DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................
i
DAFTAR ISI ...........................................................................................................
v
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..............................................................
1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ..................................................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................
7
D. Metode Penelitian .......................................................................
8
E. Review Studi ............................................................................... 11 F. Sistematika Penulisan ................................................................. 13 BAB II
TINJAUAN TEORITIS A. Hukum Kewarisan Dalam Perspektif Fikih ................................ 14 B. Hukum Kewarisan Dalam Perspektif Undang-undang ............... 38 C. Konsep Keadilan Dalam Kewarisan ........................................... 49
BAB III
ANALISIS GUGATAN KEWARISAN ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN A. Landasan Yuridis, Hukum Formil dan Hukum Materil .............. 57 B. Analisis dan Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta............................. 64
iv
C. Telaah Kritis Terhadap Pembagian Harta Waris Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta ........................................................................................ 79 BAB IV
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................. 94 B. Saran .......................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 98 LAMPIRAN 1. Salinan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 1397/ Pdt.G/2008/PA.JT 2. Salinan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor 50/Pdt.G/2009/PTA.JK 3. Surat izin untuk melaksanakan wawancara di Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta 4. Hasil wawancara dengan hakim pada Pengadilan tingkat pertama 5. Hasil wawancara dengan hakim pada Pengadilan tingkat banding
v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem waris merupakan salah satu sebab atau alasan adanya perpindahan kepemilikan, yaitu berpindahnya harta benda dan hak-hak material dari pihak yang mewariskan, setelah muwarits wafat, kepada para penerima warisan dengan jalan pergantian yang didasarkan pada hukum syara’. Terjadinya proses pewarisan ini tentu setelah memenuhi hak-hak yang terkait dengan harta peninggalan si mayit. 1 Pada masa jahiliyah (sebelum Islam), bangsa Arab telah mengenal sistem waris. Meskipun demikian, mereka tidak memberikan harta waris tersebut kepada wanita maupun anak-anak yang dianggap tidak cakap dalam berperang dan tidak dapat meraih pampasan perang. Tetapi, mereka hanya akan memberikan harta waris kepada laki-laki dewasa, kerabat orang yang meninggal, dan orang lain yang bukan kerabat orang yang meninggal, karena suatu perjanjian atau adopsi. 2 Inilah yang berbeda dengan hukum waris dalam Islam. Allah SWT telah menetapkan bahwa orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan lebih berhak
1
Komite Fakutas Syariah, Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, (Jakarta: CV Kuwais Media Kreasindo, 2004) Cet.1, h. 1 2
Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis Queen, 2009), Cet.1, h. 20
1
untuk saling mewarisi, baik laki-laki maupun perempuan, yang dewasa maupun anakanak, seperti yang dijelaskan dalam al-Quran Surat al-Ahzab (33:6). Suatu fakta yang tidak dapat di pungkiri bahwa kelahiran hukum waris disamping bukan sekedar untuk merespon problem hukum dizaman jahiliyah yang telah disebutkan diatas, tetapi hukum waris juga dipresentasikan dalam teks-teks yang rinci, sistematis, konkrit dan realistis sehingga menutup kemungkinan akan adanya multi interpretasi. Hal ini diakui oleh para ahli hukum sebagai suatu keistimewaan tersendiri, karena dari sekian banyak ayat-ayat tentang hukum (ayat ahkam) dalam alQuran yang menurut Abdul Wahhab Khallaf berjumlah 228, tidak ada satu aspek hukumpun yang secara teknis diyakini sebagai model hukum yang canggih dan lengkap selain daripada hukum waris tersebut. 3 Hukum waris ini berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam menegakan hukum Islam yang sesuai dengan ketentuan yang seharusnya tanpa adanya diskriminasi terhadap satu golongan, yang dipertegas dengan firman Allah SWT dalam al-Quran Surat An-nisa (4:7) mengenai proyeksi dari hukum kewarisan Islam. Kandungan ayat tersebut mengindikasikan bahwa yang menjadi ahli waris adalah seluruh anggota keluarga baik laki-laki maupun perempuan dan menjelaskan tentang pembagian hak dari masing-masing ahli waris atas harta warisan yang ditinggalkan oleh pemiliknya yang meninggal dunia. 3
Elfid Nurfitri Mubarok, Penyelesaian Gugatan Kewarisan Anak Perempuan Dengan Saudara Kandung, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 3
2
Kita ketahui bahwa Indonesia bukanlah negara Islam, tetapi mayoritas penduduknya adalah muslim. Sehingga dalam kehidupan masyarakatnya hukum Islam mempunyai peranan yang sangat penting dalam pola regulasi masyarakat. Oleh karena itu, agar hukum Islam bisa berintegrasi ke dalam sistem hukum negara, maka legalisasi hukum Islam menjadi manifestasi modernisasi Islam yang terpenting. Dengan demikian diharapkan persoalan intern hukum Islam dapat terpecahkan. Salah satu karya besar umat Islam Indonesia dalam rangka memberi arti yang lebih positif bagi kehidupan beragamanya dan sebagai bukti atas kebangkitan umat Islam Indonesia, memperoleh momentum puncaknya yaitu dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tahun 1991. Legalisasi hukum Islam tersebut merupakan penjabaran dan aplikasi syariah yang menampilkan corak khas keIndonesia-an, meskipun hanya berbentuk Instruksi Presiden (Inpres) yang hanya bersifat fakultatif yang kekuatan hukumnya tidak begitu mengikat dan memaksa, namun diharapkan akan menjadi satu jenjang dalam berijtihad menemukan hukum dan sebagai batu loncatan untuk meraih keberhasilan yang lebih baik dimasa yang akan datang. 4 Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan hukum materil yang harus dijalankan di Pengadilan Agama, tetapi KHI bukanlah bersifat mutlak seperti wahyu Tuhan, sehingga para hakim
mempunyai peluang untuk memberikan beberapa
pertimbangan dan berijtihad untuk menemukan hukum melalui perkara-perkara yang 4
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1992), Cet. 1, h.6
3
ditanganinya. Maka dari itu, dalam praktek penyelesaian perkara di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama adakalanya terdapat perbedaan dalam hal penggunaan KHI itu sendiri. Salah satunya adalah dalam hal kewarisan. Perbedaan bentuk putusan inilah yang dapat menimbulkan penerapan hukum yang berbeda pula. Dalam hal kewarisan sering menimbulkan sengketa, baik dalam jumlah pembagiannya, atau karena keterlambatan pembagian harta warisan tersebut, sehingga mengakibatkan harta peninggalan dikuasai oleh salah satu dari ahli warisnya, yang kemudian menimbulkan kecurigan akan penguasaan seluruh harta peninggalan. Oleh sebab itu mengenai harta peniggalan ini harus disegerakan dalam pembagiannya. Mengenai perkara yang menjadi fokus kajian dalam skripsi ini adalah tentang besarnya bagian harta waris yang diperoleh anak laki-laki dan perempuan yang terdapat dalam al-Qur’an surat An-nisa (4) ayat 11 yang kemudian ditransformasi kedalam KHI pasal 176, dewasa ini banyak menimbulkan multi interpretasi dikalangan ahli hukum termasuk hakim dalam menafsirkan ayat tersebut secara kontekstual. Sehingga, dalam memutus perkara pembagian hak waris anak laki-laki dan perempuan tidak lagi merujuk kepada ketentuan yang telah disyariatkan dalam al-Quran dan KHI pasal 176. Dengan terjadinya hal seperti itulah kemudian timbul kekhawatiran akan hilangnya ilmu faridh sejalan dengan perkembangan zaman. Artinya, eksistensi dari ilmu faraidh tersebut tidak lagi dipakai dan lebih kasarnya lagi akan ditinggalkan oleh penganutnya yakni umat Islam itu sendiri.
4
Padahal dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Daruqutni dikatakan bahwa perintah mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh sejalan dengan perintah mempelajari dan mengajarkan al-Quran. Hal ini menunjukan bahwa ilmu faraidh merupakan cabang ilmu yang cukup penting dalam mengatur kehidupan umat dan mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Berdasarkan dari uraian yang telah dijelaskan diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji apakah pembagian waris khususnya dalam pembagian hak waris anak yang terdapat dalam KHI pasal 176 digunakan secara mutlak? karena sebagaimana yang kita ketahui bahwa dengan lahirnya KHI ini diharapkan dapat menjaga dan mengamalkan hukum Islam sebagaimana mestinya menurut ketentuan syara. Kemudian bagaimana pertimbangan hakim yang menangani perkara tersebut dikaitkan dengan konsep keadilan dalam pembagian waris? Dan apa faktor yang dapat menggeser aturan hukum yang sudah ada kemudian berpindah ke aturan hukum yang lain? Berangkat dari keingintahuan penulis inilah maka penulis ingin meneliti dan menguraikan kedalam bentuk penulisan skripsi, dengan judul: “DISPARITAS PUTUSAN PERKARA WARIS” (Studi Perbandinagan Putusan Pengadilan Agama Nomor 1397/Pdt.G/2008/PA.JT dan Pengadilan Tinggi Agama Nomor 50/Pdt.G/2009/PTA.JK) B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
5
Sesuai dengan judul yang penulis angkat yaitu Disparitas Putusan Perkara Waris, maka pembatasan masalah dalam penulisan skripsi ini hanya terfokus pada analisis perbandingan putusan hakim Pengadilan Agama tingkat pertama, dalam hal ini Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan tingkat banding yaitu Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Hal ini ditujukan agar tidak terjadi pembahasan yang melebar dan tidak ada ujung pangkalnya, sehingga apa yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini bisa tercapai dan terarah dengan baik. 2. Perumusan Masalah Menurut teori baik dalam al-Quran maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 176 disebutkan bahwa besar bagian harta waris bagi anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1 (baca: dua banding satu). Akan tetapi dalam praktek penyelesaian perkara tersebut terdapat putusan yang berbeda, sehingga menimbulkan penerapan hukum yang berbeda pula, yaitu 1:1 (baca: satu banding satu). Maka berdasarkan rumusan masalah diatas, penulis merincinya dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: a. Apakah pembagian harta waris 2:1 (baca: dua banding satu) yang terdapat dalam KHI pasal 176 digunakan secara mutlak sebagai dasar hukum di Pengadilan Agama? b. Bagaimana pertimbangan hakim yang menangani perkara kewarisan anak laki-laki dan perempuan dikaitkan dengan konsep keadilan?
6
c. Apa faktor yang dapat menggeser aturan hukum yg sudah ada kemudian berpindah ke aturan hukum yang lain?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan penulis bertujuan: 1. Untuk mengetahui apakah isi dari pasal 176 KHI dipergunakan secara mutlak sebagai dasar hukum. 2. Untuk mengetahui konsep keadilan dalam pembagian harta warisan, menurut teori keadilan dalam islam, teori kesetaraan gender, dan pandangan hakim tentang konsep keadilan tersebut. 3. Untuk mengetahui dasar-dasar hukum yang menjadi pertimbangan hakim dalam putusan perkara kewarisan yang dimaksud. 4. Diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak terkait, yang dalam hal ini para pihak yang concern menkaji hukum kewarisan Islam. 5. Untuk menambah pengetahuan penulis dalam hal kewarisan dan memberikan informasi kepada masyarakat bahwa terkadang ada putusan Pengadilan yang berbeda dari ketentuan asalnya, namun bukan berarti menyalahi aturan yang telah ditetapkan Allah SWT. 6. Sebagai bahan pertimbangan untuk dijadikan acuan terhadap pembuatan penelitian serupa di masa yang akan datang.
D. Metode Penelitian 7
1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. 5 2. Pendekatan Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kasus (case approach). 6 Pendekatan kasus ini bertujuan untuk mempelajari penerapan normanorma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian. 3. Sumber data Data yang digunakan terdiri dari data primer, sekunder, dan tersier. 7 Data primer terdiri dari beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-undang
5
Sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian yang objeknya adalah permasalahan hukum (sedangkan hokum adalah kaidah atau norma yang ada dalam masyarakat), maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Lihat Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Bayumedia, 2008), h. 295 6
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Bayumedia, 2008), h. 295 dan 302 7
Johnmy Ibrahim membagi sumber data pada penelitian yuridis normative menjadi 3 (tiga) macam, yakni sumber primer, sekunder, dan tersier. Di mana sumber primer merupakan bahan hukum yang diurut berdasar hierarki perundang-undangan, sumber sekunder adalah bahan dan data yang didapatkan dari buku-buku, jurnal-jurnal, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil symposium mutakhir yang berkaitan dengna topik penelitian. Adapun sumber tersier merupakan bahan hukum yang member i petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan juga sekunder. Lihat Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Bayumedia, 2008), h. 295-296, lihat juga Peter Mahmud Marzuki, Penelitian HUkum, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 144-146
8
No. 1 Tahun 1974, Undang-undang No. 7 Tahun 1989, Undang-undang No. 3 Tahun 2006 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam). Data sekunder yang digunakan sebagai sumber data pada skripsi ini antara lain: a. Salinan putusan mengenai perkara waris dari Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. b. Hasil wawancara c. Buku, literatur, jurnal dan hasil tulisan lainnya yang mengkaji seputar kewarisan. Data tersier yang digunakan berupa kamus hukum. 4. Alat Pengumpul Data Untuk memperoleh semua data yang dibutuhkan, digunakan alat pengumpul data sebagai berikut; a. Menganalisis terhadap
putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur, dan
putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta tentang pembagian waris antara anak laki-laki dan perempuan. b. Inventarisasi dokumen, baik bahan primer berupa peraturan perundangundangan terkait, maupun bahan skunder berupa buku, literatur, jurnal, dan tulisan lainnya yang mengkaji seputar kewarisan, serta bahan tersier berupa kamus hukum.
9
c. Wawancara, berupa indeept interview (wawancara yang mendalam) terhadap hakim yang terkait dengan perihal tema penelitian ini. 5. Analisa data Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel, diurai dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab masalah yang telah dirumuskan. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis komparatif. Penelitian komparatif ini akan dapat menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan terhadap suatu ide, kritik terhadap orang, dan dapat juga membandingkan kesamaan pandangan, perubahan-perubahan pandangan orang terhadap kasus, peristiwa atau terhadap ide-ide. 8 Apabila dikaitkan dengan penelitian ini, kedua putusan pengadilan tersebut akan dianalisis dengan cara menguraikan dan mendeskripsikannya kemudian menghubungkan putusan itu dengan hasil wawancara dengan pihak yang menangani perkara, dalam hal ini yaitu hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Sehingga didapatkan suatu kesimpulan yang obyektif logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan data penulis dalam penelitian ini.
8
Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), h.236
10
E. Studi Review 1. Eli Nurmalia, “Respon Perempuan Terhadap Sistem Pembagian Waris 2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam (Studi di RT.04/05 Kelurahan Bojongkulur Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor)”. Dalam skripsi ini menguraikan dengan jelas sistem pembagian waris dalam alQuran dan letak keadilannya dengan sistem pembagian 2:1 yang menitik beratkan terhadap respon masyarakat khususnya perempuan terhadap ketentuan syariat yang menetapkan pembagian waris antara anak laki-laki dan perempuan itu 2:1. 2. M. Sahlan, “Pemikiran Muhammad Syahrur Tentang Sistem Pembagian Harta Waris”. Skripsi ini membahas tentang metode-metode yang digunakan oleh Muhammad Syahrur dalam menafsirkan ayat-ayat tentang waris, dan konsep keadilan dalam system pembagian waris itu. Perbedaan antara skripsi yang sudah ada di fakultas syariah dan hukum dengan skripsi yang ditulis oleh penulis adalah: a. Dalam skripsi terdahulu tentang “Respon Perempuan Terhadap System Pembagian Waris 2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam (Studi di RT.04/05 Kelurahan Bojongkulur Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor)”, membahas tentang respon masyarakat atas ketentuan syariat dalam pembagian waris 2:1 karena hasil dari laporan para hakim banyak masyarakat yang lebih memilih pembagian waris dengan system sama rata. Sedangkan dalam skripsi
11
yang ditulis oleh penulis, membahas tentang sejauh mana sistem pembagian waris 2:1 digunakan secara mutlak di Pengadilan Agama maupun di Pengadilan Tinggi Agama, bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama mengenai perkara kewarisan anak lakilaki dan perempuan dikaitkan dengan konsep keadilan, kemudian apa faktor yang dapat menggeser aturan hukum yang sudah ada berpindah ke aturan hukum yang lain? b. Perbedaan skripsi yang kedua dengan skripsi yang ditulis oleh penulis sangat menonjol sekali karena skripsi terdahulu ini membahas tentang pemikiran salah seorang tokoh mengenai system pembagian waris, sedangkan skripsi penulis membahas tentang analisis putusan hakim mengenai perkara hak waris anak antara laki-laki dan perempuan. Meskipun demikian skripsi yang kedua ini memberikan kontribusi kepada penulis untuk mengungkapkan pendapat tokoh mengenai sistem pembagian waris dalam persfektif fikih. F. Sistematika Penulisan BAB I: Pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat dari penelitian, metode penelitian, studi review, dan sistematika penulisan. BAB II: Tinjauan Teoretis. Pada bab ini penulis mencoba memberikan gambaran mengenai kewarisan dalam persfektif fikih (pengertian hukum waris, sumber hukum waris, syarat-syarat, rukun dan sebab-sebab kewarisan serta asas-asas 12
kewarisan), dan kewarisan dalam persfektif hukum positif (Faraidh dalam Hukum positif, Faraidh dalam KHI) serta mengenai konsep keadilan. Konsep keadilan ini dilihat dari teori keadilan menurut Islam, dan keadilan dalam kesetaraan gender. BAB III: Analisis gugatan perkara kewarisan anak laki-laki dan perempuan, yang mencakup landasan yuridis; hukum formil dan hukum materil, analisis dan pertimbangan hakim dalam menangani gugatan perkara kewarisan di Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, serta telaah kritis terhadap perkara tersebut yang mencakup persamaan dan perbedaan serta perbandingan antara teori dan prakteknya di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. BAB IV: Penutup, yaitu mencakup kesimpulan dan saran.
