Stigma Orang Tua terhadap Tuberkulosis di Balai Besar Kesehatan Paru (BBKPM) Bandung Dedih Suandi1 Windy Rakhmawati1 Siti Yuyun R F1 Susana Laorensia2 1. 2.
Fakultas Ilmu Keperawatan Unpad, Bandung Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat, Bandung
ABSTRAK Stigma terhadap tuberkulosis bisa berdampak negatif pada proses pengobatan. Sehinga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran stigma orang tua terhadap penyakit tuberkulosis. Responden dalam penelitian ini adalah orang tua yang anaknya sakit tuberkulosis dan berkunjung ke BBKPM. Responden berjumlah 80 orang dengan rata-rata lama pengobatan anak 6 bulan. Jenis penelitian adalah deskriptif kuantitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan skala likert yang meliputi domain kekhwatiran terhadap penularan, nilai dan sikap, dan penyingkapan penyakit. Analisa data mengunakan mid-point score. Hasil penelitian menunjukan 81,25 % responden memiliki stigma rendah. Maka dapat disimpulkan bahwa stigma orang tua di terhadap tuberkulosis di BBKPM Bandung adalah rendah. Domain kekhawatiran merupakan domain yang paling tinggi dan bisa memberikan andil terhadap munculnya stigma. Oleh karena itu, diperlukan dukungan instansi kesehatan, institusi pendidikan, dan petugas kesehatan untuk upaya pereduksian stigma dengan memberikan dukungan bagi anak penderita tuberkulosis beserta orang tuanya. Kata Kunci : Tuberkulosis, Stigma, Orang Tua
ABSTRACT Stigma tuberculosis has negative impact for tuberculosis treatment. Purpose of this research was for knowing stigma description among parent with tuberculosis children. The respondents were the parents with tuberculosis children whom took treatment in BBKPM Bandung. The number of respondent were 80 person. The average of children had taken treatment for six month. Descriptive quantitative was this research design. It used questionare likert’s scale that covered domains fear of transmissin, values and attitudes, and disclosure. The data were anlyzed by mid-point score. 81,25 % had lower stigma. It can been concluded that parent’s tuberculosis stigma in BBKPM was low. While other showed higher stigma that can affected Dedih Suandi, S.Kep Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran (Jl.Raya Bandung-Sumedang KM 21) E-mail :
[email protected], 085724866349
1
treatment process. Fear of the disease trnasmission domain was the highest domain that can caused stigma. Therefore, it was needed support from health provider and education institution to reduce stigma by give support to tuberculosis children and their parents.
Keywords : Tuberculosis, Stigma, Parent
PENDAHULUAN Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang biasanya menyerang paru-paru (WHO, 2011), tetapi bisa juga menyerang organ tubuh lainnya (Gerdunas, 2011). Penyakit ini merupakan penyakit mematikan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi dan merupakan ancaman besar bagi pembangunan sumber daya manusia. Angka kejadian TB di dunia masih tinggi terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Berdasarkan laporan WHO (2009) pada tahun 2008 Indonesia berada pada peringkat ke-5 negara dengan jumlah penderita TB terbanyak di dunia setelah India, China, Afrika Selatan, dan Nigeria (Depkes, 2011). TB merupakan penyakit yang bisa menyerang semua usia, tidak terkecuali bayi dan anak-anak. Jumlah kasus TB pada bayi dan anak di Indonesia sekitar seperlima dari seluruh kasus TB (Depkes, 2011). Menurut Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008, jumlah kasus baru TB paru Basil Tahan Asam (BTA) positif kelompok umur 0-14 tahun di Indonesia sebesar 1861 kasus. TB pada bayi dan anak adalah fenomena yang sangat mencemaskan. Bayi dan anak-anak merupakan sumber daya manusia pada masa yang akan datang.
