Strategi Kesopanan dalam Tindak Tutur Tak Langsung pada Film Harry Potter and the Deathly Hallows Oleh Adrian Kurniawan Zahar*
ABSTRAK Jurnal ini menjelaskan tentang strategi kesopanan dalam tindak tutur tak langsung dengan objek yang menjadi contoh pengaplikasian yaitu film Harry Potter and the Deathly Hallows. Data yang penulis ambil hanya tuturan yang berjenis tindak tutur tak langsung pada film dan transkripsi yang penulis buat secara manual. Teori-teori yang penulis gunakan adalah teori mengenai tindak tutur tak langsung oleh Yule (1996) dan teori mengenai strategi kesopanan oleh Brown dan Levinson (1987). Selain itu, penulis menggunakan teori pendukung mengenai tindak ilokusi oleh Searle (1983). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 3 dari 5 fungsi atau tindak ilokusi muncul pada tindak tutur tak langsung yaitu fungsi direktif, asertif, dan komisif. Selain itu, 3 dari 4 strategi kesopanan digunakan pada tindak tutur tak langsung, yaitu strategi kesopanan positif, strategi kesopanan negatif, dan strategi kesopanan off record. Kata kunci: Strategi kesopanan, Tindak tutur tak langsung, Tindak ilokusi, Tuturan.
ABSTRACT This journal describes politeness strategy in indirect speech act applied in Harry Potter and the Deathly Hallows film. The data taken are only the utterances which are the indirect speech acts. The theories applied in this journal are indirect speech acts by Yule (1996) and politeness strategies by Brown and Levinson (1987). This journal also uses illocutionary acts by Searle (1983) as the supporting theory. The result of this thesis shows that 3 of 5 functions or illocutionary acts are used in indirect speech acts. Moreover, 3 of 4 politeness
*
Mahasiswa Program Studi S1 Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran, Kajian Linguistik. Tahun kelulusan: 2012. Tanggal sidang: 19 Juli 2012. NPM: 180410080100.
1
strategy are applied in indirect speech acts; positive politeness strategy, negative politeness strategy, and off record politeness strategy. Keywords: Politeness strategy, Indirect speech act, Illocutionary act, Utterance.
Pendahuluan Tindak tutur tak langsung apa yang ada pada film Harry Potter and the Deathly Hallows? Strategi kesopanan apa saja yang ada dalam tindak tutur tak langsung pada film Harry Potter and the Deathly Hallows? Manusia memiliki cara untuk berkomunikasi dan berinteraksi yaitu dengan menggunakan bahasa. Bahasa memiliki banyak jenis dan bentuk yang antara lain yaitu berupa percakapan atau tuturan. Percakapan atau tuturan yang dilakukan oleh penutur dan petutur memiliki makna dan maksud yang berbeda-beda. Pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu linguistik yang mempelajari hal tersebut. Dalam berkomunikasi, kita dapat menyampaikan maksud tuturan kita secara langsung dengan makna eksplisit dan secara tidak langsung dengan makna yang implisit. Tuturan yang kita lakukan, baik secara langsung atau pun tidak langsung dipengaruhi oleh unsur atau aspek tertentu. Salah satunya adalah kesopanan. Aspek kesopanan umumnya muncul pada tuturan yang tak langsung. Sebenarnya tingkatan langsung atau tidak langsungnya sebuah tuturan bersifat relatif. Hal ini dapat dibandingkan melalui contoh dari tindak tutur langsung dan tindak tutur tak langsung. (1) Answer the phone. merupakan contoh dari tuturan yang langsung, sedangkan (2) Could you possibly answer the phone? adalah contoh dari tuturan yang tak langsung. Pada kedua contoh tersebut, contoh (1) memiliki nilai kesopanan yang rendah, sedangkan contoh (2) memiliki nilai kesopanan yang tinggi. Tuturan yang tidak memiliki hubungan langsung antara struktur dan makna atau bisa juga disebut berbasa-basi seperti contoh (2) merupakan tuturan yang memiliki nilai kesopanan tinggi. Berbeda dengan contoh (2), contoh (1) yang memiliki hubungan langsung antara struktur dengan maknanya atau tanpa basa-basi bernilai kesopanan yang rendah. Hubungan antara
2
