Jurnal Matematika & Sains, Agustus 2014, Vol. 19 Nomor 2
Strategi untuk Perbaikan Manajemen Perkebunan Teh Rakyat: Studi Kasus di Kecamatan Pasirjambu dan Ciwidey, Kabupaten Bandung Novasyurahati1), Achmad Sjarmidi2), dan Wawan Gunawan2) 1) Program Studi Magister Biomanajemen 2) Kelompok Keahlian Manajemen Sumberdaya Hayati Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung, Bandung e-mail:
[email protected] Diterima 26 September 2013, disetujui untuk dipublikasikan 22 Oktober 2013 Abstrak Perkebunan teh rakyat di Indonesia berpotensi untuk membangkitkan industri teh nasional karena proporsi luas area perkebunan teh rakyat yang besar (45,8%) dan pertumbuhan produksi yang cenderung meningkat rata-rata sebesar 0,77% selama 2001-2011. Meskipun demikian, produktivitas perkebunan teh rakyat masih sangat rendah dibanding perkebunan besar nasional maupun swasta. Banyak pihak telah mengadakan program bantuan untuk meningkatkan produktivitas, namun tidak berhasil secara signifikan. Karena produktivitas merupakan fungsi dari efisiensi usaha, maka faktor-faktor yang mempengaruhi sistem input harus teridentifikasi, dan untuk memperbaiki manajemen sistem input tersebut, diperlukan langkah-langkah berupa rencana strategis. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang terkait dengan perbaikan manajemen perkebunan rakyat dan menyusun rencana strategis untuk upaya perbaikan manajemen teh rakyat. Metode yang digunakan adalah pendekatan manajemen strategis untuk mengidentifikasi faktor kunci dan merumuskan usulan strategi sebagai solusi masalah tersebut. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan, wawancara, dan kuesioner; dan teknik analisis yang dilakukan untuk perumusan strategi adalah analisis strenght-weakness-opportunity-threat dan analytical hierarchy process (SWOT-AHP). Identifikasi faktor internal dan eksternal kunci manajemen perkebunan teh rakyat menghasilkan 5 faktor kekuatan, 3 peluang, 5 kelemahan dan 4 faktor ancaman yang perlu diperhatikan dalam upaya perbaikan manajemen teh rakyat. Dari hasil analisis SWOT-AHP, diusulkan strategi utama untuk memecahkan masalah tersebut yaitu strategi WO1: integrasi horisontal diantara petani dalam bentuk pengelolaan budidaya perkebunan teh rakyat secara berkelompok. Strategi ini mengedepankan kerjasama petani dalam satu kelompok untuk mengelola budidaya kebun yang berkesinambungan secara ekologis dan ekonomis dalam aspek pengembangan budidaya, penguatan fungsi kelembagaan dan peningkatan usaha pemasaran. Kata kunci: Perkebunan teh rakyat, Rencana strategis, SWOT-AHP.
Strategic Planning to Improve the Management of Small Holders tea Tea Plantations : Case Study of Pasirjambu and Ciwidey District, Bandung Regency Abstract Tea smallhoders in Indonesia have the potential to give rise to national’s tea industry as the proportion of area of the smallholders is bigger than the state and private plantations (45,8%) and as their production growth has the tendency to increase by 0.77% in 2001-2011. Despite of those facts, the productivity of tea smallholders is still very low compared to the state and private large plantations. There were a number of aid programs aimed to give rise to the tea smallholders’ productivity, but they did not succeed significantly. Since productivity is an indicator of business’ competitive advantage, the factors which influence management of the business of tea smallholders should be identified and in order to improve it, steps of strategic planning is needed. This study is aimed to identify the internal and external factors related to tea smallholders’ management and to formulate a strategic planning to the management improvement initiatives. Method used in this study was the approach of the strategic management stages to identify key factors and to formulate a strategic planning as the recommendation of solution for the problem. Data collection for this study was conducted through observations, interviews, and questionnaires; and the analysis technique used for strategy formulation was hybrid of the strenght-weakness-opportunity-threat (SWOT) and the analytical hierarchy process (AHP) analysis. Identification of internal and external key factors of smallholders’ management resulted in 5 strengths factors, 3 opportunities, 5 weaknesses, and 4 threats. From the SWOT-AHP analysis, the strategy recommended to solve the problem was WO1: horizontal integration between farmers to undertake group’s collective cultivation. This strategy emphazies cooperation of farmers whithin a group to manage tea cultivation which is ecologically and economically sustainable in cultivation development, institution’s fuctional strengthening, and market accruing. Keywords: Tea smallholders, Strategic planning, SWOT-AHP.
33
34
Jurnal Matematika & Sains, Agustus 2014, Vol. 19 Nomor 2
1. Pendahuluan Perkebunan teh rakyat di Indonesia memiliki potensi untuk membangkitkan industri teh nasional karena berdasarkan data statistik Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian RI tahun 20012011 (Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian RI, 2012), pertumbuhan produksi perkebunan teh rakyat bernilai positif (0,77% per tahun) dan proporsi luas areanya lebih besar (45,8%) dibanding perkebunan besar negara maupun perkebunan besar swasta. Meskipun demikian, produktivitas perkebunan teh rakyat masih sangat rendah dibanding perkebunan besar swasta dan perkebunan besar negara. Selama tahun 2001-2011, rata-rata produktivitas perkebunan rakyat hanya sebesar 661,49 kg/ha, sedangkan rata-rata produktivitas perkebunan besar negara mencapai 1938,05 kg/ha dan perkebunan besar swasta 1132,94 kg/ha. Untuk mengatasi masalah rendahnya produktivitas perkebunan teh rakyat, pemerintah telah banyak melakukan program-program bantuan yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Dari hasil wawancara pendahuluan, didapat informasi bahwa di kawasan Kecamatan Pasirjambu dan Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, program-program bantuan pengembangan teh rakyat yang pernah dilakukan sejak awal 1990 hingga kini, antara lain Proyek Pengembangan Budidaya Perkebunan Rakyat (P2BPR) pada tahun 1993-1998, Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) tahun 19992006, Gerakan Multiaktivitas Agribisnis (Gemar) tahun 2010-2015, dan Common Fund for Commidity (CFC) tahun 2011-2013.
Bantuan-bantuan tersebut pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas teh rakyat. Di Kabupaten Bandung sendiri, meskipun data statistik Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Barat (2012) memperlihatkan pertumbuhan produktivitas perkebunan rakyat yang cukup signifikan pada tahun 2001-2003 (Gambar 1), namun pada tahun 20052011, data yang sama menunjukkan kecenderungan penurunan produkivitas. Dampak bantuan yang tidak terlalu signifikan pada peningkatan produktivitas teh rakyat pada jangka waktu yang panjang ini mengindikasikan bahwa program-program tersebut tidak tepat sasaran dalam mengatasi akar masalah yang terdapat dalam manajemen perkebunan teh rakyat. Produktivitas dikatakan sebagai inti dari kemajuan usaha yang menekankan pada efisiensi karena produktivitas adalah persoalan menemukan cara untuk mempertahankan atau meningkatkan output dan disaat yang bersamaan, mempertahankan atau mengurangi input (Holt, 1987). Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem input produktivitas teh rakyat seharusnya terindentifikasi sebagai penyebab rendahnya produktivitas. Selain itu, manajemen penggunaan input berupa sumberdaya perkebunan teh rakyat dari segala aspek (aspek hayati, manusia, teknologi dan modal) juga masih mengandung banyak masalah sehingga setiap upaya peningkatan produktivitas teh rakyat tidak berdampak signifikan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor internal dan eksternal dan menyusun rencana strategis dalam upaya perbaikan manajemen perkebunan teh rakyat.
