STRATEGI MANAJEMEN HUTAN WISATA BERKELANJUTAN DI PUSAT INFORMASI MANGROVE KOTA PEKALONGAN
TYAS MARINA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Manajemen Hutan Wisata Berkelanjutan di Pusat Informasi Mangrove Kota Pekalongan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017
Tyas Marina NIM P052140471
RINGKASAN TYAS MARINA. Strategi Manajeman Hutan Wisata Berkelanjutan di Pusat Informasi Mangrove Kota Pekalongan. Dibimbing oleh CECEP KUSMANA dan HADI SUSILO ARIFIN. Pusat Informasi Mangrove (PIM) merupakan kawasan konservasi sekaligus tempat edukasi dan wisata alam yang terletak di Kota Pekalongan. Rencana pengembangan kawasan ini seluas 90 ha dengan luas yang telah terbangun 5,7 ha. Pengelolaan yang dilakukan selama ini belum tertata, tidak terdapat zonasi, serta belum ada perhitungan daya dukung. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi eksisting biofisik mangrove, kondisi daya dukung, dan menyusun strategi manajemen hutan wisata mangrove di PIM. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari – April 2016 di PIM Kota Pekalongan. Metodenya adalah survey dan analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi eksisting biofisik di PIM berdasarkan kajian yang telah dilakukan adalah memiliki diversitas mangrove 12 jenis. Kondisi daya dukung wisatawan yang mampu diterima oleh kawasan PIM untuk masing – masing kegiatan wisata adalah; untuk kegiatan bersampan 9.338 orang/tahun, kegiatan pendidikan dan penelitian 18.884 orang/tahun, kegiatan memancing 11.626 orang/tahun, kegiatan rekreasi santai 13.173 orang/tahun, serta kegiatan photo hunting 1.357 orang/tahun. Berdasarkan perhitungan SWOT, diperoleh koordinat (-0,925 ; 0,26) yang mana koordinat tersebut masuk pada kuadran III. Posisi ini mengindikasikan bahwa PIM mempunyai peluang yang sangat besar, namun disaat yang bersamaan juga mempunyai kelemahan dari segi internal. Fokus strategi PIM adalah meminimalkan masalah-masalah internalnya, sehingga PIM dapat merebut peluang yang lebih baik. Adapun strategi yang dapat dilakukan adalah melalui Pemkot Pekalongan untuk mengalokasikan anggaran khusus serta meningkatakan kerjasama dengan pemerintah pusat, provinsi, dan pihak swasta termasuk bantuan luar negeri dalam hal pembiayaan pemeliharaan ekosistem mangrove, dan penanaman mangrove metode guludan, serta penambahan sarana pendukung wisata mangrove di PIM. Selain itu, Pemkot pekalongan meningkatkan kerjasama dengan IPB, Unikal, LSM maupun pihak lain dalam hal peningkatan kualitas SDM sebagai fungsi penguatan kelembagaan pengelola PIM melalui pelatihan, pendampingan dan implementasi hasil riset terkait metode maupun model pengelolaan ekosistem mangrove. Kata Kunci : manajemen, hutan wisata, mangrove.
SUMMARY TYAS MARINA. Sustainable Tourism Forest Management Strategy at Mangrove Information Center in Pekalongan City. Supervised by CECEP KUSMANA and HADI SUSILO ARIFIN. Mangrove Information Center is a conservation area and a place of education and ecotourism, located in the city of Pekalongan. The development plan of the region with an area of 9.0 ha that has been built 5.7 ha. Management conducted so far have not been organized, there are no zoning, and there is no calculation of the carrying capacity. This study objective is to asses exiting condition to analyse biophysical, carying capacity and to develop mangrove forest management. Study was conducted on February-April 2016 at PIM Pekalongan. The research used field site analysis and SWOT analysis are approach as research mothod. The results showed that the Pekalongan Information Centre is a mangrove ecosystem having various of flora 12 species. The capacity rating that can be accepted by PIM area for boating activities is 9.338 people/year, education and research activities in 18.884 people/year, fishing activities 11.626 people/years, relaxing leisure activities 13.172 people/years, as well as photo hunting activities 1.357 people/years. Based on SWOT calculation, obtained the coordinates (-0.925; 0.26) in which the coordinates are entered in quadrant III. This position indicates that the PIM has enormous opportunities, but at the same time also has a weakness in terms of internal. Focus of management strategies of mangrove tourism forest is minimizes internal problems, so that PIM can seize opportunities. The strategies that can be done is through Pekalongan City Government to allocate a special budget and increase the cooperation with the central government, provincial, and private sector including foreign aid in financing the maintenance of mangrove and mangrove planting methods ridges, as well as additional means of support mangrove tours in PIM. In addition, the municipal government pekalongan increase cooperation with IPB, Unikal, NGOs and other parties in terms of improving the quality of human resources as a function of institutional strengthening PIM managers through training, mentoring and implementation of research results related to the methods and models of management of mangrove ecosystems. Keywords: management, tourism forest, mangrove.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI MANAJEMEN HUTAN WISATA BERKELANJUTAN DI PUSAT INFORMASI MANGROVE KOTA PEKALONGAN
TYAS MARINA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Nandi Kosmaryandi, MSc
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2016 ini ialah hutan wisata mangrove, dengan judul Strategi Manajemen Hutan Wisata Berkelanjutan di Pusat Infomasi Mangrove Kota Pekalongan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr Ir Cecep Kusmana MS dan Prof. Dr Ir Hadi Susilo Arifin MS selaku pembimbing. Serta Dr Nandi Kosmaryandi MSc selaku penguji. Penghargaan penulis sampaikan kepada Dr Muhamad Agus Msi yang selalu memberikan motivasi, seluruh staf Dinas Pertanian Perikanan dan Kelautan Kota Pekalongan, pengelola PIM, masyarakat Kelurahan Kandang Panjang Kecamatan Pekalongan Utara, wisatawan PIM, kawan-kawan yang telah membantu selama pengumpulan data, serta teman-teman seperjuangan PSL 2014. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2017
Tyas Marina
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran
x xii xii xii 1 1 2 2 2 3
TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Wisata Alam Berkelanjutan Konsep Daya Dukung Strategi Manajemen HutanWisata Mangrove
5 5 7 9 10
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian Prosedur Analisis Data Analisis Data Menginventarisasi dan Analisis Kondisi Eksisting Kajian Biofisik Jenis Tumbuhan Mangrove Kerapatan Fauna Durasi Pasang Surut Salinitas Suhu pH Tekstur Tanah Kajian Sosial Menganalisis Daya Dukung Kawasan Mangrove Sebagai Hutan Wisata Strategi Manajemen Hutan Wisata di PIM Kota Pekalongan
12 12 12 12 13 13 13 14 14 14 14 15 15 15 16 16
HASIL DAN PEMBAHASAN Inventarisasi dan Analisis Kondisi Eksisting Kajian Biofisik Jenis Tumbuhan Mangrove Densitas Mangrove Fauna Durasi Pasang Surut Salinitas
18 18 18 18 19 20 21 21
16 17
Suhu pH Tekstur Tanah Kajian Sosial Kondisi Daya Dukung Kawasan Mangrove Sebagai Hutan Wisata Strategi Manajemen Hutan Wisata Mangrove di PIM Kota Pekalongan
22 22 23 23 25 29
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
34 34 34
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
35 39 45
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Matriks Strength Weakness Opportunities Threat (SWOT) Matriks Evaluasi Faktor SWOT (Rangkuti 2000) Jenis Tumbuhan Mangrove pada PIM Kota Pekalongan Densitas Mangrove Jenis Fauna pada PIM Kota Pekalongan Kondisi Sosial PIM Jumlah Wisatawan untuk Masing-Masing Kegiatan Wisata Penyediaan Ruang Parkir di PIM Matrik Hasil Analisis Strategi Faktor Internal dan Eksternal dalam SWOT Daftar Nilai Tiap Komponen dalam SWOT Matrik Strategi Manajemen Hutan Wisata Mangrove di PIM Kota Pekalongan
11 17 18 19 20 23 26 29 30 31 32
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8
Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian Interaksi pada Ekosistem Mangrove Lokasi Penelitian di PIM Kota Pekalongan Salinitas Air pada Area PIM Kota Pekalongan Peta Zonasi Kegiatan Wisata Kawasan PIM Satuan Ruang Parkir Mobil Kebutuhan Ruang Parkir Motor Grafik Analisis SWOT Strategi Manajemen Hutan Wisata Berkelanjutan di PIM
4 6 12 21 25 28 29 31
LAMPIRAN 1 2
Deskripsi dan klasifikasi Mangrove yang ditemukan berdasarkan pengamatan dan identifikasi di kawasan PIM Kota Pekalongan Analisis Daya Dukung
40 44
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pusat Informasi Mangrove (PIM) secara administrasi terletak di Kelurahan Kandang Panjang Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan. Kawasan PIM semula adalah lahan tambak udang yang dikelilingi hutan mangrove milik Dinas Pertanian Perikanan dan Kelautan Kota Pekalongan yang tidak produktif. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah kota untuk pemanfaatan lahan tersebut adalah dikembangkannya sebagai kawasan konservasi sekaligus tempat edukasi dan wisata alam, rencana pengembangan kawasan ini seluas 90 ha dengan luas yang telah terbangun 5,7 ha, masih diperlukan pengembangan seluas 84,3 ha. Kawasan ini belum dibuka secara resmi untuk kegiatan wisata tetapi masyarakat lokal maupun dari luar kota diperbolehkan datang untuk berwisata. Hal ini menjadikan permasalahan bagi pengelola untuk bisa ekstra dalam pengelolaan. Pengelolaan yang dilakukan selama ini belum tertata, tidak terdapat zonasi, serta belum ada perhitungan daya dukung. Merujuk pada permasalahan ini kegiatan pengkajian perlu dilakukan untuk dapat menghasilkan strategi pengelolaan yang berkelanjutan. Penetapan kawasan unit-unit pengembangan fasilitas di kawasan PIM pada lahan milik Pemerintah Kota Pekalongan, meliputi: Fasilitas edukasi berupa galeri ekosistem hutan mangrove dan kolam sentuh (kolam edukasi pembibitan dan penanaman mangrove); Fasilitas belajar berupa perpustakaan dan ruang diskusi; Lahan pembibitan dan persemaian tanaman mangrove, serta penanaman mangrove di tambak dengan sistem bronjong dengan guludan; Fasilitas penelitian dan pengembangan konservasi hutan mangrove; Gasebo dan shelter (gazebo apung); Gedung Pembelajaran Mangrove; sarana tracking berupa jembatan papan sepanjang lokasi PIM yang diatur menjangkau obyek-obyek fasilitas yang ada; Green belt (sabuk hijau pantai) berupa hamparan hutan mangrove yang berada di samping bangunan fisik pelindung pantai; Fasilitas gardu pandang, berupa rehab gardu pandang yang telah ada dan penambahan gardu pandang pada lokasi tertentu; serta Fasilitasi arena pemancingan ikan. Potensi wisata tersebut mempunyai peranan yang sangat penting bagi pengembangan kepariwisataan, khususnya wisata alam, potensi tersebut juga merupakan media pendidikan dan pelestarian lingkungan, disamping itu sebagai sumber daya ekonomi yang merupakan salah satu daya ungkit peningkatan pendapatan asli daerah, hal ini sejalan dengan amanat tentang otonomi daerah, dimana setiap daerah harus membangkitkan ekonomi kreatif untuk meningkatkan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan cara mencari terobosan-terobosan baru dalam upaya memajukan perekonomian daerahnya yang salah satunya dengan menjual panorama alam melalui pengembangan sektor pariwisata (Undang-undang No.12 2008). Perkembangan kepariwisataan secara umum, muncul istilah sustainable tourism atau “wisata berkelanjutan”. Wisata berkelanjutan dipandang sebagai suatu langkah untuk mengelola semua sumber daya yang secara sosial dan ekonomi dapat dipenuhi dengan memelihara integritas budaya, proses-proses ekologi yang mendasar, keragaman hayati, dan unsur-unsur pendukung kehidupan lainnya”. Pengoptimalan potensi ini didasari bahwa pariwisata merupakan sektor
2
yang lebih menekankan pada penyediaan jasa dengan mengoptimalkan potensi kawasan wisata. Aktivitas di lokasi wisata alam akan menciptakan hubungan timbal balik antara pelaku wisata (wisatawan, pengelola dan masyarakat lokal) dan ekosistemnya. Hubungan ini akan saling memberikan dampak positif ketika para pelaku wisata mendapatkan manfaat berwisata alam/rekreasi dan ketika areal wisata tidak mengalami gangguan/ kerusakan secara ekologis. Dengan demikian, maka aspek berkelanjutan akan selalu menjadi perhatian dalam pariwisata alam. Perumusan Masalah Kawasan hutan wisata mangrove PIM terletak pada pesisir pantai Slamaran. Lokasi ini menawarkan keindahan wisata alam pesisir dengan topografinya yang landai didominasi oleh tanaman mangrove yang sebagian telah berumur lebih dari 5 tahun. Kegiatan wisata alam di kawasan tersebut memungkinkan untuk menjadi wisata masal dan memberikan banyak manfaat bagi aktivitas perekonomian setempat. Namun bila jumlah wisatawan terlalu padat, maka berwisata alam di PIM akan menimbulkan banyak permasalahan. Beberapa permasalahan yang mungkin akan ditimbulkan adalah wisatawan menjadi tidak nyaman untuk berkunjung lagi, aktivitas perekonomian lokal akan berkurang, dan kesetimbangan ekosistem pun akan terganggu akibat mendapat tekanan berlebih. Dengan demikian, dalam jangka panjang tujuan pengelolaan PIM sebagai tempat berwisata alam akan menjadi tidak berkelanjutan. Mengoptimalkan wisata alam agar tetap berkelanjutan, perlu diketahui beberapa hal terkait pengelolaannya yaitu dari aspek ekosistem, aspek sosial dan aspek jumlah pengunjung yang dapat diakomodasi dalam menikmati aktivitas wisata alam, serta upaya yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan manfaat wisata alam. Adapun pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini yaitu : 1. Bagaimanakah kondisi eksisting biofisik PIM dan kondisi sosial-budaya ekonomi masyarakat ? 2. Bagaimanakah kondisi daya dukung kawasan wisata di PIM ? 3. Bagaimanakah strategi manajemen hutan wisata mangrove di PIM ? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menginventarisasi dan menganalisis kondisi eksisting biofisik PIM dan kondisi sosial-budaya ekonomi masyarakat di sekitarnya. 2. Menganalisis kondisi daya dukung kawasan PIM. 3. Menentukan strategi manajemen hutan wisata PIM. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah; 1. Mengetahui kondisi eksisting, meliputi; biofisik dan kondisi sosial-budaya ekonomi sekitar PIM.
