JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 2 Nomor 8 (2013) http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja © Copyright 2013
Status Hukum Tanah Warga Pinggir Sungai Mahakam (Studi di Kelurahan Pulau Atas Kecamatan Sambutan Kota Samarinda) (M. Heru Sutrisno)1 (email) (La Sina)2 (
[email protected]) M. Heru Sutrisno, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman 2013, Status hukum tanah warga pinggir sungai Mahakam (studi di Kelurahan Pulau Atas Kecamatan Sambutan Kota Samarinda). Dibimbing oleh Bapak Dr. Lasina, SH, M.HUM. Selaku Dosen Pembimbing 1 dan Rini Apriyani , S.H, M.H. Selaku Dosen Pembimbing Permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimana status hukum tanah dan tempat tinggal warga di pinggir sungai Mahakam Kelurahan Pulau Atas Kecamatan Sambutan dan Apa kendala yang terkait dengan keberadaan status tanah dan tempat tinggal warga pinggir sungai Mahakam di Kelurahan Pulau Atas Kecamatan Sambutan. Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui dan menganalisa status hukum tanah dan tempat tinggal warga di Pinggaran Sungai Mahakam di Kelurahan Pulau Atas Kecamatan Sambutan dan kendala yang terkait dengan keberadaan status tanah dan tempat tinggal warga pinggiran Sungai Mahakam di Kelurahan Pulau Atas Kecamatan Sambutan. Jenis penelitian ini adalah Penelitian yuridis empiris yaitu suatu metode penelitian yang bertujuan menggambarkan dan menjelaskan data yang diperoleh dari teori-teori maupun dari hasil penelitian di lapangan yang berkaitan dengan Status hukum tanah warga pinggir sungai Mahakam (studi di Kelurahan Pu;au Atas Kecamatan Sambutan Kota Samarinda). Dari penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa tanah yang di miliki warga masyarakat pinggir sungai Mahakam yang berada di wilayah pulau atas merupakan tanah yang di kuasai secara turun-menurun sudah sejak lama.bahkan sejak kota samarinda ini ada berasal dari pinggir sungai Mahakam.sehingga penguasaanya secara adat bukan tunduk pada hukum nasional Dengan adanya penetapan sebagai kawasan jalur hijau, masyarakat tidak dapat mengurus sertifikat hak milik, sehingga dalam hal ini masyarakat yang bertempat tinggal merasa tidak terpenuhi haknya sebagai warga Negara dan Masyarakat tidak dapat lagi mengurus mengenai hak kepemilikan terhadap tanah tersebut, karena sudah ditetapkan sebagai jalur hijau.
1 2
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 8
PENDAHULUAN Masalah tanah adalah sangat aktual bagi manusia dimana saja, terutama dalam masa pembangunan. Berdasarkan pengamatan atas pelaksanaan tugastugas pengawasan, memberikan gambaran kepada penulis bahwa masalah tanah adalah faktor penting yang berpengaruh atas jalannya pembangunan. Timbulnya masalah tanah bukan karena peraturan yang tidak memadai, bukannya tidak ada manusia yang melaksanakannya, melainkan lebih banyak disebabkan oleh kurangnya menguasai dan menghayati bidang keagrariaan atau pertanahan, sehingga dalam pengamalannya terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. maka dalam hal ini diperlukan cara pandang dan pola pikir yang terarah. Oleh sebab itu, semua pihak dalam hal ini baik sebagai perorangan, pejabat agrarian, notaris, camat, pembuat akta tanah, maupun mahasiswa, pencari keadilan, pejabat pemerintah dan atau penegak hukum.3 Di negara-negara, perencanaan dan pembangunan kota sebenarnya adalah fokus kepada masyarakat. Mereka membangun rumah dan tempat pemukiman dimana saja ada kemungkinan untuk itu, entah diatas tanah yang tidak dipakai, di daerah perbukitan, di atas sungai, atau di atas rawa-rawa. cara pembangunan kota semacam ini sungguh merupakan cara yang liar. Tanah-tanah itu di huni secara liar dan pembagiannya pun dilakukan secara liar. Perumahanperumahan itu mengabaikan aturan bangunan yang sebenarnya. Lebih dari itu,
