ISSN: 2089-7553
STRATEGI PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENINGKATAN KINERJA PEGAWAI MELALUI PENDEKATAN PENDIDIKAN AGAMA (PERSPEKTIF HUKUM HINDU) Oleh : I Made Kastama*
Abstrak Tindak Pidana Korupsi dapat dianggap sebagai suatu bentuk kejahatan administrasi yang dapat menghambat usaha-usaha pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Disamping itu, tindak pidana korupsi juga dapat dilihat sebagai tindakan penyelewengan terhadap keidah-kaidah hukum dan norma-norma sosial yang hidup dalam masyarakat. Perilaku korupsi adalah mengambil secara tidak jujur perbendaharaan milik publik atau barang yang diadakan dari pajak yang dibayarkan masyarakat untuk kepentingan memperkaya diri sendiri. Dalam upaya menghadapi berbagai tantangan, termasuk salah satunya kejahatan korupsi, salah satu persyaratan yang perlu dikembangkan adalah komitmen yang tinggi untuk menerapkan nilai luhur peradaban bangsa dan prinsip “Good governance” dalam penuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa bernegara. Terlaksananya sistem Good governance dalam pelaksanaan pemerintahan tidak terlepas daripada keberadaan agama. Keberadaan agama dalam rangka pembangunan nasional memiliki kedudukan yang amat strategis karena disamping sebagai landasan spiritual juga menjadi moral dan etika dalam proses pembangunan bangsa. Dewasa ini peran pengawasan masih lemah, yang semestinya disadari bahwa pengawasan memiliki hubungan yang erat dengan penegakan peraturan perundang-undangan, karena melakukan pengawasan harus ditindaklanjuti dengan penegakan peraturan perundang-undangan.
Kata Kunci : Korupsi, Penanggulangan dan Peningkatan Kinerja
*
Dosen Pada Jurusan Dharma Sastra STAHN-TP Palangka Raya
Belom Bahadat: Volume V Nomor 2, Juli-Desember 2015
1
I.
PENDAHULUAN Globalisasi yang menyentuh berbagai bidang kehidupan di seluruh wilayah pemerintahan negara Indonesia menuntut reformasi sistem perekonomian dan pemerintahan termasuk birokrasinya, sehingga memungkinkan interaksi perekonomian antar daerah berlangsung secara efisien. Kunci keberhasilan pembangunan di bidang perekonomian masyarakat Indonesia adalah daya saing dengan catatan efisiensi proses pelayanan, serta mutu ketepatan dan kepastian pelayanan publik. Pelayanan publik diartikan sebagai pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. (Lijan Poltak Sinambela, 2008 : 5). Dalam upaya menghadapi berbagai tantangan, salah satu persyaratan yang perlu dikembangkan adalah komitmen yang tinggi untuk menerapkan nilai luhur peradaban bangsa dan prinsip “Good governance” dalam penuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa bernegara, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. ( Sedarmayanti, 2004 : v). Terlaksananya sistem Good governance dalam pelaksanaan pemerintahan tidak terlepas daripada keberadaan agama. Keberadaan agama dalam rangka pembangunan nasional memiliki kedudukan yang amat strategis karena disamping sebagai landasan spiritual juga menjadi moral dan etika dalam proses pembangunan bangsa. Agama sebagai sistem nilai dalam kehidupan harus dipahami dan diamalkan dalam kehidupan individu, keluarga dan masyarakat sehingga dapat menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kehidupan sekarang agama memiliki daya konstruktif, regulatif dan reformatif dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pelaksanaan dan pengamalan ajaran agama mempunyai daya tangkal yang efektif terhadap adanya kecenderungan berperilaku menyimpang, menghumbar hawa nafsu, bertindak di luar batas kemanusiaan dan atau aturan hukum, berperilaku negatif termasuk melakukan tindakan korupsi dalam arti negatif yang amat merugikan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dewasa ini. Kelesuan perekonomian nasional semakin diperparah oleh merajalelanya korupsi, baik tingkat regional maupun nasional di berbagai sektor. Korupsi yang terjadi cenderung sangat terorganisir dan terstruktur dengan rapi sehingga menyulitkan petugas terkait untuk memberantasnya. Dengan kata lain, diduga korupsi telah membudaya di
