STRATEGI DAN KIAT MENINGKATKAN E-LITERACY MASYARAKAT INDONESIA Richardus Eko Indrajit Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer PERBANAS
[email protected] Abstrak Istilah “information literacy” sering dikaitkan dengan “information competency”, yaitu kemampuan seseorang dalam mendayagunakan informasi yang diperolehnya untuk membantu meningkatkan kinerja aktivitas sehari-hari. Seorang individu dikatakan memiliki “information literacy” yang baik apabila yang bersangkutan dapat melakukan investigasi terhadap informasi apa yang dibutuhkan dalam suatu konteks kondisi tertentu, dapat menyatakannya dalam terminologi yang tepat, dapat melakukan pencarian secara efektif terhadap informasi berkualitas dari berbagai sumber data yang tersedia, dapat melakukan analisa berdasarkan hasil koleksi informasi tersebut, dapat memanfaatkannya untuk berbagai keperluan positif dan mendatangkan value yang signifikan, dan dapat mengolahnya lebih lanjut menjadi sebuah sumber daya pengetahuan. Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa keberhasilan pemerintah dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi negaranya ini tidak terlepas dari usaha segenap praktisi industri dan akademisi dalam meningkatkan information literacy dari masyarakat negara terkait, sehingga ketika teknologi informasi dan komunikasi diperkenalkan, hampir tidak terjadi hambatan yang berarti dalam menerapkan dan mengembangkannya di berbagai bidang. Kemampuan menggunakan perangkat teknologi informasi ini dikenal sebagai “e-literacy”. Indonesia sebagai salah satu negara yang dianggap mengalami permasalahan “digital divide” (kesenjangan digital) terancam akan semakin diasingkan dan ditinggalkan oleh negara-negara lainnya jika tingkat e-literacy-nya tetap rendah. Oleh karena itu dibutuhkan strategi jitu paling tidak untuk meningkatkan e-literacy dari masyarakatnya. Artikel ini menawarkan sebuah kerangka strategi yang diharapkan dapat diterapkan guna meningkatkan e-literacy masyarakat Indonesia. Diharapkan sumbangan pemikiran ini dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan teknologi informasi pada khususnya. literacy” yang secara lugas didefinisikan sebagai “the Pengertian Ragam Literacy ability to understand and use information from a Dalam berbagai kamus bahasa Inggris, istilah variety of sources when presented via digital “literacy” diartikan sebagai “the ability to read and devices” (Gilster, 1997) yang oleh Central European write” atau kemampuan untuk membaca dan University disempurnakan menjadi “the ability to menulis. Kata ini kemudian berkembang dan sering understand how information is generated and dipadankan dengan kata “technology” sehingga communicated in all formats through the creation of dikenal istilah “technology literacy” yang critical frameworks for the retrieval, organisation, didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami evaluation, presentation, and use of information by dan menggunakan teknologi sebagai alat untuk using digital technology devices”. mempermudah mencapai tujuan (Bunz, 2002). Ketika teknologi komputer berkembang, dikenal pula istilah Ketika internet berkembang secara pesat, istilah “computer literacy” yang secara luas dipergunakan “internet literacy”-pun (i-literacy) lahir dengan dalam berbagai diskursus. Berbagai definisi sendirinya, yaitu “the ability to use theoretical and “computer literacy” kemudian diperkenalkan di practical knowledge about the internet as a medium masyarakat luas, dari yang bersifat sederhana yaitu of communication and information retrieval” (Doyle, “the ability to use computer to satisfy personal 1996). Dan ketika terjadi konvergensi antara needs” (Rhodes, 1986) sampai yang sangat berbau teknologi komputer dengan teknologi komunikasi, filosofis seperti “the collection of skills, knowledge, dipergunakan pula secara luas istilah “information understanding, values, and relationships that allow a technology literacy” maupun “ICT literacy” person to function comfortably as a productive (ICT=Information and Communication Technology) citizen in a computer-oriented society” (Watt, 1980). yang memiliki arti kurang lebih sebagai “a Sejalan dengan perkembangan teknologi komputer, combination of intellectual capabilities, fundamental berkembang pula sejumlah produk-produk teknologi concepts, and contemporary skills that a person lain berbasis digital seperti personal digital assistant, should posses in order to navigate and use tablet computing devices, pocket communicatior, dan information technology effectively” (Young, 1999). lain sebagainya. Seiring dengan berkembangnya teknologi tersebut, diperkenalkanlah istilah “digital
1
E-Literacy dan Digital Divide Salah satu bentuk ancaman bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk dapat bersaing di alam globalisasi adalah adanya fenomena kesenjangan digital atau yang lebih dikenal sebagai digital divide – yaitu keadaan dimana terjadi gap antara mereka yang dapat mengakses internet melalui infrastruktur teknologi informasi dengan mereka yang sama sekali tidak terjangkau oleh teknologi tersebut (HayslettKeck, 2001).
