Strategi dan Pendekatan Pengembangan Sistem Informasi: Solusi untuk optimalisasi daya guna sistem informasi manajemen dalam organisasi Muhammad Firdaus
Abstract As organizations, including government institutions, increasingly embrace the spirit of the information age, management information systems start proliferating in these organizations. However, many of these information systems fail to deliver the expected benefits albeit high investment costs asociated with their development. The problems of information systems are so prevalent that some scholars conceptualise them into failure models. A close examination of literatures reveals that many ofthese failure models can be traced back to the process of systems development. In this case, the problems rendering information systems to fail are associated with the inadequate execution of required activities in some or all stages in the informaton Systems Development Life Cycle (SDLC), encompassing planning, requirement analysis, design, development, testing and quality control, implementation and maintenance. Hence, this article argues that a careful and proper implementation of these stages may result in effective management information systems. Keywords: Management Information Systems, Systems Development Life Cycle, Information Systems Failure
Pendahuluan Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, pembangunan sistem informasi manajemen berbasis komputer di berbagai instansi pemerintah mengalami peningkatan yang sangat pesat. Perkembangan ini merupakan suatu kecenderungan positif mengingat pemanfaatan teknologi informasi dalam penyelenggaraan administrasi negara berpeluang meningkatkan efisiensi dan efektivitas serta transparansi, yang pada gilirannya berdampak pada meningkatnya kualitas pelayanan publik. Kendati demikian, dampak positif yang diharapkan belum sepenuhnya dirasakan meskipun investasi instansi pemerintah dalam pengembangan sistem informasi berbasis komputer mengalami peningkatan yang cukup tajam. Jika
kecenderungan ini berlanjut, akan terjadi pemborosan sumber daya, terutama keuangan negara yang sangat besar dari pembangunan sistem informasi yang tidak efektif. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Menkominfo bahwa “di Indonesia masih ada kecenderungan over investment … di bidang Teknologi Informasi” (DetikNet 3 Mei 2005). Belum dirasakannya dampak positif tersebut disebabkan banyaknya sistem informasi yang dibangun di instansi pemerintah yang gagal memenuhi fungsinya. Dengan kata lain, sistem informasi manajemen yang telah dibangun tidak mampu memenuhi kebutuhan dan harapan pengguna. Alih-alih membantu, sistem informasi manajemen yang gagal malah membebani organisasi sehingga bisa berdampak pada kinerja organisasi yang rendah. Dalam artikel ini, penulis mencoba membedah permasalahan mendasar yang menyebabkan sistem informasi manajemen gagal dalam memenuhi fungsinya lalu mengusulkan solusi yang dapat diadopsi oleh organisasi pemerintah dalam menjamin daya guna sistem informasi yang dibangunnya. Pada bagian pertama, dibahas model-model kegagalan sistem informasi yang sering dijumpai dalam berbagai organisasi. Pada bagian berikutnya dipaparkan beberapa alternatif strategi yang bisa dipilih oleh organisasi dalam membangun sistem informasi. Selanjutnya, dikemukakan beberpa prinsip pembangunan sistem informasi baik. Akhirnya, dibahas teknik pengembangan sistem informasi terstruktur yang perlu diadopsi oleh organisasi dalam rangka menjamin efektifitas sistem informasi yang dibangun. Pada bagian akhir ditarik beberapa kesimpulan dan ditawarkan beberapa rekomendasi.
Model Kegagalan Sistem Informasi Dalam pembangunan suatu sistem informasi, komunikasi harus terjalin dengan lancar antara calon pengguna dan analis sistem. Banyak permasalahan dan kegagalan sistem informasi berakar pada ketidaklancaran komunikasi antara dua pihak tersebut. Berbagai bentuk permasalahan tersebut oleh Sauer (1993) dikonseptualisasikan menjadi empat model kegagalan.
