HUBUNGAN PERILAKU MEROKOK DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BBKPM) SURAKARTA
NASKAH PUBLIKASI untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat sarjana kedokteran
Diajukan oleh : Ryan Arvisza Falletehan J500100041
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014
ABSTRAK Ryan Arvisza Falletehan, J 500 1000 41, 2014. Hubungan Perilaku Merokok dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Latar Belakang. Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan penyakit yang menjadi masalah di tingkat dunia termasuk Indonesia. Mengingat tingginya angka kematian yang disebabkan oleh TB paru. merokok meningkatkan resiko 3,1 kali terinfeksi TB paru. Indonesia mempunyai angka perokok yang tinggi. Tujuan Penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan merokok dengan kejadian TB paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Metode. Penelitian ini menggunakan metode observasional dengan pendekatan cross sectional. Diambil 35 penderita TB paru dan 35 non TB paru dengan teknik purposive dan consecutive sampling. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chisquare. Hasil. Pada penderita TB paru ditemukan lebih banyak adalah perokok (25,7%), sedangkan bukan penderita TB paru lebih banyak ditemukan adalah bukan perokok (30,0%). Hasil uji statistik antara perilaku merokok dengan kejadian TB paru dengan Chi square diperoleh nilai p=0,027, yang berarti terdapat hubungan yang bermakna. Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan berupa perbedaan angka pada perilaku merokok dan kejadian kejadian TB paru dilakukan di BBKPM Surakarta dimana angka kejadian TB paru lebih tinggi pada kelompok perokok yaitu (25,7%). Kata kunci. Perilaku Merokok, Tuberkulosis Paru.
ABSTRACT Ryan Arvisza Falletehan, J 500 1000 41, 2014. Smoking Behavior Relationship with Pulmonary Tuberculosis incidence in Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Background. Pulmonary Tuberculosis (pulmonary TB) is a disease that is a problem at the level of the world, including Indonesia. Given the high number of deaths caused by pulmonary tuberculosis. Smoking increases the risk of pulmonary tuberculosis infection 3.1 times. Research Objectives. This study aims to determine the relationship of smoking to the incidence of pulmonary tuberculosis in Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Methods. This study use observational study with cross sectional approach. Taken 35 sample with pulmonary tuberculosis and 35 not pulmonary TB with purposive and consecutive sampling technique. The statistical test used is Chisquare. Results. Patients with pulmonary tuberculosis were found more smokers (25.7%), whereas non-pulmonary TB is more common among non-smokers (30.0%). The results of statistical tests between smoking behavior with the incidence of pulmonary tuberculosis with Chi square, p-value = 0.027, means there is a significant relationship. Conclusion. Based on the research results, it can be concluded there is a relationship. The relationship is difference in the numbers of smoking behavior and pulmonary TB incidence at BBKPM Surakarta where the incidence of pulmonary tuberculosis was higher is smokers (25.7%). Keywords. Smoking behavior, Pulmonary Tuberculosis.
PENDAHULUAN Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan penyakit yang menjadi masalah di tingkat dunia termasuk Indonesia. Dalam laporan Word Health Organization (WHO) tahun 2012 diperkirakan 8,7 juta orang terjangkit TB paru dan 1,4 juta orang meninggal. Dilaporkan terdapat 6.216.513 TB paru kasus baru, dan 2.621.308 merupakan BTA positif. Kasus terbanyak TB paru antara umur 15-44 tahun, didapatkan 734.908 kasus (WHO, 2012). Menurut laporan WHO tahun 2012 Indonesia berada di peringkat keempat dunia setelah India, China, dan Afrika Selatan. Indonesia terdapat 321.308 TB paru kasus baru dengan 197.797 BTA positif. Melihat tingginya angka kematian karena TB paru maka WHO menepakan strategi yaitu Milenium Development Goal (MDG). Dampak dari penerapan MDG Angka kematian turun sampai 41% sejak tahun 1990 (WHO, 2012). Indonesia sebagai salah satu penyumbang kasus TB paru terbanyak juga menerapkan strategi penanggulangan TB paru. Salah satu indikator yang digunakan dalam pengendalian TB adalah Case Detection Rate (CDR), yaitu proporsi jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati terhadap jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Pencapaian CDR di Jawa Tengah tahun 2008 sampai dengan 2012 masih dibawah target yang ditetapkan sebesar 100%. Capaian CDR tahun 2012 sebesar 58,45% lebih rendah dibanding tahun 2011 (59,52%) dan kota Surakarta pada tahun 2012 sebesar 128,17%. (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2012). Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta merupakan salah satu fasilitas pelayanan kesehatan yang berada di Surakarta. Visi dan misi dari BBKPM Surakarta adalah menjadi tempat penelitian maupun pengembangan pemeliharaan kesehatan masyarakat yang khusus di bidang penyakit paru sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Penemuan penderita TB paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta mencapai 3.697 kasus pada tahun 2012. Tingginya angka kematian karena TB paru terdapat hubungan dengan merokok. Data WHO dalam laporan mortality attributable to tobacco tahun 2012 secara global 5% didapatkan kematian akibat penyakit menular dan 14% penyakit tidak menular dikaitkan dengan penggunaan tembakau termasuk merokok. Diperkirakan 70% kematian pada penyakit menular karena tuberkulosis paru ada hubunganya dengan penggunaan tembakau (WHO, 2012). AfrikaSelatan terdapat 50% kematian akibat TB paru telah dikaitkan dengan merokok. Sementara hubungan antara merokok dan TB paru dalam berbagai studi masih kurang jelas sampai sejauh mana merokok meningkatkan resiko infeksi Mycobacterium tuberculosis, resiko perkembangan dari infeksi penyakit, dan resiko kematian di antara pasien tuberkulosis (Boon S.D et al, 2005). Dalam studi pada lebih dari 1,3 juta warga Korea Selatan, perokok lakilaki saat ini memiliki 40% peningkatan resiko terjangkit tuberkulosis paru dibandingkan dengan bukan perokok dan 55% lebih mungkin untuk
meninggal karena TB paru. Mantan perokok, baik pria maupun wanita juga mengalami peningkatan resiko kematian dan kejadian terjangkit TB paru. Perokok juga memiliki resiko yang lebih besar terhadap terjadinya kekambuhan ( Jee S. H et al, 2009). Roya Alavi dan kawan-kawan melakukan penelitian pada tahun 2012 di Iran dengan hasil, dari 253 pasien Tb paru terdapat 104 pasien yang merupakan perokok. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa merokok meningkatkan resiko 3,1 kali terinfeksi TB paru (Roya A.N et al, 2012). Penelitian Barber dan kawan-kawan pada tahun 2008 menyebutkan prevalensi perokok di Indonesia adalah 34%. Data DEPKES tahun 2011 menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat 67,4% laki-laki dan 4,5% perempuan perokok dari populasi (61.4 juta)(DEPKES,2011). Terlepas dari kenyataan bahwa merokok adalah masalah kesehatan utama di Indonesia, rokok adalah penyebab dari 57.000.000 kematian (Barber et al, 2008). Dengan demikian, sesuai data-data yang telah diuraikan tersebut menjadikan latar belakang dan dasar untuk melakukan penelitian tentang hubungan perilaku merokok dengan kejadian TB paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta. Hal itu mengingat tingginya angka kematian dan sebagai langkah pencegahanKematian di Asia Tenggara paling banyak disebabkan oleh penyakit tidak menular salah satunya adalah Diabetes Mellitus (DM). DM dikenali sekitar 1500 tahun sebelum Masehi oleh bangsa Mesir sebagai sebuah keadaan dimana seseorang buang air kecil berlebihan dan mengalami penurunan berat badan. Aretaeus (80-138 SM), seorang ilmuwan Yunani menyatakan bahwa urin orang yang mengidap DM terasa manis, sampai pada 1776 Matthew Dobson mengoreksi bahwa yang terjadi adalah naiknya konsentrasi glukosa pada urin penderita DM.
TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberkulosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007). Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan kejaadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis ekstrapulmoner (Djojodibroto D.R, 2007). 1. Klasifikasi Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis kompleks ini biasanya mempengaruhi paru, meskipun organ lain yang terlibat dalam sepertiga kasus. Bagian tubuh lain yang sering terkena adalah TB kelenjar getah bening, pleura, saluran genitourinari, tulang dan sendi, meninges, peritoneum, dan perikardium (Loscalzo J, 2010). Berdasarkan letak anatomi tuberkulosis dapat dibedakan menjadi 2 yaitu : a. Tuberkulosis Paru adalah tuberkulosis yang mengenai parenkim paru. Pleura tidak termasuk sedangkan TB milier di klasifikasikan sebagai TB paru karena lesinya berada di dalam paru.
b.
Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang mengenai bagian tubuh lain selain paru(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011). Untuk menegakkan diagnosis perlu ditinjau dari gejala klinis pemeriksaan dahak, dan foto toraks. Selain untuk diagnosis gejala klinis, pemeriksaan dahak, dan foto toraks dapat untuk menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan tiga spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS)(DEPKES, 2007). Berdasarkan pemeriksaan dahak dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Tuberkulosis paru disebut BTA (+) apabila minimal satu dari sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan dahak menunjukan hasil positif. Dengan syarat laboratorium harus sesuai dengan Quality external assurance (EQA). Dua kali pemeriksaan dahak baru bisa dinyatakan sebagai BTA(+) apabila laboratorium belum sesuai dengan EQA atau salah satu dari pemeriksaan dinyatakan positif dan didukung dari hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan gambaran TB paru yang sudah ditetapkan oleh klinisi. Satu hasil pemeriksaan dahak positif ditambah dengan hasil kultur positif maka bisa dinyatakan sebagai BTA (+). b. Tuberkulosis paru BTA (-) apabila hasil dari pemeriksaan dahak negatif tetapi hasil kultur positif. BTA (-) dinyataka jika hasil dari pemeriksaan dahak dua kali negatif dan belum ada fasilitas pemeriksaan kultur dengan syarat hasil foto toraks sesuai dengan gambaran TB paru aktif dan mencantumkan hasil pemeriksaan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif atau jika status HIV negatif, tidak diketahui, tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian antibiotik sepektrum luas kecuali antibiotik yang mempunyai efek anti TB seperti fluorokuinolon dan aminoglikosida(PDPDI, 2011). Riwayat pengobatan penting diketahui untuk melihat adanya resiko resistensi obat. Diperlukan pemeriksaan kultur dan uji kepekaan terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jika ada indikasi resistensi. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis seperti : a. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. b. Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. c. Kasus defaulted atau drop out adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturutturut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
Kasus gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan. e. Kasus kronik adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik. f. Kasus Bekas TB adalah dengan ditentukan dari hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap (PDPI,2011). 2. Patogenesis Tuberkulosis Paru ditularkan melalui udara secara langsung dari penderita kepada orang lain. Droplet yang mengandung basil TB dapat melayang di udara hingga kurang lebih satu jam tergantung dari ventilasi ruangan. Droplet tersebut kemudian terhirup masuk ke dalam saluran pernapasan (Djojodibroto D.R, 2007). Menurut PDPI patogenesis berawal dari kuman yang masuk dan proses perjalanan kuman sampai dapat menimbulkan penyakit tuberkulosis dapat di bagi menjadi dua yaitu : a. Tuberkulosis Primer Kuman tuberkulosis masuk melalui saluran napas kemudian bersarang di jaringan paru, sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini bisa timbul di semua bagian pada paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Sarang primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum) atau sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (seperti sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus). Kuman Mycobacterium tuberculosis dapat menyebar dari sarang primer dengan cara 1) perkontinuitatum, yaitu kuman menyebar ke daerah sekitarnya, 2) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan, 3) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, genitalia dan sebagainya. b. Tuberkulosis Postprimer Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 1540 tahun. Bentuk tuberkulosis inilah yang dapat menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya d.
terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. 3. Pemeriksaan Penunjang Penegakan diagnosis TB paru diperlukan pemeriksaan penunjang. Menurut Intenational Standadarts For Tuberculosis Care (ISTC) pemeriksaan yang dilakukan yaitu (Tuberculosis Coalition for Technical Assistance, 2006) : a. Pemeriksaan sputum Semua pasien dewasa, remaja, dan anak-anak yang mampu menghasilkan dahak dan diduga menderita tuberkulosis paru harus melakukan pemeriksaan sputum minimal duakali, dan sebaiknya tigakali, setidaknya satu spesimen pagi harus diperoleh. Interprestasi hasil pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) beerdasarkan rekomendasi WHO, sebagai berikut: 1) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif. 2) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan. 3) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (positif 1). 4) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut + + (positif 2). 5) Ditemukan > 10 BTA dalam palang pandang disebut + + + (positif 3). b. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi memiliki keunggulan sensitivitas yang tinggi tetapi tidak spesifik untuk mendeteksi tuberkulosis. Pemeriksaan radiografi (film atau fluoroskopi ) dari toraks yang ada indikasi untuk dilakukan pemeriksaan mungkin berguna untuk evaluasi lebih lanjut. Namun diagnosis TB tidak dapat berdasarkan radiografi saja. Bahwa penggunaan pemeriksaan radiografi saja untuk mendiagnosis TB bukanlah hal yang rasional. Radiografi toraks berguna untuk mengevaluasi penderita yang memiliki BTA negatif untuk mencoba untuk menemukan bukti untuk tuberkulosis paru dan mengidentifikasi kelainan lain yang mungkin memberikan gejala. Berkenaan dengan tuberkulosis, pemeriksaan radiografi sangat berguna bila diterapkan sebagai bagian dari pendekatan sistematis dalam evaluasi orang yang gejalanya dan atau dalam temuan menunjukkan tuberkulosis , tetapi memiliki BTA negatif. B. Merokok Merokok adalah suatu tindakan yang merugikan bagi perokoknya ataupun lingkungannya terutama dalam kesehatan karena suatu proses pembakaran tembakau yang dapat menghasilkan polusi udara dan diserap oleh tubuh bersama udara pernapasan (Situmeang, 2002). Perokok adalah
orang yang merokok lebih dari 100 sigaret sepanjang hidupnya dan saat ini masih merokok atau telah berhenti merokok kurang dari satu tahun (Kang et al, 2003). Kandungan dalam rokok Dari hasil pembakaran rokok akan timbul asap dan asap itulah yang dihirup. Asap tersebut mengandung gas dan partikel. Gas yang dihirup mengandung senyawa hidrokarbon, nitrogen, karbon monoksida, karbon dioksida, hidrogen sianida,oksigen, amoniak. Kandungan dalam rokok selain gas adalah partikel yaitu tar, nikotin, kadmium, benzopiren, dan fenol (Syahdrajat, 2007). Nikotin dapat mengakibatkan ketagihan dan gangguan pada jantung serta paru-paru (Tirtosastro S et al, 2010). Zat ini juga merupakan zat psikosktif yang dapat meningkatkan aktivitas motorik, menurunkan intelegensi anak yang dikandung oleh ibu yang merokok (Setyohadi, 2006). Nikotin merupakan bahan adiktif yang menimbulkan ketergantungan atau kecanduan (Aditama, 2001). METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian adalah observasional analitik yang dilakukan dengan metode cross sectional. Penelitian dilakukan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta pada bulan Mei hingga Juni 2014. Populasi pada penelitian adalah pasien TB paru dan penghantar atau penunggu yang berada di BBKPM Surakarta. Kelompok kasus adalah penderita TB paru yang terdiagnosis di BBKPM Surakarta sedangkan kelompok kontrol adalah penghatar atau penunggu berada di BBKPM Surakarta yang tidak terdiagnosa TB paru. Teknik pengambilan sampel adalah Purposive dan Consecutive sampling, yaitu teknik pengambilan sampling yang diambil dengan kriteria restriksi dan tidak mengindahkan prinsip-prinsip probabilitas dan pemilihan elemen berdasarkan pada kebijakan peneliti (Dhlan S, 2009). Besar sampel adalah 35 sampel pada setiap pasien diagnosis TB Paru yang memeriksakan diri dan penghatar atau penunggu di BBKPM Surakarta yang tidak terdiagnosis TB paru. Kriteria Restriksi 1. Kritreria Inklusi a. Sampel kasus adalah pasien terdiagnosis TB paru berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan BTA, gambaran radiologi toraks, dan kultur BTA. Kelompok kontrol adalah penghantar atau penunggu berada di BBKPM Surakarta yang tidak terdiagnosa TB paru. b. Pasien berumur >18 tahun untuk kelompok kontrol dan kasus. c. Bersedia mengikuti penelitian, berupa mengisi surat persetujuan, di wawancarai, dan mengisi kuesioner. 2. Kriteria Eksklusi a. Seorang perokok setelah menderita tuberkulosis. b. Seseorang yang hidup dengan 1 atau lebih seorang perokok di lingkungan yang sama, atau disebut perokok pasif (Leung Chi. C et al, 2010). c. Mempunyai riwayat terhadap pajanan industri.
