SPM bagi Anak Berhadapan dengan Hukum pada UPPA Polres M. Iqbal
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013), pp. 163-180.
STANDAR PELAYANAN MINIMUM BAGI ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM PADA UNIT PELAYANAN PEREMPUAN DAN ANAK KEPOLISIAN RESORT KOTA BANDA ACEH THE MINIMUM SERVICE STANDARDS TOWARDS THE CHILD VIOLATING CRIMINAL LAWS AT THE UNIT OF WOMEN AND CHILDREN SERVICE OF BANDA ACEH POLICE RESORT STATION Oleh: M. Iqbal
*)
ABSTRACT Each child facing with criminal laws either as violator or victim is entitled to get physical, mental, spiritual and social protection based on the principles of the Convention of the Rights of the Child and the Act of Juvenile Court namely non discrimination, the best interests of the child, right to life, the live sustainability and the development and the respect towards the child opinion. The children having problem with law has a right to get especial protection that must be provided by the government and government institutions. The Unit of Women and Children Service is the first meeting point of the Juvenile Justice System of the child. This research aims to obtain the description of the minimum service of standard applied by the Unit of Banda Aceh Resort Police Station, in dealing with the child, the constraints faced in treating them and the efforts to solve the constraints. To gather the data, the library and field research are applied. The data obtained from library and field research then combined and analysed qualitatively. The Unit has applied the principles of the standards towards the child, the obstacles faced are internal and external obstacles and the efforts done are by training and educating the staffs at the Unit, the Detectives and the Assistant of the detectives and all staffs of the Unit in order to empower the human resources of the Unit. Keywords: The Child Violating, Criminal Law, Banda Aceh.
PENDAHULUAN Anak merupakan amanah dan karunia Allah SWT., yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya sehingga ia memiliki hak asasi manusia yang melekat dan hakhak yang sama dan tidak terpisahkan dari semua anggota manusia. Dalam masa pertumbuhannya secara fisik dan mental anak membutuhkan perawatan dan perlindungan khusus serta perlindungan hukum sebelum maupun sesudah lahir. Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam statusnya sebagai pelaku kejahatan, pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam hal perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam
ISSN: 0854-5499
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
SPM bagi Anak Berhadapan dengan Hukum pada UPPA Polres M. Iqbal
kedudukannya sebagai korban kejahatan pemerintah juga telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 yang diikuti dengan disahkannya UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hal ini telah membawa konsekwensi bahwa Indonesia harus melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut diatas meskipun dalam pelaksanaan di lapangan masih belum sepenuhnya mengakomodir semua ketentuan dalam undangundang diatas. Setiap anak yang melakukan kejahatan berhak untuk mendapat perlindungan baik fisik, mental, spiritual maupun sosial sesuai dengan prinsip-prinsip Konvensi Hak-hak Anak dan Hak-hak Anak-anak yang diatur dalam Undang-undang Pengadilan Anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak serta penghargaan terhadap pendapat anak. Anak yang melakukan kejahatan maupun sebagai korban kejahatan berhak mendapatkan perlindungan khusus yang wajib diberikan oleh pemerintah maupun lembaga pemerintah. Oleh karena itu, pembinaan dan perlindungan terhadap anak diperlukan dukungan, baik menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai peneyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus. Unit Pelayanan Perempuan dan Anak yang merupakan bagian dari Ruang Pelayanan Khusus pada setiap kantor kepolisian Republik Indonesia mempunyai peranan penting dalam memberikan perlindungan bagi pelaku atau korban anak akibat terjadinya suatu kejahatan karena polisi yang adalah titik temu pertama dengan sistem peradilan bagi anak.1 Berdasarkan data yang di diperoleh dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Kepolisian Resort Kota Banda Aceh, pada tahun 2011-2012, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Kepolisian Resort Kota Banda Aceh telah melakukan penyidikan terhadap anak sebagai pelaku kejahatan sebanyak 43 kasus. Proses penyidikan terhadap anak nakal yang dilakukan oleh Unit Pelayanan dan
*)
M. Iqbal, SH.,MH adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. Agus Riyanto, Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, UNICEF, Jakarta, 2006, hlm.169. 1
164
SPM bagi Anak Berhadapan dengan Hukum pada UPPA Polres M. Iqbal
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