kesopanan dengan tindak tutur tak langsung ini merupakan hal yang menarik untuk penulis bahas dalam jurnal ini. Dalam melakukan komunikasi atau tindak tutur, unsur kesopanan merupakan salah satu aspek yang penting untuk dimunculkan. Kesopanan ini berguna untuk menciptakan hubungan dan komunikasi yang baik dalam interaksi sosial antara penutur dan petutur. Kesopanan merupakan salah satu aspek berinteraksi yang dimaksudkan untuk memunculkan rasa hormat terhadap diri orang lain. Dengan memunculkan unsur kesopanan dalam berkomunikasi, orangorang dapat lebih mempererat hubungan sosial mereka dan keduanya dapat saling menghormati citra dirinya masing-masing. Penulis memilih film sebagai media untuk menganalisis dan memahami kesopanan dalam tindak tutur ini. Film dapat menggambarkan kejadian-kejadian dari dunia nyata. Selain itu, film memiliki unsur-unsur yang dibutuhkan untuk menganalisis strategi kesopanan pada tindak tutur yaitu, dialog, tokoh, dan latar. Film sebagai data yang digunakan dalam penelitian ini juga merupakan media yang dapat dengan mudah dipahami karena masyarakat pada umumnya gemar menonton film dan dengan adanya situasi atau konteks yang berhubungan dengan tindak tutur tersebut, maka strategi kesopanan dan tindak tutur dapat diteliti dengan lebih efektif. Film yang penulis pilih sebagai objek pada jurnal ini yaitu Harry Potter and the Deathly Hallows. Film ini memiliki banyak tindak tutur tak langsung yang dimaksudkan untuk memunculkan strategi kesopanan. Selain itu, film ini merupakan film yang popular baik di kancah nasional maupun internasional sehingga masyarakat umum tahu akan film ini.
Pembahasan Salah satu cabang ilmu linguistik yang mempelajari tentang makna tuturan adalah pragmatik. Leech (1983:2) menyatakan bahwa pragmatics is the study of meaning in relation to speech situations, pragmatik merupakan ilmu yang mempelajari makna yang berhubungan dengan situasi tutur, maka dapat dikatakan bahwa dalam mempelajari makna tuturan, situasi tutur (speech situations) juga memengaruhi makna dan maksud tuturan tersebut. Berdasarkan pendapat tersebut,
3
penulis menyimpulkan bahwa pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu linguistik yang mempelajari tentang makna dan maksud dari tuturan yang dilakukan participants (penutur dan petutur) berdasarkan konteks yang ada saat terjadinya tuturan tersebut. •
Konteks Di dalam sebuah tindak tutur, konteks memiliki peranan penting dalam
menganalisis makna dan maksud sebuah tindak tutur. Konteks merupakan suatu hal yang berhubungan dan memengaruhi suatu tuturan, seperti setting, participants, latar belakang pengetahuan participants, dan hubungan sosial participants. Dalam memahami maksud dan makna dari sebuah tuturan, kita harus mengetahui juga konteks yang ada ketika tuturan tersebut terjadi. Alasannya adalah karena jika satu tuturan yang muncul dalam konteks yang berbeda, maksud dan makna tuturan itu akan berbeda pula. Yule (1996:3) berpendapat, “Pragmatics is the study of contextual meaning.” Yule menyatakan bahwa konteks pada tuturan berupa participants, tempat, waktu, dan keadaan yang ada pada saat tuturan tersebut terjadi. •
Tindak Tutur Langsung Tindak tutur langsung dan tindak tutur tak langsung merupakan jenis
tindak tutur yang dibagi berdasarkan hubungan antara struktur tindak tutur dengan fungsi tindak tutur tersebut. Yule (1996:54) berpendapat, “Whenever there is a direct relationship between a structure and a function, we have a direct speech act.” Tindak tutur langsung merupakan tindak tutur yang memiliki hubungan langsung antara struktur tindak tutur tersebut dengan fungsinya. McManis (1988:200) berpendapat bahwa suatu tindak tutur disebut tindak tutur langsung karena tindak tutur tersebut memunculkan fungsinya secara harfiah dan langsung. Yule menyatakan bahwa bentuk tindak tutur tersebut berupa deklaratif (pernyataan), interogatif (pertanyaan), dan imperatif (perintah), sedangkan fungsinya berupa statement, question, dan command/request. Ketika bentuk struktur deklaratif digunakan dalam tindak tutur untuk memberikan pernyataan,
4