d. Pasien yang menolak melanjutkan penelitian. Definisi Operasional 1. Perokok adalah seseorang yang mempunyai riwayat merokok lebih dari 100 batang sepanjang hidupnya dan masih merokok (Kang et al, 2003). 2. Bukan perokok adalah orang yang selama hidupnya tidak pernah merokok atau merokok kurang dari 100 batang(Kang et al, 2003). 3. mantan perokok adalah Orang dewasa yang telah merokok sedikitnya 100 batang rokok dalam hidup mereka dan telah berhenti merokok lebih dari setahun(US Centers for Disease Control and Prevention, 2010). 4. Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan BTA, radiologi toraks dan pemeriksaan kultur BTA(DEPKES ,2006). 5. Tuberkulosis paru BTA (+) apabila minimal satu dari sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan dahak menunjukan hasil positif. Dengan syarat laboratorium harus sesuai dengan Quality external assurance (EQA). Dua kali pemeriksaan dahak baru bisa dinyatakan sebagai BTA(+) apabila laboratorium belum sesuai dengan EQA atau salah satu dari pemeriksaan dinyatakan positif dan didukung dari hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan gambaran TB paru yang sudah ditetapkan oleh klinisi. Satu hasil pemeriksaan dahak positif ditambah dengan hasil kultur positif maka bisa dinyatakan sebagai BTA (+)(PDPDI, 2011). 6. Tuberkulosis paru BTA (-) apabila hasil dari pemeriksaan dahak negatif tetapi hasil kultur positif. BTA (-) dinyataka jika hasil dari pemeriksaan dahak dua kali negatif dan belum ada fasilitas pemeriksaan kultur dengan syarat hasil foto toraks sesuai dengan gambaran TB paru aktif dan mencantumkan hasil pemeriksaan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif atau jika status HIV negatif, tidak diketahui, tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian antibiotik sepektrum luas kecuali antibiotik yang mempunyai efek anti TB seperti fluorokuinolon dan aminoglikosida(PDPDI, 2011).
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian Penelitian yang dilakukan di Poli TB Paru Balai Besar Masnyarakat Surakarta, pada tanggal 24 Mei – 10 Juni 2014. Didapatkan jumlah responden sebanyak 70 orang, terdiri dari 35 penderita Tuberkulosis paru dan 35 orang yang tidak menderita Tuberkulosis paru. Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Perilaku Merokok Dihubungkan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Status Tuberkulosis Paru Total Perilaku merokok Menderita TB Paru Tidak Menderita TB Paru Perokok 18 11 29 Bukan Perokok 10 21 31 Mantan Perokok 7 3 10 Total 35 35 70 Sumber : Data Primer, Mei – Juni 2014 Dari tabel 1 diperoleh data responden yang seorang perokok sebanyak 29 orang (41,4%), yang merupakan mantan perokok sebanyak 10 orang (14,3%), dan yang merupakan bukan seorang perokok sebanyak 31 orang (44,3%). Pada
subjek penelitian didapatkan seorang perokok yang menderita Tuberkulosis paru sebanyak 18 sedangakan yang tidak menderita Tuberkulosis paru sebanyak 11 orang. Mantan perokok yang menderita Tuberkulosis paru sebanyak 7 orang dan yang tidak menderita Tuberkulosis Paru sebanyak 3 orang. Pada seorang yang bukan merupakan perokok maupun mantan perokok yang menderita Tuberkulosis paru sebanyak 10 orang sedangkan yang tidak menderita Tuberkulosis paru sebanyak 21 orang. Tabel 2. Hubungan perilaku merokok dengan kejadian tuberkulosis paru TB Paru Perokok Bukan Perokok Mantan Perokok Total
N 18 10 7 35
Bukan TB Paru % 25,7 14,3 10,0 50
N 11 21 3 35
% 15,7 30,0 4,3 50
P
0,027