Gambar 1. Produktivitas Perkebunan Teh Rakyat di Kabupaten Bandung tahun 2001-2011 (Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Barat, 2012). 2. Metode Penelitian Penelitian dilakukan di 7 desa di Kecamatan Pasirjambu dan 5 desa di Kecamatan Ciwidey (Tabel
1), Kabupaten Bandung, selama 4 bulan Maret-Juni 2013. Sebanyak 303 orang petani yang tergabung dalam 12 kelompok tani di kedua kecamatan ini merupakan penerima program bantuan Common
Novasyurahati, dkk, Strategi untuk Perbaikan Manajemen Perkebunan Teh Rakyat: Studi Kasus di …………………35
Fund for Commodities (CFC) yang didukung oleh Food and Agriculture Organization (FAO). Penelitian diawali dengan studi pendahuluan, dilanjutkan dengan pengumpulan data primer dan sekunder kemudian analisis data. Tabel 1. Daftar desa tempat penelitian. Kecamatan Pasirjambu
Desa Mekarsari Cibodas Cisondari Tenjolaya Margamulya Sugihmukti Cikoneng Ciwidey Lebak Muncang Rawabogo Responden pada penelitian ini terdiri dari petani, pengurus kelompok tani, Pengurus Gabungan Kelompok Tani Self-Help Group Union (SHGU), Petugas Pemandu Lapangan (PPL), pegawai pabrik pengolah teh, Peneliti Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Bidang Sosial Ekonomi Pertanian, dan Pengelola Proyek CFC-FAO di Asosiasi Teh Indonesia (ATI). Latar belakang responden, jumlah, dan dasar pemilihan responden dijelaskan pada Tabel 2. Metode kerja disusun berdasarkan tahapan perumusan strategi dalam pendekatan manajemen strategis yang dirancang oleh David (2011). Pekerjaan dalam tahap perumusan strategi melalui tahap input, yaitu analisis faktor internal dan eksternal kunci, tahap pencocokan menggunakan matriks strenght, weakness, opportunity dan threat (SWOT), serta tahap keputusan melalui penentuan tujuan jangka panjang dan pemilihan strategi menggunakan teknik hibrid SWOT-AHP. Tabel 2. Daftar responden. Responden Petani
Pengurus kelompok tani Pengurus SHGU PPL Pegawai pabrik pengolah teh
Peneliti PPTK Pengelola Proyek CFC
Metode pemilihan responden Random (4-6 orang petani dari 12 kelompok tani) Purposive Purposive Purposive Purposive (masingmasing 1 orang dari 3 pabrik pengolah yang ada) Purposive Purposive
Jumlah 51 (N=303 orang) 12 2 1 3
1 1
Tahap input, berupa analisis faktor internal dan eksternal kunci diawali dengan deskripsi pengelolaan perkebunan teh rakyat melalui pengumpulan dan penggalian informasi-informasi untuk membangun penjabaran kualitatif-deskriptif. Informasi yang didapat di langkah ini dikelompokkan
sebagai informasi yang terkait manajemen budidaya yang dilakukan di kebun (on-farm), kondisi kelembagaan petani teh rakyat dan pemasaran produk perkebunan teh. Pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui wawancara, kuesioner, pengamatan langsung di lapangan, dan data sekunder (Tabel 3). Data ekonomi dan keuangan usaha budidaya teh rakyat dianalisis menggunakan perhitungan rasiorasio keuangan, di antaranya (Rangkuti, 2010): GrossProfit Margin (GMP)=
Harga jual-biaya unit penjualan Harga jual
GPM menunjukkan efisiensi perusahaan dalam menghasilkan setiap unit barang yang diproduksi. Semakin tinggi presentase rasio GPM, semakin baik efisiensi dari produksi yang dilakukan. Break Even Point (BEP) unit
Total Biaya Tetap Harga jual-biaya variabel per unit
Break Even Point (BEP) harga
Biaya Tetap + biaya variabel Unit penjualan
Analisis Pulang Pokok (break even analysis) digunakan untuk melihat volume produksi minimum atau harga minimum yang harus diperoleh agar hasil penjualan dapat menutupi biaya yang dikeluarkan. Tahapan analisis meliputi (1) tahap input, (2) tahap pencocokan, (3) tahap keputusan/pembobotan. Tahap input merupakan tahap penentuan faktor internal dan eksternal selanjutnya digunakan dalam analisis SWOT. Untuk mendapatkan pemetaan awal dari analisis SWOT dilakukan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion – FGD) dengan responden petani sebanyak 51 orang (4-6 orang per FGD). Hasil analisis dipetakan dalam matriks SWOT (David, 2011). Tahap pencocokan dilakukan dengan memasangkan sumberdaya dan keterampilan internal petani teh rakyat dengan peluang dan resiko yang dihadapinya menggunakan matriks TOWS (Weihrich, 1982). Matriks TOWS membantu penyusunan strategi dalam empat jenis, yaitu: Strategi SO (strenghts – opportunities) yang menggunakan kekuatan internal untuk memanfaatkan keuntungan dari peluang eksternal yang ada; Strategi WO (weaknesses – opportunities) yang memperbaiki kelemahan internal dengan memanfaatkan peluang eksternal; Strategi ST (strenghts – threats) yang menggunakan kekuatan organisasi untuk menghindari atau mengurangi dampak dari ancaman eksternal; serta Strategi WT (weaknesses - threats) yang merupakan taktik defensif, untuk mengurangi kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal. Tahap keputusan untuk memilih strategi yang dihasilkan dilakukan dengan teknik analisis hibrid SWOT dengan Analytical Hierachy Process (AHP). Penerapan teknik analisis ini dimaksudkan untuk mengaplikasikan teknik pembobotan AHP melalui perbandingan berpasangan pada faktor-faktor SWOT dan pilihan-pilihan strategi (Kutilla dkk., 2000; Shrestha dkk., 2004; Osuna dan Aranda, 2007; Wickramasinghe dan Takano, 2010; Lee dan Walsh, 2011). Metode hibrid SWOT-AHP kerap digunakan
36
Jurnal Matematika & Sains, Agustus 2014, Vol. 19 Nomor 2
Tabel 3. Daftar pengumpulan data dan informasi. Area fokus
Pertanyaan Luas kepemilikan lahan kebun teh Jumlah produksi dan produktivitas
Pengelolaan budidaya onfarm
Teknis pengelolaan kebun teh (perawatan, pengendalian hama dan penyakit, dan pemetikan) Analisis usaha Kondisi kelembagaan petani
Kelembagaan
Pemasaran
Peran kelompok tani dalam usaha budidaya teh rakyat Peran kelompok tani dalam pemasaran pucuk Kondisi rantai tata niaga teh rakyat di Pasirjambu dan Ciwidey Kegiatan kelompok tani dalam pemasaran pucuk dan produk turunan teh Tata kelola rantai nilai yang diberlakukan kepada produk teh rakyat (standar kualitas produksi, standar kelengkapan keamanan produk) Usaha penambahan nilai teh oleh kelompok tani
untuk meningkatkan daya guna analisis SWOT karena AHP secara kuantitatif dapat menetapkan derajat kepentingan dari faktor-faktor dalam kelompok SWOT (Kutilla dkk., 2000). Dalam tahap keputusan, dilakukan (a) pembobotan pada faktor-faktor dalam SWOT dan pilihan strategi menggunakan teknik perbandingan berpasangan dan pemberian peringkat (Saaty, 2008; Wickramasinghe dan Takano, 2010), dan (b) pemberian nilai kecocokan antara faktor-faktor SWOT dengan pilihan strategi yang dirumuskan. Nilai kecocokan yang digunakan merupakan modifikasi dari intensitas penilaian Saaty (1990 dalam Wickramasinghe dan Takano, 2010), dapat dilihat di Tabel 5. Pembobotan dilakukan oleh 5 orang responden yang dianggap ahli dan/atau memiliki kepentingan dalam pengelolaan perkebunan teh rakyat. Kelima responden tersebut merupakan petani teh rakyat (Pakar 1), pegawai pabrik pengolah teh (Pakar 2), petugas pemandu lapangan (Pakar 3), peneliti bidang sosial dan ekonomi PPTK Gambung (Pakar 4), dan pengelola proyek CFC-FAO (Pakar 5). Perbandingan berpasangan dan pemberian peringkat dalam penelitian ini dirancang seperti yang diilustrasikan dalam skema pada Gambar 2. Tujuan jangka panjang, “Mewujudkan usaha tani mandiri untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas perkebunan teh rakyat” didapat dari proses sebelumnya (Analisis SWOT). Proses penilaian menggunakan teknik analisis hibrid SWOT dan AHP ini mengharuskan adanya kriteria kontrol (Saaty,
Metode pengumpulan data/informasi Wawancara, kuesioner, data sekunder Wawancara, kuesioner, data sekunder Wawancara, kuesioner dan pengamatan
Sumber data/informasi Petani, pengurus kelompok tani, Pengurus SHGU Petani, pengurus kelompok tani, Pengurus SHGU, Pengelola Proyek CFC Petani
Wawancara dan kuesioner Wawancara, kuesioner dan pengamatan Wawancara, kuesioner
Petani
Wawancara, kuesioner
Pengurus kelompok tani
Wawancara Wawancara
Pengurus kelompok tani, pengurus SHGU, Peneliti PPTK Pengurus kelompok tani,
Wawancara, pengamatan
Pengurus kelompok tani, pegawai pabrik pengolah, Peneliti PPTK
Wawancara
Pengurus kelompok tani
Pengurus kelompok tani, Pengurus SHGU, Pengelola Proyek CFC Pengurus kelompok tani
2008); karena itu ditetapkan 3 kriteria kontrol yang menjadi pertimbangan untuk pencapaian tujuan, yaitu ekonomis, kultural dan lingkungan. Faktor-faktor SWOT dan pilihan strategi yang didapat dari tahap sebelumnya digunakan dalam pembuatan kuesioner untuk perbandingan berpasangan menggunakan metode AHP-SWOT. Dengan kuesioner tersebut, responden ahli diminta untuk memberi bobot berskala 1-9 pada seluruh faktor (penjelasan skala terdapat pada Tabel 4), membandingkan antara satu faktor dengan faktor lainnya, apakah faktor-faktor tersebut sama penting atau salah satunya lebih penting dari yang lain. Hasil penilaian masing-masing responden diproses dengan program ExpertChoice 11 sehingga dihasilkan bobot prioritas bagi seluruh faktor-faktor SWOT. Kemudian, responden diminta memilih strategi alternatif mana yang terbaik untuk diterapkan dan dievaluasi pada tahap berikutnya. Pemilihan dilakukan dengan memberikan nilai kecocokan antara faktor-faktor SWOT dengan pilihan strategi yang dirumuskan. Nilai kecocokan yang digunakan merupakan modifikasi dari intensitas penilaian Saaty (1990 dalam Wickramasinghe dan Takano, 2010), dapat dilihat di Tabel 5. Dari perhitungan bobot tersebut, diperoleh indeks keinginan (desirability index, Di). Nilai indeks keinginan strategi-strategi kemudian dinormalisasi sehingga penjumlahan dari seluruh indeks strategi bernilai 1. Strategi dengan normalisasi Di tertinggi dinyatakan sebagai strategi pilihan responden.
