STRATEGI NARATIF DAN ALIENASI DALAM TIGA NOVEL KARYA J.M. COETZEE
ANA MARATU AL SHOLIHAH 180410080005
PROGRAM STUDI SASTRA INGGRIS FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR JULI 2012
Strategi Naratif dan Alienasi dalam Tiga Novel Karya J. M. Coetzee oleh Ana Maratu Al Sholihah*
Abstract The aim of this undergraduate thesis is to analyze how alienation is described within narrator and related characters‟ point of view in J.M.Coetzee‟s Foe, Waiting for the Barbarians and Disgrace. The alienation will be linked to literary aspects such as gender inequality in the stories. Using Gerrad Gennete‟s concept of „strategy of 1
narrative transmission‟, in this paper, I will argue that the alienation itself has a
relation to the technique of narrative transmission used by the narrator to deliver the story. Several specific components are used to analyze the relation between alienation and strategy of narrative transmission itself; focus of narration, point of view and forms of speech (either direct or indirect speech). More specifically, by using Gerrad Gennete‟s narrative transmission theory and Karl Marx‟s alienation theory, this undergraduate thesis critically examines how the alienation, experienced by the narrator and the related characters, affects the way they tell the stories. Moreover, I argue that the relationship between alienation and strategy of narrative transmission in a story may be formed in any connection and condition. In brief, my undergraduate thesis will present about an understanding of alienation and strategy of narrative transmission itself, which are interconnected to each other. Keywords: Alienation, Gender, Patriarchy, Strategy of Narrative Transmission
1
Mahasiswa program Sarjana, Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (Lulus Juli 2012).
Abstrak Tujuan penulisan penelitian ini adalah untuk menunjukkan bagaimana konsep keterasingan digambarkan melalui sudut pandang penutur cerita serta sudut pandang karakter-karakter terkait dalam tiga novel karya J.M Coetzee, Foe, Waiting for the Barbarians, dan Disgrace. Konsep keterasingan ini memiliki keterkaitan dengan ketimpangan gender yang terjadi. Konsep keterasingan itu sendiri memiliki hubungan dengan teknik penyampaian narasi yang digunakan penutur cerita dalam menyampaikan ceritanya. Saya menggunakan beberapa komponen tertentu dalam teks naratif yang saya jadikan sumber data ini yaitu, fokus narasi, sudut pandang penutur cerita dan bentuk ujaran saat cerita disampaikan (baik berupa ujaran langsung maupun ujaran tak langsung). Saya menganalisis ketiga novel tersebut dengan menggunakan teori teknik penyampaian narasi Genette dan teori alienasi Marx dengan maksud untuk melihat bagaimana keterasingan yang dialami si penutur cerita dan karakter-karakter terkait memengaruhi cara mereka dalam menyampaikan cerita. Dalam penelitian ini juga akan diteliti bagaimana hubungan antara keterasingan yang dialami dengan strategi penyampaian cerita saling berkaitan satu sama lain. Kata kunci: Alienasi, Gender, Patriarki, Strategi Naratif.
Pendahuluan Dalam tiga novel karya J.M. Coetzee yang berjudul Foe (1987), Waiting For the Barbarians (1982), dan Disgrace (1999) tampak adanya isu alienasi, terkait dengan masalah ketimpangan gender, yang disebabkan oleh adanya sistem patriarki yang berkuasa, dan politik apartheid yang pernah terjadi di Afrika Selatan Selain menyajikan adanya konsep keterasingan dalam ceritanya, novel-novel ini juga memperlihatkan bagaimana konsep keterasingan yang terjadi dapat memengaruhi strategi penyampaian cerita di dalamnya yang memiliki keterkaitan