maka tindak tutur langsung yang dilakukan pada tindak tutur tersebut. Namun ketika bentuk struktur deklaratif digunakan untuk mengajukan permintaan, maka tindak tutur tak langsung yang dilakukan pada tindak tutur tersebut. Contoh dari tindak tutur langsung yaitu (3) Wear your seatbelt!. Bentuk struktur imperatif dengan fungsi perintah memiliki hubungan yang langsung antara struktur dan fungsi tindak tutur tersebut maka contoh tindak tutur tersebut berupa tindak tutur langsung. •
Tindak Tutur Tak Langsung Menurut Yule (1996:55), “Whenever there is an indirect relationship
between a structure and a function, we have a direct speech act.” Tindak tutur tak langsung merupakan tindak tutur yang memiliki hubungan tidak langsung antara struktur tindak tutur tersebut dengan fungsinya. Contoh dari tindak tutur tak langsung yaitu (4) You’re standing in front of the TV. Contoh tindak tutur tersebut memiliki struktur deklaratif tapi fungsi yang sebenarnya bukan semata-mata pernyataan. Fungsi yang sebenarnya adalah permintaan, yaitu meminta orang tersebut untuk pindah dari depan TV karena menghalangi pandangan ke arah TV. Tindak tutur tak langsung ini penting untuk dilakukan dalam memunculkan unsur kesopanan. Yule (1996:56) menyatakan, “Indirect speech acts are generally associated with greater politeness in English than direct speech acts.” Selain itu, Leech (1983:108) juga berpendapat bahwa semakin tak langsung jenis dari sebuah tindak tutur, maka aspek kesopanan muncul dengan lebih kuat. Pembahasan mengenai ini akan dibahas lebih lanjut pada strategi kesopanan yang disertai dengan contoh data. •
Tindak Ilokusi Leech (1983:199) mendefinisikan tindak ilokusi secara sederhana yaitu
tindakan yang muncul dalam melakukan tindak tutur, maksudnya tindak tutur tersebut memiliki makna dan fungsi lain dalam kata-katanya. Searle dalam Leech (1983:105) membagi tindak ilokusi menjadi 5 kategori; assertive, directives, commissives, expressive, dan declarations.
5
•
Jenis-jenis Tindak Ilokusi Tindak ilokusi asertif (assertives) merupakan tindak ilokusi yang
dilakukan penutur untuk menyatakan kebenaran atas apa yang dituturkannya. Nilai kebenaran dalam asertif ini netral karena bisa benar dan bisa juga salah. Fungsi dari asertif adalah menyatakan (stating), menyarankan (suggesting), memberitakan (reporting), mengeluh (complaining), menuntut (claiming), dan membual atau menyombongkan diri (boasting). Tindak ilokusi direktif (directives) merupakan tindak ilokusi yang dilakukan agar petutur melakukan apa yang penutur minta. Fungsi dari direktif adalah menyuruh (ordering), memerintah (commanding), memohon atau meminta (requesting), menasehati (advising), dan menganjurkan (recommending). Tindak ilokusi komisif (commissives) merupakan tindak ilokusi yang mengikat penuturnya untuk melakukan suatu tindakan di waktu yang akan datang. Fungsi dari komisif adalah berjanji (promising), bersumpah (vowing), menolak (refuse), dan menawarkan (offering). Tindak ilokusi ekspresif (expressives) bertujuan untuk mengekspresikan dan menunjukkan kondisi psikologi dan sikap penutur terhadap penutur dalam suatu keadaan tertentu. Fungsi dari ekspresif adalah berterima kasih (thanking), meminta maaf (pardoning), memberi selamat (congratulating), menyalahkan (blaming), memuji (praising), dan berduka (condoling). Deklaratif merupakan tindak ilokusi yang membuat penuturnya menghubungkan antara tindak tutur dengan kenyataan. Fungsi dari deklaratif adalah mengundurkan diri (resigning), memecat (dismissing), membaptis (christening), menamai (naming), mengucilkan (excommunicating), memvonis (sentencing), dan mengangkat (appointing). •
Kesopanan Menurut Yule (1996:60), “Politeness, in an interaction, can be defined as
the means employed to show awareness of another person’s face.” Kesopanan dalam pragmatik dapat diartikan sebagai suatu cara untuk menghormati face atau citra diri seseorang. Dalam melakukan tindak tutur, kesopanan merupakan konsep
6