Sumber : Data Primer, Mei – Juni 2014 Berdasarkan Tabel 2 data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan uji Chi square dengan bantuan program analisis SPSS (Statistical Package for Social Sciences). Hasil dari pengolahan data didapatkan nilai p dan p 0,027 yang berarti nilai p <0,05. Dengan demikian dapat disimplkan terdapat hubungan antara perilaku merokok dengan kejadian tuberkulosis paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta. Pembahasan Penelitian Dari tabel 1 dan dapat diketahui responden yang seorang perokok sebanyak 29 orang (41,4%), yang merupakan mantan perokok sebanyak 10 orang (14,3%), dan yang merupakan bukan seorang perokok sebanyak 31 orang (44,3%). Hasil yang didapatkan mempatkan posisi tertinggi pada bukan perokok sedangkan perokok dan mantan perokok hanya menempati posisi kedua dan ketiga. Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lefondre K et al pada tahun 2002 yang mendapatkan hasil 1,3% merupakan bukan perokok, 70,9% perokok, dan 27,9% merupakan mantan perokok terdapat perbedaan dimana bukan perokok merupakan jumlah yang paling rendah. Tetapi terdapat hasil yang sama yaitu tingginya jumlah perokok dibanding mantan perokok. Beberapa sebab yang menjadikan perbedaan adalah jumlah sample yang lebih besar, tempat dilakukan penelitian, dan kultur budaya yang berbeda ( Lofondre K et al, 2002). Dari tabel 2 diperoleh data mengenai hubungan perilaku merokok denga kejadian tuberkulosis, pada perilaku merokok di kalsifikan menjadi tiga jenis yaitu perokok, bukan perokok dan mantan perokok. Pada subjek penelitian didapatkan seorang perokok yang menderita Tuberkulosis paru sebanyak 18 sedangakan yang tidak menderita Tuberkulosis paru sebanyak 11 orang. Mantan perokok yang menderita Tuberkulosis paru sebanyak 7 orang dan yang tidak menderita Tuberkulosis Paru sebanyak 3 orang. Pada seorang yang bukan merupakan perokok maupun mantan perokok yang menderita Tuberkulosis paru sebanyak 10
orang sedangkan yang tidak menderita Tuberkulosis paru sebanyak 21 orang. Data tersebut setelah diuji uji Chi square dengan bantuan program analisis SPSS (Statistical Package for Social Sciences) mendapatkan nilai P 0,027 yang berarti nilai p <0,05 dengan demikian terdapat hubungan antara perilaku merokok dengan kejadian Tuberkulosis paru. Hasil yang dipaparkan diatas hampir mirip dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hsien Ho Lin dan kawan-kawan di Taiwan pada tahun 2009 yang hasilnya menyatakan perokok mempunyai resiko 2,73 lebih terhadap Tuberkulosis paru ( Lin Hsien Ho et al, 2009). Temuan lain yang dilakukan oleh Singh N.P, et al pada tahun 2013 di Kamboja memperkuat bahwa terdapat hubungan antara merokok dengan Tuberkulosis yaitu peningkatan lebih dari 3 kali lipat dalam terinfeksi Tuberkulosis paru di antara orang dewasa yang merokok satu bungkus per hari atau lebih dan mereka yang telah merokok lebih dari 30 pack per tahun. Mekanisme yang menyebabkan antara lain adalah adanya penurunan fungsi mukosiliar, adanya kerusakan epitel dan peradangan, penyempitan kantung udara alveolar, peningkatan jumlah makrofag alveolar beredar. Selain perubahan fisik, penekanan terhadap kekebalan tubuh seorang perokok dapat berkontribusi terhadap infeksi Tuberkulosis paru ( Morrow J.D (1995) cit Singh N. P et al, 2013). Lebih detailnya peran sel-sel imunologis yang berperan adalah sel T dimana paparan rokok menyebabkan sel T terstimuli untuk meproduksi INF-γ yang berhubungan dengan peningkatan bakteri dalam kasus Tuberkulosis paru( Feng Yan et al, 2011).
SIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan berupa perbedaan angka pada perilaku merokok dan kejadian kejadian TB paru dilakukan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta dimana angka kejadian TB paru lebih tinggi pada kelompok perokok yaitu (25,7%). B. Saran Dengan mempertimbangkan hasil penelitian, penulis memberikan saran sebagai berikut : 1. Memberi masukan dengan lebih mengaktifkan konseling berhenti merokok dan memasukkan materi tentang bahaya merokok di konseling TB Paru di BBKPM Surakarta. 2. Lebih menanamkan rasa percaya diri pada penderita tuberkulosis paru dengan penatalaksanaan yang baik dan menghindari rokok penderita tuberkulosis dapat sembuh dan beraktifitas seperti semula. 3. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar dan dengan data yang lebih lengkap mengenai : a. Hubungan perilaku merokok dengan kejadian TB paru BTA positif dan TB paru BTA negatif di BBKPM Surakarta. b. Korelasi perilaku merokok dengan kejadian TB paru di BBKPM Surakarta.