dengan sudut pandang penutur cerita dan bentuk ujaran yang digunakan si penutur cerita dan karakter-karakter lainnya yang terkait. Penelitian ini membahas penyajian konsep keterasingan yang memiliki keterkaitan dengan ketimpangan gender yang terjadi, serta mendeskripsikan hubungan yang mungkin terjadi antara konsep keterasingan yang ditampilkan dengan strategi penyampaian cerita (strategy of narrative transmission) yang digunakan oleh penutur cerita dalam tiga novel karya J.M Coetzee tersebut. Dalam penelitian ini, isu alienasi yang menjadi objek utama penelitian, diteliti dengan menggunakan teori alienasi yang dikemukakan Karl Marx. Dalam tiga novel J.M. Coetzee ini, karakter-karakter terkait mengalami keterasingan. Keterasingan ini terjadi karena adanya beberapa faktor seperti misalnya adanya ketimpangan gender, adanya sistem patriarki yang berkuasa, adanya perbedaan ideologi dari beberapa karakter yang ada, dan adanya hasrat-hasrat karakter-karakter tertentu yang tidak dapat terkontrol sehingga menyebabkan si pemilik hasrat yang juga merupakan karakter dalam cerita tersebut mengalami keterasingan bahkan oleh dirinya sendiri. Keterasingan yang dialami oleh para penutur cerita inilah yang memengaruhi bagaimana narasi disampaikan dari sudut pandang yang berbeda. Penggunaan strategi naratif yang digunakan dalam novel ini akan diteliti menggunakan teori naratif yang dikemukakan Genette (1980). Dalam penelitian ini saya akan memadukan metode analisis teks sastra, pendekatan marxisme serta teknik penyampaian narasi yang dikemukakan Genette. Untuk memahami konsep keterasingan, saya menggunakan teori yang dikemukakan Karl Marx dalam dua esainya, “Estranged Labour” dan “Money as a Symbol of Alienation in Capitalist Society”. Teori-teori yang dikemukakan Marx dalam dua esainya tersebut menggambarkan bagaimana eksploitasi dan „keterpisahan‟ dapat menyebabkan seseorang atau sesuatu teralienasi dari sesuatu yang lain yang seharusnya bersama. Hasil dari analisis mengenai isu alienasi ini kemudian akan
dikaitkan dengan strategi naratif yang digunakan penutur cerita dan karakter terkait didalamnya. Penelitian mengenai strategi naratif ini akan menggunakan teori yang dikemukakan Gerard Genette dalam bukunya yang berjudul Narrative Discourse: An Essay in Method (1980). Penelitian ini akan menitikberatkan pada modus narasi yang terkait dengan sudut pandang dan fokalisasi serta „voice‟ (suara) yang dikemukakan Genette dalam bukunya. Lebih lanjut, Genette memisahkan penutur cerita ke dalam dua jenis yang berbeda, yaitu penutur cerita yang merupakan karakter didalam cerita dan penutur cerita yang bukan sebagai karakter dalam cerita. Berdasarkan hasil perbandingan dari teori-teori tersebut, saya berasumsi bahwa alienasi yang terjadi pada karakter terkait (terutama pada karakter yang juga merupakan penutur cerita) dapat memengaruhi bagaimana cerita disampaikan dengan sudut pandang dan cara penyampaian cerita yang berbeda. Saya juga berasumsi bahwa alienasi dan strategi naratif dalam novel dapat membentuk hubungan yang saling terkait satu sama lain. Permasalahan yang kemudian digarisbawahi adalah bagaimana alienasi digambarkan melalui sudut pandang penutur cerita yang juga merupakan karakter didalam ceritanya, yang kemudian alienasi tersebut akan memengaruhi bagaimana cerita disampaikan.
Pembahasan Dalam novel Foe ini, alienasi difokuskan pada karakter Susan Barton. Ada beberapa hal yang harus digaris-bawahi mengenai karakter ini; pertama, Barton adalah seorang karakter perempuan (yang berarti hal ini akan memengaruhi perilakuperilaku yang akan diterima Barton dari lingkungan dan masyarakat sekitarnya), kedua, ada beberapa situasi saat Barton digambarkan bahwa ia mengalami alienasi dari lingkungan sekitarnya dan situasi lain saat Barton digambarkan bahwa ia seolaholah mengalienasi dirinya sendiri karena beberapa faktor dan untuk beberapa tujuan tertentu, ketiga, dalam tiga bab dalam novelnya, Barton berperan sebagai narator