2
Ada beberpa faktor yang memengaruhi keberhasilan pengobatan dan penyembuhan penyakit Tuberkulosis diantaranya adalah : 1) faktor sarana yang meliputi tersedianya obat yang cukup dan kontinyu, edukasi petugas kesehatan, dan pemberian OAT yang adekuat 2) faktor penderita yang meliputi pengetahuan, kesadaran, dan tekad untuk sembuh, serta kebersihan diri, 3) faktor keluarga dan lingkungan masyarakat (Permatasari, 2005). Faktor keluarga dan masyarakat bisa muncul sebagai dukungan sosial yang positif tetapi bisa juga timbul sebagai stigma terhadap penyakit dan pasien Tuberkulosis. Kipp et al (2011) mendefinisikan stigma yang berkaitan dengan masalah kesehatan/penyakit sebagai proses sosial atau pengalaman pribadi yang ditandai dengan pengucilan, penolakan, celaan, atau devaluasi karena adanya anggapan sosial yang merugikan tentang individu tersebut maupun kelompok nya berkaitan dengan masalah kesehatan tertentu. Stigma yang berhubungan dengan penyakit berdampak negatif terhadap pencegahan, prosedur pelayanan, dan kebijakan yang berkaitan dengan kesehatan pada penyakit tersebut (Cramm and Nieboer, 2011). Stigma kerap kali melekat pada masalah-masalah kesehatan, termasuk tuberkulosis. Alasan mengapa bisa muncul stigma pada TB diantaranya, penularannya, pengetahuan yang kurang tepat akan penyebabnya, perawatannya atau berhubungan dengan kelompok-kelompok marjinal seperti kemiskinan, ras minoritas, pekerja seks, tahanan penjara, dan orang yang terinfeksi HIV/AIDS ( Kipp et al, 2011).
3
Penelitian Anita S. Mathew dan Amol M. Takalkar (2007) pada masyarakat India, didapatkan bahwa pasien TB di India sering mendapatkan pengalaman adanya penolakan dan isolasi sosial dari masyarakat. sehingga mitos dan stigma harus dihilangkan untuk mengontrol penyakit Tuberkulosis. Disamping itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Tribowo Tuahta Ginting dkk (2008) di RS persahabatan, Jakarta, pasien yang mengalami penyakit Tuberkulosis tidak ingin orang lain mengetahui penyakitnya karena persepsi pasien terhadap kemungkinan perlakuan masyarakat bila mengetahui penyakit mereka. Courtwright and Turner (2010), mengatakan bahwa stigma pada penyakit tuberkulosis dapat menyebabkan keterlambatan pengobatan dan berdampak negatif terhadap kelangsungan berobat. Dampak negatif dalam kelangsungan berobat dapat menyebabkan terputusnya pengobatan pada pasien tuberkulosis yang bisa menyebabkan tidak tuntasnya pengobatan. Berdasarkan uraian-uraian tersebut, peneliti ingin mengetahui bagaimana
gambaran stigma orang tua terhadap Tuberkulosis di BBKPM Bandung.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif, yaitu ingin mendapatkan gambaran mengenai stigma orang tua terhadap tuberkulosis di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Bandung. Variabel dalam penelitian ini adalah Stigma orang tua dengan tiga subvariabel yaitu, kekhawatiran terhadap penularan penyakit, nilai dan sikap yang berhubungan 4
dengan perasaan malu, bersalah dan penilaian orang lain, dan penyingkapan status penyakit. Populasinya adalah orang tua yang anaknya sakit Tuberkulosis dan berobat ke BBKPM Bandung. Teknik sampling yang dgunakan adalah accidental sampling, yang dialaksanakan mulai tanggal 23 April sampai dengan 23 Mei 2012 dengan jumlah responden yang didapatkan sebanyak 80 orang. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen yang pernah dikembangkan oleh Van Rie et al untuk mengukur stigma pada pasien tuberkulosis di Thailand. Instrumen inventori ini terdiri dari 12 pernyataan dengan skala pengukuran menggunakan skala likert dengan opsi sangat setuju (3) dan opsi sangat tidak setuju (0). Namun, karena disesuaikan dengan responden penelitian maka ada beberapa item yang tidak digunakan sehingga jumlah item yang digunakan hanya sembilan pernyataan. Rentang skor dari instrumen ini berkisar antara 0-27. Hasil ukur dari instrumen ini adalah stigma rendah dan stigma tinggi. Untuk teknik analisanya menggunakan mid-point dari total skor instrumen. Perhitungannya sebagai berikut: (
