Streptomisin dan Insidens Penurunan Pendengaran pada Pasien Multidrug Resistant Tuberculosis di Rumah Sakit Dr. Moewardi Reviono, Widayanto, Harsini, Jatu Aphridasari, Yusup Subagio Sutanto Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Rumah Sakit Dr. Moewardi, Surakarta. Abstrak Latar belakang : Multidrug resistant tuberculosis (MDR TB) dikenal sebagai penyakit berbahaya bagi kesehatan penduduk dunia. Penanganan MDR TB menjadi sulit karena membutuhkan dana yang besar, waktu perawatan yang lama, dan memiliki efek samping obat jauh lebih banyak dibandingkan TB drug-sensitive. Berkurangnya pendengaran merupakan efek samping akibat pemberian aminoglikosida yang sering digunakan dalam tatalaksana pengobatan MDR TB. Pengobatan awal dengan streptomisin dapat memperburuk keadaan. Tujuan penelitian untuk menentukan hubungan antara injeksi streptomisin dengan insidens penurunan pendengaran pada pasien MDR TB di Rumah Sakit Dr. Moewardi. Metode : Studi potong lintang dengan mengambil data rekam medik dan hasil audiometri pada 33 pasien (18 perempuan dan 15 laki-laki) yang menerima perlakuan standar pengobatan MDR TB mulai Januari 2011 sampai September 2012 pada poli Programmatic Management of Drug Resistant Rumah Sakit Dr. Moewardi. Hasil : Dari 33 pasien MDR TB, 57,6% mengalami efek penurunan pendengaran akibat pengobatan MDR TB dan 54,2% merupakan pasien MDR TB yang menggunakan streptomisin dalam pengobatan. Hasil analisis menunjukkan tidak terdapat korelasi signifikan antara penggunaan streptomisin dalam pengobatan dan penurunan pendengaran, p=0,698. Insidens awal penurunan pendengaran pada pasien MDR TB yang mendapat pengobatan streptomisin terjadi dalam bulan pertama pengobatan (15,4%). Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan antara pengobatan streptomisin dengan insidens penurunan pendengaran pada pasien MDR TB di Rumah Sakit Dr. Moewardi. (J Respir Indo. 2013; 33:167-72) Kata kunci : Tuberkulosis, multidrug resistant, streptomisin, penurunan pendengaran.
Streptomycin and Incidence of Hearing Loss in Multidrug Resistant Tuberculosis Patients in Dr. Moewardi Hospital Abstract Background: Multidrug resistant tuberculosis (MDR TB) is known as threatening and challenging community health problem worldwide. Treatment of MDR TB is difficult because it needs higher cost, longer treatment period, and more adverse events than drug-sensitive TB. Hearing loss is a major adverse event due to aminoglycosides that commonly used as one of the regiments of MDR TB. Previous treatment of streptomycin may worsen the symptoms. The objective was to assess the correlation between streptomycin with incidence of hearing loss in MDR TB patients in Dr. Moewardi Hospital. Methods : A cross sectional study was conducted by reviewing medical records and audiometry report in 33 patients (18 females and 15 males) who received standardized treatment for MDR TB from January 2011 to September 2012 in Programmatic Management of Drug Resistant Tuberculosis unit of Dr. Moewardi Hospital. Results : Among 33 MDR TB patients, 57.6% experienced hearing loss as an adverse events of MDR treatment, and of 54.2% were MDR TB patients with treatment of streptomycin. The analysis showed there was no significant correlation between treatment of streptomycin and hearing loss, p=0.698. The earliest onset of hearing loss in MDR TB patients with treatment of streptomycin was occurred within the first month of treatment (15.4%). Conclusion: Treatment of streptomycin has no correlation with incidence of hearing loss in MDR TB patients in Dr. Moewardi Hospital. (J Respir Indo. 2013; 33:167-72) Keywords: Tuberculosis, multidrug resistant, streptomycin, hearing loss.
PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) merupakan suatu pandemi,
secara global (ekuivalen dengan 139 kasus per 100.000
setengah kasus TB terdapat di enam negara Asia
penduduk) pada tahun 2008. Sebagian besar
(Bangladesh, Cina, India, Indonesia, Pakistan, dan 1
diantaranya terdapat di Asia (55%) dan Afrika (30%).
World Health Organization (WHO)
Indonesia menempati peringkat kelima di dunia setelah
melaporkan diperkirakan terdapat 9,4 juta kasus TB
India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria pada tahun
Filipina).
167
J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013
2008.2
TB. Resistensi terhadap obat antituberkulosis (OAT)
terus meningkat jumlahnya, yang pada akhirnya akan
9. Pasien TB HIV (human immuno defficiency virus). Pasien suspek MDR TB sebagian ada yang
makin meningkatkan biaya pengobatan. Multidrug
sudah mendapatkan injeksi streptomisin (kategori 2)
resistant tuberculosis (MDR TB) dijumpai di lebih dari
dan ada beberapa pasien yang belum mendapatkan
100 negara dan diperkirakan terdapat lebih dari 400.000
injeksi streptomisin (non kategori 2). Streptomisin,
kasus baru yang berkembang setiap tahun.
3
gentamisin, amikasin, neomisin, dan kanamisin
Berdasarkan laporan WHO tahun 2009 diperkirakan
merupakan obat golongan aminoglikosida yang
terdapat setengah juta kasus MDR TB pada tahun
mempunyai efek samping ototoksik.8 Streptomisin
2007.2
merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang Kasus MDR TB lebih sulit diterapi, karena terapi
dipakai dalam terapi pasien TB kategori 2 sedangkan
MDR TB menggunakan regimen yang lebih toksik
kanamisin diberikan pada terapi pasien MDR TB. Dalam
sehingga menimbulkan banyak efek samping, lebih
penelitian ini akan diamati apakah ada perbedaan efek
mahal, dan aktivitasnya lebih lemah apabila
samping penurunan pendengaran pada pasien MDR TB
dibandingkan dengan OAT lini pertama. Terapi MDR TB
yang mendapatkan terapi kanamisin antara pasien
juga membutuhkan waktu lebih lama, diberikan selama
yang sudah mendapatkan injeksi streptomisin
18-24 bulan. 4,5
sebelumnya (kategori 2) dengan yang belum
Pasien dengan hasil pemeriksaan basil tahan asam (BTA) sputum atau kultur yang tetap positif
mendapatkan injeksi streptomisin (non kategori 2) di RS. Dr. Moewardi Surakarta.
setelah mendapatkan OAT secara adekuat sebaiknya dicurigai sebagai MDR TB, demikian juga pada orangorang yang memiliki kontak erat dengan pasien MDR TB
METODE Penelitian ini bersifat cross sectional analitik,
terutama pada kondisi immune-compromised. 6
dilaksanakan di poli programmatic management of drug
Kelompok pasien yang dicurigai kemungkinan MDR TB
resistant (PMDT) rumah sakit (RS) Dr. Moewardi
adalah:7
Surakarta. Populasi penelitian adalah pasien MDR TB
1. Kasus TB paru dengan gagal pengobatan pada
yang menjalani pengobatan OAT lini kedua di poli PMDT
kategori dua, dibuktikan dengan rekam medis
RS Dr. Moewardi Surakarta mulai dari bulan januari
sebelumnya dan riwayat penyakit dahulu.
2011 sampai dengan bulan September 2012.
2. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak
Kriteria inklusi yang ditetapkan adalah pasien
tetap positif setelah sisipan dengan kategori dua.