information literacy yang telah dikuasainya terlebih dahulu.
Generasi yang sarat diwarnai dengan para individu yang sangat gemar baca buku dan menulis ini tidak semua yang “bersedia” atau tertarik untuk berinteraksi dengan sejumlah teknologi digital. Dari beragam produk digital yang terdapat di pasar, yang paling banyak dipergunakan oleh mereka adalah digital handphone untuk berkomunikasi secara langsung maupun via SMS (Short Message System). Adapun perangkat digital lainnya seperti personal digital assistant, camera digital, tablet computing, digital videocam, dan lain sebagainya masih sangat sedikit peminatnya. Namun demikian, benih-benih pertumbuhan digital literacy di kalangan old generation ini patut diberikan penghargaan. Tahap selanjutnya dalam evolusi yang cukup sulit dilakukan adalah meningkatkan kemampuan e-literacy mereka ke arah penggunaan komputer dan teknologi internet untuk membantu aktivitas keseharian mereka.
Bahkan bagi mereka yang telah terjangkau oleh infrastruktur teknologi informasi pun belum tentu dapat memanfaatkannya secara optimum, dalam arti kata dipergunakan untuk dapat secara signifikan meningkatkan kualitas hidupnya. Fenomena ini dipandang sebagai sebuah warna digital divide lain yang disebabkan karena rendahnya “e-literacy” dari kebanyakan masyarakat Indonesia, yang oleh pemerintah didefinisikan sebagai “kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya informasi serta pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi di kalangan masyarakat dalam rangka pengembangkan budaya informasi ke arah terwujudnya the information society” (Kominfo, 2003). Dari definisi tersebut dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan e-literacy di sini merupakan kemampuan sumber daya manusia dalam menguasai sejumlah literacy yang dapat direpresentasikan melalui sebuah fungsi sebagai berikut:
Berbeda dengan komunitas old generation, pada new generation yang oleh Tapscott istilah ini diberikan kepada para bayi yang masih memakai popok di tahun 2000-an, evolusi e-literacy diawali semenjak diperkenalkannya teknologi komputer pada usia dini.
