ISBN : 978-979-548-032-7
Bunga rampai
NILAM
(Pogostemon cablin Benth) STATUS TEKNOLOGI HASIL PENELITIAN NILAM
PENYUNTING Supriadi, Prof. Dr. Molide Rizal, Dr. Dono Wahyuno, Dr.
EDITOR Miftahudin Efiana
BALAI PENELITIAN TANAMAN OBAT DAN AROMATIK PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2011
KATA PENGANTAR Sebagai tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, penghasil devisa dan dibudidayakan oleh petani dalam hamparan yang luas dibanding tanaman penghasil minyak atsiri lainnya. Balittro yang mempunyai tugas dan fungsi pokok untuk melakukan penelitian tanaman obat dan aromatik menempatkan nilam (Pogostemon cablin Benth) sebagai tanaman utama dalam fokus penelitian yang dilakukan. Penelitian mengenai nilam dari berbagai aspek budidaya maupun pasca panen telah dilakukan oleh Balittro sejak awal 1990-an. Sebagai usaha untuk merangkum kegiatan dan informasi terkait teknologi mengenai nilam yang telah diperoleh hingga saat itu, Balittro menerbitkan buku monograf nilam pada tahun 1998 . Seiring dengan pemanfaatan minyak atsiri yang semakin luas, permintaan akan minyak nilam cenderung meningkat. Penelitian mengenai nilam telah dilakukan secara intensif pada beberapa tahun terakhir, meliputi aspek yang cukup luas dari sisi botani, budidaya, jenis-jenis organisme pengganggu tanaman hingga teknologi yang berkaitan dengan pasca panen. Buku yang disusun berupa bunga rampai tentang nilam ini merupakan kumpulan dari berbagai kegiatan penelitian yang telah dilakukan akhir-akhir ini dan diharapkan dapat memberi informasi terbaru terkait dengan budidaya dan pasca panen nilam. Buku yang tidak untuk dikomersialkan ini diharapkan dapat memberi manfaat pada semua pihak yang terkait dengan pengembangan nilam di Indonesia.
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Kepala,
Dr. Nurliani Bermawie
ii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ………………………………………………………………… DAFTAR ISI ………………………………………………………………………… 1
i iii
KARAKTERISTIK TANAMAN NILAM DI INDONESIA (Amalia) …………………………………………………………………..
1
PROSEDUR PERBANYAKAN NILAM SECARA KONVENSIONAL (Sukarman dan Melati) ……..…………..…..
9
3
BUDIDAYA NILAM ORGANIK (M. Djazuli) ……………………
17
4
POLA TANAM NILAM (Rosihan) ……………………………………
27
5
GULMA DAN PENGENDALIANNYA PADA BUDIDAYA TANAMAN NILAM (A.S. Tjokrowardojo dan E. Djauhariya)
40
2
6
7
HAMA NILAM DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA (T.L. Mardiningsih, Rohimatun dan M. Rizal) ……………….......
50
PENYAKIT PENTING PADA TANAMAN NILAM DAN USAHA PENGENDALIANNYA (D. Wahyuno, S.Y. Hartati, S.R. Djiwanti, R. Noveriza dan Sukamto) ……………..............
66
8
PASCA PANEN NILAM (Ma’mun) ……..............................
112
9
PENGGUNAAN MINYAK NILAM DAN PEMANFAATAN LIMBAHNYA (S. Suhirman) ………….................................
132
10
KELAYAKAN USAHATANI DAN AGROINDUSTRI NILAM (Ermiati dan C. Indrawanto) ………………………………
135
iii
KARAKTERISTIK TANAMAN NILAM DI INDONESIA Amalia Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Jln. Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111 I. PENDAHULUAN Nilam
(Pogostemon
cablin Benth) atau dilem wangi (Jawa),
merupakan tanaman yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat luas. Tanaman nilam banyak ditanam untuk diambil minyaknya. Minyak nilam banyak dibutuhkan untuk industri kosmetik, parfum, antiseptik, dan lain-lain. Tanaman yang merupakan salah satu komoditas yang cukup penting sebagai sumber devisa dan pendapatan petani. Areal pertanaman nilam di Indonesia rata-rata 10.000-12.000 ha dan sampai saat ini telah mencapai 21.440 ha yang tersebar di daerah-daerah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dengan rata-rata kepemilikan lahan 0,3 ha/keluarga dan melibatkan paling tidak 30.00072.545 keluarga untuk usahatani nilam dan petani penyuling. Masalah utama yang dihadapi adalah rendahnya produktivitas dan mutu minyak. Berdasarkan data Ditjenbun tahun 2009 (199 kg/ha/tahun) bahwa rendahnya produktivitas dan mutu minyak nilam disebabkan oleh serangan penyakit
tanaman,
terutama
layu
bakteri
dan
budok
yang
dapat
menurunkan kadar produksi 60-95% pertanaman nilam (Asman et al. 1993). Minyak nilam termasuk salah satu dari minyak atsiri atau minyak eteris/minyak terbang (essential oil, volatile) karena sifatnya yang mudah menguap pada suhu kamar. Minyak nilam berbau wangi dan pada umumnya larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam air. Secara fisiologis, minyak pada tanaman penghasil minyak atsiri berfungsi : (1) membantu proses penyerbukan atau sebagai atraktan terhadap beberapa jenis serangga atau hewan, (2) mencegah kerusakan tanaman oleh serangga, dan (3) sebagai makanan cadangan bagi tanaman. Minyak atsiri sendiri
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
1
merupakan salah satu hasil proses metabolisme pada tanaman yang terbentuk karena reaksi berbagai persenyawaan kimia dengan adanya air. Tanaman penghasil minyak atsiri diperkirakan berjumlah 150-200 species, antara lain yang termasuk dalam famili Pinanceae, Labiate, Compositoe, Lauraceae, Myrtaceae, dan Umbelliferaceae. Minyak atsiri dapat ditemukan pada daun, bunga, buah, biji, batang, kulit, dan akar. Untuk tanaman nilam, minyak atsirinya banyak tersimpan di dalam sel-sel kelenjar minyak pada daun. II. JENIS TANAMAN NILAM Nilam (Pogostemon sp.) termasuk famili Labaiatae, ordo Lamiales, klas Angiospermae dan divisi Spermatophyta. Di Indonesia terdapat tiga jenis nilam
yang
dapat
dibedakan
menurut
karakter morfologinya,
kandungan PA dan kualitas minyak serta ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Ketiga jenis nilam tersebut adalah 1). P cablin Benth. Syn.
P. pathcouli Pellet var. Suavis Hook disebut nilam aceh, 2). P. heyneanus Benth disebut nilam jawa, dan 3). P. hortenis Becker disebut nilam sabun (Guenther 1952). Diantara ketiga jenis nilam tersebut, nilam Aceh dan nilam sabun yang tidak berbunga. Adapun yang paling luas daerah penyebarannya dan banyak dibudidayakan adalah nilam aceh yang memiliki kadar minyak dan kualitas minyak lebih tinggi dibandingkan dengan kedua jenis nilam lainnya. Ciri spesifik yang dapat membedakan antara nilam aceh dan nilam jawa secara visual terdapat pada daunnya. Pada nilam aceh permukaan daunnya halus, bergerigi tumpul, ujung daunnya runcing sedangkan pada nilam jawa permukaan daunnya kasar, tepi daun bergerigi runcing dan ujung daunnya meruncing. Menurut Nuryani et al. (1997), nilam jawa lebih toleran terhadap nematoda dan penyakit layu bakteri dibanding dengan nilam aceh, karena antara lain disebabkan kandungan fenol dan ligninnya yang lebih tinggi daripada nilam aceh.
2
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
2.1. Pogostemon cablin Nilam aceh merupakan tanaman introduksi diperkirakan berasal dari Filipina atau semenanjung Malaysia, dan masuk ke Indonesia lebih dari seabad yang lalu. Nama lainnya Pogostemon cablin adalah Pogostemon
metha. Nilam jenis ini jarang berbunga. Nilam aceh mengandung sekitar 2,5-5 % minyak, sehingga banyak diminati oleh petani maupun pasar. Tiga varietas nilam unggul yang sudah dilepas dengan kadar dan mutu minyak tinggi, yaitu Lhokseumawe, Tapak Tuan, dan Sidikalang (Nuryani 2006). Hasil pengujian seleksi ketahanan nilam terhadap layu bakteri (Ralstonia
solanacearum) menunjukkan bahwa varietas Sidikalang lebih toleran terhadap layu bakteri dibanding Lhokseumawe dan Tapak Tuan (Nasrun et
al. 2004). Varietas Sidikalang juga lebih toleran terhadap nematoda (Mustika dan Nuryani 2006). Namun, ketiga varietas nilam itu tidak tahan terhadap penyakit budok (Wahyuno dan Sukamto 2010). 2.2. Pogostemon heyneanus Sering juga dinamakan nilam jawa atau nilam hutan berasal dari India, disebut juga nilam kembang karena dapat berkembang. Kandungan minyaknya lebih rendah 2-3 kali lipat dari nilam aceh, yaitu berkisar antara 0,5-1,5%. Oleh karena itu, nilam jenis ini kurang diminati oleh petani meskipun bentuk tanamannya lebih besar dan rimbun dibanding nilam aceh. Namun, nilam jawa (Girilaya) lebih tahan terhadap penyakit layu bakteri dan nematoda dibanding nilam aceh. Wahyuno dan Sukamto (2010) juga melaporkan bahwa nilam jawa tahan terhadap penyakit budok yang disebabkan oleh jamur Synchytrium pogostemonis. 2.3. Pogostemon hortensis Nilam jenis ini disebut juga sebagai nilam sabun. Jenis ini hanya terdapat di Banten. Kandungan minyaknya juga rendah, berkisar antara 0,5-1,5%. Mutu minyaknya juga kurang baik sehingga kurang diminati oleh pasar.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
3
III. VARIETAS UNGGUL, AGROEKOLOGI DAN KERAGAMAN NILAM 3.1. Varietas unggul. Balittro telah mengoleksi 28 nomor nilam. Hasil seleksi terhadap nomor-nomor tersebut telah dilepas tiga varietas unggul nilam yaitu: Tapak Tuan, Lhokseumawe dan Sidikalang. Penamaan ketiga varietas nilam tersebut berdasarkan nama daerah asalnya. Ketiga varietas mempunyai keunggulan masing-masing. Tapak Tuan unggul dalam produksi dan kadar patchouli alkohol. Lhokseumawe kadar minyaknya tinggi sedangkan Sidikalang toleran terhadap penyakit layu bakteri dan nematoda. Tabel 1. Diskripsi tiga varietas nilam Varietas
Tapak Tuan
Lhokseumawe
Sidikalang
Asal Tinggi tan. (cm) Warna batang muda Warna batang tua Bentuk batang Percabangan Jumlah cab. primer Jumlah cab. sekunder Cabang primer (cm) Cabang sekunder (cm) Bentuk daun Pertulangan daun Warna daun Panjang daun (cm) Lebar daun (cm) Tebal daun (mm) Tangkai daun (cm) Jumlah daun/cabang primer Ujung daun Pangkal daun Tepi daun Bulu daun Terna segar (ton/ha) Minyak (kg/ha) Kadar minyak (%) Patchouli alkohol (%) Ketahanan
Tapak Tuan (NAD) 50,57-82,28 Ungu Hijau keunguan Persegi Lateral 7,30-24,48 18,80-25,70 46,24-65,98 19,80-45,31 Delta, bulat telur Menyirip Hijau 6,47-7,52 5,22-6,39 0,31-0,78 2,67-4,13 35,37-157,84
Lhokseumawe (NAD) 61,07-65,97 Ungu Ungu kehijauan Persegi Lateral 7,00-19,76 11,42-25,72 38,40-63,12 18,96-35,06 Delta, bulat telur Menyirip Hijau 6,23-6,75 5,16-6,36 0,31-0,81 2,66-4,28 48,05-118,62
Sidikalang (Sumut) 70,70-75,69 Ungu Ungu kehijauan Persegi Lateral 8,00-15,64 17,37-20,70 43,01-61,69 25,80-34,15 Delta, bulat telur Menyirip Hijau keunguan 6,30-6,45 4,88-6,26 0,30-4,25 2,71-3,34 58,07-130,43
Runcing Rata, membulat Bergerigi ganda Banyak, lembut 41,51-103,05 234,89-583,26 2,07-3,87 28,69-35,90
Runcing Datar, membulat Bergerigi ganda Banyak, lembut 42,59-64,67 273,49-415,05 2,00-4,14 29,11-34,46
Runcing Rata, membulat Bergerigi ganda Banyak, lembut 31,19-80,37 176,47-464,42 2,23-4,23 30,21-35,20
Meloidogyne incognita Pratylenchus bracyurus Radhopolus similis Ralstonia solanacearum
Sangat rentan Sangat rentan Rentan Rentan
Rentan Agak rentan Rentan Rentan
Agak rentan Agak rentan Agak rentan Toleran
Peneliti
Y. Nuryani, Hobir, C. Syukur dan I. Mustika
Sumber: Nuryani (2005)
4
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Tanaman nilam merupakan jenis tanaman berakar serabut, bentuk daun bervariasi dari bulat hingga lonjong dan batangnya berkayu dengan diameter berkisar antara 10-20 mm. Sistem percabangan banyak dan bertingkat mengelilingi batang antara (3-5 cabang per tingkat). Setelah tanaman berumur 6 bulan, tingginya dapat mencapai 1 meter dengan radius cabang selebar lebih kurang 60 cm. Karakteristik kualitatif yang dapat membedakan ketiga varietas nilam aceh adalah warna pangkal batang. Varietas Tapak Tuan, warna pangkal batangnya hijau dengan sedikit ungu, varietas Lhokseumawe lebih ungu dan varietas Sidikalang paling ungu. Sebagai tanaman yang diambil minyak atsirinya, produksi, kadar dan mutu minyak nilam yang dihasilkan merupakan faktor penting yang dapat dipergunakan untuk menentukan keunggulan suatu varietas. Disamping itu, karakter lainnya seperti sifat ketahanan terhadap penyakit juga merupakan salah satu indikator penentu. Banyak faktor yang mempengaruhi kadar dan mutu minyak nilam, antara lain, genetik (jenis), budidaya, lingkungan, panen dan pasca panen. 3.2. Agroekologi Tanaman nilam termasuk tanaman yang mudah tumbuh seperti herba lainnya. Untuk memperoleh produksi dan mutu yang tinggi, maka dalam budidaya nilam perlu memperhatikan beberapa hal agar usahatani yang dilakukan dapat menghasilkan produk dan mutu minyak nilam yang optimal. Tanaman nilam dapat tumbuh di dataran rendah hingga di dataran tinggi yang mempunyai ketinggian 2.200 meter di atas permukaan laut. Ketinggian optimal agar nilam dapat berproduksi tinggi ada pada ketinggian tempat 10-400 meter di atas permukaan laut. Curah hujan yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman nilam berkisar antara 2.500-3.500 mm/tahun dan merata sepanjang tahun. Suhu udara yang optimal untuk tanaman nilam berkisar antara 240-28 0C dengan kelembaban udara lebih dari 75%. Meskipun tanaman nilam tetap dapat tumbuh di bawah naungan, tetapi tanaman nilam memerlukan sinar matahari yang cukup agar tumbuh
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
5
optimal.
Penggunaan
lahan
dan
iklim
sangat
berpengaruh
pada
pertumbuhan dan kualitas minyak nilam yang dihasilkan. Nilam yang tumbuh di dataran rendah-sedang (0-700 m dpl) dengan kadar minyak yang (>2%) lebih tinggi dibanding dengan yang tumbuh di dataran tinggi
(>700
m dpl) (Rosman et al. 1998). Intensitas matahari 75-100% akan sangat mempengaruhi kadar Patchouli Alkoholnya, di daerah yang ternaungi akan menghasilkan kadar minyak yang rendah. Nilam sangat peka terhadap kekeringan, terutama pada musim kemarau yang sangat panjang, setelah dipanen akan menyebabkan kematian. Tanah yang subur dan gembur serta kaya akan humus sangat diperlukan oleh tanaman nilam. Pada tanah yang kandungan airnya tinggi, perlu dilakukan sistem drainase yang baik dan intensif. 3.3. Keragaman Tanaman nilam yang memiliki keragaman genetik yang relatif rendah merupakan kendala yang dihadapi oleh pemulia selama ini. Untuk mengatasi tanaman nilam yang memiliki keragaman genetik yang relatif rendah, maka sejak tahun 1985 telah dilakukan berbagai penelitian untuk mendapatkan varietas nilam yang mempunyai kadar dan kualitas minyak yang tinggi disamping tahan terhadap penyakit dan selanjutnya dikonservasi untuk dipelajari lebih lanjut (Hobir 2002). Wu et al. (2011) mendapatkan adanya polimorfisme dalam analisa RAPD, serta tingginya variasi morfologi dan kimia pada populasi nilam di China, dan mereka menduga variasi tersebut sangat terkait dengan daya adaptasi yang baik dari masing-masing populasi nilam terhadap kondisi agroekologi setempat. Dalam meningkatkan keragaman, arah karakteristik yang ingin dicapai diusahakan
sesuai
dengan
permasalahan
yang
dihadapi,
misalnya,
pengembangan varietas nilam yang tahan layu bakteri merupakan salah satu upaya yang
efektif
untuk
mengatasi penyakit
layu
bakteri. Untuk
mendapatkan varietas yang toleran dan tahan penyakit layu bakteri perlu
6
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
dilakukan berbagai pendekatan untuk meningkatkan keragaman genetik, antara lain dengan cara irradiasi yang memanfaatkan varietas somaklonal. Induksi variasi somaklonal pada kultur jaringan dapat digunakan untuk meningkatkan keragaman genetik dan memperbaiki sifat tanaman. Variasi somaklonal dapat terjadi dengan penambahan zat pengatur tumbuh dan sitokinin, perubahan komposisi media dan periode pengkulturan yang panjang. Di samping itu keragaman genetik juga dapat ditingkatkan melalui induksi mutasi pada jaringan somatik secara fisik dengan irradiasi sinar gama (Handro 1981). Peristiwa mutasi secara umum dapat dibedakan menjadi 2 yaitu mutasi alam dan mutasi buatan. Mutasi buatan yang di gunakan sebagai salah satu cara menimbulkan keragaman genetik adalah salah satu cara cabang dari ilmu pemuliaan tanaman. Mutasi buatan dapat terjadi bila digunakan mutagen dengan dosis dan waktu tertentu, salah satu mutagen fisik yang sering dipakai untuk menimbulkan keragaman genetik yaitu dengan radiasi sinar gamma. Hal ini dimengerti mengingat bahwa pengaruh radiasi dapat menimbulkan perubahan struktur gen, stuktur kromosom ataupun jumlah kromosom sehingga mengakibatkan peristiwa mutasi yang selanjutnya akan menyebabkan perubahan fenotip. Amalia et
al. (2008) menyatakan bahwa pada kultur in vitro irradiasi sinar gamma dapat menghambat pembentukan kalus dan tunas sehingga menyebabkan kematian sebesar 32,5 dan 51,5 %. Gangguan fisiologi yang diakibatkan pengaruh irradiasi juga terlihat pada diameter kalus (2,62 cm) serta jumlah tunas (14,1) dan tinggi tunas (1,31 cm) pada 2000 rad dibandingkan dengan kontrol (3,34 cm; 28,5; 4,42 cm). Pertumbuhan tunas juga terlihat lebih kerdil dengan warna kalus yang cenderung lebih cokelat dibanding dengan kontrol yang berwarna putih. DAFTAR PUSTAKA Asman, A., Nasrun, A. Nurawan dan D. Sitepu. 1993. Penelitian Penyakit Nilam. Risalah Kongres Nasional XII dan Seminar Ilmiah PFI. Yogyakarta 2, 903-911.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
7
Amalia, E. Hadipoentyanti dan Nursalam. 2008. Pengaruh irradiasi sinar gamma terhadap pertumbuhan kalus dan tunas nilam varietas siikalang secara in vitro. Prosiding Seminar Nasional Pengendalian Terpadu Organisme Pengganggu Tanaman Jahe dan Nilam. Handro, W. 1981. Mutagenesis and in vitro selection. Dalam T. A. Thrope (Ed). Plant Tissue Culture Methods and Application in Agriculture. Acad Press, New York. Halaman berapa Hobir. 2002. Pengujian adaptibilitas klon-klon nilam hasil variasi somaklonal. Lap. Teknis Penelitian. Balittro Cimanggu. Bogor. hal. 1-2. Guenther, E. 1952. The Essential Oil Vol III. D. Van Nostrand, New York. 552-560 pp. Mustika, I. dan Y. Nuryani, 2006. Strategi pengendalian nematoda parasit pada tanaman nilam. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 25:7-15. Nasrun, Y. Nuryani, Hobir dan Repianyo. 2004. Seleksi ketahanan nilam terhadap penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) secara in planta. Journal Stigma 12: 421-473. Nuryani, Y., C. Syukur dan D. Rukmana , 1997. Evaluasi dan dokumentasi klon-klon harapan nilam. Laporan Tahunan (unpublish). Nuryani, 2005. Pelepasan varietas unggul nilam. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan pengembangan Perkebunan. 11 : 1-3. Nuryani, Y. 2006. Budidaya tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth). Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 23 p. Wahyuno, D. dan Sukamto. 2010. Ketahanan Pogostemon cablin dan Pogostemon heyneanus terhadap Synchytrium pogostemonis. J. Penelitian Tan Industri. 16:91-97. Wu, L., Y. Wu, Q. Guo, S. Li, K. Zhou dan J. Zhang. 2011. Comparison of genetic diversity in Pogostemon cablin from China revealed by RAPD, morphological and chemical analysis. J. of Medicinal Plant Research. 5:4549-4569
8
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
PROSEDUR PERBANYAKAN NILAM SECARA KONVENSIONAL Sukarman dan Melati Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Jln. Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111 I. PENDAHULUAN Nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan penghasil minyak atsiri
terpenting,
Berkembangnya
dan
Indonesia
industri
memasok
kosmetik,
parfum,
90% dan
kebutuhan farmasi
dunia. memacu
meningkatnya kebutuhan minyak nilam baik di tingkat domestik maupun internasional, dengan rata-rata 5% setiap tahunnya. Kebutuhan minyak nilam dunia pada tahun 2010 mencapai 1.500 ton. Indonesia memasok 700 ton, China dan India 350 ton, jadi masih kekurangan 450 ton. Seiring dengan meningkatnya permintaan minyak nilam perlu diupayakan sistem produksi berkelanjutan yang dapat menjamin permintaan dan kualitas minyak
nilam
yang
memenuhi
standar
ekspor.
Untuk
mendukung
pengembangan budidaya nilam yang berkelanjutan, diantaranya diperlukan ketersediaan benih unggul bermutu. Benih unggul bermutu harus berasal dari varietas unggul yang diproduksi secara industrial dan telah melalui proses pemeriksaan di lapangan dan di laboratorium serta proses pengawasan sejak benih di pertanaman sampai ke konsumen/petani. Tanaman nilam diperbanyak secara vegetatif dengan menggunakan setek. Setek nilam dapat berasal dari bagian pangkal tengah dan pucuk yang terstandar. Agar benih/setek tersebut dapat tumbuh dengan baik (sehat, cepat dan seragam) benih/setek harus diproduksi dengan cara dan prosedur yang terstandar. Dalam tulisan ini akan diuraikan prosedur perbanyakan nilam secara konvensional, yang dimulai dari pemilihan benih/bahan tanaman dan penyemaian
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
9
II. PEMILIHAN BENIH/BAHAN TANAMAN Untuk meningkatkan dan menjamin produktivitas dan kualitas nilam, benih/bahan tanaman harus dipilih secara benar dan baik, karena benih merupakan salah satu unsur yang sangat menentukan keberhasilan sistem budidaya setelah lahan. Hampir 40% keberhasilan budidaya tanaman ditentukan oleh mutu benih. Benih yang benar adalah benih yang diambil dari kebun induk yang jelas varietasnya. Karakter tanaman pada kebun induk sama dengan deskripsi varietas tersebut, murni tidak tercampur dengan jenis dan varietas lainnya. Baik artinya tanaman di kebun induk tersebut tumbuh dengan baik, sehat tidak terserang OPT dan tidak ada gejala kekurangan unsur hara. 2.1. Standard Mutu Genetik, Fisik, Fisiologis dan Mutu Patologis kebun induk nilam Mutu benih meliputi mutu genetik, fisiologis, fisik dan patologis. Keempat mutu tersebut akan menentukan produksi tanaman. Mutu genetik adalah benih yang mempunyai identitas genetik yang murni dan mantap, dan apabila ditanam mewujudkan kinerja pertanaman yang homogen sesuai dengan yang dideskripsikan pemulianya (Sadjad 1994). Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat telah melepas beberapa varietas unggul nilam yaitu Tapak Tuan, Lhokseumawe dan Sidikalang. Atribut kualitas yang paling penting adalah viabilitas (mutu fisiologis), mutu fisiologis berkaitan dengan daya tumbuh setek nilam di pesemaian. Setek nilam yang bermutu tinggi secara fisiologis akan mempunyai kemampuan untuk hidup >80 %. Klasifikasi mutu benih nilam berdasarkan pada kinerja fisik seperti kebersihan setek (tidak ada daun yang cokelat), kesegaran setek (tidak layu), daun setek sempurna (tidak berlubang, keriput atau menggulung). Mutu patologis berhubungan kesehatan benih, setek nilam yang bermutu tinggi merupakan setek yang bebas dari penyakit layu bakteri (daun dan batang layu), bebas nematoda (daun berwarna cokelat, akar rusak), bebas
10
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
penyakit budok (daun keriput, batang membengkak), bebas hama (daun berlubang, keriput, menggulung) dan tidak kahat hara. 2.2. Standar benih/setek yang digunakan bahan perbanyakan Kebun induk yang memenuhi standar seperti tersebut di atas, selanjutnya dapat dijadikan sumber benih dengan cara memanen seteknya. Berdasarkan hasil penelitian setek dapat diambil dari bagian pangkal, tengah dan pucuk. Tasma dan Darwati (1989) melaporkan bahwa semua bahan setek dapat dimanfaatkan untuk perbanyakan tanaman nilam. Hasil yang sama dilaporkan oleh Sukarman dan Melati (2009) bahwa viabilitas benih/daya tumbuh benih setek nilam tidak berbeda antara benih yang berasal dari bagian pangkal, tengah dan pucuk, walaupun setek pucuk menghasilkan pertumbuhan (tinggi dan jumlah ruas benih/bibit) yang lebih cepat dibandingkan benih yang berasal dari setek bagian pangkal dan tengah (Tabel 1.) Tabel 1. Pengaruh bagian setek dan lama penyimpanan terhadap viabilitas benih nilam. Balittro. Bogor, 2006. Bagian Setek Pucuk Pangkal dan tengah
Daya tumbuh (%) 98,0 ns 97,3 ns
Tinggi benih (cm) 26, 0 a 14, 4 b
Jumlah ruas
Jumlah daun
8,2 a 7,7 b
13,5 ns 14,7 ns
Sumber: Sukarman dan Melati (2009) Angka- angka dalam baris dan kolom yang sama diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata menurut uji berganda Duncan pada tingkat kepercayaan 5%.
Apabila bahan tanaman cukup tersedia dan jarak lokasi pembenihan dengan kebun induk dekat (dapat dijangkau dalam waktu 24 jam), maka lebih baik menggunakan setek pucuk, karena setek pucuk mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan setek pangkal atau setek tengah (Suwandiyati 2009).
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
11
Setek nilam yang dipanen hendaknya dengan kriteria: 1.
Umur tanaman induk ≥6 bulan.
2.
Diameter setek: 0,3-0,5 cm
3.
Ukuran setek: setek panjang:> 30 cm, setek pendek:± 15-20 cm
4.
Fisik setek: segar, sehat, tanpa kahat hara, bebas dari
serangan
hama dan penyakit dan, telah mengayu, tetapi tidak yang sudah tua 5.
Kualifikasi setek dapat berasal dari batang, cabang primer, cabang sekunder.
Gambar 1. Perbenihan nilam. (A) Setek pucuk (kiri), setek batang/cabang (kanan), (B) Persemaian nilam di polibag yang disungkup plastik, dan (C) Benih nilam yang siap ditanam.
12
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
III.
PENYEMAIAN BENIH/SETEK
Penyemaian benih nilam dapat dilakukan di polibag atau bedengan. 3.1. Pesemaian di polibag Untuk mengurangi tingkat kematian benih/setek perlu disemaikan dengan menggunakan kantong polibag. Penyemaian dilakuan dengan cara sebagai berikut: a.
Siapkan rumah atap dari paranet, alang-alang atau jerami (intensitas sinar matahari 50-70%, di bagian timur tinggi 180 cm dan di bagian barat tinggi 150 cm dan panjangnya disesuaikan dengan jumlah benih yang disemai.
b.
Siapkan media pesemaian (campuran tanah subur gembur dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1) tambahkan fungisida dan nematisida masing-masing 2 g/1 kg tanah dan aduk media sampai rata.
c.
Masukkan media tersebut ke dalam polibag ukuran 15 x 10 cm dan diberi lubang pada bagian bawahnya, sebanyak ¾ bagian.
d.
Susun polibag berisi media semai tersebut di bawah rumah atap, kemudian siram sampai basah dan biarkan 4-5 hari kemudian benih/setek baru ditanam.
e.
Sebelum disemai di polibag benih/setek direndam dalam air kelapa 25% selama 15 menit atau dioleskan ZPT perangsang perakaran, kemudian dicelupkan ke dalam fungisida sesuai anjuran.
f.
Tanam benih/setek ke dalam polibag dengan cara membuat lubang semai dan membenamkan
dua buku ke dalam media polibag dan
padatkan tanah di sekitar setek, untuk menjaga kelembaban pesemaian ditutup dengan sungkup plastik (ukuran = lebar 1 m dan tinggi 0,5 m, panjang sesuai kebutuhan), sampai pesemaian berumur 2 minggu.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
13
g.
Lakukan pemupukan serta pengendalian hama dan penyakit satu atau dua minggu sekali dengan pupuk daun, fungisida dan insektisida dengan dosis anjuran.
h.
Setelah persemaian berumur empat minggun diberi perlakuan ”hardening”dengan
membuka
atap
sehingga
benih/pesemaian
mendapat sinar matahari penuh. i.
Pada umur 5-6 minggu benih sudah sudah mempunyai cukup akar, tunas sudah tumbuh dan berdaun sehingga siap dipindahkan ke kebun untuk ditanam. Untuk menjamin mutu, benih di persemaian harus mempunyai
standar sebagai berikut: 1.
Asal Benih Kebun induk (Balittro) atau petani penangkar varietas
2.
Varietas: anjuran Balittro yaitu 3 varietas yang telah dilepas.
3.
Naungan : sungkup plastik, atap, paranet, daun alang-alang, daun kelapa dan sebagainya dengan intensitas cahaya 50-70 %.
4.
Tempat semai yaitu polibag hitam ukuran 10 x 15 cm
5.
Media semai yang digunakan campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan yaitu: 2:1
6.
Umur benih: 1,5 bulan setelah semai (5-7 ruas)
7.
Tinggi benih: 20-25 cm
8.
Jumlah daun: 5-7 lembar
9.
Kesehatan bibit: Bebas OPT, tanpa gejala kekurangan hara.
3.2. Pesemaian di bedengan Apabila dilokasi persemaian tidak tersedia polibag maka pesemaian dapat dilakukan di bedengan, dengan cara sebagai berikut: a.
Pilih lokasi yang datar, dekat sumber air dan tidak tercemar patogen.
b.
Gemburkan lahan/tanah dan bersihkan dari gulma untuk mempermudah pertumbuhan dan perkembangan akar.
c.
Membuat bedeng persemaian dengan ukuran, lebar : 150 cm, tinggi: 30 cm dan panjang : tergantung kebutuhan dan kondisi lahan
14
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
d.
Melakukan pengolahan tanah 3 minggu sebelum penanaman benih.
e.
Membuat parit pembuangan air : lebar 30 cm-40 cm.
f.
Siapkan media persemaian pada bedengan dengan menambahkan pupuk kandang dan pasir dengan perbandingan tanah : pupuk kandang:pasir (2 : 1).
g.
Menambahkan fungisida dan nematisida pada media tanam
h.
Menanam benih setek dengan jarak 10/10 cm dengan posisi miring 60 derajat.
i.
Memberikan naungan dari atap daun kelapa atau alang-alang.
j.
Melakukan penanaman setek pada pagi atau sore hari.
m.
Lakukan pemindahan benih setelah berumur 4-5 minggu (tunas dan akar sudah tumbuh merata) secara hati-hati. IV. PENUTUP Perbanyakan benih nilam secara konvensional dapat dilakukan dengan
menyemai benih/setek ke dalam polibag atau di bedengan. Benih/setek harus diambil dari kebun induk yang benar dan baik artinya kemurnian varietasnya terjamin, tanamannya sehat, tidak terserang OPT dan tidak ada gejala kekurangan unsur hara. Setek yang digunakan untuk benih sebaiknya memenuhi kriteria: umur tanaman ± 6 bulan, setek dapat berasal dari batang, cabang primer, cabang sekunder, diameter 0,3-0,5 cm, ukuran: setek panjang: lebih dari 30 cm, setek pendek ± 15-20 cm, fisik setek segar dan sehat. Benih yang telah disemai dan siap dipindahkan ke lapang harus memenuhi standard sebagai berikut: umur 1-1,5 bulan setelah semai, tinggi 20-25 cm (5-7 ruas), jumlah daun 5-7 lembar, akarnya lebat, sehat, bebas OPT, dan tanpa gejala kekurangan hara.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
15
DAFTAR PUSTAKA Ditjenbun-Balittro. 2008. Standar Prosedure Operasional Budidaya Tanaman Nilam. Direktorat Budidaya Tanaman Semusim Kerjasama dengan Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 41 hal. Ditjenbun-Balittro. 2010. Pedoman Pembangunan Kebun Penangkar Benih Nilam. Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi. Kerjasama dengan Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 24 hal. http://www.agromaret-agronilam.com/jual/1832/manfaat dan khasiat minyak nilam/1/5/2011. Nuryani,Y., Emyzar dan A. Wahyudi, 2007. Teknologi Unggulan Nilam. Perbenihan dan Budidaya Pendukung Varietas Unggul. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.17 hal. Sukarman. 2008. Penyediaan benih nilam sehat. Prosiding Seminar Nasional Pengendalian Terpadu Organisme Penganggu Tanaman Jahe dan Nilam. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Pusat Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor, 4 - November, hal 221-231. Sukarman dan Melati, 2009. Pengaruh bagian setek dan lama penyimpanan terhadap viabilitas dan pertumbuhan nilam (Pogostemon cablin Benth). Prosiding Simposium V. Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 4. Bogor 14- Agustus 2009, hal 468474, Kerjasama P.T. Penerbit IPB Press dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Suwandiyati, N.D. 2009. Pengaruh asal bahan setek dan dosis pupuk kandang terhadap pertumbuhan bibit nilam (Pogostemon cablin Benth). Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) 34 hal.
16
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
BUDIDAYA NILAM ORGANIK Muhamad Djazuli Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Jln. Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111 I. PENDAHULUAN Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan tanaman penghasil minyak atsiri yang penting dalam menghasilkan devisa. Komponen utama dari minyak nilam adalah Alpha Patchoulene, Beta Patchoulene, Alpha Guaiene, Alpha Bulnesene, Caryophyllene, Norpatchoulenol,
Patchouli
Alcohol, Seychellene dan Pogostol. Minyak nilam mempunyai manfaat sebagai
antara
lain:
Antidepresi,
antiflogistik,
antiseptik,
afrodisiak,
astringen, antijerawat, regenerasi sel kulit baru, deodoran, menurunkan berat badan, tekanan darah, kolesterol dan racun dalam darah, penurun demam, dan sebagai insektisida/penolak serangga seperti nyamuk, semut, dan lalat (http://www.organicfacts.net/health-benefit-of-essential-oil.html). Indonesia memasok sekitar 70-90% minyak nilam dunia dengan total ekspor minyak nilam pada tahun 2008 sebesar 2.496 ton dan luas areal mencapai 21.716 ha yang tersebar di 11 propinsi (Biro Statistik 2004). Volume ekspor minyak nilam terus meningkat, dan tahun 2006 mencapai 2.100 ton dengan nilai US $ 27.171 juta (Sukamto et al. 2008). Penambahan luas areal dan produksi nilam yang tinggi tidak sebanding dengan kemampuan penyerapan pasar menyebabkan penurunan dan fluktuasi harga minyak nilam dunia. Di lapang, selain harga yang tidak menentu, terbatasnya produk pupuk kimia bersubsidi di pasar, menyebabkan petani sulit mendapatkan pupuk kimia terutama menjelang musim tanam. Di Indonesia masih ada yang melakukan budidaya nilam secara berpindah. Sistem ladang berpindah yang masih dilakukan petani nilam serta penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang berlebihan telah merusak dan mengganggu kelestarian lingkungan.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
17
Meningkatnya kesadaran masyarakat dunia untuk mendapatkan lingkungan yang lebih sehat dan berkualitas menyebabkan meningkatnya permintaan
produk
pertanian
organik.