3
2
Salendiho, John, 1987, Masalah tanah dalam pembangunan, Sinar Grafika,Jakarta,hlm 5
Status Hukum Tanah Warga Pinggir (Heru Sutrisno)
pemukiman
seperti
ini
mengabaikan
peraturan
mengenai
kawasan
dan
pembagian tanah serta rencana induk yang dibuat oleh para perencana kota. Di Kota Samarinda jumlah penghuni yang tinggal di daerah pemukiman luar semakin meningkat terutama di wilayah pinggiran Sungai Mahakam dalam hal ini di Kelurahan Pulau Atas RT 01 terdapat perbedaan yang luar biasa mengenai pemukiman tersebut. Munculnya pemukiman warga, menetapnya warga, merupakan fakta bahwa banyak penduduk kota sama sekali tidak mempunyai
apa-apa,
yaitu
tanah
maupun
rumah
untuk
tinggal
dalam
membangun rumahnya contohnya mereka tidak mampu membangun rumah atau kamar yang paling kecilpun secara sah atau rumah pada kapling yang punya saluran air dan mengindahkan kebersihan sekitarnya. Di Kota Samarinda tanpa adanya kontrol dan perencanaan, tetapi pemukiman liar itu sering kali justru memenuhi kebutuhan dari masyarakat dan jauh lebih baik dari pada pola perumahan pemerintah yang diharapkan bisa membantu mereka. Meskipun demikian, proses yang ditempuh oleh kebanyakan rakyat itu untuk mendapat perumahan yang berada di luar wilayah hukum, Ini mempunyai lima konsekuensi yang berbahaya: 1. Orang terpaksa membangun rumah ditempat yang buruk lingkungannya atau berbahaya bagi kesehatan. pemukiman miskin sering bermunculan di atas tanah landai, yang mudah longsor, di atas rawa-rawa, di atas lembah sungai yang pasang surut. tanah yang seperti itu mempunyai nilai komersial sehingga para penghuninya terhindar dari kemungkinan terkena operasi pembongkaran dan penggusuran. 2.
Karena status mereka yang tidak legal dalam artian bahwa, tidak memiliki suatu keabsahan hukum mengenai kepemilkan tanah, mereka hanya 3
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 8
menerima sedikit sekali bantuan atau bahkan tanpa bantuan sama sekali dari pemerintah dalam bentuk air PDAM, pembersihan lingkungan, pembuangan sampah, transportasi umum, jalan-jalan aspal, sekolah dan pusat-pusat kesehatan masyarakat. 3. Karena para penghuni liar ini berada dalam keadaan tidak menentu, karena mereka sendiri tidak mengetahui apakah mereka akan digusur atau tidak, maka
mereka
tidak
berani
memperbaiki
perumahan
mereka
atau
meningkatkan kesejahteraan kelompoknya. 4. Kota itu sendiri berkembang secara serampangan. pada pinggiran kota seperti itu bermunculan pemukiman-pemukiman liar yang tidak dikehendaki. memang mahal dan sering kali tidak mungkin untuk menyediakan pelayanan umum yang sangat dibutuhkan untuk suatu pemukiman yang tidak terencana. 5.
Karena statusnya sebagai pemukiman liar, perkampungan miskin itu lebih banyak mendapat tekanan dari para petugas-petugas dan pengusaha yang korup serta para penguasa setempat.4 Di Kelurahan Pulau Atas Kecamatan Sambutan Kota Samarinda juga
banyak pemukiman-pemukiman liar yang tidak mempunyai status hukum yang jelas mengenai tempat tinggal mereka, sudah banyak warga yang ingin mendaftarkan tanahnya agar mendapat status tanah tempat tinggal bagi warga yang berada diwilayah tersebut, akan tetapi pemerintah khusunya di Kelurahan Pulau Atas menyatakan bahwa tempat tinggal mereka merupakan Jalur hijau. B.