Belom Bahadat: Volume V Nomor 2, Juli-Desember 2015
2
negeri ini tidak saja terlihat dalam organisasi pemerintah tetapi lebih mengherankan lagi justru telah terlihat dalam lembaga- lembaga peradilan. (Lijan Poltak Sinambela, 2008 : 133). Menghilangkan korupsi bukanlah perkara mudah karena “ia” telah berurat akar dan menjalar kemana-mana di negeri kita ini. Tidak semua orang rela jalan pintasnya untuk kaya diungkit-ungkit. Korupsi merupakan kejahatan sempurna bukan epos tentang penjahat yang tidak pernah tertangkap penegak hukum dan mempertanggungjawabkannya dengan menjalani hukuman. (Farida Nugrahini, Fokus pengawasan, 2009 : 50). Istilah korupsi sering dikaitkan dengan ketidakjujuran atau kecurangan seseorang dalam bidang keuangan. Dengan demikian melakukan korupsi berarti melakukan kecurangan atau penyimpangan menyangkut keuangan. (Elwi Danil, 2012 : 3) Peluang timbulnya korupsi sangat kompleks, sehingga masalah korupsi sarat dengan berbagai kompleksitas masalah. Antara lain masalah sikap mental/moral, masalah pola/sikap hidup dan budaya sosial, masalah lingkungan sosial dan kesenjangan sosial-ekonomi, masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi dan struktur/sistem ekonomi, masalah sistem/budaya politik, masalah lemahnya birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan publik. (Barda Nawawi Arief, 2001 : 131) Dewasa ini peran pengawasan masih lemah, yang semestinya disadari bahwa pengawasan memiliki hubungan yang erat dengan penegakan peraturan perundang-undangan, karena melakukan pengawasan harus ditindaklanjuti dengan penegakan peraturan perundang-undangan. Pengawasan merupakan kegiatan yang menghasilkan kondisi yang bernama “penegakan peraturan perundangundangan” (Departeman Agama RI, 2007 : 44). Adanya pengawasan sebagai salah satu fungsi manajemen harus mampu memberikan kontribusi yang positif dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional sekaligus mencegah terjadinya penyelewengan, pemborosan dan kegagalan dalam mencapai tujuan tugas yang diemban dan pembangunan sesuai dengan bidangnya. Pengawasan dengan pendekatan Agama merupakan salah satu pendekatan dalam upaya menanamkan kesadaran nilai-nilai agama dengan sentuhan hati nurani sehingga mendorong seseorang untuk berbuat baik, kebajikan dan amal saleh yang dilandasi kejujuran dan tanggung jawab dalam menjalankan tugas yang di bebankan kepadanya.
Belom Bahadat: Volume V Nomor 2, Juli-Desember 2015
3
II. PEMBAHASAN A. Kecenderungan Terjadinya Tindak Pidana Korupsi Tindak Pidana Korupsi dapat dianggap dan dilihat sebagai suatu bentuk kejahatan administrasi yang dapat menghambat usaha-usaha pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Disamping itu, tindak pidana korupsi juga dapat dilihat sebagai tindakan penyelewengan terhadap keidah-kaidah hukum dan norma-noram sosial lainnya. (Elwi Danil, 2012 : 70). Perilaku korupsi adalah mengambil secara tidak jujur perbendaharaan milik publik atau barang yang diadakan dari pajak yang dibayarkan masyarakat untuk kepentingan memperkaya dirinya sendiri. Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh berupa status, kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kelompok sendiri. (Farida Nugrahini, Fokus Pengawasan, 2009 : 50) Dalam dinamika kehidupan manusia ternyata adanya kecenderungan terhadap terjadinya praktek Korupsi merupakan persoalan yang cukup komplek dan rumit menyelimuti setiap kehidupan manusia. Manusia dengan segala eksistensinya memiliki berbagai pemikiran, emosi, keinginan, kemampuan dan tantangan dalam hidup dan kehidupannya yang dapat menyeret seseorang untuk melakukan tindakan yang sering menyimpang dari hakekat dan misi kemanusiaanya. Kegiatan pelaksanaan tugas sejumlah aparatur negara sekarang ini meskipun telah memiliki kode etik yang sangat mengikat sebagai pencerminan dari kebijakan moral dan etika, namun dalam kenyataannya sulit dipungkiri bahwa terjadinya penyimpangan moral dan berbagai bentuk yang nampak maupun tersembunyi. Dari berbagai hasil pengamatan di lapangan ditemukan terjadinya penyimpangan perilaku dengan berbagai modus operandi dan penyebabnya. Dari sinilah perlu adanya pengawasan dengan pendekatan agama dalam rangka turut mengatasi dan menanggulanginya. Kalau kita cermati mengenai kecenderungan terjadinya korupsi dapat bersumber dari berbagai faktor terutama menyangkut persoalan moral individual, faktor sosial ekonomis dan sosial kultural. Kesemuanya ini dapat mempengaruhi kecenderungan terjadinya korupsi dalam kehidupan kerjanya. Dalam persoalan moral individual yang bersifat psikologis seperti persoalan keserakahan, ketidak jujuran, keinginan memenuhi berbagai hasrat duniawi yang berlebihan dari nafsunya, tidak mampu mengendalikan diri dan sebagainya. Sedangkan yang bersumber dari sosial ekonomis menyangkut ketertinggalan ekonomi, rendahnya
Belom Bahadat: Volume V Nomor 2, Juli-Desember 2015
4
pendapatan, rasa malu dalam suatu status ekonomi dan banyaknya kebutuhan pokok yang tidak terpenuhi sementara penghasilan tidak mencukupi, termasuk besarnya pengeluaran yang tidak diperhitungkan dengan baik dan sebagainya. Adapun yang menyangkut persoalan sosio kultural berkenaan dengan terbangunnya anggapan bahwa hampir segalanya bisa diselesaikan dengan materi, disamping anggapan lain yang terpenting bukan kualitas dan hasilnya akan tetapi kedekatan dan kuantitas materi, sehingga segalanya bisa diselesaikan bersama. Berangkat dari pandangan di atas, maka dapat dipahami bahwa kecenderungan terjadinya korupsi dapat bersumber dari persoalan moral dan psikologi individual, persoalan sosial ekonomis dan persoalan sosial kultural. Dari sumber masalah inilah yang sering membawa seseorang menjadikan dinamika kerja ke arah adanya penyimpangan melalui kegiatan korupsi yang cukup merugikan kehidupan bersama, masyarakat, bangsa dan negara sekarang ini. Disamping penyebab di atas, diungkap pula penyebab penyimpangan dapat dilihat pada aspek perilaku individu, aspek organisasi, aspek lingkungan dan aspek peratuan perundang-undangan. Dalam aspek perilaku individu menyangkut soal keserakahan, adanya peluang dan kesempatan, besar dan mendesaknya kebutuhan serta gaya hidup mewah dan konsumtif dalam kehidupan. Kesemuanya ini memerlukan kehati-hatian dalam mengembangkan peran yang tepat, menghindari terjadinya penyimpangan dalam bentuk korupsi yang cukup menjadi penyakit dalam kehidupan sosial dan pemerintahan dewasa ini. B. Lemahnya Pelayanan Prima Pegawai dalam Melaksanakan Tugasnya Untuk melihat kelemahan dalam pelayanan seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesugguhnya dapat dicermati dari realitas aktivitas lembaga yang menjadi otorisasi dalam mengembangkan fungsi dan perannya (tupoksi: tugas pokok dan fungsi). Pengembangan fungsi dan peran pelayanan ini sangat menentukan keberhasilan pelayanan yang diberikan. Disinilah perlu upaya pelayanan yang prima dan kontinu dalam rangka terus memberikan pelayanan yang terbaik dalam melaksanakan tugasnya. Dalam pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dan mahasiswa atau orang lain, sering terdapat kelemahan yang menyangkut pemberian informasi, kelemahan dalam memberikan respon positif dan konstruktif, kelemahan dalam memahami dan memberikan solusi
