2
Status sekolah bermutu yang didapat dari pengakuan terakreditasi memang penting, tetapi masyarakat tetap berkepentingan dengan sekolah bermutu walaupun belum terakreditasi. Sekolah bermutu mampu mendidik pebelajar agar berprestasi dan memiliki kompetensi, karena proses pembelajarannya bermutu. Ada 5 faktor penting yang mempengaruhi proses pembelajaran bermutu: (1) pembelajar; (2) pebelajar; (3) fasilitas pembelajaran; (4) proses pembelajaran; (5) jumlah anggaran pembelajaran (Marmai, 2001; Darmawan, 2006). Kegiatan pembelajaran di kelas menjadi kurang bermutu, jika kinerja pada pebelajar dan penataan fasilitas pembelajaran di kelas terabaikan walaupun sudah dilakukan peningkatan mutu pembelajar, perbaikan proses dan jumlah anggaran pembelajaran ditambah. Pembelajaran merupakan kegiatan bersifat kontinum, yang difokuskan untuk kepentingan pebelajar. Pembelajar hanya fasilitator, yang bertugas merancang atau mengaransemen berbagai sumber serta fasilitas yang tersedia untuk dimanfaatkan pebelajar dalam proses pembelajarannya. Pebelajar sebagai individu bersifat khusus yang dibekali kemampuan, keterampilan dan pengalaman sehingga kehendaknya cenderung sulit dipahami (Karwono, 2008). Lebih khususnya lagi, anak usia 12-14 tahun yang setingkat SMP. Sebagai individu yang berusia rawan, serba tanggung, mudah terpengaruh, cenderung berubah pikiran sehingga membutuhkan perhatian yang khusus (Sukmadinata, 2003; Theriqa, 2008). Motivasi, kedisiplinan dan kesungguhan belajar adalah bagian daripada aspek kinerja pada pebelajar yang dapat menumbuhkan perilaku selalu siap sedia mengikuti kegiatan pembelajaran. Kondisi penataan fasilitas pembelajaran bisa menimbulkan efek menyenangkan untuk mendukung tumbuhnya kesiapan belajar dan memperkuat proses pembelajaran yang sudah dimiliki sehingga disebut Law of Readiness and Law of Effect (Marmai, 2001; Thorndike, 2008). Peningkatan motivasi, kedisiplinan,
3
kesungguhan belajar sebagai bagian inti kinerja perlu mempertimbangkan: (1) kondisi fisik; (2) kondisi mental; (3) kondisi unsur dinamis seperti: perasaan, perhatian, kemauan, ingatan, pikiran; dan (4) kondisi lingkungan (Dimyati dan Mudjiono, 2002). Keterlibatan fisik, mental, unsur dinamis yang optimal dalam pembelajaran, merupakan refleksi kinerja pada pebelajar yang berupaya meraih prestasi serta kompetensi terbaik (Marmai, 2001). Penampilan atau kinerja (unjuk kerja) merupakan kondisi yang merefleksikan daya suatu tindakan, yang memperlihatkan kemampuan dan motivasi positif untuk berprestasi sesuai harapan (Hornby, 2005). Kinerja memperlihatkan berbagai fungsi kemampuan dan motivasi untuk menilai sifat yang terkait dengan tindakan, perilaku dan prestasi kerja (Rivai, 2005). Ergonomi mengupayakan peningkatan nilai kinerja melalui harmonisasi antara karakteristik tuntutan tugas, kemampuan, kebolehan dan keterbatasan manusia. Kinerja prima terwujud dari kondisi belajar yang sehat, segar, efisien dan produktif sehingga menghasilkan keuntungan memadai (Manuaba, 2000). Sudharmanto dan Slameto berharap lahir kesediaan memperhatikan kesehatan fisik (khususnya mata) dan daya serap otak pada pebelajar dalam upaya meningkatkan mutu proses pembelajaran di kelas karena dapat mempengaruhi kinerjanya (Marmai, 2001). Karakteristik pebelajar harus dijadikan pedoman peningkatan keharmonisan interaksi antara pebelajar dengan kondisi fasilitas dan lingkungan pembelajarannya. Pebelajar dapat mengikuti proses pembelajaran dengan cara yang lebih baik, jika memiliki kebebasan gerak sehingga perlu disiapkan desain interior pembelajaran yang memudahkan beraktivitas. Jika memang benar diinginkan agar desain berhasil meningkatkan kinerja pada pebelajar, maka ergonomi harus dilibatkan dalam setiap proses analisisnya. Agar masyarakat mengetahui peranan ergonomi dalam desain,
4
maka perwujudannya pada setiap komponen desain harus jelas (Wilson dan Corlett, 2005; Anderson, 2009; Chong, 2010).