Rumusan Masalah Sebenarnya banyak masalah-masalah yang berhubungan dengan penulisan yang cukup banyak, akan tetapi untuk mempermudah dalam penulisan ini diperlukan adanya rumusan masalah. Agar hal ini lebih terarah
4 Patrick, McAuslan, 1986,tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata, PT. Gramedia, Jakarta, hlm1-2
4
Status Hukum Tanah Warga Pinggir (Heru Sutrisno)
dalam perumusan masalah agar lebih mudah dimengerti. Adapun perumusan masalah tersebut, sebagai berikut : 1. Bagaimana status hukum tanah dan tempat tinggal warga di pinggir sungai Mahakam Kelurahan Pulau Atas Kecamatan Sambutan? 2. Apa kendala yang terkait dengan keberadaan status tanah dan tempat tinggal warga pinggir sungai Mahakam di Kelurahan Pulau Atas Kecamatan Sambutan? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang diharapkan oleh penulis sebagai berikut : 1.
Untuk mengetahui dan menganalisa status hukum tanah dan tempat tinggal warga di Pinggaran Sungai Mahakam di Kelurahan Pulau Atas Kecamatan Sambutan.
2.
Untuk mengetahui dan menganalisa kendala yang terkait dengan keberadaan status tanah dan tempat tinggal warga pinggiran Sungai Mahakam di Kelurahan Pulau Atas Kecamatan Sambutan.
D. Manfaat Penelitian Adapun
tujuan
penelitian
yang
ingin
dicapai
tentunya
dapat
memberikan manfaat penelitian. Adapun manfaat penelitian ini, penulis bedakan menjadi dua manfaat yaitu : 1) Manfaat secara teoritis berguna sebagai upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, seperti upaya pengembangan wawasan keilmuan, peneliti, pengembang teori ilmu hukum, pengembangan tekhnologi berbasis industri, dan pengembangan bacaan bagi pendidikan hukum.
5
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 8
2) Manfaat secara praktis berguna sebagai upaya yang dapat dipetik langsung
manfaatnya,
seperti
peningkatan
keahlian
meneliti
dan
ketrampilan menulis, sumbangan pikiran dalam pemecahan suatu masalah hukum, acuan pengambilan keputusan yuridis, dan bacaan baru bagi penelitian ilmu hukum”.5 HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Sebagai Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur, Kota Samarinda mengalami perkembangan kegiatan dan fungsi perkotaan, bahkan menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi sekaligus pusat kegiatan bagi kawasan timur pulau Kalimantan. Pemandangan kala malam jauh berbeda dengan pemandangan siang hari. Disiang hari kesemrautan dan kemacetan tampak mewarnai jalan-jalan kota. Seperti halnya kota yang dilewati sungai, pemukiman pendudukpun sebagian besar berada ditepi sungai. Namun karena pertumbuhan penduduk dan migrasi dari luar daerah yang tidak terkendali mengakibatkan daerah disekitar bantaran sungai padat dan kumuh. Kota Samarinda mencakup wilayah seluas 71.800 Ha atau 718 Km2. Kota Samarinda secara astronomis terletak pada posisi antara 117°03'00" - 117°18'14" Bujur Timur dan 00°19'02" - 00°42'34" Lintang Selatan. Kota Samarinda secara administratif memiliki 6 kecamatan yakni Kecamatan Palaran, Samarinda Ilir, Samarinda Seberang, Sungai Kunjang, Samarinda Ulu dan Samarinda Utara, serta terdiri atas 53 kelurahan. Batas wilayah Kota Samarinda adalah: 5
Muhammad, Abdul Kadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Aditya Citra Bakti, Bandung, hlm 66
6
Status Hukum Tanah Warga Pinggir (Heru Sutrisno)
1. 2. 3. 4.
Sebelah Sebelah Sebelah Sebelah Kukar)
Utara: Kecamatan Muara Badak Kabupaten Kukar Timur: Kecamatan Anggana dan Sanga-Sanga (Kab Kukar) Selatan: Kecamatan Loa Janan .Kab Kutai Kartenegara Barat: Kecamatan Muara Badak Tenggarong Seberang (Kab
Berdasarkan kondisi hidrologinya Kota Samarinda dipengaruhi oleh sekitar 20 daerah aliran sungai (DAS). Sungai Mahakam adalah sungai utama yang membelah Kota Samarinda dengan lebar antara 300 - 500 meter, sungai - sungai lainnya adalah anak-anak sungai yang bermuara di Sungai Mahakam yang meliputi :
1. Sungai Karang Mumus dengan luas DAS sekitar 218,60Km2 2. Sungai Palaran dengan luas DAS 67,68 Km2 3. Anak sungai lainnya antara lin , Sungai Loa Bakung, Lao Bahu, Bayur, Betepung, Muang, Pampang, Kerbau, Sambutan, Lais, Tas, Anggana, Loa Janan, Handil Bhakti, Loa Hui, Rapak Dalam, Mangkupalas, Bukuan, Ginggang, Pulung, Payau, Balik Buaya, Banyiur, Sakatiga, dan Sungai Bantuas. PEMBAHASAN A. Status Hukum Tanah dan tempat Tinggal Warga di Pinggir Sungai Mahakam Kelurahan Pulau Atas Kecamatan Sambutan Tanah merupakan karunia tuhan yang maha esa, atas dasar menguasai dari Negara maka kewajiban bagi pemerintah melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia Menurut Undangundang Pokok Agraria yang individualistik komunalistik religius, selain bertujuan melindungi tanah juga mengatur hubungan hukum hak atas tanah melalui penyerahan sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah bagi pemegangnya.
7
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 8
Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria Jo Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 secara eksplisit menyatakan sertifikat adalah surat tanda bukti hak atas tanah. Namun dalam perkembangan, eksistensi sertifikat hak atas tanah tidak hanya dipandang dari segi hukum semata, juga segi sosial, ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan, bahkan diera globalisasi saat ini lalu lintas transaksi bidang pertanahan menjadi semakin ramai hingga bermuara kepada upaya efektivitas, efisiensi, dan transparansi penegak hukum bidang pendaftaran tanah, antara lain melalui upaya penyatuan persepsi peraturan perundang-undangan terkait dengan persyaratan permohonan sertifikat hak atas tanah di kantor pertanahan. Persyaratan permohonan sertifikat hak atas tanah di kantor pertanahan dimaksud, berkaitan dengan sekumpulan peraturan perundang-undangan yang tertulis atau tidak tertulis sepanjang mengenai persyaratan data fisik dan yuridis yang seharusnya dilaksanakan untuk menerbitkan sertifikat kepemilikan hak atas tanah di kantor pertanahan Indonesia. Persyaratan permohonan sertifikat hak atas tanah yang ditentukan di dalam Standar Prosedur Operasi
Pengaturan dan pelayanan (SPOPP) di
lingkungan badan pertanahan nasional telah dibuat sesuai konstelasi hukum positif, terutama Undang-undang Pokok Agraria dan Peraturan pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah serta Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang peraturan pelaksanaannya, baik diproses secara sistematik melalui
8
Status Hukum Tanah Warga Pinggir (Heru Sutrisno)
panitia ajudikasi ataupun sporadik melalui inisiatif pemilik tanah sendiri di kantor badan pertanahan. Hak milik atas tanah sebagai bentuk hak milik, sangat penting bagi Negara, bangsa dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat agrarian yang sedang membangun kearah perkembangan industri dan lain-lain. hak milik sebagai salah satu lembaga hukum dalam hukum tanah telah diatur baik dalam hukum tanah sebelum Undang-Undang Pokok Agraria maupun dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Tanah yang berada diwilayah bantaran sungai Mahakam Kelurahan Pulau Atas merupakan tanah yang tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh masyarakat, dikarenakan status tanah tersebut adalah merupakan wilayah jalur hijau, sehingga keberadaan masyarakat tersebut merupakan menguasai tempat yang dilarang, disebutkan penetapan wilayah sungai meliputi wilayah sungai dalam satu Kabupaten/Kota, wilayah sungai Lintas kabupaten/Kota, wilayah sungai lintas Provinsi, wilayah sungai lintas Negara, dan wilayah sungai strategis nasional. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63 Tahun 1993 Tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai Dan Bekas Sungai pada Pasal 10 menyatakan bahwa, Penetapan garis sempadan danau, waduk, mata air dan sungai yang terpengaruh pasang surut air laut mengikuti kriteria yang telah ditetapkan dalam keputusan Presiden R.I. Nomor : 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, sebagai berikut :
9
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 8
a. Untuk danau dan waduk, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) meter dari titik pasang tertinggi kearah darat. b. Untuk mata air, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 200 (dua ratus) meter disekitar mata air. c. Untuk sungai yang terpengaruh pasang surut air laut, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 100 (seratus) meter dari tepi sungai dan berfungsi sebagai jalur hijau. Dari ketentuan di atas dapat dilihat pada Pasal 10 huruf C menyatakan bahwa 100 meter dari tepi sungai berfungsi sebagai jalur hijau. Dengan kondisi perumahan warga di Desa Pulau Atas yang berada di atas air, dengan demikian keluarnmya aturan dari Menteri Pekerjaan Umum, maka dari sejak itulah ditetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan jalur hijau. Penetapan cekungan air tanah meliputi cekungan air tanah dalam satu Kabupaten/Kota, cekungan air tanah lintas kabupaten/Kota, cekungan air tanah lintas provinsi, dan cekungan air tanah lintas Negara. Ketentuan mengenai kriteria dan tata cara penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Dalam hal ini pada Pasal Pasal 4 huruf b menyatakan bahwa, Untuk sungai-sungai yang dilimpahkan kewenangannya kepada Pemerintah Daerah, batas garis sempadan sungai ditetapkan dengan Peraturan Daerah berdasarkan usulan dari Dinas. Dalam hal ini hasil wawancara dari Dinas Cipta Tata Karya Kota Samarinda menetapkan bahwa wilayah tersebut termasuk dalam wilayah kawasan jalur hijau sesuasi dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum. Menurut wawancara dimana sejumlah warga yang bermukim ditepi sungai Mahakam kelurahan Pulau Atas RT 01, setelah kawasan dimana tempat mereka tinggal yang sudah dari tahun 1950an, mengaku khawatir dengan 10
Status Hukum Tanah Warga Pinggir (Heru Sutrisno)
ditetapkannya kawasan tersebut sebagai jalur hijau. Karena dalam hal ini masyarakat tidak dapat mengurus hak atas tanah yang telah mereka miliki dari awal. Seiring dengan status tanah tersebut yang dimiliki oleh masyarakat, maka dari hasil wawancara yang dilakukan adalah bahwa walaupun tanah tersebut ditetapakan oleh pemerintah sebagai jalur hijau, akan tetapi masyarakat tetap saja mengakui bahwa itu miliknya karena sebelum adanya penetapan masyarakat sudah tinggal didaerah tersebut dan dari penetapan daerah tersebut sebagai jalur hijau, pihak pemerintah daerah tidak pernah mengadakan sosialisasi mengenai status tanah tersebut. Seharusnya dalam hal ini Pemerintah Daerah Kota Samarinda melakukan sosialisasi yang rutin dengan adanya penetapan kawasan jalur