Novasyurahati, dkk, Strategi untuk Perbaikan Manajemen Perkebunan Teh Rakyat: Studi Kasus di …………………37
Gambar 2. Skema perbandingan berpasangan AHP. Tabel 4. Skala dasar AHP (Saaty, 1990; 2008). Intensitas Kepentingan 1 3 5
7 9 2,4,6,8 Kebalikan
Keterangan Kedua elemen sama pentingnya
Kedua elemen mempunyai pengaruh yang sama pentingnya Elemen yang satu sedikit lebih penting Pengalaman dan penilaian sedikit menyokong daripada yang lainnya satu elemen dibandingkan elemen lainnya Elemen yang satu lebih cukup daripada Pengalaman dan penilaian sangat kuat elemen yang lainnya menyokong satu elemen dibandingkan elemen lainnya Satu elemen jelas lebih penting daripada Satu elemen yang kuat disokong dan elemen lainnya dominannya telah terlihat dalam praktek Satu elemen mutlak penting daripada Bukti yang mendukung elemen memiliki tingkat elemen lainnya penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi yang berdekatan diantara dua pilihan Jika untuk aktifitas i mendapatkan satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas j maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i
Tabel 5. Peringkat kecocokan antara faktor SWOT dengan pilihan strategi. Nilai kecocokan 1 2 3 5 5 6
Penjelasan
Deskripsi Tidak ada kecocokan Kecocokan sangat rendah Kecocokan rendah Kecocokan sedang Kecocokan tinggi Kecocokan sangat tinggi
Bobot 0,00 0,06 0,10 0,16 0,26 0,42
Untuk memilih satu strategi yang selanjutnya dapat diimplementasi sebagai upaya perbaikan manajemen perkebunan teh rakyat, bobot prioritas bagi tiap pilihan strategi dari masing-masing responden dihitung rerata geometriknya sehingga dihasilkan satu bobot prioritas bagi tiap pilihan strategi.
3. Hasil dan Diskusi 3.1 Tahap Input (1): Deskripsi Situasi Manajemen Perkebunan Teh Rakyat 3.1.1 Deskripsi kondisi budidaya Dari hasil observasi dan wawancara, didapatkan bahwa total luas perkebunan teh yang dimiliki oleh 303 KK petani anggota SHGU adalah 279,28 Ha. Jenis klon teh yang ditanam sebagian besar (72%) adalah jenis TRI 2025 dan TRI 2024 yang menurut petani didapatkan dari bantuan proyek P2BPR-ADB tahun 1994-1997. Klon ini merupakan jenis klon unggul yang potensi produktivitasnya dapat mencapai 3500 kg kering/ha/tahun setelah tahun pangkas ketiga apabila dilakukan perawatan secara tepat (Pusat Penelitian Teh dan Kina, 2006). Meskipun demikian, tanaman teh ini ditanam hampir 20 tahun yang lalu, sehingga kemampuan produksinya berkurang.
38
Jurnal Matematika & Sains, Agustus 2014, Vol. 19 Nomor 2
Gambar 3. Produksi pucuk petani anggota SHGU tahun 2010 – April 2013. Dari laporan kemajuan proyek CFC-FAO, didata bahwa rata-rata produksi pucuk per bulan dari seluruh petani anggota SHGU pada tahun 2010 sebesar 195,57 ton (Gambar 3). Di tahun 2011, produksi rata-rata per bulan meningkat sebesar 1,31% menjadi 198,14 ton. Pada tahun 2012, produksi ratarata per bulan mengalami peningkatan yang sangat pesat, sebesar 9,72% menjadi 222,92 ton. Data produksi tahun 2013 hanya diperoleh hingga bulan April, dengan kecenderungan penurunan produksi dibanding tahun 2012. Dalam setahun, produksi pucuk berfluktuasi tergantung musim. Rata-rata produksi pucuk yang dihasilkan adalah 715 kg basah/ha/bulan. Di musim hujan (sekitar bulan November hingga bulan Januari di tahun berikutnya) produksi pucuk tinggi, rata-rata dapat mencapai 1300 kg/ha. Sementara itu di musim kemarau (sekitar bulan Juli hingga awal Oktober) produksi hanya mencapai 300 kg/ha. Meskipun demikian, pada musim hujan, apabila hujan turun terus-menerus selama lebih dari seminggu, dan kelembaban udara siang hari melebihi 70% (sekitar bulan Februari), tanaman teh rentan terkena penyakit blister blight (cacar daun). Kondisi ini mengakibatkan penurunan produksi hingga 600 kg/ha. Kegiatan pemeliharaan perkebunan teh rakyat meliputi penyiangan (kored) secara manual maupun menggunakan herbisida kimia, pengendalian hama dan penyakit, pemupukan, pemangkasan, penggemburan tanah (garpuh), pemeliharaan dan pembuatan saluran air, serta pemeliharaan tanaman pelindung (rek-rek). Baik tidaknya teknis pemeliharaan yang diterapkan di kebun akan berdampak langsung pada kualitas pucuk teh yang dihasilkan. Sebagian besar petani mengaku telah menerima pelatihan pemeliharaan kebun dari
berbagai kegiatan kelompok tani dan mengetahui teknis pemeliharaan kebun yang semestinya namun penerapan teknis yang sesuai dengan saran PPTK/Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) tidak dapat sepenuhnya diterapkan karena teknis budidaya ini sangat detil dan penerapannya membutuhkan modal, terutama untuk mengupah tenaga kerja dan membeli bahan. Oleh karena itu, petani mengaku hanya menerapkan sebagian saja dari teknis budidaya yang disarankan sesuai dengan kemampuan modal dan tenaga (apabila dilakukan sendiri/oleh keluarga). Berkaitan dengan pengendalian hama dan penyakit, para petani telah menyadari bahaya pestisida terhadap lingkungan dan kesehatan produk yang mereka hasilkan. Dikatakan, pemakaian pestisida berlebihan justru akan membuat hama dan penyakit datang lagi dan lebih kuat dari sebelumnya. Dan bagi petani yang menyalurkan pucuknya ke pabrik swasta yang berorientasi ekspor yang melarang penggunaan pestisida, tingkat residu pada pucuk teh menjadi perhatian tersendiri; jika didapati pucuk teh yang dijual ke pengolah tersebut memiliki tingkat residu pestisida yang tinggi, petani akan diberi peringatan dan hal ini berpengaruh pada penjualan berikutnya. Sebagai alternatifnya, petani menggunakan racun suren. Dan kalaupun terpaksa harus menggunakan pestisida kimia, penyemprotan dilakukan minimal 20 hari sebelum pemetikan. Analisis usaha budidaya teh dilakukan dengan perhitungan rasio-rasio keuangan Gross Profit Margin (GPM) dan analisis pulang pokok (break even analysis) dari data pengusahaan kebun teh rakyat berupa biaya dan pendapatan usaha. Biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk pemeliharaan kebun terdiri dari biaya upah tenaga kerja, biaya bahan, dan biaya transportasi. Sementara itu,
Novasyurahati, dkk, Strategi untuk Perbaikan Manajemen Perkebunan Teh Rakyat: Studi Kasus di …………………39
pendapatan berasal dari penjualan pucuk teh segar ke kelompok tani maupun ke bandar. Tabel 6 di bawah memuat besar biaya rata-rata pemeliharaan kebun oleh petani beserta pendapatan dari penjualan pucuk. Dari perhitungan itu, didapatkan bahwa untuk tiap hektar kebun yang diusahakan, petani mendapatkan penghasilan sebesar Rp. 16.512.000 per tahun. Dengan asumsi harga pucuk pada Rp. 2100, marjin laba yang didapat dari tiap kilogram pucuk yang dihasilkan adalah Rp. 982,9. Perhitungan rasio GPM yang dihasilkan sebesar 46,8%, BEP Unit sebesar 3129,5 kg basah (dengan rendemen 20%, setara dengan 625,9 kg kering), dan BEP Harga sebesar Rp. 1.117,1 per kg pucuk. Untuk kegiatan pemetikan, sebagian besar dilakukan dengan daur petik antara 15-20 hari (70% dari responden). Meskipun demikian, ada beberapa petani yang melakukan pemetikan dengan daur panjang 25 hari (6%), 30 hari (18%), 45 hari (2%) hingga 60 hari (4%) karena alasan ketiadaan dana untuk mengupah tenaga kerja. Petani yang mengatur daur petiknya 15-20 hari umumnya memperoleh kualitas pucuk yang lebih baik dibanding petani dengan daur petik 30-60 hari, meskipun dengan daur yang panjang produksi pucuk (jumlah kg pucuk)
dalam sekali pemetikan dirasa lebih banyak dibanding dengan daur pendek. Kualitas pucuk memenuhi syarat (PMS) yang dihasilkan oleh perkebunan teh rakyat cenderung rendah dibanding dengan perkebunan besar swasta maupun perkebunan besar negara. PMS dari perkebunan teh rakyat pada umumnya hanya berkisar antara 20 hingga 30 persen. Sementara, kualitas PMS yang dibutuhkan untuk pengolahan teh jadi yang baik dan berkualitas ekspor harus mencapai minimal 40 persen. Semakin tinggi hasil analisis PMS dari bahan baku pucuk teh, maka kualitas produk pengolahan teh juga semakin baik (Pusat Penelitian Teh dan Kina, 2006; Suwardi, 2009). Karena itu, PMS pada dasarnya menentukan harga jual pucuk ke pengolah atau bandar meskipun pada saat melakukan pembelian, pengolah atau bandar tidak melakukan analisis PMS (Suwardi, 2009). Karena hasil pemetikan oleh perkebunan teh rakyat umumnya rendah, maka hasil analisis PMS yang didapat juga rendah. Hal itu menjadi salah satu penyebab harga yang ditawarkan oleh pengolah kepada petani teh rakyat rendah.
