1
STRATEGI PENYELESAIAN KONFLIK KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN (Studi Kasus Konflik Antar Suku Asli Lampung Dengan Suku Pendatang Bali Tahun 2012)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Pada Konsentrasi Kebijakan Publik Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Oleh VERAYANA SUKMASARI PUTRI 6661112409
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA SERANG 2015
2
3
4
5
Kemuliaan terbesar dalam hidup tidak terletak pada saat kita tidak pernah jatuh, namun tetap bangkit setiap kali kita terjatuh ~Nelson R. Mandela~
Skripsi ini ku persembahkan untuk orang tuaku tercinta yang selalu menyayangiku, kakak dan adikku tercinta yang tak pernah henti merindukanku, untuk calon suamiku tercinta yang selalu sabar menungguku, dan sahabat-sahabatku yang selalu membuatku tertawa.
6
ABSTRAK
Verayana Sukmasari Putri. 6661112409. Skripsi Tahun 2015. Strategi Penyelesaian Konflik Kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan (Studi Kasus Konflik Antar Suku Asli Lampung dan Suku pendatang Bali tahun 2012). Program Studi Ilmu Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Dosen Pembimbing I: Listyaningsih, M.Si. Dosen Pembimbing II: Deden M Haris, M.Si. Kata Kunci: Strategi, Konflik Kependudukan Lampung Selatan Kemajemukan masyarakat Provinsi Lampung khususnya Kabupaten Lampung Selatan merupakan kekayaan budaya bangsa namun di sisi lain juga memiliki potensi menjadi sebuah konflik. Konflik terjadi bukan hanya karena faktor perbedaan suku/kebudayaan namun juga faktor ekonomi dan sentimen agama. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana manajeman strategi yang dilakukan Pemerintah Daerah dalam menyelesaikan konflik penduduk. Penelitian menggunakan teori Model Manajemen Strategi sebagai sistem. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Analisis yang digunakan Model Miles Huberman. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa proses penanganan konflik kependudukan pemerintah daerah yaitu dengan membangun sistem peringatan dini yang tujuannya untuk mencegah konflik di Kabupaten Lampung Selatan, tidak ditentukan secara spesifik sasaran operasional dalam program yang dibuat oleh Lembaga/Forum penanganan konflik. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu belum tercapainya tujuan Lembaga/Forum penanganan konflik, proses penyelesaian konflik yang terburu-buru sehingga tidak memperhatikan keterlibatan masyarakat yang bertikai langsung. Rekomendasi dari peneliti yaitu Pemerintah Daerah lebih peka terhadap masalah yang timbul di masyarakat Kabupaten Lampung Selatan agar nantinya dalam proses penyelesaian konflik tidak ada kekecewaan atas keputusan yang dibuat.
7
ABSTRACT
Verayana Sukmasari Putri. 6661112409. Research 2015. Strategies Of Conflict Population In The South Lampung Regency (Case Studies Of Conflict Between Indigenous Lampung With Bali Newcomers In 2012) Departement Of Public Administration Sultal Ageng Tirtyasa University. Advisor I: Listyaningsih, M.Si. Advisor II: Deden M Haris, M.Si. Keyword: Strategies, Conflict Population Resolution In The South Lampung Regency. The plulrality of communities of South Lampung Regency of Lampung especially the cultural wealth of the nation, but the other side also has the potential to be a conflict. The conflict occurred not only because of differences in ethnic/cultural but also economic factor and religious sentiment. The purpose of this study to determine how strategies undertaken Local Government in resolving the conflict population. The study used the theory of strategic Manajement Model as a system The Method used is descriptive qualitative, the analysis used the Model Miles Huberman. Research results show that the process of conflict resolution in the local government settlement is a astablish an early warning system which aims to prevent conflict in South Lampung regency, is not specifically defined operational targets in the program created by the institute/Forum conflict resolution. The inference from this study is not yet achieved the goal of institution/Forum conflict management, conflict resolution process in make a hasteso do not pay attention to the conflicting direct community involvement. Recommendations from researchers that Local government is more sensitive to the problems arising in South Lampung regency society so that later in the process of conflict resolution there is no disappointment over the decisions thet are made.
ii
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu. Alhamdulillah, Puji syukur yang tak terhingga selalu kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, hidayah dan cinta-Nya yang telah diberikan kepada kita semua. Shalawat serta salam senantiasa selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga juga para sahabat. Dan atas berkat, rahmat, karunia, serta ridha-Nya pula penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini. Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis buat dan sampaikan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara dengan judul penelitian “Manajemen Strategi Penyelesaian Konflik Kependudukan Di Kabupaten Lampung Selatan (Studi Kasus Konflik Antar Suku Asli Lampung Dengan Suku Pendatang Bali Tahun 2012)”. Proses pengerjaan penelitian ini tentunya tidak lepas dari bantuan banyak pihak yang selalu mendukung peneliti secara moril dan materil. Maka dengan ketulusan hati, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tuaku tercinta yang tak henti selalu memberikan do’a, kasih sayang, serta dukungan dan motivasi dalam pengerjaan penelitian skripsi ini yang tak pernah ada habisnya.
iii
Pada kesempatan ini juga suatu kebanggaan bagi penulis ucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya untuk berbagai pihak yang telah membantu dan mendukung, peneliti ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat., M.Pd, Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 2. Bapak Dr. Agus Sjafari, M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 3. Ibu Rahmawati, S.Sos., M.Si, Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 4. Bapak Imam Mukhroman S.Ikom., M.Ikom., Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 5. Bapak Kandung Sapto Nugroho, S,Sos., M.Si., Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan sebagai dosen penguji sidang skripsi yang telah membantu dan memberikan masukan untuk skripsi ini kepada peneliti. 6. Ibu Listyaningsih., M.Si, Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, dan sebagai Dosen pembimbing I yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing peneliti dalam proses pembuatan Skripsi. 7. Bapak Riswanda.,Ph.D, Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
iv
8. Ibu Rini Handayani, S.Si., M.Si., Dosen Pembimbing Akademik Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 9. Bapak Deden M. Haris, M.Si., sebagai Dosen pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing peneliti dalam proses pembuatan Skripsi; 10. Bapak Dr. Suwaib Amiruddin. M.Si sebagai Dosen penguji Seminar Proposal Skripsi yang telah membantu dan memberikan masukan untuk skripsi ini kepada peneliti. 11. Seluruh Dosen dan Staf Jurusan Administrasi Negara yang telah memberikan ilmu selama belajar di Kampus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 12. Bapak/Ibu pegawai Kesbangpol, Polres, FKDM, FKUB, MPAL, Kepala Desa Agom, Kepala Desa Balinuraga Kabupaten Lampung Selatan yang telah memberikan serta membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini dengan memberikan data-data yang dibutuhkan yang namanya tidak bisa disebutkan satu persatu. 13. Terima kasih kepada kawan-kawan seperjuangan, teman-teman di kelas, baik Reguler ataupun Non Reguler ANE angakatan 2011 yang telah mengajarkan banyak hal dan saling berbagi cerita semasa kuliah. 14. Sahabat-sahabatku tercinta plinces alay Ida Komala, adekku yang paling gaul Kantinul, adekku yang paling cerewet Putri Mila, adekku yang paling galak Nining kusuma, sahabat tertawaku mbo Nisa, sahabat berbagiku Wa
v
Ode, Jeje, Ana, Cika, Erin, Kiki, Indri Reni, Nendi, Danang, Tomi dan semua sahabatku yang selalu memotivasi dan membuat peneliti tertawa. 15. Teman-teman
Komunitas
Soul
Seeker
yang
telah
membantu
menghilangkan rasa jenuh dan bosan dalam menyelesaikan tugas akhir ini serta motivasi yang diberikan kepada peneliti. 16. Dan untuk semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa penelitian skripsi ini masih terdapat kekurangan, baik materi maupun dalam bentuk penyajiannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang positif guna membangun kemajuan yang lebih baik lagi terhadap penelitian skripsi ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih. Wassalamualakum Warrahmatullahi Wabarakatu.
Serang, Januari 2016
Peneliti
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ABSTRAK KATA PENGANTAR .............................................................................................
ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................
ix
DAFTAR TABEL....................................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................................
xi
BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................
1
1.2 Identifikasi Masalah ..............................................................................
13
1.3 Batasan Masalah ....................................................................................
13
1.4 Rumusan Masalah..................................................................................
14
1.5 Tujuan Penelitian ...................................................................................
15
1.6 Manfaat Penelitian .................................................................................
15
1.7 Sistematika Penulisan ............................................................................
16
vii
BAB II
DESKRIPSI TEORI DAN ASUMSI DASAR
2.1 Deskripsi Teori ......................................................................................
18
2.1.1
Konsep Manajemen Strategi .......................................................
19
2.1.2
Manfaat Manajemen Strategi ......................................................
21
2.1.3
Model Manajemen Strategi .........................................................
23
2.1.4
Model Manajemen Strategi Organisasi Publik ...........................
33
2.1.5
Konsep Konflik ...........................................................................
44
2.1.6
Analisis S.W.O.T .......................................................................
52
2.2 Penelitian Terdahulu ..............................................................................
58
2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian .............................................................
58
2.4 Asumsi Dasar .........................................................................................
61
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian .......................................................
62
3.2 Fokus Penelitian ....................................................................................
63
3.3 Lokasi Penelitian ...................................................................................
63
3.4 Fenomena Yang Diamati........................................................................
63
3.4.1 Definisi Konsep .............................................................................
63
3.4.2 Definisi Operasional ......................................................................
64
3.5 Instrumen Penelitian ..............................................................................
66
3.6 Informan Penelitian ...............................................................................
67
3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data...................................................
70
3.8 Jadwal Penelitian ...................................................................................
83
viii
BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian ...................................................................
85
4.1.1 Gambaran Umum Kabupaten Lampung Selatan ..........................
85
4.1.2 Gambaran Umum Desa Agom .....................................................
97
4.1.3 Gambaran Umum Desa Balinuraga ..............................................
98
4.2 Deskripsi Data ......................................................................................
99
4.2.1 Deskripsi Data Penelitian .............................................................
99
4.2.2 Daftar Informan Penelitian ...........................................................
102
4.3 Deskripsi Hasil Penelitian ....................................................................
103
4.4 Pembahasan ..........................................................................................
143
BAB V PENUTUP 5.1 kesimpulan ............................................................................................
157
5.2 Saran .....................................................................................................
159
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN CURRICULUM VITAE
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Proses Manajemen Strategi Hunger dan Wheelen...............................
23
Gambar 2.2 Model Manajemen Strategi Hunger dan Wheelen...............................
27
Gambar 2.3 Model Manajemen Strategi Komprehensif David ...............................
28
Gambar 2.4 Model Manajemen Strategi Pearce dan Robinson ...............................
30
Gambar 2.5 Model Manajemen Strategi Sebagai Sistem Menurut Nawawi ...........
39
Gambar 2.6 Kerangka Pemikiran Penelitian ..........................................................
60
Gambar 3.1 Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif .....................
79
Gambar 4.1 Pelabuhan Bakauheni dan Menara Siger Lampung .............................
85
Gambar 4.2 Perubahan Logo Kabupaten Lampung Selatan....................................
95
Gambar 4.3 Wilayah Administrasi Kabupaten Lampung Selatan ...........................
99
Gambar 4.4 Kondisi jalan di Desa Balinurga dan kondisi jalan di Kompleks jati Agung Kalianda ..................................................................................... 151 Gambar 4.5 Tugu yang berdiri di tengah-tengah Desa Balinuraga ........................ 153
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Kriteria Etnik Suku/Budaya Bangsa Provinsi Lampung... .......................
3
Tabel 1.2 Data Pemeluk Agama di Provinsi Lampung ............................................
4
Tabel 1.3 Beberapa Kasus yang Terjadi di Provinsi Lampung Selatan ..................
6
Tabel 1.4 Peristiwa Konflik Antara Suku Bali dan Lampung di Lampung Selatan.
7
Tabel 2.1 Tabel Analisis S.W.O.T ...........................................................................
52
Tabel 3.1 Definisi Oprasional Penelitian..................................................................
65
Tabel 3.2 Informan Peneliti ......................................................................................
69
Tabel 3.3 Pedoman Wawancara ...............................................................................
73
Tabel 3.4 Jadwal Penelitian ......................................................................................
83
Table 4.1 Kodefikasi Informan Penelitian................................................................ 103
xi
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial LAMPIRAN 2 Permendagri No. 42 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Koordinasi Penanganan Konflik Sosial LAMPIRAN 3 Surat Izin Penelitian untuk Kesbangpol Provinsi Banten LAMPIRAN 4 Surat Izin Penelitin Untuk Kesbangpol Provinsi Lampung LAMPIRAN 5 Surat Izin Penelitian untuk Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan LAMPIRAN 6 Surat Izin Penelitian untuk Kapolres Lampung Selatan LAMPIRAN 7 Surat Izin Penelitian untuk MPAL LAMPIRAN 8 Surat Izin Penelitian untuk FKDM LAMPIRAN 9 Surat Izin Penelitian untuk FKUB LAMPIRAN 10 Surat Izin Penelitian untuk Ka. Desa Agom LAMPIRAN 11 Surat Izin Penelitian untuk Ka. Desa Balinuraga LAMPIRAN 12 Surat Rekomendasi Penelitian Badan Kesbangpol Provinsi Banten LAMPIRAN 13 Surat Rekomendasi Penelitian Badan Kesbangpol Provinsi Lampung LAMPIRAN 14 Surat Rekomendasi Penelitian Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan
xii
LAMPIRAN 15 Surat Rekomendasi Penelitian Polres Lampung Selatan LAMPIRAN 16 Tabel Pembahasan LAMPIRAN 17 Pedoman Wawancara LAMPIRAN 18 Surat Pernyataan Narasumber LAMPIRAN 19 Memberchek LAMPIRAN 20 Kategorisasi Data LAMPIRAN 21 10 Butir perjanjian Perdamaian Konflik Masyarakat Lampung dan Masyarakat Bali LAMPIRAN 22 Catatan Lapangan LAMPIRAN 23 Catatan Bimbingan LAMPIRAN 24 Dokumentasi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Indonesia memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetap satu jua, dengan semboyan itu menandakan bahwa Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki keanekaragaman manusia. Kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang dikenal dengan nusantara dihuni oleh ratusan kelompok suku yang tumbuh dan berkembang dalam suasana penuh konflik sosial berdarah sejak Indonesia merdeka.Indonesia juga merupakan Negara yang memiliki banyak pulau besar dan kecil, yang tersebar di seluruh Nusantara diantara pulau-pulau besar yang ada di Indonesia Provinsi Lampung merupakan salah satu Provinsi yang berada di Pulau Sumatra. Provinsi Lampung dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1964 tanggal 8 maret 1964, yang secara geografis berada di ujung tenggara Pulau Sumatra dan merupakan pintu gerbang dari Pulau Sumatra. Daerah ini memiliki 15 Kabupaten/Kota yang terdiri dari tiga belas Kabupaten dan dua Kota yaitu, Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Lampung Timur, Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Lampung Utara, Kabupaten Mesuji, Kabupaten Pasawaran, Kabupaten Pringsewu, Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Tulang Bawang, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Kabupaten Way Kanan, Kabupaten Pesisir Barat, Kota Bandar Lampung dan Kota
1
2
Metro, dengan jumlah penduduk sebesar 7.608.405 jiwa (BPS Lampung: Lampung dalam angka 2013, 42), karena secara letak geografis Provinsi Lampung merupakan pintu gerbang pulau Sumatra yang menjadi lalu lintas antara pulau Jawa Sumatra masyarakat Lampung juga dikenal sebagai masyarakat yang heterogen. Kemajemukan masyarakat di Provinsi Lampung merupakan kekayaan budaya bangsa namun di sisi lain juga memiliki potensi untuk menjadi sebuah konflik. Permasalahan yang timbul akibat kemajemukan itu Pertama adalah kemajemukan masyarakat Provinsi Lampung yang diakibatkan Program Transmigrasi pada era Orde Baru membuat Provinsi Lampung rentan akan konflik sosial. Program Transmigrasi yang merupakan Program Pembangunan pada era Orde Baru menjadi salah satu proses penyebaran etnik suku dari suatu daerah ke daerah tertentu. Beberapa Provinsi menjadi tujuan dari Program Transmigrasi tersebut (Skripsi Bethra Ariestha: Akar Konflik Kerusuhan Antar Etnik Di Lampung Selatan, 2013: UNNES), Program Transmigrasi yang sekarang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2009 merupakan Program Nasional yang dibuat oleh pemerintah pada saat itu untuk mengatasi masalah kependudukan yang ada di Indonesia. Program Transmigrasi dibuat secara komprehensif dari tahap perencanaan sampai pembinaan sesuai dengan tujuan-tujuan Transmigrasi yang akan dicapai yaitu terwujudnya kesejahtraaan masyarakat Indonesia secara adil dan menyeluruh, tidak hanya meningkatkan kesejahtraan para transmigran. Program Transmigrasi juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahtraan hidup masyarakat yang ada di daerah tujuan
3
transmigrasi atau penduduk asli, dan salah satu daerah tujuan dari Program Transmigrasi adalah Provinsi Lampung, dengan banyaknya masyarakat yang melakukan transmigrasi membuat Provinsi Lampung memiliki banyak suku yang memiliki kebudayaan masing-masing karena setiap suku yang memiliki sebuah kebudayaan atau adat istiadat yang berbeda. Menurut sensus BPS Provinsi Lampung 2012, berdasarkan kriteria etnik suku diperoleh data statistik yaitu: Tabel 1.1 Kriteria Etnik Suku/Budaya Bangsa Provinsi Lampung NO
Etnik Suku/Budaya bangsa
Jumlah (jiwa)
Persen (%)
792.312
11,92%
4.113.731
61,88%
1
Lampung
2
Jawa
3
Sunda Banten
749.566
11,27%
4
Palembang Semendo
36.292
3,55%
5
Lain-Lain
-
11,38%
(Sumber: Data diolah, 2014)
Dapat dilihat dari data tabel 1.1diatas bahwa masyarakat asli Lampung bukanlah masyarakat yang paling dominan diantara masyarakat yang lain, ini juga menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik, serupa dengan yang diungkapkan oleh Bapak Ismed Alwi Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan sebelum tahun 2012 tidak sampai mengakibatkan korban jiwa, kemudian tidak hanya masyarakat Bali dan masyarakat Lampung yang bentrok tetapi juga masyarakat suku yang lain, seperti
4
masyarakat Jawa, masyarakat Semendo juga melakukan bentrok (wawancara peneliti pada hari Selasa tanggal 2 Desember 2014). Masyarakat yang begitu beragam haruslah menjadi salah satu kelebihan pada suatu daerah dimana bisa dimanfaatkan untuk berbagai aspek diantaranya dengan memanfaatkan potensi pariwisata yang dapat menyumbang pendapatan asli daerah tersebut. Permasalahan yang Kedua adalah konflik yang terjadi di Provinsi Lampung bukan hanya karena faktor perbedaan suku atau budaya namun juga karena faktor ekonomi dan sentiment agama. Provinsi Lampung juga tidak hanya memiliki keberagaman etnik suku/budaya bangsa namun juga merupakan daerah dengan keragaman agama, pola-pola adat, kondisi goegrafis, rasa, dan bahasa. Jumlah pemeluk agama penduduk Provinsi Lampung terbanyak adalah agama Islam menurut sensus penduduk tahun 2010 yaitu sebesar 6.779.928 jiwa. Tabel 1.2 Data Pemeluk Agama di Provinsi Lampung No
Agama/kepercayaan
Jumlah (Jiwa)
1
Islam
2
Kristen
141.899
3
Katolik
131.585
4
Hindu
205.200
5
Budha
122.248
(Sumber: Data Diolah, 2014)
6.779.928
5
Melihat kondisi masyarakat yang begitu beragam memicu terjadinya perbedaan antar kelompok suku, sebagian besar konflik antar golongan yang telah terjadi diakibatkan oleh kultur subjektif yang berbeda-beda. Terkait dengan hal tersebut pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis yang dibuat sesuai dengan UndangUndang Dasar 1945 pasal 20, pasal 21, pasal 27 ayat (1), pasal 28 B ayat 2 dan pasal 28 I ayat 1 dan ayat 2, bertujuan untuk mewujudkan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan. Namun konflik kepandudukan yang terjadi di Provinsi Lampung merupakan konflik yang terjadi sudah lama, selain dipicu oleh perbedaan identitas suku, budaya, dan sentiment agama konflik di Lampung juga sering dipicu oleh faktor ekonomi berupa sengketa lahan seperti pada kasus Mesuji. Konflik ini berawal dari pengumpulan sertifikat tanah warga di Desa Sritanjung, Nipah Kuning, dan Kagungan oleh perusahaan PT. Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) dan PT. Silva Inhutani pada tahun 1993 kemudian petani dijanjikan menjadi petani plasma, belakangan perusahaan mengklaim jika tanah itu milik mereka. Warga tidak bisa lagi bercocok tanam di tanahnya, padahal ratusan warga ketiga desa tersebut sudah turun temurun mendiami kaawasan itu, mereka mengandalkan perkebunan yang menghasilkan buah-buahan seperti durian, duku, dan tanaman tahunan lainnya. Setelah lahan beralih kepemilikan, sebagaian besar penduduk desa terjerat kemiskinan dan tidak lagi memiliki sumber penghasilan tetap. Pelanggaran-pelanggaran tersebut kemudian
6
memicu protes bertahun-tahun sehingga menyebabkan bentrok antara warga dengan pihak perusahaan dan aparat, yang ujungnya menimbulkan korban jiwa (http://www.suarapembaruan.com/home.tragedi-mesuji-pihak-perusahaan-dinilaipicu-kekerasan.com diakses pada hari kamis 16 Oktober 2014). Permasalahan yang Ketiga adalah konflik yang sudah terjadi berkali-kali di Kabupaten Lampung Selatan kurang ditindak tegas oleh aparat keamanan dan Pemerintah Daerah sehingga menimbulkan konflik yang lebih besar. Masyarakat di Provinsi Lampung mengalami krisis yang amat memilukan menjelang pergantian abad ke 21, adapun beberapa konflik yang terjadi dalam skala kecil maupun yang lebih besar (http://Perang-Suku-di-Lampung-Sebuah-DendamLama/Lintas-Berita.htm diakses pada hari kamis 16 Oktober 2014), sebagai berikut: Tabel 1.3 Beberapa Kasus Yang Terjadi di Kabupaten Lampung Selatan Bulan/Tahun Kejadian/Peristiwa September 2010
Pembakaran Pasar Probolinggo Lampung Timur oleh Suku Bali
Desember 2010
Perang Suku Jawa dan Bali dengan suku Lampung karena Pencurian Ayam
September 2011
Suku Jawa vs Suku Lampung dipicu oleh sengketa lahan
Januari 2012
Ricuh Sidomulyo Lampung Selatan Bali vs Penduduk Asli Lampung
Oktober 2012
Perang Desa Agom dengan Desa Balinuraga
(Sumber: data diolah, 2014)
7
Permasalahan yang ada di Lampung Selatan umumnya bersumber dari masalah yang tergolong relative kecil namun pada kenyataannya bisa berubah menjadi perkelahian yang menjurus kearah peperangan yang mengakibatkan korban jiwa. Menurut Bapak Ismed Alwi Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan menjelaskan jika terjadi ricuh di masyarakat penyelesaiannya menggunakan musyawarah mufakat dengan dibantu pihak ketiga yaitu aparat keamanan supaya permasalahannya dapat dengan cepat diselesaikan mengingat sifat dan watak yang berbeda di masyarakat Kabupaten Lampung Selatan (wawancara peneliti pada hari Selasa tanggal 2 Desember 2014). Adapun uraian beberapa konflik yang tercatat di Kesbangpol Lampung Selatan terjadi konflik pada Bulan Oktober 2012 lalu yang juga berangkat dari permasalahan-permasalahan yang sudah terjadi bertahun-tahun sebelumnya yaitu: Tabel 1.4 Peristiwa Konflik Antara Suku Bali Dan Lampung Di Lampung Selatan
Bulan/Tahun Tahun 1982 Tahun 2005 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2010
Desember Tahun 2011
Peristiwa Terjadi perselisihan pemuda Desa Sandaran dan Balinuraga, warga Balinuraga menyerang dengan membakar 2 unit rumah di Desa Sandaran Masyarakat Bali Agung Kecamatan Palas membakar beberapa rumah penduduk di Desa Palas Pasmah Masyarakat Bali di Kecamatan Ketapang menyerang (melempari) Masjid di Desa Ruguk Kecamatan Ketapang Masyarakat Bali Agung menyerang Desa Palas Pasmah dengan melakukan pembakaran beberapa rumah penduduk juga dengan koban meninggal 1 (satu) orang warga Palas Pasmah Masyarakat Bali dari Kecamatan Ketapang menyerang Desa Tetaan Kecamatan Penengahan dan menghancurkan gardu ronda dan pangkalan ojek di perempatan Gayam Kecamatan Penengahan Masyarakat Bali menyerang Desa Marga Catur dengan melakukan pembakaran belasan rumah suku Lampung dan saat
8
Januari Tahun 2012
Tahun 2012
melakukan penyerangan masyarakat Bali menggunakan simbol-simbol khusus adat istiadat Bali Masyarakat Bali melakukan tindakan premanisme terhadap pemuda dari Desa Kotadalam Kecamatan Sidomulyo yang menyebabkan beberapa orang warga Kotadalam mengalami luka-luka, dan beberapa rumah warga Lampung dirusak yang mengakibatkan dibakarnya dusun Napal Desa Sidowaluyo Kecamatan Sidomulyo oleh suku Lampung Pada saat malam takbiran Idul Fitri tahun 2012, para pemuda desa Balinuraga melakukan kerusuhan di depan Masjid Sidoharjo Kecamatan Way Panji saat umat islam sedang melakukan takbiran di Masjid
(Sumber: Kesbangpol Tahun 2012).
Permasalahan yang Keempat adalah kurang tanggapnya Pemerintah daerah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi sehingga menyebabkan korban jiwa. Konflik-konflik tersebut timbul diantara para suku-suku tersebut sehingga jika terjadi insiden kecil bisa langsung berubah menjadi sebuah konflik besar, pengelompokkan suku di wilayah Lampung Selatan sudah terjadi sejak lama, bahkan hal tersebut sudah terjadi sejak mereka remaja, di beberapa sekolah yang ada di wilayah Lampung Selatan anak-anak suku Bali tidak mau bermain atau bersosialisasi dengan anak-anak suku lainnya begitu juga dengan anak-anak dari suku Jawa maupun Lampung (wawancara peneliti pada hari minggu tanggal 30 November 2014 dengan bapak Nyoman Astawe). Menurut salah satu warga Bali di Desa Tridarmayoga bapak Nyoman Astawe mengungkapkan permasalahan antara masyarakat bali dengan masyarakat suku lain yang ada di Lampung Selatan tidak hanya soal kericuhan, namun juga masalah diskriminasi sebelum dan sesudah terjadinya konflik pada tahun 2012,
9
masyarakat suku lain menghormati masyarakat bali jika ada sesuatu kepentingan dengan masyarakat bali yang termasuk orang kaya, seperti jika ingin meminjam uang maka masyarakat suku lain akan bersikap baik namun berbeda jika tidak memiliki kepentingan sikapnya akan acuh tak acuh terhadap masyarakat bali (wawancara peneliti pada hari minggu tanggal 30 November 2014) Mereka biasanya berkelompok berdasarkan suku mereka sehingga jika diantara kelompok tersebut terjadi perselisihan tertentu akibatnya melibatkan suku mereka, konflik kekerasan besar yang ditimbulkan karena perbedaan suku adalah konflik yang terjadi pada wilayah Kabupaten Lampung Selatan tepatnya di Desa Agom Kecamatan Kalianda dan Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji yang puncaknya terjadi pada tanggal 27 Oktober 2012 sampai 30 Oktober 2012 yang melibatkan suku asli Lampung (suku pribumi mayoritas beragama islam) dan suku pendatang Bali (pendatang mayoritas beragama Hindu), konflik tersebut menjadi konflik berdarah yang awalnya dipicu karena permasalahan kecelakaan lalu lintas. Peristiwa kecelakaan tersebut memicu konflik berdarah yang tidak hanya melibatkan dua desa saja namun melibatkan banyak desa dari kedua suku yang ada disekitar wilayah mereka. Peristiwa penyerbuan dan bentrokan berdarah tersebut mengakibatkan jatuhnya korban jiwa sebanyak 12 orang tewas, puluhan orang luka-luka, 438 unit rumah warga Desa Balinuraga dan Sedoreno dibakar, dan 27 unit rumah mengalami rusak berat, 11 unit sepeda motor dibakar, dan 2 gedung sekolah juga ikut dibakar massa. Selain itu juga ribuan orang Desa Balinuraga dan Desa Agom harus di evakuasi (wawancara dengan Kasat Binmas Polres Lampung Selatan pada hari selasa 4 November 2014).
10
Upaya perdamaian yang dipimpin langsung oleh Kapolda Lampung tidak berpengaruh terhadap konflik yang terjadi di wilayah itu. Aksi serang terjadi kembali, pihak Kepolisian dan TNI mengerahkan 1.000 aparat dengan dibantu pihak Brimob Polda Banten dan Sumatra Selatan, namun pada peristiwa ini jumlah warga yang melakukan bentrok semakin bertambah dan tidak dapat ditahan lagi hingga akhirnya warga berhasil memasuki Desa Balinuraga. Dalam aksi penyerangan ini 7 orang tewas, kebanyakan korban tewas tergeletak di area perkebunan dan persewahan dengan kondisi tubuh rusak akibat dicabik-cabik (wawancara dengan Kasat Binmas Polres Lampung Selatan pada hari selasa 4 November 2014). Konflik yang terjadi di Lampung Selatan pada tanggal 27 Oktober hingga 30 Oktober 2012 ini menimbulkan dampak kerugian paling besar dan menyita perhatian berskala Nasional dari berbagai konflik-konflik sosial yang terjadi di Provinsi Lampung selama tiga tahun terakhir. Bahkan Lembaga Survey Indonesia (LSI) menetapkan konflik antar suku bali dan suku Lampung di Way Panji Lampung Selatan ke dalam lima besar bentrok antar suku terparah dari 2.398 kekerasan di Indonesia pasca reformasi. Penelitian ini didasari oleh lima variabel penelitian, yaitu: Pertama jumlah korban, Kedua lama konflik, Ketiga luas konflik,
Keempat
kerugian
material,
Kelima
frekuansi
pemberitaan
(http://m.merdeka.com/peristiwa/5-kasus-kekerasan-horisontal-terburuk-versilsi.html diakses pada hari kamis 16 Oktober 2014).
11
Permasalah yang Kelima adalah penanganan konflik (Resolusi Konflik) yang dilakukan pemerintah tidak merangkul seluruh masyarakat. Penanganan konflik (Resolusi konflik) yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2012 tentang Penangan Konflik Sosial, yang melibatkan aparat pemerintah dan serta tokoh-tokoh yang ada di Lampung Selatan dirasa belum maksimal. Hal ini dapat
dilihat
dari
gagalnya
proses
mediasi
yang dilakukan
sehingga
mengakibatkan konflik makin meluas. Cara yang dipergunakan pemerintah untuk mengurangi konflik adalah dengan melakukan perjanjian yang melibatkan pihak ketiga, agar kelompok yang sebelumnya tidak mau diajak perundingan kamudian mempertimbangkan pihak ketiga sebagai instrument yang bisa menyelasaikan masalah bersama. Pada saat pasca konflik kemudian dilakukan musyawarah dan menghasilkan apa yang disebut “Piagam Perdamaian” yang dimana di dalam isi piagam tersebut memuat 10 pion penting perjanjian. Namun pada kenyataan setelah dilakukan sosialisasi kepada masyarakat Lampung dan masyarakat Bali piagam perdamaian tersebut menimbulkan pro dan kontra di kedua belah pihak, piagam perjanjian pertama tidak mampu menyelesaikan masalah begitu saja sehingga menghasilkan piagam perdamaian kedua pada akhir tahun 2012. Akhirnya pada awal tahun 2013 Pemerintah setempat bersama aparat keamanan
menggulirkan
program
Rembug
Pekon.
Program
tersebut
ditandatangani oleh Gubernur Lampung dengan Kapolda Lampung Selatan dalam Nota Kesepahaman (MOU). Belum adanya Peraturan Daerah (Perda) yang membuat penenganan konflik (Resolusi Konflik) tidak berjalan dengan baik, ini serupa dengan yang diungkapkan oleh Bapak Ismed Alwi Kepala Bidang Politik
12
dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan penyelesaian konflik dilakukan dengan membuat nota kesepahaman yang dilakukan secara musyawarah dengan masyarakat yang terlibat konflik, penyelesaian konflik itu dilakukan atas dasar Undang-undang No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial ini dikarenakan belum adanya peraturan daerah yang dibuat khusus untuk penenganan konflik sosial itu sendiri (wawancara peneliti pada hari Selasa tanggal 2 Desember 2014). Rembuk Pekon merupakan pelembagaan negosiasi yang bersifat kekeluargaan, program ini melibatkan seluruh aspek baik dari elemen pemerintahan maupun masyarakat seperti, tokoh adat, tokoh agama, pemuda dan yang lainnya, tujuannya agar konflik yang terjadi di wilayah khususnya Lampung Selatan tidak terulang lagi. Berdasarkan uarian latar belakang diatas, konflik yang berkepanjangan membuat pemerintah harus ikut campur dalam penyelesaian permasalahan yang ada di daerahnya maka dari itu peneliti tertarik untuk mengkaji labih lajut bagaimana pemerintah mengatur strategi agar nantinya konflik yang terjadi sebelumnya tidak terulang lagi. Untuk itu peneliti mengadakan penelitian yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk Skripsi yang berjudul “Strategi Penyelesaian Konflik Kependudukan Di Kabupaten Lampung Selatan (Studi Kasus Konflik Antar Suku Asli Lampung Dengan Suku Pendatang Bali 2012)”.
13
1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan pemaparan pada uraian dimuka, adapun permasalahan yang diidentifikasikan oleh penulis sesuai dengan uraian di atas, yaitu: 1.
Kemajemukan masyarakat Provinsi Lampung yang diakibatkan Program Transmigrasi pada era Orde Baru membuat Provinsi tersebut rentan akan Konflik sosial.
2.
Konflik yang terjadi di Provinsi Lampung bukan hanya karena faktor perbedaan suku/budaya namun juga karena faktor ekonomi dan sentiment agama.
3.
Konflik yang sudah terjadi berkali-kali di Kabupaten Lampung Selatan kurang ditindak tegas oleh aparatur hukum sehingga mengakibatkan konflik yang lebih besar.
4.
Kurang tanggapnya Pemerintah dalam penyelesaian kependudukan yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan sehingga banyak korban yang tewas.
5.
Penanganan konflik (Resolusi Konflik) yang dilakukan pemerintah tidak merangkul seluruh masyarakat.
1.3 Batasan Masalah Dalam penelitian ini, banyak masalah yang muncul terkait dengan konflik antar penduduk yang ada di Kabupaten Lampung Selatan. Dikarenakan keterbatasan waktu, pengetahuan dan dana, serta agar terfokus pada masalah
14
penelitian tentang Strategi Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan secara lebih rinci harus dilakukan batasan masalah agar terjadi keselarasan antara capaian dengan kondisi dilapangan yang dirasakan oleh masyarakat khususnya masyarakat Lampung secara keseluruhan. Maka penulis membatasi masalah pada Strategi Penyelesaian Konflik Kependudukan Di Kabupaten Lampung Selatan (Studi Kasus Konflik Antar Suku Asli Lampung Dengan Suku Pendatang Bali 2012). 1.4 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah disampaikan sebelumnya dan berdasarkan batasan masalah di atas maka rumusan masalahnya adalah: 1.
Bagaimanakah kondisi kehidupan sosial masyarakat Kabupaten Lampung Selatan khususnya masyarakat Lampung dan masyarakat Bali?
2.
Bagaimanakah proses terjadinya Konflik di Kabupaten Lampung Selatan pada kasus khususnya yang terjadi antara suku asli Lampung dengan suku pendatang Bali pada tahun 2012?
3.
Bagaimanakah strategi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dalam menyelesakan konflik khususnya yang terjadi antara suku asli Lampung dengan suku pendatang Bali pada tahun 2012?
15
1.5 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Mengetahui bagaimana kondisi kehidupan sosial masyarakat Kabupaten Lampung Selatan khususnya masyarakat Lampung dan masyarakat Bali.
2.
Mengetahui bagaimana proses terjadinya Konflik di Kabupaten Lampung Selatan pada kasus khususnya yang terjadi antara suku asli Lampung dengan suku pendatang Bali pada tahun 2012.
3.
Bagaimana strategi yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dalam menyelesaikan konflik penduduk khususnya konflik yang terjadi antara suku asli Lampung dan suku pendatang Bali.