Model kegagalan yang pertama adalah “Ketidaksesuaian”. Kegagalan seperti ini disebabkan karena adanya kesenjangan mencolok antara rancangan sistem yang telah disepakati antara pemilik atau pemesan dan analis sistem dengan sistem yang senyatanya terbangun. Pada tahap awal pengembangan sebuah sistem informasi, analis atau desainer harus menggali keinginan dan permasalahan yang dialami calon pengguna, dan calon pengguna harus menyetujui rancangan tersebut. Namun, dalam banyak kasus, ketika sistem informasi selesai dibangun, pengguna menemukan rancangan yang sudah mereka setujui tidak sesuai dengan sistem informasi yang terbangun. Akibatnya, sistem informasi gagal karena pengguna merasa kecewa dan tidak ingin atau tidak bisa memanfaatkan sistem informasi tersebut. Model kegagalan yang kedua adalah “Proses”. Hal ini terjadi ketika pengembangan sistem informasi berlarut-larut sehingga secara psikologis menimbulkan rasa putus asa dikalangan calon pengguna yang ingin segera memanfaatkan sistem yang dibangun untuk mereka. Biasanya kegagalan seperti ini terjadi jika ruang lingkup sistem informasi tidak didefinisikan secara jelas. Tanpa definisi ruang lingkup sistem yang jelas, kedua belah pihak tidak punya kepastian sebesar atau sesederhana apa sistem yang akan dibangun. Hal ini berdampak pada menggelembungnya penggunaan sumber daya organisasi seperti waktu, tenaga dan terutama biaya. Bahkan ketidakjelasan ruang lingkup berpotensi menimbulkan perselisihan antara analis sistem yang merancang bangun sistem dengan organisasi yang memesan pembangunan sistem informasi tersebut. Model kegagalan ketiga terkait dengan “Interaksi”. Hal ini terjadi bilamana pengguna merasa asing dengan antar muka atau interface sistem yang terbangun. Mereka merasa didikte atau bahkan dipaksa oleh sistem untuk bekerja dengan prosedur yang berbeda dengan yang sudah dibakukan oleh organisasi. Akibatnya, pengguna menjadi terbebani dan dipersulit oleh sistem informasi yang justru semestinya memfasilitasi pekerjaan mereka. kegagalan di atas biasanya terjadi bilamana pihak ketiga yang membangun sistem informasi mencoba menempuh jalan pintas dengan menggunakan model
sistem informasi yang sudah pernah dibangun untuk organisasi lain. Bagi pihak pengembang tentu ini menguntungkan karena tidak perlu mengeluarkan banyak biaya, tenaga dan waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Namun perlu dipahami bahwa setiap organisasi memiliki karakteristik tertentu yang berimplikasi pada kebutuhannya akan sistem informasi. Maka dari itu, sistem informasi yang baik harus mampu mencerminkan karakteristik organisasi agar nantinya pemakai dan pengguna merasa nyaman dan betah menggunakannya. Oleh karena itu, memaksakan menggunakan asumsi sistem informasi dari suatu organisasi ke organisasi lain yang banyak terjadi belakangan ini merupakan pendekatan yang keliru. Mode kegagalan terakhir adalah “Harapan”. Ini adalah kegagalan terparah karena merupakan gabungan dari tiga model kegagalan terdahulu. Dalam hal ini, sistem informasi gagal memenuhi harapan pengguna. Jika dicermati, penyebab dari berbagai bentuk kegagalan di atas adalah proses pengembangan sistem informasi manajemen yang tidak didasarkan pada metode atau pendekatan baku tertentu. Akibatnya, sistem informasi yang sudah menelan biaya besar dan menggunakan teknologi informasi terbaru tidak mampu mendukung manajemen dalam menjalankan organisasinya. Dengan bahasa yang lebih keras Martin (1991) menggunakan istilah “kematian”
untuk
menggambarkan
permasalahan
sistem
informasi.
Dia
mengemukakan lima dimensi kehidupan sistem informasi dimana pada setiap dimensi tersebut sistem informasi berpotensi mengalami kematian. Dimensi tersebut adalah pembukuan, teknologi, fisik, harapan pengguna dan pengaruh eksternal. Kematian secara “pembukuan” biasanya hanya terjadi pada perusahaan komersial. Untuk menghindari pajak mereka sering menghapus keberadaan sistem informasi mereka dalam pembukuan meskipun sebenarnya sistem masih ada dan masih terpakai. Kematian secara “teknologi” terjadi ketika sistem masih berfungsi sebagaimana ia dirancang, namun teknologi baru yang lebih cepat dan efisien sudah digunakan oleh organisasi lain, terutama pesaing. Kematian secara secara “fisik” terjadi ketika peralatan komputer pendukung sistem informasi menjadi
usang setelah pemakaian dalam jangka waktu lama. Kematian dari segi “harapan pengguna” terjadi ketika kebutuhan pengguna berubah dan sistem informasi tidak lagi dapat memenuhinya. Dalam hal ini sistem yang ada secara pembukuan masih tercatat dalam inventaris kantor, secara teknologi belum tertinggal, secara fisik juga masih prima namun pengguna yang berubah kebutuhannya melebihi kemampuan optimal sistem sebagaimana ia dirancang. Terakhir, kematian sistem informasi oleh “pengaruh dari luar” biasanya diakibatkan oleh masalah inkompatibilitas sistem antara dua organisasi yang bergabung. Bisa pula karena peraturan yang membuat sistem yang ada harus diubah. Sejalan dengan pengungkapan permasalahan di atas, Simon (2011) juga memaparkan sejumlah potensi kegagalan yang mengiringi segenap tahapan pengembangan sistem informasi seperti ketidakseriusan organisasi dalam menggali kebutuhannya, jadwal pembangunan yang molor akibat banyaknya isu yang tidak terantisipasi dan minimnya dokumentasi sistem.