homodiegetic, dimana ia merupakan penutur cerita yang menyampaikan cerita sekaligus merupakan salah satu karakter dalam ceritanya, yang artinya Barton memiliki „kesempatan‟ untuk menyampaikan cerita sesuai dengan cara yang ia „kehendaki‟ untuk mencapai „tujuan‟ tertentu. Ketika Barton menulis surat kepada Foe (saat ia meminta Foe menuliskan ceritanya menjadi sebuah buku), ia mengusulkan bahwa sebaiknya “there been only Cruso and Friday…without the woman” (1987:72) – pada bagian ini Barton menunjukkan dirinya sebagai pihak yang layak untuk dialienasi untuk kepentingan cerita, namun demikian dia juga mempermasalahkan “…Yet where would you be without the woman?....” (1987:72). Pada bagian ini Barton mempermasalahkan bagaimana mungkin ceritanya berjalan sedemikian rupa tanpa adanya sosok perempuan didalamnya. Barton mempermasalahkan kebergantungan ceritanya terhadap sosoknya dirinya yang (walaupun) bagaimana juga adalah seorang perempuan. Walaupun Barton adalah seorang perempuan yang dinilai tidak pantas ada dalam cerita, tapi kehadiran Barton menjadi penting dalam cerita tersebut karena posisinya sebagai pembawa cerita (dalam hal ini, Barton diposisikan sebagai pembawa cerita karena Cruso sudah meninggal dunia dan Friday tidak dapat berbicara karena tidak memiliki lidah). Lebih lanjut, Barton menginisiasi bahwa kehadirannya dalam cerita bukanlah hanya sebagai pembawa cerita melainkan juga sebagai karakter dalam cerita. Saat Barton mengatakan kepada Foe dalam suratnya “…you will murmur to yourself…” (1987:72) adalah saat Barton mengakui bahwa usulan yang sebelumnya ia ajukan kepada Foe merupakan keinginan Foe untuk menghilangkan sosok perempuan dalam ceritanya demi kebutuhan cerita. Dalam hal ini Barton mengakui tuntutan wacana yang ada sebenarnya bukanlah keinginan dirinya sendiri. Alienasi yang Barton alami juga berpengaruh pada hak kepemilikkannya terhadap ceritanya sendiri. Pada bagian hak kepemilikkan cerita ini, alienasi yang
terjadi pada Barton dipengaruhi oleh sistem patriarki yang ada, yang secara jelas memiliki kaitan dengan kuasa terhadap cerita itu sendiri. Barton pada tahap ini „…still endeavour to be father to [her] story.‟ (1987:123). Sedari awal Barton berusaha menegaskan kepada Foe bahwa ia masih berusaha untuk menjadi „father‟ bagi ceritanya sendiri, meskipun sebenarnya Barton sudah memberikan „hak‟ kepada Foe untuk menuliskan ceritanya. Pada halaman selanjutnya, Barton kembali menegaskan niatannya untuk tetap menjadi „father‟ bagi ceritanya sendiri, dan menegaskan bahwa dia „…was intended not to be the mother of [her] story, but to beget it….‟ (1987:126). Berkaitan dengan istilah „father‟ dan „mother‟ yang digunakan dalam penulisan pembahasan ini, serta hubungannya dengan sistem patriarki, dapat dipahami bahwa dalam sistem patriarki, „father‟ berarti pihak yang memperanakkan, sedangkan „mother‟ berarti pihak yang mengurus. „Father‟ ini berkaitan dengan authorship dan authority. Apabila dikaitkan dengan kasus Barton, terlihat jelas alasan mengapa Barton berusaha untuk menjadi „father‟ bagi ceritanya sendiri. Secara umum, dalam novel Foe, cerita merupakan aspek yang dipertukarkan, aspek yang penting, yang dijadikan objek jual-beli antara karakter-karakter didalamnya, teksnya sendiri memberikan gambaran pada kita bahwa sebuah cerita umumnya merupakan prokreasi laki-laki. Dapat dilihat bahwa meskipun Barton menyadari bahwa ia memberikan kuasa kepada Foe untuk menuliskan ceritanya, tapi ia tetap berusaha untuk menjadi pihak yang secara penuh memiliki authorship dan authority berkenaan dengan cerita yang akan ditulis oleh Foe. Isu patriarki yang digambarkan dalam novel Foe ini menimbulkan adanya permasalahan yang mengarah pada persoalan „procreate‟ (menjadi ayah, menghasilkan) terkait dengan signifikansi politis gender dalam kegiatan me-m/reproduksi teks maupun cerita. Signifikansi politis gender dalam kegiatan me-m/reproduksi teks maupun cerita ini memengaruhi kuasa pemilik dan penutur cerita terhadap ceritanya serta keabsahan cerita itu sendiri.