13
14
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Kewarisan Menurut Persfektif Fikih 1. Pengertian Kewarisan Kewarisan Islam dikenal pula dengan sebutan Ilmu Faraidh, yaitu hukum kewarisan yang diikuti oleh umat Islam dalam usaha mereka
menyelesaikan
pembagian harta peninggalan keluarga yang meninggal dunia. 9 Kata al-Faraidh adalah bentuk jamak dari al-Faridlah yang bermakna al-Mafrudlah atau sesuatu yang diwajibkan. Artinya, pembagian yang telah ditentukan kadarnya. 10 Dalam salah satu buku disebutkan bahwa kata Faridlah itu diambil dari kata Fardlu. Fardlu dalam istilah ulama fikih mawaris ialah bagian yang telah ditetapkan oleh syara. 11 2. Sumber Hukum Waris Sumber hukum waris adalah al-Quran, as-Sunnah Nabi SAW, dan ijma para ulama. Ijtihad atau qiyas di dalam ilmu faraidh tidak mempunyai ruang gerak, kecuali jika ia sudah menjadi ijma para ulama. 12 a. al-Quran 9
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. 1, h. 35
10
Komite Fakutas Syariah, Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris. Penerjemah H. Addys, dkk (Jakarta: CV Kuwais Media Kreasindo, 2004), Cet. 1, h. 11 11 12
Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Cet. 1, h. 18
Komite Fakutas Syariah, Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris. Penerjemah H. Addys, dkk (Jakarta: CV Kuwais Media Kreasindo, 2004), Cet. 1, h.14
15
Allah SWT menetapkan hak kewarisan dalam al-Quran dengan angka yang pasti yaitu 1/2; 1/4; 1/8; 1/3; 2/3 dan 1/6 serta menyebutkan pula orang yang memperoleh harta warisan menurut angka-angka tersebut. Dalam al-Quran setidaknya ada 3 ayat yang memuat tentang hukum waris. Ketiga ayat tersebut terdapat dalam surat an-Nisa. Ayat pertama, berbicara tentang kewarisan anak laki-laki dan perempuan serta ayah dan ibu (al-furu’ dan al-ushul), seperti yangg termaktub dalam firman Allah SWT. ⌧ ☯ ⌧ ⌧ ☺ ⌧
⌧
☺
⌧
☺
☺
⌧
Artinya: “Allah SWT mensyariatkan bagimu tentang (pembagian harta warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta, dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal memiliki beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah, Sesunguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. an-Nisa 4:11)
16
Kandungan ayat diatas dapat diuraikan sebagai beriku: 1. Jika Pewaris meninggalkan seorang atau beberapa orang anak laki-laki mereka mewarisi seluruh harta peninggalan si mayit. 2. Apabila Pewaris meninggalkan satu orang anak perempuan (tidak mewarisi bersama dengan saudara laki-laki), bagian harta warisnya yaitu separuh. 3. Bila anak perempuan tersebut dua orang atau lebih (tidak mewarisi bersamasama dengan anak laki-laki), bagian harta waris mereka adalah dua per tiga. 4. Jika si mayit meninggalkan anak laki-laki dan perempuan, yaitu dengan ketentuan anak laki-laki mendapat dua kali bagian anak perempuan. 5. Hak kewarisan ibu-bapak masing-masing 1/6 jika Pewaris mempunyai anak. Jika tidak mempunyai anak, ibu bapak yang mewarisi, dengan bagian ibu mendapat 1/3. 6. Hak waris ibu bersama-sama dengan beberapa saudara Pewaris adalah 1/6, Untuk persoalan bagian ayah pada poin 5 dan 6 bagian ayah tidak diatur dengan tegas, maka dalam hal ini oleh para mufassir ditafsirkan bahwa bagian ayah adalah ashobah. 13 Ayat kedua, menjelaskan mengenai kewarisan untuk suami-istri, anak-anak ibu (saudara-saudara seibu bagi si mayit) laki-laki maupun perempuan. Terdapat dalam firman Allah SWT surat an-Nisa (4:12) ⌧ ☺
13
Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis Queen, 2009), Cet.1, h. 115
17
☺ ☺
☺ ⌧ ☺
⌧
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). 14 (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benarbenar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”. (QS. An-Nisa 4:12) Kandungan ayat diatas dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Hak kewarisan suami-istri Suami mendapat 1/2 bagian bila istrinya tidak meniggalkan anak; dan mendapat 1/4 bila istri meninggalkan anak. Istri mendapat 1/4 bila suami tidak meninggalkan anak; dan mendapat 1/8 bila suami meninggalkan anak. 14
Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a. Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.
18
2. Hak saudara-saudara bila pewaris adalah kalalah. 15 Bila saudara (laki-laki atau perempuan) hanya seorang menerima sebanyak 1/6. Bila saudara lebih dari seorang, maka mereka bersama mendapat 1/3. Ayat ketiga, menjelaskan kewarisan saudara laki-laki atau perempuan, sebagaimana firman Allah SWT.
☺
⌧ ⌧ ⌧ ⌧
⌧ ☯ ☯ ⌧
Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. An-Nisa 4:176) Ayat diatas, Allah SWT menyebutkan bagian warisan untuk saudara laki-laki dan saudara perempuan yang tidak seibu, dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Jika yang mewarisi laki-laki semua, mereka mewarisi secara bersama-sama tanpa ketentuan bagian yang tetap. 15
Kalalah di definisikan sebagai seseorang yang meninggal dunia dan tidak meninggalkan anak dan ayah. Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. 1, h. 41
19
2. Jika yang mewarisi saudara perempuan seorang, maka dsia mendapat 1/2. Sedangkan bila ahli waris dua orang saudara perempuan atau lebih mendapat 2/3. 3. Apabila bergabung saudara laki-laki dan saudara perempuan, mereka mewarisi dengan ketetapan laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan. b. Sunnah Nabi SAW Ada beberapa hadits yang menerangkan tentang pembagian harta waris, antara lain: Ibnu Abas r.a meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﻮﺳﻰ ﺑﻦ إﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﺣﺪﺛﻨﺎ وهﻴﺐ ﺣﺪﺛﻨﺎ اﺑﻦ ﻃﺎوس ﻋﻦ أﺑﻴﻪ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس رﺿﻲ اﷲ ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻗﺎل ) أﻟﺤﻘﻮا اﻟﻔﺮاﺋﺾ ﺑﺄهﻠﻬﺎ ﻓﻤﺎ ﺑﻘﻲ ﻓﻬﻮ ﻷوﻟﻰ رﺟﻞ:ﻋﻨﻬﻤﺎ 16
( ذآﺮ
Artinya: “Berikanlah harta waris kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya yang lebih utama adalah orang laki-laki”. (HR. Bukhari dan Muslim). Adapun yang lebih utama adalah yang lebih dekat. Bila kita gabungkan antara hadits diatas dengan ayat-ayat al-Quran yang telah diuraikan sebelumnya, jelaslah bagi kita bahwa dalil-dalil tersebut telah mencakup seluruh hukum waris. Hadits tersebut juga memberikan penjelasan bagi ahli waris, jika harta waris masih tersisa setelah dibagikan menurut ketentuan bagian tetap, maka sisanya dibagikan kepada ashabah nasabiyyah (kerabat yang terikat dalam hubungan
- اﻟﻴﻤﺎﻣﺔ، )دار اﺑﻦ آﺜﻴﺮ، ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺒﺨﺎري; اﻟﺠﺎﻣﻊ اﻟﺼﺤﻴﺢ اﻟﻤﺨﺘﺼﺮ، ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ إﺳﻤﺎﻋﻴﻞ أﺑﻮ ﻋﺒﺪاﷲ اﻟﺒﺨﺎري اﻟﺠﻌﻔﻲ16 2483 .‚ ص 6: ( ‚ ﻋﺪد اﻷﺟﺰاء1987 – 1407 :ﺑﻴﺮوت
20
nasab yang lebih dekat). Setelah itu baru beralih kepada ashabah sababiyyah (kerabat yang disebabkan jasa-jasanya dalam membebaskan budak). 17 Ashabah sababiyyah juga disebsutkan dalam hadits rasulullah SAW:
أرادت ﻋﺎﺋﺸﺔ أن: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺣﻔﺺ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺣﺪﺛﻨﺎ هﻤﺎم ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎل ﺗﺸﺘﺮي ﺑﺮﻳﺮة ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻟﻠﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ إﻧﻬﻢ ﻳﺸﺘﺮﻃﻮن اﻟﻮﻻء ﻓﻘﺎل اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ 18
( و ﺳﻠﻢ ) اﺷﺘﺮﻳﻬﺎ ﻓﺈﻧﻤﺎ اﻟﻮﻻء ﻟﻤﻦ أﻋﺘﻖ
Artinya: “Hak wala’ itu hanya bagi orang yang telah membebaskan budak.” (HR Mutafaq‘alaih) Dengan kata lain, semua dalil-dalil diatas telah menjelaskan pembagian harta waris secara fardh (bagian tetap) dan ta’shib (bagian lunak). c. Ijma’ Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap hukum syara yang bersifat praktis (‘amaly). Ijma’ merupakan suatu dalil yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif setingkat dibawah dalil-dalil Nash (al-Quran dan Hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah al-Quran dan Hadits, yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum syara. 19
17
Komite Fakutas Syariah, Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris. Penerjemah H. Addys, dkk (Jakarta: CV Kuwais Media Kreasindo, 2004), Cet. 1, h.19 اﻟﻴﻤﺎﻣﺔ، )دار اﺑﻦ آﺜﻴﺮ، ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺒﺨﺎري; اﻟﺠﺎﻣﻊ اﻟﺼﺤﻴﺢ اﻟﻤﺨﺘﺼﺮ، ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ إﺳﻤﺎﻋﻴﻞ أﺑﻮ ﻋﺒﺪاﷲ اﻟﺒﺨﺎري اﻟﺠﻌﻔﻲ18 2476 .‚ ص 6: ( ‚ ﻋﺪد اﻷﺟﺰاء1987 – 1407 : ﺑﻴﺮوت19
Muhammad Abu Zahrah, Usul Fikih. Penerjemah Saefullah Ma’sum, dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008) Cet.11, h. 307-308
21
Dalam hal kewarisan para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in telah berijma atau bersepakat tentang legalitas ilmu faraidh dan tidak ada seorang pun yang menyalahi ijma’ tersebut. diantara masalah-masalah yang berhubungan dengan faraid telah diputuskan melalui kesepakatan atau ijma’ mereka: 20 a. Masalah-masalah saudara mewarisi bersama kakek, yang dalam al-Quran maupun hadits tidak dijelaskan. b. Status cucu yang ayahnya terlebih dahulu meninggal dunia dari pada kakek yang bakal diwarisi yang mewarisi bersama-sama saudara-saudara ayah (paman si cucu). 3. Rukun, Syarat, dan Sebab-sebab Mewariskan a. Rukun waris Menurut bahasa rukun adalah sesuatu yang dianggap kuat dan dijadikan sandaran. Menurut istilah, rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas keberadaan sesuatu yang lain. Dengan demikian, rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris. Rukun-rukun untuk mewarisi ada 3: 1. Al-muwarrits, yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati hakiki atau mati hukmi. 21
20
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris al-Faraidl, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005), Cet.1, h. 6 21
Mati hakiki (sebenarnya) ialah hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu sudah berujud padanya. kematian ini dapat disaksikan oleh panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian. Mati hukmi (yuridis) ialah suatu kematian yang disebabkan oleh adanya vonis hakim.
22
2. Al-warits, yaitu orang hidup atau anak dalam kandungan yang mempunyai hak mewarisi, meskipun dalam kasus tertentu akan terhalang. 3. Al-mauruts, yaitu harta benda yang menjadi warisan. Sebagian ulama faraidh menyebutnya dengan mirats atau irits. Adapun yang termasuk dalam kategori warisan adalah harta atau hak-hak yang mungkin dapat diwariskan, seperti hak perdata, hak menahan barang yang belum dilunasi pembayarannya, dan hak menahan barang gadaian. Jika salah satu dari rukun tersebut tidak ada, misalnya orang yang meningal dunia mempunyai harta tetapi tidak mempunyai ahli waris atau mempunyai ahli waris tetapi tidak mempunyai harta warisan, maka waris-mewarisi tidak bisa dilakukan, karena tidak terpenuhinya rukun-rukun waris. b. Syarat waris Lafal syuruth (syarat-syarat) adalah bentuk jamak dari syarath. Menurut bahasa, syarat berarti tanda. Sedangkan syarat menurut istilah adalah sesuatu yang karena ketiadaannya, tidak ada hukum. Syarat –syarat waris sebagai berikut: 1. Matinya orang yang mewariskan, baik mati hakiki (sejati), mati hukmi (menurut keputusan hakim), maupun mati taqdiri (menurut perkiraan yang kuat).
Lihat Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis Queen, 2009), Cet.1, h. 54
23
2. Ahli waris yang hidup, baik secara hakiki atau hukmi, setelah kematian muwarits. Adapun cara mengetahui hidup tidaknya ahli waris setelah kematian muwarits, harus dilakukan pengujian, pendeteksian, dan kesaksian dua orang yang adil. Contoh dari hidupnya ahli waris secara hukmi adalah anak yang berada dalam kandungan. Ia dapat mewarisi harta si mayit jika keberadaannya benar-benar terbukti disaat kematian muwarits, meskipun si janin belum ditiupkan ruh kedalam dirinya, dengan satu syarat bahwasanya ia benar-benar hidup ketika lahirnya nanti. 3. Tidak ada penghalang-penghalang mewarisi. 22 c. Sebab-sebab Waris Sebab-sebab yang mengakibatkan seseorang menerima harta warisan yang berlaku dalam syariat Islam ada 3, yaitu: 1. Kekerabatan Kekerabatan adalah hubungan darah yang mengikat para warits dengan muwarits. Sebagaimana Allah berfirman dalam al-Quran surat al-Ahzab ayat 6. 23 ⌫ ☺ ☺
Artinya: “…dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmim 22
23
Otje Salman, Hukum Waris Islam, (Bandung: Rafika aditama, 2002), Cet. 1, h. 4
Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis Queen, 2009), Cet.1, h. 21
24
dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baikkepada saudarasaudaramu (seagama)”. (QS. Al-Ahzab 33:16) Pada tahap pertama seorang anak menemukan hubungan kerabat dengan ibu yang melahirkannya. Hubungan keibuan ini berlaku secara alamiah dan tidak ada seorangpun yang dapat membantah hal ini karena si anak jelas terlahir dari rahim ibunya. Pada tahap selanjutnya seseorang mencari hubungan kerabat dengan laki-laki yang menyebabkan ibunya itu hamil dan melahirkan. Hubungan kerabat berlaku pula dengan laki-laki itu. Selanjutnya laki-laki itu disebut ayahnya. Maka hubungan keayahan berlaku secara hukum. Sejatinya seseorang baru dapat dikatakan penyebab kehamilan dan melahirkannya seorang ibu adalah bila sperma si laki-laki bertemu dengan ovum si ibu atau dalam kitab fikih disebut ‘uluq. Hasil pertemuan dua bibit itu menyebabkan pembuahan dan menghasilakan janin dalam rahim si ibu. Ini merupakan penyebab hakiki dari hubungan kekerabatan antara seorang anak dengan ayahnya. Dalam hubungan kekearabatan diatas, yanag dapat dijadiakn sebagai mazhinnah-nya adalah akad nikah yang sah. 24 Dengan demikian hubungan kekerabatan berlaku antara seorang anak dengan laki-laki sebagai ayahnya, bila anak tersebut lahir dari hasil perkawinan yang sah.
24
Mazhinnah merupakan istilah yang digunakan di kalangan ulama ushul fikih untuk menyatakan sesuatu hal yang nyata yang dijadikan pengganti sebab hakiki yang tidak nyata. Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. 1, h.176
25
Jumhur ulama berpendapat bahwa akad perkawinan yang sah belum menjamin hubungan kekerabatan yang sah. Oleh karena itu, untuk sahnya hubungan kekerabatan disamping akad nikah yang sah harus disyaratkan pula bahwa diantara suami istri diduga kuat telah terjadi hubungan kelamin yang secara memungkinkan, seperti telah tidur sekamar. Ulama hanafiyah mempunyai pendapat yang berbeda. Munurut mereka, dengan adanya akad nikah yang sah sudah cukup untuk menetapkan hubungan kekerabatan antara anak dan ayah. 25 Bila diperhatikan pendapat dua kelompok ulama tersebut diatas, nyatalah bahwa jumhur ulama berpikir lebih praktis dan mendasarkan pendapatnya kepada kenyataan alamiah, sementara kelompok hanafiyah lebih bersifat teoritis dan hanya berpegang pada yuridis formal semata. Namun meskipun demikian, kedua kelompok itu sepakat tentang sebab hakiki adanya hubungan kerabat disebabkan hubungan kelamin yang menghasilkan pembuahan. Selanjutnya, karena yang demikian itu tidak bersifat nyata, maka harus diganti dengan mazhinnah-nya dan mereka sepakat bahwa mazhinnah yang dapat dijadikan alasan hukum adalah akad nikah yang sah. 26 Selain kelahiran yang disebabkan dari hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan yang terikat dalam akad nikah yang sah, sebagaimana yang telah disebutkan diatas, ada pula kelahiran yang disebabkan dari hubungan kelamin yang tidak terikat dalam akad nikah yang sah. Perbuatan hubungan kelamin dalam bentuk biasa disebut hubungan kelamin shubhat. 25
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004) Cet.1, h. 176
26
Ibid, h. 177
26
Syubhat ada dua macam. Pertama, yaitu syubhat perbuatan. Seperti hubungan kelamin yang terjadi antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing meyakini pasangan yang digaulinya itu adalah pasangan yang sah dan ternyata dikemudian hari sebaliknya. Kedua, syubhat hukum. Seperti seseorang melakukan hubungan kelamin dalam akad nikah yang sah, kemudian kenyataan pernikahan tersebut tidak sah, umpamanya karena keduanya adalah dua orang yang bersaudara. Kelahiran yang disebabkan hubungan kelamin karena syubhat, baik syubhat perbuatan maupun syubhat hukum, menyebabkan hubungan kekerabatan dengan laki-laki yang membuahinya secara syubhat tersebut dan selanjutnya berlaku pula hubungan kewarisan antara keduanya. 27 Disamping adanya hubungan kekerabatan yang disebabkan oleh kelahiran yang nyata, hukum Islam membenarkan adanya hubungan kekerabatan atas dasar pembuktian melalui pengakuan. 28 Pengakuan ini dilakukan oleh seorang laki-laki yang menyatakan bahwa seorang anak adalah anaknya secara sah. Hal ini dapat terjadi bila seorang laki-laki secara yakin mengetahui bahwa dia mempunyai anak di suatu tempat berdasarkan tanda-tanda yang dikenalnya dan umur keduanya pun pantas untuk hubungan ayah dan anak, sedangkan dia tidak mengetahui yang mana anaknya itu. Dilain pihak di tempat itu ada seorang anak yang juga tidak mengetahui yang mana ayahnya dan anak itu pun tidak membantah pengakuan itu. 27
Ibid, h. 181
28
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet.1, h.182
27
Untuk sahnya pembuktian kekerabatan secara pengakuan ini para ulama mengemukakan beberapa syarat sebagai berikut: a. Si anak tidak diketahui ayahnya. b. Dari segi umur itu pantas menjadi anaknya. c. Pengakuan itu tidak disangkal oleh anaknya. Bila telah terpenuhi ketentuan tersebut, maka si anak yang diakui menjadi anak yang sah dari yang member pengakuan. Terkait dengan pengakuan tersebut adalah segala akibat hukum, termasuk hak kewarisan atas anak tersebut. Orang-orang yang mendapat harta warisan dengan jalan kekerabatan ada 3, yaitu: 29 a. Ashhabul furudl, yaitu ahli waris yang mendapat bagian tertentu dari harta peninggalan. Mereka semua ada 12 orang, terdiri dari empat orang lelaki dan delapan orang wanita yaitu: 30 1) Dari pihak laki-laki: Suami, ayah, kakek sejati (kakek yang bukan diperantarai oleh ibu seperti ayah dari ayah), saudara laki-laki seibu 2) Dari pihak perempuan: Isteri, ibu, nenek sejati (nenek yang diperantarai oleh kekek yang tidak sejati seperti ibu atau ibu dari ayah), anak perempuan sekandung, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara
29
30
Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Cet.1, h.43
Muhammad Hasbi Ash Shidiqy, Fiqh Mawris, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), Cet. 3, h. 60
28
perempuan sekandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu. b. Ashabah ushubah nasabiyyah, yaitu ahli waris yang tidak mempunyai bagian tertentu, tetapi mengambil sisa harta peninggalan sesudah diberikan bagianbagian ashhabulfurudl. c. Dzawil arham, yaitu ahli waris yang tidak masuk kedalam ashhabul furudl dan ashabah. 2. Perkawinan Disamping hak kewarisan berlaku atas dasar kekerabatan, hak kewarisan juga berlaku atas dasar hubungan perkawinan, dengan arti bahwa suami adalah ahli waris bagi istrinya yang meninggal dan istri pun merupakan ahli waris bagi suaminya yang meninggal. Bagian pertama dari ayat 12 Surat an-Nisa (4) menyatakan hak kewarisan bagi suami–istri. Dalam ayat tersebut terdpat kata azwaj. Penggunaan kata azwaj yang secara leksikal berarti pasangan (suami-istri), menunjukan dengan gamblang hubungan kewarisan antara suami dan istri. 31 Hubungan kewarisan seperti ini disebabkan adanya hubungan hukum antara suami dan istri. Berlakunya hubungan kewarisan antara suami dengan istri didasarkan pada dua ketentuan;
31
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. 1, h.