Perlindungan Anak wajib dilaksanakan berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2008 tentang Perlindungan Anak. Akan tetapi dalam perkembangannya yaitu dengan adanya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, Kepolisian Daerah Aceh (POLDA) mengakui bahwa perlu penyempurnaan Standar Pelayanan Minimum bagi anak yang melakukan kejahatan yang sesuai dengan kaidah-kaidah hukum dan perundang-undangan. Adapun urgensi dari penelitian dikarenakan Kepolisian Daerah Aceh telah menjadi contoh bagi penanganan anak nakal di seluruh Kepolisian Daerah di Indonesia. Oleh karena itu standar pelayanan minimum yang diterapkan di Kepolisian Kota/Resort adalah gambaran dari standar penanganan pada level nasional. Keadaan tersebut di atas memerlukan pengkajian untuk mengetahui bentuk-bentuk pelayanan yang dipakai oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak pada Kepolisian Resort Kota Banda Aceh dan hambatan hambatan yang ditemui pada saat pemberian pelayanan dalam menangani anak yang melakukan kejahatan di wilayah hukum Kepolisian Resort Kota Banda Aceh serta usaha-usaha yang ditempuh untuk mengatasi hambatan hambatan tersebut. Berdasarkan hal yang diuraikan pada Bab Pendahuluan, maka masalah yang akan diteliti adalah : (1) bagaimana standar pelayanan minimum yang digunakan oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Kepolisian Resort Kota Banda Aceh dalam menangani anak yang melakukan kejahatan? (2) Apa hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Kepolisian Resort Kota Banda Aceh dalam menangani anak yang melakukan kejahatan? (3) Apa usaha-usaha yang dilakukan oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Kepolisian Resort Kota Banda Aceh untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut?
165
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
SPM bagi Anak Berhadapan dengan Hukum pada UPPA Polres M. Iqbal
METODE PENELITIAN Metode penelitian ini adalah deskriptif analitis, untuk menggambarkan dan menemukan gambaran standar pelayanan minimum terhadap anak nakal dan hambatan-hambatan yang ditemui dalam penanganan tersebut dan usaha-usaha yang dilakukan untuk menangani hambatan-hambatan tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Pendekatan yuridis empiris digunakan untuk membahas pokok-pokok permasalahan yang diajukan didasarkan pada bahan-bahan hukum yang diperoleh dari studi lapangan dengan mewawancari responden dan informan. Tetapi didalam menjelaskan teori teori dan dasar hukum maka pendekatan kepustakaan dilakukan dengan menelaah, undang-undang, buku, artikel yang relevant dengan penelitian ini. Penelitian ini dilakukan di dalam wilayah hukum Kepolisian Resort Kota Banda Aceh. Pemilihan lokasi tersebut atas pertimbangan bahwa Unit Pelayanan Perempuan dan Anak pada Kantor Kepolisian Resort Kota Banda Aceh sudah menetapkan standar pelayanan minimum bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Penelitian lapangan dilakukan untuk melengkapi data kepustakaan dengan cara wawancara (dept intevew) dan mengkonfirmasikan hasil penelitian kepustakaan dan kesesuaian dengan kenyataan di lapangan. Penelitian ini akan dilakukan di Kota Banda Aceh. Data yang terkumpul baik berupa data kepustakaan maupun data lapangan akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif normatif untuk kemudian dipaparkan secara deskriptif.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1) Anak Berhadapan Hukum Sejarah penanganan anak yang berhadapan dengan hukum selalu diwarnai oleh tarik menarik berbagai kepentingan, baik kepentingan sosial, politik maupun ekonomi di masyarakat. Studi yang dilakukan oleh Muncie menunjukkan bahwa sejak awal abad 19, penanganan anak-anak yang berhadapan dengan hukum penuh dengan kebingungan, ambiguitas dan konsekuensi-konsekuensi 166
SPM bagi Anak Berhadapan dengan Hukum pada UPPA Polres M. Iqbal
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
yang tidak terduga. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Muncie “...solving juvenile deliquency has been inflienced by the interest of social, politic, and economy...the overcoming solution is filled with ambiguity, and unpredictable consequences.”2 Hal utama yang menggarisbawahi munculnya penanganan khusus bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum, menurut Muncie adalah kesadaran bahwa anak-anak memerlukan respon yang berbeda dengan respon yang diberikan kepada orang dewasa yang melanggar hukum, sehingga penanganan anak-anak yang berhadapan dengan hukum sedapat mungkin berupa intervensi atas kehidupan mereka, dengan alasan hidup mereka memang beresiko memaksa mereka untuk berhadapan dengan hukum. Pendapat ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Zimring yaitu: “interferring juvenile court is required due to the fact that they have been forced to commit crime and there must be trial for them but it should be protecting their rights as children.”3 Penanganan khusus bagi anak dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa anak adalah bagian dari generasi muda salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.4 Oleh karena itu, untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai. 5 Adanya suatu standar pelayanan minimum bagi anak yang berhadapan dengan hukum pada unit pelayanan perempuan dan anak pada kantor kepolisian sebagai tempat dimulainya proses peradilan anak atau pintu gerbang pertama penanganan perkara anak baik dalam statusnya sebagai pelaku maupun korban merupakan tuntutan pokok bagi terselengggaranya keseragaman penanganan perkara anak pada tingkat penyidikan.