1.6 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. 1.6.1
Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini untuk menambah informasi dan pengetahuan di
bidang Administrasi
Negara, khususnya
peranan pemerintah dalam
penyelesaian konflik kependudukan. Hasil penelitian ini diharapakan sebagai penemuan baru yang dapat menambah dan memperkaya wawasan berfikir tentang proses transformasi dari konflik kedamai dengan memahami peranan pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dalam upaya fasilitas damai yang dapat
16
dipertanggungjawabkan dengan harapan bisa memberikan kontribusi nyata dalam upaya meredam timbulnya konflik-konflik yang serupa di kemudian hari. 1.6.2
Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan nyata dilapangan pada komponen-komponen yang terkait dengan konflik, diantaranya: 1. Pihak kelompok Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang nyata berdasarkan realita lapangan penelitian sebagai bagian dari proses penyadaran kepada pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dalam upaya mewujudkan perdamaian yang utuh dalam kehidupan sehari-hari. 2. Pihak-pihak yang terkait dalam proses perdamaian Dapat menggunakan penelitian ini sebagai salah satu acuan atau refrensi dalam upaya menemukan resolusi yang tepat untuk menciptakan perdamaian yang optimal bagi kelompok yang terkait. 1.7
Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran yang sistematis serta dapat dengan mudah
dipahami maka dalam skripsi ini disusun berdasarkan ketentuan yang biasa digunakan sesuai petunjuk dari perguruan tinggi dimana penulis belajar, dengan ketentuan sebagai berikut:
17
BAB I PENDAHULUAN Menguraikan tenang Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Sistematika Penulisan. BAB II DESKRIPSI TEORI DAN ASUMSI DASAR Menguraikan tentang Deskripsi Teori, Penelitian Terdahulu, Kerangka Pemikiran Penelitian dan Asumsi Dasar Penelitian. BAB III METODE PENELITIAN Menguraikan tentang Metode Penelitian, Ruang Lingkup/ Fokus Penelitian, Lokasi Penelitian, Fenomena Yang Diamati, Instrument Penelitian, Informan Penelitian, Teknik Pengolahan dan Analisis Data, Tempat dan Waktu Penelitian. BAB IV HASIL PENELITIAN Menguraikan tentang Deskripsi Objek Penelitian, Deskripsi data dan Pembahasan. BAB V PENUTUP Menguraikan tentang Kesimpulan dan Saran.
18
BAB II DESKRIPSI TEORI DAN ASUMSI DASAR 2.1
Deskripsi Teori Deskripsi teori memuat hasil kajian terhadap sejumlah teori yang relevan
dengan permasalahan dan variabel penelitian, kemudian menyusunnya secara teratur dan rapi yang digunakan untuk merumuskan hipotesis. Dengan mengkaji berbagai teori dan konsep-konsep maka kita akan memiliki konsep penelitian yang jelas dapat menyusun pertanyaan yang rinci untuk penyelidikan, serta dapat menemukan hubungan antar variabel yang diteliti. Sugiyono (2009:58), deskripsi teori dalam suatu penelitian merupakan uraian sistematis tentang teori (dan bukan sekedar pendapat pakar atau penulis buku) dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan variabel yang diteliti, berapa jumlah kelompok teori yang perlu dikemukakan/dideskripsikan akan tergantung pada luasnya permasalahan dan secara teknis tergantung pada jumlah variabel yang diteliti. Deskripsi teori paling tidak berisi tentang penjelasan terhadap variabel-variabel yang diteliti, melalui pendefinisian dan uraian yang lengkap dan mendalam dari berbagai referensi, sehingga ruanglingkup keduanya dan prediksi terhadap hubungan antar variabel yang akan diteliti menjadi lebih jelas dan terarah.
19
2.1.1
Konsep Manajemen Strategi Untuk memahami pengertian manajemen strategi, terlebih dahulu harus
dapat mengerti apakah itu strategi itu,kata strategi berasal dari yunani, yaitu statogos atau strategis yang berarti jendral, strategi berarti seni para jendral. maka strategi dapat diartikan dari sudut pandang militer adalah cara menempatkan pasukan atau menyusun kekuatan tentara di medan perang agar musuh dapat dikalahkan (Saladin, 1999: 01). Kemudian menurut David (2008:17), ”Strategi adalah tindakan potensial yang membutuhkan keputusan manajemen tingkat atas dan sumber daya perusahaan dalam jumlah yang besar”. Hal ini sejalan dengan Hunger dan Wheelen (2003:16), bahwa ”Strategi perusahaan merupakan rumusan perencanaan komprehensif tentang bagaimana perusahaan akan mencapai misi dan tujuannya”. Sedangkan Menurut Pearce II dan Robinson (2008:6): ”Strategi (strategy) bagi para manajer adalah rencana berskala besar, dengan orientasi masa depan, guna berinteraksi dengan kondisi persaingan untuk mencapai tujuan perusahaan. Strategi merupakan rencana permainan perusahaan. Meskipun tidak merinci seluruh pemanfaatan (manusia, keuangan dan material) di masa depan, rencana tersebut menjadi kerangka bagi keputusan manajerial. Strategi mencerminkan pengetahuan perusahaan mengenai bagaimana, kapan, dan dimana perusahaan akan bersaing, dengan siapa perusahaan akan sebaiknya bersaing, dan untuk tujuan apa perusahaan harus bersaing”.
Jadi, strategi adalah alat atau sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan jangka panjang dari suatu perusahaan, serta pendayagunaan dan alokasi semua sumber daya yang penting untuk mencapai tujuan tersebut.
20
Berbeda dengan konsep manajemen strategi merupakan bidang ilmu yang melihat pengelolaan perusahaan secara menyeluruh dan berusaha menjelaskan mengapa beberapa perusahaan berkembang dan maju secara pesat, sedangkan yang lainnya tidak maju dan akhirnya bangkrut. Manajemen strategi lebih menekankan pada pengambilan keputusan strategis. Keputusan strategis berhubungan dengan masa yang akan datang dalam jangka panjang untuk organisasi secara keseluruhan. Hunger dan Wheelen (2003:4) “Manajemen Strategis adalah serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja perusahaan dalam jangka panjang”. Pengertian manajemen strategi menurut David (2008:5): “Manajemen strategis adalah seni dan ilmu untuk memformulasi, mengimplementasi, dan mengevaluasi keputusan lintas fungsi yang memungkinkan organisasi dapat mencapai tujuannya”. Berdasarkan pengertian di atas, manajemen strategis berfokus pada mengintegrasikan manajemen, pemasaran, keuangan/akuntansi, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan dan sistem komputer untuk mencapai keberhasilan organisasi. Menurut Pearce II dan Robinson (2008:5) : “Manajemen strategik (strategic management) didefinisikan sebagai satu set keputusan dan tindakan yang menghasilkan formulasi dan implementasi rencana yang dirancang untuk meraih tujuan suatu perusahaan”.
21
Manajemen strategi lebih menekankan pada pengambilan keputusan strategis. Keputusan strategis berhubungan dengan masa yang akan datang dalam jangka panjang untuk organisasi secara keseluruhan. Menurut Hunger dan Wheelen (2003:4), “Manajemen Strategis adalah serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja perusahaan dalam jangka panjang”. Manajemen strategi mengacu pada analisis dan penerapan strategi termasuk didalamnya adalah implementasi rencana-rencana strategi. Manajemen strategi dapat dipraktekkan atau diterapkan dalam unit-unit organisasional yang berbeda ukuran besaran organisasi (size), dalam kelompok-kelompok perusahaan, perusahaan secara individual, pada divisi-divisi atau bidang-bidang fungsional dalam perusahaan, pada departemen-departemen pemerintahan, serta pada organisasi
nirlaba
(http://melistyaridewi.blogspot.com/2012/02/manajemen-
strategik.html diakses pada hari senin tanggal 2 maret 2015 pukul 18:33 WIB). Tujuan manajemen strategi adalah untuk mengeksploitasi dan menciptakan peluang baru yang berbeda untuk masa mendatang, perencanaan jangka panjang dan mencoba untuk mengoptimalkan tren sekarang untuk masa yang akan datang. 2.1.2
Manfaat Manajemen Strategi Manajemen strategi menurut David (2008:20) membuat organisasi lebih
proaktif dari pada reaktif dalam membentuk masa depannya, manajemen strategi membuat
organisasi
dapat
memulai dan mempengaruhi
(bukan hanya
menanggapi) berbagai kegiatan dan dengan demikian mengendalikan nasib sendiri. Para pemilik bisnis kecil Chief Excecutive Officer (CEO), presiden dan
22
manajer organisasi-organisasi laba dan nirlaba telah mengakui dan menyadari keuntungan atau manfaat manajemen strategi. Secara historis manfaat utama manajemen startegi adalah membantu organisasi merumuskan strategi-strategi yang lebih baik melalui pendekatan yang lebih sistematis, logis, dan rasional utnuk menentukan pilihan strategis. Hal ini menjadi manfaat utama manajemen strategi. Manfaat manajemen strategi menurut Jatmiko (2004: 24) adalah: Dapat mendorong anda melaksanakan tugas pekerjaan dengan baik tanpa memandang posisi anda dalam suatu organisasi, apabila anda mengetahui arah mana yang dituju perusahaan. Anda akan mampu mengidentifikasikan faktor-faktor yang dapat menimbulkan parubahan besar dalam organisasi perusahaan. Apabila sebagai karyawan anda menyadari strategi, nilai-nilai dan tujuan manajer pada tingkat labih atas, maka anda berada dalam kedudukan yang labih baik untuk dapat memperkirakan kemungkinan diterimanya usulan yang akan anda ajukan.
1. 2. 3.
Sedangkan Manfaat penerapan manajemen strategis pada organisasi sektor public menurut Jatmiko (2004: 26) yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Membantu organisasi publik berpikir secara strategis. Mengklarifikasi arah mendatang. Memecahkan masalah organisasi. Meningkatkan kinerja. Berhubungan secara efektif dengan lingkungan yang berubah. Membangun tim kerja dan keahlian, dan. Memudahkan interface administrasi politik melalui membangun hubungan kerjasama antara pejabat terpilih dan manajer publik
23
2.1.3
Model Manajemen Strategi
2.1.3.1 Model Manajemen Stategi Menurut Hunger dan Wheelen Hunger dan Wheelen (2003:9) menjelaskan proses manajemen strategi meliputi empat elemen dasar: 1) pengamatan lingkungan, 2) perumusan strategi, 3) implementasi strategi, 4) evaluasi dan pengendalian.
Pengamatan Lingkungan
Perumusan Strategi
Implementasi Strategi
Evaluasi dan Pengendalian
(Sumber: Hunger dan Wheelen, 2003:11) Gambar 2.1 Proses Manajemen Strategi Hunger dan Wheelen Gambar 2.1 menunjukkan interaksi keempat elemen tersebut. Pada level korporasi, proses manajemen strategi meliputi aktivitas-aktivitas dari pengamatan lingkungan sampai evaluasi kinerja. Manajemen mengamati lingkungan eksternal untuk melihat kekuatan dan kelemahan. Faktor-faktor yang paling penting untuk masa depan perusahaan disebut faktor-faktor strategis dan diringkas dengan singkatan S.W.O.T yang berarti Strenghs (kekuatan), Weaknesses (Kelemahan), Opportunities (kesempatan), dan Threats (ancaman). Setelah mengidentifikasi faktor-faktor strategis, manajemen mengevaluasi interaksnya dan menentukan
24
misi parusahaan yang sesuai. Langkah pertama dalam merumuskan strategi adalah pernyataan misi, yang berperan penting dalam menentukan tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan. Perusahaan mengimplemantasi strategi dan kebijakan tersebut melalui program, anggaran, dan prosedur, akhirnya evaluasi kinerja dan umpan balik untuk memastikan tepatnya pengandalian aktivitas perusahaan. 1.
Pengamatan Lingkungan a. Analisis Eksternal
Lingkungan eksternal terdiri dari variabel-variabel (kesempatan dan ancaman) yang berada diluar organisasi dan tidak secara khusus ada didalam pengendalian jangka pendek dari manajemen puncak. Variabel-variabel termasuk membentuk keadaan dalam organisasi dimana organisasi ini hidup. Lingkungan eksternal memiliki dua bagian: lingkungan kerja dan lingkungan sosial. Lingkungan kerja terdiri dari elemen-elemen atau kelompok yang secara langsung berpengaruh atau dipengaruhi oleh operasi-operasi utama organisasi. Beberapa elemen tersebut adalah pemegang saham, pemerintah, pemasok, komunitas lokal, pesaing, pelanggan, kreditur, serikat buruh, kelompok kepentingan khusus, dan asosiasi perdagangan. Lingkungan kerja perusahaan sering disebut industri, lingkungan sosial terdiri dari kekuatan umum, kekuatan itu tidak berhubungan langsung dengan aktivitas-aktivitas jangka pendek organisasi tetapi dapat dan sering mempengaruhi keputusan-keputusan jangka panjang (Hunger dan Wheelen, 2003:9). b. Analisis Internal Lingkungan internal terdiri dari variabel-variabel (kekuatan dan kelemahan) yang ada didalam organisasi tetapi biasanya tidak dalam pengendalian jangka pendek dari manajeman puncak. Variabel-variabel tersebut membentuk suasana dimana pekerjaan dilakukan. Variabel-variabel itu meliputi struktur, budaya dan sumber daya organisasi. Struktur adalah cara bagaimana perusahaan diorganisasikan yang berkenaan dengan komunikasi, wewenang, dan arus kerja. struktur sering disebut rantai perintah dan digambarkan secara grafis dengan menggunakan bagan organisasi. Budaya adalah pola keyakinan, pengharapan, dan nilai-nilai yang dibagikan oleh anggota organisasi. Norma-norma organisasi secara khusus memunculkan dan mendefinisikan perilaku yang dapat diterima anggotanya dari manajemen puncak sampai karyawan operatif. Sumber daya adalah aset yang merupakan bahan baku bagi produksi barang dan jasa organisasi (Hunger dan Wheelen, 2003:11).
25
Aset itu meliputi kemampuan orang, kemampuan bakat manajerial, seperti aset keuangan dan fasilitas pabrik dalam wilayah fungsional. Tujuan utama adalah dalam manajemen strategis adalah memadukan variabel-variabel internal perusahaan untuk memberikan kompetensi unik, yang memampukan perusahaan untuk mencapai keunggulan kompetitif secara terus-menerus, sehingga menghasilkan laba (Hunger dan Wheelen, 2003:11). 2.
Perumusan Strategi
Pengembangan rencana jangka panjang untuk manajemen efektif dari kesempatan dan ancaman lingkungan, dilihat dari kekuatan dan kelemahan perusahaan. Perumusan strategi meliputi menentukan misi perusahaan, menentukan tujuan-tujuan yang dicapai, pengembangan strategi dan penetapan pedoman kebijakan (Hunger dan Wheelen, 2003:12). c.
Misi
Misi organisai adalah tujuan atau alasan mengapa organisasi hidup, pernyataan misi yang disusun dengan baik mendefinisikan tujuan mendasar dan unik yang membedakan suatu perusahaan dengan perusahaan lain. Misi dapat ditetapkan secara sempit atau secara luas. Tipe pernyataan misi sempit menegaskan secara jelas bisnis utama organisasi, misi ini juga secara jelas membatasi jangkauan aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan produk atau jasa yang ditawarkan. Sedangkan misi luas melebarkan jangkauan aktivitas organisasi untuk memasukan banyak tipe produk atau jasa, pasar dan teknologi (Hunger dan Wheelen, 2003:13). d.
Tujuan
Tujuan adalah hasil akhir aktivitas perencanaan. Tujuan merumuskan apa yang akan diselesaikan dan kapan akan diselesaikan, dan sebaliknya diukur jika memungkinkan. Istilah sasaran (goal) sering rancu dengan istilah tujuan (objektive). Sasaran adalah pernyataan terbuka yang berisi suatu harapan yang akan diselesaikan tanpa perhitungan apa yang akan dicapai dan tidak ada penjelasan waktu penyelesaian (Hunger dan Wheelen, 2003:15). e.
Strategi
Strategi perusahaan merupakan rumusan perencanaan komprehensif tentang bagaimana perusahaan akan mencapai misi dan tujuan. Strategi akan memaksimalkan keunggulan kompetitif dan meminimalkan keterbatasan bersaing (Hunger dan Wheelen, 2003:16).
26
f.
Kebijakan
Aliran dari strategi, kebijakan menyediakan pedoman luas untuk pengambilan keputusan organisasi secara keseluruhan. Kebijakan juga merupakan pedoman luas yang menghubungkan perumusan strategi dan implementasi (Hunger dan Wheelen, 2003:16). 3.
Implementasi Strategi
Implementasi strategi adalah proses dimana manajemen mewujudkan strategi dan kebijakan dalam tindakan melalui pengembangan program, anggaran, dan prosedur. Proses tersebut mungkin meliputi perubahan budaya aecara menyeluruh, struktur atau sistem manajemen dari organisasi secara keseluruhan. Kecuali ketika diperlukan perubahahan secara drastis pada perusahaan, manajer level menengah dan bahwa akan mengimplementasikan strateginya secara khusus dengan pertimbangan dari manajemen puncak. Kadang-kadang dirujuk sebagai perencanaan operasional, implementasi strategi sering melibatkan keputusan sehari-hari dalam alokasi sumber daya (Hunger dan Wheelen, 2003:17).
Program
Program adalah pernyataan aktivitas-aktivitas atau langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan perencanaan sekali pakai. Program melibatkan restrukturisasi perusahaan, perubahan budaya internal perusahaan, atau awal dari suatu usaha penelitian baru (Hunger dan Wheelen, 2003:17).
Anggaran
Anggaran merupakan program yang dinyatakan dalam bentuk satuan uang. Setiap program akan dinyatakan dengan rinci dalam biaya, yang dapat digunakan oleh manajemen untuk merencanakan dan mengendalikan (Hunger dan Wheelen, 2003:18).
Prosedur
Prosedur, kadang-kadang disebut Standar Operating Procedures (SOP). Prosedur adalah sistem langkah-langkah atau teknik-teknik yang berurutan yang menggambarkan secara rinci bagaimana suatu tugas atau pekerjaan diselesaikan. Secara khusus merinci bagaimana aktivitas yang harus dikerjakan utnuk menyelesaikan program-program perusahaan (Hunger dan Wheelen, 2003:18). 4.
Evaluasi Dan Pengendalian
Evaluasi dan pengendalian adalah proses yang melaluinya aktivitasaktivitas perusahaan dan hasil kenerja dimonitor dan kinerja sesungguhnya dibandingkan dengan kinerja yang lain. Para manajer disemua level menggunakan
27
informasi hasil kinerja untuk melakukan tindakan perbaikan dan memecahkan masalah. Walupun evaluasi dan pengendalian merupakan elemen akhir yang utama dari manajemen strategi, elemen itu juga dapat menunjukkan secara tepat kelemahan-kelemahan dalam implementasi strategi sebelumnya dan mendorong proses keseluruhan untuk dimulai kembali (Hunger dan Wheelen, 2003:19).
Agar evaluasi dalam pengendalian efektif, manajer harus mendapatkan umpan balik yang jelas, tepat, dan tidak bias dari orang-orang bawahannya yang ada dalam hirarki perusahaan. Evaluasi kinerja dan pengendalian mengakhiri model manajemen stategi. Berdasarkan hasil kinerja, manajemen mungkin akan melakukan penyesuaian terhadap perumusan strategi atau implementasi, atau keduanya. Lebih jelasnya lihat gambar 2.2 dibawah ini:
(Sumber: Hunger dan Wheelen, 2003:1) Gambar 2.2 Model Manajemen Strategi Hunger dan Wheelen
28
2.1.3.2 Model Manajemen Strategi Komprehensif David David (2005:90) menjelaskan bahwa cara paling baik untuk mempelajari dan menerapkan proses manajemen strategi adalah dengan menggunakan model, setiap model menggambarkan suatu jenis proses. Kerangka kerja yang terdapat dalam gambar 2.3 adalah model komprehensif suatu proses manajemen startegi yang sudah diterima secara luas. Model ini tidak menjamin keberhasilan, tetapi mewakili pendekatan praktis dan jelas untuk perumusan, pelaksanaan dan evaluasi startegi. Hubungan antara bagian-bagian utama dalam proses manajemen strategi ditampilkan dalam model tersebut.
(Sumber: Fred R. David, 2005:91) Gambar 2.3 Model Manajemen Strategi Komprehensif David
29
Proses manajemen strategi menurut David (2005: 6) terdiri dari tiga tahap, yaitu: 1.
Perumusan Strategi
Mencakup kegiatan mengembangkan visi dan misi organisasi, mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal organisasi, merupakan kekuatan dan kelemahan internal organisasi, menentukan tujuang jangka panjang organisasi, membuat sejumlah strategi alternative untuk organisasi dan memilih strategi tertentu untuk digunakan. Isu-isu perumusan strategi mencakup keputusan mengenai bisnis baru yang akan dimasuki, bisnis yang akan ditinggalkan, pengalokasian sumberdaya, perluasan operasi atau diversifikasi, keputusan untuk memasuki pasar internasioanl, merger atau membentuk usaha patungan, dan cara untuk menghindari pengambilalihan oleh pesaing bisnis (David, 2005: 6). Pelaksanaan Strategi
2.
Mengharuskan perusahaan untuk menetapkan sasaran, membuat kebijakan, memotivasi karyawan dan mengalokasikan sumber daya sehingga perumusan strategi dapat dilaksanakan. Pelaksanaan strategi mencakup pengembangan budaya yang mendukung strategi, penciptaan struktur organisasi yang efektif, pengarahan kembali usaha-usaha pemasaran, penyiapan anggaran, pengembangan dan pemanfaatan sistem informasi, serta menghubungkan kompensasi untuk karyawan dengan kinerja organisasi. Pelaksanaan strategi sering disebut tahap tindakan dalam manajemen strategi. Melaksanakan untuk melaksanakan strategi-strategi yang dirumuskan. Pelaksanaan strategi yang sering dianggap sebagai tahap yang paling sulit dalam manajemen strategi menuntut disiplin, komitmen dan pengorbanan pribadi. Keberhasilan pelaksanaan strategi tergantung pada kemampuan manajer untuk memotivasi para karyawan. Hal ini akan lebih merupakan hasil dari pada ilmu. Strategi-strategi yang dirumuskan tetapi tidak dilaksanakan tidak akan memberikan manfaat (David, 2005: 6). Evaluasi Strategi
3.
Tahap terakhir dalam manajeman strategi, para menejer harus benar-benar mengetahui alasan strategi-strategi tertentu tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Dalam hal ini, evaluasi strategi adalah cara pertama untuk memperoleh informasi. Semua strategi dapat diubah sewaktu-waktu karena faktor-faktor eksternal dan internal selalu berubah. Tiga kegiatan pokok dalam evaluasi ini adalah:
Mengkaji ulang faktor-faktor eksternal dan internal yang menjadi landasan perumusan strategi yang diterapkan sekarang ini. Mengukur kinerja. Melakukan tindakan-tindakan korelatif.
30
Evaluasi strategi perlu dilakukan karena keberhasilan saai ini bukan merupakan jaminan untuk keberhasilan di hari esok. Keberhasilan selalu menciptakan masalah-masalah baru dan berbeda, organisasi-organisasi yang cepat puas diri akan mati dengan sendirinya (David, 2005: 7).
2.1.2.3 Model Manajemen Strategi Pearce dan Robinson
(Sumber:Pearce dan Robinson (MGH), 2008: 4) Gambar 2.4 Model Manajemen Strategi Pearce dan Robinson Untuk lebih mempermudah pemahaman tentang manajemen strategi dapat dilakukan melalui model. Model disusun sesederhana mungkin dalam rangka mempermudah pemahaman. Seiring dengan perkembangan manajemen strategi maka model yang digunakan juga mengalami perkembangan sehingga cukup banyak model yang ditawarkan oleh pakar dalam hal manajemen strategi. Namun demikian berkaitan dengan analisis lingkungan maka model yang digambarkan oleh Pearce dan Robinson (2008: 4) seperti pada gambar 2.4 ini dapat menjadi
31
acuan karena model ini merupakan penyederhanaan atau generalisasi modelmodel yang ada sehingga memuat prinsip-prinsip yang digunakan pada modelmodel yang lain. Berikut ini penjelasan tahapan-tahapan dalam manajemen strategi : 1. Misi Perusahaan Misi suatu perusahaan adalah tujuan yang unik, yang membedakannya dari perusahaan-perusahaan lain yang sejenis dan mengidentifikasi cakupan operasinya. Secara ringkas, misi menguraikan produk, pasar, dan bidang teknologi yang diharap perusahaan di mana misi tersebut mencerminkan nilai dan prioritas dari para pengambil keputusan strategi (Pearce dan Robinson 2008: 16). 2. Profil Perusahaan Profil perusahaan mengambarkan kuantitas dan kualitas sumber daya keuangan, manusia, dan fisik perusahaan. Profil ini juga menilai kekuatan dan kelemahan manajemen dan struktur organisasi perusahaan. Profil perusahaan membandingkan keberhasilan masa lalu perusahaan serta titik perhatian tradisionalnya dengan kemampuan perusahaan saat ini guna mengidentifikasi kemampuan masa depan perusahaan (Pearce dan Robinson 2008: 16). 3. Lingkungan Eksternal Lingkungan eksternal perusahaan meliputi semua keadaan dan kekuatan yang mempengaruhi pilihan strateginya dan menentukan situasi persaingannya. Lingkungan eksternal terdiri dari lingkungan operasional, industri, dan lingkungan jauh (Pearce dan Robinson 2008: 16). 4. Analisis dan pilihan strategi Penilaian secara simultan atas lingkungan eksternal dan profil perusahaan memungkinkan perusahaan mengidentifikasi berbagai peluang interaktif yang mungkin menarik. Peluang-peluang ini adalah jalur investasi yang mungkin,tetapi harus disaring terlebih dahulu berdasarkan misi perusahaan guna menghasilkan sekumpulan opsi (pilihan) yang nantinya akan menghasilkan pilihan strategi (Pearce dan Robinson 2008: 17).
32
5. Sasaran jangka panjang Sasaran jangka panjang adalah hasil yang diharapkan suatu organisasi dalam kurun waktu beberapa tahun (Pearce dan Robinson 2008: 17). 6. Strategi umum Strategi umum adalah suatu rencana umum dan menyeluruh mengenai tindakan-tindakan utama yang akan dilakukan perusahaan untuk mencapai sasaran jangka panjang dalam suatu lingkungan yang dinamis (Pearce dan Robinson 2008: 17). 7. Sasaran tahunan Sasaran tahunan adalah hasil yang ingin dicapai organisasi dalam kurung waktu satu tahun (Pearce dan Robinson 2008: 17). 8. Strategi fungsional atau operasional Strategi operasional adalah rumusan rinci mengenai cara-cara yang akan digunakan untuk mencapai sasaran tahun berikutnya. Kebanyakan manajer strategik berusaha mengembangkan suatu strategi operasional untuk setiap perangkat sasaran tahunan terkait (Pearce dan Robinson 2008: 18). 9. Kebijakan Kebijakan adalah keputusan bersifat umum yang telah ditetapkan sebelumnya yang menjadi pedoman atau menjadi pengganti bagi pengambil keputusan manajerial yang bersifat repetitif (berulang). Kebijakan menjadi pedoman pikiran, keputusan, dan tindakan manajer pada bawahan mereka dalam mengimplementasikan strategi organisasi. Kebijakan memberikan tuntutan untuk menetapkan dan mengendalikan proses dengan sasaran strategi perusahaan (Pearce dan Robinson 2008:18). 10. Melembagakan strategi Sasaran tahunan, strategi fungsional, serta kebijakan-kebijakan spesifik merupakan sarana penting untuk mengkomunikasikan apa yang harus dilakukan untuk mengimplementasikan strategi keseluruhan perusahaan. Dengan menerjemahkan keinginan-keinginan jangka panjang ke dalam pedoman tindakan jangka pendek, mereka menjadikan strategi operasional. Tetapi strategi keseluruhan juga harus dilembagakan: artinya, strategi ini haruslah meresap kedalam kehidupan sehari-hari perusahaan agar dapat terimplementasi secara efektif. Ada empat elemen fundamental organisasi untuk melembagakan strategi perusahaan, yaitu: struktur, kepemimpinan, kultur, dan imbalan (Pearce dan Robinson 2008:18).
33
11. Pengendalian dan evaluasi Implementasi (pelaksanaan) strategi harus dipantau untuk mengetahui sejauhmana sasaran perusahaan tercapai. Betapapun diusahakan subyektif mungkin,proses perumusan strategi sebagian besar bersifat subyektif. Jadi ujian penting pertama terhadap suatu strategi hanya dapat dilakukan setelah implementasi (Pearce dan Robinson 2008:19). 2.1.4
Model Manajemen Strategi Organisasi Publik Pada dasarnya manajemen strategi tidak hanya digunakan pada sektor
swasta tetapi juga sudah diterapkan pada sektor publik. Penerapan manajemen strategi pada kedua jenis institusi tersebut tidaklah jauh berbeda, hanya pada organisasi sektor publik tidak menekankan tujuan organisasi pada pencarian laba tetapi lebih pada pelayanan. Menurut Anthony dan Young dalam Salusu (2004:26) penekanan organisasi sektor publik dapat diklasifikasikan ke dalam 7 hal yaitu : Adanya pertimbangan khusus dalam pembebanan pajak Ada kecenderungan berorientasi semata – mata pada pelayanan Banyak menghadapi kendala yang besar pada tujuan dan strategi Kurang banyak menggantungkan diri pada kliennya untuk mendapatkan bantuan keuangan. 5. Dominasi professional. 6. Tidak bermotif mencari keuntungan 7. Pengaruh politik biasanya memainkan peranan yang sangat penting.
1. 2. 3. 4.
Seorang ahli bernama Koteen dalam salusu (2004:34) menambahkan satu hal lagi yaitu less responsiveness bureaucracy dimana menurutnya birokrasi dalam organisasi sektor publik sangat lamban dan berbelit–belit. Sedangkan pada sektor swasta penekanan utamanya pada pencarian keuntungan atau laba dan tentunya kelangsungan hidup organisasi melalui strategi dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk menunjukkan perlunya manajemen sektor publik
34
dalam organisasi sektor publik banyak penelitian yang mengupas pentingnya manajemen stratejik pada sektor publik. Roberts dan Menker dalam Rabin menjelaskan bahwa
manajemen
strategi pada pemerintah pusat di Amerika Serikat hasilnya mereka megusulkan adanya pendekatan baru dalam manajemen sektor publik yaitu pendekatan generatif selain pendekatan yang sudah ada yaitu pendekatan direktif dan pendekatan adaptif. Pendekatan direktif merupakan pendekatan yang bersifat dari atas ke bawah (top–down) dan lebih sedikit melibatkan anggota dalam organisasi sektor publik. Pendekatan adaptif lebih menekankan pada semangat kebersamaan dalam organisasi dalam menetapkan tujuan pelaksanaan dan evaluasi. Sedangkan pendekatan generatif menekankan pada pentingnya seorang pemimpin (leader) dalam melakukan fungsi penetapan tujuan, pelaksanaan dan evaluasi dengan tidak mengesampingkan
anggota
lain
dalam
organisasi
sektor
publik
(https://mustamu.wordpress.com/2008/05/07/mengenal-manajemen-strategiksuatu-pengantar/ diakses pada hari sabtu tanggal 28 Februari 2015) Kilimurray dalam Rabin bahwa untuk mengetahui perencanaan strategi yang ada dalam dinas pertolongan anak di Amerika Serikat adalah dengan pertolongan anak menjalankan perencanaan stratejik berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di Amerika Serikat. Selain itu dinas pertolongan anak melakukan perencanaan stratejik dengan mengembangkan 5 hal utama yaitu:
35
1) 2) 3) 4) 5)
Implementasi rencana, Indikator kinerja, Reformasi kesejahteraan, Kesepakatan kinerja, dan Pemeriksaaan audit.(https://mustamu.wordpress.com/2008/05/07/mengenalmanajemen-strategik-suatu-pengantar/ diakses pada hari sabtu tanggal 28 Februari 2015). Lebih lanjut ada penelitian terhadap manajemen strategi yang dilakukan
oleh kantor dinas pajak Amerika Serikat dibantu oleh kantor akuntan publik Pricewaterhouse Coopers dengan obyek penelitian pada kantor dinas pajak pemerintah pusat yang berlokasi di Washington D.C. Penelitian ini melihat tahapan
manajemen
strategi
dari
awal
yaitu
dengan
mengembangkan
multiyearbudget yaitu penganggaran yang dilakukan dalam waktu yang panjang dimana dalam proses ini belum terdapat visi, obyektif, tujuan dan pengukuraan kinerja. Kemudian proses ini berubah menjadi secara perencanaan strategi bisnis (strategic business plan) dimana sudah adanya visi dan misi organisasi namun masih meletakan penganggaran diluar sistem sehingga sering program tidak dapat berjalan dengan baik karena adanya keterbatasan anggaran. Tahapan ini juga belum terdapat penilaian kinerja dan program dijalankan cenderung mengacu pada proses coba–coba (trial and error) sehingga banyak program yang tidak berjalan secara efektif dan efisien. Tahapan selanjutnya dikembangkan suatu proses yaitu perencanaan utama bisnis (the business master plan). Tahapan ini organisasi melakukan perubahan dengan lebih menekankan pada restrukturisasi organisasi, program sumber daya manusia, program operasional dan tidak melupakan modernisasi sistem. Namun kembali lagi penganggaran tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan program yang akan
36
dijalankan
sehingga
tidak
adanya
prioritas
dalam
program
(https://mustamu.wordpress.com/2008/05/07/mengenal-manajemen-strategiksuatu-pengantar/ diakses pada hari sabtu tanggal 28 Februari 2015). Perubahan terakhir terhadap manajemen strategi yang ada dalam kantor dinas pajak pemerintah pusat di Amerika Serikat yaitu dengan menerapkan perencanaan strategi dan penganggaran. Pada tahapan ini anggaran lebih diintegrasikan dengan perencanaan strategi sehingga lebih mempunyai hubungan yang erat dengan program yang disusun dan dijalankan. Pada akhirnya kantor dinas pajak pemerintah pusat Amerika Serikat mempunyai misi utama yaitu lebih berpatokan pada pelanggan (customer driven). Sedangkan 3 visinya yaitu: 1) Pelayanan terhadap setiap pembayar pajak, 2) Pelayanan terhadap semua pembayar pajak, dan 3) Produktivitas yang dibangun melalui lingkungan kerja yang mempunyai kualitas tinggi. (https://mustamu.wordpress.com/2008/05/07/mengenalmanajemen-strategik-suatu-pengantar/ diakses pada hari sabtu tanggal 28 Februari 2015). Manajemen strategi juga sudah diterapkan di Indonesia salah satunya adalah dalam bidang pendidikan. Nawawi (2005:147) dalam tulisannya Departemen Pendidikan Nasional sebagai organisasi pengelola melakukan proses manajemen stratejik yaitu dengan mengendalikan strategi dan pelaksanaan pendidikan nasional yang diwujudkan dalam Sistem Pendidikan Nasional baik secara formal (pendidikan jalur sekolah) maupun pendidikan non formal (pendidikan jalur luar sekolah). Proses manajemen strategi dilakukan dengan efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi yaitu warganegara atau lulusan yang berkualitas dan kompetitif. Selain itu analisis SWOT sebagai salah
37
satu alat dalam manajemen strategi juga sudah diterapkan dalam sistem pendidikan nasional yaitu dengan adanya pertimbangan sosio kultural yang mewarnai proses dan situasi pendidikan dan berdampak pada lulusan yang sesuai dengan kebijakan pemerintah masing–masing daerah atau negara. Menurut Nawawi (2005:148-149), pengertian manajemen strategik ada 4 (empat). Pengertian pertama Manajemen Strategik adalah “proses atau rangkaian kegiatan pengambilan keputusan yang bersifat mendasar dan menyeluruh, disertai penetapan cara melaksanakannya, yang dibuat oleh manajemen puncak dan dimplementasikan oleh seluruh jajaran di dalam suatu organiasasi, untuk mencapai tujuannya”. Dari pengertian tersebut terdapat beberapa aspek yang penting, antara lain: a. Manajemen Strategik merupakan proses pengambilan keputusan. b. Keputusan yang ditetapkan bersifat mendasar dan menyeluruh yang berarti berkenaan dengan aspek-aspek yang penting dalam kehidupan sebuah organisasi, terutama tujuannya dan cara melaksanakan atau cara mencapainya. c. Pembuatan keputusan tersebut harus dilakukan atau sekurang-kurangnya melibatkan pimpinan puncak (kepala sekolah), sebagai penanggung jawab utama pada keberhasilan atau kegagalan organisasinya. d. Pengimplementasian keputusan tersebut sebagai strategi organisasi untuk mencapai tujuan strategiknya dilakukan oleh seluruh jajaran organisasi (warga sekolah), seluruhnya harus mengetahui dan menjalankan peranan sesuai wewenang dan tanggung jawab masing-masing. e. Keputusan yang ditetapkan manajemen puncak (kepala sekolah) harus diimplementasikan oleh seluruh warga sekolah dalam bentuk kegiatan/pelaksanaan pekerjaan yang terarah pada tujuan strategik organisasi. Pengertian manajemen strategik yang kedua adalah “usaha manajerial menumbuh kembangkan kekuatan organisasi untuk mengeksploitasi peluang yang
38
muncul guna mencapai tujuannya yang telah ditetapkan sesuai dengan misi yang telah ditentukan”. Dari pengertian tersebut terdapat konsep yang secara relatif luas dari pengertian pertama
yang menekankan bahwa “manajemen strategik
merupakan usaha manajerial
menumbuh kembangkan kekuatan organisasi”,
yang mengharuskan kepala sekolah dengan
atau tanpa bantuan manajer
bawahannya (Wakil Kepala Sekolah, Pembina Osis, Kepala Tata Usaha), untuk mengenali aspek-aspek kekuatan organisasi yang sesuai dengan misinya yang harus ditumbuhkembangkan guna mencapai tujuan strategik yang telah ditetapkan. Untuk setiap peluang atau kesempatan yang terbuka harus dimanfaatkan secara optimal. Pengertian yang ketiga, Manajemen Strategik adalah “arus keputusan dan tindakan yang mengarah pada pengembangan strategi yang efektif untuk membantu mencapai tujuan organisasi”. Pengertian ini menekankan bahwa arus keputusan dari para pimpinan organisasi (Kepala Dinas, Kepala Sekolah) dan tindakan berupa pelaksanaan keputusan, harus menghasilkan satu atau lebih strategis, sehingga dapat memilih yang paling efektif atau yang paling handal dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Pengertian yang keempat, “manajemen strategik adalah perencanaan berskala besar (disebut Perencanaan Strategik) yang berorientasi pada jangkauan masa depan yang
jauh (disebut VISI), dan ditetapkan sebagai keputusan
manajemen puncak (keputusan yang bersifat mendasar dan prinsipil), agar memungkinkan organisasi berinteraksi secara efektif (disebut MISI), dalam usaha menghasilkan sesuatu (Perencanaan Operasional) yang
berkualitas, dengan
39
diarahkan pada optimalisasi pencapaian tujuan (disebut Tujuan Strategik) dan berbagai sasaran (Tujuan Operasional) organisasi”. Pengertian yang cukup luas ini menunjukkan bahwa Manajemen Strategik merupakan suatu sistem yang sebagai satu kesatuan memiliki berbagai komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, dan bergerak secara serentak ke arah yang sama pula. Komponen pertama adalah Perencanaan Strategik dengan unsur-unsurnya yang terdiri dari Visi, Misi, Tujuan Strategik organisasi. Sedang komponen kedua adalah Perencanaan Operasional dengan unsur-unsurnya adalah Sasaran atau Tujuan Operasional, Pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen berupa fungsi pengorganisasian, fungsi pelaksanaan dan fungsi penganggaran, kebijaksanaan situasional, jaringan kerja Internal dan eksternal, fungsi kontrol dan evaluasi serta umpan balik. Manajemen strategik sebagai suatu sistem dapat dilihat pada gambar 2.5 berikut:
(Sumber: Nawawi, 2005:151) Gambar 2.5 Model Manajemen Strategi Sebagai Sistem Menurut Nawawi
40
Di samping itu dari pengertian Manajemen Strategik yang terakhir, dapat disimpulkan beberapa karakteristiknya sebagai berikut (Nawawi, 2005:151): a. Manajemen Strategik diwujudkan dalam bentuk perencanaan berskala besar dalam arti mencakup seluruh komponen di lingkungan sebuah organisasi yang dituangkan dalam bentuk Rencana Strategik (RENSTRA) yang dijabarkan menjadi Perencanaan Operasional (RENOP), yang kemudian dijabarkan pula dalam bentuk program-program kerja. b. Rencana Strategik berorientasi pada jangkauan masa depan ( 25 – 30 tahun). Sedang Rencana Operasionalnya ditetapkan untuk setiap tahun atau setiap lima tahun. c. VISI, MISI, pemilihan strategik yang menghasilkan Strategi Utama (Induk) dan Tujuan Strategik Organisasi untuk jangka panjang, merupakan acuan dalam merumuskan RENSTRA, namun dalam teknik penempatannya sebagai keputusan Manajemen Puncak secara tertulis semua acuan tersebut terdapat di dalamnya. d. RENSTRA dijabarkan menjadi RENOP yang antara lain berisi programprogram operasional. e. Penetapan RENSTRA dan RENOP harus melibatkan Manajemen Puncak (Pimpinan) karena sifatnya sangat mendasar dalam pelaksanaan seluruh misi organisasi. f. Pengimplementasian Strategi dalam program-program untuk mencapai sasarannya masing–masing dilakukan melalui fungsi-fungsi manajemen yang mencakup pengorganisasian, pelaksanaan, penganggaran dan kontrol. Adapun beberapa penjabaran tentang Pendekatan Alternatif Manajemen Strategi Organisasi Publik, yaitu sebagai berikut: 2.1.4.1 Model Kebijakan Harvard Model ini merupakan model yang paling banyak digunakan. Pendekatan ini menekankan pada pengembangan organisasi dengan lingkungannya. Pencapaian kesesuaian ini dinilai oleh ahli strategi melalui analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman, dikenal sebagai analisis SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, and threats). Penilaian ini mengarahkan organisasi untuk mengembangkan strategi dalam membangun kekuatan, mengatasi
41
kelemahan, mengatasi ancaman, dan mengeskploitasi peluang. Di dalam model ini, manajer strategi akan menggunakan model SWOT untuk menguji sifat permintaan dan tekanan pihak eksternal, mengidentifikasi peluang dan kendala sumber daya, menetapkan peluang program, menemukan ancaman politik, menetapkan tujuandan prioritas organisasi, dan menilai kapasitas internal. Berdasarkan pertimbangan ini, strategi perencanaan dan tindakan dapat dikembangkan untuk mencapai kerjasama organisasi dengan lingkungan (Jurnal: Hindri Asmoko, Manajemen Strategis Pada Pemerintah Daerah: Inovasi Menuju Birokrasi Profesional, diakses melalui situs http://www.bppk.kemenkeu.go.id/ pada hari sabtu 28 Februari 2015). 2.1.4.2 Model Sistem Perencanaan Strategi Menurut Bryson perencanaan strategis merupakan suatu sistem dimana manajer membuat, mengimplementasikan, dan mengendalikan keputusan penting lintas fungsi dan level dalam perusahaan. Sistem perencanaan strategis harus menjawab empat pertanyaan mendasar yaitu: 1) 2) 3) 4)
Kemana kita pergi (misi), bagaimana kita memperolehnya (strategi), apakah cetak biru tindakan kita (anggaran), dan bagaimana kita mengetahui jalur yang kita lalui (pengendalian) (Jurnal: Hindri Asmoko, Manajemen Strategis Pada Pemerintah Daerah: Inovasi Menuju Birokrasi Profesional, diakses melalui situs http://www.bppk.kemenkeu.go.id/ pada hari sabtu 28 Februari 2015).
