Strategi Pengembangan Ketenagakerjaan Kelompok Penduduk Miskin
Oleh: Andi Sopandi
Strategic policy should represent the alignments of government to facilitate the poor that lead to motivated in the making of decision, namely: to apply the life skills that can fullfill the employment opportunities. Therefore, the effective formulation strategies are needed to develop the potential labor force of the poor segment population, mainly intended to solve the problem of "the limited access that causes poverty." Keyword: Strategic Planning, Community Development, Skill Increasing and the Poor Community Skill
A. Pendahuluan 1. Latar Belakang
Penanggulangan kemiskinan memerlukan strategi besar yang bersifat holistik dengan program yang saling mendukung satu dengan lainnya, sehingga upaya pemahaman terhadap akar masalah penyebab kemiskinan dapat dilakukan dengan baik. Sebagai dasar utama untuk menyusun strategi besar pembangunan nasional tersebut adalah politik ekonomi yang berpihak terhadap kaum miskin dan berkeadilan, khususnya bidang ketenagakerjaan. Adapun yang menjadi elemen utama dalam strategi besar tersebut adalah pendekatan people driven dimana masyarakat akan menjadi aktor penting dalam proses formulasi kebijakan dan pengambilan keputusan politis. Kunci keberhasilan untuk mencapai kondisi tersebut adalah merubah paradigma yang meredefinisi peran Pemerintah yang lebih memberi otonomi pada masyarakat (reposisi peran dari ”provider” menjadi ”enabler”), sehingga diperoleh adanya transformasi kelembagaan dari yang bersifat represif menjadi representatif. Paradigma tersebut kini menjadi sebuah kebutuhan yang harus direspon pula di tingkat daerah, seiring dengan otonomi daerah, dengan melaksanakan pembangunan yang berbasis kerakyatan. Salah satunya pemberdayaan di bidang ketenagakerjaan, khususnya kelompok masyarakat miskin, terutama data statistik angkatan kerja, pencarian dan kondisi masyarakat sejahtera dan pra-sejahtera. Realitas tersebut sangat terlihat terutama di daerah urban maupun 189
sub-urban, yang membutuhkan adanya distribusi pertumbuhan penduduk yang tinggi dan dinamika ekonomi yang semakin kompleks, seperti hal-nya di Kota Bekasi, yang sangat bertalian erat dengan aktifitas Ibukota Negara / DKI Jakarta. Data statistik Kota Bekasi tahun 2006 menunjukkan bahwa dari 794.208 jiwa angkatan kerja, sebanyak 102.019 orang pencari kerja. Kelompok angkatan kerja dari tahun 2003 sampai dengan 2005 mengalami fluktuasi yakni pada tahun 2003 sebesar 54,51%, pada tahun 2004 sebesar 55,88% dan pada tahun 2005 sebesar 55,44%. Sedangkan penduduk yang mencari
pekerjaan dari tahun 2003 sampai dengan 2005 mengalami kenaikan yaitu pada
tahun 2003 sebesar 7,22%, pada tahun 2004 sebesar 7,71% dan pada tahun 2005 mengalami penurunan menjadi sebesar 7,12%. Jumlah pengangguran/pencari kerja tahun 2003 mencapai 95.513 jiwa (13,25%) dari jumlah angkatan kerja, tahun 2004 mencapai 104.284 jiwa (13,80%) dan tahun 2005 mengalami penurunan, yaitu 102.019 jiwa (12,84%) dari jumlah angkatan kerja. Ada beberapa faktor kendala untuk dapat dipecahkan / mencari solusi pemecahannya,antara lain : a)
Kelulusan SLTA yang sederajat banyak yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dikarenakan memerlukan biaya yang besar;
b)
Penempatan Tenaga Kerja di Sektor Formal Terbatas;
c)
Pencari kerja untuk dapat mengisi lowongan pekerjaan sesuai yang dibutuhkan, tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditemukan;
d)
Keterampilan yang dimiliki pencari kerja, kualitas dan pendidikan yang masih rendah, terutama kelompok penduduk miskin;
e)
Jumlah pencari kerja dibandingkan dengan kesempatan kerja yang tersedia tidak seimbang. Kemiskinan
merupakan
masalah
yang
dihadapi
oleh
semua
Pemerintah
Kabupaten/Kota di Indonesia yang saat ini jumlahnya sudah meningkat sehingga dampak terjadinya krisis ekonomi yang multidimensional. Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum, ukuran kemiskinan berdasarkan pengeluaran yang diperlukan untuk memenuhi standar gizi minimum dan kebutuhan mendasar lainnya serta jumlah kebutuhan lain yang sangat bervariasi yang mencerminkan biaya partisipasi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu antara lain : 190
a.
Kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang;
b.
Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktifitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas SDM, karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau karena keturunan;
c.
Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Jumlah penduduk miskin di Kota Bekasi terus menerus mengalami peningkatan,
sehingga seolah-olah tidak ada upaya untuk mengantisipasi trend peningkatan pertambahan jumlah penduduk miskin setiap tahunnya. Pada Tabel-1 disajikan data jumlah penduduk miskin dalam definisi Pra-Sejahtera dan Sejahtera I di Kota Bekasi. Tabel 1. Jumlah Keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I Keluarga Prasejahtera No
Keluarga sejahtera I
Kecamatan 2006
2007
2006
2007
1
Bekasi Utara
2,593
2,925
8,104
2,925
2
Bekasi Selatan
1,011
996
8,056
8,612
3
Bekasi Timur
4,323
4,700
11,776
10,643
4
Bekasi Barat
1,211
1,204
20,471
9,161
5
Bantargebang
1,259
1,259
2,565
2,565
6
Jatiasih
1,931
2,018
3,477
4,001
7
Pondok Gede
473
476
8,343
8,544
8
Jati Sampurna
646
1,164
1,461
1,952
9
Rawa Lumbu
1,739
1,907
4,041
4,204
10
Medan Satria
1,590
1,608
8,408
7,072
11
Mustika Jaya
1,547
1,560
2,877
3,088
12
Pondok Melati
403
631
4,403
4,822
18,726
20,448
83,982
67,589
Jumlah
Sumber : RKPD Kota Bekasi Tahun 2008 191
Berbagai program yang dilakukan dalam penanggulangan kemiskinan perkotaan cenderung mengabaikan peluang penyerapan tenaga kerja dari kelompok penduduk miskin. Kegiatan yang dilakukan pada umumnya lebih diorientasikan pada upaya untuk membentuk usaha mandiri namun mengabaikan aspek pendampingan intensif sebagai upaya yang menjamin keberhasilan dan keberlanjutan kegiatan. Hal ini dengan asumsi bahwa keberadaan kelompok penduduk miskin bagaimana pun merupakan potensi, terutama yang tergolong usia kerja/produktif dan hanya memerlukan sentuhan praktis untuk mempersiapkan sebagai tenaga kerja siap pakai. Oleh sebab itu, realitas tersebut memerlukan kebijakan strategis yang tetap menyajikan keberpihakan pemerintah untuk memfasilitasi kelompok penduduk miskin, namun lebih mengarah pada memotivasi dalam membuat keputusan, yaitu: menerapkan keterampilan keterampilan kerja yang dapat mengisi lapangan kerja di Bekasi maupun di sekitar tempat tinggalnya. Dengan demikian, diperlukan rumusan berupa strategi yang efektif untuk mengembangkan potensi tenaga kerja kelompok penduduk miskin, terutama ditujukan untuk mengatasi masalah ”keterbatasan Akses yang menyebabkan kemiskinannya”. Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, maka dipandang perlu melaksakan kegiatan kajian ”Strategi Pengembangan Ketenagakerjaan Kelompok Penduduk Miskin”. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kondisi dan gambaran umum serta peta pesebaran kantung-kantung kemismkinan di Kota Bekasi? 2. Bagaimanakah potensi, kekuatan, peluang dan tantangan yang dihadapi khususnya bidang ketenagakerjaan di Kota Bekasi ? 3. Apakah harapan yang paling urgent dari kelompok Penduduk Miskin dalam menghadapi persaingan perdagangan pasar bebas. 4. Upaya-upaya apakah yang dapat dikembangkan secara strategis oleh Pemerintah Kota Bekasi dalam menyusun konsep kebijakan, Strategi dan program penanganan Masalah Ketenagakerjaan yang disusun dalam program Berjangka? 5. Bagaimana rekomendasi pemodelan yang dapat diterapkan berkaitan dengan model keswadayaan dan model kerjasama (Partisipasi Sektor Swasta atau masyarakat)?. 192
3. Tujuan
Tujuan dari kegiatan kajian Strategi Pengembangan Ketenagakerjaan Kelompok Penduduk Miskin adalah ”merumuskan konsep Kebijakan, Strategi dan Program penanganan ketenagakerjaan dari kelompok masyarakat miskin di wilayah perkotaan Bekasi, terutama dalam rangka mengendalikan dan menekan angka pengangguran”. 4. Kerangka Berpikir Disain Penelitian atau langkah pengkajian menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode multiple case study dan pemetaan sosial (social mapping). Selain itu, juga membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta kondisi dan potensi masyarakat miskin serta bentuk-bentuk pemberdayaan yang dapat dikembangkan. Goals Research ini merumuskan strategi pengembangan ketenagakerjaan bagi kelompok penduduk miskin di Kota Bekasi menggunakan analisis SWOT. Oleh sebab itu, dimensi pengkajian ini dapat dikategorikan sebagai research study yang digunakan untuk memperoleh gambaran detail suatu subyek pengkajian, dengan menggunakan data kuantitatif maupun kualitatif (Neumen, 2000: 22).