29
Pertama, antara keduanya telah berlangsung akad nikah yang sah. Mengenai akad nikah yang sah ditetapkan dalam Undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1: “Perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya”. 32 Kedua, bahwa suami dan istri masih terkait dalam tali perkawinan saat salah satu pihak meninggal dunia. Ketentuan ini berlaku pula bila salah satu meninggal dunia sedangkan ikatan perkawinan telah putus dalam bentuk talak raj’i dan si istri masih berada dalam masa iddah karena istri yang sedang menjalani masa iddah talak raj’i masih berstatus sebagai istri dengan segala akibat hukumnya, kecuali hubungan kelamin. 3. Karena hubungan wala’ Yakni yang disebabkan adanya pembebasan budak. Adapun yang dimaksud dengan wala’u al-‘ataqah adalah ‘ushubah. 33 Penyebabnya adalah kenikmatan pemilik budak yang dihadiahkan kepada budaknya dengan membebaskan budak melalui pencabutan hak mewalikan dan hak mengurusi harta bendanya, baik secara sempurna maupun tidak. Tujuannya adalah tatawwu’ yaitu melaksanakan anjuran
32
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Burgerlijk wetboek; Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007), h. 538 33
Adapun yang dimaksud dengan ‘ushubah adalah hubungn antara pemilik budak dan budak, seperti hubungn anatara orang tua dengan anaknya.
30
syariat atau kewajiban, sekalipun dengan imbalan. Dalam hal ini, bentuk pembebasan mengakibatkan pada penetapan hak wala’. 34 Sebagaimana sabda rasulullah SAW dalam perkara Barirah r.a, yaitu:
أرادت ﻋﺎﺋﺸﺔ أن: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺣﻔﺺ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺣﺪﺛﻨﺎ هﻤﺎم ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎل ﺗﺸﺘﺮي ﺑﺮﻳﺮة ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻟﻠﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ إﻧﻬﻢ ﻳﺸﺘﺮﻃﻮن اﻟﻮﻻء ﻓﻘﺎل اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ 35
( و ﺳﻠﻢ ) اﺷﺘﺮﻳﻬﺎ ﻓﺈﻧﻤﺎ اﻟﻮﻻء ﻟﻤﻦ أﻋﺘﻖ
Dari Abdullah bin Musalamah dari al-Lais dari Ibnu Syihab dari Urwah bahwasanya aisyah r.a… kemudian kepada perempuan itu Rasulullah SAW bersabda: “Merdekakanlah maka sesungguhnya hak wala’ itu untuk orang yang memerdekakan…” 4. Karena Agama Agama merupakan sebab seseorang saling mewarisi satu sama lain. Apabila Pewaris meninggalkan anak atau siapapun yang menurut pertalian darah atau perkawinan dia merupakan ahli waris tetapi dia tidak beragama Islam, maka dia tidak berhak menerima warisan, begitu pula sebaliknya. Dalam sebuah hadits dijelaskan: 36
م ﻗﺎل ﻻ ﻳﺮث اﻟﻤﺴﻠﻢ اﻟﻜﺎﻓﺮ وﻻ اﻟﻜﺎﻓﺮ اﻟﻤﺴﻠﻢ.ن اﻟﻨّﺒﻰ ص ّ ﻋﻦ أﺳﺎﻣﺔ ﺑﻦ زﻳﺪ ا
Artinya: “Usamah bin Zaid ra. bahwa Nabi SAW bersabda: “Orang Islam tidak menerima pusaka dari orang kafir, dan orang kafir tidak akan menerima pusaka dari orang Islam.” (HR. Bukhari) d. Asas-asas Kewarisan 34
Komite Fakutas Syariah, Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris. Penerjemah H. Addys, dkk (Jakarta: CV Kuwais Media Kreasindo, 2004), Cet. 1, h.40 اﻟﻴﻤﺎﻣﺔ، )دار اﺑﻦ آﺜﻴﺮ، ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺒﺨﺎري; اﻟﺠﺎﻣﻊ اﻟﺼﺤﻴﺢ اﻟﻤﺨﺘﺼﺮ، ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ إﺳﻤﺎﻋﻴﻞ أﺑﻮ ﻋﺒﺪاﷲ اﻟﺒﺨﺎري اﻟﺠﻌﻔﻲ35 2476 .‚ ص 6: ( ‚ ﻋﺪد اﻷﺟﺰاء1987 – 1407 : ﺑﻴﺮوت36
292
Maftuh Hanan, Mutiara Hadits; Shahih Bukhary. (Gresik: CV Bintang Pelajar, 1986), h.
31
Sebagai hukum agama yang bersumber dari wahyu Allah SWT, hukum kewarisan Islam mengandung berbagai asas. Asas-asas ini dalam beberapa hal berlaku pula dalam hukum kewarisan Islam yang bersumber dari akal manusia. Dalam pembahasan ini akan dikemukakan lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas tersebut adalah sebagai berikut: a. Asas Ijbari Kata ijbari secara leksikal mengandung arti paksaan (compulsory), yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Pengertian wali mujbir dalam terminologi fikih munakahat mengandung arti bahwa wali dapat mengawinkan anak gadisnya di luar kehendak anaknya dan tanpa memerlukan persetujuan dari anak yang hendak dikawinkannya itu. Begitu pula kata jabari. Dalam terminologi ilmu kalam mengandung arti paksaan, dengan arti semua perebuatan yang dilakukan oleh seorang hamba, bukanlah atas kehendak dari hamba tersebut, melainkan atas kehendak dan kekuasaan Allah SWT, sebagaimana yang berlaku menurut aliran kalam jabariyah. 37 Dengan demikian peralihan harta secara ijbari adalah peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya. Asas ini memberikan pengertian bahwa apabila pewaris meninggal dunia, maka segala haknya akan berpindah secara langsung kepada ahli warisnya. 37
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet .1, h.17
32
Perpindahan tersebut tidak semata-mata atas keinginan dan kehendak ahli waris, melainkan pembagiannya telah ditentukan mengenai besar kecilnya, sehingga tidak ada otoritas bagi manusia untuk memberikan bagiannya dengan lebih atau menguranginya apalagi meniadakannya. 38 Adanya unsur ijbari dalam sistem kewarisan Islam tidak memberatkan orang yang akan menerima waris. Kewajiban ahli waris adalah menolong membayarkan utang Pewaris dengan harta warisannya, bila Pewaris tidak meninggalkan harta, maka ahli waris wajib melunasi utang Pewaris dengan hartanya sendiri. Hal demikian wajib dilaksanakan oleh setiap muslim, karena Allah SWT tidak akan menerima amal ibadah orang yang masih mempunyai utang semasa hidupnya. Sebagaimana dalam kitab bukhari dijelaskan:
ﺣﺪﺛﻨﺎ اﺑﻮ ﻋﺎﺻﻢ ﻋﻦ ﺑﺰﻳﺪ اﺑﻦ أﺑﻰ ﻋﺒﻴﺪ ﻋﻦ ﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ اﻷآﻮع رﺿﻰ اﷲ ﻋﻨﻪ أن اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ أﺗﻰ ﺑﺠﻨﺎزة ﻟﻴﺼﻠﻰ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻓﻘﺎل هﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ دﻳﻦ ﻗﺎﻟﻮا ﻻ ﻓﺼﻠﻰ ﻋﻠﻴﻪ ﺛﻢ أﺗﻰ ﺑﺠﻨﺎزة أﺧﺮى ﻓﻘﺎل هﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ دﻳﻦ ﻗﺎﻟﻮا ﻧﻌﻢ ﻗﺎل ﺻﻠﻮا ﻋﻠﻰ ﺻﺎﺣﺒﻜﻢ ﻗﺎل أﺑﻮ ﻗﺘﺎدة ﻋﻠﻰ دﻳﻨﻪ 39
ﻳﺎرﺳﻮل اﷲ ﻓﺼﻠﻰ ﻋﻠﻲ
Artinya: Dari Abu Asim dari Yazid Ibnu Abi Abid dari Salamah bin al-Uku’i ra. Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah mendatangi jenazah untuk menshalatkannya. Beliau bertanya: “Apakah mayit ini mempunyai utang?” Kemudian para sahabat menjawab, “Tidak”. Kemudian rasul menshalatkannya. Setelah itu dihadapkan kepada beliau mayat yang lain, beliau bertanya: “Apakah dia mempunyai utang?” Sahabat menjawab: “Ya”, Rasulullah berkata: “Shalatkanlah mayat lain yang menjadi saudaramu”. Kemudian berkata Abu Qatadah: “Saya yang 38
Baidlowi, Ketentuan Hak Waris Saudara Dalam Konteks Hukum Islam, (Mimbar Hukum, 1999) Cet.10, h. 12 ٣٩ :‚ ص٢: )ﺷﺮآﺔ اﻟﻨﻮر ﺁﺳﻴﺎ( ‚ ﻋﺪد اﻷﺟﺰاء،اﻟﺒﺨﺎري،ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ إﺳﻤﺎﻋﻴﻞ أﺑﻮ ﻋﺒﺪاﷲ اﻟﺒﺨﺎري
39
33
akan menanggung semua utang mayat ini ya Rasulullah”. Kemudian Rasul bersedia menshalatkannya mayat yang masih mempunyai tanggungan itu. Adanya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari: 1. Segi Peralihan Harta Unsur ijbari dari segi peralihan mengandung arti bahwa harta orang yang mati itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan oleh siapa-siapa kecuali oleh Allah SWT. Oleh karena itu, kewarisan dalam Islam diartikan dengan peralihan harta, bukan pengalihan harta, karena pada peralihan harta berarti beralih dengan sendirinya, sedangkan pada pengalihan tampak usaha seseorang untuk mengalihkan. Asas ijbari dalam peralihan harta dapat dilihat dalam firman Allah SWT Surat anNisa (4):7. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa dalam jumlah harta yang ditinggalkan si pewaris, disadari atau tidak, telah terdapat hak ahli waris dengan tidak perlu pewaris menjanjikan akan memberikan sebelum ia meninggal, begitu pula ahli waris tidak perlu meminta haknya. 2. Segi Jumlah Pembagian Bentuk ijbari dari segi jumlah berarti bahwa bagian ahli waris dalam harta warisan sudah jelas ditentukan oleh Allah SWT, sehingga pewaris maupun ahli waris tidak mempunyai hak untuk menambah atau mengurangi apa yang telah ditentukan itu, maka maksudnya ialah sudah ditentukan jumlahnya dan harus dilakukan sedemikian rupa secara mengikat dan memaksa. 3. Segi Kepada Siapa Harta Itu Beralih
34
Bentuk ijbari dari segi penerima peralihan harta berarti bahwa mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusia pun dapat mengubahnya dengan cara memasukan orang lain dan mengeluarkan orang yang berhak. b. Asas Bilateral Asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam berarti bahwa seseorang menerima warisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu baik dari kerabat garis keturunan laki-laki maupun dari pihak garis keturunan perempuan. 40 Asas ini secara nyata dapat dilihat dalam firman Allah surat an-Nisa ayat 7, 11, 12 dan176. Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa baik seorang laki-laki maupun seorang perempuan berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya. Ayat ini merupakan dasar dari kewarisan bilateral. Kemudian dalam ayat-ayat yang lainnya dikemukakan bahwa kewarisan itu beralih kebawah (anak-anak), keatas (ayah-ibu) dan kesamping (saudara-saudara) dari kedua belah pihak garis keluarga (garis laki-laki dan garis perempuan). c. Asas Individual Hukum kewarisan Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, yang berarti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan 40
Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam: di Pengadilan Agama dan Kewarisan Menurut Undang-undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan Negeri, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya), Cet. 1, h. 120
35
ahli waris yang lain. 41 Hal ini dapat kita pelajari dalam al-Quran Surat an-Nisa ayat 11: 42 1. Bahwa anak laki-laki mendapat dua kali dari bagian anak perempuan. 2. Bila anak perempuan itu dua orang atau lebih bagiannya dua per tiga dari harta peninggalan. 3. Dan jika perempuan itu hanya seorang saja maka bagiannya separuh dari harta peninggalan. Pembagian secara individual ini didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban, yang dalam istilah ushul fikih disebut ahliyat al wujub. 43 Dalam pengertian ini setiap ahli waris berhak menuntut secara sendiri-sendiri harta warisan itu dan berhak pula berbuat demikian. 44 Pembagian secara individual merupakan ketentuan yang mengikat dan wajib dijalankan oleh setiap muslim dengan sanksi yang berat di akhirat atas pelanggarannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat an-Nisa ayat 13 dan 14. 41
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. 1, h. 21
42
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1981), Cet.
1 hal. 23 43
Ahliyyah wujub adalah kelayakan seorang manusia untuk ditetapkan padanya hak dan kewajiban. Lihat Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Sinar Grafika Offset,2005), Cet. 1, h.3 44
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet.1, h. 21
36
⌧
⌧
Artinya: 13. “Hukum-hukum tersebut itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. 14. Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan”. (Q.S an-Nisa (4):13 dan 14) Jika telah terlaksana pembagian secara terpisah untuk setiap ahli waris, maka unutk seterusnya ahli waris memiliki hak penuh untuk berbuat dan bertindak atas harta yang didapatnya itu. Walaupun dibalik kebebasan menggunakan harta tersebut berlaku ketentuan lain yaitu kecakapan untuk bertindak, yang dalam ushul fikih disebut ahliyat al-‘ada’. 45 d. Asas Keadilan Berimbang Kata adil merupakan kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari kata aladlu. Dalam al-Quran kata al-adlu atau turunannya disebutkan lebih dari 28 kali. Sebagian diantaranya diturunkan Allah SWT dalam bentuk kalimat perintah dan sebagian lainnya dalam bentuk kalimat berita. Kata al-adlu dikemukakan dalm konteks yang berbeda dan arah yang berbeda pula, sehingga memberikan definisi yang berbeda sesuai dengan konteks dan tujuan penggunaannya. Dalam hubungannya 45
Ahliyyah al-ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hokum seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang positif maupun negative. Lihat Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Sinar Grafika Offset,2005), Cet. 1, h. 2
37
dengan hak yang menyangkut materi, khususnya yang menyangkut dengan kewarisan, kata tersebut dapat diartikan sebagai keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Atas dasar pengertian diatas, maka asas keadilan dalam pembagian harta warisan menurut Islam secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan. Artinya pria dan wanita mendapatkan hak yang sama kuat untuk mendapatkan warisan. 46 Bila ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh, memang terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan pada kegunaan dan kebutuhan. 47 Secara umum, dapat dikatakan bahwa pria membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan wanita. Hal tersebut dikarenakan pria memikul tanggung jawab ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap keluarganya termasuk para wanita. Sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam surat an-Nisa (4):34.