Belom Bahadat: Volume V Nomor 2, Juli-Desember 2015
5
masalah, kelemahan administrasi dan operasional yang tepat dan akurat dalam mengatasi dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi serta kelemahan dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat pada umumnya. Kelemahan-kelemahan ini ada yang bersifat makro dan ada juga yang bersifat mikro yang keduanya ini sesungguhnya saling berhubungan dan saling membuat sebab akibat keduanya, sehingga persoalan yang besar dapat menyebabkan bermunculannya persoalan sederhana dan persoalan kecil lainnya. Kelemahan lain dalam melaksanakan pelayanan tugasnya menyangkut lemahnya wawasan terhadap profesi, kurangnya sikap dan komitmen terhadap jenis profesinya serta lemahnya kecakapan dan ketrampilan dalam menjalankan tugas dalam rangka memberikan pelayanan prima. Hal pertama yang harus dirubah adalah mengubah mindset birokrat; dari penguasa menjadi pelayan masyarakat. Budaya dan etika pelayanan sangat sulit berkembang dalam birokrasi karena pejabat birokrasi justru menempatkan dirinya sebagai pihak yang membutuhkan pelayanan dari masyarakat. ( Departemen Agama RI, 2007 : 12 ). Kelemahan inilah yang membuat suatu sistem manajemen kelembagaan kurang mampu memberikan peran distributif yang komunikatif, akomodatif dan responsif terhadap berbagai kesulitan dan masalah yang dihadapi. Peningkatan kinerja pegawai sangat diperlukan dengan melakukan suatu kegiatan dan menyempurnakan pekerjaan tersebut sesuai dengan tanggungjawabnya sehingga dapat mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan. Kinerja pegawai didefinisikan sebagai kemampuan pegawai dalam melakukan sesuatu dengan keahlian tertentu (Lijan Poltak Sinambela, 2008 : 136). Dengan demikian kinerja yang telah dilakukan merupakan hasil evaluasi terhadap pekerjaan tersebut sehingga dapat diketahui seberapa jauh kemampuan pegawai dalam melaksanakan tugasnya. Untuk mengetahui hal tersebut diperlukan penentuan kreteria pencapaiannya yang ditetapkan secara bersama-sama. C.
Upaya Penanggulangan Tindakan Korupsi Melalui Pendekatan Agama (Perspektif Hukum Agama Hindu) Tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara sehingga memerlukan penanganan yang luar biasa. Selain itu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan serta perlu didukung oleh sumber daya
Belom Bahadat: Volume V Nomor 2, Juli-Desember 2015
6
manusia maupun sumber daya lainnya seperti peningkatan kapasitas kelembagaan serta peningkatan penegakan hukum guna menumbuhkan kesadaran dan sikap tindak masyarakat yang anti korupsi. (UndangUndang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, 2011 : 19) Mengenai usaha penanggulangan tindakan korupsi memang merupakan persoalan yang sering dan sudah dilakukan, akan tetapi sering kurang membuahkan hasil yang maksimal. Usaha penanggulangan ini ada dua pendekatan hukum yang digunakan sebagai sarana untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu pendekatan “preventive administrative” dan pendekatan “repressive judicial”. Pendekatan preventif administratif disalurkan melalui bekerjanya ketentuanketentuan hukum tata usaha negara dan pendekatan represif yudisial disalurkan melalui bekerjanya ketentuan-ketentuan hukum pidana. (Elwi Danil, 2012 : 183). Disamping dua pendekatan tersebut di atas ada pola pendekatan yang sangat penting ikut menentukan penangulangan tindak pidana korupsi yaitu pola pendekatan religius yang dilakukan dalam pengawasan melalui pendekatan agama meliputi : 1.