Strategi Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Sebelum
membahas
pendekatan
pengembangan
sistem
informasi
manajemen secara mendalam, terlebih dahulu disajikan tiga strategi yang bisa ditempuh oleh organisasi dalam membangun sistem informasi manajemen sebagaimana dikemukakan oleh Haag dan Cummings, et. al. (2004). Pertama, insource, yaitu membangun sistem informasi manajemen tanpa bantuan spesialis dari luar organisasi. Strategi ini bisa menjadi pilihan bagi organisasi yang sudah memiliki tenaga ahli atau spesialist yang mampu membangun sendiri sistem informasi untuk organisasinya. Strategi kedua adalah selfsource, yakni pengguna membangun sendiri sistem informasi tanpa atau dengan hanya sedikit bantuan dari tenaga ahli. Dengan semakin mudahnya penggunaan aplikasi komputer yang sering dilengkapi dengan fasilitas macro, fungsi-fungsi standar dan modul-modul siap pakai atau sejenisnya, semakin banyak pula pengguna yang bisa menciptakan sendiri sistem informasi sesuai dengan keinginannya.
Keuntungan selfsourcing adalah bahwa kebutuhan pengguna teridentifikasi secara akurat karena yang membangunnya adalah pengguna itu sendiri. Selain itu, rasa kepemilikan akan sistem informasi yang dibangun sangat tinggi sehingga mendukung daya guna sistem. Keuntungan lainnya adalah proses pembangunan berlangsung cepat karena tidak ada ketergantungan pada pihak luar. Hanya saja, sistem informasi yang dikembangkan dengan cara ini terbatas pada yang berskala kecil. Terlepas dari keuntungan selfsourcing yang disebutkan di atas, terdapat pula beberapa kelemahan diantaranya level keahlian pengguna yang tidak tinggi bisa membuat pengembangan sistem tidak optimal. Selain itu, ada kecenderungan sistem yang terbangun bersifat sangat peribadi dan tidak terfokus pada dukungan terhadap organisasi. Kelemahan lainnya adalah bahwa pengguna yang membangun sendiri sistem informasi biasanya tidak peduli dengan dokumentasi sistem sehingga kelangsungan sistem tersebut tidak terjamin terutama ketika pembangunnya sudah dimutasikan ke tempat lain atau keluar dari organisasi. Strategi ketiga adalah
outsourcing, yaitu mengontrakkan pekerjaan
pembangunan sistem informasi kepada pihak ketiga. Ada beberapa gradasi outsourcing yang bisa ditempuh oleh organisasi. Pertama, membeli perangkat lunak sistem informasi yang siap pakai. Kedua, membeli perangkat lunak siap pakai dan meminta pembuatnya untuk memodifikasi sistem tersebut sesuai kebutuhan organisasi. Ketiga, membeli perangkat lunak siap pakai beserta izin untuk memodifikasi sendiri sistem tersebut sesuai kebutuhan organisasi. Keempat, mengontrakkan sepenuhnya pembangunan sistem informasi baru ke pihak ketiga. Setelah mencermati tiga pilihan strategi pengembangan sistem informasi di atas, terlihat bahwa strategi yang paling banyak digunakan adalah outsourcing dengan mengontrakkan pengembangan sistem informasi baru sepenuhnya kepada pihak ketiga. Hal ini disebabkan karena jarangnya organisasi yang memiliki tenaga ahli yang mutlak diperlukan pada strategi insourcing maupun selfsourcing. Namun perlu diketahui bahwa outsourcing bukan berarti organisasi pemilik atau pemesan tidak perlu melakukan apa-apa dan tinggal menerima sistem yang
sudah jadi. Kesalahpahaman seperti ini bisa berakibat fatal. Organisasi pemesan dan pengembang pada tahapan tertentu perlu bekerja bersama-sama untuk kepentingan bersama. Pada satu sisi, pihak ketiga harus mampu dan secara aktif mengungkapkan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi kliennya terkait dengan sistem informasi manajemen. Pada sisi lain, organisasi pemesan juga harus secara aktif melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pekerjaan pihak ketiga serta pemeliharaan sistem secara berkelanjutan. Antara pihak pertama dan pihak ketiga harus terjalin komunikasi yang baik dan terbuka. Ada beberapa permasalahan dalam outsourcing yang sering menyebabkan sistem informasi