c. Hubungan jenis kelamin dengan kejadian TB paru di BBKPM Surakarta. d. Hubungan usia dengan kejadian TB paru di BBKPM Surakarta DAFTAR PUSTAKA Abebe D. S, et al. 2011. Prevalence of Pulmonary Tuberculosis and Associated Risk Factor in Eastern Ethiopian Prisons. INT J TUBERC LUNG DISC. 15(5) : 671-672 Alsagaff H, Mukty A.H. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press pp. 85-87 Arief M., 2008. Pengantar Metodologi Penelitian Untuk Ilmu Kesehatan. Edisi pertama. Surakarta. UNS press. Pp 62-3 Barber S, et al. 2008. Tobacco Economics in Indonesia. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease. 68 : 1-2 Boon S.D, et al. 2005. Association Berwen Smoking and Tuberculosis Infection: A Population Survey In High Tuberculosis Incidence. Thorax. 60 : 557-559 Departemen Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2012. Profil Kesehatan provinsi Jawa Tengah Tahun 2012.(4 oktober 2013) DEPKES. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan TB.2:4-20 Djojodibroto, D.R 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC pp.151-2 Feng Yan, et al. 2011. Exposure to Cigarette Smoke Inhibits the Pulmonary TCell Response to Influenza Virus and Mycobacterium Tuberculosis. Infection and Immunity. 79 : 235-236 Godoy Pere, et al. 2013. Smoking in Tuberculosis Patien increase The Risk of Infection in Their Contact. INT J TUBERC LUNG DIS. 17(6) : 772-776 Guyton A.C., Hall J.E., 2006. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia, PA, USA:Elsevier Saunders. Jee S.H, et al. 2009. Smoking and Risk of Tuberculosis Incidence, Mortality, and Recurrence in South Korean Men and Woment. Am. J. Epidemiol. 170 : 3-7 Kang M J, et al. 2003. Lung matrix metalloproteinase-9 corelates with cigarette smoking and obstruction of airflow. J Korean Med Sci pp. 821-2. Leffondre K, et al. 2002. Modeling Smoking History: A Comparation of Different Approaches. Am. J. Epidemiol. 156 : 813-820 Leung Chi. C, et al. 2010. Passive Smoking and Tuberculosis. Arc Intern Med. 170(3) : 287-292 Lin Hsien Ho, et al. 2009. Association between Tobacco Smoking and Active Tuberculosis in Taiwan. Am J Respir Crit Care Med. 180 : 476-479 Loscalzo J.2010.Pulmonary and critical care medicine.17. Newyork.Mc Grand Hill Medical pp. 121-2 Munir S.R, et al. 2010. Pengamatan Pasien Tuberkulosis Paru dengan Multidrug Resistant (TB-MDR) di Poliklinik Paru RSUP Persahabatan. J Respir Indo. 30 : 97-98 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2011.Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.2.4-8
Price S.A., Wilson L.M. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta. EGC. PP 784-5 Rao G Vikans, et al. 2011. Selected Risk Factor Associated with Pulmonary Tuberculosis Among Saharia Triber of Mahdya Pradesh, Central India. Eur J Public Health. 22 : 272273 Salim Hamid et al. 2004. Gender different in tuberculosis : a prevalence survey done in Bangladesh. INT J TUBERC LUNG DIS. 8(8) : 955-956 Singh N.P, et al. 2013. Cigarette Smoking and Tuberculosis in Cambodia: Finding From a National Sample. Tobbaco Induced Disease. 11 : 5-6 Situmenang T, et al. 2002. Hubungan Merokok Kretek dengan Kanker Paru. Jurnal Respirologi Indonesia. 22 : 109-116 Swtiyohadi B, 2006. Kesehatan Remaja Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedoteran Indonesia Syahdrajat T. 2007. Merokok dan Masalahnya. Dexa Media. 20: 184-186 Tirtosastro S,. Murdiyanti A.S. 2010. Kandungan Kimia Tembakau dan Rokok. Buletin Tanaman Tembakau, Serat, dan Minyak. 2(1) : 34-36 US Centers for Disease Control and Prevention (2010). Health behaviors of adults : United States, 2005‐2007. Vital and Health Statistics, Series 10, Number 2 45, Appendix II, p. 80 WHO. 2012. Global tuberculosis report.(25 Agustus 2013) WHO.2012. Mortality Atributable to Tobacco. Zumla H, et al. 2013. Tuberkulosis. N. ENGL. J. MED. 368 : 3-5