i
ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI DAN TATANIAGA BUNCIS ORGANIK DAN BUNCIS NON-ORGANIK DI DESA CISONDARI, KECAMATAN PASIRJAMBU, KABUPATEN BANDUNG
RADEN INTAN WIYANTI
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
iii
PERNYATAAN SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Analisis Pendapatan Usahatani dan Tataniaga Buncis Organik dan Buncis Non-organik di Desa Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013
Raden Intan Wiyanti NIM H34090079
iv
ABSTRAK RADEN INTAN WIYANTI. Analisis Pendapatan Usahatani dan Tataniaga Buncis Organik dan Buncis Non-organik di Desa Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh TINTIN SARIANTI. Pertanian organik adalah jawaban tepat dalam pola hidup pangan sehat dan kelestarian lingkungan yang permintaannya cenderung meningkat dan harga jualnya relatif lebih tinggi dari sayuran non-organik dengan buncis sebagai komoditas potensial. Desa Cisondari merupakan salah satu Desa di Kabupaten Bandung yang membudidayakan buncis secara organik dan non-organik, namun populasi jumlah petani buncis organik lebih kecil daripada petani buncis non-organik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan membandingkan keragaan, pendapatan usahatani dan rasio R/C buncis organik dan buncis non-organik; menganalisis alur tataniaga, lembaga yang terlibat, fungsi tataniaga, struktur dan perilaku pasar pada tataniaga buncis organik dan konvesional,; serta menganalisis efisiensi tataniaga ditinjau dari margin tataniaga, farmer’s share dan π/c rasio pada tataniaga buncis organik dan buncis non-organik. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa keragaan buncis organik dan buncis non-organik berbeda dari input, beberapa tahapan budidaya, dan output. Pendapatan usahatani dan rasio R/C dari buncis non-organik lebih menguntungkan dari pada buncis organik karena tproduktivitas yang rendah dan tingkat afkir yang tinggi. Terdapat satu saluran tataniaga pada buncis organik dan enam saluran tataniaga pada buncis non-organik. Saluran yang lebih efisien pada tataniaga buncis organik adalah saluran III, dan saluran VI pada tataniaga buncis non-organik. Kata kunci: analisis usahatani, analisis tataniaga, buncis, anorganik, organik ABSTRACT RADEN INTAN WIYANTI. Analysis of Farm Income and Marketing of Organic Fine Bean and Anorganic Fine Bean (Case in Cisondari Village, Pasir Jambu, Bandung District). Supervised by TINTIN SARIANTI As one of the best alternative for healthy lifestyle and sustainable environment, organic farming is increasingly demanded and the sell price is quite higher than anorganic vegetables. Among the organic farming system vegetables in Indonesia, one of them is fine beans produced in Cisondari Village. Cisondari Village is located in Bandung District and cultivated with both organic and anorganic system, though the number of anorganic farmers are higher than the organic one. The aims of this research are to analyze and compare the variability, income of fine beans farming, and R/C ratio in both organic and anorganic system; to analyze the flow of marketing channel and institutions involved in the trading system; and to analyze the margin trading system, the farmer’s share, and π/c ratio on organic and anorganic fine beans marketing. The result of this research concluded that the variabilities of both organic and anorganic fine beans are different in the input, output, and multiple stages of cultivation. Farm income and the ratio of R/C on anorganic fine beans have more benefits than the organic one. There are 3 marketing channels in organic trading system and 6 marketing channels in anorganic. The most efficient margin channel on organic fine beans trading system is the 3rd channel and the 4thchannel in anorganic one. Keywords: anorganic, farm income analysis,fine beans, marketing analysis, organic
v
ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI DAN TATANIAGA BUNCIS ORGANIK DAN BUNCIS NON-ORGANIK DI DESA CISONDARI, KECAMATAN PASIRJAMBU, KABUPATEN BANDUNG
RADEN INTAN WIYANTI
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANEJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
vi
Judul Skripsi : Analisis Pendapatan Usahatani dan Tataniaga Buncis Organik dan Buncis Non-organik di Desa Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung Raden Intan Wiyanti Nama H34090079 NIM
Disetujui oleh
Tintin Sarianti, SP, MM
Pembimbing
Diketahui oleh
MS
Tanggal Lulus:
3 1 JUL 2013
vii
Judul Skripsi : Analisis Pendapatan Usahatani dan Tataniaga Buncis Organik dan Buncis Non-organik di Desa Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung Nama : Raden Intan Wiyanti NIM : H34090079
Disetujui oleh
Tintin Sarianti, SP, MM Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Nunung Kusnadi, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
viii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan dengan judul Analisis Pendapatan Usahatani dan Tataniaga Buncis Organik dan Buncis Nonorganik di Desa Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah dan pemimpin terbaik bagi umat manusia. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Tintin Sarianti selaku pembimbing. Ibu Ratna Winandi selaku dosen penguji utama dan Ibu Juniar Atmakusumah selaku komisi pendidikan atas saran dan masukannya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu Wahyudin, Serta Bapak Tohir sekeluarga dari Desa Cisondari, seluruh petani responden di Desa Cisondari, dan seuluruh staff Kelurahan Cisondari yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda (Suriswa Tirtakusumah), ibunda (Nenni Darniawati), seluruh keluarga (Ranu Kusumah, Dewi Puspasari, Putri Pratiwi, Tante Ade Leliana, Viqi Aminazora) dan seluruh sahabat (Tedi Aditia Lesmana, Nazar Alhaddad, Taufik Hidayat, Wiggo Windi R, Khonsa Tsabita, Faathira Ajeng P, Chairun Nisa, Gitta Sestika F, Fadhilla Ananda, Intan Mega Puspita, Asri Nurfitriani, Mega Pratiwi, Nurma Yuliawati, Melisa A, Cynthia Mawarnita, Restu Rahmana P, Lintang Satrio, Nur Cahaya, Lusi Dara Mega, Khoirunnisa Cahyamurti, Aisya Nadhira, Lutfhan Hadhi, Indra Lasmana, Wahid Nurwahyudin, Achmad Fachruddin, Anindita Sita Dewi, Wahyu Widjiwati, Rr Siti Marsha, Glerina, Mirna, Arya Panji W), keluarga besar Agribisnis 46, Keluarga Besar BEM FEM IPB Kabinet Sinergi dan Kabinet Progresif atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013
Raden Intan Wiyanti
ix
DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pertanian Organik Pertanian Non-organik Gambaran Umum Buncis Kajian Analisis Pendapatan Usahatani Kajian Analisis Tataniaga KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Usahatani Konsep Tataniaga Kerangka Pemikiran Operasional METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengumpulan Data Metode Pengolahan Data Analisis Pendapatan Usahatani Analisis Tataniaga Buncis Organik dan Konvensonal GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BUNCIS ORGANIK DAN BUNCIS NON-ORGANIK Keragaan Usahatani Buncis Organik dan Buncis Konvensonal Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Buncis Organik dan Buncis Non-organik ANALISIS TATANIAGA BUNCIS ORGANIK ANALISIS TATANIAGA BUNCIS NON-ORGANIK SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
ix x xi xi 11 1 4 5 6 6 6 8 8 11 13 14 14 19 25 28 28 28 28 29 29 30 32 40 40 53 58 67 81 81 83 84 96
x
DAFTAR TABEL 1. Nilai PDB hortikultura berdasarkan harga berlaku periode tahun 20072. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
2010 Perkembangan konsumsi beberapa jenis pangan (gram/kap/hari) tahun 2005-2009 Data konsumsi sayuran per kapita tahun 2006-2008 Jumlah produksi tanaman pangan Desa Cisondari tahun 2012 Kandungan buncis berdasarkan DKBM Karakteristik struktur pasar Kondisi dan perilaku pasar berdasarkan struktur pasar Komponen analisis pendapatan usahatani Luas lahan berdasarkan pemanfaatan di Desa Cisondari Jumlah penduduk menurut kelompok usia di Desa Cisondari Tingkat pendidikan penduduk di Desa Cisondari Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di Desa Cisondari Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik berdasarkan jenis kelamin (jiwa) Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik responden berdasarkan umur (jiwa) Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik berdasarkan pendidikan terahir (jiwa) Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik berdasarkan status bertani (jiwa) Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik berdasarkan lama pengalaman bertani (jiwa) Sebaran petani buncis organik dan non-organik responden berdasarkan status kepemilikan lahan (jiwa) Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik berdasarkan luas lahan garapan (jiwa) Karakteristik responden pedagang perantara buncis non-organik Jumlah penggunaan pupuk organik pada petani buncis organik Jumlah penggunaan pupuk kandang pada petani buncis non-organik Perbandingan biaya pupuk pada buncis organik dan non-organik Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh petani responden buncis nonorganik untuk pestisida per 1000 m2 musim tanam Rata-rata penggunaan tenaga kerja usahatani buncis organik dan buncis non-organik dalam hok per 1000 m2 per musim tanam Nilai rata-rata penyusutan perlatan dalam satu musim tanam budidaya buncis organika Nilai rata-rata penyusutan perlatan dalam satu musim tanam buncis nonorganik Perbandingan komponen penerimaan buncis organik dan buncis nonorganik
2 3 3 4 11 22 22 30 33 33 34 34 35 36 36 37 37 38 38 39 41 42 43 45 46 48 48 54
xi
29. Komponen biaya buncis organik dan buncis non-organik 30. Perbandingan penerimaan, biaya, pendapatan, dan rasio R/C pada buncis 31. 32. 33.
organik dan buncis non-organik dalam 1000 m2/musim tanam Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga buncis organik di Desa Cisondari Biaya, keuntungan, dan marjin lembaga tataniaga buncis organik di Desa Cisondari (Rp/kg) Farmer’s share yang didapatkan petani buncis organik di Desa Cisondari Rasio Π/c lembaga tataniaga buncis organik pada masing-masing saluran
34. 35. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga buncis non-organik 36. Farmer's share buncis non-organik pada saluran I-VI
37. Marjin tataniaga, dan rasioa π/c
55 57 59 64 65 66 71 77
pada tataniaga buncis non-organik di Desa
Cisondari
79
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kurva hubungan biaya dengan tingkat produksi Marjin pemasaran Kerangka pemikiran operasional (a) foto pemakaian ajir di kebun buncis organik salah satu responden di Desa cisondari (b) rincian gambar ajir Gambar pola jarak tanam dan jarak bedeng buncis organik dan buncis konvensinal di Desa Cisondari Foto dokumentasi pemanenan buncis organik di Desa Cisondari yang dilakukan oleh tenaga kerja perempuan (a) dan (b) buncis afkir, (c) buncis lolos sortir Saluran tataniaga buncis organik lolos sortir di Desa Cisondari Saluran tataniaga I-VI buncis non-organik di Desa Cisondari
17 24 27 45 50 52 53 58 70
DAFTAR LAMPIRAN
1. Produksi sayuran tahun 2007 - 2011 kabupaten dan kota di Jawa Barat menurut komoditi: buncis dalam ton 86 2. Resep pestisda alnami yang digunakan petani responden buncis organik 86 3. Analisis pendapatan usahatani dan R/C buncis organik di Desa Cisondari (1000 m2/ musim tanam) 87 4. Analisis pendapatan usahatani dan R/C buncis non-organik di Desa Cisondari (1000 m2/ musim tanam) 88 5. Biaya-biaya yang dikeluarkan lembaga tataniaga buncis organik (Rp/kg) 89 6. Biaya-biaya yang dikeluarkan lembaga tataniaga buncis non-organik (Rp/kg) 91 7. Dokumentasi lapangan 93
xii 8. Data karakteristik responden petani buncis organik di Desa Cisondaria 94 9. Data karakteristik responden petani buncis non-organik di Desa Cisondari 95
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan zaman menuntut pola hidup masayarakat untuk semakin peduli terhadap keamanan dan kesehatan pangan. Kepedulian tersebut salah satunya ditunjukan dengan adanya perubahan gaya hidup dalam pemilihan kualitas makanan. Gaya hidup masyarakat yang mengutamakan kesehatan dan keamanan pangan salah satunya dibuktikan dengan memilih bahan pangan yang memiliki residu kimia kecil bahkan produk yang alami. Pertanian organik adalah salah satu jawaban tepat dalam pangan yang sehat dan aman karena secara prinsip pertanian organik merupakan pertanian yang sistem budidayanya tidak menggunakan input berbahan kimia sintetik seperti pupuk, pestisida, serta zat penumbuh lainnya (Pracaya 2012). Pergesaran gaya hidup tersebut merupakan sebuah peluang yang dimanfaatkan oleh unit bisnis dan sebagian petani di Indonesia untuk berbudidaya secara organik. Selain karena pergeseran gaya hidup yang lebih mengutamakan pangan sehat, pertanian organik pun telah dicanangkan pemerintah sejak tahun 2001 melalui program Go Organic 2010. Tujuan program tersebut adalah untuk mengahasilkan pangan aman, sehat, dan berkualitas, meningkatkan pendapatan petani karena adanya efisiensi pemanfaatan sumber daya dan nilai tambah produk (Deptan, 2007). Tujuan lainnya adalah Indonesia menjadi pemain penting di pasar komoditas pertanian organik dunia karena permintaan dunia yang cenderung meningkat terhadap produk pertanian organik. Menurut laporan FAO (Food and Agriculture Organization) diacu dalam Scialabba (2005), selama tahun 1995-2004 sektor pertanian organik mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 15-20 persen per tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan Sahota (2003) dan (2007) diacu dalam Saragih (2010) menunjukan bahwa terjadi peningkatan pertumbuhan penjualan pertanian organik tingkat internasional yang cukup signifikan. Rata-rata pertumbuhan penjualan pada tahun 2002 sekitar 7-9 persen per tahun. Tahun 2004-2005 pertumbuhan penjualan mencapai 16% per tahun. Jika dibandingkan setiap tahunnya maka dapat disimpulkan terjadi peningkatan penjualan dari tahun 2002 sampai tahun 2005. Total penjualan global pada tahun 2005 sebesar US$33 milyar. Kebijakan tersebut merupakan salah satu peluang besar untuk mengembangkan pertanian organik di Indonesia Di tingkat nasional, tren positif kegiatan pertanian organik terlihat dari pertambahan luas areal pertanian organik di Indonesia. Menurut Purba dan Umar (2011) pada tahun 2004, International Federation of Organic Agriculture Movement (IFOAM) melansir, Indonesia baru memanfaatkan 40.000 ha (0,09 persen) lahan pertaniannya untuk pertanian organik. Namun pada 2010, Aliansi Organis Indonesia (AOI) yang merupakan anggota dari IFOAM, mencatat luas area pertanian organik Indonesia seluas 238.872,24 Ha. Hal ini berarti terjadi peningkatan luas area pertanian organik hampir 600 persen selama kurun waktu 6 tahun. Selain itu di Indonesia permintaan akan produk pertanian organik tumbuh sangat pesat. Pada tahun 2006, pertumbuhan permintaan domestik mencapai 600 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Permintaan ini setara dengan US$ 5-6 juta atau sekitar Rp 45-46 miliar. Jika pada tahun 2005 jumlah outlet atau
2 retailer organik hanya sekitar 10 buah maka pada tahun 2007 angka tersebut sudah lebih dari 20 buah (Surono 2007, dalam Saragih 2008). Produk pertanian organik yang dikembangkan di Indonesia diantaranya sayuran, buah-buahan, dan padi. Salah satu komoditas yang jenisnya paling banyak dikembangkan secara organik adalah sayuran. Di sisi lain sayuran merupakan kelompok komoditi hortikultura yang menyumbangkan persentase PDB kedua terbesar setelah komoditi buah-buahan. Berikut data nilai PDB hortikultura tahun 2007-2010 pada Tabel 1. Tabel 1 Nilai PDBa hortikultura berdasarkan harga berlaku periode tahun 20072010b Nilai PDB (Milyar Rupiah) Kelompok komoditas 2007 2008 2009 2010 Buah-buahan 42.362 47.060 48.437 45.482 Sayuran 25.587 28.205 30.506 31.244 Tanaman Hias 4.741 5.085 5.494 6.174 Biofarmaka 4.105 3.853 3.897 3.665 Total Hortikultura 76.795 84.203 88.334 86.565 a
Produk Domestik Bruto.; bSumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)
Tabel 1 menunjukan bahwa PDB yang dihasilkan sayuran merupakan PDB kedua terbesar dalam hortikultura, selain itu terjadi peningkatan tiap tahunnya dari tahun 2007 hingga tahun 2010. Peningkatan tersebut mengindikasikan bahwa tanaman sayuran merupakan komoditi agribisnis yang potensial di kembangkan di Indonesia. Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan 2010 terdapat pertumbuhan konsumsi sayuran (gram/kapita/hari), meskipun tahun 2009 mengalami penurunan dari 2008 namun secara garis besar memiliki kecenderungan meningkat dengan laju pertumbuhan konsumsi 0,59 persen dari 2005 sampai dengan 20091.
1
Badan Ketahanan Pangan (2010). Perkembangan konsumsi beberapa jenis pangan (Gram/kap/hari) Tahun 2005-2009. Jakarta (ID)
3 Tabel 2 Perkembangan konsumsi beberapa jenis pangan (gram/kap/hari) tahun 2005-2009a Jenis Pangan
2005
Sumber Energi Beras 288.30 Jagung 9.09 Terigu 2303 Ubikayu 41.19 Ubijalar 10.87 Sagu & umbi 3.13 lainnya Sumber Protein Daging 16.10 Telur 16.76 Susu 3.86 Ikan 50.91 Kedelai 21.33 Sumber Vitamin/ Mineral Sayur 139.13 Buah 86.96 a
2006
2007
2008
Laju (%/th)
2009
285.04 8.34 22.6 34.65 8.71
274.03 11.55 31.07 37.09 6.84
287.26 8.02 30.72 35.32 7.60
280.06 6.07 28.28 26.21 6.56
-0.5 -7.38 6.86 -8.39 -11.99
2.86
3.33
3.15
2.64
-2.28
12.59 15.9 4.05 48.67 22.76
17.13 18.58 6.10 49.01 23.63
16.21 17.46 5.84 50.45 21.01
15.10 17.45 5.36 46.83 19.66
1.05 1.71 9.5 -1,3 -2.35
139.96 64.71
158.26 93.41
154.3 87.4
136.29 63.2
0.59 -3.14
Sumber: Badan Ketahanan Pangan (2010)
Meskipun terjadi peningkatan pada konsumsi sayur, namun jumlah konsumsi sayuran belum sesuai dengan anjuran FAO yang diacu dalam Ariani (2010) konsumsi sayuran ideal yaitu 75 kg/tahun/kapita atau setara 205.5 gram/kapita/hari, sedangkan konsumsi sayuran pada tahun 2009 masih 136.29 gram/kapita/hari. Angka tersebut menunjukan adanya kesenjangan antara konsumsi ideal dan data aktual konsumsi sayuran di Indonesia. Sayuran termasuk dalam komoditi 4 besar target pemerintahan untuk dikembangkan secara organik (Deptan, 2007). Hal tersebut merupakan peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan komoditas sayuran secara organik. Salah satu komoditi sayuran yang dikembangkan di Indonesia secara organik adalah buncis. Berdasarkan data Kementan (2009) mengenai konsumsi sayuran per kapita tahun 2006-2008 pada Tabel 3 pertumbuhan konsumsi buncis menempati urutan ke tiga. Tabel 3 Data konsumsi sayuran per kapita tahun 2006-2008a Komoditi Bayam Kembang Kol Kol Buncis Kacang Panjang Tomat Mentimun Daun Singkong Bawang Merah Sayuran lain-lain Jumlah a
Sumber : Kementan (2009)
2006 4.38 5.01 1.83 0.94 4.02 1.17 1.98 4.33 2.09 20.99 46.74
kg/tahun 2007 2008 4.48 4.02 4.95 4.8 1.88 1.93 0.89 0.94 3.81 3.81 2.09 22.32 2.09 2.09 4.75 5.16 3.01 2.74 23.15 23.1 51.1 70.91
Pertumbuhan (%) -10.47 -3.16 2.78 5.88 0 967.33 0 8.79 -9 -0.21 38.76
4 Tabel 3 menunjukan terjadi peningkatan konsumsi buncis dari tahun 20072008 sebesar 5.88 persen. Pertumbuhan konsumsi buncis tersebut menunjukan salah satu peluang untuk dikembangkanya tanaman buncis. Salah satu sentra sayuran yang memproduksi buncis di Jawa Barat adalah Kabupaten Bandung, dapat dilihat dari ketersedian buncis daerah Jawa Barat pada Lampiran 1. Lampiran 1 menunjukan bahwa Kabupeten Bandung merupakan daerah penghasil buncis ke tiga terbesar setelah Cianjur dan Garut dengan ratarata sebesar 16.502 ton. Salah satu desa di Kabupaten Bandung yang menghasilkan buncis adalah Desa Cisondari Kecamatan Pasirjambu Ciwidey Kabupaten Bandung. Berdasarkan data dalam Masterplan Pemerintah Kabupaten Bandung tahun 2007 buncis menjadi salah satu dari lima komoditas hortikultura priotitas kawasan Agropolitan Ciwidey, salah satu desa penghasil buncis adalah Desa Cisondari Kecamatan Pasirjambu. Peluang akan pertumbuhan permintaan sayuran dan program pemerintah mengenai “Go Organic 2010” tersebut disadari oleh sebagian petani di Desa Cisondari Kecamatan Pasirjambu dengan melakukan budidaya buncis secara organik, sehingga di Desa Cisondari Kecamatan Pasirjambu buncis dibudidayakan dengan dua sistem pertanian yaitu secara non-organik dan secara organik. Oleh sebab itu peneliti merasa perlu dilakukannya perbandingan analisis pendapatan usahatani untuk mengetahui perbedaaan tingkat pendapatan antara petani buncis organik dan non-organik, serta perbandingan analisis tataniaga buncis organik dan non-organik untuk mengetahui efisiensi operasional melalui marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio π/c yang didapatkan baik oleh petani buncis organik maupun petani buncis non-organik. Perumusan Masalah Desa Cisondari Kecamatan Pasirjambu merupakan desa yang salah satu komoditi unggulannya adalah buncis. Komoditi buncis merupakan komoditi yang menempati urutan keenam dalam jumlah produksi tanaman pangan dan hortikultura tahun 2012 di Desa Cisondari, berikut data hasil produksi tanaman pangan tahun 2012 pada Tabel 4. Pada Tabel 4 tercatat bahwa hasil produksi buncis pada tahun 2012 sebanyak 180 ton atau 180000 kg. Tabel 4 Jumlah produksi tanaman pangan Desa Cisondari tahun 2012a Komoditas Padi sawah Ubi kayu Tomat Kentang Sawi Buncis Jagung Kubis Ubi jalar Padi lading Cabe Kacang panjang a
Produksi (Ton) 856.00 580.00 432.00 396.00 225.00 180.00 153.00 105.00 60.00 55.20 40.50 32.50
Sumber: Diolah dari data Desa Cisondari (2012)
5 Seiring berkembangnya zaman, kesadaran konsumen akan kesehatan pangan semakin meningkat, hal tersebut menyebabkan adanya permintaan terhadap sayuran organik di beberapa ritel khususnya di Bandung. Selain permintaan yang cenderung naik, harga komoditi organik dipasaran lebih tinggi dibandingkan komoditi non-organik. Serta menurut Sutanto (2002) pertanian organik merupakan pertanian yang tidak menggunakan input berbahan kimia, sehingga dapat terjadi penghematan biaya input. Kondisi tersebut menjadi peluang yang dimanfaatkan oleh sebagian kecil petani buncis Desa Cisondari dengan berbudidaya buncis secara organik. Namun jumlah petani yang berbudidaya buncis secara organik di Desa Cisondari masih tergolong rendah. Menurut beberapa petani yang membudidayakan buncis di Desa Cisondari berbudidaya buncis secara organik memang memiliki pendapatan yang lebih rendah dari berbudidaya buncis secara non-organik, namun beberapa petani buncis organik bertahan karena harga buncis organik cenderung tetap tidak berfluktuasi seperti pada buncis non-organik. Oleh sebab itu perlu dikaji bagaimana pendapatan usahatani pada buncis organik dan buncis non-organik. Selain itu pada proses penyaluran buncis dari petani hingga konsumen (pemasaran) terdapat perbedaan saluran tataniaga pada buncis organik dan buncis non-organik. Perbedaan saluran tersebut menyebabkan kepuasan yang diterima baik di pihak konsumen dan maupun di pihak petani berbeda. Selain itu lebagalembaga tataniaga yang terlibat pun berbeda. Oleh sebab itu perlu dikaji pula bagaimana tataniaga buncis organik dan tataniaga buncis non-organik di Desa Cisondari. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan: 1. Bagaimana keragaan usahatani buncis organik dan buncis non-organik di Desa Cisodari Kecamatan Pasirjambu? 2. Bagaimana tingkat pendapatan usahatani dan R/C buncis organik dan buncis non-organik di Desa Cisodari Kecamatan Pasirjambu? 3. Bagaimana lembaga-lembaga yang terlibat, saluran tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar, serta perilaku pasar pada tataniaga buncis organik dan buncis konvesional di kawasan Desa Cisodari Kecamatan Pasirjambu? 4. Bagaimana efisiensi operasional tataniaga buncis organik dan buncis nonorganik di kawasan Desa Cisodari Kecamatan Pasirjambu berdasarkan marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio π/c ? Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis dan membandingkan keragaan usahatani buncis organik dan buncis non-organik di Desa Cisodari Kecamatan Pasirjambu? 2. Menganalisis dan membandingkan tingkat pendapatan usahatani dan R/C buncis organik dan buncis non-organik di Desa Cisodari Kecamatan Pasirjambu? 3. Menganalisis lembaga-lembaga yang terlibat, saluran tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar, serta perilaku pasar pada tataniaga buncis organik dan buncis konvesional di kawasan Desa Cisodari Kecamatan Pasirjambu?