hijau, sehingga masyarakat dapat mengerti dan memahami mengenai mengapa kawasan tersebut ditetapkan sebagai jalur hijau. Sehingga tidak menimbulkan konflik yang akhirnya akan merugikan masyarakat semata. Pemerintah harus mengadakan sosialisasi lewat media cetak, elektronik dan pengumuman di Daerah setempat yang telah ditetapkan. Dalam Peraturan Pemerintah Pasal 24 ayat 1 menyatakan bahwa, untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konvensi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh panitia ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara
11
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 8
sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemagang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya. Usaha yang dilakukan pemerintah untuk memberikan pengaturan bagi rakyatnya dalam berbagai aspek tercermin dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Salah
satu
contoh
peraturan
yang
dibentuk
oleh
pemerintah yang mengatur mengenai hal dibidang pertanahan yaitu dengan dibentuknya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Usaha menuju kearah kepastian hak atas tanah itupun terurai dalam pasal-pasal yang mengatur mengenai pendaftaran tanah. Adapun pendaftaran tanah wajib dilakukan menurut Peraturan Pemerintah tersebut mengingat pada kepentingan masyarakat, yakni sosial ekonomi, serta keadaan Negara. Mengenai program dari pemerintah menurut hasil wawancara pada Bapak Lurah Pulau Atas dan Ibu Camat Sambutan, menyatakan bahwa: 1. Apabila suatu waktu ada pengelolaan maka dari pemerintah akan mempertimbangkan
kepentingan
masyarakat
dan
tidak
berlaku
kesewenang-wenangan. 2. Mengenai
kepemilikan
pemerintah
juga
harus
memperhatikan
kesesuaian data fisik yang ada. 3. Akan ada ganti rugi apabila daerah tersebut diambil alih oleh Negara 4. Akan membuatkan masyarakat sekitar wilayah tempat permukiman yang baru apabila kawasan tersebut sewaktu-waktu dilakukan pengembangan terhadap wilayah jalur hijau.
12
Status Hukum Tanah Warga Pinggir (Heru Sutrisno)
Jadi dari hal di atas masyarakat tetap tinggal di daerah tersebut walaupun telah ditentukan sebagai kawasan jalur hijau oleh pemerintah, karena selama ini tidak ada sosialisasi terhadap masyarakat sekitar rumah tinggal. B. Kendala yang terkait dengan Keberadaan Status Tanah dan Tempat tinggal Warga di Pinggiran Sungai Mahakam Kelurahan Pulau Atas Kecamatan Sambutan Kewenangan menetapkan fungsi dan peruntukan kawasan memang diperbolehkan oleh Undang-undang dan tidak mengurangi klaim kepemilikan warga atas tanah. Konsekuensi dari itu ialah bahwa kebebasan warga untuk membangun di atas tanahnya, sekalipun penguasaannya dikukuhkan sertifikat tanah dari Badan pertanahan boleh dibatasi. Pembatasan serupa sebenarnya juga akan muncul dalam bentuk penetapan koefisien dasar bangunan jika pemilik tanah mengajukan permohonan ijin mendirikan diwilayah tersebut. kebebasan pemilik tanah untuk membangun di atas tanah miliknya akan dibatasi. Dasar pembatasan tersebut dari sudut pandang hukum ialah bahwa semua hak atas tanah punya fungsi sosial Pasal 6 Undang-undang Pokok Agraria. Namum kemungkinan bahwa pemanfaatan tanah ‘milik’ boleh dibatasi demi kepentingan publik ternyata tidak masuk akal bagi masyarakat. Tingkat kesadaran hukum yang rendah termasuk kepercayaan yang melekat bahwa warga masyarakat adalah “rakyat kecil” yang harus selalu mengalah dalam hal apapun. Tanah yang berada dibantaran wilayah sungai dalam hal ini merupakan tanah yang tidak boleh dimilki atau dikuasai oleh masyarakat, dikarenakan status tanah tersebut jalur hijau, sehingga keberadaan masyarakat tersebut menguasai tempat yang dilarang. 13