Tabel 6. Biaya dan pendapatan rata-rata pengelolaan kebun oleh individu petani (per hektar area, per tahun).
40
Jurnal Matematika & Sains, Agustus 2014, Vol. 19 Nomor 2
3.1.2 Deskripsi kondisi kelembagaan Kelompok tani teh rakyat yang menjadi responden dalam penelitian ini berjumlah 12 kelompok tani yang berada di wilayah Kecamatan Pasirjambu dan Kecamatan Ciwidey. Dua belas kelompok tersebut adalah: Jembar Manah, Desa Mekarsari; Gambung 2, Desa Mekarsari; Sauyunan, Desa Cibodas; Mekar Hurip, Desa Cisondari; Cikoneng, Desa Cikoneng; Tani Mulya 1, Desa Margamulya; Tani Mulya 2, Desa Margamulya; Sugihmukti, Desa Sugihmukti; Tenjolaya, Desa Tenjolaya; Tani Makmur, Desa Tenjolaya; Tani Maju, Desa Rawabogo; Tani Barokah, Desa Lebak Muncang. Setiap kelompok tani memiliki pengurus yang terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara. Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok tani diantaranya penyaluran pucuk dari petani ke pabrik pengolah, penyaluran bantuan dari lembaga luar (misal program internasional, program dinas kabupaten dan dinas provinsi) kepada petani, dan pelatihan/pembinaan kepada petani mengenai pengelolaan kebun dan pemasaran pucuk. Kelompok tani pada umumnya menyediakan fasilitas sarana pertanian yang dapat dipinjam oleh anggota. Sarana tersebut antara lain mesin semprot, pacul, arit dan parang. Selain itu, kelompok juga menyediakan sarana peminjaman modal uang kepada petani yang membutuhkan dana, baik untuk keperluan kebun maupun pribadi. Sumber dana berasal dari simpanan kelompok yang dipotong Rp. 100 setiap kg pucuk yang disalurkan melalui kelompok. Dari 12 kelompok yang diteliti, 11 kelompok sudah memiliki simpanan sejak tahun 2010, yaitu sejak kelompok ini diberikan bantuan dari proyek CFC. Hanya 1 kelompok (Gambung 2) yang belum memiliki simpanan karena pengurus belum menginisiasi simpanan kepada anggotanya. Kelompok tani mengadakan pertemuan rutin per bulan atau per dua bulan sebagai wahana komunikasi dan koordinasi antar anggota, pembagian
Gambar 4. Rantai pemasaran teh rakyat.
informasi, maupun pemberian pelatihan. Koordinasi kelompok tani dengan petani anggotanya umumnya berkaitan dengan pengelolaan kebun dan hanya sebatas pada pemberian pengarahan dan transfer informasi mengenai teknis pengelolaan yang baik. Pertemuan rutin yang diadakan oleh kelompok tani per 1 atau 2 bulan biasanya dilakukan secara satu arah dengan sedikit sekali kesempatan bagi para anggota untuk berinteraksi dengan pengurus maupun dengan sesama anggota. Hal ini menyebabkan pertemuan tidak secara efektif berfungsi sebagai wahana komunikasi yang jujur dan terbuka, mengakibatkan masih adanya ‘perbincangan di belakang forum’ karena ketidakpuasan anggota dengan keputusan/kebijakan kelompok. Menaungi kedua belas kelompok tani tersebut, terdapat asosiasi tani yang diberi nama Self Help Group Union (SHGU) Bandung Selatan yang merupakan organisasi gabungan kelompok usaha mandiri pertani teh rakyat di kawasan Kabupaten Bandung. Organisasi ini didirikan pada 13 September 2011. Dalam anggaran ruman tangga (ART) organisasi tersebut, tujuan didirikannya organisasi ini adalah sebagai wadah kerjasama usaha tani antar petani atau perkebunan teh untuk menyampaikan aspirasi petani. Selain itu, organisasi ini juga bertujuan mencari mitra usaha/mitra kerja dengan pihak lain yang sifatnya menguntungkan. Kegiatan SHGU bersifat kegiatan usaha yang sifatnya mensubstitusi kegiatan yang belum dilaksanakan oleh anggota dan bertujuan meningkatkan pendapatan usaha anggota. 3.1.3 Deskripsi kondisi pemasaran teh rakyat Petani menyalurkan pucuk tehnya ke kelompok tani atau bandar pembeli dan penjual pucuk di desanya, kemudian kelompok tani/bandar tersebut menjualnya ke pabrik pengolah teh terdekat. Rantai pemasaran pucuk teh rakyat dapat dilihat pada Gambar 4.