Berkaitan dengan isu sentral masalah ketenagakerjaan dalam konteks upaya penanganan kemiskinan, maka ada beberapa langkah yang harus dilaksanakan dalam kerangka berpikir sebagai berikut: (a) Pendefinisian Kemiskinan sebagai implikasi pemetaan secara operasional yang sesuai dengan kondisi eksisting wilayah kajian; (b) Identifikasi dan pemetaan kondisi kemiskinan, khususnya kantung-kantung kemiskinan; (c) Mengkaji harapan dan peluang penduduk miskin dalam menghadapi persaingan global dan lokal; (d) Analisa peluang, kekuatan, ancaman dan kelemahan serta perumusan kebijakan ketenagakerjaan; (e) Menyusun konsep kebijakan, strategi dan program penanganan Masalah Ketenagakerjaan; (f) Rekomendasi dan Pemodelan keswadayaan dan model kerjasama (Partisipasi Sektor Swasta atau masyarakat). Berdasarkan arah berpikir di atas, maka dapat dirumuskan polarisasi startegi pengembangan ketenagakerjaan bagi kelompok penduduk miskin sebagaimana terlihat pada Gambar 1.
193
Gambar 1 Kerangka Berpikir Strategi Pengembangan Ketenagakerjaan Kelompok Penduduk Miskin Kota Bekasi
B. ANALISA DAN DISAIN MODEL PENANGANAN KEMISKINAN 1.
Analisis Data Kelompok Miskin
Pertumbuhan penduduk di wilayah Kota Bekasi tergolong pesat, rata-rata Laju pertumbuhan dalam kurun waktu 2003-2007 adalah sebesar 3,45 persen. Apabila laju pertumbuhan ini tidak dapat dikendalikan dengan baik, maka penduduk Kota Bekasi dalam kurun waktu 18 tahun yang akan datang menjadi dua kali lipat atau menjadi sekitar 4,2 juta jiwa. Berdasarkan hasil Survei Indikator Pembangunan Manusia (SIPM), tahun 2007 jumlah penduduk di Kota Bekasi 2.143.804 jiwa (dengan tingkat kepadatan sebesar 10.185 jiwa perkm2), sedangkan pada tahun tahun 2006, berjumlah 2.071.444 jiwa (dengan tingkat kepadatan penduduk sekitar 9.841 jiwa/Km2), dan pada tahun 2005 tercatat 2.001.899 jiwa. Hal ini menunjukkan indikasi Kota Bekasi sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga menarik minat pendatang untuk mencari pekerjaan dan berusaha di Kota Bekasi. Permasalahan kependudukan di Kota Bekasi, pertama Permasalahan sebagai dampak ketidakseimbangan antara perkembangan jumlah dan laju pertumbuhan penduduk dengan 194
ketersediaan lahan. Kedua, Pertumbuhan jumlah penduduk juga telah meningkatkan jumlah keluarga miskin di Kota Bekasi, dimana pada tahun 2005 jumlahnya adalah 43.486 KK. Jumlah ini meningkat sebesar 22,9% dari tahun 2004 sebanyak 35.670 KK. Sementara itu, jumlah penduduk miskin di Kota Bekasi menunjukkan peningkatan di mana pada tahun 2006 mencapai 42.878 orang. Ketiga, Lemahnya strategi penanganan keluarga miskin perkotaan. Strategi program penanganan keluarga miskin perkotaan masih bersifat parsial dan tidak berkesinambungan sehingga strategi
yang
diterapkan menjadi tidak tepat sasaran dan sporadis. Permasalahan ketenagakerjaan pada kelompok penduduk miskin dapat dilihat dari berbagai segi adalah: 1. Mutu tenaga kerja yang ada dalam masyarakat belum sesuai dengan tuntutan pasar, kondisi ini tercermin pada rendahnya penyerapan tenaga kerja pada sektor formal sehingga menyebabkan tingginya angka pengangguran. 2. Peluang kerja yang tersedia tidak seimbang dengan jumlah pencari kerja yang semakin bertambah, selain dari rendahnya mutu tenaga kerja yang ada, penyebab dari tingginya angka pengangguran disebabkan oleh terbatasnya peluang kerja yang tersedia di Kota Bekasi, khususnya dalam hal ini pada kelompok penduduk miskin. 