)
=
= 13,5
5
{( ).( ) ( ).( )}
maka untuk stigma rendah adalah jika skornya < 13,5 atau ada pada rentang nol sampai tiga belas (0-13) dan stigma tinggi jika nilianya > 13,5 atau jika rentang skornya berkisar antara empat belas sampai dengan dua puluh tujuh (14-27). Selanjutnya, dilakukan analisis statistika prosentase untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi dari variabel yang diteliti dengan menggunakan rumus : =
100 %
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Dalam Tabel 1 disajikan karaktersitik yang menjadi responden dalam penelitian ini. Tabel 1.Karktersitik Responden di BBKPM Bandung pada bulan April-Mei 2012 (n=80) Karekteristik Responden Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Tingkat Pendidikan Dasar Menengah Tinggi Usia Dewasa Awal (20-40 th) Dewasa Tengah (40-65 th) Lama Pengobatan Pada Anak Baru 0-2 Bulan 3-6 Bulan > 6 Bulan
Frekuensi
%
12 68
15 85
18 56 6
22,5 70 7,5
61 19
76,25 23,75
7 19 48 6
8,75 23,75 60 7,5
6
Gambaran Stigma Orang Tua Dalam tabel 4.2 disajikan hasil penelitian yang menggambarkan stigma orang tua. Tabel 4.1 Distribusi frekuensi Stigma Orang Tua terhadap Penyakit Tuberkulosis di BBKPM Bandung pada Bulan April-Mei 2012 (n=80) Kategori Stigma Rendah Tinggi
Frekuensi 65 15
Persentase ( % ) 81,25 % 18, 75 %
Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran stigma orang tua terhadap penyakit tuberkulosis. Hasil penelitian tentang Gambaran Stigma Orang Tua terhadap Penyakit Tuberkulosis di BBKPM Bandung menunjukan hampir seluruh responden (81,75%) memiliki stigma rendah terhadap penyakit tuberkulosis dan sebagian kecil responden ( 18,25 %) memiliki stigma tinggi terhadap penyakit tuberkulosis. Stigma adalah proses sosial atau pengalaman pribadi yang ditandai dengan pengucilan, penolakan, celaan, atau devaluasi karena adanya anggapan sosial yang merugikan tentang individu maupun kelompok dikarenakan masalah kesehatan tertentu (Kipp et al, 2011). Van Rie et al (2008) dalam instrumennya menggunakan tiga domain kunci mengukur stigma penyakit tuberkulosis. Domain ini merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur stigma. Ketiga domain tersebut yaitu kekhawatiran akan penularan penyakit, nilai dan sikap yang berhubungan dengan perasaan malu, dan penyingkapan status penyakit.
7
Courtwright and Turner (2010) mengemukakan bahwa meskipun ada variasi dalam budaya dan faktor sosiodemografik yang turut menentukan stigma tetapi yang menjadi penyebab utama adalah kekhawatiran terhadap penularan penyakit. Hasil penelitian menunjukan hampir seluruh responden memiliki stigma rendah. Sedangkan berdasarkan hasil studi pendahuluan didapatkan orang tua pada awalnya malu untuk membawa anaknya berobat. Adanya perbedaan tersebut bisa disebabkan karena berbagai faktor. Orang tua yang pada awalnya malu untuk membawa anaknya berobat bisa memiliki stigma rendah dikarenakan setelah berobat mendapatkan infromasi yang benar mengenai penyakit tuberkulosis maupun adanya dukungan dai petugas kesehatan. BBKPM merupakan tempat layanan kesehatan paru yang juga memberikan pelayanan konseling. Pasien yang berobat harus mengikuti penyuluhan sehingga hal ini memungkinkan