3
2. Mengetahui seberapa banyak jumlah pengunjung yang dapat berkunjung sesuai daya dukung kawasan PIM. 3. Mengetahui rekomendasi strategi untuk manajemen hutan wisata mangrove di PIM. Kerangka Pemikiran Potensi ekosistem mangrove yang ada di kawasan Pusat Informasi Mangrove merupakan salah satu upaya pemerintah sebagai sarana berbagai kepentingan terkait dengan konservasi berkelanjutan, selain itu juga merupakan modal yang bisa berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan. Potensi tersebut akan memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan PIM apabila dikelola dengan baik. pengelolaan hutan wisata berkelanjutan dihasilkan dengan mengetahui bagaimana kondisi eksisting biofisik dan kondisi sosial-budaya ekonomi masyarakat, bagaimana kondisi daya dukung kawasan, serta bagaimana strategi manajemen yang akan dilakukan. Data yang akan di butuhkan dalam menjawab rumusan pertanyaan tersebut adalah; Melakukan kajian biofisik dengan parameter (jenis, densitas flora, fauna, durasi pasang surut, salinitas, suhu, pH, tekstur tanah); metode yang digunakan berupa survey dan pengukuran, sehingga akan diketahui kondisi biofisik di kawasan PIM. Melakukakan kajian sosial dengan parameter (umur, jenis kelamin, pendidikan, asal, persepsi, partisipasi, aktivitas wisata); metode yang digunakan survey dengan menghimpun jawaban dari kuesioner kemudian dilakukan analisis secara deskriptif, sehingga akan diketahui hubungan keterkaitan masyarakat terhadap PIM dan pengelolaanya. Melakukan kajian daya dukung dengan parameter (jumlah pengunjung yang dapat diakomodasi dalam menikmati aktivitas dan mengoptimalkan manfaat); metode yang digunakan survey dan meganalisis nilai daya dukung kawasan, sehingga akan diketahui nilai daya dukung kawasan untuk wisata di PIM. Startegi manajemen kawasan ekosistem hutan mangrove dapat diterapkan dengan melakukan penelaahan mengenai karakter biofisik kawasan dan analisis permasalahan yang ada di suatu kawasan ekosistem hutan mangrove. Apabila karakter biofisik dan permasalahan sudah diketahui maka prinsip-prinsip manajemen, azas dan tujuan manajemen serta sasaran manajemen dapat ditentukan. Strategi manajemen dilakukan dengan mengetahui dan menganalisis beberapa kekuatan (Strenghts), kelemahan (Weakness), peluang (Opportunities), dan ancaman (Threats) berdasarkan kajian-kajian yang telah dilakukan. Sehingga akan mendapatkan rumusan strategi manajemen hutan wisata mangrove berkelanjutan di PIM Kota Pekalongan. Bagan alir kerangka proses penelitian yang akan di lakukan sebagai instrumen untuk dijadikan pedoman dalam menyusun strategi manajemen hutan wisata di PIM Kota Pekalongan (Gambar 1).
Diketahui kondisi biofisik di kawasan PIM.
Metode: survey (pengukuran)
Parameter: Jenis, densitas flora, fauna, durasi pasang surut, salinitas, suhu, pH, tekstur tanah.
Kajian Biofisik
1. 2. 3.
Potensi Hutan Wisata Mangrove Potensi Atraktif
Diketahui nilai daya dukung kawasan untuk wisata di PIM.
Metode: survey, analisis nilai daya dukung kawasan
Parameter: Jumlah pengunjung yang dapat diakomodasi dalam menikmati aktivitas & mengoptimalkan manfaat.
Kajian Daya Dukung
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran
Diketahui hubungan keterkaitan masyarakat terhadap PIM dan pengelolaanya.
Metode: survey (kuesioner) analisis deskriptif
Parameter: Umur, jenis kelamin, pendidikan, asal, persepsi, partisipasi, aktivitas wisata.
Kajian Sosial
Bagaimanakah kondisi eksisting biofisik PIM dan kondisi sosial-budaya ekonomi masyarakat ? Bagaimanakah kondisi daya dukung kawasan wisata di PIM ? Bagaimanakah strategi manajemen hutan wisata mangrove di PIM ?
Strategi Manajemen hutan wisata berkelanjutan di Pusat Informasi Mangrove Kota Pekalongan
Kegiatan Budidaya Perikanan
PUSAT INFORMASI MANGROVE
Rumusan Strategi manajemen hutan wisata mangrove berkelanjutan di PIM.
Metode : analisis SWOT
O U T P U T
P R O S E S
I N P U T
4
5
TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove menurut Bengen (2002) adalah sekumpulan komunitas vegetasi di pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi beberapa jenis pohon mangrove yang mampu hidup dan beradaptasi pada pantai berlumpur serta mendapat pengaruh pasang surut. Secara umum jenis vegetasi mangrove terdiri atas Avecennia marina, Avicennia alba, Aegiceras corniculatum, Excoecaria agallocha, Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Sonneratia caseolaris, Sonneratia alba, Achanthus ilicifolius, Bruguiera gymnorizae, Acrostichum aereum, namun jenis yang paling sering dijumpai pada area yang tergenang pasang surut secara langsung dengan substrat lumpur berpasir adalah Avicennia sp dan Rhizphora sp.. Kusmana (2007) mengemukakan bahwa ekosistem mangrove merupakan ekosistem interface antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan. Oleh karena itu, ekosistem ini memiliki fungsi spesifik yang keberlangsungannya bergantung pada dinamika yang terjadi di ekosistem daratan dan lautan. Potensi jenis mangrove yang ada di Indonesia terdapat lebih dari 101 spesies, dengan karakteristik khas maupun tidak khas pada habitat mangrove, jenis tersebut diantarannya 47 jenis pohon, 5 jenis semak, 9 jenis herba dan rumput, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit. Jenis fauna yang terdapat dalam ekosistem mangrove adalah dari golongan burung barik yang menetap maupun yang migrasi, golongan mamalia (primata, kantan, monyet ekor panjang, lutung) golongan reptil (biawak, buaya, ular, kadal), golongan gastropoda, bivalvia, crustacea, dan nekton (ikan). Karakteristik habitat mangrove secara umum berhubungan dengan kondisi salinitas, struktur tanah, penggenangan air, pasang surut, serta jumlah oksigen di dalam tanah. International Union for Conservation of Nature (1993) menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah. Bentuk adaptasi dari tumbuhan mangrove terhadap habitatnya terlihat pada fisiologi dan struktur tumbuhan mangrove (Bengen 2002). Bengen (2002) mengklasifikasikan ekosistem mangrove berada pada salinitas air payau (salinitas 2‰-22‰) sampai salinitas air laut (salinitas 35‰). Hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, dan daerah pantai yang terlindung. Jenis tanah yang mendominasi ekosistem mangrove biasanya adalah fraksi lempung berdebu, akibat rapatnya bentuk perakaran-perakaran yang ada. Fraksi lempung berpasir hanya terdapat dibagian depan (arah pantai). Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur, terutama di daerah endapan lumpur terakumulasi. Indonesia memiliki substrat berlumpur yang sangat baik untuk tegakan Rhizophora mucronata dan Avicennia marina (Bengen 2002; Gunarto 2004; Setyawan dan Winarno 2006). Nilai pH tanah di ekosistem mangrove berbedabeda, tergantung pada tingkat kerapatan vegetasi yang tumbuh pada ekosistem tersebut. Jika kerapatan rendah, tanah akan mempunyai nilai pH yang cenderung tinggi. Nilai pH tidak banyak berbeda, yaitu antara 4,6-6,5 dibawah tegakan jenis Rhizophora spp (Arief 2003). Kennish (2000) mengatakan bahwa spesies
6
mangrove juga memiliki tingkat toleransi terhadap suhu yang berbeda, seperti Avicennia marina lebih tahan terhadap perubahan suhu yang relative jauh dari pada Rhizophora mangle. Toleransi suhu pada Avicennia marina bisa berkisar antara 16 hingga 32 oC, sedangkan Rhizophora sp toleransi suhu hanya berkisar antara 22 hingga 32 oC. Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal mangrove. Salinitas air menjadi sangat tinggi pada saat pasang naik dan menurun selama pasang surut. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi jenis mangrove. Menurut Bengen (2002) pada areal yang selalu tergenang pasang surut hanya Rhizophora spp. yang tumbuh baik, sedangkan Bruguiera spp dan Xylocarpus spp jarang mendominasi daerah yang sering tergenang. Faktor lingkungan yang paling mempengaruhi zonasi jenis mangrove menurut Sukmarani et al. (2009) adalah salinitas, pasang surut dan intensitas cahaya. Mangrove memiliki berbagai fungsi. Secara garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi ekonomi. Bengen (2002) menyatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki fungsi antara lain : (1) sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak, arus dan angin, (2) sebagai tempat berlindung, berpijah atau berkembang biak dan daerah asuhan (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground) berbagai jenis biota (3) sebagai penghasil bahan organik yang sangat produktif (detritus), (4) sebagai sumber bahan baku industri bahan bakar, (5) pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya, serta (6) tempat pariwisata. Interaksi pada ekosistem mangrove. (Gambar 2).
Sumber : http://aisbiology.pbworks.com/f/interaksimangrove.jpg. Gambar 2. Interaksi pada Ekosistem Mangrove Kusmana (2007) mengemukakan apabila terjadi kerusakan pada ekosistem mangrove ekosistem ini dapat memperbaiki kondisinya secara alami dalam waktu
7
15 - 20 tahun jika: (1) kondisi normal hidrologi tidak terganggu, dan (2) ketersediaan biji dan bibit serta jaraknya tidak terganggu atau terhalangi. Jika kondisi hidrologi normal atau mendekati normal tetapi biji bakau tidak dapat mendekati daerah restorasi, maka dapat direstorasi dengan cara penanaman. Selain itu kondisi dan jenis tanah menentukan dari jenis tanaman mangrove yang akan ditanam. Oleh karena itu, ekosistem mangrove yang rusak dapat diperbaiki melalui penanaman dengan melihat potensi aliran air laut, faktor alam, dan tekanan-tekanan lain yang mungkin menghambat perkembangan tanaman mangrove. Wisata Alam Berkelanjutan Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata. Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Areal wisata atau kawasan pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. Undang-undang ini mengamanatkan agar aktivitas pariwisata memiliki tujuan untuk (1) memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan, dan meningkatkan mutu obyek dan daya tarik wisata; (2) memupuk rasa cinta tanah air dan meningkatkan persahabatan antar bangsa; (3) memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja; (4) meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; (5) mendorong pendayagunaan produksi nasional. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, disebutkan bahwa wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di kawasan suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Pariwisata alam adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata alam, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik serta usaha yang terkait dengan wisata alam. Pemerintah menghendaki agar penyelenggaraan pengusahaan pariwisata alam ini dilaksanakan dengan memperhatikan: 1. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; 2. Kemampuan untuk mendorong dan meningkatkan perkembangan kehidupan ekonomi dan sosial budaya; 3. Nilai-nilai agama, adat istiadat, serta pandangan, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat; 4. Kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup; 5. Kelangsungan pengusahaan pariwisata alam itu sendiri; dan 6. Keamanan dan ketertiban masyarakat.
8
Pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah mempertemukan aktivitas pariwisata yaitu antara kebutuhan wisatawan sekarang dengan tuan rumah wisata dalam melindungi dan meningkatkan peluang-peluang tanpa membebani lingkungan di masa depan. Hal ini menjadi pertimbangan bagi pedoman bagi pengelola sumber daya alam bahwa kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapat dipenuhi sambil memelihara integritas budaya, proses esensial ekologi, keanekaragaman biologi dan sistem penyangga kehidupan (Steck, 1999). Indikator pengelolaan salah satunya adalah daya dukung wisata alam. Organisasi Wisata dunia atau World Tourism Organisation (WTO) adalah lembaga yang pertama kali mempopulerkan istilah daya dukung wisata, yang artinya adalah jumlah maksimum orang yang boleh mengunjungi satu tempat wisata pada saat bersamaan tanpa menyebabkan kerusakan lingkungan fisik, ekonomi dan sosial budaya dan penurunan kualitas yang merugikan bagi kepuasan wisatawan (Livina, 2009). Kepuasan wisatawan atas obyek dan daya tarik wisata sangat dipengaruhi oleh kualitas layanan yang mereka peroleh di daerah tujuan wisata (Nasution et al., 2005). Kepuasan wisatawan adalah indikator pengakuan atas keberhasilan kapasitas dan pengelolaan tempat wisata. Kepuasan wisatawan merupakan suatu pernyataan loyalitas dalam berwisata dan bermakna positif. Pemahaman terhadap kepuasan wisatawan menjadi sesuatu yang penting dalam memposisikan strategi bagi tempat wisata (Martin dan Taberner, 2011). Kepuasan berwisata akan membuat wisatawan untuk datang kembali berwisata (Petrosillo et al., 2007). Pariwisata bertujuan untuk mendapatkan rekreasi. Rekreasi berarti rekreasi yang secara harfiah berarti diciptakan kembali. Melalui rekreasi, orang ingin diciptakan kembali atau memulihkan kekuatan dirinya baik fisik maupun spritual. Tujuan berekreasi ini umumnya untuk bermain-main, berolah raga, belajar, beristirahat atau pun kombinasinya (Soemarwoto, 2004). Oleh karena itu, maka wisatawan akan berharap untuk mendapatkan tujuannya ketika berekreasi. Bagi wisatawan yang ingin beristirahat dengan melakukan wisata alam untuk mencari keheningan dan hawa sejuk di pegunungan akan merasa kesal, bahkan merasa rekreasinya gagal bila di tempat wisata banyak orang dan hiruk pikuk dengan kebisingan kendaraan atau musik. Kondisi pariwisata alam yang demikian akan berbeda dengan berwisata di Dunia Fantasi Jaya Ancol Jakarta misalnya. Wisatawan akan merasa senang bila pengunjungnya berlimpah hingga ribuan orang dan malah tidak senang bila sepi pengunjung. Pariwisata hanya dapat berkelanjutan apabila komponen-komponen subsistem pariwisata, terutama pelaku pariwisata, mendasarkan kegiatannya pada pencarian hasil (keuntungan dan kepuasan) yang optimal dengan tetap menjaga agar semua produk dan jasa wisata yang digunakan tetap lestari dan berkembang dengan baik. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain: (1) wisatawan mempunyai kemauan untuk mengkonsumsi produk dan jasa wisata secara selektif yang berarti bahwa hal ini akan menghindari eksploitasi sumber daya pariwisata secara eksesif; (2) produk wisata didorong ke arah produk berbasis lingkungan (green product); (3) kegiatan wisata diarahkan untuk melestarikan lingkungan dan peka terhadap budaya lokal; (4) masyarakat harus dilibatkan dalam perencanaan, implementasi dan monitoring pengembangan pariwisata; (5) masyarakat harus memperoleh keuntungan secara adil dari
9
kegiatan wisata; (6) posisi tawar masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya pariwisata semakin meningkat (Damanik dan Weber, 2006). Pariwisata berbasis kawasan konservasi merupakan kebutuhan untuk bersantai yang akan terus mengalami peningkatan hingga dekade mendatang yang meningkatkan pula mobilitas dan kesadaran lingkungan. Kawasan konservasi merupakan magnet bagi wisatawan dan pengelola pariwisata yang berarti menjadi tantangan dan sekaligus peluang yang signifikan. Pihak pengelola perlu menyadari bahwa pariwisata berhubungan erat dengan apresiasi dan kenyamanan wisatawan. Sebaliknya, perencanaan dan pengelolaan yang buruk akan memberi banyak dampak buruk terhadap lingkungan ekosistem baik di dalam kawasan maupun sekitarnya dan juga terhadap kehidupan masyarakatnya (Sheppard, 2006). Konsep Daya Dukung Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 angka 7 menyebutkan bahwa daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah menyebutkan bahwa penentuan daya dukung lingkungan hidup dilakukan dengan cara mengetahui kapasitas lingkungan alam dan sumber daya untuk mendukung kegiatan manusia/penduduk yang menggunakan ruang bagi kelangsungan hidup. Besarnya kapasitas tersebut di suatu tempat dipengaruhi oleh keadaan dan karakteristik sumber daya yang ada di hamparan ruang yang bersangkutan. Kapasitas lingkungan hidup dan sumber daya akan menjadi faktor pembatas dalam penentuan pemanfaatan ruang yang sesuai. Soemarwoto (2004) menjelaskan daya dukung lingkungan obyek wisata alam adalah kemampuan obyek wisata alam untuk dapat menampung jumlah wisatawan pada luas dan satuan waktu tertentu. Bahar (2004) menyebutkan bahwa pendugaan nilai daya dukung suatu kawasan, apakah akan digunakan untuk areal rekreasi, lahan pertanian, areal pemukiman, dan lainnya ditentukan oleh tiga aspek utama, yaitu: 1. Kepekaan sumberdaya alam dan site productivity, yang terkait dengan karakteristik biofisiknya yang antara lain meliputi : kualitas udara, tanah, air, stabilitas ekosistem dan erosi tanah. 2. Bentuk, cara dan laju penggunaan serta tingkat apresiasi dari pemakai sumberdaya alam dan liingkungan. Misalnya perilaku dan tingkat vandalisme pemakai, citra dan persepsinya terhadap suatu area. 3. Bentuk pengelolaan (fisik dan non fisik), bertujuan jelas dan berjangka panjang. Hal ini terkait erat dengan kapasitas sistem infrastruktur atau fasilitas yang antara lain meliputi jalan raya, persediaan air, pengolahan limbah, pengolahan sampah padat, dan lain sebagainya.