Tingginya
permintaan
dan
terbatasnya produksi minyak nilam organik menyebabkan harga minyak nilam
organik
stabil
dan
lebih
tinggi
dibandingkan
minyak
nilam
konvensional. Dengan beralihnya ke sistem budidaya organik, para petani organik tidak perlu lagi bergantung pada pupuk kimia yang terkadang langka dijumpai. Pemerintah
Indonesia juga sudah
mencanangkan
Go Organik
Indonesia 2010 dan telah mengeluarkan SNI 6729:2010 tentang sistem pangan organik yang mengacu pada beberapa badan standardisasi organik yang ada di dunia (BSN 2010). Semakin meningkatnya permintaan minyak nilam yang berasal dari sistem pertanian organik yang ramah lingkungan dan harga yang cukup tinggi, telah mendorong beberapa petani nilam di sentra produksi mencoba untuk melaksanakan budidaya nilam organik. Salah satunya adalah kelompok tani di Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Adanya kelompok tani yang mengembangkan nilam organik diharapkan dapat mendorong petani nilam lainnya untuk mulai mengembangkan sistem pertanian nilam organik. II. KENDALA DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN NILAM ORGANIK Walaupun wacana pertanian organik sudah cukup lama dikenalkan di Indonesia bahkan aturannyapun sudah lama dibuat, namun sosialisasi informasi tentang sistem budidaya organik, harga, dan potensi pasar khususnya bagi petani nilam masih sangat terbatas. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah telah mencanangkan “Go Organik Indonesia” tahun 2010 dengan visi menjadikan Indonesia sebagai salah produsen organik utama dunia termasuk minyak nilam organik. Salah satu tantangan bagi pengembangan nilam organik di Indonesia adalah adanya negara pesaing yang lebih dulu menjadi pemasok minyak
18
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
nilam organik dunia. Walaupun volume ekspor minyak nilam organik masih relatif kecil, namun India telah lebih dulu dikenal sebagai satu-satunya negara penghasil produk minyak nilam organik dunia, sehingga baik langsung maupun tidak India akan menjadi pesaing dalam produksi minyak nilam organik Indonesia. Dalam situsnya salah satu perusahaan produk minyak atsiri MUDAR di India pada tahun 2008 baru memproduksi 1,5 ton minyak nilam, namun pada tahun 2009 telah merencanakan akan terus mengembangkan pertanaman nilam organik di negara bagian Karnataka dan mentargetkan produksi 10 ton minyak nilam organik yang bersertifikat organik. Seperti halnya di Indonesia, India juga telah mencanangkan Go Organik
India pada
tahun
2010
(http://www.mudarindia.net/organic-
patchouli-oil.htm) III. BUDIDAYA NILAM ORGANIK HARUS MENGIKUTI PERSYARATAN POKOK DALAM SNI PANGAN ORGANIK 6729:2010 3.1. Pemilihan lahan Tanaman nilam mampu tumbuh pada hampir semua jenis tanah, namun untuk lahan marginal perlu in put pupuk organik yang cukup tinggi untuk mendapatkan pertumbuhan optimal. Oleh karena itu, sesuai dengan SNI
Sistem
Pangan
Organik
maka
bagi
daerah
yang
tergolong
kesesuaiannya rendah tidak perlu memaksakan untuk ikut mengembangkan pertanaman nilam organik. Proses pelaksanaan budidaya nilam organik bisa langsung pada lahan bukaan hutan seperti yang terjadi di sentra pengembangan nilam di luar Jawa, sedangkan pelaksanaan sistem budidaya nilam organik pada lahan menetap bekas pertanaman nilam atau tanaman non organik lainnya wajib melalui program konversi lahan konvensional minimal 2 tahun (BSN 2010). Untuk menimalkan penggunaan input, maka lahan yang digunakan harus memiliki agroekosistem yang sesuai untuk pertumbuhan optimal tanaman nilam diantaranya adalah lahan yang relatif subur, jumlah curah
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
19
hujan yang cukup tinggi, dan mempunyai elevasi rendah sampai sedang (Rosman et al. 2004). Tanaman nilam relatif peka terhadap cekaman kekeringan, oleh karenanya faktor sumber air yang bebas kontaminasi menjadi sangat penting dalam sistem pertanian organik. Sumber air yang bebas kontaminasi pupuk kimia maupun pestisida kimia merupakan persyaratan mutlak bagi budidaya organik. Oleh karenanya itu, pengembangan nilam organik yang berada di sekitar pertanaman non organik memerlukan persyaratan yang lebih berat dibandingkan budidaya organik pada lahan yang terisolir dan elevasinya lebih tinggi dibanding tanaman konvensional yang ada. Pemanfaatan lahan miring masih diperbolehkan dalam sistem pertanian organik, namun harus menggunakan prinsip konservasi dan meminimalisir erosi dengan menggunakan sistem terasiring atau rorak. 3.2. Penggunaan benih Dalam budidaya organik, petani nilam dilarang mengggunakan benih yang berasal dari hasil rekayasa genetik (GMO). Saat ini, benih nilam yang banyak digunakan oleh petani adalah berasal dari setek batang nilam non GMO dari varietas unggul yang telah dilepas oleh Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro). Sampai saat ini Balittro baru melepas tiga varietas unggul nilam yang berproduktivitas dan bermutu tinggi dengan kandungan Patchouli Alkohol (PA) di atas 30 % antara lain Sidikalang, Tapak Tuan dan Lhokseumawe (Nuryani 2005). Diharapkan tidak lama lagi Balittro juga akan melepas varietas unggul baru yang berdaya hasil tinggi dan toleran terhadap penyakit utama nilam. 3.3. Pemupukan dan pembenah tanah Salah satu sumber hara utama pada budidaya nilam organik adalah pupuk organik baik berupa pupuk kandang maupun kompos. Sesuai SNI 016729-2010 dipersyaratkan bahwa bahan baku pupuk kandang yang berasal dari sapi, kambing atau ayam tidak mendapatkan asupan hormon atau
20
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
antibiotik yang dilarang. Dengan demikian, direkomendasikan untuk menggunakan pupuk kandang yang berasal dari ternak milik petani sendiri atau peternak kecil bukan berasal dari factory farming. Penggunaan kompos yang berasal dari limbah penyulingan minyak nilam sangat dianjurkan. Selain berwawasan lingkungan, kompos yang berasal dari limbah hasil sulingan nilam mengandung hara N yang tinggi dan tidak mengandung senyawa yang bersifat toksik bagi tanaman nilam (Djazuli 2002a). Hasil analisis hara beberapa jenis kompos, terlihat bahwa bahwa kadar N, K, Ca, dan Mg kompos limbah nilam jauh lebih tinggi dibandingkan kompos sampah maupun pupuk kandang sapi (Tabel 1). Dalam program pemupukan organik diperlukan tambahan komponen lain yang dapat meningkatkan kesuburan dan lingkungan tumbuh nilam yang optimal seperti penggunaan pupuk hayati seperti mikoriza, pupuk alam seperti fosfat alam, dan pembenah tanah yang dapat memperbaiki lingkungan fisik dan kimia tanah. Dalam
aplikasi pupuk
organik
perlu
dipertimbangkan
aspek
agroekologi dan sosial ekonominya, terutama ketersediaan bahan baku pupuk organiknya. Tabel 1. Perbandingan status hara kompos hasil limbah penyulingan nilam dengan kompos sampah pasar dan pukan Hara
Kompos limbah nilam *
N (%) P2O5 (%) K2O (%) CaO (%) MgO (%) C-organik C/N
3,59 0,28 1,26 1,70 0,95 35,7 9,94
Kompos sampah pasar (PGN1)**
1,71 0,25 0,87 0,61 0,49 18,9 11,7
Pupuk kandang sapi**
1,64 0,36 0,77 0,21 0,21 31,00 19,35
* Djazuli (2002b) ** Tombe et al. (2001)
Selain pemberaan dan penggunaan pola tumpang gilir, aplikasi kapur dan pupuk organik mampu menekan efek negatif dari senyawa toksik dari proses alelopati, sehingga tanaman akan lebih sehat dan tahan terhadap serangan OPT (Djazuli 2002b).
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
21
Rusaknya lahan akibat penggunaan pupuk dan pestisida kimia jangka panjang terhadap fisik (meningkatnya kekerasan tanah) maupun biologi tanah (menurunnya jumlah dan jenis mikroba tanah yang bermanfaat) menyebabkan respon pemupukan jadi rendah, sehingga pada awal budidaya organik yang hanya mengandalkan pupuk organik menjadi penyebab terjadinya penurunan produktivitas lahan dan tanaman. Dari beberapa hasil kajian di lapangan menunjukkan bahwa dengan sistem budidaya organik jangka panjang akan memperbaiki fisik dan mikroba tanah menyebabkan produktivitas lahan dan tanaman meningkat setara dengan produk konvensional (Ananto 2008) 3.4. Pengendalian OPT Tingginya
serangan
organisme
pengganggu
tanaman
(OPT)
menyebabkan produktivitas nilam menurun dengan tajam. Bahkan sebagian petani nilam di beberapa sentra produksi nilam pada tahun 2007 tidak bisa memanen karena sebagian besar tanaman nilam mati terserang OPT tersebut. Salah satu penyakit yang banyak dijumpai dan spesifik pada pertanaman nilam adalah budok. Walaupun tidak mematikan secara langsung, namun keberadaan penyakit budok yang disebabkan oleh jamur
Synchytrium pogostemonis akan menurunkan produktivitas dan mutu minyak secara nyata. Penyakit lain yang juga banyak dijumpai pada sentra produksi nilam adalah layu bakteri, hawar daun, dan nematoda. Hama utama yang sering menyerang tanaman nilam adalah ulat daun, kumbang daun, belalang, penghisap daun, penghisap batang dan akar serta tungau. Teknologi pengendalian OPT menggunakan bahan baku organik masih relatif sedikit dibandingkan teknik pengendalian yang menggunakan pestisida kimia. Selain penggunaan varietas unggul nilam yang toleran terhadap serangan OPT, beberapa teknologi pengendalian OPT menggunakan pestisida nabati, agensia hayati, dan bahan alam yang dibolehkan dalam SN 6729-2010 telah menunjukkan prospek keberhasilan yang menggembirakan.
22
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Dampak negatif serangan hama pada nilam terlihat jauh ringan dibandingkan
dengan
serangan
penyakit.
Oleh
karenanya,
upaya
pengendalian OPT dengan pestisida organik yang efektif khususnya untuk penyakit sangat diharapkan oleh petani nilam. Salah satu penyebab berfluktuasinya produksi nilam saat ini adalah munculnya serangan penyakit khususnya penyakit budok, layu bakteri, dan nematoda. Sampai saat ini ketersediaan informasi pengendalian OPT secara terpadu untuk sistem pertanian organik masih terbatas. Pengendalian penyakit budok masih relatif susah. Namun demikian sesuai dengan kaidah organik, maka metode eradikasi lahan dan rotasi atau pergiliran tanaman non nilam cukup efektif untuk mengendalikan penyakit budok. Sukamto dan Djazuli (2011) melaporkan bahwa penggunaan 1% bubur bourdeux (100 g terusi + 100 g kapur tohor dalam 1 liter air) efektif mengendalikan penyakit budok yang disebabkan oleh jamur Synchytrium. Hasil penelitian Balittro menunjukkan bahwa aplikasi pupuk organik dan mimba serta inokulasi bakteri endofit TT2, NJ16, MSK,NJ57, dan EH11 berpotensi untuk digunakan dalam pengendalian nematoda Pratylenchus
brachyurus (Mustika dan Nazarudin 1998; Harni 2008). Penyiangan gulma secara mekanis perlu dilakukan secara terus menerus. Selain untuk mengurangi terjadinya kompetisi dalam penyerapan hara dan cahaya, beberapa jenis gulma seperti Ageratum dapat menjadi inang penyakit pada nilam (Sukamto et al. 2008). Untuk pengendalian OPT secara terpadu juga diperlukan aplikasi pemupukan dan pembenah tanah yang tepat akan meningkatkan kesehatan dan ketahanan terhadap serangan OPT. 3.5. Pasca Panen Untuk pengangkutan terna hasil panen, sarana pengangkutan harus bebas dari kontaminasi oleh bahan kimia yang dilarang dan tidak diperkenankan pula menggunakan kemasan atau karung bekas pupuk kimia atau produk lainnya yang dilarang dalam SNI organik.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
23
Apabila menggunakan alat penyulingan minyak nilam digunakan bersama dengan produk non organik, maka perlu upaya pembersihan dan pembilasan alat penyulingan sesuai dengan persyaratan SNI organik. Untuk proses penyulingan direkomendasikan menggunakan alat suling yang terbuat dari stainless steel sehingga diperoleh produk minyak nilam yang memenuhi standar produk minyak nilam SNI 06-2385-2006. 3.6. Sertifikasi Untuk mendapatkan jaminan bahwa produk minyak nilam organik yang dihasilkan selama proses produksi terutama untuk ekspor, maka petani nilam organik harus melakukan sertifikasi organik. Salah satu kegiatan yang harus ada dalam sistem budidaya organik adalah pencatatan pembuatan dokumen sistem mutu yang berisi organisasi, sejarah lahan, SOP budidaya dan rekaman proses produksi
mulai dari
penyediaan bahan tanaman, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemupukan, pengendalian OPT, panen, penyulingan, hingga pemasaran. Selanjutnya petani nilam organik harus melaksanakan budidaya sesuai SOP organik secara konsisten dan berkelanjutan. Untuk menjamin konsumen minyak nilam organik baik di dalam dan luar negeri perlu dilakukan sertifikasi organik yang mengacu pada institusi Lembaga Sertifikasi Organik (LSO) di dalam negeri dan di luar negeri yang telah terakreditasi. Produk minyak nilam yang telah tersertifikasi di LSO dalam negeri berhak diberi logo organik Indonesia sebagai jaminan keorganik bagi konsumen baik di dalam maupun di luar negeri. IV. PEMASARAN Rendahnya biaya produksi dan tingginya nilai jual produk organik yang tersertifikasi menyebabkan pendapatan petani organik meningkat dengan nyata. Adanya permintaan dari beberapa eksportir minyak nilam akan produk minyak nilam organik yang bermutu tinggi dan bersertifikat
24
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
untuk memenuhi permintaan konsumen di negara maju perlu ditindak lanjuti secara nyata. Dengan dicanangkannya program Indonesia Go Organik pada tahun 2010, maka sudah saatnya petani nilam Indonesia mengembangkan nilam organik sekaligus sebagai eksportir utama minyak nilam organik dunia. DAFTAR PUSTAKA Ananto. E. 2008. Fasilitasi dan Bimbingan Inspektor Organik. 2-5 Juni 2008. Bogor. Direktorat Mutu dan Standarisasi, Departemen Pertanian. (unpublished) Biro Statistik. 2004. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Ekspor. Biro Statistik, Jakarta. BSN. 2010. Sistem Pangan Organik. SNI 6729:2010. Badan Standarisasi Nasioanl Jakarta. 32 hal. Djazuli, M. 2002a. Pengaruh aplikasi kompos limbah penyulingan minyak nilam terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth). Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Pertanian Organik. Jakarta, 2-3 Juli 2002. hal. 323-332. Djazuli, M. 2002b. Alelopati pada tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.). Jurnal Ilmiah Pertanian. Gakuryoku. 8: 163-172. Harni,
R. 2008. Pengaruh beberapa isolat bakteri endopit untuk mengendalikan nematoda peluka akar (Pratylenchus brachyurus) pada tanaman nilam. Prosiding Seminar Nasional Pengendalian Terpadu Organisme Pengganggu Tanaman Jahe dan Nilam. Balittro, Bogor Hal. 137-146.
http://www.organicfacts.net/health-benefit-of-essential-oil. html http://www.mudarindia.net/organic-patchouli-oil.htm Mustika, I. dan S.B. Nazarudin 1998. Gangguan nematoda dan cara pengendaliannya. Monograf Nilam. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Hal 89-95 Nuryani, Y. 2005. Pelepasan varietas unggul nilam. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. No. 11 : 1-3.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
25
Rosman, R., Emmyzar dan P. Wahid. 1998. Karakteristik lahan dan iklim untuk perwilayahan pengembangan. Monograf Nilam. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Hal 47-55. Sukamto. M. Djazuli dan D. Wahyuno. 2008. Teknik pengelolaan budidaya pada tanaman nilam. Laporan Teknis TA 2008. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. (unpublish). Sukamto dan M. Djazuli. 2011. Pengendalian penyakit budok pada tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth). Warta Badan Litbang Pertanian. 33: 6-7 Tombe, M., K. Mulya, R. Zaubin. E.R, Pribadi, C. Indrawanto, O. Trisilawati dan A. Ruhnayat. 2001. Uji coba pemanfaatan dan peningkatan mutu kompos produksi pilot plant klender, berikut pemasarannya. Final Report. PT Gas Negara dan Balittro. (unpublish).
26
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
POLA TANAM NILAM Rosihan Rosman Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Jln. Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111 I. PENDAHULUAN Nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang penting dalam menghasilkan devisa negara. Minyaknya bernilai ekonomi tinggi, dapat digunakan sebagai fiksatif dalam industri parfum dan kosmetik. Ekspor nilam pada tahun 2009 mencapai 1079 ton ton dengan nilai 18.609.000 US$ (Ditjenbun 2011). Luas areal penanaman nilam di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 1989 hanya 8.745 hektar dengan produksi 3.312 ton, meningkat menjadi 22.150 hektar dengan produksi 2.546 ton pada tahun 2007 (Anon 2007) dan tahun 2009 adalah 19.963 ha dengan hasil minyaknya 1672 ton (Ditjenbun 2011). Namun perkembangan areal pertanaman nilam, belum diikuti oleh peningkatan produktivitas, mutu serta stabilitas harga. Pada tahun 1989 produktivitas nilam 378,7 kg/ha turun menjadi 114,94 kg/ha pada tahun 2007. Sedangkan mutu Patchouli Alkohol (PA) nya di bawah 31 % dan harga selalu berfluktuasi. Rendahnya produksi sebagian besar nilam Indonesia salah satunya disebabkan oleh penerapan teknologi yang tidak memperhatikan aspek lingkungan. Selain itu pola penanamannya sangat beragam. Studi yang telah dilakukan ke beberapa lokasi penanaman nilam menunjukkan, sebagian penanaman nilam ditanam di lokasi dengan lahan yang kurang sesuai berdasarkan persyaratan tumbuhnya. Selain itu ada lokasi penanaman nilam yang sesuai namun tidak memperhatikan kaidah konservasi lahan sehingga tanah menjadi tidak subur, terutama penanaman di lahan berlereng dengan kemiringan lebih dari 3%. Sistem pola tanam berpindah disertai kondisi lahan kurang sesuai terutama lokasi yang memiliki bulan kering lebih dari dua bulan menyebabkan tanaman hanya mampu dipanen satu kali dalam setahun.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
27
Rendahnya kandungan PA dapat disebabkan oleh banyak faktor, selain pengembangan di lahan yang tidak sesuai, juga dapat dikarenakan teknologi yang digunakan belum menyesuaikan dengan kondisi lahan, terutama kebutuhan cahaya. Adanya fluktuasi harga yang tajam di pasar, perlu diantisipasi dengan teknologi budidaya yang mampu memberikan kekuatan bagi petani untuk bertahan dalam menghadapinya. II. PERKEMBANGAN NILAM DI INDONESIA Nilam merupakan salah satu tanaman perdu yang masuk ke Indonesia melalui Singapura pada tahun 1895 (Burkill 1935) dan ditanam di Cultuurtuin, Cimanggu-Bogor (Heyne
1927). Pada masa penjajahan
Belanda, nilam belum ditanam secara luas di Indonesia dan penelitian yang dilakukan umumnya mengenai teknik penyulingan dan analisis mutu minyak. Penyulingan daun nilam menjadi minyak nilam mulai dilakukan tahun 1920, sehingga tahun 1921 Indonesia mulai mengekpor minyak nilam sebanyak 387 kg ke Singapura dan Malaysia (Heyne 1927). Pada tahun 1960 an Indonesia merupakan negara pengekspor minyak nilam terbesar di dunia yaitu sebesar 245 ton, sedangkan Malaysia 160 ton (Allen 1969). Namun petani membudidayakan nilam masih secara tradisional dengan sistim budidaya berpindah (Dhalimi et al. 1998). Penanaman nilam terus meluas, namun belum memperhatikan aspek ekologi secara baik. Selain itu petani membudidayakan nilam secara tradisional dan masih banyak yang menggunakan sistem berpindah, teknologi yang digunakan juga masih seadanya. Bagian tanaman nilam yang bernilai ekonomi adalah bagian atasnya, sehingga berpotensi menguras unsur hara yang ada dalam tanah akibatnya tanah menjadi miskin hara. Untuk itu teknologi pemupukan diperlukan untuk mengantisipasi agar tanah di lokasi penanaman nilam tetap dalam keadaan subur. Pada tahun 1973, Adiwiganda et al. (1973) telah melakukan penelitian mengenai pemupukan N, P dan K pada tanaman nilam. Begitu juga Tasma dan Wahid (1988). Namun penerapan hasil penelitian ini
28
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
tampaknya masih mengalami kendala di tingkat petani. Penanaman nilam di tingkat petani hingga saat ini masih banyak belum menggunakan pupuk sesuai kebutuhan bahkan ada yang tidak dipupuk sama sekali. Pada era globalisasi petani dituntut mempunyai kemampuan untuk menghasilkan produk yang mampu bersaing. Oleh karenanya, teknologi budidaya
maupun
penanganan
pasca
panen
yang
efisien
dalam
berusahatani sangat diperlukan. Efisiensi akan terjadi apabila teknologi yang digunakan tidak banyak membutuhkan biaya. Selain itu dalam berusahatani nilam juga sering mengalami kendala terutama dalam gejolak turunnya harga,
sehingga
petani
tidak
mau
lagi
menanam
nilam.
Untuk
mengantisipasi hal itu diperlukan komoditas lain yang mampu berdampingan bersama nilam sehingga ketika harga minyak nilam turun, petani tetap mampu memanfaatkan hasil pertanian lainnya dan menyimpan minyak nilam sambil menunggu harga nilam naik kembali. Teknologi pola tanam memiliki berpeluang untuk itu, namun dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan faktor-faktor yang akan mempengaruhi pertumbuhan nilam apabila akan dilakukan pengaturan pola tanam.
III. FAKTOR-FAKTOR UTAMA YANG BERPENGARUH DALAM MENENTUKAN POLA TANAM NILAM Selama pertumbuhannya tanaman nilam dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu faktor tanah, iklim dan jenis tanaman. Tanah yaitu unsur kimia meliputi terutama pH, N, P, dan K. Unsur fisik tanah adalah tekstur tanah, drainase, dan kedalaman air tanah. Sedangkan unsur iklim yang paling menentukan adalah curah hujan, bulan kering, dan intensitas cahaya. Jenis tanaman yang cocok untuk digunakan dalam kegiatan pola tanam adalah tanaman yang mampu bersinergi dengan nilam.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
29
3.1. Tanah Tanah dengan pH 5-7 adalah tanah yang terbaik untuk penananamn nilam, dengan tingkat kandungan unsur hara N, P dan K yang optimal sangat diharapkan. N-total sedang sampai tinggi adalah yang terbaik (berkisar antara 0,21-0,75 %). Kandungan P2O5 sedang sampai tinggi (1025 ppm). K2O (lebih dari 0,3 me/100 g). Untuk daerah-daerah yang memiliki pH rendah dibutuhkan kapur sedangkan N, P dan K rendah diperlukan pupuk yang mengandung N, P dan K. Hasil penelitian Trisilawati et al. (2004) menunjukkan bahwa penggunaan kapur pertanian (kaptan) dan pupuk kandang sapi mampu meningkatkan rendemen minyak dari 3,6% menjadi 4,8%. Pemberian kapur merupakan pula suatu upaya peningkatan kemasaman tanah (pH) yang akan mempengaruhi keseimbangan unsur hara tanah. Selain itu menurut Sufiani dan Hobir (1998) pH yang rendah akan mengakibatkan timbulnya serangan nematoda. Pada sistem pola tanam komoditas yang sesuai dengan kondisi yang dikehendaki tanaman nilam sangat diperlukan. Tanaman yang memiliki daya serap N, P dan K tinggi sebaiknya dianjurkan untuk dilakukan pemupukan sesuai SOP (Standard Operational Procedure) yang telah tersedia. Pada tanaman nilam pemupukan diperlukan apabila kondisi tanah memiliki kandungan hara yang rendah. Pemberian pupuk yang berlebihan akan menjadi
budidaya
nilam
tidak
efisien.
Pupuk
dapat
meningkatkan
pertumbuhan dan hasil tanaman (Adiwiganda et al. 1973). Pupuk di pembibitan dapat diberikan dalam bentuk organik maupun anorganik. Tasma dan Wahid (1988), melaporkan pemupukan 280 kg Urea, 70 kg TSP, dan 140 kg KCl per ha pada tanah Latosol Merah Kecokelatan yang mempunyai
pH
rendah
(4,9)
dan
kandungan
hara
rendah
dapat
meningkatkan produksi terna basah nilam aceh sebesar 64% dan kandungan minyak 77% apabila dibandingkan dengan kontrol. Pemberian pupuk tersebut jika disetarakan dalam bentuk unsur N, P dan K adalah 126 N + 35 P + 70 K kg per hektar.
30
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Selain unsur kimia, hal yang penting untuk diperhatikan adalah unsur fisik tanah. Pada sistem pola tanam tanaman, tanaman yang akan dipola tanamkan dengan nilam sebaiknya menghendaki kondisi fisik tanah yang sama. Tekstur tanah sangat berpengaruh dalam menyerap unsur hara dan meningkatkan sebaran akar nilam. Tanah dengan tekstur liat berpasir, drainase baik dan kedalaman air tanah lebih dari 75 cm sangat baik bagi tanaman nilam. 3.2. Iklim Iklim dengan curah hujan 1.750-3.000 mm/tahun, bulan kering kurang dari 2 bulan, intensitas cahaya 75-100 % adalah yang terbaik. Pada sistim pola tanam sebaiknya kondisi juga cocok untuk tanaman yang akan dipolakan dengan nilam. Namun untuk tanaman yang berupa pohon atau yang mampu menutupi/menaungi tanaman nilam, intensitas cahaya dipertahankan tidak kurang dari 75 %. Menurut Mansur dan Tasma (1987), tanaman nilam respon terhadap naungan, nilam yang ditanam di bawah naungan mempunyai rendemen minyak yang rendah, sebaliknya
untuk
yang ditanam di lahan terbuka, rendemen minyaknya tinggi. Cahaya
berpengaruh
terhadap
tingkat
evapotranspirasi
yaitu
penguapan air baik pada tanah maupun tanaman, sehingga mempengaruhi ketersediaan air dalam tanah. Tingkat pencahayaan yang tinggi disertai adanya bulan kering dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Untuk menekan penguapan pada lahan, penggunaan mulsa merupakan salah satu alternatif konservasi lahan agar tanah tetap subur. Namun pada kondisi curah hujan tinggi sebaiknya menghindari penggunaan mulsa, karena akan berpengaruh terhadap kelembaban tanah. Kelembaban tanah dan air hujan yang berlebihan udara yang lembab dan suhu yang tinggi (26300C) akan merangsang bakteri untuk menyerang nilam (Asman et al. 1990). Hasil penelitian penggunaan mulsa menunjukkan bahwa mulsa alangalang nyata meningkatkan produksi daun dan minyak nilam aceh sebesar 159,6% dan 181,7% dibandingkan kontrol, sedangkan mulsa semak belukar sebesar 286,5% dan 344,1% (Tasma dan Wahid 1988).
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
31
3.3. Jenis tanaman Penelitian pengaruh berbagai jenis tanaman terhadap pertumbuhan dan produksi nilam sangat minim. Nilam dapat dipola tanamkan bersamaan dengan tanaman lainnya. Namun pola penanamannya disesuaikan dengan sifat dan morfologi tanaman. Tanaman yang memiliki sifat rakus akan hara serta akan menjadi inang hama dan penyakit sebaiknya dihindari. Tanaman yang berupa pohon dan kelak akan menanungi nilam diupayakan dipangkas atau dicari tanaman yang masih mampu memberikan intensitas cahaya tidak kurang dari 75 %. Sedangkan untuk tanaman yang tingginya lebih rendah dari nilam atau sama tingginya dengan nilam tidak terlalu bermasalah sejauh ia tidak rakus hara dan tidak merupakan inang penyakit, karena intensitas cahaya yang diterima nilam masih dapat mencapai 75 %, bahkan sampai 100 %. IV. TEKNOLOGI BUDIDAYA POLA TANAM NILAM Untuk mencapai hasil yang diharapkan, teknologi yang diperlukan pada pola tanam nilam sebaiknya berdasar pada persyaratan yang dibutuhkan oleh tanaman nilam. Faktor-faktor yang akan berpengaruh buruk ditekan sekecil mungkin, sehingga pertumbuhan dan produksi nilam akan tetap optimal. Pola tanam nilam dengan tanaman lain agar memiliki daya hasil nilam yang tinggi mulai dari persiapan lahan hingga panen dan pasca panen sebaiknya mengikuti persyaratan tersebut. Ada beberapa sistem pola tanam yaitu pola tumpangsari, berurutan, rotasi dan sistem lorong. 4.1. Pola tumpang sari Tanaman nilam dapat di pola tanam kan dengan tanaman berupa pohon atau berupa perdu setahun atau tahunan. Di Pasaman, Sumatera Barat nilam ditumpangsarikan dengan kacang-kacangan dan atau cabai. Selain itu, nilam juga dapat ditanam dengan akar wangi. Pada prinsipnya nilam dapat ditanam baik sebagai tanaman sela atau tanaman pokok (Gambar 1). Sebagai tanaman pokok, tanaman nilam ditanam sesuai dengan
32
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
jarak tanam berdasarkan SOP monokultur, sedangkan tanaman lainnya sebagai tanaman sela (Gambar 1). Sebaliknya apabila tanaman nilam sebagai tanaman sela, produksinya akan tidak sebanyak sebagai tanaman pokok, karena populasi tanaman nilam yang ditanam menjadi berkurang. Penanaman nilam (sebagai tanaman pokok) dengan sistem ini bisa bersamaan dengan tanaman selanya atau sebaliknya. Apabila tanaman tanaman nilam sebagai tanaman pokok dan tanaman selanya lebih tinggi seperti jagung, maka sebaiknya jagung ditanam terlebih dahulu, terutama untuk wilayah yang memiliki bulan kering. Hal ini dimaksudkan agar ketika menanam nilam, lahan pada kondisi terlindungi, sehingga evapotranspirasi yang terjadi dapat ditekan. Kondisi kering akan menghambat pertumbuhan tanaman nilam (Kurniasari 2010). Hasil penelitian Rosman (2004), bahwa tanaman nilam ketika masih muda sangat membutuhkan naungan dengan intensitas cahaya 50 %. Pada kondisi ini nilam memiliki pertumbuhan lebih baik dari pada terbuka (100 %). Untuk lahan yang memiliki curah hujan merata sepanjang tahun dapat ditentukan waktu tanam untuk setiap komoditas. Pada Gambar 2 diuraikan bahwa tanaman sela dapat ditanam sebulan sebelum panen nilam atau setelah panen nilam seperti jagung. X X X X X X
J J J J J J
X X X X X X
J J J J J J
X X X X X X
J J J J J J
X X X X X X
J J J J J J
X X X X X X
J J J J J J
X X X X X X
JJ JJ JJ JJ JJ JJ
J J J J J J
X X X X X X
JJJXJJJX JJJXJJJX JJJXJJJX JJJXJJJX JJJXJJJX JJJXJJJX
JJJ JJJ JJJ JJJ JJJ JJJ
Gambar 1. Nilam sebagai tanaman pokok (kiri) dan nilam sebagai tanaman sela (kanan) Keterangan: X = Nilam jarak tanan 40 x 60 cm J = Tanaman sela berupa perdu
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
X = Nilam jarak tanan 40 x 120 cm J = Tanaman sela berupa perdu
33
Jan
Feb
Maret
Apr
Mei
Juni
Juli
Agst
Sept
Oktob
Nov
Des
Nilam X
J
J
J
J
Gambar 2. Waktu tanam nilam (di awal musim hujan Oktober) dan tanaman sela setahun
Gambar 3. Pola tanam nilam. (A) nilam sebagai tanaman utama ditanam dengan kacang hijau, (B) dengan jagung sebagai tanaman sela, dan (C) tanaman nilam di antara pohon pala. 4.2. Pola tanam berurutan Pada sistem pola tanam berurutan, tanaman nilam tidak selamanya ditanam melainkan setelah panen lahan diberakan atau ditanami dengan tanaman lainnya. Pada lahan yang diperlakukan dengan sistim rotasi, produksi nilam dan penyulingan akan terhenti apabila tidak ada lahan lain yang menanam nilam. Pada sistem ini, nilam tidak ditanam terus menerus, melainkan
setelah
panen
waktu
tertentu, bila dianggap tidak
lagi
menguntungkan karena kondisi lahan dan iklim yang tidak menguntungkan, maka tanaman diganti dengan tanaman lainnya. Sistem ini memiliki keuntungan karena hama atau penyakit tertentu yang tadinya akan
34
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
berkembang menjadi terputus siklus hidupnya. Selain itu bila yang ditanam sebagai rotasi adalah tanaman penyubur tanah, maka tanah akan menjadi subur kembali. Gambar 4 memperlihatkan urutan saat tanam nilam dengan tanaman lainnya. Nilam dipanen pada menjelang akhir musim hujan yaitu Februari atau awal Maret dan setelah itu ditanam tanaman lain sebagai pengganti. Jan
Feb
Maret
Apr
Nilam
Mei
Juni
Juli
J/Tanaman Sela
Agst
Sept
Okt
Nov
Des
Nilam
Gambar 4. Waktu tanam nilam pada sistim berurutan 4.3. Pola rotasi Pada pola rotasi, tanaman nilam tidak ditanami di satu lahan terus menerus. Setelah digunakan untuk menanam tanaman nilam beberapa kali, jenis tanaman diganti dengan tanaman lain selain nilam. Sistem ini dimungkinkan apabila lahan yang ditanami nilam sudah mengalami penurunan tingkat kesuburan karena lahan memiliki unsur N, P, K, Ca, pH dan C/N rasio yang rendah. Seandainya dipaksakan ditanami nilam akan memerlukan biaya perbaikan lahan yang cukup besar. Oleh karenanya untuk menghindari biaya tinggi dilakukan rotasi dengan menghentikan menanam nilam. Lahan diberakan atau ditanami dengan tanaman lain yang mampu meningkatkan kesuburan lahan. Selanjutnya penanaman nilam dilakukan di lahan lain dalam jangka waktu tertentu baru kembali ke lahan yang telah ditinggalkan tersebut. 4.4. Sistim lorong Pada sistim lorong, tanaman ditanam diantara tanaman lain yang biasanya berupa pohon (Gambar 3C). Pada sistem ini yang perlu diperhatikan adalah intensitas cahaya yang masuk ke tanah. Tanaman nilam yang ditanam tidak sebanyak sistem monokultur. Nilam ditanam di antara
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
35
lorong pepohonan. Hasil pengamatan di lapang penanaman nilam di bawah tegakan berupa pohon seperti jati dan mengkudu menyebabkan daun nilam lebih lebar, tipis dan hijau daripada nilam yang ditanam di lahan terbuka. Namun menurut Anon (1975), pada kondisi terlindung kadar minyaknya lebih rendah dibanding terbuka. Hal ini dibuktikan oleh Supadyo dan Tan (1978) yang menyatakan bahwa kandungan minyak atsiri pada pola tanam monokultur tanpa naungan sebesar 5,1%, sedangkan di sela pohon karet dan kelapa sawit lebih rendah yaitu 4,66 %. V. UPAYA PENGEMBANGAN TANAMAN NILAM BERKELANJUTAN MELALUI POLA TANAM Dalam upaya mendukung pengembangan nilam diperlukan teknologi yang tepat agar pengembangan nilam mampu berkelanjutan. Salah satu upaya yang perlu mendapat perhatian adalah dukungan teknologi yang mampu memperkuat posisi petani dalam menghadapi gejolak harga. Selain itu, teknologi yang dimaksud juga mampu meningkatkan produktivitas lahan. Pengembangan nilam dengan dukungan teknologi pola tanam perlu menjadi bahan pertimbangan. Sistem ini akan membantu memecahkan masalah akibat fluktuasi harga. Pemanfaatan lahan di antara nilam atau nilam sebagai tanaman sela menjadikan usahatani nilam lebih kuat melawan kemungkinan jatuhnya harga minyak nilam. Ketika harga minyak nilam jatuh, hasil dari tanaman lain akan membantu kebutuhan petani dan minyak nilam dapat disimpan sambil menunggu harga yang layak untuk dijual. Untuk
tercapainya
sebaiknya ditekankan
pengembangan
kepada teknologi
nilam
melalui
yang
mampu
pola
tanam,
meningkatkan
produktivitas dan efisiensi yang bertitik tolak pada pendekatan ekologi yang ramah lingkungan. Peta kesesuaian lahan dan iklim untuk nilam yang telah dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk menentukan teknologi yang diperlukan di suatu lokasi, seperti pemupukan, pola tanam dan teknik konservasi lainnya seperti pemulsaan dan drainase.