Kajian ergonomi harus dilakukan dalam upaya peningkatan kinerja pada pebelajar, karena kebolehan dan keterbatasan pebelajar harus dipertimbangkan dalam proses pembelajaran. Dibutuhkan kajian desain interior, untuk peningkatan mutu penataan fasilitas pembelajaran. Ergonomi dan desain interior seharusnya dilibatkan dalam upaya meningkatkan kinerja pada pebelajar, agar mutu kegiatan pembelajaran di kelas meningkat. Untuk kepentingan peningkatan kinerja, ergodesain interior pembelajaran perlu diwujudkan. Ergonomi dan desain interior adalah 2 bidang ilmu dari rumpun berbeda tetapi subjek dan aspek kajiannya sama yaitu manusia, fasilitas dan kondisi tempat beraktivitas. Fokus kajian ergonomi, selain yang dianalisis dalam desain intereior adalah menjaga tubuh sehat agar tetap segar selama beraktivitas. Aspek kajian desain interior berhubungan dengan fungsi, kenyamanan, keselamatan dan efisiensi tetapi lebih terfokus pada nilai estetika agar tempat beraktivitas menjadi menyenangkan. Di Desa Sibang Kaja Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung Propinsi Bali, hanya ada SMPN-3 sebagai sekolah milik pemerintah sehingga harus berperan mensukseskan program Wajar 9 tahun. Oleh karena itu, pebelajarnya berjumlah 1.456 orang padahal hanya memiliki 18 buah kelas (interior) yang masing-masing luasnya hanya 64m2 (800X800cm). Rasio luas lantainya menjadi hanya 1,52m2/pebelajar dari seharusnya minimal 2m2/pebelajar, aktivitas pembelajaran berlangsung pagi dan siang hari sebagai beberapa kretiria yang harus dihindari oleh sekolah terakreditasi minimal SSN (Sekolah Standar Nasional). Dengan demikian, harapan SMPN-3 Abiansemal Badung untuk mendapat akreditasi SSN, belum disetujui oleh Kemdiknas RI (Ardana,
5
2010). Walaupun demikian, pengelola dan jajarannya tetap menyusun berbagai jenis program agar masyarakat di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar mengakuinya sebagai sekolah bermutu. Berdasarkan kepentingan agar SMPN-3 Abiansemal Badung dapat menjadi sekolah yang bermutu, maka dilakukan penelitian pendahuluan agar diperoleh fakta permasalahan yang aktual. Data yang diperoleh terdiri atas: (1) Setiap 43 pebelajar harus rela belajar pada interior berkapasitas 32 orang, tanpa dilakukan penyesuaian kecuali penambahan 11 buah kursi dan meja belajar berukuran 55X70cm; (2) Tinggi meja belajar 74 cm, padahal tinggi siku pebelajar 67cm; (3) Tinggi dudukan kursi belajar 45cm, sedangkan tinggi popliteal 39cm; (4) Rak di bawah meja belajar membatasi gerak kaki, sehingga kenyamanan berkurang; (5) Bagian tepi, sudut meja serta kursi belajar berbentuk siku dan lancip, mengganggu permukaan kulit dan struktur fungsional di dalamnya (otot, saraf, pembuluh darah dan tulang); (6) Formasi duduk diatur dalam 3 kelompok, maka 4 deret pebelajar tidak memiliki jalur sirkulasi sehingga timbul perilaku naik ke atas kursi bahkan meja belajar; (7) Tersedia 1 buah papan tulis, sementara waktu belajar hanya 40 menit/1 jam pelajaran; (8) Setelah 4080 menit, ada penggantian mata pelajaran tetapi pebelajar tetap duduk menunggu pembelajar lainnya datang; (9) Seluruh permukaan dinding ditempeli media informasi dan komunikasi serta hiasan, dapat mempercepat kelelahan sinapsis; (10) Intensitas cahaya kurang dari 300 lux; (11) Kelembaban relatif 82%; (12) Gerakan angin hanya 0,13m/d; dan (13) Peralatan kebersihan kelas berserakan di lantai belakang kelas, karena tidak tersedia waktu mengembalikan ke ruang perlengkapan karena berada jauh dari ruang tempatnya belajar. Pendataan memakai kuesioner didapat peningkatan keluhan mata 12,38%, keluhan muskuloskeletal 17,15% dan kelelahan 11,61%. Oleh karena itu, perlu
6
