I PERS
STOP Kriminalisasi
O
DAFTAR ISI KONTRIBUTOR NASKAH Anggara, Dahri Uhum Nasution, Darwin Ruslinur, Jim Nolan, Lensi
Stop Kriminalisasi Pers
6
Defamasi Kriminal: Trend dan Arahnya
7
Mursida, Pa Nguon Teang, Risang Bima Wijaya, Rupa Damodaran, Teguh Santosa, Toby Mendel. PENERJEMAH
I.
Kasus-kasus Kriminalisasi Pers di Kawasan Asia Pasifik
11
Kebebasan Pers di Australia Tahun 2007
11
Defamasi Kriminal di Australia
12
Banyak Pidana di Filipina
17
Kebebasan Pers di Cambodia: Tantangan dan Perubahan
19
Supinya Klangnarong dan Kemenangan Pers Thailand
25
Defamasi di Malaysia: Sekilas Kasus Blogger Vs Media Mainstream
27
Kasus-kasus Kriminalisasi Pers di Indonesia
29
Kemerdekaan Pers dan Proses Pembaruan Hukum di Indonesia
29
Dari Rapat BPUPKI hingga Amandemen Kedua UUD 1945
32
Hukum dan Pers Merdeka
47
Kasus Koridor Lampung: Darwin dan Budiono Akhirnya Bebas
49
Potret kriminalisasi Pers di Medan
51
Terali Besi untuk Dahri
53
Kala Jurnalis Melawan Jurnalis
55
Erwin Arnada Lolos dari Jerat Hukum
57
Saya Hanya Jurnalis Biasa, Bukan Penista Agama
59
Diyan Srikandini, Dwi Iswandono, Leonardus Wahyudi, Muninggar, Nur Fitriana, Tina Tjandraningsih. EDITOR EDISI BAHASA INDONESIA: Lensi Mursida EDITOR EDISI BAHASA INGGERIS: Andrew Thornley FOTO-FOTO: AJI Indonesia, Tempo, Pa Nguon Teang, Teguh Santosa TIM RISET DAN PENGUMPULAN DATA: Anggara, Carolina DJ, Minda Mora DESAIN SAMPUL
II.
DAN TATA LETAK: Iftachul Ngumar
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Jl. Kembang Raya No. 6 Kwitang Senen Jakarta Pusat 10420 – Indonesia Telp: +62-21-315 1214, Fax: +62-21-315 1261 Email:
[email protected] Website: www.ajiindonesia.org CETAKAN PERTAMA: April 2007 KETERANGAN FOTO SAMPUL: Demonstrasi menentang kriminalisasi pers terhadap Tempo yang digelar di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, pada Juni 2003 Foto: Tempo/Priatna PENERBITAN BUKU INI DIDUKUNG OLEH DRSP USAID
STOP KRIMINALISASI PERS
PENERBIT:
5
Defamasi Kriminal: Trend dan Arahnya
STOP
Toby Mendel Direktur Program/Hukum Asia, Article 19, London, Inggeris
U
KRIMINALISASI PERS! tulah panggilan dan kampanye yang didengungkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyambut peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia yang jatuh pada 3 Mei 2007 ini. Panggilan ini kami sampaikan bukan hanya untuk rekan-rekan jurnalis di Indonesia, tapi juga untuk kolega kami di seluruh dunia. Kasus demi kasus pemidanaan pers yang terus menelan korban di berbagai belahan dunia, khususnya di kawasan Asia, betul-betul mengingatkan kita akan perjuangan yang masih panjang untuk merebut (bagi sebagian rekan kita yang belum menikmati kebebasan pers), tetap menjaga dan meningkatkan kualitas kebebasan pers dan kebebasan berkekspresi demi terwujudnya masyarakat yang lebih demokratis dan pemerintahan yang lebih bertanggungjawab. Banyak pemerintah yang masih enggan mencopot pasal pidana ini dari kitab undang-undang atau ketentuan hukum yang berlaku di negaranya, karena khawatir akan disalahgunakan oleh jurnalis dengan etika dan profesionalisme yang rendah. Namun, pasal-pasal pidana itu sangat potensial membungkam pers, bukan hanya jurnalisnya tapi juga para pemilik media, karena berdasarkan pengalaman yang terjadi di beberapa negara, para terdakwa bisa terkena ancaman pidana sekaligus tuntutan denda yang bisa membuat bangkrut pemilik media. Sejak beberapa tahun yang lalu, AJI Indonesia sangat aktif mengkampanyekan penghapusan pemidanaan pers atau kriminalisasi pers ini dalam berbagai kesempatan. Berdasarkan catatan AJI, sepanjang tahun 2003 hingga April 2007, di Indonesia saja ada 41 kasus gugatan pencemaran nama baik baik terhadap media maupun kepada jurnalis di berbagai kota, dan hanya enam kasus saja (atau sekitar 14%) yang menggunakan UU Pers sebagai acuannya. Belum lagi bila kita melongok kasus-kasus di negara-negara lain di kawasan Asia, yang sebagian datanya tertuang di buku ini. Dari situ jelaslah sudah. Perjuangan kita memang belum berakhir. Mungkin perjuangan ini tak akan pernah berakhir. Jadi, terus katakan “STOP KRIMINALISASI PERS” di negeri manapun anda berjuang.
I
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS 6
Jakarta, 3 Mei 2007 Heru Hendratmoko Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
April 2007 ndang-Undang pidana defamasi menjadi sebuah teka-teki serius bagi pekerja media dan juru kampanye hak asasi manusia (HAM). Disatu sisi, peninggalan hukum ini tercantum dalam perundang-undangan di hampir semua negara di dunia. Bahkan di Amerika Serikat yang memiliki tradisi kuat dalam melindungi kebebasan berbicara, 17 negara bagiannya memiliki ketentuan mengenai kejahatan pencemaran nama baik. Ketentuan ini bahkan ada dalam perundang-undangan demokrasi yang paling mapan. Disisi lain, para pengamat melihat dengan jelas bahwa penggunaan undang-undang ini memiliki dampak yang mengerikan bagi kebebasan berekspresi, dan beratnya sanksi yang dijatuhkan sama sekali tidak bisa dibenarkan. Usaha yang dilakukan oleh hampir semua media yang merdeka dan kelompok kemerdekaan berekspresi – termasuk organisasi saya Article 19, OSCE Representative on Freedom of the Media, International Federation of Journalists (IFJ), World Press Freedom Committee dan Committee to Protect Journalist (CPJ), mencurahkan tenaganya untuk mengkampanyekan pencabutan undang-undang tersebut. Sejumlah trend yang terlihat dilingkup ini dan diluar sana ialah gerakan nyata untuk menjauhkan penggunaan dan penyalahgunaan undang-undang pidana pencemaran nama baik, meskipun perkembangannya memang lebih lambat dari harapan kita. Hal ini bisa terlihat dari pertambahan jumlah negara yang mencabut undang-undang pidana defamasi atau mengamandemen undang-undang mereka untuk meminimalkan penggunaan atau dampaknya, dan menguran-
gi penggunaan undang-undang ini dinegara yang masih menerapkannya, serta pertambahan jumlah pernyataan lembaga internasional yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut melanggar hak kebebasan bereskpresi. Sejumlah negara seperti Ukraina, Ghana, El Savador, Bosnia-Herzegovina, Kyrgystan, Togo, Sri Lanka, dan yang terbaru Mexico, telah benar-benar mencabut undang-undang pidana defamasi. Meskipun jumlah negara yang mencabut undang-undang ini masih sedikit, pencabutan ini menguatkan momentum pertambahan jumlah negara yang akan mencabut undang-undang pidana tersebut dari tahun ke tahun. Namun yang ironis, secara umum pencabutan undang-undang ini dilakukan oleh negara-negara yang baru menjalankan demokrasi atau berada dalam masa transisi dibandingkan negara yang sistem demokrasinya lebih mapan. Tetapi beberapa negara demokrasi yang mapan sekarang mempertimbangkan pencabutan undang-undang pidana pencemaran nama baik dinegara mereka. Pada kasus lain, seperti Bulgaria, Kamboja dan Perancis, malah menggunakan pendekatan hukuman penjara untuk menangani tindakan defamasi. Indonesia mencoba merintis jalan yang sedikit unik pada beberapa kasus pencemaran nama baik yaitu menggunakan Undang-Undang Pers daripada peraturan pidana. Jika cara ini benar-benar diterapkan secara penuh, maka dia akan efektif untuk mengurangi pemidanaan pers menunggu hasil nyatanya. Perlawanan terhadap undang-undang pidana pencemaran nama baik yang membatasi kemerdekaan berekspresi didasari pada hukum internasional dan meningkatnya jumlah statemen yang dikeluarkan oleh lembaga internasional berpengaruh berkaitan dengan topik ini. Komisi Hak Asasi Manusia PBB1 setuju
1 Lembaga ini diganti dengan Human Rights Council (Komisi Hak Asasi Manusia) pada tahun 2006
7
BAMBANG HARIMURTY, Pemred Tempo, di tengah massa demonstran anti kriminalisasi pers. Foto: Tempo/Komarul Iman
2 Contohnya Resolusi 42/2004, 19 April 2004, paragraf 3 (a)
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS 8
menggunakan resolusi tahunannya untuk kemerdekaan berekspresi, dan setiap tahun mereka mencatat “penyalahgunaan ketentuan hukum pidana defamasi dan fitnah.”2 Tiga mandat internasional khusus yang mempromosikan kemerdekaan berekspresi - Pelapor Khusus PBB (UN Special Rapporteur), OSCE Representative on Freedom of the Media, Pelapor Khusus OAS untuk Kebebasan Berekspresi telah berulang kali meminta Amerika Serikat mencabut undang-undang pidana defamasi mereka, termasuk Deklarasi Bersama November 1999, November 2000 dan Desember 2000. Pernyataan 2000 itu berbunyi: Undang-undang pidana defamasi merupakan pembatasan kemerdekaan berekspresi yang tidak bisa dibenarkan; semua undang-undang pidana defamasi harus di hapuskan dan diganti, bila perlu, dengan
undang-undang perdata defamasi yang sesuai.3 Bulan Oktober 2000, Komisi HAM Inter-Amerika mensahkan Deklarasi Prinsip-Prinsip Kebebasan Berekspresi. Paragraf 10 Deklarasi ini menyatakan, antara lain: “Perlindungan terhadap reputasi seseorang hanya dijamin melalui sanksi perdata dalam kasus-kasus dimana orang yang dihina adalah pejabat publik, orang terkenal atau pengusaha yang dengan sukarela terlibat dalam persoalan-persoalan yang berhubungan dengan kepentingan publik.”4 Pada dua kasus yang diputuskan tahun 2002, Pengadilan HAM Inter-Amerika bersikap keras melawan undang-undang pidana pencemaran nama baik, saat menghentikan keputusan singkat yang melanggar hak kebebasan berekspresi. Keputusan ini membuat semuanya jelas bahwa konteks pernyataan mengenai persoalan-persoalan kepentingan publik sangat sulit, jika bukan tidak mungkin, untuk mem-
benarkan maksud undang-undang defamasi. Pada kasus pertama, Pengadilan juga menegaskan bahwa seorang jurnalis tidak diharapkan untuk membuktikan kebenaran pernyataan yang asalnya dilaporkan oleh surat kabar asing ternama.5 Pengadilan HAM Eropa tidak pernah benarbenar mengatur hukum pidana pencemaran nama baik dan ada sejumlah kecil kasus yang boleh ditempatkan sebagai pidana pencemaran nama baik, meskipun dalam kasus-kasus tersebut dengan susah payah diingatkan bahwa sanksinya tidak berat dan oleh karena itu memenuhi syarat-syarat proporsionalitas. Lebih lanjut, Pengadilan dengan jelas mengakui adanya masalah serius dengan hukum pidana pencemaran nama baik, dan kerap mengulangi pernyataan berikut ini: Pemerintah yang berkuasa perlu bertindak agar laporan pidana dapat dikendalikan, khususnya apabila tersedia cara lain untuk menangkis serangan yang tidak tepat dan kritikan musuh atau media.6 Pada kasus Castells vs Spain, dimana hukuman pidananya berbelit-belit, Pengadilan menetapkan bahwa tindakan pidana hanya bisa disetujui bila negara bertindak “dengan kapasitasnya sebagai penjamin ketentraman publik”.7 Referensi Pengadilan adalah tindak pidana hanya diajukan sebagai jalan untuk memelihara ketertiban masyarakat, bukan sebagai alat untuk melindungi reputasi. Menurut saya, di dunia modern ini kepentingan tidak lagi bisa digunakan untuk membenarkan undang-undang pidana pencemaran nama baik. Organisasi saya, Article 19 dengan jelas menyatakan bahwa bahwa undang-undang pidana pencemaran nama baik haram. Prinsip 4(a) standar kami mengenai masalah ini, Definisi Defamasi; PrinsipPrinsip Kebebasan Berekspresi dan Perlindungan Reputasi , dengan tegas menyatakan: Semua undang-undang pidana defamasi harus dihapuskan dan diganti, bila perlu, dengan undangundang perdata defamasi yang sesuai. Langkah-langkah yang harus diambil, dinegara-negara yang masih menggunakan undang-undang pidana defamasi, un-
5 Lihat Herrera-Ulloa v. Costa Rica, 2 Juli 2004, Series C, No. 107 dan Richardo Canese v. Paraguay, 31 Agustus 2004, Series C, No. 111.
3 Deklarasi Bersama 10 Desember 2002
6 Castells v. Spain, 24 April 1992, 14 EHRR 445, paragraf 46.
4 Diadopsi pada Sesi Reguler ke-108, 19 Oktober 2000
7 Ibid
9
tuk melaksanakan prinsip ini. Di Asia, perkembangan undang-undang pidana sebagian besar digerakkan oleh kasus-kasus individu yang terkenal. Kasus Bambang Harymurti sangat terkenal di Indonesia. Pada kasus tersebut, tanggal 9 Februari 2006, tiga juri Mahkamah Agung dengan suara bulat memutuskan bahwa Undang-Undang Pers 1999 dan bukan undang-undang kriminal atau KUHP yang harusnya digunakan dalam tuntutan pencemaran nama baik yang melibatkan media. Pengadilan Tertinggi juga membatalkan vonis pengadilan sebelumnya yang menjatuhkan hukuman satu tahun penjara kepada Bambang Harymurti. Keputusan ini merupakan kemenangan besar bagi Bambang dan sebuah keputusan penting yang diambil oleh Mahkamah Agung. Di Thailand, satu kasus yang juga sangat fenomenal ialah kasus Supinya Klangnarong melawan Shin Corp, perusahaan besar yang didirikan oleh Perdana Menteri Thaksin. Pada saat kasus itu mengemuka sebagian besar perusahaan dimiliki oleh keluarganya. Supinya mengemukakan beberapa pernyataan yang ditulis di sebuah surat kabar, termasuk dugaan bahwa Thaksin mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan Shin Corp. Ironisnya dari kasus ini ialah ketika komentar-komentar tersebut dengan tegas mengkritik Thaksin, kritikan tersebut justru memberi keuntungan bagi Shin Corp (banyak orang yang ingin berinvestasi di perusahaan yang dimiliki oleh Perdana Menteri). Shin Corp menggunakan tuntutan pidana maupun tuntutan perdata untukmelawan Supinya dan surat kabar yang memuat pernyataan Supinya. Tuntutan yang diajukan diperkirakan mencapai USD 10 juta. Pada bulan Maret 2006, pengadilan kriminal membebaskan Supinya, diikuti oleh penarikan tuntutan perdata. Keputusan vonis Supinya dibawah undang-undang Thailand merupakan pernyataan yang menunjukkan itikad baik berkaitan dengan persoalan-persoalan kepentingan publik. Kasus ini mengilustrasikan betapa pentingnya rezim hukum yang kuat dalam kasus-kasus pencemaran nama baik.
itu. Tuntutan pidana pencemaran nama baik meningkat, diantaranya, dijatuhkannya vonis 32 tahun penjara terhadap seorang jurnalis pada tahun 2006 karena artikel-artikel yang ditulisnya beberapa tahun yang lalu. Kondisi ini menyebabkan tuntutan pencabutan seluruh undang-undang pidana defamasi. Setiap negara di dunia memiliki undang-undang pencemaran nama baik memiliki konsekuensi yang sempurna terhadap hak kemerdekaan berekspresi, setidaknya berpotensi. Bagaimana kasus-kasus tersebut diperlakukan memberikan dampak baik terhadap undang-undang defamasi di wilayah tersebut. Dalam kasus yang terjadi di Indonesia dan Thailand, tuntutan tersebut mampu menunjukkan peran undang-undang perlindungan untuk membela diri mereka sendiri, sedangkan di Cambodia tergantung pada huru-hara politik dan di Filipina berlaku peninggalan masa lalu yang kelam. Pada saat yang sama perlu dicatat meskipun peradilan di Thailand dan Indonesia mencatat kemenangan untuk kasus-kasus tertentu, namun masih banyak hal yang perlu diperbaiki (lihat http://www.article19.org/publications/law/legalanalyses.html, hasil analisis Article 19 mengenai pencemaran nama baik dikedua negara tersebut). Undang-undang defamasi di Asia merupakan persoalan yang serius dan menggambarkan secara luas kepada kita trend di negara-negara yang berada dalam masa transisi, atau negara-negara yang lebih menekankan upaya mengontrol kebebasan berbicara. Kita menyaksikan meningkatkan penyalahgunaan undang-undang defamasi. Sejatinya, di banyak negara, pencemaran nama baik timbul sebagai serangan terbaik terhadap kebebasan berekspresi. Di negaranegara ini, ada kebutuhan mendesak untuk memperbaharui undang-undang, baik pencabutan undangundang pidana defamasi maupun memperbaharui undang-undang perdata defamasi. Pentingnya untuk terus berkampanye hingga akhir, tak bisa terlalu ditekankan. l
B A B 1 KASUS-KASUS KRIMINALISASI PERS DI KAWASAN ASIA PASIFIK
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS 10
Terutama, dibutuhkan pertahanan yang kuat khususnya bila berkaitan dengan pernyataan tentang kepentingan publik. Di Cambodia, rentetan dakwaan pidana defamasi terutama diajukan kepada aktivis HAM dan para jurnalis pada akhir 2005 hingga awal 2006, dan masa tahanan yang dijatuhkan kepada mereka bervariasi. Dalam beberapa kasus, vonis yang dijatuhkan tidak terlalu kontroversial. Hal ini membuat kalangan nasional dan internasional melakukan serangan balasan, dan pada Januari 2006 vonis mereka dicabut dan mereka dibebaskan. Kasus ini sangat terkenal sampai-sampai Sekjen PBB Kofi Annan, mengeluarkan pernyataan menyambut pembebasan tersebut. Pada bulan April 2006, pemerintah Cambodia menanggapi permintaan luas untuk memperbaharui undangundang defamasi. Pemerintah melakukan amandemen pada Peraturan Pidana 1992 dengan menghapuskan kemungkinan hukuman penjara bagi tindakan defamasi, namun tetap memberlakukannya sebagai tindak pidana. Kampanye agar dilakukan dekriminalisasi seutuhnya terus berlanjut (lihat http:// www.cchr-cambodia.org/afec/). Meskipun memperoleh hasil yang positif, gambaran ini masih jauh dari menggembirakan. Contohnya di Filipina, yang merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang sangat maju berkaitan dengan penghormatan terhadap kebebasan berekspresinya. Namun dalam beberapa bulan terahir ini terjadi kebangkitan kasus-kasus defamasi, baik pidana maupun perdata. Suami Presiden Filipina, Jose Miguel Arroyo mengajukan 43 kasus perdata defamasi sepanjang tahun 2003 hingga 2006, ganti rugi yang dituntut diperkirakan mencapai USD 1,5 juta. Politisi-politisi lain ikut mengajukan tuntutan. Organisasi jurnalis merespon ini dengan melakukan aksi melawan penyalahgunaan kebebasan berekspresi Arroyo, mereka meminta satu peso dari setiap warga negara Philipina sebagai bukti dukungan untuk perjuangan
11
Kebebasan Pers di Australia Tahun 2007 Jim Nolan Barrister at Law, Sydney Australia
ustralia adalah sebuah negara yang tegas, kaya, dan menganut demokrasi parlementer federal dengan pers bebas yang sedang berkembang. Meskipun muncul kekuatiran mengenai kepemilikan media yang terkonsentrasi dalam suatu keluarga dan adanya beberapa perubahan terkini undang-undang media yang mungkin semakin mengkonsentrasikan kepemilikan tersebut. Munculnya internet, tentu saja membuat peran
A
pers meningkat pesat. Demikian pula perkembangan sejumlah suara-suara independen yang memiliki akses dengan audiensnya, sesuatu yang tidak pernah bayangkan beberapa tahun sebelumnya. Tak ada keraguan bahwa pengaruh internet, pada gilirannya, berdampak pada pers, radio dan televisi mainstream. Dampak internet memang belum mendeterminasi media-media mainstream dalam skala besar namun secara umum ini kondisi ini telah meningkatkan kebebasan pers dan media serta kebebasan berbicara di Australia.