Novasyurahati, dkk, Strategi untuk Perbaikan Manajemen Perkebunan Teh Rakyat: Studi Kasus di …………………41
Ada 2 jenis pengolah teh yang menampung pucuk teh rakyat, yaitu pengolah teh skala kecil dan skala besar. Pengolah teh skala kecil hanya mengolah pucuk menjadi teh hijau, menghasilkan keringan teh hijau atau teh hijau yang disortasi. Pengolah teh skala kecil ini menjual produknya langsung ke pabrik teh wangi dan/atau ke pabrik teh kemasan; kadang produknya juga dijual ke pedagang besar teh hijau curah yang berpusat di Sukabumi, Jawa Barat. Produk dari pabrik teh wangi dan pabrik teh kemasan berupa teh jadi kemasan yang dijual di dalam negeri. Pengolah skala kecil juga melakukan pengemasan dan penjualan secara langsung, namun hanya untuk dijual di sekitar area operasionalnya saja. Pengolah skala besar mengolah teh hijau dan teh hitam yang masing-masing disortasi. Produk pengolah skala besar dijual ke pabrik wangi, pabrik teh kemasan, atau untuk pengolah dengan perusahaan induk, diekspor dalam bentuk teh curah. Di sekitar kawasan Kecamatan Pasirjambu dan Ciwidey terdapat 3 pabrik pengolah teh tempat kelompok tani dan bandar menjual pucuk teh dari petani. Pabrik KUD Pasirjambu; pabrik ini dahulu berdiri sendiri namun setelah sempat bangkrut karena krisis moneter tahun 1997-1998, kini disewakan kepada PT. Kartini Teh Nasional (pengolah teh wangi di Batang, Jawa Tengah) untuk memproduksi teh hijau keringan tanpa sortasi sebagai bahan baku teh wangi. Pengelolaan pabrik masih dilakukan oleh pengurus KUD dengan perjanjian kontrak bagi hasil. Pabrik CV. Wijaya Tea; memproduksi teh hijau dengan sortasi. Produk pabrik ini dijual ke perusahaan teh kemasan seperti Sosro dan Dua Tang dan ke perusahaan eksportir PT. Kabepe Chakra. Pabrik Gambung Agri Lestari (GAL); merupakan anak perusahaan dari PT. Kabepe Chakra yang 100% bahan bakunya berasal dari perkebunan rakyat. Pabrik ini memproduksi teh hijau dan teh hitam yang masing-masing disortasi. Produk pabrik ini diekspor ke Eropa, Asia, Rusia, Amerika dan Australia. Dari 12 kelompok tani yang menjadi responden dari penelitian ini, 6 kelompok menyalurkan pucuknya ke Pabrik KUD. Tiga kelompok menyalurkan pucuknya ke Pabrik GAL dan hanya 1 kelompok menyalurkan pucuknya ke Pabrik CV. Wijaya Tea. Daftar kelompok tani dan pabrik pengolah teh tempat penjualan/penyaluran pucuk dapat dilihat pada Tabel 7. Dalam hal penyaluran pucuk dari petani ke pengolah, umumnya kelompok berperan sebagai bagian pemasaran. Pengurus kelompok (biasanya ketua) mencari pengolah yang memberikan harga yang menurutnya terbaik. Dalam sistem tata niaga perkebunan teh rakyat, pembelian pucuk produksi teh rakyat merupakan praktek dalam pasar oligopsoni (Suprihatini, 2007; Perdana, 2009), yang artinya hanya beberapa pembeli menguasai penerimaan pasokan pucuk teh sehingga pembeli dapat berperan sebagai pihak yang mempengaruhi harga. Dalam
kasus di Kecamatan Pasirjambu dan Ciwidey, pembeli pucuk teh rakyat adalah pengolah teh swasta (kecil maupun besar) dan bandar pucuk. Tabel 7. Daftar kelompok tani dan pabrik pengolah teh. Pabrik pengolah Pabrik KUD
CV. Wijaya Tea PT. Gambung Agro Lestari (GAL)
Kelompok Sugihmukti Gambung 2 Tani Mulya 1 Tani Mulya 2 Tani Makmur Sauyunan Mekar Hurip Tani Barokah Tani Maju Cikoneng Tenjolaya
Sebagian besar kelompok memilih untuk menyalurkan pucuknya ke Pabrik KUD karena pabrik ini memberikan harga yang cukup tinggi (Rp. 2.300 per kg pucuk) tanpa melalui analisis PMS. Harga yang ditawarkan oleh Pabrik GAL beragam, tergantung pada analisis PMS yang dihasilkan. Pabrik GAL memberikan harga Rp. 1.900 untuk PMS dibawah 30%, Rp. 2.100 untuk PMS 30-40%, dan Rp. 2.300 untuk PMS 40-60%. Sementara, Pabrik CV. Wijaya Tea tidak melalukan analisis PMS dan menerapkan harga Rp. 1.900 per kg pucuk. Tidak semua petani anggota mau menyalurkan pucuknya ke kelompok karena alasan harga yang kurang baik atau adanya pemotongan hasil penjualan untuk simpanan kelompok. Selain itu, ada juga alasan sosial-kultural karena petani tersebut sudah sedari dulu, jauh sebelum kelompok dibentuk, sudah menjual pucuknya ke bandar tertentu sehingga apabila ia menyalurkan pucuknya ke kelompok, dikhawatirkan terjadi gangguan hubungan sosial, terutama bila terdapat hubungan keluarga/tetangga antara petani dengan badar. Hal-hal ini menyebabkan kelompok tidak dapat berperan optimal sebagai penyalur pucuk. Karena alasan harga atau hubungan sosial seperti yang dijelaskan di atas, kelompok bersaing dengan bandar dalam penyaluran pucuk. Hal ini diwaspadai oleh para petani, terutama pengurus kelompok tani, sebagai ancaman terhadap keberlanjutan ekonomi petani teh karena bandar tidak melakukan komitmen usaha untuk terus menerima pucuk teh rakyat, terutama di musim-musim dimana produksi pucuk sedang melimpah. Kegiatan pemasaran pucuk teh juga dipengaruhi oleh penerapan syarat standar kualitas pucuk yang dilakukan oleh pengolah. Penentuan standar kualitas ditentukan oleh pengolah untuk menjamin kualitas produk tehnya (Lee dkk., 2012). Ditambah lagi, karena tuntutan permintaan pasar internasional terhadap keamanan dan kesehatan
42
Jurnal Matematika & Sains, Agustus 2014, Vol. 19 Nomor 2
pangan semakin meningkat, standar yang ditentukan oleh pengolah terhadap pemasok bahan bakunya juga bertambah. Hal ini menyulitkan petani teh rakyat yang masih sangat terbatas dalam ketersediaan modal, penggunaan sarana-prasarana dan pengetahuan mengenai standar-standar yang dimaksud (Perdana, 2009). Standar yang diberlakukan tergantung pada diversifikasi produksi yang dilakukan oleh pengolah serta permintaan dari pembeli produk pengolah tersebut. Pengolah yang hanya memproduksi teh hijau keringan tanpa melakukan sortasi cenderung tidak menuntut standar kualitas tertentu pada pemasok bahan bakunya. Di sisi lain, pengolah yang memproduksi teh hijau dan/atau teh hitam dengan sortasi menuntut standar kualitas tertentu. Dari hasil pengamatan dan wawancara, ketiga pengolah tempat petani menjual pucuk menerapkan standar kualitas yang berbeda. Pabrik KUD hanya memproduksi teh hijau keringan tanpa sortasi. Pabrik ini menerima segala macam pucuk dengan kualitas apapun. Pabrik CV. Wijaya Tea memproduksi teh hijau dengan sortasi sehingga meskipun tidak melakukan analisis PMS saat membeli pucuk, pabrik ini tetap meminta petani untuk memenuhi standar pucuk medium. Pabrik GAL, karena memproduksi teh hitam dengan sortasi dan berorientasi ekspor, menerapkan standar kualitas tertentu dengan penerapan harga yang berbeda untuk jenis kualitas PMS yang berbeda, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Penerapan standar kualitas oleh pengolah secara tidak langsung menentukan kualitas pucuk petani pemasok bahan bakunya. Petani yang menyalurkan pucuknya ke pabrik yang menerapkan standar kualitas lebih memperhatikan usaha peningkatan kualitas pucuk hasil kebunnya dibanding petani yang menyalurkan ke pabrik tanpa penerapan standar kualitas. Kondisi ini berdampak balik pada pengelolaan kebun yang dilakukan oleh petani, baik dari kegiatan perawatan maupun pemetikan. Selain itu, pengolah yang menerapkan standar kualitas juga memberikan layanan bagi usaha peningkatan kualitas yang dilakukan oleh petani. Pihak pengelola dari Pabrik CV. Wijaya Tea dan Pabrik GAL memberikan layanan berupa pemberian kredit usaha tani serta pembinaan dan pelatihan teknis pengelolaan kebun kepada petani pemasok bahan bakunya. Selain melakukan pemasaran pucuk, terdapat tiga kelompok tani (Margamulya 1, Cibodas dan Rawabogo) yang memiliki kegiatan usaha kelompok untuk menambah nilai teh rakyat. Kelompok Margamulya 1 memiliki usaha pembuatan tepung teh sebagai bahan baku industri kosmetik maupun makanan olahan. Kelompok Rawabogo memiliki usaha pengolahan teh keringan skala rumah tangga (teh gelang). Kelompok Cibodas memiliki usaha pengemasan teh celup skala rumah tangga.
