9.56 11.472 16.252 18.164 20.076 21.036 22.944 23.9
% B 5 steril 1 1.2 1.7 1.9 2.1 2.2 2.4 2.5
Lampiran 9 Data persentase penurunan konsentrasi diazinon sistem batch
Hari Ke
B1 (ppm)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
929.60 747.61 708.01 604.62 397.98 351.35 168.34 168.32 145.78
Hari Ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Hari Ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9
B51 (ppm) 667.11 616.04 516.08 401.49 351.39 201.67 54.67 0 0
B6 (ppm) 992.10 986.76 761.84 708.15 243.67 192.27 69.26 47.16 0
% B1 19.58 23.84 34.96 57.19 62.20 81.89 81.89 84.32
% B51 33.73 44.48 56.81 62.20 78.31 94.12 100 100
% B6 0.54 23.21 28.62 75.44 80.62 93.02 95.25 100
B2 (ppm) 476.45 364.23 240.24 237.60 67.65 48.16 0 0 0
% B2
B3 (ppm)
23.55 49.58 50.13 85.80 89.89 100 100 100
1102.37 1070.53 989.74 933.16 731.58 688.95 616.84 457.89 332.89
B 52 (ppm)
% B52
610.39 546.26 520.29 409.18 331.21 205.24 51.12 0 0
B7 (ppm) 108.88 58.05 29.19 21.10 9.93 0 0 0 0
46.69 73.19 80.62 90.88 100 100 100 100
B4 (ppm)
% B4
2.89 10.22 15.35 33.64 37.51 44.04 58.46 69.80
479.11 474.21 401.39 322.47 301.56 159.68 131.45 99.31 71.25
1.02 16.22 32.69 37.06 66.67 72.56 79.27 85.13
B 53 ppm
10.51 14.77 32.97 45.74 66.74 91.63 100 100
% B7
% B3
625.24 601.15 518.87 401.26 345.27 199.25 57.57 0 0
B8 (ppm) 615 564.03 529.30 460.44 361.24 330.53 306.15 55.60 37.15
% B8 8.29 13.94 25.13 41.26 46.26 50.22 90.96 93.96
% B53 3.79 17.02 35.82 44.78 68.13 90.79 100 100
B9 (ppm) 619.28 551.94 541.29 397.05 315.18 108.25 89.26 74.20 55.17
% B9 10.88 12.59 35.88 49.11 82.52 85.58 88.02 91.09
Lampiran 10 Data persentase penurunan konsentrasi diazinon sistem semi kontinyu Jam ke
C B1 (ppm)
C B2 (ppm)
C B3 (ppm)
C B4 (ppm)
C B5 (ppm)
C B6 (ppm)
C B7 (ppm)
C B8 (ppm)
C B9 (ppm)
0
997.94
476.33
987.93
486.34
619.48
991.11
111.32
618.98
618.57
25
721.58
287.55
741.51
299.52
504.21
921.06
88.24
497.12
550.71
26
702.63
257.89
712.63
287.12
472.89
899.21
57.67
442.06
521.07
27
691.05
182.89
699.02
189.86
463.16
889.74
33.46
401.25
509.23
28
428.42
114.21
528.43
129.23
204.21
610.00
29.56
195.98
224.38
29
380.26
5.89
390.66
59.11
156.58
554.74
17.67
136.44
193.74
49
321.05
9.47
351.55
9.98
111.82
505.26
5.92
96.11
157.60
50
301.58
322.00
107.00
497.89
89.35
146.29
51
278.42
291.42
86.89
456.32
80.63
127.88
52
243.68
254.84
80.00
423.68
55.26
121.13
53
226.84
236.85
60.53
375.79
4.21
99.45
73
181.84
191.94
9.21
221.05
0.00
50.11
74
131.16
151.20
0.00
181.05
36.38
75
93.68
113.11
142.11
20.13
76
69.47
79.22
84.21
18.15
77
7.89
11.56
77.37
9.12
97
2.37
3.36
60.53
98
22.11
99
5.53
Jam ke
% B1
% B2
% B3
% B4
% B5
% B6
% B7
% B8
% B9
1
0
0
0
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
25
27.69
39.63
24.94
38.41
18.61
7.07
20.74
19.69
10.97
26
29.59