3. Kebijakan pengembangan usaha ekonomi skala menengah dan mikro serta peningkatan investasi sebagaimana dituangkan dalam Perda No. 11 Tahun 2003 tentang kerjasama swasta dan Perda No. 8 Tahun 2003 diharapkan dapat meningkatkan lapangan pekerjaan dan penghasilan para pelaku ekonomi skala menengah dan mikro, sehingga akan mendorong pada peningkatan daya beli masyarakat. Dengan demikian, peluang yang ada bagi masyarakat miskin dalam peningkatan daya beli dan ketenagakerjaan menjadi suatu hal yang penting untuk mengembangkan strategi ketenagakerjaan bagi kelompok penduduk miskin di Kota Bekasi, baik sektor formal maupun informal sehingga dapat menyerap tenaga kerja kelompok penduduk miskin menjadi cukup signifikan. Dengan dimensinya yang luas dan kompleks, kemiskinan perlu ditangani secara komprehensif dan sistemik. Faktor-faktor penyebab yang dipengaruhi begitu banyak variabel, baik yang bersifat internal maupun global, dan bersifat dinamis dari waktu ke waktu membutuhkan upaya penanggulangan kemiskinan yang perlu untuk terus diperbaharui. Berdasarkan kondisi tersebut, untuk melihat indikasi penyebab terjadinya kemiskinan telah dilakukan pemilahan secara praktis, yaitu alasan ekonomi dan alasan non ekonomi. Namun dari data 195
yang ada, informasi yang diperoleh relatif kurang mendukung, sehingga dilakukan pendekatan dari trend kemiskinan berdasarkan kriteria yang terdapat pada data yang tersedia. Data Keluarga PraSejahtera dan Sejahtera I tersebut dapat terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Keluarga Pra-Sejahtera dan Sejahtera I Kota Bekasi
NO
KECAMATAN
DESA/ KELURAHAN
JUMLAH DUSUN / RW
JUMLAH RT
PRA SEJAHTERA
KS I
1
BEKASI UTARA
6
139
1047
2925
8381
2
BEKASI SELATAN
5
90
593
996
8612
3
BEKASI TIMUR
4
82
698
4700
10643
4
BEKASI BARAT
5
86
693
1204
9161
5
BANTARGEBANG
4
30
149
1259
2565
6
JATIASIH
6
95
581
2018
4001
7
PONDOKGEDE
5
74
524
476
8544
8
JATISAMPURNA
5
59
271
1164
1952
9
RAWALUMBU
4
95
613
1907
4204
10
MEDANSATRIA
4
66
435
1608
7072
11
MUSTIKAJAYA
4
73
439
1560
3038
12
PONDOKMELATI
4
54
354
631
4822
56
943
6397
20448
72995
JUMLAH
Sumber: Data Keluarga PS dan KS-I di Kota Bekasi Tahun 2007
Berdasarkan Tabel 2. menunjukkan bahwa kondisi non-ekonomi didasarkan pada kemampuan masyarakat miskin untuk menggunakan (aksesibilitas) terhadap prasarana dasar yang ada, antara lain jamban keluarga dan air bersih. Kemudian alasan ekonomi didasarkan pada status kepala keluarga yang tidak memiliki pekerjaan / pendapatan yang bersifat tetap. Ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar (sandang, papan, pangan, air bersih, kesehatan dasar, dan pendidikan dasar) menunjukkan indikasi yang jelas pada kelompok Pra-KS dan 196
KS-I. Demikian pula dengan ketidakmampuan secara sosial untuk melaksanakan tanggungjawab sebagai pencari nafkah atau sebagai orangtua/kepala keluarga. Implikasi dari kedua kondisi tersebut pada umumnya berimplikasi lebih jauh terhadap permasalahan sosial lainnya, antara lain tidak mempunyai akses terhadap lapangan kerja / menganggur. Selain implikasi dari kondisi internalnya, faktor eksternal juga cukup berpengaruh terhadap keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan. Secara normatif hal tersebut umumnya disebabkan antara lain oleh : (1)
Kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin,
(2)
Tidak tersedianya pelayanan sosial dasar,
(3)
Terbatasnya lapangan pekerjaan,
(4)
Belum terciptanya sisten ekonomi kerakyatan,
(5)
Kesenjangan dan ketidakadilan sosial, serta
(6)
Dampak pembangunan yang berorientasi kapitalis. Berdasarkan hasil seleksi lokasi kecamatan dan seleksi serta penetapan lokasi Kelurahan
sasaran kegiatan (aplikasi pendekatan dan metode RRA / Rural Rapid Appraisal), dengan kriteria awal: (i)
Lokasi sekitar kawasan Industri
(ii)
Lokasi sekitar kawasan pusat perdagangan dan jasa;
(iii) Pernah/belum pernah menjadi sasaran program intervensi dalam rangka penanggulangan kemiskinan, skala nasional / regional / lokal. Apabila dilihat dari kriteria di atas, maka dapat dirumuskan secara rinci, ada beberapa titik utama berdasarkan data yang ada pada tahun 2007, dapat dilihat pada Tabel 3.
197
Tabel 3. Keadaan Masyarakat Berdasarkan Status Keluarga dan Kredit Mikro/Bantuan Modal.
