Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8
STRATEGI USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH (UMKM) DI JATINANGOR DALAM MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) THE STRATEGY OF JATINANGOR’S UMKM (USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH) IN THE ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC)
1
Zaenal Muttaqin1 dan Deasy Silvya Sari2
Studi Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran Jln. Raya Bandung Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang, 45363. Telp. (022)7796416 2 Mahasiswa S3 Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Unpad Jln. Bukit Dago Utara No. 25 Bandung, 40135. Telp (022) 2510276 1 Email:
[email protected]
ABSTRAK Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan salah satu wujud integrasi negaranegara ASEAN dalam bidang ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan stabilitas perekonomian di kawasan Asia Tenggara. Integrasi ini meleburkan sekat-sekat antar negara yang memungkinkan bebasnya aliran barang, jasa, investasi dan juga orang dari satu negara anggota ASEAN ke negara lainnya. Kondisi ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi para penggiat ekonomi di Indonesia, terutama para pengusaha dalam ranah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Tulisan ini bertujuan untuk menelaah kesiapan dan merancang strategi pengusaha-pengusaha UMKM di Jatinangor dalam menghadapi MEA. Tulisan ini menggunakan metode meta-analisis. Pertama, penulis melakukan pemetaan kesiapan UMKM dengan teknik kuantitatif terhadap beberapa jenis wirausaha khas Jatinangor sebagai sampel. Temuan kuantitatif menunjukkan bahwa para pelaku UMKM di Jatinangor siap menghadapi MEA namun belum memahami tentang MEA dan konsekuensi diberlakukannya MEA terhadap usaha mereka. Kedua, secara kualitatif, penulis merancang strategi bisnis UMKM di Jatinangor dalam menghadapi MEA. Kata Kunci: Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), Strategi Bisnis ABSTRACT ASEAN Economic Community (AEC) is one form of the integration of ASEAN member states in the field of economics that aims to boost economic stability in Southeast Asian region. This integration soften the barriers between countries that allow the free flow of goods, services, investment and also those of the ASEAN member countries to other countries. This condition is both challenge and opportunity for economic players in the Indonesia, notably the entrepreneurs in the realm of Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). This paper aims to examine the readiness and designing strategies UMKM entrepreneurs in Jatinangor in the face of the MEA. This paper uses a meta-analysis method. First, the authors mapped the readiness of UMKM with quantitative approach against some types of typical entrepreneurial Jatinangor area as samples. The quantitative findings indicate that UMKM in Jatinangor area are ready to face the MEA but not yet understand about the MEA and the consequences of the implementation of the MEA. Second, from qualitative approach, the authors designed a business strategy of UMKM in Jatinangor in the face of the MEA. Key words: ASEAN Economic Community, UMKM, Business Strategy
64
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 PENDAHULUAN Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Cebu tahun 2007 menyatakan bahwa Komunitas ASEAN (ASEAN Community) yang awalnya akan diberlakukan pada tahun 2020 dipercepat pelaksanaannya menjadi tahun 2015, tepatnya 31 Desember 2015. Dengan berlakunya kesepakatan ini, otomatis tiga pilar Komunitas ASEAN, yakni ASEAN Political Security Community(APSC), ASEAN Economic Community (AEC atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN, MEA) dan ASEAN Sosio Cultural Communityakan berlaku juga pada tahun yang sama. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) menjadikan negara-negara anggota ASEAN sebagai pasar tunggal dengan daya saing ekonomi tinggi dimana barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas. Tujuan dari MEA adalah menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang stabil, dan daya saing serta integrasi dengan regulasi, efektif untuk perdagangan dan investasi yangmana terdapat kebebasan aliran pelaku usaha dan tenaga kerja serta arus bebas barang, jasa, investasi dan juga modal (Wangke, 2014: 2). Jatinangor merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Sumedang. Jatinangor merupakan salah satu blok perkebunan di gunung Manglayang yang menjadi kawasan sentra pendidikan di Jawa Barat. Beberapa perguruan tinggi yang berada di kawasan ini, di antaranya Universitas Padjadjaran (Unpad), Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Institut Koperasi Indonesia (Ikopin) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) Jatinanangor (dulunya Universitas Winaya Mukti atau Unwim). Beberapa perusahaan atau industri skala besar juga terdapat di kawasan ini, seperti: Kahatex di desa Cintamulya dan Cisempur, Polypin Canggih di desa Cipacing, Insan Sandang di Desa Mekargalih, dan Wiska di desa Cipacing (Amalia, 2014: 1). Sebagai ekses dari pesatnya perkembangan Jatinangor sebagai sentra pendidikan, terjadi perubahan signifikan dari infrastruktur Jatinangor guna mendukung fasilitas keberadaan mahasiswamahasiswa di Jatinangor. Usaha rumah kos, apartemen, usaha kuliner, komputer, otomotif, toko buku, marak di kawasan ini. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) berbasis industri rumahan yang sudah dilakukan oleh penduduk Jatinangor secara turun temurun masih bisa bertahan dalam pesatnya pertumbuhan usaha yang dilakukan oleh para pendatang. Kondisi persaingan penduduk asli Jatinangor dengan para pendatang yang ikut serta berwirausaha di kawasan ini menjadi hal yang biasa berlangsung di kalangan masyarakat Jatinangor. Kebiasaan masyarakat Jatinangor menghadapi persaingan usaha merupakan modal yang baik dalam menghadapi MEA. Hanya saja, dalam MEA, UMKM Jatinangor tidak hanya harus bersaing dengan para wirausahawan dari sesama bangsa Indonesia saja. Tentunya, mereka harus siap bersaing dengan wirausahawan dari sesama negara ASEAN juga. Disamping keterampilan dan strategi wirausaha, keterampilan lainnya seperti bahasa dan memahami karakteristik pendatang menjadi sesuatu yang penting dalam MEA. Untuk itu dalam tulisan ini, penulis bermaksud untuk menelaah bagaimana kesiapan UMKM di Jatinangor dalam menghadapi MEA. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk: 1. Memetakan kesiapan para pelaku UMKM di Jatinangor dalam menghadapi MEA; dan 2. Memberikan preskripsi strategi bisnis bagi para pelaku UMKM di Jatinangor dalam menghadapi MEA. Tulisan ini diharapkan memiliki manfaat secara teoritis bagi pengembangan kajian strategi bisnis dalam disiplin ilmu Administrasi Bisnis dalam kondisi integrasi ekonomi regional yang menjadi fokus kajian Studi Hubungan Internasional. Secara praktis, tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi para pelaku UMKM dalam mengembangkan strategi bisnis mereka dalam menghadapi MEA. Pengertian Usaha Mikro dan Menengah (UMKM) merujuk pada Undang-Undang No. 20 tahun 2008. Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan. Usaha mikro memiliki kekayaan bersih paling banyak lima puluh juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak tiga ratus juta rupiah (Pasal 1 dan 8 UU No. 20 tahun 2008). Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan
65
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar. Usaha kecil memiliki kekayaan bersih lebih dari lima puluh juta rupiah maksimal lima ratus juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari tiga ratus juta rupiah hingga dua milyar lima ratus rupiah (Pasal 1 dan 8 UU No. 20 tahun 2008). Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Usaha Menengah memiliki kekayaan bersih lebih dari lima ratus juta rupiah hingga sepuluh milyar rupiah; dan memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari dua milyar lima ratus juta rupiah sampai lima puluh milyar rupiah (Pasal 1 dan 8 UU No. 20 tahun 2008). Tujuan Pemerintah Indonesia menumbuhkan UMKM untuk menumbuhkan dan mengembangkan usaha dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan berdasarkan asas: kekeluargaan, demokrasi ekonomi, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional(Pasal 2 UU No. 20 tahun 2008). Strategi bisnis adalah sebuah rencana yang menjelaskan bagaimana individu atau organisasi akan mencapai misi yang telah ditetapkan. Karena MEA sebagai circumstance dalam tulisan ini baru akan diaplikasikan akhir 2015, maka arah dari strategi bisnis ini mengacu pada proses formulasi strategi. Yakni, langkah-langkah yang harus diambil guna menghasilkan serangkaian strategi (Ulwick, 1999: 4). Langkah awal menyusun strategi bisnis adalah memahami batasan-batasan yang menghambat proses formulasi bisnis, meliputi: i) hambatan struktur organisasi berupa kurangnya orang yang mampu mengolah informasi, ii) hambatan informasi berupa kurangnya informasi atau terlalu banyak informasi sehingga sulit mengolah informasi-informasi yang ada; dan iii) kekuatan untuk memproses informasi, berupa keterbatasan kemampuan manusia dalam mengolah informasi, menjelaskan rencana dan membuat keputusan-keputusan yang kompleks (Ulwick, 1999: 7-10). Formulasi strategi dalam tulisan ini diarahkan untuk menawarkan solusi. Terdapat tiga langkah formulasi strategi berbasis solusi (solution-based logic), yakni (Ulwick, 1999: 19): 1.
Memaparkan potensi solusi, meliputi: masukan dari konsumen, brainstorming, observasi dan meniru solusi dari pihak lain;
2.
Mengevaluasi potensi solusi, meliputi: data-data pendukung, mendiskusikan data, intuisi, dan mencari metode ilmiah untuk memahami solusi yang ada; serta
3.
Memilih solusi terbaik, meliputi negosiasi dan kompromi solusi-solusi yang dipilih.
METODE Tulisan ini merupakan kajian meta-analitis dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Kajian dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, penulis melakukan pemetaan kesiapan UMKM di Jatinangor dalam menghadapi MEA. Analisis menggunakan teknik kuantitatif dimana penulis melakukan enam riset kecil secara terpisah dengan melibatkan mahasiswa Unpad. Keenam riset ini yakni: 1.
Peluang usaha UMKM kerajinan tangan di desa Cipacing, Jatinangor dalam menghadapi MEA;
2.