yang penting untuk dimunculkan agar citra diri sendiri atau penutur terkesan baik dan juga menjaga citra diri orang lain atau petutur agar tetap dihormati. Brown dan Levinson (1987) menyatakan bahwa kesopanan merupakan sebuah tindakan untuk mencegah dan menangani tindak tutur yang mengancam citra diri atau face orang lain maupun diri sendiri (Face Threatening Acts). •
Face Face dapat secara sederhana diartikan sebagai citra diri seseorang. Dalam
berbicara mengenai kesopanan, konsep face akan selalu muncul karena kesopanan dilakukan untuk menghormati face seseorang. Yule (1996:60) menyatakan, “Face means the public self-image of a person.” Face berarti gambaran diri atau citra diri dari seseorang di hadapan umum. Citra diri merupakan suatu hal yang emosional dan memiliki kesan sosial yang setiap orang ingin agar orang lain saling menghargai atau menghormati citra diri masing-masing. Brown dan Levinson dalam Stockwell (2002:23) membagi face menjadi 2: 1. Negative Face: the want of every ‘competent adult member’ that his actions be unimpeded by others. Negative Face berarti suatu keinginan dari seseorang untuk tidak diganggu oleh orang lain, untuk mandiri dan memiliki kebebasan dalam bertindak, misalnya pada sebuah rapat, seorang pimpinan yakin bahwa keputusannya adalah hal yang terbaik dan dia tidak ingin keputusan tersebut disangkal oleh orang lain. 2. Positive Face: the want of every member that his wants be desirable to at least some others. Positive Face berarti keinginan seseorang untuk dihargai dan diterima oleh orang lain, contohnya dalam berpakaian, ketika seseorang menggunakan pakaian tertentu dan menanyakan pendapat orang lain, ia ingin agar orang tersebut senang melihat ia memakai pakaian itu bahkan ingin orang tersebut memujinya. •
Face Threatening Acts (FTAs) Yule (1996:61) berpendapat, "If a speaker says something that represents
a threat to another individual's expectation regarding self-image, it is described
7
as a face threatening act.” Ketika penutur melakukan tindak tutur yang mengancam citra diri orang lain maka hal ini disebut dengan face threatening acts. Disinilah strategi kesopanan penting untuk dilakukan agar citra diri orang lain dan diri sendiri tetap dihormati dan tidak hilang. Contohnya pada suatu rapat, seorang karyawan tidak setuju dengan pendapat pimpinannya maka karyawan itu harus melakukan FTA. Kesopanan yang dia munculkan berupa negative politeness, (5) I think your idea of dismissing the workers is not effective to avoid the bankruptcy. Tuturan tersebut berbeda dengan tuturan (6) I don’t agree with that yang melakukan tindak tutur secara langsung dan terang-terangan yang memberikan ancaman yang lebih besar pada pimpinan tersebut. •
Strategi Kesopanan Strategi kesopanan merupakan strategi yang digunakan untuk menghindari
atau mengurangi efek pengrusakan citra diri yang muncul dari face threatening acts yang dilakukan penutur. Brown dan Levinson (1987:60) mengemukakan 5 jenis strategi kesopanan dalam bukunya. Strategi ke-5 tidak dicantumkan karena tidak memunculkan ancaman pada citra diri seseorang sehingga participants pada akhirnya tidak mengatakan apapun. 4 strategi ini disebut sebagai ‘superstrategies’. •
Bald On-Record (Strategi Langsung Tanpa Basa-basi) Pada strategi bald on-record, penutur tidak melakukan apapun untuk
meminimalisasi ancaman terhadap citra diri petutur. Penutur melakukan tindak tutur secara langsung dan jelas. Menurut Brown dan Levinson (1987:95), “The prime reason for bald on-record usage may be stated simply: in general, whenever S wants to do the FTA with maximum efficiency more than he wants to satisfy H’s face, even to any degree, he will choose the bald on-record strategy.” Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa dalam menggunakan strategi ini, keinginan penutur untuk memaksimalkan efisiensi dari tindak tutur dalam keadaan apapun lebih besar daripada keinginan penutur untuk menghormati citra diri petutur. Contoh tindak tutur pada strategi ini adalah (15) Bring me my
8