☺ ⌧
☺
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain 46
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet.1, h. 24
47
Ibid, h.25
38
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (Q.S an-Nisa 4:34) Bila dihubungkan jumlah bagian yang diteriama dengan kewajiban dan tanggung jawab seperti disebutkan diatas, maka akan terlihat bahwa kadar manfaat yang akan dirasakan pria sama dengan apa yang dirasakan oleh pihak wanita. Meskipun pada mulanya pria menerima dua kali lipat dari perempuan, namun sebagian dari yang diterimanya akan diberikan kepada wanita dalam konsep Islam. e. Asas Semata Akibat Kematian Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai harta meninggal dunia. Dengan demikian hukum kewarisan hanya mengenal satu bentuk kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata (kewarisan ab intestato). 48 B. Hukum Waris Dalam Persfektif Undang-undang 1. Faraidh Sebelum Lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) Ketaatan umat Islam berpedoman kepada ajaran agama yang merupakan tolak ukur dari kadar keimanan, begitupun dalam menjalankan ajaran agama mengenai kewarisan. Bila kita berbuat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah SWT, maka kita akan mendapat pahala dan pujian dari Allah SWT (an-Nisa 4:13). Sebaliknya,
48
Ab intestateo adalah adanya suatu tata cara pewarisan yang diatur berdasarkan Undangundang. Apabila pewaris tidak menyatakan dengan tegas kehendaknya (dalam hal pewarisan) pada suatu testamen, maka ahli waris diatur berdasarkan Undang-undang. Lihat M.Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), Cet. 1, h.10
39
bila kita menyimpang dari petunjuk Allah tersebut, maka kita akan mendapat celaan dan ancaman dari Allah SWT (an-Nisa 4:14). Meskipun kewarisan merupakan ajaran agama, namun tidak semua umat Islam mengetahuinya secara baik, sebagaimana mereka mengetahui ajaran agama yang berkenaan dengan ibadat shalat, puasa, dan yang lainnya. Alasannya, Pertama, karena kematian yang menimbulkan adanya kewarisan dalam suatu keluarga merupakan suatu yang jarang terjadi. Kedua, tidak semua orang yang mati itu meninggalkan harta yang patut menjadi urusan. Ketiga, ajaran tentang kewarisan itu membicarakan angka-angka yang bersifat matematis yang tidak semua orang tertarik kepadanya. Apapun alasan yang dikemukakan diatas, tetap saja urusan kewarisan harus diselesaikan dengan merujuk kepada ajaran agama. Bila kematian yang menimbulkan kewarisan terjadi dalam suatu keluarga dan diantara anggota keluarganya ada yang mengetahui pembagian harta waris menurut ajaran Islam, maka keluarga tersebut dapat mengurus sendiri pembagian harta peningggalan itu. Seandainya tidak ada yang memahami cara menyelesaikan pembagian harta wairsan itu, mereka dapat meminta petunjuk kepada orang lain yang memahami hal tersebut. Cara seperti ini disebut istifta. Akan tetapi, karena obyek kewarisan ini adalah harta benda yang sering menimbulkan ketidakpuasan dari sebagian anggota keluarga dengan jumlah bagian yang diterima sesuai dengan ajaran agama dan juga disebabkan oleh keserakahan serta rasa egois, maka hal ini tidak cukup hanya dengan meminta petunjuk tetapi juga meminta untuk diselesaikan. Cara seperti ini disebut tahkim.
40
Jika urusannya meningkat pada suatu persengketaan yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan, maka hal ini memerlukan penyelesaian pihak yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk memaksakan keputusannya. Inilah yang dinamakan lembaga qadha atau peradilan. Dengan demikian lembaga peradilan adalah lembaga terakhir dalam penyelesaian perkara waris. Peradilan yang menjalankan ajaran agama yang telah ditetapkan oleh pemerintah hindia belanda pada tahun 1882 melalui Stbl. No.152 Tahun 1882, tentang pendirian Peristeraad (yang menjadi cikal bakal Peradilan Agama) untuk pulau Jawa dan Madura. Dalam stbl. Ini ditetapkan bahwa salah satu wewenang absolutnya adalah kewarisan. 49 Dimasukannya kewarisan dalam wewenanang Peristeraad pada waktu itu agaknya mengikuti pendapat pakar hukum belanda W. Van Den Berg dengan teorinya yang popular yaitu receptie in complexu yang berarti menerima ajaran agama secara menyeluru. Maksudnya bila seseorang telah memeluk agama Islam, maka dia akan menjalankan semua ajarannya termasuk kewarisan. Kemudian muncul teori lainnya yang mematahkan teori dari W. Van Den Berg itu yaitu teorie receptie yang dikemukakan oleh Snock Hurgronje dan C. Van Vollenhoven. Teori tersebut berarti bahwa umat Islam menjalankan hukum agama sejauh telah terserap ke dalam adatnya. 50 Teori receptie ini telah mempengaruhi pemerintah hindia belanda untuk 49
50
A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, h. 98
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Prenadia Group,2006), Cet. 1, edisi 1, h. 49
41
mengubah kebijaksanaannya tentang Raad Agama, dengan mengeluarkan aturan baru dalam Stbl. No.116-610 Tahun 1937. Dalam Stbl. ini ditetapkan urusan kewarisan tidak lagi menjadi wewenang Peristeraad. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1957 Tentang pembentukan Mahkamah Syariah (Peradilan Agama) dan Mahkamah Syariah Provinsi untuk seluruh Indonesia, di luar Jawa, Madura dan Kalimantan selatan-timur. Dalam peraturan pemerintah itu ditetapkan bahwa salah satu wewenang Peradilan Agama adalah kewarisan. 51 Keragaman nama dan wewenang Peradilan Agama telah berakhir semenjak tahun 1989 dengan keluarnya Undang-undang No.7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dalam pasal 49 ayat 1 dari Undang-undang ini menetapkan: 52 “Peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkaraperkara di tingkat pertama anatara orang-orang yang beragama Islam di bidang: Perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan shadaqah.” Hukum kewarisan yang dinyatakan sebagai hukum positif bagi umat Islam Indonesia pada saat ini belum berbentuk hukum perundang-undangan, tetapi baru dalam bentuk kitab fikih BAB faraidh. Hal ini berarti bahwa para hakim di
51
52
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. 1, h. 324
Roihan dan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. 7, h. 252. Lihat juga Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama; Undang-undang No.7-Th 1989, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), h. 30
42
Pengadilan Agama dalam memberikan pertimbangan pada saat menetapkan keputusan merujuk pada kitab fikih tersebut. Meskipun fikih itu bersumber dari al-Quran dan Hadits, namun fikih itu beragam sesuai dengan perkembangan aliran pikiran tertentu yang kemudian disebut madzhab. Fikih yang berkembang di Indonesia pada umumnya adalah mengikuti madzhab imam syafi’i, tanpa menutup adanya madzhab lain, meskipun kecil. Madzhab imam syafi’i kemudian dikembangkan oleh pengikutnya dalam suatu wacana yang hasilnya juga beragam pendapat. Beragam pendapat dalam sebuah wacana tidak menjadi masalah. Namun bila putusan pengadilan yang merujuk pada fikih yang berbeda menghasilakan penetapan yang berbeda mengenai suatu kasus yang sama, barulah itu menimbulkan masalah. Hal itulah yang mendorong pemuka negara kita mengumpulakan kitab fikih yang menjadi rujukan Peradilan Agama yang beragam itu dan merumuskannya dalam satu bentuk kesatuan. Setelah melalui proses panjang, Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan peradilan di Indonesia bersama menteri agama, dengan melibatkan ulama, pakar fikih, ahli hukum dan pemuka masyarakat lainnya berhasil mengeluarkan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. 53 2. Faraidh Setelah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI)
53
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. 1, h. 327
43
Hukum kewarisan dalam KHI merupakan hasil kaji ulang dan ijtihad baru melalui pendekatan dengan hukum adat dan hukum barat serta norma-norma hukum lainnya, sesuai dengan petunjuk syariat Islam, sehingga dapat membawa pembaharuan hukum kewarisan di Indonesia yang: 54 a. Selaras dengan tata kehidupan umat Islam di Indonesia, b. Mampu memenuhi tuntutan zaman yang modern sesuai dengan teori ilmu hukum, administrasi dan manajemen, c. Dapat menjalankan fungsinya sebagai pengatur untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat, sebagai pengayom untuk melindungi kebenaran dan keadilan, serta sebagai pemberi arah bagi kehidupan yang maju dan mandiri dibawah naungan dan ridla Allah SWT. Dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat 23 pasal yang mengatur tentang kewarisan, mulai dari pasal 171 sampai dengan pasal 193. Yang dimaksud dengan hukum kewarisan menurut KHI pasal 171 (a) adalah “Hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harata peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapasiapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing”. 55 Pasal 171 tentang ketentuan umum, yaitu menjelaskan tentang hukum kewarisan sebagaimana juga terdapat dalam kitab-kitab fikih dengan rumusan yang 54
Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis Queen, 2009), Cet. 1, h. 30 55
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1992) , Cet. 1, h. 155
44
berbeda. Membicarakan tentang pewaris dan syaratnya, ahli waris dan syaratnya. Hal ini serupa dengan yang dibicarakan dalam fikih sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Begitu juga anak pasal selanjutnya telah sejalan dengan fikih. Pasal 172 menjelaskan tentang identitas keislaman seseorang dalam hal yang bersifat administratif. Walaupun tidak ada dalam fikih tapi tidak menyalahi substansi fikih itu. Pasal 173 menjelaskan tentang halangan kewarisan yang format dan substansinya sedikit berbeda dengan fikih, dengan rumusan: Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: 56 a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris. b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Dalam anak pasal (a) dinyatakan pembunuh sebagai penghalang kewarisan telah sejalan dengan fikih. Namun, dijadikannya percobaan pembunuhan, penganiayaan, apalagi memfitnah sebagai halangan kewarisan, jelas tidak sejalan dengan fikih madzhab manapun. Dalam fikih hanya pembunuhan yang disengaja yang dapat menjadi penghalang, sedangkan yang tidak disengaja masih merupakan perdebatan yang berujung pada perbedaan pendapat dikalangan ulama. Fikih 56
Ibid, h. 156
45
beranggapan bahwa kewarisan itu adalah hak seseorang yang ditetapkan dalam alQuran dan tidak dapat dicabut kecuali ada dalil yang kuat seperti hadits Nabi SAW. Dicabutnya hak seseorang hanya karena percobaan pembunuhan, penganiayaan atau memfitnah meskipun hal tersebut merupakan kejahatan namun tidak dapat menghilangkan hak yang pasti, apalagi jika sebelum meninggal Pewaris telah memaafkannya. Oleh karena itu, pasal ini masih perlu dipertanyakan. Pasal 174 menjelaskan tentang ahli waris, baik dalam hubungan darah atau perkawinan telah sejalan dengan fikih. Pasal 175 menjelaskan tentang kewajiban ahli waris terhadap harta sebelum dibagikannya harta tersebut kepada ahli waris telah sejalan dengan fikih. Pasal i76 menjelaskan tentang bagian anak dalam kewarisan, baik dalam keadaan sendiri atau bersama telah sejalan dengan ayat al-Quran dan rumusannya dalam fikih. Pasal 177 menjelaskan tentang bagian ayah. Dirumuskan sebagai berikut: “Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak; bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian”. 57 Walaupun pasal ini telah mengalami perubahan, tetapi tidak mengubah secara substansial. Dijelaskan bahwa ayah menerima seperenam dalam keadaan pewaris meninggalkan anak, hal ini jelas sesuai dengan al-Quran, dan rumusannya dalam fikih. Tetapi menetapkan ayah menerima bagian sepertiga dalam keadaan tidak ada 57
Ibid, h. 157
46
anak, tidak terdapat dalam al-Quran dan tidak tersebut dalam kitab fikih manapun, termasuk syi’ah. Ayah mungkin mendapat sepertiga tetapi tidak sebagai furudh, itupun dalam kasus tertentu seperti bersama ibu dan suami, dengan catatan ibu menerima sepertiga harta sebagaimana yang lazim berlaku dalam mzhab jumhur ahlu sunah, namun bukan sepertiga untuk ayah sebagaimana yang disebutkan dalam kompilasi. Hal tersebut merupakan ijtihad baru yang bertujuan untuk melindungi jangan sampai bagian ayah lebih kecil dari bagian ibu, tapi sekurang-kurangnya sama besar. Apabila al-Quran dan fikih yang dijadikan ukuran, maka pasal ini jelas salah secara substansial. Karena bunyi pasal ini terdapat kekeliruan yang sangat signifikan, maka berdasarkan
Surat
Edaran
Mahkamah
Agung
Republik
Indonesia
Nomor
MA/Kumdil/148/VI/K/1994 tanggal 28 Juni 1994, (SURAT EDARAN No. 2 Tahun 1994 Tentang Pengertian Pasal 177 KHI), pasal ini berbunyi: “Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam”. 58 Berdasarkan bunyi pasal 177 yang telah direvisi ini, maka bagian ayah ada 3 (tiga) macam, yaitu: a. Menerima ashobah, yakni bila pewaris tidak meninggalkan anak. b. Menerima sepertiga bagian, yakni apabila pewaris tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan suami dan ibu. c. Menerima seperenam bagian, yakni apabila pewaris meninggalkan anak. 58
Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis Queen, 2009), Cet. 1, h. 114
47
Pasal 178 menjelaskan tentang bagian ibu dalam tiga kemungkinannya dan pasal 179-180 membahas tentang bagian duda dan janda dalam dua kemungkinannya telah sesuai dengan al-Quran dan rumusannya dalam fikih. Pasal 181 membahas tentang bagian saudara seibu. Pasal 182 tentang bagian saudara kandung dan seayah dalam segala kemungkinannya, semuanya telah sejalan dengan al-Quran dan fikih. Pasal 183 tentang usaha perdamaian yang yang menghasilkan pembagian yang berbeda dari petunjuk atas dasar kerelaan bersama. Secara formal, hal tersebut tidak dijelaskan dalam fikih, akan tetapi pembagian seperti itu dapat diterima dengan menggunakan pendekatan pemahaman takharuj yang dibenarkan dalam mazhab hanafi. Pasal 184 tentang pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa untuk mengurus hak warisnya. Meskipun tidak dinyatakan dalam kitab-kitab fikih, namun karen telah sejalan dengan kehendak al-Quran surat an-Nisa ayat 5, maka pasal ini dapat diterima. Pasal 185 mengenai ahli waris pengganti, dirumuskan sebagai berikut: 59 (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris maka kedudukannya dapat diganti oleh anaknya, kecuali mereka yang disebut dalam pasal 173.
59
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1992), Cet. 1, h.158
48
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh lebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Anak pasal (1) secara tersurat mengakui adanya ahli waris pengganti, yang merupakan hal baru untuk hukum kewarisan Islam. Perkara ini dikatakan baru karena di timur tengah pun belum ada Negara yang mngatur hal ini, sehingga mereka mereka perlu menampungnya dalam lembaga wasiat wajibah. Anak pasal ini amat bijaksana dengan menggunakan kata “dapat” yang tidak mengandung maksud imperative. Hal ini berarti bahwa dalam keadaan tertentu yang kemaslahatan menghendaki keberadaan ahli waris pengganti dapat diakui, namun dalam keadaan tertentu bila keadaan menghendaki, tidak diberlakukannya ahli waris pengganti. Anak pasal (2) menghilangkan kejanggalan penerimaan adanya ahli waris pengganti dengan tetap menganut asas perimbangan laki-laki dan perempuan. tanpa anak pasal ini sulit untuk dilaksanakannya penggantian ahli waris karena ahli waris pengganti itu menurut asalnya hanya sesuai dengan system barat yang menempatkan kedudukan anak laki-laki sama dengan anak perempuan. Pasal-pasal selanjutnya yaitu pasal 186-193 telah sesuai dengan yang dirumuskan dalam fikih. Meskipun ada beberapa pasal yang tidak diatur dalam fikih karena menyangkut masalah administratif, namun hal tersebut sesuai dengan prinsip kemaslahatan, maka pasal-pasal itu dapat diterima. Secara umum pasal demi pasal yang berkenaan dengan kewarisan dalam KHI tersebut sudah sejalan dengan apa-apa yang dijelaskan dalam kitab fikih, namun tidak
49
dapat dipungkiri ada beberapa hal krusial dan beberapa perbedaan disana-sini yang menempatkan hukum kewarisan Islam dalam bentuk yang baru. C. Konsep Keadilan Dalam Pembagian Harta Waris 1. Konsep Keadilan Menurut Hukum Islam Mengenai jumlah bagian yang didapat oleh laki-laki dan perempuan terdapat dua bentuk. Pertama, laki-laki mendapat jumlah yang sama banyak dengan perempuan; seperti ibu dan ayah sama-sama mendapat seperenam dalam keadaan pewaris meninggalkan anak kandung. Begitu pula saudara laki-laki dan saudara perempuan sama-sama mendapat seperenam dalam keadaan pewaris adalah seseorang yang tidak memiliki ahli waris langsung. Kedua, laki-laki memperoleh bagian lebih banyak atau dua kali lipat dari bagian yang didapat oleh perempuan; seperti anak lakilaki mendapat dua kali bagian anak perempuan, saudara laki-laki mendapat dua kali bagian saudara perempuan dan dalam kasus yang terpisah duda mendapat dua kali bagian yang diperoleh janda. Bila ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh antara laki-laki dan perempuan yaitu 2:1 (baca: dua banding satu), memang terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti tidak adil karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan pada kegunaan dan kebutuhan. Oleh karena itu, bentuk keadilan dalam kewarisan bukan terletak pada jenis kelamin, melainkan terletak pada substansinya. Substansi yang dimaksud dapat terlihat dalam Surat an-Nisa (4:11, 12, dan 176).
50
Pada Surat an-Nisa (4) ayat 11 dinyatakan bahwa anak laki-laki mendapat bagian lebih besar dari perempuan. Demikian pula ayah mendapat bagian lebih banyak dari ibu apabila tidak ada anak. Dalam Surat an-Nisa (4) ayat 12, suami dan istri mendapat bagian yang berbeda. Demikian pula dalam Surat an-Nisa (4) ayat 176 saudara laki-laki mendapat bagian lebih banyak dari saudara permpuan. Terjadinya perolehan bagian yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, mufassirin memberikan komentar. Menurut al-Maragi, terjadinya perbedaan bagian yang diperoleh oleh ahli waris laki-laki dan perempuan mempunyai hikmah tersendiri yaitu laki-laki mencari nafkah untuk diri dan keluarganya, sementara perempuan hanya membutuhkan nafkah untuk dirinya, dan bahkan apabila perempuan telah menikah, maka nafkahnya ditanggung oleh laki-laki yang menjadi suaminya. Dari kenyataan ini menunjukan bahwa tidak ada perbedaan material dalam kedudukan ekonomi antara laki-laki dan perempuan bila dilihat dari fungsinya. 60 Syariat Islam telah membedakan pembagian harta waris antara laki-laki dan perempuan dalam perkara kewarisan 2:1 (baca dua banding satu) karena ada beberapa hikmah yang tersembumyi: a. Bahwa perempuan itu biaya hidup dan keperluannya telah terpenuhi, sebab nafkahnya menjadi kewajiban anaknya atau bapaknya, saudara laki-laki atau kerabat lainnya. 60
Eli Nurmalia, Respon Perempuan Terhadap System Pembagian Waris 2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 27
51
b. Permpuan tidak dibebani untuk memberikan nafkah pada keluarga, kerabat serta orang lain yang menjadi kewajibannya untuk memberikan nafkah kepadanya. c. Nafkah laki-laki lebih banyak (dari perempuan) dan kewajiban yang berkaitan dengan harta lebih besar, maka keperluannya terhadap harta tertentu lebih besar dari pada keperluan perempuan. d. Laki-laki (berkewajiban) memberikan maskawin kepada istrinya dan dia juga dibebani untuk memberikan biaya, tempat tinggal dan ongkos makan serta pakian kepada istri dan anak-anaknya. Selain itu masalah lain yang juga dibebankan kepada laki-laki oleh syariat Islam yang mulia, berdasarkan perintah Allah, Tuhan Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. ☺
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (QS. Ath-Thalak 65:7) Dari pandangan yang singkat ini, jelaslah bahwa Allah begitu bijaksana dalam membedakan bagian laki-laki dan perempuan dalam kewarisan. Apabila nafkah atas seseorang itu lebih banyak dan kewajiban yang dibebankan kepadanya lebih besar, maka menurut keadilan dalam pandangan Islam, dibenarkan jika bagiannya lebih
52
banyak.