MDR TB yang menjalani pengobatan OAT lini kedua di
3. Pasien TB yang pernah diobati di fasilitas non-
poli PMDT RS Dr Moewardi Surakarta mulai dari Januari
DOTS (directly observed treatment shortcourse),
2011 sampai dengan September 2012. Kriteria eksklusi
termasuk yang mendapat OAT lini kedua seperti
adalah pasien MDR TB yang mangkir, meninggal,
kuinolon dan kanamisin. 4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori satu.
belum konversi, dan tidak mengalami gangguan pendengaran pada saat awal terapi OAT lini ke-2 diberikan. Variabel bebas pada penelitian ini meliputi
5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak
jenis kelamin, umur, berat badan, penurunan
tetap positif setelah sisipan dengan kategori satu.
pendengaran, dan lama muncul efek penurunan
6. Pasien TB paru kasus kambuh.
pendengaran. Variabel terikat adalah riwayat
7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/ default pada
pengobatan sebelumnya. Definisi operasional variabel
pengobatan kategori satu atau kategori dua.
pada penelitian ini adalah jenis kelamin (laki-laki dan
8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat
perempuan), umur biologis dalam tahun, berat badan
dengan pasien MDR TB konfirmasi, termasuk
pasien dalam kilogram, terdapatnya gangguan
petugas kesehatan yang bertugas di bangsal MDR
J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013
168
penurunan pendengaran pada pasien MDR TB yang
sebelumnya tercantum dalam tabel 2.
dinyatakan dengan hasil audiometri meliputi mixer
Dari tabel 2 didapatkan sebagian besar golongan
hearing loss (MHL) dan sensoneural hearing loss
non kategori 2 sebanyak 4 pasien (44,4%) umur kurang
(SNHL), lamanya waktu yang diperlukan untuk
dari 31 tahun, kategori 2 terbanyak pada usia 31 - 40
munculnya keluhan gangguan pendengaran yang
tahun sebesar 10 pasien (41,7%) namun dari segi umur
dibuktikan dengan hasil audiometri, riwayat pengobatan
tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok
pasien sebelum dinyatakan MDR TB, sudah pernah
kategori 2 dan non kategori 2 dengan nilai p 0,416.
mendapatkan injeksi streptomisin (kategori 2) dan
Kategori 2 lebih banyak pasien perempuan 14 (58,3%)
belum pernah mendapatkan injeksi streptomisin (non
sedang non kategori 2 lebih banyak laki-laki 5 pasien
kategori 2).
(55,6%), dari jenis kelamin tidak didapatkan perbedaan
Data yang diperoleh dari penelitian akan
yang signifikan dengan nilai p 0,697.
ditabulasi dan dianalisis menggunakan statistical
Berat badan pasien akan menentukan berapa
programme for social science (SPSS) for windows versi
dosis kanamisin yang akan diberikan mulai dosis harian
13.00. Hubungan antara riwayat pengobatan
atau berdasarkan dosis sesuai dengan berat badannya.
sebelumnya terhadap karakteristik demografi pasien
Tidak ada perbedaan yang bermakna dosis kanamisin
MDR TB dianalisis dengan uji chi square.