42
2.1.4.3 Model Stakeholder Freeman (1984) pendekatan stakeholder pada manajemen strategis dipahami sebagai pemangku kepentingan pada pengakuan dari ke yang bersaing baik di dalam maupun di mana organisasi. Dari kesempulan ini, tugas kritis dan ahli strategis adalah untuk mengapresiasi kepentingan stakeholder dalam merumuskan strategi untuk mengoptimalkan dukungan pada organisasi. Dalam kenyatahaan organisasi untuk menempatkan diri pada lingkungan internal dan eksternal dalam mengidentifikasi pelaku yang mempengaruhi organisasi dalam mentapkan pemangku stakeholder dan menilai sifat hubungan kekuasaan dan ketergantungan untuk melindungi dari ancaman, mengembangkan dukungan pada program dan kebijakan, memperoleh sumber daya yang dibutuhkan. Secara internal organisasi membutuhkan pembangunan kapasitas dalam memperoleh pengendalian terhadap berpikir kritis (Jurnal: Hindri Asmoko, Manajemen Strategis Pada Pemerintah Daerah: Inovasi Menuju Birokrasi Profesional, diakses melalui situs http://www.bppk.kemenkeu.go.id/ pada hari sabtu 28 Februari 2015). Studi mengenai manajemen strategis (Wechsler dan Backoff, 1986, 1987) menunjukkan beberapa agensi
dengan menggunakan pendekatan dalam
manajemen strategisnya, dari perspektif Department of Natural Resources, permintaan terhadap tanggung jawab program dan perbedaan konstitusional menghadirkan dua tantangan utama yaitu pertama, menyangkut kehadiran setiap kelompok stakeholder dan mengembangkan permintaan.Kedua, stakeholder rmempunyai suatu kepentingan lebih besar dan komitmen pada departemen yang
43
mempunyai kepentingan khusus (Jurnal: Hindri Asmoko, Manajemen Strategis Pada Pemerintah Daerah: Inovasi Menuju Birokrasi Profesional, diakses melalui situs http://www.bppk.kemenkeu.go.id/ pada hari sabtu 28 Februari 2015). 2.1.4.4 Model Isu Strategi Pendekatan ini diperkenalkan oleh Ansoff (1980) yang menjelaskan suatu isu strategis sebagai perkembangan yang akan datang baik dalam organisasi maupun di luar organisasi, yang mempunyai pengaruh penting pada kemampuan organisasi untuk memenuhi syarat. Sistem manajemen isu strategis menekankan pada identifikasi awal dan tanggapan cepat pada perubahan yang dapat mempengaruhi organisasi di masa depan. Aktivitas yang berhubungan dengan manajemen isu strategis meliputi pada daftar isu strategis kunci yang mutakhir, memonitor lingkungan untuk isu yang muncul, merancang isu pada kelompok manajemen isu strategis, dan pemilihan tindakan yang diambil dari organisasi untuk memecahkan isu prioritas (Jurnal: Hindri Asmoko, Manajemen Strategis Pada Pemerintah Daerah: Inovasi Menuju Birokrasi Profesional, diakses melalui situs http://www.bppk.kemenkeu.go.id/ pada hari sabtu 28 Februari 2015). 2.1.5
Konsep Konflik
2.1.5.1 Pengertian Konflik Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang memiliki kesamaan yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak,
44
tujuan dan sebagaianya. Dari setiap konflik ada diantarnya yang dapat diselesaikan, akan tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan merupakan gejala tidak dapat diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan dari model kekerasan yang tekecil hingga peperangan. Istilah konflik secara etimoligis berasal dari bahasa latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan (Setiadi & Kolip, 2011: 345). Lebih lanjut Webster dalam Pruitt dan Rabin (2011:9) menyatakan bahwa “conflict” dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Tetapi arti kata itu berkembang dengan masukan “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan Ide, dan lain-lain”. Dengan demikian istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek psikologi, di balik konfrontasi fisik yang terjadi selain konfrontasi fisik itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 587) Konflik artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sedangkan konflik sosial yaitu pertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh dikehidupan. Soekanto (1993: 99) menjelaskan bahwa: “Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku”. Dalam pengertian lain, konflik merupakan suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang
45
saling menentang dengan ancaman kekerasan (Narwoko & Suyanto, 2005:68). Sedangkan menurut lawang (1994:53): “Konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana tujuan mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan juga untuk menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, sosisal dan budaya) yang relatif terbatas”. Konflik terjadi ketika seseorang menginginkan anggota kelompok lain melakukan hal-hal yang tidak di inginkan dan tidak memiliki kekuatan yang cukup utnuk mengatasi ketidakinginannya (Johnson & Johnson, 2000:24). Dari berbagai pengertian di atas dapat di ambul kesimpulan bahwa konflik adalah percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi antar anggota atau masyarakat dengan tujuan mencapai sesuatu yang diinginkan dengan cara saling menentang dengan ancaman kekerasan. Konflik sosial adalah suatu bentuk intraksi sosial antara satu pihak dengan pihak lain di dalam masyarakat yang ditandai dengan adanya sikap saling mengancam, menekan, hingga saling menghancurkan. 2.1.5.2 Bentuk Konflik Secara garis besar konflik dalam masyarakat dapat diklasifikasikan kedalam beberapa bentuk konflik berikut ini: 1. Berdasarkan Sifatnya
46
Berdasarkan sifatnya, menurut Lauer (2001:98) konflik dapat dibedakan menjadi konflik destruktif dan konflik konstruktif.
Konflik Destruktif Merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang, rasa benci dan dendam dari seorang ataupun kelompok terhadap pihak lain. Pada konflik ini terjadi bentrok-bentrok fisik yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda seperti konflik Poso, Ambon, Kupang, Sambas dan lain sebagainya. Konflik Konstruktif Merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan. Konflik ini akan menghasilkan suatu consensus dari berbagai pendapat tersebut dan menghasilkan suatu perbaikan. Misalnya perbadaan pendapat dalam sebuah organisasi.
2. Berdasarkan Posisi pelaku yang Berkonflik Berdasarkan
posisi
pelaku
yang
berkonflik
Kusnadi
(2002:67)
membaginya menjadi 3 konflik yaitu:
Konflik Vertikal Merupakan konflik antar komponen masyarakat di dalam sutu struktur yang memiliki hierarki. Contohnya konflik yang terjadi antara atasan dengan bawahan dalam sebuah kantor. Konflik Horizontal Merupakan konflik yang terjadi antar individu atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif sama. Contohnya konflik yang terjadi antar organisasi massa. Konflik Diagonal Merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber daya ke seluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan yang ekstrem. Contohnya konflik yang terjadi di Aceh.
Soekanto (1992:86) membagi konflik sosial menjadi lima bentuk yaitu:
Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara dua individu atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebaginya.
47
Konflik atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang timbul akibat perbedaan-perbedaan ras. Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas social, yaitu konflik yang terjadi disebabkan adanya perbedaan kepentingan antara kelas social. Konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang terjadi akibat adanya kepentingan atau tujuan politis seseorang atau kelompok. Konflik atau pertentangan yang bersifat internasional, yaitu onflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan Negara.
Sementara itu, Coser (https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_konflik diakses pada hari kamis 6 agustus 2015) menjelaskan bahwa konflik dibedakan atas dua, yaitu sebagai berikut:
Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutantuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuantujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
2.1.5.3 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Konflik Setiadi dan Kolip (2011: 361) menjelaskan bahwa para sosiolog berbendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu adanya hubungan sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikan,
48
status sosial dan kekuasaan yang jumlah ketersediaan sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata di masyarakat. Ketidakmerataan pembagian asset-asset sosial di dalam masyarakat tersebut dianggap sebagai bentuk ketimpangan. Ketimpangan pembagian ini menimbulkan
pihak-pihak
tertentu
berjuang
untuk
mendapatkan
atau
menambahkan bagi yang perolahan asset sosial relatif sedikit atau kecil. Sementara pihak yang telah mendapatkan pembagian asset sosial tersebut berusaha untuk mempertahankan dan bisa juga menambahinya. Pihak yang cenderung mempertahankan dan bisa juga menambahinya disebut sebagai status quo dan pihak yang berusahan mendapatkannya disebut
status need. Pada
dasarnya, menurut Setiadi dan Kolip (2011: 361) secara sederhana penyebab konflik dibagi dua, yaitu: 1. Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarkat yang majemuk secara cultural, seperti suku bangsa, agama, ras, dan majemuk social dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi seperti patani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri, militer, wartawan, alim ulama, sopir, dan cendikiawan. Kemajemukan horizontal-kultural menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultur tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakeristik budayanya tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya seperti ini, jika belum ada konsesus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik yang terjadi dapat menimbulkan perang saudara. 2. Kemajemukan vertical, yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Kemajemukan vertical dapat menimbulkan konflik sosial karena adanya sekelompok kecil masyarakat yagn memilik kekayaan, pendidikan yang mapan, kekuasaan dan wewenang yang besar, sementara sebagian besar tidak atau kurang memiliki kekayaan, pendidikan rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan wewenang. Pembagian masyarakat seperti ini merupakan benih subur bagi timbulnya konflik social.
49
Namun beberapa sosiolog menjabarkan banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik, diantaranya yaitu: 1. Menurut Narwoko (2005: 68) perbedaan pendirian dan keyakinan orang perorangan telah menyebabkan konflik antar individu, dalam konflik-konflik seperti ini terjadilah bentrok-bentrokan pendirian, dan masing-masing pihak pun berusaha membinasakan lawannya. Membinasakan disini tidak selalu diartikan sebagai pembinasaan fisik, tetapi bisa pula diartikan salam bentuk permusuhan simbolik atau melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tidak disetujui. Di dalam realitas sosial tidak ada satu pun individu yang memiliki karakter yang sama sehingga perbedaan pendapat, tujuan, keinginan tersebutlah yang mempengaruhi timbulnya konflik social. 2. Menurut Narwoko (2005: 68) perbedaan kebudayaan, perbedaan kebudayaan tidak hanya akan menimbulkan konflik antar individu, akan tetapi bisa juga antar kelompok. Pola-pola kebidayaan yang berbeda akan menimbulkan pola-pola kepribadian dan pola-pola prilaku yang berbeda pula dikalangan khalayak kelompok yang luas. Selain itu, perbedaan kebudayaan akan mengakibatkan adanya sikap etnisentrisme yaitu sikap yang ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya adalah yang paling baik. Jika masing-masing kelompok yang ada di dalam kehidupan sosial sama-sama memiliki sikap demikian, maka sikap ini akan memicu timbulnya konflik antar penganut kebudayaan. 3. Selanjutnya menurut Susanto (2006: 70) perbedaan kepentingan, mengejar kepentingan masing-masing yang berbeda-beda, kelompokkelompok akan bersaing dan berkonflik untuk merebutkan kesempatan dan sasaran. Perbedaan pendirian, kebudayaan, kepentingan, dan sebagainya tersebut di atas sering terjadi pada situasi-situasi perubahan sosial. Dengan demikian perubahan-perubahan social itu secara tidak langsung dapat dilihat sebagai penyebab juga terjadinya (peningkatan) konflik-konflik sosial. 2.1.5.4 Dampak dari adanya Konflik terhadap Masyarakat Ada dua dampak dari adanya konflik terhadap masyarakat, yaitu:
50
1. Dampak posisitf dari adanya konflik
Bertambahnya solidaritas intern dan rasa in-group suatu kelompok. Apabila pertentangan antara kelompok-kelompok, solidaritas antar anggota di dalam masing-masing kelmpok itu akan meningkat sekali. Solidaritas di dalam suatu kelompok, yang pada situasi normal sulit dikembangkan, akan langsung meningkat pesat saat terjadinya konflik dengan pihak-pihak luar (Narwoko, 2005: 68). Konflik di dalam masyarakat biasanya akan menggugahkan warga masyarakat yang semula pasif menjadi aktif dalam memainkan peranan tertentu di dalam masyarakat (Narwoko, 2005: 68).
2. Dampak negative dari adanya konflik
Hancurnya kasatuan kelompok, jika konflik yang tidak berhasil diselesaikan menimbulkan kekerasan atau perang, maka sudah barang tentu kesatuan kelompok tersebut akan mengalami kehancuran (setiadi & kolip, 2011: 377). Adanya perubahan kepribadian individu, artinya di dalam suatu kelompok yang mengalami konflik, maka seseorang atau sekelompok orang yang semula memiliki kepribadian pendiam, penyabar menjadi beringas, agresif dan mudah marah lebih-lebih jika konflik tersebut berujung pada kekerasan (setiadi & kolip, 2011: 378). Hancurnya nilai-nilai dan norma sosial yang ada, antara nilai-nilai dan norma sosial dengan konflik terdapat hubungan yang bersifat korelasional, artinya bisa saja terjadi konflik berdampak pada hancurnya nilai-nilai dan norma sosial akibat ketidak patuhan anggota masyarakat akibat dari konflik (Narwoko, 2005: 70).
2.1.5.5 Upaya-Upaya Untuk Mengatasi Konflik Secara sosiologi, menurut Soetomo (1995: 77) proses sosial dapat berbentuk proses sosial yang bersifat menggabungkan (associative processes) dan proses sosial yang menceraikan (dissociative processes). Proses sosial yang bersifat aosiatif diarahkan pada terwujudnya nilai-nilai seperti keadilan sosial, cinta kasih, kerukunan, solidaritas. Sebaliknya proses sosial yang bersifat dissosiatif mengarah pada terciptanya nilai-nilai negative atau asosial. Seperti kebencian, permusuhan, egoisme, kesombongan, pertentangan, perpecahan dan
51
sebaginya. Jadi proses asisiati dapat dikatakan proses positif. Proses sosial yang dissosiatif disebut proses negative. Sehubungan dengan hal ini, maka proses sosial yang asosiatif dapat digunakan sebagai usaha menyelesaikan konflik. Kemudian Nasikun (2003: 22) menjelaskan beberapa bentuk penyelesaian konflik yang lazim dipakai, yakni konsiliasi, mediasi, arbitrasi, koersi (paksaan), détente. Urutan ini berdasarkan kebiasaan orang mencari penyelesaian suatu masalah, yakni cara yang tidak formal lebih dahulu, kemudian cara formal, jika cara pertama membawa hasil. Menurut Nasikun (2003: 25), bentuk-bentuk pengendalian ada empat yaitu: 1. Konsiliasi (conciliation): pengendalian semacam ini terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan. 2. Mediasi (mediation): bentuk ini dilakukan bila kedua belah pihak yang bersengketa bersama-sama sepakat untuk memberikan nasihat-nasihat tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan mereka. 3. Arbitrasi: berasal dari kata latin arbitrium artinya melalui pengendalian, dengan seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsoliasi dan mediasi. Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi samapai instansi pengadilan nasional yang tinggi. 4. Perwasiatan: di dalam hal ini kedua belah pula yang bertentangan bersepakat untuk memberikan kepututsan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara mereka. 2.1.6
Analisis S.W.O.T Kegiatan yang paling penting dalam memahami analisis SWOT adalah
memahami seluruh informasi dalam suatu kasus, menganalisis situasi untuk
52
mengetahui isu apa yang sedang terjadi dan memutuskan tindakan apa yang harus segera dilakukan untuk memecahkan masalah (Rangkuti, 2001: 14). SWOT merupakan singkatan dari strengths (kekuatan-kekuatan), weaknesses (kelemahankelemahan), opportunities (peluang-peluang), dan threat (ancaman-ancaman), pengertian kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam analisis SWOT (https://independent.academia.edu/DianPratiwi7 diakses pada hari kamis 26 Februari 2015) adalah sebagai berikut : 2.1.6.1 Kekuatan (strengths). Kekuatan sumber daya, keterampilan keunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan dari pasar atau suatu perusahaan. 2.1.6.2 Kelemahan (weaknesses) adalah keterbatasan/kekurangan dalam sumber daya alam, keterampilan dan kemampuan. 2.1.6.3 Peluang (opportunities). Peluang adalah situasi atau kecenderungan yang dapat memberi keuntungan. 2.1.6.4 Ancaman (threats) adalah situasi atau kecenderungan yang tidak dapat memberikan keuntungan. Untuk lebih jelasnya lihat gambar dibawah ini: Tabel 2.1 Analisis S.W.O.T
(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Analisis_SWOT)
53
Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Proses pengambilan keputusan harus menganalisis faktor strategis pada kondisi saat ini. 2.2 Penelitian Terdahulu Dasar atau acuan yang berupa teori-teori atau temuan-temuan melalui hasil berbagai penelitian sebelumnya merupakan hal yang sangat perlu dan dapat disajikan sebagai data pendukung. Penelitian terdahulu ini bermanfaat dalam mengelola atau memecahkan masalah yang timbul dalam konflik sosial kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan. Salah satu data pendukung yang menurut peneliti perlu dijadikan bagian tersendiri adalah penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan yang sedang dibahas dalam penelitian ini, walaupun fokus dan masalahnya tidak sama tapi sangat membantu peneliti menemukan sumber-sumber pemecahan masalah penelitian ini. Berikut ini hasil penelitian yang peneliti baca. Pertama
Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Skripsi
Anisa
Utami
14010110120013 Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro. Penelitian ini berjudul Resolusi Konflik Antar Etnis Kabupaten Lampung Selatan (Studi Kasus: Konflik Suku Bali Desa Balinuraga dan Suku Lampung Desa Agom Kabupaten Lampung Selatan), tujuan dari penelitian ini adalah untuk Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk
54
mengetahui akar penyebab konflik suku antar Desa Agom dan Desa Balinuraga. Serta mengetahui upaya-upaya pemerintah dalam menangani konflik suku yang terjadi di desa Agom dan desa Balinuraga. Teori yang digunakan peneliti adalah teori konflik, resolusi konflik, dan konflik etnis dengan menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Hasil dan kesimpulan dari penelitian ini yaitu: Konflik kekerasan yang terjadi pada tanggal 27 oktober – 29 Oktober 2012 antara etnis Bali Desa Balinuraga dan etnis Lampung Desa Agom merupakan puncak dari rangkaian konflik-konflik sebelumnya yang terjadi antar etnis Bali dan etnis Lampung yang ada di Kabupaten Lampung Selatan. Penyebab konflik-konflik yang terjadi antar kedua etnis tersebut adalah sebagai berikut: 1) Bermula ketika tidak adanya upaya-upaya maupun sarana komunikasi yang diciptakan kedua belah pihak sejak transmigran asal Pulau Bali pertama kali datang di Kabupaten Lampung Selatan yaitu pada tahun 1963 pada saat Gunung Agung di Bali meletus. Pemerintah pada saat itu tidak menempatkan transmigran asal Bali ke daerah transmigrasi yang dihuni oleh penduduk-penduduk asli. Sehingga tidak ada sarana komunikasi secara langsung yang baik antar masyarakat pendatang dan penduduk asli. 2) Adanya keberagaman karakteristik sistem sosial. 3) Masing-masing memiliki sifat sombong, selalu menaruh perasaan curiga terhadap orang lain, berfikir negatif kepada orang lain, dan susah mengendalikan emosinya. Tidak adanya kedekatan secara pribadi antar
55
kedua etnis tersebut menimbulkan prasangka atau prejudice antar etnis Bali dan etnis Lampung. Masing-masing memliki perasaan negatif yang menunjukkan sikap bermusuhan atau perilaku diskriminatif satu sama lain. Hal tersebut memicu konflik-konflik kecil antar kedua etnis yang bisa dikatakan akibat masalah-masalah kecil. 4) Kebutuhan masing-masing salah satu warga yang tidak terpenuhi kemudian membawa-bawa nama suku masing-masing seperti itulah yang membuat konflik timbul antar etnis Bali di Desa Balinuraga dan etnis Lampung di Desa Agom. 5) Konflik terjadi dikarenakan emosi yang telah memuncak akumulasi dari konflik-konflik kecil yang pernah terjadi sebelumnya. 6) Dari semua faktor-faktor penyebab konflik diatas, faktor yang paling dominan pada penyebab konflik antar etnis di Kabupaten Lampung Selatan adalah kurangnya ruang interaksi antar masyarakat yang berbeda etnis. Faktor historis ketika masyrakat etnis Bali pertama kali melakukan transmigrasi ke Kabupaten Lampung Selatan dan ditempatkan pada suatu daerah yang tidak berpenghuni dan tidak ada penduduk asli membuat pemukiman penduduk etnis Bali menjadi terkesan eksklusif dan tidak berbaur dengan penduduk asli maupun etnis lainnya yang ada di Kabupaten Lampung Selatan. Padahal kesan ekslusif tersebut terbentuk oleh karena kesenjangan sosial yang sangat jelas terlihat diantara kedua desa. Masyarakat etnis Bali mempunyai kelebihan yaitu
56
sifat yang tekundan ulet dalam bekerja dibanding etnis pribumi sehingga kondisi ekonomi masyarakat etnis Bali terbilang sangat baik. Kedua penelitian yang dilakukan oleh Bethra Ariestha 1550406053 Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang Tahun 2013 yang berjudul Akar Konflik Kerusuhan Antar Etnik Di Lampung Selatan (Studi Kasus Kerusuhan Antara Etnik Lampung dan Etnik Bali di Lampung Selatan). Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui dan memahami faktor-faktor yang memicu terjadinya konflik kerusuhan antar etnik di Lampung Selatan. Mengetahui dan memahami proses terjadinya konflik kerusuhan antara Etnik Bali dan Etnik Lampung pada tanggal 27 sampai dengan 29 Oktober 2012. Mengetahui perubahan kondisi masyarakat kedua etnik pasca konflik kerusuhan antara kedua etnik mereda. Teori yang digunakan adalah Teori yang digunakan peneliti adalah Konsep Konflik Sosial, kemudian metode yang digunakan adalah Kualitatif. Hasil dan kesimpulan dari penelitian ini yaitu: Hasil penelitian disimpulkan bahwa konflik yang terjadi antara Etnik Bali (Balinuraga) dan Etnik Lampung (Agom) pada tanggal 27 sampai dengan 29 Oktober 2012 disebabkan oleh satu akar penyebab utama dengan beberapa faktor yang memperkuat. Faktorfaktor tersebut saling berkaitan antara satu sama lain, yaitu: 1) Akar penyebab utama (primer), yaitu perilaku Etnik Bali (Balinuraga) dalam hidup bermasyarakat yang dianggap menyinggung perasaan dan tidak sesuai dengan adat istiadat etnik pribumi (Etnik Lampung). 2) Faktor yang memperkuat (sekunder), yaitu:
57
Dendam dari konflik-konflik sebelumnya yang melibatkan Etnik Bali (Balinuraga) dengan desa-desa mayoritas Etnik Lampung di sekitar Desa Balinuraga.
Masalah ekonomi, yaitu perasaan sakit hati dari Etnik Lampung, karena banyak tanah penduduk yang beralih tangan kepada warga Desa Balinuraga melalui jerat hutang.
Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang tidak pernah tuntas menyentuh sampai akar permasalahan konflik. Penyelesaian konflik tampak hanya terselesaikan di permukaan saja dan ditataran elit tokoh kedua etnik, namun tidak pernah menyentuh ke masyarakat di tataran lapangan yang langsung bersentuhan dengan konflik, menjadi pelaku konflik, serta turut menjadi korban yang dirugikan dari konflik yang ada.
Pelanggaran atas perdamaian yang telah disepakati serta belum ada penerapan sanksi yang tegas terhadap pihak-pihak yang melanggar dan mengakibatkan konflik terulang kembali.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Anisa Utamidan Bethra Ariestha dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah Menggunakan studi kasus tentang Konflik Antar Etnis Kabupaten Lampung Selatan dan menggunakan Metode kualitatif Deskriptif, namun terdapat perbedaan yang ada dalam kedua penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Anisa Utami fokus penelitiannya pada Resolusi Konflik Antar Etnis Kabupaten Lampung Selatan, dan penelitian yang dilakukan oleh Bethra Ariestha berfokus pada akar dari
58
konflik kependudukan, sementara penulis lebih memfokuskan penelitian terhadap manajemen strategi penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan. 2.3
Kerangka Berfikir Sugiyono (2005:66), menjelaskan kerangka berpikir adalah sintesa tentang
hubungan antara-variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan. Berdasarkan teori-teori yang telah dideskripsikan, selanjutnya dianalisis secara kritis dan sistematis sehingga menghasilkan sintesa tentang hubungan antar-variabel yang diteliti. Uma Sakaran dalam bukunya business research (1991) dalam Sugiyono (2005:65) mengemukakan bahwa kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berrhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasikan sebagai masalah yang penting. Berdasarkan fokus penelitian yang peneliti lakukan yakni tentang Manajemen Strategi Penyelesaian Konflik Kependudukan Di Kabupaten Lampung Selatan (Studi Kasus Konflik Antar Suku Asli Lampung Dengan Suku Pendatang Bali Tahun 2012), kemajemukan masyarakat di Provinsi Lampung merupakan kekayaan budaya bangsa namun di sisi lain juga memiliki potensi untuk menjadi sebuah konflik. Persoalan konflik termasuk yang menyangkut kepentingan publik (keamanan), dimana memahami peran pemerintah dalam merespon persoalan publik adalah sesuatu yang sangat penting. Kemampuan pemerintah dalam pengelolaan konflik yang setiap waktu dapat terjadi. Maka dari itu kehadiran Negara mutlak diperlukan dalam penangan konflik yang terjadi.
59
Pada observasi awal yang peneliti lakukan, peneliti menemukan beberapa permasalahan, diantaranya yaitu: Pertama Kemajemukan masyarakat Provinsi Lampung yang diakibatkan Program Transmigrasi pada era Orde Baru membuat Provinsi tersebut rentan akan Konflik sosial, Kedua Konflik yang terjadi di Provinsi Lampung bukan hanya karena faktor perbedaan suku/budaya namun juga karena faktor ekonomi dan sentiment agama, Ketiga Konflik yang sudah terjadi berkali-kali di Kabupaten Lampung Selatan kurang ditindak tegas oleh aparatur hukum sehingga mengakibatkan konflik yang lebih besar, Keempat Kurang tanggapnya Pemerintah dalam penyelesaian kependudukan yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan sehingga banyak korban yang tewas, Kelima Penanganan konflik (Resolusi Konflik) yang dilakukan pemerintah tidak merangkul seluruh masyarakat. Selanjutnya merujuk pada fokus penelitian ini yaitu mengenai Manajemen Strategi Penyelesaian Konflik Kependudukan Di Kabupaten Lampung Selatan (Studi Kasus Konflik Antar Suku Asli Lampung Dengan Suku Pendatang Bali Tahun 2012), peneliti menggunakan teori Manajemen Strategi sebagai Sistem yang dikemukanan oleh Hadari Nawawi, yang terdiri dari 2 (dua) Komponen yaitu: (1) Perancanaan Strategi, (2) Perencanaan Operasional. Mengacu pada deskripsi teori diatas, langkah berikutnya komponen-komponen tersebut akan dianalisis sesuai dengan fokus penelitian sehingga menghasilkan output atau keluaran berupa gambaran mengenai Manajemen Strategi yang dilakukan dalam penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan. Hal ini akan menjadi bahan masukan atau outcome bahwa
dengan upaya strategi yang
60
dilakukan oleh Pemerintah diharapkan dapat meminimalkan terjadinya konflik kembali. Dari uraian yang telah dijelaskan tersebut, penulis membuat sebuah kerangka pemikiran yang dijadikan sebagai dasar acuan dalam melakukan penelitian ini, yaitu sebagai berikut: Gambar 2.6 Kerangka Pemikiran Peneliti Identifikasi Masalah 1. Kemajemukan masyarakat Provinsi Lampung yang diakibatkan Program Transmigrasi pada era Orde Baru membuat Provinsi tersebut rentan akan Konflik sosial. 2. Konflik yang terjadi di Provinsi Lampung bukan hanya karena faktor perbedaan suku/budaya namun juga karena faktor ekonomi dan sentiment agama. 3. Konflik yang sudah terjadi berkali-kali di Kabupaten Lampung Selatan kurang ditindak tegas oleh aparatur hukum sehingga mengakibatkan konflik yang lebih besar. 4. Kurang tanggapnya Pemerintah dalam penyelesaian kependudukan yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan sehingga banyak korban yang tewas. 5. Penanganan konflik (Resolusi Konflik) yang dilakukan pemerintah tidak merangkul seluruh masyarakat.
Teori Penelitian Model Manajemen Strategi Sistem Nawawi (2005: 151):
Hasil Penelitian Sebagai
1. Perancanaan Strategi 2. Perencanaan Operasional
Gambaran mengenai Manajemen Strategi yang dilakukan dalam penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan
Outcome Dengan upaya strategi yang dilakukan oleh Pemerintah diharapkan dapat meminimalkan terjadinya konflik kembali.
(Sumber: Data Diolah Peneliti, 2015)
61
2.4
Asumsi Dasar Berdasarkan pada kerangka berpikir yang telah dipaparkan di atas, peneliti
telah melakukan observasi awal terhadap objek penelitian. Maka peneliti berasumsi bahwa Strategi Penyelesaian Konflik Kependudukan Di Kabupaten Lampung Selatan dalam pelaksanaanya ternyata belum terencana dan berjalan dengan baik.
62
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Pendekatan Dan Metode Penelitian Metode penelitian sangat erat dengan tipe penelitian yang digunakan,
karena tiap-tiap dan tujuan penelitian yang didesain memiliki konsekuensi pada pilihan metode penelitian yang tepat, guna mencapai tujuan penelitian tersebut. Sugiyono (2012:2). Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian ini berdasarkan pada ciri-ciri keilmuan yaitu rasional, empiris dan sistematis. Rasional berarti kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal, sehingga terjangkau oleh penalaran manusia. Empiris berarti cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati oleh penalaran manusia. Sistematis berarti proses yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan langkah-langkah tertentu bersifat logis. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan kualitatif. Artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya. Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualititaif ini adalah ingin menggambarkan realitas empirik dibalik instrumen secara mendalam, rinci dan tuntas. Metode penelitian ini ada karena terjadi perubahan paradigma dalam memandang satu fenomena
63
sosial. Dalam paradigma ini fenomena sosial dipandang sebagai sesuatu yang kompleks, dinamis dan penuh makna. Paradigma yang demikian tersebut paradigma positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana penelitian adalah instrument kunci. Teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis dan bersifat induktif dan hasil penelitian lebih menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono,2012:9). 3.2
Ruang Lingkup / Fokus Penelitian Dengan memperhatikan identifikasi masalah yang sudah dikemukakan
sebelumnya maka fokus penelitian ini adalah terhadap manajemen strategi penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan. 3.3
Lokasi Penelitian Dengan melihat tema/judul penelitian ini mengenai manajemen strategi
penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan, maka peneliti menunjuk tempat penelitian atau yang akan menjadi lokus penelitian ini adalah berlokasi di Kabupaten Lampung Selatan. 3.4
Fenomena Yang Diamati 3.4.1
Definisi Konsep
Devinisi konseptual digunakan untuk menegaskan konsep-konsep yang jelas yang digunakan supaya tidak menjadi perbedaan penafsiran antara penulis dan pembaca. Konsep-konsep yang di gunakan dalam teori ini adalah:
64
3.4.1.1 Model Proses Manajemen Strategi Organisasi Publik Nawawi Nawawi menjabarkan proses manajemen strategi sebagai sebuah sistem dengan tahapan: 1) Perancanaan strategi dengan unsur-unsurnya yaitu: Visi, Misi dan tujuan organisasi, 2) Perencanaan operasional dengan unsur-unsurnya yaitu: sasaran operasional, pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen berupa (fungsi pengorganisasian,
fungsi
Pelaksanaan,
fungsi
penganggaran),
kebijakan
situasional, jaringan kerja internal dan jaringan kerja eksternal, fungsi kontrol dan evaluasi serta umpan balik. 3.4.2 Definisi Operasional Definisi operasional merupakan penjabaran konsep atau variabel penelitian dalam rincian yang terukur (indikator penelitian), dan yang menjadi variabel dalam
penelitian ini
yaitu “Manajemen Strategi
Penyelesaian Konflik
Kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan”. Maka dalam penjelasan definisi oprasional ini akan dikemukakan fenomena-fenomena penelitian yang berkaitan dengan konsep yang digunakan, dalam hal ini peneliti menggunakan teori Model Proses Manajemen Strategi Organisasi Publik sebagai sebuah sistem menurut Nawawi, keberhasilannya suatu manajemen strategi ditentukan oleh proses manajemen strategi yang meliputi 2 komponen dasar, adapun indikator dari teori tersebut adalah: 1. Perancanaan strategi dengan unsur-unsurnya yaitu:
Visi,
65
Misi,
Tujuan Organisasi.