10
Menurut Soemarwoto (2004), faktor geobiofisik di lokasi wisata alam mempengaruhi kuat rapuhnya suatu ekosistem terhadap daya dukung wisata alam. Ekosistem yang kuat mempunyai daya dukung yang tinggi yaitu dapat menerima wisatawan dalam jumlah besar, karena tidak cepat rusak kalau pun rusak, dapat pulih dengan cepat. Daya dukung wisata yang dijabarkan dalam Agenda 21 untuk pariwisata (2000) dinyatakan sebagai “batas dimana kehadiran wisatawan dan fasilitas pendukungnya tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan fisik atau kehidupan masyarakat”. Konsep daya dukung merupakan sebuah konsep yang mudah untuk dapat dimengerti akan tetapi sangat sulit untuk dapat dihitung sehingga tidak terdapat standar baku untuk dapat menghitung nilai daya dukung tersebut. Terdapat beberapa komponen untuk dapat mengukur daya dukung wisata diantaranya : Daya dukung fisik yang berhubungan dengan kemampuan lingkungan. Komponen ini sangat tergantung pada kapasitas dari sumberdaya, sistem dan kemampuan lingkungan untuk mengasimilasi dampak seperti kemampuan ekologis dari lahan, erosi, iklim seperti pengaruh frekwensi dan jumlah curah hujan, iklim. Daya dukung psikologi yang berhubungan dengan persepsi individu dalam berwisata sebagai contoh: over-crowding (kebisingan), kebosanan dan keindahan, kemampuan untuk mencapai kawasan (aksesibilitas) Daya dukung biologi yang berhubungan dengan ekosistem dan pengunaannya secara ekologi termasuk didalamnya flora dan fauna, habitat alamiah dan bentang alam. Terdapat beberapa faktor yang umum digunakan adalah: terganggunya kehidupan alamiah (disturbance of wild life) dan kehilangan spesies Daya dukung sosial-budaya masyarakat terutama masyarakat penerima wisatawan sebagai contoh: keragaman budaya, kebiasaan penduduk (Lascurain, 1996; lihat Ross, 1994; Balore, 2001 dalam Dirawan 2006). Konsep daya dukung ini merupakan prasyarat minimum dalam pengembangan konsep wisata berkelanjutan. Hal ini tentunya berhubungan dengan definisi wisata terbatas yang dapat dilakukan pada kawasan hutan wisata dimana, keterbatasan tersebut sangat tergantung pada kemampuan daya dukung untuk dapat memberikan nilai optimum terhadap peningkatan ekonomi dan partisipasi masyarakat lokal dengan tetap mempertahankan nilai perlindungan dan menekan dampak negatif yang akan terjadi. Strategi Manajemen Hutan Wisata Mangrove Pengelolaan kawasan ekosistem hutan mangrove dapat diterapkan dengan melakukan penelaahan mengenai karakter biofisik kawasan dan analisis permasalahan yang ada di suatu kawasan ekosistem hutan mangrove. Apabila karakter biofisik dan permasalahan sudah diketahui maka prinsip-prinsip pengelolaan, azas dan tujuan pengelolaan serta sasaran pengelolaan dapat ditentukan. Sebagai kawasan hutan prinsip pengelolaan hutan mangrove tidak berbeda dengan pengelolaan hutan secara umum. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan
11
penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara harmonis dan seimbang. Strategi pengelolaan hutan wisata mangrove dapat dilakukan dengan mengetahui dan menganalisis beberapa kekuatan (Strenghts), kelemahan (Weakness), peluang (Opportunities), dan ancaman (Threats). Menurut Jogiyanto (2005), SWOT digunakan untuk menilai kekuatan-kekuatan dan kelemahankelemahan dari sumber-sumber daya yang dimiliki dan kesempatan-kesempatan eksternal dan tantangan-tantangan yang dihadapi. Kekuatan/kelemahan internal, digabungkan dengan peluang/ancaman dari eksternal dan pernyataan misi yang jelas, menjadi dasar untuk penetapan tujuan dan strategi.Tujuan dan strategi ditetapkan dengan maksud memanfaatkan kekuatan internal dan mengatasi kelemahan. Menurut Ferrel dan Harline (2005), fungsi dari Analisis SWOT adalah untuk mendapatkan informasi dari analisis situasi dan memisahkannya dalam pokok persoalan internal (kekuatan dan kelemahan) dan pokok persoalan eksternal (peluang dan ancaman). Analisis SWOT tersebut akan menjelaskan apakah informasi tersebut berindikasi sesuatu yang akan membantu mencapai tujuannya atau memberikan indikasi bahwa terdapat rintangan yang harus dihadapi atau diminimalkan untuk memenuhi pemasukan yang diinginkan. Analisis SWOT dapat digunakan dengan berbagai cara untuk meningkatkan analisis dalam usaha penetapan strategi. Umumnya yang sering digunakan adalah sebagai kerangka / panduan sistematis dalam diskusi untuk membahas kondisi altenatif dasar yang mungkin menjadi pertimbangan. Menurut Rangkuti (2006), Matriks SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan altenatif strategis (Tabel 1). Tabel 1. Matriks Strength Weakness Opportunities Threat (SWOT) Faktor Eksternal Peluang (Opportunity)
Ancaman (Threats)
Faktor Internal Kekuatan (Strenght) Kelemahan (Weakness) Strategi SO Strategi WO Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk meminimalkan kelemahan memanfaatkan peluang untuk memanfaatkan peluang Strategi ST Strategi WT Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk meminimalkan kelemahan dan mengatasi ancaman menghindari ancaman
Keterangan : (1)Strategi SO (Strength and Oppurtunity); Strategi ini dibuat berdasarkan jalan pikiran, yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk mendapatkan dan memanfaatkan peluang sebesar – besarnya. (2)Strategi ST (Strength and Threats); Strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman. (3)Strategi WO (Weakness and Oppurtunity); Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. (4)Strategi WT (Weakness and Threats); Strategi ini berdasarkan kegiatan yang bersifat defensive dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
12
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada tanggal 1 Februari – 1 April 2016 di Pusat Informasi Mangrove Kota Pekalongan. Terletak pada 6°50’42’’ - 6°55’44’’LS dan 109°37’55’’ - 109 °42’19’’BT (Gambar 3). Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan PIM memiliki potensi untuk dijadikan sebagai wisata hutan mangrove berkelanjutan.
Gambar 3. Lokasi Penelitian di PIM Kota Pekalongan Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu; Refraktometer, Thermometer, pH air digital (pH pen), Soild tester (pH pen), Buku panduan jenis mangrove, Seser ikan, jaring, dan buku petunjuk klas tekstur tanah (Prisma tekstur). Adapun bahan yang digunakan yaitu; Kuesioner, Data monografi Kelurahan, Data kegiatan terkait dengan PIM Kota Pekalongan pada Dinas, Badan, Kantor dan Lembaga, dan hasil-hasil penelitian terkait. Prosedur Analisis Data Data pengamatan di lapangan dilakukan dengan cara mengidentifikasi, mengukur, menelaah, dan menghitung pada obyek penelitian. Sedangkan data pendukung didapatkan dari inventarisasi semua data yang dibutuhkan dalam penelitian untuk memperkuat analisis. Analisis yang dilakukan adalah analisis deskriptif dan analisis SWOT untuk menentukan strategi manajemen hutan wisata
13
mangrove di PIM Kota Pekalongan. Jenis dan sumber data berdasarkan tujuan penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, dimana ekosistem mangrove pada lokasi studi PIM dijadikan sebagai lokasi pengamatan untuk memperoleh data kondisi eksisting dan daya dukung kawasan yang selanjutnya di analisis untuk mendapatkan suatu strategi pengelolaan hutan wisata mangrove di PIM. Pengamatan biofisik ekosistem mangrove dilakukan pada tiga stasiun dengan metode transek plot garis atau line plot sampling. Pada setiap stasiun ditetapkan dua transek dengan panjang 100 m, jarak antar transek 50 m. Pada masing-masing transek dibuat 5 plot pengamatan dengan ukuran 10x10 m untuk pohon, 5x5 untuk pancang, dan 2x2 m untuk anakan. Plot-plot tersebut ditempatkan secara berkesinambunga disepanjang transek. Pengamatan kondisi sosial masyarakat dilakukan dengan menghimpun data dari kuesioner. Responden dalam penelitian ini terdiri dari 35 masyarakat lokal, 30 wisatawan, 10 pengelola kawasan dan 3 informan dari instansi pemerintahan yang berkaitan dengan penelitian. Penentuan responden masyarakat lokal, pengelola kawasan dan informan dilakukan dengan metode purposive sampling. Metode pengambilan sampel dengan cara ini dilakukan berdasakan kebutuhan data yang sesuai, yaitu dengan ketentuan peran serta (partisipasi) responden dalam kegiatan wisata. Pertimbangan lain adalah kemudahan dalam wawancara dan kesediaan responden untuk memberikan informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan penelitian. Sementara itu, penentuan responden wisatawan dilakukan terhadap responden yang kebetulan berada dikawasan PIM. Pengamatan daya dukung kawasan dikumpulkan dengan cara pengamatan langsung untuk mengumpulkan variabel-variabel daya dukung ekologis, meliputi jumlah hari yang diperlukan untuk berwisata, jumlah pengunjung, luas area wisata, luas area fasilitas wisata, waktu rotasi/ pergantian wisatawan dan jumlah penduduk. Metode yang digunakan dan menyusun rancangan manajemen hutan mangrove di PIM Kota Pekalongan adalah SWOT. Potensi dan masalah terkait dengan pengelolaan hutan wisata mangrove di PIM Kota Pekalongan di himpun berdasarkan data kondisi eksisting sosial masyarakat sekitar maupun masyarakat pengelola yang tehimpun dalam kelembagaan lokal dan daya dukung kawasan. Tahap formulasi strategi merupakan langkah untuk menentukan alternatifalternatif strategi yang mungkin dapat diambil dalam pengelolaan PIM, dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (oppurtunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats) (Rangkuti 2000). Analisis Data Menginventarisasi dan Analisis Kondisi Eksisting Vegetasi Mangrove Kajian Biofisik Mangrove Stasiun pengamatan ditentukan dengan metode purposive sampling yaitu penentuan stasiun pengamatan berdasarkan posisi mangrove di PIM. Stasiun I
14
merupakan kawasan terdepan dari pintu gerbang masuk, Stasiun II merupakan kawasan mangrove yang letaknya di tengah, dan Stasiun III merupakan kawasan mangrove yang letaknya paling ujung. Jenis Tumbuhan Mangrove Identifikasi tumbuhan mangrove dilakukan dengan menggunakan bukubuku serta sumber yang relevan. Data tumbuhan mangrove yang ditemukan dianalisis secara deskriptif dengan membuat klasifikasi spesimen tersebut. Kerapatan Kerapatan atau densitas adalah jumlah individu per unit luas atau per unit volume (Bengen, 2000). Rumus menghitung kerapatan :
Fauna Identifikasi fauna dalam wilayah studi dilakukan dengan cara mengamati secara langsung. Pengamatan fauna dalam air menggunakan alat bantu jaring, jala, seser. Fauna yang menempel dan berada pada vegetasi mangrove di foto kemudian diindentifikasi nama dan jenisnya, demikian juga fauna dalam tanah dasar. Data fauna dikelompokkan dalam golongan burung, reptil, mamalia, gastropoda, bivalvia, crustacea, dan golongan nekton (ikan). Data yang terhimpun dianalisa secara deskriptif. Pengelompokkan fauna mangrove ini merujuk pada pendapat Kusmana (2007) mengemukakan bahwa ekosistem mangrove merupakan ekosistem interface antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan. Jenis fauna yang terdapat dalam ekosistem mangrove adalah dari golongan burung barik yang menetap maupun yang migrasi, golongan mamalia (primata, kantan, monyet ekor panjang, lutung) golongan reptil (biawak, buaya, ular, kadal), golongan gastropoda, bivalvia, crustacea, dan nekton (ikan). Durasi Pasang Surut Data durasi pasang surut harian di catat secara cermat di dukung dengan data skunder terkait melalui studi dokumen. Analisis data durasi pasang surut dilakukan dengan deskriptif. Durasi pasang surut akan berpengeruh pada jenis vegetasi mangrove, zona terdepan yang mengalami durasi pasang surut terlama didominasi jenis Avicennia sp, Rizophora sp, hal ini sangat terkait dengan kandungan salinitas yang cenderung tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Kennis (2000) ; Bengen (2002) ; Sukmarani et al. (2009) yang menyatakan bahwa pasang surut sangat menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal mangrove. Salinitas air menjadi sangat tinggi pada saat pasang naik dan menurun
15
selama pasang surut. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi jenis mangrove. Pada areal yang selalu tergenang pasang surut hanya Rhizophora spp. yang tumbuh baik, sedangkan Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. jarang mendominasi daerah yang sering tergenang. Salinitas Data salinitas ditera dengan menggunakan alat refraktometer pada 5 titik wilayah penelitian. Pengambilan data diulang sebanyak 3 kali pada pagi siang dan malam hari. Data salinitas melalui studi pustaka juga dicatat sebagai data penguat. Data salinitas yang terhimpun dianalisa secara deskriptif. Salinitas merupakan parameter penting dalam kajian terkait dengan ekosistem mangrove. Hal ini sesuai dengan pendapat Bengen (2002); Gunarto (2004); Setyawan dan Winarno (2006), yang menyatakan bahwa salinitas merupakan salah satu faktor pembatas bagi pertumbuhan mangrove pada jenis tertentu. Jenis Avicennia sp dan Rizophora sp tidak mampu hidup dengan baik pada kisaran salinitas dibawah 10 ‰ , ada beberapa spesies mangrove yang bisa hidup dan berkembang pada kisaran salinitas yang lebar, antra 2‰-22‰). Suhu Peneraan suhu (suhu) dilakukan pada suhu udara dan suhu air. termometer (Hg) merupakan alat yang digunakan untuk mengukur suhu udara maupun suhu perairan pada wilayah penelitian. Data suhu harian diambil melalui peneraan suhu pada 5 titik dalam kawasan PIM dan diulang 4 kali (pagi, siang, sore dan malam). Data yang terhimpun dikuatkan dengan data skunder melalui studi pustaka dianalis secara deskriprif terhadap kelayakan toleransi suhu pada jenis mangrove. Hal ini sesuai dengan pendapat Kennis (2000), yang menyatakan bahwa suhu merupakan parameter penting didalam toleransi dan pertumbuhan bagi jenis mangrove. seperti Avicennia marina lebih tahan terhadap perubahan suhu yang relative jauh dari pada Rhizophora mangle. Toleransi suhu pada Avicennia marina bisa berkisar antara 16 hingga 32 oC, sedangkan Rhizophora sp toleransi suhu hanya berkisar antara 22 hingga 32 oC. pH pH menggambarkan aktifitas potensial ion hirogen dalam larutan yang dinyakatan sebagai konsentrasi ion hidrogen (mol/l), atau pH = - log (H+). pH menunjukkan kadar asam basa dalam suatu larutan, melalui konsentrasi ion Hidrogen yang merupakan faktor utama dalam reaksi kimia baik dalam tanah maupun perairan. Air murni mempunyai nilai pH = 7, dan dinyatakan netral, sedang pada air payau normal berkisar antara 7 – 9. Vegetasi mangrove mempunyai toleransi terhadap nilai yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan pendapat Bengen (2002) ; Gunarto (2004); Setyawan dan Winarno (2006) yang menyatakan bahwa Nilai pH tanah di ekosistem mangrove berbeda-beda, tergantung pada tingkat kerapatan vegetasi yang tumbuh di ekosistem tersebut. Jika kerapatan rendah, tanah akan mempunyai nilai pH yang cenderung tinggi.