yang diberikan pada pasien kategori 2 dan non kategori 2, dimana nilai p 0,739. Baik kategori 2 maupun non
HASIL Dalam penelitian ini didapatkan variasi umur penderita MDR TB termuda usia 20 tahun dan tertua usia 62 tahun, kebanyakan pasien masih dalam usia produktif berkisar antara 30-50 tahun, jenis kelamin didapatkan laki-laki 15 orang (45,5%) dan perempuan 18 orang (54,5%). Berat badan penderita MDR TB bervariasi mulai dari 33-72 kilogram sebagai dasar pemberian dosis kanamisin injeksi pada terapi MDR TB. Riwayat pengobatan sebelumnya, yang sudah menjalani terapi TB dengan streptomisin injeksi (kategori 2) sebanyak 24 pasien (72,7%) dan pasien yang belum mendapat riwayat pengobatan streptomisin sebelumnya (non kategori 2) sebanyak 9 pasien (27,3%). Penurunan pendengaran pasien MDR TB sebagai efek samping dari kanamisin didapatkan pada 19 pasien (57,6%) sedangkan 14 pasien (42,4%) tidak mengalami penurunan pendengaran, keluhan penurunan pendengaran berdasarkan hasil audiometri bervariasi mulai dari bulan ke-1 sampai bulan ke-15 (tabel 1). Sampel yang didapat dibagi menjadi 2 kelompok, pertama yang sudah pernah mendapatkan terapi streptomisin (kategori 2) sebanyak 24 pasien dan yang belum pernah mendapatkan terapi streptomisin (non kategori 2) sebanyak 9 pasien. Perbandingan antara variabel penelitian dengan kelompok riwayat terapi
kategori 2 efek samping penurunan pendengaran yang terjadi lebih besar daripada yang tidak mengalami penurunan pendengaran, pada kategori 2 sebanyak 13 pasien (54,2%) mengalami penurunan pendengaran sedangkan non kategori 2 yang mengalami penurunan pendengaran sebanyak 6 pasien (66,7%) akan tetapi perbedaan efek samping penurunan pendengaran ini tidak mempunyai arti yang signifikan. Tabel 3 menggambarkan onset munculnya efek samping terapi kanamisin terhadap penurunan pendengaran pada pasien MDR TB. Kelompok kategori 2 pada bulan pertama sudah ada yang mengalami penurunan pendengaran pada 2 pasien (15,4%) sedangkan kelompok non kategori 2 pada bulan kedua mulai ada 1 pasien (16,7%) yang mengalami penurunan penurunan pendengaran. Jika dinyatakan secara numerik lama munculnya efek samping berupa penurunan pendengaran pada kelompok non kategori 2 sebesar 6,67 ± 4,50, dengan riwayat kategori 2 sebesar 5,54±2,82. Perbandingan penurunan pendengaran dengan beberapa variabel tertulis dalam tabel 4. Dari tabel 4 didapatkan laki-laki mempunyai efek samping penurunan pendengaran lebih banyak dibandingkan perempuan sebesar 66,7% dan terjadi kecenderungan yang meningkat kejadian penurunan pendengaran dengan bertambahnya umur dan berat badan pasien, yang digunakan sebagai dasar untuk penentuan dosis terapi.
169
J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013
Tabel 1. Deskripsi variabel
Tabel 3. Perbandingan variabel onset efek samping dengan kriteria suspek
Variabel Umur < 31 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun > 60 tahun Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Berat badan < 33 kg 33-50 kg 51-70 kg > 70 kg Kriteria suspek Kategori 1 Kategori 2 Efek penurunan pendengaran Ya Tidak Mulai muncul efek (bulan ke-) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 15 Mulai muncul efek (numerik)
F
%
8 12 10 2 1
24,2 36,4 30,3 6,1 3,0
15 18
45,5 54,5
1 20 11 1
3,0 60,6 33,3 3,0
9 24
27,3 72,7
19 24
57,6 42,4
2 1 1 2 3 3 2 2 1 1 1 Mean = 5,89
10,5 5,3 5,3 10,5 15,8 15,8 10,5 10,5 5,3 5,3 5,3 SD* = 3,35