61
Kendati perempuan mendapatkan bagian setengah dari laki-laki
(lidzdzakari mitslu hadzdzil untsayayn), namun ketentuan itu bisa menjadi lebih banyak dari laki-laki, sebab laki-laki punya tanggung jawab menafkahi anggota keluarganya, sedangkan harta bagian perempuan adalah untuk dirinya sendiri. Karena itulah, Rasul SAW menekankan umat Islam untuk senantiasa melakukan dan melaksanakan hukum waris sesuai dengan ketentuan yang ada dalam al-Quran. Semua yang sudah diatur dalam al-Quran bertujuan memberikan keadilan pada setiap orang. 62 Hal serupa juga diungkapkan oleh Syaikh Muhammad Ghazali. Beliau menambahkan bahwa perempuan tidak wajib untuk bekerja atau mencari uang karena jika dia mempunyai suami atau saudara laki-laki, seharusnya mereka yang mendukungnya dalam segi keuangan. 63 2. Konsep Keadilan dalam Pandangan Feminis Gender Secara hakiki, dalam diskursus hukum, sifat dari keadilan itu dapat dilihat dalam dua arti pokok, yaitu: Pertama, dalam arti formal yang menuntut bahwa hukum itu berlaku secara umum. Kedua, dalam arti materil yang menuntut agar setiap hukum
61
Muhammad Ali asy-Syabuniy, Hukum Waris Islam, judul asli al-Mawarits Fi Syar’iyati Islamiyah ‘Ala Dhauil Kitab Wa Sunnah, (Surabaya: al-ikhlas, 1995), Cet. 1, h. 26-27 62
Syarudin al-fikri, “Menengok Riwayat Hukum Waris Dalam Islam”, Arikel Diakses pada 08 Agustuss 2010dari http://www.repubilika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/islamdigest/10/04/19/112001-menengok-riwayat-hukum-waris-dalam-islam. 63
Syaikh Muhammad Ghazali, Tafsir Tematik Dalam al-Quran, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), h.49
53
itu harus sesuai dengan cita-cita keadilan masyarakat. 64 John Rawls dan Hans Kelsen menguraikan bahwa pada dasarnya keadilan terdiri dari beberapa unsur, yaitu: 65 a. Bahwa keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak). b. Bahwa perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap indifidu (unsur manfaat). Keadilan hubungannya dengan gender adalah keadilan yang tidak membedakan manusia berdasarkan jenis kelamin, asal-usul, keturunan dan ras. Namun dalam realita sosiologis di masyarakat, perempuan seringkali menerima perlakuan yang tidak adil dan tidak setara dengan laki-laki. Kondisi ini terjadi karena masyarakat kita telah lama terkungkung oleh budaya yang didomonasi oleh kaum laki-laki. Lalu munculah apa yang dikenal dengan istilah ketidakadilan gender. 66 Gender merupakan istilah kultural yang dipakai untuk membedakan peran, prilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dimasyarakat. Perbedaan gender tersebut sebenarnya tidak jadi masalah, sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Dewasa ini, kaum feminis mengnggap bahwa kaum muslimat berada dalam suatu sistem diskriminatif, yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan dasar Islam. 64
E. Fernando M. Manulang, menggapai hokum berkeadilan; Tinjauan Hukum Kodrat dan Anatomi Nilai, (Jakarta: Kompas, 2007), h. 96 65
Ibid, h. 98 Elfid Nurfitri Mubarok, Penyelesaian Gugatan Kewarisan Anak Perempuan Dengan Saudara Kandung, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 42 66
54
Kaum muslimat dianggap sebagai korban dari ketidakadilan dalam berbagai aspek kehidupan, yang dilegitimasi oleh suatu tafsiran sepihak dan dekontruksi melalui budaya dan syariat. 67 Sehingga mereka mempertanyakan tafsiran ayat-ayat al-Quran yang dianggap mengandung bias gender, diantaranya: QS. Al-Baqarah 2:282 Tentang kesaksian perempuan dalam hutang piutang, QS. An-Nisa 4:11 Tentang hak waris laki-laki dan perempuan, QS. An-Nisa 4:3 Tentang kebolehan laki-laki berpoligami, QS. An-Nur 24:30-31 dan QS. Al- Ahzab 33:53-59 Tentang aurat perempuan dan hijab. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Ayu Arman, beliau mengatakan pembedaan bagian harta waris laki-laki dan perempuan disebabkan karena pada saat itu beban kehidupan keluarga sepenuhnya ditanggung laki-laki. Perempuan tidak punya kewajiban untuk memberikan maskawin dan nafkah kepada keluarga mereka. Meskipun begitu, saat itu Islam telah memberikan jalan keluar jika orangtua mereka ingin memberikan bagian yang sama kepada anak-anak mereka, baik laki-laki maupun perempuan, maka dengan jalan hibah, yaitu pembagian warisan ketika orangtua masih hidup. Setidaknya alasan tersebut menuntun kita bahwa perbedaan perolehan pembagian warisan itu bukan disebakan oleh faktor biologis (kodrati), tetapi semata-mata disebabkan oleh sosial budaya, dengan kata lain, persoalan gender. Karena hal itu disebabkan oleh sosial budaya, maka hukum waris ini pun bisa berubah ketika basis sosial dan ekonomi keluarga berubah. Apalagi sekarang ini, tak 67
Eli Nurmalia, Respon Perempuan Terhadap System Pembagian Waris 2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)
55
sedikit lagi perempuan yang menjadi tulang punggung yang menafkahi keluarganya. Untuk itu, tidak ada halangan untuk melakukan modifikasi terhadap ketentuan waris 2:1 (baca: dua banding satu) karena muatan keadilannya berkurang. 68 Untuk mengcover asumsi-asumsi yang menyatakan bahwa hukum seperti ini hanya dapat memarginalkan, mendehumanisasi, mendiskriminasi dan mensubordinasi perempuan, maka kaum feminis mengusulkan agar porsi pembagian harta waris antara laki-laki dan perempuan adalah sama 1:1 (baca: satu banding satu) atau 2:2 (baca: dua banding dua). Agar tujuan ini dapat terwujud, menurut mereka tidak hanya cukup dengan melakukan tafsir ulang, tetapi harus melalui proses dekontruksi (pembongkaran) terhadap idiologi yang melilitnya berabad-abad. Menurutnya, kini tibalah saatnya untuk mengkontekstualisasikan ayat-ayat hukum yang praktis temporal, teknis oprasional (juziyyah) agar sesuai dengan nilai-nilai universal dan terbebas dari muatan lokal arabisme.
68
Ayu Arman, “Menyoal Keadilan Hak Waris Perempuan”, artikel diakses pada 08 Agustus 2010 dari shttp:/mycompilation.blogspot.com/2010/07/menyoal-keadilan-hak-waris-perempuan.html
BAB III ANALISIS GUGATAN KEWARISAN ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN A. Landasan Yuridis, Hukum Formil dan Hukum Materil 1. Tinjauan Dari Hukum Formil Agar kita dapat melaksanakan aturan mengenai kewarisan dengan baik di Pengadilan, maka kita membutuhkan kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara-cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materil. Kaidah hukum tersebut sering dikenal sebagai hukum formil. 69 Menurut Sudikno Martokusumo, aturan hukum perdata ini bukanlah sekedar pelengkap saja, melainkan mempunyai kedudukan yang penting dalam melaksanakan atau menegakkan hukum perdata materil.70 Kedua hukum ini sangat berkaitan, karena jika tidak ada hukum formil maka hukum materil tidak dapat ditegakan melalui peradilan. Begitu pun sebaliknya, karena hukum acara formil merupakan upaya untuk menjamin akan terlaksananya hukum perdata materil. Untuk melaksanakan tugas pokoknya (menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara) dan fungsinya (menegakkan, hukum dan keadilan) 69
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata ; Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2005), Cet. 9, h. 1 70
Sudikno Martokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Press,
1985), h. 5
56
maka Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama menggunakan hukum acara perdata yang berlaku di lingkunagan Peradilan Negeri, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang. 71 Oleh karena itu, hukum acara Peradilan Agama sekarang bersumber (garis besarnya) kepada dua aturan: (1) yang terdapat dalam Undang-undang No.7 Tahun 1989, dan (2) yang berlaku dilingkungan Peradilan Umum. Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti hukum acara perdata Peradilan Umum, antara lain: 72 a. H.I.R (Het Herziene Indonesisch Reglement) atau disebut juga RIB (Reglemen Indonesia yang dibaharui) b. R.Bg (Rechts Reglement Buitengewesten) atau disebut juga Reglemen untuk daerah seberang, maksudnya untuk luar Jawa-Maduru. c. R.V (Reglement of de Burgerlijke Rechtsvordering) yang zaman jajahan Belanda dahulu berlaku untuk Raad van Justitie. d. BW (Burgerlijke Wetboek) atau disebut juga Kitab Undang-undang Hukum Perdata Eropa. e. Undang-undang No. 2 Tahun 1986, Tentang Peradilan Umum. Perturan perundang-undangan tentang Hukum Acara Perdata yang sama-sama berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, adalah: 71
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia,( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. 3, h. 366 72
Roihan dan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000) Cet. 7, h.21
57
a. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman b. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Tentang Mahkamah Agung. c. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Jika demikian halnya, maka Peradilan Agama dalam hukum acaranya minimal harus memperhatikan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah mengalami perubahan menjadi Undang-undang No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, ditambah dengan 8 macam peraturan perundang-undangan tang tadi telah disebutkan. Selain itu Peradilan Agama juga harus memperhatikan proses hukum menurut Islam. Inilah, yang menjadi sumber dari Hukum Acara Peradilan Agama. 73 Bidang kewarisan yang merupakan salah satu wewenang Pengadilan Agama tercantum dalam pasal 49 huruf b Undang-undang No.3 tahun 2006 Tentang perubahan Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama disebutkan, bahwa: “ Yang dimaksud dengan bidang kewarisan adalah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut
73
Ibid, h. 21
58
serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris”.74 Atas dasar ketentuan diatas, maka bidang hukum waris yang menjadi kewenangan Peradilan Agama adalah meliputi: 1. Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris. 2. Penentuan mengenai harta peninggalan. 3. Penentuan bagian masing-masing ahli waris. Dalam hukum acara perdata di Peradilan Agama terdapat dua jenis perkara, yaitu: a. Perkara Voluntair Perkara voluntair (permohonan) adalah perkara yang di dalamnya tidak terdapat sengketa, misalnya apabila segenap ahli waris almarhum secara bersamasama menghadap ke Pengadilan untuk mendapat suatu penetapan perihal bagian masing-masing dari warisan almarhum berdasarkan ketentuan pasal 236 a HIR. 75 Disini, hakim hanya sekedar memberi jasa-jasanya sebagai seorang tenega Tata Usaha Negara. Hakim tersebut mengeluarkan suatu penetapan yang lazimnya disebut putusan declaratoir, yaitu suatu putusan yang bersifat menetapkan, menerangkan saja. 74
Chatib Rasyid dan Syaifudin, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek Pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2009) 75
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata ; Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2005), Cet. 9, h. 10
59
b. Perkara Contensius Perkara contensius (gugatan) adalah perkara yang di dalamnya terdapat suatu sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh Pengadilan. Dalam suatu gugatan ada seseorang atau lebih yang merasa bahwa haknya telah dilanggar, akan tetapi orang yang dirasa melanggar haknya atau hak mereka itu tidak mau secara suka rela melakukan sesuatu sesuatu yang diminta itu. 76 Untuk penentuan siapa yang yang benar dan berhak, diperlukan adanya suatu putusan hakim. Disini hakim benarbenar berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutus siapa diantara pihakpihak tersebut yang benar dan siapa yang tidak benar. Produk Pengadilan yang dikeluarkan dalam perkara gugatan ini adalah vonis yang bersifat condemnatoir (menghukum) atau bersifat constitutoir (menciptakan). 77 Selain dua jenis perkara yang dapat diadukan ke Pengadilan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dalam hukum acara perdata dikenal pula dua macam upaya hukum. Sedangkan upaya hukum itu sendiri adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim. 78 Kedua upaya hukum tersebut, yaitu: a. Upaya Hukum Biasa
76
Ibid, h. 10
77
Roihan dan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000) cet ke-7, h. 193 78
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata ; Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2005), Cet ke-9, h. 142
60
Upaya hukum biasa adalah perlawanan terhadap putusan verstek (tergugat tidak hadir), banding (permohonan yang diajukan oleh orang yang dikalahkan di Pengadilan tingkat pertama kepada Pengadilan Tinggi karena dikhawatirkan bahwa hakim melakukan kesalahan dalam menjatuhkan suatu putusan), dan kasasi (tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawas tertitinggi untuk menegakkan dan membetulkan hukum, jika hukum ditentang oleh putusan-putusan hakim pada tingkatan tertinggi). Pada asasnya, upaya hukum ini menangguhkan eksekusi. Pengecualiannya adalah apabila putusan tersebut dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij vooraad), maka meskipun diajukan upaya biasa, namun eksekusi dapat berjalan terus. b. Upaya Hukum Luar Biasa. Berbeda dengan upaya hukum biasa, upaya hukum luar biasa pada asasnya tidak menangguhkan eksekusi. Yang termasuk upaya hukum luar biasa adalah perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial dan peninjauan kembali. Jadi meskipun diajukan perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial atau diajukan permohonan peninjauan kembali, maka eksekusi berjalan terus. 2. Tinjauan Dari Hukum Materil Mengenai sumber hukum materil di Peradilan Agama, sebenarnya peradilan agama sendiri belum mempunya hukum materil yang berbentuk Undang-Undang, namun untuk menyamakan pedoman fikih agar tidak terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam lembaga-lembaga Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI) sudah dirasa cukup meredam perbadaan pendapat tentang masalah-masalah hukum 61
tersebut, tetapi bukan berarti tidak diperlikan lagi hukum materil yang kekuatannya lebih mengikat seperti Undang-undang. Adapun hukum materil yang sekarang berlaku di lembaga-lembaga Peradilan Agama adalah sebagai berikut: a. Instruksi presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam KHI tersebut terdapat tiga buku yang menjelaskan mengenai: hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan. Khusus mengenai hukum kewarisan, berjumlah 23 pasal, yaitu dari pasal 171 sampai dengan pasal 193. b. Yurisprudensi Dalam kamus Fockema Andrea sebagaimana yang dikutip oleh Lilik Mulyadi, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah pengumpulan sistematis dari keputusan Mahkamah agung dan keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan mengenai perkara yang sama. 79 Dalam hal ini hakim tidak terikat pada putusan yurisprudensi. Hakim bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi itu atau memakainya dalam suatu perkara yang sejenis dan telah mendapat putusan sebelumnya. c. Surat Edaran Mahkamah Agung RI Surat Edaran tersebut sepanjang menyangkut hukum formil dan hukum materil yang dapat dijadikan sumber hukum di Peradilan Agama dan dapat digunakan sebagai bahan acuan oleh hakim dalam menangani perkara. Sama halnya dengan 79
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata, h. 7
62
yurisprudensi, Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung juga tidak mengikat kepada hakim sebagaimana undang-undang. Menurut Sudikno Martokusumo, bahwa Surat Edaran tersebut bukanlah hukum, tetapi merupakan sumber hukum, bukan berarti tempat ditemukannya hukum melainkan tempat hakim dapat menggali hukum. 80 d. Doktrin atau Pendapat Ahli Doktrin merupakan sumber hukum yang sangat penting bagi ilmu hukum dan perkembangannya, karena kemajuan pemikiran tentang hukum sangat bergantung antara lain kepada pendapat yang dikemukakan oleh para ahli hukum untuk menyikapi fenomena yang terjadi setiap waktu. Doktrin dapat dikemukakan dalam berbagai forum, seperti penelitian, seminar, atau dengan penerbitan buku-buku yang membahas suatu topik atau fenomena hukum tertentu. B. Analisis Dan Pertimbangan Hakim 1. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 139/Pdt.G/2008/PA.JT Perkara Nomor 139/Pdt.G/2008/PA.JT telah diputus pada tanggal 07 April 2009 di Pengadilan Agama Jakarta Timur. Dalam persidangan disebutkan Penggugat adalah: 1. Hj. Sofiah binti H. Sarmada, umur 58 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Jl. Raya Bekasi KM.18 No.60 RT.009 RW.011,
80
Sudikno Martokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Press, 1985), h. 34
63
kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, sebagai Penggugat I. 2. H. M. Sofyan bin H. Sarmada, umur 51 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, bertempat tinggal di Kampung Tarate No.60 RT.009 RW.011, kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, sebagai Penggugat II 3. Sarmanih binti H. Sarmada, umur 47 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Kampung Tarate No.60 RT.009 RW.011, kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, sebagai Penggugat III 4. Hj. Suryati binti H. Sarmada, umur 46 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Dukuh Zamrud blok Tg. No.8 RT.008 RW.011, kelurahan Ciminung, kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi, sebagai Penggugat IV 5. Hj. Suryanah binti H. Sarmada, umur 46 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Kampung Terate RT.009 RW.011, kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, sebagai Penggugat V 6. H. Ahmad Fauzi bin H. Sarmada, umur 37 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, bertempat tinggal di Kampung Terate No.60 RT.009 RW.011, kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, sebagai Penggugat VI Sedangkan Tergugat adalah Hj. Sofinah binti H. Sarmada, umur 55 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Jl. Raya Bekasi
64