2
John Muncie, Understanding the Family, Second Edition, The Open University Press, England, 1999, hlm.
3
Franklin E. Zimring, The Great American Crime Decline, Oxford University Press, New York, 2002, hlm.
253. 142. 4
Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2000, ,hlm. 11.
167
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
SPM bagi Anak Berhadapan dengan Hukum pada UPPA Polres M. Iqbal
2) SPM Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Kepolisian Resort Kota Banda Aceh dalam Menangani Anak Yang Melakukan Kejahatan Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam praktek yang terjadi selama ini, upaya penyelesaian masalah anak yang berkonflik dengan hukum dilaksanakan melalui upaya diversi dan keadilan restorative (restorative Justice) merupakan salah satu bentuk standar pelayanan minimum bagi penyelesaian kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Undang-undang Pengadilan Anak telah memberikan jaminan hukum bagi anak, bahwa pengadilan anak dilaksanakan secara terpisah dengan orang dewasa. Pengadilan anak hanya khusus untuk anak yang terlibat dalam perkara pidana.
TABEL I Data Kejahatan Terhadap Anak yang Ditangani Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polresta Banda Aceh Tahun 2011 - 2012 Jumlah Kasus yang Kasus yang di SP3 kan Masuk 1 2011 44 33 2 2012 32 23 Jumlah 76 56 Sumber : Unit PPA Reskrim Polresta Banda Aceh, 2012 No.
Tahun
Kasus yang Selesai 11 9 20
Mekanisme penanganan anak berkonflik hukum di Kepolisian Resort Kota Banda Aceh, diawali dengan proses hukum yang dihadapi anak pada tingkat penyelidikan dan penyidikan. Ini dimulai dari proses penangkapan oleh Polisi, baik yang tertangkap tangan maupun yang dilaporkan oleh korban. Proses ini menjadi pintu masuk anak menjalani proses hukum selanjutnya. Proses penanganan anak menjalani proses hukum ini dilakukan pada Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA).