16
Nilai pH tidak banyak berbeda, yaitu antara 4,6-6,5 dibawah tegakan jenis Rhizophora spp masih bisa tumbuh dengan baik, namun pH yang ideal untuk pertumbuhan mangrove bekisar antara 6,5 sampai 7,8. Data pH tanah ditera dengan menggunakan alat Soild tester, sedangkan untuk peneraan pH air menggunakan alat pH digital. Data pH yang terhimpun dari wilayah penelitian akan dikomparasikan dengan beberapa data skunder melalui studi pustaka. Data pH tanah dan pH air dianalisis secara deskriptif. Tekstur Tanah Kelas tekstur tanah merupakan bagian terpenting dalam pertumbuhan dan perkembangbiakan mangrove. Penentuan kelas tekstur tanah pada wilayah penelitian dilakukan dengan metode pilin, sedangkan data hasil kelas tekstur tanah dianalisa secara deskriptif terhadap hubungan jenis dan pertumbuhan mangrove. Tekstur tanah sangat terkait dengan tingkat kesuburan tanah tersebut, tanah dengan tekstur pasir mencirikan miskin akan unsur hara tapi tanah dengan tekstur lumpur mencirikan kaya unsur hara. Jenis tekstur tanah pada suatu area bisa digunakan sebagai indikator untuk mencirikan vegetasi mangrove jenis tertentu. Hal ini sependapat dengan IUCN (1993), Bengen (2002), Gunarto (2004), Setyawan dan Winarno (2006), Kusmana (2007) yang menyatakan bahwa secara umum, karakteristik habitat mangrove berhubungan dengan kondisi struktur tanah, bentuk lahan, dan tipe tanah. Kajian Sosial Kajian sosial dalam penelitian ini dianalisis berdasarkan keterlibatan masyarakat terhadap adanya hutan wisata mangrove di PIM Kota Pekalongan. Informasi yang dihimpun adalah berdasarkan karakteristik masyarakat, tingkat persepsi dan partisipasi, serta aktivitas yang dilakukan dikawasan PIM Kota Pekalongan.
Menganalisis Daya Dukung Kawasan Mangrove Sebagai Hutan Wisata Kapasitas fisik kawasan merupakan kemampuan tertentu pada suatu daerah untuk menerima pengunjung atau jumlah pengunjung maksimal yang dapat memanfaatkan suatu kawasan tanpa menimbulkan penuruan kualitas lingkungan (Fandeli et al. 2009). Douglass (1975) memperhitungkan kebutuhan area untuk aktivitas wisatawan berdasarkan faktor pemulihan atau keterbalikan (Turnover Factor/TF). Jenis aktivitas dan luasan yang berbeda angka TF berbeda. Douglass (1975) memperhitungkan kebutuhan area untuk aktivitas wisatawan berdasarkan faktor pemulihan atau keterbalikan atau Turnover Factor (TF). Ternyata setiap aktivitas yang berbeda, luasannya berbeda karena angka Tfnya berbeda. Daya dukung ekologis dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
17
Keterangan : AR D a CD FF
: Kebutuhan area untuk berwisata pada jenis aktivitas tertentu (acre) : Jumlah pengunjung per tahun (orang) : Kebutuhan area wisata (feet2) : Kapasitas hari pemakaian dalam waktu satu tahun : Faktor kemampuan alam untuk pemulihan Strategi Manajemen Hutan Wisata Mangrove di PIM Kota Pekalongan
Analisis SWOT dikerjakan dengan mengidentifikasi setiap kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dimiliki PIM. Tahap ini dilakukan dengan membuat matriks SWOT seperti Tabel 2. Matrik SWOT adalah pencocokan kondisi internal dan eksternal PIM. Berdasarkan matriks SWOT dapat diperoleh empat strategi pengelolaan, diantaranya strategi SO, strategi ST, strategi WO dan strategi WT. 1. Strategi SO (Strength and Oppurtunity); Strategi ini dibuat berdasarkan jalan pikiran, yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk mendapatkan dan memanfaatkan peluang sebesar – besarnya. 2. Strategi ST (Strength and Threats); Strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman. 3. Strategi WO (Weakness and Oppurtunity); Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. 4. Strategi WT (Weakness and Threats); Strategi ini berdasarkan kegiatan yang bersifat defensive dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman. Tabel 2. Matriks Evaluasi Faktor SWOT (Rangkuti 2000) Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kekuatan (Strenght)
Kelemahan (Weakness)
Peluang (Opportunity)
Strategi SO
Strategi WO
Ancaman
Strategi ST
Strategi WT
18
HASIL DAN PEMBAHASAN Inventarisasi dan Analisis Kondisi Eksisting Kajian Biofisik Jenis Tumbuhan Mangrove Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan ditemukan 6 famili (Avicenniaceae, Rhizophoraceae, Sonneratiaceae, Palmae, Pteridaceae, Acanthaceae, dan Combretaceae) dari 12 spesies (Avicennia lanata Ridley, Avicennia marina (Forssk.) Vierh, Bruguiera gymnorrhiza (L.), Rhizophora apiculata Blume, Rhizophora mucronata Lam., Rhizophora stylosa Griff., Sonneratia alba J. Sm., Sonneratia caseolaris (L.) Engl., Nypa fruticans Wurmb, Acrostichum aureum L., Acanthus ilicifolius L., Terminalia catappa L. Deskripsi dan klasifikasi masing-masing spesies mangrove yang ditemukan berdasarkan pengamatan dan identifikasi di kawasan PIM Kota Pekalongan (Lampiran 1). Jenis tumbuhan mangrove yang mendominasi pada lokasi studi di kawasan PIM Kota Pekalongan adalah famili Rhizophoraceae (Tabel 3). Hal ini disebabkan spesies dari famili Rhizophoraceae memiliki daya adaptasi yang baik terhadap tempat tumbuhnya. Spesies dari famili Rhizophoraceae memiliki sifat biji yang bersifat vivipar Fauziah et al.,(2004). Biji yang berkecambah didalam buah yang masih melekat pada tumbuhan induknya, sehingga memberikan kesempatan untuk dapat tumbuh dengan baik dalam hutan yang selalu digenangi oleh air pasang. Tabel 3. Jenis Tumbuhan Mangrove pada PIM Kota Pekalongan No. 1
Nama Latin Avicennia lanata Ridley
Famili Avicenniaceae
Nama Lokal Sia-sia, api-api
2
Avicennia marina (Forssk.) Vierh Bruguiera gymnorrhiza (L.) Rhizophora apiculata Blume Rhizophora mucronata Lam. Rhizophora stylosa Griff. Sonneratia alba J. Sm.
Avicenniaceae
Sia-sia putih, sie-sie, api-api, pejapi, Lindur, tanjang-merah, tancang, Jangkah, tinjang, bakau
Sonneratiaceae
9
Sonneratia caseolaris (L.) Engl. Nypa fruticans Wurmb
10
Acrostichum aureum L.
Pteridaceae
Bakau, bako-gandul, bakau-hitam Bakau, bako-kurap, slindur Prapat, bropak, padada bogem Pedada, prapat, bogem, bedodo Buyuk, buyuh, nipah, niu-nipa, Kerakas, paku laut
11
Acanthus ilicifolius L.
Acanthaceae
Jeruju, Darulu, Deruju
12
Terminalia catappa L.
Combretaceae
Ketapang, katapa
3 4 5 6 7 8
Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Sonneratiaceae
Palmae
Keterangan Mangrove sejati Mangrove sejati Mangrove sejati Mangrove sejati Mangrove sejati Mangrove sejati Mangrove sejati Mangrove sejati Mangrove sejati Mangrove sejati Asosiasi mangrove Asosiasi mangrove
19
Bonita dan Ratnaningsih (2016) Faktor ekologis kawasan menjadi faktor yang paling berpengaruh dalam pertumbuhan mangrove di suatu lokasi seperti salinitas, suhu, pH, Oksigen terlalut, ketebalan lumpur, N total, P tersedia, K tersedia C organik (bahan organik) dalam jumlah minimum dan maksimum. Jika hal tersebut tidak terpenuhi maka pertumbuhan dan perkembangannya akan terganggu. Pengaruh faktor-faktor ekologis kawasan dan kisarannya untuk suatu tumbuhan berbeda-beda, karena satu jenis tumbuhan mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda menurut habitat dan waktu yang berlainan. Densitas Mangrove Densitas atau kerapatan menggambarkan jumlah individu suatu spesies mangrove per satuan ruang. Nilai densitas dan kerapatan relatif masing-masing jenis mangrove pada satuan luas 5,7 Ha (Tabel 4). Tabel 4. Densitas dan Kerapatan Relatif Mangrove pada PIM Kota Pekalongan No.
Jenis Mangrove
Rerata Densitas Mangrove/m2 (Batang)
Densitas Mangrove / 5,7 ha (Batang)
Kerapatan Relatif (%)
1
Avicennia lanata Ridley
0,033
1881
0,63
2
Avicennia marina (Forssk.)
0,175
9975
3,35
3
Bruguiera gymnorrhiza (L.)
0,49
27930
9,37
4
Rhizophora apiculata Blume
0,36
20520
6,88
5
Rhizophora mucronata Lam.
0,427
24339
8,16
6
Rhizophora stylosa Griff.
2,52
143640
48,18
7
Sonneratia alba J. Sm.
0,76
43320
14,53
8
Sonneratia caseolaris (L.)
0,26
14820
4,97
9
Nypa fruticans Wurmb
0,14
7980
2,68
10
Acrostichum aureum L.
0,025
1425
0,48
11
Acanthus ilicifolius L.
0,036
2052
0,69
12
Terminalia catappa L.