Onset efek samping
*SD : Standard deviation
Tabel 2. Perbandingan variabel menurut riwayat pengobatan sebelumnya Variabel Umur < 31 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun > 60 tahun Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Berat badan < 33 kg 33-50 kg 51-70 kg > 70 kg Penurunan pendengaran Ya Tidak
Non kategori 2 Kategori 2 (n=9) (%) (n=24) (%)
p
0 (0,0) 1 (16,7) 0 (0,0) 1 (16,7) 1 (16,7) 0 (0,0) 2 (33,3) 0 (0,0) 0 (0,0) 0 (0,0) 1 (16,7) 6,67±4,50
2 (15,4) 0 (0,0) 1 (7,7) 1 (7,7) 2 (15,4) 3 (23,1) 0 (0,0) 2 (15,4) 1 (7,7) 1 (7,7) 0 (0,0) 5,54±2,82
0,192
0,510
*SD : Standard deviation
Tabel 4. Perbandingan penurunan pendengaran menurut variabel Penurunan pendengaran % F
Variabel Umur < 31 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun > 60 tahun Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Berat badan < 33 kg 33-50 kg 51-70 kg > 70 kg
p
(n=8) (n=12) (n=10) (n=2) (n=1)
3 6 7 2 1
37,5 50,0 70,0 100,0 100,0
0,349
(n=15) (n=18)
10 9
66,7 50,0
0,541
(n=1) (n=10) (n=11) (n=1)
0 10 8 1
0,0 100,0 72,7 100,0
0,308
Tabel 5. Dosis pemberian obat kanamisin
4 (16,7) 10 (41,7) 8 (33,3) 1 (4,2) 1 (4,2)
0,416
5 (55,6) 4 (44,4)
10 (41,7) 14 (58,3)
0,697
0 (0,0) 5 (55,6) 4 (44,4) 0 (0,0)
1 (4,2) 15 (62,5) 7 (29,2) 1 (4,2)
0,739
13 (54,2) 11 (45,8)
Kategori 2 (n=13)
p
4 (44,4) 2 (22,2) 2 (22,2) 1 (11,1) 0 (0,0)
6 (66,7) 3 (33,3)
Bulan ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 15 Numerik (mean±SD*)
Non kategori 2 (n=6)
Dosis rata-rata harian 15-20 mg/kg/hari
33-50 kg
51-70 kg
>70kg (dosis maks)
500-750 mg
1000 mg
1000 mg
ginjal bersifat reversibel akan tetapi gangguan pendengaran dan sistem keseimbangan tubuh bersifat ireversibel/ permanen. 9 Ototoksisitas merupakan toksisitas mayor antibiotik golongan aminoglikosida
0,698
yang ireversibel. Kerusakan pada koklea dapat menimbulkan penurunan pendengaran permanen, sedangkan kerusakan pada organ keseimbangan menyebabkan dizziness, ataksia, dan atau nistagmus.10
PEMBAHASAN
Mekanisme awal aminoglikosida dalam merusak
Terapi aminoglikosida pada MDR TB berisiko
pendengaran adalah penghancuran sel-sel rambut
untuk terjadinya gangguan fungsi ginjal, fungsi telinga,
koklea, khususnya sel-sel rambut luar. Aminoglikosida
dan sistem keseimbangan tubuh. Gangguan fungsi
muncul untuk menghasilkan radikal bebas di dalam
J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013
170
telinga bagian dalam dengan mengaktifkan nitric oksida
ditetapkan oleh tim ahli klinis (TAK) yang berdasarkan
sintetase (NOS) yang dapat meningkatkan konsentrasi
berat badan pasien dan hasil kultur sensitivitas kuman.
oksida nitrat. Radikal oksigen bebas (ROS) kemudian
Untuk dosis kanamisin tertulis pada tabel 5.19
bereaksi dengan oksida nitrat membentuk radikal
Berat badan pasien dalam penelitian ini
peroksinitrit destruktif, yang dapat secara langsung
terbanyak dalam kisaran 33-50 kilogram sehingga dosis
merangsang kematian sel. Apoptosis adalah
kanamisin yang diberikan antara 500-750 mg secara
mekanisme utama kematian sel dan terutama
intramuskuler seminggu 5 kali. Tidak ada perbedaan
diperantarai oleh kaskade mitokondria intrinsik.
yang signifikan dari berat badan pasien antara
Fenomena ini menyebabkan kerusakan permanen
kelompok kategori 2 dan non kategori 2. Dosis
pada sel-sel rambut luar koklea, yang mengakibatkan
maksimal 1000 mg diberikan pada 1 pasien (4,2%)
kehilangan pendengaran permanen.