book. Pada tindak tutur tersebut, penutur mengatakannya secara langsung dan jelas tanpa meminimalisasi ancaman dan tanpa memedulikan citra diri petutur tersebut. Karena strategi ini menggunakan tindak tutur langsung, maka penulis tidak akan membahasnya lebih lanjut. •
Positive Politeness (Strategi Kesopanan Positif) Dalam strategi kesopanan positif, penutur memberikan citra diri positif
kepada petutur. Brown dan Levinson (1987:101-103) berpendapat bahwa positive politeness terjadi dalam suatu kelompok atau lingkungan yang participants-nya memiliki tujuan, keinginan, atau latar belakang pengetahuan yang sama. Strategi ini dimunculkan karena penutur ingin menunjukkan kesan yang baik pada petutur dan menandakan bahwa penutur ingin mempererat hubungan sosialnya dengan petutur melalui keinginan dan pandangan yang sama antara penutur dengan petutur. Brown dan Levinson (1987:103-129) membagi strategi kesopanan positif ini menjadi 15 jenis, yaitu Notice, attend to H (his interests, wants, needs, goods), Exaggerate (interest, approval, sympathy with H), Intensify interest to H, Use ingroup identity markers, Seek agreement, Avoid disagreement, Presuppose/raise/assert common ground, Joke, Assert or presuppose S’s knowledge of and concern for H’s wants, Offer, promise, Be optimistic, Include both S and H in the activity, Give (or ask for) reasons, Assume or assert reciprocity, dan Give gifts to H (goods, sympathy, understanding, cooperation). Pengaplikasian strategi ini dapat lebih mudah dipahami pada contoh data dan penjelasan berikut: Harry Lovegood
: What we’ve wondered is, what is itˇ? : “What is itˇ?” Well, it’s the sign of the Deathly Hallows,
of course. Ron & Hermione
: The whatˆ?
Harry
: The whatˇ?
Lovegood
: The Deathly Hallows. I assumeˆ you’re familiar with
“The Tale of the Three Brothers”ˇ? Ron & Hermione
: Yes.
9
Harry
: Noˆ.
Sebelum membahas mengenai strategi kesopanan dan tindak tutur tak langsung, konteks perlu dipahami pertama kali. Percakapan ini terjadi di kediaman Xenophilius Lovegood (penutur) ketika Harry, Hermione, dan Ron (petutur) mencari informasi mengenai sebuah lambang aneh yang mereka temukan di tempat-tempat yang penting. Mereka bertiga yakin bahwa Lovegood dapat memberikan informasi yang mereka inginkan. Lovegood merupakan ayah dari Luna, teman petutur di sekolah sihir Hogwarts dan juga merupakan teman dari Dumbledore, mantan kepala sekolah Hogwarts yang telah meninggal. Tuturan pada data ini difokuskan pada ‘I assumeˆ you’re familiar with “The Tale of the Three Brothers”ˇ?’ Penutur melakukan tuturan yang memiliki bentuk interogatif atau pertanyaan. Hal ini ditandai dengan perubahan intonasi di akhir tuturan yaitu intonasi turun dan juga tuturan selanjutnya dari petutur yang memberikan jawaban. Dengan demikian, walaupun tidak diawali dengan kata tanya di awal tuturan, tuturan tersebut memiliki bentuk interogatif. Fungsi atau tindak ilokusi yang muncul pada tuturan tersebut berupa tindak ilokusi asertif yang berupa claiming (anggapan). Berdasarkan bentuk dan fungsi tuturan yang tidak memiliki hubungan, maka tuturan tersebut termasuk pada jenis tindak tutur tak langsung. Anggapan pada tuturan tersebut muncul dari kata ‘assume’ yang berarti ‘anggap’. Anggapan dari penutur adalah bahwa petutur telah mengetahi perihal the Tale of the Three Brothers sehingga penutur tidak usah menjelaskannya lebih lanjut. FTA yang dilakukan penutur pada tuturan tersebut mengancam positive face petutur karena penutur ingin petutur memiliki opini atau pikiran yang sama untuk memunculkan solidaritas melalui anggapan tersebut. Anggapan yang muncul dari kata ‘assume’ tersebut berarti sebuah pikiran positif atau keyakinan bahwa petutur memiliki face wants, dalam hal ini pikiran, yang sama dengan penutur. Selain itu, penutur memberikan penekanan pada kata ‘assume’ dengan intonasi tuturannya yang naik. Oleh karena itu, strategi kesopanan dari penutur yang memunculkan anggapan positif atau keyakinan pada petutur termasuk ke dalam strategi kesopanan positif dengan sub-strategi 11: be optimistic.