0,004
228
0,08
Total
5,23
298110
100
Berdasarkan data hasil pada Tabel 4 di atas, densitas mangrove tertinggi didominasi Rizophora sp, dengan tingkat kerapatan 72,5%. Nilai kerapatan relatif tersebut terbagi atas mangrove dengan tinggi batang > 3 m 12,8%, tinggi batang 1 – 3 m 33,4% dan 53,8% ketinggian mangrove kurang dari 1 m. Abdulhaji (2001) sebagian besar hutan mangrove yang ada di Indonesia didominasi oleh familia Rhizophoracaceae. Hasil analisis tingkat penutupan relatif mangrove tergolong tidak rapat, hal ini ditunjukkan dengan nilai KR (kerapatan relatif) yang mencapai
20
62,3% (3,551 ha tertutup oleh mangrove, sedangkan 2,149 ha merupakan area terbuka). Densitas mangrove yang tergolong pada tingkat kerapatan yang jarang tersebut dikarenakan pada lokasi PIM terbentuk lahan bekas tambak yang masingmasing petak memiliki kedalam lebih dari 60 cm. Petakan tambak yang sudah tergenang oleh air rob tersebut menambah ketinggian air pada lokasi PIM memiliki kedalaman air dengan kisaran 0,7 hingga 2 m. Ketinggian genangan tersebut sangat sulit untuk tunas mangrove bisa tumbuh secara alami. Pertumbuhan tunas mangrove secara alami tumbuh pada area dengan kedalaman air kurang dari 0,3 m. Vegetasi mangrove yang tumbuh dengan baik di lokasi PIM adalah pada kedalaman air yang kurang dari 0,4 m. Lokasi ini terdapat pada bekas pematang saluran tersier dan sekunder, bekas pematang dan gundukan tanah yang berada pada pembatas pantai. Metode bronjong dan guludan yang dilakukan oleh Dinas Pemerintah dan masyarakat Kota Pekalongan merupakan langkah yang tepat dalam reboisasi mangrove pada area PIM. Fauna Hasil identifikasi fauna dalam area PIM Kota Pekalongan dikelompokkan dalam golongan aves, reptil, mamalia, gastropoda, bivalvia, crustacea, dan golongan nekton (Tabel 5). Tabel 5. Jenis Fauna pada PIM Kota Pekalongan No 1
Golongan Fauna Aves
2
Reptil
3
Mamalia
4
Gastropoda
5 6
Bivalvia Crustaceae
7
Nekton
Jenis Trinil pantai Trinil semak Trinil lumpur Cangak abu Blekok hitam Kuntul besar Ular air bercak putih Ular welang Ular hijau Kura-kura air Katak Kadal Domba Kucing Musang Luwak Keong pantai Siput Kerang-kerangan Kepiting bakau Udang windu Bandeng Belanak Mujaer Kakap putih Sembilang Kerapu lumpur Kerapu muara Beronang
Nama Latin Tringa hypolecos Tringa glareola Limnomus semipalmatus Ardea cinerea Ardeola speciosa Egetta alba Fordonia leucobalia Boiga dendrophila Trimeresurus albolabris Terrapine sp Rana cancrivora Mabuya multifasciata Olvis sp Felix viverrima Vivvera sp Herpestes sp Gibbula divaricata Helix pomatia Anadara sp, Mytillus sp, Perna sp Scylla serrata, Scylla parramamosain Penaeus monodon Chanos chanos Mugil sp Oerocromis sp Lates calcarifer Euristhmus microceps Epinephelus bleekeri Ephinephelus coioides Siganus sp
21
Hasil identifikasi tersebut dapat dinyatakan bahwa kondisi fauna yang ada pada lokasi PIM Kota Pekalongan termasuk golongan diversitas fauna yang cukup tinggi, hal ini dapat diindikasikan dengan jenis fauna pada setiap golongan (aves, reptil, mamalia, gastropoda, bivalvia, crustaceae, nekton) semua ada terdapat lebih dari 1 jenis pada setiap golongan tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kusmana (2007) bahwa ekosistem mangrove merupakan ekosistem interface antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan. Jenis fauna yang terdapat dalam ekosistem mangrove adalah dari golongan burung baik yang menetap maupun yang migrasi, golongan mamalia (primata, monyet ekor panjang, lutung) golongan reptil (biawak, buaya, ular, kadal), golongan gastropoda, bivalvia, crustacea, dan nekton (ikan). Durasi Pasang Surut Pasang surut yang terjadi pada area PIM Kota pekalongan rata-rata terjadi 2 (dua) kali dalam sehari. Durasi pasang berkisar 2 hingga 4 jam. Kisaran pasang tertinggi rata-rata menggenangi area PIM 0,7 hingga 2 m, sedangkan pada pasang terendah genangan air pada area PIM berkisar antara 0,4 hingga 1,4 m. Lahan vegetasi mangrove pada area PIM 80% tergenang air payau, meskipun air laut dalam kondisi surut terendah. Kisaran tinggi genangan antara 0,2 hingga 0,6 m. Tingginya genangan air pada area tersebut disebabkan area PIM dibentuk bekas tambak idol. Salinitas Hasil peneraan salinitas menunjukkan bahwa air pada area PIM kota Pekalongan salinitasnya berkisar antara 21 hingga 29 ppt, dengan salinitas rataan 24 ppt. Fluktuasi salinitas air pada area PIM Kota Pekalongan pada bulan Pebuari hingga Maret 2016 (Gambar 4). Kisaran salinitas tersebut dikarenakan lokasi PIM berhubungan langsung dengan air laut, sehingga pengaruh air pasang sangat kuat terhadap kisaran salinitas tersebut. Lokasi PIM juga menyatu dengan tambak rakyat yang memiliki saluran sekunder terhubung dengan sungai, hal tersebut yang menyebabkan kondisi salinitas air pada lokasi ini tidak mengalami fluktuasi yang telalu lebar, karena selalu terjadi proses percampuran air laut dengan air tawar. 30
Salinitas
25 20
Salinitas malam (ppt)
15
Salinitas siang (ppt)
10 5 0 mg 2 mg3 mg4 1 mg1 4 7 1013161922252831
Gambar 4. Salinitas Air pada Area PIM Kota Pekalongan
22
Suhu Hasil peneraan suhu air pada area PIM Kota Pekalongan menunjukkan kisaran antara 24 – 30oC. Suhu air 24 – 30oC merupakan kisaran yang sangat baik untuk mendukung pertumbuhan perkembangbiakan vegetasi mangrove. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kennis (2000), yang menyatakan bahwa suhu merupakan parameter penting didalam toleransi dan pertumbuhan bagi jenis mangrove. Kisaran yang paling baik untuk pertumbuhan Rhizophora sp berkisar antara 22 hingga 32 oC. Sedangakan untuk Avicennia marina bisa bertoleransi dengan kisaran 16 hingga 32 oC. Wantasen (2013) Suhu berperan penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi. Kisaran suhu 24 – 30oC pada lokasi PIM, dikarenakan lokasi ini mempunyai karakteristik kedalaman perairan yang lebih dari 1 m. Kedalaman perairan tersebut cukup mampu sebagai penyangga fluktuasi suhu yang tidak begitu lebar. pH Hasil peneraan pH tanah dasar perairan pada area PIM Kota Pekalongan menunjukkan kisaran 6,9 hingga 7,1. Secara umum pH tanah dasar perairan dibawah tegakan vegetasi berada pada kisaran 6,8 hingga 7,0. Hasil peneraan pH air menunjukkan kisaran antara 7,1 hingga 7,3. Kisaran nilai pH tanah maupun pH air tersebut masih berada pada kisaran yang layak untuk mendukung pertumbuhan mangrove secara umum. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Bengen (2002), Gunarto (2004), Setyawan dan Winarno (2006) yang menyatakan bahwa Nilai pH yang ideal untuk pertumbuhan mangrove bekisar antara 6,5 sampai 7,8. Kisaran nilai pH tanah antara 6,9 hingga 7,1 bisa diindikasikan kerapatan vegetasi mangrove tergolong rendah. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Bengen (2002), Gunarto (2004), Setyawan dan Winarno (2006) yang menyatakan bahwa pH tanah pada ekosistem mangrove berbeda-beda, tergantung pada tingkat kerapatan vegetasi yang tumbuh. Tingkat kerapatan vegetasi yang rendah, tanah akan mempunyai nilai pH yang cenderung tinggi, sedangkan nilai pH yang cenderung asam hingga mendekati netral biasanya terdapat dibawah tegakan dengan tingkat kerapatan vegetasi yang tinggi. pH antara 4,6 hingga 6,5 dibawah tegakan jenis Rhizophora spp masih bisa tumbuh dengan baik. Kisaran pH air dan tanah dalam kondisi netral, karena pada lokasi PIM kerapatan vegetasi mangrove tergolong jarang, sehingga proses dekomposisi bahan organik dari serasah maupun limbah feces fauna tidak termasuk berlebihan. Pengaruh dekomposisi yang berlebihan berdampak pada tingginya CO2, dan berpengaruh pada kondisi pH yang asam. Laju pembilasan dari air pasang juga merupakan faktor yang mendukung terhadap netralnya pH air, hal ini karena pH air laut cenderung netral hingga ke basa. Litbang Kehutanan (2014) nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Pada perairan dengan tingkat pH yang tinggi dapat menyebabkan amonium yang tidak bersifat toksik dapat tidak terionisasi dan berubah bersifat toksik.
23
Tekstur Tanah Hasil analisis tekstur tanah pada area PIM Kota Pekalongan berdasarkan data eksisting di lapang, termasuk dalam golongan liat lempung berpasir, dengan komposisi 70,5 % liat, 22 % lempung dan 7,5 % pasir. Komposisi tersebut secara visual ditonjolkan dalam bentuk lempung. Kelas tekstur tanah dengan komposisi tersebut merupakan teksur tanah yang sangat mendukung untuk pertumbuhan mangrove, karena ciri tersebut merupakan indikator kaya akan unsur hara untuk pertumbuhan vegetasi mangrove. Hal ini sesuai dengan pendapat IUCN (1993), Bengen (2002), Gunarto (2004), Setyawan dan Winarno (2006), Kusmana (2007) yang menyatakan bahwa secara umum, karakteristik habitat mangrove berhubungan dengan kondisi struktur tanah, bentuk lahan, dan tipe tanah. Tanah dalam bentuk lumpur merupakan karakteristik yang paling baik untuk mendukung pertumbuhan mangrove. Sedangkan tekstur pasir sangat tidak baik untuk media hidup mangrove terutama golongan Rhizophora. Kelas tekstur tanah dalam bentuk lumpur tersebut, karena area lokasi PIM terbentuk dari lahan bekas tambak udang. Lokasi tersebut juga berada pada area tambak rakyat yang memiliki saluran sekunder dari sungai, sehingga sedimentasi berupa lumpur dari sungai tersebut juga terbentuk. Kajian Sosial Hasil kajian sosial dalam penelitian ini dianalisis berdasarkan keterlibatan masyarakat terhadap adanya hutan wisata mangrove di PIM Kota Pekalongan. Menurut Kustanti et al. (2012) mengungkapkan bahwa masyarakat pesisir, stakeholder, dan pemerintah daerah berperan penting dalam pengelolaan hutan mangrove di PIM. Informasi yang berhasil terhimpun adalah berdasarkan karakteristik masyarakat, tingkat persepsi dan partisipasi, serta aktivitas yang dilakukan dikawasan tersebut (Tabel 6). Tabel 6. Kondisi Sosial PIM No
Parameter
1
Umur
2
Jenis Kelamin
3
Pendidikan
4
Pendapatan per bulan
rata-rata
Persentase % Remaja (15-19 tahun) Dewasa (20-40 tahun) Tua (>40 tahun) Laki-laki Perempuan SD SMP SMA PT ≤ 500.000 500.000 – 1.000.000 1.000.000 – 1.500.000 ≥ 1.500.000 – 2.000.000
12 % 48 % 40 % 70 % 30 % 6% 30 % 43 % 21 % 10 % 35 % 40 % 15 %
24 Lanjutan Tabel 6. 5
Aktifitas di PIM
6
Persepsi dan partisipasi
Refreshing Memancing Mencari kayu bakar Edukasi mangrove Aktifitas lain Pemahaman tentang melestarikan hutan mangrove Pengetahuan masyarakat tentang status kepemilikan PIM adalah milik Pemerintah Daya tarik PIM
50 % 13 % 7% 23 % 7% 73 % 53 % 80 %
Hasil analisis kegiatan penungjung di area PIM secara umum terbagi 50% refreshing, 13% mancing, 7% mencari kayu bakar, 23% edukasi mangrove (terutama pelajar dan kelompok masyarakat, maupun instansi pada hari-hari tertentu untuk mengenal dan menanam mangrove), dan 7% aktivitas lainnya (penelitian). Persepsi kelompok masyarakat pengelola mempunyai harapan besar terkait dengan PIM, yang tidak saja sebagai hutan wisata mangrove, tetapi sebagai kawasan penyelamat pantai. Harapan besar juga hutan wisata mangrove mampu mengangkat perekonomian masyarakat sekitar yang terkena dampak langsung. Hal ini sesuai dengan pendapat Direktorat Bina Pesisir (2004) yang menyatakan bahwa pengelolaan ekosistem mangrove tidak terlepas dari peran serta masyarakat pesisir. Peningkatan pemahaman masyarakat terkait dengan ekosistem mangrove bisa dilakukan dengan melibatkan secara langsung kegiatan-kegiatan dari pemerintah, baik dalam bentuk pelatihan, penyuluhan, penanaman dan perawatan ekosistem mangrove. Hal ini tidak sependapat dengan Nikijuluw (2002) yang menyatakan bahwa prinsip co-manajemen adalah membagi tanggung jawab bersama dalam pelaksanakan kegiatan, terutama pada pengembangan kelembagaan lokal. Persepsi masyarakat terhadap PIM mencapai 80%, hal tersebut mengindikasikan bahwa PIM mempunyai daya tarik yang tinggi untuk dijadikan area hutan wisata mangrove, hal ini merupakan modal awal dalam pengelolaan dan pengembangan kedepannya. Partisipatif adalah proses kegiatan mulai dari perencanaan, implementasi dan monitoring yang melibatkan masyarakat dalam kelompok sosial. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan PIM Kota Pekalongan tergolong sedang, hal ini diindikasikan kelompok pengelola PIM bertugas sebagai mana mestinya dalam memberikan informasi terkait mangrove oleh pengunjung, tetapi pengelola tersebut dalam menjalankan aktivitasnya di beri honor oleh pemerintah. Tingkat partisipatif masyarakat sekitar PIM yang tidak terlibat langsung dalam kegiatan di PIM tergolong rendah. Masyarakat sekitar tidak peduli dengan adanya kegiatan di PIM. Hal ini dikarenakan kelompok masyarakat pengelola PIM tidak melibatkan masyarakat sekitar dalam kegiatan harian maupun insidentil di PIM. Terlepas daripada itu, masyarakat mengakui dengan adanya PIM kawasannya menjadi lebih aman, karena banyak aktivitas, baik siang maupun malam hari.
25
Kondisi Daya Dukung Kawasan Mangrove Sebagai Hutan Wisata Berkembangnya objek wisata sangat dipengaruhi oleh kemudahan akses dan keterjangkauan secara ekonomi. Hal ini merupakan salah satu daya tarik yang menjadikan PIM Kota Pekalongan sebagai salah satu alternative tempat wisata di Pekalongan. Menurut Soemarwoto (2004), faktor geobiofisik di lokasi wisata alam mempengaruhi kuat rapuhnya suatu ekosistem terhadap daya dukung wisata alam. Ekosistem yang kuat mempunyai daya dukung yang tinggi yaitu dapat menerima wisatawan dalam jumlah besar, karena tidak cepat rusak kalau pun rusak, dapat pulih dengan cepat. Nilai daya dukung menjadi batas-batas yang dapat diterima dalam pembangunan sebagai ukuran kuantitatif dari pemanfaatan ruang yang sesuai ke tingkat maksimalnya (Silva et al. 2007). Daya dukung kawasan PIM merupakan tingkat maksimal penggunaan kawasan. Konsep ini dikembangkan, terutama untuk mencegah kerusakan atau degradasi dari suatu sumberdaya alam dan lingkungan sehingga kelestarian keberadaan dan fungsinya dapat tetap terwujud, pada saat dan ruang yang sama, juga pengguna atau masyarakat pemakai sumberdaya tersebut tetap berada dalam kondisi sejahtera atau tidak dirugikan. Konsep yang digunakan untuk mengetahui daya dukung kawasan PIM adalah daya dukung ekologi. Berdasarkan tingkat ketersediaan obyek dan atraksi wisata di tiap titik dihasilkan zona-zona wisata dengan pembagian zona untuk kegiatan bersampan, kegiatan pendidikan dan penelitian, kegiatan memancing, kegiatan rekreasi santai, dan kegiatan photo hunting. Peta zonasi kegiatan wisata kawasan PIM (Gambar 5).