gagal, yaitu 1) lemahnya kemampuan organisasi pemesan untuk mengartikulasikan permasalahan pelayanan dan kebutuhan mereka yang memerlukan solusi dari sistem informasi pada satu sisi dan 2) ketiakpedualian pihak ketiga untuk menggali dan memahami secara mendalam dan akurat permasalahan pelayanan pihak pertama yang membutuhkan solusi dari sistem informasi. Biasanya pihak ketiga menempuh jalan pintas dengan sekedar mereplikasi sistem informasi yang pernah dibangun untuk organisasi lain, juga 3) ketidakmampuan pihak ketiga untuk memahami dan menerjemahkan kompleksitas proses pelayanan organisasi pemesan kedalam desain, serta 4) ketergantungan instansi pemerintah pada pihak ketiga untuk menghasilkan sistem tanpa pengendalian yang memadai.
Prinsip Pengembangan Sistem Informasi Jika dicermati, kegagalan sistem informasi pada prinsipnya karena sistem tersebut tidak memenuhi prinsip-prinsip yang baik dalam pembangunan sistem informasi. Ada beberapa prinsip yang harus dipenuhi dalam pengembangan sistem informasi. Akseptablitas Keberhasilan sebuah sistem informasi sangat tergantung pada penerimaan anggota organisasi, khususnya kepada siapa sistem ditujukan. Oleh karena itu partisipsi seluruh anggota organisasi selama proses pembangunan sistem adalah suatu hal yang mutlak.
Penguatan proses pengambilan keputusan Sistem informasi manajemen sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan sehingga keberhasilannya sangat ditentukan oleh sebaik apa dukungan sistem tersebut dalam pengambilan keputusan Ekonomis Sistem informasi yang baik harus mampu mengoptimalkan penggunaan sumber daya anggaran dengan meminimalkan pemborosan. Fleksibilitas Sistem informasi harus dibangun sedemikian rupa sehingga bisa dengan mudah diadaptasikan kepada lingungn yang berubah. Perubahan ini bisa bersumber dari dalam organisasi seperti meningkatnya kebutuhan pengguna sistem informasi. Perubahan bisa juga terjadi di luar organisasi seperti perubahyan peraturan perundang-undangan atau perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Kehandalan Sistem informasi harus mampu memberikan dukungan yang konsisten dalam jangka panjang. Kesederhanaan Sistem yang terlalu rumit pada akhirnya bukan mendukung, tetapi malah melemahkan organisasi. Oleh karena itu sistem informasi manajemen harus mudah dioperasikan (user-friendly) dan menampilkan proses yang logis dan mengalir dengan urutan pemrosesan yang alami.
Pendekatan SDLC Untuk memastikan bahwa potensi kegagalan di atas dapat dihindari dan prinsip pengembangan sistem yang baik dapat dipenuhi, diperlukan suatu pendekatan baku. Salah satu pendekatan yang umum dipakai adalah System Development Life Cycle (SDLC) atau Siklus Hidup Pengembangan Sistem. SDLC adalah salah satu bentuk manajemen proyek pengembangan sistem informasi terstruktur yang dapat mempekuat pengendalian pimpinan terhadap proyek dengan membagi tugas-tugas yang kompleks kedalam bagian-bagian yang lebih sederhana (Ragunath, Velmourougan, et. al., 2010). SDLC memiliki beberapa
tahapan dan setiap penulis mengemukakan jumlah dan nama tahapan yang sedikit bervariasi seperti terlihat pada tabel berikut ini. Tabel 1. Perbandingan jumlah dan pemanaan tahapan SDLC Haag (2004)
Avgerou (2008)
Ragunath et. al. (2010)
Anderson (2004)
Perencanaan
Identifikasi permasalahan
Pefrencanaan Proyek
Identifikasi kebutuhan/ analisis
Analisa
Penetapan kebutuhan
Desain
Desain
Analisis awal kebutuhan informasi Studi kelayakan
Desain
Pembangunan/ Konstruksi
Pengembangan
Analisis sistem
Pengembangan
Testing/Penjaminan mutu
Pengujian
Desain sistem dan Pemrograman Implementasi
Integrasi dan Test
Implementasi
Instalasi dan Penerimaan
Pengoperasian & Pemeliharaan
Implementasi Pemeliharaan
Pemeliharaan Evaluasi
Dari tinjauan terhadap beberapa literatur mengenai penamaan dan jumlah tahapan SDLC di atas, maka dapat dirumuskan nama dan tahapan SDLC dalam tulisan ini sebagaimana terlihat dalam Diagram 1.