Ancaman masuknya beras impor sebagai dampak MEA terhadap petani beras di desa Hegarmanah, Jatinangor;
3.
Kesiapan pedagang ubi Cilembu di desa Tanjungsari dalam menghadapi MEA;
4.
Kesiapan pengusaha lokal rumah kos di Ciseke, Jatinangor dalam menghadapi MEA;
5.
Kesiapan mahasiswa pengusaha FISIP dalam bidang kuliner dalam menghadapi MEA; dan
6.
Kesiapan produsen lokal tahu Sumedang di Jatinangor dakam menghadapi MEA.
66
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 Setelah melakukan riset-riset secara kuantitatif, hasil dari setiap riset tersebut kemudian diperbandingkan (komparasi) satu sama lain. Untuk kemudian didapatkan simpulan hasil komparasi tersebut.Simpulan yang didapat kemudian dikaji ulang guna menelaah strategi bisnis yang mungkin dikembangkan oleh para pelaku UMKM di Jatinangor, khususnya UMKM yang telah dikaji dalam riset kecil tulisan ini. Luaran secara kualitatif bersifat preskriptif.
HASIL PENELITIAN Riset mengenai peluang usaha para pengrajin di desa Cipacing menunjukkan kesiapan yang baik dalam menghadapi persaingan MEA. Objek riset adalah para produsen senapan angin, ukiran kayu, panah, sumpit, dan sebagainya yang bersifat industri rumahan. Hasil produksi mereka didistribusikan ke toko-toko yang banyak tersebar di sepanjang jalan Cipacing Rancaekek. Kesiapan para pengrajin ini dalam menghadapi MEA ditelaah dari faktor harga, produk, tempat dan promosi usaha dengan hasil analisis regresi dibawah 0,05. Simpulan riset ini menunjukkan bahwa: a. Harga barang yang dijual berpeluang bagus untuk bersaing dalam MEA karena dipatok dalam harga jual yang murah; b. Produk UMKM berpeluang bagus dalam persaingan MEA karena produk yang dibuat berasal dari bahan mentah yang mudah didapat; c. Tempat berproduksi berpeluang bagus untuk persaingan dalam MEA karena terdapat di kawasan sentra pendidikan Jatinangor dan telah memiliki pangsa pasar dalam dan luar negeri, yakni ke Yogyakarta, Bali, Lombok, Spanyol, Perancis, Afrika, Thailand, Jepang dan Singapura; dan d. Promosi berpeluang bagus dalam persaingan MEA karena para pelaku usaha rajin mengikuti pameranpameran seni. Riset mengenai ancaman beras impor bagi petani beras di Hegarmanah memberikan simpulan bahwa petani di desa Hegarmanah cenderung khawatir dengan diterapkannya MEA. Hal ini didasarkan pada tiga faktor, yakni kualitas (dengan koefisien regresi 0,442), distribusi (dengan koefisien regresi 0,427) dan harga (dengan koefisien regresi 0,438). Para Petani khawatir kualitas beras lokal kurang bagus dibandingkan dengan beras impor. Terlebih jika beras impor memiliki brand/merek yang terkenal dan diakui pemerintah Indonesia, mulai dari kualitas berasnya itu sendiri hingga pengepakannya. Dari sisi distribusi, petani lokal khawatir distribusi beras lokal kurang lancar dibanding beras impor. Akibat dari kurangnya kualitas beras dan ketidaklancaran distribusi, petani khawatir kedua faktor tersebut mempengaruhi harga beras lokal juga. Riset mengenai kesiapan para pedagang Ubi Cilembu dalam menghadapi MEA ditinjau dari tujuh aspek, yakni: 1.
omzet (dengan standar deviasi 0,84) menunjukkan bahwa pedagang ubi cilembu sudah siap menghadapi MEA karena omzet per bulan mereka cukup tinggi, yakni di atas 30 juta rupiah;
2.
pengalaman ekspor (dengan standar deviasu 0,89) menunjukkan bahwa pedagang ubi cilembu belum siap karena kurang memiliki pengalaman ekspor;
3.
pengetahuan mengenai MEA (dengan standar deviasi 0) menunjukkan bahwa para pedagang ubi cilembu sama sekali belum megetahui tentang MEA;
4.
pengetahuan tentang asosiasi pedagang (dengan standar deviasi 0) menunjukkan bahwa para pedagang sama sekali tidak mengetahui tentang adanya sosiasi pedagang yang mampu merangkul usaha mereka;
5.
pengetahuan standar produk (dengan standar deviasi 0) menunjukkan bahwa para pedagang sama sekali tidak mengetahui adanya standar produk untuk pasar bebas ASEAN;
6.
peran pemerintah (dengan standar deviasi) 0,45 menunjukkan bahwa para pedagang ubi cilembu belum merasakan peran pemerintah dalam mendukung usaha mereka.