36
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Meskipun penelitian mengenai tanaman yang layak untuk dipola tanamkan dengan nilam
masih dirasakan kurang, namun petani telah
memulai menanam tanaman nilam dengan tanaman lain, baik secara berurutan maupun bersamaan dengan tanaman nilam (Emmyzar dan Ferry 2004; Soepadyo dan Tan 1978). Teknologi pola tanam yang dilakukan oleh petani tersebut dapat dijadikan acuan untuk menentukan pola tanam yang lebih baik. Penanaman tanaman lain di antara nilam (pola tanam nilam), selain dapat meningkatkan pendapatan petani juga menjaga kelestarian lingkungan (Wahid dan Rosman 1998). VI. PENUTUP Pengembangan nilam sering terkendala oleh fluktuasi harga yang berakibat menurunnya keinginan petani dalam berusahatani nilam. Ketika harga jatuh tanaman dibiarkan tidak terpelihara sehingga tanaman menjadi tidak produktif. Untuk mengantisipasi hal tersebut pola tanam merupakan salah satu kunci yang dapat mempertahankan minat petani untuk tetap memelihara tanamannya. Melalui pola tanam, berarti ada tanaman lain yang ditanam sehingga petani tidak hanya mengandalkan kepada hasil nilam. Minyak nilam yang diperoleh dapat disimpan sambil menunggu harga tinggi siap untuk dijual. Adanya tanaman lain berarti juga secara tidak langsung memelihara tanaman nilam juga. Pola tanam juga dapat meningkatkan atau mempertahankan kesuburan tanah apabila ditanam dengan tanaman penyubur tanah seperti kacang-kacangan atau limbah dari tanaman sela bila dikembalikan ke tanah akan membantu memperbaiki kesuburan tanah. Pola tanam nilam dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu pola tumpang sari, berurutan, rotasi atau sistem lorong. Untuk menghindari gagal panen
sebaiknya
dalam
pola
tanam
perlu
diperhatikan
kesesuaian
persyaratan tumbuh tanamannya. Pola tanam yang digunakan seyogyanya didasarkan juga kepada efisiensi usahatani, mudah dilaksanakan, dan mampu meningkatkan produktivitas tanaman nilam.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
37
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 1975. Pedoman bercocok tanam nilam (Patchouli). Circular No 16. LPTI Bogor. Cetakan ke-2. 8 p. Anonimous. 2007. Statistik perkebunan Indonesia. 2006-2008. Nilam. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. 22 hal. Adiwiganda, Y.T., O. Hutagalung dan P Wibowo. 1973. Percobaan pemupukan nilam pada podsolik cokelat kemerahan. Buletin BPP Medan 4 : 107-116. Burkill, I. H. 1935. A Dictionary of the economic product of the Malay Peninsula. Univ. Press Oxford, Great Bretain, London. Djazuli, M. 2002. Pengaruh aplikasi kompos limbah penyulingan minyak nilam terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.). Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Pertanian Organik. 2-3 Juli 2002. hal 323-332. Djazuli, M. dan O. Trisilawati. 2004. Pemupukan, pemulsaan dan pemanfaatan limbah nilam untuk peningkatan produktivitas nilam. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat. Puslitbangbun : 16: 29-37 Emmyzar dan Y. Ferry. 2004. Pola budidaya untuk peningkatan produktivitas dan mutu minyak nilam (Pogostemon cablin Benth). Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat, Puslitbangbun. 16: 52-61 Heyne, K. 1927. De Nutige Planten Van Nederlanddsch Indie. Departement Van Lanbouw, Nijverheid en Handle, Buitenzorg. Deel II,2c druk, 1329-1333. Kurniasari, A.M, Adisyahputra dan R. Rosman. 2010. Pengaruh kekeringan pada tanah bergaram NaCl terhadap pertumbuhan tanman nilam. Bul. Littro 21: 18-27. Mansur, M. dan I.M. Tasma. 1987. Plasma nutfah tanaman nilam. Edsus Littro Balittro, Bogor. 3:12-16. Mustika, I., R.S. Djiwanti dan R. Harni. 2000. Pengaruh agensia hayati, bahan organik dan pestisida nabati terhadap nematoda pada tanaman nilam. Laporan Penyelesaian DIP Bag. Proyek Penel. Tanaman Rempah dan Obat Tahun 1999/2000. hal. 85 - 92.
38
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Rosman, R., Emmyzar dan P Wahid. 1998. Karakteristik lahan dan iklim untuk pewilayahan pengembangan. Monograf nilam. Balittro. 47-54 Rosman, R., Setyono dan H. Suhaeni. 2004. Pengaruh naungan dan pupuk fosfor terhadap pertumbuhan dan produksi nilam (Pogostemon cablin Banth). Bul Littro. 15 : 43-49. Rosman, R. 2010. Teknologi budidaya nilam berbasis ekologi ramah lingkungan. Makalah disampaikan pada konferensi nasional minyak atsiri 20-21 Oktober 2010, di Bandung Soepadio dan H.T. Tan. 1978. Patchouly a profitable cash crops. World Crops. 20: 48-64. Sufiani, S. dan Hobir. 1998. Teknik Produksi Bibit. Monograf nilam, Balittro: 40-46 Tasma, I. dan P. Wahid, 1988. Pengaruh mulsa dan pemupukan terhadap pertumbuhan dan hasil nilam. Pember. Penelitian Tanaman 15 : 34 41. Trisilawati, O., Hobir dan Emyzar. 2004. Respon dua nomor harapan tanaman nilam terhadap pemupukan. Laporan Teknis Penelitian Balittro. 33-52. Wahid, P. dan R. Rosman. 1998. Pola tanam panili. Monograf panili. No 4. Balittro, Bogor. 63-67.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
39
GULMA DAN PENGENDALIANNYA PADA BUDIDAYA TANAMAN NILAM Agus Sudiman Tjokrowardojo dan Endjo Djauhariya Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Jln. Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111 I. PENDAHULUAN Gulma merupakan tumbuhan yang tumbuh di suatu tempat dalam waktu tertentu tidak dikehendaki oleh manusia. Gulma tidak dikehendaki karena bersaing dengan tanaman yang dibudidayakan dan dibutuhkan biaya pengendalian yang cukup besar yaitu sekitar 25-30% dari biaya produksi (Soerjani et al. 1996).
Persaingan tersebut dalam hal kebutuhan unsur
hara, air, cahaya dan ruang tumbuh sehingga dapat: 1) Menurunkan hasil, 2) Menurunkan kualitas hasil, 3) Menurunkan nilai dan produktivitas tanah, 4)
Meningkatkan
biaya
pengerjaan
tanah,
5)
Meningkatkan
penyiangan, 6) Meningkatkan kebutuhan tenaga kerja, dan 7)
biaya
Menjadi
inang bagi hama dan penyakit. Gulma mampu bersaing efektif selama jangka waktu kira-kira 1/4 1/3
dari
umur
tanaman
semusim
( annual
crops)
sejak
awal
pertumbuhannya. Pada lahan kering gulma tumbuh lebih awal dan populasinya lebih padat dan menang bersaing dengan tanaman yang dibudidayakan, sehingga gulma seringkali menjadi masalah utama setelah faktor air dalam sistem produksi tanaman di lahan kering,
terutama
tanaman semusim (pangan dan sayuran). Pada budidaya tanaman di lahan kering beberapa spesies gulma seperti Imperata cylindrica (alang-alang),
Cynodon
dactylon
(grinting),
Borreria
alata,
Ageratum
conyzoides
(babandotan), Synedrella nodiflora (jontang kuda), Cyperus rotundus (teki berumbi) mempunyai sifat pertumbuhan yang cepat, berkembang biak dengan biji maupun stolon/rimpang, toleran terhadap kekeringan dan mampu menghambat perkecambahan biji maupun pertumbuhan awal tanaman yang dibudidayakan. Dalam kondisi terjadi kekeringan pada bulan
40
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
pertama tanaman dibudidayakan, gulma tersebut mampu tumbuh dengan baik, dan dapat menghambat pertumbuhan tanaman tersebut. Agar dalam usahatani tanaman semusim memberikan hasil optimal, maka gulma harus dikendalikan tepat waktu. Banyak spesies gulma yang tumbuh di lahan kering, sehingga untuk mengenal dan menentukan cara pengendaliannya perlu diketahui sifat-sifat dan biologi gulma terutama cara berkembang biak.
Disamping itu juga
penggolongan yang mencirikan berbagai sifat karakteristiknya.
Assosiasi
jenis gulma tertentu dengan tanaman pokok dan habitat, perannya terhadap tanaman budidaya serta penggolongan yang dikaitkan dengan responnya terhadap cara pengendalian adalah penting sebagai bahan pertimbangan bagi petugas lapang. Inventarisasi jenis-jenis gulma yang dominan di areal budidaya tanaman nilam sangat membantu tindakan untuk pengendalian yang tepat. Disamping itu pengetahuan mengenai gulma bagi para perencana dan petugas
lapang
perlu
ditingkatkan
agar
bisa
menentukan
metode
pengendalian yang tepat. II. KLASIFIKASI GULMA Ada
beberapa
cara
untuk
mengklasifikasikan
gulma
agar
memudahkan dalam upaya pengendalainnya. Klasifikasi berdasarkan atas sifat atau karakter gulma secara umum. 2.1. Klasifikasi berdasarkan daur hidupnya atau umur: 2.1.1. Gulma semusim (annual weed). Gulma ini berkembang biak secara generatif melalui biji, hanya dapat hidup selama satu daur yang biasanya kurang dari satu tahun, contoh Ageratum conyzoides (babandotan) 2.1.2. Gulma tahunan (perenial weed). Gulma tahunan berkembang biak secara generatif melalui biji, dan secara vegetatif elalui rimpang, stolon dan setek batang.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
41
Gulma ini hidup lebih dari satu tahun atau hidup sepanjang tahun dan berbuah berulangkali. Untuk gulma yang membentuk rimpang atau umbi dapat hidup sepanjang tahun, contoh
Imperata cylindrica (alang-alang) 2.2. Klasifikasi berdasarkan habitat: 2.2.1. Gulma fakultatif, tumbuh di habitat yang belum ada campur tangan manusia. Gulma ini tumbuh pada lahan yang belum dikelola untuk budidaya tanaman, seperti padang alang-alang. 2.2.2. Gulma obligat, tumbuh di habitat yang sudah ada campur tangan manusia. Gulma ini biasanya tumbuh menyertai tanaman budidaya, seperti sawah, ladang dan perkebunan. 2.3. Klasifikasi berdasarkan kerugian yang ditimbulkan: 2.3.1. Gulma lunak (soft weed). Gulma lunak yaitu jenis gulma yang tidak begitu berbahaya bagi tanaman yang dibudidayakan, namun dalam keadaan populasi tinggi harus dikendalikan, contoh Ageratum conyzoides 2.3.2. Gulma keras atau gulma berbahaya (noxius weed). Gulma berbahaya adalah jenis gulma yang berpotensi allelopati, contoh (I. cylindrica), Mikania micrantha (sembung rambat),
Chromolaena odorata (kirinyuh), Cyperus rotundus (teki berumbi). 2.4. Klasifikasi berdasarkan kesamaan relatif dalam sifat bersaing dan responnya terhadap herbisida: 2.4.1. Gulma golongan rumput (grasses). Gulma golongan rumput sebagian besar termasuk dalam famili Gramineae atau Poaceae, dengan ciri-ciri umum adalah: Berbatang
bulat
memanjang,
dengan
ruas-ruas
batang
berongga atau padat. Daun berbentuk pita, bertulang daun sejajar, lidah-lidah daun berbulu, permukaan daun ada yang
42
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
berbulu kasar atau halus. Buah berbentuk butiran tersusun dalam
bentuk
malai.
Berakar
serabut,
berstolon
atau
membentuk rimpang, contoh I. cylindrica, Digitaria ciliaris,
Eleusine indica 2.4.2. Gulma golongan berdaun lebar (broad leaved). Gulma golongan berdaun lebar sebagian besar temasuk tumbuhan berkeping dua (Dicotyledoneae) dari berbagai famili. Ciri-ciri umum: Batang tubuh tegak dengan percabangannya, ada pula yang tumbuh merambat. Daun tunggal maupun majemuk, helaian daun bulat/bulat telur Bertulang daun melengkung atau menjari dan tepi daun rata, bergerigi atau bergelombang. Duduk
daun berhadapan atau berselang-
seling. Bunga tunggal atau majemuk tersusun dalam suatu karangan bunga. Contoh Borreria alata, Ageratum conyzoides,
Synedrella nodiflora 2.4.3. Gulma golongan teki (sedges). Famili Cyperaceae mempunyai ciri-ciri umum: Daun berbentuk pipih atau berlekuk segi tiga, memanjang yang tumbuh langsung dari pangkal batang. Permukaan daun biasanya licin tidak berbulu atau ada yang berbulu agak kasar, tangkai bunga berbentuk seperti lidi, muncul dari tengah-tengah pangkal batang dan ujungnya tersusun karangan bunga. Perakaran biasanya membentuk stolon dan bercabang dimana setiap cabang membentuk umbi, contoh Cyperus rotundus dan
Cyperus kyllingia 2.4.4. Gulma golongan pakis-pakisan (fern) contoh Cyclosorus aridus (pakis kadal)
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
43
III. CARA PENGENDALIAN GULMA 3.1. Manual/Mekanis, menggunakan alat seperti kored atau cangkul. Pengendalian mekanis merupakan cara yang paling tua dan masih dilakukan hingga sekarang, dan dianggap cara yang terbaik karena bisa dilakukan dengan cermat dan bersih. Disamping itu menggemburkan tanah di sekitar tanaman budidaya. Keuntungan dengan cara mekanis antara lain gulma yang masih muda dapat terbenam, dan gulma tua mengalami penghancuran dan terbenam ke dalam tanah. Kelemahannya antara lain: 1). diperlukan penyiangan ulang interval waktu 2-3 minggu, 2) perakaran tanaman nilam sering mengalami kerusakan terutama apabila dilakukan secara ceroboh (borongan), 3) sekali penyiangan memerlukan waktu lama sekitar 40-50 hari orang kerja (HOK) 3.2. Cara kimia menggunakan herbisida. Untuk budidaya tanaman nilam skala luas dimana penyiangan mekanis maupun cara lain sudah tidak memberikan keuntungan, maka herbisida merupakan alternatif/pilihan untuk mengendalikan gulma. Dengan memakai herbisida, akan diperoleh beberapa keuntungan yaitu: 1) jenisjenis gulma yang peka dapat diberantas sampai habis, 2) tenaga kerja dapat dikurangi, dan 3) efisiensi waktu. Beberapa jenis herbisida yang dapat dipergunakan pada tanaman nilam tercantum dalam Tabel 1. Tabel 1. Herbisida yang dapat dipergunakan pada tanaman nilam Herbisida
Dosis kg/ha ba
Waktu aplikasi (HST)
Gulma sasaran golongan
1. Alachlor
1.0 – 1.5
Pratumbuh (1 – 4)
R
2. Thiobencarb/prometryne
1.0 – 1.5
Pratumbuh (1 – 4)
R, BL, T
3. Oxyfkuorfen
1.5 – 2.0
Pratumbuh (1 – 4)
R, BL, T
4. Diuron
1.0 - 1.5
Pratumbuh (1 – 4)
R, BL, T
5. Glifosat*
1.0 – 1.5
21 – 30**
R, BL, T
6. Paraquat*
0.75 – 1.25
21 – 30**
R, BL, T
*
Biasa digunakan untuk penyiapan lahan tanpa olah tanah dengan dosis 4 – 6 l/ha atau pembukaan lahan (land clearing) ** Menggunakan sungkup agar tidak mengenai daun tanaman nilam apabila digunakan untuk menyiang.
44
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
3.3. Yang perlu diperhatikan saat menggunakan herbisida 1.
Jenis herbisida, berkerja secara kontak atau sistemik
2.
Sifat herbisida selektif atau non selektif
3.
Waktu aplikasi herbsida: pra tanam, pra tumbuh atau pasca tumbuh
4.
Cara aplikasi herbisida, tergantung dari formulasi herbisida. Formulasi butiran diberikan dengan ditabur merata ke seluruh permukaan tanah dengan menambahkan serbuk tanah atau pasir sebagai pembawa dengan perbandingan 1:1. Sedangkan herbisida berbentuk tepung atau cairan dilarutkan dalam air dan diaplikasikan dengan menggunakan sprayer. IV. SPESIES GULMA PENTING DI LAHAN KERING
4.1. Ageratum conyzoides babandotan
(Asteraceae),
dikenal
dengan
Batang bulat, tegak, hingga 90 cm, berbulu, bercabang, berumur semusim. Ruas batang dan bagian yang berbulu. Daun berhadapan, bulat telur, segi tiga hingga bulat telur atau belah ketupat hingga bulat telur, ujung lancip, tepi daun bergerigi. Bunga berbentuk bongkol, mengelompok berwarna putih sampai keunguan (Gambar 1A). Berkembang biak dengan biji. Tumbuh di tempat terbuka atau agak terlindung 4.2. Synedrella nodiflora (Asteraceae) Batang tegak,menggarpu ganda, hingga 90 cm, berumur semusim. Daun berhadapan, jorong atau bulat telur, tepinya bergelombang bergerigi, kedua permukaan berbulu halus (Gambar 1B). Bunga berwarna kuning. Berkembang biak dengan biji. Tumbuh di tempat terbuka atau terlindung hingga 1.200 m dpl. 4.3. Borreria alata (Rubiaceae) Batang segi empat bersayap, menjalar atau tegak, hingga 75 cm, bercabang mulai dari pangkal, berumur semusim. Daun berhadapan, jorong
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
45
hingga bulat telur, tepi rata, permukaan licin, seringkali berwarna hijau\kekuningan. Bunga mengelompok di ketiak daun, berwarna ungu mudaberbentuk kapsul dengan 2 butir bij (Gambar 1C). Berkembang biak dengan biji dan ruas batang yang keluar akar. Tumbuh di tempat terbuka atau agak terlindung hingga 1.700 m dpl.
Gambar 1.
46
Gulma pada pertanaman nilam. (A) Ageratum conyzoides (babandotan), (B) Synedrella nodiflora (glentangan), (C) Borreria allata (Goletak=kentangan), (D) Borreria laevis (katumpang lemah), (E) Axonopus compressus (rumput pait), (F) Cynodon dactylon (Rumput grinting), (G) Digitaria ciliaris (gejoran), (H) Eleusine indica (rumput belulang), (I) Cyperus rotundus (Teki berumbi), dan (J) Cyperus kyllingia (Teki udelan).
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
4.4. Borreria laevis (Rubiaceae) Batang tegak hingga 50 cm, bersegi empat berbulu pendek, berwarna hijau sampai kekuningan berumur semusim. Daun berhadapan, bulat panjang berbentuk lanset, ujung lancip, tepi kasar berwarna keunguan, permukaan licin. Bunga mengelomok di ketiak daun, berwarna putih keunguan (Gambar 1D). Berkembang biak dengan biji. Tumbuh di tempat terbuka atau agak terlindung hingga 1.100 m dpl. 4.5
Axonopus compressus (Poaceae) Tumbuh menjalar dan menanjak hinga 50 cm. Batang berbuku, padat,
tiap buku berakar, berumur tahunan. Daun berbentuk lanset, tepinya berbulu halus, permukaan atas berbulu jarang, permukaan bawah gundul, lidah daun pendek, berbulu pendek (Gambar 1E). Bunga berbentuk malai, mirip bulir, bercabang dua hingga banyak, anak bulir jorong. Berkembang biak dengan biji dan setek batang. Tumbuh di tempat terbuka/agak terlindung hingga 1.400 m dpl. 4.6. Cynodon dactylon (Poaceae) Batang tumbuh menjalar membentuk rimpang, buluh yang berbunga tegak atau menanjak hingga 40 cm, buluh samping panjang, yang tua berongga, berumur tahunan. Ruas buluh berseling antara yang panjang dan yang pendek, daun dalam dua baris. Bunga berbentuk bulir ganda terdiri dari dua sampai beberapa cabang, anak bulir berwarna putih lembayung (Gambar 1F). Berkembang biak dengan biji dan setek batang. Tumbuh di tempat terbuka/terlindung hingga 1.650 m dpl 4.7. Digitaria ciliaris (Poaceae) Batang menjalar kemudian menanjak hingga 60 cm, berumur semusim. Daun bebentuk pita, lunak, berambut pada permukaannya, lidah daun rata (Gambar 1G). Bunga berbentuk bulir majemuk menjari. Anak bulir berpasangan dua-dua, berbentuk lanset. Berkembang biak dengan biji, dapat juga dari potongan buluh (ruas batang). Tumbuh di tempat terbuka hingga 900 m dpl.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
47
4.8. Eleusine indica (Poaceae) Rumput berumpun, tegak atau menanjak hingga 50 cm, pangkalnya membentuk roset, Berumur semusim atau tahunan namun tidak berumur panjang. Daun berbentuk pita, lidah daun berbulu halus (Gambar 1H). Bunga berbentuk bulir terdiri dari 2 hingga 12 cabang tersusun secara menjari. Berkembang biak dengan biji dan tumbuh di mana-mana hinggá 2.000 m dpl. 4.9. Cyperus rotundus (Cyperaceae) Batang tumbuh berumpun, tegak hingga 50 cm, berumbi batang, banyak membentuk rangkaian umbi dengan stolon, tiap umbi mempunyai beberapa mata tunas, berumur tahunan. Daun berbentuk pita bersegi tiga, permukaan licin, mengelompok dekat pangkal batang. Bunga bulir tunggal atau majemuk, mengelompok atau membuka, berwarna cokelat (Gambar 1I). Berkembang biak dengan umbi dan biji. Tumbuh di tempat terbuka atau agak terlindung hingga 1.000 m dpl. 4.10. Cyperus kyllingia (Cyperaceae) Teki-tekian tumbuh tegak hingga 55 cm, berimpang, tidak berumbi, berumur tahunan. Daun berbentuk pita bersegi tiga permukaan licin dan kaku, pada pangkalnya berwarna kemerahan. Bunga berbentuk bongkol, terdapat di ujung tangkai bunga, berwarna putih (Gambar 1J). Berkembang biak dengan biji. Tumbuh di tempat terbuka atau agak terlindung hingga 1.300 m dpl. V. PENUTUP Gulma pada lahan kering seringkali menjadi masalah utama setelah faktor air dalam sistem produksi tanaman terutama tanaman semusim termasuk nilam. Umumnya gulma tumbuh lebih awal daripada tanaman nilam dan populasinya lebih padat sehingga menang bersaing dalam hal kebutuhan
48
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
unsur hara, dan ruang tumbuh sehingga akan dapat menekan pertumbuhan tanaman nilam apabila tidak dikendalikan tepat waktu. Hal demikian ini akan dapat
menurunkan
produksi terna.
Oleh
karena
itu, gulma harus
dikendalikan dengan baik dan tepat waktu. Untuk mengendalikan gulma pada tanaman nilam secara tepat menggunakan herbisida perlu mengetahui sifat dan karakter spesies gulma. Disamping itu juga harus memperhatikan jenis bahan aktif, formulasi dan mekanisme aksi herbisida yang digunakan. Tidak kalah penting adalah cara aplikasi harus sesuai dengan perhitungan dosis anjuran dan menggunakan sprayer dengan T-jet nozle (nosel tipe kipas) berbeda dengan nozle yang biasa digunakan untuk aplikasi insektisida maupun fungisida. DAFTAR PUSTAKA Ampong-Nyarka, Kwesi and SK. De Dtta. 1991. A hand book for weed control in rice IRRI. Manila Phillippine Direktorat Jendral Perkebunan. 1995. Pedoman Pengenalan Berbagai Jenis Gulma Penting Pada Tanaman Perkebunan. N0.05.16.08.10.85 Hasanuddin, A. Anhar dan Nurhayati. 2000. Kajian hasil dan stadia perkembangan tanaman jagung: Densitas tanaman dan tekanan gulma. Agrista. 4: 181-189 Lamid, Z. dan R.E. Soenarjo. 2001. Weed flora and upland rice management practices in Indonesia. p.73-84. In upland rice: Current Status and Future Direction, AARD-IRRI Collaboration Research. Bogor. Mahmud, M. 2005. Gulma dan karakter ekofisiologi pada berbagai sistem penggunaan lahan di tanaman nasional Lore Lindu. Disertasi S.3 Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor. Sastroutomo, S.S. 1990. Ekologi Gulma. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Soerjani, M., M. Soendaru dan C. Anwar. 1996. Present Status of Weed Problems and Their Control in Indonesia. Biotrop. Special Publication. No.24.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
49
HAMA NILAM DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA Tri Lestari Mardiningsih, Rohimatun, dan Molide Rizal Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Jln. Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111 I. PENDAHULUAN Salah satu kendala dalam budidaya tanaman nilam ialah serangan hama. Serangan berat oleh hama dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan tanaman dan menurunkan produksi. Serangga-serangga yang menyerang tanaman nilam ialah kutudaun Aphis gossypii (Hemiptera: Aphidoidea:
Aphididae),
(Lepidoptera:
Pyralidae),
ulat
pemakan
belalang
daun
sub-famili
(Orthoptera:
Pyraustinae
Acrididae),
kumbang
pemakan daun Longitarsus sp. (Coleoptera: Chrysomelidae), Drepanococcus
chiton (Hemiptera: Coccoidea: Coccidae), ulat pemakan daun (Lepidoptera), Planococcus minor (Hemiptera: Pseudococcidae), Margarodidae (Hemiptera), wereng
daun
(Hemiptera:
Cicadellidae),
kumbang
Curculionidae
(Coleoptera) dan Cyclopelta obscura (Hemiptera: Dinidoridae). (Mardiningsih
et al. 2010a). Selain itu juga ditemukan ulat penggulung daun sub-famili Pyraustinae (Lepidoptera: Pyralidae) (Rohimatun, komunikasi pribadi). Hama yang menyerang batang dan akar juga ditemukan yaitu rayap (Dra. Endang Hadipoentyanti, komunikasi pribadi). Tulisan ini memaparkan jenisjenis hama yang sering ditemukan menyerang tanaman nilam dan strategi pengendaliannya. II. HAMA UTAMA YANG MENYERANG TANAMAN NILAM 2.1. Hama Daun 2.1.1. Aphis gossypii (Hemiptera: Aphidoidea: Aphididae) a.
Ciri morfologi Kutudaun ini mempunyai ciri-ciri: kauda berbentuk lidah, lebih
panjang daripada lebar pangkalnya, pucat, lebih pucat daripada sifunkuli.
50
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Kauda dengan 5–6 rambut. Tidak ada mekanisme stridulatori. Sifunkuli berimbrikasi, gelap merata, biasanya lebih gelap daripada warna tubuh secara umum. Sifunkuli lebih panjang daripada kauda. Spirakel kecil dan berbentuk seperti ginjal. Tuberkel antena tidak berkembang. Proses terminal 2–3,1 kali lebih panjang daripada pangkal ruas antena terakhir. Tuberkel lateral ada paling tidak pada ruas abdomen 1 dan 7. Rambut-rambut pada femur belakang lebih pendek daripada diameter pangkal femur (Blackman dan Eastop 2000). Serangga hidup berwarna kuning, hijau, atau hijau kekuningan (Gambar 1a). Imago bersayap dan tidak bersayap. Selain merupakan hama,
A. gossypii juga merupakan vektor penyakit virus yang dapat menularkan lebih dari 50 virus tanaman (Blackman dan Eastop 2000). A. gossypii juga ditemukan pada tanaman nilam yang menunjukkan gejala virus mosaik (Mardiningsih dan Deciyanto 1999a). Kutudaun ini merupakan hama utama di pembibitan rumah kaca. Bibit nilam yang tidak dilindungi dengan penyemprotan insektisida satu minggu saja pucuknya dapat terserang kutudaun ini sehingga pertumbuhan pucuk dapat terhambat. Pucuk tanaman yang terserang kutudaun akan mengeriting karena cairan tanaman diisap. Di lapangpun tanaman nilam juga terserang kutu ini, namun karena tanaman sudah besar, tidak terlalu mengganggu pertumbuhan tanaman (Gambar 1b) (Mardiningsih et al. 2011). b.
Biologi Pada tanaman nilam A. gossypii terdiri atas 4 instar nimfa. Rata-rata
lama nimfa instar I, II, III, dan IV berturut-turut adalah 1,8; 1,4; 1,2, dan 1,6 hari. Secara keseluruhan rata-rata lama masa nimfa ialah 6 hari. Ratarata masa prereproduksi, reproduksi, dan pasca reproduksi berturut-turut adalah 0,7; 6,9; dan 0,3 hari. Rata-rata masa imago ialah 7,9 hari. Ratarata masa nimfa sampai imago mati ialah 13,9 hari. Rata-rata siklus hidup dari nimfa sampai menghasilkan nimfa lagi 6,7 hari. Rata-rata banyaknya keturunan yang dihasilkan oleh seekor imago ialah 22,8 hari dan rata-rata banyaknya
keturunan
yang
dilahirkan
per
hari
rata-rata
3,9
ekor
(Mardiningsih dan Deciyanto 1999b).
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
51
c.
Distribusi dan tanaman inang Kutudaun ini tersebar di seluruh dunia, akan tetapi di daerah beriklim
sedang yang lebih dingin terbatas di rumah kaca (merupakan hama utama). Hama ini banyak dan tersebar luas di daerah tropis, termasuk di banyak pulau di Pasifik (Blackman dan Eastop 2000). Kutudaun ini merupakan hama yang sangat polifag, menyerang tanaman kapas, ketimun, jeruk, kopi, kakao, terung, kentang, okra, dan banyak tanaman hias termasuk Hibiscus (Blackman dan Eastop 2000). Hama ini juga menyerang katuk, lada, dan nilam (Mardiningsih dan Deciyanto 1999a), Cataranthus roseus
(Mardiningsih et al. 2007; Irsan
2010), dan lebih dari 20 spesies dari famili Annonaceae, Apocynaceae, Araceae,
Asteraceae/Compositae,
Malvaceae,
Melastomaceae,
Cucurbitaceae,
Myrtaceae,
Rubiaceae,
Euphorbiaceae, Solanaceae,
dan
Umbelliferae (Irsan 2010). A. gossypii juga menyerang Ocimum bacilicum,
O. gratissimum, dan Phaleria macrocarpa (Mardiningsih dan Sartiami 2011) (Gambar 1A dan 1B). 2.1.2. Ulat pemakan daun (Lepidoptera: Pyralidae: Pyraustinae) Ulat pemakan daun ini mempunyai tiga pasang tungkai pada toraks dan empat pasang tungkai palsu pada abdomen. Pada toraks terdapat bercak cokelat kehitam-hitaman di bagian kiri dan kanan. Pada bagian dorsal terdapat dua lajur berwarna hijau keputih-putihan. Panjang maksimum stadia larva/ulat mencapai 2 cm (Gambar 2). Sebelum memasuki masa pupa, ulat berwarna merah. Pupa berwarna krem, makin lama berwarna cokelat dengan panjang 9 mm dan lebarnya 2 mm, berlangsung 12 hari. Imago/serangga dewasa berwarna krem dengan panjang 9,5 mm dan lebar tubuh 3 mm. Di rumah kaca pada beberapa tanaman hampir menghabiskan daun. Gejala serangannya menyebabkan daun menjadi tidak utuh. 2.1.3. Ulat penggulung daun (Lepidoptera: Pyralidae: Pyraustinae) Ada dua jenis ulat penggulung daun nilam, yaitu Sylepta sp. dan
Pachyzancla stultalis. 52
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
2.1.3.1. Sylepta sp.
Sylepta sp. Telur diletakkan terpisah di atas permukaan daun, tidak berwarna/ bening, namun secara berangsur-angsur berubah menjadi keruh dan pada saat menetas berubah menjadi cokelat muda. Panjang telur rata-rata 1,4 mm, dengan lebar rata-rata 0,8 mm. Panjang larva dari telur yang baru menetas ± 1,7 mm dan pertumbuhan maksimum mencapai 17,0 mm. Mulanya larva tidak berwarna tetapi sejak mulai makan daun warnanya terlihat menjadi hijau. Sampai sekitar umur 14 hari, larva belum menggulung daun, memakan bagian atas permukaan daun sehingga bagian tersebut menjadi transparan. Pada periode berikutnya, ketika panjang larva mencapai ± 9,0 mm larva mulai membuat sarang dengan cara menggulung dan memakan daun sehingga daun berlubang. Apabila daun-daun habis dimakan, larva melanjutkan serangannya dengan memakan batang yang masih muda sehingga kerusakan tanaman semakin parah. Stadia ini diawali dengan larva yang sudah tidak aktif makan. Tubuh larva berangsur-angsur memendek diikuti oleh perubahan warna dari hijau menjadi putih keruh, akhirnya larva berubah menjadi pupa. Pupa terdapat di dalam gulungan daun tanaman nilam. Setiap gulungan daun hanya terdapat satu pupa. Pupa mulanya berwarna putih, tetapi pada hari berikutnya berubah menjadi kuning, kemudian cokelat-kuning, dan akhirnya menjadi cokelat tua kehitam-hitaman. Panjang pupa rata-rata adalah 12,0 mm. Serangga dewasa berupa kupu-kupu yang berwarna cokelat keemasan dengan garisgaris yang berwarna abu-abu muda, melintang pada kedua sayapnya (Gambar 1C). Panjang rentang sayap kupu jantan ± 22,0 mm dengan panjang tubuh ± 9,0 mm. Ukuran tubuh kupu betina lebih besar daripada jantan. Panjang rentangan sayap kupu betina ± 28,0 mm dengan panjang tubuh ± 14,0 mm. Kopulasi terjadi saat imago berumur 2 hari, pada hari berikutnya imago mulai bertelur. Siklus hidup hama ini berlangsung selama 30-36 hari, terdiri dari stadia telur, larva, prepupa, pupa, dan imago yang masing-masing berturut-turut berlangsung antara 3-4, 19-22, 2-3, 3-4, dan 7-8 hari (Wiratno dan Deciyanto 1991).
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
53
2.1.3.2. Pachyzancla stultalis (syn Herpetogramma stultalis) Serangga ini bertelur di malam hari, berkisar 200 telur tiap imago betina (Kalshoven 1980). Larva hidup dalam gulungan daun yang ditutupi oleh benang halus berwarna putih. Warna tubuh mulanya bening kemudian lama-lama berubah menjadi hijau kekuningan. Kepala berwarna hitam kecokelatan (Adria et al. 1990). Panjang tubuh mencapai 15-118 mm. Ulat ini dikenal dengan ulat bungkus yang bersifat polifag. Pertama-tama larva menyerang daun yang terbawah kemudian menuju bagian atas tanaman (Kalshoven 1980). Semakin tua umur larva semakin aktif (Adria et al. 1990). Hingga memasuki masa pre pupa, larva menjadi kurang aktif dan tubuh terlihat mengkerut. Pupa terbungkus dalam cocon yang berwarna coklat. Imago merupakan kupu-kupu dengan warna putih kecokelatan, pada sayap terdapat garis berwarna hitam kecokelatan. Perkembangan dari telur sampai dewasa berkisar 3-3,5 minggu. 2.1.4. Kumbang pemakan daun, Chrysomelidae)
Longitarsus sp. (Coleoptera:
Kumbang ini berwarna cokelat (Gambar 4). Longitarsus sp. termasuk subfamili Halticinae. Femur tungkai belakang membesar yang digunakan untuk meloncat (Kalshoven 1981). Serangga ini disebut juga kumbang pijal, merupakan hama yang polifag. Beberapa spesies larva/pradewasa hidup di dalam
tanah
dan
memakan
akar
sedangkan
serangga
dewasanya
menyerang pucuk dan daun (Mulyati 1985). Selain sebagai serangga hama, kumbang ini juga dimanfaatkan sebagai agen pengendali biologi gulma Lantana camara di Afrika Selatan (Simelane 2005). Pada tanaman nilam, hanya stadia dewasa yang ditemukan menyerang nilam. Perilaku serangga ini sering meloncat dan menyerang pada bagian pucuk maupun daun. Gejala serangannya ialah lubang-lubang kecil pada pucuk maupun daun. Menurut Britton (1970) dan Kalshoven (1981), gejala serangannya tampak seperti bekas tembakan peluru. Kerusakan terutama dilakukan oleh serangga dewasa.