Gambar 5. Peta Zonasi Kegiatan Wisata Kawasan PIM Menurut Douglass (1982) supply dari tempat rekreasi di hutan secara teoritis merupakan jumlah total lahan yang sesuai untuk beberapa jenis kegiatan
26
rekreasi. Supply ini harus dilihat dari peyebaran secara fisik, status kepemilikan, dan daya dukung. Melimpahnya sumberdaya alam rekreasi yang dapat dimanfaatkan untuk rekreasi alam, menyebabkan beragam pula kegiatan rekreasi alam yang dapat dilakukan. Setiap sumberdaya alam dapat berdiri sendiri sebagai sumberdaya rekreasi, namun dapat pula merupakan kombinasi berbagai sumberdaya alam, sehingga menambah kepuasan bagi para penggunaan jasa rekreasi. Pemilihan tapak atau lokasi (site) untuk suatu kegiatan rekreasi dibatasi oleh sejumlah prinsip-prinsip dan sejumlah faktor dasar yang mempengaruhi tempat yang akan dikembangkan. Prinsip-prinsip dan faktor-faktor ini berlaku untuk setiap bentuk rekreasi yang berorientasi kepada alam. Tiga prinsip umum yang diperhatikan dalam memilih tempat-tempat yang akan berfungsi sebagai daerah-daerah rekreasi adalah: tujuan primer suatu pengembangan rekreasi haruslah untuk memuaskan pemakai; pemakai harus merupakan alasan utama bagi pemilihan tempat; serta menciptakan suatu keadaan dimana sumberdaya yang ada dapat memberikan kepuasan yang memadai sesuai dengan selera pengunjung (Douglass, 1982). Faktor lain yang perlu diperhatikan dalam pemilihan tapak yaitu iklim, tanah, lingkungan umum, dan topografi serta air. Kegiatan rekreasi menyaksikan penorama dan gejala alam dapat dilakukan bila ada obyek yang dilihat. Kegiatan ini dapat dilakukan pada waktu bersampan, piknik, dan photo hunting. Hal tersebut dapat dilakukan secara terpisah. Jumlah wisatawan yang mampu diterima kawasan sangat penting untuk dihitung, agar tidak terjadi kelebihan wisatawan sehingga tidak bisa ditampung oleh kawasan dan akhirnya kawasan tersebut menjadi rusak. Ribeiro et al. (2011) Daya dukung merupakan alat yang dapat menjaga lingkungan dengan pengelolaan yang tepat dari kegiatan manusia, sehingga tidak terjadi peningkatan kapasitas. Jumlah wisatawan yang bisa diterima oleh kawasan dihitung dengan menggunakan formula dari Doglass (1975) (Lampiran 2). Jumlah wisatawan untuk masingmasing kegiatan wisata (Tabel 7). Tabel 7. Jumlah Wisatawan untuk Masing-Masing Kegiatan Wisata Variabel No.
Kegiatan Wisata
1. 2. 3. 4.
Bersampan Pendidikan dan Penelitian Memancing Rekreasi santai menikmati alam terbuka Photo Hunting
5.
AR
a
CD
TF
0.49 0.98 0.12
544 538 107
119 119 119
2.0 2.0 2.0
Kapasitas Wisatawan (Individu/Tahun) 9.338 18.884 11.626
1.23
726
119
1.5
13.173
14.09
107.639
119
2.0
1.357
Keterangan : AR : Kebutuhan area untuk berwisata pada jenis aktivitas tertentu (acre) D : Jumlah pengunjung per tahun (orang) a : Kebutuhan area wisata dalam (feet2) CD : Kapasitas hari pemakaian dalam waktu satu tahun TF : Faktor kemampuan alam untuk pemulihan
27
Kapasitas wistawan untuk kegiatan bersampan adalah 9.338 orang/tahun. Area yang disediakan untuk bersampan adalah 2000 m2. Dengan kapasitas wisatawan 9.338 orang/tahun jika dibagi dengan kapasitas hari libur (CD) yaitu 78 orang/hari. 78 orang/hari dengan 1 sampan bisa dinaiki 1-4 orang dengan jarak masing-masing sampan adalah 50 m2 sehingga tidak akan terjadi penumpukan. Wisatawan akan nyaman menikmati pemandangan dengan bersampan menjelajah kawasan PIM. Ammar et al. (2011) jumlah wisatawan dapat dibatasi pada area tertentu untuk mengurangi dampak kerusakan. Pembatasan wilayah sensitif dan tidak sensitif dengan evaluasi keanekaragaman, kerapuhan, reversibel, dan kealamian dapat mengantisipasi dampak negatif suatu aktivitas wisata Kegiatan wisata yang edukatif merupakan salah satu tujuan pengembangan PIM. Hasil perhitungan daya dukung terhadap kegiatan pendidikan dan penelitian adalah 18.884 orang/tahun, dibagi dengan CD yaitu 158 orang/hari. Jumlah kapasitas daya dukung wisatawan 158 orang/hari diharapkan dapat memaksimalkan kegiatan penelitian dan pendidikan di kawasan PIM. Ballantyne et al. (2009) pendekatan wisatawan dengan adanya pendidikan bertemakan konservasi dapat dijadikan sebagai salah satu pemasaran kegiatan wisata dan pengalaman berbasis alam yang potensial. Kapasitas wisatawan untuk kegiatan memancing adalah 11.626 orang/tahun, dibagi dengan CD yaitu 97 orang/hari. Area yang tersedia untuk memancing adalah 500 m2, agar dapat melakukan kegiatan memancing dengan nyaman diperkirakan membutuhkan panjang area sebesar 10 m2, dengan area yang dimanfaatkan sepanjang 500 m2. Adapun waktu yang disediakan oleh pihak pengelola adalah 8 jam per hari dengan lama waktu yang biasa digunakan wisatawan untuk kegiatan tersebut adalah 3 jam. Nilai daya dukung yang diperoleh tersebut menunjukkan bahwa wisatawan dapat memancing dengan santai dan nyaman. Nugraha et al. (2013) dengan adanya konsep daya dukung diharapkan mampu meminimalkan atau mencegah kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan dari usaha pemanfaatan yang dilakukan.Usaha pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara lestari dapat terlaksana dengan tetap memperhatikan kesejahteraan masyarakat pengguna sumberdaya. Kegiatan rekreasi di PIM antara lain jalan-jalan di sekitar area PIM, duduk santai, mengobrol dan melihat pemandangan. Area PIM terdapat empat gazebo yang bisa dimanfaatkan oleh wisatawan untuk duduk santai sambil makan. Agar dapat melakukan kegiatan ini dengan nyaman diperkirakan membutuhkan luas area 67 m2, dengan luas area yang bisa dimanfaatkan seluas 5000 m2. Adapun waktu yang disediakan oleh pengelola adalah 8 jam per hari. Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai daya dukung untuk rekreasi adalah sebanyak 13.173 orang/tahun dan 110 orang/hari. Berdasarkan pada nilai tersebut, diperkirakan wisatawan dapat melakukan berbagai aktivitas rekreasi menikmati keindahan PIM dengan santai dan nyaman. Kawasan PIM menyuguhkan pemandangan yang menarik, antara lain: hamparan hutan mangrove dengan berbagai macam jenis, keanekaragaman fauna, kegiatan budidaya perikanan, wahana atraktif, sarana trekking, gardu pandang, serta edukasi tata cara pembibitan mangrove. Wisatawan dapat mengabadikan keindahan PIM dengan alat bantu handphone, camera digital, maupun handycame. Agar kegiatan photo hunting dapat dilakukan dengan nyaman dan leluasa maka diperkirakan membutuhkan area 1ha per orang, dengan area yang
28
tersedia yaitu 5,7 ha. Hasil perhitungan daya dukung untuk kegiatan photo hunting yaitu 1.357 orang/tahun. Hasil analisis daya dukung dapat menjadi masukan sebagai pertimbangan kedepan dalam pengembangan PIM. Sehingga diharapkan di masa yang akan datang seiring berkembangnya kawasan ini, tidak melebihi daya dukung yang ada. Dengan demikian, keberlanjutan kegiatan pariwisata di kawasan ini dapat tetap terjaga. Hasil penelitian Sari et al. (2015) terhadap daya dukung sepanjang jalur ekowisata mangrove di Pantai `Ringgung Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung daya dukung kawasan mencapai 87 pengunjung perhari dengan potensi flora berupa 20 jenis mangrove. Wijayanto et al. (2013) hasil penelitiannya terhadap daya dukung Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida adalah sebesar 92.028 orang/tahun. Muflih et al. (2015) daya dukung kawasan mangrove Pulau Untung Jawa dengan panjang track 382,86 m2 adalah 69 orang/hari. Area ini memiliki daya tarik karena kehadiran beberapa satwa liar seperti beberapa jenis reptil dan burung-burung selain fasilitas pendukung seperti trekking dan tempat duduk. Kapasitas ruang parkir merupakan kemampuan maksimum ruang tersebut dalam menampung kendaraan, dalam hal ini adalah volume kendaraan pemakai fasilitas parkir tersebut. Kendaraan pemakai fasilitas parkir ditinjau dari prosesnya yaitu datang, berdiam diri (parkir) dan pergi meninggalkan fasilitas parkir. Penyediaan parkir (parking supply) atau kemampuan penyediaan parkir adalah batas ukuran banyaknya kendaraan yang dapat ditampung selama periode waktu tertentu (selama waktu survei). Nilai ruang penyediaan parkir di hitung berdasarkan kerbutuhan satuan ruang parkir kendaraan untuk jenis mobil (Gambar 6). Kebutuhan ruang parkir motor (gambar 7).
Gambar 6. Satuan Ruang Parkir Mobil Keterangan : B L O a.1/a2
: lebar kendaraan (1.70) : panjang kendaraan (4.70) : lebar bukaan pintu (0.55) : jarak bebas depan/belakang (0.10; 0.20)
R Bp Lp
: jarak bebas samping (0.05) : lebar minimum SRP (B + O + R) : panjang minimun SRP (L+a1+a2)
29
1m
2m
2m
1m Gambar 7. Kebutuhan Ruang Parkir Motor Kawasan PIM saat ini memiliki area parkir seluas 400 m2 dengan peruntukan untuk mobil dan motor, dengan jumlah petak 28 untuk sepeda motor dan 8 untuk mobil. Perhitungan daya dukung kendaraan yang dapat diparkir adalah berdasarkan jumlah petak yang tersedia dikali lama periode analisis/waktu survei (jam) dibagi dengan waktu rata-rata lama parkir (jam/kendaraan) kemudian dikalikan faktor pengurangan akibat pergantian parkir dengan nilai antara 0,85 s/d 0,95 (Oppenlender J et al., 1976). Penyediaan ruang parkir di PIM (Tabel 8). Tabel 8. Penyediaan Ruang Parkir di PIM Jenis Kendaraan Sepeda Motor Mobil
Waktu survei (T) (Jam)
Jumlah Petak (S)
Insufficiency Factor (akibat turnover) (f)
Rata-rata lamanya Parkir (D) (Jam/Kendaraan)
Kapasitas Parkir (Kendaraan)
8
28
0,90
2
100
8
8
0,90
2
28
Tabel di atas menunjukkan bahwa penyediaan parkir (parking supply) di area parkir PIM untuk motor adalah sebanyak 100 motor selama 8 jam waktu yang disediakan oleh pengelola. Sedangkan untuk mobil sebanyak 28 mobil. Ratarata durasi parkir wisatawan adalah 2 jam. Pada umumnya wisatawan yang datang ke PIM lebih banyak menggunakan motor. Kawasan parkir PIM seluas 400 m2 dengan 8 petak untuk mobil dan 28 petak untuk motor. Menurut Fajriah dan Mussadun (2014) suatu kawasan wisata kota harus ada tempat khusus untuk parkir, agar wisatawan yang datang berkunjung ke kawasan wisata dapat meninggalkan kendaraan mereka dengan merasa aman dan nyaman Strategi Manajemen Hutan Wisata Mangrove Berkelanjutan di PIM Kota Pekalongan Formulasi strategi merupakan langkah untuk menentukan alternatifalternatif strategi yang mungkin dapat diambil dalam pengelolaan PIM, dilakukan
30
dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT dikerjakan dengan mengidentifikasi setiap kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dimiliki PIM (Tabel 9). Tabel 9. Matrik Hasil Analsisi Strategi Faktor Internal dan Eksternal dalam SWOT Faktor dalam Strategi Internal Kekuatan (Strenghts) 1. Terdapat vegetasi mangrove yang menunjang pengembangan PIM 2. Terdapat sarana pendukung hutan wisata mangrove (gasebo, tracking, gardu pandang, miniboat, kantor pengelola) 3. Adanya komitmen pemerintah Indonesia dan pemerintah Kota Pekalongan 4. 5.
Sudah ada beberapa kelompok masyarakat pengelola Daya dukung pengunjung baik
Kelemahan (Weakness) 1. Belum terbangun TUPOKSI yang jelas antar dinas terkait di Pemerintah Kota Pekalongan 2. Belum terbangun koordinasi yang harmonis antar stakeholder 3. Partisipasi masyarakat dan kelompok mayarakat pengelola masih rendah 4. Dana belum memadai untuk pengembangan PIM 5. Manajemen belum tertata Jumlah Faktor dalam Strategi Eksternal Peluang (Opportunities) 1. Komitmen dunia Internasional yang kuat terhadap pelestarian ekosistem mangrove 2. Potensi permintaan masyarakat sekitar PIM cukup besar terhadap keperluan rekreasi 3. Networking pemerintah Kota Pekalongan dengan beberapa instansi (Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, IPB, Unikal, LSM) Ancaman (Threats) 1. Abrasi Pantai 2. PIM berdekatan dengan obyek wisata Pantai Pasir Kencana 3. Penebangan mangrove untuk keperluan rumah tangga oleh masyarakat 4. Pengembangan kawasan tambak udang oleh petani sekitar kawasan. Jumlah
Bobot
Rating
Bobot x Rating
0,5
5
0,25
0,5
4
0,2
0,5
3
0,15
0,5
2
0,1
0,5
1
0,05
0,25
5
1,25
0,15
4
0,6
0,15
3
0,45
0,1
2
0,2
0,1 1,0
1
0,1 3,35
0,15
3
0,75
0,5
2
1,0
0,1
1
0,1
0,075 0,2
4 3
0,3 0,6
0,1
2
0,2
0,125
1
0,125
1,0
3,075
31
Daftar nilai dari akumulasi bobot dan rating pada setiap komponen dalam analisis SWOT (Tabel 10). Tabel 10. Daftar Nilai Tiap Komponen dalam SWOT Kekuatan (Strenghts) S1 S2 S3 S4 S5 Jumlah
Nilai 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0,75
Kelemahan (weaknesess) W1 W2 W3 W4 W5
Nilai 1,25 0,6 0,45 0,2 0,1 2,6
Peluang (Oppotunities) O1 O2 O3
Nilai 0,75 1,0 0,1
Ancaman (Threats) T1 T2 T3 T4
1,85
Nilai 0,3 0,6 0,3 0,125 1,325
Berdasarkan Tabel 10 diperoleh nilai sebagai berikut : faktor kekuatan = 0,75; faktor kelemahan = 2,6; faktor peluang = 1,85; faktor ancaman = 1,325. Dari skor tersebut selanjutnya diplotkan pada gambar analisa diagram SWOT yang terdiri dari 4 kuadran. Untuk mengetahui koordinat atau kondisi yang dihadapi kawasan PIM, dilakukan sebagai berikut : (skor kekuatan – skor kelemahan)/2
: (skor peluang – skor ancaman)/2
(0,75 – 2,6) / 2
: (1,85 – 1,325) / 2
-0,925
: 0,26
Berdasarkan perhitungan di atas, diperoleh koordinat (-0,925 ; 0,26) yang mana koordinat tersebut masuk pada kuadran (Gambar 7). Posisi ini mengindikasikan bahwa PIM mempunyai peluang yang sangat besar, namun disaat yang bersamaan juga mempunyai kelemahan dari segi internal. Fokus strategi PIM adalah meminimalkan masalah-masalah internalnya, sehingga PIM dapat merebut peluang yang lebih baik.