67
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 Riset mengenai kesiapan pengusaha rumah kos menunjukkan bahwa 70% dari pengusaha tidak mengetahui tentang MEA. Meski demikian, para pengusaha lokal tidak khawatir untuk ikut serta dalam persaingan MEA karena fasilitas, pelayanan, lokasi dan harga cukup mampu bersaing. Fasilitas rumah kos, meliputi: kondisi fisik bangunan yang baik, ketersediaan wifi/internet, pemanas air, pendingin ruangan, kamar mandi serta dapur umum. Lokasi rumah kos yang berada di pusat keramaian serta mampu dicapai kendaraan bermotor menjadi faktor yang unggul dalam bersaing. Aspek pelayanan rumah kos, seperti: sanitasi yang baik, jasa bersih-bersih (cleaning service), jasa cuci pakaian, serta keamanan yang terjamin menambah ketidakkhawatiran pengusaha rumah kos untuk bersaing dalam MEA. Riset mengenai wirausahawan mahasiswa FISIP dalam bidang kuliner ingin mengetahui kesiapan mereka dalam menghadapi MEA dari sisi bauran pemasaran dengan empat dimensi, yakni produk, harga, tempat dan promosi. Simpulan statistika koefisien regresi dimensi produk 0,548, dimensi harga 0.485, dimensi tempat 0,341, dan dimensi promosi 0,374. Dengan triangulasi teknik pegumpulan data menunjukkan bahwa sebagai mahasiswa, pengetahuan mengenai MEA serta konsekuensi diberlakukannya MEA sudah mereka ketahui serta sudah menyiapkan diri. Dari sisi harga, produk yang dihasilkan diperoleh dari bahan mentah yang berada di Jatinangor atau daerah sekitar yang memungkinkan untuk menjual dengan harga murah. Inovasi-inovasi dilakukan dalam produk mereka yang menghasilkan varian kuliner yang baru, seperti misalnya: Bancake (banana cake) dan Brocom (Burger Oncom). Dari sisi tempat untuk produksi dan pemasaran mereka masih mengalami kesulitan karena mahalnya harga sewa bangunan di daerah Jatinangor. Riset mengenai produsen tahu sumedang ingin mengetahui kesiapan mereka dalam menghadapi MEA ditinjau dari empat dimensi, yakni: modal, strategi pemasaran, produk, dan pengetahuan tentang MEA. Simpulan statistika koefisien korelasi dimensi modal adalah 0,717; produksi 0,993; strategi pemasaran 0,867; dan pengetahuan tentang MEA 0,771. Dimensi produksi dengan koefisien terbesar menunjukkan bahwa para produsen tahu sumedang di Jatinangor siap memproduksi dalam jumlah yang cukup. Triangulasi teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara menunjukkan bahwa mereka sudah mengetahui tentang MEA namun belum memahami esensi dari MEA itu sendiri. Positifnya, para produsen tahu sumedang mempunyai keyakinan bahwa usaha mereka akan bertahan dan berkembang dalam persaingan MEA. Hal ini didasarkan pada: tempat produksi dan distribusi yang berada di kawasan Jatinangor sendiri, pengetahuan tentang memproduksi dan distribusi yang sudah turun temurun. Hanya, produksi mereka sangat tergantung pada ketersediaan kedelai impor; serta untuk meningkatkan produksi, mereka tergantung pada masukan modal dari pihak lain seperti bank misalnya. PEMBAHASAN Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan wujud integrasi kawasan Asia Tenggara dalam bidang ekonomi. Inisiator integrasi MEA adalah negara-negara anggota ASEAN. Kritik muncul bahwa integrasi yang didorong ASEAN bersifat elitis. Dimana, masyarakat ASEAN sebenarnya tidak tahu tetapi harus mengikuti arus yang berlangsung sebagai konsekuensi dari perjanjian kerjasama regional para elit negara. Meski demikian, kesepakatan kerjasama regional yang dirintis elit merupakan cerminan dari kondisi terkait mobilitas umat manusia yang sebenarnya tidak bisa dibatasi dengan sekat-sekat negara. Karena, mobilitas umat manusia telah berlangsung jauh sebelum sistem negara muncul pasca perjanjian Westphalia 1684. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia telah menyusun langkah strategis yang harus dilakukan Pemerintah Indonesia dalam menghadapi MEA (Kemendagri, 2008:83-84), yakni: 1. Penyesuaian, persiapan dan perbaikan regulasi baik secara kolektif maupun individual (reformasi regulasi); 2. Peningkatan kualitas sumber daya manusia baik dalam birokrasi maupun dunia usaha ataupun profesional; 3. Penguatan posisi usaha skala menengah, kecil dan usaha pada umumnya; 4. Penguatan kemitraan antara publik dan sektor swasta; 5. Menciptakan iklim usaha yang kondusif dan mengurangi ekonomi biaya tinggi (juga merupakan tujuan utama pemerintah dalam program reformasi komprehensif di berbagai bidang seperti perpajakan, kepabeanan, dan birokrasi);
68
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 6. Pengembangan sektor-sektor prioritas yang berdampak luas dan komoditi unggulan; 7. Peningkatan partisipasi institusi pemerintah maupun swasta untuk menimplementasikan AEC Blueprint; 8. Reformasi kelembagaan dan kepemerintahan. Pada hakekatnya AEC Blueprint juga merupakan program reformasi bersama yang dapat dijadikan referensi bagi reformasi di negara anggota ASEAN termasuk Indonesia; dan 9. Penyediaan kelembagaan dan permodalam yang mudah diakses oleh pelaku usaha dari berbagai skala; 10. Perbaikan infrastruktur fisik melalui pembangunan atau perbaikan infrastruktur seperti transportasi, telekomunikas, jalan tol, pelabuhan, revitalisasi dan restrukturisasi industri, dan lainlain.