54
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
2.1.5. Walang sangit (Hemiptera: Heteroptera: Coreidae) Pada tanaman nilam, walang sangit ini berwarna hijau dan cokelat, panjang tubuh mencapai 1,5 cm dan lebarnya 2 mm. Pada tanaman nilam, pada populasi banyak, gejala serangga ini tampak nyata kerusakan oleh yaitu daun berwarna kekuningan. Walang sangit merupakan hama pada tanaman padi. Serangga bertubuh ramping dengan tungkai dan antena yang panjang dan meloncat dengan baik. Imago tidak meletakkan telur kira-kira 21 hari, setelah itu serangga meletakkan telur + 12 hari pada permukaan atas daun rumput dan daun padi. Telur pipih, oval, berwarna merah sampai hitam dan meletakkan telur dalam satu atau dua baris yang terdiri atas 12-16 butir. Seekor serangga betina meletakkan telur total 100 butir pada interval 2-3 hari. Telur menetas dalam + 7 hari. Nimfa yang baru menetas berwarna hijau dan menjadi kecokelatan sejalan dengan perkembangannya. Nimfa terdiri atas 5 instar yang berkembang dalam kira-kira 19 hari. Perkembangan dari telur sampai menjadi imago berlangsung 25 hari. Satu generasi berlangsung dalam waktu kira-kira 46 hari. Peletakan telur berlangsung pada petang hari atau sore hari. Imago terbang pada jarak yang pendek pada siang hari dan meliputi jarak yang jauh pada malam hari. Walang sangit kadang-kadang muncul pada lampu. Serangga ini menghasilkan bau yang sangat tajam. Populasi walang sangit sangat berfluktuasi sepanjang musim. Musuh alaminya berupa parasit telur yaitu Gryon nixori Masner (Hadronotus
flavipes), Ooencyrtus malayensis Ferr. dan Telenomus rowani Gahan. Gryllid, Tettigonid (Conocephalus), dan Reduviid dilaporkan sebagai predator serangga ini (Kalshoven 1981). 2.1.6. Tungau merah (Tetranychus sp.) (Acarina: Tetranychidae)) Serangan hama tungau ini biasanya terjadi pada musim kemarau. Tungau yang masih muda berwarna krem dan di pinggir kiri kanan tubuhnya terdapat bercak berwarna gelap. Tungau dewasa berwarna merah hidup di permukaan daun bawah dan atas. Gejala serangannya ialah daun berwarna
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
55
keputih-putihan, selanjutnya berwarna keperak-perakan, lama-kelamaan daun menjadi kering. Biologi hama ini pada tanaman nilam belum banyak diketahui. Biologi tungau merah ini pada tanaman mentha ialah stadia telur berlangsung 3-4 hari. Stadia nimfa terdiri atas protonimfa dan deutonimfa. Stadium protonimfa berkisar antara 22-28 hari dan deutonimfa antara 24-32 hari. Stadium serangga dewasa (imago) berkisar antara 246-296 hari. Masa prapeneluran berlangsung antara 1-2 hari. Imago dapat menghasilkan telur sebanyak 35,4-77 butir. Rata-rata siklus hidup Tetranychus sp. berkisar antara 10,6-14,4 hari (Deciyanto et al. 1989). 2.1.7. Belalang (Orthoptera: Acrididae) Belalang yang menyerang tanaman nilam bermacam-macam, antara lain ialah Valanga nigricornis dan Tagasta marginella. Gejala serangan dari belalang ialah daun menjadi sobek dan berlubang-lubang besar. Menurut Kalshoven (1981), nimfa dan imago V. nigricornis memakan daun. Belalang ini merupakan serangga yang polifag, menyerang berbagai jenis tanaman. Siklus hidupnya terdiri atas telur, nimfa, dan imago. Warna tubuhnya adalah abu-abu belakang,
kecokelatan tibia
mempunyai
belakang
bercak-bercak
berwarna
kemerahan
terang atau
pada ungu,
femur sedang
permukaan sayap bawah berwarna merah pada pangkalnya. Telur-telur diletakkan di dalam tanah 2-3 kelompok pada kedalaman 5-8 cm yang diisi dengan masa busa yang mengeras. Nimfa muda berwarna kuning kehijauan dengan bercak-bercak hitam; nimfa-nimfa ini menghabiskan daun yang sedang tumbuh dan mencapai puncak pohon dalam waktu 2 hari. Selanjutnya, nimfa-nimfa bervariasi baik dalam warna maupun polanya, kebanyakan abu-abu dan kuning, sering berwarna gelap sampai hitam kecokelatan. Telur-telur yang dipelihara di laboratorium di dalam tanah lembap menetas setelah 5-7,5 bulan. Perkembangan di lapang dari nimfa yang baru menetas sampai imago bersayap berlangsung sekitar 80 hari.
56
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Warna tubuh T. marginella hijau atau berwarna jerami. Kepalanya memanjang runcing. Tarsus belakang dan antena berwarna biru. Belalang biasa ditemukan di rumput dan tanaman lainnya (Kalshoven 1981). 2.2. HAMA AKAR 2.2.1. Rayap (Isoptera: Rhinotermitidae) Tanaman nilam juga diserang oleh hama rayap. Rayap ini menyerang akar tanaman dan membuat saluran yang terdiri atas lumpur kering ke bagian batang. Menurut Kalshoven (1981), rayap dari famili Rhinotermitidae hidup sebagian di atas dan sebagian di bawah tanah, mempunyai arti ekonomi yang tinggi. Rayap ini terutama spesifik karena perilaku kasta prajurit, jika diganggu menghasilkan cairan putih dari lubang di kepala. Kasta pekerja berbadan ramping. Laron atau stadia reproduksi agak kecil, hitam-cokelat dengan sayap keperakan dan cepat bergerak. Coptotermes spp. sangat efisien menyerang pohon hidup maupun yang sudah mati. C.
curvignathus hidup di dataran rendah dan di daerah-daerah dengan curah hujan yang merata. Sarangnya dapat dtemukan pada batang yang mati di bawah atau di atas tanah dan dihubungkan oleh saluran yang tingginya 6 mm sampai 90 m panjangnya, pada kedalaman 30-60 cm. Rayap membuat tutup lumpur pada kayu atau ranting pohon sampai ketinggian 2-3 m. III. PENGENDALIAN 3.1. Strategi Pengendalian A. gossypii Pengendalian Biologi Musuh alami A. gossypii
berupa cendawan Verticillium lecanii.
Suspensi konidia pada konsentrasi 1010 konidia per ml (4 hari setelah inokulasi menyebabkan mortalitas A. gossypii 100%) disemprotkan pada tanaman yang terserang kutudaun ini (Karindah et al. 1996). Dari pertanaman nilam yang terserang A. gossypii
ditemukan predator yaitu
Syrphidae (Diptera), Coelophora maculata (Coleoptera: Coccinellidae),
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
57
Cheilomenes
maculata
(Coleoptera:
Coccinellidae),
Scymnus
sp.
(Coleoptera: Coccinellidae) (Mardiningsih et al. 2010b). Di Bogor ditemukan parasitoid yang menyerang A. gossypii yaitu Aphelinus sp. (Hymenoptera: Aphelinidae). Dari hasil koleksi A. gossypii, baik nimfa maupun imago terserang Aphelinus sp. 20-76% (Mardiningsih dan Jakfar 2010). Insektisida Nabati Minyak dari Azadirachta indica, Melia azedarach, Cymbopogon nardus, dan Geranium sp. yang diuji di laboratorium terhadap A. gossypii
dan
Coccinella undecimpunctata menunjukkan bahwa minyak Geranium sp. dan mimba lebih repelen (menolak) terhadap A. gossypii daripada minyak lainnya. Minyak mimba mempunyai aktivitas residu sampai 6 hari, sedang minyak lainnya tidak berpengaruh lebih dari 1-3 hari setelah penyemprotan. Tidak
satupun
dari
minyak-minyak
tersebut
berpengaruh
terhadap
kelangsungan hidup atau perilaku larva C. undecimpunctata, hanya memperpanjang larva instar keempat (Matter et al. 1993). Insektisida nabati mimba
berbahan
aktif
azadirachtin
0,25-2%
efektif
mengendalikan
A. gossypii dengan nilai efikasi antara 61,1-89,9% dan rerak berbahan aktif saponin 0,5-2% mengendalikan A. gossypii dengan nilai efikasi antara 64,175,7% (Mardiningsih et al. 2010b). 3.2. Strategi Pengendalian ulat pemakan daun Strategi pengendalian yang dapat dilakukan untuk ulat pemakan daun ini ialah monitoring, menggunakan insektisida nabati dan insektisida sintetis bila diperlukan.
Monitoring perlu dilakukan,
apabila masih ditemukan
sedikit ulat ini maka dapat dilakukan tindakan secara fisik yaitu dengan mengambil ulat secara langsung. Namun apabila ditemukan dalam jumlah banyak dapat dikendalikan dengan insektisida nabati, yaitu mimba dan cendawan entomofagus yaitu Beauveria bassiana. Perlakuan ekstrak biji mimba dalam pelarut etanol konsentrasi 6 dan 8 ml/l air cukup efektif menghambat
58
perkembangan
penggerek
polong
Maruca
testulalis
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
(Lepidoptera: Pyralidae) pada tanaman kacang hijau (Koswanudin et al. 2010).
Bacillus
thuringiensis
1
g/l
juga
dapat
digunakan
untuk
mengendalikan ulat ini. Apabila terjadi ledakan serangan secara eksplosif maka
beberapa
jenis
insektisida
sintetis
dapat
digunakan
untuk
mengendalikan serangga famili Pyralidae diantaranya yang berbahan aktif asefat, bisultap, deltametrin,
profenofos, klorpirifos, dan klorfluazuron
(Pusat Perizinan dan Investasi 2008). 3.3. Strategi Pengendalian ulat penggulung daun 1.
Pestisida kimia.
2.
Pestisida nabati
3.
Mekanis,
dengan
memotong
bagian
daun
yang
terkena
ulat
penggulung dan memusnahkannya, 4.
Hayati, dengan parasitoid ulat (Euagathis sp.) (Gambar 1D). (Rohimatun et al. 2011)
3.3. Strategi Pengendalian Longitarsus sp. Pengendalian juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan pestisida nabati dan cendawan Beauveria bassiana (Siswanto et al. 2011). Insektisida nabati berbahan aktif cengkeh, piretrum, dan jeringau dengan pelarut xylene, toluen, dan tween 80 pada konsentrasi 1%. Cendawan Beauveria
bassiana pada 5 g/100 ml air dapat mematikan kumbang 90-92% pada hari ke-10. 3.4. Strategi pengendalian walang sangit Menurut BB Padi (2009) pengendalian walang sangit dapat dilakukan: Kultur teknis. Tindakan ini bertujuan agar serangan walang sangit tidak berlanjut terus-menerus. Apabila menanam tidak serentak maka tanaman yang di belakangnya akan terserang lebih berat. skala
rumah
kaca dan rumah kasa,
Secara biologis. Dalam
serangga ini dapat dikendalikan
dengan musuh alaminya berupa parasit telur yaitu Ooencyrtus malayensis.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
59
Selain
itu,
cendawan
entomopatogen
juga
dapat
digunakan
untuk
mengendalikan hama ini yaitu B. bassiana dan Metarrhizium sp.
Gambar 1. Hama dan parasitoid hama nilam. (A) Kutudaun A. gossypii
(B) Tanaman nilam terserang kutu daun, (C) Imago Sylepta sp. (sumber http://www. boldsystems.org), dan (D) Euagathis sp. (Hymenoptera: Braconidae; Sumber: http://commons. wikimedia. org/wiki.
Mengamati perilaku serangga/perangkap. Cara ini dilakukan dengan menanam tanaman yang menghasilkan bau tajam yaitu Lycopodium sp. dan
Ceratophylum sp. yang akan menarik walang sangit. Serangga yang terkumpul pada tanaman tersebut selanjutnya dimusnahkan. Bangkai kepiting juga dapat digunakan sebagai penghasil bau.
60
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
3.6. Strategi Pengendalian Tungau Pengendalian tungau ini dapat dilakukan secara mekanis yaitu dengan mengadakan sanitasi kebun dan eradikasi gulma yang menjadi inang dari
Tetranychus sp. ini. Pengendalian secara biologis dapat dilakukan dengan memanfaatkan musuh alami yang juga tungau yaitu Phytoseiulus persimilis Ath Henr dan P. macrophilis Bank. Selain itu, beberapa coccinellid (Stethorus spp.), Coccinella repanda dan C. transversalis juga memangsa tungau. Apabila terjadi serangan berat, pestisida sintetis dapat digunakan yaitu acetamiprid, dinobuton 300 g/l, propargit 570 g/l, karbosulfan 200,11 g/l, dan amitraz 200 g/l (Surachman dan Widodo 2007). Untuk serangan tungau yang masih ringan dapat dilakukan dengan memetiki daun-daun yang terserang. Penggunaan tanaman perangkap yaitu ubi kayu dapat dilakukan. Tetranychus sp. juga mempunyai musuh alami berupa predator dari jenis tungau juga yaitu Phytoseiulus persimilis (AthHenr) dan P. macropilis (Banks) yang telah berhasil mengendalikan tungau merah di rumah kaca di Eropa. Di Jawa, beberapa Coccinellid (Stethorus spp.) juga berfungsi sebagai predator tungau (Kalshoven 1981). Penggunaan insektisida nabati yaitu ekstrak biji mimba (100g/l) dapat menekan populasi tungau pada tanaman nilam (Trisawa dan Siswanto 1994). 3.7. Strategi Pengendalian Belalang Untuk mencegah peletakan telur V. nigricornis, dianjurkan untuk menanam tanaman penutup tanah di sekitar pertanaman.
Pengendalian
mekanis terhadap telur-telur dan nimfa-nimfa muda pada tempat peletakan telur juga sangat dianjurkan (Kalshoven 1981). Belalang mempunyai musuh alami seperti Mylobris pustulata (Coleoptera: Meloidedae) yang larvanya memakan kulit telur, Scolia javanica (Hymenoptera: Scolionidae), dan cendawan Metarrhizium anisopliae (Anon 1985). Penyemprotan cendawan entomopatogen dilakukan pagi hari atau sore hari.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
61
3.8. Strategi Pengendalian Hama Akar (Rayap) Untuk mencegah terjadinya serangan rayap dapat dilakukan dengan membersihkan sisa-sisa kayu dan memusnahkannya sebelum lahan ditanami (Kalshoven 1981). Dari penelitian di laboratorium, nematoda Steinernema
carpocapsae Weiser dapat mematikan rayap C. curvignathus 2 hari setelah perlakuan sebesar 31,11- 60,80% (Bakti 2004). DAFTAR PUSTAKA Adria, J., Z. Hasan dan H. Idris. 1990. Beberapa jenis hama perusak daun tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth). Pemb. Littri Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Bogor 16: 59- 64.. Anonymous. 1985. Pedoman pengendalian hama penyakit tanaman kelapa. Ditjenbun, Jakarta. 74 hlm. Bakti, D. 2004. Pengendalian rayap Coptotermes curvignathus Holmgren menggunakan nematoda Steinernema carpocapsae Weiser dalam skala laboratorium. Jurnal Natur Indonesia 6: 81-83. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2009. Hama Walang sangit. http://www.bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/hama-padi/206-hama-walang-sangit-leptocorisa-oratorius. Blackman, R. L. dan V.F. Eastop. 2000. Aphids on the World’s Crops, An Identification and Information Guide. 2nd ed. John Wiley & Sons, LTD. 466 pp. Britton, E.B. 1970. Coleoptera. In The Insects of Australia, A Textbook for Students and Research Workers. Div. Of Entomology Commonwealth Scient & Industrial Research Organization. Melbourne University Press. Deciyanto S., M Amir, I.M. Trisawa dan S. Harijanto. 1989. Studi biologi dan perkembangan populasi hama tungau Tetranychus sp. pada tanaman mentha. Pemb. Littri 15: 9-14. Hill, D.S. dan J.M. Waller. 1988. Pests and Diseases of Tropical Crops. Vol. 2. Field Handbook. Longman Group (FE) Ltd. Hongkong. 432 pp. Irsan, C. 2010. Keanekaragaman spesies kutudaun (Homoptera: Aphidoidea) dan musuh alaminya di tanaman hortikultura dan tumbuhan liar di wilayah Pagaralam dan sekitarnya. Dalam Nawangsih A.A. et al. (Eds) Strategi Perlindungan Tanaman Menghadapi Perubahan Iklim
62
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Global dan Sistem Perdagangan Bebas. Prosiding Seminar Nasional Perlindungan Tanaman, Bogor, 5-6 Agustus 2009. Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. p. 253-268. Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of Crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru VanHoeve. Jakarta. 701 pp. Karindah, S., B.S. Rahardjo, Sudakir dan S. Santosa. 1996. Virulensi jamur Verticillium lecanii Zimmerman terhadap hama kapas Aphis gossypii Glover (Homoptera: Aphididae). Agrivita. 19: 30-34. Koswanudin, D., I.M. Samudra dan Harnoto. 2010. Pengaruh ekstrak biji mimba (Azadirachta indica A Juss.) terhadap perkembangan penggerek polong (Maruca testulalis Gejer) dan kutudaun Aphis craccivora Koch.) pada tanaman kacang hijau. Dalam Nawangsih A.A. et al. (Eds) Strategi Perlindungan Tanaman Menghadapi Perubahan Iklim Global dan Sistem Perdagangan Bebas. Prosiding Seminar Nasional Perlindungan Tanaman, Bogor, 5 – 6 Agustus 2009. Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. p. 519-528. Mardiningsih, T.L. dan D. Sartiami. 2011. Diversity of Aphidoidea and Coccoidea (Hemiptera) on some medicinal plants. In Widjaja et al. The 40th Meeting of National Working Group on Indonesian Medicinal Plant. Proceeding of the 2nd International Symposium on Temulawak, Biopharmaca Research Center Bogor, May, 26-27 2011. p 87-90 Mardiningsih, T.L. dan Deciyanto S. 1999a. Identifikasi kutudaun (Homoptera: Aphididae) pada beberapa jenis tanaman rempah dan obat. Dalam Prasadja I et al. (Eds) “Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis” di Bogor, PEI Bogor, 16 Febuari 1999. p. 595-604. Mardiningsih, T.L. dan Deciyanto S. 1999b. Biologi Aphis gossypii pada tanaman nilam dan preferensinya pada beberapa tanaman rempah dan obat. Dalam Hadisusanto S. et al. (Eds) Biologi Menuju Milenium III. Fak Biologi UGM, Yogyakarta, 20 Novembar 1999. p. 29-38. Mardiningsih, T.L. dan R. Jakfar. 2010a. Serangan parasitoid pada kutudaun nilam. Dalam Nawangsih A.A. et al. (Eds) Strategi Perlindungan Tanaman Menghadapi Perubahan Iklim Global dan Sistem Perdagangan Bebas. Prosiding Seminar Nasional Perlindungan Tanaman, Bogor, 5 – 6 Agustus 2009. Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. p. 289-292.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
63
Mardiningsih, T.L., C. Sukmana, N. Tarigan dan S. Suriati. 2010b. Efektivitas insektisida nabati berbahan aktif azadirachtin dan saponin terhadap mortalitas dan intensitas serangan Aphis gossypii Glover. Bul. Littro 21: 171-183. Mardiningsih, T.L., D. Sartiami, S. Suriati, C. Sukmana dan N. Tarigan. 2011. Serangga-serangga yang berasosiasi dengan tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.). Dalam Harjaa et al. (Eds) Belajar Dari Masa Lalu Dan Sekarang Untuk Membangun Masa Depan. Prosiding Seminar Peringatan Ulang Tahun Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI) ke-40, Yogyakarta, 1-2 Oktober 2010. p. 216-226. Mardiningsih, T.L., R. Balfas dan F. Soesanthy. 2007. Serangga-serangga perusak tanaman tapak dara dan strategi pengendaliannya. Dalam Rostiana O. et al. (Eds) Pengembangan Teknologi Tanaman Obat dan Aromatik. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran, Bogor, 6 September 2007. p. 203–208. Matter, M.M., S.S. Marei, S.M. Moawad dan S. El-Gengaihi. 1993. Bull. of Fac. of Agriculture, University of Cairo 22: 417-432. Mulyati, S. 1985. Inventarisasi Serangga Pengganggu Tanaman Nilam (Pogostemon cablin B.) di Perkebunan Cireundeu, PT Djasula Wangi, Sukabumi. Laporan Praktek Lapang, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pusat Perizinan dan Investasi. 2008. Pestisida Pertanian dan Kehutanan. Sekretariat Jenderal. Departemen Pertanian. Koperasi Pegawai Negeri Ditjen BSP. 682 hlm. Rohimatun, I W. Laba, W.R. Atmadja dan E. Sugandi. 2011. Seleksi Ketahanan Varietas Nilam terhadap OPT Kutu, Penggulung Daun, dan Penyakit Budok. Laporan Akhir Program Riset Insentif Terapan. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (unpublish). Simelane, D.O. 2005. Biological Control of Lantana camara in South Africa: targetting a different niche with a root-feeding agent, Longitarsus sp. Biocontrol 50: 375 – 387. http://www. springerlink.com/index/ KM2445PGOK7W2J65.pdf. Siswanto, N. Chrystalia, Wiratno dan T.E. Wahyono. 2011. Pengendalian kumbang daun nilam (Longitarsus sp.) dengan pestisida nabati dan patogen serangga, B. bassiana. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pestisida Nabati IV. Jakarta, 15 Oktober 2011.
64
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Surachman, E. dan Widodo A.S. 2007. Hama Tanaman pangan, Hortikultura, dan Perkebunan, Masalah dan Solusinya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 111 p. Trisawa, I.M. dan Siswanto, 1994. Pengaruh ekstrak biji mimba terhadap ulat penggulung daun dan tungau merah pada tanaman nilam. Balittro. 11 p. (unpublish) Wiratno dan Deciyanto, S. 1991. Ciri-ciri dan siklus hidup serangga penggulung daun nilam Sylepta sp. (Lepidoptera: Pyralidae). Buletin Littro.6: 15-19.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
65
PENYAKIT PENTING PADA TANAMAN NILAM DAN USAHA PENGENDALIANNYA Dono Wahyuno. S.Yuni Hartati, Setyowati Retno Djiwanti, Rita Noveriza dan Sukamto Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Jln. Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111
I. PENDAHULUAN Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.) adalah sumber minyak nilam komersial, termasuk ke dalam famili Lamiaceae. Kata "nilam" diduga dari kata Sanskerta "Pacholi", yang berarti herbal aromatik. Tanaman ini berasal dari Filipina dan tumbuh liar di Malaysia, Indonesia, Singapura, China dan India. Budidaya nilam dilaporkan telah dimulai di Jawa pada tahun 1895 dengan bahan tanam dari Singapura, meskipun jenisnya tidak diketahui dengan pasti dan pada tahun 1909 mulai ditanam di Aceh (Ahmed 2002). Minyak nilam Indonesia sudah dikenal dunia sejak 65 tahun yang lalu, bahkan Indonesia merupakan pemasok utama minyak nilam dunia (90%). Ekspor nilam Inonesia berfluktuasi dengan laju peningkatan ekspor sekitar 12% per tahun atau berkisar antara 700-2.800 ton minyak nilam per tahun. Sementara
itu
kebutuhan
dunia
berkisar
1.200-1.500
ton
dengan
pertumbuhan sebesar 5% per tahun (Pusat Data dan Informasi Pertanian 2010). Pada tahun 2004, produktivitas nilam Indonesia sebesar 103,42 kg/ha, namun tahun berikutnya mengalami penurunan menjadi 103,11 kg/ha. Tahun 2006 terjadi peningkatan produktivitas nilam yang cukup signifikan hingga mencapai 107,23 kg/ha. Tingkat produktivitas yang cukup tinggi tersebut tidak dapat dipertahankan hingga tahun 2007 kembali terjadi penurunan menjadi 72,92 kg/ha. Tahun 2008, tingkat produktivitas minyak nilam Indonesia adalah
83,05 kg/ha. Banyak faktor yang menyebabkan
rendahnya produktivitas dan mutu nilam Indonesia, selain masalah teknologi, budidaya yang tidak intensif, serangan hama dan penyakit, benih yang kurang baik, juga cara penanganan bahan baku dan penyulingan
66
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
minyak nilam yang masih jauh dari sempurna (Pusat Data dan Informasi Pertanian 2010) Ada empat kelompok mikroorganisme yang dilaporkan menjadi kendala dalam budidaya nilam di Indonesia, yaitu; Ralstonia solanacearum, dari kelompok bakteri, Pratylenchus, Meloidogyne dan Radhopolus dari kelompok nematoda, Synchytrium pogostemonis
serta Cercospora
dari
kelompok jamur dan Potyvirus serta Fabavirus dari kelompok virus. Keempat mikroorganisme di atas dapat ditemukan bersamaan di lapang dan saling bersinergi untuk menurunkan produksi tanaman nilam, khususnya terna. Apabila dikaitkan besarnya kerusakan yang ditimbulkan, maka keempatnya dapat dikatakan relatif menimbulkan kerusakan yang besar. Serangan R. solanacearum sering dijumpai berupa spot-spot dalam satu lahan, tetapi tanaman yang terserang sudah pasti mati dan tidak akan dapat menghasilkan terna.
Nematoda secara tunggal akan menyebabkan
pertumbuhan tanaman nilam merana, dan akhirnya rentan terhadap kekeringan. Adanya nematoda akan memperparah kejadian layu bakteri di lapang, apabila R. solanacearum juga ditemukan bersamaan dalam satu lahan.
Tanaman
yang
terserang
jamur
Synchytrium
masih
dapat
mengahasilkan terna, meski lambat laun tanaman akan mati. Saat ini, serangan S.
pogostemonis
sudah
hampir
ditemukan
pada
semua
daerah penghasil nilam tradisional di Indonesia. Cercospora juga merupakan jamur yang banyak ditemukan pada pertanaman nilam, tetapi kerusakannya relatif sedikit dan umumnya ditemukan pada pertanaman nilam yang tumbuh di tempat lembab, di pembibitan misalnya. Serangan virus, menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat meski tanaman masih dapat menghasilkan terna yang dapat disuling tetapi dalam jumlah yang terbatas. Serangan virus umumnya dijumpai dalam hamparan yang luas, sehingga virus juga menimbulkan penurunan hasil yang nyata. Pada bagian ini, uraian akan ditekankan informasi
terakhir
mengenai
penyebab
pada kemajuan dan
hingga
eko-biologi
dari
mikroorganisme utama yang saat ini banyak menimbulkan kerugian pada pertanaman nilam di Indonesia. Informasi tersebut diharapkan dapat
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
67
menjadi acuan dan konsep dalam pengelolaan dan pengembangan budidaya nilam di masing-masing daerah di Indonesia. II. PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA NILAM Penyakit layu bakteri merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan pada tanaman nilam (Pogostemon cablin) dan menjadi salah satu kendala utama dalam budidaya tanaman nilam di Indonesia. Penyakit tersebut dapat menurunkan produksi yang cukup tinggi yaitu antara 60-95 % (Sitepu dan Asman 1991; Asman et al. 1998), sehingga petani nilam di Indonesia sering dirugikan akibat adanya penyakit tersebut. Untuk menghindari kerugian hasil akibat penyakit layu bakteri, maka petani menanam
nilam
dengan
sistem
budidaya
berpindah-pindah
dengan
membuka hutan. Cara tersebut secara teori lebih aman untuk menghindari kerugian akibat penyakit, namun cara tersebut akan merusak lingkungan, karena areal hutan primer dan hutan sekunder menjadi berkurang dan setelah ditanami nilam kemudian ditinggalkan dan dibiarkan menjadi ladang alang-alang (Asman et al. 1998). 2.1. Gejala Gejala awal dari penyakit layu adalah daun-daun pada cabang tertentu menjadi layu dan selanjutnya diikuti oleh daun daun pada cabangcabang lainnya (Gambar 1A). Pada tanaman yang sama sering terjadi kelayuan pada beberapa cabang tertentu, sementara ada beberapa cabang lain yang masih kelihatan sehat. Pada serangan berat semua cabang dan seluruh bagian tanaman menjadi layu dan mati. Penyakit layu dapat menyebabkan kematian tanaman nilam dengan cepat. Tanaman muda yang berumur 1-3 bulan akan mati dalam waktu 1-2 minggu setelah terinfeksi. Jika tanaman terinfeksi pada umur 4-5 bulan, kematian akan terjadi dalam waktu 1-2 bulan kemudian. Sebagian besar jaringan akar dan batang tanaman yang sakit akan menjadi busuk dan berwarna cokelat hitam. Kulit
68
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
akar sekunder mengelupas (Sitepu dan Asman 1989; Asman et al. 1998; Asman 2000). 2.2. Patogen dan Inang Penyakit
layu
pada
nilam
disebabkan
oleh
bakteri
Ralstonia
solanacearum (Asman et al. 1998). Bakteri jenis ini dapat menginfeksi tanaman nilam melalui bulu-bulu akar dengan melarut dinding sel. Bakteri juga dapat menginfeksi melalui luka karena tusukan nematoda atau masuk melalui lubang alami seperti stomata. Setelah menginfeksi tanaman, bakteri selanjutnya berkembang ke bagian atas tanaman dan menyumbat jaringan pembuluh, sehingga menyebabkan tanaman bergejala layu dan mati .
R. solanacearum mempunyai keragaman genetik dan kisaran inang yang sangat luas, sehingga di alam dikenal adanya beberapa strain atau ras (Buddenhagen 1986; French 1986; Haywards 1986b, 1991). Bakteri R.
solanacearum dapat menginfeksi lebih dari 200 spesies tanaman seperti terung, tomat, kacang tanah, dan tanaman jenis Solanaceae lain (Ras1), abaca dan pisang (Ras 2), kentang (Ras 3), jahe (Ras 4), dan mulberry (Ras 5) (Bradbury 1987; Haywards et al. 1991; Mahmud 1986).
R. solanacearum yang menyerang tanaman nilam di Indonesia oleh Nasrun et al. (2004b) digolongkan ke dalam Ras 1 dan Biovar III. Menurut Asman dan Sitepu (1998) tanaman kacang tanah yang ditanam secara tumpang sari bersama dengan tanaman nilam di NAD dan Sumatera Barat juga terserang penyakit layu.
Hal ini mengindikasikan bahwa R solanacearum yang
menyerang tanaman nilam tergolong dalam Ras 1. 2.3. Diagnosa Penyakit Di lapangan penyakit layu dapat didiagnosa berdasarkan gejalanya. Diagnosa yang sederhana dapat dilakukan dengan memotong batang tanaman yang terinfeksi selanjutnya penampang batangnya ditekan, maka akan keluar eksudat bakteri yang berupa cairan yang berwarna putih susu yang berbau khas sangat menyengat. Selain itu potongan batang tanaman yang terinfeksi apabila dimasukkan ke dalam air di dalam gelas transparan,
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
69
akan terlihat adanya aliran
eksudat bakteri yang keluar dari potongan
batang tersebut. Di laboratorium penyakit layu bakteri dapat dideteksi dengan metode konvensional yaitu dengan mengisolasi bakteri dari bahan tanaman sakit yang selanjutnya ditumbuhkan pada media agar. Pengamatan di bawah mikroskop terhadap irisan tipis penampang melintang akar atau batangnya akan terlihat adanya masa bakteri yang menyumbat jaringan pembuluh tanaman. Diagnosa juga dapat dilakukan secara serologi dengan teknik ELISA dengan menggunakan antiserum khusus (Robinson 1993). Metode ini dapat mendeteksi bakteri dalam ekstrak tanaman dan tanah. Populasi bakteri terendah yang dapat dideteksi dengan metode ELISA yaitu 10
4
sel/
ml ekstrak tanaman atau tanah. Cara ini lebih praktis dibanding dengan cara konvensional, karena metoda ELISA dapat menguji banyak sampel dalam waktu yang lebih singkat. Deteksi patogen juga dapat dilakukan secara molekuler. Cara tersebut lebih cepat dan akurat, namun biayanya sangat mahal dan memerlukan tenaga ahli yang berpengalaman. 2.4. Epidemiologi Penyakit Penyakit layu pertamakali dilaporkan terjadi di pertanaman nilam di Daerah Istimewa Aceh. (Sitepu dan Asman 1989). Selanjutnya penyakit menyebar ke daerah lainnya di Sumatera Barat (Sitepu dan Asman 1998). Pada saat ini penyakit telah ditemukan hampir di semua sentra produksi nilam di NAD, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Tengah dan kalimantan Selatan (Syakir et al. 2008). Penyakit layu pada nilam bersifat endemik dan cepat menular. Dalam satu areal kebun, apabila satu tanaman sudah terinfeksi maka dalam waktu cepat penyakit akan menular ke tanaman yang lain. Penyebaran penyakit dipercepat oleh kondisi lingkungan yang lembab, curah hujan tinggi, dan drainase yang kurang baik. Penyebaran penyakit di dalam kebun dapat terjadi melalui tanah, akar, aliran air, alat-alat pertanian, hewan, dan
70
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
pekerja di lapangan. Sementara penyebaran jarak jauh dapat terjadi terutama melalui bibit yang berupa setek batang yang telah terinfeksi.
R. solanacearum merupakan patogen tular tanah. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang cukup lama di dalam tanah. Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi kemampuan bertahan dari
R. solanacearum. Penyakit berkembang sangat cepat terutama pada kondisi kebun yang lembab dan panas. Kelembaban tanah yang tinggi dapat meningkatkan populasi bakteri. Sedang kandungan bahan organik tanah yang tinggi dan kondisi temperatur yang tinggi akan mengurangi populasinya. Selain itu adanya tanaman inang lain sangat berpengaruh terhadap kemampuan bertahan hidup dari R. solanacearum (Akiew 1986). 2.5. Penanggulanan Penyakit Seperti halnya penyakit layu bakteri pada tanaman lain, penyakit layu pada tanaman nilam juga sulit dikendalikan secara tuntas. Walaupun berbagai cara pengendalian telah dilakukan, namun hasilnya belum memuaskan. Hal ini dikarenakan sifat-sifat ekobiologi patogennya yang sangat komplek dan kurangnya pengetahuan dan pemahaman petani tentang teknis pengendalian penyakit
serta kurangnya modal usahatani
(Asman 2000). Pada umumnya petani menanam bibit yang berupa setek batang yang berasal dari tanaman dari kebunnya sendiri yang mungkin sudah terinfeksi, sehingga kurang adanya seleksi dan jaminan bahwa bibit yang digunakan petani bebas dari patogen. Selain itu karena petani kurang memperhatikan beberapa aspek lain seperti pengadaan bibit, pengolahan tanah, dan teknik budidaya, dan pengendalian penyakit, maka penyakit layu bakteri tetap berkembang dan menyebar (Asman 2000). Oleh karena itu perlu sekali adanya pedoman dan penyuluhan tentang
pengenalan penyakit, cara
pengamatan yang mudah dan akurat, serta rekomendasi cara pengendalian yang efektif dan efisien (Barani 2008). Pengendalian
penyakit
sebaiknya
dilakukan
secara
terpadu.
Pengendalian terpadu harus dilakukan sesuai dengan jenis tanaman, jenis
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
71
patogen, dan pengetahuan mengenai cara bertahan hidup dan penyebaran (ekobiologi) patogennya. 2.6. Pencegahan penyakit (preventif) Cara yang paling bijaksana untuk mengendalikan penyakit layu adalah dengan mencegah timbulnya penyakit di lapangan, mencegah agar penyakit tidak menular dari satu tanaman ke tanaman lain dan dari daerah satu ke daerah lainnya. Upaya pencegahan penyakit secara preventif dapat dilakukan sejak awal yaitu dari waktu evaluasi untuk kesesuaian lahan tempat penanaman, penentuan bahan tanaman, pemupukan, dan aspekaspek lain yang dapat mencegah berkembangnya penyakit layu. Observasi kebun juga perlu dilakukan dan sebaiknya dilaksanakan secara rutin, sehingga dapat dilakukan pengendalian secara dini terhadap penyakit – penyakit yang mungkin berpotensi untuk berkembang (Barani 2008). Pengendalian penyakit yang bersifat pencegahan dapat dilakukan dengan memadukan beberapa komponen dengan menggunakan bibit sehat, varietas tahan atau toleran, lahan bebas patogen, melakukan sanitasi dan eradikasi, rotasi dan tumpangsari, serta memperbaiki teknik budidaya dan pengelolaan lingkungan. a. Bibit sehat Tanaman nilam biasa diperbanyak dengan setek batang. Oleh karena itu tanaman yang akan digunakan sebagai sumber bibit harus diseleksi dan dipilih yang sehat. Harus dihindari pengambilan setek dari tanaman yang terinfeksi dan tanaman di sekitarnya walaupun tanaman tersebut belum menunjukkan gejala sakit. Pada umumnya petani menggunakan bibit yang berasal dari tanaman dari kebunnya sendiri yang mungkin sudah terinfeksi untuk penanaman baru, sehingga penyakit akan timbul dan berkembang. Oleh karena itu perlu adanya pengadaan bibit yang dijamin bebas dari patogen.