Gambar 8. Grafik Analisis SWOT Strategi Manajemen Hutan Wisata Berkelanjutan di PIM Formulasi strategis bertujuan untuk menyusun strategi sesuai dengan kebijakan organisasi. Formulasi strategi harus dilakukan agar mampu
32
menyelesaikan masalah baik saat ini maupun yang diprediksi akan terjadi dimasa datang. Berdasarkan hasil penyusunan strategi diperoleh 8 strategi berdasarkan analisis faktor internal dan eksternal, masing-masing dua strategi dari analisis kekuatan dan peluang, dua strategi dari analisis kelemahan dan peluang, tiga strategi dari analisis kekuatan dan ancaman, dan satu dari analisis kelemahan dan ancaman (Tabel 11). Tabel 11. Matrik Strategi Manajemen Hutan wisata Mangrove di PIM Kota Pekalongan Faktor Internal
KEKUATAN (Strenghts) 1. Terdapat vegetasi mangrove yang menunjang pengembangan PIM 2. Terdapat sarana pendukung hutan wisata mangrove (gasebo, tracking, gardu pandang, mini boat, kantor pengelola) 3. Adanya komitmen pemerintah Indonesia dan Pemerintah Kota Pekalongan 4. Sudah ada beberapa kelompok masyarakat pengelola 5. Daya dukung pengunjung baik
Faktor Eksternal PELUANG (Opportunities) 1. Komitmen dunia Internasional yang kuat terhadap pelestarian ekosistem mangrove 2. Potensi permintaan masyarakat sekitar PIM cukup besar terhadap keperluan rekreasi 3. Networking pemerintah Kota Pekalongan dengan beberapa instansi (Kementrian Kehutanan, Unikal, LSM)
KELEMAHAN (Weakness) 1. Belum terbangun TUPOKSI yang jelas antar dinas terkait di pemerintah Kota Pekalongan 2. Belum terbangun koordinasi yang harmonis antar stakeholder 3. Partisipasi masyarakat dan kelompok masyarakat pengelola masih rendah 4. Dana belum memadahi untuk pengembangan PIM 5. Belum memiliki manajemen yang baik
STRATEGI SO
STRATEGI WO
I. Melestarikan SDA di PIM sebagai tempat alternatif rekreasi lain di Kota Pekalongan.
III. Pemerintah kota Pekalongan mengalokasikan anggaran khusus serta meningkatakan kerjasama dengan pemerintah pusat, provinsi, dan pihak swasta dalam hal pembiayaan pemeliharaan ekosistem mangrove, dan penanaman mangrove metode guludan, serta penambahan sarana pendukung wisata mangrove di PIM.
II. Meningkatkan komitmen pemerintah Indonesia dan pemerintah Kota Pekalongan yang sesuai dengan komitmen dunia Internasional terhadap pelestarian ekosistem mangrove. (2,6)
IV. Pemerintah kota Pekalongan meningkatkan kerjasama dengan IPB, Unikal, LSM maupun pihak lain dalam hal peningkatan kualitas SDM sebagai fungsi penguatan kelembagaan pengelola
33 Lanjutan Tabel 11. PIM melalui pelatihan, pendampingan dan implementasi hasil riset terkait metode maupun model pengelolaan ekosistem mangrove. (4,45) Faktor Eksternal ANCAMAN (Threats) 1. Abrasi pantai 2. PIM berdekatan dengan obyek wisata pantai pasir kencana 3. Penebangan mangrove untuk keperluan rumah tangga, permukiman, farmasi, dan industri lain 4. Pengembangan kawasan tambak udang
STRATEGI ST V. Memperbanyak tanaman mangrove untuk mengatasi abrasi pantai. VI. Menjadikan masyarakat penebang/pemanfaat kayu mangrove sebagai pengelola.
STRATEGI WT VIII.
Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pentingnya menjaga kawasan mangrove. (3,925)
VII. Meningkatkan promosi kawasan PIM sebagai tempat wisata yang menawarkan keindahan mangrove yang hanya bisa di kunjungi di Pekalongan. (2,075)
Merujuk pada nilai tertinggi adalah strategi WO dengan total nilai 4,45 maka strategi yang diutamakan dalam menajemen hutan wisata mangrove di PIM Kota Pekalongan adalah Pemerintah kota Pekalongan mengalokasikan anggaran khusus serta meningkatakan kerjasama dengan pemerintah pusat, provinsi, dan pihak swasta termasuk bantuan luar negeri dalam hal pembiayaan pemeliharaan ekosistem mangrove, dan penanaman mangrove metode guludan, serta penambahan sarana pendukung wisata mangrove di PIM. Pemerintah kota Pekalongan meningkatkan kerjasama dengan IPB, Unikal, LSM maupun pihak lain dalam hal peningkatan kualitas SDM sebagai fungsi penguatan kelembagaan pengelola PIM melalui pelatihan, pendampingan dan implementasi hasil riset terkait metode maupun model pengelolaan ekosistem mangrove. Strategi lain yang perlu dilakukan adalah hasil dari strategi SO, ST, WT, yang berupa; melestarikan SDA di PIM sebagai tempat alternatif rekreasi lain di Kota Pekalongan, meningkatkan komitmen pemerintah Indonesia dan pemerintah Kota Pekalongan yang sesuai dengan komitmen dunia Internasional terhadap pelestarian ekosistem mangrove, memperbanyak tanaman mangrove untuk mengatasi abrasi pantai, menjadikan masyarakat penebang/ pemanfaat kayu mangrove sebagai pengelola, meningkatkan promosi kawasan PIM sebagai tempat wisata yang menawarkan keindahan mangrove yang hanya bisa di kunjungi di Pekalongan, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pentingnya menjaga kawasan mangrove.
34
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kondisi eksisting biofisik mangrove di PIM berdasarkan hasil kajian menunjukkan nilai densitas tertinggi 72,5% (Rhizophora sp.) dan diversitas mangrove 12 jenis (Avicennia lanata Ridley, Avicennia marina (Forsk.) Vierh. Bruguiera gymnorrhiza (L.), Rhizophora apiculata Blume, Rhizophora mucronata Lam., Rhizophora stylosa Griff., Sonneratia alba J. Sm., Sonneratia caseolaris (L.) Engl., Nypa fruticans Wurmb, Acrostichum aereum L., Acanthus ilicifolius L., Teminalia catappa L.). Nilai kualitas perairan (salinitas 24- 26 ppt, suhu 24 – 30oC, pH tanah 6,7 – 7, pH perairan 7,1 – 7,3 dan tekstur tanah berjenis lempung). Kapasitas wisatawan yang mampu diterima oleh kawasan PIM untuk masing – masing kegiatan wisata adalah; untuk kegiatan bersampan 9.338 orang/tahun, kegiatan pendidikan dan penelitian 18.884 orang/tahun, kegiatan memancing 11.626 orang/tahun, kegiatan rekreasi santai 13.173 orang/tahun, serta kegiatan photo hunting 1.357 orang/tahun. Hasil penyusunan strategi diperoleh 8 strategi; (I) Melestarikan SDA di PIM sebagai tempat alternatif rekreasi lain di Kota Pekalongan. (II) Meningkatkan komitmen pemerintah Indonesia dan pemkot Pekalongan yang sesuai dengan komitmen dunia Internasional terhadap pelestarian ekosistem mangrove. (III) Pemkot Pekalongan mengalokasikan anggaran khusus serta meningkatakan kerjasama dengan pemerintah pusat, provinsi, dan pihak swasta termasuk bantuan luar negeri dalam hal pembiayaan pemeliharaan ekosistem mangrove, dan penanaman mangrove metode guludan, serta penambahan sarana pendukung wisata mangrove di PIM, (IV) Pemkot Pekalongan meningkatkan kerjasama dengan IPB, Unikal, LSM maupun pihak lain dalam hal peningkatan kualitas SDM sebagai fungsi penguatan kelembagaan pengelola PIM melalui pelatihan, pendampingan dan implementasi hasil riset terkait metode maupun model pengelolaan ekosistem mangrove. (V) Memperbanyak tanaman mangrove untuk mengatasi abrasi pantai. (VI) Menjadikan masyarakat penebang/ pemanfaat kayu mangrove sebagai pengelola. (VII) Meningkatkan promosi kawasan PIM sebagai tempat wisata yang menawarkan keindahan mangrove yang hanya bisa di kunjungi di Pekalongan. (VIII) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pentingnya menjaga kawasan mangrove.
Saran Hasil penelitian disarankan sebagai rujukan pemerintah sebagai strategi manajemen hutan wisata mangrove yang berkelanjutan di PIM Kota Pekalongan, dengan mengacu pada hasil analisis SWOT yang ada dalam penelitian ini, serta daya dukung dijadikan sebagai pedoman pengelolaan.
35
DAFTAR PUSTAKA [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources The Word Conservation Union. 1993. Oil and Gas Exploration and Production in MangrovehAreas. bIUCN. Gland, Switzerland. p. 6 – 7. [Balitbang Kehutanan] Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2014. Sintesis Hasil Litbang; RPI 4 Pengeolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai. Kementrian Kehutanan. Abdulhaji R. 2001. Problem of issues affecting biodiversity in Indonesia. Situation analysis. Paper. Presented in Workshop on Tanning Net Assessment for Biodiversity Conservation in Indonesia 1-2 Februari 2001, Bogor, Indonesia. Ammar MSA, Hassanein M, Madkour HA, Abd-Elgawad AA. 2011. Site Suitability to Tourist Use or Management Programs South Marsa Alam, Red Sea, Egypt. Nusantara Bioscience. 3(1): 36-43. Arief A. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Bahar A. 2004. Kajian Kesesuian dan Daya Dukung Ekosistem Mangrove untuk Pengembangan Ekowisata di Gugus Pulau Tanakeke Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. [Tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ballantyne R, Packer J, Hughes. 2009. Tour Support for Conservation Messages and Sustainable Management Practices in Wildlife Tourism Experiences. Tourism Management. 30(5): 658-664. Bengen DG. 2002. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bonita KM, Ratnaningsih Y. 2016. Karakteristik Faktor Habitat Mangrove. Rehabilitasi di Teluk Sepi Desa Buwun Mas Kecamatan Sekotong Kabupaten Lombok Barat. Ganec Swara. 10(1): 58-63. Butler RW. 1980. The Concept of a Tourist Area Cycle of Evolution. Implications for Management of Resources Canadian Geographer. 24(1): 5-12. Damanik, Janianton, Weber, Helmut. F. 2006. Perencanaan Ekowisata dari Teori ke Aplikasi. Penerbit Andi. Yogyakarta. Dirawan GD. 2006. Strategi Pengembangan Ekowisata Pada Suaka Margasatwa (Studi Kasus: Suaka Margasatwa Mampie Lampoko). [tesis]. Bogor:Institut Pertanian Bogor. Douglass RW. 1975. Forest Recreations, Second Edition, Pergamon Press Inc. New York. Fajriah DS dan Mussadun. 2014. Pengembangan Sarana dan Prasarana untuk Mendukung Pariwisata Pantai yang Berkelanjutan (Studi Kasus: Kawasan Pesisir Pantai Wonokerto Kabupaten Pekalongan). Jurnal Pengembangan Wilayah & Kota. 10(2): 218-233 Fandeli C dan Muhamad. 2009. Prinsip-prinsip Dasar Mengkonservasi Lanskap Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Fauziah, Y, Nursal, dan Supriyanti. 2004. Struktur dan Penyebaran Vegetasi Strata Sapling di Kawasan Hutan Mangrove Pulau Bengkalis Provinsi Riau. Jurnal Biogenesis. Vol. 1 (1): 26-30
36
Ghufran H. 2012. Ekosistem mangrove : potensi, fungsi, dan pengelolaan. Jakarta: Rineka Cipta. Gunarto. 2004. Konservasi mangrove sebagai pendukung sumber hayati perikanan pantai. Balai riset perikanan budidaya air payau. Sulawesi Selatan. Jurnal Litbang Pertanian. 23(1) : 15 - 21. Jurado EN, Tejada MT, García FA, González JC, Macías RC, Peña JD, Gutiérrez FF, Fernández GG, Gallego ML, García GM, Gutiérrez OM, Concha FN, de la Rúa FL, Sinoga JR, Becerra FS. 2012. Carrying Capacity Assessment for Tourist Destinations. Methodology for The Creation of Synthetic Indicators Applied in A Coastal Area. Tourism Management. 33(6): 1337-1346. Kennish MJ. 2000. Ecology of Estuary Volume II. CRC Press. Boca Raton, Florida. United States. Kusmana C, Istomo, Wibowo C. 2008. Manual Silvikultur Mangrove di Indonesia. Jakarta : Korea International Cooperation Agency (KOICA). Kusmana C. 2007. Konsep Pengelolaan Mangrove yang Rasional. Makalah dalam Kegiatan Sosialisasi Bimbingan Teknis dan Pemantauan Pelaksanaan Rehabilitasi Mangrove. 13 Juni 2007. Makassar. Indonesia. Kustanti A, Nugroho B, Durusman D, Kusmana C. 2012. Integrated management of mangroves ecosystem in Lampung Mangrove Center (LMC) East Lampung Regency, Indonesia. Journal of coastal develpopment. 15(2): 209-216. Lascuarin H. C. 1996 . Tourism, Ecotourism and Protected Areas. IUCN-World Conservation Union. Livina, Agita. 2009. Sustainable Planning Instruments and Biodiversity Conservation. Vidzeme University of Applied Science, Latvia. Lucyanti S., B. Hendrarto, dan M. Izzati. 2013. Penilaian daya dukung wisata di Obyek Wisata Bumi Perkemahan Palutungan Taman Nasional Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Undip. Semarang. 232 – 240 p. Martin, Joaquin Alegre and Taberner, Jaume Garau. Determinants of Tourist Satisfaction at Sun and Sand Mass Destination inEconomics of Sustainable Tourism. Cerina, Fabio; Markandya, Anil and McAleer, Michael (Editors). 2011. Routledge Critical Study in Tourism, Business Management Series. Routledge, New York, USA. Muflih A, Fahrudin A, Wardiatno Y. 2015. Kesesuaian dan Daya Dukung Wisata Pesisir Tanjung Pasir dan Pulau Untung Jawa. JIPI. 20(2): 141-149. Nasution, Solahuddin; Nasution M. Arif; Damanik, Junijanto. 2005. Jurnal Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara 1 (1): 81-96. Nikijuluw. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta: PT Pustaka Cidesindo. Nugraha, H.P., A. Indarjo, dan M. Helmi. 2013. Studi Kesesuaian dan Daya Dukung Kawasan untuk Rekreasi Pantai di Pantai Panjang Kota Bengkulu.Journal of Marine Research. 2(2): 130-139. Oppenlender J.C and P.C, Box. 1976. Matural of Traffic Engineering Studies. Institut of Transportation Engineering. Washington DC.