UMKM dalam MEA memiliki posisi vital sebagai penyangga perekonomian Indonesia karena UMKM menjadi lapangan kerja masyarakat menengah ke bawah. Jumlah tenaga kerja Indonesia yang terserap di sektor formal maupun industri besar hanya sedikit. Pemerintah Indonesia akan sulit mengimbangi persaingan di pasar tunggal ASEAN jika mengandal-kan sektor formal maupun industri besar. UMKM menjadi pilar ketiga dalam blueprint MEA guna pengembangan perekonomian yang merata di seluruh ASEAN yang juga diharapkan mampu meraih integrasi yang lebih erat dengan negara-negara CLMV (Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam). Integrasi ini dimungkinkan karena komposisi tenaga kerja di negara-negara tersebut umumnya terserap dalam UMKM. Pemerintah Widodo merespon blueprint MEA dengan mengeluarkan kebijakan mengenai Pemberdayaan Koperasi dan UMKM sebagai berikut: 1. Pemerintah memangkas beban regulasi dan birokrasi untuk memperkuat fungsi koperasi sebagai lembaga ekonomi, dan meningkatkan peran usaha mikro kecil dan menengah dalam berbagai kegiatan ekonomi masyarakat serta menangkap peluang-peluang baru dalam kerjasama ekonomi kawasan; 2. Mengeluarkan peraturan yang memperkuat kelembagaan koperasi di daerah, memperluas kepemilikan dan permodalan, pengembangan kerjasama usaha, pembiayaan syariah, serta peningkatan kapabilitas dan kredibilitas; dan 3. Mengeluarkan peraturan yang menyediakan fasilitas kemudahan impor bagi koperasi dan usaha mikro kecil dan menengah untuk mengembangkan produk-produk tujuan ekspor.
Dalam MEA, UMKM di Indonesia dapat menjadi sasaran investasi yang menarik, baik investasi domestik maupun asing. Jumlah UMKM Indonesia sebanyak 57.895.721 unit UMKM yang menyerap 114.144.082 orang tenaga kerja (Kementerian Koperasi dan UMKM, 2013: 1)mampu menyerap modal yang cukup besar dalam pengembangan usaha. Arus investasi ini harus diimbangi dengan kualitas SDM yang baik agar dapat mengolah dana investasi menjadi keuntungan usaha, melalui proses produksi dan distribusi yang baik. Karena investasi hakekatnya adalah utang di kemudian hari. Jika UMKM Indonesia lalai dalam proses pengolahan investasi ini, bisa jadi UMKM Indonesia menanggung beban utang yang besar dan distrust (ketidakpercayaan) dalam usaha. UMKM di Jatinangor Pasar Bebas ASEAN adalah sebuah keniscayaan bagi Jatinangor karena Jatinangor merupakan salah satu kawasan pusat pendidikan di Jawa Barat dan juga Indonesia. Pelajar asing maupun pelaku bisnis warga ASEAN dapat keluar masuk di kawasan ini kapan saja dan dengan kepentingan apa saja. Migrasi warga ASEAN ke Jatinangor mampu memberikan keuntungan dan kerugian tersendiri. Keuntungannya, warga ASEAN itu merupakan calon-calon konsumen maupun investor. Kerugiannya, persaingan, social cost yang mungkin timbul dari interaksi dengan orang asing merupakan tantangan yang nyata. Sehingga, dalam menghadapi MEA, masyarakat dan pemimpin di Jatinangor selayaknya mempersiapkan insfrastruktur sosial untuk mereduksi social cost yang mungkin timbul sekaligus merancang strategi agar
69
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 pelaku usaha, khususnya UMKM di Jatinangor dapat bertahan dan mengembangkan usaha mereka ketika pasar ASEAN dibuka. UMKM di Jatinangor yang terdaftar sebagai unit usaha baru sedikit. UMKM ini dikategorikan ke dalam jenis usaha makanan, kerajinan dan ikatan warga pasar (ikwapa). Usaha makanan, meliputi: opak, emping melinjo, snack (makanan ringan), keripik bayam, sale pisang, cireng, kripik aneka, chicken nugget, tape singkong, kentang rasa, yoghurt, gula merah, coklat isi rasa, ubi cilembu, tahu dan kopi luwak. UMKM yang terdaftar baru 26 unit usaha. Usaha kerajinan, meliputi: ukiran kayu, angklung arumba, senapan angin, baju muslim, pakaian, bordiran, rajutan, macrame, wayang golek, akrilik, konveksi, dan batik. UMKM yang terdaftar baru 22 unit usaha. Ikwapa yang terdaftar baru sembilan kelompok kerja(pokja) (www.jatinangorku.com, diakses 15-09-2015). Usaha makanan dan kerajinan yang