6 4. Menganalisis efisiensi operasional tataniaga berdasarkan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, rasio π/c pada petani buncis organik dan buncis nonorganik di kawasan Desa Cisodari Kecamatan Pasirjambu? Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Manfaat bagi peneliti, mengetahui perkembangaan pertanian organik dan nonorganik khususnya sayuran buncis serta mengaplikasikan ilmu usahatani dan tataniaga yang diberikan diperkuliaahan untuk menganalisis permasalahan 2. Manfaat bagi petani di lokasi penelitian mengetahui tingkat pendapatan usahatani dan keadaan tataniaga buncis organik dan buncis non-organik 3. Manfaat bagi pembaca adalah menambah pengetahuan dan bisa menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pertanian Organik Definisi pertanian organik berasal dari beberapa sudut pandang. Menurut Saragih (2010) definisi pertanian organik dibagi menjadi empat sudut pandang yaitu: (1) menurut regulasi (2) menurut organisasi masyarakat sipil internasional (IFOAM) (3) Filosofis dan (4) Sebagai alat perjuangan. Definisi menurut regulasi pertanian organik adalah proses budidaya yang tata caranya sesuai dengan prosedur standar produksi organik yang telah disahkan oleh pihak-pihak yang mendapat otoritas sertifikasi resmi baik tingkat nasional ataupun internasional tentang pertanian organik yang tertuang dalam Codex Alimentarius Guidlines for The Production, Processing, Labelling and Marketing of Organically Produced Foods. Di Indonesia sendiri yang disebut dengan pertanian organik ditetapkan dengan SNI (Standar Nasional Indoesia) melalui BSN SNI 01-6729-2002. Menurut BSN (2002) Pertanian organik adalah sistem manajeman produksi holistik yang meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agroekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Pertanian organik menekankan praktik manajemen yang lebih mengutamakan penggunaan masukan setempat dengan kesadaran bahwa keadaan regional setempat memang memerlukan sistem adaptasi lokal. Hal tersebut dapat dicapai dengan menggunakan (bila memungkinkan), cara-cara kultural, biologis, dan mekanis yang merupakan kebalikan dari penggunaan bahan-bahan sintetik untuk memenuhi fungsi spesifik dalam sistem. Menurut SNI suatu sistem produksi pangan organik dirancang untuk tujuan sebagai berikut: (1) mengembangkan keanekaragaman hayati dalam sistem secara keseluruhan, (2) Meningkatkan aktivitas biologis tanah, (3) Menjaga kesuburan tanah dalam jangka panjang, (4) Mendaur ulang limbah yang berasal dari tumbuhan dan hewan untuk mengembalikan nutrisi ke lahan sehingga meminimalkan penggunaan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui, (5) Mengandalkan sumber daya yang dapat diperbaharui pada sistem pertanian yang dikelola secara lokal, (6)
7 mempromosikan penggunaan tanah, air, dan udara secara sehat serta meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan oleh praktik-praktik pertanian, (7) Menangani produk pertanian dengan penekanan pada cara pengolahan yang hati-hati untuk menjaga integritas organik dan mutu produk pada seluruh tahapan, (8) Dapat diterapkan pada seluruh lahan pertanian yang ada melalui suatu periode konversi yang lama waktunya ditentukan oleh faktor spesifik lokasi, seperti sejarah lahan serta jenis tanaman dan hewan yang akan diproduksi. Pada awalnya menurut BSN (2002) dalam SNI 6792-2002 untuk mengklaim sebagai produk organik lembaga sertifikasi SNI membedakan pertanian organik kedalam empat jenis label yaitu label biru, label kuning, label hijau organik, dan label hijau organically grown2. Label biru mengindikasikan bahwa proses produksi yang dilakukan sudah bebas dari pestisida sintetik. Label kuning mengindikasikan bahwa proses produksi sedang mengalami masa transisi dari cara bertani yang selama ini menggunakan bahan kimia sintetik ke cara bertani yang tidak menggunakan sama sekali bahan kimia sintetik. Label hijau organik mengindikasikan bahwa proses produksi yang sudah setara dengan standar SNI. Label hijau organically grown label ini mengindikasikan produk pertanian yang tumbuh secara organik dengan sendirinya. Namun setelah mengalami refisi menjadi SNI 6792-2010 pelabelan transisi dihilangkan sehingga yang disebut dengan petanian organik adalah pertanian yang menggunakan input organik tanpa input kimia sintetis yang telah ditentukan.3 Sudut pandang kedua yaitu menurut organisasi masyarakat sipil IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement) pertanian organik adalah pertanian yang memiliki empat prinsip yaitu prinsip kesehatan, prinsip ekologi,prinsip keadilan, dan prinsip perlindungan. Sudut pandang ketiga yaitu definisi filosofis bahwa pertanian organik merupakan jalan harmonisasi. Sudut pandang ketiga mendefinisikan pertanian organik dari arti kata “organ” (Inggris), “organo” atau “ergon” (Yunani) yang berarti instrument atau alat untuk menyelesaikan sesuatu atau “kerja yang menghasilkan kenyataan”. Dalam bahasa Indonesia organ adalah bagian tubuh yang bekerja saling berhubungan dalam satu tubuh dan bekerja menghasilkan kerja yang harmoni. Oleh sebab itu secara filosofis organik adalah alat untuk mengharmonisasikan kerja semua komponen ekologis. Sudut pandang keempat, pertanian organik adalah sebagai alat perjuangan mengembalikan keseimbangan hayati dengan melawan sistem pertanian intensif penggunaan kimia sintetik yang merusak keseimbagan lingkungan (Saragih, 2010). Pertanian organik (Organic Farming) adalah suatu sistem pertanian yang mendorong tanaman dan tanah tetap sehat melalui cara pengelolaan tanah dan tanaman yang disyaratkan dengan pemanfaatan bahan-bahan organik atau
2
) Sertifikasi Bertahap Menuju Pertanian Organik. Infomutu September 2002. Berita standardisasi Mutu dan Keamanan Pangan. Buletin Standardisasi dan Akreditasi, Departemen Pertanian 3 ) Ketentuan lebih lengkap tercantum pada SNI 6729-2010.pdf
8 alamiah sebagai input, dan menghindari penggunaan pupuk buatan dan pestisida kecuali untuk bahan-bahan yang diperkenankan4. Menurut IFOAM tujuan pertanian organik adalah: 1. Menghasilkan bahan pangan berkualitas dan bernutrisi tinggi dalam jumlah yang cukup. 2. Melaksanakan interaksi yang efektif dengan sistem dan daur alami yang mendukung semua bentuk kehidupan yang ada. 3. Mendorong dan meningkatkan daur ulang dalam sistem usaha tani dangan mengaktiflkan kehidupan mikroba, tanah, tumbuhan, dan hewan. 4. Memelihara dan meningkatan kesuburan tanah secara berkelanjutan. 5. Membatasi terjadinya semua bentuk pencemaran lingkungan yang mungkin dihasilkan oleh kegiatan pertanian. 6. Mempertahankan keanekaragaman hayati termasuk pelestarian habitat tanaman dan hewan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian pertanian organik secara umum adalah pertanian yang proses budidayanya (produksinya) memaksimalkan input-input alami atau yang berada di sekitar lingkungan dan tidak meggunakan input kimia sintetis untuk mengurangi residu baik dari input kimia ataupun dari polusi air, tanah dan udara, demi menghasilkan produk yang sehat dan lingkungan yang lestari, harmoni dan seimbang. Pertanian Non-organik Pertanian non-organik adalah pertanian yang menggunakan input kimia serta aplikasi mesin dan alat pertanian modern untuk menghasilkan hasil panen yang maksimal. Pertanian non-organik lahir pada saat Revolusi Hijau dengan tujuan program intensifikasi pertanian agar hasil tanaman pangan khususnya padi meningkat hingga menempuh swasembada, dengan menggunakan input-input kimia sintetis Saragih (2010). Namun, hal tersebut merubah pola kebiasaan petani dari traisional menjadi modern atau semi modern hingga saat ini, tidak hanya padi tetapi untuk seluruh jenis tanaman pertanian pada umumnya. Perubahan tersebut dicirikan dengan pemakaian input dan intensifnya eksploitasi lahan. Dampak tersebut salah satunya disebabkan karena penanaman varietas unggul yang responsif terhadap pemupukan dan resisten terhadap penggunaan pestisida dan herbisida. Berubahnya pola pertanian ini diikuti oleh berubahnya kondisi lahan pertanian yang menjadi kritis sebagai dampak negatif dari penggunaan pupuk anorganik, pestisida, dan herbisida serta tindakan agronomi yang intensif dalam jangka panjang. Gambaran Umum Buncis Buncis (Phaseolus vulgaris) berasal dari bahasa belanda yaitu “boontjes”.5 Buncis adalah tanaman sayuran yang dikonsumsi dalam bentuk polong. Buncis 4
IASA (1990) dalam Litbang Deptan http://sulsel.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=article&id=688:prinsi p-dasar-pengembangan-pertanian-organik&cataid=158:buletin-nomor-5-tahun-2011&Itemid=257
9 pertama kali berasal dari negara Meksiko Tengah dan Amerika Selatan. Buncis yang dibudidayakan di Indonesia terdiri dari beberapa varietas yang secara umum dibagi menjadi dua yaitu buncis dengan pohon yang melilit dan buncis dengan pohon yang tegak. Taksonomi buncis (Rukmana, 1994): Divisi : Spermatophyta (tanaman berbiji) Subdivisi : Angiospermae (Biji berada di dalam buah) Kelas : Dicotiledoneae Ordo : Leguminales Famili : Leguminoceae Subfamili : Papilionaceae Genus : Phaseolus Species : Phaseolus vulgaris Buncis memiliki akar yang tunggang dan serabut. Akar tunggang buncis masuk ke dalam tanah hingga kedalaman 11-15 cm, sedangkan akar serabutnya tumbuh menyebar horizontal dan tidak dalam. Perakaran buncis tidak tahan terhadap genangan air (tanah becek). Batang tanaman buncis berbengkok-bengkok, berbentuk bulat dengan diameter hanya beberapa milimeter, berbulu atau berambut halus-halus, lunak tetapi cukup kuat. Ruas-ruas batang mengalami penebalan, batang bercabang menyebar merata sehingga tampak rimbun, warna batang berwarna hijau ada pula yang berwarna ungu (Cahyono, 2003). Daun tanaman buncis berbentuk bulat lonjong, ujung runcing, tepi daun rata, berbulu atau berambut sangat halus, dan memiliki tulang-tulang menyirip. Kedudukan daun tegak agak mendatar dan bertangkai pendek. Setiap cabang tanaman terdapat tiga daun yang kedudukannya berhadapan. Ukuran daun buncis bervariasi bergatung varietasnya dengan lebar berukuran 6-7.5 cm da panjang 7.59 cm. Sedangkan daun yang berukuran besar memiliki ukuran lebar 10-11 cm dan panjang 11-13 cm (Cahyono, 2003). Bunga tanaman buncis merupakan bunga sempurna (berkelamin ganda), berbentuk bulat panjang (silindris) dengan ukuran panjang 1.3 cm dan lebar 0.4 cm, kelopak bunga berjumlah 2 buah pada bagian pangkal bunga berwarna hijau, dan tangkai bunga sepanjang 1 cm. Mahkota bunga buncis memiliki warna beragam ada yang kuning, ungu, hijau keputih-putihan, ungu muda dan ungu tua bergantung varietasnya. Jumlah mahkota bunga sebnyak 3 buah dengan 1 mahkota berukuran lebih besar dari lainnya. Bunga buncis merupakan malai (panicle) yang kemudian akan tumbuh tunas-tunas atau cabang (Cahyono, 2003). Polong buncis memiliki bentuk dan ukuran bervariasi bergantung pada varietasnya. Ada yang berbentuk pipih dan lebar yang panjangnya lebih dari 20 cm, bulat lurus dan pendek kurang dari 20 cm, serta berbentuk silindris agak panjang 12-20 cm. Warna polong pun beragam ada yang berwarna hijau tua, ungu, hijau keputih-puthan, hijau terang, hijau pucat dan hijau muda. Polong buncis memilki struktur halus, tekstur renyah, ada yang berserat dan tidak, serta ada yang bersulur pada ujung polong dan ada yang tidak. Polong tersusun bersegmen-segmen, jumlah biji dalam satu polong bervariasi 4-14 butir per polong bergantung panjang buncis. 5
http://majalahkesehatan.com/tag/nutrisi/?wpmp_switcher=mobile
10 Biji buncis memiliki warna yang bervariasi bergantung varietas, memiliki rasa hambar dan akan mengeras jika umur buncis semakin tua. Biji buncis berukuran lebih besar dari kacang pada umumnya dan berbentuk bulat, lonjong dengan bagian tengah (mata biji) sedikit melengkung (cekung), berat biji buncis berkisar antara 16-40.6 gram per 100 biji bergantung varietas. Pada umumnya varietas buncis (benih buncis) yang kini beredar di pasaran merupakan introduksi dari negara penghasil benih unggul seperti negara Taiwan, Belanda, Australia, Hawai, dan negara lainnya. Buncis-buncis tersebut diantaranya varietas green coat, purple coat, gypsy, Early Bush, lebat-1, hawkesburu wonder, richgreen, monel, spurt, strike. Disamping varietas-varietas tersebut terdapat varietas yang dapat menghasilkan buncis hingga 20 ton/ha seperti varietas babud (varietas lokal bandung), varietas lokal Surakarta, varietas Taipei No.2, Goldrush, flo,farmer early, green leaf dan masih banyak varietas lainnya. Pada penelitian ini varietas yang digunakan petani responden pada umumnya adalah varietas lokal Bandung (babud) petani biasanya menyebutnya dengan sebutan varietas lokal (Cahyono, 2003). Tanaman buncis dapat tumbuh dengan produktivitas baik pada keadaan suhu 20o-25oC, suhu lebih dari 25oC dapat menyembakan produktivitas rendah bahkan polong tidak berisi karena suhu terlalu panas sehingga tanaman mudah kering karena penguapan dan juga dapat menyebabkan bentuk polong pendek dan bengkok. Sedangkan suhu rendah (atau dibawah 20oC) menghambat pertumnbuhan bahkan dapat menyebabkan kematian tanaman. Tanaman buncis dapat tumbuh maksimal dalam kelembaban udara dan kelembaban tanah sedang (cukup kering) berkisar antar 50-60 persen. Keadaan angin untuk tanamana buncis adalah angin yang tenang dan tidak sering terjadi angin kencang, karena angin kencang dapat mempengaruhi laju transpirasi dan kesuburan tanah. (Cahyono, 2003) Buncis tumbuh pada ketinggian 1000 – 1500 M dpl, jenis tanah andosol dan regosol serta Ph tanah 5,5 – 6. Tanaman buncis menghendaki iklim dan musim peralihan, tanaman ini dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik apabila ditanam pada akhir musim hujan atau menjelang musim kemarau, di samping itu buncis juga menghendaki cahaya matahari yang langsung (cukup terbuka)6. Berdasarkan DKBM7 kandungan buncis dalam URT 1 buah kriteria sedang dengan bobot 10 gram adalah pada Tabel 5 dibawah ini:
6 7
http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/1703 Direktorat Gizi. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Departemen Kesehatan RI
11 Tabel 5 Kandungan buncis berdasarkan DKBMa Kandungan BDD Energi Protein Lemak Karbohidrat Kalsium Fosfor Besi Vit A Vit C Air a
Jumlah 90 35 24 0.2 7.7 6.5 4.4 1.1 95 19 88.9
Satuan % Kal G G G Mg Mg Mg RE mg G
Sumber: DKBM7
Selain kandungan di atas buncis mengandung lutein, beta-karoten, violaxanthin, dan neoxanthin dalam buncis, meskipun berwarna hijau, buncis menyediakan sejumlah karotenoid yang biasanya hadir pada sayuran berwarna seperti wortel dan tomat. Kandungan fitonutrien dalam buncis termasuk berbagai karotenoid dan flavonoid yang memiliki efek antioksidan kuat. Serta Serat Buncis juga baik untuk pencernaan dalam penyerapan nutrisi (Mari Makan Buncis 2012). Menurut Andayani (2003) Buncis mengandung zat yang bersifat antihiperglikemik berupa β-sistosterol dan stigmasterol dalam komposisi tertentu, kandungan tersebut dapat menurunkan kadar gula dalam darah sehingga dapat dijadikan sebagai herbal alternatif bagi penderita Diabetes terutama pada Diabetes tipe-2. Menurut Askandar (1993) yang diacu dalam Andayani (2003) pengonsumsian buncis 600 gram/hari selama 7 hari pada diet diabetes selain dapat menurunkan gula darah juga menurunkan kolesterol dan trigliserida. Kajian Analisis Pendapatan Usahatani Tujuan utama dari kegiatan bisnis adalah mendapatkan keuntungan dari penjualan hasil produksi, begitu juga kegiatan bisnis pada subsektor agribisnis atau usahatani. Salah satu parameter keberhasilan suatu usahatani adalah pendapatan usahatani yang pada umumnya digunakan untuk merepresentasikan kesejahteraan petani dari usaha komoditi yang dijalankan. Penelitian terdahulu yang membahas tentang analisis pendapatan usahatani antara lain Sitanggang (2008), Suroso (2006), Hidayat (2010), dan Nafis (2011). Pada umumnya peneliti-peneliti terdahulu dalam menganalisis usahatani membandingkan pendapatan usahatani dari dua variabel berbeda untuk mengetahui perbedaannya. Sitanggang (2008) menganalisis pendapatan usahatani komoditi bawang daun dengan membandingkan antara pendapatan dari dua sistem budidaya berbeda yaitu sistem budidaya bawang daun organik dan sistem budidaya bawang daun anorganik. Suroso (2006) meneliti komoditas jagung dengan membandingkan pendapatan berdasarkan luas lahan garapan jagung antara lahan luas dan lahan sempit. Hidayat (2010) meneliti komoditas jambu getas merah dengan membandingkan pendapatan usahatani berdasarkan status
12 kepemilikan lahan yaitu petani pemilik lahan dan petani penyewa lahan. Sedangkan Nafis (2011) meneliti tentang padi organik dengan membandingkan pendapatan usahatani padi berdasarkan kepemilikan sertifikasi yaitu petani padi organik bersertifikasi dan petani padi non-sertifikasi. Pendapatan usahatani merupakan selisih dari penerimaan usahatani dengan biaya usahatani. Sehingga untuk mengetahui pendapatan usahatani perlu mengidentifikasi penerimaan dan biaya-biaya dalam proses budidaya tersebut. Pada Sitanggang (2008), Suroso (2006), Hidayat (2010), dan Nafis (2011) komponen penerimaan merupakan hasil penjualan yaitu hasil produksi rata-rata dikali dengan harga jual rata-rata, namun pada Sitanggang (2008) terdapat unsur pengurang pada hasil produksi berupa tingkat kerusakan bawang daun sebesar 10 % dari total. Komponen biaya usahatani pada umumnya di bedakan menjadi dua yaitu biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Pada penulis-penulis terdahulu biaya tunai umumnya adalah input fisik yang digunakan dalam proses budidaya, tenaga kerja luar keluarga dan sewa peralatan budidaya yang digunakan namun tidak dimiliki sendiri (sewa), sedangkan untuk biaya yang diperhitungkan seperti input fisik pertaian yang dapat dibuat sendiri, tenaga kerja dalam kluarga, dan penyusutan peralatan pertanian yang dimiliki sendiri. Pada Hidayat (2010) bibit jambu getas merah merupakan komponen biaya yang diperhitungkan karena bibit dibuat sendiri oleh petani dari hasil cangkokan. Sedangkan pada Suroso (2006) pupuk kandang yang digunakan sebagai pupuk dasar masuk ke dalam biaya yang diperhiitungkan karena penggunaannya hanya satu tahun satu kali untuk tiga kali musim tanam. Ukuran efisiensi pendapatan usahatani dapat dilihat dari rasio R/C atau penerimaan persatuan biaya. Penghitungan R/C dihitung pada pendapatan usahatani terhadap biaya tunai dan pendapatan usaha tani terhadap biaya total. Suatu usahatani dapat dikategorikan usahatani yang menguntungkan apabila nilai R/C >1. Pada Sitanggang (2008), Suroso (2006), Hidayat (2010), dan Nafis (2011) hasil R/C pada dua sampel pembanding baik R/C terhadap biaya tunai maupun R/C pada biaya total bernilai diatas satu (R/C>1), sehingga hasil pada penelitianpenelitian terdahulu dapat disimpulkan kegiatan usahatani pada komoditi masingmasing sama-sama menguntungkan. Namun terjadi perbedaan besaran R/C seperti pada Sitanggang (2008). Hasil penelitian Sitanggang (2008) menyatakan bahwa R/C (tunai dan total) bawang daun organik lebih besar dari pada R/C bawang daun anorganik baik pada luasan lahan 1 ha ataupun 0,3. Hasil Suroso (2006) R/C pada petani jagung berlahan luas lebih besar dibandingkan dengan petani jagung berlahan sempit karena biaya produksi pada lahan sempit lebih besar dari pada lahan luas. Hasil penelitian Hidayat (2010) R/C petani jambu getas merah pemilik lahan lebih besar dari pada R/C petani penyewa lahan. Nafis (2011) R/C pada petani padi organik bersertifikasi lebih besar dari pada petani padi organik nonsertifikasi, hal terebut karena harga jual beras tersertifikasi lebih mahal dari pada yang non-sertifikasi. Pada penelitian ini akan menganalisis usahatani pada sayuran buncis dan rasio R/C dengan membandingkan berdasarkan sistem budidayanya yaitu buncis organik dan buncis non-organik. Persamaan penelitian ini dengan penelitianpenelitian terdahulu adalah sama-sama membandingkan analisis pendapatan dari dua sampel petani berdasarkan perbedaan sistem budidayanya serupa dengan Sitanggang (2008) pada komoditas bawang daunya. Sedangkan perbedaanya
13 adalah pada komoditi yang diamati dan tempat penelitian yang berada yaitu di Desa Cisondari Kecamatan Pasir Jambu Ciwiday Kabupaten Bandung. Kajian Analisis Tataniaga Tataniaga merupakan proses mengalirnya suatu produk agribisnis dari produsen (petani) hingga konsumen melalui lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat. Analisis tataniaga merupakan salah satu cara untuk mengetahui bagaimana aliran suatu komoditi dapat sampai di tangan konsumen. Penelitipeneliti terdahulu yang melakukan analisis tataniaga diantaranya adalah Nafis (2011), Hidayat (2010), Meryani (2008), dan Prihatin (2012). Metode penelitian tataniaga umumnya dilakukan secara snowball sampling yaitu teknik observasi dengan mengikuti alur pertama untuk mengetahui responden berikutnya. Tahap pertama yang teridentifikasi dalam analisis tataniaga adalah saluran tataniaga. Jumlah saluran tataniaga beragam tergantung dari komoditi dan lembaga yang terlibat. Nafis (2011) meneliti komoditi padi organik dengan membandingkan antara padi tersertifikasi dan non-sertifikasi menemukan 6 saluran pada padi organik tersertifikas dan 2 saluran pada padi non-sertifikasi. Hidayat (2010) meneliti tataniaga jambu getas merah menemukan 4 saluran tataniaga. Ada pula saluran yang berbeda akibat adanya grading sperti pada penelitian Meryani (2008) yang meneliti tataniaga kedelai, terdapat 2 saluran tataniaga pada kedelai polong muda dan 5 saluran pada kedelai polong tua. Sedangkan Prihatin (2012) menemukn 5 saluran tataniaga pada komoditas kobis di daerah penelitianya. Saluran tataniaga terbentuk dari lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat, lembaga tataniaga adalah pelaku tataniaga yang melakukan fungsi tataniaga. Umumya lembaga tataniaga terdiri dari petani sebagai produsen, kemudian pedagang perantara seperti pengumpul, grosir, dan pengecer, serta agen. Pada Hidayat (2010) pedagang pengumpul dibedakan menjadi dua jenis pengumpul yaitu pengumpul lokal sebagai pengumpul I dan pengumpul non lokal sebagai pengumpul II. Hal tersebut membuktikan bahwa saluran tataniaga dapat dibentuk pula oleh wilayah jangkauan pemasaran. Struktur pasar pada tataniaga dapat dibentuk oleh masing-masing lembaga tataniaga berdasarkan jumlah pembeli,penjual, informasi, dan sulit mudahnya keluar masuk pasar. Menurut Hidayat (2010) struktur pasar dapat menjelaskan pengambilan keputusan oleh suatu lembaga. Struktur pasar dapat berbentuk persaingan sempurna, oligopoli, bahkan monopoli. Pada hasil penelitian Hidayat (2010) struktur pasar di tingkat pedagang grosir mengalami dua struktur pasar yang berbeda ketika dihadapkan sebagai pembeli dan sebagai penjual. Ketika dihadapkan sebagai pembeli pedagang grosir cenderung oligopoli sedangkan ketika pedagang grosir sebagai penjual cenderung mengalami pasar persaingan sempurna. Sedangkan pada Meryani (2008) dan Prihatin (2012) pengidentifikasian struktur pasar di masing-masing lembaga tidak digolongkan kepada kategori jenis struktur pasar hanya mengidentifikasi ciri-ciri pasar. Prihatin (2012) mengamati perilaku pasar dari praktek penjualan dan pembelian, sistem penentuan harga, sistem pembayaran, dan kerjasama diantara lembaga tataniaga. Menurut Nafis (2011) para pelaku tataniaga perlu mengetahui perilaku pasar sehingga mampu merencanakan kegiatan tataniaga secara efisien dan terkoordinasi.
14 Lembaga tataniaga melakukan fungsi tataniaga, fungsi tersebut diantaranya fungsi fisik, fungsi pertukaran, dan fungsi fasilitas. Pada Nafis (2011), Hidayat (2010) dan Prihatin (2012) fungsi fasilitas dan fungsi pertukaran yang dilakukan petani adalah hanya penjualan karena petani merupakan produsen. Namun pada Nafis (2011) dan Prihatin (2012) petani juga melakukan fungsi fisik berupa penjemuran dan penggilinga pada Nafis (2011) dan pengangkutan dan pengemasan pada Prihatin (2012). Sedangkan pada hidayat (2010) petani tidak melakukan fungsi fisik. Pada umumnya fungsi fasilitas berupa sorting atau grading dilakukan di tingkat pedagang perantara. Efisiensi tataniaga dapat diukur melalui penyebaran marjin, farmer’s share, dan rasio B/C pada masing-masing saluran tataniaga yang teridentifikasi. Pada Hidayat (2010) saluran yang dikatakan efisien adalah saluran III karena nilai marjin terkecil, farmer’s share tertinggi meskipun rasio B/C buka merupakan rasio terbesar namun penyebaran nilai rasionya lebih merata dibanding yang lain. Sedangkan Prihatin (2012) memilih dua saluran yang lebih efisien dibandingkan dengan saluran lainnya yaitu saluran I dan saluran III. Selain marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio B/C volume penjualan pun menjadi salah satu pertimbangan untuk melihat potensi suatu saluran tataniaga seperti pada Nafis (2011) meskipun saluran IV merupakan saluran yang efisien tetapi saluran I berpotensi untuk dikembagkan karena volume penjualannya terbanyak.
KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Usahatani Pengertian usahatani Pertanian merupakan kegiatan yang dapat didefinisikan dalam dua arti yaitu arti sempit dan arti luas. Menurut Suratiyah (2009) pertanian dalam arti sempit adalah kegiatan bercocok tanam dan dalam arti luas kegiatan pertanian adalah kegiatan yang menyangkut proses produksi menghasilkan bahan-bahan kebutuhan manusia yang dapat berasal dari tumbuhan maupun hewan yang disertai dengan usaha untuk meperbaharui, memperbanyak (reproduksi) dan mempertimbangkan faktor ekonomis. Ilmu yang mempelajari tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan manusia dalam melakukan pertanian disebut ilmu usahatani. Menurut Soekartawi (1995) ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Menurut Pawirakusumo 1990 diacu dalam Suratiyah (2009) selain untuk mendapatkan hasil dan keuntungan maksimal, ilmu usahatani juga mempelajari bagaimana membuat dan melaksanakan keputusan pada usaha pertanian untuk mecapai tujuan yang telah disepakati oleh petani tesebut. Dapat disimpulkan bahwa ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana mengkombinasikan input berupa semua sumber daya yang dimiliki dalam pertanian secara efisien dan efektif serta pengambilan keputusan dalam usahatani untuk mendapatkan hasil dan keuntungan maksimal pada waktu tertentu.
15 Adanya perbedaan faktor fisik, ekonomis, dan faktor-faktor lain menyebabkan usahatani dapat dilakukan dalam praktek yang berbeda-beda. Usahatani dapat diklasifikasikan berdasarkan empat hal dibawah ini yaitu (Suratiyah, 2009): 1. Corak dan sifat Menurut corak dan sifat dibagi menjadi dua, yakni komersial dan subsitence. Usahatani komersial telah memperhatikan kualitas serta kuantitas produk sedangkan usahatani subsistance hanya memenuhi kebutuhan sendiri. 2. Organisasi Menurut organisasinya, usahatani dibagi menjadi 3, yaitu individual, kolektif dan kooperatif. a) Usahatani individual ialah usahtani yang seluruh proses dikerjakan oleh petani sendiri beserta keluarganya mulai dari perencanaan, mengolah tanah, hingga pemasaran ditentukan sendiri. b) Usaha kolektif ialah usahatani yang seluruh proses produksinya dikerjakan bersama oleh suatu kelompok kemudian hasilnya dibagi dalam bentuk natura maupun keuntungan. Contoh usaha kolektif yang pernah ada di Indonesia yaitu Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). c) Usaha kooperatif ialah usahatani yang tiap prosesnya dikerjakan secara individual, hanya pada beberapa kegiatan yang dianggap penting dikerjakan oleh kelompok, misalnya pembelian saprodi, pemberantasan hama, pemasaran hasil, dan pembuatan saluran. 3. Pola Menurut polanya, usahatani dibagi menjadi 3, yakni khusus, tidak khusus dan campuran. a) Usahatani khusus ialah usahatani yang hanya mengusahakan satu cabang usahatani saja misal, hanya peternakan, perikanan, dan usahatani tanaman pangan. b) Usaha tidak khusus ialah usahatani yang mengusahakan beberapa cabang usaha tetapi batasnya tegas c) Usahatani campuran ialah usahatani yang mengusahakan beberapa cabang secara bersama-sama dalam sebidang lahan tanpa batas yang tegas contohnya tumpangsari dan mina padi. 4. Tipe Usahatani tipe adalah usahatani yang diklasifikasikan berdasarkan komoditi yang diusahakan, misalkan usahatani ayam, jagung, kambing dan lainnya. Kegiatan usahatani tidak lepas dari pengaruh faktor-faktor alam, pada suatu kondisi faktor alam merupakan suatu yang harus diterima apa adanya tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Kegiatan pertanian adalah kegiatan usaha yang sangat peka terhadap kondisi alam. Menurut Suratiyah (2009) faktor alam terdiri dari dua yaitu faktor tanah dan faktor iklim. Faktor iklim di Indonesia khususnya keadaan hujan (air dan pengairan) mempunyai pengaruh pada jenis tanaman, teknik bercocok tanam, kuantitas dan kualitas produk, pola pergiliran tanaman, jenis hama dan penyakit, dan sebagainya. Sedangkan, faktor lahan terdiri dari hubungan tanah dan manusia, letak tanah, intensifikasi, tingkat kesuburan tanah, luas lahan, lokasi lahan, serta fasilitas-fasilitas penunjang seperti pengairan dan drainase.
16 (Tohir (1983) diacu dalam Suratiyah (2009)). Faktor-faktor tersebut akan menentukan kesesuaian komoditas dengan faktor alam yang tersedia dan cara-cara bagaimana mengoptimalkannya. Menurut Hanafie (2010) dalam menyelenggarakan usahatani setiap petani selalu mengusahakan agar hasil panennya meningkat, ataupun mengupayakan agar bagaimana hasil pertaniannya dapat ditingkatkan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan menigkatkan taraf hidupnya. Menurut Hanafie (2010) dari perilaku tersebut terlihat bahwa petani pun melakukan perhitunganperhitungan ekonomi dan keuangan, hanya saja tidak semua dilakukan secara tertulis. Perhitungan-perhitungan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan analisis usahatani. Analisis usahatani didasari oleh prinsip-prinsip ekonomi. Dalam proses produksi terdapat hubungan antara output dan input. Pengetahuan tentang ilmu ekonomi dapat memberikan dasar untuk perencanaan usahatani dan pemilihan alternatif usaha. Pada umumnya input yang digunakan petani terdiri dari modal, tenaga kerja, dan sarana produksi untuk mendapatkan produksi yang diharapkan. Suatu usahatani dapat dikatakan berhasil jika usahatani tersebut dapat memenuhi kewajiban, menjaga kelestarian usahanya, dan mendapatkan keuntungan, oleh sebab itu perlu dalam analisis ushatani perlu diketahui komponen penerimaan, biaya, dan pendapatan. Menurut Soekartawi (1995) analisis terhadap tiga variabel tersebut sering disebut dengan analisis anggaran arus uang tunai (cashflow analysis), berikut rumus umum cahsflow analysis: Pendapatan = Penerimaan – Biaya 1. Struktur Penerimaan Usahatani Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. TRi = Yi . Pyi Keterangan:
TR
= Total penerimaan = Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani Py = Harga Y Y
Namun, pada usahatani yang membudidayakan lebih dari satu komoditas dalam satu lahan memiliki perhitungan yang berbeda.Bila macam tanaman yang diusahakan adalah lebih dari satu, maka rumus (1) berubah menjadi
Keterangan:
n = jumlah macam tanaman yang diusahakan
17 Oleh karena itu menurut Soekartawi (1995) menghitung total penerimaan usahatani perlu dipisahkan: (a) Analisis parsial usahatani; dan (b) Analisis keseluruhan usahatani (wholefarm analysis). Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menghitung penerimaan usahatani: 1) Penghitungan produksi pertanian, karena tidak semua komoditi pertanian dipanen secara serentak, beberapa komoditi pertanian ada yang dipanen beberapa kali selama masa produksi. 2) Penghitungan hasil penjualan, karena produksi dimungkinkan dijual beberapa kali, sehingga diperlukan data frekuensi penjualan terutama jika harga jual berbeda-beda maka diperlukan juga data masingmasing harga penjualan. 3) Teknik wwancara yang baik terutama jika narasumber petani, pada umumnya digunakan data tahun terakhir untuk memudahkan ingatan.