10
•
Negative Politeness (Strategi Kesopanan Negatif) Menurut Brown dan Levinson (1987:129), “Negative politeness is
redressive action addressed to the addressee’s negative face: his want to have his freedom of action unhindered and his attention unimpeded.” Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa strategi kesopanan negatif merupakan tindakan mencegah atau meminimalisasi ancaman terhadap negative face petutur ketika penutur menginginkan sesuatu dari petutur maka kebebasan dan keinginan petutur akan terbebani atau terganggu. Sama halnya dengan positive politeness, negative politeness juga memiliki beberapa jenis strategi. Sepuluh strategi yang termasuk ke dalam negative politeness berdasarkan pendapat Brown dan Levinson (1987:129-211) adalah Be inconventionally indirect, Question, hedge, Be pessimistic, Minimize the imposition, Give deference, Apologize, Impersonalize S and H: Avoid the pronouns ‘I’ and ‘you’, State the FTA as a general rule, Nominalize, dan Go on record as incurring a debt, or as not indebting H. Untuk pemahaman lebih lanjut, penulis memberikan contoh data beserta penjelasan mengenai strategi kesopanan negatif dalam tindak tutur tak langsung sebagai berikut: Umbridge
: A wand was taken from you upon your arrival at the Ministry today. Is this that wandˆ? (Silent) Would you please tell the court from which witch or wizard you took this wandˇ?
Mary
: I didn’t take it.
Percakapan ini terjadi dalam sebuah sidang mengenai kepemilikan tongkat sihir dan muggle-blood (manusia berdarah murni yang tidak bisa menggunakan kekuatan sihir). Mary (petutur) dituduh mencuri tongkat sihir dari seorang penyihir karena Umbridge (penutur) menganggap Mary merupakan seorang muggle yang sudah seharusnya tidak memiliki tongkat sihir. Padahal, faktanya adalah Mary merupakan seorang penyihir dan tongkat sihir tersebut memang miliknya. Hubungan antara penutur dan petutur adalah seorang hakim dan terdakwa.
11
Pada data ini, tuturan yang menjadi fokus adalah ‘Would you please tell the court from which witch or wizard you took this wandˇ?’ yang merupakan tindak tutur tak langsung. Bentuk dari tuturan tersebut adalah interogatif atau pertanyaan tapi fungsi sebenarnya adalah ordering (perintah). Dengan kata lain, tuturan tersebut termasuk dalam tindak ilokusi direktif yang berupa ordering (perintah). Ketika itu, penutur menyuruh petutur memberitahukan fakta mengenai tongkat sihir yang menjadi permasalahan di sidang tersebut. Pada tuturan ini, FTA penutur ditujukan pada citra diri negatif atau negative face petutur karena penutur mengganggu kemandirian atau kebebasan petutur dalam bertindak dengan memintanya untuk memberikan informasi yang penutur inginkan sehingga termasuk dalam strategi kesopanan negatif. Penutur membuat tuturan yang tidak memiliki hubungan langsung antara bentuk dan fungsi agar petutur merasa nyaman dan tidak terancam citra diri negatifnya. Tuturan yang dilakukan yang dilakukan seperti itu termasuk dalam strategi kesopanan negatif dengan sub-strategi 1: be conventionally indirect. Strategi ini merupakan strategi kesopanan yang paling mendasar dalam mengurangi ancaman terhadap negative face petutur. •
Off Record (Strategi Tidak Langsung) Penggunaan FTAs dilakukan secara off record bila butuh beberapa cara
untuk memahami maksud komunikasi tersebut karena tindak tutur tersebut akan terkesan ambigu dan petutur pun sulit untuk memahaminya. Strategi ini pada umumnya dilakukan melalui tindak tutur tak langsung sehingga konteks dan situasi tutur merupakan unsur penting dalam memahami strategi kesopanan ini (Brown dan Levinson, 1987:211). Dalam strategi kesopanan off record, terdapat 15 jenis strategi, yaitu Give hints, Give association clues, Presuppose, Understate, Overstate, Use tautologies, Use contradictions, Be ironic, Use metaphors, Use rhetorical questions, Be ambiguous, Be vague, Over generalize, Displace H, dan Be incomplete, use ellipsis. Berikut ini contoh data beserta penjelasan mengenai strategi kesopanan off record dalam tindak tutur tak langsung:
12
Fletcher
: Listen, I panicked that night, all right? Could I help it if Mad-Eye fell of his broom?