11,12
kategori 2 dengan berat 72 kg dan mengalami
Penurunan pendengaran akibat efek samping
gangguan pendengaran pada bulan ke-2.
pemberian kanamisin pada pasien MDR TB dipengaruhi
Penelitian ini juga menggambarkan kecende-
oleh beberapa faktor diantaranya umur, dosis, dan lama
rungan meningkat terjadinya penurunan pendengaran
pemberian injeksi kanamisin serta kreatinin serum yang
seiring dengan penambahan umur yang semakin tua
menunjukkan ada tidaknya kelainan di ginjal. 13
dan meningkatnya berat badan yang berhubungan
Distribusi pasien MDR TB berdasarkan jenis kelamin pada penelitian ini terdiri dari laki-laki 15 orang (45,5%) dan perempuan 18 orang (54,5%). Penelitian 14
dengan pemberian dosis terapi pada pasien MDR TB, meskipun secara statistik hasil tersebut tidak signifikan. Keluhan penurunan pendengaran pada pasien
juga mendapatkan
MDR TB yang mendapat terapi kanamisin antara
perempuan lebih banyak menderita MDR TB
kelompok dengan riwayat terapi streptomisin dan yang
dari Taiwan oleh Jen Suo dkk.
dibandingkan laki-laki, dengan 11 orang (64%)
belum pernah mendapatkan streptomisin dalam
perempuan dan 7 orang (36%) laki-laki. Sedangkan
penelitian ini tidak signifikan. Rata-rata 5,54±2,82 bulan
penelitian Granich dkk.15 mendapatkan laki-laki 241
muncul keluhan penurunan pendengaran pada
orang (59%) sedangkan perempuan 166 orang (41%). Laporan penelitian Tsukamura
dikutip dari 16
mendapatkan hal
yang sama yaitu laki-laki 12 orang (63%) dan
kelompok kategori 2 setelah diberikan kanamisin pada pasien MDR TB dimulai dan 6,67±4,50 bulan pada kelompok non kategori 2.
perempuan 7 orang (37%). Pasien MDR TB pada penelitian ini laki-laki lebih sedikit kemungkinan karena
KESIMPULAN
laki-laki aktivitasnya lebih tinggi dalam kesehariannya,
Pada penelitian ini didapatkan sampel yang
tradisi yang berlaku laki-laki merupakan tulang
memenuhi kriteria sebanyak 33 pasien MDR TB selama
punggung keluarga yang harus bekerja, sehingga untuk
Januari 2011 sampai dengan September 2012,
mengikuti program pengobatan MDR TB selama
perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Sebagian
minimal 18 bulan dirasa memberatkan mereka. Efek
besar pasien masih dalam usia produktif (60,6%)
samping pengobatan berupa penurunan pendengaran
dengan berat badan terbanyak 33-50 kg. Pasien yang
tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan
mengeluhkan penurunan pendengaran sebanyak 19
perempuan. Penderita MDR TB dalam penelitian ini
orang (57,6%), 6 pasien dari golongan non kategori 2
sebagian besar berumur antara 31-50 tahun sebanyak
dan 13 pasien dari golongan kategori 2. Efek penurunan
22 orang. Rieder dkk.17 mendapatkan MDR TB berumur
pendengaran pertama kali muncul pada kelompok
25-44 tahun. Penelitian Hadiarto dkk. dikutip
kategori 2, yaitu pada bulan pertama sebesar 15,4%,
dari
18
mendapatkan rata-rata umur 37,8 tahun dan juga
sedang pada kelompok non kategori 2 muncul pertama
mendapatkan kelompok usia produktif yang terbanyak
kali pada bulan kedua sebanyak 16,7% pasien.
menderita MDR TB.