KM.18 No.60 RT.009 RW.011, kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur sebagai Tergugat. Penggugat dan Tergugat adalah ahli waris dari almarhum H. Sarmada yang meninggal dunia pada tanggal 11 Juli 2003 dan Hj. Hafsah yang meninggal dunia pada tanggal 6 September 1995. Penggugat berdasarkan Surat gugatannya mengemukakan hal-hal sebagai berikut: 1. Bahwa para Penggugat dan Tergugat adalah ahli waris dari pasangan suami istrri
almarhum H. Sarmada yang telah meninggal dunia pada tanggal 11 juli 2003 (bukti P1) dan Hj. Hapsah yang meninggal pada 6 September 1995 (bukti P2) untuk selanjutnya disebut Pewaris. 2. Bahwa dari hasil pernikahan yang berlangsung pada tahun 1942 pasangan suami
istri almarhum H. Sarmada dan Hj. Hapsah telah dikaruniai 13 orang anak yang terdiri dari: 1) Muhammad Oding lahir di Cikarang Bekasi pada tahun 1948 yang telah meninggal pada tahun 1953 (bukti P3) 2) Tarsinah lahir di Cikarang Bekasi pada tahun 1950 ysng telah meninggal dunia pada tahun 1953 (bukti P4) 3) Hj. Sofiah lahir di Jakarata pada tahun 1952 (Pengugat I) 4) Hj. Sofinah lahir di Jakarta pada tahun 1954 (Tergugat) 5) M. Sofyan lahir di Jakarta pada tahun 1957 (Pengugat 2)
65
6) Papay saparudin lahir di Jakarta pada tahun 1959 yang telah meninggal dunia pada tahun 1964 (bukti P5) 7) Sarmanih lahir di Jakarta pada tahun 1961 (Pengugat 3) 8) Hj. Suryati lahir di Jakarta pada tahun 1962 (Pengugat 4) 9) Hj. Suryanah lahir di Jakarta pada tahun 1963 (Pengugat 5) 10) Cecep Suryadi lahir di Jakarta pada tahun 1964 yang telah meninggal dunia pada tahun 1974 (bukti P4) 11) Siti Hawa lahir di Jakarta pada tahun 1965 yang telah meninggal dunia sejak lahir pada tahun 1965(bukti P6) 12) Suryatman lahir di Jakarta pada tahun 1968 mengalami gangguan syaraf sejak umur 5 (Lima) tahun (bukti P7) 13) Ahmada Fauzi lahir di Jakarta pada tahun 1971 (Pengugat 6) 3. Bahwa diantara 13 orang anak tersebut diatas terdapat salah satu ahli waris yang
bernama Suryatman bin H. Sarmada yang berada dalam pengampuan dan dari awal telah berada dan diasuh dibawah pengampunya yaitu Penggugat 4 (bukti P8) 4. Bahwa dari hasil pernikahan pewaris tersebut diatas telah meninggalkan harta
peninggalan berupa 1) Tanah hak milik dengan luas 6.930 m2 yang terletak dan dikenal di Jl. Raya Bekasi KM. 18, RT/RW 009/011 No. 60 Jatinegara, Cakung Jakarta Timur 13930 (bukti P9), dengan batas-batas berikut: Sebelah utara Kali atau Sungai, sebelah selatan PT.Jaya Sungai, sebelah timur dahulu dikenal sebagai Pabrik Minyak Sayur Bimoli, sebelah barat Jalan Raya Bekasi 66
2) Sebuah bangunan Setasiun Pengisi Bahan Bakar Untuk Umum (SPBU) dengan luas 2.695 m2 yang berdiri diatas tanah hak milik Pewaris yang terletak dan dikenal di Jalan Raya Bekasi KM. 18 Rt/Rw 009/011 No.60 Jatinegara, Cakung – Jakarta Timur 13930 (Bukti P-10), dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah utara Kali atau Sungai, sebelah selatan PT Jaya Motor, sebelah timur tanah milik alm. H.Sarmada, sebelah barat Jalan Raya Bekasi 3) Tanah hak milik dengan luas 1.142 m2 yang terletak dan dikenal di RT/RW 002/001 Duren Sawit, Jakarta Timur (Bukti P-11), dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah utara Kuburan, sebelah selatan Jl.Maki, sebelah timur Kuburan, sebelah barat milik Suyadi 4) Bahwa seluruh harta peninggalan di atas belum dibagikan kepada seluruh ahli waris berdasarkan Hukum Waris Islam dan terhadap harta peninggalan berupa sebuah bangunan Setasiun Pengisi Bahan Bakar Minyak (SPBU) yang berdiri diatas tanah hak milik Pewaris yang terletak di Jl. Raya Bekasi KM.18 (vide Bukti P-10) masih dikuasai oleh Tergugat sejak Pewaris meninggal dunia tahun 2003 sampai sekarang; 5) Bahwa dengan dikuasainya secara sepihak harta peninggalan a quo oleh Tergugat mengakibatkan pembagian hasil dan penjualan usaha SPBU kepada para Penggugat dilakukan dengan sewenang-wenang jauh dari rasa keadilan selaku ahli waris yang juga berhak memperoleh bagian hasil dan obyek yang sama; 67
6) Bahwa terhadap harta peninggalan berupa tanah hak milik Pewaris dengan luas 1.142 m2 yang terletak di Rt/Rw : 002/001 Duren Sawit, Jakarta Timur (vide Bukti P-11) telah dijual oleh Tergugat sebesar Rp.800.000.000,(Delapan ratus juta rupiah) dan baru Rp.400.000.000,- (Empat ratus juta rupiah) yang telah dibagikan kepada seluruh ahli waris sesuai hak-haknya menurut Hukum Waris Islam; Dalam persidangan, para Penggugat mengajukan provisi yang isinya bahwa Penggugat memohon sita jaminan atas harta yang menjadi objek sengketa (yang telah disebut diatas) dan atas harta kepemilikan Tergugat yang merupakan harta bersama milik Tergugat dengan suaminya yaitu berupa: Barang-barang bergerak berupa 1 (satu) unit mobil merk Mitsubishi Grandis, Toyota Vios, Toyota Avanza dan Nissan Estrada ataupun barang bergerak lainnya yang berharga, barang-barang tidak bergerak yang merupakan harta bersama milik Tergugat dan suaminya berupa sebuah bangunan rumah yang terletak dan di kenal di Jl.Raya Bekasi KM 18, RT/RW: 009/011, No.60 Jati Negara-Cakung, Jakarta Timur 13930. Selanjutnya dalam isi jawaban yang diajukan oleh Tergugat, dia menolak dengan tegas seluruh dalil-dalil yang diajukan Penggugat dalam gugatannya, kecuali yang dapat diakui dengan tegas oleh Tergugat. Point-point gugatan Penggugat yang ditolak Tergugat adalah: 1. Menolak dengan tegas bhwa SPBU dikuasai oleh Tergugat karena pengelolaan SPBU dilakukan secara bersama-sama dan hasilnya pun dinikmati bersama-sama (dibagikan kepada ahli waris). 68
2. Tergugat menolak dengan tegas atas dalil Penggugat yang menyatakan bahwa Tergugat telah menjual salah satu harta peninggalan berupa tanah dengan luas 1.142 m2 seharga Rp.800.000.000,- (Delapan ratus juta rupiah) dan separuh dari hasil penjualan tanah tersebut belum dibagikan kepada ahli waris. 3. Tergugat sangat membantah isi gugatan yang terdapat dalam provisi yaitu mengenai sita jaminan atas harta bersama milik Tergugat dengan suaminya. 4. Tergugat menyatakan bahwa dirinya tidak pernah keberatan jika SPBU dijual secara bersama-sama. Dalam hal ini, majelis hakim menimbang untuk mengabulkan sebagian isi dari gugatan Penggugat, antara lain: 1. Menangguhkan gugatan dalam provisi (tidak diterima) karena dalam peletakan sita perlu bukti permulaan adanya kekhawatiran akan pengalihan hak seperti yang dimaksud dalam pasal 227 HIR. Selain itu atas harta pihak ketiga, sesuai hukum yang berlaku tidak dapat dilakukan sita. Hal ini sesuai dengan pasal 197 ayat 8 HIR. 2. Menetapkan ahli waris berdasarkan pengakuan Tergugat dan dari keterangan saksi-saksi yang saling bersesuaian sebanyak 8 orang. 3. Menyatakan tidak diterima terhadap permohonan Penggugat untuk menetapkan pengampu atas Suryatman bin H. Sarmada yang selama ini dibawah pengampuan H. Suryati binti H. Sarmada karena menurut Pasal 86 ayat 1 Undang-undang No.7 Tahun 1989 yang telah diubah menjadi Undang-undang No.3 Tahun 2006,
69
pengampuan atau perwalian tidak bisa dikomulasi. Hal ini sesuai dengan pasal 229 HIR. 4. Menetapkan harta yang menjadi objek sengketa yang telah disepakati sebelumnya. 5. Menghukum Tergugat untuk membayar sisa dari hasil penjualan tanah yang belum dibagikan kepada ahli waris sebesar Rp.400.000.000,- (Empat ratus juta rupiah). Hal ini berdasarkan atas pengakuan Tergugat yang merupakan bukti sempurna dan mengikat. 6. Membagikan dan menetapkan besar bagian mesing-masing ahli waris dari harta peninggalan yang merupakan objek sengketa menurut Hukum Faraidh Islam. Berdasarkan firman Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 11 dan pasal 176 KHI, maka besar bagian yang diperoleh oleh anak laki-laki adalah 2:1 dengan anak perempuan. Sehingga majelis hakim menetapkan bagian dengan asal masalah 11 bagian. 1) Hj. Sofiah binti H. Sarmada
: 1/11 bagian
2) Hj. Sofinah binti H. Sarmada
: 1/11 bagian
3) M. Sofyan bin H. Sarmada
: 2/11 bagian
4) Sarmanih binti H. Sarmada
: 1/11 bagian
5) Hj. Suryati binti H. Sarmada
: 1/11 bagian
6) Hj. Suryanah binti H. Sarmada
: 1/11 bagian
7) Suryatman bin H. Sarmada
: 2/11 bagian
8) Ahmada Fauzi bin H. Sarmada
: 2/11 bagian 70
2. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor 50/Pdt.G/2009/PTA.JK Perkara dengan Nomor 50/Pdt.G/2009/PTA.JK telah diputus pada tanggal 05 Agustus 2009 di Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dan telah berkekuatan hukum tetap. Dalam persidangan majelis tingkat banding dengan perkara Nomor 50/Pdt.G/2009/PTA.JK disebutakan Hj. Sofinah binti H. Sarmada, umur 55 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Jl. Raya Bekasi KM.18 No.60 RT.009 RW.011, kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur dahulu sebagai Tergugat sekarang Pembanding. Sedangkan Terbandingnya adalah yang dahulu sebagai penggugat antara lain: 1. Hj. Sofiah binti H. Sarmada, umur 58 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Jl. Raya Bekasi KM.18 No.60 RT.009 RW.011, kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, dahulu sebagai Penggugat I sekarang Terbanding I. 2. H. M. Sofyan bin H. Sarmada, umur 51 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, bertempat tinggal di Kampung Tarate No.60 RT.009 RW.011, kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, dahulu sebagai Penggugat II sekarang Terbanding II. 3. Sarmanih binti H. Sarmada, umur 47 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Kampung Tarate No.60 RT.009 RW.011, kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, dahulu sebagai Penggugat III sekarang Terbanding III. 71
4. Hj. Suryati binti H. Sarmada, umur 46 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Dukuh Zamrud blok Tg. No.8 RT.008 RW.011, kelurahan Ciminung, kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi, dahulu sebagai Penggugat IV sekarang Terbanding IV. 5. Hj. Suryanah binti H. Sarmada, umur 46 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Kampung Terate RT.009 RW.011, kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, dahulu sebagai Penggugat V sekarang Terbanding V. 6. H. Ahmad Fauzi bin H. Sarmada, umur 37 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, bertempat tinggal di Kampung Terate No.60 RT.009 RW.011, kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, dahulu sebagai Penggugat VI sekarang Terbanding VI. 7. Suryatman bin H. Sarmada, umur 41 tahun, agama Islam, pekerjaan tidak bekerja, bertempat tinggal di Dukuh Zamrud blok Tg. No.8 RT.008 RW.011, kelurahan Jatinegara, kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur, dahulu sebagai Penggugat VII yang dalam hal ini diwakili dan di bawah pengampuan saudara perempuan kandungnya Hj. Suryati binti H. Sarmada sekarang Terbanding VII Pembanding dan Terbanding adalah ahli waris dari almarhum H. Sarmada yang meninggal dunia pada tanggal 11 Juli 2003 dan Hj. Hafsah yang meninggal dunia pada tanggal 6 September 1995.
72
Dalam keterangan yang diperoleh dari putusan Pengadilan, Pewaris meninggalkan harta warisan yang menjadi objek sengketa yang telah disebutkan pada putusan sebelumnya. Pada putusan terdahulu yaitu putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur telah ditetapkan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, maka pada hari selasa tanggal 7 April 2009 Pembanding (Tergugat) telah mengajukan permohonan banding. Akan tetapi dalam surat keterangan yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Jakarta Timur bertanggal 26 Mei 2009 menerangkan bahwa Pembanding tidak megajukan memori bandingnya, maka Pengadilan Tinggi Agama tidak mengetahui apa yang menjadi keberatan dari Pembanding. Meskipun demikian, permohonan banding tersebut harus tetap dperiksa ulang dan dinyatakan diterima pada tinggkat banding karena permohonan bandingnya telah diajukan dalam tenggang waktu yang tepat dan sesuai dengan cara-cara yang ditentukan dalam Undang-undang. Dengan mengacu pada putusan terdahulu hakim Pengadilan Tinggi Agama menimbang bahwa mengenai petitum Penggugat yang memohon agar Pengadilan meletakan sita jaminan atas barang-barang yang menjadi obyek sengketa dan beberapa barang milik Tergugat, telah diperiksa dan dipertimbangkan serta diputus dengan benar oleh hakim pertama dengan tidak menerima gugatan provisi Penggugat karena obyeknya adalah sama dengan pokok perkara atau obyeknya adalah milik pribadi Penggugat, maka putusan hakim pertama dapat diambil alih menjadi pertimbangan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama.
73
Kemudian mengenai penetapan seluruh anak-anak pewaris menjadi ahli waris ternyata telah diperiksa dan diputus dengan benar oleh hakim pertama. Hal tersebut bersdasarkan ketentuan pasal 174 KHI, maka putusan hakim pertama dapat diambil alih menjadi pertimbangan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama. Berdasarkan bukti P-8 maka hakim banding mengabulkan permohonan Penggugat dalam petitumnya mengenai Suryatman bin H. Sarmada berada dalam pengampuan dan dibawah pengampuan Hj. Suryati binti H. Sarmada dan memohon agar bagian harta peninggalan yang menjadi hak Suryatman berada dan dikuasai serta diamanatkan kepada pengampunya untuk kepentingan Suryatman. Oleh karena itu dalam hal ini hakim banding tidak sependapat dengan hakim pertama yang tidak mengabulkan permohonan tersebut, maka putusan hakim pertama harus dibatalkan Selanjutnya mengenai obyek sengketa yang telah disepakati sebelumnya oleh para pihak telah diperiksa dan dipertimbangkan serta diputus dengan benar oleh hakim pertama, maka putusan hakim pertama dapat diambil alih menjadi pertimbangan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama. Hal yang paling menarik dalam putusan Pengadilan Tinggi Agama mengenai perkara ini adalah hakim tidak memutus pembagian harta waris dengan menggunakan bagian 2:1 (baca: dua banding satu) melainkan dibagi sama rata antara ahli waris lakilaki dan perempuan. Padahal ketika menerima putusan hakim pertama pihak ahli waris tidak ada yang merasa keberatan dengan putusan tersebut bahkan dalam permohonan bandingnya pun tidak diketahui apa yang menjadi keberatan Pembanding. Besar bagian ahli waris sebagai berikut: 74
1. Hj. Sofiah binti H. Sarmada
: 1/8 bagian
2. Hj. Sofinah binti H. Sarmada
: 1/8 bagian
3. M. Sofyan bin H. Sarmada
: 1/8 bagian
4. Sarmanih binti H. Sarmada
: 1/8 bagian
5. Hj. Suryati binti H. Sarmada
: 1/8 bagian
6. Hj. Suryanah binti H. Sarmada
: 1/8 bagian
7. Suryatman bin H. Sarmada
: 1/8 bagian
8. Ahmada Fauzi bin H. Sarmada
: 1/8 bagian
Mengenai besarnya bagian masing-masing ahli waris, hakim tingkat banding memberikan pertimbangan sebagai berikut: 1. Bahwa pewarisan merupakan proses perpindahan harta waris Pewaris kepada ahli waris setelah meninggalnya Pewaris berdasarkan hukum waris. 2. Bahwa pewarisan pada hakikatnya merupakan pelanjutan pelaksanaan hak dan tanggung jawab antara Pewaris dengan ahli waris ketika sama-sama masih hidup yang terus berlanjut setelah Pewaris meninggal dunia, yang dilanjutakan dalam bentuk pembagian harta warisan. 3. Bahwa oleh sebab derajat dan kewajiban ahli waris anak perempuan terhadap Pewaris adalah sama derajat dengan kewajiban ahli waris anak laki-laki, maka bagian warisan anak perempuan pun sudah seharusnya sama dengan bagian anak laki-laki. 4. Bahwa ketentuan dalam surat an-Nisa ayat 11 yang telah ditransformasi kedalam pasal 176 KHI, maka pengamalannya tidak bersifat mutlak 2:1 melainkan 75
5. Bahwa illat hukum ahli waris anak laki-laki diberikan 2:1 atas bagian anak perempuan adalah karena dahulu ahli waris anak laki-laki diebani tanggung jawab memberikan nafkah dan biaya penghidupan atas ahli waris anak perempuan. 6. Bahwa dalam hukum keluarga di Indonesia tidak ada ketentuan hukum yang mewajibkan ahli waris laki-laki menanggung biaya penghidupan bagi ahli waris anak perempuan sehingga tidak ada alasan lagi untuk memberikan bagian yang lebih besar kepada ahli waris anak laki-laki dari pada ahli waris anak perempuan. 7. Bahwa ketentuan kebutuhan penghidupan anak perempuan pada hakikatnya adalah sama besar dengan kebutuhan penghidupan ahli waris anak laki-laki. 8. Bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan untuk bertindak adil terhadap anak-anak tanpa membedakan jenis kelaminnya, demikian tentunya dalam memberikan hak warisan, nabi muhammad SAW bersabda: Bertindak adil terhadap anak-anakmu sekalian. 9. Bahwa dalam kenyataannya pada saat ini struktur keluarga muslim di Indonesia pada umumnya bersifat bilateral (parental) sebagaimana dirumuskan dalam pasal 45 dan 46 Undang-undang perkawinan sehingga tidak lagi membeda-bedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam hak dan kewajiban dalam keluarga, demikian pula tentunya dalam hak dan kewajiban anak terhadap orang
76
tuanya ketika orang tuanya masih hidup dalam kewarisan ketika orang tuanya meninggal dunia. 10. Bahwa ketentuan dalam al-Quran surat an-Nisa ayat 11 yang telah ditransformasi kedalam pasal 176 KHI yang memberikan bagian seorang anak laki-laki seperti bagian dua orang anak perempuan (2:1) tidaklah bersifat absolut manakala keadilan menghendaki lain. 11. Bahwa penentuan porsi anak laki-laki 2:1 dengan anak perempuan pada hakikatnya merupakan batas minimal yang harus diberikan dan diterima oleh anak perempuan berdasarkan prinsip keadilan. 12. Bahwa menegakkan keadilan yang diperintahkan dalam al-Quran merupakan hukum dasar (hukum ushuliyah) yang bersifat absolut sedang porsi pembagian warisan anak laki-laki 2:1 dengan anak perempuan merupakan hukum terapan (hukum furuiyah) sebagai cabangnya yang bersifat reatif karena bergantung pada illatnya yaitu keadilan. Oleh sebab itu manakala hukum furuiyah tidak sesuai dengan ushuliyah maka penerapan hukum furuiyah dapat saja berubah demi terwujudnya keadilan yang merupakan hukum ushuliyah. 13. Bahwa oleh sebab yang absolut dalam al-Quran adalah menegakkan keadilan, maka penerapan bagian anak laki-laki 2:1 dengan anak perempuan dilakukan manakala keadilan menghendaki demikian dan dapat saja dilakukan pembagian yang sama antara anak laki-laki dengan anak perempuan (1:1) manakala keadilan menghendaki demikian.