Diagram 1. System Develpment Life Cycle
SDLC merupakan suatu rangkaian proses yang bersifat partisipatif. Keterlibatan anggota organisasi dalam berbagai tahapan sangat ditekankan melalui komunikasi efektif dari awal sampain akhir, terutama bagi mereka yang akan terkena dampak langsung. Hal ini berguna untuk meningkatkan rasa kerlibatan (sense of belonging) dan rasa kepemilikan (sense of ownership). Pada tahap ini ide perubahan/pembangunan sistem informasi dikomunikasikan sebagai bagian dari internal public relation.
Perencanaan Pada tahap perencanaan, organisasi pemilik sistem informasi yang memainkan peran utama melakukan berbagai pekerjaan awal dalam rangka pengembangan sistem informasi manajemen. Kegiatan-kegiatan perencanaan ini meliputi penetapan sistem yang akan dibangun, ruang lingkup proyek pengembangan sistem dan perencanaan proyek standar seperti perencanaan kegiatan, sumber daya dan waktu. Pada tahap perencanaan ini perlu pula bagi organisasi untuk melakukan identifikasi awal terhadap permasalahan nyata yang dirasakan oleh anggota organisasi dalam mengolah data dan mengelola informasi. Selain itu, organisasi pemilik juga melakukan studi kelayakan untuk memastikan apakah peluang keberhasilan pembangunan sistem cukup tinggi ataukah rendah. Alat analisis seperti SWOT bisa dipakai disini. Berdasarkan identifikasi awal akan permasalahan yang dihadapi, organisasi pemilik meminta pihak ketiga untuk mengajukan proposal atau dikenal sebagai Request for Proposal (RFP).
Analisis Kebutuhan Pada fase ini organisasi pemilik dan pihak ketiga sudah mulai bekerja bersama-sama. Pihak ketiga yang dikontrak pada tahapan ini melakukan survei untuk mengidentifikasi secara lebih seksama permasalahan dan kebutuhan nyata akan sistem informasi manajemen yang diinginkan kliennya. Komunikasi menjadi sangat penting pada tahap ini dikarenakan interaksi semakin kompleks dengan terlibatnya lebih banyak pihak, yaitu pimpinan organisasi, pegawai dan pihak ketiga.
Perancangan Pada tahap desain sistem pihak ketiga, dalam hal ini analis sistem informasi, lebih banyak terlibat seiring dengan berkurangnya peranan organisasi pemilik. Analis sistem merancang bangun arsitektur dan model sistem informasi. Komunikasi antara kedua belah pihak harus tetap berjalan terutama untuk memastikan kesesuaian antara kebutuhan yang telah ditetapkan dengan rancangan sistem yang dibuat oleh analis sistem informasi.
Pembangunan Pada tahap pembangunan, pihak ketiga masih dominan perananya, terutama programmer. Desain di atas kertas yang dihasilkan oleh analis sistem dibangun oleh programmer menjadi perangkat lunak sistem dan database. Desain konfigurasi perangkat keras serta jaringan komunikasi data yang diperlukan juga dibangun pada tahap ini.
Pengujian dan Penjaminan Mutu Ada dua pengujian yang harus dilakukan dalam rangka menjamin kualitas sistem informasi manajemen yang dibangun. Pertama, pengujian oleh pihak ketiga secara sepihak memastikan mutu sistem yang dibangun sesuai dengan standar dan kebutuhan kliennya. Keterlibatan organisasi pemilik diperlukan terutama untuk memantau agar dipastikan bahwa sistem sesuai dengan kebutuhan yang telah disepakati. Pengujian yang kedua bersifat gabungan antara pihak ketiga dan organisasi pemilik sistem informasi untuk memastikan bahwa sistem yang terbangun benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna. Pengujian kedua ini biasanya berlangsung saat implementasi sistem.