Penurunan pendengaran cenderung meningkat seiring
Dosis pemberian obat pada pasien MDR TB
171
J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013
dengan bertambahnya umur dan berat badan pasien
yang digunakan sebagai dasar penentuan besarnya
multidrug resistant tuberculosis patients on
dosis obat kanamisin. Hasil analisis penelitian ini adalah
aminoglycoside treatment with long term follow-up.
tidak ada hubungan penurunan pendengaran pada
BMC Ear Nose Throat Disord. 2007;7(5):1-7.
kelompok dengan riwayat pengobatan streptomisin dan yang belum mendapat streptomisin.
11. Stringer SP, Meyerhoff WL,Wright CG. Ototoxicity. In: Paparella WM, Shumrick DA, Gluckman JL, Meyerhoff WL, editors. Otolaryngology. 3rd eds.
DAFTAR PUSTAKA 1. Prabudhesai PP, Singh RVP. Multidrug resistant tuberculosis. Bombay Hosp J. 2009;51(1):63-7. 2. World Health Organization. Global tuberculosis control. A short update to 2009 report. Switzerland: World Health Organization; 2009. 3. World Health Organization. The global MDR TB & XDR TB response plan 2007-2008. Switzerland: World Health Organization; 2007. 4. Onyebujoh P, Zumla A, Ribeiro I, Rustomjee R, Mwaba P, Golmes M, et al. Treatment of tuberculosis: present status and future prospects. Bulletin of the World Health Organization. 2005;83(11):857-65. 5. Torun T, Gungor G, Ozmen I, Bolukbasi Y, Maden E, Bicakci B, et al. Side effects associated with the treatment of multidrug resistant tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis. 2005;9(12):1373-7. 6. Weyer K. Multidrug resistant tuberculosis. CME. 2005;23(2):64-80. 7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Edisi revisi pertama. Jakarta: PDPI; 2011.p.34. 8. Selimoglu E. Aminoglycoside-induced ototoxicity. Curr Pharm Design. 2007;13:119-26. 9. Seddon AJ, Fausset GP, Jacobs K, Ebrahim A, Hesseling CA, Schaaf SH. Hearing loss in patients on treatment for drug resistant tuberculosis. Eur Respir J. 2012; 40:1277-86.
Philadelphia (PA): WB Saunders Company; 1991.p. 1653–69. 12. Tuper G, Ahmad N, Seidman M. Mechanism of ototoxicity. Perspective on Hearing and Hearing Disorders. Research and Diagnostic. 2005;9(1):210. 13. Jager. P, Altena RV. Hearing loss and nephrotoxicity in long-term aminoglycoside treatment in patients with tuberculosis. Int J Tuberc Lung. 2002;6(7):6227. 14. Suo J, Yu MC, Lee CN, Chiang CY, Lin TP. Treatment of multidrug resistant tuberculosis in Taiwan. Chemotherapy. 1996;42(3):20-3. 15. Granich RM, Oh P, Lewis B, Porco TC, Flood J. Multidrug resistance among persons with tuberculosis in California 1994-2003. J Am Med Assoc. 2005; 293:2732-9. 16. Tsukamura M, Nakamura E, Yohii S, Amano H. Therapeutic effect of a new antibacterial substance ofloxacin (DL 8280) on pulmonary tuberculosis. An Rev Respir Dis.1985;131:352-6. 17. Rieder HL. Drug resistant tuberculosis : Issue epidemiology and challenges for public health. Tuber Lung Dis.1994;75:321-3. 18. Mangunnegoro H, Aditama TY, Hudoyo A. Treatment of multidrug resistant tuberculosis in Indonesia. Chemotherapy. 1996;42(3):24-9. 19. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis penatalaksanaan pasien MDR TB. Departemen Kesehatan RI. 2009.p.12-8.
10. Duggal P, Sarkar M. Audiologic monitoring of
J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013
172