5
168
I b i d, hlm.12
Unit ini bertugas memberikan pelayanan dalam bentuk
SPM bagi Anak Berhadapan dengan Hukum pada UPPA Polres M. Iqbal
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap terhadap pelakunya. Adapun tugas pokok unit PPA ini adalah menyelenggarakan perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap pelakunya. Pelaksanaan tugas ini dilaksanakan di Ruang Pelayanan Khusus (RPK). Dalam pelaksanaan tugas ini, Unit PPA wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi baik antar satuan organisasi lain yang terkait dengan tugasnya. Fungsi Unitt PPA ini adalah pelayanan dan perlindungan hukum, penyelidikan dan penyidikan dan kerjasama serta koordinasi dengan instansi terkait. Adapun rincian tugas sebagai dari Unit PPA adalah menerima laporan dan pengaduan, melakukan penyelidikan dan penyidikan, meminta visum et repertum dan megusahakan visum et Psikiatrum, mengidentifikasi kebutuhan anak sebagai anak sebagai tersangka meliputi permintaan pendampingan baik hukum maupun sosial, konseling/terapi psikososial, mengawasi dan berkoordinasi dengan berbagai pihak dan memberikan informasi pelayanan. Adapun personil pelaksana adalah semua penyidik dan penyidik pembantu yang bertugas pada Unit PPA yang ditunjuk berdasarkan surat Keputusan Kapolda setelah melalui seleksi atas penilaian kinerja dan penilaian pemahaman terhadap pelayanan dan perlindungan perempuan dan anak. Dalam upaya penanganan perempuan dan anak, peranan Kepolisian khususnya Polwan sangat besar khususnya dalam penyelesaian tindak pidana yang melibatkan anak yang terus saja meningkat. Persyaratan personil ini mengacu kepada aturan yang berlaku di lingkungan Polri, dan Peraturan Kapolri No. 10 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Lingkungan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.6
6
Elviana, Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit REKNATA: Remaja Anak dan Wanita) pada Kepolisian Daerah Aceh, wawancara tanggal 4 September 2012
169
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
SPM bagi Anak Berhadapan dengan Hukum pada UPPA Polres M. Iqbal
Menurut Kepala Unit PPA Polresta Banda Aceh bahwa dalam pelayanan anak nakal yang melakukan tindak pidana terdapat beberapa konsep yaitu:7 a. Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Asasi Anak b. Keberpihakan dan penghormatan terhadap hak-hak anak baik sebagai korban, saksi maupun pelaku c. Keadilan dan kepastian hukum d. Kemitraan e. Akuntabilitas f. Partisipatif g. Transparansi h. Bertumpu pada kebutuhan dan keselamatan bagi anak baik sebagai korban, saksi maupun pelaku. Terdapat beberapa prinsip dalam penanganan anak nakal di unit PPA yaitu: a.
Menghargai pendapat anak dalam setiap proses hukum, tidak melakukan diskriminasi,
memperhatikan
kepentingan
terbaik
anak,
mempertimbangkan
kelangsungan dan perkembangan hidup anak b.
Selama dalam proses hukum, setiap anak wajib mendapat perlindungan dari penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi merendahkan martabat dan hukuman badan.
c.
Menghormati harga diri dan martabat anak (self esteem and dignity)
d.
Partisipasi; mendorong partisipasi masyarakat dalam proses peneyelesaian kasus anak melalui Diversi dan Restoratif Justice baik secara langsung atau tidak langsung
e.
Keadilan dan ketaatan hukum; menyadari asas keadilan dan kejujuran untuk semua tanpa pengecualian dengan menghormati hak asasi manusia dan nilai nilai yang ada di masyarakat dalam upaya penegakan hukum
7
Nelmayanti, Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak pada Kepolisian Resort Kota Banda Aceh, wawancara tanggal 5 September 2012
170
SPM bagi Anak Berhadapan dengan Hukum pada UPPA Polres M. Iqbal
f.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
Kesamaan; mengusahakan kesamaan kesempatan kepada semua pihak yang terlibat dalam Diversi dan Restoratif Justice.
g.
Responsif; meningkatkan sensitifitas Unit PPA terhadap aspirasi masyarakat untuk pelaksanaan Diversi dan Restoratif Justice
h.
Bervisi; mengembangkan penyelesaian kasus anak melalui Diversi dan Restoratif Justice berdsarkan visi dan strategi yang jelas dengan pelibatan partisipasi masyarakat dalam seua proses Diversi dan Restoratif Justice, sehingga masyarakat memiliki rasa kepemilikan dan tanggung jawab terhadap proses Diversi dan Restoratif Justice.
i.
Akuntabilitas; meningkatkan akuntabilitas dari pembuat keputusan Unit PPA dengan melibatkan semua aspek kepentingan.
j.
Supervisi; meningkatkan dukungan supervisi dalam operasional unit PPA dan Implementasinya.
Adapun standar yang dipakai yaitu:8 a.
Penyidik pada Unit PPA harus memiliki kepekaan, pengetahun dan keterampilan perlindungan dan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum.
b.
Pemeriksaan terhadap anak wajib dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip penghormatan terhadap hak-hak asasinya dan dilakukan tampa penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan baik fisik maupun psikis serta hasilnya dirahasiakan
c.