77
14. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dan demi menegakkan keadilan yang diperintahkan dalam al-Quran maka harta waris almarhum pewaris dapat dibagi sama besar baik kepada ahli waris anak laki-laki maupun anak perempuan. Jika dilihat dari pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas maka dalam hal ini hakim pada Pengadilan tingkat banding tidak sependapat dengan hakim pertama, maka putusan hakim pertama harus dibatalkan. Khusus mengenai besarnya bagian masing-masing ahli waris yang disamakan besarnya antara anak laki-laki dengan anak perempuan, maka salah satu hakim anggota majelis yang bernama Dra. Hj. Durrah Baraja, S.H., M. Hum. Menyatakan tidak sependapat dengan pendapat dua anggota mejelis lainnya. Hal-hal yang menjadi keberatan beliau terlampir. Dengan demikian, dalam musyawarah majelis untuk perkara kewarisan ini telah terjadi ketidaksepakatan pendapat antara tiga orang hakim. Ketidaksepakatan tersebut menimbulkan dua pendapat yang berbeda yaitu yang menghendaki besar bagian anak laki-laki sama besar dengan bagian anak prempuan dan pendapat yang tetap mempertahankan pembagian waris dengan porsi 2:1. Oleh karena putusan akhir merupakan hasil dari pendapat yang terbanyak dari tiga anggota majelis tersebut, maka pendapat yang pertamalah yang diambil yakni besar bagian anak laki-laki sama besar dengan bagian anak prempuan. Putusan seperti ini sering disebut dengan istilah desinting opinion.
78
Kemudian, berdasarkan ketentuan pasala 181 ayat 1 HIR, oleh sebab dalam perkara pembagian waris tidak ada pihak yang kalah maupun yang menang karena masing-masing ahli waris mendapat bagiannya sendiri-sendiri dalam menurut hukum Islam, maka biaya perkara pada tingkat pertama dibebankan kepada Penggugat dan Tergugat, sedang biaya perkara pada tingkat banding dibebankan kepada Pembanding dan Terbanding secara tanggung renteng. C. Telaah Kritis Terhadap Perkara Pembagian Harta Waris Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta 1. Persamaan dan Perbedaan Putusan Pengadilan Agama (PA) Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Jakarta a. Persamaan dan Tentang Hukumnya No. 1 2
3
4
5
PA Jakarta Timur Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian Menyatakan gugatan provisi para Penggugat tidak diterima.
PTA Jakarta Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian. Menyatakan gugatan provisi para Penggugat tidak diterima.
Menyatakan alm. H. Sarmada dan Hj. Hafsah sebagai Pewaris. Menetapkan ahli waris H. Sarmada dan Hj. Hafsah yaitu kedelapan anaknya.
Menyatakan almarhum H. Sarmada dan Hj. Hafsah sebagai Pewaris. Menetapkan ahli waris H. Sarmada dan Hj. Hafsah yaitu kedelapan anaknya.
Menetapkan harta peninggalan H. Sarmada dan Hj.Hafsah yang menjadi obyek sengketa.
Menetapkan harta peninggalan H. Sarmada dan Hj.Hafsah yang smenjadi obyek sengketa. 79
Tentang Hukumnya Karena gugatan Penggugat dalam provisi tidak diterima. Sita jaminan atas harta pihak ketiga tidak dapat dilakukan sita (Pasal 197 ayat 8 HIR dan dwangsomnya tidak dimuat dalam posita sehingga menjadi cacat formal. Berdasarkan bukti (P.1, P.6) dan pengakuan Tergugat serta keterangan saksi. Berdasarkan pengakuan Tergugat serta keterangan saksi-saksi yang saling bersesuaian. Berdasarkan bukti (T.1) yang telah dicocokkan dengan aslinya dan bermaterai cukup, telah memenuhi syarat formal
6
Menghukum Tergugat atau siapa saja yang menguasai obyek sengketa yang tersebut diatas untuk menyerahkan bagian para ahli waris lainnya. Apabila tidak dapat dibagi secara natural, maka dilelang atau dijual dan hasilnya dibagi untuk semua ahli waris.
dan material serta berdasarkan pengakuan Tergugat dan keterangan saksi-saksi yang saling bersesuaian. Menghukum Tergugat atau Berdasarkan kesepakatan siapa saja yang menguasai kedua belah pihak dan obyek sengketa yang tersebut pertimbangan-pertimbangan diatas untuk menyerahkan lainnya yang dilakukan bagian para ahli waris hakim. lainnya. Apabila tidak dapat dibagi secara natural, maka dilelang atau dijual dan hasilnya dibagi untuk semua ahli waris.
b. Perbedaan dan Tentang Hukumnya No. 1
PA Jakarta Timur Menetapkan bagian ahli waris dengan asal masalah 11 yaitu untuk ahli waris laki-laki 2/11 dan untuk ahli waris perempuan 1/11.
Tentang Hukumnya Berdasarkan Firman Allah SWT Surat anNisa ayat 11.
PTA Jakarta Menetapkan bagian ahli waris dengan asal masalah 8 yaitu untuk ahli waris lakilaki 1/8 dan untuk ahli waris perempuan 1/8.
80
Tentang Hukumnya -Ketentuan surat an-Nisa ayat 11 tidak bersifat mutlak 2:1 melainkan berdasarkan asas keadilan sebagai illat hukum karena ketentuan ayat dimaksud dengan kata mitslu berarti relatif. -Bahwa illat hukum ahli waris anak laki-laki atas bagian anak perempuan merupakan budaya bangsa Arab. Keluarga muslim Indonesia umumnya bersifat bilateral hal ini dirumuskan dalam Pasal 45 dan 46 UU Perkawinan, maka tidak ada lagi membeda-
bedakan antara anak lakilaki dan perempuan. 81 2
Menolak permohonan Penggugat untuk menetapkan ahli waris yang bernama Suryatman bin H. Sarmada berada dalam pengampuan Hj. Suryati binti H. Sarmada.
3
Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.1.656.000,(Satu juta enam ratus lima puluh enam ribu rupiah)
Pengampuan atau perwalian merupakan perkara tersendiri dan tidak bisa dikomulasi, karena diluar yang diatur dalam Pasal 86 ayat (1) UU No.7 Th 1989 yang telah diubah dengan UU No.3 Th 2006, maka sesuai Pasal 229 HIR penetapan pengampu harus diajukan perkara sendiri. Berdasarkan Pasal 160 HIR biaya yang timbul dibebankan kepada Tergugat.
Mengabulkan Permohonan Terbanding yang dulunya Penggugat untuk menetapkan ahli waris yang bernama Suryatman bin H. Sarmada berada dalam pengampuan Hj. Suryati binti H. Sarmada dan bagian harta peninggalan yang menjadi hak Suryatman berada dan dikuasai serta diamanatkan kepada pengampunya.
Berdasarkan Bukti (P.8) Bahwa Suryatman Menderita Sakit Sehingga Tidak Cakap Melakukan Perbuatan Hukum, Dan Selama Ini Secara De Facto Telah Berada Dibawah Pengampuan Hj. Suryati Serta Tidak Ada Keberatan Dari Ahli Waris Yang Lain, Maka Demi kemaslahatan Suryatman permohonan dikabulkan.
Menghukum seluruh ahli waris untuk membayar biaya perkara pada tingkat pertama dibebankan kepada Penggugat dan Tergugat sebesar Rp. 1.656.000,(Satu juta enam ratus lima puluh enam ribu rupiah) sedang biaya perkara pada tingkat banding dibebankan kepada Pembanding dan Terbanding secara tanggung renteng sebesar Rp. 100.000,- (Seratus ribu rupiah).
Berdasarkan ketentuan Pasal 181 ayat (1) HIR, oleh sebab dalam perkara pembagian waris tidak ada pihak yang kalah dan yang menang karena masing-masing ahli waris mendapat bagiannya sendiri-sendiri, maka biaya perkara dari tingkat pertama sampai banding dibebankan kepada kedua belah pihak secara tanggung renteng.
81
Lihat pada halaman sebelumnya mengenai Analisis dan Pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. h. 83-84
81
Setelah melihat table di atas dan membaca dua macam putusan Pengadilan yang telah diuraikan sebelumnya, serta mengetahui letak persamaan dan perbedaan dari kedua putusan itu, ada beberapa hal yang menggugah hati penulis untuk menganalisa dan memberikan telaah kritis terhasdap putusan tersebut. Dalam menganalisa putusan perkara diatas, ada 3 (tiga) hal yang menjadi catatan besar. Pertama, mengenai ketidakjelasan apa yang menjadi keberatan Pembanding yang dulu sebagai Tergugat terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur, karena pembanding tidak mencantumkan memori banding. Kedua, mengenai pertimbangan hakim tingkat pertama yang menolak permohonan Penggugat untuk menetapkam Pengampu bagi Suryatman. Ketiga, mengenai pertimbangan hakim dalam memutuskan besar bagian masing-masing ahli waris dengan porsi sama besar. Pertama, penulis berpendapat bahwa titik masalah dari gugatan yang diajukan oleh Penggugat harus dipahami secara keseluruhan. Sebenarnya awal masalah sengketa harta waris ini adalah sebagai berikut: 1. Terjadinya keterlambatan dalam pembagian harta warisan. 2. Munculnya kecurigaan telah terjadi penguasaan secara sepihak atas harta warisan yang dilakukan oleh Tergugat. Dari kedua faktor diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mencegah hal itu terjadi Penggugat mengajukan gugatan kepada Pengadilan supaya harta peninggalan tersebut bisa cepat dibagikan. Hal ini sesuai dengan pasal 188 KHI yang menyatakan bahwa: “Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat 82
mengajukan permintaan kepada ahli waris lainnya untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan”. Keterlambatan pembagian harta warisan ini yang kemudian memicu banyak masalah seperti yang dicantumkan dalam posita Penggugat. Selain terjadi kesimpangsiuran kepemilikan atas harta, sisa penjualan rumah yang belum dibagikan, juga mungkin timbul masalah mengenai hasil dari harta produktif yang akan dibagi selama jarak waktu sebelum harta peninggalan dibagi. Misalnya hasil dari SPBU milik Pewaris yang sekarang dikelola oleh Tergugat. Untuk menghindari banyak permasalahan itulah, maka dalam hukum Islam mengajarkan agar warisan harus segera diselesaikan bilamana Pewaris jelas sudah wafat. Bahkan dalam referensireferensi fikih klasik dikemukakan bahwa harta warisan sudah mulai berpindah hak penguasaannya, meskipun belum sepenuhnya, semenjak Pewaris dalam keadaan sakit keras yang membawa kematian. Sebagaimana Nabi SAW bersabda:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﻮﺳﻰ ﺑﻦ إﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﺣﺪﺛﻨﺎ وهﻴﺐ ﺣﺪﺛﻨﺎ اﺑﻦ ﻃﺎوس ﻋﻦ أﺑﻴﻪ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻢ …. 82 ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻗﺎل أﻟﺤﻘﻮا اﻟﻔﺮاﺋﺾ ﺑﺄهﻠﻬﺎ: Artinya: “Berikanlah harta waris kepada orang-orang yang berhak….” (HR. Bukhari dan Muslim)
- اﻟﻴﻤﺎﻣﺔ، )دار اﺑﻦ آﺜﻴﺮ، ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺒﺨﺎري; اﻟﺠﺎﻣﻊ اﻟﺼﺤﻴﺢ اﻟﻤﺨﺘﺼﺮ، ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ إﺳﻤﺎﻋﻴﻞ أﺑﻮ ﻋﺒﺪاﷲ اﻟﺒﺨﺎري اﻟﺠﻌﻔﻲ82 2483 .‚ ص 6: ( ‚ ﻋﺪد اﻷﺟﺰاء1987 – 1407 :ﺑﻴﺮوت
83
Kata al-Haqqu yang berarti berikanlah adalah fi’il amar yaitu kata perintah. Kata tersebut mengandung makna perintah untuk menyegerakan pembagian harta peninggalan. Penyegeraan pembagian ini bertujuan untuk menghindari munculnya permasalahan dikemudian hari. Jadi inti dari isi gugatan yang diajukan Penggugat adalah penyegeraan pembagian harta warisan bukan mempersoalkan diputus dengan porsi 2:1 (baca: dua banding satu) atau 1:1 (satu banding satu). Dengan demikian penuils sependapat dengan keberatan yang dikemukakan oleh Dra. Hj. Durrah Baraja, S.H., M. Hum. Salah satu anggota majelis di Pengadilan tingkat banding. Kedua, mengenai permohonan pengampuan yang tidak diterima oleh hakim tingkat pertama. Untuk hal ini penulis berpendapat lain. Dasar hukum yang digunakan sebagai dalil oleh hakim dalam menolak permohonan pengampuan yaitu pasal 86 ayat 1 Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diubah menjadi Undang-undang No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Penulis berasumsi bahwa penggunaan pasal tersebut keliru karena dalam pasal itu disebutkan : (1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum. Jadi menurut penulis, untuk masalah pengampuan ini terdapat dua pilihan. Peratama, dapat dikomulasi dengan gugatan yang lain. Kedua, dapat diajukan perkara sendiri.
84
Terlebih lagi kasus ini adalah mengenai perkara waris yang pembagiannya harus disegerakan. Suryatman bin H. Sarmada adalah salah satu pewaris dari almarhum H. Sarmada dan Hj. Hapsah. Dengan demikian, sudah pasti Suryatman mendapat bagian dari harta peninggalan almarhum. Berdasarkan bukti P-8 disebutkan, Suryatman bin H. Sarmada tidak cakap melakukan perbuatan hukum akibat gangguan syaraf yang dideritanya sejak kecil, sehingga kepadanya harus ditetapkan perwalian yang nantinya memegang amanat atas bagian harta peninggalan yang menjadi hak Suryatman bin H. Sarmada tanpa mengabaikan kebutuhan yang wajar dari pemilik harta yang tidak cakap dalam mengelola harta itu. Dalam hal perwalian ini Allah SWT berfirman dalam Surat an-Nisa (4) ayat 5: ⌧ ☺
Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, 83 harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”. Oleh karena Suryatman bin H.Sarmada dipandang tidak mampu mengelola hartanya, dan selama ini berada dibawah pengampuan Hj. Suryati binti H. Sarmada, maka seharusnya hakim menerima permohonan tersebut dan menetapkan Hj. Suryati binti H. Sarmada sebagai pengampu atas Suryatman bin H. Sarmada sebagaimana
83
Orang yang belum sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum balig atau orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya.