NO
1
2
3
KECAMATAN
BEKASI UTARA
BEKASI SELATAN
BEKASI TIMUR
DESA/ KEL
6
5
4
STATUS KELUARGA PRA SEJAHTERA DAN KELUARGA SEJAHTERA I
JUMLAH KEPALA KELUARGA
YA
5
6
7
8
9
10
BEKASI BARAT
BANTARGEBANG
JATIASIH
PONDOKGEDE
JATISAMPURNA
RAWALUMBU
MEDANSATRIA
5
4
6
5
5
4
4
TIDAK
SASARAN INTERVENSI PRIORITAS
I
II
III
PRA SEJAHTERA
2925
0
2925
2925
2925
1281
KS I
8381
0
8381
8381
8381
3420
996
19
977
1002
9366
10777
KS I
8612
172
8440
0
0
0
PRA SEJAHTERA
4700
0
4700
4700
0
0
10643
0
10643
0
10643
0
PRA SEJAHTERA
1204
0
1204
604
362
242
KS I
9161
0
9161
5035
3203
915
PRA SEJAHTERA
1259
0
1259
587
0
0
KS I
2565
0
2565
0
2105
0
PRA SEJAHTERA
2018
0
2018
2018
2018
2018
KS I
4001
0
4001
4001
4001
4001
476
236
240
476
0
0
KS I
8544
2041
6503
0
8544
0
PRA SEJAHTERA
1164
0
1164
1164
0
0
KS I
1952
0
1952
0
1952
0
PRA SEJAHTERA
1907
0
1907
1907
0
0
KS I
4204
0
4204
0
4204
0
PRA SEJAHTERA
1608
0
1608
407
480
713
PRA SEJAHTERA
KS I
4
JUMLAH KELUARGA MENDAPATKAN KREDIT MIKRO/ BANTUAN MODAL
PRA SEJAHTERA
198
NO
11
12
KECAMATAN
MUSTIKAJAYA
PONDOKMELATI
DESA/ KEL
4
4
STATUS KELUARGA PRA SEJAHTERA DAN KELUARGA SEJAHTERA I
JUMLAH KEPALA KELUARGA
YA
56
TIDAK
SASARAN INTERVENSI PRIORITAS
I
II
III
KS I
7072
0
7072
1201
780
4803
PRA SEJAHTERA
1560
0
1560
1560
0
0
KS I
3038
0
3038
0
3038
0
631
0
631
631
631
631
4822
0
4822
4821
4821
4821
PRA SEJAHTERA
20448
255
20193
17981
15782
15662
KS I
72995
2213
70782
23439
51672
17960
PRA SEJAHTERA KS I
JUMLAH
JUMLAH KELUARGA MENDAPATKAN KREDIT MIKRO/ BANTUAN MODAL
Berdasarkan hasil rekapitulasi permasalahan per indikator Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I Tingkat Kota Bekasi Tahun 2007, maka apabila dilihat dari ketiga kriteria pada Tabel 3. terdapat 5 (lima) kecamatan yang tercatat lokasi yang memenuhi kriteria dimaksud, meliputi: 1) Kecamatan Bekasi Utara (6 Kelurahan); 2) Kecamatan Medan Satria (4 Kelurahan); 3) Kecamatan Bekasi Timur (4 Kelurahan); 4) Kecamatan Rawalumbu (4 Kelurahan); 5) Kecamatan Pondokgede (5 Kelurahan). Jumlah kelompok penduduk miskin di Kota Bekasi pada saat ini terhitung relatif masih cukup tinggi, dengan jumlah keseluruhan menurut data BKKBN mencapai 93.443 KK, namun menurut data PT ASKES (peserta Jamkesmas) mencapai lebih dari 155.000 KK (2007). Kondisi tersebut menuntut strategis penanganan yang dilakukan secara komprehensif, dalam hal mana secara bertahap telah dilakukan melalui upaya eksternal (kebijakan pelayanan dasar masyarakat). Upaya lain yang perlu dilakukan lebih lanjut adalah pengembangan kemampuan dari kelompok masyarakat miskin untuk lebih mampu mengembangkan potensi dan sumber daya yang dimilikinya secara produktif. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan kebijakan dan program yang bersifat intervensi sebagai upaya untuk merintis dan memotivasi kelompok masyarakat miskin dalam melakukan upaya 199
penyelesaian permasalahan yang dihadapinya, terutama masalah sumber mata pencaharian (livelihood). 2.