2. Perencanaan operasional dengan unsur-unsurnya yaitu:
Sasaran operasional,
Pelaksanaan
fungsi-fungsi
manajemen
berupa
(fungsi
pengorganisasian, fungsi pelaksanaan, fungsi penganggaran),
Kebijakan situasional,
Jaringan kerja internal dan jaringan kerja eksternal,
Fungsi kontrol dan evaluasi,
Umpan balik
NO 1
Variabel Perencanaan Strategi
2
Perencanaan Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian Dimensi
Sub Dimensi Visi Faktor yang Mempengaruhi Visi Kesesuaian Visi untuk Penanganan Konflik Misi Kesesuaian Misi untuk menjalankan visi Misi jangka panjang untuk penanganan konflik Tujuan Strategi Tujuan organisasi dengan visi dan misi Organisasi yang dibuat Sasaran operasional Ketentuan sasaran operasional Kesesuaian sasaran operasional Pelaksanaan fungsi- Kejelasan fungsi pengorganisasian fungsi manajemen Kejelasan fungsi pelaksanaan Kejelasan fungsi penganggaran Kebijakan situasional Kebijakan pemerintah Proses Penyelesaian Konflik Jaringan kerja Jaringan kerja internal Jaringan kerja eksternal Fungsi Kontrol dan Pengawasan pemerintah evaluasi Kekurangan dalam penyelesaian konflik Umpan balik Respon dan Partisipasi masyarakat
(Sumber: Data Diolah Peneliti, 2015)
66
3.5
Instrumen Penelitian Dalam suatu penelitian diperlukan suatu alat ukur yang tepat dalam proses
pengolahannya. Hal ini untuk mencapai hasil yang diinginkan. Alat ukur dalam penelitian disebut juga instrument penelitian atau dengan kata lain bahwa pada dasarnya instrument penelitian adalah suatu alat yang digunakan dalam pengukuran fenomena alam atau sosial yang diamati. Dalam penelitian mengenai Manajemen Strategi Penyelesaian Konflik Kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan (Studi kasus Konflik Antar Suku Asli Lampung Dengan Suku Pendatang Bali 2012), yang menjadi instrument utamanya adalah peneliti sendiri. Moleong (2005:19) pencari tahu alamiah (peneliti) dalam pengumpulan data lebih banyak bergantung pada dirinya sebagai alat pengumpul data, sedangkan menurut Irawan (2006:17) dalam sebuah penelitian kualitatif yang menjadi instrumen terpenting adalah peneliti sendiri. Oleh karena itu peneliti sebagai instrumen juga harus “divalidasi” seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang selanjutnya terjun kelapangan. Menurut Nasution dalam. Sugiyono, (2012:224) peniliti sebagai instrument penelitian serupa karena memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulant dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi peneliti. 2. Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka data sekaligus 3. Tiap situasi merupakan kesaluruhan. Tidak ada suatu instrument berupa tes atau angket yang dapat menganggkap keseluruhan situasi, kecuali manusia.
67
4. Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami dengan pengetahuan semata. Untuk memahaminya kita perlu sering merasakannnya, menyelaminya berdasarkan pengetahuan kita. 5. Peneliti sebagai instrument dapat segera menganalisis data yang diperoleh dan dapat menafsirkan. 6. Hanya manusia sebagai instrument dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan akan menggunakan segera sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, atau perbaikan. 7. Dengan manusia sebagai instrument, respon yang aneh, yang menyimpang justru diberikan perhatian. Respon yang lain dari pada yang lain, bahkan yang bertentangan dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan tingkat pemahaman mengenai aspek yang diteliti. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa, dalam penelitian kualitatif pada awalnya dimana permasalahan belum jelas dan pasti, maka yang menjadi instrumen adalah peneliti itu sendiri. Tetapi setelah masalah yang akan dipelajari itu jelas, maka dapat dikembangkan satu instrument. 3.6
Informan Penelitian Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi oleh
Spadley dalam Sugiyono dinamakan ” Social situation” atau situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen yaitu : tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis. Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden, tetapi sebagai narasumber, atau partisipan, informan. Dalam penelitian mengenai Manajemen Strategi Penyelesaian Konflik Kependudukan Di Kabupaten Lampung Selatan (Studi Kasus Konflik Antar Suku Asli Lampung Dengan Suku Pendatang Bali Tahun 2012), penentuan informan dalam penelitian ini di ambil dengan menggunakan teknik Purposive. Teknik
68
purposive ini adalah teknik pengambilan sumber data langsung pada sasaran atau tujuan. Peneliti menggunakan teknik purposive, di karenakan peneliti mengetahui secara jelas siapa saja yang akan peneliti pilih untuk menjadi responden pada penelitian untuk mengetahui bagaimana manajemen strategi penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan. Informan tersebut ditentukan dan ditetapkan tidak berdasrkan pada jumlah yang dibutuhkan, melainkan berdasarkan pertimbangan fungsi dan peran informan sesuai fokus masalah penelitian. (Sugiyono, 2012: 246). Bungin, Burhan dalam bukunya analisis data penelitian kualitatif (2007:53) prosedur sampling yang terpenting dalam penelitian kualitatif adalah bagaimana menentukan informan kunci (key informan) atau situasi sosial tertentu yang serat informan sesuai dengan fokus penelitian. Menurut Denzim K (2009: 290), bahwa penentuan key informan disebut pemilihan partisipasi pertama (the primary selection), yaitu pemilihan secara langsung memberi peluang bagi peneliti untuk menentukan sampel dari sekian informan yang ditemui. Sedangkan jika peneliti tidak dapat menentukan partisipasi secara langsung, secara alternatif peneliti dapat melakukan pemilihan informan kedua (secondary selection). Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah key informan, yang mana key informan merupakan narasumber yang utama. Dalam penelitian ini yang menjadi key informan adalah: 1. Kepala Bidang Linmas dan Penanggulangan Konflik Kesbangpol Lampung Selatan
69
2. Kasat Binmas Polres Lampung Selatan 3. Forum/Lembaga Penanganan Konflik 4. Kepala Desa Agom 5. Kepala Desa Balinuraga Kemudian yang mejadi Secondary informannya adalah sebagai berikut: 1. Tokoh Masyarakat Lampung Desa Agom 2. Masyarakat Lampung Desa Agom 3. Tokoh masyarakat desa Balinuraga. 4. Ketua Bintara Unit Khusus Intelegen Kodim Lam-Sel Tabel 3.2 Informan Penelitian No
Kode
Informan
Keterangan
1
I1
Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan
Key Informan
2
I2
Kasat Binmas Polres Lampung Selatan
Key Informan
3
I3.1
Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat
Key Informan
4
I3.2
Anggota Forum Kerukunan Umat beragama/Kasubid Ketahanan Seni dan Budaya
Key Informan
5
I3.3
Sekretaris Majelis Penyeimbang Adat Lampung/ Kabag Umum DPRD Kab. Lampung Selatan
Key Informan
6
I4.1
Kepala Desa Agom
Key Informan
7
I4.2
Masyarakat Lampung Desa Agom
Secondary Informan
8
I4.3
Masyarakat Lampung Desa Agom
Secondary Informan
9
I5.1
Kepala Desa Balinuraga
Key Informan
10
I5.2
Kadus (Kepala Dusun) Pande Arga Desa Balinuraga
Key Informan
11
I5.3
Secondary Informan
12
I6
Tokoh Masyarakat Desa Balinuraga Ketua Bintara Unit Khusus Intelegen Kodim Lam-Sel
(Sumber: Data Diolah Peneliti, 2015)
Secondary Informan
70
3.7
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
3.7.1
Teknik Pengolahan Data Teknik pengumpulan data adalah suatu cara yang digunakan oleh peneliti
untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penelitiannya. Dalam penelitian kualitatif data dikumpulkan dalam berbagai teknik pengumpulan data yaitu, wawancara, observasi, dokumentasi, studi kepustakaan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik seperti wawancara, observasi, dokumentasi, dan studi kepustakaan, yang mana teknik-teknik tersebut diharapkan dapat memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti dalam penelitiannya. 3.7.1.1 Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan berbagai setting, berbagai sumber dan berbagai cara (Sugiyono,2012:224). Teknik pengumpulan data kali ini yang digunakan adalah: wawancara tidak terstruktur, dimana wawancara bebas. Dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Observasi yaitu pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan terhadap kegiatan yang dilakukan sumber penelitian dilapangan. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan observasi non partisipasi artinya hanya sebagai pengamat saja. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
71
1.
Wawancara Mukthar (2013: 101) Teknik wawancara adalah teknik memperoleh
informasi secara langsung melalui permintaan keterangan-keterangan kepada pihak pertama yang dipandang dapat memberikan keterangan atau jawaban terhadap pernyataan yang diajukan. Sugiyono (2005:157) Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti. Alwasillah (2006:154) menjelaskan bawha melalui wawancara penulis bisa mendapatkan informasi yang mendalam (in-dep-information) karena peneliti dapat menjelaskan pertanyaan yang tidak dimengerti responden, peneliti dapat mengajukan pertanyaan usulan (follow up question), responden cendrung menjawab apabila diberi pertanyaan, juga responden dapat menceritakan sesuatu yang terjadi di masa silam dan masa mendatang. Dalam penelitian kualitatif, wawancara dilakukan secara mendalam. Untuk itu dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data secara terstruktur, akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga untuk menggunakan wawancara tidak terstruktur guna memperkaya data yang digunakan peneliti. Wawancara terstruktur adalah wawancara yang dilakukan menggunakan instrumen
penelitian
berupa
pertanyaan-pertanyaan
tertulis.
Sedangkan,
wawancara tidak struktur adalah wawancara yang dilakukan secara bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya.
72
a. Dimensi Teori Proses manajemen strategi menurut Nawawi sebagai sebuah sistem dengan tahapan: 1) Perancanaan strategi dimana memiliki unsur-unsurnya yaitu: Visi, Misi dan tujuan organisasi, kemudian pada tahap kedua 2) Perencanaan operasional dimana memiliki unsur-unsurnya yaitu: sasaran operasional, pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen berupa (fungsi pengorganisasian, fungsi Pelaksanaan, fungsi penganggaran), kebijakan situasional, jaringan kerja internal dan jaringan kerja eksternal yang diringkas dengan singkatan S.W.O.T yang berarti
Strenghs
(kekuatan),
Weaknesses
(Kelemahan),
Opportunities
(kesempatan), dan Threats (ancaman), kemudian unsur fungsi kontrol dan evaluasi serta umpan balik. Adapun indikator dimensi dari penjelasan teori diatas, yaitu: 1. Perancanaan Strategi dengan unsur-unsurnya yaitu:
Visi,
Misi,
Tujuan Organisasi,
2. Perencanaan Operasional dengan unsur-unsurnya yaitu:
Sasaran operasional,
Pelaksanaan
fungsi-fungsi
manajemen
berupa
(fungsi
pengorganisasian, fungsi pelaksanaan, fungsi penganggaran),
Kebijakan situasional,
Jaringan kerja internal dan jaringan kerja eksternal,
Fungsi kontrol dan evaluasi,
Umpan balik
73
b. Pedoman Wawancara Wawancara pada penelitian kualitatif merupakan pembicaraan yang mempunyai tujuan dan didahului beberapa pertanyaan informasi. Aturan pada wawancara penelitian lebih ketat. Pedoman wawancara dibuat oleh peneliti berdasarkan tugas pokok dan fungsi setiap informan dalam penelitian. Oleh karena itu dalam pedoman wawancara mengajukan pertanyaan perlu dilandasi oleh dimensi teori.
No 1
Tabel 3.3 Pedoman Wawancara
Dimensi
Uraian Pertanyaan
Perencanaan Strategi Visi Misi
Tujuan strategi organisasi
2
Apa saja faktor yang mempengaruhi visi dalam strategi untuk penyelesaian konflik? Bagaimana dengan perumusan misi untuk menjalankan visi yang telah dibuat? Apakah misi yang dibuat juga untuk program jangka panjang dalam penanganan konflik kependudukan yang sering terjadi? Apakah sejauh ini tujuan organisasi sudah berjalan sesuai dengan visi yang dibuat? Apakah sejauh ini tujuan organisasi sudah berjalan dengan misi?
Perencanaan Operasional Sasaran Bagaimana sasaran operasional ditentukan? Operasional apakah sudah tepat sasaran penyelesaian konflik pendudukan saat itu? Pelaksanaan fungsi manajemen (fungsi pengorganisasian, fungsi pelaksanaan, fungsi penganggaran)
bagaimana kontribusi pemimpin daerah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi? apakah pelakasanaan program yang ada sudah berjalan? apakah pelaksanaan program disesuaikan dengan renstra yang dibuat? Apakah program yang dibuat telah memiliki Petunjuk Pelaksanaan (juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis)? Bagaimana dengan dana untuk perbaikan
Kode Informan I1, I2, I3n I1, I2, I3n
I1, I2, I3n I1, I2, I3n
I1, I2, I3n I1, I2, I3n I1, I2, I3n I1, I2, I3n, I4n, I5n I1, I2, I3n, I4n, I5n I1, I2, I3n I1, I2, I3n I1, I2, I3n
74
Kebijakan Situasional
Jaringan kerja internal dan jaringan kerja eksternal
Fungsi kontrol dan evaluasi
Umpan balik
kerusakan yang dialami masyarakat? Apakah ada ketentuan dalam ganti rugi untuk kerusakan yang dialami oleh sebagian masyarakat saat terjadi konflik? kebijakan pertama apa yang dikeluarkan oleh pemerintah pada saat terjadi konflik tersebut? Bagaimana proses mediasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi? kekuatan apa yang dimilik pemerintah untuk program penanganan konflik penduduk yang sudah terjadi? Apasaja kelemahan dalam program yang sudah dibuat untuk penanganan konflik kependudukan yang sudah terjadi? Bagaimana dengan ancaman yang menghambat jalannya program yang telah dibuat sebelumnya? Bagaimana cara memanfaatkan peluang untuk program yang akan dijalankan? siapa saja stakeholder yang ikut bertanggung jawab atas kebijakan yang dibuat dalam penyelesaian konflik penduduk saat itu? bagaimana koordinasi dengan dinas yang lain? bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah setelah terjadi konflik tersebut? apakah program (Rembuk Pekon) yang dibuat pasca terjadinya konflik masih berjalan? apa yang kurang dari penyelesaian konflik tersebut? bagaimana respon masyarakat terkait dengan penyelesaian koflik yang sudah dilakukan? bagaimana partisipasi masyarakat dalam sosialisasi program rembuk pekon yang dibuat untuk penyelesaian konflik kependudukan?
(Sumber: Data Diolah Peneliti, 2015)
I1, I2, I3n, I4n, I5n I1, I2, I3n, I4n, I5n I1, I2, I3n, I4n, I5n I1, I2, I3n I1, I2, I3n, I4n, I5n I1, I2, I3n I1, I2, I3n I1, I2, I3n I1, I2, I3n I1, I2, I3n, I4n, I5n I1, I2, I3n, I4n, I5n I1, I2, I3n, I4n, I5n I1, I2, I3n, I4n, I5n I1, I2, I3n, I4n, I5n
75
2. Studi dokumentasi Studi dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditunjukan pada subjek penelitian, namun melalui dokumen. Dengan teknik dokumentasi ini, peneliti dapat memperoleh informasi bukan dari orang sebagai narasumber, tetapi mereka memperoleh informasi dari macam-macam sumber tertulis atau dari dokumen yang ada pada informan dalam bentuk karya pikir (Satori,2010:148). Menurut Guba dan Lincoln (1981) dalam Alwasilah (2006:155) mengartikan dokumen sebagai barang yang tertulis atau terfilemkan selain record yang tidak disiapkan khusus atau permintaan atau permintaan peneliti. Adapun dokumen-dokumen yang digunakan berupa surat-surat keputusan, data statistik, catatan-catatan, arsip-arsip, laporan, foto, dan dokumen-dokumen lain. 3. Studi kepustakan Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan memperoleh atau mengumpulkan data dari berbagai referensi yang relevan dengan penelitian yang dilakukan. 4. Observasi Menurut Nasution dalam (Sugiyono,2012:226) menyatakan bahwa, observasi adalah dasar ilmu pengetahuan. Para ilmuan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Data itu dikumpulkan dan sering dengan bantuan berbagai alat yang
76
sangat canggih, sehingga benda-benda yang sangat kecil (proton dan elektron) maupun yang sangat jauh (benda ruang angkasa) dapat diobservasi dengan jelas. Ada beberapa alasan mengapa dalam penelitian kualitatif pengamatan dimanfaatkan sebesar-besarnya seperti yang dilakukan oleh Guba dan Lincoln dalam Moleong sebagai berikut: “Pertama, teknik pengamatan ini didasarkan atas pengalaman secara langsung. Kedua, teknik pengamatan juga memungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana terjadi pada keadaan sebenarnya. Ketiga, pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proposional maupun pengetahuan dari data. Keempat, sering terjadi ada keraguan pada peneliti. Jalan yang terbaik untuk mengecek kepercayaan data tersebut ialah dengan memanfatkan pengamatan. Kelima, teknik pengamatan memungkinkan peneliti memahami situasi-situasi yang rumit.Situasi yang rumit mungkin terjadi ketika peneliti ingin memperhatikan beberapa tingkah laku sekaligus. Keenam, dalam kasuskasus tertentu dimana teknik komunikasi lainnya tidak memungkinkan, pengamatan menjadi alat yang sangat bermanfaat.”
3.7.2 Teknik Analisis Data Dalam peneliti kualitatif, kegiatan analisis data dimulai sejak peneliti melakukan kegiatan pra lapangan sampai dengan selesainya penelitian, analisis data dilakukan secara terus-menerus tanpa henti sampai data tersebut bersifat jenuh. Menurut Bogdan dan Biklen dalam Moleong (2005:248) menjelaskan bahwa dalam kualitatif adalah: “Upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistensikannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.”
77
Data yang terkumpul diolah sedemikian rupa sehingga menjadi informasi yang dapat digunakan dalam menjawab perumusan masalah yang diteliti.Aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus hingga tuntas sampai datanya sudah jenuh. Analisis data dalam penelitian kualitatif bersifat induktif dimana data yang diperoleh akan di analisis dan dikembangkan menjadi sebuah asumsi dasar penelitian. Pemaparan diatas mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus menerus sampai tuntas, sampai datanya jenuh, ukuran kejenuhan data ditandai dengan tidak diperolehnya lagi data atau informasi baru. Aktivitas dalam analisis meliputi pengumpulan data, reduksi, penyajian data, serta penarikan kesimpulan. Analisis data dapat dilakukan dengan meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Pengumpulan Data Data
yang
dikumpulkan
diperoleh
dengan
menggunakan
teknik
wawancara, observasi, dan dokumentasi. Selanjutnya data-data yang berupa data variabel dari hasil wawancara diubah menjadi bentuk tulisan. 2. Reduksi Data Untuk memperjelas data yang didapatkan dan mempermudah penelitian dalam mengumpulkan data selanjutnya, maka dilakukan mereduksi data. Reduksi data dapat diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
78
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan yang muncul di lapangan. Reduksi data berlangsung selama proses pengumpulan data masih berlangsung pada tahap ini juga akan berlangsung kegiatan pengkodean, meringkas dan membuat partisi (bagian-bagian). Proses informasi ini berlanjut terus menerus sampai laporan akhir penelitian tersusun lengkap. Dengan kata lain mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Data yang diperoleh melalui penggunaan instrumen, selanjutnya data dipilih sesuai dengan tujuan permasalahan yang ingin dicapai. 3. Penyajian Data Penyajian data dapat diartikan sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dalam sebuah penelitian kualitatif penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan hubungan antar kategori, flowchart, dan selanjutnya. Akan tetapi dalam penelitian ini penyajian data yang peneliti lakukan dalam penelitian ini adalah bentuk teks narasi, seperti yang dilakukan oleh miles & Huberman “the frequent from display data for qualitative research data in the past has been narrative text” (yang paling sering digunakan untuk penyajian data kualitatif pada masa lalu adalah bentuk teks naratif). Penyajian data bertujuan agar penelitian dapat memahami apa yang terjadi dan merencanakan tindakan selanjutnya yang akan dilakukan.
79
Dengan kata lain, penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dengan menyajikan data dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antara kategori yang berkaitan dengan fokus penelitian. 4. Penarikan Kesimpulan Dari permulaan pengumpulan data, penelitian mulai mencari arti dari hubungan-hubungan, mencatat keteraturan, pola-pola dan menarik kesimpulan. Asumsi dasar dan kesimpulan awal yang dikemukakan sebelumnya masih bersifat sementara, dan akan terus berubah selama proses pengumpulan data masih terus berlangsung. Akan tetapi, apabila kesimpulan tersebut didukung dengan buktibukti data yang valid dan konsisten yang peneliti temukan di lapangan, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.Intinya adalah penarikan kesimpulan diperoleh setelah penyajian data. Kesimpulan merupakan hasil kegiatan mengaitkan antara pertanyaan-pertanyaan penelitian dengan data yang diperoleh di lapangan. Teknik analisis data yang telah diuraikan tersebut mengacu pada model interaktif (Milles dan Huberman 2009:20).
(Sumber: Miles dan Hubermen, 2009:20) Gambar 3.1 Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif
80
3.1.1.1 Sumber Data Data adalah bahan keterangan tentang semua objek penelitian yang diperoleh dilokasi penelitian (Bungin, 2005:19) Jenis-jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Data primer Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti secara langsung dari sumber datanya. Data primer disebut juga sebagai data asli atau data baru yang memiliki sifat up to date. Untuk mendapatkan data primer, peneliti harus mengumpulkannya secara langsung dari sumbernya dan masih bersifat mentah. Teknik yang dapat digunakan peneliti untuk mengumpulkan data primer antara lain observasi, wawancara, diskusi terfokus (focus grup discussion – FGD) dan penyebaran kuesioner. 2. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik (BPS), buku, laporan, jurnal, dan lain-lain.Data sekunder terbagi dua, yaitu studi dokumentasi dan studi kepustakaan. 3.1.1.2 Uji Keabsahan data Menurut Sugiyono (2012:267), keabsahan data atau validitas adalah derajat ketepatan antara data yang terjadi pada obyek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Data dalam penelitian kualitatif, dapat dinyatakan
81
valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti. Adapun dalam menguji validitas data, peneliti menggunakan dua cara yakni: 1. Triangulasi Teknik triangulasi adalah teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada (Sugiyono, 2012:241). Terdapat beberapa macam triangulasi diantaranya: a. Triangulasi Sumber yaitu mengecek data yang diperoleh dari sumber yang berbeda dengan teknik yang berbeda. b. Triangulasi Teknik yaitu mengecek data yang diperoleh kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. c. Triangulasi Waktu yaitu mengecek data yang diperoleh di waktu yang berbeda. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan analisis data menggunakan dua cara, yaitu triangulasi sumberdata dan triangulasi teknik. Triangulasi sumber data dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan data hasil wawancara dari para informan yang dituju. Moleong (2005: 330-331) menjelaskan bahwa triangulasi dengan sumber menurut Patton berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh di lapangan melalui beberapa sumber dengan waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Sedangkan triangulasi teknik dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Adapun pengecekan dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara, observasi dan dokumentasi. Proses
82
check dan recheck data yang dilakukan oleh peneliti menggunakan teknik triangulasi sumber dan teknik. 2. Member Check Menurut Sugiyono (2012:276) Member Check adalah proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data. Tujuannya adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data. Bila data yang ditemukan valid, maka semakin dipercaya. 3.8
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian Strategi Penyelesaian Konflik Kependudukan di Kabupaten
Lampung Selatan Studi kasus Konflik Antar Suku Asli Lampung Dengan Suku Pendatang Bali 2012 ini berada di Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung. Adapun waktu pelaksanaan penelitian ditunjukkan pada tabel 3.4 berikut:
83
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Objek Penelitian 4.1.1
Gambaran Umum Kabupaten Lampung Selatan Kabupaten Lampung Selatan adalah salah satu Kabupaten di Provinsi
Lampung. Ibu Kota Kabupaten ini terletak di Kalianda. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.109,74 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 923.002 jiwa. Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 1050 sampai dengan 1050 450 Bujur Timur dan 50 150 sampai 60 Lintang Selatan. Mengingat yang demikian ini daerah Kabupaten Lampung Selatan seperti halnya daerah-daerah lain Indonesia merupakan daerah tropis. Kabupaten Lampung Selatan bagian selatan meruncing dan mempunyai sebuah teluk besar yaitu Teluk Lampung. Di Teluk Lampung terdapat sebuah pelabuhan yaitu Pelabuhan Panjang dimana kapal-kapal dalam dan luar negeri dapat merapat. Secara umum pelabuhan ini merupakan faktor yang sangat penting bagi kegiatan ekonomi penduduk Lampung, terutama penduduk Lampung Selatan. Pelabuhan ini sejak tahun 1982 termasuk dalam wilayah Kota Bandar Lampung. Di bagian selatan wilayah Kabupaten Lampung Selatan yang juga ujung Pulau Sumatera terdapat sebuah pelabuhan penyeberangan Bakauheni, yang merupakan tempat transit penduduk dari Pulau Jawa ke Sumatera dan sebaliknya.
84
Dengan demikian Pelabuhan Bakauheni merupakan pintu gerbang Pulau Sumatera bagian selatan. Jarak antara Pelabuhan Bakauheni (Lampung Selatan) dengan Pelabuhan Merak (Provinsi Banten) kurang lebih 30 kilometer, dengan waktu tempuh kapal penyeberangan sekitar 1,5 jam. Kabupaten Lampung Selatan mempunyai daerah daratan kurang lebih 2.109,74 km² (LSDA 2007), dengan kantor pusat pemerintahan di Kota Kalianda. Saat ini Kabupaten Lampung Selatan dengan jumlah penduduk 923.002 jiwa (LSDA 2007), memiliki luas daratan + 2.109,74 km2 yang terbagi dalam 17 kecamatan dan terdiri dari 248 desa dan 3 kelurahan.
(Sumber: Data Peneliti, 2015) Gambar 4.1 Pelabuhan Bakauheni Dan Menara Siger Lampung
85
1. Terbentuknya Kabupaten Dati II Lampung Selatan Sejarah terbentuknya Kabupaten Lampung Selatan erat kaitannya dengan UUD1945. Di dalam UUD 1945 bab VI Pasal 18 menyebutkan bahwa “Pembagian Daerah di Indonesia atas Daerah Besar dan Kecil, dengan bentuk susunan
Pemerintahannya
ditetapkan
dengan
Undang-Undang,
dengan
memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan Hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa". Sebagai realisasi dari pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dimaksud, lahirlah Undang-Undang nomor 1 tahun 1945 yang mengatur tentang kedudukan Komite Nasional Daerah yang pertama, antara lain mengembalikan kekuasaan pemerintah di daerah kepada aparatur yang berwenang yaitu Pamong Praja dan Polisi. Selain itu juga untuk menegakkan pemerintah di daerah yang rasional dengan mengikutsertakan wakil-wakil rakyat atas dasar kedaulatan rakyat. Selanjutnya disusul dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan
Daerah,
yang
menegaskan
bahwa
Pembentukan Daerah Otonom dalam Wilayah Republik Indonesia yang susunan tingkatannya adalah sebagai berikut : a.
Provinsi daerah Tingkat I
b.
Kabupaten/Kota madya (Kota Besar), Daerah TK II
c.
Desa (Kota Kecil) Daerah TK III
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 dimaksud, maka lahirlah Provinsi Sumatera Selatan dengan Perpu Nomor 33 tanggal 14 Agustus
86
1950 yang dituangkan dalam Perda Sumatera Selatan nomor 6 tahun 1950. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 1950 tentang Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah untuk Daerah Provinsi, Kabupaten, Kota Besar dan Kota Kecil, maka keluarlah Peraturan Provinsi Sumatera Selatan nomor 6 tahun 1950 tentang pembentukan DPRD Kabupaten di seluruh Provinsi Sumatera Selatan. Perkembangan selanjutnya, guna lebih terarahnya pemberian Otonomi kepada Daerah bawahannya yaitu diatur selanjutnya dengan Undang-Undang Darurat nomor 4 tahun 1956 tentang pembentukan Daerah Kabupaten dalam lingkungan Dearah Provinsi Sumatera Selatan sebanyak 14 Kabupaten, di antaranya Kabupaten Dati II Lampung Selatan beserta DPRD dan 7 (tujuh) Dinas Otonom yang ditetapkan tanggal 14 Nopember 1956, dengan ibu kota di Tanjung Karang-Teluk Betung atau yang sekarang dikenal dengan kota Bandar Lampung. Selanjutnya
dalam
perjalanan
penyelenggaraan
Pemerintahan
dan
Pembangunan, Kabupaten Lampung Selatan secara resmi menjadi Daerah Otonom pada tanggal 14 Nopember 1954, akan tetapi pimpinan daerah telah ada dan dikenal sejak tahun 1946. Sebelum menjadi daerah Otonom, wilayah Lampung Selatan sejak awal kemerdekaan, terdiri dari 4 (empat) kewedanan masing-masing : a.
Kewedanan Kota Agung, meliputi Kecamatan Wonosobo, Kota Agung dan Cukuh Balak. (sekarang menjadi wilayah Kabupaten Tanggamus)
87
b.
Kewedanan Pringsewu, meliputi Kecamatan Pagelaran, Pringsewu, Gadingrejo, Gedong Tataan dan Kedondong. (sebagian menjadi wilayah Kabupaten Pringsewu dan (Kabupaten Pesawaran)
c.
Kewedanan Teluk Betung, meliputi Kecamatan Natar, Teluk Betung dan Padang Cermin. (sekarang sebagian menjadi wilayah (Kabupaten Pesawaran dan Kota Bandar Lampung)
d.
Kewedanan Kalianda, meliputi Kecamatan Kalianda dan Penengahan.
Pada tahun 1959, dibentuk Sistem Pemerintahan Negeri yang merupakan penyatuan dari beberapa negeri yang ada pada saat itu, yaitu : a.
Negeri Cukuk Balak, meliputi Kecamatan Cukuk balak, Tahun 1990 Kecamatan Cukuk Balak di bagi dua kecamatan yaitu Kecamatan Cukuk Balak dan Negeri Kelumbayan.
b.
Negeri Way Lima, meliputi Kecamatan Kedondong. Tahun 1970 Kecamatan Kedondong dibagi dua yaitu Kecamatan Kedondong dan Pardasuka, kemudian tahun 1990 Kecamatan Kedondong di bagi dua yaitu Kecamatan Kedondong dan Way Lima.
c.
Negeri Gedong Tataan, meliputi Kecamatan Gedong Tataan. Pada tahun 1990 Kecamatan Gedong Tataan dibagi 2 yaitu Kecamatan Gedong Tataan dan Negeri Katon.
d.
Negeri Gadingrejo, meliputi Kecamatan Gadingrejo.
e.
Negeri Pringsewu, meliputi Kecamatan Pringsewu, tahun 1970 kecamatan ini di bagi dua yaitu Kecamatan Pringsewu dan Sukoharjo.
88
Tahun 1990 Kecamatan Sukoharjo dibagi dua yaitu Kecamatan Sukoharjo dan Adi Luwih. f.
Negeri Pugung, meliputi Kecamatan Pagelaran.
g.
Negeri Talang Padang, meliputi Kecamatan Talang Padang. Pada tahun 1970 Kecamatan ini dibagi dua yakni Kecamatan Talang Padang dan Pulau Panggung.
h.
Negeri Kota Agung, meliputi Kecamatan Kota Agung. Tahun 1990 Kecamatan Kota Agung dibagi dua yakni Kecamatan Kota Agung dan Pematang Sawah.
i.
Negeri Semangka, meliputi Kecamatan Wonosobo. Tahun 1990 Kecamatan Wonosobo di bagi dua yaitu Kecamatan Wonosobo dan Way Semangka.
j.
Negeri Buku, meliputi Kecamatan Natar. Tahun 2000 Kecamatan ini dibagi dua yaitu Natar dan Tegineneng.
k.
Negeri Balau termasuk Kecamatan Natar pada tahun 1968 Kecamatan Kedaton dipindahkan dari Kecamatan Natar yang meliputi Negeri Balau. Negeri Kalianda meliputi Kecamatan Kalianda.
l.
Negeri Kalianda meliputi Kalianda, Katibung dan Sidomulyo. Kemudian tahun 1990 Kecamatan Kalianda di bagi dua yaitu Kecamatan Kalianda dan Rajabasa. Kecamatan Sidomulyo dibagi dua yakni Kecamatan Sidomulyo dan Candipuro, sedangkan Kecamatan Katibung di bagi dua yaitu Katibung dan Merbau Mataram. Selanjutnya pada tahun 2006 Kecamatan Sidomulyo dibagi dua
89
Kecamatan Sidomulyo dan Way Panji dan Kecamatan Katibung di bagi dua yaitu Katibung dan Way Sulan. m. Negeri Dataran Ratu meliputi Kecamatan Penengahan dan Palas. Tahun 1990 Kecamatan penengahan dibagi dua Kecamatan yakni penengahan dan Ketapang. Kecamatan Palas dibagi dua Kecamatan Palas dan Sragi. Kemudian tahun 2006 Kecamatan Penengahan di bagi dua yakni Penengahan dan Bakauheni. n.
Negeri Teluk Betung meliputi Kecamatan Teluk Betung dan Kecamatan Panjang. (sekarang masuk Kota Bandar Lampung)
o.
Negeri Padang Cermin meliputi Kecamatan Padang Cermin. Tahun 1990 kecamatan ini dibagi dua yaitu Kecamatan Padang Cermin dan Punduh Pidada.