dikembangkan UMKM Jatinangor merupakan produk khas Jatinangor. Kesiapan selalu ‘hal’ yang dipertanyakan dalam menghadapi pasar bebas, baik dari pelaku usaha maupun pemerintah, terutama kesiapan dalam menghadapi persaingan. Pemerintah yang tidak menyiapkan rakyatnya dalam pasar bebas dan hanya menandatangani kerjasama saja ibarat menceburkan rakyatnya ke lautan lepas tanpa skill berenang dan pelampung. Secara mental bagi para usahawan, persaingan adalah hal yang senantiasa melekat pada usaha. Siap ataupun belum, pelaku usaha senantiasa harus siap untuk bersaing. Salah satu permasalahan UMKM menurut Kementerian Koperasi dan UMKM, yakni Koperasi dan usaha mikro kecil tidak siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Dalam riset-riset kecil yang dilakukan penulis secara kuantitatif, terlihat bahwa UMKM di Jatinangor siap menghadapi MEA. Meski demikian, kesiapan ini belum didukung oleh pemahaman mengenai MEA itu sendiri. Pemahaman mengenai MEA dapat dipelajari seiring waktu oleh para pelaku usaha dan juga oleh Pemerintah dalam rangka melindungi pelaku usaha dari efek negatif pasar bebas ASEAN. Pernyataan kesiapan merupakan modal mental yang sangat berharga dalam membangun mindset bahwa pasar bebas ASEAN merupakan peluang yang baik guna mengembangkan usaha. Hanya, bagaimana kemudian modal mental ini dibangun lebih realistis diiringi kalkulasi logis pengembangan usaha melalui strategi bisnis yang terencana. Strategi bisnis UMKM yang dipaparkan dalam tulisan ini dibagi dua, yakni: i) inward looking, yakni strategi yang arahnya agar UMKM Jatinangor dapat bertahan dari usahawan asing; dan ii) outward looking, yakni strategi yang diarahkan agar UMKM Jatinangor mampu mengekspor produksi mereka dan siap bersaing ke pasar nasional dan ASEAN. Hambatan UMKM di Jatinangor Dalam Pasar Bebas ASEAN, UMKM di Jatinangor masih menghadapi hambatan dari sisi struktur organisasi, akses informasi dan kekuatan memproses informasi (processing power). UMKM di Jatinangor umumnya berangkat dari usaha rumahan (home industry). Struktur organisasi untuk usaha rumahan dapat dikatakan belum memiliki bentuk yang tetap sebagai sebuah organisasi yang memiliki peran dan fungsi tertentu. Peran ketua, bendahara, distributor, manajer masih berada ditangan satu orang saja: si pemilik usaha. Karyawan yang ada perannya hanya membantu. Tata tugas (Job desk) yang jelas hampir tidak ada. Struktur organisasi berpengaruh pada rencana atau strategi UMKM dalam MEA. Struktur yang tidak jelas, otomatis meniadakan strategi usaha yang terencana karena strategi akan berpengaruh pada ‘siapa’ (peran) yang melakukan ‘apa’ (kerja). Menanggapi hal ini, UMKM di Jatinangor meskipun berbasis usaha rumahan, dapat mulai menata struktur dan tata kerja mereka. Penataan struktur dapat dibantu dan didampingi oleh Pemerintah Daerah Jatinangor dengan membentuk unit khusus. Tugas unit khusus tersebut, selain menata struktur organisasi, mendesain strategi usaha, juga melakukan advokasi jika UMKM binaan mereka mendapat hambatan atau sengketa dengan pihak asing dalam proses usaha mereka. Hambatan yang kedua, yakni akses informasi. Penguasaan informasi yang akurat adalah kekuatan dalam persaingan pasar bebas. Penguasaan informasi dapat dilakukan dengan membangun jejaring (networking) dan membentuk komunitas terutama untuk jenis usaha yang mirip. Di dalam komunitas, para pelaku usaha dapat berbagi informasi mengenai inovasi produk, investasi, pangsa pasar baru, dan sebagainya. Hambatan ketiga, yakni kekuatan mengelola informasi terkait dengan kapasitas dan kapabilitas sumber daya UMKM dalam memanfaatkan informasi yang diperoleh. Misalnya, informasi bahwa Pemerintah Indonesia akan memberi insentif bagi UMKM yang mampu melakukan ekspor. Jika UMKM
70
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 ingin mengembangkan usaha dan mendapatkan insentif ini tentu UMKM tersebut harus mempersiapkan produk dan berupaya memenuhi persyaratan administratif yang mampu menembus standar ekspor.