2. Struktur Biaya Usahatani Fungsi biaya menggambarkan hubungan antara besarnya biaya dengan garis TC (total cost), seperti pada gambar dibawah ini: TC C C=f(y)
VC
FC y Gambar 1 Kurva Hubungan Biaya dengan Tingkat Produksi Sumber : Suratiyah (2009)
Biaya usahatani (C) umumnya diklasifikasikan menjadi dua yaitu biaya tetap (fix cost) dan biaya tidak tetap (variabel cost). Biaya tetap adalah biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Besar biaya tetap tidak tergantung oleh besar-kecilnya produksi yang diperoleh. Contohnya pajak, alat pertanian, sewa lahan, dan biaya irigasi, tenaga kerja tetap. Biaya tidak tetap atau biaya variabel adalah biaya yang besarnya ditentukan oleh besar-kecilnya jumlah produksi yang diproleh, seperti biaya produksi untuk sarana produksi, tenaga kerja honor (tidak tetap), kemasan, dan bahan-bahan yang jumlahnya bertambah atau berkurang tergantung dari jumlah produksi yang akan dihasilkan. Cara menghitung biaya tetap adalah:
18 Keterangan : FC = biaya tetap Xi = jumlah fisik dari input yang membentuk biaya tetap Pxi = harga input; dan n = macam input Rumus tersebut diatas dapat digunakan untuk melakukan penghitungan biaya variabel. Biaya total (total cost) adalah hasil penjumlahan dari biaya tetap (FC) dan biaya variabel (VC), maka: TC = FC + VC Keterangan : TC = Total cost 3. Struktur Pendapatan Usahtani Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Jadi: Pd = TR-TC Keterangan : Pd = Pendapatan usahatani TR = Total revenue (total penerimaan) TC = Total cost (total biaya) 4. Rasio R/C Salah satu ukuran efisiensi penerimaan usahatani adalah rasio R/C. Rasio R/C atau revenue per cost merupakan ukuran efisiensi penerimaan untuk tiap rupiah yang dikeluarkan. Analisis rasio R/C dalam usahatani menunjukkan perbandingan antara nilai output terhadap nilai inputnya, serta merupakan perbandingan antara penerimaan dengan pengeluaran usahatani. Rasio R/C yang dihitung dalam analisis usahatani terdiri dari R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total. Rasio R/C atas biaya tunai merupakan perbandingan antara penerimaan total dengan biaya tunai dalam satu periode tertentu. Rasio R/C atas biaya total merupakan perbandingan antara penerimaan total dengan biaya total dalam satu periode tertentu. Rumus analisis imbangan penerimaan dan biaya usahatani adalah sebagai berikut (Dillon, 1986) : R/C rasio atas biaya tunai R/C rasio atas biaya total
= TR / biaya tunai = TR / TC
Keterangan : TR : total penerimaan usahatani (Rp) TC : total biaya usahatani (Rp) Secara teoritis R/C menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan memperoleh penerimaan sebesar nilai R/C. Suatu usaha dapat dikatakan menguntungkan dan layak untuk diusahakan apabila nilai R/C rasio lebih besar dari satu (R/C > 1), makin tinggi nilai
19 R/C menunjukkan bahwa penerimaan yang diperoleh semakin besar. Namun apabila nilai R/C lebih kecil dari satu (R/C < 1), usaha ini tidak mendatangkan keuntungan sehingga tidak layak untuk diusahakan (Dillon et al, 1986). Konsep Tataniaga Pengertian Tataniaga Pemasaran atau tataniaga (marketing) merupakan serangkaian proses mengalirnya barang dari proses produksi hingga ke tangan konsumen. Pada hasil sektor pertanian pemasaran disebut dengan pemasaran agribisnis. Menurut Asmarantakan (2012) pemasaran pertanian (agrimarketing) merupakan sebuah konsep “who does what” dari seluruh aktivitas-aktivitas mengalirkan produk pertanian dari produksi (ushatani) hingga ke tangan konsumen. Pemasaran pertanian merupakan serangkaian fungsi yang diperlukan dalam menggerakan input atau produk dari tingkat produksi primer hingga konsumen akhir, yang melibatkan sub-sub sistem dari fungsi-fungsi pemasaran (pertukaran, fisik, dan fungsi) (Hammond dan Dahl, 1977). Menurut Kohls dan Uhl (2002) pemasaran agribisnis merupakan keragaan dari semua aktivitas bisnsis dalam mengalirkan (menjembatani) produk dan jasa dari petani produsen (usahatani) sampai ke konsumen dangan pedagang, pengolah dan petani. Secara garis besar prespektif pemasaran agribisnis dibagi menjadi dua yaitu prespektif makro dan prespektif mikro. Prespektif makro ditinjau berdasarkan ilmu ekonomi sedangkan prepektif mikro ditinjau berdasarkan manajemen pemasaran. Menurut prespektif mikro pemasaran mencakup perencanaan, pelaksanaan pemikiran dan pengawasan, penetapan harga, promosi, serta penyaluran gagasan, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang pertukaran yang memuaskan pelanggan individu dan organisasi. Pendekatan dalam prespektif makro mencakup pendekatan fungsi, kelembagaan, sistem dan struktur pasar (Asmarantaka, 2012). Pada kegiatan penyaluran suatu produk pertanian dari produsen (petani) hingga konsumen pasti akan terdapat saluransaluran yang terbentuk dari lembaga-lembaga tataniaga sebagai jembatan yang melakukan fungsi-fungsi tataniaga dan memiliki karakteristik berupa struktur pasar dan perilaku. Saluran dan Kelembagaan Tataniaga Saluran tataniaga terbentuk dari serangkaian lembaga tataniaga yang menjembatani proses sampainya suatu produk pertanian di tangan konsumen. Suatu komoditi sangat mungkin memiliki lebih dari satu saluran tataniaga, beberapa pilihan tersebut menjadi alternatif proses sampainya produk di tangan konsumen. Alternatif tersebut bergantung dari jumlah lembaga yang terlibat serta harga yang terbentuk akibat dari aktivitas yang dilaksanakan dalam saluran tersebut untuk menciptakan nilai demi kepuasan, panjang pendeknya suatu saluran tidak menjadi acuan satu-satunya untuk menjadi saluran yang terpilih tetapi masih banyak aspek lain yang mempengaruhi. Pendekatan kelembagaan tataniaga mencoba menjawab aspek “who” dalam sistem pemasaran. Lembaga tataniaga merupakan pelaku-pelaku dalam sistem
20 pemasaran yang melakukan atau mengembangkan aktivitas bisnis (fungsi-fungsi pemasaran). Lembaga-lembaga tataniaga saling berkaitan satu sama lain, memiliki susunan dan organisasi karena adanya aliran dan aktivitas dalam produk agribisnis. Pada umumnya lembaga tataniaga terbentuk karena petani dan konsumen tidak dapat berhadapan langsung. Lembaga tataniaga terdiri dari 5 kelompok yaitu (Asmarantaka 2012): 1. Pedagang perantara (merchant middlemen) adalah individu pedagang yang melakukan penanganan berbagai fungsi tataniaga dalam pembelian dan penjualan produk dari produsen ke konsumen. Pedagang ini memilki dan menguasai produk. Pedagang perantara diantaranya: pedagang pegumpul (assembler), pedagang eceran (retailers) dan pedagang grosir (wholeshalers). Pedagang grosir adalah pedagang yang menjual produknya kepada pedagang eceran dan pedagang antara lainnya. Pedagang eceran adalah pedagang yadng menjual produknya langsung untuk konsumen akhir (rumah tangga, organisasi, dan lainnya). 2. Agen perantara (agent middleman) hanya mewakili klien yang disebut pricipals dalam melakukan penanganan produk/ jasa. Kelompok ini hanya menguasai produk dan mendapatkan pendapatan dari fee dan komisi. Agen perantara diantaranya: komisioner yang memiliki kekuasaan relatif yang lebih luas dalam penanganan secara fisik dan penetapan harga produk yang dijual. Sedangkan broker memiliki kekuasaan yang relatif terbatas. Juru lelang pihak yang melakukan penjualan ditempat-tempat pelelangan. 3. Spekulator (speculative middleman) adalah pedagang perantara yang membeli-menjual produk untuk mencari keuntungan dengan memanfaatkan adanya pergerakan harga (minimal-maksimal). Biasanya spekulator bekerja dalam jangka pendek, memanfaatkan fluktuasi harga dengan minimum penanganan dalam kodisi tertentu. Pedagang grosir dan eceran menjadi spekulator melalui penanganan dan beli-jual yang meminimumkan risiko. 4. Pengolah dan pabrikan (processors and manufacturers) adalah kelompok pembisnis yang aktivitasnya menangani produk dan merubah bentuk bahan baku menjadi bahan setengah jadi atau produk akhir. Aktivitasnya menambah kegunaan waktu, bentuk, tempat, dan kepemilikan dari bahan baku, misal gandum menjadi tepung, dan tepung menjadi roti. 5. Organisasi (facilitative organization) yang membantu memperlancar aktivitas pemasaran atau pelaksanaan fungsi pemasaran. Misal membuat peraturan-peraturan kebijakan, pelelangan dan asosiasi importir dan eksportir, pembiayaan, intelijen pasar, dan penanggungan risiko. Fungsi Tataniaga Fungsi tataniaga merupakan aktivitas-aktivitas bisnis yang terjadi atau perlakuan yang ada pada proses dalam sistem pemasaran yang akan meningkatkan dan akan menciptakan nilai guna untuk memenuhi kebutuhan konsumen (kepuasan). Menganalisis fungsi tataniaga bermanfaat untuk mempertimbangkan bagaimana pekerjaan harus dilakukan, menganalisis biaya-biaya pemasaran dan
21 memahami perbedaan biaya antar lembaga dan berbagai variasi komoditi dan fungsi yang dilakukan oleh lembaga pemasaran. Fungsi-fungsi pemasaran terdiri dari (Dahl dan Hammond, 1977): 1. Fungsi pertukaran (exchange function) merupakan aktivitas dalam perpindahan hak milik barang atau jasa yang terdiri dari pembelian, penjualan, dan fungsi pengumpulan. 2. Fungsi fisik (physical functions) merupakan aktivitas penangaan, pergerakan, dan perubahan fisik dari produk atau jasa serta turunannya. Fungsi fisik terdiri dari fungsi penyimpanan, pengangkutan dan pengolahan, pabrikan, dan pengemasan. 3. Fungsi fasilitas (facilitating functions) merupakan fungsi yang memperlancar fungsi pertukaran dan fisik. Fungs faslitas terdiri dari fungsi standardisasi, fungsi keuangan, fungsi penaggungan risiko, fungsi intelijen pemasaran, komunikasi dan promosi (iklan). Struktur Pasar dan Perilaku Tataniaga Struktur pasar merupakan suatu dimensi yang menjelaskan keputusan oleh perusahaan maupun indusri, jumlah perusahaan suatu pasar, distribusi perusahaan menurut berbagai ukuran, deskripsi produk atau diferensiasi produk, syarat-syarat masuk, dan penguasaan pasar (Dahl dan Hammond, 1977). Struktur pasar mencerminkan hubungan atau korelasi antar pembeli dan penjual yang berpengaruh pada penentuan harga dan pengaturan pasar, struktur pasar akan menentukan keragaan pasar. Karakteristik atau sifat-sifat struktur pasar ditentukan oleh empat faktor yaitu (Asmarantaka 2012): 1. Jumlah atau ukuran perusahaan/ market concentration (pangsa pasar yang dimiliki). Berdasarkan presentase dari penjualan pasar, aset atau pangsa pasar yang dimiliki oleh perusahaan/produsen terhadap total penerimaan pasar. 2. Kondisi atau keadaan produk (product differentiation). Pada umumnya pada perusahaan yang memiliki konsentrasi pasar yang tinggi, mempunyai kelebihan menentukan diferensiasi produk dalam upaya meningkatkan keuntungan, dengan kata lain upaya perusahaan untuk mendapatkan loyalitas konsumen. 3. Mudah atau sukar keluar masuk pasar atau industri (exit-entry) 4. Tingkat pengetahuan (informasi) yang dimiliki oleh partisipan dalam pemasaran misalnya biaya, harga dan kondisi pasar diantara partisipanpartisipan pasar. Secara garis besar dalam SCP (Structure, Conduct, and Performance) struktur pasar terbagi menjadi dua yaitu pasar persaingan sempurna dan pasar persaingan tidak sempurna. Pasar persaingan sempurna atau pasar yang cenderung mendekati pasar persaingan (persaingan monopolistik) dikatakan jenis pasar yang efisien sedangkan pasar yang tidak sempurna dan yang mendekati pasar tidak sempurna (oligopoli) dinilai tidak efisien. Namun, menurut Dahl dan Hammond (1977) berdasarkan karakteristik pasar pangan dan serat terbagi menjadi lima struktur pasar. Berikut Tabel 6 menunjukan karakteristik masing-masing struktur pasar:
22 Tabel 6 Karakteristik struktur pasara Karakteristik
Struktur Pasar
Jumlah Pembeli
Jumlah Penjual
Sifat Produk
Pengetahuan Informasi Pasar
Hambatan keluar Masuk Pasar
Banyak
Banyak
Homogen
Sedikit
Rendah
Banyak
Banyak
Diferensiasi
Sedikit
Tinggi
Sedikit
Sedikit
Homogen
Banyak
Tinggi
Sedikit
Sedikit
Diferensiasi
Banyak
Tinggi
Satu
Satu
Unik
Bayak
Tinggi
a
Sisi Pembeli
Sisi Penjual
Persaingan Murni Persaingan Monopolistik Oligopsoni murni Oligopsoni diferensiasi Monopsoni
Persaingan Murni Persaingan Monopolistik Oligopoli murni Oligopoli diferensiasi Monopoli
Sumber: Dahl dan Hammond (1997)
Berdasarkan Tabel 6 menunjukan lima struktur pasar yang berbeda sesuai karakteristiknya yaitu persaingan murni, persaingan monopolistik, oligopoli murni, oligopoli diferensiasi, dan monopoli. Menurut Kohls dan Uhl (2002) petani memiliki kecenderungan tergolong dalam struktur pasar persaingan sempurna. Toko-toko eceran dan restaurant cenderung pada monopolisik, sedangkan pabrik pengolah struktur pasarnya cenderung persaingan monopolistik sampai ke monopoli bergantung skala usaha dan tingkat kompetisi. Namun menurut Asmarantaka (2012), pasar persaingan sepurna atau persaingan murni tidak ada di Indonesia, yang terjadi adalah pasar kompetitif. Perilaku pasar adalah pola tanggapan dan penyesuaian yang dilakukan oleh suatu pelaku atau lembaga tataniaga terhadap struktur pasar yang ada sehingga dapat menyesuaikan peranannya agar dapat mencapai tujuan. Menurut Asmarantaka (2012) perilaku industri dapat menjelaskan mengenai persaingan harga dan jumlah yang ditetapkan perusahaan, kolusi yang terjadi antar perusahaan, diskriminasi harga, diferensiasi produk, pengeluaran iklan dan promosi serta pengeluaran riset dan pengembangan. Pemusatan kekuatan pasar terbagi menjadi tiga yaitu dijelaskan pada Tabel 7 dibawah ini: Tabel 7 Kondisi dan perilaku pasar berdasarkan struktur pasara Struktur pasar
Kondisi dan Perilaku
a
Persaingan Sempurna - Perusahaan bersifat sebagai penerima harga - Bertahan untuk menghadapi pesaing
Oligopoli - Perusahaan yang dominan diantara perusahaan yang lain aka berperilaku seperti monopoli - Bergantung skala usaha perusahaan, perusahaan dominan atau bukan
Monopoli - Harga ditetapkan secara administratif bukan melalui mekanisme pasar - Menetapkan harga sendiri untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal
Sumber: Asmarantaka (2012) Tabel 7 diatas menjelaskan bahwa pada struktur pasar monopoli kekuatan pasar berada pada suatu perusahaan tertentu, perilaku perusahaan bertujuan untuk
23 mencapai kondisi perekonomian secara umum bukan untuk menghadapi pesaing. Penetapan harga bertujuan untuk mendapatkan penetapan harga yang maksimal, dan dilakukan secara administratif tidak melalui mekanisme pasar. Sedangkan pada pasar oligopoli perilaku sulit diperkirakan. Analisis perilaku pasar dilakukan secara kualitatif agar dapat menganalisis secara terperinci keadaan suatu pasar secara objekif. Efisiensi Tataniaga Efisiensi pemasaran adalah ukuran kepuasan dari konsumen, produsen, maupun lembaga-lembaga yang terlibat didalam pemasaran. Namun, karena kepuasan sulit diukur dan sangat relatif, maka efisiensi pemasaran dihitung dengan menggunakan beberapa pendekatan. Menurut Kohls dan Uhl (2002) indikator efisiensi pemasaran produk agribisnis dapat dikelompokan kedalam dua jenis yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional atau teknis adalah efisiensi yang berhubungan dengan pelaksanaan aktivitas pemasaran yang dapat meningkatkan atau memaksimumkan rasio output-input pemasaran. Nilai output merupakan penilaian dari konsumen terhadap barang atau jasa (produk) yang dikonsumsi, tidak hanya secara fisik tetapi termasuk dari penilaian sacara atribut-atribut produk tersebut yang menciptakan nilai kepuasan bagi konsumen (label,kemasan,halal, sehat dan lainnya). Sedangkan nilai input adalah semua biaya yang diperhitungkan dari petani hingga konsumen akhir (biaya aliran produk termasuk biaya pemasaran atau keuntungan tiap lembaga pemasaran). Efisensi operasional adalah ukuran frekuansi produktivitas dari input-input pemasaran dengan keuntungan dari lembaga-lembaga pemasaran (pedagang, pabrik atau pengolah). Biaya adalah penggunaan sumberdaya dalam pemasaran dan manfaat adalah benefits dari efesiensi pemasaran. Sedangkan efesiensi harga menekankan kepada kemampuan sistem pemasaran dalam megalokasikan sumberdaya dan mengkoordinasikan seluruh produksi pertanian dan proses pemasaran sehingga efisien yang sesuai dengan keinginan konsumen (Asmarantaka, 2012). Namun, dalam penelitian ini analisis yang dilakukan hanya pada efisiensi operasional Analisis yang sering dilakukan untuk menentukan efisiensi operasional menggunakan pendekatan marjin pemasaran dan farmer’s share. Marjin Tataniaga, dan Farmer’s Share Marjin tataniaga adalah perbedaan harga ditingkat petani produsen dengan harga ditingkat konsumen akhir atau di tingkat retail. Komponen marjin tataniaga adalah biaya (marketing cost) dan keuntungan pemasaran (marketing profit). Marjin pemasaran total (MT) marjin yang digunakan seluruh lembaga yang terlibat dalam saluran tataniaga mulai dari petani produsen hingga pedagang akhir, sedangkan Mi adalah marjin ditingkat lembaga. Maka dapat dirumuskan sebagai berikut: MT= Ʃ Mi (i= 1,2,...,n adalah lembaga-lembaga yang terlibat) Menurut Asmarantaka 2012 marjin adalah kumpulan balas jasa karena kegiatan produktif (menambah atau menciptakan nilai guna) dalam mengalirnya produk-produk agribisnis mulai dari tingkat petani sampai ke tangan konsumen akhir. Marjin produk agribisnis menunjukan nilai tambah (value added) yang
24 terjadi selepas komoditi dari tingkat petani sebagai produsen primer, sampai produk yang dihasilkan diterima konsumen akhir. Ukuran efisiensi atau tidaknya suatu saluran tataniaga tidak ditentukan S hanya berdsarkan besar kecilnya marjin, tetapi marjin harus berlandaskan evaluasi-evaluasi dari lembga dan fungsi r tataniaga yang dilakukan. Marjin besar atau panjangnya suatu saluran tataniaga tidak berarti bahwa saluran tersebut tidak efisien, jika besar marjin tersebut sesuai dengan fungsi yang dilakukan masin-masing lembaga yang produktif untuk menambah nilai guna sehingga konsumen puas maka saluran tersebut efisien. Menurut Dahl dan Hammond (1977) marjin pemasaran digambarkan oleh grafik dalam Gambar 2 dibawah ini. Sr
P
Sf Pr Dr
Pf
Df
q
Qr,f Sumber: Dahl dan Hammond (1977) Gambar 2 Marjin Pemasaran
Keterangan: Dr = Permintaan di tingkat konsumen akhir (primary demand) Df = Permintaan di tingkat petani (derived demand) Sf = Penawaran di tingkat petani (primary demand) Sr = Penawaran di tingkat konsumen akhir (derived supply) Pr = Harga di tingkat konsumen akhir Pf = Harga di tingkat petani Qr,f = Jumlah produk ditingkat petani dan konsumen akhir (equivalent) Berdasarkan Gambar 2 diatas marjin tataniaga berada pada selisih Pr (harga di konsumen akhir) dan Pf (harga di petani). Dapat dirumuskan sebagai berikut: MT= Pr – Pf = Biaya-biaya + π lembaga-lembaga pemasaran = Ʃ Mi Selain marjin tataniaga ukuran efisiensi operasional adalah farmer’s share. Farmer’s share adalah bagian penerimaan petani dari harga yang dibayar konsumen akhir. Nilai farmer’s share didapat dari harga di tingkat petani dibagi harga ditingkat retail dikali 100%, dapat dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan : F’s = farmer’s share Pr = Harga di konsumen akhir Pf = Harga di tingkat petani Nilai farmer’s share yang rendah memperlihatkan harga yang rendah diterima oleh petani sedangkan konsumen akhir membayar dengan harga yang tinggi. Nilai farmer’s share berbanding terbalik dengan marjin tataniaga yaitu jika farmer’s share tinggi maka marjin tataniaga rendah dan sebaliknya jika farmer’s share rendah maka marjin tataniaga tinggi.
25 Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Analisis rasio keuntungan terhadap biaya (π/c) adalah perbandingan keuntungan tataniaga terhadap biaya tataniaga yang secara teknis (operasional) untuk mengetahui efisiensinya (Asmarantaka 2012). Penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga pemasaran dapat diketahui melalui rumusan berikut:
Keterangan: Keuntungan lembaga pemasaran ke-i = Keuntungan lembaga tataniaga (Rp/Kg) Biaya pemasaran ke-I = Biaya lembaga tataniaga (Rp) Kerangka Pemikiran Operasional Perubahan gaya hidup konsumen yang perduli terhadap kualitas makanan dan lingkungan membuat adanya ceruk pasar baru yaitu konsumen yang menginginkan pangan organik khususnya sayuran organik. Sayuran organik merupakan salah satu produk pangan sehat yang dibudidayakan tanpa input kimia sintetis sehingga memiliki residu berbahaya yang rendah. Di Indonesia pasar sayuran organik baru menyentuh kalangan menengah keatas (Deptan,2007), pemasar sayuran organik masih berupa ritel modern yang menjual buncis organik dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga sayuran yang dibudidayakan secara non-organik di pasar tradisional. Selain itu penentuan harga pada ritel modern cenderung tetap. Hal tersebut menjadi peluang bagi petani yang memproduksi sayuran organik untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi dan tidak fluktuatif seperti sayuran non-organik di pasar tradisional. Peluang tersebut juga didukung oleh adanya program pemerintah yang telah dilaksanakan yaitu Go Organic 2010 dengan tujuan untuk melestarikan lingkungan dengan mengurangi dampak residu kimia akibat pola pertanian nonorganik yang telah berkembang puluhan tahun silam dan menghasilkan pangan sehat. Serta tujuan lainya adalah memanfaatkan potensi pasar pangan organik yang ada untuk meningkatkan pendapatan petani (Deptan, 2007). Selain harga jual yang lebih tinggi dibandingkan sayuran non-organik, menurut Saragih (2010) dan Pracaya (2012) pertanian organik merupakan pertanian yang menggunakan input alami tanpa input luar. Input luar yang dimaksud adalah input yang tidak tersedia di alam seperti input kimia sntetis. Hal tersebut berdampak pada adanya penghematan biaya usahatani. Peluang-peluang tersebut dimanfaatkan oleh petani sayuran di Desa Cisondari dengan memproduksi sayuran secara organik. Salah satu komoditas potensial yang dibudidayakan baik secara organik maupun non-organik di Desa Cisondari adalah sayuran buncis. Namun jumlah petani buncis non-organik di Desa Cisondari lebih tinggi dibandingkan jumlah petani buncis organik. Padahal dilihat dari peluag yang ada pendpatan petani buncis organik berpotensi lebih tinggi dari pada pendapatan petani buncis non-organik jika ditinjau dari harga pasar yang tinggi dan biaya output yang rendah. Oleh sebab itu perlu dibandingkan bagaimana tingkat pendapatan usahatani buncis organik dan nonorganik.
26 Selain tingkat harga yang lebih tinggi, dari aspek pemasaran terdapat perbedaan saluran tataniaga dan perbedaan kepuasan konsumen pada buncis organik dan buncis non-organik. Oleh sebab itu perlu diketahui juga bagaimana alur dan efisiensi perasional tataniaga buncis organik dan non-organik di Desa Cisondari. Tahap pertama yang dilakukan adalah mendeskripsikan secara kualitatif bagaimana kergaaan usahatani buncis organik dan buncis non-organik di Desa Cisondari, kemudian menganalisis perbandingan pendapatan usahatani dan rasio R/C. Tahap kedua adalah menganalisis alur tataniaga secara kualitatif baik buncis organik maupun buncis non-organik serta membandingkan efisiensi tataniaganya dengan menghitung marjin, farmer’s share, dan rasio B/C dan pertimbangan kualitatif lapangan. Berikut kerangka pemikiran operasional dijelaskan dalam bagan pada gambar 3.
27
-
Kesadaran konsumen akan kesehatan pangan Program Go Organic 2010 Sehingga adanya permintaan pangan organik, dan kecendurangan peningkatan permintaan Harga sayuran organik relatif lebih tinggi dibanding sayuran non-organik Adanya penghematan pada budidaya sayuran organik karena tidak menggunakan input kimia Buncis merupakan salah satu komoditas potensial yang dibudidayakan secara organik
Petani Desa Cisondari Kecamatan Pasirjambu Ciwidey Membudidayakan Buncis Secara Organik
- Jumlah petani buncis organik lebih sedikit dari petani buncis non-organik - Perbedaan alur tataniaga antara buncis organik dan buncis non-organik
Petani Buncis Organik
Petani Buncis Non-organik
Analisis pendapatan usahatani
Analisis tataniaga
- Biaya - Penerimaan - Pendapatan - R/C
Keragaan
Analisis : - Saluran - Lembaga - Struktur Pasar - Fungsi - Perilaku
Kualitatif
Analisisi Efisiensi Operasional - Marjin Tataniaga - Farmer’s share - Rasio B/C
Kuantitatif
Saran
Gambar 3 Kerangka pemikiran operasional
28
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan selama bulan April hingga Mei 2013. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan salah satu tempat produksi sayuran yang dibudidayakan baik secara non-organik maupun organik, dengan buncis sebagai komoditas unggulan ke-tiga menurut Badan Perencanaan Daerah Pemerintah Kabupaten Bandung dalam penyusunan Masterplan Pembangunan Ekonomi Daerah (Kawasan Agropolitan Ciwidey) tahun 2007 dan berada di peringkat ke-6 di Desa Cisondari. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lapang dan wawancara langsung. Wawancara dilakukan pada petani buncis baik organik maupun non-organik untuk mengetahui proses budidaya, keragaan usahatani,dan arah penyaluran buncis yang telah diproduksi petani. Selain petani, responden yang diwawancara adalah pedagang pengumpul, pedagang grosir, dan pedagang pengecer (perusahaa atau perorangan), sebagai lembaga tataniaga untuk mengetahui marjin proses pembelian, penjualan buncis, serta biaya-biaya dan harga dalam pemasaran buncis hingga sampai di konsumen. Data sekunder diperoleh dari Direktorat Jendral Hortikultura, Litbang Deptan, Kementrian Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, serta Kantor Desa Cisondari untuk memperoleh data-data penunjang. Selain itu data pendukung untuk memperkuat landasan latar belakang penelitian seperti Perpustakaan LSI Institut Pertanian Bogor, internet dan literatur seperti text book dan penelitian terdahulu yang berkaitan dan relevan. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi, wawancara, dan diskusi. Kegiatan observasi atau pengamatan langsung terhadap objek penelitian dilakukan untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan objek penelitian. Pengumpulan data melalui wawancara dan diskusi kepada petani buncis nonorganik dan organik untuk data karakteristik petani, data usahatani, dan data tataniaga buncis di tingkat petani. Jumlah petani responden sebanyak 37 responden yang terdiri dari 14 responden petani buncis organik yang merupakan populasi petani organik yang masih aktiv (sensus) , dan 23 responden petani nonorganik yang ditentukan secara purposive berdasarkan musim panen periode Januari hingga pertengahan April 2013. Selain petani juga wawancara dilakukan kepada lembaga-lembaga tataniaga seperti, pedagang pengumpul, pedagang
29 grosir, pedagang pengecer baik berbentuk perusahaan ataupun perorangan yang respondennya dipilih berdasarkan metode snowball. Metode Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan setelah pengumpulan data. Data yang telah terkumpul diolah menggunakan bantuan aplikasi Microsoft Excell dan alat hitung kalkulator. Analisis yang dilakukan pada penelitian ini bersifat kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan fenomena yang diteliti. Dalam analisis kualitatif ini menggunakan metode analisis deskriptif. Analisis kualitatif digunakan pada saat mengidentifikasi karakteristik responden, keragaan usahatani, proses budidaya, gambaran lembaga tataniaga, fungsi lembaga tataniaga serta struktur dan perilaku pasar lembaga tataniaga buncis baik organik maupun non-organik. Analisis kuantitif digunakan untuk menganalisis usahatani dari mulai penghitungan biaya usahatani, penghitungan penerimaan usahatani, analisis pendapatan usahatani serta raiso R/C. Selain itu juga analisis kuantitatif digunakan untuk menghitung analisis efisiensi tataniaga seperti marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Analisis Pendapatan Usahatani Penerimaan Buncis Organik dan Non-organik Penerimaan buncis organik dan buncis non-organik terdiri dari penerimaan tunai dan penerimaan yang diperhitungkan. Penerimaan tunai didapatkan dari hasil produksi buncis organik dikalikan dengan harga jual buncis yang berlaku pada saat itu. Total penerimaan dihasilkan penerimaan diperhitungkan dan penerimaan tunai. Pendapatan Buncis Organik dan Non-organik (R/C Ratio) Pendapatan usahatani buncis organik terdiri dari pendapatan tunai dan pendapatan total. Pendapatan tunai didapatkan dari selisih penerimaan tunai dan biaya tunai, sedangkan pendapatan total didapatkan dari penerimaan total dikurangi biaya total. Rasio R/C terdiri dari dua yaitu R/C terhadap biaya tunai dan R/C terhadap biaya total. Rasio R/C terhadap biaya tunai merupakan perbandingan antara peneimaan total dan biaya tunai. Rasio R/C terhadap biaya total merupakan perbandingan antara penerimaan total dan biaya total. Rasio R/C menunjukan efisensi dari input yang digunakan dan penerimaa. Serta menunjukan tingkat pengembalian keuntungan dari setiap biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan usahatani tersebut baik tunai maupun total.
30 Tabel 8 Komponen analisis pendapatan usahatani No A B C D
Komponen Penerimaan tunai Penerimaan yang diperhitungkan Total penerimaan Biaya tunai
E
Biaya yang diperhitungkan
F G H I J
Total biaya Pendapatan atas biaya tunai Pendapatan atas biaya total R/C Ratio tunai R/C Ratio total
Keterangan Harga x Hasil panen yang dijual Harga x Hasil panen yang dikonsumsi/ disimpan A+B a. Biaya sarana produksi b. Biaya tenaga kerja luar keluarga (TKLK) a. Nilai input yang diperhitungkan b. Biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKLK) c. Penyusutan peralatan d. Nilai lahan sendiri atau nilai sewa lahan D+E A-D C-F A/D A/F
Analisis Tataniaga Buncis Organik dan Non-Organik Analisis Lembaga dan Saluran Tataniaga Menganalisis lembaga-lembaga tataniaga baik buncis organik maupun buncis non-organik secara deskriptif. Menjabarkan lembaga apa saja yang terlibat dalam pemasaran buncis organik dan non-organik dari petani ke konsumen, serta menjelaskan alurnya dalam bentuk bagan dan penjelasan alur serta gambaran masing-masing lembaga tataniaga yang berperan. Analisis Fungsi Lembaga Tataniaga Analisis fungsi tataniaga dilakukan untuk mengetahui fungsi masing-masing lembaga tataniaga dalam kegiatan pemasaran buncis organik dan buncis nonorganik. Fungsi tersebut diantaranya fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran terdiri dari fungsi pembelian dan penjualan, fungsi fisik terdiri dari fungsi pengangkutan , pensortiran, dan pengemasan, serta fungsi fasilitas terdiri dari fungsi standardisasi, fungsi keuangan, fungsi penaggungan risiko,fungsi informasi pasar.Analisis dilakukan secara deskriptif sesuai dengan hasil pengamatan dan wawancara tentang kegiatan apa saja yang dilakukan lembaga tataniaga terhadap komoditas buncis. Penyajian data hasil analisis disajikan dalam bentuk tabulasi yang dideskripsikan kemudian untuk menjelaskan kegiatan yang dilakukan dalam menambah nilai guna buncis hingga sampai ke tangan konsumen.
31 Analisis Struktur dan Perilaku Pasar Analisis strukur pasar dilakukan untuk mengetahui apakah strukur pasar lembaga tataniaga baik buncis organik maupun buncis non-organik cenderung persaingan sempurna atau monopoli. Analisis struktur pasar dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap komposisi jumlah lembaga tataniaga yang ada, sulit mudahnya keluar masuk pasar,dan informasi pasar. Analisis struktur pasar dilakukan secara deskriptif kualitatif disajikan dalam penjelasan mengenai gambaran keadaan pasar lembaga tataniaga secara keseluruhan. Analisis perilaku pasar dilakukan dengan mengamati bagaimana proses pembelian dan penjualan serta penentuan harga. Selain itu pengamatan dilakukan juga pada sistem kerjasama yang terjalin antar lembaga-lembaga tataniaga dan penyebaran harga. Analisis Keragaan Komponen Biaya Pemasaran Analisis keragaan komponen biaya pemasaran dilakukan untuk mengetahui gambaran biaya apa saja yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga untuk menyalurkan buncis dari petani hingga konsumen baik buncis organik maupun buncis non-organik. Analisis keragaan komponen biaya pemasaran dipaparkan dalam bentuk tabulasi dan penjelasa deskriptif. Analisis Marjin Tataniaga Analisis marjin tataniaga dilakukan untuk mengetahui tingkat efisiensi tataniaga lembaga-lembaga tataniaga baik dari petani sampai konsumen. Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga di tingkat konsumen dengan harga yang diterima petani. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : M = Pr – Pf Keterangan : M = marjin tataniaga Pr = harga di tingkat konsumen Pf = harga yang diterima oleh petani Analisis marjin tataniaga yang digunakan untuk mengetahui marjin tataniaga total, yang mencakup fungsi-fungsi, biaya-biaya, kelembagaan yang terlibat, dan keseluruhan sistem mulai dari petani (primary supply) sampai pada konsumen akhir (primary demand), dirumuskan sebagai berikut : M = Pr – Pf = C + π = Σ Mi Mi = Pji – Pbi Keterangan : M = marjin tataniaga Pr = harga di tingkat konsumen Pf = harga yang diterima petani C = biaya-biaya dari adanya pelaksanaan fungsi-fungsi tataniaga π = keuntungan lembaga tataniaga Mi = marjin di tingkat tataniaga ke-i, di mana i = 1,2,....,n
32 Pji = harga penjualan untuk lembaga tataniaga ke –i Pbi = harga pembelian untuk lembaga tataniaga ke-i Farmer’s share Farmer’s share digunakan untuk membandingkan harga yang dibayar konsumen terhadap harga buncis yang diterima petani baik buncis organik maupun buncis non-organik. Besarnya nilai bagian petani dapat dihitung berdasarkan rumus :
Keterangan : Pf = harga di tingkat petani Pr = harga yang dibayarkan konsumen akhir Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Analisis rasio keuntungan dan biaya dilakukan untuk mengetahui perbandingan keuntungan terhadap biaya yang dikeluarkan masing-masing lembaga tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya dirumuskan sebagai berikut: Keterangan : πi = keuntungan lembaga pemasaran pada tingkat lembaga ke-i Ci = biaya tataniaga pada tingkat lembaga ke-i
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Desa Cisondari Kecamatan Pasir Jambu Desa Cisondari merupakan Desa yang berada di Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Secara orbitasi Desa Cisondari berada 30 km dari Ibu Kota Provinsi Jawa Barat, 13 km dari Ibu Kota Kabupaten Bandung, dan 1 km dari Ibu Kota Kecamatan Pasir Jambu. Secara administratif Desa Cisondari berbatasan dengan : Sebelah Utara : Desa Cukang Genteng Sebelah Selatan : Desa Tenjolaya Sebelah Timur: Desa Cibodas Sebelah Barat : Desa Pasirjambu Secara Geografis Desa Cisondari berada di ketinggian 1200 meter diatas permukaan laut dengan curah hujan sebesar 21.87 mm per hari dan jumlah bulan hujan 9 bulan. Kelembaban sebesar 48 dengan suhu rata-rata harian 280C. Jenis tanah Desa Cisondari memiliki warna merah dengan tekstur lempungan dan kemiringan tanah 400. Luas lahan total Desa Cisondari adalah 2.022.20 ha dengan pemanfaatan diantaranya tanah sawah, tanah kering, perkebunan, fasilitas umum, dan tanah
33 hutan. Berikut Tabel 9 menjelaskan luas lahan Desa Cisondari berdasarkan pemanfaatannya. Tabel 9 Luas lahan berdasarkan pemanfaatan di Desa Cisondari Pemanfaatan Lahan
Luas Lahan (Ha)
Tanah Sawah Tegal/lading Pemukiman Pekarangan Tanah perkebunan rakyat Tanah Fasilitas Umum Hutan lindung Total Luas Lahan a
393.30 403.00 28.78 2.00 60.00 20.42 1 115.10 2 022.60
Sumber : Data Desa Cisondari (2012)
Berdasarkan Tabel 9 pemanfaatan luas lahan terbesar di Desa Cisondari adalah tanah hutan lindung seluas 1.115.10 ha dan peringkat kedua adalah tanah ladang/tegalan seluas 403 ha serta peringkat ketiga adalah tanah sawah seluas 393.30. Tanah ladang/tegalan umumnya dimanfaatkan untuk menanam tanaman pangan dan tanaman hortikultura. Jumlah penduduk Desa Cisondari adalah 8.518 jiwa yang terdiri dari 4.252 orang laki-laki dan 4.344 orang perempuan dengan berbagai usia. Jumlah kepala keluarga sebanyak 2.613 KK. Tabel 10 menggambarkan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dan usia. Tabel 10 Jumlah penduduk menurut kelompok usia di Desa Cisondaria Usia (tahun) 0-5 6-11 12-16 17-25 26-35 36-45 46-55 56-65 65< a
Kategori balita kanak-kanak remaja awal remaja akhir dewasa awal dewasa akhir lansia awal lansia akhir manula Total
Jumlah 912 1 031 872 1 131 1 500 1 289 841 508 512 8 596
(%) 10.61 11.99 10.14 13.16 17.45 15.00 9.78 5.91 5.96 100.00
Sumber: aDiolah dari Data Desa Cisondari (2012)
Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa jumlah kelompok usia terbanyak di Desa Cisondari adalah kategori dewasa awal sebanyak 1.500 jiwa atau sebesar 17.45 persen dari total penduduk dan sisanya tersebar pada kategori kelompok usia lainnya. Tingkat pendidikan penduduk Desa Cisondari sangat beragam dari mulai TK atau sederajat hingga pendidikan perguruan tinggi sederajat. Namun, penyebarannya tidak merata, penduduk dengan tingkat pendidikan SLTA hingga
34 perguruan tinggi dan sederajat masih tergolong rendah. Berikut Tabel 11 menunjukan data tingkat pendidikan Desa Cisondari sebagai Berikut. Tabel 11 Tingkat pendidikan penduduk di Desa Cisondaria Tingkatan Pendidikan Jumlah (Jiwa) (%) Tamat SD 3 040 47.15 Tidak Tamat SD/sederajat 478 7.41 Tamat SMP 846 13.12 Tidak Tamat SMP/sederajat 680 10.55 Tamat SMA 701 10.87 Tidak Tamat SMA/sederajat 496 7.69 Tamat Perguruan Tinggi 206 3.20 Total 6 447 100.00 a
Sumber : Data Desa Cisondari (2012)
Berdasarkan Tabel 11 di atas tingkat pendidikan tamat SD atau sederajat menempati jumlah tingkat tertinggi di Desa Cisondari dengan jumlah 3.040 jiwa atau sebesar 47.15 persen dari total penduduk yang mendapatkan pendidikan dari tingkat SD hingga perguruan tinggi. Mata pencaharian penduduk di Desa Cisondari dari total angkatan kerja mayoritas adalah buruh tani dan petani. Tebel 12 menunjukan data penduduk berdasarkan jenis kelamin sebagai berikut. Tabel 12 Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di Desa Cisondaria Jenis Pekerjaan Jumlah (Jiwa) (%) Buruh tani 1 750 42.49 Petani 860 20.88 Peternak 715 17.36 Karyawan Perusahaan Swasta 325 7.89 Pegawai Negeri Sipil 125 3.03 Wiraswasta 325 7.89 Lainnya 19 0.46 Total a
4 119
100.00
Sumber: Data Desa Cisondari (2012)
Berdasarkan Tabel 12 diatas jumlah mata pencaharian buruh tani merupakan jumlah yang menempati urutan pertama yaitu sebanyak 1.750 jiwa atau sebesar 42.49 persen. Peringkat kedua dan ketiga terbanyak berada pada mata pencaharian petani dengan jumlah 860 jiwa atau sebesar 42.49 persen dan peternak sebanyak 715 jiwa atau sebesar 17.36 persen dari total penduduk yang memiliki mata pencaharian. Sebagian besar penduduk Desa Cisondari mendapatkan mata pencaharian dari mengelola hasil alam di Desa Cisondari sebagai buruh tani, petani, dan peternak. Berdasarkan data Desa Cisondari (geografi, lahan, kependudukan, dan mata pencaharian) dapat disimpulkan bahwa mayoritas sumber daya potensial desa berasal dari sektor pertanian seperti lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, komoditas yang dibudidayakan, serta tenaga kerja yang mayoritas bekerja di bidang pertanian menjadi petani, buruh tani dan peternakan. Potensi
35 petanian yang terdapat di Desa Cisondari antara lain pertanian tanaman pangan, peternakan, dan perkebunan seperti komoditas teh dan kopi. Hewan ternak yang dibudidayakan oleh peternak adalah sapi perah, ayam broiler, ayam kampung, bebek, dan domba, serta hewan yang hanya dipelihara adalah kerbau dan kuda. Namun, peternak mayoritas adalah peternak sapi perah. Sedangkan tanaman pangan yang dibudidayakan di Desa Cisondari seperti padi, jagung, umbi-umbian, serta tanaman hortikultura yang terdiri dari sayuran dan buah-buahan. Berdasarkan data desa komoditas tanaman yang mayoritas dibudidayakan adalah buncis, cabai, jagung, kacang panjang, kentang, kubis, padi ladang, padi sawah, sawi, tomat, ubi jalar, ubi kayu serta tanaman buah-buahan seperti alpokat, jambu klutuk dan pisang. Selain itu di Desa Cisondari juga membudidayakan tanaman organik. Tanaman yang dibudidayakan secara organik seluruhnya adalah sayuran. Namun populasi petani sayuran organik di Desa Cisondari lebih sedikit dari populasi petani non-organik. Salah satu komoditas potensial desa yang dibudidayakan secara organik dan non-organik adalah buncis, karena buncis merupakan salah satu komoditas mayoritas yang dibudidayakan di Desa Cisondari. Karakteristik Petani Responden Penelitian ini membedakan responden kedalam dua kelompok petani buncis berdasarkan sistem budidayanya yang terdiri dari petani buncis organik dan petani buncis non-organik. Jumlah petani responden adalah 37 petani yang terdiri dari 14 orang petani responden buncis organik dan 23 orang petani responden buncis nonorganik. Selanjutnya petani reponden dikaji berdasarkan klasifikasi karakteristik petani responden. Karakteristik tersebut adalah jenis kelamin, umur petani, pendidikan terahir, status bertani, lama pengalaman bertani, kepemilikan lahan, serta luas lahan yang dimiliki. Responden petani buncis organik dan non-organik di Desa Cisondari terdiri dari laki-laki dan perempuan, Tabel 13 menunjukan sebaran petani buncis organik dan non-organik di Desa Cisondari berdasarkan jenis kelamin. Tabel 13 Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik berdasarkan jenis kelamin (jiwa)a Petani Organik Petani Non-organik Jenis kelamin Jumlah % Jumlah % Laki-Laki 14 100 22 95.65 Perempuan 0 0 1 4.35 Total 14 100 23 100 a
Sumber: Diolah dari data primer (2013)
Tabel 13 menunjukan bahwa jumlah responden petani buncis organik dan petani buncis non-organik mayoritas berjenis kelamin laki-laki. Terbukti dari jumlah responden petani buncis organik seluruhnya laki-laki dan responden petani buncis non-organik hanya 1 orang yang berjenis kelamin perempuan. Umumnya profesi petani di Desa Cisondari dijalankan oleh laki-laki, sedangkan petani perempua hanya membantu atau sebagai buruh tani dan tidak dilibatkan di seluruh proses budidaya hanya proses budidaya tertentu.