Implementasi Pada tahap ini kedua belah pihak secara intensif terlibat bersama-sama. Pihak ketiga menginstalasi sistem, membuat dokumentasi sistem dan menyerahannya kepada pemilik serta mengadakan pelatihan bagi pemakai sistem. Organisasi pemilik menyiapkan pegawai untuk dilatih, menilai apakah dokumentasi memadai, mengadvokasi sistem secara internal dan eksternal. Kedua belah pihak juga melakukan uji penerimaan untuk memastikan bahwa organisasi pemilik bisa menerima sistem yang telah dibangun.
Pemeliharaan Pada tahapan ini pemilik yang lebih banyak terlibat. Meskiupun secara pentahapan ditempatkan pada urutan terakhir, sebagian elemennya sebenarnya dilakukan sejak awal, yaitu monitoring terutama ketika pihak ketiga melakukan desain dan konstruksi sistem. Selain itu, evaluasi dalam rangka pemeliharaan dilakukan oleh pemilik tanpa atau dengan bantuan pihak luar agar sistem yang sudah terbangun tetap mampu memenuhi kebutuhan pengguna dimasa yang akan datang. Secara praktis, organisasi pemilik perlu membentuk unit bantuan (help desk) bagi pengguna sistem. Organisasi pemilik juga perlu menciptakan lingkungan yang kondusif agar seluruh pegawai mendukung sistem yang baru melalui kegiatan advokasi internal.
Penutup Kegagalan yang menimpa banyak sistem informasi manajemen dalam organisasi pemerintah dewasa ini sebenarnya tidak perlu terjadi. Kegagalan ini bisa dihindari dengan membangun sistem informasi manajemen secara tertib menurut prosedur pengembangan sistem yang bersifat siklus yang disebut System Development Life Cycle (SDLC). Dalam banyak kasus pengembangan sistem informasi manajemen yang dikerjakan oleh pihak ketiga terjadi asimetri informasi. Pada satu sisi pihak ketiga memiliki pengetahuan mendalam mengenai pengembangan sistem informasi. Pada sisi lain, organisasi pemesan, terutama instansi pemerintah, memiliki pemahaman yang minim. Akibatnya organisasi pemesan sangat tergantung pada pihak ketiga tanpa bisa melakukan monitoring dan evaluasi secara memadai. Dari ketergantungan ini lahirlah sistem informasi yang tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan oleh organisasi pemesan. Dengan pendekatan SDLC organisasi pemesan akan terlibat secara aktif dan memiliki pemahaman mendasar mengenai pembangunan sistem informasi sehingga memiliki posisi tawar yang kuat dalam mengendalikan proses pengembangan sistem informasi yang dilakukan oleh pihak ketiga agar sesuai dengan harpannya.
Diharapkan dengan ulasan mengenai SDLC di atas, pimpinan dalam organisasi, terutama instansi pemerintah, dapat menyadari dan mau menggunakan pendekatan SDLC ini dalam membangun sistem informasinya sehingga daya guna sistem tersebut bisa lebih terjamin.
Referensi Anderson (2004). System Develpment Life Cycle. SF ISACA Fall Conference, San Fransisco Avgerou, C. (2008). Information systems development and management. London School of Economic CCTA (1989). The information Systems Guides: System Development Set. New York: John Wiley and Sons Davis, Gordon B., ed.(1999). The Blackwell Encyclopaedic Dictionary of Management Information Systems. Oxford: Blackwell Publishers Ltd. Haag, S. dan M. Cummings et. al. (2004). Management Information Systems for the Information Age. New York: McGrawhill Jogiyanto, H.M. (1990). Analisis dan Disasin Sistem Informasi: Pendekatan terstruktur, teori dan praktek aplikasi bisnis. Yogyakarta: Andi Offset. Martin, M. P. (1991). Analysis and Design of Business Information Systems. Nw York: Macmillan Ragunath, P., S. Velmourougan, et. al (2010). Evloving a New Model (SDLC Model 2010) for Software Development Life Cycle (SDLC). International Journal of Computer Science and Network Security 10(1) Sauer, C. (1993). Why Information Systems Fail: A Case Study Approach. Afred Waller Simon, Phil (2011). Why New Systems Fail: An Insider’s guide to successful IT Projects. Boston: Course Technology. Yeates, Don (1991). Project Management for Information Systems. London: Pitman