Selanjutnya, dalam novel Waiting for the Barbarians, konsep keterasingan erat kaitannya dengan karakter yang disebut dengan Magistrate. Magistrate dalam novel ini merupakan tokoh utama sekaligus penutur cerita. Terkait dengan proses keterasingan yang dialami oleh karakter didalamnya, ada tiga hal yang dapat digarisbawahi dalam novel ini. Tiga hal ini erat kaitannya dengan alienasi yang dialami oleh karakter Magistrate. Pertama adalah bagaimana alienasi digambarkan, berkaitan dengan hubungan antara Magistrate dan pekerjaannya serta karakterkarakter yang terkait didalamnya. Kedua adalah mengenai bagaimana alienasi digambarkan, berkaitan dengan hubungan antara Magistrate dan gejolak dirinya sendiri. Ketiga adalah mengenai bagaimana Empire, setting tempat dalam novel ini, menggambarkan konsep „foreigner‟ yang berkaitan dengan bagaimana alienasi digambarkan antara pihak penjajah dengan pihak terjajah. Keberadaan Kolonel Joll yang selalu memandang rendah Magistrate dengan menganggapnya „unsound‟ dan selalu „…dismisses [his] objection….‟ (1980:12) membuat Magistrate merasa terganggu. Hal ini membuat Magistrate tidak mendapat kepuasan hati karena tidak diberi kesempatan untuk mengatur keadaan fisik atau batin dirinya sendiri sebab dikuasai oleh kekuatan eksternal. Magistrate teralienasi oleh kekuatan eksternal yang menyebabkan ia tidak dapat mengatur batinnya sendiri terhadap otoritas yang ia miliki sebagai seorang pemimpin di daerah tersebut. Kolonel Joll dalam hal ini hadir sebagai gambaran „kekuatan eksternal‟ tersebut. Pada fase ini, kontradiksi yang terjadi adalah adanya gambaran bahwa Magistrate merupakan bagian dari Empire (colonizer) yang kemudian mengalami alienasi oleh kekuatan yang timbul dari dalam Empire itu sendiri. Selain alienasi yang terjadi pada karakter Magistrate, Empire, setting tempat yang digunakan dalam ceritanyapun mewakili penggambaran tertentu mengenai konsep keterasingan itu sendiri. Empire itu sendiri menggambarkan konsep „foreign‟
yang berkaitan dengan bagaimana alienasi digambarkan antara pihak penjajah dengan pihak terjajah. “The Barbarians you are chasing….They have lived here all their lives, they know the land. You and I are stangers….” (Coetzee, 1980:12) Menurut Saunders yang dikutip oleh Sigrid Soulhag dalam Telling Stories: Invansion and Isolation in J.M.Coetzee‟s In the Heart of the Country and Waiting for the Barbarians dikatakan bahwa konsep „foregin‟ adalah “one who speaks a different language” (2008:74). Berkaitan dengan hal ini, orang akan diklasifikasikan sebagai pihak yang teralienasi dan dianggap asing apabila mereka menggunakan bahasa yang berbeda. Dalam teksnya, Magistrate digambarkan sebagai pihak yang memahami konsep „foreign‟ ini. Saat Magistrate memperingatkan Kolonel Joll bahwa Empire sebaiknya tidak semena-mena pada kaum Barbarian karena sebenarnya kaum Barbarianlah penduduk asli sedangkan Empire dan piranti-pirantinya merupakan pihak asing. “Did no one tell him the difference between fishermen with nets and wild nomad horsemen with bows? Did no one tell him they don‟t even speak the same language?” (Coetzee, 1980:19). Saat Magistrate putus asa atas tindakan Kolonel Joll yang menangkap orangorang yang dicurigai sebagai kaum Barbarian dan ternyata yang ditangkap oleh Kolonel Joll bukanlah kaum Barbarian melainkan para nelayan, Magistrate berpendapat bahwa seharusnya Kolonel Joll memahami bahwa para nelayan tersebut tidak menggunakan bahasa yang sama yang digunakan oleh kaum Barbarian. Sigrid Soulhag dalam hal ini berpendapat kasus tersebut merupakan bukti bahwa “…the Other is not merely one kind of Other, but a diversity of Others.” (2008:75). Teksnya dalam hal ini menjelaskan bahwa Kolonel Joll tidak memiliki kemampuan untuk membedakan perbedaan yang ada antara yang „asli‟ dan yang „asing‟. Konsep „asing‟