36 Klasifikasi karakteristik responden berdasarkan umur petani dibedakan menjadi empat golongan yaitu dibawah umur 30 tahun, berada pada umur 31-40, 41-50, 51-60, dan diatas 60 tahun. Tabel 14 menunjukan sebaran responden petani buncis organik dan non-organik berdasarkan umur petani. Tabel 14 Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik responden berdasarkan umur (jiwa)a Petani Organik Petani Non-organik Umur Jumlah % Jumlah % ≤30 tahun 2 14.28 1 4.34 31-40 tahun 5 35.72 5 21.74 41-50 tahun 3 21.43 11 47.82 51-60 tahun 3 21.43 4 17.40 >60 tahun 1 7.14 2 8.70 Total 14 100.00 23 100.00 a
Sumber: Diolah dari data primer (2013)
Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa petani buncis organik mayoritas berumur 31-40 tahun dengan jumlah 6 responden atau 35.72 persen dari total responden 14 orang untuk petani buncis organik. Sedangkan petani buncis non-organik mayoritas berusia 41-50 tahun dengan jumlah petani 11 orang atau 47.82 persen dari jumlah total 23 responden petani buncis non-organik. Tabel 14 juga menunjukan bahwa rata-rata responden petani buncis non-organik lebih tua dibandingkan petani buncis organik. Klasifikasi karakter responden berdasarkan pendidikan terahir petani buncis organik dan non-organik dibedakan menjadi 6 kelompok yaitu tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SMP, tamat SMP, tidak tamat SMA, dan tamat SMA. Tabel 15 menunjukan sebaran petani Tabel 15 Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik berdasarkan pendidikan terahir (jiwa)a Petani Organik Petani Non-organik Pendidikan Terahir Jumlah % Jumlah % Tidak tamat SD 1 4.35 Tamat SD 10 71.42 22 95.65 Tidak Tamat SMP Tamat SMP 2 14.30 Tidak Tamat SMA 1 7.14 Tamat SMA 1 7.14 Total 14 100.00 23 100.00 a
Sumber: Diolah dari data primer (2013)
Berdasarkan Tabel 15 dapat disimpulkan bahwa mayoritas pendidikan terahir baik responden petani buncis organik maupun buncis non-organik adalah tamat sekolah dasar. Pada petani buncis organik jumlah responden tamat sekolah dasar merupakan jumlah tertinggi yaitu sebanyak 71.42 persen, begitu juga dengan responden petani non-organik dengan jumlah 95.65 persen dan 4.35 persen tidak tamat SD. Dari Tabel 15 juga dapat disimpulkan bahwa pendidikan
37 terakhir responden petani buncis organik lebih beragam dibandingkan responden petani buncis konvensonal, karena terdapat petani yang tingkat pendidikanya diatas jenjang tamat SD hingga tamat SMA. Klasifikasi karakteristik responden berdasarkan status bertani akan dibedakan menjadi dua yaitu utama dan sampingan. Batasan karakteristik status bertani adalah status pekerjaan sebagai petani yang bercocoktanam baik buncis maupun komoditas lainnya. Sehingga petani responden yang memiliki pekerjaan utama selain bercocok tanam. Tabel 16 menunjukan sebaran responden petani buncis organik dan petani buncis non-organik berdasarkan status bertani. Tabel 16 Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik berdasarkan status bertani (jiwa)a Petani Non-organik Petani Organik Status Bertani Jumlah % Jumlah % Utama 13 92.86 17 73.90 Sampingan 1 7.14 6 26.10 Total 14 100.00 23 100.00 a
Sumber: Diolah dari data primer (2013)
Berdasarkan Tabel 16 dapat disimpulkan bahwa mayoritas status bertani responden baik petani buncis organik ataupun petani buncis non-organik adalah utama. Terbukti dari persentase responden petani buncis organik sebanyak 92.86 persen menjadikan bertani sebagai pekerjaan utama. Begitu juga dengan responden petani buncis non-organik sebanyak 73.90 persen menjadikan petani sebagai pekerjaan utama. Sedangkan selebihnya menjadikan bertani sebagai pekerjaan sampingan. Pada umumnya petani yang menjadikan bertani sebagai status sampingan memiliki pekerjaan utama dari beternak sapi yang dipelihara dirumahnya masing-masing baik responden petani buncis organik ataupun responden petani buncis non-organik. Klasifikasi responden petani buncis organik dan petani buncis non-organik berdasarkan lama pengalaman bertani digolongkan menjadi empat kelompok yaitu dibawah 10 tahun, 11 sampai dibawah 20 tahun, 21 tahun sampai dibawah 30 tahun, dan diatas 30 tahun. Tabel 17 menunjukan sebaran responden petani buncis organik dan petani buncis non-organik berdasarkan lama pengalaman bertani. Tabel 17 Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik berdasarkan lama pengalaman bertani (jiwa)a Petani Non-organik Petani Organik Lama Pengalaman Bertani Jumlah % Jumlah % ≤10 8 57.14 8 34.80 11 s/d 20 4 28.58 6 26.10 21 s/d 30 1 7.14 4 17.40 >30 1 7.14 5 21.70 Total 14 100.00 23 100.00 a
Sumber: Diolah dari data primer (2013)
38 Berdasarkan Tabel 17 dapat disimpulkan bahwa mayoritas lama pengalaman bertani responden petani buncis organik dan petani buncis non-organik adalah di bawah 10 tahun, dengan jumlah 57.14 persen untuk responden petani organik dan 34.80 persen untuk responden petani non-organik. Namun pada responden petani non-organik meskipun jumlah terbesar pada kelompok pengalaman bertani dibawah 10 tahun namun penyebarannya hampir merata pada kategori lainnya. Klasifikasi responden petani buncis organik dan petani buncis non-organik berdasarkan status kepemilikan lahan digolongkan menjadi tiga yaitu sendiri, sewa, dan bagi hasil. Tabel 18 menunjukan sebaran responden petani buncis organik dan petani buncis non-organik berdasarkan status kepemilikan lahan. Tabel 18 Sebaran petani buncis organik dan non-organik responden berdasarkan status kepemilikan lahan (jiwa)a Petani Non-organik Status Kepemilikan Petani Organik Lahan Jumlah % Jumlah % Sendiri 10 71.43 11 47.83 Sewa 1 7.14 11 47.83 Bagi Hasil 3 21.43 1 4.34 Total 14 100.00 23 100.00 a
Sumber: Diolah dari data primer (2013)
Tabel 18 diatas menunjukan bahwa status kepemilikan lahan pada responden petani buncis organik maupun petani buncis non-organik mayoritas memiliki lahan sendiri yaitu sebesar 71.43 persen. Sedangkan pada responden petani buncis non-organik jumlah responden yang memiliki lahan sendiri dan menyewa lahan memiliki jumlah yang sama sebesar 47.83 persen sisanya sabanyak 4.34 persen mempergunakan lahan dengan cara bagi hasil. Klasifikasi responden petani buncis organik dan petani buncis non-organik berdasarkan luas lahan garapan digolongkan menjadi luas lahan lebih kecil sama dengan 1000 m2 dan lebih besar dari 1000 m2. Tabel 19 menunjukan sebaran responden petani buncis organik dan petani buncis non-organik berdasarkan luas lahan garapan. Tabel 19 Sebaran responden petani buncis organik dan non-organik berdasarkan luas lahan garapan (jiwa)a Petani Non-organik Luas Lahan Garapan Petani Organik 2 (m ) Jumlah % Jumlah % ≤1000 11 78.57 15 65.22 >1000 3 21.43 8 34.78 Total 14 100.00 23 100.00 a
Sumber: Data Desa Cisondari (2012)
Berdasarkan Tabel 19 dapat disimpulkan bahwa luas lahan garapan responden petani baik buncis organik maupun buncis non-organik adalah dibawah 1000 m2. Pada responden petani buncis organik jumlah luas lahan garapan lebih kecil sama dengan 1000 m2 sebanyak 78.57 persen, sedangkan pada petani buncis non-organik sebanyak 65.22 persen. Luas lahan terendah responden petani buncis
39 organik sebesar 97 m2 sedangkan luas lahan tertinggi 1400 m2 dengan luas lahan rata-rata 645.42 m2. Sedangkan pada responden buncis konvensional luas lahan terendah sebesar 350 m2 sedangkan luas tertinggi sebesar 5600 m2 dengan luas lahan rata-rata sebesar 1.132.17 m2. Angka tersebut menunjukan bahwa luas lahan garapan petani buncis non-organik rata-rata lebih tinggi dibandingkan luas lahan garapan petani buncis organik. Karakteristik Pedagang Responden Pada tataniaga buncis organik dan buncis non-organik terdapat responden pedagang perantara untuk mengkaji aspek tataniaga. Pedagang perantara buncis organik terdiri dari 3 pedagang grosir sayuran organik dan 1 ritel modern. Pedagang grosir sayuran organik merupakan usaha yang melakukan kegiatan paska-panen dan pendistribusian sayuran organik yang terdiri dari 2 pedagang grosir berbentuk unit usaha dan satu pedagang grosir berbentuk kelompok tani. Lokasi operasi ketiga pedagang grosir sayuran organik berada di Desa Cisondari, dimana sayuran organik dibudidayakan. Selain pedagang grosir sayuran organik terdapat juga 1 ritel modern (swalayan) berbentuk badan usaha resmi yang memiliki cabang (distrik) di beberapa wilayah Kota Bandung. Ritel modern tersebut berperan sebagai pedagang pengecer yang menjual buncis organik di dalam gerai. Wilayah operasi ritel modern tergantung pada letak cabang (distrik) yang tersebar di beberapa wilayah Kota Bandung. Responden pedagang perantara buncis non-organik terdiri dari 6 responden pedagang pengumpul, 3 responden pedagang grosir, dan 8 responden pedagang pengecer. Seluruh responden berbentuk perorangan. Tabel 20 menunjukan karakteristik responden pedagang perantara buncis non-organik. Tabel 20 Karakteristik responden pedagang perantara buncis non-organik Karakteristik
Pedagang Pengumpul Orang
Usia 21-30 31-40 41-50 50< Pendidikan Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Lokasi Operasi Desa Cisondari Pasar caringin Pasar Cicaheum Pasar Kopo Sayati Pasar Parung Pasar Parungpung (gn.Sindur) a
Pedagang Responden Pedagang Grosir Pedagang Pengecer (Lokal dan Non(Lokal dan NonLokal) Lokal) Orang % Orang %
% 3 1 2
50.00 16.67 33.33
1 2
33.33 66.67
1 3 2 1
14.29 42.86 28.57 14.28
1 4 1
16.67 66.66 16.67
3 -
100.00 -
3 4 -
42.86 57.14 -
6 -
100.00 -
2 1
66.67 33.33
3 1 1 -
42.86 14.28 14.28 -
-
-
-
-
2
28.58
Sumber: Diolah dari data primer (2013)
40 Pedagang grosir terdiri dari 2 responden pedagang grosir lokal, dan 1 respondeng pedagang grosir non-lokal, sedangkan pedagang pengecer terdiri dari 6 responden pedagang pengecer lokal dan 2 responden pedagang pengecer nonlokal. Tabel 20 diatas menunjukan usia responden pedagang pengumpul mayoritas berada pada kisaran 31-40 tahun, sedangkan pedagang grosir lokal seluruhnya berusia diatas 50 tahun. Pedagang grosir non-lokal berusia 21-30, dan pedagang pengecer mayoritas berada pada kisaran usia 31-40 tahun. Pendidikan terahir yang dijalankan oleh responden pedagang pengumpul mayoritas tamat SD, sedangkan responden pedagang grosir lokal dan non-lokal merupakan tamatan SMP. Pedagang pengecer terbagi dua yaitu tamat SD dan tamat SMP namun jumlah responden lebih banyak yang tingkat pendidikannya tamat SMP. Lokasi operasi responden pedagang pengecer berbeda-beda, seluruh pengumpul beroperasi di Desa Cisondari. Lokasi operasi responden pedagang grosir lokal di Pasar Induk Caringin Bandung, lokasi operasi responden pedagang grosir non-lokal berada di Pasar Parung Bogor, lokasi operasi responden pedagang pengecer terbagi ke beberapa pasar untuk pasar lokal yaitu Pasar Induk Caringin, Pasar Cicaheum Bandung, dan Pasar Kopo Sayati Bandung, sedangkan pasar non-lokal berada di Pasar Parungpung Gn.Sindur perbatasan Tanggerang dan Bogor.
ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BUNCIS ORGANIK DAN BUNCIS NON-ORGANIK Keragaan Usahatani Buncis Organik dan Buncis Konvensonal Keragaan usahatani buncis organik dan buncis non-organik di Desa Cisondari dilihat dari input yang digunakan, teknik budidaya, dan output yang dihasilkan. Pada teknik budidaya baik buncis organik maupun buncis non-organik memiliki tahapan yang sama namun terdapat perlakuan berbeda pada beberapa tahapannya. Input Pada budidaya buncis organik dan non-organik input yang digunakan terdiri dari benih, pupuk, pestisida, ajir dan tali rafia, peralatan pertanian, serta tenaga kerja. Serta input tambahan pada pertanian buncis kovensional adalah kemasan. Masing-masing input dijabarkan sebagai berikut: 1. Benih Buncis merupakan tanaman yang dikembangbiakan dari bagian biji tanaman, sehingga benih buncis berbentuk biji. Benih yang digunakan pada budidaya buncis organik terdapat dua varietas yaitu Lokal dan varietas Prancis, sedangkan pada budidaya buncis non-organik seluruh petani menggunakan varietas Lokal. Perbedaan varietas Lokal dan varietas Prancis adalah secara fisik buncis Prancis lebih tipis, lebih tegak, dan lebih bulat dibandingkan buncis konvensioanal. Walaupun terdapat dua varietas, sebagian besar petani buncis organik menggunakan varietas Lokal. Hal tersebut karena ketersediaan buncis varietas Lokal lebih banyak, serta harganya lebih terjangkau. Petani membudidayakan varietas Prancis untuk memenuhi permintaan.
41 Rata-rata penggunaan benih pada budidaya buncis organik dan buncis nonorganik tidak jauh berbeda. Pada buncis organik rata-rata jumlah pemakaian benih sebanyak 3.40 kg/1000 m2 sedangkan pada buncis non-organik sebanyak 3.45 kg/1000 m2. Perolehan benih dilakukan dengan membeli pada petani lain baik di dalam ataupun di luar desa, dan kadang-kadang petani memperoleh benih dari hasil panen sendiri. Rata-rata harga yang diperoleh untuk membeli benih adalah sebesar Rp45.818.00 per kg pada budidaya buncis organik Rp38.667 per kg benih pada budidaya buncis non-organik. 2. Pupuk Pupuk yang digunakan dalam budidaya buncis organik adalah pupuk organik. Pupuk organik dapat berasal dari pupuk kandang, pupuk kompos dedaunan, dan pupuk bokashi. Sedangkan pupuk yang digunakan pada budidaya buncis non-organik adalah pupuk organik dan pupuk kimia. Pada umumnya petani responden buncis organik di Desa Cisondari menggunakan pupuk organik yang berasal dari pupuk kandang. Namun ada juga responden yang menggunakan pupuk organik lainnya. Pupuk organik yang digunakan pada buncis non-organik hanya pupuk kandang. Pada aplikasi pemupukan ada yang menggunakan satu jenis dan ada yang menggunakan lebih dari satu jenis untuk kombinasi pupuk kandang. Alasan petani yang mengkombinasikan dua jenis pupuk adalah untuk memperkaya hara didalam tanah yang tidak dihasilkan dari salah satu jenis pupuk, sehingga dapat saling melengkapi. Tabel 21 Jumlah penggunaan pupuk organik pada petani buncis organik a Penggunaan Jumlah Harga rata-rata Jenis rata-rata Pengguna (%) (Rp/ kg) (kg/m2) PKA Postalb PKA Batre 50.00 0.76 380.20 PKSc 14.29 1.55 300.00 d PKK 0.00 0.00 Pupuk bokasi 7.14 1.07 300.00 e PKS & PKA Batre (1:2) 7.14 2.14 766.67 PKS & PKA Postal (3:5) 14.29 1.25 759.52 PKS & PKK (1:4) 7.14 3.75 733.33 Total 100.00 a
Sumber: Diolah dari data primer. sapi.dPKK=pupuk kandang kambing.
b
PKA= pupuk kandang ayam.cPKS=pupuk kandang
Pupuk kandang yang digunakan adalah pupuk kandang ayam, pupuk kandang sapi, pupuk kandang kambing, dan pupuk bokasi. Sedangkan pupuk bokasi adalah pupuk kombinasi yang terdiri dari sekam padi, dedaunan kering, campuran cairan gula dan EM 4, tanah dan pupuk kandang. Pada Tabel 21 jumlah petani buncis organik yang menggunakan pupuk satu jenis saja lebih banyak dari pada yang menggunakan lebih dari satu jenis. Begitu juga dengan penggunaan pupuk kandang pada buncis non-organik. Tabel 22 menunjukan penggunaan pupuk kandang pada petani buncis non-organik.
42
Tabel 22 Jumlah penggunaan pupuk kandang pada petani buncis non-organika Rata2 Harga RataJumlah Jenis penggunaan rata Penggunaan (%) 2 (kg/m ) (Rp/kg) PKA Batreb 60.87 1.04 401.48 PKA Postal 17.39 1.01 429.17 c d PKS & PKK (2:3) 4.35 0.57 57.14 PKA Batre & PKA Postal (1:1) 17.39 1.95 677.08 Total 100.00 a
Sumber: Diolah dari data primer. sapi.dPKK=pupuk kandang kambing.
b
PKA= pupuk kandang ayam.cPKS=pupuk kandang
Tabel 21 dan Tabel 22 menunjukan pupuk yang paling banyak digunakan adalah pupuk kandang ayam. Pupuk kandang ayam padat mengandung unsur N, P, dan K lebih tinggi dan bersifat dingin dari pada pupuk kandang lainnya sehingga baik untuk tanaman dibandingkan pupuk kandang lainnya (Lingga 1992 diacu dalam Setiawan (2007)). Sedangkan pupuk kandang ayam sendiri terdapat dua jenis yaitu pupuk kandang ayam postal (ayam pedaging) dan pupuk kandang ayam baterai (ayam petelur). Keunggulan pupuk kandang baterai adalah pupuknya belum tercampur tanah dan kotoran sisa makanan ayam karena bersumber dari kandang ayam petelur yang alasnya tidak langsung menyentuh tanah. Sedangkan pupuk postal berasal dari kandang ayam pedaging yang kandangnya beralaskan tanah sehingga sudah tercampur sisa makanan ayam dan tanah, sehingga pupuk kandang ayam baterai lebih banyak dipilih. Pupuk kandang umumnya dijual perkarung dengan isi beragam perkarungnya dari mulai 30 hingga 50 kg perkarung. Harga per karung yang diperoleh responden berkisar 10.000 hingga 15.000 sudah termasuk biaya angkut. Sebagian petani yang menggunakan pupuk kandang sapi dan pupuk kandang kambing memperoleh pupuk dari kotoran ternaknya sendiri sehingga yang diperhitungkan adalah biaya angkutnya. Selain pupuk kandang, budidaya buncis non-organik juga menggunakan pupuk kimia. Pupuk kimia yang digunakan adalah pupuk majemuk NPK, pupuk tunggal urea, ZA, dan TSP serta pupuk daun. Pupuk majemuk yang digunakan ada dua macam yaitu Mutiara dan Phonska, namun sebagian besar petani menggunakan pupuk Phonska karena harga per kg lebih terjangkau yaitu berkisar Rp2.487/kg sedangkan mutiara Rp7.350/kg. Pupuk tunggal urea yang digunakan adalah pupuk Kujang dengan harga rata-rata Rp2.002/kg. Pupuk daun yang digunakan adalah pupuk daun Supergro dengan harga rata-rata Rp19.000/botol. Harga rata-rata pupuk ZA dan TSP yang digunakan adalah Rp2.020/kg dan Rp2.500/kg. Rata-rata penggunaan pupuk kimia masing-masing 40 gram/m2 untuk pupuk NPK dan Urea, 50gram/m2 untuk pupuk ZA dan 10 gram/m2 untuk pupuk TSP, serta 1.67 ml/m2 untuk pupuk daun. Pupuk kimia diperoleh dengan membeli di toko-toko alat pertanian. Di Desa Cisondari pupuk organik pada budidaya buncis organik diberikan bukan pada saat akan menanam buncis tetapi dua musim tanam sayuran lain
43 sebelum buncis ditanam. Hal tersebut karena pola tanam sayuran organik adalah tanam gilir yang pemupukannya dilakukan 3 musim tanam sekali, sehingga pada analisis pendapatan usahatani total biaya pupuk organik dibagi tiga untuk setiap musimnya dan termasuk biaya diperhitungkan. Sedangkan pada budidaya buncis non-organik biaya pupuk termasuk biaya tunai karena pemupukan dilakukan satu musim tanam sekali. Karena penggunaan pupuk kandang dan pupuk kimia tergolong input yang heterogen maka penghitungan biaya pupuk dihitung per musim tanam per jenis pupuk dengan menggunakan rata-rata total biaya pupuk yang dikeluarkan oleh petani untuk satu musim tanam. Tabel 23 menunjukan perbandingan biaya pupuk pada buncis organik dan buncis non-organik satu musim tanam dalam luas lahan 1000 m2. Tabel 23 Perbandingan biaya pupuk pada buncis organik dan non-organika Buncis Organikb Buncis Non-organikc Pupuk Biaya Biaya Satuand Satuan (Rp/ Satuan) (Rp/ Satuan) Pupuk Organik/ Pupuk Kandang 1 MST 172 252 1 MST 429 554 Pupuk Kimia: Pupuk majemuk NPK 1 MST 0 1 MST 56 174 Urea 1 MST 0 1 MST 46 975 ZA 1 MST 0 1 MST 21 739 TSP 1 MST 0 1 MST 1 358 Pupuk Daun 1 MST 0 1 MST 11 905 a
Sumber : Diolah dari Data Primer.bBiaya diperhitungkan.cBiaya tunai.ddalam 1000 m2
Seluruh pupuk digunakan di awal pengolahan lahan sebagai pupuk dasar karena baik petani buncis organik maupun buncis non-organik di Desa Cisondari tidak melakukan pupuk susulan di pertengahan budidaya. 3. Pestisida Penanggulangan hama pada budidaya buncis organik dibantu dengan pemberian pestisida alami sedangkan pada budidaya buncis non-organik menggunakan pestisida kimia. Pestisida alami adalah pestisida tanpa bahan kimia sintetis yang terbuat dari bahan-bahan alami seperti dedaunan, akarakaran, atau umbi-umbian yang bisa dijadikan sebagai pengganggu hama tanaman. Pembutan pestisida alami pada budidaya buncis organik terdiri dari beberapa resep cmpuran yang berbeda. Secara garis besar pada penelitian ini pestisida alami terbagi kedalam 3 resep yang masing-masing resep berbahan dasa dedaunan seperti daun kacang babi, daun suren, sereh wangi dan daun sirsak . Resep pertama terdiri dari dedaunan dan bahan tambahan bawang putih, terasi, gula dan air. Resep dua terdiri dari dedaunan da bahan tambahan rempah-rempah seperti jahe, kunyit, dan bawang putih dan air. Resep tiga terdiri dari dedaunan tanpa bahan tambahan. Komposisi dan biaya pembuatan terdapat pada Lampiran 2. Rata-rata biaya pembuatan pestisida nabati per liter adalah Rp6880 untuk resep 1, Rp6480 untuk resep 2 dan, Rp880 untuk resep 3. Setiap 1 liter pestisida alami umumnya dapat dicampur hingga 5-10 liter air atau satu tank handsprayer.
44 Pembuatan pestisida yaitu terdiri dari lima tahapan yaitu, penyiapan bahan, penumbukan, penyampuran dengan air, penyaringan, dan pendiaman. Bahanbahan yang tidak mengeluarkan biaya umumya tersedia di sekitar kebun dan dapat diperoleh sendiri tanpa mengeluarkan biaya. Daya tahan pestisida alami berbeda-beda tiap resepnya untuk resep 2 dan 3 dapat disimpan maksimal 20 hari, lebih dari itu fungsi pestisida akan menghilang dan berubah menjadi fungsi penunjang nutrisi atau pupuk cair. Sedangkan untuk resep 1 karena adanya kandungan gula daya tahannya menjadi lebih sebentar. Pada pelaksanaan dilapang sebanyak 50.00 persen petani responden tidak melakukan penyemprotan pestisida alami sama sekali. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab diserangnya hama pada buncis organik. Hama yang menyerang buncis umunya hama ulat yang menyerang bagian polong. Sedangkan penyakit yang menyerang umumnya disebabkan karena cendawan atau dikenal dengan istilah “patek”. Pestisida yang paling banyak digunakan oleh petani (28.57 persen) adalah resep 3 karena sangat terjangkau dan bahan dapat diperoleh di sekitar kebun. Pestisida yang digunakan pada petani non-organik adalah pestisida kimia. Penggunaan pestisida pada petani buncis non-organik sangat heterogen. Pestisida kimia yang digunakan terdiri dari tiga jenis yaitu fungisida, insektisida, dan perekat. Fungisida berfungsi untuk mencegah munculnya jamur dan penyakit pada tanaman buncis. Fungisida yang digunakan oleh responden berbentuk serbuk padat terdiri dari 12 merek berbeda-beda yaitu Detazeb, Cozeb, Megatan, Propil, Vondozeb, Polaram, Dithane, Antracol, Promaneb, Trineb, Bebindo, dan Basromier. Tidak semua responden menggunakan 1 merek fungisida, terdapat beberapa responden yang menggunakan 2 merek fungisida sekaligus. Merek yang paling sering digunakan adalah Vondozeb yaitu sebayak 21.73 persen sisanya terbagi ke dalam sebelas merek lainnya. Harga masing-masing dari 12 jenis fungisida berada pada kisaran Rp54.500-Rp95.000 per kg. Insektisida yang digunakan oleh responden berupa pestisida cair yang berfungsi untuk mencegah serangan hama serangga dan sejenisnya. Terdapat 6 merek berbeda-beda yang digunakan petani responden yaitu Curacron, Bespidan, Detacron, Rizotin, Prevathon, dan Pounce. Merek yang paling banyak digunakan adalah merek Prevathon dengan pengguna sebanyak 13.04 persen dan sisanya menggunakan merek lain serta terdapat juga beberapa petani yang tidak menggunakan. Umumnya insektisda dijual dalam jumlah 250-500 ml tiap botolnya dengan kisaran harga Rp60.000-Rp200.000 perbotol bergantung jumlah isi dan kualitasnya. Selain fungisida dan insektisida petani responden juga menggunakan perekat yang berfingsi untuk merekatkan kandungan pestisida pada daun agar bertahan lama sehingga hama tidak menghinggapi tanaman buncis. Perekat bebentuk cairan. Terdapat tiga merek perekat yang digunakan oleh petani responden yaitu Agristick, Solastin, dan Opsin. Namun tidak seluruh petani menggunakan perekat. Perekat dijual perbotol didalam jumlah 500 ml dengan harga rata-rata Rp20.000/botol. Takaran dan intensitas yang digunakan oleh petani responden berbeda-beda. Beberapa petani ada yang mengikuti takaran sesuai dengan dosis, dan petani lainya ada yang tidak mengikuti (lebih atau kurang dari dosis). Pestisida
45 diperoleh dengan membelinya di toko alat-alat pertanian. Karena input pestisida sangat heterogen berdasarkan jenis harga dan jumlah maka penghitungan biaya pestisida dilakukan dengan menghitung rata-rata total biaya yang dikeluarkan untuk masing-masing jenis pestisida.Tabel 24 menunjuka hasil yang diperoleh dari penghitungan rata-rata biaya masingmasing jenis pestisida. Tabel 24 Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh petani responden buncis nonorganik untuk pestisidaa Pestisida Satuanb Total Biaya (Rp) Fungisida 1 MST 129 670 Insektisida 1 MST 67 151 Perekat 1 MST 3 143 a
Sumber: Diolah dari data primer.bdalam 1000 m2.
4. Ajir dan Tali Rafia Ajir merupakan potongan bambu atau kayu sebagai penyangga atau media rambat tanaman buncis, terutama untuk buncis dengan varietas tanaman merambat. Ajir di Desa Cisondari dikenal dengan nama “turus”. Panjang ajir adalah 2.5 meter. Gambar 4 menunjukan pemakaian ajir di kebun buncis organik salah satu petani responden di Desa Cisondari dan rincisn gambar ajir.
2,5 m
(a) (b) ( Gambar 4 (a) Foto pemakaian ajir di kebun buncis organik salah satu a) responden di Desa Cisondari (b) rincian gambar Ajir Responden memperoleh ajir dengan dua cara yaitu membuat sendiri dari pohon bambu yang tersedia di hutan dan memunguti ranting reruntuhan yang memiliki panjang 2-2.5 meter, serta dengan cara membeli. Rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk membeli ajir bambu yaitu Rp 177.00/batang padapetani buncis organik dan Rp171/batang pada buncis non-organik, dengan dijual perikat 100 batang. Harga tersebut sudah termasuk biaya angkut. Sedangkan ajir yang dibuat atau mencari sendiri dihitung biaya tenaga kerjanya. Rata-rata penggunaan ajir pada petani buncis organik sebanyak 592 batang per kg pemakaian benih sedangkan pada petani buncis non-organik sebanyak 608 batang per kg pemakaian benih. Ajir dapat digunakan hingga tiga kali musim tanam sehingga biaya penggunaan ajir dibagi tiga untuk setiap musim tanamnya. Biaya penggunaan ajir tergolong pada komponen biaya diperhitungkan. Pemasangan ajir membutuhkan tali rafia untuk mengikat
46 dengan ajir lainnya dalam posisi tertentu. Biaya tali rafia termasuk dalam perhitungan biaya tunai karena pemakaiannya hanya untuk satu musim tanam.