Di Indonesia – khususnya di kota-kota besar – fenomena ini mulai tampak dengan dilibatkannya teknologi komputer sebagai salah satu alat bantu ajar yang dipergunakan oleh lembaga pendidikan preschool atau taman kanak-kanak dengan salah satu tujuannya untuk merangsang dan meningkatkan kemampuan multiple intelligence peserta didik (komputer sebagai alat bermain dan belajar). Sejalan dengan perkembangan si anak, maka yang bersangkutan akan mulai mengenal teknologi digital lainnya yang kelak akan banyak dapat ditemukan pada sejumlah consumer products, seperti peralatan rumah tangga, perangkat yang dapat dibawa ke mana-mana (digital mobile devices), mainan, alat-alat tulis dan kantor, dan lain-lain. Karena mereka sudah
e-literacy = f (ICT literacy, computer literacy, digital literacy, i-literacy) Evolusi E-Literacy Siklus evolusi e-literacy di dalam masyarakat berbeda-beda, yang jika diamati sungguh-sungguh memperlihatkan adanya ketersamaan pola berdasarkan kelompok generasi (Tapscott, 2000). Pada old generation yang oleh Tapscott diistilahkan sebagai generasi baby boomers biasanya mengawali proses evolusi e-literacy-nya dengan kompetensi
2
memiliki computer literacy dan digital literacy dari awal, maka tidak sulit bagi mereka untuk dapat memahami cara kerja internet dan memanfaatkannya (i-literacy). Pada saat remaja, dimana mereka sudah mulai memahami akan pentingnya arti informasi sebagai salah satu faktor produksi penting dan bahan baku knowledge (pengetahuan), dengan sendirinya kemampuan information literacy akan terbentuk. Dibandingkan dengan old generation, terlihat jelas bahwa evolusi e-literacy pada new generation akan jauh lebih cepat dan efektif. Bagaimana dengan para remaja dan pemuda saat ini, yang secara kategori generasi berada pada dua titik ekstrim tersebut? Hasil kajian memperlihatkan bahwa pola evolusi e-literacy mereka sangat beragam sesuai dengan sejumlah aspek seperti: latar belakang pendidikan, lingkungan, kemampuan ekonomi, konteks pekerjaan/aktivitas, lokasi geografis (tempat tinggal), jenis kelamin, dan lain sebagainya (Schaumburg, 1999). Oleh karena itu, pola atau siklus penguasaan sejumlah literacy-nya pun tidak dapat digambarkan sebagai suatu hal yang bersifat sekuensial, tetapi lebih merupakan sebuah proses yang simultan seperti yang digambarkan berikut.
Pada gambar tersebut terlihat bahwa new generation merupakan generasi dengan tingkat e-literacy tinggi, namun baru akan memberikan kontribusi bagi negara di kemudian hari, ketika mereka sudah beranjak dewasa. Sementara kondisi saat ini dikendalikan oleh dua generasi, yaitu old generation yang secara perlahan-lahan akan memberikan tongkat estafetnya kepada generasi muda (today’s generation). Permasalahan muncul ketika melihat kenyataan bahwa justru masyarakat Indonesia yang pada saat ini memegang kendali atas pergerakan roda perekonomian dilakukan oleh orang-orang yang rata-rata tingkat e-literacynya rendah (karena mereka berada pada kuadran yang tingkat akselerasi evolusi eliteracy-nya lambat). Kenyataan ini tidak saja berakibat semakin sulitnya Indonesia untuk bersaing secara kompetitif dengan bangsa lain di dunia, namun lebih jauh dapat mengakibatkan persmasalahan di kemudian hari ketika new generation mengambil alih kendali perekonomian karena belum disiapkannya sejumlah infratruktur dan suprastruktur untuk mendukung mereka. Melihat kenyataan ini, maka tidak ada jalan lain kecuali mencoba sekuat tenaga untuk menerapkan strategi yang ampuh agar terjadi akselerasi peningkatan e-literacy para old generation dan today’s generation secara signifikan dan dramatis (Fulk, 1993). Untuk menjawab permasalahan tersebut, diusulkan tiga tahapan strategi sebagai pendekatan efektif guna mengakselerasi peningkatan eliteracy di kalangan old generation dan today’s generation, yaitu: Menciptakan Konteks (Demand Creation), Melibatkan Teknologi (Supply Providing), dan Merubah Perilaku (Behaviour Change)
Tantangan E-Literacy Setiap negara terdiri dari masyarakat dengan beragam portofolio generasi yang berbeda tingkat e-literacynya. Semakin banyak jumlah penduduk yang memiliki tingkat e-literacy yang tinggi, akan semakin kompetitif nilai keunggulan masyarakat di negara tersebut. Jika ketiga generasi tersebut dipetakan ke dalam sebuah matriks agar dapat dilihat keterkaitannya dengan tinggi rendahnya akselerasi eliteracy yang ada, maka dapat dihasilkan sebuah diagram seperti berikut ini.