Kreacher
: You …
Hermione
: Tell the truth.
Percakapan ini terjadi di dalam sebuah rumah, kediaman keluarga Black yang seluruh anggota keluarganya telah tiada. Harry bersama Ron dan Hermione sedang menunggu Kreacher yang diperintahkan untuk mencari dan membawa Fletcher (penutur). Sesampainya mereka, Harry, Ron, dan Hermione (petutur) langsung menginterogasi Fletcher yang dianggap sebagai pencuri karena seharusnya liontin yang mereka cari ada di rumah tersebut namun Fletcher datang lebih dulu lalu mengambil dan menjualnya. Selain itu, Fletcher juga dianggap sebagai seorang pengecut karena kabur dari insiden penyerangan yang dilakukan para pelahap maut. Pada data ini, fokus tuturannya adalah ‘Could I help it if Mad-Eye fell of his broom?’ yang memiliki bentuk tuturan interogatif karena terlihat dari kata tanya yang muncul di awal tuturan dan intonasi yang turun di akhir tuturan tersebut. Fungsi pada pertanyaan ini bukanlah suatu pertanyaan yang mengharapkan jawaban iya atau tidak, melainkan complaining (mengeluh). Dengan kata lain, tuturan ini termasuk ke dalam tindak ilokusi asertif yang berupa keluhan. Makna sebenarnya dari tuturan tersebut adalah ‘I can’t do anything’. Pada tuturan ini, keluhan yang bentuk langsungnya adalah pernyataan atau deklaratif dibuat oleh penutur menjadi interogatif. Penutur dalam menuturkan pertanyaan tersebut tidak mengharapkan jawaban apapun dari petutur. Pertanyaan digantungkan tanpa adanya jawaban. Tuturan tersebut memberikan ancaman pada positive face petutur karena penutur ingin bahwa informasi atau keinginan penutur dapat dipahami sehingga muncul kesamaan pikiran diantara penutur dan petutur. Strategi kesopanan ini termasuk ke dalam strategi off record dengan sub-strategi 10: use rhetorical questions. Pada strategi ini, penutur bermaksud untuk memberikan informasi pada petutur. Strategi ini biasa dilakukan untuk menunjukkan keluhan atau kritik (Brown & Levinson, 1987:223).
13
Simpulan Berdasarkan topik pada jurnal ini, penggunaan tindak tutur tak langsung hanya dapat dilakukan pada dua bentuk tuturan dalam yaitu bentuk pernyataan dan pertanyaan. 1 bentuk tuturan lainnya yaitu imperatif tidak muncul. Hal ini disebabkan karena bentuk imperatif memiliki hubungan langsung antara bentuk dan fungsinya sehingga tidak termasuk ke dalam jenis tindak tutur tak langsung. 3 dari 5 fungsi atau tindak ilokusi yang muncul adalah fungsi asertif, direktif, dan komisif. 2 lainnya yaitu deklarasi dan ekspresif tidak dapat dilakukan melalui tindak tutur tak langsung karena kedua fungsi tersebut hanya dapat dilakukan pada tindak tutur langsung. Strategi kesopanan, seperti yang telah dibahas sebelumnya, pada umumnya dilakukan untuk mengurangi ancaman terhadap citra diri petutur dan menghormatinya. Untuk mengurangi ancaman, strategi kesopanan dilakukan melalui tindak tutur tak langsung. Tiga dari empat jenis strategi kesopanan yang dapat digunakan dalam tindak tutur tak langsung yaitu strategi kesopanan positif, strategi kesopanan negatif, dan strategi kesopanan off record. 1 jenis strategi tidak dapat digunakan dalam tindak tutur tak langsung yaitu strategi kesopanan bald on record karena strategi tersebut menggunakan tindak tutur langsung. Akhir kata, penulis memohon maaf jika ada kesalahan dalam jurnal ini. Semoga melalui jurnal ini pembaca bisa menambah wawasan mengenai tindak tutur dan strategi kesopanan. Selain itu, karena kesopanan merupakan hal yang lumrah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, penulis harap pembaca dapat mempraktikan cara-cara dan strategi-strategi kesopanan yang dijelaskan dalam jurnal ini.
Daftar Sumber: Brown, P. and Levinson, S. 1987. Politeness: Some Universal in Language Usage. Cambridge University Press. Leech, Geoffrey . 1983. Principles of Pragmatics. New York: Longman Inc. Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford: University Press.
14