5. Tenaga kerja Tenaga kerja yang digunakan dalam proses budidaya buncis organik terdiri dari dua yaitu tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar keluarga. Tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) merupakan tenaga kerja yang berasal dari anggota keluarga dengan tidak dibayar upahnya untuk setiap tenaga yang dikeluarkan, sedangkan tenaga kerja luar keluarga (TKLK) adalah tenaga kerja yang diberi upah untuk tenaga yang dikeluarkan sesuai dengan jumlah hari kerja yang dikontribusikan. Tenaga kerja dalam budidaya buncis organik terdiri dari tenaga kerja pria dan tenaga kerja wanita. Satuan tenaga kerja pria disebut dengan HKP dan satuan tenaga kerja wanita disebut HKW. Jam kerja petani di Desa Cisondari adalah pukul 07.00 hingga pukul 12.00 atau selama 5 jam yang setara dengan 5/8 HOK standar atau 0,625 HOK. Meskipun jumlah jam kerja antara pria dan wanita sama namun terdapat perbedaan upah. Upah tenaga kerja perempuan pada budidaya buncis organik berkisar Rp14.000 sampai Rp17.500 per HOK dengan rata-rata upah Rp16.000 per HOK, dan tenaga kerja laki-laki Rp17.500 sampai Rp25.000 per HOK dengan rata-rata upah Rp21.650 per HOK. Sedangkan pada budidaya buncis non-organik upah tenaga kerja perempuan berkisar R15.000 sampai Rp20.000 dengan rata-rata upah Rp19.100 per HOK, dan upah tenaga kerja laki-laki berkisar Rp20.000 sampai Rp30.000 per HOK dengan rata-rata upah Rp25.740 per HOK. Hal tersebut menunjukan bahwa upah rata-rata tenaga kerja pada buncis nonorganik lebih tinggi dari pada upah tenaga kerja pada buncis organik. Perbedaan upah tersebut dilakukan karena hasil pekerjaan laki-laki dan perempuan dalam 1 HKP dan 1 HKW berbeda. Untuk menyetarakan antara HKP dan HKW maka penghitungan dilakukan dengan mengkonversi kedalam HKP dan HKW. Berdasarkan standar pada umumnya 1 HKP setara dengan 0,8 HKW. Tabel 25 menunjukan rata-rata penggunaan tenaga kerja usahatani buncis organik dan buncis non-organik dalam HOK per 1000 m2 per musim tanam. Tabel 25 Rata-rata penggunaan tenaga kerja usahatani buncis organik dan buncis non-organik dalam HOK per 1000 m2 per musim tanam Tahapan Budidaya Pengolahan lahan Penanaman Pembesihan gulma dan pemasangan ajir Penyemprotan Pestisida nabati Pemanenan Total a
Buncis Organik
Buncis Konvensonal
TKDK 7.80 0.71
TKLK 11.20 0.72
Jumlah 19.00 1.43
TKDK 6.56 1.05
TKLK 7.46 0.41
Jumlah 14.02 1.46
1.78
3.38
5.16
3.19
2.51
5.70
0.38 1.72 12.39
0.00 1.93 17.23
0.38 3.65 29.62
1.02 1.54 13.36
0.10 2.27 12.75
1.12 3.81 26.11
Sumber : Diolah dari data primer.btenaga kerja dalam keluarga.ctenaga kerja luar keluarga.
47 Tabel 25 menunjukan terdapat 5 tahapan budidaya buncis organik yaitu pengolahan lahan, penanaman, pemasangan ajir dan pembersihan gulma, penyemprotan pestisida nabati dan panen. Berdasarkan Tabel 25 jumlah total tenaga kerjas pada buncis organik lebih besar dibandingkan pada buncis nonorganik yaitu 29.62 HOK untuk buncis organik dan 26.11 HOK untuk buncis non-organik. Hal tersebut disebabkan karena pada buncis organik dibutuhkan tenaga kerja yang lebih intensif dibandingkan dengan buncis non-organik. Jumlah TKLK pada budidaya buncis organik lebih besar dari jumlah TKDK, sedangkan pada budidaya buncis non-organik jumlah TKDK lebih banyak dari jumlah TKLK. Hal tersebut karena rata-rata petani buncis organik di Desa Cisondari berada pada usia 30-40 tahun dimana pada usia tersebut, keluarga petani tergolong keluarga muda yang usia keturunannya kategori anak dan balita, sehingga tidak dapat terlalu banyak melibatkan anggota keluarga. Sedangkan sebagian besar petani buncis non-organik di Desa Cisondari berusia 41-50 tahun dimana usia keturunan yang dimiliki sudah bisa untuk membantu pekerjaan di kebun. Pada budidaya buncis organik maupun buncis non-organik tenaga kerja wanita sangat berperan pada pemanenan karena pada tahap budidaya itu membutuhkan ketelatenan dan tergolong pekerjaan yang lebih ringan dibandingkan dengan pekerjaan pada tahapan budidaya lainnya. Selain itu tenaga kerja wanita juga banyak dilibatkan pada pembersihan gulma dengan menggunakan tangan. Pada tahap pembersihan gulma dan pemasangan ajir tenega kerja pria bertugas melakukan pengguludan dan memasang ajir. Sedangkan pada tahapan budidaya pengolahan lahan, penanaman, dan penyemprotan pestisida tenaga kerja pria lebih banyak berperan. Perhitungan biaya tenaga kerja terbagi ke dalam dua komponen biaya yaitu TKDK termasuk kedalam komponen biaya diperhitungkan, dan TKLK teramsuk dalam biaya tunai. 6. Peralatan Peralatan yang digunakan dalam kegiatan budidaya buncis organik dan buncis non-organik adalah cangkul, arit atau parang, tugal, ember dan handsprayer (alat semprot pestisida) dan peralatan tambahan pada buncis non-organik berupa kemasan plastik atau karung. Cangkul digunakan untuk mengolah lahan seperti menggali, meratakan tanah, membuat bedenganan atau guludan dan membuat parit kecil. Arit atau parang digunakan untuk meraut ajir atau bambu dan untuk menebang tanaman buncis pada saat panen terahir selesai. Tugal adalah tongkat kayu berujung runcing sebagai alat pelubang tanah pada saat membuat lubang tanaman sebelum menanam benih. Di Desa Cisondari tugal dikenal dengan istilah “aseuk”. Ember berfungsi untuk menampung hasil panen yang sudah dipetik sebelum dikemas di dalam plastik atau karung. Handsprayer merupakan alat yang digunakan untuk menyemprotkan pestisida alami kepada tanaman buncis organik. Pada perhitungan usahatani peralatan yang akan dihitung nilai penyusutannya adalah cangkul, parang, ember, da handsprayer karena dapat digunakan lebih dari satu tahun. Sedangkan tugal dan plastik tidak dihitung sebagai biaya penyusutan karena tugal dibuat dari kayu batang pohon ketika akan membuat lubang tanam dan setelah selesai langsung dibuang. Sedangkan plastik termasuk kedalam biaya tunai dengan biaya Rp1.000 per lembar. Tabel 26
48 menunjukan rata-rata nilai penyusutan masing-masing peralatan dalam budidaya buncis organik. Tabel 26 Nilai rata-rata penyusutan perlatan dalam satu musim tanam budidaya buncis organika Penyusutan Umur Penyusutan Harga permusim Peralatan Jumlah Ekonomis per tahun Beli (Rp/2,5 (Rp) (Rp) bulan) Parang 2 55 000 5 22 000 4 583.33 Cangkul 2 70 000 5 28 000 5 833.33 Handsprayer 1 470 000 10 47 000 9 791.67 Ember 2 20 000 2 20 000 4 166.67 Nilai Penyusutan Total 24 375.00 a
Sumber: Diolah dari data primer
Tabel 26 menunjukan umur ekonomis dari cangkul dan parang sama yaitu 5 tahun, sedangkan handsprayer memiliki umur ekonomis selama 10 tahun, dan ember 2 tahun. Harga beli parang adalah Rp55.000, cangkul Rp70.000, handsprayer Rp470.000 dan ember Rp20.000 per buah. Harga tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan harga peralatan yang diperoleh oleh petani buncis non-organik. Harga cangkul pada petani buncis non-organik sebesar Rp34.318, parang Rp57.727, handsprayer Rp259.091 dan ember Rp10.652. Meskipun harga perolehan peralatan berbeda pada petani buncis organik dan non-organik namun umur ekonomisnya sama. Tabel 26 menunjukan nilai ratarata penyusutan peralatan dalam satu musim tanam buncis non-organik. Tabel 27 Nilai rata-rata penyusutan perlatan dalam satu musim tanam buncis non-organika Peralata n
a
Jumlah
Harga Beli
Umur Ekonomis
Penyusutan per tahun (Rp/tahun) 572
Penyusutan Permusm (2,5 bulan)
Cangkul
1
34 318
5
Parang Handsprayer Ember
1
57 727
5
962
2 405
1
259 091
10
2 159
5 398
10 652 2 Total Penyusutan Peralatan
888
2 219 11 452
2
1 430
Sumber: Dioal dari data primer
Tabel 26 dan Tabel 27 menunjukan bahwa nilai penyusutan permusim tanam berbeda-beda total seluruh penyusutan adalah Rp24.375 pada budidaya buncis organik lebih besar dari nilai penyusutan pada buncis non-organik yaitu Rp11.452 per musim tanam. Pada perhitungan usahatani biaya penyusutan termasuk biaya diperhitungkan. Proses Budidaya Secara keseluruhan proses budidaya buncis organik dan buncis non-organik tidak jauh berbeda. Perbedaan utama terletak pada pengolahan lahan dan
49 penggunaan input-input produksi. Baik budidaya buncis organik dan buncis nonorganik di Desa Cisondari mengikuti pola tanam gilir atau pergiliran tanaman. Menurut Pracaya (2012) pergiliran tanaman adalah menanam jenis-jenis tanaman sayuran dalam famili yang berbeda secara bergantian. Pada budidaya buncis organik pergiliran tanaman yang dilakukan adalah diawali dengan pemupukan dasar, musim tanam 1 menanam sayuran dedaunan, musim tanam 2 menanam tanaman sejenis kubis, musim tanam 3 menanam sejenis kacang-kacangan seperti buncis. Menurut petani responden salah satu manfaat menanam buncis pada rotasi tanaman selain untuk memenuhi permintaan juga sebagai penambah unsur N dalam tanah, karena tanaman kacang-kacangan mampu mengikat N. Sedangkan pada budidaya non-organik meskipun melakukan pola tanam gilir , pemupukan dasar dilakukan setiap musim tanam. Pengolahan lahan Pengolahan lahan pada budidaya buncis organik dan buncis non-organik tidak jauh berbeda. Tahapan pengolahan lahan pada buncis organik yaitu pembersihan lahan dan pembalikan tanah, perataan lahan, pengukuran atau penggaritan, pembuatan guludan atau bedeng, dan pendiaman lahan. Sedangkan tahapan pengolahan lahan pada buncis non-organik yaitu pembersihan dan pembalikan tanah, perataan lahan ,pengukuran atau penggaritan, pemupukan dasar, pembedengan, dan proses pendiaman. Perbedaan pengolahan lahan pada budidaya buncis organik dan buncis non-organik berada pada pemupukan dasar. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya pemupukan dasar buncis organik tidak dilakukan pada saat musim tanam buncis dimulai, sedangkan pada budidaya buncis non-organik dilakukan pemupukan pada awal musim tanam. Peralatan yang digunakan dalam pengolahan lahan adalah cangkul. Pembersihan lahan dan pembalikan tanah adalah proses sterilisasi lahan yang akan dibudidayakan buncis dari sisa-sisa panen tanaman sayuran sebelumnya, kemudian lahan dicangkul (pembalikan tanah) agar mendapatkan udara serta sinar matahari dan hama-hama penyakit yang berada didalam tanah mati. Setelah tahap ini dilakukan perataan lahan dan pengukuran jarak bedeng dengan menggunakan sistem “garit” yaitu membuat tanda alur menggunakan cangkul. Setelah tahap ini pada buncis non-organik dilakukan pemupukan dasar denga menaruh pupuk di atas alur hasil garitan kemudian dibuat guludan membentuk bedengan, sedangkan pada budidaya buncis organik tidak dilakukan pemupukan dan langsung dibuat guludan atau bedengan. Luas bedeng adalah 1 meter dengan panjang bergantung luas lahan atau biasanya dipatok menjadi 8 meter sehingga 1x8 m. Kemudian jarak antar bedengnya berupa parit kecil seluas 20 cm. Pembuatan bedeng dilakukan dengan meningkatkan permukaan tanah setinggi 15-20 cm. Setelah pembuatan bedeng tanah didiamkan. Karena pada budidaya buncis organik tidak dilakukan pemupukan dasar waktu pendiaman hanya satu hari. Sedangkan pada budidaya buncis non-organik waktu pendiama lahan lebih lama dibandingkan buncis organik yaitu selam 7 hari. Penanaman Setelah proses pendiaman dilakukan penanaman buncis. Penananman buncis diawali dengan pengukuran jarak tanam sekaligus pelubagan tanaman. Jarak
50 tanaman buncis pada petani responden bermacam-macam namun rata-rata yang digunakan adalah 30-40 x 70-80 cm baik buncis organik maupun buncis nonorganik. Sehingga dalam satu bedeng hanya terdapat dua baris tanaman. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, pelubangan tanaman dilakukan dengan menggunakan tugal terbuat dari batang kayu ber diameter 5-7 cm yang ujungnya diruncingkan agar dapat melubangi tanah atau dikenal dengan istilah “aseuk”. Gambar 5 merupakan gambar jarak tanam buncis. 30-40 cm
70-80 cm cm
20 cm 0 cm
2 100 cm
Gambar 5 Gambar pola jarak tanam dan jarak bedeng buncis organik dan buncis konvensinal di Desa Cisondari Setelah dilakukan pelubangan tanaman, benih buncis dimasukan ke dalam lubang tanam. Tiap lubang tanam diisi dua butir benih. Setelah diisi benih lubang tanaman ditutup dengan tanah namun tidak terlalu tebal agar benih dapat tumbuh dengan baik. Tunas akan tumbuh pada usia 3-9 hari. Pemasangan Ajir dan Pembersihan Gulma Pemasangan ajir pada buncis organik dan buncis non-organik tidak berbeda. Pemasanga ajir dilakukan ketika tanaman berusia 2-3 minggu atau usia 20 hari setelah tanam bersamaan dengan pembersihan gulma. Pembersihan gulma dilakukan dengan mencabuti tanaman liar disekitar atau didalam bedengan, setelah itu dibuat guludan atau meninggikan bedengan. Pengguludan bertujuan agar gulma mati. Selain itu pengguludan juga dapat memperkuat akar tanaman buncis serta memelihara struktur tanah. Umumnya yang melakukan pembersihan gulma adalah tenaga kerja perempuan. Namun, pada petani responden buncis nonorganik sebagian besar petani membersihkan gulma langsung melakukan pengguludan menggunakan cangkul tanpa proses pencabutan gulma dengan tangan. Hal tersebut dikarenakan menurut petani buncis non-organik dengan melakukan pengguludan akar gulma akan tercabut dengan sendirinya, oleh sebab itu dalam tenaga kerja tahap budidaya ini pada buncis non-organik lebih banyak TK laki-laki dibandingkan budidaya buncis organik yang lebih banyak TK perempuan. Setelah bedeng atau baris tanaman selesai dibersihkan gulmanya tenaga kerja laki-laki mulai memasang ajir di setiap baris tanaman. Posisi pemasangan ajir adalah menyilangkan ajir di empat tanaman yang saling berhadapan kemudian diikat pada satu poros menggunakan tali rafia, atau membentuk posisi kaki tiga seperti threepod. Penyemprotan Pestisida Penyemprotan pestisida pada buncis non-organik dan buncis organik berbeda dari segi bahan pestisida yang digunakan dan intensitas penyemprotan. Pestisida yang digunakan pada budidaya buncis organik adalah pestisida alami
51 yaitu terbuat dari bahan-bahan alami, sedangkan pada buncis non-organik menggunakan pestisida kimia sintetis. Pada budidaya buncis non-organik intensitas penyemprotan lebih tinggi dibandingkan dengan penyemprotan yang dilakukan oleh petani buncis organik, bahkan seperti yang dipaparkan sebelumnya sebanyak 50% petani buncis organik tidak melakukan penyemprotan pestisida alami sama sekali. Umumnya petani buncis organik yang melakukan penyemprotan pestisida, hanya melakukannya ketika ada ciri-ciri serangan hama pada tanaman. Selain itu intensitas penyemprotan yang dilakukan oleh responden tidak sering. Rata-rata intensitas yang dilakukan adalah 3 kali dalam satu musim. Sedangkan intensitas penyemprotan yang dilakukan petani buncis non-organik sebanyak 5-10 kali dalam satu musim tanam. Kegiatan penyemprotan dilakukan oleh tenaga kerja laki-laki dalam keluarga atau petani sendiri. Penyemprotan pestisida kimia tidak serumit pestisida alami karena pestisida alami dibuat sendiri, namun kandungan nya mengandung kimia berbahaya yang menyebabkan residu pada tanaman sehingga berisiko untuk dikonsumsi dan resisten pada hama. Khasiat dari penyemprotan pestisida alami adalah mengusir hama tetapi tidak membunuh hama seperti pada buncis nonorganik yang menggunakan pestisida kimia, sehingga tidak menimbulkan efek resisten pada hama dan efek residu pada tanaman. Umumnya Selain itu menurut pengakuan beberapa petani responden, intensitas penyemprotan yang tinggi pada budidaya buncis non-organik dan bersentuhan langsung dengan pestisida seringkali menyebabkan efek samping pada gangguan kesehatan. Efek samping tersebut seperti mual dan sesak. Sehingga setelah melakukan penyemprotan para petani buncis non-organik akan langsung mensterilkan badannya dengan membersihkan badan dan berganti pakaian. Hama yang paling banyak menyerang pada tanaman buncis adalah hama ulat yang menyerang polong, selain itu hama lainnya adalah hama wereng, belalangm dan hama penggerek. Selain hama tanaman buncis juga diserang oleh penyakit yang disebabkan cendawan dikenal dengan istilah “patek”. Efek yang ditimbulkan dari penyakit “patek” adalah flek hitam pada polong buncis. Pemanenan Tanaman buncis dipanen lebih dari satu kali, umumnya pada umur 60 HST hingga 80 HST. Buncis dipanen 2 hari satu kali dengan rata-rata intensitas panen pada petani buncis organik 6-11 kali panen dan buncis non-organik 5-13 kali panen . Jumlah produksi per panen umumnya berbeda-beda. Pola jumlah panen buncis adalah seperti grafik para bola. Jumlah panen akan meningkat dari panen ke satu atau disebut dengan istilah “nyikalan”hingga hari panen pertengahan, dan dari hari panen pertengahan hingga hari panen terahir jumlah panen akan menurun seperti para bola. Sehingga umumnya puncak tertinggi jumlah panen berada pada panen pertengahan. Panen buncis dilakukan dengan cara dipetik langsung degan tidak mematahkan ujung buah tetapi batang yang berada pada ujung buah, karena jika ujung buah sampai patah buncis organik tidak akan masuk pada kualifikasi sortir. Ciri-ciri buncis yang siap panen adalah jika dipatahkan ada bunyi letupan, warna buncis hijau muda atau hijau sedikit gelap, dan buncis belum berserat. Pada buncis organik umumnya buncis dipanen lebih muda karena buncis muda lebih diminati pasar. Di Desa Cisondari umumnya tahapan memanen dilakukan oleh
52 tenaga kerja perempuan. Gambar 6 menunjukan foto dokumentasi pada saat pemanenan buncis organik di salah satu petani responden buncis organik di Desa Ciosndari.
Gambar 6 Foto dokumentasi pemanenan buncis organik di Desa Cisondari yang dilakukan oleh tenaga kerja perempuan Gambar 6 menunjukan pemanenan buncis yang dilakukan oleh tenaga kerja perempuan. Pada tahap pemanenan baik buncis organik maupun buncis nonorganik tenaga kerja perempuan lebih berperan dari pada tenaga kerja laki-laki. Buncis yang dipetik dimasukan kedalam ember. Pasca Panen Setelah buncis di panen dan dimasukan kedalam ember, buncis organik dimasukan kedalam container plastik milik masing-masing gudang yang akan membelinya untuk dlakukan perlakuan pasca panen. Sehingga pada pemanenan buncis organik petani tidak membutuhkan plasatik atau karung. Sedangkan buncis non-organik setelah dipetik dan dimasukan ke dalam ember dipindahkan kedalam kemasan karung atau plastik untuk dijual. Buncis organik dijual ke pedagang pengumpul sayuran organik untuk didistribusikan (akan dibahas pada bab analisis tataniaga), sebelum didistriusikan buncis diberi perlakuan pasca panen seperti pencucian, sortasi, dan pengemasan. Sedangkan buncis non-organik setelah dipanen langsung dijual oleh petani kepada pedagang pengumpul, pedagang grosir dan pedagang pengecer. Output Output dari budidaya buncis berupa polong buncis. Produktivitas rata-rata yang dihasilkan oleh petani responden buncis organik sebesar 0.331 kg/m2 produktivitas tersebut lebih rendah dari produktivitas buncis non-organik sebesar 0.812 kg/m2. Selisih perbedaan produktivitas atara buncis organik dan buncis nonorganik sebesar 0.470 atau 59.23 persen. Salah satu faktor penyebabnya adalah kondisi hamparan lahan organik yang berada diantara lahan pertanian non-organik menyebabkan tingginya serangan hama kepada tanaman organik. Selain itu berdsarkan wawancara dan iteratur, kondisi hara atau nutrisi dalam lahan beberapa petani buncis organik yang masih ketergantungan bahan kimia sisa pertanian sebelumnya akan berpengaruh pada produktivitas buncis organik. Hal tersebut juga disebabkan karena adanya perlakuan terhadap tanaman yang berbeda seperti pada pmberian pestisida antara yang alami dan kimia, serta faktor cuaca
53 dalam musim penghujan menyebabkan buncis mudah diserang hama terutama pada buncis organik. Selain produktivitasnya yang lebih rendah, hasil produksi buncis organik akan dikualifikasikan ke dalam standar pensortiran, buncis yang masuk ke dalam kriteria disebut buncis lolos sortir, sedangkan yang tidak masuk kedalam kriteria disebut buncis afkir. Di Desa Cisondari buncis afkir tidak bisa dipasarkan kepada penjual buncis organik. Kriteria buncis yang lolos sortir adalah tidak berbengkok, tidak bolong disebabkan ulat, tidak ada flek hitam dan tidak ada patahan polong, tidak busuk serta tidak terlalu tua atau berserat. Gambar 7 menunjukan buncis yang afkir dan lolos sortir.
(a) (b) (c) Gambar 7 (a) dan (c) (b) Buncis afkir, (c) Buncis lolos sortir Gambar 7 menunjukan pada buncis organik afkir terdapat buncis bolong, flek hitam, patahan polong, serta buncis besar yang berserat, sedangkan gambar (c) merupakan buncis yang lolos sortir. Rata-rata tingkat afkir yang terjadi pada buncis organik adalah sebesar 46,5 persen. Jumlah tersebut mendekati angka 50 persen atau hampir setengah dari hasil panen. Faktor tingginya afkir antara lain adanya hama ulat dan penyakit cendawan atau dikenal dengan istilah “patek”. Terutaman pada saat memasuki bulan penghujan hama tersebut meningkat. Selain itu terdapat faktor kesalahan tenaga kerja pemanen dalam melakukan panen yang kurang teliti pada saat memetik buncis hingga terjadi patahan, serta kurang ketelitian tenaga sortasi pada pedagang grosir sayuran organik. Pada buncis non-organik penjualan buncis dilakukan dengan sistem “abres” atau seluruh polong hasil panen dapat dijual. Adapun sebagian kecil petani melakukan pensortiran namun hanya membuang polong yang busuk, sehingga petani dapat menjual seluruh hasil produksinya, berbeda dengan buncis organik yang nilai afkirnya diperhitungkan. Analisis Pendapatan Usahatani Buncis Organik dan Buncis Non-organik Komponen Penerimaan Komponen penerimaan pada buncis oraganik dan buncis non-organik berasal dari rata-rata hasil produksi dikalikan dengan rata-rata harga yang diperoleh petani. Rata-rata harga yang digunakan merupakan rata-rata harga yang diperoleh petani pada musim panen tersebut. Perbedaan komponen penerimaan antara budidaya buncis organik dan buncis non-organik adalah pada buncis organik diperhitungkan persentase buncis afkir, sehingga jika diasumsikan petani
54 melakukan penjualan afkir, sumber pemasukan buncis organik terdiri dari dua yaitu hasil produksi dengan kualitas lolos sortir gudang organik dan hasil penjualan buncis afkir. Tabel 28 menunjukan perbandingan komponen penerimaan buncis organik dan buncis non-organik. Tabel 28 Perbandingan komponen penerimaan buncis organik dan buncis nonorganika
a
No
Komponen Penerimaan
A B C D E F G H I
Produktivitas (kg/m2) Hasil panen (kg/1000m2) Penjualan super (kg) (53,5%) Jumlah afkir (kg) (46,5%) Harga buncis (Rp/kg) Harga buncis lolos sortir (Rp/kg) Harga buncis afkir (Rp/kg) Penerimaan buncis lolos sortir (CxF) Penerimaan buncis afkir (DxG)b Total Penerimaan
Buncis Organik 0.331 331.00 177.09 153.91 5 167.00 2 000.00 914 998.20 307 830.00 1 222 828.20
Buncis Konvensional 0.812 812.00 3 025.00 2 456 300.00
Sumber: Diolah dari data primer.bAsumsi petani menjual seluruh afkir
Berdasarkan Tabel 28 dapat dilihat bahwa harga rata-rata yang diperoleh buncis organik adalah Rp5 176 /kg, sedangkan harga rata-rata yang diperoleh oleh buncis non-organik sebesar Rp3 025/kg dan harga untuk buncis afkir pada buncis organik sebesar Ro2.000/kg. Dari tabel diatas dapat disimpulkan meskipun harga buncis organik per kg lebih mahal namun tetap jumlah total penerimaan buncis non-organik lebih tinggi dibanding buncis organik. Hal tersbut karena produktivitas buncis organik lebih kecil 0.479 kg/m2 dari buncis non-organik, serta tidak seluruh hasil panen dari buncis organik dihargai dengan harga jual Rp5.176/kg. Sehingga meskipun harga jual lebih mahal dan adanya tambahan dari jumlah penjualan afkir namun jumlah tersebut belum mampu menutupi selisih hasil produksi yang lebih dari 50 persen antara buncis organik dan buncis nonorganik. Komponen Biaya Buncis Organik dan Buncis Non-organik Komponen biaya antara buncis organik dan buncis non-organik terdiri dari dua macam yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Ditinjau berdasarkan biaya tunai, biaya tunai buncis non-organik lebih tinggi dibandingkan biaya tunai buncis organik yaitu Rp547.248 untuk buncis organikdan buncis non-organik sebsar Rp1.268.684 untuk satu musim tanam dalam luas 1000 m2. Faktor utama perbedaan tersebut karena adanya penggunaan input pupuk pada buncis nonorganik pada pemupukan dasar, selain itu biaya pestisida kimia yang jauh lebih tinggi dibandingkan biaya pestisida alami. Berdasarkan pengeluaran tenaga kerja, tenaga kerja luar keluarga buncis organik lebih tinggi dibandingkan buncis nonorganik, padahal upah tenaga kerja buncis non-organik lebih tinggi, hal tersebut karena penggunaan tenaga kerja luar keluarga pada buncis organik lebih banyak dibandingkan buncis non-organik. Namun hal tersebut tidak membuat biaya tunai
55 buncis organik lebih tinggi. Tabel 29 menunjukan komponen biaya buncis organik dan buncis non-organik. Tabel 29 Komponen biaya buncis organik dan buncis non-organika Uraian Biaya Tunai: Benih Pupuk Kandang TK Luar Keluarga: Pengolahan lahan Penanaman Pembesihan gulma dan pemasangan ajir Penyemprotan pestisida Pemanenan Pupuk kimia: Pupuk majemuk NPK Urea ZA TSP Pupuk Daun Pembuatan Pestisida Alami Fungisida Insektisida Perekat Plastik/karung Tali raffia Total Biaya Tunai Biaya diperhitungkan: Ajir Penyusutan Pupuk Organik TK Dalam Keluarga Pengolahan lahan Penanaman Pembesihan gulma dan pemasangan ajir Penyemprotan Pestisida Pemanenan Sewa lahan Total Biaya Diperhitungkan Total Biaya usahatani a
Satuanb
Kg 1 MST
Buncis Organik Harga Total Volume (Rp) (Rp) 3.40
45 818 0
155 781 0
3.45
38 667 429 554
133 401 42 9554
11.20 0.72
21 650 21 650
242 480 15 588
7.46 0.41
25 740 25 740
192 020 10 553
3.38
21 650
73 177
2.51
25 740
64 607
0.00 1.93
21 650 21 650
0 41 785
0.10 2.27
25 740 25 740
2 574 58 430
-
HKP HKP HKP HKP HKP
Buncis Non-organik Harga Volume Total (Rp) (Rp)
1 MST
-
0
0
1 MST 1 MST 1 MST 1 MST
-
0 0 0 0
0 0 0 0
56 174 46 975 21 739 1 358 11 905
56 174 46 975 21 739 1 358 11 905
3.00
1 669
5 007
0
0
0 0 0 0 13 430 547 248
129 670 67 151 3 143 1 000 12 208
129 670 67 151 3 143 26 000 13 429 1 268 684
2097.00
172252
118 708 24 375 172 252
0
57 11452 0
119529 11452 0
7.80 0.71
21 650 21 650
168 870 15 372
6.56 1.05
25 740 25 740
168 854 27 027
1.78
21 650
38 537
3.19
25 740
82 111
0.38 1.72
21 650 21 650
8 227 37 238 25 000
1.02 1.54
25 740 25 740 76 086
26 255 39 640 76 086
Liter 1 MST 1 MST 1 MST 1 MST Kg
1.09
0 0 0 0 12 321
Batang
2012,00
59
1 MST HOK HOK HOK HOK HOK 1 MST
26.00 1.10
608 579
550 953
1 155 826
1 819 637
Sumber : Diolah dari data primer .bMST=musim tanam
Berdasarkan tabel 29 biaya diperhitungkan pada buncis organik lebih tinggi dibandingkan buncis non-organik. Hal tersebut karena biaya pemupukan pada buncis organik termasuk dalam biaya diperhitungkan, selain itu total biaya
56 penyusutan buncis organik lebih besar dari buncis non-organik. Sedangkan ditinjau berdasarkan biaya total, usahatani buncis non-organik lebih tinggi dari pada buncis organik yaitu sebesar Rp1.567.471 untuk buncis organik dan Rp2.347.307 untuk buncis non-organik dalam satu musim tanam pada satuan luas 1000 m2 . Hal tersebut karena biaya tunai buncis non-organik 2.3 kali lipat lebih tinggi dari biaya tunai buncis organik yang disebabkan oleh pemakaian jenis dan jumlah input pada buncis non-organik lebih banyak dari pemakaian jenis dan jumlah input pada buncis organik. Pada buncis organik pupuk yang digunakan hanya pupuk organik dan digolongkan pada komponen biaya diperhitungkan karena pemupukan dasar dilakukan tiga musim tanam sekali, sedangkan pada buncis non-organik pupuk yang digunakan terdiri dari pupuk kandang dan pupuk kimia serta digunakan setiap memasuki musim tanam. Biaya pestisida pada buncis organik lebih kecil dari pada biaya pestisida kimia, karena beberapa bahan pestisida alami dapat diperoleh sendiri dan pembuatannya dilakukan sendiri. Pemakaian ajir dan tali rafia pada buncis organik lebih rendah dibandingkan pada buncis non-organik, hal tersebut bergantung dari jumlah pemakaian rata-rata tiap petani terhadap input. Pada petani buncis non-organik terdapat biaya kemasan berupa plastik atau karung sedangkan pada buncis organik tidak ada karena hasil panen buncis organik dari petani langsung dibawa menggunakan kontainer (keranjang plastik) milik gudang, sehingga petani tidak mengeluarkan biaya untuk kemasan, tetapi pada buncis non-organik petani menjual buncis pada pedagang dengan kondisi sudah dikemas menggunakan plastik besar atau karung. Sehingga dapat disimpulakan secara keseluruhan bahwa biaya total usahatani buncis non-organik dalam satuan luas 1000 m2 per musim tanam lebih tinggi dibandingkan biaya total usahatani buncis organik. Analisis Pendapatan usahatani dan R/C Buncis Organik dan Buncis Nonorganik Pendapatan usahatani terdiri dari dua yaitu pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai didapatkan dari total penerimaan dikurangi dengan biaya tunai serta pendapatan atas biaya total didapatkan dari total penerimaan dikurangi biaya total. Pendapatan usahatani buncis organik dan buncis non-organik dihitung selama satu musim tanam dalam luas lahan 1000 m2. Baik pendapatan tunai maupun pendapatan total usahatani buncis organik dan buncis non-organik bernilai positif. Hal tersebut menunjukan bahwa baik usahatani buncis organik maupun usahatani buncis non-organik mampu menutupi seluruh biya tunai yang dikeluarkan oleh petani dan menghasilkan keuntungan. Pendapatan tunai usahatani buncis organik dan buncis non-organik di Desa Cisondari yaitu sebesar Rp734.550 pada usahatani buncis organik dan Rp1.187.616 pada usahatani buncis non-organik. Jumlah tersebut menunjukan adanya perbedaan pendapatan tunai antara usahatani buncis non-organik dan usahatani buncis organik sebesar Rp453.066, lebih besar pendapatan tunai usahatani buncis non-organik. Selain pendapatan tunai, pendapatan total usahatani buncis non-organik juga lebih besar Rp510.692 dari pendapatan total usahatani buncis organik. Berdasarkan segi pendapatan buncis non-organik lebih meguntungkan dibandingkan usahatani buncis organik. Tabel 30 menunjukan
57 perbandingan penerimaan, biaya, pendapatan, dan rasio R/C pada buncis organik dan buncis non-organik di Desa Cisoandri. Tabel 30 Perbandingan penerimaan, biaya, pendapatan, dan rasio R/C pada buncis organik dan buncis non-organik dalam 1000 m2/musim tanam a Uraian A. Penerimaanb B. Biaya Tunaib C. Biaya Diperhitungkanb D. Total Biaya Usahatanib (B+C) E. Pendapatan atas Biaya Tunaib (A-B) F. Pendapatan atas Biaya Totalb (A-D) G. R/C atas Biaya Tunai (A/B) H. R/C atas Biaya Total (A/D) a
Buncis Organik 1 281 798 547 248 608 579 1.155 826 734 550 125 971 2.34 1.11
Buncis Nonorganik 2 456 300 1 268 684 550 953 1 819 637 1 187 616 636 663 1.94 1.35
Sumber : Diolah dari data primer. bdalam Rupiah.