ini berelevansi dengan konsep „keterasingan‟ yang disampaikan oleh teksnya berkaitan dengan cara ceritanya dibangun. Dalam novel ketiga; Disgrace, alienasi difokuskan pada karakter David Lurie dan anak perempuannya Lucy Lurie. Kedua karakter ini mengalami proses alienasi yang berbeda. Beberapa hal yang perlu digarisbawahi dalam novel ini adalah pertama, alienasi yang David dan Lucy alami saling berkaitan satu sama lain. Kedua, penceritaan novel ini disampaikan melalui sudut pandang orang ketiga, yang bukan merupakan karakter dalam cerita tersebut. Karena ceritanya disampaikan melalui penutur cerita yang bukan merupakan salah satu karakter di dalam ceritanya, maka novel ini digolongkan ke dalam jenis naratif heterodiegetic. David Lurie digambarkan sebagai laki-laki berumur lima puluh dua tahun, tinggal sendiri dan sudah bercerai dua kali. Sejak awal ceritanya, Lurie sudah digambarkan sebagai laki-laki yang teralienasi. Pertama, ia mendapat alienasi dari keluarganya, dia ditinggalkan oleh istrinya serta oleh anaknya Lucy, yang memilih tinggal di Eastern Cape. Alienasi lain yang terjadi pada Lurie adalah saat dimana Lurie harus memenuhi hasrat seksualnya sedangkan ia tidak memiliki pasangan untuk melakukannya akibat dari perceraian yang menimpanya. Mengatasi hal ini, Lurie „…has solved the problem of the sex rather well.‟ (1999:1) dengan mendatangi Windsor Mansion setiap kamis malam secara rutin, memasuki kamar no.113 dan melakukannya bersama perempuan bernama Soraya. Hal ini menjadi rutinitas yang Lurie lakukan untuk memenuhi hasrat seksualnya. Masalah muncul saat pada akhirnya Soraya keluar dari pekerjaannya. Hal ini membuat Lurie terasing dari „kebergantungannya‟ terhadap Soraya. Saat ia tidak lagi menjalani rutinitas kamis malamnya dengan Soraya, Lurie mendapati bahwa bagi dirinya, Soraya „…has become, it seems, a popular nom de commerce….‟ (1999:8). Ketiadaan Soraya dalam rutinitasnya membuat Lurie „…does not know what to do with himself.‟ (1999:11). Keterasingan yang Lurie alami ini berlanjut saat Lurie pada akhirnya memutuskan
untuk menyewa seorang detektif untuk mencari tahu identitas sebenarnya dari Soraya sehingga ia dapat mengetahui keberadaan dan nomor telepon Soraya. “He ought to close that chapter. Instead, he pays a detective agency to track her down. Within days he has her real name, her address, her telephone number.” (Coetzee, 1999:9) Fase ini menunjukkan bahwa Lurie tidak hanya terasing dari hasrat seksualnya, tapi juga dari kebergantungannya terhadap Soraya berkaitan dengan bagaimana ia memenuhi hasrat seksualnya tersebut. Proses alienasi ini ditunjukkan melalui bagaimana Lurie digambarkan mendapat tekanan yang dating, tidak hanya tekanan yang berasal dari hasrat seksualnya, melainkan juga dari perceraiannya yang menyebabkan ia hidup sendirian. Tekanan juga datang saat Lurie mengetahui bahwa alasan Soraya keluar dari pekerjaannya karena ia ingin focus pada suami dan anaknya yang sempat ia tinggalkan. Hal ini mengingatkan ia dengan istri dan anaknya yang sudah meninggalkannya. Mengetahui alasan Soraya tersebut membuat Lurie merasa adanya „A shadow of envy passes over him for the husband he has never seen.‟ (1999:10). Berkaitan dengan strategi naratif, narator dalam novel yang terdiri dari dua puluh empat bab ini merupakan heterodiegetic narator, dimana penutur ceritanya bukanlah salah satu karakter di dalam ceritanya. Apabila kita merujuk pada tabel yang dibuat Cleanth Brooks dan Robert Penn Warren pada tahun 1943, maka naratologi dalam novel ini termasuk pada dua bagian. Pertama adalah bagian demarkasi „internal analysis of events‟ no.4 yang memiliki kaitan dengan sudut pandang yaitu, narrator not a characterin the story – analytic/omniscient author tells story. Kedua adalah bagian demarkasi „outside observation of events‟ no. 3 yang memiliki kaitan dengan suara (identitas si penutur cerita) yaitu, author tells story as an observer.