Kelompok Rawabogo memasarkan produk teh gelangnya ke warung-warung di desanya. Begitu juga dengan produksi teh celup Kelompok Cibodas, meskipun kelompok ini sudah mulai membuka kanal pemasaran baru di Pasar Ciwidey. Sementara, tepung teh Kelompok Margamulya 1 masih dalam tahap percobaan karena masih kesulitan dalam memasarkan produknya. 3.1.4 Kondisi eksternal yang berpengaruh pada perbaikan manajemen teh rakyat Selain kondisi-kondisi yang digambarkan di atas, ada juga kondisi-kondisi eksternal yang berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung dengan usaha perbaikan manajemen teh rakyat. Dua kondisi eksternal yang menurut para pelaku dan pemerhati usaha perkebunan teh rakyat, baik petani, pemandu lapangan, pegawai pengolah pabrik, peneliti maupun pihak Asosiasi Teh Indonesia (ATI) adalah Gerakan Penyelamatan Agribisnis Teh Nasional dan kebijakan impor teh. Gerakan Penyelamatan Agribisnis Teh Nasional merupakan gerakan terpadu sebagai upaya peningkatan produktivitas, mutu, supply chain, harga, dan tingkat pendapatan pelaku, khususnya petani teh rakyat. Tujuan gerakan ini adalah untuk menyelamatkan kondisi agribisnis teh nasional melalui peremajaan, rehabilitasi, instensifikasi, perbaikan mutu hasil, dan penguatan kelembagaan petani, riset serta pemasaran (Dewan Teh Indonesia, 2008). Program ini diluncurkan oleh Dewan Teh Indonesia (DTI) dan Gubernur Jawa Barat pada tanggal 19 April 2007 dan berlangsung selama tiga tahun sejak tahun 2008 hingga 2011. Sasaran program ini adalah revitalisasi kelembagaan 2000 kelompok tani; perbaikan kebun teh rakyat seluas 57.837 ha berupa peremajaan, rehabilitasi kebun dan intensifikasi kebun; penguatan lembaga riset teh; perbaikan mutu hasil dengan penyempurnaan SNI teh penyesuaian dengan standar-standa produk teh dunia; rehabilitasi sepuluh pabrik pengolah teh rakyat; dan penguatan lembaga pemasaran Jakarta Tea Auction (JTA) dan Bandung Tea Auction (BTA). Meskipun gerakan ini dijadwalkan berakhir pada tahun 2011, namun menurut Ketua Asosisasi Petani Teh Indonesia (Aptehindo) Kabupaten Bandung, H. Yayat Sudiyat, pada tahun 2014 mendatang gerakan ini akan dilaksanakan kembali dengan nama dan kegiatan yang sama sebagai upaya pemerintah untuk perbaikan penyelenggaraan perkebunan teh rakyat yang lebih optimal. Terkait kebijakan impor teh, Indonesia tercatat melakukan impor teh sepanjang Januari-Juni 2013. Dalam periode tersebut, jumlah teh yang diimpor Indonesia mencapai 11.411 ton dengan nilai US$ 15,7 juta atau sekitar Rp 134,5 miliar. Impor teh Indonesia dilakukan dari Vietnam, India, Kenya, Iran dan Srilanka (Detikfinance, 2013). Bukan hanya tahun ini saja, impor teh dilakukan oleh Indonesia
Novasyurahati, dkk, Strategi untuk Perbaikan Manajemen Perkebunan Teh Rakyat: Studi Kasus di …………………43
selama lima tahun terakhir, dan sebagian besar terdiri dari teh hitam (Bisnis.com, 2013) Menurut informasi dari peneliti PPTK, Dr. Rohayati Suprihatini, derasnya teh impor di Indonesia terjadi karena perusahaan-perusahaan industri minuman teh siap minum kekurangan pasokan bahan baku dan alih-alih menggunakan bahan baku yang dapat diakses melalui kebun teh rakyat, perusahaan-perusahaan besar ini memilih untuk mendapatkannya melalui jalur impor karena dirasa lebih murah dan mutunya lebih terjamin. Kondisi ini juga seakan-akan didukung oleh pemerintah yang menetapkan bea masuk bagi impor teh ke Indonesia hanya sebesar 5% (jpnn.com, 2013), padahal di Vietnam, tarif impor teh sebesar 50%, di India sebesar 115%, dan bahkan di Turki sebesar 145%. 3.2 Tahap Input (2) penentuan faktor internal dan eksternal kunci Penentuan faktor internal dan eksternal dilakukan sebagai input dasar bagi perumusan strategi. Dalam penentuan faktor internal dan eksternal pengelolaan teh rakyat, masyarakat petani teh dianggap sebagai organisasi yang mengelola usaha tani teh, dan aktor-aktor lain diposisikan sebagai pihak luar. Berdasarkan data yang didapat sejauh ini dari hasil deskripsi kondisi budidaya, kelembagaan dan pemasaran, serta dari pemetaan faktor internal dan eksternal yang dilakukan bersama petani melalui FGD, faktor-faktor kunci yang dapat mempengaruhi peningkatan kualitas produksi teh rakyat didaftarkan sebagai berikut: 1). Faktor internal : keterbatasan dana; aplikasi teknis budidaya belum sesuai; semangat petani untuk memajukan usaha tani teh; pengetahuan tentang budidaya teh; simpanan kelompok yang dapat dikembangkan; penggunaan teknologi sarana-prasarana pertanian kurang;
komunikasi dalam kelompok tani kurang terbuka; efisiensi biaya dan pendapatan dari produksi pucuk rendah; Usaha penambahan nilai teh untuk meningkatkan pendapatan petani; posisi tawar kelompok petani rendah; usaha ekstensifikasi dan intensifikasi tanaman teh kurang. 2) Faktor eksternal : harga pucuk yang ditentukan oleh pengolah rendah; bantuan untuk peningkatan budidaya dari pengolah maupun pemerintah; persaingan kelompok dengan bandar dalam penyaluran pucuk; kemitraan kelompok tani dengan pengolah; program nasional peningkatan budaya minum teh; bencana alam; konversi lahan kebun teh; pasar untuk produk turunan teh sulit diakses; kebijakan impor teh. Faktor-faktor internal dan eksternal yang dituliskan diatas kemudian dipetakan dalam menjadi kekuatan (strenght-S) internal, kelemah an (weakness-W) internal, peluang (opportunity-O) eksternal, dan ancaman (threat-T) eksternal, SWOT. Kemudian, untuk menyederhanakan proses analisis selanjutnya menggunakan perbandingan berpasangan Analytical Hierarchy Process (AHP), jumlah kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dibatasi hingga maksimal lima poin (Kuttila dkk., 2000; Shrestha dkk., 2004; Wickramasinghe dan Takano, 2010). Pemangkasan jumlah faktor-faktor ini dilakukan berdasarkan dua hal, yaitu relevansi faktor dengan tujuan penelitian, dan ketersediaan data pendukung. Hasil pemetaan SWOT yang dihasilkan untuk kemudian dipilih dalam langkah selanjutnya dapat dilihat dalam Tabel 8. 3.3 Tahap pencocokan Tahap pencocokan merupakan tahap perumusan strategi dari faktor-faktor SWOT yang sudah didata di atas. Melalui matriks TOWS (Weihrich, 1982) dirumuskan 8 strategi alternatif sebagaimana yang dapat dilihat di Tabel 9.
Tabel 8. Daftar SWOT usaha perkebunan teh rakyat.
Internal
Eksternal
Positif Kekuatan – S S1. Semangat petani untuk memajukan usaha tani teh S2. Pengetahuan tentang budidaya teh S3. Simpanan kelompok yang dapat dikembangkan S4. Usaha penambahan nilai teh untuk meningkatkan pendapatan petani Peluang – O O1. Bantuan untuk peningkatan budidaya dari pengolah maupun pemerintah O2. Kemitraan kelompok tani dengan pengolah O3. Program nasional penyelamatan agribisnis teh
Negatif Kelemahan – W W1. Keterbatasan dana W2. Aplikasi teknis budidaya belum sesuai W3. Komunikasi dalam kelompok tani kurang terbuka W4. Efisiensi biaya dan pendapatan dari produksi pucuk rendah W5. Usaha ekstensifikasi dan intensifikasi tanaman teh kurang Ancaman – T T1. Harga pucuk yang ditentukan oleh pengolah rendah T2. Persaingan kelompok dengan bandar dalam penyaluran pucuk T3. Bencana alam T4. Pasar untuk produk turunan teh sulit diakses T5. Kebijakan teh impor
44
Jurnal Matematika & Sains, Agustus 2014, Vol. 19 Nomor 2
Tabel 9. Hasil perumusan strategi alternatif dari matriks TOWS. Opportunity (O):
Threat (T):
O1. Bantuan untuk peningkatan budidaya dari pengolah maupun pemerintah O2. Kemitraan kelompok tani dengan pengolah O3. Program nasional penyelamatan agribisnis teh
T1. Harga pucuk yang ditentukan oleh pengolah rendah T2. Persaingan kelompok dengan bandar dalam penyaluran pucuk T3. Bencana alam T4. Pasar untuk produk turunan teh sulit diakses T5. Kebijakan teh impor Strategi ST: ST1. Penghematan: Pemanfaatan dana simpanan kelompok untuk meminimalisasi dampak harga rendah/produksi kurang (S1/S2/S3:T1/T3)
Eksternal
Internal Strenght (S): S1. Semangat petani untuk memajukan usaha tani teh S2. Pengetahuan tentang budidaya teh S3. Simpanan kelompok yang dapat dikembangkan S4. Usaha penambahan nilai teh untuk meningkatkan pendapatan petani
Weakness (W): W1. Keterbatasan dana W2. Aplikasi teknis budidaya belum sesuai W3. Komunikasi dalam kelompok tani kurang terbuka W4. Efisiensi biaya dan pendapatan dari produksi pucuk rendah W5. Usaha ekstensifikasi dan intensifikasi tanaman teh kurang
Strategi SO: SO1. Integrasi ke depan: Pembuatan pabrik pengolahan teh bersama milik rakyat (S1/S2/S3:O3) SO2. Pengembangan pasar: Penciptaan kegiatan pemasaran untuk produk usaha penambahan nilai teh di luar Kabupaten Bandung (S1/S3/S4:O2/O3) Strategi WO: WO1. Integrasi horizontal: Pengelolaan budidaya perkebunan teh rakyat secara berkelompok (W1/W2/W4/W5:O1/O3) WO2. Integrasi ke depan: Pembentukan kemitraan kelompok tani dengan pengolah (W1/W2/W4/W5:O2)