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 8
Adapun kendala atau hambatan dari status tanah warga pinggiran sungai mahakam yang ditetapkan sebagai jalur hijau, adalah: 1. Masyarakat tidak dapat lagi mengurus mengenai hak kepemilikan terhadap tanah tersebut, karena sudah ditetapkan sebagai jalur hijau. Kenyataannya bagi penduduk walaupun telah menduduki dan telah menguasai tanah dipinggiran sungai secara sah sebelum berlakunya ketentuan yang mengatur mengenai penguasaan tanah dipinggiran sungai, upaya untuk mengajukan permohonan hak atas tanah dipinggiran sungai tersebut sangat rendah. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman mereka mengenai bukti kepemilikan atas tanah dan pentingnya bukti tersebut bagi kedudukan mereka di pinggiran sungai mahakam. Sehingga banyak penghuni yang telah menghuni selama puluhan tahun tetapi tidak memiliki bukti penguasaan dan bukti hak atas tanah yang mereka kuasai. 2. Masyarakat hanya bisa menerima apapun keputusan dari pemerintah, karena terkait dengan aturan yang ada, padahal pemerintah kurang sosialisasi mengenai penetapan kawasan. Adapun yang mendasari penguasaan dari Negara adalah pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tersebut mengatur bahwa : Tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau dan bekas sungai dikuasai langsung oleh Negara. Umumnya penguasaan tanah dipiggiran sungai mahakam oleh masyarakat tidak melalui prosedur yang telah di tetapkan oleh pemerintah, hal ini dilakukan dengan alasan bahwa dalam pengurusan surat izin atau sertifikat sangat rumit dan mahal sehingga walaupun belum ada izin mereka tetap menggunakan tanah tersebut, hal seperti dijelaskan oleh salah seorang yang sudah lama bermukim ditempat tersebut namun belum mempunyai surat izin atau sertifikat penguasaan tanah tersebut. 14
Status Hukum Tanah Warga Pinggir (Heru Sutrisno)
3. Pemerintah dalam hal menentukan kebijakan harus melihat dengan kondisi masyarakat yang ada, karena masyarakat didaerah tersebut kurang memiliki pengetahuan terhadap hukum. Masyarakat pinggiran sungai Mahakam tidak lagi bias berpindah karena terkait dengan harga-harga tanah yang sangat mahal, sehingga mereka leih memilih untuk tetap tinggal di daerah tersebut.
4. Pemerintah harus mempersiapkan bangunan sebelum mengambil alih kawasan tersebut ataupun dalam bentuk ganti rugi, agar tidak terjadi konflik antara pemerintah dengan masyarakat yang merasa hakhaknya dilanggar, karena dalam hal ini apabila kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kehendak masyarakat, maka masyarakat tidak akan bias menerima apa kebijakan yang telah dibuat. Sehingga merugikan masyarakat yang tinggal dipinggiran sungai Mahakam. Dengan adanya hal di atas jelas kita lihat dalam hal konsep mengenai ganti rugi secara jelas, maka pasal 13 ayat (1 dan 2) Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 menyebutkan bahwa: 1. Bentuk ganti rugi dapat berupa: Uang; dan/atau Tanah pengganti;dan/atau Pemukiman kembali. 2. Dalam hal pemegang hak atas tanah tidak menghendaki bbentuk ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka dapat diberikan kompensasi berupa penyertaan modal (saham) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
15
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 8
Penutup KESIMPULAN 1. Bahwa tanah yang di miliki warga masyarakat pinggir sungai Mahakam yang berada di wilayah pulau atas merupakan tanah yang di kuasai secara turun-menurun sudah sejak lama. Bahkan sejak kota samarinda ini ada berasal dari pinggir sungai Mahakam. Sehingga penguasaanya secara adat bukan tunduk pada hukum nasional Dengan adanya penetapan sebagai kawasan jalur hijau, masyarakat tidak dapat mengurus sertifikat hak milik, sehingga dalam hal ini masyarakat yang bertempat tinggal merasa tidak terpenuhi haknya sebagai warga Negara. 2. Dengan ditetapkannya kawasan tersebut sebagai jalur hijau, maka: a. Masyarakat tidak dapat lagi mengurus mengenai hak kepemilikan terhadap tanah tersebut, karena sudah ditetapkan sebagai jalur hijau. Masyarakat hanya bisa menerima apapun keputusan dari pemerintah, karena terkait dengan aturan yang ada, padahal pemerintah kurang sosialisasi mengenai penetapan kawasan. b. Pemerintah dalam hal menentukan kebijakan harus melihat dengan kondisi masyarakat yang ada, karena masyarakat didaerah tersebut kurang memiliki pengetahuan terhadap hukum. c. Pemerintah harus mempersiapkan bangunan sebelum mengambil alih kawasan tersebut ataupun dalam bentuk ganti rugi, agar tidak terjadi konflik antara pemerintah dengan masyarakat yang merasa hak-haknya dilanggar.
16
Status Hukum Tanah Warga Pinggir (Heru Sutrisno)
SARAN Sebagai penutup dari kesimpulan diatas maka diberikan saran oleh penulis sebagai berikut : 1. Status rumah tinggal perlu mendapat perlindungan hukum yang kuat,yang pada hakekatnya adalah perlindungan hukum atas bidang tanah dimana sebuah rumah tinggal berdiri, perlindungan hukum bagi bidang-bidang tanah untuk rumah tinggal tersebut selanjutnya akan dapat memberikan ketenangan bagi penghuninya terutama bagi masyarakatdengan ekonomi lemah. 2. Dalam hal penetapan kawasan jalur hijau, seharusnya pemerintah memberikan sosialisasi yang rutin terhadap masyarakat agar tidak terjadi konflik dikemudian hari, sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.dengan adanya sosialisasi tersebut masyarakat akan memliki kesadaran hukum dan mengerti tentang jalur hijau yang telah di tetapkan oleh pemerintah, sehingga antara pejabat yang berwenang dengan masyarakat biasa memiliki ikatan emosional yang kuat.
17
Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 8
DAFTAR PUSTAKA A. Literatur Achmad sodiki dan Yanis MaLadi , politik hukum Agraria Mahkota Kata, 2009 A.P Parlindungan, 1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar maju; bandung. Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara , Bandung Mandar Maju, 1995 Bahdar Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Hukum, PT. Mandar Maju; Bandung. Boedi, Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, isi dan Pelaksanaannya , Djambatan; Jakarta. Cristine S.T. Kansil, Kitab Undang-Undang Hukum Agraria, Jakarta, Sinar Grafika, 2007 Dirdjosisworo, Soedjono, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Fajar Intrepratama; Jakarta, 1983. Lawrance M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Bandung, Nusa Bandung Cetakan Kedua. Muhammad, Abdul Kadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Aditya Citra Bakti; Bandung, 2004. Patrick, McAuslan, 1986, tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata , PT. Gramedia; Jakarta, 1986. Salendiho, John, 1987, Masalah tanah dalam pembangunan, Sinar Grafika; Jakarta, 1987 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, citra Aditya Bakti, 2000. Simorangkir, J.C.T, 2008, kamus Hukum, Sinar Grafika; Jakarta,2008. B. Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63 Tahun 1993 Tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai Dan Bekas Sungai C. Sumber Lain www.sukirman.com www.landpolicy.com Departemen Pendidikan dan Kebudayaan http://www.siej.or.id, Data Monografi Kelurahan Pulau Atas Kecamatan Sambutan Kota Samarinda Tahun 2012
18