“At the same time, he is ashamed of himself. He condems himself absolutely. He has taught no one a lesson – certainly not the boy. All he has done is to estrange himself further from Lucy. He has shown himself to her in the thrones of passion, and clearly she does not like what she sees.” (Coetzee, 1999:208-209) Saat narasinya terlihat mengalienasi salah satu karakter dengan menggunakan peran narator dalam menyampaikan cerita, maka pada bagian ini naratornya merupakan analytic/omniscient narrator. Sudut pandang dan cara naratornya menyampaikan cerita memengaruhi cara pembaca menilai dan memahami ceritanya. “Sitting up in her borrowed nightdress, she confronts him, neck stiff, eyes glittering. Not her father‟s little girl, not any longer.” (Coetzee, 1999:105) Saat penggambaran dan detil teknis mengenai narasinya didapat dari cara penceritaan narator, maka pada bagian ini narratornya merupakan seorang observer. Penutur cerita akan menceritakan apa yang ia „lihat‟ dari peristiwa yang ada dalam ceritanya kemudian menyampaikan ceritanya kepada para pembaca, sehingga meskipun pembaca tidak „melihat‟ secara langsung peristiwa yang bersangkutan, pembaca tetap dapat mengetahui ceritanya melalui hasil „observasi‟ si penutur cerita. Berbeda dengan dua novel Coetzee yang sebelumnya, penyampaian cerita dalam novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga. Hal ini memiliki keterkaitan dengan cara pembaca akan menilai dan memahami ceritanya, karena selain adanya karakter di dalam ceritanya, sudut pandang penutur cerita juga memiliki peran dalam hal ini. Di dalam novelnya dapat ditemukan beberapa kutipan dimana narator dapat mengambil alih bagian-bagian tertentu saat karakternya sedang menyampaikan sesuatu. Masuknya narator ditengah-tengah percakapan antar karakter di dalam ceritanya bisa berarti ambigu. Saat narator ikut terlibat ke dalam peristiwa di dalam ceritanya, tapi bukan sebagai salah satu karakter di dalamnya, maka ada dua kemungkinan yang dapat
dilihat mengenai hal ini; pertama, narator sedang menyuarakan kepentingan karakter di dalam cerita. Apabila kemungkinan yang pertama terjadi, maka hal ini berkenaan dengan permasalahan „mengusung tema‟ dalam cerita agar ceritanya „berjalan‟ menjadi seperti „apa‟. Kemungkinan yang kedua, narator sedang menyuarakan kepentingan dirinya sendiri dengan „memanfaatkan‟ karakter yang ada di dalam cerita. Apabila kemungkinan yang kedua terjadi, maka hal ini menunjukkan bahwa narator melibatkan diri ke dalam cerita agar ia memiliki peran untuk dapat „menceritakan‟ sesuatu. Berkenaan dengan relasi antara isu alienasi dan strategi naratif dalam novelnya, ada dua hal yang dapat digarisbawahi. Pertama, karena merupakan penutur cerita orang ketiga, narator dalam cerita ini mengalami alienasi. Naratornya teralienasi dari perhatian pembaca karena tidak menjadi „pusat perhatian‟ pembaca (tidak menjadi salah satu karakter dalam cerita). Kedua, narator dalam ceritanya memiliki kemampuan untuk melibatkan diri dan melakukan sikap pengambilan tindakan untuk menunjukkan proses terjadinya alienasi. Pada bagian inilah, karakter di dalam ceritanya mengalami alienasi dari strategi naratif ceritanya. Karakter di dalam ceritanya menjadi pihak yang mengalami subordinasi dari keterlibatan naratornya tersebut.
Simpulan Tiga novel karya Coetzee ini menunjukkan adanya proses alienasi yang terjadi terhadap karakter-karakter di dalamnya, strategi naratif yang digunakan penutur cerita dan teksnya dalam menyampaikan cerita, serta hubungan yang terbentuk antara alienasi yang terjadi dan strategi naratif yang digunakan dalam menyampaikan ceritanya. Berdasarkan klasifikasinya, alienasi yang dominan terjadi pada karakterkarakter dalam tiga novel J.M. Coetzee ini adalah alienasi terhadap diri sendiri, alienasi dari orang lain, dan alienasi terhadap pekerjaan (pekerjaan yang dilakukan
tidak memberikan kesempatan untuk mengatur „keadaan‟ diri sendiri dikarenakan adanya kekuatan eksternal). Dalam novel Foe, alienasi yang terjadi pada Susan Barton adalah alienasi terhadap diri sendiri (karena ketidakmampuan dalam hal menulis cerita) dan alienasi dari orang lain (karena adanya karakter lain yang lebih dominan yaitu Foe). Dalam novel Waiting for the Barbarians, alienasi yang terjadi pada karakter Magistrate adalah alienasi dari orang lain (karena adanya dominasi dari Kolonel Joll), alienasi terhadap diri sendiri (karena ketidakmampuan diri dalam mengendalikan „desire‟ terhadap gadis Barbarian) dan alienasi terhadap pekerjaan (karena dominasi Empire yang terlalu besar dalam daerah wewenang Magistrate). Sama halnya seperti yang terjadi pada novel Waiting for the Barbarians, dalam novel Disgrace alienasi yang terjadi adalah alienasi terhadap diri sendiri (ketidakmampuan David Lurie dalam mengendalikan hasrat seksualnya setelah mengalami perceraian berkali-kali), alienasi dari orang lain (karena ketidakmampuannya dalam menjaga dan melindungi anak perempuannya), dan alienasi terhadap pekerjaan (memiliki hubungan intim dengan salah satu mahasiswinya, kemudian tanpa pemberitahuan, posisinya di universitas digantikan oleh orang lain). Pada novel Foe dan Waiting for the Barbarians, proses alienasi ditunjukkan melalui sudut pandang pelaku utama yang juga merupakan penutur cerita dalam novelnya. Dalam kedua novel ini, proses alienasi dapat dilihat melalui ujaran-ujaran dan dialog-dialog para karakter di dalamnya. Pada novel Disgrace, proses alienasi ditunjukkan melalui sudut pandang orang ketiga yang bukan salah satu karakter di dalam cerita. Dalam novel Disgrace, proses alienasi dapat dilihat melalui dua cara; pertama, melalui dialog antar karakter dan kedua, melalui perkataan narator yang terlibat dalam dialog antar karakter. Alienasi yang terdapat dalam novel Foe (yang terjadi pada karakter Susan Barton) merupakan bentuk antisipasi karakternya, sedangkan alienasi yang terdapat dalam novel Waiting for the Barbarians (yang terjadi pada karakter Magistrate) pada akhir ceritanya merupakan bentuk hegemoni karakter tersebut terhadap sistem yang ada.
Alienasi yang terjadi pada novel Disgrace merupakan bentuk alienasi yang terjadi pada kehidupan sehari-hari yang kompleks karena mencakup alienasi terhadap banyak hal seperti interpersonal relationship, hubungan pernikahan, patriarki, dan sistem apartheid. Berkaitan dengan strategi naratif dalam tiga novel J.M. Coetzee, setelah diteliti melalui dua aspek yang Genette jelaskan dalam bukunya, yaitu modus narasi (yang terbagi lagi dalam jarak (distance) dan fokalisasi (focalization)) dan suara (voice). Cerita dapat disampaikan dengan jarak tertentu, seperti jarak antara subjek dan objek dalam cerita dan jarak antara penutur cerita dengan karakter di dalam cerita serta jarak antara penutur cerita dengan pembaca. Dominasi fokalisasi internal terdapat dalam novel Foe dan Waiting for the Barbarians. Fokalisasi internal tersebut merupakan fokalisasi tetap (fixed) dimana cerita disampaikan melalui sudut pandang salah satu karakter yang ada dalam cerita (dalam hal ini adalah karakter Susan Barton dan karakter Magistrate). Berkaitan dengan aspek suara, ada dua pengkategorian antara narator dan naratif berdasarkan relasinya dengan cerita, yaitu; narator/naratif homodiegetic (situasi dimana penutur cerita menyampaikan cerita dan merupakan salah satu karakter dalam cerita) dan narator/naratif heterodiegetic (situasi dimana penutur cerita bukan merupakan salah satu karakter dalam cerita). Novel Waiting for the Barbarians merupakan