Strategi Inward looking Bertahan dalam persaingan adalah hal yang penting. Kesiapan mental dan selalu berpikir positif menjadi modal utama. Warga ASEAN yang datang ke Jatinangor untuk belajar, untuk berbisnis, untuk liburan adalah konsumen-konsumen potensial bagi usaha di Jatinangor. Kedatangan mereka, kebutuhan mereka selama berada di Jatinangor, dan kepulangan mereka minimalnya akan menyerap barang-barang yang dijual di Jatinangor. Bagaimana agar warga ASEAN mampu nyaman berada di Jatinangor menjadi target dari strategi ini. Ketertiban, keramahtamahan, keamanan dari masyarakat maupun aparat keamanan menentukan kenyaman pendatang. Sebaliknya, pendatang pun selayaknya memahami tata krama dan aturan publik yang berlaku sehingga sikap mereka terjaga dan tidak menjadi pemicu sengketa. Barang atau jasa yang dijual harus berkualitas. Standar kualitas dapat merujuk pada standar kualitas barang seperti ISO dalam tingkat internasional, atau standar halal bagi muslim dari MUI di Indonesia. UMKM yang barang atau jasanya belum memenuhi standar diharapkan untuk terus meningkatkan kualitas produknya. Hirau pada aturan main (rules of the game) pasar bebas ASEAN. Aturan main MEA sudah tertata dalam Blueprint MEA, Pemerintah Indonesia meresponnya dengan menurunkan kebijakan tentang UMKM. Tinggal UMKM di Jatinangor sendiri yang harus memahami aturan main MEA seperti apa. Sebagai evaluasi, masih sedikit UMKM di Jatinangor yang mendaftarkan diri dan terlibat dalam komunitas UMKM. Hal ini harus segera dibenahi. UMKM dapat berkolaborasi dengan pemerintah maupun akademisi Perguruan-perguruan tinggi yang ada di Jatinangor untuk menyusun struktur organisasi yang jelas, meningkatkan kualitas produk, mendaftarkan legalitas produk mereka, mendaftarkan produk mereka dalam hak paten, bahkan mengembangkan usaha menjadi produk-produk ekspor. Eksistensi akademisi menjadi potensi khas Jatinangor yang dapat mendukung pemerintah maupun UMKM untuk mengembangkan usaha mereka. Guna mempermudah transaksi, UMKM di Jatinangor harus terbuka dalam menerima mata uang asing. Hanya saja, jenis mata uang asing dan harga nilai tukar hariannya harus berada di bawah pantauan pemerintah daerah Jatinangor secara ketat.
Strategi outward looking Pasar bebas ASEAN adalah pangsa pasar baru pelaku usaha di Jatinangor. Beberapa produk, terutama kerajinan Jatinangor sudah banyak dipasarkan di luar Jatinangor bahkan ke luar negeri. Bagaimana agar produk UMKM di Jatinangor bisa diekspor di pasar bebas ASEAN, inilah yang menjadi target strategi outward looking. Kolaborasi UMKM, Pemerintah dan Akademisi menjadi penting. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam strategi ini, yakni: 1.
Mendesain rencana bisnis (business plan) yang jelas untuk target ekspor;
2.
Mendesain agar kualitas produk-produk Jatinangor memenuhi standar ekspor;
3.
Membangun jejaring investor yang mampu menggalang modal investasi dengan bunga rendah.
4.
Membantu dan mempermudah pembuatan dokumen-dokumen produk ekspor;
5.
Mendesain promosi produk ekspor mellaui media massa maupun internet;
6.
Membangun komunitas eksportir; dan
7.
Menyiapkan komunitas advokasi.
Strategi Bisnis UMKM di Jatinangor dalam MEA
71
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8
T U M B U H
INWARD LOOKING
Kolaborasi strategi bisnis inward-looking dan outward looking diarahkan agar UMKM di Jatinangor mampu tumbuh dan berkembang dalam MEA. Gambaran strategi bisnis tersebut terlihat dalam gambar di bawah ini:
MEA
EKSPANSI
OUTWARD LOOKING
Gambar 1. Strategi Bisnis UMKM di Jatinangor dalam MEA Jatinangor sebagai kawasan pendidikan merupakan potensi khas daerah yang menyediakan kaum akademisi sebagai aktor yang mampu berkontribusi dalam mendesain strategi-strategi bisnis. Strategi inward looking mendesain agar UMKM dapat tumbuh sebagai usaha rakyat Jatinangor yang mampu eksis dalam pasar bebas ASEAN. Strategi outward looking menekankan ekspor sebagai ekspansi bisnis UMKM Jatinangor. Kolaborasi kedua strategi ini dibangun untuk mengembangkan UMKM Jatinangor yang berbasis usaha rakyat dengan melalui serangkaian tahap perkembangan, yakni: i) tahap UMKM berbasis pendidikan, ii) tahap UMKM berbasis industri kreatif, dan iii) tahap UMKM berbasis pendidikan dan budaya. UMKM berbasis pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas produk sehingga mampu memenuhi standar internasional seperti ISO maupun standar halal produk untuk pangsa pasar domestik maupun pasar bebas ASEAN. Riset-riset dan dukungan akademisi menjadi pionir dalam tahapan ini. Riset tidak bersifat komersial. Pembiayaan riset diharapkan seminimal mungkin agar terjangkau oleh skema pendanaan UMKM. Kalaupun pembiayaan riset cukup mahal, pemerintah maupun komunitas UMKM dapat saling membantu untuk mencari modal riset bersama. Hasil riset dapat diwujudkan dalam sebuah sertifikat yang diakui oleh MEA. Keberadaan sertifikat berbasis riset mampu menjamin kualitas produk suatu barang atau jasa tertentu sebagai produk yang aman untuk dikonsumsi. Perguruan tinggi didorong untuk menghasilkan produk-produk inovatif, kreatif dan novelty (kebaruan) yang mampu diimplementasikan oleh masyarakat Jatinangor. Tahap kedua, UMKM berbasis industri kreatif. Karakteristik tahapan ini adalah kreativitas yang telah membudaya dalam masyarakat Jatinangor maupun kreativitas hasil interaksi regional dan global. Ide-ide baru dan segar, unik dan menarik sebagai karakter industri kreatif menjadi modal untuk mendongkrak pertumbuhan UMKM sekaligus ekspansi bisnis dalam pasar Jatinangor, nasional, maupun regional ASEAN. Perguruan-perguruan tinggi dan aparat pemerintah daerah Jatinangor dapat berkontribusi mengembang-kan kawasan industri kreatif. Pendidikan diharapkan berkembang sehingga mampu memotivasi perkembangan civitas akademika dan masyarakat sekitar.