Perumusan Kebijakan dan Strategi Penanganan Strategi penanganan dan perumusan kebijakan tidak terlepas dari sumber kemiskinan,
meliputi: Faktor internal dan eksternal. Berkaitan dengan sumber kemiskinan di atas, maka dampak kemiskinan yang perlu diantisipasi dalam pengembangan dan penangan kemiskinan, meliputi: a) Masalah Kemiskinan yang dialami menjadi semakin sulit ditangani b) Beresiko Menjadi Kemiskinan Budaya c) Tidak Ada Kemauan/pasrah/ Patah Semangat dalam keadaan situasi kritis cenderung melakukan tidakan a-sosial, berperilaku destruktif atau melakukan tidak kriminal Kondisi tersebut secara praktis memberikan peluang yang lebih baik untuk melakukan upaya yang lebih difokuskan pada upaya mendorong tumbuhnya motivasi kelompok masyarakat miskin untuk mulai memanfaatkan kondisi yang ada melalui upaya peningkatan kapasitas / kapabilitas sumber daya yang dimilikinya. Untuk koordinasi penanggulangan kemiskinan, perlu dilakukan pengelompokkan (cluster) program-program penanggulangan kemiskinan tersebut berdasarkan segmentasi masyarakat miskin penerima program. Cluster pertama adalah kelompok program-program bantuan dan jaminan sosial yang ditujukan terutama bagi masyarakat termiskin di antara yang miskin. Termasuk di dalamnya adalah berbagai program pelayanan dasar seperti penyaluran beras bersubsidi (raskin) dan jaminan kesehatan (Jamkesmas); pemberdayaan sosial keluarga, fakir miskin, komunitas adat terpencil, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial lainnya; bantuan sosial untuk masyarakat rentan serta korban bencana alam dan sosial; bantuan tunai bagi rumah tangga sangat miskin yang memenuhi persyaratan (Program Keluarga Harapan/PKH); serta peningkatan kapasitas kelembagaan pengarusutamaan gender (PUG) dan anak (PUA). Cluster kedua adalah kelompok program-program yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Mereka yang tidak termasuk atau sudah lepas dari cluster 1 didorong dan difasilitasi untuk dapat mengoptimalkan potensi yang mereka dan lingkungan mereka miliki. Cluster ketiga ditujukan bagi kelompok yang sudah/tidak masuk ke dalam kategori penerima cluster 1 dan 2 karena dinilai memiliki mata pencaharian atau usaha yang cukup untuk dapat membiayai kebutuhan dasar mereka, namun tetap perlu ditingkatkan. Termasuk dalam cluster ini 200
adalah program-program bantuan bagi UMKM, baik berupa bantuan modal atau pun peningkatan kapasitas, dan Kredit Usaha Rakyat. Seperti trelihat pada Gambar 2.
Seleksi Kelompok Masyarakat Sasaran Strategi Tahapan Pelaksanaan
• • •
Tergolong pada kelompok Pra-Sejahtera (PraKS) dan atau Sejahtera I (KS-I); Kepala Keluarga Tidak Bekerja atau Berpenghasilan Tidak Tetap; Pendapatan keluarga (dari Kepala Keluarga atau Anggota Keluarga lainnya) kurang dari Rp. 700.000,- per-bulan.
Penetapan Jumlah Masyarakat Kelompok Sasaran
Gambar 2. Model Penanganan Ketenagakerjaan pada Kelompok Masyarakat Miskin
Aplikasinya dalam konteks pelaksanaan di Kota Bekasi, dalam strategi tahapan pelaksanaan dapat : (i)
Seleksi Kelompok Masyarakat Sasaran (aplikasi pendekatan dan metode PRA / Participatory Rural Appraisal), dengan kriteria awal: (a) Tergolong pada kelompok Pra-Sejahtera (Pra-KS) dan atau Sejahtera I (KS-I); (b) Kepala Keluarga Tidak Bekerja atau Berpenghasilan Tidak Tetap; dan (c) Pendapatan keluarga (dari Kepala Keluarga atau Anggota Keluarga lainnya) kurang dari Rp. 700.000,- per-bulan. Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan ini, pada lokasi Kecamatan tersebut diatas, perkiraan jumlah Keluarga Miskin yang berpotensi sebagai kelompok sasaran pada program intervensi yang akan dilaksanakan (memenuhi kriteria awal);
(ii)
Penetapan jumlah masyarakat kelompok sasaran, yang dalam proyek percontohan dirancang untuk mampu menangani sampai maksimum sekitar 10% dari jumlah penganggur kelompok miskin, atau sekitar 700 KK terseleksi. Namun demikian, hal tersebut akan tergantung pada alokasi waktu pelaksanaan kegiatan serta anggaran kegiatan fasilitasi. Sementara untuk implementasinya diharapkan dapat terintegrasi dengan kegiatan lain yang relevan dan bersifat chanelling, misalnya: pelaksanaan kontribusi sosial Dunia Usaha (program 201
CSR). Berdasarkan kondisi tersebut, maka metode untuk penetapan jumlah kelompok sasaran dirancang dalam bentuk seleksi berjenjang (pendekatan cluster dalam seleksi RT/RW) yang diakhiri dengan metode sensus pada lokasi RT/RW sasaran. Rekomendasi sementara untuk pelaksanaan kegiatan yang realistis, jumlah KK yang diperkirakan dapat tertangani dalam 6 (enam) bulan efektif pelaksanaan kegiatan pilot proyek adalah sekitar 200 sampai 300 KK. Dengan demikian, jumlah KK penerima manfaat yang merupakan kelompok perintis program per-Kecamatan akan berkisar sekitar 30 KK sampai 50 KK per-Kecamatan.