naratif homodiegetic. Novel Disgrace merupakan naratif heterodiegetic. Novel Foe memiliki gaya penceritaan yang berbeda; pada bagian awal cerita, novelnya merupakan naratif homodiegetic sedangkan pada bagian akhir ceritanya, novelnya menjadi naratif heterodiegetic. Novel Foe ini mengalami pergeseran sudut pandang yang berarti novelnya sendiri mengalami perubahan strategi naratif yang berpengaruh pada akhir cerita. Setelah melihat penyajian proses alienasi yang terjadi pada karakter-karakter dalam tiga novel Coetzee ini serta melihat strategi naratif yang digunakan teksnya dalam menyampaikan cerita, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa berkaitan dengan
konsep „keberjarakan‟, Marx dan Genette menyebut situasi yang sama dengan nama yang berbeda. Marx menyebut keterpisahan antara subjek dan objek yang diakibatkan karena adanya jarak dengan nama „alienasi‟, sedangkan Genette menyebut bahwa penyampain narasi yang berjarak, serta hubungan antara narator, cerita dan pembaca yang berjarak itu disebabkan karena adanya „distance‟ –menurut Genette, setiap cerita dapat disampaikan dengan „jarak‟ tertentu. Hubungan yang terbentuk antara alienasi dengan strategi naratif itu sendiri memiliki keterkaitan satu sama lain karena alienasi yang terjadi dapat memengaruhi strategi penyampaian cerita, sedangkan dalam proses penyampaian cerita itu sendiri sudah terdapat proses alienasi yang terjadi (antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain dalam cerita, antara penutur cerita dengan karakter di dalamnya, antara penutur cerita dengan pembaca). Dari analisis yang telah dilakukan terhadap tiga novel J.M. Coetzee dalam bab pembahasan, dapat dilihat bahwa alienasi yang terjadi pada novel-novel tersebut terjadi karena adanya sistem yang berkuasa. Pada novel Foe, sistem yang berkuasa adalah sistem patriarki. Pada novel Waiting for the Barbarians, sistem yang berkuasa adalah sistem imperialisme (adanya pihak yang berlaku sebagai colonized dan colonizer). Pada novel Disgrace, sistem yang berkuasa adalah sistem patriarki dan sistem imperialisme. Sistem-sistem tersebut dapat dianggap sebagai „alienating system‟ karena dasar operasional sistemnya adalah mengalienasi semua pihak yang terlibat di dalamnya. Sistem-sistem tersebut hanya akan „berfungsi‟ apabila mengalienasi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Alienasi yang terjadi merupakan bagian dari sistem tersebut yang dapat dianggap sebagai dasar sistemnya dan/atau efek dari sistemnya.
Daftar Sumber: Alimi, M. Y. (2004). Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial - Dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama. Jogjakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta . Barker, C. (2000). Cultural Studies: Teori dan Praktik. Jogjakarta: Kreasi Wacana.
Barry, P. (2002). Beginning Theory: An Introduction to Literary and Cultural Theory. Manchester : Manchester University Press. Coetzee, J. (1999). Disgrace. London: Vintage. Coetzee, J. (1987). Foe. New York: Penguin Books . Coetzee, J. (1980). Waiting for the Barbarians. London: Vintage. Genette, G. (1980). Narrative Discourse: An Essay in Method. New York: Cornell University Press. Hacker, M & Ari Adipurwawidjana (Edt). (2009). On and Off the Page: Mapping Place in Text and Culture. United Kingdom: Cambridge Scholars Publishing. Head, D. (1997). J.M. Coetzee. United Kingdom: Cambridge University Press. MacLeod, L. (2006). “Do We of Necessity Become Puppets in a Story?” or Narrating the World: On Speech, Silence, and Discourse in J. M. Coetzee's. MFS Modern Fiction Studies , 1-18. Marx, K. (1961). Economic and Philosophic Manuscripts of 1844. Moscow: Foreign Language Publishing House. Prince, G. (2003). Dictionary of Narratology. USA: University of Nebraska Press. Showalter, E. (1981). Feminist Criticism in the Wilderness. Critical Inquiry , 179-205. Sigrid, S. (2008). Telling Stories: Invansion and Isolation in J.M. Coetzee's In the Heart of the Country and Waiting for the Barbarians. Universitetet i Tromsø. Suryana. (2000). Alienasi dalam tiga novel J.M. Coetzee. Jatinangor: Universitas Padjadjaran. Takwin, B. (2007). Psikologi Naratif: Membaca Manusia sebagai Kisah. Jogjakarta: Jalasutra.