Pada tahun 1963 wilayah kewedanan berikut jabatan wedana dihapus selanjutnya diganti menjadi jabatan kepala negeri yang masa jabatannya lima tahun, pada tahun 1970 tidak dipilih lagi dan tugasnya diangkat oleh Camat. Pada tahun 1972 semua negeri seluruh Lampung di hapus. 2. Pemindahan Ibu Kota Pada Awalnya terbentuk, Lampung Selatan masih merupakan bagian dari Wilayah Sumatera Selatan. Berdasarkan UU no 14 tahun 1964 tentang Pembentukan Provinsi Daerah TK I Lampung, maka Daerah TK II Lampung Selatan secara resmi merupakan salah satu Kabupaten dalam daerah TK I Lampung. Dengan ditingkatkannya status kota Tanjung Karang-Teluk Betung menjadi Kotapraja berdasarkan UU nomor 28 tahun 1959, praktis kedudukan
90
ibukota Kabupaten Dati II Lampung Selatan berada di luar Wilayah Administrasinya.Usaha-usaha untuk memindahkan Ibu Kota Kabupaten Daerah TK II Lampung Selatan dari Wilayah Kota Madya Daerah TK II Tanjung KarangTeluk Betung ke Wilayah Administrasi Kabupaten Daerah TK II Lampung Selatan telah dimulai sejak tahun 1968. Atas dasar Surat Edaran Mendagri tanggal 15 Mei 1973 nomor Pemda 18/2/6 yang antara lain mengharapkan paling lambat tahun pertama Repelita III setiap Ibu Kota Kabupaten/Kotamadya harus telah mempunyai rencana induk (master plan), maka telah diadakan Naskah Kerjasama antara Pemda TK I Lampung dan Lembaga Penelitian dan Planologi Departemen Planologi Institut Teknologi Bandung (LPP-ITB) nomor OP.100/791/Bappeda/1978 dan nomor : LPP.022/NKS/Lam/1978 tanggal 24 Mei 1978.Hasil penelitian terhadap 20 (dua puluh) ibu kota kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Daerah TK II Lampung Selatan, maka terpilih 2 (dua) kota yang mempunyai nilai tertinggi untuk di jadikan calon ibu kota, yaitu Pringsewu dan Kalianda. Dengan
Surat
Perintah
Tugas
tanggal
17
Mei
1980
nomor
259/V/BKT/1980 Tim Departemen Dalam Negeri melakukan Penelitian Lapangan dari tanggal 19 sampai dengan 29 Mei 1980 terhadap 6 (enam) kota kecamatan sebagai alternatif calon ibu kota baru Lampung Selatan, yaitu Kota Agung, Talang Padang, Pringsewu, Katibung, Kalianda dan Gedung Tataan. Hasil Penelitian Tim Depdagri tersebut berkesimpulan bahwa Kalianda adalah pilihan yang tepat sebagai calon ibu kota yang baru Kabupaten Dati II Lampung Selatan. Dengan Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 28 Juli 1980 nomor 135/3009/PUOD,
91
ditetapkan lokasi calon ibu kota Kabupaten Dati II Lampung Selatan di Desa Kalianda, Desa Bumi Agung dan Desa Way Urang. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No 39 tahun 1981 tanggal 3 Nopember 1981, ditetapkan Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Daerah TK II Lampung Selatan dari Wilayah Kota Madya Tanjung Karang-Teluk Betung ke Kota Kalianda yang terdiri dari Kelurahan Kalianda, Kelurahan way Urang dan Kelurahan Bumi Agung. Berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri nomor 135/102/PUOD tanggal 2 Januari 1982, peresmiannya dilakukan pada tanggal 11 Pebruari 1982 oleh Menteri Dalam Negeri yaitu Bapak Amir Machmud. Sedangkan kegiatan Pusat Pemerintahan di Kalianda ditetapkan mulai tanggal 10 Mei 1982. 3. Sosial Budaya dan Agama Berdasarkan data yang ada penduduk Kabupaten Lampung Selatan secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu penduduk asli Lampung dan penduduk pendatang. Penduduk asli khususnya sub suku Lampung Peminggir umumnya berkediaman di sepanjang pesisir pantai. Penduduk sub suku lainnya tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Lampung Selatan. Penduduk pendatang yang berdomisili di Kabupaten Lampung Selatan terdiri dari bermacam-macam suku dari berbagai daerah di Indonesia seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Aceh. Dari semua suku pendatang tersebut jumlah terbesar adalah pendatang dari Pulau Jawa. Besarnya penduduk yang berasal dari Pulau Jawa dimungkinkan oleh adanya kolonisasi pada zaman penjajahan Belanda dan dilanjutkan dengan
92
transmigrasi pada masa setelah kemerdekaan, disamping perpindahan penduduk secara swakarsa dan spontan. Beragamnya etnis penduduk di Kabupaten Lampung Selatan mungkin juga disebabkan karena Kabupaten Lampung Selatan sebagian besar adalah wilayah pantai sehingga banyak nelayan yang bersandar dan menetap. Para nelayan ini pada umumnya mendiami wilayah pantai timur dan selatan, yang sebagian besar berasal dari pesisir selatan Pulau Jawa dan Sulawesi Selatan. Dengan beragamnya etnis penduduk yang bertempat tinggal di Kabupaten Lampung Selatan, maka beragam pula adat dan kebiasaan masyarakatnya sesuai dengan asal daerahnya. Adat kebiasaan penduduk asli yang saat ini masih sering terlihat adalah pada acara-acara pernikahan. Penduduk Kabupaten Lampung Selatan dalam bentuknya yang asli memiliki struktur hukum adat tersendiri. Hukum adat tersebut berbeda antara yang satu dengan lainnya. Secara umum penduduk asli Lampung yang terdapat di Kabupaten Lampung Selatan dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu masyarakat Lampung Peminggir yang merupakan mayoritas suku Lampung di Kabupaten Lampung Selatan dan kelompok kedua yaitu masyarakat Lampung Pepadun. Adapun daftar kecamatan yang ada di Kabupaten Lampung Selatan, yaitu sebagai berikut: a. Bakauheni b. Candipuro c. Merbau Mataram d. Natar e. Palas
93
f. Penengahan g. Rajabasa h. Sidomulyo i. Sragi j. Tanjung Bintang k. Tanjungsari l. Way Panji m. Way Sulan n. Ketapang o. Katibung p. Kalianda q. Jati Agung 4. Perubahan Lambang Sehubungan dengan telah diundangkannya Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor 23 Tahun 2011, Tentang Bentuk, Warna, dan Isi Lambang Daerah Kabupaten Lampung Selatan, Dengan ini diberitahukan kepada masyarakat Provinsi Lampung, khususnya Kabupaten Lampung Selatan terhitung sejak Tanggal 8 November 2011, Bentuk, Warna, dan Isi Lambang Daerah Kabupaten Lampung Selatan mengalami perubahan :
94
Lama
Baru
(Sumber: google search/wikipedia 2015) Gambar 4.2 Perubahan Logo Kabupaten Lampung Selatan Logo yang baru yang memiliki makna : Warna Lambang Daerah terdiri dari biru muda, kuning emas, biru tua, merah,
putih,
hijau,
coklat
dan
hitam,
yang
masing-masing
warna
melambangkan : a.
Biru muda melambangkan perubahan, kejujuran, kemakmuran, ketaatan dan takwa;
b.
Kuning emas melambangkan keagungan dan kejayaan serta kebesaran cita dan masyarakat untuk membangun daerah dan negaranya;
c.
Biru tua melambangkan laut, kesetiaan, ketekunan dan ketabahan juga melambangkan kekayaan sungai dan lautan yang merupakan sumber perikanan dan kehidupan para nelayan;
95
d.
Merah melambangkan keberanian dan kedinamisan;
e.
Putih melambangkan kesucian;
f.
Hijau melambangkan kesejahteraan dan kecerdasaan; dan
g.
Coklat melambangkan tanah yang subur untuk ladang dan sawah.
Isi Lambang Daerah mempunyai makna terdiri atas : a.
Kata Lampung Selatan berarti Daerah Kabupaten Lampung Selatan;
b.
Pita bewarna merah melambangkan keberanian;
c.
Bintang emas bersegi 5 (lima) melambangkan nilai-nilai keagamaan;
d.
Siger melambangkan mahkota keagungan adat budaya dan tingkat kehidupan terhormat;
e.
Bergerigi 7 (tujuh) melambangkan 7 (tujuh) marga antara lain (marga Pesisir/Rajabasa, Marga Legun, Marga Katibung, Marga Dantaran, Marga Ratu, Marga Sekampung Ilir, dan Marga Sekampung Udik);
f.
Setangkai Padi berjumlah 14 (empat belas) bulir, Kapas berjumlah 11 (sebelas) tangkai, Mutiara pada Siger berjumlah 56 (lima puluh enam) butir, merujuk pada hari jadi Kabupaten Lampung Selatan 14 November 1956;
g.
Gunung, laut, daratan, dan pohon kelapa melambangkan kekayaan alam;
h.
Aksara Lampung yang berarti suka bermusyawarah untuk menuju mufakat;
i.
Sebuah badik melambangkan keperwiraan;
96
Demikian pemberitahuan ini agar masyarakat dapat mengatahuinya. a.
H. RYCKO MENOZA. SZP., SE.,SH.,MBA. (BUPATI)
b.
H.EKI SETYANTO,SE. (WAKIL BUPATI)
c.
Ir. SUTONO,MM. (SEKRETARIS DAERAH)
Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza adalah yang memiliki pemikiran untuk mengganti lambang daerah telah dilakukan sejak dia dilantik menjadi bupati. Sebab lambang daerah yang dimiliki Lampung Selatan saat ini sudah tidak sesuai dengan kondisi yang ada. Untuk itu, Pemerintah Kabupaten yang mengusulkan pergantian lambang daerah itu ke DPRD Lampung Selatan. Mulai 1 Januari 2012, seluruh kendaraan Dinas (Randis) milik Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dipasangi logo baru kabupaten itu. Kini logo Kabupaten Lampung Selatan sudah berubah. Maka diperlukan sosialisasi, salah satunya dengan memasang logo baru pada randis, tugu, gapura, dan bet seragam pegawai negeri sipil (PNS). 4.1.2 Gambaran Umum Desa Agom Konflik pada tanggal 27 sampai 29 oktober 2012 terjadi diwilayah administrasi Kabupaten Lampung Selatan yang melibatkan masyarakat Desa Agom Kecamatan Kalianda dan Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji. Jarak kedua desa ini kurang lebih lima kilometer dan dipisahkan dua desa yaitu Desa Taman Agung dan Desa Sidoreno. Jumlah penduduk Desa Agom dengan luas wilayah 630ha/m 2 pada tahun 2013 adalah 2840 jiwa atau 791 KK. Penduduk didominasi oleh suku pribumi
97
Lampung dan suku jawa, selain itu terdapat suku lain seperti sunda, betawi, dan batak. Pola permukiman cenderung berjauhan antara rumah yang satu dengan rumah yang lain. Sebagian besar penduduk Desa Agom bermata pencaharian sebagai petani dengan tingkat pendidikan rendah. 4.1.3
Gambaran Umum Desa Balinuraga Berbeda dengan Desa Agom yang didirikan oleh masyarakat pribumi.
Desa Balinuraga adalah desa yang didirikan oleh transmigran Bali yang sudah berpuluh-puluh tahun bermukim disini. Sebelum menjadi bagian dari Kabupaten Lampung Selatan. Desa Balinuraga termasuk dalam daerah Kabupaten Lampung Timur. Setelah masuk dalam wilayah Kabupaten Lampung Selatan Desa Balinuraga termasuk wilayah Kecamatan Sidomulyo. Setelah ada proyek pemekaran wilayah, maka Desa Balinuraga menjadi bagian dari Kecamatan Way Panji. Jumlah penduduk Desa Balinuraga yang memiliki luas wiayah 920 Ha/m2 adalah 2200 jiwa atau 500 KK. Penduduk Balinuraga murni suku Bali yang beragama Hindu dan mayoritas penduduknya adalah petani karet dan sawit sukses dengan lahan luas walaupun tingkat pendidikannya rendah. Pola pemukiman di Balinuraga terpola seperti kompleks perumahan, jarak antara rumah saling berdekatan. Desa Balinuraga bukan satu-satunya pemukiman dengan penduduk murni suku bali, diwilayah yang masih berdekatan dengan Desa Balinuraga terdapat pula desa dengan penduduk murni suku Bali, yaitu Desa Bali Napal dan Desa Sidoreno yang juga pernah terlibat konflik dengan suku pribumi.
98
(Sumber: google search/wikipedia 2015) Gambar 4.3 Wilayah Administrasi Kabupaten Lampung Selatan
4.2 Deskripsi Data 4.2.1
Deskripsi data penelitian Deskripsi data penelitian merupakan penjelasan mengenai hasil penelitian
yang telah diolah dari data mentah, dengan mengunakan teknik analisis data yang
99
relevan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif deskriptif yang menghasilkan data baik berupa kata-kata maupun tindakan. Data kualitatif diperoleh melalui observasi partisipasi pasif, wawancara mendalam, kajian pustaka, serta studi dokumentasi yang sesuai dengan fokus penelitian. Data-data kualitatif tersebut perlu dianalisis saat sebelu memasuki lapangan, selama di lapangan dan setelah selesai dilapangan. Berikut ini untuk mempertajam analisis data, peneliti menggunakan dimensi penilaian yang mengacu pada teori yang dikemukankan oleh Nawawi (2005: 151) diantaranya yaitu: 1.
Perencanaan Strategi , dan
2.
Perencanaan Operasional
Dalam menganilisis data kualitatif, peneliti menggunakan teknik analisis data yang dikemukakan oleh Miles dan Hubermen (2009:20). Tujuannya untuk meningkatkan pemahaman peneliti serta membantu mempresentasikannya kepada orang. Miles dan Hubermen menjelaskan ada beberapa langkah penting yang perlu dilakukan dalam menganalisis data, diantaranya pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Langkah pertama yang dilakukan yaitu pengumpulan data mentah baik melalui wawancara, observasi lapangan, kajian pustaka, serta studi dokumentasi, tanpa adanya intervensi dari pihak lain dari pemikiran peneliti atau dengan kata lain data yang bersifat apa adanya (verbatim). Langkah kedua yaitu mereduksi data dengan merangkum, memilih-milih hal-hal yang pokok, dan mengfokuskan
100
pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya reduksi data ini juga berlangsung selama proses pengumpulan data masih berlangsung, pada tahap ini juga akan berlangsung kegiatan pengkodean, meringkas dan membuat partisi (bagian-bagian).
Adapun
dalam
menyusun
jawaban
penelitian,
peneliti
memberikan beberapa kode sebagai berikut: 1.
Kode Q untuk menunjukkan item pertanyaan
2.
Kode A untuk menunjukan item jawaban
3.
Kode I1 untuk menujukan informan dari pihak Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan
4.
Kode I2 untuk menunjukan informan dari pihak Kassat Binmas Polres Lampung Selatan
5.
Kode I3.1 – I3.3 untuk menunjukan informan dari pihak Lembaga Penanganan Konflik atau Forum Penanganan Konflik
6.
Kode I4.1 –I4.3 untuk menunjukan informan dari pihak masyarakat Lampung
7.
Kode I5.1 –I5.3 untuk menunjukan informan dari pihak masyarakat Bali.
8.
Kode I6 untuk menunjukan informan dari pihak Kodim Kabupaten Lampung Selatan.
Kemudian penyajian data yang dilakukan dalam uraian singkat, bagan hubungan antar kategori, flowchart dengan penyajian datanya berbentuk narasiyang bertujuan agar peneliti dapat memahami apa yang terjadi dan merencanakan tidakan selanjutnya yang dilakukan. Langkah terakhir adalah
101
penarikan kesimpulan dengan catatan bahwa data penelitian tersebut sudah jenuh dan didukung dengan bukti-bukti data yang valid dan konsisten yang peneliti temukan dilapangan. 4.2.2
Daftar Informan Penelitian Dalam penelitian yang berjudul manajemen strategi penyelesaian konflik
kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan (studi kasus konflik antar suku asli Lampung dengan suku pendatang Bali tahum 2012) seperti yang sudah peneliti kemukakan pada BAB III, dalam pemilihan informan peneliti menggunakan teknik purposive. Informan dalam penelitian ini adalah stakeholder dalam manajemen strategi penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan (studi kasus konflik antar suku asli Lampung dengan suku pendatang Bali tahun 2012) baik dari pihak pemerintah, aparat keamanan, lembaga penanganan konflik dan masyarakat. Mengenai informan penelitian, peneliti membagi informan menjadi dua yaitu key informan yang merupakan pihak yang terlibat secara langsung dalam penanganan konflik tersebut, sedangkan secondary informan adalah informan yang tidak terlibat langsung secara langsung namun memiliki pengetahuan atau informasi terkait dengan penanganan konflik di Kabupaten Lampung Selatan. Adapun lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel 4.1 dibawah ini:
102
Tabel 4.1 Kodefikasi Informan Penelitian No
Kode
Nama
1
I1
Ismed Alwi
2
I2
Y. Ujang
3
I3.1
Alamsyah
4
I3.2
Ernayati
5
I3.3
Marwan Abdullah
6 7
I4.1 I4.2
8
I4.3
9
I5.1
Muksin Syukur Ida Riana Hassanudin (nama samaran) Made Santre
10
I5.2
Kadek Sirye
11
I5.3
Made Suka
12
I6
Hermawanto
(Sumber: data diolah Peneliti, 2015)
Keterangan Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan Kasat Binmas Polres Lampung Selatan Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat Anggota Forum Kerukunan Umat beragama/Kasubid Ketahanan Seni dan Budaya Sekretaris Majelis Penyeimbang Adat Lampung/ Kabag Umum DPRD Kab. Lampung Selatan Kepala Desa Agom Masyarakat Lampung Desa Agom Masyarakat Lampung Desa Agom Kepala Desa Balinuraga Kadus (Kepala Dusun) Pande Arga Desa Balinuraga Tokoh Masyarakat Desa Balinuraga Ketua Bintara Unit Khusus Intelegen Kodim Lampung Selatan
4.3 Deskripsi Hasil Penelitian Deskripsi hasil penelitian ini merupakan suatu data dan fakta yang peneliti dapatkan langsung dari lapangan serta disesuaikan dengan teori yang peneliti gunakan yaitu menggunakan teori manajemen strategi menurut Hadari Nawawi
103
(2005: 151), proses manajemen strategi ini merupakan suatu sistem yang sebagai satu kesatuan memiliki berbagai komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, dan bergerak secara serentak kearah yang sama pula. Dalam penelitian kali ini peneliti akan menguraikan hasil penelitian dengan didasari data yang peneliti peroleh melalui hasil observasi, wawancara, dokumentasi, serta studi kepustakaan mengenai manajemen strategi penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan (studi kasus konflik antar suku asli Lampung dan suku pendatang Bali tahun 2012) yang meliputi beberapa komponen variabel menurut Nawawi, diantaranya sebagai berikut: 1. Perencanaan Strategi yang meliputi:
Visi
Misi, dan
Tujuan organisasi,
2. Perencanaan Operasional yang meliputi:
Sasaran Operasional
Pelaksanaan fungsi manajeman berupa (fungsi pengorganisasian, pelaksanaan, dan fungsi penganggaran)
Kebijakan situasional
Jaringan kerja internal dan jaringan kerja eksternal
Fungsi kontrol dan evaluasi
Umpan balik.
104
4.3.1
Perencanaan Strategi Manajemena strategi dapat dilihat keberhasilannya jika perencanaan
strategi dari pemerintah memang disesuaikan dengan sosio-kultur yang ada di masyarakat. Ketika perencanaan strategi yang dibuat oleh pemerintah terlalu Ideal (Utopis) untuk dilaksanakan di masyarakat, maka akan sulit untuk menjalankan perencanaan strategi itu dengan baik. Dari dimensi perencanaan strategi peneliti menilai aspek yang terkandung didalamnya, yaitu: bagaimana visi itu dibuat untuk penyelesaian konflik kependudukan
di
Kabupaten
Lampung
Selatan,
kemudian
bagaimana
merealisasikan visi yang dibuat dengan misi, serta apakah tujuan organisasi sudah tercapai dari penyelesaian konflik tersebut. Maksud dari penyelesaian konflik yang ada di Kabupaten Lampung Selatan ini sendiri sesuai dengan UndangUndang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terancana dalam situasi dan peristiwabaik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian, dan pemulihan pasca konflik. Mengenai aspek visi strategi dalam penyelesaian konflik tersebut, peneliti memberikan pertanyaan kepada Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, berikut kutipan wawancarnya:
105
“Visinya kan ada aturannya tuh yang diatur dalam Undang-Undang no 7 tahun 2012”. (wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan) Berdasarkan wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi visi dalam penyelesaian konflik tersebut telah tertuang didalam peraturan Undang-Undang No 7 Tahun 2012. Pertanyaan serupa peneliti ajukan kepada Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan yang mengungkapkan: “Ya yang pengaruhin visi kita, gimana caranya biar masalah itu cepet selesai aja tapi kalo secara tertulis gak ada tapi kalo ikutin visi dari kepolisian ya yang melindungi, mengayomi dan melayani aja”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan) Berdasarkan wawancara tersebut, visi dalam penyelesaian konflik tersebut tidak ada secara tertulis namun disesuaikan dengan TUPOKSI dari kepolisian. Kemudian penelitipun mengajukan kepada Bapak Alamsyah (I3.1) Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat, yang menjawab: “Kalo visi kita itu pengaruh dari peraturan yang UU no 7 tahun 2012 itu tentang penanganan konflik sosial, kita juga dari program Kesbangpol sendiri, kemudian dari konflik yang ada dimasyarakat, maka jadilah FKDM ini”.(wawancara dengan Bapak Alamsyah, Jumat 2 Oktober 2015, 10.30 WIB, Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan)
106
Berdasarkan wawancara tersebut dapat diketahui bahwa forum yang dibentuk juga visi yang dibuat masih dipengaruhi oleh Peraturan Undang-Undang No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan disesuaikan dengan TUPOKSI dari Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan. Selanjutnya peneliti pun mengajukan pertanyaan tersebut kepada Ibu Ernayati (I3.2) Anggota Forum Kerukunan Umat Beragama/Kasubid Ketahanan Seni dan Budaya, berikut kutipan wawancaranya: “Iya kita ada secara tertulis yang Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 2006 dan No 8 Tahun 2006 ada juga tujuannya untuk mempersatukan umat yang beragama yang ada dilampung selatan biarpun kita beda keyakinan tapi tetap satu”.(wawancara dengan Ibu Ernayati, Kamis 1 Oktober 2015, 14.30 WIB, Sekertariat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)/Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan) Berdasarkan wawancara tersebut dapat diketahui bahwa forum tersebut memiliki landasan hukum sendiri yang dijadikan sebagai visi tertulis mereka. Sementara Bapak Marwan Abdulah (I3.3) sekertaris Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL) yang menyatakan bahwa MPAL memiliki visi untuk menjunjung tinggi adat dan budaya Lampung, berikut kutipan wawancaranya: “Itu visinya terwujudnya majelis penyeimbang adat Lampung yang bermatabat untuk membangun masyarakat yang menjunjung tingga adat dan budaya lampung”.(wawancara dengan Bapak Marwan Abdulah, Jumat 2 Oktober 2015, 09.00 WIB, Kantor DPRD Kabupaten Lampung Selatan) Berdasarkan wawancara tersebut dapat kita ketahui bahwa MPAL yang merupakan salah satu lembaga penanganan konflik memiliki visi yang harus
107
menjunjung tinggi adat Lampung dan budaya Lampung, hal ini dikarenakan adat dan budaya Lampung itu sendiri semakin jarang dilestarikan oleh orang Lampungnya itu sendiri. Berdasarkan wawancara mengenai visi strategi dalam penyelesaian konflik di Kabupaten Lampung Selatan bahwa visi yang mereka buat dalam penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan masih di berpegang oleh peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat dan belum tersusun secara sistematis. Sementara aspek misi untuk menjalankan visi dalam penyelesaian konflik kependudukan, Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, berikut kutipan wawancaranya: “Iya disesuaikan juga dengan undang-undang itu, apa yang dilakukan oleh kita itu kayak diadakannya forum kita kumpulin masyarakatnya untuk pertemuan, ada juga sosialisasi ke kecamatan-kecamatan yang disesuaikan dengan anggaran setahun itu hanya 3 kecamatan, tahun ini baru 3 kecamatan”. (wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan). Wawancara diatas menjelaskan bahwa misi yang dibuat disesuaikan dengan undang-undang yang digunakan dan untuk itu diadakan kegiatan seperti pertemuan untuk membahas tentang sosialaisasi setelah terjadi konflik tersebut. Hal berbeda diungkapkan oleh Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan, kutipannya sebagai berikut: “Ya itu tadi kita mikirnya gimana caranya supaya masalah itu bisa cepet selesai, oh iya ada juga program Rembuk Pekon yang lagi kita jalanin”.(wawancara
108
dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan) Berdasarkan wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa pihak aparat tidak memiliki misi secara spesifik dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi namun mereka miliki tujuan dalam penyelesaian konflik tersebut. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Alamsyah (I3.1) Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat menjelaskan bahwa FKDM tidak memliki misi secara spesifik dalam penyelesaian konflik, namun mereka memiliki tujuan yang jelas bahwa infomasi sekecil apapun harus dilaporkan jika itu berhubungan dengan konflik di masyarakat, berikut kutipan wawancaranya: “Iya misi dibuat sesuai sama visi, kalo kita mungkin lebih ke tujuan ya, kita sering komunikasi ke pengurus FKDM, pengurus FKDM yang ada di kabupaten itu ada 18 orang, dikecamatan juga ada tapi ya itu mati suri, banyak faktor yang menyebabkan susah untuk diaktifkan”.(wawancara dengan Bapak Alamsyah, Jumat 2 Oktober 2015, 10.30 WIB, Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan). Hal berbeda diungkapkan oleh Bapak Marwan Abdulah (I3.3) sekertaris Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL), berikut kutipan wawancaranya: “Tertuang misi pembinaan dan pemberdayaan masyarkat lampung, pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, pelestarian dan pembinaan budaya adat lampung, ini kerjaan kita kerjaan MPAL, meningkatkan hubungan silahturami antar masyarakat, antar suku, antar tokoh”.(wawancara dengan Bapak Marwan Abdulah, Jumat 2 Oktober 2015, 09.00 WIB, Kantor DPRD Kabupaten Lampung Selatan) Berdasarkan
wawancara
tersebut
dapat
diketahui
bahwa
dalam
penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan ini MPAL
109
memiliki misi secara terstruktur untuk mengurangi konflik kependudukan yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan. Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan mengenai aspek misi dalam strategi penyelesaian konflik kependudukan secara garis besar pemerintah belum memiliki misi secara spesifik yang digunakan dalam strategi penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi, hal ini dikarenakan pemerintah yang bertanggung jawab dalam penanganan konflik tersebut belum siap dalam penyelesaian konflik yang terjadi. Kemudian peneliti mengajukan pertanyaan mengenai aspek tentang tujuan organisasi yang disesuaikan dengan visi, misi organisasi dan realisasinya,Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, menyatakan bahwa tujuan organisasi telah disesuaikan dengan visi dan misi yang ada di landasan hukum yang dipakai, berikut kutipan wawancaranya: “Iya sudah berjalan, karena masyarakat sudah mulai mengerti pentingnya damai itu tadi”.(wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan). Berdasarkan kutipan wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa tujuan organisasi sudah tercapai seiring dengan kesadaran masyarakat yang semakin mengerti arti pentingnya hidup damai. Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan, berikut kutipan wawancarnya:
110
“Iya tentu ajalah itu berjalan kan diliat dari tugas kita yang 3 itu tadi”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan). Berdasarkan kutipan wawancara diatas dapat diketahui bahwa selama kegaiatan yang dilakukan itu sesuai dengan tugas mereka sebagai penegak hukum maka tujuan organisasi itu secara otomatis berjalan sesuai dengan visi dan misi mereka. Kemudian tujuan organisasi yang ada di FKDM itu juga sudah berjalan sampai sekarang hal ini diungkapkan oleh Bapak Alamsyah (I3.1) Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat, berikut kutipannya: “Iya sudah berjalan sampai sekarang”.(wawancara dengan Bapak Alamsyah, Jumat 2 Oktober
2015, 10.30 WIB, Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten
Lampung Selatan). Namun berbeda dengan yang diungkapkan oleh Bapak Marwan Abdulah (I3.3) Sekertaris Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL), berikut kutipan wawancaranya: “Tujuan kami belum tercapai karena masyarakat lampung selatan sampai sekarang banyak yang belum mengerti kami yang orang pribumi”.(wawancara dengan Bapak Marwan Abdulah, Jumat 2 Oktober 2015, 09.00 WIB, Kantor DPRD Kabupaten Lampung Selatan) Berdasarkan kutipan wawancara diatas dapat diketahui bahwa tujuan dari MPAL belum tercapai sesuai dengan apa yang menjadi visinya, ini dikarenakan
111
masyarakat yang berada khususnya di Kabupaten Lampung Selatan yang sebagian besar merupakan masyarakat pendatang masih menganggap bahwa kebudayaan Lampung itu asing bagi mereka. Berangkat dari hasil wawancara di atas, peneliti menganalisis bahwa dalam penanganan dan penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi, visi dan misinya masih belum tersusun secara sistematis. Penyebabnya karena belum adanya SOP yang dibentuk secara tersendiri oleh pihak instansi yang bertanggung jawab langsung dengan konflik tersebut. Selanjutnya aspek tujuan organisasi yang disesuaikan dengan visi, misi organisasi dan realisasinya telah berjalan sesuai dengan apa yang menjadi tugasnya
masing-masing,
dan
sampai
sekarang
masih
berjalan
guna
meminimalkan terjadinya konflik kembali bahkan dari tujuan tersebut di adakan program Rembuk Pekon yang bertujuan untuk memediasi masyarakat yang sedang berkonflik.
4.3.2
Perencanaan Operasional Perencanaan operasioanal umumnya merupakan terjemahan dari tujuan
umum organisasi yang ada di perencanaan strategi dalam rentang waktu tertentu, semakin baik perencanan operasional yang digunakan semakin baik pula hasil yang didapat dan begitu pula sebaliknya. Dimensi ini terdapat beberapa aspek yaitu
sasaran
pengorganisasian,
operasional, fungsi
pelaksanaan
pelaksanaan,
fungsi
fungsi
manajeman
penganggaraan),
(fungsi kebijakan
112
situasioanal, jaringan kerja internal, dan jaringan kerja eksternal, fungsi kontrol dan evaluasi, umpan balik. Pertama aspek sasaran operasional, Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan menjelaskan bahwa sasaran operasioanl mereka hanya disesuaikan dengan anggaran yang masuk dalam setahun, berikut kutipan wawancaranya: “Iya tadi kita sesuaikan anggaran yang 3 kecamatan setahun itu, ditentukan dari kecamatan yang rawan konfik dulu, prioritas banyak yang tinggi skala konfliknya”.(wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan) Berdasarkan kutipan wawancara di atas dapat diketahui kegiatan yang dilakukan oleh Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan dan pemerintah sebanyak 3 kali dalam setahun, dan diprioritaskan untuk kecamatan yang sering terjadi konflik. Penyebabnya adalah dana anggaran APBD yang didapat untuk kegiatan tersebut terbatas hanya untuk 3 kecamatan saja. Pertanyaan serupa peneliti ajukan kepada Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan, berikut kutipan wawancarnya: “Kita berlandaskan hukum, jadi kita sesuaikan dengan pasal-pasal pidana maupun perdata aja”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan).
113
Berdasarkan wawancara diatas dapat diketahui bahwa sasaran operasional dari pihak aparatur hukum mengenai penanganan konflik dan penyelesaian konflik ditentukan berdasarkan landasan hukum yang digunakan dan itu tidak bisa diubah dan itu bersifat mutlak dan bersifat tidak memihak pihak manapun. Berbeda dengan apa yang sampaikan oleh Bapak Alamsyah (I3.1) Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), bahwa FKDM tidak memiliki sasaran secara tertentu, berikut kutipan wawancaranya: “Kita gak ada sasaran tertentu, jadi kalo ada konflik ya langsung kita laporkan ke Kesbangpol, nanti dari sini ditindak lanjutkan dengan koordinasikan sama pihak aparat keamanan”.(wawancara dengan Bapak Alamsyah, Jumat 2 Oktober 2015, 10.30 WIB, Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan). Berdasarkan wawancara di atas dapat diketahui bahwa untuk sasaran operasional yang ada dalam FKDM itu tidak ditentukan karena melihat dari tugasnya yatu hanya sebagai pencegah dari konflik yang ada dimasyarakat melalui informasi yang didapat dari pengurus yang ada disetiap kecamatan yang ada di Kabupaten Lampung Selatan. Hampir sama halnya yang dijelaskan oleh Ibu Ernayati (I3.2) Anggota Forum Kerukunan Umat beragama/Kasubid Ketahanan Seni dan Budaya bahwa FKUB tidak memilik sasaran operasional tertentu, berikut kutipan wawancaranya: “Gak ada sasaran tertentu buat FKUB ini”.(wawancara dengan Ibu Ernayati, Kamis 1 Oktober
2015, 14.30 WIB, Sekertariat Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB)/Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan).