Kedua tahapan tersebut merupakan dasar dalam rangka perencanaan penanganan secara bertahap, yang dimaksudkan untuk dapat menyelesaikan persoalan ketenagakerjaan pada kelompok miskin yang tidak akan mungkin diselesaikan dalam kurun waktu pendek. Pentahapan kegiatan disusun secara reguler pada setiap tahun, disesuaikan dengan progres yang mampu dicapai pada setiap akhir tahun anggaran. Demikian pula halnya dengan penetapan lokasi sasaran dan kelompok sasaran. Secara keseluruhan pengalaman yang telah dilaksanakan dijadikan sebagai dasar dalam penyelenggaraan kegiatan untuk tahun anggaran berikutnya. C.
PENUTUP Beberapa hal yang perlu diperhatikan secara konsisten dari kondisi yang ada maupun proses
yang sedang berjalan, antara lain sebagai berikut:
1) Pendekatan dalam penanggulangan kemiskinan harus dilandasi premis bahwa kelompok miskin merupakan aktor utama dalam upaya penanggulangan kemiskinan, karenanya upaya tersebut harus dimulai dari ‘mendorong kesadaran kaum miskin untuk memperbaiki nasibnya (self-help)’. Dengan demikian, berbagai upaya yang dilakukan sebagai bentuk intervensi (pemerintah maupun lembaga non-pemerintah yang memiliki kepedulian) dalam upaya penanggulangan kemiskinan merupakan komponen yang bersifat suplementer dan komplementer; 2) Bercermin dari sejumlah pengalaman yang telah dilaksanakan di Kota Bekasi sesuai semangat ‘mempertegas posisi pemerintah sebagai enabler (pemberdaya)’, maka peran dan fungsi Pemerintah Kota Bekasi seyogianya sebagai pihak yang memfasilitasi dan mengkatalisasi serta memberi dukungan terhadap aktor utama (kelompok masyarakat miskin) dalam mengatasi segala permasalahannya secara mandiri; 202
3) Pendekatan sedemikian secara mendasar akan menggeser paradigma “Kebijakan dan Program Penanggulangan Kemiskinan yang bersifat mobilisasi” menjadi paradigma “Kebijakan dan Program Penanggulangan Kemiskinan yang bersifat partisipatif”. Meskipun dalam hal penyelenggaraannya tetap memperhatikan kapasitas lokal yang realistis, dengan melibatkan pihak pemerintah (pusat dan daerah), organisasi non pemerintah (LSM, lembaga pendidikan tinggi dll), ulama, Dunia Usaha dan tak kalah pentingnya adalah masyarakat miskin sendiri; 4) Keberhasilan intervensi program pemerintah / non pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Kota Bekasi, sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dan akurasi data pada masing-masing Kelurahan. Berdasarkan pengalaman pada pelaksanaan kegiatan ini, data-data kelompok masyarakat miskin tersedia dalam beberapa format yang merujuk kriteria yang berbeda sesuai dengan kebutuhan pada waktu pelaksanaan pendataan. Namun demikian, data-data tersebut belum tersimpan / terarsipkan secara baik, sehingga terjadi kesulitan pada waktu data diperlukan untuk berbagai keperluan. Kegiatan ini merujuk pada sumber Data BKKBN tahun 2007 (hasil survey Tim PLKB) yang telah diterbitkan secara resmi, mengingat sejumlah data yang diperoleh dari berbagai nara sumber lainnya tidak dapat diproses pada tahap kompilasi data. 5) Indikasi jumlah kelompok miskin yang tercatat jumlahnya terbesar secara terurut (6 besar) adalah Kec Bekasi Timur (15.343 KK), Kec Bekasi Utara (11.306 KK), Kec Bekasi Barat (10.365 KK), Kec Bekasi Selatan (9.608 KK), Kec Pondokgede (9.020 KK), dan Kec Medan Satria (8.680 KK). Namun demikian, dalam hasil seleksi berdasarkan kriteria dalam kegiatan ini, untuk prioritas penanganan yang diusulkan dapat diterapkan pada tahun yang akan datang (implementasi program) adalah sebagai berikut: Kecamatan Bekasi Utara (6 Kelurahan); Kecamatan Medan Satria (4 Kelurahan); Kecamatan Bekasi Timur (4 Kelurahan); Kecamatan Rawalumbu (4 Kelurahan); dan Kecamatan Pondokgede (5 Kelurahan). 6) Sejalan dengan rumusan Kebijakan dan Program Penanggulangan Kemiskinan Partisipatif, telah dirancang model kegiatan penanganan masalah ketenagakerjaan bagi kelompok miskin yang diharapkan dapat dilaksanakan pada TA 2009. Disain model kegiatan dimaksud, didasarkan pada hasil seleksi awal yang dilaksanakan pada tahap 203
kegiatan ini, yang mencakup 5 (lima) wilayah Kecamatan (semula direncanakan pada 2 lokasi Kecamatan) seperti diuraikan diatas; 7) Model kegiatan penanganan masalah ketenagakerjaan bagi kelompok miskin telah disusun dalam konsep “Program Peningkatan Kapasitas Angkatan Kerja (PEKAT)”, yang diharapkan mampu menjembatani proses penyerapan tenaga kerja secara proporsional. Unsur yang menjadi sasaran dalam upaya mediasi ini terutama adalah: (i) Tenaga Kerja, sebagai satu pihak yang membutuhkan pekerjaan, dan (ii) Korporasi atau Dunia Usaha, sebagai satu pihak yang membutuhkan sumber daya manusia untuk menangani berbagai kegiatan produksinya; 8) Dasar pertimbangan substansial yang menjadi kerangka pokok Program PEKAT adalah hasil analisis terhadap fakta dan data di lapangan, bahwa kemiskinan struktural merupakan kendala utama dalam upaya memperbaiki / merubah kondisi kelompok masyarakat miskin, minimal untuk mempunyai akses terhadap sumber daya potensial yang menunjang upaya merubah kondisi kemiskinannya. Oleh karena itu, Kebijakan Pemerintah Kota Bekasi hendaknya merekomendasikan Peningkatan Kapasitas SDM sebagai langkah strategis dalam Penanggulangan Kemiskinan Struktural, yang ditempuh melalui upaya “membuka akses Nakerkokin terhadap Sumber Daya” dan “meningkatkan kapasitas pengetahuan dan ketrampilan kerja Nakerkokin”; 9) Diperkirakan sekitar 80.000 penganggur tyang mempunyai potensi lebih dari 3.000 orang merupakan tenaga kerja yang tergolong kelompok miskin, yang tergolong “tidak dapat berbuat apa pun tanpa ada upaya intervensi dari pemerintah / non pemerintah”; 10) Program PEKAT 2008-2013 merupakan program yang ditujukan untuk penanggulangan masalah ketenagakerjaan khususnya dari kelompok masyarakat miskin perkotaan, melalui “Open Access and Capacity Building Approach” sebagai bentuk sentuhan praktis mempersiapkan Tenaga Kerja Siap Pakai. Dengan demikian, implementasi Program PEKAT 2008-2013 dapat menjadi ‘strategic tools’ yang efektif untuk mengembangkan potensi Tenaga Kerja Kelompok Penduduk Miskin, terutama ditujukan untuk mengatasi akar masalah “Keterbatasan Akses dan Kapabilitas yang menyebabkan Kemiskinannya”.
204
Daftar Pustaka Adi, Isbandi Rukminto. 2001. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas; Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis. Jakarta: FE-UI. Adimihardja, Kusnaka dan Harry Hikmat. 2001. PRA (Participatory Research Appraisal) dalam Pelaksanaan Pengabdian Kepada Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press. Alland. A. Jr. 1970. Ecology and Adaptation to Parasitic Diseases, dalam A.P. Vadya (ed). Environment and Cultural Behavior: Ecological Studies in Cultural Anthropology. Garden City: Natural History Press. Bennet, J.W. 1976. The Ecological transition: Central Antropology and Human Adaptation. New York, Toronto, Oxford, Sydney, Frankfurt: Pergamon Prees Inc. Craib, Ian. 1992. Teori-Teori Sosial Modern; Dari Parsons Sampai Habermas. Jakarta: Rajawali Pers. Ediyono, Setijati H. 1999. Prinsip-Prinsip Lingkungan dalam Pembangunan yang Berkelanjutan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ife, Jim. 1995. Community Development; Creating Community Alternatives-Vision, Analysis and Practic”. Australia: Longman. Jhonson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia. Kartasasmita, Ginanjar. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat; Memadukan Pertumbuhan dan pemerataan. Jakarta: Pustaka Cidesindo. Korten, David C. 1993. Menuju Abad ke-21: Tindakan Sukarela dan Agenda Global Forum Pembangunan Berpusat-Rakyat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Pustaka Sunar Harapan. ___________. 1992. Management Community; Asian Experience and Perspektves. Kumarian Press. Miles, Mathew B. dan A. Michael Huberman. 1992. Analisa Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Moleong, Lexi J. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nasikun. 1993. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Neuman, William Lawrence. 2000. Social Research Methods; Qualitative and Quantitative Approaches. A Pearson Education Company. Ritzer, George. 1996. Modern Sociological Theory. Singapore: The McGraw-Hill Company Rangkuti, Freddy. 1999. Analisis SWOT; Teknik Membedah Kasus. Jakarta: Gramedia Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yoygakarta: Tiara Wacana Yogya Setiawan, Bonni. Peralihan ke Kapitalisme di Dunia Ketiga; Teori-Teori Radikal dari Kalsik Sampai Kontempore”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sheldon E.B and W.E. Moore. 1968. Indicator of Social Change Concepts and Measurements. New York: Russel Sage Foundation.
205
Sjahrir dan Brown. 1992. Indonesian Financial and Trade Policy Deregulation: Reform and Response, dalam Adrew J. MacIntyre and Kanishaka Jayasuriya (eds). The Dynamic of Economic Policy Reform in South-East Asia and South-West Pasific. Singapore: Oxford University Press. Sobary, Mohamad.1995. Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
206