aplikasi ergo-desain interior pembelajaran agar terjadi peningkatan kinerja pada pebelajar yang bisa dilihat dari penurunan keluhan mata, keluhan muskuloskeletal, kelelahan dan kebosanan serta peningkatan kenyamanan. Pembelajaran dipastikan melibatkan fisik, mental dan unsur dinamis serta kondisi lingkungan yang secara terpadu dapat menimbulkan stress (Sutajaya, 2006). Beberapa penelitian ergonomi dalam pembelajaran, bisa menurunkan keluhan muskuloskeletal sebesar 54,03% dan meningkatkan rerata nilai dari 6,5 menjadi 7,0 (Sutajaya, 2004). Pembelajaran ergonomis, meningkatkan hasil belajar dari rerata nilai 58,71 pada siklus I menjadi 62,06 pada siklus II atau 5,7% (Sutjana, dkk., 2004). Pencahayaan dan pembelajaran ergonomis berhasil meningkatkan kecepatan kerja 70,46%, ketelitian kerja 56,36% dan konstansi kerja 90,95% (Partadjaja, 2004). Perbaikan meja dan kursi belajar berhasil menurunkan kelelahan 73,76%, keluhan muskuloskeletal 99,88% dan kebosanan 26,40% serta meningkatkan motivasi belajar 65,81% di samping prestasi belajar sekitar 33,70% (Wijana, 2008). Proses identifikasi dan analisis serta solusi yang diterapkan pada ergo-desain interior, berpedoman pada konsep teknologi tepat guna (TTG) memakai pendekatan terpadu atau SHIP (Sistemik, Holistik, Interdisipliner dan Partisipatori). Pendekatan SHIP mengembangkan model kajian bersistem, menyeluruh, melibatkan sejumlah disiplin ilmu terkait dan partisipasi pengelola, pebelajar serta Komite Sekolah yang bersangkutan. Aplikasi konsep TTG, merupakan upaya pemanfaatan teknologi untuk mewujudkan intervensi karena mengandung 6 kriteria sebagai berikut: (1) secara teknis mudah dikerjakan oleh masyarakat setempat; (2) secara ekonomis sesuai kemampuan finansial untuk biaya produksi, perawatan, perbaikan oleh pemakainya; (3) secara ergonomis mendukung upaya keselamatan dan kesehatan pemakai selama beraktivitas; (4) secara sosial budaya sesuai dengan pola pikir dan perilaku pemakai;
7
(5) hemat energi agar lingkungan lestari; dan (6) ramah lingkungan agar polusi dapat dihindari. Indonesia merupakan negara industri berkembang memerlukan perubahan perlahan, relevan dengan situasi yang aktual dan faktual, murah, sesuai karakteristik serta kondisi ekonomi negara (Abeysekera, 2002; Manuaba, 2004a). Perbaikan yang sudah pernah dilakukan, hanya berupa pengurangan lebar rak di bawah meja agar kenyamanan pemakaian meningkat. Perbaikan lebar rak belum menghasilkan perubahan bermakna, karena belum terjadi perubahan posisi tubuh sebagai syarat pemulihan otot yang kontraksi. Tubuh manusia memang didesain untuk digerakkan, perlu pengubahan posisi dan gerak serta perpindahan setelah dalam 1 posisi selama 60 menit (Rodahl, 1989). Perbaikan yang dilakukan untuk kepentingan manusia, memerlukan pemahaman tentang kemampuan dan kebolehan serta keterbatasannya sehingga harmonis dengan sistem, peralatan dan kondisi lingkungan beraktivitasnya (Manuaba, 2005). Aplikasi ergo-desain interior pembelajaran, memanfaatkan data antropometri pebelajar dalam mendesain kursi dan meja pembelajaran agar terwujud sikap tubuh fisiologis. Data antropometri dimanfaatkan juga untuk menentukan ukuran lebar jalur sirkulasi, yang harus tersedia diantara meja dengan meja dan antara meja dengan dinding interior. Diharapkan terwujud pula perubahan perilaku pebelajar secara sistematis dan reguler, tanpa perlu himbauan dan media informasi serta komunikasi lisan atau tulisan. Perubahan perilaku yang sistematis dan reguler pada ergo-desain interior, karena tersedianya unsur sebagai berikut: (1) Penyimpanan tas sekolah pada locker, mengharuskan pebelajar berdiri setelah duduk selama 40-80 menit. Berjalan untuk menyimpan serta mengambil buku pelajaran berikutnya, kembali ke kursi masing-masing; (2) Fasilitas tempat buku dan alat tulis pada setiap meja belajar mendorong terwujud sikap tubuh dinamis selama duduk; (3) Area sirkulasi bagi
8
setiap pebelajar dapat menghilangkan perilaku naik ke atas kursi ataupun meja belajar; (4) Plafon tembus cahaya matahari menghemat energi listrik; dan (5) Area sirkulasi udara yang luas mempercepat perpindahan CO2 dari interior ke eksterior sehingga aktivitas berkipas dan kegelisahan dapat diminimalisir. Aplikasi ergo-desain interior pembelajaran perlu diteliti untuk dapat diketahui peningkatan kinerja yang dapat dilihat dari penurunan: (a) keluhan mata; (b) keluhan muskuloskeletal; (c) kelelahan; (d) kebosanan; dan (e) peningkatan kenyamanan pebelajar SMPN-3 Abiansemal Badung sebagai refleksi optimalnya keterlibatan fisik, mental dan unsur dinamis untuk terwujudnya kegiatan pembelajaran bermutu.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka pada penelitian perlu dikaji beberapa permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut. 1)
Apakah aplikasi ergo-desain interior pembelajaran meningkatkan kinerja, dilihat dari penurunan keluhan mata pada pebelajar SMPN-3 Abiansemal Badung?
2)
Apakah aplikasi ergo-desain interior pembelajaran meningkatkan kinerja, dilihat dari penurunan keluhan muskuloskeletal pada pebelajar SMPN-3 Abiansemal Badung?
3)
Apakah aplikasi ergo-desain interior pembelajaran meningkatkan kinerja, dilihat dari penurunan kelelahan pada pebelajar SMPN-3 Abiansemal Badung?
4)
Apakah aplikasi ergo-desain interior pembelajaran meningkatkan kinerja, dilihat dari penurunan kebosanan pada pebelajar SMPN-3 Abiansemal Badung?
5)
Apakah aplikasi ergo-desain interior pembelajaran meningkatkan kinerja, dilihat dari peningkatan kenyamanan pada pebelajar SMPN-3 Abiansemal Badung?
9
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum: Tujuan umum penelitian, untuk mengetahui perbedaan kinerja pada pebelajar setelah belajar pada desain interior lama (tanpa intervensi ergonomi) dan ergo-desain interior (dengan intervensi ergonomi) pembelajaran di SMPN-3 Abiansemal Badung.
1.3.2 Tujuan khusus: Tujuan khusus penelitian, setelah aplikasi ergo-desain interior pembelajaran adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut. 1)
Peningkatan kinerja pada pebelajar SMPN-3 Abiansemal Badung, dilihat dari penurunan keluhan matanya.
2)
Peningkatan kinerja pada pebelajar SMPN-3 Abiansemal Badung, dilihat dari penurunan keluhan muskuloskeletalnya.
3)
Peningkatan kinerja pada pebelajar SMPN-3 Abiansemal Badung, dilihat dari penurunan kelelahannya.
4)
Peningkatan kinerja pada pebelajar SMPN-3 Abiansemal Badung, dilihat dari penurunan kebosanannya.
5)
Peningkatan kinerja pada pebelajar SMPN-3 Abiansemal Badung, dilihat dari peningkatan kenyamanannya.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat praktis Manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian sebagai berikut. 1)
Bisa dipakai sebagai pedoman aplikasi ergo-desain interior pembelajaran di kelas dan sekolah lain, agar mutu proses pembelajaran meningkat.
10
2)
Bisa dipakai sebagai pedoman penyusunan kebijakan pemerintah dan pihak yang terlibat dalam aplikasi ergo-desain interior pembelajaran, agar kualitas sekolah dan SDM meningkat.
3)
Bisa dipakai model analisis berbagai jenis proyek desain interior agar terwujud produk yang manusiawi, kompetitif dan lestari.
1.4.2 Manfaat Teoritis Manfaat teoritis yang diharapkan dari hasil penelitian sebagai berikut. 1)
Menjadi model pengembangan konsep desain interior yang berpedoman pada kemampuan, kebolehan, keterbatasan fisik dan mental serta unsur dinamis manusia atas dasar respon fisiologis yang berbeda.
2)
Menjadi pedoman pengembangan ergo-desain interior pembelajaran yang diperlukan oleh berbagai jenis sekolah di sektor pendidikan formal.
3)
Menjadi media pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khusus dalam bidang desain interior serta ergonomi.