Faktor utama yang menyebabkan pendapatan usahatani baik tunai maupun total pada usahatani buncis organik lebih rendah dari buncis non-organik adalah total penerimaan yang didapatkan petani buncis non-organik lebih tinggi dari pada buncis organik. Selisih penerimaan pada kedua usahatani tersebut adalah Rp1.174.502 atau sebesar 91.63 persen dari total penerimaan usahatani buncis organik. Meskipun harga jual buncis organik lebih tinggi dari pada buncis nonorganik namun, produktivitas yang rendah serta tingginya tingkat afkir pada buncis organik menjadi penyebab utama rendahnya penerimaan buncis organik. Walaupun petani buncis orgnik melakukan penjualan seluruh buncis afkirnya total penerimaan petani buncis organik tetap tidak lebih tinggi dari buncis non-organik. Nilai R/C atas biaya tunai, buncis organik lebih tinggi dari nilai R/C atas biaya tunai buncis non-organik yaitu sebesar 2.34 untuk buncis organik dan 1.94 untuk buncis non-organik. Nilai R/C tersebut memiliki arti bahwa baik usahatani buncis orgnik maupun buncis non-organik sudah efisien karena bernilai di atas satu. Berdasarkan nilai R/C atas biaya tunai usahatani buncis organik lebih efisien dari pada buncis non-organik. Hal tersebut dikarenakan penggunaan input pada usahatani buncis organik lebih sedikit daripada buncis non-organik berdasarkan jenis dan jumlah input. Namun meskipun nilai R/C terhadap biaya tunai usahatani buncis organik lebih besar, nilai R/C terhadap biaya total buncis organik lebih kecil dari nilai R/C terhadap biaya total buncis non-organik, yaitu 1.11 untuk usahatani buncis organik dan 1.35 untuk usaha tani buncis non-organik . Nilai R/C buncis non-organik dan buncis organik bernilai di atas 1. Hal tersebut menunjukan bahwa usahatani baik buncis non-organik maupun buncis organik sama-sama mampu memberikan keuntungan. Namun nilai keuntungan yang dihasilkan usahatani buncis nonorganik lebih tinggi dibandingkan nilai keuntungan usahatani buncis organik. Keuntungan yang dihasilkan oleh usahatani buncis organik sebesar Rp0.11 dari setiap Rp1.00 biaya total yang dikeluarkan. Sedangkan Keuntungan yang dihasilkan oleh usahatani buncis non-organik sebesar Rp0.35 dari setiap Rp1.00 biaya total yang dikeluarkan. Dapat disimpulkan bahwa pada studi kasus Desa
58 Cisondari usahatani buncis non-organik lebih menguntungkan dibandingkan usahatani buncis organik.
ANALISIS TATANIAGA BUNCIS ORGANIK Identifikasi Lembaga Tataniaga Proses penyaluran suatu komoditi atau produk pertanian dari petani ke konsumen akan melibatkan beberapa lembaga yang disebut lembaga tataniaga. Proses penyaluran (pemasaran) buncis organik dari petani hingga ke konsumen di Desa Cisondari melibatkan tiga lembaga tataniaga yaitu: 1. Petani buncis organik merupakan produsen buncis yang membudidayakan buncis secara organik di Desa Cisondari, jumlah petani buncis organik sebanyak 14 petani. 2. Pedagang grosir sayuran organik merupakan pihak yang mendistribusikan sayur organik salah satunya buncis organik dari petani ke pihak selanjutnya jumlah pedagang grosir sayuran organik sebanyak 3 unit usaha. Pada umumnya pedagang grosir sayuran organik di Desa Cisondari disebut gudang sayuran organik yang seluruhnya beroprasi di Desa Cisondari. 3. Ritel modern merupakan swalayan di Kota Bandung yang memiliki beberapa distrik di wilayah Kota Bandung yang menjual buncis langsung ke konsumen, jumlah ritel modern yang diteliti sebanyak satu dengan jumlah cabang di beberapa tempat. Saluran Tataniaga Buncis Organik Pemasaran buncis organik di Desa Cisondari dari petani hingga konsumen hanya melewati tiga saluran tataniaga buncis organik. Gambar 8 menunjukan saluran tataniaga buncis organik di Desa Cisondari. Pedagang grosir sayuran organik I 695.00 kg (58.82%) Petani 1.181.50 kg (100%)
Pedagang grosir sayuran organik II
100% Ritel Modern
100% Konsumen
310.75 kg (26.30%) Pedagang grosir sayuran organik III 195.75 kg (16.75%)
Gambar 8 Saluran tataniaga buncis organik lolos sortir di Desa Cisondari Gambar 8 menunjukan saluran tataniaga buncis organik mengalir dari petani kepada tiga gudang berbeda yang terdapat di Desa Cisondari. Saluran I mengalir dari petani kepada pedagang grosir sayuran organik I, saluran II mengalir dari petani kepada pedagang grosir sayuran organik II, saluran III mengalir dari petani
59 kepada pedagang grosir sayuran organik III. Dari pedagang grosir sayuran organik I, II, dan III buncis organik disalurkan kepada satu ritel modern yang sama di kawasan Kota Bandung. Ritel modern tersebut memiliki beberapa cabang swalayan (distrik) di kawasan Bandung, sehingga dari ritel modern tersebut buncis dipasarkan pada distrik yang berbeda-beda. Jumlah petani pemasok buncis organik dari periode Januari hingga April 2013 adalah sebanyak 14 petani atau seluruh populasi petani buncis organik aktiv. Total volume buncis organik lolos sortir yang dipasarkan oleh petani pada periode panen Januari hingga April 2013 adalah sebanyak 1.181.50kg (100 persen). Volume yang disalurkan oleh pedagang grosir sayuran organik I adalah sebanyak 695.00kg (58.82 persen), volume yang disalurkan pada pedagang grosir sayuran organik II adalah 310.75 (26.30 persen), dan volume yang diasalurkan pada pedagang grosir sayuran organik III sebanyak 195.75 (16.75 persen). Alasan petani memilih pedagang grosir sayuran organik untuk memasarkan buncis organik bergantung dari kesesuaian permintaan di pedagang grosir sayuran organik dan waktu panen di petani. Fungsi Tataniaga Buncis Organik Setiap lembaga yang terlibat dalam tataniaga buncis organik melakukan fungsi tataniaga untuk menyalurkan buncis organik dari petani sampai konsumen, serta untuk meningkatkan potential benefit dari buncis organik untuk mencapai kepuasan konsumen. Fungsi-fungsi yang dilakukan diantaranya, fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Tabel 31 menunjukan fungsi tataniaga yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga buncis organik di Desa Cisondari. Tabel 31 Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga buncis organik di desa Cisondaria Lembaga Tataniaga
Petani
Pengolah distributor
dan
Fungsi tataniaga Fungsi pertukaran Fungsi fisik Fungsi fasilitas Fungsi pertukaran Fungsi fisik Fungsi fasilitas Fungsi pertukaran
Ritel Modern
Fungsi fisik Fungsi fasilitas
a
Sumber: Data Primer.(*) Sebagian melakukan
Aktivitas Penjualan Pengangkutan* Penanggungan risiko pembelian dan penjualan Pengumpulan, pengangkutan, penucian, pengemasan, pelabelan Sortir, pembiayaan, informasi pasar, penanggungan resiko Pembelian dan penjualan Penyimpanan dalam gerai (display), pengangkutan* Pembiayaan, informasi pasar, penanggungan risiko
60 1. Petani Petani buncis organik di Desa Cisondari melakukan beberapa fungsi tataniaga yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Aktivitas yang dilakukan pada fungsi pertukaran adalah menjual hasil buncis organiknya ke gudang sayuran yang ada di desa Cisondari. Alasan petani menjual buncis oraganik pada ketiga pedagang grosir sayuran organik yang ada di Desa Cisondari karena petani tidak memiliki akses pasar pada konsumen sayuran organik. Fungsi fisik yang dilakukan petani adalah pengangkutan hasil panen buncis organik dari kebun ke gudang yang dimiliki pedagang grosir sayuran organil, namun aktivitas pengangkutan ini hanya dilakukan oleh sebagian petani karena pihakpedagang grosir sayuran organik menyediakan petugas gudang untuk mengangkut hasil panen dari kebun ke gudang. Pada aktivitas fungsi fisik petani tidak melakukan pengemasan karena pengangkutan buncis organik dari pedagang grosir sayuran organik dilakukan menggunakan kontainer atau keranjang plastik milik gudang yang dibawa oleh petugas gudang. Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh petani berupa penanggungan risiko buncis afkir, buncis afkir adalah buncis yang tidak lolos sortasi di gudang. Setelah disortir sebagian petani mengambil buncis afkirnya kembali untuk dijual, namun sebagian petani lagi tidak. 2. Pedagang grosir sayuran organik Dalam proses pemasaran buncis organik ketiga pedagang grosr sayuran organik melakukan fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan adalah pembelian buncis dari petani, dan penjualan buncis pada ritel modern. Fungsi fisik yang dilakukan adalah pencucian, pensortiran, pengemasan dan pelabelan, serta pengangkutan. Buncis hasil panen yang diangkut oleh petugas gudang atau petani ke pedagang grosir sayuran organik diberi beberapa perlakuan paska-panen oleh pedagang grosir sayuran organik. Tahap pertama bagi buncis yang kotor dan terkena cipratan tanah buncis dicuci kemudian dikeringkan, tetapi bagi buncis yang tidak kotor buncis langsung mengalami proses sortasi. Pada aktivitas ini tidak dilakukan proses grading buncis hanya dipisahkan dari yang lolos kriteria jual dan tidak lolos kriteria jual, buncis yang tidak lolos kriteria jual disebut buncis afkir. Setelah mengalami proses pensortiran buncis dikemas dengan mengunaka kemasan, ada yang menggunakan kemasan plastik dan ada yang menggunakan kemasan stearofoam dan wrapping. Umumnya buncis dikemas dengan volume 250 gram perkemasan atau disebut satu pack. Kemudian bagi pedagang grosir sayuran organik yang mengemas dengan stearofom dan wraping dilakukan penempelan label. Setelah penempelan label buncis yang telah dikemas dimasukan kedalam container dengan sayur organik lainya, lalu container dimasukan kedalam mobil pengangkutan dan diantar ke distrik ritel modern. Fungsi fasilitas yang dilakukan berupa aktivitas sortasi, pembiayaan (transportasi, tenaga kerja, kemasan), informasi pasar, dan penanggungan risiko retur atau reject buncis organik. 3. Ritel Modern Ritel modern melakukan fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan adalah membeli buncis organik dari
61 pedagang grosir sayuran organik dan menjual buncis organik ke konsumen. Buncis organik diantarkan oleh pedagang grosir sayuran organik sebagian ke distrik pusat dan sebagian ke distrik cabang ritel modern bergantung permintaan. Sayuran yang sampai termasuk buncis organik yang sampai di distrik cabang akan lagsung di periksa oleh divisi gudang ritel modern untuk disimpan di bagian food fresh pada gerai. Sebagian buncis yang dikirim ke distrik pusat akan disalurkan lagi ke distrik-distrik cabang yang melakukan pemesanan oleh bagian pengiriman pada ritel modern tersebut. Fungsi fisik yang dilakukan ritel modern adalah kegiatan penyimpanan buncis organik pada showcase coolstorage atau rak pendingin agar buncis tetap segar (display). Tetapi di sebagian kecil distrik ada yang tidak menyimpannya di rak pendingin. Selain itu aktivitas pengangkutan buncis organik dari distrik pusat ke cabang, sehingga yang melakukan aktivitas pengangkutan hanya distrik pusat. Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh ritel modern adalah pembiayaan (display, tenaga kerja, dan biaya administrasi lainnya), informasi pasar, penanggungan risiko. Struktur pasar 1. Petani Petani sebagai penjual dan gudang sayur sebagai pembeli mengahadapi struktur pasar oligoposoni murni dimana pembeli (gudang sayur) berjumlah lebih sedikit dari penjual (petani buncis organik), barang yang dijual bersifat homogen, informasi pasar dikuasai oleh Pengolah dan distributor, petani bersifat price taker karena harga ditentukan oleh Pengolah dan distributor. Hambatan keluar masuk pasar tinggi karena rata-rata petani tidak memiliki channel pasar sendiri. 2. Pedagang Grosir Sayuran Organik Pedagang grosir sayuran organik sebagai penjual dan ritel modern sebagai pembeli menghadapi struktur pasar oligopsoni murni karena jumlah penjual (pedagang grosir sayuran organik) pada saluran ini lebih banyak dibandingkan jumlah pembeli (ritel modern). Meskipun harga yang diperoleh merupakan hasil tawar menawar dengan ritel sebelum melakukan perjanjian namun penentuan harga cenderung ditentukan oleh ritel modern, umumnya harga ditentukan secara adminstratif bukan mengikuti pasar. Informasi pasar dikuasai oleh ritel modern. Pada keadaan pasar ini juga pihak pedagang grosir sayuran organik sulit keluar masuk pasar karena jumlah petani sayuran organik masih dalam kategori cukup, jika berkurang gudang akan kehilangan sumber pasokan. 3. Ritel Modern Ritel modern sebagai penjual dan konsumen sebagai pembeli menghadapi kondisi pasar oligopoli murni dimana jumlah ritel modern di kawasan Bandung berjumlah lebih dari satu namun jumlah pembeli (konsumen) lebih banyak dari pada jumlah penjual (ritel modern). Harga jual buncis organik ditentukan oleh ritel modern secara administratif, serta informasi pasar dikuasai oleh ritel modern.
62 Perilaku pasar Struktur pasar mempengaruhi perilaku lembaga-lembaga tataniaga untuk bertahan di persaingan pasar yang ada. Pada saluran ini perilaku penentuan harga, lembaga-lembaga akan dikaji berdasarkan sistem pembelian dan penjualan, sistem penetuan harga, sitem pembayaran, dan bentuk kerjasama. 1. Sistem pembelian dan penjualan Sistem pembelian dan penjualan pada saluran tataniaga buncis organik di Desa Cisondari ditentukan oleh pedagang grosir sayuran organik, yang disesuaikan dengan jadwal pengiriman berdasarkan kesepakatan dengan ritel modern. Sistem pembelian pedagang grosir sayuran organik kepada petani dibangun dengan sistem konfirmasi, sedangkan sistem pembelian dari ritel modern ke pedagang grosir sayuran organik dilakukan dengan sistem pre order. Sebelum adanya kegiatan produksi di gudang petani yang akan memanen harus memberikan laporan kepada pihak pedagang grosir sayuran organik tentang prediksi waktu panen buncis dan volume hasil panen. Sedangkan pembelian yang dilakukan oleh ritel modern diawali dengan adanya sistem pre order yang dilakukan oleh masing-masing distrik ritel modern kepada grosir sayuran organik, pre order berbentuk jumlah yang diinginkan ritel modern untuk disediakan di gerai dalam satu kali pengiriman. Kemudian pihak pedagang grosir sayuran organik menyesuaikan jumlah pre order dan buncis yang tersedia di petani, jika jumlah pre order lebih banyak dari jumlah buncis organik yang tersedia maka petugas pedagang grosir sayuran organik akan membaginya secara rata. Jika jumlah kurang dari pre order gudang sayur akan memberikan laporan tersedianya buncis organik. Tetapi jika jumlah ketersediaan buncis lebih banyak dari pre order, pedgangng grosir sayuran organik akan mengalihkan buncis kepedagang grosir sayuran organik lain, karena umumnya jumlah pre order setiap gudang pada pedagang grosir sayuran organik berbeda-beda dan terkadang dapat saling melengkapi. Jika memasuki musim panen, buncis akan dipanen 2 hari sekali. Setelah ada pre order dan buncis tersedia di pihak petani, petugas gudang akan membawa hasil panen petani dengan menggunakan mobil jika jarak kebun jauh atau hanya menggunakan tenaga angkut jika jarak kebun dekat. Terkadang sebelum ritel modern melakukan pre order buncis organik, jika terjadi kelebihan stock buncis, pihak gudang akan menawarkan pada distrik yang belum melakukan pre order buncis. Setelah buncis diberikan aktivitas fungsi fisik oleh gudang buncis organik yang lolos sortir akan ditimbang totalnya dan dikalikan dengan harga beli ke petani dan dicatat. Proses pengiriman buncis berbeda-beda ke setiap distrik ritel modern ada yang melakukan pengiriman dua hari sekali atau 3 hari sekali. Umumnya hari kerja gudang pada pedagang grosir sayuran organik selama 6 hari dalam satu minggu. Pengiriman dilakukan setiap hari selama 6 hari dengan berbeda-beda tujuan. Keberangkatan mobil pengiriman sayur adalah dini hari sehingga sayur akan sampai pada pagi hari di masing-masing distrik tujuan. Umumnya buncis dikirim pada distrik pusat dan dari distrik pusat, buncis disalurkan lagi ke masing-masing distrik cabang. Namun terkadang juga pihak pedagang grosir sayuran organik diminta untuk mengatarkan buncis hingga distrik cabang. Buncis yang sampai di distrik akan diperiksa sebelumnya oleh divisi gudang
63 di ritel modern. Kemudian buncis organik yang diterima oleh ritel modern akan dicatat jumlahnya oleh petugas gudang pada pedagang grosir sayuran organik dan dibuatkan invoice sebagai bukti penagihan seluruh sayuran yang dikirim termasuk buncis organik yang dibeli oleh ritel modern. Sedangkan sistem penjualan di ritel modern pada saluran ini umumnya sama dengan ritel modern lainya. Buncis dipajang di gerai pada bagian foodfresh, kemudian pembeli membeli buncis yang tersedia di gerai tersebut. 2. Penentuan Harga Harga yang diperoleh petani ditentukan oleh pedagang grosir sayuran organik, sehingga petani hanya menerima harga. Harga sayuran organik termasuk buncis organik merupakan harga tetap pada pedagang grosir sayuran organik tidak berubah-rubah setiap harinya seperti harga buncis pada pasar tradisional. Harga yang diperoleh oleh pihak gudang merupakan harga kesepakatan antara pihak pedagang grosir sayuran organik dan ritel modern, namun cenderung ditentukan oleh pihak ritel modern. Jika terjadi perubahan harga jual dari pedagang grosir sayuran organik ke ritel modern maka akan ada perubahan harga pula pada harga beli di tingkat petani. Umunya perubahan harga tersebut bersifat kenaikan harga yang terjadinya lebih dari satu tahun dan perubahan tersebut disebabkan adanya pengajuan kenaikan harga dari pihak pedagang grosir sayuran organik pada pihak ritel, karena adanya kenaikan harga bahan produksi dari pihak gudang. Harga yang diperoleh petani dari tiga pedagang grosir sayuran organik yang ada di Desa Cisondari adalah Rp 4 500 /kg pada pedagang grosir sayuran organik I, Rp5.000/kg pada pedagang grosir sayuran organik II dan Rp6.000/kg pada pedagang grosir sayuran organik III. Sedangkan harga jual dari pedagang grosir sayuran organik ke ritel modern sebesar Rp13.000/kg pada saluran I, Rp16.000/kg pada saluran II dan saluran III. Harga jual dari ritel modern pada konsumen sebesar Rp20.400 pada saluran I, Rp 21.400 pada saluran II dan saluran III. 3. Sistem Pembayaran dan Bentuk Kerjasama Sistem pembayaran yang diterima oleh petani dari pihak pedagang grosir sayuran organik mengikuti sistem pembayaran yang dilakukan pihak ritel modern pada pihak pedagang grosir sayuran organik. Sistem pembayaran yang berlaku adalah sistem bayar dikemudian dengan periode waktu 15 hari sekali atau satu bulan dua kali. Namun, pada pelaksnaannya pembayaran dari pihak ritel modern kepada pihak pedagang grosir sayuran organik sering tertunda untuk beberapa waktu, sehingga akan berpengaruh pada pembayaran kepada petani. Hal tersebut menjadi salah satu faktor kurangnya minat petani untuk berbudidaya buncis secara organik. Sistem kerjasama yang dibangun antara petani buncis organik dan pedagang grosir sayuran organik adalah sitem kepercayaan atau perjanjian yang tidak tertulis. Sistem kerjasama yang dibangun oleh pedagang grosir sayuran organik dan ritel modern adalah sistem kontrak tertulis. Analisis Marjin Tataiaga Buncis Organik Marjin tataniaga merupakan seluruh biaya dan keuntunangan lembaga tataniaga dalam proses pemasaran buncis dari petani hingga konsumen. Komponen marjin tataniaga adalah biaya dan keuntungan lembaga-lembaga
64 tataniaga. Marjin tataniaga dapat dihitung dari selisih harga jual dikurangi harga beli di suatu lembaga. Tabel 32 menunjukan biaya, keuntungan, serta marjin lembaga tataniaga buncis organik di Desa Cisondari. Tabel 32 Biaya, keuntungan, dan marjin lembaga tataniaga buncis organik di Desa Cisondari (Rp/kg)a Lembaga Saluran I Pedagang Grosir Organik I Ritel Modern Total Marjin Saluran II Pedagang Grosir Organik II Ritel Modern Total Marjin Saluran III Pedagang Grosir Organik III Ritel Modern Total Marjin a
Harga Beli
Harga Jual
Marjin Tataniaga
sayuran 4 500 13 000
13 000 20 400
8 500 7 400 15 900
5 000 16 000
16 000 21 400
11 000 5 400 16 400
6 000 16 000
16 000 21 400
10 000 5 400 15 400
sayuran
sayuran
Sumber : Diolah dari data primer
Berdasarkan tabel 32 dapat dilihat bahwa pada saluran I nilai total marjin sebesar Rp15.900/kg yang terdiri dari marjin pedagang grosir sayuran organik sebesar Rp8.500/kg dan marjin ritel modern Rp7.400/kg. Pada saluran II total marjin sebesar Rp16.400 yang terdiri dari marjin pada pedagang grosir sayuran organik sebesar Rp11.000/kg dan pada ritel modern sebesar Rp5.400/kg. Serta pada saluran III total marjin yang didapatkan sebesar Rp15.400 pada pedagang grosir sayuran organik dan Rp5.400 pada ritel modern. Total marjin terbesar berada pada saluran II dengan jumlah Rp16.400/kg, sedangkan marjin terendah berada pada saluran III sebesar Rp 15.400. Marjin tersebut menggambarkan jumlah total antara biaya dan keuntungan pada seluruh lembaga tataniaga atau jumlah balas yang diperoleh oleh lembaga tataniaga. Pada pemasaran buncis organik petani tidak memiliki marjin tataniaga karena tidak melakukan pengeluaran untuk melakukakan pemasaran. Berdasarkan rata-rata marjin yang dihasilkan marjin yang dihasilkan pedagang grosir sayuran organik lebih besar dari rata-rata marjin yang dihasilkan ritel modern. Hal tersebut karena fungsi yang dilakukan oleh pedagang grosir sayuran organik lebih banyak dibandingkan ritel modern. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pedagang grosir diantaranya tenaga kerja, transportasi, kemasan, penyusutan, dan biaya listrik serta keuntungan. Biaya-biaya tersebut dikeluarkan untuk memberikan nilai tambah pada buncis organik. Selain itu ada pula biaya penangguangan risiko berupa biaya retur, namun tidak semua pedagang grosir sayuran organik menanggung biaya retur tersebut. Biaya produksi di tingkat petani pada Lampiran 5 diperoleh dari total pengeluaran usahatani dibagi total penen pada anaslis usahatani. Meskipun secara fungsi tataniaga perlakuan yang diberikan oleh ketiga pedagang grosir sayuran organik sama, namun biaya yang dikeluarkan dan keuntungan yang didapatkan
65 oleh pedagang grosir sayuran organik I, II, dan III berbeda-beda. Lampiran 5 menunjukan petani tidak mengeluarkan biaya tataniaga pada proses pemasaran buncis organik. Biaya dikeluarkan oleh Pengolah dan distributor dan ritel modern. Pada penelitian ini terdapat kekurangan yaitu tidak dapat mengakses data jumlah biaya dan keuntungan yang diperoleh oleh pihak ritel modern karena sulitnya perizinan, sehingga hanya dapat diketahui jumlah marjin yang diperoleh ritel modern berdasarkan harga yang diterima konsumen dari ritel modern dan harga jual gudang sayuran ke ritel modern. Analisis Farmer’s Share dan π/c rasio Farmer’s share merupakan porsi dari nilai yang dibayarkan konsumen akhir yang diterima oleh petani. Tabel 33 menunjukan farmer’s share yang didapatkan petani buncis organik di Desa Cisondari. Tabel 33 Farmer’s share yang didapatkan petani buncis organik di Desa Cisondaria Pf Pr Farmer's Saluran (Rp/kg) (Rp/kg) Share Saluran I 4 500 20 400 22.06 Saluran II 5 000 21 400 23.36 Saluran III 6 000 21 400 28.04 a
Sumber : Diolah dari data primer
Pada Tabel 33 ditunjukan bahwa harga yang diterima petani dari masingmasing gudang berbeda-beda. Pada saluran I Harga yang diterima petani sebesar Rp4.500/kg dengan harga yang diterima konsumen Rp20.400/kg. Pada saluran II harga yang diterima petani sebesar Rp5.000/kg dengan harga di tingkat konsumen sebesar Rp21.400. Harga di tingkat konsumen pada saluran II dan saluran III sama, namun harga ditingkat petaninya berbeda, yaitu pada saluran III sebesar Rp6.000/kg. Berdasarka harga perolehan tersebut nilai farmer’s share yang di setiap saluran berbeda-beda. Nilai farmer’s share paling besar terdapat pada saluran III yaitu sebesar 28.04 persen, hal tersebut berarti proporsi yang didapatkan petani dari nilai total yang dibayarkan konsumen pada saluran III sebesar 28.04 persen. Analisis Rasio π/c Rasio π/c merupakan rasio keuntungan yang dihasilkan per satuan biaya yang dikeluarkan dalam tataniaga buncis organik. Rasio π/c menggambarkan perbadingan antara keuntungan dan biaya. Pada analisis tataniaga rasio π/c diketahui sebagai salah satu indikator efisiensi relatif. Rasio π/c yang diharapkan adalah yang sebarannya cenderung merata di setiap lebaga dalam saluran, serta keuntngan yang didapatkan pada setiap lembaga sesuai dengan biaya yang dikeluarkan untuk memberikan nilai tambah pada buncis organik hingga sampai di konsumen. Tabel 34 menunjukan π/c rasio lembaga tataniaga buncis organik pada masing-masing saluran.
66 Tabel 34 π/c rasio lembaga tataniaga buncis organik pada masing-masing salurana Uraian Saluran I Gudang Sayura Organik I Ritel Modern Saluran II Gudang Sayura Organik II Ritel Modern Saluran III Gudang Sayur Organik III Ritel Modern a
Biaya 3 715 2 950 6 279 -
Keuntungan 4 785 8 050 3 721 -
Rasio 1.29 2.73 0.59 -
Sumber: Diolah dari data primer. (-) tidak teridentifikasi
Pada tabel 34 rasio π/c yang dapat diidentifikasi hanya pada pedagang grosir sayuran organik I,II, dan III. Sedangkan rasio π/c total dan rasio π/c pada ritel modern tidak dapat diidentifikasi karena data keuntungan dan biaya pada ritel modern tidak dapat diketahui. Pada salauran satu rasio π/c yang dihasilkan oleh gudang sayuran I sebesar 1.29, hal tersebut menunjukan keuntungan yang didapatkan oleh gudang sayuran satu sebesar Rp1.29 untuk setiap Rp1.00 biaya yang dikeluarkan gudang untuk memasarkan buncis. Pada saluran II, rasio π/c yang dihasilkan pedagang grosir sayuran organik II sebesar 2.73, nilai tersebut menunjukan keuntungan yang didapatkan oleh pedagang grosir sayuran organik II adalah sebesar Rp2.73 untuk setiap Rp1.00 biaya yang dikeluarkan pedagang grosir sayuran organik II untuk memasarkan buncis. Pada saluran III, rasio yang diperoleh pedagang grosir sayuran organik III sebesar 0.59, nilai tersebut berarti keuntungan yang didapatkan oleh pedagang grosir sayuran organik III adalah Rp0.59 untuk setiap Rp1.00 biaya yang dikeluarkan untuk memasarkan buncis organik. Analisis Efisiensi Tataniaga Pada penelitian ini rasio π/c belum dapat dijadikan idikator efisiensi relatif pada tataniaga buncis organik karena ada salah satu lembaga yang jumlah keuntungan dan biayanya tidak dapat diketahui. Sehingga rasio π/c yang dihasilkan belum menggambarkan keadaan masing-masing saluran secara utuh, hanya menggambarkan salah satu lembaga pada masing-masing saluran. Sehingga analisis efisiensi tataniaga buncis organik pada kasus ini akan dilihat berdasarkan indikator efisiensi relatif dari marjin tataniaga dan farmer’s share yang dihasilkan masing-masing saluran. Berdasarkan pendekatan pasar persaingan sempurna saluran I, II, dan III karena nilai farmer’s share secara absolut dapat dikatakan masih rendah karena lembaga yang terlibat di dalam semua saluran hanya berjumlah total tiga lembaga. Selain itu berdasarkan marjin tataniaga, jumlah marjin terbesar berada pada pedagang grosir sayuran organik, meskipun fungsi yang dilakukan lebih banyak dibandingkan dengan lembaga tataniaga lainnya namun perolehan keuntungan cenderung terpusat pada pedagang pengumpul sayuran organik jika dilihat pada Lampiran 5. Namun, diantara tiga saluran tersebut terdapat satu saluran yang lebih
67 efisien dibandingkan dua saluran lainya jika ditinjau berdasarkan marjin tataniaga, dan farmer’s share yang diperoleh. Nilai marjin yang diperoleh pada saluran III merupakan nilai marjin yang paling rendah, dan nilai farmer’s share yang ihasilkan merupakan nilai yang paling tinggi. Sehingga dapat disimpulkan saluran tataniaga buncis organik yang lebih efisien di Desa Cisondari diantara saluran lainnya adalah saluran III.
ANALISIS TATANIAGA BUNCIS NON-ORGANIK Identifikasi Lembaga Tataniaga Buncis Non-organik Proses penyaluran buncis non-organik dari petani ke konsumen akhir melibatkan beberapa lembaga tataniaga yaitu; 1. Petani buncis non-organik merupakan produsen buncis yang membudidayakan buncis secara non-organik di Desa Cisondari, terdapat 23 petani buncis non-organik yang seluruhnya berada di Desa Cisondari. 2. Pedagang pengumpul merupakan pedagang perantara berbentuk perorangan yang membeli dengan cara mengumpulkan hasil panen buncis non-organik dari petani dan menjual ke pihak selanjutnya, jumlah pedagang pengumpul yang teridentifikasi sebanyak 6 orang pedagang pengumpul yang seluruhnya beroprasi di Desa Cisondari. 3. Pedagang grosir lokal merupakan pedagang perantara yang membeli dan menjual buncis non-organik dalam jumlah besar yang berada di kawasan Kota atau Kabupaten Bandung, pedagang grosir lokal yang teridentifikasi sebanyak 2 pedagang yang beroprasi di Pasar Caringin Bandung. 4. Pedagang grosir non-lokal merupakan pedagang perantara yang membeli dan menjual buncis non-organik dalam jumlah besar yang berada di luar kawasan Kota atau Kabupaten Bandung, pedagang grosir non-lokal yang teridentifikasi sebayak 1 pedagang yang beroprasi di Pasar Parung Bogor. 5. Pedagang pengecer lokal merupakan pedagang perantara yang membeli dan menjual buncis non-organik langsung ke konsumen akhir, jumlah pedagang pengecer lokal sebanyak 5 orang pengecer lokal yang berada di kawasan Kota atau Kabupaten Bandung. Pedagang pengecer tersebar di Pasar Caringin Bandung, Pasar Cicaheum Bandung, dan Pasar Kopo Sayati Bandung. 6. Pedagang pengecer non lokal merupakan pedagang perantara yang membeli dan menjual buncis non-organik langsung ke konsumen akhir yang berada di luar kawasan Kota atau Kabupaten Bandung. Jumlah pedagang pengecerrr non-lokal sebanyak 2 orang yang beroperasi di Pasar Parung Bogor. Saluran Tataniaga Buncis Non-organik Proses penyaluran buncis non-organik dari petani sampai ke konsumen membentuk 6 saluran berbeda. Volume buncis yang disalurkan, lembaga yang terlibat, serta harga yang berlaku dalam masing-masing saluran berbeda-beda. Gambar 9 menunjukan skema tataniaga buncis non-organik saluran I hingga saluran VI.