72
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 Tahap ketiga, UMKM yang didukung unsur pendidikan dan industri kreatif sehingga mampu membangun Jatinangor sebagai sebuah kawasan destinasi wisata. Keunikan Jatinangor akan menciptakan satu lingkungan yang memiliki daya tarik dengan berbgai produk dan aktivitas dan juga budayanya. Dengan daya tarik tersebut mampu menarik orang untuk datang berkunjung. Cara agar Jatinangor mampu menjadi kawasan wisata adalah dengan menata diri, mempunyai produk unggulan, mempromosikan produk tersebut, yangmanadiharapkan respon pasar ASEAN bersifat positif terhadap progres kawasan ini. Dalam tahapan ini, UMKM berperan sebagai pelaku kreatif yang bisa mengelola kawasan sehingga mendatangkan keuntungan secara ekonomis. Pemerintah berperan sebagai regulator. Dan perguruan tinggi dengan riset dan mampu membangun budaya masyarakat dan kawasan yang menarik.
KESIMPULAN UMKM di Jatinangor siap menghadapi MEA karena memiliki karakter kreatif dan dapat dibangun ke arah tahapan perkembangan UMKM berbasis pendidikan, berbasis industri kreatif dan berbasis wisata pendidikan dan budaya. Pemerintah daerah Jatinangor dan Perguruan Tinggi dapat mendorong UMKM untuk tumbuh dan melakukan ekspansi bisnis di pasar ASEAN dalam kolaborasi kreatif yang saling mendukung.
DAFTAR PUSTAKA Amalia, Shafiera. (2014) Pengelolaan Kawasan Jatinangor. Sumedang: LAN. Lombaerde, Philippe De & Langenhove, Luk Van. (2005) Indicators of Regional Integration: Conceptual & Methodological Issues dalam IIIS Discussion Paper No. 64. Susanta, Gatut & Syamsuddin, Azrin. (2009) Cara Mudah Mendirikan & Mengelola UMKM. Jakarta: Raih Asa Sukses. Ulwick, Anthony W. (1999) Business Strategi Formulation: Theory, Process, and the Intellectual Revolution. London: Quorum Books. Wangke, Humphrey. (2014) Peluang Indonesia dalam Masyarakat ekonomi ASEAN 2015. Info Singkat Hubungan Internasional. Vol. VI, No.10/II/P3DI/Mei: 5-8. Dokumen Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Kemendagri. (2008) Menuju ASEAN Economic Community 2015, http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/Umum/Setditjen, diakses 15 September 2015.
melalui
Kementerian Koperasi dan UMKM. (2013) Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) Tahun 2012-2013, melalui www.depkop.go.id, diakses 15 September 2015.
Dokumen riset* Peluang UMKM Kerajinan Tangan di Desa Cipacing dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015. Kesiapan Pengusaha Lokal Hunian Sewa di Ciseke Jatinangor dalam Menghadapi MEA 2015. Ancaman Masuknya Beras Impor sebagai Dampak dari AEC 2015 terhadap Petani Beras di Desa Hegarmanah. Kesiapan Produsen Lokal Tahu Sumedang di Kecamatan Jatinangor dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Kesiapan Mahasiswa Pengusaha FISIP UNPAD di Bidang Kuliner dalam Menghadapi AEC 2015. Kesiapan Pedagang Ubi Cilembu di Desa Tanjungsari dalam Menghadapi AEC 2015.
73
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8
*Dokumen riset merupakan hasil riset mahasiswa Prodi Hubungan Internasional FISIP UNPAD tahun 2014 di bawah bimbingan penulis kedua secara field research dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.
74