Meminta saran kepada tkoh masayarakat, tokoh agama, tokoh adat dan aparat Pemerintahan Desa serta tenaga ahli (Bapas, Psikolog, Pihak Sekolah)
d.
Mengambil keterangan anak harus sesegera mungkin dan dilakukan di ruang khusus dan terpisah (menghindarkan anak dari tekanan dan ketakutan) serta menjamin kerahasiaan identitas anak dan keamanan anak atau tertutup bagi umum (hanya
171
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
SPM bagi Anak Berhadapan dengan Hukum pada UPPA Polres M. Iqbal
petugas yang berkepentingan) bebas dari intervensi penyidik lain atau pihak lain yang tidak terlibat langsung dengan kasus, termasuk dari peliputan dari media massa. e.
Lebih mengutamakan penyelesaian secara Diversi dan Restoratif Justice, mekanisme formal/hukum sebagai alternatif terakhir
f.
Apabila upaya Diversi dan Restoratif Justice gagal, dapat melanjutkan ke proses hukum formal dengan terlebih dahulu mengupayakan alternatif lain agar anak dapat terhindar dari mekanisme penahanan.
g.
Apabila tidak ada alternatif lain sehingga harus dilakukan penahanan dan demi kepentingan terbaik anak, maka penahanan dilakukan di tempat yang khusus/layak untuk anak.
h.
Selama masa penahanan harus memperhatikan dan menjamin hak hak anak atas perlakuan manusiawi sesuai dengan martabat anak, penyediaan petugas pendamping khusus anak, penyediaan sarana dan prasarana khusus, pemantauan, pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak, pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua dan keluarga serta perlindungan dan pemberitahuan identitas melalui media massa guna menghindari labelisasi.
i.
Selama masa penahanan tetap mengupayakan salah satu apakah dilakukan penangguhan penahanan atau pengalihan jenis penahanan (tahanan rumah/kota).
j.
Penyidik harus selalu aktif mengupayakan peneyelesaian tanpa mekanisme hukum formal dan apabila diperlukan dapat menjadi fasilitator dalam proses Diversi dan Restorative Justice.
k.
Wajib menunjuk penasehat hukum dan/atau paralegal pendamping anak serta wajib melampirkan hasil Litmas dari Bapas dalam Berkas Perkara Anak.
8
172
Elviana, Kanit PPA Polresta Banda Aceh, wawancara tanggal 3 September 2012
SPM bagi Anak Berhadapan dengan Hukum pada UPPA Polres M. Iqbal
l.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
Mempunyai Kepakaan, pengetahuan dan Keterampilan perlindungan dan penanganan kasus anaka yang berhadapan dengan hukum dalam melaksanakan penyidikan terhadap anak sebagai pelaku maupun anak sebagai korban.
m. Selalu memberikan dan mengutamakan perlindungan anak tanpa diskriminasi baik terhadap pelaku, korban maupun saksi. Anak nakal yang melakukan tindak pidana prosedur penyelidikan yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Penyelidikan dilakukan oleh Penyidik Unit PPA b. Penyelidikan yang dilakukan tetap mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak c. Selama proses penyelidikan, rencana dan langkah penyelesaian secara diversi sudah dipersiapkan d. Jika ditemukan cukup bukti dan memenuhi unsur tindak pidana, maka peyelidikan dilanjutkan ke proses penyidikan dengan mengutamakan penyelesaian diversi e. Jika tidak ditemukan cukup bukti dan unsur tindak pidana maka penyidikan dihentikan f. Melakukan koordinasi antara petugas Unit PPA dengan BAPAS Adapun prosedur penyelidikan terhadap anak nakal di Unit PPA adalah: a. pelapor atau pengaduan sebaiknya diteruskan atau diterima di Unit PPA b. Petugas Unit PPA menindaklanjuti dan memproses pengaduan/pelaporan c. Unit PPA menunjuk penyidik atau beberapa orang penyidik yang disesuaikan dengan kasus dan jenis kelamin anak d. Sebelum dilakukan penangkapan (terhadap anak istilah yang dipakai untuk penangkapan adalah pemanggilan) penyidik terlebih dahulu memeriksa pelapor dan para saksi termasuk konsultasi dengan saksi ahli e. Jika dilakukan upaya pemanggilan/penangkapan sebaiknya dilakukan oleh buser/serse unit luar dari Unit PPA atau setidak-tidaknya oleh buser yang berperspektif anak 173
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
SPM bagi Anak Berhadapan dengan Hukum pada UPPA Polres M. Iqbal
f. Penangkapan atau pemanggilan anak sebaiknya juga mempertimbangkan psikologi atau dampak lain terhadap anak g. Anak yang ditangkap atau yang dipanggil sebaiknya langsung menuju RPK atau Unit PPA h. Pemeriksaan awal terhadap anak sebaiknya memperhatikan kondisi dan kesiapan anak termasuk juga waktu pemeriksaan (wawancara) i. Sebelum pemeriksaan (wawancara) berlangsung, penyidik harus memperhatikan dan menyiapkan hal hal sebagai berikut: 1) menyiapkan peralatan dan perlengkapan termasuk misalnya makanan, minuman dan lain lain 2) mengkondisikan tempat pemeriksaan yang nyaman bagi anak 3) menghubungi pihak-pihak yang berkepentingan untuk proses penyidikan (keluarga, pendamping anak, Bapas, korban atau keluarganya, penasehat hukum/paralegal, sahabat anak) 4) penyidik melakukan wawancara awal dengan anak untuk mendapatkan penilaian terhadap anak dan kasusnya 5) memberikan kesempatan kepada pihak keluarga, Bapas, pendamping anak atau penasehat hukum untuk bertemu dan melakukan wawancara dengan anak 6) meminta hasil penilaian sementara terhadap anak kepada Bapas 7) penyidik melakukan tindakan lebih lanjut, diversi penyidikan 8) jika dilakukan diversi maka penyidik melakukan langkah-langkah diversi dengan para pihak dengan membuat surat pernyataan diversi yang diketahui oleh penyidik orang tua/wali pelaku, pihak korban, dan tokoh masyarakat
174
SPM bagi Anak Berhadapan dengan Hukum pada UPPA Polres M. Iqbal
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
9) jika diversi tidak bisa dilakukan, maka penyidik melanjutkan proses penyidikan dengan tetap mengacu kepada kepentingan terbaik bagi anak dan memperhatikan hak-hak mereka.
Dalam hal anak pelaku kejahatan tertangkap tangan, pelaku langsung dibawa oleh penyidik ke Unit PPA kemudian petugas PPA melakukan pemeriksaan dan pengecekan terhadap kondisi si pelaku. Apabila si pelaku dalam keadaan baik maka prosedur yang digunakan adalah pada ketentuan huruf i (1-9) diatas. Akan tetapi apabila si pelaku dalam keadaan kurang baik (baik fisik maupun psikis) karena mengalami kekerasan maka penyidik menunda proses penyidikan dan melakukan upaya pemulihan terhadap kondisi yang dialami pelaku dan jika perlu melakukan rujukan terhadap anak sesuai dengan kondisi anak (rumah sakit, puskesmas, Psikolog). Kemudian jika kondisi anak dinilai baik dan layak untuk dilakukan proses penyidikan, maka penyidik melakukan langkah-langkah penyidikan seperti point (i) di atas.9 Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Banda Aceh, bahwa penerapan mekanisme standar pelayanan minimum sudah baik. Akan tetapi, ia berharap agar pihak Komisi Perlindungan Anak juga dilibatkan dalam pemeriksaan pada Unit PPA baik di tingkat Polres maupun Polda. 10
3) Hambatan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Kepolisian Resort Kota Banda Aceh dalam Menangani Anak yang Melakukan Kejahatan. Hambatan-hambatan dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum terdiri dari: a. Hambatan internal Hambatan internal yaitu hambatan-hambatan yang berasal dari dalam Unit PPA Polresta sendiri. Hambatan ini meliputi penguasaan penyidik dalam menguasai teknik penyidikan, kurang kesabaran, kurang komunikatif dan pelayanan yang lambat dalam penerimaan laporan.
9
Hendriadi, Penyidik pada Unit PPA Polresta Banda Aceh, wawancara tanggal 3 September 2012 Anwar Yusuf Ajad, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Banda Aceh, wawancara tanggal 5 September 2012. 10
175
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
SPM bagi Anak Berhadapan dengan Hukum pada UPPA Polres M. Iqbal
Penanganan anak nakal berbeda dengan prosedur penanganan orang dewasa yang melakukan tindak pidana pada tingkat penyidikan. Oleh karena itu dalam Undang-undang Pengadilan Anak dan Surat Keputusan Kapolri mengenai persyaratan menjadi penyidik anak yaitu penyidik anak adalah setiap anggota polri yang telah telah berpengalaman pada penyidikan orang dewasa dan mempunyai minat, dedikasi dan memahami masalah anak. Berdasarkan ketentuan tersebut diketahui bahwa tidak semua penyidik dapat menjadi penyidik anak. Terkait dengan pengalaman penyidik sebagai penyidik anak adalah penting. Pada penyidikan anak seorang penyidik harus menguasai teknik penyidikan yaitu prosedur atau mekanisme penyidikan yang telah ditentukan dan dalam hal penyidikan anak maka seorang penyidik anak harus menguasai teknil penyidikan yang merupakan standar prosedur penyidikan yang harus dikuasai. Meskipun demikian para penyidik di Unit PPA tidak semua mampu menguasai teknik penyidikan anak secara baik. Disamping kurang penguasaan teknik penyidikan, penyidik pada Unit PPA juga mengakui bahwa mereka kurang sabar dalam menangani perkara anak nakal. Penyidikan memerlukan kesabaran terlebih lagi pada pemeriksaan anak nakal. Hal ini disebabkan karena anak nakal memiliki keadaan mental dan spritual yang berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, untuk membujuk anak berkata jujur sangatlah sulit jika tidak terdapat kesabaran pada diri staf Unit PPA. Komunikatif dalam melakukan pemeriksaan adalah sangat penting juga karena ini akan memperlancar penyidik dalam melakukan pemeriksaan. Pihak Unit PPA Polresta Banda Aceh mengakui bahwa dengan jumlah staf yang sebagian besar belum berpengalaman dalam berkomunikasi dengan baik dengan anak nakal. Ini merupakan salah satu hambatan dalam penerapan standar pelayanan minimum bagi anak karena komunikatif adalah salah satu bentuk dari standar ini pada pemeriksaan di unit PPA. b.
Hambatan Eksternal Hambatan eksternal dalam penanganan anak nakal yang dialami Unit PPA Polresta Banda
Aceh adalah ketidaktauan orangtua/wali berkenaan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anaknya sehingga hal ini dapat menghambat proses penegakan hukum dan pembinaan 176
SPM bagi Anak Berhadapan dengan Hukum pada UPPA Polres M. Iqbal
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
terhadap anak nakal tersebut. Akibatnya adalah orang tua sebagai pihak yang terdekat dengan anak nakal tersebut dalam kehidupan seharinya tidak dapat melaporkan atau mengadukan anak mereka sebagai pelaku tindak pidana kepada pihak kepolisian yang selanjutnya jika mereka ditangkap maka mereka akan diproses oleh Unit PPA.
4) Usaha untuk Mengatasi Hambatan Upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan-hambatan dalam memenuhi standar minimum pelayanan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum adalah dengan mengadakan pendidikan dan latihan bagi anggota Unit PPA baik penyidik, penyidik pembantu dan staf yang berada pada Unit PPA guna memperkuat Sumber Daya Manusia. Pendidikan dan pelatihan diberikan berupa pelatihan dan pendidikan mengenai pengusasaan teknik penyidikan berdasarkan prosedur standar pelayanan minimum. Para staf ada yang dikirim ke Markas Besar Polri guna mendapatkan pelatihan dan pendidikan khusus dalam pemeriksaan anak nakal yang sesuai dengan Standar pelayanan minimum yang telah ditentukan. Selain itu, seminar dan lokakarya juga dilaksanakan oleh pihak Polresta Banda Aceh baik yang didanai oleh Pemerintah maupun yang didanai oleh Organisasi internasional yang memiliki perhatian tentang masalah anak, termasuk anak yang berhadapan dengan hukum seperti UNICEF. Para staf dilibatkan secara aktif pada seminar dan loka karya tersebut dengan harapan mereka mengetahui bagaimana menghadapi anak nakal, menghargai hak asasi manusia mereka serta diharapkan dengan keikutsertaan para staf Unit PPA ini mereka memiliki dedikasi dan perhatian yang lebih baik terhadap anak sebagai pelaku kejahatan. Hampir minimal 1 bulan sekali mereka melaksanakan Seminar dan Lokakarya berkaitan dengan anak sebagai pelaku kejahatan. Kerjasama dan koordinasi dengan intstansi terkait dan melaksanakan sosialisasi tentang adanya keberadaan Unit PPA Polresta Banda Aceh melalui media dan stakeholder seperti Pemerintah Daerah dan Lembaga yang peduli terhadap anak. Penanganan anak nakal pada setiap tingkat pemeriksaan melibatkan petugas khusus seperti dari Pembimbing/Konselor Kemasyarakatan dari Kmenterian Hukum dan Hak
177
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
SPM bagi Anak Berhadapan dengan Hukum pada UPPA Polres M. Iqbal
Asasi Manusia, Pekerja Sosial di Dinas Sosial dan LSM yang memiliki perhatian khusus terhadap penanganan anak.
PENUTUP Kesimpulan dalam penelitian ini sebagai berikut: Pertama, dalam rangka menyelenggarakan perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap pelakunya, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Resort Banda Aceh telah menerapkan prinsip-prinsip standar pelayanan minimum terhadap anak nakal. Kedua, ada dua hambatan yg timbul dalam pelaksanaan standar pelayanan minimum di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Resort Banda Aceh, yaitu hambatan internal dan eksternal. Ketiga, usaha-usaha yang dilakukan dalam mengatasi hambatan yang ada, diantaranya dengan mengadakan pendidikan dan latihan bagi anggota Unit PPA baik penyidik, penyidik pembantu dan para staf yang berada pada Unit PPA guna memperkuat Sumber Daya Manusia. Saran tim peneliti: pertama, staf yang sudah dididik dan dilatih di bagian Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Kepolisian Resort Banda Aceh sebaiknya tidak dipindahkan ke bagian atau unit lain. Kedua, standar pelayanan minimum yang ada hendaknya dimasa mendatang dapat disesuaikan dengan undang-undang pengadilan anak yang baru yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Ketiga, penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan atau dilanjutkan dalam ruang lingkup yang lebih besar mengingat ada beberapa hal yang baru yang timbul dalam sistem peradilan anak Indonesia.
Ucapan Terima Kasih Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional melalui Lembaga Penelitian Universitas Syiah Kuala berdasarkan Surat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan Penelitian Dosen Muda Tahun Anggaran 2012 Nomor : 2343/UN11/LK-PNBP/2012 Tanggal 15 Mei 2012 yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk melakukan penelitian dalam rangka memperdalam ilmu pengetahuan di bidang hukum pidana yang nantinya akan berguna dalam proses belajar dan mengajar di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.
178
SPM bagi Anak Berhadapan dengan Hukum pada UPPA Polres M. Iqbal
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak baik informan maupun responden yang sudah meluangkan waktu untuk memberikan informasi yang peneliti butuhkan dalam rangka menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Joko Subagyo, P., 1991, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta. Mamik, Sri Supatmi, Ni Made Martini Tinduk, 2000, Analisa Situasi Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Citra Grafika Pratama. Muncie, John, 1999, Understanding the Family, Second Edition, The Open University Press, England. Ni Made, Martini Tinduk, 1999, Arti dan Lingkup Masalah Perlindungan Anak, Jurusan Kriminologi FISIP UI dan Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, Cetakan Pertama, Jakarta. Piget, Jean, 1969, The Psychology of the Child, Basic Books, New York. Riyanto, Agus, 2006, Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, UNICEF, Jakarta. Supramono, Gatot, 2000, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta. Zimring, Franklin E., 2002, The Great American Crime Decline, Oxford University Press, New York.
Jurnal dan Makalah John Siegel, ‘Parenting from the Inside Out: How a deeper self undertanding can help you raise children who thrive’(2003) in Critical Social Work Journal, 258.
Peraturan Perundang-undangan Undang- undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
179
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
SPM bagi Anak Berhadapan dengan Hukum pada UPPA Polres M. Iqbal
Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Beijing Rules 1985, Resolusi Majelis PBB No. 40/33 tanggal 29 November 1985 yang memuat Peraturan-peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak. Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2008 tentang Perlindungan Anak.
180