85
yang tertera pada pasal 184 KHI tentang pengangkatan wali. Hal ini telah disepakati pula oleh Penggugat dan Tergugat. Ketiga, mengenai pertimbangan-pertimbangan yang dijadikan dasar hukum oleh hakim tingkat banding dalam menentukan bagian ahli waris laki-laki sama besar dengan bagian perempuan, penulis tidak sependapat, maka hal ini perlu dikritisi. Bila ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh, memang terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan pada kegunaan dan kebutuhan. Dalam tafsir al-Misbah dikatakan bahwa Lidzdzakari mitslu hazhzhil al-untsayain (bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan) mengandung penekanan pada bagian anak perempuan. Karena, dengan dijadikannya bagian anak perempuan sebagai ukuran untuk anak laki-laki, itu berarti sejak semula seakan-akan sebelum ditetapkannya hak anak laki-laki, hak perempuan telah terlebih dahulu ada. Redaksi ini adalah untuk menjelaskan hak perempuan dalam memperoleh hak waris. 84 Dari penjelasan diatas boleh jadi bahwa al-Quran sebenarnya lebih berpihak kepada perempuan yang lemah dari pada laki-laki. Bagaimana tidak, laki-laki membutuhkan istri tetapi dia harus membelanjainya. Wanita juga membutuhkan suami, tapi tidak wajib membelanjainya, bahkan perempuanlah yang harus dipenuhi 84
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Cet. 2, h. 434-435
86
kebutuhannya. Berangkat dari hal ini lah, maka sangat sulit mempersamakan antara laki-laki dan perempuan. Jika merujuk kepada teks keagamaan, baik al-Quran maupun Sunnah, ditemukan tuntunan dan ketentuan hukum yang disesuaikan dengan kodrat, fungsi dan tugas yang dibebankan kepada mereka. 85 Pria dibebankan agama membayar mahar, membelanjai istri dan anak-anaknya sedang perempuan tidak demikian. Jika demikian maka bagian laki-laki yang dua kali lebih banyak dari perempuan sebenarnya ditetapkan Allah SWT untuk dirinya dan istrinya. Seandainya dia tidak wajib menafkahinya, maka setengah dari yang seharusnya dia terima itu dapat mencukupinya. Disisi lain, bagian perempuan yang satu itu, sebenarnya cukup untuk dirinya, sebagaimana kecukupan satu bagian untuk pria bila dia tidak menikah. Apabila perempuan itu menikah, maka keperluan hidupnya ditanggung oleh suami, sedang bagiannya yang satu dapat dia simpan tanpa dibelanjakan. Jadi, siapakah yang habis dan siapa yang utuh bagiannya? Jelas laki-laki karena bagiannya harus dibagi dua, sedang yang dimilki perempuan tidak digunakan sama sekali. Jika demikian maka keberpihakan Allah SWT terhadap perempuan lebih berat dari pada keberpihakan-Nya terhadap laki-laki. Mengenai pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa dalam hukum keluarga tidak ada ketentuan hukum yang mewajibkan ahli waris anak laki-laki menanggung biaya ahli waris perempuan memang betul, akan tetapi menurut 85
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Cet. 2, h. 443
87
pendapat penulis hal tersebut bersifat kasuistik. Bila si ahli waris perempuan sudah menikah dan masih mempunyai suami, berarti pernyataan tersebut benar, karena yang menanggung biaya ahli waris perempuan yaitu suaminya. Tapi bila ahli waris perempuannya janda, tidak memiliki pekerjaan, dan anaknya banyak, maka seharusnya saudara laki-laki sekandungnya yang menanggung biaya hidup janda tersebut beserta anak-anaknya, apabila dia mampu. Kemudian bila ahli waris perempuannya masih belum menikah, tapi juga bukan janda, misalnya dia masih memerlukan biaya untuk sekolah dan sebagainya, maka seharusnya saudara laki-laki sekandungnya yang menanggung biaya hidupnya sampai dia menikah, karena saudara laki-laki sekandungnya merupakan wali bagi si ahli waris perempuan, tetapai memang dalam hukum keluarga Indonesia, jika saudara kandung laki-laki tidak berbuat demikian, saudara perempuannya tidak dapat menuntutnya dimuka Pengadilan. Meskipun demikian, pertimbangan hakim dalam hal ini menurut penulis kurang tepat untuk digunakan sebagai dasar hukum dalam memberikan porsi 1:1 (baca: satu banding satu) terhadap bagian anak laki-laki dan anak perempuan. Kemudian dalam pertimbangannya hakim Pengadilan tingkat banding juga menggunakan pasal 45 dan 46 Undang-undang No.1 tahun 1974 sebagai dasar hukum dalam menentukan besar bagian yang diperoleh ahli waris yakni sama besar, menurut pendapat penulis itu kurang tepat karena kewajiban seorang anak terhadap orang tua semasa hidup adalah berbakti kepadanya dengan cara berbuat baik, wajib menghormatinya. Sebagaimana Allah SWT brfirman dalam al-Quran Surat Lukman (31) ayat 14. 88
⌧ ☺
Artinya:“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (QS. Lukman 31:14) Sedangkan kewajiban seorang anak terhadap orang tuanya ketika dia meninggal dalam KHI pasal 175 disebutkan: 1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah: a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai, b. Menyelesaikan baik utang-utang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang, c. Menyelesaikan wasiat pewaris, membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak, 2) Tanggung jawab ahli waris terhadap utang atau kewajiban ahli waris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya. Penulis berasumsi bahwa kewajiban anak terhadap orang tua ketika orang tuanya meninggal dunia dalam hal kewarisan hanya sebatas menyelesaikan urusan yang belum sempat almarhum selesaikan semasa hidupnya atau memang perkara tersebut hanya bisa diselesaikan setelah Pewaris wafat, bukan menekankan kepada jumlah bagian harta waris yang diperoleh ahli waris. Dalam melaksanakan kewajiban terhadap orang tua porsi beban yang dipikul anak laki-laki sama dengan anak 89
perempuan, tetapi hal tersebut tidak lantas menjadi patokan dalam penerimaan hak mereka sebagai ahli waris karena dengan sendirinya setiap ahli waris sudah mempunyai bagiannya masing-masing. Hal ini sama seperti yang dikemukakan oleh Bapak H. Abdillah, S.H. M.H. menurut beliau, pasal 45 dan 46 tersebut boleh digunakan sebagai dasar hukum, tetapi kurang tepat karena pasal tersebut menjelaskan mengenai kewajiban orang tua terhadap anak dan kewajiban anak terhadap orang tuanya yang memang tidak ada pembedaan antara anak laki-laki dan perempuan. Keduanya harus melaksanakan kewajibannya terhadap orang tua tanpa ada pengecualian. 86 Meskipun demikian, penulis juga tidak melupakan bahwa dalam hukum kewarisan Islam dikenal istilah at-takharuj min at-tarikah yang merupakan kesepakatan dalam usaha mewujudkan perdamaian, hal tersebut termaktub dalam pasal 183 KHI, bahwa: “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya”. Apabila ada dari salah satu ahli waris merasa keberatan atas jumlah yang sudah ditentukan Allah SWT, atau ada ahli waris yang dengan suka rela ingin memberikan separoh dari bagian yang dia dapat kepada ahli waris lainnya, hal tersebut bisa merubah ketentuan, asal ada kesepakatan dan dengan pembuktian yang jelas di muka Pengadilan. Dalam memberikan pertimbangan hukum, seorang hakim harus melihat hukum yang hidup (living law) dalam persidangan, sehingga untuk memutuskan adil atau tidak harus dibuktikan dengan pembuktian yang jelas. Dengan demikian hakim 86
Abdillah, Hakim Pengadilan Jakarta Timur, Wawancara Pribadi, Jakarta, 02 Agustus 2010.
90
dapat mengetahui berapa bagian yang seharusnya didapat oleh si A, B dan C, maka itulah yang dinamakan adil. Jadi, menurut penulis, apabila tidak ada diantara ahli waris yang menyatakan keberatan yang disertai bukti yang jelas, maka hukum asal 2:1 (baca: dua banding satu) harus dilaksanakan, agar kita tidak mendapat siksa dari Allah SWT karena telah merubah apa-apa yang sudah menjadi ketetapan-Nya, seperti yang tercantum dalam al-Quran Surat an-Nisa ayat 14 yang telah dijelaskan sebelumnya. 2. Analisa Perbandingan Antara Putusan Pengadilan Tingkat Pertama Dengan Putusan Pengadilan Tingkat Banding Dikaitkan Dengan Teori Dan Praktek Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam memutus perkara pembagian hak waris anak terdapat dua pendapat yang berbeda mengenai besar bagiannya. Pertama, pendapat yang membagi besar bagian dengan porsi 2:1 (baca: dua banding satu) sesuai dengan ketetapan Allah SWT dalam al-Quran Surat an-Nisa ayat (11) dan Pasal 176 KHI. Kedua, yang membagi bagian dengan besar 1:1 (baca: satu banding satu) berdasarkan kepada penafsiran secara kontekstual terhadap Surat an-Nisa ayat 11 dan asas keadilan yang tidak membedakan hak dan kewajiban anak laki-laki dengan anak perempuan. Masing-masing pendapat tersebut jelas mempunyai alasan-alasan tersendiri. Menurut hakim yang memutus perkara ini pada Pengadilan tingkat banding, besar bagian masing-masing ahli waris 1:1 tidak hanya berdasar pada logika dan filsafat saja melainkan berdasarkan pada penafsiran secara kontekstual terhadap al-Quran Surat an-Nisa (4) ayat 11 dan hal itu sesuai dengan 91
hukum kewarisan yang bersifat bilateral. Oleh karena pewarisan adalah pelanjutan tanggung jawab dari Pewaris terhadap ahli warisnya, yang tidak membedakan faktor kelamin, maka dalam penerimaan haknya pun tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Hak dan kewajiban merupakan hukum taklifi yang dapat berubah sesuai dengan illatnya (kemaslahatan). 87 Apabila ditarik benang merah antara kajian hukum secara teoritis (law in book) dengan kajian hukum dalam tataran praktis (law in action) mengenai permasalahan kewarisan dan pembagiannya, banyak hal yang harus dicatat untuk dapat menjawab rumusan masalah sejauh mana pembagian harta waris 2:1 (baca: dua banding satu) yang terdapat dalam KHI dipergunakan secara mutlak di lingkungan Pengadilan Agama. Dalam Bab terdahulu telah dijelaskan bahwa yang dimaksud hukum kewarisan dalam KHI pasal 171 huruf a yaitu: “Hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapasiapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa besar bagiannya”. Kemudia pasal 176 KHI menyebutkan bahwa “Anak perempuan bila hanya seorang mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan”.
87
Mukti Arto, Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, Wawancara Pribadi, Jakarta, 05 Agustus 2010.
92
Dalam prakteknya di Pengadilan, ketentuan KHI dipergunakan sebagai rujukan bagi hakim dalam mengambil putusan. Dari beberapa putusan yang dijadikan sampel, dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaannya di Pengadilan Agama khususnya di Pengadilan Agama Jakarta Timur, putusan dalam perkara pembagian harta warisan bagi anak laki-laki dan perempuan tidak keluar dari aturan KHI. Namun, bukan berarti putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta menyalahi ketentuan yang seharusnya melainkan hal tersebut didasarkan pada pertimbanganpertimbangan yang telah dilakukan oleh hakim pada tingkat banding. Diantara fasktor yang dapat menggeser aturan hukum yang sudah ada menjadi hukum baru untuk perkara kewarisan ini adalah adanya kesepakatan dan hibah yang dapat diperhitungkan sebagai warisan (pasal 211 KHI). Kemudian Bapak Drs. A. H. Mukti Arto, SH.M.Hum (ketua majelis pada pengadilan tingkat banding) menambahkan selain kedua faktor diatas, aspek-aspek lain yang dapat mengubah hukum adalah illat (alasan) hukum, faktor keadaan, waktu dan tempat. Sebagaimana dalam kaidah fikih dikatan: Al-hukmu yadurru ma’a illati wujudan wa ‘adaman dan Taghayirul ahkami bi taghayuri az-zamani wa makan. Hal ini didukung dari hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jakrta yang menangani perkara tersebut. Apabila ketetapan 2:1 (baca: dua banding satu) dikaitkan dengan dengan konsep keadilan, pembagian tersebut sudah cukup adil menurut hukum, akan tetapi mengingat semakin kompleksnya kasus-kasus pembagian harta waris yang diajukan ke Pengadilan, maka kemungkinan untuk keluar dari ketentuan dalam KHI pasti selalu ada. Dengan demikian diharapkan 93
jalur perdamaian dapat menjadi solusi terbaik dalam pembagian harta warisan meskipun dalam pembagiannya keluar dari KHI. Ketentuan pembagian harta warisan dalam KHI bukan merupakan sesuatu yang tetap, tetapi dijadikan sebagai gambaran umum bagi Hakim dalam mengambil putusan. Sehingga, dalam implementasinya di Pengadilan pembagian harta warisan lebih bersifat fleksibel dan kasuistik, jadi hal itu tidak bersifat mutlak, melainkan tergantung pada pertimbangan Hakim dalam melihat kasus yang terjadi. Hanya saja diharapkan Pengadilan dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan harapan para pihak.
94
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Hukum kewarisan yang terdapat dalam pasal 171 huruf a KHI adalah “Hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa besar bagiannya”. 2. Besar bagian masing-masing ahli waris laki-laki dan perempuan dengan porsi 2:1 (baca: dua banding satu) yang terdapat pada pasal 176 KHI tidak digunakan secara mutlak. Karena, dalam prakteknya di Pengadilan, ketentuan KHI hanya dipergunakan sebagai rujukan bagi hakim dalam mengambil putusan sesuai dengan jalannya persidangan. Sehingga, pembagian harta warisan lebih bersifat fleksibel dan kasuistik. 3. Bila dikaitkan dengan konsep keadilan, pembagian harta waris anak laki-laki dua kali lebih besar dari anak perempuan adalah adil menurut hukum sepanjang tidak ada ahli waris yang keberatan dengan ketentuan tersebut. 4. Konsep keadilan menurut pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan pada kegunaan dan kebutuhan. Karena menurut ketentuan hukum hal tersebut disesuaikan dengan kodrat, fungsi, dan tugas yang dibebankan kepadanya, tetapi antara keduanya harus saling meridhoi. 95
5. Faktor yang dapat menggeser aturan hukum yang sudah ada menjadi suatu aturan hokum baru mengenai kewarisan adalah adanya kesepakatan, hibah yang dapat diperhitungkan sebagai warisan, alasan hukum, waktu dan tempat. 6. Oleh karena bagian dengan porsi 2:1 (baca: dua banding satu) merupakan aturan (rule) yang harus dipatuhi dan sebagai hukum asal dari pembagian harta waris laki-laki dengan perempuan, maka hal tersebut harus lebih dulu dilaksanakan. Kemudian, bila dalam prakteknya ada kesepakatan antar ahli waris, atau ada yang merasa keberatan dengan ketentuan tersebut, maka sebelum diputus dengan ketentuan yang keluar dari aturan yang semestinya, maka harus dibuktikan dengan pembuktian yang jelas. Kesimpulan diatas merupakan jawaban dari rumusan permasalahan yang menjadi latar belakang penulisan skripsi ini. Meskipun dalam prosesnya banyak kendala yang dihadapi, tetapi secara umum penulis merasa cukup puas dengan hasil yang diperoleh, karena permasalahan yang selama ini menjadi pertanyaan bagi penulis telah terjawab dengan penelitian ini. Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan dalam berbentuk skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis, umumnya bagi siapa saja yang ingin mempelajari ilmu, terutama ilmu hukum untuk merubah meneruskan reformasi hukum Islam di negeri ini.
96
B. Saran 1. Diharapkan KHI dapat menjadi sumber hukum yang bersifat imperative bagi Peradilan Agama, sehingga dapat meredam perbedaan pendapat terhadap suatu putusan sesuai dengan tujuan awal dari pembentukan KHI itu sendiri. 2. Hendaknya hakim Pengadilan Agama memiliki interpretasi yang sejalan dalam mengimplementasikan suatu aturan hukum terutama dalam mengenai ketentuan
besar
bagian
masing-masing
ahli
waris,
sehingga
tidak
menimbulkan disparitasnya putusan Pengadilan yang berakibat pada ketidakpastiannya hukum. 3.
Ketentuan mengenai kewarisan dalam KHI ini hendaknya disosialisasikan oleh para praktisi hukum kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat mengetahui akibat hukum dari timbulnya kewarisan.
4. Sebaiknya untuk menyelesaikan perkara kewarisan hendaknya masyarakat menggunakan jalan kekeluargaan terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk membawanya ke Pengadilan, agar silaturahmi antar keluarga tetap terjaga.
97
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Karim Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1992. Abta, Asyhari dan Abd. Syakur, Djunaidi. Ilmu Waris al-Faraidl, Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005. Abu Zahrah, Muhammad. Usul Fikih. Penerjemah Saefullah Ma’sum, dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008. ٢: ﺷﺮآﺔ اﻟﻨﻮر ﺁﺳﻴﺎ ‚ ﻋﺪد اﻷﺟﺰاء،اﻟﺒﺨﺎري.اﻟﺒﺨﺎري ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ إﺳﻤﺎﻋﻴﻞ أﺑﻮ ﻋﺒﺪاﷲ Al-Fikri, Syarudin. “Menengok Riwayat Hukum Waris Dalam Islam”, Arikel diakses pada 08 Agustus 2010 dari http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-Islam/Islamdigest/10/04/19/112001-menengok-riwayat-hukum-waris-dalam-Islam. دار اﺑﻦ، ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺒﺨﺎري; اﻟﺠﺎﻣﻊ اﻟﺼﺤﻴﺢ اﻟﻤﺨﺘﺼﺮ.اﻟﺠﻌﻔﻲ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ إﺳﻤﺎﻋﻴﻞ أﺑﻮ ﻋﺒﺪاﷲ اﻟﺒﺨﺎري 6: ‚ ﻋﺪد اﻷﺟﺰاء1987 – 1407 : ﺑﻴﺮوت- اﻟﻴﻤﺎﻣﺔ، آﺜﻴﺮ Arikunto, Suharsimi. Prosedur Pesnelitian, Jakarta: PT. Rinika Cipta, 1996. Arman, Ayu. “Menyoal Keadilan Hak Waris Perempuan”, artikel diakses pada 08 Agustus 2010 dari http:/mycompilation.blogspot.com/2010/07/menyoalkeadilan-hak-waris-perempuan.html. Arto, Mukti. Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, Solo: Balqis Queen, 2009. Ash-Shiddieqy, Hasbi. Fiqhul Mawaris, Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Asy-Syabuniy, Muhammad Ali. Hukum Waris Islam; al-Mawarits Fi Syar’iyati Islamiyah ‘Ala Dhauil Kitab Wa Sunnah, Surabaya: al-Ikhlas, 1995. Baidlowi. Ketentuan Hak Waris Saudara Dalam Konteks Hukum Islam, Jakarta: Mimbar Hukum, 1999. Bisri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000. Djalil, A. Basiq. Peradilan Islam, 2007. Djalil, A. Basiq. Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Prenadia Group, 2006. 98
Ghazali, Syaikh Muhammad. Tafsir Tematik Dalam al-Quran, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004. Hanan, Maftuh. Mutiara Hadits; Shahih Bukhary. Gresik: CV Bintang Pelajar, 1986 Harahap, Yahya. Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama; Undang-undang No.7-Th 1989, Jakarta: Pustaka Kartini, 1997. Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadits, Jakarta: PT Tinta Mas, 1982. Hejazziey, Djawahir. Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: fakultas Syariah dan Hukum, 2007. Ibrahim, Johny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Bayumedia, 2008. Jumantoro, Totok dan Munir Amin, Samsul. Kamus Ilmu Ushul Fikih,, Jakarta: Sinar Grafika Offset,2005. Komite Fakutas Syariah, Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Jakarta: CV Kuwais Media Kreasindo, 2004. M. Manulang, E. Fernando. Menggapai Hukum Berkeadilan; Tinjauan Hukum Kodrat dan Anatomi Nilai, Jakarta: Kompas, 2007. Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata,. Martokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty Press, 1985. Marwan, M dan P, Jimmy. Kamus Hukum; Dictionary of Law Complete Edition, Surabaya: Reality Publisher, 2009. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2007. Mubarok, Elfindi Nurfitri. Penyelesaian Gugatan Kewarisan Anak Perempuan Dengan Saudara Kandung, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Nasuhi, Hamid. Dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah; Skripsi, Tesis, dan Disertasi, Jakarta: CeQda, 2007. Nurmalia, Eli. Respon Perempuan Terhadap System Pembagian Waris 2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. 99
Oeripkartawinata, Iskandar dan Sutantio, Retno Wulan. Hukum Acara Perdata ; Dalam Teori Dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2005. Quraish Shihab, M. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2002. Ramulyo, Idris. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam: di Pengadilan Agama dan Kewarisan Menurut Undang-undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan Negeri, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya. Rasyid, A. dan Raihan. Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. Rasyid, Chatib dan Syaifudin. Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek Pada Peradilan Agama, Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2009. Salman, Otje. Hukum Waris Islam, Bandung: Rafika aditama, 2002. Syarifudin, Amir. Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana Press, 2004. Thalib, Sayuti. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1993. Tjitrosudibio, R. dan Subekti, R Kitab Undang-undang Hukum Perdata: Burgerlijk Wetboek Dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria Dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Pradnya Paramita, 2007. Wawancara Pribadi dengan Abdillah. Jakarta, 02 Agustus 2010. Wawancara Pribadi dengan Mukti Arto. Jakarta, 05 Agustus 2010.
100