114
Sementara Bapak Marwan Abdulah (I3.3) Sekertaris Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL) menyatakan bahwa sasaran dari MPAL sudah ada namun belum secara tertulis ada di peraturan daerah, berikut kutipan wawancaranya: “Sasaran majelis ini buat masyarakat Lampung Selatan biar orang-orang lain yang bukan suku Lampung juga mengerti adat dan budaya Lampung, kan mereka juga tinggal di wilayah kita, maunya kita ya meskipun bukan orang Lampung tapi ya mereka harus mengerti dan memahami orang Lampung yang dalam artian orang pribumi”.(wawancara dengan Bapak Marwan Abdulah, Jumat 2 Oktober 2015, 09.00 WIB, Kantor DPRD Kabupaten Lampung Selatan) Berdasarkan
kutipan
wawancara
dapat
diketahui
bahwa
sasaran
operasional dari MPAL itu ditujukan untuk masyarakat Kabupaten Lampung Selatan khususnya masyarakat pendatang, sebagai masyarakat pendatang harus lebih menghargai adat dan budaya Lampung karena masyarakat tersebut tinggal dan menetap di Lampung. Selanjutnya yang kedua untuk aspek fungsi manajeman (Fungsi pengorganisasian, fungsi pelaksanaan, dan fungsi pelaksanaan penganggaran) peneliti memberikan pertanyaan kepada narasumber dengan beberapa pertanyaan yang sesuai dengan fungsi manajeman ini. Peneliti mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan fungsi pengorganisasian yaitu tentang bagaimana kontribusi pemimpin daerah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi kepada Bapak Marwan Abdulah (I3.3) Sekertaris Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL), berikut kutipan waancaranya: “pemerintah berperan aktiflah dalam penyelesaian konflik itu, kalo gak berperan ya gimana mau selesai ricuhnya, kalo MPAL sendiri gak berperan secara langsung namun hanya tokoh-tokoh MPAL saja, MPAL itu kan dibangun oleh dewan perwatin, dewan perwatin ini tokoh-tokoh adat yang ada di 6 marga di Lampung selatan ini, ada marga dantaran
115
yang pusatnya dipenegahan kepala marganya pangeran naga beringsang, kemusian ada marga ratu dibagi lagi jadi 2 yang pertama marga keratuan menangsih diketuai oleh pangeran cahya marga berpusat di tamanbaru , keratuan darah putih diketuai oleh dalem kusuma ratu berpusat dikuripan, yang ketiga marga legun berpusat dipesugihan diketuai pangeran tiang marga, marga rajabasa berpusat di raja basa diketuai oleh pangeran penyeimbang agung, ada marga ketibung diketuai oleh sutan unjungan, marga bukujadi di natar diketuai sutan bandar, mereka jadi penasehat waktu kerusuhan itu”.(wawancara dengan Bapak Marwan Abdulah, Jumat 2 Oktober 2015, 09.00 WIB, Kantor DPRD Kabupaten Lampung Selatan)
Berdasarkan kutipan wawancara di atas dapat diketahui bahwa dalam penyelesaian konflik kependudukan pada saat itu pengurus MPAL tidak secara langsung berperan aktif, ini dikarenakan MPAL hanya mengirim dewan perwatin yang mendirikan MPAL merupakan tokoh masyarakat Lampung yang mewakili 6 marga di Kabupaten Lampung Selatan. Kemudian hampir sama seperti yang diungkapkan Bapak Muksin Syukur ( I4.1) Kepala Desa Agom bahwa kontribusi yang diberikan oleh pemerintah pada saat kejadian sangat besar namun sekarang kontribusinya berkurang, berikut kutipan wawancara: “Kontribusi pemerintah pada saat kejadian memang luar biasa, mereka mengamankan apapun bentuk kelompok masyarakat yang datang, karena pada saat itu pihak keamanan yang dateng gak tau wilayah, merkea kan dari banyak daerah, ada juga bantuan dari polisi Banten dateng, pada saat itu sudah maksimal bantuan pemerintah. Sekarang kontribusi pemerintah ya ada tapi memang gak intensif kayak dulu kurang sering ngawasin lagi, maunya kita kan jangan karna sudah damai ini kalau kami masing-masing desa agom atau desa balinuraga mau ketemu mau ngobrol itu susah sampai sekarang harusnya ada pihak ketiga yaitu pemerintah yang menjadi mediasinya, karena kenapa kita gak mau dibawa ke balinuraga disamping kita pernah punya masalah bahwa kita gak bisa, kita ini maafnya ngomong orang lampung kebanyakan orang islam ya gak bisalah kalau lagi ngobrol ada babi lewat mana ada yang tahan, terus terang aja waktu kita juga bertamu dibuatin teh mau gak kita minum kita gak enak mau kita minum kita was-was, terus terang saya kades
116
ngomongnya pedes tapi memang fakta. Jadi kalau kita suruh silahturami kesana gak bisa”.(wawancara dengan Bapak Muksin Syukur, Jumat 4 September 2015, 17.00 WIB, Kediaman Rumah Bapak Muksin Syukur) Berdasarkan wawancara di atas dapat diketahui kontribusi yang pemerintah berikan pada saat terjadi konflik tahun 2012 besar, perhatian yang diberikan tidak hanya diberikan oleh pemerintah pusat namun juga oleh pemerintah daerah dan juga aparat kepolisian dari berbagai wilayah. Namun perhatian berkurang seiring dengan meredanya permasalahan itu. Sementara Hassanudin (nama samaran) ( I4.3) masyarakat Desa Agom mengungkapkan bahwa pemerintah memberikan bantuan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi pada tahun 2012, berikut kutipan wawancaranya: “pemerintah tidak bisa apa-apa dek waktu kita protes atas perjanjian pertama itu, karena kita masih belum terima, tapi memang benar mereka memberi bantuan fasilitas demi biar cepet selesai itu permasalahnnya”.(wawancara dengan Hassanudin (nama samaran), Minggu 6 September 2015, 11.00 WIB) Kutipan wawancara di atas dapat menjelaskan bahwa pemerintah memberikan bantuan untuk menfasilitasi penolakan yang dilakukan oleh masyarakat Lampung khususnya warga Desa Agom yang merasa penyelesaian yang dilakukan pertama kalo tidak mewakili warganya yang menjadi korban, dan warganya yang terlibat dalam konflik tersebut ini. Peneliti juga mengajukan pertanyaan kepada Bapak Made Santre (I5.1) Kepala Desa Balinuraga, dan berikut kutipan wawancaranya:
117
“Pemerintah Daerah bantu di bidang kesehatan, listrik dan juga dapur umum, tapi masyarakat juga dibantu sama pemerintah pusat yang rumahnya kebakar sama ganti rugi uang 11jt, kalau pemerintah Provinsi Bali kasih bantuan paling banyak,mereka kasih uang subangan yang dikumpulin setiap kabupaten, Kota Denpasar juga kasih sumbangan banyak, pokoknya bantuan paling banyak dari Pemerintah Provinsi Balinya”.(wawancara dengan Bapak Made Santre, Jumat 4 September 2015, 15.30 WIB, Kediaman rumah Bapak Made Santre) Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa yang paling banyak memberikan bantuan adalah dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Bali. Bantuan tersebut berupa uang ganti rugi untuk masyarakat Desa Balinuraga, bantuan juga diberikan dalam bidang kesehatan, listrik dan dapur umum untuk masyarakat Desa Balinuraga. Selanjutnya Bapak Kadek Sirye ( I5.2) Kadus (Kepala Dusun) Pande Arga Desa Balinuraga membenarkan bahwa bantuan yang diberikan pemerintah terbagi menjadi dua yaitu untuk Desa Agom dan Desa Balinuraga, berikut kutipan wawancaranya: “Gimana ya, memang tanggap tapi kondisinya itu sampai dibagi-bagi perhatiannya di Desa Agom juga, jadi kalo ada isu sama kabar mau ada kiriman bangunan dapet jatah dibagi sama Desa Agom, dua desa diurus biar pulih lagi bupati kita juga kesini tapi ya itu lagi ngambil simpati aja, dia itu kayaknya benci banget sama kita, jarang kesini jadi baru kejadian itu dia dateng kesini, lain loh sama zulkifli yang sering kesini”.(wawancara dengan Bapak Kadek Sirye, Sabtu 5 September 2015, 10.00 WIB, Kediaman rumah bapak Kade Sirye) Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa kontribusi yang diberikan oleh pemerintah tidak hanya untuk masyarakat Bali yang ada di Desa Balinuraga saja namun juga untuk masyarakat Desa Agom yang menjadi korban dalam konflik tersebut, namun masyarakat bali merasa perhatian yang diberikan
118
oleh pemimpin daerah sangat berbeda dengan apa yang diberikan oleh pemimpin daerah sebelumnya, hal ini terjadi karena sebelum kejadian konflik itu berlangsung pemimpin daerah jarang memberikan perhatiannya kepada desa tersebut. Kemudian peneliti mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan fungsi pelaksanaan kepada informan penelitian ini, pertama dengan pertanyaan yaitu apakah pelaksanaan program yang ada sudah berjalan kepada Bapak Muksin Syukur (I4.1) Kepala Desa Agom, berikut kutipan wawancaranya: “Memang banyak program-program dari pemerintah itu tapi kadangkadang bagi kami ini tidak tepat sasaran tapi begitu kita pikir-pikir secara luas juga mungkin iya, kalo Desa Agom dan Desa Balinuraga sudah ribut mungkin mereka mengantisipasi untuk desa-desa yang lain gak ribut, kegiatan-kegiatan itu banyak dilakukan ditempat lain tapi yang program pemerintah pusat dan segala macem itu untuk meredam ini biar tidak terjadi lagi, banyak bedah rumah disini di desa saya dapet 300 rumah dibantu menteri perumahan rakyat karena mungkin diliat dari ekonomi kita, jadi program itu ada cuma saat kejadian itu aja kalo sekarang gak ada”.(wawancara dengan Bapak Muksin Syukur, Jumat 4 September 2015, 17.00 WIB, Kediaman Rumah Bapak Muksin Syukur) Berdasarkan wawancara di atas dapat diketahui bahwa program yang dijalankan oleh pemerintah seperti program untuk memediasi masyarakat yang desanya terjadi konflik, program-program lain juga banyak dilakukan di desa-desa seperti sosialisasi lain tujuan agar tidak terjadi konflik kembali, namun program seperti sosialisasi pun sekarang ini mulai berkurang ini dikarenakan pemerintah menganggap bahwa masyarakat sudah memahami arti pentingnya hidup damai. Kemudian pemerintah juga menjalankan program bedah rumah yang bertujuan
119
agar masyarakat pribumi tidak merasa iri secara perekonomian oleh masyarakat Lampung yang berasal dari Bali. Kemudian Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, yang menjelaskan bahwa program yang dibuat oleh pemerintah daerah dalam bentuk Forum Kewaspadaan Dini masyarakat, berikut kutipan wawancaranya: “Sudah berjalan kira buat program FKDM itu sampai sekarang masih berjalan”.(wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan). Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa program yang di buat pemerintah untuk menangani dan menyelesaikan konflik penduduk yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan adalah program yang berbentuk forum yaitu Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat yang bersekertariat di kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, program FKDM sendiri dijalankan setelah terjadinya konflik tahun 2012. Kemudian pertanyaan kedua yang peneliti ajukan tentang fungsi pelaksanaan adalah tentang apakah pelaksanaan program disesuaikan dengan Renstra kepada Bapak Marwan Abdulah (I3.3) Sekertaris Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL), berikut kutipan wawancaranya: “Kami ini majelis, jadi tidak terikat dengan renstra”.(wawancara dengan Bapak Marwan Abdulah, Jumat 2 Oktober 2015, 09.00 WIB, Kantor DPRD Kabupaten Lampung Selatan)
120
Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa Majelis Penyeimbang Adat Lampung tidak masuk dalam Renstra mana pun, hal ini dikarenakan MPAL ini merupakan majelis yang didirikan oleh tokoh-tokoh masyarakat Lampung yang memiliki marga tersendiri di Kabupaten Lampung Selatan. Ada 6 marga masyarakat Lampung yang ada di Kabupaten Lampung Selatan, yaitu sebagai berikut: 1. Marga Dantaran yang pusatnya dipenegahan dan diketuai oleh Pangeran Naga Beringsang, 2. Marga Ratu dibagi lagi jadi 2 yaitu:
Marga Keratuan menangsih yagn berpusat di Tamanbaru dan diketuai oleh Pangeran Cahya Marga,
Marga Keratuan Darah Putih yang berpusat dikuripan dan diketuai oleh Dalem Kusuma Ratu,
3. Marga Legun berpusat dipesugihan dan diketuai oleh Pangeran Tiang Marga, 4. Marga Rajabasa yang berpusat di Rajabasa diketuai oleh Pangeran Penyeimbang Agung, 5. Marga Ketibung yang berpusat di Katibung dan diketuai oleh Sutan Unjungan, 6. Marga Bukujadi yang berpusat di Natar dan diketuai oleh Sutan Bandar.
Selanjutnya peneliti mengajukan pertanyaan serupa dengan Ibu Ernayati (I3.2) Anggota Forum Kerukunan Umat beragama/Kasubid Ketahanan Seni dan
121
Budaya, yang menjelaskan bahwa FKUB merupakan program yang dijalankan untuk mendukung dari program yang dibuat dari Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, berikut ini kutipan wawancaranya: “Kalo FKUB itu gak masuk dalam renstra, ini cuma program yang dijalankan sesuai Tupoksi dari kita”.(wawancara dengan Ibu Ernayati, Kamis 1 Oktober 2015, 14.30 WIB, Sekertariat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)/Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan). Berbeda dengan yang diungkapkan oleh Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan, program yang mereka jalankan sudah sesuai dengan Renstra Polres Lampung Selatan, berikut kutipan wawancaranya: “ya pastilah dek”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan). Selanjutnya yang ketiga peneliti mengajukan pertanyaan yang masih berhubungan dengan Fungsi pelaksanaan, yaitu dengan pertanyaan apakah program pelaksanaan memiliki petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk teknis (Juknis) kepada Bapak Marwan Abdulah (I3.3) Sekertaris Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL), berikut kutipan wawancaranya: “Kami belum memiliki juklak dan juknis secara tertulis diperaturan pemerintah”.(wawancara dengan Bapak Marwan Abdulah, Jumat 2 Oktober 2015, 09.00 WIB, Kantor DPRD Kabupaten Lampung Selatan) Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa MPAL yang merupakan Mejelis yang didirikan oleh masyarakat Lampung belum memiliki
122
Juklak dan Juknis yang jelas, hal ini disebabkan karena pemerintah daerah belum dibuatkannya peraturan daerah yang terkait dengan MPAL itu sendiri. Hal ini serupa dengan yang diungkapkan oleh Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan bahwa untuk program yang dijalankan sekarang ini belum memiliki Juklak dan Juknis secera resmi, hal ini disebabkan karena penundaan dari Keputusan Kepala Polisi Republik Indonesia (Kepkapolri), berikut kutipan wawancarnya: “Kalo untuk pogram kita, kita juga belum dapet Kepkapolri yang 100% jadi kita gak bisa kasih informasi”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan) Pada fungsi penganggaran, peneliti mengajukan pertanyaan tentang dana anggaran untuk perbaikan kerusakan yang dialami masyarakat pada saat konflik kepada Bapak Made Santre (I5.1) Kepala Desa Balinuraga, berikut kutipan wawancaranya: “Iya ganti ruginya dikasih untuk yang rumahnya rusak aja”.(wawancara dengan Bapak Made Santre, Jumat 4 September 2015, 15.30 WIB, Kediaman rumah Bapak Made Santre) Berdasarkan kutipan wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pemulihan yang dilakukan setelah terjadi konflik, bantuan yang diberikan kepada masyarakat itu lebih difokusnya untuk menormalkan keadakan ekonomi dengan merenovasi bangunan yang telah rusak. Dana bantuan yang diberikan pemerintah
123
pusat sebesar 11 juta ini sesuai dengan kutipan wawancara yang peneliti lakukan kepada Bapak Made Santre (I5.1) sebelumnya. Sementara untuk dana bantuan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat Desa Agom adalah bantuan berupa program bedah rumah yang diberikan langsung oleh Menteri Perumahan Rakyat pada saat itu, tujuannya adalah agar tidak ada kecemburuan yang terjadi dimasyarakat karena kesenjangan ekonomi yang berbeda antara kedua desa tersebut, hal ini diungkapkan oleh Bapak Muksin Syukur (I4.1) Kepala Desa Agom, berikut kutipan wawancaranya: “gak ada ketentuan ya, kita gak ada kerusakan kayak di desa bali sana, Cuma itu tadi kita di bantu bedah rumah sama menteri perumahan rakyat pada waktu itu ya biar gak dibilang iri masyarakat pribuminya 300 rumah itu”.(wawancara dengan Bapak Muksin Syukur, Jumat 4 September 2015, 17.00 WIB, Kediaman Rumah Bapak Muksin Syukur) Selanjutnya menurut Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, bahwa dalam penenganan konflik sosial yang terjadi pada saat itu telah dibagi menjadi 3 tim sesuai dengan Undang-Undang No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dimana terdapat tim pencegahan konflik, tim pemberhentian konflik, dan tim pemulihan konflik, tim yang bertanggung jawab dalam pemberian dana bantuan dipercayakan kepada tim pemulihan dan dikoordinasikan dengan dinas-dinas terkait, berikut kutipan wawancaranya: “Kalo dana kerusakan itu di koordinasikan dengan instansi terkait seperti dinas Pendidikan, dinas PU dan dinas yang terkait lainnya, kalo kita ngasih data ke
124
dinas-dinas”.(wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan) Pemerintah daerah pun memberikan bantuan yang diberikan langsung oleh korban dan masyarakat yang mengalami kerugian, bantuan tersebut berupa uang tunai. Berikut rinciannya: 1. Untuk korban rumah terbakar atau rusak sebanyak 438 rumah, masingmasing menerima Rp.1.200.000,2. Untuk warga yang meninggal dunia 9 (sembilan) orang dari suku Bali dan 3 (tiga) orang dari suku Lampung masing-masing menerima Rp.10.000.000,3. Untuk korban kecelakaan sebanyak 2 (dua) orang masing-masing Rp.2.500.000,Ketiga Kebijakan situasional, aspek yang dipengaruhi oleh keputusan dari pemerintah terutama stakeholder terkait dengan penanganan dan penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi. Pertanyaan yang berkaitan dengan kebijakan situasional peneliti ajukan kepada Bapak Alamsyah (I3.1) Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), berikut kutipan wawancaranya: “Iya itu kan langsung diungsikan karena udah terjadi ricuh, coba kalo itu dilaporkan ke FKDM kita kan langsung lapor ke atasan sama pak bupatinya”.(wawancara dengan Bapak Alamsyah, Jumat 2 Oktober 2015, 10.30 WIB, Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan). Berdasarkan wawancara di atas dapat diketahui bahwa penanganan dan penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah mendapatkan kendala dari masyarakat, hal ini disebabkan karena masyarakat tidak langsung melaporkan
125
kejadian tersebut kepada pemerintah maupun pihak aparat keamanan, namun dalam hal ini pemerintah juga kurang tanggap atas apa konflik yang terjadi di masyarakat sehingga menjadi kendala dalam penanganan dan penyelesaian konflik tersebut. Lebih jauh lagi mengenai kebijakan pertama yang diberikan kepada pihak aparat keamanan, Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan, menjelaskan sebagai berikut: “Iya atasan langsung minta diproses masalah itu, dan kita juga ngungsikan msyarakat
balinya
ke
kemiling
bandar
lampung,
langsung
dicari
permasalahannya”. (wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan) Hampir sama seperti yang diungkapkan oleh Bapak Muksin Syukur ( I4.1) Kepala Desa Agom, berikut kutipan wawancaranya: “Kebijakan pemerintah pertama memang mereka gimana caranya supaya damai sebenernya karena pemerintah khususnya lampung selatan ini mungkin disalahkan juga kurang pembinaan karena gejala seperti ini sebenarnya sudah lama, iyalah keributan napal, keributan yang bakar rumah di sidomakmur kan gak lama selang dari kejadian ini sehingga merak dikatakan kurang antisipasi, tapikan pemerintah bukan kita aja yang ngurus dari pemerntah provinsi juga bertanggung jawab, gejalagejala itu harusnya sudah bisa ditebak, ya kayak intel juga harusnya antisipasi mereka juga gak nyangka lah akhirnya jadi kayak gini”.(wawancara dengan Bapak Muksin Syukur, Jumat 4 September 2015, 17.00 WIB, Kediaman Rumah Bapak Muksin Syukur) Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa dalam penanganan dan penyelesaian konflik kependudukan yang dilakukan pemerintah adalah dengan mempercepat penyelesaian konflik tersebut tujuannya agar konflik tersebut tidak
126
semakin panjang, namun dalam penyelesaian tersebut pemerintah terlalu terburuburu sehingga mengesampingkan masalah yang sebenarnya terjadi. Poin pertanyaan selanjutnya yaitu tentang proses mediasi yang dilakukan oleh pemerintah terkait dengan penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi kepada Bapak Muksin Syukur ( I4.1) Kepala Desa Agom yang menjelaskan bahwa penyelesaian konflik yang dilakukan oleh pemerintah sangat terburu-buru sehingga menimbulkan kontra dan penolakan dari proses mediasi tersebut, berikut kutipan wawancaranya: “Saya sebenernya tidak tau mau ada damai, diajak pertemuan gubernur tanda tangan perdamaian, tapi karena saya dibawa pak sekda pak kapolda ini perintah kalau tidak tanda tangan proses hukum tidak bisa berlanjut. Sedangkan mereka mengancam mau ekspos orang-orang saya semua, ini 40 orang yang bakalan ditangkap, jadi saya itu simalakama, saya tanda tangan buat nyelamatin 40 orang ini tapi 20ribu orang nyalahin saya.Orang-orang yang ikut mediasi tidak bisa adek temui ini kecuali muksin syukur karena memang saya pelaku utama dalam kejadian itu, yang ikut mediasi kayak kepada desa tajimalela ini cuma masyarakatnya yang jadi korban trus ini tokoh-tokoh adat masyarakat Lampung yang di Kalianda yang di comot langsung sama pemerintah biar malahnya cepet selesai, mau ditemuin juga tidak akan ada cerita karena meraka tidak tau masalahnya pada saat kejadian mereka pergi ke Jatinagor sama pak Bupati, saya tidak ikut karena udah ngerasa mau ada masalah sama masyarakat saya”.(wawancara dengan Bapak Muksin Syukur, Jumat 4 September 2015, 17.00 WIB, Kediaman Rumah Bapak Muksin Syukur) Sementara itu Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan menjelaskan bahwa proses mediasi dan penyelesaian konflik tersebut dibantu banyak pihak terutama pihak kepolisian dan langsung melakukan penyelidikan terkait dengan konflik tersebut, berikut kutipan wawancaranya: “Iya dari kita atasan turun semua, mulai dari kapolda trus pak kapolres kita, trus kasat bagian penyelidikan itu yang ngumpetin korbannya, trus ada kasat penyidikan yang cari masalahnya apa, kasat penyuluhan yang
127
nanganin personil, itu kan dari tokoh-tokoh ada pada dateng juga”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan).
Kemudian hal berbeda diungkapkan oleh Hassanudin (nama samaran) (I4.3) masyarakat Desa Agom mengungkapkan bahwa proses mediasi yang berlangsung terjadi dua kali, ini dikarenakan adanya penolakan dari pihak masyarakat Lampung, berikut kutipan wawancaranya: “Itu saya tidak ikut yang perjanjian tapi saya ikut kalo yang minta permohonan maaf sama masyarakat Lampungnya, itukan kejadiannya 2 kali perdamaian itu yang pertama gagal karna mereka masih belum terima trus yang kedua baru kita sepakat damai”.(wawancara dengan Hassanudin (nama samaran), Minggu 6 September 2015, 11.00 WIB) Aspek yang keempat adalah jaringan kerja internal dan jaringan keja eksternal, aspek ini dipengaruhi oleh analisis SWOT, sehingga pertanyaannya berupa kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang menjadi sumber pertanyaannya, tidak hanya itu peneliti juga menanyakan terkait koordinasi yang dilakukan dalam penanganan dan penyelesaian konflik kependudukan tersebut. Poin pertama peneliti ajukan pertanyaan kepada Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, berikut kutipan wawancaranya: “mungkin Undang-Undang yang ada jadi kekuatan kita waktu itu, kalo soal Perda bisa disampingkan karna Undang-Undang kan yang lebih kuat payung hukumnya kalo tidak pake Permendagri No.12 tahun 2006, termasuk APBN juga jadi kelebihan kita meskipun terbatas”.(wawancara dengan Bapak Ismed Alwi,
128
Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan). Berdasarkan kutipan wawancara di atas dapat diketahui bahwa kekuatan dalam program penanganan dan penyelesaian konflik yang terjadi itu dipengaruhi oleh peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat sementara untuk peraturan dari pemerintah daerah hingga sekarang belum ada peraturan yang terkait dengan penanganan konflik dan penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi. Sementara Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan menjelaskan bahwa yang menjadi kekuatan dalam program yang sedang mereka jalankan adalah memiliki kekuatan dalam pasukan kepolisian yang cukup jika terjadi konflik kembali “Kita dari pihak aparat keamanan tentunya punya cara untuk mengamankan massa yang banyak itu, udah ada perkembangan dari kepolisian untuk menangani konflik kayak itu lagi”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan) Kelamahan yang terjadi dalam menjalankan program yang dibuat oleh pemerintah adalah beberapa aspek dalam adat istiadat dari masyarakat di Lampung Selatan yang masih kental sehingga dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi mendapatkan kendala hal ini diungkapkan Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, berikut kutipan wawancaranya:
129
“Kita ini kebentur adat istiadat, tradisi biasanya orang kampung itu ada masalah musyawarah tapi akhirnya ricuh, ekonomi juga bisa jadi sumber konflik, agama juga rasa toleransi iya itu penyebab konflik jadi kelemahan kita”.(wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan)
Senada dengan yang diungkapkan oleh Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan, berikut kutipannya: “Masyarkatnya yang tidak langsung ngelaporin ke kita, kita dapet kabarnya juga dari polres sidomulyo”. (wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan) Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa kelemahan dalam menjalakan program yang dibuat oleh pemerintah untuk penanganan dan penyelesaian konflik bersumber dari masyarakat yang belum tanggap dengan kondisi konflik yang terjadi, terbiasa dengan musyawarah dengan tidak adanya mediasi membuat permasalahan konflik yang terjadi semakin bertambah banyak, ini dikarenakan tidak adanya moderator yang ada menengahi perselisihan tersebut. Poin selanjutnya yaitu tentang ancaman yang menghambat jalannya program yang dibuat oleh pemerintah, Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan menyatakan bahwa ancaman yang sebenarnya itu muncal dalam kehidupan masyarakat sekarang ini yaitu dengan sebutan arus globalisasi dan
130
kamajuan teknologi, pada saat terjadi konflik tahun 2012 warga Lampung tidak hanya dari Desa Agom saja yang menyerang Desa Balinuraga namun juga dari Desa Lampung di sekitar Kabupaten Lampung Selatan, mereka mendapatkan informasi melalui media handphone yang kemudian menyebar luas ke wilayah daerah lain. Berikut kutipan wawancaranya: “Pengaruh globalisasi itu jadi pengaruh menurunya mental menurun, trus kemajuan teknologi jadi masalah juga”.(wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan) Selanjutnya peneliti mengajukan pertanyaan serupa dengan Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan, berikut kutipan wawancaranya: “Ancaman yang paling berat itu meredam amuk massa yang banyak itu tadi”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan) Berdasarkan kutipan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa ancaman yang sesungguhnya pada saat terjadi konflik itu bersumber dari massa yang terlalu banyak sehingga tidak dapat ditangani lagi, jika penanganan dan peredaman yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat keamanan berjalan lambat itu bersumber dari masyarakat yang menghambat secara langsung proses penanganan dan penyelesaian konflik tersebut. Poin berikutnya tentang peluang yang dimiliki oleh pemerintah maupun aparat keamanan dalam penanganan dan penyelesaian konflik yang terjadi, peneliti bertanya kepada Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan
131
Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, berikut kutipan wawancaranya: “Ini dengan adanya forum itu kita kan sering kumpul-kumpul nah disitu sekalian kita manfaatkan masyarakatnya”.(wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan) Berdasarkan wawancara kutipan di atas, dapat diketahui bahwa peluang yang dimiliki dalam penanganan dan penyelesaian konflik kependudukan bersumber dari partisipasi masyarakat yang mengikuti kegiatan sosialisasi, dimana peluang dalam memberikan himbauan untuk hidup damai kepada masyarakat yaitu pada saat diadakannya sosialisasi. Sementara berbeda yang diungkapakan oleh Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan bahwa pihaknya lebih memanfaatkan bantuan yang diberikan oleh pihak pemerintah dan pihak kepolisian daerah ataupun kepolisian pusat sebagai peluang keberhasilan penyelesaian konflik, hal ini dikarenakan jika terjadi konflik besar seperti tahun 2012 akan banyak massa yang sulit di tanggani, belum lagi dari pihak keplisian juga harus melakukan penyelidikan
penyebab
terjadinya
kericuhan
tersebut,
berikut
kutipan
wawancaranya: “Kita banyak bantuan dari pihak luar juga, karena awalnya kita kewalahan karna massa yang banyak itu”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan)
132
Poin terakhir pada aspek jaringan kerja internal dan jaringan kerja eksternal adalah pertanyaan tentang koordinasi yang dilakukan dengan dinas lain kepada Bapak Alamsyah (I3.1) Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), berikut kutipan wawancaranya: “Kalo kita tergantung kebutuhan, kalo lagi berhubungan sama konflik ketenaga kerja ya kita ke dinas ketenagakerjaan, kalo yang berhubungan sama hutan ya ke dinas kehutanana, Cuma kalo pada saat itu karena penanganannya terlambat jadi banyak tuh bantuan dari dinas lain biar maslaahnya itu cepet selesai karena kan pemerintah pusat sudah memberikan titahnya, jadi harus kita selesaikan dan koordinasikan sama dinas lain, dinas pendidikan itu tugasnya buat renovasi rumah, dinas kesahatan itu yang rumah sakit tuganya ngedata yang luka-luka ya banyak lagi”.(wawancara dengan Bapak Alamsyah, Jumat 2 Oktober 2015, 10.30 WIB, Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan). Berdasarkan kutipan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa koordinasi yang dilakukan disesuaikan dengan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga/forum penanganan konflik, hal ini juga telah disampaikan oleh Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan sebelumnya. Hal serupa juga disampaikan Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan yang mengungkapkan bahwa koordinasi yang dilakukan sudah sesuai dengan fungsi dari masing-masing dinas, berikut kutipan wawancaranya: “Koordinasi sudah sesuai fungsinya masing-masing”.(wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan)
133
Aspek selanjutnya yaitu tentang fungsi kontrol dan evaluasi, pada aspek ini peneliti mengajukan pertanyaan guna mengetahui bagaimana pengawasan yang pemerintah dan aparat keamanan lakukan dalam pencegahan konflik kependudukan yang terjadi dan bagaimana proses evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan aparat keamanan. Bapak Alamsyah (I3.1) Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), mengungkapkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh FKDM melalui pengawasan dengan menggunakan alat komunikasi handphone saja, hal ini disebabkan karena anggota yang dimiliki oleh Forum ini tidak cukup untuk memberikan pengawasan secara langsung kepada masyarakat dengan wilayah kecamatan yang luas satu anggota tidak cukup mengawasi secara langsung konflik apasaja yang terjadi dimasyarakat. Berikut kutipan wawancaranya: “Sampai sekarang kita ngawasainnya lewat hp aja, sering telfon ke pengurus yang ada di kecamatan, ya gitu aja karena kita kebentur sama dana juga”.(wawancara dengan Bapak Alamsyah, Jumat 2 Oktober 2015, 10.30 WIB, Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan). Hal serupa juga disampaikan oleh Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, bahwa pengawasan langsung dilakukan oleh pengurus FKDM, berikut kutipan wawancaranya: “Pengawasan kita dari hp, jadi mereka yang jadi pengurus di FKDM itu ngelapor kekita kalo ada isu mau ricuh, kalo secara langsung kita turan kelapangan orangorang saya juga tidak cukup”.(wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1
134
Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan) Sementara Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan mengungkapkan hal berbeda, berikut kutipan wawancaranya: “Iya kita awasin lewat kegiatan sambang door to door yang kita kerumah rumah masyarakatnya tapi itu cuma sifatnya sementara, sekarang ini ada kantornya Kantibnas yang di desa Patok”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan) Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa pengawasan yang dilakukan oleh pihak keamananan berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah, pengawasan yang dilakukan adalah dengan cara turun langsung kepada masyarakat, namun cara itu dilakukan hanya bersifat sementara waktu hal ini dikarenakan dari pihak aparat kemanan telah membuatkan kantor Kantibnas yang bertujuan untuk mengawasi masyarakatnya. Senada dengan apa yang dijelaskan oleh Bapak Kadek Sirye (I5.2) Kadus (Kepala Dusun) Pande Arga Desa Balinuraga bahwa pengawasan dilakukan dengan adanya Babinkantibnas, berikut kutipan wawancaranya: “Iya ada pengawasan dari aparat keamanan mereka buat Babinkantibnas, setiap malam ada yang keliling jaga, patroli jaga, trus kita juga ada ronda”.(wawancara dengan Bapak Kadek Sirye, Sabtu 5 September 2015, 10.00 WIB, Kediaman rumah bapak Kade Sirye)
135
Berikutnya pendapat berbeda Bapak Muksin Syukur ( I4.1) Kepala Desa Agom yang mengungkapkan, berikut kutipan wawancarnya: “Ya kalo sekarang ini aman-aman aja setelah kejadian itu, tapi ya kalo ada hajatan kita sekerang ngundang orang Desa Balinuraga juga terus dari kepolisian itu aja, kalo secara terus menerus si gak”.(wawancara dengan Bapak Muksin Syukur, Jumat 4 September 2015, 17.00 WIB, Kediaman Rumah Bapak Muksin Syukur) Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa pengawasan yang dilakukan hanya bersifat sementara setelah terjadi konflik tersebut, namun sekarang dengan keadaan yang sudah normal pemerintah tidak melakukan pengawasan secara intensif seperti dulu. Pendapat serupa dikemukakan oleh Ibu Ida Riana (I4.2) Ibu Rumah Tangga/Masyarakat Desa Agom, berikut kutipan wawancaranya: “Kalo sekarang tidak pernah ada lagi masalah lagi jadi ya mungkin pemerintahnya jarang ngawasin, buktinya orang-orang kita sering diundang ke acara mereka”.(wawancara dengan Ibu Ida Riana, Jumat 4 september 2015, 17.00 WIB, Rumah bapak Muksin Syukur). Kemudian pertanyaan serupa peneliti ajukan kepada bapak Hermawanto (I6) Ketua Bintara Unit Khusus Intelegen Kodim Lam-Sel, berikut kutipan wawancaranya: “Untuk daerah desa Balinuga masuk kedalam wilayah kekuasaan salah satu panglima Lampung atau salah satu Marga Lampung yang ada di kabupaten
136
Lampung Selatan, jadi kalau ada konflik nanti yang menyelesaikan panglima Lampungnya atau pimpinan Marga Lampungnya, mengikuti adat dari masyarakat warga Lampung. Jadi yang tadi hanya wilayah tertentu yang masuk marga Lampung sekarang yang masyarakat jawa, bali, bugis dll semua masuk wilayah marga Lampung”.(wawancara dengan bapak Hermawanto, Kamis, 3 Februari 2016, 19.00 WIB, Rumah Bapak Hermawanto) Poin selanjutnya yaitu mengenai evaluasi terkait dengan peyelesaian konflik kependudukan yang terjadi saat itu, Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan menjelaskan bahwa kurangnnya pembinaan yang dilakukan pemeirntah kemasyarakat dapat menimbulkan kembali konflik yang terjadi di masyarakat, meskipun dalam skala yang lebih kecil hal ini disebabkan karena konflik yang terjadi di masyarakat tidak hanya tentang suku atau agama saja namun juga isu tentang kesenjangan ekonomi yang terjadi di masyarakat tersebut, berikut kutipan wawancaranya: “Menurut saya pembinaan keberlanjutannya kurang, ada isu ekonomi juga kan waktu itu, nah pemerintah itu kurang perhatian sampai sekarang, keamanan juga kurang, jadi tindak lanjut penyebab konflik itu belum diselesaikan, kalo misalkan dari sisi agama kan harusnya banyak tokoh agama yang turun”.(wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan) Hampir sama dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Marwan Abdulah (I3.3) Sekertaris Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL), berikut kutipan wawancaranya: “Kalau menurut saya sudah bagus, tapi ada kekurangannya, kekurangannya dalam bentuk perhatian pemerintah daerah barang kali, mestinya kita tau apasih maunya masyarakat ini, tidak hanya dalam bentuk simbol saja, jadi menurut saya masih kurang banyak penyelesaian karena tidak memperhatikan kepentingan-kepentingan dari kedua pihak
137
ini, setelah melalui pengkajian yang dilakukan sama banyak akademisi salah satu masalah yang timbul masyarakat pendatang ini lebih maju dari masyarakat pribumi, pembinaan dalam masyarakat pendatang lebih mudah dari pada pembinaan yang dilakukan kepada masyarakat pribumi nah sehingga perhatian yang diberikan belum maksimal, kalo yang pendatang itu lebih muda diatur, kalo yang pribumi itu kan mencar di wilayah lain jadi perhatiannya juga kepecah, perhatian dari infrastruktur kalo dilihat ke lapangan jarang dilihat yang bagus untuk yang wilayah masyarakatnya banyak pribumi, kalo infrastruktur yang untuk wilayah yang warganya berkelompok seperti mereka sudah bagus”.(wawancara dengan Bapak Marwan Abdulah, Jumat 2 Oktober 2015, 09.00 WIB, Kantor DPRD Kabupaten Lampung Selatan)
Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa evaluasi dari penyelesaian
konflik
tersebut
masih
terdapat
kekurangan
didalamnya,
kekurangan-kekurangan tersebut timbul karena pemerintah tidak mampu memberikan perhatian
yang merata terhadap masyarakatnya
khususnya
masyarakat pribumi, perhatian itu dalam bentuk infrastruktur. Pendapat berbeda dikemukakan oleh Bapak Muksin Syukur ( I4.1) Kepala Desa Agom, berikut kutipan wawancaranya: “Dengan inisiatif Pemerintah yang terlalu cepat menyelesaikan masalah itu tanpa melalui proses jadi kita itu dianggap dijebak dan masalah itu begitu bumingnya ditempat kita langsung beres, harusnya dihukum dulu lah mereka itu biar gak tuman, dicari dulu permasalahnnya seperti apa jangan banyak orang yang tanya terus gak tau permasalahnnya apa karena gak ditemukan titik awal permasalahnnya itu apa”.(wawancara dengan Bapak Muksin Syukur, Jumat 4 September 2015, 17.00 WIB, Kediaman Rumah Bapak Muksin Syukur) Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi terlalu cepat sehingga tidak menemukan akar permasalahan konflik yang sebenarnya, ini dibuktikan dengan penolakan yang
138
dilakukan oleh warga Lampung yang pada saat itu terlibat langsung dalam konflik tidak menerima perjanjian perdamaian yang pertama. Kemudian Hassanudin (nama samaran) (I4.3) masyarakat Desa Agom mengungkapkan jika menurut dia penyelesaian konflik yang terjadi sudah cukup untuk membuat warga masyarakat Lampung yang berasal dari Bali itu takut hal ini disebabkan karena dalam perjanjian yang kedua masyarakat Bali telah berjanji bahwa jika konflik ini terjadi kembali maka mereka harus siap meninggalkan wilayah Lampung, berikut kutipan wawancaranya: “Udahlah cukup, sekarang kan mereka gak berani kayak dulu lagi, kalo kayak dulu lagi mereka diusir dari sini”.(wawancara dengan Hassanudin (nama samaran), Minggu 6 September 2015, 11.00 WIB) Namun pendapat berbeda diungkapkan oleh bapak Hermawanto (I6) berikut kutipan wawancaranya: “Jalan keluar sampai sekarang tidak pernah dijawab, kalau permasalahannya adalah ekonomi harusnya permerintah bidang ekonomi yang menuntaskan, jadi penyelesaian sampai sekarang tidak bisa diselesaikan, kalo ada penyelesaian pasti tidak ada konflik lagi”. (wawancara dengan bapak Hermawanto, Kamis, 3 Februari 2016, 19.00 WIB, Rumah Bapak Hermawanto) Aspek terakhir dalam indikator perencanaan operasional adalah mengenai umpan balik, dalam aspek ini peneliti mengajukan pertanyaan kepada Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, berikut kutipan wawancaranya: “Partisipasi dari masyarakat itu sangat besar sekali karna kalo ada sosialisasi mereka, kalo ada sosialisasi malah mereka minta diadain lagi”.(wawancara
139
dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan) Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa partisipasi masyarakat sangat besar dalam mengikuti sosialisasi yang dibuat pemerintah pada saat setelah terjadi konflik. Kemudian pertanyaan serupa peneliti ajukan kepada Kadek Sirye (I5.2) Kadus (Kepala Dusun) Pande Arga Desa Balinuraga, berikut kutipan wawancaranya: “Kami ikut dalam kelompok deteksi dini konflik, kita juga ikut kumpul kumpul waktu sosialisasi, pernah juga 1 minggu penataran di desa, kalo sekarang gak ada lagi”.(wawancara dengan Bapak Kadek Sirye, Sabtu 5 September 2015, 10.00 WIB, Kediaman rumah bapak Kade Sirye) Hampir sama dengan jawaban dari Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, menurut Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan, berikut kutipan wawancaranya: “Iya masyarakat sekarang aktif banget ya, kalo ada masalah langsung ngubungin, gak hanya yang konflik lampung bali aja tapi juga yang suku lainya”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan) Berdasarkan wawancara diatas, dapat diketahui bahwa partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan untuk pelaksanaan tugas mereka, tidak hanya
140
masyarakat Lampung maupun Bali saja namun juga masyarakat suku lain yang tinggal di Kabupaten Lampung Selatan. 4.3.3
Kondisi Sosial Ekonomi Mayarakat dan penyebab Terjadinya konflik Antar Suku Asli Lampung dan Suku Pendatang Bali Dalam penelitian ini penting untuk peneliti mendeskripsikan bagaimana
sosial ekonomi yang ada di kedua desa tersebut dan sebelum mengetahui bagaimana pemerintah melakukan penanganan dan penyelesain terhadap konflik tersebut peneliti juga mendeskripsikan bagaimana proses terjadinya konflik tersebut. Kemudian peneliti mengajukan pertanyaan bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terlibat dalam konflik kepada Bapak Muksin Syukur (I4.1) Kepala Desa Agom yang menjelaskan bahwa masyarakatnya dalam seharihari berkomunikasi menggunakan bahasa Lampung karena sebagian besar warganya merupakan warga pribumi, pekerjaan yang menjadi mata pencaharian mereka juga sebagian besar adalah petani, menurutnya perekonomian masyarakat yang ada di desanya memang jauh berbeda dengan yang ada di Desa Balinuraga, berikut kutipan wawancaranya: “Wah kita gak bisa dibandingin sama warga balinuraga sana, kita jauh beda banget, mereka memang kaya kaya uangnya banyak, waktu penyerangan itu kan ada penjarahan juga tuh dirumah-rumah mereka, warga kita nemuin brangkas orang bali saya yang isinya uang tunai 2 milyar, untungnya orang kita masih sadar diri jadi dikasihin lah uang itu ke aparat trus diamanin, wah mereka itu gak kurang-kurang lah kalo soal uang kaya-kaya pokoknya, saya tuh saksi mereka anak-anak mudanya kalo berangkat sekolah gak adalah yang pakai motor jelek motornya pada ninja semua, wajar aja lah mereka kaya, hidupnya pelit banget buat makan aja kalo diibaratkan ya singkong 1 pohon tuh isinya dimakan satisatu gimana mereka gak kaya, orang-orang saya juga kerjanya sawah ya kayak mereka tapi hidupnya gak pelit kayak mereka, coba lah dilihat
141
bangunan didesa saya sama di desa balinuraga sana beda jauh, disana rumah mereka bagus-bagus, rumah-rumah di desa saya jelek-jelek, saya mengakui itu gak ada yang harus ditutup-tutupi kok, makanya menteri perumahan rakyat itu ngasih bantuan bedah rumah ya biar pada bagusbagus rumah yang jelek-jelek itu, biar masyarakat pribumi kita gak pada iri”. (wawancara dengan Bapak Muksin Syukur, Jumat 4 September 2015, 17.00 WIB, Kediaman Rumah Bapak Muksin Syukur) Selanjutnya Bapak Made Santre (I5.1) Kepala Desa Balinuraga mengungkapkan bahwa setelah kejadian konflik tersebut warganya mendapatkan berkah yang berlimpah, berikut kutipan wawancaranya: “sebelum kejadian tahun 2012 kehidupan masyarakatnya terutama remajanya emang nakal-nakal dek saya akui itu, namun setelah kejadian itu mau nurut kalau ditegor sekali, kalau sekarang gak lagi dek, ditegornya tuh jangan nakal kamu mau kejadian yang dulu itu keulang lagi, jadi mereka tau kejadian itu ya trauma juga jadi kalau ditegor sekarang mau mendengarkan, kalau dulu masih ngebantah. Kerjaan kita sehari-hari ya diladang kalo gak di sawah yang adanya itu, ada juga yang dokter iya disini ada dokter juga, trus ada yang pematung ada juga yang kerja di Pemda Kalianda, abis dari kejadian itu juga nambah baik perekonomiannya, purenya juga dibangun lagi yang rusak rusak, untuk biayanya pembangunan pure kalo yang mampu aja ini bisa sampai 75jt belum pengecetannya, trus sama sesajinya bisa sampai 150jt dek makanya kalo orang kita yang belum mampu buat sembahyangnya bisa ikut ke pure orang dulu yang udah ada, nanti kalau udah ada uang baru buat sendiri, rumah yang dulu jelek-jelek sekarang jadi bagus karena ini semua rehapan, desa kita juga kan desa bali yang terbanyak orangnya di provinsi lampung 500kk tapi kebanyakan bali nusa, bali nusa itu bali yang katanya nakal makanya gak dibolehin tinggal didenpasar jadi haras merantau nah diperantauan itu kita mikir buat bertahan hidup ini makan aja singkong 1 pohon itu kan ada beberapa buahnya tuh nah itu kit makan sehari 1 singkong terus besoknya bisa dimakan lagi ”.(wawancara dengan Bapak Made Santre, Jumat 4 September 2015, 15.30 WIB, Kediaman rumah Bapak Made Santre)
Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa perekonomian masyarakat Desa Balinuraga dan masyarakat Lampung Desa Agom berbeda jauh, setelah konflik itu terjadi perekonomian masyarakat Balinuraga semakin
142
membaik. Ini dapat dilihat dari bangunan yang ada di Desa Balinuraga dan bangunan yang ada di Desa Agom berbanding jauh. Kemudian untuk kehidupan sosialnya sendiri masyarakat Balinuraga sangatlah taat terhadap kepercayaannya ini terbukti juga dengan pembangunan pure yang lebih didahulukan dengan bangunan renovasi rumah masyarakatnya. Senada dengan yang disampaikan Bapak Made Suka ( I5.3) Tokoh Masyarakat, berikut kutipan wawancaranya: “Iya mungkin ada hikmahnya juga kejadian itu, yang dulunya rumah jelek disini jadi bagus, yang bagus jadi tambah bagus, memang remaja-remaja kira itu dulu susah sekali di nasihatin, ngelawan kalo ditegor, kalo sekarang mereka gak barani mba”.(wawancara dengan Bapak Made Suka, Minggu 6 September 2015, 09.30 WIB, Kediaman Rumah Bapak Made Suka) Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa sebelum terjadi konflik tahun 2012 perilaku remaja dan pemuda di Desa Balinuraga sulit untuk diatur, namun setelah terjadi konflik tersebut perilaku remaja dan pemuda berubah menjadi lebih baik. 4.4 Pembahasan Penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi terdapat dalam peraturan Undang-Undang No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Peraturan tersebut dimaksudkan penanganan konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik
143
sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik dan pemulihan konflik. Pembahasan penelitian ini merupakan isi dari hasil analisis data dan fakta yang peneliti dapatkan dilapangan serta disesuaikan dengan teori yang digunakan, dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori manajeman strategi menurut Nawawi (2005: 151) mengenai manajeman strategi sebagai suatu sistem. Teori tersebut digunakan untuk mengetahui bagaimana strategi yang dibuat pemerintah untuk penyelesaikan konflik yang terjadi melalui dua dimensi, diantaranya Perencanaan Strategi dan Perencanaan Operasional. Adapun
pembahasan
mengenai
strategi
penyelesaian
konflik
kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan (studi kasus konflik antar suku asli Lampung dan suku pendatang Bali tahun 2012), yakni sebagai berikut: 4.4.1
Kehidupan Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Lampung Selatan Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah bagaimana kehidupan sosial
ekonomi yang terjadi di masyarakat dimana keadaan ini dapat menjadi pemicu dari konflik. Dalam kehidupan masyarakat yang ada di Desa Agom masyarakatnya tergolong dalam masyarakat menengah kebawah, dalam hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti didapati bahwa profesi dari masyarakat desa tersebut sebagian besar adalah petani, dan mereka memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Bangunan-bangunan rumah yang ada di Desa Agom itu saling berjauhan satu rumah ke rumah yang lain.