72
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Varietas tahan atau toleran Penanaman varietas nilam tahan merupakan cara yang paling efektif untuk mengendalikan penyakit layu. Nilam telah lama dibudidayakan di Indonesia, namun sampai saat ini belum tersedia varietas yang benar-benar tahan terhadap penyakit layu bakteri. Oleh karena itu penelitian dalam rangka menghasilkan varietas nilam yang tahan sangat diperlukan. Di Indonesia terdapat 3 jenis nilam yaitu nilam aceh (Pogostemon
cablin Benth.), nilam jawa (P. heyneanus Benth), dan nilam sabun (P. Hortensis Becker). Diantara ketiga jenis nilam tersebut, nilam aceh paling banyak dibudidayakan di Indonesia, karena mempunyai kadar minyak atsiri yang tinggi. Namun jenis nilam aceh yang biasa dibudidayakan di Indonesia sangat rentan terhadap R. solanacearum dan penyakit lainnya. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor (Balittro) telah melepas 3 varietas nilam aceh yang unggul yaitu varietas Sidikalang, Tapak Tuan dan Lhoksemauwe (Nuryani 2005). Dari ketiga varietas unggul tersebut, varietas Sidikalang dinyatakan lebih toleran terhadap penyakit layu bakteri dibandingkan dengan varietas lainnya (Nasrun 2004a). Tanaman nilam tidak manghasilkan bunga. Oleh karena itu
nilam
biasa diperbanyak secara vegetatif, sehingga keragaman genetiknya sangat sempit (Nuryani 2005). Dalam rangka untuk mendapatkan varietas nilam yang mempunyai kadar dan kualitas minyak yang tinggi selain tahan terhadap penyakit, telah dilakukan beberapa penelitian di Balittro yang pada dasarnya diarahkan pada kegiatan peningkatan keragaman genetik tanaman nilam. Hasilnya telah diperoleh 23 somaklon nilam yang 10 diantaranya mempunyai produksi terna dan kadar minyak tinggi diatas 3% (Nuryani et
al. 2005). Uji ketahanan terhadap bakteri R. solanacearum yang dilakukan oleh Hartati et al. (2007) di rumah kaca, menunjukkan bahwa dari
10
somaklon nilam yang diuji tersebut satu diantaranya lebih tahan, 8 somaklon sama ketahanannya, dan satu somaklon lebih rentan terhadap penyakit layu dibandingkan dengan varietas Sidikalang yang telah dinyatakan paling toleran
diantara
varietas
unggul
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
lainnya
yaitu
Tapak
Tuan,
dan
73
Lhoksemauwe. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usaha peningkatan variasi
genetik
melalui
variasi
somaklonal
memberi
harapan
untuk
memperoleh varian varian baru yang lebih tahan terhadap penyakit layu bakteri. Hadipoentiyanti et al. (2008) juga telah melakukan penelitian dalam rangka untuk mendapatkan varietas nilam yang tahan terhadap penyakit layu bakteri yang memanfaatkan variasi somaklonal dengan menginduksi kalus dan tunas dengan teknik irradiasi untuk meningkatkan keragaman genetiknya. Dari penelitian ini telah dihasilkan beberapa tunas nilam yang dalam pengujian secara in vitro tahan terhadap substrat R. solanacearum. Tunas-tunas yang tahan diaklimatisasi dan diuji ketahanannya terhadap
R. solanaacearum di rumah kaca. Somaklon yang tahan dalam pengujian di rumah kaca selanjutnya diuji ketahanannya di daerah endemik penyakit layu bakteri. Dari beberapa somaklon yang diuji tersebut diharapkan ada somaklon yang tahan terhadap R. solanacearum. b.
Lahan bebas patogen Tanaman nilam sebaiknya ditanam pada lahan yang masih bebas dari
patogen. Beberapa jenis lahan yang mungkin bebas dari patogen diantaranya adalah lahan sawah beririgasi teknis, dimana R solanacearum yang bersifat aerobik tidak mampu hidup pada kondisi an-aerob seperti pada lahan-lahan sawah tersebut. Selain itu lahan yang mungkin bebas patogen adalah lahan bekas hutan dan lahan yang belum pernah ditanami nilam atau lahan yang ditanami tanaman bukan inang alternatif dari R. solanacearum. Penyakit layu bersifat endemik sehingga untuk mencegah terjadinya penyakit dan untuk menjaga kesuburan tanah dianjurkan untuk tidak menanam nilam secara terus menerus pada lahan yang sama. Lahan yang sudah terinfeksi sebaiknya diberakan selama 2-3 tahun atau ditanami tanaman lain yang bukan inang dari R. solanacearum misalnya tanaman padi dan jagung (Asman 2000). Penanaman nilam di daerah yang memenuhi syarat
misalnya
lahan
yang
tidak
tergenang
akan
mencegah
dan
mengurangi serangan penyakit layu (Barani 2008).
74
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
c.
Sanitasi dan eradikasi Sanitasi harus dilakukan secara ketat dari awal, karena sanitasi tidak
efektif apabila dilakukan pada saat serangan sudah meluas dan parah. Sanitasi sebaiknya dilakukan mulai dari pemilihan lahan dan pengadaan bibit. Apabila ada tanaman nilam yang terserang di lapang harus segera dicabut dan dibongkar. Tanaman yang sakit segera dimusnahkan dengan cara dibakar. Selanjutnya lubang bekas tanaman yang sakit disiram dengan antibiotik atau ditaburi dengan kapur. Tanaman nilam telah dibudidayakan di Indonesia lebih dari satu abad yang lalu terutama di NAD. Sebagian besar petani menanam nilam dengan sistem budidaya yang berpindah-pindah. Hal ini dilakukan untuk mencegah turunnya produktivitas tanaman dan menghindari serangan penyakit (Asman 2000). Sistem
budidaya
nilam
secara
berpindah
secara
teori baik
sebagai tindakan sanitasi lahan. Namun sistem budidaya tersebut akan merusak lingkungan dan penggundulan hutan. Dengan sistem tanaman secara berpindah banyak lahan hutan yang ditebang dan setelah ditanami nilam lahan tersebut ditinggalkan dan dibiarkan menjadi ladang alang-alang. Pada saat ini telah banyak diterapkan sistem budidaya nilam secara menetap, namun sistem budidaya tersebut mempunyai resiko turunnya produksi karena penyakit akan menjadi lebih endemik. Oleh karena itu pada budidaya secara menetap sebaiknya diterapkan juga sistem rotasi dan tumpang sari. d. Rotasi dan tumpangsari Pada saat ini telah banyak dilakukan penanaman nilam pada lahan secara menetap. Namun karena penyakit layu bersifat endemik, maka pada sistem budidaya nilam secara menetap, penyakit layu terjadi lebih parah setelah penanaman yang kedua pada kebun yang telah terkontaminasi. Oleh karena itu penanaman nilam secara berturut-turut pada lahan yang sama sebaiknya dihindari. Pada sistem penanaman secara menetap sebaiknya diterapkan rotasi tanaman atau tumpang sari. Rotasi tanaman dilakukukan untuk mengurangi
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
75
populasi patogen di dalam tanah. Cara ini juga berfungsi untuk memotong siklus hidup patogen dan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Rotasi tanaman sebaiknya dilakukan setiap selesai satu siklus tanam nilam dan diganti dengan tanaman lain seperti jagung, padi, atau tanaman lainnya yang bukan inang dari R. solanacearum. e. Pengelolaan lahan dan lingkungan Penyakit layu bakteri akan berkembang dengan baik pada kondisi kebun yang lembab dan panas, sehingga penyakit sering terjadi di daerahdaerah tropis humid dan sub tropis (Haywards 1986). Untuk mencegah timbulnya penyakit, maka pengelolaan lahan dan lingkungan perlu dilakukan untuk menjaga agar kondisi kebun tidak terlalu lembab, misalnya dengan mengatur jarak tanam, menyiangi gulma di sekitar tanaman nilam dan pemberian mulsa. Hasil penelitian Asman (2000) di Sumatera Barat dan Jawa Barat membuktikan bahwa pemberian mulsa ampas nilam dapat menekan perkembangan penyakit layu sampai 60 %. Pemberian mulsa dan pupuk organik dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan awal dari tanaman dan setelah nilam dipanen.
Selain itu pemberian mulsa juga
dapat
menekan serangan penyakit layu. Irigasi kebun juga harus diperhatikan agar lahan mempunyai drainase yang baik.
Apabila ada areal yang terinfeksi,
sebaiknya dibuat selokan yang membatasi antara areal tersebut dengan areal yang masih sehat untuk mencegah penularan penyakit melalui akar, tanah, dan air. Untuk mencegah masuknya patogen ke daerah yang masih sehat, maka semua pekerjaan di kebun yang dilakukan baik oleh manusia maupun hewan dimulai dari daerah yang masih sehat selanjutnyta berjalan kearah daerah yang sudah terinfeksi. Demikian juga alat-alat pertanian yang akan digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum digunakan.
76
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
2.7. Pengendalian penyakit di lapang (kuratif) Apabila penyakit telah ada di lapangan perlu dilakukan pengendalian (kuratif). Pengendalian di lapangan dapat dilakukan dengan memadukan beberapa komponen seperti pestisida kimia, pestisida botani, atau aplikasi agensia hayati (Aspiras dan de Cruz 1986; Buddenhagen 1986; Haywards 1986). Hasil penelitian Asman (2000) di Sumatera Barat dan Jawa Barat membuktikan bahwa perlakuan pestisida campuran menekan penyakit layu sampai 67 %. Hasil penelitian di Pasaman Sumatra Barat menunjukkan bahwa perlakuan pestisida, bakterisida, dan pupuk kandang dapat menekan perkembangan
penyakit
layu
sampai
86
%. Sementara pemberian
bakterisida, insektisida, pupuk kandang, abu sekam, dan pupuk buatan dapat menekan serangan penyakit sampai 86,5 %. Selain itu pemberian Agrept pada bibit nilam dapat menekan penyakit layu sebesar 61 %. Hasil penelitian di NAD dan Sumatra Barat juga menunjukkan bahwa penyakit dapat ditekan perkembangannya sampai 60 % dengan cara merendam bibit nilam dalam larutan bakterisida 0,1 % selama 6 jam (Asman dan Sitepu 1994). Pupuk kandang yang diperkaya dengan mikroba dekomposer dapat digunakan sebagai cara alternatif untuk mengendalikan penyakit layu bakteri pada tanaman nilam. Menurut Hartati et al. (2008), aplikasi mikroba antagonis (Bacillus sp. dan Pseudomonas fluorescens) saja tidak dapat menurunkan intensitras serangan penyakit layu pada nilam. Namun pemberian pupuk hayati yang berupa pupuk kandang yang diperkaya dengan mikroba dekomposer (Bacillus pantotkenticus dan Trichoderma
lactae) dapat mengurangi intensitas serangan penyakit dengan nilai efikasi sebesar 59 %. Demikian juga pemberian pupuk hayati (pupuk kandang + mikroba dekomposer Bacillus pantotkenticus dan Trichoderma lactae) yang dikombinasikan dengan mikroba antagonis ( Bacillus sp dan Pseudomonas
fluorescens) dapat mengurangi intensitas serangan penyakit dengan nilai efikasi sebesar 61 %.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
77
Aplikasi formula minyak cengkeh juga dapat mengurangi intensitas serangan penyakit layu dengan nilai efikasi sebesar 17 % (Hartati et al. 2008). Hartati et al. (1993a dan 1993b) juga melaporkan bahwa eugenol, minyak dan serbuk cengkeh, serta minyak serai wangi efektif dapat mengendalikan pertumbuhan R. solanacearum pada percobaan secara
in vitro. II. PENYAKIT NILAM OLEH NEMATODA PARASIT Salah satu faktor penyebab merosotnya produksi minyak nilam di
Indonesia
adalah
kerusakan
tanaman
karena
penyakit
kuning
(yellow disease) atau penyakit merah (red disease) yang disebabkan oleh nematoda parasit. Beberapa jenis nematoda parasit yang berasosiasi dengan perakaran nilam adalah Pratylenchus brachyurus, Pratylenchus coffeae,
Meloidogyne incognita, Meloidogyne hapla, Radopholus similis, Scutellonema sp., Rotylenchulus sp.,
Helicotylenchus sp., Hemicriconemoide sp. dan
Xiphinema sp. (Djiwanti dan Momota 1991; Pupuk Iskandar Muda 1990; Mustika 1991).
Diantara
parasit penting
yang
jenis-jenis
menyebabkan
nematoda
tersebut,
nematoda
kerusakan dan kerugian
adalah nematoda peluka akar Pratylenchus spp. (P. coffeae
berarti dan P.
brachyurus), nematoda buncak akar Meloidogyne spp. (M. incognita dan M. hapla)
dan nematoda pelubang akar Radopholus similis. Di Jawa Barat,
nematoda Pratylenchus berasosiasi
brachyurus
spp. diduga
dengan timbulnya penyakit daun kuning-merah pada nilam
(Djiwanti dan Momota 1991). menimbulkan
dan Meloidogyne
Di Aceh, nematoda dilaporkan
dapat
penyakit lepra pada tanaman nilam dan nematoda yang
merusak tanaman nilam di Aceh adalah Pratylenchus coffeae dan
Meloidogyne spp. (Anonymous 1991). Nematoda parasit menyerang dan merusak perakaran nilam, sehingga menghambat pertumbuhan tanaman dan menurunkan kandungan minyak bahkan kematian tanaman. Selain itu, terlihat indikasi bahwa serangan nematoda parasit pada akar nilam dapat memperparah
serangan bakteri
layu nilam Ralstonia solanacearum (ARMP 1993).
78
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Nematoda parasit menyerang tanaman nilam di sentra-sentra produksi terutama pada kebun nilam yang diusahakan secara menetap. Serangan nematoda parasit tersebut secara signifikan dapat menurunkan produksi, setelah 3-4 kali panen. Gejala umum serangan nematoda pada tanaman nilam adalah pertumbuhan tanaman terhambat dan daun berukuran lebih kecil dan berwarna kuning kemerahan sampai ungu tua; sehingga penyakit yang disebabkan oleh serangan nematoda parasit nilam disebut penyakit daun merah-kuning. Serangan nematoda parasit pada tanaman nilam dapat merusak perakaran nilam (72,24% - 84,42%), menghambat pertumbuhan tanaman sampai 49,06 - 60,67%, dan kehilangan hasil sampai 84,42% serta menurunkan kandungan/ kadar minyak nilam sampai 14%. 2.1. Gejala dan Kerusakan yang Diakibatkan Nematoda Nematoda parasit penting yang menyerang perakaran nilam adalah
Pratylenchus spp. (P. coffeae dan P. brachyurus), Meloidogyne spp. (M. incognita dan M. hapla) dan Radopholus similis. Nematoda-nematoda tersebut menyerang perakaran nilam, sehingga perakaran membusuk/ habis terutama bagian cabang-cabang/ rambut-rambut akar. Pada serangan nematoda buncak akar (Meloidogyne spp.), disertai dengan gejala khas berupa puru-puru akar berukuran kecil sampai besar (Djiwanti dan Momota 1991; Mustika 1993; Mustika dan Nuryani 1993). Tingkat kerusakan yang disebabkan bervariasi tergantung dari jenis nematoda, tetapi pada dasarnya menyebabkan kerugian secara ekonomis. 2.2. Nematoda pada Nilam a.
Nematoda Peluka Akar Pratylenchus spp.
Pratylenchus spp. adalah nematoda parasit yang berpindah-pindah di dalam jaringan akar tanaman (“endoparasite migratory”). Tanaman inangnya antara lain: tembakau, teh, kedelai, tebu, jagung, nenas, kentang, kacang tanah, kelapa, jeruk, kapas, kopi, ketela pohon, dan alpukat (Corbet 1976; Williams 1980).
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
79
Nematoda bergerak bebas di antara akar dan tanah. Kerusakan akar yang parah menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat dan daun berwarna kuning kemerahan (Gambar 1B). Gejala serangannya yang khas ialah timbulnya luka nekrosis yang sempit dan memanjang pada permukaan akar, sehingga akar berwarna kecokelatan dan akar-akar rambut berkurang (Gambar 1D). Pada keadaan kekeringan, tanaman akan cepat layu dan akan segar kembali jika disiram air. Dua jenis Pratylenchus yang menyerang tanaman nilam, yaitu
P. coffeae dan P. brachyurus. P. coffeae menyerang tanaman nilam di Sumatra dan di Jawa. Sedangkan P. brachyurus dilaporkan menyerang tanaman nilam di daerah Jawa Barat, Sumatra Barat dan Aceh (Djiwanti dan Momota 1991; Sriwati et al. 1999). Di daerah Jawa Barat khususnya di Bogor, Sukabumi, Cianjur dan Bandung. Mustika dan Rostiana (1992) menemukan bahwa nilam kultivar aceh lebih rentan terhadap serangan
P. brachyurus dibandingkan dengan kultivar girilaya, jawa. Serangan P. brachyurus menyebabkan kerusakan akar sampai 72,24%, mengurangi klorofil A dan klorofil B berturut-turut sebesar 6-26% dan 12-45 %, serta kadar minyak sebesar 5-14%, (Mustika dan Rostiana 1992; Sriwati et al. 1999). Serangan nematoda parasit P. coffeae bahkan dapat menyebabkan kematian tanaman. Serangan nematoda pada tanaman nilam di lapang berumur 6 bulan, kira-kira 50% tanaman mati atau tumbuh merana (layu) (Djiwanti 2009). Daerah penyebaran Pratylenchus luas di daerah tropis. Tanaman inangnya antara lain: tembakau, teh, kedelai, tebu, jagung, nenas, kentang, kacang tanah, kelapa, jeruk, kapas, kopi, ketela pohon, dan alpukat (Corbet 1976; Williams 1980). b.
Nematoda Buncak Akar Meloidogyne spp.
Meloidogyne spp. merupakan nematoda buncak akar (“root-knot nematodes”) yang bersifat polifag dan sangat luas daerah sebarannya. Tanaman inangnya antara lain: lada, jahe, lempuyang, kencur, kunyit, mentha, tomat, cabe, kapok, glirisida, adas, sambiloto, terong KB, touki,
80
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
kumis kucing, kisaat, kolesom dan som jawa (Bridge 1978; Djiwanti 1989; Mustika 1995; Nazarudin et al. 1996). Serangan nematoda ini menyebabkan gejala khas berupa puru-puru akar berukuran kecil sampai besar (Djiwanti dan Momota 1991; Mustika 1993; Mustika dan Nuryani 1993). Tanaman yang terserang, pertumbuhannya merana dan daun-daunnya menguning (Gambar 1E dan 1F).
Meloidogyne spp. umumnya ditemukan di semua pertanaman nilam di Indonesia dengan kepadatan populasi yang bervariasi. Dua jenis
Meloidogyne yang dapat merusak sistem perakaran nilam, yaitu Meloidogyne incognita dan M. hapla. M. hapla ditemukan pada pertanaman nilam di IP. Manoko (ketinggian tempat 1.200 m dpl.). M. hapla merupakan spesies daerah subtropik dan di Indonesia ditemukan di dataran tinggi seperti halnya di Manoko, Bandung (Jawa Barat). Serangan M. hapla menghambat pertumbuhan pucuk sebesar 46%, panjang daun sebesar 67% dan lebar daun sebesar 69% (Es dan Djiwanti, 1990). Di India, M. incognita menurunkan produksi berat basah bagian atas tanaman sebesar 47% dan berat kering daun sebesar 86,7% (Prasad dan Reddy 1984). c.
Nematoda Pelubang Akar Radopholus similis
Radopholus similis adalah nematoda parasit yang berpindah-pindah di dalam jaringan tanaman (“endoparasite migratory”) dan dikenal sebagai nematoda pelubang akar (“burrowing nematode”). Tanaman inangnya antara lain: lada, jahe, pisang, kelapa, pinang, nangka, mangga, glirisidia dan dadap (Koshy dan Bridge 1990). Spesies ini hanya ditemukan menyerang tanaman nilam di Kebun Koleksi IP Cimanggu, Bogor. Serangannya dapat menyebabkan akar busuk hampir sama dengan gejala yang disebabkan oleh P. brachyurus, tetapi gejala khas serangan nematoda ini, daun-daunnya berwarna merah keunguan.
Menurut Waard (1969) dan Mengel dan Kirby (1987) gejala
tersebut hampir sama dengan gejala defisiensi unsur hara P pada tanaman lada dan tanaman tahunan lainnya. Nilam aceh lebih rentan terhadap
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
81
serangan R. similis dibandingkan dengan nilam jawa (Girilaya) dan Tapak Tuan (Mustika dan Nuryani 1993). Serangan nematoda menghambat pertumbuhan tanaman nilam aceh, jawa, varietas Tapak Tuan dan Girilaya berturut-turut sebesar 49,06%, 38,48, 17,34 dan 13,55%.; menyebabkan kerusakan akar tanaman nilam aceh, jawa, varietas Tapak Tuan dan Girilaya berturut-turut sebesar 82,00, 81,57, 80,24 dan 86,02%; serta mengurangi bobot
basah bagian atas
tanaman kultivar aceh, jawa, varietas Tapak Tuan dan Girilaya berturut-turut sebesar 84,42, 67,35, 57,34 dan 44,41% (Mustika dan Nuryani 1993). 2.3. Perkembangan dan Penyebaran Penyakit Penyakit nilam oleh nematoda parasit menyebar melalui penyebaran nematoda secara migrasi/perpindahan alami, pengolahan tanah, alat-alat pertanian yang terkontaminasi nematoda serta aliran air hujan. Di lapang, tidak semua tanaman nilam dalam satu kebun serentak menjadi sakit, tetapi tanaman yang sakit bertambah banyak, dan menyebar dari satu tanaman ke tanaman lain di sekitarnya, sehingga daerah penyebarannya nampak membentuk jalur konsentris dan sekelompok-sekelompok. Dalam
penyebaran
yang
lebih
luas
lagi,
penggunaan
bahan
tanaman/bibit terinfeksi nematoda, mempercepat penyebaran penyakit; sehingga penyebaran penyakit mengikuti penyebaran budidaya nilam, terutama di sentra-sentra produksi seperti di Sumatra, Jawa dan daerah pengembangan lainnya antara lain Kalimantan Timur (Djiwanti 2007). PH tanah yang masam menunjang perkembangan populasi nematoda. Pertanaman nilam di Jawa Barat dan Sumatra Barat pada umumnya tersebar di lahan-lahan dengan kisaran pH 4,5 – 5,5.
Pada kisaran kemasaman
tanah tersebut sangat sesuai bagi perkembangan nematoda parasit (Mustika 1998). Sumber infeksi dapat berasal dari tanah kebun setempat. Ketiga jenis nematoda yang menyerang tanaman nilam merupakan jenis nematoda yang kosmopolit/ umum terdapat di tanah2 pertanian, perkebunan maupun
82
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
bukaan baru di Indonesia dan mempunyai kisaran inang luas (termasuk gulma). Nematoda tersebut merupakan patogen tular tanah, dapat bertahan di dalam tanah tanpa inang, serta tersebar luas di daerah tropik maupun subtropik. Penanaman varietas nilam yang rentan/ peka nematoda dapat meningkatkan keparahan serangan nematoda. Mustika dan Rostiana (1992) menemukan bahwa nilam aceh lebih rentan terhadap serangan P.
brachyurus dibandingkan dengan nilam jawa, girilaya. 2.4. Teknologi Pengendalian Terpadu Di Indonesia, pengendalian nematoda parasit nilam dilakukan secara terpadu melalui penggunaan teknik budidaya, penggunaan pestisida termasuk
pestisida
nabati
dan
pemanfaatan
agensia
hayati.
Dosis
pemupukan yang tepat, penggunaan bahan organik, kapur pertanian dan pemulsaan serta varietas nilam toleran merupakan salah satu cara pengendalian nematoda nilam melalui teknik budidaya yang cukup efektif (Mustika et al. 1995). a.
Varietas toleran Tidak ada satupun varietas nilam yang tahan terhadap serangan
nematoda P. brachyurus dan R. similis, tetapi nilam jawa, Girilaya dan Tapak Tuan cukup toleran terhadap kedua nematoda tersebut (Mustika dan Rostiana 1992; Mustika dan Nuryani 1993). b.
Teknik budidaya Pupuk
organik
(kotoran
sapi)
yang
dikombinasikan
dengan
pemupukan Urea+TSP 5 g/tan dan diberikan sebelum dan 3 bulan setelah tanam, dapat menekan populasi nematoda P. brachyurus (Mustika et al. 1995). Pemberian mulsa yang dikombinasikan dengan pemupukan Urea + TSP 5 g/tan dan diberikan sebelum dan 3 bulan setelah tanam juga dapat menekan populasi nematoda Meloidogyne spp (Mustika et al. 1995).
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
83
c.
Penggunaan pestisida/pestisida nabati Kombinasi penggunaan karbofuran (5 g/tan), bahan organik dan
dolomit dapat menekan populasi nematoda P. brachyurus dan Meloidogyne spp., memberikan pH tanah yang cocok bagi pertumbuhan nilam, sehingga mampu meningkatkan produksi daun basah sebesar 25% (Mustika dan Rahmat 1993; Mustika et al. 1995). Mimba yang dikombinasikan dengan bahan organik (kotoran ayam, sapi, kambing, sekam dan serbuk gergaji), dapat mengurangi populasi nematoda
Meloidogyne
spp.
dan
P.
brachyurus
pada
nilam
dan
efektivitasnya sama dengan nematisida karbofuran (Mustika et al. 1995). Bungkil jarak 250 g/ tanaman/ 6 bulan, sangat efektif mengurangi populasi nematoda P. brachyurus pada tanaman nilam (Mustika dan Harni 2001). d.
Pemanfaatan agensia hayati Rizobakteri Pasteuria penetrans (2 kapsul/tanaman/6 bln) dengan
bahan organik (kotoran sapi, kotoran ayam, serbuk gergaji dan ampas kedelai) (1 kg/tanaman/6 bulan) atau kombinasi rizobakteri Pasteuria
penetrans
(2
kapsul/tanaman/6
bulan)
dengan
kapur
pertanian
(50 g/tanaman/6 bulan), dapat menekan populasi nematoda P. brachyurus sebesar 43-82% dan meningkatkan berat basah sebesar 57-71% (Mustika
et al. 2000). Demikian pula Jamur Penjerat Nematoda (Arthrobotrys sp., Dactylaria sp. dan Dactylella sp. yang diperbanyak pada media jagung) 125 g/tanaman/6 bulan yang dikombinasikan dengan bahan organik/ kapur pertanian
mengurangi/ menekan populasi nematoda nilam P. brachyurus
(Mustika et al. 2000).
84
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Gambar 1. Gejala dan OPT pada pertanaman nilam di Indonesia. (A) Gejala layu akibat R. solanacearum, (B) Nilam terserang Pratylenchus, (C) Nematoda Pratylenchus betina dewasa, (D) Perakaran nilam terserang Pratylenchus., (E) Nilam terserang nematoda Meloidogyne, (F) Puru akar pada nilam terserang Meloidogyne, (G) Larva Meloidogyne instar dua, (H) Nilam terserang S. pogostemonis, (I) Spora bertahan S. pogostemonis dalam jaringan daun, (J) Gejala serangan Potyvirus, dan (K) serangan Fabavirus pada daun nilam
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
85
III. PENYAKIT NILAM (BUDOK) OLEH CENDAWAN SYNCHYTRIUM Penyakit budok dilaporkan pertama kali berdasarkan tanaman nilam yang terdapat di Aceh, demikian juga dengan istilah budok yang berarti kudis menurut bahasa lokal setempat. Pada awalnya, organisme penyebab penyakit ini diduga dari kelompok virus karena gejala yang nampak mirip dengan tanaman yang terserang virus, yaitu tanaman tumbuh kerdil, daun kecil atau keriting. Gejala roset dapat dijumpai pada tanaman yang telah terinfeksi pada stadia lebih lanjut. 3.1. Organisme Penyebab Hasil pengamatan contoh tanaman sakit yang diperoleh dari berbagai tanaman nilam yang dilaporkan terserang budok, struktur bertahan cendawan Synchytrium berbentuk spora bulat, besar dan berdinding tebal konsisten ditemukan permukaan dalam kutil yang terbentuk pada batang maupun daun dari semua contoh tanaman nilam sakit yang diamati (Wahyuno et al. 2007). Hasil pengujian menggunakan penularan buatan memperkuat asumsi di atas, bahwa cendawan Synchytrium merupakan organisme penyebab penyakit budok pada tanaman nilam di Indonesia (Wahyuno dan Sukamto 2010).
Synchytrium merupakan kelompok
cendawan yang bersifat obligat parasit, yang hanya dapat tumbuh pada jaringan tanaman yang hidup. Tetapi struktur bertahan yang dimiliki cendawan ini diduga membuat Synchytrium mampu bertahan di jaringan tanaman yang telah terserang untuk waktu yang lama (Wahyuno 2010a). Pengamatan lebih detail terhadap siklus hidup
cendawan ini juga
memperkuat dugaan bahwa cendawan yang ada di Indonesia termasuk jenis
S. pogostemonis jenis yang juga ditemukan pada pertanaman nilam di India (Wahyuno 2010b). 3.2. Gejala Gejala khas dari penyakit budok adalah adanya kutil berupa benjolan berwarna putih yang banyak terbentuk di permukaan batang atau daun,
86
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
khususnya yang ada di dekat permukaan tanah. Pada stadia awal, kutil terlihat berwarna putih, dan pada stadia lanjut struktur bertahan S.
pogostemonis berupa spora yang sebenarnya merupakan prosorus berwarna kuning terlihat ada di dalam kutil. Jumlah spora istirahat yang terbentuk bervariasi antara 1 - 11 tergantung pada besar ukuran kutil yang terjadi. Serangan S. pogostemonis dapat terjadi pada semua bagian tanaman yang masih muda, kecuali akar tanaman. Tanaman yang terserang pada awalnya tidak menunjukkan gejala perubahan yang jelas, tetapi seiring dengan waktu daun maupun tunas-tunas baru yang terbentuk pada tanaman yang telah terinfeksi berukuran lebih kecil, tebal dan ruasnya pendek sehingga tanaman terlihat kerdil atau menampakkan gejala roset. Gejala tersebut menyebabkan adanya asumsi di awal pelaporan bahwa penyakit budok disebabkan oleh virus (Sitepu dan Asman 1991; Mustika dan Asman 2004). Kutil yang ditimbulkan oleh S. pogostemonis memerlukan waktu lebih kurang 1 bulan untuk dapat terlihat dipermukaan batang muda yang ada di dekat permukaan tanah dan telah dibuktikan melalui penularan buatan (Wahyuno dan Sukamto 2010).
Nekrosa atau kematian jaringan tidak
terbentuk di bagian kutil terbentuk sehingga pengamatan secara seksama perlu dilakukan untuk memastikan tanaman (benih) nilam telah terserang S.
pogostemonis. 3.3. Eko-Biologi a.
Stadia dan siklus hidup Pada tanaman yang telah terserang S. pogostemonis struktur
bertahan berupa spora bulat, kuning dan berdinding tebal mudah ditemukan karena jumlahnya yang banyak.
Lensa lup sederhana dapat digunakan
untuk membantu menemukan struktur tersebut pada gejala yang telah lanjut di lapang untuk mendeteksi keberadaannya. Pengamatan terhadap jaringan tanaman nilam terserang S. pogostemonis pada berbagai stadia gejala akan menunjukkan ada stadia yang lain selain spora istirahat.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
87
Wahyuno (2010) mendiskripsikan adanya stadia aseksual dan seksual yang terbentuk pada tanaman nilam terserang S. pogostemonis.
Zoospora dapat
dihasilkan dari sporangium hasil reproduksi aseksual maupun reproduksi seksual.
Pada
stadia
reproduksi
seksual,
zoospora
terbentuk
pada
sporangium yang terbentuk di dalam sorus yang keluar dari spora istirahat (Wahyuno 2010). b.
Penyebaran Seperti halnya cendawan Synchytrium endobioticum maupun S.
psocharpii yang banyak mempunyai spora aktif (zoospora) sebagai penularan utama dari tanaman sakit ke tanaman sehat (EPPO 1999, 2003; Drinkall dan Price 1983). S. pogostemonis juga mempunyai zoospora yang aktif berenang pada cairan air atau media tumbuh yang menggandung air. Wahyuno dan Sukamto (2010) juga telah berhasil melakukan penularan buatan dengan menggunakan media air sebagai media tumbuh nilam. Zoospora mungkin sangat berperan dalam penyebaran jarak dekat antar sel di dalam tanaman, antar tanaman dalam suatu petak atau dalam luasan terbatas dimana ada air sebagai media perantara. Spora bertahan yang terdapat di dalam jaringan tanaman diduga mempunyai peran yang sangat penting dalam penyebaran S. pogostemonis yang lebih luas dan jauh. Adanya spora bertahan memungkinkan S. pogostemonis terbawa melalui bahan tanaman (benih) atau sisa-sisa tanaman terserang yang tertinggal di tanah ke daerah penanaman nilam yang baru. Pada tanaman kentang, struktur bertahan S. endobioticum mampu bertahan di dalam jaringan tanaman untuk waktu yang lama (EPPO 2003). c.
Lingkungan Sebagai
cendawan obligat parasit, S. pogostemonis
sangat
tergantung pada kondisi tanaman inang untuk tumbuh dan berkembang. Pada tanaman yang masih hidup, hampir semua stadia S. pogostemonis
88
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
dapat ditemukan. Pada jaringan tanaman yang sudah mati hanya sprora bertahan yang ditemukan sangat dominan. Selain mempengaruhi siklus dan stadia S. pogostemonis yang ada, lingkungan berperan penting di dalam penyebaran zoospore khususnya ketersediaan air baik yang di lapisan partikel tanah maupun yang terdapat pada permukaan tanaman yang berguna untuk menyebar ke bagian lain yang masih sehat. Lingkungan subur dan cukup air akan membuat tanaman nilam mempunyai pertumbuhan yang baik, demikian juga dengan regenerasi pembentukan tunas-tunas baru. Pada tanaman yang telah terinfeksi
S. pogostemonis pembentukan tunas-tunas baru khususnya yang keluar dari permukaan tanah akan menjadikan peluang terjadinya infeksi dan peluang terjadinya perbanyakan inokulum di dalam jaringan tanaman sangat besar. Pengaruh jenis tanah dan kemasamannya belum pernah diteliti terhadap kecepatan penyebaran zoospora pada tanaman nilam di lapang. Hasil pengamatan dan laporan yang disampaikan mengindikasikan bahwa S.
pogostemonis telah tersebar luas di Indonesia sehingga diduga peran ketersediaan air/kelengasan tanah dan kondisi tanaman lebih penting bagi penyebaran zoospora dibanding kondisi tanah. d.
Sebaran inang ke tanaman nilam lain Di Indonesia ada tiga spesies nilam yaitu, P. cablin, P. heyneanus dan
P. hortensis. P. cablin juga dikenal sebagai nilam aceh dan merupakan jenis yang banyak dibudidayakan di Indonesia. P. heyneanus dikenal sebagi nilam jawa. Meskipun nilam jawa mempunyai keragaan yang besar dan lebat tetapi bukan jenis yang banyak dibudidayakan karena kandungan minyaknya lebih rendah dibanding nilam aceh. Penyakit budok hanya dilaporkan terjadi pada nilam aceh. Tiga varietas nilam aceh yang telah dilepas yaitu Sidikalang, Tapak Tuan dan Lhokseumawe tidak satupun tahan terhadap S.
pogostemonis (Wahyuno dan Sukamto 2010) . Nilam jawa merupakan jenis
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
89
yang tahan terhadap S. pogostemonis. Di India, beberapa jenis nilam yang ada dilaporkan juga dapat terserang S. pogostemonis. e.
Penularan ke tanaman selain nilam Sampai saat ini belum ada laporan mengenai S. pogostemonis yang
menyerang tanaman selain tanaman nilam. Pada dasarnya, S. pogostemonis merupakan kelompok cendawan yang mempunyai sebaran inang yang terbatas. Dari 200 spesies Synchytrium yang pernah dilaporkan, hanya ada beberapa spesies yang mempunyai kisaran inang lebih dari satu family tanaman, dan sisanya merupakan kelompok yang sebaran inangnya terbatas, termasuk S. endobioticum pada kentang (Agrios 1978) dan S.
psocharpii pada kacang (Drinkall dan Price 1986, Karami et al. 2009). 3.4. Saran Pengendalian Beberapa usaha pengendalian telah dilakukan dan dicobakan di tingkat rumah kaca maupun di lapang dalam skala yang terbatas. Perbaikan SOP (standar operasional prosedur) budidaya nilam yang ada, khususnya dalam seleksi dan penyiapan bahan tanaman untuk perbanyakan (Wahyuno 2010). Harga fungisida sistemik yang relatif mahal, adanya struktur bertahan dari S. pogostemonis yang sulit untuk dikenai fungisida, belum tersedianya varietas nilam yang tahan terhadap S.
pogostemonis maupun pola budidaya nilam yang lazim dilakukan oleh petani merupakan pertimbangan bahwa penyediaan bahan tanaman yang sehat merupakan cara yang paling murah untuk mengurangi kerugian hasil akibat serangan S. pogostemonis. Melakukan rotasi tanaman, memusnahkan tanaman nilam di sekitar yang menunjukkan gejala terkena penyakit budok, dan mengatur lahan sehingga ideal bagi pertumbuhan nilam dan mengatur sistem drainase yang dapat meminimalkan terjadinya penularan ke tanaman di sekitar. Syakir et
al. (2008) juga menyarankan melakukan pengolahan tanah, pemberian
90
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
mulsa untuk mengurangi penyebaran dan aplikasi fungisida serta abu sekam (± 10 ton/ha) Aplikasi fungisida dapat dilakukan untuk menekan perkembangan
Synchytrium
di
lapang.
Fungisida
yang
efektif
menekan
serangan
Synchytrium berbahan aktif Benomyl (Kusnanta 2005, Sukamto 2011); PCNB dan bubur Bordeux juga efektif di India (NEDFI 2007). Aplikasi fungisida menjadi alternatif apabila tanaman yang menunjukkan gejala dijumpai dalam jumlah yang cukup banyak di kebun, selain dilakukan eradikasi di tempat dengan membakar sekelompok tanaman yang telah terserang. Pada dasarnya, fungisida efektif apabila S. pogostemonis belum masuk ke dalam jaringan tanaman. Fungisida yang bekerja secara sistemik dilaporkan efektif untuk menekan penyakit budok, tetapi biaya usahatani nilam menjadi mahal. Penyemprotan dilakukan setiap dua minggu sekali, dan sebaiknya pengendaliaan dilakukan seawal mungkin (saat kejadian penyakit budok masih rendah).