Pendekatan rasional, yaitu upaya penanaman nilai-nilai agama yang berkaitan dengan pengertian dan hakikat pengawasan dengan menggunakan pemikiran logis dan argumentatif yang dapat diterima akal sehat. 2. Pendekatan afektif, yaitu upaya penanaman nilai-nilai agama yang berkaitan dengan pengawasan dan menyentuh hati nurani umat beragama. 3. Pendekatan pembiasaan (habit forming) yaitu upaya penanaman nilainilai agama dengan pengawasan melalui penanaman akhlak mulia dan tata nilai positif yang berkembang di lingkungan masyarakat. 4. Pendekatan penteladanan, yaitu penanaman nilai-nilai agama dalam pengawasan melalui contoh atau teladan yang baik dari aparatur negara dan para tokoh terhadap masyarakat pada umumnya. (Departemen Agama RI, 2004 : 9) Pendidikan agama menjadi salah satu kekuatan besar dalam membentuk sikap dan perilaku, pendidikan agama menjadi satu sistem yang mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan sikap dan perilaku. (Tulus Tu’u, 2004 : 73). Pendekatan agama ini sangat berpengaruh untuk terwujudnya good governance, sehingga mampu
Belom Bahadat: Volume V Nomor 2, Juli-Desember 2015
7
memberikan pelayanan publik dengan baik. Secara teoritis pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat, untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari : 1. Transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti; 2. Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perunang-undangan; 3. Kondisional, pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas; 4. Partisipasif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat; 5. Kesamaam hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial dan lain-lain; 6. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik. (Lijan Poltak Sinambela, 2008 : 6) Dalam upaya melakukan penanggulangan terhadap terjadinya korupsi melalui pendekatan kultural berarti terus membangun tatanan nilai-nilai yang positif dan konstruktif dalam menata lingkungan dan dinamika kerja ke arah aparatur yang benar, bersih dan berwibawa dalam menjalankan berbagai tugas sesuai dengan prosedur dan mekanismenya secara tepat, akurat dan bertanggung jawab. Adapun melalui pendekatan agama yaitu menyangkut upaya menanamkan nilai-nilai agama yang benar dan relevan dalam menunjang terwujudnya penyelenggaraan aparatur pemerintahan yang baik, jujur dan berwibawa. Berbagai nilai dan ajaran agama yang membawa kepada kebaikan, kebenaran dan amal saleh perlu terus dipupuk dan dihargai sehingga ajaran dan nilai-nilai ini dapat terus tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Agama dapat menjadi motivator, dinamisator dan katalisator berbagai nilai yang dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap berlangsungnya kegiatan pemerintahan yang baik dan benar dengan menjauhkannya dari berbagai praktek korupsi yang amat merugikan kehidupan masyarakat.
Belom Bahadat: Volume V Nomor 2, Juli-Desember 2015
8
Disamping melalui pendekatan kultural dan agama dapat juga dikembangkan upaya penanggulangannya melalui pendekatan hukum dan pengawasan secara umum. Melalui pendekatan hukum sebagai bagian dari upaya menegakkan disiplin kerja, tidak mencari-cari kesalahan, bekerja keras, teguh pada pendirian sekaligus ketaatan terhadap ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan. Demikian pula melalui pendekatan pengawasan secara berjenjang dan kontinu dapat menekan dan mengurangi serta tidak mustahil akan dapat mengurangi bahkan menghilangkan berbagai praktek korupsi. Kalau kita perhatikan dalam upaya penanggulangan praktek korupsi, pendekatan agama merupakan bagian yang amat penting, sebab agama langsung akan membangun kesadaran pribadi dan sosial dalam rangka menata peran, tingkah laku dan perbuatannya secara tepat dan benar, serta saling menasehati bahwa praktek korupsi bertentangan dengan visi dan misi ajaran agama yang dianutnya. Sebagaimana dikatakan dalam Kitab Sarasamuccaya Sloka 12 : Kamaarthau lipsamanastu dharmmamevaditascaret, Nahi dharmmadapetyarthah kamo vapi kadcana Artinya : Pada hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka seharusnya dharma hendaknya dilakukan lebih dulu; tak tersangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti; tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma.(Nyoman Kajeng, 2005 : 15). Begitu juga ditegaskan dalam kita Saracamuccaya sloka 266 sebagai berikut : Yer thah klacedna mahata dharmasyatikramena va, Arerva pranipatena ma sma tesu krtha manah Artinya : Adalah uang yang diperoleh dengan jalan jahat (melakukan siksaan), uang yang diperoleh dengan jalan melanggar hukum ataupun uang persembahan musuh, uang yang demikian halnya jangan hendaknya diingin-inginkan. (Nyoman Kajeng, 2005 : 202). Untuk mengatasi berbagai penyimpangan harus dimulai dari diri sendiri, dalam bentuk pengawasan pada diri sendiri (introspeksi diri) yang merupakan salah satu bentuk kesadaran moral bahwa dirinya senantiasa diawasi oleh Tuhan, sehingga malu dan takut berbuat dosa
Belom Bahadat: Volume V Nomor 2, Juli-Desember 2015
9
yang bisa berakibat pada kehidupannya kelak. Sebagaimana tersirat dalam kitab Hukum Hindu (Manawadharmasastra VIII pasal 85) sebagai berikut : Manyante vai papa krto Na kascit pasyatiti nah Tams tu devah prapasyanti Svasyaivantara purusah Artinya : Sesungguhnya orang yang jahat berkata dihati mereka “Tak seorangpun melihat kita” tetapi Dewa-Dewa dengan jelas melihat mereka dari Purusa yang ada dalam dada mereka. Strategi pencegahan dan penanggulangan penyimpangan yang paling efektif dan berdampak nyata adalah melalui kemauan dan kemampuan setiap orang untuk tidak melakukan penyimpangan dalam posisi, kedudukan dan jabatan apapun yang diamanatkan. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui : Upaya Individu yaitu menyadari sepenuhnya bahwa Tuhan melihat apa yang kita lakukan, berperilaku sesuai hati nurani, melakukan ajakan kepada kebajikan dan mengembangkan budaya malu. Perlu disadari bahwa setiap orang atau pegawai menekankan dirinya pada perbuatan menjalankan dharma, sebagaimana dikatakan dalam Manawadharma sastra IV 170 sebagai berikut : Adharmiko naro yo hi Yasya capya nrtam dhanam Himsaratasca yo nityam Nehasau sukhamedhate Artinya : Tidak akan ada orang yang akan hidup tidak penuh dosa, orang yang mengumpulkan kekayaan dengan jalan yang tidak halal, orang yang selalu gembira jika dapat menyakiti orang lain tidak akan bisa sampai merasakan kebahagiaan dalam hidup di dunia ini. Sedangkan Upaya organisasi yaitu setiap pimpinan satuan organisasi harus mampu menempatkan dan menjadikan dirinya sebagai teladan, mengupayakan pembinaan karier secara obyektif dan adil sehingga dapat terwujud prestasi kerja yang baik dan setiap pimpinan harus konsisten terhadap pelaksanaan sistem dan budaya kerja dalam organisasi secara berkesinambungan. Pemimpin juga dapat mengambil
Belom Bahadat: Volume V Nomor 2, Juli-Desember 2015
10
tindakan disiplin terhadap pegawai atau bawahannya yang menyelewengkan tugas atau tidak loyal melaksanakan tugasnya, seperti yang ditegaskan dalam Kitab Manawadharmasastra VIII pasal 128 sebagai berikut : Adandyan dandayan raja Dandyams caivapyadandayan Ayaso mahadapnoti Narakam caiva gacchati Artinya : Raja yang menghukum orang yang tidak layak dan tidak menghukum orang yang patut dihukum akan menyebabkan sangat tidak populer baginya dan bahkan akan tenggelam ke dalam neraka setelah mati. Upaya penanggulangan tindakan korupsi melalui pendekatan agama Hindu ini khususnya bagi pejabat atau pegawai yang beragama Hindu agar berpegang teguh pada ajaran Hukum Hindu yaitu Dharma sebagai hukum Hindu. Dharma inilah hukumnya dari segala aspek kemanusiaan yang kiranya sudah terkenal ucapan-ucapan sebagai berikut: Ilmu tanpa Dharma membahayakan Harta tanpa Dharma menyengsarakan Kedudukan tanpa Dharma mengelisahkan Manusia tanpa Dharma terasa hampa (Gde Oka Netra, hal. 36)