Penjelasan mengenai kedelapan pilihan strategi diatas adalah sebagai berikut: 1. Strategi SO1, yaitu strategi integrasi ke depan berupa pembuatan pabrik pengelolaan teh bersama milik rakyat. Dengan strategi ini diharapkan petani dapat menentukan sendiri harga yang layak untuk pucuknya berdasarkan keuntungan yang didapat dari pabrik pengolahan teh milik rakyat. 2. Strategi SO2, yaitu strategi pengembangan pasar berupa penciptaan kegiatan pemasaran untuk produk usaha penambahan nilai teh di luar Kabupaten Bandung. Kegiatan ini diharapkan dapat mengenalkan produk turunan teh yang diproduksi oleh petani perkebunan rakyat lebih luas. 3. Strategi WO1, integrasi horizontal berupa pengelolaan budidaya perkebunan teh rakyat secara berkelompok. Dengan cara ini diharapkan petani dapat melakukan efisiensi biaya dan pendapat dengan lebih baik sehingga pendapatan
ST2. Penetrasi pasar: Peningkatan kegiatan pemasaran untuk produk usaha penambahan nilai teh (S1/S3/S4:T4) Strategi WT: WT1. Integasi horizontal: Mensolidkan anggota kelompok untuk bersama-sama memajukan usaha perkebunan teh rakyat melalui kelompok (W3:T2) WT2. Integrasi ke depan: Mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang dapat menjamin harga pucuk teh rakyat dan membatasi impor teh (W1/W4:T1/T5)
petani lebih tinggi dibanding apabila dilakukan secara individu. 4. Strategi WO2, integrasi ke depan berupa pembentukan kemitraan kelompok tani dengan pengolah. Strategi ini bertujuan mengikat komitmen antara pengolah dengan petani. Dalam komitmen ini petani mendapat jaminan harga yang baik dan berkomitmen untuk memperbaiki kegiatan budidaya kebun tehnya sehingga menghasilkan pucuk yang berkualitas. Di sisi lain, pengolah mendapat pasokan bahan baku yang kontinyu dengan kualitas yang diinginkan. 5. Strategi ST1, strategi penghematan berupa pemanfaatan dana simpanan kelompok untuk meminimalisasi dampak harga rendah/produksi kurang. Dengan strategi ini diharap petani memiliki ‘bumper’ bagi pengelolaan keuangan kebunnya. 6. Strategi ST2, strategi penetrasi pasar berupa peningkatan kegiatan pemasaran untuk produk dari usaha penambahan nilai teh agar produk
Novasyurahati, dkk, Strategi untuk Perbaikan Manajemen Perkebunan Teh Rakyat: Studi Kasus di …………………45
turunan dari pucuk teh rakat dapat dikenal lebih luas. 7. Strategi WT1, strategi integrasi horizontal secara defensif berupa pensolidan anggota kelompok untuk bersama-sama memajukan perkebunan teh rakyat. Melalui strategi ini para petani dihimbau untuk bekerja bersama kelompok 8. Strategi WT2, strategi untuk mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang dapat menjamin harga pucuk teh dan membatasi impor.
3.4 Tahap pemilihan Tahap pertama dari pemilihan strategi yang dilakukan adalah pembobotan faktor-faktor SWOT oleh kelima responden pakar. Saat membandingkan antara kelompok SWOT, empat dari lima responden pakar menimbang faktorfaktor dalam kelompok kelemahan paling besar dibanding kelompok kekuatan, peluang dan ancaman. Hanya satu responden (Pakar 4 - peneliti PPTK) yang menimbang kelompok ancaman paling besar dibanding kelompok lain (Gambar 5).
Gambar 5. Grafik bobot prioritas faktor-faktor dalam SWOT oleh 5 responden pakar.
46
Jurnal Matematika & Sains, Agustus 2014, Vol. 19 Nomor 2
Dalam perbandingan antara faktor-faktor dalam SWOT, Pakar 1 (Gambar 5[a]) menilai dalam sisi internal, kekuatan yang paling penting untuk dipertimbangkan adalah S4 yaitu usaha penambahan nilai teh (bobot 0,523), kelemahan yang paling penting adalah W4 yaitu efisiensi biaya dan pendapatan dari pucuk rendah. Sementara dari sisi eksternal (bobot 0,349), peluang yang paling penting untuk diperhatikan adalah O1 yaitu bantuan peningkatan budidaya dari pengolah maupun pemerintah (bobot 0,484) dan ancaman yang paling penting diperhatikan adalah T4 yaitu pasar produk turunan teh yang sulit diakses (bobot 0,322). Pakar 2 (Gambar 5[b]) menilai faktor kekuatan yang paling besar adalah S3 yaitu simpanan kelompok (bobot 0,567). Faktor kelemahan yang paling penting adalah W3 yaitu komunikasi kelompok yang kurang terbuka (bobot 0,396). Pakar 2 menilai faktor peluang O2 yaitu kemitraan kelompok tani dengan pengolah paling penting untuk diperhatikan (bobot 0,665). Pakar 2 menilai ancaman T5, yaitu kebijakan teh impor paling penting untuk diperhatikan (bobot 0,508). Bobot prioritas faktor-faktor dalam SWOT oleh Pakar 3 (Gambar 5[c]) menunjukkan kekuatan yang dinilai paling penting adalah S4, yaitu usaha penambahan nilai teh untuk meningkatkan pendapatan (bobot 0,508). Faktor kelemahan terpenting adalah W3, komunikasi kelompok yang kurang terbuka (bobot 0,451). Peluang terpenting adalah O2, kemitraan dengan pengolah (bobot 0,665). Sementara dalam kelompok ancaman, faktor yang dinilai paling penting adalah T5 yaitu kebijakan teh impor (bobot 0,469). Pakar 4 (Gambar 5[d]) menilai faktor S4, usaha penambahan nilai sebagai kekuatan paling penting dengan bobot 0,566. Faktor kelemahan yang paling penting adalah W1, kekurangan modal dana. Peluang yang paling penting adalah O3 yaitu program nasional penyelamatan agribisnis teh. Ancaman terpenting adalah T5 yaitu kebijakan teh impor (bobot 0,359). Pakar 5 (Gambar 5[e]) menilai faktor kekuatan yang terpenting adalah S3, yaitu simpanan kelompok yang dapat dikembangkan (bobot 0,376). Faktor kelemahan yang dinilai paling penting adalah W3, yaitu komunikasi kelompok yang kurang terbuka (bobot 0,429). Sementara, faktor ancaman yang dinilai paling penting adalah T3 yaitu bencana alam (bobot 0,356). Selanjutnya, pembobotan delapan pilihan strategi yang telah dirumuskan pada tahap sebelumnya dilakukan dengan pemberian nilai kecocokan antara faktor-faktor SWOT dengan alternatif strategi yang dirumuskan, apakah faktorfaktor SWOT yang didapat cocok untuk dimanfaatkan/diperhatikan dalam penerapan strategi yang dirumuskan (Wickramasinghe dan Takano, 2010). Dari perhitungan bobot tersebut, diperoleh
indeks keinginan (desirability index, Di). Nilai indeks keinginan strategi-strategi kemudian dinormalisasi sehingga penjumlahan dari seluruh indeks strategi bernilai 1. Strategi dengan normalisasi Di tertinggi dinyatakan sebagai strategi pilihan responden. Gambar 6 dibawah menunjukkan hasil pemilihan strategi alternatif oleh kelima responden pakar. Masing-masing pakar memilih strategi yang berbeda. Dari perhitungan bobot Pakar 1 terpilih strategi SO1, yaitu strategi integrasi ke depan berupa pembuatan pabrik pengolahan bersama milik rakyat. Dari Pakar 2, terpilih strategi WT1, yaitu strategi integrasi horizontal antara petani berupa pensolidan anggota kelompok tani untuk bersama-sama memajukan usaha perkebunan teh rakyat melalui kelompok. Dari Pakar 3 terpilih strategi ST1, yaitu strategi penghematan (rentrenchment) berupa pemanfaatan dana simpanan kelompok untuk meminimalisasi dampak harga rendah/produksi kurang. Dari Pakar 4 terpilih strategi WT2, yaitu strategi integrasi ke depan berupa upaya mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang dapat menjamin harga pucuk teh rakyat dan membatasi impor teh. Dari Pakar 5 terpilih WO1, yaitu strategi integrasi horizontal antara petani dalam bentuk pengelolaan budidaya perkebunan teh rakyat secara berkelompok. Perbedaan strategi yang terpilih menurut Saaty (2008) wajar dan pasti terjadi. Terutama apabila individu yang ditunjuk sebagai penilai memiliki latar belakang kepentingan dan sudut pandang yang berbeda terhadap masalah yang dihadapi. Perbedaan ini dapat disatukan dengan tetap memperhitungkan penilaian bobot prioritas dari masing-masing responden menggunakan rata-rata geometrik (Saaty, 2008). Perhitungan rata-rata geometrik dilakukan terhadap indeks keinginan dari seluruh responden pakar untuk masing-masing strategi alternatif, didapat nilai indeks keinginan rata-rata seperti yang dapat dilihat pada Gambar 7. Dari perhitungan rata-rata geometrik tersebut, didapat strategi dengan indeks keinginan tertinggi adalah strategi WO1, yaitu strategi integrasi horisontal antara petani berupa pengelolaan budidaya teh rakyat secara berkelompok. Bentuk pengusahaan perkebunan teh rakyat dalam bentuk berkelompok seperti yang diusulkan dalam strategi ini sebenarnya sudah dilakukan oleh Kelompok Tenjolaya I di Desa Tenjolaya, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung. Petani anggota Kelompok Tani Tenjolaya, sebanyak 41 orang dengan luas total kebun 31 hektar, mempercayakan seluruh kegiatan pengelolaan kebun (perawatan dan pemetikan) kepada pengurus kelompoknya.