Gambar 2. Penggunaan fungsida untuk menekan penyakit budok. (B1) Benomil (1 g l-1) , (B2) Benomil (2 g l-1), (K1) Cu-Oksida (1 g l-1), (K2) Cu-Oksida (2 g l-1), (KB) Campuran Benomil dan Cu-Oksida (1:1; masing-masing 0,5 g l-1). Penggunaan 1% bubur bourdeaux (100 g terusi/copper sulphate + 100 g kapur tohor dalam 10 liter air), dapat digunakan untuk mengendalikan
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
91
penyakit
budok.
Bubur
bourdeaux
dan
fungisida
benomil
dapat
mengendalikan serangan penyakit budok setelah dilakukan tiga kali penyemprotan setiap dua minggu sekali (Gambar 2). Kombinasi pemakaian fungisida disertai aplikasi mikroorganisme juga sedang pengujian di lapang. Penyiapan mikroorganisme yang berguna tersebut
dalam
jumlah
banyak
menjadi
kendala
lain
yang
perlu
dipertimbangkan (Gambar 3).
Gambar 3. Penggunaan fungsida dan bubur bordeaux untuk menekan serangan penyakit budok. IV. PENYAKIT VIRUS MOSAIK PADA NILAM Salah satu penyakit utama tanaman nilam adalah penyakit virus mosaik. Serangan virus mosaik tercatat sebagai salah satu faktor pembatas dalam produksi nilam di Indonesia (Nurawan 2008; Sukamto et al. 2007), karena infeksi virus mosaik dapat menurunkan hasil biomas, kadar minyak dan
kadar
patchouli
alkohol.
Pengaruh
penyakit
ini
berbeda-beda,
tergantung jenis atau varietas nilam yang ditanam serta perawatan yang telah dilakukan selama budidaya. Selain itu, adanya variasi gejala di lapang juga karena tanaman nilam tersebut terinfeksi oleh lebih dari satu jenis virus dengan serangan awal yang bervariasi.
92
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
4.1. Gejala dan Patogen Penyebab Penyakit Gejala khas pada tanaman nilam yang terserang penyakit mosaik adalah daun-daunnya nampak mengalami klorosis berat (mosaik), berubah bentuk (malformasi), dan berukuran sangat kecil (Gambar 1J dan 1K). Pertumbuhan tanaman secara keseluruhan menjadi terhambat dan bahkan serangan yang berat di awal pertumbuhan akan menyebabkan tanaman sakit pertumbuhannya terhambat hingga tampak kerdil (Noveriza et al. 2009). Survei di beberapa daerah sentra produksi nilam di Indonesia, ditemukan
variasi
kejadian
penyakit
mosaik
berdasarkan
perkiraan
persentase tanaman nilam yang positif terinfeksi virus dengan sampel daun yang bergejala di lapangan. Pertanaman nilam di Jawa Barat dan Sumatera Barat terinfeksi oleh Potyvirus berkisar antara 30 – 50%, sedangkan di Jawa Tengah oleh Fabavirus berkisar antara 40% (Tabel 1). Virus yang menginduksi gejala mosaik pada pertanaman nilam di Indonesia di dominasi oleh Potyvirus (Noveriza et al. 2010) Tabel 1. Gejala penyakit dan perkiraan kejadian penyakit mosaik pada tanaman yang di koleksi dari sentra produksi nilam di Indonesia. Provinsi
Lokasi
Jawa Barat
Bogor, Kec. Bogor Barat
Lampung
Sumatera Barat Jawa Tengah Sumatera Utara
Keterangan :
Tanggal pengambilan sampel Oktober 2008
Pengamatan gejala penyakit mhk, lm
Perkiraan Kejad. Penyakit*)(%) >50
Garut , Kec. Pakenjeng Ciamis, Kec. Cidolog Sukabumi, Kec. Cicurug Tanggamus Kec. Klumbayan Tanggamus Kec. Klumbayan Barat Pasaman Barat Kec. Talamau Pasaman Barat Kec. Kinali Brebes Kec. Salem
April 2009 April 2009 Juli 2010
mhk, lm mhk nk
35 30 0
September 2009 September 2009 September 2009 September 2009 Mei 2010
nkk
0
nkk
0
mhk
40
mhk
50
mhk
40
Pakpak Bharat Kec. Situ Jehe
Juli 2010
mhk
0
*) Perkiraan persentase tanaman nilam yang positif terinfeksi virus dengan sampel daun yang bergejala di lapangan. mhk= mosaik hijau kekuningan; lm= malformation; nkk= nekrosis kuning kerdil; nk=nekrosis kuning
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
93
Tanaman nilam di Jepang, telah dilaporkan terinfeksi oleh Patchouli
mild mosaic virus (PaMMV) genus Fabavirus, Patchouli mottle virus (PaMoV) genus Potyvirus (Natsuaki et al. 1994.), sedangkan di Brazil terinfeksi oleh
Patchouli Virus X (PatVX) genus Potexvirus (Meissner Filho et al. 2002), Patchouli mosaic virus (PaMV) dan Tobacco Necrosis Virus (TNV). Tapi, tanaman nilam di India terinfeksi oleh Peanut Stripe Virus (PStV) (Sing et al. 2009.). Di Indonesia, virus yang menyebabkan penyakit mosaik termasuk dalam kelompok Bean Common Mosaic Virus (BCMV) strain Peanut Stripe
Virus (PStV) (Hartono 2008). Penelitian terbaru menemukan bahwa tiga varietas unggul nilam (Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan) di Bogor dan beberapa lokasi sentra penanaman nilam di Indonesia (Garut, Ciamis, Cicurug, Manoko dan Pasaman Barat) telah terinfeksi oleh Potyvirus yaitu
Telosma Mosaic Virus (TeMV), PStV dan Passionfruit Woodiness Virus (Noveriza et al. 2009; 2010). Sampai saat ini, informasi mengenai kejadian virus mosaik pada pertanaman nilam di Indonesia masih terbatas. Begitu juga kerusakan yang ditimbulkan dan bagaimana penularan dari penyakit tersebut belum diketahui dengan pasti. 4.2. Kejadian penyakit virus mosaik, Kerusakan yang Ditimbulkan dan Penularannya Kejadian
penyakit
mosaik
kuning
yang
pertama
di
laporkan
di Indonesia berkisar 53-73%. Penyakit ini tersebar baik pada pertanaman nilam di dataran rendah maupun pegunungan. Kajian dengan mikroskop elektron dari daun yang terinfeksi menunjukkan berassosiasi dengan virus berbentuk benang (Sumardiyono et al. 1995). Di India, kejadian penyakit di lapangan berkisar antara 43-76% (Sastry dan Vasanthakumar 1981). Di Indonesia, Potyvirus (virus yang berbentuk benang) merupakan virus yang dominan menyerang tanaman nilam di lapangan. Infeksi
Potyvirus pada tanaman nilam varietas Tapak Tuan dan Lhokseumawe dapat menurunkan hasil produksi, kadar minyak dan kadar patchouli alkohol (Tabel 2). Penurunan tertinggi berat terna basah, terna kering, kadar
94
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
minyak dan kadar PA berturut-turut mencapai 34,65, 40,42, 9,09 dan 5,06% (Noveriza et al. 2011a). PaMMV yang menginfeksi tanaman nilam
di
Jepang menyebabkan menurunnya biomassa (35 %) dan hasil minyak nilam (2 %) (Sugimura et al. 1995; Kadotani dan Ikegami 2002). Partikel Potyvirus merupakan molekul untai tunggal RNA yang unik yang terdiri dari 8,5-10 kilobasa (kb) yaitu kode untuk sebuah poliprotein dan berbentuk seperti benang. Potyvirus adalah kelompok virus yang secara alami dapat ditularkan dan disebarkan oleh kutudaun (Irwin 1999). Namun demikian, cara penyebaran utama yang terjadi di lapangan adalah melalui bahan tanaman yang terinfeksi. Hal inilah tampaknya yang menjadi faktor penting yang menentukan tingginya insiden penyakit mosaik pada tanaman nilam di daerah-daerah sentra produksi nilam di Indonesia (Sastry dan Vasanthakumar 1981; Hartono dan Subandiyah 2006; Noveriza et al. 2010), mengingat petani nilam umumnya melakukan perbanyakan tanaman melalui setek. Untuk menghindari penyebaran penyakit ini maka perlu dilakukan teknik pengendalian yang tepat. 4.3. Strategi Pengendalian Penyakit Salah satu strategi yang dapat digunakan untuk menghindari penyebaran virus ini di lapangan adalah dengan menggunakan benih yang bebas dari infeksi virus. Apabila digunakan tanaman induk yang bebas dari infeksi virus sebagai bahan perbanyakan, maka tanaman yang dibudidayakan dari induk tersebut diharapkan dapat berproduksi sesuai atau mendekati potensi genetiknya. Untuk mendapatkan tanaman induk bebas virus perlu dilakukan usaha eliminasi virus dari tanaman terinfeksi. Pada berbagai jenis tanaman dilaporkan telah berhasil dilakukan eliminasi virus melalui beberapa metode, diantaranya kultur meristem (Golino et al. 1998), terapi pemanasan (Leonhardt et al. 1998) dan penggunaan antiviral sintetik (Budiarto et al. 2008).
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
95
Tabel 2. Perbandingan berat terna basah (g/tanaman), berat terna kering (g/tanaman), kadar minyak (%) dan kadar Patchouli Alcohol (%) dari tiga varietas nilam terinfeksi virus mosaik dan yang sehat setelah 6 bulan tanam (Noveriza et al. 2012).
Varietas
Sidikalang Lhokseumawe Tapak Tuan
Kondisi Tanaman
Berat Terna Basah (g/tan)
Penurunan Bobot Terna Basah (%)
Berat Terna Kering (g/tan)
Penurunan Bobot Terna Kering (%)
Kadar minyak (%)
Penurunan Kadar Minyak (%)
Kadar Patchouli Alkohol (%)
Penurunan Kadar Patchouli Alkohol (%)
Sehat
206,73
34,65
80,60
37,10
2,64
9,09
35,65
-2,78
Sakit
135,10
Sehat
214,43
Sakit
197,57
Sehat
255,50
Sakit
187,73
50,70 7,87
80,40
2,40 0,62
79,90 26,52
113,30
3,36
2,30 40,42
67,50
**) Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DNMRT 5%.
96
2,38
36,64
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
2,11 2,06
34,50
0,72
34,25 2,37
40,90 38,83
5,06
Pada metode kultur meristem dipilih bagian jaringan yang belum terinvasi patogen yaitu bagian apikal dan ditumbuhkan menjadi tanaman lengkap yang sehat dalam media buatan. Teknik tersebut sudah berhasil diterapkan pada tanaman kentang untuk mengeliminasi virus (Quak 1972). Selain untuk mengeliminasi virus, metode tersebut juga dipakai dalam perbanyakan tanaman secara cepat (Goodwin et al. 1980). Meristem apikal yang masih bebas patogen umumnya berukuran sangat kecil untuk beberapa jenis tanaman sehingga teknik kultur meristem merupakan teknik yang relatif sulit dilakukan (Brown et al. 1988). Berdasarkan penelitian terbaru untuk mengeliminasi Potyvirus pada tiga varietas unggul nilam (Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan) kultur jaringan meristem apikal pada ketiga varietas nilam tersebut berhasil dilakukan pada media MS yang ditambah BAP 0,5 mg/l. Varietas Tapak Tuan menunjukkan pertumbuhan tunas yang berbeda nyata dengan ke dua varietas lainnya. Persentase pertumbuhan tunas varietas Tapak Tuan mencapai 90% dengan periode inisiasi lebih cepat yaitu 14 hari. Varietas Sidikalang dan Lhokseumawe menghasilkan pertumbuhan tunas berturut-turut 71,43% dan 69,23% dengan periode inisiasi berturut-turut 17 hari dan 21 hari (Noveriza et al. 2011). Ukuran jaringan meristem apikal yang ditanam sebagai eksplan tampaknya merupakan faktor penentu keberhasilan eliminasi virus (Noveriza
et al. 2011). Hasil kultur jaringan (planlet) yang diperoleh dari eksplan meristem apikal yang berukuran 0,5-1 mm menunjukkan bahwa Potyvirus belum dapat dieliminasi secara tuntas. Jumlah tanaman yang mengandung
Potyvirus berkisar antara 9% sampai 66,7 % (Tabel 3). Beberapa penelitian telah mengemukakan pentingnya ukuran eksplan untuk menghasilkan planlet bebas virus. Menurut Visessuwan et al. (1988), tanaman tebu yang diperbanyak dari kultur meristem apikal menghasilkan 88 persen tanaman bebas virus dengan ukuran meristem apikal 0,2-0,5 mm. Langhans et al. (1977) melaporkan bahwa eksplan meristem apikal yang berukuran 0,3-0,5 mm merupakan ukuran optimal dalam menghasilkan eksplan bebas virus. Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
97
Sugimura et al. (1995) mengemukakan bahwa ukuran meristem apikal yang optimum pada tanaman nilam untuk menghasilkan eksplan bebas virus PaMMV adalah 0,5 – 1 mm, sementara Singh et al. (2009) melaporkan bahwa ukuran jaringan meristem 0,2 – 0,5 mm adalah ukuran yang optimum untuk menghasilkan tanaman nilam bebas PStV. Tabel 3. Hasil deteksi Potyvirus dari tanaman nilam hasil kultur jaringan meristem apikal dan batang terminal (bukan meristem apikal) dengan metode ELISA (Noveriza et al. 2011). Jenis Eksplan
Varietas
Ukuran Eksplan (mm)
Meristem Apikal
Sidikalang Lhokseumawe Tapak Tuan Sidikalang
0,5-1 0,5-1 0,5-1 5-8
Batang terminal
Jumlah Sampe l yang diuji 12 11 27 7
Hasil ELISA Reaksi Positif
Reaksi Negatif
4 (33,3)* 1 (9,0) 18 (66,7) 7 (100,0)
8 (66,7)* 10 (99,9) 9 (33,3) 0 (0,0)
*) Rasio antara jumlah sampel yang positif/negatif dan jumlah sampel tanaman yang diuji dalam persen.
Planlet yang diperoleh dari eksplan batang terminal (bukan meristem apikal) menunjukkan gejala mosaik dan berdasarkan hasil ELISA terbukti bahwa tanaman tersebut 100% terinfeksi Potyvirus. Hasil tersebut membuktikan bahwa infeksi Potyvirus pada tanaman nilam bersifat sistemik. Penggunaan metode kultur meristem apikal sangat potensial sebagai upaya untuk eliminasi virus yang menginfeksi secara sitemik karena proliferasi selsel meristem apikal lebih cepat dibandingkan penyebaran virus (Noveriza
et al. 2011). Menurut Barahima (2003) regenerasi tunas meristem apikal menghasilkan planlet bebas virus dapat terjadi karena proliferasi sel-sel meristem tunas apikal lebih cepat dibandingkan dengan penyebaran partikel virus, sehingga setiap saat terdapat sel-sel yang belum terinvasi virus. Planlet yang dihasilkan dari sel-sel yang tidak terinvasi virus menghasilkan planlet bebas virus. Teknik eliminasi virus lain yang relatif lebih mudah dan murah dilakukan dibandingkan dengan teknik kultur meristem apikal adalah dengan 98
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
perlakuan pemanasan. Metode pemanasan untuk tujuan eliminasi virus dapat diterapkan berdasarkan fakta bahwa multiplikasi virus sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan terutama suhu yang tinggi. Beberapa hasil penelitian menemukan bahwa laju multiplikasi virus mengalami penurunan pada kisaran suhu 35⁰-43o C (Converse dan Tanne 1984). Namun demikian, toleransi jaringan tanaman terhadap suhu tinggi akan menjadi faktor pembatas dalam aplikasi metode ini. Persentase tanaman hidup pasca terapi umumnya semakin
kecil seiring
dengan
meningkatnya suhu
pemanasan (Lozoya-Saldana dan Merlin-Lara 1984). Perlakuan perendaman setek nilam varietas Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan dalam air panas pada suhu 50⁰-60⁰C dan waktu perendaman 10-30 menit tidak dapat mengeliminasi Potyvirus yang menginfeksi ketiga varietas nilam tersebut. Varietas Tapak Tuan dan Lhokseumawe lebih toleran terhadap air panas dibandingkan varietas Sidikalang, walaupun demikian daya tumbuh setek nilam semakin menurun seiring semakin lama waktu perendaman (Noveriza
et al. 2011). 4.4. Perkembangan Penelitian Selain Potyvirus, telah dideteksi juga adanya virus kelompok Fabavirus pada pertanaman nilam di Kecamatan Salem Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah (Noveriza et al. 2010). Hasil deteksi pada sampel tanaman nilam yang terinfeksi virus mosaik asal Bogor dan Brebes dengan metode ELISA, bereaksi positif dengan antiserum Broad Bean Mosaic Virus 2 (BBMV2) yang merupakan genus Fabavirus dan Potato virus X (PVX) genus
Potexvirus (Miftahurohmah, komunikasi pribadi). Ini menjelaskan juga bahwa ada tiga kelompok virus yang
menginfeksi tanaman nilam
di Indonesia yaitu Potyvirus, Fabavirus dan Potexvirus, walaupun demikian
Potyvirus
adalah
virus
yang
dominan
menyerang
tanaman
nilam
di Indonesia. Oleh sebab itu, saat ini sedang dilakukan juga penelitian untuk mendapatkan tanaman nilam yang tahan Potyvirus dengan metode Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
99
pendekatan rekayasa genetik. Melalui ekspresi gen coat protein (CP) dari
Potyvirus di dalam tanaman nilam diharapkan protein CP ini akan mengganggu replikasi lebih lanjut dari Potyvirus yang menginfeksi tanaman nilam tersebut sehingga terhindar dari penyakit mosaik. Fungsi utama dari CP virus tanaman adalah untuk pembentukkan mantel protein yang membungkus asam nukleat dari genom virus. Pada kebanyakan RNA virus tanaman, CP berperan dalam penyebaran virus pada tanaman terinfeksi virus. Selain itu juga berperanan dalam multiplikasi virus di dalam tanaman (Callaway et al. 2001; Carrington et al. 1996). Ekspresi gen CP dari beberapa Potyvirus seperti Soybean mosaic virus,
Papaya ringspot virus, Watermelon mosaic virus 2 dan Zucchini yellow mosaic virus pada tanaman transgenik tembakau (Nicotiana tabacum dan N. benthamiana) memberikan tingkatan proteksi yang bervariasi terhadap infeksi berbagai Potyvirus (Stark dan Beachy 1989; Ling et al. 1991; Namba
et al. 1992). Tingkat proteksi yang dibuat oleh gen CP pada tanaman transgenik bervariasi yang dimulai dari imun tanaman, melemahkan virus dan
memperlambat
timbulnya
gejala
penyakit.
Teknik
ini
efektif
diaplikasikan untuk mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus (Lomonossoff 1995). Di Jepang telah didapatkan tanaman tanaman transgenik nilam menggunakan transformasi Agrobacterium
yang tahan terhadap virus
PaMMV (Fabavirus) dengan ekspresi gen CP (Sugimura et al. 2005; Kadotani dan Ikegami 2002). Hasil penelitian terbaru di Indonesia, telah berhasil disisipkan gen coat protein (CP) dari Potyvirus ke dalam plasmid pembawa pJET1.2 dan kemudian disusun dalam plasmid pCambia1301, hasil ekspresinya diperbanyak dalam bakteri Escherichia coli dan Agrobacterium untuk ditransformasikan kedalam daun tanaman nilam. Daun nilam yang membawa gen CP dari Potyvirus tersebut diperbanyak dengan kultur jaringan (Koerniati et al. 2011). Tanaman nilam yang membawa gen CP akan diuji lagi untuk mendapatkan tanaman nilam yang tahan tahan terhadap Potyvirus, kemudian tanaman ini dapat dijadikan sebagai pohon induk untuk perbanyakan nilam tahan terhadap penyakit mosaik yang disebabkan oleh Potyvirus.
100
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N. 1978. Plant pathology. Second Ed. Acad. Press. Univ of Florida. Gainessfille. 703 pp. Ahmed M.2002. Patchouli, an ideal aromatic crop of commercial importance. North Eastern Development Finance Corporation Ltd. Guwahati. p11 Akiew, E. B. 1985. Influence of soil moisture and temperature on the persistence of Pseudomonas solanacearum. In G. J. Persley. (ed). Proceeding of an International Workshop held at PCARRD, Los Banos, Philippines. 8-10 October 1985. p: 77-79. ARMP. 1993. Efisiensi usahatani, tataniaga dan peningkatan mutu minyak atsiri (nilam, akarwangi, seraiwangi dan kenanga). Laporan Penelitian ARMP 1992/1993. Balittro, Bogor. Asman, A. 2000. Penyakit layu dan budok pada tanaman nilam dan cara pengendaliannya. Prosiding Gelar Teknologi Pengolahan Gambir dan Nilam. Padang dan Solok, 24-25 Januari 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Hal: 173-178. Asman, A. dan D. Sitepu. 1994. Penelitian penanggulangan penyakit nilam di D.I. Aceh. Laporan Kerjasama PT Pupuk Iskandar Muda dan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor: 19 hal. Asman, A., E.M. Adhi dan D. Sitepu. 1998. Penyakit layu, budok, dan penyakit lainnya serta strategi pengendaliannya. Monograf Nilam. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Hal: 84-88. Aspiras, R. B. dan A. R. de la Cruz. 1985. Potential biological control of bacterial wilt in tomato and potato with Bacillus polymyxa FU6 and Pseudomonas fluorescens. Edited by G. J. Persley. Proceeding of an International Workshop held at PCARRD, Los Banos, Philippines. 8-10 October 1985. P Barahima W.P. 2003. Eliminasi Sweet Potato Feathery Mottle Virus (SPFMV) pada empat kultivar Ubijalar unggul local asal Papua melalui teknik kultur meristem. Bul. Agron. 31:81-88. Barani, A. M. 2008. Strategi pengembangan nilam di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional. Pengendalian terpadu organisme penganggu tanaman jahe dan nilam. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Pengembangan Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor, 4 November 2008. p: 7-14. Bradbury, J. F. 1987. Guide to plant pathogenic bacteria. CAB International, The Cambrian News Ltd, Aberystwyth, UK. 332 p
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
101
Bridge, J. 1978. Plant nematodes associated with cloves and black pepper in Sumatra and Bangka, Indonesia. ODM Technical Report on Visit to Indonesia, July 9-19th, 1978. UK Ministry of Overseas Development. 19 pp. Brown C.R., S. Kwiatkowski, M.W. Martin dan P.E. Thomas. 1988. Eradication of PVS from Potato Clones Through Excisions of Meristems from In Vitro, Heat Treated Shoot Tips. Am. Potato J. 65: 633-638. Brunt A.A. 1992. The general properties of potyviruses. Archives of Virology 20:3-16. Buddenhagen, I. W. 1986. Bacterial wilt revisited. In G. J. Persley (ed), Bacterial wilt disease in Asia and The South Pasific. Proceeding of An International Workshop. Held at PCARRD, Los Banos. Philippines, October. ACIAR Proceeding No. 13: 26-143. Budiarto, K., Y. Sulyo, I.B. Rahardjo dan S. Pramanik. 2008. Pengaruh Durasi Pemanasan terhadap Keberadaan Chrysanthemum Virus-B pada Tiga Varietas Hrisan Terinfeksi. J. Hort. 18: 185-192. Callaway, A., D. Giesman-Cookmeyer, E.T. Gillock, T.L. Sit dan Lommel S.A. 2001. The multifunctional capsid proteins of plant RNA viruses. Annual Review Phytopathology 39:419-460. Carrington J.C., K.D. Kasschau, S.K. Mahajan dan M.C. Schaad. 1996. Cellto-cell and long-distance transport of viruses in plants. Plant Cell 10:1669-1681. Clark, M.F. dan A.N. Adams. 1977. Characteristics of the microplate method of enzyme-linked immunosorbent assay for the detection of plant viruses. Journal of General Virology 34:475-483. Converse R.H. dan E. Tanne. 1984. Heat Therapy and Stolon Apex Culture to Eliminate Mild Yellow-edge Virus from Hood Strawberry. Phytopathol. 74: 1315-1316. Corbet, D.C.M. 1976. Pratylenchus brachyurus. C.I.H. Description of Plant Parasitic Nematodes. Set 6, No. 89. CAB, London. 4 pp. Dayal, M. 2007. Chytrids of India. MD Publication. PVT. Ltd.. Ditjenbun. 2007. Nilam. Statistik Perkebunan Indonesia 2003-2006. 1-19. Djiwanti, S.R. 1988. Identification of nematodes from spice and medicinal crops. Technical Report of JICA Counterpart Training in Japan on Soilborne Diseases and Plant-parasitic Nematodes, September 14, 1987 – March 14, 1988: 33-51. Djiwanti, S.R. 2007. Kendala penyakit dalam budidaya nilam di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Pengembangan Teknologi Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor, 6 September 2007. Hal. 421432 102
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Djiwanti, S.R. 2009. Nematoda parasit dan teknologi pengendaliannya dalam budidaya nilam (Pogostemon cablin) di Indonesia. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat 21: 40-47. Djiwanti, S.R. dan Y. Momota. 1991. Parasitic nematodes associated with patchouli disease in west Java. Indust Crops Res. J. 3: 31-34. Drinkall, M.J. dan T.V. Price. 1983. Dispersal of Synchytrium psophocarpi in Papua New Guinea. Plant Pathology. 32:229-237 Drinkall, M.J. dan T.V. Price. 1986. Studies of the infection of the winged bean by Synchytrium psophocarpi in Papua New Guinea. Ann. Appl. Biol. 109:87-94 EPPO, 1999. Synchytrium endobioticum. EPPO quarantine pest. Prepared by CABI and EPPO for the EU. 1-5 pp. EPPO. 2003. Synchytrium endobioticum: soil tests and descheduling of previously infested plots. Phytosanitary procedures. EPPO, PM 3/59(2):1-3. Es, C.C. van. dan S.R. Djiwanti. 1990. Report of Field study of parasitic nematodes associated with patchouli disease in West Java. Research Institute for Spice and Medicinal Crops. Bogor. E.R. 1986. Interaction between strains of Pseudomonas solanacearum its hosts and the environment. In G. J. Persley (ed).
French,
Proceeding of an International Workshop held at PCARRD, Los Banos, Philippines. 8-10 October 1985. p:99-104. Gilling, M., P. Broadbent, J. Indsto dan R. Lee. 1993. Characterization of isolates and strains of Citrus tristeza closterovirus using restriction analysis of the coat protein gene amplified by the polymerase chain reaction. J. of Virology Methods 44:305-317. Golino, D.A., S.T. Sim, W. Grzegorezyk dan A Rowhani. 1998. Optimizing tissue culture protocols used for virus elimination in grapevines. American Journal of Ecology and Viticulture 49: 451-452. Goodwin, P.B., Y.C. Kim dan T. Adisarwanto. 1980. Propagation of shoot tip culture and shoot multiplication. Potato Res. 23: 45-49. Hadipoentyanti, E., Amalia, Nursalam, S.Y. Hartati dan S. Suhesti. 2008. Perakitan varietas untuk ketahanan nilam terhadap penyakit layu bakteri. Prosiding Seminar Nasional. Pengendalian terpadu organisme penganggu tanaman jahe dan nilam. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Pengembangan Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor, 4 November 2008. 163-176. Harni, R. dan I. Mustika. 2000. Pengaruh bakteri Pasteuria penetrans terhadap nematoda buncak akar (Meloidogyne spp.). Prosiding Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
103
Kongres Nasional 420-427.
XV dan Seminar Ilmiah PFI Purwokerto. Hal.
Hartati, S. Y., Supriadi, N. Karyani dan L. Udarno. 2008. Pengendalian penyakit layu dengan biopestisida. Prosiding Seminar Nasional. Pengendalian terpadu organisme penganggu tanaman jahe dan nilam. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Pengembangan Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Balittro. Bogor, 4 November 2008. p: 153-162. Hartati, S.Y., E.M. Adhi, A. Asman dan N. Karyani. 1993a. Efikasi eugenol, minyak, dan serbuk cengkeh terhadap bakteri Pseudomonas solanacearum. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. Bogor 1-2 Desember. p: 43-48. Hartati, S.Y., E.M. Adhi dan N. Karyani. 1993b. Efikasi minyak cengkeh dan serai wangi terhadap Pseudomonas solanacearum. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. Bogor 12 Desember. p: 37-42. Hartono, S. dan S. Subandiyah. 2006. Pemurnian dan deteksi serologi Patchouli mottle virus pada tanaman nilam. J. Perlindungan Tanaman Indonesia 12:74-82. Hartno, S. 2008. Karakterisasi virus mottle pada tanaman nilam di Indonesia. Disampaikan pada Seminar Nasional Pengendalian Terpadu Organisme Pengganggu Tanaman Jahe dan Nilam, Bogor-4 Nopember 2008. Haywards, A.C. 1986a. Bacterial wilt caused by Pseudomonas solanacearum: in Asia and Australia. An overview. In G. J. Persley (ed), Bacterial wilt disease in Asia and The South Pasific. Proceeding of An International Workshop. Held at PCARRD, Los Banos. Philippines, October. ACIAR Proceeding No. 13: 15-24. Haywards, A.C. 1986b. The hosts of Pseudomonas solanacearum. In Bacterial wilt: The disease and its causative agent, Pseudomonas solanacearum. C. Hayward and G. L. Hartman (Ed), CAB International, Willingford, Oxon, UK. ACIAR Proceeding. pp: 25-34. Haywards, A. C. 1991. Biology and Epidemiology of bacterial wilt caused by Pseudomonas solanacearum. Ann. Rev. of Phytopathology. 29: 65-87. Hewings, A.D. dan C.J. D’Arcy. 1984. Maximizing the detection capability of a beet western yellows virus ELISA system. Journal of Virological Methods 9:131-142. Irwin, M.E. 1999. Implication of movement in developing and deploying integrated pest management strategies. Agricultural and Forest Meteorology 97:235-248
104
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Kadotani, N. dan M. Ikegami. 2002. Production of patchouli mild mosaic virus resistant patchouli plants by genetic engineering of coat protein precursor gene. Pest Management Science 58:1137-1142. Karami, A., Z.A.M. Ahmad dan K. Sijam. 2009. Morphological characteristics and pathogenicity of Synchytrium psophocarpi (Rac.) Gäumann Associated with false rust in winged bean. American Journal of Applied Sciences. 6: 1876-1879. Karling, J. 1964. Synchytrium. Academic Press. New York Koerniati, S., G. Suastika, R. Noveriza and E. Hadipoentyanti. 2011. Construction and transformation a vector containing of Potyvirus Coat Protein to generating patchouli (Pogostemon cablin Benth.) resistance to Potyvirus. It will be presented at ISSAAS International Congress 2011 at Bogor Convention Center. Bogor. p11 Koshy, P.K. dan J. Bridge. 1990. Nematodes parasites of spices. In Luc, M.R.A., Sikora and J. Bridge (Ed.). Plant parasitic nematodes in Sub Tropical and Tropical Agricultures. C.A.B. International. p. 557-582. Kusnanta, M.A. 2005. Identfikasi dan pengendalian penyakit karat palsu pada nilam (Pogostemon cablin) dengan fungisida. Thesis S2 Pasca Sarjana. UGM. Langhans, R.W., R.K. Horst dan E.D. Earle. 1977. Diseases-free plants via tissue culture propogation. HortScince. 12:149-150. Leonhardt, W., Ch. Wawrosch, A. Auer dan B. Kopp. 1998. Monitoring of virus diseases in Austrian grapevine varieties and virus elimination using in vitro thermotherapy. Plant Cell Tissue anfd Organ Culture 52:71-74. Ling, K., S. Namba, C. Gonsalves, J.L. Slightom dan D. Gonsalves D. 1991. Protection against detrimental effects of potyvirus infection in transgenic tobacco plants expressing the papaya ringspot virus coat protein gene. Bio/Technology 9:752-758. Lister, R.M. 1978. Application of the Enzyme-linked Immunosorbent Assay for Detecting Viruses in Soybean Seed and Plant. Phytopathology 68:1393-1400. Lomonossoff, G.P. 1995. Pathogen-derived resistance to plant viruses. Annual Review Phytopathology 33:323-343. Lozoya-Saldana, H. dan O. Merlin-Lara. 1984. Thermotherapy and Tissue Culture for Elimination of Potato Virus X (PVX) in Mexican Potato Cultivars Resistant to Late Blight. Am. Potato J. 61: 735-739. Mahmud, M. 1986. Bacterial wilt in Indonesia. In G. J. Persley (edtr), Bacterial wilt disease in Asia and The South Pasific. Proceeding of Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
105
An International Workshop. Held at PCARRD, Los Banos. Philippines, 8-10 October 1985. ACIAR Proceeding No. 13: 30-34. Mauludi, L. dan A. Asman. 2005. Profil Investasi Pengusahaan Nilam. Unit Komersialisasi Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. p42. Meissner Filho, P.E., R de O. Resende, M.I. Lima dan E.W. Kitajima. 2002. Patchouli virus X, a new potexvirus from Pogostemon cablin. Ann. Appl. Biol. 141:267-274. Mengel, K. dan E.A. Kirkby. 1987. Principles of plant nutrition. International Potash Institute Bern, Switzerland. 4th edition. 686 pp. Mustika, I dan A. Asman. 2004. Pengendalian hama dan penyakit utama pada tanaman nilam. Perkembangan Tek. Tan. Rempah dan Obat (Edsus) 16:38-46 Mustika, I. 1998. Pemanfaatan bakteri Pasteuria penetrans untuk mengendalikan nematoda Meloidogyne incognita dan Radopholus similis. Laporan RUT. Dewan Riset Nasional. 82 hal. Mustika, I. dan O. Rostiana. 1992. The growth of four patchouli cultivars infected with Pratylenchus brachyurus. J. of Spice and Medicinal Crops 1: 5-9. Mustika, I. dan R. Harni. 2001. Pengaruh ekstrak jarak (Ricinus communis) dan mimba (Azadirachta indica) terhadap Pratylenchus brachyurus pada tanaman nilam. Prosiding Kongres Nasional XVI dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Bogor, 22-24 Agustus 2001. Halaman: 433-437. Mustika, I. dan S.B. Nazarudin. 1998. Gangguan nematoda dan cara pengendaliannya. Monograf Nilam. Balittro, Bogor. Hal. 89-95. Mustika, I. dan Y. Nuryani. 1993. Screening for resistance of four patchouli cultivar to Radopholus similis. J. of Spice and Medicinal Crops 1: 1117. Mustika, I., A. Rachmat dan Suyanto. 1995. Pengaruh pupuk, pestisida, bahan organik, terhadap pH tanah, populasi nematoda dan produksi nilam. Media komunikasi Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 15: 70-74. Mustika, I., Y. Nuryani dan O. Rostiana. 1991. Nematoda parasit pada beberapa kultivar nilam di Jawa Barat. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol. 6: 9-14. Mustika, I.; S. R. Djiwanti dan R. Harni. 2000. Pengaruh agensia hayati, bahan organik dan pestisida nabati terhadap nematoda pada tanaman nilam. Laporan penyelesaian DIP Bag. Proyek Penel. Tanaman Rempah dan Obat Tahun 1999/2000. Balittro, Bogor. Hal.: 85-92.
106
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Namba, S., K. Ling, C. Gonsalves, K.L. Slightom dan D. Gonsalves. 1992. Protection of transgenic plants expressing the coat protein gene of watermelon mosaic virus or zucchini yellow mosaic virus against six potyvirus. Phytopathology 82:940-946. Nasrun, S. Christanti, T. Arwianto dan I. Mariska. 2004b. Identifikasi bakteri patogen penyakit layu nilam. Prosiding Seminar Ekpose Teknologi Gambir, Kayumanis, dan Atsiri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Hal: 100-108. Nasrun, Y. Nuryani, Hobir dan Refianyo. 2004a. Seleksi ketahanan varian nilam terhadap penyakit layu bakteri. Prosiding Seminar Ekpose Teknologi Gambir, Kayumanis, dan Atsiri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Hal: 115-120. Natsuaki, K.T., K. Tomaru, S. Ushiku, Y. Ichikawa, Y. Sugimura, T. Natsuaki, S. Okuda dan M. Teranaka. 1994. Characteristic of two viruses isolated from patchouli in Japan. Plant Dis. 78:1094-1097. Nazarudin, S.B., R. Harni dan I. Mustika. 1996. Nematoda buncak akar pada tanaman rempah, atsiri dan obat di Indonesia serta upaya penganggulangannya. Makalah pada Kongres Nasional II dan Seminar Ilmiah PERNEMI tgl. 23-24 Juli 1996. Jember. NEDFI. 2007. Handbook of medicinal and aromatic plants. NEDFI. http://www.asamagribusiness. Akses Sept 2007. Noveriza, R., G. Suastika, S.H. Hidayat dan U. Kartosuwondo. 2010. Potyvirus Associated with Mosaic Disease on Patchouli Plants in Indonesia. ISSAAS International Congress 2010 at Inna Grand Bali Beach Hotel, Denpasar. Bali. Unpublish. p12. Noveriza, R., G. Suastika, S.H. Hidayat dan U. Kartosuwondo. 2012. Pengaruh infeksi virus terhadap produksi dan kadar minyak pada tiga varietas nilam (Pogostemon cablin Benth.). Buletin Balittro. Belum terbit. Noveriza, R., G. Suastika, S.H. Hidayat dan U. Kartosuwondo. 2011. Eliminasi Potyvirus penyebab penyakit mosaik pada tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.) dengan kultur meristem apikal dan perlakuan air panas. Jurnal Pen Tan Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Belum terbit. p14 Noveriza, R., G. Suastika, S.H. Hidayat dan U. Kartosuwondo. 2009. Detection of a Potyvirus Causing Mosaic Disease on Patchouli Plants in West Java. Seminar dan Kongres Perhimpunan Fitopatologi Indonesia XX Makasar, 2009. Unpublish. Nuryani, Y. 2005. Pelepasan varietas unggul nilam. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. 11: 1-3.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
107
Nuryani, Y., I. Mustika dan C. Syukur. 2001. Kandungan fenol dan lignin tanaman nilam hibrida (Pogostemon sp.) hasil fusi protoplas. Jurnal Littri 7 : 104 -107. Prasad, P.R.K. and D.D.R. Reddy. 1984. Pathogenicity and analysis of crop losses in patchouli (Pogostemon cablin) due to Meloidogyne incognita. Indian Journal of Nematology 14: 36 – 38. Pupuk Iskandar Muda. 1990. Pengembangan dan pemasalahan usahatani nilam dan atsiri lain di D.I. Aceh. Prosiding Komunikasi Ilmiah Pengembangan Atsiri di Sumatera. Diselenggarakan oleh Balittro. Pusat Data Informasi Pertanian. 2010. Outlook Komoditas Pertanian Perkebunan. Pusat Data dan Informasi Pertanian. Kementrian Pertanian. Jakarta. p151-168 Quak, F. 1972. The treatment and substances inhibity, virus multiplication in meristem culture to obtain virus free plant. Ad. Hort. Sci. : 141-144. Robinson., A. 1993. Serological detection of Pseudomonas solanacearum by ELISA In G. L. Hartman and A. C. Hayward (ed). Bacterial wilt: Proceeding of International Conference, held at Kaohsiung, Taiwan, 28-31 October 1992. ACIAR Proceeding. No. 45: 54-61. Rusli, S., Hobir, A. Hamid, A. Asman, S. Sufiani, dan M Mansyur. 1993. Evaluasi Hasil Penelitian Minyak Atsiri, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. 15 hlm. Sastry K.S. dan T. Vasanthakumar. 1981. Yellow mosaic of patchouli (Pogostemon patchouli) in India. Current Science 50: 767-768. Singh, M.K, V. Chandel, V. Hallan, R. Ram dan A.A. Zaid. 2009. Occurrence of Peanut stripe virus on patchouli and raising of virus-free patchouli plants by meristem tip culture. Journal of Plant Diseases and Protection 116: 2-6, Sitepu, D dan A. Asman. 1991. Penelitian penyakit nilam Daerah Istimewa Aceh. Lap Kerjasama Pupuk Iskandar Muda dan Balittro. 22 hal. Sitepu, D. dan A. Asman. 1989. Observasi penyakit nilam di Sumatera Barat. Laporan Hasil Penelitian Balittro Bogor: 4 hal. Sitepu, D. dan A. Asman. 1991. Penelitian penyakit nilam di D.I. Aceh. Laporan Kerjasama PT Pupuk Iskandar Muda dan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor: 22 hal. Sriwati, R. M.S. Sinaga, A.M. Adnan dan I. Mustika. 1999. Patogenisitas dan siklus hidup Pratylenchus brachyurus pada beberapa kultivar nilam (Pogostemon cablin Benth). Seminar Laporan Hasil Penelitian Program Pasca Sarjana IPB. 12 hal.
108
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Stark,
D.M. dan R.N. Beachy. 1989. Protection against potyvirus infection in transgenic plants:Evidencefor broad spectrum resistance. Bio/Technology 7:1257-1262.
Sugimura, Y., B.F. Padayhag, M.S. Ceniza, N Kamata, S Eguchi, T Natsuaki dan S Okuda. 1995. Essential oil production increased by using virus free patchouli plants derived from meristem-tip culture. Plant Pathology 44:510-515. Sugimura, Y., N. Kadotani, Y. Ueda, K. Shima, S. Kitajima, T. Furusawa dan M. Ikegami. 2005. Transgenic patchouli plants produced by Agrobacterium-mediated transformation. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 82:251-257. Sukamto, I.B. Rahardjo, dan Y. Sulyo. 2007. Detection of potyvirus on patchouli plant (Pogostemon cablin Bent.) from Indonesia. Proceeding International Seminar on Essential Oil. Jakarta 7-9 November 2007. p 72-77. Sumardiyono, Y.B., S. Sulandari dan S. Hartono. 1995. Penyakit mosaik kuning pada nilam (Pogostemon cablin). Risalah Kongres Nasional XII dan Seminar Ilmiah PFI Yogyakarta,6-8 September 1993. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Yogyakarta. p 912-916. Syakir, M. Supriadi dan D. Wahyuno. 2008. Perkembangan teknologi pengendalian OPT pada tanaman jahe dan nilam. Prosiding Semnas Pengendalian Terpadu Organisme Pengganggu Tanaman Jahe dan Nilam. Balittro, Puslitbangbun, Badan Litbang Pertanian. Bogor, 4 Nopember 2008. 15-30 pp. Thomson, K.G., R.G. Dietzgen, A.J. Gibbs, Y.C. Tang, W. Liesack, D.S. Teakle dan E. Stackebrandt. 1995. Identification of Zucchini yellow mosaic potyvirus by RT-PCR and analysis of sequence variability. Journal of Virology Methods 55:83-96. Thrornton, H. 2002. Synchytrium Bio Geography. www.Synchytrium. biogeography-uga.edu Visesuwan, R., W. Korpraditskul, S. Attathom dan S. Klinkong. 1988. Production of Virus-Free Sugarcane by Tissue Culture. Kasetsart J. (Nat. Sci. Suppl.) 22:30-60. Waard, P.W.F. de. 1969. Foliar diagnosis, nutrient and yield stability of black pepper (Piper nigrum L.) in Sarawak. Koninklijk Instituut voor de Tropen. 149 pp. Wahyuno, D., Sukamto, D. Manohara, A. Kusnanta, C. Sumardiyono dan S. Hartono. 2007. Synchytrium a potential threat of patchouli in Indonesia. Proceeding International Seminar on Essential Oil. Jakarta. DAI-IPB 92-99.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
109
Wahyuno, D. 2010a. Pengelolaan perbenihan nilam untuk mencegah penyebaran penyakit budok (Synchytrium pogostemonis). Rev. Penelitian Tan Industri. Perspekstif. 9:1-11. Wahyuno. D. 2010b. The Life cycle of Synchytrium pogostemonis on Pogostemon cablin. Microbiology Indonesia J. 4:127-131. Wahyuno, D. dan Sukamto. 2010. Ketahanan Pogostemon cablin dan Pogostemon heyneanus terhadap Synchytrium pogostemonis. J. Littri. 16:91-97 William, K.J.O. 1980. Plant parasitic nematodes of the Pasific. UNPFAOSPEC. Survey of Agriculture Pests and Diseases in the South Pasific. 192 pp.
110
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
PASCA PANEN NILAM Ma’mun Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Jln. Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111
I. PEMANENAN Panen nilam dilakukan pada saat umur tanaman 6-8 bulan (panen pertama) dan umur 3-4 bulan panen berikutnya. Batang nilam dipotong, sebaiknya menggunakan gunting setek, ukuran potongan 15-20 cm di atas permukaan tanah dengan meninggalkan 1 batang utama. Terna nilam yang sudah dipanen dibersihkan dari bahan lain seperti rumput dan tanah. II. PENANGANAN BAHAN 2.1. Pengeringan Tujuan pengeringan adalah mengurangi kandungan air di dalam bahan. Pada proses pengeringan sebagian besar air dalam terna menguap dan meninggalkan ruang kosong pada bahan. Akibat adanya ruang kosong ini maka jaringan bahan mengkerut dan sel minyak pecah sehingga minyak mudah keluar pada proses penyulingan. Penyulingan daun segar tidak dianjurkan karena rendemen minyak yang dihasilkan rendah. Sel-sel yang mengandung minyak sebagian terdapat di permukaan dan sebagian lagi di bagian dalam dari daun. Pada penyulingan daun segar hanya didapat minyak yang berada di permukaan saja. Pengeringan akan memberikan rendemen minyak yang lebih besar karena dinding-dinding sel lebih mudah ditembus uap. Pengeringan dilakukan dengan cara menghamparkan terna nilam di atas lantai jemur yang dibuat dari semen, atau alas tikar atau menggunakan rak bambu. Hamparan/lapisan terna nilam tidak terlalu tebal (maksimum 20 cm).
Selama
penjemuran,
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
terna
nilam
harus
dibulak-balik
agar
111
pengeringannya merata. Penjemuran dilakukan sampai kadar air dalam terna nilam mencapai 12-15%, ditandai dengan warna daun nilam menjadi abu-abu kehijaun dan timbulnya aroma minyak nilam yang lebih tajam. Lama penjemuran yang memadai adalah 2 kali (hari) masing-masing selama 5 jam. Hasil penelitian Balittro menunjukkan bahwa pengeringan terna nilam selama 5 jam yang dilakukan selama 2 hari berturut-turut menghasilkan kadar minyak terbesar dan kadar patchouli alkohol yang cukup tinggi (Tabel 1). Penjemuran dapat pula dikombinasikan dengan pengering-anginan (pelayuan). Penjemuran selama 2 jam yang diikuti dengan pengering-anginan selama 9 hari menghasilkan minyak lebih tinggi, hanya waktunya lebih lama (Tabel 2). Tabel 1. Pengaruh cara pengeringan terhadap kadar dan mutu minyak nilam Kadar minyak (%) 3,75 2,65 2,52
Cara pengeringan Dijemur 2 hari @ 5 jam Dijemur 2 hari @ 7 jam Dijemur 2 jam dan dilayukan 7 hari
Kadar patchouli alcohol (%) 31,58 33,52 32,93
Sumber : Hobir et al. (2003)
Tabel 2. Pengaruh cara pengeringan terna terhadap rendemen dan kadar patchouli alkohol minyak nilam. Cara pengeringan Dijemur (jam) 2 4 6
Dilayukan (hari) 3 6 9 3 6 9 3 6 9
Rendemen minyak **) (%, v/b)
Kadar patchouli alkohol (%)
4,51 5,23 6,39 4,36 4,51 5,20 3,99 5,18 5,49
33,9 34,2 35,1 30,0 31,4 35,1 28,4 31,4 36,2
*) daun tanpa cabang dan batang. **) berdasarkan terna kering Sumber: Hernani dan Risfaheri (1989)
112
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Pada tabel 2, rendemen minyak yang dihasilkan lebih tinggi, hal ini disebabkan bahan yang digunakan hanya terdiri dari daun nilam, tanpa cabang dan batang. Selama pengeringan, sebagian daun nilam ada yang rontok, daundaun tersebut harus diikut sertakan dalam penyulingan. Pengeringan perlu mendapat perhatian karena akan menentukan mutu minyaknya. Lama pengeringan sangat ditentukan oleh intensitas sinar matahari, tempat penjemuran dan tebal lapisan bahan yang dijemur. a.
Perajangan Terna nilam terdiri dari batang, cabang, ranting dan daun nilam.
Seluruh bagian terna nilam harus dimasukkan ke dalam ketel suling. Tujuan perajangan adalah untuk meratakan distribusi bahan dalam ketel suling sehingga dapat dicegah terjadinya jalur uap dalam ketel suling sehingga aliran uap dapat merata di dalamnya. Perajangan terna juga dapat meningkatkan daya muat tangki suling. Untuk tangki suling kapasitas kecil perajangan terna sangat dianjurkan, tetapi pengaruhnya relatif kecil dalam usaha meningkatkan rendemen minyak. Perajangan bisa dilakukan dengan menggunakan golok atau alat pemotong. Ukuran panjang rajangan sekitar 5 – 10 cm. Komposisi antara batang dan daun nilam akan berpengaruh terhadap minyak yang dihasilkan. Pada Tabel 3 dapat dilihat pengaruh perbandingan bobot batang dan daun dalam terna terhadap rendemen minyak hasil penyulingan. Dari tabel tersebut terlihat bahwa semakin besar persentase bobot batang dan ranting dalam terna akan semakin rendah rendemen minyak hasil penyulingan. Perbandingan yang baik antara batang dan daun adalah 33% batang dan 66% daun atau 1 : 2. Hal ini disebabkan kandungan minyak dalam batang, cabang atau ranting jauh lebih kecil (0,4 - 0,5%) dibandingkan dalam daun (5 - 6%).
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
113
Tabel 3. Pengaruh bobot batang dan ranting nilam dalam terna terhadap rendemen minyak Bobot batang dan ranting (%) 33 50 60 67
Rendemen minyak *) (%, v/b) 3,03 2,56 2,05 1,85
Sumber: Rusli (2002) *) Berdasarkan terna kering. .
III. PENYULINGAN a.
Teori dasar penyulingan Penyulingan
minyak
atsiri
adalah
suatu
proses
pengambilan
(pemisahan) minyak dari bahannya dengan bantuan uap air. Pemisahan minyak tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan titik didih (tekanan uap) di antara komponen-komponen bahan. Di dalam alat suling terdapat minyak dan air, dimana keduanya bersifat tidak dapat
bercampur.
Hubungan antara air dan minyak pada penyulingan dapat dinyatakan dalam persamaan matematik sebagai berikut :
WA Dimana : A WA dan WB MA dan MB PA dan PB
= = = =
PA M A x x WB PB M B
minyak. B = air berat komponen A dan B dalam kondensat berat molekul zat/cairan A dan B tekanan uap bagian A dan B
Dari persamaan di atas, akan dapat diperkirakan jumlah uap air yang diperlakukan untuk menyuling suatu bahan jika tekanan dan berat molekul masing-masing komponen/cairan diketahui pada suhu penyulingan. Dengan mengetahui kadar minyak dalam bahan dan melalui persamaan di atas, maka kebutuhan uap air yang diperlukan pada proses penyulingan dapat diketahui.
114
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Minyak atsiri bersifat mudah menguap, yang terdiri dari campuran zat atau senyawa kimia yang mudah menguap, dengan komposisi dan titik didih yang berbeda-beda. Dengan demikian, berdasarkan persamaan matematik di atas dapat dirancang kondisi penyulingan (lama penyulingan, suhu dan tekanan) yang diperlukan. b.
Jenis-Jenis Penyulingan Pada umumnya penyulingan minyak atsiri dapat dilakukan dengan
3 cara: 1.
Penyulingan dengan cara direbus, bahan terendam di dalam air.
2.
Penyulingan secara dikukus, pada sistem ini bahan berada pada jarak tertentu di atas permukaan air.
3.
Penyulingan dengan uap langsung dimana bahan berada dalam ketel suling dan uap air dialirkan dari ketel uap ke bagian bawah ketel suling. Untuk minyak nilam, cara penyulingan yang dianjurkan adalah cara
(2) dan (3), tergantung pada kondisi (modal, areal pertanaman dan situasi lapang). Kapasitas tangki suling umumnya dinyatakan dalam volume, misalnya dalam liter. Kerapatan (bulk density) terna nilam kering berkisar antara 90 - 120 g/liter, tergantung dari persentase daun dan kadar airnya. c.
Peralatan Penyulingan
c.1.
Alat penyulingan cara dikukus Bagian utama dari alat penyulingan ini adalah tungku pemanas, tangki
suling, pendingin dan pemisah/penampung minyak (Gambar 1). Kapasitas ketel suling untuk cara ini sebaiknya hanya sampai 150 kg terna kering atau sekitar 1.600 liter volume efektif. Hal ini disebabkan kecepatan penyulingan umumnya rendah karena untuk menguapkan air hanya alas ketel suling saja yang dapat dipanaskan. Seperti diketahui sampai batas tertentu makin besar kecepatan penyulingan makin banyak minyak yang akan tersulingkan. Nilai maksimum kadar minyak nilam dalam destilat adalah 0,12 - 0,13%. Untuk meningkatkan kecepatan penyulingan, gas hasil pembakaran sebelum Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
115
dibuang melalui cerobong pembuangan, terlebih dahulu dialirkan melalui pipa ke dalam air di bagian bawah ketel suling sehingga panasnya dapat dipakai untuk menguapkan air lagi. Disamping itu kecepatan penyulingan juga dipercepat, jika alat penyuling diperlengkapi dengan sistem kohobasi, dimana kondensat sesudah dipisah dari minyak pada pemisah/ penampung minyak dikembalikan lagi ke dalam ketel penyuling. Pada penyulingan dengan sistem kohobasi jumlah air penyulingan yang dipakai relatif sedikit karena kondensat sesudah dipisahkan minyaknya dalam penampung minyak, air secara otomatis dikembalikan ke dalam ketel suling. Jadi selama proses penyulingan boleh dikatakan tidak ada air penyuling yang hilang. Hal ini berarti menghemat bahan bakar karena air yang dipakai jumlahnya relatif sedikit tiap kali penyulingan. Air bekas penyulingan bisa dipakai lagi untuk 2 - 3 kali penyulingan.
Gambar 1. Alat penyulingan secara dikukus
116
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
1.
Tungku pemanas Tungku untuk memanaskan air umumnya dibuat dari bata tahan api
atau dari plat besi yang di dalamnya diberi bahan tahan api (silika slag). Tungku ini juga berfungsi sebagai penyangga ketel suling. Bahan bakar yang digunakan dapat berupa kayu, tempurung kelapa, minyak residu, oli bekas dan sebagainya. Tungku harus diperlengkapi cerobong asap, pintu api dan lobang buangan abu sisa pembakaran, dan sebaiknya tungku dibangun rendah dari permukaan tanah. 2.
Ketel suling Bahan konstruksi dapat berupa plat besi digalvanis, carbon steel dan
terbaik dari besi tahan karat ( stainless steel). Bentuk dari ketel dapat berupa silinder atau silinder konikal (besar ke atas). Bentuk silinder konikal digunakan untuk memudahkan membongkar bahan sesudah penyulingan dengan bantuan katrol. Untuk keperluan ini plat berlobang penahan terna/daun nilam dilengkapi dengan rantai besi atau jaring. Pada penyulingan dengan sistem kohobasi dimana air bekas penyulingan dialirkan kembali ke ketel suling secara otomatis maka penggunaan
air
untuk
penyulingan
akan
sangat
berkurang.
Untuk
menghindari kehilangan panas sebaiknya ketel suling diberi isolator misalnya tanah liat yang dijepit dengan bambu atau bahan lainnya yang mudah didapatkan. 3.
Pendingin Pipa pendingin sebaiknya dari besi tahan karat, kalau tidak dari
carbon steel yang relatif tahan asam/karat, daya pakai panjang dan daya hantar panas baik. Pemakaian pipa ledeng kurang baik karena mudah berkarat. Tipe pendingin dapat berupa lingkaran (coil), segi empat dan banyak pipa (multitubular) seperti terlihat pada Gambar 2. Pendingin tipe coil dan segi empat umumnya direndam dalam bak air yang terbuat dari beton atau besi plat (air selalu mengalir). Sedangkan tipe multitubular menggunakan pipa silinder besar yang terbuat dari besi tahan karat sebagai bak pendingin. Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
117
Meskipun harga alat pendingin multitubular agak mahal, tetapi mempunyai beberapa keunggulan antara lain daya mendinginkan sangat baik,
membutuhkan
tempat
sedikit/kompak,
mudah
dibersihkan,
memudahkan penggunaan sistem kohobasi dan dapat digunakan lebih dari satu ketel penyuling. Disamping itu kalau ada kebocoran dapat segera diketahui. Sistem ini sangat cocok untuk penyulingan berkapasitas besar.
Gambar 2. Bermacam-macam tipe pendingin 4.
Penampung dan pemisah minyak Sama halnya dengan pendingin, bahan untuk pemisah minyak
hendaknya dibuat dari besi tahan karat. Berbagai tipe alat pemisah minyak telah dibuat sesuai dengan sifat minyak yang disuling. Salah satu yang telah dibuat di Balittro adalah tipe pemisah minyak “serbaguna” (Gambar 3). Tipe ini dapat digunakan untuk minyak yang bobot jenisnya lebih berat maupun ringan dari air. Pemisah minyak ini berbentuk segi empat dan terdiri 3 ruangan dan diperlengkapi dengan kran pengambilan minyak pada tiap ruangan, kalau pemisahan minyak pada ruangan pertama belum sempurna, maka dipisahkan lagi pada ruangan kedua dan selanjutnya di ruang ketiga. Pemisah minyak ini sangat cocok untuk penyulingan dengan kecepatan tinggi karena biasanya minyak teremulsi di dalam air. Suhu destilat yang ditampung pada pemisah minyak hendaknya tidak lebih dari 40o C.
118
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Gambar 3. Penampung/Pemisah minyak serbaguna C.2. Alat suling dengan uap langsung Bagian utama dari alat ini adalah ketel uap, ketel suling, pendingin dan pemisah minyak (Gambar 4a dan 4b). Penyulingan biasanya dilakukan dengan tekanan uap agak tinggi karena kapasitas ketel suling cukup besar, yang bisa mencapai 6.000 liter, dimana tekanan dan jumlah uap air yang diperlukan dapat diatur dan suhu penyulingan lebih tinggi (tergantung dari tekanan uap). Berbagai tipe alat penyuling sistem ini sudah dikembangkan sesuai dengan sifat bahan/minyak yang disuling. 1.
Ketel uap Tipe dan kapasitas ketel uap bermacam-macam dari yang sederhana
buatan lokal sampai yang besar/buatan pabrik. Tipe sederhana (buatan bengkel kecil) umumnya berbentuk silinder gepeng, dibuat dari plat besi dan diletakkan horizontal di atas tungku bata. Agar ketel uap bekerja efektif dan bertekanan yang lebih besar dari 1 atm, sebaiknya di dalamnya dilengkapi pipa api/gas, sehingga kecepatan penyulingan dapat ditingkatkan, yang menyebabkan waktu penyulingan dapat dipersingkat. Untuk ini ketel uap harus dilengkapi dengan pengukur tekanan (manometer), klep keselamatan (safety valve) dan pipa penduga (pengukur air dalam ketel). Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
119
Ketel buatan pabrik umumnya berkapasitas besar, dapat mencapai 5.000 kg uap/jam. Ketel uap ini biasanya untuk memproduksi minyak nilam secara besar-besaran. Biasanya satu ketel uap dapat mensuplai uap untuk beberapa ketel suling dalam waktu bersamaan.
Gambar 4a. Penyulingan dengan uap langsung (tanpa tekanan)
Gambar 4b. Penyulingan dengan uap langsung (skala besar)
120
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
2.
Ketel suling Bahan konstruksi untuk ketel suling sama dengan sistem dikukus dan
berhubung kapasitasnya lebih besar maka sebaiknya perbandingan diameter ketel dan tinggi efektif maksimal 1 : 1,5 dan terna nilam tidak perlu difraksi dalam tangki karena terna cukup banyak mengandung batang dan cabang nilam. Untuk memudahkan membongkar bahan sebaiknya untuk ketel besar bentuknya konikal dan diperlengkapi dengan katrol. Disamping itu pada pipa keluar destilat dipasang klep pengaman dan manometer. Untuk mendistribusikan uap air, di bawah plat berlobang penahan bahan dipasang pipa baik dalam bentuk “+” atau lingkaran dan pipa ini diberi lobang-lobang kecil bagian atasnya (dipakai kalau penyulingan menggunakan tekanan lebih dari satu atm). 3.
Pendingin Alat pendingin yang digunakan pada prinsipnya sama dengan
penyulingan secara dikukus. Hanya saja kalau kapasitas ketel suling besar maka
air
dalam
bak
pendingin
harus
mengalir.
Sedangkan
kalau
menggunakan alat pendingin tipe multitubular dan tekanan penyulingan cukup tinggi maka dianjurkan alat pendingin diperlengkapi dengan pipa (vent) untuk mengeluarkan uap air karena air pendingin cukup panas. 4.
Pemisah/penampung minyak Penampung minyak sama dengan yang digunakan pada penyulingan
cara dikukus. Hanya saja untuk penyulingan dengan tekanan relatif tinggi dan kecepatan penyulingan besar, maka ruangan pemisah minyak minimum tiga ruangan, agar pemisahan minyak sempurna. Pada kondisi ini biasanya minyak teremulsi sehingga agak sukar terpisah dari air dalam waktu singkat selama penyulingan. Bahan konstruksi alat suling akan mempengaruhi mutu minyak terutama dalam karakteristik warnanya. Alat penyuling dari bahan plat besi (MS) tanpa digalvanis akan menghasilkan minyak yang berwarna gelap dan keruh karena karat. Oleh sebab itu dianjurkan untuk menggunakan alat Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
121
suling yang dibuat dari besi tahan karat (stainless steel), plat besi yang digalvanis atau carbon steel, setidaknya untuk pipa pendingin dan pemisah minyak agar dihasilkan minyak yang lebih terang dan jernih. IV. PELAKSANAAN PENYULINGAN Setelah terna nilam dimasukkan ke dalam ketel suling, sebaiknya dibasahi dengan air agar terna dapat dipadatkan (terna kering sulit dipadatkan). Pembasahan dan pemadatan dilakukan secara bertahap selama pengisian terna ke dalam ketel suling. Kepadatan terna nilam berkisar antara 90 - 120 gram/l, tergantung dari banyaknya batang/cabang nilam. Perlu diingat bahwa pada penyulingan daun nilam kering akan menyerap air sebanyak bobotnya. Oleh sebab itu pada penyulingan yang menggunakan sistem kohobasi hal ini harus diperhatikan agar tidak terjadi kekurangan air selama penyulingan.
Gambar 5. Bagan alir proses penyulingan minyak nilam 122
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Lama penyulingan tergantung dari cara, kapasitas ketel suling dan kecepatan penyulingan. Untuk penyulingan secara dikukus lamanya antara 5-10 jam. Sedangkan untuk penyulingan dengan uap langsung lamanya berkisar antara 4-6 jam. Lama
penyulingan
dapat
diperkirakan
dengan
dasar
bahwa
kandungan minyak nilam maksimal dalam destilat adalah 0,12 %. Jadi dengan
mengamati
kecepatan
penyulingan
maka
perkiraan
lama
penyulingan dapat dihitung. Untuk penyulingan secara dikukus kecepatan penyulingan yang baik/ideal adalah 0,6 kg uap/kg daun nilam. Pada penyulingan dengan uap langsung, tekanan uap mula-mula adalah 1,0 atmosfir, kemudian dinaikan secara bertahap dan akhir penyulingan 2,5-3 kg/cm2. Hal ini disebabkan fraksi berat antara lain patchouli alkohol sebagian besar baru akan tersuling pada suhu tinggi atau kalau waktu penyulingan cukup lama. Patchouli alkohol adalah fraksi yang menentukan mutu minyak nilam, makin besar kandungannya dalam minyak akan makin tinggi mutu minyak nilam. Di daerah Aceh dengan penyulingan uap langsung tetapi pada tekanan atmosfir (biasa) rendemen minyak yang dihasilkan 2,2-2,5% dengan lama penyulingan 6-8 jam. Sedangkan penyulingan nilam pada tekanan 1,5 kg/cm2 ketel suling menghasilkan rendemen 3% dengan lama penyulingan 4 jam. Gambar 5 menunjukkan bagan alir proses penyulingan minyak nilam. V. PENANGANAN MINYAK HASIL PENYULINGAN Minyak nilam yang baru disuling biasanya
masih mengandung
sejumlah air yang teremulsi di dalam minyak dan menyebabkan
minyak
menjadi keruh. Minyak tersebut harus disaring dengan kertas saring atau dengan kain sablon. Di industri, penyaringan dalam jumlah besar biasanya mengunakan filter press. Air dalam minyak dapat pula dihilangkan dengan menambahkan Na2SO4 anhidris, diaduk beberapa lama, didiamkan dan
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
123
akhirnya disaring. Bila minyak dibiarkan lama bercampur dengan air dapat terjadi proses hidrolisis dan merubah komponen tertentu di dalam minyak. 5.1. Pengemasan minyak Kemasan sementara minyak nilam yang baik adalah botol gelas yang berwarna atau jerigen plastik yang massive dan tidak tembus cahaya misalnya terbuat dari campuran polipropilen dan polivinil khlorida atau PVC resin dan sebagainya. Untuk ekspor dapat dipakai kemasan aluminium atau drum besi yang dilapisi timah putih. Pengisian kemasan hendaknya dengan ruang kosong di atasnya (head space) 5 - 10%. 5.2. Penyimpanan minyak Minyak yang sudah dikemas, harus disimpan dalam ruangan yang bersih, tidak lembab, tidak langsung kena sinar matahari dan terpisah dari bahan-bahan yang beraroma, seperti lateks dan sebagainya. Minyak nilam yang baru disuling aromamya masih kurang enak, semakin lama disimpan aromanya makin enak/berkembang aromanya dan mutunya makin baik. Sebelum digunakan biasanya minyak nilam disimpan paling sedikit selama satu tahun. VI. KARAKTERISTIK DAN MUTU MINYAK NILAM Sebagaimana minyak atsiri lainnya, minyak nilam tersusun dari berbagai senyawa kimia, antara lain patchouli alkohol, pogostol, bulnesol, nor-patchoulenol, patchoulen, bulnesen, benzaldehid, terpen dan lain-lain. Komposisi kimia tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor alam maupun pengolahan. Oleh karena itu kualitas minyak atsiri sangat sensitif terhadap perubahan, baik yang disebabkan faktor lingkungan, perbedaan cuaca, kekurangan unsur hara tanaman ataupun proses pengolahan. Komposisi kimia tersebut membentuk karakteristik yang berbeda pada setiap minyak. Dalam perdagangan, standar mutu minyak atsiri dinyatakan dalam sifat organoleptik dan sifat fisiko-kimia. Pemberlakuan standar mutu merupakan faktor penting dalam menghadapi persaingan perdagangan, terutama di dunia internasional. Disamping itu, penerapan standar mutu
124
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
minyak atsiri dapat mengurangi praktek-praktek pemalsuan minyak nilam dengan bahan-bahan lain. Standar Mutu Minyak Nilam (SNI 06-2385-2006) yang merupakan pegangan dalam perdagangan minyak nilam baik di dalam negeri maupun untuk ekspor (Tabel 4). Rendahnya produktivitas dan mutu minyak antara lain disebabkan rendahnya mutu genetik tanaman, teknologi budidaya yang sederhana, gangguan hama penyakit, serta teknik panen dan pasca panen yang kurang tepat. Dalam dunia flavour dan fragrance penilaian secara organoleptik berperanan penting. dikarenakan banyak senyawa kimia yang menunjukan adanya penyimpangan mutu tetapi secara analisis fisiko-kimia tidak terdeteksi; tetapi dengan uji organoleptik oleh orang yang telah terlatih dapat terdeteksi Tabel 4. Standar mutu minyak nilam (SNI 06-2385-2006) Karakteristik
Syarat
Warna
Kuning muda sampai cokelat tua
Bobot jenis, 25o/25oC Indeks bias, 20oC
9.943 - 0.983 1.504 - 1.514
Kelarutan dalam etanol 90% pada suhu 25oC + 3oC Bilangan asam, maks.
Larutan jernih dalam perbandingan volume 1 s/d 10 5.0
Bilangan ester, maks.
10.0
Kadar Patchouli alkohol, min.
30 %
Kadar Fe, maks.
25 ppm
VII. PEMALSUAN MINYAK NILAM Dalam perdagangan, ada kalanya minyak nilam dicampur dengan bahan-bahan asing untuk menambah jumlah minyak. Penambahan bahanbahan tersebut dapat merubah karakteristik minyak sehingga mutunya menjadi
lebih
rendah.
Bahan-bahan
yang
sering
digunakan
dalam
memalsukan minyak nilam adalah minyak lemak seperti minyak kelapa, minyak tanah, minyak keruing dan pelarut organik. Pada konsentrasi tertentu,
adanya
bahan
asing
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
tersebut
dapat
diidentifikasi
secara 125
organoleptik. Tetapi pada konsentrasi yang lebih rendah, identifikasi harus dilakukan dengan analisis fisiko kimia bahkan dengan metode kromatografi gas. Hasil evaluasi yang dilakukan Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, dari jumlah sampel minyak nilam
yang masuk dari
berbagai daerah di Indonesia hingga tahun 2003, teridentifikasi 40% mengandung lemak, 40% mengandung keruing dan 20% mengandung pelarut organik. Namun pada perkembangan berikutnya, pencampuran minyak keruing ke dalam minyak nilam sudah berkurang. VIII. PEMURNIAN MINYAK Secara umum yang dimaksud pemurnian adalah menghilangkan bahan/benda asing yang mengotori suatu zat/senyawa. Pada minyak atsiri bahan yang mengotorinya antara lain adalah debu, oksida logam (karat), resin dan sebagainya yang terlarut, terdispersi atau teremulsi di dalamnya. Adakalanya minyak atsiri sengaja dicampur dengan bahan lain untuk memperbesar volumenya tetapi mutunya rendah. Pengotoran minyak yang terbanyak adalah karat besi (Fe2O3) yang menyebabkan minyak berwarna gelap. Pengotoran minyak umumnya bersifat fisika-kimia dapat dikurangi dengan cara penyulingan ulang (rektifikasi) dan cara pengendapan (flokulasi). Rektifikasi dapat dilakukan dengan cara penyulingan kering pada kondisi vakum atau dengan cara hidrodistilasi. Pada proses hidrodistilasi ini minyak dicampur dengan air dan disuling kembali. Cara pemanasannya sebaiknya menggunakan pipa pemanas uap air (sistem tertutup) untuk menghindari kerusakan minyak. Bisa juga digunakan pemanasan dengan api langsung, hanya saja pemakaian air pencampur harus cukup banyak. Pemurnian
minyak
secara
flokulasi
khusus
digunakan
untuk
menghilangkan karat (Fe2O3) yang terkandung dalam minyak. Pemucatan atau pemurnian minyak dengan cara hidrodistilasi/penyulingan ulang selain untuk menghilangkan karat juga untuk minyak yang berubah warna karena oksidasi/polimerisasi.
126
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
8.1. Penyulingan ulang (hidrodistilasi) Prinsip pemurnian minyak dengan cara hidrodistilasi ini sama dengan penyulingan biasa dimana minyak dicampur dengan air dalam perbandingan tertentu sesuai dengan sifat minyak kemudian baru disuling. Untuk minyak nilam perbandingannya adalah 1 bagian minyak nilam dan 3 bagian air. Alat pemurnian minyak ini terdiri dari tungku/pemanas, ketel suling, pendingin, pemisah minyak dan kohobasi (Gambar 6). Bahan konstruksi alat ini hendaknya dari besi tahan karat dan sebaiknya diperlengkapi dengan sistem kohobasi agar dapat bekerja secara terus menerus.
Gambar 6. Alat pemurnian minyak atsiri dengan cara hidrodistilasi Cara penyulingan ulang/hidrodistilasi ini sesuai untuk minyak yang tidak banyak mengandung ester/fraksi berat seperti minyak serai wangi, serai dapur, lada, pala, jeruk purut dan sebagainya. Pada pemurnian minyak nilam, daun cengkeh dan kenanga (warna gelap) dihasilkan minyak kembali (recovery) berturut-turut 98,91 dan 98%, dengan warna minyak lebih cerah dengan kadar Fe2O3 sekitar 55 ppm.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
127
8.2. Alat flokulasi Tujuan utama pemurnian minyak atsiri secara flokulasi ini adalah untuk menghilangkan logam terutama karat (Fe2O3) yang terkandung di dalamnya. Chelating agent (bahan penggumpal) yang banyak digunakan adalah asam tartarat karena daya gumpalnya untuk membentuk garam komplek dengan Fe2O3 cukup besar. Pada Gambar 7, disajikan susunan alat pemurnian minyak atsiri dengan metode flokulasi. Bagian utama dari alat ini adalah motor pengaduk, ketel reaksi dan ketel pengendapan dengan bahan konstruksi dari besi tahan karat (stainless steel). Pada pemurnian minyak nilam yang keruh (transmisi cahaya 16,2%) dihasilkan minyak bening (transmisi cahaya 17,7%) dengan perolehan minyak (recovery) 97,2%. Sedangkan kadar Fe dalam minyak turun dari 236 ppm menjadi 96 ppm. Asam tartarat yang digunakan sebanyak 1% dan dalam bentuk larutan dalam etanol. Untuk menghilangkan karat (Fe2O3) dalam minyak, proses flokulasi lebih mudah dan ekonomis dibandingkan cara penyulingan ulang (hidrodistilasi).