orang tua yang membawa anaknya berobat mendapatkan informasi mengenai penyakit tuberkulosis. Beberapa pasien tuberkulosis sering melaporkan adanya diskriminasi dari orang lain. Pengalaman ini disebabkan karena orang-orang merasa takut tertular penyakit tersebut. Orang tua menilai apakah orang lain akan menghindar terhadap anaknya atau mungkin beberapa orang tua akan melarang anaknya bermain dengan anak mereka. Stigma rendah mengindikasikan adanya harapan yang tinggi akan proses perawatan dan menunjukan bahwa program pengurangan stigma seharusnya bertujuan untuk mengubah stigma menjadi dukungan bagi mereka (Soma et al, 2008). Stigma merupakan interakasi sosial antara yang distigma dengan orang yang 8
menstigma. Stigma muncul karena pengalaman diskriminasi dari orang lain dan juga perasaan malu yang muncul dari internal individu tersebut. Dukungan terhadap orang tua dan anaknya sangatlah penting untuk mereduksi stigma dan dampaknya. Courtwright and Turner (2010), mengatakan bahwa selain meningkatkan pengetahuan tentang penyakit tuberkulosis hal yang penting dalam mereduksi stigma adalah dengan memberikan dukungan kepada orang yang distigma. Dukungan yang diberikan kepada orang tua dan anakanya menjadi salah satu hal yeng penting mengingat stigma berkaitan pula dengan nilai dan sikap dari individu yang bersangkutan. Dari domain yang terdapat dalam instrumen didapatkan
hampir seluruh
responden (85 %) memiliki hasil ukur rendah untuk domain penyingkapan status penyakit. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukan bahwa hampir seluruh responden memiliki stigma rendah. Berdasarkan uraian mengenai stigma rendah dan dampaknya tidak mengindikasikan bahwa stigma rendah harus dibiarkan saja. Harus diupayakan agar stigma orang tua yang rendah tidak berubah menjadi stigma tinggi. Karena dari skor yang menjadi kategori stigma rendah pun ada skor-skor yang bisa dianggap kritis dan mendekati stigma tinggi. Meskipun telah dimiliki pengetahuan yang benar mengenai penyakit kalau dukungan tidak diberikan dapat menyebabkan orang tua tidak membawa anaknya berobat. Nilai dan sikap yang muncul dari internal individu yang berhubungan dengan perasaan malu, bersalah, dan penilaian dari orang lain bisa berubah jika kurangnya dukungan. Oleh karena itu, selain peningkatan pengetahuan 9
mengenai penyakit adanya dukungan dari berbagai pihak terhadap orang tua dan anaknya harus menjadi fokus perhatian. Courtwright and Turner (2010) mengemukakan bahwa adanya TB clubs memberikan pengaruh terhadap upaya pereduksian stigma. TB clubs ini dimaksudkan agar tiap-tiap pasien atau dalam hal ini orang tua tidak merasa sendiri. Dalam kelompok ini diharapkan adanya upaya saling memotivasi dan mengingatkan dalam berobat antar sesama orang tua. Dari penelitian juga didapatkan sebagian kecil responden (18,75 %) memiliki stigma tinggi terhadap penyakit tuberkulosis. Soma et al pada tahun 2008 menunjukan bahwa responden dengan stigma tinggi merefleksikan bahwa penyingkapan status penyakit akan menimbulkan masalah. Penyingkapan status penyakit memang menjadi masalah bagi pasien-pasien tuberkulosis. Diketahuinya penyakit oleh orang lain merupakan masalah. Pandangan negatif yang muncul dimasyarakat mengenai penyakit Tuberkulosis dapat menimbulkan diskriminasi terhadap pasien tuberkulosis. Orang akan melarang anaknya bermain dengan anak yang sakit tuberkulosis. Dengan demikian orang tua penderita akan menyembunyikan status penyakit anaknya karena ditakutkan anaknya minder. Dampak yang lebih dikhawatirkan adalah orang tua tidak membawa anaknya pergi berobat karena takut orang lain mengetahui penyakit anaknya. Berbagai