3
didalamnya memiliki suatu value atau kekayaan baru seperti “informasi mengenai dimana money berada”, “informasi terkait dengan men yang dapat dihubungi”, “informasi mengenai cara mendapatkan materials yang diinginkan dengan mudah”, atau “informasi terkait dengan cara atau method melakukan sesuatu”. Adalah merupakan tugas dari mereka yang telah memiliki e-literacy tinggi untuk menemukan sebuah konteks agar masyarakat yang dalam kesehari-hariannya mengalami peristiwa positif maupun negatif tersebut dapat berfikir bahwa “since information is a part of the solution, it is also a part of the solution”. Cara mencari atau menciptakan konteks bagi mereka beraneka ragam, sesuai dengan situasi dan kondisi serta budaya masyarakat yang ada, misalnya dengan memberikan contoh, cerita sukses, analogi, dan lain sebagainya.
Strategi 1: Menciptakan Konteks Setiap manusia dalam kesehariannya selalu diwarnai dengan suasana atau atmosphere yang bernuansa positif maupun negatif (Cheng, 1985). Yang dimaksud dengan positive atmosphere atau suasana positif adalah ketika yang bersangkutan memiliki suatu keinginan, atau cita-cita, atau harapan terhadap sesuatu yang ingin diraih; sementara sebuah negative atmosphere terjadi jika yang bersangkutan mengalami permasalahan, atau kelelahan, atau beban hidup (stress) yang ingin dihilangkan. Ketika suatu keinginan positif terjadi pada seseorang – misalnya ingin mendapatkan beasiswa melanjutkan pendidikan ke luar negeri, atau ingin mendapatkan pekerjaan dengan gaji tertentu, atau ingin menyusun sebuah karya tulis (buku), dan lain sebagainya - maka yang bersangkutan akan berusaha mencari jalan agar keinginan tersebut terwujud (komitmen). Sementara itu di sisi lain, ketika suatu suasana negatif muncul pada seseorang – misalnya menghadapi permasalahan tidak berhasil mendapatkan tiket pesawat untuk bepergian, merasa gundah karena tidak memiliki dana untuk membangun institusi, sedih karena memiliki penyakit yang sulit untuk disembuhkan, dan lain sebagainya – yang bersangkutan secara sadar atau tidak ingin segera keluar dari situasi tersebut dengan cara melakukan aktivitas tertentu. Pada saat individu tersebut sedang dalam proses “pencaharian” yang dipicu oleh salah satu atau bahkan kedua atmosphere tersebut, maka yang bersangkutan akan dihadapkan pada sebuah solusi yang menempatkan informasi sebagai salah satu dari faktor atau komponen penentu pencapaian keinginan yang dimiliki atau pemecahan permasalahan yang dihadapi. Permasalahan yang timbul adalah terlampau banyaknya individu yang masih berada dalam pola pikir paradigma lama yang menganggap bahwa jawaban hanya berada dalam sebuah “dunia fisik” yang ditandai oleh adanya hal-hal yang dapat disentuh seperti 4M (money, men, materials, dan machine/method), bukan sebuah “dunia maya” yang
Strategi 2: Melibatkan Teknologi Ketika yang bersangkutan “sadar” dan percaya bahwa informasi merupakan jawaban atas keinginan atau permasalahan yang ada, individu tersebut akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan entiti tersebut. Pada saat inilah the value of technology dapat ditawarkan kepada mereka karena kemampuannya untuk melakukan hal-hal semacam: pencarian informasi secara lebih cepat dan akurat, menembus lintas batas geografis negara, tersedia ragam fitur atau fasilitas untuk berinteraksi dan bertransaksi secara mudah dan murah, melakukan akses terhadap informasi berkualitas yang “tak terhingga” jumlahnya, dan lain sebagainya. Tantangan utama yang dihadapi mereka terkait dengan hal ini adalah tidak adanya “kemauan, kemampuan, dan pengetahuan” untuk berubah (dari yang tidak menyukai teknologi, menjadi yang technology litterate). Oleh karena itu diperlukan sebuah strategi jitu yang dapat membawa orangorang tersebut mau dengan kesadaran penuh (atau jika perlu karena keadaan terpaksa) untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana efektif dan efisien “mengakuisisi” informasi yang menjadi kebutuhannya. Yang paling berperan di sini adalah para penyedia atau pencipta produk teknologi terkait dengan hal ini. Semakin sulit sebuah teknologi dipergunakan atau dipandang oleh pengguna, semakin sulit pula “memaksa” individu tersebut untuk menggunakannya. Dengan melihat kenyataan ini, maka strategi yang perlu diciptakan adalah dengan melakukan aktivitas-aktivitas seperti: menciptakan teknologi tepat guna yang mudah difungsikan, mengajarkan orang lain bahwa menggunakan teknologi itu mudah dan menyenangkan (pakai cara “getuk tular” atau dari mulut ke mulut), menyediakan jasa pelatihan cara menggunakan teknologi pada berbagai komunitas,
4
Level 2 – jika seorang individu telah berkalikali menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk membantu aktivitasnya sehari-hari dan telah memiliki pola keberulangan dalam penggunaannya; Level 3 – jika seorang individu telah memiliki standar penguasaan dan pemahaman terhadap informasi maupun teknologi yang diperlukannya, dan secara konsisten mempergunakan standar tersebut sebagai acuan penyelenggaraan aktivitasnya seharihari; Level 4 – jika seorang individu telah sanggup meningkatkan secara signifikan (dapat dinyatakan secara kuantitatif) kinerja aktivitas kehidupannya sehari-hari melalui pemanfaatan informasi dan teknologi; dan Level 5 – jika seorang individu telah menganggap informasi dan teknologi sebagian bagian tidak terpisahkan dari aktivitas seharihari, dan secara langsung maupun tidak langsung telah mewarnai perilaku dan budaya hidupnya (bagian dari information society atau manusia berbudaya informasi).
mempraktekkan kiat-kiat mencari informasi secara cepat dan tepat, membuka takbir rahasia keampuhan teknologi, dan lain sebagainya (Coovert, 1980). Strategi 3: Merubah Perilaku Pengalaman mereka dalam menjalani tahapan pertama dan kedua strategi tersebut akan sangat mempengaruhi ada atau tidaknya perubahan perilaku dari individu yang bersangkutan. Jika yang bersangkutan pada akhirnya memperoleh bukti bahwa memang benar informasi dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi telah berhasil memberikan kontribusi bagi pencapaian keinginan maupun pemecahan masalah yang dihadapi, maka tentu saja pengalaman baik ini akan merupakan sebuah saksi pembelajaran tak ternilai bagi mereka. Dalam arti kata, untuk selanjutnya, secara sadar mereka akan selalu memperlakukan informasi sebagai sebuah asset yang sangat bernilai dan teknologi sebagai sebuah sarana atau medium atau perangkat yang mutlak untuk dipergunakan. Banyak jenis atau pendekatan strategi yang kerap dipergunakan oleh mereka yang telah berada pada tahap ini, seperti misalnya melakukan kalkulasi terhadap cost-benefit atau perbandingan antara biaya dan manfaat yang diperoleh, menceritakan kisah suksesnya tersebut ke orang lain (testimony), mencoba berbagai teknologi baru dan pendekatan pencarian informasi secara bervariasi (experiment), dan lain sebagainya. Intinya adalah pada tahapan ini, mereka telah berada pada posisi yang “ketagihan” atau addicted terhadap sebuah entiti yang bernama informasi dan teknologi, sehingga secara perlahanlahan namun pasti, kualitas kehidupan mereka dapat meningkat secara signifikan.
Walau bagimanapun juga, peningkatan e-literacy ini akan sangat dipengaruhi pula oleh sejumlah faktor ekseternal lainnya, seperti: ketersediaan infrastruktur, keberadaan regulasi, tingkat pertumbuhan ekonomi, kemauan politik pemerintah (political will), kualitas penyelenggaraan pendidikan, human development index, dan lain sebagainya. Terlepas dari sejumlah faktor yang sebagian memberikan pengaruh cukup besar terhadap akselerasi pertumbuhan e-literacy masyarakat, satu hal yang harus diperhatikan bahwa saat ini tidaklah lagi relevan bagi masyarakat untuk “menunggu bola”, tetapi harus secara proaktif “menjemput bola”.
Tingkat Kematangan E-Literacy Setiap individu akan memiliki pola pematangan eliteracy-nya masing-masing. Kalau dapat menggunakan kerangka konsep atau teori PersonalCapability Maturity Model (P-CMM), maka kurang lebih level e-literacy seseorang dapat digambarkan seperti demikian: Level 0 – jika seorang individu sama sekali tidak tahu dan tidak perduli akan pentingnya informasi dan teknologi untuk kehidupan sehari-hari; Level 1 – jika seorang individu pernah memiliki pengalaman satu dua kali dimana informasi merupakan sebuah komponen penting untuk pencapaian keinginan dan pemecahan masalah, dan telah melibatkan teknologi informasi maupun komunikasi untuk mencarinya;
Daftar Pustaka Bunz, Ulla. (2002). Growing From Computer Literacy Towards Computer-Mediated Communication Competence: Evolution of a Field and Evaluation of a New Measurement Instrument, Department of Communication, Rutgers, The State University of New Jersey, New Brunswick, NJ. Cheng, T.T., Plake, B., and Stevens, D.J. (1985). A Validation study of the computer literacy examination: Cognitive Aspects. AEDS Journal, 18, 139-152. Coovert, M.D., and Goldstein, M. (1980). Locus of Control as a Predictor of Users’ Attitutes Toward Computers. Physological Reports, 47, 1167-1173. Doyle, C. (1996). Information literacy: status report from the United States. In D. Booker (Ed.), Learning for life: information literacy and the autonomous learner (p. 39-48).
5
Fulk, J. (1993). Social Construction of Communication Technology. Academy of Management Journal, 36, 921-950. Gilster, Paul. (1997). Digital Literacy. New York: Wiley and Computer Publishing. Hayslett-Keck, Marlit (2001). The Digital and Civic Divides: How the digital divide affects internet voting, Georgia Tech Research Institute. Kementrian Komunikasi dan Informasi. (2003). nstruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government”, Deputi Bidang Telematika. Rhodes, L. A. (1986). On computers, personal styles, and being human: A conversation with Sherry Turkle. Educational Leadership, 43(6), 12-16. Robinson, Lyn, and David Bawden. (2001). Digital Literacy for Open Societies . Central European University A Program for University Teachers, Researchers and Professionals in the Social Sciences and Humanities Summer University. Schaumburg, Heike. (1999). Fostering Girls’ Computer Literacy through Laptop Learning: Can Mobile Computers Help to Level Out the Gender Difference?. Venter for Media Research, Freie Universitat Berlin, Germany. Tapscott, Don (2000). Growing Up Digital: The Rise of the Net Generation, Mc-Graw Hill, New York. Valenza, J. (1999). Media specialists: Leading the way to information literacy. Retrieved February 11, 2003. Watt, D. H. (1980). Computer literacy: What should schools be doing about this?, Classroom Computer News, 1(2), 1-26. Young, James. (1999). Learning to Learn: Assessing Information Technology Literacy, Inventio Magazine, October 1999, Issue 2, Vol. 1.
Sakit. Gelar akademis lain yang berhasil diraihnya adalah Master of Business Administration dari Leicester University (Leicester City, UK), Master of Arts dari the London School of Public Relations (Jakarta, Indonesia) dan Master of Philosophy dari Maastricht School of Management (Maastricht, the Netherlands). Selain itu, aktif pula berpartisipasi dalam berbagai program akademis maupun sertifikasi di sejumlah perguruan tinggi terkemuka dunia, seperti: Massachusetts Institute of Technology (MIT), Stanford University, Boston University, George Washington University, Carnegie-Mellon University, Curtin University of Technology, Monash University, Edith-Cowan University, dan Cambridge University. Saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Informatika dan Komputer (APTIKOM) seIndonesia dan Chairman dari International Association of Software Architect (IASA) untuk Indonesian Chapter. Selain di bidang akademik, karir profesionalnya sebagai konsultan sistem dan teknologi informasi diawali dari Price Waterhouse Indonesia, yang diikuti dengan berperan aktif sebagai konsultan senior maupun manajemen pada sejumlah perusahaan terkemuka di tanah air, antara lain: Renaissance Indonesia, Prosys Bangun Nusantara, Plasmedia, the Prime Consulting, the Jakarta Consulting Group, Soedarpo Informatika Group, dan IndoConsult Utama. Selama kurang lebih 15 tahun berkiprah di sektor swasta, terlibat langsung dalam berbagai proyek di beragam industri, seperti: bank dan keuangan, kesehatan, manufaktur, retail dan distribusi, transportasi, media, infrastruktur, pendidikan, telekomunikasi, pariwisata, dan jasa-jasa lainnya. Sementara itu, aktif pula membantu pemerintah dalam sejumlah penugasan. Dimulai dari penunjukan sebagai Widya Iswara Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), yang diikuti dengan beeperan sebagai Staf Khusus Bidang Teknologi Informasi Sekretaris Jendral Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Staf Khusus Balitbang Departemen Komunikasi dan Informatika, Staf Khusus Bidang Teknologi Informasi Badan Narkotika Nasional, dan Konsultan Ahli Direktorat Teknologi Informasi dan Unit Khusus Manajemen Informasi Bank Indonesia. Saat ini ditunjuk oleh pemerintah Republik Indonesia untuk menakhodai institusi pengawas internet Indonesia ID-SIRTII (Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure). Seluruh pengalaman yang diperolehnya selama aktif mengajar sebagai akademisi, terlibat di dunia swasta, dan menjalani tugas pemerintahan dituliskan dalam sejumlah publikasi. Hingga menjelang akhir tahun 2008, telah lebih dari 25 buku hasil karyanya yang telah diterbitkan secara nasional dan menjadi referensi berbagai institusi pendidikan, sektor swasta, dan badan pemerintahan di Indonesia – diluar beragam artikel dan jurnal ilmiah yang telah ditulis untuk komunitas nasional, regional, dan internasional. Seluruh karyanya ini dapat dengan mudah diperoleh melalui situs pribadi http://www.eko-indrajit.com atau http://www.ekoindrajit.info. Sehari-hari dapat dihubungi melalui nomor telepon 0818-925-926 atau email
[email protected]
Richardus Eko Indrajit, guru besar ilmu komputer ABFI Institute Perbanas, dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Januari 1969. Menyelesaikan studi program Sarjana Teknik Komputer dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya dengan predikat Cum Laude, sebelum akhirnya menerima bea siswa dari Konsorsium Production Sharing Pertamina untuk melanjutkan studi di Amerika Serikat, dimana yang bersangkutan berhasil mendapatkan gelar Master of Science di bidang Applied Computer Science dari Harvard University (Massachusetts, USA) dengan fokus studi di bidang artificial intelligence. Adapun gelar Doctor of Business Administration diperolehnya dari University of the City of Manyla (Intramuros, Phillipines) dengan disertasi di bidang Manajemen Sistem Informasi Rumah
6