68 1. Saluran I Pada saluran tataniaga I buncis non-organik mengalir dari petani ke pedagang pengumpul di Desa Cisondari, kemudian pedagang pengumpul menyalurkan seluruh buncis yang dipasok petani pada saluran satu kepada pedagang grosir lokal di Pasar Induk Caringin, dari pedagang grosir lokal buncis disalurkan ke pengecer lokal. Pengecer lokal langsung menjual buncis ke konsumen akhir. Jumlah buncis yang disalurkan pada saluran I sebesar 10.300 kg (50.81%). Saluran ini merupakan saluran yang paling banyak dipilih petani karena petani dapat menjual dengan kuantitas banyak serta adanya keterikatan modal antara petani dan pengumpul. Selain itu alasan lainnya adalah karena petani tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi untuk menjual buncis, karena pedagang pengumpul melakukan penjemputan ke dekat lokasi panen. Jumlah petani dalam saluran ini senayak 11 orang petani. Harga di tingkat petani pada saluran ini Rp2.892.00/kg, kemudian dijual oleh pedagang pengumpul Rp4.000.00/kg pada pedagang grosir lokal, pedagang grosir lokal menjual dengan harga Rp5.013.00 kepada pengecer lokal, pedagang pengecer menjual dengan harga Rp8.000.00/kg kepada konsumen. 2. Saluran II Buncis non-organik pada saluran II mengalir dari petani ke pedagang pengumpul di Desa Cisondari, kemudian pedagang pengumpul menyalurkan seluruh buncis yang dipasok petani pada saluran satu kepada pedagang grosir lokal, dari pedagang grosir lokal buncis disalurkan ke pedagang grosir non lokal di Pasar Parung. Pedagang grosir non lokal mendistribusikan ke pedagang pengecer non lokal di Pasar Parungpung Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. Pada saluran ini buncis yang disalurkan sebanyak 3.810 kg (18.79 persen). Saluran ini dipilih oleh 5 orang petani. Harga jual petani pada saluran ini Rp3.040.00/kg, harga jual di pedagang pengumpul dengan harga Rp4.000.00/kg pada pedagang grosir. Pedagang grosir lokal menjual buncis non-organik dengan harga Rp5.304.66/kg pada pedagang grosir non lokal, pedagag grosir non lokal menjual buncis dengan harga Rp7.103.66/kg kepada pedagang pengecer non lokal dengan mengantarkannya ke masing-masing lapak. Pedagang pengecer non lokal menjual kepada konsumen dengan harga Rp10.000.00/kg. 3. Saluran III Buncis non-organik pada saluran III mengalir dari petani ke pedagang pengumpul Desa Cisondari, dari pedagang pengumpul buncis disalurkan langsung kepada pedagang pengecer lokal di Pasar Kopo Sayati. Pedagang pengecer menyalurkan langsung ke konsumen. Jumlah petani yang memilih saluran ini hanya 1 orang petani, karena jumlah yang dapat dipasarkan hanya mampu menampung sedikit. Jumlah buncis yang dipasarkan pada saluran ini sebanyak 485 kg (2.29 persen). Harga ditingkat petani pada saluran ini Rp3.000.00/kg buncis non-organik. Harga jual pedagang pengumpul Rp4.500.00/kg kepada pedagang pengecer lokal. Pedagang pengecer lokal menjual dengan harga Rp6.500.00/kg kepada konsumen.
69 4. Saluran IV Buncis non-organik pada saluran IV mengalir dari petani ke pedagang grosir lokal, petani mendatangi pedagang grosir lokal tersebut di Pasar Induk Caringin dengan transportasi sewaan yang dilakukan secara borongan dengan petani lainya. Pedagang grosir lokal menjual buncis pada pedagang pengecer lokal, pedagang pengecer lokal langsung menjual buncis ke konsumen langsung. Pada saluran ini jumlah buncis yang disalurkan sesbesar 2.500 kg (12.33 persen). Jumlah petani pada saluran ini sebanyak 2 petani. Saluran ini dipilih karena petani bisa mendapatkan harga lebih baik dari pada melewati pedagang pengumpul. Harga ditingkat petani pada saluran ini adalah Rp 3.200.00/kg buncis nonorganik. Pedagang grosir lokal menjual buncis dengan harga Rp4.213.00/kg pada pedagang pengecer. Pedagang pengecer menjual buncis non-organik langsung ke konsumen dengan harga Rp6.400.00/kg. Pada saluran jumlah petani masih mungkin meningkat jika harga pasar sesuai, karena biaya transportasi dapat dibayarkan setelah buncis dijual ke pedagang grosir. 5. Saluran V Buncis non-organik pada saluran V disalurkan dari petani ke pedagang grosir lokal, dari pedagang grosir lokal dipasarkan ke pedagang grosir non lokal, pedagang grosir non lokal menyalurkan buncis ke pedagang pengecer non lokal. Pedagang pengecer non lokal menyalurkan buncis langsung ke konsumen non lokal. Jumlah buncis yang dipasarkan pada saluran ini sebanyak 2.838 kg (14.00 persen). Jumlah petani dalam saluran V adalah 3 orang petani. Harga buncis non-organik pada tingkat petani saluran V adalah Rp3.393.00/kg, harga jual pedagang grosir lokal sebesar Rp4.698.41/kg, harga jual pedagang grosir non lokal pada pedagang pengecer non lokal sebesar Rp6.698.41/kg. Pedagang pengecer non lokal menjual buncis dengan harga Rp9.698.41/kg pada konsumen non lokal. 6. Saluran VI Pada saluran VI buncis non-organik disalurkan dari petani di Desa Cisondri langsung ke pedagang pengecer lokal dan pedagang pengecer lokal langsung menjual buncis ke konsumen. Jumlah buncis yang disalurkan pada salura ini sebanyak 360 kg (1.78 persen). Pada saluran ini hanya dipilih oleh satu orang petani. Saluran ini tidak banyak dipilih karena sebagian besar petani tidak memiliki akses pasar ke pengecer. Dalam pelaksanaan penyalurannya petani langsung ke pasar untuk menjual kepada pedagang pengecer langganan dangan biaya transportasi ditanggung petani. Selain itu kuota jual hanya sedikit karena pembeli (pedagang pengecer) hanya membeli maksimal 20 kg perhari dan tidak semua pengecer lokal di pasar ini membeli kepada petani di saluran VI. Harga buncis ditingkat petani pada saluran VI adalah Rp4.000.00/kg dijual langsung ke pedagang pengecer lokal. Pedagang pengecer lokal menjual buncis langsung ke konsumen dengan harga buncis Rp6.000.00/k
70
70
Pedagang Grosir NonLokal
Pedagang Pengecer Non-Lokal
3 810 kg
2838 kg
2838 kg
3 810 kg
2838 kg
3810 kg
10.300 kg (50.81%) 10300 kg
Petani
20.273 kg (100%)
3.810 kg (18.79%)
Pedagang Pengumpul
10 300 kg
3 810 kg
485 kg (2.29%)
Pedagang Grosir Lokal
10300 kg
2500 kg
Pedagang Pengecer Lokal
Konsumen
485 kg 2500 kg 360 kg
2500 kg (12.33%)
485 kg 2838 kg (14.00%)
Keterangan:
saluran 1 360 kg (1.78%)
saluran 2 Saluran 3 saluran 4 saluran 5 saluran 6
Gambar 9 Saluran Tataniaga I-VI Buncis Non-organik di Desa Cisondari
71
Fungsi Tataniaga Buncis Non-organik Setiap lembaga tataniaga dalam pemasaran buncis non-organik melakukan fungsi tataniaga yang berbeda-beda dalam proses menyalurkan buncis kepada konsumen akhir. Fungsi tataniaga tersebut diantaranya fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Tabel 35 menunjukan fungsi-fungsi yang dilakukan oleh lembaga tataniaga pada kegiatan pemasaran buncis organik. Tabel 35 Fungsi Tataniaga yang Dilakukan oleh Lembaga Tataniaga Buncis Nonorganika Lembaga Tataniaga Petani
Fungsi tataniaga Fungsi pertukaran Fungsi fisik Fungsi fasilitas Fungsi pertukaran
Pedagang Pengumpul
Fungsi fisik Fungsi fasilitas
Pedagag Grosir Lokal
Fungsi pertukaran Fungsi fisik Fungsi fasilitas
Pedagang Grosir Non-Lokal
Fungsi pertukaran Fungsi fisik Fungsi fasilitas
Pedagang Pengecer Lokal
Fungsi pertukaran Fungsi fisik Fungsi fasilitas
Pedagang Pengecer Non Lokal
Fungsi pertukaran Fungsi fisik Fungsi fasilitas
a
Aktivitas Penjualan Pengangkutan, pengemasan Penanggungan risiko, pembiayaan*, Informasi pasar* Pembelian dan penjualan Pemanenan*, pengumpulan, pengangkutan, pengemasan* Sortir, pembiayaan, informasi pasar,penanggungan resiko* Pembelian dan penjualan Pengangkutan*, pengemasan Sortir, pembiayaan, informasi Pasar, penanggungan risiko Pembelian dan penjualan Pengangkutan Pembiayaan, informasi pasar, penanggungan risiko Pembelian dan penjualan Pengemasan dan pengangkutan* Pembiayaan, informasi pasar, penanggungan risiko Pembelian dan penjualan Pengemasan Pembiayaan, informasi pasar, penanggungan risiko
Sumber: Data primer.(*)Sebagian melakukan
1. Petani Pada proses pemasaran buncis non-organik petani melakukan fungsi pertukaran berupa aktivitas penjualan. Fungsi fisik yang dilakukan oleh petani buncis non-organik adalah pengangkutan dan pengemasan. Aktivitas pengangkutan dilakukan oleh petani dalam bentuk tenaga angkut dan transportasi. Pengangkutan dengan tenaga angkut dilakukan oleh petani sendiri atau dilakukan oleh tenaga kerja, namun umumnya di Desa Cisondari bagi petani yang menjual hasil panen ke pedagang pengumpul, tenaga angkut yang dibutuhkan hanya untuk mengangkut dari kebun ke jalan raya dekat kebun karena pedagang pengumpul yang melakukan penjemputan. Sedangkan untuk petani yang menjual langsung ke pedagag grosir atau ke pengecer petani tersebut mengeluarkan biaya untuk transportasi pengangkutan yang umumnya menggunakan mobil kolt borongan bersama dengan petani lainnya. Selain itu
72
fungsi fisik yang dilakukan oleh semua petani responden buncis non-organik adalah pengemasan hasil panen dengan menggunakan plastik besar ataupun karung. Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh petani adalah pembiayaan (transportasi) untuk sebagian petani, informasi pasar (sebagian petani), dan penanggungan risiko. 2. Pedagang Pengumpul Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul dalam menyalurkan buncis non-organik adalah fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran berupa aktivitas pembelian dan penjualan buncis non-organik. Fungsi fisik yang dilakukan berupa aktivitas pemanenan, pengumpulan, pengangkutan dan pengemasan. Aktivitas pemanenan dilakukan kadang-kadang dan oleh sebagian pedagang pengumpul ketika membeli hasil penen dengan sistem tebas. Aktivitas pengangkutan dilakukan dengan menggunakan transportasi berupa mobil kolt borongan (sewa) untuk pedagang pengumpul yang menjual dalam kuantitas banyak, atau menggunakan ojeg dan angkutan umum bagi pengumpul yang menjual dengan kuantitas kecil. Aktivitas pengemasan dilakukan oleh sebagian pedagang pengumpul. Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang pengumpul berupa pembiayaan (kemasan, transportasi dan tenaga kerja), kegiatan sortasi, dan penanggungan risiko. Kegiatan sortasi tidak selalu dilakukan dan oleh sebagian pedagang pengumpul. 3. Pedagang Grosir Lokal Pedagang grosir lokal melakukan fungsi tataniaga berupa fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran dilakukan dalam bentuk aktivitas pembelian dan penjualan buncis non-organik. Fungsi fisik yang dilakukan oleh pedagang grosir adalah pengangkutan dan pengemasan. Pengankutan dilakukan dengan menggunakan tenaga angkut dan juga sebagian pedagang grosir lokal menggunakan transportasi. Pengemasan yang dilakukan adalah mengemas buncis yang akan dijual dengan plastik ukuran 10-30kg. Fungsi fasilitas yang dilakukan adalah aktivitas sortasi, pembiayaan (tenaga kerja, transportasi dan kemasan), informasi pasar, dan penanggungan risiko. 4. Pedagang Grosir Non Lokal Pedagang grosir non lokal melakukan fungsi tataniaga berupa fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran dilakukan dalam bentuk akvtivitas pebelian dan penjualan buncis non-organik. Fungsi fisik yang dilakukan berupa pengangkutan dari pedagang grosir lokal ke pengecer non lokal. Pengankutan dilakukan dengan menggunakan truk sayur bersama dengan sayur lainnya. Selain pengangkutan dalam bentuk transportasi, pedagang grosir non lokal juga menggunakan jasa tenaga kerja pengangkut untuk mengangkut buncis dari truk sayur ke setiap lapak pedagang pengecer non lokal. Aktivitas pengemasan tidak dilakukan oleh pedagang grosir non lokal. Fungsi fasilitas yang dilakukan berupa aktivitas pembiayaan (transportasi dan tenaga kerja), informasi pasar, dan penanggungan risiko.
73
5. Pedagang Pengecer Lokal Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengecer lokal adalah fungsi pertukaran berupa pembelian dan penjualan buncis non-organik. Fungsi fisik yang dilakukan di tingkat pedagang pengecer lokal berupa aktivitas pengemasan dan pengangkutan. Aktivitas pengemasan dilakukan dengan menggunakan kemasan eceran setiap kali pembelian yang dilakukan konsumen langsung. Aktivitas pengangkutan berupa mengangkut buncis dari tempat pembelian ke lapak penjualan baik yang berada di pasar induk maupun di luar pasar induk. Aktivitas pengangkutan tidak dilakukan oleh seluruh pedagang pengecer lokal karena beberapa pengecer yang membeli dari pedagang pengumpul tidak menanggung biaya pengangkutan ataupun tidak melakukan pengangkutan sendiri. Fungsi fasilitas yang dilakukan adalah informasi pasar, pebiayaan (kemasan, retribusi, dan pengangkutan) dan penanggungan risiko. 6. Pedagang Pengecer Non Lokal Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengecer non lokal adalah fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan berupa pembelian dan penjualan buncis konvnsional. Fungsi fisik dilakuakan dalam bentuk aktivitas pengemasan. Pengemasan dilakukan dalam bentuk kemasan eceran yang dilakukan ketika konsumen akhir melakukan pembelian. Pada kasus ini pedagang pengecer lokal tidak melakukan aktivitas pengangkutan karena buncis diantarkan hingga ke lapak oleh pedagang grosir non lokal. Fungsi fasilitas yang dilakukan berupa pembiayaan (retribusi dan kemasan), informasi pasar, dan penanggungan risiko. Struktur pasar Struktur pasar merupakan sifat-sifat organisasi pasar yang mempengaruhi perilaku dan keragaan pasar (Asmarantaka, 2012). Setiap lembaga pada tataniaga buncis non-organik menghadapi beberapa struktur pasar bergantung pada jumlah pembeli dan penjual, kondisi atau keadaan produk, mudah atau sukar untuk keluar masuknya pasar atau industri serta tingkat pengetahuan informasi. Struktur pasar yang dihadapi oleh petani terbentuk dari beberapa sudut pandang. Struktur pasar yang dihadapi petani sebagai penjual dan pedagang pengumpul sebagai pembeli, petani sebagai penjual dan pedagang grosir sebagai pembeli menghadapi struktur pasar oligopsoni murni. Hal tersebut karena jumlah pembeli lebih sedikit dari pada jumlah penjual. Sedangkan petani sebagai penjual dan pengecer sebagai pembeli bersifat oligopoli murni, karena jumlah penjual lebih banyak dari pembeli. Selain itu produk bersifat homogen dan hambatan untuk keluar masuk tinggi. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul sebagai penjual dan pedagang grosir sebagai pembeli menghadapi oligopsoni murni, karena jumlah penjual leih banyak dari pada jumlah pembeli. Sedangkan pedagang pengumpul sebagai penjual dan pedagang pengecer sebagai pembeli megahadapi pasar oligopoli murni, karena jumlah penjual lebih banyak dari pada jumlah pembeli, barang bersifat homogen, informasi banyak, dan hambatan keluar masuk pasar tinggi. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang grosir sebagai pembeli dan pedagang pengecer sebagai pembeli bersifat oligopoli murni karena jumlah
74
pedagang pengecer sebagai pembeli lebih banyak dari pada jumlah pedagang grosir sebagai penjual. Selain itu barang brsifat homogen, informasi bayak, dan hambatan keluar masuk pasar tinggi. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengecer sebagai penjual dan konsumen sebagai pembeli menghadapi struktur pasar yang cenderung pasar kompetitiv. Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah pembeli dan penjual samasama banyak, barang bersifat homogen, informasi pasar banyak, dan hambatan keluar masuk pasar cenderung sedikit. Perilaku pasar Periaku pasar merupakan suatu pola perilaku yang mencerminkan tanggapan suatu lembaga dalam menghadapi keadaan atau struktur pasar yang ada, agar dapat bertahan dalam pasar tersebut. Dalam penelitian ini perilaku pasar tersebut akan ditinjau berdasarkan sistem pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga, dan sistem pembayaran dan bentuk kerjasama. 1. Pembelian dan penjualan Sistem pembelian dan penjualan pada tataniaga buncis non-organik dilakukan dengan bermacam-macam cara, disesuaikan ketika buncis dihasilkan. Pihak petani melakukan penjualan buncis non-organik kepada pedagang pengumpul, pedagang grosir lokal dan pedagang pengecer lokal. Penjualan yang dilakukan kepada pihak pengumpul dilakukan dengan dua cara yaitu setelah panen dan sistem tebas. Sistem tebas merupakan sistem penjualan dengan membayar hasil buncis sebelum dipanen dengan perkiraan hasil penen berdasarkan jumlah benih atau luas lahan. Namun sistem tebas ini hanya dilakukan oleh sebagian petani dan pada saat-saat tertentu. Penjualan yang dilakukan kepada pedagang grosir lokal dan pedagang pengecer lokal dilakukan dengan mengantarkan buncis menggunakan transportasi sewaan atau angkutan umum, dengan biaya transportasi ditanggung oleh petani. Pedagang pengumpul melakukan pembelian kepada petani dan penjualan kepada pedagang grosir lokal dan pedagang pengecer lokal. Pembelian buncis kepada petani dilakukan dengan menjemput hasil panen ke area lahan panen buncis dengan menggunakan mobil kolt borongan. Jika pembelian dengan sistem tebas maka pedagang pengumpul menanggung biaya tenaga kerja untuk panen. Penjualan yang dilakukan kepada pedagang grosir, buncis diantarkan menggunakan transportasi sewaan atau angkutan umum hingga ke lapak pedagang grosir lokal. Sebagian pedagang pengumpul ada juga yang mengantarkan hingga lokasi yang ditentukan, umumnya mobil truk sayur pedagang grosir menjemput di gerbang masuk kecamatan. Penjualan yang dilakukan ke pedagang pengecer lokal, transportasi ditanggung oleh pedagang pengumpul, karena kuantitas yang dijual tidak sebanyak ke pedagang grosir umumnya buncis diangkut menggunakan angkutan umum. Pedagang grosir lokal melakukan pembelian buncis dari petani dan pedagang pengumpul serta penjualan kepada pedegang pengecer lokal dan pedagang grosir non lokal. Penjualan yang dilakukan oleh pedagang grosir lokal adalah dengan menggunakan lapak. Umumnya pembeli yang membutuhkan buncis, akan mendatangi lapak pedagang grosir lokal di pasar induk. Pedagang grosir non lokal melakukan pembelian buncis dari pedagang grosir lokal dengan mengambil buncis di lapak pedagang grosir lokal dan
75
mengangkut buncis tersebut menggunakan truk sayur ke pasar yang dituju untuk menjual ke pedagang pengecer non lokal. Pedagang grosir lokal menjual buncis kepada pedagang pengecer lokal dengan mengantarkan buncis ke setiap lapak menggunakan tenaga angkut. Pedagang pengecer lokal melakukan pembelian buncis dari pedagang grosir lokal dan pedagang pengumpul. Pedagang pengecer yang membeli buncis dari pedagang grosir lokal melakukan pengankutan buncis dari lapak grosir ke lapak pedagang pengecer masing-masing baik menggunakan transportasi ataupun tenaga angkut. Sedangkan pedagang pengecer yang membeli dari pedagang pengumpul, buncis diantarkan oleh pedagang pengumpul hingga ke lapak pedagang pengecer masin-masing. Pedagang pengecer melakukan penjualan langsung ke konsumen di lapak masing-masing. Pedagang pengecer non lokal membeli buncis dari pedagang grosir non lokal di lapak pedagang pengecer masing-masing sehingga tidak ada biaya angkut yang ditanggung. Begitu juga penjualan kepada konsumen non lokal dilakukan di lapak pedagang pengecer non lokal masing-masing. 2. Penentuan Harga Secara umum harga buncis terbentuk karena adanya mekanisme pasar yang terjadi di pasar tradisional. Namun pada pelaksanaannya untuk sebagian petani harga buncis cenderung ditentukan oleh pedagang pengumpul dan pedagang grosir sebagai pembeli atau petani bersifat price taker. Hal tersebut karena posisi tawar petani lebih rendah serta informasi pasar yang dimiliki petani masih rendah. Sedangkan petani yang menjual langsung ke pengecer lokal memiliki informasi pasar yang lebih luas karena lagsung terjun ke pasar dan berhadapan langsung dengan pedagang pengecer. Penentuan harga di tingkat pedagang pengumpul dan pedagang grosir harga ditentukan oleh pedagang grosir karena posisi tawar pedagang grosir lebih tinggi. Begitu juga harga beli yang diperoleh pedagang pengecer mengikuti harga yang berlaku di pedagang grosir sehingga akan berpengaruh terhadap harga yang diterima konsumen. 3. Sistem Pembayaran dan Bentuk Kerjasama Sistem pembayaran yang dilakukan oleh pedagang pengumpul ke petani ada dua yaitu tunai dan dibayar dikemudian. Sebagian besar petani responden mengalami sistem pembayaran dibayar dikemudian atau dibayar setelah hasil panen laku di pasar, karena pengumpul tidak memiliki modal cukup untuk membeli hasil panen dari petani secara tunai. Hal tersebut juga dilakukan oleh beberapa pedagang pengecer kepada pedagang grosir, terutama pedagang pengecer non lokal kepada pedagang grosir non lokal. Pedagang grosir lokal melakukan sistem pembayaran tunai pada pihak yang menjual buncis nonorganik pada pedagang grosir, atau biasa disebut dengan istilah timbangbayar. Pembayaran tunai juga dilakukan oleh pedagang pengecer yang membeli buncis pada pedagang grosir terutama yang berbeda lokasi pasar. Sedangkan pedagang pengecer yang membeli buncis dari pedagang pengumpul melakukan sistem bayar dikemudian, menunggu hasil penjualan. Bentuk kerjasama yang dilakukan setiap lembaga tataniaga buncis nonorganik hampir seluruhnya berbentuk langganan. Langganan terbentuk karena sudah terbiasa dijual pada pihak yang bersangkutan. Pada tataniaga buncis
76
non-organik tidak ada kerjasama berbentuk kontrak tertulis. Namun pada tingkat petani dan pengumpul terdapat kerjasama terikat yaitu ketika petani tidak memiliki modal untuk membeli input pertanian, umumnya petani meminjam pada pengumpul yang memiliki modal dengan syarat hasil panen seluruhnya dijual pada pengumpul yang meminjamkan modal tersebut. Pada kondisi tersebut petani mau tidak mau harus menerima harga yang ditawarkan oleh pedagang pengumpul bersangkutan dan tidak bisa memilih menjual ke saluran lain. Pada tingkat pedagang grosir lokal dan non lokal, pedagang pengecer lokal dan non lokal, bentuk kerjasama adalah langganan. Setiap penjual berhak memilih pihak yang menjadi sumber pembelian. Umumnya pihak yang dipilih sebagai langganan ditentukan karena harga dan kualitas buncis, serta ketersediaanya. Analisis Marjin Tataniaga Buncis Non-organik Analsis marjin tataniaga merupakan jumlah dari keuntungan dan biaya pada lembaga tataniaga buncis non-organik untuk menyalurkan buncis hingga sampai di tangan konsumen. Marjin tataniaga juga dapat diperoleh dari selisih harga jual dan harga beli pada masing-masing lembaga. Sedangkan marjin tataniaga total merupakan selisih harga jual dari harga di tingkat konsumen dan harga di tingkat petani atau didapatkan dari penjumlahan total keuntungan dan total biaya pada lembaga tataniaga di masing-asing saluran tataniaga.Marjin tataniaga merupakan salah satu indikator dari efisiensi tataniaga, namun tingkat efisiensi tidak hanya ditinjau dari besar kecilnya marjin tataniaga tersebut tetapi dari fungsi yang dilakukan (added value). Sehingga meskipun marjin tataniaga besar belum tentu tidak efisien jika nilai tambah yang diberikan juga sebanding. Perbedaan marjin disebabkan karena adanya perbedaan perklakuan atau penanganan produk pada masing-masing lembaga tataniaga. Komponen utama marjin tataniaga adalah keuntungan dan biaya. Biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga tataniaga diantaranya biaya kemasan, biaya transportasi, biaya bongkar muat, biaya sortasi, biaya retribusi, dan biaya penyusutan. Khusus pada pedagang pengumpul yang melakukan sistem tebas terdapat biaya panen. Rincian biaya masing-masing lembaga tataniaga terdapat pada Lampiran 6. Hasil penelitian menunjukan marjin tataniaga pada keenam saluran berbedabeda. Marjin tataniaga pada saluran I sebesar Rp4.143.00/kg, pada saluran II sebesar Rp7.264.66/kg, pada saluran III sebesar Rp3.500.00/kg, pada saluran IV Rp3.200.00/kg, pada saluran V sebesar Rp6.304.66/kg, dan saluran VI sebesar Rp2.161.00/kg. Hal tersebut menunjukan bahwa total kombinasi keuntungan dan biaya pada saluran I sebesar Rp4.143.00/kg, Rp7.264.66/kg pada saluran II, Rp3.500.00/kg pada saluran III, Rp3.200.00/kg pada salura IV, Rp6.304.66/kg pada saluran V, dan Rp2.161.00/kg pada salura VI. Marjin tataniaga terbesar berada pada saluran II yaitu sebesar Rp7.264.00/kg dan marjin terkecil berada pada saluran VI yaitu Rp2.161.00/kg. Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 37 sebaran marjin terbesar dihasilkan pada pedagang pengecer, sedangkan marjin terkecil pada pedagang pengumpul. Rincian nilai marjin tataniaga tertera pada Tabel 37.
77
Analisis Farmer’s Share Farmer’s share adalah porsi nilai yang diterima petani dari total nilai yang dibayarkan konsumen akhir untuk buncis non-organik. Umumnya nilai farmer’s share berbanding terbalik dengan marjin tataniaga, semakin tiggi farmer’s share semakin efisien suatu saluran tataniaga. Namun, penurunan farmer’s share belum tentu menunjukan adanya penurunan penerimaan petani atau ketidak efisiensian suatu tataniaga. Hal tersebut bergantung dari nilai kepuasan atau penambahan nilai yang diberikan pada saluran tersebut, karena penurunan farmer’s share bisa disebabkan oleh adanya peningkatan nilai tambah dan kepuasan dalam bentuk peningkatan marjin tataniaga Sehingga penilaian farmer’s share bersifat relatif dan perlu ditinjau dari segi nilai tambah atau fungsi-fungsi tataniaga yang diberikan. Tabel 36 menunjukan nilai farmer’s share pada masing-masing saluran tataniaga buncis non-organik. Tabel 36 Farmer's share buncis non-organik pada saluran I-VIa Saluram I II III IV V VI a
Harga Jual Petani (Pf) (Rp/kg) 2 892.00 3 040.00 3 000.00 3 200.00 3 393.75 4 000.00
Harga Beli Konsumen (Pr) (Rp/kg) 8 000.00 10 000.00 6 500.00 6 400.00 9 698.41 6 000.00
Farmer's share (%) 36.15 30.40 46.15 50.00 34.99 66.67
Sumber : Diolah dari data primer
Tabel 36 menunjukan nilai farmer’s share pada keenam saluran tataniaga buncis non-organik berbeda-beda. Pada saluran I nilai farmer’share sebesar 36.15 persen, pada saluran II nilai farmer’share sebesar 30.40 persen, pada saluran III nilai farmer’share sebesar 46.15 persen, pada saluran IV nilai farmer’share sebesar 50.00 persen, pada saluran V nilai farmer’share sebesar 35.99 persen, pada saluran V nilai farmer’share sebesar 66.67 persen. Hal tersebut menunjukan bahwa porsi nilai yang diterima petani dari nilai yang diberikan konsumen sebesar 36.15 persen pada saluran I, 30.40 persen pada saluran II, 46.15 persen pada saluran III, 50.00 persen pada saluran IV, 35.99 persen pada saluran V, dan 66.67 persen pada saluran VI. Nilai farmer’share tertinggi berada pada saluran VI yaitu sebesar 66.67 persen sedangkan farmer’share terendah pada saluran II sebesar 30,40 persen. Rincisan nilai farmer’s share masing-masing saluran tertera pada Tabel 36. Analisis Rasio π/c Rasio π/c merupakan perbandingan dari keuntungan terhadap biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga tataniaga. Rasio π/c menunjukan apakah keuntungan yang diterima dan biaya yang dikorbankan pada suatu saluran atau lembaga tataniaga sudah sebanding atau tidak sebanding. Berdasarkan hasil pengamatan dan observasi rasio total keuntungan dan total biaya (π/c) pada saluran I sampai dengan saluran VI berbeda-beda. Rasio π/c
78
pada saluran I sebesar 3.12, pada saluran II sebesar 6.69, pada salura III sebesar 5.33, pada saluran IV sebesar 4.99, pada saluran V sebesar 9.41, dan pada saluran VI sebesar 12.42. Hal tersebut menunjukan bahwa total keuntungan pada saluran I lebih besar 3 kali lipat dari pada total biaya yang dikeluarkan, total keuntungan pada saluran II 6 kali lipat lebih besar dari total biaya yang dikeluarkan, total keuntungan pada saluran III 5 kali lipat lebih besar dari total biaya yang dikeluarkan, total keuntungan pada saluran IV 4.99 atau hampir 5 kali lipat lebih besar dari total biaya yang dikeluarkan, total keuntungan pada saluran V 9 kali lebih besar dari total biaya yang dikeluarkan, serta pada saluran VI total keuntungan lebih besar 12 kali lipat dari total biaya yang dikeluarkan. Berdasarkan hasil rasio π/c masing-masing saluran, nilai rasio π/c terbesar berada pada saluran VI yaitu 12.42 dan rasio terkecil pada saluran I. Rincian rasio π/c tertera pada Tabel 37.
79
Tabel 37 Marjin tataniaga, dan rasioa π/c pada tataniaga buncis non-organik di Desa Cisondaria I
π/c
II
π/c
III
2241.00 651.00 2892.00
2241.00 799.00 3040.00
2241.00 759.00 3000.00
2892.00 472.00 471.00 943.00 4000.00
3040.00 339.70 620.30 960.00 4000.00
3000.00 391.50 1108.50 1500.00 4500.00
4000.00 213.00 800.00 1013.00 5813.00
0.99
3.75
4000.00 304.66 1000.00 1304.66 5304.66 5304.66 201.00 1799.00 2000.00 7103.66
5813.00 321.00 1866.00 2187.00 8000.00
5,81
1.83
π/c
IV
π/c
V
2241.00 959.00 3200.00
2241.00 1152.75 3393.75
3200,00 213.00 800.00 1013.00 4213.00
3393.75 304.66 1000.00 1304.66 4698.41
VI
π/c
2241.00 1759.00 4000.00
2.83
3.28
3.75
4698.41 201.00 1799.00 2000.00 6698.41
8.95
4500.00 161.00 1839.00 2000.00 6500.00
π/c
11,42
4213.00 321.00 1866.00 2187.00 6400.00
6.81
3.28
8.95
4000.00 161.00 1839.00 2000.00 6000.00
11.42
79
Uraian/ Saluran Petani Biaya Produksi (Rp/kg)b Keuntungan (Rp/kg) Harga Jual (Rp/kg) Pedagang Pengumpul Harga Beli (Rp/kg) Biaya Tataniaga (Rp/kg) Keuntungan (Rp/kg) Marjin tataniaga (Rp/kg) Harga Jual (Rp/kg) Pedagang Grosir Lokal Harga Beli (Rp/kg) Biaya Tataniaga (Rp/kg) Keuntungan (Rp/kg) Marjin tataniaga (Rp/kg) Harga Jual (Rp/kg) Pedagang Grosir Non Lokal Harga Beli (Rp/kg) Biaya Tataniaga (Rp/kg) Keuntungan (Rp/kg) Marjin tataniaga (Rp/kg) Harga Jual (Rp/kg) Pedagang Pengecer Lokal Harga Beli (Rp/kg) Biaya Tataniaga (Rp/kg) Keuntungan (Rp/kg) Marjin tataniaga (Rp/kg) Harga Jual (Rp/kg)
80
80
Pedagang Pengecer Non Lokal Harga Beli (Rp/kg) Biaya Tataniaga (Rp/kg) Keuntungan (Rp/kg) Marjin tataniaga (Rp/kg) Harga Jual (Rp/kg) Total Keuntungan (Rp/kg) Total Biaya (Rp/kg) Marjin Tataniaga (Rp/kg) Farmer's Share (%) rasio B/C Kuantitas buncis yang dipasarkan (%) a
29.04
b
3137.00 1006.00 4143.00 36.15 3.12
7103.66 99.88 2900.13 3000.00 10000.00 6319.43 945.24 7264.66 30.40 6.69
50.81
18.79
2947.50 552.50 3500.00 46.15 5.33
2666.00 534.00 3200.00 50.00 4.99
6698.41 99.88 2900.13 3000.00 9698.41 5699.13 605.54 6304.66 34.99 9.41
2.29
12.33
14.00
29.04
1839.00 161.00 2000.00 66.67 11.42 1.78
Sumber: Diolah dari data primer. Biaya produksi petani diperoleh dari total biaya usahatani dibagi jumlah total produksi pada analisis pendapatan usahatani buncis non-organik
81
Analisis Efisiensi Tataniaga Buncis Non-organik Berdasarkan hasil pengamatan lapang terhadap nilai marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio π/c yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa tataniaga buncis non-organik di semua saluran relatif belum efisien. Hal tersebut dikarenakan nilai rasio π/c pada setiap saluran belum tersebar merata, atau cenderung terpusat di beberapa lembaga tataniaga seperti pedagang grosir dan pedagang pengecer, terutama pedagang pengecer. Keuntungan yang diperoleh oleh pedagang pengecer dari setiap kg buncis non-organik belum sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Berdasarkan nilai farmer’s share, marjin tataniaga, saluran VI memiliki nilai farmer’s share yang paling tinggi dan nilai margin tataniaga yang paling rendah, namun pada saluran VI nilai rasio π/c belum merata. Selain itu volume yang disalurkan hanya mampu sedikit dan berdasarkan pengamatan di lapang volume pada saluran VI sulit untuk ditingkatkan lagi karena keterbatasan akses pasar dan biaya pemasaran. Jika dibandingkan dengan saluran lainnya, saluran IV relatif lebih efisien, meskipun nilai marjin paling bukan merupakan nilai terrendah dan nilai farmer’s share bukan nilai yang paling tinggi, namun nilai rasio π/c cenderung lebih merata dibandingkan saluran VI dan saluran lainnya. Selain itu pada salura IV kapasitas pemasaran buncis dapat ditingkatkan karena menjual kepada pedagang grosir di pasar yang kuota pembeliannya dapat menampung lebih dari satu kwintal buncis per hari. Selain itu berdasarkan kondisi di lapangan pada saluran IV biaya transportasi tidak terlalu menjadi hambatan karena dapat dibayar setelah mendapatkan uang hasil penjualan di pasar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa saluran IV adalah saluran tataniaga buncis non-organik yang relatif lebih efisien di Desa Cisondari dibandingkan saluran buncis nonorganik lainnya.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Keragaan usahatani buncis organik dan buncis non-organik di Desa Cisondari dikaji berdasarkan input, budidaya, dan output. Input yang digunakan pada buncis organik dan buncis non-organik terdiri dari benih, pupuk, pestisida, ajir, peralatan, dan tenaga kerja. Terdapat beberapa perbedaan input antara buncis organik dan buncis non-organik baik berupa jenis, jumlah penggunaan, dan harga perolehan, terutama pada input pupuk dan pestisida. Tahapan budidaya antara buncis organik dan buncis non-organik secara umum sama, perbedaan signifikan terdapat pada tahapan pengolahan lahan yaitu pada saat pemupukan. Output yang dihasilkan oleh buncis organik dan buncis konvensonal berupa polong buncis, terdapata perbedaan produktivitas yang signifikan yaitu 0.331 kg/m2 pada buncis organik dan 0.812 kg/m2 dengan tingkat afkir 46.5 persen pada buncis organik.
82
Nilai pendapatan atas biaya tunai buncis organik sebesar Rp734.550 dan buncis non-organik sebesar Rp1.187.616. Nilai pendapatan atas biaya total buncis organik sebesar Rp125.971 dan buncis non-organik sebesar Rp636.663. Baik pendapatan tunai maupun pendapatan total buncis organik dan buncis non-organik bernilai positif, hal tersebut menunjukan usaha buncis organik dan buncis nonorganik menguntungkan. Namun, baik pendapatan tunai maupun pendapatan total buncis non-organik lebih tinggi dibandingkan buncis organik. Berdasarkan nilai R/C terhadap biaya tunai, nilai R/C buncis organik (2.34) lebih tinggi dibandingkan R/C buncis non-organik (1.94) hal tersbut karena input pada komponen biaya tunai buncis organik lebih sedikit dibandingkan buncis nonorganik. Berdasarkan nilai R/C terhadap biaya total kedua sistem budidaya menguntungkan karena bernilai di atas 1. Nilai R/C buncis non-organik yaitu sebesar 1.35, nilai tersebut lebih besar dibandingkan nilai R/C buncis organik sebesar 1.11. Arti dari nilali R/C atas biaya total tersebut adalah keuntungan yang diperoleh dari usahatani sebesar Rp0.11 untuk setiap Rp1.00 biaya yang dikeluarkan untuk buncis organik, dan sebesar Rp0.35 untuk setiap Rp1.00 biaya yang dikeluarkan untuk buncis non-organik. Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan nilai pendapatan dan R/C terhadap biaya total selama satu musim tanam pada luas lahan 1000 m2 studi kasus di Desa Cisondari, usahatani buncis non-organik lebih menguntungkan dibandingkan buncis organik karena penerimaan buncis organik lebih rendah dari pada buncis non-organik disebabkan karena nilai produktivitas buncis organik rendah dan tingkat afkir yang tinggi. Pada tataniaga buncis organik terdapat 3 lembaga yang terlibat yaitu petani, pedagang grosir sayuran organik (I,II,III) dan ritel modern, serta 6 lembaga pada buncis non-organik yaitu petani, pedagang pengumpul, pedagang grosir lokal, pedagang grosir non lokal, pedagang pengecer lokal, dan pedagang pengecer non lokal. Terdapat 3 saluran tataniaga pada buncis organik, dan 6 saluran tataniaga buncis non-organik. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga buncis organik dan buncis non-organik terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas dengan aktivitas berbeda-beda di setiap lembaga tataniaganya. Struktur pasar pada lembaga tataniaga buncis organik terdiri dari oligopsoni murni di tingkat petani dan gudang sayur orgnanik, serta olipoli murni di tingkat ritel modern. Sedangkan tataniaga buncis nonorganik menghadapi struktur pasar oligopsoni murni pada petani, pedagang pengumpul, dan pedagang grosir, serta struktur pasar cenderung pasar kompetitiv pada pedagang pengecer. Perilaku pasar pada lembaga tataniaga buncis organik dicirikan dengan sistem penjualan dan pembelian pre order dan konfirmasi, penentuan harga secara administratif, serta sistem pembayaran kemudian hari yang dibayar setiap 15 hari sekali dan bentuk kerjasama sistem kepercayaan dan langganan (petani dan Pengolah dan distributor), kontrak tertulis (Pengolah dan distributor dan ritelmodern). Sedangkan pada tataniaga buncis non-organik dicirikan dengan sistem pembelian dan penjualan bermacam-macam disesuaikan kondisi dan keadaan, penentuan harga berdasarkan harga pasar, serta sistem pembayaran dibayar dikemudian setelah buncis laku di pasar. Pada tataniaga buncis organik efisiensi operasional tataniaga ditinjau berdasarkan nilai marjin tataniaga dan farmer’s share karena nilai rasio π/c pada masing-masing saluran tidak dapat teridentifikasi. Hal tersebut dikarenakan
83
terdapat kekurangan penelitian yaitu nilai keuntungan dan biaya di tingkat retail modern tidak dapat teridentifikasi. Berdasarkan nilai marjin dan farmer’s share pada tataniaga buncis organik semua saluran relatif belum efisien. Namun terdapat satu saluran yang lebih efisien dibandingkan dengan saluran lainnya yaitu saluran III karena nilai marjin tataniaganya merupakan nilai marjin terkecil dan nilai farmer’s share yang diperoleh merupakan nilai farmer’s share terbesar diandingka dengan saluran lainnya. Pada tataniaga buncis non-organik keenam saluran relatif belum efisien jika ditinjau dari marjin tataniaga dan farmer’s share serta rasio π/c yang dihasilkan. Namun terdapat satu saluran yang yang relatif lebih efisien dibandingkan dengan lainnya yaitu saluran IV, meskipun bukan merupakan nilai farmer’s share tertinggi dan nilai marjin tataniaga terendah namun rasio π/c pada saluran IV lebih menyebar rata dan volume jual buncis nonorganik pada saluran ini masih berpotensi untuk ditingkatkan. Saran Sebaiknya petani buncis organik lebih intensif dalam proses budidaya buncis organik, terutama dalam hal pemberantasan hama dan penyakit agar dapat menekan tingkat afkir pada buncis organik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mengatur jadwal penyemprotan pestisida alami lebih rutin. Selain itu sebaiknya petani lebih teliti dalam proses pemanenan agar tidak ada buncis yang cacat karena kesalahan pemanenan sehingga tidak lolos sortasi. Sebaiknya pihak pedagang grosir sayuran organik baik yang berbentuk kelompok tani maupun unit usaha dapat meninjau harga yang diperoleh petani apakah sudah sesuai atau belum jika tanggungan risiko buncis organik afkir dimasukan sebagai biaya diperhitungkan pada analisis usahatani buncis organik. Atau alternatif lainnya pihak pedagang grosir sayuran organik melakukan fungsi fasilitas berupa grading agar petani mendapatkan insentif untuk menanggung risiko buncis afkir. Selain itu sebaiknya pihak pedagang grosir sayuran organik melatih tenaga kerja bagian sortasi agar tidak ada buncis kualitas baik yang terlewat. Sebaiknya pihak ritel modern tepat waktu dalam melakukan pembayaran setiap periode (15 hari sekali), karena keterlambatan tersebut akan berdampak pada pembayaran dari pihak gudang sayuran kepada petani. Sehingga penghasilan petani akan tertunda dan berpengaruh juga terhadap minat petani untuk membudidayakan buncis organik. Alternatif lainnya adalah pihak gudang yang memiliki modal lebih banyak dapat menanggung pembayaran ke petani walaupun pihak ritel modern menunda pembayaran. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti analisis optimalisasi dan efisiensi input pada usahatani buncis organik agar dapat diketahui alokasi yang baik dalam penggunaan input demi mendapatkan hasil yang optimal.
84
DAFTAR PUSTAKA Andayani, Yayuk. 2003. Mekanisme Aktivitas Antihiperglikemik Ekstrak Buncis (Phaseolus vulgaris Linn) Pada Tikus Diabetes dan Identifikasi Komponen Aktif. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID). Ariani, Mewa. 2010. Analisis Konsumsi Pangan Tingkat Masyarakat Mendukung Pencapaian Diversifikasi Pangan. Gizi Indon 2010. 33(1):20-28. Asmarantaka, R.W. 2012. Pemasaran Agribisnis (Agrimarketing). Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2010. Perkembangan Konsumsi Beberapa Jenis Pangan (Gram/kap/hari) Tahun 2005-2009. Jakarta (ID): BKP [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2010. SNI 6729-2010 Sistem Pangan Organik. Jakarta (ID): BSN [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2002. SNI 6729-2002 Sistem Pangan Organik. Jakarta (ID): BSN Cahyono, Bambang. 2003. Kacang: Buncis Teknik Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Yogyakrta: Kanisius. Dahl DC, JW Hammond. 1977. Market and Price Analysis The Agricultural Industries. New York (US): Mc Graw-Hill Book Company. [Deptan] Departemen Pertanian. 2007. Road Map Pengembangan Pertanian Organik 2008-2015. Jakarta (ID): Deptan [Desa ] Desa Cisondari. 2012. Potensi Desa dan Kelurahan. Bandung(ID): Desa [Dihorti] Direktorat Jendral Hortikultura. 2011. Nilai PDB Atas Harga Berlaku Periode 2007-2010. Jakarta (ID): Dihorti Dillon, J. L et al. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Soekartawi, A. Soeharjo, penerjemah. Jakarta (ID): UI-Press. [Diperta]. Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat. 2012. Produksi Sayuran Tahun 2007-2011 Kabupaten dan Kota di jawa Barat menurut komoditi: Buncis dalam Ton. Bandung (ID): Diperta Hanafie R. 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. Yogyakarta: ANDI. Hidayat, Bayu. 2010. Analisis Pendapatan Usahatani dan Tataniaga Jambu Getas Merah di Kelurahan Sukaresmi Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor. Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID). [Kementan] Kementrian Pertanian. 2009. Data Konsumsi Sayuran Perkapita Tahun 2006-2008. Jakarta (ID): Kementan . Kohls RL, Uhl JN. 1985. Marketing of Agricultural Product Sixth Edition. New York (US): Macmillan Publishing Company. Mari Makan Buncis. 2012. [diunduh pada : 10 Juni 2013]. Tersedia pada: http://majalahkesehatan.com/mari-makan-buncis/ Meryani, Nora. 2008. Analisis Usahatani dan Tataniaga Kedelai di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID). Nafis, Faisal. 2011. Analisis Usahatani Padi Organik dan Sistem Tataniaga Beras Organik di Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat.Departemen
85
Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID). [Pemkab] Pemerintah Kabupaten Bandung. 2007. Laporan Akhir Penyusunan Masterplan Pembangunan Ekonomi Daerah (Kawasan Agropolitan Ciwidey). Bandung (ID) Prihatin, Harini. 2012. Analisis Tataniaga Kubis (Studi Kasus: Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan). Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID). Pracaya. 2012. Bertanam Sayur Organik. Depok (ID) : Penebar Swadaya Purba T, Abdullah U. 2011. Peluang Pengembangan Budidaya Sayuran Organik Mendukung Kemandirian Petani Di Kota Pontianak Dan Kabupaten Kuburaya Provinsi Kalimantan Barat. Kalimantan Barat (ID): Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat. Rukmana, Rahman. 1994. Buncis: Sumber Protein Nabati yang Murah dan Mudah Dikembangkan. Yogyakarta (ID): Kanisius. Saragih, S.E. 2008. Pertanian Organik. Depok (ID): Penebar Swadaya. Scialabbda, Nadia El-Hage, Organic Agriculture: The Challenge Of Sustaining Food Production While Enhancing Biodiversity, United Nation Thematic Group Sub-Group Meeting on Wildlife, Biodiversity and Organic Agriculture. Ankara-Turkey. [diunduh pada : 15 Feb 2013]. Tersedia pada: http://www.fao.org/DORCEP/005/ADoo9oEoo.HTM#P32_888#P32_888. Setiawan, A.I. 2007. Memanfaatkan Kotoran Ternak: Solusi Masalah Lingkungan dan Pemanfaatan Energi Alternatif. Depok (ID): Penebar Swadaya. Sitanggang, Nelda Y.R. 2008. Analisis Usahatani Bawang Daun Organik dan Anorganik (Studi Kasus : Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID). Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Jakarta (ID): UI-Press Sunarjono, Hendro. 2009. Bertanam 30 Jenis Sayur. Depok (ID): Penebar Swadaya. Suratiyah, Ken. 2009. Ilmu Usahatani. Depok (ID): Penebar Swadaya. Suroso. 2006. Analisis Pendapatan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ustan Jagung (Kasus Desa Ukisari. Kecamatan Grabag, Kabupaten Purworejo, Profinsi Jawa Tengah). Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor (ID). Sutanto, Rachman. 2002. Penerapan Pertanian Organik: Pemasyarakatan dan Pengembangan. Yogyakarta (ID): Kanisius.
86
Lampiran 1 Produksi sayuran tahun 2007 - 2011 Kabupaten dan Kota di Jawa Barat menurut komoditi: buncis dalam tona Tahun Kabupaten/ Kota 2007 2008 2009 2010 1 Bogor 7 264 5 646 3 783 5 386 2 Sukabumi 5 493 5 462 4 683 6 984 3 Cianjur 29 269 11 253 18 303 9 665 4 Bandung 25 372 8 101 7 950 10 935 5 Garut 11 385 13 676 17 977 14 108 6 Tasikmalaya 8 303 9 326 12 989 10 866 7 Ciamis 939 1 174 1 397 1 502 8 Kuningan 2366 1 706 1 551 1 417 9 Cirebon 0 0 0 0 10 Majalengka 2 108 1 747 1 505 1 814 11 Sumedang 568 528 768 1 152 12 Indramayu 0 0 0 0 13 Subang 1 948 1 585 2 926 2 393 14 Purwakarta 881 1 091 1 624 1 453 15 Karawang 0 0 0 0 16 Bekasi 0 0 0 0 17 Bandung Barat 8 254 8 536 24 670 18 Kota Bogor 127 290 569 657 19 Kota Sukabumi 159 453 93 451 20 Kota Bandung 32 45 34 1 21 Kota Cirebon 0 0 0 0 22 Kota Bekasi 0 0 0 0 23 Kota Depok 0 0 0 0 24 Kota Cimahi 0 186 45 61 Kota 25 Tasikmalaya 375 324 79 57 26 Kota Banjar 0 0 0 2 Jumlah 96 589 70 847 84 812 93 574 a Sumber : Diolah dari Data Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat (2012) No
2011 10 015 7 614 23 066 13 645 11 419 6 455 2 203 1 063 120 1 453 1 136 0 3 943 1 440 0 0 16 103 638 340 1 0 0 0 67
Rata-rata 8 024 7 559 22 889 16 501 17 141 11 985 1 804 2 026 30 2 157 1 038 3 199 1 622 14 391 570 374 28 90
43 0 100 764
220 1
Lampiran 2 Resep pestisda alnami yang digunakan petani responden buncis organika Resep Bahan
1 b
Jml
Harga
c
2 Total (Rp)
Jml
Kacang Babi (kg) 2 0 0 2 Suren (kg) 2 0 0 2 Sereh Wangi (kg) 2 0 0 2 Daun Sirsak 2 0 0 2 Jahe (kg) 0,5 Kunyit (kg) 0,5 Bawang Putih (kg) 0,5 30 000 15 000 0,5 Terasi (kg) 0,5 30 000 15 000 0 Gula putih 0,5 13 000 0 Lengkuas (kg) 0,5 air (lt) 5 0 0 5 HOK 0,2 22000 4400 0,2 Total biaya 34400 (5 liter) Total biaya per liter 6880 a Sumber: Data primer.bJml=Jumlah dalam satuan. cHarga per satuan
Harga 0 0 0 0 10 000 8 000 30 000 0 0 8 000 0 22 000
3 Total (Rp)
Jml
Harga
Total (Rp)
0 0 0 0 5 000 4 000 15 000 0 0 4 000 0 4 400
2 2 2 2 5 0,2
0 0 0 0 0 22000
0 0 0 0 0 4400
32400
4400
6480
880
87
Lampiran 3 Analisis pendapatan usahatani dan R/C buncis organik di Desa Cisondari (1000 m2/ musim tanam)a Uraian Penerimaan Hasl panen (kg) Penjualan super (kg) (53 .5%) Jumlah afkir (kg) (46 .5%) Penjualan Afkir (kg)* Total Penerimaan Pengeluaran Biaya Tunai: Benih TK Luar Keluarga: Pengolahan lahan Penanaman Pembesihan gulma dan pemasangan ajir Penyemprotan pestisida Pemanenan Pembuatan Pestisida Alami Tali raffia Total Biaya Tunai Biaya diperhitungkan: Ajir Penyusutan (per musim tanam) Pupuk Organik TK Dalam Keluarga : Pengolahan lahan Penanaman Pembesihan gulma dan pemasangan ajir Penyemprotan Pestisida nabati Pemanenan Sewa lahan m2 Total Biaya Diperhitungkan Total Biaya usahatani Pendapatan atas biaya tunai usahatani Pendapatan atas biaya total usahatani R/C atas biaya tunai R/C atas biaya total a Sumber: Diolah dari Data Primer
Harga/ Satuan (Rp)
Total (Rp)
5 500
973 968
2 000
307 830 1 281 798
3 .4
45 818
155 781
13 .48
HKP HKP
11.20 0.72
21 650 21 650
242 480 15 588
20 .98 1 .35
HKP
3.38
21 650
73 177
6 .33
HKP HKP Liter Kg
0 1.93 3 1.09
21 650 21 650 1 669 12 321
41 785 5 007 13 430 547 248
0 .00 3 .62 0 .43 1 .16 47 .35
Batang
2012
59 172 252
118 708 24 375 172 252
Satuan
Volume
Kg Kg Kg Kg
331 .00 177 .08 153 .92 153 .92
Kg
(%)
HOK HOK
7.80 0.71
21 650 21 650
168 870 15 372
10 .27 2 .11 14 .90 0 .00 14 .61 1 .33
HOK
1.78
21 650
38 537
3 .33
HOK HOK 1 MST
0.38 1.72
21 650 21 650
8 227 37 238 25 000 608 579 1 155 826
0 .71 3 .22 2 .16 52 .65 100 .00
1 MST
734 550 125 971 2 .34 1 .11
88
Lampiran 4 Analisis pendapatan usahatani dan R/C buncis non-organik di Desa Cisondari (1000 m2/ musim tanam)a Uraian Penerimaan Hasl panen (kg) Total Penerimaan Pengeluaran Biaya Tunai: Benih Pupuk Kandang TK Luar Keluarga : Pengolahan lahan Penanaman Pembesihan gulma dan pemasangan ajir Penyemprotan pestisida Pemanenan Pupuk kimia: Pupuk majemuk NPK Urea ZA TSP Pupuk Daun Pestisida Fungisida Insektisida Perekat Plastik/karung Tali raffia Total Biaya Tunai Biaya diperhitungkan Ajir Penyusutan (per musim tanam) TK Dalam Keluarga : Pengolahan lahan Penanaman Pemasangan Turus dan pembersihan gulma Penyemprotan pestisida nabati Panen Sewa Lahan Total Biaya Diperhitungkan Total Biaya usahatani Pendapatan atas biaya tunai usahatani Pendapatan atas biaya total usahatani R/C atas biaya tunai R/C atas biaya total a Sumber: Diolah dari data primer
Harga/ Satuan (Rp)
Total (Rp)
Satuan
Fisik
kg
812.00
3 025
2 456 300 2 456 300
kg 1 MST
3.45
38 667 429 554
133 401 429 554
HKP HKP
7.46 0.41
25 740 25 740
192 020 10 553
HKP
2.51
25 740
64 607
HKP HKP
0.10 2.27
25 740 25 740
2 574 58 430
1 MST 1 MST 1 MST 1 MST 1 MST
56 174 46 975 21 739 1 358 11 905
56 174 46 975 21 739 1 358 11 905
3.09 2.58 1.19 0.07 0.65
1 MST 1 MST 1 MST lembar kg
129 670 67 151 3 143 1 000 12 208
129 670 67 151 3 143 26 000 13 429 1 268 684
7.13 3.69 0.17 1.43 0.74 69.72 0.00 6.57 0.63 18.90
26 1.1
batang 1 MST
2097
57 11 452
119 529 11 452
HOK HOK
6.56 1.05
25 740 25 740
168 854 27 027
HOK
3.19
25 740
82 111
HOK HOK
1.02 1.54
25 740 25 740 76 086
26 255 39 640 76 086 550 953 1 819 637 1 187 616 636 663 1.94 1.35
(%)
7.33 23.61 18.04
4.18 30.28 100.00
89
Lampiran 5 Biaya-biaya yang dikeluarkan lembaga tataniaga buncis organik (Rp/kg)a Uraian/ Lembag Tataniaga Petani Biaya produksib/ harga beli Keuntungan Harga Jual Gudang Sayur Organik I Biaya produksi/ harga beli Kemasan Transportasi Pengangkutan Tenaga Kerja Biaya listrik Biaya retur Penyusutan Total biaya Keuntungan Harga Jual Gudang Sayur Organik II Biaya produksi/ harga beli Kemasan Transportasi Pengangkutan Tenaga Kerja Biaya listrik Biaya retur Penyusutan Total biaya Keuntungan Harga Jual Gudang Sayur Organik III Biaya produksi/ harga beli Kemasan Transportasi pengangkutan Tenaga kerja Biaya listrik Biaya retur Penyusutan Total biaya Keuntungan
Saluran I
Saluran II
Saluran III
3 478.00
3 478.00
3 478.00
1 022.00 4 500.00
1 522.00 5 000.00
2 522.00 6 000.00
4 500.00 1 400.00 500.00 1 131.00 80.00 104.00 500.00 3 715.00 4 785.00 13 000.00
5 000.00 2 000.00 140.00 385.00 75.00 350.00 2 950.00 8 050.00 16 000.00
6 000.00 2 800.00 385.00 2 400.00 75.00 104.00 400.00 6 164.00 3 836.00
90
Harga Jual Ritel Modern Biaya produksi/ harga beli Kemasan Transportasi Pengangkutan Tenaga Kerja Retribusi/ pajak Biaya listrik Penyusutan Total biaya Keuntungan Harga Jual Total Biaya Total Keuntungan
16 000.00 -
-
-
-
-
-
-
-
-
20 400.00 -
21 400.00 21 400.00 a Sumber : Diolah dari Data Primer. (-) tidak teridentifikasi.bBiaya produksi petani diperoleh dari total biaya usahatani dibagi jumlah total produksi pada analisis pendapatan usahatani buncis organik
91
Lampiran 6 Biaya-biaya yang dikeluarkan lembaga tataniaga buncis non-organik (Rp/kg)a Uraian/ Saluran Petani Biaya Produksib Keuntungan Harga Jual Pedagang Pengumpul Harga Beli Panen Kemasan Transportasi Bongkar muat Sortasi Retribusi Penyusutan total biaya Keuntungan Marjin Harga Jual
I
II
III
IV
V
VI
2241.00
2241.00
2241.00
2241.00
2241.00
2241.00
651.00 2892.00
799.00 3040.00
759.00 3000.00
959.00 3200.00
1152.75 3393.75
1759.00 4000.00
2892.00 150.00 17.00 170.00 50.00 67.00 17.00 1.00
3040.00 200.00 23.50 162.50 34.38 9.38 9.50 1.00
3000.00 0.00 20.00 200.00 0.00 100.00 70.00 1.50
472.00 471.00
339.70 620.30
391.50 1108.50
943.00 4000.00
960.00 4000.00
1500.00 4500.00
4000.00 33.00
4000.00 33.33
3200.00 33.00
3393.75 33.33
100.00 43.00
200.00 40.00
100.00 43.00
200.00 40.00
14.00 22.00
27.00 3.33
14.00 22.00
27.00 3.33
1.00 213.00
1.00 304.66
1.00 213.00
1.00 304.66
800.00 1013.00
1000.00 1304.66
800.00 1013.00
1000.00 1304.66
5813.00
5304.66
4213.00
4698.41
Pedagang Grosr Lokal Harga Beli Kemasan Transportasi Bongkar muat Sortasi Retribusi Penyusutan total biaya Keuntungan Marjin Harga Jual Pedagang Grosir Nonlokal Harga Beli Kemasan Transportasi Bongkar muat Sortasi Retribusi Penyusutan total biaya Keuntunga Harga Jual Pedagang Pengecer lokal Harga Beli Kemasan Transportasi Bongkar muat
5304.66
4698.41
0.00 100.00
0.00 100.00
99.00 0.00
99.00 0.00
1.00 1.00
1.00 1.00
201.00
201.00
1799.00 7103.66
1799.00 6698.41
5813.00
4500.00
4213.00
4000.00
155.00 60.00 47.00
100.00 0.00 0.00
155.00 60.00 47.00
100.00 0.00 0.00
92
Sortasi Retribusi Penyusutan total biaya Keuntungan Marjin Harga Jual Pedagang Pengecer Non lokal
0.00
0.00
0.00
0.00
58.00 1.00 321.00
60.00 1.00 161.00
58.00 1.00 321.00
60.00 1.00 161.00
1866.00 2187.00
1839.00 2000.00
1866.00 2187.00
1839.00 2000.00
8000.00
6500.00
6400.00
6000.00
Harga Beli 7103.66 Kemasan 79.38 Transportasi 0.00 Bongkar muat 0.00 Sortasi 0.00 Retribusi 18.50 Penyusutan 2.00 total biaya 99.88 Keuntungan 2900.13 Marjin 3000.00 Harga Jual 10000.00 b a Sumber: Diolah dari data primer.b Biaya produksi petani diperoleh
6698.41 79.38 0.00 0.00 0.00 18.50 2.00 99.88 2900.13 3000.00 9698.41
dari total biaya usahatani dibagi jumlah total produksi pada analisis pendapatan usahatani buncis nonorganik
93
Lampiran 7 Dokumentasi Lapangan
Hamparan Kebun Buncis Organik Hamparan Kebun Buncis Organik di Desa Cisondari di Desa Cisondari
Pemanenan Buncis organik yang dilakukan oleh TK Wanita
Pengolah dan distributor I di Desa Buncis Organik dalam Tahap Sortasi di Pengolah dan Cisondari distributor
Buncis Organik Setelah Pengemasan di Pengolah dan distributor I (Desa Cisondari)
Buncis Organik dari Pengolah dan Buncis Organik yang sedang didistributor III, yang sudah di-display display di ritel modern (Bandung) di ritel modern
Pengemasan Buncis Non-organik di Pedagang Grosir Pasar Caringin Bandung
Benih Buncis Varietas Lokal pada Salah Satu Responden Petani Buncis di Desa Cisondari
Buncis Non-organik di Pasar Caringin Bandung
94 94
Lampiran 8 Data karakteristik responden petani buncis organik di Desa Cisondaria No 1
Nama Responden
Pendidikan terahir
Status bertani
Luas lahan (m2)
4
SD
Samingan dari ternak sapi
700
175
51
15
SMA tidak selesai
Utama
840
170
KP. Gambung Pangkalan
46
8
SD
Utama
140
35
KP. Gambung Pangkalan KP. Gambung Pangkalan KP. Gambung Pangkalan
44 66 30
5 51 5
SD SD SMP
Utama Utama Utama
1400 700 1400
264 200 480
Cacang
Alamat
Umur (tahun)
Babakan 39
37
Babakan
Pengalaman bertani (tahun)
Hasil panen (kg)
4 5 6
Maman Budiman Endang Saepudin Asid Oman Elan
7
Amin Suparman
KP. Gambung Pangkalan
31
5
SD
Utama
420
100
8
Cahya
KP. Gambung Pangkalan
57
15
SD
Utama
350
120
9 10 11 12 13 14
Tohir Agus Nuryadin Oni Syahroni Agus Iid Yuyun
KP. Gambung Pangkalan KP. Ciaul KP. Ciaul KP. Gambung Pangkalan KP. Gambung Pangkalan KP. Gambung Pangkalan
41 40 37 22 60 36
26 15 15 2,5 2 0,5
SD SMP SD SMA SD SD
Utama Utama Utama Utama Utama Utama
1400 96 140 700 400 350
218,5 100 42 180 150 150
2 3
a
Sumber : Data primer
95
Lampiran 9 Data karakteristik responden petani buncis non-organik di Desa Cisondaria No 1
Enan
2
Ade Suparman
3 4
Engkus Dadan
5
Wasman
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Jana Jajang Tini Uman Omen Ai Suhana Asep Uso Ara Nyanyang Ntis Asop Caca Tandi Antud Ade Asep Dadang
Sumber : Data primer
Alamat Kp. Babakan (Balong) Kp. Babakan (Balong) Kp. Babakan Kp. Babakan Kp. Pasir Awi Tonjong Kp. Babakan KP. Babakan Kp. Ciaul Kp. Ciaul Kp. Ciaul Kp. Babakan Kp. Babaka Balong Kp. Ciaul Kp. Babakan Kp. Balong Kp. Balong Kp. Tonjong Jaya Kp. Tonjong Jaya Kp. Tonjong Jaya Kp. Tonjong Jaya Kp. Tonjong Jaya Kp. Tonjong Jaya Kp. Tonjong Jaya
Luas Lahan (m2)
Hasil Panen (kg)
Utama
5600
5000
SD tidak tamat
Sampingan dari ternak sapi
700
395
3 20
SD SD
Sampingan dari ternank sapi Utama
420 840
400 805
39
15
SD
Utama
1400
850
67 42 40 49 64 49 38 43 46 48 35 35 49 48 53 51 60 42
43 20 20 28 53 1 5 1 10 2 20 25 33 33 28 20 38 22
SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD
Utama Sampingan Ternak sapi Utama Utama Utama Sampingan Ternak sapi Utama Sampingan dari berdagang Sampingan dari ternak sapi Utama Utama Sampingan dari ternak sapi Utama Utama Utama Utama Utama Utama
1400 700 1400 700 490 490 700 350 2100 840 560 350 1400 700 700 700 2100 1400
630 770 800 575 480 190 465 360 1500 635 400 250 1038 1500 500 560 1000 1300
Jenis Kelamin
Umur (tahun)
Laki-Laki
45
Laki-Laki
Pengalaman bertani (tahun)
Pendidikan terahir
Status bertani
5
SD
52
10
Laki-Laki Laki-Laki
27 45
Laki-laki Laki-Laki Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki
95
a
Nama Responden
96
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Bandung pada 25 Januari 1992, dari orang tua yang bernama Suriswa Tirtakusumah (Ayah) dan Nenni Darniawati (Ibu). Penulis merupakan anak terahir dari 4 bersaudara. Kakak laki-laki pertama bernama Ranu Kusumah, kakak ke-2 bernama Dewi Puspasari, dan kakak ke-3 bernama Putri Pratiwi. Penulis merupakan suku asli sunda karena ayah dan ibu berasal dari jawa barat (ibu dari Bandung dan ayah dari Majalengka). Penulis merupakan lulusan SD Negeri Bina Harapan 04 Bandung, SMP Negeri 16 Bandung, dan SMA Negeri 1 Bandung. Prestasi yang pernah diraih oleh penulis adalah peringkat 4 besar kelas selama masa SMP dan SMA. Penulis juga pernah menjuarai beberapa perlombaan selama masa sekolah dan masa perkuliahan. Penulis pernah memenangkan juara II lomba upacara sebagai pembaca doa se-kecamatan di tingkat SD. Menjuarai beberapa turnamen bola basket di tingkat SMP (meskipun sebagai pemain cadangan). Menjadi perwakilan SMA Negeri 1 Bandung untuk Lawatan Sejarah Regional Bandung. Menjadi perwakilan Kota Bandung pada Lawatan Sejarah Nasional Tingkat SMA di Bali.Menjadi pemenang juara I Duta Anti Narkoba se SMA N 1 Bandung yang diselenggarakan oleh Media Indonesi dan Yayasan Cinta Anak Bangsa. Selain itu di tingkat perkuliahan penulis menjadi pemenang juara I Business Plan National Competitin (Univation) di Unpad, finalis 20 besar Gajah Mada Management Business Competition di UGM, fimalis 16 besar Business Model Competition di Unbraw dan penerima Beasiswa Plus Djarum Foundation angkatan 26. Pengalaman organisasi yang pernah dijalani oleh penulis sejak masa sekolah hingga perkuliahan adalah menjadi Ketua OSIS SMP N 16 Bandung, menjadi Komisi IV Majelis Permusyawaratan Kelas periode 2006, 2007, 2008, menjadi pemimpin redaksi Himpunan Jurnalis Independan SMA N 1 Bandung, menjadi Bendahara Departemen Kominfo BEM TPB Kabinet Keluarga, menjadi anggota ORASI MUDA, menjadi Wakil Bendahara BEM FEM Kabinet Sinergi, menjdai Bendahara Umum BEM FEM Kabinet Progresif. Serta penulis juga pernah mengikuti beberapa kepanitiaan baik pada masa sekolah maupun masa perkuliahan.