literatur
menyebutkan
bahwa
stigma
dapat
menyebabkan
keterlambatan penanganan, tertundanya pengobatan dan ketidakteraturan pengobatan. Hal ini yang diperkirakan menjadi alasan adanya korelasi antara stigma dengan tingginya angka morbiditas dan mortalitas penyakit tuberkulosis. Ketidak teraturan 10
dalam dalam berobat bisa menyebabkan Multi Drugs Resistence. Penelitian di Amerika Serikat menunjukan bahwa MDR menyebabkan kematian yang lebih cepat. Sebanyak 70-90 % pasien meninggal hanya dalam waktu empat sampai dengan enam belas minggu. Selain dampaknya terhadap proses pengobatan stigma dapat menyebabkan anak-anak minder. Brakel (2005) menyebutkan bahwa stigma dapat menyebabkan stress
psikologis, depresi, ketakutan, masalah dalam pernikahan, masalah dalam
pekerjaan dan menambah parahnya kondisi penyakit. Pada anak-anak mungkin dampak-dampak tersebut tidak begitu berpengaruh. Namun, orang tua yang melarang anaknya bermain dengan penderita tuberkulosis dapat menyebabkan anak penderita tuberkulosis minder dan merasa tidak punya teman. Beberapa orang tua yang berkunjung ke BBKPM sering tidak mengatakan bahwa anak mereka sakit tuberkulosis karena takut anaknya malu dan dijauhi teman-temannya. Pada penyakit tuberkulosis kekhwatiran mengenai terjadinya penularan penyakit merupakan salah satu faktor yang menimbulkan diskriminasi. Oleh karena itu, para ahli memasukan poin ini sebagai salah satu domain untuk mengukur stigma, baik pada penyakit tuberkulosis maupun pada penyakit menular lainnya seperti AIDS. Begitu besarnya dampak stigma terhadap pasien dan penyakit tuberkulosis menuntut para profesional kesehatan untuk mencari cara bagaimana mereduksi stigma dimasyarakat. Penelitian kuantitatif dilakukan untuk mengetahui faktor yang paling kuat mempengaruhi stigma dan juga untuk menentukan intervensi yang efektif 11
dalam upaya mereduksi stigma. Soma et al (2008) mengemukakan bahwa level stigma merupakan barometer untuk menentukan sejauh mana kesuksesan program yang diberikan dalam membantu pasien dan masyarakat dalam memahami penyakit TB dan bagaimana pelayanan kesehatan yang efektif. Dukungan terhadap orang tua dan anaknya tidak boleh disepelekan. Menurut Courtwright and Turner (2010) pendekatan yang paling tepat dalam upaya untuk mengurangi stigma adalah dari individu itu sendiri agar mampu menahan stigma dari luar dan berusaha memahamkan orang lain tentang penyakit TB itu sendiri. Dukungan yang positif akan membantu orang tua agar mampu memberikan pemahaman yang benar kepada orang lain mengenai penyakit tuberkulosis. Dukungan positif pun akan menumbuhkan konsep diri positif orang tua dan anaknya agar mampu menangkal stigma yang muncul dari masyarakat.
SIMPULAN Stigma rendah mengindikasikan bahwa penyingkapan akan status penyakit bukanlah perkara yang besar bagi responden dan menunjukan harapan yang tinggi agar stigma bisa diubah menjadi support. Domain yang paling tinggi dalam pengukuran stigma tuberkulosis bagi orang tua yang anaknya menderita tuberkulosis di Balai Besar Kesehatan Masyarakat (BBKPM) adalah kekhawatiran akan penularan penyakit sehingga pemahaman yang benar mengenai penyakit tuberkulosis harus menjadi perhatian.
12
Dalam hal ini, yang paling penting adalah upaya bertahan dari yang distigma tersebut agar mampu memberikan pemahaman yang benar mengenai penyakit tuberkulosis kepada orang lain. Domain nilai dan sikap individu turut mendukung domain-doamin yang lainnya. Pengetahuan yang tepat perlu di dukung oleh nilai dan sikap yang positif dari internal individu tersebut.