45.86
27.87
40.96
23.66
9.27
48.20
28.58
15.76
27
30.75
61.60
29.24
60.96
25.23
10.23
69.95
35.18
17.68
28
57.07
76.02
46.51
73.43
67.04
38.45
73.45
68.34
63.73
29
61.90
87.85
60.46
87.84
74.72
44.03
84.13
77.96
68.68
49
67.83
98.01
64.42
97.95
81.95
49.02
94.68
84.47
74.52
50
69.78
67.41
82.73
49.76
85.57
76.35
51
72.10
70.50
85.97
53.96
86.97
79.33
52
75.58
74.20
87.09
57.25
91.07
80.42
53
77.27
76.03
90.23
62.08
99.32
83.92
73
81.78
80.57
98.51
77.70
100.00
91.90
74
86.86
84.70
100.00
81.73
94.12
75
90.61
88.55
85.66
96.75
76
93.04
91.98
91.50
97.07
77
99.21
98.83
92.19
98.52
97
99.76
99.66
93.89
98
97.77
99
99.44
Lampiran 11 Perhitungan perkiraan scaling up biofilter kompos di lapang
Plastik Hitam
p = 4.24 m
Kawat Ram Kompos
t = 0.75 m
l =1.50 m Kawat Ram
Laju Air
Gambar Sketsa rancangan biofilter kompos untuk pengolahan air irigasi tercemar senyawa kimia pestisida di lapang
Nilai k laju degradasi pada keadaan optimum adalah 0.00018221 (dt) atau 0.01093 (menit) Debit larutan Diazinon ke Biofilter: Dimensi tabung biofilter: Diameter 7 cm maka jari-jari (r) 3.5 cm = 0.035 m Panjang 45 cm
= 0.45 m
Berat kompos yang digunakan
= 600 gr
Maka Luas lingkaran tabung =
= = 22/7 x 0.035 m x 0.035 m = 22/7 x 0.001225 = 0.02695/7 = 0.00385 m2
Volume tabung biofilter
= 0.00385 m2 x 0.45 m = 0.0017325 m3
Kerapatan kompos ( ) =
Kerapatan butiran kompos = 600 gr/1732.5 cm3 = 0.3463 gr/cm3.
Scaling Up di Lapang Diasumsikan konsentrasi diazinon di lapang maksimal 100 ppm dan diazinon yang diperbolehkan di lapang/lingkungan = 0.01 ppm Maka perbedaan konsentrasi diazinon in let dan out let = 99.99 ppm
Maka
∆ [D]/ ∆t
= k [ D]
100 ppm/t = 0.01093 menit * 100 ppm t = 99.99 ppm/1.093 ppm menit t = 91.48 menit atau 5488.93 detik t = resident time (waktu tinggal) Asumsi perkiraan laju alir di lapang = 0.87 l dt-1 = 0.87 dm3 dt-1 = 0.00087 m3 dt-1 Volume = laju alir * t = 0.00087 m3 dt-1 *5488.93 detik = 4.775 m3 = 4.78 m3 Volume = p * l * t Jika l (lebar) = 1.5 m t (tinggi)
= 0.75 m
maka panjang boks biofilter (p) =
volume l *t
= 4.775 m3 / 1.125 m2 = 4.24 m Sketsa boks biofilter di lapang: l = 1.5 m
t = 0.75 m p= 4.24 m
Kerapatan kompos ( ) = 0.3463 gr cm-3
= Berat / volume
0.3463 gr cm-3
= Berat / 4775000 cm3
Berat
= 0.3463 gr cm-3 * 4775000 cm3
Berat = 0.3463203463 gr cm3 * 4775000 cm3 = 1653582.5 gr = 1653.6 kg
Jadi berat kompos yang diperlukan sebagai biofilter untuk mengisi boks sebesar 1653.6 kg atau 1 ton 653.6 kg
Lampiran 12 Standar kualitas unsur makro kompos berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI-19-7030-2004)
Kandungan
Kompos Baku
Bahan organik (%)
27-58
44.69
Kadar air (%)
<50
25
Total N (%)
>0.40
1.12
Karbon (%)
9.80-32.00
21.20
Rasio C/N
10-20
39.90
P (%)
>0.10
0.64
K (%)
>0.20
0.98
pH
6.80-7.49
7.80
Kompos jamur Tiram