144
Berbeda dari masyarakat Desa Balinuraga, masyarakatnya merupakan petani sawit yang sukses memiliki pendidikan yang tinggi, banyak pemuda dari Balinuraga yang melanjutkan kuliahnya di luar kota. Kemudian tidak hanya profesi sebagai petani sawit namun juga ada yang menjadi dokter, pematung terkenal. Mereka sangat menjunjung tinggi kepercayaan yang mereka anut, ini terbukti dengan bangunan-bangunan megah yang mereka bangun untuk persembahayang yang mereka gunakan, bangunan tersebut didirikan hingga menelan biaya 150 hingga 200 juta/rumah. Kemudian untuk peralatan sembahyang mereka yang ada di Pure, ada gong khusus yang dibuat dengan dilapisi emas yang harganya hingga 200 jt. 4.4.2 Kehidupan Sosial Masyarakat di Kabupaten Lampung Selatan Rasa sebatin antara warga Lampung juga sangatlah erat, ini fakta yang peneliti dapatkan dari wawancara kepada Majelis penyeimbang Adat Lampung (MPAL) bahwa mereka sangatlah menjunjung tinggi arti persaudaraan meskipun mereka berbeda marga. Dalam kehidupan masyarakat Lampung tidak menyukai kebiasaan dari masyarakat Bali yang memelihara ternak babi sebelum terjadi konflik, hal ini juga dijelaskan oleh salah satu informan yang menjelaskan bahwa masyarakat Lampung tidak menyukai jika adanya mediasi yang dilakukan jika di tempat yang dipilih adalah di desa Balinuraga, ini dikarenakan kebiasaan hidup yang kurang bersih dan bau yang menyengat yang ditimbulkan oleh kotoran dari ternak yang dipelihara oleh masyarakat Bali. Dalam kehidupan sehari-hari juga masyarakat Lampung menyombongkan apa yang mereka punya, hal ini yang membedakan sikap dan sifat yang di perlihatkan oleh masyarakat Bali.
145
Perbedaan ini terlihat dari sikap yang diperlihatkan oleh masyarakat Balinuraga yang sangat menghormati tamu yang berbeda suku, sikap yang tidak membeda-bedakan perilaku dan suku terhadap tamu yang mendatangi rumah masyarakat Bali tersebut. Meskipun sebelum kejadian konflik yang berlangsung pada tahun 2012 pemuda bali sangat arogan dan memiliki sikap premanisme namun setelah terjadi konflik yang menimbulkan banyak korban jiwa dari masyarakat Bali membuat pemuda Bali menjadi takut untuk melakukan aroganisme dan premanisme seperti sebelumnya, masyarakat Bali lebih berhatihati dalam bersikap dan berprilaku hal ini juga dikarenakan perjanjian yang telah dibuat dalam mediasi yang berlangsung pada saat itu yang isinya jika masyarakat Bali membuat ulah maka mereka akan diusir paksa dari wilayah Lampung Selatan dan tidak diperbolehkan lagi untuk tinggal di wilayah tersebut. Masyarakat desa Balinuraga juga kini masuk dalam wilayah panglima Marga Lampung, yang jika terjadi konflik lagi maka ketua adat/panglima marga Lampung yang menguasai wilayah Balinuraga yang menyelesaikan permasalah tersebut. 4.4.3
Proses Terjadinya Konflik Penyebab terjadinya konflik antara warga Lampung Desa Agom dengan
warga Bali Desa Balinuraga merupakan puncak kekesalan dari warga Desa Agom yang merasa meraka selalu dirugikan baik material maupun moril. Warga Desa Balinuraga sering mengadakan upacara yang kemudian pensuciannya dilakukan di pantai Merak Belantung, dalam perjalanan ke pantai tersebut warga Bali sering melakukan kerusakan pada fasilitas yang ada di Desa Agom namun mereka tidak mau mengganti rugi kerusakan tersebut, masyarakat Bali juga sering melakukan
146
pemalakan di pasar yang ada di patok dan itu tidak ditindak lanjuti, karena masyarakat merasa takut akan aroganisme pemuda Balinuraga. Sebelum kejadian yang terjadi konflik pada bulan oktober 2012, terjadi juga konflik di bulan januari 2012 di Desa Napal yang melibatkan warga Jawa, Lampung dan Bali yang disebabkan oleh perkiran di Pasar Napal, akhirnya dilakukan perjanjian namun tanpa disertakan moderator dan saksi-saksi dalam perjanjian itu, akhirnya pada tanggal 27 oktober 2012 pukul 18.00 WIB, bertempat di Desa Waringin Harjo telah terjadi keributan yang disebabkan oleh sekelompok pemuda Desa Balinuraga yang sedang duduk dipersimpangan jalan Desa Waringin harjo menggoda dua gadis remaja yang sedang melintasi menggunakan sepeda motor. Kemudian akibat godaan tersebut kedua gadis terjatuh dari sepeda motornya yang mengakibatkan luka-luka. Selanjutnya kedua gadis tersebut melaporkan kejadian tersebut kepada keluarganya, pada saat orang tua salah satu gadis tersebut melaporkan kejadian tersebut pada kepala desa pada saat itu juga informasi menyebar dengan cepat kepada masyarakat Lampung sekitar desa tersebut, dan keadaan itu tidak diketahui oleh kepala Desa Agom begitu juga sebaliknya informasi yang menyebar itu juga tidak diketahui oleh kepala desa. Kemudian kepala Desa Agom mendatangi kepala Desa Balinuraga, namun kepala Desa Balinuraga yang pada saat itu tidak mau menemui kepala Desa Agom dikarena tidak mau mencampuri urusan yang dibuat oleh pemudanya dan beralasan bahwa dia sedang ada di Bandar Lampung, penolakan yang dilakukan masyarakat Desa Balinuraga membuat kepala Desa Agom mendatangi Kepala Desa Patok dan memintanya untuk membantu
147
memediasi masalah ini, namun pada saat yang bersamaan juga tersebar informasi yang belum diketahui oleh kepala Desa Agom bahwa beliau disandra oleh masyarakat Balinuraga. Berita itu tentu saja membuat masyarakat Lampung semakin marah, dan ditambah lagi isu yang menyebar dimasyarakat melalui Short Message Service (SMS) adalah bahwa gadis yang mengalami kecelakaan itu juga mendapatkan pelecehan seksual yang dilakukan oleh pemuda Bali, dan isu tentang pemerkosaan yang dialami oleh gadis. Masyarakat yang ikut dalam penyerangan tersebut belum mengetahui kejadian yang sebenarnya, namun mereka tetap melakukan penyerangan, ini dikarenakan kekesalan yang mereka rasakan karena ulah dari masyarakat Bali yang selalu merugikan orang lain, dan lagi masyarakat masih merasakan amarah yang belum reda atas apa yang terjadi di konflik sebelumnya, konflik yang terjadi di Desa Napal. Setelah proses mediasi yang dibantu pemerintah dan aparat keamanan masyarakat baru mengetahui kejadian dan masalah yang menjadi pemicu penyerangan tersebut. 4.4.4 Perencanaan strategi Dalam dimensi perencanaan strategi diketahui bahwa ada tiga sub dimensi, yaitu visi, misi dan tujuan organisasi, dalam hal ini visi dari Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan belum dibuat secara sistematis, walaupun demikian Pemerintah
Daerah maupun forum/lembaga penanganan konflik yang
bertanggung jawab dalam penanganan dan penyelesaian konflik yang terjadi memiliki Undang-Undang RI No 7 tahun 2012 tentang Penenganan Konflik Sosial
148
dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 42 tahunn 2015 tentang Pelaksanaan Koordinasi Penanganan Konflik Sosial yang merupakan peraturan baru sebagai landasan hukum dalam visinya dan tidak memilik SOP tertentu dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Selain itu juga misi yang dijalankan untuk mewujudkan visi yang akan dicapai disesuaikan dengan ketentuan dari Undang-Undang RI No 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dimana pada pasal 10 dijelaskan bahwa pemerintah harus membangun sistem peringatan dini yang tujuannya untuk mencegah konflik di wilayah tersebut. Sistem peringatan yang ada di Kabupaten Lampung Selatan berupa program yang dibuat oleh Badan Kebangpol Lampung Selatan yaitu Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) atas dasar Peraturan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006 dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
atas
dasar
Keputusan
Bupati
Lampung
Selatan
Nomor:
B/23/IV.09/HK/2015. Walaupun demikian program tersebut juga memiliki kendala dalam pelaksanaannya yaitu masyarakat Kabupaten Lampung Selatan belum mengetahui program tersebut, sosialisasi yang dilakukan Pemerintah Daerah hanya 3 (tiga) kecamatan dalam setahun. Dengan adanya visi dan misi yang telah disesuaikan dengan peraturan pemerintah tujuan organisasi juga mengacu pada peraturan yang digunakan dan bahkan sudah mencapai tujuan dari organisasi tersebut ini dilihat dari semakin banyaknya masyarakat Kabupaten Lampung Selatan yang mulai sadar akan pentingnya hidup damai, namun ada juga lembaga penaganan konflik yang masih merasa bahwa tujuan dari organisasinya belum tercapai karena masyarakat
149
pendatang masih menganggap bahwa kebudayaan Lampung itu asing bagi mereka. Mengacu pada beberapa penjelasan di atas, maka dapat peneliti simpulkan bahwa dalam tahapan Perencanaan Strategi yang dibuat Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan belum tersusun rapi dan terencana dengan baik, walaupun program yang dibuat telah disesuaikan dengan peraturan yang digunakan. Kemudian kendala dalam mewujudkan tujuan organisasi masih ada di aspek masyarakat, tidak hanya itu pemerintah daerah juga belum mensosialisasikan peraturan yang baru mengenai pelaksanaan koordinasi penanganan konflik sosial yang diatur dalam Permendagri No 42 Tahun 2015 kepada masyarakatnya. 4.4.5
Perencanaan Operasional Mengacu pada tahapan operasional ini ada beberapa aspek dimensi yang
harus diketahui, yaitu sasaran operasional, pelaksanaan fungsi manajeman berupa (fungsi pengorganisasian, pelaksanaan, dan fungsi penganggaran), kebijakan situasional, jaringan kerja internal dan jaringan kerja eksternal, fungsi kontrol dan evaluasi, umpan balik. Mengenai sasaran operasional bahwa pada saat penanganan dan penyelesaian konflik kependudukan telah tepat sasaran sesuai dengan ketentuan hukum oleh pihak aparat keamanan, pemerintah juga lebih memberikan perhatian khusus terhadap wilayah yang sering terdapat konflik dan memberikan perhatian kepada masyarakat pendatang, hal ini menyebabkan kecemburuan sosial yang diakibatkan oleh perhatian yang lebih diutamakan kepada masyarakat pendatang.
150
Gambar 4.4 Kondisi jalan di Desa Balinurga (kiri) dan kondisi jalan di Kompleks jati Agung Kalianda (kanan)
Pelaksanaan fungsi-fungsi manajeman yang dilakukan pemerintah berhubungan dengan fungsi pengorganisasian, anggaran, dan pelaksanaan. Pemerintah daerah sangat aktif dalam proses penanganan dan penyelesaian konflik yang terjadi pada tahun 2012, banyak juga dari tokoh masyarakat Lampung yang diwakilkan 6 marga ikut membantu
dalam penanganan dan
penyelesaian konflik tersebut, tokoh masyarakat Lampung itu mewakili 6 marga Lampung yang ada di Kabupaten Lampung Selatan dan ketua perkumpulan agama Hindu Provinsi Lampung juga. Pemerintah juga menyediakan fasilitas tempat untuk proses mediasi yang berlangsung saat itu. Kontribusi dari pemerintah pusat juga banyak, pelaksanaan program tidak termasuk dalam Renstra namun hanya sebagai program untuk membantu kinerja dari bidang yang ada di Kesbangpol. Pelaksanaan program yang dibuat seperti Rembuk Pekon belum memiliki juklak dan juknis karena belum mendapatkan Kepkapolri secara resmi namun
151
pelaksanaan Rembuk Pekon itu sendiri sudah berjalan disesuaikan dengan tugas dari kepolisian dan sudah dibuatkan kantor sendiri sebagai tempat untuk melaksanakan mediasi, dalam penganggaran untuk ganti rugi yang diberikan pemerintah kepada masyarakat yang menjadi korban dari konflik tersebut, pemerintah memberikan sejumlah uang ganti rugi untuk korban dan masyarakat yang rumahnya rusak, yaitu sebagai berikut: 1. Untuk korban yang rumahnya terbakar atau rusak sebanyak 438 rumah, masing-masing menerima Rp. 1.200.000,2. Untuk warga yang meninggal dunia 9 (sembilan) orang suku Bali dan 3 (tiga) orang dari suku Lampung masing-masing menerima Rp.10.000.00,3. Untuk korban kecelakaan sebanyak 2 (dua) orang masing-masing Rp.2.500.000,Semua itu dibebankan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten Lampung Selatan bantuan yang diberikan oleh pemerintah hanya untuk masyarakat yang mengalami kerugian baik materil maupun moril hal ini dikarenakan tidak semua rumah yang ada di Desa Balinuraga mengalami kerusakan hanya bagian sebelum tugu Desa Balinuraga saja yang mengalami kerusakan.
152
Gambar 4.5 Tugu yang berdiri di tengah-tengah Desa Balinuraga
Dan tidak hanya itu Pemerintah Pusat memberikan bantuan sebesar Rp.11.000.000 untuk renovasi rumah yang rusak kepada warga Desa Balinuraga, Pemerintah Pusat juga memberikan dana untuk program bedah rumah yang ada di Desa Agom guna mengurangi kecemburuan akibat kesenjangan ekonomi yang terjadi di wilayah tersebut. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah pada saat terjadi konflik tersebut adalah dengan mengungsikan warga Desa Balinuraga tempatnya di Kemiling Bandar Lampung, dan pihak aparat keamanan melakukan penyelidikan terkait masalah yang sebenarnya terjadi hingga menimbulkan konflik
yang
besar.
Kemudian
pemerintah
melakukan
mediasi
untuk
153
menyelesaiakan konflik tersebut, namun proses mediasi yang berjalan terlalu cepat sehingga menimbulkan penolakan dari masyarakat pribumi karena penyelesaian tersebut tidak melibatkan masyarakat yang terlibat langsung dalam konflik tersebut. Kemudian mengenai jaringan kerja eksternal dan jaringan kerja internal ini berhubungan dengan kekuatan, kelemahan, ancaman dan peluang. Dalam penanganan dan penyelesian konflik kependudukan yang terjadi Peraturan Pemerintah Pusat menjadi sumber kekuatannya tidak adanya Peraturan Daerah tidak membuat. Lalu yang menjadi kelemahan dalam menjalankan program tersebut adalah tradisi dan budaya masyarakat yang masih kental didalam kehidupan bermasyarakat sering kali ada kasus kericuhan namun masyarakat hanya menyelesaikan masalah tersebut tanpa pihak ketiga sehingga konflik yang terjadi tambah semakin besar karena tidak ada kecocokan dalam proses musyawarah. Ancaman yang nyata dalam pelaksanaan program pemerintah adalah karena adanya pengaruh globalisasi yang dapat merubah sikap dan kebiasaan di masyarakat yang sebelumnya dijunjung tinggi oleh masyarakat, kemuadian kemajuan teknologi mengakibatkan terjadinya konflik tersebut, ini dikarenakan konflik yang berawal hanya di lingkungan kedua desa namun karena penyebaran isu yang dilakukan melalui teknologi yang di sebut Short Message Service (SMS) membuat
informasi
menyebar
dengan
cepat.
Dengan
itu
pemerintah
memanfaatkan peluang yang dimiliki yaitu bantuan dari berbagai pihak dan
154
partisipasi masyarakat dalam sosialisasi dengan memberikan penyuluhanpenyuluhan. Mengenai koordinasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah ini disesuaikan dengan tim yang ada di Permendagri Nomor 42 Tahun 2015, yaitu sebagai berikut: 1. Tim koordinasi pencegahan konflik, 2. Tim koordinasi penghentian konflik, 3. Tim Koordinasi Pemulihan Konflik. Adapun tim terpadu penanganan konflik sosial tingkat Kabupaten memiliki susunan keanggotaan, terdiri dari: 1. Ketua
: Bupati/Walikota
2. Wakil Ketua I
: Sekda Kab/Kota
3. Wakil Ketua II
: Kapolres/ta/tabes
4. Wakil Ketua III
: Dandim/Kepala Satuan TNI wilayah setempat
5. Wakil Ketua IV
: Kajari
6. Sekertaris
: Kaban Kesbangpol Kab/Kota
7. Wakil Sekretaris I
: Kabag Ops/Polres/ta/tabes
8. Wakil Sekretaris II
: Kasi Ops Kodim
9. Wakil Sekretaris III
: Kasi Intel Kajari
10. Anggota
: Pejabat SKPD Kab/Kota dan/atau instansi vertikal
terkait sesuai kebutuhan.
155
Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dilakukan secara tidak langsung melalui media komunikasi lewat handphone lalu pengawasan yang dilakukan oleh aparat keamanan dilakukan secara langsung yaitu dengan sistem door to door namun cara itu hanya digunakan semantara oleh pihak aparat keamanan setelah konflik mereda pengawasan itu tidak dilakukan lagi mengingat bahwa mereka juga memiliki program dalam penanganan dan penyelesaian konflik kependudukan. Penolakan dalam bentuk pernyataan sikap secara tertulis yang dibuat oleh masyarakat yang dinamakan jaringan masyarakat Lampung Selatan, yang isinya adalah penolakan atas perjanjian perdamaain yang dilakukan secara tergesa-gesa yang tidak memperhatikan keterwakilan warga masyarakat Lampung secara umum yang bertikai serta tidak memperhatkan permasalahpermasalahan yang selama ini terjadi. Dalam hal ini partisipasi masyarakat dalam bentuk keikutsertaan dalam kepengurusan program yang dibuat oleh pemerintah, kemudian masyarakat juga sering mengundang pihak pemerintah dan masyarakat desa lain jika diadakan acara adat sehingga menimbulkan kesan bahwa mereka turun aktif dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari sehingga dapat meminimalkan terjadinya konflik kembali.
156
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan temuan-temuan di lapangan, maka penyimpulan akhir tentang strategi penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan (studi kasus konflik antar suku asli Lampung dengan suku pendatang Bali tahun 2012) belum terencana dan berjalan dengan baik, hal ini dikarenakan berbagai faktor yang menjadi unsur dalam tahapan manajemen strategi tidak terencana dengan baik pula, rinciannya sebagai berikut: 1.
Terdapat perbedaan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang ada di Kabupaten Lampung Selatan, khususnya masyarakat Lampung Desa Agom dengan masyarakat Bali Desa Balinuraga. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari mata pencarian masyarakatnya sehari-hari, lokasi rumah, fasilitas umum seperti jalan dan jembatan penghubung, bangunan rumah dan bangunan peribadahan.
2.
Proses Konflik yang terjadi disebabkan oleh kekesalan masyarakat Lampung akan sikap dan perilaku tidak baik yang ditimbulkan oleh pemuda Bali sejak lama hingga terjadi kecelakaan yang dialami oleh 2 pemudi dari Desa Agom mengakibatkan luka-luka dan kesalahpahaman yang tidak bisa dihindari dari kedua masyarakat tersebut hingga
157
mengakibatkan konflik yang besar hingga perang antar desa yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan. Proses mediasi yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dari kedua belah pihak di tentukan sesuai dengan Keputusan Gubernur Lampung nomor G/685/B.II/HK/2012 yang mana isi dari keputusan tersebut terdapat susunan panitia pelaksanaan deklarasi dan sosialisasi perdamaian masyarakat Lampung Selatan yang ditetapkan pada tanggal 11 November tahun 2012. 3.
Manajemen strategi Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan belum terencana dengan baik ini dapat dilihat dari beberapa poin dalam pembahasan, yaitu dibeberapa program yang pemerintah daerah kabupaten Lampung Selatan buat tidak terdapat misi yang jelas untuk dilakukan, kegiatan yang dilakukan dirasa sudah cukup hanya berlandaskan dengan peraturan yang digunakan, kemudian dalam kebijakan situasional pemerintah kurang peka dengan konflik yang terjadi membuat proses pengungsian
yang
dilakukan
mengalami
keterlambatan
sehingga
menimbulkan banyak korban jiwa dari masyarakat Bali. Proses penyelesaian konflik yang terburu-buru sehingga tidak memperhatikan keterlibatan masyarakat yang ikut bertikai dalam konflik tersebut, sasaran operasional aparat keamanan disesuaikan dengan landasan hukum yang ada di Indonesia, sementara dari pemerintah daerah tidak ditentukan secara spesifik namun pemerintah daerah lebih memperhatikan masyarakat pendatang, tidak memiliki Perda tentang penanganan konflik sosial, pemerintah daerah merasa cukup dengan peraturan yang ada dari
158
pemerintah pusat dan hal ini menjadi kekuatan tersendiri dan pengawasan kepada masyarakat dilakukan dengan dua cara yaitu pengawasan secara tidak langsung melalui Handphone dan pengawasan secara tidak langsung melalui sistem door to door.
5.2 Saran Berdasarkan kesimpulan di atas maka peneliti mencoba memberikan beberapa saran agar nantinya strategi dalam penanganan dan penyelesaian konflik dapat terencana dengan baik, yakni beberapa rekomendasai yang bersifat praktis seperti berikut ini: 1.
Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan dan
Lembaga/Forum
penanganan konflik sosial membuat visi dan misi secara jelas agar nantinya menjadi gambaran masa depan yang akan dipilih dan yang akan diwujudkan untuk direalisasikan dalam bentuk tindakan. 2.
Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, pihak kepolisian dan Lembaga/Forum penanganan konflik sosial harus mengadakan sosialisasi yang sering tentang budaya dan tradisi Lampung kepada masyarakat Lampung Selatan yang bukan suku asli Lampung, dan mengajarkan mereka untuk menggunakan bahasa Lampung dikehidupan sehari-hari.
3.
Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan tidak hanya memberikan perhatian kepada masyarakat Lampung Selatan yang bukan suku asli Lampung, namun juga kepada masyarakat asli Lampung, perhatian
159
tersebut tidak hanya dalam bentuk simbolis saja namun juga bentuk lain seperti perbaikan jalan, dan penyerapan tenaga kerja yang merata. 4.
Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan lebih peka terhadap masalah yang timbul di masyarakat Kabupaten Lampung Selatan, mengingat bahwa masyarakat Kabupaten Lampung Selatan begitu beragam suku dan budaya agar nantinya dslam proses penyelesaian konflik tidak ada kekecewaan atas keputusan yang dibuat.
5.
Peneliti memberikan saran untuk dibuatkannya Peraturan Daerah agar nantinya lebih memudahkan dalam penyelesaian konflik.
6.
Pengawasan dilakukan secara langsung seperti patroli yang dilakukan oleh pihak kepolisian, melakukan siskamling desa yang dilakukan oleh warga masyarakat, sosialisasi yang sekaligus menjadi cara dalam mengetahui apa yang diinginkan oleh masyarakat Kabupaten Lampung Selatan oleh Lembaga/Forum penanganan konflik sosial karena dengan pengawasan yang dilakukan secara langsung lebih memudahkan pemerintah daerah mengetahui apa yang menjadi kebutuhan masyarakat sehingga dapat mengurangi konflik yang terjadi di masyarakat.
160
DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku: Alwasilah, A. Chaedar. 2006. Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya. Bungin, Burhan.2005. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pt Praja Grafindo Persada. David, Fred R. 2005. Manajemen Strategi (Manajemen Strategi Konsep) Buku I. Jakarta: Salemba Empat. 2008. Manajemen Strategi (Manajemen Strategi Konsep) Buku I. Jakarta: Salemba Empat. Denzim, Norman K. & Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook of qualitative research. Terjemahan oleh Dariyanto dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hunger J. David & Thomas L. Wheelen. 2003. Manajemen Strategi. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta. Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Dia Fisip Universitas Indonesia. Jatmiko, RD. 2004. Manajemen Stratejik. Malang: UMM Press. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2005. Jakarta: Balai Pustaka. Kusnadi. 2002. Masalah Kerja Sama, Konflik dan Kinerja. Malang : Taroda. Lauer H. Robert. 2001. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Lawang, Robert. 1994. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Universitas Terbuka. Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Pt Remaja Rosdakarya. Miles, Matthew B & A. Michael Huberman.2009. Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Mukhtar, M.Pd. 2013. Metode Praktis Penelitian Deskriptif Kualitatif. Jakarta: REFERENSI (GP Press Group). Narwoko J. Dwi & Suyanto Bagong. 2005. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
161
Nasikun. 2003. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Nawawi, Hadari. 2005. Manajemen Strategik: Organisasi Non Profit Bidang Pemerintahan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Pearce II, Jhon A. & Richard B. Robinson. 2008. Manajemen Strategi: Formulasi, Implementasi dan Pengendalian. Jakarta: Salemba Empat. Saladin, Djaslim, SE. 1999. Manajemen Strategi & Kebijakan Perusahaan. Bandung: Penerbit Unda Karya Salusu, M.A. 2004. Pengambilam Keputusan Stratejik (untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit). Jakarta: Grasindo Satori, Djam’an & Aan Komariah. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta Setiadi M. Elly & Kolip Usman. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Soekanto, Soerjono. 1993. Kamus Sosiologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soetomo. 1995. Masalah Sosial dan Pembangunan. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R&D. Bandung: Cv Alfabeta. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R&D. Bandung: Cv Alfabeta 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R&D. Bandung: Cv Alfabeta. Susanto, Astrid. 2006. Pengantar Sosiologi Dan Perubahan Sosial. Bandung: Bina Cipta. Sumber Dokumen: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian.
162
Undang-Undang Republik Indonesai Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Skripsi Anisa Utami. 2013. Resolusi Konflik Antar Etnis Kabupaten Lampung Selatan (Study Kasus: Konflik Suku Bali Desa Balinuraga dan Suku Lampung Desa Agom Kabupaten lampung Selatan). Universitas Diponegoro. Skripsi Bethra Ariestha. 2013. Akar Konflik Kerusuhan Antar Etnik di Lampung Selatan. Universitas Negeri Semarang. Sumber lain: http://www.suarapembaruan.com/home.tragedi-mesuji-pihak-perusahaan-dinilaipicu-kekerasan.com diakses pada hari kamis 16 Oktober 2014. http://Perang-Suku-di-Lampung-Sebuah-Dendam-Lama/Lintas-Berita.htm diakses pada hari kamis 16 Oktober 2014. http://m.merdeka.com/peristiwa/5-kasus-kekerasan-horisontal-terburuk-versilsi.html diakses pada hari kamis 16 Oktober 2014. https://mustamu.wordpress.com/2008/05/07/mengenal-manajemen-strategiksuatu-pengantar/ diakses pada hari sabtu tanggal 28 Februari 2015. Jurnal: Hindri Asmoko, Manajemen Strategis Pada Pemerintah Daerah: Inovasi Menuju Birokrasi Profesional, diakses melalui situs http://www.bppk.kemenkeu.go.id/ pada hari sabtu 28 Februari 2015. https://independent.academia.edu/DianPratiwi7 diakses pada hari kamis 26 Februari 2015. http://melistyaridewi.blogspot.com/2012/02/manajemen-strategik.html pada hari senin tanggal 2 maret 2015 pukul 18:33 WIB.
diakses
(https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_konflik diakses pada hari kamis 6 agustus 2015).
163
164
165
166
167
168
169
170
171
172
173
174
175
176
177
178
179
180
181
182
183
184
185
186
187
Tabel Pembahasan Hasil Penelitian Atas Tahapan Perencanaan Strategi Aspek Hasil Penelitian Dimensi Visi 1. Tidak ada visi tertentu dalam penanganan dan penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi. 2. Visi yang ada disesuaikan dengan peraturan perundangundangan yang dipakai dan belum disusun secara sistematis.
Misi
1. Program yang dibuat berdasarkan peraturan yang di gunakan, 2. Masyarakat banyak yang belum tau tentang program penanganan dan penyelesaian konflik yang dibuat oleh pemerintah, 3. Program dari pemerintah daerah yaitu FKUB dan FKDM, dari aparat keamanan Rembuk Pekon, dan masyarakat MPAL. Tujuan 1. Tujuan organisasi pemerintah Organisasi telah tercapai seiring dengan masyarakat yang mulai mengerti pentingnya hidup damai dan toleransi. 2. Tujuah organisasi lembaga penanganan konflik dari masyarakat belum tercapai, hal ini karena kesadaraan akan pentingnya kebudayaan lampung belum dimengerti oleh masyarakat pendatang yang tinggal di Kabupaten Lampung Selatan. (Sumber: Data Diolah Peneliti, 2015)
Keterangan Peraturan yang dijadikan landasan hukum dalam penanganan dan penyelesaian konflik yang terjadi adalah UU RI No 7 Tahun 2012, Permendagri No.12 Tahun 2006, Peraturan Bersama Menteri Agama No 9 tahun 2006 dan Menteri Dalam Negeri No 8 tahun 2006, dan yang terbaru Permendagri No 42 tahun 2015.
Disesuaikan dengan peraturan yang digunakan
Sampai sekarang programnya masih berjalan
188
Hasil Penelitian Atas Tahapan Perencanaan Operasional Aspek Dinamis Sasaran operasional
Pelaksanaan Fungsi Manajemen (Fungsi Pengorganisasian, Fungsi pelaksanaan, Fungsi Penganggaran)
Kebijakan Situasional
Jaringan Kerja Eksternal dan Jaringan Kerja Internal
Hasil Penelitian 1. Sasaran operasional pada aparat keamanan adalah sesuai dengan landasan hukum pidana dan perdata, 2. Tidak ditentukan secara spesifik sasaran operasional dalam program yang dibuat oleh lembaga/forum penanganan konflik, 3. Pemerintah daerah lebih memperhatikan masyarakat pendatang. 1. Ada 6 marga asli Lampung di Kabupaten Lampung Selatan yang mengikuti proses mediasi dan beberapa tokoh perwakilan umat Hindu dari Provinsi Lampung, 2. Pelaksanaan program yang dibuat tidak termasuk dalam Renstra, namun hanya sebagai program untuk membantu kerja dari pemerintah. 3. Penganggaran dimasukan dalam APBD dan bantuan dari pemerintah pusat. 1. Pengungsian masyarakat Bali ke Bandar Lampung yang lambat dan kurang oleh Pemerintah Daerah sehingga mengakibatkan korban meninggal dunia, 2. Penyelidikan aparat kepolisian tentang masalah yang terjadi dan pengungsian yang dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap korban kecelakaan untuk menghindari amuk masa, 3. Proses mediasi yang terburu-buru sehingga mengakibatkan penolakan yang dilakukan masyarakat Lampung. 1. Kekuatan pemerintah dalam menjalankan program yaitu dengan adanya peraturan undang-undang yang harus dijalankan, 2. Kelemahan dalam pelaksanaan program yang dijalankan adalah tradisi dan budaya masyarakat, 3. Bentuk ancamannya adalah arus globalisasi dan kemajuan teknologi, 4. Pemerintah memanfaatkan peluang dengan mengikutsertakan masyarakat dalam sosialisasi, dan keikutsertannya dalam kepengurusan program yang
189
dibuat pemerintah, 5. Koordinasi yang dilakukan sesuai dengan peraturan yang baru yaitu Permendagri No 42 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Koordinasi Penanganan Konflik Sosial. Fungsi Kontrol dan Evaluasi 1. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak secara langsung komunikasinya hanya melalui handphone, 2. Pengawasan yang dilakukan oleh aparat keamanan secara langsung oleh masyarakat dengan sistem door to door namun besifat sementara, kemudian dibuatkan program Rembuk Pekon yang menfasilitasi tempat dalam proses mediasi yang berlangsung jika ada yang konflik. 3. Penolakan masyarakat Lampung yang menilai proses mediasi terlalu terburuburu dan tidak memperhatikan masyarakat yang terkait dalam pertikaian. Umpan Balik 1. Mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan forum yang dibuat pemerintah, 2. Membuatkan Babinkantibnas yang bertanggung jawab atas keamanan desa. 3. Mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan sosialisasi dan acara-acara adat supaya mudah bergaul dengan masyarakat suku lain, ini merupakan bentuk toleransi yang ditanamkan oleh pemerintah kepada masyarakat. (Sumber: Data Diolah Peneliti, 2015)
190
Pedoman Wawancara Model Proses Manajemen Strategi Organisasi Publik sebagai sebuah sistem menurut Nawawi No
Dimensi
Uraian Pertanyaan
1
Perencanaan Strategi Visi
Misi
Tujuan strategi organisasi
2
Sasaran Operasional
Pelaksanaan fungsi manajemen (fungsi pengorganisasian, fungsi pelaksanaan, fungsi penganggaran)
Kebijakan Situasional
Jaringan kerja internal dan jaringan kerja eksternal
Apa saja faktor yang mempengaruhi visi dalam strategi untuk penyelesaian konflik? Bagaimana dengan perumusan misi untuk menjalankan visi yang telah dibuat? Apakah misi yang dibuat juga untuk program jangka panjang dalam penanganan konflik kependudukan yang sering terjadi? Apakah sejauh ini tujuan organisasi sudah berjalan sesuai dengan visi yang dibuat? Apakah sejauh ini tujuan organisasi sudah berjalan dengan misi? Perencanaan Operasional Bagaimana sasaran operasional ditentukan? apakah sudah tepat sasaran penyelesaian konflik pendudukan saat itu? bagaimana kontribusi pemimpin daerah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi? apakah pelakasanaan program yang ada sudah berjalan? apakah pelaksanaan program disesuaikan dengan renstra yang dibuat? Apakah program yang dibuat telah memiliki Petunjuk Pelaksanaan (juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis)? Bagaimana dengan dana untuk perbaikan kerusakan yang dialami masyarakat? Apakah ada ketentuan dalam ganti rugi untuk kerusakan yang dialami oleh sebagian masyarakat saat terjadi konflik? kebijakan pertama apa yang dikeluarkan oleh pemerintah pada saat terjadi konflik tersebut? Bagaimana proses mediasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi? kekuatan apa yang dimilik pemerintah untuk program penanganan konflik penduduk yang sudah terjadi? Apasaja kelemahan dalam program yang sudah dibuat untuk penanganan konflik kependudukan yang sudah terjadi? Bagaimana dengan ancaman yang
Kode Informan I1, I2, I3n I1, I2, I3n
I1, I2, I3n I1, I2, I3n
I1, I2, I3n I1, I2, I3n I1, I2, I3n I1, I2, I3n, I4n, I5n I1, I2, I3n, I4n, I5n I1, I2, I3n I1, I2, I3n I1, I2, I3n I1, I2, I3n, I4n, I5n I1, I2, I3n, I4n, I5n I1, I2, I3n, I4n, I5n I1, I2, I3n I1, I2, I3n, I1, I2, I3n
191
Fungsi kontrol dan evaluasi
Umpan balik
menghambat jalannya program yang telah dibuat sebelumnya? Bagaimana cara memanfaatkan peluang untuk program yang akan dijalankan? siapa saja stakeholder yang ikut bertanggung jawab atas kebijakan yang dibuat dalam penyelesaian konflik penduduk saat itu? bagaimana koordinasi dengan dinas yang lain? bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah setelah terjadi konflik tersebut? apakah program (Rembuk Pekon) yang dibuat pasca terjadinya konflik masih berjalan? apa yang kurang dari penyelesaian konflik tersebut? bagaimana respon masyarakat terkait dengan penyelesaian koflik yang sudah dilakukan? bagaimana partisipasi masyarakat dalam sosialisasi program rembuk pekon yang dibuat untuk penyelesaian konflik kependudukan?
I1, I2, I3n I1, I2, I3n
I1, I2, I3n I1, I2, I3n, I4n, I5n I1, I2, I3n, I4n, I5n I1, I2, I3n, I4n, I5n I1, I2, I3n, I4n, I5n I1, I2, I3n, I4n, I5n
PERTANYAAN WAWANCARA KEPALA BADAN LINMAS DAN PENANGGULANGAN KONFLIK KESBANGPOL LAMPUNG SELATAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Apa saja faktor yang mempengaruhi visi dalam strategi untuk penyelesaian konflik? Bagaimana dengan perumusan misi untuk menjalankan visi yang telah dibuat? Apakah misi yang dibuat juga untuk program jangka panjang dalam penanganan konflik kependudukan yang sering terjadi? Apakah sejauh ini tujuan organisasi sudah berjalan sesuai dengan visi yang dibuat? Apakah sejauh ini tujuan organisasi sudah berjalan dengan misi? Bagaimana sasaran operasional ditentukan? apakah sudah tepat sasaran penyelesaian konflik pendudukan saat itu? bagaimana kontribusi pemimpin daerah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi? apakah pelakasanaan program yang ada sudah berjalan? apakah pelaksanaan program disesuaikan dengan renstra yang dibuat? Apakah program yang dibuat telah memiliki Petunjuk Pelaksanaan (juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis)? Bagaimana dengan dana untuk perbaikan kerusakan yang dialami masyarakat? Apakah ada ketentuan dalam ganti rugi untuk kerusakan yang dialami oleh sebagian masyarakat saat terjadi konflik? kebijakan pertama apa yang dikeluarkan oleh pemerintah pada saat terjadi konflik tersebut?
192
15. Bagaimana proses mediasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi? 16. kekuatan apa yang dimilik pemerintah untuk program penanganan konflik penduduk yang sudah terjadi? 17. Apasaja kelemahan dalam program yang sudah dibuat untuk penanganan konflik kependudukan yang sudah terjadi? 18. Bagaimana dengan ancaman yang menghambat jalannya program yang telah dibuat sebelumnya? 19. Bagaimana cara memanfaatkan peluang untuk program yang akan dijalankan? 20. siapa saja stakeholder yang ikut bertanggung jawab atas kebijakan yang dibuat dalam penyelesaian konflik penduduk saat itu? 21. bagaimana koordinasi dengan dinas yang lain? 22. bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah setelah terjadi konflik tersebut? 23. apakah program (Rembuk Pekon) yang dibuat pasca terjadinya konflik masih berjalan? 24. apa yang kurang dari penyelesaian konflik tersebut? 25. bagaimana respon masyarakat terkait dengan penyelesaian koflik yang sudah dilakukan? 26. bagaimana partisipasi masyarakat dalam sosialisasi program rembuk pekon yang dibuat untuk penyelesaian konflik kependudukan?
PERTANYAAN WAWANCARA KASAT BINMAS POLRES LMPUNG SELATAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Apa saja faktor yang mempengaruhi visi dalam strategi untuk penyelesaian konflik? Bagaimana dengan perumusan misi untuk menjalankan visi yang telah dibuat? Apakah misi yang dibuat juga untuk program jangka panjang dalam penanganan konflik kependudukan yang sering terjadi? Apakah sejauh ini tujuan organisasi sudah berjalan sesuai dengan visi yang dibuat? Apakah sejauh ini tujuan organisasi sudah berjalan dengan misi? Bagaimana sasaran operasional ditentukan? apakah sudah tepat sasaran penyelesaian konflik pendudukan saat itu? bagaimana kontribusi pemimpin daerah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi? apakah pelakasanaan program yang ada sudah berjalan? apakah pelaksanaan program disesuaikan dengan renstra yang dibuat? Apakah program yang dibuat telah memiliki Petunjuk Pelaksanaan (juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis)? Bagaimana dengan dana untuk perbaikan kerusakan yang dialami masyarakat? Apakah ada ketentuan dalam ganti rugi untuk kerusakan yang dialami oleh sebagian masyarakat saat terjadi konflik? kebijakan pertama apa yang dikeluarkan oleh pemerintah pada saat terjadi konflik tersebut? Bagaimana proses mediasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi? kekuatan apa yang dimilik pemerintah untuk program penanganan konflik penduduk yang sudah terjadi? Apasaja kelemahan dalam program yang sudah dibuat untuk penanganan konflik kependudukan yang sudah terjadi?
193
18. Bagaimana dengan ancaman yang menghambat jalannya program yang telah dibuat sebelumnya? 19. Bagaimana cara memanfaatkan peluang untuk program yang akan dijalankan? 20. siapa saja stakeholder yang ikut bertanggung jawab atas kebijakan yang dibuat dalam penyelesaian konflik penduduk saat itu? 21. bagaimana koordinasi dengan dinas yang lain? 22. bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah setelah terjadi konflik tersebut? 23. apakah program (Rembuk Pekon) yang dibuat pasca terjadinya konflik masih berjalan? 24. apa yang kurang dari penyelesaian konflik tersebut? 25. bagaimana respon masyarakat terkait dengan penyelesaian koflik yang sudah dilakukan? 26. bagaimana partisipasi masyarakat dalam sosialisasi program rembuk pekon yang dibuat untuk penyelesaian konflik kependudukan?
PERTANYAAN WAWANCARA LEMBAGA PENANGANAN KONFLIK 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Apa saja faktor yang mempengaruhi visi dalam strategi untuk penyelesaian konflik? Bagaimana dengan perumusan misi untuk menjalankan visi yang telah dibuat? Apakah misi yang dibuat juga untuk program jangka panjang dalam penanganan konflik kependudukan yang sering terjadi? Apakah sejauh ini tujuan organisasi sudah berjalan sesuai dengan visi yang dibuat? Apakah sejauh ini tujuan organisasi sudah berjalan dengan misi? Bagaimana sasaran operasional ditentukan? apakah sudah tepat sasaran penyelesaian konflik pendudukan saat itu? bagaimana kontribusi pemimpin daerah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi? apakah pelakasanaan program yang ada sudah berjalan? apakah pelaksanaan program disesuaikan dengan renstra yang dibuat? Apakah program yang dibuat telah memiliki Petunjuk Pelaksanaan (juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis)? Bagaimana dengan dana untuk perbaikan kerusakan yang dialami masyarakat? Apakah ada ketentuan dalam ganti rugi untuk kerusakan yang dialami oleh sebagian masyarakat saat terjadi konflik? kebijakan pertama apa yang dikeluarkan oleh pemerintah pada saat terjadi konflik tersebut? Bagaimana proses mediasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi? kekuatan apa yang dimilik pemerintah untuk program penanganan konflik penduduk yang sudah terjadi? Apasaja kelemahan dalam program yang sudah dibuat untuk penanganan konflik kependudukan yang sudah terjadi? Bagaimana dengan ancaman yang menghambat jalannya program yang telah dibuat sebelumnya? Bagaimana cara memanfaatkan peluang untuk program yang akan dijalankan? siapa saja stakeholder yang ikut bertanggung jawab atas kebijakan yang dibuat dalam penyelesaian konflik penduduk saat itu? bagaimana koordinasi dengan dinas yang lain?
194
22. 23. 24. 25. 26.
bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah setelah terjadi konflik tersebut? apakah program (Rembuk Pekon) yang dibuat pasca terjadinya konflik masih berjalan? apa yang kurang dari penyelesaian konflik tersebut? bagaimana respon masyarakat terkait dengan penyelesaian koflik yang sudah dilakukan? bagaimana partisipasi masyarakat dalam sosialisasi program rembuk pekon yang dibuat untuk penyelesaian konflik kependudukan?
PERTANYAAN WAWANCARA MASYARAKAT ASLI LAMPUNG 1.
bagaimana kontribusi pemimpin daerah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi? 2. apakah pelakasanaan program yang ada sudah berjalan? 3. Apakah ada ketentuan dalam ganti rugi untuk kerusakan yang dialami oleh sebagian masyarakat saat terjadi konflik? 4. kebijakan pertama apa yang dikeluarkan oleh pemerintah pada saat terjadi konflik tersebut? 5. Bagaimana proses mediasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi? 6. bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah setelah terjadi konflik tersebut? 7. apakah program (Rembuk Pekon) yang dibuat pasca terjadinya konflik masih berjalan? 8. apa yang kurang dari penyelesaian konflik tersebut? 9. bagaimana respon masyarakat terkait dengan penyelesaian koflik yang sudah dilakukan? 10. bagaimana partisipasi masyarakat dalam sosialisasi program rembuk pekon yang dibuat untuk penyelesaian konflik kependudukan? PERTANYAAN WAWANCARA MASYARAKAT PENDATANG BALI 1.
bagaimana kontribusi pemimpin daerah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi? 2. apakah pelakasanaan program yang ada sudah berjalan? 3. Apakah ada ketentuan dalam ganti rugi untuk kerusakan yang dialami oleh sebagian masyarakat saat terjadi konflik? 4. kebijakan pertama apa yang dikeluarkan oleh pemerintah pada saat terjadi konflik tersebut? 5. Bagaimana proses mediasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi? 6. bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah setelah terjadi konflik tersebut? 7. apakah program (Rembuk Pekon) yang dibuat pasca terjadinya konflik masih berjalan? 8. apa yang kurang dari penyelesaian konflik tersebut? 9. bagaimana respon masyarakat terkait dengan penyelesaian koflik yang sudah dilakukan? 10. bagaimana partisipasi masyarakat dalam sosialisasi program rembuk pekon yang dibuat untuk penyelesaian konflik kependudukan?
195
196
197
198
199
200
201
202
203
204
205
206
207
208
209
210
211
212
213
214
215
216
217
218
219
220
221
222
223
224
225
226
227
228
229
230
231
232
233
234
235
236
237
238
239
KATEGORISASI DATA Q
I I1
I3.3
Q
I
I1
I2
I3.1
I3.3
Faktor yang mempengaruhi visi
Kesimpulan
“Visinya kan ada aturannya tuh yang diatur Visi disesuaikan dengan dalam undang-undang no 7 tahun 2012”. Undang-Undang No 7 Tahun 2012, sedangkan penangan “Itu visinya terwujudnya majelis embaga/forum penyeimbang adat lampung yang konflik khususnya MPAL bermatabat untuk membangun masyarakat memiliki visi mewujudkan yang menjunjung tingga adat dan budaya majelis penyeimbang adat Lampung yang bermatabat Lampung” untuk membangun masyarakat yang menjunjung tingga adat dan budaya Lampung Misi dibuat untuk jangka panjang
Kesimpulan
“Iya disesuaikan juga dengan undangundang itu, apa yang dilakukan oleh kita itu kayak diadakannya forum kita kumpulin masyarakatnya untuk pertemuan, ada juga sosialisasi ke kecamatan-kecamatan yang disesuaikan dengan anggaran setahun itu hanya 3 kecamatan, tahun ini baru 3 kecamatan” “Ya itu tadi kita mikirnya gimana caranya supaya maslah itu bisa cepet selesai, oh iya ada juga program rembuk pekon yang lagi kita jalanin tujuannya buat mediasi orang yang lagi konflik itu”. “Iya misi dibuat sesuai sama visi, kalo kita mungkin lebih ke tujuan ya, kita sering komunikasi ke pengurus FKDM, pengurus FKDM yang ada di kabupaten itu ada 18 orang, dikecamatn juga ada tapi ya itu mati suri, banyak faktor yang menyebabkan susah untuk diaktifkan”. “Tertuang misi pembinaan dan pemberdayaan masyarakat Lampung, pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, pelestarian dan pembinaan budaya adat Lampung, ini kerjaan kita kerjaan MPAL, meningkatkan hubungan
Diadakan sosialisasi setiap tahunnya untuk 3 Kecamatan, kemudian pihak Kepolisian Lampung Selatan membuatkan Program Rembuk Pekon yang tujuannya untuk mediasi konflik yang terjadi, bentuknya pengurus FKDM yang ada di kabupaten itu ada 18 orang dan di Kecamatan dan MPAL memiliki misi yang dibuat pasti untuk jangka panjang
240
silahturami antar masyarakat, antar suku, antar tokoh”.
Q Kesesuaian tujuan strategi organisasi dengan visi dan misi
I
I1 I2
I3.3 Q
I
I1
I3.1
I3.3
Q I I1
Kesimpulan
“Iya sudah berjalan, karena masyarakat Dinilai dari masyarakat sudah sudah mulai mengerti pentingnya damai itu mulai mengerti pentingnya tadi”. damai, Tujuan organisasi berjalan sesuai dengan 3 tugas melindungi, “Iya tentu ajalah itu berjalan kan diliat dari kepolisian mengayomi dan melayani, tugas kita yang 3 itu tadi”. “Tujuan kami belum tercapai karena Tujuan MPAL belum tercapai masyarakat Lampung Selatan sampai karena masyarakat pendatang sekarang banyak yang belum mengerti kami sampai sekarang banyak yang belum mengerti masyarakat yang orang pribumi”. pribumi. Kesesuaian sasaran operasional
Kesimpulan
“Iya tadi kita sesuaikan anggaran yang 3 kecamatan setahun itu, ditentukan dari kecamatan yang rawan konfik dulu, prioritas banyak yang tinggi skala konfliknya”. “Kita gak ada sasaran tertentu, jadi kalo ada konflik ya langsung kita laporkan ke Kesbangpol, nanti dari sini ditindak lanjutkan dengan koordinasikan sama pihak aparat keamanan”. “Sasaran forom ini buat masyarakat Lampung Selatan biar orang-orang lain yang bukan suku Lampung juga mengerti adat dan budaya Lampung, kan mereka juga tinggal di wilayah kita, maunya kita ya meskipun bukan orang lampung tapi ya mereka harus mengerti dan memahami orang lampung yang dalam artian orang pribumi”.
Sasaran sosialisasi 3 kecamatan setahun itu ditentukan dari kecamatan yang rawan konflik terlebih dulu, FKDM jika ada konflik langsung di laporkan ke Kesbangpol, MPAL memiliki sasaran terhadap masyarakat yang tinggal di Lampung Selatan yang tidak memahami adat dan budaya Lampung
Pelaksanaan fungsi manajemen (fungsi pengorganisasian, fungsi pelaksanaan, fungsi penganggaran)
Kesimpulan
“Ya sebenernya udah baik kontribusi, tapi ya tinggal elemen dari masyarakatnya sama dari dinas-dinasnya gimana kerjasamanya buiar gak keulang lagi”.
Kontribusi pemerintah daerah tergantung dari eleman-elemen stakholder yang bertanggung jawab dalam tim penyelesaian
241
I3.1
I3.2
I4.1
I5.3
I3.1
I2
“Kontribusinya sudah banyak ya dari pemerintah, kalo sekarang itu tinggal masyarakatnya yang harus menjaga kedamaian diwilayahnya”. “Kontribusinya banyak ya, kan tokoh-tokoh masyarakat juga ikut dalam penyelesaian itu”. “Kontribusi pemerintah pada saat kejadian memang luar biasa, mereka mengamankan apapun bentuk kelompok masyarakat yang datang, karena pada saat itu pihak keamanan yang dateng gak tau wilayah, merkea kan dari banyak daerah, ada juga bantuan dari polisi Banten dateng, pada saat itu sudah maksimal bantuan pemerintah. Sekarang kontribusi pemerintah ya ada tapi memang gak intensif kayak dulu kurang sering ngawasin lagi, maunya kita kan jangan karna sudah damai ini kalau kami masing-masing Desa Agom atau Desa Balinuraga mau ketemu mau ngobrol itu susah sampai sekarang harusnya ada pihak ketiga yaitu pemerintah yang menjadi mediasinya, karena kenapa kita gak mau dibawa ke Balinuraga disamping kita pernah punya masalah bahwa kita gak bisa, kita ini maafnya ngomong orang lampung kebanyakan orang islam ya gak bisalah kalau lagi ngobrol ada babi lewat mana ada yang tahan, terus terang aja waktu kita juga bertamu dibuatin teh mau gak kita minum kita gak enak mau kita minum kita was-was, terus terang saya kades ngomongnya pedes tapi memang fakta. Jadi kalau kita suruh silahturami kesana gak bisa”. Pada waktu itu cepat penanganannya, banyak kita dikasih bantuan dari provinsi bali, trus pemerintah pusat juga kasih perhatian ke kita “Itu yang peraturan tadi yang saya bilang diawal kita hanya menjalankan apa yang ada di undang-undang itu”. “Kalo untuk pogram kita, kita juga belum dapet Kepkapolri yang 100% jadi kita gak bisa kasih informasi”.
konflik, Masyarakat juga harus memberikan kontribusi dengan sadar akan hidup damai, Kontribusi tokoh masyarakat sangat penting dalam penyelesaian konflik kependudukan, Pihak aparat keamanan dengan dibantu kepolisian wilayah lain sangat berperan aktif dalam keamanan yang terjadi pada saat konflik, Pemerintah pusat memberikan bantuan moril dan material, juklak juknis program FKDM masuk Permendagri No 12 tahun 2006 dan UU No 7 tahun 2012, Program Rembuk Pekon belum ada Kepkapolri, Masyarakat Desa Agom di berikan bantuan bedah rumah oleh menteri perumahan rakyat sebanyak 300 unit, Pemberian bantuan di bidang kesehatan, listrik dan juga dapur umum, masyarakat Bali juga dibantu pemerintah pusat yang rumahnya kebakar sama ganti rugi uang 11jt.
242
I4.1
I5.1
Q I I2
I4.1
“Memang banyak program-program dari pemerintah itu tapi kadang-kadang bagi kami ini tidak tepat sasaran tapi begitu kita pikir-pikir secara luas juga mungkin iya, kalo Desa Agom dan Desa Balinuraga sudah ribut mungkin mereka mengantisipasi untuk desa-desa yang lain gak ribut, kegiatan-kegiatan itu banyak dilakukan ditempat lain tapi yang program pemerintah pusat dan segala macem itu untuk meredam ini biar tidak terjadi lagi, banyak bedah rumah disini di desa saya dapet 300 rumah dibantu menteri perumahan rakyat karena mungkin diliat dari ekonomi kita, jadi program itu ada cuma saat kejadian itu aja kalo sekarang gak ada”. “Pemerintah Daerah bantu di bidang kesehatan, listrik dan juga dapur umum, tapi masyarakat juga dibantu sama pemerintah pusat yang rumahnya kebakar sama ganti rugi uang 11jt, kalau pemerintah Provinsi Bali kasih bantuan paling banyak,mereka kasih uang subangan yang dikumpulin setiap kabupaten, Kota Denpasar juga kasih sumbangan banyak, pokoknya bantuan paling banyak dari Pemerintah Provinsi Balinya” Kebijakan situasional yang dibuat pemerintah
Kesimpulan
“Iya atasan langsung minta diproses masalah itu, dan kita juga ngungsikan masyarakat balinya ke Kemiling Bandar Lampung, langsung dicari permasalahannya”. “Saya sebenernya gak tau mau ada damai, diajak pertemuan gubernur tanda tangan perdamaian, tapi karena saya dibawa pak sekda pak kapolda ini perintah kalo gak tanda tangan proses hukum gak bisa berlanjut. Sedangkan mereka mengancam mau ekspos orang-orang saya semua, ini 40 orang yang bakalan ditangkap, jadi saya itu simalakama, saya tanda tangan buat nyelamatin 40 orang ini tapi 20ribu orang nyalahin saya.Orang-orang yang ikut
Masyarakat Balinuraga diungungsikan ke Kemiling Bandar Lampung, Mediasi dilakukan terburu-buru tujuannya agar permasalahan cepat terselesaikan
243
Q I
I1
I1
I3.3 Q I I4.1
I4.1
mediasi gak bisa adek temui ini kecuali muksin syukur karena memang saya pelaku utama dalam kejadian itu, yang ikut mediasi kayak kepada desa tajimalela ini cuma masyarakatnya yang jadi korban trus ini tokoh-tokoh adat masyarakat lampung yang di kalianda yang di comot langsung sama pemerintah biar malahnya cepet selesai, mau ditemuin juga gak akan ada cerita karena meraka gak tau masalahnya pada saat kejadian mereka pergi kejatinagor sama pak Bupati, saya gak ikut karena udah ngerasa mau ada masalah sama masyarakat saya” Jaringan kerja internal dan jaringan kerja eksternal
Kesimpulan
“Kita ini kebentur adat istiadat, tradisi biasanya orang kampung itu ada masalah musyawarah tapi akhirnya ricuh, ekonomi juga bisa jadi sumber konflik, agama juga rasa toleransi iya itu penyebab konflik jadi kelemahan kita”. “Pengaruh globalisasi itu jadi pengaruh menurunya mental menurun, trus kemajuan teknologi jadi masalah juga” “Kita mau memanfaatkan yang itu tadi rencana 1 hari kerja ngomong harus pake bahasa Lampung, ini lagi diproses perdanya gak hanya di Kabupaten Lampung Selatan aja tapi di seluruh Lampung”.
Kelemahan dalam program adalah adat istiadat tradisi, orang kampung itu ada masalah musyawarah tapi akhirnya ricuh, Pengaruh globalisasi menurunkan mental masyarakat, kemudian kemajuan teknologi pun jadi masalah jugaMPAL memanfaatkan rencana 1 hari kerja menggunakan bahasa Lampung yang sedang dibahas Perdanya.
Fungsi kontrol dan evaluasi
Kesimpulan
“Ya kalo sekarang ini aman-aman aja setelah kejadian itu, tapi ya kalo ada hajatan kita sekerang ngundang orang desa balinuraga juga trus dari kepolisian itu aja, kalo secara terus menerus si gak”. “Dengan inisiatif Pemerintah yang terlalu cepat menyelesaikan masalah itu tanpa melalui proses jadi kita itu dianggap dijebak dan masalah itu begitu bumingnya ditempat kita langsung beres, harusnya dihukum dulu lah mereka itu biar gak tuman, dicari dulu
Pengawasan dilakukan secara intens setelah terjadinya konflik, namun sekarang tidak terlalu intens pengawasan yang
244
I4.1
Q I
permasalahnnya seperti apa jangan banyak orang yang tanya terus gak tau permasalahnnya apa karena gak ditemukan titik awal permasalahnnya itu apa”. “Program Rembuk Pekon itu dibuat baru baru ini atas kejadian itu diharapkan permasalahan itu kan Rembuk Pekon, tapi kalo kita lebih dalam Rembuk Pekon kan cuma satu wilayah desa kalo ada ribut ribut beda wilayah ya gak bisa harus ada perantanya tanpa campur tangan pemerintah gak bisa, kalo Rembuk Pekon secara umum gak bisa, Rembuk Pekon Desa Balinuraga sama Desa Agom gak bakal bisa nanti ketemu malah ribut, kalo antar desa ya gak bisa, dan itu gak berjalan hanya satu dua kali pertemuan gitu aja ya bukan rembuk pertemuan silahturahmi itu kan, nah kalo sekarang gak bisa ada warga kita yang maling ayam harusnya kita rembuk pekonin tapi ini malah masyarakatnya langsung lapor polisi jadi buat apa rembuk pekon itu ada, gak ada manfaatnya”.
dilakukan, Penyelesaian konflik yang dilakukan secara terburu-buru mengakibatkan ketidak hadiran orang yang benar-benar terlibat dalam penyebab konflik, Rembuk Pekon tidak bisa dijalankan jika sudah berbeda desa
Umpan balik
Kesimpulan
“Ya harus terima mereka, sampai disini ini buat undang-undang sendiri siapa aja yang buat ribut apabila sampai mengerahkan massa, secara adat kami usir, tapi kita juga kontra masyarakat kita maunya kayak dulu I5.2 tapi gak harus ada kejadian itu, biar gak disepelein juga sama mereka, kalo sekarang kita kayak diremehin sama mereka, ibaratnya mereka bilang ah lo udah kalah lo takut sama gue gitu”. “Kami ikut dalam kelompok deteksi dini konflik, kita juga ikut kumpul kumpul waktu I5.2 sosialisasi, pernah juga 1 minggu penataran di desa, kalo sekarang gak ada lagi”. Iya sekarang kita sering adain ronda, I4.3 siskamlingnya jalan lagi kalo dulu kan gak jalan (sumber: data diolah peneliti, 2015)
Masyarakat Desa Balinuraga membuat undang-undang desa sendiri dengan isi jika melakukan/menyebabkan kericuhan akan diusir dari desa dan wilayah tersebut, Kelompok masyarakat Balinuraga ikut dalam kelompok deteksi dini konflik, Masyarakat Lampung mengadakan ronda dan siskamling yang dulu pernah ditinggalkan
245
CATATAN LAPANGAN
No
Tanggal
Pukul (WIB)
1
04-11-2014
2
Tempat
Tujuan
09.00
Polres Lampung Selatan
Wawancara
30-11-2014
10.30
Desa Bali
Wawancara
3
02-12-2014
09.00
4
10-03-2015
11.00
5
02-07-2015
09.00
6
24-08-2015
11.30
Kesbangpol Lampung Selatan Polres Lampung Selatan Kesbangpol Provinsi Banten Kesbangpol Provinsi Lampung
Wawancara Mengajukan surat izin penelitian Mengajukan surat izin penelitian Mengajukan surat izin penelitian
7
04-09-2015
15.30
Desa Balinuraga
Wawancara
8
04-09-2015
17.00
Desa Agom
Wawancara
9
04-09-2015
17.00
Desa Agom
Wawancara
Wawancara
Wawancara
10
05-09-2015
10.00
Desa Balinuraga
11
06-09-2015
09.30
Desa Balinuraga
12
06-09-2015
11.00
Desa Agom
Wawancara
Hasil Data awal tentang konflik tahun 2012 Dokumentasi terkait Konflik tahun 2012 Data awal tentang konflik tahun 2012
Informan Bapak Dwi Masyarakat Bapak Alwi
Disposisi
Kasubag Sumda Polres Lampung
Disposisi
Kasubag Umum
Disposisi
Kasubag Umum
Data dan penjelasan mengenai konflik tahun 2012 Penjelasan mengenai konflik tahun 2012 Penjelasan mengenai konflik tahun 2012 Penjelasan mengenai konflik tahun 2012 Penjelasan Mengenai Konflik tahun 2012 Penjelasan mengenai konflik tahun 2012
Bapak Made Santre Bapak Muksin Syukur
Ibu Ida Riana
Bapak kadek Sirye
Bapak Made Suka Hassanudin (nama samaran)
246
13
14
15
16-09-2015
25-09-2015
01-10-2015
14.00
Kesbangpol Kab Lampung Selatan
Mengajukan surat izin penelitian
11.00
Polres Lampung Selatan
Wawancara
11.00
Kesbangpol Kab Lampung Selatan
Wawancara
Wawancara
16
01-10-2015
14.30
Kesbangpol Kab Lampung Selatan
17
01-10-2015
16.00
Desa Agom
Memberchek
18
01-10-2015
16.00
Desa Agom
Memberchek
19
01-10-2015
17.00
20
02-10-2015
09.00
21
02-10-2015
10.30
Desa Balinuraga Kantor DPRD Kab Lampung Selatan Kesbangpol Kab Lampung Selatan
(sumber: data diolah Peneliti 2015)
Memberchek Wawancara
Wawancara
Disposisi Data dan penjelasan mengenai konflik Tahun 2012 Data dan penjelasan mengenai konflik tahun 2012 Data dan penjelasan mengenai konflik tahun 2012 Tanda tangan memberchek Tanda tangan memberchek Tanda tangan memberchek Penjelasan mengenai konflik tahun 2012 Penjelasan mengenai konflik tahun 2012
Kasubag Umum
Bapak Ujang
Bapak Ismed
Ibu Ernayati Bapak Muksin Syukur Ibu Ida Riana Bapak Made Santre Bapak Marwan Abdulah Bapak Alamsyah
247
CATATAN LAPANGAN
Selasa 4 November 2014 Peneliti datang ke polres lampung selatan untuk menanyakan secara langsung tentang proses konflik yang terjadi di Desa Balinuraga dan melaulan wawancara dengan salah satu anggota intel yang ada di Polres Lampung Selatan. Minggu 30 November 2014 Peneliti datang ke salah satu desa bali yang ada di Kabupaten Lampung Selatan untuk melihat secara langsung kondisi masyarakat bali dan melakukan wawancara dengan masyarakat di Desa Tridarmayoga yang juga merupakan desa bali di Kabupaten Lampung Selatan. Selasa 2 Desember 2014 Peneliti datang ke Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan untuk menanyakan terkait penyelesaian konflik tahun 2012. Selasa 10 Maret 2015 Untuk lebih mendukung penelitian mengenai manajemen strategi penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan peneliti mengajukan surat izin penelitian di Polres Lampung Selatan. Setelah itu peneliti mendapatkan surat disposisi yang nanatinya akan dihubungi oleh Polres Lampung Selatan. Kamis 02 Juli 2015 Peneliti mengajukan surat izin ke Kesbangpol Provinsi Banten untuk mendapatkan surat rekomendasi yang nantinya peneliti ajukan juga ke Kesbangpol Provinsi Lampung dan peneliti harus menunggu informasi yang diberikan bagian umum dengan memberikan nomer HP.
248
Rabu 29 Juli 2015 Peneliti melakukan ujian proposal penelitian yang berjudul Manajemen Strategi Konflik Kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan (studi Kasus Konflik Antar Suku Asli Lampung dengan Suku Pendatang Bali tahun 2012). Kamis 13 Agustus 2015 Setelah melakukan ujian proposal peneliti melakukan perbaikan kepada dosen penguji dan langsung mendapatkan Acc untuk kelapangan. Senin 24 Agustus 2015 Peneliti mengajukan surat izin penelitian dengan membawa surat rekomendasi penelitian yang peneliti dapat dari Kesbangpol Provinsi Banten ke Kesbangpol Provinsi Lampung dengan didampingi oleh orang tua peneliti kemudian mendapatkan disposisi yang nantinya akan dihubungi oleh bagian umum dinas terkait. Jumat 04 September 2015 Pada hari jumat peneliti dengan didampingi oleh orang tua peneliti meminta izin dengan memberikan surat izin penelitian kepada Kepala Desa Balinuraga dan Desa Agom untuk melakukan wawancara dengan masyarakatnya dan pada hari itu juga peneliti melakukan wawancara dengan kepala Desa Balinuraga bapak Muksin Syukur, Kepala Desa Agom bapak Made Santre dan Masyarakat Agom ibu Ida Riana. Sabtu 05 September 2015 Peneliti melakukan wawancara dengan bapak Kadek Sirye yang merupakan kepala dusun Pande Arga Desa Balinuraga dan mendapatkan inforamasi terkait dengan konflik yang terjadi pada tahun 2012. Disitu peneliti mendapatkan sambutan baik oleh masyarakat Desa Balinuraga dan mengambil beberapa dokumentasi untuk keperluan penelitian. Minggu 06 September 2015
249
Peneliti juga masih melakukan wawancara dengan masyarakat Bali Desa Balinuraga dan masyarakat Lampung Desa Agom. Rabu 16 September 2015 Peneliti mengajukan surat izin penelitian ke Kesbangpol Kab. Lampung Selatan dengan membawa surat rekomendasi penelitian dari Kesbangpol Provinsi Lampung kemudian mendapatkan disposisi dan harus menunggu untuk informasi selanjutnya dengan memberikan nomer HP yang bisa dihubungi. Jumat 25 September 2015 Sebelumnya peneliti telah mendapatkan surat izin penelitian dari bidang umum Polres Lampung Selatan kemudian baru pada hari ini peneliti melakukan wawancara langsung dengan Kasat Binmas Polres Lampung Selatan bapak Ujang, disini peneliti juga mendapatkan penjelasan mengenai konflik yang sebelumnya terjadi antara masyarakat Lampung dengan masyarakat bali khususnya Desa Balinuraga. Kamis 01 Oktober 2015 Peneliti mendapatkan telepon dari Kesbangpol mengenai tindak lanjut surat yang peneliti ajukan, kemudian peneliti mendapatkan fakta bahwa sekertariatan untuk lembaga penanganan konflik yang ada di Kabupaten Lampung Selatan berada di Kesbangpol, dan peneliti langsung melakukan wawancara dengan Kabid. Polwanas Badan Kesbang Pol Lampung Selatan dan anggota dari FKUB Kabupaten Lampung Selatan. Peneliti juga membuat janji dengan ketua FKDM dan sekretaris MPAL untuk melakukan wawancara, hal ini dikarenakan anggora dari lembaga tersebut dari masyarakat langsung. Jumat 02 Oktober 2015
250
Peneliti mendatangi kantor DPRD Kab. Lampung Selatan untuk melaukan wawancara dengan sekretaris MPAL dan wawancara ketua FKDM di Kesbangpol Lampung Selatan setelah membuat janji dihari sebelumnya.
251
252
253
254
255
DOKUMENTASI
Wawancara dengan ibu Ernayati Anggota FKUB dan Kasubid Ketahaanan Seni dan Budaya Badan Kesbangpol Kab. Lampung Selatan
Wawancara dengan Bapak Muksin Syukur Kepala Desa Agom Kab. Lampung Selatan
256
DOKUMENTASI
Wawancara dengan Bapak Y. Ujang Kassat Binmas Polres Lampung Selatan
Kondisi Jalan yang ada di Desa Balinurga
257