SARAN Bagi Pelayanan Kesehatan dan BBKPM Bandung 1. Memberikan dukungan dan motivasi agar mampu memiliki mkenisme koping postif terhadap stigma dari masyarakat. 2. TB Clubs bisa menjadi salah satu alternatif dalam upaya memberikan dukungan dan motivasi terhadap orang tua dan anaknya. 3. Petugas kesehatan hendaknya menjadi role model dengan bersikap tidak diskriminatif terhadap anak penderita tuberkulosis dan orang tuanya Bagi Institusi Pendidikan Terus menggali informasi mengenai cara untuk mereduksi stigma dimasyarakat dan dampaknya terhadap penyakit tuberkulosis pada anak. Bagi Penelitian Selanjutnya Bagi penelitian selanjutnya diharapkan mampu melakukan penelitian mengenai faktor-faktor sosiodemografik yang mempengaruhi stigma beserta hubungan masing-masing faktor tersebut dengan stigma. 13
DAFTAR PUSTAKA Brakel, W H V. 2005. Measuring health-related stigma- a literature review. Measuring health-related stigma vs2.doc : 1-27. Available online at http://www.kitpublishers.nl Cramm, J M and Anna P N. 2011. The relationship between (stigmatizing) views and lay public preferences regarding tuberculosis treatment in the Eastern Cape, South Africa. International Journal for Equity in Health : 10 : 2. Available online at http://search.proquest.com Courtwright, A and Abigail N T. 2010. Tuberculosis and stigmatization : pathways and interventions. Public health report : 125 : 34-42. Available online at http://www.publichealthreports.org/ Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008. Available online at http://www.depkes.go.id __________. 2011. TBC masalah kesehatan dunia. Available online at http://depkes.go.id Gerdunas. 2011. Apa itu TBC. Available online at http://www.tbindonesia.or.id Ginting T T, Wibisono S, Kusumadewi I, Damayanti R, Wiyono W H, Susanto M. 2008. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya gangguan jiwa pada penderita tuberkulosis paru dewasa di RS persahabatan, Jakarta. J Respir Indo. 28 : 20-21. Available online at http://isjd.pdii.lipi.go.id Kipp A M, Pungrassami P, Nilmanat K, Sengupta S, Poole C, Strauss R P et al. 2011. Socio-demographic and AIDS-related factors associated with tuberculosis stigma in southern Thailand: a quantitative, cross-sectional study of stigma among patients with TB and healthy community members. BMC Public Health : 11 :675. Available online at http://search.proquest.com Mathew and Takalkar. 2007. Living with tuberculosis: the myths and the stigma from the Indian perspective. CID. 45:1247. Available online at http://cid.oxfordjournals.org Moya, M.M. 2010. Tuberculosis and stigma: impacts on health-seeking behaviors and access in ciudad juárez, méxico, and el paso, texas. Texas : University of Texas. Available online at http://search.proquest.com Permatasari, A. 2005. Pemberantasan penyakit TB paru dan strategi DOTS. Available online at http://library.usu.ac.id Rachmawaty dan Turniani. 2006. Pengaruh dukungan sosial dan pengetahuan tentang penyakit TB terhadap motivasi untuk sembuh penderita tuberkulosis paru yang berobat di puskesmas. Buletin penelitian kesehatan : vol.9 : 134141. Available online at http://jurnal.pdii.lipi.go.id Rofiq, A. 2001. Kejadian putus berobat penderita tuberkulosis paru dengan pendekatan DOTS. Available online at http://digilib.litbang.depkes.go.id Soma D, Thomas B E, Karim F, Kemp J, Arias N, Auer C, et al. 2008. Gender and socio-cultural determinants of TB-related stigma in Bangladesh, India,
14
Malawi, Colombia. Interanational journal tuberculosis lung disease : 12 : 856866. Available online at http://docstore.ingenta.com Stevens P, Schade A, Chalk B, Slevin O. 2006. Pengantar Riset Pendekatan Imiah untuk Profesi Kesehatan. Terj. Widyastuti. Jakarta : EGC UKK Respirologi. 2007. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Jakarta: UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. Van Rie A, Sengupta S, Pungrassami P, Balthip Q, Choonuan S, Kasetjaroen Y et al. 2008. Measuring stigma associated with tuberculosis and HIV⁄AIDS in southern Thailand: exploratory and confirmatory factor analyses of two new scales. Tropical Medical and International Health : 13 : 21-30. Available online at http://www.kit.nl World Health Organization. 2011. Tuberculosis. Available online at http://www.who.int
15