Gambar 7. Alat pemurnian minyak nilam secara flokulasi
128
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
IX. KEGUNAAN MINYAK NILAM Pemakai terbesar minyak atsiri dan turunan minyak atsiri di dunia adalah industri perasa dan pewangi (flavor dan fragrance). Produk-produk
flavor dan fragrance tersebut selanjutnya digunakan oleh industri-industri produk konsumen seperti kosmetik, sabun, ditergent, sigaret, shampoo, makanan/minuman dalam kemasan dan sebagainya. Konsumen terbesar minyak atsiri dan turunan minyak atsiri tersebut terdapat di pusat-pusat produksi di Amerika Serikat dan Eropa (Gunawan 2002 ; Paulus 2010). Minyak nilam, menurut Lawless (2002) secara tradisional digunakan untuk pewangi kertas linen dan pakaian. Dalam industri, secara ekstensif minyak nilam digunakan dalam pembuatan kosmetik, dan digunakan sebagai fiksatif dalam sabun dan parfum, terutama parfum tipe oriental. Minyak nilam juga digunakan dalam industri makanan, minumam beralkohol dan
softdrink. Kandungan senyawa-senyawa kimia di dalam minyak nilam bersifat antimikrobial, bactericidal, antiviral, fungicidal, antiseptik, antitoksik, carminatif, diuretic, tonik, stimulan dan lain-lain. Dalam perawatan kulit, minyak nilam juga digunakan untuk mengobati jerawat, kulit pecah-pecah, ekseem, infeksi cendawan, perawatan rambut, penolak serangga, dan mengobati luka. DAFTAR PUSTAKA Gunawan, W. 2002. Persyaratan Mutu Dan Kontribusi Minyak Atsiri dan Turunannya Pada Industri Flavour Dan Fragrance. PT. Indesso Aroma. Workshop Nasional Minyak Atsiri. Guenther, E. 1987. The Essential Oils (Terjemahan). Universitas Indonesia Press. Lawless, J. 2002. The Encyclopedia Of Essential Oils. Thorsons, London. Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. P.N. Balai Pustaka. Ma’mun. 2008. Pemurnian Minyak Nilam dan Minyak Daun Cengkeh Secara Kompleksometri. Jurnal Penelitian Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan, Bogor. Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
129
Ma’mun. 2003. Identifikasi Pemalsuan Minyak Nilam di Rantai Tataniaga. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Ma’mun and Molide Rizal. 2007. Quality and Contamination of Essential Oils from Several Production Areas of Indonesia. International Seminar On Essential Oil. Paulus, J. Rusli. 2010. Peluang Pemakaian Minyak Atsiri Baru Indonesia untuk Perisa dan Pewangi. Asosiasi Flavor dan Fragran Indonesia. Konferensi Nasional Minyak Atsiri. Rusli, S. 2002. Diversifikasi Ragam Dan Peningkatan Mutu Minyak Atsiri. Workshop Nasional Minyak Atsiri. Rusli, S. 1989. Rekayasa Alat Penyuling Minyak Atsiri Hemat Energi. Balai Penelitian Tanaman Rempah Dan Obat. Rusli, S. 1999. Penanganan Bahan dan Penyulingan Minyak Nilam. Balai Penelitian Tanaman Rempah Dan Obat. Rusli, M. 2007. Cara Produksi yang Baik Minyak Nilam. Direktorat Industri Kecil dan Menengah. Sait, S. 1990. Identifikasi Pemalsuan Minyak Atsiri Secara Kromatografi Gas. Balai Besar Indutri Hasil Pertanian. Sastrohamidjojo, H. 2004. Kimia Minyak Atsiri. Gadjah Mada University Press. Standar Nasional Indonesia, 2006. Standar Mutu Minyak Nilam. Badan Standarisasi Nasional.
130
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
PENGGUNAAN MINYAK NILAM DAN PEMANFAATAN LIMBAHNYA Shinta Suhirman Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Jln. Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111
Nilam (Pogestemon cablin Benth) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang penting, baik sebagai sumber devisa negara maupun sumber pendapatan petani. Dalam pengelolaan dan pengembangannya, produksi nilam melibatkan banyak pengrajin serta menyerap ribuan tenaga kerja. Minyak nilam memiliki potensi strategis di pasar dunia sebagai bahan pengikat aroma wangi pada parfum dan kosmetika.
Minyak nilam dapat
berfungsi sebagai zat pengikat (fiksatif) dan tidak dapat digantikan dengan zat sintetis lainnya (Rusli 1991). Minyak nilam diperoleh dari hasil penyulingan daun, batang dan cabang tanaman nilam. Kadar minyak tertinggi terdapat pada daun dengan kandungan utamanya adalah patchouly alkohol yang berkisar antara 30 – 50 % dan merupakan senyawa yang menentukan bau minyak nilam (Leung 1980). Waktu panen berpengaruh terhadap kandungan dan komponen minyak nilam. Kandungan minyak dari bulan Juni sampai Agustus masing-masing 0,8, 0,7 dan 0,6%, sedangkan kadar patchouli alkohol dalam minyaknya pada panen bulan Juni dan Juli (40,84% dan 42,62%) lebih tinggi dari pada panen pada bulan Agustus (31,40%)
(Nurdjanah et al.
2010). Kebutuhan minyak nilam akan terus meningkat sejalan dengan kenaikan konsumsi terhadap produk parfum, kosmetika, sabun bahkan telah berkembang untuk produk tembakau dan minyak rambut. Dengan adanya kebutuhan tersebut, menyebabkan prospek ekspor minyak nilam di masa datang masih cukup besar sejalan dengan semakin tingginya permintaan terhadap parfum dan kosmetika, trend mode dan belum berkembangnya materi subsitusi minyak nilam di dalam industri parfum maupun kosmetika. Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
131
Selain itu minyak nilam dapat digunakan dalam industri sabun, obatobatan untuk anti jamur pada kulit, bahan pestisida nabati (repellent) dalam penggunaannya dalam bentuk lotion sebagai anti nyamuk maupun pengusir ngengat pada kain dan dapat dimanfaatkan sebagai aroma terapi. Selain sebagai pengikat wangi pada parfum adapun manfaat dari minyak nilam yaitu sebagai antibiotik dan anti radang karena dapat menghambat pertumbuhan jamur dan mikroba. Minyak nilam merupakan minyak eksotik yang dapat meningkatkan gairah dan semangat serta mampunyai sifat meningkatkan sensualitas. Minyak nilam dapat memberikan efek menenangkan dan membuat tidur lebih nyenyak sehingga minyak nilam dapat digunakan untuk aroma terapi karena mempunyai efek sedatif. Pemanfaatan Limbah Penyulingan Minyak Nilam Limbah hasil prosesing minyak nilam banyak dijumpai di industri penyulingan minyak nilam. Besarnya volume limbah nilam seringkali menjadi masalah bagi pihak industri pengolahan itu sendiri maupun lingkungan. Limbah hasil penyulingan daun masih mempunyai kadar hara yang tinggi dan berpotensi sebagai bahan baku pupuk organik yang baik. Teknologi pengomposan yang cepat dan efisien akan menghasilkan pupuk organik kompos yang bermutu tinggi. Selain itu, senyawa alelopati di dalam terna tersebut diharapkan akan berkurang dan hilang selama masa proses pengomposan. Selain sebagai sumber bahan pupuk organik, limbah nilam berpotensi sebagai mulsa. Secara umum pemulsaan dapat memperbaiki kondisi lingkungan tumbuh terutama dalam menurunkan suhu tanah yang tinggi dan sebagai sumber hara. Namun demikian seberapa jauh dampak limbah hasil penyulingan yang langsung diberikan ke tanaman nilam sebagai mulsa perlu penelitian yang lebih seksama (Djazuli dan Trisilawati 2004) Pengkomposan limbah nilam dengan cara menggunakan pupuk kandang atau pupuk kandang + kapur + EM4 1% selama 3 minggu menghasilkan kompos limbah nilam dengan status hara dan tingkat 132
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
dekomposisi yang baik (Djazuli 2002). Selanjutnya dilaporkan pula bahwa pemberian kompos mampu meningkatkan bobot segar terna nilam secara nyata pada tiga taraf pemupukan NPK yang diberikan. Hal ini disebabkan oleh kandungan hara pada kompos limbah nilam relatif tinggi, sehingga mampu memperbaiki pertumbuhan dan produktivitas tanaman nilam secara nyata. Limbah dari hasil penyulingan minyak nilam jumlahnya berkisar 40-50% dari bahan baku, limbah penyulingan minyak selain dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kompos dapat pula dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan dupa dan obat nyamuk bakar serta sisa air dari hasil penyulingan setelah dipekatkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk aroma terapi (http: // www petani Indo.com/2009). Dengan adanya diversifikasi pemanfaatan limbah pengolahan minyak nilam, diharapkan akan dapat meningkatkan nilai ekonomi usahatani nilam. DAFTAR PUSTAKA Djazuli, M. 2002. Pengaruh aplikasi kompos limbah penyulingan minyak nilam terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman nilam (Pogostemon cablin L.). Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Pertanian Organik, Jakarta, 2-3 Juli 2002. hal. 323-332 Djazuli, M. dan O. Trisilawati, 2004. Pemupukan, pemulsaan dan pemnfaatan limbah nilam untuk peningkatan produktivitas dan mutu nilam. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat. 16: 29-37 http://www petani Indo.com/2009. (13 September 2011).
Pemanfaatan
Leung, A.Y. 1980. The Encyclopedia of Common Ingredients. John Wiley dan Sons, New York.
limbah
nilam.
Natural Product
Nurdjanah, N., T. Hidayat dan C. Winarti. 2010. Teknologi Pengolahan minyak Nilam. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. 39 halaman Rusli, S. 1991. Pemurnian mutu minyak nilam dan daun cengkeh. Prosiding Pengembangan Tanaman Atsiri di Sumatera, Bukit Tinggi. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Hal. 89-96. Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
133
KELAYAKAN USAHATANI DAN AGROINDUSTRI NILAM Ermiati1) dan Chandra Indrawanto2) Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika 1) Jln. Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111 Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain 2) Jln. Bethesda II, Mapanget, Manado 1004 I. PENDAHULUAN Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan salah satu tanaman penghasil atsiri yang menyumbang devisa lebih dari 50% dari total ekspor minyak atsiri Indonesia. Minyak nilam tidak dapat digantikan oleh produk sintetis dan Indonesia merupakan pemasok minyak nilam utama dalam
perdagangan
dunia
dengan
kontribusi
sekitar
90%.
Laju
perkembangan kebutuhan minyak nilam relatif tidak tinggi, tetapi secara konsisten kebutuhan dunia menunjukkan peningkatan. Ekspor minyak nilam Indonesia tahun 2002 tercatat sebesar 1.295 ton dengan nilai US 22,5 juta dolar dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 4.984 ton dengan nilai 49, 5 juta dolar (Ditjenbun 2009). Hampir seluruh pertanaman nilam di Indonesia merupakan perkebunan rakyat yang melibatkan lebih dari 65.651 kepala keluarga petani (Ditjen Bina Produksi Peternakan 2007; Ditjebun 2011). Harga minyak nilam di pasar lokal berkisar Rp 200.000-250 000,- per kg. Importir minyak nilam terbesar di dunia adalah Amerika Serikat (lebih dari 200 ton/tahun), disusul lima negara Eropa, masing Inggris (45-60 ton/tahun), Perancis, Swiss (40-50 ton/tahun), Jerman (35-40 ton/tahun) dan Belanda (30 ton/tahun) (http://arsip.pontianakpost.com dalam Sagala 2009). Produk minyak nilam dipergunakan dalam industri parfum, kosmetik, antiseptik dan insektisida, saat ini juga berkembang pemanfaatan nilam sebagai bagian dari aromaterapi. Sampai tahun 2009 sentra produksi nilam di Indonesia, terdapat di Sumatera Barat, Sumatera Utara, Nangroe Aceh Darusalam, Sumatera Selatan, Jambi, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur dengan 134
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
total luas perkebunan 24.535 ha, luas panen 17.447 ha dengan produksi sebanyak 2.779 ton. Pada tahun 2011 mencapai 24 718 ha dengan luas panen 18.089 ha dan produksi 3,872 ton. Tetapi produktivitas nilam tersebut masih tergolong rendah, hasilnya rata-rata hanya 214 kg per ha per tahun dengan kadar minyak 1-2 % dari bahan kering (Ditjenbun 2009 dan 2011; Ditjen Bina Produksi Peternakan 2007). Rendahnya produktivitas dan
mutu
minyak
atsiri antara
lain
disebabkan rendahnya mutu genetik tanaman, teknologi budidaya yang masih sederhana, gangguan hama penyakit serta pemanenan dan pasca panen yang belum tepat. Ada tiga jenis nilam di Indonesia, yaitu nilam aceh (Pogostemon cablin Benth), nilam jawa (Pogostemon heyneanus Benth) dan nilam sabun (Pogostemon hortensis Backer). Akan tetapi yang umum dibudidayakan adalah nilam aceh karena kadar minyaknya cukup tinggi, yaitu lebih dari 2%, disamping itu kualitas minyaknya juga lebih baik dibanding nilam lain (Ditjen Bina Produksi Peternakan 2007). Pada tahun 2005 Balittro telah melepas 3 varietas unggul nilam, yaitu varietas Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan yang semuanya dari jenis nilam aceh. Penggunaan varietas unggul yang tepat, disertai dengan teknik budidaya yang baik, penanganan pasca panen dan pengolahan bahan yang sesuai, akan menghasilkan produksi minyak yang tinggi. Teknologi budidaya dan pascapanen telah tersedia, namun teknologi tersebut belum semuanya diadopsi oleh petani, mengingat proses alih teknologi kepada petani memerlukan
investasi yang
tinggi, karena
keterbatasan modal, petani belum mampu mengadopsi seluruh teknologi tersebut. Tulisan ini menyampaikan informasi tentang kelayakan usahatani dan agro industri penyulingan nilam.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
135
II. KELAYAKAN USAHATANI Petani sebagai pelaksana mengharapkan produksi usahataninya besar agar
memperoleh
pendapatan
yang
besar
pula.
Untuk
itu
petani
menggunakan tenaga, modal dan sarana produksinya sebagai umpan untuk mendapatkan produksi yang diharapkan. Suatu usahatani dikatakan berhasil apabila usahatani tersebut dapat memenuhi kewajiban membayar bunga modal, alat-alat yang digunakan, upah tenaga kerja luar serta sarana produksi yang lain dan dapat menjaga kelestarian usahanya (Suratiyah 2006) A.
Analisis kelayakan finansial usahatani 3 varietas unggul nilam (Lhoseumawea, Tapak Tuan dan Sidikalang). Hasil penelitian Indrawanto dan Syakir (2008), kelayakan finansial
usahatani nilam varietas unggul Lhokseumawe, Tapak Tuan dan Sidikalang dengan skala produksi 1 ha, periode analysis 2 tahun (4 kali panen),
discount factor 12% per tahun, harga terna kering Rp 3 000,-/kg (perbandingan bobot kering dengan basah 1:4), produksi terna, kadar minyak dan produksi minyak per kg per ha per tahun untuk masing-masing varietas (Tabel 1 dan 2). Tabel 1.
Produksi terna, kadar dan produksi minyak per kg per per tahun tiga varietas nilam
Varietas
Produksi terna (kg kering/ha/thn)
Kadar minyak (%)
Produksi minyak (kg.ha/tahun)
11,087 13,237 10,902
3,21 2.83 2,89
356 376 315
Lhokseumawe Tapak Tuan Sudikalang
Sumber: Indrawanto dan Syakir (2008)
B.
Analisa Data Untuk mengetahui kelayakan usahatani masing-masing varietas
dianalisis melalui pendekatan analisis Benefit Cost Ratio (B/C), Net Present Value (NPV) dan Internal Rate Of Return (IRR) (Gittinger 1986; Kadariah et
al. 1988; Soetrisno 1982) dengan persamaan sebagai berikut: 136
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
B.1. Net Present Value (NPV) merupakan selisih antara benefit (penerimaan) dengan cost (pengeluaran):
Bt Ct
n
NPV
(1 i)
=
i 1
t
Kriteria NPV, yaitu (1). NPV > 0, berarti usahatani layak (2). NPV < 0, berarti usahatani tidak layak (3). NPV = 0, berarti tambahan manfaat yang diterima sama dengan tambahan biaya yang dikeluarkan B.2. Net Benefit/Cost Ratio (Net B/C rasio) Merupakan perbandingan antara benefit bersih dengan biaya bersih. n
Net B/C rasio
=
Bt
(1 i ) t 1 n
Ct
(1 i ) t 1
t
t
Kriteria Net B/C Ratio, yaitu: (1). Net B/C Rasio > 1, berarti usahatani menguntungkan (2). Net B/C Rasio < 1, berarti usahatani tidak menguntungkan (3). Net B/C Rasio = 1, berati usahatani pada kondisi impas (penerimaan = pengeluaran), atau terjadinya Break Event Point (BEP) B.3. Internal Rate of Return (IRR), yaitu: Menunjukkan kemampuan suatu proyek untuk menghasilkan suatu returns atau tingkat keuntungan yang akan dicapainya. IRR ini sebagai pedoman tingkat bunga bank (i) yang berlaku, walaupun sebetulnya bukan
i, tetapi IRR akan selalu mendekati besarnya i tersebut: IRR
=
i,
NPV (i ' i'' ) NPV ' NPV ''
Kriteria IRR, yaitu/Criteria of IRR, namely: (1) IRR > Sosial Discount Rate, berarti usahatani layak (2) IRR < Sosial Discount Rate, berarti usahatani tidak layak
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
137
Keterangan: Bt = penerimaan tahun ke t Ct = pengeluaran tahun ke t I’ = tingkat bunga yang menghasilkan NPV positif/ I“ = tingkat bunga yang menghasilkan NPV negetif/ NPV’ = NPV positif NPV“ = NPV negatif NPV’ + NPV“= merupakan penjumlahan mutlak C.
Analisis Hasil analisis diketahui bahwa usahatani ke tiga varietas unggul
nilam tersebut menguntungkan dan layak untuk dikembangkan. Hal ini ditunjukkan oleh kriteria NPV masing-masing vatietas tersebut positif, IRR diatas tingkat suku bunga bank yang berlaku (12%/ tahun) dan B/C Rasio masing-masing > 1 (Tabel 2). Dari ke tiga varietas unggul yang ada, ditinjau dari segi poduksi varietas nilam Tapak Tuan memberikan keuntungan lebih tinggi karena produksinya lebih tinggi dari dua varietas lainnya (Tabel 2). Tabel 2. Kalayakan usahatani tiga varietas unggul nilam asal Balittro Parameter Produksi terna kerning/ha/tahun (kg) Harga terna kering (Rp/kg) NPV IRR (%) B/C Ratio Harga BEP (Rp/kg) Produksi BEP (kg/ha)
Lhokseumawe
Varietas Tapak Tuan
Sidikalang
11.087 3.000 28.593.027 9,46 2,44 1.550
13.278 3.000 40.269.140 11,84 3,03 1.300
10.902 3.000 27.607.139 9,24 2,39 1.575
5.740 kg terna kering per tahun
Sumber: Indrawanto danSyakir (2008)
C.1. Analisis Finansial Agroindustri Penyulingan Minyak Nilam Dengan volume ketel 2.000 liter, kapasitas berjalan dua kali suling per hari selama 25 hari kerja. Biaya investasi Rp 168 juta, modal kerja Rp 68 juta dan lama usaha 20 tahun, discount factor 12%/tahun dan harga terna 138
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Rp 3.000/kg kering. Hasil analisis menunjukkan, agroindustri penyulingan minyak nilam dari ke tiga varietas unggul yang ada, ke tiga-tiganya menguntungkan dan layak diusahakan. Hal ini ditunjukkan oleh kriteria NPV masing-masingnya positif, IRR lebih tinggi dari tingkat suku bunga bank yang berlaku (12%/tahun) dan B/C Rasio > 1. Varietas unggul nilam yang memberikan keuntungan paling tinggi, yaitu varietas Lhokseumawe karena kadar minyaknya lebih tinggi dari ke dua varietas lainnya (Tabel 3). Tabel 3. Kelayakan agroindustri penyulingan minyak nilam dari tiga varietas unggul nilam Parameter Harga terna kering (Rp/kg) Luas pertanaman nilam (ha) Rendemen (%) Produksi minyak per tahun (kg) Harga minyak (Rp/kg) NPV IRR (%) B/C
Varietas Lhokseumawe 3.000 11 3.21 3.915 200.000 958.560.364 90 6,71
Tapak Tuan 3.000 9 2,83 3.419 200.000 328.748.795 40 2,96
Sidikalang 3.000 11 2,89 3.466 200.000 420.141.938 47 3,50
Sumber: Indrawanto dan Syakir (2008)
C.2. Analisis Sensitifitas: Hasil analisis sensitifitas harga menunjukkan bahwa jika produktifitas minyak masing-masing varietas tetap (Tabel 4), maka kondisi BEP usaha agroindustri penyulingan minyak nilam terjadi jika harga minyak nilam untuk masing-masing varietas (Lhokseumawe, Tapak Tuan dan Sidikalang) turun menjadi Rp 163.500,-, Rp 185.500,-, Rp 182.000,- per kg. Begitu juga rendemen BEP masing-masing 2,63%.
Jika harga minyak nilam yang
berlaku dan rendemen berada di bawah masing-masing angka tersebut, maka usaha agroindustri penyulingan minyak masing-masing varietas akan mengalami kerugian (Tabel 4)
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
139
Tabel 4. Analisis sensitivitas tiga varietas unggul nilam Varietas Unggul
Parameter
Lhokseumawe
Harga minyak BEP (Rp/kg) Rendemen BEP (%) HPP (Rp/kg)
Tapak Tuan
163.500 2,63 134.576
Sidikalang
185.500 2.63 152.670
182.000 2.63 149,519
Nilam varietas Tapak Tuan dengan keunggulan produktivitas terna yang tinggi memberikan keuntungan usahatani tertinggi. Nilam varietas Lhokseumawe dengan tingkat rendemen minyak yang tinggi memberikan keuntungan agroindustri penyulingan minyak yang tertinggi. Keunggulan produktivitas terna varietas Tapak Tuan dan keunggulan tingkat rendemen varietas Lhokseumawe tidak akan berarti jika ancaman penyakit layu bakteri dan nematoda cukup tinggi. Nilam varietas Sidikalang merupakan pilihan tepat untuk kondisi ini. C.2.1. Kelayakan usahatani nilam teknologi introduksi dan pola petani di lahan kering Kalimantan Tengah Pegembangan usahatani lahan kering di Kalimantan Tengah yang bertumpu hanya pada tanaman pangan saja, agak sulit memenuhi kebutuhan petani akan pangan sehingga perlu diusahakan tanaman perkebunan antara lain nilam. Pengembangan tanaman nilam dapat ditanam secara monokulktur atau multiple cropping. Sebagian besar petani di Kalimantan
Tengah
membudidayakan
intercropping dengan tanaman
nilam
secara
monokultur
dan
terong, kacang panjang, cabe, semangka
dan kelapa sawit untuk efisiensi lahan, diversivikasi komoditas, kesuburan lahan maupun pengendalian hama dan penyakit (Krismawati et al. 2005). Penanaman nilam pada umumnya diusahakan dengan budidaya sederhana dan semi intensif yang pada lahan pekarangan dan lahan usahatani seluas 0,25-1,0 ha. Lahan yang baru dibuka langsung ditanami nilam dan hanya untuk selama satu tahun dengan panen 1-2 kali, karena kadar Patchouli Alkohol (PA) yang merupakan salah satu kualifikasi mutu
140
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
untuk minyak nilam semakin menurun karena kekurangan air pada musim kemarau dan tanah yang kurang subur. Produktivitas terna kering di tingkat petani masih rendah, yaitu 1-1,5 ton/ha/tahun. Produktiviats ini masih bisa ditingkatkan dengan menggunakan varietas unggul, penanaman nilam pada daerah yang sesuai, pemberian pupuk serta pengendalian hama dan penyakit (Krismawati et al. 2006). Pembinaan terhadap petani nilam di Kabupaten Kotawaringin Timur dilakukan mulai tahun 2001. Pada tahun 2003 Disbun Tk I Kalimantan Tengah dan Disbun Tk II Kabupaten Kotawaringin Timur melaksanakan program Pengembangan Komoditas Rintisan nilam seluas tujuh ha di lahan transmigrasi Parenggean UPT J II di jalur 4 dan pada tahun 2003 dan 2004 memberikan bantuan alat penyuling minyak nilam dengan kapasitas 350 kg dan 50 kg terna kering (Krismawati et al. 2005). Pengadaan alat suling ini menambah semangat petani menanam nilam dengan memanfaatkan lahan yang cukup luas, mengingat produksinya dalam
bentuk
minyak,
mempunyai
harga
cukup
tinggi.
Semakin
bertambahnya luas pertanaman nilam menunjukkan bahwa tanaman tersebut diminati oleh petani di Kalimantan Tengah, karena mempunyai prospek dan peluang pasar cukup tinggi.
Perbedaan dan penerapan
teknologi usahatani nilam dengan teknologi introduksi dan pola petani, di Kalimantan Tengah (Tabel 5). Tabel 5. Perbedaan dan Penerapan Teknologi Introduksi dan Pola Petani, di Desa Tanah Putih Darat Kec. Kota Besi Kabupaten Kotawaringin Timur, MT 2004-2005 Komponen Tekonologi Varietas Pembibitan Pengolahan tanah
Pola tanam
Pola Petani
Teknologi Introduksi
Aceh Polibag berisi media tanam berupa campuran tanah + pukan yang sudah matang (1:1) Dilakukan dengan system Tanpa Olah Tanah (TOT) dengan menggunakan herbisida sebanyak 2l/ha
Sidikalang Polibag berisi media tanam campuran tanah + pukan yang sudah matang (1:2) Dilakukan dengan sistem Tanpa Olah Tanah (TOT) dengan menggunakan herbisida sebanyak 4 l/ha Monokultur
Monokultur, Intercopping; nilamcabe; nilam terong; nilam kacang panjang; nilam semangka; nilam-ubi kayu; nilam-kelapa sawit
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
141
Tabel 5. Lanjutan Komponen Tekonologi
Pola Petani
Teknologi Introduksi
Pengapuran
Tanpa kapur
Kapur 3. 500 kg/ ha 2 minggu sebelum tanam (350 gram/lubang)
Jarak tanam
100 cm x 100 cm, 1 bibit/lubang (20 cm x 20 cm x 20 cm)
100 cm x 100 cm, 1 bibit/lubang (30 cm x 30 cm x 30 cm)
Pupuk organik
Kompos 100 gram/lubang
Kompos 500 gram/lubang
Pupuk an organik
Urea SP-36 KCL
Urea = 280 kg/ha Sp-36 = 70 kg/ha KCl = 140 kg/ha
Pengendalian OPT
Sanitasi dan diperhatikan
Pasca panen/Prosesing
Dijemur 1 hari @ 6 jam Dan penyulingan selama 5 jam
= 100 kg/ha = 50 kg/ha = 70 kg/ha eradikasi
kurang
Sanitasi & eradikasi dilakukan sejak di pembibitan hingga panen. Memperbaiki drainase pada waktu curah hujan tinggi. Mengunakan pestisida untuk mencegah penularan. Dijemur 2 hari @ 7 jam Lama penyulingan 7 jam
Sumber: Krismawati dan Bhermana (2006)
C.2.2.
Analisa Data
Untuk mengetahui tingkat pendapatan petani dilakukan dengan metode finansial: -
R/C yaitu imbangan penerimaan dan biaya,
-
B/C yaitu imbangan keuntungan dan biaya serta
-
MBCR yaitu ditujukan untuk melihat produksi dan pendapatan yang diterima petani sebelum dan sesudah pengkajian (before
and after) (Kadariah 1988; Soekartawi 2002). Cara perhitungan R/C, B/C dan MBCR adalah sebagai berikut : total penerimaan R/C = -------------------total biaya B/C =
142
keuntungan -------------total biaya
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
penerimaan introduksi - pola petani MBCR = -----------------------------------------pengeluaran introduksi - pola petani Untuk
mengetahui
kelayakan
dari
usahatani
nilam
digunakan
beberapa indikator kelayakan Yaitu (Soetrisno 1981; Gittinger 1986). - Net Present Value (NPV), dan - Net Benefit Cost Ratio (Net B/C rasio) III. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menunjukkan, bahwa bobot terna basah, bobot terna kering dan poduksi minyak melalui penerapan teknologi introduksi relatif lebih tinggi dibandingkan teknologi di tingkat petani (pola petani) (Tabel 6). Produksi tanaman nilam tergantung sekali pada varietas yang ditanam, keadaan tanah, dan pertumbuhan tanaman. Menurut Nuryani et al. (2004), salah satu usaha untuk meningkatkan produksi dan mutu minyak nilam adalah melalui perbaikan bahan genetik. Tanaman
nilam
sangat
responsif
terhadap
pemupukan
yang
diperlukan untuk meningkatkan produksi terna, mutu minyak nilam, dan untuk
mempertahankan
atau
mengembalikan
kesuburan
tanah.
Pertumbuhan tanaman yang optimal dapat diperoleh melalui pemupukan, guna memenuhi kebutuhan hara tanaman selama pertumbuhannya. Pemupukan pada tanaman nilam selain menggunakan pupuk anorganik (seperti pupuk Urea, SP- 36 dan KCl), juga menggunakan pupuk organic (Mile et al. 1991). Tabel 6. Bobot Terna Basah, Bobot Terna Kering, Produktivitas Minyak dan Kadar Patchouli Alkohol (PA) dengan Penerapan Teknologi Introduksi dan Pola Petani Perlakuan Perlakuan Parameter Bobot terna basah (ton/ha) Bobot terna kering (ton.ha) Produktivitas minyak (kg/ha) Kadar Patchouli Alkohol (PA)
Teknologi Introduksi 15,50 3,50 117,60 32,64
Pola Petani 8,50 2,00 54,50 24,67
Sumber: Krismawati dan Bhermana (2006)
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
143
Pemberian dosis NPK adalah 14 gram/tanaman atau 280 kg/ha (Trisilawati 2002). Pemupukan sangat penting untuk diperhatikan, karena hasil yang diharapkan dari tanaman nilam adalah terna terutama daun. Oleh sebab itu faktor kesuburan merupakan suatu hal yang perlu diusahakan, agar
pertumbuhan
vegetatif
tanaman
dapat
semaksimal
mungkin.
Pemberian pupuk anorganik mampu menyediakan unsur hara lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih besar. Produksi yang baik dapat mencapai 15-20 ton daun basah atau 5 ton daun kering per ha dengan rendemen minyak 2,5-4% sehingga produksi minyak mencapai 100-200 kg/ha/tahun (Emmyzar dan Ferry 2004). Budidaya yang sederhana dan kurang intensif serta bibit yang kurang baik mutunya menyebabkan produktivitas nilam menjadi rendah, yaitu sekitar 2 ton terna nilam kering/ha/tahun (Sudaryani dan Sugiharti 1991). Tabel 7. Analisis usahatani nilam seluas 1 hektar/1 kali panen di Desa Tanah Putih Darat, Kec Kota Besi, Kabupaten Kotawaringin Timur, musim tanam 2004 - 2005
Sumber: Krismawati dan Bhermana (2006)
144
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Produk olahan dari terna nilam adalah minyak nilam, dengan tersedianya beberapa unit penyulingan minyak nilam dilokasi penelitian maka petani mengolah sendiri terna nilam menjadi minyak. Panen nilam dilakukan pada umur 6 - 9 bulan, biasa dilakukan dua kali panen, akan tetapi panen kedua jarang dilakukan karena kadar Patchouli Alkohol (PA) pada panen kedua menurun. Hai ini disebabkan tanah yang kurang subur dan kekurangan air pada musim kemarau dan hasilnya hanya ± 30% dari hasil panen pertama. Oleh karena itu penerimaan yang diperhitungkan dalam penerimaan tunai diasumsikan bahwa petani hanya satu kali panen. Analisis
finansial
usahatani
menunjukkan
penerapan
teknologi
introduksi memberikan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pola petani. Bobot terna kering dengan penerapan teknologi introduksi (petani kooperator) dapat mencapai 3,5 ton/ha/1 kali panen dengan penerimaan sebesar Rp.21.168.000,-, sedang pola petani (petani non kooperator) memperoleh 2,0 ton/ha/1 kali panen dengan penerimaan hanya sebesar Rp.8.175.000,- (Tabel 7). Demikian pula produktivitas minyak nilam petani kooperator dapat mencapai rata-rata 117,60 kg/ha/1 kali panen, sedang petani non kooperator rata-rata hanya mencapai 54,50 kg/ha/1 kali panen atau terjadi peningkatan sebesar 2,16 kali kali lipat dari produktivitas pola petani (Tabel 7). Begitu juga dengan keuntungan yang diperoleh oleh petani kooperartor (tekonologi introduksi) lebih tinggi (Rp. 11.043.875,-) atau meningkat 326% dibanding pola petani yang hanya sebesar Rp 3.500.000,-/ha/panen . Pola usahatani, baik pola petani maupun penerapan teknologi introduksi secara finansial sama-sama layak diusahakan. Hal ini ditunjukkan oleh kriteria kelayakan NPV positif dan B/C rasio >1. Namun usahatani dengan teknologi introduksi lebih menguntungkan dengan NPV
Rp
9.086.910,-, dan Net B/C rasio 1,95 serta MBCR 2,38. Sedangkan NPV pada pola petani hanya sebesar Rp 2.487.450,- dengan B/C rasio 1,53 (Tabel 7).
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
145
IV.
PENUTUP
Aplikasi penerapan teknologi dengan penggunaan varietas unggul, pupuk anorganik dan organik, akan meningkatkan produktivitas terna dan mutu minyak nilam. Untuk meningkatkan produksi diperlukan budidaya intensif, sejak dari pemilihan bibit sampai ke panen dan penanganan pasca panen Produktivitas minyak dengan penerapan teknologi introduksi mencapai 117,60 kg/ha dengan kadar Patchouli Alkohol (PA) 32,64, sedang pada pola petani hanya sebesar 54,50kg/ha dengan kadar Patchouli Alkohol (PA) 24,67. Penerapan paket teknologi usahatani nilam di lahan kering mampu meningkatkan tambahan keuntungan usahatatani mencapai 326% dengan NPV= Rp9.086.910,-R/C = 2,09, Net B/C = 1,95, MBCR = 2,38. Sedang pada pola petani keuntungan usahatani R/C = 1,75, B/C = 0,75, Net B/C = 1,53 dan NPV Rp.2.487.450,Untuk kelancaran penerapan inovasi teknologi, diperlukan dukungan sarana produksi di sekitar lokasi usahatani dengan harga yang terjangkau disertai pendampingan dan monitoring secara berkala. Kelembagaan tani dan kelembagaan usaha bersama perlu dibangun, agar memperkuat dan memantapkan eksistensi petani nilam. Penguatan dan pemberdayaan kelembagaan petani sangat diperlukan untuk pengembangan nilam di Kalimantan Tengah DAFTAR PUSTAKA Ditjen Bina Produksi Peternakan. 2007. KP-3, Penunjang Permodalan Pertanian. Agribisnis Indonesia Vol. 36. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian: 51-52. Ditjenbun. 2009. Statistik Perkebunan Indonesia 2007-2009. Direktorat Jendral Perkebunan. Departemen Pertanian. 17 p Ditjenbun. 2011. Statistik Perkebunan Indonesia 2009-2011. Direktorat Jendral Perkebunan. Departemen Pertanian. Emmyzar dan Y. Ferry. 2004. Pola budidaya untuk peningkatan produktivitas dan mutu minyak nilam. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah 146
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
dan Obat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Hal 52-61. Gittingger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Edisi ke Dua. Universitas Indonesia (UI-Press), 1986. 579 p. Indrawanto, C. dan M. Syakir. 2008. Analisa usahatani nilam. Bahan seminar rutin Balittro, April 2008. 9 p (tidak dipublikasikan) Kadariah, L.K. dan Gray. 1988. Pengantar Evaluasi Proyek. Analisa Ekonomis Edisi Kedua. LPFE - UI. Jakarta. 122 p. Krismawati, A. 2005. Nilam dan potensi pengembangannya, Kalteng Jadikan Komoditas Rintisan. Sinar Tani No 3083 Tahun XXXV. Krismawati, A. dan A. Bherman, 2006. Kajian Penerapan Teknologi Usahatani Nilam (Pogostemon cablin Benth) di Lahan Kering Kalimantan Tengah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Balitbang Pertanian. 9:160-171 Mile, Y., N. Mindawati dan S. Prajadinata. 1991. Kemungkinan peningkatan produktivitas lahan dengan menggunakan kompos organik dalam menunjang keberhasilan HTI. Majalah Kehutanan Indonesia. No 5 : 12-17. Nuryani, Y., Hobir dan D. Seswita. 2004. keragaan potensi produksi, kadar dan mutu minyak empat nomor harapan nilam di berbagai lokasi. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat 16: 46 – 51. Sagala, F.C. 2009. Prospek Pengembangan Nilam di Desa Tanjung Meriah Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe Kabupaten Pakpak Barat. 80 p. Soekartawi. 2002. Analisis usahatani. Universitas Indonesia Press. Hal 85-87. Soetrisno. 1982. Dasar-Dasar Evaluasi Proyek (Dasar-dasar Perhitungan Teori dan Studi Kasus). Fakultas Ekonomi UGM. Andi Offset. Yokyakarta, 1982: 231-24 Sudaryani, T dan E. Sugiharti. 1991. Budidaya dan penyulingan nilam. Penebar Swadaya. Jakarta. 69 Hal. Suratiyah, K. 2006. Ilmu Usahatani. Cetakan I. Penebar Swadaya. Jakarta. 124 p. Trisilawati, O. 2002. Peranan kapur dan pupuk organik terhadap pertumbuhan dan produksi nilam pada tanah latosol. Prosiding Simposium Nasional II Tumbuhan Obat dan Aromatik 13 Hal.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
147