Novasyurahati, dkk, Strategi untuk Perbaikan Manajemen Perkebunan Teh Rakyat: Studi Kasus di …………………47
Gambar 6. Pembobotan pilihan strategi oleh responden pakar.
Gambar 7. Indeks keinginan rata-rata. Kelompok berperan sebagai perusahaan yang mengelola kebun, sementara petani berperan sebagai investor, pemilik lahan dan tanaman teh. Seluruh biaya pengelolaan kebun dikeluarkan oleh kelompok. Kelompok memiliki ‘karyawan’ tetap sebagai pekerja perawat kebun dan pemetik. Penghasilan petani didapat langsung dari hasil penjualan pucuk yang dipetik dari kebunnya masing-masing oleh pekerja yang diupah oleh kelompok dan diterima bersih setelah dipotong biaya pengelolaan. Dari penjualan pucuk dengan harga Rp. 2300 per kg, petani menerima Rp. 1300 per kg. Besar biaya dan pendapatan pengelolaan kebun secara berkelompok yang dilakukan oleh Kelompok Tani Tenjolaya dapat dilihat di Tabel 10.
Pengelolaan kebun secara berkelompok ini terbukti sangat efisien dan meningkatkan penghasilan hingga lebih dari dua kali lipat dibanding pengelolaan kebun secara individu. Penghasilan yang diterima oleh petani dibawah koordinasi Kelompok Tani Tenjolaya mencapai Rp. 25.196.000 per tahun. Pucuk yang dihasilkan dari kebun anggota diberi harga Rp. 2.300 per kg basah oleh pabrik GAL dengan analisis pucuk memenuhi syarat (PMS) 40-50%. Dari harga tersebut, petani anggota mendapat marjin laba sebesar Rp. 1.312 per kg pucuk. Perhitungan GPM yang didapat melalui pengelolaan berkelompok ini mencapai 57,05%. BEP unit yang didapat adalah 1.790 kg dan BEP harganya Rp. 987,7.
48
Jurnal Matematika & Sains, Agustus 2014, Vol. 19 Nomor 2
Tabel 10. Biaya dan pendapatan pengelolaan kebun oleh Kelompok Tani Tenjolaya (per hektar area, per tahun).
4. Kesimpulan dan Saran 4.1 Kesimpulan Perencanaan strategis yang diusulkan untuk memperbaiki manajemen perkebunan rakyat dalam upaya peningkatan produktivitas perkebunan teh rakyat adalah strategi integrasi horizontal antara petani teh rakyat berupa pengelolaan budidaya perkebunan teh secara berkelompok. Penerapan strategi ini selain dapat meningkatkan produktivitas kebun, juga dapat meningkatkan efisiensi usaha perkebunan teh rakyat dan penghasilan petani teh hingga dua kali lipat dibanding pengelolaan budidaya perkebunan secara individu. 4.2 Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai implementasi dan evaluasi dari rencana strategis yang diusulkan. Daftar Pustaka Bisnis.com, 2013, Impor Teh Indonesia Melejit, Bisnis.com edisi 2 Juli 2013. Diakses melalui http://www.bisnis.com/impor-tehindonesia-melejit pada 28 Agustus 2013 pukul 23.20 WIB.
David, F. R., 2011, Strategic Management: Concepts and Cases. Ed.13, Pearson Education Inc. Upper Saddle River, New Jersey, USA. Detikfinance, 2013, Selain Garam dan Singkong, RI juga Impor Teh dari 5 Negara, Detikfinance edisi 7 Agustus 2013, diakses melalui http://finance.detik.com/read/2013/08/07/15 1328/2325527/4/selain-garam-dansingkong-ri-juga-impor-teh-dari-5-negara pada 28 Agustus 2013 pukul 22.13 WIB. Dewan Teh Indonesia (DTI), 2008, Gerakan Penyelamatan Agribisnis Teh Nasional, Prosiding Pertemuan Teknis Teh Tahun 2008 dengan Tema : Teknologi Replanting menuju Perkebunan yang Berkelanjutan. Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK). Gambung, Jawa Barat, Indonesia. Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Barat, 2012, Data Statistik Tanaman Perkebunan Propinsi Jawa Barat menurut Kabupaten Tahun 2001-2011, diakses melalui http://disbun.jabarprov.go.id/ pada 25 Agustus 2013 pukul 00.35 WIB. Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementrian Pertanian RI, 2012, Basis Data Statistik Pertanian, Pusat Data dan Informasi Pertanian, diakses melalui
Novasyurahati, dkk, Strategi untuk Perbaikan Manajemen Perkebunan Teh Rakyat: Studi Kasus di …………………49
http://ditjenbun.deptan.go.id/cigraph/index.p hp/viewstat/ komoditiutama/10-Teh pada 13 Juni 2013 pukul 11.26 WIB. Holt, D. H., 1987, Management: Principles and Practices, Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey, USA. Jpnn.com, 2013, Bea Masuk Teh Dievaluasi, Jpnn.com edisi 10 Januari 2013. Diakses melalui http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita. detail&id=153822 pada 28 Agustus 2013 pukul 23.43 WIB. Kuttila, M., M. Pesonen, J. Kangas, and M. Kajanus, 2000, Utilizing the Analytic Herarchy Process (AHP) in SWOT Analysis – A Hybrid Method and Its Application to A Forest-Cetification Case, Forest Policy and Economics, 1, 41-52. Lee, S. and P. Walsh, 2011, SWOT and AHP Hybrid Model for Sport Marketing Outsourcing Using a Case of Intercollegiate Sport. Sport Management Review, 14, 361-369. Lee, J., G. Gereffi, and, J. Beauvais, 2012, Global Value Chains and Agrifood Standards: Challenges and Possibilities for Smallholders in Developing Countries. PNAS, 109. Osuna, E. E., and A. Aranda, 2007, Combining SWOT and AHP Techniques for Strategic Planning, Presentasi pada ISAHP, Vina del Mar, Chile, Agustus 2-6, 2007. Perdana, T., 2009, Pemodelan Dinamika Sistem Rancangbangun Manajemen Rantai Pasokan Industri Teh Hijau. Desertasi, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK), 2006, Petunjuk Kultur Teknis Tanaman Teh.
Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Pusat Penelitian Teh dan Kina. Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Rangkuti, F., 2010, Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Saaty, T. L., 1990, How to Make a Decision: The Analytical Hierarchy Process, European Journal of Operational Research, 48, 9-26. Saaty, T. L., 2008, Decision Making with The Analytical Hierarchy Process, International Journal Services Science, 1, 83-98. Shrestha, R.K., J.R.R. Alavalapati, and R.S. Kalmbacher, 2004, Exploring the Potential for Silvopasture Adoption in South-Central Florida: An Application of SWOT-AHP Method. Agricultural System, 82, 185-199. Suprihatini, R., 2007, Analisis Supply Chain Teh Indonesia. Laporan Kemajuan Tahun Anggaran 2007 Pusat Penelitian Teh dan Kina. Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK). Gambung, Jawa Barat, Indonesia. Suwardi, E., 2009, Pemetikan. Makalah Penunjang Pra-Panen Prosiding Pertemuan Teknis Teh Nasional 2009. Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK). Gambung, Jawa Barat, Indonesia. Weihrich, H., 1982. The TOWS matrix—a tool for situational analysis. Long range planning, 15:2, 54-66. Wickramasinghe, V., and S. Takano, 2010. Application of Combined SWOT and Analytical Hierarchy Process (AHP) for Tourism Revival Strategic Marketing Planning: A Case of Sri Lanka Tourism. Journal of the Eastern Asia Society for Transportation Studies. 8. 954-969