37
Peraturan Pemerintah No 36. 2010. Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Dan Taman Wisata Alam. Peraturan Menteri No 17. 2009. Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup. Petrosillo, I.; Zurlini, G.; Corlian, M.E.; Zaccarelli, N.; Dadamo, M. 2007. Tourist Perception of Recreational Environment and Management in A Marine Protected Area. Landscape and Urban Planning 79 (2007) 29–37. Rangkuti F. 2000. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Ribeiro MF, Ferreira JC, Silva CP. 2011. The Sustainable Carrying Capacity as A Tool foR Environmental Beach Management. Journal of Coastal Research. SI(64): 1441-1414. Ross G. F. 1994. The Psychology of Tourism. Melbourne Hospitality Press. Melbourne. Sari Y, Yuwono SB, Rusita. 2015. Analisis Potensi dan Daya Dukung Sepanjang Jalur Ekowisata Hutan Mangrove di Pantai Sari Ringgung, Kabupaten Pesawaran, Lampung. Jurnal Sylva Lestari. 3(3): 31-40. Satria D. 2008.Strategi Pengembangan Ekowisata Berbasis Ekonomi Lokal dalam Rangka Program Pengentasan Kemiskinan di Wilayah Kabupaten Malang. Journal of Indonesian Applied Economics. 3(1): 37-47. Setyawan AD dan Winarno K. 2006. Permasalahan Konservasi Ekosistem Mangrove di Pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Jurnal. Biodiversitas7 (2): 159-163. Sheppard, David. 2006. The New Paradigm for Protected Areas: Implications for Managing Visitors in Protected Areas in Exploring the Nature of Management. Siegrist D., Clivaz C., Hunziker M., dan Iten S. (Editors.) 2006. Proceedings of the Third International Conference on Monitoring and Management of Visitor Flows in Recreational and Protected Areas. University of Applied Sciences Rapperswil, Switzerland. Silva CP, Alves F, Rocha R. 2007. The Management of Beach Carrying Capacity: The Case of Northern Portugal. Journal of Coastal Research (Proceedings of the 9th International Coastal Symposium). SI 50: 135-139. Soemarwoto O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembanguna. Edisi ke-10. Penerbit Djambatan. Jakarta. Steck, Birgit. 1999. Sustainable Tourism as a Development Option: Practical Guide for Local Planners, Developers and Decision Makers. Federal Ministry for Economic Co-operation and Development and Deutsche Gesellschaft f.r Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Bonn, Jerman. Sukmarani D, Ardli ER,& Yani E. 2009. Kajian Zonasi Vegetasi Mangrove di Area Tanah Timbul. Laporan Hibah penelitian Student Grant proyek IMHERE. Undang-undang No 10. 2009. Tentang Kepariwisataan Undang-undang No 12. 2008. Tentang Pemerintahan Daerah.
38
Undang-undang No 32. 2009. Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Wantasen AS. 2013. Kondisi Kualitas Perairan dan Substrat Dasar Sebagai Faktor Pendukung Aktivitas Pertumbuhan Mangrove di Pantai Pesisir Desa Basaan I, Kabupaten Minahasa Tenggara. Jurnal Ilmiah Platax 1(4). 204209. Wijayanto D, Nuriasih DM, Huda MN. 2013. Strategi Pengembangan Pariwisata Mangrove di Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida. Jurnal Saintek Perikanan. 8(2): 25-32. Yulianda F. 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Makalah. Departemen Manajemen Sumberdaya perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Instut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
40
Lampiran 1 Deskripsi dan klasifikasi mangrove yang ditemukan berdasarkan pengamatan dan identifikasi di kawasan PIM Kota Pekalongan. No.
Gambar
Klasifikasi
Deskripsi
1. Avcennia lanata Ridley
Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliopsida Kelas : Magnoliopsida Ordo : Scrophulariales Famili : Acanthaceae Genus : Avicennia Species : Avicennia lanata Ridley.
Belukar atau pohon yang tumbuh tegak atau menyebar, dapat mencapai ketinggian hingga 8 meter. Memiliki akar nafas dan berbentuk pensil. Kulit kayu seperti kulit ikan hiu berwarna gelap, coklat hingga hitam.
2. Avicennia marina (Forssk) Vierh
Kingdom: Plantae Divisio : Magnoliophyta Clasis : Magnoliopsida Ordo : Scrophulariales Familia: verbenaceae Genus : avicennia Species : Avicennia marina (Forsk.) Vierh
Belukar atau pohon yang tumbuh tegak atau menyebar, ketinggian pohon mencapai 30 meter. Memiliki sistem perakaran horizontal yang rumit dan berbentuk pensil (atau berbentuk asparagus), akar nafas tegak dengan sejumlah lentisel. Kulit kayu halus dengan burikburik hijau-abu dan terkelupas dalam bagian-bagian kecil. Ranting muda dan tangkai daun berwarna kuning, tidak berbulu.
3. Bruguiera gymnorrhiza (L.)
Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Myrtales Famili : Rhizophoraceae Genus : Bruguiera Species : Bruguiera gymnorrhiza (L.)
Pohon yang selalu hijau dengan ketinggian kadangkadang mencapai 30 m. Kulit kayu memiliki lentisel, permukaannya halus hingga kasar, berwarna abu-abu tua sampai coklat (warna berubah-ubah). Akarnya seperti papan melebar ke samping di bagian pangkal pohon, juga memiliki sejumlah akar lutut.
41
Lanjutan lampiran 1. Gambar
Klasifikasi
Deskripsi
4. Rhizophora apiculata Blume
Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Myrtales Famili : Rhizophoraceae Genus : Rhizophora Species : Rhizophora apiculata Bl.
Ketinggian pohon mencapai 30 m dengan diameter batang mencapai 50 cm. Memiliki perakaran yang khas hingga mencapai ketinggian 5 meter, dan kadangkadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. Kulit kayu berwarna abu-abu tua dan berubah-ubah.
5. Rhizophora mucronata Lam.
Kingdom : Plantae Divisio : Magnoliophyta Clasis : Magnoliopsida Ordo : Myrtales Familia: Rhizophoraceae Genus : Rhizophora Species: Rhizophora mucronata Lmk.
Pohon dengan ketinggian mencapai 27 m, jarang melebihi 30 m. Batang memiliki diameter hingga 70 cm dengan kulit kayu berwarna gelap hingga hitam dan terdapat celah horizontal. Akar tunjang dan akar udara yang tumbuh dari percabangan bagian bawah.
6. Rhizophora stylosa Griff.
Kingdom: Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Myrtales Famili : Rhizophoraceae Genus : Rhizophora Species : Rhizophora stylosa Griff.
Pohon dengan satu atau banyak batang, tinggi hingga 10 m. Kulit kayu halus, bercelah, berwarna abu-abu hingga hitam. Memiliki akar tunjang dengan panjang hingga 3 m, dan akar udara yang tumbuh dari cabang bawah.
7. Sonneratia alba J. Sm.
Kingdom : Plantae Divisio : Magnoliophyta Clasis : Magnoliopsida Ordo : Myrtales Familia : Sonneratiaceae Genus : Sonneratia Species : Sonneratia alba Smith.
Pohon selalu hijau, tumbuh tersebar, ketinggian hingga 15 m. Kulit kayu berwarna putih tua hingga coklat, dengan celah longitudinal yang halus. Akar berbentuk kabel di bawah tanah dan muncul kepermukaan sebagai akar nafas yang berbentuk kerucut tumpul dan tinggi mencapai 25 cm.
42
Lanjutan lampiran 1. Gambar
Klasifikasi
Deskripsi
8. Sonneratia caseolaris (L.) Engl.
Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Myrtales Famili : Lythraceae Genus : Sonneratia L.f. Species : Sonnetaria caseolaris (L.) Engl.
Pohon, ketinggian mencapai 15 m, jarang mencapai 20 m. Memiliki akar nafas vertikal seperti kerucut (tinggi hingga 1 m) yang banyak dan sangat kuat. Ujung cabang/ranting terkulai, dan berbentuk segi empat pada saat muda.
9. Nypa fruticans Wurmb
Kingdom: Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Arecales Famili : Arecaceae Genus : Nypa Species : Nypa fruticans Wurmb.
Palma tanpa batang di permukaan, membentuk rumpun. Batang terdapat di bawah tanah, kuat dan menggarpu. Tinggi dapat mencapai 4-9 m.
10. Acrostichum aureum L.
Kingdom: Plantae Divisio : Pteridophyta Clasis : Filicopsida Ordo : Polypodiales Familia : Pteridaceae Genus : Acrostichum Species : Acrostichum aureum L.
Ferna berbentuk tandan di tanah, besar, tinggi hingga 4 m. Batang timbul dan lurus, ditutupi oleh urat besar. Menebal di bagian pangkal, coklat tua dengan peruratan yang luas, pucat, tipis ujungnya,bercampur dengan urat yang sempit dan tipis.
11.
Kingdom : Plantae Divisio : Magnoliophyta Clasis : Magnoliopsida Ordo : Scrophulariales Familia : Acanthaceae Genus : Acanthus Species : Acanthus ilicifolius L.
Herba rendah, terjurai di permukaan tanah, kuat, agak berkayu, ketinggian hingga 2m. Cabang umumnya tegak tapi cenderung kurus sesuai dengan umurnya. Percabangan tidak banyak dan muncul dari bagianbagian yang lebih tua. Akar udara muncul dari permukaan bawah batang horizontal.
Acanthus ilicifolius L.
43 Lanjutan lampiran 1. Gambar
12. Terminalia catappa L.
Klasifikasi
Deskripsi
Kingdom: Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Myrtales Famili : Combretaceae Genus : Terminalia Species : Terminalia catappa
Ketapang berwarna coklat tua keabu-abuan, memiliki cabangcabang horizontal sehingga kanopi pohon berbentuk segitiga. Daun berbentuk lonjong atau bulat telur dan berwarna hijau, tetapi bila sudah tua daun akan menguning kemudian memerah dan selanjutnya gugur menjadi cokelat. Ujung daun membulat, pangkal daun membulat.
Lampiran 2 Analisis Daya Dukung Kebutuhan area wisata dan Turnover Factor (TF) Jenis Penggunaan
Satuan Pengunjung (orang/kel) 1-5 1-5
Area
Keterangan
2
Pada lokasi bumi perkemahan, panjang jalan trail dibanding kriteria = jumlah pendaki yang dapat ditampung; sebaiknya setiap 50 pendaki 1 pengawas
Berkemah 16 m Mendaki 20 m2 Rekreasi santai menikmati 1 10 m2 alam terbuka Rekreasi pantai/ mandi 1 25 m2 berenang Memancing 1 10 m2 Photo Hunting 1 1 ha Menyelam 2 0,25 ha Snorkling 1 10 m2 Semedi/ Ziarah 1-5 4 m2 Bersampan 1-4 1 sampan Berselancar 1 100 m2 Rekreasi gua 1-10 1 gua Pendidikan dan penelitian Jenis Tergantung tujuan Sumber : Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi (2006)
Standar yang digunakan dalam mengembangkan faktor konfersi jumlah pengunjung terhadap kebutuhan area wisata No
Aktivitas
1 Berenang 2 Berperahu 3 Piknik 4 Berkemah Sumber : Douglass(1982)
Area yang diperlukan per orang (feet2) 304 544 726 907
Turnover Factor (TF) 1.5 2.0 1.5 1.0
44
Bersampan AR a CD TF
= 2000 m2 = 0.49 acre = 544 feet2 = 119 = 2.0
Pendidikan dan Penelitian = 4000 m2 = 0.98 acre = 50 m2 = 538 feet2 = 119 = 2.0
AR a CD TF
orang/tahun
Memancing AR a CD TF
= 500 m2 = 0.12 acre = 10 m2 = 107 feet2 = 119 feet2 = 2.0
Rekreasi santai menikmati pemandangan alam terbuka = 5000 m2 = 1.23 acre = 726 feet2 = 119 = 2.0
AR a CD TF
11.626 orang/tahun 13.173 orang/tahun
Photo hunting AR
= 57000 m2 = 14.09 acre
a
= 10000 m2 = 107.639 feet2
CD TF
= 119 = 2.0
Penyediaan ruang parkir 1). Parkir mobil
2). Parkir sepeda motor
1.357 ind/tahun
Keterangan : Ps Daya tampung kendaraan yang dapat diparkir (kendaraan) S Jumlah petak parkir yang tersedia di lokasi penelitian Ts lama periode analisis/waktu survai (jam) D waktu rata-rata lama parkir (jam/kend) f Faktor pengurangan akibat pergantian parkir, nilai antara 0.85 s/d 0.95.
45
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Batang pada tanggal 25 Desember 1990, putri bungsu dari pasangan Bapak Sujarwo dan Ibu Musriah. Pendidikan Sarjana ditempuh pada Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Univesitas Pekalongan pada tahun 2009 dan lulus pada tahun 2014. Pada tahun yang sama, penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan Magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Penulis menamatkan Program Magister pada tahun 2017. Beasiswa pendidikan yang pernah diperoleh; beasiswa Bank Rakyat Indonesia (BRI) tahun 2012. Beasiswa Abu Rizal Bakrie (ARB) tahun 2013. Dan Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Kegiatan yang dilakukan selama menempuh pendidikan menjadi mahasiswa program Sarjana, penulis secara aktif mengikuti kegiatan organisasi internal kampus dan menjabat sebagai ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian UNIKAL. Kegiatan organisasi eksternal kampus yang diikuti adalah Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI). Pada saat menempuh program pascasarjana penulis tergabung dalam organisasi Awardee LPDP IPB. Kegiatan pengabdian masyarakat dan partisipasi dalam seminarseminar nasional secara aktif di ikuti. Tahun 2012-2014 penulis mendapatkan kesempatan belajar sekaligus bekerja di Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) UNIKAL. Sebagai enumerator dan relawan Pos Pemberdayaan keluarga (POSDAYA). Selain itu pernah diberi kepercayaan sebagai asisten praktikum dalam beberapa mata perkuliahan pada Program studi Agroteknologi, diantaranya: mata kuliah Dasar-Dasar Agronomi, Kimia Dasar, dan Botani Umum. Pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti adalah Pelatihan Kepemimpinan diselenggarakan oleh LPDP RI bertempat di Depok Jakarta selama tujuh hari pada tahun 2014. Pelatihan lain berupa Pelatihan Pengambilan Keputusan Multikriteria diselenggarakan oleh PSL bertempat di Kampus IPB Baranangsiang selama sepuluh hari pada tahun 2015. Karya ilmiah pertama berjudul “Uji Variasi Konsentrasi Chitosan Terhadap Daya Simpan Cabai Merah (Capsicum annum l.)” telah disajikan dalam skripsi tahun 2014. Karya ilmiah kedua disajikan dalam tesis tahun 2017 berjudul “Strategi Manajemen Hutan Wisata Mangrove di PIM Kota Pekalongan”. Karya ilmiah berjudul “Identifikasi Jenis Tumbuhan Mangrove sebagai Fungsi Ekologis dan Ekowisata di PIM Kota Pekalongan” telah dalam proses review yang selanjutnya akan diterbitkan pada Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam.