STATUS KEWARISAN ANAK PEREMPUAN BUNGSU DALAM ADAT KEWARISAN DI KECAMATAN DARANGDAN KABUPATEN PURWAKARTA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: Tajul Muttaqin NIM: 107044100525
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-ASYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432H/2011M
STATUS KEWARISAN ANAK PEREMPUAN BUNGSU DALAM ADAT KEWARISAN DI KECAMATAN DARANGDAN KABUPATEN PURWAKARTA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh:
Tajul Muttaqin NIM: 107044100525
Di Bawah Bimbingan Pembimbing
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031021
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-ASYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432H/2011M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul STATUS KEWARISAN ANAK PEREMPUAN BUNGSU DALAM ADAT KEWARISAN DI KECAMATAN DARANGDAN KABUPATEN PURWAKARTA telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 19 Rajab 21 Juni 2011M. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Syakhsiyyah (Peradilan Agama). Jakarta, 21 Juni 2011M Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof.Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA, MM NIP. 195 505 051 982 031 021
PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA NIP. 195 003 061 976 031 001
2. Sekretaris
: Hj. Rosdiana, MA NIP. 196 906 102 003 122 001
3. Pembimbing
: Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA, MM NIP. 195 505 051 982 031 021
4. Penguji I
: Dr. J.M. Muslimin, MA., Ph.D NIP. 150 292 489
5. Penguji II
: Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH NIP. 196 911 211 994 031 001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 31 Mei 2011
TAJUL MUTTAQIN
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmat sehat dan hidayah serta inayah, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan skripsi. Salawat dan salam semoga selalu dilimpahkan Allah SWT kepada Rasul-Nya, yakni Nabi Muhammad SAW serta seluruh keluarga, sahabat dan pengikutnya sampai akhir zaman. Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan sebesarbesarnya atas keterlibatan semua pihak yang telah membantu menulis dan menyusun skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis sepatutnya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,MA,MM., sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Hukum yang sekaligus menjadi dosen pembimbing skripsi ini, yang telah mencurahkan tenaga dan pikirannya serta meluangkan waktunya dalam penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhir. 2. Bpk Drs. H. A. Basiq Djalil,SH,MA, dan Ibu Hj. Rosdiana, MA, Ketua dan Sekretaris Jurusan Peradilan Agama dan Administrasi Keperdataan Islam.
vi
vii
3. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di kampus ini. 4. Bapak pimpinan dan staf karyawan perpustakaan utama, perpustakaan Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan perpustakaan Iman Jama yang telah membantu dan menyediakan bahan-bahan bacaan untuk penulis dalam penyusunan skripsi ini. 5. Ayahanda H. A. Jalaluddin Sayuti dan Ibunda Kuyum yang telah memberikan dorongan, baik moril maupun materil dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini. Tidak lupa kakanda Ujang Muklis, Dede Nurhidayat, Nunung Nurjamilah, Aep Saepuloh, Ai Munawaroh, dan Elah Nurlaelah yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis hingga penulis berhasil menyusun skripsi ini. 6. Bapak Asep Yayan, dan Sofyan, Kepala Desa dan Sekretaris Desa Kampung Sukamaju, yang telah bersedia memberikan data-data kelurahan. Tak lupa kepada masyarakat Kampung Sukamaju yang telah bersedia memberikan waktunya untuk diwawancarai. 7. Rekan-rekan mahasiswa Jurusan Peradilan Agama Nurafifah Farah Diba, Fikri Ibadurrahman, Ratna Khuzaimah, Jainul Amidin, Ahmad Syadhali, Lia Fitriani, Nur Hidayat dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu per satu, sehingga menimbulkan kesan tertentu kepada penulis.
viii
8. Teman-teman Delima, yaitu: Desi Amalia, Laila Wahdah, Astrian Widiyantri, Maryam Mahdalina, dan Mariah yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis hingga penulis berhasil menyusun skripsi ini. Semoga persahabatan kita ini berlangsung selamanya. Amin. Atas segala bimbingan dan bantuan mereka penulis mendo’akan semoga Allah SWT membalas dengan pahala yang berlipat ganda, Amin. Semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua pihak. Segala kekeliruan dan kesalahan dalam penulisan skripsi ini merupakan keterbatasan penulis. Mudah-mudahan Allah SWT senatiasa memberikan maghfirah dan keridhoannya. Amin.
Ciputat, 29 Mei 2011
(Penulis)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................
vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...........................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................................
4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................
6
D. Kerangka Teori .........................................................................................
7
E. Review Studi Terdahulu ...........................................................................
8
F. Metode Penelitian .....................................................................................
9
G. Sistematika Penulisan ...............................................................................
12
BAB II PRINSIP UMUM HUKUM KEWARISAN ISLAM A. Pengertian dan Dasar Hukum Waris ........................................................
14
B. Rukun dan Syarat Waris ...........................................................................
20
C. Sebab Ada Hak Waris ..............................................................................
22
D. Derajat Ahli Waris ...................................................................................
22
E. Penghalang Memperoleh Hak Waris .......................................................
25
F. Bagian Masing-masing Ahli Waris ..........................................................
28
ix
x
BAB III WARIS RUMAH ANAK BUNGSU PEREMPUAN DI KAMPUNG SUKAMAJU DALAM KONTEKS HUKUM ISLAM A. Letak dan Geografisnya ...........................................................................
37
B. Sistem Kemasyarakatan, Adat Istiadat dan Kebudayaan .........................
38
C. Konsep Kewarisan Rumah Pusaka Bagi Anak Bungsu Perempuan ........
42
D. Radius Pengaruh Sistem Kewarisan Kampung Sukamaju ........................
46
E. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kewarisan Adat Kampung Sukamaju..
48
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ..............................................................................................
53
B. Saran-saran ...............................................................................................
54
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
55
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti mengalami peristiwa kelahiran dan akan mengalami kematian, peristiwa kelahiran seseorang tentu akan menimbulkan akibat-akibat hukum. Seperti timbulnya hubungan hukum dengan masyarakat sekitar dan timbulnya hak dan kewajiban pada dirinya. Peristiwa kematian pun akan menimbulkan akibat hukum kepada orang lain, terutama kepada pihak keluarga dan pihak-pihak tertentu yang ada hubungan dengan si mayat semasa hidupnya.1 Demikian juga kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum, selain itu kematian menimbulkan kewajiban orang lain bagi si mayat yang
berhubungan
dengan
pengurusan
jenazah.
Kematian
seseorang
mengakibatkan timbul cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimana cara pengoperan atau penyelesaian harta peninggalan kepada keluarga (ahli waris), yang dikenal dengan nama hukum waris.2 Sistem waris merupakan salah satu sebab atau alasan adanya perpindahan kepemilikan, yaitu berpindahnya harta benda dan hak-hak material dari pihak yang mewariskan (muwarits) yang meninggal dunia. Kemudian harta waris akan 1
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, November 2002), h.13. 2
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 1.
1
2
berpindah kepada para penerima warisan (waratsah) dengan jalan pergantian yang didasarkan pada hukum syara’.3 Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan fokus pada masalah bagian anak perempuan dalam memperoleh harta warisan. Seperti yang kita ketahui, bahwa anak perempuan mendapatkan warisan 2:1 dengan anak laki-laki. Dengan adanya perbedaan bagian waris tersebut, Allah SWT telah menetapkan hukum waris dengan hikmah dan tujuan tertentu di dalamnya. Dia telah menentukan pembagian di antara ahli waris dengan sebaik-baik pembagian dan yang paling adil.4 Alasan dan hikmah dari perbedaan sistem waris antara anak laki-laki dan anak perempuan adalah: Pertama, perempuan tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapa pun di dunia ini. Kedua, perempuan tidak diwajibkan untuk membayar mahar melainkan orang yang menerima mahar dari calon suaminya. Ketiga, perempuan tidak diwajibkan menyediakan tempat tinggal, memberi makan, minum, dan sandang kepada keluarganya.5 Ketentuan-ketentuan Syariat yang ditunjuk oleh nash-nash yang sharih termasuk di dalamnya masalah pembagian warisan, selama tidak ada dalil (nash) lain yang menunjukkan
3
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-Islam, (Mesir: Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, 2000), h. 1. 4
Asy-Syaikh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin, Ilmu Mawaris Metode Praktis Menghitung Warisan dalam Syariat Islam, (Tegal Jateng: Ash-Shaf media, Mei 2007), h. 1. 5
http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Waris/Penjelasan.html.
3
ketidakwajibannya merupakan suatu keharusan yang patut dilaksanakan oleh seluruh umat Islam.6 Ilmu faraidh juga merupakan suatu ilmu yang harus dipelajari oleh umat manusia, karena ilmu faraidh sangat membantu untuk menyelesaikan masalahmasalah yang timbul dalam pembagian harta waris. Dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada kita agar belajar dan mengajarkan ilmu faraidh. Perintah tersebut berisi perintah wajib, hanya saja kewajiban belajar dan mengajarkannya itu gugur bila ada sebagian orang yang telah melaksanakannya. Tetapi jika tidak ada seorangpun yang mau melaksanakannya, orang-orang Islam semuanya menanggung dosa, karena melalaikan suatu kewajiban.7 Wujud warisan atau harta peninggalan menurut hukum Islam sangat berbeda dengan wujud warisan menurut hukum waris Barat sebagaimana diatur dalam Burgerlijk Weetbook (BW) maupun menurut hukum waris adat. Warisan atau harta peninggalan menurut hukum Islam adalah sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih. Dalam artian bahwa harta peninggalan yang akan diwariskan oleh si mayat kepada ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh
6
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h.13.
7
Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: PT Alma’arif), h. 35.
4
wafatnya si peninggal waris.8 Wujud harta peninggalan menurut hukum perdata Barat yang tercantum dalam Burgerlijk Weetbook (BW) yaitu meliputi seluruh hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.9 Jadi harta peninggalan yang akan diwarisi oleh para ahli waris tidak hanya meliputi hal-hal yang bermanfaat berupa keuntungan, melainkan juga termasuk hutang-hutang si pewaris.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan masalah baru serta pelebaran secara meluas, penulis akan membatasi permasalahan ini pada “Status Kewarisan Anak Perempuan Bungsu Dalam Adat Kewarisan Rumah Di Kampung Sukamaju Desa Darangdan Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta” . 2. Perumusan Masalah Baik dalam Al-Qur’an atau Hadits, tidak ada yang menjelaskan tentang keistimewaan bagi anak perempuan bungsu dalam memperoleh harta waris,
8
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, (Bandung: PT. Refika Aditama, Juni 2007), h. 13. 9
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Indonesia, 1977), h. 78.
5
tetapi hal tersebut berbeda dengan kenyataannya, karena pembagian waris yang terjadi di kampung Sukamaju antara teori dan praktek berbeda. Perbedaan proses pembagian harta waris yang terjadi di kampung Sukamaju akan terlihat jelas apabila anak perempuan yang menjadi bungsu.10 Apabila anak laki-laki yang menjadi bungsu, maka rumah pusaka dibagi 2 dengan anak perempuan yang jarak kelahiran lebih dekat dengan anak bungsu laki-laki. Untuk memperjelas masalah ini, maka dirumuskan masalah-masalah penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep pembagian warisan yang terjadi di kampung Sukamaju? 2. Bagaimana pengaruh anak perempuan bungsu mengenai hal pembagian rumah dalam kewarisan? 3. Apakah perbedaan sistem pembagian warisan rumah tidak berpengaruh terhadap kerukunan ahli waris? Dengan pembatasan dan perumusan masalah di atas, diharapkan skripsi ini dapat menjelaskan sesuai dengan tema yang penulis ambil, yaitu “Status Kewarisan Anak Perempuan Bungsu Dalam Adat Kewarisan Rumah.”
10
Anak bungsu perempuan: Apabila yang menjadi anak bungsu perempuan maka rumah warisan secara keseluruhan akan diberikan kepadanya, hal ini disebabkan apabila orang tuanya itu dalam keadaan sakit atau lanjut usia, maka anak bungsu perempuan mempunyai peranan yang lebih dibandingkan dengan anak laki-laki maupun anak perempuan lainnya. Peranan lebih anak bungsu perempuan tersebut yaitu selain mengurus orang tuanya ketika sakit atau lanjut usia, maka sementara ia akan bertempat tinggal dengan orang tuanya meskipun sudah menikah dan mempunyai rumah.
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Seiring dengan pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka yang akan menjadi tujuan dari penelitian skripsi ini adalah: a. Sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. b. Untuk mengetahui tentang alasan-alasan sistem pembagian warisan yang berada di kampung Sukamaju. c. Untuk mengetahui apakah dalam sistem pembagian warisan yang terjadi di kampung Sukamaju bertentangan dengan Hukum Islam atau tidak. 2. Manfaat Penelitian Adapun kegunaan dari pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Agar penelitian ini menjadi sangat penting dan bermanfaat bagi peningkatan kesadaran hukum kepada masyarakat khususnya mengenai tatacara pembagian warisan. b. Bagi masyarakat pembaca umumnya dan mahasiswa khususnya, tulisan ini diharapkan supaya menjadi salah satu sumber bacaan yang dapat dipertimbangkan dalam memecahkan masalah yang relevan. c. Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum yang menyangkut hal pembagian harta warisan.
7
D. Kerangka Teori Indonesia dengan latar belakang yang beraneka ragam dalam hal budaya yang berbeda-beda antara daerah satu dengan daerah lain, perbedaan tersebut menyatu dalam satu wadah, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Hukum adat waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan, prinsip-prinsip garis keturunan terutama berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan.11 Selain itu, hukum waris adat juga meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta-kekayaan dari generasi ke generasi.12 Dalam masyarakat adat berlaku sebuah hukum atau norma yang mengatur kehidupan masyarakat, termasuk dalam hukum waris. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.13 Di Indonesia masih terdapat beraneka ragam hukum kewarisan yang berlaku di lingkungan masyarakat, adapun perbedaannya itu adalah: 1. Hukum kewarisan Islam yang diatur dalam Al-Qur’an dan Hadits yang dipahami oleh para ulama dalam bentuk fiqih.
11
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: CV.Rajawali, Oktober 1981), h. 285
12
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 1981), h. 151.
13
Soepono, Bab-bab tentang Hukum Adat (Jakarta: Penerbitan Universitas), 1996, h. 72.
8
2. Hukum perdata Barat yang dimuat dalam Burgerlijk Weetbook (BW). 3. Hukum kewarisan adat yang beraneka ragam.14 Hukum waris yang berlaku di Indonesia dewasa ini masih tergantung pada hukumnya si pewaris. Pengertian dari hukumnya si pewaris adalah hukum waris mana yang berlaku bagi orang yang meninggal dunia. Oleh karena itu, apabila yang meninggal dunia atau pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia, maka yang berlaku adalah hukum waris adat.
E. Review Studi Terdahulu Sebelumnya penulis sedikit kesulitan untuk mendapatkan review yang benar-benar sama dengan judul skripsi ini, akan tetapi penulis menemukan sebuah skripsi yang sekiranya dapat dijadikan sebagai studi review, yaitu: 1. Judul: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kewarisan Adat Masyarakat kampung Naga di Tasikmalaya. Penulis: Aris Riansyah (104044101392)/SAS/PA/1430H/2009M Dalam skripsi yang ditulis oleh Aris Riansyah hanya menjelaskan tentang tinjauan hukum Islam terhadap kewarisan adat kampung Naga. Sedangkan dalam skripsi yang penulis bahas menitik beratkan kepada hak anak perempuan dalam menerima rumah pusaka.
14
Aris Riansyah, Adat Masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya, (Skripsi SI Fakultas Syariah dan Humum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta: 1430H/2099M), h.3.
9
2. Judul: Bagian Cucu Dalam Kewarisan Perspektif Fiqih Syafi’i, Ajaran Bilateral Hazairin dan Ahli Waris Pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Penulis: Ma’min Barry (104044201471)/SAS/AKI/1429H/2008M. Skripsi ini menjelaskan tentang bagian cucu dalam kewarisan Perspektif Fiqih Syafi’i, Ajaran Bilateral Hazairin Dan Ahli Waris Pengganti Dalam Kompilasi Hukum Islam. Skripsi yang penulis bahas memang berkaitan dengan masalah kewarisan, akan tetapi pembahasannya terfokus pada pengaruh anak perempuan bungsu terhadap pembagian rumah pusaka dalam kewarisan. 3. Judul: Studi Komparatif Mengenai Hak Anak Luar Kawin Dalam Kewarisan Menurut Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW). Penulis: Nida Nur Aida (103044128038)/ SAS/PA/1430H/2009M Skripsi ini mengkaji tentang Hak Anak Luar Kawin Dalam Kewarisan Menurut Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW). Perbedaan dengan skripsi ini adalah pada masalah pembahasannya, penulis menjelaskan tentang pengaruh/kedudukan anak perempuan dalam masalah pembagian warisan.
F. Metode Penelitian Untuk menghasilkan data yang valid, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
10
1. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah dengan cara menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala dalam kehidupan manusia.15 Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yaitu penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mempelajari secara mendalam suatu individu, kelompok, institusi atau masyarakat tertentu tentang latar belakang, keadaan/kondisi, faktor-faktor atau interaksi-interaksi sosial yang terjadi di dalamnya.16 Selain pendekatan masalah di atas, maka dalam penulisan skripsi ini saya menggunakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap azazazaz hukum.17 Penelitian hukum normatif ini selain mencakup terhadap azazazaz hukum, akan tetapi penelitian hukum normatif melakukan penelitian dengan cara perbandingan hukum, dan dalam penulisan skripsi ini juga, saya menggunakan penelitian hukum sosiologis atau empiris yang terdiri dari penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis).18
15
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hl. 20.
16
Bambang Sanggona, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003),
17
Bambang Sanggona, Metode Penelitian Hukum, h. 184.
18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI-press, 1986), h. 51.
h. 36.
11
2. Lokasi Penelitian Kampung
Sukamaju
Desa
Darangdan
Kecamatan
Darangdan
Kabupaten Purwakarta. 3. Sumber Data a. Data Primer Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat.19 Data ini meliputi interview dengan beberapa tokoh masyarakat yang dianggap mengetahui adat kampung Sukamaju dan kepala Desa setempat. b. Data Sekunder Data
sekunder
adalah
data
yang
diperoleh
dengan
cara
membandingkan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan,20 selain itu data sekunder juga dapat berupa Al-Qur’an, Hadis, buku-buku ilmiah, Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta peraturan-peraturan lain yang erat kaitannya dengan masalah yang diajukan. 4. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dilakukan dengan cara:
19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 51.
20
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 12.
12
a. Wawancara (Interview), yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu.21 Dalam hal ini, penulis mengadakan wawancara dengan informan yaitu: kepala Desa Darangdan dan tokoh masyarakat setempat. b. Dokumenter dan bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah penelitian. 5. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan hasil wawancara yang diperoleh. Sehingga didapat suatu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini. 6. Teknik Penulisan Data penulisan skripsi ini, penulis mengacu kepada buku pedoman Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan Dalam penulisan Skripsi , untuk mempermudah dalam memahami, maka penulis membagi isi Skripsi ini menjadi lima bab, tiap bab didalamnya terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut: 21
Lexy. J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 135.
13
BAB Pertama
: Menjelaskan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, review studi terdahulu, metode penelitian serta sistematika penulisan.
BAB Kedua
: Menjelaskan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kewarisan, yaitu: Pengertian dan dasar hukum waris, rukun dan syarat waris, sebab ada hak waris, derajat ahli waris, penghalang memperoleh hak waris, dan bagian masingmasing ahli waris.
BAB Ketiga
: Letak dan geografisnya, sistem kemasyarakatan, adat istiadat dan kebudayaan, konsep kewarisan rumah pusaka bagi anak bungsu perempuan, dan tinjauan hukum Islam terhadap kewarisan adat kampung Sukamaju.
BAB Keempat
: Dalam bab keempat terdapat kesimpulan dan saran-saran yang berhubungan dengan pelaksanaan kewarisan, penulis juga melampirkan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
BAB II PRINSIP UMUM HUKUM KEWARISAN ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Waris 1. Pengertian Hukum Waris Waris berasal dari bahasa Arab warisa-yarisu-warisan atau irsan/turas, yang berarti mempusakai. Ketentuan-ketentuan tentang pembagian harta pusaka yang meliputi ketentuan tentang siapa yang berhak dan tidak berhak menerima warisan dan berapa jumlah masing-masing harta yang diterima. Selain itu ada juga istilah yang sama artinya dengan waris yaitu fara‟id.1 Lafaz al-Farâidh )(الفرائض, sebagai jamak dari lafaz faridhah )(فريضة, oleh ulama diartikan semakna dengan lafaz mafrudah )(مفروضة, yakni bagian yang telah dipastikan atau ditentukan kadarnya.2 Wahbah al-Zuhaily dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuh mendefinisikan bahwa fiqh mawaris adalah: 3
.
Artinya: “Kaidah-kaidah fiqh dan hitungan-hitungannya yang dari kaidahkaidah itu diketahui bagian dari harta pusaka untuk setiap ahli waris”. 1
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), Cet. Keenam, Jilid Ke-5, h. 191. 2
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media, November 2002M/Ramadhan 1423H), Cet. Kedua, h. 13. 3
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), h. 243.
14
15
Sedangkan Hasbi al-Shiddieqy mendefinisikan fikih mawaris sebagai ilmu yang mempelajari tentang orang-orang mawaris dan tidak mewarisi, kadar yang diterima setiap ahli waris dan cara pembagiannya.4 Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari fiqih mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa yang termasuk ahli waris, bagian-bagian yang diterima, dan cara penghitungannya. 2. Dasar Hukum Waris Sumber hukum waris (ilmu faraidh) adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi Muhammad SAW, dan Ijma’ para ulama.5 a. Al-Qur’an Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang dijadikan sebagai dasar hukum waris,6 adapun ayat Al-Qur’an yang dijadikan sebagai sumber hukum waris itu adalah: Firman Allah yang pertama, menjelaskan bahwa anak laki-laki dan perempuan masing-masing mendapat hak dari harta yang ditinggalkan orang tua dan kerabat, banyak atau sedikitnya bagian mereka sesuai yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, seperti yang tercantum di dalam surat an-Nisa’ (4):7 berikut ini: 4
Muhammad Hasbi al-Shiddieqy, Fiqh Mawaris (Semarang: Pustaka Rizki Purta, 1999), h. 6.
5
Otje Salman dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung: PT RefikaAditama, 2002), Cet. Pertama, h. 3. 6
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, diterjemahkan oleh Addys Aldizar dan Faturrahman, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, Maret 2004), Cet. Pertama, h. 13.
16
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibubapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. (Qs.an-Nisa/4/14) Ayat kedua, menjelaskan tentang bagian-bagian anak laki-laki dan perempuan serta bagian ayah dan ibu (al-furu‟ dan al-ushul), seperti yang termaktub dalam firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ (4):11 Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Qs.anNisa/4/11)
17
Ayat ketiga, menjelaskan tentang bagian untuk suami-istri dan anakanak ibu (saudara seibu bagi si mayat) laki-laki maupun merempuan, hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ (4):12 Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”. (Qs.an-Nisa/4/12)
18
Ayat keempat, yaitu menjelaskan tentang bagian untuk saudara lakilaki ataupun perempuan, sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ (4):176 Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (Qs.an-Nisa/4/176) b. Sunnah Nabi Muhammad SAW Selain al-Qur’an, terdapat pula sumber lain dalam masalah pembagian harta waris, yaitu sunnah (hadits) Nabi Muhammad SAW, adapun hadits Nabi SAW yang dijadikan sebagai sumber hukum dari warisan adalah: 1. Hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a:
19
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu „Abbas r.a bahwa Nabi SAW. pernah bersabda: berikanlah harta warisan kepada orang-orang yang berhak, sesudah itu, sisanya yang lebih utama adalah anak laki-laki”. (HR. Bukhari dan Muslim) 2. Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Jabir, yang menjelaskan tentang bagian anak perempuan dan saudara laki-laki.
Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir berkata: telah datang istri Sa‟ad bin ar-Rabi‟ kepada Rasulullah SAW, dengan dua orang anak perempuan Sa‟ad dia berkata: “Wahai Rasulullah, ini adalah dua orang anak perempuan Sa‟ad bin ar-Rabi‟ yang ayahnya meninggal dunia dalam keadaan syahid ketika perang uhud bersamamu, sedangkan paman mereka telah mengambil seluruh harta peninggalannya, sehingga mereka tidak ditinggali harta sedikit pun, dan mereka tidak dapat menikah bila tidak mempunyai harta”, maka Rasulullah menjawab: “Allah-lah yang akan memutuskan perkara tersebut” lalu turunlah ayat-ayat tentang waris. Setelah itu, Rasulullah SAW mengutus sahabat untuk menemui paman mereka, lalu beliau berkata: “Berikanlah dua orang anak Sa‟ad dua pertiga, ibu mereka seperdelapan, dan sisanya untuk kamu”. (HR. alKhamsah kecuali al-Nasa‟i) 3. Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah tentang bagian nenek 7
Abu Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy al-Naisaburi, Sahih Muslim, Juz II, (Riyadh: Dar al-Salam,1999), hadits 4141, h. 705.; Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fiy al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Kairo: Maktabah alTaufiqiyyah.; Juz IV, hadits 6732, h. 233. 8
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz III/367, hadits 14349, h. 980.; Abu Dawud, Sunnah Abi Dawud, Juz III, hadits 2891, h. 120.; al-Tirmidzi, Kutub al-Sittah/Sunan Tirmidzi, hadits 2092, h. 1861.; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz III, hadits 2720, h. 158.
20
Artinya: “Diriwayatkan dari Ubadah bin ash-Shamit bahwa Nabi SAW memberikan kepada dua orang nenek dari harta warisan sebesar seperdelapan untuk mereka berdua”. (HR. Abdullah bin Ahmad) c. Ijma’ Selain Al-Qur’an dan Hadits, ijma merupakan salah satu dasar hukum pembagian harta waris, diantaranya adalah ijma’ sahabat dan thabi’in bahwa hak waris untuk nenek adalah seperenam (hikayat Baihaqy dari Muhammad bin Nashar dari mazhab Syafi’i).10
B. Rukun dan Syarat Waris Dalam masalah pembagian harta waris terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi,11 adapun syarat dan rukunnya itu adalah: 1. Rukun Waris Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris di mana bagian harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada rukun-rukunnya. Adapun rukun untuk mewarisi ada tiga, yaitu:
9
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz V/327, hadits 23159, h. 1674.
10
al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuh, h. 246.
11
Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: PT Alma’arif, tth), h 36.
21
a. Muwarrits yaitu orang yang meninggal dunia, baik meninggal secara hakiki maupun karena keputusan hakim12 dan harus memiliki harta yang dapat diwarisi kepaad ahli waris (pewaris); b. Mauruts yaitu harta benda yang ditinggalkan oleh muwarits (pewaris) yang diwarisi kepada warits (ahli waris);13 dan c. Warits yaitu oarang yang memiliki hubungan dengan muwarits (pewaris). 2. Syarat Waris Syarat adalah sesuatu yang karena ketiadaannya tidak ada hukum. Syarat untuk mewarisi ada tiga, yaitu: a. Matinya muwarrits (orang yang mempusakakan), menurut para ulama kematian muwarrits itu dibedakan kepada 3 (tiga) macam, yaitu: 1) Mati haqiqi yaitu kematian yang nyata disaksikan oleh panca indera (mati sejati); 2) Mati hukmy yaitu kematian atas dasar keputusan atas vonis hakim atas dasar beberapa sebab, seperti: orang yang hilang; dan 3) Mati taqdiri yaitu kematian berdasarkan dugaan keras, seperti: kematian bayi dalam perut ibunya karena ibunya minum racun atau terjadi pemukulan atas perut ibunya.14
12
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 192.
13
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita Menurut Al-Qu‟an dan As-Sunnah, (Jakarta: Akbarmedia, Shafar 1431H/Januari 2010M), Cet. Ketiga, h. 486. 14
Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Ahkamu al-Mawaris fi al-Sari’ati al-Islamiyyati ala madahib al-Aimmati al-Arba’ah, (Sudan: 1416H/1996M), h. 13-14.
22
b. Hidupnya ahli waris di saat kematian mruwarits (pewaris), dan c. Tidak ada penghalang untuk mewarisi.15
C. Sebab Ada Hak Waris Sebab seseorang mendapatkan hak waris ada tiga, yaitu: 1. Kerabat hakiki, yaitu antara pewaris dengan ahli waris ada hubungan nasabiyah, seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.16 2. Perkawinan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antara keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.17 3. Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum, misalnya seperti sebab memerdekakan budak.18
D. Derajat Ahli Waris Tidaklah seluruh ahli waris itu berada di dalam suatu derajat yang sama, akantetapi mereka berada di dalam derajat yang berbeda-beda. Dengan adanya 15
Fatur Rahman, Ilmu Waris, h. 50.
16
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media, November 2002M/Ramadhan 1423H), Cet. Kedua, h. 30. 17
Asymuni A. Rahman dkk, Ilmu Fiqh 3, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana IAIN Departemen Agama, 1986), h. 34. 18
Kama Rusdiana dan Jainal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta Press, November 2007), Cet. Pertama, h. 55.
23
perbedaan derajat ahli waris yang berbeda-beda maka di dalam pembagian harta waris itu didahulukan berdasarkan derajat mereka masing-masing, adapun susunannya adalah: 1. Ashabul furudh adalah para ahli waris yang mempunyai bagian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’ (dalam Al-Qur’an), yang bagiannya itu tidak akan bertambah atau berkurang, kecuali dalam masalah-masalah yang terjadi radd19 atau ‘aul.20 2. Ashabah nasabiah yaitu ahli waris karena adanya hubungan keturunan yang terdiri dari asabah bi nafsihi (menjadi asabah dengan sendirinya), asabah bi algair (menerima sisa harta waris karena perantara yang lain dalam hal hubugan nasab), dan asabah ma‟a al-gair (menerima sisa harta waris beserta yang lain).21 3. Raad atau penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagiannya (kecuali suami istri) adalah mengembalikan sisa harta warisan kepada ashabul furud menurut bagian yang ditentukan mereka ketika tidak adanya ashabah nasabiah.22 4. Dzawil arham yaitu orang yang ada hubungan kerabat dengan yang meninggal dunia, tetap tidak termasuk ashabul furudh. Misalnya, paman (saudara ibu), 19
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 66.
20
Aul adalah bertambahnya saham dzawil furudh dan berkurangnya kadar penerimaan warisan mereka atau bertambahnya jumlah bagian yang ditentukan dan berkurangnya bagian masingmasing ahli waris. 21
22
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h.192.
Moh. Muhibbin dan H. Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, Februari 2009), Cet. Pertama, h. 128.
24
bibi (saudara ibu), bibi (saudara ayah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak perempuan, dan tidak juga masuk ahli waris asabah.23 5. Radd kepada suami atau istri, apabila pewaris tidak mempunyai ahli waris yang termasuk ashabul furudh, ashabah, dan tidak ada kerabat yang memiliki ikatan rahim maka harta warisan tersebut seluruhnya menjadi milik suami atau istri. Misalnya seorang suami meninggal tanpa memiliki kerabat yang berhak untuk mewarisinya, maka istri mendapatkan bagian seperempat dari harta warisan yang ditinggalkannya, sedangkan sisanya merupakan tambahan hak warisnya. 6. Ashabah Sababiah yaitu ahli waris karena memerdekakan orang yang meninggalkan harta pusaka dengan status hamba. Misalnya, apabila ada seorang bekas budak yang meninggal dan mempunyai harta warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya itu termasuk ke dalam salah satu ahli waris dan sebagai ‘ashabah. Tetapi pada masa sekarang ini sudah tidak ada lagi. 7. Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta peninggalan, yaitu apabila orang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris, dan tidak ada yang diakukan nasab kepada orang lain, wasiat tersebut tetap dapat dilaksanakan (bukan salah seorang dari ahli waris).24
23
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita Edisi Lengkap, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, April 2007), Cet. Kedua Puluh Empat, h. 533. 24
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: CV Pustaka Setia, April 2006), Cet. Kedua, h. 56.
25
8. Baitul maal, yaitu rumah harta atau semacam balai harta yang khusus menerima, menyimpan dan mengatur harta umat Islam untuk kemanfaatan umat Islam dan agama Islam.25 Harta waris diserahkan ke baitul maal apabila seseorang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris ataupun kerabat, maka seluruh harta peninggalannya itu diserahkan kepada baitul maal guna untuk kemaslahatan kaum Muslimin.26
E. Penghalang Memperoleh Hak Waris Penghalang pewarisan adalah hal-hal, keadaan, atau pekerjaan yang menyebabkan seseorang terhalang untuk mendapatkan haarta waris,27 padahal dilihat dari syarat dan sebab memperoleh harta waris telah mencukupi.28 Adapun penghalang untuk memperoleh harta waris adalah: 1. Pembunuhan Jumhur fuqaha telah bersepakat bahwa pembunuh itu merupakan salah satu penghalang untuk mendapatkan hak waris. Dengan demikian, seorang
25
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, November 2008), Cet. Kedelapan, h. 100. 26
Muhammad Ali al-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Surabaya: al-Ikhlas, 1995),
27
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 32.
h. 53. 28
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris (Hukum-hukum Kewarisan dalam Syariat Islam), (Jakarta: Bulan Bintang,1973), Cet. Pertama, h. 51.
26
pembunuh tidak bisa mewarisi harta peninggalan orang yang telah dibunuhnya29. Sabda Nabi Muhammad SAW:
Artinya: “Diriwayatkan dari „Amr ibn Syu‟aib dari Ayahnya dari Kakeknya bahwa Nabi SAW. pernah bersabda: Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta sedikit pun”. (HR. Abu Dawud) Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Diriwayatkan dari Sayidina „Umar r.a. berkata: Saya pernah mendengar bahwa Nabi SAW. bersabda; Tidak ada hak bagi si pembunuh untuk mewarisi”. ( HR. Malik, Ahmad, dan Ibnu Majah) 2. Berlainan Agama Berlainan agama merupakan salah satu penghalang untuk mewarisi dalam hukum waris. Dengan demikian, orang kafir tidak dapat mewarisi harta orang Islam dan orang Islam pun tidak dapat mewarisi harta orang kafir. 32 Hal ini dijelaskan oleh sabda Nabi Muhammad SAW.
29
30
Komite Fakultas Syari’ah Universitas AL-Azhar Mesir, Hukum Waris, h. 56.
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, juz IV, hadits 4564, h. 189. 31
Malik bin Anas, al- Muwaththo, (al- Maktabah al-Syamilah), hadits 3229.; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz I/49, hadits 347, h. 52.; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz III. 32
Komite Fakultas Syari’ah Universitas AL-Azhar Mesir, Hukum Waris, h. 47.
27
Artinya: “Diriwayatkan dari Usman ibn Zaid bahwa Nabi SAW. pernah bersabda: Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam”. (HR. Jma‟ah kecuali Muslim san al- Nasa‟i) Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda:
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin „Amir bahwa Nabi SAW. pernah bersabda: Tidak dapat saling mewarisi dua orang pengikut agama yang berbeda-beda”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah) 3. Perbudakan Perbudakan dianggap sebagai penghalang waris-mewarisi ditinjau dari dua sisi, baik statusnya sebagai orang yang mewarisi harta peninggalan maupun sebagai orang yang mewariskan harta peninggalan. Sebab, ketika ia mewarisi harta peninggalan dari ahli warisnya niscaya yang memiliki harta warisan tersebut adalah tuannya. Budak pun tidak dapat mewariskan harta peninggalan kepada ahli warisnya karena ia dianggap tidak mempunyai sesuatu, seandainya ia mempunyai sesuatu maka kepemilikannya dianggap tidak sempurna kemudian kepemilikannya tersebut beralih kepada tuannya. 35 Adapun dasar
33
al-Bukhari, Shahih Bukhari, juz IV, hadits 6764, h. 240.; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz V/200, hadits 22090, h. 1588.; al-Tirmidzi, Kutub al-Sittah/jami’ al-Tirmidzi, hadits 2107, h. 1862.; Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, juz III, hadits 2909, h.; Ibnu Majah, Sunan Ibnu majah, juz III, hadits 2729, h. 161. 34
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz II/178, hadits 6664, h. 478.; Abi Dawud, juz III, hadits 2911, h. 125.; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz III, hadits 2731, h. 161. 35
Komite Fakultas Syari’ah Universitas AL-Azhar Mesir, Hukum Waris, h. 52.
28
hukum budak tidak dapat waris-mewarisi adalah firman Allah SWT. Di dalam Qs. Al-Nahl (16): 75 Artinya: “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu Dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama? segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui”. (Qs. . Al-Nahl/16/75)
F. Bagian Masing-masing Ahli Waris Baik di dalam al-Qur’an maupun Kompilasi hukum Islam (KHI) telah ditentukan bahwa ada enam macam bagian-bagian ahli waris, yaitu setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).36 Adapun pembagiannya sebagai berikut: 1. Bagian Setengah (1/2) Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian setengah dari harta peninggalan ada lima, yaitu: suami, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan seayah. a. Suami Seorang suami mendapatkan setengah harta apabila simayat tidak meninggalkan anak, sebagaiman yang terdapat dalam Kompilasi Hukum 36
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 66.
29
Islam (KHI) pasal 179, yang berbunyi: “Duda mendapatkan separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperenam bagian”.37 b. Anak Perempuan Anak perempuan berhak mendapatkan bagian setengah dari harta warisan, apabila anak perempuan tersebut itu adalah anak tunggal dan apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki.38 Firman Allah SWT: Artinya: “.....jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separuh harta.....”. (Qs. an-Nisa/4/11) c. Cucu Perempuan dari Anak Laki-laki Cucu perempuan mendapatkan setengah bagian apabila cucu tersebut tunggal, tidak berbarengan dengan anak laki-laki maupun anak perempuan pewaris, dan tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.39 d. Saudara Perempuan Sekandung (seayah/seibu) Saudara perempuan sekandung (seayah/seibu) mendapatkan bagian dari harta warisan apabila tidak ada saudara laki-laki sekandung, tidak ada ahli waris keturunan si pewaris, tidak ada ahli waris leluhur si pewaris (ayah
37
Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: akademika Pressindo, 2007), Cet. Pertama, h. 158.
38
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 68.
39
Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: PT Alma’arif), h. 174.
30
atau kakek), dan saudara perempuan sekandung tersebut adalah saudara tunggal. Firman Allah SWT: Artimya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).40 Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya.....”. (Qs.An-Nisa/4/176) e. Saudara Perempuan Seayah Saudara perempuan seayah akan mendapatkan bagian setengah dari harta peninggalan pewaris, apabila tidak ada saudara sekandung, baik lakilaki maupun perempuan, tidak ada saudara laki-laki seayah, tidak ada ahli waris keturunan si pewaris, tidak ada ahli waris leluhur si pewaris (ayah atau kakek), dan saudara perempuan seayah tersebut adalah saudara tunggal (tidak ada saudara perempuan lainnya, baik sekandung maupun seayah).41 2. Bagian Seperempat (1/4) Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian seperempat dari harta peninggalan hanya ada dua orang, yaitu: a. Suami
40
Kalalah Ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak.
41
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 68.
31
Suami mendapat bagian seperempat apabial pewaris meninggalkan anak,42 selain itu apabila si pewaris meninggalkan cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu perempuan dari anak laki-laki.43 Firman Allah SWT: Artinya: “.....jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya.....”. (Qs. An-Nisa/4/12) b. Istri Istri merupakan salah-satu ahli waris yang mendapatkan bagian seperempat dari harta waris si mayat, baik isteri berjumlah satu ataupun lebih. Isteri mendapatkan bagian seperempat apabila tidak ada ahli waris keturunan si mayat. Artinya: “.....para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.....”. (Qs. an-Nisa/4/12) 3. Bagian Seperdelapan (1/8) Ahli waris yang mendapatkan seperdelapan harta peninggalan si mayat hanya ada satu orang, yaitu istri (baik seorang maupun lebih). Istri mendapatkan seperdelapan apabila si pewaris bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayat (suami). Firman Allah SWT:
42
Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: akademika Pressindo, 2007), Cet. Pertama, h. 158.
43
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 69.
32
Artinya: “..... jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.....”. (Qs. anNisa/4/12) 4. Bagian Dua pertiga (2/3) Ahli waris yang menerima bagian dua pertiga ada empat orang, yaitu: a. Dua orang atau lebih anak perempuan akan mendapatkan bagian dua pertiga apabila ia tidak bersama-sama dengan anak laki-laki. b. Dua orang atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki mendapatkan bagian dua pertiga harta waris apabila, tidak ada anak laki-laki maupun anak perempuan dan tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.44 c. Dua orang atau lebih saudara perempuan kandung atau lebih mendapat bagian dua pertiga dengan ketentuan bahwa mereka tidak bersama dengan saudara laki-laki sekandung, tidak bersamaan dengan bapak, dan far‟ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu perempuan dari anak laki-laki). d. Dua orang atau lebih saudara perempuan seayah mendapat bagian dua pertiga denagan ketentuan bahwa mereka tidak mewarisi bersama saudara laki-laki sebapak, tidak bersamaan dengan bapak, dan tidak bersama far‟ul
44
Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, h. 136.
33
mawaris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu perempuan dari anak laki-laki), serta saudara laki-laki atau perempuan sekandung.45 5. Bagian Sepertiga (1/3) Ahli waris yang mendapatkan bagian sepertiga ada dua golongan, yaitu: a. Ibu Ibu mendapatkan 1/3 dari harta waris apabila si pewaris tidak mempunyai anak laki-laki atau anak perempuan, tidak mempunyai cucu perempuan dari anak laki-laki kandung,46 dan tidak mempunyai dua saudara atau lebih, baik itu saudara laki-laki maupun perempuan, baik saudara kandung, seayah, maupun seibu.47 Firman Allah SWT: Artinya: “.....jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.....”. (Qs.anNisa/4/11)
45
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 70.
46
‘Abd Al-Qadir Manshur, Buku Pintar Fikih Wanita, (Jakarta: Zaman, 2009), Cet. Pertama,
h. 145. 47
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani, Shafar 1427H/Maret 2006M), Cet. Pertama, h. 572.
34
b. Dua Orang/Lebih Saudara Seibu (saudara laki-laki/perempuan seibu saja) Apabila si mayit tidak mempunyai anak, baik anak laki-laki maupun perempuan, dan tidak meninggalkan ayah. Maka kedua saudara tersebut mendapatkan 1/3 dari harta waris.48 Firman Allah SWT: Artinya: “.....jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.....”. (Qs. an-Nisa/4/12) 6. Bagian seperenam (1/6) Ahli waris yang berhak mendapatkan seperenam bagian dari harta peninggalan ada tujuh orang, yaitu: a. Bapak Bapak mendapatkan 1/6 harta waris apabila ia berbarengan dengan anak laki-laki dan anak perempuan si mayat.49 Firman Allah:
48
Aris Riansyah, Adat Masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya, (Skripsi SI Fakultas Syariah dan Humum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta: 1430H/2099M), h. 35. 49
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Ja‟far, Hanafi, Maliki, Syafi‟I, dan Hambali), (Jakarta: PT Lentera Basritama, Rabiulawal 1425H/Mei 2004M), Cet. Kesebelas, h. 581.
35
Artinya: “.....dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak.....”. (Qs.an-Nisa/4/11) b. Ibu Ibu mendapatkan 1/6 dari harta waris apabila ibu bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayat atau bersama dua orang atau lebih saudara laki-laki maupun permpuan.50 Firman Allah SWT: Artinya: “..... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.....”. (Qs. an-Nisa/4/11) c. Kakek Apabila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak perempuan, istri, dan seorang saudara laki-laki, maka kakek mendapatkan 1/6 dari harta waris.51 Firman Allah SWT: Artinya: “.....dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak.....”. (Qs. an-Nisa/4/11) d. Nenek
50
Aris Riansyah, Adat Masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya. h. 37.
51
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita Menurut Al-Qu‟an dan As-Sunnah, (Jakarta: Akbarmedia, Shafar 1431H/Januari 2010M), Cet. Ketiga, h. 499.
36
Nenek akan menerima 1/6 bagian dari total harta pusaka dan jumlah nenek tidak lebih dari empat orang, baik nenek dari pihak bapak atau ibu atau ibu dari bapak dan ibunya.52 e. Cucu perempuan dari anak laki-laki Cucu perempuan dari anak laki-laki seorang atau lebih akan mendapat bagian 1/6 apabila yang meninggal (pewaris) mempunyai satu anak perempuan, tidak ada bersama cucu perempuan tersebut cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan si pewaris tidak mempunyai anak laki-laki. Selain itu, tidak mempunyai anak perempuan lebih dari satu orang.53 f. Saudara perempuan seayah Apabila saudara perempuan seayah berbarengan dengan saudara perempuan kandung, maka saudara perempuan seayah akan menerima warisan sebesar 1/6 dari harta waris.54 g. Seorang saudara perempuan seibu (laki-laki maupun perempuan) Seorang saudara seibu berhak mendapatkan 1/6 dari harta peninggalan dengan syarat: apabila tidak ada keturunan si mayat, dan tidak ada ahli waris leluhur si mayat dari golongan laki-laki.55
52
A. Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Mei 2002), Cet. Pertama, h. 395. 53
Aris Riansyah, Adat Masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya. h. 41.
54
A. Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), h. 393.
55
Aris Riansyah, Adat Masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya. h. 42.
BAB III WARIS RUMAH ANAK BUNGSU PEREMPUAN DI SUKAMAJU DALAM KONTEKS HUKUM ISLAM
A. Letak dan Geografisnya Kampung Sukamaju merupakan perkampungan tingkat dusun yang merupakan dari wilayah Desa Darangdan. Pada umumnya, kampung Sukamaju mempunyai batasan-batasan wilayah, yaitu: sebelah timur berbatasan dengan dusun empat Babakan, sebelah barat berbatasan dengan dusun tiga Darangdan, sebelah utara berbatasan dengan Desa Gunung Hejo, dan sebelah selatan berbatasan dengan dusun dua Darangdan.1 Luas wilayah kampung Sukamaju kurang lebih 60 hektar yang terbagi ke dalam pemukiman warga, perkebunan, dan pesawahan. Secara administratif, kampung Sukamaju termasuk ke dalam desa Darangdan Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta Propinsi Jawa Barat. Kampungan Sukamaju memiliki 578 bangunan, terdiri dari 572 rumah, satu sekolah Dasar dan satu sekolah Diniah (MDA), satu sekolah menengah pertama yaitu SMP, dan terdapat tiga bangunan masjid.2 Desa Darangdan terdiri dari 9 RW, 4 kepala dusun, dan 32 RT. Kampung Sukamaju terdiri dari 3 RW dan 12 RT dan jumlah dari penduduk kampung 1
Wawancara Pribadi dengan Sofyan, Purwakarta 10 Maret 2011.
2
Data kelurahan Darangdan.
37
38
Sukamaju itu kurang lebih terdiri dari 1.680 jiwa. Dengan demikian kampung Sukamaju merupakan salah-satu dari wilayah administratif Desa Darangdan, untuk menuju kampung Sukamaju dari jalan raya sangat mudah karena kampung Sukamaju tepat berada di samping jalan raya.3
B. Sistem Kemasyarakatan, Adat Istiadat dan Kebudayaan 1. Sistem Kemasyarakatan Tokoh masyarakat kampung Sukamaju mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan masyarakatnya, hal ini disebabkan ketika salah satu dari masyarakatnya memiliki suatu masalah maka tokoh masyarakat tersebut selalu diminta pendapat untuk memecahkannya. Dalam hal ketaatan masyarakat kampung Sukamaju ada terkecualinya, yaitu dalam masalah pembagian sistem waris, meskipun kiyai atau ustadz itu dalam pembagian harta waris menyuruh kepada masyarakatnya untuk memakai sistem waris dua berbanding satu tetapi masnyarakatnya itu tidak melaksanakan hal tersebut. Dalam hal ini, masyarakat kampung Sukamaju beranggapan bahwa sistem waris dua berbanding satu itu kurang adil. Secara umum yang menjadi tokoh masyarakat adalah seorang kiyai atau ustadz yang memahami banyak tentang ilmu Agama Islam. Pada saat ini sistem kemasyarakatan kampung Sukamaju sedang mengalami transisi, yaitu dari sifat tradisional menuju ke modern. Selain itu, partisipasi tokoh masyarakat sangat 3
Wawancara Pribadi dengan Sofyan, Purwakarta 10 Maret 2011.
39
vital dalam membina kesadaran masyarakat kampung Sukamaju, hal ini dapat terlihat dalam sistem kemasyarakatannya, yaitu: a. Sistem Pelapisan Sosial Masyarakat kampung Sukamaju selalu mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat oleh ketua RT atau RW, tetapi sebelum masyarakat mematuhi peraturan tersebut terlebih dahulu mereka selalu menanyakan kepada kiyai/ustadz apakah peraturan tersebut perlu di taati atau tidak? Di kampung Sukamaju terdapat sifat gotongroyong yang tinggi. Hal ini terlihat ketika ada keluarga yang sedang membangun rumah, maka masyarakat kampung Sukamaju selalu membantu dengan tenaga atau memberikan makanan kepada keluarga tersebut. Selain itu, ketika ada keluarga yang akan menikahkan/mengkhitan anaknya, masyarakat kampung Sukamaju selalu membantu untuk membuat tenda dan memasak. b. Sistem Kepemimpinan Kampung Sukamaju merupakan salah satu kampung yang berada di daerah Jawa Barat yang memiliki dua bentuk sistem kepemimpinan, yaitu kepemimpinan formal dan kepemimpinan informal. Kepemimpinan formal adalah hasil atas dasar pemilihan rakyat dan mendapat legitimasi dari pemerintah. Kepemimpinan formal di kampung Sukamaju dipegang oleh RW dan ketua RT yang langsung berhubungan dengan sistem pemerintah.4
4
Data kelurahan Darangdan.
40
Kepemimpinan informal adalah kepemimpinan yang dipegang langsung oleh tokoh masyarakat (kiyai/ustadz) yang memahami banyak tentang ilmu Agama Islam dan bisa dimintai pendapat untuk memecahkan suatu masalah yang timbul di masyarakat.5 2. Adat Istiadat dan Kebudayaan Dalam kehidupan bermasyarakat, di kampung Sukamaju terdapat beberapa adat yang sering dilakukan oleh warganya, yaitu: a. Acara Peringatan Hari Besar Islam Sebelum acara penyambutan hari besar Islam, terlebih dulu masyarakatnya membentuk susunan ketua panitia yang dilakukan satu bulan sebelum acara berlangsung dan dilakukan dengan cara bermusyawarah yang dipimpin oleh sesepuh6 kampung. Hari-hari besar Islam yang suka diperingati adalah acara maulid, isra’ mi’raj Nabi Muhammad SAW, rabu wakasan, dan acara satu muharam. Dalam pelaksanaan hari besar Islam, biasanya dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti melakukan tablig akbar, membaca shalawat Nabi, membaca al-Qur’an, dan melakukan shalat tasbih berjamaah yang berlangsung di dalam/di luar masjid, apabila pelaksanaan acara
5
6
Wawancara Pribadi dengan Sofyan. Purwakarta, 10 Maret 2011.
Sesepuh adalah tokoh masyarakat yang paling berpengaruh di Kampungnya dan biasanya sesepuh itu merupakan ulama/ustad.
41
peringatan hari besar Islam itu dilakukan di luar masjid maka akan dibuatkan tenda dilengkapi dengan kursi. b. Tradisi Bangun Rumah Dalam tradisi bangun rumah terdapat kebiasaan yang suka dilakukan oleh masyarakatnya, yaitu menancapkan bendera merah putih di atas atap rumah dengan tujuan untuk mengenang dan menghormati jasa-jasa para pahlawan yang telah susah-payah untuk mengibarkan bendera merah putih di bumi pertiwi ini. Pada waktu dulu terdapat kebiasaan yang bertentangan dengan hukum Islam yaitu mengubur sesuatu di bawah tanah yang akan dijadikan ruang tamu. Lama-kelamaan kebiasaan ini hilang dengan sendirinya, karena secara umum masyarakatnya menyadari bahwa kebiasaan tersebut menyimpang dari ajaran Islam. c. Tradisi dalam Perkawinan Dalam acara perkawinan, terdapat kebiasaan yang suka dilakukan oleh masyarakatnya, yaitu injak telor, buka pintu, dan saweran. Akan tetapi pada sekarang ini yang melakukan tradisi injak telor dan buka pintu sudah ditinggalkan, sedangkan kebiasaan yang masih ada sampai sekarang adalah saweran. Saweran dalam pelaksanaan perkawinan mempunyai tujuan untuk memberikan wejangan (nasehat-nasehat) kepada ke-2 calon mempelai yang disampaikan lewat seni.
42
d. Larangan Bepergian Pada Hari Sabtu Selain kebiasaan-kebiasaan di atas, di kampung Sukamaju terdapat sebuah larangan untuk bepergian pada hari sabtu, karena masyarakatnya beranggapan bahwa hari sabtu merupakan hari yang kurang baik untuk bepergian. Larangan bepergian pada hari sabtu suka dikaitkan dengan musibah yang menimpa pada keluarga. Misalnya dikaitkan dengan kematian salahsatu anggota keluarganya yang meninggal pada hari sabtu yang disebabkan kecelakaan ketika sedang bepergian. Larangan ini hanya dilakukan oleh sekelompok minoritas dan sekarang hampir tidak ada.7
C. Konsep Kewarisan Rumah Pusaka Bagi Anak Bungsu Perempuan Berbicara dengan hukum waris adat, ada baiknya terlebih dahulu memahami pengertiannya sebagai pegangan untuk melangkah kepada pembahasan selanjutnya. Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari satu generasi kepada keturunannya.8 Ter Haar, menyatakan: “Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana
7
Wawancara Pribadi dengan KH. Adnan Soleh. Purwakarta, 28 Februari 2011.
8
Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Jakarta: Literata, 2010), h. 20-21.
43
dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi”.9 Soepono menyatakan bahwa hukum waris: “Memuat peratutan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriel goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses ini telah mulai dalam waktu orang tua masih hidup”.10 Dengan demikian hukum waris merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur cara meneruskan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada ahli warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan ini dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah meninggal dunia. Selanjutnya akan dibicarakan pembagian harta warisan menurut hukum adat, dimana pada umumnya tidak menentukan kapan harta waris itu akan dibagi atau kapan sebaiknya diadakan pembagian begitu pula siapa yang mendampingi ketika berlangsung pembagiannya.11 Menurut hukum waris adat kebiasaan waktu pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara sedekah atau selamatan yang disebut 9
Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: CV.Rajawali, Oktober 1981), h. 285. 10
Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Hukum Adat Indonesia, h. 285.
11
Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, h. 22.
44
tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, atau seribu hari setelah pewaris wafat. Sebab pada waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul. Pada waktu pembagiannya suka berlangsung lancar, karena ketika pembagian waris berlangsung biasanya didampingi oleh orang yang dapat dipercaya.12 Tatacara pembagian hukum waris adat ada 2 kemungkinan yaitu: dengan cara bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan, atau dengan cara bagi antara anak laki-laki dengan perempuan seimbang (sama).13 Dalam pembagian waris, di kampung Sukamaju terdapat 3 kemungkinan yaitu: 2 berbanding 1, bagi rata, sistem waris ini untuk menjaga kerukunan sesama ahli waris,14 dan sistem waris ke-3 yaitu secara khusus rumah pusaka diberikan kepada anak bungsu laki-laki/perempuan.15 Sistem hukum waris 2 berbanding 1 tidak terlalu banyak digunakan oleh masyarakatnya.16 Secara umum sistem waris yang ke-3 sama dengan sistem waris ke-2 (bagi rata), perbedaannya terletak pada pembagian rumah pusaka. Apabila yang menjadi anak bungsu laki-laki maka rumah pusaka akan dibagi dua dengan anak
12
Wawancara Pribadi dengan KH. Adnan Soleh, Purwakarta, 28 Februari 2011.
13
Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, h. 21-23.
14
Wawancara Pribadi dengan Kundung Feri, Purwakarta, 28 Februari 2011.
15
Anak bungsu laki-laki/perempuan: Kemungkinan ketika orang tuanya meninggal anak bungsu tersebut masih kecil dan masih duduk di sekolah SMP/SMU, berbeda dengan anak kakanya yang sudah menyelesaikan S1 (biaya yang dikeluarkan buat anak bungsu baru sedikit, sedangkan bagi kakanya sudah banyak biaya yang besar). 16
Wawancara Pribadi dengan Kundung Feri, Purwakarta, 28 Februari 2011.
45
perempuan yang mempunyai jarak kelahiran lebih dekat dengannya,17 sedangkan ketika yang menjadi anak bungsu perempuan maka rumah secara keseluruhan menjadi miliknya.18 Berlakunya sistem waris ke-3 yaitu untuk menghindari timbulnya kemadharatan dimasa yang akan datang, karena secara umum apabila sistem pembagian waris tidak menggunakan sistem waris ini maka dikemudian hari suka terjadi permasalahan atau pertengkaran antara ahli waris. Secara umum permasalahan yang timbul disebabkan dengan pemakaian sistem waris 2 berbanding 1. Untuk mencegah permasalahan tersebut, maka secara khusus anak perempuan bungsu akan mendapatkan bagian dari rumah pusaka.19 Dalam masalah pembagian waris, biasanya yang menjadi ahli waris terpenting adalah anak kandung sendiri. Dengan adanya anak kandung maka anggota keluarga yang lain menjadi tertutup untuk menjadi ahli waris. Selain anak tersebut ada ahli waris yang lainnya juga, yaitu suami atau istri si mayat. Apabila si mayat tidak mempunyai anak, maka selain harta warisnya diberikan kepada
17
Wawancara Pribadi dengan KH. Adnan Soleh, Purwakarta, 28 Februari 2011.
18
Anak bungsu perempuan: Biasanya mempunyai peranan yang lebih dalam mengurus ke-2 orang tuanya dibandingkan dengan anak laki-laki, peranan tersebut terlihat ketika ke-2 orang tuanya sedang menderita sakit/ lanjut usia, ketika orang tuanya mengalami sakit/telah lanjut usia maka anak perempuanlah yang suka mengurusnya. Apalagi anak perempuan bungsu selain mengurus orang tua yang sedang sakit/lanjut usia, maka untuk sementara waktu ia akan tinggal bersama ke-2 orang tuanya dengan maksud untuk mempermudah dalam membantu segala keperluan orang tuanya. 19
Wawancara Pribadi dengan KH. Adnan Soleh, Purwakarta, 28 Februari 2011.
46
suami atau istrinya harta tersebut diberikan kepada keluarga dekat yaitu ibu, bapak, kakek, nenek, dan kakak laki-laki si mayat.20
D. Radius Pengaruh Sistem Kewarisan Kampung Sukamaju Sebelum saya menjelaskan tentang radius dari sistem kewarisan yang berlaku di kampung Sukamaju, maka terlebih dahulu saya akan memperjelas apakah sistem waris yang terdapat di kampung Sukamaju itu dilakukan oleh segolongan minoritas atau segolongan mayoritas. Pada umumnya, masyarakat yang berada di kampung Sukamaju dalam masalah pembagian warisan mereka memakai sistem waris hukum adat yaitu anak bungsu mendapatkan rumah pusaka, baik anak bungsunya itu laki-laki atau perempuan. Tetapi ketika yang menjadi anak bungsunya perempuan maka pembagian rumah pusaka berbeda ketika yang menjadi anak bungsunya itu lakilakai, apabila yang menjadi anak bungsunya perempuan maka rumah pusaka sepenuhnya menjadi milik anak perempuan bungsu tersebut, sedangkan ketika yang menjadi anak bungsunya itu laki-laki maka rumah pusaka akan dibagi dua dengan anak perempuan yang mempunyai jarak kelahiran yang lebih dekat dengan anak bungsu laki-laki tersebut. Pada masalah pembagian harta waris lainnya seperti uang, tanah, dan yang lainnya yaitu dengan cara bagi rata antara anak laki-laki maupun anak perempuan,
20
Wawancara Pribadi dengan Kundang Feri, Purwakarta, 28 Februari 2011.
47
hal ini disebabkan karena bertujuan untuk mencegah timbulnya permasalahan atau pertengkaran yang terjadi dimasa yang akan datang antara ahli waris yang satu dengan ahli waris yang lainnya. Untuk mengetahui apakah radius dari sistem kewarisan yang berlaku di kampung Sukamaju itu mempunyai dampak atau pengaruh terhadap kampung yang berada di sekitarnya atau tidak, maka untuk memperoleh data tersebut saya bertanya kepada masyarakat kampung Sukamaju itu sendiri. Setelah saya meneliti lebih lanjut terhadap kewarisan yang berlaku di kampung Sukamaju, maka saya mendapatkan sebuah data baru yaitu dimana radius dari pengaruh sistem kewarisan yang terjadi di kampung Sukamaju itu tidak mempunyai dampak yang luas terhadap masalah pembagian-pembagian harta waris di kampung yang berada di desa Darangdan tersebut, hal ini dapat terlihat bahwa dari lima kampung yang berada di desa Darangdan, yaitu: kampung Sukamaju, kampung Cilimus, kampung Darangdan, kampung Babakan, dan kampung Lebak Wangi, pengaruh dari pembagian harta waris yang terjadi dikampung Sukamaju itu hanya berdampak pada satu kampung saja, yaitu terhadap kampung Darangdan. Adapun kenapa di kampung Darangdan dalam pembagian harta warisnya sama seperti di kampung Sukamaju, hal ini disebabkan oleh jarak atau letak geografis antara kampung Sukamaju dengan kampung Darangdan itu berdekatan bahkan antara kampung Sukamaju dengan kampung Darangdan itu merupakan tetangga kampung.
48
E. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kewarisan Adat Kampung Sukamaju Pada waktu Islam belum datang ke tanah Arab, manusia masih mempergunakan hukum waris dalam bentuk peraturan yang bertentangan dengan fitrah manusia. Orang Arab jahiliyah tidak memberikan warisan pada wanita.21 Hal ini sesuai dengan kutipan di bawah ini:
Artinya: “.....Orang Jahiliyah yang mendapatkan warisan itu hanya anak laki-laki sedangkan anak perempuan tidak mendapatkan.....” Untuk itu Allah SWT menurunkan ayat Al-Qur’an yang berbunyi: Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan......”. (Qs.an-Nisa/4/11) Selain itu terdapat hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Jabir
Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir berkata: telah datang istri Sa’ad bin ar-Rabi’ kepada Rasulullah SAW, dengan dua orang anak perempuan Sa’ad dia berkata: 21
Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Jakarta: Literata, 2010), h. 15.
22
Imam Taqyuddin Abi Bakar Bin Muhammad Husaeni Husni Al-Damsyiqii Asysyaafi’i, Kifâyah al-Akhyâr, (Bandung: Perpustakaan Ma’arif), h. 17. 23
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz III/367, hadits 14349, h. 980.; Abu Dawud, Sunnah Abi Dawud, Juz III, hadits 2891, h. 120.; al-Tirmidzi, Kutub al-Sittah/Sunan Tirmidzi, hadits 2092, h. 1861.; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz III, hadits 2720, h. 158.
49
“Wahai Rasulullah, ini adalah dua orang anak perempuan Sa’ad bin ar-Rabi’ yang ayahnya meninggal dunia dalam keadaan syahid ketika perang uhud bersamamu, sedangkan paman mereka telah mengambil seluruh harta peninggalannya, sehingga mereka tidak ditinggali harta sedikit pun, dan mereka tidak dapat menikah bila tidak mempunyai harta”, maka Rasulullah menjawab: “Allah-lah yang akan memutuskan perkara tersebut” lalu turunlah ayat-ayat tentang waris. Setelah itu, Rasulullah SAW mengutus sahabat untuk menemui paman mereka, lalu beliau berkata: “Berikanlah dua orang anak Sa’ad dua pertiga, ibu mereka seperdelapan, dan sisanya untuk kamu”. (HR. al-Khamsah kecuali al-Nasa’i) Menurut mazhab empat (Syafi’i, Hambali, Maliki, dan Hanafi), anak perempuan berhak mendapatkan atas harta waris, selain itu mazhab empat menjelaskan bagian anak perempuan dalam menerima harta waris, yaitu: 1. Anak perempuan mendapatkan 1/2, apabila si mayat tidak meninggalkan anak laki-laki, 2. Mendapatkan 2/3, apabila apabila terdapat 2 orang atau lebih anak perempuan, dan 3. Mendapatkan 2:1, apabila berbarengan dengan anak laki-laki.24 Di samping itu sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman serta pendapat para ahli dikalangan umat Islam, maka hukum waris Islam dituangkan kedalam suatu ketentuan peraturan yang disebut Kompilasi Hukum Islam (KHI).25 Selanjutnya dalam KHI pasal 176 Bab III menjelaskan tentang bagian anak perempuan dalam menerima waris, yang berbunyi:
24
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: PT Lentera Basritama, Rabiulawal 1425H/Mei 2004M), Cet. Kesebelas, h. 551. 25
Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, h. 17.
50
“Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan”.26 Dari uraian di atas, nampak bahwa antara apa yang telah ditetapkan dalam ayat al-Qur’an, hadits, fikih, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya mengenai bagian anak perempuan dalam pembagian harta waris yang ditinggalkan oleh sipewaris adalah sama, yakni27 1/2 apabila ia hanya seorang, 2/3 jika terdapat 2 orang atau lebih anak perempuan dan 2 berbanding 1 apabila berbarengan dengan anak laki-laki. Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa dalam pembagian harta waris
di kampung Sukamaju menggunakan hukum waris adat, tetapi selama
sistem waris itu tidak menimbulkan kemadharatan bagi para ahli waris, maka sistem warisnya tetap dapat digunakan, karena agama Islam tidak mempersulit kepada umatnya, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah (2) ayat 185 yang berbunyi: Artinya: “.....Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran.....” . (Qs. al-Baqarah/2/185)
26
H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: CV Akademika Pressindo, April 2007), Cet. Kelima, h. 157. 27
Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, h. 16.
51
Sabda Nabi Muhammad SAW:
Artinya: “ Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda; Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah. Tidaklah seorang pun mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan (tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna). Oleh karena itu, berlaku luruslah, sederhana (tidak melampaui batas), dan bergembiralah (karena memperoleh pahala) serta memohon pertolongan (kepada Allah) dengan ibadah pada waktu pagi, petang dan sebagian malam”. (HR. Bukhari) Dari uraian di atas terlihat bahwa sistem kewarisan yang berlaku di kampung Sukamaju adalah sistem kekeluargaan pariental atau bilateral, dalam sistem ini menarik garis keturunan dari kedua belah pihak orang tua, yaitu dari garis bapak maupun ibu.29 Kebanyakan sistem waris adat yang berlaku di indonesia adalah pembagian berimbang antara semua anak, hal itu merupakan corak dan sifat tersendiri yang khas Indonesia yang berbeda dengan hukum waris Islam, ini semua berdasarkan dari latar belakang alam pikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang Bhineka Tunggal Ika yang didasarkan pada kehidupan bersama, bersifat tolong menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian.30
28
al-Bukhari, Shahih Bukhari, Kitabul Iman bab Addiinu Yusrun, juz I, hadits. 39, h. 35. dan an-Nasa’i (VIII/122), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu, Muhammad Nashiruddin Al Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, bab iman, buku I, h. 35. 29
Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, h. 40.
30
Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, h. 23.
52
Meskipun sistem kewarisan yang berlaku di kampung Sukamaju berbeda dengan sistem waris Islam dan sistem waris adat yang berada di Indonesia pada umumnya, selama perbedaan tersebut tidak menimbulkan kemadharatan maka sistem waris di kampung Sukamaju masih bisa digunakan dalam pembagian waris. Selain itu, Islam adalah agama yang mudah dan sesuai dengan fitrah manusia, Islam adalah agama yang tidak sulit. Allah SWT menghendaki kemudahan kepada umat manusia dan tidak menghendaki kesusahan kepadanya. Sebagaiman firman Allah SWT dalam surat Al-Hajj (22) ayat 78 yang berbunyi: )
Artinya: “….. dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama ..…”. (Qs. Al-Hajj: 22/78) Berdasarkan dari hasil penelitian dan alasan-alasan yang disertai dengan dalil-dalil di atas maka saya dapat menyimpulkan bahwa sangat jelas sistem kewarisan yang berlaku di kampung Sukamaju itu tidak bertentangan dengan sistem waris hukum Islam, dan sistem waris yang berlaku di kampung Sukamaju tetap bisa digunakan oleh masyarakat kampung Sukamaju tersebut. Dalam penulisan skripsi ini, penulis merasa masih banyak sekali kekurangan-kekurangannya, oleh karena itu penulis mengharapkan bagi para pembaca untuk memberikan masukan-masukannya, sehingga skripsi yang saya tulis ini menjadi lebih baik.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Konsep pembagian warisan yang berlaku di kampung Sukamaju ada tiga macam, yaitu: a. Bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan, b. Bagian antara anak laki-laki dengan perempuan seimbang (sama), dan c. Secara khusus rumah pusaka diberikan kepada anak bungsu baik lakilaki/perempuan. Apabila yang menjadi anak bungsu laki-laki maka rumah pusaka dibagi dua dengan anak perempuan yang mempunyai jarak kelahiran lebih dekat dengannya, sedangkan ketika yang menjadi anak bungsu perempuan maka rumah secara keseluruhan menjadi miliknya. 2. Dalam hal pembagian warisan, kedudukan anak perempuan sama dengan anak laki-laki (tidak mempunyai kedudukan yang khusus). Meskipun antara anak laki-laki dan anak perempuan terdapat perbedaan dalam menerima harta waris, karena perbedaan itu hanya terjadi pada pembagian rumah pusaka saja. Adapun alasan dari sistem waris ini disebabkan apabila disuatu hari orang tua sakit/sudah lanjut usia, maka anak perempuanlah yang suka mengurus orang 53
54
tuanya. Apalagi anak perempuan bungsu selain mengurus orang tua yang sakit/lanjut usia, maka untuk sementara waktu ia akan tinggal bersama orang tuanya meskipun ia sudah menikah dan mempunyai tempat tinnggal. 3. Perbedaan sistem waris di kampung Sukamaju tidak berpengaruh terhadap kerukunan sesama ahli waris, hal ini terlihat walaupun terdapat perbedaan dalam masalah pembagian rumah pusaka, kerukunan antara sesama ahli waris tetap rukun (tidak ada perselisihan tentang masalah harta waris).
B. Saran-saran Setelah penulis mengambil beberapa kesimpulan tersebut di atas, maka perlu kiranya saran-saran sebagai berikut: 1. Dengan penulisan skripsi tentang pembagian warisan anak perempuan ini, semoga dapat memberikan masukan-masukan dan manfaat, bagi individu dan khususnya bagi masyarakat kampung Sukamaju dalam pembagian harta waris. 2. Sebaiknya tokoh masyarakat kampung Sukamaju memberikan penyuluhan lagi mengenai sistem waris 2 berbanding 1, supaya ketika menggunakan sistem waris ini tidak terjadi lagi perselishan/pertengkaran sesama ahli waris. 3. Penulisan skripsi ini belum sempurna dan masih ada kekurangan, oleh karena itu saran, masukan, dan kritik yang konstruktif sangat diharapkan untuk menyempurnakan skripsi ini.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Karim Al-Qur’an dan Terjemahnya. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz III/367, hadits 14349, h. 980.; Abu Dawud, Sunnah Abi Dawud, Juz III, hadits 2891, h. 120.; al-Tirmidzi, Kutub al-Sittah/Sunan Tirmidzi, hadits 2092, h. 1861.; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz III, hadits 2720. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz II/178, hadits 6664, h. 478.; Abi Dawud, juz III, hadits 2911, h. 125.; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz III, hadits 2731. Ali, Muhammad al-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Surabaya: al-Ikhlas, 1995. Al-Bukhari, Shahih Bukhari, juz IV, hadits 6764, h. 240.; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz V/200, hadits 22090, h. 1588.; al-Tirmidzi, Kutub al-Sittah/jami’ al-Tirmidzi, hadits 2107, h. 1862.; Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, juz III, hadits 2909, h.; Ibnu Majah, Sunan Ibnu majah, juz III, hadits 2729. Al-Fauzan, Saleh, Fiqih Sehari-hari, Jakarta: Gema Insani, Shafar 1427H/Maret 2006M, Cet. Pertama. Al-Qadir, Abd Manshur, Buku Pintar Fikih Wanita, Jakarta: Zaman, 2009, Cet. Pertama. Al-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr, 1989. Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Asymuni A. Rahman dkk, Ilmu Fiqh 3, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana IAIN Departemen Agama, 1986. Dawud, Abu, Sunan Abi Dawud, juz IV, hadits 4564. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1999, Cet. Keenam, Jilid Ke-5.
55
56
Hasbi, M. Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris (Hukum-hukum Kewarisan dalam Syariat Islam), Jakarta: Bulan Bintang,1973, Cet. Pertama. -----Fiqh Mawaris, Semarang: Pustaka Rizki Purta, 1999. http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Waris/Penjelasan.html Jawad, Muhammad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: PT Lentera Basritama, Rabiulawal 1425H/Mei 2004M, Cet. Kesebelas. J. Lexy. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Kamil, Syaikh Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita Edisi Lengkap, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, April 200, Cet. Kedua Puluh Empat. Khairul, Dian Umam, Fiqih Mawaris, Bandung: CV Pustaka Setia, April 2006, Cet. Kedua. Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 2007, Cet. Pertama. Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Ahkamul-Mawaarits filFiqhil-Islam, Mesir: Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, 2000. Muhammad, Syaikh Al-Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita Menurut Al-Qu’an dan AsSunnah, Jakarta: Akbarmedia, Shafar 1431H/Januari 2010M, Cet. Ketiga. Muhammad, Asy-Syaikh bin Saleh Al-Utsaimin, Ilmu Mawaris Metode Praktis Menghitung Warisan dalam Syariat Islam, Tegal Jateng: Ash-Shaf media, Mei 2007. Muhibbin, Moh, dan H. Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, Februari 2009, Cet. Pertama. Muhyiddin Abdul Hamid, Muhammad, Ahkamu al-Mawaris fi al-Sari’ati alIslamiyyati ala madahib al-Aimmati al-Arba’ah, Sudan: 1416H/1996M. Otje, H.R. Salman S dan Mustafa Haffas, Hukum Waris Islam, Bandung: PT Refika Aditama, April 2006, Cet. Kedua. ----- Hukum Waris Islam, Bandung: PT
RefikaAditama, 2002, Cet. Pertama.
57
Rahman, A. Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Mei 2002, Cet. Pertama. Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung: PT Alma’arif. Rusdiana, Kama dan Jainal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: UIN Jakarta Press, November 2007, Cet. Pertama. Riansyah, Aris. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kewarisan Adat Masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1430H/2009M. R Gultom, Elfrida. Hukum Waris Adat di Indonesia, Jakarta: Literata, 2010. Sanggona, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003. Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: CV.Rajawali, Oktober 1981, Cet. Pertama. -----Hukum Adat Indonesia, Jakarta: UI-Press, 1986. Soepono, Bab-bab tentang Hukum Adat, Jakarta: Penerbitan Universitas, 1996. Subekti, R. Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Indonesia, 1977. Sudiyat, Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty, 198, Cet. Kedua. Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, Bandung: PT. Refika Aditama, Juni 2007, Cet. Kedua. Thalib, Sajuti, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, November 2004, Cet. Kedelapan. Taqyuddin, Imam Abi Bakar bin Muhammad Husaini Husni al-Damsyiqii Asysyaafi’I, Kifayatul Akhyaar, Bandung: Perpustakaan Ma’arif. Usman, Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Gaya Media, November 2002M/Ramadhan 1423H, Cet. Kedua. Wawancara Pribadi dengan Kundang Feri. Purwakarta, 28 Februai 2011.
58
Wawancara Pribadi dengan KH. Adnan Soleh. Purwakarta, 28 Februari 2011. Wawancara Pribadi dengan Sofyan. Purwakarta, 10 Maret 2011.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DATA INFORMAN 1. Nama Alamat
: Kundang Feri : Kp. Wangun Sari Rw 07/02, Desa Darangdan, Kec. Darangdan, Kab. Purwakarta Usia : 69 Tahun Pekerjaan : Pensiun Kepala Desa Darangdan Tanggal : 28 Februari 2011
Pertanyaan : Hukum kewarisan apa yang berlaku di Kampung Sukamaju? Jawaban
: Di kampung Sukamaju terdapat tiga sistem kewarisan, yaitu sistem waris 2:1, sistem waris bagi rata, dan sistem waris berdasarkan adat yang berlaku di kampung Sukamaju.
Pertanyaan : Bagaimana konsep pembagian warisan yang terjadi di kampung Sukamaju? Jawaban
: Kebanyakan masyarakat kampung Sukamaju memakai konsep waris berdasarkan adat yang berlaku di kampung Sukamaju.
Pertanyaan : Apa alasan dari sistem pembagian waris tersebut? Jawaban
: Alasan dari sistem waris tersebut yaitu untuk mencegah timbulnya pertengkaran sesama ahli waris.
Pertanyaan : Dalam hal ahli awris, siapa saja yang menjadi ahli waris? Jawaban
: Anak-anaknya si mayat, kecuali si mayat tidak mempunyai anak maka harta waris diberikan kepada saudara dekat (ibu, bapa, kakek, nenek, dan kaka laki-laki si mayat)
2. Nama Alamat Usia Pekerjaan Tanggal
: KH. Adnan Soleh : Kampung Darangdan Rw 07/02, Desa Darangdan, Kec. Darangdan, Kab. Purwakarta : 56 Tahun : Ketua MUI Desa Darangdan : 28 Februari 2011
Pertanyaan : Dalam pembagian waris, apakah ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan, kalau ada apa perbedaannya? Jawaban
: Ada, perbedaannya terletak dalam masalah pembagian rumah pusaka. Apabila yang menjadi anak bungsu laki-laki maka rumah di bagi dua dengan anak perempuan yang mempunyai jarak kelahiran yang dekat dengan anak laki-laki, apabila anak bungsunya anak perempuan, maka rumah pusaka secara keseluruhan diberikan kepada anak bungsu perempuan.
Pertanyaan : Dalam pembagian warisan rumah, kenapa ada perbedaan ketika yang menjadi anak bungsunya itu perempuan? Jawaban
: Perbedaan sistem waris dalam pembagian rumah pusaka karena anak perempuan mempunyai peranan yang lebih ketika orang tuanya sedang sakit/lanjut usia.
Pertanyaan : Bagaiman pengaruh anak perempuan mengenai hal pembagian rumah dalam kewarisan? Jawaban
: Sebenarnya dalam hal pembagian warisan, anak perempuan tidak mempunyai pengaruh terhadap pembagian harta waris hanya saja
dalam hal
ini anak perempuan mempunyai
perenan lebih
dibandingkan dengan anak laki-laki. Pertanyaan : Apakah
perbedaan
sistem
pembagian
warisan
rumah
tidak
berpengaruh terhadap kerukunan ahli waris? Jawaban
: Tidak, malahan sistem waris tersebut lebih baik dibandingkan dengan sistem waris 2:1.
Pertanyaan : Bagaimana pelaksanaan pembagian waris, apakah bisa dibagikan ketika pewaris masih hidup? Jawaban
: Pelaksanaan pembagian warisan di kampung Sukamaju ada yang suka dilakukukan ketika orang tuanya masih hidup.
Pertanyaan : Bagaimana dengan prosesi berlangsungnya pembagian warisan? Jawaban
: Proses pembagian harta waris di kampung Sukamaju suka berjalan dengan lancar, karena ketika pembagian warisannya itu suka didampingi oleh orang yang dipercaya.
3. Nama Alamat Usia Pekerjaan Tanggal
: Sofyan : Kp. Cintung, Desa Depok, Kec. Bojong, Kab. Purwakarta : 61 Tahun : Kades Desa Darangdan : 10 Maret 2011
Pertanyaan : Bagaimana sistem kemasyarakatan di kampung Sukamaju? Jawaban
: Sistem kekerabatan di kampung Sukamaju terjalin baik, hal ini terlihat apabila ada seorang warga yang sedang membangun rumah, maka warga yang lainnya akan bergotong royong untuk membantu.
Pertanyaan : Apakah ada adat/kebiasaan yang sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat kampung Sukamaju? Jawaban
: Ada, adapun tradisi (kebiasaan) yang suka dilakukan oleh masyarakat kampung Sukamaju adalah: a. Acara peringatan hari besar Islam, seperti acara maulid Nabi Muhammad SAW. b. Tradisi Bangun Rumah, seperti menancapkan bendera di atap rumah. c. Tradisi dalam Perkawinan, seperti saweran.
Pertanyaan : Selain adat/kebiasaan tersebut di atas, apakah pada waktu dulu ada adat/kebiasaan yang suka dilakukan? Jawaban
: Ada, adapun tradisi (kebiasaan) yang sudah ditinggalkan adalah: a. Tradisi dalam perkawinan, seperti: injak telor, dan buka pintu b. Tradisi bangun rumah, seperti: mengubur sesuatu di bawah tanah
yang akan dijadikan ruang tamu, lama kelamaan ritual tersebut hilang dengan sendirinya karena masyarakatnya menyadari bahwa kebiasaan tersebut menyimpang dari ajaran Islam. c. Larangan bepergian pada hari sabtu, karena suka dikait-kaitkan dengan kejadian buruk yang menimpa keluarganya ketika bepergian, seperti kecelakaan sehingga meninggal. Pertanyaan : Apakah pada waktu dulu, kebiasaan bepergian pada hari sabtu dilakukan oleh golongan mayoritas/minoritas? Jawaban
: Pada waktu dulu kebiasaan tersebut hanya dilakukan oleh sekelompok minoritas masyarakat kampung Sukamaju.
PEMERINTAH KABUPATEN PURWAKARTA KECAMATAN DARANGDAN DESA DARANGDAN Jalan Raya:Kp. Darangdan RT/RW 23 /06, Darangdan-Purwakarta. 41163
SURAT KETERANGAN Nomor: PAN.14/03/2011
Yang bertanda tangan di bawah ini kepala Desa Darangdan Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta, menerangkan bahwa: Nama
: Tajul Muttaqin
Tempat Tanggal Lahir
: Purwakarta, 22-11-1987
Nomor Pokok
: 107044100525
Prodi/Jurusan
: Ahwal as- Syakhshiyah
Alamat
:Kp.Krajan RT/RW 04/02, Desa Sindangpanon, Kec. Bojong, Kab. Purwakarta
Orang tersebut di atas telah selesai melaksanakan penelitian di Kampung Sukamaju dari tanggal 12 Desember 2010 sampai dengan tanggal 18 Maret 2011, dan telah melakukan wawancara dengan masyarakat, Kepala Desa, Sekdes, ketua MUI, dan masyarakat Desa Darangdan Kabupaten Purwakarta. Demikian surat keterangan ini untuk dijadikan bahan seperlunya.
Darangdan, 21 Maret 2011 Kepala Desa Darangdan
Asep Yayan Rohyana