DEFAMASI KRIMINAL Sedikit sekali ancaman yang mengintai kemerdekaan pers di Australia. Australia sungguh beruntung, karena meskipun Undang-Undang (UU) Pidana Defamasi yang lama tetap tercantum dalam buku perundang-undangan di banyak negara bagian Australia, tapi UU benar-benar membatasi dan tidak mengijinkan para orang kaya, kalangan politisi yang berkuasa, ataupun kepentingan bisnis menggunakan UU pidana itu untuk melawan pers. Untuk mengetahui catatan sejarah kriminal defamasi di Australia sebelumnya, kita dapat menelusuri sejarah UU dengan kembali ke zaman kolonial Australia. Karena tradisi sistem pengadilan pidana Australia yang terstruktur – melalui Direktur Penuntut Umum yang independen disetiap negara bagian dan teritori Australia, ada “jarak selengan” sehingga penuntut independen bersikap hati-hati dalam menangani
sejumlah tuntutan pidana yang serius. Sikap hatihati ini terutama diterapkan dalam menangani tuntutan pencemaran nama baik yang diajukan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan karena aktivitas pers, radio dan televisi. Kasus tuntutan pencemaran nama baik terhadap pers Australia yang terbaru kalah dalam proses pengadilan di Pengadilan Tinggi Australian Capital Teritory pada tahun 2003. Kasus ini diajukan oleh seseorang yang terkemuka di Australia. (Kasus ini bisa anda baca di Boks: Defamasi Kriminal di Australia).
dungan” jurnalis – dimana undang-undang menyediakan tingkat perlindungan yang lebih besar, yang mengijinkan jurnalis tidak mengungkapkan nara sumber mereka di pengadilan atau pemeriksaan pendahuluan lainnya. Proposal mengenai undangundang perlindungan jurnalis ini akan segera diajukan ke tingkat nasional yang nantinya akan digunakan sebagai UU nasional untuk melindungi jurnalis. Jaksa Penuntut Umum Federal, Mr. Phillip Ruddock, berjanji memperkenalkan UU ini menyusul penolakan jurnalis Herald Sun, Michael Harvey dan Gerard McManus mengungkapkan nara sumber mereka berkaitan dengan sebuah laporan kontroversial yang mengkritisi Kementerian Urusan Veteran Fedaral (Federal Veterans Affairs Minister). Kedua jurnalis ini masih menunggu vonis setelah dinyatakan bersalah menghina pengadilan karena
UNDANG-UNDANG “PERLINDUNGAN” JURNALIS DAN WHISTLEBLOWER Hal lain yang menjadi perhatian para jurnalis Australia adalah minimnya “undang-undang perlin-
Defamasi Kriminal di Australia
Higgins CJ menyampaikan – mendukung pernya-
Namun Direktur Penuntut Umum Australia Selatan
taan Mr Cowdret QC, NSW DPP – tuntutan pidana den-
tidak setuju dengan keputusan hakim ditahap men-
gan tuduhan mencemarkan nama baik hanya dapat
dengarkan dan melakukan kebijaksanaan independen
alam kurun waktu beberapa tahun, Penga-
Wales menolak permohonan dari penuntut yang sama,
diajukan dalam situasi yang sangat luar biasa dan
yang dikenal sebagai dakwaan ex-officio yang mem-
dilan Australia hanya menangani beberapa
Byrnes, di wilayah yurisdiksi NSW.
dapat menunjukkan dengan tegas bahwa materi yang
bawa tuntutan ke pengadilan tanpa pemeriksaan
dipublikasikan
publik,
komite dengar pendapat. Masalah ini diharapkan bisa
mengesampingkan kepentingan publik dalam men-
diproses akhir sebelum mencapai Mahkamah Agung
jalankan kekuasaan.
Australia Selatan, namun hingga saat ini tidak dike-
D
tuntutan pencemaran nama baik. Kasus yang
paling signifikan dipandang dari sudut hukum adalah keputusan Mahkamah Agung Australian Capital
COWDERY QC, MENYATAKAN: “Tuntutan defamasi hanya akan dipertimbangkan
Teritory (ATC) tahun 2003 dalam kasus Byrnes
apabila terjadi dalam situasi yang sangat luar biasa.
melawan Barry & John Fairfax Publications Pty Ltd
Syarat pokok yang harus dipenuhi dalam mengajukan
[2003] ACTSC 54 (9 Juli 2003).
tuntutan pencemaran nama baik adalah bila materi
Pada tahun 2003, tuntutan pencemaran nama baik
yang dipublikasikan mengancam keselamatan publik.
melawan Sydney Morning Herald diajukan di wilayah
Saya tidak dapat menemukan elemen yang berkaitan
yurisdiksi ATC (teritori Negara Persemakmuran tem-
dengan kepentingan publik dalam tuntutan yang dia-
pat ibukota Autralia, Canberra). Dalam kasus Byrnes
jukan ini. Ganti rugi yang dituntut klien anda berkai-
melawan Barry & John Fairfax Publication Pty Ltd
tan dengan reputasinya yang hancur dapat ditemukan
[2003] ACTSC 54 (9 Juli 2003), Higgins CJ dari
dalam undang-undang sipil. Berkaitan dengan kesela-
Mahkamah Agung ATC menolak menindaklanjuti tun-
matan Mr Byrnes, keluarga dan propertinya, anda
tutan Byrnes. Beberapa detail penilaiannya melintasi
harus melapor ke polisi.”
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS 12
menolak mengungkapkan nara sumbernya. Namun, lantaran Australia menganut sistem federal, kesepakatan ini harus dibicarakan terlebih dahulu di antara negara-negara bagian dan negaranegara persemakmuran, agar undang-undang ini dapat diterapkan secara nasional. Hanya beberapa minggu yang lalu konferensi tingkat tinggi negaranegara bagian Australia dan Jaksa Penuntut Umum federal mempertimbangkan penangguhan proposal federal mengenai undang-undang perlindungan dan meminta laporan apakah undang-undang perlindungan ini dapat berdampingan dengan undangundang perlindungan whistleblower (peniup peluit) federal. Banyak negara bagian telah memiliki undang-undang perlindungan whistleblower tapi mereka belum memiliki undang-undang perlindungan jurnalis. Secara umum pengadilan bersimpati dengan keputusan jurnalis untuk melindungi nara
mengancam
keselamatan
UU sipil sudah lebih dari cukup untuk mengatasi
Ini merupakan contoh hukum yang digunakan
jukan keluhan terhadap sebuah media. Namun ada
untuk “korban” defamasi. Dengan kata lain, tak ada
beberapa kasus yang agak janggal dimana pihak
pemilik media dengan modal besar yang bisa menun-
penuntut menggunakan hukum pidana. Kasus terakhir
tut keputusan sipil defamasi, dimana terjadi kerusakan
yang terjadi di Australia Selatan ketika seseorang
yang cukup berat sehingga tuntutan membuat per-
dituntut karena menyebabkan kegemparan politik
masalahan benar-benar kuat dan berbeda dengan ka-
yang signifikan pada awal tahun 2005. Mereka men-
sus defamasi sipil yang biasa terjadi.
gatakan kepada jurnalis bahwa seorang Anggota
Jadi dapat disimpulkan bahwa UU Pidana Pen-
Parlemen Pemerintah Negara, seorang mantan ang-
cemaran Nama Baik di Australia, seperti yang tercan-
gota oposisi Parlemen dan dua pejabat senior polisi
tum dalam buku perundang-undangan, tidak bisa digu-
adalah seorang pedophilia. Polisi melakukan investi-
nakan untuk menentang pers, radio dan televisi. Di
gasi dan gagal menemukan dasar tuduhan tersebut
instansi-instansi tertentu dimana UU ini bisa digu-
dan tiga orang dituntut dengan sembilan tuduhan keja-
nakan, terdapat situasi yang sangat khusus dan tidak
hatan pidana defamasi terpisah. Pengadilan menolak
disarankan menggunakan undang-undang tersebut untuk menyerang pers. l
sejarah tuntutan pidana defamasi di Australia. Higgins
Kasus ini memberikan pengaruh yang signifikan
CJ mengadopsi pendekatan yang dilakukan Direktur
karena sama-sama membuat sejarah dalam hukum
Penuntut Umum New South Wales yang menolak tun-
pidana pencemaran nama baik di Australia. Kasus ini
tutan pidana pencemaran nama baik di New South
juga memperjelas penerapan DPPs atau dalam kasus
Wales (NSW) pada bulan September 2002. Nicholas
ACT, Pengadilan sendiri akan menolak memproses tun-
sebagian besar tuntutan setelah mendengar hasil
Cowdey QC, Direktur Penuntut Umum New South
tutan pidana defamasi.
yang diperoleh komite.
13
tahui apakah hal tersebut sudah terjadi.
tuntutan ganti rugi apabila seorang penuntut menga-
(Jim Nolan)
bahwa pejabat pabean bersalah. Hukuman terhadap Allan Kessing menjadi peringatan bagi jurnalis Australia dan menegaskan betapa pentingnya bagi jurnalis untuk melindungi nara sumbernya. Kejadian ini juga pelajaran agar jurnalis mengambil keputusan yang tepat antara persoalan ‘nasional’ dan kepentingan ‘publik’. Sebuah pertanyaan yang dicatat Parlemen Australia tahun lalu mengungkapkan bahwa antara tahun 2002 hingga 2006 ada 53 kasus dari departemen dan perwakilan Pemerintah Negara Persemakmuran yang diserahkan ke Polisi Federal Australia terkait tindakan “pengungkapan informasi pemerintah secara tidak sah”. Baru-baru ini pejabat Polisi Federal menggeledah kantor surat kabar The Australian untuk mencari dan menyerahkan panggilan tertulis kepada seorang jurnalis karena membocorkan informasi. Tindakan ‘penggeledahan’ ini menegaskan komitmen pemerintahan Howard untuk menegakan undang-undang perlindungan bagi jurnalis dan nara sumber mereka.
tah lebih bertanggung jawab kepada publik. Tapi dalam kurun waktu Oktober 1996 sampai September 2006 pemerintahan Howard mengeluarkan 13 sertifikat penentuan. Bahkan penolakan Fol semakin meningkat selama masa pemerintahan Howard. “Keluarnya sertifikat-sertifikat ini mengijinkan pemerintah menutup pintu dan membiarkan interpretasi mengenai terjadinya penyalahgunaan kepentingan publik – yang secara efektif memperbesar kontrol pemerintah terhadap informasi, tak ada kebebasan informasi,” tukas Christopher Warren, Sekretaris Alliance Federal. Dia kemudian menambahkan, “Serangan Fol ini menggerogoti pertanggungjawaban dan transparansi pemerintah yang merupakan bagian vital dalam menjalankan demokrasi.”
UNDANG-UNDANG ANTI TERORISME YANG BARU
KEBEBASAN INFORMASI MEAA baru-baru ini secara serius mengobservasi perundang-undangan Kebebasan Informasi Australia (Australia’s Freedom of Informatio/(Fol) dengan cara menonjolkan kegagalan pemerintah membangkitkan spirit dan tujuan undang-undang. Tahun 2007 menandai peringatan 25 tahun Persetujuan Pemerintahan Fraser terhadap peraturan perundang-undangan. Pemerintahan Howard mengurangi UU FoI dengan menggunakan sertifikat tetap untuk mencegah akses ke dokumen-dokumen. Ini tercermin pada kasus terbaru McKinnon melawan Departemen Keuangan yang diputuskan oleh Pengadilan Tinggi tahun lalu. Bendahara Peter Costello menggunakan dua “sertifikat meyakinkan” untuk menghalangi jurnalis Michael McKinnon mengakses informasi Keuangan yang diduga tidak berbahaya tentang Skema Pembeli Rumah Pertama dan pajak berjalan lambat. Bendahara mengeluarkan sertifikat yang membantah bahwa informasi yang disiarkan melanggar kepentingan publik. Tujuan dikeluarkannya Fol, pada awalnya untuk memperbaiki agar keputusan yang dibuat pemerin-
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS 14
sumbernya, namun ketika timbul masalah genting, pengadilan akan menegakkan hukum yang ada. Dalam analisis akhir, hukum akan memaksa seorang jurnalis mengungkapkan nara sumbernya jika hal ini relevan dengan jalannya perkara sebelum pengadilan. Sayangnya, masih terdapat beberapa kontroversi terhadap undang-undang perlindungan jurnalis dari para Jaksa Penuntut Umum di beberapa negara bagian yang mengkritik perilaku jurnalis dan menyatakan kekhawatiran mereka bahwa UU perlindungan jurnalis (shield law) mungkin saja digunakan sebagai alat pertahanan untuk mengamankan pertanggungjawaban “jurnalis tak beretika” Tentu saja bila proposal ini digunakan sebagai alat “pertanggungjawaban” jurnalis-jurnalis yang tidak beretika, muncul ketakutan bahwa regulasi yang ada bertentangan dengan pelaksanaan pers bebas. Munculnya sebuah kasus kontroversial menimbulkan tuntutan untuk melakukan pembaharuan peraturan federal tentang peniup peluit, yang melibatkan seorang pegawai pemerintahan federal bernama Allan Kessing. Dia membocorkan laporan keamanan bandara kepada pers. Hal ini dapat dimengerti karena setelah tragedi 11 September dan bom Bali, keamanan menjadi isu yang sensitif. Pemerintah Negara Persemakmuran menuntut pegawai publik yang diduga membocorkan laporan sistem keamanan di bandara Australia. Pegawai ini dinyatakan bersalah dan akan segera menjalankan vonis yang dijatuhkan kepadanya. Kebocoran dokumen ini menjadi penyebab dilakukannya pemeriksaan keamanan navigasi terbesar dalam sejarah Australia. Dan itu terjadi setelah Kessing mencoba membuka isyu itu dan kemudian dihukum. Beberapa Jaksa Penuntut Umum mengingatkan apabila UU perlindungan whistleblower digunakan di level federal, Kessing mungkin bisa mendapatkan tingkat perlindungan hukum yang lebih baik. Hal inilah yang membuat pejabat publik negara persemakmuran merasa tidak nyaman. Kasus ini sangat penting bagi kebebasan pers. The Media Entertainment and Art Alliance (MEAA) menyatakan pendapat mereka terhadap hukuman tersebut. The Alliance meminta perlindungan legislatif setelah minggu ini pemerintah menyatakan
15
Topik utama lain yang menjadi perhatian para jurnalis Australia adalah ruang lingkup dan kekuasaan UU Anti Terorisme terbaru yang bisa mempengaruhi kemerdekaan untuk melakukan peliputan. Meskipun belum ada kasus yang muncul berkaitan dengan topik ini, International Federal of Journalist (IFJ) telah mempelajari, kedua UU dari dua negara Australia dan Inggris. Fakta yang mereka temukan UU tersebut memiliki efek potensial yang menakutkan bagi pers karena itu implementasinya harus dipantau dengan sangat hati-hati.
KESIMPULAN Meskipun merasa prihatin, pers Australia tetap berkampanye melawan segala macam kekuatan yang membatasi peliputan dan bersandar pada undangundang tertentu sesuai kasus yang dihadapi. Dewan Pers Australia [http://www.presscouncil.org.au] juga melakukan lobi-lobi penting untuk mendukung kebebasan pers. Mereka berperan pent-
ing sebagai komentator dan sumber dalam mengembangkan kepentingan hukum pers. Meskipun Australia tidak memiliki RUU tentang Hak-hak atau model Amandemen Pertama yang dapat digunakan untuk melindungi kebebasan pers, dalam satu kasus penting, Pengadilan Tinggi Australia selalu menekankan bahwa ada perlindungan di konstitusi yang melindungi kebebasan berkomunikasi. Dalam kasus Lange melawan Australian Broadcasting Corporation, (1997) 189 CLR 520 dan 562, dalam sebuah keputusan bersama para hakim: Brennan CJ, Dawson, Toohey, Gaudron, McHugh, Gummow dan Kirby JJ, Pengadilan menyatakan: “Ketika sebuah hukum negara bagian atau parlemen federal atau legislator teritori diduga melanggar ketentuan kebebasan berkomunikasi sebagaimana dimuat dalam pasal 7, 24, 64 atau 128 di Konstitusi, dua pertanyaan harus bisa dijawab sebelum keabsahan sebuah hukum dapat ditentukan. Pertama, apakah hukum secara efektif akan menghalangi kebebasan berkomunikasi tentang pemerintah atau persoalan politik baik dalam terminologi, operasi maupun dampaknya? Kedua, jika hukum secara efektif menghalangi kebebasan itu, apakah secara nalar hukum pantas dan bisa diadaptasikan untuk melayani sebuah legitimasi tertinggi yang bisa digenapkan, yang secara konstitusional sejalan dengan perawatan sistem keterwakilan dan pertanggungjawaban pemerintahan dan prosedur sebagaimana diterangkan dalam pasal 128 untuk mengajukan rencana amandemen Konstitusi untuk menginformasikan keputusan bagi rakyat… Jika jawaban pertanyaan pertama adalah “ya” dan jawaban pertanyaan kedua adalh “tidak”, maka itu berarti hukumnya tidak valid.” Ini merupakan keputusan penting yang ditelurkan Pengadilan Tinggi Autralia dan menjadi pondasi hukum yang krusial bagi kebebasan pers di Australia. l
Banyak Pidana di Filipina Lensi Mursida Koordinator IFJ Asia Tenggara, Jakarta
etelah Irak, Filipina adalah zona paling berbahaya bagi para jurnalis saat ini. Mereka yang berani berteriak kencang menyuarakan kebenaran, harus bersiaga, karena nyawa bisa menjadi taruhannya. Sejalan dengan itu, kasus pemidanaan pers juga marak. Sepanjang tahun 2003 hingga 2006, suami Presiden Filipina Juan Migel ”Mike” Arroyo menuntut tak kurang dari 43 jurnalis, editor kontributor, penerbit hingga manajer sirkulasi dari tujuh perusahaan media dengan tuduhan melakukan fitnah atas berita-berita yang mereka siarkan dalam kurun waktu tersebut. Mungkin ini adalah rekor tuntutan terbanyak yang dilakukan oleh satu orang terhadap jurnalis media massa. Enam orang jurnalis majalah berita Newsbreak terkena gugatan lantaran tulisan berjudul ”More Properties” yang dimuat di edisi 8 Desember 2005. Mereka adalah: associate editor Glenda Gloria, redaktur bisnis Ricky Carandang, konsultan editorial R.E Otico dan Jose Dalisay Jr, dan kontributor editor Booma Cruz. Newsbreak juga digugat untuk tulisan berjudul ”Will She Now Change” yang dilansir pada 7 Juni 2004. Yang terkena gugatan adalah kontributor penulis Concepcion Paez. Malaya digugat untuk dua tulisan berjudul ”Poe’s Camp says Mike is Chief Cheating Operator” edisi 19 Mei 2004 dan artikel bertajuk ”First Couple’s Idea of Charity” yang terbit pada 9 Juli 2004. Dua berita ini menyebabkan Mike Arroyo menyeret sembilan jurnalis Malaya, mulai dari pemimpin redaksi Amado Macasaet, lima orang editor, satu orang editor bisnis, dan dua reporter. Semua terkena pasal fitnah. Berikutnya adalah Inquirer. Penyebabnya adalah
S
STOP KRIMINALISASI PERS 17
kolom Tulfo bertajuk ”On Target” yang ditulis oleh kolumnis Ramon Tulfo. Tulisan-tulisan ini muncul di edisi 14, 17 dan 26 Januari; 9 dan 23 Maret, 23 Mei, 17 Juni, dan 3 Agustus tahun 2006. Suami Presiden Filipina menggugat penerbitnya (Isagani Yambot), pemimpin redaksi Letty Jimenez-Magsanoc, sang kolumnis Ramon Tulfo, dan tujuh orang editor Inquirer. Berikutnya giliran Bandera. Lagi-lagi kolom Tulfo ”On Target” yang menjadi penyebabnya. Kolom ini dimuat di 26 Januari, 23 dan 27 Mei, serta tanggal 6,8 dan 17 Juni 2006. Kasus ini menjerat Eileen Mangubat si penerbit Bandera, pemimpin redaksi Beting Laygo Dolor, associate editor Jimmy Alcantara dan manajer sirkulasi Raymond Rivera. Dalam siaran pers yang dikeluarkan International Federation of Journalists (IFJ) pada 28 November 2006, kasus tuduhan fitnah sang suami presiden terhadap para jurnalis Filipina itu telah membukukan nilai tuntutan ganti rugi sebesar 141 juta peso (setara dengan USD 2,8 juta atau Rp 28 miliar). Tuntutan yang bertubi-tubi terhadap jurnalis dan media Filipina ini juga menimbulkan ketakutan yang tidak perlu di kalangan komunitas media di Filipina. ”Jumlah tuntutan itu betul-betul memalukan untuk ukuran pemerintah yang berkomitmen pada kebebasan pers,” ujar Christoper Warren, President IFJ. ”Daftar panjang jurnalis yang mengerikan ini, yang harus berhadapan dengan penjara hanya lantaran mereka menjalankan tugasnya, adalah sebuah contoh mengagetkan bahwa Arroyo menyalahgunakan kekuasaan dan posisinya dibalik hukum kuno untuk mempengaruhi dan mengontrol media,” tegas Warren. Kasus ini mendapat simpati dari berbagai kalangan. IFJ sendiri menggalang kampanye global untuk mendukung upaya afiliasi mereka di Filipina National
Union of Journalists the Philippines (NUJP). Mereka bergabung dengan lebih dari 600 pekerja media Filipina yang membubuhkan tandatangannya di petisi NUJP tentang penghapusan pemidanaan pers di Filipina. Petisi itu kemudian diserahkan NUJP secara resmi kepada Presiden Senat Filipina Manny Villar di kantornya. Selain berhadapan dengan penguasa tertinggi, para jurnalis Filipina juga harus berhadapan dengan penguasa di tingkat lokal atau provinsi. Sebagaimana dicatat Committee to Protect Journalists (CPJ) pada 7 Maret 2007, Gubernur Provinsi Ilocos Sur, Luis Singson, menuntut Gemma Bagauaya, editor majalah Newsbreak sebesar 100 juta peso (setara dengan USD 2 juta atau Rp 20 miliar) atas kasus fitnah. Bersama dengan Bagauaya, Singson juga menyeret redaktur pelaksana Newsbreak Glenda Gloria dan pemimpin redaksinya Marites Vitug dengan tuduhan serupa. Bagauaya ditangkap polisi di kantornya di Manila. Jaminan untuk dirinya ditetapkan sebesar 10.000 peso (sekitar USD 200 atau Rp 2.000.000). Dan dia kemudian dibebaskan setelah jaminan tersebut dibayarkan. Pada 4 April 2007, CPJ juga mengungkap kasus
KEBEBESAN PERS DI CAMBODIA:
Alex Adonis, mantan komentator radio Radio Bombo yang dikirim ke penjara untuk menjalani hukuman selama 4,5 tahun. Tuntutan terhadap Adonis dicatatkan pada Oktober 2001 oleh Perwakilan Davao First Distric, Prospero Nograles, atas dugaan bahwa Adonis telah menyiarkan kisah kehidupan pribadi anggota kongres. Memang, Radio Bombo telah menyiarkan serangkaian komentar kritis dalam acara mereka yang bertajuk “Burlesque King”. Tapi, sebagaimana diungkapkan CPJ dalam laporannya, Adonis gagal membela dirinya lantaran komentator radio itu tak mampu membayar biaya konsultasi hukum penanganan kasusnya. Lokasi pengadilan tempat kasusnya disidangkan berjarak sangat jauh, sekitar 500 km dari rumahnya. Akibatnya Adonis diadili secara in-absentia di bulan February 2007, dan kemudian ditangkap di sebuah pasar di Davao City pada 19 February setelah pengadilan memutuskan hukuman penjara untuknya. “Banyak sekali kasus defamasi di Filipina. Seminggu penuh pun tak akan selesai jika kita membicarakannya,” ujar Rowena Caranza-Paraan, salah seorang pengurus NUJP. l
Tantangan dan Perkembangan Pa Nguon Teang Direktur Program Radio Voice of Democracy (VOD), Cambodia
ebebasan pers di Cambodia tidak hanya dijamin oleh konstitusi negara tapi juga oleh Undang-Undang Pers yang disahkan pada tahun 1995. Pasal 1 UU Pers menyebutkan bahwa “Undang-undang ini mengawasi pers dan memastikan kebebasan pers dan kebebasan menerbitkan sesuai dengan ketentuan Pasal 31 dan 41 UndangUndang Dasar Kerajaan Cambodia.” Bahkan beberapa pasal dalam UU Pers, menyatakan negara berhak membatasi kebebasan pers dan menindak jurnalis yang terbukti bersalah menurut hukum. Sanksi yang dihadapi jurnalis bukanlah sanksi yang serius seperti hukuman penjara atau sanksi pidana. Ini dijamin Pasal 20, yang menyatakan “Semua tindakan melanggar hukum yang dilakukan pekerja, editor atau penulis berita akan ditindak berdasarkan hukum pidana. Tak satu orang pun yang akan ditangkap atau didakwa karena mengungkapkan pendapatnya.” Ini sama dengan yang tercantum di Pasal 28 Hukum Pidana Pemerintahan Transisi Cambodia dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Transitional Administration in Cambodia/UNTAC) yang disahkan pada tahun 1992. Peraturan yang lebih dikenal dengan UU UNTAC itu masih berlaku di Cambodia hingga hari ini. Di sana tegas disebutkan bahwa: (1) Tidak ada satu orang pun yang bisa dituntut karena pandangan politiknya; (2) Hukum yang sekarang berlaku diseluruh Cambodia tidak lagi berdasarkan opini atau ideologi, maka dari itu dicabut.” Sebagai catatan, Cambodia telah meratifikasi Konvensi Internasional
K
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS
18
19
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Namun, faktanya, kebebasan pers di Cambodia masih terancam oleh banyak hal, seperti banyaknya kasus pencemaran nama baik. Berdasarkan laporan Club of Cambodian Journalist (CCJ), dalam kurun waktu Mei 2005-Mei 2006, enam jurnalis digugat melakukan pencemaran nama baik, termasuk satu orang yang dijebloskan ke penjara. Di tahun berikutnya 2006-2007, dalam periode yang sama empat kasus serupa menimpa jurnalis lain namun untungnya mereka tidak ditangkap. Hingga saat ini, laporan periode ini belum dipublikasikan. Berdasarkan laporan tersebut, enam dari sepuluh kasus digugat oleh pemerintah dan pejabat terkait, satu dilaporkan oleh keponakan Perdana Menteri Hun Sen, satu digugat oknum pejabat pengadilan, dan dua lainnya berhadadpan dengan perusahaan swasta. Jadi, dapat disimpulkan hampir 80% kasus pencemaran nama baik yang menimpa jurnalis dalam kurun waktu dua tahun ini diajukan oleh tokoh publik. Beberapa kasus masih dalam proses pengadilan sedangkan yang lainnya diselesaikan secara kekeluargaan. Ketika tokoh publik dan keluarganya dengan gampang menggunakan dalih pencemaran nama baik terhadap setiap kritik yang ditujukan kepada mereka, maka itu berarti kebebasan pers Cambodia dibawah ancaman. Di sisi lain, pengadilan yang ada justru bersikap tidak independen dan jauh dari rasa keadilan. Pada tanggal 11 Oktober 2005, Mom Sonando, pemilik dan manajer Radio Beehive 105FM ditangkap di rumahnya, di Propinsi Kandal tanpa surat perintah pengadilan. Sonando bahkan sudah dibawa sebelum pengadilan Pnhom Penh Municipial mendakwanya
LONGMARCH DAMAI 40 km pada 11-13 Februari 2006 dipimpin AFEC dan lima orang aktivis media dan HAM yang baru dibebaskan dari penjara. Foto: Pa Nguon Teang
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS 20
melakukan pencemaran nama dengan melanggar ketentuan Pasal 63 UU UNTAC (dengan hukuman penjara lebih dari satu tahun). Pemilik radio itu buru-buru dikirim ke penjara, tempat dia mendekam hingga 17 Januari 2006. Dakwaan ini berkaitan dengan topik yang disiarkan Radio Beehive 105FM pada 20 September 2005. Kala itu, mereka menyiarkan wawancara antara yang dipandu oleh Sonando dengan aktivis Cambodia di Perancis, Sean Pengse, Presiden Cambodia’s Border Committe yang berbasis di Paris. Pengse mengecam Perdana Menteri Hun Sen terkait masalah penandatanganan perjanjian perbatasan Cambodia-Vietnam. Menurut UU UNTAC, pencemaran nama baik merupakan tindak kriminal. Dalam Pasal 63 disebutkan: (1) Semua pernyataan yang tidak disertai bukti atau melontarkan tuduhan yang merugikan kehormatan atau reputasi seseorang merupakan tindakan pencemaran nama baik. Mempublikasikan
pernyataan tanpa bukti atau tuduhan tanpa fakta baik yang asli maupun hasil reproduksi dapat diganjar hukuman, sekalipun nama orang yang dimaksud tidak disebutkan, tetapi orang ini bisa diidentifikasi dari pidato yang bersifat menghina, sorakan, ancaman, tulisan, cetakan, lambang-lambang, poster, atau penyebaran audio visual. Pernyataan tanpa bukti atau tuduhan terhadap seorang publik figure yang telah diketahui tidak benar oleh penulis, jurnalis, penerbit, editor atau produser namun tetap didistribusikan, diterbitkan, ditulis atau diedarkan dengan tujuan buruk juga termasuk tindakan defamasi. (2) Setiap hinaan, perkataan yang meremehkan atau bahasa kasar yang tidak menegaskan fakta merupakan fitnah. (3) Defamasi atau fitnah.........akan diganjar hukuman penjara selama delapan hari hingga satu tahun, denda satu juta sampai sepuluh juta Riel (mata uang Cambodia, Ed.), atau keduanya. Berlandaskan pasal itu, Sonando dituduh melakukan tindakan pencemaran nama baik dan memfitnah Perdana Menteri Hun Sen. Keabsahan penangkapannya masih dipertanyakan. Berpegang pada isi
21
wawancara yang disiarkan dan kesaksian laporan lembaga swadaya masyarakat hak asasi manusi (LSM HAM) lokal, sepanjang wawancara yang dipandu sendiri oleh Sonando, dia sama sekali tidak mengkritik perjanjian tersebut bahkan dia merasa keberatan dengan pandangan orang yang diwawancarai. Keabsahan UU UNTAC juga dipertanyakan. UU yang ditetapkan sebelum Cambodia menggunakan UUD dan ikut meratifikasi perjanjian hak asasi manusia internasional, khususnya Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. UU UNTAC juga digunakan selama periode transisi ketika PBB menjalankan pemerintahan negara transisi dan bertugas menjaga perdamaian serta mengadakan pemilihan umum pertama setelah berakhirnya perang sipil di Cambodia. Sebuah ungkapan yang tertulis di mukadimah UU mengatakan “Keyakinan merupakan kebutuhan mendesak yang perlu dinyatakan dengan jelas kepada semua pihak di Cambodia mengenai peraturan hukum yang harus diterapkan diseluruh Cambodia dan menempatkan prosedur pengadilan pada tempatnya untuk memastikan efektivitas penerapannya selama periode transisi.” Jadi pada saat Sonando ditangkap, periode transisi di Cambodia sudah berakhir sejak negeri ini memiliki Majelis nasional dan pemerintahan sendiri untuk mengatur dan memimpin negara. Kendati demikian, jika UU UNTAC dijadikan acuan, penangkapan semena-mena itu juga melanggar ketentuan dalam Pasal 28 dan Pasal 20 yang menyebutkan, “Tidak ada satu orang pun bisa dituntut karena pandangan atau ekspresi politiknya.” Rangkaian penangkapan jurnalis, aktivis serikat pekerja dan HAM dengan tuduhan pencemaran nama baik dan fitnah oleh Pemerintah Cambodia dimulai 11 Oktober 2005 dengan kasus Sonando. Penangkapannya menebar hawa ketakutan diantara para pemimpin LSM lokal, sebagian diantara mereka malah meninggalkan negeri Cambodia. Namun, penangkapan itu juga memotivasi aktivis HAM lokal untuk menunjukkan dukungan yang lebih kuat untuk kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Mereka membuat kampanye bersama untuk melindungi kebebasan pers dan pembebasan Sonando. Ketika aktivis meningkatkan aktivitas advokasinya, mereka juga meningkatkan ketegangan dan kon-
frontasi degnan pemerintah. Perdana Menteri malah mengatakan ke publik bahwa dia akan melanjutkan penangkapan orang-orang yang mengkritik dirinya dan pemerintahannya dalam urusan penandatangan perjanjian perbatasan Cambodia-Vietnam. Kendati demikian, para pemimpin LSM yang bertahan di Cambodia tetap mengkritik Perdana Menteri atas penandatangan kesepakatan tersebut. Pada 15 Oktober 2005, Rong Chhun, Presiden Asosiasi Guru Independen Cambodia/Cambodian Independent Teachers Association (CITA) ditangkap dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik. Penangkapan ini merupakan respon atas pernyataan terbuka yang disampaikan empat hari sebelumnya oleh Cambodia Watchdog Council dan ditanda tangani oleh Rong Chhun bersama tiga anggota dewan lainnya. Konferensi nasional yang membahas kebebasan berekspresi di Cambodia diselenggarakan oleh Cambodian Center for Human Rights (CCHR) di ibukota Phnom Penh pada 24 Oktober 2005, dan menghasilkan sebuah pernyataan bersama mengenai “hak untuk kebebasan berekspresi di Cambodia” yang ditandatangani oleh 13 LSM. Hasil dari konferensi ini akhirnya didirikan Aliansi Kebebasan Berekspresi Cambodia/ Alliance for Freedom of Expression in Cambodia (AFEC) pada 28 November 2005 yang berangggotakan 28 LSM. AFEC mulai mendistribusikan 60,000 pita kuning kepada orangorang di ibukota dan propinsi-propinsi sebagai simbol tuntutan kebebasan berekspresi dan pembebasan orang-orang yang ditangkap atas tuduhan defamasi oleh orang-orang yang menggunakan pita tersebut. Tanggal 10 Desember 2005, 63 LSM bergabung untuk merayakan Hari HAM internasional di Phnom Penh. Diperkirakan 10,000 orang berpartisipasi dalam kegiatan ini dan AFEC melanjutkan kampanye pitakuning nya. Aktivitas LSM ini mendapat tantangan lantaran pemerintah semakin tidak toleran terhadap kritikan. Presiden CCHR Kem Sokha dan Yeng Virak, Direktur Eksekutif Community Legal Education Center (CLEC) ditahan pada 31 Desember 2005. Saya juga ditangkap tanggal 4 Januari 2006 dan dikirim ke penjara keesokan harinya. Kami bertiga didakwa melakukan tindakan pencemaran nama baik berdasarkan Pasal
PENANGKAPAN KEM SOKHA, President CCHR yang dituduh melakukan tindak pidana pencemaran nama baik oleh pemerintah Cambodia. Foto: Pa Nguon Teang
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS 22
63 Undang-Undang UNTAC. Tuduhan ini lantaran memajang dua spanduk kuning di stand CCHR sebagai bagian dari perayaan Hari HAM 10 Desember 2005. Spanduk itu bertuliskan: “Kami tidak memilih partai manapun yang mengintimidasi rakyat; Pilihan saya adalah hidup saya.” Ribuan komentar ditulis tangan oleh pengunjung stand di spanduk itu menuduh Perdana Menteri Hun Sen korupsi, diktator, dan salah urus dalam isyu perbatasan. Komunitas internasional, termasuk para diplomat, pemerintahan negara asing, LSM, serikat buruh, PBB, lembaga donor sperti Bank Dunia dan organisasi advokasi inernasional, menyuarakan ekspresi dan keprihatinan yang mendalam atas tindakan pemerintah Cambodia. LSM lokal menunjukkan solidaritas yang lebih baik untuk meningkatkan aktivitas advokasi menantang penumpasan rekan-rekan mereka oleh pemerintah. Mereka justru lebih aktif bergerak mengajak dan mempromosikan orangorang agar ikut berpartisipasi di seluruh negeri. CCHR meningkatkan jumlah forum publik mereka
yang diorganisasikan mula di tingkat distrik, dan mereka mendapatkan peserta yang terus bertambah. Sebagian dari mereka meminta agar pemerintah menangkap mereka juga! Lewat undangan CCHR, para diplomat Barat di Cambodia kerap tampil di forum-forum yang untuk membuat peserta lebih terdorong bebas berbicara dan melontarkan kritik terbuka atas penangkapanpenangkapan yang dilakukan pemerintah. Sebagai tambahan, rangkaian acara publik ini seperti menerbangkan balon kuning yang diorganisasikan bersama oleh LSM lokal di lokasi-lokasi strategis, misalnya saja di penjara tempat para aktivis ditahan. Puluhan ribu petisi dengan kalimat “Bebaskan Aktivis!” dibuat dan didistribusikan oleh LSM lokal bagi rakyat di seluruh negeri. Hasilnya, 180 ribu petisi ditandatangani dengan cap jempol oleh penduduk desa yang berhasil mereka kumpulkan untuk dikirim kepada Raja. Pesan SMS berbunyi “Bebaskan Aktivis!” juga diedarkan oleh kalangan aktivis LSM dan mereka meminta si penerima untuk mengirimkan pesan yang sama kepada setidaknya lima orang lainnya. Permohonan jaminan Sonando pun berturutturut ditolak pengadilan Phonm Penh Municipial dan Pengadilan Banding. Dia, saya dan aktivis HAM
23
lainnya yang terkena dakwaan sama, akhirnya dibebaskan pada 17 Januari 2006, oleh Pengadilan Municipal atas permintaan Perdana Menteri Hun Sen. Ini terjadi setelah berminggu-minggu masyarakat Cambodia dan internasional mengkritik penangkapan dan penahanan tersebut. Pada 11-13 Februari 2006, AFEC menyelenggarakan long march “Kebebasan Berekspresi” sejauh 40 km untuk menyerukan penghapusan pemidanaan pers. Hari berikutnya, tepatnya pada 14 Februari 2006, Perdana Menteri Cambodia Hun Sen melansir pernyataan publik yang mendukung penghapusan pemidanaan pers dan defamasi dari undang-undang pidana. Komentar berikutnya dikeluarkan pada 28 Maret 2006, yang menyebutkan bahwa sebuah hukum baru akan diperkenalkan ke publik untuk mengganti hukum tentang defamasi. Legislasi menghilangkan terminologi penjara untuk kasuskasus defamasi dimasukkan ke dalam hukum pada 23 Juni 2006. pada hari yang sama, You Saravuth, pemimpin redaksi koran lokal Sralanh Kmer (Cinta Kmre), dihadapkan pada kasus defamasi oleh Hun To, keponakan Perdana Menteri yang sangat berkuasa, lantaran artikelnya mengungkapkan bagaimana keponakan sang penguasa itu merampas tanah-tanah penduduk desa. Tuntutan hukum datang tepat dua hari setelah You mendapat ancaman mati yang dikirimkan lewat faksimilinya. Kasus ini akhirnya memaksa You meninggalkan Cambodia untuk mencari suaka politik di luar negeri. Kendati sudah ada hukum baru yang mengha-
puskan hukuman penjara, pemidanaan pers masih menyisakan jejaknya, UU menetapkan denda bagi pelaku pencemaran nama baik sebesar 1-10 juta Riel (setara dengan USD 255 – USD 2.550 atau Rp 2.500.000 – Rp 25.500.000). Masih ada satu pertanyaan tentang bagaimana pengembangan hukum baru ini akan membantu mempromosikan dan melindungi kebebasan pers di Cambodia. Ada pula pertanyaan tentang denda, bagaimana jika terdakwa atau pelaku pencemaran nama baik tak mampu membayar denda yang ditetapkan pengadilan kepada penggugat, yang biasanya datang dari kalangan berkuasa. Pengadilan Cambodia bukanlah tempat yang ramah, kerap tak adil dan tak independen, alihalih dipercaya. Kesimpulannya, aktivitas untuk mendukung dekriminalisasi defamasi dan kebebasan pers harus dilakukan dengan tujuan yang jelas dan serangkaian kegiatan yang direncanakan dengan baik. Aksi-aksi damai publik berdampak jauh lebih besar ketimbang siaran pers, tapi rakyat tetap membutuhkan informasi yang baik lewat peran media. Kesuksesan yang akan digapai dapat diperoleh dengan menyatukan suara komunitas internasional untuk mengutuk tindakan pemerintah Cambodia dan pernyataan-pernyataan mereka terhadap isyu tersebut, solidaritas LSM lokal Cambodia untuk melakukan ribuan advokasi dan partisipasi aktif serta dukungan dari seluruh rakyat Cambodia di seluruh negeri. Satu pelajaran penting yang kami pelajari: tanpa resiko, tak ada perubahan. l
Supinya Klangnarong DAN KEMENANGAN PERS THAILAND Lensi Mursida Koordinator IFJ Asia Tenggara, Jakarta
aya bebas,” ujar Supinya Klangnarong, jurnalis Thailand dan sekretaris jenderal Campaign for Popular Media Reform (CFMR) dengan berurai air mata. Perjuangan yang melelahkan itu akhirnya berbuah manis pada 14 Maret 2006. Pengadilan Kriminal Bangkok membebaskan Supinya dan empat jurnalis Thai Post dari gugatan yang dilancarkan oleh raksasa telekomunikasi Shin Corp, yang dimiliki oleh Perdana Menteri Thailand yang tengah berkuasa kala itu Thaksin Shinawatra. Pengadilan menyatakan Supinya dan empat jurnalis Thai Post itu berhak mengekspresikan pendapatnya tentang perusahaan dan pemerintah berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari riset dan sumbersumber lainnya. Pengadilan juga menyatakan bahwa pernyataan Supinya dan teman-temannya bukan fitnah dan tidak menjelek-jelekkan Shin Corp. Kemenangan yang tidak disangka-sangka itu disambut tepuk tangan gemuruh pengunjung yang menghadiri sidang itu. “Ini bukan kemenangan saya semata. Tapi juga kemenangan publik Thailand, karena menyangkut kepentingan masyarakat Thailand,” ungkap Supinya usai pembacaan putusan itu. Dan kemenangan itu terasa makin lengkap setelah Shin Corp akhirnya menarik gugatan mereka pada 8 Mei 2006 menyusul keputusan Pengadilan Kriminal Bangkok. Sehingga Supinya dan empat orang jurnalis Thai Post (termasuk satu editor koran berbahasa Thailand itu) betul-betul bisa merasakan kebebasan.
“S
STOP KRIMINALISASI PERS 25
Kasus Supinya dan Harian Thai Post melawan orang nomor satu di Thailand itu bermula dari pernyataan Supinya yang dimuat di Thai Post edisi 16 Juli 2003. Aktivis media itu menyebutkan bahwa Shin Corporation yang saham mayoritasnya dimiliki oleh keluarga Perdana Menteri Thailand kala itu, Thaksin Shinawatra, diuntungkan oleh kebijakan yang dibuat pemerintah Thaksin. Shin Corp pun berang. Mereka menggugat Supinya dan Thai Post dengan tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik. Tidak tanggung-tanggung, perusahaan telekomunikasi raksasa Thailand itu pun menuntut Supinya dan kawan-kawannya membayar ganti rugi atas kerugian perusahaan mereka lantaran berita itu sebesar 400 juta Bath Thailand (sekitar USD 10 juta atau Rp 100 miliar). Tuntutan pidans itu, bila dimenangkan oleh pengadilan mungkin akan membuat Supinya dan jurnalis Thai Post dipenjara dua tahun dengan denda yang harus ditanggung sebesar 200.000 Bath (sekitar USD 5000 atau Rp 50 juta). Dan pertarungan antara David melawan Goliath pun dimulai. Sejatinya, ini bukan saja antara Supinya dan Thai Post melawan sang penguasa, tapi ini juga pertarungan pers dan rakyat Thailand untuk memperjuangkan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers yang lebih baik di negeri mereka. Dukungan pun mengalir dari kalangan media, organisasi non pemerintah, dan masyarakat umum di Thailand. CPMR membuka satu rekening bank khusus untuk menggalang dana bagi pembiayaan upaya hukum yang dilakukan Supinya dan kawan-kawan. Kasus ini juga menarik perhatian pers internasional di berbagai belahan dunia dan mereka mendapatkan banyak dukungan dan simpati.
DEFAMASI DI MALAYSIA:
Sekilas Kasus Blogger Vs Media Mainstream Rupa Damodaran President National of Jurnalists (NUJ) Malaysia, Kuala Lumpur
ugatan pencemaran nama baik yang diajukan oleh salah satu grup koran terbesar di Malaysia terhadap dua orang blogger pada bulan Januari tahun ini menimbulkan sedikit kehebohan di lingkaran media lokal. Kejadian ini juga membangkitkan minat badan-badan internasional. Peristiwa ini merupakan kasus yang menarik, ini merupakan kasus pertama yang menyeret blogger ke pengadilan karena komentar yang mereka tulis di webblog mereka. Seperti tempat-tempat lain di dunia, blogging di Malaysia telah berkembang dalam tiga tahun terakhir tapi bila dibandingkan dengan negara-negara lain blogging disini bertumbuh pesat sekali. Situs Jeff Ooi yang menulis blog “Screenshots” dan situs “Rocky’s Bru” milik Ahiruddin Attan banyak menarik pengunjung di kota ini. Sejak kasus mereka mencuat, Ooi bersama Ahirudin mengajukan konsolidasi untuk dengar pendapat mengenai kasusnya dan pengadilan memutuskan menerima pengajuan tersebut pada tanggal 19 Juni. Tak lama setelah kejadian tersebut, di Malaysia berkembang wacana mengenai tentang perlu tidaknya pengawasan terhadap situs blog untuk memeriksa isi-isi tulisan yang bersifat menghina. Para bloggers memprotes langkah-langkah untuk mengatur situs-situs blog karena mereka merasa mampu mempertanggungjawabkan tulisan mereka dengan memeriksa ulang isi tulisan sebelum memasukkannya ke dalam blog. Pemerintah Malaysia menganggap selama tidak ada sensor terhadap blogger, maka si penulis dan
G
Setelah keluarga Thaksin menjual sahamnya di Shin Corp kepada perusahaan Singapura Temasek Holding, Shin Corp sempat mengajukan penawaran
bagi Supinya dan Thai Post. Mereka akan menarik gugatannya dengan syarat Supinya meminta maaf atas komentarnya. Tapi Supinya tegas menolak dan memilih menunggu putusan pengadilan, yang akhirnya memang berpihak pada keadilan, setelah mereka berjuang tanpa lelah selama hampir tiga tahun. l
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS 26
Supinya Klangnarong, aktivis CFMR, menang melawan Thaksin Foto: Abdul Manan
27
pembuat blog harus bertanggungjawab dan mereka bisa menjadi sasaran undang-undang pencemaran nama baik, penghasutan dan undang-undang lainnya. Bagi media-media di Malaysia, gerak kami dibatasi dengan sangat ketat melalui UU Pers dan Publikasi (Printing Presses and Publication Act) tahun 1984, UU Resmi Kerahasiaan (Official Secrets Act) yang dikeluarkan tahun 1972 dan UU tentang Defamasi (Defamation Act) yang dilansir tahun 1957. Ketiga UU ini terus-menerus diupayakan oleh berbagai kelompok persaudaraan untuk dicabut. Perdana Menteri Malaysia yang sekaligus juga menjabat sebagai Menteri Keamanan Internal, dalam portfolionya telah memperingatkan bahwa para blogger tidak bisa berdalih dengan alasan tidak mengetahui undang-undang karena kebebasan tanpa pertanggungjawaban bisa menyebabkan anarki. Malaysia menempati rangking yang cukup tinggi dalam indeks kebebasan pers menurut pengawas media global Reporters Without Borders. Hal ini mengejutkan banyak pihak. Pada tahun 2005, Malaysia naik sembilan peringkat keposisi 113 pada indeks kebebasan Pers sedunia, tapi tahun 2006 kami melompat 21 tingkat ke ranking yang 92. Posisi ini merupakan rangking terbaik yang diterima negara kami sejak diperkenalkannya indeks ini pada tahun 2002. Saat itu kami berada diposisi 110. Faktanya, ini pertama kalinya skor Malaysia lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain. Tahun 2004, Malaysia berada diperingkat empat dan tahun 2005 berada diperingkat ke lima. Menarik sekali untuk mengetahui posisi kami segera setelah kasus yang menimpa blogger pada awal tahun ini. RWB telah menunjukkan perhatiannya
wakil Menteri Keamanan Internal baru-baru ini, pemerintah mengambil tindakan berdasarkan dugaan tersebut yang pertama kali diketahui dari sebuah website. Satu-satunya penafsiran bentuk pengungkapan seperti ini ialah sebuah perkembangan positif bagi masyarakat. Tindakan ini bisa diartikan sebagai sebuah demokrasi berbicara dan berekspresi di negeri ini. Komentar-komentar yang memprovokasi dan diskusi-diskusi yang mengalir merupakan daya tarik utama situs blog. Wakil Perdana Menteri Najib Razak mengakui bahwa blogger membuat “urusan pemerintah lebih menantang” dan juga menyebabkan ganguan yang tidak diperlukan. Keprihatinan itu berdasarkan pada distorsi dan sensasionalisasi fakta-fakta. Dimana posisi forum-forum internet atau blogger secara hukum? Ahli hukum mengatakan bahwa undang-undang (dalam pernyataan yang kasar) tetap dapat digunakan seperti bentuk komunikasi lain dinegeri ini, meskipun mediumnya bermacam-macam – sepanjang mereka berbicara atau menulis dalam satu bentuk yang permanen. Seorang ahli hukum mengatakan suasana di Malaysia membuat hal ini lebih atraktif untuk “menjelek-jelekkan” lantaran kurangnya undang-undang untuk menjaga hal-hal yang sifatnya pribadi, yang biasanya ditemukan di dunia Barat. Sebagai penutup, apakah itu dibutuhkan dalam perundang-undangan negeri Malaysia ke depan yang menyediakan beberapa bentuk perlindungan terhadap blogger dan juga mungkin topik diskusinya. l
B A B 2 KASUS-KASUS KRIMINALISASI PERS DI INDONESIA STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS 28
kepada manajemen koran. Usulan yang sekarang sedang diperdebatkan di Parlemen mengenai pendaftaran wajib yang harus dilakukan para blogger ke situs-situs diserver-server lokal. Hal ini bertujuan untuk mengontrol kiriman-kiriman anonim yang isi tulisannya menjelek-jelekan orang lain. Jurnalis-jurnalis di Malaysia terus mendorong batas-batas kebebasan pers walaupun pembatasan tersebut sah. Tetapi beberapa orang sadar bahwa pekerjaan mereka bisa menjadi subjek serangan personal diberbagai blogs. Kemana mereka membela diri? Dengan kondisi industri media yang kompetitif di Malaysia, media cetak juga menyediakan fasilitas SMS yang memberikan newsbreak pada saat terjadinya suatu peristiwa. Penetrasi internet sebagian besar masih terbatas dipusat-pusat urban terbesar dinegeri ini, oleh sebab itu muncul pertanyaan mengapa dibutuhkan undang-undang pembatasan blog. Ketika mantan wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim ditahan, masyarakat memperoleh informasinya dari saluran-saluran berita luar negeri dan juga dari media alternatif, sebuah website berita internet bernama Malaysiakini atau situs-situs lain yang dibuat oleh partai politik oposisi. Lalu berikutnya muncul blog dengan masukanmasukan menarik yang menembus batas-batas kepribadian seseorang dan segera membuat para pengguna online kecanduan. Seperti yang dikatakan oleh kolumnis majalah, media mainstream terkadang menjadi pilihan kedua bila website mengeluarkan dugaan-dugaan yang tajam/keras. Dalam kasus dugaan korupsi yang melibatkan
29
Kemerdekaan Pers dan Proses Pembaruan Hukum di Indonesia Anggara Staf Divisi Advokasi AJI Indonesia, Jakarta
KEMERDEKAAN PERS DI INDONESIA: SITUASI TERAKHIR udah merdekakah pers Indonesia? Tampaknya, masa depan kemerdekaan pers di Indonesia masih harus menempuh jalan berliku. Beragam hambatan, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat umum masih terus melingkupinya. Berdasarkan catatan Aliansi Jurnalis Inde-
S
penden (AJI) Indonesia, sepanjang 2005 tercatat 43 kasus kekerasan dengan empat tuntutan hukum terhadap jurnalis dan media. Dan sepanjang 2006, angka ini melonjak 18% menjadi 53 kasus kekerasan dengan tujuh tuntutan hukum terhadap jurnalis dan media. Situasi ini sungguh memprihatinkan, terutama mengingat pers telah diakui secara umum sebagai pilar ke empat demokrasi. Indonesia, sebagai sebuah negara yang menganut paham demokrasi, pers mempunyai pengaruh signifikan di tengah masyarakat.
Jurnalis menggalang demonstrasi menolak kriminalisasi pers Foto: Dokumentasi AJI Indonesia
ANCAMAN DAN TANTANGAN PEMBAHARUAN HUKUM DALAM MENJAMIN KEMERDEKAAN PERS Meski Indonesia telah mengadopsi berbagai instrumen hukum yang menjamin kemerdekaan pers. Namun ancaman terhadap kemerdekaan pers tidak serta merta lenyap. Ancaman tersebut bisa berasal dari pemerintahan yang korup maupun dari masyarakat yang tak paham peran pers. Yang juga harus dicermati, beragam ancaman itu justru dilakukan melalui mekanisme hukum yang sah, seperti lewat proses legislasi di DPR atau melalui pengadilan. Di sisi lain, mekanisme non hukum dan upaya pembungkaman pers lewat kekerasan terus terjadi. Tuntutan dan gugatan hukum terhadap jurnalis dan media pada umumnya dilakukan dengan menggunakan ketentuan hukum yang berlaku, antara lain dengan menggunakan pasal-pasal tentang pencemaran nama baik, baik menggunakan KUHPidana ataupun KUHPerdata, penghinaan terhadap kepala negara (kasus Supratman, Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Merdeka), penghinaan terhadap agama (kasus Teguh Santosa, Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka
No
Pasal
Tindak Pidana
1
310
Pencemaran
2
311
Fitnah
3
315
Penghinaan Ringan
4
317
Pengaduan Fitnah
5
318
Persangkaan Palsu
6
320
Pencemaran Nama Baik Orang Mati
7
321
Pencemaran Nama Baik Orang Mati Dengan Tulisan Atau Gambar
Tabel 2. Pasal-Pasal Tentang Defamasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS 30
Secara langsung maupun tidak, informasi yang disampaikannya dapat mempengaruhi individu atau kelompok. Selain sebagai media pemberi informasi publik dan menjadi wahana pendidikan masyarakat, pers juga berperan sebagai kontrol sosial, baik terhadap pejabat publik maupun masyarakat pada umumnya. Peran besar ini tentunya hanya bisa dijalankan bila sejumlah prasyarat dipenuhi. Salah satunya adalah adanya ruang kebebasan yang memadai sehingga pers bisa menjalankan fungsinya secara optimal, yang berbarengan dengan pelaksanaan kode etik yang membuat per tetap terjaga prosionalismenya. Betapa pentingnya kemerdekaan pers itu, dapat dilihat dari pernyataan Mohtar Lubis, jurnalis senior dan mantan Pemimpin Redaksi Indonesia Raya berikut, “Kemerdekaan pers merupakan satu unsur didalam peradaban manusia yang maju dan bermanfaat tinggi dan yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan, dan jika kemerdekaan pers itu tidak ada, maka martabat manusia jadi hilang.” Ini juga didukung oleh pakar hukum Universitas Diponegoro, Prof. Satjipto Rahardjo yang menyatakan: “Pers berperan sebagai salah satu alat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan”. Bahkan, Prof. Dr. Bagir Manan SH., MCL., saat menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung (MA) RI, pernah mewanti-wanti aparat hukum dan pengadilan Indonesia pada 14 September 2004. Kata Bagir, “Saya
Tabel 1. Pasal-Pasal Tentang Defamasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
minta kehati-hatian hakim yang mengadili pers ataupun pelaku pers, jangan sampai tangan-tangan hakim ini berlumuran memasung kemerdekaan pers yang akan mematikan demokrasi dan tidak lain akan memasung kemerdekaan hakim itu sendiri. Pers yang bebas bukan hanya instrumen demokrasi, tetapi sekaligus menjaga demokrasi itu sendiri. Dan hakim sangat memerlukan demokrasi, sebab hanya demokrasi yang dapat menjamin kebebasan hakim dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman.” Ketiga pendapat ini sejalan dengan dengan semangat UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis serta berdasarkan hukum.
31
No
Pasal
Gugatan
1
1366
Lalai, tidak hati-hati, ceroboh
2
1372
Penghinaan
3
1373
Fitnah
4
1375
Penghinaan Terhadap Orang Mati
5
1377 ayat (2)
Penghinaan Terus Menerus
Online), atau melanggar delik kesusilaan (kasus Erwin Arnada, Pemimpin Redaksi Majalah Playboy). Namun, tuntutan hukum yang paling sering digunakan terhadap jurnalis dan media adalaah pencemaran nama baik. Dalam sejarahnya, aturan tentang pencemaran nama baik dipakai untuk melindungi kekuasan dari kritik atau kontrol masyarakat. Ketentuan tersebut selanjutnya dipakai untuk mengatur fitnah atau pencemaran nama baik yang melibatkan individu. Di negara hukum yang demokratis, berkedaulatan rakyat serta menjunjung tinggi hak asasi manusia seperti Indonesia, maka penggunaan pasal-pasal pencemaran nama baik secara serampangan justru berpotensi menghambat proses demokrasi, mengurangi kebebasan berekspresi dan berpendapat, dan menghambat kebebasan akan informasi. Selain itu, penggunaan pasal-pasal pencemaran nama baik juga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum lantaran semua tindakan yang berhubungan dengan penyampaian ekspresi dan pendapat sangat mungkin terjerat pasal penghinaan, lantaran penilaiannya yang kerap tidak obyektif dan tergantung pada tafsir yang bisa jadi sangat sepihak. Pencemaran nama baik dalam hukum pidana
diatur dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang terdiri dari Pasal 310-321 dan Pasal 36 ayat (5) huruf (a) jo Pasal 57 huruf (d), Pasal 36 ayat 6 jo Pasal 57 huruf (e) dan Pasal 46 ayat (3) huruf (a) jo Pasal 58 huruf (d) UU No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran Ditengah-tengah kontroversi tentang kekhususan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, masyarakat pers di Indonesia patut bergembira dengan putusan MA yang setidaknya ikut menetapkan kekhususan UU Pers dalam setiap penyelesaian sengketa pers, lewat Putusan MA No.1608 K/PID/2005 dan MA No.903 K/PDT/2005. Pada kedua putusan tersebut, MA menilai bahwa filosofi yang dianut dalam UU Pers telah menempatkan posisi pers nasional sebagai pilar keempat dalam negara demokrasi. MA juga menekankan pentingnya instrumen hukum dan kode etik pers untuk memastikan kehadiran pers bebas dan mencegah penyalahgunaan kebebasan pers. Lantaran itu tindakan penghukuman dalam bentuk pemidanaan tidak mengandung upaya penguatan pers bebas, sebaliknya malah membahayakan pers bebas. Lantaran itu, maka tata cara yang diatur dalam UU Pers harus didahulukan daripada ketentuan hukum yang lain. MA juga meneguhkan kembali upaya penggunaan
hak jawab dan pemeriksaan melalui Dewan Pers sebagai upaya yang harus didahulukan dibandingkan proses hukum, karena cara ini dipandang MA sebagai sendi penyelesaian sengketa pers untuk pemulihan cedera akibat adanya pemberitaan yang keliru. Instrumen hak jawab, menurut MA, merupakan keseimbangan antara kemestian pers bebas dan upaya perlindungan kepentingan individu dari pemberitaan pers yang keliru. Kebebasan pers, masih menurut MA, merupakan conditio sine qua non bagi terwujudnya demokrasi dan negara berdasarkan hukum. Karena, tanpa kebebasan
pers maka kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat menjadi sia-sia. Sehingga tindakan hukum yang diambil terhadap pers yang menyimpang tidak boleh membahayakan sendi-sendi demokrasi dan negara. Kendati MA telah berupaya meneguhkan kemerdekaan pers, namun pada saat yang sama, berdasarkan analisis Dewan Pers terdapat sedikitnya 25 UU dan/atau RUU yang diindikasikan dapat menghambat atau mengekang kemerdekaan pers. Niat pemerintah untuk mengubah UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers mendapat perhatian serius dari seluruh komponen masyarakat pers. Rencana peruba-
han tersebut dinilai masyarakat pers sebagai indikasi keinginan kuat pemerintah untuk kembali mengontrol kemerdekaan pers. Sebelumnya, pemerintah telah masuk ke kembali ke gelanggang pengontrolan lewat UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Hari ini belum saatnya untuk tidur tenang.
Jurnalis, media dan masyarakat Indonesia yang peduli akan demokrasi tak boleh lengah memantau dan terlibat secara aktif dalam proses pembaruan hukum di Indonesia. Kita harus tetap mengawal dan menjamin kemerdekaan pers yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata selama hampir satu dekade ini.
Tabel 3. Kasus-Kasus Pencemaran Nama Baik di Indonesia Periode 1999 – April 2007 KASUS-KASUS YANG MENGGUNAKAN UU PERS Kasus 1 Kasus
Dari Rapat BPUPKI Hingga Amandemen Kedua UUD 1945
Harymurti, Fikri Jufri, Toriq Hadad, Ahmad Taufik, Bernada Rurit, dan Cahyo Junaedy Aspek Berita Yang
Berita Tempo yang berjudul “Ada Tomy di Tenabang” dalam Majalah
Dipersoalkan
Tempo edisi 9 Maret 2003
Jenis Tuntutan Hukum
Perdata
Gugatan/Dakwaan
l KUH Perdata
asyarakat Pers Indonesia wajib berteri-
hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warga
makasih pada Liem Koen Hian, Pemimpin
Negara yang dirumuskan oleh Konstituante yang men-
Redaksi Sit Tit Po.
Dialah orang pertama
empatkan kemerdekaan pers pada rumpun kebebasan
yang melempar gagasan untuk menjamin kemerdekaan
menyatakan pendapat yang dirumuskan dalam kalimat:
Putusan Hakim
MA menolak gugatan penggugat
pers dalam konstitusi dalam rapat Badan Penyelidik
”Setiap warganegara berhak atas kebebasan mempun-
Memakai UU Pers
Ya
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
yai dan mengeluarkan pendapat, baik dengan lisan
Perkembangan Kasus
Selesai pada tingkat Kasasi
Berikut petikan usulannya: ”Dalam Grondrechten yang
maupun tulisan”
M
bersidang dan berkumpul, tetapi juga hak kemerdekaan
konstitusi baru menguat ketika ditetapkan oleh
buat drukpres, *onschenbaarheid van woorden.
Perubahan II UUD 1945 pada 18 Agustus 2000 yang
Kemerdekaan pers diperlukan untuk mengurangi
dirumuskan pada Pasal 28 F yang berbunyi: “Setiap
kejelekan – kejelekan masyarakat dan negara”.
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
Namun sayangnya, upaya menjamin kemerdekaan
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkun-
pers ini dalam UUD 1945 (asli) hanya dikumpulkan dalam
gan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memper-
1 rumpun dalam kebebasan menyatakan pendapat pada
oleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyam-
Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi: ”Kemerdekaan
paikan informasi dengan menggunakan segalajenis
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran den-
saluran yang tersedia”.
Undang-undang”
100 miliar
Rumusan ini sebenarnya masih belum memuaskan masyarakat pers, karena masyarakat pers sebenarnya
Ketika konstitusi RI berubah menjadi Konstitusi RIS
meminta adanya rumusan yang lebih jelas akan jaminan
1949 dan UUDS 1950, jaminan kemerdekaan pers ini
konstitusional tentang larangan membuat peraturan per-
hanya ditempatkan dalam Pasal 19 yang menyatakan:
undang-undangan yang dapat membatasi kemerdekaan
”Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
pers. Namun, setidaknya rumusan ini telah menjamin
mengeluarkan pendapat”
adanya kemerdekaan pers dalam konstitusi negara. l
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS
Upaya untuk menjamin kemerdekaan pers dalam
gan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
l Tomy menuntut ganti rugi materil Rp 100 Miliar dan immateril Rp
Kasus 2
diusulkan, supaya yang ditetapkan tidak hanya hak
Hal senada juga ditemukan pada perumusan Hak-
32
Tommy Winata Vs PT Tempo Inti Media, Zulklifly Lubis, Bambang
(Anggara)
33
Kasus
Tomy Winata Vs Koran Tempo, Bambang Harymurti, dan Dedy Kurniawan
Aspek Berita Yang
Berita Koran Tempo edisi 6 Februari 2003 dengan judul “Gubernur Ali
Dipersoalkan
Mazi Bantah Tomy Winata Buka Usaha Judi”. Tulisan itu dinilai mencemarkan nama baik Tomy Winata
Jenis Tuntutan Hukum
Perdata
Gugatan/Dakwaan
Pasal 1365 dan 13 72 BW. Tomy menuntut ganti rugi materil Rp 1 Miliar dan immaterial USD 2 juta
Putusan Hakim
l Hakim PN Jakarta Selatan memvonis Tempo membayar ganti rugi sebesar USD 1 juta. Tempo diperintahkan untuk menyatakan penyesalan dan permohonan maaf selama tiga hari berturut-turut di delapan koran, enam majalah, dan 12 televisi (termasuk CNN, CNBC, dan BBC). l Pengadilan Tinggi Membatalkan putusan PN
Memakai UU Pers
Ya
Perkembangan Kasus
MA menguatkan putusan PT yang menolak gugatan penggugat
Kasus 3 Kasus
Tomy Winata Vs Bambang Harymurti
Marimutu dengan cara memuat permohonan maaf di media massa
Aspek Berita Yang
Tomy Winata merasa dicemarkan nama baiknya melalui berita Majalah
nasional dan internasional. Namun gugatan materiil dan immateriil
Dipersoalkan
Tempo yang berjudul “ada Tomy di Tenabang?” dan dengan sengaja
sebesar USD 51 tidak dikabulkan hakim.
menerbitkan keonaran di kalangan rakyat serta melakukan tindakan
Jenis Tuntutan Hukum
Perdata
fitnah terhadap dirinya melalui media
Gugatan/Dakwaan
l KUHPerdata, l Koran Tempo diminta memulihkan nama baik Marimutu dengan
Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
Gugatan/Dakwaan
Pasal XIV ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 jp Pasal 55 ayat (1) KUHP
cara memuat permohonan maaf di media massa nasional dan
Putusan Hakim
MA membebaskan Bambang Harymurti
internasional dan gugatan materiil dan immateriil sebesar USD 51
Memakai UU Pers
Ya
Perkembangan Kasus
-
juta, namun tidak dikabulkan hakim.
Kasus 4 Kasus
Lend Novo Vs Investor Daily
Aspek Berita Yang
Gugatan ini dipicu berita berjudul ”Pemerintah Tunjuk Plt Dirut PLN
Dipersoalkan
dan PKT”, yang muncul di Investor pada 5 Mei 2006. Di situ
Putusan Hakim
MA menolak gugatan penggugat
Memakai UU Pers
Ya
Perkembangan Kasus
-
KASUS-KASUS YANG TIDAK MENGGUNAKAN UU PERS Kasus 1
diwartakan, Lendo memimpin tim ad hoc yang bertugas menyelidiki korupsi di lingkungan BUMN. Yang membuat Lendo meradang, berita
Kasus
Akbar Tanjung Vs Karim Paputungan, Pemimpin Redaksi Rakyat
Merdeka
itu menyebut tim Lendo ”tidak bersih” dan ”melakukan pemerasan kepada direksi BUMN yang dianggap korupsi”.
Aspek Berita Yang
Pemuatan Foto Akbar Tanjung di Rakyat Merdeka edisi 8 Januari
Jenis Tuntutan Hukum
Perdata
Dipersoalkan
2002. Di Dalam foto tersebut Akbar hanya terlihat bagian wajahnya,
Gugatan/Dakwaan
Pasal 1365
sedangkan bagian tubuh digambarkan bertelanjang dada penuh
Putusan Hakim
Menolak gugatan dari penggugat dengan alasan hak jawab belum per-
keringat. Ini Ilustrasi berita berjudul “Akbar Sengaja Dihabisi, Golkar
nah digunakan
Nangis Darah”
Memakai UU Pers
Ya
Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
Perkembangan Kasus
Selesai, penggugat berniat menggunakan hak jawab
Gugatan/Dakwaan
Pasal 310 ayat (2) dan Pasal 310 ayat (1) KUHP
Putusan Hakim
9 September 2004, Majelis Hakim PN Jakarta Selatan memvonis
Kasus 5
pidana penjara 5 bulan dengan masa percobaan 10 bulan I Gede Winasa, Bupati Jembrana Vs Arie Lestari, jurnalis Bali Post
Aspek Berita Yang
Penangkapan ini dipicu oleh kemarah Bupati Jembrana terhadap pem-
Dipersoalkan
beritaan Bali Post belakangan ini, yang kerap bernada kritis terhadap kebijakan-kebijakan mercusuar Winasa
Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
Gugatan/Dakwaan
Melanggar Perda No 11 Tahun 1996
Putusan Hakim
Membebaskan karena tidak terukti melanggar Perda
Memakai UU Pers
Ya
Perkembangan Kasus
Kasus 6
Kasus
Marimutu Sinivasan Vs PT Tempo Inti Media (Koran Tempo), Bambang Harymurti
Aspek Berita Yang
Marimutu Sinivasan menggugat PT Tempo Inti Media Harian (penerbit
Dipersoalkan
Koran Tempo) dan Bambang Harymurti berkaitan dengan pemuatan 64 artikel tentang Marimutu sepanjang Januari sampai Mei 2003.
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS
Kasus
Pada Desember 2003, pengadilan tingkat pertama mengabulkan gugatan tersebut. Koran Tempo diminta memulihkan nama baik
34
35
Memakai UU Pers
Tidak
Perkembangan Kasus
Dalam Proses Banding Kasus 2
Kasus
Rini Soewandi Vs Harian Rakyat Merdeka
Aspek Berita Yang
Rakyat Merdeka menuliskan berita bahwa Rini Soewandi menonton
Dipersoalkan
striptease pada saat melakukan lobi pembelian pesawat sukhoi dianggap mencemarkan nama baik, kehormatan, citra, dan martabat Rini. Menurut Rini berita tersebut lebih menonjolkan masalah menonton
striptease daripada proses negosiasinya Jenis Tuntutan Hukum
Perdata
Gugatan/Dakwaan
Pasal 1365, 1366, dan 1367 BW disertai permintaan maaf dan ganti rugi Rp 2,5 Milyar
Putusan Hakim
Kedua pihak diminta melakukan mediasi
Memakai UU Pers
Tidak
Perkembangan Kasus
Selesai dengan permintaan maaf dari tergugat
Kasus 3
Kasus 6
Kasus
Kepala BIN AM Hendropriyono Vs Harian Rakyat Merdeka
Aspek Berita Yang
Rakyat Merdeka menuliskan bahwa dalam rapat kabinet 20 Januari
Dipersoalkan
2003, Hendropriyono telah memaparkan empat orang yang terlibat
Aspek Berita Yang
Ahmad Taufik dan Iskandar Ali dianggap telah menyiarkan berita
dalam serangkaian demo menentang kenaikan tarif angkutan umum
Dipersoalkan
bohong dan sengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat
Kasus
Tempo)
yang dirancang untuk menjatuhkan pemerintah
melalui berita Tempo berjudul “Ada Tomy di Tenabang” dalam Majalah
Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
Tempo edisi 8 Maret 2003
Gugatan/Dakwaan
-
Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
Putusan Hakim
-
Gugatan/Dakwaan
Pasal XIV ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP
Memakai UU Pers
Tidak
Putusan Hakim
Majelis Hakim PN Jakarta Pusat pada 16 September 2004 menya-
Perkembangan Kasus
Diselesaikan dengan damai
takan keduanya bersalah, akan tetapi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban
Kasus 4 Kasus
Tommy Winata Vs PT Tempo Inti Media dan Ahmad Taufik
Aspek Berita Yang
Tommy menggugat kesaksian kasus kekerasan oleh massa Artha
Dipersoalkan
Graha Group terhadap Tempo yang ditulis oleh Ahmad Taufik.
Memakai UU Pers
Tidak
Perkembangan Kasus
Dalam Proses Kasasi dan Banding Kasus 7
Kesaksian itu dimuat oleh berbagai media termasuk Detik.com dalam
Kasus
Abu Bakar Baasyir Vs Majalah Time
berita berjudul “kekerasan Terhadap Tempo Menurut Kesaksian
Aspek Berita Yang
Time edisi 23 September 2002 menurunkan satu berita yang
Ahmad Taufik” pada edisi 12 Maret 2003”
Dipersoalkan
menuliskan bahwa Basyir terlibat jaringan terorisme Al Qaeda. Abu
Jenis Tuntutan Hukum
Perdata
Bakar Basyir merasa dirugikan karena nama baiknya dicemarkan
Gugatan/Dakwaan
l KUHPerdata
dalam pemberitaan tersebut
l Tommy menuntut ganti rugi materil Rp 40 miliar dan immateril Rp
Jenis Tuntutan Hukum
Perdata
80 miliar. Tergugat juga diminta menyampaikan permohonan maaf
Gugatan/Dakwaan
Pasal 1365 dan Pasal 1372 BW
kepada penggugat melalui media cetak dan media elektronik yang
Putusan Hakim
Menolak gugatan
berskala lokal, nasional, maupun international
Memakai UU Pers
Tidak
Perkembangan Kasus
Dalam proses banding
Putusan Hakim
Gugatan tidak diterima karena kurang pihak
Memakai UU Pers
Tidak
Perkembangan Kasus
Dalam Proses Banding
Kasus 8
Kasus 5 Kasus
Tommy Winata Vs Koran Tempo & Goenawan Moehammad
Aspek Berita Yang
Pernyataan Goenawan Moehammad di Koran Tempo edisi 12 dan 13
Dipersoalkan
Maret 2003 yang berbunyi “Jangan sampai Republik Indonesia jatuh
ke tangan preman, juga jatuh ke tangan Tommy Winata” Pernyataan ini disampaikan berkaitan dengan penyerangan massa Artha Graha ke kantor Majalah Tempo, 8 Maret 2003. Jenis Tuntutan Hukum
Perdata
Gugatan / Dakwaan
Pasal 1365 dan 1372. Tommy meminta Ganti Rugi moril sebesar Rp 20 miliar dan materil sebesar Rp 1 miliar serta meminta Goenawan Moehammad dan Koran Tempo menyampaikan permintaan maaf.
Putusan Hakim
Majelis Hakim memvonis Goenawan Moehammad dan Koran Tempo meminta maaf kepada Tommy Winata di halaman satu Koran Tempo selama dua hari berturut-turut
Memakai UU Pers
Tidak
Perkembangan Kasus
Dalam Proses Kasasi
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS 36
Tommy Winata Vs Ahmad Taufik dan Iskandar Ali (jurnalis Majalah
37
Kasus
Soeharto Vs Time
Aspek Berita Yang
Soeharto merasa dicemarkan nama baiknya dan dihina seolah-olah dia
Dipersoalkan
serakah dengan harta
Jenis Tuntutan Hukum
Perdata
Gugatan/Dakwaan
Menuntut ganti rugi Rp. 280 juta dan ganti rugi imateril Rp 189 triliun dengan kurs Rp 7000 per USD 1
Putusan Hakim
6 Juni 2000, Majelis Hakim PN Jakarta Selatan menolak gugatan Soeharto
Memakai UU Pers
Tidak
Perkembangan Kasus
Dalam proses kasasi Kasus 9
Kasus
PT Jamsostek Vs Harian Media Indonesia
Aspek Berita Yang
PT Jamsostek merasa nama baiknya dicemarkan atas berita yang
Dipersoalkan
diturunkan oleh Harian Media Indonesia
Jenis Tuntutan Hukum
Perdata
Gugatan/Dakwaan
KUHPerdata
Putusan Hakim
Hakim Menolak gugatan penggugat
Memakai UU Pers
Tidak
Perkembangan Kasus
-
Dipersoalkan
tertulis, “Try Soetrisno dan Edi Soedrajat berebut Janda”. Di dalam tulisan tersebut diceritakan bahwa Try Soetrisno dan Edi Soedrajat tengah menjalin hubungan mesra dengan Nani, namun akhirnya Nani
Kasus 10
memilih Try Soetrisno. Try Soetrisno menganggap berita tersebut Kasus
Tommy Soeharto Vs Majalah Gatra
bohong dan mengadukan ke Polda Metro Jaya
Aspek Berita Yang
Majalah Gatra edisi No 48 Tahun IV, 17 Oktober 1988 menurunkan
Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
Dipersoalkan
berita tentang keterlibatan Tommy Soeharto dalam peredaran obat
Gugatan/Dakwaan
Pasal 331 ayat (1) KUHP
terlarang di Melborne, Australia. Berita tersebut dinilai merugikan
Putusan Hakim
Hakim menjatuhkan vonis 6 bulan penjara
nama baik Tommy Soeharto karena Gatra dinilai tidak melakukan
Memakai UU Pers
Tidak
wawancara dengan Tommy perihal keterlibatannya
Perkembangan Kasus
-
Jenis Tuntutan Hukum
Perdata
Gugatan/Dakwaan
l KUHPerdata
Kasus 14
l Tommy meminta ganti rugi sebesa Rp 15 miliar
Kasus
Bupati Polmas Hasyim Manggabarani Vs Jurnalis Metro TV, Herman Hafsah
Putusan Hakim
Hakim menolak gugatan penggugat
Memakai UU Pers
Tidak
Aspek Berita Yang
Merasa nama baiknya dicemarkan, keluarga besar Manggabarani
Perkembangan Kasus
-
Dipersoalkan
melalui Idris Manggabarani melaporkan Herman Hafsah dan pimpinan
Metro TV di Jakarta ke Ditserse Sulawesi Selatan pada 12 Februari
Kasus 11
2001. Keluarga Manggabarani menganggap pemberitaan Metro TV Kasus
Dewi Soekarno Vs Indonesia What’s On
tersebut tidak sesuai dengan fakta yang ada dan bahkan tergolong
Aspek Berita Yang
Majalah Indonesia What’s On edisi November 988 memuat foto-foto
memfitnah.
Dipersoalkan
dan tulisan tentang Dewi Soekarno yang mengesankan citra buruk.
Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
Dewi merasa dicemarkan nama baiknya, digambarkan secara negatif
Gugatan/Dakwaan
KUHPidana, menuntut permintaan maaf yang dimuat di Tabloid Bijak dan satu harian lokal
Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
Gugatan/Dakwaan
KUHPidana
Putusan Hakim
-
Putusan Hakim
Pidana penjara 1 tahun dan denda sebesar Rp 10 juta
Memakai UU Pers
Tidak
Memakai UU Pers
Tidak
Perkembangan Kasus
Diselesaikan secara damai
Perkembangan Kasus
-
Kasus 15 Kasus 12
Aspek Berita Yang
Majalah Tempo edisi 19 – 25 November 2001 berjudul “Bom Kisman
Dipersoalkan
Untuk Apa”, menuliskan bahwa Kisman adalah pemilik bom dan memiliki keterkaitan dengan kalangan pejabat. Selain itu, Kisman juga berperan sebagai operator Humanika yang sering menerima proyekproyek kehumasan dari BPPN. Pemberitaan ini dinilai memberikan opini buruk terhadap Humanika
Jenis Tuntutan Hukum
Perdata
Gugatan/Dakwaan
l KUH Perdata l Kisman menuntut ganti rugi Rp 50 miliar
Putusan Hakim
Majelis Hakim memutuskan gugatan tidak dapat diterima
Memakai UU Pers
Tidak
Perkembangan Kasus
Dalam proses banding Kasus 13
Kasus
Try Soetrisno Vs Warta Republik
Aspek Berita Yang
Pada sampul depan Warta Republik edisi Minggu III November 1999
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS 38
Kasus
Humanika Vs Majalah Tempo
39
Kasus
Direktur Utama PT Semen Padang Vs Tabloid Bijak
Aspek Berita Yang
Tabloid Bijak pada edisi 123 tahun VI, 16-31 Januari 2004 menurunkan
Dipersoalkan
berita mengenai pimpinan PT Semen Padang. Ketiga berita itu berjudul “Yok Ramai-Ramai Menjarah PT Semen Padang”, “Direksi PT
Semen Padang “Bohongi” Orang Minang, dan “Dwi Sutipto dan kosultan Sucorinvest Diduga Ikut Menjarah PT Semen Padang”. Menurut Dirut PT Semen Padang, pemberitaan Tabloid Bijak dinilai tidak fair, tidak patut, tendensius, tidak berdasarkan fakta dan bukti-bukti hukum yang dapat dipertanggungjawabkan, dan berimplikasi sangat negatif Jenis Tuntutan Hukum
Perdata
Gugatan/Dakwaan
KUH Perdata
Putusan Hakim
-
Memakai UU Pers
Tidak
Perkembangan Kasus
Diselesaikan secara damai
Kasus 16
Gugatan/Dakwaan
l KUHPerdata
Kasus
AA Navis Vs Mingguan Canang
Aspek Berita Yang
Berawal dari opini dan berita yang dimuat di Canang pada April 1999.
Dipersoalkan
Beritanya berjudul “Penulis Robohnya Surau Kami Dirobohkan Orang
Putusan Hakim
Majelis Hakim PN Surabaya menolak gugatan penggugat
Kini”, “Kasus proyek 400 juta AA Navis diseret ke Polisi” berita ini
Memakai UU Pers
Tidak
ditulis jurnalis Canang berinisial SHT serta dua opini yang ditulis Haris
Perkembangan Kasus
Dalam proses kasasi
l Menuntut permintaan maaf tiga kali berturut-turut di seperempat halam koran dan ganti rugi uang Rp 1 miliar.
Efendi Tahar berjudul “Rasa Rendah Diri AA Navis Harap Dimaklumi
Kasus 19
dan Cuma Tinggal Stempel”, “DKSB Sedot Dana 400 Juta”. AA Navis merasa mingguan Canang menuliskan berita yang tidak benar menge-
Kasus
Bupati Gorontalo Achmad H Pakaya Vs Pemred Tabloid Busur, Simson M Diko
nai dirinya Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
Aspek Berita Yang
Tabloid Busur menerbitkan berita tentang perselingkuhan yang
Gugatan/Dakwaan
Pasal 311 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke -1 Sekunder Pasal 310 ayat (2)
Dipersoalkan
dilakukan Bupati dengan istri salah seorang pejabatnya. Kasus yang
jo Pasal 55 ayat (1) KUHP
dikenal dengan Skandal Ali babab dimuat di Edisi Tahun I No 01 Minggu
Haris Efendi Tahar dan Nasrul Sidik dijatuhi hukuman percobaan 6
II Agustus 2003 berjudul “Pejabat Tinggi berselingkuh dengan Istri
bulan
Orang Kedua” dan Edisi Tahun I No 02 Oktober 2003 yang berjudul
Memakai UU Pers
Tidak
“Keterlibatan Pejabat Tinggi Dalam Perselingkuhan Membawa Pesan
Perkembangan Kasus
Proses Kasasi
Politik Tingkat Tinggi”. Bupati menilai berita itu menyalahi aturan
Putusan Hakim
serta kaidah jurnalistik
Kasus 17 Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
Kasus
ZA Maulani Vs Sriwijaya Post
Gugatan/Dakwaan
Pasal 282 ayat (3) Jo Pasal 310 ayat (2) KUHP
Aspek Berita Yang
Sriwijaya Post edisi 25 Agustus 1999 menurunkan berita dengan
Putusan Hakim
Hakim PN Gorontalo menyatakan Simson bersalah melakukan penghi-
Dipersoalkan
judul “Ka Bakin terima Rp 400 M” didalamnya mengungkap bahwa
naan dan menjatuhkan hukuman 10 bulan penjara
ZA Maulani telah menerima dana dari sejumlah dana dari sejumlah
Memakai UU Pers
Tidak
pihak. Dana yang diterima oleh ZA Maulani berasal dari kroni-kroni
Perkembangan Kasus
PT Menguatkan putusan PN Gorontalo dan menghukum Simson 1
Habibie untuk menjalankan operasi memuluskan jalan bagi BJ
tahun penjara
Habibie agar bisa terpilih kembali menjabat sebagai Presiden RI. ZA
Kasus 20
Maulani menanggap berita tersebut tidak benar, merupakan fitnah dan penghinaan. Menurut ZA Maulani seharusnya Sriwijaya Post tanya Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
Gugatan/Dakwaan
Pasal 310 ayat (#) jo Pasal 316 KUHP
Putusan Hakim
Hakim menjatuhkan vonis 4 bulan penjara
Memakai UU Pers
Tidak
Perkembangan Kasus
Kasus 18
Kasus
Yayasan Masjid Darut Taqwa Surabaya Vs Jawa Pos
Aspek Berita Yang
Gugatan bermula dari salah satu tulisan di Jawa Pos 16 Mei 2003 yang
Dipersoalkan
berjudul “Warga Bantah Halangi Pembangunan Masjid” diprotes oleh Yayasan Darut Taqwa. Menurut berita Jawa Pos, warga kecewa atas pembangunan kembali Masjid Darut Taqwa di Dukuh Kupang Suarabya itu karena tidak sesuai dengan peruntukkannya. Amien menilai, Jawa
Pos telah merugikan dirinya setelah memuat berita pada edisi 16 Mei Jenis Tuntutan Hukum
40
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS
melakukan konfirmasi terlebih dahulu sebelum menurunkan beri-
Kasus
Ketua Golkar Alzier Dianis Thabranie vs Jurnalis Tabloid Koridor Darwin Ruslinur dan Budianto
Aspek Berita Yang
Alzier mempersoalkan berita Tabloid Koridor edisi 12 – 18 Juli 2004
Dipersoalkan
dengan judul “Alzier dan Indra Karyadi Diindikasikan Kuat Tilap Dana
Saksi Partai Golkar Rp 1,25 Miliar”. Isi berita itu mengungkapkan keluhan para saksi Partai Golkar soal kurangnya jatah uang saksi pada pemilu presiden lalu Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
Gugatan/Dakwaan
Pasal 311 KUHP
Putusan Hakim
Hakim PN Tanjung Karang menjatuhkan vonis 9 bulan penjara
Memakai UU Pers
Tidak
Perkembangan Kasus
Bebas Kasus 21
Kasus
Harian Kedaulatan Rakyat Vs Harian Radar Jogja
Aspek Berita Yang
Harian Radar Jogja dalam beberapa edisi menurunkan tulisan dan
Dipersoalkan
karikatur yang memberitakan tentang pelecehan seksual yang
2003 itu.
dilakukan Soemadi M Wonohito, Direktur Utama PT Kedaulatan
Perdata
Rakyat, terhadap salah seorang karyawannya.
41
adalah “Mulut Mega Bau Solar” yang dimuat edisi 6 Januari 2003,
Jenis Tuntutan Hukum
Perdata
Gugatan/Dakwaan
l KUHPerdata
“Mega Lintah Darat” dimuat edisi 8 Januari 2003, “Mega Lebih Ganas
l Menuntut ganti rugi materil sebesar US$ 6.123.500 dan permoho-
Dari Sumanto”, edisi 30 Januari 2003, dan “Mega Cuma Sekelas
Dipersoalkan
nan maaf yang harus dimuat dalam iklan di Jawa Pos dan Radar
Bupati” edisi 4 Februari 2003
Jogja dan Harian Kedaulatan Rakyat serta 3 surat kabar nasional. Putusan Hakim
Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
PN Sleman menjatuhkan denda USD 600.000 dan permohonan maaf
Gugatan/Dakwaan
Pasal 134 jo Pasal 65 ayat (1)
dalam bentuk advertorial setengah halaman selama tujuh hari di tiga
Putusan Hakim
Majelis Hakim PN Jakarta Selatan memvonis dengan hukuman per-
media cetak.
cobaan 6 bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun
Memakai UU Pers
Tidak
Memakai UU Pers
Tidak
Perkembangan Kasus
Dalam Proses Kasasi
Perkembangan Kasus
Dalam proses Banding Kasus 25
Kasus 22 Kasus
John Hamenda Vs Majalah Trust
Kasus
Teguh Santosa (Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Online Vs ?
Aspek Berita Yang
John Hamenda merasa dicemarkan nama baiknya dalam laporan
Aspek Berita Yang
Rakyat Merdeka Online menurunkan pemberitaan tentang disertai
Dipersoalkan
utama Majalah Trust di halaman 8-13, dituliskan serangkaian tulisan
Dipersoalkan
satu karikatur Nabi Muhammad yang diberitakan oleh Jylland Posten.
dengan empat judul yang intinya menguraikan tentang pembobolan
Rakyat Merdeka Online sudah berusaha untuk menutupi efek vulgar
BNI sebesar Rp 1,7 triliun. Judul beritanya adalah “Komplotan
dari gambar tersebut
Pembobol BNI”, pelaku pembobolan terdiri dari Adrian Herling,
Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
Waworuntu, Maria Paulina Lumowa, dan John Hamenda.
Gugatan/Dakwaan
Pasal 156 a huruf a KUHP
Jenis Tuntutan Hukum
Perdata
Putusan Hakim
Hakim menolak dakwaan Jaksa
Gugatan/Dakwaan
l Pasal 1365 dan Pasal 1372 BW
Memakai UU Pers
Tidak
l Ganti rugi materil sebesar Rp 220 Miliar dan imateril sebesar Rp 2
Perkembangan Kasus
Dalam proses Banding
triliun dan permintaan maaf yang diumumkan di media nasional
Kasus 26
baik cetak maupun elektronik Putusan Hakim
Kasus
Erwin Arnada (Pemred Majalah Playboy) Vs FPI
Aspek Berita Yang
Majalah Playboy memuat tulisan-tulisan yang mengarah pada
Tidak
Dipersoalkan
perasaan perseorangan yang mengundang imajinasi dan menggugah
Perkembangan Kasus
Terhenti karena John Hamenda dihukum 20 tahun penjara dalam
nafsu birahi yang tidak patut bagi kesopanan, selain itu pose para
kasus pembobolan BNI
model dalam majalah tersebut memperlihatkan belahan dada, paha,
Kasus 23 Kasus
Soemadi M. Wonohito (Dirut Kedaulatan Rakyat) Vs Risang B Wijaya (Pemred Radar Jogja)
Aspek Berita Yang
Harian Radar Jogja memuat berita dan karikatur tentang pelecehan
Dipersoalkan
seksual yang dilakukan Soemadi M Wonohito terhadap salah seorang karyawatinya
Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
Gugatan/Dakwaan
Pasal 310 Jo Pasal 64 KUHP
Putusan Hakim
PN Sleman memvonis sembilan bulan penjara kepada Risang B Wijaya
Memakai UU Pers
Tidak
Perkembangan Kasus
Dalam Proses Kasasi Kasus 24
Kasus
Presiden Megawati Vs Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka ,
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS
mintaan maaf yang dimuat di Majalah Trust satu halaman Memakai UU Pers
Aspek Berita Yang
42
Menghukum Majalah Trust membayar ganti rugi Rp 1 miliar dan per-
kaki dan perut karena hanya memakai baju dalam atau baju tidur. Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
Gugatan/Dakwaan
Pasal 282 ayat (3) KUHP
Putusan Hakim
Hakim menolak dakwaan Jaksa
Memakai UU Pers
Tidak
Perkembangan Kasus
Dalam Proses Banding Kasus 27
Kasus
Menkominfo (Dr Sofyan Djalil) Vs Teguh Santosa, Redaktur Eksekutif
Rakyat Merdeka Online Aspek Berita Yang
Menteri Kominfo Sofyan Djalil telah melaporkan Redaktur Eksekutif
Dipersoalkan
Rakyat Merdeka Online ke Polisi. Pengaduan tersebut berkaitan dengan dengan pernyataan Faisal Basri dalam berita “Faisal Basri
Kecam Perselingkuhan Jahat Microsoft & Menkominfo”. Laporan tersebut berpijak pada delik pencemaran nama baik. Pasalnya pem-
Supratman
beritaan tersebut dianggap telah memberikan citra buruk terhadap
Berita yang ditulis oleh Rakyat Merdeka dinilai menghina Presiden
pemerintah Indonesia.
43
Kasus 30
Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
Gugatan/Dakwaan
Pencemaran Nama Baik
Putusan Hakim
-
Memakai UU Pers
-
Perkembangan Kasus
-
Kasus
Bupati Musi Banyuasin Alex Noerdin Vs Afdal Aznie Jamba, Pemred
Harian Transparan
Kasus 28
Aspek Berita Yang
Dalam dakwaan yang disusun Jaksa Penuntut Umum, Transparan
Dipersoalkan
dituduh telah melanggar pasal 311 KUHP tentang pencemaran nama baik melalui tulisan. Berita yang diduga mencemarkan nama baik
Kasus
Chairuddin Afiat, mantan Camat Aranio dan Supian AH, mantan
bupati berjudul “Tokoh-tokoh Rakyat Muba Demo ke KPK dan Istana
Camat Mataraman Vs Redaktur dan jurnalis Radar Banjarmasin yakni,
Negara” yang dimuat Transparan pada 17 Maret 2005
Denny Setiawan dan Wafha Octaria
Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
Aspek Berita Yang
Keduanya diadukan karena pemberitaan di Radar Banjarmasin. Dalam
Gugatan/Dakwaan
Pasal 311 KUHP
Dipersoalkan
pemberitaan yang berjudul Posisi Camat Dirombak Total (14/10) itu,
Putusan Hakim
Pemred Harian Transparan divonis bersalah
disebutkan Chairudin Afiat diprediksi mengumpulkan pesangon
Memakai UU Pers
Tidak
sebelum pensiun sebagai PNS. Dalam pemberitaan tersebut ia tidak
Perkembangan Kasus
Dalam Proses Banding
mengkonfirmasi dengan yang bersangkutan. Sedang dalam berita
Kasus 31
berjudul Penempatan Supian AH Mencurigakan (18/10) disebutkan Kasus
bahwa pengangkatan Supian AH sebagai salah satu Kepala Sub di
Ny Hj Tirtha Lamadjido, istri mantan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah, Vs Harian Nuansa Pos
Dinas Pertambangan Banjarmasin tidak tepat karena ia dikenal sebagai pengusaha batu bara. Belakang tidak terbutkri bahwa Supian AH
Aspek Berita Yang
Sengketa antara Harian Nuansa Pos dan keluarga Rully Lamadjido
seorang pengusaha batubara.
Dipersoalkan
berawal dari tujuh berita yang dimuat di harian tersebut dalam kurun
Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
waktu Juni hingga Agustus 2001. Di harian kriminal ini ditulis, Ny
Gugatan/Dakwaan
-
Tirtha Lamadjido (istri mantan Wakil Gubernur Sulteng, menantu
Putusan Hakim
-
mantan Gubernur Sulteng) merupakan dalang pembunuhan Imelda
Memakai UU Pers
-
Plangiten, yang diduga istri simpanan suaminya, Rully Lamadjido,
Perkembangan Kasus
-
yang ketika itu masih menjabat sebagai Walikota Palu, sekitar tahun 1993. Saat itu, gadis cantik yang bernama Imelda Plangiten ini beker-
Kasus 29
ja sebagai waiters di salah satu warung telekomunikasi milik keluarga Kasus
Lamadjido. Karena berita itu dinilai mencemarkan nama baik keluarga
harian Rakyat Aceh
besar Lamadjido dan Marundu, keluarga ini kemudian menggugat
Aspek Berita Yang
Bahrul dituduh mencemarkan nama baik yang bersangkutan. Menurut
Dipersoalkan
Bachrul, pengaduan dirinya oleh bupati terkait dengan tulisannya tentang dugaan intervensi dalam konferensi cabang Persatuan Jurnalis Indonesia (PWI) Aceh di Bireun. Bachrul menulis “Bupati Bireun,
Mustafa A. Glanggang diduga melakukan intervensi karena terobsesi mendapatkan pena emas dari Ketua Umum PWI Pusat”.Bachrul menduga bupati melaporkannya bukan hanya karena masalah itu, tetapi juga terkait dengan sejumlah tulisannya yang kerap mengkritik penyelewengan anggaran di Kabupaten Bireun. Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
Gugatan/Dakwaan
-
Putusan Hakim
-
Memakai UU Pers
-
Perkembangan Kasus
-
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS
Bupati Bireun, Mustafa A. Geulanggang Vs Bahrul Walidin, jurnalis
Nuansa Pos ke Pengadilan Negeri Palu dan kasusnya sampai ke tingkat Mahkamah Agung. Jenis Tuntutan Hukum
Perdata
Gugatan/Dakwaan
l KUHPerdata l Pencemaran Nama Baik
Putusan Hakim
MA memutuskan agar harian Nuansa Pos membayar ganti rugi sebesar Rp 250 juta
Memakai UU Pers
Tidak
Perkembangan Kasus
Dalam proses eksekusi Kasus 32
Kasus
FPI, MMI, dan HTI Vs Guntur Romli dan Alif Iman
Aspek Berita Yang
Dua orang jurnalis KBR 68H dilaporkan ke Mabes Polri oleh Hamid
Dipersoalkan
Badawi, FPI, MMI, dan HTI ke Mabes Polri atas tuduhan penodaan terhadap agama dan penyiaran berita bohong. Laporan ini berdasarkan wawancara Gus Dur di KBR 68H pada 1 April 2006. Versi lengkap dari wawancara tersebut sialin disiarkan di KBR 68H juga dimuat di web
44
45
site Jaringan Islam Liberal (JIL). Harian Duta Masyarakat yang terbit
prinsipnya, artikel-artikel tersebut menimbulkan kerugian materiil dan
di Jawa Timur kemudian memuat ulang versi lengkap dari wawancara
immateriil, yang kalau ditotal bernilai USD 151 juta.
tersebut dan menimbulkan komplain dari para kiai di Jawa Timur
Jenis Tuntutan Hukum
Perdata
Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
Gugatan/Dakwaan
KUHPerdata,
Gugatan/Dakwaan
Pasal 156 a huruf (a)
Putusan Hakim
-
Putusan Hakim
-
Memakai UU Pers
-
Memakai UU Pers
-
Perkembangan Kasus
Selesai dengan perdamaian
Perkembangan Kasus
-
Sumber: data riset AJI Indonesia
Kasus 33 Kasus
Direktris Women in Transtition Foundation (Womintra) Vs Harian Pos
Kupang Aspek Berita Yang
Direktris Women in Transtition Foundation (Womintra) secara resmi
Dipersoalkan
mensomasi harian Pos Kupang ke Dewan Pers Indonesia atas sejum-
Hukum Dan Pers Merdeka
lah pemberitaan yang dinilai menyerang privasi pribadi dan lembaga Womintra dalam kasus dugaan korupsi proyek listrik tenaga surya senilai Rp 2 miliar. Selain melakukan somasi pihaknya juga berencana
J
l Pasal 28 F Perubahan II UUD 1945
menandai awal transisi demokrasi di Indonesia.
l Pasal 21 TAP MPR XVII/MPR 1998 tentang Piagam
reformasi kebijakan di semua aspek, termasuk pers.
l Pasal 14 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Peristiwa tersebut juga diikuti oleh berbagai
akan menuntut jurnalis Pos Kupang yang menulis berita dan beberapa
HAM
Jaksa yang membuat pernyataan pers sepihak.
Salah satu perubahan penting yang patut dicatat dunia
Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
pers Indonesia adalah pencabutan peraturan Menteri
l UU No. 40 Tahun 1999
Gugatan/Dakwaan
Pasal 310 KUHPidana
Penerangan tentang Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers
l Pasal 19 ayat (2) Kovenan Internasional Hak Sipil
Putusan Hakim
-
(SIUPP) dan dicabutnya hak istimewa Persatuan
dan Politik yang diratifikasi melalui UU No. 11 Tahun
Memakai UU Pers
-
Wartawan Indonesia (PWI) sebagai wadah tunggal
2005
Perkembangan Kasus
-
organisasi wartawan, dan puncaknya adalah kelahiran
Beberapa tonggak perubahan ini memang mem-
UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers dan diadopsinya
bawa secercah harapan. Tapi, fakta di lapangan bicara
perlindungan atas kebebasan berekspresi melalui
lain. Berbagai tuntutan dan gugatan hukum terhadap
Perubahan II UUD 1945.
jurnalis dan media terus mengalir. Banyak diantaranya
Kasus 34
HAM
Koresponden RCTI Kupang Harry Harzufri Vs Harian Kursor
Aspek Berita Yang
Harian Kursor menurunkan berita tentang koresponden RCTI Kupang
Jaminan kemerdekaan pers di Indonesia diru-
yang justru mengabaikan instrumen hukum yang diben-
Dipersoalkan
tertangkap tangan menyimpan sejenis obat psikotropika, Harian
muskan dan dijamin dalam berbagai instrumen hukum
tuk untuk melindungi kemerdekaan pers. Ya, pekerjaan
yang berlaku di Indonesia. Jaminan ini dapat ditemukan
rumah memang belum selesai. l
Kursor mengutip pernyataan Kasat BimDitnarkoba Polda NTT AKP Albert Neno sebagai sumber resmi. Menurut Harry, berita tersebut telah mencemarkan nama baiknya. Jenis Tuntutan Hukum
Pidana
Gugatan/Dakwaan
Pasal 311
Putusan Hakim
-
Memakai UU Pers
-
Perkembangan Kasus
Kasus 35
Kasus
Marimutu Sinivasan Vs Jacob Oetama (Pemimpin Umum), Suryopratomo (Pemimpin Redaksi) dan PT Kompas Media Nusantara (penerbit harian Kompas).
Aspek Berita Yang
Para penggugat menilai, ke-33 artikel Kompas dalam rentang waktu
Dipersoalkan
September 1999 hingga April 2003 telah menimbulkan persepsi
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS
Kasus
negatif kepada para penggugat. Banyak dari berita Kompas yang dinilai tidak benar, fitnah, dan mendiskreditkan para penggugat. Pada
46
atuhnya pemerintahan Soeharto pada 1998
47
dalam ketentuan-ketentuan berikut:
(Anggara)
KASUS KORIDOR LAMPUNG
Darwin dan Budiono Akhirnya Bebas Lensi Mursida Koordinator IFJ Asia Tenggara, Jakarta
elasa, 27 September 2005 adalah hari bersejarah bagi Darwin Ruslinur dan Budiono Syahputra, Pemimpin Redaksi dan Redaktur Pelaksana Tabloid Koridor Lampung. Hari itu, Pengadilan Tinggi (PT) Tanjung Karang menerima permohonan banding Darwin dan Budiono dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Karang yang menjatuhkan pidana penjara sembilan bulan kepada dua jurnalis Koridor itu. “Support moral dari rekan-rekan pers nasional sangat membantu kami dalam upaya mewujudkan kemerdekaan pers dari belenggu KUHP,” demikian ujar Darwin yang merasa lega tak sempat mencicipi dinginnya tembok penjara. Kasus kriminalisasi pers yang dialami Darwin dan Budiono di Tabloid Koridor bermula dari tulisan lima paragraf di halaman 18 Tabloid Koridor Edisi 266, 12 Juli 2004, yang berjudul “Alzier dan Indra Karyadi Diindikasikan Kuat Tilep Dana Saksi Partai Golkar Rp 1,25 Milyar”. Berita itu menyebutkan bahwa Ketua Tim Kampanye Wiranto-Wahid Lampung, Alzier Dianis Thabranie dan Wakil Ketuanya Indra Karyadi diindikasikan kuat menilep uang saksi dalam Pemilu Presiden putaran I. Berita itu membuat Alzier berang. Pada 14 Juli 2004, melalui kuasa hukumnya, Alzier melaporkan pemberitaan Koridor tersebut ke Polda Lampung dengan tuduhan pencemaran nama baik. Dari situ kasus terus bergulir dengan cepat. Darwin dan Budiono yang diperiksa sebagai saksi, naik statusnya menjadi tersangka. Pada 7 Desember 2007, sidang perkara di-
S
STOP KRIMINALISASI PERS 49
mulai di PN Tanjung Karang. Sekitar empat bulan kemudian, tepatnya pada 31 Maret 2005, Jaksa Penuntut Umum menuntut pidana penjara dua tahun dengan perintah penahanan langsung terdakwa. Setelah menjalani persidangan marathon sebanyak 21 kali, pada 4 Mei 2005, vonis akhirpun jatuh: terdakwa dipidana sembilan bulan penjara, dengan perintah agar para terdakwa langsung ditahan. Atas saran para jurnalis di Lampung, Darwin dan Budiono akhirnya memutuskan untuk melakukan ”suaka hukum” ke Jakarta selama dua minggu sambil memutuskan proses penangguhan tahanan. Selama di Jakarta, mereka melakukan road show ke Dewan Pers, AJI Jakarta, LBH Pers dan menjadi nara sumber dalam undangan Dialog Interaktif Radio Trijaya-Media Indonesia. Kasus kriminalisasi pers di Lampung ini menarik perhatian banyak kalangan. Simpati pun mengalir deras, tak hanya dari kalangan jurnalis tapi juga datang dari berbagai pihak. Di Lampung dibentuk Forum Solidaritas Pers Tertindas (FSPT) oleh 18 organisasi massa dan organisasi pemuda dan belasan advokat Lampung juga mendirikan Koalisi Advokat Anti Kriminalisasi Pers (K2AKP) untuk mendukung perjuangan Darwin, Budino dan Koridor. Ternyata perjuangan mereka tidak sia-sia. Pada 10 Mei 2005, PT Tanjung Karang menyatakan bahwa perintah penahanan terhadap kedua terdakwa bertentangan dengan Hukum Acara Pidana, dan memerintahkan agar Darwin dan Budiono segera dikeluarkan dari Rumah Tahanan Negara. Setelah menunggu lima bulan, PT Tanjung Karang akhirnya membatalkan putusan PN Tanjung Karang dan membebaskan terdakwa. l
Potret Kriminalisasi Pers di Medan Dahri Uhum Nasution Surat Kabar Mingguan Oposisi, Medan
ekerasan terhadap pers di Indonesia bagaikan bola salju (snowball) yang terus menggelinding kian hari semakin terasa dan membesar. Para jurnalis tak saja mengalami kekerasan fisik seperti penganiayaan hingga pembunuhan, tapi juga kekerasan non fisik seperti ancaman verbal, intimidasi, teror dan boikot atas eksistensi pers. Bagi sebagian kalangan, pers kerap dituduh tak lagi mengindahkan kode etik, mengabaikan prinsip keseimbangan dan keakuratan, cendrung menyajikan
K
informasi berbau konflik, kekerasan sosial, dan pornografi. Tuduhan yang sangat sering dilontarkan belakangan ini adalah kebablasan. Di Medan, pekerjaan jurnalis semakin hari semakin beresiko dan berbahaya. Kadang resiko itu muncul dalam wajah rintangan di lapangan, seperti kecelakaan, penodongan, perampokan dan pembunuhan. Kerap pula dia muncul dalam be7ntuk gugatan dan tuntutan hukum dengan ancaman terali besi. Berikut ini beberapa peristiwa yang menggambarkan resiko itu:
SUMBER Portibi (19/04/2005)
BERITA Terkait pemukulan wartawan Metro TV, puluhan wartawan media cetak dan elektronik unjuk rasa (KOWRI/KEWI/dll). Unjuk rasa 18/04/2005 di Jl Imam Bonjol kantor Gubsu ini dampak dari aksi premanisme terhadap reporter dan camera person Metro
TV, Yos Rizal Pulungan dan Denny Setiawan ketika hendak meliput pembukaan dan peresmian kebun binatang Medan (KBM) sabtu (16/04/2005)
STOP KRIMINALISASI PERS
Portibi (30/04/2005)
Kriminal unit Ranmor. Saat itu, Mula mengambil foto tersangka pencuri sepeda motor, petugas meminta hasil foto itu dihapus kalau tidak akan diancam pukul oleh petugas.
Etika (30/10/2005)
Analisa (29/11/2005)
Waspada (11/02/2006)
Wartawan Berita Sore Elyudin Telambanua hilang, di duga keras di bunuh oleh sekelompok orang di teluk dalam Nias Selatan.
PWI kutuk penyerangan kantor Indopos (Tarman Azam) yang dilakukan sekelompok orang pada Selasa malam (20/12/05) mengakibatkan 5 orang wartawan harian terluka.
Walhi sesalkan pengancaman wartawan yang dilakukan oknum BRR (Kasatnar) terhadap Zainun Yusuf wartawan Media lokal di Aceh terkait berita tender inprosedural di muat berita lokal tanggal 9/02/2006.
Analisa (11/02/2006)
51
Poldasu diminta usut kasus perampasan camera person dan ancaman pemukulan wartawan Posmetro, Mula Tinambunan oleh Bripka Esitepu dari Kesatuan Reserse
l Beredar surat keputusan pelayanan
RSU Pringadi Medan No.782/001/II/2006
pada 7/02/2006, ditujukan kepada kepala informasi dan unit pelayanan pengaduan
Terali Besi Untuk Dahri asus ini bermula pada tahun 1999, kala itu
K
pemimpin redaksi sama-sama digugat. Mereka dila-
Redaksi Surat Kabar Mingguan (SKM)
porkan ke pihak yang berwajib dengan delik pengadu-
Mereka mengangkat berita yang menun-
an pencemaran nama baik. Proses bergulir mulai dari
jukkan adanya indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme
penyidikan di kepolisian hingga berujung di meja hijau
(KKN) Rektor IAIN Sumatera Utara yang akhirnya
di Pengadilan Negeri Medan. Jaksa Penuntut Umum
berujung gugatan. Saat itu, setelah isyu mampir ke
menjerat dengan pasal pidana yang tertuang di KUHP.
meja redaksi, Oposisi menugaskan seorang jurnalis ke
Tuntutannya tidak tanggung-tangggung: dua tahun
lapangan untuk mengendus informasi lebih dalam ten-
penjara.
tang indikasi penyalahgunaan wewenang jabatan
hukum jurnalis di lapangan tak digunakan dalam kasus
Rektor yang diduga berbau KKN selama 3,5 tahun.
ini. Setelah proses pengadilan berlangsung, akhirnya
Temuan data di lapangan itu diterbitkan Oposisi.
Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan vonis satu
Menurut Dahri, mereka sudah melakukan standar jur-
tahun penjara bagi Dahri. Banding dilakukan, namun
nalistik sebelum menurunkan berita, upaya konfirmasi
Pengadilan Tinggi malah menguatkan dengan vonis
pun juga dilakukan. „Kami tetap menjaga kode etik
yang sama. Kasasi ke MA juga ditolak, keputusan tetap
pers sebagaimana mestinya sebuah berita,“ demikian
sama: satu tahun penjara! l
Dahri.
masyarakat beserta stafnya, yang tidak boleh memberikan informasi kepada masyarakat dan pers tentang pelayanan di RSUP Medan.
Syahril SH direktur LBH KOWRI Rabu (8/02/06).
Analisa
Ayu Lestari diculik oleh aparat satuan Pamong Praja Pemkab Jembrana Bali. Rabu
(10/11/2006)
(8/11/2006).
Waspada
l Polsekta Medan baru periksa Humas PT GKKS
(14/12/2006)
l H. Jamil tersangka pemukulan dan ancaman bunuh wartawan Waspada Syahrizal ketika menjalankan tugas konfirmasi di Kecamatan Medan Baru.
Andalas (10/02/2007)
Demo puluhan wartawan di DPRD Sumut karena seorang wartawan Portibi dihantui teror akibat kritikannya yang tajam menyoroti kinerja Poltabes MS.
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS 52
l Larangan mendapatkan informasi di RSUPM melanggar kebebasan pers, ujar
53
Jurnalis dan sang
Dahri Uhum Nasution adalah Pemimpin
Oposisi.
Aksi damai jurnalis menolak pemidanaan pers dalam WPFD 2006 Foto: Dokumentasi AJI Indonesia
Tapi, nasib berkata lain.
UU Pers, yang dianggap sebagai payung
(Lensi Mursida)
Kala Jurnalis Melawan Jurnalis Sebuah Kasus: Pencemaran Nama Baik (pasal 310 KUHP) -Saya- Risang Bima Wijaya (Radar Jogja) Vs Soemadi Martono Wonohito (Kedaulatan Rakyat).
ni, sengketa pers antar sesama insan pers. Seorang Pemimpin Perusahaan koran dipidanakan Pemimpin Perusahaan koran. Konfirmasi ditolak, hak jawab ditampik, jalur pers lain juga tak ada. Penjara lebih dipilih oleh seorang tokoh pers nasional untuk menyelesaikan sengketa pers. Saya tidak perlu lagi memaparkan panjang lebar berita yang kemudian menyeret Saya ke penjara itu. Yang pasti, kasus itu karena berita dan karikatur di Radar Jogja edisi 27 Mei 2000! Mungkin sudah tak menarik atau tidak ada yang tertarik. Tapi, yang menarik dari kasus ini adalah pertanyaan dan pernyataan yang muncul; Bagaimana insan pers akan mengajak masyarakat untuk menggunakan jalur-jalur pers, untuk menyelesaikan sengketa pers, jika insan pers saja lebih menolak menggunakan jalur pers. Lebih celaka lagi, ketika saya dan pengacara saya mendesak polisi dan jaksa serta hakim untuk mengunakan UU Pers dalam kasus ini, ditolak dengan sebuah alasan yang sangat mengagetkan saya. Polisi, Jaksa dan Hakim mengatakan bahwa kasus saya diproses dengan KUHP atas rekomendasi dari maaf- Dewan Pers dan Bidang Hukum PWI Yogyakarta. Lebih mencengangkan, penyidik unit Harda Polda DIY menunjukkan selembar kertas yang –katanya- rekomendasi tertulis untuk memenjarakan saya itu. Pertanyaannya lagi, bagaimana kita mengajak aparat hukum untuk menggunakan UU Pers, jika lembaga pers kita saja memberi rekomendasi yang jadi pegangan polisi, jaksa dan hakim, agar meng-
I
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS
54
55
gunakan KUHP dalam kasus pers dan untuk memenjarakan wartawan. Singkatnya, April 2004 saya diajukan ke PN Sleman untuk disidang sebagai seorang kriminal. Saat pemeriksaan saksi ahli, memang saya tidak kaget lagi, tetapi lutut saya masih tetap merasa lemas. Saksi ahli dari Dewan Pers dan PWI Jogjakarta, habis-habisan memojokkan saya yang kala itu disidang karena profesi saya sebagai seorang wartawan profesional. Karena berita dan karikatur di Radar Jogja yang saya pimpin. Saksi ahli yang didepan majelis hakim PN Sleman mengaku mewakili Dewan Pers dan PWI Jogja, sambil sesekali membaca buku kode etik wartawan Indonesia dan UU Nomor 40 tentang Pers, dengan mantap mengatakan bahwa UU Pers bukan lex specialis. Dengan mantap –oknum- saksi ahli dari lembaga terhormat pers Indonesia itu menegaskan di depan majelis hakim PN Sleman, bahwa masyarakat yang merasa dirugikan oleh pers, dipersilahkan menempuh jalur pidana. Dan, di depan semua pengunjung sidang saat itu, saksi yang katanya ahli itu, mempersilahkan polisi, jaksa, dan hakim, untuk memberi sanksi pidana dalam kasus pers. Atas dasar kesaksian itu, JPU menuntut penjara 1 tahun dan saya langsung ditahan, karena dituduh melanggar Pasal 310 dan Pasal 64 KUHP. Hakim pun benar-benar mengesampingkan UU Pers. Bahkan dalam putusannya, menyebutkan bahwa UU Pers tidak berlaku dalam kasus saya, dengan memasukkan kesaksian dari Dewan Pers dan PWI Jogjakarta itu. Saya divonis sembilan bulan penjara. Saya tidak tahu apakah saya patut bersyukur, karena hakim tidak memerintahkan segera ditahan? Yang pasti saya marah! Saya kecewa! Saya merasa tertipu! Wartawan dikhianati!!! Sebuah pengalaman dan pelajaran pahit tentang sebuah pengkhianatan profesi, pengkhianatan perjuangan kemerdekaan
pers, dan sebuah pelacuran profesi yang tidak mungkin saya lupakan. Pengkhianat yang telah menjebloskan wartawan ke penjara. Hingga sekarang, kasus saya masih diproses di Mahkamah Agung RI. Saya mengajukan kasasi, setelah Pengadilan Tinggi DI Yogyakarta menjatuhkan vonis enam bulan atas permohonan banding saya. Di MA RI, mungkin kasasi kasus saya tetap diproses
Erwin Arnada Lolos Dari Jerat Hukum
dengan masih menggunakan dasar pernyataan para SAKSI AHLI, yang dalam kasus saya ini dianggap paling legitimate itu. (Risang Bima Wijaya, wartawan di Madura, setiap hari bermain dengan maut jika ingin mengungkap fakta kepada publik. Di Madura, di mana wartawan justru akan sangat bersyukur ketika diproses pidana, daripada...) l
Lensi Mursida Koordinator IFJ Asia Tenggara, Jakarta alu sudah diketuk. Erwin Arnada, sang pemimpin redaksi majalah Playboy Indonesia akhirnya tak jadi dikirim ke penjara. Pada 5 April 2007, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang dipimpin oleh Hakim Efran Basuning memutuskan untuk menolak dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Erwin. Pemimpin Redaksi majalah berlambang kelinci itu, tadinya dituntut dua tahun penjara oleh JPU Agung Ardianto karena melakukan pelanggaran kesusilaan melalui penyiaran foto-foto yang dinilai sebagai pornografi. JPU menjerat Erwin dengan pasal 282 ayat 3 KUHP jo pasal 55 ayat 1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP. Pasal-pasal ini dinilai tak tepat oleh majelis hakim. Mereka menilai JPU tak cermat menyusun dakwaan lantaran tak mencantumkan Undang-Undang (UU) Pers Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. “Majelis hakim menyatakan dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap Erwin Arnada tidak dapat diterima,” ujar Efran. Erwin patut berlega hati, karena putusan itu tiba tepat satu tahun setelah Playboy Indonesia diterbitkan untuk pertama kalinya. “Ini menunjukkan ada apresiasi dan penghargaan yang tinggi terhadap kebebasan pers,” ungkap Erwin usai pembacaan putusan tersebut. Kontroversi tentang Playboy Indonesia sendiri sebetulnya sudah merebak sebelum edisi perdana majalah tersebut beredar. Rencana kemunculannya yang bertepatan dengan maraknya pro kontra Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) semakin memanaskan isyu tersebut. Tantangan paling kencang datang dari Front Pembela Islam (FPI). Mereka tegas-tegas menolak
P
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS
56
57
Playboy yang dianggapnya sebagai produk pornografi. Namun Playboy Indonesia yang harga lisensinya dikabarkan mencapai Rp 3 mililiar itu tetap terbit juga. Edisi perdana yang diluncurkan pada 7 April 2006 menampilkan model dan presenter Andhara Early sebagai model sampul dan Playmate Kartika Oktaviani Gunawan. Isinya memang tak seheboh yang dibayangkan orang yang sudah terlanjur mengasosiasikan majalah tersebut dengan Playboy induknya di Amerika. Edisi pertama majalah terbitan PT Velvet Silver Media itu tidak menampilkan foto wanita telanjang. Sejak awal, penerbitnya memang menyatakan bahwa isi majalah edisi Indonesia akan berbeda dengan edisi aslinya. Tapi, FPI tak surut langkah. Pada hari penerbitan Playboy, massa FPI mendatangi kantor Playboy di Jl. Simatupang di kawasan Jakarta Selatan. Mereka berorasi, merusak dan membakar. Aksi ini mengkhawatirkan sang pemilik gedung. Akhirnya Playboy diminta angkat kaki. FPI juga melakukan sweeping terhadap peredaran majalah tersebut di di berbagai kota. Andhara dan Kartika dilaporkan ke polisi oleh Masyarakat Anti Pembajakan dan Pornografi Indonesia (MAPPI). Bersama FPI, MAPPI juga melaporkan sang Pemimpin Redaksi Erwin Arnada yang dianggap telah melanggar pasal 282 KUHP tentang Tindak Pidana Susila. Atas dasar laporan inilah Erwin dan dua model majalah Playboy edisi perdana itu kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Kasus terus bergulir. Persidangannya selalu menyita perhatian publik lantaran banyak massa FPI yang memenuhi ruang sidang, bahkan tak jarang massa melimpah ruah hingga ke jalan raya di depan PN Jakarta Selatan. Mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja, yang hadir sebagai saksi dalam persidangan pada 15 Februari 2007 menilai Erwin tak layak dipidana. “Saya lebih mendukung agar kasus ini
Saya Hanya Jurnalis Biasa, Bukan Penista Agama emimpin Redaksi situs berita Rakyat Merdeka, Teguh Santosa, terancam hukuman lima tahun penjara karena memuat satu kartun Nabi Muhammad SAW hasil sayembara sebuah harian besar Denmark, Jyllands-Posten, yang ditampilkan pada 30 September 2005. Teguh didakwa melakukan penodaan agama dan saat ini kasusnya masih dalam proses banding. Teguh, yang sempat menginap di penjara sebelum mendapatkan penangguhan penahanan, membantah tuduhan pidana penodaan agama atas dirinya. Berikut ini pembelaan jurnalis Rakyat Merdeka yang disarikan dari eksepsi sepanjang 15 halaman yang disampaikannya dalam persidangan kedua tanggal 6 September 2006, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan: Tahun lalu, seorang penulis Denmark, bernama Kare Bluitgen, menulis sebuah buku tentang Nabi Muhammad SAW. Konon isi buku tersebut menyudutkan tidak hanya Nabi Muhammad SAW, tetapi juga agama Islam. Kare Bluitgen meminta bantuan sebuah harian besar di Denmark Jyllands-Posten, untuk membikinkan cover buku tersebut. Menyambut permintaan itu Jyllands-Posten lalu mengundang sekitar 40 ilustrator dalam sebuah sayembara menggambar wajah atau sesuatu apapun yang berhubungan dengan Nabi Muhammad SAW dan agama Islam. Pada 30 September 2005, sebanyak 12 ilustrasi yang menurut Jyllands-Posten paling tepat untuk menggambarkan Nabi Muhammad SAW dan agama Islam dinyatakan sebagai pemenang. Ke-12 ilustrasi ini dimuat serempak dalam terbitan khusus edisi mingguan. Amat mengagetkan. Gambar-gambar itu memperlihatkan penghinaan yang amat sangat terhadap, tidak hanya Nabi Muhammad SAW, tetapi juga agama Islam. Kesemua gambar dan ilustrasi tersebut memperlihatkan cara pandang keliru yang dimiliki dunia Barat—yang direpresentasikan oleh Jyllands-Posten— terhadap dunia Islam.
P
Eko Maryadi, Koordinator Divisi Advokasi AJI Indonesia berorasi dalam aksi damai menolak kriminalisasi pers dalam WPFD 2006 Foto: Dokumentasi AJI Indonesia
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS 58
diperdebatkan di publik, atau jika mau membatasi peredaran, harus ada UU distribusi,” ungkap Atma kepada pers. Atma kemudian mengingatkan, sejak Dewan Pers dibentuk sebetulnya ada empat langkah yang bisa diambil untuk menyelesaikan konflik publik dan pers, yaitu: menggunakan hak jawab bila keberatan, meminta bantuan Dewan Pers sebagai mediator untuk menengahi perselisihan, menggunakan jalur hukum, dan boikot. “Tapi,tentunya tanpa kekerasan,” tukas pengajar di Lembaga Pers Dr. Soetomo ini. Kasus Playboy melawan FPI memang berangkat ke pengadilan tanpa menggunakan UU Pers. Erwin
disidang dengan menggunakan pasal-pasal KUHP. Meskipun akhirnya lolos, tapi benarkah Erwin sudah ‘aman’? Tampaknya kasus Playboy belum betul-betul tuntas. Pada 12 April 2007, FPI dan Forum Umat Islam (FUI) melaporkan majelis hakim PN Jakarta Selatan yang membebaskan Erwin ke Komisi Yudisial (KY). Memang masih belum bisa dipastikan apa yang akan terjadi di babak selanjutnya. “Kami akan mempelajari terlebih dahulu salinan putusan dari PN Jakarta Selatan,” ujar anggota KY Soekotjo Soeparto usai KY menerima sekitar 20 orang anggota FPI dan FUI yang dipimpin Habieb Riziq. Playboy pun tak gentar dituntut lagi, sebagaimana diungkapkan oleh Ina Rahman, Kuasa Hukum Playboy, “Tapi deliknya harus delik pers, bukan delik pidana.” l
59
Kabar tentang penghinaan yang dilakukan secara terbuka oleh Jyllands-Posten ini kami terima pertama kali dari warga negara Indonesia yang menetap di Copenhagen. Mereka mengabarkan, protes umat Islam yang minoritas di Denmark sama sekali tidak dipedulikan tidak hanya oleh pihak Jyllands-Posten, tetapi juga oleh pemerintah Denmark. Setelah menerima laporan itu, sebagai pemimpin redaksi Situs Berita Rakyat Merdeka saya memutuskan untuk mengikuti kasus ini dari dekat. Dan, sejak itulah kami terus menerus memberitakan perkembangan kasus ini. Kala itu, tak banyak warga Indonesia di dalam negeri, yang sebagian besar adalah umat Islam, mengetahui kejadian ini. Dan sebagai jurnalis, sudah tentu saya merasa bahwa saya termasuk orang yang bertanggung jawab untuk mengabarkan hal ini. Untuk apa? Agar dialog antara dua dunia itu berimbang dan sempurna, tidak berat sebelah. Agar cara pandang yang salah tentang Islam dan masyarakat Islam ini dapat segera dihentikan. Agar ketegangan demi ketegangan yang dialami oleh masyarakat dunia—konflik antara Barat dan Islam—yang memuncak beberapa tahun terakhir dapat segera diselesaikan. Agar konflik ini menemukan jalan keluar, dan jalan keluar yang saya harapkan adalah jalan keluar yang ditaburi oleh bintang gemintang perdamaian. Selain pihak pemerintah Indonesia, dalam hal ini Departemen Luar Negeri dan MUI, kala itu kami juga menghubungi pihak-pihak lain. Itu semua kami lakukan untuk mendapatkan—berikut menampilkan—gambaran yang jelas tentang peta sikap Indonesia dan masyarakat Islam Indonesia dalam kasus penghinaan ini. Dari 12 gambar itu, kami menilai ada satu gambar yang paling memperlihatkan penghinaan terhadap, tidak hanya Nabi Muhammad SAW, tetapi juga agama Islam. Gambar itu secara tegas mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan dan terorisme, dan mengisyaratkan bahwa ajaran kekerasan dan terorisme itu dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Teguh Santosa di Pengadilan Foto: Dokumentasi Pribadi Teguh Santosa
Jurnalis berdemonstrasi menuntut pembebasan Teguh dan menolak kriminalisasi pers Foto: Dokumentasi Pribadi Teguh Santosa
STOP KRIMINALISASI PERS
STOP KRIMINALISASI PERS 60
Gambar itu—bukan gambar Nabi Muhammad SAW, melainkan gambar yang menghina Nabi Muhammad SAW—menampilkan seorang laki-laki berewok, berjambang tebal dan berkumis lebat dengan sorot mata yang tajam lagi licik, berikut alis mata yang menukik ke bagian pangkal hidung. Laki-laki ini digambarkan mengenakan bom dengan sumbu menyala sebagai tutup kepala atau sorban. Di bagian depan bom itu terdapat tulisan dua kalimat syahadat. Gambar itulah yang saya pilih untuk dimuat, agar masyarakat, khususnya pembaca Situs Berita Rakyat Merdeka mendapat gambaran tentang penghinaan yang dilakukan Jyllands-Posten. Ini demi kelengkapan berita. Bukan untuk melanjutkan penghinaan, apalagi ikut menghina. Tentu saya memahami suasana sensitif dalam kasus ini. Itu sebabnya gambar yang kami muat tersebut tidak sama persis dengan gambar yang dibuat oleh Jyllands-Posten. Saya menambahkan blok merah panjang dan tebal yang menutupi kedua mata dalam gambar itu. Dengan ini saya berharap agar kesan vul-
gar dari gambar ini dapat terhindarkan. Pada bagian caption gambar pun saya mencantumkan alasan blocking tersebut, yakni untuk mengurangi efek vulgar. Dan efek vulgar itu memang terkoreksi, manakala kita membandingkan kedua gambar: yang dibuat dan dimuat Jyllands-Posten, dan yang telah diedit dan dimuat Situs Berita Rakyat Merdeka. Di bulan Oktober 2005 kasus ini tak populer di kalangan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Sementara protes-protes yang dilancarkan umat Islam di Denmark dan beberapa negara lain di kawasan itu semakin diabaikan oleh dunia Barat. Lantas, kasus ini pun perlahan terlupakan seiring perjalanan waktu. Tetapi, usai musim haji 2006, kasus ini kembali naik ke permukaan. Tanggal 2 Februari 2006, pagi hari sekitar pukul 10.00 WIB, saya kembali memuat gambar yang telah kami muat di bulan Oktober 2005—gambar yang menghina Nabi Muhammad SAW yang telah kami edit untuk menghilangkan efek vulgar. Seperti sebelumnya, gambar itu kami muat untuk melengkapi berita-berita seputar kasus ini. Pada 2 Februari 2006, pukul 12:00:09 WIB, Situs Berita Rakyat Merdeka menurunkan berita tentang
61
penghinaan ini dengan judul ”Nabi Muhammad Dihina, Indonesia Lancarkan Protes”. Beberapa jam setelah pemuatan itu, saya dihubungi beberapa wartawan dari media massa lain. Dari merekalah saya mendengar bahwa banyak tokoh yang memprotes pemuatan gambar tersebut. Saya tidak cukup yakin, para komentator itu lebih dahulu melihat gambar yang kami muat—yang telah diedit. Saya juga bertanya-tanya dalam hati tentang pemahaman mereka terhadap latar belakang kasus ini, serta riwayat pemberitaan kasus ini di Situs Berita Rakyat Merdeka yang saya pimpin. Setelah mempertimbangkan masak-masak keberatan demi keberatan itu, saya kemudian menuliskan pernyataan minta maaf apabila pemuatan gambar tersebut oleh sementara pembaca kami dinilai sebagai bagian dari penghinaan pula. Dalam pernyataan terbuka itu saya juga menyampaikan latar belakang pemuatan gambar tersebut. Pernyataan ini kami muat dengan judul “Kami Tak Bermaksud Ikut Menghina”
pada 2 Februari 2006, pukul 18:31:49 WIB. Beberapa saat setelah memuat pernyataan terbuka itu, saya mencabut gambar tersebut dari database kami. Ini adalah respon kami dan penghargaan kami terhadap pembaca Situs Berita Rakyat Merdeka yang tersinggung dengan pemuatan gambar yang telah diedit itu. Keesokan pagi, 3 Februari 2006, saya berbicara dengan seorang teman saya di Front Pembela Islam (FPI). Dari pembicaraan itu, saya memperoleh informasi bahwa FPI akan datang ke kantor kami di Graha Pena, Jakarta Selatan untuk bertausiah dan bertabayyun. Dalam pembicaraan telepon itu, pihak FPI sempat menyampaikan kekecewaan mereka terhadap pemuatan gambar itu. Namun setelah saya jelaskan secara lisan, mereka dapat memahami alasan di balik pemuatan gambar tersebut. Sekitar 200 anggota FPI datang ke kantor kami dalam perjalanan mereka menuju Kedutaan Besar Denmark. Seperti dalam pembicaraan per telepon sebelumnya, dalam pertemuan dengan sejumlah pemimpin FPI kala itu, FPI kemudian menyatakan dapat memahami alasan di balik pemuatan gambar itu. FPI juga meminta kami agar menyampaikan
STOP KRIMINALISASI PERS 62
pernyataan maaf dan mencopot gambar tersebut— dua hal yang telah saya lakukan malam hari sebelum pertemuan sebagai respon dan penghargaan kami terhadap pembaca yang merasa tersinggung. Redaksi Situs Berita Rakyat Merdeka dan Front Pembela Islam (FPI) sepakat untuk mengakhiri kontroversi atas dimuatnya salah satu ilustrasi Nabi Muhammad SAW di situs kami, Kamis (2/2/2006). Saya selalu berusaha menjadi jurnalis yang baik, yang bekerja mengikuti kaidah-kaidah, kode etik dan metode kerja jurnalistik. Setelah saya diperiksa oleh Cyber Crime Unit Polda Metro Jaya bulan Mei lalu, hati saya gundah. Saya berpikir keras, dan mencari jawaban di dalam hati saya. Benarkah saya menodai agama? Bukankah saya sedang menjalankan pekerjaan saya sebagai seorang jurnalis? Tak lama setelah pemeriksaan itu, saya mengadukan kasus ini kepada Aliansi Jurnalis Independen (AJI), organisasi profesi yang saya ikuti. Kepada kawan-kawan di AJI saya memohon agar digelar sebuah sidang majelis etik, untuk menguji tidak hanya hasil pekerjaan saya dalam pemuatan gambar itu, melainkan juga motif yang tersimpan di baliknya. Permintaan itu dipenuhi. Sepekan kemudian, Majelis Etik AJI beranggotakan Bapak Abdullah Alamudi, Bapak Atmakusumah Astraatmaja, dan Bapak Stanley menggelar sidang, yang juga dihadiri oleh ketua dan sekretaris AJI Jakarta, termasuk diri saya. Sidang Majelis Etik AJI menilai bahwa gambar tersebut—yang kami muat setelah diedit dari produk
Jyllands-Posten—adalah hasil karya jurnalistik yang dikerjakan sesuai standar jurnalistik dan mengikuti kaidah-kaidah jurnalistik yang universal, juga sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik 2006. Hati saya pun amat terganggu oleh kenyataan bahwa saya didakwa melakukan penodaan terhadap agama Islam yang saya yakini sejak saya masih kanakkanak hingga kini, dan Insya Allah hingga kelak saya meninggalkan dunia fana ini. Seperti sama kita ketahui, saya sempat ditahan Kejaksaan di LP Cipinang, pertengahan bulan Juli lalu. Setelah penangguhan penahanan, hal pertama yang saya lakukan adalah bertemu dengan sebanyak mungkin ulama dan tokoh Islam. Saya minta pendapat dan masukan dari mereka atas kasus yang saya hadapi. Lebih spesifik lagi, saya bertanya apakah perkerjaan jurnalistik saya—melaporkan penghinaan yang dilakukan pihak lain terhadap agama Islam—adalah bagian dari penghinaan itu sendiri, dan lebih jauh sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan menodai agama. Intinya, apakah saya menodai agama? Saya tidak menemukan keterkaitan antara perbuatan saya, aktivitas jurnalistik yang saya lakukan, dengan dakwaan penodaan agama seperti yang dimaksud dalam pasal 156a KUHP itu. Saya telah berusaha memberikan gambaran mengenai jalan pikiran saya sebagai seorang muslim, dan sebagai seorang jurnalis. Saya ini hanyalah seorang jurnalis biasa, dan bukan seorang penista agama. l