III. PENUTUP Upaya penanggulangan korupsi dan peningkatan kinerja pegawai melalui pendekatan agama khususnya agama Hindu merupakan bagian yang sangat penting untuk diterapkan dalam rangka menunjang keberhasilan instansi tempat kerja dan pembangunan. Penanggulangan terhadap korupsi harus dibangun baik secara vertikal maupun horizontal serta terus berupaya penghapusan korupsi secara sistematis dan berkesinambungan dalam setiap isntansi. Setiap pegawai dengan berbagai pemikiran diharapkan terus membangun kemampuan moralitas dalam bekerja secara tepat, benar dan jujur dengan cara membangun mulai dari diri sendiri untuk terus berbuat kebajikan. Adanya upaya penanggulangan terjadinya penyimpangan secara proporsional dan profesional dibutuhkan kesadaran semua aparatur pegawai untuk turut Belom Bahadat: Volume V Nomor 2, Juli-Desember 2015
11
mengatasi dan menyelesaikan masalah penyimpangan yang terjadi. Oleh karena itu ajaran dari sumber hukum Hindu menegaskan (Sarasamuccaya, ayat 41) sebagai berikut : Na tata parasya sandadhyat pratikulam yadatmanah, Esa samksepato dharma kamadanyat pravartate Artinya : Maka yang harus anda perhatikan, jika ada hal yang ditimbulkan oleh perbuatan, perkataan dan pikiran, yang tidak menyenangkan dirimu sendiri, malahan menimbulkan duka yang menyebabkan sakit hati; perbuatan itu jangan hendaknya anda lakukan kepada orang lain, jangan tidak mengukur baju di badan sendiri, perilaku anda yang demikian, itulah dharma namanya, penyelewengan ajaran dharma, jangan hendaknya dilakukan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa strategi penanggulangan tindak pidana korupsi dan peningkatan kinerja pegawai melalui pendekatan Hukum Agama Hindu dapat dilakukan dengan cara: 1. 2.
3. 4. 5.
Menanamkan nilai-nilai positif dan kostruktif; Melaksanakan ajaran agama yang benar dan relevan sesuai Dharma dalam menunjang penyelenggaraan apartur yang bersih dan berwibawa Menanamkan budaya malu dengan penuh kesadaran bahwa perbuatan kita diawasi oleh Tuhan/Hyang Widhi Wasa Konsisten terhadap pelaksanaan sistem dan budaya kerja dengan menjadikan diri sebagai teladan Mewujudkan pelayanan Prima berlandaskan yadnya
Belom Bahadat: Volume V Nomor 2, Juli-Desember 2015
12
Daftar Pustaka Chazawi Adami, 2003. Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayu media, Malang Jawa Timur. Danil Elwi, 2012. Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Departemen Agama RI, 2007. Konsep, Strategi Dan Implementasi Good Governance Dalam Pemerintahan, Jakarta. Departemen Agama RI, 2004. Pengawasan Dengan Pendekatan Agama Untuk Penyuluh Agama, Guru dan Widyaiswara, Proyek Penyebarluasan Pengertian dan Kesadaran Pengawasan Melalui Agama. Jakarta. Fokus Pengawasan, 2009. Perspektif Pengawasan Di Era Transisi Politik, Inspektorat Jenderal Dep. Agama, Jakarta Kajeng Nyoman, 2005. Sarasamuccaya Dengan Teks Bahasa Sansekerta Dan Jawa Kuno, Paramita, Surabaya. Pudja Gde dan Tjokorda Rai Sudharta, 2010. Manava Dharmasastra (Manu Dharmasastra) atau Veda Smrti Compendium Hukum Hindu, Paramita, Surabaya. Tu’u Tulus, 2004. Peran Disiplin Pada Perilaku Dan Prestasi Siswa, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Netra Gde Oka, Remaja Agama dan Pembangunan (Sebuah Tinjauan Singkat), Yayasan Widya Graha, Jakarta. Sinambela Lijan Poltak, 2008. Reformasi Pelayanan Publik Teori, Kebijakan dan Implementasi, Bumi Aksara, Jakarta. Undang-Undang RI Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR), Cira Umbara, cetakan V Tahun 2011
Belom Bahadat: Volume V Nomor 2, Juli-Desember 2015
13